Kota Kertas Paper Town Karya John Green Bagian 2
kegelapan dan keheningan, di mana aku tak punya kesempatan meng
ucapkan sesuatu untuk mengacaukan situasi, dan mata Margo balas
menatapku, seakan ada sesuatu pada diriku yang layak dilihat.
Margo kemudian mengangguk, dan aku mendekati Chuck. Ku
balutkan tangan di kausku, seperti yang disuruh Margo, membungkuk,
dan?sepelan mungkin?menekankan jari di dahi Chuck lalu cepatcepat mengelap Veet. Bersama krim itu turut pula setiap helai rambut
yang tadinya alis kanan Chuck Parson. Aku sedang berdiri di atas
Chuck Parson dengan alis kanannya di kausku ketika matanya ter
buka. Secepat kilat, Margo menyambar selimut dan membentangkannya
di atas Chuck, dan ketika aku mendongak, ninja mungil itu sudah
keluar jendela. Aku mengikuti secepat mungkin saat Chuck berteriak,
"MAMA! DAD! RAMPOK RAMPOK!"
Aku kepengin menceletuk, Satu-satunya hal yang kami curi cuma
alismu, tapi aku menahan ucapan seraya mengayunkan kaki duluan
ke luar jendela. Aku nyaris mendarat di atas Margo, yang sedang
menyemprotkan cat membentuk huruf M di lapisan vinil dinding
rumah Chuck, lalu kami mengambil sepatu dan angkat kaki menuju
minivan. Ketika aku menoleh ke arah rumah itu, lampu-lampunya
menyala tapi belum ada seorang pun yang keluar, bukti kesuksesan
taktik sederhana tapi brilian dari kenop pintu berlumur Vaseline.
Pada waktu Mr. (atau mungkin Mrs., aku tidak bisa melihat dengan
jelas) Parson menyibak tirai ruang duduk dan mengintip ke luar,
kami sudah melaju mundur ke arah Princeton Street dan jalan tol.
"Hebat!" seruku. "Ya Tuhan, tadi itu brilian."
"Kau lihat tidak? Wajahnya tanpa alis? Dia kelihatan ragu per
manen, tahu tidak? Kayak, ?ah, masa? Kaubilang aku cuma punya
satu alis? Yang benar saja.? Dan aku senang membuat bajingan itu
harus memilih: sebaiknya mencukur Alis Kiri, atau melukis Alis
Kanan? Oh, aku suka banget. Dan caranya berteriak memanggil
mama-nya, dasar cecunguk kecil cengeng."
"Sebentar, kenapa kau membenci dia?"
"Aku tidak bilang benci padanya. Kubilang dia bajingan kecil ce
ngeng."
"Tapi kau kan bisa dibilang berteman dengannya," kataku, atau
setidaknya kupikir begitu.
"Yeah, begini, aku kan bisa dibilang berteman dengan banyak
orang," sahutnya. Margo mencondongkan tubuh ke seberang tempat
duduknya dan merebahkan kepala di bahu kerempengku, rambutnya
tergerai di leherku. "Aku capek," katanya.
"Kafein," ujarku. Dia meraih ke belakang dan mengambilkan
Mountain Dew untuk kami, dan aku menghabiskannya dalam dua
tegukan panjang.
"Jadi kita akan pergi ke SeaWorld," kata Margo. "Babak Sebelas."
"Apa, memangnya kita mau Membebaskan Willy atau apa?"
"Bukan," jawabnya. "Kita akan pergi ke SeaWorld, itu saja. Hanya
itu taman bermain yang belum pernah kubobol."
"Kita tidak boleh membobol SeaWorld," kataku, kemudian me
masuki parkiran kosong toko perabot dan mematikan mobil.
"Waktu kita tinggal sedikit," katanya padaku, lalu mengulurkan
tangan untuk menyalakan mesin lagi.
Kutepis tangannya menjauh. "Kita tidak boleh membobol
SeaWorld," ulangku.
"Mulai lagi deh dengan bobol-membobol." Margo diam sejenak
dan membuka Mountain Dew lagi. Cahaya lampu dipantulkan kaleng
ke wajahnya, dan sejenak aku bisa melihatnya tersenyum karena se
suatu yang akan diucapkannya. "Kita tidak akan membobol apa pun.
Jangan anggap itu sebagai membobol masuk SeaWorld. Anggap saja
sebagai mengunjungi SeaWorld pada tengah malam dengan gratis."
"BEGINI, pertama-tama, kita akan ketahuan," kataku. Aku belum
menyalakan minivan dan menjelaskan alasan kenapa aku tak mau
melakukan itu dan bertanya-tanya apakah Margo bisa melihatku
dalam kegelapan.
"Tentu saja kita akan ketahuan. Lalu kenapa?"
"Itu kan ilegal."
"Q, secara umum, masalah macam apa yang bisa disebabkan oleh
SeaWorld padamu? Maksudku, astaga, setelah semua yang aku
lakukan untukmu malam ini, kau tidak bisa melakukan satu saja
untukku? Kau tidak bisa tutup mulut dan tenang sedikit dan berhenti
ketakutan setengah mati setiap kali menghadapi petualangan kecil?"
Dan kemudian sambil bergumam dia berkata, "Maksudku, ya ampun.
Dewasalah sedikit."
Dan sekarang aku murka. Aku merunduk di bawah sabuk penga
man agar bisa mencondongkan tubuh melintasi konsol ke arah
Margo. "Setelah semua yang KAU lakukan untuk AKU?" aku ham
pir berteriak. Dia ingin kepercayaan diri? Aku mulai percaya diri.
"Apa kau menelepon ayah temanKU yang tidur dengan pacarKU
supaya tidak ada yang tahu bahwa aku pelakunya? Apa kau me
nyupiri bokongKU keliling dunia bukan karena kau oh-penting82
banget bagiku tapi karena aku butuh tumpangan dan kau kebetulan
ada di dekatku? Omong kosong macam itukah yang kaulakukan
untukku malam ini?"
Dia tidak mau menatapku. Dia hanya memandang ke depan ke
arah pelapis dinding vinil toko perabot. "Kaupikir aku membutuh
kanmu? Kau tidak berpikir aku bisa saja memberi Myrna Mount
weazel Benadryl agar dia tertidur ketika aku mencuri brankas dari
bawah tempat tidur orangtuaku? Atau menyelinap ke kamarmu waktu
kau tidur dan mengambil kunci mobilmu? Aku tidak butuh kau,
dasar idiot. Aku memilihmu. Dan kemudian kau balas memilihku."
Kini dia menatapku. "Dan itu mirip dengan janji. Setidaknya untuk
malam ini. Dalam sehat maupun sakit. Dalam suka maupun duka.
Saat kaya ataupun miskin. Hingga fajar memisahkan kita."
Aku menyalakan mobil dan keluar dari parkiran, tapi terlepas dari
ocehannya tentang kerja sama tim, aku masih merasa seperti dirong
rong untuk melakukan sesuatu, dan aku ingin jadi yang mengucapkan
kalimat terakhir dalam perdebatan ini. "Baiklah, tapi ketika SeaWorld, Incorporated, atau apalah mengirim surat ke Duke University
untuk melaporkan bahwa Quentin Jacobsen yang tidak bermoral
membobol masuk ke fasilitas mereka pada jam setengah lima pagi
bersama seorang gadis bermata-liar, Duke University akan marah.
Orangtuaku juga bakal marah."
"Q, kau akan masuk Duke. Kau akan jadi pengacara-atau-apalah
yang supersukses lalu menikah, punya anak, menjalani seluruh ke
hidupan kecilmu, kemudian kau akan mati, dan pada saat-saat ter
akhirmu, ketika kau tersedak oleh muntahanmu sendiri di panti
perawatan, kau akan berkata pada diri sendiri: ?Yah, aku sudah me
nyia-nyiakan seluruh hidup terkutukku, tapi setidaknya aku sudah
membobol masuk SeaWorld bersama Margo Roth Spiegelman pada
tahun senior SMA-ku. Setidaknya aku sudah carpe diem1."
"Noctem2," ralatku.
"Oke, kau jadi Raja Tata Bahasa lagi. Kau sudah meraih kembali
takhtamu. Sekarang antar aku ke SeaWorld."
Ketika kami berkendara dalam diam menyusuri jalan I-4, kudapati
diriku merenungkan hari ketika laki-laki bersetelan jas kelabu ter
sebut ditemukan tewas. Mungkin itulah alasannya dia memilihku,
pikirku. Dan saat itulah, akhirnya, aku ingat apa yang dikatakan
Margo tentang laki-laki yang tewas itu dan senar?juga tentang diri
nya dan senar.
"Margo," panggilku, memecahkan kebisuan kami.
"Q," balasnya.
"Kaubilang... Ketika laki-laki itu tewas, kaubilang mungkin semua
senar dalam dirinya putus, dan kemudian kau tadi mengatakan hal
serupa tentang dirimu sendiri, bahwa senar terakhir sudah putus."
Margo setengah tertawa. "Kau terlalu khawatir. Aku tidak mau
ada anak-anak menemukanku dikerubungi lalat pada hari Sabtu pagi
di taman Jefferson Park." Dia menunggu sejenak sebelum mengucap
kan kalimat penutup gurauannya. "Aku terlalu sombong untuk nasib
seperti itu."
Aku tertawa, lega, dan keluar dari jalan tol. Kami berbelok me
masuki International Drive, ibu kota turis dunia. Ada ribuan toko
di International Drive, semuanya menjual barang yang persis sama:
1 Carpe diem: menikmati hari.
2 Noctem: malam.
sampah. Sampah yang dibentuk menjadi cangkang kerang, gantungan
kunci, kura-kura kaca, magnet kulkas berbentuk Florida, burung
flamingo pink dari plastik, macam-macam lagi. Sebenarnya, ada be
berapa toko di I-Drive yang menjual sampah kotoran trenggiling
dalam arti yang sebenarnya dan harfiah?$4.95 per kantong.
Tetapi pada pukul 04.50, para turis tengah terlelap. International
Drive benar-benar mati, seperti semua yang lainnya, saat kami me
lewati toko demi toko, parkiran demi parkiran.
"SeaWorld tak jauh melewati parkway," kata Margo. Dia di jok
belakang minivan lagi, mengaduk-aduk ransel atau sesuatu. "Aku
sudah membawa peta satelit dan membuat rencana serangan tapi
aku tidak menemukannya di mana pun. Tapi omong-omong, lurus
saja melewati parkway, dan di sebelah kirimu akan ada toko suvenir."
"Di sebelah kiriku ada sekitar tujuh belas ribu toko cendera mata."
"Memang, tapi setelah parkway cuma ada satu."
Benar saja, memang cuma ada satu, jadi aku memasuki parkiran
lengang dan memarkir mobil tepat di bawah lampu jalan karena di
I-Drive mobil selalu dicuri. Dan meskipun hanya pencuri mobil ma
sokis yang akan berpikir merampas Chrysler ini, aku tetap tidak
senang membayangkan menjelaskan kepada ibuku bagaimana dan
kenapa mobilnya hilang pada pagi-pagi buta di hari sekolah.
Kami berdiri di luar, bersandar di belakang minivan, udara sangat
hangat dan pengap sehingga pakaianku seakan menempel di kulit.
Aku kembali ketakutan, seolah ada orang yang tak bisa kulihat me
natapku. Gelap sudah terlalu lama, dan perutku sakit akibat ke
cemasan berjam-jam. Margo menemukan petanya, dan dengan
diterangi cahaya lampu jalan, ujung jemarinya yang bernoda-catsemprot-biru menelusuri rute kami. "Kurasa ada pagar di sini,"
katanya, menunjuk pagar kayu yang akan kami temui setelah
menyeberangi parkway. "Aku membacanya di internet. Mereka mem
bangunnya beberapa tahun lalu setelah ada orang mabuk memasuki
SeaWorld tengah malam dan memutuskan untuk berenang bersama
Shamu, yang membunuhnya dengan seketika."
"Serius?"
"Yeah, jadi kalau orang mabuk saja bisa, kita yang tidak mabuk
pasti juga bisa. Maksudku, kita kan ninja."
"Yah, mungkin kau ninja," sahutku.
"Kau ninja yang berisik dan canggung," kata Margo, "tapi kita ber
dua ninja." Dia menyelipkan rambut di balik telinga, menaikkan
tudung ke kepala, dan menarik tali untuk mengencangkannya; lampu
jalan menerangi fitur tajam wajah pucatnya. Barangkali kami memang
ninja, tapi hanya dia yang memakai kostumnya.
"Oke," katanya. "Hafalkan petanya." Bagian yang paling menakutkan
dari perjalanan sejauh-delapan-ratus-meter yang dirancang Margo
untuk kami adalah parit. SeaWorld berbentuk mirip segitiga. Satu
sisi dilindungi oleh jalan, yang diduga Margo dilewati patroli penjaga
malam secara teratur. Sisi kedua diamankan oleh danau yang keliling
nya setidaknya satu mil, dan sisi ketiga memiliki kanal drainase; dari
peta, kelihatannya kanal itu lebarnya sama dengan jalan dua lajur.
Dan di mana ada saluran drainase dekat danau di Florida, di situ
sering terdapat aligator.
Margo memegang kedua bahuku dan memutar tubuhku ke arah
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nya. "Kita akan tepergok, mungkin, dan ketika itu terjadi, biar aku
yang bicara. Kau pasang tampang menggemaskan saja dan menampil
kan kombinasi ganjil dari keluguan dan kepercayaan diri, dan kita
akan baik-baik saja."
Aku mengunci mobil, menepuk-nepuk untuk menurunkan ram
butku yang mengembang, dan berbisik, "Aku seorang ninja." Aku
tidak berniat agar Margo mendengarnya, tapi dia menimpali. "Benar
sekali! Ayo pergi."
Kami berlari kecil menyeberangi I-Drive lalu mulai merangsek
menerobos rumpun belukar tinggi dan pepohonan ek. Aku mulai
mencemaskan poison ivy, tapi ninja tidak mengkhawatirkan itu, maka
aku terus melangkah, kedua lengan di depanku, mendorong semak
dan belukar ke samping seraya menuju kanal. Akhirnya pepohonan
berlalu dan tanah membuka, aku bisa melihat parkway di sisi kanan
dan kanal tepat di depan kami. Kami bisa dilihat orang lain dari jalan
seandainya di sana ada mobil, tapi tak ada mobil yang lewat. Bersamasama kami berlari menembus belukar, lalu menikung tajam ke arah
parkway. Margo berkata, "Cepat, cepat!" dan aku melesat menyeberangi
jalan raya enam lajur. Meskipun di sana lengang, ada sesuatu yang
terasa menyenangkan dan salah dari berlari menyeberangi jalan se
lebar itu.
Kami berhasil melintas dan kemudian berlutut di tengah alangalang selutut di tepi parkway. Margo menunjuk jajaran pepohonan
antara lahan parkir raksasa SeaWorld yang tak berujung dan air kanal
yang hitam serta tenang. Kami berlari kira-kira semenit menyusuri
sepanjang deretan pepohonan, kemudian Margo menarik punggung
kausku, dan berkata lirih, "Sekarang kanalnya."
"Perempuan dulu," kataku.
"Tidak usah, sungguh. Silakan duluan," jawabnya.
Dan aku tidak memikirkan soal aligator atau lapisan menjijikkan
ganggang air payau. Aku mengambil ancang-ancang dan melompat
sejauh mungkin. Aku mendarat di air sepinggang dan kemudian
mengarunginya dengan melangkah tinggi-tinggi. Airnya berbau dan
terasa berlendir di kulitku, tapi setidaknya dari pinggang ke atas aku
kering. Atau setidaknya aku kering sampai Margo meloncat masuk,
memercikkan air ke sekujur tubuhku. Aku berbalik dan mencipratinya.
Dia basah kuyup.
"Ninja tidak menciprati ninja lain," protes Margo.
"Ninja sejati tak membuat cipratan sedikit pun," balasku.
"Ooh, touch."
Aku memperhatikan Margo mengangkat tubuh keluar dari kanal.
Dan aku sangat lega karena ketiadaan aligator. Dan denyut nadiku
cukup normal, meskipun agak meningkat. Dan di balik hoodie yang
tak diritsleting, kaus hitam Margo melekat oleh air di tubuhnya.
Singkatnya, banyak hal yang berjalan sangat baik ketika dari sudut
mata aku melihat gerakan melata di air di sebelah Margo. Margo
mulai melangkah ke luar air, aku bisa melihat otot tendon Achilesnya menegang, dan belum lagi aku sempat memperingatkan, ular itu
menyerang dan mematuk pergelangan kaki kirinya, tepat di bawah
garis pipa celana jinsnya.
"Sial!" umpat Margo, dia menunduk lalu berkata "Sial!" lagi. Ular
itu masih menempel. Aku menukik dan menarik ujung tubuh ular
itu dan melepaskannya dari Margo lalu mencampakkannya ke parit.
"Aduh, ya Tuhan," kata Margo. "Ular apa itu? Moccasin?"
"Entahlah. Berbaring, berbaring," kataku, dan kemudian kuangkat
kakinya, dan kunaikkan celana jinsnya. Ada dua titik darah di tempat
taring ular tadi menancap, aku pun membungkuk dan menempelkan
mulut di luka itu dan mengisap sekeras-kerasnya, berusaha menyedot
keluar bisa ular. Aku meludah, dan berniat mengisap lukanya lagi
ketika Margo berkata, "Tunggu, aku melihatnya." Aku melompat
ngeri dan dia berkata, "Bukan, bukan, astaga, itu hanya ular garter."
Dia menunjuk kanal, dan aku mengikuti arah jarinya dan bisa melihat
ular garter kecil melata di permukaan, berenang di bawah tepian ca
haya lampu. Dari kejauhan dan diterangi lampu, makhluk itu tak
lebih menakutkan dibandingkan bayi kadal.
"Untunglah," ucapku, duduk di sebelah Margo dan mengatur na
pas.
Setelah memeriksa bekas gigitan dan melihat bahwa pendarahannya
telah berhenti, Margo bertanya, "Bagaimana rasanya bermesraan
dengan kakiku?"
"Lumayan," jawabku, dan itu benar. Dia mencondongkan tubuh
sedikit ke arahku dan aku bisa merasakan lengan atasnya di rusukku.
"Aku mencukurnya tadi pagi memang untuk alasan itu. Aku ber
pikir, ?Yah, kau kan tidak pernah tahu kapan ada orang yang akan
mengisap betismu dan mencoba menyedot keluar bisa ular.?"
Ada pagar kawat di depan kami, tapi tingginya tak sampai dua
meter. Seperti ucapan Margo, "Jujur saja, pertama ular garter dan
sekarang pagar ini? Keamanan di sini bisa dibilang penghinaan bagi
seorang ninja." Dia memanjat dengan cepat, memutar tubuh ke sisi
sebaliknya, lalu menuruni pagar seolah itu hanya tangga. Aku berhasil
tidak jatuh.
Kami berlari melewati rumpun pepohonan yang tak terlalu luas,
menempel rapat di akurium-akuarium buram besar yang mungkin
berisi binatang, dan kemudian kami muncul di jalan setapak beraspal
dan aku bisa melihat amfiteater besar tempat Shamu mencipratiku
waktu aku masih kecil. Speaker kecil yang berderet di sepanjang jalan
mengumandangkan musik lembut Muzak. Mungkin untuk menjaga
agar para binatang tetap tenang. "Margo," kataku, "kita di SeaWorld."
Dan dia menjawab, "Sungguh," lalu berlari menjauh dan aku meng
ikutinya. Kami tiba di sebelah akuarium anjing laut, tapi sepertinya
tidak ada anjing laut di dalamnya.
"Margo," kataku lagi. "Kita di SeaWorld."
"Nikmatilah," ucapnya tanpa banyak-banyak menggerakkan mulut.
"Soalnya itu penjaganya datang."
Aku melesat menuju gerumbulan semak setinggi pinggang, tapi
ketika Margo tak berlari, langkahku terhenti.
Seorang laki-laki mendekat, mengenakan rompi KEAMANAN
SEAWORLD dan dengan dengan sangat santai bertanya, "Sedang apa
kalian?" Tangannya memegang sekaleng sesuatu, semprotan merica,
tebakku.
Agar tetap tenang, aku bertanya-tanya pada diri sendiri, Apa dia
punya borgol biasa, atau apa dia memiliki borgol khusus SeaWorld?
Misalnya, yang bentuknya mirip dua lumba-lumba melengkung yang
disatukan?
"Sebenarnya kami baru mau keluar," kata Margo.
"Yah, sudah jelas," balas orang itu. "Pertanyaannya adalah apakah
kalian keluar sendiri atau digiring oleh sherif Orange County."
"Kalau bagimu tidak ada bedanya," ujar Margo, "kami lebih suka
keluar sendiri." Aku memejamkan mata. Ini, aku ingin mengatakan
pada Margo, bukan waktunya untuk berkomentar sok pintar. Namun
laki-laki itu terbahak.
"Tahu tidak ada orang terbunuh di sini beberapa tahun lalu garagara melompat ke dalam akuarium besar, dan mereka memperingatkan
kami agar jangan pernah melepaskan siapa saja yang membobol ma
suk, meskipun mereka cantik." Margo menarik kausnya agar tak
terlalu menempel di tubuh. Dan saat itulah aku menyadari bahwa
laki-laki itu bicara pada dada Margo.
"Nah, kalau begitu kurasa kau terpaksa menahan kami."
"Tapi itulah masalahnya. Aku baru selesai kerja dan mau pulang,
minum bir, dan tidur, kalau aku memanggil polisi mereka tidak akan
buru-buru datang. Aku mengucapkan pikiranku sendiri," katanya,
dan kemudian Margo menaikkan pandang dengan sorot mengerti.
Dia menyusupkan tangan ke saku basahnya dan mengeluarkan sehelai
uang seratus-dolar-yang-basah-kuyup-oleh-air-kanal.
Penjaga itu berkata, "Nah, sebaiknya kalian cepat pergi. Kalau jadi
kalian, aku takkan lewat akuarium ikan hiu. Di sana dipasangi kamera
pengintai semalaman, dan kita tidak ingin ada yang tahu kalian masuk
ke sini."
"Baik, Sir," kata Margo serius, dan dengan itu si penjaga berlalu
memasuki kegelapan. "Dasar laki-laki," gumam Margo ketika orang
itu melangkah pergi, "Aku sebenarnya malas membayar si mesum itu.
Tapi, sudahlah. Uang kan untuk dipakai." Aku bahkan nyaris tidak
mendengar ucapannya; satu-satunya yang terjadi adalah gelenyar lega
di kulitku. Kepuasan liar ini sepadan dengan seluruh kecemasan yang
mendahuluinya.
"Untunglah dia tidak melaporkan kita," kataku.
Margo tak merespons. Dia menatap melewatiku, matanya menyipit
hingga hampir terpejam. "Aku merasakan hal yang persis sama ketika
aku masuk ke Universal Studios," ucapnya sejenak kemudian. "Me
mang seru, tapi tidak banyak yang bisa dilihat. Wahananya tidak ada
yang hidup. Semua yang seru-seru dikunci. Kebanyakan binatang
dimasukkan ke akurium lain pada malam hari." Dia memutar kepala
dan menilai SeaWorld yang bisa kami lihat. "Kurasa kesenangannya
bukan karena berada di dalam."
"Jadi karena apa?"
"Dari perencanaannya, kurasa. Entahlah. Melakukan sesuatu tak
pernah semenyenangkan yang kita harapkan."
"Ini cukup menyenangkan bagiku," aku mengakui. "Meskipun se
andainya tidak ada yang bisa dilihat." Aku duduk di bangku taman,
dan dia menyusulku. Kami berdua menatap akuarium anjing laut,
yang tak berisi anjing laut, hanya pulau tak berpenghuni dengan
formasi bebatuan dari plastik. Aku bisa mencium aroma Margo di
sebelahku, keringat dan ganggang dari kanal, samponya mirip harum
lilac, dan kulitnya sewangi bubuk buah badam.
Aku merasakan lelah untuk pertama kalinya, dan aku membayang
kan kami berbaring bersama di rerumputan SeaWorld, aku terlentang
dan dia menyamping dengan lengan merangkulku, kepalanya di
bahuku, menghadapku. Tidak melakukan apa-apa?hanya merebah
bersama di bawah angkasa, malam di tempat ini begitu terang se
hingga menenggelamkan cahaya bintang-bintang. Dan mungkin aku
bisa merasakan napasnya di leherku, dan barangkali kami bisa tetap
di sini hingga pagi lalu orang-orang yang mengunjungi SeaWorld
akan melewati kami, dan mereka akan melihat kami dan berpikir
kami juga turis, kemudian kami bisa menghilang begitu saja bersama
mereka.
Tetapi tidak. Ada Chuck yang beralis satu untuk dilihat, ada Ben
untuk diceritakan, dan kelas, ruang band, Duke, serta masa depan.
"Q," panggil Margo.
Aku mengangkat pandang ke arahnya, dan sejenak aku tidak tahu
kenapa dia menyebut namaku, tapi kemudian aku tersadar dari kon
disi setengah-tidurku. Dan aku mendengarnya. Muzak dari speaker
telah berkumandang, hanya saja bukan Muzak lagi yang mengalun?
tapi musik sungguhan. Lagu jazz lama kesukaan ayahku berjudul
"Stars Fell on Alabama." Bahkan dari speaker-speaker mungil itu kita
bisa mendengar bahwa siapa pun yang menyanyikannya bisa me
lantunkan seribu not indah sekaligus.
Dan aku merasakan tali yang tak terputus antara aku dan Margo
terentang dari rumah kami ke laki-laki yang tewas itu ke pertemanan
hingga ke saat ini. Dan aku kepengin mengatakan kepadanya bahwa
bagiku kesenangannya bukan karena merencanakan atau melakukan
atau pergi; kesenangan itu terletak pada saat melihat senar kami sa
ling bersilang dan berpisah lalu beradu lagi?tapi sepertinya itu
kelewat norak untuk diucapkan, lagi pula Margo sudah berdiri.
Mata biru Margo mengerjap dan saat itu dia terlihat cantik jelita,
dengan celana jins basah menempel di kakinya, wajahnya berkilau di
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tengah cahaya kelabu.
Aku bangkit dan mengulurkan tangan dan berkata, "Boleh aku
berdansa denganmu?" Margo melakukan curtsy, menyambut tangan
ku, dan berkata, "Boleh," dan kemudian tanganku berada di lekuk
antara pinggang dan pinggulnya, dan tangannya di bahuku. Lalu
maju-maju-ke samping, maju-maju-ke samping. Kami berdansa foxtrot mengitari akuarium anjing laut, dan lagu itu terus melantunkan
tentang bintang jatuh. "Dansa bertempo lambat kelas enam," Margo
mengumumkan, dan kami pun bertukar posisi, tangannya di bahuku
dan tanganku di pinggulnya, siku diluruskan, dua langkah di antara
kami. Dan kemudian kami ber-fox trot lagi hingga lagu berakhir. Aku
maju dan melengkungkan tubuh Margo ke belakang, persis yang
diajarkan guru pada kami di Crown School of Dance. Dia mengangkat
sebelah kaki dan menumpukan seluruh bobotnya padaku saat aku
melengkungkan tubuhnya. Entah dia memercayaiku atau dia ingin
jatuh.
KAMI membeli kain lap di 7-Eleven di I-Drive dan berusaha sebaikbaiknya membersihkan lendir dan bau air kanal dari pakaian dan
kulit kami, dan aku mengisi tangki bensin hingga ke posisi sebelum
kami mengendarainya mengelilingi Orlando. Jok Chrysler bakal agak
basah ketika Mom menyetirnya ke kantor, tapi kuharap ibuku takkan
menyadarinya, mengingat dia lumayan tak pedulian. Orangtuaku
pada dasarnya yakin aku anak paling stabil dan tak-mungkin-mem
bobol-masuk-SeaWorld di planet ini, mengingat kesejahteraan psi
kologisku merupakan bukti dari bakat profesional mereka.
Aku tidak terburu-buru pulang, menghindari jalan tol dan memilih
jalan-jalan kecil. Margo dan aku mendengarkan radio, berusaha men
cari stasiun mana yang memutar "Stars Fell on Alabama," tapi kemu
dian dia mematikan radio dan berkata, "Secara keseluruhan, me
nurutku ini sukses."
"Sudah pasti," sahutku, meskipun kini aku sudah bertanya-tanya
besok akan seperti apa. Apa Margo akan datang ke dekat ruang band
sebelum masuk kelas untuk mengobrol? Makan siang bersamaku dan
Ben? "Tapi aku bertanya-tanya apakah besok akan berbeda," kataku.
"Yeah," ucapnya. "Aku juga." Dia membiarkan itu menggantung di
udara, dan kemudian berkata, "Hei, omong-omong soal besok, sebagai
ucapan terima kasih untuk kerja keras dan dedikasimu pada malam
yang mengesankan ini, aku akan memberimu hadiah kecil." Dia men
cari-cari di dekat kakinya dan kemudian mengacungkan kamera
digital. "Ambillah," ucapnya. "Dan gunakan Power of the Tiny Winky
dengan bijak."
Aku terbahak dan memasukkan kamera itu ke saku. "Nanti ku
unduh fotonya begitu sampai di rumah dan mengembalikannya
kepadamu di sekolah?" tanyaku. Aku masih ingin Margo berkata, Ya,
di sekolah, tempat segalanya akan berbeda, tempat aku akan jadi teman
mu di depan umum, dan juga jomblo, tapi dia hanya bilang, "Yeah,
atau kapan saja."
Sudah pukul 05.42 ketika aku memasuki Jefferson Park. Kami
melewati Jefferson Drive ke Jefferson Court dan kemudian menyusuri
jalan tempat tinggal kami, Jefferson Way. Aku mematikan lampu
mobil untuk terakhir kalinya dan meluncur pelan ke jalan masuk
rumahku. Aku bingung harus berkata apa, dan Margo pun tidak
mengucapkan apa-apa. Kami memenuhi tas 7-Eleven dengan sampah,
berusaha membuat Chrysler terlihat dan terasa seolah enam jam
terakhir tadi tak terjadi. Dari tas lain, dia memberiku sisa-sisa
Vaseline, cat semprot, dan Mountain Dew terakhir. Otakku berpacu
melawan keletihan.
Dengan satu tas di masing-masing tangan, aku berhenti sejenak
di luar van, menatap dia. "Yah, tadi itu malam yang luar biasa," kataku
akhirnya.
"Kemarilah," ujarnya, dan aku pun maju. Dia memelukku, dan
tas-tas itu membuatku sulit untuk balas memeluknya, tapi kalau
kujatuhkan aku mungkin akan membangunkan seseorang. Aku bisa
merasakan dia berjinjit dan kemudian mulutnya berada dekat telinga
ku dan dia berkata, amat jelas, "Aku. Akan. Rindu. Nongkrong.
Denganmu."
"Tidak perlu," jawabku keras-keras. Aku berusaha menyembunyikan
kekecewaanku. "Kalau kau tidak suka lagi pada mereka," kataku,
"nongkrong saja denganku. Teman-temanku sebenarnya baik kok."
Bibirnya begitu dekat denganku sehingga aku bisa merasakan dia
tersenyum. "Sayangnya itu tidak mungkin," bisiknya. Kemudian dia
melepaskanku, tapi tetap menatapku, mundur selangkah demi se
langkah. Akhirnya dia menaikkan alis, dan tersenyum, dan aku me
mercayai senyuman itu. Kuperhatikan dia memanjat pohon lalu
mengangkat tubuh ke atap di luar jendela kamar tidurnya di lantai
dua. Dia mencungkil jendelanya hingga terbuka dan merangkak ma
suk.
Aku memasuki pintu depan rumahku yang tak terkunci, meng
endap-endap melewati dapur menuju kamarku, menanggalkan celana
jins, mencampakkannya ke sudut lemari pakaian di belakang kamar
dekat kasa jendela, mengunduh foto Jase, dan naik ke tempat tidur,
benakku bergemuruh oleh hal-hal yang akan kukatakan padanya di
sekolah.
BAGIAN DUA
Rerumputan
AKU baru tidur kira-kira setengah jam ketika alarmku berbunyi
pukul 06.32. Namun selama tujuh belas menit aku tidak menyadari
bahwa alarmku-lah yang berdering, sampai merasakan tangan di
bahuku dan mendengar suara ibuku di kejauhan berkata, "Selamat
pagi, tukang tidur."
"Uhh," balasku. Aku jauh lebih lelah daripada yang kurasakan
pada pukul 05.55 tadi dan aku mau-mau saja bolos, hanya saja selama
ini catatan absenku sempurna, dan meskipun menyadari bahwa absen
sempurna tidak terlalu mengesankan atau bahkan patut dikagumi,
aku kepengin mempertahankan itu. Ditambah lagi, aku ingin melihat
bagaimana sikap Margo di dekatku.
Ketika memasuki dapur, Dad tengah menceritakan sesuatu pada
Mom seraya makan di meja sarapan. Dad diam sejenak saat melihatku
dan berkata, "Bagaimana tidurmu?"
"Nyenyak banget," jawabku, yang memang benar. Hanya sebentar,
tapi nyenyak.
Dad tersenyum. "Aku baru bercerita pada ibumu bahwa aku meng
alami mimpi meresahkan yang berulang," katanya. "Jadi aku sedang
kuliah. Dan aku mengambil kelas bahasa Ibrani, hanya saja dosennya
tidak bicara bahasa Ibrani, dan ujiannya bukan dalam bahasa Ibrani?
bahasanya tidak jelas. Tetapi semua orang bersikap seolah bahasa
jadi-jadian dengan aksara asal-asalan itu adalah bahasa Ibrani. Jadi
aku ikut ujian, dan aku harus menulis dalam bahasa yang tidak ku
kenal dengan aksara yang tidak bisa kubaca."
"Menarik," komentarku, meskipun sebenarnya tidak. Tak ada yang
lebih membosankan daripada mimpi orang lain.
"Itu metafora untuk masa remaja," ibuku angkat bicara. "Menulis
dalam suatu bahasa?kedewasaan?yang tak kaupahami, mengguna
kan aksara?interaksi sosial dewasa?yang tak kaukenali." Ibuku
bekerja bersama remaja-remaja sinting di pusat detensi dan penjara
juvenil. Menurutku itulah sebabnya Mom tidak pernah terlalu meng
khawatirkan aku?selama aku tak melakukan ritual memenggal
kepala tikus gurun atau mengencingi wajah sendiri, dia menganggap
aku sebagai sebuah keberhasilan.
Seorang ibu normal mungkin berkata, "Hei, kulihat tampangmu
seperti barusan sadar dari pengaruh shabu dan samar-samar berbau
ganggang. Apa beberapa jam yang lalu kau barangkali berdansa de
ngan Margo Roth Spiegelman yang digigit ular?" Tetapi tidak. Mereka
lebih suka membahas mimpi.
Aku mandi, memakai kaus dan jins. Aku terlambat, tapi kalau
dipikir-pikir lagi, aku memang selalu terlambat.
"Kau telat," kata Mom ketika aku kembali ke dapur. Aku berusaha
mengusir sedikit kabut otakku agar ingat cara mengikat tali sepatu
kets.
"Aku tahu," jawabku mengantuk.
Mom mengantarku ke sekolah. Aku duduk di kursi yang tadi di
tempati Margo. Mom seringnya hanya diam selama perjalanan, dan
itu bagus, soalnya aku ketiduran, bagian samping kepalaku menyender
di jendela minivan.
Ketika Mom memasuki parkiran sekolah, kulihat tempat parkir
Margo yang biasanya di lapangan parkir senior kosong. Aku tidak
bisa menyalahkan dia karena terlambat, sungguh. Teman-temannya
kan tak berkumpul sepagi teman-temanku.
Sewaktu aku menghampiri anak-anak band, Ben berseru, "Jacobsen,
apa aku cuma mimpi atau apa kau?" Aku menggeleng sangat pelan,
dan dia langsung mengalihkan percakapan di tengah-tengah ka
limat?"dan aku melakukan petualangan liar di Polinesia Prancis
semalam, bepergian dengan kapal layar terbuat dari pisang?"
"Kapal layar yang lezat," jawabku. Radar menaikkan alis ke arahku
dan melenggang santai ke bawah naungan sebatang pohon. Aku
mengikutinya. "Sudah kutanya Angela soal kencan Ben. Tak ada ha
rapan." Aku melirik Ben, yang berceloteh penuh semangat, pengaduk
kopi bergerak-gerak di mulutnya saat dia bicara.
"Payah," kataku. "Tapi tidak apa-apa. Dia dan aku bisa nongkrong
bareng dan main Resurrection secara maraton atau apalah."
Saat itu Ben sudah mendekat dan berkata, "Apa kalian mencoba
bersikap tidak mencolok? Soalnya aku tahu kalian membicarakan
tragedi prom tanpa honeybunny yang merupakan hidupku." Dia ber
balik dan masuk. Radar dan aku membuntutinya, mengobrol seraya
melewati ruang band, tempat murid kelas satu dan dua SMA duduk
dan berbincang di tengah kotak-kotak alat musik.
"Kenapa sih kau bahkan kepengin pergi?" tanyaku.
"Bro, itu prom senior kita. Itu peluang terbaik terakhirku untuk
menjadi kenangan SMA terindah bagi beberapa honeybunny." Aku
memutar bola mata.
Bel pertama berdering, artinya lima menit untuk menuju kelas,
dan mirip anjing Pavlov, murid-murid mulai bergegas, memenuhi
koridor. Ben, Radar, dan aku berdiri di sebelah loker Radar. "Jadi
kenapa kau meneleponku jam tiga pagi menanyakan alamat Chuck
Parson?"
Aku mempertimbangkan bagaimana cara terbaik untuk menjawab
pertanyaan itu ketika melihat Chuck Parson mendekati kami. Kusikut
sisi tubuh Ben dan melirik Chuck. Secara kebetulan Chuck me
mutuskan bahwa strategi terbaik adalah mencukur Si Alis Kiri.
"Astaganaga," ucap Ben.
Segera saja, Chuck sudah di depanku sementara aku mengerut
menempelkan tubuh di loker, dahinya sangat mulus tak berambut.
"Kalian para cecunguk lihat apa?"
"Tidak kok," jawab Radar. "Sudah jelas kami tak melihat alismu."
Chuck mengacungkan jari tengah kepada Radar, menghantamkan
telapak tangan di loker di sebelahku, dan berlalu.
"Kau melakukan itu?" tanya Ben, tak percaya.
"Kalian tidak boleh bilang pada siapa-siapa sampai kapan pun,"
kataku pada mereka. Dan kemudian dengan lirih menambahkan,
"Aku bersama Margo Roth Spiegelman."
Suara Ben melengking penuh semangat. "Kau bersama Margo
Roth Spiegelman semalam? Jam TIGA PAGI?" Aku mengangguk.
"Hanya berdua?" Aku mengangguk. "Oh Tuhan, kalau kau bermesraan
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan dia, kau harus cerita padaku apa saja yang terjadi. Kau harus
menuliskan esai riset mengenai seperti apa dan bagaimana rasanya
dada Margo Roth Spiegelman. Tiga puluh halaman, minimal!"
"Aku ingin kau membuat lukisan foto-realistis dengan pensil," kata
Radar.
"Patung juga bisa diterima," Ben menambahkan.
Radar mengacungkan tangan sedikit. Dengan patuh kutanyakan
apa maunya. "Ya, aku penasaran apa kau bisa menulis puisi sestina
mengenai dada Margo Roth Spiegelman? Enam kata yang harus
kaupakai adalah: pink, bulat, kencang, kenyal, lembut, dan empuk."
"Secara pribadi," kata Ben. "Menurutku setidaknya salah satu kata
itu seharusnya buhbuhbuhbuh."
"Kurasa aku tidak familier dengan kata itu," sahutku.
"Itu suara dari mulutku sewaktu memberi seorang honeybunny
Ben Starling Speedboat yang telah dipatenkan." Saat itu Ben me
nirukan apa yang akan dilakukannya ketika wajahnya bertemu dengan
belahan dada yang mustahil terjadi.
"Saat ini," kataku, "meskipun mereka tak tahu apa sebabnya, ribuan
gadis di seantero Amerika merasakan gelenyar ngeri dan jijik me
nuruni tulang punggung mereka. Omong-omong, aku tidak ber
mesraan dengan dia, dasar mesum."
"Ah, basi," komentar Ben. "Aku satu-satunya cowok yang kukenal
yang punya nyali untuk memberi honeybunny apa yang diinginkannya,
dan aku satu-satunya yang tak memiliki kesempatan."
"Sungguh kebetulan yang luar biasa," ujarku. Kehidupan berjalan
seperti biasa?hanya lebih melelahkan. Aku berharap kejadian se
malam akan mengubah hidupku, rupanya tidak?setidaknya belum.
Bel kedua berbunyi. Kami tergesa-gesa menuju kelas.
Aku merasa superlelah saat Kalkulus periode pertama. Maksudku,
aku sudah letih sejak terbangun, tapi kombinasi keletihan dengan
Kalkulus sepertinya tidak adil. Agar tetap terjaga, aku menulis pesan
untuk Margo?tak ada yang pernah kukirimkan padanya, hanya
ringkasan momen-momen favoritku semalam?tapi itu pun tak
mampu membuat tetap membuka mata. Pada suatu titik, bolpoinku
berhenti bergerak begitu saja, dan aku mendapati area penglihatanku
menyusut dan terus menyusut, setelahnya aku berusaha mengingat
apakah penglihatan terowongan merupakan gejala keletihan. Ku
putuskan pasti begitu, karena hanya ada satu hal di depanku, yaitu
Mr. Jiminez dekat papan tulis, dan cuma itu yang mampu diproses
otakku, maka ketika Mr. Jiminez berkata, "Quentin?" Aku ke
bingungan setengah mati sebab satu-satunya hal yang terjadi dalam
semestaku adalah Mr. Jiminez menulis di papan dan aku tidak mampu
memahami bagaimana dia bisa menjadi kehadiran visual sekaligus
pendengaran dalam hidupku.
"Ya?" tanyaku.
"Kau dengar pertanyaannya?"
"Ya?" tanyaku lagi."
"Dan kau mengacungkan tangan untuk menjawabnya?" Aku me
nengadah, dan benar saja tanganku memang terangkat, tapi entah
bagaimana itu bisa terjadi, dan aku hanya samar-samar tahu cara
menurunkannya. Tetapi setelah berusaha keras, otakku mampu me
nyuruh lenganku untuk menurunkan diri sendiri, dan lenganku
mampu melakukannya, kemudian akhirnya aku berkata, "Aku hanya
ingin meminta izin ke toilet?"
Dan Mr. Jiminez berkata, "Silakan," lalu seseorang mengangkat
tangan dan menjawab suatu pertanyaan mengenai persamaan diferen
sial.
Aku ke toilet, memercikkan air ke wajah, lalu membungkuk di
atas wastafel, mendekat ke cermin, dan mengamati diri sendiri. Aku
mencoba menghilangkan rona merah di mataku, tapi gagal. Kemudian
aku mendapat ide cemerlang. Aku masuk ke bilik toilet, menurunkan
tutupnya, duduk, menyandar ke dinding samping bilik, dan tidur.
Tidurku berlangsung selama enam belas milidetik sebelum bel
periode kedua berbunyi. Aku bangkit dan menuju kelas bahasa Latin,
lalu Fisika, hingga akhirnya periode keempat pun tiba, dan aku me
nemui Ben di kafeteria dan berkata, "Aku benar-benar butuh tidur."
"Ayo makan siang bareng SSHISS," sahutnya.
SSHISS adalah Buick lima-belas-tahun yang telah dikendarai dengan
sesuka hati oleh tiga kakak Ben dan, pada saat diwariskan kepadanya,
mobil itu penuh dengan duct tape dan dempul. Nama lengkapnya
Setir Suka-suka Habis Itu Singkirkan Saja, tapi kami menyingkatnya
jadi SSHISS. SSHISS beroperasi bukan dengan bensin, melainkan
mengandalkan bahan bakar harapan manusia yang tak ada habishabisnya. Kau duduk di jok berlapis vinil panas membakar dan
berharap dia mau menyala, lalu Ben memutar kunci dan mesin akan
berkelojotan beberapa kali, mirip ikan di darat yang menggelepar
pelan sekarat untuk terakhir kalinya. Kemudian kau akan berharap
lebih keras lagi, dan mesinnya akan berkelojotan beberapa kali lagi.
Kau kembali berharap, dan dia akhirnya menyala juga.
Ben menstarter SSHISS dan menyalakan AC sedingin mungkin.
Tiga dari empat jendelanya bahkan tak bisa dibuka, tapi pendinginnya
bekerja sempurna, meskipun beberapa menit awal hanya angin panas
yang berembus dari lubang ventilasi dan berbaur dengan udara diam
yang panas di dalam mobil. Aku merebahkan jok penumpang sejauhjauhnya sehingga aku hampir berbaring, dan kuceritakan pada Ben
segala-galanya: Margo di jendelaku, Wal-Mart, pembalasan dendam,
SunTrust Building, salah masuk rumah, SeaWorld, ucapan aku-bakalkangen-nongkrong-denganmu.
Ben tidak menyelaku satu kali pun?Ben teman yang hebat dalam
soal tidak menginterupsi?tapi begitu aku selesai, dia langsung mem
berondongku dengan pertanyaan yang paling mendesak di benaknya.
"Sebentar, jadi soal Jase Worthingthon, seberapa kecil yang kita
bicarakan?"
"Penciutan barangkali ikut berperan mengingat dia cukup panik,
tapi kau pernah melihat pensil?" tanyaku, dan Ben mengangguk.
"Nah, kau pernah melihat penghapus pensil?" Dia mengangguk lagi.
"Nah, kau pernah melihat sisa-sisa karet penghapus di kertas setelah
kau menghapus sesuatu?" Anggukan lagi. "Menurutku panjangnya
tiga sisa karet penghapus dan lebarnya satu sisa karet penghapus,"
ucapku. Ben sering dijaili orang-orang seperti Jason Worthington
dan Chuck Parson, jadi kupikir dia pantas sedikit menikmati ini.
Namun Ben bahkan tidak terbahak. Dia hanya menggeleng-geleng
pelan, terkesima.
"Oh Tuhan, cewek itu jagoan tulen."
"Aku tahu."
"Dia tipe orang yang entah tewas secara tragis pada usia 27, seperti
Jimi Hendrix dan Janis Joplin, atau tumbuh dewasa dan memenang
kan, misalnya, Hadiah Nobel untuk Kekerenan yang pertama kalinya
diberikan."
"Yeah," ucapku. Aku jarang lelah membicarakan Margo Roth
Spiegelman, tapi aku juga jarang seletih ini. Aku menyandar di san
daran kepala dari vinil yang retak-retak dan langsung tertidur. Ketika
terjaga, sebungkus hamburger Wendy?s tergeletak di pangkuanku
bersama secarik pesan. Harus masuk kelas. Sampai ketemu sehabis
band.
***
Nantinya, seusai kelas terakhir, aku menerjemahkan Ovid seraya
duduk bersandar di dinding batu genting di luar ruang band, berusaha
mengabaikan kebisingan yang mengerang dari dalam. Aku selalu
nongkrong di sekolah satu jam lebih lama ketika ada latihan band,
karena pergi sebelum Ben dan Radar artinya harus menanggung malu
menjadi satu-satunya murid senior dalam bus.
Setelah mereka keluar, Ben menurunkan Radar di rumahnya tepat
di sebelah "pusat desa" Jefferson Park, dekat dengan tempat tinggal
Lacey. Kemudian dia mengantarku pulang. Aku melihat mobil Margo
juga tak diparkir di jalan masuk. Rupanya dia bolos sekolah bukan
untuk tidur. Dia bolos untuk petualangan lain?petualangan tanpaaku. Jangan-jangan dia melewatkan harinya dengan mengoleskan
krim perontok rambuk di bantal musuhnya yang lain atau semacam
nya. Aku merasa agak ditinggalkan saat melangkah ke rumah, tapi
tentu saja Margo tahu aku takkan pernah mau ikut dengan dia?aku
terlalu memedulikan masuk sekolah. Lagi pula siapa yang tahu apakah
itu hanya satu hari bagi Margo. Jangan-jangan dia bertualang tiga
hari ke Mississippi, atau bergabung dengan sirkus untuk sementara
waktu. Tetapi bukan salah satu dari dua alternatif itu, tentunya. Pasti
sesuatu yang tak dapat kubayangkan, yang tak pernah kubayangkan,
karena aku tidak bisa menjadi Margo.
Aku bertanya-tanya cerita apa yang dibawanya pulang kali ini.
Dan aku bertanya-tanya apakah dia akan menceritakannya kepadaku,
duduk di depanku saat makan siang. Barangkali, pikirku, inilah yang
dimaksud Margo dengan aku akan rindu nongkrong denganmu. Dia
tahu dia akan pergi ke suatu tempat untuk mengambil jeda singkat
dari kota kertas Orlando. Tetapi begitu dia pulang, siapa tahu? Dia
tidak bisa melewatkan minggu-minggu terakhir di sekolah bersama
teman-temannya yang biasa, maka boleh jadi dia akan menghabiskannya
bersamaku.
Margo tidak perlu pergi lama sebelum gosip mulai beredar. Ben me
neleponku tepat setelah makan malam. "Kudengar dia tidak meng
angkat telepon. Seseorang di Facebook bilang Margo memberitahu
mereka dia akan pindah ke gudang rahasia di Tomorrowland-nya
Disney."
"Itu idiot," kataku.
"Aku tahu. Maksudku, Tomorrowland kan wahana yang paling
menyeramkan di Disney. Ada juga yang bilang dia kenalan dengan
cowok di internet."
"Konyol," kataku.
"Oke, baiklah, lalu apa?"
"Dia berada di suatu tempat seorang diri menikmati keseruan yang
hanya bisa kita bayangkan," ucapku.
Ben terkekeh. "Maksudmu dia bermain dengan diri sendiri?"
Aku mengerang. "Ayolah, Ben. Maksudku dia hanya melakukan
petualangan Margo. Membuat cerita. Mengguncang dunia."
Malam itu, aku berbaring menyamping, menatap ke balik jendela ke
dunia tak kasatmata di luar sana. Aku berusaha tidur, tapi mataku
kembali terbuka, hanya untuk memeriksa. Aku tak kuasa untuk tidak
berharap bahwa Margo Roth Spiegelman akan kembali ke jendelaku
dan menyeret bokong lelahku untuk melewati satu lagi malam yang
tak terlupakan.
MARGO cukup sering pergi sehingga tak ada gerakan Temukan
Margo di sekolah atau semacamnya, tapi kami semua merasakan
ketidakhadirannya. SMA bukanlah demokrasi atau kediktatoran?
bukan juga, berlawanan dengan keyakinan umum, negeri anarkis.
SMA adalah monarki berdasarkan kehendak Tuhan. Dan ketika sang
ratu pergi berlibur, keadaan berubah. Secara spesifik, keadaan mem
buruk. Ketika Margo bepergian ke Mississippi saat kelas dua, contoh
nya, Becca meluncurkan kisah Ben Berdarah ke dunia. Dan kali ini
pun tak berbeda. Gadis kecil yang jemarinya menyumbat bendungan
telah pergi. Banjir bandang pun tak terelakkan.
Pagi itu, sekali-sekalinya aku tepat waktu dan menumpang Ben
ke sekolah. Tidak seperti biasanya, kami mendapati semua orang
membisu di luar ruang band. "Dude," kata teman kami Frank dengan
sangat serius.
"Apa?"
"Chuck Parson, Taddy Mac, dan Clint Bauer membawa Tahoe
punya Clint dan menggilas dua belas sepeda anak kelas satu dan
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kelas dua."
"Parah banget," kataku, menggeleng-geleng.
Teman kami Ashley menambahkan, "Kemarin juga ada yang me
nuliskan nomor telepon kami di toilet cowok lengkap dengan?yah,
dengan hal-hal kotor."
Aku menggeleng-geleng lagi, dan kemudian ikut membisu. Kami
tidak bisa melaporkan mereka; kami sudah sering mencobanya saat
SMP, dan malah mengakibatkan hukuman lebih berat. Biasanya,
kami hanya harus menunggu sampai seseorang seperti Margo untuk
mengingatkan semuanya bahwa mereka adalah bajingan kekanakkanakan.
Namun Margo telah memberiku jalan untuk memulai serangan
balasan. Dan aku baru saja berniat mengatakan sesuatu ketika, dari
sudut mata, aku melihat sosok besar berlari kencang ke arah kami.
Dia mengenakan topeng ski hitam dan membawa meriam air hijau
besar. Saat berlari lewat dia menabrak bahuku dan aku kehilangan
keseimbangan, mendarat miring dengan tubuh kiriku di semen retakretak. Ketika tiba di pintu, dia berputar dan berteriak ke arahku,
"Kau cari masalah dengan kami, kau akan dipukulkan jatuh." Suara
itu tidak familier bagiku.
Ben dan salah satu teman kami membantuku bangkit. Bahuku
sakit tapi aku enggan mengusap-usapnya. "Kau oke?" tanya Radar.
"Yeah, aku baik-baik saja." Sekarang aku mengusap-usap bahu.
Radar menggeleng-geleng. "Harus ada yang memberitahunya bah
wa meskipun mungkin seseorang dipukul jatuh, atau mendapatkan
pukulan menjatuhkan, tapi mustahil seseorang dipukulkan jatuh."
Aku tertawa. Ada yang mengangguk ke arah parkiran, aku menenga
dah dan melihat dua murid laki-laki kelas satu bertubuh kecil men
dekati kami, kaus mereka basah kuyup dan menggantung di sosok
kurus keduanya.
"Ini air kencing!" teriak salah satu dari mereka pada kami. Yang
satu lagi tidak berkata apa-apa; dia hanya menjauhkan kedua tangan
jauh-jauh dari kausnya, yang hanya sedikit berhasil. Aku bisa melihat
cairan meliuk-liuk dari lengan baju menyusuri lengannya.
"Kencing binatang atau manusia?" seseorang bertanya.
"Mana aku tahu! Memangnya aku pakar studi air kencing?"
Aku menghampiri anak itu. Kuletakkan tangan di puncak kepala
nya, satu-satunya tempat yang kelihatannya benar-benar kering. "Kita
akan membereskan ini," ucapku. Bel kedua berdering, Radar dan aku
bergegas masuk kelas Kalkulus. Ketika menyelinap ke balik meja aku
menabrakkan lenganku, dan gelombang nyeri menusuk bahuku.
Radar menepuk-nepuk buku tulisnya, tempat dia melingkari tulisan:
Bahu oke?
Aku menulis di sudut bukuku: Dibandingkan dengan anak kelas
satu tadi, aku melewatkan pagi di padang pelangi bermain-main bersama
anak anjing.
Radar tertawa cukup keras sampai-sampai Mr. Jiminez menatapnya
jengkel. Aku menulis, Aku punya rencana, tapi kita harus cari tahu
siapa orang itu.
Radar balas menulis, Jasper Hanson, dan melingkarinya beberapa
kali. Itu kejutan.
Dari mana kau tahu?
Radar menulis, Kau tidak lihat? Si bodoh itu memakai jersey sepak
bolanya sendiri.
Jasper Hanson adalah murid junior. Aku selalu menganggap dia
tidak berbahaya, malahan lumayan baik?baik dalam saling menyapa
dude-apa-kabar yang canggung. Bukan tipe orang yang kauduga akan
menembakkan air seni ke anak kelas satu. Jujur saja, dalam birokrasi
pemerintahan Winter Park High School, Jasper Hanson seperti
Asisten Deputi Wakil Menteri Atletik dan Penyalahgunaan Jabatan.
Ketika orang seperti dia dipromosikan sebagai Wakil Presiden Ekse
kutif Penembakan Air Seni, tindakan mendesak perlu diambil.
Jadi, setibanya di rumah sore itu, aku membuat akun e-mail dan
menulis untuk teman lamaku Jason Worthington.
Dari: mavenger@gmail.com
Untuk: jworthington90@yahoo.com
Subjek: Kau, Aku, Rumah Becca Arrington, Alat Vitalmu, Dll.
Dear Mr. Worthington,
1. $200 tunai sebaiknya diberikan masing-masing kepada 12
orang yang sepedanya dihancurkan oleh kolegamu memakai
Chevy Tahoe. Ini seharusnya bukan masalah, mengingat ke
kayaanmu yang melimpah.
2. Grafiti di toilet murid laki-laki harus dihentikan.
3. Pistol air? Berisi air seni? Yang benar saja. Dewasalah.
4. Kau sebaiknya memperlakukan sesama murid dengan hor
mat, terutama mereka yang secara sosial tidak seberuntung
dirimu.
5. Kau mungkin sebaiknya menginstruksikan anggota klanmu
agar ikut bersikap penuh tenggang rasa.
Aku menyadari bahwa menyelesaikan beberapa tugas di atas
sangat sulit. Tetapi kalau dipikir-pikir lagi, juga sangat sulit
untuk tidak menyebarkan foto terlampir kepada dunia.
Salam,
Nemesis Lingkunganmu yang Bersahabat
Balasannya tiba dua belas menit kemudian.
Begini, Quentin, dan yeah, aku tahu itu kau. Kau kan tahu
bukan aku yang menembak anak-anak kelas satu itu dengan
air seni. Maaf, tapi bukan aku yang mengendalikan tindakan
orang lain.
Jawabanku:
Mr. Worthington,
Aku paham bukan kau yang mengendalikan Chuck dan Jasper.
Tetapi begini, situasiku juga sama. Bukan aku yang me
ngendalikan setan kecil yang duduk di bahu kiriku. Setan itu
berkata, "CETAK FOTONYA CETAK FOTONYA TEMPELKAN DI
SEANTERO SEKOLAH LAKUKAN LAKUKAN LAKUKAN." Dan
kemudian di bahu kananku, bersemayam malaikat putih mu
ngil. Dan malaikat itu berkata, "Man, aku sungguh-sungguh
berharap semua anak kelas satu itu mendapatkan uang me
reka hari Senin pagi-pagi sekali."
Begitu juga aku, malaikat mungil. Begitu juga aku.
Salam hangat,
Nemesis Lingkunganmu Yang Bersahabat
Jason tidak membalas, dan dia tidak perlu. Semuanya telah di
utarakan.
Ben mampir seusai makan malam dan kami bermain Resurrection,
menekan pause setiap setengah jam untuk menelepon Radar, yang
sedang berkencan dengan Angela. Kami meninggalkan sebelas pesan
untuknya yang semakin lama semakin menjengkelkan dan cabul. Bel
pintu berbunyi setelah pukul sembilan malam. "Quentin!" seru ibuku.
Ben dan aku menduga Radar yang datang, jadi kami menyetop se
jenak permainan dan pergi ke ruang duduk. Chuck Parson dan Jason
Worthington berdiri di ambang pintu. Aku mendekat, dan Jason
berkata, "Hei, Quentin," dan aku mengangguk. Jason melirik Chuck,
yang menatapku dan bergumam, "Maaf, Quentin."
"Untuk apa?" tanyaku.
"Karena menyuruh Jasper menyemprotkan air kencing ke anak
kelas satu itu," gumamnya. Dia diam sejenak, lalu berkata, "Juga
sepeda-sepedanya."
Ben merentangkan kedua lengan, seolah berniat memeluk. "Sini,
bro," ujarnya.
"Apa?"
"Sini," ucapnya lagi. Chuck maju. "Lebih dekat lagi," kata Ben.
Chuck kini berdiri di jalan masuk, mungkin selangkah dari Ben.
Tiba-tiba saja Ben menghantamkan tinju ke perut Chuck. Chuck
nyaris tak berjengit, tapi dia langsung mengangkat tangan untuk
menghajar Ben. Namun Jase menarik tangannya. "Santai, bro," kata
Jesse. "Kan tidak sakit." Jase mengulurkan tangan, untuk bersalaman.
"Aku suka nyalimu, bro," ujarnya. "Maksudku, kau bajingan. Tapi
tetap saja." Aku menjabat tangannya.
Mereka pun pergi, masuk ke Lexus Jese dan meluncur mundur di
jalan masuk. Begitu aku menutup pintu, Ben mengerang keras-keras.
"Ahhhhhhhggg. Oh, Tuhanku yang Maha Pengasih, tanganku." Dia
mencoba mengepalkan tangan dan meringis. "Kurasa Chuck Parson
mengikatkan buku di perutnya."
"Itu namanya otot perut," aku memberitahunya.
"Oh, iya. Aku pernah dengar." Kutepuk punggungnya dan kami
kembali ke kamar untuk bermain Resurrection. Kami baru saja me
mulai permainan lagi ketika Ben berkata, "Omong-omong, kau sadar
tidak Jase bilang ?bro?? Aku membuat bro kembali ngetren. Murni
berkat kekuatan kekerenanku sendiri."
"Yeah, kau melewatkan Jumat malam dengan main game dan
mengelus-elus tangan yang retak saat kau mencoba meninju sese
orang. Pantas saja Jase Worthington memutuskan numpang ngetop
denganmu."
"Setidaknya aku jago main Resurrection," katanya, lalu menembak
punggungku meskipun kami bermain sebagai tim.
Kami bermain beberapa lama lagi, sampai Ben meringkuk begitu
saja di lantai, memeluk controller di dada, dan tidur. Aku juga lelah?
hari ini panjang. Lagi pula, aku berpikir Margo pasti sudah pulang
hari Senin, tapi meskipun begitu, aku agak bangga menjadi seseorang
yang menghentikan penindasan itu.
KINI setiap pagi aku menatap dari balik jendela kamar untuk me
meriksa tanda-tanda kehidupan di kamar Margo. Dia selalu me
nurunkan kerai rotannya, tapi sejak dia pergi, ibunya atau orang lain
membukanya sehingga aku bisa melihat sekilas dinding biru dan
langit-langit putih. Pada Sabtu pagi itu, karena dia baru pergi 48
jam, menurutku dia belum pulang, tapi meskipun begitu aku merasa
kan kerlip kekecewaan ketika melihat kerai itu masih terbuka.
Aku menyikat gigi dan kemudian, setelah menyempatkan diri
menendang Ben untuk membangunkannya, keluar dengan bercelana
pendek dan kaus. Lima orang duduk di meja ruang makan. Ibu dan
ayahku. Ibu dan ayah Margo. Serta laki-laki Afrika-Amerika tinggi
kekar dengan kacamata kebesaran yang mengenakan setelan jas ke
labu, memegang map dokumen.
"Uh, hai," sapaku.
"Quentin," tanya ibuku, "kau bertemu Margo hari Rabu malam?"
Aku memasuki ruang makan dan bersandar di dinding, berdiri di
seberang orang asing itu. Aku sudah memikirkan jawaban untuk
pertanyaan tersebut. "Yeah," ujarku. "Dia mendatangi jendelaku men
jelang tengah malam dan kami mengobrol sebentar lalu Mr. Spiegel
man memergokinya dan dia pulang."
"Dan apa itu?? Apa kau bertemu dia lagi setelah itu?" tanya Mr.
Spiegelman. Dia kelihatan cukup tenang.
"Tidak, kenapa?" tanyaku.
Ibu Margo yang menjawab, suaranya melengking. "Yah," katanya.
"sepertinya Margo melarikan diri. Lagi." Dia mendesah. "Ini sudah
ke?berapa, Josh, empat kalinya?"
"Oh, aku sudah tidak bisa lagi menghitungnya," jawab ayah Margo,
jengkel.
Laki-laki Afrika-Amerika itu kemudian angkat bicara. "Anda
membuat laporan lima kali." Dia menoleh ke arahku dan berkata,
"Detektif Otis Warren."
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Quentin Jacobsen," kataku.
Mom bangkit dan memegang bahu Mrs. Spiegelman. "Debbie,"
ucap ibuku. "Aku ikut prihatin. Ini situasi yang sangat membuat
frustrasi." Aku tahu taktik itu. Trik psikologi yang disebut mendengar
empatik. Kita mengatakan apa yang dirasakan seseorang agar mereka
merasa dipahami. Mom melakukan itu kepadaku setiap waktu.
"Aku tidak frustrasi," ucap Mrs. Spiegelman. "Aku muak."
"Itu benar," timpal Mr. Spiegelman. "Tukang kunci akan datang
siang ini. Kami mengganti kunci rumah. Dia sudah delapan belas
tahun. Maksudku, Detektif baru saja mengatakan bahwa tidak ada
yang dapat kami lakukan?"
"Yah," sela Detektif Warren, "bukan itu tepatnya yang saya katakan.
Saya berkata bahwa dia bukan anak di bawah umur yang hilang, dan
dia berhak meninggalkan rumah."
Mr. Spiegelman masih berbicara dengan ibuku. "Kami dengan
senang hati membiayai kuliahnya, tapi kami tidak bisa mendukung...
kekonyolan ini. Connie, dia sudah delapan belas! Dan dia sangat
egois! Dia perlu mengetahui konsekuensinya."
Ibuku menarik tangannya dari bahu Mrs. Spiegelman. "Aku akan
mengatakan dia perlu mengetahui konsekuensi yang didasari kasih
sayang," kata ibuku.
"Yah, dia bukan putrimu, Connie. Dia tidak memperlakukan kalian
seperti keset selama satu dekade. Kami punya anak lain untuk di
pikirkan."
"Juga diri kami sendiri," Mr. Spiegelman menambahkan. Dia kemu
dian mendongak menatapku. "Quentin, maaf kalau dia mencoba
melibatkanmu dalam permainan kecilnya. Kau bisa membayangkan
bagaimana... bagaimana memalukannya ini bagi kami. Kau anak yang
sangat baik, dan dia... yah."
Aku menjauh dari dinding dan menegakkan tubuh. Aku agak
kenal orangtua Margo, tapi belum pernah melihat mereka bersikap
semenjengkelkan ini. Pantas saja Margo jengkel pada mereka Rabu
malam lalu. Aku melirik Detektif. Dia tengah membalik-balik doku
men dalam map. "Dia dikenal suka meninggalkan sedikit jejak; apakah
itu benar?"
"Petunjuk-petunjuk," kata Mr. Spiegelman, kini berdiri. Detektif
itu meletakkan map di meja, dan ayah Margo mencondongkan tubuh
ke depan untuk ikut melihatnya. "Petunjuk di mana-mana. Pada hari
dia kabur ke Mississippi, dia menyantap sup alfabet dan menyisakan
tepat empat huruf di mangkuk supnya: satu M, satu I, satu S, dan
satu P. Dia kecewa ketika kami tidak bisa merangkai petunjuk ter
sebut, meskipun seperti yang kukatakan padanya ketika dia akhirnya
pulang: ?Bagaimana kami bisa menemukanmu jika yang kami ketahui
hanya Mississippi? Itu negara bagian yang besar, Margo!?"
Detektif berdeham. "Dan dia meninggalkan Minnie Mouse di
tempat tidur sewaktu melewatkan satu malam di Disney World."
"Benar," sahut ibunya. "Petunjuk-petunjuk. Petunjuk-petunjuk
bodoh. Tapi kita takkan pernah bisa menelusurinya ke mana pun,
percayalah."
Detektif mendongak dari buku catatannya. "Kami akan menyebar
kan informasi ini, tentu saja, tapi dia tidak bisa dipaksa pulang; kalian
tidak bisa mengharapkan dia kembali ke rumah kalian dalam waktu
dekat."
"Aku tidak mau dia kembali ke rumah kami." Mrs. Spiegelman
mengangkat tisu ke mata, meskipun aku tak mendengar tangis dalam
suaranya. "Aku sadar kedengarannya memang jahat, tapi itu serius."
"Deb," kata ibuku dengan suara ahli terapinya.
Mrs. Spiegelman hanya menggeleng?gelengan sekilas. "Kami bisa
berbuat apa lagi? Kami sudah memberitahu Detektif. Kami sudah
membuat laporan. Dia sudah dewasa, Connie."
"Dia orang dewasa kalian," ucap ibuku, masih tenang.
"Oh, ayolah, Connie. Begini, apa sinting jika kepergiannya dari
rumah adalah berkah bagi kami? Tentu saja itu sinting. Tapi dia pe
nyakit dalam keluarga ini! Bagaimana caramu mencari orang yang
mengumumkan dia takkan ditemukan, yang selalu meninggalkan
petunjuk yang tak mengarah ke mana-mana, yang terus-terusan me
larikan diri? Kau tidak bisa!"
Ibu dan ayahku bertatapan, kemudian Detektif bicara padaku.
"Nak, apa kita bisa mengobrol secara pribadi?" Aku mengangguk.
Kami berakhir di kamar orangtuaku, dia di kursi santai sedangkan
aku duduk di sudut tempat tidur mereka.
"Nak," katanya begitu duduk, "izinkan aku memberimu sedikit
saran: jangan pernah bekerja untuk pemerintah. Sebab ketika bekerja
untuk pemerintah, kau bekerja untuk masyarakat. Dan ketika kau
bekerja untuk masyarakat, kau harus berinteraksi dengan mereka,
bahkan keluarga Spiegelman." Aku tertawa kecil.
"Biar aku bicara blakblakan denganmu, Nak. Orang-orang itu tahu
cara menjadi orangtua sama seperti aku tahu cara berdiet. Aku sudah
pernah berurusan dengan mereka, dan aku tidak menyukai mereka.
Aku tidak peduli kalau kau memberitahu orangtuanya di mana dia,
tapi aku akan menghargai jika kau memberitahuku."
"Aku tidak tahu," kataku. "Serius."
"Nak, aku sudah memikirkan tentang gadis ini. Hal-hal yang di
lakukannya?dia membobol masuk Disney World, misalnya, benar?
Dia pergi ke Mississippi dan meninggalkan petunjuk berupa sup
alfabet. Dia menggalang kampanye besar untuk melempari rumahrumah dengan tisu toilet."
"Bagaimana kau bisa tahu soal itu?" Dua tahun lalu, Margo me
mimpin gerakan menisu-toiletkan dua ratus rumah dalam semalam.
Tidak perlu dikatakan, aku tak diundang dalam petualangan tersebut.
"Aku sudah menangani kasus ini sebelumnya. Jadi, Nak, di sinilah
aku butuh bantuanmu: siapa yang merencanakannya? Gagasan sinting
itu. Dia juru bicaranya, orang yang cukup sinting untuk melakukan
segala-galanya. Tapi siapa yang merencanakannya? Siapa yang hanya
duduk-duduk memegang catatan penuh diagram untuk menentukan
berapa banyak tisu toilet yang dibutuhkan untuk melempari begitu
banyak rumah?"
"Semuanya dia, menurutku."
"Tapi dia mungkin punya partner, seseorang yang membantunya
melakukan semua tindakan besar dan brilian ini, dan barangkali yang
mengetahui rahasianya bukan orang yang sudah jelas, bukan sahabat
atau pacarnya. Bisa jadi orang itu bukan yang langsung terpikirkan
olehmu," ucap Detektif. Dia menarik napas dan akan mengatakan
sesuatu lagi ketika aku menyela.
"Aku tidak tahu di mana dia," kataku. "Sumpah."
"Hanya memeriksa, Nak. Omong-omong, kau tahu sesuatu, kan?
Jadi kita mulai dari situ saja." Aku menceritakan segala-galanya. Aku
memercayai polisi itu. Dia mencatat sedikit sementara aku bicara,
tapi tidak terlalu detail. Dan sesuatu mengenai memberitahu Detektif,
dan dia menulis di buku catatan, dan orangtua Margo yang sangat
menyebalkan?sesuatu mengenai semua itu membuatku menyadari
untuk pertama kalinya bahwa ada kemunginkan Margo hilang untuk
selama-lamanya. Aku merasakan kecemasan mulai membetot napasku
ketika selesai bicara. Detektif tidak berkata apa-apa selama beberapa
waktu. Dia hanya membungkuk di kursi dan menatap melewatiku
sampai melihat apa pun yang ditunggunya, dan kemudian dia mulai
bicara.
"Dengar, Nak. Inilah yang terjadi: seseorang?biasanya anak ga
dis?yang memiliki semangat bebas, tidak terlalu akur dengan orang
tuanya. Anak-anak ini, mereka mirip balon helium yang diikat.
Mereka berjuang melawan ikatan itu terus-menerus, dan kemudian
sesuatu terjadi, dan talinya putus, mereka pun melayang menjauh
begitu saja. Dan barangkali kau takkan pernah melihatnya lagi. Balon
itu bisa saja mendarat di Kanada atau di mana pun; bekerja di res
toran, dan sebelum balon itu menyadari, dia sudah bekerja menuang
kopi di diner yang sama untuk bajingan menyedihkan yang sama
selama tiga puluh tahun. Tetapi mungkin saja tiga atau empat tahun
lagi, atau tiga atau empat hari lagi, angin membawa pulang balon itu,
karena dia butuh uang, atau dia menyadari kesalahannya, atau dia
merindukan adiknya. Tapi dengar, Nak, tali semacam itu kerap kali
putus."
"Yeah, tap?"
"Aku belum selesai, Nak. Masalahnya dengan balon-balon se
macam ini adalah jumlahnya sangat banyak. Angkasa penuh sesak
oleh mereka, bergesekan satu sama lain saat melayang ke sana kemari,
dan semua balon itu berakhir di mejaku dengan berbagai cara, dan
setelah beberapa lama seseorang bisa menjadi patah semangat. Di
mana-mana ada balon, dan masing-masing memiliki ibu atau ayah,
atau amit-amit keduanya, dan setelah beberapa lama, kau tak bisa
lagi melihat mereka sebagai individu. Kau mendongak melihat semua
balon-balon di udara dan kau bisa melihat semuanya, tapi kau tidak
bisa melihat balon siapa pun." Dia diam sejenak, dan menarik napas
keras-keras, seolah menyadari sesuatu. "Tapi sesekali kau berbicara
dengan bocah bermata besar dan berambut lebat dan kau ingin ber
bohong padanya karena sepertinya dia anak yang baik. Dan kau
merasa tidak enak dengan dia, karena satu-satunya hal yang lebih
buruk daripada angkasa yang kaulihat penuh balon adalah apa yang
dilihat anak itu: langit biru cerah disela oleh hanya satu balon. Tapi
begitu tali balon itu putus, Nak, kau tak bisa membatalkannya. Kau
mengerti apa yang kukatakan?"
Aku mengangguk, meskipun tak yakin benar-benar mengerti. De
tektif bangkit. "Menurutku dia akan segera kembali, Nak. Kalau itu
bisa membantu."
Aku menyukai gambaran Margo sebagai balon, tapi aku tahu dari
aksinya berusaha puitis, sang detektif melihat lebih banyak kecemasan
pada diriku dibandingkan sengatan kekhawatiran yang sebenarnya
kurasakan. Aku tahu Margo akan kembali. Dia akan mengempis dan
melayang kembali ke Jefferson Park. Dia selalu begitu.
Kuikuti Detektif kembali ke ruang makan, dan setelahnya dia berkata
ingin ke rumah keluarga Spiegelman lagi untuk memeriksa sedikit
kamar Margo. Mrs. Spiegelman memelukku dan berkata, "Dari dulu
kau anak baik; maaf kalau dia membuatmu terjebak dalam kekonyolan
ini." Mr. Spiegelman menjabat tanganku, dan mereka pun pergi.
Begitu pintu tertutup, ayahku berkata, "Wow."
"Wow," Mom sependapat.
Dad merangkulku. "Mereka itu orang berdarah panas yang sangat
bermasalah, ya, Nak?"
"Mereka brengsek," kataku. Orangtuaku selalu senang bila aku
mengumpat di depan mereka. Aku bisa melihat kelegaan di wajah
mereka. Itu artinya aku memercayai mereka, bahwa aku tetap menjadi
diriku sendiri di depan mereka. Tetapi meskipun begitu, mereka
tampak sedih.
"Orangtua Margo mengalami cedera narsistik parah setiap kali dia
bertingkah," kata Dad padaku.
"Itu menghalangi mereka mengasuh dengan efektif," ibuku me
nambahkan.
"Mereka brengsek," ulangku.
"Jujur saja," ucap ayahku, "barangkali mereka benar. Margo mung
kin mencari perhatian. Dan aku pun butuh perhatian kalau mereka
jadi orangtuaku."
"Ketika Margo kembali," kata ibuku, "dia akan terpukul. Dicampak
kan seperti itu! Dikucilkan pada saat dia paling butuh dicintai."
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkin dia bisa tinggal di sini ketika dia pulang," ujarku, dan
saat mengatakannya aku menyadari bahwa gagasan itu sangat bagus.
Mata Mom juga berbinar tapi kemudian dia melihat sesuatu dalam
ekspresi Dad dan mengomentariku dengan kehati-hatian seperti
biasanya.
"Yah, dia jelas disambut dengan baik di sini, meskipun ada tan
tangan tersendiri dalam hal itu?mengingat kita bertetangga dengan
keluarga Spiegelman. Tapi bila dia kembali ke sekolah, tolong katakan
padanya bahwa dia disambut di sini, dan kalau dia enggan tinggal
dengan kita, ada banyak pilihan tersedia untuknya yang bisa kita
bahas dengan senang hati bersamanya."
Saat itulah Ben muncul, rambut acak-acakan sehabis tidurnya
sepertinya menentang hukum gravitasi. "Mr. dan Mrs. Jacobsen?se
nang bertemu kalian."
"Selamat pagi, Ben. Aku tidak tahu kau menginap."
"Sebenarnya aku juga," balasnya. "Ada apa?"
Kuceritakan pada Ben tentang detektif, keluarga Spiegelman, dan
Margo yang secara teknis termasuk orang dewasa yang menghilang.
Dan setelah selesai, dia mengangguk dan berkata, "Sebaiknya kita
mendiskusikan ini sembari menikmati sepiring panas Resurrection."
Aku tersenyum dan mengikutinya kembali ke kamarku. Radar datang
tak lama kemudian, dan begitu dia tiba, aku ditendang dari tim, ka
rena kami menghadapi misi berat dan meskipun memiliki permainan
itu, aku tidak terlalu jago bermain Resurrection. Selagi menonton
mereka menerobos stasiun ruang angkasa yang penuh ghoul, Ben
berkata, "Goblin, Radar, goblin."
"Aku melihatnya."
"Sini, bajingan kecil," ucap Ben, controller meliuk-liuk di tangannya.
"Daddy mau menaruhmu di perahu yang menyeberangi Sungai Styx."
"Apa kau barusan memakai mitologi Yunani untuk menghina?"
tanyaku.
Radar terbakak. Ben mulai menghajar tombol-tombol, berteriak,
"Makan ini, goblin! Makan ini seperti Zeus menelan Metis!"
"Menurutku hari Senin dia pasti sudah pulang," kataku. "Kau kan
tidak mau terlalu sering bolos sekolah, meskipun kau Margo Roth
Spiegelman. Mungkin dia bisa tinggal di sini sampai lulus."
Radar menanggapiku terputus-putus karena sambil bermain
Resurrection. "Aku bahkan tidak mengerti kenapa dia pergi, apa hanya
imp di posisi jam enam jangan dude pakai senjata laser gara-gara patah
hati? Kupikir dia di mana crypt-nya apa di sebelah kiri kebal dari
hal-hal semacam itu."
"Bukan," sahutku. "Bukan itu, menurutku. Bukan hanya karena
itu, setidaknya. Dia bisa dibilang membenci Orlando; dia menyebut
Orlando kota kertas. Tahu kan, semuanya begitu palsu dan rapuh.
Kupikir dia hanya butuh jeda dari semua itu."
Aku kebetulan melirik ke luar jendela, dan langsung melihat bahwa
seseorang?sang detektif, tebakku?telah menurunkan kerai kamar
Margo. Tetapi bukan kerainya yang kulihat. Aku malah menatap
poster hitam-putih, direkatkan di baliknya. Dalam poster itu, berdiri
seorang laki-laki, bahunya agak membungkuk, memandang ke depan.
Sebatang rokok menjuntai dari mulutnya. Bahunya menyandang gitar
yang dicat dengan kata-kata THIS MACHINE KILLS FASCISTS.
"Ada sesuatu di jendela Margo." Musik game berhenti, Radar dan
Ben berlutut di kedua sisiku. "Itu baru?" tanya Radar.
"Aku sudah melihat kerai itu sejuta kali," jawabku, "tapi aku belum
pernah melihat poster itu."
"Aneh," komentar Ben.
"Baru tadi pagi orangtua Margo bilang bahwa dia kadang-kadang
meninggalkan petunjuk," ceritaku. "Tetapi petunjuknya tak pernah
cukup konkret untuk menemukan dia sebelum dia pulang."
Radar sudah mengeluarkan perangkat genggamnya; dia mencari
arti kalimat itu di Omnictionary. "Foto Woody Guthrie," katanya.
"Penyanyi folk, 1912-1967. Menyanyikan lagu-lagu tentang kelas
pekerja. This Land Is Your Land. Sedikit tentang Komunisme. Um,
menginspirasi Bob Dylan." Radar memainkan sekelumit dari salah
satu lagunya?suara serak melengking yang menyanyikan tentang
serikat buruh.
"Aku akan mengirim e-mail untuk orang yang menulis sebagian
besar laman ini dan mencari tahu apakah ada kaitan jelas antara
Woody Guthrie dan Margo," ucap Radar.
"Aku tidak bisa membayangkan dia suka lagu-lagu Guthrie," kata
"Serius," ujar Ben. "Orang itu kedengaran seperti Kermit Kodok
alkoholik yang kena kanker tenggorokan."
Radar membuka jendela dan melongokkan kepala ke luar, ce
lingukan. "Sepertinya hampir pasti dia meninggalkan itu untukmu,
Q. Maksudku, apa dia kenal orang lain yang bisa melihat jendelanya?"
Aku menggeleng menyatakan tidak.
Sejenak kemudian, Ben menambahkan, "Cara Guthrie menatap
kita?seperti bilang, ?perhatikan aku.? Dan kepalanya itu, tahu kan?
Dia kelihatannya bukan berdiri di panggung; sepertinya dia berdiri
di ambang pintu atau semacamnya."
"Kurasa dia ingin agar kita masuk," kataku.
KAMI tidak bisa melihat pintu depan atau garasi rumah Margo dari
kamarku: untuk itu kami harus duduk di ruang keluarga. Jadi, ketika
Ben kembali memainkan Resurrection, Radar dan aku pergi ke ruang
keluarga dan berlagak menonton TV sambil mengawasi pintu depan
keluarga Spiegelman lewat jendela besar, menunggu ibu dan ayah
Margo pergi. Crown Victoria hitam Detektif Warren masih diparkir
di jalan masuk.
Detektif itu pergi setelah sekitar lima belas menit kemudian, tapi
pintu depan atau garasi tak terbuka lagi selama satu jam. Radar dan
aku menonton komedi bertema kanabis yang agak lucu di HBO, dan
aku mulai serius mengikuti jalan ceritanya ketika Radar berkata,
"Pintu garasi." Aku melompat dari sofa dan mendekati jendela agar
bisa melihat dengan jelas siapa yang berada di mobil. Mr. dan Mrs.
Spiegelman. Ruthie masih di rumah. "Ben!" teriakku. Dia keluar se
cepat kilat, dan begitu keluarga Spiegelman berbelok dari Jefferson
Way dan memasuki Jefferson Road, kami bergegas keluar memasuki
pagi yang panas dan lembap.
Kami melintasi pekarangan keluarga Spiegelman menuju pintu
depan mereka. Aku membunyikan bel dan mendengar derap kaki
Myrna Mountweazel di lantai kayu, dan kemudian dia menggonggong
seperti kesetanan, menatap kami dari balik kaca di samping pintu.
Ruthie membukakan pintu. Dia gadis kecil manis yang mungkin
berumur sebelas tahun.
"Hai, Ruthie."
"Hai, Quentin," balasnya.
"Orangtuamu ada?"
"Mereka baru saja pergi," jawabnya, "ke Target." Ruthie memiliki
mata besar Margo, tapi berwarna hazel. Dia mendongak menatapku,
bibirnya merapat cemas. "Tadi kau ketemu polisi itu?"
"Yeah," jawabku. "Kelihatannya dia baik."
"Mom bilang anggap saja seperti Margo kuliah lebih cepat."
"Yeah," kataku, berpikir bahwa cara termudah memecahkan misteri
adalah dengan memutuskan bahwa tidak ada misteri yang perlu di
pecahkan. Tetapi sepertinya jelas bagiku bahwa Margo meninggalkan
petunjuk dari sebuah misteri.
"Begini, Ruthie, kami perlu melihat kamar Margo," kataku. "Tapi
masalahnya?ini mirip dengan ketika Margo menyuruhmu melaku
kan sesuatu yang super-rahasia. Situasi kami sama."
"Margo tidak senang ada orang masuk ke kamarnya," kata Ruthie.
"Kecuali aku. Dan kadang-kadang Mommy."
"Tapi kami kan teman."
"Dia tidak suka teman-temannya masuk ke kamar," ucap Ruthie.
Aku mencondongkan tubuh ke arahnya. "Ruthie, kumohon."
"Dan kau tidak mau aku mengadu pada Mommy dan Daddy,"
ujarnya.
"Betul."
"Lima dolar," ujarnya. Aku berniat tawar-menawar dengannya, tapi
Radar mengeluarkan selembar lima dolar dan menyerahkannya pada
Ruthie. "Kalau aku melihat mobil di jalan masuk, akan kuberitahu,"
ucap Ruthie dengan nada bersekongkol.
Aku berlutut untuk membelai Myrna Mountweazel yang sudah
menua-tapi-tetap-bersemangat, lalu bergegas menuju lantai atas ke
kamar Margo. Ketika memegang kenop pintu, terpikir olehku bahwa
aku tidak pernah lagi melihat seisi kamar Margo sejak umurku kirakira sepuluh tahun.
Aku masuk. Kamar Margo jauh lebih rapi daripada perkiraan,
tapi jangan-jangan ibunya sudah merapikannya. Di kananku, ada
lemari yang penuh sesak dengan pakaian. Di belakang pintu, rak
sepatu berisi selusin pasang sepatu, mulai dari tipe Mary Jane sampai
prom sepatu bertumit tinggi. Sepertinya tidak banyak yang hilang
dari lemari pakaian itu.
"Aku mau periksa komputer," kata Radar. Ben berkutat dengan
kerai. "Posternya dilem," ucapnya. "Pakai selotip. Tidak terlalu kuat."
Kejutan besarnya terdapat di dinding dekat meja komputer: rak
buku setinggi aku dan panjangnya dua kali lipat, penuh dengan pi
ringan hitam. Ratusan piringan hitam. "A Love Supreme dari John
Coltrane di pemutar piringan hitam," kata Ben.
"Ya Tuhan, itu album yang brilian," komentar Radar tanpa ber
paling dari komputer. "Cewek itu seleranya boleh juga." Kutatap Ben,
kebingungan, lalu Ben berkata, "Dia pemain saksofon." Aku meng
angguk.
Masih mengetik, Radar berkomentar, "Aku tidak percaya Q tak
pernah dengar nama Coltrane. Permainan Trane secara harfiah me
rupakan bukti keberadaan Tuhan yang paling meyakinkan yang
pernah kuketahui."
Aku mulai melihat-lihat piringan hitam. Mereka disusun berdasar
kan abjad artisnya, jadi aku memeriksanya, mencari bagian G. Dizzy
Gillespie, Jimmie Dale Gilmore, Green Day, Guided by Voices,
George Harrison. "Dia punya setiap musisi di dunia ini kecuali
Woody Guthrie," kataku. Dan aku pun kembali, mencari lagi dari A.
"Semua buku sekolahnya masih di sini," kudengar Ben berkata.
"Ditambah beberapa buku lain di meja samping tempat tidurnya.
Tidak ada jurnal."
Tetapi aku teralihkan oleh koleksi musik Margo. Dia suka semua
nya. Aku tidak pernah bisa membayangkan dia mendengarkan semua
rekaman lama ini. Aku pernah melihatnya mendengarkan musik saat
berlari, tapi tak pernah menduga obsesi semacam ini. Aku tidak per
nah mendengar sebagian besar band ini, dan aku terkejut mengetahui
bahwa piringan hitam baru masih diproduksi.
Aku terus memeriksa bagian A lalu B?bergerak melewati The
Beatles dan The Blind Boys of Alabama dan Blondie?lalu aku mulai
memeriksa lebih cepat, saking cepatnya hingga tidak melihat sampul
belakang Mermaid Avenue dari Billy Bragg sampai aku tiba di album
The Buzzcocks. Aku berhenti, kembali lagi, dan menarik ke luar
album Billy Bragg. Di sampul depan album terdapat foto deretan
rumah-rumah urban. Tetapi di belakang, Woodie Guthrie menatapku,
sebatang rokok menjuntai dari bibirnya, memegang gitar yang ber
tuliskan THIS MACHINE KILLS FASCISTS.
"Hei," kataku. Ben menoleh.
"Astaganaga," ucapnya. "Temuan hebat." Radar memutar kursi dan
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkomentar, "Mengesankan. Aku penasaran apa isinya."
Sayangnya, hanya piringan hitam yang ada di dalamnya. Pelatnya
persis seperti piringan hitam seharusnya. Aku meletakkannya di pe
mutar piringan hitam Margo dan pada akhirnya tahu cara menyala
kannya dan menaruh jarumnya. Ada laki-laki menyanyikan lagu-lagu
Woodie Guthrie. Suaranya lebih bagus daripada Woodie Guthrie.
"Apa ini, hanya kebetulan sinting?"
Ben memegang sampul album. "Coba lihat," katanya. Dia menunjuk
daftar lagu. Dengan bolpoin hitam tipis, lagu berjudul Walt
Whitman?s Niece dilingkari.
"Menarik," kataku. Ibu Margo berkata bahwa petunjuk-petunjuk
Margo tidak pernah mengarah ke mana pun, tapi kini aku tahu bahwa
Margo menciptakan serangkaian petunjuk?dan dia sepertinya me
ninggalkan ini untukku. Aku langsung teringat saat di SunTrust
Building, katanya aku lebih baik ketika menunjukkan rasa percaya
diri. Aku membalik piringan hitam dan memutarnya lagi. "Walt
Whitman?s Niece" adalah lagu pertama di sisi kedua piringan hitam.
Tidak jelek, sebenarnya.
Ketika itulah aku melihat Ruthie di ambang pintu. Dia menatapku.
"Ada petunjuk untuk kami, Ruthie?" Dia menggeleng. "Aku sudah
mencari," ucapnya murung. Radar menatapku dan mengedikkan ke
pala ke arah Ruthie.
"Kau bisa bantu kami mengawasi siapa tahu ibumu datang?" aku
meminta. Gadis kecil itu mengangguk dan pergi. Aku menutup pintu.
"Ada apa?" kutanya Radar. Dia mengisyaratkan agar kami mende
kat ke komputer. "Satu minggu sebelum pergi, Margo cukup sering
membuka Omnictionary. Aku bisa tahu dari waktu log masuk user
name-nya, yang disimpannya dalam password-nya. Tapi dia menghapus
histori penjelajahannya, jadi aku tidak tahu apa yang dicarinya."
"Hei, Radar, coba cari siapa Walt Whitman," kata Ben.
"Dia penyair," jawabku. "Abad ke-19."
"Bagus," ujar Ben, memutar bola mata. "Puisi."
"Apa yang salah dengan puisi?" tanyaku.
"Puisi itu emo banget," sahutnya. "Oh, sakitnya. Sakitnya. Hujan
senantiasa. Dalam jiwaku."
"Yeah. Kurasa itu Shakespeare," ucapku sambil lalu. "Apa Whitman
punya keponakan?" kutanya Radar. Dia sudah membuka laman
Whitman di Omnictionary. Laki-laki kekar dengan janggut lebat.
Aku tak pernah membaca karyanya, tapi dia tampak seperti penyair
hebat.
"Uh, tidak ada yang terkenal. Katanya dia punya beberapa saudara
laki-laki tapi tidak ada yang menyebut-nyebut apakah mereka punya
anak. Mungkin aku bisa mencari tahu kalau kau mau." Aku meng
geleng. Kedengarannya tidak cocok. Aku kembali mengedarkan
pandang di ruangan. Rak terbawah koleksi piringan hitam Margo
juga berisi sejumlah buku?buku tahunan SMP, novel The Outsiders
lusuh?dan beberapa majalah remaja edisi lama. Tidak ada yang
berkaitan dengan keponakan Walt Whitman, tentunya.
Aku memeriksa buku-buku di nakas sebelah tempat tidurnya.
Tidak ada yang menarik. "Akan masuk akal kalau dia punya buku
puisi Whitman," ujarku. "Tapi sepertinya tidak ada."
"Dia punya kok!" kata Ben penuh semangat. Aku mendekat ke
tempat Ben berlutut di dekat rak buku, dan melihatnya. Aku me
lewatkan buku tipis di rak bawah, terjepit di antara dua buku ta
hunan. Walt Whitman. Leaves of Grass. Kuambil buku itu. Ada foto
Whitman di sampulnya, mata terangnya balas menatapku.
"Lumayan," kataku pada Ben.
Dia mengangguk. "Yeah, apa kita sudah bisa keluar dari sini? Sebut
saja aku kolot, tapi aku lebih senang tidak di sini ketika orangtua
Margo kembali."
"Ada lagi yang kita lewatkan?"
Radar bangkit. "Sepertinya dia memang membuat batasan; pasti
ada sesuatu dalam buku itu. Tapi tetap saja aneh?maksudku, jangan
tersinggung, tapi kalau sebelumnya dia selalu meninggalkan petunjuk
bagi orangtuanya, kenapa kali ini dia meninggalkannya untukmu?"
Aku mengedikkan bahu. Aku tidak tahu jawabannya, tapi tentu
saja aku punya harapan: mungkin Margo perlu melihat kepercayaan
diriku. Mungkin kali ini dia ingin ditemukan, dan ditemukan olehku.
Barangkali?sama seperti dia memilihku ketika malam terpanjang
itu, kini dia memilihku lagi. Dan mungkin hadiah besar menantikan
orang yang menemukan dia.
Ben dan Radar pulang segera setelah kami kembali ke rumahku,
sesudah masing-masing menelaah buku itu dan tidak menemukan
petunjuk jelas apa pun. Aku mengambil lasagna dingin dari kulkas
untuk makan siang lalu masuk ke kamar bersama Walt. Buku itu
edisi pertama Leaves of Grass versi Penguin Classics. Aku membaca
sekilas dari pendahuluan dan kemudian membalik-balik halamannya.
Ada beberapa kutipan ditandai dengan penanda biru, semuanya dari
puisi superpanjang berjudul Song of Myself. Dan ada dua baris dari
puisi itu yang diberi penanda hijau:
Lepaskan kunci-kunci dari pintu-pintu!
Lepaskan pintu-pintu dari kosennya!
Aku menghabiskan sebagian besar sore berusaha memahami ku
tipan itu, berpikir barangkali itu cara Margo menyuruhku agar men
jadi lebih jagoan atau apa. Namun aku juga membaca berulang-ulang
semua baris yang diberi penanda biru:
Jangan lagi engkau memetik segalanya dari tangan kedua atau ketiga...
jangan pula menatap melalui mata si mati... janganlah juga
melahap hantu-hantu dalam buku.
Aku mengarungi perjalanan abadi
Segalanya bergerak maju dan keluar, tiada yang gugur
Dan kematian tidaklah serupa dengan sangkaan siapa pun, dan
bukan pula sesuatu yang buruk.
Apabila tidak ada di dunia ini yang peduli aku berpuas diri,
Dan apabila semuanya peduli aku berpuas diri.
Tiga stanza terakhir dari Song of Myself juga ditandai dengan pena
pewarna.
Aku menyerahkan diri kepada tanah untuk tumbuh dari rerumputan
yang kucintai,
Apabila engkau mendambakan diriku lagi cari aku di bawah sol
sepatumu.
Engkau nyaris tak tahu siapa diriku atau apa maksudku,
Namun aku senantiasa akan memberi dikau kesehatan,
Dan menyaring serta menguatkan darah milikmu.
Gagal menangkapku pada kali pertama tetaplah bersemangat,
Melewatkan diriku di suatu tempat kembalilah mencari,
Aku berlabuh di suatu tempat menantikan dikau.
Akhir pekan ini diisi dengan membaca, mencoba melihat Margo
dalam fragmen-fragmen puisi yang ditinggalkannya untukku. Aku
tak bisa memahami larik-larik itu, tapi aku tetap saja memikirkannya,
karena aku tidak mau mengecewakan Margo. Dia menghendaki aku
mengerahkan segala daya upaya, untuk menemukan tempatnya ber
henti dan menungguku, demi mengikuti jejak remah-remah roti
hingga berakhir kepadanya.
SENIN pagi, peristiwa luar biasa terjadi. Aku terlambat, itu normal;
kemudian ibuku mengantarku ke sekolah, itu normal; lalu aku berdiri
di luar mengobrol beberapa lama dengan semuanya, itu normal; se
telahnya aku dan Ben masuk, itu juga normal. Tetapi begitu kami
membuka pintu baja, wajah Ben menyiratkan kombinasi semangat
dan kepanikan, seolah dia baru saja dipilih dari kerumunan penonton
oleh pesulap untuk menampilkan trik tubuh-digergaji-separuh. Aku
mengikuti tatapannya menyusuri koridor.
Rok mini denim. Kaus putih ketat. Berleher rendah. Kulit indah
berwarna zamrud. Kaki yang membuatmu peduli pada kaki. Rambut
cokelat ikal yang ditata rapi. Pin laminasi bertuliskan PILIH AKU JADI
RATU PROM. Lacey Pemberton. Menghampiri kami. Di sebelah ruang
band.
"Lacey Pemberton," bisik Ben, meskipun gadis itu hanya kira-kira
tiga langkah dari kami dan bisa mendengarnya dengan jelas, dan
malahan menyunggingkan senyum lebar palsu mendengar namanya
disebut.
"Quentin," dia menyapaku, dan lebih daripada apa pun, menurutku
mustahil dia bisa mengetahui namaku. Dia mengisyaratkan dengan
kedikan kepala, dan aku mengikutinya melewati ruang band, menuju
deretan loker. Ben menjajari langkahku.
"Hai, Lacey," kataku begitu dia berhenti melangkah. Aku bisa
mencium parfumnya, dan aku teringat aroma itu di SUV-nya, teringat
ikan lele remuk ketika Margo dan aku menurunkan jok mobilnya
keras-keras.
"Kudengar kau bersama Margo."
Aku hanya menatapnya.
"Malam itu, dengan ikan lele? Di mobilku? Dan di lemari Becca?
Dan lewat jendela Jase?"
Aku tetap menatap. Aku tak yakin harus bilang apa. Seorang
laki-laki bisa menjalani kehidupan panjang dan penuh petualangan
tanpa pernah bicara dengan Lacey Pemberton, dan ketika kesempatan
langka itu tiba, tidak ada yang kepengin salah bicara. Maka Ben pun
bicara untukku. "Yeah, mereka nongkrong bareng," kata Ben, seolah
Margo dan aku akrab.
"Apa dia marah padaku?" tanya Lacey sesaat kemudian. Dia me
natap ke bawah, aku bisa melihat perona mata cokelatnya.
"Apa?"
Dia kemudian berucap pelan, ada getaran amat lirih dalam suara
nya, dan seketika itu juga Lacey Pemberton bukanlah Lacey Pem
berton. Dia hanya?yah, orang biasa. "Apa dia, tahu kan, marah
padaku gara-gara sesuatu?"
Aku merenungkan beberapa lama bagaimana menjawab itu. "Uh,
dia agak kecewa kau tidak memberitahunya soal Jase dan Becca, tapi
kau kan kenal Margo. Dia akan melupakannya."
Lacey mulai menyusuri koridor. Ben dan aku membiarkannya
pergi, tapi dia melambatkan langkah. Dia ingin kami berjalan ber
samanya. Ben menyikutku, dan kami pun mulai melangkah ber
iringan. "Aku bahkan tidak tahu soal Jase dan Becca. Itulah ma
salahnya. Ya Tuhan, kuharap aku bisa menjelaskan itu padanya se
cepatnya. Aku sempat sangat khawatir dia benar-benar pergi, tapi
kemudian aku memeriksa lokernya karena aku tahu kombinasinya
dan semua fotonya masih ada, seluruh bukunya juga tersimpan di
sana."
"Itu bagus," komentarku.
"Yeah, tapi ini sudah empat hari. Hampir merupakan rekor bagi
nya. Dan tahu tidak, ini benar-benar menyebalkan, karena Craig
tahu, dan aku sangat jengkel dia tidak bilang padaku sampai-sampai
aku putus dengannya, dan sekarang aku tidak punya kencan prom,
dan sahabatku pergi, ke New York atau ke manalah, dengan pikiran
aku melakukan sesuatu yang TIDAK PERNAH kulakukan." Aku
menatap Ben. Ben balas menatapku.
"Aku harus masuk kelas," kataku. "Tapi kenapa kau bilang dia di
New York?"
"Kalau tidak salah dia bilang pada Jase dua hari sebelum dia pergi
bahwa New York itu satu-satunya kota di Amerika tempat seseorang
bisa menjalani kehidupan yang agak tertahankan. Mungkin dia cuma
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
asal bicara. Entahlah."
"Oke, aku harus pergi," kataku.
Aku tahu Ben takkan pernah meyakinkan Lacey untuk pergi ke
prom bersamanya tapi kupikir setidaknya temanku berhak mendapat
kan kesempatan itu. Aku berlari kecil melintasi koridor menuju
lokerku, mengelus kepala Radar saat melewatinya. Dia mengobrol
dengan Angela dan seorang gadis anak kelas satu anggota band. "Ja
ngan berterima kasih padaku. Berterimakasihlah pada Q," aku men
dengar Radar mengatakan itu pada si gadis kelas satu, dan gadis itu
berseru, "Terima kasih untuk dua ratus dolarnya!" Tanpa menoleh
aku membalas, "Jangan berterima kasih kepadaku, berterima kasihlah
pada Margo Roth Spiegelman!" sebab dialah yang memberiku sarana
yang kubutuhkan.
Aku tiba di loker dan mengambil buku catatan Kalkulus, tapi
kemudian aku tetap di sana, bahkan setelah bel kedua berbunyi,
berdiri di tengah-tengah koridor sementara murid lain bergegas me
lewatiku dari kedua arah, seolah aku menjadi median di jalan raya.
Satu anak lagi berterima kasih untuk dua ratus dolar itu. Aku terse
nyum padanya. Sekolah ini terasa lebih menjadi milikku dibandingkan
dengan seluruh empat tahunku di sini. Kami sudah mendapatkan
keadilan bagi anak-anak band yang sepedanya rusak. Lacey Pemberton
bicara padaku. Chuck Parson meminta maaf.
Aku sangat mengenal koridor ini?dan akhirnya rasanya koridor
ini juga mulai mengenalku. Aku masih di sana ketika bel ketiga ber
dering dan kerumunan menyusut. Saat itulah aku masuk kelas Kal
kulus, duduk tepat setelah Mr. Jiminez memulai pelajaran yang tak
berkesudahan.
Aku membawa buku Leaves of Grass milik Margo ke sekolah, dan
aku mulai membaca lagi bagian-bagian Song of Myself yang ditandai,
di bawah meja ketika Mr. Jiminez menulis di papan. Tidak ada kali
mat yang mengacu langsung pada New York yang dapat kulihat. Aku
mengoperkannya pada Radar beberapa menit kemudian, dan dia
membacanya sejenak sebelum menulis di sudut buku catatannya yang
terdekat denganku, Baris yang ditandai warna hijau pasti ada artinya.
Apa dia mau kau membuka pintu pikiranmu? Aku mengedikkan bahu,
dan menulis balasan, Atau jangan-jangan dia membaca puisi itu pada
dua hari berbeda dengan dua pena penanda yang berbeda.
Beberapa saat kemudian, ketika baru melirik jam untuk ke-37
kalinya, aku melihat Ben Starling berdiri di luar pintu kelas, slip izin
keluar kelas di tangannya, berjoget jig konyol.
***
Saat bel berdering menandakan jam makan siang, aku bergegas ke
loker, tapi entah bagaimana Ben sudah mengalahkanku tiba di sana
duluan, dan entah bagaimana dia sedang mengobrol dengan Lacey
Pemberton. Ben berdiri sangat dekat dengan Lacey, agak membungkuk
agar bisa bicara di depan wajah gadis itu. Mengobrol dengan Ben
kadang-kadang membuatku merasa klaustrofobia, padahal aku bukan
cewek seksi.
"Hei, teman-teman," sapaku ketika tiba di dekat mereka.
"Hei," balas Lacey, mundur selangkah dari Ben. "Ben sedang mem
beriku informasi terbaru tentang Margo. Tidak ada yang pernah
masuk kamarnya. Kata Margo orangtuanya melarang teman-teman
nya datang ke rumah."
"Masa?" Lacey mengangguk. "Apa kau tahu Margo punya mungkin
seribu piringan hitam?"
Lacey mengangkat kedua tangan. "Tidak, itulah yang diceritakan
Ben! Margo tak pernah mengobrol soal musik. Maksudku, dia palingpaling bilang dia suka lagu di radio atau apa. Tapi?tidak. Dia aneh
banget."
Aku mengedikkan bahu. Mungkin dia aneh, atau barangkali kami
lah yang aneh. Lacey terus bicara. "Tapi kami baru saja membicarakan
bahwa Walt Whitman berasal dari New York."
"Dan menurut Omnictionary, Woody Guthrie juga sempat tinggal
lama di sana," kata Ben.
Aku mengangguk. "Aku bisa membayangkan Margo di New York.
Tapi menurutku kita harus mencari petunjuk berikutnya. Tidak
mungkin hanya berakhir di buku itu. Pasti ada semacam kode dalam
baris-baris yang ditandainya atau apalah."
"Yeah, boleh aku melihatnya saat makan siang?"
"Boleh," jawabku. "Atau aku bisa membuat salinannya di perpus
takaan kalau kau mau."
"Tidak usah, aku baca saja. Maksudku, aku tidak tahu apa-apa
soal puisi. Oh, tapi omong-omong, aku punya sepupu yang kuliah
di sana, di NYU, dan aku mengiriminya selebaran yang bisa dicetak
nya. Nah, nanti kuminta dia menaruh selebaran itu di toko-toko
piringan hitam. Maksudku, aku sadar di sana banyak sekali toko
piringan hitam, tapi tetap saja."
"Ide bagus," kataku. Mereka mulai melangkah ke kafeteria, dan
aku mengikuti.
"Hei," Ben bertanya pada Lacey, "apa warna gaunmu?"
"Hmm, sewarna batu safir, kenapa?"
"Hanya untuk memastikan tuksedoku serasi," jawab Ben. Aku
belum pernah melihat senyum Ben sekonyol itu, dan artinya sangat
parah, soalnya biasanya dia sudah cukup konyol.
Lacey mengangguk. "Yah, tapi kan kita tidak mau terlalu serasi.
Bagaimana kalau kau pakai yang tradisional saja: tuksedo hitam dan
rompi hitam?"
"Tanpa sabuk lebar, ya?"
"Itu sih tidak apa-apa, tapi kau tidak mau pakai yang lipit-lipitnya
lebar, kan?"
Mereka terus mengobrol?rupanya lebar ideal lipit adalah topik
yang bisa dibahas berjam-jam?tapi aku berhenti mendengarkan saat
menunggu di antrean Pizza Hut. Ben telah menemukan teman ken
can prom, dan Lacey mendapatkan orang yang dengan senang hati
mengobrol soal prom selama berjam-jam. Sekarang semuanya punya
teman kencan?kecuali aku, dan aku tidak akan datang. Satu-satunya
gadis yang ingin kuajak telah pergi menempuh perjalanan abadi atau
semacamnya.
Ketika kami duduk, Lacey mulai membaca Song of Myself dan dia
setuju bahwa tidak ada satu pun yang mirip petunjuk dan sudah
jelas tidak ada sedikit pun yang terdengar seperti Margo. Kami
masih tak tahu apa, kalau ada, yang coba Margo katakan. Lacey me
ngembalikan buku itu kepadaku, lalu dia dan Ben kembali meng
obrol soal prom.
Sepanjang siang, aku terus-terusan merasa tidak ada gunanya mem
baca kutipan-kutipan yang ditandai, tapi kemudian aku bosan dan
merogoh ransel lalu menaruh buku itu di pangkuan dan kembali
membacanya. Kelas terakhirku bahasa Inggris, periode ketujuh, dan
kami baru mulai membaca Moby Dick, jadi Dr. Holden mengoceh
panjang-lebar tentang memancing pada abad kesembilan belas. Aku
menaruh Moby Dick di meja dan Whitman di pangkuan, tapi berada
di kelas bahasa Inggris pun tidak membantu. Baru kali ini aku me
lewatkan beberapa lama tanpa menatap jam, jadi aku terkejut ketika
bel berdering, dan butuh waktu lebih lama membereskan ransel di
bandingkan murid lainnya. Ketika aku menyandangnya di bahu dan
berniat pergi, Dr. Holden tersenyum padaku dan berkomentar, "Walt
Whitman, ya?"
Aku mengangguk malu.
"Buku bagus," komentarnya. "Begitu bagusnya sampai-sampai aku
hampir tidak keberatan kau membacanya di kelas. Hampir." Aku
menggumamkan maaf lalu berjalan ke luar menuju parkiran murid
senior.
***
Sementara Ben dan Radar bermain band, aku duduk di SSHISS
dengan pintu terbuka, angin sepoi-sepoi mengembus masuk. Aku
membaca The Federalist Papers untuk kuis Pemerintahan besok, tapi
benakku tak hentinya kembali berkutat ke siklusnya yang tak ter
putus: Guthrie dan Whitman dan New York dan Margo. Apakah
dia pergi ke New York untuk meleburkan diri dalam musik folk?
Apakah diam-diam ada Margo pecinta musik folk yang tidak pernah
kukenal? Apakah dia tinggal di apartemen yang pernah ditinggali
salah satu dari mereka? Dan kenapa dia ingin memberitahuku tentang
itu?
Aku melihat Ben dan Radar dari kaca spion samping, Radar
mengayun-ayunkan kotak saksofon seraya melangkah cepat menuju
SSHISS. Mereka buru-buru masuk lewat pintu yang sudah terbuka,
lalu Ben memutar kunci dan SSHISS mendesis, kemudian kami
berharap, lalu SSHISS berdesis lagi, kemudian kami berharap lagi,
dan akhirnya dia pun berdeguk menyala. Ben melaju ke luar parkiran
dan berbelok meninggalkan sekolah sebelum berkata padaku, "APA
KAU BISA PERCAYA INI!" Dia nyaris tak mampu menahan ke
gembiraannya.
Dia mulai memencet-mencet klakson, tapi tentu saja klaksonnya
rusak, jadi setiap kali menekannya, dia berteriak, "TIIT! TIIT! TIIT!
PENCET KLAKSON KALAU KAU AKAN PERGI KE PROM
BERSAMA HONEYBUNNY SEJATI LACEY PEMBERTON!
KLAKSON, BABY, KLAKSON!"
Ben hampir tak bisa tutup mulut selama perjalanan pulang. "Tahu
tidak apa sebabnya? Selain karena putus asa? Kurasa dia dan Becca
Arrington bertengkar soalnya Becca itu, tahu kan, tukang selingkuh,
dan menurutku dia mulai merasa tidak enak soal Ben Berdarah itu.
Dia tidak bilang sih, tapi dia kelihatannya bersikap begitu. Jadi akhir
nya, Ben Berdarah memberiku kesempatan bermesraan." Aku ikut
bahagia untuk Ben, tapi aku ingin fokus pada permainan menemukan
Margo.
"Apa kalian tidak punya ide sama sekali?"
Suasana hening sejenak, kemudian Radar menatapku lewat spion
dan berkata, "Bait yang ada pintunya itu satu-satunya yang diberi
tanda warna berbeda, juga yang paling acak; menurutku di situlah
petunjuknya. Apa tepatnya kata-katanya?"
"?Lepaskan kunci-kunci dari pintu-pintu! Lepaskan pintu-pintu dari
kosennya!?" jawabku.
"Harus diakui, Jefferson Park bukan tempat terbaik untuk me
nanggalkan pintu-pintu pikiran yang tertutup dari kosennya," kata
Radar. "Barangkali itulah yang dikatakan Margo. Seperti Orlando
yang disebutnya kota kertas? Mungkin dia mengatakan itulah sebab
nya dia pergi."
Ben melambat untuk berhenti di lampu merah lalu berbalik me
natap Radar. "Bro," katanya. "Menurutku kalian terlalu memandang
tinggi Margo Honeybunny."
"Kenapa begitu?" tanyaku.
"Lepaskan kunci-kunci dari pintu-pintu," katanya. "Lepaskan
pintu-pintu dari kosennya."
"Yeah," ujarku. Lampu berubah hijau dan Ben menginjak pedal
gas. SSHISS bergetar seolah terancam rontok tapi kemudian mulai
bergerak.
"Itu bukan puisi. Itu bukan metafora. Itu instruksi. Kita seharusnya
pergi ke kamar Margo dan melepaskan kunci dari pintu dan melepas
kan pintu itu dari kosennya."
Radar menatapku lewat kaca spion, dan aku membalas tatapannya.
"Kadang-kadang," ujar Radar padaku, "saking idiotnya dia malah jadi
brilian."
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
SETELAH parkir di jalan masuk rumahku, kami menyeberangi
hamparan rumput yang memisahkan rumah Margo dengan rumahku,
seperti hari Sabtu lalu. Ruthie membukakan pintu dan berkata orang
tuanya tidak akan pulang sebelum pukul enam; Myrna Mountweazel
berlari mengelilingi kami dengan penuh semangat; kami pergi ke
atas. Ruthie membawakan kotak peralatan dari garasi, dan kemudian
untuk beberapa lama kami semua hanya memandangi pintu menuju
kamar Margo. Kami bukan orang-orang yang mahir bertukang.
"Demi neraka, apa sebenarnya yang harus kita lakukan?" tanya
Ben.
"Jangan mengumpat di depan Ruthie," tegurku.
"Ruthie, kau keberatan kalau aku bilang neraka?"
"Kami tidak percaya neraka," katanya, buru-buru menjawab.
Radar menyela. "Teman-teman," katanya. "Teman-teman. Pintu."
Radar mengeluarkan obeng kembang dari kotak peralatan yang
berantakan lalu berlutut, membuka sekrup kenop pintu. Aku meng
ambil obeng yang lebih besar untuk membuka sekrup engsel, tapi
sepertinya tidak ada sekrup yang terlihat di sana. Aku menatap pintu
itu lagi. Akhirnya, Ruthie bosan dan pergi ke bawah untuk menonton
Radar berhasil melonggarkan kenop, dan kami bergantian mengin
tip ke dalam kayu kasar dan tidak dicat di sekeliling kenop. Tidak
ada pesan. Tidak ada catatan. Tidak ada apa-apa. Jengkel, aku beralih
ke engsel, bertanya-tanya bagaimana membongkarnya. Kubuka tutup
pintunya, berusaha memahami cara kerjanya. "Puisi itu kan panjang
banget," kataku. "Seharusnya si tua Walt bisa saja menyelipkan satu
atau dua baris untuk memberitahu kita cara melepas pintu dari
kosennya."
Ketika dia merespons barulah aku menyadari Radar sedang duduk
di meja komputer Margo. "Menurut Omnictionary," katanya, "yang
kita cari adalah engsel kupu-kupu. Dan kita hanya memakai obeng
sebagai pengungkit untuk mengeluarkan pinnya. Kebetulan, ada orang
iseng yang menambahkan bahwa engsel kupu-kupu berfungsi baik
karena digerakkan oleh kentut. Oh, Omnictionary. Kapankah engkau
pernah akurat?"
Begitu Omnictionary memberitahukan kami harus berbuat apa,
mengerjakannya terbukti sangat mudah. Aku mengeluarkan pin dari
ketiga engsel lalu Ben melepaskan pintunya. Aku mengamati engsel
itu, dan kayu kasar ambang pintu. Tidak ada apa-apa.
"Tidak ada apa-apa di pintu," kata Ben. Ben dan aku memasang
kembali pintu di tempatnya, dan Radar memasukkan kembali pin
engsel dengan memukulnya memakai gagang obeng.
Radar dan aku pergi ke rumah Ben, yang secara arsitektur identik
dengan rumahku, untuk memainkan game berjudul Arctic Fury. Kami
memainkan permainan-dalam-permainan dengan menembaki satu
sama lain menggunakan paintball di gletser. Kau akan mendapatkan
angka ekstra bila menembak selangkangan lawan. Permainan yang
sangat berkelas. "Bro, dia pasti di New York City," kata Ben. Aku
melihat moncong senapannya di salah satu sudut, tapi sebelum aku
sempat bergerak, dia sudah menembak selangkanganku. "Sial," gu
mamku.
Radar berkata, "Sebelum ini, petunjuk yang ditinggalkan Margo
mengarah ke suatu tempat. Dia memberitahu Jase; dia meninggalkan
petunjuk untuk kita yang melibatkan dua orang yang hampir seumur
hidup tinggal di New York City. Itu masuk akal."
Ben berkata, "Dude, itulah yang diinginkannya." Tepat ketika aku
mengendap-endap mendekati Ben, dia menekan tombol pause. "Dia
mau kau pergi ke New York. Bagaimana kalau dia mengatur agar
hanya itu satu-satunya cara untuk menemukannya? Benar-benar pergi
ke sana?"
"Apa? Kota itu kan penduduknya dua belas juta."
"Dia bisa saja punya mata-mata di sini," ujar Radar. "Yang akan
memberitahunya kalau kau pergi."
"Lacey!" seru Ben. "Pasti Lacey. Benar! Kau harus naik pesawat
dan pergi ke New York City sekarang juga. Dan begitu Lacey tahu,
Margo akan menjemputmu di bandara. Ya. Bro, akan kuantar kau ke
rumahmu, dan kau berkemas-kemas, lalu kuantarkan bokongmu ke
bandara, kemudian kau membeli tiket pesawat dengan kartu kredit
untuk-kondisi-daruratmu, dan begitu Margo tahu sejagoan apa diri
mu, jenis jagoan yang Jase Worthington hanya bisa memimpikannya,
kita bertiga akan menggandeng cewek-cewek cantik ke prom."
Aku tidak meragukan ada penerbangan ke New York City yang
akan bertolak dalam waktu dekat. Dari Orlando, selalu ada pener
bangan ke mana saja yang bertolak dalam waktu dekat. Namun aku
meragukan semua hal lainnya. "Kalau kau menelepon Lacey..." kataku.
"Dia tidak bakal mengaku," sahut Ben. "Pikirkan saja semua pe
nyesatan yang mereka lakukan?jangan-jangan mereka pura-pura
bertengkar supaya kau tidak curiga bahwa dia mata-mata."
Radar berkata, "Entahlah, sepertinya tidak terlalu masuk akal."
Dia terus berceloteh, tapi aku hanya setengah mendengarkan. Me
natap layar yang di-pause, aku merenungkan semuanya. Bila Margo
dan Lacey pura-pura bertengkar, apa Lacey pura-pura putus dengan
pacarnya? Apa dia berpura-pura cemas? Lacey dibanjiri lusinan
e-mail?tak satu pun berisi informasi sungguhan?berkat selebaran
yang diletakkan sepupunya di toko-toko piringan hitam New York.
Dia bukan mata-mata dan rencana Ben konyol. Tetap saja, pikiran
adanya rencana menarik bagiku. Tetapi sekolah tinggal dua setengah
minggu, dan aku akan bolos setidaknya dua hari jika pergi ke New
York?belum lagi orangtuaku bakal membunuhku karena membeli
tiket dengan kartu kreditku. Semakin lama kupikirkan, semakin bo
doh rasanya. Namun, seandainya aku bisa bertemu dengan Margo
besok... Tetapi tidak. "Aku tidak bisa bolos," aku akhirnya berkata.
Aku menekan lagi tombol pause untuk kembali bermain. "Aku ada
kuis bahasa Prancis besok."
"Tahu tidak," komentar Ben, "keromantisanmu benar-benar men
jadi inspirasi."
Aku bermain beberapa menit lagi lalu menyeberangi taman
Jefferson Park untuk pulang.
Ibuku pernah bercerita tentang bocah sinting yang ditanganinya.
Anak itu normal sepenuhnya sampai berusia sembilan tahun, ketika
ayahnya meninggal. Dan meskipun tentu saja banyak sekali anak
sembilan tahun yang kehilangan ayah dan sebagian besarnya tidak
jadi sinting, kurasa anak ini sebuah pengecualian.
Jadi yang dilakukannya adalah mengambil pensil dan salah satu
kompas baja, lalu dia mulai menggambar lingkaran demi lingkaran
di kertas. Semua lingkaran itu berdiameter tepat dua inci. Dia akan
menggambar lingkaran sampai permukaan kertas hitam legam, lalu
dia mengambil kertas lagi dan kembali menggambar lingkaran, dan
dia melakukan itu setiap hari, sepanjang hari, tidak menaruh per
hatian di sekolah dan menggambar lingkaran di semua lembaran tes
dan segalanya, dan ibuku bilang masalah anak itu adalah dia men
ciptakan rutinitas untuk mengatasi kehilangannya, hanya saja ru
tinitas itu menjadi destruktif. Jadi singkatnya, ibuku membuat dia
menangisi ayahnya atau apalah lalu anak itu tidak lagi menggambar
lingkaran dan mungkin hidup bahagia selama-lamanya. Tetapi,
kadang-kadang aku memikirkan bocah lingkaran itu, sebab aku agak
bisa memahami dia. Aku selalu menyukai rutinitas. Menurutku ke
bosanan tak pernah membosankan. Aku ragu dapat menjelaskan itu
pada orang seperti Margo, tapi menggambar lingkaran seumur hidup
menurutku adalah jenis kegilaan yang masuk akal.
Jadi seharusnya aku merasa baik-baik saja tidak pergi ke New
York?lagi pula itu ide buruk. Tetapi ketika aku menjalankan ru
tinitasku malam itu dan keesokan harinya di sekolah, hal itu meng
gerogotiku, seakan-akan rutinitas itu sendiri makin menjauhkanku
dari bertemu kembali dengan Margo.
SELASA malam, ketika Margo sudah enam hari menghilang, aku
bicara pada orangtuaku. Itu bukan keputusan besar atau apa; aku
melakukannya begitu saja. Aku duduk di meja dapur ketika ayahku
merajang sayur-mayur dan Mom menggoreng daging di wajan. Dad
menggodaku mengenai banyaknya waktu yang kuhabiskan membaca
buku setipis itu, dan kubilang, "Sebenarnya, ini bukan untuk kelas
Trio Detektif 28 Misteri Kemelut Kembar Goosebumps Rahasia Tukang Sulap Rahasia Istana Terlarang Karya Wo Lung
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama