Ceritasilat Novel Online

Langen Dan Si Cowok Robot 1

Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih Bagian 1



LANGEN DAN SI COWOK ROBOT

oleh Putri Rindu Kinasih

Ebook by pustaka-indo.blogspot.com

GM 312 01 14 0084

? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Gedung Gramedia Blok I, Lt. 5

Jl. Palmerah Barat 29?33, Jakarta 10270

Editor: Irna Permatasari

Desain sampul oleh: maryna_design@yahoo.com

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

anggota IKAPI, Jakarta, 2014

www.gramediapustakautama.com

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ISBN: 978 - 602 - 03 - 1090 - 9

232 hlm; 20 cm

SEPERTI hari-hari sebelumnya, walaupun tidak keburu

sarapan di rumah, aku selalu menyempatkan diri menikmati masakan ibuku setiap pagi sebelum pelajaran

dimulai. Ritual itu selalu kulakukan sambil menunggu kedua

sahabatku, Daniel dan Andrea, muncul dan membantuku menghadapi du?nia.

Aku benar-benar beruntung bisa mendapatkan dua sahabat

baik dan kompak seperti mereka. Aku nggak tahu gimana

caranya bertahan di sekolah tanpa kehadiran merekaa. Walaupun sekarang udah nggak zaman jadi korban bullying di sekolah,

tetap aja kekuasaan do?minan berlaku di sekolahku.

Pagi itu ayam goreng buatan ibuku benar-benar tak bisa

kutolak. Wangi khasnya bahkan mampu menggoda perut-perut

lapar lainnya di kelas. Tepat pada suapan keempat, Daniel dan

Andrea memasuki kelas dengan napas tidak keruan. Maklum,

lift sekolah kami belum selesai dibangun. Jadi untuk sampai ke

kelas yang terletak di lantai empat butuh perjuangan be?rat.

Rencana Ketua OSIS

"Ntar jam sepuluh lo rapat OSIS ya, Ngen?" tanya Andrea

sambil mencuil ayam goreng yang masih hangat.

"Hahaha! Heran, nggak kapok juga tuh si Andi ngundang lo

pascainsiden Valentine nyembur!" ujar Daniel terkekeh, lalu

duduk di sampingku. Kujitak langsung kepalanya karena mengingatkanku pada kejadian terburuk sepanjang masa. Daniel

selalu berhasil membuatku sewot hanya dengan mengungkit

peristiwa aku menyembur ketua OSIS lantaran tak sanggup

menahan tawa saat mulutku penuh air.

"Aduh!" seru Andrea saat jari-jarinya dicium punggung sendokku.

"Udah dong! Nyomot terus ih!" protesku, lalu menyuapkan

lagi nasi ayam ke mulut.

"Biarin dong! Nyokap gue nggak ngasih minum Appetton

Weight Gain sih," ujar Andrea, lalu meneguk Evian yang dibawanya dari rumah.

"Lagian lo dikasih badan kurus bukannya bersyukur, justru

minta digendutin. Transfer lemak aja dari badan gue," selorohku

yang langsung disambut cengiran Daniel.

"Emangnya lo disuruh apa sama Andi? Bukannya dia sebentar

lagi mau turun takhta?"

"Lo cabut jam sepuluh, ya? Itu kan pas pelajaran sosiologi.

Yah, ntar siapa yang nemenin gue ngobrol? Emangnya mau

rapat apa sih? Kan kita baru beberapa minggu masuk sekolah,

kok rajin banget udah rapat OSIS? Mau ngomongin acara tujuh

belasan ya, Ngen?" tanya Andrea yang kujawab de?ngan

gelengan.

"Terus acara apa dong? Halloween gitu?" tanya Daniel bingung.

"Bukan. Sekolah kita mana pernah sih ngadain acara kayak

gitu? Gile! Bisa-bisa rumor sekolah kita berhantu eksis lagi. Gue

disuruh bantuin acara tutup tahun ajaran kali ini."

Kontan kedua sahabatku mendelik.

"Tutup tahun? Nggak salah denger, Ngen? Masa baru masuk

udah mau tutup tahun?"

"Itu dia, gue juga nggak tahu. Gue aja baru tahu semalem, si

Andi nelepon. Katanya, mau dibentuk tim khusus buat ngurusin

pagelaran akhir tahun di bawah peng?awasannya. Semester

depan sekolah kita ulang tahun ke-25. Katanya sih mau ngegelar

acara gede-gedean, semacam pensi gitu. Nah, OSIS baru

ngurusin acara tahunan lainnya, kayak Valentine Day, Open

House, dan saudara-saudaranya," jelasku panjang-lebar sambil

membereskan kotak makan yang sudah bersih.

"Oh, gitu. Ya udah, ntar selesai rapat, cerita-cerita ya," ujar

Daniel sambil mengangguk-angguk.

"Eh, bel udah bunyi. Balik gih ke tempat masing-masing!"

hardikku begitu melihat Pak Hanadi, wali kelas kami, memasuki

kelas.

Pukul 10.05 pintu kelas sebelas IPS diketuk, meng?hentikan ocehan

guru sosiologi yang sedang membahas bentuk-bentuk konflik di

muka bumi. Kepala Andi menyembul di balik pintu, meminta izin

kepada sang guru.

"Permisi, Pak. Saya mau memanggil Langen untuk mengikuti

rapat OSIS," ujar Andi sopan. Tentu saja ketua OSIS yang bakal

turun takhta bulan depan tersebut diizinkan membawaku pergi.

Kesempatan emas buat aku meninggalkan pelajaran membosankan.

"An, nanti gue pinjam catatan lo, ya," bisikku saat lewat di

samping Andrea. Andrea mengangguk mengiyakan.

"Ndi, memangnya mau bikin pensi apa sih, kok gue pakai

diajak rapat segala? Gue kan bukan anggota penting di OSIS!"

tanyaku setelah berjalan lima langkah meninggalkan kelas.

"Makanya lo diajak rapat supaya nggak numpang nama di

OSIS."

"Siaul lo. Seriusan nih, Ndi. Kita jadi bikin pensi, ya? Artisnya

siapa? Katanya nanti ada bintang tamu ya?"

"Udah. Ntar aja gue jelasin di ruang OSIS."

"Idih, pelit amat. Ruang OSIS kan di lantai satu, " protesku

sambil mendorong pelan pundak Andi. Melihat Andi tidak merespons permintaanku, terpaksa aku diam dan terus membuntutinya dengan sabar.

Di ruang OSIS telah hadir lima siswa yang dikenal sebagai pentolan

OSIS periode tahun ajaran 2010/2011. Jelas aku mengenal kelima

siswa yang tampak asyik mengobrol itu. Mereka semua anggota

perkumpulan siswa kurang teman tapi genius. Kebetulan aku satu

sekolah dengan mereka sejak SMP. Ada Niko, langganan juara

lomba matematika yang selalu mem?betulkan posisi kacamata saat

berbicara. Di sampingnya duduk ketua Klub Sains, yakni Nita dan

asistennya, Vania. Dua siswa lain yang turut mengikuti rapat

adalah Jane dan Livia, pemenang lomba membuat website

sekolah tingkat nasional tahun lalu. Kelimanya benar-benar

permata sekolah yang sangat mengagumkan.

Di antara Andi dan Bu Dina, sang pembina OSIS, duduk siswa

kelas lulusan alias kelas dua belas, Patra. Hampir tidak ada

siswa yang tidak mengenal cowok itu. Bagaimana tidak? Di

beberapa event sekolah ia sempat menampilkan permainan

piano spektakuler. Oh ya, kata teman-teman sih, Patra pendiam.

Katanya, lho. Habis aku memang tidak begitu mengenal Patra.

"Ngen, mau dengar hasil rapat terakhir nggak? Jangan

ngelihatin Patra melulu. Nge-fans-nya ntar aja!"

Langsung kuacungkan tinju ke arah Andi yang kini berdiri di

ujung meja rapat.

"Seperti yang telah disepakati dan telah mendapat persetujuan Kepala Sekolah, akan diadakan pentas drama musikal

ketiga yang sekaligus dilaksanakan untuk memperingati hari jadi

ke-25 sekolah kita. Oh ya, sekadar info, Ngen, kita nggak jadi

pensi, soalnya Pak Kepala Sekolah pingin sesuatu yang beda

tahun ini."

Aku manggut-manggut, lalu mengacungkan jempol. "Lanjut!"

sahutku.

"Pada rapat sebelumnya juga diputuskan tema cerita yang

akan diangkat, yakni dongeng Cinderella yang dimodernkan.

Flier pengumuman dan audisi baru akan disebar minggu depan."

Andi berhenti sebentar, mengambil napas, sementara kami

semua tetap hening menyimak. "Kali ini saya mengundang teman sekalian untuk membahas tugas masing-masing dalam

persiapan pelaksanaan drama musikal tersebut. Yang pertama

untuk Niko dan Nita. Kalian berdua akan membantu di bidang

penggalangan dana, informasi selanjutnya dibahas setelah ini.

Vania akan membantu di bidang humas. Jessyca dan Jane jelas

akan menyumbang ide dan saran bersama Pak Winar di bidang

dekor. Oh ya, Jane, desain flier dan spanduk sudah saya serahkan ke Kepala Sekolah. Desain itu juga akan dipakai untuk

kover proposal yang akan disebar tim Dana. Jadi nanti bersama

tim humas, kalianlah yang menjelaskan arti lambang-lambang

desain tersebut." Jane meng?angguk sambil tersenyum menanggapi ucapan Andi barusan. "Urusan musik drama musikal jelas

ditangani Patra," lanjut Andi berpaling ke arah Patra.

"Gue ngapain dong, Ndi?" Cepat-cepat kuangkat tangan

tinggi-tinggi. Habis, tinggal namaku yang belum disebutkan.

"Sabar atuh, Neng! Baru juga mau dikasih tahu. Patra minta

bantuan partner untuk mengaransemen lagu-lagu drama musikal."

"Oh, jadi disuruh ikut bantuin nyariin partner nih ceritanya?"

tanyaku sambil menunjuk Patra yang sedari tadi tak berkomentar.

"Bukan!" Andi menggeleng cepat.

"Terus?"

"Ya, lo yang dipilih untuk jadi partnernya, Ngen!"

Tanpa pikir panjang langsung kulayangkan pandangan tajam

ke arah Patra, yang walau diam ternyata menghanyutkan.

"Weh? Kenapa gue?! Nggak salah pilih nih?"

"Yah, gue nggak tahu, Ngen. Tanya aja sama Patra nanti,

soalnya gue mau jelasin konsep acaranya. Setelah ini kita

omongin tugas-tugas per divisi dan nentuin anak buah."

"Tapi, Ndi..." cegahku masih tak puas.

"Ssstssts...!" hardik Andi yang sangat jelas menghambat

seluruh amarahku untuk diledakkan. Kesal rasanya melihat Patra

yang diam saja sementara kawan-kawan lain cekikikan melihat

tingkahku. Ngomong apa kek. Kasih penjelasan kek. Masa lihat

orang bingung gini dia tetap antengSelama Andi menjelaskan, diam-diam kuperhatikan wajah

10 1014

yang sedari tadi mengunci mulutnya. Aku kan nggak lancar

main piano. Kok bisa-bisanya diajak partneran buat mengaransemen? Mengapa Patra tidak melilih Yohanes saja? Atau Elsha,

Yon, dan Dian yang sudah diakui keahliannya dalam memainkan

piano? Atau sekalian saja dia langsung berkolaborasi dengan

Pak Tomi, guru musik sekolah. Aneh? Maksudnya apa sihIntinya, kenapa aku11 1114

ENTAH mengapa sang raja terang malah menampakkan

batang hidungnya hari itu.

Setelah tiga hari hujan deras terus mengguyur kota.

Bahkan pagi tadi awan hitam tebal sempat menguasai cakrawala. Tak seorang pun tahu mengapa. Tak terkecuali aku. Apa

yang kutahu tentang motivasi sang surya menyapa dunia hari

itu, setelah tertidur tiga hari terakhir? Nggak ada.

Saat itu aku sedang menikmati sekaligus mengagumi langit

cerah berhiaskan matahari, hingga

"Langen!"

Aku tersentak. Jantungku berhenti berdetak seketika. Miss

Zubaedah memergokiku melamun, lagi. Bersamaan dengan

membekunya diriku di tempat, semua pasang mata langsung

tertuju ke arahku. Jujur saja, aku paling benci situasi ini.

Rasanya kayak pada nunggu aku dieksekusi.
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Langen! Tolong perhatikan pelajaran saya. Sekali lagi kamu

melamun, kamu bisa keluar dari kelas. Mengerti?"

Demi Kelangsungan

Hidup Kita di Dunia

12 1214

"Ya, Miss," jawabku pelan.

Huff! Untung saja Miss Zubaedah tidak mempermalukanku di

depan teman-teman. Bila iya...uh! Gawat! Bisa-bisa sikap Agatha

dan gerombolannya semakin menjadi-jadi. Agatha pasti bakal

senang setengah mati kalau aku dimarahi guru, soalnya bisa

buat bahan ejekan seharian.

Aku bukan siswi yang anti pelajaran geografi. Aku tertarik

kok mengetahui mengapa di Indonesia sering terjadi gempa.

Atau mengetahui berapa jauh jarak tempat kita berdiri hingga

ke inti bumi. Aku cuma nggak suka cara mengajar Miss

Zubaedah yang membosankan. Beliau mengajar geografi dalam

aksen bahasa Indonesia yang aneh. Barangkali aja dia telanjur

bangga ngajar di sekolah semiinternasional, tapi nggak terima

karena masih harus berbahasa Indonesia. Karena nggak bisa

menerima kenyataan, setiap kali bicara intonasinya dilebihlebihkan, persis aktris beken Cinta Laura.

Makanya yah, bukan salahku kalau aku kembali sibuk dengan

pikiranku sendiri beberapa menit kemudian.

Aku benar-benar bingung memikirkan jawaban yang harus

kuberikan pada Patra. Sebagian diriku masih ragu akan kenyataan bahwa aku bakal bekerja sama dengan Patra selama satu

tahun. Kerja samanya sih nggak apa-apa. Tapi faktor Patra-nya

lho. Kenal juga nggak. Ngomong pernah sih, tapi cuma sebentar.

Di sisi lain, sikap Agatha yang semena-mena tiap hari benarbenar tak bisa dibiarkan. Biarpun program antiplonco sudah

digalakkan, makhluk-makhluk seperti Agatha nggak kalah cerdik

untuk mengakali program itu. Mereka memang nggak main

fisik, tapi mental dan perasaan yang diobrak-abrik. Pimpinan

13 1314

Geng Cantik itu baru-baru ini mencoba menyebarkan kabar

burung yang isinya aku sering mencontek. Agatha memang

nggak secara terang-terangan teriak di lapangan dan ngumumin

ke semua orang?bisa-bisa dia dipanggil guru BK. Dengan

bahasa halus dan tersamar, beberapa hari itu dia hobi sekali

mengomentari blog dan FB-ku dengan kata-kata yang menjurus

ke sana. Jelas aku nggak bakal tinggal diam.

Sejak masa SMA dimulai Agatha memang suka cari masalah

denganku. Entah kenapa aku juga nggak tahu. Padahal dari segi

fisik, aku nggak ada apa-apanya dibandingkan dia. Dari segi

materi? Apalagi! Dia naik BMW, aku naik bajaj ke sekolah. Kalau

dari sisi kognitif, nah, kami memang beda-beda tipis. Barangkali

memang urusan nilailah yang membuatnya uring-uringan.

Oleh sebab itu aku nggak heran kalau Agatha tega menuduhku yang nggak-nggak. Jangankan ngatain, kalau ada alasan

menerorku, pasti akan dilakukannya juga. Untung comment-nya

bisa di-remove. Pas banget, aku lagi online waktu dia berceloteh

di wall-ku. Kayaknya sih belum ada yang baca. Untung deh.

Nah, belajar dari pengalaman, tindakan akan selalu lebih

unggul untuk membuktikan kualitas diri dibandingkan hanya

meratapi nasib sebagai orang tertindas. Kalau kerja sama ini

sukses, pasti hi?dupku akan berubah.

Maksudku, mengaransemen lagu bersama Patra jelas bisa

menaikkan rating-ku di muka umum. Bayangkan saja, pagelaran

akbar itu nantinya ditonton semua murid dan orangtua siswa

SMA 1. Jika setelah hari H si Agatha tetap cari masalah denganku, itu urusan belakangan. Minimal Agatha nggak bersikap

seenaknya lagi, karena semua orang sudah tahu aku bukan

cewek kacangan apa lagi mengidap hobi mencontek.

14 1414

Virus drama musikal Ella and The 21th Century sukses membuat

gempar sekolah kami. Buktinya dapat dilihat dari begitu banyak

peserta audisi yang hari itu antre. Saat itu sedang diadakan audisi

pemilihan tokoh utama wanita. Baik Andrea maupun aku sama

sekali tak tertarik mengikuti audisi. Para aktornya dituntut bisa

menyanyi dan menari. Dengan modal badan kaku dan berat badan

sedikit kelebihan muatan, aku sangat yakin diriku tak akan

diterima.

Kami sengaja datang ke auditorium siang itu. Selain

menemani Daniel, aku cuma ingin menonton aksi para peserta

audisi yang seru dan sayang untuk dilewatkan. Sebagai penata

kostum pagelaran, Daniel harus datang dan memastikan pemeran utama drama akbar tersebut.

"Dari sekian peserta yang udah tampil, menurut lo siapa yang

bakal jadi Ella, Niel?" tanyaku iseng.

"Paling si Carolina lagi," ujar Daniel sambil mencomot keripik

Andrea.

"Ih, pesimis amat sih lo, Niel? Mana tahu ada bakat-bakat

baru."

"Taruhan deh, dia pasti menang. Habis yang lain fals semua

nyanyinya. Lo nggak tahu dia calon artis masa depan? Audisi

kayak gini mah kecil. Dia kan udah sering ikut casting. Setahu

gue malah dia pernah main FTV."

"Iya sih, tapi kan anak-anak kelas 10 juga ikut audisi. Mana

tahu ada bakat-bakat baru," balasku sambil tetap memperhatikan atraksi di panggung, "Berarti ntar lo yang bikinin desain

kostumnya dong, Niel."

15 1514

"Yup. Ntar jahitnya barengan sama anak-anak ekskul jahitsulam-rajut."

"Gue heran, Ngen, kenapa bukan lo aja sih yang jadi Cinderella? Suara lo kan bagus," tanya Andrea menaikkan satu alis.

"Iya, tampang lo kan melas. Cocok jadi Cinderella yang menderita," komentar Daniel, sementara tangannya tetap menari di

buku sketsa cokelatnya.

"Lo pada mau ganti judulnya jadi Cinderella Kena Obesitas?"

Kedua sahabatku tertawa mendengar pertanyaanku. "Gue

nggak ada pantes-pantesnya jadi peran utama gitu. Lagian gue

mana boleh ikut audisi? Gue kan ditugasin ngaransemen lagulagu dramanya. Emangnya lo nggak bosen lihat gue nyanyi?"

"Lagak lo, Cing! Nyanyi juga baru sekali doang, pas acara

Natal. Setelah itu, kayanya lo nggak nyanyi-nyanyi lagi. Malahan

si Carolina yang duetan melulu sama si Yoyo," ujar Andrea

ketus.

"Iya. Dia kan banci panggung. Nggak bisa lihat panggung

kosong sebentar, bawaannya kepingin manggung terus." Lagilagi Daniel berkomentar tanpa mengalihkan pandangan.

"Omong-omong, Ngen, memangnya lo setuju sama tawaran si

Patra?" tanya Daniel mendadak semangat, yang malah membuatku he?ran.

"Ya iyalah. Keputusan itu harus gue ambil karena nggak ada

pilihan lain."

Kedua sahabatku memiringkan kepala serentak, tanda

kebingungan.

"Pilihan untuk apa, Ngen?"

"Pilihan untuk ngebuktiin ke Agatha dan kroni-kroninya,

sesama anggota Geng Cantik yang selalu ngajakin kita ribut.

16 1614

Habis lo berdua nggak ada yang bales SMS gue sih. Ditelepon

juga nggak ada yang aktif. Ya udah, gue ambil keputusan

sendiri. Lo setuju, kan? Habis nggak ada yang protes juga

sih."

"Sebentar, Ngen, tadi lo bilang SMS. SMS apa sih?" potong

Andrea cepat.

"Apa hubungan Agatha sama kerjaan lo berdua Patra?"

Daniel menyusul dengan raut berkerut, bingung.

Seandainya aku tokoh kartun, pasti bola mataku telah

menggelinding dan berhenti tepat di bawah panggung.

"Seriously? Ya, ampun! Jangan bilang kalian nggak dapat SMS

dari gue semalem!" Seperti yang kutakutkan, keduanya menggeleng.

"SMS lagi. Lo SMS apa, Ngen?" tanya Daniel penasaran setelah bertukar pandang dengan Andrea.

"Jadi kalian nggak tahu gue taruhan sama Agatha?" tanyaku

tak percaya akan kenyataan itu.

"Duh! Makin bingung gue, Ngen! Taruhan apa sih? Melibatkan

kami-kami nggak?" pertanyaan Andrea barusan membuatku

harus menceritakan semuanya pada kedua makhluk yang telah

membuatku mengambil keputusan tanpa restu mereka.

"Oke," Aku menghela napas sejenak sebelum mulai bercerita,

"Agatha ngajakin gue taruhan. Kalau gue bisa tahan berpartner

sama Patra dari awal hingga akhir dengan segala tingkah dan

kesintingannya, Geng Cantik bakal memanusiakan kita dan

nggak akan mengganggu kita lagi."

"Terus kalau misalnya?misalnya aja nih?Ngen, lo gagal.

Amit-amit. Moga-moga sih nggak. Kalau Patra akhirnya ganti

17 1714

partner, lo disuruh ngapain sama gerombolan nenek sihir itu?"

tanya Andrea mulai gelisah.

"Nng... gue disuruh jadi partner Agatha buat ulangan terakhir

akuntansi yang bikin jurnal perusahaan itu lho," jawabku pelan,

menanti reaksi kedua sahabatku.

"Hah!? Itu sih namanya cari mati, Ngen! Bisa ngomong sama

Patra aja sudah bagus. Eh, lo malah mau ngeladenin dia setahun? Patra kan alien yang turun ke bumi, Ngen. Badan sih oke,

tapi palsu. Android dia, Ngen. Gawat. Setahu gue, Agatha nggak

bisa akun deh. Berarti lo mesti ngafalin rumus dari sekarang,

Ngen! Supaya nanti nggak berat," tukas Daniel Sarkartis.

"Udahlah, Niel, jangan hiperbolis, gitu! Keputusan sudah

diambil. Langen sudah keburu deal sama Agatha. Mestinya kita

dukung dan bantu Langen supaya berhasil. Toh kalau menang

kita juga yang kena enaknya. Gue juga nggak rela lo dibilang

tukang mencontek sama Agatha. Kali ini kita memang harus

bales mereka pakai ini!" ujar Andrea berapi-api sambil menunjuk

kepalanya.

"Ya udah, gue mendukung lo seratus persen, Ngen! Tapi

dalam doa," canda Daniel yang diiringi jitakan maut Andrea.

"Thanks, guys!" ujarku lirih, tak mampu melukiskan kegembiraan yang bercampur haru.

18 1814

APARTEMEN Kenanga lantai lima nomor 38. Sekali lagi

kubaca alamat yang semalam dikirim Patra melalui SMS.

Belum tersedia cukup nyali untukku, bahkan hanya

untuk memencet bel unit tempat Patra tinggal. Kira-kira nanti

siapa yang buka pintu ya? Patra sendiri? Ada orang lain di rumah nggak yaNanti kalau aku sama dia ngomongnya nggak nyambung,

gimana? Kalau nggak ada wasitnya, siapa yang menengahi? Gila,

kalau nggak ada orang di rumah bisa-bisa kami bakal ngomongin soal cuaca.

Kembali kuayunkan langkah menuju lift, sambil membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi. Apa

lebih baik aku pulang saja? Nggak usah ketemu Patra begini.

Bagaimana kalau semua rencana ini sebenarnya sia-sia? Mencoba akrab dengan Patra kan nggak gampang. Memang sih

kata orang you never know until you try. Tapi kalau udah tahu

ujungnya sumur, masa iya masih nekat jalan? Ya keceburlah.

Kisah Si Manusia

Planet

19 1914

Udah tahu si Patra bermasalah dalam hal komunikasi, eh, malah

mau jadi partner. Lha, itu mah sama aja dengan mencoba

membengkokkan besi dengan tangan kosong. Bagi orang biasa

lho, bukan buat Limbad.

Tapi alasan utama yang terus mengganggu kepalaku adalah

si Agatha. Memang benar sih kata Daniel, pagelaran sekolah

kali ini bagaikan dua sisi mata uang. Di sisi lain terlihat seperti

malapetaka karena harus menjadi bawahan robot. Tapi di sisi

lain, barangkali ini kesempatan pertama dan terakhir untuk
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghentikan segala penjajahan yang dilakukan kelompok yang

sok cantik.

Sekali lagi, memang benar slogan anti kekerasan dan

intimidasi udah ditempel di setiap sudut sekolah, namun

buktinya? Kerajaan Agatha-pahit tetap berjaya. Kekuatannya

cukup besar untuk menindas negara-negara kecil di sekitarnya.

Bisa dibilang keputusanku untuk menjadi partner pagelaran ini

mirip raja yang memperkuat kekuasaannya dengan cara koalisi.

Mencari simpati dan pembuktian masyarakat sekitar bahwa aku

layak dihargai karena berkualitas. Bukan dengan paksaan,

seperti Agatha.

Aku nggak mau "rakyat"ku mengatakan bahwa aku lemah

dan tidak berani melawan. Aku melawan. Tapi dengan caraku.

Aku bisa menang. Kalau belum mati, di kerajaannya si robot

Patra.

"Mau cari siapa?" Kakek gendut dengan kumis tebal menyambutku sangat tidak ramah saat pintu unit hunian Patra

terbuka. Buset, siapanya Patra nih"Hah? Oh, uhm, saya... saya mau mencari Patra. Patra ada,

Pak?" tanyaku gelagapan, bingung mencari kata yang tepat.

20 2014

"Mau cari Patra? Tunggu ya," ujar si Kakek masih galak.

"Wooooii... Patra! Ada cewek nyari kamu nih."

"Lho, Pak? Kok pergi? Bapak nggak tinggal di sini?" tanyaku

cepat-cepat saat pria gendut tadi bergerak meninggalkanku.

"Yah nggaklah. Saya bisa mati kalau tinggal sama anak itu."

"Hah?" tanyaku ngeri, membayangkan Patra sebagai psikopat

yang tega memotong-motong korbannya. Menyeramkan. Jangan-jangan dia tipe robot Terminator. Diprogram untuk membunuh.

"Setiap hari kerjanya cuma main piano. Seperti nggak ada

kegiatan lain saja. Sudah, kamu masuk saja. Dia ada di dapur,"

perintah laki-laki tadi, lantas meninggalkanku menuruni tangga.

Masih tak ada tanda-tanda keberadaan Patra ketika aku

menyelinap masuk pelan-pelan. Unit yang kira-kira berukuran

lima puluh meter persegi itu ditata apik. Memberi kesan homy

dan cozy. Di meja makan tampak piring-piring kotor sisa sarapan

yang belum sempat dibereskan. Di ruang tamu yang juga

merangkap ruang makan terdapat TV berikut sofa di depannya.

Rak yang diisi buku dan CD menjulang tinggi dan tertata rapi,

menjadi satu-satunya ornamen di ruangan itu, selain beberapa

foto kecil yang diletakkan di salah satu kolom rak tadi. Ada foto

Patra dengan Christopher. Kata teman-temanku sih, mereka

sahabatan. Terus ada foto Patra dengan si Kakek. Kemudian...

Wow! Gila! Ini bisa jadi bahan gosip sensasional di sekolah.

Ladies and gentleman, please welcome, drumroll sound please...

Foto Patra waktu TK. Hahaha... Gila, gendut banget.

"Jangan disentuh!" ujar Patra tiba-tiba dari belakang mengejutkanku. Idih, dasar Android! Siapa yang pegang-pegang, orang

aku cuma lihat-lihat kok. Peli...

21 2114

Wow! Ini bahkan lebih wow daripada yang tadi. Aku tidak

menyangka Patra si pendiam di sekolah bisa menjelma menjadi

cowok keren. Apakah aku baru saja menyebutkan kata "keren"Oke. Aku berlebihan. Langen, ingat, apa kata Daniel, Patra

adalah Android.Tapi kok ternyata badannya bagus? Ah.

Ya, aku tak akan seterkesima... ralat: "sekaget" ini kalau

Patra tidak sedang mengancingkan kemeja birunya. Tak salah

lagi, seragam sekolah memang benar-benar lihai menyembunyikan bentuk tubuh Patra yang mmm... keren. Pasti dia sering

menyiksa diri di gym. Penampilannya benar-benar sempurna,

seandainya wajahnya tidak sedatar papan. Aku heran, kenapa

sih makhluk yang satu itu kayak nggak punya emosiKami baru saja selesai memilih dan sedikit menggarap lagu-lagu

yang dipakai di pagelaran Ella nanti. Kami memutuskan menggunakan dua lagu ciptaanku yang baru berupa instrumental dan

beberapa lagu-lagu pop yang dikenal kawula muda. Tujuannya

supaya lagu-lagu yang kami bawakan, yang dipilih easy listening,

bisa ikut membantu pe?nonton memahami drama yang

ditampilkan.

Dengan kepiawaian bermain piano, Patra menyulap lagu-lagu

ciptaanku. Hasilnya benar-benar mengagumkan. Memang sih

belum ada liriknya. Ya, ya, paling tidak lagu-lagu itu kini menjadi

enak dan layak didengar manusia.

Aku jadi malu mengingat perkataan mengenai Patra yang

sempat terlontar mulutku. Ternyata benar kata orang: tak kenal

maka tak sayang. Jangan salah sangka dulu. Aku bukan tiba-tiba

jadi sayang Patra karena dia baru memperbaiki lagu ciptaanku.

22 2214

Bukan. Aku cuma sedikit kagum. Karena Patra yang bekerja

sama denganku sangat berbeda dengan Patra yang selama ini

digosipkan di sekolah. Untuk urusan komunikasi memang kami

masih harus banyak belajar. Barangkali aku perlu mengusulkan

penggunaan bahasa isyarat untuk pertemuan selanjutnya.

Nah, yang membuatku agak kaget adalah penguasaan Patra

di bidang teknologi dan informatika yang patut diacungi jempol.

Aku nggak gaptek-gaptek banget kok! Aku tahu kini para musisi

bisa dengan mudah bereksperimen dibantu program-program

mutakhir seperti Finale atau Cakewalk. Hanya saja aku belum

pernah mengoperasikan progam-program tadi. Jadi butuh waktu agak lama untuk memproses setiap ucapan Patra dan mengingatnya saat ia memperkenalkanku dengan mainan sehariharinya. Apalagi bahasa lisan Patra sulit dicerna otak. Siapa

suruh pada zaman serbakilat kok dia ngomongnya baku

bangetKadang aku kasihan sama cowok itu. Kesannya, mau

ngomong saja kok susaaaaah banget. Mengutarakan kemauan

aja sampai menderita, hanya demi diksi yang bagus.

"Itu not kalau nggak disalin, sampai besok juga nggak akan

selesai, Ngen. Sudah bengongnya?" tanya Patra membuyarkan

lamunanku.

"Oh, pencet tombol Tab-nya dua kali atau cuma sekali?"

tanya?ku cepat, pura-pura memperhatikan penjelasan Patra

sedari tadi.

"Yah, Langen. Siapa yang suruh pencet tombol Tab?"

"Lho, emang tadi Kak Patra ngomong apa?" tanyaku sambil

memasang wajah innocent. Kan gengsi ketauan bengong. Ntar

disangka naksir lagi.

23 2314

"Ya, udah. Break dulu deh. Kayaknya sudah mulai pusing."

Patra beranjak dari kursi menuju dapur.

"Oh. Tapi jangan marah ya. Maklumlah, daya serap saya

kurang. Waktu kecil kurang vitamin."

"Haha... Nih, Ngen, minum dulu jusnya!" balas Patra dari

dapur sambil menuangkan jus apel dan menyerahkannya

padaku. Aku tersenyum, lantas meneguk habis isi gelas tersebut

dengan cepat.

"Kak Patra sudah berapa lama main piano? Kok bisa jago

gitu?"

Sejenak Patra mengernyitkan alis, lantas angkat bahu. "Jago

sih nggak, Ngen. Ya, saya bisanya cuma main piano."

"Halah, sok merendah. Bukannya Kak Patra juga pinter di

kelas? Kayak gitu sih bukan cuma. Pertanyaan yang tadi belum

dijawab."

"Pertanyaan yang mana?"

"Yang tentang main piano."

"Oh, saya mulai main piano dari umur enam. Sempat dijejelin

klasik selama delapan tahun. Baru setelah pindah ke Jakarta,

ganti tempat les, dan belajar jazz, blues, dan pop. Unsur-unsur

lainnya sih dari dengerin lagu-lagu aja."

"Tadi katanya pindah? Memangnya dulu tinggal di mana?"

Aku kembali bicara saat kulihat raut muka Patra sedikit

berubah. "Maaf ya, saya kepo. Nggak usah dijawab deh."

"Nggak apa-apa. Dulu saya tinggal di Surabaya," jawab Patra

singkat.

"Terus pindah ke sini sekeluarga, begitu?"

"Nggak."

"Lho, terus orangtua Kakak tinggal di mana?"

24 2414

"Di Surabaya."

"Kakak tinggal di sini sendirian?" tanyaku semakin bingung

mengikuti gaya bicara Patra yang berbelit-belit.

"Saya tinggal sama kakek saya."

"Berdua doang?"

Patra mengangguk.

"Hmm, jadi kakek yang galak tadi pasti temannya kakek Kak

Patra, ya?"

Lagi-lagi Patra mengiyakan sambil kembali duduk di depan

piano.

"Nah, jadi..."

"Jadi kapan selesai wawancaranya, Langen?" tanya Patra

memotong kalimatku, lalu langsung menyentuh tuts-tuts piano,

memainkan lagu yang tak kukenal dan sempat membuatku

terpukau selama lima belas detik. Sebelum ia kembali menjelma

menjadi Patra yang sesungguhnya. Ya Tuhan, berilah aku

ketabahan hati. Mudah sekali untuk terpukau sekaligus membenci partnerku ini.

Ketika Estri masuk ke kamar tidur aku pura-pura pulas, walau

sebenarnya aku sudah terjaga sejak lima menit lalu. Mungkin ia

sedang senang sehingga membuat kegaduhan cukup keras untuk

membangunkan sepuluh orang. Ketika tahu kegaduhannya sama

sekali tak berhasil membuatku menggerakkan sedikit saja kelopak

mataku, ia pun naik ke tempat tidurnya di dekat jendela. Untuk

sementara tak terdengar suara-suara lagi, jadi kuduga ia sudah

terlelap setelah berhasil memcomot lauk yang sedang dimasak

ibuku. Dalam keadaan setengah sadar aku dapat mencium harum

aroma dadar jagung dari dapur.

25 2514

Aku berusaha untuk tidur juga, tetapi percuma saja, betapapun aku mencoba. Banyak hal terus-menerus mengusik

benakku. Seperti rumus-rumus ulangan matematika yang akan

kuhadapi beberapa jam lagi, dan Patra tentunya.

Aku dapat mendengar semua jam di rumah berdentang

bergantian dengan kunci nada berbeda-beda. Setelah itu

bunyinya seperti sedikit campur baur, jadi kukira aku sudah

kembali terlelap. Apa pun yang terjadi, hal berikutnya yang

kuingat hanyalah jam besar yang ada di ruang tamu berdentang

lima kali.

"Ayo bangun, Langen!" teriak Estri di telingaku. Aku tak

memedulikannya. Estri mematikan kipas angin untuk membangunkanku. Ia tetap duduk di tepi tempat tidurku hingga

akhirnya aku tidak tahan dan segera melangkah ke dapur.

"Kenapa sih lo kepingin banget sekolah hari ini?" tanyaku

kesal pada adikku, yang hanya berbeda satu setengah tahun

denganku.

"Karena mulai hari ini Christoper pindah ke antar-jemput

kita!" ujar Estri bersemangat dengan mata berbinar-binar. Oke,

adikku sedang jatuh cinta. Ia benar-benar terpesona pada mahkluk yang bernama Christoper. Kok bisa ya? Lumayan ganteng

sih, memang. Tapi setahuku Chris kurus. Bukannya Estri nggak

suka cowok kurus-kurus gitu yaMemang sih, harus kuakui Chris sangat cerdas. Ia pernah

menjuarai lomba debat tentang pemanasan global. Dan menurut guru-guru di sekolah, ia anak berbakat. Ia bisa meng?gambar

dan melukis dengan sangat bagus. Setidaknya sampai saat ini

ia masih lebih baik daripada siapa pun di sekolah. Kata anakanak di kelasku, bapaknya pelukis, makanya anaknya bisa jago

26 2614

gitu. Beberapa lukisannya dimuat di majalah dan mading

sekolah. Pokoknya semua orang menganggap Christoper

Widjaja adalah Vincet van Gogh-nya SMA 1 dengan dua telinga.
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi tetap saja aku masih heran, bagaimana ia bisa memikat

adikku. Maksudku, apa sih yang bisa membuat adikku yang

hampir sempurna itu bisa tergila-gila pada cowok yang bajunya

tidak pernah rapiAku berdiri di depan cermin meja rias Estri seusai mandi dan

mengenakan seragam. Estri berdiri di sampingku, mengambil

bedak tabur, lalu mengoleskan ke mukanya. Satu-satunya benda

milikku yang ada di meja rias tersebut hanyalah sisir dan lipgloss. Oh ya, satu lagi: salep jerawat yang harus kupakai setiap

malam. Sisanya, kosmetik Estri mendominasi meja tersebut.

Aku melihat bayanganku di cermin dan tidak menyukainya.

Mataku besar dan gelap. Beberapa orang mengatakan mataku

tajam, tapi menurutku nggak sebagus itu. Rambutku juga hitam,

potongannya sangat biasa. Nggak ada modelnya. Di sampingku,

Estri kelihatan bersinar bagai matahari. Rambut ikalnya yang

pendek mengilat kecokelatan, dengan wajah mulus yang terlihat

cantik. Seperti yang diramalkan sejak ia lahir, semua mata

tertuju padanya. Bukannya aku iri lho. Tapi kecantikan memang

anugerah yang disandang adik?ku.

Seperti biasa Daniel langsung menyodorkan jus apel, begitu aku

duduk di bangku yang biasa kutempati. Om Ahong, begitu kami

memanggil tukang antar-jemput kami, menjemput lebih pagi hari

ini. Dalam sepuluh menit kami akan tiba di rumah sang pangeran

kodok yang mencuri hati adikku. Aku sama sekali tak tertarik

27 2714

untuk mengetahuinya, bahkan untuk sekadar menoleh pun.

Rumus matematika lebih menarik ketimbang model rumah

anggota antar-jemput kami yang baru.

"Niel! Rumusnya apa sih, X dikali Y, ntar dibagi..." kalimatku

terpotong aksi gila-gilaan yang baru saja dilakukan Chris.

Tumben, cowok bertubuh jangkung itu duduk di sebelahku.

Yang lebih mengherankan lagi ia menoleh dan tersenyum padaku. Dunia benar-benar berputar ke kiri. Apa yang menyebabkan

cowok satu itu tersenyum padaku? Bukannya dari dulu hingga

sekarang aku tak pernah mengganti gaya rambutku yang biasaAku juga tidak memakai makeup. Kenapa nih anakBuru-buru aku melirik Estri. Tuh kan! Gawat deh, si Estri

ngambek. Tanpa basa-basi Estri langsung menghambur ke luar

saat mobil jemputan kami berhenti di depan sekolah.

"Udahlah, Ngen, jangan dikejar!" cegah Daniel saat aku

mencoba menjelaskan apa yang terjadi pada adikku.

"Tapi...."

"Nggak guna, Ngen. Nanti kalau istirahat, baru lo ngomong

sama dia."

"Gara-gara Chris sih!"

"Memangnya itu cowok ngapain sih?"

"Lo nggak lihat dia senyum ke gue?"

"Cuma gara-gara senyum Estri ngambek?"

"Dia kan nggak pernah senyum ke gue, Niel. Dan adik gue

naksir dia."

"Lho, terserah dia dong mau senyum ke siapa? Adik lo kok

marah gitu sih?"

"Lha, kan dia suka sama Christoper. Namanya orang lagi

naksir, cemburunya tuh bisa nggak terkontrol."

"Lagian, kok dia bisa senyum ke elo hari ini? Lo pasang susuk

28 2815

semalem? Lo kan jelek. Mana mungkin Christoper suka sama

lo!" ejek Daniel semena-mena. Aku tahu dia bercanda ketika ia

mulai memainkan mimik wajahnya seperti yang biasa ia lakukan

saat sedang berkelakar.

"Estri pernah kirim surat cinta ke Chris. Tapi pake nama

palsu. Dia nitip sama gue. Gue masukkin ke fail biru gue yang

biasa tuh, yang buat nyimpen lagu-lagu ciptaan gue. Eh, nggak

tahunya fail gue ketinggalan di rumah Patra. Gue curiga, janganjangan si Patra kira gue suka sama Chris. Terus dia ngasih tahu

ke Chris. Bisa jadi, kan? Wah, sialan tuh robot."

"Lagian adik lo ada-ada aja. Hari gini bikin surat cinta. Kayak

kisah cinta nenek gue aja, masih surat-suratan. Ngen, mau tahu

nggak? Kalau menurut feeling gue, kayaknya Chris...suka sama

lo!" ujar Daniel cengengesan.

"Sembarangan!" ancamku sambil mengepalkan tinju dan

mengejar Daniel menaiki tangga.

Kayaknya nggak ada satu orang pun di kelasku yang sedang mood

untuk diajak bicara setelah dihajar rangkaian soal matematika

yang mematikan racikan Pak Widi. Sungguh! Dari dua puluh soal

aku hanya mampu mengerjakan lima belas, belum termasuk salah

hitung dan salah rumus. Menghindari kesalahpahaman yang lebih

parah segera aku berlari menuruni tangga begitu bel tanda keluar

main berbunyi.

"Kenapa sih lo masih mau turun ke sini?" tanya Estri sinis

saat aku berdiri di samping bangku tempat ia duduk.

"It?s about Chris!" ujarku memulai pembicaraan.

"He?s into you!"

"Nggak mungkin, Estri! Mana mungkin cowok populer begitu

29 291530

suka sama cewek macam aku? Lo sendiri yang bilang, I?m an

alien!"

Estri masih cemberut mendengar penjelasanku.

"Nobody wants an alien as a girlfriend! Mana mungkin sih

Chris ngelirik gue?" Kembali aku mencoba menenangkan

adikku.

"What about if you are a fantastic alien! Take one!" ujar Estri

menawarkan potongan buah melon segar yang tersaji dalam

kotak bekalnya. Aku mengambil melon dengan bahagia,

menyadari bahwa Estri tak marah lagi.

"Gimana ulangannya?"

"Seperti biasalah, yang pinter-pinter lagi heboh ngebahas

soal di kelas."

"Pulang ikut Om Ahong?"

"Nanti gue ada janji ngebahas lagu buat drama sekolah."

"Sama kak Patra lagi?"

"Ya... begitulah!"

"Masih tahan berduaan sama Patra?"

"Hmm... Patra keren."

"Hah?" tanya Estri, kebingungan mendefinisikan kata keren

yang kumaksud.

"Sebagai musisi Patra luar biasa," jelasku sebelum Estri

berpikiran macam-macam.

"Kata lo Patra sinting, Kak?"

"Yes, he is! Lebih parah dari apa yang gue bayangkan

malahan. Sebelnya tuh saat Patra mau ngejelasin sesuatu.

Program musik misalnya. Susah nangkepnya, Es."

"Tapi, Kak!"

"Tunggu dulu, itu semua gara-gara Patra suka ngomong

30 301531

pakai bahasa rapi dan terstruktur. Heran, guru bahasa Indonesia

aja ngomongnya nggak kayak dia."

"Ya, cuma..."

"Sabar kek, sekali-kali dengerin kakak lo curhat kenapa? Nah,

gue suka kasihan sama Patra. Kayaknya dia mau ngomong aja

susah banget, sampai mesti mikir dulu lho. Makanya ngomongnya agak lama. Nyari kata-kata indah dulu dia..."

"Ngen!" Estri membentak

"Kenapa sih?" tanyaku kesal karena Estri terus-menerus

memotong ucapanku.

"Tadi ada Patra di belakang lo! Cuma dia udah pergi lagi."

Ngapain Patra dikelas EstriBenar-benar kesialan sempurna. Aku telanjur bilang pada Om

Ahong untuk menjemputku pukul lima sore karena pertemuan

yang telah aku dan Patra sepakati di ruang musik. Nyatanya

hingga tiga puluh menit berlalu setelah pulang sekolah Patra tak

kunjung datang. Dalam hati aku menyesali hobiku yang suka

ngomong tanpa bisa direm. Kayaknya Patra dengar kata-kataku

di kelas Estri pagi tadi. Terus dia marah dan nggak mau datang

siang itu.

Oleh sebab itu aku memutuskan segera meninggalkan ruang

musik secepatnya. Siapa tahu aku masih bisa menemukan

Daniel atau Andrea di perpustakaan. Di koridor aku hampir

bertubrukan dengan murid yang berjalan dari arah berlawanan.

"So-sorry!" aku tergagap.

"Lo nggak apa-apa?" tanya orang tersebut yang ternyata

berkelamin laki-laki.

31 311532

"Hah?" Aku mendongak, lalu cepat-cepat mengangguk.

Dalam hati aku bersyukur bahwa adikku sudah pulang duluan

sehingga tidak memergokiku sedang berdiri berduaan di koridor

dengan cowok pujaannya.

"Lo pasti nyari Patra, kan?"

"Kok tahu?" Tentu saja Chris tahu. Mereka berdua kan bersahabat. Tentunya Patra sudah menceritakan rencana pagelaran

akhir tahun pada Chris. Benar-benar pertanyaan bodoh.

"Tadi Patra titip pesan."

"Oh, dia marah, ya?"

Chris tersenyum kecil mendengar pertanyaanku. "Nggak kok.

Kakeknya masuk rumah sakit. Jadi pulang sekolah Patra langsung ke rumah sakit buat nengok kakeknya. Dia buru-buru, jadi

titip pesan ke gue. Lo pasti udah nunggu dia lama, ya?"

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Chris. Kini aku

tahu alasan Patra pergi tanpa pamit, tapi belum menutup

kemungkinan bahwa dia marah sama aku, kan"Mau ikut ke kantin?"

"Nggak us..."

"Om Ahong kan baru balik nanti, jam lima. Mendingan kita

makan dulu di kantin yuk. Sini, gue bawain tas bekal lo. Lo mau

buka katering, ya? Bawa tempat makan kok banyak banget!"

"Haha! Itu makanan pesenan Andrea dan Daniel, gue malah

gak bawa bekal sama sekali" ujarku yang awalnya bimbang,

terjepit antara harga diri dan urusan perut. Akhirnya

kelaparanlah yang menang.

"Kok lo belum pulang?" tanyaku pada Chris ketika ia mempersilakanku memasuki lift.

"Tadi gue dipanggil Pak Win."

"Disuruh ikut lomba melukis lagi, ya?"

32 321533

Chris tersenyum. "Nggak. Ngobrol-ngobrol saja."

Sejenak kemudian kami keluar dan langsung disambut aroma

masakan counter-counter makanan yang ada di kantin.

"Memangnya kalian tadi berantem?"

"Hah?" tanyaku meminta Chris mengulangi pertanyaannya,

sebab aku tadi disibukkan sederet menu yang menggoda

selera.

"Memangnya lo sama Patra berantem? Tadi lo nanya, apa

Patra marah sama lo, kan?"

Aku terdiam sejenak mendengar pertanyaan Chris. Aku tak

pernah menyangka Chris bakal menawarkan dirinya sebagai teman ngobrol. Entah mengapa, aku merasa Chris seperti mencoba menjadi temanku. Padahal sebelumya kami jarang sekali

bicara. Untung Estri udah pulang duluan sama Om Ahong.

"Gue mau cerita sedikit ke lo," Chris berhenti sejenak menyeruput es jeruk. "Lo mungkin sebel sama Patra. Kesal dengan

segala tingkah anehnya. Tapi, setelah mendengar yang satu ini

lo mungkin bisa mengerti kenapa Patra kaku dan saklek gitu.

Orangtuanya nggak ngasih izin dia main musik."

"Bisa diperjelas?" tanyaku bingung. Anak sejago itu kok

nggak boleh main piano? Orangtuanya gimana sihChris terdiam sejenak. "Bisa jaga rahasia?"

Aku mengangguk mantap.
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dulu Patra sempat tinggal di Jakarta sampai kelas dua SD.

Patra teman sebangku gue. Karena bapaknya kerja di Deplu dan

sekarang malah jadi duta besar, ia pun pindah terus, ke tempat

bapaknya ditugaskan. Dari cerita-ceritanya, dapat disimpulkan

bahwa kedua orangtua Patra sangat sibuk sehingga untuk

menemani anaknya hampir tidak ada waktu sama sekali. Patra

33 331534

yang sejak kecil memang suka main piano hanya bisa

mengungkapkan perasaannya lewat musik. Sayangnya hobinya

ini hanya bisa dilakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Ayahnya kurang suka Mozart dan musisi lain. Lebih-lebih saat secara

terang-terangan Patra bilang bahwa dia pingin jadi musisi. Ayah

Patra lebih suka kalau anak semata wayangnya belajar rajin dan

bisa bekerja di bidang yang sama dengan beliau. Pertengkaran

hebat tak terhindarkan. Sebagai musisi, lo pasti bisa merasakan

ketika musik disetop dari hidup lo."

Aku mengangguk sungguh-sungguh, ikut terbawa alun cerita

Chris.

"Suatu malam Patra benar-benar nggak tahan dijauhkan dari

musik. Ketika kedua orangtuanya sedang pergi, ia memutuskan

untuk kembali ke Indonesia dengan uang tabungannya dan

hanya membawa barang-barang penting."

Aku sungguh-sungguh terkejut mendengar cerita Chris

sehingga sampai lupa tadi memesan nasi goreng. Kalau sudah

begini, rasanya nasi goreng sosis Pak Darto pun tak terasa

senikmat biasanya.

"Begitu rupanya. Waktu itu Patra sempat bilang bahwa kedua orangtuanya tinggal di Surabaya. Wah, dia bohong dong.

Apa kedua orangtuanya nggak nyariin?"

"Tentu. Tentu saja mereka nyariin Patra. Dan Patra nggak

bohong, Ngen. Kampung Patra emang di Surabaya. Nah, ketika

orangtuanya mencari Patra ke Surabaya, ke rumah kakeknya,

satu-satunya relatif yang tinggal di Indonesia, Patra dan

kakeknya udah pindah ke Jakarta."

"Terus, mereka nyusul ke Jakarta?"

"Setahu gue nggak. Habis mereka kan nggak tahu Patra

pindah ke sini."

34 341535

"Jadi... sampai sekarang Patra masih jadi buronan orangtuanya? Kasihan, ya!"

Bukannya langsung menjawab pertanyaanku, Chris malah

tersenyum manis.

"Ya, begitulah..."

Aku mengangguk-angguk tanda paham. Kasihan juga robot

yang satu itu. Wajar aja dia nggak punya emosi, orang dia

nggak pernah dilimpahi emosi. Nggak pernah disayang. Makanya kelakuannya galak, meledak-ledak. Kasihan dia.

35 351536

"SUKA dengar lagu-lagu Sheila on 7 juga? Kirain cuma

suka lagu-lagu klasik," tanya Patra sambil menunjuk

layar handphone-ku yang sedang memutar lagu

Berlayar.

"Mereka bagus kok. Liriknya oke," belaku, lalu kembali tak

acuh. Ceritanya aku lagi marah sama Patra. Gara-gara dia batalin

janji seenaknya kemarin.

"Saya lebih suka lagu-lagunya yang lama. Kamu masih marah

sama saya?" tanya Patra, akhirnya mulai bosan dengan sikap

memusuhiku.

Aku hanya melirik Patra tajam, sebelum kembali memperhatikan Chris. Tentu saja aku masih marah pada mahkluk jelek

itu. Meskipun sudah tahu riwayat aslinya, aku tetap berhak

marah. Siapa yang nggak marah kalau ditinggal antar-jemput

dan harus nunggu sampai pukul lima? Seenaknya aja kaburkabur, nggak ngasih kabar pula. Minimal SMS gitu lho.

"Saya punya dua tiket konser jazz buat Jumat. Kalau kamu

mau, buat kamu saja."

To Understand the

non Understandable

36 361537

"Tumben baik," balasku sarkastis.

"Lho! Bukannya terima kasih, kok malah sinis gitu sih?"

"Kenapa kemarin nggak bilang-bilang sih bahwa janjiannya

batal? Saya kan jadi ketinggalan satu episode drama Korea

kesukaan saya tuh."

"Kamu marah cuma gara-gara itu, Ngen?"

"Lho, itu bukan cuma. Namanya waktu tetap nggak bisa

diulang. Mana serial saya nggak ada di Youtube. Saya jadi nggak

tahu kelanjutan ceritanya, tokohnya itu jadi pacaran atau

nggak?"

"Terus kamu nggak mau ngelanjutin bikin lirik dan bantuin

saya bikin partitur hari ini?"

Aku menggeleng. Pura-pura aja, jual mahal.

"Ya udah kalau nggak mau. Saya minta tolong Elsha saja

deh."

"Lho, kok gitu?"

"Katanya tadi nggak mau? Yah, saya ganti partner saja."

"Lho? Wueh? Perjanjiannya jangan dibatalkan dong!" pekikku

segera sambil membayangkan kemungkinan terburuk yang

bakal terjadi. Aku tak mengira sikapku mampu menyulut amarah

Patra hingga dia berani membatalkan kerja sama penting ini.

Padahal maksudku tadi hanya membuatnya gondok sedikit,

bukan sampai membatalkan kontrak begini. Aku cuma ingin

tahu rasanya berbalik memusuhinya secara tiba-tiba. Kalau dia

boleh bersikap begitu, kenapa aku nggak boleh"Saya mau tanya, Ngen. Sebenarnya kamu mau atau nggak

sih ngerjain musik drama ini bareng saya?"

Aku terkejut ditodong pertanyaan seperti itu. "Ya maulah,"

jawabku cepat. Aku tidak bohong. Aku memang sungguh37 371538

sungguh senang melihat Patra mengaransemen lagu-lagu untuk

drama. Aku hanya belum bisa menolerir sikapnya yang kadang

keren, kadang nyebelin.

"Tapi kok kayaknya kamu terpaksa ya?"

"Hah?" tanyaku bingung.

"Pasti kamu belum nyelesein bait lagu yang kedua. Ya,

kan?"

Aku terdiam. Aku memang belum menyelesaikan pe-er dari

Patra, tapi itu kan bukan karena malas. Seminggu ini pekan

ulangan bersama. Emang si Patra nggak tahu? Dia kan harusnya

juga ulangan.

"Ini pekan ulangan, Bang! Memangnya kerjaan saya cuma

bikin lirik?"

"Fine, kalau itu alasannya. Tapi kenapa kerja sama kita

dijadikan taruhan?" Aku melongo. Tahu dari mana mahkluk jelek

ini? Oh ya, aku lupa, dia kan robot, antenanya tuh berjaringan

tinggi sehingga bisa dapat info dari mana-mana.

"Kalau urusan taruhan, itu supaya saya semangat ngerjainnya," ujarku membela diri.

"Tapi kok nggak jadi-jadi lagunya? Kalau kayak gini, Ngen,

kayaknya kita nggak bisa lanjutin dengan baik deh. Soalnya

lagu-lagunya sudah harus kelar bulan depan. Nanti kan direvisi

lagi, dipasin sama dramanya. Tadi saya udah tanya Elsha, dia

mau bantuin saya."

"Apa... maksudnya kita bubar?" desisku tak percaya akan apa

yang baru saja keluar dari mulut Patra. "To the point saja dong!

Kalau dari awal memang nggak suka sama saya, kenapa masih

milih saya?" tukasku jengkel.

Tanpa pikir panjang segera kupanggul ranselku dan me38 381539

ninggalkan Patra setelah menonjok lengannya dengan kuat.

Sebenarnya pertengkaran itu agak memalukan dan absur. Kesannya kayak habis diputusin Patra. Diputusin pacar maksudnya.

Mana pada ngelihatin lagi. Tapi biarlah! Aku sudah tak peduli.

Aku benar-benar sakit hati mendengar perkataan Patra barusan.

Tak seperti biasanya, pagi itu aku benar-benar tak ingin bangun

dan meminum jus apel yang disiapkan Daniel untukku setiap pagi

di sekolah. Selain nyeri yang mendera kepalaku, sakit yang melilit

di perutku juga benar-benar mengurungkan niatku untuk

menikmati sarapan yang disiapkan Ibu.

"Langeeeeeen! Bangun! Sudah jam berapa sekarang?" teriak

Ibu dari bawah.

Perlahan kubuka kelopak mata. Kupandangi sekeliling kamar.

Estri tidak ada. Pastinya ia sudah siap sekolah dan sedang menyiapkan bekal di dapur. Butuh perjuangan berat hanya untuk

menggulingkan badan ke arah jendela yang masih tertutup tirai.

Sayup-sayup kudengar suara langkah Ibu mendekat ke kamarku.

"Ayo bangun, Langen! Sudah hampir jam enam!" ujar Ibu

seraya menyingkap tirai dan membiarkan sinar mentari menyusup masuk menerangi kamar. Kulihat jam dinding yang menempel di salah satu sisi kamar. Benar apa yang dikatakan Ibu,

sebentar lagi Om Ahong menjemput.

"Kayaknya hari ini Langen nggak masuk sekolah," sahutku

lemah.

"Kenapa, kamu sakit?" tanya Ibu, lantas memegang keningku."Panas. Hari ini ada ulangan?"

39 391540

Aku menggeleng pelan menjawab pertanyaan Ibu yang selalu

dilontarkannya setiap ada di antara kami yang berhalangan

masuk. Pasalnya nilai ulangan susulan maksimal yang kami

dapatkan di sekolah hanya delapan puluh.

"Ya sudah, istirahat di rumah saja. Hari ini Ibu dan Bapak

pulang malam, ada acara syukuran di rumah Om Olen. Kamu

baik-baik di rumah. Kunci aja pintu rumahnya."

Aku tersenyum, sementara Ibu pergi.

Tak berapa lama kemudian Estri masuk ke kamar dibalut

seragam lengkap, siap berangkat ke sekolah. "Semalam Chris

telepon lho," ujarnya sambil memoleskan bedak tabur di

wajahnya yang tampak riang dan segar.

Aku hanya tersenyum tak tertarik mendengar berita ini.

Bukan aku yang naksir, jadi wajar kalau aku hanya mengangguk

menanggapi celoteh adikku.

"Apa kata Chris?" tanyaku tanpa ada rasa ingin tahu sedikit

pun. Sekadar formalitas, tak ingin mengecewakan adikku,

mengingat betapa ia menyukai cowok itu.

"Nyari Kak Langen, tapi Kakak udah tidur," jawab Estri datar,

berhasil membuatku melotot.

"Terus lo bilang apa?" tanyaku segera.

"Dia nanyain, ?Apa Kakak udah terima naskah drama?? Aku

bilang sudah." Sejenak aku hanya terdiam menanti reaksi selanjutnya. Estri bisa mencekik leherku kalau Chris terus-menerus

memperlakukanku seperti ini.

"Tahu nggak, gue ngoborol sama dia!" pekik Estri girang,

mem?buatku kembali bernapas lega. Aku tak ingin terlibat

percekcokan dengan Estri.

Sedetik kemudian terdengar suara klakson dibunyikan tiga

kali, seperti yang dilakukan Om Ahong setiap pagi. Hanya

40 401541

berselang lima menit, giliran Bapak dan Ibu yang berangkat.

Aku hanya berhasil terjaga beberapa menit sebelum kembali

terlelap, memasuki dunia mimpi, menghindar dari segala

persoalan yang mengganggu pikiranku.

Malamnya aku mencuci rambut dengan sampo jenis baru yang

baru kali itu terpajang di tempat sabun kamar mandi utama.

Setelah seharian beristirahat, rasanya segar sekali bisa membasahi

tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Beli sampo green tea di mana, Es?" tanyaku pada Estri yang

sedang asyik membaca majalah remaja.
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di salon Bude U?ut."

"Ngapain beli tiga?"

"Kan satu buat gue, satu untuk Ibu, dan satunya lagi buat

lo."

"Botol segede gitu kan bisa buat sebulan, Tri? Ngaku aja,

kamu beli karena dipaksa anak Bude Uut, kan?"

"Iya. Tapi jangan melototin gue begitu. Lagian Ibu nggak

marah kok, orang gue nggak beli tiga. Beli dua dapat gratis

satu. Cobain aja dulu."

Aku hanya angkat bahu karena tetap tak setuju akan tindakan adikku.

Setelah selesai keramas, mau tidak mau aku harus mengakui

bahwa samponya memang wangi dan rasanya rambut bertambah sehat. Sebenarnya sih sugesti saja. Tapi nggak papalah.

Harga mahal. Jadi harus ada manfaatnya.

Trittt.

Ponselku berbunyi memberikan kode SMS. Buru-buru kubaca

41 411542

pesan singkat tersebut. Astaga. Dari Ijot yang sebenarnya

adalah Chris. Sengaja aku menamainya Ijot untuk menghindari

bentrokan dengan Estri seandainya ia tahu aku lebih dulu punya

nomor hape cowok itu. Estri bertekad menanyakan nomor hape

Chris akhir pekan nanti. Tidak mungkin aku serta-merta menuturkan bahwa Chris telah memberitahuku nomor tersebut,

bahkan tanpa kuminta.

Knp tadi absen? Setahu gue hrsnya lo latihan sama

Patra, kanPatra lagi. Patra lagi. Justru karena Patra aku jadi sakit begini.

Sesuai apa yang selalu dikatakan Pak Win, guru kesenianku,

setiap orang bebas berekspresi untuk menyalurkan perasaan.

Mandi hujan ternyata cukup ampuh bagiku untuk melampiaskan

kekesalan pada makhluk yang sangat menjengkelkan tersebut.

Ranselku berbahan plastik sehingga tidak satu buku pun basah,

selamatlah diriku dari berbagai kecaman Ibu yang tentu akan

membuatku kembali sedih. Untungnya tidak ada yang tahu aksi

gila-gilaanku kemarin. Aku memang ditinggal mobil antarjemput. Dengan dalih tidak ada tempat berteduh, sukseslah

rencanaku. Alhasil hari ini aku masuk angin.

Hmm... habis gue masuk angin. Kmrn kan ujan gde. Gue

keujanan pas lagi di deket apotek Pandawa. Lo tau sendiri

di situ kagak ada t4 bteduh.

Aku menunggu balasan Chris sambil membaca novel. Satu

42 421543

menit kemudian dan satu paragraf selesai dibaca, balasan

tiba.

Keujanan atau sengaja ujan-ujanan, Neng? Kayaknya gue

lihat jalan lo santai2 aja tuh. Gue lagi beli obat di

Pandawa.

Haaaahhh?! Aku membelalak, tidak memercayai tulisan yang

tertera di layar ponsel. Buru-buru kubalas SMS itu.

Aduh... lo jangan blng sama sapa-sapa ya! Iya deh, gue

emang lagi pengen bolos, daripada malu di sekolah. Lo tau

kan kemarin gue diliatin byk org. Lagian emangnya ada

yang nyariin gue, nyadar gue gak ada? =D

Belum sempat aku mencerna kata-kata Sherlock Holmes

dalam seri Rumah Kosong, jawaban tiba dengan instan.

Ya, ada. Dua temen hepi2 lo, Andrea sama Daniel. Juga

gue dan Patra.

Mataku kembali menghadapi tulisan-tulisan di novel.

Walaupun berulang-ulang membaca, kata-kata di halaman

tersebut tidak menjadi arti yang jelas. Pikiranku penuh dengan

SMS yang baru saja kuterima. Benarkah Patra mencarikuNgapain tuh anak nyariin gue? Emangnya gue ada salah

apa lagi? Bukannya dia sudah mecat gue? Knp dia nggak

SMS ke gue aja43 431544

Kulemaskan jemariku yang pegal setelah membalas pesan

singkat Chris secepat mungkin.

Wah, gue gak tw, Ngen. Dia gak mau crita, tp nyariin lo

pas plg sklh, bilangnya ke gue sih, penting. Hp-nya rusk.

Pas mau gue kirimin lagi, failed melulu. Ditelepon jg gak

bisa. Ya udah, istirahat deh!

Aku melongo ketika balasan dari Chris tiba. Patra memang

pandai mempermainkan perasaanku. Kemarin ia jelas-jelas

memuntahkanku. Sekarang ia mencariku? Apa sih maunya

musisi sok nyentrik itu? Dasar alien.

MILO HILANG!!!

Gawat! Segera aku menyalakan lampu kamar tamu dan buruburu mencari kunci pintu rumah dan langsung menghambur ke

halaman. Sesuai yang kutakutkan, Milo, anjing golden retriever

kesayanganku tak terikat di tempat biasa. Memang sedari tadi

siang aku merasa ada orang yang berniat jahat pada Milo. Pria

berperawakan tinggi dan bergaya ala preman mondar-mandir

di sepanjang jalan depan rumah. Mungkin ia memang mencari

kesempatan baik untuk menculik Milo. Karena seharian betulbetul tak enak badan, aku sama sekali tidak menaruh curiga

pada preman berambut kribo itu.

Memang tak seperti biasanya, malam itu Milo tidur di luar.

Sejak sore tadi Milo terus-menerus buang air. Bisa berabe kalau

Milo BAB di dalam rumah. Maklum, di rumah tidak ada pembantu, jadi kalau Milo sampai melakukan perbuatan itu, berarti

akulah yang harus membersihkan kotoran tersebut.

44 441545

Barusan aku memutuskan untuk mengobrol dengan Milo di

teras, ketika hingga pukul sepuluh lewat mataku tak juga mau

terpejam. Sampai novel Sherlock Holmes selesai dibaca pun aku

tak kunjung tidur. Mungkin akibat aku tidur seharian. Setelah

yakin panggilanku tak mendapatkan jawaban, aku mengintip

lewat jendela, memastikan Milo sudah pulas. Ternyata Milo tidak ada di halaman.

Setelah berhasil membangunkan seisi rumah, aku nekat

mencari Milo. Berbekal senter dan jaket, dengan masih mengenakan piama, aku segera menyusuri jalanan di kompleks

seorang diri. Ibu bertugas menunggu di rumah, mengantisipasi

kemungkinan Milo pulang sendiri. Sementara Estri mencari ke

arah lain bersama Bapak.

Pada malam selarut itu jalanan utama di kompleks perumahan kami masih ramai. Beberapa warung bahkan masih dipadati

pengunjung, maklum ini Jumat dan akhir pekan, penjaja

makanan buka lebih lama. Muda-mudi yang sedang

bercengkerama banyak ditemukan disepanjang jalan utama

itu.

Sambil terus memelototi sekelilingku, aku terus-menerus

memanggil-manggil nama anjingku. Aku hampir tiba di depan

kompleks ketika merasa putus asa. Dari tadi sama sekali tidak

terlihat jejak petunjuk Milo. Milo kan anjing pintar, pastinya dia

tahu dia sedang dicul...

Lho! Eh! Apa itu di seberang jalanItu Milo!

Ya! Nggak salah lagi, itu pasti Milo.

"Hoooiiii... Miiiiiilllloooooooo..." seruku sambil serta-merta

menyeberang demi Milo-ku.

45 451546

"Lagi ngapain di sini?" Patra menghentikan mobil di depan Langen

dan menurunkan jendela.

Terkejut, aku segera menghapus air mata. "Nyari anjing.

Anjing saya hilang!" seruku ketus, sengaja dikeraskan supaya

Patra bisa mendengarku lebih jelas. Jangan berharap aku akan

bersikap ramah padanya setelah membuatku sakit.

"Tengah malam begini?" tanya Patra terbelalak.

"Memangnya maling anjingnya ngasih tahu dulu mau nyulik

jam berapa? Mana saya tahu anjing saya bakalan hilang tengah

malam begini?" ujarku tetap ketus. "Barusan saya lihat anjing

yang mirip Milo, tapi ternyata bukan dia."

"Ya udah, masuk gih! Saya bantuin nyari!"

"Nggak usah! Saya mau pulang saja."

"Pulang naik apa?"

"Yah, jalan kaki. Rumah saya di kompleks sebelah ini."

"Masuk deh, saya anterin. Udah malam. Kalau kamu diapaapain orang bisa bahaya!"

Aku bergidik membayangkan bertemu orang-orang mengerikan malam itu. Aku sendiri bingung, dari mana datangnya nyali

yang membuatku berjalan seorang diri malam-malam begitu.

"Eh..." Kata-kata terhambat di ujung lidahku.

"Terakhir kali nih saya tanya, mau ikut nggak?"

Antara gengsi dan takut bertemu preman, orang-orang

mabuk, dan tukang ojek genit, akhirnya aku memilih keselamatan diriku. "Memangnya pulang sama Kak Patra pasti aman?"

tanyaku kesal harus mengambil pilihan ini sementara tanganku

tengah membuka pintu mobil kuno tersebut.

46 461547

"Mau ngapain malam-malam begini?" tanyaku memulai

pembicaraan, sementara Patra menyalakan mesin.

"Tadinya saya mau makan dulu sebentar di restoran bubur

24 jam di ujung jalan."

Aku mengangguk tanda mengerti. Aku sangat mengenal

restoran tersebut. Pemilik restoran Bubur Ayam Bun tak lain

Om Ari, Omku sendiri. Om Ari anak termuda di keluarga ayahku.

"Tahu tempatnya?"

Aku mengangguk.

"Yang punya restoran itu om saya."

"Oo..." Patra mengangguk-angguk. "Mau ikut makan duluSoalnya saya lapar banget nih. Belum makan malam, habis

latihan di rumah Chris."

Giliran aku yang terenyak. Di rumah Chris? Berarti saat Chris

mengirim pesan singkat padaku, Patra ada di sana.

Patra menoleh padaku, menanti jawaban. Kalau buat aku sih

oke-oke saja. Mau menginap di sana pun, pasti diterima dan tak

bakal dimarahi kedua orangtuaku, asal cepat memberi kabar.

Om Ari menganggapku anak sendiri, sejak putri semata

wayangnya meninggal delapan tahun lalu. Tante Wina, istrinya,

bahkan sering memintaku menginap di sana, menemaninya

berakhir pekan. Seandainya aku menginap di sana sekarang, tak

akan jadi masalah.

"Mau nggak?"

Aku mengangguk. Mungkin aku tak bakalan makan di sana.

Menyesap teh hangat pasti nikmat pada malam dingin begini.

47 471548

Setibanya di restoran, Patra membukakan pintu untukku. Aku

kaget juga. Ternyata monster sedingin Patra juga punya hati.

Ada empat pengunjung ketika kami tiba di restoran Om Ari.

Tante Wina langsung menyambutku ketika ia melihatku.

"Langeeeen... masuk, Nak!" ujarnya hangat sambil menggandeng tanganku. Aku memberikan isyarat agar Patra duduk

terlebih dahulu sementara kami beramah tamah di kasir.

"Ngapain kamu malam-malam begini belum tidur?"

"Kangen sama Tante!"

Tante Wina mencubit lenganku, gemas mendengar jawabanku

yang tentunya hanya sekadar gurauan.

"Itu, Tante, Milo hilang. Aku tadi lagi keliling, nyari Milo. Aku

ketemu sama teman di jalan." Aku menoleh ke arah Patra.

"Ah... cowok itu." Tante Wina tersenyum saat melihat Patra

yang sedang disibukkan buku menu.

"Lho, Tante kenal dia?" tanyaku bingung.

"Ya, dia sering kemari. Setiap Jumat, dan selalu jam segini."

Tante Wina berhenti sejenak. "Apa nggak sebaiknya kamu

telepon ke rumah, Ngen? Bisa-bisa mereka ganti nyari kamu,

bukannya Milo."

Aku mengangguk dan segera melakukan saran Tante Wina.

"Sudah siap memesan?" Tera, pelayan baru Tante Wina menyapa Patra.
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Saya mau menu yang seperti biasa." Suara Patra terdengar lebih ramah daripada biasanya. Lebih menawan.

"Ya." Tera tampak tersipu saat Patra memamerkan senyumannya yang juga lebih menawan daripada biasanya.

"Kenapa sih kalau ngomong gayanya harus kayak gitu?" aku

mengkritik Patra. "Barangkali dia sekarang lagi sesak napas di

dapur."

48 481549

Patra tampak bingung.

"Nggak usah pura-pura," aku berkata pasti. "Kak Patra tahu

gimana reaksi orang kalau lihat gigi putih rata yang keren."

"Gigi saya keren?" Patra memiringkan kepala, sorot matanya

penasaran.

"Nggak sadar?"

Patra mengabaikan pertanyaanku. "Jadi menurut kamu saya

keren?"

Aku terkejut mendengar pertanyaan yang membuatku salah

tingkah.

"Giginya! Jangan digeneralisasi dong!" jawabku langsung.

Tera kembali datang, wajahnya penuh harap. Ia menyelipkan

helaian rambut hitam pendeknya di belakang telinga. Kemudian

ia membantu Junaedi yang berdiri di belakangnya, meletakkan

makanan yang dipesan dan teh manis hangat sesuai pesanan

kami.

Tera meninggalkan kami sedikit kesal karena Patra tetap saja

tidak mengacuhkannya.

"Oh ya, kenapa kamu keluyuran malam-malam begini?" tanya

Patra sebelum meniup sesendok besar bubur ayam yang masih

mengepul.

"Kan tadi sudah dikasih tahu, anjing saya hilang. Menurut

Kakak, apa ada alasan lain yang membuat saya keluar malammalam gini?"

"Saya kan cuma tanya. Kenapa kamu marah begitu sih?" Kini

gantian Patra yang sewot. Cepat benar mood cowok itu berubah.

"Habis nanyanya pakai kata keluyuran sih? Kesannya kayak

saya sengaja gitu, keluar malam-malam."

49 491550

Patra menghela napas. Mungkin maksudnya untuk meredam

emosi.

"Hari ini kamu nggak masuk. Kata Daniel, kamu sakit. Kalau

sakit kenapa keluar tengah malam begini? Sendirian pula."

"Milo anjing kesayangan saya. Walaupun lagi diinfus di rumah

sakit, saya rela kabur nyariin Milo," jawabku spontan.

Patra menanggalkan jaket ketika selesai dengan suapan

terakhir. Tiba-tiba aku menyadari apa yang dikena?kannya. Bukan

hanya melihatnya, tapi benar-benar memperha?tikannya. Di balik

jaket krem mudanya Patra mengenakan kemeja hitam. Kemeja

itu amat pas di tubuhnya. Seperti biasa, memperjelas bentuk

dadanya yang kekar. Yang selalu tersembunyi di balik seragam

kedodorannya.

"Muka kamu nggak seperti orang lagi sakit," ujar Patra berpendapat kembali, membuatku naik darah.

"Gimana kalau Kak Patra pulang saja sekarang? Sebelum saya

tonjok lagi. Namanya habis tidur seharian, wajar dong jadi

segeran," balasku kasar.

Patra menyorongkan keranjang roti ke arahku. "Sebenarnya

ada yang ingin saya bicarakan." Patra menghela napas.

Aku mengambil roti dan menggigit ujungnya, sambil menebak

ekspresi Patra. Aku bertanya-tanya, kapan saat tepat untuk

mulai bertanya kepadanya.

"Serius amat? Kayak mau pidato aja," ujarku mencoba

mengalihkan Patra dari pikiran yang membuatnya terdiam.

Cowok itu menatapku, tersenyum. "Apa?"

"Nggak usah pura-pura nggak dengar."

Patra meneguk habis teh yang hanya tersisa setengah

gelas.

50 501551

"Mengenai kerja sama kita," Patra berhenti sejenak, "saya

harap kamu nggak benar-benar quit. Saya memang kasar

bicaranya kemarin. Saya minta maaf."

Tanpa bisa mengatakan apa-apa aku melongo sambil menghangatkan kedua telapak tangan di sisi luar gelas.

"Saat saya pikir-pikir kembali di rumah, seharusnya saya

nggak ngomong seperti itu. Sejauh ini toh kita sudah mengerjakan hampir sebagian lagu yang diminta. Penggarapan ilustrasi

musiknya pun hampir kelar. Selain itu Bu Dina juga tidak pernah

menegur kita dalam maksud yang berarti..." Kembali Patra

menggantung kalimatnya, menanti reaksiku. Tetap saja aku

hanya terdiam, mencerna kata-katanya satu per satu. "Nah,

kalau saya mau kamu kembali bekerja sama dengan saya, kamu

mau nggak?"

"Hmm, kalau cuma karena kasihan, nggak usah deh. Saya

udah nyicil ngafalin rumus kok. "

Patra menunduk, perlahan-lahan melipat tangannya yang

kekar di meja. Meski menunduk, bisa kulihat matanya berkilat

menatapku dari balik bulu matanya, menandakan ia mengejekku.

"Emangnya kamu beneran mau sekelompok sama Agatha?"

tanya Patra tersenyum.

Aku cemberut, menggeleng. Terpojok. "Ya, saya sih mau

balikan, sangat mau kalau..." aku berhenti.

"Ada syaratnya? Kan saya menyelamatkan kamu dari Agatha." Patra mengangkat satu alis, suaranya lebih terdengar

seperti protes ketimbang waswas.

"Kan yang bikin kesel Kakak sendiri. Lagian syaratnya

51 511552

gampang kok. Saya mau tanya beberapa hal, tapi harus dijawab.

Gampang, kan?"

"Ya, udah. Fine."

"Pertama, kenapa sih kalau ngomong Kakak harus pakai

bahasa kaku? Ngomong sama Kakak kayak baca buku. Aneh,

tahu. Memangnya teman-teman Kakak nggak ada yang ngatainNggak ada yang ngetawain, gitu?" Kini aku benar-benar melupakan dendamku pada Patra. Aku terlalu asyik memperhatikan

matanya. Matanya bagus.

"Berikutnya."

"Aduh, itu kan jawabnya gampang! Masa alasan bicara setiap

hari nggak bisa jawab? Tadi syaratnya harus lho," ujarku keberatan.

"Berikutnya," Patra mengulangi perkataannya.

Aku menunduk, kesal. Aku meneguk teh manis lagi sebelum

mendongak.

"Oke, kalau begitu." Lho?! Kok aku jadi ikut-ikutan kaku? Tapi

aku tetap pasang wajah marah dan perlahan melanjutkan pertanyaan, "Kenapa kok bisa tiba-tiba baik? Tiba-tiba galak? Tibatiba diam? Kan bikin orang bingung. Kalau nggak gara-gara

telanjur taruhan sama Agatha"

"Tuh ketahuan. Jadi kerja samanya terpaksa nih?"

"Nggak juga... Tapi kesel ju..."

"Kamu cantik lho, Ngen." Patra memotongku tiba-tiba.

Aku keselek.

"Halah! Nggak nyambung. Gombal abis. Nggak usah gantiganti topik!" bentakku salah tingkah.

"Tapi saya serius. Lesung pipi kamu bagus," kata Patra

memperhatikan pipiku.

52 521553

Aku terkejut, lalu menunduk, wajahku memerah tentu saja.

"Makasih. Tapi ini sesi tanya-jawabnya belum kelar," ujarku

pura-pura tak acuh, walau tak kumungkiri senang juga hatiku

mendengarnya.

"Sudah siap pulang?" tanya Patra.

"Lho, kok kabur?"

"Tanya-tanyanya lain kali aja deh. Saya pikir dulu jawabannya."

Aku mencibir.

Tera kembali muncul, seolah ia telah dipanggil. "Permisi...

kata Ibu Wina, kalian tidak usah bayar," Tera menerangkan

sambil tersenyum ke arah Patra.

Patra bangkit berdiri, kembali mengenakan jaket.

Menyadari tak lagi diperlukan, Tera meninggalkan kami.

Patra terkejut melihatku tak kunjung beranjak dari kursi.

"Kenapa masih duduk? Kamu nggak pulang?"

"Saya nginep di sini. Kalau lihat retriever pake kalung rantai

biru di jalan, bawa pulang aja. Ada namanya, Milo. Besok antar

lagi kemari," ujarku asal, akhirnya berdiri dengan susah payah.

Kakiku mendadak kesemutan.

Patra membukakan pintu restoran untukku dan segera berjalan ke arah mobil kunonya. Aku memperhatikannya mema?suki

mobil dan masih mengagumi bentuk tubuhnya. Begitu masuk

ke mobil ia menyalakan mesin. Patra mengeluarkan mobil dari

parkiran, dan segera melesat cepat setelah melambai padaku.

Ya, ya. Dewi fortuna masih baik hati rupanya. Walaupun aku

masih tetap dibuat bingung oleh tingkah Patra yang kadang

baik, kadang galak, mengikuti kata Daniel, dia cocok sekali

dengan ungkapan: to understand a man is like to understand the

53 531554

non undertsandable. Tapi paling nggak masih ada yang aku

mengerti dari semua peristiwa ini: aku nggak usah ngafalin

rumus akuntansi lagi.

54 541555

UASANA di perpustakaan tidak terlalu ramai, bahkan

cenderung sepi hari itu. Sebenarnya bukan hanya siang

itu perpustakaan sekolah kurang pengunjung. Sejak aku

resmi menjadi siswa SMA setahun lalu, hanya wajah-wajah

tertentu selalu kutemui di situ. Selain untuk membaca buku,

terse?dianya fasilitas internet yang bisa digunakan siswa, aku jadi

enggan berdesak-desakan di kantin pada siang sepanas itu dan

memilih menghabiskan waktu di perpustakaan. Sebagai salah

satu warga Jakarta yang tidak pasang internet di rumah?wifi

di rumah lagi ngadat dan sudah lama belum diperbaiki? fasilitas itu benar-benar menguntungkanku.

Setelah memastikan tak ada e-mail baru untukku, segera kuhampiri Daniel yang menungguku di tempat biasa, di pojok

kanan perpustakaan. Seusai mentraktir Daniel minum di kantin

sebagai bentuk syukur atas baik kembali hubungan kerjaku

dengan Patra, kami membahas segala peristiwa yang terjadi

pasca jadiannya Andrea dan Jo tiga bulan lalu. Sejak menjadi

Somebody and

Nobody

55 551556

belahan jiwa Jo yang tidak lain pemain basket andalan sekolah,

Andrea jarang kumpul bersama setiap Jumat minggu ketiga di

rumah Daniel.

Kalau dipikir-pikir, sejak dulu Andrea memang manusia paling

normal di antara kami bertiga. Beda dengan kami yang mungkin

kehadirannya hanya disadari guru-guru, cleaning service, dan

seperempat persen siswa di sekolah. Nol koma nol delapan

persennya berasal dari pengunjung tetap perpustakaan, nol

koma nol delapan persen yang kedua berasal dari anggota

orkestra sekolah, dan nol koma nol delapan persen terakhir

berasal dari sesama siswa yang ikut diantar dan dijemput Om

Ahong.

Salah satu orang yang kurang merestui hubungan keduanya

adalah Agatha. Klise sih. Rupanya sudah lama Agatha menyimpan perasaan pada Jo. Beberapa pekan lalu, tanpa sengaja aku

mendengar pembicaraan antara Agatha dan Angela di toilet.

Mereka tidak tahu aku berada di salah satu bilik dan mendengar

jelas semua penuturan mereka. Sesuai rencana Agatha, Agatha

langsung melancarkan aksi boikot dengan mengajak fans Jo

untuk menjauhi Andrea. Ia berharap hubungan kedua sejoli itu
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak berlangsung lama karena Andrea merasa kurang bahagia.

Awalnya Andrea masa bodoh dengan segala usaha yang diluncurkan untuk merusak hubungannya dengan sang Pangeran.

Tapi kesabaran manusia jelas ada batasnya. Kalau sudah begini,

ikut pusing juga aku dibuatnya. Beberapa kali Andrea meneleponku malam-malam sambil menangis tersedu-sedu, mengeluhkan perlakuan Agatha yang kelewat kejam padanya. Tak bisa

memberi nasihat bijaksana, aku hanya mampu berdoa. Bukan

supaya Agatha tiba-tiba kena batunya?itu juga boleh sih. Yang

56 561557

pasti, aku berdoa supaya aku bisa tetap tabah berpartner

dengan Patra sehingga Agatha bisa berhenti mengintimidasi

kami.

Setelah mengobrol kira-kira lima belas menit, aku mendapati

keuntungan menjadi nobody. Tepat seperti yang pernah kubaca

di salah satu rubrik koran Minggu. Karena bukan siapa-siapa,

hidup terasa lebih tenang. Bukan karena semua orang sayang

dan memperhatikan kita, melainkan karena orang tak peduli.

Salah kostum pun tak akan diekspos mulut-mulut usil seperti

yang dialami Andrea. Lha wong, sekali lagi, kita bukan siapasiapa.

Kejadian naas tersebut berawal dari undangan ulang tahun

yang diterima Andrea seminggu lalu. Dress code yang

seharusnya dikenakan adalah pakaian hitam. Sayangnya usai

menghadiri acara keluarga, Andrea yang dibalut pakaian putih

tak sempat pulang dan berganti kostum lantaran jalanan macet

bukan main. Jadilah dengan sangat terpaksa Andrea menjadi

white spot on the black paper. Yang lebih menyedihkan, Penny,

salah satu anggota Geng Cantik, turut diundang dalam acara

tersebut. Gosip Andrea saltum alias salah kostum pun tak

terelakkan.

"Gue heran deh, si Jo sebenarnya cinta nggak sih sama A?anPacaran kok malah membawa duka dan tekanan batin?" tanyaku pada Daniel, yang lagi-lagi asyik dengan sketsa terbarunya.

Daniel setuju untuk merancang beberapa pakaian yang akan

dikenakan pemain drama musikal akhir tahun.

"Pertanyaan lo kebalik, Ngen! Mestinya lo nanya, apakah

A?an benar-benar sayang sama Jo?"

"Lha, kan lo tahu si A?an nge-fans sama Jo dari SMP, man!

57 571558

Gue ikutan seneng sih saat Andrea cerita ke gue tentang

hubungan dia yang sangat indah bersama Jo. Tapi kadangkadang gue suka melas juga, waktu dia telepon gue malemmalem sambil nangis, kayak Sabtu lalu. Apa mungkin Jo nggak

benar-benar sayang sama Andrea?"

"Huss! Mikir kok yang jelek-jelek sih?"

"Bukannya nyumpahin atau gimana, sekarang coba pikir deh.

Apa tindakan Jo saat Andrea digunjingkan koloni Mak Lampir?"

"Bahasa lo sastra amat, Ngen. Digunjingkan!"

"Duh, protesnya tuh ntar aja! Dengerin dulu kek. Nih, nyatanya kita yang justru menyembunyikan Andrea dari keramaian.

Beliin makanan buat dia di kantin lah, terus nemenin dia

seharian di kelas selama hampir seminggu. Memang bantuan

kita tadi nggak ngefek ke kita soalnya kita kan memang bukan

anak kantinan. Tempat mangkal kita memang selalu di kelas.

Tapi, Jo nggak pernah nyamperin Andrea, kan?"

"Mungkin Jo berbuat demikian supaya tidak menyulut amuk

massa lebih lanjut. Kalau Jo selalu nyamperin Andrea tiap

istirahat seperti biasanya, mungkin dia takut Andrea akan lebih

ditekan."

"Ditekan sama siapa?"

"Sama penggemar Jo, termasuk Agatha."

"Pacaran kok nggak enjoy gitu? Apa hukumnya selalu kayak

gitu pacaran sama orang tenar?"

"Kayak gimana?"

"Kontroversial!"

"Kontroversial apanya sih? Tuh, kan, gaya ngomong lo udah

ketularan si Patra!"

58 5815

"Enak aja! Maksud gue, itu lho, yang kayak kita omongin

tadi. Beban menjadi somebody. Nggak boleh kelihatan kurang

sedikit pun. Masa lo nggak perhatiin sih? Belakangan ini Andrea

kan sering bete gitu."

"Gue berasa kok. Tapi lo tahu kan, orang kayak Andrea,

makin ditanya makin sembunyi. Jadi gue rasa, selama Andrea

masih tersenyum bahagia dan fine-fine aja, kita nggak perlu over

reacting. Ntar kalau dia mau cerita pasti dia manggil kita."

Aku terpaksa mengangguk setuju, walau dalam hati masih

bimbang. Apa betul Andrea memang bahagia pacaran dengan

Jo? Kalau bahagia kenapa setiap bulan ada saja keluhanSeolah bisa membaca kegelisahanku, mendadak Andrea mengajak

kami berkumpul di kantin sepulang sekolah. Bersama Daniel, aku

bertekad tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu untuk mengorek keterangan dan alasan Andrea murung belakangan itu. Lagilagi Daniel terlihat asyik sendiri dengan majalah Mode edisi terbaru

yang baru ia beli semalam. Dengan sedikit kesal, kucubit lengan

Daniel untuk menghentikan ocehannya tentang Dior yang sama

sekali tak kumengerti, agar bisa fokus ke tujuan awal kami nekat

ke kantin yaitu menghibur Andrea.

Aku melambai di depan wajah Andrea dan berhasil membuatnya menoleh. Sepasang mata berbentuk almon yang dibingkai alis lebat milik Andrea tak bersinar cerah seperti

biasanya.

"A?an! Kok bengong? Katanya tadi mau ngomong?" tanyaku

sambil menepuk punggung tangan Andrea pelan.

Andrea berusaha menarik ujung bibirnya sedikit.

59 591560

"Ada apa sih? Lo punya masalah? Kayaknya muka lo galaugalau gimanaaa gitu," lanjut Daniel pelan.

Andrea menggeleng.

"Benar nggak apa-apa?" tanyaku tak percaya.

Andrea menggeleng lagi. "Nggak ada apa-apa kok. Gue cuma

capek. Tahu sendiri kan tugas kita lagi banyak banget?"

jawabnya beralasan.

Alis Daniel terangkat sebelah. Ia mengangguk-angguk. "Iya

sih. Tapi dapet tugas banyak kok malah sedih? Kalau gue sih

pasti kelihatan stres."

"Gue nggak sedih kok. Gue ngantuk," sahut Andrea mengelak.

Andrea menatap ke depan lagi. Beberapa teman sekelas kami

sedang bermain basket. Tak perlu ditanya, Jo pasti ada di

antara mereka.

Sebenarnya kalau boleh jujur, aku lebih suka langsung

pulang, atau kalau mau ngobrol di taman sekolah saja. Lebih

adem, banyak pohonnya. Bukan masalah tidak setia kawan.

Sebab cewek-cewek di dekat kami tampaknya sedang asyik

cekikikan. Siapa lagi kalau bukan Geng Cantik?.

Kulihat Andrea juga tampak risi. Bagaimana tidak, kelima

anggota Geng Cantik terus-menerus memandangi punggung

Andrea? Terdengar suara mereka, yang kayaknya sengaja dibesarkan agar sang objek pembicaraan tidak sengaja mendengar

percakapan mereka.

"... Ladanya, Mbak! Mana ada sih cake pakai lada?"

"Bego kok kebangetan, ya? Ya ampuuun! Mendingan gue

pergi ke laut aja deh daripada ketahuan jadi inventor Cake Lada

Hitam!"

60 601561

Andrea tampak kesal, sementara aku dan Daniel saling

pandang kebingungan. Andrea makan cake pake lada? KapanKok Andrea nggak cerita ke kami-kami"Andrea..." panggil Daniel, namun tak disahuti sahabatku

itu.

"Andrea..." ulangku sekali lagi dan masih belum direspons

Andrea.

"ANDREA!" seru Daniel keras, membuat Andrea dan cewekcewek tadi tersentak kaget.

Dari sudut mana pun, kelihatan banget Daniel sengaja

menghentikan gosip keji cewek-cewek itu dengan jalan damai,

yaitu mengalihkan perhatian Andrea.

"Balik ke kelas aja yuk, mumpung gue belum dijemput nih.

Gue udah nggak kuat nih, dibunuh pelan-pelan sama nenek sihir

itu," bisikku pada Andrea yang kembali memperhatikan Jo.

Karena tak tahan, sekonyong-konyong Daniel menarik tangan

Andrea separuh menyeret.

"Sebenarnya lo kenapa sih, An?" tanyaku dengan napas

tersengal, setelah menaiki puluhan anak tangga.

"Jangan bilang lo nggak kenapa-kenapa!" Daniel mengantisipasi Andrea yang biasanya memberi jawaban yang itu-itu

saja.

"Gue..." ujar Andrea tertahan.

"Ya..."

"Gue nggak ngerti harus ngapain."

"Makanya lo cerita dong sama kami," tandasku tak sabar.

"Gue nggak bisa cerita ke kalian sekarang. Gue harap kalian

bisa ngertiin gue."

"Ya, tapi kenapa, An?" tanyaku masih penasaran akan apa

yang mengubah Andrea-ku yang dulu.

61 611562

Teeeeett

Om Ahong datang.

Tuh kan udah keburu dijemput gue. Sebenarnya lo kenapa sih,

An? batinku kesal.

62 621563

eharusnya sekolah kami libur setiap sabtu, tapi kali ini

kami diimbau masuk. Hari itu digelar lomba band sekolah

se-Jakarta sebagai penutup rangkaian turnamen basket

yang telah berjalan seminggu. Aku tiba di sekolah pukul

sepuluh. Lapangan yang biasanya terlihat kosong sekarang

disulap menjadi sangat meriah. Di kiri-kanan jalan masuk ada

stan-stan kecil berwarna-warni dan ditempeli berbagai macam

iklan permen, minuman, dan snack. Poster dan spanduk benarbenar mengubah wajah lapangan yang kering kerontang jadi

seperti karnaval. Di tengah lapangan dibangun panggung

megah.

Aku langsung melonjak begitu melihat Daniel berdiri di sisi

kanan panggung. Seperti yang sudah kami sepakati semalam,

mulai sekarang kami harus lebih sering menemani Andrea. Dari

pertemuan kemarin, Andrea jelas terlihat sangat tertekan.

Orang dalam keadaan tertekan bisa berbuat macam-macam.

Oleh karena itu, untuk menghidari hal-hal yang tidak diinginkan

Simfoni Hitam

Andrea

63 631564

pada anggota L.A.D (Langen Andrea Daniel) yang satu itu, aku

dan Daniel memutuskan untuk menonton lomba band pagi

itu.

Groovie Soundz, salah satu band sekolah, yang digawangi Jo

bakal unjuk gigi sebagai pembuka acara. Pastinya Andrea akan

ada di sekolah untuk mendukung kekasihnya. Siapa tahu, kalau

ketemu kami berhasil menciduknya untuk meminta keterangan.

Habis aku dan Daniel nggak sanggup lagi mendengar jawaban

"gue nggak kenapa-kenapa".

"Udah lihat Andrea belum?" tanyaku setengah berteriak pada

Daniel. Stan sponsor di belakang tempatku berdiri memutar

lagu dengan volume keras.

"Belum. Lo sendiri, Ngen?"

"Belum juga!" jawabku sambil menggeleng, "Kita cari yuk!"

"Jangan! Sebentar lagi acara mulai. Band Jo kan tampil

sebagai pembuka, harusnya Andrea pasti ada di sekitar sini.

Mendingan kita tunggu di sini saja, sambil tengok kanan-kiri.

Kalau kita mencar nyariin A?an, bisa-bisa malah nggak ketemu.

Lapangan pasti udah penuh kalau kita keliling ngecekin stan

satu per satu dulu. Di sini tempatnya enak, nggak terlalu panas
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan bisa lihat ke semua sisi panggung."

Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasan Daniel.

"Pageeee gaesss! Ayoo!! Merapat ke panggung doong! Sebentar lagi lomba band bakalan kita mulai. Udah siap semuanyaaa???" suara MC berkumandang begitu soundman mematikan

lantunan suara Lady Gaga yang sedang diputar. Da?lam sekejap

ramalan Daniel tepenuhi. Ratusan murid SMA dari seluruh wilayah Jakarta yang datang pagi itu langsung menge?rumuni panggung.

64 641565

"one more time, paaaaage gaesss!!!" kembali MC menyapa,

diikuti sorakan gembira para penonton.

"Wooow!!! Luar biasaaaa Mantap! Pasti lo semua udah

sarapan," tanggap MC, "Selamat datang semuanya di acara

lomba band yang diselenggarakan SMA 1 Jakarta. Acara pagi ini

tentunya bakalan seru abis, karena selain band-band sekolah

kalian pada unjuk gigi, kita juga punya bintang tamu dahsyat!

Pastinya udah tahu dong. Khususnya yang cewek-cewek nih.

Siapa yang nyanyi lagu Ratu Lebah Siaapaaa?"

Cewek-cewek langsung menjerit-jerit meneriakkan personel

band RAN. Kecuali aku dan Daniel tentunya. Baik aku dan Daniel

sedang sibuk celingukan, mencoba menemukan Andrea.

"Terima kasih juga buat para sponsor yang bikin acara ini

dapat terlaksana. Pasti semuanya udah nggak sabar, kanWeeits Tunggu, tunggu! Yang habis ini nggak kalah keren!

Band unggulan SMA 1. Mana pendukung SMA satuuuuu?"

Lolongan MC di mik segera disambut cewek-cewek histeris.

Penonton, terutama cewek-cewek, meneriakkan yel-yel yang

berbeda sehingga suasana benar-benar heboh.

MC tertawa senang. "Mana fans Groovie Sounds?" Ia menyorongkan mik sehingga membuat Daniel kaget karena ternyata

para cewek masih bisa memekik lebih keras lagi.

"Kita langsung aja panggil, penampilan SMA 1 Jakarta,

Grooovviieee Sooouunndz!!!" teriak MC sebelum turun panggung, digantikan band Jo yang masuk dari segala penjuru panggung dengan dramatis, membuat hampir semua tangan melambai-lambai bersemangat ke udara. Musik segera terdengar,

tidak kalah keras dengan jeritan para penonton.

Jo melompat-lompat di panggung, menepukkan tangan di

65 651566

atas kepalanya dan mengajak pengunjung ikut bernyanyi

bersama vokalis band mereka yang baru, Agatha. Oh God!

"Niel, emang Agatha bisa nyanyi ya?"

"Apa?" tanya Daniel memintaku mengulang. Memang

suaraku kalah ditelan speaker yang berdendang kencang.

"Itu, Agatha nyanyi. A-GA-THA NYA-NYIII!" ulangku agak

teriak sambil menunjuk panggung.

Daniel tampak shock melihat aksi Jo dan Agatha di panggung.

"Emang nggak punya adat nih cewek. Pasti ini yang bikin

Andrea sedih!" Daniel berkomentar sambil menggeleng, masih

sambil memperhatikan aksi panggung Jo dan Agatha.

"Jo udah main, tapi kok Andrea nggak kelihatan ya, Niel?"

tanyaku sambil mendekatkan mulut ke telinga Daniel.

"Telat kali, Ngen. Dia kan rumahnya memang paling jauh.

Matraman, man Sabtu-sabtu gini kan ramenya nggak kira-kira.

Belum lagi jalan di depan sekolah juga macet."

"Lagunya udah mau kelar, Niel. Bisa-bisa Jo marah sama

Andrea kalau dia belum datang juga," ujarku sambil menarik

Daniel ke luar kerumunan.

Tiba-tiba Daniel menepuk bahuku dari belakang. "Ngen, coba

lihat deh. Itu A?an, kan?" tanya Daniel sambil menunjuk cewek

yang sedang berlari ke back stage. Jika benar itu Andrea,

sepertinya cewek itu ingin bertemu Jo yang sekarang tengah

turun dari panggung.

"Samperin yuk!" ajakku yang langsung diiyakan Daniel.

Aku dan Daniel segera berjalan bersemangat ke back stage.

Kami berusaha menyeruak di antara para pengunjung. Panitia

yang berjaga di belakang panggung sempat melarang kami

masuk, tapi begitu melihat kartu tanda petugas OSIS-ku ia

langsung mengizinkan kami menyusul Andrea.

66 661567

Personel Grovie Soundz yang telah selesai membawakan lagu

I Love You Baby turun ke belakang panggung, tepat saat kami

ham?pir berhasil menyamai langkah Andrea. Tanganku yang

terayun hendak menepuk, tiba-tiba membeku begitu melihat Jo

menuruni anak tangga. Di sampingnya Agatha bergelayut manja

nan mesra. Belum habis rasa kagetku, tiba-tiba Jo yang tidak

menyadari kehadiran kami, mencium kening dan pipi Agatha,

membelai rambut Agatha, lantas tertawa bersama.

Saat akhirnya menyadari kehadiran kami, cepat-cepat Jo

melepaskan pelukannya dan mencoba menjelaskan pada Andrea. Namun belum sempat ia berkata... BRUK! Dengan gerakan

secepat kilat, Andrea berhasil merobohkan pria bertubuh

jangkung itu. Apa yang terjadi selanjutnya, kami tak lagi peduli.

Sahabat kami, sang anggota ekskul taekwondo itu, rupanya

sudah melesat.

Saat akhirnya kami berhasil menemukan Andrea di antara

para pengunjung Fans Fair, ia terus berlari menuju Camry hitamnya tanpa memedulikan kami. Alih-alih berhenti, Andea malah

mempercepat langkah. Aku dan Daniel langsung ikut masuk ke

mobil karena takut Andrea berbuat gila.

"An, lo mau ke mana?" tanyaku sedikit teriak sambil menepis

tangan Andrea yang sudah siap mengemudi.

"Iya, An, mendingan ceritain semua masalah lo sama kita

sekarang!" tegas Daniel ikut mencegah niat Andrea untuk

ngebut maut. Ia jelas tidak akan bisa kosentrasi nyetir setelah

melihat Jo bermesraan dengan keturunan dedengkot.

Tanpa dapat kami prediksi, tiba-tiba Andrea menangis keras

dengan kepala tertunduk di setir mobil.

"Ngen... bokap gue... kayaknya gay, huaaaaaaaa!" ujar Andrea

terbata di sela tangisnya.

67 671568

Kontan aku dan Daniel memekik kaget mendengar statement

Andrea barusan, yang sama sekali nggak ada hubungannya

dengan Jo atau adegan panas yang baru saja kami saksikan.

"Bokap gue homo, Niel!" ulang Andrea lagi sambil tetap

terisak tanpa mengangkat wajahnya.

"I... ya, An, sekarang lo ceritain semuanya ke kita ya," bujuk

Daniel.

Belum sempat Andrea mengikuti bujukan Daniel, tiba-tiba

kulihat Jo berdiri di depan gerbang sekolah. Wajahnya tampak

beringas, sedangkan matanya jelalatan. "Niel! Ada Jo di

seberang jalan. Kayaknya dia nyariin kita deh. Pasti dia mau

ngancem Andrea."

Daniel langsung membalikkan badan.

"Wah! Iya, Jo lagi celingukan. Buruan bawa mobilnya, Ngen!

Buruan, sebelum ketahuan!"

"Hah?! Gila apa? Gue nggak punya SIM, Niel!" tandasku

sambil tetap memperhatikan gerak-gerik Jo.

"Lo pilih mana? Mati dicincang Jo dan gerombolan Barbie

ganas atau bawa Camry? Lo kan tahu gue nggak bisa nyetir,

Ngen!"

Karena tak ada lagi pilihan buatku, segera aku bertukar

tempat dengan Andrea. Daniel membantunya pindah ke bangku

belakang, sementara aku langsung memasang seat belt begitu

memegang kemudi.

"Ngen! Buruan, Jo udah lihat mobil kita. Tuh, dia ke sini!"

desak Daniel mengingatkan, justru membuatku makin gugup.

Kondisi Camry yang sudah menyala menyelamatkan nyawa kami

bertiga. Sedan melaju tepat saat Jo mencapai lokasi parkir

sambil mengacung-acung. Samar-samar terdengar umpatan

68 681569

kasar yang makin lama menghilang, seiring bertambahnya

kecepatan kendaraan yang kami tumpangi.

"Hampir aja, Ngen. Sedetik saja terlambat pasti kita bakal

habis dimutilasi," ujar Daniel lega. Di sampingnya Andrea masih

menangis sambil menyandarkan kepala di bahu Daniel.

"Jadi mau ke mana nih kita?" tanyaku sambil tetap waspada.

Kami berada dalam daerah kekuasaan polisi yang hobi

mengadakan razia rahasia.

"Mending ke rumah lo aja, Ngen. Paling dekat kan rumah lo,

Ngen," usul Daniel segera.

"Aduh, rumah gue lagi direnovasi, Niel! Nggak mungkin kita

bopong-bopong Andrea yang lagi nangis Bombay gini ke kamar

gue. Diliatin tukang-tukang, gitu?"

"Ya udah, rumah gue aja. Tapi lewat Gang Rambutan, di situ

nggak ada polisi."

"Siap, laksanakan!"

Rumah Daniel begitu teduh oleh rimbunnya pepohonan. Seluruh

bangunannya dilapisi kayu. Pernak-pernik etnis mendominasi

hampir seluruh ruangan, bahkan taman-taman di sekelilingnya.

Lukisan Bali memenuhi dinding. Rumah Daniel memang benarbenar tempat pelarian sempurna jika pikiran sedang mumet.

Serasa mengasingkan diri di hotel berbintang di Bali. Jika saja

Andrea berhenti sesenggukan pasti aku bakal lupa bahwa kami

sedang menghadapi masalah besar saat ini.

"Kok rumah lo sepi, Niel?" tanyaku setelah tiba di depan

rumah Daniel.

"Lagi pada ke Singapura. Katanya lagi ada mega sale," Daniel

69 691670

menerangkan, lalu turun dan memencet bel rumah. Tak lama

kemudian Mbak Yati, asisten rumah tangga Daniel, membukakan

gerbang untuk kami.

Kami bergegas memapah Andrea yang masih lemas ke kamar

Daniel yang luas dan nyaman.

Jendela-jendela besar di kamar Daniel membuat sinar mentari

dapat masuk ke kamar dengan leluasa. Deretan pohon cemara

yang berbaris rapi di sisi jalan terlihat indah dan segar dari sini.

Aku segera menyodorkan kotak tisu pada Andrea, yang langsung rebahan di spring bed empuk Daniel.

"Mau minum apa?" tanya Daniel sambil mengecek isi kulkas

mini.

"Apa aja deh, Niel. Gue haus," ujarku sambil ikut berjongkok

di depan kulkas.

"Nih. Kasih A?an satu," perintah Daniel, menyodorkan dua

kaleng liang teh dingin.

Andrea tampak lebih tenang setelah meneguk setengah isi

kaleng teh.

"Udah siap cerita, An?" tanya Daniel sembari duduk di sisi

kanan ranjang.

"Tapi kalian jangan ngetawain gue ya," pinta Andrea, lalu

mengatur posisi duduknya, "Sebelum gue cerita, coba lo ambil

amplop cokelat gede di dalam tas gue deh, Ngen."

Aku meraih tas Andrea dan mendapati amplop cokelat yang

dimaksud dengan mudah.

"Sekarang coba lo buka, Ngen," kembali Andrea meminta,

sedangkan tangannya sibuk mengelap matanya yang sembap.

Kubuka lipatan yang mengunci amplop tersebut. Ratusan

lembar surat dalam berbagai ukuran berhamburan saat kutuang

isi amplop itu ke lantai.

70 701671

"Gila! Siapa yang ngirim nih, An? Isi suratnya kok nggak asyik

gini sih?" tanya Daniel antusias setelah membaca surat yang

terbang ke dekat kakinya.
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jahat banget sih. Mana banyak banget pula suratnya,"

sambungku sambil mengecek surat-surat itu satu per satu.

Walau telah mengerahkan kemampuan terbesar indra penglihatan, tetap saja tak kutemukan nama di pengirim, atau inisial,

bahkan tanda sekecil apapun. Tapi tampaknya surat-surat itu

ditulis orang yang sama.

"Nggak usah pusing-pusing nebak siapa yang nulis surat-surat

itu. Minggu lalu gue mergokin Agatha masukkin salah satunya

ke tas gue waktu istirahat, tapi dia nggak nyadar bahwa gue

nge-gap dia."

"Gila tuh cewek ya? Udah neror-neror lo kayak gini, eh, dia

ngerebut Jo juga! Nggak punya tata krama tuh cewek!" sahut

Daniel emosi mendengar tingkah laku Agatha yang kelewatan.

Andrea tersenyum mendengar reaksi Daniel. "Lo nggak usah

marah-marah gitu, Niel. Kayaknya Jo dan Agatha emang udah

ngebet pingin pacaran, dan gue nggak kaget. Gue rela, Niel."

"Whaaat?" Giliranku yang kaget menanggapi statement

Andrea yang serba kontroversial hari ini. Tadi katanya papanya

homo. Sekarang rela pacarnya selingkuh. Eling, eling, An!

"Kalau lo rela, kenapa nggak putus aja sekalian sama JoDaripada lo sakit kayak gini?" protesku tak mengerti.

"Itu dia, Ngen, masalahnya gue nggak bisa putus sama Jo

sampai kita lulus."

Keningku berkerut saat pandanganku dan Daniel bertemu.

Sedetik kemudian Daniel mendapat pencerahan.

"Tunggu dulu, An. Jangan bilang bahwa Jo tahu tentang

71 711672

bokap lo...?" tebak Daniel dengan suara lirih di kata terakhirnya.

Andrea mengangguk lemah.

"Dan Jo ngancem lo bahwa dia bakal ngasih tahu satu

sekolah kalau lo minta putus sekarang?"

Lagi-lagi Andrea mengangguk menjawab pertanyaanku.

"Parah. Yang gue heran kenapa si Jo ngga mutusin elo kalau

dia lebih cinta sama Agatha?"

"Ya, gampanglah, Niel. Jo udah terkontaminasi virus Geng

Cantik dan sekarang ikut-ikutan berambisi memusnahkan tiga

spesies nggak penting, kita. L-A-D, Langen, Andrea, dan Daniel.

Ya kan, An?" tanyaku meminta persetujuan.

"Nggak, Ngen. Nggak gitu ceritanya."

Aku melongo tak percaya. Memang ada teori yang lebih

benar"Lo pada masih ingat kan, insiden gue salah kostum di ulang

tahun Penny?" Aku dan Daniel menggangguk serentak.

"Walaupun kami berantem gede, Jo tetap ngotot nganterin

gue pulang. Mungkin supaya bisa maki-maki gue sepanjang

perjalanan pulang. Begitu nyampe, gue langsung masuk ke

rumah dan menuju kamar bokap gue buat curhat. Pas gue

masuk... gue lihat bokap gue... dengan arsip-arsip yang bertebaran di lantai dan pintu brankas yang terbuka. Kayaknya beliau

lagi beresin brankas. Trus nggak sengaja gue lihat satu foto

nyelip di antara arsip itu. Pas gue ambil, gue kaget. Di foto itu

bokap gue pelukan dan nyium dahi Om Ray, model cowok yang

paling sering difoto sama bokap gue. Gue tahu dia dari portfolio

bokap. Beliau kan sering minta bantuan gue buat update

portfolionya. Adegan di foto itu persis kayak Jo nyium Agatha.

72 721673

Makanya tadi gue emosi banget. Gue keinget Om Ray, Ngen.

Ya udah, tadi gue tonjok aja tuh anak, sampai kejengkang gitu.

Pasti dia marah." Andrea berhenti sejenak, mengatur emosi.

Hanya beberapa detik. Kemudian cerita kembali mengalun dari

bibirnya, "Bokap gue kaget banget, ke-gap gue yang emang

pulang cepat. Gue bilang, gue pulang jam sebelas, tapi ternyata

jam sembilan gue udah balik. Gue langsung lari ke luar rumah,

sambil masih pegang foto itu.

"Saking kacaunya, gue nggak ngeh bahwa Jo belum pulang.

Seperti yang lo pada bisa tebak, adegan drama kejar-kejaran

antara gue dan bokap gue dilihat Jo. Jo merebut foto yang ada

di tangan gue dan nyimpulin sendiri apa yang dia lihat. Foto itu

berhasil direbut balik sama bokap gue. Tapi gue udah nggak

peduli lagi, gue shock banget lihat foto itu. Untung di depan

rumah gue suka ada taksi mangkal. Gue langsung kabur dan

check in di hotel." Andrea berhenti, mengambil napas panjang,

sementara aku dan Daniel tetap menunggu kisahnya dengan

sungguh-sungguh.

"Nggak lama setelah gue check in, Jo telepon. Di telepon itu

dia langsung buka-bukaan, tanpa peduli gimana perasaan gue.

Dia bilang ke gue bahwa sebenarnya dia jadian sama gue karena ditantangin anak buahnya?itu lho, anak-anak basket yang

suka kumpul bareng geng Agatha. Nggak tanggung-tanggung

lho, Niel, mereka taruhan lima juta. Kan mereka berlima tuh,

jadi seorang kena sejuta. Makanya Jo nggak mau putusin atau

diputusin. Begitu tahu gue punya aib, dia langsung semenamena. Dia sadar sesadar-sadarnya gue nggak bakal mutusin dia,

sehingga dengan santai dia selingkuh sama Agatha dari sebulan

lalu."

73 731674

"Emang brengsek tuh cowok. Padahal dulu awalnya dia baik

banget. Ternyata semua itu palsu," Daniel berkomentar,

sementara Andrea kembali meneguk liang teh.

"Tadi lo bilang lo check in hotel, ya? Terus sekarang lo tinggal

di mana? Masih di hotel, An?"

"Nah, itu cerita lain lagi. You know what? Sekarang gue

tinggal di apartemen sama nyokap gue."

"Nyokap lo? Bukannya lo nggak suka sama nyokap lo garagara dia pergi pas lo SMP, An?" tanyaku sambil mendekat ke

tepi ranjang Daniel.

"Ternyata peribahasa every cloud has a silver ligning bener

banget. Nggak tahu apakah itu kebetulan atau takdir? Satu jam

setelah Jo telepon gue, nyokap gue telepon. Katanya, perasaanya nggak enak seharian itu. Mungkin itu yang dinamakan

naluri ibu kali ya. Ya, gue langsung aja minta nyokap gue

datang. Gimana mekanismenya, gue juga nggak tahu, tapi tibatiba gue merasa gue butuh nyokap gue."

"Terus lo ceritain semuanya ke nyokap lo?" tanya Daniel

antusias.

"Semuanya, benar-benar semua, Niel. Malam itu gue baru

tahu alasan nyokap gue pisah, tapi nggak mau cerai. Karena

ternyata nyokap gue menjaga perasaan gue. Lo tahu kan, gue

deket banget sama bokap gue. Rupanya kejadian di foto itu pas

after party launching koleksi salah satu desainer yang pakai jasa

foto bokap gue. Karena nyokap gue dari dulu kurang merasa

nyaman sama lingkungan selebritis, dia nggak ikut pesta itu.

Om Ray ternyata sudah lama ngincer bokap gue. Makanya

setiap ada order, dia minta bokap gue yang foto. Di pesta itu,

dia membujuk bokap gue buat minum sampai mabok.

74 741675

Kejadiannya pun ternyata nggak berhenti sampai adegan di foto

itu aja, tapi masih berlanjut. Yang mengambil foto itu temen

nyokap gue yang kebetulan ada di pesta itu juga. Akhirnya

nyokap gue tahu dan marah besar sampai mau minta cerai. Tapi

masalahnya nyokap gue nggak sampai hati misahin gue sama

bokap. Akhirnya sebagai jalan tengah, dia yang keluar rumah.

Dia izinin bokap ngerawat gue, dengan syarat mereka berdua

ikut terapi dan konsultasi pernikahan gitu. Plus, gue nggak

boleh sampai tahu tentang kejadian itu. Dulu sih rencananya

kalau terapinya berhasil, nyokap mau tinggal bareng lagi. Tapi

sampai sekarang bokap nggak mau ninggalin dunia glamornya

itu. Meski bokap gue bersumpah kalau itu hanya terjadi sekali

dan beliau nggak berhubungan lagi sama Om Ray, nyokap gue

masih belum bisa percaya. Sampai akhirnya gue nemuin foto

itu. Makin runyam deh, Niel."

"Ya ampun, gue sampai merinding dengar cerita lo, An,"

ujarku sambil memperlihatkan lenganku.

"Ceritanya lo bakal tinggal sama nyokap lo selamanya nih?"

"Paling tidak untuk sementara, ya. Ke depannya belum tahu.

Belum bisa mikir apa-apa."

"Barang-barang lo gimana, An?" tanyaku.

"Lo inget nggak, Jumat kemarin gue absen? Nah, hari itu

bokap gue dinas ke luar negeri. Makanya gue pulang, beresin

barang gue."

"Haha, jadi bokap lo tinggal berdua dong sama Mbak Yumi?"

tanya Daniel spontan.

"Nggak, Mbak Yumi pulang kampung. Ternyata Mbak Yumi

juga tahu tuh soal foto itu, tapi dia bertahan demi gue. Lha,

sekarang guenya pindah. Akhirnya dia milih pulang kampung."

75 751676

"By the way, bokap lo nggak nyariin elo, pasca kejadian

malam itu?"

"Nggak tahu juga, ya? Setelah peristiwa itu, besok paginya

kan gue ganti nomor. Mungkin bokap telepon nyokap kali. Gue

udah wanti-wanti nyokap gue untuk bilang supaya bokap nggak

ketemu gue dulu sampai gue siap."

"Sampai lo siap? Emang lo masih mau ketemu?" tanya Daniel

mewakili keherananku.

"Nyokap gue bilang, ada kemungkinan bokap gue bukan gay,

tapi lingkungannya yang mengarahkan beliau. Di sesi terapii,

bokap gue bilang kalau kejadiannya sekali itu aja. Toh beliau

dalam keadaan nggak sadar. Tapi menurut nyokap gue, kalau

dia nggak mau ninggalin lingkungannya itu, bakal susah untuk

nggak terpuruk dalam kesalahan yang sama. Sedangkan

sekarang hati gue belum siap ketemu bokap lagi. Mungkin

suatu saat nanti. Suatu saat kan belum tahu kapan, bisa sebulan, setahun. Yang jelas nggak sekarang. Lagian kan bokap gue

nggak pernah jahat sama gue. Nggak nyiksa atau ngancem

kayak di tivi-tivi gitu."

"Gile, An. Hati lo baik amat," pujiku sungguh-sungguh mengagumi kebesaran hati Andrea.

"Kisah lo kayak cerita film, An. Suruh si Langen bikin novel

deh, pasti laku keras. Dia kan hobi nulis-nulis gitu. Ntar honornya bagi dua. Soalnya gue yang ngasih ide."

"Jangan cengengesan dulu lo, Niel. Masalah dasarnya belum

terpecahkan nih!" hardikku menanggapi gurauan Daniel yang

nggak lucu.

"Ya udahlah, Ngen. Kita patungan aja bertiga. Lima juta

dibagi tiga, satu juta tujuh ratus per orang. Kasih ke Jo biar dia

nggak ember."

76 761677

"Elo sih enak, Niel. Bulanan lo kan gede. Nah, gue gimanaTabungan gue paling banter cuma bisa diambil tujuh ratus.

Masa gue bilang ke Bokap: ?Pak, minta duit dong, satu juta?.

Lalu Bokap nanya, ?Buat apa, Nak?? Dan jawabannya buat bayar

taruhan. Kan nggak masuk akal, Niel?" jelasku agak sewot.

"Iya, Niel. Lagian bayarin uang taruhan ke Jo nggak menjamin dia tutup mulut."

"Belum lagi kalau Jo ngasih tahu rahasia itu ke Agatha.

Tamat riwayat kita," sambungku segera.

"Tapi gue rasa Jo nggak bakal bilang sama Agatha. Kalau dia

bocorin ke Agatha, perjanjian lo udah nggak berlaku lagi, An.

Sekaya-kayanya Agatha, gue nggak yakin dia mau bayarin

taruhan Jo. Lagian, kalau dia udah tahu, pasti dia udah bikin

ulah. Bisa-bisa dia umumin ke semua anak pas upacara, atau

nempel di mading begitu dia tahu."

Aku dan Andrea terdiam. Perkataan Daniel barusan ada benarnya juga. Kasus ini memang agak berat. Sebelum mengambil

keputusan, kami harus memikirkannya sampai matang.

Suasana di luar rumah yang mulai gelap membuatku
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersentak. Aku melirik jam tanganku. Sudah pukul enam sore.

Pantas perutku yang masih kosong sejak siang mulai ribut.

"Niel, An, bukannya gue ngga solider ya. Tapi jujur, gue laper.

Gue belum punya ide juga sekarang. Boleh nggak kita makan

dulu?" tanyaku sambil berdiri dan meregangkan otot-otot.

Andrea menyambut pertanyaanku dengan senyuman. Bersamaan dengan Daniel, Andrea ikut berdiri.

"Sama, Ngen, gue juga laper kok," tanggap Andrea sambil

tersenyum dan menggandeng tanganku, "Gue traktir nasi

goreng gila Mang Udin di depan kompleks yuk!"

77 771678

Aku tergelak geli melihat reaksi Andrea.

"Kenapa ketawa, Ngen?" tanya Daniel mendekat.

"Nggak apa-apa. Seneng aja liat Andrea udah normal."

"Itu semua kan berkat kalian juga. Thanks a lot ya, teman,"

ujar Andrea sambil memelukku dan Daniel.

That?s what friends are for, An!

78 781679

P ASAR swalayan yang biasa kukunjungi letaknya tak jauh

dari sekolah, hanya dua ratus meter ke arah selatan,

selepas jalan raya. Sore itu seperti biasanya aku kebagian tugas belanja bulanan. Bedanya kali itu Patra menemaniku. Aku sempat heran, kok dia mau belanja? Habis, dia kan

cowok. Mana belanjanya sama cewek. Apa nggak malu-maluin

tuh? Tapi itu sebelum aku ingat bahwa dia cuma tinggal berdua

sama kakeknya. Masa kakeknya yang disuruh belanjaDulu sebelum terjadi kesepakatan perihal drama musikal di

antara kami berdua, sepulang sekolah aku sering langsung mampir ke pasar swalayan bersama Andrea. Karena tadi sepulang

sekolah aku harus berdiskusi dengan Pak Tomi tentang hasil


Pendekar Bayangan Sukma 14 Serikat Kupu Pendekar Gila 4 Duel Di Puncak Lawu The Spiderwick Chronicles 3 Rahasia

Cari Blog Ini