Ceritasilat Novel Online

Kotak Pelangi 2

Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya Bagian 2

de?ngan jaket almamater berdiri di hadapannya.

Senior cewek itu mengibaskan rambut panjangnya. Badannya

5825

sengaja ia condongkan ke depan. Dan dengan judes, ia mengangkat

alis kanannya yang lancip. "Kamu ikut saya!"

Ikut? Ikut ke mana? Emangnya aku salah apa? Oke, mungkin

memang tidak seharusnya Aiko banyak tanya. Untuk saat ini sebaiknya ikuti saja apa kata senior kalau tidak mau kena bahaya.

"Kamu ada hubungan apa sama Ipank?" tanya Andari to the

point ketika mereka memasuki salah satu ruang kelas yang kosong.

Aiko diam saja. Sebetulnya ia sudah tahu kejadiannya akan

begini. Orang lain di kampus mana mungkin tahu kalau Ipank

sudah mengenal Aiko jauh sebelum cewek itu masuk universitas

yang sama gara-gara mereka satu kosan. Yang jelas, kelakuan Ipank

kemarin sudah bisa ditebak akan menyulitkan Aiko hari ini. Oke,

ini harus dihadapi.

"Berani banget kamu pulang-pergi bareng senior waktu ospek!

Kamu mau ngeremehin ospek, hah?" kata Andari dengan nada

melengking sambil berkacak pinggang.

Yak! Hebat! Sekarang senior itu tahu Aiko pulang-pergi bareng

koordinator keamanan ospek. Ini yang Aiko khawatirkan sejak awal.

Mau ditutup-tutupi kayak apa, pasti pelanggaran itu sampai ke

telinga panitia ospek yang lain. Saatnya untuk... pasrah.

"Maaf, Kak, saya"

"Nggak usah jawab!" Sastri, teman Andari membentak Aiko

tepat di depan wajahnya. Mulutnya menguarkan mint. Bentakannya

membuat Aiko langsung jantungan lantaran tidak pernah dibentak

seperti itu. "Di sini kami yang berkuasa! Bukan kamu!"

Dada Aiko terasa sesak tiba-tiba. Tubuhnya lemas. Sebisa mungkin ia mengatur napas dan keseimbangan tubuhnya.

Andari berjalan mendekat. Senyum menyeramkan tersungging di

bibir?nya membuat aura jahat di wajah cewek itu menguar dan memengaruhi keadaan di sekelilingnya. Entah apa yang ada di otaknya. Yang jelas, apa pun itu, tidak akan menguntungkan Aiko.

Yah, hari ini kamu apes, Aiko....

592560

Di lapangan kampus, Ipank kebingungan mencari Aiko. Cewek itu

tidak berada di barisan regu merah. Ditelusurinya baris demi baris

dan kelompok demi kelompok. Siapa tahu dia dipindahkan ke regu

yang berbeda. Atau mungkin regu yang berada paling dekat dengan

panitia medis agar mudah terpantau kalau-kalau terjadi apa-apa.

Tapi tetap saja Aiko tidak ada. Cewek itu tidak ada di barisan

mana pun.

Ipank buru-buru berlari menuju ruangan medis karena berpikir

cewek itu pingsan lagi. Namun ketika membuka pintu ruang medis, ia tidak menemukan sosok yang dicarinya. Ruangan itu kosong

melompong.

Ke mana Aiko? Apakah ke toilet? Ipank berjalan cepat ke arah

toilet cewek. Ia bertanya pada salah satu peserta ospek yang baru

keluar dari toilet dan Aiko tidak ada di sana. Itu yang membuat

Ipank semakin waswas. Ia berpikir sesaat. Lalu dengan jentikan jari,

ia menyadari sesuatu.

Andari!

Baru saja Ipank menyadari hal tersebut, tiba-tiba terdengar suara

riuh dari arah lapangan. Dengan setengah berlari, Ipank beranjak

menuju lapangan, berusaha mengetahui apa yang terjadi di sana.

Langkah Ipank terhenti ketika menyadari penyebab keriuhan di

lapangan itu. Seketika jantungnya berdetak cepat. Tangannya mengepal. Rahangnya beradu. Untung saja kepalanya masih cukup dingin

untuk berpikir jernih. Setidaknya untuk beberapa menit ke depan.

Suara musik disko terdengar nyaring di speaker. Di depan sana,

di atas podium, Aiko berjoget-joget tidak keruan. Wajah cewek itu

penuh dengan coretan spidol warna-warni, seperti tompel besar.

Kulit Aiko yang pucat membuat warna-warna tersebut terlihat

602561

mencolok. Rambutnya diikat asal-asalan dengan karet warna-warni

dan di kepalanya terdapat mahkota yang terbuat dari kertas.

Ipank tahu pasti siapa biang keladinya. Setenang mungkin Ipank

berjalan mendekati sosok yang jelas menjadi tersangka utama.

Andari tampak terpingkal-pingkal di belakang podium. Padahal

kalau boleh jujur, ingin rasanya Ipank mempermalukan Andari dengan perbuatan yang jauh lebih sadis daripada yang cewek itu

lakukan pada Aiko. Tapi Ipank cukup gentleman untuk menahan

diri.

"Bercandaan kamu nggak lucu, Ndar!" ucap Ipank sambil menarik lengan Andari dari belakang, agak keras.

Andari menengok sambil masih tertawa. "Itu lucu banget, Pank.

Liat deh! Pada ketawa, kan?" Andari malah semakin semangat memerintah Aiko. "Ayo, joget terus! Goyangin tangannya!!!"

Ipank tak kuat lagi. Di hadapan peserta dan panitia ospek yang

tertawa melihat tontonan dadakan itu, Ipank berteriak. "Stop!

Turun kamu dari podium!"

"Nggak!" Andari langsung protes. Sorot matanya terlihat kesal.

"Turun!"

"Nggak! Joget terus!" perintah Andari sambil memasang wajah

galak ke Aiko yang kebingungan. Andari lalu menengok ke Ipank.

"Ipank, tugas kamu tuh jaga keamanan ospek. Bukannya ikut

campur urusan panitia lain."

"Buat aku, keamanan itu mencakup semuanya."

"Sooo???" Andari tak kalah menyebalkan menanggapi ucapan

Ipank.

Satrio yang melihat kejadian tersebut langsung mendatangi mereka berdua. "Kalian berdua jangan berantem di depan CamaCami."

"Itu sama sekali nggak lucu," ucap Ipank kesal sambil menunjuk

ke arah podium. "Itu melanggar peraturan!"

"Eh, aku nggak nyentuh dia ya, Pank! Sama sekali nggak melanggar peraturan." Andari tetap berkeras.

612562

"Kamu telanjang di lapangan siang-siang bolong juga nggak ada

dalam peraturan, Ndar."

"Iiih, Ipank, kamu kok..."

"Udah-udah!" Satrio mulai pusing dengan segala cekcok tidak

penting itu, lalu menatap Ipank beberapa saat. Ia mencoba mengambil keputusan yang menurutnya paling adil. Tak lama kemudian

ia naik ke podium, mendekati Aiko yang masih joget-joget di sana.

"Kamu balik ke barisan."

Aiko menengok takut-takut. Kemudian menunduk canggung

sambil berkata pelan, "Makasih, Kak."

Andari menatap Aiko dengan kesal. Kelihatannya ia belum puas

mempermalukan Aiko. Apa-apaan sih, Satrio, pakai merusak kesenangan? Tau gitu ia seharusnya menyuruh Aiko melakukan hal

yang lebih memalukan lagi.

Baru saja Aiko sampai di barisannya, Andari kembali memanggil

dengan telunjuk lentiknya.

"Kamu mau ngapain lagi, Ndar?"

"Ipank sayang, sekarang itu jadwal pembacaan surat cinta untuk

senior. So, nggak ada salahnya kan, kalau dia yang aku suruh maju

pertama kali untuk bacain surat cintanya?"

Ipank menatap Andari kesal. Ipank tahu betul sifat buruk cewek

itu. Semua yang dia pengin harus tercapai. Tak peduli bagaimanapun caranya. Akhirnya Ipank cuma bisa bilang, "Terserah kamu

deh, Ndar."

Aiko terlihat grogi ketika Andari memintanya kembali naik ke

podium dan membacakan surat cintanya. Wajahnya yang putih

mendadak mirip kepiting rebus karena memerah. Ia membuka

selembar kertas yang tadi sudah dikantonginya. Kertas tersebut

terlihat bergerak-gerak karena tangan Aiko bergetar.

Suasana lapangan mendadak sunyi. Semua mata fokus ke arah

Aiko, membuat cewek itu semakin grogi. Aiko mulai membacakan

kalimat pertama surat cintanya. "Untuk kakak senior tercinta"

"Cieeeh" Kalimat pembuka Aiko membuat senior-senior cowok

622663

panitia ospek tak sabar, apalagi yang baca cewek seimut Aiko. Yakin

tuh cowok-cowok panitia pada berdoa dalam hati kalau surat itu

buat mereka. Apalagi Ivano Panky Ariestio Norman Kano alias

Ipank yang berharap dapat surat cinta dari Aiko.

Ipank berusaha keras menahan senyum ge-er. Tampangnya dibuat

sesantai mungkin. Padahal jantungnya dag-dig-dug macam beduk

lebaran.

"Tenang, Bos... tenang... Jangan buru-buru..." Seno yang berdiri

di sebelah Ipank mulai jadi kompor.

"Ah, berisik!"

Aiko kembali melanjutkan membaca surat cintanya. "terima

kasih karena telah menolong ketika saya jatuh pingsan. Membantu

membawa saya ke ruang kesehatan. Kakak juga yang selalu menanyakan kondisi kesehatan saya setiap hari" Aiko menggigit ujung

bibir, kemudian melanjutkan kalimatnya, "Terima kasih juga karena

telah menjadi senior terbaik selama ospek. Terima kasih atas perhatian dan ketulusan yang Kakak berikan." Takut-takut Aiko membaca surat cintanya.

Di tengah sorakan cowok-cowok di lapangan sore itu, Ipank

tampak diam seribu bahasa. Jantungnya berdetak makin kencang

sepanjang kalimat yang keluar dari bibir mungil Aiko. Apakah yang

ditulis Aiko dalam suratnya itu benar? Apakah itu jujur dari dalam

hatinyaDi sebelah Ipank, Seno masih saja getol menggodanya: menyenggol-nyenggol bahu Ipank sambil mencolek-colek centil. Seno yakin

betul surat yang dibacakan Aiko ditujukan untuk Ipank. Kalau bukan buat Ipank, siapa lagi"Dab, lampu ijo, Dab. Ck!"

Aiko masih melanjutkan membaca surat cintanya itu. "Surat cinta

ini saya buat tulus dari dalam hati untuk" Aiko menghen?tikan

kalimatnya. Sesaat ia ragu, namun bagaimanapun ia harus menyebut

nama senior itu. Ya, HARUS! Setidaknya untuk ospek terakhir ini.

Lagian, semua orang juga tahu ini cuma akal-akalan senior.

632664

Ratusan pasang mata menatap serius ke Aiko. Semua merapatkan

bibir, menerka-nerka siapa kakak senior yang dipilih Aiko dalam

surat cintanya.

Aiko menarik napas, mencoba mengontrol keraguannya. Sebuah

kalimat pendek keluar dari mulutnya, "surat cinta ini untuk...

Kak Satrio."

"Nih, ya... kalo kau dikasih tiket gratis untuk jalan-jalan, kau pilih

ke mana?"

Dara menatap ke sudut kanan atas seraya berpikir. Pertanyaan

Jhony itu selalu menarik untuk ditanyakan ke setiap orang. Disadari atau tidak, setiap orang pasti punya imajinasi mengenai tempat-tempat menarik yang ingin mereka datangi. Apalagi kalau pakai

embel-embel gratis.

Bima terlihat asyik ngobrol tentang musik bareng Saka dan

Dido. Saka yang satu band dengan Dido itu, gosipnya sedang mempersiapkan single baru mereka. Nah, makanya mereka minta saran

ke Bima yang lebih mengerti soal bisnis. Siapa tahu ada ide brilian

supaya single band mereka laku nantinya.

"Aku tahu!" ucap Dara mengagetkan. "Aku mau ke San

Fransisco. Mau liat Golden Gate."

"Halah, kau ke jembatan Suramadu aja, nggak usah jauh-jauh.

Sama persis. Atau kalo kau mau yang jauhan dikit, ke Palembang

sajalah. Ada jembatan Ampera. Itu mah bisa-bisaan kau saja supaya

ketemu sama si Oscar," ujar Jhony sambil cengengesan. Kemudian

dengan wajah serius, Jhony bangkit dari tempat duduk sambil berucap. "Akhirnya, mereka bertemu dan hidup bahagia selamanya.

The end."

"Iya, dong. Hehehe... ah sirik aja nih, Bang Jhon!" ucap Dara.

Cewek itu langsung memasang tampang manja. "Kan kangeeen..."

"Jijik kali kau!" Wajah Jhony berubah asem, sambil buru-buru

642665

mengusir Dara yang menempelkan kepala di bahunya. Jemari tangannya bergerak-gerak layaknya kaki ubur-ubur.

Dara cekikikan melihat ekspresi Jhony.

Bima, kakak kandung Oscar, yang mendengar percakapan tersebut langsung menengok dan ikut tertawa kecil. Nih cowok emang

kalem banget deh, ah.

"Eh, Mas Bima, jangan bilang-bilang ke Oscar ya. Nanti dia ge-er.

Aku kan malu," ucap Dara buru-buru menyadari kalau Bima diamdiam mendengar obrolan anehnya bersama Jhony, lalu ia kem?bali

teringat pertanyaan Jhony tadi. "Aku mau ke Green Canyon."

"Ah, gaya-gayaan kali kau, Dar. Semua serba-Amerika."

"Green Canyon, Bang. Bukan Grand Canyon. Green Canyon itu

di Indonesia. Ipank pernah cerita soal tempat itu."
Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jhony mengerutkan kening, membuat poni kribonya turun.

"Iya, Green Canyon itu ada di Jawa Barat. Tempatnya keren banget, Bang Jhon. Di sana kita bisa menelusuri sungai yang ada di

tengah-tengah tebing pake kapal motor gitu." Bima kembali nimbrung. Ia memang pernah mengunjungi salah satu tempat terindah

di Indonesia itu.

"Ooo..." Jhony manggut-manggut. Padahal dalam hati ia masih

nggak mudeng dengan tempat yang dipilih Dara. Si Kribo lalu menata bantal sofa untuk rebahan. Kakinya yang panjang diangkatnya

tinggi-tinggi sebelum akhirnya mendarat mulus di sofa merah, seperti seorang akrobatik. "Kalo aku dapat tiket gratis untuk jalan-jalan,

aku pilih ke Kalimantan."

"Wuidiiih... nggak nyangka orang kayak Bang Jhony pengin ke

Kalimantan. Kata Oscar, Kalimantan alamnya banyak yang masih

perawan, Bang."

"Bukan karena itu, tapi karena cewek-cewek suku Dayak di

Kalimantan. Cantik-cantik, Dar. Kali aja ada satu yang nempel

sama abangmu yang ganteng ini." Jhony menunjukkan majalah

yang memuat profil suku Dayak.

Dara, Bima, Saka, dan Dido ikut tertawa mendengar alasan ajaib

652666

Jhony. Entah ibunya ngidam apa sewaktu mengandung Jhony

dulu.

"Masalahnya, siapa yang mau ngasih tiket gratis ke kita, Bang

Jhon? Huahahaha...."

Krek! Duk duk duk

Tawa mereka terhenti ketika Ipank membuka pintu dan langsung

naik menuju kamarnya. Wajahnya terlihat tegang. Jaketnya ia buka

sembari melangkah. Seakan ia tak punya cukup waktu untuk berbasa-basi dengan anak-anak kosan Soda yang tengah bersantai di

ruang TV.

Tak berapa lama, Aiko muncul dari balik pintu sambil membawa

tas karung miliknya. Wajahnya terlihat memerah karena kelelahan.

Sambil membuka pita-pita di rambutnya, ia mengempaskan diri di

sofa ruang TV.

Bima, Dara, Saka, Jhony, dan Dido kompak mengalihkan pandangan ke Aiko. Penasaran apa yang terjadi dengan Ipank. Melihat

gelagat cowok itu, kayaknya kejadiannya lumayan ekstrem.

"Ipank kenapa lagi, Ai?" Dara langsung bersuara.

"Hm?" Aiko menoleh dan langsung menggeleng tanpa ekspresi

yang bisa ditebak, membuat mereka makin penasaran.

Dara menengok ke arah Bang Jhony yang juga balas menengok.

Akhirnya mereka ketawa sendiri karena melihat tampang bego masing-masing.

"Kamu yakin nggak ada apa-apa?" Jhony gantian bertanya. Padahal kepo banget!

Aiko kembali menoleh dan sekali lagi menggeleng. Kali ini

ditambah mengangkat bahu. Pola gerakan yang bikin orang geregetan.

Sementara di lantai atas, Ipank meletakkan ransel di tempat

tidur. Kemudian melepas kaus yang ia kenakan. Otot-otot di sekitar

perutnya yang keras terpampang jelas. Pandangannya kosong, menatap ke tembok kamar. Dengan sekali entakan, ia melemparkan

kaus di tangannya ke tembok. "Brengseeek!!!"

662667

OSPEK telah berakhir. Sekarang Aiko sah menjadi mahasiswi di

kampus Ipank. Meskipun beda fakultas, tapi sepertinya mereka bakal sering ketemu karena Ipank pastinya akan rajin nongkrong di

sekitar gedung Fakultas Desain. Apalagi kalau bukan untuk ngecengin Aiko yang menurut Ipank punya tampang mirip artis Korea,

Kim Tae Hee, pemeran utama di film drama My Princess yang tidak

sengaja ia tonton bareng si Jhony kribo.

Oiya, ada peningkatan pada si kribo satu itu. Sekarang ia keranjingan beli DVD drama Korea. Kalau sinetron favoritnya tidak tayang, Jhony langsung menguasai ruang TV dengan menyetel DVD

drama Korea yang mengharu biru. Mbak-mbak penjaga toko tempat Jhony beli DVD pun sampai hafal dengan langganan baru

mereka itu. Ya iyalah hafal! Rambut fenomenal Jhony memang hits.

Belum lagi pesan yang selalu Jhony sampaikan ketika mau membeli

DVD. "Mbak, kalo pas saya beli ada cewek cakep di deket saya,

jangan tawarin DVD drama Korea dulu, tapi tawarin saya film

action. Oke? Deal!"

Sejak tahu Aiko masuk Universitas Pelita, Ipank merasa Tuhan

672768

baik banget sama dia. Pasalnya, meskipun anak-anak Soda tahu

Ipank naksir berat sama Aiko, cowok itu tidak berani terang-terangan PDKT. Soalnya pasti Jhony dan Dara meledeknya habis-habisan.

Bisa-bisa Aiko tidak nyaman tinggal di kos-kosan Soda. Ipank tidak

mau hal itu terjadi. Makanya selama ini anak-anak Soda memegang

prinsip "cukup tahu aja, yaaa..." untuk kasus percintaan IpankAiko.

Gedung Fakultas Teknik Ipank dan gedung Fakultas Desain Aiko

hanya dipisahkan oleh sebuah taman. Taman yang entah berfungsi

sebagai apa lantaran bentuknya lebih mirip lapangan bola, tapi

dipasangi tulisan "Dilarang Menginjak Rumput" di beberapa sudutnya.

Pagi ini, setelah berpamitan dengan Eyang Santoso, Aiko melangkahkan kaki menuju kampus. Bus yang ia tumpangi lumayan ramai

penumpang. Inilah apesnya kalau kebagian kuliah pagi. Beragam

manusia dengan beragam kepentingan akan bercampur di jam yang

sama. Tapi katanya, di Jakarta jauh lebih parah padatnya dibanding

Jogja. Jadi, kalau mengeluh macet di depan orang Jakarta, pasti

langsung disuruh tobat!

Di kosan tadi, Ipank sepertinya belum bangun. Mungkin cowok

itu kuliah siang. Kalau tidak, pasti dia dengan sukarela menyiapkan

sarapan untuk Aiko dan menawarkan tebengan ke kampus. Tapi

pagi ini, sampai Aiko meninggalkan kos-kosan Soda, pintu kamar

Ipank masih tertutup.

Ketika turun dari bus, tiba-tiba Aiko merasa seseorang mengikutinya, sepertinya sejak ia menunggu bus di halte dekat kosan. Ia tak

terlalu jelas melihat wajahnya. Yang ia tahu orang itu menggunakan

jaket berwarna gelap. Aiko yakin dia orang yang sama dengan yang

ia temui di halte. Apakah dia bekerja di Universitas PelitaAiko mempercepat langkah menyusuri tembok pembatas antargedung. Khusus untuk gedung Fakultas Desain, tembok itu penuh

gambar graffiti karya mahasiswa, persis tembok yang ada di halaman

kosan Soda. Hanya saja di sini gambarnya lebih beragam. Sesaat ia

682769

menengok ke belakang dan menghela napas lega karena tahu orang

berjaket gelap itu telah menghilang. Ternyata dia hanya kebetulan

sejalan dengannya. Dasar Aiko yang gampang parno.

"Eh, cewek itu cute juga," ucap seorang senior cowok di koridor

kampus ketika melihat Aiko melintas di depannya.

"Heh! Jangan macam-macam, kecuali kamu mau habis dipukuli

si Ipank," ucap temannya.

"Ipank? Emang cewek itu pacarnya?"

"Tau tuh! Kayaknya sih. Soalnya pas ospek, Ipank keliatan peduli

banget sama cewek itu."

"Selera Ipank agak melenceng kali ini. Biasanya kan dia suka

cewek-cewek hot macam Andari."

Kira-kira seperti itu bisik-bisik yang sempat terdengar di telinga

Aiko. Duh! Hari pertama kuliah aja udah bikin Aiko nggak tenang

kayak gini. Ternyata gosip hot itu bukan isapan jempol.

Hari-hari berikutnya Aiko semakin kesal lantaran Ipank mengancam cowok-cowok yang berteman dengannya. Hasilnya, hanya

sedikit cowok di kampus yang mau berteman dengan Aiko.

Setiap kali ada cowok yang mengajak Aiko ngobrol, pasti cowok

itu langsung diinterogasi Ipank macam di kantor polisi. Akibatnya

banyak cowok yang malas ngobrol lama-lama dengan Aiko. Bukan

karena ia tidak enak diajak ngobrol, melainkan karena takut berhadapan dengan Ipank yang terkenal gahar seantero kampus.

Lucunya, teman cewek Aiko malah banyak. Kalau lagi jalan, ada

aja cewek yang menyapa sok kenal. Aiko cuma bisa menanggapi

dengan senyum tipis.

Meskipun banyak cewek yang pengin berteman, Aiko lebih memilih untuk menjalankan segala sesuatu seorang diri. Pagi-pagi datang ke kampus, kuliah, ke perpustakaan, dan pulang ke kosan.

Begitu setiap harinya. Ia tidak suka berlama-lama di kampus untuk

sekadar nongkrong atau ngecengin cowok-cowok ganteng seperti

yang dilakukan cewek-cewek kampus kebanyakan.

692770

Jam menunjukkan pukul 14.00 ketika Aiko memasukkan bukubuku kuliahnya ke tas. Ia bergegas menuju toilet cewek karena

kebelet pipis.

Ipank yang baru saja keluar dari ruang senat mahasiswa, dengan

cepat mengenali sosok Aiko yang memasuki toilet cewek. Ia langsung mengurungkan niatnya ke parkiran dan memilih menunggu

cewek itu di depan toilet sambil memutar-mutar gantungan kunci

motor.

Aiko keluar dari pintu toilet tanpa menyadari keberadaan Ipank

di sana. Ia malah sibuk menata buku-buku di tangannya yang cukup merepotkan. Buku itu ia gunakan untuk mengerjakan beberapa

tugas dari dosen. Para dosen memang lagi hot-hot-nya ngasih tugas

ke mahasiswa baru. Mumpung mereka masih alim dan manis, jadi

langsung dapat rentetan tugas meringkas buku kuliah yang tebalnya

bikin gila.

Ipank buru-buru menyamai langkah Aiko dan merebut bukubuku itu dari tangannya. "Aku bantuin."

"Eeeh nggak us?" Telat! Buku telah berpindah ke tangan

Ipank. Akhirnya Aiko cuma bisa diam, berjalan pelan sambil menunduk seperti biasa.

"Tadi pagi kok berangkat sendiri?"

Aiko diam saja.

"Harusnya tadi berangkat bareng aku aja, Ai..."

"Tadi kayaknya kamu masih tidur. Aku nggak enak ganggu."

"Udah bangun, cuma lagi olahraga di kamar. Pas keluar kamar,

aku malah kaget kamu udah berangkat sendiri."

"Nggak pa-pa kok, Pank. Aku udah biasa ke mana-mana sendirian."

"Berarti mulai besok jangan dibiasain. Minta anterin aku aja ya,

Ai."

702771

Aiko tak menjawab.

"Eh, gimana kuliahnya?"

"Baik."

"Dosennya galak-galak nggak?"

Aiko menggeleng.

"Pasti lagi banyak tugas deh. Sabar aja ya, semester satu emang

gitu."

"Iya."

Ipank nyaris kehabisan kata-kata dengan cewek di sebelahnya itu.

Habisnya, setiap kali ditanya, jawabnya singkat-singkat macam

SMS.

Aiko berjalan menjaga jarak agar tidak terlalu dekat. Ia tak enak

karena di sepanjang koridor jadi pusat perhatian. Di satu sisi ia

takut dikira kecentilan oleh senior. Di sisi lain, Aiko memang tak

per?nah nyaman menjadi pusat perhatian. Ia tidak pede.

"Pulang bareng ya," ajak Ipank sambil membalas sapaan orangorang di sepanjang koridor. Cowok itu cukup terkenal seantero

kampus. Masalahnya bukan hanya karena dia wakil senat mahasiswa

ataupun ketua pencinta alam, tapi juga banyak yang segan dengan

Ipank karena dia terkenal fair dalam berteman. Kalau dibaikin, dia

bakal jauh lebih baik. Begitu juga kalau dia dijahatin. Ipank bisa

berubah jadi monster.

"Aku mau ke perpus dulu."

"Aku tungguin aja."

"Nggak usah repot-repot, Pank."

Ipank tertawa kecil. "Tuh, kan. Aku kan pernah bilang, kapan

kamu pernah ngerepotin aku sih, Ai? Kan aku yang mau."

Aiko tak menanggapi ucapan Ipank. Dia memang selalu memaksa. Kemauannya harus dituruti. Jadi Aiko cuma bisa diam kalau

Ipank mulai ngotot.

"Eeeh, Ipank. Tumben ke perpus. Udah lama ndak nyari peta.

Biasanya kalo ke perpus pasti nanyain peta. Emangnya sekarang

712772

mau jalan-jalan ke mana lagi, nih?" sapa petugas perpus berkumis

yang kelihatannya sangat mengenal Ipank.

"Sore, Pak Narji kali ini saya nggak nyari peta. Saya cuma

nganterin," jawab Ipank sambil memberi isyarat ke arah Aiko

dengan dagunya. Wajahnya berseri-seri.

"Ooo ya ya saya mengerti," ucap Pak Narji sambil manggut-manggut dan tersenyum melihat Aiko berjalan menuju rak.

Ipank mendekat pada Pak Narji. "Gimana, Pak? Oke, nggak?"

Pak Narji terus memperhatikan gerak-gerik Aiko sambil mesammesem. "Cantik. Mukanya kayak boneka. Bisa saja kamu, Pank.

Baru juga masuk sudah diincar," goda petugas perpus itu sambil

merapikan kertas-kertas di mejanya. "Sepertinya dia sering ke perpustakaan."
Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Beeuuuh yang ini produk juara, Pak." Ipank mengubah posisi

tubuhnya. "Cantik, baik hati, pinter banget lagi!" ucap Ipank menggebu-gebu.

Pak Narji menatap Ipank. "Emang dia mau sama kamu,

Pank?"

"Yaaah Pak Narji gitu amat sama saya. Yang penting kan usaha dulu, Pak. Kalo dia nggak mau ya harus mau!"

"Itu namanya maksa." Pak Narji tertawa mendengar ucapan

Ipank barusan. Ia pun kembali sibuk dengan komputer di hadapannya, mengecek buku-buku baru yang masuk ke perpustakaan.

Ipank menengok sebuah buku berukuran tebal di meja Pak

Narji. Kemudian ia menggeser buku itu ke hadapannya. "Wiiih...

Ensiklopedia Indonesia? Baru, Pak?"

"Iya, baru kemarin masuk. Belum boleh dipinjam. Belum saya

cap soalnya. Besok baru boleh. Itu pun ndak bisa dibawa pulang.

H?arus baca di perpus. Buku langka soalnya. Ini saja sudah ada

yang waiting list," Pak Narji berkata sambil serius menatap komputer di depannya.

"Tebel aja nih buku," ucap Ipank sambil membolak-balik halaman Ensiklopedia Indonesia di tangannya. Meskipun hanya

722773

melihat-lihat sekilas, Ipank tahu betul bahwa buku di tangannya

itu memang bagus. Sampul tebal dengan halaman colorful. Fotofoto di dalamnya, yang menunjukkan keindahan alam dan budaya

Indonesia, diambil oleh tangan-tangan profesional. Birunya lautan,

hijaunya hutan, dan warna-warni Indonesia terlihat begitu memesona.

"Kayaknya tadi pagi cewek itu juga mau pinjam buku ini deh,

Pank. Kalo ndak salah sih...," ucap Pak Narji sambil berusaha mengingat-ingat.

"Oh ya? Ngapain, Pak?"

"Mana saya tahu? Sampeyan tanya sendiri saja sama orangnya."

Ipank nyengir. Kemudian ia membalik bagian belakang buku

tersebut dan mendapati nama Aiko berada di paling atas kartu daftar peminjam.

"Selamat membaca!"

Aiko menatap buku tebal yang disodorkan Ipank padanya ketika

me?reka di parkiran motor. Loh, ini kan buku yang tadi pengin aku

pinjam, tapi belum boleh sama perpus. Kenapa Ipank bisa pinjam"Ini..."

"Ensiklopedia Indonesia," ucap Ipank buru-buru memotong kalimat Aiko. Sorot matanya yang teduh menatap cewek mungil di

hadapannya itu. Menunggu reaksi yang akan keluar. Ia pun membalik halaman belakang buku dan menunjukkan nama Aiko yang

tertera dalam daftar waiting list. "Sesuai daftar, kamu peminjam

pertama," lanjut Ipank sambil menyunggingkan senyum.

Aiko mengerutkan kening. Heran seheran-herannya. Ia tak habis

pikir kenapa buku itu bisa sampai di tangan Ipank lebih dulu. Bahkan canggihnya, Ipank bisa membawa pulang buku itu. Jangan-jangan dia nyolong.

"Kok bengong?"

732874

Aiko menggigit ujung bibirnya.

"Kenapa?"

"Nggak usah deh..."

"Hm? Nggak usah apanya?"

"Bukunya."

"Kenapa?"

"Bukannya... buku itu nggak boleh di bawa pulang, ya?"

"Boleh, asal ada usaha."

"Maksudnya?"

Ipank diam. Senyum tipis tersungging di bibirnya. "Pokoknya

lusa udah harus balikin ke perpus, ya."

"Beneran nggak apa-apa dibawa pulang?"

"Aku yang tanggung jawab," jawab Ipank santai sambil melihat

jam di tangannya. "Masih sore. Ikut yuk."

"Ke mana?"

"Ke... Yaah, jalan-jalan."

"Mmm, nggak usah deh, aku langsung pulang aja."

"Oh, nggak bisa. Kamu harus ikut aku, Ai."

Kening Aiko langsung berkerut. Bingung.

Melihat ekspresi Aiko, Ipank langsung nyengir. "Kamu tuh kalo

nggak dipaksa nggak bakalan mau soalnya."

"Aku..."

"Ai..." Ipank menatap dalam manik mata gadis itu. Mata terindah yang pernah ia lihat. Mata yang selalu bikin hatinya adem

dalam situasi apa pun. "Kamu nggak bisa ya, percaya sama aku?"

Aiko merasa tak enak hati. Bukannya dia tidak percaya dengan

Ipank, dia cuma segan. Dia juga belum pernah diajak pergi cowok,

berdua pula. Ia menggigit ujung bibirnya. "Mmmm... Yaudah, tapi

pulangnya jangan malem-malem. Nggak enak sama Eyang Santoso,"

ucap Aiko pelan.

Ipank tersenyum sembari memberikan helm kepada Aiko. "Iya,

anggep aja kamu nemenin aku jalan-jalan sebagai ucapan terima

742875

kasih udah aku pinjemin Ensiklopedia Indonesia," jawab Ipank sekenanya. Padahal siapa juga yang minta dipinjemin.

Sebenarnya, usaha Ipank untuk merayu Pak Narji agar diperbolehkan meminjam buku keramat itu lumayan sinting. Selama tiga

hari ke depan berturut-turut Ipank rela disuruh Pak Narji membantu mengembalikan buku-buku perpustakaan yang habis dipinjam

ke raknya masing-masing sesuai kode yang tertera. Asal tahu saja,

perpustakaan Universitas Pelita terdiri atas tiga lantai full rak buku.

Bayangkan saja kalau setiap harinya ada puluhan judul buku yang

dipinjam dan harus dikembalikan lagi ke raknya masing-masing.

Kalimat terakhir Pak Narji sebelum Ipank membawa buku itu

pulang, "Nanti kalau kamu jadian sama cewek itu, Pak Narji wajib

ditraktir!"

Bangunan unik dengan atap menyerupai pelepah pisang menyapa

Aiko dan Ipank. Suasana sejuk nan tenang begitu terasa ketika

mereka memasuki komplek museum itu. Letaknya yang strategis

karena berada di garis Kali Code, Jogja, membuat tempat itu selalu

menarik perhatian orang-orang yang lalu lalang di depannya.

Ipank melepas jaketnya dan menatap menara tinggi yang selalu

ia lihat ketika melintasi jalan. Sudah lama sekali ia ingin mengunjungi museum ini, tapi belum nemu waktu yang pas. Ia bingung harus dengan siapa datang ke museum itu. Kemudian ia

kepikiran untuk mengajak Aiko yang memang senang melukis.

Ngajak Seno? Boro-boro dia tertarik dengan lukisan. Dia baru

tertarik kalau lukisannya cewek bugil.

Aiko terbelalak menatap arsitektur bangunan di depannya. Matanya nyaris tak berkedip. Ia tak pernah menyangka Ipank akan

membawanya ke tempat ini. Tempat yang dari dulu ingin sekali ia

datangi karena merupakan kediaman salah satu pelukis favoritnya.

Rasa takut Aiko pada Ipank nyaris terlupakan.

752876

Ipank sadar betul kalau cewek yang dibawanya itu terkagum-kagum dengan tempat itu. Sakuranya sedang terpesona. Terlihat dari

mata Aiko yang terus-menerus menatap setiap detail bangunan artistik tersebut. "Katanya, museum ini didesain sendiri sama Pak

Affandi. Dan atap itu..." Ipank menunjuk pada salah satu atap

bangunan. "...menurut cerita, Pak Affandi pernah kehujanan dan

beliau memakai pelepah pisang untuk menutupi lukisannya yang

masih basah. Makanya jadi inspirasi bentuk atap bangunan ini."

Aiko masih tertegun. Affandi adalah salah satu maestro lukis

Indonesia yang membuat Aiko percaya bahwa melukis mampu merefleksikan segala hal dalam kehidupan manusia. Melukis itu soal

rasa. Dan Aiko meyakini bahwa setiap lukisan mampu bercerita.

"Masuk, yuk!" ajak Ipank sambil memasukkan kedua tangannya

ke saku jaket. Ia sengaja berjalan lebih dulu untuk membuat Aiko

merasa nyaman bersamanya. Ipank merasa Aiko masih takut padanya.

Kompleks museum ini terdiri atas tiga buah galeri yang disusun

sedemikian rupa agar terlihat indah. Udara di pekarangannya amat

sejuk. Mungkin karena banyak pohon yang ditanam di sana.

Galeri pertama berisi lukisan-lukisan karya Affandi dengan berbagai media. Mulai dari cat air, cat minyak, pastel, dan sebagainya.

"Mitsubisi Gallant ?76. Wuiidiih kereen..."

Aiko yang sedang asyik menikmati lukisan di dalam galeri langsung menengok ketika Ipank berjalan semangat mendekati sebuah

objek di sudut ruangan.

"Ai, lihat deh."

Aiko berjalan mendekat, kemudian ikut memperhatikan sebuah

mobil kuno bercat kuning ngejreng yang dipajang di ruangan tersebut.

"Mobilnya Pak Affandi dulu," jelas Ipank semringah. "Dari dulu

aku suka banget mobil kuno. Desainnya lebih artistik. Seksi, vintage.

Tapi masalahnya, mobil-mobil zaman dulu itu boros bahan bakar."

762877

Aiko manggut-manggut aja. Pura-pura mengerti. Gadis itu memang tidak berani berkomentar, takut dianggap sok tahu. Tapi jujur saja, ia masih berpikir betapa kerennya museum yang ia datangi

sekarang. Semuanya tertata rapi. Keluarga Pak Affandi merawatnya

dengan sangat baik. Dan katanya, pengunjung museum ini lumayan

banyak. Memang seperti itulah penghargaan yang seharusnya kita

berik?an kepada para seniman yang telah mengharumkan nama

Indonesia.

Selama melihat-lihat lukisan, Aiko teringat cerita Ibu dulu

mengenai Ken Yamasaki, kakeknya. Kakeknya sangat menyukai mata?hari. Hal pertama yang selalu beliau ceritakan ketika berkunjung

ke suatu tempat adalah mataharinya. Bagaimana matahari terbit di

Mahameru, warna matahari di ujung Banda, hingga sinar matahari

yang terlihat seperti kristal menyala di Wakatobi. Itu juga yang

Aiko tangkap pada beberapa lukisan Affandi di museum ini.

"Pak Affandi penggemar matahari..."

Aiko terenyak. Apalagi ketika ia menyadari kalau Ipank sudah

berdiri sangat dekat dengan punggungnya. Detak jantungnya mulai

berantakan. Sekujur tubuhnya merinding, salah tingkah.

"...Matahari seperti simbol kehidupan beliau. Nggak pernah lelah

memancarkan cahaya. Memberi tanpa pernah meminta kembali.

Pak Affandi menyukai kehangatan. Kadang ia melukis di waktu

yang berbeda untuk memperoleh kehangatan yang berbeda. Dan

lukisan itu..." Ipank menunjuk pada sebuah lukisan yang terpampang di salah satu tembok, "Dari dulu aku paling suka lukisan

itu."

"Borobudur di pagi hari."

Ipank tersenyum dan menganggukkan kepalanya ketika Aiko

menyebut judul lukisan yang dimaksudnya. Salah satu lukisan

Affandi yang terkenal seantero negeri.

Aiko membalikkan badannya, menatap wajah Ipank karena kaget

dengan kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut cowok itu. Aiko

tidak pernah tahu kalau Ipank juga menyukai lukisan, mengingat

772878

perilakunya yang selalu membuat Aiko jantungan karena tidak sabaran. Nyaris mustahil dia betah berlama-lama memandangi satu

lukisan hanya untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya. Aiko buru-buru memalingkan wajahnya dan berlagak melihatlihat lukisan lain saat diam-diam ia merasa aneh menatap Ipank

seperti itu.

Puas melihat-lihat koleksi lukisan museum Affandi, Ipank mengajak Aiko ke salah satu bangunan di sudut kompleks museum.

Bangunan itu berupa menara tinggi yang menghadap ke seluruh

penjuru. Dari dulu Ipank penasaran ingin berdiri di atas menara

itu. Kata orang-orang, Jogja terlihat lebih indah dari atas sana.

Aiko pasrah mengikuti keinginan Ipank. Ia cuma segan. Sepertinya Ipank memang memiliki gesture yang bisa membuat orangorang segan. Perlahan, satu per satu anak tangga menuju puncak

menara ia naiki. Wajahnya mendadak pucat ketika ia mencoba menengok ke bawah.

"Pelan-pelan, Ai." Ipank begitu perhatian mengamati langkah

gadis itu dari belakang. Ia takut Aiko merasa tak nyaman dengan

dirinya. Khawatir salah tingkah juga kalau jarak mereka terlalu

dekat.

Sampailah mereka di puncak menara. Binar yang terpancar dari

mata Ipank menunjukkan betapa senangnya ia berada di sana. Ketika telapak kakinya menyentuh lantai, Ipank langsung menarik napas panjang sambil memejamkan matanya. "Akhirnyaaa... bisa juga

aku ke sini."

"Bagus."

Ipank menanggapi ucapan Aiko dengan senyuman bangga. Ya,

dari tempat itu tampak seluruh bagian kompleks museum, rumahrumah kecil di sekeliling, ramainya jalur Jogja-Solo, hingga aliran

air dari Sungai Gajah Wong.

"Harusnya kamu berdiri di sini, terus aku dateng pake magic

carpet jemput kamu. I can show you the world...," ujar Ipank menyanyikan satu bait lagu A Whole New World?soundtrack film

782879

Aladin?sambil merentangkan tangannya lebar-lebar. Perilaku yang

aneh untuk seorang Ipank yang biasanya tampak kaku di hadapan

Aiko.

Aiko pun tertawa renyah.

Tawa itu... Sakura gue tertawa....

Ipank suka sekali melihat Aiko tertawa. Soft. Tidak berlebihan.

Tapi seperti mengandung zat adiktif yang membuat Ipank ketagihan
Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihatnya. C?mon, Aiko, tertawa lagi...

Tatapan Ipank ternyata malah membuat Aiko menghentikan

tawanya dan bertanya heran, "Kenapa?"

Ipank terbangun dari kekagumannya. Buru-buru ia bersikap

sesantai mungkin. "Ah, nggak. Aku cuma lagi mikir."

Aiko mengangkat kedua alisnya.

"Pernah ada yang bilang nggak, kalau cara kamu ketawa itu...

indah?"

"Hm?"

"Ah, nggak lupain aja."

Aiko masih bingung dengan pertanyaan Ipank barusan. Tidak

terlalu jelas. Tapi ia tidak terlalu peduli karena saat ini ia masih

terkagum-kagum dengan suasana museum Affandi.

"Aku pernah dengar kalo sebenarnya melukis adalah soal rasa.

Jadi misalnya aku melukis saat ini juga, apa kamu bisa tahu apa

yang lagi aku rasain, Ai?" Pelan, bahkan nyaris berbisik, Ipank kembali berkata tanpa mampu didengar oleh gadis yang tengah mengagumi keindahan panorama dari atas menara. Harusnya kamu tahu,

Ai...

Pukul 02.00 dini hari, waktu San Fransisco.

Suara telepon memecah kesunyian pagi. Kamar tidur berukuran

3x4 meter itu terlihat gelap. Seorang cowok yang mirip Bima tengah tertidur nyenyak berselimut biru tua.

792980

Wajar saja wajahnya mirip Bima. Cowok itu memang adik kandung Bima. Oscar namanya. Meskipun terlihat seperti anak bandel,

ia sangat menyayangi pacarnya, yang juga penghuni kos-kosan

Soda, Dara.

Ada yang bilang long distance relationship itu tidak akan berlangsung lama. Tapi sepertinya hal itu tidak berlaku untuk mereka

berdua. Buktinya hubungan mereka baik-baik saja. Tak ada satu

pun dari mereka yang punya niat untuk selingkuh.

Telepon Oscar tiba-tiba berkedip-kedip. Cowok itu bangkit dari

tempat tidurnya sambil menengok ke arah jam digital di meja di

sampingnya. "What the!!!" nyaris Oscar mengumpat. Tak percaya

ada telepon di pagi buta. Ia mengangkatnya dan dari suaranya ia

langsung tahu siapa yang menelepon. "What?s up?"

"Halo?"

"C?mon, Bima, it?s two a.m. Call me later, okay?"

"Oscar, ada yang mau ngomong sama kamu, nih," jawab Bima

di telepon.

Oscar mengusap-usap rambutnya yang berantakan sambil mengumpulkan rohnya.

"Oscar?"

Mata Oscar yang masih lima watt mendadak lebar. Ia membenarkan posisi duduknya. Dan senyum tersungging di bibirnya.

"Heeey, my lovely Cinderella"

"Kamu apa kabar, Os?" tanya Dara di telepon.

"Baik! Baik banget malahan. Yah, paling nggak sejak beberapa

detik yang lalu."

Terdengar Dara tertawa di telepon. "Kamu kapan ke Jogja,

Os?"

"Sekarang."

"Hm?!?"

"Kalo kamu mau aku sekarang ke Jogja, aku terbang sekarang,

nih"

"Aku serius, Oscar..."

802981

"Kapan aku nggak serius sama kamu, sih?"

"Emang kamu libur?"

"Hmmm bisa dilibur-liburin kok."

"Oscar aku serius. Bisa ke Jogja nggak akhir tahun ini?"

Oscar tertawa. "Well, hmm akhir tahun, ya? Hmm.. oh, okay.

Bisa aku usahain."

"Makasih ya"

"Your welcome, Dear. Eh, emangnya ada apa sih?"

"Hmmm, anak-anak Soda mau liburan ke Lombok. Jadi...

ya..."

"Jadi kamu mau aku ikut?"

"Ya... hmmm... itu kalo kamu bisa, sih. Kalo nggak bisa juga

nggak apa-apa kok."

"Kamu kangen sama aku?"

"Hm? Kok pertanyaannya nggak nyambung, sih?"

"Yaudah aku nggak jadi ke Jogja kalo gitu."

"Yah, kok gitu?"

"Bilang dulu dong Oscar aku. kangeeen banget sama kamuuu"

"Centil!"

"Boleh dong."

"Oscar aku kangen banget sama kamu. Udah."

"Mmmuah-nya dong."

"Duh, apaan sih? Ngelunjak! Centil ah!"

Oscar tertawa. "Sampai ketemu liburan akhir tahun ya,

Gulali."

"Iya, sampai ketemu ya, Os"

"Love you, Dara."

"Love you, too Oscar."

"Miss me?"

"Mmmm, iya."

"So, we?ll meet up... soon."

812982

Dara lagi mesam-mesem sendiri sepanjang malam. Tadi siang ia

menelepon Oscar. Gini nih, enaknya long distance relationship.

Meski?pun cuma ngobrol beberapa saat, rasa senangnya sampai ke

ubun-ubun.

Saking senangnya si Dara, Jhony sampai kesal setengah mati.

Dara tak henti-hentinya menggoda Jhony yang sedang seru nonton

sinetron kesukaannya.

"Hey! Kau berisik kali, Gulali! Gimana aku bisa konsentrasi

nonton kalo begini!" Jhony berkata dengan kesal. Bukan hanya

kesal karena Dara terus mengganggunya, tapi juga bantal sofa yang

biasa ia gunakan untuk menimpuknya, kini aman di genggaman

Dara. Itu yang membuatnya kalah telak dengan Dara. Satu-kosong.

"Cari pacar gih, Bang. Biar bisa ngerasain yang namanya jatuh

cinta."

"Eh, kau itu kalo lagi jatuh cinta jangan pamer. Abang yang

selalu digilai dan dicintai banyak wanita saja tetap rendah hati begini."

"Gila! Gila! Gila!"

"Sial, kau!"

"Huahahaha..."

Mendadak pintu kosan Soda terbuka. Dengan cepat Aiko melangkah masuk. Ia sempat menengok pada Dara dan Jhony yang

menatapnya tanpa suara. "Malem," sapa Aiko pelan seperti biasa.

Jhony dan Dara berpandangan ketika Aiko kembali melangkahkan kakinya langsung menuju kamarnya.

Tak lama kemudian Ipank muncul sambil membuka jaketnya. Ia

membalas tatapan Dara dan Jhony.

"Heemm pasti ini biangnya," ucap Jhony pada Dara.

822983

"Ngapain pada liat-liat?"

"Si Aiko kenapa tuh?" Jhony malah balik bertanya.

"Yaah... mulai lagi deh kepo-nya." Ipank melompat ke sofa dan

duduk dengan santai. Ia memejamkan mata sesaat sambil menyandarkan kepala.

"Kepo?" Jhony pasang muka bingung sambil menengok ke arah

Dara. "Kepo apaan, sih?"

Melihat ekspresi Jhony yang kebingungan, Dara cengar-cengir.

"Knowing Every Particular Object," jawab Ipank dengan bahasa

Inggris yang fasih.

"Alias mau tauuu aja," Dara buru-buru menimpali.

"Ah, kau ini. Aku serius, Pank."

"Kayaknya nggak lama lagi cewek itu bakalan jatuh cinta sama

aku."

"Maksud kau?" Jhony mencoba mencerna kalimat Ipank. Kemudian ia kembali menegaskan pertanyaannya. "Maksud kau Aiko?"

Ipank mengangkat kepalanya dan mengangguk.

"Yee... itu mah situ yang pengin, Mas." Dara mencibir kalimat

terakhir Ipank. "Eh, serius nih. Nggak ada apa-apa kan sama

Aiko?"

"Tanya aja sama orangnya."

"Siap!" Dara yang selalu antusias sama gosip baru langsung beranjak dari tempat duduk, melempar bantal ke arah Jhony dan

setengah berlari ke kamar Aiko.

"Kalo sampai aku denger Aiko kenapa-kenapa gara-gara kau, aku

yang akan ngadepin kau, Pank!"

Ipank tertawa kecil. "Ya nggak mungkinlah. Nggak usah ngancem aku. Cewek itu nggak bakalan kenapa-kenapa." Ipank mengubah posisi duduknya, menatap Jhony. "Kamu kan tahu kalo aku

suka banget sama dia dari dulu. Jadi aku nggak bakalan ngebiarin

orang lain nyakitin dia se.he.lai.ram.but.pun!"

"Bukan orang lain, Pank. Tapi bisa aja kau yang justru nyakitin

dia nanti."

832984

Ipank terdiam sejenak. Kemudian ia kembali menyandarkan kepalanya, menatap langit-langit rumah. "Itu lebih nggak mungkin lagi!

Tapi kalo pun itu terjadi, aku akan biarin dia membunuh hati ini

dan menyayat-nyayatnya perlahan"

"Jiaaah... sok pujangga kali kau! Mual aku dengarnya."

Ipank tertawa. Tangan kanannya iseng membenarkan ikatan-ikatan gelang di tangan kirinya.

Kepala bonsai Jhony mendadak tersandar di sebelah Ipank. Matanya ikut menatap langit-langit rumah. "Kau serius dengan Aiko,

Pank."

"Aku mau nikahin dia, Jhon."

Sontak Jhony mengangkat kepalanya kembali dan menatap

Ipank. Wujud mukanya sangat aneh. Alis menyatu, mata melotot,

dan bibir monyong.

"Nggak sekarang, Jhon... tapi nanti. Kalo waktunya tepat."

"Gila kau, Pank. Hampir saja jantungku melompat keluar lewat

tenggorokan saking kagetnya."

"Hahaha..."

Hari ini... Sakura gue tertawa lagi. Matanya jernih bersinar seperti

mutiara di kedalaman lautan. Mutiara yang membuat penyelam tolol

seperti aku akan kehabisan oksigen karena terpesona dengan keindahannya. God, I?ll do anything just to see her smile again and again...

Yes, I?m addicted.

Sambil menatap malam, Ipank duduk santai di salah satu dahan

pohon yang tumbuh di depan kosan. Ini adalah tempat favoritnya

untuk menenangkan pikiran. Ipank berusaha mencari posisi senyaman mungkin. Ia kemudian mengeluarkan rokok dari saku jaket

dan membakarnya. Embusan asap yang keluar dari mulutnya membumbung tinggi ke langit malam yang terang oleh cahaya bintang.

Sepi

842985

Dahan pohon ini merupakan saksi bisu segala kekecewaan, emosi, kesedihan, serta kebahagiaan Ipank. Sejak kecil ia senang sekali

duduk di tempat ini. Setiap kali emosinya meledak, Ipank kecil

akan berlari dan memanjat pohon ini untuk menenangkan diri.

Kata Eyang Santoso, ketika kita dihadapkan pada masalah, carilah tempat tertinggi untuk bisa melihat permasalahan secara keseluruhan. Maka akan terlihat jalan keluarnya. Itulah pesan Eyang

Santoso yang selalu Ipank ingat.

Di kamar Eyang Santoso, Aiko menunjukkan buku Ensiklopedia

Indonesia yang Ipank pinjamkan dari perpustakaan kampus.

"Ini buku langka, Ai," ujar Eyang Santoso sambil membolakbalik halaman buku itu dan berhenti pada satu halaman. Pancaran

mata lelaki tua itu mendadak berkilau. Seakan ia teringat sesuatu.

"Tempat ini..."

Aiko mendekat untuk membaca halaman yang dimaksud. Taman

Nasional Bukit Duabelas, Jambi.

"Eyang rindu sekali tempat ini. Kawasan hutan hujan tropis yang

banyak ditumbuhi tanaman dan hewan langka yang dilindungi.

Aliran sungai yang indah... Tempat ini mengagumkan, Aiko..."

"Eyang pernah ke sana?"

Mata Eyang Santoso berkaca-kaca. "Eyang pernah mengajar suku

anak dalam yang tinggal di tempat itu. Wah... itu adalah pengalaman yang paling ndak terlupakan." Semangat keluar dari ekspresi
Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajah beliau. "Masyarakat umum banyak yang berpikir kalau orang

rimba itu berbahaya, salah besar. Orang rimba sangat menjaga kelestarian budaya mereka dari pengaruh luar. Eyang ingat betul ketika

mengajar di sana, pagi-pagi sekali Eyang harus mengayuh sepeda

dari rumah kepala desa tempat Eyang menginap, ke tengah hutan

untuk mengajar."

Aiko mendengarkan cerita Eyang Santoso sambil membayangkan

dalam imajinasinya. Seperti ketika ia ingin mulai menggambar. Ia

akan memulainya dengan sebuah warna dominan. Hijau. Ya, warna

itu yang terbayang pertama kali di benaknya saat ini.

853086

"Anak rimba menyebut sekolah dengan sokola. Mereka senang

sekali menggambar. Kalau jenuh belajar, mereka akan menggambar

apa pun yang mereka lihat sehari-hari. Binatang, tumbuhan, atau

kadang menggambar hutan. Tapi sayangnya, tenaga pengajar di sana

waktu itu minim sekali. Mungkin karena sulit menjangkau tempat

tersebut."

Aiko menatap wajah Eyang Santoso yang bersinar. Entah apa

yang dimiliki lelaki tua itu sehingga mampu mengalirkan kedamaian di hati anak-anak Soda. Ia layaknya sosok pengajar yang

akan menenangkan hati murid-muridnya.

Kelak Aiko ingin sekali melukiskan Taman Nasional Bukit Duabelas itu untuk Eyang Santoso. Ia bisa merasakan gejolak perasaan

yang diekspresikan melalui setiap kalimat yang keluar dari mulut

beliau. Tempat itu seperti menyisakan memori indah di hati Eyang

Santoso.

"Oiya, Ibumu tadi menelepon dari Lombok," ujar Eyang Santoso

tenang, lalu menatap Aiko sambil menghela napas panjang. "Beliau

menanyakan kabarmu. Eyang bilang kamu sehat walafiat dan baru

menikmati masa-masa jadi mahasiswi baru."

Aiko tersenyum membalas tatapan Eyang Santoso.

"Lebih baik kamu telepon balik ibumu, Ai."

Aiko mengangguk tanpa menghilangkan senyum di bibirnya. Ia

menatap Eyang Santoso. Lelaki tua itu sangat mirip dengan almarhum kakeknya. Sekilas ia mengingat belasan tahun lalu saat ia

kehilangan kakek yang sangat ia cintai.

Kakek Aiko meninggal dunia ketika mengikuti ekspedisi pendakian ke Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, dan Gunung

Slamet. Karena terjebak badai dan kehabisan stok oksigen di tengah

perjalanan, kakeknya bersama tujuh pendaki lain sudah lemas ketika ditemukan oleh tim SAR. Nyawa mereka masih bisa diselamatkan, kecuali Kakek Aiko. Beliau meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.

Setelah ayah dan ibu Aiko bercerai, Aiko yang beranjak dewasa

863087

sengaja dititipkan ibunya pada Eyang Santoso karena ia telah

mengenal keluarga Adiwojoyo dengan baik. Itu pun atas rekomendasi Ken Yamasaki, kakek Aiko, yang merupakan sahabat terbaik Eyang Santoso sedari muda dulu.

"Oiya, rencana anak-anak Soda liburan akhir tahun ke Lombok

jadi, Ai?"

Aiko mengangguk. "Mudah-mudahan jadi, Eyang."

"Kalau Eyang masih kuat, pasti Eyang ndak mau ketinggalan.

Eyang kangen Lombok. Tempat itu penuh kenangan..."

Aiko baru saja keluar dari kamar Eyang Santoso, menuju dapur

untuk mengambil segelas air putih hangat. Kebiasaannya sebelum

tidur.

Di ruang bawah, Jhony, Saka, Dara, dan Bima ternyata belum

tidur. Mereka sedang asyik main kartu kwartet edisi Pinokio milik

Jhony. Di saat orang-orang bermain playstation, si Kribo masih saja

setia dengan permainan jadul itu. Kalau masuk ke kamar Jhony,

rasanya seperti menjelajahi mesin waktu dan kembali ke tahun 70
an. Mulai dari radio sampai poster-poster film yang ditempel di

dindingnya, vintage banget.

Sepertinya malam ini Bima menginap di kosan Soda. Cowok itu

memang sering menginap di sini kalau malas pulang ke rumah.

Maklum, Bima di Jogja sendiri. Orangtuanya tinggal di Jakarta

karena berbisnis di sana. Sementara adik semata wayangnya, Oscar,

kuliah di Amerika.

Lagi seru-serunya main kwartet, mendadak mati lampu. Ruangan

menjadi gelap gulita.

"YAAAHHH!!!" teriak kompak anak-anak.

"Hey, mati lampu ya? listriknya turun barangkali. Coba kalian

te?ngok kotak listriknya!" Terdengar teriakan dari kamar Eyang

Santoso.

873088

"Aku diam di tempat saja!" Yak! Seperti biasa. Jhony memang

paling lemah tak berdaya kalau mati lampu begini. Dia penakut.

Baginya lebih baik merem tidur daripada melek melihat yang

horor-horor.

"Iya, Eyang!" Dara menjawab teriakan Eyang Santoso sambil

beranjak dari tempat duduknya. Perlahan ia berjalan menuju dapur,

mencari lilin untuk penerangan sementara.

"Kamu taruh senter di mana, Sak?" Bima bertanya pada Saka

sambil membantu mencari senter.

"Biasanya ada di laci dapur, Mas."

Baru saja Saka menjawab, secercah cahaya muncul di tengahtengah kegelapan. Aiko yang berada di dapur dengan cepat mengambil senter di laci. Cahaya itu pula yang membantu Dara menemukan lilin di salah satu lemari dapur.

"Korek-korek. Ada yang punya korek?"

"Pakai api dari kompor aja, Dar." Bima menyalakan kompor dan

meminta lilin dari tangan Dara.

Satu lilin menyala. Dara membawanya menuju kamar Eyang

Santoso di lantai atas.

Perlahan Aiko dan Saka keluar pintu teras. Saka membawa senter

dari tangan Aiko dan berjalan memutar ke belakang rumah untuk

menge?cek kotak listrik. Sementara Aiko menunggu di teras depan.

Untuk menghilangkan rasa takutnya, Aiko melipir ke tembok.

Ia berjalan perlahan menuju gerbang untuk memastikan, mati lampu itu karena listrik turun atau memang pemadaman seluruh rumah di kompleks itu.

Sebelumnya memang sempat ada pemberitahuan bahwa

kompleks mereka akan kebagian pemadaman listrik bergilir karena

gardu listrik di daerah tersebut terbakar. Kalau memang begitu, ya

terima aja.

Malam ini begitu dingin, gelap gulita, dan sedikit terang oleh

cahaya bulan purnama. Seseorang menarik tubuh Aiko ke balik

883089

mobil tua yang terparkir di depan kosan. Ingin rasanya Aiko berteriak sekencang-kencangnya, tapi tangan orang itu membungkam

mulutnya rapat-rapat. Seketika kepanikan dan ketakutan menjalari

tubuh Aiko.

Tolong... teriaknya dalam hati.

"Ssst... ini aku. Kamu jangan teriak," bisik cowok itu yang wajahnya kini berjarak beberapa senti di hadapannya. Aiko menelan

ludah. Detak jantungnya terdengar jelas di antara kegelapan. Wajahnya terlihat tegang. Sesaat cowok itu mengagumi wajah Aiko. Saking takjubnya, dia nyaris lupa apa yang sedang dia lakukan. Ipank

pun kembali mengintip dari balik mobil memastikan sekelilingnya.

Perasaan Aiko berangsur-angsur tenang ketika mengetahui bahwa

cowok yang menariknya itu adalah Ipank. Meski ia sempat shock

karena jarak mereka yang terlalu dekat. Tapi kenapa ia menarik

Aiko untuk bersembunyiBelum sempat pertanyaannya terjawab, Aiko berhasil menangkap

sosok lelaki berdiri di salah satu pohon di pekarangan, seakan memanfaatkan kegelapan untuk bersembunyi.

Sorot mata Ipank begitu tajam seperti elang yang siap memangsa.

Ia memberi tanda pada Aiko dengan telunjuk di bibirnya, agar

Aiko tidak bersuara. Entah kenapa hal itu membuat jantung Aiko

kembali berdetak kencang. Siapa cowok yang bersembunyi ituTanpa perhitungan, Ipank melejit keluar dari persembunyian

mere?ka. Bersamaan dengan sosok yang keluar gerbang. Sekuat tenaga Ipank mengejarnya. Tapi sayangnya lelaki itu jauh lebih cepat.

Ia melesat bak kilat di malam hari.

Listrik kembali menyala. Aiko berlari memanggil anak-anak lainnya. Mereka buru-buru keluar rumah dan berlari mendekati Ipank

di depan gerbang kosan.

"Ah, brengsek!" umpat Ipank ketika melihat anak-anak Soda

berdatangan. "Aku hampir aja nangkep orang itu!"

"Siapa dia?"

893090

"Maling mungkin," tebak Aiko dengan muka yang masih

pucat.

"Kamu liat mukanya? Ciri-cirinya?" Bima ikutan tegang.

"Dia pake topi. Jadi mukanya nggak terlalu jelas. Badannya

nggak jauh beda sama aku kayaknya." Ipank menjawab dengan napas yang masih memburu dan tatapan lurus tepat ke arah orang

tadi menghilang.

Ada yang aneh. Ya, ada yang aneh dengan kejadian ini. Kalau

memang lelaki itu maling, berarti dia punya nyali yang sangat besar

sampai berani masuk ke pekarangan rumah ini. Atau paling tidak,

ia punya senjata berbahaya karena ia seorang diri. Ipank yakin sekali kalau orang itu hanya sendiri.

Aiko memulas lipgloss beraroma cherry di bibir mungilnya. Hari ini

ada kuliah pagi. Makanya pukul 07.00 dia sudah siap dengan

cardigan ungu mudanya.

Baru saja ia membuka pintu teras, Ipank sudah berdiri di salah

satu pilar rumah sambil mengisap rokoknya. Ipank tersenyum ketika melihat Aiko muncul.

Aiko berusaha mengatasi keterkejutannya. Namun ia menunduk

dan berlagak santai lewat di depan Ipank.

"Biar aku anter ke kampus, Ai," ucap Ipank lembut sambil menjatuhkan, dan menginjak puntung rokoknya di tanah.

"Nggak usah, Pank. Kamu kan nggak ada kuliah pagi."

"Kamu tau dari mana aku nggak ada kuliah pagi?" tanya Ipank

sambil tersenyum simpul. Nyaris tertawa.

Aiko menatap Ipank heran. "Tau dari mana kalo aku mau ke

kampus?" Aiko balik bertanya dengan nada menjebak.

Ipank menatap Aiko dari sudut matanya sambil tersenyum. Seakan apa yang dilontarkan Aiko barusan adalah pertanyaan yang

sa?ngat bodoh. Ia kemudian merogoh saku jaketnya dan mengambil

903091

sebuah lipatan kertas. Dengan cepat cowok itu membuka dan menunjukkannya di depan wajah Aiko.

Aiko sontak kaget melihat apa yang tertulis di kertas itu. Jadwal

mata kuliah yang diambil oleh Aiko selama satu semester. HahIpank dapet dari mana"Jadi sekarang aku anterin," Ipank berkata penuh kemenangan

sambil memasangkan helm di kepala Aiko dan mengaitkan tali?nya.

Aiko cuma bisa pasrah. Ipank memegang jadwal kuliahnya. Oke,

mungkin banyak cewek di kampus yang mati-matian ingin dekat

dengan Ipank karena dia adalah salah satu orang yang paling berpengaruh di kampus. Jabatan wakil ketua senat dan ketua pencinta

alam bukan jabatan main-main di kampus. Banyak cowok yang

mengincar jabatan keren itu.

Tapi yang jelas, Aiko bukan satu dari sekian banyak cewek ?horeterse?but. Semakin hari, Aiko semakin takut dengan Ipank. Semua

hal tentang dirinya, Ipank tahu. Sedetail-sedetailnya. Mungkin saat

ini, baginya Ipank adalah orang yang patut diwaspadai. Pemikiran

itu wajar mengingat kelakuan Ipank selama ini yang menurutnya

berlebihan. Apalagi setelah Aiko masuk kampus yang sama dengannya. Hufff!

"Ipank..."

"Ya?"

"Bisa nggak, kamu... nggak usah segitunya sama aku."

"SLACK, SENO! SLACK!"

Ipank berteriak pada Seno yang tengah menjaga tali di bawah.

Pukul satu siang adalah saat matahari tepat di atas ubun-ubun.

Ipank tengah asyik dengan dinding panjatnya. Menggapai satu poin

ke poin lain untuk mencapai puncak tertinggi.

Seno bertugas menjaga tali Ipank dari bawah. Dengan cekatan

mengikuti perintah Ipank untuk mengendurkan tali.

913192

"Ayo Ipank, kamu bisa!!!" teriak histeris cewek-cewek yang menontonnya. Sementara mereka sibuk dengan berbagai benda untuk

menutupi panas matahari dari wajah cantik mereka.

Sudah menjadi hal yang biasa setiap kali giliran Ipank latihan

manjat, pasti di sekitar wall climbing mendadak ramai oleh cewekcewek. Mereka berkumpul di bawah pohon untuk menghindari

se?ngatan matahari siang, waktu yang paling disukai Ipank untuk

memanjat. Dan Andari adalah penonton setianya yang tak pernah

absen sekali pun.

"Duileh, giliran Ipank yang manjat rame bener kayak pasar malem. Kalo pas aku aja sepinya kayak kuburan," cela Seno sirik pada

cewek-cewek yang sibuk meneriaki Ipank.

"Kalo cowok ganteng manjat kan jarang-jarang. Tapi kalau liat

mo?nyet manjat mah udah biasa," jawab salah satu cewek yang tampak cuek.

"Ipank kalo lagi manjat tuh seksi. Liat tuh perutnya six pack
Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gitu. Wuuiiih," ujar Sastri. "Emangnya situ. Perutnya bukannya

six pack, tapi six month. Kayak ibu-ibu hamil enam bulan.

Huahaha"

Cewek-cewek kompak tertawa mendengar ucapan Sastri. Membuat Seno justru semakin senang dengan tanggapan demikian.

Cinta bisa berawal dari sebuah ejekan. Begitu menurutnya. Dan

sepertinya hanya berlaku untuk dirinya saja.

Keringat menetes di kening Ipank. Dengan konsentrasi penuh ia

berusaha mengincar poin di arah jam satu. Ia menengok ke bawah

sesaat, memberikan aba-aba pada Seno untuk merenggangkan talinya. "SENO, SLACK!"

Bersamaan dengan itu, Ipank melihat sosok Aiko yang sedang

berjalan di koridor kampus. Mendadak seluruh konsentrasinya buyar. Ia melepaskan cengkeramannya pada poin, tubuhnya langsung

terempas. Dash!

Seno yang tadinya asyik ngobrol dengan cewek-cewek, langsung

panik ketika Ipank mengempaskan tubuhnya. Ia dalam posisi tidak

923193

siap karena tadi Ipank baru saja memintanya merenggangkan tali.

Secepat mungkin Seno menarik talinya sementara cewek-cewek

yang terkejut dengan situasi itu kontan jejeritan.

Dalam jarak kurang dari dua meter di atas permukaan tanah,

tu?buh Ipank menggantung lemas. Sekuat tenaga Seno menahannya

dengan mengganjal tubuh gempalnya ke pohon.

"Wah, parah kamu, Pank! Kasih instruksi yang bener, dong. Kalo

sampai kepalamu terbentur tanah, bisa mati kamu, Pank!" Seno

ngomel-ngomel sampai berkeringat dingin.

Ipank malah tidak konsen. Matanya masih fokus mengikuti arah

Aiko pergi. Ia buru-buru melepaskan segala pengaman panjat yang

menem?pel di tubuhnya. Kemudian menepuk bahu Seno tanpa melihatnya. "Cuma ngetes kamu kok, No," ucapnya sambil berlari kecil

meninggalkan lokasi wall climbing.

"Ngetes sih ngetes, Bos. Tapi nyawamu bisa melayang."

Andari yang tadi menyadari tatapan Ipank mengarah pada sosok

Aiko, langsung merengut.

"Kalo gitu, sekarang giliran aku yang manjat," Seno berkata sambil bersiap memasang pengaman untuk memanjat.

"Uuugh! Basi ah!" ujar cewek-cewek kompak sambil ngeloyor

pergi meninggalkan area wall climbing.

"Hm... Apes bener kalau punya tampang pas-pasan gini," ujar

Seno sambil menggaruk-garuk kepalanya.

"Kamu sih bukan ngepas di tampang doang, No. Tapi ngepas di

kantong juga! Hahaha..." Ibnu, salah satu anggota pencinta alam

tertawa terbahak-bahak.

"Sialan!"

"Ngapain tuh si Ipank?" tanya Sulis yang juga anggota pencinta

alam.

Seno menggulung tali panjat di tangannya. "Yaelah, kayak nggak

tau bos kita aja. Satu-satunya yang bikin Ipank nggak fokus manjat

itu cuma..."

"Cewek!!!" ucap mereka bersamaan.

933194

Sulis menengok ke arah Ipank pergi. "Siapa lagi nih?"

"Anak baru," jawab Seno setengah tak acuh. Kemudian ia menambahkan, "Untuk kali ini, pergerakan Ipank udah kayak belut,

Dab. Set... set... set!"

"Huahaha... ati-ati kena patilnya ya, No."

"Itu mah lele, kampreet!"

"Aiko!"

Teriakan Ipank mampu membuat seorang junior cowok yang

tengah berbicara dengan Aiko gemeteran dan pergi seketika. Seperti

biasa, mereka enggan cari masalah dengan senior satu itu.

Aiko yang heran dengan kelakuan teman sekelasnya menengok

ke arah datangnya suara. Wajahnya terlihat khawatir ketika mengetahui siapa yang memanggilnya. Hm... pantas saja.

"Muka kamu kenapa gitu sih kalo aku panggil?" tanya Ipank

setengah geli. Wajahnya sedikit kemerahan karena kepanasan sehabis

memanjat tadi.

"Gitu gimana maksudnya?" tanya Aiko dengan intonasi lembut,

seperti biasa.

"Ya, kayak takut-takut gitu. Aku kan nggak gigit, Ai..." Ipank

berusaha bercanda. Padahal grogi juga euy denger suara Aiko yang

kayak malaikat itu.

Aiko diam saja. Ia sibuk membenarkan buku-buku di tangannya

untuk mengatasi rasa canggungnya yang berlebihan.

"Tuh, kan diem."

"Hm?" Aiko mengangkat kepalanya. Tak mengerti maksud perkataan Ipank. Bola matanya menatap ke wajah cowok itu agak lama,

menanti penjelasan.

Sepersekian detik Ipank memalingkan matanya. Deg-degan luar

biasa menjalari seluruh tubuh ketika Aiko menatapnya. Sekilas, tapi

bisa membuat Ipank grogi seketika. Kampreeet grogi banget!

943195

Ipank sebenarnya tahu betul apa kelemahannya di hadapan Aiko.

Selama ini ia terlihat berani di depan cewek itu karena Aiko selalu

menunduk ketika diajak bicara. Kalau pun tidak menunduk, Aiko

seringkali menatap ke arah yang berbeda. Tak pernah sekali pun ia

menatap Ipank lebih dari lima detik ketika diajak berbicara. Tapi

kalau sekonyong-konyong Aiko menatap dirinya lumayan lama,

Ipank salah tingkah sendiri.

"Ipank..."

"Ya?"

"Hhhmmm... Ipank tadi manggil aku mau... ngapain ya?" Pelan

dan ragu Aiko bertanya.

Ipank menepuk jidatnya. Kemudian tersenyum memperlihatkan

gigi-giginya yang tersusun rapi. "Oiya, lupa!" ujarnya. "Nanti pulang kuliah kita jalan-jalan lagi, yuk!"

"Jalan-jalan?"

Ipank mengangguk yakin. "Iya. Mau kan?"

Aiko menatap Ipank dalam diam. "Lagi?"

Ipank mengangguk cepat. "Mmm... Mau?" tanya Ipank sambil

membungkukkan bahunya, mencoba menerka jawaban dari ekspresi

wajah Aiko.

Aiko menggigit bibirnya. "Aku mau belajar, Pank..."

Dengan perasaan kecewa, Ipank berusaha memahami. Baru kali

ini ia mendapatkan penolakan dengan jawaban seperti itu. Mungkin

mulai sekarang ia harus mulai memahami kalau Aiko, cewek yang

sedang ia dekati adalah seorang kutu buku yang senang menghabiskan waktu di perpustakaan atau di rumah. Jauh berbeda dengan

Andari, pacarnya dulu yang lebih suka hura-hura di luar daripada

berlama-lama di satu tempat. "Kalo... lain kali mau?"

Agak terlambat menanggapi, tapi Aiko mengangguk. "Iya, next

time... Maaf ya, Pank.."

"Nggak apa-apa, Ai... santai aja," jawab Ipank berusaha menutupi

kekecewaannya. "Next time kan bisa..."

Next time? Kapan? Ipank tahu betul kalau itu hanyalah kata

953196

penolakan halus agar tidak terlalu menyakitkan hatinya. Ipank

betul-betul kehabisan akal mencari cara untuk mengajak Aiko pergi

lagi. Bagaimana caranya agar ia bisa menghabiskan waktu berdua

saja seperti ketika ia mengajak Aiko mengunjungi museum Affandi

kemarin? Ia ingin sekali mengulanginya. Tapi kapan? Sejak Ipank

mengenalnya, ada ratusan ajakan yang pernah ia tawarkan pada

Aiko. Dan hebatnya, Museum Affandi adalah satu-satunya ajakan

yang berhasil lolos dari kalimat penolakan Aiko. Itu pun dia tak

langsung setuju...

Salah satu kamar di kosan Soda terlihat rapi. Dindingnya putih

bersih dengan sebuah poster pemanjat tebing di Grand Canyon.

Buku-buku tebal tampak berderet di meja belajar. Nyaris tidak ada

debu di kamar itu. Menunjukkan kalau penghuninya rajin bersihbersih. Sebetulnya nyaris mustahil bahwa penghuninya seorang cowok yang punya style cuek. Tapi itulah kenyataannya. Mungkin

juga kamar ini terlihat rapi karena sang pemilik kamar sering

traveling atau menginap di kosan temannya.

Ini adalah Kamis pagi yang sempurna, Ipank bisa tidur lumayan

lama di kamarnya karena kuliah siang. Insomnia akut yang dideritanya membuat waktu istirahat Ipank tak pernah lebih dari empat

jam. Setengah dari waktu tidur orang normal.

Tapi Kamis kali ini tak sesempurna itu buatnya. Dia menyesal

keti?duran dan tidak bisa bangun pagi. Pasalnya, dia kehilangan

kesem?patan untuk mengantarkan Aiko ke kampus. "Yah, hilang

satu poin deh kebahagiaan pagi ini."

Ipank tampak berdiri di depan jendela, bertelanjang dada seperti

biasa. Tangan kanannya memegang ponsel. Sudah hampir lima

belas menit Ipank terbangun dari tidurnya lantaran mamanya telepon dari Jakarta. Mamanya terkenal cerewet. Jadi sekalinya menele963297

pon, bisa sampai berjam-jam. Membuat gendang telinga Ipank tegang seketika.

"Ipank sayang, kamu kapan pulang ke Jakarta?" suara Mama di

telepon.

"Iya nanti, Mah. Ipank lagi banyak kegiatan."

"Dari dulu kegiatan mulu. Kamu nggak kangen sama Mama?"

"Gimana sih, Mah. Anaknya nggak ada kegiatan salah. Giliran

ada kegiatan salah juga," jawab Ipank sambil memindahkan ponsel

ke tangan kirinya.

"Habisnya kamu kalau banyak kegiatan nggak pulang-pulang ke

Jakarta, sih!"

"Iya, ntar juga pulang."

"Iya, ntar pulangnya sambil bawa cucu buat Mama, gitu?"

"Apaan sih, Mah. Pacar aja nggak punya. Jauh banget mikirin

cucu." Ipank sedikit tertawa. Ia menekan satu tombol di ponsel un?uk

mengubahnya menjadi loadspeaker dan meletakkannya di lantai.

"APA?!? Kamu nggak punya pacar? Ya ampun, kamu nggak laku

ya, di sana?" Suara Mama terdengar nyaring memenuhi kamar.

"Ya ampun, Mah... bukan nggak laku, Ipank lagi..." Ipank tak

melanjutkan kalimatnya. Ia tengah bersiap dalam posisi push-up di

lantai kamar, tak jauh dari ponselnya. Ini yang selalu menjadi kebiasaannya di pagi hari. Menjaga agar otot-otot tubuhnya terlatih.

"Lagi PDKT ya kamu?"

"Aku lagi push-up."

"Apa? push-up?"

"Mah, udah ya... aku mau olahraga dulu nih."

"Eh, kamu ditanyain malah kabur. PDKT sama siapa? Cewek

mana? Cantik nggak?"

"Udah ya, Mah... ya, udah ya... Dahh... dah.... Mmmuah...,"

ucap Ipank cepat. Ponsel pun dimatikan. Ia lalu mulai menghitung

push up-nya. Ipank hafal betul sifat Mama. Beliau memang paling

susah di-cut kalau lagi ngomong. Makanya setiap ada kesempatan,

Ipank tak mau menyia-nyiakannya. And... CUT!

973298

Hubungan Ipank dengan mamanya memang dekat. Saking dekatnya, terkadang kalau mamanya menelepon, Ipank sering dikira lagi

telepon dengan pacarnya.

Yeah, great!

Ipank baru saja keluar kelas ketika ia melihat seorang cewek berjalan terburu-buru tak jauh darinya membawa tumpukan buku seperti biasa. Ipank berlari kecil mengejarnya. Baru saja Ipank ingin

menyapa, tiba-tiba cewek di hadapannya itu nyaris terpeleset hingga

buku-buku terlepas dari tangannya. Ipank refleks memegangi kedua

lengan cewek itu hingga tubuhnya tak jadi terjatuh ke lantai.

"Eeeh... ati-ati dong, Ai...."

Aiko berusaha membenarkan posisinya. Lalu sibuk memungut

buku-buku yang berserakan di lantai.

"Mau ke mana sih, buru-buru banget?" tanya Ipank sambil membantunya mengambil buku-buku di lantai.

"Ke perpus. Mau balikin buku."

"Kan bisa nanti aja."

"Takut petugasnya keburu makan siang...," jelas Aiko kembali

berdiri. Wajahnya terlihat pucat. Memang sih, kulit Aiko yang putih membuatnya seringkali terlihat pucat. Jadi agak sulit membedakan kapan dia sedang sakit atau tidak.

"Eh, maaf ya tadi pagi aku ketiduran. Jadi nggak bisa nganter

kamu kuliah pagi."
Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aiko hanya membalas dengan senyuman. Padahal dalam hatinya

ia juga tak berharap Ipank mengantarkannya tiap hari ke kampus.

Kalau boleh jujur, ia lebih nyaman berangkat sendiri ke kampus.

"Kamu... udah makan, Ai?" tanya Ipank tiba-tiba di luar konteks.

Aiko mengerutkan keningnya. Heran dengan pertanyaan Ipank.

983299

Lalu ia menjawab dengan gelengan kepala. "Nanti habis dari perpus, aku mau ketemu Kak Satrio di kantin. Sekalian makan."

"Satrio?"

"Iya, Kak Satrio katanya mau bawain sertifikat ospek aku kemarin."

"Ya ampun, Ai, kenapa mesti minta tolong sama Satrio sih, kenapa nggak minta sama aku aja?" Ipank bertanya spontan setengah

kesal. Lagi pula, apa-apaan tuh si Satrio berbaik hati bawain sertifikat ospek punya Aiko. Dari dulu, peserta ospek yang ambil

sendiri sertifikatnya di ruangan senat. Kampret juga itu si Satrio!

"Kak Satrio yang nawarin kok."

"WHAT?!?" Ipank memekik saking kagetnya. Kemudian ia menengok ke kiri-kanannya, menyadari kalau intonasi suaranya kele?wat

ekstrem. "Apa? Satrio nawarin diri mau bawain sertifikatmu, Ai?"

Aiko mengangguk polos. Tanpa berpikir apa-apa.

Sialan juga si Satrio, mau nikung rupanya. Belum puas juga dia

mendapat surat cinta Aiko pas ospek? Dari dulu kelakuan si Ketua

OSIS itu tidak pernah berubah. Selalu ingin menyaingi Ipank

dalam segala hal. Termasuk urusan cewek.

Banyak yang bilang hal itu terjadi karena Satrio iri dengan Ipank

yang selalu digilai cewek-cewek di kampus. Padahal Satrio merasa

dirinya sudah sempurna sebagai seorang cowok. Itu menurut versinya. Kelewat narsis sih, tapi kalau dipikir ada benarnya juga.

Satrio orangnya kalem, serius, dan gayanya selalu rapi dengan

kacamata frame hitamnya. Beda dengan Ipank yang cuek, emosian,

dan santai dalam kesehariannya di kampus. Satrio juga ?sedikit? lebih pintar secara akademis dibanding Ipank. Belum lagi jabatan

ketua senat yang dipikulnya.

Ternyata itu semua tidak menjamin Satrio bisa lebih tenar dibanding Ipank di kampus. Nyatanya, cewek-cewek lebih tertarik dengan cowok model Ipank yang cuek dan menyebalkan. Cowok

yang katanya bikin penasaran habis-habisan. Aaah... cewek memang

makhluk aneh. Aneh dalam urusan selera cowok juga.

9932100

Konon menurut cewek-cewek yang pernah jadi pacar Satrio, cowok itu memang nyaris sempurna, cuma sayangnya dia perfectionist.

Cewek yang menjadi pacarnya harus berperilaku dan berpenampilan

sesuai dengan apa yang dia mau. Jadi, lama-lama bosan karena tidak semua cewek bisa diatur seenaknya.

"Ipank, aku ke perpus dulu ya...." Ucapan Aiko membuat Ipank

tersadar dari emosinya pada Satrio. Aiko tersenyum sesaat, dan

membalikkan badan. Perlahan ia berjalan menjauhi Ipank menuju

kantin.

Akkh... Sakura gue pergi...

"Ini sertifikatmu."

Aiko menatap selembar sertifikat bertuliskan namanya di meja

kantin. "Makasih, Kak."

Pelayan kantin cowok berbadan kurus kering datang membawa

nampan berisi siomay dan teh botol, kemudian meletakkannya di

hadapan Aiko.

"Makasih," ucap Aiko pada pelayan kantin.

"Kamu keturunan Jepang ya, Ai?" tanya Satrio sambil memperhatikan cara Aiko memotong siomay-nya.

"Iya. Almarhum kakek saya orang Jepang asli, Kak. Tapi lama

tinggal di Indonesia."

"Ooo... sama kalo gitu."

"Sama?"

Satrio mengangguk. "Kakek buyutku juga orang Jepang. Kamu

pernah ke Jepang?"

Aiko menggeleng sambil melahap siomay-nya.

"Waktu kecil tuh aku punya cita-cita jadi komikus di Jepang.

Bikin komik sebanyak-banyaknya dan diterbitkan di seluruh dunia,"

ujar Satrio sambil menatap Aiko dari balik kacamatanya. "Tapi

10032101

karena orangtuaku pengin anaknya jadi insinyur, jadinya aku masuk

teknik."

Aiko masih sibuk memotong siomay-nya tanpa berkomentar

apa-apa. Tapi sikapnya itu tidak lantas membuat Satrio berhenti

bicara. Sepanjang ocehannya, Aiko cuma bersikap seperti biasa:

mengangguk, menggeleng, dan menanggapi dengan kata-kata singkat semacam, "Oh...", "Trus?", atau "He-eh."

Sampai suatu ketika, Satrio menatap Aiko dalam diam. Bibirnya

tersenyum. Entah tersenyum karena melihat gaya makan Aiko atau

apa. Yang jelas sorot mata Satrio terlihat sendu. "Kalian terlalu

mirip."

Aiko mengangkat wajahnya yang sedang memperhatikan piring

siomay. "Hm? Mirip?"

Tubuh Satrio tersentak, lamunannya buyar. Ia pun menggeleng

cepat. "Ah, nggak. Hehe...," ucapnya refleks mengambil selembar

tisu di meja. Ia mencomot bolpoin dari kantongnya dan dalam

bebe?rapa detik, bolpoin itu menari lincah di atas tisu. Satrio terlihat menggambar sesuatu dengan tangan kirinya. Detik itu pula

Aiko baru mengetahui kalau Satrio kidal.

Tiba-tiba Satrio menggeser tisu tersebut ke dekat Aiko. Aiko

langsung menghentikan suapan siomay-nya yang terakhir dan tersenyum melihat gambar Satrio. Dia menggambar kartun seorang cewek yang sedang melahap sepiring siomay.

"Ini kamu," ucapnya sambil menunjuk gambar itu.

"Bagus. Lucu," Aiko berkata singkat sambil tersenyum.

"Hehe... Thanks," jawab Satrio. "Eh, nanti kita pulang bareng,

yuk!"

"Pulang bareng?" Aiko balik bertanya heran.

"Iya, aku anterin kamu pulang."

"Hah? Nggak usah... saya biasa pulang sendiri kok, Kak."

"Udah Aiko, anggep aja sebagai tanda pertemanan kita. Gimana?"

Aiko tampak berpikir sejenak. Tanda pertemanan? Segitu penting10133102

nya? Sampai-sampai harus ada jasa yang ditawarkan. "Hmm... ya

udah boleh," jawab Aiko akhirnya.

SRET

Mendadak, entah datang dari mana, Ipank menarik kursi dan

duduk di sebelah Aiko. Matanya yang hitam menatap ta?jam Satrio

tanpa ekspresi.

Aiko jelas tak nyaman dengan kondisi ini. Ia begitu takut melontarkan pertanyaan. Jangankan berbicara, bergerak pun ia ragu.

Matanya menangkap sosok Seno, sahabat Ipank yang berdiri tak

jauh dari mereka.

Seno tak berani melangkah lebih dekat. Wajahnya ikut tegang

menyaksikan situasi tersebut. Padahal tadi Ipank cuma bilang dengan santai mau ke kantin karena lapar. Dia sama sekali tak menyangka kalau situasinya jadi tak santai begini.

"Eh, Pank. Tumben ke kantin," ucap Satrio tanpa curiga. Dia

malah sibuk menambah detail pada gambarnya tadi sebelum akhirnya melipat-lipat tisu tersebut untuk membersihkan meja.

Ipank sempat melirik gambar yang tadi dibuat Satrio. Ia tak berkomentar. Tapi perasaannya begitu tertusuk. Ngapain sih, Satrio

pake sok-sokan gambar Aiko segala? Perlahan tangannya menarik tisu

kotor yang digeletakkan begitu saja di hadapan Satrio. Ia membukanya dan terdiam menatap gambar tersebut. Rahangnya beradu.

"Kamu yang buat, Yo?"

"Iya. Iseng."

"Ooo..."

"Nggak mirip ya?"

"Siapa?"

"Sebenernya sih mau gambar dia...," ucap Satrio sambil menunjuk ke arah Aiko dengan mengedikkan dagunya. "Cuma nggak

mirip kayaknya..."

Ipank mengangguk. Padahal dalam hatinya ia begitu cemburu.

Ingin menyobek gambar sialan itu. Tapi sebisa mungkin ia mengon10233103

trol emosinya dan keluarlah kalimat palsu dari mulutnya. "Bagus,

kok."

Entah kenapa Aiko tak nyaman dengan situasi itu. Ia diam saja,

pura-pura sibuk memakan siomay-nya.

"Sori ganggu sebentar," ucap Ipank pada Satrio. Kemudian ia

menengok ke arah Aiko dan berkata pelan, "Aiko, nanti habis aku

bantuin Pak Narji di perpus, kita pulang bareng, ya."

Aiko menjawab ragu. Matanya berpindah-pindah dari Ipank ke

Satrio, "Aa aku aku"

Tanpa ragu dan dengan nada bicara yang sangat tenang, Satrio

mengeluarkan kalimat pendek, "Dia pulang bareng aku, Pank."

BRAAAK!!!

Kepalan tangan Ipank menghantam meja. Entah disengaja atau

tidak. Hal itu membuat orang-orang yang tengah menyantap makan siangnya menengok ke arah mereka dan ikut tegang. "Aiko

pulang sama aku," kata Ipank dengan emosi tertahan.

"Kenapa? Emang ada perlu apa sama Aiko?"

"Kamu yang ada perlu apa sama Aiko?"

Satrio mengerutkan kening. Berusaha memahami ucapan Ipank.

Ia yang tadinya santai dengan kedatangan Ipank, kontan heran dengan sikap Ipank yang menurutnya aneh. Satrio berdiri dari tempat

duduknya. Membuat Ipank ikut beranjak. "Kamu kenapa, Pank?"

"Aiko pulang sama aku. Dia. Pulang. Sama aku." Ipank mengulang kalimatnya penuh penekanan.

"Ooo..." Satrio menatap Ipank cukup lama. Seakan mencoba

membaca apa yang sebenarnya ada di pikiran wakil senatnya itu.

"Kamu mau deketin dia, Yo?" Ipank bertanya frontal dengan

wajah yang cukup dekat dengan wajah Satrio. Volume suaranya

nyaris berbisik.

Satrio masih terdiam. Ekspresi wajahnya datar, sulit diartikan

maknanya. Perlahan ia menganggukkan kepala seperti meyakini

sesuatu. Sesuatu yang hanya dimengerti dirinya sendiri. Kalimat yang

tak disangka muncul dari bibirnya. "Kalo iya, apa urusan kamu?"

10333104

Pertanyaan yang memojokkan Ipank. Membuatnya terdiam dan

menyadari semua mata di kantin sedang menatap mereka. Satrio

menunggu jawaban yang akan keluar dari bibir Ipank.

Aiko bingung. Kalau bisa, dia ingin menghilang secepatnya dari

sini. Atau setidaknya berubah jadi meja, kursi, sendok, piring, atau

apa pun yang ada di sekitarnya untuk beberapa saat.

"Apa pun ya, Pank. Aku yang akan nganter Aiko pulang," jawab

Satrio lebih tenang. Ia hafal betul seperti apa wakil senatnya itu.

Dia paling tidak bisa dipancing emosinya. Api tak bisa dilawan

dengan api.

Ipank semakin emosi. Tangannya mengepal kencang. Hampir

saja ia melupakan siapa orang di hadapannya itu. Ingin rasanya ia

melupakan kalau cowok yang berhadapan dengannya saat ini adalah

partner utamanya memimpin Senat Mahasiswa Universitas Pelita.

Seno yang sudah menebak situasi ini langsung berjalan mendekat. Ia tidak tega melihat Aiko ketakutan sendiri. Ia menepuk

bahu kanan sahabatnya dan setengah menariknya agar cepat pergi.

Situasi ini tak boleh berlangsung lama kalau tidak mau ada yang

jadi korban. Gawat kalau dibiarkan. Mereka berdua sama-sama

orang penting di kepengurusan senat.

"Inget, Yo. Aku nggak akan ngebiarin kamu pulang bareng

Aiko." Ipank masih nyerocos meskipun Seno sudah mati-matian

menariknya.

Satrio mengangkat bahunya dengan wajah tenang. "Kita lihat aja

nanti."

Ipank berontak melepas pegangan Seno dan bersiap melayangkan

kepalan tangannya pada Satrio. Ia begitu geram dengan sikap santai

Satrio. Sikap yang biasanya mampu membuatnya ikut tenang setiap

kali ada masalah di kampus. Tapi kali ini entah kenapa sikap Satrio

justru membuat api emosinya semakin menyala. Sikap diam Satrio

seakan balik menyerangnya.

"AAAKKKHH!!!" Aiko kontan berteriak histeris dengan mata

tertutup dan kedua tangan di telinga. "Aku pulang sendiri!"

10433105

Teriakan Aiko barusan menghentikan tindakan Ipank. Padahal

tinggal beberapa senti lagi kepalan tangannya menghantam wajah

Satrio.

Efek teriakan Aiko seperti tombol pause pada radio. Semua orang

yang berada di tempat itu jadi terdiam. Termasuk Seno.

Perlahan Ipank menarik kepalan tangannya yang telah menegang
Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan membentuk garis-garis uratnya. Ai, cuma kamu yang bisa bikin

aku menarik lagi tanganku untuk nggak menghantam muka si brengsek ini...

Wajah Ipank menunduk. Matanya menatap satu titik kosong.

Napas?nya terasa sangat berat. Rahangnya terlihat tegang. Beberapa

detik ia terdiam, sebelum kemudian mengangkat kepalanya, menatap Satrio dan mengucapkan sebuah kalimat pendek, "Urusan kita

belum selesai, Yo."

Ipank melangkah pergi meninggalkan Aiko di kantin. Seno yang

mengikuti di belakangnya sempat berbisik pelan pada Aiko, "Ini

bakalan panjang, Ai."

Aiko masih deg-degan tak keruan. Bahkan ia menyadari kalimat

yang tadi ia lontarkan dan langsung ia sesali setengah mati. Ia

mengempaskan diri ke kursi. Pelan-pelan ia mengatur napasnya

yang tersengal-sengal.

"Apa kalian lihat-lihat!" ucap Satrio pada orang-orang yang

masih tercengang dengan kejadian barusan. Wajar sekali semuanya

kaget. Satrio dan Ipank adalah tim hebat dalam mengembangkan

organisasi di kampus ini. Belum pernah sekali pun mereka ribut

seperti itu. Apalagi urusan di luar kepengurusan, di kantin kampus,

di tengah-tengah puluhan mata memandang. Lebih parahnya lagi,

ribut hanya karena seorang anak baru.

Suasana kantin yang sempat senyap, kembali ramai dengan suara

teriakan mahasiswa yang memesan makanan, piring yang bersentuhan dengan sendok, dan pelayan kantin yang berkeliling mengantarkan makanan. Semua kembali seperti semula seolah tidak terjadi

apa-apa.

10533106

Perlahan Aiko merasakan Satrio menyentuh telapak tangan kirinya. Kemudian cowok itu meremas lembut, seakan menyalurkan

ke?kuatan ke tubuh Aiko. Sepertinya Satrio tahu betul kalau cewek

di depannya itu sedang shock atas peristiwa barusan.

"Kamu tenang, Ai. Ipank nggak punya hak sama sekali untuk

melarang kamu pulang sama siapa pun. Tenang, semuanya akan

baik-baik aja..."

10633107

APANYA yang baik-baik saja? Ini namanya ngajak perang!

Setelah kejadian di kantin kampus tadi siang, Ipank kembali ke

sekretariat MAPALA. Seno yang sengaja membawanya ke sana. Menurut cowok itu, ruang sekretariat MAPALA adalah wilayah paling

aman untuk meluapkan emosi Ipank. Ruang MAPALA agak terpencil karena berada di sudut belakang gedung perkuliahan. Pemilihan

lokasi itu merupakan kebijakan dari kampus lantaran MAPALA

merupakan kegiatan mahasiswa yang paling membutuhkan banyak

tempat untuk menyimpan peralatan kegiatan mereka.

Benar saja, seperti yang Seno duga, di dalam ruangan tersebut

Ipank mengamuk. Semua barang ia lempar, banting, dan tembok

ruang?an habis ia hantam. Seno sengaja meninggalkan Ipank sendirian di dalam ruangan. Dalam kondisi seperti ini, bukan tidak

mung?kin Seno menjadi korban keganasan Ipank. Tapi tenang saja,

mau emosi bagaimanapun, Ipank tak pernah menyakiti temannya

itu. Apes-apesnya, Seno cuma kena hujan keluh-kesahnya.

Satu jam berlalu. Suara bantingan barang dan teriakan emosi di

10733108

dalam ruangan sudah tak terdengar. Seno mulai khawatir. Ia memberanikan diri membuka pintu sekretariat.

Belum sempat Seno menjalankan niatnya, tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka kencang. Ipank muncul dengan tubuh penuh keringat. "Seno, temenin aku ke wall."

Seno mengangguk dan mengikuti sahabatnya itu menuju

climbing wall. Setidaknya perasaan Seno sedikit lega karena kondisi

Ipank tidak terlalu parah, kecuali jemarinya yang agak merah.

Mungkin karena habis memukul-mukul tembok.

Tahun lalu, ketika baru putus dari Andari, Ipank nyaris mati.

Sekarat akibat ketololannya sendiri. Berdiri di barisan paling depan

dengan emosi tinggi ketika terjadi bentrokan mahasiswa. Semua

orang diajak berkelahi. Saat situasi mulai tak terkendali, Ipank justru pasang badan mengadang seorang diri. Apa namanya kalau

bukan bunuh diri? Satu hal yang Seno kagumi dari Ipank ketika

berkelahi adalah dia tak pernah mengenakan jaket almamaternya.

Dia selalu mencopotnya terlebih dahulu.

"Jaket almamater cuma dipakai kalo ribut pake otak, bukan otot,

No. Mahasiswa sejati pasti malu kalo tonjok-tonjokan pake jaket

almamater." Begitu alasan Ipank waktu itu.

Seno tahu betul kelemahan Ipank. Sahabatnya itu memang punya nyali segunung. Dia tidak pernah takut menghadapi apa pun

di depan matanya. Bahkan dia terbiasa menghadapi ganasnya alam

serta hewan liar di gunung, laut, dan hutan. Tapi kalau urusan

cinta, dia mendadak lemah tak berdaya. Orang lain boleh menyebut

Ipank macan kampus, atau apalah namanya. Tapi hanya Seno yang

paham betul kalau sahabatnya itu sebenarnya tidak mudah jatuh

cinta. Ia tipe cowok setia. Bahkan kelewat setia, menurut Seno.

Kasus Andari buktinya.

Well, kasus Andari membuktikan satu hal penting dalam hubungan percintaan di dunia ini. Bahwa tidak semua cowok itu brengsek.

Dan tidak semua cewek itu baik. Begitu pun sebaliknya. Meskipun

Ipank berusaha setengah mati melupakan rasa sayangnya untuk

10833109

Andari, Seno tahu kalau Ipank sesekali masih galau, bertanya-tanya

kenapa saat itu Andari tega mencampakkannya.

Blassrr!

Seno menyalakan batang korek di tangannya. "Kamu suka beneran sama cewek itu, Pank?"

Saat ini mereka berdua duduk di puncak climbing wall. Biasanya

tempat ini digunakan untuk memasang tali pengaman ketika ingin

menggunakan papan panjat. Posisinya berada di sisi belakang

climbing wall, tempat favorit Ipank, karena dari sini, Ipank dapat

melihat sekeliling kampus.

Ipank mengisap rokoknya dalam-dalam, mengembuskan asapnya

sepanjang ia bisa. Kepalanya menengadah ke langit senja yang

kemerahan. Itu adalah gaya khas Ipank kalau lagi banyak pikiran.

Diam menatap kejauhan dengan pandangan kosong.

"Kelakuanmu tadi aneh, Pank. Berlebihan menurutku. Nggak

seharusnya kamu semarah itu sama si Satrio," Seno berkata. "Kalo

mau ngajak ribut lihat-lihat orang, dong. Kamu tahu sendiri kalo

Satrio ketua senat, kamu wakilnya. Masa senat kampus kita pecah

cuma gara-gara cewek."

"Satrio yang cari masalah duluan."

"Cari masalah apa, Pank? Dia itu cuma nganter Aiko pulang."

"Itu masalah buatku."

"Ampun deh," Seno berkata sambil menepuk keningnya. Akhirnya ia cuma diam tanpa berniat untuk melempar argumen lagi.

"Aku suka sama cewek itu jauh sebelum cewek itu masuk kampus kita, No. Aku suka cewek itu dari mulai pertama kali aku lihat

dia di depan mata. Dan belum hilang sampai detik ini..."

Kening Seno berkerut.

"Cuma, dulu aku masih sama Andari. Jadi aku nggak berani serius ke cewek itu. Sebatas suka aja. Tapi sekarang..." Ipank berkata

sambil mengetukkan puntung rokoknya, menjatuhkan abunya yang

telah memanjang.

"Sekarang kamu serius jatuh cinta sama cewek itu?"

10933110

Ipank tak menjawab. Ia kembali mengisap rokoknya dalam-dalam.

"Kamu kenal di mana, Pank?"

Ipank menekan rokoknya. Kemudian mengambil satu lagi dari

kotak rokok dan membakarnya. "Ada deh... Kamu nggak perlu

tahulah, aku kenal dia di mana," ujar Ipank sambil kembali mengembuskan asap dari mulutnya.

"Kupret! Penting ya, nyembunyiin tempat kalian ketemu di

manaIpank tertawa. "Aku takut kamu shock kalo tahu aku ketemu dia

di mana."

Seno mengangkat alis. Menunggu penjelasan yang akan keluar

dari mulut Ipank.

"Di kos-kosan Soda."

"Orang gila! Dia satu kos-kosan sama kamu?"

"Apa aku bilang, kamu pasti shock." Ipank terkekeh. Pandangannya kembali menerawang jauh. "Tapi yang jelas, Aiko itu misterius. Bikin penasaran banget."

"Maksudnya?" Seno seakan pasang kuda-kuda.

"Dia itu... kayak lukisan abstrak yang harganya ratusan juta, tapi

nggak semua orang bisa ngerti. Aku tahu tentang dia. Dari hobinya, kebiasaannya, kelemahannya, sampai barang-barang yang dia

punya pun aku tahu semua. Tapi setiap kali aku merasa tahu

banyak hal tentang dia, kali itu juga aku merasa masih banyak

yang nggak aku tahu." Ipank menerawang jauh. Aiko membuatnya

sangat frustrasi. "Dan ada satu hal yang sampai saat ini jadi tanda

tanya besar buatku, No"

"Apa?"

Ipank menengok ke arah Seno yang menatapnya penasaran,

"Sampai saat ini, detik ini, aku nggak pernah tahu kenapa dia kelihatan takut banget sama aku"

Seno tertawa sinis. "Siapa juga orang yang nggak takut sama

kamu, Pank, Pank."

11033111

"Cumi!" Ipank menjitak kepala temannya itu. Lantas wajahnya

kembali murung. "Kamu tahu nggak rasanya kalo kamu sayang

banget sama cewek. Tapi anehnya, cewek itu justru takut sama

kamu?" Ipank menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya,

"Sakit, No."

"Nyess ya, Pank."

"Nyess banget, No."

"Emang ya, cinta itu ibarat penyakit cacar air. Semua orang harus ngerasain."

"Nggak enak bener sih, perumpamaannya. Orang jatuh cinta

kok diibaratin kayak cacar air. Itu mah patah hati."

"Kalo patah hati itu ibarat koreng di kaki, Dab. Susah banget

ilangnya!"

"Aah, dasar racun! Ngasih perumpamaan nggak ada yang

beres."

"Huahaha..." Seno tertawa lepas.

Ipank membetulkan posisi duduknya. Matanya teduh menatap

cakrawala. "Sebetulnya... nggak ada tuh yang namanya patah hati.

Yang bisa patah itu tulang. Hati itu... luka."

Suasana hening sesaat.

Sekonyong-konyong Seno teringat sesuatu, "Eh, bukannya habis

ospek kita ada rencana nyelem, Pank?"

"Iya, ya... harusnya, sih."

"Mau kapan?"

Ipank terdiam. Agak lama. Saking lamanya sampai-sampai Seno

berlagak tertidur dan mengeluarkan suara ngorok.

"Kamu masih kepikiran cewek itu ya, Pank?"

Angin menerpa wajah keduanya. Memberi sedikit gelombang

ketenangan di hati Ipank. Dari kecil Ipank suka sekali ketinggian.

Melihat segala sesuatu dari atas membuat dirinya bisa berpikir lebih

tenang menghadapi segala persoalan hidup.

"Aku jadi inget kamu dulu waktu putus sama Andari, Dab. Kita

juga berada di tempat yang sama. Kamu hancur banget waktu itu."

11133112

Ipank tersenyum kecil.

"Sekarang aku bener-bener tahu apa kelemahan seorang Ivano

Panky Ariestio Norman Kano. Wajah ganteng, otot kekar, otak encer, tapi..." Seno menunjuk satu per satu bagian tubuh Ipank ketika

mengucapkan itu, dari kepala, lengan, dan samping dahi. Kemudian

ia menunjuk dada Ipank dan melanjutkan kalimatnya, "... Kalau

hatinya udah kesentuh, Darrr.... kamu langsung jadi orang yang

lemah nggak berdaya."

"Aku sayang banget sama cewek ini, No."

Seno mengangguk-angguk. Menunjukkan kalau dirinya cukup

mengerti dengan apa yang dirasakan sahabatnya itu. Dan ia akhirnya bisa memahami kenapa Ipank begitu emosi atas hal sepele tadi.

Ia menatap wajah Ipank. Tertegun.

Ipank yang ditatap seperti itu jelas balas menatap. Sudah sepan_

tasnya ia berterima kasih kepada sahabatnya yang selalu menemaninya ketika ia sedang terpuruk. Tapi tiba-tiba hal menggelikan terjadi.

"Aaah... kamu jangan liatin aku kayak gitu dong, ah. Jadi cinta

deh sama Mas Ipank!" ujar Seno dengan gaya melambai dan dengan cueknya mencium pipi sahabatnya itu.

"Jijik! SENOOO!"

Malamnya, Ipank memarkirkan motor di halaman kosan Soda.
Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesaat ia termangu menatap jendela kamar Aiko. Lampunya masih

menyala. Berarti gadis itu belum tidur. Ipank memasuki pintu kosan sambil membuka jaket kulitnya.

Di dalam, terlihat Jhony dengan celana pendek bermotif kepala

Tom and Jerry sedang mengobrol dengan Dara. Selama berbicara,

Jhony dengan asyiknya mencungkil-cungkil kotoran telinga dengan

cotton bud. Ketika ia mengeluarkan gagang cotton bud dari telinga

11234113

kanannya, ia panik. "Dar, sepertinya kapasnya nyangkut di dalam!"

"Aduuuh, Bang Jhony ada-ada aja, sih."

"Tolong kamu tiup-tiup telinga kiriku biar kapasnya bisa keluar."

"Hah?!? Emang bisa? Coba sini aku lihat, siapa tahu bisa dicongkel-congkel pakai gagangnya," kata Dara dengan cueknya. Ia pun

sibuk melihat lubang telinga kanan Jhony, mencari kapas cotton bud

yang hilang. Jorok.

Kehebohan mereka terhenti ketika melihat Ipank masuk. Dengan

cekatan Ipank melompat dan duduk di sofa. Kepalanya ia sandarkan pada punggung sofa. Matanya sempat terpejam beberapa

saat.

"Capek kali kau tampaknya," komentar Jhony dengan logat

Medan yang khas. Padahal sebenarnya dia kepo ingin mengorek

gosip dari mulut Ipank. Pasalnya, Ipank itu satu-satunya penghuni

kos yang suka membawa berita heboh ke rumah. Entah masalah


Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Pembunuhan Di Lorong Murder In Mews

Cari Blog Ini