Ceritasilat Novel Online

Kota Kertas 3

Kota Kertas Paper Town Karya John Green Bagian 3

bahasa Inggris; sepertinya Margo mungkin meninggalkan ini untuk

kutemukan." Mereka terdiam, dan kemudian kuceritakan pada mereka

tentang Woody Guthrie dan puisi Whitman.

"Jelas sekali dia senang melakonkan permainan informasi yang

tidak lengkap," kata ayahku.

"Aku tidak menyalahkannya karena menginginkan perhatian," ujar

ibuku, dan kemudian menambahkan kepadaku, "tapi bukan berarti

kesejahteraannya menjadi tanggung jawabmu."

Dad memasukkan wortel dan bawang bombai ke wajan. "Yeah,

benar. Bukannya kami dapat mendiagnosis dia tanpa bertemu de

ngannya, tapi aku menduga dia akan segera pulang."

"Sebaiknya kita tidak berspekulasi," kata Mom pada ayahku pelan,

seolah aku tak bisa mendengarnya. Dad berniat merespons tapi aku

menyela.

"Apa yang seharusnya aku lakukan?"

"Lulus sekolah," jawab ibuku. "Dan percaya bahwa Margo bisa

menjaga diri sendiri, dan dia telah memperlihatkan bakat besar dalam

hal itu."

"Setuju," kata ayahku, tapi seusai makan malam, ketika aku kembali

ke kamar dan memainkan Resurrection tanpa suara, aku bisa men

dengar keduanya mengobrol. Aku tak bisa mendengar ucapan mereka

tapi aku bisa mendengar kecemasan.

Belakangan malam itu, Ben menelepon ponselku.

"Hai," sapaku.

"Bro," katanya.

"Ya," jawabku.

"Aku mau belanja sepatu dengan Lacey."

"Belanja sepatu?"

"Yeah. Semuanya diskon tiga puluh persen mulai jam sepuluh

sampai tengah malam. Dia ingin aku membantunya memilihkan se

patu prom. Maksudku, dia sudah punya beberapa, tapi aku ke rumah

nya kemarin dan kami sependapat bahwa sepatu-sepatu itu tidak...

tahu, kan, kau menginginkan sepatu sempurna untuk prom. Jadi dia

akan mengembalikannya habis itu kami mau pergi ke Burdines dan

kami akan?"

"Ben," kataku.

"Yeah?"

"Dude, aku tidak mau mengobrol soal sepatu prom Lacey. Dan

kuberitahu apa sebabnya: aku punya sesuatu yang membuatku sangat

tidak berminat pada sepatu prom. Sesuatu yang disebut penis."

"Aku gugup banget dan tak bisa berhenti berpikir bahwa aku agak

serius suka padanya bukan cuma karena dia-kencan-prom-yang-seksi

tapi karena dia-sebenarnya-seru-dan-aku-senang-nongkrong-ber

samanya. Dan, mungkin kami akan pergi ke prom lalu nanti kami

berciuman di tengah lantai dansa dan orang-orang jadi, astaga dan,

tahu kan, semua yang pernah mereka pikirkan soal aku akan hilang

begitu saja?"

"Ben," kataku, "hentikan celotehan tolol itu dan kau akan baik-baik

saja." Dia masih mengoceh beberapa lama lagi, tapi akhirnya aku bisa

juga menutup telepon.

Aku berbaring dan mulai agak depresi soal prom. Aku menolak me

rasakan kesedihan apa pun karena tidak akan menghadiri prom, tapi

aku memang?dengan bodohnya, dengan memalukannya?berpikir

bisa menemukan Margo, dan membawanya pulang bersamaku tepat

pada waktunya untuk pergi ke prom, misalnya pada Sabtu malam

yang larut, lalu kami memasuki ballroom Hilton hanya memakai ce

lana jins dan kaus lusuh, dan kami datang tepat waktu untuk dansa

terakhir, dan kami pun berdansa sementara semua orang menatap

kami dan terheran-heran dengan kembalinya Margo, kemudian kami

akan ber-fox-trot keluar dari sana serta makan es krim di Friendly?s.

Jadi, ya, seperti Ben, aku memendam fantasi konyol tentang prom.

Tetapi setidaknya aku tak menyuarakan fantasiku keras-keras.

Ben kadang-kadang seperti orang idiot yang egois, dan aku harus

mengingatkan diri sendiri kenapa aku masih menyukainya. Setidak

nya terkadang dia punya gagasan cemerlang yang mengejutkan. Pintu

itu sendiri adalah ide bagus. Namun, jelas sekali Margo memaksudkan

itu berarti sesuatu yang lain bagiku.

Bagiku.

Petunjuk itu milikku. Pintu itu milikku!

***

Dalam perjalanan ke garasi, aku harus melewati ruang duduk, tempat

Mom dan Dad menonton TV. "Mau ikut nonton?" tanya ibuku.

"Mereka hampir menyelesaikan kasusnya." Itu salah satu acara kri

minal untuk memecahkan-pembunuhan.

"Tidak, trims," kataku, dan bergegas melewati mereka, melintasi

dapur, dan masuk ke garasi. Aku menemukan obeng dengan mata

pipih terlebar lalu menyelipkannya ke pinggang celana pendek khaki

ku, mengencangkan sabukku erat-erat. Aku mengambil sekeping

biskuit dari dapur lalu kembali melewati ruang duduk, langkahku

hanya sedikit canggung, dan sementara orangtuaku menyaksikan

misteri di televisi terungkap, aku melepaskan tiga pin engsel dari

pintu kamarku. Ketika pin terakhir lepas, pintu berderit dan mulai

jatuh, jadi aku mengayunkannya hingga terbuka sepenuhnya dan

menempel di dinding dengan sebelah tangan, dan ketika aku me

lakukan itu, ada secarik kertas kecil?kira-kira seukuran kuku ibu

jari?melayang turun dari engsel teratas pintu. Khas Margo. Buat

apa menyembunyikan sesuatu di kamarnya padahal dia bisa me

nyimpannya di kamarku? Aku bertanya-tanya kapan dia melakukan

nya, bagaimana caranya masuk. Aku tak tahan untuk tidak tersenyum.

Potongan kertas dari koran Orlando Sentinel, separuh pinggirannya

rapi dan separuh lagi bekas dirobek. Aku tahu itu Sentinel karena

satu sisi yang dirobek bertuliskan "do Sentinel 6 Mei, 2." Hari ke

pergiannya. Pesan itu jelas dari Margo. Aku mengenali tulisan ta

ngannya:

8328 bartlesville Avenue

Aku tidak bisa memasang pintu lagi tanpa memukul pin kembali

ke tempatnya dengan obeng, yang jelas akan didengar orangtuaku,

jadi aku hanya menopangkan pintu di engselnya dan membiarkannya

tetap terbuka lebar. Kukantongi pinnya lalu menghampiri komputerku

dan mencari 8328 Bartlesville Avenue di peta. Aku belum pernah

mendengar nama jalan itu.

Jaraknya 34,6 mil, jauh dari Colonial Drive bahkan hampir di

dekat kota Christmas, Florida. Ketika aku memperbesar citra satelit

nya, bangunan itu kelihatannya seperti persegi panjang hitam dengan

bagian depan berwarna perak kusam dan ada padang rumput di

belakang. Rumah trailer, mungkin? Sulit untuk memastikan ukuran

bangunannya, karena dikelilingi oleh begitu banyak kehijauan.

Aku menelepon Ben dan memberitahunya. "Rupanya aku benar!"

katanya. "Aku tidak sabar lagi memberitahu Lacey, soalnya dia juga

menganggap ide itu bagus!"

Aku tak menggubris komentar soal Lacey. "Kurasa aku mau ke

sana," ujarku.

"Yeah, tentu saja kau harus pergi. Aku ikut. Kita pergi Minggu

pagi. Aku pasti capek setelah berpesta prom semalam suntuk, tapi

masa bodohlah."

"Bukan, maksudku aku mau pergi malam ini," kataku.

"Bro, sudah gelap. Kau tidak bisa pergi ke bangunan asing dengan

alamat misterius gelap-gelap. Memangnya kau tidak pernah nonton

film horor?"

"Dia bisa saja ada di sana," ucapku.

"Yeah, dan setan yang hanya bisa dipuaskan dengan pankreas bo

cah laki-laki bisa juga ada di sana," balasnya. "Ya ampun, setidaknya

tunggu sampai besok, meskipun aku harus memesan korsase untuk

Lacey setelah band, dan kemudian aku mau pulang siapa tahu Lacey

mengirimiku IM soalnya kami sering sekali mengobrol lewat IM?"

Aku menyelanya. "Tidak, malam ini. Aku ingin ketemu dengannya."

Aku bisa merasakan lingkaran menutup. Dalam waktu satu jam, jika

aku buru-buru, aku bisa melihat dia.

"Bro, aku tidak akan membiarkanmu pergi ke alamat yang tidak

jelas di tengah malam. Akan ku-Taser bokongmu kalau perlu."

"Besok pagi," kataku, sebagian besar pada diri sendiri. "Aku akan

pergi besok pagi." Lagi pula aku sudah bosan dengan catatan absenku

yang sempurna. Ben diam. Aku mendengar dia mengembuskan napas

di antara gigi depannya.

"Aku memang merasa ada sesuatu yang mendekat," katanya. "De

mam. Batuk. Nyeri. Sakit." Aku tersenyum. Setelah menutup telepon,

aku menghubungi Radar.

"Aku sedang bicara dengan Ben di saluran satunya," katanya. "Nanti

kutelepon lagi."

Radar meneleponku semenit kemudian. Bahkan sebelum aku bi

lang halo, Radar berkata, "Q, aku kena migrain parah. Aku tidak

mungkin bisa ke sekolah besok." Aku tertawa.

Setelah menutup telepon, aku menanggalkan pakaian hingga ter

sisa kaus dan celana kolor, mengosongkan isi tempat sampah ke laci,

dan menaruh tempat sampah itu di dekat tempat tidur. Aku menyetel

alarm agar berbunyi pagi-pagi buta, pukul enam, lalu melewatkan

beberapa jam setelahnya dengan sia-sia berusaha untuk tidur.

MOM masuk ke kamarku keesokan harinya dan berkata, "Kau bah

kan tidak menutup pintu semalam, tukang tidur," dan aku membuka

mata dan berkata, "Rasanya aku kena flu perut." Dan kemudian aku

menunjuk tempat sampah, yang berisi muntahan.

"Quentin! Oh, Tuhan. Kapan itu terjadi?"

"Sekitar jam enam," jawabku, dan itu benar.

"Kenapa kau tidak memanggil kami?"

"Terlalu capek," kataku, yang juga benar.

"Kau terbangun karena merasa sakit?" tanya ibuku.

"Yeah," jawabku, itu tidak benar. Aku terbangun karena alarmku

berbunyi pukul enam, lalu aku menyelinap ke dapur dan melahap

sebatang granola bar dan meneguk jus jeruk. Sepuluh menit kemu

dian, aku menusukkan dua jari ke kerongkongan. Aku enggan me

lakukan ini dari tadi malam karena tidak mau kamarku berbau se

malaman. Muntah itu menyebalkan, tapi berakhir dengan cepat.

Mom membawa ke luar tempat sampah itu, dan aku bisa men

dengar dia membersihkannya di dapur. Mom kembali membawa

tempat sampah yang sudah bersih, bibirnya berkerut cemas. "Yah,

kurasa sebaiknya aku cuti?" ibuku mulai berkata, tapi aku menyela.

"Aku baik-baik saja, sungguh," ucapku. "Cuma mual. Pasti gara-gara

sesuatu yang kumakan."

"Kau yakin?"

"Akan kutelepon kalau kondisiku memburuk," kataku. Mom me

ngecup dahiku. Aku bisa merasakan lipstik lengketnya di kulitku.

Aku tidak benar-benar sakit, tapi tetap saja, entah bagaimana Mom

membuatku merasa lebih baik.

"Kau mau pintunya kututup?" tanya Mom, sebelah tangan me

megangnya. Pintu masih menempel di engselnya, tapi sedikit sekali.

"Jangan jangan jangan," kataku, mungkin terlalu gugup.

"Oke," kata ibuku. "Akan kutelepon sekolah dalam perjalanan ke

kantor. Beritahu aku kalau kau butuh sesuatu. Apa saja. Atau kalau

kau ingin aku pulang. Dan kau juga boleh menelepon Dad kapan

saja. Akan kutelepon kau siang ini, oke?"

Aku mengangguk lalu menarik kembali selimut ke dagu. Meskipun

tempat sampahnya sudah dibersihkan, aku masih bisa mencium bau
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muntah di balik aroma deterjen, dan bau itu mengingatkanku ketika

aku muntah, yang untuk suatu alasan membuatku kepengin muntah

lagi, tapi aku bernapas perlahan-lahan dan teratur dari mulut sampai

mendengar Chrysler bergerak mundur menyusuri jalan masuk. Saat

ini pukul 07.32. Kali ini, pikirku, aku tepat waktu. Memang bukan

untuk ke sekolah. Tetapi tetap saja.

Aku mandi dan menyikat gigi lalu memakai celana jins gelap dan

kaus hitam polos. Kuselipkan robekan koran Margo di saku. Aku

memasang pin kembali ke engsel pintu, kemudian berkemas-kemas.

Aku tidak terlalu yakin harus membawa apa di ransel, tapi aku me

masukkan obeng pembongkar pintu, hasil cetakan peta satelit, pe

tunjuk arah, sebotol air, dan kalau-kalau dia di sana, buku Whitman.

Aku ingin menanyakan pada Margo tentang itu.

Ben dan Radar datang tepat pukul delapan. Aku masuk ke jok

belakang. Mereka sedang menyanyikan lagu dari Mountain Goats

keras-keras.

Ben berputar dan mengacungkan kepalan tangan ke arahku. Aku

meninjunya pelan, meskipun aku membenci salam semacam itu. "Q!"

teriaknya meningkahi suara musik. "Seberapa hebat ini rasanya?"

Dan aku tahu pasti apa maksud Ben: maksudnya mendengarkan

Mountain Goats bersama teman-teman di mobil yang melaju hari

Rabu pagi pada bulan Mei dalam perjalanan menuju Margo dan

hadiah Margo-tastik apa pun yang didapatkan karena menemukan

dia. "Lebih seru daripada Kalkulus," jawabku. Musiknya terlalu nya

ring bagi kami untuk mengobrol. Begitu keluar dari Jefferson Park,

kami menurunkan satu-satunya jendela yang masih berfungsi agar

seantero dunia tahu kami punya selera musik bagus.

Kami melaju di sepanjang Colonial Drive, melewati gedung-gedung

bioskop dan toko-toko buku yang bolak-balik kulewati seumur hidup.

Namun kali ini berbeda dan lebih menyenangkan, karena berlangsung

pada jam pelajaran Kalkulus, karena ada Ben dan Radar, karena ter

jadi dalam perjalanan kami menuju tempat yang aku yakin akan

menemukan dia. Dan akhirnya, setelah dua puluh mil, Orlando di

gantikan oleh sisa-sisa rimbunan pepohonan jingga dan lahan pe

ternakan yang belum dikembangkan?dataran luas tak berujung yang

ditumbuhi semak belukar lebat, lumut Spanyol menjuntai dari dahandahan pepohonan ek, tak bergerak di tengah udara panas tak ber

angin. Di sinilah bagian Florida tempatku dulu melewatkan malammalam dengan digerogoti nyamuk dan mengejar trenggiling sebagai

pramuka. Jalanan kini didominasi oleh truk-truk pikap, dan kira-kira

setiap mil kita bisa melihat sebuah subdivisi di luar jalan raya?jalanjalan kecil yang berkelok-kelok tanpa alasan mengitari rumah-rumah

yang menjulang begitu saja mirip gunung berapi dengan lereng ber

lapis vinil.

Lebih jauh lagi, kami melewati papan nama kayu lapuk bertuliskan

GROVEPOINT ACRES. Jalan beraspal retak-retak hanya terentang

sejauh beberapa ratus meter sebelum berakhir menjadi bentangan

tanah kelabu, mengisyaratkan bahwa Grovepoint Acres adalah tempat

yang disebut ibuku sebagai pseudovisi?subdivisi semu, subdivisi

yang terbengkalai sebelum selesai. Aku beberapa kali ditunjukkan

pseudovisi saat berkendara bersama orangtuaku tapi belum pernah

melihat yang seterpencil ini.

Kami sudah kira-kira lima mil melewati Grovepoint Acres ketika

Radar memelankan musik dan berkata, "Seharusnya sekitar satu mil

lagi."

Aku menarik napas panjang. Kegairahan karena berada di tempat

selain sekolah mulai pupus. Sepertinya ini bukan lokasi yang akan

dipakai Margo menyembunyikan diri, atau bahkan berkunjung. Tidak

ada mirip-miripnya dengan New York City. Ini Florida yang kau

terbang melewatinya seraya bertanya-tanya kenapa orang bisa-bisanya

berpikir untuk mendiami semenanjung ini. Aku menatap aspal le

ngang, udara panas mengacaukan penglihatanku. Di depan, aku

melihat deretan ruko samar-samar di kejauhan yang silau.

"Itu tempatnya?" tanyaku, mencondongkan tubuh ke depan dan

menunjuk.

"Pasti," kata Radar.

Ben menekan tombol untuk mematikan stereo, dan kami semua

diam seribu bahasa ketika Ben memasuki parkiran yang sudah lama

dikuasai lagi oleh tanah berpasir. Dulu pernah ada papan nama untuk

keempat ruko ini. Tiang karatan tegak sekitar 2,5 meter di tepi jalan.

Tetapi papan nama itu sudah lama lenyap, lepas oleh angin topan

atau akumulasi pembusukan. Kondisi toko-tokonya agak lebih baik:

bangunan satu lantai dengan atap datar dan dinding batu genting

yang terlihat di beberapa tempat. Lajur-lajur cat retak gugur ter

kelupas dari dinding, mirip serangga menggelayut di sarang. Nodanoda air membentuk lukisan abstrak cokelat di antara jendela-jendela

toko. Jendela itu sendiri ditutup dengan papan partikel yang bengkokbengkok. Aku diserang oleh satu pikiran mengerikan, pikiran yang

tidak bisa ditarik kembali begitu lolos ke udara terbuka kesadaran:

di mataku ini bukan tempat yang kita tuju untuk hidup. Ini tempat

yang kita tuju untuk mati.

Begitu mobil berhenti, hidung dan mulutku dibanjiri oleh bau

anyir kematian. Aku harus menahan desakan untuk muntah yang

naik ke bagian belakang kerongkonganku yang perih. Baru sekarang,

setelah semua waktu yang hilang ini, aku menyadari betapa aku sangat

salah memahami permainan Margo dan hadiah bagi yang memenang

kannya.

Aku keluar mobil, Ben berdiri di sebelahku, dan Radar di sisi Ben.

Dan aku langsung mengetahui bahwa ini tidak lucu, ini bukan bukti

kan-padaku-kau-cukup-baik-untuk-bergaul-denganku. Aku bisa

mendengar lagi Margo malam itu ketika kami berkendara mengelilingi

Orlando. Aku bisa mendengar dia berkata padaku, "Aku tidak mau

ada anak-anak menemukanku dikerubungi lalat pada hari Sabtu pagi

di taman Jefferson Park." Tidak mau ditemukan oleh anak-anak di

taman Jefferson Park tak sama dengan tidak mau mati.

Tidak ada tanda-tanda keberadaan seseorang di sini sejak lama

selain bau itu, bau asam menjijikkan yang dirancang untuk menjauh

kan yang hidup dari yang mati. Aku mengatakan pada diri sendiri

bahwa Margo tak bisa berbau seperti itu, tapi tentu saja dia bisa.

Kita semua bisa. Aku mengangkat lengan bawah ke hidung agar bisa

membaui keringat, kulit, dan semuanya selain kematian.

"MARGO?" panggil Radar. Seekor mockingbird bertengger di ta

lang karatan bangunan itu melengkingkan dua suku kata sebagai

balasan. "MARGO!" dia berteriak lagi. Tidak ada apa-apa. Dia mem

buat parabola di pasir dengan kaki dan mendesah. "Sial."

Berdiri di depan bangunan ini, aku mengetahui sesuatu tentang

rasa takut. Aku mengetahui bahwa rasa takut bukanlah khayalan

semu dari seseorang yang mungkin menginginkan sesuatu yang pen

ting terjadi pada dirinya, walaupun sesuatu yang penting itu me

ngerikan. Rasa takut bukanlah rasa jijik karena melihat mayat orang

asing, dan bukan pula sesak napas lantaran mendengar senjata api

dikokang di luar rumah Becca Arrington. Rasa takut ini tidak bisa

diredakan dengan latihan pernapasan. Rasa takut ini tidak memiliki

persamaan dengan rasa takut yang pernah kukenal. Inilah dasar dari

seluruh emosi yang ada, perasaan yang sudah bersama kita sebelum

kita ada, sebelum bangunan ini berdiri, sebelum dunia ini tercipta.

Inilah rasa takut yang membuat ikan menggelepar ke tanah kering

dan berevolusi hingga memiliki paru-paru, rasa takut yang meng

ajarkan kita untuk lari, rasa takut yang membuat kita memakamkan

sesama kita yang meninggal.

Bau itu membuatku dikuasai kepanikan hebat?bukan kepanikan

karena paru-paruku kehabisan udara, tapi seolah atmosfer itu sendiri

kehabisan udara. Menurutku mungkin alasan aku menghabiskan

sebagian besar hidupku dengan merasa takut adalah karena aku ber

usaha menyiapkan diri, melatih tubuhku menghadapi ketakutan

sebenarnya ketika hal itu datang. Tetapi ternyata aku tidak siap.

"Bro, sebaiknya kita pergi," ajak Ben. "Sebaiknya kita menelepon

polisi atau apa." Kami belum bertatapan. Kami semua masih menatap

bangunan itu, bangunan yang telah lama telantar ini mustahil dihuni

apa pun selain mayat.

"Tidak," kata Radar. "Tidak tidak tidak tidak tidak. Kita baru

menelepon kalau ada yang perlu dilaporkan. Dia meninggalkan alamat

untuk Q. Bukan untuk polisi. Kita harus menemukan jalan masuk

ke sana."

"Masuk ke sana?" tanya Ben ragu.

Kutepuk punggung Ben, dan untuk pertama kalinya pada hari itu,

kami bertiga tidak menatap ke depan tapi ke arah satu sama lain.

Hal itu membuat semua ini tertahankan. Ada sesuatu dari melihat

mereka yang membuatku merasa dia belum mati sampai kami me

nemukan dia. "Yeah, di dalam sana," kataku.

Aku tidak lagi tahu siapa Margo sekarang, atau siapa dia dulunya,

tapi aku harus menemukannya.

KAMI memutari bagian belakang bangunan dan hanya menemukan

empat pintu baja terkunci dan tak ada apa-apa lagi selain lahan pe

ternakan, petak-petak pohon palmetto memerciki bentangan rerum

putan hijau-keemasan. Di sini baunya lebih parah, dan aku takut

untuk terus melangkah. Ben dan Radar tak jauh di belakangku, di

kanan dan kiriku. Bersama-sama kami membentuk segitiga, melang

kah perlahan, mata kami memindai area itu.

"Itu rakun!" seru Ben. "Oh, syukurlah. Ternyata rakun. Ya Tuhan."

Radar dan aku menjauhi bangunan dan bergabung dengan Ben di

dekat sebuah parit dangkal. Seekor rakun besar membengkak dengan

bulu kusut tergeletak tewas, tak ada luka yang tampak, bulunya ron

tok, salah satu rusuknya terlihat. Radar berbalik dan muntah, tapi

tidak ada yang keluar. Aku membungkuk di sebelahnya dan meling

karkan lengan di tulang belikatnya, dan ketika napasnya kembali

normal, dia berkata, "Aku lega setengah mati melihat rakun keparat

itu."

Meskipun demikian, aku tetap tidak bisa membayangkan Margo

di sini dalam keadaan hidup. Terpikir olehku bahwa puisi Whitman

itu bisa saja merupakan pesan bunuh diri. Aku memikirkan hal-hal

yang ditandainya: "Dan kematian tidaklah serupa dengan sangkaan

siapa pun, dan bukan pula sesuatu yang buruk." "Aku menyerahkan

diri kepada tanah untuk tumbuh dari rerumputan yang kucintai,/

Apabila engkau mendambakan diriku lagi cari aku di bawah sol se

patumu." Sejenak aku merasakan percik harapan ketika mengingat

baris terakhir puisi tersebut: "Aku berlabuh di suatu tempat menanti

kan dikau." Namun kemudian aku berpikir bahwa kata Aku belum

tentu mengacu seseorang. Aku juga bisa berarti sesosok tubuh.

Radar sudah menjauh dari rakun dan menarik gagang salah satu

dari empat pintu baja yang terkunci. Aku ingin berdoa?memanjatkan

Kaddish, doa kematian, bagi rakun ini?tapi aku bahkan tidak tahu

caranya. Aku sangat sedih untuknya, dan sangat menyesal lantaran

senang sekali melihat dia seperti itu.

"Pintunya mulai menyerah," teriak Radar kepada kami. "Ayo bantu."

Ben dan aku melingkarkan kedua lengan di pinggang Radar dan

menarik. Dia menopangkan sebelah kaki di dinding untuk mendapat

kan tenaga ekstra selagi menarik, dan kemudian tiba-tiba saja mereka

ambruk menimpaku, kaus bersimbah keringat Radar menempel di

wajahku. Untuk sesaat aku bersemangat, mengira kami bisa masuk.

Tetapi kemudian aku melihat Radar memegang gagang pintu. Aku

buru-buru bangkit dan menatap pintu itu. Masih terkunci.

"Kenop pintu sialan berumur empat-puluh-tahun," ucap Radar.

Belum pernah aku mendengarnya bicara seperti ini.

"Tidak apa-apa," kataku. "Pasti ada cara. Pasti ada."

Kami kembali melangkah ke bagian depan bangunan. Tidak ada
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pintu, tidak ada lubang, tidak ada lorong yang terlihat. Tetapi aku

harus masuk. Ben dan Radar mencoba melepaskan bilah-bilah papan

partikel dari jendela, tapi semuanya dipaku rapat. Radar menendang

papan tersebut, tapi sia-sia. Ben berbalik ke arahku. "Tak ada kaca

di balik papan ini," ucapnya, kemudian dia berlari kecil menjauhi

bangunan, sepatu ketsnya memercikkan pasir seiring langkahnya.

Aku menatapnya terheran-heran. "Aku mau mendobrak papannya,"

Ben menjelaskan.

"Kau tidak akan bisa." Tubuhnya yang terkecil di antara trio ke

rempeng kami. Kalau ada yang mencoba mendobrak jendela yang

dipasangi papan, seharusnya akulah orangnya.

Ben mengepalkan tangan membentuk tinju dan kemudian meren

tangkan jemari. Ketika aku mendekatinya, dia mulai bicara padaku.

"Waktu ibuku mencoba mencegah agar aku tidak jadi bulan-bulanan

pukulan saat kelas tiga, dia memasukkan aku ke kursus taekwondo.

Aku hanya masuk kira-kira tiga kali, dan cuma belajar satu hal, tapi

kadang-kadang satu hal itu berguna: kami memperhatikan master

taekwondo mematahkan balok kayu tebal, dan kami semua berko

mentar, dude, bagaimana dia bisa melakukan itu, dan dia mengatakan

bahwa jika kita bergerak seolah tangan kita akan menembus balok

itu, dan kalau kita percaya tangan kita bisa menembusnya, itu yang

akan terjadi."

Aku berniat menyangkal logika idiot itu ketika dia bergerak, berlari

cepat melewatiku. Kecepatannya bertambah saat dia mendekati pa

pan, dan kemudian tanpa gentar sedikit pun, dia melompat pada

detik terakhir, memutar tubuh menyamping?bahunya di depan

untuk menghadapi kuatnya benturan?dan menabrak papan penutup

jendela. Aku separuh menduga dia menembusnya dan meninggalkan

lubang berbentuk Ben di papan seperti di film kartun. Tetapi dia

memantul dan jatuh terduduk di petak rumput berwarna terang di

tengah lautan tanah berpasir. Ben berguling menyamping, menggosokgosok bahunya. "Patah," dia mengumumkan.

Aku berasumsi yang patah itu bahunya saat berlari mendekatinya,

tapi kemudian dia berdiri, dan aku melihat retakan setinggi Ben di

papan partikel tersebut. Aku mulai menendanginya, dan retakan itu

menyebar secara horizontal, lalu Radar dan aku menyelipkan jemari

di dalam retakan itu kemudian mulai menarik. Aku menyipit agar

keringat tak memedihkan mata, menarik dan mendorong papan de

ngan sekuat tenaga sampai retakannya mulai membentuk bukaan

bergerigi. Radar dan aku terus melakukannya tanpa bicara, sampai

pada akhirnya dia harus beristirahat dan Ben menggantikannya.

Akhirnya kami berhasil membuat lubang besar di papan untuk me

masuki bangunan itu. Aku memanjat masuk dengan kaki duluan,

mendarat tanpa melihat di atas apa yang rasanya seperti tumpukan

kertas.

Lubang yang kami buat di jendela bangunan menyorotkan sedikit

cahaya, tapi aku bahkan tidak bisa memperkirakan dimensi ruangan

ini, atau apakah ada langit-langit. Udara di dalam begitu apak dan

panas sehingga menarik dan mengembuskan napas terasa serupa.

Aku berputar dan daguku menabrak dahi Ben. Aku mendapati

diriku berbisik, meskipun tidak ada alasan untuk melakukannya.

"Apa kau punya?"

"Tidak," dia balas berbisik sebelum aku sempat menyelesaikan

ucapan. "Radar, kau bawa senter?"

Aku mendengar Radar memasuki lubang. "Ada senter di gan

tungan kunciku. Tapi tidak terlalu terang."

Senter menyala, dan aku masih tidak bisa melihat dengan jelas,

tapi aku jadi tahu kami memasuki ruangan luas penuh dengan labirin

rak-rak logam. Kertas-kertas di lantai ternyata lembar-lembar dari

kalender harian lama, tanggal-tanggal bertebaran di seluruh penjuru

ruangan, semuanya menguning dan digerogoti tikus. Aku bertanyatanya apa mungkin tempat ini dulunya sebuah toko buku kecil,

meskipun sudah berdekade-dekade berlalu sejak rak-rak itu terakhir

kali berisi sesuatu selain debu.

Kami melangkah beriringan di belakang Radar. Aku mendengar

sesuatu berkeriut di atas kami, dan kami semua berhenti bergerak.

Aku berusaha menelan kepanikan. Aku bisa mendengar napas Radar

dan Ben, gesekan langkah kaki mereka. Aku ingin keluar dari sini

tapi bisa saja Margo yang yang menyebabkan bunyi itu. Tetapi bisa

juga pecandu narkoba.

"Hanya bunyi bangunan ini menyesuaikan diri," bisik Radar, tapi

dia tampak tidak seyakin biasanya. Aku berdiri di sana tak mampu

bergerak. Sesaat kemudian, aku mendengar suara Ben. "Terakhir kali

aku setakut ini, aku mengompol."

"Terakhir kali aku setakut ini," ujar Radar, "aku harus menghadapi seorang Penguasa Kegelapan demi membuat dunia ini aman

bagi para penyihir."

Aku mencoba menimpali sekadarnya. "Terakhir kali aku setakut

ini aku harus tidur di kamar Mommy."

Ben terkekeh. "Q, kalau jadi kau, aku akan ketakutan seperti ini.

Setiap. Malam."

Aku tidak kepengin tertawa, tapi tawa mereka membuat ruangan

ini terasa lebih aman, dan kami pun mulai menjelajah. Kami me

nyusuri setiap lorong rak, tak menemukan apa-apa selain beberapa

jilid Reader?s Digest dari tahun 1070-an tergeletak di lantai. Sesaat

kemudian, aku mendapati mataku telah menyesuaikan diri dengan

kegelapan, dan di tengah cahaya kelabu kami mulai melangkah me

nuju arah berbeda dan dengan kecepatan berbeda.

"Tidak ada yang meninggalkan ruangan ini sampai semuanya me

ninggalkan ruangan ini," bisikku, dan mereka membisikkan oke se

bagai balasan. Aku melangkah ke dinding samping ruangan dan

menemukan bukti pertama bahwa ada yang masuk ke sini sejak semua

orang pergi. Ada lubang sepinggang berbentuk setengah lingkaran

bergerigi di dinding. Ada tulisan LUBANG TROLL yang dibuat

dengan cat semprot jingga di atas lubang, dilengkapi anak panah yang

cukup membantu mengarah ke lubang itu. "Teman-teman," panggil

Radar, keras sekali sehingga mantra itu patah sejenak. Aku mengikuti

suaranya dan mendapati dia berdiri di dekat dinding seberang

ruangan, senternya menerangi Lubang Troll lain. Grafiti-nya tidak

terlihat seperti buatan Margo, tapi sulit untuk memastikannya. Aku

hanya pernah melihat dia menyemprotkan cat membentuk satu huruf.

Radar menyorotkan senter menembus lubang saat aku membung

kuk dan melewatinya. Ruangan yang satu ini kosong melompong

kecuali segulung karpet di satu sudut. Ketika senter menerangi lantai,

aku bisa melihat noda lem di lantai semen tempat dulu karpetnya

menempel. Di seberang ruangan aku bisa melihat satu lagi lubang

menembus dinding, kali ini tanpa grafiti.

Aku merayap menembus Lubang Troll itu dan memasuki ruangan

yang didereti rak baju, tiang-tiang baja anti karat yang masih di

sekrupkan di dinding yang bernoda kemerahan karena air. Ruangan

yang satu ini lebih terang, dan aku butuh waktu sejenak untuk me

nyadari bahwa itu berkat sejumlah lubang di atap?kertas tar men

juntai turun, dan aku bisa melihat sejumlah atap melorot dari baja

penopangnya yang tampak.

"Toko suvenir," bisik Ben di depanku, dan seketika aku tahu bahwa

dia benar.

Di tengah ruangan ada lima lemari display disusun membentuk

pentagon. Kaca yang dulunya menjauhkan turis dari sampah turis

mereka sebagian besar telah pecah dan serpihannya tergeletak di

sekeliling lemari. Cat kelabu terkelupas dari dinding membentuk pola

ganjil dan indah, setiap serpihan cat merupakan kepingan salju ke

hancuran.

Namun anehnya masih tertinggal beberapa suvenir: ada telepon

Mickey Mouse yang kukenal dari masa kecilku. Kaus SUNNY

ORLANDO yang digigit ngengat tapi tetap terlipat rapi masih ter

pajang, dihamburi pecahan kaca. Di bawah lemari kaca, Radar me

nemukan kotak penuh peta dan brosur turis kuno yang mengiklankan

Gator World dan Crystal Gardens dan rumah bermain yang tidak

lagi ada. Ben melambai memanggilku dan tanpa bicara menunjuk

aligator dari kaca hijau yang tergeletak sendirian dalam kotak, hampir

terkubur dalam debu. Inilah nilai dari suvenir kita, menurutku: kita

tidak bisa menyingkirkannya.

Kami kembali melewati ruang kosong dan ruang yang penuh

deretan rak lalu merangkak melewati Lubang Troll terakhir. Ruangan

yang terakhir mirip sebuah kantor hanya saja tanpa komputer, dan

sepertinya dikosongkan terburu-buru, seolah pegawainya mendadak

ditransportasikan ke ruang angkasa atau semacamnya. Dua puluh

meja berjajar membentuk empat baris. Masih ada bolpoin di beberapa

meja dan semuanya dilengkapi kalender meja kebesaran yang ter

geletak rebah di sana. Kalendar-kalender itu seluruhnya memampang

kan Februari 1986 untuk selama-lamanya. Ben mendorong kursi

kantor yang berputar, berderit ritmis. Ribuan catatan Post-it yang

mengiklankan The Martin-Gale Mortgage Corp. ditumpuk di sam

ping salah satu meja membentuk piramida ringkih. Kotak-kotak

terbuka berisi timbunan kertas dari printer dot matrix kuno, berisi

rincian pengeluaran dan pemasukan Martin-Gale Mortgage Corp.

Di salah satu meja, ada yang menyusun brosur-brosur subdivisi men

jadi satu onggokan tinggi. Aku membongkar brosur-brosur tersebut,

menduga ada petunjuk di sana, tapi tak ada.

Radar mengamati kertas-kertas, berbisik, "Tidak ada catatan se

telah 1986." Aku mulai memeriksa laci-laci meja. Kutemukan Q-tip

dan pin. Bolpoin dan pensil dikemas masing-masing selusin dalam

karton tipis dengan bentuk huruf dan desain retro. Tisu. Sepasang

sarung tangan golf.

"Apa kalian menemukan sesuatu?" tanyaku, "yang menunjukkan

bahwa seseorang pernah ke sini dalam, katakan saja, dua puluh tahun

terakhir?"

"Tidak ada selain Lubang Troll," jawab Ben. Tempat ini sebuah

makam, segala-galanya tersaput debu.

"Lalu kenapa dia menuntun kita ke sini?" tanya Radar. Kini kami

berbicara.

"Entahlah," jawabku. Margo jelas sekali tak ada di sini.

"Ada beberapa lokasi," kata Radar, "yang tak terlalu berdebu. Ada

petak segiempat bersih di ruangan kosong tadi, seolah ada sesuatu

yang dipindahkan. Tapi entahlah."

"Dan ada bagian yang dicat," ucap Ben. Dia menunjuk dan senter

Radar memperlihatkan kepadaku bagian dinding di seberang kantor

ini yang dilapisi cat primer putih, seakan ada yang punya ide me

renovasi tempat ini tapi kemudian menelantarkan proyek tersebut

setengah jam kemudian. Aku mendekati dinding itu, dan dari dekat,

aku bisa melihat ada grafiti merah di balik cat putih. Tetapi aku hanya

bisa melihat samar-samar jejak cat merah menembus warna putih?

nyaris tidak cukup jelas untuk membacanya. Ada kaleng cat primer

di dekat dinding, terbuka. Aku berlutut dan menekankan satu jari

di lapisan cat itu. Permukaannya keras tapi pecah dengan mudah,

dan jariku pun berlumuran cat putih. Ketika cat menetes dari jariku,

aku tak berkata apa-apa, karena kami semua tiba pada kesimpulan

yang sama, bahwa memang benar ada seseorang yang baru-baru ini

berada di sini, dan kemudian bangunan itu berkeriut lagi sehingga

Radar menjatuhkan senternya dan memaki.

"Seram," katanya.

"Teman-teman," kata Ben. Senter masih di lantai, dan aku mundur

selangkah untuk mengambilnya, tapi kemudian aku melihat Ben

menunjuk. Dia menuding ke arah dinding. Sorotan cahaya yang tak
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung membuat huruf-huruf grafiti melayang naik menembus

lapisan cat primer, tulisan samar-samar yang langsung kukenal sebagai

milik Margo.

KAU AKAN PERGI KE KOTA-KOTA KERTAS

DAN KAU TAKKAN PERNAH KEMBALI LAGI

Aku mengambil senter dan menerangi cat itu langsung, pesan itu

pun menghilang. Tetapi ketika aku menyorot bagian lain dinding,

aku bisa membaca pesan itu lagi. "Sial," gumam Radar.

Dan sekarang Ben berkata, "Bro, apa kita sudah bisa pergi? Soalnya

terakhir kali aku setakut ini... ah persetan. Aku takut banget. Tidak

ada yang lucu dari semua ini."

Tidak ada yang lucu dari semua ini adalah ucapan paling dekat

yang bisa diungkapkan Ben mengenai kengerian yang kurasakan,

barangkali. Dan itu sudah cukup dekat bagiku. Aku berjalan cepat

menuju Lubang Troll. Aku bisa merasakan dinding-dinding mendekat

ke arah kami.

1o.

Ben dan Radar menurunkanku di rumah?meskipun bolos sekolah,

mereka enggan melewatkan latihan band. Aku duduk sendirian ber

sama Song of Myself lama sekali, dan kira-kira untuk kesepuluh

kalinya aku mencoba membaca keseluruhan puisi mulai dari awal,

tapi masalahnya puisi itu panjangnya delapan puluh halaman, ganjil,

dan diulang-ulang, dan meskipun aku bisa mengerti setiap katanya,

aku tidak mampu mencerna artinya secara keseluruhan. Walaupun

aku tahu bahwa barangkali hanya bagian-bagian yang ditandailah

yang penting, aku ingin tahu apakah ini tipe puisi yang berisi pesan

bunuh diri. Tetapi aku tak bisa memahaminya.

Aku sudah membaca sepuluh halaman yang membingungkan itu

ketika merasakan panik setengah mati sampai-sampai memutuskan

untuk menelepon sang detektif. Aku mengambil kartu namanya dari

celana pendek di keranjang cucian. Dia menjawab pada dering kedua.

"Warren."

"Hai, um, ini Quentin Jacobsen. Aku teman Margo Roth

Spiegelman?"

"Ya, Nak, aku ingat padamu. Ada apa?"

Kuceritakan padanya tentang petunjuk, kompleks ruko, dan kota

kertas, bagaimana Margo menyebut Orlando sebagai kota kertas dari

puncak SunTrust Building, tapi tidak menyebutnya dalam bentuk

jamak, bagaimana dia memberitahuku bahwa dia takkan ingin di

temukan, tentang menemukan dia di bawah sol sepatu kami. Detektif

Warren bahkan tidak menasehatiku agar jangan menyelinap masuk

ke bangunan telantar, atau bertanya kenapa aku masuk ke bangunan

telantar pada pukul 10.00 di hari sekolah. Dia hanya menunggu

sampai aku berhenti bicara dan berkata, "Astaga, Nak, kau sudah

mirip detektif. Yang kaubutuhkan sekarang hanya senjata, nyali, dan

tiga mantan istri. Jadi apa teorimu?"

"Aku khawatir dia mungkin sudah, um, kurasa bunuh diri?"

"Tak pernah terlintas di benakku gadis ini akan melakukan apaapa selain melarikan diri, Nak. Aku bisa memahami argumentasimu,

tapi kau harus ingat bahwa dia sudah pernah melakukan ini. Petun

juk-petunjuk itu, maksudku. Menambahkan drama dalam urusan

ini. Jujur saja, Nak, kalau dia ingin kau menemukannya?hidup atau

mati?pasti itu sudah terjadi."

"Tapi apa menurutmu tidak?"

"Nak, sayangnya dia secara legal sudah dewasa dan memiliki

kehendak bebas, tahu kan? Aku akan memberimu beberapa saran:

biarkan dia pulang. Maksudku, pada satu waktu, kau harus berhenti

mendongak menatap langit, atau suatu hari nanti kau akan menatap

ke bawah dan mendapati bahwa kau pun melayang pergi."

Aku menutup telepon dengan getir?aku sadar bukan puisi Warren

yang akan membawaku ke Margo. Aku tak henti-hentinya memikir

kan baris-baris terakhir yang ditandai Margo: "Aku menyerahkan diri

kepada tanah untuk tumbuh dari rerumputan yang kucintai, /

Apabila engkau mendambakan diriku lagi cari aku di bawah sol

sepatumu." Rerumputan itu, Whitman menulis di beberapa halaman

awal, adalah "rambut pekuburan yang elok dan tak dipangkas." Tetapi

di mana pekuburan itu? Di mana kota-kota kertas itu?

Aku masuk ke Omnictionary untuk mencari tahu apakah ada arti

lain dari frasa "kota-kota kertas" selain yang kuketahui. Ada entri

yang sangat berarti dan membantu yang dibuat oleh seorang peng

guna bernama skunkbutt: "Kota Kertas adalah kota yang memiliki

pabrik kertas." Itulah kelemahan Omnictionary: hal-hal yang ditulis

Radar lengkap dan sangat membantu; entri dari skunkbutt yang

belum diedit sama sekali tidak memuaskan. Tetapi ketika mencari

di keseluruhan situs, aku mendapatkan sesuatu yang menarik yang

terkubur empat puluh entri jauhnya di sebuah forum mengenai real

estate di Kansas.

Sepertinya Madison Estates batal jadi dibangun; suamiku

dan aku membeli properti di sana, tapi seseorang menelepon

minggu ini untuk mengatakan mereka akan mengembalikan

uang muka kami karena mereka tidak bisa menjual cukup

banyak rumah di awal untuk membiayai proyek tersebut.

Satu lagi kota kertas untuk KS!?Margo di Cawker, KS

Sebuah pseudovisi! Kau akan pergi ke pseudovisi-pseudovisi dan

kau takkan pernah kembali lagi. Aku menghela napas panjang dan

menatap layar beberapa saat.

Kesimpulan itu sepertinya tak bisa disangkal. Meskipun dalam

dirinya segala-galanya hancur dan sudah diputuskan, Margo tak bisa

membiarkan dirinya lenyap untuk selamanya. Dan dia memutuskan

untuk meninggalkan tubuhnya?meninggalkannya untukku?dalam

versi imitasi subdivisi kami, tempat senar pertamanya putus. Dia

berkata tidak mau tubuhnya ditemukan oleh sembarang anak?dan

masuk akal bila dari semua orang yang dikenalnya, dia akan me

milihku untuk menemukan dia. Dia tidak akan menyakitiku dengan

cara baru. Aku pernah merasakannya. Aku punya pengalaman dalam

bidang itu.

Aku melihat Radar online dan akan mengeklik untuk bicara pada

nya ketika pesan IM darinya muncul di layarku.

OMNICTIONARIAN96: Hei.

QTHERESURRECTION: Kota kertas = pseudovisi. Kupikir

dia ingin aku menemukan tubuhnya. Sebab menurutnya aku

bisa menghadapi itu. Sebab kami pernah menemukan mayat

laki-laki waktu masih anak-anak.

Aku mengirimi Radar tautannya.

OMNICTIONARIAN96: Tenanglah. Biar kulihat dulu

tautannya.

QTHERESURRECTION: Oke.

OMNICTIONARIAN96: Oke, jangan pesimis begitu. Kau

kan belum tahu pasti. Kupikir mungkin dia baik-baik saja.

QTHERESURRECTION: Tidak, kau tidak berpikir begitu.

OMNICTIONARIAN96: Oke, memang tidak. Tapi jika ada

yang hidup meskipun dengan adanya semua bukti ini...

QTHERESURRECTION: Yeah, kurasa begitu. Aku mau

rebahan. Orangtuaku sebentar lagi pulang.

Tetapi aku tidak bisa tenang, jadi kutelepon Ben sambil berbaring

dan menceritakan teoriku kepadanya.

"Benar-benar suram, bro. Tapi dia pasti baik-baik saja. Semua ini

bagian dari permainan yang dilakonkannya."

"Kau agak menyepelekan masalah ini."

Ben mendesah. "Terserahlah, tindakannya agak payah, membajak

tiga minggu terakhir SMA, tahu kan? Dia membuatmu cemas, dia

membuat Lacey khawatir, padahal prom tiga hari lagi, tahu kan? Tidak

bisakah kita menikmati prom yang menyenangkan?"

"Kau serius? Dia bisa saja mati, Ben."

"Dia tidak mati. Dia ratu drama. Mencari perhatian. Maksudku,

aku tahu orangtuanya brengsek, tapi mereka lebih kenal dia daripada

kita, kan? Dan mereka juga berpendapat begitu."

"Kau kadang-kadang menyebalkan setengah mati," kataku.

"Terserah apa katamu, bro. Kita mengalami hari yang panjang.

Terlalu banyak drama. Aku akan TTYS." TTYS itu talk to you soon

atau bicara lagi denganmu nanti. Aku kepengin mengejeknya karena

memakai istilah chatting di dunia nyata, tapi kudapati diriku tak

punya tenaga.

Setelah menutup telepon, aku kembali online, mencari daftar pseu

dovisi di Florida. Aku tidak menemukan daftar itu di mana pun, tapi

setelah mencari "subdivisi telantar" dan "Grovepoint Acres" dan se

jenisnya selama beberapa waktu, aku berhasil menyusun daftar lima

lokasi dengan jarak maksimal tiga jam jauhnya dari Jefferson Park.

Aku mencetak peta Central Florida, menempelkan peta itu di dinding

di atas komputer, lalu menancapkan pin untuk setiap lokasi dari

kelima tempat yang kutemukan. Menatap peta itu, aku tidak bisa

menemukan pola di antara semuanya. Letaknya tersebar acak di

antara suburban terpencil, dan setidaknya aku butuh seminggu untuk

mendatangi semuanya. Kenapa Margo tidak meninggalkan petunjuk

lokasi yang spesifik? Dengan semua petunjuk yang menyeramkan ini.

Semua indikasi mengenai tragedi ini. Namun tidak ada tempat. Tidak

ada yang bisa dijadikan pegangan. Rasanya seperti mencoba mendaki

gunung kerikil.

Ben mengizinkanku meminjam SSHISS keesokan harinya, karena

dia akan menyetir SUV Lacey untuk berbelanja keperluan prom

bersama gadis itu. Jadi sekali ini aku tidak perlu duduk menunggu

di luar ruang band?bel periode ketujuh berbunyi dan aku berlari

menuju mobil Ben. Aku tidak seberbakat Ben menstarter SSHISS,

maka aku jadi orang pertama yang tiba di parkiran senior dan yang

terakhir pergi, tapi akhirnya mesinnya hidup, dan aku pun bertolak

ke Grovepoint Acres.

Aku menyetir ke luar kota melewati Colonial, mengemudi per

lahan, mewaspadai pseudovisi yang tak kutemukan di internet. De

retan panjang mobil mengekor di belakangku, dan aku gelisah karena

menahan mereka; aku kagum mengetahui aku masih bisa mencemas

kan masalah konyol dan sepele seperti apakah orang di SUV di

belakangku menganggapku pengendara yang kelewat berhati-hati.

Aku ingin menghilangnya Margo mengubahku; tapi nyatanya tidak,

tidak terlalu.

Saat deretan mobil meliuk-liuk di belakangku mirip semacam

prosesi pemakaman yang tak diinginkan, kudapati diriku berbicara

keras-keras pada Margo. Aku akan mengerahkan segala daya upaya.

Aku tidak akan mengkhianati kepercayaanmu. Aku akan menemukanmu.

Berbicara seperti ini kepadanya membuatku tenang, anehnya. Men

cegahku membayangkan yang bukan-bukan. Aku kembali melihat

papan nama kayu reyot Grovepoint Acres. Aku hampir bisa men

dengar desah lega dari kemacetan di belakangku ketika aku berbelok

ke kiri memasuki jalan aspal buntu. Mirip jalan masuk tanpa rumah.

Kubiarkan SSHISS tetap menyala dan keluar. Dari dekat, aku bisa

melihat bahwa Grovepoint Acres sudah hampir selesai lebih daripada

yang awalnya terlihat. Dua jalan tanah yang berakhir di kuldesak

telah menjadi tanah berdebu, meskipun jalannya sudah sangat terkikis

sehingga aku nyaris tak bisa melihat garis batasnya. Ketika menyusuri

kedua jalan itu bolak-balik, aku bisa merasakan udara panas di hi

dungku dalam setiap helaan napas. Matahari yang terik membuat

sulit bergerak, tapi aku tahu kebenaran indah meskipun muram:

panas membuat mayat berbau busuk, dan Grovepoint Acres tidak
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbau apa-apa selain udara terpanggang dan knalpot mobil?emisi

kumulatif kita yang tertahan tetap di dekat permukaan tanah oleh

kelembapan.

Aku mencari-cari bukti bahwa dia pernah di sini: jejak kaki atau

sesuatu yang tertulis di tanah atau semacam tanda mata. Tetapi

sepertinya akulah orang pertama yang menapaki jalan tanah tak ber

nama ini sejak bertahun-tahun silam. Lahannya datar, dan belum

banyak belukar yang kembali tumbuh, jadi aku bisa melihat ke ke

jauhan di segala arah. Tak ada tenda. Tak ada api unggun. Tak ada

Margo.

Aku kembali ke SSHISS dan menyetir ke jalan I-4 kemudian ber

belok ke arah timur laut kota, menuju tempat bernama Holly

Meadows. Aku tiga kali melewati Holly Meadows sebelum akhirnya

menemukannya?yang ada di area itu hanya pepohonan ek serta

lahan peternakan, dan Holly Meadows?yang tak memiliki papan

nama di pintu masuknya?tidak terlalu mencolok. Tetapi begitu aku

menyetir beberapa meter menyusuri jalan tanah melewati bahu jalan

yang awalnya dijejeri oleh pepohonan ek dan pinus, tempat itu sama

telantarnya dengan Grovepoint Acres. Jalan tanah utama perlahanlahan luruh menjadi bentangan tanah. Tidak ada jalan lain yang bisa

kulihat, tapi begitu aku melangkah berkeliling, aku menemukan be

berapa pasak kayu yang dicat tergeletak di tanah; kurasa pasak-pasak

itu dulunya patok penanda batas tanah. Aku tidak mencium atau

melihat sesuatu yang mencurigakan, tapi aku tetap saja merasakan

ketakutan bangkit dalam dadaku, dan awalnya aku tidak mengerti

apa sebabnya, tapi kemudian aku melihatnya: ketika mereka mem

bersihkan area ini untuk dibangun, mereka menyisakan satu pohon

ek di dekat bagian belakang lahan. Dan pohon berbonggol-bonggol

dengan dahan yang besar-besar itu sangat mirip dengan pohon tempat

kami menemukan Robert Joyner di taman Jefferson Park sehingga

aku yakin Margo ada di sini, di balik pohon itu.

Dan untuk pertama kalinya, aku membayangkannya: Margo Roth

Spiegelman, terkulai bersandar di pohon, matanya kosong, darah

hitam tumpah dari mulutnya, semuanya membengkak dan terdistorsi

lantaran aku butuh waktu terlalu lama untuk menemukannya. Dia

memercayai aku untuk menemukannya lebih cepat. Dia memercayai

aku bersamanya semalam. Dan aku mengecewakannya. Dan meski

pun udara tak berbau apa-apa selain mungkin-hujan-akan-turunnanti, aku yakin telah menemukan dia.

Tetapi tidak. Itu hanya pohon biasa, sendirian di tanah keperakan

kosong. Aku duduk bersandar di pohon itu dan membiarkan napasku

kembali. Aku benci melakukan ini sendirian. Aku benci. Seandainya

Margo mengira Robert Joyner telah membuatku siap menghadapi

ini, dia keliru. Aku tidak kenal Robert Joyner. Aku tidak mencintai

Robert Joyner.

Aku memukul tanah dengan pangkal tinjuku, dan kemudian

menghantamnya lagi dan lagi, tanah berhamburan di sekeliling ta

nganku sampai aku mengenai akar pohon, dan aku terus menggebuk,

rasa sakit menjalar naik ke telapak dan pergelangan tanganku. Aku

belum menangisi Margo sampai saat itu, tapi sekarang akhirnya aku

menangis, meninju tanah dan berteriak karena tidak ada siapa-apa

yang mendengarnya: aku rindu dia aku rindu dia aku rindu dia aku

rindu dia.

Aku tetap di sana bahkan setelah lenganku letih dan mataku ke

ring, duduk di sana dan memikirkan dia hingga cahaya berubah

kelabu.

11.

KEESOKAN paginya di sekolah, aku menemukan Ben berdiri di

samping pintu ruang band mengobrol dengan Lacey, Radar, dan

Angela di bawah naungan pohon yang dahan-dahannya menggantung

rendah. Berat bagiku mendengarkan saat mereka mengobrol tentang

prom, dan tentang bagaimana Lacey berseteru dengan Becca atau

tentang apa pun. Aku menunggu kesempatan untuk memberitahu

mereka apa yang kulihat, tapi ketika mendapatkannya, ketika akhir

nya aku berkata, "Aku sudah memeriksa dengan teliti dua pseudovisi

tapi tidak banyak yang kutemukan," aku menyadari bahwa sebenarnya

tak ada hal baru untuk diceritakan.

Tak seorang pun bahkan tampak peduli, kecuali Lacey. Dia meng

geleng-geleng ketika aku berceloteh tentang pseudovisi, dan kemudian

berkomentar, "Aku baca di internet semalam bahwa mereka yang

berniat bunuh diri mengakhiri hubungan dengan orang-orang yang

membuat mereka marah. Dan mereka membagi-bagikan barang me

reka. Margo memberiku lima jinsnya minggu lalu karena dia bilang

aku lebih cocok memakainya, yang bahkan tidak benar soalnya dia

jauh lebih berlekuk." Aku suka Lacey, tapi aku memahami maksud

Margo mengenai sikapnya yang meremehkan.

Ada sesuatu dari menceritakan itu kepada kami yang membuat

Lacey mulai menangis, Ben pun merangkulnya, dan gadis itu menyan

darkan kepala di bahu temanku, yang sulit dilakukan, soalnya dengan

sepatu tumit tingginya Lacey sebenarnya lebih tinggi daripada Ben.

"Lacey, kita hanya perlu menemukan lokasinya. Maksudku, bicara

lah pada teman-temanmu. Apa Margo pernah menyinggung soal

kota kertas? Apa dia pernah menyebut suatu lokasi yang spesifik?

Apa ada subdivisi di suatu tempat yang berarti baginya?" Lacey

mengedikkan bahu di pundak Ben.

"Bro, jangan desak dia," kata Ben. Aku mendesah, tapi tutup mulut.

"Aku sudah memeriksa di internet," ucap Radar, "tapi username-nya

belum masuk lagi ke Omnictionary sejak dia pergi."

Dan kemudian dengan serempak mereka kembali membicarakan

prom. Lacey muncul dari bahu Ben masih tampak sedih dan linglung,

tapi dia mencoba tersenyum ketika Radar dan Ben bertukar cerita

tentang pembelian korsase.

Hari berlalu seperti biasa?dengan lamban, disertai lirikan murung

ke arah jam. Namun sekarang bahkan lebih tak tertahankan karena

setiap menit yang kuhabiskan disekolah berarti setiap menit berlalu

dengan kegagalanku menemukan dia.

Satu-satunya kelas yang agak menarik bagiku hari itu adalah ba

hasa Inggris, ketika Dr. Holden benar-benar mengacaukan Moby

Dick bagiku dengan salah mengasumsikan bahwa kami semua telah

membaca dan membahas tentang Kapten Ahab serta obsesinya me

nemukan dan membunuh si paus putih. Tetapi seru juga menyaksikan

dia semakin bersemangat saja saat berbicara. "Ahab adalah orang

sinting yang menentang takdir. Kalian tidak pernah melihat Ahab

menginginkan hal lain dalam novel ini, bukan? Dia memiliki obsesi

tunggal. Dan karena dia kapten kapalnya, tidak ada yang bisa men

cegahnya. Kalian bisa berargumentasi?sungguh, kalian boleh ber

argumentasi, jika memutuskan untuk menulis tentang dia dalam esai

reaksi final kalian?bahwa Ahab bodoh karena terobsesi. Tetapi ka

lian juga bisa berargumentasi bahwa ada sesuatu yang herois dan

tragis mengenai bertarung dalam pertempuran yang dia ditakdirkan

untuk kalah. Apakah harapan Ahab itu semacam kegilaan, atau apa

kah itulah definisi sebenarnya dari kemanusiaan?" Aku mencatat

ucapan Dr. Holden sebanyak-banyaknya, menyadari bahwa aku

mungkin bisa menulis esai reaksi final tanpa perlu benar-benar mem

baca buku itu. Selagi dia berbicara, terpikir olehku bahwa Dr. Holden

sangat ahli memahami bacaan. Dan dia pernah bilang menyukai

Whitman. Jadi begitu bel berdering, kuambil Leaves of Grass dari tas

lalu meritsletingnya kembali lambat-lambat pada saat semua orang

bergegas keluar entah pulang atau untuk mengikuti kegiatan ekstra

kurikuler. Aku menunggu di belakang seseorang yang meminta per

panjangan waktu untuk esai yang terlambat, dan kemudian dia pergi.

"Ini dia pembaca Whitman favoritku," ucap Dr. Holden.

Aku memaksakan senyum. "Anda kenal Margo Roth Spiegelman?"

tanyaku.

Dia duduk di balik meja dan mengisyaratkan agar aku duduk.

"Aku belum pernah mengajar dia," kata Dr. Holden, "tapi jelas aku

pernah mendengar namanya. Aku tahu dia melarikan diri."

"Dia bisa dibilang meninggalkan buku puisi ini untukku sebelum

dia, uh, menghilang." Aku mengulurkan buku itu, dan Dr. Holden

mulai membukanya perlahan. Selagi dia melakukannya, aku berkata,

"Aku sering sekali memikirkan bagian yang ditandai. Kalau Anda

membuka bagian akhir Song of Myself, dia menandai baris soal ke

matian. Contohnya, ?Apabila engkau mendambakan diriku lagi cari

aku di bawah sol sepatumu.?"

"Dia meninggalkan ini untukmu," ujar Dr. Holden pelan.

"Yeah," jawabku.

Dr. Holden membalik halaman dan mengetuk-ngetuk kutipan

yang diwarnai hijau dengan kuku. "Apa ini soal kusen? Itu momen

hebat dalam puisi ini, ketika Whitman?maksudku, kau bisa me

rasakan dia berteriak kepadamu: ?Buka pintunya! Sebenarnya, copot

saja pintunya!?"

"Dia benar-benar meninggalkan sesuatu yang lain di dalam kosen

ku."

Dr. Holden tertawa. "Wow. Pintar. Tapi ini puisi yang sangat ba

gus?aku tidak senang melihatnya direduksi menjadi bacaan yang

seharfiah itu. Dan sepertinya dia merespons sangat muram sebuah

puisi yang pada akhirnya bernada sangat optimis. Puisi ini tentang

keterkaitan kita?kita semua berbagi sistem akar yang sama seperti

bilah-bilah rumput."

"Tapi, maksudku, dari apa yang ditandainya, sepertinya mirip

dengan semacam pesan bunuh diri," kataku. Dr. Holden membaca

beberapa stanza terakhir itu lagi dan kemudian mendongak menatap

"Sungguh keliru menyuling puisi ini menjadi sesuatu yang tanpa

harapan. Kuharap bukan itu yang terjadi, Quentin. Kalau kau mem

baca keseluruhan puisinya, aku tidak mengerti bagaimana kau bisa

menarik kesimpulan selain bahwa kehidupan itu suci dan berharga.

Tapi?siapa tahu. Barangkali dia hanya membaca sekilas saat mencari

apa yang diinginkannya. Kita sering membaca puisi dengan cara itu.

Tetapi jika demikian, dia benar-benar keliru memahami apa yang

dikehendaki Whitman darinya."

"Dan apakah itu?"

Dr. Holden menutup buku dan memandangku dengan cara yang

membuatku tak mampu menahan tatapannya. "Menurutmu apa?"

"Aku tidak tahu," jawabku, menatap setumpuk esai yang sudah

dinilai di mejanya. "Aku sudah coba membacanya dari awal beberapa

kali, tapi belum pernah sampai terlalu jauh. Seringnya aku hanya

membaca bagian-bagian yang ditandainya. Aku membacanya untuk

mencoba memahami Margo, bukan untuk mencoba memahami

Whitman."

Dr. Holden mengambil pensil dan menuliskan sesuatu di balik

amplop. "Pelan-pelan. Aku sedang mencatatnya."

"Apa?"

"Yang baru saja kaukatakan," dia menjelaskan.

"Kenapa?"

"Karena menurutku itulah tepatnya yang diinginkan Whitman.

Agar kau tidak menganggap Song of Myself hanya sekadar puisi te

tapi sebagai cara untuk memahami orang lain. Tapi aku bertanyatanya apakah mungkin kau harus membacanya sebagai puisi, bukan

hanya membaca fragmen-fragmennya sebagai kutipan dan petunjuk.

Aku memang berpendapat bahwa ada beberapa hubungan menarik

antara puisi di Song of Myself dan Margo Spiegelman?semua

karisma liar dan hasrat berkelana itu. Tapi sebuah puisi tidak bisa

menjalankan tugasnya kalau kita hanya membaca cuplikan-cuplikan

nya."
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oke, terima kasih," ucapku. Kuambil buku itu dan bangkit. Aku

tak merasa jauh lebih baik.

Aku pulang bersama Ben siang itu dan nongkrong di rumahnya

sampai dia pergi menjemput Radar ke pesta pra-prom yang diadakan

teman kami, Jake, yang orangtuanya keluar kota. Ben mengajakku,

tapi aku sedang tidak kepengin.

Aku pulang berjalan kaki, menyeberangi taman tempat Margo dan

aku menemukan mayat laki-laki itu. Aku teringat pagi itu, dan aku

merasakan sesuatu melilit di perutku karena mengingatnya?bukan

karena mayat tersebut, tapi lantaran aku teringat bahwa Margo-lah

yang menemukannya. Di area bermain di lingkunganku saja, aku

tidak bisa menemukan mayat itu sendiri?bagaimana aku bisa me

lakukan itu sekarang?

Aku mencoba membaca Song of Myself lagi setibanya di rumah

malam itu, tapi terlepas dari saran Dr. Holden, puisi itu masih saja

menjadi rangkaian kata-kata tak masuk akal yang bercampur aduk

Aku bangun pagi keesokan harinya, baru pukul delapan lewat, dan

menghampiri komputer. Ben sedang online, jadi aku mengiriminya

pesan IM.

QTHERESURRECTION: Bagaimana pestanya?

ITWASAKIDNEYINFECTION: Payah, tentu saja. Setiap

pesta yang kudatangi payah.

QTHERESURRECTION: Maaf aku tidak datang. Kau

bangun pagi.

Mau mampir, main Resurrection?

ITWASAKIDNEYINFECTION: Kau bercanda, ya?

QTHERESURRECTION: Uh... tidak?

ITWASAKIDNEYINFECTION: Kau tahu tanggal berapa

sekarang?

QTHERESURRECTION: Sabtu 15 Mei?

ITWASAKIDNEYINFECTION: Bro, prom tinggal sebelas

jam dan empat belas menit lagi. Aku harus menjemput Lacey

kurang dari sembilan jam lagi. Aku bahkan belum mencuci

dan memoles SSHISS, yang omong-omong kaukotori dengan

sukses. Setelah itu aku harus mandi, bercukur, memangkas

bulu hidung, mencuci, dan memoles diriku. Ya Tuhan, jangan

biarkan aku memulai. Banyak yang harus kulakukan. Dengar,

akan kutelepon kau nanti kalau sempat.

Radar juga online, jadi aku mengiriminya IM.

QTHERESURRECTION: Apa sih masalah Ben?

OMNICTIONARIAN96: Wow, tenang, koboi.

QTHERESURRECTION: Sori, aku cuma jengkel soalnya dia

menganggap prom itu oh-sangat penting.

OMNICTIONARIAN96: Kau pasti jengkel setengah mati

kalau tahu satu-satunya alasan aku bangun sepagi ini karena

aku harus pergi mengambil tuksedo, kan?

QTHERESURRECTION: Ya Tuhan. Serius?

OMNICTIONARIAN96: Q, besok dan besoknya lagi dan

sehari setelahnya dan seluruh hari sisa hidupku, dengan

senang hati aku berpartisipasi dalam penyelidikanmu. Tapi

aku punya pacar. Dia ingin punya prom yang

menyenangkan. Aku ingin punya prom yang menyenangkan.

Bukan salahku jika Margo Roth Spiegelman tak ingin kita

punya prom yang menyenangkan.

***

Aku tak tahu harus bilang apa. Radar benar, mungkin. Barangkali

Margo pantas untuk dilupakan. Tetapi dalam hal apa pun, aku tak

bisa melupakan dia.

Ibu dan ayahku masih di tempat tidur, menonton film lama di

TV. "Boleh aku pakai minivan?" tanyaku.

"Tentu saja, kenapa?"

"Kuputuskan pergi ke prom," jawabku buru-buru. Kebohongan itu

terpikir olehku saat mengucapkannya. "Harus mengambil tuksedo

lalu ke rumah Ben. Kami akan pergi berdua." Ibuku duduk, terse

nyum.

"Nah, menurutku itu bagus, Sayang. Bagus bagimu. Maukah kau

pulang supaya kita bisa memotret?"

"Mom, apa Mom benar-benar perlu fotoku pergi ke prom bareng

Ben? Maksudku, bukankah hidupku sudah memalukan?" Ibuku ter

gelak.

"Pulang sebelum jam malam," kata ayahku, yang artinya tengah

malam.

"Baik," jawabku. Mudah sekali berbohong pada mereka sehingga

kudapati diriku bertanya-tanya kenapa aku jarang melakukannya

sebelum malam bersama Margo itu.

Aku melaju di jalan I-4 ke arah barat menuju Kissimmee dan taman

bermain, lalu melewati I-Drive tempat Margo dan aku membobol

masuk SeaWorld, kemudian mengambil jalur Highway 27 ke arah

Haines City. Di daerah sana banyak danau, dan di mana pun ada

danau di Florida, pasti orang-orang kaya berkumpul mengelilinginya,

jadi sepertinya kecil kemungkinan ada pseudovisi di tempat itu. Tetapi

situs internet yang kutemukan sangat spesifik mengenai keberadaan

area luas lahan sita jaminan yang gagal dikembangkan oleh siapa pun.

Aku langsung mengenali lokasinya, karena bila semua jalan masuk

subdivisi lain dipagari dengan tembok, di Quail Hollow hanya berupa

papan nama plastik yang ditancapkan di tanah. Ketika aku berbelok

ke sana, poster-poster plastik kecil bertuliskan DIJUAL, LOKASI

STRATEGIS, PELUANG EMA$ PEMBANGUNAN!

Tidak seperti pseudovisi-pseudovisi sebelumnya, ada yang merawat

Quail Hollow. Memang belum ada rumah yang dibangun, tapi petakpetak lahannya ditandai dengan pasak-pasak survei, dan rumputnya

baru dipangkas. Semua jalan diaspal dan diberi nama dengan rambu

jalan. Di tengah-tengah subdivisi, digali sebuah danau bulat sempurna

dan kemudian, untuk suatu alasan, dikeringkan. Saat melewatinya

dengan minivan, aku bisa melihat dalamnya sekitar tiga meter dan

diameternya kira-kira beberapa puluh meter. Ada slang meliuk-liuk

di dasar lubang menuju tengah, tempat air mancur baja-dan-alumi

nium berdiri dari dasar hingga setinggi mata. Aku mendapati diriku

merasa lega danau itu kosong sehingga aku tak perlu memandangi

air dan bertanya-tanya apakah dia ada di dasarnya, berharap aku

memakai peralatan scuba untuk menemukannya.

Aku yakin Margo tidak mungkin berada di Quail Hollow. Lokasi

itu berbatasan dengan banyak sekali subdivisi sehingga sulit menjadi

tempat persembunyian yang tepat, baik untuk orang maupun tubuh.

Namun aku tetap saja mencari, dan ketika meluncur pelan dengan

minivan menyusuri jalan-jalannya, aku merasa sangat tak berdaya.

Aku ingin merasa lega bahwa bukan di sini tempatnya. Tetapi kalau

bukan di Quail Hollow, artinya pasti di tempat berikutnya, atau

lokasi berikutnya lagi, atau berikutnya lagi. Atau mungkin aku takkan

pernah menemukan dia. Mana yang lebih baik?

Aku selesai berkeliling, tak menemukan apa-apa, dan kembali menuju

jalan raya. Aku membeli makan siang di layanan drive-thru dan me

nyantapnya sambil menyetir ke barat menuju komplek ruko itu.

12.

KETIKA memasuki parkiran ruko, aku melihat lubang yang kami

buat di papan jendela sudah ditutup dengan lakban kertas biru. Aku

bertanya-tanya siapa yang datang ke sini setelah kami.

Aku menyetir ke belakang dan memarkir minivan di sebelah bak

sampah karatan yang sudah berdekade-dekade tak berjumpa truk

sampah. Aku berpikir aku bisa saja membongkar lakban itu kalau

perlu, dan aku sedang berjalan ke depan ketika melihat pintu baja di

belakang toko tidak memiliki engsel yang kasatmata.

Aku tahu satu atau dua hal tentang engsel berkat Margo, dan aku

menyadari kenapa kami gagal menarik lepas pintu-pintu itu: pintunya

membuka ke dalam. Aku menghampiri pintu kantor perusahaan

hipotek dan mendorong. Pintunya membuka tanpa halangan sedikit

pun. Ya Tuhan, kami benar-benar tolol. Tentu saja, siapa pun yang

paham soal bangunan pasti tahu tentang pintu yang tak terkunci,

yang membuat lakban kertas itu makin kelihatan salah tempat.

Aku mengambil ransel yang kukemasi tadi pagi dan mengeluarkan

senter Maglite berkekuatan besar milik ayahku dan menyorotkannya

ke sekeliling ruangan. Sesuatu yang besar di kasau berderap pergi.

Aku bergidik. Kadal-kadal kecil berlari-melompat menembus lariklarik cahaya.

Pilar cahaya dari lubang di langit-langit menerangi sudut depan

ruangan, dan cahaya matahari mengintip dari balik papan partikel,

tapi aku lebih mengandalkan senter. Aku menyusuri deretan meja,

menatap benda-benda yang kami temukan dalam laci, yang kami

tinggalkan. Rasanya menyeramkan melihat meja demi meja dilengkapi

kalender sama yang tak bertanda. Februari 1986. Februari 1986.

Februari 1986. Juni 1986. Februari 1986. Aku memutar tubuh dan

menyorotkan senter ke meja tepat di tengah-tengah ruangan. Kalen

dernya diubah ke bulan Juni. Aku mencondongkan tubuh mendekat

dan menatap kalender, berharap melihat pinggiran bergerigi bekas

lembaran bulan-bulan sebelumnya dirobek, atau tanda-tanda di ker

tas tempat bolpoin menekan kertas, tapi kalender ini tidak ada beda

nya dengan yang lain, selain tanggalnya.

Dengan senter dijepit di antara leher dan bahu, aku mulai me

meriksa laci meja lagi, memperhatikan baik-baik meja Juni: tisu,

pensil yang masih tajam, catatan mengenai hipotek yang ditujukan

kepada seseorang bernama Dennis McMahon, kotak kosong Marl

boro Lights, dan botol cat kuku warna merah yang hampir penuh.

Aku memegang senter di satu tangan dan cat kuku di tangan yang

sebelah lagi, mengamatinya dengan teliti. Warnanya begitu merah

hingga hampir-hampir hitam. Tiba-tiba saja, bunyi derapan cepat di

kasau dan keriut bangunan menjadi tak berarti?aku merasakan

euforia yang tak wajar. Aku tak mungkin tahu apakah itu botol yang

sama, tentu saja, tapi yang jelas warnanya serupa.

Aku memutar botol itu dan melihat, dengan jelas, noda kecil cat

semprot di luar botol. Dari jemari Margo yang bernoda cat semprot.

Kini aku bisa meyakininya. Dia di sini setelah kami berpisah jalan

pagi itu. Jangan-jangan dia masih tinggal di sini. Jangan-jangan dia

baru muncul larut malam. Jangan-jangan dia yang menempelkan

lakban di papan partikel untuk menjaga privasi.

Saat itulah aku bertekad untuk tetap di sana sampai pagi. Kalau

Margo pernah tidur di sini, aku juga bisa. Dan dimulailah dialog

singkatku dengan diri sendiri.

Aku: Tapi tikusnya.

Aku: Yeah, tapi sepertinya mereka cuma berkeliaran di langitlangit.

Aku: Tapi kadalnya.

Aku: Oh, ayolah. Waktu masih kecil kau sering menarik lepas

buntut mereka. Kau tidak takut kadal.

Aku: Tapi tikusnya.

Aku: Lagi pula tikus kan tidak bisa benar-benar menyakitimu.

Mereka lebih takut padamu dibandingkan kau pada mereka.

Aku: Oke, tapi bagaimana dengan tikusnya?

Aku: Tutup mulut.

Pada akhirnya, tikus-tikus itu bukan masalah, tidak terlalu, karena

aku berada di tempat yang didatangi Margo semasa hidupnya. Aku

berada di tempat yang melihat Margo setelah aku, dan kehangatan

dari hal itu membuat kompleks ruko ini hampir-hampir terasa nya

man. Maksudku, aku bukan merasa seperti balita yang digendong

oleh sang ibu atau apa, tapi napasku tak lagi terkesiap setiap kali
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar suara. Dan setelah merasa lebih nyaman, aku mendapati

lebih mudah untuk menjelajahinya. Aku tahu masih ada lagi yang

bisa ditemukan, dan kini, aku merasa siap untuk menemukannya.

Aku meninggalkan kantor, merunduk melewati Lubang Troll me

masuki ruangan berisi labirin rak. Aku menyusuri lorong-lorongnya

beberapa lama. Di ujung ruangan aku merangkak melewati Lubang

Troll berikutnya ke ruangan kosong di sebelahnya. Aku duduk di

gulungan karpet yang menempel di dinding seberang. Cat putih

retak-retak remuk di punggungku. Aku tetap di sana, cukup lama

sehingga poros cahaya bergerigi yang menyorot lewat lubang di langitlangit merayap sejauh hampir tiga sentimeter di lantai ketika aku

tengah membiasakan diri dengan suara-suara di sini.

Setelah beberapa lama, aku jadi bosan dan merangkak melewati

Lubang Troll terakhir menuju toko suvenir. Aku memeriksa tum

pukan kaus. Aku menarik kotak brosur untuk turis dari bawah lemari

kaca dan memeriksanya, mencari pesan bertulisan tangan Margo,

tapi tak menemukan apa-apa.

Aku kembali ke ruangan yang kini kunamai perpustakaan. Aku

memeriksa Reader?s Digests sekilas dan menemukan setumpuk

National Geographics edisi tahun 1960-an, tapi kardusnya diselimuti

debu sangat tebal sehingga aku tahu Margo tak pernah membukanya.

Aku baru mulai menemukan bukti kehadiran manusia ketika

kembali ke ruang kosong itu. Di dinding dekat gulungan karpet, aku

menemukan sembilan lubang bekas tusukan pin di tembok yang

catnya retak-retak dan terkelupas. Empat lubang membentuk bujur

sangkar, dan ada lima lubang lain di dalamnya. Kupikir mungkin

Margo tinggal di sini cukup lama untuk memasang poster, meskipun

jelas tidak ada yang hilang dari kamarnya ketika kami memeriksanya.

Aku membuka gulungan karpet sebagian dan langsung menemu

kan sesuatu yang lain: kardus kosong gepeng yang dulu berisi 24

batang nutrition bar. Aku mendapati diriku bisa membayangkan

Margo di sini, bersandar di dinding dengan karpet tergulung berbau

apak sebagai tempat duduk, menyantap nutrition bar. Dia sendirian,

hanya punya makanan ini. Mungkin dia menyetir setiap hari ke toko

kelontong untuk membeli sandwich dan Mountain Dew, tapi sebagian

besar hari dihabiskan di sini, di karpet ini atau di dekatnya. Bayangan

itu sepertinya terlalu mengenaskan untuk jadi kenyataan?semua itu

bagiku begitu sepi dan sangat bukan-Margo. Tetapi semua bukti

selama sepuluh hari terakhir ini mengarah pada satu kesimpulan

yang mengejutkan: Margo sendiri?setidaknya pada sebagian

waktu?sangat bukan-Margo.

Aku membuka karpet lebih lebar dan menemukan selimut rajut

biru, hampir setipis surat kabar. Aku mengambilnya dan mendekat

kannya ke wajah dan itu dia, ya Tuhan, benar. Aromanya. Sampo

lilac dan losion buah badam, dan di balik semua itu samar-samar ada

aroma manis kulit Margo sendiri.

Dan aku bisa membayangkan Margo lagi: membuka gulungan

karpet setiap malam agar pinggulnya tak menempel di lantai semen

ketika dia berbaring menyamping. Dia merangkak ke balik selimut,

menggunakan sisa gulungan karpet sebagai bantal, dan tidur. Tetapi

kenapa di sini? Bagaimana mungkin ini lebih baik daripada rumah?

Dan kalau tempat ini begitu hebatnya, kenapa pergi dari sini? Itulah

hal-hal yang tak mampu kubayangkan, dan aku sadar tak bisa mem

bayangkannya karena aku tidak mengenal Margo. Aku tahu aroma

nya, caranya bersikap di depanku, caranya bersikap di depan yang

lain, dan aku tahu dia suka Mountain Dew, petualangan, dan tindakan

dramatis, aku juga tahu dia humoris, cerdas, dan pada umumnya

lebih hebat daripada kami semua. Namun aku tidak tahu apa yang

membawanya ke sini, atau apa yang membuatnya tetap di sini, atau

apa yang membuatnya pergi. Aku tidak tahu kenapa dia memiliki

ribuan piringan hitam tapi tak pernah mengatakan pada siapa pun

bahwa dia bahkan menyukai musik. Aku tidak tahu apa yang dilaku

kannya pada malam hari, dengan kerai diturunkan, pintu dikunci,

dalam privasi kamarnya yang tak tertembus.

Dan barangkali itulah yang pertama kali harus kulakukan. Aku

harus mengetahui seperti apa Margo ketika dia tidak bersikap seperti

Margo.

Aku berbaring di sana bersama selimut beraroma-Margo untuk

beberapa lama, menatap langit-langit. Aku bisa melihat sekerat langit

sore lewat retakan di atap, mirip kanvas bergerigi yang dicat biru

terang. Tempat ini sempurna untuk tidur: orang bisa melihat bintang

pada malam hari tanpa kehujanan.

Aku menelepon orangtuaku untuk melapor. Dad yang mengangkat,

dan kubilang kami di mobil dalam perjalanan menemui Radar dan

Angela, serta bahwa aku akan menginap di rumah Ben. Dad berpesan

agar aku jangan minum, dan aku mengiyakan, dan katanya dia bangga

aku pergi ke prom, dan aku bertanya-tanya apakah ayahku akan

bangga padaku karena melakukan apa yang sebenarnya kulakukan.

Tempat ini membosankan. Maksudku, setelah tidak lagi memedulikan

tikus dan erangan misterius bangunan-ini-akan-runtuh dari dinding

nya, tak ada lagi yang bisa dikerjakan. Tidak ada internet, TV, musik.

Aku bosan, maka lagi-lagi aku heran kenapa dia memilih tempat ini,

karena menurutku Margo tipe orang yang memiliki toleransi tipis

untuk kebosanan. Mungkin dia menyukai gagasan tinggal di tempat

kumuh? Kecil kemungkinannya. Margo memakai jins bermerek untuk

membobol masuk SeaWorld.

Ketiadaan stimulus lainlah yang membawaku kembali ke Song of

Myself, satu-satunya hadiah yang jelas kudapatkan darinya. Aku

beringsut ke petak bernoda air di lantai semen yang berada tepat di

bawah lubang langit-langit, duduk bersila, dan memosisikan tubuh

sedemikan rupa sehingga matahari menerangi buku itu. Dan untuk

suatu alasan, akhirnya, aku bisa membacanya.

***

Masalahnya, puisi itu dimulai dengan sangat lamban?hanya sema

cam pendahuluan bertele-tele, tapi kira-kira di baris ke 90-an, Whit

man mulai sedikit bercerita, dan dari sanalah puisi itu menarik

bagiku. Jadi Whitman duduk santai (yang disebutnya bermalas-ma

lasan) di rumput, dan kemudian:

Seorang anak bertanya, Apakah rerumputan itu? mengambil

kannya untukku dengan kedua tangan;

Bagaimana aku bisa menjawab anak itu?...... Aku pun sama

tidak tahunya seperti dia.

Aku menduga itu pasti simbol dari karakterku, yang muncul

dari tenunan helai-helai hijau yang penuh harapan.

Memang ada harapan seperti yang dikatakan Dr. Holden?rumput

itu adalah metafora harapannya. Tetapi itu belum semuanya. Dia

melanjutkan,

Atau aku menduga rerumputan itu adalah saputangan Penguasa,

Hadiah semerbak dan pengingat yang dengan sengaja dijatuhkan,

Seolah-olah rumput adalah metafora keagungan Tuhan atau

semacamnya....

Atau aku menduga rerumputan itu sendiri adalah seorang anak....

Dan kemudian tidak lama sesudahnya,

Atau aku menduga rerumputan itu adalah hiroglif serupa,

Dan itu berarti, Bertunas baik di hamparan luas maupun di ranah

sempit,

Tumbuh di antara kalangan kulit hitam seperti halnya di kalangan

kulit putih

Jadi barangkali rumput adalah metafora dari kesetaraan dan keter

kaitan esensi kami, seperti yang dikatakan Dr. Holden. Dan kemudian

akhirnya, ucapan Whitman tentang rumput,

Dan kini sepertinya rerumputan di mataku adalah rambut

pekuburan yang elok dan tak dipangkas.

Jadi rumput juga adalah kematian?tumbuh dari tubuh-tubuh

kita yang terkubur. Rumput adalah begitu banyak hal yang berbeda,

sungguh membingungkan. Jadi rumput adalah metafora kehidupan,

kematian, kesetaraan, keterkaitan, anak-anak, Tuhan, dan harapan.

Aku tidak bisa memastikan mana dari gagasan tersebut, kalau ada,

yang menjadi inti dari puisi itu. Tetapi memikirkan soal rumput dan

berbagai cara memandangnya membuatku merenungkan tentang

semua caraku melihat dan salah-melihat Margo. Tidak mungkin

kekurangan cara melihat Margo. Selama ini aku terfokus pada jadi

apa dirinya, tapi kini ketika benakku mencoba memahami berbagai

arti rumput dan aromanya di selimut masih di tenggorokanku, aku

menyadari bahwa pertanyaan terpenting adalah siapa yang aku cari.

Jika "Apakah rerumputan itu?" memiliki jawaban yang begitu kom

pleks, menurutku begitu juga halnya dengan pertanyaan "Siapakah

Margo Roth Spiegelman?" Mirip metafora yang disimpulkan tak

dapat dipahami karena ubikuitasnya, ada cukup banyak ruang dalam

apa yang ditinggalkannya bagiku untuk imajinasi tak berujung, untuk

berbagai versi Margo yang tak terbatas.

Aku harus memilah-milah dirinya, dan kupikir pasti ada sesuatu

di sini yang salah kulihat atau tidak kulihat. Aku kepengin membong

kar atap dan menerangi seantero bangunan ini agar bisa melihatnya

sekaligus, bukan hanya mengandalkan satu sorotan senter setiap

kalinya. Aku menyisihkan selimut Margo dan berteriak, cukup keras

untuk didengar semua tikus, "Aku Akan Menemukan Sesuatu Di

Sini!"

Aku kembali memeriksa setiap meja kantor, tapi makin jelas saja

bahwa Margo hanya menggunakan meja yang ada cat kuku di lacinya

dan kalender yang memampangkan bulan Juni.

Aku merunduk melewati Lubang Troll dan menuju perpustakaan

lagi, kembali menyusuri rak-rak logam. Di setiap rak aku mencari

pola-pola tak berdebu yang akan memberitahuku bahwa Margo

menggunakan tempat ini untuk sesuatu, tapi tak menemukan apaapa. Namun kemudian kelebatan cahaya senterku tanpa sengaja

menyinari sesuatu di atas rak yang terletak sudut ruangan, tepat di

dekat jendela depan toko yang ditutupi papan. Sebuah punggung

buku.

Buku itu berjudul Roadside America: Your Travel Guide, dan diter

bitkan tahun 1998, setelah tempat ini dikosongkan. Aku membukabuka halamannya dengan senter dijepit di antara leher dan bahu.

Buku tersebut memuat daftar ratusan atraksi yang bisa dikunjungi,

mulai dari bola benang terbesar di dunia di Darwin, Minnesota,

sampai bola prangko terbesar di dunia di Omaha, Nebraska. Ada

yang melipat sudut beberapa halaman yang kelihatannya acak. Buku

ini tak terlalu berdebu. Barangkali SeaWorld hanya perhentian per

tama dari semacam petualangan impulsif. Ya. Itu masuk akal. Begitu

lah Margo. Entah bagaimana dia menemukan tempat ini, datang ke

sini untuk mengumpulkan perbekalan, menginap satu atau dua ma

lam, dan kemudian bertolak. Aku bisa membayangkan dirinya ber

keliaran di antara perangkap turis.

Ketika cahaya terakhir meninggalkan lubang di langit-langit, aku

menemukan lebih banyak lagi buku di rak lainnya. The Rough Guide

to Nepal; The Great Sights of Canada; America by Car; Fodor?s Guide

to the Bahamas; Let?s Go Bhutan. Sepertinya tidak ada hubungan di

antara semua buku tersebut, kecuali seluruhnya tentang perjalanan

dan diterbitkan setelah kompleks ruko ini ditinggalkan. Aku mengepit

senter di bawah dagu, meraup buku menjadi tumpukan dari pinggang

hingga dada, dan membawanya ke ruang kosong yang kini kubayang

kan sebagai kamar tidur.

Jadi rupanya aku memang melewatkan malam prom bersama Margo,

hanya saja tidak seperti bayanganku. Bukannya mendadak menghadiri

prom bersama-sama, aku bersandar di karpetnya yang digulung de
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ngan selimut lusuhnya dibentangkan di lutut, membaca buku-buku

panduan perjalanan bergantian diterangi cahaya senter dan duduk

diam dalam kegelapan dengan tonggeret berdengung di atas dan di

sekitarku.

Mungkin Margo duduk di sini dalam kepompong kegelapan dan

merasakan keputusasaan menguasainya, dan barangkali dia mendapati

mustahil untuk tidak memikirkan soal kematian. Tentu saja aku bisa

membayangkan itu.

Namun aku juga bisa membayangkan ini: Margo memilih bukubuku ini di berbagai obral garasi, membeli setiap buku panduan

perjalanan yang bisa didapatkannya seharga seperempat dolar atau

kurang dari itu. Kemudian pergi ke sini?bahkan sebelum menghi

lang?untuk membaca buku-buku ini jauh dari sorot mata yang ingin

tahu. Membaca semuanya, mencoba memutuskan tempat tujuannya.

Ya. Dia akan bermalam di jalan dan dalam persembunyian, sebuah

balon yang melayang-layang melintasi angkasa, menempuh ratusan

kilometer sehari dengan bantuan embusan angin. Dan dalam ba

yangan ini, dia masih hidup. Apakah dia membawaku ke sini untuk

memberiku petunjuk menyusun sebuah rencana perjalanan? Bisa jadi.

Tentu saja aku belum menyusun satu pun. Dilihat dari buku yang

ada, dia bisa saja berada di Jamaika atau Namibia, Topeka atau

Beijing. Tetapi aku kan baru saja mulai mencari.

13.

DALAM mimpiku, kepalanya direbahkan di bahuku saat aku ber

baring telentang, hanya sudut karpet di antara kami dan lantai semen.

Lengannya melingkari rusukku. Kami hanya berbaring di sana, tidur.

Ya Tuhanku. Satu-satunya remaja laki-laki Amerika yang bermimpi

tidur dengan gadis-gadis, dan hanya tidur bersama mereka. Kemudian

teleponku berdering. Butuh dua kali deringan lagi sebelum tanganku

yang meraba-raba menemukan ponsel tergeletak di bagian karpet

yang tak tergulung. Pukul 03.18. Ben menelepon.

"Selamat pagi, Ben," sapaku.

"HOREEE!!!!!" jawabnya, berteriak, dan aku langsung tahu bahwa

sekarang bukan waktu yang tepat untuk mencoba menjelaskan

kepadanya semua yang kuketahui dan kubayangkan tentang Margo.

Aku hampir bisa mencium bau minuman keras dalam napasnya. Satu

kata itu, dari cara Ben meneriakkannya, memuat tanda seru lebih

banyak daripada yang pernah diucapkan Ben kepadaku seumur

hidupnya.

"Kuanggap prom-nya berjalan lancar?"

"HOREEEE! Quentin Jacobsen! Sang Q! Quentin terhebat seAmerika! Hore!" Setelah itu suaranya menjauh tapi aku masih bisa

mendengarnya. "Semuanya, hei, tutup mulut, tunggu, tutup mulut?

QUENTIN! JACOBSEN! DI TELEPONKU!" Sorak-sorai terde

ngar, dan suara Ben kembali. "Hore, Quentin! Hore! Bro, kau harus

ke sini."

"Ke sini di mana?" tanyaku.

"Rumah Becca! Kau tahu di mana tempatnya?"

Kebetulan sekali aku tahu betul di mana rumah Becca. Aku pernah

masuk ke basement-nya. "Aku tahu, tapi sekarang sudah tengah ma

lam, Ben. Dan aku di?"

"HOREEE!!! Kau harus datang sekarang. Sekarang juga!"

"Ben, ada peristiwa yang lebih penting terjadi," jawabku.

"PENGEMUDI PILIHAN!"

"Apa?"

"Kau itu pengemudi pilihanku! Hore! Kau jelas terpilih! Aku se

nang sekali kau menjawab telepon! Keren banget! Aku harus pulang

jam enam! Dan aku memilihmu untuk mengantarku! HO

REEEEEEE!"

"Memangnya kau tidak bisa menginap di sana saja?" tanyaku.

"TIDAAAAK! Huuuuu. Huuu Quentin. Hei, semuanya! Bilang

huuuu ke Quentin!" Dan kemudian aku disoraki. "Semuanya mabuk.

Ben mabuk. Lacey mabuk. Radar mabuk. Tidak ada yang bisa me

nyetir. Pulang jam enam. Sudah janji ke Mom. Huu, Quentin Tukang

Tidur! Yay, Pengemudi Pilihan! HOREEEE!"

Aku menghela napas panjang. Seandainya Margo akan muncul

dia pasti sudah menampakkan diri pada pukul tiga pagi. "Setengah

jam lagi aku sampai di sana."

"HORE HORE HORE HORE HORE HORE HORE HORE

HORE HORE HORE HOREEEEEE!!!! HORE! HORE!"

Ben masih menegaskan pernyataannya ketika aku menutup tele

pon. Aku berbaring di sana sejenak, menyuruh diriku bangkit, dan

kemudian aku melakukannya. Masih setengah tertidur, aku merang

kak melintasi Lubang Troll melewati perpustakaan dan menuju

kantor, kemudian membuka pintu belakang dan masuk ke minivan.

Aku memasuki subdivisi rumah Becca Arrington menjelang pukul

empat. Lusinan mobil diparkir di sepanjang kedua sisi jalanan rumah

Becca, dan aku tahu ada lebih banyak lagi orang di dalam, mengingat

tidak sedikit dari mereka yang diantar dengan limusin. Aku menemu

kan tempat parkir beberapa mobil jauhnya dari SSHISS.

Aku belum pernah melihat Ben mabuk. Saat kelas sepuluh, aku

pernah menenggak sebotol "anggur" pink di suatu pesta band. Rasanya

saat ditelan sama parahnya dengan ketika dimuntahkan. Ben-lah

yang duduk bersamaku di kamar mandi Cassie Hiney yang bertemaWinnie-The-Pooh sementara aku menyemburkan muntahan pink

di lukisan bergambar Eeyeore. Kupikir pengalaman tersebut membuat

kami berdua alergi pada kebiasaan minum alkohol. Hingga malam

ini, setidaknya.

Sekarang, aku tahu Ben akan mabuk, Aku mendengar bicaranya

di telepon. Tidak ada orang yang waras berkata "hore" sesering itu

dalam satu menit. Meskipun begitu, ketika aku menerobos orangorang yang merokok di pekarangan depan rumah Becca dan membuka

pintu rumahnya, aku tidak menyangka akan melihat Jase Worthington

dan dua pemain bisbol lain memegangi Ben yang mengenakan

tuksedo secara terbalik di atas tong bir. Cerat bir berada di mulut

Ben, dan seisi ruangan terpaku padanya. Mereka semua berseru se

rempak, "Delapan belas, sembilan belas, dua puluh," dan sejenak,

kupikir Ben sedang?mungkin?dipelonco atau semacamnya. Tetapi

tidak, saat dia mengisap cerat seolah itu air susu ibu, sedikit lelehan

bir menetes dari kedua sisi mulutnya, karena dia tersenyum. "Dua

puluh tiga, dua puluh empat, dua puluh lima," orang-orang berseru,

dan kau bisa mendengar antusiasme mereka. Rupanya, sesuatu yang

mengesankan sedang terjadi.

Semua ini terlihat begitu sepele, begitu memalukan. Semua ini

terlihat seperti bocah-bocah kertas tengah bersenang-senang. Aku

menembus kerumunan menuju Ben, dan terkejut saat kebetulan

melihat Radar dan Angela.

"Apa-apaan ini?" tanyaku.

Radar berhenti menghitung dan menoleh ke arahku. "Hore!" ucap

nya. "Pengemudi Pilihan ?udah datang! Hore!"

"Kenapa semuanya sering sekali bilang ?hore? malam ini?"

"Pertanyaan bagus," seru Angela padaku. Dia menggembungkan

pipi dan mendesah. Dia tampak hampir sejengkel yang kurasakan.

"Hore, benar, itu pertanyaan bagus!" kata Radar, memegang gelas

plastik merah penuh bir di kedua tangan.

"Dua-duanya punya dia," Angela menjelaskan kepadaku dengan

tenang.

"Kenapa bukan kau yang jadi pengemudi pilihan?" tanyaku.

"Mereka menginginkanmu," jawab Angela. "Berpikir itu bisa mem

buatmu datang ke sini." Aku memutar bola mata. Dia balas memutar

bola mata, penuh simpati.

"Kau pasti sangat suka padanya," ujarku, mengangguk ke arah

Radar, yang memegangi kedua gelas bir di atas kepala, ikut menghi

tung. Semua orang tampak begitu bangga bisa berhitung.

"Sekarang pun dia bisa dibilang menggemaskan," sahut Angela.

"Menjijikkan," komentarku.

Radar menyikutku dengan salah satu gelas bir. "Coba lihat Ben

kita! Dia sejenis cendekiawan autistik bila berurusan dengan akrobat

tong bir. Rupanya dia sekarang mencetak rekor dunia atau semacam

nya."

"Akrobat tong bir itu apa?" tanyaku.

Angela menunjuk Ben. "Itu," ujarnya.

"Oh," kataku. "Yah, itu kan?maksudku, seberapa susah sih di

pegangi terbalik begitu?"

"Rupanya, akrobat tong bir terlama dalam sejarah Winter Park

adalah 62 detik," Angela menjelaskan. "Dan rekor itu dicetak oleh

Tony Yorrick," laki-laki raksasa yang lulus ketika kami baru masuk

dan sekarang bermain untuk tim futbol University of Florida.

Aku tidak keberatan Ben mencetak rekor, tapi aku tak mampu

membuat diriku ikut bergabung ketika semua orang berteriak, "Lima

puluh delapan, lima puluh sembilan, enam puluh, enam puluh satu,

enam puluh dua, enam puluh tiga!" Dan kemudian Ben mengeluarkan

cerat tong bir dari mulutnya dan berseru, "HORE! AKU PASTI

YANG TERHEBAT! AKU MENGGUNCANG DUNIA!" Jase

dan beberapa pemain bisbol memutar tubuh Ben agar kembali tegak

dan memanggulnya keliling ruangan. Kemudian Ben melihatku, me

nunjuk, dan menyerukan "HOREEEE!!!!!!" paling nyaring dan ber

semangat yang pernah kudengar. Maksudku, pemain sepak bola saja

tidak sebersemangat itu saat memenangkan Piala Dunia.

Ben melompat turun dari bahu pemain bisbol, mendarat dengan

membungkuk canggung, lalu agak limbung saat menegakkan tubuh.

Dia merangkul bahuku. "HORE!" serunya lagi. "Quentin di sini!

Orang hebat! Ayo bersorak untuk Quentin, sahabat pemegang rekor

dunia akrobat tong bir!" Jase mengusap kepalaku dan berkata, "Kau

hebat, Q!" dan kemudian aku mendengar Radar di telingaku,

"Omong-omong, kita kayak jagoan bagi orang-orang ini. Angela dan

aku meninggalkan pesta kami untuk datang ke sini sebab kata Ben

aku akan disambut seperti raja. Maksudku, mereka mengelu-elukan

namaku. Rupanya mereka semua menganggap Ben itu lucu atau apa,

jadi mereka juga suka pada kita."

Kepada Radar, dan juga kepada yang lain, aku berkata, "Wow."

Ben berpaling dari kami, dan aku melihatnya meraih Cassie

Hinney. Tangannya di bahu Cassie, yang juga balas memegang bahu

Ben, dan Ben berkata, "Kencan prom-ku hampir jadi ratu prom," lalu

Cassie berkata, "Aku tahu. Hebat sekali," kemudian Ben berkata, "Aku

sudah kepengin menciummu setiap hari selama tiga tahun terakhir

ini," sesudah itu Cassie berkata, "Kurasa sebaiknya kaulakukan," se

telahnya Ben berkata, "HORE! Itu hebat!" Namun dia tidak mencium

Cassie. Dia hanya berbalik ke arahku dan berkata, "Cassie mau men

ciumku!" Dan kubilang, "Yeah," lalu dia berkata, "Itu hebat sekali."

Dan kemudian sepertinya Ben lupa padaku dan Cassie, seakan-akan

gagasan mencium Cassie Hiney lebih baik dibandingkan benar-benar

mencium gadis itu.

Cassie berkata padaku, "Pesta ini seru banget, kan?" dan kubilang,

"Yeah," dan dia berkata, "Kebalikannya pesta-pesta band, ya?" Dan

kubilang, "Yeah," dan dia berkata, "Ben itu sinting, tapi aku suka dia."

Dan kubilang, "Yeah." "Apalagi matanya benar-benar hijau," dia me

nambahkan, dan kubilang, "Uh-huh," kemudian dia berkata, "Semua

orang bilang kau lebih cakep, tapi aku suka Ben," dan kubilang, "Oke,"

dan dia berkata, "Pesta ini seru banget, kan?" Dan kubilang, "Yeah."

Bicara pada orang mabuk mirip dengan bicara pada anak-tiga-tahun

yang super-girang dan otaknya rusak parah.

Chuck Parson menghampiriku tepat ketika Cassie berlalu.

"Jacobsen," sapanya, datar.

"Parson," jawabku.
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau yang cukur alis keparatku, kan?"

"Sebenarnya bukan kucukur," kataku. "Aku pakai krim perontok

bulu."

Dia menusuk bagian tengah dadaku cukup keras. "Kurang ajar,"

makinya, tapi dia tertawa. "Itu butuh nyali besar, bro. Dan sekarang

kau jadi dalang sejati. Maksudku, mungkin aku cuma mabuk, tapi

sekarang aku merasa agak sayang pada bokong bajinganmu itu."

"Terima kasih," ucapku. Aku merasa sangat terpisah dari semua

sampah ini, semua omong kosong SMA-sudah-berakhir-jadi-kitaharus-mengungkapkan-bahwa-jauh-di-lubuk-hati-kita-semua-salingmenyayangi ini. Dan aku membayangkan Margo di pesta ini, atau di

ribuan pesta seperti ini. Kehidupan terkuras dari matanya. Aku

membayangkan dia mendengarkan Chuck Parson berceloteh padanya

dan memikirkan jalan keluar, jalan keluar dalam keadaan hidup dan

jalan keluar dalam keadaan mati. Aku bisa membayangkan dua jalur

itu dengan sama jelasnya.

"Mau bir, bajingan?" tanya Chuck. Aku mungkin sudah lupa dia

bahkan ada di sini, tapi bau minuman keras di napasnya membuatku

sulit untuk mengabaikan kehadirannya. Aku hanya menggeleng, dan

dia pun melangkah pergi.

Aku ingin pulang, tapi aku sadar tak bisa memburu-buru Ben. Ba

rangkali ini hari terhebat dalam hidupnya. Dia berhak menikmatinya.

Jadi, aku mencari tangga dan turun ke basement. Aku lama sekali

berada dalam kegelapan sehingga masih mendambakannya, dan aku

hanya kepengin berbaring di suatu tempat yang agak sepi dan agak

gelap serta kembali membayangkan Margo. Tetapi ketika melewati

kamar Becca, aku mendengar suara-suara teredam?tepatnya, suara209

suara erangan?dan aku pun berhenti di luar pintunya, yang terbuka

sedikit.

Aku bisa melihat dua per tiga tubuh atas Jase, tak berbaju, di atas

Becca yang melingkarkan kaki di tubuh Jase. Tidak ada yang telanjang

atau apa, tapi mereka mengarah ke sana. Dan barangkali orang yang

lebih baik akan berbalik, tapi orang seperti aku jarang mendapat

kesempatan melihat Becca Arrington telanjang, jadi aku tetap di

ambang pintu, mengintip ke kamar. Dan mereka berguling sehingga

Becca di atas Jason, dan mendesah ketika Jase menciumnya, lalu dia

meraih bajunya. "Apa menurutmu aku seksi?" tanya Becca.

"Oh yeah, kau seksi banget, Margo," jawab Jase.

"Apa!?" kata Becca berang, dan aku langsung tahu bahwa aku tidak

akan melihat Becca telanjang. Becca mulai berteriak-teriak; aku mun

dur dari pintu; Jase memergokiku dan berseru, "Apa masalahmu?"

Dan Becca menjerit, "Persetan dengannya. Siapa yang peduli dengan

dia? Bagaimana denganku?! Kenapa malah kau memikirkan cewek

itu dan bukannya aku!"

Sepertinya itu waktu yang tepat bagiku untuk pergi dari sana, jadi

kututup pintu dan pergi ke kamar mandi. Aku memang ingin buang

air kecil, tapi alasan terbesarnya karena aku hanya ingin menjauh

dari suara manusia.

Aku selalu butuh beberapa detik untuk mulai buang air kecil se

telah semua perlengkapan siap, jadi aku berdiri di sana sejenak, me

nunggu, dan kemudian aku mulai buang air kecil. Ketika sedang

deras-derasnya dan bergidik lega, terdengar suara seorang gadis dari

ruang dekat bak berendam berkata, "Siapa di sana?"

Dan kubilang, "Uh, Lacey?"

"Quentin? Apa yang kaulakukan di sini?" Aku ingin berhenti buang

air kecil tapi tidak bisa, tentu saja. Buang air kecil itu mirip buku

bagus yang amat sangat sulit dihentikan begitu dimulai.

"Hmm, kencing," jawabku.

"Bagaimana kemajuannya?" tanyanya dari balik tirai.

"Hmm, baik?" aku mengeluarkan sisa air seni, meritsleting celana

pendek, lalu mengguyur toilet.

"Kau mau nongkrong di bak berendam?" tanyanya. "Itu bukan

rayuan."

Sejenak kemudian, aku berkata, "Tentu." Kusibak tirai pancuran.

Lacey tersenyum padaku, kemudian menarik lutut ke dada. Aku

duduk di seberangnya, punggungku bersandar di porselen miring

yang dingin. Kaki kami bertaut. Dia mengenakan celana pendek,

kaus tak berlengan, dan sandal jepit mungil imut. Makeup-nya hanya

agak berlepotan di sekitar matanya. Rambutnya sedikit diangkat,

masih ditata untuk prom, dan kakinya kecokelatan. Harus diakui

bahwa Lacey Pemberton sangat cantik. Dia bukan tipe gadis yang

bisa membuat kita melupakan Margo Roth Spiegelman, tapi dia tipe

gadis yang bisa membuat kita melupakan banyak hal.

"Bagaimana prom-nya?" tanyaku.

"Ben manis sekali," jawabnya. "Aku bersenang-senang. Tapi kemu

dian aku dan Becca bertengkar sengit, dia menyebutku pelacur lalu

dia berdiri di sofa di lantai atas dan menyuruh semua orang diam

kemudian mengumumkan pada mereka bahwa aku punya penyakit

menular seksual."

Aku meringis. "Ya Tuhan," ucapku.

"Yeah. Aku jadi agak kacau. Hanya saja... Ya Tuhan. Menyebalkan

sekali, jujur saja, soalnya... itu sungguh memalukan, dan dia tahu itu,

dan... itu menyebalkan. Jadi aku ke bak berendam lalu Ben turun ke

sini dan kusuruh dia agar meninggalkanku. Aku tidak benci Ben,

tapi dia tak terlalu mahir mendengarkan. Dia agak mabuk. Aku tidak

punyaS. Aku pernah. Sudah sembuh. Masa bodohlah. Hanya

saja, aku bukan pelacur. Ada satu cowok. Cowok brengsek. Ya Tuhan,

aku tak percaya pernah memberitahunya. Seharusnya aku memberi

tahu Margo ketika Becca tak ada."

"Aku ikut prihatin," kataku. "Masalahnya Becca hanya iri."

"Kenapa dia iri? Dia kan ratu prom. Dia pacaran dengan Jase. Dia

Margo yang baru."

Bokongku nyeri beradu dengan porselen, jadi aku mencoba meng

atur posisi dudukku. Lututku bersentuhan dengan lututnya. "Tidak

ada yang akan pernah jadi Margo baru," ucapku. "Omong-omong,

kau memiliki apa yang sebenarnya diinginkannya. Orang-orang me

nyukaimu. Orang-orang menganggapmu lebih menggemaskan."

Lacey mengedikkan bahu malu-malu. "Apa menurutmu aku palsu?"

"Yeah." Aku memikirkan diriku yang berdiri di luar kamar Becca,

berharap gadis itu mencopot kausnya. "Tapi aku juga begitu," tambah

ku. "Begitu pula semua orang." Aku sering berpikir, Seandainya aku

punya tubuh seperti Jase Worthington. Berjalan seolah tahu cara berjalan.

Mencium seolah tahu cara mencium.

"Tapi tidak sama. Ben dan aku palsu dalam cara yang serupa. Kau

tidak peduli apakah orang-orang suka padamu."

Itu benar tapi juga tidak. "Aku memedulikan itu lebih daripada

yang kuinginkan," kataku.

"Semuanya menyebalkan tanpa Margo," kata Lacey. Dia juga ma

buk, tapi aku tidak keberatan dengan tipe mabuknya.

"Yeah," ucapku.

"Aku mau kau membawaku ke tempat itu," katanya. "Kompleks

ruko itu. Ben cerita padaku tentang itu."

"Yeah, kita bisa pergi kapan saja kau mau," ujarku. Kuceritakan

padanya bahwa tadi aku di sana sepanjang malam, bahwa aku me

nemukan cat kuku dan selimut Margo.

Lacey membisu sejenak, bernapas lewat mulut yang terbuka. Ke

tika akhirnya mengatakannya, dia hampir membisikkannya. Menyu

sun kata membentuk pertanyaan dan diucapkan seperti pernyataan:

"Dia sudah mati, kan."

"Entahlah, Lacey. Aku juga berpikir begitu sampai malam ini, tapi

sekarang aku tidak tahu."

"Dia mati dan kita semua... melakukan ini."

Aku mengingat baris puisi Whitman yang ditandai: "Apabila tidak

ada di dunia ini yang peduli aku berpuas diri,/ Dan apabila semuanya

peduli aku berpuas diri." Kubilang, "Mungkin itulah yang diinginkan

nya, agar kehidupan terus berlanjut."

"Kedengarannya bukan seperti Margo-ku," ucap Lacey, dan aku

memikirkan Margo-ku, Margo Lacey, Margo Mrs. Spiegelman, dan

kami semua melihat pantulannya di cermin yang berbeda di rumah

bermain. Aku berniat mengatakan sesuatu, tapi mulut Lacey yang

terbuka menjadi ternganga, dan dia menyandarkan kepala di ubin

kelabu dingin dinding kamar mandi, tertidur.

Setelah dua orang masuk ke kamar mandi untuk buang air kecil

barulah kuputuskan untuk membangunkan dia. Sudah hampir pukul

05.00, dan aku harus mengantarkan Ben pulang.

"Lace, bangun," kataku, menyentuh sandal jepitnya dengan sepatu

Dia menggeleng-geleng. "Aku senang dipanggil itu," katanya. "Tahu

tidak, kau itu seperti sahabat baruku?"

"Aku senang," sahutku, meskipun dia mabuk, lelah, dan berbohong.

"Begini, kita akan ke lantai atas bersama, dan kalau ada yang bicara

macam-macam tentangmu, aku akan membela kehormatanmu."

"Oke," ucapnya. Dan kami pun ke lantai atas bersama, kemeriahan

pesta sudah agak berkurang, tapi masih ada beberapa pemain bisbol,

termasuk Jase, di dekat tong bir. Kebanyakan sudah tidur di kantong

tidur yang bertebaran di lantai; sebagian berdesak-desakan di sofa

tarik. Angela dan Radar berbaring bersama di love seat, kaki Radar

menjuntai ke lantai. Mereka menginap.

Baru saja aku berniat bertanya pada orang-orang di dekat tong bir

apakah mereka melihat Ben, dia berlari memasuki ruang duduk. Ben

memakai topi bayi biru di kepalanya dan memegang pedang terbuat

dari delapan kaleng kosong Milwaukee?s Best Light yang, kuduga,

disatukan dengan lem.

"AKU MELIHATMU!" seru Ben, menudingku dengan pedang.

"AKU MENEMUKAN QUENTIN JACOBSEN! HOREE! Ke

marilah! Berlutut!" teriaknya.

"Apa? Ben, tenanglah."

"BERLUTUT!"

Dengan patuh aku berlutut, mendongak menatapnya.

Dia menurunkan pedang bir dan menyentuh kedua bahuku. "Ber

dasarkan kekuasaan pedang bir lem super, dengan ini aku memilihmu

sebagai pengemudiku!"

"Terima kasih," kataku. "Jangan muntah dalam minivan."

"HORE!" teriaknya. Kemudian, ketika aku mencoba bangkit, dia

mendorongku kembali berlutut dengan tangan yang tak memegang

pedang bir, dan menyentuhku lagi dengan pedang birnya, lalu berkata,

"Berdasarkan kekuasaan pedang bir lem super, dengan ini aku meng

umumkan bahwa kau akan telanjang di balik togamu saat wisuda!"

"Apa?" aku berdiri.

"YA! Aku dan kau dan Radar! Telanjang di balik toga kita! Saat

wisuda! Pasti sangat keren!"

"Yah," kataku. "pasti sangat panas."

"YA!" katanya. "Bersumpahlah kau akan melakukannya! Aku su

dah menyuruh Radar bersumpah. RADAR, KAU SUDAH BER

SUMPAH, KAN?"

Radar menoleh sedikit, dan membuka matanya secelah. "Aku ber

sumpah," gumamnya.

"Yah kalau begitu, aku juga bersumpah," kataku.

"HORE!" Kemudian Ben menoleh ke Lacey. "Aku mencintaimu."

"Aku juga mencintaimu, Ben."

"Tidak, aku mencintaimu. Bukan seperti saudara perempuan men

cintai saudara laki-lakinya atau seperti teman mencintai temannya.

Aku mencintaimu seperti cowok mabuk berat mencintai cewek paling

hebat sepanjang masa." Lacey tersenyum.
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku maju selangkah, berusaha menyelamatkan temanku dari

mempermalukan diri lebih lanjut, dan meletakkan sebelah tangan di

bahunya. "Kalau kita mau membawamu pulang jam enam, kita sebaik

nya pergi," kataku.

"Oke," ujar Ben. "Aku hanya mau berterima kasih pada Becca untuk

pesta hebat ini."

Jadi Lacey dan aku mengikuti Ben ke lantai bawah, di mana dia

membuka pintu kamar Becca dan berkata, "Pestamu seru banget!

Meskipun kau sangat menyebalkan! Jantungmu seperti bukan

memompa darah melainkan cairan menyebalkan! Tapi trims buat

birnya!" Becca sendirian, berbaring di atas penutup tempat tidur,

menatap langit-langit. Dia bahkan tak memandang Ben. Dia hanya

bergumam, "Oh, pergi saja ke neraka, muka sampah. Semoga teman

kencanmu menularimu penyakit."

Tanpa nada menyindir dalam suaranya, Ben menyahut, "Senang

mengobrol denganmu!" dan menutup pintu. Menurutku dia sama

sekali tidak sadar baru saja dihina.

Kemudian kami di lantai atas lagi dan bersiap keluar dari pintu.

"Ben," kataku, "kau harus meninggalkan pedang bir itu di sini."

"Oh iya," ucapnya, dan kemudian kuraih ujung pedangnya dan

kutarik, tapi Ben menolak melepaskannya. Aku baru saja ingin me

marahi bokong mabuknya ketika menyadari dia tidak bisa melepaskan

pedang itu.

Lacey tergelak. "Ben, apa kau mengelem tanganmu di pedang bir

itu?"

"Tidak," jawab Ben. "Aku pakai lem super. Jadi tidak ada yang bisa

mencurinya dariku!"

"Cerdas," komentar Lacey tanpa ekspresi.

Lacey dan aku berhasil melepaskan semua kaleng bir kecuali satu

yang menempel langsung di tangan Ben. Sekeras apa pun aku me

nariknya, tangan Ben selalu mengikuti dengan lemas, seolah bir itu

tali dan tangannya adalah boneka. Akhirnya, Lacey berkata, "Kita

harus pergi." Jadi kami pun pergi. Kami mengikat Ben dengan sabuk

pengaman di jok belakang minivan. Lacey duduk di sebelahnya,

karena "Aku sebaiknya memastikan dia tidak muntah atau memukuli

diri sendiri dengan tangan birnya atau apalah."

Tetapi Ben terlalu teler sehingga Lacey merasa nyaman bicara

tentang dia. Selagi aku menyetir melewati jalan tol, Lacey berkata,

"Ada untungnya bila berusaha keras, tahu kan? Maksudku, aku tahu

dia berusaha terlalu keras, tapi kenapa itu dianggap hal yang buruk?

Dan dia manis, kan?"

"Kurasa begitu," sahutku. Kepala Ben terkulai ke mana-mana,

seolah tak terhubung dengan tulang punggung. Di mataku dia tak

terlihat manis, tapi masa bodohlah.

Aku menurunkan Lacey duluan di sisi lain taman Jefferson Park.

Ketika dia membungkuk dan mengecup bibir Ben, temanku itu ter

bangun sekejap untuk berkata, "Hore." Lacey menghampiri pintu

pengemudi dulu dalam perjalanan menuju kondo-nya. "Trims," kata

nya. Aku hanya mengangguk.

Aku menyetir menyeberangi subdivisi. Saat itu bukan lagi malam

tapi pagi belum datang. Ben mendengkur pelan di belakang. Aku

berhenti di depan rumahnya, keluar, membuka pintu geser minivan,

dan melepaskan sabuk pengamannya.

"Waktunya pulang, Benners."

Dia menyedot hidung dan menggeleng-geleng, kemudian ter

bangun. Tangannya terulur untuk menggosok mata dan tampak

terkejut mendapati kaleng kosong Milwaukee?s Best Light menempel

di tangan kanannya. Dia mencoba mengepalkan tangan sehingga

membengkokkan kaleng itu, tapi tak juga lepas. Dia menatap kaleng

bir beberapa lama, kemudian mengangguk. "Monster ini menempel

padaku," ucapnya.

Dia memanjat turun dari minivan dan terhuyung-huyung me

nyusuri trotoar menuju rumahnya, kemudian dia berdiri di beranda

depan, dia memutar tubuh, tersenyum. Aku melambai ke arahnya.

Bir itu balas melambai.

14.

AKU tidur beberapa jam, kemudian melewatkan pagi mempelajari

buku panduan perjalanan yang kutemukan kemarin. Aku menunggu

siang sebelum menelepon Ben dan Radar. Kutelepon Ben dulu. "Se

lamat pagi, Sunshine," sapaku.

"Oh Tuhan," kata Ben, suaranya menetes-neteskan penderitaan

mengenaskan. "Oh, Tuhanku yang baik, datanglah dan hiburlah Ben

kecilmu ini. Oh Tuhan. Sirami aku dengan kasih-Mu."

"Ada banyak perkembangan dalam soal Margo," ucapku penuh

semangat, "jadi kau harus mampir. Aku mau menelepon Radar juga."

Ben sepertinya tidak mendengarku. "Hei, waktu ibuku masuk ke

kamarku jam sembilan pagi ini, kenapa ketika aku mengangkat tangan

untuk menguap, dia dan aku mendapati ada kaleng bir menempel di

tanganku?"

"Kau menempelkan beberapa kaleng bir dengan lem super untuk

membuat pedang bir, lalu kau menempelkan tanganmu di pedang

itu dengan lem super."

"Oh, yeah. Pedang bir. Aku jadi ingat."

"Ben, kemarilah."

"Bro. Aku tidak enak badan."

"Kalau begitu aku yang ke rumahmu. Seberapa cepat?"

"Bro, kau tidak boleh ke sini. Aku harus tidur sepuluh ribu jam.

Aku harus minum sepuluh ribu galon air, dan menelan sepuluh ribu

Advil. Kita ketemu besok saja di sekolah."

Aku menarik napas panjang dan mencoba agar tak terdengar jeng

kel. "Aku menyetir melintasi Central Florida tengah malam agar

menjadi orang yang tidak mabuk di pesta termabuk sedunia dan

mengantarkan bokong lembekmu pulang, dan ini?" Aku pasti akan

terus mengomel, tapi aku menyadari Ben sudah menutup telepon.

Dia menutup telepon dariku. Bajingan.

Seiring berlalunya waktu, aku malah jadi kian berang. Tidak peduli

pada Margo sih tidak apa-apa. Tetapi Ben juga tidak peduli padaku.

Barangkali persahabatan kami sejak dulu memang hanya soal ke

nyamanan?dia tidak punya teman yang lebih keren daripada aku

untuk diajak main video game. Dan sekarang dia tidak perlu lagi

berbaik-baik padaku, atau peduli pada hal-hal yang kupedulikan,

sebab dia punya Jase Worthington. Dia memegang rekor sekolah

untuk akrobat tong bir. Dia punya kencan prom seksi. Dia menyambar

kesempatan pertama untuk bergabung dengan kelompok per

saudaraan para idiot membosankan itu.

Lima menit setelah Ben menutup teleponku, aku menelepon ponsel

nya lagi. Dia tak menjawab, jadi kutinggalkan pesan. "Kau kepengin

keren seperti Chuck, Ben Berdarah? Itukah yang dari dulu kauingin


Anak Tanpa Rumah Suitcase Kid Karya Pedang Bunga Mei Karya Gu Long Goosebumps Rahasia Tukang Sulap

Cari Blog Ini