Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih Bagian 3
"Apa-apaan tuh, Chris? Wah, nggak fair. Nggak bisa gitu."
Aku mengepal gemas. "Satu hal yang gue mau sekarang adalah
ketemu Patra supaya dia lihat semuanya ini. Gue heran deh,
kenapa dia kok kesannya kayak diem-diem aja? Apa buat dia
drama ini udah nggak penting? Yang bener aja, masa dia rela
sih karyanya digituin?"
"Wo... woa... sabar, Ngen. Gue ngerti kok. Emang pasti bete
banget, tapi lo nggak boleh nyerah."
"Itu, Patra boleh pergi. Ke Singapura bahkan. Dia bercanda
atau gimana sih? Drama lagi hot banget gini, kok dia malah
leha-leha?"
"Patra pergi bukan buat plesiran kok, Ngen."
"Maksudnya?"
156 15618157
"Dia berobat."
Aku melongo bingung. Apa?! Patra berobat? Apa ini semua
ada hubungannya dengan laporan kesehatan yang aku baca ituJadi Patra betulan sakit hepatitisUcapan Chris tadi begitu mengejutkanku bagai... yah,
halilintar pada siang bolong. Sungguhan. Sama sekali tanpa
bermaksud berlebihan. Setelah halilintarnya bunyi, kepalaku
mendadak seperti kosong. Rasanya sunyi senyap.
"Ngg... lo nggak papa, Ngen? Kok kesannya kaget banget
gitu?"
Aku tersentak. "Oh ya... ehm..." Aku terdiam sesaat. "Emang
sakitnya parah banget ya, Chris? Kok sampai berobat ke
Singapura segala? Dokter di Indonesia kurang ampuh?"
Chris tersenyum. "Lo khawatir, ya?"
"Hah? Nggak kok."
"Iya juga nggak papa kok." Tangan Chris bergerak, menyentuh kedua pundakku. "Lo tenang aja, Ngen. Kita lihat ke
depannya gimana, tapi lo nggak boleh nyerah. Gue rasa Patra
nggak bermaksud nggak peduli dan main numpahin tanggung
jawab ini ke lo, tapi karena dia lagi sakit aja. Be cool, and
everything will be okay."
Aku mendesah, pasrah. Memang benar ucapan Chris. Kalau
aku menyerah sekarang, justru semua usahaku akan sia-sia.
Agatha harus lihat, segala usahanya untuk menggencetku akan
gagal.
Tak bisa dipungkiri setelah aku bicara dengan Chris siang tadi
sepulang sekolah, aku merasa jauh lebih baik. Walaupun aku
157 15718158
masih berharap Patra dan bukan Chris, yang menghiburku dengan
kalimat be cool, and everything will be okay. Paling tidak aku tahu
alasan Patra menghilang belakangan ini.
Ya, ya, ya! Aku nggak boleh terlalu lama larut dalam permainan si Agatha. Sekarang saatnya bergerak.
Dan langkah pertama yang kuambil adalah... conference call
dengan anggota L.A.D
"Halo, Ngen..."
Sip! Daniel sudah tersambung.
"Halo juga, Niel. Mana neh si Andrea, kok nggak diangkatangkat?"
"Halo, Langen? Sorry ngangkatnya lama. Tadi gue habis
pipis."
"Nggak papa, An."
"Lho, kok ada suara Daniel? Kita lagi conference-an, ya?"
"Iya."
"Ada apa nih, Ngen, kok kayaknya urgen banget?" tanya
Andrea.
"Gini, guys, seperti yang kalian tahu grup Agatha nih lagi
berjaya. Dan hal ini nggak bisa dibiarin lagi. Kalau kita diamdiam terus, kita bisa KO. Nah, lo pada udah baca e-mail yang
barusan gue kirim?"
"Udeh," Daniel menyahut sambil diikuti bunyi keyboard komputer diketik.
"Gimana, apa rencana gue udah jelas di situ, atau mungkin
ada pertanyaan lagi?"
"Ehm, gue sih suka ide lo, Ngen. Termasuk cara lo gebukin
Agatha balik gara-gara ngasih comment jelek di website gue.
Tapi, ini agak susah ya, Ngen."
158 15818159
"Tenang aja, An. Kalau mau barang, ada harga yang harus
dibayar. Kalau kita mau ngasih mereka pelajaran, emang pasti
perlu usaha. Tapi kita kudu think smart. Kita anggota L.A.D
nggak bisa dibuat mainan sama mereka. Kita pasti bisa menang!"
"Merdekaaaa!"
Tawaku dan Andrea sontak pecah mendengar respons
Daniel.
"Kenapa ketawa? Lanjut, Ngen!"
"Ya udah, rapat ditutup sampai di sini dulu. Senin besok kita
udah mulai ujian semester. Kita fokus dulu ke pelajaran. Biarin
aja si Agatha and the gank menikmati kejayaannya sekarang. Di
film-film juga pasti jagoannya awalnya kalah dulu. Tapi nanti
setelah libur Natal mulai, kita mulai bergerak. Bagaimana,
Pasukan?"
"Siap, Komandan!" jawab Andrea dan Daniel serempak.
159 15918160
ELAMA ujian berlangsung, sepekan, untungnya tidak
seorang pun anggota geng Nenek Sihir yang membuat
masalah. Yah, paling tidak aku bisa menaruh perhatian
secara penuh, bertempur dalam perang puputan melawan
ratusan jenis soal.
Dan sekarang, ketika semua mata ujian sudah kulalui, aku
merasa sepi. Mungkin setelah seminggu belajar gila-gilaan,
kemudian dalam sekejap jadi pengangguran, membuatku jet
lag.
Besok libur Natal mulai. Berita baiknya aku merasa sangat
senang. Melihat hiasan-hiasan dan dekorasi Natal yang marak
dipasang di mana-mana, pohon Natal dengan berbagai ukuran,
membuat hatiku hangat.
In the mean time aku kepanasan. Bukan karena terlalu
bersemangat menyambut Natal, tapi karena aku sedang mengantre bersama Daniel di acara bakti sosial yang diorganisasi
OSIS sekolah. Kami berdua berinisiatif menyumbangkan barangIt?s My
Christmas Wish
160 16018161
barang yang sudah nggak terpakai tetapi masih layak pakai.
Barang-barang itu akan dibagikan Andi dan beberapa anggota
OSIS inti pada anak-anak jalanan saat malam Natal.
"Bawaan lo banyak amat sih, Nek?" omel Daniel saat aku
me?mintanya membantu membawakan dua kantong tempat
sampah bersih berukuran raksasa, berisikan barang-barang
sumbanganku.
"Masalahnya ini satu-satunya kesempatan gue untuk menyingkirkan barang-barang dari kamar gue."
"Apaan sih, Ngen? Kok nggak nyambung? Kenapa mesti
nunggu sekarang buat beberes kamar? Kan terserah elo, mau
nyumbang kemarin atau besok."
"Iya juga sih. Cuma baru kali ini gue bisa nyumbangin punya
si Estri juga. Barang-barang gue mah cuma dua puluh persen,
sisanya punya Estri nih, numpuk di kamar."
Dahi Daniel berkerut. "Barang-barang Estri? Oh, pantes,
setahu gue lo kan nggak suka sapi. Boneka sapi ini pasti bukan
punya lo. Gue heran, kenapa bisa ada di sini? Tapi, bentar,
Ngen, kok Estri nggak ngamuk?"
"Hah?"
"Emang dia setuju boneka sapi raksasa ini disumbangin?"
Aku mengangkat bahu. "Yah, nggak tahu ya."
"Lho, kok nggak tahu? Gimana sih, Ngen?"
"Kan Estri lagi retret di Puncak. Ya udah, mumpung orangnya
nggak ada, gue pakai kesempatan ini untuk ngerapiin kamar
gue. Gue gerah ngelihat barang-barang dia numpuk di kamar.
Salah satunya ya boneka sapi ini. Tahu nggak, di rumah tuh ada
tiga dan udah nggak dimainin lagi sama Estri. Yah, gue kasih
orang aja satu. Nggak apa-apa dong? Ada juga itu tuh, boneka
161 16118162
bebek kena kanker. Orang bulu-bulunya udah rontok separoh,
masih aja disumpelin di samping lemari gue. Terus, gara-gara
lahan dia udah penuh, main taruh aja di lahan gue."
"Buset, lo gila ya, Ngen. Pada bulan penuh berkah gini lo
malah memulai perang. Lo nggak takut dipancung tuh anakNtar kalau dia udah balik, trus tahu sapinya hilang satu,
gimana?"
"Tenang aja, Niel. Gue bakal bertahan hidup. Gue udah
kongkalingkong sama bapak gue. Ntar kalau si Estri murka, gue
bilang aja yang nyuruh Bapak. Nah, dia nggak bakal protes.
Lagian bapak gue juga nggak setuju sama kebiasaan numpuk
barang di rumah."
Malini menyambut kami dengan senyum lebar saat kami tiba
di meja panitia. Ia menyerahkan sekantong permen coklat,
sekadar ucapan terima kasih bagi para penyumbang. Khusus
untukku, Malini menambahkan sekantong lagi karena bawaanku
banyak?bisa dibilang di atas angka kewajaran bagi seseorang
dalam menyumbang. Tanpa berbasa-basi lagi, aku dan Daniel
segera beranjak setelah urusan kami selesai.
"Hari ini lo jadi main ke rumah gue, kan?" tanyaku sembari
men-stater Scoopy merahku.
"Kayaknya nggak, Ngen."
"Kok gitu?" tanyaku heran, sementara tanganku terulur,
menyerahkan helm bergambar Elmo.
"Males ah. Kan tante-tante lo udah pada dateng, Ngen. Rumah lo pasti penuh."
"Ah, belagu deh lo, Niel. Biasa juga lo main sama sepupusepupu gue. Lagian lo kan sendirian di rumah. Inget ya, kita
udah janjian nonton Home Alone bareng. Hari ini filmnya main
jam sembilan."
162 16218163
"Please deh, Ngen. Kita udah nonton film itu ribuan kali.
Emang lo nggak bosen?"
"Nggak. Nggak akan pernah. Lagi pula buat gue bukan filmnya yang gue cari, tapi momen untuk ngumpul, ngobrol bareng
elo. Kita udah lama nggak ngobrol lho, Niel. Sejak kita pada
sibuk ujian."
"Iya sih, tapi kayaknya gue besok mau jalan ke Bandung. Jadi
hari ini gue kudu istirahat, biar besok fit."
"Mau ngapain?"
"Besuk Tante Anggi."
"Tante lo yang baru divorce itu, ya?"
Daniel mengangguk, mengiyakan.
"Gue mau nemenin dia aja lah. Kan kasihan Natalan sendirian.
Kalau elo kan udah banyak yang nemenin. Secara, nenek lo
bawa kru sekampung."
"Lebay lo!" tukasku agak manyun. "Sebenernya gue sedih
sih, tapi ya, udahlah."
"Ngen, lo ajakin aja tuh si Patra Natalan bareng ke rumah
lo."
Aku mendelik. "Lo ngelindur, Niel?"
"Nggak kok. Maksud gue kan, lo udah sering ke rumah dia.
Pakai acara dimasakkin segala. Intinya lo udah sering nyusahin
dia lah."
Aku melirik Daniel tajam.
"Yah, jangan ditelen mentah-mentah. Lo ngerti nggak sih
maksud gue?"
"Terus?"
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yah, lo ajakin aja dia ke rumah lo. Sama kakeknya juga kalau
perlu. Lo undang dia makan malam besar. Kan kalau malam
163 16318164
Natal, lo suka makan-makan. Itung-itung gantian, Ngen. Menjamu Patra." Daniel berhenti sejenak, menangkap lirikanku yang
masih tajam. "Ngen, gue serius. Tampang lo nggak usah gitugitu amat kali. Gue kan cuma usul."
"Yah, ntar gue pertimbangin lagi deh. Ayo, naik!" perintahku
cepat.
"Kita langsung pulang, kan?"
"Ke rumah gue dulu sebentar, ya?"
Daniel memasang wajah frustrasi.
"Tenang, bukan buat jagain sepupu-sepupu gue. Gue ada
Christmas gift buat lo. Kan kita nggak ketemu lagi sampai nanti
masuk sekolah. Oke?"
Jam sudah berdentang lima kali. Itu berarti aku sudah harus
segera siap di ruang tamu dan mengikuti acara pembuka, semacam acara ramah-tamah sebelum acara utama yaitu makan
malam, dimulai. Sejak dulu aku tak pernah suka acara seperti itu.
Aku lebih suka langsung muncul waktu makan malam.
Acara ramah-tamah sering digunakan anggota keluargaku
menjadi forum pengumuman, seperti kenaikan pangkat dan
jabatan, prestasi studi di luar negeri dengan nilai bagus, beli
rumah baru. Bahkan pacar baru bisa diumumkan (baca: dikenalkan) di sini. Sebenarnya sih aku nggak sedepresi itu sampai
nggak kuat mendengar cerita sukses atau kabar bahagia dari
anggota keluarga sendiri. Hanya saja, selain aku nggak punya
cerita apa-apa, acara ini suka disalahartikan sebagai forum ajang
pamer. Nah, kalau sudah mulai saling pamer begitu... uh! Rasanya mau kabur! Sayangnya aku nggak pernah sukses. Selalu
saja berhasil diantisipasi Ibu.
164 16418165
Kembali kulihat pantulan bayangan diriku di cermin. Di sana
tampak gadis dibalut gaun sutra biru selutut. Jepit bunga kecil
menghiasi rambutku. Dengan makeup natural sebenarnya aku
sudah sangat siap turun. Tapi aku sengaja memperlambat
gerakan. Ada sesuatu yang masih kutunggu.
Aku nggak tahu itu berita baik atau buruk. Semalam Patra
membalas SMS-ku dan bilang akan datang malam ini. Wow!
Benar-benar wow! Padahal awalnya aku cuma gambling. Kupikir
nggak salah juga mencoba usulan Daniel. Daripada si Patra
latihan Bach terus-terusan sendirian, nah mendingan main ke
rumah. Lumayan. Ngegantiin Daniel, main sama Jojo, sepupuku
yang bandelnya minta ampun itu.
Aku nggak menyangka Patra bakal menanggapi SMS-ku
dengan serius. Sekarang aku yang jadi bingung sendiri. Separuh
diriku ingin cepat-cepat turun supaya bisa memastikan apakah
Patra sudah datang. Tapi kalau telanjur turun, aku nggak akan
bisa kabur ke mana-mana lagi.
"Langeeeeen!" panggilan Eyang Putri dari bawah menyentakku dari lamunan. Gawat! Eyang udah manggil-manggil. Garagara Patra sih. Coba dia bilang dia nggak mau datang, aku
nggak bakal pusing begini. Aku bisa pura-pura ketiduran,
misalnya. Lha, kalau sekarang aku pura-pura mendengkur terus
tahu-tahu Patra nongol, bisa berabe.
"Pantes dari tadi nggak turun-turun, Ngen. Bukannya rapirapi, malah ngelamun. Uti udah nggak sabar tuh, nungguin lo!"
tegur Estri yang tiba-tiba muncul di kamar.
"Bilang aja sama Eyang Uti, gue nggak mau turun dulu.
Males."
"Lo mau dikutuk Eyang Uti jadi kodok?"
165 16518166
"Yah nggak lah. Cuma gue bener-bener males turun. Ngapain
turun jam segini? Di bawah kan rame banget, Es. Nggak ada
yang seru, Es. Palingan Tante Lis yang bikin heboh. Dia kan baru
beli herder. Jangan-jangan anjingnya dibawa ke sini lagi."
"Udahlah, Ngen, apa pun yang terjadi, mau nggak mau lo
harus turun. Robot lo udah nangkring tuh, di bawah."
Aku melompat kaget. "Maksud lo Patra?"
"Siapa lagi? Buruan turun!"
Aku tidak tahu apa makna pandangan Patra saat melihatku
menuruni tangga. Apa itu artinya dia kaget? Karena itu kan
pertama kalinya dia lihat aku pakai gaun. Aku sih merasa gayaku
turun tangga biasa saja. Tidak seanggun Emma Watson sesaat
sebelum adegan Yuleball dimulai. Tidak segemulai putri keraton
Solo. Tidak pakai spotlite seperti di film-film, di mana keadaan
mendadak sunyi senyap dan semua mata memandangku. Justru
tamu di bawah malah tidak ada yang memperhatikanku, kecuali
dia.
Patra.
Mungkin karena mata kami saling mencari, sehingga saat kami menemukan satu sama lain. Ya, di situlah mata kami berhenti.
Kalau boleh berpendapat, aku malah merasa Patra yang menjadi sorotan waktu aku turun tangga. Ya, kalau dipikir secara
logis, memang sudah pasti Patra jadi perhatian utamaku. Kan
tujuanku turun memang mau nyari dia. Seriously he looks perfect. Bagusnya lagi, kemeja yang dikenakannya pas. Senada
dengan gaun satin biruku. Jadi kalau nanti tante-tanteku melihat
kami sedang ngobrol berdua, akan terlihat, ehm, serasi.
166 16618167
Itu tadi bagian bagusnya.
As the saying goes, uang selalu punya dua sisi berlainan.
Bukan Patra namanya kalau bisa membuka percakapan dengan
baik. Seusai momen saling menatap, posisi kami sudah mendekat dan saling melempar senyum. Hanya satu kata yang keluar
dari bibirnya: "Hai."
Mungkin bagi Patra, "hai" sudah cukup untuk mengungkapkan seluruh perasaan dan pikirannya, bahkan setelah hampir
sebulan kami tidak berjumpa.
Okay, forgive me, lagi-lagi aku berkhayal. Bermimpi kalau
Patra memikirkanku. Ngarep dot com.
Tapi, masa sih? Apa segitu muluknya berharap bisa ngobrol
dengan Patra di depan sepupuku? Paling tidak supaya untuk
pertama kalinya aku tidak jadi looser pada acara tahunan. I
know, memang sih nggak ada ngejek atau merendahkan aku
selama ini. Dengan segala prestasi yang aku capai?juara kelas,
menang lomba ini-itu?yah, nggak ada yang meremehkanku.
Tapi dalam dunia cewek, kayaknya tetap ada pengecualian. Ada
hal-hal yang bagi kami, para cewek, bisa sama membanggakannya, bahkan melebihi menang lomba speech di Canisius
College, kalau kami bisa membawa gandengan ke acara ini.
Hingga acara utama, makan malam besar berlangsung, Patra
tetap anteng. Beberapa orang menyanjungnya dengan ber?kata:
"Teman kamu sopan sekali." Kekurangan Patra yaitu "berbicara
dengan gaya baku" justru menjadi nilai plus bagi tamu-tamu
yang berkunjung malam ini. Patra memang jauh dari kesan
brutal maupun slengean? seperti sepupu-sepupu cowok?ku yang
seusia Patra. Yah, lumayanlah. Ada yang bisa dibang?gain.
Dikit.
Nah, kesalahan yang agak besar mulai terlihat begitu acara
167 16718168
makan usai. Keluarga besar kami, setelah makan malam, masih
punya satu acara kebersamaan lagi. Eyang Uti hobi berdansa.
Biasanya setelah semua makanan selesai disantap, Eyang
langsung membuka kain penutup si ponograf, menge?luarkan
koleksi piringan hitamnya. Setelah itu beliau memilih salah satu,
lalu memutarnya.
Mungkin pas zaman Eyang masih muda, dansa tuh in banget.
Seperti hip hop dance bagi para remaja sekarang. Mulai dari
tango, rumba, chacha, semua Eyang bisa. Eyang Putri juga
mengoleksi lagu-lagu ballrOm dance. Di antaranya bahkan ada
yang berbentuk piringan hitam. Pilihan lagunya optional sih, tapi
berhubung sekarang malam Natal, jelas Eyang memutar
tembang-tembang bernuansa Natal.
Tamu-tamu yang bisa berdansa langsung beranjak ke ruang
tamu besar. Mengikuti aksi Eyang yang kini asyik berdansa
dengan Om Ari?itu lho, Omku yang dagang bubur. Dari
kesembilan anak Eyang Putri, tiga tertua saja yang mewarisi
hobi berdansa.
Apakah itu kesalahan agak besar yang kumaksudkanJawabannya: salah.
Berhubung Bapakku anak keempat, jadilah ia pelopor gerakan
tidak bisa berdansa di keluarga Eyang. Mungkin pas zaman
Bapak ABG, sudah nggak oke lagi dansa-dansa gitu. Itu dia yang
bikin aku jadi nggak bisa dansa. Yang artinya aku nggak bisa
ikutan seru-seruan, joget-joget bersama di ruang tamu. Tapi,
believe me, itu nggak buruk. Paling tidak nggak seburuk fakta
bahwa tiba-tiba aku melihat Patra ikut berdiri, melangkah ke
tengah ruang tamu.
Untuk lima detik pertama aku cuma bisa bengong. Aku disa168 16818169
darkan lambaian Estri dan tatapan tajamnya yang tampak jelas
bahwa ia sedang meminta pertanggunganjawabku. Secepat kilat
aku langsung bergerak, mencoba mencegah Patra. Tapi gagal.
Lengan Patra keburu digamit Amel, sepupuku. For your
information, Amel termasuk yang mahir dalam silsilah keluarga
berdansa Eyang. Makanya dia nggak menyia-nyiakan kesempatan untuk menunjukkan kebolehannya malam ini, bersama
Patra tentunya.
Setelah menyambar segelas air putih aku segera berjalan ke
arah ponogram antik Eyang Putri. Tidak ada jalan lain. Jika aku
harus dikutuk Eyang untuk menghentikan kenekatan Patra, apa
boleh buat. Pastinya piringan hitam rusak dan melodi meleyotleyot cukup ampuh untuk membubarkan acara dansa-berdansa.
Iya! Tengok kanan-kiri dulu, Langen...
Aman. Tidak ada yang melihat...
Satu... Gawat! Tangan Amel sudah menempel di pundak
Patra! Apa-apaan ini?!
Dua... Yang kubutuhkan hanya beberapa tetes air... dan...
Tig...
"Ehemmm!" Di hadapanku tiba-tiba berdiri Om Biyanto, anak
ketiga Eyang, dengan pangkat MPPHEP?Menteri Peme?liharaan
Piringan Hitam Eyang Putri. Siaul! Kok bisa tahu-tahu dia
nyamperin aku sih? Tanpa bisa mengelak, mau tak mau aku
harus meyingkir dari sisi ponograf.
Alih-alih kembali ke tempatku semula, aku memilih berdiri di
deretan belakang. Meskipun untuk melihat Patra harus berjinjit,
aku yakin tempatku berdiri saat itu posisi paling strategis.
Begitu Patra kesandung atau kakinya kecengklak, butuh waktu
169 16918170
agak lama untuk menemukanku di balik tubuh Dik Bimbim,
sepupuku yang badannya kayak Samson. Ditambah lagi posisiku
hanya beberapa langkah dari pintu keluar. Jadi waktu orangorang emosi mencariku sambil mengomel: "Itu siapa sih? Badan
kayak robot, sok-sok dansa segala. Kalau keseleo gini sapa yang
tanggung jawab? Temen Langen? Mana si Langen?", aku sudah
nggak ada di tempat tersebut. Sudah kabur, tepatnya.
Aku tak sanggup melihat Patra saat Amel mulai meliuk-meliuk
energik diiringi irama chacha yang mantap. Menurutku gerakan
Amel agak sensual. Seperti menggoda Patra supaya mau
berdansa dengannya.
Nah, nah, Patra mulai bergerak... Kupejamkan mataku segera.
Tidak ada bunyi berdebam, bunyi orang jatuh. Tidak ada
sorakan, ejekan, bahkan jeritan histeris. Justru yang terdengar
suara tepuk tangan.
Lho? Patra bisa dansa"Oh, kamu di sini ternyata."
Aku menoleh, menatap Patra sinis, kemudian membuang
muka.
"Mau minum? Nih."
Kembali aku mendongak. Patra menyodorkan koktail dingin.
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kok keluar? Udah puas dansanya?" tanyaku, sengaja menyindir tanpa menyentuh si koktail, walaupun sebenarnya aku
kepingin. Dari tadi aku sengaja duduk di teras sendirian. Mengasingkan diri dan meratapi nasib yang selalu jadi the unnoticed.
Kukira setelah semua orang mengakui keahlian Patra ber170 17018171
dansa, aku juga bisa ikut berbangga dengan bilang: "Dia
temanku lho!". Tapi ternyata semua pujian hanya tertuju pada
Patra seorang. Semua orang lupa bahwa aku yang membawa
bintang dansa itu kemari. Aku keluar ke teras pun sepertinya
nggak ada yang peduli.
Apalagi setelah lagu God Rest Ye Merry Gentleman versi
chacha selesai mengalun, Patra masih melanjutkan aksi panggungnya dengan Amel. Mereka berdansa tango. Setelah tango
usai, Patra masih juga mengiyakan permintaan Eyang untuk
berdansa waltz bersama. Adegan selanjutnya aku nggak tahu
lagi. Mungkin Patra dansa sama Michelle, atau kembali bersanding dengan Amel, karena tepuk tangan masih terus terdengar
dari teras.
"Kok ngomong begitu sih? Saya ke sini bawain kamu minuman lho."
"Pasanganmu apa juga sudah dikasih minum?" tanyaku masih
dengan nada sinis.
"Pasangan apa sih, Ngen?"
"Pasangan dansa lah, masa pasangan main congklak?"
Berbeda dengan sifatnya yang biasa, Patra tidak emosi.
Justru ia malah mengambil tempat di sebelahku.
"Nih, minum dulu. Masa saya pegang terus gelas kamu?"
Akhirnya aku menyerah. Kuambil koktail dari tangan Patra.
Mumpung Patra mau bicara. Mumpung nggak ada seorang pun
yang bisa merusak momen ini. Siapa tahu, tiba-tiba Amel muncul"Saya mau bilang terima kasih sebesar-besarnya, Ngen, untuk
undangan kamu malam ini."
Oh, Patra masih ingat bahwa aku yang ngajak? Baguslah.
171 17118172
"Terima kasih untuk makanannya. It?s way far more better
than my fettucini."
Hmm, itu katering kok.
"Terima kasih juga untuk pengalaman seperti ini. Saya dapat
banyak teman baru."
Aku melirik Patra. "And a nice girl with a nice hips."
Patra tak menggubris ejekanku barusan.
"If I may be honest, my dear, what I feel tonight is
the best Christmas gift. Giftthat I need. Sudah lama sekali saya
tidak merasakan kehangatan keluarga seperti ini. Saking lamanya
jadi buronan, saya sampai lupa rasanya diterima keluarga.
"Selama ini saya hanya bersembunyi, membentengi diri saya
dengan segala kebiasaan yang tidak bisa diterima teman-teman
sebaya saya. Itu jawabannya, Ngen, kenapa saya selalu bicara
sok baku." Patra melirikku, tersenyum.
Aku terperangah.
"Alasannya simpel, saya takut merasa nyaman dalam situasi
yang menyenangkan, yang hangat, sampai akhirnya saya
menjadi lemah. Lalu saya mulai kangen pada Ibu, Inge, dan
ayah saya."
Patra menarik napas panjang.
"But tonight I feel slapped. I was reminded, that as human
being, can not run constantly, avoid any kind of affection that is
still being shown by my mother and Inge. And you."
Patra bergerak merapat ke sampingku. Ia menoleh dan
memandangku lekat-lekat. "With all sincerity, from my deepest heart, thank you, Langen." Patra kembali bergerak, mendekatkan wajahnya ke wajahku.
172 17218173
Ya ampun! Aku kenapa? Mayday! Mayday! Kakiku mendadak
mati rasa, lumpuh. Rasanya sebentar lagi aku meleleh.
Gerakan Patra memang lambat, tapi nggak berhenti. Aku
harus gimana? Aku mau mati.
"Langeeeeenn! Christmas wishes udah mulai nih! Lo mau
gantung wishes lo apa nggaaak?"
Aku nggak jadi mati. Dengan gerakan cepat aku beranjak
meninggalkan Patra. Dengan gerakan secepat kilat, buru-buru
kuambil kartu wishes dari atas piano. Bersama dengan tamutamu yang tak lama lagi akan pulang, kugantungkan kartu di
salah satu dahan pohon Natal raksasa di ruang tamu.
173 17318174
EMUA yang manis-manis sudah lewat. Natal yang indah,
Tahun Baru meriah, berikut Valentine bersejarah. Bersejarah karena untuk pertama kalinya dalam hidup, kami,
anggota L.A.D, sukses melaksanakan acara TKB?Temu Kangen
Bertiga?di restoran hotel di kawasan Jakarta Selatan. Wueee...
Keren, kanNah, biasanya setelah yang manis-manis berlalu, hal-hal jelek
nggak sabar menunggu giliran menyapa. Seandainya hidup itu
permen karet, setelah rasa buahnya nggak terasa, aku bisa
langsung melepehnya. Mempraktikkan keampuhan istilah "Habis
manis sepah dibuang."
Sayangnya hidupku nggak bisa dilepeh. Semua rasa, baik itu
manis, pahit, asam, asin, bahkan pedas, mau tak mau harus
mampu kutelan. Untuk rasa selain manis, aku butuh usaha dan
nyali lebih besar supaya pengalaman-pengalaman itu berhasil
tecerna sempurna dan nggak nyangkut di tengah jalan. Misalnya
pengalaman bekerja di bawah pemerintahan tirani Carolina yang
sampai sekarang nggak berhenti juga.
Papa
174 17418175
Tampaknya Carolina pakai satu set kalung dan gelang penolak bala. Masa lima rencana yang kususun bersama sebelum
ujian semester lalu belum ada yang membuahkan hasil? Aku
tahu mengonfrontasi Carolina langsung sama halnya dengan
bunuh diri. Walaupun dia tokoh utama, tapi kan sutradaranya
tetap Pak Dave. Makanya aku berusaha memengaruhi Pak Dave.
Tujuannya agar beliau nggak terlalu mengikuti mau Carolina.
Salah satunya dengan memperdengarkan lagu Sayang versi
original?tanpa vetsin tambahan seperti versi Carolina.
Ternyata Pak Dave sudah termakan omongan Carolina. Beliau
berpendapat dengan menambahkan unsur R&B pada lagu-lagu
buatan Patra malah bisa mendongkrak antusiasme penonton.
Apalagi Carolina mengajak sepupunya, Jonathan, jadi rapper di
intro dan interlude lagu tersebut. Pak Dave melihat hal tersebut
sebagai gebrakan baru. Menurutnya drama ini jadi seru saat
Jonathan mulai nge-rap di bagian: yo, come on, in the house, in
the night, bla... bla... bla. Pasti penonton bersorak penuh
semangat.
Tak mau menyerah, pertengahan Jauari lalu aku memaksa
Patra berbicara empat mata. Aku nggak habis pikir, bagaimana
mungkin, bahkan setelah dia tahu aksi gila Carolina, dia masih
bisa berlagak santai, seolah Carolina bukan masalah besar. Aku
tahu Patra pasti lebih memilih fokus menghafal nama-nama
Latin tumbuhan atau rumus-rumus kimia daripada bertindak
melawan kesewenang-wenangan Carolina. Aku tahu bulan depan, kalau tanggalnya nggak berubah lagi, Patra dan 150 siswa
kelas lulusan akan mengikuti Ujian Nasional? monster terbesar
yang harus dikalahkan siswa kelas 3 di seluruh indonesia,
sebelum masuk ke level selajutnya.
175 17518176
Kacaunya, nggak peduli sesewot apa aku mendebat robot
itu, dia tetap nggak ambil pusing. Justru ia berbalik menasihatiku begini: "Langen, nggak semua yang kita inginkan bisa
kita dapat. Sudah bagus Carolina masih mau pakai lagu kita,
atau paling nggak, nggak ngaku-ngaku lagu itu buatan dia. Jadi
lebih baik kita mainnya slow aja. Ikutin dulu maunya dia apa.
Kalau ditentang sekarang, kita yang rugi, Ngen."
Jujur, sebenarnya setengah hati aku mengikuti anjuran Patra.
Penindasan Carolina mungkin larutan brotowali yang harus
kuteguk. Tapi aku yakin suatu saat kerajaannya akan lengser!
Minggu ini bisa jadi Minggu indah pertamaku seandainya Daniel
tidak menelepon. Akhirnya setelah berdamai dengan diri sendiri
mengenai kezaliman Ratu Carolina, semalam aku bisa tidur
nyenyak. Tapi mimpiku rusak karena ulah Daniel. Walau telah direject lima kali, ternyata dia masih kekeuh menghubungiku. Saat
handphone-ku berdering untuk keenam kalinya, kuputuskan mengangkatnya. Lagian, mimpiku sudah nggak mungkin disambung.
"Lo ada di mana, Ngen?"tanya Daniel begitu aku mengangkat
telepon.
"Di rumah lah, Niel. Ada apa sih? Kayaknya kok suara lo panik
gitu?"
"Hmm, lo langganan koran The Headline nggak, Ngen?"
"Langganan, kenapa?"
"Lo buka cepetan, halaman 56, rubrik Kata Kamu, Kata
Kita!"
"Aduh, Niel. Tukang korannya belum dateng."
"Gila, lama amat datangnya?" suara Daniel terdengar agak
geram. Mungkin karena tujuannya tidak langsung tercapai.
176 17618177
"Yey, lo aja yang teleponnya kepagian. Menurut lo sekarang
jam berapa? Masih jam enam, tahu!"
"Tukang koran lo tuh yang males. Tukang koran langganan
gue jam lima udah setor muka."
"Udah deh, kenapa jadi tukang koran gue yang salahMending lo jelasin dulu, kenapa Minggu pagi-pagi gini lo ganggu
tidur gue?"
"Masalahnya nggak bisa dijelasin, Ngen. Lo harus lihat
sendiri. Kalau diceritain, essence-nya beda."
"Bentar, doa lo dijawab nih kayaknya. Tukang koran gue
dateng. Bentar, gue ambil dulu korannya."
Berlari, aku mengambil koran yang dilempar masuk, tepat di
depan pintu rumah.
"Udah belom? Buruan buka halaman 56!"
"Sabar, Mas," pintaku sambil menjepit telepon di antara
telinga dan pundak kiri, sementara kedua tangan bergegas
menuruti perintah Daniel.
"Kalau udah buka, lo kasih kode ya."
"Hmm... 53... Otomotif, 55... Teen?s Corner, 56... AS-TA-GA!"
177 17718178
AAT menulis artikel ini, saya sedang duduk di kafe di mal
besar di Jakarta Barat. Bukan pengalaman khusus memang, tapi ada hal yang menggelitik pikiran saya. Saya
duduk di pinggir, pojok kiri bagian depan. Kebetulan kafe ini
letaknya berseberangan dengan arena bermain anak, dan dari
tempat saya duduk, saya bisa melihat semua aktivitas di dalam
arena bermain anak tersebut.
Tidak ada pemandangan menarik, mencolok, atau aneh di
sana. Semuanya serbabiasa: anak-anak bermain dengan gembira, berlari ke sana kemari. Beberapa anak perempuan berusaha keras mengaitkan kait penjepit ke boneka Teddy, serta
ada pula yang berebut mencabut karcis poin yang didapat setelah bersama-sama menjadi pemburu dan menembaki beruang
virtual.
Di tengah situasi yang serbasemarak itu, perhatian saya
beralih pada sepasang ayah dan anak yang tengah beradu dengan waktu. Bersama mereka berusaha memasukkan bola
Papa
Oleh Andrea Giani Budiman
178 17818179
sebanyak-banyaknya ke ring. Apakah ada yang spesial dari
pemandangan tadiTidak juga.
Yang jelas saya jadi teringat papa saya. Saya tidak terlahir
atau tumbuh tanpa Papa sehingga ketika melihat adegan tadi,
mendadak saya jadi mellow. Hanya saja sudah hampir setengah
tahun saya tidak bertemu, tidak berkomunikasi, dan tidak saling
menyapa Papa. Tentu pembaca sekalian bertanya, apa yang
membuat kami putus hubungan? Perceraiankah? Tuntutan
profesi papakah yang harus bepergian jauh sepanjang tahunMati karena perang? Atau barangkali ada yang menerka, saya
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terpisah waktu bayi, seperti cerita di sinetron yang sedang in
belakangan ini.
Jawabannya: semuanya salah. Papa saya tidak mati. Beliau
masih hidup dan menurut kabar, kondisinya sangat sehat. Dan
kemungkinan masih gay.
Mengapa saya memakai kata "masih"? Karena setahu saya
Papa masih bekerja sebagai fashion photographer, sehingga
kemungkinan beliau bertemu dengan orang-orang yang bersifat
khusus semakin besar. Setelah berusaha menyembunyikannya
belasan tahun, fakta bahwa Papa pernah berhubungan dengan
seorang pria baru saya ketahui lima bulan lalu dan menjadi
pemicu kerenggangan kami.
Apa yang ada di benak pembaca sekalian saat ini? Kalau
boleh numpang ge-er, saya menebak pembaca memikirkan
kondisi psikologis saya setelah saya mengetahui kenyataan
mengejutkan tersebut.
Perasaan terbesar yang mendera saya setelah itu adalah kekecewaan mendalam. Papa yang selama tujuh belas tahun saya
179 17918180
hidup menjadi sosok paling berpengaruh, ayah dengan profesi
mapan yang bisa diandalkan, menjadi superman kebanggaan
saya, ternyata begitu. Saking kecewanya, saya sampai sempat
berpikir, mungkin lebih baik nggak punya Papa. Daripada punya
Papa yang ternyata...
Saya memutuskan "membunuh" Papa. Menghapus semua
memori tentang Papa, mengubur dalam-dalam semua kenangan
yang pernah saya lalui bersama Papa. Pendek kata, saya mencoba melupakan Papa.
Awalnya saya berpikir setelah saya "membuang" Papa, semua masalah saya selesai. Saya mengira, dengan usaha saya
"membunuh" Papa, kehidupan saya akan kembali normal seperti sedia kala. Karena saya pribadi tidak mau terlalu lama larut
dalam pusaran rasa sedih.
Tanggal 14 Februari pagi melalui Mama, Papa mengutarakan
keinginannya menemui saya. Tak peduli seberapa sering saya
mengabaikan permintaannya. Bahkan Papa siap menerima makian terpedas saya. Papa berkeras bertemu saya. Papa bilang,
beliau ingin minta maaf dan menjelaskan semua yang terjadi,
terutama tentang kejadian itu.
Saya merasa bimbang. Memaafkan Papa? Rasanya sangat
mustahil, menukar semua kekecewaan, luka hati, dan kepedihan
saya dengan kata maaf. Saya Andrea Giani Budiman, yang
selama lima bulan ini sangat ketakutan teman-teman sekolah
saya tahu kejadian di foto itu dan menjudge Papa saya, dan
saya dihadapkan pada opsi untuk memaafkan Papa, penyebab
ketakutan saya. Di sisi lain saya juga tahu, dengan memaafkan
Papa terlebih dahulu, saya tidak lagi dihantui perasaan tidak
nyaman ketika bertemu Papa. Tidak lagi harus menghindari
180 18018181
Papa ketika beliau mau menjelaskan tentang segalanya. Tapi,
come on, mengumbar kata maaf terasa mudah dibanding
melakukannya.
Tanggal 14 Februari malam, saat hendak menemui saya, Papa
mengalami kecelakaan cukup fatal. Tiga tulang rusuknya patah.
Walau telah mangkir sekuat tenaga, rasa bersalah sanggup
menelusup ke hati saya. Papa mungkin tidak konsen saat nyetir
karena begitu inginnya menjelaskan semuanya dan memohon
maaf pada saya, begitu pikir saya.
Dicecar seribu campur aduk, saat akhirnya saya memberanikan diri menjenguk Papa yang terbaring lemah, nurani saya
menjerit kencang. Keputusan harus diambil malam ini. Saya
memilih untuk memaafkan Papa dan kejadian itu. Setelah Papa
siuman, beliau menjelaskan segalanya. Papa bukan gay. Kejadian
itu hanya khilaf semata. Hanya sekali itu. Meski Papa masih
sering bekerja sama dengan Om Ray, Papa tidak pernah
berhubungan dengan beliau di luar lingkungan kerja. Untuk
meyakinkan Mama dan juga saya, Papa akan mencoba meninggal?kan fashion photography dan beralih jalur fotografi yang lain
untuk pekerjaannya.
Seperti yang saya katakan pada awal, mungkin cerita saya ini
tidak banyak berarti, tidak unik, atau bahkan menarik. Bagaimana pembaca sekalian menilai tulisan saya, saya jelas tak berhak melarang. Tapi bagi saya pribadi, melalui peristiwa di atas,
saya telah membuktikan kebenaran ucapan Isaac Friedmann
bahwa "Forgiveness is the sweetest revenge".
Andrea G. Budiman
Siswi kelas 2 SMA 1 Jakarta
181 18118182
WUUUSSS!! Awan gelap di langitku berangsur-angsur
menghilang. Dugaanku salah. Kupikir aksi nekat
Andrea bakal menuai tindakan lebih sadis dari para
nenek sihir itu. Habis, siapa sangka Andrea bakal seblakblakan
gitu di koran sekelas The HeadlineTernyata aku keliru.
Justru karena tulisannya yang begitu jujur, Andrea diundang
ke acara talk show yang lagi hapenning banget, The Saturday?s
Show. Bonusnya, pembawa acara The Saturday?s Show, Debra
Melanie, memberikan standing applause setelah menangis terharu mendengar kisah Andrea. Beliau memberikan penghargaan
khusus bagi Andrea yang sudah sangat berlapang hati menerima dan memaafkan ayahnya.
Aku yakin sekarang Jo tak akan mampu macam-macam
dengan sahabatku itu. Mau apa lagi dia? Mau memeras Andrea
supaya rahasianya nggak bocor? Hahaha... Wong sekarang fakta
itu bukan rahasia lagi.
Pamitan
182 18218183
Hebatnya, sejauh ini sambutan masyarakat cukup baik. Yah,
pasti adalah satu-dua orang yang mencibir di belakang, soalnya
kasus Andrea kan sensitif. Tapi sejauh ini keadaannya baik dan
terkendali.
Kecuali hatiku.
Tinggal tiga hari lagi sebelum pementasan drama musikal
akbar Ella and The 21st Century digelar. Aku masih saja nggak
rela lagu karanganku dinyanyikan Carolina.
Daniel sih sudah bisa bernapas lega. Semua busana
rancangannya telah disetujui dan di-ACC Pak Dave. Bukan hanya
itu. Semua hasil karyanya telah selesai dijahit, sudah di-laundry
bahkan. Sekarang semuanya disimpan rapi di ruang kostum
hingga hari H nanti.
Kayaknya kok cuma nasibku yang belum berubah? Kenapa
aku merasa masih ada yang nggak beres? Bahkan, setelah aku
mencoba pasrah dan menerima kenyataan yang ada, hatiku
tetap kacau. Kalau pakai istilah yang sedang ngetren, aku lagi
galau.
"Mau ikut saya pulang nggak?"
Aku mendongak dan melihat Patra tahu-tahu ada di sampingku. Aku memilih untuk tidak mengacuhkannya.
"Kok diem sih? Lagi bete?" Kini Patra duduk di sampingku.
"Nggak kok," jawabku sambil memaling, mencari Daniel dan
Andrea. Ke mana mereka? Kok belum pada nongol? Biasanya
jam segini sudah stand by di bawah pohon beringin.
"Jadi mau ikut saya nggak?"
"Jalan pulang kita kan nggak searah, Kak."
"Iya, saya tahu. Saya butuh ngomong sama kamu."
"Oh," jawabku datar, tanpa ekspresi. Dalam hati aku tertawa
puas saat melihat mimik bingung Patra.
183 18318184
"Maksudnya nggak mau ikut saya nih?"
Aku hanya memandangi Patra tanpa menjawabnya.
"Ayolah, Ngen."
Aku masih tak bergerak. Aku sengaja begitu, karena menurutku nggak berguna juga meladeni sikap Patra yang baik saat
butuh aku, dan berbalik dingin saat aku butuh dia.
Tanpa peduli aku mau atau nggak, Patra menarik tanganku
dan menggandengku ke tempat VW Combi-nya parkir. Aku
meliriknya tajam. Wah, kelewatan orang ini. Main tarik-tarik aja,
memangnya aku apa"Heh! Mas! Tolong ya! Ini apa? Main tarik-tarik aja!"
"Saya nggak peduli kamu mau marah, mau ngambek, atau
apa, tapi kamu harus tahu sesuatu."
"Ya udah, ngomong aja langsung. Sekarang."
"Nggak bisa di sini."
"Terus maunya apa?"
"Ikut saya, nanti saya jelasin semuanya."
Pasti ada yang nggak beres deh.
Kenapa ke tempat ini sih? keluhku dalam hati saat kami memasuki
kafe yang sangat cozy dan nyaman. Seharusnya aku tuh diajak ke
sini kemarin-kemarin, pas mood-ku bagus. Kenapa pas lagi bete
gini sihNggak pas banget. Kayaknya tempat sama topiknya nggak
cocok. Muka Patra nggak santai, seperti mau membuat pengakuan besar. Sebelum mulai bicara, ia mengeluarkan sebotol
kecil cairan, lalu menenggak habis isinya dalam sekejap. Aku
nggak tahu isi botol itu. Pokoknya bentuknya seperti botol
184 18418185
ramuan yang diberikan Ursula pada Ariel di film Little Mermaid.
"Vitamin," jawab Patra singkat, menanggapi alisku yang
menyatu. Hmm, pasti bohong. Masa nggak ada mereknya? Apa
itu obat buat penyakitnya"Langen, saya sudah selesai Ujian Nasional," ujar Patra tanpa
basa-basi seusai kami memesan minum.
"Terus?" tanyaku benar-benar tak simpatik. Masa jauh-jauh
ke sini cuma mau lapor sudah selesai UN"Kemarin saya ketemu Papa." Patra terdiam.
Aku tahu Patra menanti responsku, namun tak menanggapinya.
"Kami baikan."
Baguslah! Semua temanku sekarang sedang menikmati
momen ayah-anak. Andrea dan sang Papa tercinta tempo hari
baikan. Sekarang Patra dan papanya juga ikut-ikutan reunited.
Selamat ya, kalian semua...
"Kami sama-sama setuju bahwa akhir tahun saya ikut Papa
kembali."
Aku tersentak. Tuh, kan, dari tadi aku udah feeling, pasti ada
yang nggak beres. Tiba-tiba kok aku jadi pusing"Kenapa bilang sama saya?" tanyaku masih berpura-pura
tenang, padahal jauh di dalam hati aku sudah tenggelam ditelan
badai. Duniaku runtuh.
"Kamu lebih suka begini, kan?" Penjelasan Patra terhenti saat
waiter datang membawakan pesanan kami. "Dulu kamu pernah
bilang kamu benci nonton film yang ending-nya si cewek
ditinggal tanpa aba-aba. Kamu bukannya nggak suka baca cerita
yang ending-nya kayak gitu?"
185 18518186
"Hmm..." Aku jadi serbasalah. Aku enggan menunjukkan
kesedihan, tapi aku sedih. Apalagi alasan Patra tak bisa
kusanggah. Aku memang pernah mengungkapkan hal tersebut.
"Perginya kapan?" tanyaku lirih.
Patra menggeleng. "Belum tahu, Ngen. Tanggalnya belum
pasti. Tapi yang jelas setelah semua surat-surat dan ijazah saya
beres."
Aku menunduk.
"Kok diam?"
"Memangnya Kak Patra mau saya bilang apa?" Pertanyaan
bodoh! Pertanyaan Patra maksudnya.
"Langen..." Patra menggantung ucapannya. "Kamu marah?"
"Memangnya boleh?"
"Kenapa nggak?"
"Saya mau pulang aja ah, Kak," ujarku, tak tahan dengan
percakapan ini.
Aku segera mengemasi barang-barangku dan beranjak
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meninggalkan Patra saat melihat ia tak kunjung bergerak.
Walaupun langit pada malam itu
Bermandikan cahaya bintang
Bulan pun bersinar
Betapa indahnya
Namun menambah kepedihan
Aku mengerang sebal. Ini suara lagu dari mana pula? Kok dari
tadi nyala terus? Hmm, ini pasti kerjaan Mbak Sulis nih.
Pembantu Bu Darmoko kamarnya memang di loteng. Persis di
samping kamarku dan Estri yang letaknya di lantai dua.
186 18618187
Ku akan pergi meninggalkan dirimu
Menyusuri liku hidupku
Janganlah kau bimbang dan janganlah kau ragu
Berikanlah senyuman untukku
Hadoh, Mbak Sulis! Lagi muter radio apa sih? Dari tadi kok
lagunya nggak asyik. Barusan muter lagu Pasto, Aku Pasti Kembali. Sekarang malah lagu Ello. Suara radionya dikecilin boleh
nggak, MbakSelamat tinggal kasih
Sampai kita jumpa lagi
Aku pergi takkan lama
Hanya sekejap saja
Ku akan kembali lagi
Asalkan engkau tetap menanti
Astaga! Kapan sih aku bisa tidur tenang? Aku melirik jam dinding di kamar yang terus berdetak. Jam satu. Kusingkapkan
selimut dan bergegas turun ke ruang tamu. Barangkali kalau
aku tidur di bawah, suara radio Mbak Sulis nggak terdengar.
Nah, lumayanlah. Sekarang suara radio Mbak Sulis tinggal
samar-samar. Tapi ternyata justru dengan volume sayup-sayup
begitu, lagu yang dulu juga sempat dibawakan Melki Goeslow
lebih membuat hatiku sedih.
Patra sudah selesai UN. Itu artinya masa sekolah Patra su?dah
selesai. Setelah UN, tugas anak-anak lulusan selesai. Mereka
tinggal menunggu pengumuman dan wisuda. Di luar itu mereka
tak perlu lagi datang ke sekolah. Itu berarti waktuku bersama
Patra tinggal sedikit.
187 18719188
"Damn!" aku mengumpat lirih. Aku sebal. Aku marah dan
sedih dalam waktu bersamaan. Sedih karena Patra akan pergi,
marah karena aku sedih untuk hal itu.
Aku nggak tahu rasanya bisa serumit ini. Tempo hari waktu
Vero, teman sekelasku, ditinggal pacarnya sekolah ke Florida,
dia izin tiga hari nggak masuk sekolah. Aku benar-benar nggak
habis pikir, kenapa Vero bisa nangis tiga hari tiga malam sampai
matanya bengkak.
Tapi kalau rasanya ditinggal sesakit ini, sekaget ini, senyetrum
ini, semuanya jadi masuk akal.
Come on, Langen!
Aku harus kuat.
Yang pergi itu Patra.
Aku harus kuat.
Cuma Patra.
Justru karena yang pergi Patra, aku nggak kuat.
188 18819189
AKU menghela napas panjang. Malam itu malam penentuan. Semua yang sudah susah payah dilatih, yang
sudah dirancang sedemikian rupa, dan sudah dipersiapkan berbulan-bulan akan ditampilkan malam itu.
Dua jam lagi pertunjukan dimulai. Sementara para pemain
mempersiapkan diri di ruang kostum, aku menyelinap, mengintai
panggung gedung pertunjukan yang akan dipakai.
Begitu besar... Begitu agung. Panggung dipersiapkan untuk
adegan pertama, tempat perbelanjaan modern, lengkap de?ngan
sejumlah troli yang nanti digunakan sebagai properti dance.
Melihat semua itu, aku benar-benar speechless. Di satu sisi
aku merasa begitu gembira, terlepas Carolina menjadi pemeran
utama, pertunjukan itu paling kunantikan. Pertama, karyaku
akan diperdengarkan kepada seluruh penonton. Kedua, mulai
malam ini juga penindasan Agatha berhenti.
Tapi di sisi lain, seiring detik demi detik berlalu, akan habis
juga waktuku bersama Patra. Selesainya event besar ini mengThe Show-tacular!
189 18919190
akhiri kemunculan Patra di sekolah. Aku nggak bisa lagi menontonnya main piano, memperhatikan tingkah lakunya, atau
sekadar mengabsennya saat aku curi-curi kesempatan melihat
wajahnya saat mau ke toilet. Oke, sebenarnya aku bisa saja bertandang ke rumah robot rupawan itu, tapi... ehm, ya tengsin
juga. Masa aku tahu-tahu ke rumah Patra tanpa diundangYah... kalau dia mau ketemu aku. Memangnya aku siapaSehabis acara farewell nggak jelas di kafe waktu itu, aku
nggak mau bicara sama Patra. Kalaupun harus bicara urusan
drama, kulakukan seperlunya sebagai mitra kerja profesional.
Aku nggak peduli kalau Patra pikir aku aneh, weird, karena tibatiba jadi menganut prinsip dunia kerja. Itu caraku supaya siap
menerima kenyataan bahwa ceritaku dan Patra selesai malam
itu.
"Astaga, Ngen, jadi dari tadi lo di sini!"
Aku menoleh. Daniel dan Andrea sedang berdiri di depanku,
kompak ngos-ngosan.
"Mendingan sekarang lo ke back stage deh!" perintah Andrea
sambil menunjuk pintu keluar.
"Kenapa?"
"Pak Dave ngamuk. Ms. Reese, asistennya, pingsan."
"Horor amat! Ada apa sih?"
"Carolina keseleo."
"Gugup?" tanya Elsha sambil memegang tanganku seusai menyiapkan partitur lagu yang akan dibawakan malam ini. "Tangan
lo dingin, Ngen."
Aku menatap Elsha sebentar, lalu mengangguk kuat.
190 19019191
Waktu aku minta supaya ada keajaiban terjadi, bukan yang
gini yang aku minta. Ya, untung saja Carolina cuma keseleo.
Maksudnya dia nggak kecelakaan parah atau tertimpa musibah
besar, gitu. Tapi Saudara-saudara, kalau Carolina keseleo, terus
yang jadi Cinderella siapaUntungnya masalah mahapelik ini segera teratasi begitu Pak
Santoso, kepala sekolah kami, yang berpangkat sebagai
penanggung jawab acara, mengadakan rapat dadakan. Rapat
memutuskan bahwa pertunjukan harus tetap berlangsung,
dengan catatan, Nirina akan menggantikan Carolina.
Peran Cinderella akhirnya jatuh pada Nirina, karena memang
ditimbang dari segi kesiapan, Nirina jelas sama-sama menguasai
peran Cinderella seperti Carolina. Walaupun ia mendapatkan
peran jauh lebih kecil, Nirina sempat menggantikan Carolina
latihan sebulan, saat Carolina cuti ujian. Jadi kami lumayan bisa
bernapas lega. Nirina hafal naskah dan lirik lagu-lagu, menguasai
gerakan koreografi pertunjukan, dan juga hafal detail blocking.
Kecuali kostumnya sedikit kebesaran karena Carolina lebih
tinggi, tidak ada masalah prinsipil yang mengganjal.
Ya, bagaimanapun juga aku harus bisa berpikir positif. Kuakui
aku sama deg-degannya dengan semua panitia dan pengurus
acara malam itu. Paling nggak, doaku dijawab.
"It?s okay, Langen. Everything will be okay."
Well, I hope so.
Lima menit sebelum acara dimulai.
Bagaimana perasaanku? Aku mati rasa. Dari back stage aku
bisa mendengar suara riuh para penonton bertepuk tangan menyambut MC yang membuka acara.
191 19119192
Para pemain sudah selesai mengenakan kostum. Nirina siap
dalam balutan seragam kasir pasar swalayan. Ia sama nervousnya denganku, tapi juga merasa senang. Kami kan sama-sama
korban kekejaman Ratu Carolina. Aku tahu Nirina akan memberikan 110 persen keseriusannya sebagai ganti segala penderitaan yang telah kami alami.
Sebagai ibu tiri, Valerie tampak judes, meskipun tak bisa
dipungkiri keanggunannya. Ia memakai gaun merah manyala
dengan gemerlapan perhiasan di sana-sini. "Matanya juga
gemerlap, rambutnya disasak tinggi, serta memasang wajah
sangat jahat," kata Daniel.
"Inget ya, Val. Jangan sampai kelinci kamu lompat, lari-lari
nggak keruan nanti di panggung. Bola juga jangan sampai ada
yang lepas," bisik Pak Dave.
Valerie yakin hal itu tak akan terjadi. Ia sama sekali tidak
gugup. Ia turut bergembira atas keseleonya Carolina. Ia yakin
akan kemampuannya. Dan seperti yang telah dilatihnya selama
ini, ia tak akan akan melakukan kesalahan sedikit pun.
"Ssssh..." seseorang berseru. "Jangan berisik. Sudah dimulai!
Sssshh..."
Musik mulai mengalunkan lagu gembira setelah Prataya
membantu mengulur waktu dengan menampilkan permainan
solo piano. Kami butuh waktu lebih untuk memaksimalkan
penampilan Nirina, bintang utama kami malam itu.
Aku mengintip ke luar dari balik layar. Kulihat jelas Patra
berdiri dan memimpin musik dengan gerakan tegas dan mantap. Bagaimana rasanya memimpin orkestra yang memainkan
lagu hasil aransemen sendiri? Mungkin nanti kalau badai hatiku
mereda, aku akan tanya langsung ke Patra.
192 19219193
Gong berbunyi. Layar utama dibuka. Paduan suara bernyanyi
dalam lima detik. Drama musikal Ella and The 21th Century resmi
dimulai.
Jantungku berdetak tak keruan ketika musik orkestra mengalun dan para dancer membuka drama dengan tarian energik,
menyuguhkan gerakan grand jete? itu lho, gerakan balet yang
seperti split di udara?yang sangat indah.
Mataku berseliweran, memperhatikan tiap gerakan para
penari yang masing-masing dibalut pakaian glow in the dark.
Dari bangku penonton, yang tampak pada adegan pembuka
hanyalah garis warna-warni bernuansa neon yang bergerak
memutar, melengkung, membentuk garis. Pada akhir tarian
para penari membentuk formasi bunga teratai. Menampilkan
gradasi warna sangat cantik di tiap lapisan mahkota saat
perlahan terbuka.
Bunga teratai merupakan simbol nasib Ella yang akan terus
berubah di sepanjang babak ke depan. Jika Ella sedang sedih
maka warnanya meredup, dan jika Ella sedang bahagia, ia akan
bersinar terang dan tampak menawan.
Teriakan centil yang panjang menggugurkan mahkotamahkota teratai. Lampu mendadak menyala. Mimpi indah Ella
bubar jalan karena kemunculan saudara tirinya yang gendut dan
menye?balkan, Drimona. Jangan protes kalau nama-nama
tokohnya nggak sesuai dengan cerita aslinya. Namanya juga
Cinderella versi abad ke-21.
Aku tersenyum puas melihat peran Nirina di panggung.
Wajah polos dan innocent-nya tampak begitu natural.
Seharusnya dari dulu saja dia jadi Cinderella. Carolina sebenarnya juga bagus sih aktingnya. Tapi dia suka mengganti-ganti
193 19319194
dialog, bahkan blocking pun sering berubah-ubah. Alasannya
simpel, sebagai aktris profesional, menurutnya ia wajib melakukan improvisasi.
"Baju buatan gue bagus, kan?" tanya Daniel yang tahu-tahu
muncul di sampingku.
"Tapi baju seragam kerja Ella kok shocking pink gitu sihEmangnya ada supermarket yang seragamnya kayak gitu?"
"Yeh, namanya juga kostum pagelaran besar, Ngen. Ya memang harus begitu dong. Supaya menarik di panggung. Nanti
lo lihat deh, gaun biru kalem Ella. Dijamin lo pasti langsung
kepingin diet karena pingin banget pakai baju itu."
Aku mencibir mendengar ucapan Daniel. Huuu... sombong
betul kunyuk ini. Tapi ya, dia berhak berlagak nyebelin gitu.
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Soalnya memang benar adanya, segala yang ia bilang tentang
gaun biru Cinderella. Gaun itu tidak semenjuntai night gown,
tapi juga tidak mini. Ukurannya sangat pas. Tidak kepanjangan,
tapi tidak pernah menimbulkan huru-hara saat Nirina menari,
berputar-putar di panggung. Ngembangnya pas.
Akhirnya datang juga! Scene Valerie. Ini adegan favoritku.
Adegan Valerie masuk ke panggung sebagai ibu tiri. Ia melarang
Cinderella pergi ke pesta. Tapi karena nyonya modern abad ke
21, ia tidak mengurung Cinderella atau mengikatnya dengan
rantai. Huh! Cara begitu mah basi. Ibu tiri dengan potongan
cungkring ini malah menyuruh Cinderella pergi. Tapi, ada
tapinya! Setelah menyuruh-nyuruh pergi, ia langsung berkata:
"Ingat Ella, jangan salahkan Mama, kalau pesta itu nggak sesuai
harapanmu. Menurut kamu, memangnya anak bos seperti
Anthony sungguh-sungguh mau mengundang kamu? Memangnya kamu pikir ini sinetron? Apa kamu berharap bapak-ibu Toni
bakal menyambut kamu dengan senyuman?"
194 19419195
Sejenak penonton dibuat terpana dengan penuturan Ibu Tiri
yang masuk akal itu, sampai akhirnya sifat munafik sang Ibu Tiri
kembali muncul. Katanya: "Kamu anggap Mama jahat? Terserah
kamu. Mama nggak mau kamu terluka. Itu saja, Ella."
Padahal kan sebenarnya alasannya supaya Drimona yang
kenalan sama si Anthony, anak tunggal pemilik saham supermarket tempat Ella kerja, bukan si Ella.
Setelah berkata demikian, Valerie menyanyikan lagu jahatnya.
Musik mulai memainkan lagu dengan nada-nada minor, tapi
dengan tempo cepat. Background panggung berubah, disesuaikan dengan warna gaun Valerie. Lighting pun berganti-ganti,
sesuai beat lagu kejayaan Valerie.
Di tengah lagu, kejutan pertama muncul! Valerie bersulap.
Sambil menyanyi lirik yang menyindir keakraban Ella dan sang
Pangeran alias Anthony, tiba-tiba dari lengan baju Valerie keluar
sepasang merpati putih. Decak kagum penonton makin bertambah saat dari jari-jari Valeri yang dihiasi kuku palsu seperti
penari Bangkok, keluar api dengan efek dramatis.
Aku sendiri yang sudah puluhan kali menonton adegan ini
masih kagum saat menonton aksi Valerie. Konsentrasi cewek
yang satu ini memang benar-benar mantap. Bisa-bisanya ia melakukan aksi sulap, bahkan juggling, padahal pada saat yang
sama dia juga harus menjaga suara supaya nggak fals. Hebat,
kan!
Tepuk tangan meriah menyambut penampilan Valerie. Babak
pertama pun usai sudah.
195 19519196
To be or not to be, that?s the question.
Kayaknya quotes yang barusan emang paling pas menggambarkan perasaanku sekarang.
Bukannya mau sok puitis, sampai ngutip-ngutip monolog
Hamlet segala. Tapi emang keadaan sekarang sedang genting.
Gimana nggak? Sekarang Nirina membeku di panggung. Kayaknya dia lupa lirik depan lagu Sayang. Soalnya kan sama Carolina
diganti bagian depannya. Yang ditambahin nge-rap into the
house itu lho. Orkes sudah mengulang intro lagu dua kalibayangkan: dua kali! Masa diulang sekali lagi? Bisa-bisa penonton ngeh bahwa sebenarnya sekarang di panggung sedang
terjadi kecelakaan besar!
Tanpa tedeng aling-aling aku segera menerobos kerumunan
yang berkumpul di dekat layar, menanti dengan wajah harapharap cemas. Aku tidak peduli dengan tampang Daniel yang
kaku kayak mayat begitu aku melangkah ke panggung. Aku juga
tak lagi menghiraukan wajah Pak Dave yang memerahmungkin saking terkejutnya akan aksi nekatku.
Apa boleh buat? Hal ini harus kulakukan. Demi kelangsungan
hidup dan berwarganegara seluruh anggota L.A.D. Ini lagu
ciptaanku. Lagu ini harus tetap dinyanyikan malam ini. Agatha
dan penonton lain harus mendengar lagu Sayang-ku secara
utuh.
Aku segera berjalan ke tengah panggung. Nirina menyadari
keberadaanku. Ia lantas berjalan ke sisi kanan panggung, seolah
mempersilakanku berimprovisasi. Aku tahu semua mata tertuju
padaku. Mereka semua bertanya-tanya, apa yang akan aku
lakukan, pastinya.
Be cool, Langen.
196 19619197
Aku menghela napas panjang, kemudian menatap Patra sejenak. Ia juga pasti kebingungan, sama seperti para tutor, para
pemain, dan panitia lainnya.
Ready...
Sayang
Andai dapat kukatakan
Besarnya rasa cintaku
Hanya untukmu
Mengandalkan mik yang kuraih begitu saja dari tangan MC,
serta-merta kunyanyikan bait pertama lagu pertamaku. Begitu
saja, tanpa iringan. Untung miknya nyala. Kan nggak lucu, sudah
komat-kamit di panggung terus nggak keluar suaranya.
Sayang
Andai dapat kuberikan
Seluruh isi hatiku
Hanya untukmu
Percaya nggak percaya, entah kenapa aku sama sekali nggak
nervous tampil dadakan di panggung. Rasanya justru kayak
dapat kekuatan dari langit. Hmm, yah, nggak segitunya juga sih.
Mungkin selain karena aku punya ikatan emosi dengan lagu ini,
yang membuat lagu ini semakin hidup adalah lagu ini benarbenar menggambarkan perasaanku yang sesungguhnya. Perasaan Ella yang nggak bisa mengungkapkan ketertarikannya pada
Anthony juga menulari aku. Kepada siapa? Siapa lagi kalau
bukan robot mutakhir abad ke-21 itu.
Ya, lagu ini memang pas buat Patra. Aku sama sekali nggak
mengalami kesulitan menghayati lagu ini. Tinggal menengok
sedikit ke kiri, dan akan kelihatan wajah Patra yang sedang berdiri begitu gagah di podi...
197 19719198
Lho! Kok orangnya nggak ada? Apa Patra juga pingsan melihat aksi nekatkuHmmm, kayaknya nggak deh. Soalnya sedetik kemudian aku
merasa diiringi. Diiringi dentingan chord F#m9 yang miris, sama
persis seperti yang dulu kudengar di depan pintu rumah Patra.
Wow! So sweet amat. Patra mendukung gerakan radikalku. Ya,
sudah pasti nggak mungkin Elsha yang main. Soalnya partitur
revisi ala Carolina tidak seperti ini bunyinya.
Namun, Sayang
Tak ada nyaliku
Tuk sekadar tunjukan padamu
Sungguh, Sayang
Tak mampu diriku
Menjauh lagi dari sisimu
Aku menikmati penampilanku. Bukannya narsis, tapi aku
benar-benar melakukannya sepenuh hati. Terutama saat aku
mendendangkan bait terakhir.
Sayang
Ku hanya bisa memandang
Indahmu laksana bintang
Dalam diam
Pokoknya esensi lagu itu dapat banget deh. Apalagi ditambah
gesekan biola Brishca, sang concert master, yang juga jago main
filler. Sisi sepi dan sentimental lagu ini jadi makin dramatis.
Musikalitas siswi 12 IP-G itu memang nggak diragukan. Makanya
waktu secara spontan ia ikut berkontribusi dalam tindak kejahatan bersama ini, aku jadi makin semringah.
Mungkin itu bukti nyata kekuatan Tuhan. Setelah lama berdoa?bahkan puasa?malam itu secara ajaib dan nggak masuk
198 19819199
akal, justru semua hal berjalan seperti yang aku inginkan. Ngerti
maksudnya, kan? Siapa yang menyangka malam itu Carolina
secara tidak terduga keseleo sehingga Nirina yang jadi Cinderella? Aksi sulap dan sirkus Valerie yang sempat ditentang Carolina, toh akhirnya jadi juga ditampilkan. Dan yang paling
mem?bahagiakan adalah laguku dibawakan dengan bermartabat.
Well, well, what can I ask for more? Nggak ada. Eh! Ada ding!
Surat bukti kekalahan Agatha dan para pengikutnya.
199 19919200
Langen Dhiendrata,
Dengan ini gue ngaku kalah. Lo nggak jadi ujian akuntansi
bareng gue, Ngen. Lo sukses kerja sama bareng Patra. Dan
gue akui kerja lo bagus.
Oh ya, urusan temen lo, Andrea, gue rasa nggak perlu
diper?panjang. Jo udah gue urus. Dia nggak akan macammacam. Kemudian postingan gue di website Andrea juga
udah gue delete, gue block. Gue udah posting thread baru.
Isinya gue minta maaf. Walapun gue sendiri nggak yakin
apakah hal itu masih jadi rahasia setelah temen lo nulis di
koran.
Untuk selanjutnya gue harap kita nggak lagi saling mengganggu karena urusan kita sudah selesai. Selesai.
Agatha Wijaya
Andrea dan Daniel membelalak ketika kutunjukkan surat
yang baru saja kutemukan di laci mejaku.
"Gila. Seriusan nih, Ngen? Agatha yang nulis?" tanya
Andrea tak percaya.
Agatha Menyerah
200 20019201
Aku mengangguk sambil tersenyum.
"Kapan dikasihnya, Ngen? Dari tadi kan kita ngintil emak
masing-masing, terima rapor bayangan. Gue nggak lihat lo
ngobrol sama Agatha."
"Hmm, sebenarnya gue juga nggak lihat kejadiannya, tapi
tahu-tahu pas gue rogoh-rogoh tas gue, ada surat itu. Mungkin
sama Agatha diselipin pas tadi gue ke toilet. Kan tasnya gue
tinggal di kelas."
"Beh... ckckc... berbesar hati juga tuh anak. Lihat deh,
nulisnya formal banget, pakai tulisan tegak bersambung pula,"
Daniel menimpali sambil menunjuk tanda tangan Agatha di
sudut kertas.
"Ya, paling nggak kita harus menghargai sikap sportif Agatha.
Butuh usaha lho nulis surat begini. Tulisannya bagus, ya? Malah
bagusan tulisan dia daripada tulisan gue. Jadi mulai sekarang
kita padamkan api perang yang kemarin sama-sama kita
nyalakan."
"Gaya ngomong lo kok kayak Bu Zubaedah sih, Ngen?" komentar Daniel sambil menjajah separuh luas bangkuku. "Sonoan
dikit, Ngen."
"Mulai sekarang kita bisa hidup bebas!" seru Andrea gembira.
"Eh, tahu nggak, Ngen? Setelah gue pikir-pikir ya, lo percaya
nggak sih bahwa semua hal ini terjadi nggak kebetulan? Kayak
tagline-nya Kungfu Panda: there is no accident!" Daniel berhenti
sejenak, menunggu komentarku. Setelah yakin aku tidak mengejeknya, ia melanjutkan, "Awalnya gue pikir selamanya kita
bakal jadi murid yang di-bully-bully gitu lho. Emang sih nggak
secara fisik kita dipukulin. Uang jajan kita juga nggak dipalak.
201 20119202
Cuma kalau tiap hari disindir-sindir, siapa yang bisa tahanSebagai manusia gue butuh ketentraman batin juga."
Andrea langsung menyambar, "Belum kelar dengan perjuangan menjadi pribadi merdeka, eh muncul masalah lagi. Lo, Ngen,
pakai acara taruhan segala sama si Agatha. Sorry nih, Ngen,
bukannya meragukan kemampuan lo, tapi kita kan sama sekali
nggak bisa memprediksi, apakah lo bisa menjinakkan si Patra
apa nggak?"
Noooo! Nama Patra disebut lagi sama Andrea. Udah susahsusah tidak menghiraukan Patra berminggu-minggu, sekarang
diingetin lagi. Oh iya, mereka mana tahu aku suka Patra? Mereka
nggak boleh tahu aku ada rasa sama si Robot.
"Betul itu, Ngen. Nah, yang bikin gue secara pribadi takjub
nggak ketulungan, ternyata konflik kita sama Agatha malah
bikin hubungan keluarga gue sembuh. Coba, misalnya aja nih
kemarin nggak ada cerita kelam-kelam kayak gitu, sampai
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekarang gue pasti masih dendam sama nyokap gue dan nggak
pernah tahu fakta sebenarnya. Bonusnya, sekarang gue juga
udah nggak musuhan sama bokap gue. Happy ending, kan?"
Patra juga pergi karena baikan sama papanya. Justru karena
itu dia mau balik lagi tinggal serumah sama papanya di luar
negeri. Ironisnya, aku yang ngaku-ngaku fans berat Patra, sampai
sekarang masih nggak tahu luar negeri yang dimaksud Patra.
Gawat, kenapa aku jadi mellow lagi?Kayaknya cuma aku yang
belum bisa setegar kalian, mampu menarik hikmah dari peristiwa
yang telah lewat.
"Sama satu lagi, Ngen. Lo udah tahu belum sih pengumuman
lomba Jakarta Fashion Design Competition udah keluar?"
Giliran aku terbelalak.
202 20219203
"Hasilnya, gue juara tiga. Boleh dong, juara tiga dari ribuan
peserta lho. Buat gue itu something banget, Ngen. Paling nggak
emak gue bisa bangga dikitlah sama hobi corat-coret gue. Lo
inget kan, gimana si Carolina menghina gaun gue yang pertamaMasa dibilang kayak baju jalan-jalan dia? Padahal itu kan gaun
spesial. Sesuai saran lo, gue kerahkan seluruh kemampuan gue,
gue buat desain baru. Itu aja sih yang pingin gue ceritain. Lo
sendiri gimana, Ngen? Pasti lo seneng dong akhirnya kelar
partneran sama Patra."
Seneng apanya? Aku merana, teman-teman sekalian. Hari ini
kan kita terima rapor bayangan. Artinya besok Patra sudah nggak
perlu sekolah. Dia tinggal menunggu diwisuda saja bulan depan.
"Cieee... Langen, akhirnya merdeka. Gue benar-benar kagum
sama ketahanan mental lo. Sumpah deh, lagu-lagu bikinan lo
semalem dalem banget. Iya kan, Niel?"
"Apalagi lagu yang lo nyanyiin solo itu. Wuiih, kok bisa sih,
dapat chemistry sama Patra? Gue paling suka waktu lo nyanyikan, ?Sayang, andai dapat kukatakan, besarnya rasa cintaku,
hanya untukmu...? Beh! Nancep banget, Ngen!"
"Kalau gue beda. Gue suka bagian lirik yang bilang, ?Sayang,
ku hanya bisa memandang, indahmu laksana bintang, dalam
diam.? Itu menurut gue benar-benar menyentuh jiwa. Beh!
Emang lo kalau bikin lirik sadis banget, Ngen. Eh! By the way,
sebenarnya dulu gue sempat kira lo bakal jadian sama Patra
lho, Ngen. Tapi ternyata belakangan ini kok kalian nggak jalan
bareng? Lo nggak suka sama dia, ya? Gue kira lo demen,
Ngen."
Demi apa pun, jangan sampai aku nangis di sini! Nggak lucu
banget. Nunduk, Ngen!
203 20319204
"Lho, lo kenapa nangis, Ngen?" tanya Andrea terusik akan
suara isak tangis tertahan dari bibirku, ditambah air mataku
yang barangkali satu-dua tetes membasahi lengan seragamnya.
"Ngen? Lo nggak papa?"
"Kita lagi seneng-seneng lho. Ini hari bahagia. Kok malah
nangis sih? Lo masih tertekan ya sama kelakuan Patra? Udah
kelar kok, Ngen."
"Whuaaaa..." tangisku langsung tak terbendung.
"Dia terharu kali, Niel. Udahlah, Ngen. Niel, ambilin tisu dong,
tolong!"
"APAAAAA???!!" Daniel dan Andrea menjerit bersamaan.
Saking kagetnya, aku sampai sedikit terpental dari tempatku
duduk. Aku nggak nyangka reaksi mereka separah itu. Padahal
aku nggak ngapa-ngapain lho. Aku cuma bilang bahwa aku suka
sama Patra. Itu saja.
"Jadi selama ini lo suka sama Patra?" tanya Daniel, meneruskan kekagetannya.
"Hmm, iya. Tapi gue nggak juga nggak yakin, sebenarnya gue
tuh suka sama dia atau nggak."
"Lho, gimana sih, Ngen? Tadi katanya kalau deket dia, lo
nggak mau pergi, nggak mau pulang. Katanya lo sampai rela
bela-belain nunggu dia pulang Pendalaman Materi cuma buat
lihat muka dia. Itu apa namanya kalau bukan cinta?" protes
Andrea, tak kalah emosi dengan Daniel.
"Gini, Ngen, lo jawab jujur, ya!" perintah Daniel dengan sebelah mata terpicing, "lo saat deket Patra, ada rasa ser-ser gitu
nggak?"
204 20419205
"Seneng sih iya, Tapi nggak sampai kayak kesetrum gitu."
"Lo waktu lihat Patra jalan sama Odelia, sebel nggak? Kan
dia juga suka nganterin Odelia pulang," tanya Daniel lagi.
"Nng... emangnya gue punya hak sebel ya? Kan gue bukan
siapa-siapanya Patra."
"Ya ampuuuuun... Ngen! Lo gimana sih? Kalau cemburu ya
ngaku aja kek. Gregetan gue!"
"Hmm... sebentar deh. Yang naksir kan gue, ya? Kenapa jadi
kalian yang emosi sih?"
"Habis, lo demen sama Patra, tapi kok kayaknya nggak ada
usaha ngejar gitu lho! Iya nggak, An?"
"Iya. Terus udah gitu, udah tahu Patra mau pergi jauh, mbok
ya ngaku... Ngaku gitu lho, Ngen. Bilang sama dia bahwa lo
suka sama dia. Ntar kalau dia udah terbang, hmm... lo nangisnangis deh."
"Masalahnya nggak segampang itu, guys. Yang gue taksir ini
Patra."
"Lho, memangnya kenapa? Patra kan masih termasuk homo
sapiens?"
"Yah, kan lo sendiri, Niel, yang ngasih dia panggilan Robot.
Robot lho, Niel. Ro-bot."
"Jiaaaah... si Langen. Bener-bener deh, Ngen, lo tuh juara
satu, tapi urusan kayak gini kurang expert, ya? Ngen, kan udah
jadi rahasia umum bahwa si Patra orangnya agak-agak baku,
resmi-resmi gimanaaa... gitu. Dibandingin sama Angga, Felix,
Jupiter, yah jelas aja dia kelihatan kayak robot. Tapi kalau lo
mau dengerin pendapat gue pribadi, Patra cowok mahal tahu,
Ngen. Coba, mau cari di mana cowok pinter, bisa main musik,
bisa masak, bisa ngomong tiga bahasa? Dan itu semua ada di
Patra."
205 20519206
"Niel, gue tahu omongan lo bener banget. Superbener. Sekarang yang jadi masalah justru Patra segitu mahalnya, sampaisampai I can not afford him, Niel. He is just too good to be
true!"
"Kok lo pesimis gitu sih, Ngen? Kalau menurut gue, si Patra
ada rasa juga sama lo. Kalau nggak, ngapain dia ngajakin lo
jalan, sering nyuruh elo ke rumah dia? Kalau nggak suka sama
lo, gue rasa dia nggak bakal lakuin itu semua."
"Thanks, An. Lo bener-bener mendalami peran banget. Akting
lo pas banget, gue saranin lo ikut casting FTV. Jadi sahabat
cewek gitu lho."
"Please deh, Ngen. Stop being so sceptic!"
"Itu bukan skeptis, Niel, tapi realistis."
"You never know until you try."
"I have no guts to try."
"Jadi lo nggak mau ngaku sama dia?"
"Nggak."
"Meskipun dia udah mau pergi?"
"Yup."
"Nggak takut nyesel?"
"Itu kan risiko gue. Pokoknya gue nggak mau bilang ke dia,
Daniel Granadi."
"Ya, udah. Kalau gitu kita aja yang ngasih tahu Patra, An!"
206 20619207
AKU menarik napas panjang sambil melihat bayanganku
di cermin. Tidak seperti biasanya, kali ini aku cukup puas
dengan apa yang ditampilkan si kaca. Rambutku terikat
pita cokelat rapi, tampak manis dan senada dengan celana
bahan yang kukenakan. Blus cokelat muda yang menempel di
badanku juga tampak oke. Yah, setidaknya nggak kelihatan
kusut seperti nasib kaus oblong yang selalu menjadi seragam
wajibku. Setelah puas mematut diri di depan cermin, mataku
beralih ke bawah, memperhatikan sepatu yang kukenakan.
Kakiku hanya dialasi ballet flat shoes cokelat tua. Tidak terlalu
spesial memang, tapi ornamen pita kecil di ujung membuat
keduanya jadi matching dengan busana yang kukenakan.
Kalau ditimbang-timbang memang tidak ada alasan lagi
bagiku untuk mengurung diri lebih lama lagi di toilet restoran.
Aku tinggal melangkah ke luar, dan kembali duduk di hadapan
Patra. Ulangi: di hadapan Patra. Bukan hal sulit KALAU DARI
AWAL AKU TAHU AKAN BERTEMU PATRA DI SINI!
Kamu Mau Ikut Saya,
Ngen207 20719208
Dasar teman-teman gila! Bisa-bisanya mereka berdua membohongiku. Hmm... ya, akunya sendiri sih yang bodohnya keterlaluan. Bisa ditipu semudah itu dengan alasan yang, oh God,
nggak banget!
Siang tadi Daniel meneleponku. Katanya dia dapat voucher
makan di The Rendezvous. Awalnya kami mau makan malam di
situ bertiga, dengan Andrea juga. Seharusnya aku mulai curiga
waktu Andrea tiba-tiba melapor absen ketemuan karena
sopirnya izin pulang cepat. Emangnya dia nggak bisa naik taksi
apa? Terus otakku yang kecil ini semestinya bisa menganalisis
lebih cermat ketika secara nggak masuk akal Patra muncul di
hadapanku, persis setelah Daniel undur diri ke toilet.
Oh my God!
Itu kan nggak lucu banget.
Pertama, sejak kapan restoran dine-in sekelas The Rendezvous bagi-bagi voucher? Itu kan ketahuan banget bohongnya.
Kemasyhuran The Rendezvous terlalu luas sehingga nggak
mung?kin ada cerita restoran tersebut ngasih voucher promosi
makan gratis. Buat tiga orang pula.
Kedua, kalau ada orang pamit ke toilet dan nggak munculmuncul lagi setelah lebih dari lima menit, seharusnya aku sudah
feeling bahwa sebenarnya aku sedang ditinggal pulang. Ckckck...
bodohnya emang nggak ketulungan.
Ketiga, setelah mengungkapkan rahasia terbesar dalam hidupku, selain menaruh permen karet di bangku Pak Diki, seharusnya
sebagai BFF sejati aku tahu kedua sahabatku pasti sedang merencanakan misi busuk. Apalagi secara terang-terangan Daniel
kelihatan geregetan melihat sikapku yang malu-malu kucing.
Jangan-jangan dia malah sudah bilang ke Patra bahwa aku suka
208 20819209
sama dia. Kalau benar begitu adanya, lebih baik aku terjun dari
jendela.
"Danieeeeel! Gue tahu lo sama Andrea niat banget nyomblangin gue sama Patra. Tapi nggak dengan SMS dia sepuluh
kali pakai nomor palsu. Lo malu-maluin gue aja!" protesku
keras-keras begitu sambungan telepon kami tersambung, "lo
ngapain sih bikin blind date segala di resto remang-remang
gini?"
"Heh, Ngen, penerangan di sana emang pakai lilin, tapi
maksudnya supaya romantis, bukan remang-remang. Please
deh... Anyway, gue sama Andrea terpaksa pakai cara kekerasan
kayak gini. Soalnya kalau nggak begini, lo pasti nggak bakal
ketemuan sama Patra sampai dia berangkat ke Frankfurt,
kan?"
"Awas lo, Niel. Besok jus lo gue racun!"
"Ya udah sih, Ngen. Santai aja. Lo tinggal menikmati malam
spesial berdua sama Patra. Nah, kalau momennya udah pas,
udah ada obrolan ke arah-arah situ, lo tinggal bilang bahwa lo
suka. Gampang, kan?"
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gampang-gampang pale lo!"
"Udah ah! Jangan marah terus. Ayam fillet keju di The
Rendezvous enak tahu. Ntar lo pesen itu aja, gue jamin lo pasti
pulang nyembah-nyembah gue deh."
"Daniel, gue nggak suka lo giniin."
"Udah, Ngen. Cup... cup... sekarang cepetan keluar dari toilet
karena gue sama Andrea nggak nyiapin dinner di toilet, tapi di
restorannya!"
"Lho, kok elo tahu gue lagi nelepon lo di toilet?"
"Langen Dhiendrata, berapa lama sih gue temenan sama lo209 20919210
Menurut lo, emang lo berani apa, marah-marah gini di depan
Patra? Buruan keluar, ntar lo ditinggal juga sama si Patra!"
"Aduh, Niel, gue nggak ngerti, mesti ngapain?"
"Pertama makan dulu lah, tapi jangan lupa ngomong ?cintake Patra."
"Apa gue kabur aja, Niel?"
"Langen, itu gue bayar reservation-nya pakai kartu kredit
bapak gue! Awas lo berani macam-macam."
"Gue nggak siap ketemu Patra."
"Kenapa sih? Katanya kangen? Lo ke sana nggak pakai baju
tidur, kan?"
"Yah nggak lah!"
"Nah, ya udah!"
"Tapi, Niel..."
"Langen, lo pasti bisa."
"Niel..."
"Sampai jumpa, Langen."
Tut... tut... tut... Sambungan terputus. Dasar Daniel jelek!
"Kenapa kamu jalannya jinjit-jinjit gitu?" tanya Patra yang rupanya
tengah memperhatikanku. Ya iyalah, pasti sejak tadi ia terus
memperhatikan pintu toilet karena aku nggak keluar-keluar.
Merasa ketahuan, aku segera menegakkan tubuh, lalu berjalan ke
meja kami dengan langkah normal.
"Nng, ini lho, sol sepatu kan bahannya kayak karet gitu, jadi
pas jalan bunyi cit-cit-cit, soalnya tadi basah di kamar mandi."
"Terus rencananya kamu mau berdiri terus di situ sampai kita
pulang?"
210 21019211
Hah? Apa maksudnya sih? Oh iya, aku harus duduk.
"Kamu hari ini kenapa sih, Ngen?"
"Kenapa? Memang saya kenapa? Saya nggak kenapa-kenapa?"
"Kok kesannya kayak takut saya makan gitu lho."
"Oh... ya itu, karena..." Karena apa? Masa mau ngaku bahwa
sekarang sebenarnya aku sedang jadi korban kejailan DanielNggak mungkin robot secerdas Patra memercayai hal-hal gaib
seperti ini!
"Karena apa?"
"Hmm, janji dulu Kak Patra nggak bakal ketawa!" Bego!
What was that"Kenapa saya harus ketawa?"
"Karena saya nggak tahu ternyata Kakak datang ke sini.
Makanya dari tadi saya sebenarnya bingung, kenapa tiba-tiba
Kakak muncul. Saya ke sini awalnya sama Daniel, Kak."
Kening Patra berkerut. Sudah kuduga, pasti dia nggak percaya.
"Bukannya kamu yang SMS saya? Kata kamu, kita perlu
ketemu."
Aku mengehela napas panjang. "You know what, Kak? Just
forget it. Kalau aku bilang itu bukan nomorku, Kakak pasti
nggak bakal percaya."
Patra terdiam sejenak. Aku cuma berharap semoga dia nggak
berpikir bahwa aku telah membuang-buang waktunya dengan
cerita konyol yang baru saja kuungkapkan.
"Jadi itu bukan nomor kamu, ya?"
Aku tersenyum, lalu lekas-lekas mengangguk. Patra percayaKok bisa211 21119212
"Padahal saya pikir kamu benar-benar ingin ketemuan."
What the... Dalam sekejap senyum manisku berubah jadi
garing. Dasar playboy cap teri, bisa-bisanya Patra ngomong
kayak gitu. Dipikirnya aku percaya"Sejak pagelaran sampai sekarang, baru kali ini kan kita
ketemuan lagi? Saya telepon kamu nggak diangkat, di-SMS juga
nggak dibalas. Saya pikir kamu ganti nomor. Makanya waktu
hari ini saya dapat sepuluh SMS atas nama kamu, yah, tentu
saya seneng."
"Ck!" aku mendecak kesal. Aku nggak suka dengan penekanan pada kata "sepuluh". "Bener deh, Kak. Ini semua hasil
kerja Daniel. Bukan aku. Beneran."
"Daniel, ya?" ulang Patra dengan sangat santai, membuat
keningku berkerut. Kenapa sih Patra masih nggak bisa percaya
juga? Dan, kenapa dia bisa bersikap setenang itu"Kak, please deh. Kenapa tampang Kakak kayak gitu sih? Kok
masih nggak percaya juga? Kita berdua korban kejailan. Artinya
saya nggak ikut-ikutan dalam modus operasi ini. "
"To the point aja deh, Ngen. Jadi kamu nggak seneng ketemu
saya? Kalau nggak seneng, ya udah, saya pulang," ujar Patra,
kemudian secara tak terduga beranjak pergi meninggalkanku.
Aku yang nggak siap ditinggal lagi, secara spontan langsung
mengejar Patra ke luar. "Kak! Kak Patra!" seruku agak keras
karena Patra ternyata serius. Dia terus berjalan ke arah parkiran.
Aku kira dia cuma menggertakku.
"Kak!" panggilku sekali lagi. Kali ini sambil menarik lengan
baju Patra. Aku nggak mau pegang tangannya langsung. Soalnya terkesan seperti adegan di sinetron. "Kenapa saya ditinggal?"
212 21219213
"Lho, katanya kamu nggak mau ketemu saya?"
"Memangnya saya bilang nggak mau? Saya kan cuma nggak
siap ketemu."
"Jadi setelah sekarang ketemu, kamu mau saya pulang atau
jadi ketemuan?"
Drat! Patra habis minum larutan apa sih? Ini Patra yang biasa
apa bukan? Pertanyaannya kok mendadak sadis giniAku tak kunjung menjawab, sampai Patra kembali mengulangi
pertanyaannya. "Ngen?"
Aku tetap diam. Nanti kalau aku bilang "ya" kan langsung
ketahuan aku kangen.
"Nggak usah sungkan, Ngen. Saya pulang juga nggak papa
kok."
"Tapi saya yang apa-apa, Kak," ujarku akhirnya, terpaksa.
Malam itu gerakan Patra sangat tidak terbaca. Barusan
tubuhnya tiba-tiba berbalik, sudah siap untuk meninggalkanku
lagi.
"Kita masuk lagi?" tanya Patra sambil tersenyum. Aku nggak
suka senyumnya. Senyumnya nggak tulus, seperti biasa.
"Kalau kita pindah ke tempat lain aja, boleh nggak?" Aku
segera melanjutkan perkataanku sebelum Patra sempat
membalas. "Bukan apa-apa, Kak. Saya nggak nyaman aja masuk
lagi ke sana. Apalagi kalau lihat manajernya. Matanya judes
banget. Setelah dua kali ditinggal cowok pergi, saya sih nggak
heran kenapa matanya judes setiap lihat saya. Jadi bisa nggak
kita cari tempat lain?"
213 21319214
"Soal yang mau pindah ke Frankfurt udah fix ya, Kak? Pasti pergiAtau... masih ada kemungkinan nggak jadi pergi?" tanyaku
membuka percakapan sambil membunuh waktu. Maklumlah,
nunggu dua porsi nasi goreng gila 56, durasinya bisa lebih dari
empat lagu nonstop.
"Hmm..." Patra hanya menggumam. Mata dan jarinya masih
tertuju pada handphone-nya. Dia sedang membalas SMS. Karena
Patra nggak terlalu ngeh, aku merasa aman membicarakan hal
yang beberapa hari itu membuatku senewen.
"Apa nggak bisa bilang ke papa Kak Patra bahwa Kak Patra
masih ingin tinggal di sini aja, gitu?"
Hening.
"Nggak bisa, ya?" Aku menjawab pertanyaanku sendiri
karena Patra tidak menjawab. Ia masih sibuk dengan handphone. "Lagian kenapa juga nolak diajak tinggal di luar negeriKalau disuruh milih, pasti mendingan ikut papa lah, ya." Bukannya meladeni obrolanku, Patra malah meneguk es jeruk.
"Kakak udah tahu kapan tanggal pastinya Kakak pergi?"
"Hmm, kok tiba-tiba nanya gitu?" tanya Patra, tiba-tiba menoleh. Lalu kembali meneguk es jeruk yang tinggal separuh.
"Yah, kan mau memastikan aja. Memangnya nggak boleh?"
tanyaku sambil melayangkan pandang ke seisi warung tenda 56
yang malam itu penuh pembeli. Lumayan, menurunkan tingkat
kegrogianku.
"Memangnya kamu mau nganterin saya ke bandara?"
"Hah?" Aku menoleh kaget, "Yah nggaklah." Melihat wajah
Patra yang tampak agak shock aku segera meralat pernyataanku. "Tapi lihat situasi dan kondisi dulu deh. Kalau pas hari
itu Daniel dan A?an ngajak saya jalan, yah berarti saya nggak
214 21419215
bisa nganterin. Tapi kalau saya lagi kosong, yah mungkin saya
bisa ikut ke bandara."
"Jadi untuk sekadar nganterin saya ke bandara saja, saya
harus booking kamu dulu, ya?"
Mau tak mau aku tergelak mendengar pertanyaan Patra.
"Bukan gitu, Kak. Saya nggak terlalu suka nganterin orang
pergi-pergi. Mau nganterin ke bandara kek, ke stasiun, atau ke
terminal bus, suasananya sama. Sedih. Kalau jemput orang, baru
saya suka, Kak. Karena orang yang ditunggu-tunggu akhirnya
kembali pulang. "
"Memang kamu juga sedih kalau saya pergi?"
Aku melirik Patra, sinis. "Kenapa pertanyaan Kakak gitu sihYa jelas sedihlah."
"Masa? Bukannya kamu seneng, ya? Akhirnya bisa berpisah
sama robot seperti saya?"
Jlep!! Jantungku copot. Tahu dari mana si Patra soal nama
imutnya itu"Ro... robot apa? Saya nggak paham," dustaku dibarengi
mimik innocent gadungan.
"Nggak usah pura-pura, Ngen. Saya punya program lie detector juga lho di sini," sambung Patra sambil menunjuk keningnya,
"jadi percuma pura-pura nggak tahu gitu. Apalagi pura-pura
sedih karena saya mau pergi. Sensor saya peka banget buat
hal-hal kayak gitu."
Mulutku menganga. Sumpah! Ini sama sekali nggak lucu. Jadi
Patra tahu aku suka menjulukinya robot? Lantas, apa lagi yang
diketahuinya? Apa dia juga tahu aku suka sama dia"Kak Patra, memang mukaku sekarang kelihatan pura-pura?"
Nah, sekarang aku serius. Coba, sekarang Patra mau apa215 21519216
Pas sedang tegang-tegangnya gitu, tiba-tiba Patra tertawa
keras. Saking gelinya dia sampai memegangi perut. "Kamu tuh,
hahaha... dikerjain dikit aja, kok tiba-tiba jadi serius gitu sih,
Ngen? Hahaha... Saya kan cuma bercanda."
APA?! BERCANDA? DASAR PATRA GILA!
BUUGGG!
Aku tersenyum sangat puas melihat Patra meringis kesakitan,
memegangi lengannya yang baru kutonjok sangat keras.
Rasakan! Siapa suruh punya taste of humor kok nggak lucu
banget"Kamu cewek atau cowok sih?"
"Saya sengaja pakai tenaga dalam," jawabku tanpa rasa
iba.
"Lihat, Ngen, lengan saya langsung biru," pinta Patra sambil
menunjuk lengannya.
"Halaaaah... nggak usah acting! Lagian orang saya beneran
sedih kok malah diledekin?"
"Kan saya nggak tahu kamu lagi sungguh-sungguh."
"Masih perlu saya tegesin nih, baru Kak Patra bisa percaya?"
Aku mendesis kesal. Hihhhh... Patra! Masa masih nggak percaya? Bikin emosi aja.
"Fine! Saya kasih alasan kenapa saya bisa sedih. Yang jelas
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena Kak Patra cuma one and only di dunia. Coba, di mana
lagi saya bisa ketemu sama cowok se-nice Kakak dengan seribu
satu keahlian? Udah orangnya sopan, nggak pecicilan, udah gitu
pinter di sekolah, jago musik pula. Kan sempurna, otak kanan
dan kiri sama-sama jalan."
"Saya nice, Ngen?" tanya Patra menanggapi penjelasan panjangku.
216 21619217
"Kalau nggak nice, nggak mungkin Kak Patra mau merawat
Milo. Terus udah gitu, ya bisa masak. Itu jarang lho. Maksudnya
cowok yang ahli masak, tapi masih cowok gitu."
"Kan banyak, Ngen, orang kayak gitu."
"Iya, banyak memang. Ada Chef Juna, Chef Edwin Lau, dan
chef lain. Tapi itu kan jauh. Nah, yang nyata di depan saya
langsung, ya Kak Patra."
"Oh, ya?"
"Ya iyalah. Konklusinya: takaran Kak Patra pas deh. Bungkus
sama isi sama-sama keren. Kan ada tuh orang yang CV-nya
bagus, tapi bikin orang semaput begitu lihat perawakannya.
Kalau lihat Kak Patra, orang nggak kaburlah. Nggak kekurusan,
nggak ketinggian, nggak botak, terus appearance-nya juga
bagus. Maksudku bajunya nggak dikancingin semua, kayak
orang nerd gitu. Pokoknya pas lah. Coba, siapa yang nggak
sedih ditinggal orang kayak gitu?"
"Jadi menurut kamu saya ganteng dong."
"Ya iyalah. You look good, Kak!"
"Apa? Saya ganteng, Ngen?"
Mendadak kesadaranku muncul. Mukaku langsung memerah,
semerah udang rebus. OH-MY-GOD! APA-APAAN TADI? Kenapa
aku bisa bicara tak terkontrol begitu? Please, ini cuma mimpi.
Nggak terjadi... nggak terjadi... Nggak ter...
Cup!
Patra mengecup bibirku singkat. Kemudian ia berbisik di
telingaku, "Atau kalau kamu nggak mau ditinggal, barangkali
kamu mau ikut saya, Ngen?"
217 21719218
MENTARI mulai tenggelam di ufuk barat. Semburat
jingga berpadu dengan merah dan seberkas nila,
tampak sangat elok, teduh membuai mata. Burungburung yang tengah terbang membentuk formasi segi tiga,
menambah apik pemandangan senja. Sepasang gadis dan
pemuda tampan tampak asyik menikmati keindahan yang
dihadiahkan cakrawala. Duduk berdampingan dengan kedua
tangan saling menggamit erat. Apa lagi hal yang lebih indah
bagi mereka? Jika melihat keduanya tertawa, asyik bercanda,
pasti jawabannya "tak ada". Keduanya bercengkerama, seolah
lupa dunia bukan hanya milik mereka berdua.
Sebelum kalian semua salah sangka, sebaiknya dari sekarang
kutegaskan bahwa dua orang yang kuumbar itu bukan aku.
Bukan aku dan Patra. Kenapa? Karena Patra sudah terbang ke
belahan bumi lain enam jam lalu. Pasangan yang sedang dimabuk asmara itu tak lain Estri dan Chris. Yup! Mereka sedang
bercengkerama di hadapanku dan sahabat-sahabatku.
Demi Apa pun,
Ini Artinya Apa218 21819219
Saat itu kami berempat duduk manis di restoran makanan
cepat saji. Kalau aku sih nggak duduk manis karena sedang
kelaparan. Saking laparnya aku sampai nggak sanggup duduk
manis-manis, apalagi mengantre dan memesan menu yang
kuinginkan. Oleh karenanya kutitahkan Daniel Granadi untuk
berdiri dan memesankan seluruh menu yang ingin kami eksekusi
sore itu.
Anyway, kenapa kami bisa terdampar dalam kondisi mengenaskan di restoran itu? Kami tidak sedang happy-happy, atau
merayakan sesuatu. Yang jelas, hal itu sama sekali nggak
disengaja.
Pagi itu Chris meneleponku. Katanya pagi itu juga Patra akan
terbang ke Frankfurt. Ketika kutanya kenapa baru memberitahuku pagi-pagi dan mendadak begitu, jawabannya klise. Patra
melarangnya memberitahu semua orang, termasuk aku. Tapi
nuraninya tak mampu menutupi kebenaran. Ia tahu aku menggandrungi sahabatnya. Sebagai orang yang lagi kasmaran, ia
tahu beratnya ditinggal belahan jiwa. Makanya begitu tekadnya
terkumpul, dia langsung meneleponku.
Aku yang di rumah bersama Estri jadi bingung nggak keruan.
Gimana nggak bingung? Jelas aku ingin cepat-cepat menyusul
Patra ke bandara. Yah, walaupun Patra nggak mau diantar, tapi
ketemu sebentar boleh dong. Tapi gimana caranya bisa sampai
ke bandara kalau mobilnya sedang dipakai Bapak dan Ibu pergi
mengantar Eyang Uti check upAku tahu. Aku tahu. Aku tahu aku bisa saja ke bandara naik
taksi. Tapi uang yang ada di dompetku cuma dua puluh ribu.
Uangku habis setelah kubelanjakan seperangkat aksesori wanita
di mal semalam. Estri sendiri juga nggak pegang banyak uang
219 21919220
tunai. Sekalipun kami berdua naik taksi berlabel "tarif bawah",
sebawah-bawahnya tarif yang diberlakukan, uang kami nggak
akan cukup membayar ongkos jalan.
Apa kami nggak bisa mampir dulu di ATM? Sebenarnya sih
bisa aja. Tapi namanya orang panik, aku nggak kepikiran melakukan hal lain, selain buru-buru menelepon Daniel dan memintanya segera mengantarku ke bandara.
Namanya suasana sedang genting, walaupun Daniel sudah
berusaha secepat kilat tiba di rumahku, rasanya seperti seabad.
Andrea memaksa ikut karena sebagai sahabat yang mengerti
perasaan perempuan, ia mau menjadi tempatku menangis saat
Patra pergi. Dalam bayangannya, aku akan meraung-raung
setelah melepas keberangkatan Patra. Siapa yang dapat memahami perasaan wanita sebaik wanitaSetelah berunding, kami memutuskan mengajak Chris ikut
serta. Kami membutuhkannya sebagai mediator. Buat jaga-jaga
aja, siapa tahu Patra mengabaikan panggilanku. Padahal aku
kan nggak tahu, dia ada di terminal berapa, gate apa, naik
pesawat apa? Sebagai tangan kanan yang paling diandalkan,
tentu Patra tak akan menolak panggilan, apalagi membohongi
Chris.
Saat sudah siap berangkat, aku, Daniel dan Andrea lagi-lagi
harus merekrut anggota baru. Siapa lagi kalau bukan Estri? Tak
peduli sudah dilarang berkali-kali, Estri tetap kekeuh minta
diajak. Katanya, naluri keadikannya muncul dan ia ingin memastikan aku baik-baik saja setelah nanti melepas Patra pergi.
Sebenarnya aku sih sangsi mendengar orasinya, yang bagiku
berlebihan. Sejak kapan Estri peduli pada hubungan bilateralku
dengan Patra? Aku yakin dia pasti minta ikut karena Chris ikut.
220 22019221
Separuh perjalanan berjalan normal. Lancar jaya tanpa
hambatan. Hebatnya lagi, tiga kali berturut-turut kami selalu
lolos dari jebakan lampu merah. Aku juga heran, kok kami bisa
sehoki itu? Seharusnya sih kami tidak gegabah dan lekas
bersuka hati. Seperti pepatah bilang, ada asap ada api. Nah,
kemujuran kami pada awal itu "asapnya". "Apinya" kemacetan
luar biasa, di mana mobil yang dikendarai Daniel sama sekali
tidak bergerak lebih dua jam. Bayangkan, dua jam terjebak di
jembatan di jalan tol, tepat saat matahari bersinar terik! Kami
benar-benar mati gaya.
Masing-masing dari kami berusaha semaksimal mungkin
meredam kemarahan. Awalnya kami terus mencoba menelepon
Patra, dengan harapan bisa terhubung denganya, dan bicara
sepatah-dua patah kata sebelum pesawatnya lepas landas. Tapi
ternyata sia-sia. Kejengkelan kami malah jadi bertambah karena
tak satu orang pun di antara kami yang tidak dioper ke operator.
Karena tak mau dikuasai emosi yang semakin meracuni raga,
kami memutuskan untuk main kartu remi. Tapi ide Andrea itu
hanya bertahan sekitar lima belas menit. Agak sulit menikmati
permainan ketika konsentrasi kami semua tertuju pada Patra.
Karena tak mau termakan bisikan setan yang terus-menerus
menyarankan untuk bersumpah serapah, kami sepakat mengurus diri masing-masing. Andrea langsung memejamkan mata
dan tertidur pulas. Estri dan Chris jelas memilih menghabiskan
waktu bersama, bergandengan. Heran, kok tahan? Sedangkan
Daniel, malah sempat keluar mobil dan bersantai sejenak. Dia
sudah tak tahan duduk dengan kaki tertekuk di mobil, sekalian
cari angin.
221 22119222
Lalu aku? Apa yang aku lakukan? Jelas aku masih semangat
berusaha menghubungi Patra. Mulai via telepon, SMS,BBM,
Twitter sampai via wall Facebook. Semuanya bagaikan usaha
menjaring angin. Aku sih cuma bisa berharap supaya pesawat
Patra di-delay. Berjam-jam kalau perlu.
Habis mau gimana lagi? Jangan bilang aku kurang usaha
untuk bertemu Patra. What else can I do? Aku terjebak di
jembatan, dan ini jalan tol! Bukan jalan umum biasa yang diameter lengkungan jembatannya nggak terlalu tinggi. Aku nggak
bisa jalan ke mana-mana, apalagi berharap ketemu tukang ojek.
Pokoknya aku nggak bisa ngapa-ngapain selain menahan air
mataku yang rasanya sudah mau tumpah saja.
Setelah mobil kami merangkak sesenti demi sesenti, barulah
kami tahu apa gerangan yang merusak rencana sempurna kami
pagi itu. Truk pasir terguling di bawah jembatan karena oleng
saat belok hendak keluar tol. Pasir muatannya tumpah memenuhi jalan sehingga jalan jadi sulit dilewati. Oalah...
Sesaat sebelum kami akhirnya memisahkan diri dari kemacetan yang seolah tak berujung itu, ponselku berdering. Dari Patra!
Buru-buru kujawab panggilan mahapenting itu. Awalnya aku
berharap bisa mendengar suara Patra. Suaranya yang kaku,
nggak bernada, dan miskin emosi. Ternyata aku salah. Yang
telepon bukan Patra, tapi kakeknya. Saking kecewanya, rasanya
aku pingin langsung memutuskan sambungan telepon tersebut,
tapi kan nggak sopan. Lagian itu pertama kalinya aku berbicara
langsung sama sang Kakek. Intinya Kakek meneleponku untuk
memberitakan serangkaian kabar buruk. Nah, berita terburuknya, Patra sudah berangkat sepuluh menit lalu karena penerbangannya on time.
222 22219223
Berita terburuk kedua, Patra menitipkan sesuatu untukku.
Sesuatunya itu apa, Kakek sendiri juga nggak tahu. Karena si
sesuatunya itu dibungkus dalam amplop air mail belang-belang,
tapi bukan surat karena amplopnya gembung. Beliau berniat
bertemu denganku saat itu juga. Beliau takut lupa, lagian takut
kalau sesuatunya itu keburu rusak. Soalnya beliau juga nggak
tahu isinya apa.
Akhirnya kami sepakat untuk ketemuan di restoran cepat saji
ternama di daerah Sarinah. Lokasi paling strategis yang bisa
kami capai dalam waktu singkat.
"Kakek Patra udah pulang?" tanya Daniel sembari membawa
sebaki penuh makanan pesanan kami.
"Baru aja. Tuh, lagi jalan ke parkiran," jawab Andrea sambil
menunjuk ke jendela dengan dagunya.
"Yang mana sih kakek si Obot?" tanya Daniel lagi. Kini ia
tengah mendistribusikan pesanan kami satu per satu.
"Itu tuh, yang pakai kemeja garis-garis."
"Yang botak tengah itu, An?"
"Hus! Kualat lo!"
"Lha, terus sekarang Langen ke mana?"
"Tuh, dia nganterin kakek Patra. Tapi dia udah balik kok,"
jawab Andrea sambil menunjuk diriku masih dengan dagunya.
Maklumlah kedua tangannya repot menaburkan bubuk lada ke
menu favoritnya, french fries.
Merasa baru diperbincangkan, aku segera memasang wajah
Langen Dan Si Cowok Robot Karya Putri Rindu Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
curiga. Mataku kusipitkan sebelah. "Pasti habis ngomongin
gue!" tebakku, lalu segera membuka bungkus burger dengan
tak sabar.
"Ge-er deh," tampik Daniel segera.
223 22319224
"Ih, emang kalian mau ngomongin apa lagi? Mau ngomongin
Estri? Huh? Nggak mungkin banget, kan? Emang lo pada berani
ngomongin dia dalam radius satu meter?"
"Ya deh, kami ngaku. Lo tahu kan, betapa ingin tahunya kami
tentang kado spesial dari cowok lo itu?"
"Heh! Gue tegesin lagi ya, Niel. Patra bukan cowok gue. Kami
nggak jadian, tahu!"
"Bohong dosa lho, Ngen. Katanya udah ngomong heart to
heart sama Patra?"
"Niel, lo apa-apaan sih? Lo seneng ya lihat gue makin merana?" Bukannya segera minta maaf, Daniel malah cekikikan.
"Sssst..." untungnya Andrea segera melerai. Kalau tidak, pasti
candaan Daniel yang sama sekali nggak lucu tadi akan menuai
adegan kekerasan.
"Udahlah, Ngen. Cuekin aja. Lo kayak baru kenal Daniel
sehari. Mendingan sekarang lo cerita, kakek Patra ngomong apa
aja?"
Aku menarik napas panjang, kemudian membuang muka,
memperhatikan jendela.
"Yah, standar lah, An. Kakek cuma bilang, sayang gue nggak
sempet ketemu Patra."
"Dikasih tahu nggak alasan sebenarnya Patra pergi ke Frankfurt? Bener-bener karena baikan sama bapaknya atau karena
sakit, Ngen?"
"Nggak tuh, An. Sama sekali nggak ada penjelasan. Hmm,
menurut gue sih, sebenarnya si Patra udah tahu gue tahu dia
sakit. Nggak mungkinlah dia nggak tahu. Soalnya, beberapa hari
terakhir sebelum dia berangkat, dia berani minum obat terangterangan di depan gue. Kesannya sengaja gitu. Sebelum insiden
224 22419225
amplop misterius itu, dia kan nggak pernah minum-minum
obat."
"Terus ngomong apa lagi?"
"Katanya, Patra berharap gue dateng gitu. Tapi itu kan
katanya. Kenyataannya sih gue nggak yakin."
"Kok gitu sih, Ngen?"
"Ya, emang gitu. Kok kalian kayak nggak tahu aja Patra
gimana?"
"Tahu deh, yang paling mengerti Patra memang cuma
Langen."
Andrea buru-buru mencubit lengan Daniel, begitu melihat
mataku mulai mendelik. Ya, bagus lah!
"Terus ini titipan Patra mau lo buka di sini apa di rumah?"
tanya Andrea tanpa memedulikan mimik Daniel yang menuntut
masuk UGD.
"Kalau lo mau buka, buka aja."
Andrea dan Daniel spontan melongo.
"Yang bener lo, Ngen? Ini dari Patra buat lo lho. Bukan buat
A?an."
"Ya, udahlah. Lagian gue juga lagi niat-niatnya makan nih
ayam. Tapi gue juga penasaran. Nah, tangan A?an kan nggak
belepotan sambel."
"Asyiiik... gue buka ya, Ngen. Gile, tempatnya tiga dimensi
begini. Pasti dalemnya ada penting nih."
"Gelang kali, Ngen?"
"Atau bros?"
"Kalung, Niel."
"Siapa tahu aja cincin. Beh, nggak nyangka tuh robot bisa
romantis juga."
225 22520226
Baik aku dan Daniel tak mampu menyembunyikan rasa
penasaran. Kami sama-sama mendekat, lalu menahan napas
saat Andrea mulai merobek pinggir amplop titipan Patra.
Dan saat amplop keramat itu terbuka...
"Lho, kok isinya tiket, Ngen?"
Bapak Ibu, Adik, Kakak, Saudara-saudara sebangsa dan setanah
air, jangan terkecoh dengan rangkaian teks di atas. Ya, ya, seperti
yang dikatakan Daniel, memang paket titipan Patra berisi tiket.
Bayangkan! Masa kotak sebesar itu cuma berisi tiket? Selembar
tiket saja. Nggak ada barang lain lagi. Nggak ada penjelasan, surat,
atau apalah petunjuk teka-teki gitu. Nggak jelas banget, kanMungkin menjelang keberangkatan ke kediaman baru, Patra
mengalami semacam distorsi, yang berakibat fatal pada sistem
pengoperasian di kepalanya.
Buat apa dia memberiku selembar tiket? Oh ya, aku lupa
memberitahu kalian, tiketnya itu bukan tiket pesawat. Mending
kalau dikasih tiket pesawat atau tiket kapal untuk menyambangi
Patra. Lumayanlah, visa dan tetek bengek lain bisa diusahain.
Jadi pada akhir kisah ini aku nggak perlu bersedih karena bisa
ketemu dia, kayak di film-film gitu lho. Aku akan belajar lebih
giat lagi, supaya waktu liburan semester genap bisa terbang ke
Frankfurt. Kan siapa tahu, kalau bisa tetap ranking satu, sama
Bapak boleh nyusul Patra. Masih ada cukup waktu untuk ngurus
visa.
Tapi berhubung Patra nggak pernah nonton film-film romantis
gitu, makanya dia sama sekali nggak kepikir untuk ngasih kejutan yang lebih manusiawi di banding selembar tiket nonton.
Ya, benar sekali! Isi amplop sebesar itu hanya secarik tiket
nonton film. Nonton filmnya di Frankfurt. Bukan di Indonesia,
bukan di Jekardah! Astaga Patra!!! Segitu parahnyakah kamu
kecemplung ke kolam ikan? Sampai kabel kamu korslet semuaAku memang pernah bilang pada Patra bahwa aku juga kepingin menyambangi si Alpha World City. Aku memang sudah
lama ingin ke sana. Aku setengah mati ingin menilik kawasan
Der R?mer. Sederetan rumah ala Roma yang cantik di tengah
alun-alun Frankfurt. Aku ingin sekali berkunjung ke rumah makan dan restoran-restoran tua di Alt-Sachenhausen atau sekadar
duduk menikmati pemandangan di tepian Sungai Main. Tapi,
kenapa aku dikasih tiket nonton? Apa maksudnyaBuat apa sih repot-repot ngotakin selembar tiket yang aku
bahkan nggak ngerti arti tulisannya? Belum lagi pakai dikasih
note di bawahnya. Tapi kenapa pakai bahasa planetLagi sedih-sedihnya gini, kenapa nyusahin orang sih, PatMasa harus buka-buka Google translate dulu supaya tahu
artinya.
Demi apa pun, ini artinya apaIch hoffe, dass wir eines Tages einen Film zusammen sehen
k?nnen*
*I hope one day I can watch a movie with you.
Jakarta, 30 November 2011
Tamat
The Spiderwick Chronicles 3 Rahasia Animorphs 5 Serangan Nekat Menebus Dosa Lanjutan Buku Hitam Karya
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama