Ceritasilat Novel Online

Kota Kertas 1

Kota Kertas Paper Town Karya John Green Bagian 1



KOTA KERTAS Paper Town

oleh John Green

Ebook by pustaka-indo.blogspot.com

GM 322 0114 0023

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Gedung Gramedia Blok I, Lt. 5

Jl. Palmerah Barat 29?33, Jakarta 10270

Alih bahasa: Angelic Zaizai

Desain sampul oleh: Martin Dima (martin_twenty1@yahoo.com)

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

anggota IKAPI, Jakarta, 2014

www.gramediapustakautama.com

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ISBN: 978 - 602 - 03 - 0858 - 6

360 hlm; 20 cm

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Isi di luar tanggung jawab Percetakan

Untuk Julie Strauss-Gabel, yang tanpa dirinya

tak mungkin ini jadi kenyataan

Dan setelahnya, ketika

kami pergi ke luar untuk menatap lenteranya yang selesai dibuat

dari jalan, aku berkata aku suka cara cahayanya

menerangi wajah yang muncul sekelebat dalam gelap.

?"Jack O?Lantern," Katrina Vandenberg dalam Atlas

Kata orang, teman takkan menghancurkan satu sama lain.

Tahu apa mereka soal teman?

?"Game Shows Touch Our Lives," The Mountain Goats

PROLOG

Menurut pendapatku, semua orang mendapatkan satu keajaiban.

Contohnya, aku mungkin takkan pernah disambar halilintar, atau

memenangkan Hadiah Nobel, atau menjadi diktator suatu negara

kecil di Kepulauan Pasifik, atau mengidap kanker telinga yang tak

dapat disembuhkan, atau mengalami tubuh terbakar secara tiba-tiba.

Tetapi jika kita mempertimbangkan semua hal-hal yang tak mungkin

itu sekaligus, setidaknya salah satunya bisa saja terjadi pada masingmasing diri kita. Aku bisa saja melihat hujan katak. Aku bisa saja

menapakkan kaki di Mars. Aku bisa saja dimangsa paus. Aku bisa

saja menikahi Ratu Inggris atau bertahan hidup bertahun-tahun di

lautan. Tetapi keajaibanku berbeda: dari semua rumah di subdivisi

di seantero Florida, aku tinggal bersebelahan dengan Margo Roth

Spiegelman.

Subdivisi kami, Jefferson Park, dulunya merupakan pangkalan ang

katan laut. Namun kemudian, angkatan laut tidak lagi membutuhkan

nya, jadi mereka mengembalikan lahan tersebut kepada penduduk

Orlando, Florida, yang memutuskan untuk membangun subdivisi

masif, sebab itulah yang dilakukan Florida dengan tanah. Orangtuaku

dan orangtua Margo pindah ke kediaman yang bersebelahan tak lama

setelah rumah-rumah pertama dibangun. Waktu itu Margo dan aku

berusia dua tahun.

Sebelum Jefferson Park menjadi sebuah Pleasantville, dan sebelum

menjadi pangkalan angkatan laut, lahan tersebut milik seseorang

bernama Jefferson, Dr. Jefferson Jefferson. Dr. Jefferson Jefferson me

miliki sekolah yang dinamai sesuai namanya di Orlando serta yayasan

amal besar, tapi fakta menarik dan tak-bisa-dipercaya-tapi-benar

mengenai Dr. Jefferson Jefferson adalah dia bukan doktor dalam

bidang apa pun. Dia hanya penjual jus jeruk bernama Jefferson

Jefferson. Ketika menjadi kaya dan berkuasa, dia pergi ke pengadilan,

menjadikan "Jefferson" nama tengahnya, kemudian mengubah nama

pertamanya menjadi "Dr." Huruf D kapital. Huruf r kecil. Titik.

Jadi Margo dan aku berusia sembilan tahun. Orangtua kami bersaha

bat, maka kadang-kadang kami main bersama, bersepeda melewati

jalan-jalan kuldesak menuju taman Jefferson Park, penghubung bagi

area subdivisi kami.

Aku selalu gugup setengah mati setiap kali mendengar Margo

akan muncul, mengingat dia adalah makhluk paling rupawan yang

pernah diciptakan Tuhan. Pagi itu, Margo mengenakan celana pendek

putih dan kaus pink bergambar naga hijau mengembuskan api jingga

berkilat-kilat. Sulit menjelaskan bagaimana kerennya kaus Margo

menurutku saat itu.

Margo, seperti biasa, bersepeda sambil berdiri, kedua lengannya

menekuk ketika dia membungkuk di atas setang, sepatu kets ungunya

berupa kelebatan kabur. Saat itu hari yang sangat panas di bulan

Maret. Langitnya cerah, tapi udaranya terasa asam, seolah badai akan

datang nanti.

Waktu itu, aku berkhayal diriku seorang penemu, dan setelah kami

mengunci sepeda dan mulai melintasi jalan pendek menyeberangi

taman menuju area bermain, aku bercerita pada Margo tentang ide

yang kudapat untuk suatu penemuan bernama Ringolator. Ringolator

adalah meriam raksasa yang menembakkan bebatuan besar berwarnawarni ke orbit sangat rendah sehingga memberi Bumi cincin yang

mirip dengan yang dimiliki Saturnus. (Aku masih menganggap itu

ide cemerlang, tapi rupanya membuat meriam yang bisa menembakkan

bebatuan ke orbit rendah lumayan rumit.)

Aku sangat sering ke taman ini sehingga sudah terpeta di benakku,

jadi kami baru beberapa langkah memasukinya ketika aku mulai

merasakan bahwa ada yang tidak beres, meskipun aku tak langsung

menyadari apa yang berbeda.

"Quentin," kata Margo pelan dan tenang.

Dia sedang menunjuk. Dan kemudian aku menyadari apa yang

berbeda.

Ada pohon ek beberapa langkah di depan kami. Besar, berbonggolbonggol, dan kelihatannya sudah tua. Itu bukan hal baru. Area ber

main di kanan kami. Itu juga bukan hal baru. Tetapi kini, seorang

laki-laki bersetelan jas kelabu bersandar di batang pohon ek. Tak

bergerak. Itu hal baru. Dia dikelilingi darah; air mancur setengah

kering tumpah dari mulutnya. Mulut itu terbuka dengan cara yang

seharusnya tidak bisa dilakukan mulut. Lalat-lalat hinggap di dahi

pucatnya.

"Dia mati," kata Margo, seolah aku tidak tahu saja.

Aku mengambil dua langkah kecil ke belakang. Aku ingat berpikir

bahwa jika aku bergerak tiba-tiba, bisa-bisa dia bangun dan menye

rangku. Jangan-jangan dia zombi. Aku tahu zombi tidak nyata, tapi

dia jelas tampak seperti calon zombi.

Ketika aku mundur dua langkah, Margo mengambil dua langkah

kecil dan pelan ke depan. "Matanya terbuka," ujarnya.

"Kitaharuspulang," kataku.

"Kupikir kita memejamkan mata ketika mati," ucapnya.

"Margokitaharuspulangdanmelaporkannya."

Margo maju selangkah lagi. Kini dia sudah cukup dekat untuk

meraih dan menyentuh kaki laki-laki itu. "Menurutmu apa yang ter

jadi padanya?" tanya Margo. "Mungkin gara-gara narkoba atau se

suatu."

Aku enggan meninggalkan Margo sendirian bersama orang mati

yang bisa saja menjadi zombi ganas, tapi aku juga tak sudi berdiri di

sana dan mengobrol tentang penyebab kematiannya. Aku pun me

ngumpulkan keberanian dan melangkah maju untuk meraih tangan

Margo. "Margokitaharuspergisekarangjuga!"

"Oke, yeah," katanya. Kami berlari ke sepeda masing-masing,

perutku mual oleh sesuatu yang rasanya persis dengan semangat, tapi

bukan itu. Kami menaiki sepeda dan kubiarkan Margo mengayuh

di depan karena aku menangis dan tidak mau dia melihatnya. Aku

bisa melihat darah di sol sepatu kets ungu Margo. Darah laki-laki

itu. Darah mayat laki-laki itu.

Dan kemudian kami tiba kembali di rumah masing-masing.

Orangtuaku menelepon 911, dan kudengar sirine di kejauhan lalu

meminta izin untuk melihat truk pemadam kebakaran, tapi ibuku

melarang. Kemudian aku tidur sebentar.

Kedua orangtuaku ahli terapi, yang artinya aku sangat tidak ber

masalah secara emosional. Jadi, begitu aku bangun, ibuku dan aku

mengobrol panjang-lebar tentang siklus kehidupan, dan bagaimana

kematian merupakan bagian dari kehidupan, tapi bukan bagian dari

kehidupan yang ingin serius kupikirkan pada usia sembilan tahun,

dan aku pun merasa baikan. Sejujurnya, aku tak pernah terlalu men

cemaskan itu. Yang sangat luar biasa, sebab aku perlu sedikit merasa

cemas.

Ini masalahnya: aku menemukan mayat laki-laki. Aku yang berusia

sembilan tahun, kecil dan menggemaskan, bersama teman bermainku

yang lebih kecil dan menggemaskan lagi menemukan laki-laki dengan

darah meleleh dari mulutnya, dan darah itu menempel di sepatu kets

kecil dan menggemaskan sang teman ketika kami bersepeda pulang.

Semua itu sangat dramatis dan semacamnya, tapi memangnya

kenapa? Aku kan tidak kenal laki-laki itu. Banyak orang yang tidak

kukenal meninggal sepanjang waktu. Kalau aku panik setiap kali ada

sesuatu yang mengerikan terjadi di dunia, bisa-bisa aku lebih sinting

daripada tikus toilet.

Malam itu, aku masuk kamar untuk tidur pukul sembilan tepat, se

bab pukul sembilan adalah jam tidurku. Mom menyelimutiku, me

ngatakan dia menyayangiku, dan aku bilang, "Sampai ketemu besok,"

dan dia bilang, "Sampai ketemu besok," lalu mematikan lampu dan

menutup pintu hingga hampir rapat.

Ketika aku berbaring menyamping, aku melihat Margo Roth

Spiegelman berdiri di luar jendelaku, wajahnya hampir menempel di

kasa. Aku bangkit dan membuka jendela tapi kasanya tetap ter

bentang di antara kami, membuat wajahnya terlihat kotak-kotak.

"Aku sudah melakukan penyelidikan," ucapnya cukup serius. Meski

kasa mengotak-ngotakkan wajahnya, tapi aku bisa melihat dia me

megang buku catatan kecil dan pensil yang berbekas gigitan di

sekeliling penghapusnya. Margo menatap ke bawah ke buku ca

tatannya. "Mrs. Feldman di Jefferson Court berkata nama laki-laki

itu Robert Joyner. Dia memberitahuku Robert Joyner tinggal di

Jefferson Road di salah satu kondominium di atas toko swalayan,

jadi aku ke sana dan di sana ada banyak polisi, dan salah satunya

menanyaiku apakah aku bekerja di koran sekolah, dan kujawab se

kolah kita tak punya koran, dan dia bilang asalkan aku bukan war

tawan dia mau menjawab pertanyaanku. Katanya Robert Joyner

berumur 36 tahun. Seorang pengacara. Mereka tidak mengizinkanku

masuk apartemen, tapi ada perempuan bernama Juanita Alvarez

tinggal di sebelahnya, dan aku berhasil masuk ke apartemen Juanita

Alvarez dengan cara bertanya apakah aku boleh meminjam secangkir

gula, kemudian dia bercerita bahwa Robert Joyner bunuh diri dengan

senjata api. Kemudian kutanya apa sebabnya, lalu dia memberitahuku

Robert Joyner bercerai dan sedih karena itu."

Saat itulah Margo berhenti bicara, dan aku hanya menatapnya,

wajahnya abu-abu, diterangi bulan, dan terbagi menjadi ribuan kotak

kecil oleh anyaman kasa jendela. Mata bulat besarnya hinggap bolakbalik dari buku catatan ke diriku. "Banyak orang bercerai dan tidak

bunuh diri," ucapku.

"Aku tahu," katanya, ada nada bersemangat dalam suaranya. "Itulah

yang kukatakan pada Juanita Alvarez. Kemudian dia bilang..." Margo

membalik halaman bukunya. "Dia bilang Mr. Joyner bermasalah. Dan

ketika kutanya apa maksudnya, katanya sebaiknya kami mendoakan

saja laki-laki itu dan aku perlu membawakan gula itu untuk ibuku,
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan kubilang lupakan gulanya lalu aku pergi."

Kembali aku tidak berkata apa-apa. Aku hanya ingin dia terus

bicara?suara pelan yang tegang penuh semangat karena hampir

mengetahui sesuatu, membuatku merasa seolah ada sesuatu yang

penting terjadi padaku.

"Kurasa mungkin aku tahu apa sebabnya," katanya akhirnya.

"Apa?"

"Mungkin semua senar dalam dirinya putus," ujar Margo.

Sementara mencoba memikirkan sesuatu untuk merespons itu,

aku meraih ke depan dan menekan pengunci kasa di antara kami,

melepaskannya dari jendela. Kuletakkan kasa jendela itu di lantai,

tapi Margo tak memberiku kesempatan bicara. Sebelum aku sempat

duduk lagi, dia hanya mengangkat wajah ke arahku dan berbisik,

"Tutup jendelanya." Jadi aku melakukannya. Kupikir dia akan pergi,

tapi dia hanya berdiri di sana, memperhatikan. Aku melambai ke

arahnya dan tersenyum, tapi matanya seakan tertuju pada sesuatu di

belakangku, sesuatu yang mengerikan yang menguras darah dari

wajahnya, dan aku sangat takut untuk berbalik dan melihat. Tetapi

tentu saja tidak ada apa-apa di belakangku, kecuali?mungkin lakilaki yang sudah mati itu.

Aku berhenti melambai. Kepalaku sama tinggi dengannya selagi

kami bertatapan dari sisi kaca yang berlawanan. Aku tidak ingat ba

gaimana akhirnya?apakah aku yang pergi tidur atau dia. Dalam

ingatanku, itu tak berakhir. Kami hanya berdiri di sana, bertatapan,

selamanya.

Margo menyukai misteri sejak dulu. Dan dalam semua hal yang ter

jadi setelahnya, aku tidak pernah bisa berhenti berpikir bahwa ja

ngan-jangan lantaran terlampau menyukai misteri, dia pun menjadi

misteri.

BAGIAN SATU

Senar

HARI terpanjang dalam hidupku dimulai dengan lamban. Aku ter

lambat bangun, mandi terlalu lama, dan akhirnya harus menikmati

sarapan di jok penumpang minivan ibuku pada pukul 07.17 pada

hari Rabu itu.

Biasanya aku ke sekolah menumpang sahabatku, Ben Starling, tapi

Ben ke sekolah tepat waktu, jadi dia tak berguna bagiku. "Tepat

waktu" bagi kami artinya setengah jam sebelum sekolah benar-benar

dimulai, sebab setengah jam sebelum bel pertama merupakan masamasa penting dalam kalender sosial kami: berdiri di luar pintu sam

ping yang mengarah ke ruang band dan mengobrol. Sebagian besar

temanku bergabung dalam band, dan mayoritas waktu senggangku

di sekolah dihabiskan dalam jarak enam meter dari ruang band. Na

mun aku tak bergabung dengan band, sebab aku mengidap semacam

tuli nada yang biasanya diasosiasikan dengan tuli sungguhan. Aku

akan terlambat dua puluh menit, yang secara teknis artinya aku

datang sepuluh menit lebih awal sebelum jam masuk sekolah.

Sambil menyetir, Mom menanyaiku tentang pelajaran, ujian akhir,

dan pesta prom.

"Aku tidak percaya prom," aku mengingatkan Mom ketika dia ber

belok di tikungan. Aku dengan piawai memiringkan sereal raisin

bran-ku untuk mengakomodasi kekuatan gravitasi. Aku sudah pernah

melakukan ini.

"Yah, kan tidak ada ruginya pergi bersama seorang teman. Aku

yakin kau bisa mengajak Cassie Hiney." Aku bisa saja mengajak Cassie

Hiney, yang sebenarnya baik, menyenangkan, dan imut, terlepas dari

nama belakangnya yang benar-benar apes. Soalnya Hiney juga berarti

bokong.

"Aku bukan saja tidak suka prom. Aku juga tidak suka orang yang

menyukai prom," aku menjelaskan, meskipun sebenarnya itu tidak

benar. Ben jelas-jelas tergila-gila dengan gagasan menghadiri prom.

Mom berbelok memasuki sekolah, dan aku memegangi mangkuk

yang sudah hampir kosong dengan kedua tangan ketika kami me

lewati polisi tidur. Aku melirik ke parkiran murid senior. Honda

perak Margo Roth Spiegelman diparkir di tempat biasa. Mom me

nyetop minivan di kuldesak di luar ruang band dan mengecup pipiku.

Aku bisa melihat Ben dan teman-temanku yang lain berdiri mem

bentuk setengah lingkaran.

Aku menghampiri mereka, dan setengah lingkaran itu merenggang

begitu saja untuk menyertakan aku. Mereka sedang mengobrol ten

tang mantan pacarku Suzie Chung, sang pemain selo dan rupanya

tengah menyebabkan kehebohan besar gara-gara berkencan dengan

pemain bisbol bernama Taddy Mac. Apakah itu nama depannya,

entahlah. Pokoknya, Suzie sudah memutuskan pergi ke prom bersama

Taddy Mac. Satu lagi korban.

"Bro," sapa Ben, berdiri di depanku. Dia mengangguk dan berbalik.

Aku mengikutinya ke luar lingkaran dan memasuki pintu. Sebagai

makhluk bertubuh kecil dan berkulit sewarna zaitun yang telah

menginjak masa puber tapi tidak pernah memijaknya keras-keras,

Ben telah jadi sahabatku sejak kelas lima, ketika kami berdua meng

akui kenyataan bahwa tak satu pun dari kami yang berpeluang meng

gaet orang lain sebagai sahabat. Ditambah lagi, dia berusaha keras,

dan aku suka itu?biasanya.

"Ada kabar apa?" tanyaku. Kami aman di dalam, obrolan muridmurid lain membuat percakapan kami tak terdengar.

"Radar mau pergi ke prom," ucapnya muram. Radar adalah sahabat

kami yang lain. Kami menjulukinya Radar soalnya dia mirip dengan

laki-laki kecil berkacamata di serial TV lama M*A*S*H, kecuali 1.

Radar di TV tidak berkulit hitam, dan 2. Pada suatu masa setelah

pemberian julukan tersebut, Radar kami bertambah tinggi sekitar

lima belas sentimeter dan mulai memakai lensa kontak, jadi kurasa

3. Dia sama sekali tak mirip tokoh di M*A*S*H, tapi 4. Dengan

hanya 3,5 minggu lagi tersisa di SMA, sudah jelas kami tidak akan

memberi dia julukan baru.

"Dengan si Angela itu?" tanyaku. Radar tak pernah cerita soal

kehidupan cintanya pada kami, tapi hal itu tidak menghalangi kami

untuk berspekulasi.

Ben mengangguk, lalu berkata, "Kau tahu kan rencana besarku

untuk mengajak hunnybunny?murid baru ke prom soalnya cuma

mereka cewek-cewek yang belum tahu tentang cerita Ben Berdarah?"

Aku mengangguk.

"Nah," ucap Ben, "pagi ini seorang honeybunny kelas sembilan yang

mungil dan cantik menghampiriku dan bertanya apakah aku si Ben

Berdarah, dan aku mulai menjelaskan bahwa itu infeksi ginjal, dia

cekikikan dan berlari pergi. Jadi ceritanya sudah tersebar."

Sewaktu kelas sepuluh, Ben dirawat akibat infeksi ginjal, tapi Becca

Arrington, sahabat Margo, menyebarkan gosip bahwa alasan se

benarnya ada darah di urine Ben adalah akibat masturbasi kronis.

Meskipun sulit dipercaya secara medis, cerita tersebut menghantui

Ben sejak saat itu. "Payah banget," kataku.

Ben mulai menjabarkan rencana untuk mendapatkan kencan, tapi

aku hanya separuh mendengarkan, sebab dari sela-sela kerumunan

manusia yang makin ramai menyesaki koridor, aku bisa melihat

Margo Roth Spiegelman. Dia di dekat lokernya, berdiri di sisi sang

pacar, Jase. Dia memakai rok putih selutut dan atasan biru bermotif.

Aku bisa melihat tulang selangkanya. Dia menertawakan sesuatu

yang sangat lucu?bahunya membungkuk, mata besarnya berkerut

di sudut, mulutnya terbuka lebar. Tetapi sepertinya bukan karena

apa yang dikatakan Jase, sebab Margo tidak menatap ke arahnya tapi

ke deretan loker di seberang koridor. Aku mengikuti tatapannya dan

melihat Becca Arrington menggelayuti tubuh seorang pemain bisbol

seolah dia ornamen dan laki-laki itu pohon Natal. Aku tersenyum

pada Margo, meskipun sadar dia tak bisa melihatku.

"Bro, seharusnya kau langsung tembak saja. Masa bodoh dengan

Jase. Ya Tuhan, honeybunny yang satu itu benar-benar kinclong." Sem

bari melangkah, aku berkali-kali mencuri pandang ke arah Margo

dari sela-sela keramaian, rentetan jepretan cepat: serangkaian foto

berjudul Kesempurnaan Berdiri Diam Sedangkan Mortal Berlalu

Lewat. Ketika aku makin dekat, kupikir barangkali ternyata Margo

bukan tertawa. Mungkin dia mendapatkan kejutan atau hadiah atau

semacamnya. Dia sepertinya tak bisa menutup mulut.

"Yeah," kataku pada Ben, masih tidak mendengarkan, masih ber

usaha melihat Margo selama mungkin tanpa terlalu kentara. Apa

yang kulakukan itu bahkan bukan karena dia begitu cantik. Dia hanya

sangat mengagumkan, secara harfiah. Dan kemudian kami sudah

terlalu jauh melewatinya, terlalu banyak orang di antara dia dan aku,

dan aku bahkan tak pernah cukup dekat untuk mendengar dia bicara

atau mengetahui apa pun kejutan lucu itu. Ben menggeleng-geleng,

sebab sudah ribuan kali dia menyaksikan aku menatap Margo, dan

dia sudah terbiasa.

"Jujur saja, dia seksi, tapi dia tidak seseksi itu. Tahu tidak siapa

yang benar-benar seksi?"

"Siapa?" tanyaku.

"Lacey," jawabnya, yaitu sahabat Margo yang lain. "Juga ibumu.

Bro, aku melihat ibumu mencium pipimu pagi ini, dan maaf, tapi

sumpah aku berpikir, astaga, seandainya aku Q. Dan juga, seandainya

pipiku punya penis." Kusikut rusuk Ben, tapi aku masih memikirkan

Margo, sebab dia satu-satunya legenda yang tinggal di sebelah rumah

ku. Margo Roth Spiegelman, yang nama bersuku kata enamnya kerap

diucapkan secara utuh dengan semacam ketakziman senyap. Margo

Roth Spiegelman, yang kisah-kisah petualangan epiknya berembus

ke seantero sekolah bagaikan badai musim panas: laki-laki tua yang

tinggal di rumah reyot di Hot Coffee, Mississippi, mengajari Margo

bermain gitar. Margo Roth Spiegelman, yang menghabiskan tiga hari

berkelana bersama rombongan sirkus?mereka menganggap dia pu

nya bakat bermain trapeze. Margo Roth Spiegelman, yang minum

teh herba di belakang panggung dengan The Mallionaires seusai

konser di St. Louis sementara grup itu menenggak wiski. Margo

Roth Spiegelman, yang berhasil masuk ke konser itu dengan mengaku

pada penjaga pintu bahwa dia pacar sang pemain bas, dan masa me

reka tidak kenal dirinya, dan yang benar saja, namaku Margo Roth

Spiegelman, kalau kau ke belakang lalu meminta sang pemain bas

melihatku sekali saja, dia akan bilang aku pacarnya atau dia berharap

begitu, kemudian si penjaga pintu melakukan itu, lalu sang pemain

bas berkata "yeah, itu pacarku, biarkan dia masuk," dan setelahnya

sang pemain bas kepengin bermesraan dengannya dan dia menolak

pemain bas The Mallionaires.

Cerita-cerita itu, ketika dituturkan, tak pelak lagi berakhir dengan

komentar, Maksudku, bisakah kau percaya itu? Seringnya kami tidak

bisa, tapi semuanya selalu terbukti benar.

Dan kami pun tiba di loker. Radar bersandar di loker Ben, me

ngetik di perangkat genggam.

"Jadi kau akan pergi ke prom," kataku padanya. Dia menengadah,

dan kemudian kembali menatap ke bawah.

"Aku memperbaiki artikel Omnictionary mengenai mantan per

dana menteri Prancis. Semalam ada yang menghapus seluruh entri

dan menggantinya dengan kalimat ?Jacques Chirac adalah seorang

gay,? yang kebetulan tidak tepat baik dari segi fakta maupun gra

matika." Radar adalah editor penting dari sumber referensi online

yang dibuat oleh pengguna bernama Omnictionary. Seluruh hidupnya

didedikasikan pada pengelolaan dan kesejahteraan Omnictionary.

Itulah salah satu dari beberapa alasan kenapa agak aneh bila dia pu

nya pasangan untuk pergi ke prom.

"Jadi kau akan pergi ke prom," ulangku.
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sori," ucapnya tanpa mendongak. Sudah jadi rahasia umum bahwa

aku membenci prom. Tidak ada satu pun tentang prom yang menarik

bagiku?dansa bertempo pelan, dansa bertempo cepat, gaun-gaun,

dan tentu saja menyewa tuksedo. Menyewa tuksedo bagiku merupa

kan cara jitu tertular penyakit menjijikkan dari penyewa sebelumnya,

dan aku tidak bercita-cita menjadi satu-satunya perjaka di dunia yang

punya kutu di rambut pubis.

"Bro," kata Ben pada Radar, "cewek-cewek baru sudah tahu cerita

Ben Berdarah." Akhirnya Radar menyingkirkan perangkat genggam

itu dan mengangguk penuh simpati. "Jadi, "lanjut Ben, "dua strategi

terakhirku adalah memesan kencan prom di internet atau terbang ke

Missouri dan menculik honeybunny yang sederhana, mungil, dan

ramah." Aku sudah coba memberitahu Ben bahwa "honeybunny" ter

dengar lebih seksis daripada retro-cool, tapi dia menolak mencampakkan

kebiasaan tersebut. Ibunya saja disebutnya seorang honeybunny. Tidak

ada cara untuk memperbaikinya.

"Nanti kutanya Angela apa dia kenal seseorang," kata Radar.

"Meskipun mencarikan kencan prom untukmu bakal lebih susah

daripada mengubah timbal jadi emas."

"Mencarikan kencan prom untukmu perlu usaha sangat keras se

hingga gagasan hipotetisnya saja bisa dipakai untuk mengiris berlian,"

timpalku.

Radar meninju pelan loker dua kali untuk mengekspresikan ke

setujuannya, dan kemudian mendapat ide lagi. "Ben, mencarikanmu

kencan prom begitu susah sampai-sampai pemerintah Amerika yakin

masalah itu tidak bisa diselesaikan dengan diplomasi melainkan perlu

kekerasan."

Aku berusaha memikirkan kalimat lain ketika kami semua serem

pak melihat wadah steroid anabolik berwujud manusia yang dikenal

sebagai Chuck Parson menghampiri kami dengan niat tertentu.

Chuck Parson tidak berpartisipasi dalam olahraga terorganisir sebab

melakukan itu akan merintanginya mencapai target lebih besar dalam

hidupnya: suatu hari nanti dihukum karena melakukan pembunuhan.

"Hei, homo," serunya.

"Chuck," balasku, seramah mungkin. Sudah beberapa tahun Chuck

tidak terlalu menyusahkan kami?seseorang di negeri orang-orang

keren menitahkan agar kami tak diganggu. Jadi, dia bicara pada kami

saja sudah agak aneh.

Barangkali karena aku bicara dan barangkali juga bukan karena

itu, dia menghantamkan kedua tangan di loker di kedua sisiku lalu

mencondongkan tubuh ke depan cukup dekat bagiku untuk menge

tahui merek pasta giginya. "Apa yang kauketahui tentang Margo dan

Jase?"

"Uh," jawabku. Aku mengingat-ingat semua yang kutahu tentang

mereka: Jase adalah pacar pertama Margo Roth Spiegelman dan

satu-satunya yang serius. Mereka mulai pacaran sejak akhir tahun

lalu. Dua-duanya akan kuliah di University of Florida tahun depan.

Jase mendapatkan beasiswa bisbol di sana. Dia tak pernah ke rumah

Margo selain untuk menjemput gadis itu. Margo tak pernah tampak

seolah sangat menyukai Jase, tapi kalau dipikir-pikir lagi Margo me

mang tidak pernah tampak sangat menyukai siapa pun. "Tidak ada,"

kataku akhirnya.

"Jangan main-main denganku," geram Chuck.

"Aku bahkan nyaris tak kenal Margo," ucapku, dan itu memang

benar.

Chuck memikirkan jawabanku sejenak, dan aku berjuang keras

menatap sepasang matanya yang letaknya berdekatan. Dia mengang

guk sekilas, menjauhkan diri dari loker, dan berlalu menuju kelas

periode pertamanya: Merawat dan Memperkuat Otot Pektoral. Bel

kedua berdering. Satu menit untuk masuk kelas. Radar dan aku ke

kelas Kalkulus; Ben ke kelas Matematika Diskrit. Ruang kelasnya

bersebelahan; kami ke sana bersama-sama, beriringan, yakin gelom

bang pasang sesama murid akan membuka jalan agar kami bisa lewat,

dan memang begitu.

Kubilang, "Mencarikanmu kencan prom sangat susah sampai-sam

pai seribu monyet yang mengetik di seribu mesin ketik selama seribu

tahun takkan pernah sekali pun menuliskan ?Aku akan pergi ke prom

dengan Ben.?"

Ben tak tahan untuk tidak mencela diri sendiri. "Prospek prom-ku

begitu suram sampai-sampai nenek Q saja menolakku. Dia bilang

dia menunggu Radar mengajaknya."

Radar mengangguk perlahan. "Benar, Q. Nenekmu menyukai me

reka."

Sangat mudah melupakan soal Chuck dengan cara membicarakan

prom meskipun aku sama sekali tak memedulikan acara tersebut.

Begitulah kehidupan pagi itu: tidak ada yang terlalu penting, yang

baik maupun yang buruk. Tujuan utama kami adalah saling meng

hibur, dan kami cukup sukses.

Aku menghabiskan tiga jam berikutnya di kelas, berjuang tak me

natap jam di atas berbagai papan tulis, dan kemudian memandang

jam, lalu tercengang ketika tahu bahwa baru beberapa menit berlalu

sejak terakhir kali aku mengeceknya. Aku berpengalaman hampir

empat tahun menatap jam-jam itu, tapi kelambanan mereka tak per

nah gagal mengejutkanku. Kalau aku diberitahu bahwa usiaku hanya

tinggal satu hari lagi, aku akan langsung pergi ke koridor-koridor

keramat Winter Park High School, tempat satu hari diketahui bisa

berlangsung seribu tahun lamanya.

Namun, meskipun rasanya Fisika periode ketiga takkan pernah

berakhir, tapi akhirnya usai juga, dan kemudian aku berada di kafe

teria bersama Ben. Radar makan siang pada periode kelima bersama

sebagian besar teman kami yang lain, jadi bisa dibilang Ben dan aku

hanya duduk berdua dengan beberapa kursi di antara kami dan se

kelompok anak drama yang kami kenal. Hari ini, kami sama-sama

menyantap piza peperoni mini.

"Piza memang enak," komentarku. Ben mengangguk sambil lalu.

"Ada apa?" tanyaku.

"Tidak ada," jawabnya di sela-sela semulut penuh piza. Dia me

nelan. "Aku tahu menurutmu itu bodoh, tapi aku kepengin pergi ke

prom."

"1. Menurutku itu memang bodoh; 2. Kalau kau kepengin pergi,

silakan saja; 3. Kalau tidak salah, kau bahkan belum mengajak siapasiapa."

"Aku sudah mengajak Cassie Hiney saat Matematika. Aku menulis

pesan untuknya." Aku menaikkan kedua alis dengan ekspresi ber

tanya. Ben merogoh celana pendek dan mengangsurkan selembar

kertas terlipat-lipat ke arahku. Aku membukanya:

Ben,

Aku mau saja pergi ke prom bersamamu, tapi aku sudah janji

dengan Frank. Sori!

?C

Kulipat kembali kertas itu dan kugeser kembali ke seberang meja.

Aku bisa mengingat bermain sepak bola kertas di meja-meja ini.

"Payah banget," ujarku.

"Yeah, sudahlah." Dinding suara seolah mengurung kami, dan kami

terdiam sejenak, kemudian Ben menatapku sangat serius dan berkata,

"Aku akan sering sekali bermesraan waktu kuliah. Aku bakal masuk

Guinness Book of World Records dalam kategori ?Paling Banyak Me

muaskan Para Honeybunny.?"

Aku terbahak. Aku tengah memikirkan bahwa orangtua Radar

sebenarnya sudah masuk Guinness Book ketika melihat gadis AfrikaAmerika cantik berambut gimbal kecil-kecil yang dibuat spiky berdiri

menjulang di atas kami. Aku butuh sejenak untuk menyadari bahwa

dia Angela, gadis-yang-kuduga-pacar Radar.

"Hai," sapanya padaku.

"Hai," balasku. Aku sekelas dengan Angela dalam beberapa pela

jaran dan agak kenal dengannya, tapi kami tidak saling bertegur sapa

di koridor atau semacamnya. Kuisyaratkan agar dia duduk. Dia

menggeser kursi ke kepala meja.

"Kupikir kalian mungkin lebih kenal Marcus daripada siapa pun,"

katanya, menggunakan nama asli Radar. Dia mencondongkan tubuh

ke arah kami, menopangkan kedua siku di meja.

"Itu tugas yang menyebalkan, tapi harus ada yang melakukannya,"

jawab Ben, tersenyum.

"Apa menuruti kalian dia malu gara-gara aku?"

Ben tertawa. "Apa? Tidak," jawabnya.

"Secara teknis," tambahku, "kau yang seharusnya malu gara-gara

dia."

Angela memutar bola mata, tersenyum. Gadis yang sudah biasa

dipuji. "Tapi dia tidak pernah mengajakku nongkrong bareng kalian."

"Ohhh," kataku, akhirnya mengerti. "Itu karena dia malu gara-gara

kami."

Angela tergelak. "Kalian kelihatannya lumayan normal."

"Kau belum pernah melihat Ben menyedot Sprite pakai hidung

dan kemudian menyemburkannya dari mulut."

"Aku mirip air mancur karbonasi sinting," ucapnya dengan ekspresi

datar.

"Tapi serius, kalian takkan khawatir? Maksudku, kami kan sudah

pacaran lima minggu, dan dia bahkan belum mengajakku ke rumah

nya." Ben dan aku bertukar tatapan penuh arti, dan aku mengerutkan

wajah untuk menahan tawa. "Apa?" tanya Angela.

"Tidak apa-apa," jawabku. "Sungguh, Angela. Kalau dia memaksa

mu nongkrong dengan kami dan selalu mengajakmu ke rumahnya?"

"Maka sudah jelas dia tidak suka padamu," Ben menyelesaikan.

"Apa orangtuanya aneh?"

Aku berjuang menjawab pertanyaan itu secara jujur. "Uh, tidak.

Mereka keren. Mereka cuma agak overprotektif, kurasa."

"Yeah, overprotektif," Ben sependapat agar terlalu cepat.

Angela tersenyum dan bangkit, berkata dia harus menyapa sese

orang sebelum waktu makan siang berakhir. Ben menunggu sampai

dia pergi sebelum berkomentar. "Cewek itu keren," ucapnya.

"Aku tahu," jawabku. "Aku ingin tahu apa kita bisa menukar Radar

dengan dia."

"Tapi mungkin dia tidak terlalu jago komputer. Kita butuh orang

yang jago komputer. Aku juga berani taruhan dia payah main

Resurrection," yang merupakan video game favorit kami. "Omongomong," tambah Ben, "baik sekali kau menyebut orangtua Radar

overprotektif."

"Yah, kan bukan hakku untuk memberitahu dia," kataku.

"Aku penasaran berapa lama lagi sebelum dia bisa melihat

Kediaman dan Museum Tim Radar." Ben tersenyum.

Jam makan siang hampir selesai, jadi Ben dan aku bangkit dan me

naruh nampan di ban berjalan. Di sanalah Chuck Parson melempar

kanku saat masih kelas satu, mengirimkanku ke dunia bawah korps

pencuci piring Winter Park yang menakutkan. Kami menuju loker

Radar dan sudah berdiri di sana ketika dia berlari tepat setelah bel

pertama berbunyi.

"Kuputuskan saat kelas Pemerintahan bahwa aku rela secara har

fiah mengisap kemaluan keledai kalau itu berarti aku boleh bolos

kelas itu selama sisa semester," kata Radar.

"Kau bisa belajar banyak soal pemerintahan dari kemaluan keledai,"

kataku. "Hei, omong-omong soal akal sehat kau pasti berharap makan

siang di periode keempat, kami baru saja makan dengan Angela."

Ben nyengir ke arah Radar dan berkata, "Yeah, dia kepengin tahu

kenapa dia tidak pernah mampir ke rumahmu."
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Radar mengembuskan napas panjang seraya memutar kombinasi

untuk membuka loker. Dia bernapas begitu lama sehingga kupikir

dia mungkin pingsan. "Sial," ucapnya akhirnya.

"Memangnya ada yang membuatmu malu?" tanyaku, tersenyum.

"Tutup mulut," jawabnya, menyikut perutku.

"Kau kan tinggal di rumah yang bagus," ucapku.

"Serius, bro," tambah Ben. "Dia itu cewek yang baik banget. Aku

heran kenapa kau tak bisa memperkenalkannya dengan orangtuamu

dan menunjukkan Casa Radar kepadanya."

Radar melemparkan buku-bukunya ke loker dan menutupnya.

Dengung percakapan di sekitar kami agak mereda ketika dia meng

arahkan tatapan ke langit dan berteriak, "BUKAN SALAHKU

KALAU ORANGTUAKU PUNYA KOLEKSI SANTA HITAM

TERBANYAK DI DUNIA."

Aku mendengar Radar mengatakan "koleksi Santa hitam terbanyak

di dunia" barangkali sudah ribuan kali seumur hidup, dan kelucuannya

tidak kunjung berkurang. Tetapi dia tak bercanda. Aku ingat ketika

pertama kali berkunjung ke rumahnya. Umurku mungkin tiga belas.

Saat itu musim semi, Natal telah lewat berbulan-bulan. Hiasan kertas

berbentuk Santa hitam menggantung di susuran tangga. Lilin-lilin

Santa hitam menghiasi meja ruang makan. Lukisan cat minyak Santa

hitam menggantung di atas rak perapian, yang juga didereti patung

mungil Santa hitam. Mereka punya dispenser Santa hitam yang dibeli

di Namibia. Santa hitam dari plastik yang bisa menyala yang berdiri

tegak di halaman asri depan rumah mereka sejak Thanksgiving sam

pai Tahun Baru melewatkan sisa tahun menjaga sudut kamar mandi

tamu dengan gagah, kamar mandi berlapis kertas dinding Santa hitam

buatan sendiri menggunakan cat dan spons berbentuk Santa.

Di setiap ruangan, selain kamar Radar, rumah mereka dibanjiri

oleh Santa?terbuat dari plester, plastik, marmer, tanah liat, kayu,

resin, dan kain. Totalnya, orangtua Radar memiliki lebih dari 1200

Santa hitam dalam berbagai rupa. Di plakat di samping pintu depan

mereka tertera, rumah Radar secara resmi terdaftar sebagai Landmark

Santa menurut Society for Christmas.

"Kau harus beritahu dia, man," kataku. "Bilang saja, ?Angela, aku

sangat suka padamu, tapi ada sesuatu yang perlu kauketahui: ketika

kita ke rumahku dan pacaran di sana, kita bakal diawasi oleh 2400

mata dari 1200 Santa hitam.?"

Radar menyusurkan tangan di rambutnya yang dipangkas pendek

dan menggeleng. "Yeah, kurasa aku tidak akan mengatakannya persis

seperti itu, tapi aku akan membereskannya."

Aku menuju kelas Pemerintahan, Ben ke kelas pilihan mengenai

desain video game. Aku mengawasi jam selama dua pelajaran lagi, dan

akhirnya kelegaan menguar dari dadaku ketika selesai?akhir setiap

hari bagaikan latihan untuk kelulusan kami yang tak sampai sebulan

lagi.

Aku pulang. Aku makan dua sandwich selai kacang dan jeli sebagai

makan malam pendahuluan. Aku menonton poker di TV. Orangtuaku

pulang pukul enam, mereka berpelukan, lalu memelukku. Kami me

nyantap kaserol makaroni sebagai makan malam sungguhan. Mereka

menanyaiku tentang sekolah. Mereka menanyaiku tentang prom.

Mereka mengagumi pekerjaan hebat mereka membesarkanku. Mereka

menceritakan hari-hari mereka berurusan dengan orang-orang yang

tidak dibesarkan sebaik aku. Mereka pergi menonton TV. Aku pergi

ke kamar untuk mengecek e-mail. Aku menulis sedikit esai tentang

The Great Gatsby untuk kelas bahasa Inggris. Aku membaca sebentar

The Federalist Papers sebagai persiapan awal untuk ujian akhir kelas

Pemerintahan. Aku mengobrol lewat IM dengan Ben, dan kemudian

Radar online. Dalam percakapan kami, dia menggunakan istilah "ko

leksi Santa hitam terbanyak di dunia" empat kali, dan aku terbahakbahak setiap kalinya. Kubilang padanya aku ikut bahagia untuknya,

yang punya pacar. Dia bilang musim panas ini pasti seru. Aku setuju.

Hari itu tanggal 5 Mei, tapi tidak mesti begitu. Hari-hariku memiliki

keidentikan yang menyenangkan. Aku selalu menyukai itu: aku me

nyukai rutinitas. Aku suka merasa bosan. Aku tidak mau, tapi itulah

yang kurasakan. Maka tanggal 5 Mei bisa saja menjadi hari apa

pun?sampai tepat sebelum tengah malam, ketika Margo Roth

Spiegelman menggeser jendela kamar tidurku yang tak berkasa untuk

pertama kalinya sejak dia menyuruhku menutupnya sembilan tahun

lalu.

AKU memutar tubuh ketika mendengar jendela terbuka, dan mata

biru Margo balas menatapku. Awalnya hanya matanya yang bisa

kulihat, tapi setelah penglihatanku menyesuaikan diri, aku menyadari

wajahnya dicat hitam dan dia memakai hoodie hitam. "Kau sedang

bercinta di dunia maya?"

"Aku mengobrol lewat IM dengan Ben Starling."

"Itu tidak menjawab pertanyaanku, dasar mesum."

Aku tertawa canggung, kemudian mendekat dan berlutut di se

belah jendela, wajahku beberapa sentimeter darinya. Aku tak bisa

membayangkan kenapa dia di sini, di jendelaku, seperti ini. "Apa

sebabnya aku mendapatkan kehormatan ini?" tanyaku. Margo dan

aku masih berteman, kurasa, tapi kami bukan jenis teman yang ber

temu-di-tengah-malam-dengan-wajah-dicat-hitam. Dia punya teman

untuk itu, aku yakin. Aku hanya bukan salah satunya.

"Aku butuh mobilmu," dia menjelaskan.

"Aku tidak punya," jawabku, itu topik yang enggan kubicarakan

karena memalukan bagiku.

"Yah, aku butuh mobil ibumu."

"Kau kan punya mobil sendiri," aku mengingatkan.

Margo menggembungkan pipi dan mendesah, "Benar, tapi ma

salahnya orangtuaku menyita kunci mobilku dan menguncinya dalam

brankas, yang mereka letakkan di bawah tempat tidur, dan Myrna

Mountweazel"?anjingnya?"tidur di kamar mereka. Myrna

Mountweazel langsung terkena aneurisme setiap kali melihatku.

Maksudku, aku bisa saja menyelinap masuk, mencuri brankas itu,

mengambil kunciku, lalu menyetir pergi, tapi masalahnya itu bahkan

tidak layak dicoba soalnya Myrna Mountweazel pasti menggonggong

seperti kesurupan begitu aku membuka pintu sedikit saja. Jadi seperti

kubilang tadi, aku butuh mobil. Aku juga butuh kau menyetirnya,

sebab ada sebelas hal yang perlu kukerjakan malam ini, dan setidaknya

lima di antaranya butuh seseorang untuk membawaku kabur secepatcepatnya."

Ketika kubiarkan pandanganku tak fokus, hanya mata Margo yang

terlihat, melayang-layang di udara. Kemudian aku kembali menatap

nya, dan aku bisa melihat garis siluet wajahnya, cat masih basah di

kulitnya. Tulang pipinya membentuk segitiga dengan dagunya, bibir

hitam kelamnya menyunggingkan senyum tipis. "Melibatkan tindak

kejahatan?" tanyaku.

"Hmm," ujar Margo. "Ingatkan aku apakah membobol masuk itu

sebuah kejahatan."

"Tidak," jawabku tegas.

"Tidak itu bukan kejahatan atau tidak kau takkan membantu?"

"Tidak aku takkan membantu. Tidak bisakah kau menyuruh be

berapa asistenmu untuk mengantarmu ke mana-mana?" Lacey dan/

atau Becca selalu menuruti perintahnya.

"Sebenarnya mereka bagian dari masalah," sahut Margo.

"Apa masalahnya?" tanyaku.

"Ada sebelas masalah," jawabnya agak tidak sabar.

"Tidak ada tindak kejahatan."

"Sumpah demi Tuhan kau bukan diminta untuk melakukan ke

jahatan."

Dan tepat pada saat itu, cahaya lampu membanjiri seantero rumah

Margo. Dengan satu gerakan tangkas, dia melompati jendelaku, ma

suk ke kamarku, lalu berguling ke bawah tempat tidurku. Dalam

hitungan detik, ayahnya sudah berdiri di patio luar. "Margo!" teriak

nya. "Aku melihatmu!"

Dari bawah tempat tidur, aku mendengar gumaman teredam, "Oh,

Tuhan." Margo beringsut ke luar dari sana, berdiri, melangkah ke

jendela, dan berkata, "Ayolah, Dad. Aku cuma mau mengobrol dengan

Quentin. Dad selalu bilang dia bisa menjadi pengaruh baik bagiku

dan segalanya."

"Cuma mengobrol dengan Quentin?"

"Benar."

"Kalau begitu kenapa mukamu dicat hitam?"

Margo hanya bimbang sepersekian detik. "Dad, untuk menjawab

itu dibutuhkan berjam-jam supaya bisa menceritakan penyebabnya,

dan aku tahu Dad mungkin sangat capek, jadi kembali saja t?"

"Masuk," bentak sang ayah. "Sekarang juga!"

Margo mencengkeram kemejaku, berbisik, "Aku kembali semenit

lagi," di telingaku, dan kemudian memanjat ke luar jendela.

Begitu dia pergi, kuambil kunci mobil dari meja. Kuncinya milikku;

mobilnya, sayangnya, bukan. Pada ulang tahunku yang keenam belas,

orangtuaku memberiku hadiah yang sangat kecil, begitu mereka me

nyerahkannya aku langsung tahu bahwa itu kunci mobil, dan aku

hampir mengompol, sebab mereka berulang kali berkata tak mampu

menghadiahiku mobil. Tetapi ketika orangtuaku menyerahkan kotak

kecil terbungkus rapi, aku tahu mereka mengelabuiku, bahwa aku

rupanya mendapatkan mobil. Aku merobek kertas pembungkus dan

membuka kotak kecil itu. Benar saja, isinya sebuah kunci.

Setelah kuperhatikan baik-baik, isinya kunci sebuah Chrysler.

Kunci untuk minivan Chrysler. Minivan yang sama dan satu-satunya

yang dimiliki ibuku.

"Hadiahku kunci mobil Mom?" kutanya ibuku.

"Tom," kata Mom pada ayahku. "Sudah kubilang dia jadi berharap

terlalu tinggi."

"Oh, jangan salahkan aku," ucap ayahku. "Kau hanya menyublim

rasa frustrasimu terhadap penghasilanku."

"Bukankah analisis kilat itu cenderung pasif-agresif?" tanya ibuku.

"Bukankah pertanyaan retoris mengenai agresi pasif pada dasarnya

juga pasif-agresif?" ayahku merespons, dan mereka berdebat seperti

itu untuk beberapa lama.

Singkatnya begini: aku boleh mengakses kecanggihan kendaraan

yang merupakan minivan Chrysler model baru, kecuali jika ibuku

sedang memakainya. Dan karena Mom menyetir ke kantor setiap

pagi, aku hanya bisa memakai mobil itu pada akhir pekan. Yah, akhir

pekan dan tengah malam terkutuk ini.

Margo butuh lebih dari semenit yang dijanjikannya untuk kembali

ke jendelaku, tapi lebihnya tidak terlalu lama. Namun selama dia

pergi, aku mulai kembali ragu. "Aku harus sekolah besok," kataku

padanya.

"Yeah, aku tahu," jawab Margo. "Besok tidak libur begitu juga se

hari setelahnya, dan memikirkan itu lama-lama membuat seorang

cewek jadi sinting. Jadi, yeah. Ini malam sekolah. Itulah sebabnya kita

harus cepat-cepat, karena kita harus sudah kembali besok pagi."

"Entahlah."

"Q," panggilnya. "Q. Sayang. Sudah berapa lama kita bersahabat?"

"Kita bukan sahabat. Kita bertetangga."

"Oh, Tuhan, Q. Apa aku memperlakukanmu dengan buruk? Apa

aku tidak memerintahkan semua kaki tanganku agar bersikap baik

padamu di sekolah?"

"Uh-huh," jawabku ragu, meskipun sebenarnya aku sejak dulu

menduga Margo-lah yang melarang Chuck dan gerombolannya meng

ganggu kami.
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia mengerjap. Dia bahkan mengecat kelopak matanya. "Q," kata

nya, "kita harus pergi."

Jadi aku pun pergi. Aku menyelinap ke luar jendela, dan kami berlari

di sepanjang sisi rumahku, dengan kepala menunduk, sampai kami

membuka pintu minivan. Margo berbisik melarang menutup pintu?

terlalu berisik?jadi dengan pintu terbuka, aku memasukkan gigi

netral, mendorong minivan itu dengan kakiku, lalu membiarkannya

menggelinding menyusuri jalan masuk. Kami meluncur pelan me

lewati beberapa rumah sebelum aku menghidupkan mesin dan lampu

depan. Kami menutup pintu, dan aku pun menyetir melewati jalan

berkelok-kelok Jefferson Park yang tak berakhir, semua rumahrumahnya masih tampak baru dan palsu, mirip desa mainan yang

menampung puluhan ribu manusia sungguhan.

Margo mulai bicara. "Masalahnya mereka bahkan tak benar-benar

peduli; mereka hanya merasa seolah kelakuanku membuat mereka

tampak buruk. Seperti tadi, tahu tidak ayahku bilang apa? Dia bilang,

?Aku tak peduli kau mengacaukan hidupmu, tapi jangan permalukan

kami di depan keluarga Jacobsen?mereka teman kami.? Konyol. Dan

kau takkan tahu cara mereka untuk membuatku sangat susah keluar

dari rumah terkutuk itu. Tahu kan di film-film narapidana melarikan

diri dari penjara dengan menjejalkan kain di bawah selimut agar

terlihat seperti ada orang di baliknya?" Aku mengangguk. "Nah,

begini, Mom memasang monitor bayi di kamarku supaya bisa men

dengar napasku saat tidur sepanjang malam. Jadi aku terpaksa mem

bayar Ruthie lima dolar untuk tidur di kamarku, lalu aku meng

gumpalkan pakaian di bawah selimut di kamarnya." Ruthie adalah

adik Margo. "Sekarang jadi mirip Mission: Impossible. Dulu aku bisa

menyelinap pergi seperti orang Amerika biasa?memanjat ke luar

jendela dan melompat dari atap. Tapi ya Tuhan, belakangan ini, rasa

nya bagaikan hidup di bawah kediktatoran fasis."

"Apa kau akan memberitahuku ke mana kita pergi?"

"Yah, pertama kita ke Publix. Alasannya akan kujelaskan nanti,

aku perlu kau berbelanja untukku. Dan kemudian ke Wal-Mart."

"Jadi kita akan pergi tur ke setiap bangunan komersial di Central

Florida?" tanyaku.

"Malam ini, Sayang, kita akan memperbaiki banyak hal yang keliru.

Dan kita akan mengacaukan beberapa hal yang benar. Yang pertama

akan jadi yang terakhir; yang terakhir akan jadi yang pertama; yang

lembut hati akan mewarisi bumi. Tetapi sebelum kita bisa mengubah

dunia secara radikal, kita harus berbelanja." Saat itu aku berbelok

memasuki Publix, lahan parkirnya hampir kosong, dan memarkir

mobil.

"Dengar," kata Margo, "berapa banyak uang yang kaubawa saat

ini?"

"Nol dolar dan nol sen," jawabku. Aku mematikan mesin dan me

natapnya. Dia menyelipkan tangan ke saku celana jins gelap dan

ketatnya lalu mengeluarkan beberapa lembar pecahan seratus dolar.

"Untung saja Tuhan yang baik telah menyediakannya," ucap Margo.

"Apa-apaan itu?" tanyaku.

"Uang Bat mitzvah, tukang mengeluh. Aku dilarang mengakses

rekening, tapi aku tahu kata kunci orangtuaku karena mereka me

makai ?myrnamountw3az3l? untuk apa saja. Jadi aku mengambil uang."

Aku berusaha mengerjap mengusir ketakjuban tapi dia melihat caraku

menatapnya dan menyeringai ke arahku. "Pokoknya," kata Margo,

"ini akan jadi malam terbaik dalam hidupmu."

MASALAHNYA dengan Margo Roth Spiegelman adalah yang bisa

kulakukan hanyalah membiarkan dia bicara, dan ketika dia berhenti

aku menyemangatinya untuk kembali berceloteh, karena beberapa

fakta yaitu 1. Aku jatuh cinta setengah mati padanya, dan 2. Dia

sama sekali tak bisa ditebak dalam hal apa pun, dan 3. Dia tak pernah

menanyaiku apa-apa, jadi satu-satunya cara menghindari kesunyian

adalah dengan membuatnya terus bicara.

Jadi di parkiran Publix dia berkata, "Jadi, begitu. Aku sudah mem

buatkanmu daftar belanjaan. Kalau kau punya pertanyaan, telepon

saja ponselku. Aku jadi ingat, aku diam-diam sudah memasukkan

beberapa perlengkapan di belakang van sebelumnya."

"Apa, sebelum aku setuju melakukan ini?"

"Yah, benar. Secara teknis benar. Nah, telepon saja aku kalau ada

pertanyaan, tapi untuk Vaseline, kau butuh yang lebih besar daripada

kepalan tanganmu. Ada Bayi Vaseline, lalu Mama Vaseline, dan

kemudian ada Papa Vaseline yang besar dan gemuk, itulah yang kau

perlukan. Kalau mereka tidak punya, ambil saja kira-kira tiga Mama

Vaseline." Dia menyerahkan daftar belanjaan dan sehelai uang seratus

dolar lalu berkata, "Seharusnya itu cukup."

Daftar belanjaan Margo:

3 Lele utuh, Dibungkus terpisah.

Veet (Untuk Mencukur bulu kaki Tapi kau tidak Butuh

Pisau Cukur Ada di bagian produk kosmetik Cewek)

Vaseline

satu pak Isi enam Mountain Dew

Satu lusin Tulip

satu Botol air

Tisu

satu Kaleng cat Semprot biru

"Pemakaian huruf kapital yang menarik," komentarku.

"Yeah. Aku penganut fanatik pemakaian acak huruf kapital. Aturan

pemakaian huruf kapital sangat tidak adil bagi kata-kata yang terletak

di tengah kalimat."

Sekarang, aku tak yakin apa yang harus kaukatakan pada kasir perem

puan pada pukul setengah satu pagi ketika meletakkan hampir enam

kilogram lele, Veet, wadah Vaseline ukuran-papa-gemuk, satu pak

isi enam Mountain Dew, sekaleng cat semprot biru, dan selusin tulip

di ban berjalan. Namun inilah yang kuucapkan: "Ini tidak seaneh

kelihatannya."

Perempuan itu berdeham tapi tak mendongak. "Tetap saja aneh,"

gumamnya.

"Aku benar-benar tak mau terlibat masalah," kataku pada Margo

setelah kembali ke minivan dan dia memakai air botolan dan tisu

untuk membersihkan cat hitam dari wajahnya. Rupanya dia mem

butuhkan makeup itu agar bisa keluar rumah. "Dalam surat pe

nerimaanku dari Duke tertera dengan jelas bahwa mereka takkan

menerimaku jika aku ditangkap."

"Kau itu sangat pencemas, Q."

"Pokoknya tolong jangan terlibat masalah," kataku. "Maksudku,

aku mau saja bersenang-senang dan semuanya, tapi jangan sampai

mengorbankan, misalnya, masa depanku."

Margo menatapku, sebagian besar wajahnya kini terlihat, dan dia

tersenyum amat tipis. "Aku takjub kau menganggap semua omong

kosong itu bahkan agak menarik."

"Hah?"

"Kuliah: diterima atau tidak. Masalah: terlibat atau tidak. Sekolah:

dapat A atau dapat D. Karier: punya atau tidak. Semua itu mem

bosankan."

Aku mulai mengatakan sesuatu, bahwa jelas saja dia tak terlalu

peduli, karena nilainya bagus-bagus dan tahun depan akan masuk

program khusus University of Florida, tapi dia hanya berkata, "WalMart."

Kami memasuki Wal-Mart bersama lalu mengambil barang dari

informersial yang disebut The Club, yang mengunci kemudi mobil

agar tetap di tempatnya. Sambil melangkah di bagian Anak-anak,

kutanya Margo, "Kenapa kita membutuhkan The Club?"

Margo berhasil bermonolog panjang-lebar seperti biasa tanpa

menjawab pertanyaanku. "Tahu tidak bahwa bisa dibilang hampir

sepanjang sejarah spesies manusia, rentang usia kita rata-rata kurang

dari tiga puluh tahun? Kau bisa menikmati kedewasaan sebenarnya

hanya selama sekitar sepuluh tahun, benar kan? Tidak ada rencana

untuk pensiun. Tidak ada rencana karier. Tidak ada rencana. Tidak

ada waktu untuk membuat rencana. Tidak ada waktu untuk masa

depan. Tapi kemudian rentang usia mulai bertambah panjang, dan

manusia mulai memiliki masa depan lebih lama, jadi mereka meng

habiskan lebih banyak waktu untuk memikirkannya. Tentang masa

depan. Dan kini hidup telah menjadi masa depan. Setiap momen

dalam hidupmu dijalani demi masa depan?kau masuk SMA agar

bisa kuliah supaya dapat pekerjaan bagus sehingga kau bisa punya

rumah indah lalu mampu mengirim anak-anakmu kuliah supaya

mereka bisa dapat pekerjaan bagus sehingga mereka bisa punya ru

mah indah agar mereka mampu mengirim anak-anak mereka kuliah."

Margo seolah hanya berceloteh untuk mengelak dari pertanyaan.

Jadi aku mengulanginya. "Kenapa kita membutuhkan The Club?"

Margo menepuk-nepuk pelan bagian tengah punggungku. "Mak

sudku, pasti kau akan tahu semuanya sebelum malam ini berakhir."

Dan kemudian, di bagian perlengkapan kapal, Margo menemukan

klakson angin. Dia mengambilnya dari kotak dan mengacungkannya

ke udara, dan aku berkata, "Jangan," dan dia bilang, "Jangan apa?"

Dan aku berkata, "Jangan bunyikan klakson angin," hanya saja ketika

aku mengucapkan b dari bunyikan, Margo memencetnya dan menge

luarkan bunyi sangat nyaring sehingga di kepalaku rasanya seperti

mengalami versi aneurisme pendengaran, dan kemudian dia bilang,

"Sori, aku tak bisa mendengarmu. Apa katamu?" Dan aku berkata,

"Jangan b?" dan dia melakukannya lagi.

Seorang petugas Wal-Mart yang hanya sedikit lebih tua daripada

kami mendekat dan berkata, "Hei, kalian tidak boleh menggunakan

itu di sini," dan kemudian Margo membalas, tampak jujur, "Maaf,

aku tidak tahu," dan orang itu bilang, "Oh, tidak apa-apa. Aku tak

keberatan, sebenarnya." Dan kemudian percakapan itu sepertinya

usai, hanya saja laki-laki itu tak bisa berhenti menatap Margo, dan

jujur saja aku tidak menyalahkannya, karena memang susah berhenti

menatap Margo, dan akhirnya dia berkata, "Hei, apa rencana kalian

malam ini?"

Dan Margo menjawab, "Tidak banyak. Kau?"

Dan dia berkata, "Aku bebas tugas jam satu dan setelahnya aku

mau ke bar di Orange, kalau kau mau ikut. Tapi kau harus mengantar

pulang saudaramu; mereka sangat ketat memeriksa kartu identitas."

Apanya?! "Aku bukan saudaranya," bantahku, menatap sepatu kets

orang itu.

Dan kemudian Margo kembali berbohong. "Sebenarnya dia

sepupuku," ujarnya. Kemudian dia berdiri di sisiku, memeluk

pinggangku sehingga aku bisa merasakan setiap jarinya erat di tulang

pinggulku, dan dia menambahkan, "Sekaligus kekasihku."

Laki-laki itu hanya memutar bola mata dan berlalu, tangan Margo

masih di pinggangku dan aku memanfaatkan kesempatan itu untuk

merangkulnya. "Kau benar-benar sepupu favoritku," kataku padanya.

Margo tersenyum dan menyenggolku pelan dengan pinggulnya,

berputar melepaskan diri dari rangkulanku.

"Aku setuju," ucapnya.

KAMI berkendara melewati jalan I-4 yang untungnya lengang, dan

aku mengikuti petunjuk arah dari Margo. Jam di dasbor menunjukkan

saat ini pukul 01.07

"Indah, ya?" katanya. Dia memalingkan wajah dariku, menatap ke

luar jendela, sehingga aku nyaris tak bisa melihatnya. "Aku senang

mengebut di bawah cahaya lampu jalan."

"Cahaya," kataku, "Yang terlihat mengingatkan akan Cahaya Tak

Kasatmata."
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu indah," komentarnya.

"T.S. Eliot," kataku. "Kau juga pernah membacanya. Di kelas ba

hasa Inggris tahun lalu." Sebenarnya aku tak membaca utuh puisi

tempat bait itu berasal, tapi beberapa bagian yang kubaca menempel

di kepalaku.

"Oh, itu kutipan," ujar Margo, agak kecewa. Aku melihat tangannya

di konsol tengah. Aku bisa saja meletakkan tangan di konsol tengah

dan tangan kami akan berada di tempat yang sama pada saat yang

sama. Tetapi aku tidak melakukan itu. "Ulangi lagi," kata Margo.

"Cahaya, yang terlihat mengingatkan akan Cahaya Tak Kasatmata."

"Yeah. Brengsek, bagus sekali. Pasti membantu dalam merayu te

man perempuanmu."

"Mantan teman perempuan," ralatku.

"Suzie mencampakkanmu?" tanya Margo.

"Dari mana kau tahu dia yang mencampakkan aku?"

"Oh, sori."

"Meskipun memang benar," aku mengakui, dan Margo tergelak.

Kami putus sudah berbulan-bulan lalu, tapi aku tidak menyalahkan

Margo bila tak menaruh perhatian pada dunia romansa kasta-ren

dahan. Apa yang terjadi di ruang band tetap berada di ruang band.

Margo menopangkan kaki di dasbor dan menggoyangkan jemari

kaki seirama dengan ucapannya. Dia selalu bicara dengan cara seperti

itu, dengan ritme yang jelas, seolah sedang membaca puisi. "Oh begitu,

yah, aku ikut prihatin. Tapi aku bisa memahami perasaanmu. Pacarku

tersayang sudah berbulan-bulan tidur dengan sahabatku."

Aku menengok tapi rambut menutupi wajah Margo, jadi aku tak

bisa melihat apa dia bercanda. "Serius?" Dia tak bilang apa-apa. "Tapi

baru tadi pagi kau tertawa-tawa bersamanya. Aku melihatmu."

"Aku tak tahu kau bicara apa. Aku mendengar tentang itu sebelum

periode pertama, dan kemudian aku memergoki mereka mengobrol

lalu aku mulai mengamuk, dan Becca berlari ke pelukan Clint Bauer,

dan Jase hanya berdiri di sana persis orang tolol dengan air tembakau

meleleh keluar dari mulut baunya."

Jelas sekali aku salah mengartikan adegan di koridor itu. "Aneh,

soalnya Chuck Parson tadi pagi menanyaiku apa yang kutahu tentang

kau dan Jase."

"Yeah, well, Chuck hanya melakukan apa yang disuruh, kurasa.

Barangkali mencoba mencari tahu untuk Jase siapa yang tahu."

"Astaga, kenapa dia mau-maunya bermesraan dengan Becca?"

"Yah, Becca kan tidak dikenal dengan kepribadiannya atau ke

murahan hatinya, jadi mungkin karena dia seksi."

"Dia tidak seseksi kau," kataku, sebelum aku sempat memikirkannya.

"Menurutku konyol orang hanya mau berada di dekat seseorang

karena mereka cantik. Mirip dengan memilih sereal sarapan berdasar

kan warna bukan rasanya. Keluar di pintu berikutnya, omong-omong.

Tapi aku tidak cantik, setidaknya dari dekat. Umumnya, semakin

dekat orang denganku, semakin tidak seksi diriku di mata mereka."

"Itu?" aku mulai bicara.

"Masa bodohlah," jawab Margo.

Menurutku agak tidak adil bajingan seperti Jason Worthington bisa

tidur dengan Margo dan Becca, padahal individu yang sangat me

nyenangkan seperti diriku tak bisa bercinta dengan salah satu dari

mereka?atau dengan siapa pun, sebenarnya. Meskipun begitu, aku

yakin aku tipe orang yang takkan mau bermesraan dengan Becca

Arrington. Mungkin dia seksi, tapi dia juga 1. sangat hambar, dan 2.

gadis jalang pemarah sejati total. Kalangan kami yang kerap men

datangi ruang band sudah sejak lama mencurigai Becca mempertahan

kan tubuh indahnya dengan tidak makan apa-apa selain jiwa anak

kucing dan mimpi anak-anak miskin. "Becca memang agak menyebal

kan," kataku, mencoba mengajak Margo mengobrol lagi.

"Yeah," sahutnya, menatap ke luar jendela di kursi penumpang,

rambutnya memantulkan cahaya lampu jalan yang mendekat. Aku

sempat mengira dia mungkin menangis, tapi dia menguasai diri de

ngan cepat, menaikkan tudung kepala, dan mengeluarkan The Club

dari tas belanja Wal-Mart. "Yah, omong-omong ini bakal seru," ucap

nya sembari merobek pembungkus The Club.

"Aku sudah boleh tanya ke mana kita pergi?"

"Rumah Becca," jawabnya.

"Uh-oh," kataku seraya berhenti di lampu merah. Kuparkir minivan

dan mulai mengatakan pada Margo bahwa aku akan membawanya

pulang.

"Tidak ada kejahatan. Janji. Kita harus menemukan mobil Jase.

Jalan tempat rumah Becca ada di depan di sebelah kanan, tapi Jase

takkan memarkir mobil di sana, soalnya orangtua Becca ada di rumah.

Kita cari di jalan berikutnya. Itu yang pertama."

"Oke," kataku, "tapi kemudian kita pulang."

"Tidak, kemudian kita beralih ke Babak Dua dari Sebelas."

"Margo, ini gagasan buruk."

"Menyetir sajalah," katanya, jadi aku melakukannya. Kami me

nemukan Lexus milik Jase dua blok jauhnya dari rumah Becca, di

parkir di kuldesak. Belum sempat aku menghentikan mobil sepenuh

nya, Margo sudah melompat ke luar membawa The Club. Dibukanya

pintu di sisi pengemudi Lexus, duduk di joknya, lalu memasangkan

The Club di setir mobil Jase. Kemudian ditutupnya pintu Lexus

pelan-pelan.

"Bajingan tolol itu tak pernah mengunci mobil," gumamnya seraya

kembali masuk minivan. Dikantonginya kunci The Club. Dia meng

ulurkan tangan dan mengacak-acak rambutku. "Babak Satu?beres.

Sekarang ke rumah Becca."

Saat aku menyetir, Margo menjelaskan Babak Dua dan Tiga pada

"Itu lumayan brilian," komentarku, meskipun di dalam aku me

ledak oleh kegugupan yang berpendar.

Aku berbelok ke jalan rumah Becca dan parkir dua rumah jauhnya

dari sana. Margo merangkak ke belakang minivan dan kembali ber

sama teropong dan kamera digital. Mula-mula dia mengintai dengan

teropong, lalu menyerahkannya padaku. Aku bisa melihat lampu

menyala di basement rumah Becca, tapi tak ada gerakan. Aku malah

heran melihat rumah itu bahkan punya basement?kita tak bisa

menggali dalam-dalam sebelum bertemu air di sebagian besar wilayah

Orlando.

Kurogoh saku, mengambil ponsel, dan menelepon nomor yang

didiktekan Margo padaku. Telepon berdering sekali, dua kali, dan

kemudian suara mengantuk laki-laki menjawab, "Halo?"

"Mr. Arrington?" tanyaku. Margo ingin aku yang menelepon sebab

tidak ada yang akan mengenali suaraku.

"Siapa ini? Ya Tuhan, jam berapa ini?"

"Sir, menurutku sebaiknya Anda tahu bahwa saat ini putri Anda

tengah bercinta dengan Jason Worthington di basement." Dan kemu

dian aku menutup telepon. Babak Dua: beres.

Margo dan aku membuka pintu minivan lalu berlari menyusuri

jalan, bertiarap di balik pagar yang mengelilingi pekarangan Becca.

Margo memberiku kamera, dan aku mengawasi ketika lampu kamar

tidur di lantai atas menyala, disusul lampu tangga, dan kemudian

lampu dapur. Dan akhirnya, lampu tangga menuju basement.

"Dia datang," bisik Margo, dan aku tak tahu apa maksudnya sam

pai, dari sudut mata, aku melihat Jason Worthington yang bertelan

jang dada menggeliat-geliut ke luar dari jendela basement. Dia berlari

kencang menyeberangi pekarangan, hanya memakai celana kolor, dan

ketika dia mendekat aku melompat bangkit dan memotretnya, me

nyudahi Babak Tiga. Kelebatan lampu kilat mengejutkan kami ber

dua, kurasa, dan dia mengerjap ke arahku menembus kegelapan se

lama satu momen menegangkan sebelum berlari memasuki malam.

Margo menarik pipa celana jinsku; aku menatap ke bawah, dan

dia tersenyum lebar. Aku mengulurkan tangan, membantunya bang

kit, kemudian kami berlari kembali ke mobil. Aku sedang memasuk

kan kunci kontak ketika Margo berkata, "Coba kulihat fotonya."

Kuulurkan kamera kepadanya, dan kami melihat apa yang muncul

di layar bersama, kepala kami hampir bersentuhan. Ketika menyaksi

kan wajah pucat dan tercengang Jason Worthington, aku tak kuasa

menahan tawa.

"Oh, Tuhan," kata Margo, dan menunjuk. Saking terburu-burunya,

sepertinya Jason tak sempat memasukkan Jason Kecil ke dalam celana

kolornya, jadi di sanalah dia, menjuntai, tertangkap secara digital

untuk generasi mendatang.

"Kemaluan itu," kata Margo, "kasusnya mirip dengan Rhode Island

dijadikan negara bagian: dia boleh saja memiliki sejarah yang ter

masyhur, tapi jelas tidak besar."

Aku menoleh kembali ke rumah itu dan melihat lampu basement

kini sudah padam. Aku mendapati diriku agak kasihan pada Jason?

bukan salahnya dia punya kemaluan supermini dan pacar pendendam

yang brilian. Tetapi kalau dipikir-pikir lagi, waktu kelas enam, Jase

berjanji takkan menonjok lenganku kalau aku mau makan cacing

tanah hidup, jadi aku makan cacing hidup-hidup dan setelahnya dia

meninju wajahku. Karena itu aku tak merasa iba lama-lama.

Ketika menoleh ke arah Margo, dia mengawasi rumah itu lewat

teropong. "Kita harus pergi," kata Margo. "Ke basement."

"Apa? Kenapa?"

"Babak Empat. Ambil pakaiannya siapa tahu dia coba-coba kem

bali menyelinap ke rumah itu. Bagian Lima. Tinggalkan ikan untuk

Becca."

"Tidak."

"Ya. Sekarang," ucap Margo. "Becca di lantai atas diomeli orangtua

nya. Tapi berapa lama sih omelan seperti itu? Maksudku, apa yang

kaukatakan? ?Kau tidak boleh tidur dengan pacar Margo di basement.?

Pada dasarnya itu hanya omelan satu kalimat. Jadi kita harus buruburu."

Dia keluar mobil dengan cat semprot di satu tangan dan salah

satu lele di tangan yang sebelah lagi. Aku berbisik, "Ini ide buruk,"

tapi aku mengikutinya, merunduk serendah dia, sampai kami berdiri

di depan jendela basement yang masih terbuka.

"Aku masuk duluan," kata Margo. Dia masuk dengan menyusupkan

kakinya duluan dan berdiri di meja komputer Becca, separuh tubuh

nya di dalam dan separuh di luar rumah, ketika aku bertanya,

"Aku tidak bisa menjaga di luar saja?"

"Angkat bokong kerempengmu ke sini," jawabnya, aku pun me

nurutinya. Cepat-cepat kusambar semua pakaian laki-laki yang ku

lihat di lantai berkarpet lavendel Becca. Celana jins dengan sabuk

kulit, sepasang sandal jepit, topi bisbol Winter Park High School

Wildcats, dan kaus polo biru muda. Aku berbalik ke arah Margo

yang menyerahkan ikan lele terbungkus kertas dan salah satu bolpoin

ungu mengilap milik Becca. Dia menyuruhku menulis:

Pesan dari Margo Roth Spiegelman: Persahabatanmu dengannya?

kini terbaring bersama para ikan

Margo menyembunyikan ikan itu di sela-sela lipatan celana pendek

di lemari pakaian Becca. Aku bisa mendengar langkah kaki di atas,

kutepuk bahu Margo dan kutatap dia, mataku terbeliak. Dia hanya

tersenyum dan dengan santai mengeluarkan cat semprot. Aku buruburu keluar lewat jendela, dan kemudian berbalik menyaksikan ketika

Margo membungkuk di atas meja dan dengan tenang mengocok

kaleng cat. Dengan gerakan anggun?jenis gerakan yang biasa di

asosiasikan dengan kaligrafi atau Zorro?dia menyemprotkan cat

membentuk huruf M di dinding di atas meja.

Dia mengulurkan tangan ke arahku, dan aku menariknya ke luar
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lewat jendela. Dia baru mulai berdiri ketika kami mendengar suara

melengking menjerit, "DWIGHT!" Aku menyambar pakaian Jase

dan melarikan diri, Margo di belakangku.

Aku mendengar, tapi tak melihat, pintu depan rumah Becca ber

ayun terbuka, tapi aku tak berhenti atau berbalik, tidak juga ketika

suara menggelegar meneriakkan "BERHENTI!" bahkan saat men

dengar bunyi senjata api dikokang.

Aku mendengar Margo menggumamkan "senjata" di belakangku?

dia tak terdengar jengkel; dia hanya mengobservasi?dan bukannya

mengitari pagar rumah Becca, aku menukik melewatinya. Aku tidak

yakin bagaimana aku akan mendarat?mungkin bersalto dengan

indah atau apa?tapi omong-omong, aku terjatuh di aspal jalan,

mendarat dengan bahu kiriku. Untungnya, gumpalan pakaian Jase

mengenai aspal duluan, meredam benturannya.

Aku mengumpat, dan bahkan sebelum aku mulai berdiri, kurasa

kan tangan Margo menarikku bangkit, kemudian kami di dalam

mobil dan aku menyetir mundur dengan lampu padam, itulah sebab

nya aku nyaris menabrak pemain shortstop utama tim bisbol Winter

Park High School Wildcats yang nyaris tak berpakaian. Jase berlari

kencang sekali tapi sepertinya dia tidak menuju ke suatu tempat ter

tentu. Aku kembali merasakan sengatan penyesalan ketika mobil

kami melesat mundur melewatinya, jadi kuturunkan jendela setengah

dan melemparkan kaus polo kira-kira ke arahnya. Untungnya, kurasa

dia tak melihat Margo atau aku, dan dia tak punya alasan untuk

mengenali minivan ini karena?aku tak mau terdengar getir atau apa

dengan mengungkitnya terus-terusan?aku tidak bisa mengendarainya

ke sekolah.

"Kenapa sih kaulakukan itu!" tanya Margo ketika aku menyalakan

lampu mobil dan, kini menyetir maju, mulai menyusuri labirin

suburban kembali ke jalan tol.

"Aku kasihan padanya."

"Kasihan? Kenapa? Karena dia sudah enam minggu selingkuh

dariku? Karena dia mungkin menulariku hanya-Tuhan-yang-tahu

penyakit apa? Karena dia si tolol menjijikkan yang mungkin akan

kaya dan bahagia seumur hidup, sehingga membuktikan ketidakadilan

mutlak alam semesta?"

"Dia kelihatan putus asa," ujarku.

"Sudahlah. Kita akan ke rumah Karin. Di jalan Pennsylvania, di

sebelah ABC Liquors."

"Jangan marah padaku," kataku. "Aku baru saja ditodong senjata

gara-gara membantumu, jadi jangan marah padaku."

"AKU TIDAK MARAH PADAMU!" bentak Margo, dan kemu

dian meninju dasbor.

"Yah, kau teriak-teriak."

"Kupikir mungkin?sudahlah. Kupikir mungkin dia tidak seling

kuh."

"Oh."

"Karin memberitahuku di sekolah. Dan kurasa banyak yang sudah

lama tahu itu. Dan tak ada yang mengatakannya kepadaku sebelum

Karin. Kupikir barangkali dia hanya mencoba menciptakan drama

atau apa."

"Aku ikut menyesal," kataku.

"Yeah. Yeah. Aku tak percaya aku bahkan peduli."

"Jantungku berdebar kencang," ucapku.

"Begitulah caranya kau tahu kau sedang bersenang-senang," ujar

Margo.

Namun rasanya tidak seperti bersenang-senang; lebih mirip se

rangan jantung. Aku memasuki parkiran 7-Eleven dan menempelkan

satu jari di pembuluh jugular leher sambil memperhatikan: di jam

digital mobil yang berkedip setiap detik. Ketika aku menoleh menatap

Margo, dia memutar bola mata ke arahku. "Denyut nadiku sangat

kencang," aku menjelaskan.

"Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali bersemangat gara-gara

sesuatu seperti tadi. Adrenalin dalam tenggorokan dan paru-paru

mengembang."

"Tarik napas dari hidung embuskan lewat mulut," aku menimpali

nya.

"Semua kecemasanmu itu. Rasanya sangat..."

"Menggemaskan?"

"Jadi sekarang itu cara mereka menyebut kekanak-kanakan?" Dia

tersenyum.

Margo merangkak ke jok belakang dan kembali dengan memegang

tas tangan. Berapa banyak barang yang ditaruhnya di belakang sana?

Pikirku. Dia membuka tas dan mengeluarkan sebotol cat kuku warna

merah yang begitu gelap hingga hampir-hampir hitam. "Sementara

kau menenangkan diri, aku mau mengecat kuku," ucapnya, tersenyum

padaku dari sela-sela poninya. "Santai saja."

Jadi kami duduk di sana, dia dengan cat kuku yang ditaruh di

dasbor, dan aku dengan jari gemetar di nadiku. Warna cat kukunya

bagus, dan jari Margo indah, lebih ramping dan kurus dibandingkan

anggota tubuhnya yang lain, yang berlekuk dan lembut. Dia memiliki

jenis jari yang membuatmu kepengin menautkannya dengan jemarimu

sendiri. Aku teringat rasa jemari itu di tulang pinggulku sewaktu di

Wal-Mart, yang rasanya sudah berhari-hari lalu. Debar jantungku

melambat. Dan aku mencoba mengatakan pada diri sendiri: Margo

benar. Tidak ada yang perlu ditakutkan di luar sana, tidak di kota

kecil pada malam yang sepi ini.

"BABAK Enam," kata Margo begitu kami berkendara lagi. Dia me

lambaikan kuku jari di udara, hampir seperti bermain piano. "Me

letakkan bunga di undakan depan rumah Karin berikut permintaan

maaf."

"Apa yang kaulakukan padanya?"

"Yah, waktu dia memberitahuku tentang Jase, aku bisa dibilang

membunuh si pembawa pesan."

"Oh, ya?" tanyaku. Kami berhenti di lampu merah, dan beberapa

remaja di mobil sport sebelah kami menderum-derumkan mesin?se

olah aku mau membawa Chrysler berpacu. Kalau pedal gasnya diinjak

dalam-dalam, mobil ini merintih.

"Yah, aku tak ingat apa tepatnya hinaanku padanya, tapi sesuatu

yang mirip dengan ?jalang menjijikkan, konyol, idiot, punggung je

rawatan, gigi berantakan, bokong gemuk dengan rambut paling jelek

di Central Florida?dan itu parah banget.?"

"Rambutnya memang konyol," ujarku.

"Aku tahu. Itulah satu-satunya ucapanku padanya yang benar. Ke

tika mengatakan hal-hal buruk tentang seseorang, kita sebaiknya tak

pernah mengatakan yang sebenarnya, karena kita takkan bisa dengan

sungguh-sungguh dan jujur menarik ucapan itu kembali, tahu kan?

Maksudku, ada highlight rambut. Dan ada streak. Lalu ada setripsetrip mirip sigung."

Ketika aku mengemudi menuju rumah Karin, Margo menghilang ke

belakang dan kembali bersama sebuket tulip. Di salah satu batangnya

direkatkan pesan yang dilipat Margo sehingga mirip amplop. Dia

menyerahkan buket itu begitu aku berhenti, dan aku berlari menyu

suri jalan samping, menaruh bunga di undakan rumah Karin, lalu

melesat kembali.

"Babak Tujuh," kata Margo begitu aku sudah di minivan lagi. "Me

ninggalkan seekor ikan untuk Mr. Worthington yang baik."

"Aku curiga dia belum tiba di rumah," kataku, hanya ada sedikit

nada iba dalam suaraku.

"Semoga polisi memergokinya bertelanjang kaki, linglung, dan

telanjang di suatu selokan seminggu lagi," sahut Margo datar.

"Ingatkan aku jangan pernah cari masalah dengan Margo Roth

Spiegelman," gumamku, dan Margo tergelak-gelak.

"Serius," katanya. "Kita mendatangkan hujan badai kepada musuhmusuh kita."

"Musuh-musuhmu," ralatku.

"Kita lihat saja nanti," sahutnya cepat, lalu mengangkat kepala dan

berkata, "Oh, hei, aku saja yang mengurus ini. Masalahnya dengan

rumah Jason adalah mereka punya sistem keamanan yang bagusnya

minta ampun. Tidak boleh ada serangan panik lagi."

"Hmm," ucapku.

Jason tinggal tak jauh dari Karin, di subdivisi supermewah bernama

Casavilla. Semua rumah di Casavilla bergaya Spanyol dengan atap

genting merah dan sebagainya, hanya saja bukan orang Spanyol yang

membangunnya. Rumah-rumah itu dibangun oleh ayah Jason, salah

satu pengembang perumahan terkaya di Florida. "Rumah besar dan

jelek untuk orang besar dan jelek," kataku pada Margo begitu kami

memasuki Casavilla.

"Sudah jelas. Kalau nantinya aku jadi tipe orang yang punya anak

satu dan tujuh kamar tidur, tolong tembak saja aku."

Kami berhenti di depan rumah Jason, bangunan raksasa yang pada

dasarnya mirip hacienda?estat khas Spanyol yang terlalu besar hanya

saja ada tiga pilar Doric raksasa yang menjulang hingga ke atap.

Margo mengambil lele kedua dari jok belakang, membuka tutup

terlalu mirip tulisan tangannya:

bolpoin dengan gigi, dan mencoretkan pesan dengan tulisan yang tak

cinta MS Untukmu: kini Terbaring Bersama para Ikan

"Nah, biarkan mobilnya tetap menyala," katanya. Dia memakai

topi bisbol WPHS Jase secara terbalik.

"Oke," kataku.

"Biarkan mobilnya tetap siap melaju," ucapnya.

"Oke," sahutku, dan merasakan denyut nadiku meningkat. Tarik

napas dari hidung, embuskan lewat mulut. Tarik napas dari hidung,

embuskan lewat mulut. Dengan membawa lele dan cat semprot, Margo

membuka pintu minivan, berlari kecil melintasi pekarangan rumput

depan keluarga Worthington yang luas, lalu bersembunyi di balik

sebatang pohon ek. Dia melambai ke arahku dalam kegelapan, dan

aku membalasnya, kemudian dia menarik napas dalam-dalam dengan

dramatis, mengembuskannya, berbalik, dan lari.

Dia baru maju selangkah ketika lampu rumah menyala bagaikan

pohon Natal kota, dan alarm mulai meraung. Aku sempat berpikir

untuk meninggalkan Margo menghadapi nasibnya, tapi tetap ber

napas dari hidung dan mengembuskannya dari mulut ketika dia

berlari menuju rumah itu. Dia melemparkan ikan ke jendela, tapi

alarm begitu nyaring sehingga aku nyaris tak mendengar bunyi kaca

pecah. Kemudian, karena dia adalah Margo Roth Spiegelman, dia

meluangkan waktu sejenak untuk menyemprotkan cat membentuk

huruf M dengan teliti di bagian jendela yang tak pecah. Kemudian

dia berlari sekencang-kencangnya ke mobil, kakiku sebelah di pedal

gas dan sebelah lagi di pedal rem, dan saat ini Chrysler mirip kuda

pacu Thoroughbred. Margo berlari cepat sekali sampai-sampai topi

nya melayang lepas ke belakangnya, dan kami sudah melesat pergi

bahkan sebelum dia menutup pintu.

Aku berhenti di lampu merah di ujung jalan, dan Margo berkata,

"Apa-apaan? Cepat cepat cepat cepat cepat," dan aku bilang, "Oh, iya,"

karena aku lupa sedang mencampakkan kehati-hatian dan segalagalanya. Aku melaju melanggar tiga lampu merah lain di Casavilla,

dan kami sudah satu mil menyusuri Pennsylvania Avenue sebelum

melihat mobil polisi meraung-raung melewati kami dengan lampu

sirine menyala.

"Tadi itu agak kelas berat," kata Margo. "Maksudku, bahkan bagi

ku. Kalau diucapkan dalam gaya Q, denyut nadiku agak meningkat."

"Ya Tuhan," ucapku. "Maksudku, memangnya kau tidak bisa me

ninggalkan itu di mobilnya saja? Atau setidaknya di undakan depan
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumahnya?"

"Kita kan mendatangkan hujan badai, Q. Bukan gerimis."

"Katakan padaku Babak Delapan tak terlalu menakutkan."

"Jangan khawatir. Babak Delapan gampang kok. Kita kembali ke

Jefferson Park. Ke rumah Lacey. Kau tahu tempatnya, kan?" Aku

tahu, walaupun Lacey Pemberton tak pernah sudi mengundangku

mampir. Dia tinggal di sisi seberang taman Jefferson Park, satu mil

jauhnya dariku, di kondo indah di atas toko alat-alat tulis?se

benarnya satu blok dengan tempat tinggal laki-laki yang tewas itu.

Aku pernah ke bangunan itu karena teman orangtuaku tinggal di

lantai tiga. Ada dua pintu terkunci sebelum orang bisa masuk ke

kondo itu. Kupikir Margo Roth Spiegelman pun takkan bisa mem

bobol masuk ke sana.

"Jadi Lacey nakal atau baik?" tanyaku.

"Lacey jelas-jelas nakal," jawab Margo. Dia kembali menatap ke

luar jendela di jok penumpang, berbicara dengan kepala dipalingkan

dariku, sehingga aku nyaris tak bisa mendengarnya. "Maksudku, kami

kan sudah berteman sejak TK."

"Dan?"

"Dan dia tidak bilang padaku tentang Jase. Tapi bukan hanya itu.

Setelah kuingat-ingat, dia memang teman yang payah. Maksudku,

contohnya, apa menurutmu aku gemuk?"

"Astaga, tidak," jawabku. "Kau itu?" Dan aku menghentikan diri

ku berkata tidak kurus, tapi itulah karakteristik dirimu; karakteristik

dirimu adalah kau tak mirip laki-laki. "Kau sebaiknya tidak usah me

nurunkan berat badan."

Margo terpingkal-pingkal, melambaikan tangan ke arahku, dan

berkata, "Kau hanya suka bokong besarku." Aku berpaling dari jalan

sejenak dan meliriknya, seharusnya tak kulakukan itu, karena dia

bisa membaca ekspresiku dan ekspresiku berkata: Yah, pertama aku

tidak akan menyebutnya besar dan kedua, bokongmu memang bisa

dibilang spektakuler. Tetapi lebih daripada itu. Kau tak bisa mencerai

kan pribadi Margo dari tubuh Margo. Kau tidak bisa melihat salah

satunya tanpa melihat yang satu lagi. Kau menatap mata Margo dan

kau akan melihat warna biru dan sorot khas Margo-nya. Pada akhir

nya, kau tidak bisa mengatakan bahwa Margo Roth Spiegelman

gemuk, atau kurus, sama seperti kau tak bisa memastikan Menara

Eiffel kesepian atau tidak. Kejelitaan Margo merupakan jenis kesem

purnaan dalam wadah tersegel rapat?tak bercelah dan tak bisa

dipecahkan.

"Tapi Lacey selalu berkomentar sambil lalu seperti ini," lanjut

Margo. "?Aku mau saja meminjamimu celana pendek ini tapi kurasa

tak muat di tubuhmu.? Atau, ?Kau begitu bersemangat. Aku suka

caramu membuat cowok-cowok jatuh cinta dengan kepribadianmu.?

Terus-terusan meremehkan diriku. Kupikir dia tak pernah mengata

kan sesuatu yang bukan upaya untuk peremehan."

"Meremehkan."

"Trims, Annoying McMasterGrammician."

"Grammarian," kataku.

"Ya Tuhan, akan kubunuh kau!" Tetapi dia tergelak-gelak.

Aku menyetir mengelilingi perimeter Jefferson Park agar tidak

perlu melewati rumah-rumah kami, siapa tahu orangtua kami terjaga

dan mengetahui kami menghilang. Kami berkendara menyusuri

danau (Danau Jefferson), setelahnya berbelok ke Jefferson Court, dan

memasuki pusat kota kecil palsu Jefferson Park, yang terasa lengang

dan sepi. Kami menemukan SUV hitam Lacey diparkir di depan

restoran sushi. Kami berhenti satu blok jauhnya di parkiran pertama

yang kami bisa temukan yang tidak berada di bawah lampu jalan.

"Bisa tolong operkan ikan terakhir kepadaku?" Margo meminta.

Aku lega bisa menyingkirkan ikan itu karena sudah mulai berbau.

Lalu Margo menulisi kertas pembungkusnya dengan:

persahabatanmu Dengan ms kini Terbaring bersama Para ikan

Kami mengendap-endap menghindari bulatan cahaya dari lampu

jalan, berjalan sesantai yang bisa dilakukan oleh dua orang ketika

salah satunya (Margo) memegang ikan cukup besar terbungkus kertas

dan yang satu lagi (aku) menggenggam sekaleng cat semprot biru.

Seekor anjing menggonggong, dan kami berdua membeku, tapi bina

tang itu kembali diam, dan tak lama kemudian kami sudah di dekat

mobil Lacey.

"Nah, ini membuatnya lebih sulit," kata Margo ketika mendapati

mobil itu terkunci. Dia merogoh saku dan mengeluarkan sehelai

kawat yang dulunya gantungan baju. Dia butuh tak sampai semenit

untuk membobol kunci hingga terbuka. Aku benar-benar takjub.

Begitu berhasil membuka pintu sisi pengemudi, dia meraih dan

membuka pintu di sisiku. "Hei, bantu aku mengangkat jok ini," bisik

nya. Bersama-sama kami mengangkat jok. Margo menyelipkan ikan

di bawahnya, lalu dia menghitung sampai tiga, dan dengan serempak

kami menjatuhkan jok mobil di atas ikan tersebut. Aku mendengar

bunyi menjijikkan dari perut lele yang pecah. Aku membiarkan diriku

membayangkan seperti apa bau SUV Lacey setelah seharian terpang

gang di bawah matahari, dan aku mengakui suatu ketenangan me

landaku. Kemudian Margo berkata, "Tuliskan M di atapnya untuk

ku."

Aku bahkan tidak perlu memikirkannya satu detik penuh sebelum

mengangguk, menaiki bumper belakang, lalu membungkuk, dengan

cepat menyemprotkan huruf M raksasa di atap mobil. Pada dasarnya

aku tidak menyukai vandalisme. Tetapi, pada dasarnya aku juga tidak

menyukai Lacey Pemberton?yang akhirnya, itu terbukti berakar

lebih dalam. Aku melompat turun dari mobil. Berlari menembus

kegelapan?napasku memburu?sejauh satu blok kembali ke mini

van. Ketika memegang kemudi, aku menyadari bahwa telunjukku

biru. Kuacungkan agar Margo melihatnya. Dia tersenyum, ikut meng

acungkan jari birunya, dan jari-jari itu bersentuhan, jari birunya

menekan jariku perlahan dan denyut nadiku gagal melambat. Lama

setelahnya, dia berkata, "Babak Sembilan?pusat kota."

Saat itu pukul 02.49 dini hari. Seumur hidup, belum pernah aku

merasa sesegar ini.

PARA turis tidak pernah mendatangi pusat kota Orlando, karena

tak ada apa-apa di sana selain segelintir pencakar langit milik bank

dan perusahaan asuransi. Pusat kota itu jenis yang lengang pada

malam hari dan akhir pekan, kecuali sejumlah kelab malam yang

separuh penuh oleh mereka yang putus asa dan yang benar-benar

payah. Saat mengikuti petunjuk arah Margo melewati labirin jalan

satu arah, kami melihat beberapa orang tidur di pinggir jalan atau

duduk di bangku-bangku, tapi tidak ada yang bergerak. Margo me

nurunkan kaca jendela, dan aku merasakan udara pengap menerpa

wajahku, lebih hangat daripada sewajarnya udara malam. Aku me

ngerling dan melihat helai-helai rambut beterbangan di seputar

wajahnya. Meskipun bisa melihat dia di sana, aku merasa benar-benar

sendirian di antara gedung-gedung besar dan sepi ini, seolah aku

selamat dari malapetaka besar dan dunia ini diserahkan padaku, se

luruh dunia yang menakjubkan dan tak berakhir ini, jadi milikku

untuk kujelajahi.

"Kau hanya mengajakku jalan-jalan?" tanyaku.

"Bukan," sahutnya. "Aku mau ke SunTrust Building. Lokasinya

tepat di sebelah Asparagus."

"Oh," kataku, karena untuk pertama kalinya malam ini aku punya

informasi berguna. "Itu di Selatan." Aku menyetir melewati beberapa

blok lalu berbelok. Margo menunjuk dengan riang, dan ya, di sana,

di depan kami, tegaklah Asparagus.

Asparagus bukan, secara teknis, sebatang asparagus, bukan pula

bagian dari sayuran asparagus. Asparagus hanya patung yang sangat

mirip dengan sebatang asparagus setinggi hampir sepuluh meter?

meskipun aku juga pernah mendengar kemiripannya dengan:

1. Pohon kacang dari kaca hijau

2. Representasi abstrak dari sebatang pohon

3. Monumen Washington yang lebih hijau, lebih transparan,

lebih jelek

4. Falus hijau raksasa Jolly Green Giant

Dari segi apa pun, struktur itu jelas tidak ada mirip-miripnya de

ngan Menara Cahaya, nama sebenarnya patung tersebut. Aku ber

henti di depan meteran parkir lalu menatap Margo. Aku memergoki

nya memandang sejenak ke kejauhan, matanya kosong, bukan me

natap Asparagus, tapi melewatinya. Itulah pertama kalinya aku

berpikir bahwa mungkin ada yang tidak beres?bukan tidak beres

seperti pacarku-itu-bajingan, tapi benar-benar tidak beres. Dan aku

seharusnya mengatakan sesuatu. Tentu saja. Aku seharusnya me

ngatakan sesuatu dan sesuatu dan sesuatu dan sesuatu dan sesuatu.

Namun aku hanya berucap, "Boleh kutanya kenapa kau mengajakku

ke Asparagus?"

Margo memutar kepala ke arahku dan memberiku seulas senyum.

Margo sangat cantik sehingga senyum palsunya pun meyakinkan.

"Kita harus memeriksa kemajuan pekerjaan kita. Dan tempat terbaik

untuk melakukannya adalah dari puncak SunTrust Building."

Aku memutar bola mata. "Enak saja. Tidak. Tidak akan. Katamu

tidak ada membobol masuk."

"Ini bukan membobol masuk. Hanya masuk, soalnya pintunya tak

terkunci."

"Margo, itu konyol. Tentu s?"

"Aku mengaku bahwa sepanjang malam ini memang ada tindakan

membobol dan masuk. Ada masuk ke rumah Becca. Ada membobol

rumah Jase. Dan di sini akan ada masuk. Tetapi tidak pernah ada

membobol masuk secara simultan. Secara teori, polisi bisa menuduh

kita membobol, dan mereka bisa menuduh kita masuk diam-diam,

tapi mereka tidak bisa menuduh kita membobol dan masuk diamdiam. Jadi aku menepati janji."

"SunTrust Building pasti memiliki penjaga keamanan atau apalah,"

kataku.

"Memang," ujarnya, membuka sabuk pengaman. "Tentu saja me

reka punya. Namanya Gus."

Kami masuk lewat pintu depan. Di balik meja lebar setengah ling

karan duduklah seorang laki-laki muda dengan janggut kambing

jarang dan mengenakan seragam Regents Security. "Apa kabar,

Margo?" sapanya.

"Hai, Gus," sahut Margo.

"Siapa bocah itu?"

Aku kepengin berteriak, UMUR KAMI SAMA! tapi kubiarkan

Margo yang bicara untukku. "Ini kolegaku, Q. Q, ini Gus."

"Apa kabar, Q?" tanya Gus.

Oh, kami baru saja menyebarkan bangkai ikan di seantero kota,

membobol beberapa jendela, memotret laki-laki telanjang, nongkrong di

lobi pencakar langit pada pukul 03.15, hanya itu. "Tidak banyak,"

jawabku.

"Lift sudah tutup," kata Gus. "Harus dimatikan jam tiga. Tapi

kalian dipersilakan lewat tangga."

"Tidak apa-apa. Sampai nanti, Gus."

"Sampai ketemu, Margo."

"Bagaimana kau bisa kenal penjaga keamanan SunTrust Building?"

tanyaku begitu kami sudah aman di ruang tangga.

"Dia murid senior waktu kita kelas satu SMA," jawab Margo. "Kita

harus cepat-cepat, oke? Waktunya hampir habis." Margo mulai me

napaki tangga dua-dua sekaligus, melesat naik, dan aku berusaha
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengimbanginya, tapi tak mampu. Margo tidak masuk tim olahraga

mana pun, tapi dia senang berlari?kadang-kadang aku melihat dia

berlari sendirian sambil mendengarkan musik di taman Jefferson

Park. Sedangkan aku tak suka berlari. Atau, sebenarnya, terlibat da

lam kegiatan fisik apa pun. Namun kini aku berusaha mempertahankan

kecepatan, mengusap keringat dari dahi, dan tak memedulikan rasa

terbakar di betisku. Setibanya di lantai 25, Margo sudah berdiri di

bordes, menungguku.

"Coba lihat," katanya. Dia membuka pintu ruang tangga dan kami

pun berada dalam ruangan luas yang dilengkapi meja ek sepanjang

dua mobil, dan jendela lebar yang tingginya dari lantai sampai ke

langit-langit. "Ruang konferensi," ucap Margo. "Tempat ini memiliki

pemandangan terbaik di seluruh gedung." Aku mengikutinya ketika

dia melangkah di sepanjang jendela. "Oke, di sebelah sana," katanya

seraya menunjuk, "Taman Jefferson Park. Lihat rumah kita? Lampu

nya masih padam, itu bagus." Dia beralih sejauh beberapa panel.

"Rumah Jase. Lampu padam, mobil polisi sudah pergi. Bagus sekali,

kupikir mungkin itu artinya dia berhasil tiba di rumah, sayang sekali."

Rumah Becca terlalu jauh untuk dilihat, bahkan dari atas sini.

Margo membisu sejenak, kemudian melangkah ke kaca dan me

nyandarkan dahi di sana. Aku tetap berdiri di belakang, tapi dia

menarik kausku dan menarikku ke depan. Aku tidak mau bobot

kami berdua membebani panel kaca yang sama, tapi dia terus me

narikku maju, dan aku bisa merasakan kepalan tangannya di sisi

tubuhku, dan akhirnya aku menempelkan kepala di kaca sepelan

mungkin dan mengedarkan pandangan.

Dari atas, Orlando tampak terang benderang. Di bawah kami, bisa

kulihat rambu DON?T WALK yang berkelip-kelip di persimpangan,

serta lampu-lampu jalan yang berderet rapi di sepanjang jalanan kota

sampai pusat kota berakhir dan jalan-jalan berkelok serta kuldesak

daerah suburban Orlando yang tak berbatas dimulai.

"Pemandangannya indah," komentarku.

Margo cemberut. "Masa? Kau serius berpikir begitu?"

"Maksudku, yah, mungkin tidak," kataku, meskipun sebenarnya

memang indah. Ketika aku melihat dari pesawat, Orlando tampak

seperti satu set LEGO yang tenggelam di lautan hijau. Di sini, pada

malam hari, Orlando terlihat mirip tempat sungguhan?tapi untuk

pertama kalinya menjadi sebuah tempat yang bisa kulihat. Ketika

mengelilingi ruang konferensi, lalu ke ruangan lain di lantai itu, aku

bisa menyaksikan semuanya: ada sekolah. Ada Jefferson Park. Di

sana, di kejauhan, Disney World. Ada Wet?n Wild. Di sana 7-Eleven

tempat Margo mengecat kuku dan aku berjuang bernapas. Semuanya

ada di sana?seluruh duniaku, dan aku bisa melihatnya hanya dengan

mengitari sebuah bangunan. "Ini lebih mengesankan," kataku keraskeras. "Dari kejauhan, maksudku. Kau tidak bisa melihat keusangan,

tahu tidak? Kau tidak bisa melihat karat atau rumput liar atau cat

yang retak-retak. Kau melihat tempat ini persis dengan yang pernah

dibayangkan seseorang."

"Semuanya terlihat lebih jelek dari dekat," ucap Margo.

"Tapi kau tidak," jawabku sebelum berpikir panjang.

Dahi Margo masih melekat di kaca, dia menoleh kepadaku dan

tersenyum. "Kuberi tips ya: kau imut kalau sedang percaya diri. Dan

tidak terlalu imut ketika sebaliknya." Sebelum aku sempat berkomen

tar, matanya kembali ke pemandangan dan dia mulai bicara. "Yang

indah dari semua ini adalah: dari sini kau tidak bisa melihat karat

atau cat yang retak-retak atau apalah, tapi kau tahu tempat apa itu

sebenarnya. Kau mengetahui betapa palsunya semua itu. Tempat itu

bahkan tak cukup keras untuk tampak terbuat dari plastik. Itu kota

kertas. Maksudku, coba lihat, Q: coba lihat semua kuldesak, jalanjalan yang introver, semua rumah yang dibangun untuk runtuh lagi.

Semua orang-orang kertas yang mendiami rumah-rumah kertas me

reka, membakar masa depan agar tetap hangat. Semua bocah-bocah

kertas yang menenggak bir yang dibelikan gelandangan untuk mereka

di toko kelontong dari kertas. Semua orang menjadi sinting oleh

kegilaan memiliki sesuatu. Segala-galanya setipis dan serapuh kertas.

Begitu juga semua penghuninya. Aku tinggal di sini selama delapan

belas tahun dan seumur hidupku tak pernah sekali pun aku bertemu

seseorang yang peduli pada hal-hal yang penting."

"Akan kucoba untuk tidak tersinggung," ucapku. Kami menatap

ke kejauhan yang kelam, kuldesak dan lahan-lahan yang luasnya

masing-masing sekitar seribu meter persegi. Tetapi bahunya menyen

tuh lenganku, dan punggung tangan kami bersentuhan, dan meskipun

aku tak menatap Margo, menempelkan diri di kaca sensasinya hampir

seperti melekatkan tubuhku di tubuhnya.

"Sori," ucapnya. "Mungkin keadaan akan berbeda bagiku jika se

lama ini aku bergaul denganmu bukan dengan?ugh. Hanya saja, ya

Tuhan. Hanya saja aku sangat membenci diri sendiri karena bahkan

peduli pada, tanda kutip, temanku. Maksudku, asal kau tahu saja,

bukannya aku jengkel setengah mati pada Jason. Atau Becca. Atau

bahkan Lacey, meskipun aku sebenarnya suka padanya. Tetapi itu

tadi senar terakhir. Memang itu senar yang payah, tapi hanya itu yang

kumiliki, dan setiap gadis kertas perlu setidaknya satu senar, kan?"

Dan inilah yang kukatakan. Aku bilang, "Kau akan disambut di

meja makan siang kami besok."

"Manis sekali," jawabnya, suaranya menghilang. Dia menoleh ke

arahku dan mengangguk pelan. Aku tersenyum. Dia tersenyum. Aku

memercayai senyuman itu. Kami menuju tangga dan kemudian berlari

menuruninya. Di dasar setiap tangga, aku melompat dari anak tangga

terbawah sambil menyentuhkan kedua tumit untuk membuatnya

tertawa, dan dia tertawa. Kupikir aku membuatnya terhibur. Kupikir

dia bisa dihibur. Kupikir mungkin kalau aku percaya diri, sesuatu

mungkin terjadi di antara kami.

Aku keliru.

DUDUK di minivan dengan kunci kontak ditancapkan di lubangnya

tapi mesin belum dinyalakan, Margo bertanya, "Omong-omong, jam

berapa orangtuamu bangun?"

"Entahlah, mungkin enam seperempat?" Saat itu pukul 03.51.

"Maksudku, kita masih punya dua jam lebih sedikit dan kita sudah

menyelesaikan sembilan babak."

"Aku tahu, tapi aku menaruh babak yang paling susah di bagian

akhir. Tapi kita akan menyelesaikan semuanya. Babak Sepuluh?gi

liran Q memilih korban."

"Apa?"

"Aku sudah memilihkan hukumannya. Nah, kau tinggal pilih de

ngan siapa kita akan mencurahkan amarah dahsyat kita."

"Kepada siapa kita akan mencurahkan amarah dahsyat kita," aku

meralatnya, dan Margo menggeleng jijik. "Dan aku tidak terlalu ingin

mencurahkan amarahku kepada siapa pun," kataku, sebab sebenarnya

memang tidak. Aku selalu beranggapan bahwa seseorang itu pasti

penting bila sampai mempunyai musuh. Misalnya: Secara historis,

Jerman punya musuh lebih banyak daripada Luksemburg. Margo

Roth Spiegelman itu Jerman. Dan Inggris. Dan Amerika Serikat.

Dan kekaisaran Rusia. Sedangkan aku, aku Luksemburg. Hanya

duduk santai, mengurus domba, dan ber-yodel.

"Bagaimana dengan Chuck?" tanya Margo.

"Hmm," kataku. Chuck Parson memang cukup menakutkan selama

bertahun-tahun sebelum dia dikendalikan. Selain bencana ban ber

jalan kafeteria, dia pernah menarikku di luar sekolah ketika aku

menunggu bus lalu memelintir lenganku dan terus-terusan berkata,

"Sebut dirimu homo." Itu ejekan serbagunanya, kosa-kataku-hanyaterdiri-dari-dua-belas-kata-jadi-jangan-mengharapkan-ejekan-de

ngan-berbagai-variasi. Dan meskipun sangat kekanak-kanakan, pada

akhirnya aku harus menyebut diriku homo, yang membuatku jengkel

setengah mati, sebab 1. Menurutku kata itu tidak seharusnya di

gunakan oleh siapa pun, apalagi olehku, dan 2. Kebetulan, aku bukan

gay, dan lebih dari itu, 3. Chuck Parson membuat seolah menyebut

dirimu homo adalah penghinaan puncak, meskipun tidak ada perlu

nya merasa malu bila menjadi gay, dan itulah yang coba kukatakan

ketika dia memiting lenganku semakin ke atas saja ke arah tulang

belikatku, tapi dia terus berkata, "Kalau kau bangga banget jadi homo,

kenapa tidak kauakui saja kau itu homo, homo?"

Jelas sekali Chuck Parson bukanlah Aristoteles dalam hal logika.

Tetapi dia lebih dari 190 sentimeter, dan hampir 125 kilogram, pasti

itu ada artinya.

"Kau boleh mengutarakan argumen untuk menghukum Chuck,"

aku mengizinkan. Kemudian aku menyalakan mobil dan mulai me

nyetir lagi menuju jalan tol. Aku tak tahu ke mana tujuan kami, tapi

sudah jelas kami tidak akan tetap berada di pusat kota.

"Ingat Crown School of Dance?" tanyanya. "Aku baru saja memikir

kannya malam ini."

"Ugh. Yeah."

"Omong-omong, aku menyesal soal itu. Entah kenapa aku maumaunya menuruti dia."

"Yeah. Semua sudah berlalu," kataku, tapi mengingat Crown

School of Dance terkutuk itu membuatku jengkel, dan aku berkata,

"Yeah. Chuck Parson. Kau tahu di mana dia tinggal?"

"Aku tahu pasti bisa mengeluarkan sisi pendendammu. Dia di

College Park. Keluar di Princeton." Aku melewati pintu masuk jalan

tol dan menginjak gas dalam-dalam. "Whoa, pelan-pelan," kata

Margo. "Jangan merusak Chrysler ini."

Sewaktu kelas enam, sekelompok anak termasuk Margo, Chuck, dan

aku dipaksa orangtua masing-masing untuk belajar dansa ballroom

di Crown School untuk Penghinaan, Dipermalukan, dan Dansa. Dan

cara melakukannya adalah anak laki-laki berdiri di satu sisi sedangkan

anak perempuan di seberangnya, lalu ketika guru memberi aba-aba,

anak laki-laki akan menghampiri anak perempuan dan berkata, "Bo

leh aku berdansa denganmu?" dan anak perempuan akan menjawab,

"Boleh." Anak-anak perempuan dilarang bilang tidak. Tetapi pada

suatu hari?kami sedang berlatih fox-trot?Chuck Parson meyakin

kan setiap anak perempuan untuk menolakku. Bukan orang lain.

Hanya aku. Jadi aku menyeberang menghampiri Mary Beth Shortz

dan aku berkata, "Boleh aku berdansa denganmu?" dan dia bilang

tidak. Lalu aku bertanya pada anak perempuan lain, dan satu lagi

anak perempuan, dan kemudian Margo, yang juga bilang tidak, dan

anak perempuan yang lain lagi, dan kemudian aku mulai menangis.

Satu-satunya hal yang lebih parah daripada ditolak di sekolah

dansa adalah menangis karena ditolak di sekolah dansa, dan satusatunya hal yang lebih parah daripada itu adalah menghampiri guru

dansa dan mengadu dengan air mata berlinang, "Anak-anak

perempuan bilang tidak kepadaku dan mereka seharusnya tidak boleh

begituh." Jadi tentu saja aku mengadu sambil menangis pada guru,

dan aku melewatkan sebagian besar masa sekolah menengah berusaha

mengatasi peristiwa memalukan itu. Jadi, singkatnya, Chuck Parson

menghalangiku berdansa fox-trot, yang sepertinya bukan kejailan yang

terlalu buruk untuk dilakukan pada bocah kelas enam. Dan aku se

benarnya tidak terlalu jengkel lagi karena itu, atau karena semua hal

yang dilakukannya padaku selama bertahun-tahun ini. Tetapi aku

jelas tidak akan meratapi penderitaannya.

"Sebentar, dia takkan tahu itu aku, kan?"

"Ya tidaklah. Kenapa?"

"Aku tidak mau dia berpikir aku cukup peduli padanya untuk

menyakitinya." Aku meletakkan tangan di konsol tengah dan Margo

menepuk-nepuknya. "Jangan khawatir, " katanya. "Dia tidak bakal

tahu apa yang mendepilasinya."

"Menurutku kau menyalahgunakan kata tapi aku tidak tahu apa

artinya itu."
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tahu satu kata yang kau tak tahu," Margo bersenandung.

"AKU RATU KOSA KATA YANG BARU! AKU MENGU

DETA KAU!"

"Coba eja mengudeta," perintahku.

"Enak saja," jawabnya, tertawa. "Aku tidak mau menyerahkan mah

kotaku gara-gara mengudeta. Kau harus cari cara lain."

"Baiklah." Aku tersenyum.

Kami berkendara melintasi College Park, lingkungan yang termasuk

distrik bersejarah Orlando lantaran rumah-rumah di sana kebanyakan

dibangun tiga puluh tahun lalu. Margo tidak ingat persis alamat

Chuck, atau seperti apa penampakan rumahnya, atau bahkan letaknya

di jalan mana ("Aku hampir 95 persen yakin letaknya di Vassar.")

Akhirnya, setelah Chrysler berkeliaran sejauh tiga blok di Vassar

Street, Margo menuding ke sisi kirinya dan berkata, "Yang itu."

"Kau yakin?" tanyaku.

"Sekitar 97,2 persen yakin. Maksudku, aku cukup yakin kamarnya

di sana," ucapnya, menunjuk. "Dia pernah mengadakan pesta, dan

ketika polisi datang aku menyelinap pergi lewat jendelanya. Aku

cukup yakin itu jendela yang sama."

"Kelihatannya kita bisa kena masalah."

"Tapi kalau jendelanya terbuka, kan tidak perlu membobol. Hanya

masuk diam-diam. Dan kita barusan masuk SunTrust diam-diam,

dan itu bukan masalah besar, kan?"

Aku tertawa. "Sepertinya kau mengubahku jadi berandalan."

"Memang itu tujuannya. Oke, perlengkapan: ambil Veet, cat sem

prot, dan Vaseline."

"Oke." Aku mengambil semuanya.

"Nah, nanti jangan mendadak panik, Q. Berita bagusnya Chuck

tidur persis beruang berhibernasi?aku tahu itu karena aku masuk

kelas bahasa Inggris yang sama dengannya tahun lalu dan dia tidak

terbangun bahkan ketika Ms. Johnson menepuknya dengan Jane Eyre.

Jadi kita akan ke jendela Chuck, membukanya, melepas sepatu, se

telahnya masuk pelan-pelan, dan aku akan menjaili Chuck. Kemudian

kau dan aku menyebar ke sisi berlawanan rumah, dan kita akan me

lumuri setiap gagang pintu dengan Vaseline, jadi walaupun seandainya

ada yang terbangun, mereka bakal susah keluar dari rumah tepat

pada waktunya untuk menangkap kita. Kemudian kita menjaili

Chuck lagi, mengecat sedikit rumahnya, lalu pergi dari sana. Dan

jangan bicara."

Aku menempelkan tangan di pembuluh jugular, tapi aku ter

senyum.

Kami sedang menjauhi mobil bersama-sama ketika Margo meraih

tanganku, menautkan jemari kami, dan meremas. Aku balas meremas

nya dan kemudian meliriknya. Dia mengangguk serius, dan aku balas

mengangguk, setelahnya dia melepaskan tanganku. Kami berlari

menuju jendela. Kudorong bingkai jendela ke atas pelan-pelan, ada

derit sangat lirih tapi langsung terbuka. Aku melongok ke dalam.

Ruangannya gelap, tapi aku bisa melihat sesosok tubuh di tempat

tidur.

Jendelanya agak ketinggian untuk Margo, jadi aku menautkan

kedua tangan dan dia menaikkan sebelah kaki yang dibalut kaus kaki

di sana lalu kudorong dia ke atas. Gerakan senyapnya memasuki

rumah bisa-bisa membuat ninja iri. Aku melompat, menaikkan kepala

dan bahu ke jendela, dan kemudian berjuang, dengan liukan torso

yang rumit, menggeliat-geliut mirip ulat memasuki rumah. Rencanaku

mungkin berjalan lancar hanya saja aku menyiksa kemaluanku di

birai jendela, yang sakitnya setengah mati sehingga aku mengerang,

dan itu merupakan kesalahan lumayan fatal.

Lampu di sisi tempat tidur menyala. Dan di sana, di tempat tidur,

terbaring seorang laki-laki tua?jelas bukan Chuck Parson. Matanya

terbeliak ngeri; dia tak berucap sepatah kata pun.

"Um," kata Margo. Aku berniat kabur dan berlari kembali ke mobil

tapi tetap di sana demi Margo, tubuh atasku di dalam rumah, paralel

dengan lantai. "Ehm, kurasa kita masuk ke rumah yang keliru." Kemu

dian dia berbalik dan menatapku tajam, saat itulah aku sadar bahwa

aku menghalangi jalan keluarnya. Jadi kudorong tubuhku kembali ke

luar jendela, menyambar sepatu, dan melarikan diri.

Kami melaju ke sisi seberang College Park untuk mengatur strategi

baru.

"Kurasa tadi itu kita sama-sama salah," komentar Margo.

"Um, kau yang salah memilih rumah," balasku.

"Memang, tapi kau yang bersuara." Keadaan senyap sesaat, dan

kemudian kami hanya berkendara berputar-putar, lalu akhirnya aku

berkata, "Mungkin kita bisa mencari alamatnya di internet. Radar

punya akses masuk ke direktori sekolah."

"Brilian," ucap Margo.

Jadi aku menelepon Radar, tapi langsung terhubung ke kotak suara.

Aku mempertimbangkan untuk menelepon rumahnya, tapi orangtua

nya berteman dengan orangtuaku, jadi itu tidak mungkin. Akhirnya,

aku teringat untuk menelepon Ben. Dia bukan Radar, tapi dia tahu

semua kata kunci Radar. Aku pun menelepon. Terhubung dengan

kotak suara, tapi setelah berdering. Jadi kutelepon lagi. Kotak suara.

Kutelepon lagi. Kotak suara. Margo berujar, "Dia jelas takkan men

jawab," dan sambil menelepon lagi, aku berkata, "Oh, dia akan men

jawab." Dan setelah empat kali menelepon lagi, Ben mengangkat

telepon.

"Sebaiknya kau meneleponku untuk memberitahukan ada sebelas

honeybunny telanjang di rumahmu, dan bahwa mereka meminta Pe

rasaan Spesial yang hanya bisa diberikan oleh Big Daddy Ben."

"Aku perlu kau memakai akses log masuk Radar ke direktori murid

untuk mencarikan satu alamat. Chuck Parson."

"Ogah."

"Tolong," kataku.

"Ogah."

"Nanti kau pasti senang sudah melakukan itu, Ben. Aku janji."

"Yeah, yeah, baru saja kulakukan. Aku melakukannya saat bilang

ogah?tidak tahan untuk tak menolong. Empat-dua-dua Amherst.

Hei, buat apa kau butuh alamat Chuck Parson jam 04.12?"

"Tidurlah, Benners."

"Aku akan mengasumsikan ini hanya mimpi," jawab Ben, lalu me

nutup telepon.

Amherst hanya dua blok jauhnya. Kami parkir di jalan di depan 418

Amherst, menyiapkan perlengkapan, dan berlari menyeberangi peka

rangan rumah Chuck, embun pagi menetes dari rumput ke betisku.

Di jendelanya, yang untungnya lebih rendah daripada jendela milik

Laki-laki Tua Asing tadi, aku memanjat masuk tanpa suara dan

kemudian menarik Margo ke dalam. Chuck tidur telentang. Margo

mendekatinya, berjingkat-jingkat, dan aku berdiri di belakang Margo,

jantungku berdebar kencang. Chuck bakal membunuh kami berdua

kalau dia terbangun. Margo mengeluarkan Veet, menyemprotkan

segumpal sesuatu yang mirip krim cukur ke telapak tangan, dan

kemudian dengan lembut dan hati-hati mengoleskannya di alis kanan

Chuck. Chuck berkedut pun tidak.

Kemudian Margo membuka Vaseline?tutupnya mengeluarkan

bunyi seperti clorp yang memekakkan telinga, tapi lagi-lagi Chuck

tak menunjukkan tanda-tanda terjaga. Margo meraup segumpal besar

dan menaruhnya di tanganku, lalu kami melangkah ke arah ber

lawanan di rumah itu. Pertama-tama aku ke pintu masuk dan me

lumurkan Vaseline ke kenop pintu depan, kemudian ke pintu terbuka

salah satu kamar tidur dan mengoleskan Vaseline ke kenop bagian

dalam lalu perlahan-lahan, hanya dengan derit amat pelan, menutup

pintunya.

Akhirnya aku kembali ke kamar Chuck?Margo sudah di sana?

dan kami menutupi pintunya bersama-sama lalu menyapukan

Vaseline sebanyak-banyaknya ke kenop pintu Chuck. Kami melumur

kan Vaseline yang tersisa ke seluruh permukaan jendela kamarnya,

dengan harapan membuatnya sulit dibuka setelah kami menutupnya

ketika keluar nanti.

Margo melirik arloji lalu mengacungkan dua jari. Kami menunggu.

Dan selama dua menit itu kami hanya bertatapan, dan aku memper

hatikan warna biru matanya. Suasananya menyenangkan?dalam


Suro Bodong 05 Pertarungan Bukit Asmara Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Vampire Academy Karya Richelle Mead

Cari Blog Ini