Ceritasilat Novel Online

Kotak Pelangi 3

Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya Bagian 3

dia berantemlah, debat senat, sampai nge-gep-in mahasiswa yang

ciuman di kamar mandi.

"Aiko mana?" Ipank malah bertanya soal Aiko tanpa menanggapi

ucapan Jhony.

"Abang jangan gerak-gerak, dong! Susah ini!" Dara ngomel-ngomel sambil memegangi kepala Jhony agar diam.

"Aiko tadi sih lagi ngobrol sama Eyang Santoso di kamarnya,"

jawab Jhony sambil terbaring pasrah di tangan Dara.

"Nah! Nemu! Iyywww..." Dara kembali heboh ketika gumpalan

kapas berhasil keluar dari telinga Jhony. Benda itu langsung ia berikan pada Jhony.

"Dia nggak kenapa-kenapa, kan?" tanya Ipank khawatir.

Dara melirik Bang Jhony yang sudah kembali duduk tegap. Sinyal

investigasinya menyala. "Kenapa-kenapa gimana maksudnya?"

Ipank menatap Dara sejenak. Kemudian menggeleng dan kembali menyandarkan kepalanya sambil menutup mata. "Ah, nggak."

11334114

Layaknya telepati, Jhony dan Dara seperti memikirkan hal yang

sama. Pasti ada sesuatu yang terjadi antara Ipank dan Aiko. Tumben-tumbenan Ipank tidak cerita panjang-lebar soal cewek itu.

Padahal biasanya dia semangat kalau bercerita soal Aiko.

"Aku ke kamar duluan ya. Capek banget nih." Ipank beranjak

dari tempat duduknya. Dengan setengah berlari ia menaiki tangga.

Dara menengok ke arah Jhony. "Eh, Bang. Kita taruhan yuk!

Mereka berdua bakalan jadian apa nggak."

"Halah, daripada kau iseng begitu, lebih baik kau bantu Abang

buang kapas ini ke tong sampah sajalah."

"Yee... Males ah!"

Kenapa ya, namanya jatuh cintaKenapa bukan terbang cinta? Bukankah katanya kalau kita sedang merasakan apa yang namanya cinta, perasaan seperti melayang-layang? Tapi cinta tak selamanya membuat kita serasa melayang. Nyatanya banyak orang yang justru terpuruk karena cinta.

Terombang-ambing dengan pemikiran-pemikiran yang tak pasti.

Cemburu. Hingga membuat dada nyeri.

Mungkin itu yang sedang Ipank rasakan. Ia merasa terpuruk. Ini

terlalu menyakitkan. Ia sangat membenci sesuatu yang maya. Baginya, sesuatu yang tak kasatmata bisa membuatnya gila karena tak

bisa disentuh. Tak bisa ditonjok atau bahkan ditendang. Apalagi

jika terluka. Pasti tak mudah menyembuhkannya. Karena luka ini

tak nyata. Ipank benci.

Langkah kaki Ipank terhenti. Ia mengurungkan niatnya memasuki kamar ketika melihat pintu kamar Eyang Santoso setengah

terbuka. Ia melihat Aiko sedang sibuk menggambar sesuatu pada

selembar kertas. Sayup-sayup terdengar suara Eyang Santoso berbicara.

11434115

"Lombok itu adalah salah satu pulau paling Indah di Indonesia.

Lautnya begitu jernih. Dari permukaannya kita bisa melihat beraneka macam ikan di dalamnya." Eyang Santoso bercerita sambil

menerawang jauh. "Dulu Eyang paling senang naik perahu ke tengah laut untuk sekadar snorkeling."

Aiko mendengarkan cerita Eyang Santoso sambil terus menggambar. Cerita beliau mengingatkan masa kecilnya di pulau. Saat

ia tinggal bersama ibunya. Aiko masih mengingat aroma khas pulau

itu dalam benaknya.

"Kalau malam tiba, pantai di Lombok akan menyala seperti bintang di langit. Sinarnya berasal dari pantulan cahaya bulan yang

mengenai biota laut di sana. Betul-betul indah The best kept secret

in Indonesia."

Aiko meletakkan pensil warnanya. Kemudian ia menunjukkan

hasil gambarnya pada Eyang Santoso.

Seperti belasan gambar pemandangan yang Aiko buat sebelumnya, Eyang Santoso selalu menatapnya dengan berbinar. "Dia

duduk di atas perahu, Aiko. Lelaki bertopi koboi itu," ucap Eyang

Santoso sambil menunjuk pada perahu kosong dalam gam?bar.

Aiko mulai menambahi gambarnya dengan sketsa lelaki bertopi

koboi yang duduk di atas perahu. Entah siapa lelaki tersebut. Yang

jelas, lelaki itu selalu ada pada setiap gambar yang Aiko buat.

Eyang Santoso yang memintanya.

"Bagaimana kuliahmu, Aiko?" tanya Eyang Santoso dengan senyum lembutnya.

"Baik, Eyang," jawab gadis itu pelan dan singkat seperti biasa.

Eyang Santoso menatap Aiko. Sesaat kemudian, sebuah pertanyaan mengejutkan muncul. "Ipank bagaimana? Dia pasti menjaga

kamu, kan?"

Deg! Pertanyaan Eyang Santoso kali ini betul-betul di luar perkiraan Aiko. Masa iya, dia harus cerita kalau Ipank baru saja membuat

kehebohan di kantin kampus? Makanya sebisa mungkin Aiko me11534116

ngontrol groginya supaya Eyang Santoso tidak curiga. Namun belum sempat gadis itu menjawab, Eyang Santoso kembali berbicara.

"Ipank itu anak baik, Ai. Meskipun dia ndak pernah ngomong

ke Eyang, Eyang tahu betul kalau dia sayang sama kamu. Setiap

kali kamu sakit, Ipank yang selalu panik sendiri. Diam-diam dia

paksa Dara untuk membawa kamu ke dokter atau sekadar membelikan obat."

Aiko diam, setengah tak percaya. Keningnya berkerut.

Melihat ekspresi Aiko, Eyang Santoso malah tertawa kecil.

"Eyang yo tahu. Lha wong Eyang kan yang di rumah terus. Dulu

kalau kamu sakit dan ndak masuk sekolah, Ipank sering nelepon

Eyang nanya kondisi kamu. Tapi ya memang dasar Ipank anaknya

agak pemalu kalau sama kamu. Jadi kamu ndak pernah tahu"

Eyang Santoso berkata sambil tertawa kecil.

Ipank yang menguping pembicaraan mereka dari balik pintu,

senyam-senyum sendiri. Wajahnya merah menahan malu. Satu sisi

agak ge-er juga.

"Ipank itu sangat perhatian dan sayang dengan ibunya. Jadi

Eyang bisa memaklumi kalau Ipank perhatian dengan semua perempuan. Nggak tua, nggak muda." Eyang Santoso tersenyum. Sesaat

ia terbatuk. "Percaya sama Eyang, Ipank rela mengorbankan apa

pun untuk melindungi kamu. Apa pun. Eyang tahu betul seperti

apa sifat Ipank dari kecil."

Keesokan paginya, Aiko turun dari bus yang membawanya ke kampus. Ia sebetulnya masih kesal dengan Ipank. Mendengar cerita

Eyang Santoso tadi malam bukan berarti membuatnya melupakan

sikap Ipank pada Satrio di kantin kampus kemarin.

Tapi, tumben banget pagi ini Ipank tidak kelihatan batang hidungnya. Ipank yang biasanya menanti di teras kosan setiap kali

11634117

Aiko mau berangkat kuliah, hari ini tidak ada. Padahal sebelumnya

Aiko sudah menyusun strategi untuk kabur ke kampus sendiri. Ah,

mungkin Aiko sedikit ge-er, atau mungkin berharap? Ah, no way!

Dengan sedikit terburu-buru, Aiko berjalan melewati lorong gedung perkuliahan. Sebelum masuk kelas, ia berniat ke perpustakaan

untuk meminjam beberapa buku seperti biasa.

Jadi anak desain itu memang bikin kantong bolong, harus pintar

memilah mana yang perlu dibeli, mana yang tidak. Asal tahu saja,

buku-buku desain itu harganya nyilet kantong banget. Daripada

beli, kalau masih bisa pinjam, ya, lebih baik pinjam saja. Jadi uangnya bisa dialokasikan untuk keperluan lain.

Kelas Pengantar Desain Komunikasi Visual Profesor Tamam agak

membosankan hari ini. Topiknya mengenai makna simbol. Menurutnya, sebuah gambar memiliki makna tertentu yang kadang diyakini

memiliki kekuatan secara turun-temurun.

"Kalian tahu bendera negara Jepang? Sebuah lingkaran merah

dengan latar putih? Apa artinya?" Profesor Tamam berhenti sejenak.

Kemudian ia kembali berbicara, "Lingkaran tersebut adalah simbol

warna merah matahari, sebuah kekuatan. Dahulu kala, masyarakat

Jepang memiliki tradisi membungkukkan badan, hormat ke arah

matahari terbit. Tradisi ini dikenal dengan nama Seikeirei. Makanya,

sejak berabad-abad lamanya, matahari menjadi bagian yang tak

terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Jepang."

Aiko menatap whiteboard dengan tatapan kosong. Pikirannya

sedang tidak fokus kuliah. Ia lebih memilih mencorat-coret di atas

kertas. Ia menggambar seorang cowok dengan tas ransel besar sedang menatap ke arah matahari terbit. Sejenak Aiko memperhatikan

gambarnya dan kaget sendiri dengan karya isengnya itu. Hah? Kenapa ia menggambar Ipank? Menyadari hal itu, ia langsung menekannekan kepalanya dengan jemari. Pusing. Sepertinya memang dia

butuh istirahat.

Tak lama kemudian, jam mata kuliah Profesor Tamam berakhir.

Ruang kelas kosong seketika. Hanya Aiko yang sibuk membereskan

11735118

peralatan gambarnya. Ia tak menyadari ketika seorang cowok berdiri

di depan mejanya.

"Ada hubungan apa kamu sama Satrio?"

"Ipank?" Aiko mundur beberapa langkah saking kagetnya. Membuat pinggulnya menatap meja di belakangnya. Nyeri. Tapi berusaha ia tahan.

Ipank berdiri dengan kepala tertunduk. Kedua telapak tangannya

ia letakkan di atas meja, membuat kedua lengannya terlihat kokoh

menahan tubuhnya. Dengan suara pelan dan lembut, Ipank berkata,

"Kamu... udah bikin aku kelihatan tolol di depan orang-orang

kemarin, Ai."

"Aku nggak ada maksud..."

"Harusnya kamu pulang bareng aku," ucap Ipank pelan. Bahkan

lebih terkesan amat sangat kecewa. "Kenapa susah banget sih,

Ai?"

"Ini kan sepele, Pank. Kenapa harus diributin sih? Aku pulang

sama siapa pun, ujung-ujungnya juga kita ketemu di Soda."

"Sepele katamu, Ai?" Ipank memiringkan kepalanya, memejamkan mata sesaat, menghela napas, kemudian kembali menatap Aiko.

"Buatku ini nggak sepele..."

Aiko terdiam ketika Ipank mengangkat wajahnya, menatapnya.

Ia mundur beberapa langkah. Memastikan posisinya agar sulit

dijangkau oleh Ipank. Tindakan Ipank yang tenang seperti ini justru membuat Aiko semakin takut. Layaknya setan yang tak pernah

memberi tanda kalau mau mengganggu pikiran manusia.

Aiko hafal betul bagaimana Ipank, cowok yang menanamkan

beribu ketakutan di benak Aiko. Cowok yang selalu emosian, tak

pernah terlihat sedih ataupun takut. Cowok yang sering pulang

dengan darah di tangan, pelipis, atau kaki akibat berkelahi, yang

sering Aiko lihat diam-diam sedang membalut lukanya sendiri di

kosan. Cowok yang supernekat dan berani mati ketika memimpin

demo mahasiswa.

Bukan sosok jagoan yang ada di benak Aiko ketika mengetahui

11835119

itu semua. Ipank tak lebih dari seorang tempramen yang bermasalah

de?ngan emosinya. Aiko mengira-ngira bahwa itulah sebenarnya sumber ketakutannya dan orang-orang yang mengenal Ipank. Ia dan

orang-orang itu bukan segan karena menaruh respek pada Ipank.

Mereka takut karena perilakunya.

Ipank memalingkan wajah sambil tersenyum sinis. "Kita udah

lama tinggal satu kosan kan, Ai...," ujar Ipank perlahan mendekat.

Urat-urat di sekitar wajahnya terlihat jelas. Seperti menahan luapan

emosi. Visual yang biasa Aiko lihat ketika Ipank sedang terguncang

emosinya.

"Ka-kamu mau apa?"

"Kenapa sih, Ai..." Ipank seakan tak mampu melanjutkan katakatanya. Ia menarik napas berat sebelum kembali berkata dengan

suara serak khasnya, "...kamu setakut itu sama aku?"

Aiko tampak sangat ketakutan. Wajahnya memucat. Semakin

Ipank mendekat, semakin ia melangkah mundur. Begitu seterusnya.

Entah apa yang ia pikirkan saat ini. Yang jelas, jantungnya berdetak

sangat cepat.

Ipank menghentikan langkahnya. Terdiam. Respons Aiko di

hadapannya membuatnya merasa begitu terpuruk. Loser. Ia tak

menyangka kalau Aiko setakut itu. Kedua telapak tangannya mengepal. Keringat membasahi keningnya. Ia betul-betul marah. Marah

dengan dirinya sendiri lebih tepatnya. Sebegitu burukkah dirinya

di mata AikoDengan sekali kibasan tangan, Ipank menjatuhkan kursi-kursi di

sebelahnya. Menimbulkan suara yang cukup gaduh. Ia meluapkan

kemarahannya di sana. Ya, hanya itu yang mampu ia lakukan.

Setidaknya membuat pikirannya jauh lebih tenang.

"TOLOOONG!!!" Spontan Aiko berjongkok. Mencoba melindungi diri. Air mata menetes di pelupuk matanya. Tapi buru-buru

ia hapus. Tubuhnya bergetar hebat saking takutnya. Entah setan

apa yang merasuki Ipank saat itu. Seandainya bisa, ia ingin cepatcepat menghilang dari tempat itu. Atau paling tidak lari menuju

11935120

pintu keluar. Tapi sayangnya ia tak kuasa. Kedua kakinya seakan

terkunci.

Aiko tak tahu jelas apa yang sedang terjadi di sana. Ia hanya

menu?tup matanya dengan kedua telapak tangan yang sekaligus

membungkam telinganya. Aiko dapat merasakan jantungnya berdetak hebat.

Namun beberapa saat kemudian, ruangan kelas kembali hening.

Perlahan, dengan tubuh gemetar dan keringat yang menetes di keningnya, Aiko mengintip dari sela-sela kursi. Aneh. Tak ada siapasiapa di sana. Ipank telah pergi. Entah ke mana. Yang jelas, dia tak

ada di ruangan itu.

Di sudut parkiran, dua orang lelaki tampak mengamati kampus

Ipank. Salah satu di antaranya sedang berbicara dengan telepon

genggam di tangan kirinya sambil mondar-mandir. Sementara yang
Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

satunya menyandar pada tiang, mengenakan jaket berwarna biru

tua.

Parkiran kampus Universitas Pelita memang selalu sepi. Saking

luasnya lahan parkir tersebut sehingga butuh waktu lumayan lama

kalau harus mengelilinginya. Pepohonan rindang di sekelilingnya

membuat tempat parkir tidak terlalu panas.

Satpam pun hanya ada di beberapa sudut dan pos tiket. Sisanya

menjaga di tiap pos yang berada di tiap gedung. Kalau dilihat sekilas, parkiran cukup aman lantaran akses keluar-masuk mobil cuma

dari satu pintu, mempermudah pengontrolan.

Ipank baru saja keluar dari gedung perkuliahan menuju parkiran.

Ia mengenakan jaket dan menyampirkan tas selempang di bahunya.

Wajah?nya terlihat tegang dan berkeringat, tanda baru saja terguncang emosinya.

Lelaki berjaket biru tua tadi beranjak dari sandarannya ketika

melihat Ipank keluar. Ia memanggil temannya yang sedang mene12035121

lepon, memberi isyarat dengan dagunya ke arah Ipank. "Itu dia,"

ucapnya.

Si lelaki yang sedang menelepon segera menyudahi percakapannya. Ia kemudian memperhatikan gerak-gerik Ipank dari kejauhan.

Seperti memperkirakan waktu yang tepat untuk mendatanginya.

Entah apa tujuannya. Yang jelas, kedua orang itu bukanlah pegawai

ataupun civitas akademika Universitas Pelita.

Tak berapa lama, akhirnya kedua lelaki itu memutuskan untuk

menyapa Ipank. Dengan langkah tenang, mereka mendekat.

"Kamu yang namanya Ipank?"

Ipank yang hendak memasang helm, mengurungkan niatnya.

De?ngan curiga, ia menjawab pertanyaan lelaki di hadapannya itu.

"Iya, ada apa?"

"Ada yang mau ketemu sama kamu."

Ipank menatap lelaki itu tajam. "Siapa?"

"Nanti kamu juga tahu."

Ipank terdiam sejenak. Berpikir. Namun kemudian ia memasang

helmnya. "Sori, saya nggak ada waktu buat ketemu orang yang saya

sendiri nggak boleh tahu dia siapa."

"Sombong sekali kamu," sontak laki-laki itu berkata.

"Kalo penting, ya bawa orangnya ke sini." Ipank cuek menstarter motornya, menunggu sejenak agar mesinnya panas. Kejadian

di ruang kelas Aiko tadi membuat hawa emosi masih menyelimuti

tubuhnya. Makanya Ipank cukup dewasa untuk tidak memedulikan

kedua lelaki tersebut, mencegah emosinya meluap.

Untung saja kedua lelaki ini mampu bersikap lebih santai, meskipun jawaban-jawaban Ipank terdengar sangat tengil dan menyulut

pertengkaran.

Ipank mengetes gas motornya. Sesaat ia berpaling pada kedua

lelaki yang masih menunggunya itu. Dalam hati ia heran. Tapi ia

sedang malas berpikir, makanya ia diam saja. "Permisi, saya mau

pulang," ujarnya, kemudian menjalankan motornya keluar pintu

parkiran meninggalkan kedua lelaki misterius itu. Tujuannnya kali

12135122

ini bukan untuk pulang ke kos-kosan Soda, ia lebih memilih ke

kosan Seno. Ya, itu yang ada di benak Ipank saat ini. Ia ingin

menenangkan diri dari Aiko. Dan hal itu tidak mungkin bisa ia

lakukan di kosan Soda.

Lelaki tadi kembali mengambil telepon genggamnya. Dengan

sekali tekan, ia mulai berbicara pada seseorang di telepon, "Kami

sudah tahu anak itu..."

12235123

BOLA mata hitam itu menatap pohon mangga di halaman koskosan Soda. Beberapa saat ia terdiam. Satu alisnya terangkat. Dengan lincah ia memanjat pohon. Melompat dari satu dahan ke

dahan lainnya. Alas kakinya ia lepas sehingga jemari kecilnya mampu mencengkram kuat dahan pohon tersebut.

Ia memilih berhenti dan duduk di dahan paling ujung. Pilihan

tempat yang nyaman menurut perhitungannya. Kemudian ia memekik senang layaknya seorang koboi, "Yiiihaa!!!"

Bocah itu terlihat gembira berada di atas pohon. Umurnya sekitar sepuluh tahun. Tubuhnya terbilang sedang. Tidak terlalu gemuk

atau kurus. Entah siapa dia. Yang jelas, sejak siang tadi ia sibuk

bermain seorang diri di pekarangan Soda. Seakan sudah lama sekali

ia tidak bermain. Sudah lama tidak bisa berlari bebas.

Bocah itu mengenakan kaus hitam polos dan celana jins yang

so?bek di bagian lututnya. Tangannya penuh gelang tali. Ia membawa tas ransel hitam di punggungnya, tempatnya meletakkan

ketapel yang ia gunakan untuk membidik mangga di pohon.

"Kamu siapa?" tanya Aiko bingung ketika melihat bocah itu

12335124

sedang asyik mencorat-coret bagian kosong tembok Soda dengan

spidol biru. Aiko yang baru saja tiba dari kampus jelas kesal.

Anak itu menghentikan keasyikannya menggambar dan menengok ke arah Aiko. Bola matanya hitam pekat. Tatapannya aneh,

agak menyeramkan. "Kamu siapa?"

Aiko terdiam sejenak. Kenapa anak ini malah balik bertanyaJelas-jelas dia yang seenaknya mencorat-coret tembok kosan. "Kenapa kamu corat-coret tembok kosan saya?"

"Ini bukan corat-coret, Tante. Ini seni," jawabnya layaknya maestro lukis setingkat Piccaso. Tante? Apakah Aiko tampak setua itu

di matanyaAiko menatap gambar bocah kecil itu di tembok. Garis-garis

spidolnya terlihat membentuk sebuah ombak bertingkat di lautan

lepas. Bagian tembok kosong yang semula berwarna putih polos,

mendadak bercorak. Warna putih menjadi seperti buih ombak di

antara lekukan-lekukan berwarna biru. Hmm... bagus juga gambar

anak itu, meski hanya sebuah sketsa. "Tapi... kamu nggak bisa seenaknya menggambar di tembok rumah orang."

Anak itu tertawa geli. "Tante lucu."

"Lucu?"

Bocah kecil itu merentangkan tangannya lebar-lebar di depan

tembok kosan Soda. "Udah berapa banyak orang yang Tante larang

selama ini?" tanyanya dengan wajah dan suara tengil.

Aiko terdiam. Bingung harus menjawab apa. "Kamu..." Belum

sempat Aiko melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba Saka datang bersama

sepeda ontelnya memasuki gerbang. Wajah cowok kalem itu terlihat

sedikit berkeringat. Mungkin karena ia mengayuh ontelnya terburuburu.

"Mana es dawetnya?" tanya bocah tengil itu pada Saka.

"Iya, ini. Biar dibuka di dalam aja. Ntar tumpah," jawab Saka

pelan sambil menunjukkan kantong plastik hitam yang disangkutkan di setang sepeda ontelnya.

Dengan gusar bocah tengil itu memasukkan spidol ke dalam tas

12435125

ranselnya. Kemudian ia berlari ke dalam rumah. Serasa kosan itu

rumahnya.

"Kamu udah tau dia siapa, Ai?" tanya Saka. Cowok itu berusaha

bertanya setenang mungkin. Ia mengelap keringat yang menetes di

kening dengan punggung tangannya.

Aiko menggeleng.

"Kamu baru pulang dari kampus, ya?"

Aiko mengangguk.

"Kita masuk aja, yuk! Biar Eyang Santoso yang ngenalin anak

itu ke kamu,"

"Emangnya dia..."

"Nanti kamu juga tahu."

Dengan langkah pelan, Aiko mengikuti Saka berjalan menuju

rumah. Berbagai pertanyaan melompat-lompat di kepalanya. Tapi

hanya satu kalimat yang mampu merangkum semua pertanyaan itu.

"Anak tadi agak... aneh ya."

"Dia sepupu Aiko. Namanya Kenzo."

"Huahaha... macam merek parfum," celetuk Jhony disertai tawa

Dara. Dua orang berambut aneh tertawa.

"Orangtua Kenzo sedang tugas ke luar kota selama sebulan.

Kebetulan sekolah Kenzo belum libur. Jadi mereka menitipkan

Kenzo di sini. Soalnya, mereka nggak tenang kalau harus membiarkan Kenzo diasuh pembantu. Sekarang ini kan banyak kasus penculikkan anak di berita-berita TV."

"APA?!?" Anak-anak Soda kompak memekik. Kemudian berisik

dengan pendapat mereka masing-masing, sampai-sampai Eyang

Santoso tidak bisa mendengar pendapat mereka satu per satu.

"Kenapa orangtuanya nitip ke sini?"

"Emangnya nggak ada kenalan dekat lagi"Kenapa tiba-tiba, Eyang?"

12536126

"Sebulan itu lumayan juga ya."

"Tuh bocah tengil banget."

Meskipun Kenzo sepupu Aiko, ini namanya musibah kalau anak

kecil menyebalkan itu harus tinggal satu atap dengan anak-anak

Soda. Masalahnya, sejak kehadirannya tadi siang, Kenzo sudah

bikin kesal anak-anak Soda.

Jhony adalah sasaran empuk paling utama bocah tengil itu. Menu?rutnya rambut Jhony lucu. Cowok kribo itu dibuat kesal lantaran Kenzo menggonta-ganti channel TV ketika Jhony asyik nonton

sinetron. Ketika remote TV berhasil direbut Jhony, Kenzo malah

iseng merobek tisu satu kardus. Membuat Jhony kena omel Dara

karena Kenzo menunjuk Jhony pelakunya.

Saka yang begitu sabar nyaris dibuat stres gara-gara Kenzo

meminjam sepeda ontel kesayangannya dan dipakai ngebut. Padahal

kaki Kenzo belum sampai. Langsung saja si ontel ngambek. Rantai

sepedanya copot. Saka terpaksa membawa sepeda ontelnya ke tempat Jigo, pemilik bengkel sepeda langganannya, "Djawani 25".

Yang paling parah, bocah tengil itu tidak sopan. Dia memanggil

anak-anak Soda dengan nama mereka masing-masing tanpa embelem?bel "Mbak", "Mas", apalagi "Kak". Tapi beda banget ketika ada

Eyang Santoso. Dia akan bersikap sangat manis seperti kelinci kecil

tak berdosa.

Cuma Dara yang diperlakukan agak sopan oleh Kenzo. Itu juga

cuma karena dia terkagum-kagum dengan rambut Dara yang menurutnya keren. Mirip Sakura Haruno, salah satu tokoh kartun dari

film Naruto kesukaannya.

Dua hari ini Ipank memang sedang tidak di kosan Soda. Ia

menginap di kosan temannya. Di antara anak-anak kos lainnya,

Ipank paling jarang di kosan. Hidupnya nomaden. Mungkin karena

Ipank yang paling banyak kegiatan juga.

Apa pun alasan yang keluar dari mulut anak-anak Soda, pada

akhirnya mau tak mau mereka harus menerima keputusan Eyang

Santoso untuk membiarkan Kenzo tinggal di Soda.

12636127

"Kalian semua sudah dewasa. Seharusnya bisa memaklumi kelakuan Kenzo. Dia masih kecil. Kalian yang harusnya bisa menjaga dan

menjadi kakak yang baik untuk Kenzo. Tenang, dia di sini cuma

sebulan, kok. Apa susahnya sih, kalian menahan diri selama sebulan?"

Nahan diri? Puasa? Oke, untuk kasus ini anak-anak Soda sepakat

untuk menamai momen tinggalnya Kenzo di Soda sebagai "Puasa

Kenzo".

Setelah Eyang Santoso mengeluarkan kalimat sakti tersebut,

Dara, Saka, dan Jhony langsung keluar dari kamar beliau. Sekarang

sudah jam delapan malam. Pembicaraan soal sepupu Aiko mau tak

mau harus berhenti karena waktunya Eyang untuk istirahat. Belakangan Eyang Santoso memang gampang mengantuk dan capek.

Waktu tidurnya jadi tak teratur.

"Menurutku, Kenzo terlalu tua untuk ukuran anak kelas empat

SD," kata Jhony.

"Maksud Bang Jhon?" tanya Dara.

"Ya, maksudku, sepantasnya dia sudah SMP. Dia terlalu nakal

untuk ukuran anak SD. Nggak ada takut-takutnya sama kita-kita."

"Tapi badannya kan masih anak-anak banget, Bang."

"Tak taulah. Kuntet barangkali dia."

"Huahahaha..."

"Aku nggak naik kelas."

Aiko terkejut dengan jawaban santai Kenzo ketika ia menanyakan

umurnya yang tidak cocok. Buat Aiko, tabu rasanya mendapatkan

nilai merah di rapor sewaktu ia sekolah dulu. Tapi anak ini sepertinya santai-santai saja. Bahkan dia tidak malu menceritakan kalau

orangtuanya jadi langganan dipanggil guru lantaran dirinya selalu

berulah. Terakhir kali mamanya dipanggil karena Kenzo membubuhi lem di tempat duduk cewek-cewek sekelas.

12736128

"Aku nggak suka cewek di kelas. Karena mereka nyusahin. Cengeng, manja, tukang ngadu."

"Tapi bukan berarti kamu boleh ngasih lem di bangku mereka

semua kan, Kenzo."

"Aku cuma pengin tahu reaksi mereka."

"Nanti nggak ada yang mau berteman sama kamu, lho."

"Aku nggak butuh teman. Aku mau sendiri saja. Sendiri lebih
Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

asyik."

Aiko menatap wajah bocah di sebelahnya sambil berpikir keras.

Memang benar, anak ini aneh. Pola pikirnya tak biasa. Sulit ditebak. Di balik kelakuannya yang terkesan nakal, Aiko menyadari

satu hal bahwa sebenarnya anak ini cerdas. Rasa ingin tahunya begitu tinggi.

Malam ini, Kenzo tidur di kamar Aiko karena tak ada satu pun

anak-anak Soda yang rela tidur dengan bocah tengil itu. Akhirnya

Aiko mengalah. Kenzo juga keluarganya, meskipun baru bertemu

saat ini.

Tadi Saka dan Jhony sibuk memindahkan kasur tambahan milik

ke kamar Aiko. Kenzo semena-mena menyuruh mereka agar meletakkan kasur tersebut menghadap ke arah matahari di jendela. Entah apa maksudnya. Katanya dia suka sekali matahari pagi.

"Kita saudara dari mana, ya?" Aiko bertanya polos. Ia memang

tidak terlalu mengenal sepupu dari pihak ayah kandungnya. Maklum, ayahnya sudah berpisah dengan ibunya sejak Aiko masih dalam kandungan. Jangankan tahu sepupu-sepupu dari pihak ayahnya,

wajah ayah kandungnya saja ia belum tahu.

Ibu Aiko hanya beberapa kali memperlihatkan foto ayah kandungnya. Beliau tidak rela kalau anaknya mengetahui lebih jauh

soal ayah kandungnya. Entah apa alasannya. Seperti ada dendam

yang tak terungkapkan. Yang jelas, sejak ayah dan Ibu Aiko bercerai, ibunya memutuskan untuk tidak menikah lagi dan menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan di Lombok. Tanah kelahirannya.

12836129

"Kata Mama, kita saudara jauuuh.... jauuuh... sekali," jawab

Kenzo polos sambil merentangkan tangannya lebar-lebar.

Jauh? Aiko semakin heran. Kenapa orangtua anak ini justru

menitipkan Kenzo pada saudara jauhnya? Ada apa dengan saudarasaudara dekatnya"Saudara kamu yang lain... di mana?"

Kenzo mengangkat bahu. "Mungkin nggak ada."

"Nggak ada? Nggak ada gimana?"

"Di Jepang."

Aiko kembali berpikir. Kalimat terakhir Kenzo sedikit menjawab

pertanyaannya. Jepang. Kalau begitu, sudah pasti mereka bersaudara

dari keluarga ayah Aiko. Meskipun begitu, rasa penasaran Aiko

terhadap bocah tengil ini justru semakin menjadi-jadi. "Kamu..."

Aiko menghentikan pertanyaannya.

"Hm?"

Aiko menggeleng. Menarik kembali pertanyaannya. Sepertinya

lebih baik dia bertanya langsung pada Eyang Santoso tentang siapa

sebenarnya anak kecil ini.

Mata Kenzo mengelilingi kamar Aiko yang tertata rapi. Ia memperhatikan lukisan Aiko satu per satu. "Itu apa?" tunjuknya pada

sebuah lukisan pegunungan di sudut kamar.

"Itu Gunung Semeru."

"Kamu pernah ke sana?"

Aiko menggeleng.

"Tuh, kan betul! Udah aku kira."

"Apanya?"

Kenzo menarik selimut dan berusaha menutupi wajahnya. Sesaat

kemudian ia bangkit dan balas menatap Aiko. "Menurutku, hidupmu ngebosenin."

"Kenapa?"

"Kamu pasti orangnya nggak asyik. Lihat aja semua barang-barangmu di kamar ini ngebosenin. Yang paling keren di kamar ini

cuma gambar-gambarmu. Kamu pun belum pernah ke tempat12936130

tempat itu," ucap Kenzo menghela napas panjang, berlagak bosan.

Dalam hati, Aiko sedikit tersinggung dengan ucapan Kenzo barusan. Tapi karena ia merasa punya tanggung jawab kepada bocah

tengil itu, Aiko memakluminya. "Udah, tidur. Sekarang jam sepuluh malem. Besok kamu sekolah diantar Mas Saka, kan?"

"Ai..."

"Hm?"

"Pantatku di tepuk-tepuk, dong. Aku nggak bisa bobo kalau

nggak di-puk-puk."

Ampun, deh!

Kamar Eyang Santoso tampak temaram. Beliau baru saja menutup

lemari kayu di sudut kamarnya, kemudian menguncinya rapatrapat. Tak ada yang tahu persis apa yang ada di dalam lemari itu

sebenarnya, karena memang pintunya tak pernah terbuka.

Tangan tua Eyang Santoso memegang sebuah foto berbingkai

kayu yang terlihat buram dimakan usia. Dengan susah payah ia

berja?lan menuju tempat tidur, dan merebahkan tubuhnya. Ia memandangi orang dalam foto tersebut. Itu adalah foto dirinya dengan sahabat terbaiknya. Mereka berangkulan dan tertawa bahagia.

Pada latar belakang foto tersebut terlihat asap yang membumbung

ting?gi di angkasa. Mereka berada di puncak gunung.

Mata Eyang Santoso menerawang. Seakan ia terbang beribu-ribu

kilometer ke masa lalu. Dalam hati ia berbicara. Mungkin memang

sudah saatnya mereka mengetahuinya. Perasaanku berkata kalau beberapa hari ini dia mengintai rumah ini. Aku akan tepati janjiku menjaga cucumu. Aku akan menjaganya seperti cucu kandungku sendiri.

Percayalah...

Eyang Santoso meraih gagang telepon di sebelah tempat tidurnya. Beberapa digit nomor ia tekan. Dalam kegelisahan luar biasa,

13037131

Eyang Santoso menghela napas beratnya. Sesaat kemudian terdengar

nada sambung di telepon. Telepon diangkat.

"Ada yang ingin Om bicarakan..."

Terdengar balasan orang di seberang.

"Astari telepon kemarin. Sepertinya waktunya telah tiba. Se?baiknya kita membicarakan bagaimana selanjutnya di Jogja. Om ndak

tahu apa yang akan dia lakukan. Tapi yang jelas, Om ndak akan

rela kalau sampai terjadi apa-apa di kos-kosan ini."

Pagi ini, Aiko dan mahasiwa baru lainnya kelihatan sibuk mondarmandir keliling kampus membawa kardus bertuliskan Charity Night.

Yap, seperti sebelum-sebelumnya, acara tahunan Charity Night kembali digelar. Dan seperti tahun kemarin, mahasiswa barulah yang

selalu kebagian apes mencari sumbangan setiap hari sampai acara

berlangsung. Padahal belum tentu mereka hadir pada hari-H.

Peluh membasahi kening Aiko ketika melewati kantin kampus.

Kotak yang dibawanya terasa ringan lantaran sedikit sekali orangorang yang mau mengisi. Maklumlah, dompet mahasiswa kan bisa

kete?bak isinya. Paling cuma cukup untuk beli batagor satu mangkuk dan teh botol. Belum lagi kalau punya pacar atau gebetan.

Dompet pun tekor untuk mentraktir karena gengsi.

Seno tengah berdiri di salah satu pilar gedung bersama Ipank.

Sesaat Seno menangkap sosok Aiko yang tampak kelelahan di bangku taman. Ia lantas menunjuk ke arah Aiko dengan dagunya. "Aiko

tuh, Pank."

Ipank menengok ke arah yang ditunjukkan sahabatnya. Membuat

jantungnya mulai menunjukkan reaksi serupa setiap kali ia melihat

gadis itu.

"Samperin gih," Seno berkata sambil cengar-cengir.

"Nggak ah. Ngapain."

"Jiaaah... sok jual mahal. Keburu disamber orang loh!" Baru saja

13137132

Seno melontarkan kalimat itu, dari kejauhan terlihat Satrio menghampiri Aiko. "Tuh, kan. Apa aku bilang!"

Ipank menarik napas berat. Sebisa mungkin ia memalingkan

matanya. Tapi entah kenapa tidak pernah bisa, walaupun sebetulnya

hati Ipank seperti disayat setiap kali melihat Aiko bersama Satrio.

Kalau sampai si Satrio berani nyentuh Aiko, aku habisi dia!

"Pank!" Seno mengibaskan telapak tangannya di depan Ipank.

"Pank! Woy! Yeeeaaa... serem bener tuh mata. Kedip dikit dong,

Mas Ipank..."

"Huuu... semprul!"

"Ahahaha..." Seno tertawa sambil menarik tubuh Ipank agar menjauhi tempat itu. "Mending kita manjat aja, Dab. Kalo di sini terus, bisa-bisa kamu kena darah tinggi," ucap Seno yang akhirnya

membuat Ipank tak tahan untuk mengacak-acak rambut sahabatnya

itu karena kesal.

Di sudut lain, Satrio berusaha meyakinkan Aiko untuk datang

ke acara Charity Night besok. Menurutnya sayang banget kalau

capek-capek mengumpulkan uang, tapi absen pas acara digelar. Itu

kan sama saja dengan kerja rodi. Kalau datang, paling tidak bisa

mencicipi makanan-makanan yang dihidangkan di sana.

"Emangnya harus dateng ya, Kak? Katanya kalo nggak dateng

nggak apa-apa."

"Ya... emang nggak apa-apa sih, tapi paling nggak kamu coba

da?teng sekali. Supaya kamu tahu Charity Night Universitas Pelita

kayak gimana. Kalo suka ya... enjoy. Tapi kalo nggak suka ya sebentar aja datengnya."

Aiko terdiam. Kakinya yang menggantung di bangku taman ia

ayun-ayunkan sambil memikirkan jawaban yang tepat. Ia menggigit

bibir bawahnya yang berwarna pink. Sebenarnya malas kalau harus

datang sendiri. Yah, namanya juga anak baru. Masih kurang pede

kalau harus datang ke acara kampus sendirian. Tapi belum sempat

Aiko berpikir lebih jauh, tiba-tiba tawaran itu datang.

"Kalo mau, kamu berangkatnya bareng aku aja. Kebetulan aku

13237133

juga berangkat sendirian. Besok aku jemput di kosan kamu. Gimana?"

"Nggak apa-apa, Kak?"

"No problem. Santai aja."

Di ruang Pencinta Alam Universitas Pelita, Ipank menekuk kertas

di tangannya, melipatnya hingga menyerupai pesawat terbang.

Kemudian ia mengangkat kakinya ke atas kursi di hadapannya.

Tanpa berpikir panjang, ia luncurkan pesawat kertas buatannya itu

ke arah whiteboard bertuliskan undangan ?Charity Night Universitas

Pelita?.

Semua orang tahu, Ipank adalah mahasiswa yang paling malas

datang ke acara malam amal yang selalu diadakan setiap tahun ketika musim mahasiswa baru itu. Ipank menganggap konsep charity

yang selama ini menjadi judul utama acara itu cuma sebagai tempelan supaya kesannya oke. Padahal kenyataannya lebih banyak hurahura dibanding amalnya. Entah siapa yang pertama kali merusak

makna dari Charity Night itu sendiri.

Dari tahun ke tahun, semua orang yang datang ke acara itu

serba palsu. Bayangkan saja, yang cowok sibuk pamer kekayaan

dengan bawa mobil ini-itu. Sementara yang cewek butuh berjamjam di salon untuk dandan dengan mengeluarkan kocek yang tidak

sedikit, hanya untuk acara Charity Night yang tidak lebih dari dua

jam. Itu gila menurut Ipank. Apalagi acara malam amal kali ini

ketuanya Andari.

"Ntar malem nginep di tempatku lagi, Pank?" Seno menepuk

pundak Ipank dan duduk di dekatnya.

"Kenapa? Keberatan ya, kalau aku numpang?"

"Ya nggaklah, tiap hari dimasakin masa aku keberatan. Asal

nggak diracunin aja, sih."

"Racun? Hmm... ide bagus tuh, No."

13337134

"Yah jangan gitu dong, Bos."

Ipank hanya tertawa kecil. Ia malah sibuk memainkan karet gelang di tangannya. Membentuknya menjadi bentuk benda-benda

mati: gunting, pesawat, kamera

"Charity Night absen lagi, kamu?"

"Males. Paling isinya orang PDKT sama anak baru, atau orang

pacaran," jawab Ipank tersenyum sinis.

"Aiiih, bukannya situ juga lagi PDKT?"

"Sialan." Ipank menjitak kepala Seno.

"Kayak nggak tau Ipank aja kamu, No. Kalau sampai Ipank dateng ke acara Charity Night, itu baru namanya fenomenal dan pantas dimasukkan dalam Guiness Book of Record!" komentar salah satu

anggota MAPALA.

"Dari tahun-tahun lalu juga Ipank makhluk yang paling dicari

di Charity Night. Junior-junior cewek yang diundang palingan pengin ngecengin Ipank. Berharap dia bakalan dateng juga. Padahal

pupus deh huahaha" Anggota MAPALA lain menimpali sambil

asyik memetik senar gitar. Lagu Pupus dari Dewa 19 pun mengalun.

"Apaan sih!" Ipank menjepretkan karet gelang di tangannya ke

Anto yang baru saja berkomentar.

"Huahaha"

Sambil mengobrol, Ipank membenarkan gelang-gelang tali di

tangannya. Dari dulu Ipank memang senang memakai gelang tali.

Gelang-gelang tersebut biasanya ia beli saat jalan-jalan sebagai kenang-kenangan dari tempat tersebut. Makanya tidak heran kalau

koleksi gelang talinya sudah lumayan banyak.

Tiba-tiba pikiran Ipank melayang pada sosok Aiko. Kejadian

bersama Aiko di ruang kelas waktu itu membuat hatinya sakit.

Kenapa Aiko begitu takut dengannya? Perih rasanya mengetahui

orang yang ia tatap dengan penuh cinta justru menatap dirinya

seperti monster yang hendak memangsa. Apa salah Ipank? Kenapa

dari dulu pikiran Aiko pada dirinya tak pernah berubah.

13437135

Beberapa hari tidak bertemu Aiko ternyata membuat Ipank kangen. Di benaknya langsung terlintas sesuatu.

Dengan cepat Ipank menyambar jaket dan tasnya. Membuat

teman-temannya terbengong-bengong. "Aku cabut duluan ya!"

Ipank berlari secepat mungkin menuju gedung Fakultas Seni Rupa

dan Desain. Ia teringat kalau sekarang waktunya Aiko selesai kuliah. Aiko pasti pulang sendirian. Jadi ia berpikir untuk mengajaknya pulang bersama. Yah, lebih baik ia segera menawarkan karena
Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ipank tidak rela kalau Aiko pulang bersama orang lain. Apalagi

kalau pulang bersama

Telat! Ipank melihat Aiko tengah berjalan dengan Satrio menuju

parkiran. Tangan Satrio dengan entengnya merangkul bahu cewek

itu. Dan Aiko kelihatannya tidak keberatan.

Oke. Udah cukup kesabaran Ipank melihat kebersamaan mereka.

Dengan luapan emosi yang menjalar dan nyaris tanpa logika, Ipank

menarik lengan Aiko agar menjauhi Satrio. Agak keras. "Jangan

sentuh-sentuh Aiko-ku."

Tak sengaja, hal itu ternyata membuat Aiko terkejut sekaligus

meringis kesakitan.

"Hah?!? Aiko-mu? Sejak kapan?" Satrio terdiam heran. Sesaat ia

tertawa kecil sambil menatap tajam Ipank.

"Bukan urusanmu." Ipank mendekati Satrio. Pandangannya menghunjam lurus ke bola mata cowok itu. "Denger ya, Yo. Kalo kamu

mau jadi brengsek, silakan. Kalo kamu mau pacarin cewek-cewek

di kampus ini dan nyakitin mereka satu-satu juga silakan. Tapi..."

Ipank menghentikan kalimatnya. "...jangan Aiko."

Satrio menatap Ipank tenang. "Aiko bukan milik siapa-siapa. Dia

bebas memilih teman yang dia mau."

"Kamu lagi berusaha ngedeketin dia, kan?" Ipank menggerakkan

rahangnya tanpa melepas pandangan tajamnya. "Oke, kalo itu mau

kamu, kita main bersih. Bersaing sehat. Kayak yang selalu kita lakuin selama ini." Kalimat itu tiba-tiba meluncur begitu saja dari

Ipank tanpa dipikirkan matang-matang.

13537136

Kalimat itu justru membuat Satrio tertawa. "Ngapain aku harus

bersaing sama kamu, Pank? Aiko sendiri yang udah memilih dekat

sama aku."

Ipank geram mendengar kalimat Satrio barusan. Kalau bukan

karena ia telah berjanji pada dirinya sendiri agar mengontrol emosi,

Satrio pasti sudah babak belur saat ini.

"Kak Satrio, maaf ini..." Suara Aiko bergetar.

"Nggak usah minta maaf sama dia!" Ipank tegas memotong kalimat Aiko. Emosinya justru meningkat drastis.

"Ipank, Ipank. Kamu mau senat pecah cuma gara-gara kelakuankelakuan tolol kamu ini?" Satrio berkata dengan nada setenang

mungkin. Matanya berkilat di balik kacamata.

"Kak Satrio, ini bukan..." Belum sempat Aiko melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba sebuah pukulan mengenai wajah Satrio hingga ia

terseret mundur beberapa langkah. Darah menetes dari ujung bibirnya. Kesabaran Ipank sudah habis sepertinya.

"Ah, Shit!" Satrio mengumpat dan nyaris membalas.

Saat itu pulalah Aiko refleks mendorong tubuh besar Ipank. Dan

meluncurkan teriakan dari mulutnya, "STOP!!!"

Hah? Apa barusan? Aiko nggak pernah sama sekali bersuara tinggi

ataupun keras. Sakura gue nggak pernah berteriak kayak gitu.

Teriakan itu mampu membuat orang-orang datang berkerumun.

Tapi tak ada satu pun yang bergerak. Mungkin mencoba membaca

situasi yang terjadi.

Napas Aiko naik-turun. Tubuhnya gemetar ketakutan. Ia memegangi dadanya. Tampak shock dengan ucapannya. Perlahan ia melang?kah mundur. Membungkukkan tubuhnya sambil menatap kosong ke kedua kakinya. Ia terlihat mengatur napasnya pelan-pelan

"Ai..." Ipank khawatir melihat sikap Aiko. Ia berjalan mendekat.

Nyaris menyentuh bahunya.

Aiko memiringkan kepalanya menatap Ipank. Tatapannya aneh.

Tajam dan menakutkan. Seperti ada emosi yang tersimpan utuh di

13638137

manik mata indahnya. Tak lama satu kalimat keluar dari bibir

mungilnya, "Pergi kamu, Pank!"

"Ai, denger dulu..."

"Tolong pergi. Jangan campuri hidupku lagi..."

Kosan soda. Malam.

Ipank turun dari kamarnya menuju ruang TV. Melihat Aiko berada di ruang TV, Ipank berhenti sejenak. Kemudian membalikkan

badannya, kembali ke kamarnya. Mungkin terlihat konyol. Tapi

Ipank cuek. Melihat Aiko di hadapannya membuat perasaan Ipank

seperti ditusuk.

Jhony, Dara, Saka, dan Dido yang melihat jelas perilaku Ipank

barusan, mulai berpandangan.

"Lho? Ipank udah balik?" Dara bertanya.

"Katanya cuma pulang mau ngambil baju. Abis itu balik lagi ke

kosan temennya," jawab Saka sambil mengelap wayang-wayang

miliknya.

"Kenapa lagi tuh anak?" Jhony lagi-lagi angkat bicara. Malam ini

penampilan Jhony sedikit berubah. Ada kacamata bulat minus yang

nangkring di hidungnya. Tadi Bima mengantar Jhony ke optik untuk

memeriksa matanya lantaran cowok itu mengeluh kalau hi?dupnya

berasa tiga dimensi karena setiap melihat sesuatu selalu kabur.

Jhony cerita kalau kemarin dia salah masuk toilet cewek di mal

gara-gara gambar tanda toiletnya berbayang. Setelah dinyatakan

minus, Jhony langsung memilih frame bulat untuk kacamatanya. Ia

punya teori yang cukup ajaib atas pilihan kacamatanya tersebut.

"Mahatma Gandhi, Steve Jobs, dan John Lennon kacamatanya

bulat," begitu katanya.

Aiko seperti biasa hanya diam tanpa berkomentar apa pun. Di

antara anak-anak Soda, Aiko memang terkenal introvert. Jadi agak

susah kalau harus mengorek informasi dari cewek itu.

13738138

Beda dengan Dara yang memang tukang ngomong. Ditanya A,

jawabnya bisa sampai Z. Dan bisa bikin orang yang bertanya langsung kapok. Hands up!

Di kamar, Ipank membuka jendela. Selain duduk di dahan pohon kosan, ia juga suka duduk di dekat jendela kamar sambil menik?mati rokoknya dalam-dalam. Ipank suka sekali berada di ketinggian. Karena semuanya terlihat begitu indah.

Ipank melamun. Ia sadar kalau Aiko pasti membencinya garagara ulahnya tadi. Tapi apa yang bisa ia perbuat? Entah kenapa setan di kepala Ipank seakan menertawai dirinya kalau ia membiarkan

Aiko bersama cowok lain. Ia tahu sikapnya sangat berlebihan. Tapi

ia pun tak bisa mengontrol perasaannya jika ada hubungannya dengan Aiko.

"Harusnya aku gebukin sekalian cowok itu!" ujar Ipank gemas.

Tapi ketika ia teringat wajah Aiko di hadapannya saat itu, ia tak

sampai hati untuk bertindak lebih brutal. Kalaupun hal itu terjadi,

pasti jabatannya sebagai wakil senat dan ketua pencinta alam akan

dicabut. Dan kemungkinan besar senat akan hancur karena ulahnya. Jujur, sebenarnya ia tak mau itu terjadi. Tapi...

Ipank mengisap rokoknya. Dalam hati ia terus berpikir, kenapa

sih Aiko begitu membencinya? Apa salahnya? Lalu kenapa Aiko

bisa cepat akrab dengan si Satrio keparat ituAneh... kenapa ia sama sekali tidak berpikir tentang ancaman

pihak kampus tadi? Ya, insiden pemukulan Satrio tadi membuat

kampus gempar. Ipank langsung diseret ke ruang kemahasiswaan

kampus dan disidang. Ia diancam akan dicopot jabatannya dari

senat dan ketua pencinta alam. Sebetulnya ini masalah besar buat

Ipank. Tapi kenapa ia sama sekali tidak berpikir ke arah situ? Ia

justru pusing memikirkan Aiko.

Tas carrier hitam bergaris biru yang biasa Ipank gunakan naik

gu?nung, ia keluarkan dari lemari. Dengan rapi, cowok itu menata

baju-bajunya ke dalam tas tersebut. Urusan packing bukan hal sulit

buat Ipank. Ia tahu betul bagaimana menyusun barang-barang di

13838139

dalam tasnya agar ringan ketika dibawa. Belajar saat pendidikan

dasar masuk pencinta alam.

Setelah mengemas pakaiannya, Ipank keluar menuju kamar mandi mengambil perlengkapan mandi miliknya yang sengaja ia tinggalkan di sana. Di antara semua anak Soda, Ipank memang terkenal

paling rapi dan lengkap peralatan ?ganteng?nya. Makanya Jhony

paling girang punya teman kosan seperti Ipank. Itu tandanya bisa

ngirit!

Baru beberapa detik Ipank memasuki kamar mandi, mendadak

ia kembali ke luar dan berteriak, "WOY! SIAPA YANG PAKAI

SHAVING FOAM-KU!!!"

Teriakan Ipank mampu membuat heboh satu kos. Sesaat kemudian anak-anak Soda muncul satu per satu dari lantai bawah. Mereka heran ketika melihat wajah Ipank yang ?kenceng? di depan

kamar mandi.

"Siapa yang pakai shaving foam-ku?" tanya Ipank dengan intonasi

yang jauh lebih terkontrol. Ia menggeser tubuhnya agar anak-anak

Soda dapat melihat apa yang terjadi di dalam kamar mandi.

"Oh, my God!

Gayung kamar mandi penuh dengan foam yang dibentuk menyerupai ice cream. Sikat gigi yang ada di sana mendadak mirip

ga?gang gulali karena hanya terlihat pegangannya. Belum lagi lantai

kamar mandi penuh dengan foam yang berceceran ke manamana.

"Ya ampun!" Dara ikutan kaget melihat situasi di dalam kamar

mandi. Ia lalu melihat wajah anak-anak Soda satu per satu. Mencoba menerka-nerka siapa yang melakukan itu semua.

"Aku rasa nggak mungkin ada di antara kita yang bertindak bodoh kayak gini," Jhony berkata sambil menggaruk-garuk rambut

sarang burungnya itu. "Satu-satunya orang yang mungkin melakukan hal kayak gini..." Jhony menghentikan kalimatnya dan memandang ke arah anak-anak Soda. Dan mereka punya satu kesimpulan

yang sama.

13938140

"KENZO!" ucap anak-anak Soda kompak?selain Ipank. Sekompak gerakan mereka yang langsung keliling rumah mencari bocah

tengil pembuat onar itu.

Cuma Ipank yang bengong dengan nama yang tak familier di

teli?nganya itu. "Kenzo? Kenzo siapa?"

Anak-anak Soda sudah mencari Kenzo ke seluruh sudut rumah,

tapi nihil. Bocah tengil itu tidak ada di mana pun. Entah ke mana

dia. Yang jelas, situasi ini adalah saat yang justru paling menyenangkan buat Kenzo. Semua orang mencarinya. Semua orang mengkhawatirkannya. Semua orang ingin tahu keberadaannya.

Dan di saat anak-anak Soda sibuk memanggil-manggil namanya,

Kenzo dengan santainya duduk di salah satu batang pohon mangga

di pekarangan. Ia mengukir kalimat pendek pada pohon tersebut

dengan pecahan genteng yang ia temukan di jalan.

"KENZO JAGOAN"

Ada yang aneh di kosan Soda akhir-akhir ini. Seperti ada seseorang

yang terus mengintai rumah ini dari kejauhan. Anak-anak Soda

mengira kemungkinan besar orang itu sama dengan orang yang

menyelinap ketika mati lampu beberapa waktu lalu. Saat dulu

Ipank memergokinya berdiri di balik kegelapan pekarangan. Apakah

orang tersebut berniat jahatSaka pernah sekali bertemu dengan seseorang yang melihat lurus

ke arah Soda dari pos ronda. Wajah orang itu datar. Saka langsung

menghentikan ontelnya dan mendekati pria itu. Tapi baru juga

mendekat, orang itu buru-buru pergi. Entah siapa dia.

Eyang Santoso sudah menelepon pihak keamanan kompleks agar

sering berjaga di sekitar kosan Soda sampai situasinya kembali tenang. Seperti malam ini. Terlihat satpam kompleks keliling menggunakan sepedanya untuk mengontrol keamanan.

Malam ini adalah Charity Night kampus Aiko. Akhirnya ia me14038141

mu?tuskan datang. Betul kata Satrio. Lebih baik datang untuk tahu

bagaimana acara Charity Night Universitas Pelita. Hitung-hitung

untuk pengalaman.

Aiko menyisir rambut panjangnya di depan meja rias. Di sebelahnya, Kenzo memperhatikan setiap detail bentuk wajah Aiko dengan

serius.

Malam ini Aiko mengenakan kemeja motif bunga kecil-kecil

dipadu rok megar sebetis. Dia memilih padanan pakaian itu karena

bingung mana pakaian yang cocok untuknya malam itu.

"Aku lebih suka kamu pakai baju yang tadi, Aiko," ucap Kenzo

di tengah keasyikannya mengamati cewek itu.

Aiko menghentikan sisiran rambutnya dan balik bertanya karena

tak mengerti dengan maksud bocah kecil di dekatnya itu. "Hm?"

Kenzo bangkit dari tempatnya, kemudian mendekat pada lemari

pakaian Aiko yang terbuka. Tangan kecilnya berjalan menelusuri

deretan baju Aiko yang digantung. Telunjuknya berhenti pada sebuah sackdress cokelat tua yang berada di tengah-tengah gantungan.

"Ini," ucap Kenzo sambil menarik sackdress itu keluar barisan.

Aiko cukup kaget dengan baju yang dipilih Kenzo. Sackdress

cokelat tua yang Melanie belikan dulu. Dulu dress itu cukup ketat

di badannya. Apalagi sekarang. Potongannya memang agak terlihat

seksi. Dulu baju itu sempat membuat Melanie dan Ipank

bertengkar karena beda pendapat.

Waktu itu sebenarnya maksud Melanie baik. Ia hanya ingin melihat Aiko cantik. Dirinya yang fashionable menganggap baju yang

ia belikan untuk Aiko itu akan membuat kulit putihnya tidak pucat. Tapi Ipank tidak suka karena potongan baju itu terlalu seksi

untuk Aiko. Dan terjadilah adu urat di antara keduanya.

"Kamu lebih bagus pake baju ini, Aiko."

"Itu terlalu terbuka. Ini kan acara kampus, Kenzo."

"Ayo dong, Aiko. Aku kan seneng kalo kamu kelihatan cantik."

Aiko sempat meragukan keinginan Kenzo. Tapi akhirnya ia
Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

14138142

setuju. Toh bagian atasnya bisa ia padu padankan dengan jaket hitam agar tidak terlalu terbuka.

"Apa kamu punya pacar?" tanya Kenzo setelah melihat Aiko

kembali dari kamar mandi mengenakan sackdress cokelat tua pilihannya itu.

Aiko menggeleng.

"Kamu pernah ciuman?"

Pertanyaan Kenzo kali ini membuat Aiko terperanjat. Kaget. Menurutnya aneh kalau anak seusia Kenzo menanyakan hal itu.

Kenzo nyengir melihat ekspresi wajah kaget Aiko. "Aku pernah."

"Hah?!?" Aiko semakin kaget.

"Sama temen sekelasku. Namanya Mawar," ucap Kenzo santai

sambil sibuk memainkan mobil-mobilan di tangannya pada meja

rias Aiko. "Mawarnya nggak mau aku cium. Jadi aku kejar. Terus

dia nangis deh aku cium. Habis itu aku dipanggil ke ruang

guru."

"Kamu nggak boleh gitu..."

"Kenapa?" tanya Kenzo kebingungan.

"Karena memang nggak boleh."

"Kalau cium aja nggak boleh, berarti seharusnya aku nggak pernah ngebolehin Mama-Papa cium aku."

"Itu beda, Kenzo."

"Beda apanya?"

"Kalau cium dari Papa-Mama ke kamu itu adalah ungkapan rasa

sayang orangtua kepada anaknya."

Kenzo menghentikan dorongannya pada mobil-mobilan, tampak

berpikir. "Ok... tapi aku sayang sama semua temanku. Apa aku

harus mencium mereka satu per satu?"

Aiko menghela napas panjang. Satu sisi ia berpikir kalau Kenzo

sebenarnya anak yang cerdas. Dari awal bertemu, bocah itu senang

sekali bertanya. Apa pun ia tanyakan. Dan jawabannya harus jelas.

Kalau tidak, ia akan terus bertanya sampai betul-betul mengerti.

14239143

Cup! Sebuah kecupan ringan mendarat di pipi Aiko.

"Kamu ngapain?"

"Cium."

"Kenapa kamu cium aku?"

"Karena aku juga sayang kamu, Aiko."

Dan percakapan terhenti ketika telepon genggam Aiko berbunyi.

Satrio sudah berada di depan gerbang Soda. Menjemput Aiko.

Malam amal yang dimaksud ternyata di luar dugaan Aiko. Ia tak

menyangka kalau acaranya akan seperti ini. Asap rokok, live

performance, dan cewek-cewek berdandan all out bertebaran di

mana-mana. Mungkin memang begini pergaulan anak kuliahan? Itu

yang terlintas di benak Aiko. Dan harusnya sih, sebagai anak baru

dia berusaha beradaptasi. Tapi sepertinya dia kesulitan untuk melakukan itu.

Berkali-kali Aiko terbatuk-batuk karena tidak kuat dengan asap

rokok. Kalau kelamaan, kepalanya suka pusing tiba-tiba. Katanya

sih, perokok pasif jauh lebih bahaya daripada perokok aktif. Jadi,

biasanya Aiko lebih suka menghindar kalau ada orang-orang yang

merokok di dekatnya.

Untungnya Satrio tak pernah berjalan jauh dari Aiko karena ia

tahu cewek itu tidak nyaman dengan situasi seperti ini, sama seperti dirinya. Makanya ia berusaha mencari tempat yang tenang di

sudut ruangan.

Meskipun berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar,

tetap saja Aiko tidak nyaman dengan tempat ini. Asap rokok mengganggu pernapasannya. Ingin rasanya ia cepat-cepat pergi dari tempat itu. Ia lebih nyaman berada di kamarnya dan melukis sepuasnya.

Sewaktu menjemput di Soda tadi, Satrio sedikit terkejut melihat

Aiko karena dia tampak berbeda. Ia tak menyangka kalau cewek

14339144

seperti Aiko bisa kelihatan cute banget mengenakan sackdress cokelat

itu.

Tapi jujur saja, sebenarnya Aiko risi dengan tatapan orang-orang

ke arahnya malam itu ketika ia tiba di tempat acara. Ia heran, sebetulnya tidak hanya ia yang mengenakan sackdress malam itu. Jadi

anggapan salah kostum yang sempat dipikirkannya itu jelas tidak

benar. Tapi kenapa sepertinya orang-orang begitu tertarik melihatnya. Seakan-akan Aiko adalah makhluk Alien yang tersesat di bumi

dan datang ke acara Charity Night Universitas Pelita.

Dengan berbagai cara, Satrio berusaha mencairkan perasaan tegang yang menggelayuti Aiko. Di depan meja yang penuh kue

warna-warni, ia sibuk mencomot satu per satu kue yang ada tanpa

malu. Ekspresinya terlihat lucu. Apalagi ia selalu menawarkan Aiko

kue-kue yang ia rasa enak. Jelas saja Aiko tertawa melihat Satrio

yang tampak berbeda dengan kesehariannya, yang terkesan jaim dan

kaku.

"Ayo, Aiko. Sikat aja. Cobain deh!"

"Kak Satrio... itu krim kuenya berlepotan ke mana-mana," ucap

Aiko sambil tersenyum geli menunjukkan krim putih yang mengenai pipi Satrio.

"Eh, oh... hehe... enak nih, kue yang ini," jawab Satrio sambil

mengelap pipinya.

Di sudut meja lain, terlihat Andari yang mengamati Aiko dan

Satrio dari tadi. Wajahnya terlihat heran. Keningnya berkerut kencang. Bisa ditebak kalau dia pasti penasaran dengan kedekatan Aiko

dan sang ketua senat. Kalau penasaran, Andari bisa berubah jadi

mata-mata amatir untuk mengetahui sedetil-detilnya masalah itu.

Tujuannya? Apalagi kalau bukan untuk dijadikan bahan gosip bersama geng "hore"-nya. Sepertinya Andari cocok memperoleh predikat

Miss Infotainment mengalahkan Feni Rose. Apakah?!14439145

Dengan langkah gontai, Ipank memasuki pintu Soda. Terlihat Jhony

yang sesenggukan menonton sinetron. Gumpalan-gumpalan tisu

penuh ingus bertebaran di mana-mana. Jorok. Cowok ini mes?kipun

rambutnya kribo besar, hatinya kecil banget. Sensitif dengan cerita

romantis atau jahat seperti kisah Cinderella yang dianiaya ibu tiri.

Ipank melempar tas dan jaketnya ke sofa. Kemudian dengan

santai ia mengambil segelas air mineral dari kulkas.

Dara yang sedang duduk di meja makan terlihat asyik melahap

mi goreng telor buatannya. "Semalem nggak pulang ya, Pank?"

"Hmm" Ipank menjawab sambil meneguk air mineral di gelas.

Ia meletakkan gelasnya dan menengok ke arah mi goreng buatan

Dara. "Bagi dong!"

"Enak aja! Bikin sendiri!" jawab Dara sambil pamer kelezatan mi

gorengnya dengan cara mengisap mi perlahan penuh suara agar

Ipank semakin gondok.

"Huuu dasar gulali!" ujar Ipank sambil mengacak-acak rambut

highlight pink Dara. Sebelumnya ia sempat stres karena rambutnya

mencuat ketika ia mencoba mewarnainya dengan cat biru. Mirip

ibunya Bart Simpson.

Ipank berjalan mendekati sofa. Dengan cekatan ia melompat dan

duduk di sebelah Jhony. Sejenak ia tersenyum melihat Jhony yang

terlalu fokus menatap TV. Diam-diam Ipank mengambil remote dan

mengganti channel-nya menjadi Animal Planet. Jelas saja Jhony

men?cak-mencak.

Ipank tertawa geli. Begitu pula dengan Dara yang melihat kejailan Ipank barusan. Jhony memang objek yang paling asyik untuk

diganggu. Dia tidak gampang marah, apalagi dendam. Makanya

kalau Jhony sedang serius-seriusnya, anak-anak merasa sia-sia kalau

tidak mengganggunya.

"Kau nggak pergi, Pank?" Jhony bertanya pada Ipank yang menyangga kepalanya dengan bantal sofa.

"Iya. Tumben kamu nggak pergi, Pank. Aku pikir kamu pergi

b?areng Aiko," sambar Dara.

14539146

Ipank kaget mendengar kata-kata Dara barusan. Ia menegakkan

tubuhnya dan bertanya serius pada Dara, "Aiko pergi? Ke mana?"

"Loh, aku pikir kamu tahu, Pank. Bukannya kampusmu ngadain

acara malam amal gitu?"

Di tengah keterkejutannya, Ipank langsung beranjak dari tempat

duduk, menyambar jaketnya dan keluar dengan tergesa-gesa. "Pergi

dulu!"

Jhony menatap kepergian Ipank dengan bengong. Beberapa detik

kemudian ia menengok ke arah Dara dan langsung ditanggapi

dengan sebuah pertanyaan.

"Aku salah ngomong ya, Bang Jhon?"

Aiko duduk sendiri di sudut taman belakang bangunan tempat

acara Charity Night berlangsung. Beberapa saat kemudian, Satrio

muncul membawa dua gelas minuman.

"Minum, Ai?" tanya Satrio memberikan minuman berwarna

oranye. Sementara tangan satunya memegang gelas dengan warna

minuman yang lebih muda.

"Ini apa?" Aiko menunjuk gelas yang berisi minuman berwarna

oranye.

"Yang ini orange squash. Yang ini lemon squash. Heran deh, kenapa naruh minuman yang rasanya mirip gini, sih?"

"Hehe... iya juga, ya."

Aiko memilih minuman yang berwarna lebih muda. Ia menerima

gelas pemberian Satrio. Ia merasakannya sedikit di ujung lidah. Kemudian ia meneguknya beberapa kali. "Mmm sodanya agak

keras."

Satrio tertawa melihat ekspresi Aiko yang meringis karena rasa

soda di mulutnya. "Muka kamu lucu."

Aiko hanya tertawa kecil. Ia sangat menikmati udara malam itu

14640147

yang tidak terlalu dingin. Biasanya kalau malam, Aiko sering bersin.

Tapi malam ini, entah kenapa kebiasaan Aiko itu tidak kambuh.

"Ya gini acara amal tahunan Universitas Pelita," ujar Satrio. "Sebenernya agak aneh kalo dinamain Charity Night. Soalnya kamu

lihat sendiri, yang lebih menonjol justru acara senang-senangnya."

Aiko diam saja. Sebenarnya ia menahan lapar. Tadi ia belum

sempat makan karena ia pikir akan banyak makanan di acara ini.

Tapi ternyata hidangannya cuma cemilan dan softdrink. Itu pun

keburu habis diserbu tamu-tamu yang hadir.

"Senat sempat mau ganti judul acara ini. Itu juga atas ide Ipank.

Dia paling frontal protes. Tapi gara-gara acara ini udah jadi

trademark kampus kita turun temurun, jadi ya udah deh. Terima

aja." Satrio menghela napas panjang. "Yaaah... semoga aja lama-kelamaan makna charity-nya nggak ilang."

Aiko mengangguk-angguk tanpa berkomentar apa-apa.

Satrio menengadah ke langit yang gelap gulita tanpa cahaya bintang. Tanpa a-i-u, cowok itu tertawa tipis. "Ipank itu lucu ya."

"Hm?"

"Iya, Ipank itu lucu." Satrio mengulang kalimatnya. "Kayaknya

dia suka banget sama kamu, Ai."

Aiko menenggak minumannya sebanyak mungkin karena grogi

dengan bahasan Satrio mengenai Ipank. Perutnya mendadak panas.

Mungkin hal itu biasa untuk orang yang jarang minum soda, pikirnya. Tak apa-apalah, sekali-sekali kan boleh.

"Sebenernya aku nggak suka sama kelakuan dia akhir-akhir ini

yang ngelarang cowok-cowok deket sama kamu. Menurutku dia

berlebihan. Heran. Padahal dia bukan tipe cowok yang gampang

suka sama cewek. Tapi kenapa sama kamu dia bisa segitunya, ya?"

Aiko cuma diam. Ia bukan tipikal cewek yang ingin tahu urusan

orang. Tapi ngomong-ngomong, kenapa mendadak perutnya sakit

sekali? Apa penyakit lambungnya kambuh"Baru kali ini aku lihat Ipank segitu jealous-nya. Terakhir kali

adalah kasus dengan Andari. Itu juga udah lama."

14740148

Aiko memegangi perutnya. Wajahnya meringis.

"Kamu nggak apa-apa kan, Ai?" Satrio bertanya dengan alis berkerut ketika melihat wajah Aiko memerah menahan sakit.

Aiko mengibas-ibaskan telapak tangannya di depan wajah. Mendadak ia merasakan pengap yang luar biasa. Sekejap kemudian ia

memegangi perutnya, membungkuk.

Belum sempat pertanyaan Satrio terjawab, Aiko sudah terjatuh

di kedua paha Satrio. Ia pingsan, tak sadarkan diri.

"AIKO!!!"

Ipank melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Pandangannya

tajam, menatap lurus ke jalanan Jogja yang temaram. Pikirannya

berkecamuk. Semuanya nyaris tidak ada yang positif. Dalam hatinya

ia menyesal setengah mati karena tidak hadir pada acara malam

amal. Bertahun-tahun pikirannya terlalu picik. Terlalu sombong
Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk hadir. Tapi kali ini tidak seharusnya ia berpikir hal yang

sama kalau tahu Aiko datang ke acara tersebut.

"Mana Aiko, Ndar!" Ipank menarik lengan Andari ketika baru

masuk ke tempat acara. Memang, Andari-lah satu-satunya orang

yang pantas dijadikan tersangka dalam masalah ini. Ipank tidak

berpikir nama lain.

Andari tersenyum jahat. "Hebat!" ucap Andari sambil bertepuk

tangan di atas kepala. "Woy teman-teman, kita kedatangan tamu

istimewa!" lanjut Andari dengan tawa bahagia. "Ivano Pangky

Ariestio Norman Kano hadir di Charity Night tahun ini!!!"

Ipank tak peduli dengan orang-orang yang memperhatikannya.

"Aku ke sini nyari Aiko. Di mana dia?"

Andari memasang tampang melas. "Who???" Andari sok-sok bingung. Kemudian wajahnya semringah. "Ooo ya ya cewek

yang pingsan tadi itu?"

14840149

Pikiran Ipank semakin tak keruan. Aiko pingsan? Ini gila!

"Andari di mana Aiko?"

Andari semakin linglung. Ia mulai ngaco sambil bersenandung

mengikuti lagu yang sedang diputar. Apa dia mabukSastri yang berada di sebelahnya langsung memegangi tubuh

Andari sambil berbicara pada Ipank, "Aiko pulang diantar Satrio

tadi. Selebihnya kami nggak tahu."

Oke, tak perlu tahu lebih jauh, Ipank buru-buru keluar dari

ruangan itu, mengambil motornya, dan bergegas pergi. Hati kecilnya berkata bahwa Aiko dalam bahaya.

Kamu membuatku khawatir, Ai...

"Sssttt Aiko udah tidur."

Dara berkata ketika melihat Ipank berdiri dengan napas terengah-engah tepat di depan pintu kamar Aiko. Dara menarik selimut Aiko hingga bahu. Perlahan ia beranjak dari tempat tidur dan

berjalan keluar.

Ipank menatap Dara yang berusaha menarik pintu kamar Aiko

sepelan mungkin. Ia tak sabar ingin mendengarkan cerita Dara.

Selain itu, banyak pertanyaan menari-nari dalam kepalanya dan

nyaris membuatnya gila. Ia begitu khawatir.

Dara bilang kalau Satrio yang mengantarkannya pulang.

"Kayaknya penyakit Aiko kambuh. Mungkin perutnya kosong,

terus kena udara malem."

Ipank kembali menyalahkan dirinya sendiri. Wajahnya memerah

mena?han emosi. "Aiko tuh nggak boleh telat makan, Dar."

"Udah, Pank. Yang penting kan Aiko sampai rumah dengan selamat."

"Kalo sampai Aiko kenapa-kenapa, aku habisin Satrio!" sahut

Ipank dengan cepat menanggapi ucapan Dara.

"Buat apa?" Dara menatap Ipank. "Kamu nggak punya hak apa

14940150

pun untuk melakukan itu, Pank. Aiko bukan milik siapa-siapa. Itu

akan membuat dia semakin menjauhimu."

Ipank berpikir sesaat. Kalimat Dara barusan cukup pelan, tapi

cukup dalam. "Aku harus gimana?"

Dara hanya mengelus punggung Ipank tanpa menanggapi ucapan

cowok itu. Ia tahu betul kalau Ipank sayang sekali dengan Aiko. Dan

saat ini dia sedang dalam kondisi tertekan karena melihat pe?nyakit

Aiko kambuh. Ya, Ipank selalu merasa begitu setiap kali Aiko kesakitan. Kalau bisa, sakit yang Aiko rasakan berpindah pada?nya.

"Kayaknya kamu harus belajar menerima kenyataan deh, Pank,"

ujar Dara sambil menepuk bahu Ipank, kemudian berlalu dari hadapannya.

Ipank menyandar ke tembok. Terdiam untuk berpikir sejenak,

menyadari perilakunya terhadap Aiko yang berlebihan. Itu yang

menghancurkannya. Ia bukan cowok pengumbar kata cinta. Segala

perasaannya selalu ia wujudkan dalam tindakan. Terang-terangan.

Terkadang nyaris tanpa berpikir panjang. Egois? Mungkin begitu.

Tapi buatnya, lebih baik begitu daripada tersiksa karena pemikirannya sendiri.

"Kamu naksir Aiko?"

Sebuah suara mengagetkannya. Ia menengok ke arah datangnya

suara dan mendapati seorang bocah tengah berdiri di dekatnya sambil menatap PSP game di tangannya.

"Kamu pacarnya Aiko?" tanyanya lagi. Wajahnya belum berpaling

dari mainannya itu.

"Kamu siapa?"

"Jawab dulu," ucap bocah itu tengil.

Perasaan marah campur geli merasuki tubuh Ipank. Siapa sih

bocah tengil di dekatnya itu? Kenapa ia begitu sok ingin tahu? Sok

dewasa lebih tepatnya. "Kamu tuyul, ya?"

"Kenzo!" ucap bocah itu tegas sambil menatap Ipank. Sorot

matanya terlihat aneh. Hitam pekat. Hingga pantulan cahaya tak

mampu membuat matanya bersinar.

15040151

"Kenzo?" Ipank mencoba berpikir. Ternyata ini toh bocah tengil

yang katanya sepupu Aiko itu. Betul sekali kata Jhony. Bocah ini

tengil banget. "Oooh... jadi kamu yang ngabisin shaving foam-ku

kemarin?"

Kenzo kembali asyik dengan PSP game-nya. "Emangnya kenapa?"

tanyanya tanpa rasa bersalah sedikit pun.

"Emangnya kenapa?" Ipank bertanya heran. "Ya itu bukan buat

mainan."

"Aku nggak main-main."

"Trus apa namanya?"

"Aku bikin snow."

Ipank merapatkan bibir, menahan marahnya pada Kenzo. Dalam

hati ia terus meyakinkan diri bahwa bocah tengil di depannya itu

hanyalah seorang anak kecil. Bukan lawan sepadan untuk adu urat.

Sabar... sabar...

Tiba-tiba saja Kenzo mengangkat wajahnya, menatap Ipank.

"Kamu si Ipank menyebalkan itu ya?"

15141152

AIKO tersentak bangun dari tidurnya. Tubuhnya berkeringat.

Wajahnya pucat pasi. Mimpi buruk lagi. Mimpinya selalu sama

ketika ia merasa kelelahan atau banyak pikiran.

Bayangan bola mata dalam mimpi itu menempel di benaknya.

Menghantuinya layaknya arwah penasaran. Ia tak pernah mengerti

kenapa bola mata hitam pekat itu selalu hadir di setiap mimpi buruknya. Ia pun tak pernah tahu siapa pemilik bola mata hitam

pekat itu.

Pusing...

Aiko merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya. Rongga di

antara perut dan dadanya juga masih terasa menusuk. Kenapa semua penyakitnya bisa kambuh bersamaan seperti iniSaat matanya terbuka, ia telah berada di dalam kamarnya. Kena?pa

ia bisa berada di kamarnya? Bukankah tadi malam ia sedang dudukduduk di taman bersama Satrio? Apakah cowok itu yang membawanya pulang? Sejenak ia mencoba mengingat kejadian tadi malam satu

per satu. Tapi ingatannya menghilang sampai titik saat ia berdua

bersama Satrio di taman belakang. Sisanya gelap. Ia lupa.

15241153

Pintu kamar Aiko terbuka sedikit. Sepertinya memang sengaja.

Eyang Santoso memang selalu meminta anak-anak Soda membuka

pintu kamarnya sedikit setiap kali ada yang sakit. Hal ini dilakukan

supaya kalau "ada apa-apa" bisa terdengar dari luar.

Terdengar suara ketukan pelan di pintu. Aiko menengok dan

melihat Ipank datang membawa nampan berisi semangkuk sup dan

segelas air putih. Cowok itu tersenyum ke arahnya.

Aiko tampak takut. Ia menggeser tubuhnya agak menjauh. Pagipagi jantungnya sudah dibuat berdetak cepat dengan kemunculan

Ipank.

"Udah bangun?" sapa Ipank lembut sambil menaruh nampan di

samping tempat tidur Aiko. Sebenarnya ia tahu Aiko tidak nyaman

dengan kehadirannya. Tapi ia berusaha tak menghiraukan. "Perutnya masih sakit, Ai?"

Aiko menggeleng ragu tanpa berkata apa-apa. Keningnya berkerut, tanda kalau ia heran dengan kemunculan Ipank di kamarnya.

Ipank sadar betul apa yang ada di pikiran Aiko. "Dara udah berangkat kerja. Katanya buru-buru. Jadi aku yang bikin sarapan buat

kamu," jelasnya sambil menatap wajah Aiko. Terlihat dari raut wajahnya kalau ia begitu kawatir dengan kondisi Aiko. "Makan dulu

ya, Ai. Biar bisa minum obat," ucapnya sambil membantu Aiko

menata bantal di punggung cewek itu agar dapat duduk tegak. Kemudian ia mengambil serbet putih dan meletakkannya di paha

Aiko. Perlahan ia mengangkat mangkuk sup dari nampan.

Asap yang keluar dari sup menandakan bahwa sup tersebut baru

saja dimasak. Tanpa diberitahu pun, Aiko tahu Ipank yang memasaknya. Di antara anak-anak Soda lain, Ipank memang paling jago

masak. Bahkan saking jagonya, ia nyaris tidak pernah mema?kan

masakan teman-temannya di Soda. Kalau orang lain memasak telur

dadar hanya dengan telur diberi garam, berbeda dengan Ipank. Dia

butuh telur, daun bawang, garam, merica, wortel, sosis, dan segala

macam bumbu untuk membuat telur dadar. Canggih, kan15341154

Ipank menyendok sup di mangkuk. Perlahan ia meniup-niup

permukaan sup tersebut agar tidak terlalu panas. Kemudian ia suapkan ke Aiko.

Aiko memundurkan kepalanya.

"Kenapa, Ai?"

Aiko menatap sendok berisi sup tersebut. "Tadi kan habis kamu

tiup-tiup."

"Maksudnya?"

Gadis itu terdiam sejenak. Kemudian berkata, "Kan jijik kalau

ditiupin orang lain."

Uhuk! Ipank tersedak mendengar ucapan Aiko. Dia memang

terkenal paling tertib, rapi, dan bersih. Tapi Ipank tidak pernah

menyangka kalau Aiko gampang jijik. "Kan sendoknya nggak kena

mulut aku, Ai. Please dong, kamu harus makan..."

Awalnya Aiko ragu. Tapi kali ini ia tak punya tenaga untuk bicara terlalu banyak. Apalagi kalau kata-katanya nanti bisa membuat

monster dalam tubuh Ipank keluar.

Aiko mengunyah sup di mulutnya perlahan. Dalam hatinya ia

sempat berpikir betapa telatennya cowok di sampingnya itu. Bukan

perkara mudah seorang cowok bertempramen tinggi menyuapi seseorang yang sedang sakit. Karena hal itu butuh kesabaran ekstra.

Dan Ipank melakukannya dengan sempurna.

"Wortel itu bagus untuk kesehatanmu. Kandungan vitaminnya

tinggi. Bisa mencegah serangan jantung karena mengurangi kadar

koles?trol dalam darah. Kentang juga bagus lho untuk menjaga tekanan darahmu," ucap Ipank sambil memilih wortel dan kentang

dalam sup sebelum menyendoknya. "Aku juga masukin kol dan

tomat. Kol itu bisa memperkecil risiko penyakit lambung dan usus.

Biar lambungmu nggak sakit lagi, dan pencernaanmu lancar. Kalau

tomat, supaya kamu punya kekebalan tubuh yang bagus. Biar nggak

gampang pingsan," lanjut Ipank menjelaskan layaknya ahli gizi yang

sedang berbicara pada pasien. Ia kembali meniup-niup sup di sendok

sebelum ia suapkan ke mulut Aiko. Begitu seterusnya.

15441155

Hingga sup hampir habis, Aiko masih saja tak mengeluarkan

sepatah kata pun. Ipank berusaha memakluminya. Aiko pasti masih

takut gara-gara kejadian tak enak di kampus waktu itu. Oke, mungkin hal itu membuat Aiko membencinya. Itu adalah konsekuensi

yang harus Ipank tanggung.

Sebenarnya saat ini Ipank penasaran dengan apa yang terjadi tadi

malam. Tapi ia tidak tega kalau harus menanyakannya pada Aiko

dalam kondisi seperti ini.

"Nih, obatnya diminum dulu."

"Kenzo..." Aiko tiba-tiba teringat sepupunya itu.

"Tadi diajak jalan-jalan sama Saka dan Jhony ke alun-alun. Habis dari pagi dia ngerjain Bang Jhony terus. Rambutnya dimasukin

sampah-sampah gitu."

Aiko hanya tersenyum kecil sambil mengangguk.

"Ai." Ipank menatap Aiko dengan pandangan teduh. "Maafin

aku, ya... Mungkin aku terlalu khawatir sama kamu," ucapnya pelan. Yang jelas, Aku terlalu suka sama kamu, Ai... Tapi aku nggak

tahu gimana cara ngomongnya ke kamu. Aku takut kamu nggak nyaman...

Apakah sesuatu telah terjadi dengan Aiko malam ituIpank merasa tidak tenang hari ini. Selama dua jam mata kuliah

di kelas, pikirannya tak lepas dari Aiko. Ia terus-terusan kepikiran

kejadian malam kemarin.

Akibat pemukulan Ipank terhadap Satrio beberapa waktu lalu,

senat langsung heboh. Pasalnya mereka takut kalau urusan pribadi

antara Satrio-Ipank ikut merusak kinerja senat karena Satrio dan

Ipank sama-sama memegang jabatan tinggi di dalam kepengurusan

senat mahasiswa Universitas Pelita.
Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika kelas berakhir, Ipank langsung mengangkat ranselnya dan

bergegas mencari Satrio untuk menanyakan apa yang sebenarnya

15541156

terjadi dengan Aiko malam itu. Ketika hendak keluar dari pintu,

seseorang memanggilnya.

"Ipank!"

Ipank menghentikan langkahnya. Ia menengok sesaat dan mendapati Andari yang berjalan mendekatinya. Namun setelah itu ia

kembali melangkah. Ia tidak tertarik sama sekali.

Andari mengibaskan rambut panjangnya yang berombak sambil

berusaha menyamai langkah Ipank. Ia memang selalu menarik setiap hari. Tubuhnya sintal dan indah tanpa perlu diet ketat. Tidak

terlalu kurus ataupun gemuk.

Ipank cuek saja. Meskipun Andari pernah menjadi orang yang

paling berarti di hatinya, saat ini situasinya sudah berbeda. Ipank

sama sekali tak mau lagi peduli dengannya.

Andari berhasil menghalangi jalan Ipank. Membuatnya mau tak

mau berhenti.

"Apaan sih, Ndar?" tanya Ipank malas.

Andari memasang senyum semanis mungkin. Kemudian ia

menunjukkan sebuah CD di depan muka Ipank. "Taraaa"

"Apa tuh?"

"CD," jawab Andari singkat.

"Untuk?"

Andari kembali meletakkan tangan kirinya di pinggul. "Untuk

kamu, dong. CD dokumentasi pas ospek."

Ipank menatap Andari malas sambil memalingkan wajah. Ia

sama sekali tidak tertarik dengan foto-foto ospek seperti yang

Andari bilang. Dengan santai Ipank mencoba melewati tubuh

Andari.

"Eiiit, tunggu dong" Andari langsung mencegah Ipank. Kali

ini ia menarik tangan Ipank dan memberikan CD di tangannya.

"Lihat dulu. Kamu nggak bakalan nyesel," lanjut Andari sambil

beranjak meninggalkan Ipank. Tiba-tiba langkahnya terhenti. "Oh

iya, Lupa!"

"Apaan lagi, sih?"

15641157

"Kayaknya si Aiko deket banget sama Satrio. Kemarin di Charity

Night mereka berdua terus. Gandengan. Hmmm... kayaknya mereka

jadian, deh," ujar Andari berbisik.

"Ngapain kamu kasih tahu aku?"

Andari menggeleng cepat. "Iseng aja. Kali aja kamu pengin

tahu."

Ipank diam. Sebetulnya ia sedang berusaha menahan emosinya.

"Kamu itu nggak akan pernah bisa ke mana-mana, Pank."

"Maksud kamu?"

Andari tersenyum. "Cuma Miss Andari yang bisa milikin

kamu."

"Hah? Kamu emang gila."

"Well, kalo sampai mereka beneran jadian, itu artinya... lucu aja.

Ivano Panky Ariestio Norman Kano ternyata kalah dengan seorang

Satrio Bimanto. Ooh... poor you..." Andari berkata sambil memasang

tampang mengasihani dan menepuk pipi Ipank dua kali. "Aku mau

cari Satrio ah... minta traktir!" Andari membalikkan badan. Kemudian dengan centilnya ia pergi dari hadapan Ipank. "Chaw-chaw,

Beib!"

Napas Ipank memburu, jantungnya berdetak cepat. Keringat bercucuran di tubuhnya. Seluruh bagian tubuhnya berdenyut-denyut.

Dengan motor kesayangannya, Ipank melaju menerobos jalanan

Jogja yang sepi. Mengebut bukan hal sulit untuk Ipank. Ia menyukai sensasinya. Ia menyukai semua hal yang menguji adrenalinnya. Rock climbing, parasailing, bungee jumping...

Angin menerpa wajah Ipank. Seperti tamparan keras yang bertubi-tubi. Ipank tak peduli. Ia melaju sekencang-kencangnya melawan

angin. Terus menuju satu tempat. Tempat untuknya menenangkan

diri. Bisa melihat segala permasalahan dari sudut yang berbeda.

Ipank tiba di pekarangan kosan Soda. Ia tahu persis ke mana

15742158

dirinya harus melangkah. Ya, pohon ini adalah saksi bisu segala

luapan kebahagiaan, kekecewaan, dan kemarahan Ipank. Dengan

napas terengah, Ipank menaiki pohon terbesar di pekarangan. Dahan sebelah kanan atas adalah posisi favoritnya.

Ipank mencoba mengatur napasnya. Ternyata membawa motor

dengan kecepatan tinggi tidak bisa menghilangkan perih di hatinya.

Ucapan Andari di kampus tadi betul-betul menghantam telak dirinya.

Pluk! Sebuah mangga mengenai kepala Ipank. Membuatnya meringis kesakitan dan menengok ke arah datangnya lemparan.

"Eh, tuyul kurang ajar! Ngapain kamu di tempatku?" ucap Ipank

ketika mengetahui siapa yang duduk di tempat favoritnya.

"Ini tempatku!" jawab bocah kecil itu tak kalah tengil.

"Eh tuyul, dari dulu juga aku yang ada di sini!"

Pluk! Sebuah mangga mengenai kepala Ipank untuk kedua kalinya, membuat Ipank nekat naik dan duduk di dahan sebelah bocah kecil itu.

"Enak aja aku dibilang tuyul!"

"Emang kamu tuyul!"

"Bukan!"

"Iya. Tuyul, tuyul, tuyul!"

Kenzo terdiam. Ia menatap Ipank. Kemudian...

"HUAAAAAA!!!" Kenzo menangis kencang. Wajahnya ia tekuk

sebisa mungkin.

"Eh, eh, kok malah nangis?" tanya Ipank panik sambil mengibaskan telapak tangannya di depan wajah Kenzo. Heran juga melihat

bocah setengil itu ternyata cengeng banget. "Cup... cup... cup..."

Tanpa Ipank duga Kenzo merayap pada batang pohon, dan melo?mpat turun. Ia berlari masuk rumah meninggalkan Ipank yang

terheran-heran melihat tingkahnya.

Ipank menuruni pohon dan berjalan mengikuti Kenzo memasuki

rumah.

"Ipank, nggak lucu tau nggak?" Dara tiba-tiba berdiri tepat di

15842159

hadapannya. Di belakang tubuhnya, Kenzo mengintip sambil

menye?ringai nakal.

Ipank mengerutkan kening. "Hm? Maksudnya?"

"Kamu nakut-nakutin Kenzo sampai dia nangis. Dia kan masih

kecil. Tolong kalau bercanda jangan keterlaluan, Pank."

Ipank menatap Dara dengan pandangan heran. "Aku..."

"Jangan kayak gitu, Pank. Kau masih aja kayak anak kecil." Bang

Jhony yang berada di ruang santai ikut menimpali.

Dengan wajah kesal, Dara membawa Kenzo ke kamarnya.

Tinggallah Ipank yang terbengong-bengong. Ia berpaling ke arah

Jhony dan Saka. Kemudian mengucapkan kalimat tanpa suara,

"Aku nggak ngapa-ngapain dia.."

Jhony menatap Ipank sambil mengangkat bahunya. Cowok kribo

itu lalu berpaling ke layar televisi. Tak menghiraukan kebingungan

Ipank.

"Ah, brengseklah semua!" Ipank berkata sambil berjalan menuju

kamarnya.

Dua hari setelah kejadian menangisnya Kenzo, Ipank tak terlihat

sama sekali. Baik di kosan maupun kampus. Kata Dara, Ipank tidak tidur di kosan. Tapi kenapa kali ini Aiko kepikiran, ke mana

Ipank? Padahal selama ini ia tak pernah peduli.

Siang ini Aiko sengaja berjalan melewati ruang senat mahasiswa.

Berharap melihat Ipank di sana. Setidaknya ia bisa tahu kalau

Ipank baik-baik saja. Dengan langkah yang diatur sebiasa mungkin

supaya tidak menarik perhatian, Aiko berjalan melewati ruangan

tersebut. Tapi ia tak melihat Ipank di sana. Ruangan itu memang

ramai. Tapi Aiko dapat memastikan kalau cowok yang dicarinya

tidak ada di antara mereka.

Ke mana Ipank? Apakah dia baik-baik saja? Kenapa tak ada satu

pun anak-anak Soda yang tahu ke mana dia pergi? Bahkan Eyang

15942160

Santoso pun tidak. Aiko terus berpikir. Baru beberapa langkah menjauhi ruang senat, seseorang menarik tangannya. Membuat Aiko

tersentak.

"Hey!"

"Kak... Kak Satrio?"

"Cari siapa, Ai?"

"Ng, nggak cari siapa-siapa kok, Kak. Saya... hmmm... mau ke

perpus. Iya, mau ke perpus."

Satrio tersenyum. "Jalan ke perpus kan nggak lewat sini, Ai."

"Ooo.. iya, saya... saya mau jalan-jalan ke perpus. Hehe..."

"Oh, oke. Bareng aja yuk! Aku juga mau ke perpus. Balikin

buku," ujar Satrio sambil menepuk dua buah buku di tangannya.

Sementara di sebuah kosan, Ipank mengisap rokoknya dalam-dalam. Pandangannya kosong, menatap lurus entah ke dimensi mana.

Kamar tersebut tidak terlalu luas, tapi cukup kalau dihuni dua

orang. Lampunya sengaja dimatikan. Hanya ada cahaya dari layar

kom?puter yang memutar foto-foto CD pemberian Andari dan rokok di tangannya.

Pergi kamu, Pank. Jangan campuri hidupku lagi.

Kata-kata yang pernah terlontar dari mulut Aiko begitu membekas di hati Ipank. Ipank ingat betul bagaimana tatapan Aiko waktu

itu. Matanya yang indah untuk pertama kalinya terlihat sangat menakutkan. Hitam menusuk.

Hancur.

Ya, mungkin satu kata itu yang bisa mendeskripsikan perasaan

Ipank saat ini. Ia baru mengerti bahwa apa yang telah ia lakukan

pada Aiko selama ini hanya dipandang sebagai gangguan. Terlalu

ikut campur. Hal itu membuatnya sadar bahwa gadis yang dicintainya ternyata tak membalas perasaannya.

Dua hari ini ia merasa paling tolol di dunia. Mengikuti ke mana

Aiko pergi tanpa sepengetahuan cewek itu. Sejak kasus pemukulan

Satrio waktu itu, Aiko terang-terangan ngomong kalau Ipank mengganggu hidupnya. Meskipun berat, ia harus mengakhiri perjuangan16042161

nya untuk mendapatkan Aiko. Mungkin Aiko yang selama ini ia

cintai hanya akan menjadi impiannya. Hanya menjadi lukisan abstrak yang berharga ratusan juta, yang tak mungkin ia miliki.

Ternyata benar kata Andari. Hubungan Satrio dan Aiko terlalu

akrab. Setiap hari Ipank selalu melihat mereka jalan bersama. Di

kantin, di taman, atau di perpustakaan. Bahkan terkadang Satrio

mengantarkan Aiko pulang. Apa mereka betul-betul jadian? Apa

Satrio betul-betul telah merebut Aiko dari tangannyaMerebut Aiko? Bukankah Aiko bukan milik siapa-siapa? Bukankah Aiko bebas menentukan pilihannya sendiri. Lantas kenapa

Ipank merasa Satrio telah merebut Aiko dari tangannyaHatinya begitu perih ketika mengetahui semuanya. Mengetahui

bahwa cewek yang selama ini dicintainya, dikagumi dengan segenap

jiwanya menjadi milik orang lain.

Pintu kosan tersebut perlahan terbuka. Seno sang pemilik kosan

melongokkan kepalanya dan menelan ludah melihat kondisi Ipank.

Sesaat dia berkata pada seseorang yang berdiri di belakangnya. "Masuk, Ndar. Aku tunggu di luar ya. Ipank kayaknya mau ngomong

penting sama kamu."

Andari muncul dari balik pintu dengan kaus putih ketat dan

celana jins sebatas pinggul. Rambutnya yang panjang terurai indah.

Ia diam menatap Ipank yang sama sekali tak bereaksi dengan kedatangannya. Pandangan cowok itu masih kosong menatap satu sudut. Sekilas Andari melirik layar komputer yang masih menyala

dan memahami penyebab Ipank bersikap seperti itu.

Layar komputer tersebut memutar slide show foto-foto yang ada

dalam CD yang pernah Andari berikan. Banyak foto Aiko dan

Satrio di sana. Belum lagi, entah disengaja atau tidak, Andari mema?sukkan foto-foto Aiko dan Satrio di acara Charity Night. Beberapa foto membuat Ipank begitu sakit. Sejujurnya Ipank menyesal

melihat semuanya.

"Aku" Andari membuka omongan setelah hampir dua puluh

menit Ipank tak memedulikannya. Mungkin kehadiran dia di sana

16142162

tidak berguna. Ipank juga sepertinya tak mau diganggu. Andari

beranjak dari tempat duduknya sambil berkata, "Aku mendingan

pergi."

Baru saja Andari melangkahkan kaki, tiba-tiba Ipank menarik

pergelangan tangannya. Dengan sekali entakan, Ipank mendorong

tubuh Andari ke tembok, dan menguncinya dengan kedua lengannya yang kokoh.

Andari tersentak. Napasnya seakan berhenti. Wajah Ipank hanya

berjarak beberapa senti di hadapannya.

Ipank tampak putus asa. Pipinya basah. Entah air mata atau

keringat berlebih. Perlahan ia mengangkat kepalanya, menatap langsung ke mata Andari. Tajam dan mematikan. Membuat seluruh

organ-organ di tubuh cewek itu seakan berhenti. Dengan suara bergetar, sebuah kalimat pendek keluar dari bibir Ipank, "Kita balikan"

Ini sama saja bunuh diri.
Kotak Pelangi Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Teringat pepatah kuno, love is just another form of suicide. Ipank

sama sekali tidak menyadari apa yang telah ia lakukan. Semua itu

di luar akal sehatnya. Ia hanya tak mampu melawan rasa perih di

hatinya. Dan satu hal yang terlintas di benaknya adalah mencari

perempuan lain yang bisa ia jadikan pelampiasan atas segala kekecewaannya. Tidak, jangan berpikir Ipank playboy, bajingan atau

sejenisnya. Karena ia bukan tipe cowok seperti itu. Ia tak pernah

berniat untuk menyakiti cewek mana pun di dunia ini. Termasuk

Andari.

Mungkin saja pikiran Ipank selama ini terlalu picik. Mungkin

Andari tidak seburuk yang ia kira.

Keesokan harinya, kampus ramai dengan berita bahwa Ipank

balikan dengan Andari. Sumbernya sudah pasti dari Andari sendiri.

16243163

Berita itu semakin hot ketika Ipank muncul dengan motornya

bersama Andari di parkiran kampus. Rutinitas beberapa tahun lalu

terulang lagi. Ipank harus menjemput dan mengantarkan Andari

pulang dengan selamat. Meskipun hal tersebut adalah permintaan

khusus dari Andari. Bukan atas inisiatif Ipank sendiri.

Ipank melepas helmnya dan menarik ritsleting jaketnya hingga

dada. Ia membuka sarung tangan motor yang ia kenakan sambil

menengok ke belakang, ke arah Andari.

Andari membuka helmnya dan mengibaskan rambut panjangnya

yang indah. Perlu waktu beberapa lama untuk merapikan penampilannya sebelum memasuki kampus. Itu yang sering membuat

Ipank tidak sabar dan meninggalkannya pergi. Seperti pagi ini.

Ipank dengan santainya berjalan meninggalkan Andari sambil

menggendong tas ranselnya.

Dengan wajah cemberut, Andari buru-buru mengejar Ipank dan

menggandeng manja lengan cowok itu. Seakan ingin memperlihatkan ke seluruh dunia kalau Ipank sudah betul-betul kembali ke

pelukannya. Hello world, this guy comes back to me!

Kali ini Ipank tak punya alasan untuk menolak perlakuan

Andari. Ya, ia yang mengambil keputusan untuk kembali bersama

Andari, meskipun hati kecilnya sudah antipati dengan cewek itu.

Setidaknya ia sudah terbiasa dengan kelakuan Andari. Dan mungkin saja ini cara terbaik agar ia mampu melupakan obsesinya terhadap Aiko.

"Eh, kamu mau ke mana?" tanya Andari heran ketika Ipank berjalan ke arah berlawanan dengan letak ruang senat.

"Kantin. Makan."

Makan? Ipank sarapan di kampus? Wow, ini hal baru buat

Andari. Selama yang Andari tahu, Ipank satu-satunya cowok yang

menganggap sarapan di rumah adalah hal paling krusial yang tak

boleh ditinggalkan. Dan Andari tahu betul Ipank menganggap memasak makanan adalah bagian dari usaha menjaga kesehatan. "Tumben nggak sarapan di kosan?"

16343164

"Mau ikut nggak? Kalau nggak juga nggak apa-apa."

"Ikuuutt!!!" Andari berkata manja dengan wajah sok imut.

Hueek!

Begitu sampai di kantin, langkah Ipank terhenti ketika ia melihat

Aiko dan Satrio. Detak jantungnya mulai berantakan. Ia tak mungkin mundur. Sudah kepalang basah karena Satrio melihat kedatangannya. Ia tak mau seperti loser, lari dari masalah.

Satrio langsung tersenyum ketika Ipank datang bersama Andari.

Bukan untuk mereka, tapi tersenyum untuk dirinya sendiri. Perlahan ia membenarkan poni Aiko yang berantakan dengan jemarinya.

Lalu ia menyentuh pipi kiri cewek itu. "Mukamu pucat, Ai. Kamu

sakit?"

Aiko menggeleng pelan. Ia belum menyadari kedatangan Ipank

dan Andari di kantin pagi itu.

Ipank yang melihat hal tersebut langsung kaku seperti mumi,

membuat Andari mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Setelah tersadar, Ipank lantas merangkul Andari dan dengan sengaja duduk di

meja tepat di sebelah Satrio dan Aiko.

Aiko sontak terkejut menyadari Ipank yang tengah duduk di

meja sebelahnya. Orang yang beberapa hari belakangan ini dicarinya. Thank?s God Ipank baik-baik saja, meskipun dia terlihat kurus

dan berantakan. Lingkaran hitam di bawah matanya menunjukkan

kalau cowok itu sangat lelah. Ke mana sebenarnya Ipank beberapa

hari ini"Kamu mau pesen apa?" Satrio bertanya ketika pelayan kantin

datang membawa buku catatan di tangannya. Membuyarkan tatapan Aiko pada Ipank.

"Hm? Oh hmm aku mau bubur," ujar Aiko sambil melihatlihat daftar menu di dinding. "Tapi"

"Saya pesen bubur. Nggak pakai seledri, cakwe, dan kecap. Jangan dikasih kuah juga. Oiya, kacangnya dibanyakin," ucap Ipank

memotong kalimat Aiko.

Aiko melirik ke arah Ipank, takut-takut. Ipank memesan makan16443165

an yang sama dengan dirinya. Dan dia tahu betul bubur seperti

apa yang Aiko sukai. Aiko tidak suka seledri, cakwe, dan kecap. Ia

juga tidak suka ada kuah di buburnya. Dan ia paling suka kalau

bu?burnya banyak kacang. "Saya nggak jadi mesen bubur, Mas.

Saya siomay aja."

"Minumnya?" tanya pelayan kantin.

"Teh tawar anget!" Ipank dan Aiko kompak berkata.

Ipank sama sekali tidak menengok ke arah Aiko. Ia terlihat cuek.

"Kamu jangan pesen siomay, ya. Pagi-pagi makan siomay tuh bisa

bikin sakit perut. Aku nggak mau kamu sakit, lho," ucap Ipank

sambil tersenyum menatap Andari.

Andari terlihat bingung dan canggung dengan ucapan Ipank

barusan. Tumben banget cowok itu perhatian. Mana ngomongnya

lembut banget lagi. "Eh, oh iya, Beib," jawab Andari berusaha

sesantai mungkin.

Aiko diam saja. Jujur, ia tak tahu harus bersikap bagaimana.

Fakta kalau Ipank telah kembali pacaran dengan Andari memang

sudah ia ketahui dari Satrio. Seharusnya ia tidak peduli dengan

kenyataan itu. Tapi kenapa ada sesuatu yang mengganjal di hatinyaKenapa dalam situasi seperti ini rasanya ia ingin buru-buru pergiIngin pura-pura tidak melihat semuanya.

Satrio sadar betul atas drama yang sedang Ipank dan Aiko mainkan. Makanya ia sengaja membanjiri Aiko dengan berbagai pertanyaan "tak penting" yang cukup membuat Ipank panas.

Ipank menyandarkan tubuhnya ke kursi, telunjuknya sengaja ia

ketuk-ketukkan ke meja. Matanya menatap Satrio tajam. Rahangnya

bergerak-gerak seakan menahan emosi yang nyaris meluap.

Satrio berlagak cuek. Ia semakin asyik mengobrol dengan Aiko,

meskipun Aiko hanya menanggapinya dengan jawaban singkat.

BLETAK! Ipank beranjak dari tempat duduknya. Dengan setengah menyeret, ia menarik Andari untuk segera beranjak dari tempat duduknya.

"Kenapa, Beib?" tanya Andari heran.

16543166

"Mendadak aku mual. Nggak nafsu makan," jawab Ipank sambil

melingkarkan lengan kanannya pada pinggang Andari dan berjalan

pergi tanpa menengok ke arah Satrio dan Aiko.

Hari-hari berikutnya, Ipank masih belum pulang ke Soda. Kalau

pun pulang, cuma mengambil barang-barang yang ia butuhkan.

Seno yang kebagian ditumpangi sebenarnya tak masalah, soalnya

Ipank tipe orang yang rapi. Dia paling tidak suka dengan kamar

berantakan. Belum lagi dia jago masak. Makanya, Seno yang doyan

makan seperti kejatuhan rezeki dengan tinggalnya Ipank di kamar

kosnya.

Di kampus, Ipank nyaris tak menampakkan dirinya di hadapan

Aiko. Kalaupun ketemu, itu hanyalah kebetulan belaka. Jangankan

menyapa, melihat pun Ipank enggan.

Hal tersebut membuat Aiko merasa kehilangan. Ya, kehilangan

dalam arti sesungguhnya. Terkadang Aiko ingin sekadar menyapanya. Tapi ia ragu. Takut lebih tepatnya.

Di sisi lain, Ipank tak seperti yang Aiko bayangkan. Ia memang

terlihat cuek di depan Aiko, tapi sebetulnya ia sangat peduli. Diamdiam Ipank selalu menjaga Aiko dari kejauhan. Memastikan kalau

cewek itu tidak terpeleset, jatuh, atau pingsan di jalan.

Pernah satu kali Aiko kelelahan membawa tumpukan buku dari

perpustakaan. Tiba-tiba Ipank muncul membantunya tanpa sepatah

kata pun keluar dari mulutnya. Beberapa kali ketika Aiko nyaris

terpeleset, terantuk pintu kelas, atau terserempet motor, Ipank mendadak muncul entah dari mana. Tapi lagi-lagi, Ipank tak pernah

mengeluarkan satu kalimat pun. Bahkan kata terima kasih yang

terlontar dari bibir mungil Aiko tak pernah dihiraukannya. Dengan

cueknya ia ngeloyor pergi.

Dan ternyata, melalui Dara, Ipank selalu memastikan bahwa

Aiko baik-baik saja. "Malam ini dia harus makan agak banyak ya,

16643167

Dar. Tadi di kampus padat banget jadwalnya sampai nggak sempet

makan siang. Dia cuma ngemil batagor. Perutnya jangan sampai

kosong. Aku takut maagnya kambuh lagi."

"Pank"

"Dia jangan tidur kemaleman ya, Dar. Besok ada kuliah pagi.

Takutnya besok kecapekan."

"Pank"

"Jangan lupa telepon dia kalo dia pulang kemaleman ya, Dar."

"Ipank, denger aku dulu!" Dara menghentikan ucapan Ipank

dengan intonasi agak keras. Setelah memastikan Ipank berhenti


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende The Name Of Rose Karya Umberta Eco

Cari Blog Ini