Ceritasilat Novel Online

Mencari Alaska 5

Mencari Alaska Looking For Alaska Karya John Green Bagian 5

Si Elang menghampiri sofa, dan aku merasakan Kolonel berusaha bangun, tapi aku menahan pundaknya kuat-kuat, sebab jika si Elang mencium bau napas Kolonel, tamatlah riwayat kami. " Miles," kata si Elang. " Aku paham ini waktu yang berat untukmu. Tapi kau harus menghormati aturan yang ada di sekolah ini atau kalian harus bersekolah di tempat lain. Sampai bertemu di Dewan Juri besok. Ada yang bisa kulakukan untukmu, Chip?"

Tanpa mengangkat kepala, Kolonel menjawab dengan suara bergetar dalam tangis, " Tidak, Sir. Saya hanya bersyukur ada Miles." " Yah, aku juga," kata si Elang. " Mungkin kau bisa mendorongnya

untuk menaati peraturan kita, sehingga dia tidak membahayakan tempatnya di sekolah ini."

" Baik, Sir," jawab Kolonel.

" Kalian boleh tetap menyalakan lampu sampai kalian siap untuk tidur. Sampai bertemu besok, Miles."

" Selamat malam, Sir," kataku, membayangkan Kolonel menyelundupkan alat penguji napas kembali ke rumah si Elang selagi aku dikuliahi di Dewan Juri.

Setelah si Elang menutup pintu di belakangnya, Kolonel melompat berdiri, tersenyum padaku, dan karena masih takut si Elang mungkin berada di luar, ia berbisik, " Itu tadi cantik sekali."

" Aku belajar dari yang terbaik," kataku. " Sekarang, minum."

Satu jam kemudian, saat botol Gatorade sudah hampir kosong, Kolonel mencapai angka 0,24.

" Terima kasih, Tuhan!" teriaknya, lalu menambahkan, " Ini mengerikan. Ini bukan mabuk yang menyenangkan."

Aku bangkit dan meminggirkan MEJA KOPI agar Kolonel dapat berjalan melintasi kamar tanpa menabrak apa pun, lalu berkata, " Oke, bisakah kau berdiri?"

Kolonel mendorong tangannya ke dalam lapisan busa sofa dan mencoba berdiri, namun jatuh kembali ke sofa, telentang. " Kamar berputar," katanya. " Mau muntah."

" Jangan muntah. Itu akan merusak segalanya."

Aku memutuskan untuk memberinya tes kesadaran, seperti yang dilakukan polisi. " Oke. Kemarilah dan coba untuk berjalan lurus." Ia berguling dari sofa dan jatuh ke lantai. Aku menyelipkan tangan di bawah ketiaknya dan mengangkatnya. Aku memosisikannya di antara

dua ubin di lantai linoleum. " Ikuti jalur ubin itu. Jalan yang lurus, dari jari kaki ke tumit." Ia mengangkat satu kaki dan langsung terhuyung ke kiri, kedua tangannya menggapai-gapai. Ia maju satu langkah dengan limbung, tubuhnya bergoyang-goyang karena kakinya seolah tak mampu mendarat dengan pas di depan satu sama lain. Sesaat keseimbangannya kembali, kemudian ia melangkah mundur dan mendarat di sofa.

" Aku gagal," katanya lugas.

" Baiklah, bagaimana persepsi kedalamanmu?" " Persep apaku?"

" Lihat aku. Apakah aku ada satu? Apakah aku ada dua? Bisakah kau tak sengaja menabrakku seandainya aku mobil polisi?"

" Semuanya berputar-putar, tapi sepertinya tidak. Ini mengerikan. Apa Alaska benar-benar seperti ini?"

" Sepertinya. Bisakah kau menyetir dengan keadaan seperti ini?" " Oh Tuhan, tidak. Tidak. Tidak. Dia sangat mabuk, ya." " Ya."

" Kita bodoh sekali." " Ya."

" Aku berputar-putar. Tapi tidak. Tidak. Tidak menabrak mobil polisi. Aku bisa melihat."

" Jadi itulah buktimu."

" Mungkin dia ketiduran. Aku merasa sangat mengantuk sekarang."

" Kita akan mencari jawabannya," kataku, mencoba memainkan peran yang selalu dimainkan Kolonel untukku.

" Tidak malam ini," jawabnya. " Malam ini, kita akan muntah sedikit, lalu tidur sampai pengar kita hilang."

" Jangan lupa bahasa Latin."

" Oh ya. Bahasa Latin sialan."

Dua Puluh Delapan Hari Setelahnya

Kolonel berhasil menghadiri kelas bahasa Latin keesokan paginya" " Aku merasa hebat saat ini, karena masih mabuk. Tapi hanya Tuhan yang bisa membantuku dalam beberapa jam ke depan" " dan aku mengikuti ujian bahasa Prancis yang kupelajari un petit peu. Aku lumayan bisa mengerjakan bagian pilihan ganda (jenis pertanyaan kata-kerja-mana-yang-masuk-akal-di-sini), tapi pertanyaan esainya, Dalam Le Petit Prince, apakah makna mawar? membuatku agak bingung.

Kalau saja aku membaca {#1f}e Little Prince dalam Bahasa Inggris atau Prancis, mungkin pertanyaan ini tergolong mudah. Sayangnya, aku menghabiskan malam dengan membuat Kolonel mabuk. Jadi aku menjawab, " Elle symbolise l" amour," (" Itu melambangkan cinta" ). Madame O" Malley memberi kami selembar penuh untuk menjawab pertanyaan tersebut, tapi kurasa aku sudah berhasil merangkum intinya dalam tiga kata.

Aku mengikuti semua pelajaran dengan cukup baik untuk mendapat nilai B-minus dan tidak membuat orangtuaku khawatir, tapi aku tidak terlalu peduli lagi sekarang. Makna mawar? batinku. Siapa yang peduli? Apa makna tulip putih? Itu baru pertanyaan yang layak dijawab.

Setelah dikuliahi dan diberi sanksi sepuluh jam kerja oleh Dewan Juri, aku kembali ke Kamar 43 dan menemukan Kolonel sedang menceritakan semuanya kepada Takumi" yah, semuanya kecuali

ciumanku dengan Alaska. Aku masuk ketika Kolonel berkata, " Jadi kami membantunya pergi."

" Kalian yang menyalakan petasan," katanya. " Bagaimana kau bisa tahu soal petasan?"

" Aku melakukan sedikit penyelidikan," jawab Takumi. " Yah, yang jelas, itu sangat bodoh. Kalian seharusnya tak melakukan itu. Tapi sebenarnya kita semua membiarkan dia pergi," ujarnya, dan aku bertanya-tanya apa maksud ucapan itu, tapi aku tidak sempat bertanya sebelum ia berkata padaku, " Jadi menurutmu dia bunuh diri?"

" Mungkin," kataku. " Menurutku dia tidak mungkin menabrak mobil polisi itu tanpa sengaja, kecuali dia ketiduran."

" Mungkin dia hendak menemui ayahnya," kata Takumi. " Jalan itu searah dengan Vine Station."

" Mungkin," kataku. " Semuanya mungkin, ya kan?" Kolonel merogoh kantongnya mencari sebungkus rokok. " Yah, ini satu kemungkinan lain: mungkin Jake punya jawaban," katanya. " Kita kehabisan strategi, jadi aku akan meneleponnya besok. Oke?"

Aku juga menginginkan jawaban, namun bukan untuk beberapa pertanyaan. " Ya, oke," kataku. " Tapi dengar" jangan beritahu aku apa pun yang tidak relevan. Aku tak ingin tahu apa pun kecuali itu bisa membantuku mengetahui ke mana Alaska pergi dan mengapa."

" Aku juga, sebenarnya," kata Takumi. " Aku merasa mungkin ada beberapa hal yang harus tetap menjadi rahasia."

Kolonel menyelipkan handuk di bawah pintu, menyalakan rokok, dan berkata, " Cukup adil, anak-anak. Kita hanya akan mencari halhal yang perlu diketahui."

Dua Puluh Sembilan Hari Setelahnya

Ketika berjalan pulang dari sekolah keesokan harinya, aku melihat Kolonel duduk di bangku di luar telepon umum, menulis dalam buku catatan yang diseimbangkan di lutut selagi ia mengempit gagang telepon di antara telinga dan pundak.

Aku cepat-cepat menuju Kamar 43, dan mendapati Takumi bermain game balapan tanpa suara. " Sudah berapa lama dia menelepon?" tanyaku.

" Entahlah. Dia sudah di sana waktu aku ke sini dua puluh menit yang lalu. Dia pasti melewatkan Smart Boy Math. Kenapa, kau takut Jake akan menyetir ke sini dan menghajarmu karena membiarkan Alaska pergi?"

" Terserahlah," kataku sambil berpikir, Ini sebabnya kami seharusnya tidak memberitahu Takumi. Aku memasuki kamar mandi, menyalakan pancuran, dan merokok. Tak lama kemudian Takumi masuk. " Ada apa?" katanya.

" Tidak ada. Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi pada Alaska."

" Kau benar-benar ingin tahu kebenarannya? Atau kau hanya ingin tahu bahwa dia bertengkar dengan Jake dan pergi untuk memutuskan hubungan dengannya lalu segera kembali ke sini, menghambur ke pelukanmu, kemudian kalian bercinta lalu memiliki anak-anak genius yang hafal kata-kata terakhir dan puisi?"

" Kalau kau marah padaku, bilang saja."

" Aku tidak marah padamu karena membiarkannya pergi. Tapi aku muak melihatmu bertingkah seakan-akan kau satu-satunya orang yang pernah menginginkannya. Seakan-akan kau punya hak monopoli dalam menyukainya," jawab Takumi. Aku berdiri, mengangkat penutup toilet dan mengguyur rokokku yang belum habis.

Aku menatapnya beberapa lama dan akhirnya berkata, " Aku menciumnya malam itu dan aku punya hak monopoli dalam hal itu."

" Apa?" katanya terbata-bata. " Aku menciumnya."

Mulutnya terbuka seperti hendak bicara, tapi ia tidak mengatakan apa pun. Kami saling menatap beberapa lama dan aku malu pada diriku sendiri karena seperti menyombongkan diri. Akhirnya aku berkata, " Aku" dengar, kau tahu bagaimana dia. Kalau ingin melakukan sesuatu, dia langsung melakukannya. Aku mungkin hanya cowok yang kebetulan ada di sana."

" Yeah. Well, aku tak pernah menjadi cowok itu," katanya. " Aku" yah, Pudge, Tuhan tahu aku tak bisa menyalahkanmu." " Jangan beritahu Lara."

Ia mengangguk ketika kami mendengar tiga ketukan cepat di pintu depan yang berarti si Elang ada di luar, dan pikirku, Sialan, tertangkap basah dua kali dalam seminggu. Takumi menunjuk ke pancuran air, jadi kami masuk bersama-sama dan mentup tirai rapat-rapat, kepala pancuran yang terlalu rendah menyemprot kami dari tulang rusuk ke bawah. Terpaksa berdiri berdekatan daripada yang sepatutnya, kami bergeming, tak bersuara, air dari pancuran pelan-pelan membuat kaus dan jins kami basah kuyup selama beberapa menit, sementara kami menunggu uap air mengangkat asap rokok ke ventilasi. Tapi si Elang tidak kunjung mengetuk pintu kamar mandi, sehingga akhirnya Takumi mematikan keran pancuran. Aku membuka pintu kamar mandi sedikit lalu mengintip ke luar dan melihat Kolonel duduk di sofa dengan kaki diangkat ke MEJA KOPI, menyelesaikan balap NASCAR yang tadi dimainkan Takumi. Aku membuka pintu lalu aku dan Takumi keluar, berpakaian lengkap dan basah kuyup.

p u s t a k a i n

o . b l o g s p o t . c o m

" Wah, ini pemandangan yang tak kaulihat setiap hari," kata Kolonel acuh tak acuh.

" Apa-apaan?" tanyaku.

" Aku mengetuk seperti si Elang untuk menakutimu." Ia tersenyum. " Tapi astaga, kalau kalian butuh privasi, lain kali tinggalkan catatan di pintu."

Takumi dan aku terbahak, lalu Takumi berkata, " Ya, aku dan Pudge sedikit berselisih, tapi man, sejak kita mandi bersama, Pudge, aku merasa sangat dekat denganmu."

" Jadi, bagaimana tadi?" tanyaku. Aku duduk di MEJA KOPI dan Takumi mengenyakkan diri ke sofa di sebelah Kolonel, kami berdua basah kuyup dan lumayan kedinginan tapi lebih peduli pada pembicaraan Kolonel dengan Jake daripada mengeringkan diri.

" Menarik sekali. Ini yang harus kalian tahu: dia yang memberinya bunga-bunga itu, seperti dugaan kita. Mereka tidak bertengkar. Jake hanya menelepon karena dia sudah berjanji untuk menelepon tepat pada momen peringatan delapan bulan hubungan mereka, yaitu jam 3.02 pagi, yang" mari kita sepakati" agak konyol, dan aku menduga entah bagaimana Alaska mendengar telepon berdering. Jadi mereka mengobrol tanpa juntrungan selama kira-kira lima menit, lalu tibatiba, Alaska panik."

" Benar-benar tiba-tiba?" tanya Takumi.

" Izinkan aku melihat catatanku." Kolonel membolak-balik bukunya. " Oke. Jake berkata, " Peringatan hari jadimu menyenangkan?" lalu Alaska menjawab, " Peringatan hari jadiku keren," dan dalam bacaan Kolonel aku bisa mendengar keriangan suara Alaska, caranya memberi penekanan pada beberapa kata seperti keren, fantastis, atau benar-benar. " Lalu hening, sehingga Jake berkata, " Kau sedang apa?" dan Alaska menjawab, " Tidak sedang apa-apa, cuma gambar-gambar,"

setelah itu Alaska berkata, " Ya Tuhan." Lalu dia berkata, " Sial sial sial" dan mulai menangis, memberitahu Jake dia harus pergi tapi akan berbicara padanya nanti. Alaska tidak bilang hendak pergi menemuinya, dan menurut Jake memang tidak. Jake tidak tahu ke mana Alaska pergi, tapi katanya Alaska selalu minta izin setiap kali ingin pergi menemuinya, dan malam itu Alaska tidak bilang apa-apa, jadi pasti tidak berniat datang. Tunggu sebentar, aku cari kutipannya." Ia membalik satu halaman dalam bukunya. " Oke, ini dia: " Kata Alaska dia akan bicara padaku nanti, bukan dia akan menemuiku."

" Dia berkata padaku " Kita lanjutkan kapan-kapan" dan memberitahu Jake dia akan bicara padanya nanti," ujarku.

" Ya. Betul. Merencanakan sesuatu di masa depan. Tidak sesuai dengan gejala bunuh diri. Jadi setelah itu dia kembali ke kamarnya, berteriak-teriak tentang melupakan sesuatu. Lalu pertandingan tiada akhirnya mencapai garis akhir. Jadi sebenarnya tidak ada jawaban." " Yah, setidaknya kita tahu ke mana dia tidak pergi." " Kecuali dia sedang merasa impulsif," Takumi berkata. Pandangan kami berserobok. " Dan kedengarannya dia merasa agak impulsif malam itu." Kolonel melihatku dengan tatapan penasaran dan aku mengangguk. " Yeah," kata Takumi. " Aku sudah tahu."

" Baiklah kalau begitu. Jadi kau marah, tapi setelah itu kau mandi bersama Pudge dan semua baik-baik saja. Bagus sekali. Jadi, malam itu& " lanjut Kolonel.

Maka kami mencoba menceritakan kembali percakapan malam itu sebaik mungkin untuk Takumi, tapi tak satu pun dari kami mengingatnya dengan baik, sebagian karena Kolonel mabuk dan sebagian karena aku tak menaruh perhatian hingga Alaska menyebut Jujur atau Tantangan. Lagi pula, kami tak tahu percakapan itu akan sangat

berarti. Kata-kata terakhir selalu lebih sulit diingat ketika tidak ada yang tahu bahwa orang itu akan meninggal dunia.

" Maksudku," kata Kolonel, " kupikir aku dan dia sedang bicara tentang betapa aku memuja permainan skateboard di komputer tapi takkan pernah terpikir olehku untuk mencoba menapak skateboard dalam kehidupan nyata. Lalu dia berkata, " Ayo main Jujur atau Tantangan," setelah itu kau bercinta dengannya."

" Tunggu, kau bercinta dengannya? Di depan Kolonel?" pekik Takumi.

" Aku tidak bercinta dengannya."

" Tenang, teman-teman," kata Kolonel sambil mengangkat tangan ke udara. " Itu eufemisme."

" Untuk apa?" tanya Takumi. " Ciuman."

" Eufemisme yang brilian," Takumi memutar bola mata. " Apakah aku satu-satunya yang beranggapan hal itu mungkin penting?"

" Yeah, tak pernah terpikir olehku sebelumnya," kataku tanpa ekspresi. " Tapi sekarang entahlah. Dia tidak memberitahu Jake. Ciuman kami pasti tidak sepenting itu."

" Mungkin dia merasa sangat bersalah," ujar Takumi. " Jake bilang dia terdengar normal di telepon sebelum tiba-tiba panik," kata Kolonel. " Tapi pasti karena telepon itu. Sesuatu terjadi dan kita tidak melihatnya." Kolonel menyisir rambut dengan tangan, frustasi. " Ya Tuhan, ada sesuatu. Sesuatu dalam dirinya. Dan sekarang kita hanya perlu mencari tahu apa itu."

" Jadi kita cuma perlu membaca pikiran seseorang yang sudah mati," kata Takumi. " Cukup mudah."

" Tepat sekali. Mau mabuk-mabukan?" tanya Kolonel. " Aku tidak kepingin minum," kataku.

Kolonel menggapai ke dalam sisa-sisa busa sofa dan mengeluarkan botol Gatorade Takumi. Takumi juga tidak mau minum, tapi Kolonel hanya menyeringai dan berkata, " Lebih banyak untukku," dan minum banyak-banyak.

Tiga Puluh Tujuh Hari Setelahnya

Hari Rabu berikutnya, aku berpapasan dengan Lara setelah kelas agama" secara harfiah. Aku sering melihat dia, tentu saja. Aku melihatnya hampir setiap hari" di kelas Bahasa Inggris atau duduk di perpustakaan, berbisik-bisik dengan teman sekamarnya, Katie. Aku melihatnya saat makan siang dan makan malam di kantin, dan aku pasti akan melihatnya juga saat sarapan, andai bisa bangun lebih pagi. Tentu saja ia juga melihatku, tapi kami belum pernah, hingga pagi itu, menatap satu sama lain berbarengan.

Saat ini, aku berasumsi ia telah melupakanku. Lagi pula, kami hanya berpacaran sekitar sehari, meskipun itu satu hari yang luar biasa. Tapi ketika aku menabrak bahu kanannya ketika terburu-buru menuju kelas prakalkulus, ia berbalik dan menatapku. Ia marah, dan bukan karena benturan tadi. " Maafkan aku," semburku, dan ia hanya menyipitkan mata padaku seperti seseorang yang hendak melawan atau menangis, lalu menghilang tanpa suara ke dalam kelas. Dua kata pertama yang kuucapkan kepadanya dalam sebulan.

Aku kepingin merasakan keinginan untuk berbicara kepadanya. Aku tahu sikapku buruk" bayangkan, aku terus berkata pada diri sendiri, jika kau Lara, seorang temanmu meninggal dan mantan pacarmu tidak mengajakmu bicara" tapi aku hanya punya ruang untuk satu keinginan yang sesungguhnya, dan ia sudah mati. Aku ingin

tahu bagaimana dan mengapa, dan Lara tak bisa memberiku jawaban. Hanya itu yang penting.

Empat Puluh Lima Hari Setelahnya

Selama beberapa minggu, Kolonel dan aku bergantung pada kemurahan hati untuk menyokong kebiasaan merokok kami" kami mendapatkan rokok gratis atau murah dari semua orang, mulai dari Molly Tan sampai Longwell Chase yang pernah memiliki rambut berpotongan tentara. Seolah orang-orang ingin membantu kami dan tak bisa menemukan cara lain yang lebih baik. Tapi di akhir Februari, kemurahan hati mulai surut. Malah bagus, sebenarnya. Aku tak pernah merasa nyaman mengambil hadiah dari orang lain, karena mereka tidak tahu bahwa kami yang mengisi peluru dan menaruh senjata di tangan Alaska.

Jadi seusai pelajaran hari itu, Takumi mengantar kami ke Coosa " Kami Melayani Kebutuhan Spiritual Anda" Liquors. Sore itu, aku dan Takumi menerima hasil ujian prakalkulus pertama kami semester ini, yang sungguh mematahkan hati. Mungkin karena Alaska tak lagi ada untuk mengajari kami prakalkulus ditemani kentang goreng McInedible dan mungkin karena kami berdua tidak benar-benar belajar. Kami berdua terancam akan dikirimi rapor ke rumah.

" Masalahnya, aku tidak menganggap prakalkulus menarik," kata Takumi lugas.

" Mungkin akan sulit menjelaskan hal itu pada direktur penerimaan mahasiswa di Harvard," Kolonel menanggapi.

" Entahlah," kataku. " Sepertinya patut dicoba."

Dan kami tertawa, tapi tawa itu berubah menjadi keheningan pekat yang merasuk, dan aku tahu kami semua memikirkan gadis

itu, tanpa nyawa dan tanpa tawa, dingin, bukan lagi Alaska. Kenyataan bahwa Alaska tak lagi ada masih membuatku terenyak tiap kali aku memikirkannya. Ia membusuk di bawah tanah Vine Station, Alabama, pikirku, tapi bahkan pikiran itu terasa ganjil. Tubuhnya di sana, tapi ia tak ada di mana-mana, tak ada apa pun. WUSS.

Waktu-waktu yang terasa paling menyenangkan kini sepertinya hampir selalu diikuti kesedihan, karena ketika kehidupan mulai terasa seperti saat Alaska masih bersama kami, ketika itulah kami menyadari betapa ia benar-benar sudah tiada.

Aku membeli rokok. Aku belum pernah masuk ke Coosa Liquors, tapi tempat ini sesepi yang digambarkan Alaska. Lantai kayunya yang berdebu berderit ketika aku berjalan ke meja kasir, dan aku melihat tong besar berisi air payau yang semestinya berisi umpan hidup, tapi nyatanya hanya berisi sekumpulan ikan teri mati yang mengambang. Wanita di belakang mesin kasir tersenyum padaku dengan keempat giginya ketika aku meminta satu dus Marlboro Lights.

" Kau sekolah di Culver Creek?" tanyanya, dan aku tak tahu apakah harus menjawab jujur, karena kecil kemungkinannya ada siswa SMA berusia sembilan belas tahun, tapi ia mengambil dus rokok dari bawah meja dan menaruhnya di meja kasir tanpa meminta kartu identitas, jadi aku menjawab, " Ya, Ma" am."

" Bagaimana sekolahmu?" tanyanya. " Cukup baik," jawabku.

" Kudengar ada yang meninggal di sana." " Ya Ma" am," kataku.

" Aku sungguh prihatin mendengarnya." " Ya Ma" am."

Wanita itu, yang namanya tak kuketahui karena tempat ini bukan jenis usaha komersial yang mau membuang uang untuk membuat

label nama, memiliki sehelai rambut putih yang tumbuh dari tahi lalat di pipi kirinya. Tidak bisa dibilang menjijikkan, tapi aku tak bisa berhenti melihatnya lalu mengalihkan pandangan. Di mobil, aku memberi Kolonel sebungkus rokok. Kami membuka jendela, meskipun dinginnya bulan Februari menggigit wajahku dan angin yang kencang membuat kami tak mungkin bercakap-cakap. Aku duduk di sudutku dalam mobil dan merokok, bertanya-tanya mengapa wanita itu tidak mencabut saja rambut di tahi lalatnya. Angin bertiup dari jendela Takumi yang terbuka di depanku dan menampar wajahku. Aku bergeser ke tengah kursi belakang dan menatap Kolonel yang duduk di kursi depan, tersenyum, wajahnya melawan angin yang bertiup dari jendelanya.

Empat Puluh Enam Hari Setelahnya

Aku tak ingin berbicara dengan Lara, tapi keesokan harinya saat makan siang, Takumi mengatakan sesuatu yang membuatku merasa bersalah. " Pikirkan bagaimana perasaan Alaska mengenai omongkosong ini?" tanyanya selagi menatap Lara dari seberang kantin. Ia duduk tiga meja dari kami dengan teman sekamarnya, Katie, yang sedang menceritakan sesuatu, dan Lara tersenyum tiap kali Katie tertawa mendengar leluconnya sendiri. Lara meraup segarpu penuh jagung kalengan dan memegangnya di atas piring, menggerakkan mulut ke arah garpu dan menunduk ke pangkuan saat memasukkan makanan dari garpu" pemakan yang hening.

" Dia bisa bicara padaku," aku memberitahu Takumi. Takumi menggeleng. Dengan mulut terbuka yang penuh kentang tumbuk, ia berkata, " Kau yang hahus bica" a pada" a." Ia menelan. " Aku mau menanyakan sesuatu, Pudge. Ketika kau sudah tua dan beruban,

cucu-cucumu duduk di pangkuanmu dan menatapmu lalu bertanya, " Kakek, siapa yang memberimu seks oral pertama?" apa kau ingin memberitahu mereka bahwa pemberinya adalah gadis yang kauabaikan selama SMA? Tidak!" Ia tersenyum. " Kau ingin menjawab, " Temanku tersayang Lara Buterskaya. Gadis yang cantik. Jauh lebih cantik daripada nenekmu." " Aku terbahak. Jadi yah, baiklah. Aku harus berbicara dengan Lara.

Seusai sekolah, aku mendatangi kamar Lara dan mengetuk, lalu ia berdiri di ambang pintu, eskpresinya seolah berkata, Apa? Apa lagi sekarang? Kau sudah cukup membuat kerusakan, Pudge, dan aku melihat melewatinya, ke dalam kamar yang hanya pernah kumasuki sekali, tempat aku mempelajari ciuman itu atau mungkin tidak. Aku tak sanggup berbicara padanya" dan sebelum keheningan menjadi terlalu menggelisahkan, aku berbicara. " Maafkan aku," kataku.

" Kenapa?" tanyanya, masih menatap ke arahku tapi tidak benarbenar memandangku.

" Karena mengabaikanmu. Karena segalanya," kataku. " Kau tidak harus menjadi pacarku." Ia terlihat sangat cantik, mata besarnya mengedip cepat, pipinya lembut dan bulat, namun tetap saja pipi bulat itu hanya mengingatkanku pada wajah tirus dan tulang pipi tinggi Alaska. Tapi aku bisa hidup dengan itu" lagi pula, memang harus bisa. " Kau bisa jadi temanku saja," katanya. " Aku tahu. Aku mengacau. Maafkan aku."

" Jangan maafkan si berengsek itu!" teriak Katie dari dalam kamar.

" Aku memaafkanmu." Lara tersenyum dan memelukku, tangannya mendekap erat punggung bawahku. Aku mengalungkan lengan di bahunya dan mencium aroma bunga violet di rambutnya. " Aku tidak memaafkanmu," kata Katie, tiba-tiba muncul di ambang

pintu. Dan meskipun aku dan Katie tidak seberapa dekat, ia merasa cukup nyaman untuk menghantam selangkanganku dengan lututnya. Setelah itu ia tersenyum, dan selagi aku terbungkuk-bungkuk menahan sakit, Katie berkata, " Sekarang aku memaafkanmu."

Aku dan Lara berjalan ke danau" tanpa Katie" dan kami mengobrol. Kami mengobrol" tentang Alaska dan tentang bulan lalu, tentang betapa ia harus merindukanku dan merindukan Alaska, sedangkan aku hanya harus merindukan Alaska (yang memang benar adanya). Aku menceritakan kebenaran sebanyak yang kubisa, dari petasan ke Departemen Kepolisian Pelham dan tulip putih.

" Aku mencintainya," kataku, dan Lara berkata ia juga mencintainya, dan aku bilang, " Aku tahu, tapi itulah sebabnya. Aku mencintai Alaska, dan setelah dia meninggal aku tak bisa memikirkan hal lain. Aku merasa tidak jujur. Seperti selingkuh."

" Itu bukan alasan yang baik," katanya. " Aku tahu," jawabku.

Ia tertawa kecil. " Yah, baguslah. Yang penting kau tahu." Aku tahu tak akan bisa menghapus amarahnya, tapi setidaknya kami sudah berbicara.

Ketika kegelapan menyelimuti malam itu, kodok-kodok berkuak dan sekumpulan serangga yang baru terbangun berdengung di seluruh kampus, kami berempat" Takumi, Lara, Kolonel, dan aku" berjalan di bawah cahaya abu-abu dingin bulan purnama menuju Lubang Merokok.

" Hei, Kolonel, kenapa kau menyebut tempat inii Lubang Merokok?" tanya Lara. " Inii lebih seperti terowongan."

" Seperti Lubang Memancing," kata Kolonel. " Maksudku, kalau

suka memancing, kita pasti akan memancing di sini. Tapi kita merokok. Entahlah. Sepertinya Alaska yang menamai tempat ini." Kolonel mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya dan melemparkannya ke air.

" Apa-apaan?" tanyaku. " Untuk Alaska," katanya.

Aku setengah tersenyum dan mengikuti jejaknya, melemparkan sebatang rokokku sendiri. Aku memberikan rokok kepada Takumi dan Lara lalu mereka mengikuti tindakan kami. Rokok-rokok itu memantul dan menari dalam arus air selama beberapa saat, lalu mengapung pergi sampai tak terlihat.

Aku bukan orang yang religius, tapi aku menyukai ritual. Aku menyukai ide menghubungkan tindakan dengan momen peringatan. Di Cina, tutur Bapak Tua, terdapat hari-hari yang dikhususkan untuk membersihkan kuburan, ketika kita menyiapkan hadiah untuk mereka yang sudah meninggal. Dan aku membayangkan Alaska pasti menginginkan rokok, jadi kupikir Kolonel memulai ritual yang sangat bagus.

Kolonel meludah ke air dan memecah keheningan. " Berbicara pada hantu sangat lucu," katanya. " Kita tak pernah tahu apakah hanya mengarang-ngarang jawaban atau mereka memang berbicara pada kita."

" Menurutku kita harus membuat daftar," kata Takumi, menghindari pembicaraan penuh renungan. " Bukti apa yang kita miliki bahwa ini bunuh diri?" Kolonel mengeluarkan buku catatan yang selalu dibawanya ke mana-mana.

" Dia tidak pernah menginjak rem," kataku, dan Kolonel mulai menulis di bukunya.

Dan ia sangat kesal tentang sesuatu, meskipun sebelumnya sudah

sering kesal tanpa melakukan bunuh diri. Kami mempertimbangkan bahwa mungkin bunga-bunga itu semacam memorial untuk dirinya sendiri" seperti pengaturan pemakaman atau sejenisnya. Tapi menurut kami sepertinya itu sama sekali bukan ciri khas Alaska. Ia memang penuh rahasia, tapi jika hendak merencanakan bunuh diri sampai ke detail bunganya, kau mungkin sudah memiliki rencana pasti bagaimana kau akan mati, dan Alaska tak mungkin tahu bahwa mobil polisi akan berada di jalan raya I-65 untuk kesempatan tersebut.

Sementara bukti yang menunjukkan bahwa ini kecelakaan? " Dia sangat mabuk, jadi bisa saja mengira tidak akan menabrak mobil polisi itu, meski aku tak tahu bagaimana caranya," kata Takumi.

" Dia mungkin ketiduran," ujar Lara.

" Ya, kami sudah memikirkannya," kataku. " Tapi kupikir kita tak mungkin terus menyetir lurus jika ketiduran."

" Aku tak bisa memikirkan cara untuk mengetahui kebenarannya tanpa membahayakan nyawa kita," kata Kolonel tanpa ekspresi. " Lagi pula, dia tidak menunjukkan tanda-tanda hendak bunuh diri. Maksudku, dia tidak pernah bicara tentang ingin mati atau membagikan barang-barangnya atau apa pun."

" Itu bukti kedua. Mabuk dan tidak ada rencana untuk mati," kata Takumi. Diskusi ini tak membawa kami ke mana pun. Hanya berputar-putar dengan pertanyaan yang sama. Yang kami butuhkan bukan lebih banyak pemikiran. Kami butuh lebih banyak bukti.

" Kita harus mencari tahu tempat yang ditujunya malam itu," kata Kolonel.

" Orang-orang terakhir yang dia ajak bicara adalah aku, kau, dan Jake," kataku. " Dan kita tidak tahu. Jadi bagaimana kita bisa mencari tahu?"

Takumi menatap Kolonel dan menghela napas. " Aku tidak yakin ada gunanya, mengetahui tujuan Alaska malam itu. Menurutku hanya akan memperburuk keadaan kita. Itu firasatku saja."

" Yah, firasatku ingin tahu," kata Lara, dan baru ketika itu aku menyadari maksud Takumi pada hari saat kami mandi bersama" aku mungkin mencium Alaska, tapi aku tak benar-benar memiliki monopoli atas gadis itu; bukan cuma aku dan Kolonel yang peduli padanya, dan kami tidak sendirian dalam upaya mencari tahu bagaimana ia mati dan mengapa.

" Yah, yang jelas," kata Kolonel, " kita berada di jalan buntu. Jadi silakan salah satu dari kalian memikirkan tindakan selanjutnya. Karena aku kehabisan teknik penyelidikan."

Ia menjentikkan puntung rokoknya ke sungai, berdiri, lalu pergi. Kami mengikutinya. Bahkan dalam kekalahan, ia masih sang Kolonel.

Lima Puluh Satu Hari Setelahnya

Lantaran penyelidikan kami terhenti, aku mulai membaca materi pelajaran agama lagi, yang sepertinya menyenangkan Bapak Tua, yang kuis-kuis dadakannya tak pernah berhasil kutaklukkan selama enam minggu penuh. Kami mendapat satu kuis Rabu pagi itu: Ceritakan satu contoh koan Buddha. Koan adalah semacam teka-teki yang bertujuan membantumu mencapai pencerahan dalam Zen Buddha. Sebagai jawaban, aku menulis tentang lelaki bernama Banzan. Suatu hari ia berjalan di pasar ketika mendengar seseorang meminta potongan daging terbaik pada tukang daging. Si tukang daging menjawab, " Aku hanya menjual yang terbaik. Kau tidak akan menemukan sepotong pun daging yang bukan terbaik." Setelah mendengar ini,

Banzan menyadari bahwa tidak ada yang terbaik dan terburuk, bahwa penilaian itu sebenarnya tak berarti karena semua hal adalah seperti apa adanya, dan wuss, ia mencapai pencerahan. Saat membacanya semalam, aku bertanya-tanya apakah akan seperti itu bagiku" apakah pada suatu saat aku akhirnya akan memahami Alaska, mengenalnya, dan memahami peran yang kumainkan dalam kematiannya. Tapi aku tidak yakin pencerahan datang menyambar bagaikan petir.

Setelah mengumpulkan kuis kami, Bapak Tua, sambil duduk, menyambar tongkatnya dan menunjuk pertanyaan Alaska yang mulai memudar di papan tulis. " Mari kita lihat satu kalimat di halaman 94 dalam buku pengantar Zen yang sangat menarik, bacaan yang saya tugaskan untuk kalian minggu ini. " Semua hal yang menyatu akan hancur." " kata Bapak Tua. " Semuanya. Kursi yang saya duduki. Kursi ini dibuat, maka akan hancur. Saya akan hancur, mungkin sebelum kursi ini. Dan kalian semua akan hancur. Semua sel, organ, dan sistem yang menyusun diri kalian" mereka menjadi satu, tumbuh bersama, maka pasti hancur. Buddha mengetahu satu hal yang baru dibuktikan oleh ilmu pengetahuan ribuan tahun setelah kematiannya: Entropi meningkat. Segalanya hancur."

Kita semua akan pergi, pikirku, dan hal ini berlaku pada kura-kura maupun kaus leher kura-kura, Alaska si gadis maupun Alaska tempat, sebab tak ada yang abadi, bahkan bumi ini sendiri. Kami sudah belajar bahwa Buddha mengatakan penderitaan disebabkan oleh hasrat, dan bahwa ketiadaan hasrat berarti ketiadaan penderitaan. Ketika kau berhenti berharap segalanya tidak akan hancur, kau tak akan menderita saat kehancuran datang.

Suatu hari nanti tak seorang pun akan ingat bahwa Alaska pernah ada, tulisku di buku catatan, atau bahwa aku pernah ada. Karena kenangan juga musnah. Dan setelah itu tak ada yang tersisa bagimu,

bahkan hantunya pun tidak, hanya bayangannya. Pada awalnya Alaska menghantuiku, menghantui mimpi-mimpiku, tapi bahkan sekarang, hanya beberapa minggu setelahnya, ia mulai menyelinap pergi, musnah dalam ingatanku dan ingatan semua orang lainnya, meninggal lagi.

Kolonel, yang memimpin penyelidikan ini dari awal, yang peduli tentang apa yang terjadi kepada Alaska saat yang kupedulikan hanya apakah ia mencintaiku, telah menyerah, tanpa jawaban. Dan aku tidak menyukai jawaban-jawaban yang kudapat: Alaska bahkan tidak cukup peduli tentang apa yang terjadi di antara kami untuk memberitahukannya kepada Jake; sebaliknya, Alaska hanya berbincang manis dengannya, tidak memberinya alasan untuk berpikir bahwa beberapa menit sebelumnya, aku mengecap napasnya yang berbau alkohol. Kemudian sesuatu yang tidak terlihat patah di dalam dirinya, dan apa pun itu yang menyatu mulai hancur.

Mungkin itulah satu-satunya jawaban yang akan kami dapatkan. Alaska hancur berantakan karena itulah yang terjadi. Kolonel sepertinya sudah pasrah menerima kenyataan tersebut, tapi jika Penyelidikan awalnya merupakan idenya, sekarang Penyelidikan itu yang membuatku tetap bertahan, dan aku masih mengharapkan pencerahan.

Enam Puluh Dua Hari Setelahnya

Hari Minggu berikutnya, aku tidur sampai sinar matahari setengah siang menerobos kerai dan menemukan jalannya ke wajahku. Aku menarik selimut sampai menutupi kepala, tapi udara menjadi panas dan pengap, maka aku bangun untuk menelepon orangtuaku.

" Miles!" seru ibuku bahkan sebelum aku berkata halo. " Kami punya identifikasi penelepon sekarang."

" Apakah fitur itu secara ajaib bisa tahu kalau aku yang menelepon dari telepon umum?"

Ia tertawa. " Tidak, hanya tertulis " telepon umum" dan kode area. Jadi aku menyimpulkan sendiri. Bagaimana kabarmu?" tanyanya, perhatian yang hangat terdengar dalam suaranya.

" Aku baik-baik saja. Aku sempat mengacau dalam beberapa pelajaran, tapi aku sudah kembali belajar sekarang, jadi semua akan baik-baik saja," kataku, dan itu hampir seluruhnya benar.

" Aku tahu ini pasti sulit untukmu, Nak," katanya. " Oh! Tebak siapa yang ayahmu dan aku temui di pesta semalam? Mrs. Forrester. Guru kelas empatmu! Ingat? Dia mengingatmu dengan sangat baik, dan banyak memujimu, lalu kami berbincng" " Dan meskipun aku sangat senang mengetahui Mrs.Forrester terkesan pada diriku sebagai anak kelas empat, aku hanya setengah mendengarkan sembari membaca coretan-coretan di dinding bercat putih pada kedua sisi telepon, mencari tulisan-tulisan baru yang mungkin dapat kupecahkan (Tempat Lucy" 10 Februari adalah waktu dan lokasi pesta Weekday Warriors, sepertinya). " " kami makan malam dengan keluarga Johnston semalam dan sepertinya Dad minum terlalu banyak anggur. Kami bermain charade dan dia payah sekali."

Mom tertawa, dan aku merasa sangat capek, tapi seseorang telah menyingkirkan bangku panjang dari telepon umum, jadi aku mendudukkan bokong kurusku di lantai semen, menarik kabel perak telepon sampai tegang, dan bersiap-siap mendengarkan monolog serius dari ibuku, lalu di bawah semua catatan dan coretan itu, aku melihat gambar setangkai bunga. Dua belas kelopak oval mengelilingi lingkaran yang diwarnai pada dinding bercat putih daisy, dan daisy,

bunga-bunga daisy. Aku bisa mendengar Alaska berkata, Apa yang kaulihat, Pudge? Perhatikan. Aku bisa melihatnya duduk dalam keadaan mabuk, bertelepon dengan Jake, membicarakan hal-hal tidak penting dan Kau sedang apa? lalu Alaska berkata, Tidak sedang apaapa, cuma gambar-gambar, cuma gambar-gambar. Kemudian, Ya Tuhan.

" Miles?"

" Ya, maaf, Mom. Maaf. Chip datang. Kami harus belajar. Aku pergi dulu."

" Kalau begitu, kau mau menelepon kami lagi nanti? Dad pasti ingin bicara denganmu."

" Ya, Mom, ya, tentu saja. Aku sayang Mom, oke? Oke, aku pergi dulu."

" Sepertinya aku menemukan sesuatu!" Aku berteriak pada Kolonel, yang tak terlihat di bawah selimutnya, tapi nada mendesak dalam suaraku dan harapan penemuan sesuatu, apa saja, langsung membangunkan Kolonel dan ia melompat dari ranjangnya ke lantai. Sebelum aku sempat mengatakan apa pun, ia mengambil jins yang dipakainya kemarin dan baju hangat dari lantai, memakainya, lalu mengikutiku keluar.

" Lihat."

Aku menunjuk, dan ia berjongkok di samping telepon lalu berkara, " Ya. Dia yang menggambarnya. Dia selalu menggambar bunga itu."

" Dan " cuma gambar-gambar" , ingat? Jake bertanya dia sedang apa dan Alaska berkata, " cuma gambar-gambar" , lalu dia berkata " Ya Tuhan" dan tiba-tiba panik. Dia melihat gambarnya dan tiba-tiba teringat sesuatu."

" Ingatan yang bagus, Pudge," pujinya, dan aku bertanya-tanya mengapa Kolonel tidak bersemangat mendengar penemuan ini.

" Setelah itu dia panik," ulangku, " lalu pergi dan mengambil tulip selagi kita menyalakan petasan. Dia melihat gambar ini, mengingat apa pun itu yang dia lupakan, lalu panik."

" Mungkin," katanya, masih menatap bunga itu, barangkali mencoba melihatnya seperti Alaska melihatnya. Ia akhirnya berdiri dan berkata, " Itu teori yang kuat, Pudge," lalu mengulurkan tangan dan menepuk pundakku, seperti pelatih yang memuji pemainnnya. " Tapi kita tetap tidak tahu apa yang dia lupakan."

Enam Puluh Sembilan Hari Setelahnya Satu minggu setelah penemuan gambar bunga, aku menyerah dan mengakui bahwa gambar itu tidak penting" bagaimanapun aku bukan Banzan di pasar daging" dan saat pohon-pohon mapel di sekeliling kampus mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan kembali sementara kru perawatan mulai kembali menyiangi rumput di area asrama, aku merasa kami akhirnya kehilangan Alaska.

Kolonel dan aku berjalan memasuki hutan di tepi danau sore itu dan mengisap rokok persis di tempat si Elang memergoki kami berbulan-bulan yang lalu. Kami baru kembali dari pertemuan besar yang digelar si Elang untuk mengumumkan bahwa sekolah akan membangun tempat bermain di tepi danau untuk mengenang Alaska. Gadis itu memang menyukai ayunan, kurasa, tapi tempat bermain? Lara berdiri dalam pertemuan tadi" pasti pengalaman pertama baginya" dan mengatakan bahwa mereka harus melakukan sesuatu yang lebih lucu, sesuatu yang mungkin dilakukan sendiri oleh Alaska.

Sekarang, di tepi danau, menduduki batang kayu berlumut yang setengah lapuk, Kolonel berkata kepadaku, " Lara benar. Kita harus melakukan sesuatu untuk Alaska. Kejailan. Sesuatu yang pasti akan dia sukai."

" Maksudmu, kejailan memorial?"

" Persis. Kejailan Memorial Alaska Young. Kita bisa menjadikannya acara tahunan. Omong-omong, dia melontarkan satu ide tahun lalu. Tapi dia ingin menyimpannya untuk menjadi kejailan senior kita. Tapi ini bagus. Sangat bagus. Ini historis."

" Apa kau bermaksud menceritakannya padaku?" tanyaku, teringat saat Kolonel dan Alaska tidak melibatkanku sewaktu merencanakan kejailan Malam Gudang.

" Tentu," katanya. " Kejailan ini berjudul, " Menumbangkan Paradigma Patriarkat" ." Lalu ia menjabarkannya kepadaku, dan harus kuakui, Alaska mewariskan kejailan terindah kepada kami, Mona Lisa-nya keseruan SMA, puncak dari bergenerasi-generasi kejailan Culver Creek. Jika Kolonel berhasil melakukannya, kejailan itu akan terukir dalam ingatan semua orang di Creek, dan Alaska layak mendapatkan tak kurang daripada itu. Bagian terbaiknya, kejailan itu secara teknis tidak melibatkan pelanggaran yang berisiko dikeluarkan dari sekolah.

Kolonel berdiri lalu menyeka tanah dan lumut dari celananya. " Kurasa kita berutang itu padanya."

Aku setuju, tapi tetap saja, Alaska berutang penjelasan kepada kami. Jika ia berada di atas sana, di bawah sana, di luar sana, di suatu tempat, mungkin ia akan tertawa. Dan mungkin" hanya mungkin" ia akan memberi petunjuk yang kami butuhkan.

Delapan Puluh Tiga Hari Setelahnya

Dua minggu kemudian, Kolonel kembali dari liburan musim semi dengan dua buku catatan berisi perincian rencana kejailan, sketsasketsa berbagai lokasi dalam daftar dua kolom sebanyak empat puluh halaman berisi masalah-masalah yang mungkin muncul serta jalan keluarnya. Ia mengkalkulasi seluruh waktu sampai hitungan sepersepuluh detik, dan seluruh jarak sampai hitungan sentimeter, kemudian ia mengkalkulasi ulang, seakan-akan tak sanggup membayangkan kemungkinan mengecewakan Alaska lagi. Lalu pada hari Minggu itu, Kolonel bangun siang dan berguling. Aku sedang membaca {#1f}e Sound and the Fury, yang seharusnya sudah kubaca di pertengahan Februari, dan menengadah saat mendengar bunyi gerisik di ranjang lalu Kolonel berkata, " Ayo kita kumpulkan gerombolan kita." Maka aku keluar menyambut hari musim semi yang mendung lalu membangunkan Lara dan Takumi, kemudian membawa mereka kembali ke Kamar 43. Kru Malam Gudang sudah lengkap" atau selengkap yang dimungkinkan" untuk melaksanakan Kejailan Memorial Alaska Young.

Kami bertiga duduk di sofa sementara Kolonel berdiri di depan kami, memaparkan rencana dan peran kami di dalamnya dengan semangat yang tak pernah kulihat pada dirinya sejak Sebelum. Setelah selesai, ia bertanya, " Ada pertanyaan?"
Mencari Alaska Looking For Alaska Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Yeah," sahut Takumi. " Apa itu benar-benar akan berhasil?" " Yah, pertama-tama kita harus mencari penari telanjang. Dan kedua, Pudge harus membuat keajaiban dengan ayahnya." " Baik kalau begitu," ujar Takumi. " Mari kita bekerja."

Delapan Puluh Empat Hari Setelahnya Setiap musim semi, Culver Creek membebaskan satu Jumat sore dari pelajaran, dan seluruh murid, pengajar, serta staf diwajibkan datang ke aula olahraga untuk Hari Pembicara. Hari Pembicara menampilkan dua pembicara" biasanya selebritis kecil-kecilan atau politisi kecilkecilan atau akademisi kecil-kecilan, jenis orang yang bersedia datang untuk berbicara di sekolah demi honor kecil-kecilan 300 dolar yang dianggarkan sekolah. Kelas Junior memilih pembicara pertama, kelas senior memilih pembicara kedua, dan siapa pun yang pernah menghadiri Hari Pembicara sepakat bahwa acara itu luar biasa membosankan. Kami berencana untuk sedikit mengguncang Hari Pembicara.

Yang harus kami lakukan hanya meyakinkan si Elang untuk mengizinkan " Dr. William Morse" , " teman ayahku" dan " pakar terkemuka mengenai penyimpangan seksual pada remaja" menjadi pembicara kelas junior.

Jadi aku menelepon ayahku di kantor dan sekretarisnya, Paul, bertanya apakah semua baik-baik saja, membuatku penasaran mengapa semua orang, semua orang, bertanya apakah semua baik-baik saja bila aku menelepon kapan saja selain hari Minggu pagi. " Yeah, aku baik-baik saja."

" Hei, Miles," ayahku mengangkat telepon. " Semua baik-baik saja?"

Aku tertawa dan berbicara pelan ke telepon, karena banyak orang berkeliaran di dekatku. " Ya, Dad. Semua baik-baik saja. Hei, ingat waktu Dad mencuri bel sekolah dan menguburnya di pemakaman?"

" Kejailan Culver Creek terhebat sepanjang masa," sahutnya bangga.

" Benar, Dad. Pada masanya. Jadi begini, aku ingin tahu apakah kau bisa membantuku dengan kejailan Culver Creek terhebat sepanjang masa yang baru."

" Oh, aku tak yakin soal itu, Miles. Aku tak ingin kau mendapat masalah."

" Yah, itu takkan terjadi. Seluruh kelas junior yang merencanakannya. Dan tidak akan ada yang terluka atau apa pun. Karena, yah, ingat Hari Pembicara?"

" Ya Tuhan, acara membosankan. Nyaris lebih buruk daripada pelajaran di kelas."

" Ya. Nah, aku butuh Dad untuk berpura-pura menjadi pembicara kami. Dr. William Morse, profesor psikologi di University of Central Florida dan pakar dalam pemahaman remaja mengenai seksualitas."

Ia terdiam untuk waktu yang lama. Aku menunduk menatap daisy terakhir Alaska dan menunggunya bertanya apa kejailan yang kami rencanakan. Aku pasti akan memberitahunya, tapi aku hanya mendengar ayahku bernapas perlahan ke telepon lalu berkata, " Aku bahkan tak mau bertanya. Hmm." Ia menghela napas. " Bersumpahlah pada Tuhan kau takkan pernah memberitahu ibumu."

" Aku bersumpah pada Tuhan." Aku terdiam. Butuh sedetik untuk mengingat nama asli si Elang. " Mr. Starnes akan menelepon Dad kira-kira sepuluh menit lagi."

" Oke, namaku Dr. William Morse. Aku profesor psikologi dan& pakar seksualitas remaja?"

" Yap. Dad memang hebat."

" Aku hanya ingin melihat apakah kau bisa mengalahkanku," katanya sambil tertawa.

Meskipun Kolonel enggan setengah mati, kejailan ini tak mungkin dilakukan tanpa bantuan para Weekday Warriors" terutama ketua kelas junior Longwell Chase, yang saat ini sudah menumbuhkan kembali rambut mencuatnya yang konyol. Namun para Warrior sangat menyukai ide itu, maka aku menemui Longwell di kamarnya dan berkata, " Ayo."

Longwell Chase dan aku tak punya bahan pembicaraan dan tak ingin berpura-pura sebaliknya, jadi kami berjalan tanpa suara ke rumah si Elang. Lelaki itu membuka pintu sebelum kami sempat mengetuk. Ia menelengkan kepala sedikit ketika melihat kami, tampak bingung" dan kami memang pasangan yang aneh, Longwell dengan celana khaki yang tersetrika rapi, aku dengan celana jins yang selalu berniat kucuci tapi tak pernah terlaksana.

" Pembicara yang kami pilih adalah teman ayah Miles," Longwell berkata. " Dr. William Morse. Profesor dari universitas di Florida, dan dia mempelajari seksualitas remaja."

" Mau memancing kontroversi, ya?"

" Oh tidak," tukasku. " Saya pernah bertemu Dr. Morse. Dia menarik, tapi tidak kontroversial. Dia hanya mempelajari, eh, bagaimana pemahaman remaja mengenai seks masih berubah-ubah dan berkembang. Maksud saya, dia menentang seks sebelum nikah."

" Baiklah. Berapa nomor teleponnya?" Aku menyerahkan selembar kertas pada si Elang, dan ia berjalan ke telepon di dinding lalu memencet nomornya. " Ya, halo. Saya ingin bicara dengan Dr. Morse? & Oke, terima kasih& Halo, Dr. Morse. Saya sedang bersama Miles Halter di rumah saya dan dia bilang" Bagus, kalau begitu. Yah, saya ingin tahu& " si Elang terdiam, memuntir-muntir kabel di jarinya, " & saya ingin tahu apakah Anda" asalkan Anda mengerti bahwa mereka ini anak muda yang mudah terpengaruh. Kami tidak meng
inginkan diskusi eksplisit& Bagus sekali. Bagus sekali. Saya senang Anda mengerti& Sama-sama, Sir. Sampai bertemu!" Si Elang menutup telepon sambil tersenyum dan berkata, " Pilihan yang bagus! Sepertinya dia pria yang sangat menarik."

" Oh, ya," kata Longwell dengan sangat serius. " Menurut saya dia akan luar biasa menarik."

Seratus Dua Hari Setelahnya

Ayahku memerankan Dr. William Morse di telepon, tapi lelaki yang memerankannya dalam kehidupan nyata bernama Maxx dengan dua " x" , hanya saja nama aslinya adalah Stan, hanya saja pada Hari Pembicara namanya adalah, tentu saja, Dr. William Morse. Ia benar-benar contoh sejati krisis identitas, penari telanjang dengan lebih banyak nama samaran dibandingkan agen rahasia CIA.

Empat " agensi" pertama yang dihubungi Kolonel menolak kami. Baru setelah sampai daftar huruf B di bagian " Hiburan" Yellow Pages, kami menemukan Bachelorette Parties R Us. Pemilik usaha tersebut amat menyukai ide kami, tapi katanya, " Maxx bakal menyukainya. Tapi tidak bisa telanjang. Tidak di depan anak-anak." Kami setuju" dengan agak enggan.

Untuk memastikan tidak akan ada yang dikeluarkan dari sekolah, Takumi dan aku mengumpulkan lima dolar dari setiap murid junior di Culver Creek untuk membayar honor penampilan " Dr. William Morse" , karena kami ragu si Elang bersedia membayar lelaki itu setelah menyaksikan, eh, pidatonya. Aku membayari lima dolar bagian Kolonel. " Aku merasa layak mendapatkan sumbanganmu," katanya, menunjuk buku-buku catatan berjilid spiral yang dipenuhinya dengan perincian rencana.

Selama mengikuti pelajaran pagi itu, aku tak dapat memikirkan hal lain. Semua murid junior di sekolah sudah mengetahui rencana ini selama dua minggu, dan sejauh ini tidak ada yang bocor, bahkan rumor paling samar sekalipun. Namun Creek penuh dengan gosip" terutama di kalangan Weekday Warriors, dan jika satu orang saja memberitahu satu temannya yang memberitahu satu temannya yang memberitahu satu temannya yang memberitahu si Elang, semua bakal hancur berantakan.

Etos " jangan mengadu" yang dijunjung tinggi di Creek melewati ujian tersebut dengan sangat baik, namun ketika Maxx/Stan/Dr. Morse belum muncul pada pukul 11.50 siang itu, kupikir Kolonel bisa gila. Ia duduk di bemper salah satu mobil di lahan parkir murid, kepalanya tertunduk, tangannya menyigar rambut yang tebal dan kusut berulang kali, seakan-akan mencoba menemukan sesuatu di dalam sana. Maxx sudah berjanji akan datang pukul 11.40, dua puluh menit sebelum Hari Pembicara resmi dimulai, sehingga ia punya waktu untuk mempelajari pidato dan sebagainya. Aku berdiri di samping Kolonel, khawatir tapi tak bersuara, menunggu. Kami sudah menyuruh Takumi menelepon " agensi" untuk menanyakan keberadaan " sang penampil" .

" Dari semua hal yang kupikir bisa salah, ini tidak termasuk. Kita tak punya jalan keluar untuk yang satu ini."

Takumi berlari menghampiri, berhati-hati untuk tidak berbicara sampai ia sudah dekat. Anak-anak mulai mengalir masuk ke aula olahraga. Terlambat terlambat terlambat terlambat. Kami sebenarnya tak banyak bertanya tentang penampil kami. Kami sudah menuliskan

pidatonya. Kami sudah merencanakan semua untuknya. Maxx hanya perlu muncul dengan mengenakan kostumnya. Tapi&

" Kata agensi," Takumi melapor, " sang penampil sudah dalam perjalanan."

" Dalam perjalanan?" cetus Kolonel, mencakari rambutnya dengan kekuatan baru. " Dalam perjalanan? Dia sudah terlambat."

" Mereka bilang dia pasti" " lalu kekhawatiran kami mendadak hilang sewaktu minivan biru berbelok di sudut menuju lahan parkir, dan aku melihat pengemudinya yang mengenakan setelan jas.

" Sebaiknya itu Maxx," kata Kolonel saat mobil itu diparkir. Ia berlari kecil ke pintu depan.

" Aku Maxx," ujar lelaki itu setelah membuka pintu. " Aku perwakilan tanpa nama dan tanpa wajah dari kelas junior," sahut Kolonel seraya menjabat tangan Maxx. Lelaki itu berusia tiga puluhan, berkulit cokelat dan berbahu lebar, dengan rahang yang kuat dan janggut kambing berwarna gelap yang dipotong pendek.

Kami memberi Maxx salinan pidatonya dan ia membaca dengan cepat.

" Ada pertanyaan?" tanyaku.

" Eh. Ya. Mengingat sifat acara ini, kurasa sebaiknya kalian membayarku di muka."

Aku terkejut mendengar cara bicaranya yang sangat tertata, bahkan menyerupai profesor, dan aku merasakan keyakinan tertinggi, seakanakan Alaska telah menemukan penari telanjang lelaki terbaik di Alabama tengah dan memandu kami ke arahnya.

Takumi membuka bagasi SUV-nya dan mengeluarkan kantong belanja dari kertas berisi $320. " Ini, Maxx," katanya. " Oke, Pudge akan duduk di sana bersamamu, karena kau teman ayah Pudge. Itu tertulis dalam pidato. Tapi, eh, kami berharap kalau diinterogasi

setelah semua ini berakhir, kau bersedia mengatakan bahwa seluruh murid junior menghubungimu melalui panggilan konferensi untuk menyewamu, sebab kami tak ingin Pudge mendapat masalah."

Ia tertawa. " Aku tak keberatan. Aku menerima pekerjaan ini karena menurutku sangat seru. Seandainya aku terpikir melakukan ini waktu SMA dulu."

Sewaktu berjalan masuk ke aula, Maxx/Dr. William Morse di sampingku, Takumi dan Kolonel mengikuti agak jauh di belakang, aku tahu aku yang paling mungkin mendapat masalah dibandingkan siapa pun juga. Tapi aku sudah membaca Buku Panduan Culver Creek dengan sangat teliti selama beberapa minggu terakhir dan aku mengingatkan diri akan pembelaan bermata duaku, seandainya aku mendapat masalah: (1) Secara teknis, tidak ada peraturan yang melarang penari telanjang menari di depan seisi sekolah. (2) Tak dapat dibuktikan bahwa aku bertanggung jawab atas insiden ini. Hanya dapat dibuktikan bahwa aku membawa orang ke kampus yang kukira pakar dalam hal penyimpangan seksual pada remaja tapi ternyata ia sendiri yang menyimpang.

Aku duduk bersama Dr. William Morse di bagian tengah bangku terdepan. Beberapa murid kelas sembilan duduk di belakangku, tapi ketika Kolonel datang bersama Lara beberapa saat kemudian, ia dengan sopan berkata kepada mereka, " Terima kasih sudah menjaga bangku kami," lalu menyuruh mereka pergi. Sesuai rencana, Takumi berada di ruang persediaan di lantai dua, menyambungkan peralatan stereonya ke pengeras suara aula olahraga.

Aku berpaling kepada Dr. Morse dan berkata, " Kita harus ber
tatapan dengan ekspresi tertarik dan mengobrol seakan-akan kau teman orangtuaku."

Ia tersenyum dan mengangguk. " Pria yang baik, ayahmu itu. Dan ibumu" cantik sekali." Aku memutar bola mata, sedikit muak. Tetap saja, aku menyukai penari telanjang ini.

Si Elang datang tepat saat tengah hari, menyapa pembicara kelas senior" mantan jaksa agung Alabama" lalu mendatangi Dr. Morse, yang berdiri dengan penuh percaya diri dan setengah membungkuk selagi menjabat tangan si Elang" mungkin terlalu formal" dan si Elang berkata, " Kami jelas sangat gembira menerima kedatangan Anda," dan Maxx berkata, " Terima kasih. Saya harap saya tidak mengecewakan."

Aku tidak khawatir bakal dikeluarkan. Aku bahkan tidak khawatir Kolonel bakal dikeluarkan, walaupun mungkin seharusnya aku khawatir. Aku khawatir kejailan ini tidak berhasil sebab bukan Alaska yang merencanakannya. Mungkin tak ada kejailan selevel Alaska yang dapat berhasil tanpanya.

Si Elang berdiri di belakang podium.

" Ini adalah hari penting yang bersejarah di Culver Creek. Merupakan visi pendiri kita, Phillip Garden, bahwa kalian sebagai murid dan kami sebagai pengajar melewatkan satu sore dalam setahun untuk mengambil manfaat dari suara bijak di luar sekolah, maka kita bertemu di sini setiap tahun untuk belajar dari mereka, untuk melihat dunia seperti orang lain melihatnya. Hari ini, pembicara kelas junior adalah Dr. William Morse, profesor psikologi di University of Central Florida dan akademisi yang sangat dihormati. Beliau berada di sini hari ini untuk berbicara tentang remaja dan seksualitas, topik yang saya yakin amat menarik bagi kalian. Jadi bantu saya menyambut Dr. Morse di podium."

Kami bertepuk tangan. Jantungku berdebar-debar seolah ingin ikut bertepuk tangan. Sewaktu Dr. Morse berjalan ke podium, Lara membungkuk ke arahku dan berbisik, " Dia seksii."

" Terima kasih, Mr. Starnes." Maxx tersenyum dan mengangguk kepada si Elang, lalu meluruskan kertas-kertasnya dan menaruhnya di podium. Bahkan aku pun nyaris percaya ia profesor psikologi. Aku bertanya-tanya mungkinkah ia aktor yang mencari penghasilan tambahan dengan menari.

Maxx membaca langsung dari salinan pidato tanpa mengangkat kepala, tapi ia membaca dengan nada yakin dan santai akademisi yang agak congkak. " Saya berada di sini hari ini untuk berbicara dengan kalian mengenai topik menarik seksualitas remaja. Penelitian saya dalam bidang linguistik seksual, khususnya cara anak muda membicarakan seks serta pertanyaan yang berkaitan. Jadi, misalnya, saya tertarik mengapa ketika saya mengucapkan kata " lengan" kalian tidak tertawa, tapi saat mengucapkan kata " vagina" kalian mungkin tertawa." Dan, tidak salah lagi, terdengar ocehan gugup dari antara penonton. " Cara anak muda berbicara tentang tubuh satu sama lain sangat menggambarkan masyarakat kita. Di dunia masa kini, jauh lebih besar kemungkinan para pemuda melecehkan tubuh para gadis daripada sebaliknya. Para pemuda akan membicarakan di antara mereka bahwa si anu berdada bagus, sementara para gadis kemungkinan besar akan mengatakan cowok itu imut, istilah yang menggambarkan karakteristik fisik sekaligus emosional. Akibatnya, gadis-gadis menjadi sekadar objek, sementara para pemuda dilihat oleh para gadis sebagai manusia yang utuh" "

Kemudian Lara berdiri dan dengan aksen halusnya yang lugu, memotong pidato Dr. William Morse. " Kau seksii sekali! Bagaimana kalau kau tutup mulut saja dan membuka bajumu?"

Murid-murid tertawa, tapi semua guru berpaling dan menatapnya, terperangah. Lara duduk.

" Siapa namamu, Sayang?" " Lara," jawabnya.

" Nah, Lara," Maxx berkata, menekuri kertas untuk mengingat dialognya, " kita menghadapi studi kasus yang sangat menarik" seorang perempuan melecehkan saya, seorang lelaki. Benar-benar tidak lazim sehingga saya hanya bisa berasumsi bahwa kau sedang mencoba melucu."

Lara berdiri lagi dan berteriak, " Aku tidak bercanda! Buka bajumu."

Dr. Morse dengan gugup menekuri kertasnya lalu menengadah menatap kami semua sambil tersenyum. " Yah, jelas amat penting menumbangkan paradigma patriarkat, dan saya rasa ini satu cara untuk melakukannya. Baik kalau begitu," katanya, bergeser ke kiri podium. Kemudian ia berteriak, cukup keras sehingga Takumi dapat mendengarnya di lantai atas, " Yang satu ini untuk Alaska Young."

Selagi bunyi bas yang kencang dan berdentum-dentum dari lagu Prince Get Off mulai terdengar melalui pengeras suara, Dr. William Morse menyambar pipa celananya dengan satu tangan dan kelepak mantelnya dengan tangan satu lagi. Keliman Velcro terbuka dan kostum palsunya tersingkap, memperlihatkan Maxx dengan dua " x" , lelaki berotot yang menakjubkan dengan delapan kotak di perutnya serta otot dada menggembung, dan Maxx berdiri di depan kami, tersenyum, hanya mengenakan celana dalam yang sangat ketat" bukan celana dalam putih, tapi dari kulit warna hitam.

Setelah berada di posisi, Maxx mengayunkan lengannya mengikuti musik, dan penonton meledak dalam tawa serta tepuk tangan tanpa henti yang memekakkan telinga" sambutan paling hangat yang

pernah terjadi sepanjang sejarah Hari Pembicara. Si Elang berdiri dalam sekejap mata, dan begitu ia berdiri, Maxx berhenti menari, tapi ia menegangkan otot-otot dadanya sehingga bergerak naik-turun dengan cepat seiring musik sebelum si Elang, tidak tersenyum tapi mengatupkan bibir seakan-akan tidak tersenyum butuh upaya keras, memberi isyarat dengan ibu jari bahwa Maxx harus pulang, dan Maxx menurut.

Mataku mengikuti Maxx ke luar ruangan dan aku melihat Takumi berdiri di ambang pintu, kedua tinjunya terangkat ke udara dengan penuh kemenangan, sebelum ia berlari kembali ke atas untuk mematikan musik. Aku senang ia sempat menyaksikan setidaknya sebagian pertunjukan.

Takumi punya banyak waktu untuk mengeluarkan peralatannya, lantaran tawa dan celoteh berlangsung selama beberapa menit sementara si Elang terus-menerus berkata, " Oke. Oke. Tenang dulu sekarang. Tenang, semuanya. Tenang dulu."

Pembicara kelas senior tampil berikutnya. Ia mengecewakan. Dan sewaktu kami meninggalkan aula olahraga, murid-murid non-junior di sekeliling kami bertanya, " Idemu ya?" Aku hanya tersenyum dan berkata " Bukan" karena memang bukan ideku atau ide Kolonel, Takumi, Lara, Longwell Chase, atau siapa pun juga di aula olahraga. Ini murni kejailan Alaska. Hal tersulit tentang kejailan, Alaska pernah memberitahuku, adalah tidak bisa mengakuinya. Tapi aku bisa mengaku atas namanya sekarang. Dan sembari berjalan perlahan ke luar aula, aku memberitahu siapa pun yang mau mendengar, " Bukan. Itu bukan ide kami. Itu ide Alaska."

Kami berempat kembali ke Kamar 43, berbinar-binar karena kesuksesan rencana kami, yakin bahwa Creek takkan pernah lagi melihat kejailan semacam itu. Sama sekali tak terpikir olehku bahwa

aku mungkin akan mendapat masalah, sampai si Elang membuka pintu kamar kami dan berdiri menjulang di depan kami, menggelenggeleng dengan ekspresi mencela.

" Aku tahu itu ulah kalian semua," kata si Elang.

Kami menatapnya tanpa bersuara. Ia sering menggertak. Mungkin ia sedang menggertak.

" Jangan pernah berbuat seperti itu lagi," katanya. " Tapi, astaga, " menumbangkan paradigma patriarkat" " pidato itu seperti ditulis oleh Alaska." Si Elang tersenyum lalu menutup pintu.

Seratus Empat Belas Hari Setelahnya

Satu setengah minggu kemudian, aku berjalan pulang dari kelas sore, matahari yang membakar kulitku menjadi pengingat abadi bahwa musim semi di Alabama datang dan pergi dalam hitungan jam, dan kini, di awal bulan Mei, musim panas telah kembali untuk kunjungan selama enam bulan. Aku merasakan keringat mengalir di punggungku dan mendambakan angin bulan Januari yang menggigit. Setiba di kamar, kudapati Takumi duduk di sofa, membaca biografi Tolstoy milikku.

" Eh, hai," kataku.

Ia menutup buku, meletakkannya di sampingnya dan berkata, " 10 Januari."

" 10 Januari. Tanggal itu punya arti bagimu?"

" Yeah, hari Alaska meninggal." Secara teknis, Alaska meninggal tiga jam setelah tanggal 11 Januari, tapi saat itu masih, setidaknya bagi kami, malam Senin tanggal 10 Januari.

" Yeah, tapi ada yang lain, Pudge. 9 Januari, ibu Alaska membawanya ke kebun binatang."

" Tunggu. Tidak. Tahu dari mana?"

" Dia memberitahu kita di Malam Gudang. Ingat?" Tentu saja aku tidak ingat. Jika bisa mengingat angka, aku tak perlu bersusah payah untuk mendapat nilai C-minus dalam prakulkus.

" Astaga," kataku saat Kolonel berjalan masuk. " Apa?" tanya Kolonel.

" 9 Januari 1997. Alaska suka beruang, ibunya suka monyet." Sesaat Kolonel menatapku dengan pandangan kosong, lalu melepas ransel dan melemparnya ke seberang ruangan dalam satu gerakan. " Astaga," cetusnya. " BISA-BISANYA AKU TAK TERPIKIR KE SITU."

Dalam semenit, Kolonel menemukan jawaban terbaik yang takkan pernah terpikir oleh salah satu dari kami. " Oke. Alaska sedang tidur. Jake menelepon dan dia mengobrol dengannya sambil menggambar, lalu dia menatap bunga putihnya, dan " Oh Tuhan, ibuku suka bunga putih dan menaruhnya di rambutku waktu aku kecil," lalu dia panik. Dia kembali ke kamarnya dan berteriak-teriak pada kami kalau dia lupa" lupa tentang ibunya, tentu saja" jadi dia mengambil bunga itu, mengemudi ke luar kampus, dalam perjalanan ke" mana?" Kolonel menatapku. " Ke mana? Makam ibunya?"

Aku menjawab, " Ya, bisa jadi. Yeah. Dia masuk ke mobil dan dia hanya ingin pergi ke makam ibunya. Tapi ada truk yang melintang dan polisi di sana, sementara dia mabuk, marah dan sedang buruburu, jadi dia mengira bisa menyelip melewati mobil polisi, dan dia bahkan tak berpikir jernih tapi dia harus mendatangi ibunya. Dia pikir entah bagaimana dia bisa melewatinya lalu WUSS."

Takumi mengangguk perlahan, berpikir, kemudian berkata, " Atau, dia masuk ke mobil dengan membawa bunga. Tapi dia sudah melewatkan hari peringatannya. Barangkali dipikirnya dia sudah mengacewakan ibunya lagi" pertama dia tidak menelepon 911 dan sekarang dia bahkan tak bisa ingat hari peringatan sialan itu. Dia marah dan membenci dirinya sendiri, lalu memutuskan, " Cukup sudah. Aku akan melakukannya." Kemudian dia melihat mobil polisi, itu kesempatan baginya, dan langsung menginjak gas dalam-dalam."

Kolonel merogoh saku dan mengeluarkan sebungkus rokok, mengetuk-ngetukkannya secara terbalik ke MEJA KOPI. " Yah," ujar Kolonel. " Itu menjelaskan semuanya dengan baik."

Seratus Delapan Belas Hari Setelahnya Jadi kami menyerah. Akhirnya aku bosan mengejar hantu yang tak ingin terlihat. Kami mungkin gagal, tapi beberapa misteri ditakdirkan untuk tak terpecahkan. Aku masih belum mengenal Alaska seperti yang kuinginkan, tapi tidak akan pernah bisa. Ia membuatnya mustahil untukku. Dan kecelakaan/bunuh diri itu takkan pernah menjadi salah satunya, sehingga aku hanya bisa bertanya, Apakah aku mendorongmu menemui takdir yang tak kauinginkan, Alaska, atau aku hanya membantu dalam tindakan penghancuran diri yang disengaja? Karena keduanya kejahatan yang berbeda, dan aku tidak tahu apakah mesti marah kepadanya karena menjadikanku bagian dari tindakan bunuh dirinya atau marah kepada diriku sendiri karena membiarkannya pergi.

Tapi kami tahu apa yang dapat ditemukan, dan dalam proses pencarian itu, Alaska mendekatkan kami" Kolonel, Takumi, dan aku,

setidaknya. Ia tak meninggalkan cukup banyak petunjuk bagiku untuk menemukannya, tapi cukup untuk menemukan kembali Kemungkinan Besar.

" Ada satu hal lagi yang harus kita lakukan," Kolonel berkata sewaktu kami bermain video game dengan suara menyala" hanya kami berdua, seperti hari-hari pertama Penyelidikan.

" Tak ada lagi yang bisa kita lakukan."

" Aku ingin mengemudi melewatinya," ia berkata. " Seperti yang dia lakukan."

Kami tak mungkin mengambil risiko meninggalkan kampus di tengah malam seperti Alaska, jadi kami pergi kurang lebih dua belas jam lebih awal, pukul tiga sore, dengan Kolonel di belakang kemudi SUV Takumi. Kami mengajak Lara dan Takumi, tapi mereka lelah mengejar hantu. Lagi pula, ujian akhir sudah menjelang.

Sore itu cerah dan matahari membakar aspal sehingga bentangan jalan di depan kami bergetar dalam udara panas. Kami melaju 1,5 kilometer menyusuri Highway 119 lalu memasuki jalan raya I-65 ke arah utara, menuju lokasi kecelakaan dan Vine Station.

Kolonel mengemudi dengan kencang dan kami tak bersuara, menatap lurus ke depan. Aku berusaha membayangkan apa yang ada dalam pikiran Alaska, kembali berusaha melihat menembus ruang dan waktu, memasuki kepalanya meski hanya sejenak. Ambulans, dengan lampu dan sirene menggelegar, melesat melewati kami ke arah sebaliknya, menuju sekolah. Sesaat aku dilanda kecemasan dan berpikir, Bisa jadi itu seseorang yang kukenal. Aku nyaris berharap itu memang seseorang yang kukenal, untuk memberi bentuk dan kedalaman baru atas kesedihan yang masih kurasakan.

Keheningan pecah: " Kadang-kadang aku suka," kataku. " Kadangkadang aku suka dia sudah meninggal."

" Maksudmu rasanya menyenangkan?" " Bukan. Entahlah. Rasanya& murni."

" Yeah," ia menyahut, tak bicara panjang lebar seperti biasanya. " Yeah. Aku tahu. Aku juga. Itu wajar. Maksudku, itu pasti wajar."

Aku selalu kaget ketika menyadari aku bukan satu-satunya orang di dunia yang berpikir dan merasakan hal-hal seaneh dan seburuk itu.

Delapan kilometer di utara sekolah, Kolonel pindah ke lajur kiri jalan raya antar negara bagian dan mulai menambah kecepatan. Aku mengertakkan gigi, lalu di depan kami, pecahan kaca berkilauan di bawah sinar matahari seakan-akan jalan ini mengenakan perhiasan, dan titik itu pasti merupakan lokasi kecelakaan. Kolonel masih menambah kecepatan.

Pikirku: Ini bukan cara yang buruk untuk pergi.

Pikirku: Langsung dan cepat. Mungkin Alaska baru memutuskannya pada detik terakhir.

Dan WUSS kami melewati momen kematiannya. Kami melaju melewati tempat yang tak dapat ia lewati, melanjutkan ke aspal yang tak pernah ia lihat, dan kami tidak mati. Kami tidak mati! Kami bernapas dan menangis, dan sekarang melambat lalu kembali ke lajur yang benar.

Kami keluar di pintu berikutnya tanpa bersuara dan, karena hendak bergantian menyetir, kami berjalan ke depan mobil. Kami bertemu

dan aku memeluk Kolonel, tanganku mengepal menjadi tinju yang kencang di sekeliling bahunya, sementara ia melingkarkan lengan pendeknya di tubuhku dan mendekapku kuat-kuat sehingga aku merasakan naik-turun dadanya selagi kami menyadari berulang kali bahwa kami masih hidup. Aku menyadarinya dalam gelombang demi gelombang dan kami berpegangan pada satu sama lain sambil menangis. Aku berpikir, Ya Tuhan, kami pasti terlihat sangat payah, tapi itu tak terlalu penting bila kau baru saja menyadari, dan takkan pernah berhenti menyadari, bahwa kau masih hidup.

Seratus Sembilan Belas Hari Setelahnya Kolonel dan aku membenamkan diri dalam pelajaran sekolah begitu kami sudah menyerah, tahu bahwa kami berdua harus sukses dalam ujian akhir untuk mencapai target GPA kami (aku menginginkan 3,0 dan Kolonel takkan puas bahkan jika mendapat 3,98). Kamar kami menjadi Pusat Belajar untuk kami berempat, Takumi dan Lara berkunjung hingga malam membicarakan {#1f}e Sound and the Fury, meiosis, dan Pertempuran Bulge. Kolonel mengajari kami materi prakalkulus satu semester, walaupun dia terlalu pandai dalam matematika untuk mengajarkannya dengan baik" " Tentu saja itu masuk akal. Percaya saja padaku. Ya Tuhan, tidak sesulit itu kok" " dan aku merindukan Alaska.

Dan saat tidak sanggup mengejar ketinggalan, aku menyontek. Takumi dan aku berbagi edisi Cliffs Notes 2 untuk {#1f}ings Fall Apart dan A Farewell to Arms (" Kisah-kisah ini keterlaluan panjangnya!" serunya suatu saat.)

2 Seri panduan belajar untuk murid, merangkum dan menjelaskan karya-karya sastra serta karya lainnya.

Kami tak banyak bicara. Tapi kami tak memerlukannya.

Seratus Dua Puluh Dua Hari Setelahnya Angin sejuk telah memukul mundur serangan gencar musim panas, dan pagi ketika Bapak Tua membagikan ujian akhir kami, ia mengusulkan agar kami belajar di luar ruangan. Aku bertanya-tanya mengapa kami boleh menghabiskan sepanjang pelajaran di luar ruangan sementara aku diusir dari kelas semester lalu hanya karena menatap ke luar, tapi Bapak Tua ingin melangsungkan pelajaran di luar, jadi kami melakukannya. Bapak Tua duduk di kursi yang dibawakan Kevin Richman untuknya dan kami duduk di rumput, buku catatanku awalnya bertengger canggung di pangkuan, tapi kemudian kuletakkan di rumput hijau yang tebal. Tanah yang tak rata menyulitkan untuk menulis, dan agas-agas merubung. Kami sebenarnya terlalu dekat dengan danau untuk bisa duduk dengan nyaman, tapi Bapak Tua sepertinya bahagia.

" Saya memegang ujian akhir kalian. Semester lalu, saya memberi kalian hampir dua bulan untuk menyelesaikan tugas akhir. Kali ini, kalian mendapat dua minggu." Ia terdiam. " Yah, tak ada yang dapat dilakukan soal itu, kurasa." Ia tertawa. " Terus terang, saya baru benarbenar memutuskan untuk memakai topik makalah ini tadi malam. Agak bertentangan dengan sifat saya. Baiklah, bagikan kertas ini." Ketika tumpukan tersebut sampai kepadaku, aku membaca pertanyaannya:

Bagaimana caramu" dirimu pribadi" keluar dari labirin penderitaan? Sekarang setelah kau berkutat dengan tiga agama besar, pergunakan pikiranmu yang baru tercerahkan untuk menjawab pertanyaan Alaska.

Setelah ujian dibagikan, Bapak Tua berkata, " Kalian tak perlu secara spesifik membahas perspektif agama yang berbeda dalam esai kalian, jadi riset tidak dibutuhkan. Pengetahuan kalian, atau kurangnya pengetahuan kalian, telah dibuktikan dalam kuis-kuis yang kalian ikuti semester ini. Saya tertarik untuk mengetahui kemampuan kalian menempatkan fakta yang tak terbantahkan mengenai penderitaan dalam pemahaman kalian mengenai dunia, dan bagaimana kalian berharap untuk berhasil menjalani kehidupan terlepas dari kenyataan tersebut.

" Tahun depan, dengan asumsi paru-paruku masih bertahan, kita akan mempelajari Taoisme, Hinduisme, dan Yudaisme bersamasama" " Bapak Tua batuk lalu mulai tertawa, yang membuatnya batuk lagi. " Tuhanku, mungkin aku takkan bertahan. Tapi mengenai tiga agama yang sudah kita pelajari tahun ini, saya ingin mengatakan satu hal: Islam, Kristen, dan Buddha masing-masing memiliki tokoh utama" Muhammad, Yesus, dan sang Buddha. Dan dalam pemikiran mengenai tokoh-tokoh utama ini, saya yakin kita akhirnya harus menyimpulkan bahwa masing-masing membawa pesan mengenai harapan yang radikal. Bagi bangsa Arab abad ketujuh, Muhammad membawa janji bahwa siapa pun dapat menemukan pemenuhan dan kehidupan abadi melalui ketaatan kepada satu Tuhan sejati. Sang Buddha menyebarkan harapan bahwa penderitaan dapat dilalui. Yesus membawa pesan bahwa yang terakhir akan menjadi yang pertama, bahwa para penagih pajak dan penderita lepra sekalipun" golongan yang terbuang" memiliki alasan untuk berharap. Maka itulah pertanyaan yang kuserahkan pada kalian dalam ujian akhir ini: Apa alasan kalian untuk berharap?"

Kembali ke Kamar 43, Kolonel sedang merokok di dalam kamar. Meskipun aku masih punya sisa satu malam mencuci piring di kantin sebagai hukuman merokok, kami tidak terlalu takut menghadapi si Elang. Kami punya sisa waktu enam belas hari dan seandainya tepergok, kami hanya perlu memulai tahun senior dengan sejumlah jam kerja. " Jadi bagaimana cara kita keluar dari labirin, Kolonel?" tanyaku.

" Kalau saja aku tahu," sahutnya.

" Itu barangkali tidak akan memberimu nilai A." " Juga tidak banyak bermanfaat untuk ketenangan jiwaku." " Atau jiwa Alaska," kataku.

" Benar. Aku melupakan Alaska." Ia menggeleng. " Itu terus-menerus terjadi."

" Yah, kau mesti menulis sesuatu," sergahku.

" Setelah sekian lama, bagiku sepertinya langsung dan cepat masih menjadi satu-satunya jalan keluar" tapi aku memilih labirin. Labirin menyebalkan, tapi aku memilihnya."

Seratus Tiga Puluh Enam Hari Setelahnya Dua minggu kemudian, aku masih belum menyelesaikan tugas akhirku untuk Bapak Tua dan semester ini tinggal 24 jam lagi sebelum berakhir. Aku berjalan pulang setelah mengerjakan ujian akhir, pertempuran yang berat namun luar biasa sukses (kuharap) dengan prakalkulus dan kemungkinan bakal mengganjarku dengan nilai B-minus yang begitu kudambakan. Benar-benar panas berada di luar lagi, hangat seperti Alaska dulu. Dan aku merasa baik-baik saja. Besok orangtuaku akan datang dan memuat barang-barangku ke mobil, lalu kami akan menonton upacara wisuda sebelum kembali

ke Florida. Kolonel pulang ke ibunya untuk melewatkan musim panas dengan mengamati kedelai tumbuh, tapi aku bisa menghubunginya lewat sambungan jarak jauh, jadi kami akan sering bertukar kabar. Takumi akan pergi ke Jepang selama musim panas, dan Lara kembali diantarkan pulang dengan limusin hijau. Aku sedang berpikir bahwa tak masalah tidak mengetahui dengan pasti di mana Alaska berada dan ke mana tujuannya malam itu ketika membuka pintu kamar dan melihat kertas yang terlipat di lantai linoleum. Selembar kertas surat berwarna hijau limau. Di bagian atas, tertulis dalam huruf-huruf yang indah:

Dari Meja & Takumi Hikohito Pudge/Kolonel

Aku minta maaf tidak memberitahu kalian sebelumnya. Aku tidak tinggal untuk menyaksikan wisuda. Aku berangkat ke Jepang besok pagi. Untuk waktu yang lama, aku marah pada kalian. Cara kalian menyisihkanku dari segala hal membuatku sakit hati jadi aku menyimpan sendiri apa yang aku tahu. Tapi bahkan setelah tidak marah lagi, aku tetap tidak mengatakan apa pun, dan aku bahkan tidak tahu sebabnya. Pudge punya ciuman itu, kurasa. Dan aku punya rahasia ini.

Kalian mungkin sudah menebaknya, tapi sebenarnya aku melihat Alaska malam itu. Aku berjaga sampai larut dengan Lara dan beberapa anak lain, lalu aku tertidur dan mendengar Alaska menangis di luar jendela belakangku. Saat itu kira-kira jam 3.15 pagi, kalau tidak salah. Aku keluar dan melihatnya berjalan melintasi lapangan sepak bola. Aku mencoba bicara dengannya, tapi dia sedang buru-buru. Dia memberitahuku

hari itu ibunya sudah meninggal delapan tahun, dan dia selalu menaruh bunga di makam ibunya setiap hari peringatan, tapi tahun itu dia lupa. Dia berkeliaran di luar mencari bunga, tapi masih terlalu pagi" cuaca masih terlalu dingin.

Dia begitu sedih dan aku tak tahu harus berkata atau berbuat apa. Kupikir dia mengandalkanku untuk menjadi orang yang akan selalu berkata dan berbuat benar untuk membantunya, tapi aku tidak bisa. Aku hanya beranggapan dia sedang mencari bunga. Aku tidak tahu dia hendak pergi. Dia mabuk, mabuk berat, dan aku benar-benar tak mengira dia bakal menyetir atau apa pun. Kupikir dia hanya akan menangis sampai tertidur lalu besoknya pergi mengunjungi ibunya. Dia berjalan pergi lalu aku mendengar mobil dinyalakan. Aku tak tahu apa yang kupikirkan.

Jadi aku juga membiarkannya pergi. Dan aku minta maaf. Aku tahu kalian mencintainya. Sulit untuk tidak mencintainya.

Takumi

Aku berlari kencang ke luar kamar, sekencang orang yang tak pernah merokok sebatang pun, sekencang lariku bersama Takumi pada Malam Gudang, melintasi area asrama ke kamar anak Jepang itu, tapi Takumi sudah pergi. Ranjangnya hanya vinil tanpa seprai; mejanya kosong; garis debu tempat stereo Takumi sebelumnya berada. Ia sudah pergi, dan aku tak sempat memberitahunya apa yang baru saja kusadari: bahwa aku sudah memaafkannya, bahwa Alaska sudah memaafkan kami, dan bahwa kami harus memaafkan agar dapat bertahan hidup dalam labirin. Begitu banyak di antara kami akan

harus hidup dengan hal-hal yang selesai dan hal-hal yang tak selesai hari itu. Hal-hal yang tak berjalan dengan benar, hal-hal yang terlihat baik-baik saja saat itu karena kami tak dapat melihat masa depan. Andai saja kami dapat melihat rangkaian konsekuensi tanpa akhir yang ditimbulkan oleh tindakan-tindakan terkecil kami. Tapi kami tak mungkin bersikap bijak hingga tiba waktunya ketika bersikap bijak tak ada gunanya.

Dan selagi berjalan kembali untuk menyerahkan surat Takumi kepada Kolonel, kusadari bahwa aku takkan pernah tahu. Aku takkan pernah mengenal Alaska dengan cukup baik untuk mengetahui isi pikirannya selama menit-menit terakhir itu, takkan pernah tahu apakah ia sengaja meninggalkan kami. Namun ketidaktahuan itu takkan menghalangiku untuk peduli, dan aku akan selalu mencintai Alaska Young, tetanggaku yang rusak, dengan segenap hatiku yang rusak.

Aku sampai di Kamar 43 tapi Kolonel belum pulang, jadi kuletakkan surat itu di ranjang atas lalu duduk di depan komputer, menulis caraku keluar dari labirin:

Sebelum datang ke sini, untuk waktu yang lama saya berpikir bahwa cara keluar dari labirin adalah dengan berpura-pura labirin itu tidak ada, membangun dunia kecil yang mandiri di sudut belakang jaringan simpang-siur itu dan berpura-pura bahwa saya tidak tersesat melainkan berada di rumah. Tapi itu hanya membawa saya pada kehidupan sepi, hanya ditemani kata-kata terakhir orang-orang yang sudah mati, jadi saya datang ke sini untuk mencari Kemungkinan Besar, mencari temanteman sungguhan dan kehidupan yang lebih berarti. Lalu saya mengacau, Kolonel mengacau, Takumi mengacau, dan gadis itu

terlepas dari genggaman kami. Dan tidak mungkin menampik kenyataan ini: ia layak mendapakan teman-teman yang lebih baik.

Ketika ia mengacau, bertahun-tahun lalu, hanya gadis kecil yang begitu ketakutan hingga lumpuh, ia runtuh ke dalam tekateki dirinya sendiri. Saya bisa saja melakukan itu, tapi saya melihat apa akibatnya baginya. Jadi saya masih meyakini Kemungkinan Besar, dan saya dapat meyakininya meskipun sudah kehilangan gadis itu.

Karena ya, saya akan melupakan gadis itu. Semua yang menyatu lambat laun akan hancur, dan saya akan melupakan, tapi ia akan memaafkan lupanya saya, seperti halnya saya memaafkan gadis itu karena melupakan saya, Kolonel, serta semua orang selain dirinya sendiri dan ibunya di saat-saat terakhir yang ia lewatkan sebagai manusia. Sekarang saya tahu bahwa ia memaafkan saya karena bersikap bodoh dan takut serta melakukan hal yang bodoh dan takut. Saya tahu ia memaafkan saya, seperti halnya ibunya memaafkan dia. Dan ini yang membuat saya tahu:

Awalnya saya pikir ia hanya mati. Hanya kegelapan. Hanya jasad yang dimakan serangga. Saya sering memikirkan dirinya seperti itu, sebagai makanan sesuatu. Apa yang merupakan dirinya" mata hijau, bibir setengah menyeringai, lekuk lembut kedua kakinya" sebentar lagi tak akan berwujud, hanya tulangtulang yang tak pernah saya lihat. Saya berpikir tentang proses lambat perubahan menjadi tulang, lalu fosil, lalu batu bara yang kemudian, jutaan tahun dari sekarang, akan ditambang oleh manusia masa depan. Bagaimana mereka akan menghangatkan rumah mereka dengannya, lalu gadis itu akan menjadi asap yang

mengepul keluar dari cerobong asap, melapisi atmosfer. Saya masih berpikir seperti itu kadang-kadang, berpikir bahwa mungkin " kehidupan setelah mati" hanya sesuatu yang kita karang untuk meredakan sakitnya kehilangan, meringankan beban hidup kita dalam labirin. Mungkin gadis itu hanya zat, dan zat selalu didaur ulang.

Tapi pada akhirnya saya tak percaya ia hanya zat. Bagian dirinya yang lain harus didaur ulang juga. Saya sekarang percaya bahwa kita lebih besar dibandingkan jumlah bagian-bagian kita. Jika kita mengambil kode genetik Alaska, ditambah pengalaman hidupnya dan hubungannya dengan orang-orang, ditambah ukuran dan bentuk tubuhnya, kita tidak mendapatkan Alaska. Ada hal lain yang sepenuhnya berbeda. Ada bagian dirinya yang lebih besar dibandingkan jumlah bagian-bagian dirinya yang diketahui. Dan bagian itu mesti pergi ke suatu tempat, sebab tidak dapat dihancurkan.

Walaupun takkan pernah ada yang menuduh saya sebagai murid penggemar sains, satu hal yang saya pelajari dari kelas sains adalah bahwa energi tak pernah diciptakan dan tak pernah dihancurkan. Dan jika Alaska mencabut nyawanya sendiri, itu adalah harapan yang saya harap dapat saya berikan kepadanya. Melupakan ibunya, mengecewakan ibunya, teman-temannya, dan dirinya sendiri" itu hal yang buruk, tapi ia tak perlu menarik diri dan merusak dirinya sendiri. Kita dapat bertahan dari semua hal buruk itu, karena kita tak dapat dihancurkan bila kita yakin kita tak dapat dihancurkan. Ketika orang dewasa berkata, " Para remaja mengira mereka tak terkalahkan," sambil menyunggingkan senyum bodoh dan licik, mereka tidak tahu betapa benarnya mereka. Kita tak pernah harus putus asa, sebab

kita takkan pernah rusak tanpa dapat diperbaiki. Kita mengira kita tak terkalahkan karena memang demikian adanya. Kita tak bisa dilahirkan dan kita tak bisa mati. Seperti semua energi, kita hanya bisa mengubah bentuk, ukuran, dan wujud. Mereka akan melupakan itu saat tua nanti. Mereka menjadi takut akan kehilangan dan kegagalan. Tapi bagian diri kita yang lebih besar dibandingkan jumlah bagian-bagian kita tak bisa berawal dan tak bisa berakhir, maka takkan bisa gagal.

Jadi saya tahu Alaska memaafkan saya, seperti halnya saya memaafkan dia. Kata-kata terakhir {#1e}omas Edison adalah, " Indah sekali di sana." Saya tidak tahu di mana di sana itu, tapi saya tahu " di sana" berada di suatu tempat, dan saya harap tempat itu indah.

Sedikit Kata-Kata

Terakhir Tentang Kata-Kata Terakhir

Seperti halnya Pudge Halter, aku sangat tertarik pada kata-kata terakhir. Ketertarikan ini dimulai ketika aku berumur dua belas tahun. Saat membaca buku pelajaran sejarah, aku menemukan katakata terakhir Presiden John Adams: " Thomas Jefferson masih bertahan." (Sayangnya, itu tidak terjadi. Jefferson meninggal beberapa saat sebelumnya di hari yang sama, 4 Juli 1826: kata-kata terakhirnya adalah, " Sekarang Empat Juli?" )

Aku tak bisa menjawab secara pasti mengapa masih tertarik pada kata-kata terakhir atau mengapa aku tak pernah berhenti mencarinya. Aku memang sangat menyukai kata-kata terakhir John Adams ketika umurku dua belas. Tapi aku juga sangat menyukai gadis bernama Whitney. Sebagian besar rasa suka tidak bertahan lama (Rasa sukaku pada Whitney jelas tak bertahan lama. Aku bahkan tak ingat nama belakangnya). Tapi beberapa rasa suka tetap bertahan.

Hal lain yang tak dapat kujawab secara pasti adalah apakah semua kata terakhir yang dikutip dalam buku ini sesuai dengan kenyataan. Kata-kata terakhir sangat sulit dipastikan kebenarannya. Saksi mata sedang emosional, waktu mengabur, dan orang yang mengucapkannya tidak dapat dimintai keterangan. Aku sudah berusaha seakurat mungkin, namun bukan hal yang mengherankan jika masih ada perdebatan mengenai dua kutipan utama dalam Looking for Alaska.

Simn Bolvar

" Bagaimana caraku keluar dari labirin ini!"

Kenyataannya, " Bagaimana caraku keluar dari labirin ini!" mungkin bukan kata-kata terakhir Simn Bolvar (meskipun secara historis ia memang pernah mengatakannya). Kata-kata terakhirnya bisa jadi, " Jos! Angkat kopernya. Mereka tidak menginginkan kita di sini." Sumber signifikan untuk kutipan " Bagaimana caraku keluar dari labirin ini!" juga menjadi sumber Alaska, The General in His Labyrinth-nya Gabriel Garcia Marquez.

Franois Rabelais

" Aku pergi untuk mencari Kemungkinan Besar."

Franois Rabelais dihargai dengan empat kemungkinan kalimat terakhir. {#1f}e Oxford Book of Death menyebutkan kalimat-kalimat tersebut sebagai: (a) " Aku pergi untuk mencari Kemungkinan Besar" ; (b) (setelah menerima pengurapan minyak suci) " Aku melumas sepatu botku untuk perjalanan terakhir" ; (c) " Turunkan tirainya, pertunjukan lawak sudah berakhir" ; (d) (membungkus tubuhnya dalam domino, atau jubah bertudung) " Beati qui in Domino moriuntur*." Kalimat terakhir kebetulan adalah pelesetan*, namun pelesetan tersebut kini jarang dikutip karena berbahasa Latin. Jadi, aku menghapus (d) karena sulit membayangkan Franois Rabelais yang tengah sekarat masih punya energi untuk membuat pelesetan yang menguras tenaga, dalam bahasa Latin. (c) yang paling banyak dikutip, karena lucu dan orang tergila-gila pada kata-kata terakhir yang lucu.

Aku tetap bertahan bahwa kata-kata terakhir Rabelais adalah " Aku pergi untuk mencari Kemungkinan Besar" , selain karena buku berwibawa karya Laura Ward, Famous Last Words, sepakat denganku,

juga karena aku memercayai kata-kata tersebut. Aku terlahir dalam labirin Bolvar jadi aku harus percaya pada harapan akan Kemungkinan Besar Rabelais.

Tamat


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Dewi Sri Tanjung 12 Aji Wisa Dahana

Cari Blog Ini