Ceritasilat Novel Online

Kota Kertas 4

Kota Kertas Paper Town Karya John Green Bagian 4

kan? Yah, selamat. Kau mendapatkannya. Dan kau pantas mendapat

kan dia, sebab kau juga sampah. Jangan telepon aku lagi."

Kemudian kutelepon Radar. "Hai," sapaku.

"Hai," jawabnya. "Aku baru saja muntah di kamar mandi. Boleh

kutelepon lagi kau nanti?"

"Tentu," kataku, berusaha tak terdengar marah. Aku hanya ingin

seseorang membantuku memilah-milah dunia menurut Margo. Tetapi

Radar bukan Ben; dia menelepon lagi hanya beberapa menit kemu

dian.

"Menjijikkan banget aku muntah ketika sedang membersihkan

muntahanku, dan waktu membersihkan itu, aku muntah lagi. Mirip

mesin yang bergerak tanpa henti. Kalau kau terus memberiku makan,

aku akan terus-terusan memuntahkannya."

"Kau bisa ke sini? Atau aku ke rumahmu?"

"Yeah, tentu saja. Ada apa?"

"Margo masih hidup dan berada di kompleks ruko itu setidaknya

satu malam setelah dia menghilang."

"Aku akan ke rumahmu. Empat menit."

Radar muncul di jendelaku tepat empat menit kemudian.

"Sebaiknya kau tahu aku bertengkar sengit dengan Ben," kataku

ketika dia memanjat masuk.

"Aku terlalu teler untuk menengahi," ucap Radar pelan. Dia ber

baring di tempat tidur, matanya setengah terpejam, dan mengusapusap rambut pendeknya. "Rasanya seperti disambar geledek." Dia

menyedot hidung. "Oke, ceritakan perkembangan terbarunya." Aku

duduk di kursi belajar dan menceritakan kepada Radar tentang ma

lamku di rumah peristirahatan Margo, berusaha keras agar tak me

lupakan satu pun detail yang penting. Aku tahu Radar lebih mahir

memecahkan teka-teki dibandingkan aku, dan aku berharap dia bisa

menguak yang satu ini.

Radar menunggu giliran bicara sampai aku berkata, "Kemudian

Ben meneleponku dan aku pergi ke pesta itu."

"Apa kau bawa bukunya, yang ujung-ujungnya dilipat?" tanyanya.

Aku bangkit dan mencari-carinya dari bawah tempat tidur, akhirnya

mengeluarkannya. Radar memegang buku itu di atas kepala, menyipit

mengatasi pusing, dan membuka-buka halamannya.

"Catat ini," katanya. "Omaha, Nebraska. Sac City, Iowa. Alexandria,

Indiana. Darwin, Minnesota. Hollywood, California. Alliance,

Nebraska. Oke. Itu semua lokasi yang menurut dia?yah, atau siapa

pun yang membaca buku ini?menarik." Radar berdiri, menyuruhku

bangkit dari kursi, lalu memutarnya menghadap komputer. Radar

punya bakat hebat bisa mengobrol sambil mengetik. "Ada program

peta kombinasi yang membuat kita bisa memasukkan beberapa tem

pat tujuan dan nanti akan muncul berbagai rencana perjalanan.

Bukannya Margo tahu soal program ini. Tapi tetap saja, aku ingin

melihatnya."

"Dari mana kau tahu semua itu?" tanyaku.

"Um, untuk diingat: Aku. Menghabiskan. Seumur. Hidupku. Di.

Omnictionary. Pada selang waktu antara setelah aku pulang pagi ini

dan muntah di kamar mandi, aku selesai menulis ulang laman tentang

Anglerfish bintik-biru. Aku punya masalah. Oke, coba lihat ini," kata

nya. Aku mencondongkan tubuh mendekat dan melihat beberapa

rute bergerigi terpampang di peta Amerika Serikat. Semuanya di

mulai di Orlando dan berakhir di Hollywood, California.

"Apa mungkin dia tinggal di LA?" tanya Radar.

"Mungkin," jawabku. "Tapi tidak ada cara untuk mengetahui rute

perjalanannya."

"Benar. Lagi pula tidak ada petunjuk yang mengarah ke LA. Yang

dikatakannya pada Jase mengarah ke New York. Kelihatannya ?pergi

ke kota-kota kertas dan takkan pernah kembali lagi? mengacu pada

pseudovisi terdekat. Cat kuku juga juga mengisyaratkan bahwa mung

kin dia masih di sekitar sini? Aku hanya mengatakan bahwa kini kita

bisa menambahkan lokasi bola berondong jagung terbesar di dunia

dalam daftar kemungkinan tempat Margo berada."

"Bepergian cocok dengan salah satu kutipan puisi Whitman: ?Aku

mengarungi perjalanan abadi.?"

Radar masih membungkuk di depan komputer. Aku duduk di

tempat tidur. "Hei, coba kau cetak peta Amerika agar aku bisa me

metakan tempat-tempatnya?" tanyaku.

"Aku bisa melakukannya di internet," kata Radar.

"Yeah, tapi aku ingin bisa melihatnya." Printer menyala beberapa

detik kemudian dan aku menempelkan peta Amerika di sebelah peta

lokasi pseudovisi di dinding. Aku memasang masing-masing satu pin

di enam lokasi yang ditandai Margo (atau orang lain) di buku. Aku

berusaha memandang pin-pin itu sebagai konstelasi, untuk melihat

apakah mereka membentuk sebuah pola atau huruf?tapi tidak ada

yang bisa kulihat. Distribusinya benar-benar acak, seakan-akan

Margo menutup mata lalu melontarkan anak panah kecil ke peta.

Aku mendesah. "Tahu tidak apa yang bisa membantu?" tanya

Radar. "Kalau kita bisa menemukan bukti dia mengecek e-mail atau

memakai internet. Aku mencari namanya setiap hari; aku punya bot

yang akan memperingatkanku jika dia masuk ke Omnictionary de

ngan username itu. Aku melacak alamat IP orang-orang yang mencari

frasa ?kota kertas.? Benar-benar bikin frustrasi."

"Aku baru tahu kau melakukan semua itu," kataku.

"Yeah, begitulah. Hanya melakukan apa yang aku ingin orang lain

lakukan. Aku sadar aku bukan temannya, tapi dia berhak ditemukan,

tahu kan?"

"Kecuali dia tidak mau," kataku.

"Yeah, kurasa itu mungkin. Semuanya masih mungkin." Aku meng

angguk. "Yeah, jadi?oke," ujarnya. "Apa kita bisa membahasnya

sambil main video game?"

"Aku tidak terlalu kepengin."

"Kalau begitu bisa kita telepon Ben?"

"Tidak. Ben itu bajingan."

Radar melirikku. "Tentu saja dia begitu. Kau tahu apa masalahmu,

Quentin? Kau selalu mengharapkan orang lain tidak menjadi diri

mereka sendiri. Maksudku, aku bisa saja membencimu karena sangat

jam karet dan tidak pernah tertarik pada apa pun selain Margo Roth

Spiegelman, dan karena, misalnya, tidak pernah menanyaiku tentang

pacarku?tapi aku tak peduli, man, soalnya kau adalah kau. Orang

tuaku punya seton sampah Santa hitam, tapi itu bukan masalah.

Mereka adalah mereka. Aku kadang-kadang terlalu terobsesi pada

situs referensi internet untuk mengangkat telepon ketika temanku,

atau pacarku menelepon. Itu juga bukan masalah. Itulah aku. Kau

tetap saja menyukaiku. Dan aku menyukaimu. Kau lucu, dan kau

pintar, dan kau mungkin datang terlambat, tapi pada akhirnya kau

selalu datang."

"Trims."

"Yeah, aku bukan memujimu. Hanya berkata: hentikan berpikir

Ben harus menjadi kau, dan dia harus berhenti berpikir kau harus

menjadi dia, dan kalian pasti akan baik-baik saja."

"Baiklah," kataku akhirnya, dan menelepon Ben. Kabar bahwa

Radar di rumahku dan kepengin main video game menyebabkan ke

sembuhan ajaib Ben dari pengarnya.

"Jadi," kataku setelah menutup telepon. "Bagaimana Angela?"

Radar tertawa. "Dia hebat, man. Benar-benar hebat. Terima kasih

sudah bertanya."

"Kau masih perjaka?" tanyaku.

"Aku tidak bakal cerita-cerita. Meskipun, ya. Oh, dan kami ber

tengkar untuk pertama kalinya pagi ini. Kami sarapan di Waffle

House, dan dia tak henti-hentinya berceloteh betapa kerennya Santa

hitam itu, dan bagaimana orangtuaku hebat karena mengoleksinya

sebab penting bagi kami untuk tidak menganggap bahwa semua orang

keren dalam budaya kita contohnya Tuhan dan Santa Claus itu ber

kulit putih, dan bagaimana Santa hitam memberdayakan komunitas

Afrika-Amerika."

"Sebenarnya aku agak setuju dengannya," kataku.

"Yeah, memang itu ide bagus, tapi kebetulan omong kosong.

Orangtuaku bukan mencoba menyebarkan gospel Santa. Kalau itu

tujuan mereka, mereka akan membuat Santa hitam. Tapi mereka

malah berusaha membeli seluruh stok Santa hitam di dunia. Ada

laki-laki tua di Pittsburgh yang koleksinya terbanyak nomor dua, dan

mereka selalu mencoba membeli dari dia."

Ben bicara dari ambang pintu. Rupanya dia sudah di sana beberapa

lama. "Radar, kegagalanmu bermesraan dengan honeybunny cantik

itu adalah tragedi kemanusiaan terbesar pada zaman kita."

"Apa kabar, Ben?" kataku.

"Terima kasih buat tumpangannya semalam, bro."

15.

MESKIPUN pun kami hanya punya waktu seminggu sebelum ujian

akhir, aku melewatkan Senin siang membaca Song of Myself. Aku

ingin pergi ke dua pseudovisi terakhir, tapi Ben membutuhkan mobil

nya. Aku tidak lagi mencari petunjuk dalam puisi sebanyak aku

mencari Margo sendiri. Kali ini aku sudah mencapai setengah Song

of Myself ketika tersandung pada satu bagian yang kudapati diriku

membacanya lagi dan lagi.

"Aku berpikir aku tidak akan melakukan apa-apa dalam waktu

lama selain mendengarkan," Whitman menulis. Dan kemudian, se

lama dua halaman dia hanya mendengarkan: mendengarkan batang

bersiul, mendengarkan suara-suara manusia, mendengarkan opera.

Dia duduk di rerumputan dan membiarkan suara tercurah bebas

melaluinya. Dan kurasa itu jugalah yang coba kulakukan: mendengar

kan seluruh suara-suara kecil Margo, sebab sebelum semua ini bisa

dimengerti, semuanya harus didengarkan terlebih dulu. Untuk waktu

yang sangat lama, aku tidak benar-benar mendengarkan Margo?aku

menyaksikan dia berteriak dan mengira dia tertawa?sehingga kini

kupikir itulah tugasku. Untuk mencoba, bahkan dengan jarak kami

yang sejauh ini, mendengarkan opera Margo.

Bila aku tidak bisa mendengarkan Margo, setidaknya aku bisa

mendengarkan apa yang dulu didengarkannya, jadi aku mengunduh

album cover Woody Guthrie. Aku duduk di depan komputer, mata

terpejam, siku ditopangkan di meja, dan mendengarkan suara yang

bernyanyi dengan kunci minor. Aku mencoba mendengar, dalam lagu

yang belum pernah kudengarkan, suara yang sulit kuingat setelah

dua belas hari.

Aku masih mendengarkan?tapi kini salah satu penyanyi favorit

Margo, Bob Dylan?ketika ibuku pulang. "Dad nanti pulang ter

lambat," katanya dari balik pintu tertutup. "Bagaimana kalau aku

membuat burger kalkun?"

"Kedengarannya enak," sahutku, kemudian memejamkan mata lagi

dan mendengarkan musik. Aku tidak duduk tegak lagi sampai Dad

memanggilku makan malam satu setengah album kemudian.

Saat makan malam, Mom dan Dad mengobrol tentang politik di

Timur Tengah. Meskipun sependapat dengan satu sama lain, mereka

masih bisa berdebat sengit soal itu, mengatakan bahwa orang itu dan

orang itu pembohong, kemudian orang itu dan orang itu pembohong

dan pencuri, serta bahwa mereka semua seharusnya mengundurkan

diri. Aku berkonsentrasi pada burger kalkun, yang rasanya enak,

mengolesinya dengan saus tomat dan menaburinya banyak-banyak

dengan bawang bombai panggang.

"Oke, cukup," kata ibuku beberapa waktu kemudian. "Quentin,

bagaimana harimu?"
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik," jawabku. "Siap-siap untuk ujian akhir, kurasa."

"Aku tidak percaya ini minggu terakhirmu sekolah," kata Dad.

"Rasanya benar-benar seperti baru kemarin..."

"Memang," ujar Mom. Suatu suara di kepalaku berkata: HATIHATI WASPADAI NOSTALGIA HATI-HATI HATI-HATI

HATI-HATI. Orang hebat, orangtuaku itu, tapi rentan terhadap

masa-masa sentimentalitas yang melumpuhkan.

"Kami hanya sangat bangga padamu," kata Mom. "Tapi, ya Tuhan,

kami akan merindukanmu musim gugur mendatang."

"Yeah, jangan terlalu cepat membicarakannya. Aku bisa saja gagal

lulus bahasa Inggris."

Ibuku tertawa dan kemudian berkata, "Oh, coba tebak aku bertemu

siapa di YMCA kemarin? Betty Parson. Katanya Chuck akan masuk

University of Georgia musim gugur mendatang. Aku ikut senang

untuknya; sejak dulu dia berjuang keras."

"Dia itu bajingan," kataku.

"Yah," ucap ayahku, "dia memang tukang menindas. Dan tingkah

lakunya memang patut disayangkan." Orangtuaku memang begitu:

dalam benak mereka, tidak ada yang sekadar bajingan. Selalu ada

sesuatu yang salah pada seseorang bukan hanya karena mereka me

mang menyebalkan: mereka punya kelainan bersosialisasi, atau sin

drom gangguan kepribadian ambang, atau apalah.

Ibuku melanjutkan lagi. "Tapi Chuck mengalami kesulitan belajar.

Dia punya banyak masalah?sama seperti siapa pun. Aku tahu mus

tahil bagimu untuk memandang teman sebayamu dengan cara ini,

tapi kalau kau sudah lebih tua, kau akan mulai bisa melihat mereka?

anak nakal dan anak baik dan semua anak?sebagai orang. Mereka

hanya manusia, yang pantas dipedulikan. Dengan berbagai derajat

sakit, berbagai derajat neurosis, berbagai derajat aktualisasi diri. Tapi

tahu tidak, sejak dulu aku menyukai Betty, dan aku selalu menaruh

harapan pada Chuck. Jadi bagus sekali kalau dia akan kuliah, kan?"

"Sejujurnya, Mom, aku tidak terlalu peduli mengenai dia dalam

hal apa pun." Tetapi aku memang berpikir, kalau semuanya hanya

manusia, kenapa Mom dan Dad masih membenci semua politisi di

Israel dan Palestina? Keduanya tidak bicara tentang mereka seolah

mereka hanya manusia.

Ayahku selesai mengunyah sesuatu lalu meletakkan garpu dan

menatapku. "Semakin lama melakukan pekerjaanku," katanya, "se

makin aku menyadari bahwa manusia kekurangan cermin yang bagus.

Sangat sulit bagi siapa pun untuk menunjukkan kepada kita bagai

mana penampilan kita, dan sangat susah bagi kita untuk menunjukkan

kepada siapa pun apa yang kita rasakan."

"Itu benar-benar indah," komentar Mom. Aku senang karena me

reka saling menyukai. "Tapi bukankah itu juga karena pada level

fundamental kita mendapati sulit untuk memahami bahwa orang

lain adalah manusia yang sama dengan kita? Kita mengidealisasikan

mereka sebagai dewa atau menganggap mereka sebagai binatang."

"Benar. Kesadaran juga jendela yang buruk. Kurasa aku tak pernah

memikirkannya dengan cara itu."

Aku duduk bersandar. Mendengarkan. Dan aku mendengarkan

sesuatu tentang dia serta mengenai jendela dan cermin. Chuck Parson

adalah seseorang. Seperti aku. Margo Roth Spiegelman juga manusia.

Dan aku tak pernah memikirkan tentang dia dengan cara itu, tidak

terlalu; dan itulah kesalahan dalam semua bayanganku sebelumnya.

Selama ini?bukan hanya sejak dia pergi, tapi dalam kurun waktu

satu dekade sebelumnya?aku membayangkan dia tanpa mendengar

kan, tanpa mengetahui bahwa dia adalah jendela yang buruk sama

seperti aku. Dengan demikian aku tidak bisa membayangkan dia

sebagai orang yang bisa merasa takut, yang bisa merasa terasing dalam

ruangan yang penuh sesak, yang bisa malu dengan koleksi piringan

hitamnya karena terlalu pribadi untuk diceritakan. Seseorang yang

mungkin membawa buku perjalanan untuk melarikan diri dari ke

harusan tinggal di kota yang begitu banyak orang melarikan diri ke

sana. Seseorang yang?karena tidak ada yang menganggap dirinya

sebagai manusia?tidak punya siapa-siapa untuk diajak bicara.

Dan dengan seketika aku tahu apa yang dirasakan Margo Roth

Spiegelman ketika sedang tidak menjadi Margo Roth Spiegelman:

dia merasa kosong. Dia merasakan ada dinding yang tak bisa dipanjat

mengurungnya. Aku membayangkan dia tidur di karpet hanya di

temani sekerat langit di atasnya. Barangkali Margo merasa nyaman

di sana karena Margo sang manusia hidup seperti itu sepanjang wak

tu: dalam ruangan telantar dengan jendela yang dipapan, hanya di

terangi cahaya yang menerobos masuk lewat lubang-lubang di atap.

Benar. Kesalahan mendasar yang selalu kulakukan?dan dia, sejujur

nya, selalu mendorongku melakukannya?adalah ini: Margo bukan

keajaiban. Dia bukan petualangan. Dia bukan sosok yang luar biasa

dan berharga. Dia hanya seorang gadis.

16.

JAM itu memang selalu melelahkan, tapi perasaan seolah aku sudah

dekat untuk menguraikan misteri membuat waktu seakan berhenti

total pada hari Kamis. Kami semua memutuskan pergi ke kompleks

ruko sepulang sekolah, dan penantian ini tak tertahankan. Ketika

bel akhirnya berdering menandakan akhir kelas bahasa Inggris, aku

berlari menuruni tangga dan hampir keluar pintu ketika menyadari

kami belum bisa pergi sampai Ben dan Radar selesai latihan band.

Aku duduk di luar ruang band dan mengambil piza ukuran personal

terbungkus tisu dari ransel, tempatku menyimpannya sejak jam ma

kan siang. Aku sudah menghabiskan seperempatnya ketika Lacey

Pemberton duduk di sebelahku. Aku menawarinya seiris. Dia me

nolak.

Kami mengobrol tentang Margo, tentu saja. Masalah yang kami

alami bersama. "Yang perlu kuketahui," kataku, mengelap lemak piza

di jins, "adalah tempatnya. Tapi aku bahkan tidak tahu apakah

dugaanku mengenai pseudovisi itu benar. Kadang-kadang aku ber

pikir kita benar-benar melenceng."

"Yeah, entahlah. Jujur saja, seandainya semua masalah lain disisih

kan, aku senang menemukan hal-hal tentang dia. Maksudku, yang

belum kuketahui. Aku tidak tahu siapa sebenarnya dia. Jujur saja,

aku tak pernah menganggapnya sebagai sosok selain temanku yang

cantik dan sinting yang suka melakukan hal-hal yang cantik dan

sinting."

"Benar, tapi dia tidak memutuskan semua ini dengan buru-buru,"

kataku. "Maksudku, semua petualangannya punya suatu... entahlah."

"Keanggunan," kata Lacey. "Dia satu-satunya orang yang kukenal

yang belum dewasa yang benar-benar anggun."

"Yeah."

"Jadi susah membayangkan dia berada di ruangan jorok, berdebu,

dan gelap."

"Yeah," kataku. "Bersama tikus."

Lacey menarik lutut ke dada dan memosisikan tubuhnya seperti

janin. "Idih. Itu sama sekali bukan seperti Margo."

Entah bagaimana Lacey dapat tempat duduk di jok penumpang de

pan, meskipun dia-lah yang terpendek di antara kami. Ben menyetir.

Aku mendesah keras-keras ketika Radar, yang duduk di sebelahku,

mengeluarkan perangkat genggamnya dan mulai mengurus Omnic

tionary.

"Hanya menghapus vandalisme di laman Chuck Norris," katanya.

"Contohnya, meskipun aku setuju Chuck Norris mahir melakukan

tendangan putar, menurutku tidaklah akurat mengatakan, ?Air mata

Chuck Norris dapat menyembuhkan kanker, tapi sayangnya dia tak

pernah menangis.? Omong-omong, pembersihan-vandalisme hanya

menyita kira-kira empat persen otakku."

Aku mengerti Radar berusaha membuatku tertawa, tapi aku hanya

kepengin membicarakan satu hal. "Aku tidak yakin dia berada di

pseudovisi. Jangan-jangan arti ?kota kertas? yang dimaksudnya bahkan

bukan itu, tahu kan? Ada banyak sekali petunjuk tempat, tapi tak

ada yang spesifik."

Radar mengangkat wajah sejenak lalu kembali menatap layar. "Se

cara pribadi, menurutku dia berada jauh dari sini, melakukan tur

atraksi jalanan konyol dan dia mengira telah meninggalkan cukup

petunjuk untuk menjelaskannya. Jadi kupikir saat ini dia mungkin

di Omaha, Nebraska, mengunjungi bola perangko terbesar di dunia,

atau di Minnesota mendatangi bola benang terbesar di dunia."

Sambil melirik sekali ke kaca spion, Ben berkata, "Apa menurutmu

Margo sedang dalam tur nasional mencari berbagai Bola Terbesar di

Dunia?" Radar mengangguk.

"Yah," lanjut Ben, "sebaiknya ada yang menyuruhnya pulang, soal

nya dia bisa menemukan bola terbesar di dunia tepat di sini di

Orlando, Florida. Bola itu berada di lemari pajangan khusus yang

dikenal sebagai ?skrotum-ku.?"

Radar terbahak-bahak, dan Ben melanjutkan. "Maksudku, serius.

Bolaku sangat besar sehingga ketika kau memesan kentang goreng

dari McDonald?s, kau bisa memilih satu dari empat ukuran: kecil,

medium, besar, dan bolaku."

Lacey menatap Ben. "Tidak. Sopan."

"Sori," gumam Ben. "Menurutku dia di Orlando," katanya. "Me

nyaksikan kita mencari. Dan menyaksikan orangtuanya tidak men

cari."

"Aku masih menduga New York," ucap Lacey.

"Semuanya masih mungkin," kataku. Satu Margo bagi masingmasing kami?dan masing-masing hanyalah cermin bukannya jen

dela.

Kompleks ruko tampak seperti beberapa hari lalu. Ben memarkir

mobil, lalu aku memimpin mereka melewati pintu yang membuka

ke dalam menuju kantor. Begitu semuanya masuk, aku berucap pelan,

"Jangan nyalakan senter dulu. Beri mata kalian waktu untuk me

nyesuaikan diri." Aku merasakan ada kuku jari menekan lengan ba

wahku. Aku berbisik, "Tidak apa-apa, Lacey."

"Ups," ucapnya. "Salah lengan." Dia mencari-cari, aku menyadari,

Ben.

Perlahan-lahan ruangan muncul dalam fokus kelabu samar. Aku

bisa melihat meja berderet, masih menantikan para staf. Aku me

nyalakan senter, dan kemudian yang lain juga menyalakan senter

masing-masing. Ben dan Lacey bersama, melangkah menuju Lubang

Troll untuk memeriksa ruang-ruang lain. Radar ikut denganku meng

hampiri meja Margo. Dia berlutut untuk mengamati dengan teliti

kalender meja yang membeku di bulan Juni.

Aku membungkuk di sebelahnya ketika mendengar derap langkah

cepat mendekati kami.

"Ada orang," Ben berbisik dengan nada mendesak. Dia merunduk

di balik meja Margo, menarik Lacey bersamanya.

"Apa? Di mana?"

"Di ruang sebelah!" katanya. "Pakai masker. Tampak resmi. Harus

pergi."

Radar menyorotkan senter ke arah Lubang Troll tapi Ben memu

kulnya keras-keras. "Kita. Harus. Pergi. Dari. Sini." Lacey mendongak

menatapku, dengan mata terbeliak dan barangkali agak jengkel karena

janjiku menjamin keselamatannya hanya omong kosong.

"Oke," bisikku. "Oke, semuanya keluar, lewat pintu. Dengan santai,

dengan cepat." Aku baru saja mulai melangkah ketika mendengar

suara menggelegar berteriak, "SIAPA DI SANA!"

Sial. "Um," kataku, "kami hanya berkunjung." Benar-benar ucapan

superpayah. Dari Lubang Troll, seberkas cahaya putih membutakanku.
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jangan-jangan Tuhan sendiri yang datang.

"Apa tujuanmu?" Suara itu memiliki sedikit logat Inggris palsu.

Aku memperhatikan Ben berdiri di sebelahku. Senang rasanya

tidak sendirian. "Kami di sini untuk menyelidiki orang hilang," kata

Ben dengan penuh percaya diri. "Kami tidak akan merusak apa-apa."

Cahaya itu padam, dan aku mengerjap-ngerjap mengusir kebutaan

sampai aku melihat tiga sosok, seluruhnya memakai celana jins, kaus,

dan masker dengan dua filter sirkular. Salah satu dari mereka me

naikkan masker ke dahi dan menatap kami. Aku mengenali janggut

kambing serta mulut tipis dan lebarnya.

"Gus?" tanya Lacey. Gadis itu berdiri. Penjaga keamanan SunTrust.

"Lacey Pemberton. Ya Tuhan. Apa yang kaulakukan di sini? Tanpa

masker? Tempat ini penuh asbes."

"Apa yang kaulakukan di sini?"

"Menjelajah," jawab Gus. Entah bagaimana Ben memiliki cukup

kepercayaan diri untuk menghampiri dua laki-laki lainnya dan meng

ajak berjabat tangan. Mereka memperkenalkan diri sebagai Ace dan

The Carpenter. Aku berani menebak bahwa itu nama samaran.

Kami menarik beberapa kursi kantor beroda dan duduk mem

bentuk lingkaran. "Apa kalian yang menjebol papan partikel itu?"

tanya Gus.

"Yah, aku pelakunya," Ben menjelaskan.

"Kami menutupnya dengan lakban karena tidak ingin ada orang

lain masuk. Kalau orang bisa melihat jalan masuk dari luar, akan

banyak orang yang tak tahu apa-apa soal penjelajahan berdatangan.

Gelandangan, pecandu narkoba, dan macam-macam lagi."

Aku mendekati mereka dan berkata, "Jadi, kalian, uh, tahu bahwa

Margo ke sini?"

Sebelum Gus menjawab, Ace bicara dari balik masker. Suaranya

agak termodulasi tapi mudah dimengerti. "Man, Margo di sini sepan

jang waktu. Kami hanya ke sini beberapa kali setahun; di sini kan

ada asbes, dan lagi pula, tempat ini juga tidak terlalu bagus. Tapi

kami mungkin ketemu dengannya lebih dari separuh kesempatan

setiap kami ke sini selama beberapa tahun terakhir. Dia dulu seksi,

kan?"

"Dulu?" tanya Lacey blakblakan.

"Dia melarikan diri, kan?"

"Apa yang kauketahui soal itu?" tanya Lacey.

"Tidak ada, ya Tuhan. Aku melihat Margo dengan dia," kata Gus,

mengangguk ke arahku, "beberapa minggu lalu. Dan kemudian ku

dengar Margo melarikan diri. Beberapa hari kemudian terpikir olehku

bahwa dia mungkin ada di sini, jadi kami pun mendatanginya."

"Aku tidak pernah mengerti kenapa dia sangat menyukai tempat

ini. Tidak ada banyak hal di sini," kata The Carpenter. "Ini bukan

penjelajahan yang seru."

"Apa yang kaumaksud dengan penjelajahan?" tanya Lacey pada

Gus.

"Penjelajahan urban. Kami memasuki bangunan terlantar, men

jelajahinya, memotretnya. Kami tak mengambil apa-apa; kami tak

meninggalkan apa-apa. Kami hanya pengamat."

"Itu hobi," kata Ace. "Dulu Gus sering membiarkan Margo ikut

dalam perjalanan penjelajahan waktu kami masih sekolah."

"Matanya jeli, meskipun dia baru kira-kira tiga belas tahun," ujar

Gus. "Dia bisa menemukan jalan masuk ke mana saja. Waktu itu

hanya sesekali, tapi sekarang kami pergi kira-kira tiga kali seminggu.

Banyak tempat telantar di mana-mana. Ada rumah sakit jiwa ter

bengkalai di Clearwater. Sangat mengagumkan. Kalian bisa melihat

di mana mereka mengikat orang gila dan menyetrumnya. Ada penjara

tua di sebelah barat tempat ini. Tapi Margo tidak terlalu berminat.

Dia senang membobol masuk, tapi kemudian dia hanya ingin tinggal

di sana."

"Yeah, itu menyebalkan sekali," timpal Ace.

The Carpenter berkata. "Dia bahkan tidak mau, misalnya, me

motret. Atau berkeliaran dan menemukan sesuatu. Dia cuma

kepengin masuk dan duduk. Ingat tidak, dia punya buku catatan

hitam? Dan dia hanya akan duduk di sudut sambil menulis, seolah

dia di rumahnya, mengerjakan PR atau apa."

"Jujur saja," ujar Gus, "dia tidak pernah terlalu memahami kegiatan

itu. Petualangan itu. Sebenarnya dia tampak agak depresi."

Aku ingin membiarkan mereka terus bicara karena kurasa semua

yang mereka ucapkan akan membantuku membayangkan Margo.

Namun tiba-tiba saja Lacey bangkit dan menendang kursi di bela

kangnya. "Dan kalian tidak pernah berpikir untuk menanyainya

kenapa dia agak depresi? Atau kenapa dia nongkrong di tempat-tem

pat tidak jelas seperti ini? Apa itu tidak pernah membuat kalian

terganggu?" Kini Lacey berdiri di depan Gus, berteriak, dan dia juga

bangkit, sekitar lima belas sentimeter lebih tinggi daripada gadis itu,

lalu The Carpenter berkata, "Ya Tuhan, tolong tenangkan cewek ja

lang itu."

"Oh, kau tidak boleh begitu!" bentak Ben, dan sebelum aku sadar

apa yang terjadi, Ben menekel The Carpenter, yang terjatuh dari

kursinya hingga bahunya menghantam lantai. Ben menduduki lakilaki itu dan mulai memukulinya, dengan murka dan canggung meng

hantam dan meninju topengnya, berteriak, "DIA BUKAN CEWEK

JALANG, ITU KAU!" aku buru-buru bangkit dan menyambar se

belah lengan Ben sedangkan Radar meraih yang satu lagi. Kami

menariknya menjauh, tapi dia masih berseru, "Aku punya banyak

kemarahan sekarang! Aku menikmati menonjok orang itu! Aku mau

menonjoknya lagi!"

"Ben," kataku, mencoba terdengar tenang, mencoba terdengar se

perti ibuku. "Ben, sudah. Kau sudah menjelaskan maksudmu."

Gus dan Ace mengangkat The Carpenter, dan Gus berkata, "Ya

Tuhan, kami pergi dari sini, oke? Tempat ini milik kalian."

Ace memungut kamera mereka, lalu mereka bergegas keluar lewat

pintu belakang. Lacey mulai menjelaskan kepadaku bagaimana dia

bisa mengenal Gus, katanya, "Dia murid senior waktu kita masih?."

Tapi aku melambai tak peduli. Tidak satu pun dari semua ini yang

penting.

Radar tahu apa yang penting. Dia langsung kembali ke meja,

matanya tak sampai sejengkal jauhnya dari kalender. "Menurutku di

tidak ada tulisan apa-apa di lembar Mei," katanya. "Kertasnya cukup

tipis dan aku tak bisa melihat tanda apa pun. Tetapi mustahil untuk

memastikannya." Dia kembali mencari lebih banyak petunjuk, dan

aku melihat sorot senter Lacey dan Ben mengarah ke bawah saat

mereka memasuki Lubang Troll, tapi aku hanya diam di kantor itu,

membayangkan Margo. Aku memikirkan dia mengikuti orang-orang

tadi, empat tahun lebih tua daripada dirinya, memasuki bangunanbangunan terbengkalai. Itulah Margo yang kulihat. Tetapi kemudian,

di dalam bangunan tersebut, dia bukanlah Margo yang selalu ku

bayangkan. Sementara yang lain pergi untuk menjelajah dan me

motret dan melompat-lompat memantul di dinding, Margo duduk

di lantai, menulis sesuatu.

Dari ruang sebelah, Ben berseru, "Q! Kami mendapatkan sesuatu!"

Aku mengelap keringat di wajahku dengan kedua lengan baju dan

memakai meja Margo untuk menopangku berdiri. Aku menyeberangi

ruangan, merunduk melalui Lubang Troll, dan menghampiri tiga

senter yang memindai dinding di atas gulungan karpet.

"Lihat," kata Ben, menggunakan sorot senter untuk menggambar

kotak di dinding. "Kau tahu lubang-lubang kecil yang kauceritakan?"

"Yeah?"

"Pasti ada kenang-kenangan dipasang dengan pin di sana. Kartu

pos atau foto, menurut kami, berdasarkan jarak antara lubang-lubang

nya. Yang mungkin dia bawa bersamanya," kata Ben.

"Yeah, mungkin saja," ujarku. "Seandainya saja kita bisa menemukan

buku catatan yang dibicarakan Gus."

"Yeah, dan ketika dia mengatakannya, aku jadi ingat buku catatan

itu," ucap Lacey, sorot senterku hanya menerangi kakinya. "Margo

membawa-bawa buku itu ke mana-mana. Aku tak pernah melihat

dia menulisinya, tapi aku mengira itu hanya semacam buku agenda

atau semacamnya. Ya Tuhan, aku tak pernah bertanya. Aku jadi

jengkel pada Gus, yang bahkan bukan temannya. Tapi apa yang per

nah kutanyakan padanya?"

"Lagi pula dia takkan menjawabnya," kataku. Tidak jujur jika ber

sikap seolah Margo tak ikut berperan dalam menciptakan kebi

ngungannya sendiri.

Kami berkeliling selama satu jam lagi, dan tepat ketika kami yakin

perjalanan ini sia-sia, senterku kebetulan menerangi tumpukan tinggi

brosur subdivisi yang kami lihat ketika pertama kali datang ke sini.

Salah satu brosurnya tentang Grovepoint Acres. Napasku terkesiap

ketika aku membongkar brosur lainnya. Aku berlari kecil ke ranselku

di dekat pintu lalu kembali membawa bolpoin dan buku catatan dan

langsung menulis nama-nama semua subdivisi yang diiklankan. De

ngan seketika aku mengenali salah satunya: Collier Farms?salah

satu dari dua pseudovisi dalam daftarku yang belum kudatangi. Aku

selesai mencatat nama-nama subdivisi dan mengembalikan buku

catatan ke ransel. Sebut saja aku egois, tapi jika menemukan dia, aku

ingin sendirian.

17.

BEGITU Mom pulang kantor hari Jumat, kubilang padanya aku

mau menonton konser bersama Radar dan kemudian pergi berken

dara ke pinggiran kota Seminole County untuk mengunjungi Collier

Farms. Semua subdivisi lain dari brosur ternyata ada?kebanyakan

berlokasi di utara kota, yang sudah dikembangkan sejak lama.

Aku mengenali belokan menuju Collier Farms lantaran aku sudah

bisa dibilang pakar jalan-jalan masuk tanah yang-sulit-ditemukan.

Tetapi Collier Farm tak mirip pseudovisi lain yang pernah kulihat,

karena di sana semak belukar tumbuh lebat, seakan telah ditelantarkan

selama lima puluh tahun. Aku tidak tahu apakah lokasi itu lebih tua

dibandingkan pseudovisi lain, atau apakah dataran rendah dan rawarawa-basah membuat segala-galanya tumbuh lebih cepat, tapi jalan

masuk Collier Farms tidak bisa dilewati tak lama setelah aku berbelok

memasukinya karena rumpun lebat semak berduri tumbuh memenuhi

jalan.

Aku keluar mobil dan berjalan kaki. Rerumputan tinggi menggores

betisku, dan sepatu ketsku terbenam di lumpur seiring setiap langkah.

Aku tak kuasa untuk tidak berharap agar dia mendirikan tenda di

sini di area yang lebih tinggi sekitar setengah meter dibandingkan

daerah sekitarnya, agar tak kehujanan. Aku melangkah perlahan,

sebab banyak sekali tempat yang harus diamati dibandingkan di

lokasi-lokasi sebelumnya, lebih banyak tempat untuk bersembunyi,

dan karena aku tahu pseudovisi ini memiliki kaitan langsung dengan

kompleks ruko. Tanah begitu lengket sehingga aku harus berjalan

pelan selagi membiarkan diriku mengamati setiap lanskap baru,

memeriksa setiap area yang cukup luas untuk ditempati satu orang.

Di ujung jalan aku melihat kotak biru-dan-putih di lumpur, dan

sejenak benda itu mirip dengan kotak nutrition bar yang kutemukan

di ruko. Tetapi, bukan. Itu karton bekas paket bir isi dua belas yang

sudah membusuk. Aku tersaruk-saruk kembali ke minivan dan

menuju suatu tempat bernama Logan Pines yang letaknya lebih jauh

di utara.

Butuh satu jam untuk tiba di sana, dan saat ini aku sudah berada

di dekat Taman Nasional Ocala, yang bahkan bukan lagi di area

metro Orlando. Aku sudah beberapa kilometer jauhnya ketika Ben

menelepon.
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada apa?"

"Kau mendatangi kota-kota kertas itu?" tanyanya.

"Yeah, aku hampir sampai di tempat yang terakhir. Belum ada

hasil."

"Dengar, bro, orangtua Radar harus keluar kota dengan sangat

mendadak."

"Apa semua baik-baik saja?" tanyaku. Aku tahu kakek-nenek Radar

sudah sangat tua dan tinggal di panti perawatan di Miami.

"Yeah, jadi begini: tahu kan orang di Pittsburgh yang punya koleksi

Santa hitam terbanyak nomor dua di dunia?"

"Yeah?"

"Dia baru saja meninggal."

"Kau bercanda."

"Bro, aku tidak bercanda soal kematian kolektor Santa hitam. Dia

kena aneurisme, jadi orangtua Radar terbang ke Pennsylvania untuk

mencoba membeli seluruh koleksinya. Makanya kita mengundang

beberapa orang."

"Kita siapa?"

"Kau, aku, dan Radar. Kita tuan rumahnya."

"Entahlah," kataku.

Ada jeda sejenak, kemudian Ben mengucapkan nama lengkapku.

"Quentin," ucapnya. "Aku tahu kau kepengin menemukan dia. Aku

tahu dia yang paling penting bagimu. Dan itu tidak apa-apa. Tapi

kita akan lulus kira-kira seminggu lagi. Aku bukan memintamu me

ninggalkan pencarian itu. Aku memintamu datang ke pesta bersama

dua sahabat yang kaukenal selama separuh hidupmu. Aku meminta

mu melewatkan dua sampai tiga jam menenggak wine cooler manis

seperti layaknya gadis mungil yang manis, dan kemudian dua sampai

tiga jam lagi memuntahkan wine cooler tersebut dari hidungmu. Se

telah itu, kau boleh kembali menyelidiki proyek-proyek perumahan

telantar."

Aku jengkel karena Ben hanya mau bicara soal Margo jika melibat

kan petualangan yang menarik baginya, bahwa dia menganggap ada

yang salah denganku karena lebih terfokus pada Margo dibandingkan

teman-temanku, meskipun dia hilang dan mereka tidak. Tetapi Ben

ya Ben, seperti kata Radar. Lagi pula, tidak ada lagi tempat yang

harus kuselidiki setelah Logan Pines. "Aku harus pergi ke tempat

terakhir ini dulu dan setelahnya aku akan mampir."

Karena Logan Pines merupakan pseudovisi terakhir di Central

Florida?atau setidaknya yang terakhir yang kuketahui?aku me

naruh harapan besar pada yang satu ini. Tetapi ketika aku mengitari

jalan tunggalnya yang buntu dengan senter, aku tak melihat tenda.

Tak ada api unggun. Tak ada pembungkus makanan. Tak ada tandatanda kehadiran manusia. Tak ada Margo. Di ujung jalan, aku me

nemukan satu fondasi beton di tanah. Namun tak ada yang dibangun

di atasnya, hanya lubang yang digali di tanah mirip mulut mati

menganga, jalinan rumpun belukar berduri dan rumput sepinggang

tumbuh di sekitarnya. Kalau Margo menghendaki aku melihat

tempat-tempat ini, aku tidak mengerti apa sebabnya. Dan bila Margo

pergi ke pseudovisi dan takkan pernah kembali, dia mengetahui satu

tempat yang belum kutemukan dalam risetku.

Butuh satu setengah jam untuk menyetir kembali ke Jefferson Park.

Aku memarkir minivan di rumah, berganti baju dengan kaus polo

dan satu-satunya celana jinsku yang bagus, lalu berjalan kaki menyu

suri Jefferson Way menuju Jefferson Court, kemudian belok kanan

ke Jefferson Road. Sejumlah mobil sudah berderet di kedua sisi

Jefferson Place, jalan rumah Radar. Saat itu baru pukul 20.45.

Aku membuka pintu dan disambut oleh Radar, yang memeluk

selengan penuh Santa hitam dari plester. "Harus menyimpan semua

yang bagus-bagus," katanya. "Amit-amit kalau sampai ada salah satu

dari mereka yang pecah."

"Perlu bantuan?" tanyaku. Radar mengangguk ke arah ruang du

duk, tempat meja-meja di kedua sisi sofa masing-masing dihuni oleh

tiga set boneka matryoshka Santa hitam yang belum disusun menjadi

satu. Ketika aku menyusunnya, mau tak mau aku menyadari bahwa

boneka-boneka itu sangat indah?dicat dengan tangan dan sangat

mendetail. Namun aku tidak mengatakan itu pada Radar karena

takut dia akan menghajarku sampai mati dengan lampu Santa hitam

di ruang duduk.

Aku membawa boneka-boneka matryoshka itu ke kamar tidur

tamu, tempat Radar dengan teliti memasukkan Santa-Santa itu ke

laci. "Tahu tidak, ketika kita melihat mereka semua bersama, itu

benar-benar membuat kita mempertanyakan cara kita membayangkan

mitos-mitos kita."

Radar memutar bola mata. "Yeah, aku selalu mendapati diriku

mempertanyakan cara aku membayangkan mitos-mitosku waktu

makan Lucky Charm-ku setiap pagi dengan sendok Santa hitam

terkutuk."

Aku merasakan ada tangan di bahuku yang memutar tubuhku.

Ben, kakinya bergerak-gerak gelisah seolah dia kebelet buang air kecil

atau semacamnya. "Kami berciuman. Dia menciumku. Sekitar se

puluh menit lalu. Di tempat tidur orangtua Radar."

"Menjijikkan," kata Radar. "Jangan bermesraan di tempat tidur

orangtuaku."

"Wow, kupikir kau sudah melakukan lebih dari itu," ucapku.

"Mengingat kau itu germo dan semuanya."

"Tutup mulut, bro. Aku panik," kata Ben, menatapku, matanya

hampir juling. "Kurasa aku tidak terlalu mahir."

"Mahir apa?"

"Berciuman. Dan, maksudku, dia lebih sering berciuman diban

dingkan aku selama ini. Aku tidak mau terlalu mengacau sehingga

dia mencampakkanku. Cewek-cewek menikmatimu," katanya padaku,

yang hanya tepat jika kita mendefinisikan kata cewek-cewek seperti

"cewek-cewek dalam marching band". "Bro, aku minta saran."

Aku tergoda untuk mengungkit semua ocehan Ben yang tak ber

akhir soal berbagai cara dia akan mengguncangkan beraneka tubuh,

tapi aku hanya berkata, "Sejauh yang bisa kukatakan, ada dua aturan

dasar: 1. Jangan gigit apa pun tanpa izin, dan 2. Lidah manusia itu

mirip wasabi: sangat pedas, dan sebaiknya digunakan secara terbatas."

Mata Ben mendadak berkilau panik. Aku meringis, dan berkata,

"Dia berdiri di belakangku, kan?"

"Lidah manusia itu mirip wasabi," tiru Lacey dengan suara berat

dan konyol yang kuharap tak terlalu mirip suaraku.

Aku berputar. "Sebenarnya aku menganggap lidah Ben mirip tabir

surya," kata Lacey. "Baik bagi kesehatan dan harus digunakan banyakbanyak."

"Aku baru saja muntah dalam mulutku," ujar Radar.

"Lacey, kau baru saja merenggut keinginanku untuk melanjutkan

hidup," tambahku.

"Aku ingin sekali bisa berhenti membayangkan itu," kata Radar.

Kubilang, "Gagasannya saja sudah sangat menghina sampai-sampai

mengucapkan ?lidah Ben Starling? di televisi itu sebenarnya ilegal."

"Hukuman bagi pelanggaran aturan itu adalah sepuluh tahun

penjara atau satu kali mandi dengan lidah Ben Starling," ucap Radar.

"Semuanya," kataku.

"Memilih," ujar Radar, tersenyum.

"Penjara," kami menyelesaikan serempak.

Dan kemudian Lacey mencium Ben di depan kami. "Oh Tuhan,"

ucap Radar, melambaikan kedua lengan di depan wajah. "Oh Tuhan.

Aku buta. Aku buta."

"Tolong hentikan," kataku. "Kalian membuat Santa hitam jengkel."

Pesta dilangsungkan di ruang duduk formal di lantai dua rumah

Radar, ada dua puluh orang yang hadir. Aku bersandar di dinding,

kepalaku hanya beberapa sentimeter jauhnya dari gambar Santa hitam

yang dilukis di beledu. Radar memiliki sofa sectional, dan semua orang

berdesak-desakan di sana. Ada bir di kotak pendingin dekat TV, tapi

tidak ada yang minum. Alih-alih, mereka bertukar cerita. Aku sudah

pernah mendengar sebagian besarnya?cerita-cerita kamp band, Ben

Starling, dan ciuman pertama?tapi Lacey belum pernah mendengar

satu pun, lagi pula, semuanya masih menghibur.

Aku tidak terlalu ikut-ikutan dalam aktivitas itu sampai Ben ber

kata, "Q, bagaimana kita akan diwisuda?"

Aku menyeringai. "Telanjang selain toga kita," jawabku.

"Benar!" Ben menyeruput Dr Pepper.

"Aku bahkan tidak akan bawa baju, jadi aku tidak bisa membatalkan

niatku," kata Radar.

"Aku juga! Q, bersumpahlah kau tidak akan bawa pakaian."

Aku tersenyum. "Sumpah," kataku.

"Aku ikut!" kata teman kami Frank. Dan kemudian semakin ba

nyak saja anak laki-laki yang ikut. Para gadis, untuk suatu alasan,

menentang.

Radar berkata pada Angela, "Penolakanmu melakukan ini mem

buatku mempertanyakan seluruh fondasi cinta kita."

"Kau tidak mengerti," kata Lacey. "Bukannya kami takut. Tapi kami

kan sudah memilih gaun."

Angela menunjuk Lacey. "Persis." Angela menambahkan, "Sebaiknya

kalian semua berharap cuacanya tak berangin."

"Semoga saja berangin," kata Ben. "Bola terbesar di dunia butuh

udara segar."

Lacey menutup wajah dengan tangan, malu. "Kau pacar yang me

nantang," katanya. "Menyenangkan, tapi menantang." Kami terbahakbahak.

Inilah yang paling kusukai dari teman-temanku: hanya dudukduduk dan bercerita. Cerita jendela dan cerita cermin. Aku hanya

mendengarkan?cerita-cerita dalam benakku tidak selucu itu.

Mau tak mau aku memikirkan soal berakhirnya sekolah dan se

muanya. Aku senang berdiri tak jauh dari sofa dan memperhatikan

mereka?agak menyedihkan karena aku tidak keberatan, jadi aku

pun hanya mendengarkan, membiarkan seluruh kebahagiaan dan

kesedihan dari akhir ini berpusar dalam tubuhku, yang satu mem

pertajam yang lainnya. Untuk waktu yang sangat lama, rasanya

dadaku retak dan terbelah, tapi bukan dalam cara yang tidak menye

nangkan.

Aku pergi sebelum tengah malam. Beberapa orang masih tetap ting

gal, tapi itu jam malamku, ditambah lagi aku tidak terlalu kepengin

tetap di sana. Mom sudah setengah terlelap di sofa, tapi dia terbangun

ketika melihatku. "Kau bersenang-senang?"

"Yeah," kataku. "Acaranya lumayan seru."

"Persis dirimu," kata ibuku, tersenyum. Ucapan itu menurutku

sangat lucu, tapi aku tak berkata apa-apa. Mom bangkit dan me

narikku mendekat, mencium pipiku. "Aku senang jadi ibumu," kata

nya.

"Trims," kataku.

Aku pergi tidur bersama buku Whitman, dilipat di bagian yang ku

sukai, ketika dia melewatkan sepanjang waktu mendengarkan opera

dan orang-orang.

Setelah mendengarkan semua itu, dia menulis, "Aku terpapar....

tersayat-sayat oleh hujan batu es yang membekukan dan beracun."

Itu sempurna, menurutku: mendengarkan orang-orang agar dapat

membayangkan mereka, dan kita mendengar semua hal yang me

ngerikan dan indah yang dilakukan orang-orang pada diri sendiri

dan pada satu sama lain, tapi pada akhirnya mendengarkan malah

membuat kita lebih terpapar dibandingkan dengan mereka yang kita

coba dengarkan.

Menjelajahi pseudovisi dan mencoba mendengarkan dia tidak
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meretakkan cangkang Margo Roth Spiegelman sebanyak hal itu me

retakkan cangkangku. Berhalaman-halaman kemudian?mendengar

kan dan terpapar?Whitman mulai menulis tentang semua perjalanan

yang bisa dilakukannya dengan cara membayangkan, serta membuat

daftar seluruh tempat yang bisa dikunjunginya selagi bermalas-ma

lasan di rerumputan. "Telapak tanganku melingkupi benua-benua,"

dia menulis.

Aku tidak bisa berhenti memikirkan peta, seperti caraku terkadang

menatap atlas waktu masih kecil, dan dengan menatapnya saja rasanya

sudah seperti berada di tempat lain. Itulah yang harus kulakukan.

Aku harus mendengarkan dan membayangkan jalanku memasuki

peta Margo.

Tetapi bukankah aku sudah mencoba melakukan itu? Aku mendo

ngak menatap peta di atas komputerku. Aku sudah mencoba me

metakan perjalanan yang mungkin ditempuhnya, tapi seperti rerum

putan yang telah menanggung terlalu banyak, Margo pun begitu.

Kelihatannya mustahil untuk menyematnya dengan pin di peta. Dia

terlalu kecil dan ruang yang tercakup dalam peta-peta itu terlalu

besar. Mereka lebih daripada sekadar membuang-buang waktu?me

reka merupakan representasi fisik dari kesia-siaan total semua ini,

ketidakmampuan mutlakku untuk mengembangkan jenis telapak

tangan yang dapat melingkupi benua-benua, untuk memiliki benak

yang bisa membayangkan dengan tepat.

Aku bangkit dan melangkah ke peta lalu mencabutnya dari din

ding, pin dan paku payung berhamburan bersama kertas itu dan

berjatuhan ke tanah. Aku meremas peta dan mencampakkannya ke

tempat sampah. Dalam perjalanan kembali ke tempat tidur aku ter

injak paku payung, seperti orang tolol, dan meskipun aku jengkel,

lelah, dan kehabisan pseudovisi, serta ide, aku terpaksa memunguti

semua pin dan paku payung yang berserakan di karpet agar nanti

tidak terinjak olehku. Aku hanya kepengin meninju dinding, tapi aku

harus memunguti pin bodoh terkutuk itu. Setelah selesai, aku kembali

ke tempat tidur dan meninju bantal, gigiku terkatup rapat.

Aku mulai membaca Whitman lagi, tapi antara itu dan memikirkan

Margo, aku merasa sudah cukup terpapar malam ini. Jadi akhirnya

kuletakkan buku itu. Aku tak mau repot-repot bangkit dan memati

kan lampu. Aku hanya menatap dinding, jeda kedipan mataku se

makin lama. Dan setiap kali membuka mata, aku melihat tempat

peta itu tadi berada?empat lubang membentuk segiempat, dan lu

bang-lubang bekas pin seolah terpencar acak dalam segiempat ter

sebut. Aku pernah melihat pola serupa sebelumnya. Di ruangan

kosong di atas karpet yang tergulung.

Sebuah peta. Dengan titik-titik yang ditandai dengan pin.

18.

AKU terbangun oleh cahaya matahari tak lama sebelum pukul tujuh

hari Sabtu. Hebatnya, Radar sedang online.

QTHERESURRECTION: Kupikir kau pasti masih tidur.

OMNICTIONARIAN96: Tidak, man. Aku bangun sejak

jam enam, mengembangkan artikel tentang seorang penyanyi

pop Malaysia.

Tapi, Angela masih di tempat tidur.

QTHERESURRECTION: Ooh dia menginap?

OMNICTIONARIAN96: Yeah tapi kesucianku masih utuh.

Meskipun begitu, malam wisuda... menurutku mungkin saja.

QTHERESURRECTION: Hei, aku memikirkan sesuatu

semalam. Lubang-lubang kecil di dinding ruko itu?janganjangan dari peta dengan titik-titik yang ditandai dengan pin?

OMNICTIONARIAN96: Seperti rute.

QTHERESURRECTION: Persis.

OMNICTIONARIAN96: Mau ke sana? Tapi aku harus

tunggu sampai Angela bangun dulu.

QTHERESURRECTION: Oke.

Radar menelepon pukul sepuluh. Aku menjemputnya dengan

minivan kemudian kami melaju ke rumah Ben, menduga serangan

mendadak merupakan satu-satunya cara untuk membangunkan dia.

Tetapi bahkan menyanyikan You Are My Sunshine di luar jendelanya

hanya membuat dia membuka jendela dan meludahi kami. "Aku tidak

mau melakukan apa pun sampai siang," katanya tegas.

Jadi hanya Radar dan aku yang pergi. Dia mengobrol sedikit ten

tang Angela dan bagaimana dia sangat menyukai gadis itu serta

betapa anehnya jatuh cinta hanya beberapa bulan sebelum mereka

kuliah di tempat berbeda, tapi aku mendapati diriku sulit untuk

mendengarkan dengan saksama. Aku menginginkan peta itu. Aku

ingin melihat tempat yang ditunjukkannya. Aku ingin mengembalikan

pin-pin itu kembali ke dinding.

Kami masuk lewat kantor, bergegas melintasi perpustakaan, berhenti

sejenak untuk mengamati lubang di dinding kamar tidur, lalu me

langkah ke toko suvenir. Tempat ini tak lagi membuatku takut sedikit

pun. Begitu kami memasuki setiap ruangan dan memastikan kami

sendirian, aku merasa seaman di rumah. Di bawah lemari pajangan,

aku menemukan kotak peta dan brosur yang kuperiksa pada malam

prom. Aku mengangkatnya dan menyeimbangkannya di sudut konter

kaca yang pecah. Radar yang pertama memeriksa, mencari apa saja

yang dilengkapi peta, dan kemudian aku membuka lipatannya, men

cari-cari lubang pin.

Kami sudah hampir mencapai dasar kotak ketika Radar menge

luarkan brosur hitam-dan-putih berjudul LIMA RIBU KOTAKOTA AMERIKA. Dipatenkan tahun 1972 oleh perusahaan Esso.

Ketika aku dengan hati-hati membuka lipatan peta, berusaha meng

haluskan lipatannya, aku melihat lubang pin di satu sudut. "Ini dia,"

kataku, suaraku meninggi. Ada robekan kecil di sekitar lubang pin,

seolah dirobek dari dinding. Itu peta Amerika Serikat seukuran peta

di kelas yang sudah menguning dan rapuh yang penuh dengan desti

nasi potensial. Robekan di peta memberitahuku bahwa dia tidak

meniatkan peta ini sebagai petunjuk?Margo terlalu akurat dan yakin

dengan petunjuk-petunjuknya untuk mengacaukannya. Entah bagai

mana, kami menemukan sesuatu yang tidak direncanakannya, dan

melihat apa yang tidak direncanakannya membuat aku memikirkan

lagi berapa banyak yang telah direncanakannya. Dan barangkali,

pikirku, itulah yang dilakukannya dalam kegelapan senyap di sini.

Bepergian seraya bermalas-malasan, seperti Whitman, sambil bersiapsiap melakukan perjalanan yang sesungguhnya.

Aku berlari ke kantor dan menemukan sejumlah paku payung di

meja yang bersebelahan dengan meja Margo, sebelum Radar dan aku

dengan hati-hati membawa peta yang terlipat kembali ke kamar

Margo. Aku memegangi petanya di dinding sedangkan Radar men

coba memasang pin di sudut-sudutnya, tapi tiga dari empat ujung

peta robek, begitu juga tiga dari lima lokasi ditandai, kemungkinan

ketika peta itu dilepaskan dari dinding. "Lebih tinggi dan ke kiri,"

katanya. "Bukan, ke bawah. Yeah. Jangan bergerak." Akhirnya kami

berhasil memasang peta di dinding, kemudian mulai mencocokkan

lubang di peta dengan yang ada di dinding. Kami bisa memasang

lima pin dengan cukup mudah. Tetapi sebagian lubang pin di peta

juga robek, jadi mustahil memastikan lokasi TEPAT-nya. Dan lokasi

yang tepat itu penting di peta yang dijejali nama-nama lima ribu kota.

Huruf-hurufnya begitu kecil dan rapat sehingga aku harus berdiri

di karpet dan mendekatkan mata hanya beberapa sentimeter dari

peta untuk menebak setiap lokasi. Setiap kali aku menebak nama

kota, Radar mengeluarkan perangkat genggamnya dan mencarinya

di Omnictionary.

Ada dua titik yang tidak robek: salah satunya sepertinya Los

Angeles, meskipun ada gugusan kota berkumpul begitu rapat di

Southern California sehingga tulisannya saling bertumpang tindih.

Satu lagi lubang yang tidak robek ada di atas Chicago. Ada satu lu

bang robek di wilayah New York yang, dinilai dari lokasi lubang di

dinding, merupakan salah satu dari lima sektor New York City.

"Itu masuk akal dengan semua yang kita ketahui."

"Yeah," kataku. "Tapi ya Tuhan, di mana di New York? Itulah per

tanyaannya."

"Kita melewatkan sesuatu," ucap Radar. "Petunjuk mengenai lokasi.

Bagaimana dengan titik-titik lainnya?"

"Ada satu lagi di negara bagian New York, tapi bukan di dekat

kota. Maksudku, lihat, semua kota-kota ini kecil. Titiknya bisa saja

di Poughkeepsie atau Woodstock atau Catskill Park."

"Woodstock," kata Radar. "Itu pasti menarik. Dia memang bukan

hippie, tapi dia punya aura semangat-bebas itu."

"Entahlah," kataku. "Lubang pin terakhir ada di Washington, D.C.,

atau bisa juga Annapolis atau Chesapeake Bay. Yang satu itu bisa

berarti banyak tempat, sebenarnya."

"Akan sangat membantu jika hanya ada satu titik di peta," ucap

Radar murung.

"Tapi dia mungkin pergi dari satu tempat ke tempat lain," kataku.

Mengarungi perjalanan abadi.

Aku duduk di karpet sejenak sementara Radar membacakan lebih

lanjut untukku tentang New York, tentang Catskill Mountains, ten

tang ibu kota negara, tentang konser di Woodstocks tahun 1969.

Sepertinya tidak ada yang membantu. Aku merasa seolah kami sudah

mengerahkan segala daya upaya dan tidak menemukan apa-apa.

Setelah menurunkan Radar siang itu, aku duduk santai di rumah

membaca Song of Myself dan belajar untuk ujian akhir dengan

setengah hati.

Aku ujian Kalkulus dan bahasa Latin hari Senin, barangkali dua

pelajaran tersulitku, dan aku tidak bisa mengabaikan mereka se

penuhnya. Aku belajar selama hampir selama sebagian besar Sabtu

malam dan sepanjang hari Minggu, tapi kemudian gagasan tentang

Margo tebersit di kepalaku tak lama seusai makan malam, maka aku

beristirahat sejenak dari berlatih menerjemahkan Ovid dan masuk

ke IM. Aku melihat Lacey online. Aku baru mendapatkan nama

layarnya dari Ben, tapi kurasa aku cukup mengenal Lacey untuk

mengiriminya pesan IM.

QTHERESURRECTION: Hai, ini Q.

SACKCLOTHANDASHES: Hai!

QTHERESURRECTION: Apa kau pernah memikirkan

berapa lama yang dihabiskan Margo untuk merencanakan

segalanya?

SACKCLOTHANDASHES: Yeah, seperti meninggalkan sup

alfabet sebelum Mississippi dan membimbingmu ke ruko itu,

maksudmu?"

QTHERESURRECTION: Yeah, itu bukan hal-hal yang bisa

dipikirkan dalam sepuluh menit.

SACKCLOTHANDASHES: Barangkali buku catatan itu.

QTHERESURRECTION: Persis.

SACKCLOTHANDASHES: Yeah. Aku memikirkan itu hari

ini sebab aku ingat ketika suatu hari kami berbelanja, dia

selalu mencoba memasukkan buku catatan itu ke tas yang

disukainya, untuk memastikan ukurannya cocok.

QTHERESURRECTION: Seandainya aku bisa mendapatkan

buku catatan itu.

SACKCLOTHANDASHES: Yeah, tapi mungkin buku itu

bersamanya.

QTHERESURRECTION: Yeah. Tidak ada di lokernya?

SACKCLOTHANDASHES: Tidak, hanya buku pelajaran,

ditumpuk rapi seperti biasanya.

Aku belajar di mejaku dan menunggu yang lain online. Ben akhir
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya muncul beberapa saat kemudian, dan aku mengundangnya ke

ruang chat bersamaku dan Lacey. Mereka yang lebih banyak meng

obrol?aku masih menerjemahkan?sampai Radar masuk dan ber

gabung di ruang chat. Barulah aku meletakkan pensil untuk malam

itu.

OMNICTIONARIAN96: Seseorang dari New York City

mencari di Omnictionary tentang Margo Roth Spiegelman

hari ini.

ITWASAKIDNEYINFECTION: Apa kau bisa tahu dari

daerah mana di New York City?

OMNICTIONARIAN96: Sayangnya tidak.

SACKCLOTHANDASHES: Lagi pula masih ada sejumlah

selebaran di toko piringan hitam di sana. Barangkali cuma

seseorang yang mencoba mencari tahu tentang dia.

OMNICTIONARIAN96: Oh, benar. Aku lupa soal itu.

Menyebalkan.

QTHERESURRECTION: Hei, aku masuk dan keluar soalnya

aku memakai situs yang ditunjukkan Radar padaku untuk

memetakan rute antara tempat-tempat yang dilubanginya

dengan pin.

ITWASAKIDNEYINFECTION: Tautan?

QTHERESURRECTION: thelongwayround.com

OMNICTIONARIAN96: Aku punya teori baru. Dia akan

datang saat wisuda, duduk di antara undangan.

ITWASAKIDNEYINFECTION: Aku punya teori lama, yaitu

dia ada di suatu tempat di Orlando, mempermainkan kita

dan memastikan bahwa dirinya adalah pusat semesta kita.

SACKCLOTHANDASHES: Ben!

ITWASAKIDNEYINFECTION: Sori, tapi aku pasti benar.

Mereka terus-menerus seperti itu, mengobrol tentang Margo versi

mereka, sementara aku mencoba memetakan rutenya. Bila dia tak

berniat menjadikan peta itu sebagai petunjuk?dan lubang pin yang

robek memberitahuku bahwa memang tidak?menurutku kami su

dah mendapatkan semua petunjuk yang diniatkannya untuk kami

dan kini kami punya lebih dari itu. Kalau begitu aku pasti sudah

memiliki apa yang kubutuhkan. Tetapi aku masih merasa sangat jauh

dari dirinya.

19.

SETELAH tiga jam sendirian bersama delapan ratus kata dari Ovid

pada Senin pagi, aku melintasi koridor dan merasakan otakku seakan

meleleh ke luar lewat telinga. Tetapi aku mengerjakannya dengan

baik. Kami punya waktu makan siang satu setengah jam, memberi

otak kami waktu untuk kembali memadat sebelum periode kedua

ujian hari ini. Radar sudah menunggu di lokerku.

"Aku baru saja gagal ujian bahasa Spanyol," kata Radar.

"Aku yakin kau mengerjakannya dengan baik." Dia akan masuk

Dartmouth dengan beasiswa bernilai besar. Dia lumayan pintar.

"Dude, entahlah. Aku ketiduran terus pada bagian ujian oral. Tapi

dengar, aku begadang setengah malam membuat program ini. Keren

sekali. Programnya membuat kita bisa memasukkan satu kategori?

bisa area geografis atau familia dalam kerajaan hewan?dan kemudian

kita bisa membaca kalimat pertama dari hingga seratus artikel

Omnictionary mengenai topik yang kita cari dalam satu halaman.

Jadi, misalkan kau mencoba mencari jenis kelinci khusus tapi tidak

ingat namanya. Kau bisa membaca awal kalimat semua artikel

mengenai ke-21 spesies kelinci di halaman yang sama dalam waktu

kira-kira tiga menit."

"Kau melakukan ini pada malam sebelum ujian akhir?" tanyaku.

"Yeah, aku tahu. Omong-omong aku sudah menge-mailnya untuk

mu. Ini culun-tastik."

Kemudian Ben muncul. "Sumpah, Q, Lacey dan aku begadang di

IM sampai jam dua pagi bermain-main di situs itu, thelongwayround?

Dan setelah memetakan setiap rute yang mungkin diambil Margo

antara Orlando dan lima titik itu, aku menyadari bahwa selama ini

aku keliru. Dia bukan di Orlando. Radar benar. Dia akan pulang ke

sini untuk hari wisuda."

"Kenapa?"

"Pengaturan waktunya sempurna. Bepergian dari Orlando ke New

York ke pegunungan ke Chicago ke Los Angeles dan kembali ke

Orlando adalah perjalanan selama tepat dua-puluh-tiga hari. Di

tambah lagi, itu lelucon yang benar-benar idiot, tapi itu lelucon

Margo. Buat semua orang mengira kau bunuh diri. Kelilingi dirimu

dengan aura misterius agar semua orang memperhatikan. Dan kemu

dian tepat pada saat semua perhatian mulai menjauh, kau muncul di

acara wisuda."

"Tidak," kataku. "Mustahil." Kini aku kenal Margo lebih baik. Dia

memang menginginkan perhatian. Aku percaya itu. Tetapi Margo

tidak menjadikan nyawa sebagai lelucon. Dia tidak menikmati tipuan

semacam itu.

"Kuberitahu kau, bro. Cari dia saat wisuda. Dia pasti hadir di

sana." Aku hanya menggeleng. Mengingat semua orang makan siang

pada jam yang sama, kafeteria penuh sesak, jadi kami menerapkan

hak kami sebagai murid senior dan berkendara ke Wendy?s. Aku

berusaha agar tetap fokus pada ujian Kalkulus-ku, tapi aku mulai

merasa barangkali masih ada fakta lain dalam kisah itu. Seandainya

Ben benar tentang perjalanan dua-puluh-tiga hari tersebut, itu me

mang sangat menarik. Mungkin itulah yang direncanakan Margo

dalam buku catatan hitamnya, perjalanan panjang dan sepi. Memang

tidak menjelaskan segalanya, tapi cocok dengan Margo sebagai peren

cana. Bukannya ini membawaku lebih dekat dengannya. Meskipun

sulit menentukan posisi titik dalam peta yang robek, lebih sulit lagi

memastikannya jika titik itu bergerak.

Setelah hari ujian akhir yang panjang, kembali ke ketaktertembusan

Song of Myself yang nyaman hampir-hampir melegakan. Aku tiba di

bagian teraneh puisi?setelah memasang telinga dan mendengarkan

orang-orang, lalu bepergian bersama mereka, Whitman berhenti

mendengarkan, mengunjungi, dan dia mulai menjadi orang lain. Se

olah benar-benar mendiami tubuh mereka. Dia menceritakan kisah

seorang nakhoda yang menyelamatkan semua orang di kapalnya ke

cuali diri sendiri. Penyair dapat menceritakan kisah itu, dia berpen

dapat, karena dia telah menjadi sang nakhoda. Seperti yang ditulis

kannya, "Akulah dia.... aku menderita.... aku di sana." Beberapa baris

kemudian, jelaslah sudah bahwa Whitman tidak lagi perlu mende

ngarkan untuk menjadi orang lain: "Aku tidak bertanya kepada orang

yang terluka apa yang dia rasakan.... Aku sendiri telah menjadi diri

nya."

Aku menaruh buku dan berbaring menyamping, menatap ke luar

jendela yang sejak dulu ada di antara kami. Tidak cukup dengan

hanya menyaksikan atau mendengar dia. Untuk menemukan Margo

Roth Spiegelman, kau harus menjadi Margo Roth Spiegelman.

Dan aku telah melakukan banyak hal yang mungkin telah dilaku

kannya: aku menciptakan pasangan prom yang paling mustahil. Aku

meredakan peperangan antar-kasta yang terus merongrong. Aku

menjadi nyaman berada di rumah penuh tikus yang dihantui tempat

Margo bisa merenung dengan baik. Aku telah menyaksikan. Aku

telah mendengarkan. Namun aku belum bisa menjadi orang yang

terluka itu.

Aku tertatih-tatih melalui ujian akhir Fisika dan Pemerintahan ke

esokan harinya lalu begadang sampai pukul dua pagi hari Kamis

untuk menyelesaikan esai reaksi final untuk kelas bahasa Inggris

tentang Moby Dick. Ahab adalah pahlawan, aku memutuskan. Tidak

ada alasan khusus kenapa aku memutuskan itu?terutama mengingat

aku belum membaca bukunya?tapi aku sudah memutuskan dan

bereaksi sesuai dengan itu.

Minggu ujian yang dipersingkat berarti Rabu adalah hari terakhir

sekolah bagi kami. Dan sepanjang hari, sulit untuk tidak melangkah

ke mana pun tanpa memikirkan akhir dari semuanya: Terakhir kali

aku berdiri membentuk lingkaran di luar ruang band di bawah

naungan pohon ek yang telah meneduhi bergenerasi-generasi anak

band. Terakhir kali aku makan piza di kafeteria bersama Ben. Terakhir

kali aku duduk di sekolah ini menulis esai dengan tangan kram di

buku biru. Terakhir kali aku mendongak menatap jam. Terakhir kali

aku melihat Chuck Parson berkeliaran di koridor, senyumnya separuh

menyeringai. Ya Tuhan. Aku menjadi bernostalgia tentang Chuck

Parson. Sesuatu yang tidak beres terjadi dalam diriku.

Pasti seperti ini juga rasanya bagi Margo. Dengan semua rencana

yang disusunnya, dia pasti tahu dia akan pergi, dan bahkan dirinya

pun mustahil kebal sepenuhnya terhadap perasaan ini. Dia menjalani

hari-hari indah di sini. Dan pada hari terakhir, masa-masa buruk

jadi amat sulit diingat, karena dalam satu atau lain cara, dia memiliki

kehidupan di sini, persis denganku. Kota ini terbuat dari kertas, tapi

kenangan-kenangannya tidak. Semua yang telah kulakukan di sini,

seluruh rasa cinta, iba, belas kasihan, kekerasan, dan dendam, terus

membuncah dalam diriku. Dinding-dinding batu genting yang di

kapur putih. Dinding-dinding putihku. Dinding-dinding putih

Margo. Kami telah terpenjara di dalamnya begitu lama, terperangkap

dalam perutnya seperti Yunus.

Sepanjang hari, aku mendapati diriku berpikir bahwa mungkin

perasaan inilah yang menyebabkan dia merencanakan segala-galanya

dengan begitu rumit dan cermat: meskipun ingin pergi, tetap saja

berat rasanya. Butuh persiapan, dan barangkali duduk di ruko me

nuliskan rencananya merupakan latihan intelektual sekaligus emosio

nal?cara Margo membayangkan diri sendiri menyongsong nasibnya.

Ben dan Radar berlatih band secara maraton untuk memastikan

mereka bisa memainkan Pomp and Circumstance dengan baik saat

acara wisuda. Lacey menawariku tumpangan, tapi kuputuskan untuk

membersihkan lokerku, karena aku tidak terlalu ingin kembali ke

sini dan lagi-lagi merasakan paru-paruku terbenam dalam nostalgia

meresahkan ini.

Lokerku adalah liang kotoran tulen?separuh tong sampah, se

paruh lemari buku. Aku ingat loker Margo berisi buku pelajaran

tersusun rapi ketika Lacey membukanya seakan-akan dia berniat

datang ke sekolah keesokan harinya. Aku menarik tong sampah ke

deretan loker dan membuka lokerku. Aku memulai dengan melepas

kan foto Radar, Ben, dan aku bermalas-malasan. Kumasukkan foto

itu ke ransel lalu memulai proses menjijikkan memilah-milah sampah

yang terakumulasi selama satu tahun?permen karet dalam robekan

buku tulis, bolpoin yang kehabisan tinta, tisu berminyak?dan me

nyapu semuanya ke dalam tong sampah. Selama itu, aku terus ber

pikir, aku takkan pernah melakukan ini lagi, aku takkan pernah berada

di sini lagi, ini takkan pernah menjadi lokerku lagi, Radar dan aku

takkan pernah bertukar pesan di kelas Kalkulus lagi, aku takkan pernah

melihat Margo di seberang koridor lagi. Inilah pertama kalinya dalam

hidupku ada begitu banyak hal yang takkan pernah terjadi lagi.

Dan akhirnya semua ini terlalu berlebihan. Aku tidak mampu

membujuk diriku untuk mengabaikan perasaan itu, dan perasaan itu

menjadi tak tertahankan. Aku merogoh ke kedalaman ceruk lokerku.

Aku mendorong segalanya?foto, buku tulis, dan buku pelajaran?

ke dalam tong sampah. Aku meninggalkan lokerku dalam keadaan

terbuka dan melangkah pergi. Ketika melewati ruang band, aku bisa

mendengar suara teredam lagu Pomp and Circumstance dari balik
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dinding. Aku terus berjalan. Di luar panas, tapi tidak sepanas biasa

nya. Masih bisa ditoleransi. Ada trotoar di sepanjang sebagian besar

jalan menuju rumah, pikirku. Maka aku pun terus melangkah.

Dan meskipun semua ketidakpernahan lagi itu begitu melumpuhkan

serta menggelisahkan, kepergian terakhir ini terasa sempurna. Murni.

Bentuk paling sejati dari kebebasan. Semua yang penting kecuali

selembar foto norak ada dalam tong sampah, tapi rasanya begitu

menyenangkan. Aku mulai berlari kecil, ingin memberi jarak lebih

jauh lagi antara diriku dan sekolah.

Berat sekali untuk pergi?sampai kita pergi. Dan kemudian itu

menjadi tindakan termudah di dunia.

Seraya berlari, untuk pertama kalinya aku merasakan diriku men

jadi Margo. Aku tahu: dia tidak di Orlando. Dia tidak di Florida. Pergi

terasa begitu menyenangkan, begitu kita pergi. Seandainya aku me

ngendarai mobil, bukannya berjalan kaki, aku mungkin akan terus

melaju juga. Margo sudah pergi dan tidak akan kembali untuk wisuda

atau untuk apa pun. Kini aku meyakini itu.

Aku pergi, dan kepergian ini begitu menggembirakan sehingga

aku tahu aku takkan pernah kembali. Tetapi selanjutnya apa? Apakah

aku akan terus-menerus meninggalkan tempat demi tempat, dan

meninggalkan mereka, dan meninggalkan mereka, mengarungi per

jalanan abadi?

Ben dan Radar melaju melewatiku empat ratus meter dari Jefferson

Park, dan Ben mengerem SSHISS mendadak tepat di Lakemont

meskipun lalu lintas ramai, dan aku berlari menuju mobil itu lalu

masuk. Mereka kepengin bermain Resurrection di rumahku, tapi

aku terpaksa menolak, sebab aku sudah lebih dekat daripada sebelum

nya.

20.

SELAMA Rabu malam, dan sepanjang hari Kamis, aku mencoba

memanfaatkan pemahaman baruku tentang Margo untuk mengarti

kan beberapa petunjuk yang kumiliki?kaitan antara peta dan buku

perjalanan, atau hubungan antara buku Whitman dan peta yang bisa

memungkinkan aku untuk memahami rute perjalanannya. Namun

aku semakin merasa jangan-jangan dia menjadi terlalu terpesona oleh

senangnya bepergian sehingga tidak menyusun jejak remah-remah

roti yang layak. Dan kalau itu yang terjadi, peta yang tidak pernah

diniatkannya untuk kami dapatkan barangkali merupakan peluang

terbaik bagi kami untuk menemukannya. Namun tidak ada lokasi di

peta yang cukup spesifik. Bahkan titik di Catskill Park, yang mem

buatku tertarik karena itu satu-satunya lokasi yang tidak berada di

atau di dekat kota besar, masih terlalu luas dan padat untuk menemu

kan seseorang. Song of Myself berisi referensi tempat-tempat di New

York City, tapi lokasinya terlalu banyak untuk dilacak seluruhnya.

Bagaimana caramu menentukan satu titik di peta bila titik itu

sepertinya bergerak dari metropolis ke metropolis?

Aku sudah bangun dan tengah membuka-buka buku panduan per

jalanan ketika orangtuaku masuk kamarku hari Jumat pagi. Mereka

jarang masuk bersama-sama, dan aku sempat merasakan riak mual?

jangan-jangan mereka punya berita buruk tentang Margo?sebelum

aku teringat bahwa ini hari wisudaku.

"Siap, bud?"

"Yeah. Maksudku, bukannya ini penting, tapi pasti seru."

"Kau hanya sekali lulus dari SMA," kata Mom.

"Yeah," ucapku. Mereka duduk di tempat tidur di seberangku. Aku

melihat mereka bertukar pandang dan terkekeh. "Apa?"

"Begini, kami ingin memberimu hadiah kelulusan," kata Mom.

"Kami sangat bangga padamu, Quentin. Kau adalah pencapaian ter

besar dalam kehidupan kami, dan ini hari besar bagimu, dan kami?

Kau anak muda yang hebat."

Aku tersenyum dan menatap ke bawah. Kemudian ayahku

mengeluarkan bingkisan sangat kecil terbungkus kertas kado biru.

"Tidak," kataku, menyambarnya dari ayahku.

"Ayo buka."

"Tidak mungkin," kataku, memandanginya. Kado ini seukuran

kunci. Bobotnya seberat kunci. Ketika kugoyang kotaknya, isinya

bergemerencing seperti kunci.

"Buka saja, Sayang," desak ibuku.

Aku merobek kertas pembungkusnya. Sekeping KUNCI! Aku

mengamatinya baik-baik. Sekeping kunci Ford! Mobil kami tidak

ada yang bermerek Ford. "Kalian membelikanku mobil?!"

"Benar," jawab ayahku. "Bukan mobil baru?tapi umurnya baru

dua tahun dan baru menempuh 20.000 mil." Aku melompat bangkit

dan memeluk keduanya.

"Itu milikku?"

"Yeah!" ibuku hampir berseru. Aku punya mobil! Mobil! Milikku

sendiri!

Aku melepaskan diri dari orangtuaku dan berteriak "terima kasih

terima kasih terima kasih terima kasih terima kasih terima kasih" seraya

berlari melewati ruang duduk, dan menarik pintu depan hingga ter

buka hanya mengenakan kaus usang dan celana kolor. Di sana, di

parkir di jalan masuk dipasangi pita biru besar, ada minivan Ford.

Mereka memberiku minivan. Mereka bisa memilih mobil apa saja

dan mereka memilih minivan. Minivan. Oh Dewa Keadilan Ken

daraan, mengapa dikau mengolok-olok diriku? Minivan, kau adalah

beban yang harus kutanggung! Kau tanda Kain! Dasar monster celaka

berlangit-langit tinggi dan bertenaga kuda terbatas!

Aku memasang tampang tegar ketika aku berbalik. "Terima kasih

terima kasih terima kasih!" ucapku, meskipun jelas sekali kini aku

tak terdengar seantusias tadi karena aku hanya berpura-pura.

"Yah, kami tahu kau sangat suka menyetir minivan-ku," kata ibuku.

Mom dan Dad berseri-seri?kentara sekali yakin telah memberiku

sarana transportasi impianku. "Itu cocok untuk jalan-jalan bersama

teman-temanmu!" tambah ayahku. Dan kalau dipikir-pikir: kedua

orang ini memiliki spesialisasi dalam menganalisis dan memahami

jiwa manusia.

"Nah," kata Dad, "sebaiknya kita segera pergi kalau ingin men

dapatkan tempat duduk strategis."

Aku belum mandi atau berdandan atau apa. Yah, bukannya secara

teknis aku akan berdandan, tapi tetap saja. "Aku tidak perlu berada

di sana sampai jam setengah satu," ucapku. "Aku perlu, yah, bersiapsiap."

Dad mengernyit. "Yah, aku benar-benar ingin duduk di tempat

yang pemandangannya jelas supaya aku bisa memot?"

Aku menyela ayahku. "Aku kan bisa naik MOBILKU," kataku.

"Aku bisa menyetir sendiri dengan MOBILKU." Aku tersenyum

lebar.

"Aku tahu!" ucap ibuku bersemangat. Dan masa bodohlah?mobil

tetap saja mobil. Menyetir minivan-ku sendiri jelas satu langkah maju

dibandingkan menyetir minivan milik orang lain.

Aku kembali ke komputerku lalu memberitahu Radar dan Lacey

(Ben belum online) tentang minivan itu.

OMNICTIONARIAN96: Sebenarnya itu berita yang benarbenar bagus. Boleh aku mampir dan menaruh kotak

pendingin di bagasimu? Aku harus menyopiri orangtuaku ke

acara wisuda dan tidak mau mereka melihatnya.

QTHERESURRECTION: Tentu, tidak dikunci kok. Kotak

pendingin untuk apa?

OMNICTIONARIAN96: Yah, mengingat tidak ada yang

minum di pestaku, maka masih tersisa 212 bir, dan kita akan

membawanya ke rumah Lacey untuk pestanya malam ini.

QTHERESURRECTION: 212 bir?

OMNICTIONARIAN96: Itu kotak pendingin yang besar.

Kemudian Ben online, BERTERIAK bahwa dia sudah mandi dan

telanjang dan hanya tinggal memakai topi dan toga. Kami mengobrol

ke sana kemari tentang wisuda telanjang kami. Setelah semua orang

pergi untuk bersiap-siap, aku mandi dan berdiri tegak agar air meng

guyur tepat ke wajah, dan aku mulai berpikir ketika air menghujani

wajahku. New York atau California? Chichago atau D.C.? Aku ber

pikir, aku juga bisa pergi sekarang. Aku punya mobil sama seperti

dia. Aku bisa pergi ke kelima titik di peta itu, dan meskipun seandai

nya tidak menemukan dia, kegiatan tersebut lebih menyenangkan

dibandingkan menikmati satu musim panas mendidih lagi di Orlan

do. Tetapi tidak. Ini seperti membobol masuk SeaWorld. Butuh

rencana yang rapi, kemudian kau mengeksekusinya dengan cemerlang,

lalu?tidak terjadi apa-apa. Dan setelahnya itu hanya SeaWorld,

hanya saja lebih gelap. Margo pernah bilang padaku: kesenangannya

bukan pada pelaksanaannya; kesenangannya terletak pada peren

canaannya.

Dan itulah yang kupikirkan ketika aku berdiri di bawah kepala

pancuran: perencanaan. Dia duduk di ruko bersama buku catatannya,

merencanakan. Mungkin dia merencanakan perjalanan, memakai

peta untuk membayangkan rutenya. Dia membaca Whitman dan

menandai kalimat "Aku mengarungi perjalanan abadi," karena Margo

senang membayangkan dirinya melakukan hal semacam itu, dia se

nang merencanakan hal semacam itu.

Tetapi apakah dia benar-benar senang melakukan hal semacam

itu? Tidak. Karena Margo tahu rahasia dari kepergian, rahasia yang

baru saja kuketahui: kepergian terasa menyenangkan dan murni ha

nya ketika kita meninggalkan sesuatu yang penting, sesuatu yang

berarti bagi kita. Mencabut kehidupan hingga ke akarnya. Tetapi kita

tidak bisa melakukan itu sampai kehidupan kita berakar.

Maka ketika dia pergi, dia pergi untuk selamanya. Namun aku

tidak percaya dia pergi untuk menempuh perjalanan abadi. Dia pasti,

aku yakin, pergi menuju suatu tempat?suatu tempat yang bisa di

tinggalinya cukup lama sehingga tempat itu berarti, cukup lama se

hingga kepergian berikutnya terasa sama menggembirakannya dengan

yang terakhir. Ada satu sudut di dunia di suatu tempat yang jauh dari

sini di mana tak seorang pun tahu apa arti "Margo Roth Spiegelman."

Dan Margo duduk di sudut itu, menulisi buku catatan hitamnya.

Air mulai dingin. Aku bahkan belum menyentuh sabun, tapi aku

keluar dari pancuran, melilitkan handuk di pinggang, lalu duduk di

depan komputer.

Aku mencari e-mail Radar tentang program Omnictionary-nya

dan mengunduh plug-in itu. Programnya benar-benar keren. Pertama,

aku memasukkan kode pos pusat kota Chicago, mengeklik "lokasi,"

dan meminta radius sejauh dua puluh mil. Program itu memuntahkan

seratus respons, mulai dari Navy Pier sampai Deerfield. Kalimat

pertama dari setiap entri muncul di layarku, dan aku membaca

semuanya dalam lima menit. Tidak ada yang menonjol. Kemudian

kucoba kode pos dekat Catskill Park di New York. Responsnya lebih

sedikit kali ini, 82, disusun berdasarkan tanggal dibuatnya laman

Omnictionary mereka. Aku mulai membaca.

Woodstock, New York, adalah sebuah kota di Ulster County, New

York, barangkali paling terkenal sebagai eponim konser Woodstock

[lihat Konser Woodstock] tahun 1969, acara tiga hari yang

menampilkan pertunjukan mulai dari Jimi Hendrix sampai Janis

Joplin, yang sebenarnya dilangsungkan di kota di dekatnya.

Lake Katrine adalah danau kecil di Ulster County, New York, kerap

dikunjungi oleh Henry David Thoreau.

The Catskill Park meliputi lahan seluas 700.000 acre di Pegu

nungan Catskill yang dimiliki bersama oleh negara bagian dan

pemerintah lokal, termasuk lima persen saham yang dipunyai
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

New York City, yang mendapatkan mayoritas airnya dari wadukwaduk yang sebagian terletak di dalam taman.

Roscoe, New York, sebuah desa kecil di negara bagian New York,

yang menurut sensus terbaru dihuni 261 keluarga.

Agloe, New York, adalah desa fiktif yang diciptakan oleh

perusahaan Esso pada awal tahun 1930-an dan dimasukkan dalam

peta turis sebagai jebakan hak cipta, atau kota kertas.

Aku mengeklik tautan yang membawaku ke artikel lengkapnya,

yang berlanjut dengan:

Berlokasi di persimpangan dua jalan tanah tak jauh dari utara

Roscoe, NY, Agloe merupakan ciptaan pembuat peta Otto G.

Lindberg dan Ernest Alpers, yang membuat nama kota itu dengan

membuat anagram dari inisial mereka. Jebakan hak cipta sudah

muncul dalam pembuatan peta selama berabad-abad. Kartografer

menciptakan landmark, jalan, dan kota fiktif dan menempatkannya

diam-diam dalam peta buatan mereka. Apabila entri palsu ter

sebut ditemukan dalam peta karya kartografer lain, jelaslah bah

wa peta mereka telah dicontek. Jebakan hak cipta kadang-kadang

juga dikenal sebagai perangkap kunci, jalan kertas, dan kota kertas

[lihat juga entri fiktif]. Meskipun hanya segelintir perusahaan

pembuat peta mengakui keberadaannya, jebakan hak cipta tetap

menjadi fitur umum bahkan dalam peta kontemporer.

Pada tahun 1940-an, Agloe, New York, mulai muncul dalam

peta-peta yang dibuat perusahaan lain. Esso mencurigai adanya

pelanggaran hak cipta dan menyiapkan sejumlah tuntutan hukum,

tapi ternyata, seorang penduduk tak dikenal telah membangun

"Toko Kelontong Agloe" di persimpangan yang ada dalam peta

Esso.

Tempat itu, yang masih berdiri [perlu nukilan], merupakan

satu-satunya bangunan di Agloe, yang terus-menerus muncul

dalam banyak peta dan secara tradisional dicatat sebagai tempat

yang berpopulasi nol.

Setiap entri Omnictionary memiliki subhalaman tempat kita bisa

melihat semua suntingan yang pernah dibuat di laman itu berikut

seluruh diskusi anggota Omnictionary tentang laman tersebut. Laman

Agloe belum disunting oleh siapa pun hampir satu tahun, tapi ada

satu komentar terbaru oleh pengguna anonim di laman diskusi:

fyi, siapa pun yang Menyunting ini?jumlah Populasi agloe akan

menjadi Satu sampai 29 Mei Tengah hari.

Aku langsung mengenali pemakaian huruf kapital itu. Aturan

pemakaian huruf kapital sangat tidak adil bagi kata-kata yang terletak

di tengah kalimat. Tenggorokanku tersekat, tapi kupaksa diriku untuk

tenang. Komentar tersebut ditinggalkan lima belas hari lalu. Komen

tar itu ada di sana selama ini, menungguku. Aku melihat jam di

komputer. Aku hanya punya waktu tak sampai 24 jam lagi.

Untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, dia sepertinya

benar-benar dan tak terbantahkan masih hidup bagiku. Dia masih

hidup. Setidaknya untuk satu hari lagi, dia masih hidup. Begitu lama

aku berkonsentrasi pada keberadaannya untuk mencegahku bertanyatanya secara obsesif apakah dia masih hidup sehingga aku tidak tahu

betapa takutnya aku sampai sekarang, tapi oh, Tuhanku. Dia masih

hidup.

Aku melompat bangkit, membiarkan handuk melorot, dan me

nelepon Radar. Aku menjepit telepon di lekuk leher sambil memakai

celana kolor lalu celana pendek. "Aku tahu apa arti kota kertas! Kau

bawa perangkat genggammu?"

"Yeah. Kau seharusnya sudah di sini, dude. Mereka akan menyuruh

kita berbaris sebentar lagi."

Aku mendengar Ben berteriak di telepon, "Bilang padanya sebaik

nya dia telanjang!"

"Radar," kataku, mencoba mengekspresikan pentingnya itu. "Coba

lihat laman Agloe, New York. Mengerti?"

"Ya. Lagi baca. Tunggu. Wow. Wow. Apa mungkin ini titik Catskill

di peta?"

"Ya, menurutku begitu. Tempatnya cukup dekat. Coba buka laman

diskusi."

"..."

"Radar?"

"Ya Tuhan."

"Aku tahu, aku tahu!" seruku. Aku tidak mendengar responsnya

ketika memakai baju, tapi ketika telepon kembali ke telingaku, aku

bisa mendengar dia bicara pada Ben. Aku langsung menutup telepon.

Di internet aku mencari petunjuk arah berkendara dari Orlando

ke Agloe, tapi sistem peta tidak pernah mendengar Agloe, jadi aku

mencari Roscoe. Dengan kecepatan kira-kira 65 mil per jam, kompu

ter menyatakan perjalanan itu butuh 19 jam dan 4 menit. Sekarang

pukul 14.15. Aku punya waktu 21 jam dan 45 menit untuk tiba di

sana. Aku mencetak petunjuk arah itu, mengambil kunci minivan,

dan mengunci pintu depan di belakangku.

***

"Jauhnya 19 jam dan 4 menit," kataku di ponsel. Itu telepon Radar,

tapi Ben yang mengangkat.

"Jadi apa yang akan kaulakukan?" tanyanya. "Kau mau terbang ke

sana?"

"Tidak, aku tak punya cukup uang, lagipula tempat itu sekitar

delapan jam jauhnya dari New York City. Aku akan naik mobil saja."

Tiba-tiba saja Radar mengambil teleponnya lagi. "Berapa lama

perjalanannya?"

"Sembilan belas jam empat menit."

"Menurut siapa?"

"Peta Google."

"Sial," kata Radar. "Tidak ada satu pun dari program peta itu yang

memperhitungkan arus lalu lintas. Akan kutelepon lagi kau. Dan

cepat. Kita harus berbaris sekarang juga!"

"Aku tidak datang. Tidak bisa mengambil risiko membuang waktu,"

kataku, tapi aku bicara pada udara kosong. Radar menelepon lagi

semenit kemudian. "Kalau kecepatan rata-ratamu 65 mil per jam,

tanpa berhenti, dan berdasarkan pola arus lalu lintas rata-rata, kau

butuh waktu 23 jam dan 9 menit. Artinya kau akan tiba di sana tak

lama setelah jam satu siang, jadi kau harus mengompensasi waktu

setiap kali kau bisa."

"Apa? Tapi?"

Radar berkata, "Aku tidak ingin mengkritik, tapi mungkin dalam

topik satu ini, orang yang selalu terlambat harus mendengarkan orang

yang selalu tepat waktu. Tapi kau harus datang ke sini meskipun

sekejap sebab kalau tidak orangtuamu bakal panik bila kau tidak

muncul ketika namamu dipanggil, dan juga, bukannya ini hal paling

penting atau apa, aku hanya memberitahu?kau menyimpan semua

bir kami di sana."

"Jelas sekali aku tak punya waktu," jawabku.

Ben ikut bicara di ponsel. "Jangan jadi idiot. Kau hanya butuh

lima menit."

"Oke, baiklah." Aku menikung ke kanan mendadak saat lampu

merah dan memacu minivan?kecepatannya lebih kencang daripada

milik Mom tapi bedanya hanya sedikit?menuju sekolah. Aku tiba

di parkiran gimnasium dalam waktu tiga menit. Aku tidak memarkir

minivan begitu menghentikannya tengah-tengah lapangan parkir dan

langsung melompat ke luar. Ketika berlari kencang menuju gym, aku

melihat tiga sosok bertoga berderap ke arahku. Aku bisa melihat

kaki gelap ceking Radar ketika toganya mengepak-ngepak di se

kelilingnya, dan di sebelahnya Ben, memakai sepatu kets tanpa kaus

kaki. Lacey tak jauh di belakang mereka.

"Bir kalian datang," kataku seraya berlari melewati mereka. "Aku

harus bicara pada orangtuaku."

Para kerabat murid yang diwisuda duduk berpencar di tribun

penonton dan aku berlari mondar-mandir melintasi lapangan basket

beberapa kali sebelum menemukan Mom dan Dad di deretan bangku

setengah jalan menuju atas. Mereka melambai ke arahku. Aku berlari

menaiki tangga dua-dua sekaligus, jadi agak megap-megap ketika

berlutut di sebelah keduanya dan berkata, "Oke, jadi aku tidak akan

[napas] ikut wisuda, karena menurutku [napas] aku sudah menemu

kan Margo dan [napas] aku harus pergi, dan ponselku akan terus

menyala [napas] dan kumohon jangan marah padaku dan terima

kasih sekali lagi untuk mobilnya."

Ibuku memegang pergelangan tanganku dan berkata, "Apa?

Quentin, apa yang kaubicarakan? Pelan-pelan."

Aku berkata, "Aku mau ke Agloe, New York, dan aku harus pergi

sekarang juga. Itu seluruh ceritanya. Oke, aku harus pergi. Waktunya

sudah sangat mendesak. Aku bawa ponsel. Oke, aku sayang kalian."

Aku harus menyentak lepas tanganku dari cengkeraman pelan

ibuku. Sebelum mereka sempat buka mulut, aku berderap menuruni

tangga dan pergi, berlari kembali menuju minivan. Aku sudah di

dalamnya dan telah memasukkan gigi serta mulai bergerak ketika

menoleh dan melihat Ben duduk di jok penumpang.

"Ambil birnya dan keluar dari mobil!" seruku.

"Kami ikut," katanya. "Lagi pula kau bakal ketiduran kalau men

coba menyetir selama itu."

Aku menoleh, Lacey dan Radar memegang ponsel di telinga ma

sing-masing. "Harus bilang pada orangtuaku," Lacey menjelaskan,

mengetuk-ngetuk ponsel. "Ayo, Q. Cepat cepat cepat cepat cepat

cepat."

BAGIAN TIGA

Wadah

Jam Pertama

BUTUH waktu agak lama bagi semuanya untuk menjelaskan kepada

orangtua mereka bahwa 1. Kami semua akan melewatkan wisuda,

dan 2. Kami berkendara menuju New York, untuk 3. Mengunjungi

kota yang mungkin ada atau tidak ada, dan semoga saja 4. Mencegat

orang yang menulis di Omnictionary, yang menurut Bukti pemakaian

huruf kapital Acak adalah 5. Margo Roth Spiegelman.

Radar yang terakhir menutup telepon, dan ketika akhirnya melaku

kannya, dia berkata, "Aku mau membuat pengumuman. Orangtuaku

jengkel setengah mati karena aku melewatkan wisuda. Pacarku juga

kesal, sebab rencananya kami akan melakukan sesuatu yang sangat

istimewa dalam waktu sekitar delapan jam lagi. Aku tidak mau men

jelaskannya secara detail, tapi sebaiknya ini adalah perjalanan yang

menyenangkan."

"Kemampuanmu untuk tidak kehilangan keperjakaanmu menjadi

inspirasi bagi kami semua," kata Ben di sebelahku.

Aku melirik Radar dari spion. "WOOHOO MELANCONG!"

kataku padanya. Meskipun enggan, seulas senyum merambati wajah

nya. Rasa senang karena pergi.

Saat ini kami di jalan I-4, dan lalu lintas lumayan lancar, yang itu

saja sudah hampir merupakan keajaiban. Aku di jalur kiri terjauh

menyetir 8 mil per jam lebih cepat dibandingkan batas kecepatan 55

mil per jam, karena aku pernah dengar kita takkan dihentikan polisi

kecuali jika melaju 9 mil per jam lebih cepat daripada batas kecepatan.

Dengan sangat cepat, kami menyesuaikan diri dengan peran ma

sing-masing.

Di jok paling belakang, Lacey menjadi petugas perbekalan. Dia

mendaftar keras-keras semua yang saat ini kami miliki untuk per

jalanan ini: setengah batang Snickers yang sedang dimakan Ben ketika

aku menelepon tentang Margo; 212 bir di belakang; petunjuk arah
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang kucetak; dan benda-benda berikut dari dalam tas tangannya:

delapan batang permen karet wintergreen, sebatang pensil, sejumlah

tisu, tiga tampon, kacamata hitam, beberapa lip balm ChapStick,

kunci rumah, kartu anggota YMCA, kartu perpustakaan, beberapa

bon, 35 dolar, dan kartu BP.

Dari belakang, Lacey berkata, "Ini seru! Kita seperti perintis de

ngan perbekalan terbatas! Tapi aku berharap kita punya lebih banyak

uang."

"Setidaknya kita punya kartu BP," sahutku. "Kita bisa beli bensin

dan makanan."

Aku mendongak menatap kaca spion dan melihat Radar, memakai

toga wisudanya, mengamati isi tas tangan Lacey. Toganya memiliki

belahan leher rendah, jadi aku bisa melihat sedikit bulu dada ikalnya.

"Kau punya celana kolor di dalam situ?" tanyaku.

"Serius, sebaiknya kita mampir di Gap," tambah Ben.

Tugas Radar, yang dimulainya dengan kalkulator di perangkat

genggamnya, adalah Riset dan Kalkulasi. Dia duduk sendirian di jok

di belakangku, dengan petunjuk arah dan buku pedoman pemilik

minivan terbentang di sebelahnya. Dia tengah menghitung seberapa

cepat kami harus melaju, berapa kali kami harus berhenti agar mobil

tidak kehabisan bensin, lokasi pom bensin BP sepanjang rute kami

serta berapa lama setiap perhentian itu nantinya, dan berapa banyak

waktu kami yang hilang saat memelankan mobil untuk keluar tol.

"Kita harus berhenti mengisi bensin empat kali. Semuanya harus

cepat-cepat. Enam menit keluar tol paling lama. Kita tengah menuju

tiga area perbaikan jalan yang panjang, ditambah lalu lintas padat di

Jacksonville, Washington, D.C., dan Philadelphia, tapi untung saja

kita melintasi D.C sekitar jam tiga pagi. Menurut perhitunganku,

kecepatan rata-rata kita harus sekitar 72 mil per jam. Seberapa cepat

kau menyetir?"

"Enam puluh tiga," jawabku. "Batas kecepatan lima puluh lima."

"Coba sampai tujuh puluh dua," kata Radar.

"Aku tidak bisa; itu berbahaya, dan aku bisa ditilang."

"Coba sampai tujuh puluh dua," ulang Radar. Aku menekan pedal

gas keras-keras. Masalahnya adalah sebagian karena aku enggan me

laju hingga 72 mil per jam dan sebagian lagi lantaran minivan itu

juga enggan melaju hingga 72 mil per jam. Mobil mulai bergetar

dengan cara yang mengindikasikan bodinya bakal rontok. Aku tetap

di lajur kiri jauh meskipun tetap bukan mobil terkencang di jalan,

dan aku merasa tidak enak karena orang-orang menyalipku dari ka

nan, tapi aku perlu jalan kosong di depan, sebab tidak seperti orang

lain di jalanan ini, aku tak bisa melambatkan kendaraan. Dan inilah

peranku: peranku adalah menyetir, dan merasa gugup. Terpikir olehku

bahwa aku sudah pernah melakonkan peran ini.

Dan Ben? Peran Ben adalah kepengin buang air kecil. Mulanya,

peran utama Ben sepertinya mengeluhkan bagaimana kami tidak

punya CD apa pun dan bahwa semua stasiun radio di Orlando payah

kecuali stasiun radio kampus, yang siarannya sudah berada di luar

jangkauan. Namun segera saja dia mencampakkan peran itu dan

menggantikannya dengan panggilan sejatinya: kebelet buang air kecil.

"Aku mau kencing," katanya pada pukul 15.06. Kami sudah di

jalan selama 45 menit. Kami punya sisa waktu kira-kira satu hari

dalam perjalanan kami.

"Yah," ujar Radar, "berita baiknya kita akan berhenti. Berita buruk

nya adalah itu baru terjadi empat setengah jam lagi."

"Kurasa aku bisa menahannya," kata Ben. Pukul 15.10, dia meng

umumkan, "Sebenarnya, aku kebelet setengah mati. Sungguh."

Paduan suara merespons, "Tahan." Dia berkata, "Tapi aku?" Dan

paduan suara merespons lagi, "Tahan!" Ini menyenangkan, untuk saat

ini, Ben kepengin buang air kecil dan kami menyuruh dia menahan

nya. Dia tertawa, dan mengeluh bahwa tertawa membuatnya makin

kebelet. Lacey melompat ke depan dan mencondongkan tubuh dari

belakang Ben lalu mulai menggelitiki sisi tubuh temanku. Ben ter

bahak dan mengeluh dan aku ikut tertawa, menjaga agar jarum

spedometer tetap di angka 72. Aku bertanya-tanya apakah Margo

menciptakan perjalanan ini bagi kami dengan sengaja atau secara

kebetulan?bagaimanapun juga, ini hal paling menyenangkan yang

kualami sejak terakhir kali aku melewatkan berjam-jam di balik ke

mudi sebuah minivan.

Jam Kedua

AKU masih menyetir. Kami berbelok ke utara, memasuki jalan I-95,

melintasi rute berkelok-kelok menuju Florida, dekat dengan pesisir

tapi bukan menyusuri pantai. Di sini, di mana-mana ada pohon pinus,

terlalu ceking untuk tinggi mereka, berperawakan seperti aku. Namun

umumnya yang ada hanya jalan, mobil yang lewat dan sesekali disalip

oleh mereka, harus selalu mengingat siapa di depanmu dan siapa di

belakang, siapa yang mendekat dan siapa yang menjauh.

Lacey dan Ben kini duduk bersama di jok tengah, dan Radar di

bangku paling belakang, mereka memainkan versi konyol tebak-te

bakan I Spy di mana mereka hanya diizinkan menebak sesesuatu

yang tidak bisa dilihat secara kasatmata.

"I Spy with my little eye sesuatu yang trendi sekaligus tragis," kata

Radar.

"Apakah itu cara Ben tersenyum yang mengandalkan sebagian

besar sisi kanan mulutnya?" tanya Lacey.

"Bukan," jawab Radar. "Dan jangan bicara sok romantis soal Ben.

Itu menjijikkan."

"Apakah itu ide tak memakai apa-apa di balik toga wisudamu dan

kemudian harus melancong ke New York sementara semua orang di

mobil yang lewat mengasumsikan kau memakai gaun?"

"Bukan," jawab Radar. "Itu hanya tragis."

Lacey tersenyum. "Kau akan belajar menyukai gaun. Kau bakal

menikmati angin sepoi-sepoinya."

"Oh, aku tahu!" kataku dari depan. "Perjalanan 24 jam dengan

minivan. Trendi karena melancong memang selalu trendi; tragis ka

rena bensin yang kita gunakan akan menghancurkan planet ini."

Radar berkata bukan, dan mereka terus menebak. Aku menyetir,

melaju dengan kecepatan 72 mil per jam seraya berdoa agar tidak

ditilang dan bermain I Spy Metafisika. Sesuatu yang trendi sekaligus

tragis itu ternyata gagal mengembalikan toga wisuda sewaan tepat

waktu. Aku melewati mobil polisi yang diparkir di median jalan yang

berumput. Kucengkeram kemudi erat-erat dengan kedua tangan,

yakin dia akan menghentikan kami. Ternyata tidak. Mungkin dia

tahu aku mengebut hanya karena terpaksa.

Jam Ketiga

BEN duduk di sebelahku lagi. Aku masih menyetir. Kami semua

lapar. Lacey membagikan masing-masing sebatang permen karet

wintergreen untuk kami, tapi itu hanya sedikit menghibur. Dia mem

buat daftar superpanjang berisi semua barang yang akan kami beli

di BP ketika kami berhenti untuk pertama kalinya. Semoga saja ini

pom bensin yang punya persediaan lengkap, karena kami akan

mengurasnya habis-habisan.

Ben terus-terusan menggoyangkan kakinya naik-turun.

"Apa kau tidak bisa berhenti?"

"Aku kebelet kencing selama tiga jam."

"Kau sudah mengatakannya."

"Aku bisa merasakan air seniku sampai ke tulang rusuk," katanya.

"Serius, badanku penuh air seni. Bro, sekarang ini, tujuh puluh persen

bobot tubuhku berupa air seni."

"Uh-huh," komentarku, nyaris tak merekahkan senyum. Ucapannya

memang lucu, tapi aku capek.

"Rasanya aku mungkin mulai menangis, dan air mata yang keluar

adalah air seni."

Itu membuatku geli. Aku tertawa kecil.

Kali berikutnya aku melirik, beberapa menit kemudian, tangan

Ben mencengkeram erat selangkangannya, kain toganya menggumpal

naik.

"Apa-apaan itu?" tanyaku.

"Dude, aku harus kencing. Aku menjepit menghentikan alirannya."

Kemudian dia berputar. "Radar, berapa lama lagi sebelum kita ber

henti?"

"Kita harus menempuh setidaknya 143 mil lagi agar bisa tetap

berhenti sebanyak empat kali, yang artinya sekitar 1 jam 58,5 menit

lagi jika Q bisa mempertahankan kecepatan."

"Aku bisa!" seruku. Kami di utara Jacksonville, mendekati Georgia.

"Aku sudah tidak tahan, Radar. Carikan aku sesuatu untuk tempat

ku kencing."

Paduan suara berseru: TIDAK. Tentu saja tidak. Tahanlah seperti

laki-laki. Tahanlah seperti perempuan zaman Victoria mempertahan

kan kesucian mereka. Tahanlah dengan penuh martabat dan ke

anggunan, seperti Presiden Amerika Serikat yang katanya memegang

nasib dunia bebas.

"BERI AKU SESUATU ATAU AKU AKAN MENGENCINGI

JOK INI. DAN CEPAT!"

"Oh, Tuhan," ucap Radar sambil membuka sabuk pengaman. Dia

merangkak ke jok paling belakang lalu meraih ke bawah dan mem

buka kotak pendingin. Dia kembali ke kursinya, mencondongkan

tubuh ke depan, dan menyerahkan sebotol bir kepada Ben.

"Syukurlah tutupnya putar-lepas," kata Ben, mengumpulkan se

gumpal toga lalu membuka botol. Ben menurunkan jendela, dan aku

memperhatikan kaca spion samping ketika cairan bir melayang me

lewati mobil dan menciprati jalan. Ben berhasil menyelipkan botol

ke balik toga tanpa memamerkan kepada kami bola yang konon ter

besar di dunia, kemudian kami semua duduk menunggu, terlalu jijik

untuk melihat.

Lacey baru saja berkata, "Tidak bisakah kau menahannya saja,"

ketika kami semua mendengarnya. Aku belum pernah mendengar

suara itu, tapi aku tetap saja mengenalinya: bunyi air seni beradu

dengan dasar botol bir. Hampir seperti musik. Musik menjijikkan

dengan ritme sangat cepat. Aku menoleh dan bisa melihat kelegaan

di mata Ben. Dia tersenyum, dengan tatapan menerawang.

"Semakin lama kau menunggu, semakin nikmat rasanya," ujarnya.

Bunyi itu dengan cepat berubah dari kerecik air seni mengenai botol

menjadi gemercik air seni di air seni. Dan kemudian, perlahan-lahan,

senyum Ben memudar.

"Bro, kurasa aku butuh satu botol lagi," ucapnya tiba-tiba.

"Satu botol lagi CEPAT!" seruku.

"Satu botol lagi segera datang!" Secepat kilat, aku melihat Radar

membungkuk di atas jok belakang, kepalanya di atas kotak pendingin,

mengambil botol dari dalam es. Dia membukanya dengan tangan

kosong, menurunkan sedikit salah satu jendela belakang, dan me

numpahkan bir dari sana. Kemudian dia melompat ke depan, kepala

nya di antara Ben dan aku, lalu mengulurkan botol itu ke arah Ben,

yang matanya jelalatan panik.

"Uh, pertukarannya bakal, uh, rumit," kata Ben. Ada banyak ge

rakan balik toga itu, dan aku berusaha tidak membayangkan apa yang

terjadi ketika dari balik toga muncul sebotol Miller Lite penuh de

ngan air seni (yang herannya tampak mirip dengan Miller Lite sung

guhan). Ben menaruh botol penuh itu di penyangga gelas, mengambil

botol baru dari Radar, lalu mendesah lega.

Sementara itu, kami dibiarkan merenungi air seni di penyangga
Kota Kertas Paper Town Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gelas. Jalan tidak terlalu bergelombang, tapi guncangan minivan me

nyebabkan hal yang tak diinginkan, cairan itu berguncang maju

mundur di mulut botol.

"Ben, kalau kau mengencingi mobil baruku, kupotong bolamu."

Masih melanjutkan kesibukannya, Ben menoleh ke arahku, me

nyeringai. "Kau bakal butuh pisau yang besar banget, bro." Dan ke

mudian akhirnya aku mendengar alirannya memelan. Tak lama

kemudian dia selesai, dan dengan satu gerakan mulus melemparkan

botol baru ke luar jendela. Botol yang penuh menyusul.

Lacey berlagak menahan muntah?atau mungkin sungguhan.

Radar berkata, "Astaga, apa kau bangun tadi pagi dan menenggak

delapan belas galon air?"

Tetapi Ben berseri-seri. Dia mengacungkan tinju ke udara, penuh

kemenangan, dan berseru, "Tidak setetes pun kena jok! Aku Ben

Starling. Pemain klarinet pertama, Marching Band WHPS. Peme

gang Rekor Akrobat Tong Bir. Juara kencing-di-mobil. Aku meng

guncang dunia! Aku pastilah yang terhebat!"

Tiga puluh lima menit kemudian, saat jam ketiga kami hampir

berakhir, dia bertanya dengan suara lirih, "Kapan kita berhenti lagi?"

"Satu jam dan tiga menit, kalau Q mempertahankan kecepatan,"

jawab Radar.

"Oke," kata Ben. "Oke. Bagus. Soalnya aku kebelet kencing."

Jam Keempat

UNTUK pertama kalinya, Lacey bertanya, "Apa kita sudah sampai?"

Kami tertawa.

Meskipun begitu, kami berada di Georgia, negara bagian yang

kusukai dan kagumi dengan satu alasan dan hanya karena satu alasan

ini: batas kecepatan di sini tujuh puluh mil perjam, yang artinya aku

bisa meningkatkan lajuku menjadi 77. Selain alasan itu, Georgia

mengingatkanku pada Florida.

Kami melewatkan jam keempat dengan mempersiapkan perhentian

pertama kami. Ini perhentian penting, karena aku amat sangat terlalu

kelewat lapar dan dehidrasi. Untuk suatu alasan, mengobrol tentang

makanan yang akan kami beli di BP meredakan siksaan itu. Lacey

mempersiapkan daftar belanjaan untuk kami masing-masing, ditulis

dengan huruf kecil-kecil di belakang kertas bon yang ditemukannya

dalam tas tangan. Dia menyuruh Ben mencondongkan tubuh ke luar

jendela untuk melihat di sebelah mana tangki bensinnya. Dia me

maksa kami menghafalkan daftar belanjaan masing-masing lalu

menguji kami. Kami membahas kunjungan kami di pom bensin be

berapa kali; ini harus dikerjakan dengan baik seperti pit stop balap

NASCAR.

"Sekali lagi," kata Lacey.

"Aku mengurus bensin," ucap Radar. "Setelah mulai mengisi bensin,

aku berlari ke dalam dengan pompa bensin masih menyala meskipun

aku seharusnya tetap di dekat pompa, dan aku memberimu kartunya.

Kemudian aku kembali ke pompa."

"Aku membawa kartu itu ke cowok di balik konter," kata Lacey.

"Atau cewek," tambahku.

"Tidak relevan," sahut Lacey.

"Aku hanya mengingatkan?jangan seksis begitu."

"Oh, terserahlah, Q. Aku membawa kartu itu ke orang di balik

konter. Kukatakan pada cewek atau cowok itu untuk mencatat semua

barang yang kita bawa. Lalu aku kencing."

Aku menambahkan, "Sementara itu, aku akan mengambil semua

barang dalam daftarku dan membawanya ke depan."

Ben berkata, "Dan aku kencing. Lalu setelah selesai, aku akan

mengambil semua barang dalam daftarku."

"Yang paling penting baju," kata Radar. "Orang-orang selalu me

natapku ganjil."

Lacey berucap, "Aku menandatangani tanda terima setelah keluar

dari toilet."

"Dan begitu tangki bensin penuh, aku akan masuk minivan dan

menyetir pergi, jadi sebaiknya kalian sudah ada di dalamnya. Aku

serius akan meninggalkan kalian. Kalian punya waktu enam menit,"

ujar Radar.

"Enam menit," kataku, mengangguk. Lacey dan Ben juga meng

ulanginya. "Enam menit." "Enam menit." Pada pukul 17.35, dengan

900 mil lagi yang harus ditempuh, Radar menginformasikan kepada

kami bahwa, menurut perangkat genggamnya, akan ada pom bensin

di jalan keluar berikutnya.

Ketika aku memasuki pom bensin, Lacey dan Radar merunduk di

balik pintu geser di belakang. Satu tangan Ben, sabuk pengaman

terbuka, memegang gagang pintu penumpang dan tangan yang se

belah lagi di dasbor. Aku mempertahankan kecepatan selama mung

kin, lalu mengerem keras-keras tepat di depan pompa bensin. Minivan

berhenti mendadak, dan kami berhamburan keluar pintu. Radar dan

aku bersilang jalan di depan mobil; aku melemparkan kunci kepada

nya lalu berlari menuju toko makanan. Lacey dan Ben sudah men

dahuluiku tiba di sana, tapi selisih waktunya tidak lama. Sementara

Ben melesat ke toilet, Lacey menjelaskan kepada perempuan (ternyata

memang perempuan!) beruban itu bahwa kami akan membeli banyak

barang, dan kami sangat terburu-buru, serta bahwa dia sebaiknya

langsung mencatat belanjaan itu begitu kami mengantarkannya dan

semuanya dibayar dengan kartu BP-nya, dan perempuan itu tampak

agak kebingungan tapi setuju. Radar berlari masuk, toganya berkibarkibar, dan menyerahkan kartu BP pada Lacey.

Sementara itu, aku berlari menyusuri lorong mengambil semua

barang di daftarku. Lacey di bagian minuman; Ben di lorong barangbarang yang tahan lama; aku di bagian makanan. Aku menyapu

tempat itu seolah aku cheetah dan keripik tortilla adalah kijang ter

luka. Aku melarikan sepelukan keripik kentang, dendeng sapi, dan

kacang ke konter depan, kemudian berlari kecil ke lorong permen.

Segenggam Mentos, segenggam Snickers, dan?Oh, itu tidak ada

dalam daftar, tapi persetan, aku suka Nerds, jadi kutambahkan tiga

pak Nerds. Aku kembali berlari lalu menuju konter "deli", yang mema

jang sandwich kalkun lama yang kalkunnya sangat mirip daging ham.

Aku mengambil dua. Dalam perjalanan kembali ke kasir, aku mampir

untuk mengambil dua Starburst, sebungkus Twinkies, dan entah

berapa banyak nutrition bar GoFast. Aku berlari lagi. Ben berdiri di

sana dalam toga wisudanya, menyerahkan kaus dan kacamata hitam

empat dolar ke kasir. Lacey berlari mendekat membawa bergalongalon soda, minuman berenergi, dan berbotol-botol air. Botol yang

besar-besar, jenis botol yang bahkan air seni Ben tak bisa memenuhi

nya.

"SATU MENIT!" seru Lacey, dan aku pun panik. Aku berputarputar, mataku jelalatan menjelajahi toko, mencoba mengingat-ingat

apa yang kulupakan. Aku melirik daftarku. Sepertinya aku sudah

mengambil semuanya, tapi rasanya ada sesuatu yang kulupakan. Se

suatu. Ayo, Jacobsen. Keripik, permen, kalkun-yang-mirip-ham, selai

kacang dan jeli, dan?apa? Apa kelompok makanan lainnya? Daging,

keripik, permen, dan, dan, dan, dan keju! "KRAKER!" kataku, terlalu

keras, kemudian aku melesat ke bagian kraker, mengambil kraker

keju, kraker selai kacang, dan sejumlah biskuit selai kacang Grandma?s

sebagai tambahan, lalu berlari kembali dan melemparkan semuanya

di konter. Perempuan itu sudah mengemasi empat kantong plastik

belanjaan. Totalnya hampir seratus dolar, bahkan belum termasuk

bensin; aku akan membayar kembali orangtua Lacey sepanjang musim

panas.

Hanya ada sejenak untuk beristirahat, dan itu setelah perempuan

di balik konter itu menggesek kartu BP Lacey. Aku melirik arloji.

Kami seharusnya pergi dalam dua puluh detik. Akhirnya, aku men

dengar tanda terima dicetak. Kasir merobeknya dari mesin, Lacey

menandatangani namanya, kemudian Ben dan aku menyambar tas

belanjaan lalu melesat ke mobil. Radar menderumkan mesin seolah

untuk berkata cepat, dan kami berlarian melintasi parkiran, toga Ben

berkibar-kibar di tengah angin sehingga sekilas dia tampak seperti

penyihir jahat, hanya saja kaki kurus pucatnya kelihatan dan lengan

nya memeluk tas plastik belanjaan. Aku bisa melihat betis Lacey dari

balik gaunnya, tegang saat melangkah. Aku tidak tahu seperti apa

penampilanku, tapi aku tahu seperti apa perasaanku. Muda. Konyol.

Tak berbatas. Aku memperhatikan saat Lacey dan Ben buru-buru

masuk lewat pintu geser yang terbuka. Aku menyusul, mendarat di

tas belanjaan, dan torso Lacey. Radar tancap gas begitu aku mem

banting pintu geser sampai tertutup, kemudian dia melesat dengan

ban berdecit ke luar parkiran, menandai saat pertama kalinya dalam

sejarah panjang dan terkenal minivan ada seseorang mengendarainya

hingga bannya terbakar. Radar berbelok ke kiri menuju jalan raya

dengan kecepatan yang tak aman, lalu kembali memasuki jalan tol.


Vampire Academy Karya Richelle Mead Raja Naga 19 Dewa Pengasih Dewa Arak 80 Misteri Gadis Gila

Cari Blog Ini