Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini Bagian 1
LHO, KEMBAR KOK BEDAOleh: Netty Virgiantini
Ebook by pustaka-indo.blogspot.com
GM 312 01 14 0051
? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Gedung Gramedia Blok I, Lt. 5
Jl. Palmerah Barat 29?33, Jakarta 10270
Editor: Wienny Siska
Desain sampul: Chyntia Yanetha
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
anggota IKAPI, Jakarta, 2014
www.gramediapustakautama.com
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
ISBN: 978 - 602 - 03 - 0696 - 4
216 hlm; 20 cm
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Prolog
Siku Raven menyodok keras pinggangku. Kaget,
tubuhku refleks bergerak ke samping, tanganku
yang tengah asyik memegang pensil menggambar
di buku tulis jadi terdorong keras dan membuat sebuah coretan panjang pada sketsa wajah yang tengah kubuat.
Yah, kecoret deh!
Jengkel.
Kubalas dengan menginjak kaki Raven keras-keras.
"Auw!!" teriak Raven kesakitan, kemudian buru-buru menutup mulutnya dengan tangan.
Teriakannya jelas mengundang perhatian Pak Mochtar yang
tengah serius menerangkan rumus Fisika. Seketika tangannya
yang memegang spidol whiteboard warna biru berhenti. Kepalanya berputar seratus delapan puluh derajat, memandang
Raven yang tengah membekap mulutnya.
"Ada apa, Raven!" seru Pak Mochtar dengan wajah serius.
"Maaf, Pak," jawab Raven sambil menundukkan kepala.
"Rasain," desisku perlahan.
Aku masih jengkel dengan ulahnya. Gara-gara dia sketsa
wajah Pak Mochtar yang sudah setengah jadi, malah rusak
tercoret hampir di separuh gambar. Lebih tepatnya, coretan
itu mulai dari telinga melintasi pipi, menyeberangi hidung,
menabrak mata, dan membentuk garis lurus sampai di ujung
akibat coretan itu. Mengerikan.
atas kertas. Dalam sketsa, wajah Pak Mochtar seperti retak
"Jangan menggambar terus, dong. Aku ngantuk nih," bisik
"Cuci muka sana!"
Raven sambil tetap menatap ke depan.
"Temenin ya," pinta Raven sambil menoleh memandang?ku.
"Emoh. Memangnya aku emakmu, mesti nemenin ke kamar
mandi. Sana pergi sendiri! Dasar manja. Tenang aja, terang
begini nggak bakal ada hantu yang iseng menampakkan diri."
"Nadhira, what a friend are for?" bujuk Raven mulai mengeluarkan suara memelasnya.
Makhluk yang satu ini selalu bisa meluluhkanku dengan kalimat sakti itu. Aku meliriknya sekilas lewat ekor mataku, tampak
wajahnya yang bulat, kulit putihnya yang mulus, pipinya yang
chubby biarpun badannya tidak gemuk-gemuk amat, dan
tatapan matanya yang sepolos bayi tengah memandangku.
Raven memang dianugerahi wajah bayi. Istilah kerennya baby
face. Ditambah lagi dia anak satu-satunya pejabat pemerintah
di kabupaten, lengkaplah sudah wajah bayinya bersatu dengan
sifat manjanya. Raven memang anak mami.
Dan setiap melihat raut wajah bayi ditambah mendengar
suara manjanya, selalu saja membangkitkan naluri ke-emakanku.
Kalau sudah begitu, aku selalu merasa Raven seperti anakku.
Dan aku adalah emaknya! Biarpun tidak masuk akal, mana
mungkin emak sama anak sebaya. Tapi, itu kan dalam tanda
kutip.
Gara-gara wajah bayinya, aku sering tidak bisa menolak
permintaannya. Ketika aku baru saja meletakkan pensilku untuk
menemaninya ke kamar mandi, lagi-lagi teriakan Pak Mochtar
mengagetkan kami berdua.
"Raven! Nadhira! Kalau mau mengobrol di luar sana!" hardik
Pak Mochtar.
Aku dan Raven kompak menundukkan kepala.
"Sekali lagi kalian ribut mengobrol sendiri, silakan meng?gantikan saya berdiri di depan kelas!" ancam Pak Mochtar.
Kepala kami berdua makin tertunduk dalam supaya terlihat
kalau kami berdua patuh pada peringatan Pak Mochtar. Khusyuk. Padahal semakin menunduk, kami justru bisa melanjutkan
obrolan sambil berbisik pelan-pelan.
"Kalau diteriakin begitu aku malah jadi nggak ngantuk,"
gumam Raven pelan.
"Mau kuteriakin tepat di kupingmu?"
"Awas, kalau kupingku jadi budek, kubilangin Mami."
"Kalau di sekolah aku kan emakmu."
Raven mendelik marah.
Setiap kali dia mendelik marah begitu, aku malah jadi gemas
ingin mencubit pipinya yang mirip pipi bayi montok di majalahmajalah ibu dan balita.
"Ih, lutunaa," bisikku gemas.
Raven makin mendelik.
Aku makin gemas.
Pelajaran fisika kembali berlanjut dengan aman dan nyaman.
Kulirik Raven yang menyangga kepalanya dengan tangan kanan
serta mata mendelik ke depan untuk mengatasi rasa kan?tuknya.
Aku harus menahan tawaku ketika melihat ekspresi wa?jahnya
dari samping. Selanjutnya aku kembali asyik dengan pensil dan
gambar sketsaku. Menghapus coretan yang menghiasi wajah
pus.
Pak Mochtar dan memperbaiki bagian-bagian yang ikut terhaSaat menggambar, aku seperti tercerabut dari duniaku. Larut
di dalamnya. Aku seolah bercengkerama bersama objek yang
tengah kubuat dengan goresan-goresan pensilku.
Aku pun kembali asyik melanjutkan menggambar objek
lukisan yang belum selesai. Pensilku mulai membentuk sosok
Pak Mochtar, rambutnya yang keriting, bergelombang basah
oleh minyak rambut, dahinya yang telah melebar beberapa
senti ke belakang, alis tebalnya bak semut bergerombol
menyatu di atas hidungnya, dan kumis melintang lebar di atas
bibirnya. Posenya tengah berdiri di depan whiteboard, dengan
tangan kanan mengacung ke atas seperti orator juru kampanye
disertai matanya bulat memelotot.
Ketika aku tengah menyelesaikan gambar motif kemeja batik
yang dipakai Pak Mochtar, tiba-tiba telinga kananku terasa
dijepit keras.
Rasanya panas.
"Auw...!" jeritku kesakitan sambil menoleh cepat ke samping
kanan.
Weladalah!
Tampak wajah Pak Mochtar yang merah padam. Matanya
"Kamu tahu, ini pelajaran apa?"
semakin keras menjewer telingaku.
jelas memelototi gambar di buku tulisku. Tangan kanannya
"Fisika, Pak!" jawabku sambil meringis menahan sakit di
telingaku.
"Lantas, apa yang kamu kerjakan?"
"Menggambar, Pak!"
"Merasa sudah pintar?"
"Tidak, Pak!" jawabku sambil berusaha menggerakkan kepala
untuk mencari posisi yang lebih pas untuk mengurangi rasa
sakit di telingaku.
"Maju, kerjakan soal yang di papan tulis!" perintah Pak
Mochtar tanpa melepaskan jewerannya di telingaku.
Mampuslah aku!
Aku segera beranjak, berjalan agak miring-miring karena Pak
Mochtar berjalan di sampingku untuk mempertahankan jewerannya dan baru dilepaskan begitu aku sampai di depan
whiteboard. Tanganku cepat meraih spidol biru yang terletak
di bagian bawah whiteboard. Hanya memegangnya. Karena
aku tidak bisa mengerjakan soal yang tertulis di depan mata.
Aku hanya diam.
Berdiri mematung beberapa lama.
Pak Mochtar menghampiriku.
"Kenapa?"
"Saya tidak bisa mengerjakan soal ini, Pak," jawabku jujur.
"Soal semudah ini kamu tidak bisa mengerjakannya?"
Sebagai jawaban aku menganggukkan kepala.
"Kalau tidak bisa, mengapa tidak memperhatikan saat tadi
dijelaskan?" tanya Pak Mochtar. Biarpun suaranya keras tapi
kali ini tanpa nada marah.
"Maaf, Pak," jawabku penuh penyesalan.
Sesaat, mata Pak Mochtar menatapku dari ujung rambut ke
ujung kaki, kemudian tatapannya kembali terfokus ke wajahku.
Dengan kening berkerut rapat, melontarlah pertanyaan yang
sudah sangat akrab di telingaku.
"Benar, kamu kembarannya Bashira?" tanya Pak Mochtar
ragu-ragu.
Sebelum menjawab aku melirik Bashira yang duduk di barisan bangku nomor empat dari depan, di deretan ketiga dari
samping kanan. Wajahnya tampak prihatin menatapku. Kuberikan senyum serta kedipan mataku. Sebelum mengalihkan
pandanganku, sekilas kulihat sepasang mata yang tengah
menatapku tajam. Pemilik sepasang mata itu duduk tepat di
belakang Bashira.
10 10
Dadaku berdesir-desir.
Cepat kualihkan pandanganku, kembali menatap Pak
Mochtar.
"Iya, Pak," jawabku mantap.
Pandangan Pak Mochtar beralih menatap Bashira, kemudian
kembali kepadaku. Bolak-balik beberapa kali untuk mencari
persamaan antara aku dan Bashira. Kemudian kepalanya menggeleng-geleng bingung.
"Benar, kalian kembar?" Pak Mochtar kembali bertanya.
"Benar, Pak!"
Setelah dua kali melihat aku dan Bashira bergantian, terdengarlah komentar yang rasanya sudah ratusan kali kude"Lho, kembar kok beda??!!"
ngar.
11 11
Kami Ini
Kembar Tidak
Identik!
amaku Nadhira Ramadhani, biasa dipanggil Dhira.
Umurku hampir tujuh belas tahun, dan duduk di
kelas sebelas SMA. Aku punya saudara kembar.
Namanya Bashira Ramadhani, biasa dipanggil
Shira. Umurnya selisih lima menit lebih tua dariku. Kami bersekolah di sekolah yang sama, jurusan yang sama, dan kelas
yang sama pula. Hanya berbeda tempat duduk saja. Aku
memilih duduk di baris paling depan, deretan paling kanan
dekat pintu masuk dan sebangku dengan Raven. Sedangkan
Bashira yang badannya lebih tinggi dariku duduk di barisan
keempat, deretan ketiga dari kanan, sebangku dengan Lupita.
12 12
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yah, kami memang saudara kembar. Yang dulu waktu masih
janin berbagi tempat di rahim ibuku. Hanya saat lahir saja
Bashira keluar lima menit lebih dulu dariku. Aku tidak ingat
kenapa aku memilih keluar belakangan. Apa mungkin karena
berat Bashira yang lebih besar dariku, sehingga ketika berebut
keluar dari rahim Ibu, dia bisa dengan mudah mendahuluiku
yang beratnya selisih satu kilogram lebih ringan. Atau mungkin
juga memang sudah ketentuan Tuhan, yang menetapkan takdir
siapa yang lebih dulu menghirup udara di dunia ini.
Tapi, kuberitahu satu hal, jangan pernah membayangkan
kami berdua seperti anak kembar lainnya. Kalau biasanya anak
kembar terlihat sangat mirip satu sama lain dalam segala hal,
bagai pinang dibelah dua, maka kami lebih tepat bagai pinang
dibelah pacul. Memang sih tetap bisa terbelah dua, namun
sangat berbeda bentuk dan ukurannya.
Tidak ada kemiripan sedikitpun di antara kami. Bashira berwajah bulat, kulit kuning langsat yang diwarisinya dari Ibu,
rambut bergelombang hitam sebahu, tu?buhnya tinggi berisi.
Dan aku adalah versi kebalikannya. Wajahku berbentuk oval,
kulit kecokelatan yang kuwarisi dari Ayah, rambut lurus yang
selalu kupotong pendek karena malas kalau harus sering keramas, dan tubuhku mungil, kurus seperti orang yang sudah tidak
makan selama sebulan. Atau kalau dili?hat dari samping, hampir
mirip papan penggilas cucian.
Perbedaan lain yang cukup merepotkan orangtuaku adalah
kemampuan otak kami yang jauh berbeda. Perbedaan jarak
yang rasanya tetap tidak bisa kukejar biarpun ditambah
13 13
berbagai les tambahan pelajaran yang kuikuti. Bashira selalu
beredar di sekitar peringkat tiga teratas di kelas. Sementara
aku, pasti beredar di sekitar peringkat tiga terbawah. Selain
itu Bashira juga aktif di OSIS sebagai sekretaris dan termasuk
salah satu cewek yang terkenal di sekolah karena kecantikan
dan prestasinya. Lagi-lagi, aku harus puas menjadi versi kebalikannya. Aku aktif di kelompok anak-anak yang harus mendapat
pelajaran tambahan sepulang sekolah untuk mengejar ketinggalan pelajaran. Aku pun paling sering berurusan dengan guru
BP karena kebiasaanku menggambar saat jam pelajar?an.
Begitu banyaknya perbedaan di antara kami, sampai-sampai
hampir semua orang dengan sangat terpaksa mengakui kalau
kami berdua ini memang dilahirkan sebagai anak kembar.
Dulu, orangtuaku pun sempat meragukannya. Begitu melihat
perbedaan-perbedaan yang tampak nyata di antara kami
berdua, mereka sempat menanyakan pada dokter yang menolong proses kelahiran kami di klinik bersalin. Mereka sebagai
orang awam sempat khawatir kalau salah satu di antara kami
tertukar di kamar bayi. Masuk akal juga. Hal seperti itu kan
bisa saja terjadi. Dan yang dicurigai sebagai bayi yang tertukar
adalah aku.
Wajar saja.
Karena kalau harus memilih antara yang bagus dan yang
jelek, pasti semua orang akan memilih yang bagus. Dan Bashira
dengan segala kelebihannya jelas diyakini ayah dan ibuku
sebagai anak kandung yang tidak mungkin tertukar. Tapi, Bu
Dokter yang menjadi saksi kelahiran kami dengan sabar
14 14
menjelaskan bahwa aku dan Bashira disebut sebagai kembar
fraternal. Kembar yang tidak identik karena berasal dari dua
sel telur yang dibuahi oleh sperma yang berbeda, sehingga
menjadi dua embrio yang berbeda. Berbeda dengan kembar
identik yang biasanya berasal dari satu sel telur yang kemudian
membelah menjadi dua embrio, sehingga mempunyai kemiripan
satu sama lain.
Akhirnya ayah dan ibuku yakin seratus persen kalau aku
me?mang anak kandung mereka. Apalagi Bu Dokter menambahkan fakta, bahwa saat ibuku melahirkan hanya ada lima
bayi di klinik bersalin itu. Tiga bayi laki-laki dan dua bayi perempuan yaitu aku dan Bashira.
Seiring pertumbuhan kami menjadi dua gadis remaja yang
tampak sangat berbeda, sebagian orang mengira kami ini hanya
saudara jauh?kalau dianggap kakak beradik pun tidak ada
mirip-miripnya?yang kebetulan bersekolah di tempat yang
sama. Semakin banyak pula orang yang bertanya-tanya dan
cukup merepotkan orangtuaku juga. Hampir semua orang mulai
dari saudara, tetangga sampai kenalan-kenalan selalu menanyakan perbedaan kami. Bukan saja orangtuaku yang bisa
sangat detail menjelaskan soal kembar tidak identik, aku dan
Bashira pun tidak kalah fasih menjelaskannya, karena terlalu
sering mendengar pertanyaan yang sama.
Akhirnya, semua orang mulai terbiasa dengan perbedaan
kami berdua, kecuali teman-teman baru dan guru-guru yang
baru mengajar kelas kami. Bagi orang yang baru mengenal
kami, pasti komentarnya sama,
15 15
"Lho, kembar kok beda...??!!"
Langsung saja aku dan Bashira menjawab dengan kompak
dan mantap.
"Kami kembar tidak identik!"
16 16
Kelompok Pintu
Belakang
el tanda istirahat telah berbunyi.
Aku masih duduk di ruang BP karena ulahku
menggambar di pelajaran fisika dan kemudian tidak
bisa mengerjakan soal yang diberikan Pak Mochtar,
membuatku kembali digiring ke ruangan yang sudah terlalu
sering kukunjungi. Aku dan kelompok pintu belakang memang
sangat sering berurusan dengan guru BP, selain anak-anak
nakal yang suka membolos dan membuat keributan. Nanti akan
kuceritakan siapa saja yang masuk kelompok pintu belakang
ini.
Bu Sharma memandangku sambil tersenyum ramah dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. Mungkin karena terlampau
sering melihat mukaku di ruangannya. Bu Sharma juga hapal
perbuatan apa yang mengantarkanku ke hadapannya.
17 17
"Menggambar lagi, Nadhira?" tebak Bu Sharma sambil duduk
di hadapanku.
Aku menjawab dengan senyuman dan anggukan kepala.
"Coba lihat gambarnya."
Tangan kananku segera menyodorkan buku tulis yang sejak
tadi kubawa dari kelas.
Bu Sharma menerimanya kemudian tatapannya tampak
serius memperhatikan gambar Pak Mochtar di buku tulisku.
Tiba-tiba kedua sudut bibirnya tertarik ke samping, sebuah
senyum lebar menghiasi bibirnya.
"Ini sih gantengan gambarnya dibandingkan orangnya,"
komentar Bu Sharma.
"Ah, masa sih, Bu?"
"Iya," jawab Bu Sharma kembali tertawa.
Tatapan teduh Bu Sharma menghunjam tepat di kedua bola
mataku. Beliau ini pembawaannya lembut. Kadang suka
bercanda. Mungkin karena kelembutannya membuat anak-anak
yang menghadap di ruangannya selalu merasa bersalah tanpa
harus dimarahi.
"Kenapa kamu terus mengulangi kesalahan yang sama?"
"Maaf, Bu. Saya memang salah," jawabku dengan penyesalan
yang dalam. "Nggak tahu kenapa ya, Bu, kalau merasa bosan
sedikit saja tangan ini seolah bergerak sendiri menggambar di
buku tulis."
"Ibu tahu, kamu sangat suka menggambar. Tapi, ya jangan
melakukannya di setiap kesempatan. Kejadian seperti ini sudah
terlalu sering terjadi, Dhira."
18 18
Aku menundukkan kepala.
"Kamu ingin jadi pelukis?"
Pertanyaan Bu Sharma membuat kepalaku tegak seketika.
Apakah aku ingin jadi pelukis? Kuulangi pertanyan itu untuk
diriku sendiri.
Kepalaku menggeleng perlahan.
Kening Bu Sharma langsung berkerut rapat. Beliau memandangku dengan tatapan bingung. Aku tahu mungkin jawabanku memang cukup membingungkan. Aku sering kena hukuman karena menggambar saat jam pelajaran, harusnya aku
memang mempunyai minat yang kuat untuk menjadi pelukis.
"Kalau yang Ibu maksud pelukis seperti almarhum Affandi
atau Basoeki Abdullah, bukan seperti itu. Karena selama ini
saya lebih suka menggambar sketsa wajah dan karikatur. Sebenarnya"
Aku ragu-ragu meneruskan ucapanku. Takut kalau Bu Sharma
bersikap seperti ayahku. Menertawakan keinginanku.
"Sebenarnya apa, Dhira?" tanya Bu Sharma penasaran.
"Sebenarnya"
"Ayo, bilang saja. Tidak apa-apa.."
Kupandangi wajah teduh Bu Sharma, sepasang matanya yang
menatapku lembut membuatku bertekad untuk mengatakannya.
"Hmmm saya ingin jadi komikus, Bu. Saya ingin membuat
komik seperti manga Jepang tapi versi Indonesia. Jadi,
karakter-karakter maupun ceritanya benar-benar berasal dari
sekitar kita."
19 19
Setelah menjawab aku buru-buru menundukkan kepala,
berdoa untuk menguatkan diri kalau-kalau Bu Sharma tertawa
atau menyuruhku mencari cita-cita yang lain.
"Bagus!"
Hah?!
Kaget. Aku mendongak sambil melongo menatap Bu Sharma.
Beliau ini orang pertama yang mengatakan cita-citaku dengan
satu kata yang cukup indah di telingaku. Bagus! Yang lain, kalau
tidak tertawa seperti ayahku, pasti merasa prihatin dan langsung menasihatiku agar aku tidak terlalu terpengaruh komik
komik yang kubaca. Dan mereka bilang, di sini pekerjaan
seperti itu tidak bisa menjanjikan hidup yang layak, jangan
disamakan dengan komikus yang tinggal di Jepang sana. Lebih
baik memilih jadi dokter, insinyur, guru, pegawai negeri, atau
profesi-profesi lain yang banyak kita jumpai dan menurut mereka lebih menjanjikan kesejahteraan hidup di masa depan.
"Kenapa kaget dan bengong begitu?"
"Biasanya orang akan tertawa atau prihatin dan mengatakan
itu profesi yang tidak menjanjikan masa depan yang baik."
"Ah, siapa bilang? Profesi apa pun kalau dijalani dengan
sungguh-sungguh pasti hasilnya akan baik."
Aku langsung tertawa senang.
Ah, seandainya ayahku punya pemikiran seperti Bu SharAku jadi ingat ibuku. Biarpun ibuku tidak pernah melarang
atau menertawakan keinginanku, tapi Ibu juga tidak pernah
berani menentang Ayah. Ibuku akan ikut apa pun keputusan
Ayah. Aku jadi sering kecewa melihatnya.
20 20
"Menurut Bu Sharma, saya bisa melanjutkan cita-cita untuk
membuat komik?"
"Pasti bisa!" jawab Bu Sharma yakin. "Asal kamu bersungguhsungguh untuk mewujudkannya!"
Wah, dadaku serasa mengembang oleh semangat yang
menggelora. Kata-kata Bu Sharma seolah menyalakan kembali
api di dadaku yang sudah meredup. Di kepalaku langsung
terbayang sebuah cerita yang akan kubuat dengan tokoh utama
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bernama Princess Sharma, sosoknya akan kubuat mirip Bu
Sharma yang lembut dan baik hati.
"Tapi, kamu juga harus tetap belajar untuk pelajaran lainnya.
Jangan karena ingin jadi komikus terus tidak mau belajar yang
lain."
"Saya akan berusaha, Bu."
Bu Sharma tersenyum sambil menepuk-nepuk pelan bahu"Kamu harus membuktikan ucapanmu. Jangan menghadap
ke sini lagi untuk kasus yang sama. Semoga ini surat panggilan
yang terakhir untuk orangtuamu."
Sambil menahan napas, tangan kananku terulur menerima
sebuah amplop putih dengan kop sekolahku. Aku sudah hapal
isinya, karena seperti kata Bu Sharma tadi, aku sudah terlalu
sering menerima surat panggilan untuk orangtua karena ulah"Ya sudah, kamu boleh istirahat."
"Terima kasih, Bu."
Aku segera beranjak, mencium tangan kanan Bu Sharma
21 21
dan melenggang keluar ruang BP. Ternyata Raven sudah menungguku di samping pintu.
"Gimana?" tanya Raven dengan muka cemas.
Sebagai jawaban aku mengacungkan amplop putih di tangan
kananku sambil tertawa.
"Tuh, kan, berapa kali kubilang. Kamu sih"
Sebelum Raven selesai menceramahiku seperti biasa, aku
segera mencubit pipinya.
"Stop! Adik bayi, aku sudah hapal nasehatmu. Ke kantin,
yuk. Laper, nih" Aku segera melangkah meninggalkannya.
Wajah Raven tampak sebal, tapi dia segera berjalan menyusulku.
Ketika kami sampai di ujung lorong dan akan berbelok ke
arah kantin, langkahku langsung terhenti. Dari jauh kulihat
sosok Bashira tengah berjalan berdua dari arah kantin. Ketika
melihat sosok jangkung yang berjalan tenang di samping
Bashira, dadaku kembali berdesir-desir, jantungku menambah
kecepatan degupannya. Otakku berkecamuk seru. Antara
meneruskan langkah atau segera berbalik.
Dari kejauhan yang semakin terasa dekat kurasakan sepasang mata menatapku tajam. Biarpun jarak kami masih sekitar
sepuluh meter, tapi dadaku semakin berdebar-debar tidak
keruan. Dengan cepat aku membalikkan badan dan berjalan
ter?gesa menuju tempat parkir di belakang ruang BP.
"Dhiraaa!" teriak Raven bingung dan segera membalikkan
badan, berlari menyusulku.
Aku masih terus berjalan dengan mempercepat langkah.
22 22
"Gimana, sih? Katanya tadi lapar, ngajak ke kantin. Kok,
malah balik badan terus ngacir begini!" protes Raven. "Hoi,
ada apa? Kamu nggak lihat hantu, kan?"
"Hantu apaan? Siang-siang begini," jawabku sambil lalu.
"Kita mau ke mana?"
"Ke tempat biasa."
Tanpa banyak bertanya lagi, Raven segera menjajari langkahku. Kami berdua berbelok di samping ruang BP, sampai di
bagian belakang tampak Ryu, Asta, Syarif, dan Fala sudah
duduk di bawah pohon mangga sebelah tempat parkir.
Mereka berempat, ditambah aku dan Raven menjadi akrab
karena sering kali harus ikut pelajaran tambahan setelah jam
sekolah, untuk mengejar kepandaian murid-murid lain yang
semakin melesat.
Kami ini bisa disebut kelompok pintu belakang karena kami
masuk sekolah favorit ini lewat pintu belakang. Secara nilai
ataupun kepandaian, kami sebenarnya tidak memenuhi syarat
untuk bersekolah di tempat khusus anak-anak pintar ini. Tapi
karena para orangtua biasanya selalu ingin anaknya bersekolah
di tempat terbaik?tanpa memikirkan kemampuan otak anaknya
yang sedang-sedang saja?maka kami tetap bisa masuk sekolah
ini lewat koneksi dan kompensasi.
Ah, kalian juga pasti tahu yang kumaksud. Hal seperti ini
sangat lumrah terjadi di negeri ini. Ada gengsi tersendiri kalau
orangtua bercerita bahwa anaknya belajar di sekolah di sekolah
favorit. Mereka tidak peduli dan tidak mau tahu, bahwa sesungguhnya kami megap-megap dan ngos-ngosan mencoba mengikuti ke?pandaian anak-anak lain.
23 23
Khusus untukku, sebenarnya aku tidak ingin sekolah di sini.
Aku ingin sekolah di SMK, mengambil jurusan desain grafis,
apalagi nilaiku mencukupi untuk masuk sekolah tersebut. Tapi
ayahku ngotot kalau aku harus satu sekolah dengan Bashira.
Kalau Bashira bisa, kenapa aku tidak...Ayahku mungkin lupa, otakku tidak secemerlang Bashira.
Dia pun mungkin lupa, kami ini kembar tidak identik. Berbeda
segalanya, terutama kemampuan otaknya. Sedangkan mereka
yang kembar identik pun belum tentu kemampuan otaknya
sama. Mengapa ayahku tidak mau menerima kenyataan itu"Kenapa, Dhira? Kasus yang sama, ya?" tanya Fala begitu
aku duduk di sampingnya.
"He-eh."
"Nadhira itu baru bisa selamat kalau tangan kanannya diiket,
jadi nggak bisa menggambar lagi," sahut Ryu.
"Benar. Dia ini paling nggak tahan lihat buku tulis dan pensil
nganggur. Kalau nggak diancam dikeluarkan dari sekolah, bisa
bisa habis seluruh tembok sekolah digambari."
"Kamu juga ngantuk mulu di kelas," balasku sambil mendorong bahu Raven yang duduk di samping kananku.
"Mending ngantuk. Paling-paling kalau ketahuan disuruh cuci
muka. Nggak sampai digiring ke BP. Dari kita berlima, rasanya
namakulah yang paling bersih dari daftar hitam guru BP."
"Ah, si adik bayi, apa lagi pekerjaannya kalau nggak bobo,"
ejek Sharif.
Raven mendelik marah.
Seperti biasa kami berlima berteriak gemas,
"Ih, lutunaaaa!!!"
24 24
Apa Bashira
Juga
Merasakannya...??Bebas.
ali ini jam kosong.
Aku duduk menyamping menghadap Raven,
beberapa kali aku sengaja mencuri-curi pandang
pada cowok yang duduk persis di belakang Bashira. Saat
memilih tempat duduk ini, aku sudah memperhitungkannya
secermat mungkin supaya bisa melihatnya dari bangkuku.
Pandanganku terpaku melihat Bashira yang tengah tertawa
sambil memutar tubuh ke belakang. Lupita teman sebangku
Bashira juga memutar tubuhnya. Di belakangnya dua cowok
tampak ikut tertawa-tawa juga.
Ah, lihatlah tawanya yang lepas sampai kedua matanya yang
biasanya menatap tajam padaku itu menyipit seperti garis kecil
25 25
di wajahnya. Dia selalu memandangku dengan tatapan tajam
yang terasa menembus jantungku. Tapi rasanya dia belum
pernah tersenyum padaku. Apa dia hanya tersenyum pada
anak-anak yang pandai dan tidak sudi memberikan senyumannya
pada anak-anak bodoh sepertiku? Aku mencoba mengingatingat siapa tahu dia pernah tersenyum padaku tapi aku tidak
menyadarinya karena terlampau bingung dengan desiran di
dadaku. Kapan, yaNggak pernah.
Aku yakin.
Semenjak aku melihatnya pertama kali di sekolah, dadaku
tiba-tiba saja berdesir. Matanya selalu menatapku tajam, namun
bibirnya tetap tertutup rapat. Bahkan, rasanya dia tidak pernah
menegurku. Memang aku belum mengenalnya secara pribadi.
Namun, setidaknya dia kan tahu aku kembaran Bashira, apalagi
sekarang setelah naik ke kelas sebelas dan sama-sama menghuni kelas IPA Tiga, bisa dibilang kami teman sekelas.
Ternyata hal itu tidak cukup membuatnya tergerak untuk
menegurku. Sepertinya sikapnya itu hanya khusus kepadaku.
Buktinya, dia bertegur sapa dengan anak-anak yang lain,
bahkan kadang-kadang dia juga mengobrol dengan Raven.
Terus kenapa sikapnya begitu dingin padakuApa karena aku sering kena hukuman karena menggambar
saat jam pelajaran? Aneh. Anak-anak yang lain juga tidak membenciku hanya karena masalah itu. Apa dia tidak suka padakuSemoga tidak. Jangan. Ah, tak tahulah aku. Bingung.
Aku kembali berkonsentrasi untuk menggambar. Tanpa
26 26
komando, tanganku langsung memegang pensil, membuka buku
tulis dan mulai mencoret-coret lembaran kosong. Bolak-balik
aku mencuri pandang pada objek lukisanku. Tidak berani menatapnya secara langsung. Karena kalau dia tahu aku tengah
memandangnya dan dia balik menatap tajam padaku, akan
memberi efek yang cukup serius padaku. Pasti dadaku langsung
berdesir-desir, jantung berdegup kencang, tanganku akan
gemetar seperti terserang tremor mendadak dan akibatnya
gambar sketsaku jadi jelek.
"Lagi menggambar siapa?" tanya Raven yang meletakkan
kepalanya di atas meja sambil menatapku penasaran.
"Mau tahu aja," jawabku ringan dengan tangan terus bergerak.
"Siapa, sih?"
"Hus, jangan ribut!"
Penasaran, Raven mengangkat kepalanya memutar ke belakang dan menyapukan pandangannya. Tapi tidak berhasil menemukan objek lukisanku karena aku hanya melihat sekilas
lewat ekor mata tanpa sepengetahuan Raven.
"Heh, bisa nggak kepalanya minggir, menghalangi pandangan,
tahu!"
Tangan kiriku mendorong kepala Raven ke depan.
Raven menurut.
Namun kali ini dia menjadi lebih serius menatapku.
"Kamu pasti lagi menggambar seseorang yang istimewa,"
tuduh Raven yang membuatku langsung menghentikan gerakan
tangan kananku.
27 27
"Sok tahu!"
"Tahu aja. Keliatan, tuh, wajahmu bersemu merah seperti
orang lagi jatuh cinta," ujar Raven mengajukan argumentasinya.
Astaga!
Sejelas itukahSejujurnya aku kaget. Apakah benar ucapan Raven kalau
mukaku memerah? Biarpun mulai gugup karena takut Raven
benar-benar mengetahuinya, aku sengaja tidak menanggapi
tuduhannya yang seratus persen benar. Takut kalau aku mengajukan alasan yang mengada-ada malah semakin ketahuan
bo?hongnya. Sungguh, aku tidak biasa berbohong. Untuk menutupi kegugupanku, aku segera menggerakkan tangan kananku
kembali menggambar.
"Siapa, sih?" tanya Raven makin penasaran, kepalanya menjulur mencoba melihat sketsaku.
Untungnya gerak refleksku cukup bagus. Dengan cepat
tangan kiriku menutupi sketsa yang sudah delapan puluh persen selesai, sudah kelihatan jelas wajah siapa yang tengah
kugambar.
Tapi, tindakanku semakin membuat Raven penasaran. Setelah tidak berhasil melihat sketsa yang tengah kubuat karena
kututupi, dengan sigap tangan Raven memegang tangan kiriku
dan mencoba menyingkirkannya dari atas gambarku. Aku mencoba bertahan. Sekarang tangan kananku melepaskan pensil
yang tadi terselip di jariku, dengan cepat ikut menutup
sketsaku.
28 28
Aku berusaha mati-matian menutupinya sampai titik darah
penghabisan. Aku tidak mau Raven tahu siapa yang tengah
kugambar dengan dada berdesir, dan seperti kata Raven membuat mukaku memerah seperti orang sedang jatuh cinta. Bukan
seperti itu, tapi mungkin Raven memang benar. Mung?kinkah
aku sedang jatuh cinta? Tak boleh ada yang tahu soal itu.
Termasuk Raven! Namun, kali ini Raven tidak mau menyerah.
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia pun mengerahkan tenaga dan kedua tangannya untuk
merebut buku tulisku.
Setelah saling bersitegang adu otot dan Raven sepertinya
mu?lai berada di atas angin, aku harus segera mengambil langkah penyelamatan. Dengan cepat, tangan kananku merobek
buku tulis tepat di sambungannya. Begitu sobek, kuremas kertas tersebut dengan cepat sehingga menjadi gumpalan kecil
dan kugenggam remasan kertas itu di tangan kananku.
Aman.
Sesaat.
Raven tampak kecewa.
Berikutnya, dengan cepat Raven meraih genggaman tangan
kananku dan mencoba membukanya. Mungkin melihatku matimatian menyembunyikannnya, semakin membuat Raven penasaran tingkat dewa.
Sekarang tangan kiriku berusaha melepaskan kedua tangan
Raven yang berusaha membuka genggaman tangan kananku.
Terjadi tarik menarik yang semakin seru. Tanpa sadar kami
berdua seperti tarik tambang saja, tubuh kami bergantian tertarik ke depan dan belakang mengikuti tarikan tangan. Tanpa
29 29
sadar, kami berdua sudah menjadi tontonan seluruh penghuni
kelas.
"Raven, lepas!"
"Nggak!"
"Raven, Lepaaasss!!!" teriakku emosi.
Bersamaan dengan teriakanku, Raven yang tidak pernah
dibentak menjadi kaget dan segera melepaskan cengkeramannya.
Karena posisiku yang tengah menarik kuat-kuat tangannya,
tubuhku terhempas ke belakang.
Brak!
Bunyi kursi yang terjungkal bersamaan dengan tubuhku yang
terjatuh ke lantai. Tapi, karena tangan kiriku masih mencengkeram tangan kanan Raven, jadilah dia ikut terguling ke lantai
bersamaku dengan posisi tubuhnya menindihku.
Sesaat aku dan Raven sama-sama tertegun.
Namun, begitu terdengar suitan dan seruan dari anak-anak
yang lain, aku langsung mendorong tubuh Raven dan berusaha
duduk di lantai, tidak lupa buru-buru kumasukkan gumpalan
kertas berisi sketsa itu ke saku rok abu-abuku.
"Gara-gara kamu nih, Ven!"
"Salah sendiri. Kenapa sih, main rahasia-rahasiaan segala!"
protesnya.
"Kamu belum cukup umur untuk melihatnya, adik bayi,"
gurauku sambil nyengir.
Entahlah, kalau biasanya dia akan merengut atau merajuk
manja saat kuolok-olok seperti itu, kali ini wajahnya memerah.
Sepertinya ia benar-benar marah!
30 30
Aku sampai terpana menatapnya. Baru kali ini aku melihatnya
semarah itu. Biarpun merasa tidak enak hati, aku tetap tidak
bisa memperlihatkan sketsaku. Ini bener-bener rahasia. Top
secret!
Akhirnya suara Bashira menyadarkanku.
"Dhira, kamu nggak apa-apa?" tanya Bashira cemas sambil
berusaha membantuku berdiri.
"Nggak apa-apa. Cuma pantatku panas aja kena lantai." Aku
menjawab sambil tersenyum memandang kembaranku yang
masih berusaha membersihkan rok abu-abuku dari kotoran
yang menempel. "Sudahlah, Shira, biar kubersihkan sendiri."
"Benar, nggak apa-apa? Nggak ada yang sakit?" tanya Bashira
masih belum yakin aku baik-baik saja.
"Kan, cuma jatuh dari bangku. Kamu nggak ingat aku pernah
jatuh dari pohon jambu di samping rumah? I?m fine, Shira,"
jawabku sambil tertawa lebar pada kembaranku.
Tiba-tiba mulutku terasa kaku, senyumku seperti tertahan
ketika sepasang mata menatapku tajam. Cowok itu seperti
biasa berdiri di belakang Bashira.
Ya Tuhan, dada dan jantungku rasanya langsung copot.
Kalian pasti penasaran dan ingin tahu siapa cowok itu.
Iya, kanAku sebenarnya agak malu menceritakannya.
Kenapa maluKarena ini seperti kisah cinta bertepuk sebelah tangan. Ada
satu pepatah lagi yang cocok untukku, seperti pungguk merindukan bulan. Begitulah, aku menyukai cowok yang justru
31 31
tidak pernah sekalipun tersenyum dan menyapaku. Cowok
yang mungkin saja sedang menyukai kembaranku. Yang kalau
dilihat perbandingan antara aku dan Bashira tentu cowok itu
sangat normal kalau lebih menyukai Bashira.
Eh, perasaanku ini sebenarnya sekedar masih taraf suka
atau sudah masuk stadium jatuh cinta? Aku sendiri bingung
mendefinisikannya. Aku belum pernah jatuh cinta. Jadi tidak
tahu persis bagaimana rasanya. Yang kutahu saat ini, dadaku
berdesir-desir setiap bertatapan dengannya. Jantungku berdegup kencang ketika berpapasan atau berdekatan dengannya.
Itu saja yang kutahu.
Baiklah. Akan kuceritakan siapa dia. Kalau aku sebangku
dengan Raven dan sering ke mana-mana runtang-runtung berdua, seperti pasangan ganda campuran yang kompak berlaga
di arena pertandingan, Bashira juga punya partner ganda
sendiri. Mereka tidak duduk sebangku, cowok itu duduk tepat
di belakang Bashira. Tinggi tubuhnya sekitar seratus tujuh
puluh sekian, kulitnya cokelat, rambutnya ikal dan dibiarkan
gondrong di bawah telinga sampai tengkuk. Jangan heran kalau
di sekolahku ada beberapa murid cowok berambut gondrong,
karena peraturannya, siapa pun?khusus cowok?yang peringkat
satu di kelas boleh memanjangkan rambutnya sampai batas
yang ditentukan sekolah. Maksudnya tidak boleh juga kalau
sampai ada cowok yang memanjangkan rambutnya sampai
sepantat. Ih, tidak terbayang kan bagaimana jadinya.
Cowok yang kepandaiannya bersaing ketat dengan Bashira
ini bernama Narotama. Anak-anak memanggilnya Tama. Entah
32 32
kenapa setiap kali sepasang matanya menatapku tajam, dadaku
jadi berdesir-desir dan jantungku menambah kecepatan
degupannya. Saat melamunkannya, aku selalu bertanyatanya,
Apakah Bashira juga merasakannya??33 33
Si Onta
Padang Pasir
ore selepas pelajaran tambahan, aku, Raven, Ryu,
Fala, dan Syarif, masih tinggal di kelas. Sementara
anak-anak yang lain, yang juga wajib ikut les selepas
sekolah sudah beranjak meninggalkan ruangan.
"Dhira, mau pulang bareng nggak?" tanya Fala sambil mema
sukkan buku-bukunya ke tas.
"Memangnya motormu kenapa?" Syarif sudah berdiri di
samping bangkuku.
"Masuk bengkel," jawabku singkat.
"Gara-gara jatuh kemarin, ya?" ganti Ryu yang bertanya.
"He-eh. Gara-gara gengnya Kemal, Si Onta Padang Pasir itu,"
sahutku jengkel.
Aku membatalkan niatku beranjak dari bangku, tiba-tiba
34 34
ingat sesuatu dan ingin langsung kusampaikan pada mereka
sebelum masalah yang mengganggu pikiranku semalam suntuk
itu lepas dari ingatan.
"Aku curiga mereka sengaja mencelakaiku," lanjutku yakin.
"Tahu nggak, sejak aku keluar dari sekolah, motor Kemal sudah
menjajari di sampingku. Dekat banget. Begitu sampai perempatan, satu motor anggota gerombolannya muncul dan merapat
di belakangku. Eh, tak lama, satu motor lagi muncul berjalan
lambat tepat di depanku. Aku seperti terkurung di jalan!"
"Terus, kok bisa jatuh. Bagaimana kejadiannya?" tanya Asta
penasaran.
"Karena jengkel dipermainkan begitu, aku nekat menyodok
motor yang berjalan pelan di depanku. Motor itu oleng dan
aku malah tidak bisa menjaga keseimbangan motorku, tergulinglah aku di pinggir jalan."
"Motor yang di belakangmu, bagaimana?"
"Itulah, aku harus mengakui kehebatan mereka naik motor,
semua bisa menguasai motor dengan baik. Hanya aku yang
gelimpangan sendiri di pinggir jalan."
"Jelas aja, mereka kan suka trek-trekan di jalan raya. Balapan
liar gitu," sahut Ryu.
"Lebih menyebalkan lagi, begitu tahu aku terkapar, mereka
semua sok peduli dan tergopoh-gopoh mencoba menolongku.
Huh, memangnya aku tidak tahu ulah mereka? Tak sudi! Mending aku sekarat sendirian di jalan daripada ditolong brandalbrandal pimpinan si Onta Padang Pasir itu."
35 35
"Kenapa nggak telepon aku, Dhira? Aku kan bisa menjemputmu dengan Pak Man," ujar Raven menyesali tindakanku.
"Raven Raven ke mana-mana selalu saja membawa-bawa
Pak Man," ejek Syarif.
Raven merengut.
Menggemaskan.
"Nggak perlu, Ven. Lagian aku juga bisa langsung bangun
dan menuntun motorku sampai rumah. Hanya siku kiriku saja
yang tergores aspal." Aku berkata sambil memperlihatkan siku
kiriku.
"Hanya itu yang luka?" tanya Fala khawatir.
Aku mengangguk.
"Memangnya kamu punya masalah apa sama mereka?" tanya
Ryu sambil duduk di meja depanku.
"Kenal mereka aja enggak!"
"Mungkin tanpa sengaja kamu pernah menyinggung mereka."
Asta mencoba memberikan analisa.
"Menyinggung apa? Ngobrol aja nggak pernah. Ih, ngeliat
gayanya si Onta Padang Pasir itu aja udah males!"
"Tuh, mungkin dia tahu kamu menjulukinya Onta Padang
Pasir!" tebak Asta.
Tanganku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.
Mencoba memikirkan tebakan Asta barusan.
"Mungkin juga yaa"
Setelah diam beberapa saat, aku mencoba membela diri,
"Kan, memang benar dia seperti orang yang hidup di padang
pasir. Lihat saja perawakan dan wajahnya!"
36 36
"Memang benar. Tapi, kan nggak harus pakai embel-embel
onta! Jangan seenaknya memberikan julukan pada orang lain.
Apalagi ini preman sekolahan yang kamu beri julukan. Ri?sikonya
tinggi, Dhira. Ingat itu!"
"Salah sendiri, dia juga suka mengolok-olok Raven!" sahutku
marah.
Semua terdiam.
Paham.
Kelompok Kemal sering kali mengolok-olok Raven. Menjulukinya dengan sebutan yang membuat merah telinga cowok
mana pun yang diberi julukan itu. Mungkin Asta, Syarif, Ryu,
dan Fala tidak begitu terganggu karena tidak terlalu sering
bersama Raven. Kami berenam biasa berkumpul saat istirahat,
les tambahan pelajaran, dan di tempar parkir saat pulang sekolah. Untuk tempat terakhir minus Raven karena adik bayi ini
selalu diantar jemput Pak Man, sopir pribadinya. Anehnya,
kelompok Kemal hanya mengolok-olok Raven saat sedang
bersamaku. Baik sedang berdua ataupun saat berenam.
"Aneh, ya, waktu aku pulang menebeng Raven dan bertemu
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
si Kemal cs di depan gerbang sekolah, mereka anteng-anteng
aja. Nggak peduli," kata Fala.
Ucapan Fala mengagetkanku.
"Masa, sih, Laa...?" sahutku tidak percaya.
"Benar ya, Ven?"
Raven mengangguk dengan wajah bingung.
"Apa dia punya dendam pribadi sama kamu, Dhi. Tapi se37 37
ngaja menjadikan Raven sebagai sasaran, kan kalian sering
banget berdua."
"Dendam apa lagi?" tanyaku semakin bingung.
"Sudah sudah nggak usah dipikirin. Sudah sore, nih.
Pulang, yuk!" ajak Ryu sambil melompat berdiri turun dari meja.
"Yang harus kamu ingat, Dhira. Jauhi kelompok Kemal. Dan
jangan cari gara-gara!"
Kami berenam berjalan beriringan keluar kelas.
"Tunggu sebentar ya, Dhi, Pak Man lagi beli bensin dulu," ujar
Raven sambil menarik tanganku berdiri di bawah pohon akasia
di dekat gerbang sekolah.
"Oke."
Tidak berapa lama motor Asta, Syarif, dan Fala berhenti di
dekat kami.
Syarif.
"Nggak dijemput ya, Ven. Sudah bareng kami aja," ajak
"Pak Man sedang beli bensin," jelas Raven.
Ketika tanpa sengaja memandang ke seberang jalan, firasatku
langsung tidak enak begitu melihat Kemal dan gerombolannya
tengah nongkrong di warung. Mereka sudah tidak memakai
seragam sekolah, karena mereka tidak termasuk murid-murid
peringkat bawah seperti kami yang harus mengikuti tambahan
pelajaran hampir setiap hari untuk mengejar kepandaian mereka. Kadang aku merasa heran, kenapa, di mana pun tempatnya, selalu saja ada gerombolan anak-anak urakan dan
38 38
menyebalkan seperti mereka. Parahnya, biarpun termasuk
golongan berandalan sekolah, tapi rambut Kemal juga gondrong. Itu berarti tidak berbeda dengan Tama, dia juga masih
memegang peringkat pertama di kelasnya. Biarpun nakal tapi
pintar. Aku benci mengakui hal yang terakhir ini.
Sedangkan kami berenam, sudah tidak pernah macammacam?kecuali aku yang sering kena peringatan karena suka
menggambar saat jam pelajaran?tak banyak tingkah, patuh
pada peraturan sekolah, tapi tetap saja tidak bisa mengejar
ketinggalan. Mungkin seharusnya tempat kami memang bukan
di sekolah ini, kami hanya mengikuti kemauan orangtua yang
memaksa kami berada di tempat ini dengan satu alasan. GENGBelum sempat hilang rasa kagetku melihat mereka, sudah
terdengar teriakan ejekan dari mulut pimpinan gerombolan,
siapa lagi kalau bukan si Onta Padang Pasir bin Kemal.
"Hoi, BANCI BANCI lagi nunggu dijemput sopir mami,
yaaa..!"
Teriakan bernada ejekan itu membuat Raven, Asta, Syarif,
Ryu, dan Fala kompak menoleh.
"BANCI !!!"
"Hanya BANCI yang diantar jemput sekolah pakai sopir!"
"BANCI !!!"
Ejekan sahut-menyahut dari seberang jalan memerahkan
bukan hanya telinga tapi juga wajah kami berenam. Khusus
untukku, mukaku rasanya sudah terbakar amarah yang menyala
39 39
di kepalaku. Sekilas kulirik Raven yang dari wajahnya kelihatan
seperti mau menangis.
"Kurang ajar. Ini nggak bisa dibiarkan!" desisku marah.
"Sudahlah, Dhi. Nggak usah didengerin." Asta yang mendengar amarahku mencoba menenangkanku. "Jangan membuat
keributan di sini."
"Bagaimana tidak didengarkan? Mereka sudah keterlaluan.
Apa salah Raven sampai harus diolok-olok begitu!" Aku tetap
tidak terima.
"Aku juga tidak rela, Dhi, tapi kita harus berpikir panjang
dulu sebelum bertindak. Jangan gegabah. Masih banyak guru
di dalam sana, kalau kamu membuat keributan urusannya bisa
panjang."
"Mereka berandalan, sudah biasa main kekerasan. Apa kamu
sanggup menghadapi mereka? Pikirkan keselamatanmu sendiri.
Jangan mati konyol karena mengikuti emosi."
"Siapa sih yang rela mendengar olok-olok mereka. Tapi risiko
paling berat terlibat perkelahian di sekolah bisa dikeluarkan.
Ingat itu!"
"Pikirkan orangtua kita yang sudah susah-susah membayar
mahal supaya kita bisa masuk sekolah ini. Kalau sampai
dikeluarkan, sia-sialah pengorbanan mereka."
Mereka silih berganti memperingatkan dan menasehatiku.
Namun, peringatan terakhir justru mendorong semangatku
untuk melawan gerombolan Kemal. Kalau sampai aku dikeluarkan dari sekolah ini, malah kebetulan. Bukankah dari awal aku
tidak ingin sekolah di sini. Aku ingin masuk SMK tapi ayah
40 40
memaksaku tetap satu sekolah dengan Bashira. Kata ayahku
waktu itu, "Apa kata orang nanti kalau kamu masuk SMK? Dikiranya ayahmu ini tidak bisa membiayai kuliahmu nanti. Masuk
SMK itu untuk mereka yang memang langsung ingin bekerja
begitu lulus karena tidak ada biaya melanjutkan kuliah!"
Aku ingin membantah, tapi kulihat sorot mata ibu memperingatkanku untuk diam. Jadi, aku menurut saja. Diam seribu
bahasa biarpun dalam hati tetap tidak rela.
Nah, mungkin kenekatanku ini akan memberi efek luka-luka
yang cukup parah di tubuhku, mengingat aku tidak punya bekal
atau pengalaman terlibat perkelahian. Tidak apa. Luka-luka itu
justru akan menyadarkan ayahku kalau bukan di sini tempatku.
Tidak masalah juga kalau aku harus mengulang lagi di kelas
sepuluh di SMK. Mundur setahun tidak apa-apa asal aku bisa
berada di tempat yang aku suka.
"HOI, BANCI JEMPUTANNYA BELUM DATANG YA!!!"
Napasku terasa sesak mendengarnya.
Aku benar-benar hilang kesabaran kali ini. Bukan lagi karena
ingin dikeluarkan dari sekolah, tapi sampai matipun aku tidak
akan rela Raven diolok-olok seperti itu. Aku harus menghentikannya.
"SIALAN!" makiku sambil setengah berlari menyeberang
jalan.
"NADHIRA!!!"
Yang lain kompak berteriak mencegahku. Fala, Syarif, Asta,
dan Ryu bersamaan turun dari motornya.
41 41
Namun, kakiku seperti bergerak tanpa diperintah. Emosi
sudah membakar ubun-ubunku meskipun sore itu suasana
sejuk, matahari sudah mengintip dari peraduannya. Jantungku
berdegup sangat kencang karena amarah. Kakiku berhenti
tepat di depan Kemal.
Sengaja.
Aku akan langsung hadapi pimpinan gerombolan ini. Krocokroconya tidak perlu diperhitungkan, mereka bisanya hanya
ikut-ikutan saja.
Tubuhku gemetar berdiri di depan sosok Kemal yang tinggi
besar. Ah, aku merasa seperti sedang berhadapan dengan Hulk
saja. Bedanya si Onta Padang Pasir ini tubuhnya tidak berwarna
hijau dan tidak bertelanjang dada dengan celana robek-robek.
Dia justru terlihat rapi dengan kaus oblong hitam dan celana
jins hitam yang warnanya sudah bulukan.
"SIAPA YANG BANCI!!!" bentakku sambil mendongak
menatap wajahnya dengan amarah yang sudah menguasai
sekujur tubuhku.
"Yaelah, pakai nanya segala. Siapa lagi kalau bukan cowok
yang runtang-runtung sama kamu. Masa ke mana-mana sama
banci nggak nyadar," sahut sebuah suara di belakang Kemal.
"DIAM!"
"Wah, emaknya marah, nih!"
"DIAM!" Aku kembali berteriak marah.
Kutatap lebih tajam lagi sosok yang berdiri di depanku.
"Kalian semua diam!" bentakku sambil menunjukkan tangan
kananku pada beberapa cowok yang berdiri di sekitar Kemal.
42 42
"Aku tidak bertanya pada kalian, aku bertanya pada ONTA
PADANG PASIR yang satu ini!" Sengaja kutekankan kata-kata
julukan yang kuberikan dengan tatapan menghunjam pada
kedua bola matanya.
Ternyata dia tidak bereaksi. Hanya sepasang matanya tampak menyipit membalas tatapanku.
"Apa sih salah Raven pada kalian semua? Dia tidak pernah
mengusik kalian, dia juga tidak pernah merugikan kalian! Hanya
karena diantar-jemput sopir sudah kalian cap banci?"
nya?" sebuah suara balik bertanya.
"Bukan hanya diantar-jemput saja, kamu nggak lihat muka"Kenapa dengan mukanya? Raven nggak pernah pakai gincu,
atau pasang bulu mata palsu. Tingkahnya juga wajar-wajar
saja."
Aku berhenti sejenak untuk mengatur napas yang mulai
samping tubuhku.
terengah-engah karena amarah. Kedua tanganku mengepal di
"Justru tingkah kalian ini yang bisa dibilang banci! Oh ya, di
mataku, kamu ini?tangan kiriku terangkat dengan telunjuk
menyodok keras dada Kemal?adalah paling banci sebancibancinya banci! Beraninya main keroyokan menghadapi cewek.
Apa kamu pikir aku nggak tahu, kemarin kalian sengaja mengeroyokku supaya jatuh di jalan. Kamu, ONTA PADANG PASIR,
nggak punya nyali ya ngadepin aku sendiri!"
Kedua alis Kemal terangkat, wajahnya mengeras, kepalanya
sedikit miring dan tiba-tiba tangan kanannya sudah mencekal
pergelangan tangan kiriku.
43 43
Kaget.
Sebelum aku sempat bereaksi, Kemal sudah menarik tanganku dan pandangan matanya kini tertuju pada luka di sikuku
yang masih tampak memerah tergores aspal kemarin sore.
"Sakit, ya?" tanya Kemal, yang membuatku kaget karena
suaranya terdengar lembut di telingaku. "Ada lagi yang luka?"
Mulutku langsung menganga begitu melihat ekspresi wajahnya yang terlihat cemas.
Ada apa dengan Onta Padang Pasir yang satu iniApa mungkin dia sedang berakting sok peduliTapi, bukankah kemarin waktu aku terjatuh dia juga yang
pertama tergopoh-gopoh menghampiriku. Huh, jangan harap
aku akan tertipu dengan semua aktingnya.
"LEPAS!" bentakku sambil menarik tangan kiriku.
nganku.
Tapi Kemal semakin erat mencengkeram pergelangan ta"Heh, kamu budek, ya? Bolot! Nggak dengar omongankuLEPAS!!!"
Aku kembali menarik tanganku sekuat tenaga, sementara
Kemal juga tetap mencengkeramnya, terjadilah tarik menarik
di antara kami berdua. Sebagai tambahan, dengan brutal dan
ngawur aku menendang kakinya dengan kedua kakiku bergantian. Sialnya tanpa melihat gerakan kakiku dia sudah cukup
cermat menghindar. Kedua kakinya bergerak ringan menghindari
tendangan beruntunku. Merasakan serangan kakiku hanya
mengenai udara kosong, aku semakin kalap.
44 44
"NADHIRA!!!"
"KEMAL!!!"
"Kalian berdua ikut saya!"
Sebuah perintah yang terdengar seperti suara laki-laki
dewasa membuatku menoleh secara otomatis.
Ya ampun, Pak Hanif.
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beliau wakil kepala sekolah. Di belakangnya tampak berdiri
dengan cemas teman-temanku dari kelompok pintu belakang.
Dari wajahnya aku tahu merekalah yang melapor pada Pak
Hanif yang masih berada di sekolah.
Begitu berbalik aku sengaja menarik tangan kiriku dengan
kuat sehingga terlepas dari cengkeraman Kemal yang mengendur. Dengan isyarat tanganku, aku meminta Fala dan yang lain
untuk pulang. Raven masih berdiri memandangku dengan wajah
pucat ketakutan. Aku mengedipkan sebelah mataku dan
mengucapkan kata "PULANG" tanpa suara padanya. Tapi
Raven menggelengkan kepalanya.
Aku segera berjalan di belakang Pak Hanif, sementara Kemal
berjalan santai di sebelahku. Amit-amit, sebenarnya aku ingin
berjalan di samping Pak Hanif saja. Tidak sudi aku jalan bareng
Onta Padang Pasir sialan ini. Tapi tidak sopan rasanya kalau
aku tiba-tiba menjajari langkah Pak Hanif. Jadi aku bergeser
ke samping sengaja mengambil jarak sejauh mungkin dengannya.
Tapi seperti magnet yang saling tarik menarik di kedua kutub
yang berbeda, Kemal pun mengikuti ke mana langkahku pergi.
Sehingga jarak kami berdua pun tidak pernah lebih dari lima
senti.
45 45
Begitu masuk ke ruangan wakil kepala sekolah, apesnya Pak
Hanif justru menunjuk sebuah sofa supaya kami berdua duduk
di sana. Aku jelas duduk menepi sampai mau jatuh ke samping
demi menghindari bersentuhan dengan Kemal. Begitu diberi
kesempatan aku langsung nyerocos seperti petasan renteng
yang dinyalakan waktu lebaran. Dari penjelasanku, Pak Hanif
berkesimpulan Kemal yang bersalah dan harus meminta maaf
padaku.
"Kok, minta maaf sama saya, Pak. Harusnya kan sama Raven,"
protesku.
"Yah, anggap saja kamu mewakili Raven. Kalian berdua kan
bersahabat dan tadi kamu ribut juga dalam rangka membelanya,
kan?"
Aku mengangguk, biarpun dalam hati aku bersumpah tidak
forgotten! Catat itu!
akan memaafkannya. Sampai kapan pun. Not forgiven! Not
Dengan santai Kemal berdiri dan mengulurkan tangan
kanannya. Aku ikut berdiri tapi benar-benar malas berjabatan
tangan dengan Onta Padang Pasir ini.
"Nadhira"
Tanganku terulur dengan gerakan malas-malasan, aku hanya
berniat menyentuh pucuk jemarinya saja. Namun, Kemal segera
menggenggam tanganku begitu ujung jemari kami bersentuh"Boleh pakai adegan pelukan nggak, Pak?" tanya Kemal
sam?bil nyengir. "Biar maaf-maafannya lebih afdol!"
46 46
Pak Hanif tertawa.
Ih, padahal nggak lucu blas!
"Hus, jangan mencari kesempatan dalam kelonggaran, Mal.
Sudah kalian pulang sana. Kalau akur begini kan lebih baik
daripada ribut-ribut."
Setelah berpamitan pada Pak Hanif, aku segera menarik
tanganku sebelum Kemal terus menggenggamnya lebih erat.
Setengah berlari aku menyusuri lorong-lorong kelas yang sudah
sepi. Kudengar langkah-langkah mengejar di belakangku. Aku
dan Pak Man sudah menyambutku.
"Cepat masuk, Mbak!"
mulai berlari sprint, sekuat tenagaku. Di pintu gerbang, Raven
melompat masuk diikuti Raven.
Dengan sigap Pak Man membuka pintu belakang mobil, aku
Lewat kaca jendela mobil Raven, aku melihat dengan
gerbang.
pandangan sebal pada Kemal yang berdiri terengah di pintu
47 47
Hah, Dia
Tersenyum
Padaku...??!!
ak Man menghentikan mobil tepat di depan pintu
pagar rumahku. Raven yang duduk di sebelah kiri
segera membuka pintu dan melompat turun.
"Terima kasih, Pak Man."
"Sama-sama, Mbak Dhira. Terima kasih sudah menjaga Mas
Raven di sekolah."
"Tenang, Pak Man. Selama ada saya, Raven aman di sekolah."
Aku berkata sambil melompat turun.
"Thanks, Dhi. Lain kali tidak perlu sampai mau berantem
buat membelaku," ujar Raven dengan wajah bersalah.
Kupandangi wajahnya yang bulat, putih dan menggemaskan
48 48
itu. Yang sekarang tampak murung karena perasaan bersalah.
Tanganku terulur memegang bahunya, "Ven, kalau kamu
tidak ingin aku membelamu, kamu harus berani membela
dirimu sendiri. Buktikan kamu memang laki-laki sejati. Jangan
biarkan mereka terus mengolok-olokmu seperti itu."
Raven menghela napas panjang dan menundukkan kepalanya.
Duh, aku jadi tidak tega melihatnya.
"Sudahlah, adik bayi. Sudah sore, nih. Cepat pulang. Mami
pasti cemas menunggu di rumah," godaku sambil tertawa.
"Tuh, kan, kamu sendiri juga sering mengolok-olokku!" protes
Raven.
"Heh, beda lagi! Aku menyebutmu adik bayi bukan untuk
mengolok-olokmu, tapi karena wajahmu yang menggemaskan.
Imut-imut mirip bayi. Kamu kan tahu aku pengin banget punya
adik, setiap melihatmu aku serasa jadi emakmu!"
"Katanya pengin punya adik, kok malah jadi emak!" lagi-lagi
Raven protes.
"Soalnya wajahku ketuaan kalau jadi kakakmu dan wajahmu
terlalu imut dan lucu, aku memang pantesnya jadi emakmu."
Mulut Raven langsung mengerucut.
Cemberut.
"Sudah sudah... pulang sana. Kasihan tuh Pak Man sudah
nunggu," kataku sambil mendorong tubuhnya masuk mobil.
"Pulang dulu, ya, Dhi," pamit Raven dari balik kaca yang
terbuka.
49 49
"Monggo, Mbak Nadhira," ujar Pak Man sambil membunyikan
klaksonnya.
Sebagai jawaban, aku melambai-lambaikan tanganku sampai
mobil menghilang di pertigaan. "Sampai jumpa, besok yaaa..."
Ketika aku berbalik dan tanganku sudah memegang pintu
pagar, tampak seseorang tengah duduk di teras rumah dengan
pandangan mata tertuju padaku.
Tanganku langsung berhenti dan mencengkeram pintu pagar
yang sudah terbuka separuh. Seperti mekanisme otomatis yang
dipicu oleh tatapan sepasang mata yang seolah mengirimkan
sinyal langsung menembus dadaku, desiran halus disertai jantung berdetak kencang sebagai reaksinya. Seketika aku bingung. Salah tingkah. Kalau mau terus masuk lewat pintu depan
berarti aku harus melewati yang tengah duduk di kursi teras
dekat pintu.
Apa aku harus menyapanyaAtau cukup tersenyum sajaMengingat selama ini dia belum pernah mengajakku bicara,
atau menegurku.
Waduh, Bashira ke mana, yaKalau ada dia kan aku bisa santai-santai saja melewatinya.
Bukan sekali ini aku menemukannya duduk di teras depan
ru?mahku. Tapi biasanya selalu ada Bashira bersamanya, atau
beberapa teman sekelasku yang lain yang termasuk gengnya
Bashira, geng anak-anak pintar. Baru kali ini aku harus berhadap-hadapan sendiri dengannya. Sebenarnya bisa juga sih
50 50
lewat pintu samping, tapi rasanya kok kentara sekali kalau aku
menghindarinya.
Akhirnya aku memutuskan tetap melangkah menuju teras
dengan menundukkan kepala dan kedua tangan masuk ke
dalam saku rok abu-abuku. Jangan heran ya, kedua tanganku
rasanya ikut gemetar. Langkahku mantap menuju pintu depan.
Biarlah dia mikirnya apa, karena jujur saja aku benar-benar
tidak punya nyali menyapanya.
"Baru pulang, Dhi?"
Sebuah suara membuat langkahku terhenti seketika tepat
di sampingnya. Intonasi maupun iramanya membuat jantungku
nyaris meloncat dari rongganya.
"Eh hmm iya... iya," jawabku gugup dengan kedua tangan
buru-buru keluar dari saku karena efek kegugupanku.
Saat itulah gumpalan kertas yang tadi kuperebutkan dengan
Kaget.
Raven saat jam kosong terjatuh dari saku rok abu-abuku.
Buru-buru aku membungkuk untuk mengambilnya. Namun,
di saat bersamaan cowok itu juga menunduk untuk mengambil
gumpalan kertas yang jatuh dekat kakinya. Bersamaan kepala
kami berdua jadi saling berbenturan keras.
"AUW!!!" teriakku keras.
Tangan kananku beralih mengusap-usap kepalaku yang
rasanya berdenyut-denyut akibat benturan yang lumayan keras.
Dia juga terlihat mengusap-usap kepalanya.
Setelah beberapa saat mengusap-usap kepala, aku baru
sadar hal yang lebih penting yaitu gumpalan kertas di dekat
51 51
kakinya harus segera kuambil dan kuselamatkan. Jangan sampai
cowok ini melihat gambar sketsa di dalamnya.
Namun, lagi-lagi kami melakukan gerakan yang sama. Hanya
saja kali ini aku kalah cepat sepersekian detik. Gumpalan kertas
itu sekarang sudah berada di tangannya.
Tangan kananku segera menengadah untuk memintanya.
Cowok itu menengadahkan wajahnya, memandangku dengan
tatapan tajam seperti biasanya.
Napasku rasanya berhenti seketika saat melihat kepalanya
menggeleng perlahan.
"Berikan kertas itu," pintaku dengan ketakutan yang sudah
menjalari sekujur tubuhku.
Sekali lagi kulihat kepalanya menggeleng.
Panik, tangan kananku bergerak cepat berusaha merebutnya.
Aneh ya, kenapa cowok ini seperti bisa membaca pikiranku,
dengan sigap pula tangannya terangkat menghindari sergapanku. Otakku kacau jadinya. Tanpa pikir panjang kupegang
tangan kanannya dan berusaha menariknya ke arahku. Tepat
aku bisa menariknya dan tangan kiriku berusaha keras membuka genggamannya, Bashira muncul.
"Hei!" ucapan maupun langkah Bashira terhenti di depan
pintu begitu melihat kami berdua beradu tangan. "Ada apa?"
Refleks aku melepaskan kedua tanganku.
"Eh oh ini... ehmm anu" aku benar-benar gelagapan
tidak tahu harus bicara apa.
Benar-benar tidak tahu harus bagaimana.
Untunglah motor Ayah masuk halaman dan berhenti tepat
52 52
di depan teras. Begitu turun dan melepas helmnya, Ayah melangkah mendekat dengan senyum khasnya.
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Selamat sore semua. Tama sudah lama?" sapa Ayah sambil
menjabat tangan Narotama.
"Sudah dari tadi, Om," jawab Narotama sopan sambil
berdiri.
Kemudian ganti aku dan Bashira mencium tangan kanan
Ayah.
"Kamu baru pulang, Dhi? Harus ikut pelajaran tambahan
lagi?"
Aku mengangguk.
Ayah berdiri di samping Bashira dan merangkul bahunya
dengan bangga.
"Kapan kamu bisa seperti Bashira, Dhi? Belajarlah. Jangan
bikin malu Ayah. Bashira saja selalu bisa bikin Ayah bangga
dengan prestasinya, sedangkan kamu malah bikin Ayah harus
bolak-balik berurusan dengan guru BP karena kebiasaanmu
menggambar waktu jam pelajaran. Kalian kan kembar, biarpun
secara fisik berbeda setidaknya kepandaiannya kan bisa sama.
Lagian dalam perut berbagi tempat dan dapat makanan dan
gizi yang sama. Ini hanya karena kamu malas dan tidak mau
belajar saja, Dhi!"
Aku diam mendengarnya. Biarpun sering kali dibandingbandingkan, antara aku dan Bashira tidak pernah mempermasalahkannya. Bisa dibilang hubungan kami tidak terlalu
dekat. Maksudnya, aku punya teman-teman dekat sendiri demikian juga dengan Bashira, tapi sebagai anak yang terlahir
53 53
kembar tetap ada semacam hubungan batin yang sudah terjalin
di antara kami berdua.
Bukan sekali ini aku dibanding-bandingkan dengan Bashira.
Sudah berulang kali. Aku bahkan sudah tidak sempat menghitungnya lagi, mungkin sejak kami balita saat perbedaan wajah
sudah mulai terlihat. Bukan hanya ayahku, tapi juga kakek dan
nenekku, baik dari pihak Ayah maupun Ibu, juga guru-guru di
sekolah sepertinya hobi membandingkan kemampuan otakku
dengan Bashira. Apa lagi yang bisa kuperbuat selain diam, mau
membantah juga percuma. Biasanya aku santai-santai saja
mendengarnya.
Namun kali ini dadaku terasa perih. Karena Ayah membanding?kanku di depan cowok yang selama ini membuat dadaku
ber?desir dan jantungku bergemuruh. Ingin rasanya melirik sebutkan ayahku sendiri.
kilas untuk melihat reaksinya mendengar kekuranganku diseAh, bukankah dia juga sudah tahuAku melangkah perlahan melewati Ayah yang masih meme?luk
bahu Bashira dengan kebanggaan yang semakin jelas tam?pak di
mata dan senyumannya. Begitu masuk ke kamar, pintu segera
kututup dan aku bersandar pasrah. Memejamkan mata, men?coba
meredakan rasa sesak yang tiba-tiba muncul di dada.
Tiba-tiba ada sesuatu yang melintas di otakku dan membuat
tubuhku tegak seketika dan pikiranku menjadi kacau.
Gumpalan kertas itu dan gambar sketsa di dalamnya. Bagaimana kalau dia membukanya? Bagaimana kalau Bashira juga
ikut melihatnya54 54
GAWAT!
Aku harus bagaimanaCepat-cepat kulempar tas ranselku ke atas kasur, sepatu
dan kaus kaki kulepas dengan tergesa-gesa. Segera kubuka
pintu kamar dan berjalan perlahan ke ruang tamu. Dari ruangan
itu bisa kulihat dari belakang Bashira dan Tama duduk
berdampingan menghadap ke jalan. Tapi tetap saja aku tidak
bisa melihat jelas gerakan tangan mereka berdua. Nekat aku
mendekat tepat di balik kaca. Dari tempatku berdiri, aku bisa
melihat dengan jelas aktivitas mereka berdua. Tapi kelihatannya
tangan mereka berdua masing-masing memegang buku. Eh,
siapa tahu saat aku masuk kamar tadi Tama membukanya dan
Bashira melihatnya.
Mati aku!
"Nadhira! Ngapain berdiri di situ? Pulang sekolah bukannya
segera ganti baju dan mencium tangan Ibu malah mengintip
saudara kembarmu begitu!" tegur Ibu yang membuatku langsung berdoa dalam hati semoga dua orang yang tengah duduk
di teras tidak ikut mendengarnya.
"Hah, siapa yang ngintip? Orang lagi beresin gorden, nih,"
jawabku buru-buru mencari alasan yang tampak kalau dibuatbuat.
Tanganku sibuk mengibas-ngibas permukaan gorden putih
tembus pandang di dekatku. "Kayaknya harus segera di laundry
nih gordennya, Bu. Sudah kotor dan apek! Aku copotin sekalian
ya"
"HEH! Ngawur saja. Kalau nyari alasan itu mbok yang masuk
55 55
akal. Gorden itu baru Ibu ganti tadi pagi, masih rapi dan wangi
laundry. Kalau memang mau ngintip ya ngintip aja, Dhi, tidak
usah mencari-cari alasan begitu," ujar Ibu sambil mesam-mesem berjalan menuju dapur.
Pasti mukaku merah.
Malu.
Malu banget!
Eh, refleks kepalaku kembali menoleh ke sasaran semula.
Berharap ucapan ibuku yang lumayan keras tidak terdengar
sampai di teras depan.
Ups.
Saat itulah Tama menoleh ke belakang. Tatapannya kembali
menghunjam meskipun terhalang kaca dan gorden. Samar
samar kulihat ujung bibirnya tertarik ke samping. Sebuah senyum mengembang di bibirnya.
Semaput!
Ya Tuhan, rasanya aku ingin pingsan saat itu juga.
Bukan karena untuk pertama kali melihat dia tersenyum
padaku. Tapi aku yakin dia mendengar semua ucapan ibuku.
Juga semua kata-kataku. Dia pasti mendengar semuanya. Aku
yakin. Seyakin-yakinnya.
Mampuslah aku!
56 56
Satu-satunya
Persamaan Di
antara Kami
Berdua.
eristiwa sore tadi benar-benar merampas konsentrasiku malam ini. Buku diktat matematika yang
mempersembahkan soal-soal yang harus segera
kuselesaikan hanya kupandangi saja sedari tadi.
Kepalaku dipenuhi kejadian pertengkaranku dengan Kemal dan
senyuman pertama Tama untukku. Silih berganti. Saling-silang
kejadian itu muncul di kepalaku. Memenuhi otakku!
"Gumpalan kertas itu" gumamku di luar kesadaranku.
"Aku harus menanyakannya pada Shira. Apa Tama tadi membukanya dan memperlihatkan sketsaku padanya?" kataku pada
diriku sendiri.
57 57
Seketika aku beranjak dari meja belajar dan setengah berlari
menuju pintu kamar, ingin berlari secepat mungkin ke kamar
Shira yang letaknya tepat di samping kamarku, untuk menanyakan soal gumpalan kertas itu.
Namun, langkahku terhenti justru ketika tanganku sudah
menggenggam gagang pintu. Ada keraguan di hatiku. Ada
kecemasan merasukiku.
Bagaimana caraku menanyakannya pada ShiraSetelah tertegun beberapa saat di depan pintu, aku kembali
duduk di depan meja belajar. Aku menulis di buku tulis yang
seharusnya kupakai untuk mengerjakan PR matematika, tapi
malah kubuat untuk menulis beberapa pertanyaan yang akan
kupilih untuk bertanya pada Shira.
gumpalan kertas1. Shira, apa Tama tadi memperlihatkan gambar sketsa di
2. Kamu tahu, sketsa wajah siapa yang kugambar di gumpalan kertas itu3. Aku tadi iseng membuat sketsa wajah seseorang saat
jam kosong. Coba tebak sketsa siapaSetelah membacanya berulang kali dan mencoba memilih
salah satu pertanyaan yang paling tepat untuk kuajukan pada
Shira, akhirnya semua daftar pertanyaan itu justru kucoretcoret dengan pensilku. Kucoret sampai semua tulisannya
tertutup dan tidak terbaca. Setelah itu kurobek halaman kertas
yang bolong terkena coretan pensilku, kusobek-sobek hingga
menjadi serpihan kecil-kecil dan ketika tangan kananku akan
58 58
meraupnya untuk kubuang ke tempat sampah, tiba-tiba Shira
sudah nyelonong masuk ke kamarku.
Eits!
Untung saja!
Aku menarik napas lega sambil melihat sobekan kertas yang
masih berserakan di meja belajarku. Shira langsung duduk di
tepi sebelah kanan meja belajarku.
"Lagi ngerjain apa, Dhi?" tanya Shira sambil mengumpulkan
sobekan kertasku.
"Ehm, lagi jengkel nih nggak bisa ngerjain PR matematika,"
cepat menemukan alasan yang tepat.
jawabku tenang. Aku bersyukur kali ini otakku bisa berpikir
"Mana PR-nya?"
Aku menyodorkan buku diktat matematika padanya.
"Oh, yang ini. Mudah lagi, Dhi. Kan, ada contoh soal dan
cara mengerjakannya di depan." Dengan cekatan Bashira
menunjukkan bagian yang baru saja dibicarakannya.
Aku menunduk, pura-pura serius memperhatikannya. Padahal otakku sibuk menebak-nebak maksud Shira nyelonong
masuk kamarku. Biasanya dia tidak pernah lupa mengetuk
pintu dulu sebelum masuk. Kalau sampai nyelonong seperti
tadi, biasanya ada masalah yang lumayan penting yang ingin
disampaikan.
Apa dia mau membahas gambar sketsa di gumpalan kertas
ituAku langsung cemas memikirkannya.
Tiba-tiba Shira menutup diktat matematika yang dipegangnya.
59 59
Mukanya tampak lain. Tidak biasa. Ada semburat merah membayang di kedua pipinya.
"Soal PR matematika ini tinggal dulu aja, nanti kubantu
mengerjakannya. Ada yang mau aku bicarakan denganmu."
Deg!
Jangan-jangan Bashira mau menanyakan alasanku menggambar wajah Tama di gumpalan kertas itu.
Duh, aku harus jawab apa"Kamu ingat nggak, Dhi, sebentar lagi kita sudah mau tujuh
belas tahun. Bulan depan kita sweet seventeen!" ujarnya riang.
Fuih!
Aku langsung mengembuskan napas penuh kelegaan.
"Ayah dan Ibu bilang, kita boleh membuat pesta ulang tahun.
Mengundang teman-teman sekolah atau teman main boleh
juga. Jadi, malam ini kita susun dulu rencananya. Tema pestanya
mau seperti apa, tempat, dan acaranya."
Oalah, biarpun aku sebenarnya tidak tertarik untuk membuat
pesta ulang tahun sweet seventeen ini, aku jadi antusias karena
lega. Syukurlah Shira ternyata tidak membahas soal sketsa di
gumpalan kertas yang sampai saat ini mungkin masih dibawa
Tama atau mungkin juga sudah dibuangnya.
"Ehm tapi sebelum kita membicarakan pesta ini"
Shira terdiam agak lama.
Lagi-lagi membuat dadaku dag-dig-dug menduga-duga
ucapan Shira selanjutnya. Rasanya seperti menunggu pengumuman hasil ujian saja.
"Ngng anu... hmm kita kan sudah mau tujuh belas tahun
60 60
nih, berarti sebentar lagi kita sudah bisa dibilang dewasa.
Berarti kita sudah boleh punya teman istimewa, ya?"
"Kalau soal teman istimewa, aku sudah punya dari kelas satu
dulu."
"Hah, sungguh? Siapa?" tanya Shira penasaran.
"Raven!" jawabku mantap.
"Raven?" Shira seperti tidak yakin.
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"He-eh. Kamu kan tahu sendiri aku sering runtang-runtung
ke mana-mana sama dia. Tahu tidak, setiap melihat wajahnya
yang menggemaskan mirip bayi itu, aku selalu merasa jadi
emaknya. Selalu ingin melindungi dan menjaganya. Apalagi
Raven juga suka manja kalau sama aku. Yah, dia kan anak satu
satunya sekaligus anak kesayangan orangtuanya. Jadi, kalau di
sekolah dia suka menganggap aku ini sebagai pengganti
maminya!"
lebar.
Mulut Shira melongo mendengar penjelasanku yang panjang
"Bukan teman istimewa seperti itu! Maksudku teman
istimewa yang bikin deg-degan. Yang suka bikin kangen. Dan
bikin kita berdebar bahagia kalau bersamanya."
"Oh, maksudmu pacar! Walah, mau ngomong pacar gitu aja
mbulet ke mana-mana, menghabiskan tenaga aja."
Muka Shira tampak semakin memerah.
Tersipu-sipu.
Muka khas orang-orang yang tengah jatuh cinta.
"Sudah ada cowok yang kamu suka?"
Kepalaku mengangguk tanpa minta persetujuanku lebih dulu,
61 61
karena bayangan Tama muncul begitu saja di otakku. Waduh,
kenapa bisa otomatis begini"Sama!" seru Shira melonjak riang.
"Siapa?" tanyaku penasaran.
"Nggak ah, malu. Kamu dulu yang nyebutin!"
"Yee aku juga malu, tahu!"
"Masa malu sama saudara kembar sendiri," protes Shira.
"Lha, kamu juga malu sama aku. Bukannya aku juga saudara
kembarmu?"
Setelah berbantah-bantahan akhirnya Shira yang kecerdasan
otaknya tidak perlu diragukan lagi mengusulkan untuk menuliskannya di secarik kertas, kemudian akan kami tukarkan untuk
dibaca. Kalau begini kan tidak semalu kalau menyebutkan nama
secara langsung. Setelah membagi kertas memo yang kuambil
dekat jam weker di meja belajarku, kami segera menuliskan
sebuah nama dan melipatnya.
Aku segera memberi aba-aba,
"Satu dua tiga!" teriakku keras.
Serentak tangan kami berdua terulur menukarkan lipatan
kertas dan bersama-sama membukanya.
Ops.
Weladalah!
Astaganaga!
Alamakazaaam!
Mata kami berdua membelalak lebar membaca tulisan di
kertas mungil itu.
Setelah hampir tujuh belas tahun hidup dalam perbedaan,
62 62
akhirnya kami menemukan juga satu persamaan di antara kami
sebagai saudara kembar. Satu-satunya persamaan yang membuat kami sama-sama terguncang.
Ajaib.
Aneh.
Rasanya memang tidak masuk akal.
Ternyata kami sama-sama menulis satu nama:
NAROTAMA.
Inilah pertama kalinya kami menyadari persamaan kami
sebagai saudara kembar, yang dulu berbagi tempat yang sama
di rahim Ibu, yang tanpa kami sadari mungkin ada ikatan halus
dalam saraf-saraf kami berdua yang saling terhubung dan mengakibatkan timbulnya rasa suka pada orang yang sama.
Muka Shira terlihat kaget dan agak syok begitu membaca
nama yang kutuliskan di kertas yang dipegangnya. Sementara
yang kupegang.
aku justru langsung tertawa membaca tulisan Shira pada kertas
Kenapa aku tertawaSumpah, tidak ada yang lucu pada tulisan Shira. Sebenarnya
aku tengah menertawakan diriku sendiri. Ini tawa keputusasaanku.
Kalian pasti juga sudah tahu dan bisa menduga, tentu Tama
akan memilih Shira. Itu pasti. Mereka selama ini sudah sangat
dekat, coba bandingkan antara aku dan Shira. Perbedaan kami
terlalu jelas dengan semua hal positif di pihak Shira dan semua
hal negatif ada padaku. Sudah sewajarnya kalau Tama kemungkinan besar akan menjatuhkan pilihan pada Shira. Aku sangat
63 63
yakin akan hal itu. Mungkin kalian pun sependapat denganku.
Dengan kelebihan dan keunggulan fisik maupun kecerdasan
yang dimiliki Shira, hanya orang yang terganggu kesadarannya
saja yang mungkin akan memilihku. Dan aku tahu pasti, Tama
cowok yang pintar dan cerdas. Dengan mata ter?pejam sekalipun dia akan dengan mudah menunjuk Shira sebagai pilihannya.
Sekali lagi, semua ini sudah terlalu biasa bagiku. Apa yang
dimiliki Shira biasanya tidak pernah bisa kuraih. Sebaliknya,
apa sih yang aku punya yang Shira tidak bisa memilikinyaEits, tunggu dulu!
Izinkan aku menginterupsi pikiran pesimisku sendiri.
Bukankah ini urusan cintaKata para pujangga, yang namanya urusan cinta a.k.a. urusan
hati dan perasaan terkadang tidak bisa diprediksi dengan
sesuatu yang hanya kasatmata. Dalam urusan cinta, hal yang
paling tidak masuk akal atau mustahil sekalipun bisa saja terjadi. Bukankah ada cerita romantis seperti Beauty dan the
Beast? Bukankah cinta sering kali tidak mengenal logikaTiba-tiba aku merasa sebuah nyala api berpendar kuat di
dadaku, menyalakan kembali semangatku. Nyala api yang disulut tatapan-tatapan tajam Tama yang selalu membuat dadaku
berdesir tidak menentu. Ah, aku merasa sekecil apa pun nyala
api itu masih tetap ada harapan. Masih ada kesempatan.
Untuk itu aku bertekad tidak akan menyerah begitu saja.
Seperti kalimat yang sering kubaca entah di mana, cinta itu
harus diperjuangkan!
64 64
"Kok, malah ketawa?" tanya Shira heran sekaligus khawatir.
"Lucu aja. Kok, kita bisa menyukai cowok yang sama, ya?"
jawabku berusaha terlihat tenang.
"Iya, ya. Kok, bisa?" tanya Shira dengan kebingungan yang
jelas terlihat di wajahnya.
"Kamu sadar nggak, inilah pertama kalinya kita punya kesamaan sebagai saudara kembar! Jadi, sudah sepantasnya hal
ini harus kita syukuri."
Kening Shira berkerut rapat mendengar penjelasanku.
"Kita syukuri?" tanya Shira makin bingung.
Aku mengangguk mantap.
"Setidaknya kita masih punya satu persamaan sebagai
saudara kembar!"
"Berarti kita bersaing untuk mendapatkan Tama?" tanya
Shira ragu-ragu.
BersaingAku diam sejenak, merenungkan pertanyaan barusan.
Satu kata itu berputar-putar di kepalaku. Benarkah aku
harus bersaing dengan Shira untuk mendapatkan cinta TamaSampai sebegitunya? Tapi bukankah lebih baik kalau kami
bersaing secara terbuka dari pada bersaing diam-diam. Aku
sudah terlalu sering membaca cerita persaingan diam-diam
antara saudara kembar, yang kemudian membuat keduanya
ter?ombang-ambing dalam dilema ketika harus memilih cintanya
atau menjaga perasaan saudaranya. Dan aku tidak mau ada
dalam situasi bagai makan buah si malakama seperti itu. Dima65 65
kan perut mules, tidak dimakan kena diare. Karena itu aku
memilih untuk bersaing dengan Shira secara terbuka!
"Bukan bersaing seperti dalam lomba, Shira. Dalam persaingan ini tidak ada menang atau kalah, yang ada hanya siapa
di antara kita yang beruntung mendapatkan cinta Tama. Itu
saja. Mari bersaing secara terbuka dan fair! Daripada nanti
kita terjebak dalam situasi dilema antara cinta dan saudara."
Shira masih tampak tertegun menatapku. Sepertinya tengah
memikirkan usulku.
"Jangan kuatir, Shira, peluangmu tetap jauh lebih besar
dibanding aku. Kalian toh sudah dekat selama ini, sedangkan
Tama nyaris tidak pernah mau menyapaku."
Muka Shira mulai berubah sedikit cerah.
Shira tersenyum.
"Yakin seribu persen!"
"Kamu yakin?"
"Tapi bukan berarti aku tidak punya peluang sama sekali,
biarpun itu hanya nol koma nol sekian persen, aku tidak akan
menyerah begitu saja sebelum Tama memberikan hatinya pada
seseorang."
Bukan hanya Shira yang tampak terkejut dengan semangat
dan tekadku. Bahkan aku sendiri juga bingung setelah mengucapkannya. Satu pertanyaan langsung menyerang kepalaku
dengan brutal.
Dengan cara apa aku akan memperjuangkan peluangkuNapasku jadi terasa sesak.
"Oke!" akhirnya Shira menyetujui usulku setelah memper66 66
hitungkan dan mempertimbangkan peluangnya yang memang
jauh lebih besar dariku.
"DEAL?" tanyaku sambil mengulurkan tangan.
"DEAL!" sahut Shira mantap sambil mengenggam tanganku
erat.
"Siapa pun yang tidak bisa mendapatkan hati Tama harus
bisa menerima dengan lapang dada!"
"Tidak boleh sakit hati!"
"Tidak boleh iri!"
"Juga tidak boleh patah hati!"
Aku dan Shira bersahut-sahutan menyebutkan peraturannya
sambil saling menggenggam tangan erat-erat.
Begitu genggaman kami terlepas, Shira segera melompat
turun dari meja belajarku dengan riang. Memelukku sebentar
sebelum meninggalkan kamarku dengan langkah-langkah ringan
seolah terbang. Melupakan semua rencana pesta ulang tahun
sweet seventeen kami. Juga melupakan janjinya untuk membantuku mengerjakan PR matematika.
Ah, orang yang lagi jatuh cinta memang kadang lupa segalanya.
Begitu pintu kamarku tertutup, keraguan seolah merambat
cepat mengepung jiwaku. Bayangan Tama kembali muncul dan
seolah tidak mau pergi biarpun aku berulang kali menggelenggelengkan kepala dengan keras untuk mengusirnya.
Kesadaran bahwa peluangku sangat kecil dan Tama hanya
seperti bintang di langit yang hanya bisa kulihat, kutatap, tanpa
pernah bisa kudapat, semakin menambah sesak dadaku.
67 67
Aku boleh saja tidak takut menghadapi Kemal beserta
gengnya.
Aku boleh tidak takut dikeluarkan dari sekolah.
Bahkan jatuh dari pohon pun aku tidak takut. Tapi menghadapi perasaanku pada Tama, mengapa justru membuatku
ketakutan setengah matiAku bingung.
Apa sih sebenarnya yang kutakutkanKegagalanKan, sudah sangat bisa diprediksi sebelumnya. Tinggal
tunggu waktu saja untuk membuktikannya. Jadi, setidaknya
aku sudah harus mempersiapkan diri untuk menerima kegagalanku.
Entahlah. Biarpun sudah tahu akan apa yang bakal terjadi
antara aku, Shira dan Tama, tetap saja membuatku semakin
di depan mata.
ketakutan menghadapi kalau kenyataan itu benar-benar ada
Apa aku kuat menghadapinyaYa Tuhan, bukankah tadi aku yang dengan gagah berani
mengajak Shira bersaing secara terbuka? Kenapa sekarang aku
malah ketakutan dengan perasaanku sendiriBukankah aku juga sudah sering menyaksikan mereka ke
mana-mana berduaTidak tahulah.
Perasaan ini benar-benar membingungkan. Mungkin rasanya
akan berbeda begitu mengetahui dengan pasti ada sesuatu
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang istimewa di antara mereka berdua.
68 68
Dan malam ini, biarpun ragu, juga takut, aku menetapkan
hati untuk siap menghadapi segala kemungkinan yang akan
kuhadapi.
Anak panah sudah telanjur dilepaskan dari busurnya, tidak
ada kata kembali dalam hal ini. Karena itu aku harus siap
memperjuangkan perasaanku sendiri.
Harus!
Ehm, dengan cara apa ya...???!!!
69 69
Apa yang
Harus
Kulakukanooaaahhhmmm."
Untuk kesekian kalinya aku menguap
lebar.
"Eh, nguap mulu, semalem dapat gilir
an ronda, ya!" tuduh Raven sambil menutup mulutku dengan
tangan kanannya. "Dasar nggak sopan, cewek tuh kalau nguap
jangan lebar-lebar. Mana nggak ditutup lagi, kemasukan lalat
baru tahu rasa!"
"Semalam aku nggak tidur, Ven. Rasanya mataku pedas banget," keluhku, segera menyingkirkan tangan Raven dari mulutku.
Saat masih memegang tangan Raven, aku sekilas mencuri
pandang ke bangku di belakang Shira.
70 70
Ups.
Di saat bersamaan sepasang mata itu tengah menatapku.
Pandangan kami beradu sepersekian detik. Tidak lama. Tapi
sanggup membuat reaksi tubuhku bergolak seperti biasa. Tapi
kali ini dadaku juga terasa nyeri. Aku ingat pengakuanku dan
Shira semalam. Tanpa sadar aku mencengkeram tangan Raven
semakin kencang.
"Auw!"
Teriakan Raven menyadarkanku. Segera kualihkan pandanganku pada Raven yang tengah meringis. Tapi aku bersumpah,
sesaat tadi sempat kulihat tarikan bibir yang membentuk
sebuah senyuman samar di bibir Tama. Kepalaku segera dipenuhi beberapa pertanyaan.
Apa dia sudah membuka gumpalan kertas kemarinAtaukah dia lupa dan gumpalan kertas itu terbuang begitu
saja tanpa sempat dilihatnyaMungkinkah dia sudah melihatnya dan menganggapku hanya
iseng menggambarnya"Heh, kamu kenapa sih, pagi-pagi sudah nguap, terus mencengkeram tanganku seenaknya. Eh, sekarang malah be?ngong."
Aku menggeleng-geleng berulang kali. Mencoba menghilangkan semua hal tentang Shira dan Tama dari kepa?laku.
"Mungkin ini efek kurang tidur semalem, Ven. Sori," jawabku
sambil memukul-mukul kepalaku dengan tangan kiri.
"Gantiin ayahmu ronda, ya?" tanya Raven masih penasaran
karena dari tadi pertanyaannya tidak kujawab.
71 71
Aku memutar tubuhku menghadapnya.
"Sejak kapan ayahku punya ide menyuruhku ikutan rondaKalau aku yang ngeronda para maling malah bakal mengurungkan
niatnya mencuri dan ngumpul semua di pos kamling. Yah,
maklumlah ada cewek cantik lagi jaga gitu looh"
Hueks!
Raven langsung membuat gerakan muntah di depanku.
Aku masih ingin becanda menggoda Raven ketika Bu Priyanti, guru matematika masuk kelas. Setelah berdiri mem?beri
salam, semua tampak sibuk mengeluarkan buku.
"Oke, kita cocokkan dulu PR yang kemarin ya."
Aku tertegun memandang Bu Priyanti yang tengah berdiri
di depan kelas. Ya ampun, bukan hanya Shira yang lupa mau
membantuku menyelesaikannya, tapi aku sendiri lupa mengerjakannya. Setelah pertengkaran dengan Kemal kemarin sore,
gumpalan kertas yang dibawa Tama dan sebuah senyum samar
dari balik kaca, terus pengakuan Shira di kamarku, otakku
benar-benar jadi kacau.
Dengan kesadaran penuh aku segera berdiri.
"Eh, mau ke mana?" tanya Raven mencekal tanganku.
"Aku lupa belum ngerjain PR," jawabku singkat, segera
melangkah ke depan untuk melaporkan kealpaanku kali ini.
Saat perlajaran Bu Priyanti yang terkenal tegas sudah ditetapkan peraturan siapa yang merasa bersalah, seperti belum
mengerjakan PR atau menyontek harus mengakui kesalahannya
di depan beliau. Karena kalau sampai Bu Priyanti yang me72 72
mergoki sendiri, urusannya bisa panjang. Berani berbuat harus
berani bertanggung jawab, itu prinsipnya.
Langkahku terhenti di samping meja guru. Sejak aku berdiri
dan mulai melangkah ke depan kelas, semua mata seolah
mengikuti langkahku. Aku sudah berdiri di samping Bu Priyanti
yang siap menyambutku dengan tatapan tegasnya.
"Ada apa, Nadhira?"
"Saya lupa belum mengerjakan PR, Bu."
"Lupa?"
"Iya."
"Bukankah kamu kembaran Bashira?"
Aku mengangguk.
Selalu saja begitu. Rasanya setiap tingkah lakuku selalu
dihubungkan dengan Shira. Setelah itu pasti akan mulai
dibanding-bandingkan kelebihan dan kekurangan di antara
"Bashira, sini!"
kami berdua.
Aku mendongak kaget.
Kenapa Shira jadi terbawaIni kan murni kesalahanku sendiriShira beranjak dari bangkunya dan berdiri tepat di sampingku. Sepasang mata Bu Priyanti cermat memandang bergantian antara aku dan Shira. Berulang kali beliau tampak
meng?hela napas panjang sambil menggelengkan kepala. Mungkin saja gagal menemukan sedikit saja persamaan antara aku
dan Shira.
"Kalian benar-benar kembar, ya?"
73 73
Aku dan Shira kompak mengangguk.
"Oke, soal beda secara fisik itu masih bisa terima. Saya
mengerti yang namanya kembar tidak identik. Tapi kenapa sifat
dan kemampuan kalian juga sangat jauh berbeda? Kalian
dibesarkan oleh orangtua yang sama, dididik dengan cara yang
sama, di tempat yang sama, di sekolah bahkan di kelas yang
sama, kok bisa perbedaannya jadi sangat jauh begini? Apa ada
yang salah, ya?"
Shira menundukkan kepalanya. Kasihan. Pasti dia malu.
Harus berdiri di depan kelas karena kasus pelanggaran yang
kulakukan.
"Kalian tinggal satu rumah, bukan?"
Lagi-lagi aku dan Shira mengangguk.
"Nadhira, seharusnya kamu bisa belajar pada Bashira. Minta
tidak perlu terjadi."
diajari dan bertanya ada PR atau tidak. Jadi hal seperti ini
Ketika mendengarkan nasehat Bu Priyanti, aku melirik Shira
yang masih terus menunduk di sampingku. Karena terlalu
sering dibanding-bandingkan, aku sampai punya ide, kenapa
tidak sekalian diadakan sayembara dengan objek aku dan Shira.
Kalau di majalah atau koran ada sayembara mencari 10 titik
perbedaan di antara dua gambar yang sama, maka sayembara
ini justru sebaliknya. Harus mencari 10 titik persamaan antara
aku dan Shira yang wujudnya memang amat sangat berbeda.
Aku yakin pasti tidak satu pun yang bisa menjawabnya. Aku
yakin tidak ada yang mampu menebaknya. Jangankan sepuluh,
satu saja mereka pasti tidak mampu menemukannya. Karena
74 74
satu-satunya persamaan antara aku dan Shira adalah pengakuan
kami tadi malam. Dan untuk soal itu hanya aku, Shira, dan Tuhan yang tahu.
"Oke. Bashira kembali ke bangkumu. Nadhira kamu kerjakan
soal-soal PR kemarin ditambah latihan soal di halaman
berikutnya. Kerjakan di luar kelas!"
Aku dan Shira segera melangkah ke bangku masing-masing.
Tanpa banyak bicara aku segera mengambil buku diktat dan
buku tulis dari atas mejaku.
"Kamu benar-benar ngeronda, ya, sampai lupa ngerjain PR
segala," bisik Raven masih ngotot dengan tuduhannya.
Senyumku tidak bisa kutahan mendengarnya. Lagi-lagi
seperti sebuah mekanisme otomatis yang bergerak tanpa ada
perintah lebih dulu dari otak, sebelum meninggalkan bangku,
pandanganku singgah dulu di bangku belakang Shira. Dan lagi
lagi, sepasang mata tajam itu menghunjam mataku, membuat
napasku seolah berhenti sementara. Buru-buru aku bergerak
melangkah keluar kelas. Mengambil tempat di samping kanan
pintu kelas dan duduk bersila di lantai, membuka buku dan
Rencana Sederhana Simple Plan Karya Pendekar Rajawali Sakti 108 Harga Animorphs 6 Musuh Dalam Selimut
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama