Ceritasilat Novel Online

Kotak Pelangi 1

Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya Bagian 1



KOTAK PELANGI

Oleh Dyan Nuranindya

Ebook by pustaka-indo.blogspot.com

GM 312 01 14 0081

? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Gedung Gramedia Blok I, Lt. 5

Jl. Palmerah Barat 29?33, Jakarta 10270

Editor: Mursyidatul Umamah

Ilustrator: maryna_design@yahoo.com

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

anggota IKAPI, Jakarta, 2014

www.gramediapustakautama.com

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ISBN 978 - 602 - 03 - 1040 - 4

280 hlm; 20 cm

Untuk Sahabat kami:

Terima kasih sudah membaca kisah-kisah dari kos-kosan Soda,

mulai dari Canting Cantiq, Cinderella Rambut Pink, Rock?n Roll

Onthel, sampai Kotak Pelangi. Semoga tetralogi novel ini dapat

meng?hibur sekaligus membuat kalian bangga menjadi bagian dari

Indonesia.

Ayo, saatnya kita berkontribusi dalam peningkatan minat dan

budaya membaca di Indonesia. Semoga Indonesia semakin maju!

Salam hangat dari kami,

Melanie?Bima?Saka?Ipank?Dara?Jhony?Aiko?Dido

6157

DINI hari, Yogyakarta.

Buku ini saya tulis bukan untuk saya. Saya memulainya dengan

sebuah harapan. Jika suatu saat nanti, ketika tugas saya di dunia telah selesai, dan Tuhan memanggil saya, cucu-cucu saya dapat membacanya dan mengambil pelajaran berharga dari cerita ini. Ya, cucu-cucu

saya tercinta. Anak-anak kos Soda. Saya menganggap mereka seperti

cucu saya sendiri.

Saka, cucu saya dari anak kedua saya, Kresna Adiwijoyo. Ia memiliki hati yang tulus. Tak pernah berniat menyakiti orang lain. Bahkan

terlalu sabar untuk ukuran remaja seusianya. Pemikirannya sangat

matang dan dewasa. Saya tahu ia pekerja keras. Dan saya tahu bahwa suatu saat cucu saya ini akan menjadi musisi hebat seperti yang

sudah dicita-citakannya sejak dulu. Ia figur anak muda yang cerdas.

Cerdas menyaring budaya-budaya luar tanpa menghilangkan budaya

bangsanya sendiri. Bangsa Indonesia. Saka tak pernah malu melakukannya di tengah remaja seusianya yang terkontaminasi dengan gaya

hidup barat. Ia anak muda yang hebat.

Dara, cucu angkat saya. Ia membuktikan satu hal pada saya; bah7168

wa ketidakmampuannya melanjutkan sekolah karena kehilangan kedua

orangtuanya tidak membuatnya minder dan patah semangat. Ia tahu

kemampuannya sendiri. Ia sangat senang berbicara tanpa henti, makanya ia memilih bekerja sebagai penyiar radio. Ia senang mengagumi

orang, menyimak kisah hidup mereka, dan berusaha memahaminya.

Dara belajar dari itu semua. Ungkapan "kehidupan adalah guru terbaik" terlihat jelas pada diri gadis itu. Tak pernah sekali pun ia cemburu pada hidup orang lain. Itulah Dara. Saya bersyukur karena

Tuhan menunjuk saya untuk menariknya menjadi bagian dari rumah

ini, menjadi bagian keluarga ini.

Jhony ah, anak ini. Meskipun usianya paling tua di antara anak

kos lainnya, tapi perilakunya seperti anak kecil. Senang iseng dan sa?ngat percaya diri. Mungkin itu cara dia menutupi kelemahannya.

Jhony buta warna. Ia tak pernah tahu warna pelangi, tapi ia menciptakan pelanginya sendiri. Ia memang cucu saya yang paling unik. Saya

mengerti betapa Jhony selalu ingin membuat orang lain tertawa karena tingkahnya. Tapi sebenarnya hatinya sangat sensitif dan tertutup.

Kadang ia membiarkan hatinya tersakiti karena ejekan yang keterlaluan. Ia bukan pendendam. Banyak orang tidak bisa memahami

bahwa Jhony memiliki hati yang tulus. Mereka hanya bisa menertawai

dan meledeknya. Biasanya saya biarkan saja selama tidak berlebihan.

Karena justru itu yang membuat Jhony bahagia: melihat orang lain

tertawa.

Ipank. Banyak perubahan positif pada diri anak itu. Sejak kecil

Ipank paling susah menahan emosinya yang meledak-ledak. Dulu, berkali-kali saya menasihati orangtuanya agar tidak mendidiknya terlalu

keras karena berdampak pada pemberontakan diri Ipank ketika ia

dewasa nanti. Namun mereka tak mau mendengarkan. Mereka justru

lebih percaya bahwa perilaku Ipank dikarenakan nama anak itu yang

terlalu panjang. Tapi saya tidak pernah memercayai mitos itu. Saya

lebih percaya bahwa setiap anak adalah karunia Tuhan Yang Maha

Esa. Sama seperti nama Ivano Panky Ariestio Norman Kano?nama

panjang Ipank. Itu juga karunia Tuhan yang dibisikkan melalui orang816

tuanya. Waktu kecil anak itu sering dianggap gegabah hanya karena

ia tak pernah berpikir panjang setiap kali meluapkan emosi. Seiring

berjalannya waktu, saya mulai memahami perilaku Ipank. Ia tidak

gegabah, hanya terlalu membela hal-hal yang dianggapnya benar. Berusaha melindungi apa yang betul-betul dicintainya. Walau harus

mengorbankan diri sendiri.

Aiko, cucu dari sahabat perjalananku, Ken Yamasaki. Gadis itu

pelukis andal. Gerakan tangannya begitu indah ketika berhadapan

dengan alat-alat gambarnya. Ia mampu menghadirkan suasana tempat-tempat yang saya kunjungi selama ini hanya berdasarkan ketajaman imajinasinya. Seandainya Ken tahu, dia pasti bangga melihat cucu

kecilnya tumbuh menjadi remaja yang cantik dan berhati lembut.

Aiko memang tertutup, namun pintar. Nilai-nilainya di sekolah tidak

pernah luput dari angka delapan. Pengetahuannya sangat luas. Persis

seperti kakeknya. Ken memang pernah berkata, cucunya itu terlahir

sangat lemah. Energinya tidak banyak. Itu sebabnya Aiko jarang keluar rumah. Padahal penting baginya untuk menikmati udara pegunungan, laut, dan berinteraksi dengan alam.

Dido. Anak ini terlalu pendiam. Terlalu sibuk dengan pikirannya

sendiri. Belakangan saya mengerti anak ini jenuh dengan rumahnya

karena orangtuanya sibuk bekerja. Ayah Dido seorang dokter. Sementara ibunya seorang wanita karier. Melihat latar belakang keluarganya,

Dido tak pernah kekurangan secara materi. Ia hanya kesepian. Makanya ia lebih sering berada di kosan ini. Dido punya segudang ide

di kepalanya. Dia tahu betul bagaimana menggunakan kreativitas dan

kemampuannya untuk berinovasi. Seandainya remaja di negara ini

memiliki pemikiran seperti Dido, saya yakin Indonesia akan menjadi

negara maju.

Bima Montaimana. Anak muda ini mengingatkan saya pada anak

pertama saya, Aryo Adiwijoyo, ayah Melanie; anak muda yang bertanggung jawab dan bisa diandalkan. Sejak awal mengenal Bima,

saya tahu masa depan cerah akan ia dapatkan kelak. Bima akan menjadi pengusaha sukses. Bakatnya berbisnis memang sudah terlihat sejak

91610

ia masih sekolah. Mungkin karena ia mewarisi darah J.B.

Montaimana, pengusaha sukses yang merupakan kakeknya itu. Bima

tahu bagaimana menggunakan ilmu yang ia dapatkan di sekolah ke

dalam kehidupannnya.

Melanie Adiwijoyo, cucu perempuan kesayangan saya. Maafkan

Eyang karena telah melewatkan beberapa tahun perkembanganmu.

Tahu-tahu kamu sudah sebesar ini. Sudah mampu menentukan jalan

hidupmu. Saya sangat bangga pada Melanie. Bangga sekali. Melanie

menunjukkan bahwa setiap usaha dan kerja keras pasti akan membuahkan hasil maksimal. Kehidupannya berubah 180 derajat ketika

Aryo meninggal. Tapi ia menunjukkan dirinya mampu mengatasi semuanya dengan kekuatan tangannya. Ia sanggup berdiri di atas kaki

sendiri. Betul kata almarhumah istri saya dulu, "Keturunan wanita

pertama keluarga Adiwijoyo akan menjadi wanita luar biasa yang

mampu mengatasi masalahnya sendiri." Ketika saya menutup usia

nanti, semoga Bima dapat menjaga cucu kesayangan saya ini. Sayangilah dia seperti saya menyayanginya selama ini. Bimbinglah dia karena

sifat manjanya terkadang masih muncul. Eyang titip Melanie.

Saya tahu ketika menulis buku harian ini, saya berada di perjalanan terakhir hidup saya. Suatu hari nanti saya akan bertemu lagi

dengan istri tercinta, Melati Adiwijoyo. Saya akan bercerita banyak

padanya mengenai kalian, cucu-cucuku. Ia pasti akan tersenyum bangga, meskipun sesungguhnya selama ini ia terus memperhatikan rumah

ini dari tempat terindahnya di atas sana. Ia melihat air mata bahagia, ketulusan, dan cinta di rumah ini.

Saya percaya setiap manusia tidak akan pernah menyadari bahwa

ada kalanya Tuhan memberikan sayap malaikat kepadanya agar ia

dapat menolong makhluk-makhluk yang membutuhkan. Setelah mencintai, menolong adalah kata terindah yang mampu menggetarkan

hati setiap manusia.

Tuhan sungguh baik karena Dia memberikan delapan sayap malaikat kepada anak-anak Soda untuk menolong saya. Menolong saya

ke?-luar dari rasa sepi dan kehilangan sejak Melati meninggal. Mereka

101611

membuat saya bisa mencurahkan segenap cinta untuk mereka, hingga

tiba waktunya nanti saya harus pergi meninggalkan mereka.

Tuhan pasti tahu kapan itu terjadi. Tuhan pasti akan memanggil

saya... pada waktu yang paling tepat.

Terima kasih atas cinta yang Engkau berikan di rumah ini. Terima

kasih karena Engkau memberikan delapan malaikat untuk menjaga

dan mendamaikan hati saya selama ini.

-Santoso Adiwijoyo"Danau itu bernama Segara Anak. Dari puncak terlihat menyerupai lautan. Airnya biru bercahaya. Cantik sekali. Menurut mitos,

di danau tersebut terdapat istana penguasa Gunung Rinjani bernama Dewi Anjani."

Tangan mungil gadis itu menari-nari lincah di atas kertas. Membentuk lekukan-lekukan pegunungan dengan warna abu-abu. Sesekali ia mengganti warna pensil di tangannya. Hijau, biru, cokelat,

apa pun sesuka hatinya. Punggung kelingkingnya tampak kehitaman

akibat gesekan serbuk warna yang menempel di kertas. Tapi ia tak

mau ambil pusing. Baginya, menggambar mampu membawanya

larut dalam rasa. Hingga hal-hal sepele macam kotor menjadi tidak

penting lagi.

"Di danau tersebut banyak ikan mas dan mujair. Makanya

para pendaki senang memancing di tempat itu, dan ketika pagi

menjelang, matahari muncul dari ufuk timur, menjatuhkan titiktitik cahaya keemasan di permukaan danau..."

Mata gadis itu bulat dan teduh, seakan kebaikan hatinya terpancar dari sana. Sesaat ia memejamkan mata, mencoba menghayati

panorama Gunung Rinjani dalam hati. Ia mempertajam telinga agar

ma?mpu mendengarkan setiap detail kata yang keluar dari lelaki tua

di dekatnya. Lelaki tua berhati mulia yang begitu menyayanginya

selama ini.

"Gunung Rinjani adalah salah satu gunung tercantik yang dimi111712

liki Indonesia. Padang sabana yang terhampar luas, rimbunan pepohonan pinus, sungai, air terjun, danau, semuanya akan menyapa

kita... di Gunung Rinjani." Eyang Santoso melanjutkan ceritanya

dari tempat tidur. Dengan tarikan napas yang terdengar berat, ia

mencoba menembus ingatannya. Berusaha kembali menghayati

keindahan alam gunung tersebut di dalam hati. Seperti merangkai

potongan-potongan memori masa lalu yang berserakan.

Semakin hari kondisi Eyang Santoso semakin mengkhawatirkan.

Terkadang batuk tanpa henti. Terkadang demam tinggi. Kata dokter, daya tahan Eyang Santoso semakin lemah karena faktor usia.

Sulit sekali membayangkan orang sekuat Eyang Santoso kini hanya

mampu berada di kamarnya. Tapi itulah kenyataannya. Satu hal

yang tak pernah berubah, kalau pagi, Eyang selalu meminta salah

satu anak Soda untuk membantunya keluar kamar dan duduk di

teras. Ya, itu salah satu yang membuat Eyang Santoso bahagia:

menghantarkan cucu-cucunya berangkat melawan hari.

Aiko, gadis keturunan Jepang yang juga tinggal di kosan itu,

meletakkan pensil hijau di tangannya. Ia menghela napas tenang.

Mata bulatnya menatap hasil karyanya sejenak. Ia terdiam beberapa

saat. Dalam hitungan detik ia mengangkat kertas itu dan perlahan

duduk di samping tempat tidur Eyang Santoso. Tanpa ragu ia menunjukkan gambar tersebut pada beliau.

Eyang Santoso tersenyum. Binar di matanya menunjukkan kebahagiaan mendalam. Lama-kelamaan matanya mulai berkaca-kaca.

"Ini betul-betul Rinjani. Kamu memang pelukis hebat, Aiko. Terima kasih. Kamu telah menghadirkan keindahan Gunung Rinjani

di kamar ini, di kamar Eyang..."

Ekspresi wajah Eyang Santoso membuat Aiko lega dan bahagia.

Seakan aura positif menaungi kamar itu. Sejak Eyang jatuh sakit,

Aiko selalu menemani Eyang Santoso di kamarnya. Kebetulan gadis

itu baru saja lulus SMA dan sedang menunggu kuliahnya dimulai.

Aiko dengan sabar menjaga Eyang. Mulai dari membantu menyiapkan sarapan hingga makan malam.

121713

Eyang Santoso suka sekali bercerita. Setiap hari beliau selalu meminta Aiko menggambar keindahan alam Indonesia yang pernah

beliau singgahi. Katanya, beliau takut memori indah itu hilang begitu saja dari ingatannya lantaran usianya yang semakin tua. Eyang

Santoso akan bercerita panjang-lebar mengenai pengalamannya, dan

Aiko akan menggambarnya dalam secarik kertas.

"Anak-anak kos mana ya, Aiko? Kok akhir-akhir ini mereka jarang berkumpul?"

Aiko tersenyum tipis. "Mungkin sibuk, Eyang," jawab Aiko kemu?dian, mengira-ngira. Sesaat ia tertegun. Tidak biasanya Eyang

Santoso menanyakan keberadaan anak-anak Soda, mungkin karena

terbiasa dengan kesibukan masing-masing yang berbeda-beda.

"Rasanya... Eyang kepingin makan malam bareng mereka. Sudah

lama kan, kita ndak makan bareng."

Aiko baru menyadari sesuatu. Benar kata Eyang, sudah lama
Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali anak-anak Soda dan Eyang tidak pernah makan malam bersama. Terakhir ketika Melanie, cucu kesayangan Eyang, mau berangkat ke Paris untuk studi. Dan itu hampir dua tahun yang lalu.

"Mmm... nanti Aiko coba tanya anak-anak yang lain, Eyang. Semoga mereka nggak sibuk minggu-minggu ini."

Eyang Santoso mengangguk. Matanya menatap jauh. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya. Senyuman yang mempertegas

kerutan-kerutan di wajahnya.

Wajah Eyang Santoso memang selalu terlihat hangat dan bersahabat. Itulah yang membuat anak-anak di kos-kosan Soda begitu

menyayangi beliau seperti kakek mereka sendiri.

Lelaki tua itu kembali melihat gambar Aiko dan mengucapkan

permintaan yang sama di setiap gambar. "Jangan lupa kamu tambahkan laki-laki bertopi koboi berdiri menatap langit di puncak

Rinjani. Ya, dia ada di sana... menunggu pelangi," ujar beliau sambil menatap semringah pada titik yang ia tunjuk.

Dia? Dia siapa? Aiko terdiam sejenak sebelum mengabulkan permintaan Eyang untuk menggambar sesosok laki-laki bertopi koboi.

1317

Siapa laki-laki itu? Eyang Santoso kah? Kenapa Eyang selalu ingin

memunculkan lelaki itu di setiap gambar yang Aiko buat"Dia selalu menyukai matahari yang muncul sehabis hujan, saat

dia akan berdiri pada sudut tertentu untuk menyaksikan keindahan

di depan matanya."

"Siapa, Eyang?"

Eyang Santoso tersenyum tanpa menengok ke arah Aiko. Tatapannya seolah menangkap cerita yang tidak bisa diungkapkan

dengan kata-kata ataupun kalimat panjang. "Dia sahabat di masa

lalu. Dia... yang membuat Eyang percaya bahwa akan selalu ada

pe?langi sehabis hujan, asalkan kita berada pada sudut yang tepat."

Puncak Gunung Rinjani. Pagi.

"Cakep beneeer... kalo kayak gini, paling enak bawa gebetan.

Dijamin, turun dari sini langsung jadian yo, Dab!"

Ipank tersenyum mendengar celetukan Seno, sahabatnya, sambil

meneguk kopi hangat.

Di sebelah timur, matahari kekuningan di atas Gunung Tambora.

Di sebelah utara, hamparan sabana tampak dihiasi birunya lautan

luas yang mempercantik pandangan mata. Danau Segara Anak

terlihat begitu indah dari sebelah barat puncak gunung ini. Dan

yang tak kalah luar biasanya, di selatan terlihat awan menggantung

layaknya tirai penutup kawah mati Gunung Rinjani.

"Akhirnya kesampaian juga ya, kita liat sunrise di puncak

Rinjani," lanjut Seno sambil melihat jam tangannya.

Pukul 05.15.

Sejak pertama Ipank mengenal Seno, cowok itu memang paling

suka memanggil teman-temannya dengan sebutan "Dab". Ipank

yang lama tinggal di Jakarta, jelas tidak familier dengan panggilan

itu. Ia cuma termenung ketika suatu hari bertanya tentang asal

panggilan itu, Seno menjawabnya dengan: "Namanya juga orang

141715

Jogja asli. Jogja itu kota seni. Bahasanya yo ikutan nyeni, dong,"

ucap?nya waktu itu tanpa menjelaskan alasan konkret. Ipank manggut-manggut saja.

Ipank tertawa kecil. "Nggak kebayang minggu depan kita mesti

ribet ngurus ospek," ujarnya sambil menatap lurus cakrawala.

"Jangan ngerusak suasana toh, Dab!"

Ipank tertawa melihat wajah Seno yang berubah sepet.

"Emang nggak salah deh, tempat ini dikasih nama Rinjani. Kenyataannya emang cantik bener. Ibarat cewek nih ya... udah cantik,

bodinya bagus, rambutnya panjang, kulitnya putih mulus, baik

hati, kaya pula!"

"Iya, tapi yang pasti dia nggak bakalan mau sama kamu, No."

"Yaelah... ndak bisa banget bikin orang seneng."

Ipank kembali tertawa. Sesudah itu ia terdiam menatap keindahan alam di depan matanya. Pikirannya terus mengagumi puncak

gunung tertinggi ketiga di Indonesia itu. Sebuah pertanyaan sempat

terlintas di benaknya. Apa sebenarnya yang sedang Tuhan pikirkan

ketika menciptakan tempat seindah iniSeno mencari posisi duduk di sebelah Ipank. Wajahnya masih

semringah karena berhasil meraih cita-citanya menginjakkan kaki

di puncak Rinjani. Ia mengetuk-ngetuk lembaran uang sepuluh

ribu rupiah keluaran tahun 1998 di tangannya. Tahun ketika ia

mulai bermimpi untuk dapat melihat sunrise di puncak gunung itu.

"Yang ngelukis Danau Segara Anak di uang ini, pernah duduk di

tempat kita sekarang nggak ya, Pank?"

"Belum tentu. Bisa jadi dia cuma ngelukis dari foto."

"Iya ya. Atau bisa juga dia cuma ngelukis berdasarkan imajinasi.

Otak yang berpikir, hati yang berbicara, dan tangan yang bergerak

mewujudkannya. MERDEKA!" ujar Seno dengan intonasi bak pemimpin di perang kemerdekaan dengan tangan yang mengepal.

"Haha... muka kamu nggak enak, No."

Wajah Seno langsung masam. Ia terdiam sesaat, kemu?dian ikut

menatap sudut yang sama dengan kawannya itu. "Pank, kalo kamu

1517

diminta mikirin satu nama cewek di sini nih..." Seno menunjuk

samping keningnya. "yang kamu harapkan ada di sini sekarang,

siapa?"

Tak butuh waktu lama bagi Ipank untuk menjawab pertanyaan

Seno. Ipank sangat tahu siapa nama yang akan ia pilih. Nama yang

begitu didambakannya beberapa tahun belakangan ini, tepatnya

sejak ia mengenal cewek itu di kosan Soda.

Love at first sight...

Ipank tak tahu apakah itu yang ia rasakan ketika pertama kali

melihatnya. Ia nyaris tak percaya. Detik ketika cewek itu muncul

dan membalut luka sobek di tangannya yang berdarah usai berkelahi. Dia menolong tanpa memulainya dengan sebuah jabatan tangan. Dia tak peduli siapa Ipank. Tapi dari sorot matanya, Ipank

merasakan ketulusan. Tanpa berpikir panjang, cewek itu mengambil

perban dan mencoba menghentikan darah yang terus mengalir dari

tangan Ipank.

Aiko... Demikian gadis itu menjawab ketika Ipank menanyakan

namanya. Waktu itu Aiko penghuni baru di kos-kosan Soda. Cewek berwajah oriental, rambut dikucir dua, dan wangi minyak

telon yang khas dari tubuhnya.

Sejak saat itu Ipank merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Aiko membuat Ipank terpesona. Entah apa yang

menarik dari gadis itu. Yang jelas, waktu terasa berhenti ketika

Aiko menatapnya. Dia membuat Ipank melayang, tertarik masuk

ke dunianya. Aiko adalah candu bagi Ipank sekarang.

Ipank tak pernah percaya cinta pada pandangan pertama. Tapi

sejak kejadian itu, ia meragu.

"Ada." Dengan tersenyum yakin, Ipank berkata, "Cewek itu...

indah banget, No. Kalo ngeliat dia, rasanya kayak ngeliat bunga

Sakura di Jepang." Ipank menerawang jauh. "Waktu pertama kenal,

aku udah suka sama dia. Mulai dari tatapannya, senyumnya, ketulusan hatinya... bikin jantung ini copot, loncat-loncat di pantai,

terus terbang ke bulan..."

161717

"Horor banget!"

"Itu ibaratnya! Seolah-olah! Aaah... bercanda mulu!"

Seno terkekeh. Kemudian ia ikut terbawa suasana mellow Ipank.

"Ibarat perjalanan, kita sampai di puncak Rinjani ini ya, Dab. Kita

ngelewatin hutan, danau, air terjun, dan sabana yang nggak pernah

kita bayangkan." Seno berkata sambil menghirup dinginnya udara

pagi yang menenangkan. Entah kenapa kedua makhluk ini mendadak puitis di gunung. Apakah mereka kerasukan dedemit gunungIpank mengangguk setuju. "Meskipun aku tahu tentang dia, ibarat gunung nih, aku ngerasa nggak pernah bener-bener sampai

puncaknya. Kayak masih ada aja misteri yang aku nggak tahu. Dan

kadang bikin aku frustrasi. Dia terlalu pendiam, tertutup. Jadi

susah ditebak."

Terlihat jelas Ipank begitu menyukai Aiko. Karena begitulah seharusnya gadis cantik versi Ipank. Tak harus banyak bicara. Tapi

sekalinya bicara, bisa bikin hati adem. Kadang keindahan tak perlu

bersuara, hanya perlu hati untuk bisa merasakan. Dan itu cukup

bagi Ipank.

"Kamu pernah nyatain perasaanmu ke dia?"

Ipank menggeleng. "Aku nggak pernah berani, No."

Tawa Seno langsung meledak. Ia menggeleng. "Hadeeeh... cinta

itu edan yo, Dab." Kemudian ia melanjutkan, "Gunung, tebing,

laut, semua udah kamu taklukin. Masa nembak cewek aja kamu

nggak berani, Pank?"

"Nggak segampang itu, No. Sampai detik ini pun, aku nggak

yakin dia suka sama aku atau nggak."

"Pank, mana ada cewek yang berani nolak jagoan senat mahasiswa Universitas Pelita, hah?"

"Lempar kopi, nih!"

Seno terpingkal-pingkal. Ia tidak bisa berkata-kata. Ia juga tidak

mau bertanya lebih jauh. Jadi, cowok itu memilih diam saja dan

kembali menikmati keindahan puncak Gunung Rinjani. "Kita mau

turun jam berapa, Pank?" ucapnya memecah keheningan.

171718

"Setengah delapan aja, yuk. Pengin nyebur ke danau."

"Wah, cakep tuh."

"Iya, tapi sampah jangan sampai lupa dibawa turun lagi!"

"Ah, itu sih beres, Bos! Asal jangan hati yang lupa dibawa turun

aja.

181719

RUMAH itu terlihat besar. Dari kejauhan bentuknya hampir mirip kapal tanker. Khas sekali seperti bangunan zaman kolonial. Ketika memasuki gerbang akan tampak tembok besar yang sedikit lebih tinggi dipenuhi graffiti warna-warni. Gambar-gambarnya cukup

rapi, tidak asal-asalan. Tidak juga seperti gambar norak yang sering

ada di tembok tepi jalan.

Di bagian depan rumah terparkir manis mobil kuno yang kelihatannya sudah tak terpakai lagi. Konon mobil itu adalah saksi perjalanan cinta sang pemilik rumah. Barang antik selalu punya nilai

lebih karena menyimpan cerita tersendiri.

Suasana di dalam rumah sangat nyaman. Lantai bawah sangat

luas tanpa sekat. Di tengah ruangan terdapat sofa merah yang berhadapan langsung dengan televisi, juga karpet besar dengan bantal

warna-warni terbentang di antaranya. Di sisi lain, terlihat foto-foto

terpajang rapi di dinding.

Di depan pintu dapur terdapat dua tangga menuju sisi kiri dan

kanan. Sisi kanan menuju kamar penghuni perempuan dan sisi kiri

menuju kamar penghuni laki-laki.

191820

Banyak orang mengenal rumah itu dengan nama Kosan Soda.

Pemiliknya bernama Eyang Santoso. Seorang kakek berperawakan

tegap dengan wajah yang selalu memancarkan kebahagiaan sempurna.

Sedari muda, Eyang Santoso paling suka traveling. Saking sukanya, sampai-sampai tujuh puluh persen belahan dunia pernah

beliau singgahi. Tapi, satu hal yang selalu beliau katakan kepada

semua orang, "Tidak ada tempat yang lebih indah daripada

Indonesia."

Eyang Santoso begitu dikagumi dan disegani di lingkungan perumahan karena ia begitu baik kepada semua orang. Ia tak pernah

membeda-bedakan siapa pun. Membuat semua yang mengenalnya

merasa dekat dengannya. Ya, itulah Eyang Santoso.

Sebuah taksi berhenti tepat di depan kosan Soda. Sang penumpang membuka kaca belakang taksi. Tampak seorang wanita setengah baya menatap lurus ke arah rumah, menembus gerbang Soda.

Sesaat dia membaca tulisan pada secarik kertas di tangannya sebelum kembali menatap rumah itu.

"Kita ngapain di sini, Ma?" tanya bocah yang kira-kira berumur

sepuluh tahun pada wanita itu. Tangannya memegang PSP yang

masih menyala.

Wanita itu tak menghiraukan ucapan bocah kecil di sebelahnya.

Ia sibuk berbicara pada sopir taksi yang mengantarkannya, memerintahkan agar kembali menjalankan taksinya.

Malam pertama di bulan September. Udara Jogja terasa begitu panas. Bahkan ketika malam. Saat tidur malam pun, badan bisa basah

kuyup saking panasnya. Ketika turun hujan, dingin hanya mampir

sesaat, kemudian hawa kembali panas.

Tapi seperti apa pun hawa Jogja saat ini, suasana di dalam kosan

Soda tak pernah berubah. Kalau lagi nggak ada kegiatan, anak-anak

201921

penghuni kosan lebih senang berada di rumah dibandingkan keluyuran di mal atau nongkrong-nongkrong di pinggir jalan seperti

anak-anak muda kebanyakan. Seperti malam ini.

Ipank menuangkan racikan bumbu di wajan. Perpaduan garam,

cabai merah, bawang merah, bawang putih, ditambah sedikit gula,

dan ketumbar. Harum masakan membuat orang-orang tidak sabar

menyantap masakan buatan Ipank.

Tangan Ipank memang ajaib. Dulu ia pernah meracik sambal

hijau pedas yang membuat mulut anak-anak Soda serasa terbakar.

Tapi anehnya, mereka malah ketagihan. Alhasil, anak-anak Soda

langsung terkapar karena kekenyangan.

Makan malam kali ini, Dara, si cewek dengan rambut highlight

pink, membantu Ipank mengiris bawang putih, wortel, sayuran,
Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serta daun bawang untuk sup ayam. Sesekali ia mengusap kening

dengan punggung tangan. Cewek itu memang tidak terbiasa di dapur. Tapi, kalau disuruh motong-motong saja mungkin bisa. Itu

pun masih kacau, lantaran potongannya tidak ada yang simetris.

Aiko turun dari kamarnya, menuju dapur untuk membantu

Dara menyiapkan serbet di meja. Kehadiran Aiko sempat membuat

Ipank kaget dan salah tingkah.

Aiko hanya membalas dengan senyum tipis ketika Ipank menyapanya. Samar, tapi tetap menenangkan. Tangannya melipat serbet,

kemudian membawanya ke meja makan.

Dara yang melihat jelas adegan itu langsung cekikikan dan purapura tidak tahu. Padahal sedari tadi Dara menahan tawanya. Paling

seru memang meledek Ipank di saat seperti itu.

Syuuut... GUBRAAAKKK!!!

"Wadaaw!"

"Ya ampun, Bang Jhony!" Aiko buru-buru meletakkan serbet ke

meja makan dan membantu Jhony yang tersungkur di bawah tangga.

Jhony mengusap-usap bokongnya yang membentur lantai sambil

211922

nyengir. Sedetik kemudian tangannya mulai menembus rambut kribonya dan mengelus kepalanya yang benjol.

Ini bukan kali pertama Jhony tersungkur di tangga. Tapi, bukan

Jhony namanya kalau gampang kapok. Ia malah girang merosot di

susuran tangga, meski akhirnya nyungsep juga. Untung si kribo itu

kebal.

Sepuluh menit kemudian, anak-anak Soda sudah duduk rapi di

meja makan. Eyang Santoso baru saja turun dari kamar, dibantu

Bima dan Jhony. Beliau langsung duduk di kursi ujung meja makan panjang itu.

"Sudah lama ya, kita ndak makan malam bareng seperti ini,"

ujar Eyang Santoso sambil tersenyum menatap wajah anak-anak

Soda satu per satu. Tatapannya hangat. "Coba ada Melanie. Pasti

malam ini jadi acara makan malam yang luar biasa."

"Ya berarti nanti kalo Mbak Mel pulang dari Paris, kita harus

makan malam kayak gini lagi," kata Dara sambil membawa sup

buatan Ipank dari dapur.

Eyang Santoso menghela napas panjang, "Semoga Tuhan masih

memberikan Eyang umur panjang ya."

Dara menghentikan tangannya yang baru saja mulai membagikan

piring di meja makan. Ia kembali memandang anak-anak Soda.

Kali ini ekspresinya berbeda. Cewek itu dengan cepat mencoba

me?mecah keheningan. "Aamiin. Kalau gitu, ayo kita berdoa sebelum makan."

Makan malam itu berlangsung hangat. Celetukan-celetukan

Jhony sanggup membuat seisi ruangan tertawa dan sejenak melupakan permasalahan mereka masing-masing.

"Turun dari Rinjani kau jadi hitam sekali, Pank. Untung wajah

kau ganteng. Kalau tidak, bisa jadi kau mirip dakocan yang ada di

video klipnya si Enno Lerian waktu kecil dulu itu."

"Sialan..."

Tawa langsung memenuhi ruang makan Soda. Ipank kembali

salah tingkah karena ada Aiko, gadis yang sudah lama ia taksir,

221923

yang ia sebut-sebut sebagai sakura-nya itu. Gadis yang membuatnya

rela melakukan apa pun untuk melihat senyumnya. Aiko

Yamasaki.

Kosan Soda selalu mampu menghibur mereka. Masalah tak pernah datang ke rumah ini, hanya ada keceriaan dan ketenangan.

Rumah ini seakan dilindungi malaikat.

"Rencana kalian ke Lombok akhir tahun ini jadi?"

"Penginnya sih jadi, Eyang. Tapi kami belum pastiin berangkat

tanggal berapa. Kalo udah jelas, baru kami kabari Mel dan Oscar,"

jawab Bima.

"Iya, kalian bisa sekalian silaturahim sama orangtua Aiko yang

tinggal di sana."

"Sekalian kenalan sama calon mertua ya, Pank?" bisik Jhony

iseng tanpa didengar yang lain, membuat Ipank langsung melotot

ke arah cowok kribo itu.

Eyang Santoso tak henti-hentinya bercerita tentang banyak hal.

Ia nyaris tak pernah melupakan hal-hal besar ataupun kecil dalam

hidupnya. Beliau meyakini bahwa hal-hal kecil merupakan dasar

terciptanya hal-hal besar. Jadi ia tak pernah meremehkan sesuatu

yang kecil.

Aiko tak banyak bicara seperti biasa. Gadis itu memang pendiam. Sesekali ia hanya tersenyum ketika mendengar cerita lucu

Eyang Santoso. Padahal yang lain heboh memegangi perut lantaran

menahan tawa.

Sikap Aiko sangat menarik perhatian Ipank. Makanya beberapa

kali Jhony memergoki Ipank curi-curi pandang ke Aiko. Si cowok

kribo itu terus cengengesan sambil kedip-kedip centil ke arah

Ipank. Jelas saja Ipank sewot dan pura-pura melihat ke arah lain.

Salah tingkah.

"Apa kalian ndak kangen sama orangtua kalian?" tanya Eyang

Santoso setelah beliau bercerita tentang keluarganya. "Keluarga itu

harta paling berharga yang dimiliki manusia dan harus dijaga melebihi apa pun di dunia ini. Apa pun."

231924

Keluarga adalah harta paling berharga yang dimiliki manusia.

Entah kenapa hati mereka begitu tersentuh setiap kali Eyang

mengucapkan kalimat itu. Eyang selalu mengulang kalimat tersebut

tanpa bosan hingga kalimat itu melekat erat dalam benak anakanak Soda.

"Kita semua keluarga. Harus saling menjaga. Harus saling memahami. Masalah satu orang di antara kita adalah masalah kita bersama. Tapi bukan berarti hal-hal pribadi harus diketahui semuanya.

Masing-masing tahu batas-batasnya. Selama di hati kita ada cinta,

se?mua masalah pasti bisa diselesaikan."

BRAAAKKK!

Suara yang berasal dari teras kosan Soda membuyarkan percakapan mereka malam itu.

Sepertinya ada orang di luar.

Dengan cekatan Ipank beranjak, meraih gagang pintu dan keluar.

Ia terdiam menatap sekeliling. Matanya menyipit untuk memfokuskan pandangan. Tidak ada siapa-siapa di sana. Tapi ia yakin sekali

mendengar jelas suara tadi. Sama seperti anak-anak Soda lainnya.

Mata tajam Ipank menatap lurus ke gerbang. Pintu itu tampak

tertutup, meskipun belum digembok. Biasanya Saka yang akan

menggembok pintu gerbang sekitar pukul sepuluh malam.

"Ada apa, Pank?" Bima ikut keluar untuk mengetahui keadaan.

Mata Ipank masih menatap lurus ke pintu gerbang. Ia menggeleng dan berusaha berpikir setenang mungkin. Entahlah, ia tidak

yakin, tapi ia merasa tadi ada seseorang di sana.

"Ada apa, Ipank?"

Kembali Ipank menjawab pertanyaan Eyang Santoso dengan gelengan kepala ketika kembali ke ruang makan. "Nggak ada apa-apa,

Eyang. Kucing barangkali," ujarnya berusaha menenangkan yang

lain. Tapi pikiran Ipank masih belum tenang. Ia tetap merasa ada

orang di luar sana.

241925

Ruang senat Universitas Pelita terlihat ramai. Pagi ini ada briefing

sebelum pelaksanaan ospek. Seluruh panitia berkumpul untuk

diberikan pengarahan terakhir agar ospek berjalan lancar.

Satrio, ketua senat mahasiswa berdiri di depan ruangan. Sorot

matanya tampak serius di balik kacamata minusnya. "Pokoknya,

sesuai rapat terakhir kita, panitia nggak boleh ada yang sok-sok

ra?mah, sok-sok baik, apalagi sampai PDKT sama mahasiswa baru,"

ucapnya sambil mengetuk-ngetukkan spidol ke atas meja.

Anggota senat lainnya serius mendengarkan kata-kata yang keluar

dari mulut Satrio.

"Hukuman fisik seperti push-up, lari keliling lapangan, hormat

tiang bendera, dan lain sebagainya diberlakukan untuk peserta yang

terlambat hadir atau melakukan kesalahan fatal."

Di sudut ruangan, Ipank duduk dengan kepala menempel di

sandaran kursi. Tangannya ia lipat di depan dada. Wakil ketua

senat mahasiswa itu terlihat santai mengikuti briefing. Entah ia menyimak atau tidak, yang jelas sejak rapat dimulai, ia sama sekali

tidak berkomentar. Padahal biasanya ia yang paling frontal kalau

lagi rapat begini. Ia yang paling kritis kalau ada sesuatu yang menurutnya tidak masuk akal.

Satrio menengok ke arah Ipank. "Ada tambahan, Pank?"

Ipank terdiam sejenak. Wajahnya terlihat tenang. Kelihatannya

ia mencoba menggarisbawahi hal-hal penting di dalam otaknya.

"Harusnya hukuman fisik nggak cuma berlaku buat peserta ospek

aja, Yo."

"Maksudnya?"

"Idealnya, hukuman fisik berlaku juga buat panitia ospek. Jadi

biar yang disiplin nggak cuma peserta."

"Aku nggak setuju!" Andari, sekretaris senat yang punya bodi

aduhai itu langsung menanggapi, tidak setuju dengan usulan Ipank.

Well, Andari memang terkenal sebagai miss complain dalam kepengurusan senat. Meskipun otaknya encer, kelakuannya suka kelewat

minus, kadang sampai bikin orang geleng-geleng kepala.

251926

Satrio mengarahkan telapak tangannya pada Andari agar cewek

itu tidak memotong kalimat Ipank. "Terus, Pank?"

Ipank mengulurkan kedua tangan ke depan, kemudian meletakkannya ke belakang kepala sambil menyunggingkan senyum yang

sulit diartikan. "Panitia juga wajib ngasih contoh disiplin yang baik,

dong. Ya, kan?" Ipank berkata sambil menengok ke arah Seno, teman pencinta alamnya. Dan Seno menanggapinya dengan anggukan

kepala.

"Hmm... setuju," jawab Satrio sambil mempertimbangkan keputusannya dengan cepat di dalam kepala. "Yang lain gimana?" Satrio

melontarkan pertanyaan kepada peserta rapat sambil memandangi

mereka satu per satu.

Ruangan hening. Tak ada satu pun anggota senat yang menentang.

"Oke ya, kalo nggak ada yang komentar, berarti"

"Tunggu! Aku tetep nggak setuju!" Andari lagi-lagi mengacungkan tangan. Dikibaskannya rambut panjangnya ke punggung. "Itu

nggak fair banget. Menurutku, ospek itu ibarat pelatihan disiplin

untuk mahasiswa baru, bukan buat panitia juga! Kita semua kan

pernah ngerasain jadi peserta ospek. Usulku sih, panitia yang melanggar peraturan mendingan dikasih peringatan aja. Malu-ma?luin

tau kalo senior ikutan dihukum."

"Iyaaa..." Sastri seolah jadi backing vocal dengan suara centilnya.

Mereka berdua memang terkenal dengan julukan geng manismanja. Selalu kompak kalau urusan complain.

"Hmmm Dari omongannya aja udah ketauan siapa panitia

yang bakalan banyak ngelanggar peraturan." Ipank menyeringai

disertai hujan tawa teman-temannya yang lain.

Satrio berusaha menenangkan. Ia kembali mengetukkan ujung

spidol di tangannya ke meja. Satrio menengok ke arah Andari,

ganti memberi tanda kepada cewek itu untuk melanjutkan penjelasannya.

"Bayangin aja ya, kalo panitia ikutan push-up bareng peserta,

261927

tengsin banget, kan?" Andari melanjutkan. Kemudian dengan

lirikan ke arah Ipank, cewek itu berkata pelan, "Jangan samain

ospek kampus ini kayak pendidikan untuk masuk klub pencinta

alam dong," sindirnya pada Ipank yang juga menjabat sebagai Ketua Pencinta Alam Universitas Pelita.

Satrio langsung melemparkan pernyataan Andari kepada peserta

rapat tanpa menengok ke arah Ipank. "Ada masukan lagi?"

Mendadak banyak anggota yang ikut berbicara. Mental main

keroyokan memang masih dipakai di rapat senat. Padahal kalau

disuruh bicara satu-satu, langsung melipir. Sebagian besar dari mereka yang ikut keroyokan jelas setuju dengan ucapan Andari karena

menguntungkan buat mereka. Sisanya jelas menolak mentah-mentah. Sayangnya yang menolak justru dari kelompok minoritas.

"Oke, kalau begitu, kita ambil suara terbanyak," kata Satrio tegas

sambil membenarkan posisi kacamata. Kemudian ia melanjutkan

kalimatnya, "Hukuman fisik hanya berlaku untuk peserta ospek.

Tapi inget, itu cuma dilakukan kalo pelanggarannya fatal. Dan

nggak ada satu pun panitia boleh menyentuh tubuh peserta," lanjut

Satrio.

"Berarti kalo disentuh sama pesertanya... boleh dooong," Seno

iseng nyeletuk, membuat Ipank tak dapat menahan tawa dan mendorong bahu temannya itu. Refleks Seno mendekatkan kepala,

berbisik pada Ipank, "Kita suruh mereka pegang-pegang kita aja,

Dab!"

"Kamu aja, No, yang ngarep dipegang-pegang!" Ipank menanggapi sambil tertawa geli.

"Kalo pesertanya cuakep kan lumayan, Pank. Kapan lagi?"
Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, jadi kamu nyari yang cakep, bukan yang cantik?"

"Ya cantik, tho, maksudku."

Karena udah terbiasa dengan celetukan iseng Seno, Satrio seolaholah tak peduli. Ia melanjutkan kalimatnya dengan serius. "Untuk

panitia yang melanggar akan diberikan peringatan. Gimana? Setuju?"

271928

"Setujuuu!!!" teriak kompak para peserta rapat. Kecuali beberapa

orang, termasuk Ipank dan Seno pastinya.

"Ipank gimana?"

Ipank diam menatap Satrio. Kemudian menjawab, "Terserah ajalah. Asal seluruh panitia wajib bersikap disiplin ke peserta," ucap

Ipank menegaskan kata "wajib" pada kalimatnya. "Nggak ada tuh

cengengesan sama peserta. Apalagi kecentilan."

Kalimat terakhir Ipank sanggup membuat hampir seluruh peserta

rapat melirik ke arah Andari. Cewek itu memasang tampang heran

dan bertanya-tanya dalam hati, Kenapa ngeliatin aku kayak gitu"Oke. Kalo gitu, rapat ini ditutup." Satrio mengetuk spidol di

tangannya ke meja sebanyak tiga kali. Tok...tok...tok...

Seno yang sangat mengerti perasaan Ipank langsung menepuk

pundak temannya. Ia membisikkan sesuatu, "habis ospek cabut ke

mana lagi kita?"

"Diving yuk! Wakatobi gitu,"

"Sedaaap oke tuh," jawab Seno semringah membayangkan

keindahan bawah laut Sulawesi Tenggara. Namun ia mendadak teringat sesuatu. Raut wajahnya langsung berubah. "Tapi liat-liat kantong dulu ya, Bos. Cekak nih sampe akhir bulan. Nyelem yang

deketan aja lah..."

"Tuh, kali depan kampus, deket. Bonus ikan Nemo lagi," ujar

Ipank sambil nyengir.

"Sialan, itu mah lele kuning, bukannya Nemo."

Ipank kembali tertawa geli. "Karimun Jawa gimana?" Ipank memberi alternatif lain yang lebih masuk akal sambil beranjak dari tempat duduk, merangkul teman pencinta alamnya itu, dan berjalan

pelan keluar ruangan senat.

"Nah kalo itu masih bisa, Bos." Seno berkata sambil menjentikkan jari. "Ajak cewek, Pank. Siapa gitu, biar seger. Andari gimana?"

Seno menurunkan volume suaranya.

"Ogah... itu bukan refreshing namanya. Yang ada kita repot bawain barang-barang dia. Macem Syahrini mau show."

282029

"Huahahaha..."

Dari kejauhan Andari menatap kepergian Ipank dengan senyum

aneh. Sudah lama Andari mengharapkan Ipank kembali ke pelukannya, tepatnya sejak mereka putus setahun lalu.

Semua orang di kampus tahu tentang hubungan Andari dan

Ipank dulu. Pasangan ini sempat membuat iri anak-anak sekampus.

Ipank adalah ketua pencinta alam sekaligus wakil ketua senat di

kampus. Sementara Andari adalah sekretaris senat sekaligus ketua

tim cheerleader kampus. Pasangan yang sempurna secara fisik.

Tapi kondisi saat ini sudah berbeda setelah Andari mempermalukan Ipank di tengah puluhan pasang mata mahasiswa Universitas

Pelita. Andari mutusin Ipank di kantin kampus dengan suara nyaring dan percaya diri. Mereka putus tanpa alasan yang jelas. Ya,

tanpa alasan jelas.

Gosip yang sempat beredar waktu itu, Andari mutusin Ipank

karena dia lebih memilih cowok lain dibandingkan Ipank. Cowok

yang menurutnya lebih tajir dibandingkan Ipank. Meskipun sampai

detik ini Andari tidak pernah mau menyebutkan nama cowok

itu.

Sempat santer terdengar bahwa cowok yang mampu memalingkan Andari dari Ipank adalah anak kampus juga. Tak ada satu pun

yang berani buka mulut tentang cowok itu. Alasannya jelas karena

si cowok pasti babak belur dihajar Ipank. Tapi sudahlah, Ipank tak

peduli lagi.

Seminggu setelahnya, Andari yang juga merupakan salah satu

penyiar yang membawakan program Love Story di radio kampus,

asyik menjadikan kelakuan mantan pacarnya yang memilih naik

gunung kalau weekend dibandingkan pacaran sebagai bahan siaran.

Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk menyindir Ipank. Yah,

meskipun saat itu Andari tidak menyebut nama ataupun inisial si

mantan.

Kejadian itu membuat Ipank sakit hati. Dalam hati kecilnya, ia

tidak mudah memaafkan perilaku Andari yang menurutnya keterla292030

luan. Jangankan bicara, melihat Andari saja Ipank malas. Apalagi

dengan tingkahnya yang tak tahu malu mengumbar hubungan mereka ke semua orang.

"Andari masih aja cari perhatian kamu, Pank." Seno menggoda

Ipank yang tampak tidak peduli dengan perilaku Andari tadi. "Kalo

kamu nggak mau, aku mau lho, Pank."

"Ambiiil!!!" ujar Ipank yakin. Ia memasang tampang malas ke

arah Seno, membuat Seno terbahak-bahak.

Mereka melangkah menuju keramaian di lapangan kampus, kali

ini peserta ospek sedang mendapat omelan dari para senior. Saatnya beraksi!

"Masuk semua! Baris di lapangan! Cepaaat!!!"

Seorang senior berteriak sambil menunjuk rombongan peserta

ospek yang terlihat berjalan ketakutan ke gerbang. Tak satu pun

berani mendongak, apalagi melirik ke arah senior. Mereka hanya

menunduk layaknya tawanan perang.

Udara pagi menyentuh permukaan kulit. Matahari masih malumalu keluar dari persembunyiannya di antara pegunungan. Jogja

tak pernah menunggu matahari di atas kepala untuk memulai hari,

sudah ada orang-orang yang berangkat kerja dengan sepeda, anakanak sekolah, ibu-ibu yang menggendong sayuran ke pasar, dan

para petani yang siap dengan cangkul dan pupuk tanaman.

Tampaknya para warga terbiasa bangun pagi sebelum matahari

terbit karena mereka tahu betapa berharganya waktu. Kalau kata

orangtua zaman dulu, "Bangun pagi biar rezeki nggak dipatok

ayam."

Seperti yang dilakukan mahasiswa baru Universitas Pelita pada

masa ospek ini, semua peserta wajib datang pagi buta. Bukan

karena takut berebut rezeki dengan ayam, melainkan takut kena

omel senior di gerbang kampus.

302031

Aiko menundukkan kepala ketika melewati para senior, mencoba

bersik?ap setenang mungkin. Padahal jantungnya berdegup sangat

ken?cang. Wajahnya tegang seolah seluruh darah dalam tubuhnya

me?menuhi isi kepala. Belum lagi hari ini badannya kurang fit, agak

panas.

Hari ini adalah hari pertama ospek mahasiswa baru di

Universitas Pelita.

Universitas Pelita merupakan salah satu universitas unggulan di

Jogja. Jelas bukan perkara sulit bagi Aiko untuk bisa diterima di

kampus ini. Ia memang punya otak encer dan jago menggambar,

apalagi untuk masuk fakultas desain pilihannya.

Dara adalah orang kedua setelah Eyang Santoso yang tahu Aiko

diterima di kampus yang sama dengan Ipank, meskipun mereka

beda fakultas. Ipank mahasiswa teknik, sementara Aiko mahasiswa

desain. Aiko ingat betul saat kali pertama tahu, Dara terbahakbahak seperti orang kesurupan.

"Apa?! Kamu masuk kampusnya Ipank?" pekik Dara bersemangat. Kakinya tak tahan untuk berlari ke tempat Ipank dan meledek habis-habisan selama tujuh hari tujuh malam.

Aiko buru-buru menutup mulut Dara, teman kosnya yang nyentrik dengan rambut highlight pink itu. Ia panik sekali. "Sssttt jangan keras-keras, Dar please"

"Huahaha asyik-asyik." Dara langsung nyengir ketika Aiko

melepaskan bekapan tangan di mulutnya. Ia begitu senang mendengar pengakuan Aiko barusan. Mulutnya gatal ingin menggoda.

Meski begitu, Dara adalah pendukung fanatik yang berharap Ipank

dan Aiko bisa jadian.

"Yang tau baru Eyang Santoso dan kamu. Janji ya, jangan sampai Ipank tau. Biar dia tau sendiri nanti," ucap Aiko memohon.

Wajahnya yang putih semakin memucat. "Lagian aku kan beda

fakultas sama Ipank. Jadi nggak bakal sering ketemu juga, sih. Tapi

tetep aja. Jaga rahasia ya"

"Hhhmmm gimana ya?"

312032

"Dara"

"Eh, tapi kenapa makan malam kemarin sama sekali nggak ada

yang nanya kamu masuk kampus mana ya, Ai? Kan bisa heboh

tuh. Hahaha."

"Please ya, Dar, jangan bilang-bilang dulu."

Dara memperhatikan wajah Aiko yang benar-benar ketakutan.

Aiko betul-betul khawatir Dara membocorkan pengakuannya barusan. Dara pun menurunkan intonasi suaranya. "Kenapa sih, dari

dulu kamu segitu takutnya sama Ipank. Dia nggak gigit kali, Ai."

Aiko diam saja.

"Lagian Ipank kan... yaaah... lumayan ganteng lah, secara fisik

juga oke. Kenapa mesti takut?"

"Aku nggak takut." Aiko tak melanjutkan. Namun, sesaat kemudian ia berbisik, "Mungkin aku cuma... segan."

"Iya, tapi kenapa? Takut ama segan itu beda tipis, Ai. Sebelas

dua belas. Sama kayak cinta dan benci." Raut wajah Dara berubah

iba. Pikiran jail yang semula meloncat-loncat lincah di kepalanya

mendadak hilang. Dia heran dengan sikap Aiko yang sebegitu takutnya dengan Ipank?salah satu cowok Soda yang gengsi dan

nyalinya segunung, paling jago berantem, paling punya fisik oke,

paling jago ngomong, paling cerdas kalau ditanya soal alam, dan

paling jago masak.

Aiko tak menjawab. Ia terus mengingatkan satu hal pada Dara,

"Be?neran janji jangan bocorin ke Ipank ya"

"Ih, kenapa sih? Kan seru banget kalo Ipank tau. Kamu pasti

aman deh di kampus. Ada yang nyolek dikit, Ipank pasti langsung

bawa golok. Hahaha."

Aiko masih tertunduk lemah. Kedua alisnya menyatu, seakan

me?nyesali pengakuannya kepada Dara. "Minggu depan ospek

dimulai. Aku takut ngadepin segala kemungkinan buruk kalo sampai Ipank tau aku masuk kampusnya dia."

"Kemungkinan buruk apa? Yang ada kamu malah dijagain sama

dia. Yah paling mentok dipacarin, hehehe."

322033

"Dar..."

"Ipank orang baik, Aiko. Percaya deh. Kamu nggak perlu segan

kayak gitu. Kan kamu udah lama juga satu kosan sama dia. Masih

aja kayak gitu. Santai aja."

Aiko tetap bungkam. Kepalanya menggeleng perlahan.

"Apa Ipank pernah kasar sama kamu?" tanya Dara, mendadak

cemas dan curiga.

Aiko menggeleng untuk kedua kalinya.

"Sebenarnya kenapa sih, Ai? Aneh deh." Dara menatap kilas ketakutan di wajah Aiko. Dalam hati ia terus menanyakan alasan yang

sebenarnya disembunyikan Aiko. Kenapa Aiko bisa begitu takut

dengan orang yang jelas-jelas naksir dirinya? Seakan Ipank sosok

psikopat yang patut dihindari karena bisa meneror.

Bukan rahasia lagi bahwa Ipank sudah lama naksir Aiko, tepatnya sejak mereka berkenalan. Semua anak Soda tahu itu. Karena

Ipank pun tidak malu-malu bercerita betapa ia mengagumi Aiko.

Dan berharap suatu hari nanti Aiko bisa jadi pacarnya. Untuk cowok yang punya gengsi selangit, pengakuannya cukup berani.

Nyali Ipank memang besar. Gunung, lembah, hutan, dan laut

pernah ia jelajahi. Ketika berhadapan langsung dengan Aiko, entah

kenapa nyali cowok itu turun drastis, cupu.

Jangankan menyentuh, bicara saja berlepotan.

"Beneran deh, Ipank itu sayang sama kamu. Aku nggak tahu sih,

seberapa besar sayangnya ke kamu," ujar Dara sambil berjalan ke

dekat jendela kamar Aiko. Dara terdiam menatap rintik hujan yang

mulai membasahi pekarangan. Tiba-tiba alis matanya menyatu, menatap sosok yang berlari ke luar gerbang. Postur tubuhnya seperti

Ipank.

Tapi buat apa Ipank hujan-hujanan begitu? Aneh.

Ospek hari pertama membuat Aiko sedikit heran, ternyata banyak

332034

juga peserta yang tiba dengan atribut seragam. Ratusan peserta hadir di sana?dengan wajah-wajah tegang pastinya. Kalau lagi ospek

begini, belum ketahuan mana mahasiswa baru yang kece, lan?taran

mereka berlomba-lomba terlihat cupu agar tidak mengun?dang

perhatian senior.

Teriakan senior kembali terdengar. Kali ini meminta agar peserta

ospek berbaris sesuai abjad pertama namanya. Di kejauhan terli?hat

barisan peserta lain yang dihukum karena datang terlambat. Seperti

ospek-ospek kebanyakan, peraturan yang dibuat tetap sama:

1. Senior selalu benar,

2. Junior selalu salah,
Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

3. Apabila senior melakukan kesalahan, lihat peraturan pertama.

Aiko merasa sial karena namanya diawali huruf "A". Jadi ia harus berdiri di deretan depan. Saat itu sinar matahari sedang panaspanasnya menyorot ke lapangan. Aiko yang gampang mimisan

kalau kepanasan, jelas agak khawatir. Namun ia tetap bertahan pada

posisinya.

Setelah seluruh peserta dikumpulkan di lapangan, mulailah para

senior berdiri di dekat podium. Masih dengan ekspresi wajah yang

sama; galak, asem, dan... minta ditonjok!

Sesaat kemudian, seorang cowok berkacamata dengan potongan

rambut rapi menaiki podium. Ia menatap sekeliling dari balik kacamatanya, lalu kalimat sapaan terlontar dari mulutnya. "Selamat

datang kepada para peserta ospek Universitas Pelita. Perkenalkan,

saya Satrio Bimanto. Ketua Senat Universitas Pelita."

Semua mata yang tertuju pada cowok di podium tampak tercengang ketika Satrio mengucapkan jabatannya. Ketua senat? Cowok

itu menduduki jabatan paling bergengsi di kampus! Pasti dia pintar.

Pasti dia terkenal. Kira-kira seperti itulah yang ada di pikiran masing-masing cewek peserta ospek.

"Di hadapan kalian adalah panitia ospek yang akan membantu

342035

kalian selama kegiatan berlangsung." Satrio berkata sambil menunjuk deretan senior yang berbaris dengan jaket almamater kampus.

"Sebagai simbol dimulainya ospek kali ini, saya akan memasang

badge di lengan saya, diikuti oleh panitia lain, yang menandakan

tugas kami sebagai panitia telah dimulai."

Prok prok prok Tepuk tangan bergemuruh seantero kampus ketika Satrio memasang badge hitam dengan bordir putih bertuliskan "KETUA" di lengannya. Sementara panitia lain memasang

benda serupa di lengan mereka dengan tulisan sesuai jabatan

masing-masing.

Dari mata bulatnya, Aiko diam-diam menatap satu per satu senior yang berdiri di hadapan peserta ospek tersebut. Tidak ada

Ipank di sana. Apa mungkin cowok itu tidak masuk kepanitiaan

ospek kali ini? Kalau memang begitu, berarti Aiko aman. Tapi

mana mungkin Ipank tidak ikut ambil bagian dalam acara sepenting ini? Dia kan eksis di kampus. Apalagi Ipank menjabat sebagai

wakil ketua senat mahasiswa.

Aiko mulai mengingat situasi pagi tadi ketika ia ingin berangkat

ospek. Kosan Soda masih sepi, cuma Eyang Santoso yang sudah

bangun. Anak-anak lain sepertinya belum bangun. Apalagi Ipank.

Ah, tapi kan Ipank jarang ada di kosan.

Ketika Satrio memperkenalkan panitia satu per satu, tiba-tiba

dari sudut lapangan, tepat di bawah sinar matahari, Ipank berdiri

dengan tangan terlipat di dada. Cowok itu terlihat keren dengan

balutan jaket almamater hijau yang menutupi tubuh bidangnya. Di

lengan kirinya, terlihat jelas tulisan pada badge: keamanan. Ya,

Ipank menjadi koordinator keamanan pada ospek kali ini. Me?mang

itu jabatan yang sangat pantas untuk cowok seperti Ipank.

Berbekal sabuk hitam karate, tubuh atletis, dan kemampuan

mengatur strategi, membuat cowok itu disegani di lingkungan kampus. Siapa yang tak kenal IpankIpank memandang sekeliling lapangan. Tubuhnya yang tinggi

dan bidang, dengan garis wajah tegas berwibawa membuat hampir

352136

semua peserta ospek refleks menengok ke arahnya. Sinar matahari

seakan membuat wajah cowok itu berkilau, mempertegas garis-garis

maskulin di wajahnya. Sorot mata Ipank yang tajam mampu membius orang-orang yang diajaknya bicara?terutama cewek-cewek.

Seakan mata Ipank menyerap energi dari cewek-cewek itu sampai

membuat mereka lemas.

Aiko menelan ludah. Kepalanya ia tundukkan semakin dalam.

Ipank tidak boleh tahu Aiko berada di antara ratusan peserta ospek

di lapangan pagi itu. Setidaknya sampai ospek ini sele?sai.

Satrio terlihat memanggil Ipank untuk naik ke podium, memperkenalkan diri. Sementara Ipank berjalan ke arah podium, Satrio

kembali berkata, "Di dalam senat, wakil saya adalah Kak Ipank.

Kak Ipank ini yang akan menjelaskan tata tertib selama ospek

berlangsung. Silakan, Kak"

Ipank berdiri menggantikan Satrio. Gayanya terlihat santai, tapi

tidak kalah berwibawa. Dengan suara tegas dan agak serak khas

Ipank, ia mulai berbicara, "Nama saya Ivano Pangky Ariestio

Norman Kano. Tapi kalian boleh panggil saya Kak Ipank. Saya

menjabat Wakil Ketua Senat dan Ketua Pencinta Alam Universitas

Pelita. Dalam ospek kali ini saya memegang jabatan sebagai koordinator keamanan."

Aiko merasa matanya berkunang-kunang karena sinar matahari

yang terus-menerus menyorot ke arahnya. Tubuhnya berkeringat.

Kulitnya yang putih memerah, bersamaan dengan keluarnya cairan

merah dari hidungnya. Akh... mimisan. Again? Ia selalu begitu

setiap kali kepanasan. Pandangannya semakin kabur. Redup, semakin redup, dan gubrak! Aiko terjatuh lunglai di tengah-tengah

pidato Ipank.

Satrio yang pertama kali melihat langsung menghampiri sambil

memanggil para panitia medis untuk membantu. Mereka dengan

sigap mendatangi Aiko dan menggotongnya ke ruang kesehatan.

Ipank yang berada di podium langsung mengetahui ada peserta

ospek yang pingsan. Sayangnya ia tidak melihat wajah peserta itu

362137

karena tertutup oleh panitia medis yang menggotongnya. Ia justru

berusaha menetralkan keadaan dengan menyarankan agar peserta

ospek lain sarapan dulu sebelum ke kampus. "Saya nggak mau ada

yang pingsan lagi besok. Mengerti?"

"Mengerti, Kak!" jawab peserta ospek kompak.

Bruuuk!!!

Aiko mengempaskan diri ke kasur. Baru juga hari pertama ospek,

badannya serasa kejatuhan Monas. Remuk.

Setelah ia sadar dari pingsan tadi, panitia pun mengantar Aiko

kembali ke rombongan peserta ospek. Kebetulan peserta lain se?dang

diajak keliling gedung untuk melihat ruang kelas dan perpus?takaan.

Meskipun tidak berhadapan langsung dengan matahari, lu?mayan

juga kalau harus muter-muter, naik-turun tangga dari lantai satu

sampai lantai delapan. Cukup untuk membuat dengkul keri?ting!

Perjuangan peserta ospek masih belum berakhir, masih ada dua

hari lagi yang harus dihadapi. Dan yang pasti akan jauh lebih berat

daripada hari pertama. Hari pertama saja Aiko pingsan karena kepanasan. Gimana besokBukan Aiko namanya kalau tak tertib. Selama ini ia hampir

tidak pernah melakukan pelanggaran. Disiplin banget. Makanya

Aiko nurut ikut ospek, meskipun akan tepar selama kegiatan.

Sebenarnya, tidak ikut ospek juga tidak masalah. Tapi memang

dasar seniornya saja yang gatal balas dendam kepada mahasiswa

baru. Jadi, mereka pun mencari akal dengan menambahkan peraturan: Mahasiswa baru tidak akan mendapat sertifikat wisuda kalau

tidak ikut ospek. Hmmm kalau begini, siapa coba yang berani

kaburDalam ospek, para peserta dipanggil dengan sebutan CamaCami, alias calon mahasiswa dan calon mahasiswi. Mereka semua

372138

dibagi ke dalam kelompok yang diberi nama sesuai warna karton

yang dikalungkan di tubuh mereka. Merah, kuning, hijau, biru,

putih, oranye, dan ungu. Meski sudah jelas nama peserta ospek

tertulis di karton tersebut, para senior tetap seenaknya manggil

Cama-Cami. Seperti yang dilakukan salah satu senior kepada

seorang peserta ospek berkacamata tadi.

"Heh! Nama kamu siapa?"

"Andi, Kak," jawab peserta ospek sambil menunduk ketakutan.

Dengkulnya bergetar hebat.

"Ah, bukan. Kamu pasti bohong. Coba liat karton kamu," ujar

senior itu sambil berlagak melihat nama pada karton yang dikalungi

peserta ospek itu. "Saya kan minta nama asli kamu yang ditulis di

sini!"

"Itu nama asli saya, Kak."

"Jangan bohong! Emangnya saya nggak tahu siapa nama kamuKamu Nobita, kan?"

"Bukan, Kak. Saya Andi."

"Ah, yang bener? Sejak kapan kamu ganti nama? Ya udah, mulai

besok nama kamu jadi Nobita."

"I-iya, Kak."

"Sana balik ke barisan. Lain kali jangan bohong lagi kamu!"

ucap senior itu sambil ngeloyor pergi.

Dugaan Aiko sangat tepat. Ospek hari kedua semakin parah. Banyak Cama-Cami yang dihukum lantaran melakukan pelanggaran

yang kadang tak disengaja. Tapi untungnya mereka tidak dijemur

di lapangan seperti kemarin. Kegiatan hari ini lebih banyak di

dalam kelas. Jadi, kemungkinan Aiko mimisan dan pingsan semakin

kecil. Tapi masalahnya, Aiko juga kagetan. Jadi setiap kali ada

senior yang ingin eksis dengan membentak-bentak, Aiko langsung

gemetaran parah. Seperti siang ini.

382139

Braaakkk!!! Seorang senior sengaja mendobrak pintu ruangan

tempat Cama-Cami berada. Aiko kaget setengah mati. Untung ia

tak sampai terenyak mental.

Tenang Aiko, stay cool....

Lucunya, justru ada salah satu senior yang latah lantaran ikut

kaget, dan meluncurlah bumbu-bumbu kalimat dari mulutnya

tanpa rem. "Eh monyong, pintu. Eh, monyong pintu, eh pintu

monyong."

Kejadian itu membuat beberapa Cama-Cami tak kuat menahan

tawa. Mereka langsung dihukum push up di lapangan dengan

hitungan pecahan?dan diulang berkali-kali lantaran seniornya

berlagak pikun lupa hitungan.

Sebenarnya, ospek yang identik dengan perpeloncoan memang

sudah dilarang. Tapi karena naluri balas dendam para senior menggelora secara turun-temurun, tradisi ini tidak bisa hilang begitu

saja.

Konon budaya pelonco itu dimulai pada zaman penjajahan. Waktu itu para penjajah mau melatih mental-mental pribumi supaya

hormat kepada mereka. Tapi, sekarang budaya ini justru turuntemurun di lingkungan pendidikan. Mungkin memang mental

pribumi doyan banget dijajah dan menjajah.

Waktu menunjukkan pukul 14.00, keringat menetes dari wajah

para peserta ospek. Deretan wajah lelah nan kucel terlihat di lapangan kampus Universitas Pelita sore itu. Aroma ketek sudah

bercampur dengan bau matahari. Panitia tampak siap berdiri berjajar di sebelah podium. Menunggu penutupan ospek hari kedua.

Ipank dengan tenang berjalan ke sebelah kanan podium. Entah

aura apa yang dimiliki Ipank sehingga cowok itu selalu saja menarik perhatian para Cami di dekatnya. Mungkin karena postur Ipank

yang tinggi dan tegap sehingga memberi kesan bahwa cowok itu

tidak mudah ditaklukan.

Sejak hari pertama, Andari selalu cemburu setiap kali Ipank

diperhatikan oleh cewek-cewek juniornya. Andari memang masih

392140

merasa memiliki Ipank seutuhnya. Meskipun jelas-jelas Ipank antipa?ti dengan dirinya. Entah kepedean atau apa, Andari yakin di

dalam hati kecilnya Ipank belum bisa melupakan dirinya. "Ivano

Panky Ariestio Norman Kano itu cinta mati sama aku." Begitu keyakinannya setiap hari.

Sepatu Converse biru tua Ipank berhenti tepat di hadapan regu

merah, tempat Aiko berada. Untungnya cowok itu menghadap ke

podium. Jadi posisinya membelakangi regu merah.

Aiko yang menyadari keberadaan Ipank kontan panik setengah

mati. Ia hafal betul postur tubuh Ipank. Jadi bukan perkara sulit

mengenali cowok itu meskipun dari belakang. Topi koran yang

Aiko kenakan ia turunkan serendah mungkin untuk menutupi setengah wajahnya. Ia berdiri agak merapat dengan orang di depannya

agar tubuh mungilnya bisa tertutupi. Ipank tidak boleh tahu Aiko

berada dalam barisan peserta ospek.

Satrio menaiki podium ketika Ipank berjalan ke samping podium

untuk berbaris bersama panitia lain. Ini rutin dilakukan oleh cowok

berkacamata itu sebelum memperbolehkan peserta ospek pulang ke

rumah masing-masing. Ia menyampaikan beberapa poin yang

berhubungan dengan ospek besok. Satrio bilang tidak ada tugas

berat untuk ospek besok. Hanya saja seluruh Cama-Cami diwajibkan menulis surat cinta kepada salah satu senior, dan mengumpulkan sepuluh tanda tangan senior di buku ospek. Great!

Matahari masih memancarkan sinarnya di sore hari. Raut wajah

Aiko tampak begitu lelah. Aiko memang sangat ringkih. Ia tak

boleh terlalu capek ataupun kepanasan. Semua anak kosan Soda

tahu itu. Dulu badan Aiko selalu dilumuri minyak telon sehabis

mandi. Makanya, dalam jarak beberapa meter, kalau ada aroma

minyak telon, anak-anak Soda langsung tahu siapa yang datang.

Ipank suka sekali dengan bau Aiko. Seperti wangi bayi, katanya.

Segar. Bikin kangen. Yah, sedikit menggelikan memang kalau ingat
Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang macam Ipank ngomong begitu.

Suara Satrio yang tegas terdengar semakin samar di telinga Aiko.

402141

Bahkan ketika Satrio turun dari podium, Aiko merasakan aliran

darah di kepalanya mulai membeku. Tangan kanannya menekan

kepala. Ia merasa sangat pusing, tapi ia berusaha mengontrol

keseim?bangan tubuhnya agar tidak pingsan.

Tenang Aiko, tenang... Kamu pasti bisa. Konsentrasi... konsentrasi...

jangan sampai pingsan... Aiko terus-menerus berbicara dalam hati.

Dari arah depan, samar-samar Ipank melihat gelagat yang tidak

beres dari salah satu peserta ospek karena tubuh cewek itu bergerak-gerak seperti pohon kelapa yang tertiup angin. Semula ia tak

begitu memedulikan lantaran banyak panitia medis yang mondarmandir untuk berjaga. Tapi entah kenapa sosok cewek itu mulai

menarik perhatiannya.

"Dia mirip" Ipank berpikir keras. Bersamaan dengan terhuyungnya cewek itu, Ipank telah meyakinkan diri kalau Cami yang

dilihatnya itu memang benar Aiko.

Sakura gue...

Dengan sigap Ipank berlari menghampiri sosok itu. Langkahnya

lebar, melewati Cama-Cami yang berada di barisan depan. Wajahnya tampak tegang. Dalam hitungan detik, kedua tangannya terjulur, berusaha menggapai tubuh sakura-nya. Tapi sayangnya ia terlambat. Maka tanpa berpikir panjang ia mengempaskan tubuhnya,

menopang tubuh Aiko yang nyaris menyentuh lantai. Celana jins

yang dipakai cowok itu kotor karena gesekan tubuhnya dengan

lantai lapangan.

Dukkk! Benturan keras mengenai sikunya. Membuat Ipank

sedikit meringis, tapi langsung diabaikan karena kaget melihat

wajah cewek yang kepalanya kini pasrah tertopang tangan.

Adegan yang sangat cepat dan mendadak, membuat semua mata

tertuju pada mereka berdua. Terpaku.

Terbaca jelas apa yang ada di pikiran peserta ospek saat menyaksikan adegan itu. Napas mereka sempat terhenti sesaat. Ikut

deg-degan. Semua pasti setuju Ipank terlihat seperti Superman yang

datang menolong Lois Lane ketika gadis itu tak berdaya. Mungkin

412242

jika adegan barusan ada di skenario film, semua gerakan akan dibuat slow motion agar terlihat refleks luar biasa Ipank.

Setelah terdiam beberapa saat, panitia medis tersadar dan berlari

menghampiri. Mereka mencoba melakukan tugasnya dengan membawa Aiko ke ruang kesehatan.

"Biar aku aja yang bawa dia!" ujar Ipank sambil menatap panitia

medis, panik. Kemudian dengan cepat Ipank menggendong tubuh

mungil Aiko seorang diri ke ruang kesehatan. Sementara panitia

medis mengikutinya dari belakang.

Rasa khawatir dan kaget bercampur menjadi satu dalam hati

Ipank. Khawatir karena ia tahu betul betapa ringkihnya Aiko. Dan

kaget bukan main karena ia baru tahu Aiko masuk kampus yang

sama dengan dirinya. Kenapa tak ada satu orang pun yang

memberitahu? Ini gila!

Ipank membaringkan tubuh Aiko yang mungil di tempat tidur

ruang kesehatan. Beberapa panitia medis tampak buru-buru masuk

dan membantu menangani Aiko.

Ipank menatap khawatir wajah putih pucat di hadapannya.

Beberapa kali ia berteriak panik, meminta panitia medis mengambil

botol minyak kayu putih. Ia melepaskan topi koran yang masih

menggantung di leher cewek itu dengan cepat. Telapak tangannya

mengusap lembut wajah Aiko sambil berkali-kali memanggil namanya. "Ai, bangun, Ai... please..."

"Cewek ini pingsan mulu dari kemarin. Ringkih banget. Bikin

susah anak medis. Hari ini aja dia udah dua kali masuk ruang kesehatanip," ujar salah satu anggota medis sambil sibuk mencari minyak kayu putih di tas obat yang dibawanya.

Mendengar ucapan anggota medis tersebut, Ipank bangkit dari

tempatnya. Ia langsung menarik kerah cowok itu dengan satu tangan. "Kamu pikir salah dia kalau dia pingsan? Itu udah jadi tugas

medis untuk nolongin dia, BEGO!"

"I-iya, sss...sori, Pank. Maksudku"

422243

"Denger, kalo sampai cewek ini kenapa-kenapa, kamu yang aku

bikin pingsan!"

Motor itu melaju dengan kecepatan normal. Luapan kecemasan

ter?pancar dari balik helm si pengendara. Tangan kirinya menggenggam erat tangan mungil cewek yang duduk di belakangnya. Konsentrasi pun fokus menatap jalanan di depannya. Cukup sulit untuk membawa motor dalam posisi seperti ini, cewek di belakangnya

duduk menyamping karena memakai rok. Tapi cowok itu cukup

hati-hati membawa motor. Yang jelas, ia berpikir untuk segera tiba

di kosannya.

Cewek itu pasrah ketika tangan kanannya digenggam erat. Sementara tangan kirinya memegang erat besi tempat duduk motor

Ipank. Aiko tampak begitu cemas. Wajah putihnya terlihat pucat

di balik helm putih kebesaran yang dikenakannya. Jantungnya terus

berdetak kencang. Ketakutan.

Memasuki pekarangan sebuah rumah di ujung jalan. Ipank menghentikan motor dan menarik kuncinya. Ia menghela napas dan

terdiam sejenak untuk menenangkan perasaan sebelum melepaskan

genggamannya di tangan Aiko. Tapi, entah kenapa kedua tangan

cewek itu justru mengepal tegang.

Ipank berusaha menahan diri. Ia bisa menutupi groginya ketika

motor melaju karena pikirannya teralihkan. Tapi saat ini, ia tak lagi

bisa menutupi betapa jantungnya berdetak tak menentu. Perlahan

ia membuka helm dan mencoba menengok. "Udah sampai"

Aiko tetap bergeming. Di satu sisi ia begitu takut, tapi di sisi

lain ia begitu kesal dengan sikap Ipank di kampus tadi. Rasa takutnya saat ini jauh lebih dominan. Takut karena Ipank tahu ia kuliah

di kampus yang sama.

"Masuk, yuk" Ipank menurunkan volume suaranya. Ia berdiri

di hadapan Aiko yang masih nangkring di kursi belakang motor.

432244

Ta?ngannya membuka pengait helm putih Aiko sebelum akhirnya

membantu gadis itu perlahan turun dari motor. Jaket milik Ipank

terlihat kebesaran di tubuh mungilnya. "Bisa jalan, kan?"

Aiko mengangguk lemah, lalu berjalan pelan menuju pintu kosan tanpa sepatah kata pun. Kepalanya tertunduk.

Ipank berjalan di belakang Aiko. Memastikan cewek itu tidak

kembali jatuh pingsan karena kelelahan. Ia begitu khawatir melihat

kondisi fisik Aiko. Seandainya diperbolehkan, ingin rasanya Ipank

menggendong cewek itu sampai kamarnya. Tapi Ipank tahu Aiko

tak akan mau.

Anak-anak kosan Soda yang sedang menonton Discovery Channel

di ruang santai terbengong-bengong ketika pintu terbuka dan melihat Aiko muncul bersama Ipank.

Dara dan Jhony langsung kompak menelan ludah masing-masing. Saka yang sibuk main gitar juga menghentikan permainannya.

Tidak ada yang berani bersuara.

Aiko menengok ke arah Dara. Seperti memberi kode agar cewek

itu menemaninya ke kamar.

Dara yang ditatap seperti itu oleh Aiko kontan mengerti. Buruburu ia melompat dari sofa merah dan mendekati Aiko. "Kita ke

kamar yuk, Ai."

Melihat Aiko dan Dara ke kamar, Ipank langsung mengambil

posisi di tempat Dara duduk tadi. Dengan santai cowok itu mengganti-ganti channel televisi dengan remote tanpa bicara apa-apa. Ia

juga tidak peduli dengan ekspresi kedua temannya, Saka dan Jhony,

yang seakan menanti beberapa kalimat keluar dari bibir cowok

itu.

Sementara di kamar, Dara heboh menenangkan Aiko yang berkeringat dingin. Napasnya tersengal-sengal.

"Ipank ngomong apa, Ai?" tanya Dara pelan-pelan.

Aiko berusaha mengontrol napas, dan mengelap air mata tipis

di pipi. Dengan suara pelan, Aiko menjawab, "Dia nggak ngomong

apa-apa. Tapi dia keterlaluan. Semua orang dia ancam supaya ja442245

ngan sampai ngerjain aku. Dia bahkan ngotot supaya aku nggak

usah dateng ospek besok. Aku malu, kesel, dan takut banget, Dar.

Sepanjang jalan menuju tempat parkir kampus, semua orang ngeliatin aku jalan sama Ipank. Aku nggak berani ngangkat kepala.

Udah gitu Ipank maksa aku pake jaket dia. Gimana senior-senior

nggak langsung melotot, coba?"

"Huahahaha" Dara ngakak sampai berguling-guling mendengar

pengakuan polos Aiko. Dia tak menyangka Ipank akan bersikap

seekstrim itu pas tahu Aiko masuk kampus yang sama dengannya.

"Kamu kok malah ketawa sih, Dar?"

"Aku nggak kebayang muka Ipank pas tahu kamu masuk kampus dia. Dia itu salah tingkah, Aiko. Makanya marah-marah nggak

jelas kayak gitu. Khas Ipank banget tuh!" jelas Dara sambil membantu Aiko melepas kepangan rambut warna-warninya.

"Huuuffftt Nggak tau deh, Dar. Aku capek. Mau rebahan sebentar, terus bikin tugas buat besok."

"Lagian kamu juga sih, Ai. Kalo Ipank tau sejak awal kamu masuk kampus yang sama, pasti kejadiannya nggak bakal kayak gini."

Baru saja kalimat itu terlontar, Dara buru-buru merevisi, "Eh

tapi nggak tau juga, ding. Ipank gitu lho, hehehe...."

Aiko mengacuhkan Dara sejenak sebelum akhirnya merebahkan

tubuh di kasur dan mencoba menutup mata perlahan.

Tok tok... tok terdengar pintu kamar Aiko diketuk. Dara

beranjak dari tempat duduk, meraih gagang pintu, dan membukanya. "Eh, kamu, Pank. Kenapa?" tanya Dara pelan, tak ingin

mengganggu Aiko. Tapi raut wajahnya terlihat cengengesan. Untungnya dia berhasil mengubah wajahnya jadi serius. Sok serius lebih

tepatnya. "Apaan?"

"Aiko udah tidur?" tanya Ipank celingukan, mencoba mengintip

dari celah tubuh Dara.

"Lagi rebahan sebentar."

"Ngintip dong."

452246

"Nggak percaya banget, sih?"

"Bentar doang."

"Hahaha... NGGAK!"

"Huuu... pelit!" Ipank pasang tampang ngambek. Kemudian ia

berkata, "Eh, bilangin Aiko, besok dia nggak usah ikut ospek

aja."

"Kalo emang bisa, mendingan sih gitu. Kasihan dia. Dari kemarin badannya agak anget." Dara yang tau banget kondisi fisik Aiko

langsung menyetujui ucapan Ipank. "Kena hukuman nggak, kalau

dia nggak ikutan ospek?"

"Nggak akan ada yang berani hukum dia. Biar aku yang urus."

"Yeee, nggak segampang itu kali. Macem situ yang punya kampus aja."

Bola mata Ipank berputar dan kembali menatap Dara. Ia sebal

mendengar kalimat Dara barusan. Asli, Ipank akan berusaha melakukan apa pun untuk Aiko. Lebih baik Ipank push up 100x daripada membiarkan Aiko mengikuti ospek, lalu pingsan lagi. Ia tidak

rela. "Rayu dia, Dar..."

"Waduuuh, aku nggak bisa janji. "

"Aku khawatir banget."

"Kamu kan tahu dia tertib banget."

"Iya, tapi..."

"Aku masih mau ikut ospek." Mendadak Aiko berdiri di sebe?lah

Dara. Berkata dengan suara lembut namun tegas. "Kamu nggak

perlu repot-repot ngurusin aku, kok, Pank."

Dara bengong melihat keberanian Aiko berkata seperti itu ke

Ipank. Ia langsung menggaruk-garuk kepalanya.

"Aku nggak pernah merasa repot kok, Ai..."

"Tapi aku mau ikut ospek."

"Aiko, please ya... kamu nggak usah ikut ospek, oke? Biar nanti

aku yang tanggung jawab," ucap Ipank mengulangi pernyata?annya.

Sebisa mungkin memberi pengertian kepada Aiko. "Aku nggak mau

kamu kenapa-kenapa lagi."

462247

"Aku nggak bakalan kenapa-kenapa." Aiko memotong kalimat

Ipank. Kemudian ucapannya terhenti sejenak. Mungkin mencoba

meyakinkan diri bahwa ia berani menentang Ipank. "Aku masih

mau ikut ospek, tolong mengerti."

Kamu memang nggak bakal kenapa-kenapa, Ai... Tapi aku yang

mungkin akan kenapa-kenapa karena terlalu khawatir sama kamu...

"Harusnya ada yang ngasih tau aku kalo Aiko masuk Universitas

Pelita."

Dara, Jhony, dan Saka liat-liatan. Tidak ada satu pun di antara

mereka yang berani berkomentar. Jhony mengarahkan pandangan

ke Saka, lalu ke Dara. Begitu terus berulang kali. Ia terkekeh sendiri lantaran berpikir dirinya mirip penari kecak Bali. Tapi kemudian ia menjitak kepalanya sendiri. Puyeng.

"Dia nggak usah pake ikutan ospek segala lah"

Kemudian kepalanya ia sandarkan di sofa. Matanya menatap

langit-langit.

Rambut kribo Jhony tampak terbungkus rapi dengan handuk,

membuat dirinya mirip alien di film The X-Files. Sepertinya dia habis
Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keramas. Cowok ini kalau keramas memang heboh. Baru mau masuk

kamar mandi saja mesti ada ritual khusus dulu?apalagi kalau bukan

ke warung beli sampo sachet serenceng. Kalau tidak begitu, bisa-bisa

dia dimusuhi satu kosan lantaran stok samponya habis.

"Aiko yang nggak mau kalo sampai kamu tau, Pank." Dara akhirnya angkat bicara. "Dia takut."

"Akh! Nggak akan ada yang berani ngerjain dia di ospek sela?ma

ada aku!"

"Dia bukan takut sama ospek, Pank. Tapi dia takut sama

kamu."

Ipank menatap Dara sesaat, sedikit kaget. "Kenapa sih dia segitu

takutnya sama aku?"

472248

Dara mengangkat bahu.

"Mungkin tampang kau emang sudah menyeramkan, Pank."

Jhony memberikan jawaban yang sama sekali tidak membantu.

Malah membuat bantal sofa meluncur ke wajahnya. Ia pun purapura pingsan, membuat handuk di kepalanya terlepas. "Akh... sorban akyuu..."

"Hahaha"

Mereka lalu sibuk dengan pikiran masing-masing. Televisi yang

sedang menampilkan adegan persahabatan seekor burung gagak dan

badak di Animal Planet tampak sia-sia. Tak satu pun di antara

mereka fokus menyimak acara di TV itu.

"Tadi Eyang Santoso jatuh di kamar mandi." Pelan Saka melontarkan kalimat itu di tengah-tengah keheningan.

Ipank langsung menengok ke arah Saka. Wajahnya berubah khawatir. "Serius? Terus gimana?" tanya Ipank sambil membayangkan

sudut-sudut kamar mandi yang menurutnya terlalu berisiko jika

membentur badan.

"Untungnya ada aku sama Jhony. Kami denger Eyang teriakteriak. Tadinya Eyang mau langsung kami bawa ke rumah sakit,

tapi Eyang bilang nggak apa-apa."

"Harusnya kalian bawa aja ke rumah sakit."

"Eyang ngotot nggak mau, Pank. Kamu kan tau sendiri Eyang

Santoso keras kepala. Katanya, bau rumah sakit bikin dia tambah

sakit," ujar Jhony mencoba menerangkan sambil menggerak-gerakkan handuknya bak matador.

"Tapi Eyang nggak ada apa-apa, kan?"

"Cuma biru sedikit di kaki. Tadi udah diolesi salep khusus memar," jelas Saka.

Ipank terdiam. Akhir-akhir ini Eyang Santoso sering banget sakit.

Tidak hanya Ipank, tapi semua anak Soda begitu khawatir dengan

kesehatan beliau. Setiap kali mau dibawa ke rumah sakit, Eyang

selalu menolak. Beliau lebih suka memanggil dokter ke rumah daripada harus menginjakkan kaki di rumah sakit.

482349

"Mending mulai sekarang kita atur jadwal untuk gantian jaga

Eyang," ucap Dara yang langsung ditanggapi dengan anggukan

ketiga temannya itu.

Beberapa saat mereka terdiam lagi. Adegan yang sangat absurd.

Ibarat film di DVD yang berkali-kali di-pause karena penonton

berusaha mencerna jalan cerita.

Ipank menengok ke arah Dara. Dengan senyum lebar, ia bertanya, "Eh, tadi waktu kamu keluar kamar Aiko, dia lagi ngapain,

Dar?"

"Lagi ngerjain tugas ospek. Bikin surat cinta, katanya," jawab

Dara sambil mengunyah permen karet.

"Surat cinta buat aku ya, Dar?"

"Jiaaah ngarep!!!"

492350

Sepasang bola mata hitam menatap lurus ke salah satu jendela

kamar di kos-kosan Soda. Entah siapa pemilik bola mata menakutkan itu. Yang jelas, beberapa hari ini lelaki itu mengintai koskosan Soda, mengamatinya dari kejauhan, hingga beberapa kali nekat

menerobos masuk ke pekarangan tanpa diketahui tujuan?nya.

Rahang lelaki itu begitu kokoh. Posturnya tinggi dan tegap. Sesekali terdengar embusan napasnya yang begitu berat.

Ia selalu muncul sehabis hujan. Ketika aroma tanah basah terasa

menyengat, mulutnya tak henti-henti mengisap rokok putih, dan

kotaknya selalu ia kantongi di saku mantel cokelat yang ia kenakan.

Mungkin itulah caranya menghangatkan diri. Atau hanya untuk

menjaga dirinya tetap tenang. Entahlah. Banyak alasan orang merokok. Meski mereka tahu betul bahayanya bagi kesehatan.

Tapi ngomong-ngomong, siapa lelaki itu? Apa tujuannya mengintai kos-kosan Soda beberapa hari ini? Dan, siapa yang ia cari502451

Aiko sedang bersiap berangkat ke kampus untuk mengikuti ospek

hari ketiga. Dalam hati ia terus-menerus berkata bahwa penderitaan

ini tak akan lama lagi. Ya, setidaknya bisa dipastikan 24 jam lagi

ia tidak harus berhadapan dengan senior-senior sok eksis yang

doyan ngomel tanpa sebab.

Ketika turun dari kamar, Aiko terkejut melihat seorang cowok

di dapur dengan penampilan rapi dan wangi. Siapa lagi kalau bukan Ipank. Hari ini Ipank mengenakan kaus putih dengan logo

National Geographic di bagian dada. Wangi parfumnya yang segar

menciptakan semangat pagi itu.

Ipank keluar membawa sepiring roti dengan telur dadar di tangan. Sepersekian detik ia terdiam ketika melihat Aiko di sana. Ia

meletakkan piring tersebut di meja makan. "Nih, sarapan dulu,"

ucapnya sambil tersenyum sekilas. Ia menarik kursi di seberang,

lalu duduk.

Aiko terpaku beberapa saat. Kakinya sama sekali tak berubah

posisi. Dengan takut ia menengok ke arah Ipank dan mendapati

cowok itu asik melahap sepiring roti sambil membaca koran yang

tergelar di meja.

Ipank mengangkat kepala. "Nggak usah takut, tata tertib ospek

nggak berlaku di kos ini," ucap Ipank mencoba menenangkan karena melihat raut wajah Aiko yang ragu. Karena Aiko tak juga duduk, Ipank langsung berdiri. Ia menarik kursi di hadapan Aiko lalu

menekan bahu cewek itu agar duduk. "Kamu kan yang kemarin

ngotot pengin ikut ospek. Jadi kamu wajib sarapan. Aku tuh cuma

nggak mau kamu pingsan kayak kemarin."

Mau tak mau Aiko menurut. Padahal dalam hati ia masih heran

dengan perlakuan Ipank pagi ini. Kenapa cowok itu mendadak

perhatian? Perasaan sebelum-sebelumnya mereka nyaris tidak pernah

berkomunikasi di dalam kosan. Well, Ipank memang jarang di

kosan sih. Jangan-jangan Ipank sengaja baik supaya di ospek nanti

dia ada alasan untuk ngerjain Aiko? Kalau memang begitu, berarti

Aiko tetap harus waspada.

512452

Perlahan Aiko mengambil roti buatan Ipank dan melahapnya.

Matanya masih menatap Ipank curiga, mengikuti semua gerak-gerik

cowok itu. Roti di tangannya buru-buru ia lahap sebisa mungkin.

Membuat pipinya tembam karena mulutnya kepenuhan.

Ipank menengok ke arahnya. Dengan cepat Aiko mengalihkan

pandangan. Cowok itu tersenyum. "Pelan-pelan aja makannya.

Nanti keselak, loh..."

Aiko masih bungkam. Perlahan ia mengunyah roti dan menelannya dengan ritme yang nyaris sama.

Ipank menarik tangan kirinya, melihat jarum jam di tangannya.

"Yuk. Nanti kalo telat, kamu bisa diomelin panitia yang lain."

Aiko meminum air putih di meja. Kemudian ia beranjak dari

tempat duduknya, mengambil tas karung, dan berjalan pelan menuju pintu keluar. Langkahnya ia percepat.

Ipank mengambil jaketnya dan menyodorkannya pada Aiko.

"Pake ini."

"Aku mau berangkat sendiri aja."

Dengan heran, Ipank menghentikan langkah. "Kenapa nggak

bareng aja?"

"Aku nggak mau. Biasanya aku juga berangkat sendiri."

"Kalo gitu, buat jadi nggak biasa dong, Ai."

"Aku..."

"Kamu takut kena hukuman karena berangkat bareng panitia?"

Aiko tidak menjawab pertanyaan Ipank. "Gini deh, aku jamin

nggak akan ada satu senior pun yang lihat kita berangkat ke kampus bareng."

Aiko terdiam sejenak, menatap Ipank dengan ragu. Ia mera?patkan

bibir. Tak lama tangannya mengambil jaket Ipank dan berja?lan

keluar. Wangi khas Ipank langsung tercium di jaket tersebut. Segar.

Di belakangnya, Ipank tersenyum puas sambil mengepalkan tangan senang. Namun buru-buru ia bersikap santai ketika Aiko

mendadak berbalik, dan menengok ke arahnya. Dengan gerakan

bibir, Ipank berkata, "Yuk."

522453

Apa pun ya, asalkan kamu mau berangkat bareng aku. Itu cukup.

Cukup untuk mengawali hari ini dengan sangat indah... Selamat pagi

matahari!

"Kamu turun di sini aja. Biar aman."

Ipank membuka kaca helm, kemudian menengok pada cewek di

belakangnya. Jujur saja, sejak kemarin Ipank dag-dig-dug Aiko akan

membonceng motornya. Meskipun pagi ini Aiko memilih untuk

berpegangan pada ujung jaket kulit Ipank, bukan melingkarkan tangannya di pinggang cowok itu. Tapi itu pun cukup membuat

jantung Ipank berdetak kencang. Pasti setan-setan lagi terbang di

sekelilingnya sambil cekikikan melihat Ipank salah tingkah begitu.

Aiko turun dari motor Ipank sambil merapikan pakaiannya. Tangannya mengencangkan ikatan warna-warni di rambutnya. Wajah

imutnya celingukan ke kiri-kanan. Takut ada senior yang melihat

kedatangannya bersama sang panitia keamanan ospek. Dia tidak

mau cari gara-gara.

"Pulang nanti aku tunggu di sini lagi, ya."

"Nggak usah," Aiko buru-buru menjawab. Pelan, tapi cukup

membuat Ipank kecewa bukan main.

Ipank terdiam menatap Aiko. Kenapa sih Aiko selalu menolakAlasannya apa? Toh mereka satu kosan juga. "Kenapa?"

"Nggak enak aja. Takut ngerepotin," jawab Aiko sesuai dengan

alasan yang muncul pertama kali dalam benaknya.

"Ya ampun, Ai, kayak sama siapa aja sih, pake nggak enak. Sama

sekali nggak ngerepotin kok. Jhony tuh yang tukang ngerepotin!"

Ipank mencoba bercanda meskipun garing! Tapi, hei, apa yang bisa

Ipank katakan saat itu untuk menutupi groginya yang mulai menjalar? Demi langit dan bumi, Ipank deg-degan bukan main.

Aiko tak menanggapi ucapan Ipank. Ia merapatkan bibir sejenak

sebelum akhirnya mengangguk dan tersenyum tipis. "Makasih te532454

bengannya," ujar Aiko, canggung. Ia berbalik, lalu berjalan meninggalkan Ipank.

Hei, dia tersenyum! Sakura gue senyum. Indah banget duniaaa....

Kayak bunga sakura yang mekar sesaat di musim semi, tapi bisa bikin

semua orang berebut untuk menikmati keindahannya. Tapi sakura

yang satu ini cuma boleh buat gue. Ya, buat gue, Ivano Panky Ariestio

Norman Kano.

Di atas motornya, Ipank masih membisu. Matanya belum bisa

lepas dari gadis itu. Manik matanya terus mengikuti ke mana cewek itu berjalan. Seperti bayangan yang terus mengikuti. Perasaan

apa ini? Kenapa senyuman Aiko tadi layaknya stiker yang menempel erat di benak Ipank. Tipis dan singkat, tapi bikin hati adem.

Butuh waktu lama untuk menyadarkan Ipank agar beranjak dari

tempatnya. Dan dengan sekali entakan, Ipank mengendarai motor

menuju parkiran kampus.

Ia memilih lokasi parkir andalannya, tepat di bawah pohon. Bahkan petugas parkir kampus hafal betul lokasi favorit sang pentolan

senat mahasiswa itu. Tempat parkir itu tak pernah diisi motor lain

selain milik Ipank. Seakan ada tanda dilarang parkir yang hanya

diketahui oleh orang-orang yang mengenal Ipank.

Dengan keyakinan penuh, Ipank tahu ospek hari ini pasti akan

berbeda. Ada Aiko di sana. Sekarang mereka sekampus. Lengkaplah

24 jam mereka akan bertemu. Kampus akan menjadi tempat yang

menyenangkan.

Nggak sabarrr...

"Hai, Pank."

Sebuah sapaan membuyarkan lamunan Ipank. Ia sempat menengok ke arah datangnya suara. Namun ia kembali sibuk membenahi

barang-barangnya di motor tanpa memedulikan cewek yang menyapanya itu.

"Tumben dateng pagi?" tanya cewek itu sambil mendekat ke

motor Ipank.

Rambut panjangnya dia sampirkan di bahu kiri. Dia pasti peng542455

gila pink. Dari tas sampai jam tangan bernuansa pink. Dan, oh my

God, warna bra di balik kemeja putihnya terlihat jelas. Pink.

Ipank tak menanggapi. Kalau boleh jujur, mantan pacarnya itu

memang selalu terlihat seksi. Ia menyampirkan jaket almamater di

bahu, kemudian berjalan santai memasuki gedung kampus. Keberadaan cewek itu sama sekali tidak digubrisnya. Anggap saja cewek

itu setan cantik yang tak kasatmata.

Tapi sikap cuek Ipank gagal total ketika sekonyong-konyong cewek itu melingkarkan tangan ke lengannya.
Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita masuk bareng."

"Apa-apaan sih kamu, Ndar?" protes Ipank sambil berusaha melepaskan tangan Andari dari lengannya. Sejak dulu Ipank tak pernah

mau berbuat kasar pada cewek itu seberapa pun menyebalkannya

Andari.

Andari gantian cuek dengan sikap Ipank. Dia justru semakin

mengeratkan pegangan. Andari sengaja melakukan hal itu agar menarik perhatian orang-orang di sekeliling mereka. Dan dia berhasil.

"What the... Lepas deh, Ndar. Jangan bikin malu," ucap Ipank

sambil melihat sekeliling. Dulu waktu mereka masih pacaran, ia

bangga kalau masuk ke kampus dengan menggandeng cewek itu.

Tapi sekarang, jangan harap!

"Oh gitu! Sekarang kamu malu kalo aku gandeng? Sejak kapan?"

"Andari, lepas!" Ipank menaikkan intonasi, mulai tidak nyaman.

Kuntilanak cantik yang satu itu cukup berhasil membuat kebahagiaan Ipank pagi ini tercemar.

Andari tersenyum melihat kepanikan di wajah Ipank. Seakan tidak terjadi apa-apa, lalu ia berkata pelan. "Kamu pilih aku tetap

gandeng kamu, atau... kamu pilih aku laporin pelanggaran yang

kamu buat?"

"Jangan gila kamu, ya. Aku nggak pernah ngelanggar apa-apa!"

552556

Ipank meninggikan suara, masih berusaha melepaskan pegangan

tangan Andari.

"Oooh jadi berangkat ke kampus bareng peserta ospek itu

bukan pelanggaran?" sindir Andari sambil memasang senyum semanis mungkin untuk membalas tatapan orang-orang yang melihat

ke arah mereka.

"Kamu ngancem aku?" Ipank mulai menyadari maksud perkataan

Andari.

"Aiko Yamasaki. Regu merah," tegas Andari menyebutkan nama

yang langsung membuat jantung Ipank mau meloncat keluar.

"Kamu mau dia selamat di ospek atau nggak?"

"Licik kamu!"

"Ha. Ha. Kamu kayak baru kenal aku satu-dua hari aja."

"Ndar, serius ya, aku nggak suka."

"Suka atau nggak... kamu harus suka, Beib." Andari tersenyum

penuh kemenangan, dan kembali mengeratkan pegangannya di lengan Ipank. Mereka berjalan layaknya pasangan selebriti Hollywood.

Dipandangi puluhan mata di sepanjang jalan menuju ruang senat.

Ditambah dengan siulan dan teriakan iseng mahasiswa yang melihat. Ini bakal jadi gosip paling hot di kampus: Ipank dan Andari

balikan!

"Kamu gila, Ndar."

"Santai aja kali, Beib."

"Stop panggil aku ?Beib?."

"Hahaha..."

Oke, seperti yang Ipank duga. Ospek terakhir ini rasanya beda banget. Ipank yang biasa mengontrol keamanan dengan berkeliling

kampus, kali ini lebih sering mengontrol di bagian lapangan tempat

Cama-Cami biasa dijemur. Perasaannya tak tenang. Dikit-dikit

nyari Aiko. Dikit-dikit nyari regu merah. Dan entah sudah berapa

562557

kali ia mengecek ruang medis, memastikan Aiko tidak pingsan lagi

seperti dua hari sebelumnya.

Jangankan Ipank, Aiko pun tidak nyaman mengikuti ospek hari

ini. Semua itu lantaran sikap Ipank yang agak rese. Mentangmentang tahu Aiko ikut ospek di kampusnya, Ipank sengaja

mencari-cari kesalahan Aiko supaya bisa sok ngomel ke cewek itu.

Giliran panitia lain yang menegur Aiko, Ipank pasti buru-buru

mengambil alih posisi si panitia. Aiko jadi kesal setengah mati. Tapi

mau gimana lagi? Sebagai junior, dia cuma bisa diam dan manggutmanggut mengikuti apa kata senior. Seperti ketika Aiko diminta

Ipank untuk meminta maaf karena kesalahan yang tak jelas ujungpangkalnya.

"Maaf, Pank."

"Panggil saya... Kak Ipank," ucap Ipank lembut disertai senyum

lebar penuh kemenangan. Ia begitu puas melakukan itu. Hey, Men,

kapan lagiii..."Iya, maaf, Kak Ipank," jawab Aiko mengulang kalimat permintaan maafnya sambil menunduk. Dalam hati dia gondok setengah mati.

"Nah, gitu dong. Senyumnya mana?"

Kesempatan banget nih cowok minta yang aneh-aneh. Aiko

menarik ujung-ujung bibirnya perlahan. Tersenyum basi.

Itu masih mending. Yang paling menyebalkan dari kakak senior

bernama Ipank itu adalah ketika Aiko terpaksa meminta tanda tangannya di buku ospek.

"Permisi, boleh minta tanda tangannya, Kak Ipank?" tanya Aiko

setengah berbisik, tak berani menatap cowok itu.

Ipank terlihat cuek. Menengok pun tidak. Ia malah sibuk membentak-bentak peserta ospek di kejauhan.

Aiko mencoba mengucapkan lagi permintaannya. Tapi cowok itu

tetap tak menggubris.

Ipank lantas menatap Aiko. Ia membungkuk di hadapannya.

572558

"Saya nggak denger, kamu ngomong apa? Suara kamu kecil banget."

Aiko mendekatkan wajah, berbarengan dengan Ipank yang ingin

lebih mendekatkan telinga ke Aiko. Hal itu membuat kejadian yang

tidak terduga terjadi. Pipinya tak sengaja menyentuh bibir Aiko.

Refleks Aiko mundur selangkah saking kagetnya. Kaget campur

malu. Wajahnya langsung memerah.

"Kamu berani nyium saya?" Ipank sok-sokan marah. Padahal

jelas-jelas ia juga ikutan kaget. Suaranya bergetar. Jantungnya bergemuruh tak keruan.

"Ma-maaf, Kak. Nggak sengaja."

Ai, sengaja juga nggak pa-pa kok. Kalau perlu sekali lagi, Kak

Ipank rela, batin Ipank. Mungkin saat ini di hatinya sudah muncul

kuncup-kuncup bunga saking senangnya. Secepat kilat Ipank merebut buku ospek dari tangan Aiko dan membubuhkan tanda tangannya di sana. "Udah sana, buruan baris," kata Ipank sambil

sok-sokan serius, menatap kepergian Aiko.

"Hahaha... bisa banget deh, Kakak Senior." Seno yang sejak tadi

menahan tawa melihat Ipank yang 3G?girang, grogi, galak?langsung menggoda.

"No, nggak bakalan cuci muka aku niiih... nggak bakalaaan."

"Waduh, jangan dong. Nanti kalah ganteng sama aku, Bos."

Seno nyengir. Kemudian mereka kompak tertawa.

Andari yang menyadari perilaku Ipank berbeda pada Aiko jelas

panas. Makanya dia pengin ngerjain anak baru itu. Memang cukup

sulit menculik Aiko dari barisan, lantaran Ipank selalu memantau

la?yaknya kamera CCTV. Tapi ketika Ipank sibuk mengontrol keamanan di bagian depan kampus, Andari tidak melewatkan kesempatan itu.

"Kenapa nunduk terus, hah?"

Aiko mengangkat wajahnya, dan melihat seorang senior cewek


Pendekar Naga Putih 27 Sengketa Jago Rumah Gema Hollow Karya Agatha Christie Dalam Derai Hujan Bittersweet Rain

Cari Blog Ini