Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono Bagian 3
_Aku menuruti kemauannya. Kuulurkan kunci
mobilku kepadanya. Dan ia langsung pergi. Ketika
kembali kira-kira seperempat jam kemudian, ia
membawa tiga buah bantal. Menilik bekas lipatan
kainnya, bantal itu pasti baru diganti sarungnya.
"Kok banyak betul bantalnya!" tegurku.
"Cuma tiga saja kok." Bayu meletakkan'bantal bantal itu ke atas tikar. "Satu untuk Rio dan yang
dua lainnya untuk kita masing-masing."
Kuambil satu di antara ketiga bantal itu.
"Tolong letakkan bantal itu di bawah kepala
Rio. Aku akan mengangkatnya!" kataku.
"Sini, biar aku yang melakukannya. Kau yang
meletakkan bantalnya!" Bayu mendekatiku, mengambil alih apa yang semula akan kukerjakan.
Dan seperti tadi, aku menurutinya. Tubuh Rio
semakin berat saja dari hari ke hari, seiring dengan
pertumbuhannya. Jadi ada baiknya kalau Bayu
yang mengangkat anak itu.
Tetapi aku tidak memperhitungkan bahwa ketika
melakukannya tubuh Bayu akan berada dekat sekali
dengan diriku. Sebab mau atau tidak, orang yang
mengangkat kepala Rio pasti akan menyentuh pahaku. Terlambat bagiku untuk membatalkannya. Karenanya dadaku mulai berdebar-debar lagi.
Aku tidak tahu apakah Bayu mengetahuinya
atau tidak, tetapi yang jelas pandang matanya
terus melekat kepadaku selama ia mengangkat kepala Rio dan meletakkannya ke atas bantal yang
baru dibawanya itu. Aku terpaksa membuang mataku ke tempat lain.
"Sekarang kau bebas, mau tidur atau mau apa
pun. Tempat ini agak jauh dari jalan."
Seolah hendak memberiku contoh, Bayu meng
ambil salah satu bantal yang tersisa tadi. Dan kemudian dibaringkannya tubuhnya, telentang menghadap ke langit tak jauh dari tempatku duduk.
Apa boleh buat, aku terpaksa menirunya sebab memang kelihatannya enak berbaring di atas tikar dengan bantal empuk yang menggoda seperti itu. Di
tempat itu suasananya sunyi. Angin semilir yang sejuk terasa mengusapi diriku dan menimbulkan gesekan
dedaunan yang menciptakan semacam lagu kehidupan.
Sesekali kudengar suara burung sesekali pula kudengar suara mobil atau motor di kejauhan meningkahi
lagu kehidupan yang dibunyikan oleh sentuhan angin
dan daun-daun pepohonan di sekitar tempat itu.
Kutatap langit di sela-sela dedaunan rimbun yang
ada di atasku. Ah, alangkah damainya. Tiba-tiba
saja ada kerinduan dalam hatiku untuk menikmati
kedamaian seperti ini, yang hampir-hampir tak
pernah menyentuh diriku selama tinggal di Jakarta.
Yang ada di sana selain pekerjaanku yang bertumpuktumpuk di kantor. adalah kehidupan rutin, yang
semenjak Bude Tri meninggal tak lagi punya greget.
Selama hampir sepuluh tahun terakhir dalam hidupku
yang hampir tiga puluh ini. Bude Tri menjadi satusatunya orang terdekat denganku. Bersamanya aku
berbagi suka dan duka, dan bahkan rahasia besar
yang ada di balik kelahiran Rio. Kepergiannya menciptakan tempat kosong dalam diriku yang membuatku sering merasa kesepian dan kehilangan rasa
damai. Aku tak mempunyai keluarga dekat di kota
Jakarta.
Perasaan tak enak yang meremas perasaanku
justru ketika aku merasakan kedamaian di tempat
ini, kukibaskan cepat cepat. Lalu kupejamkan mataku
dan mencoba untuk memikirkan hal-hal lain yang
menyenangkan. Tentang kelucuan-kelucuan Rio.
Tentang kelakar dan canda rekan-rekan sekantorku
yang menghangatkan suasana tempat pekerjaan kami.
Tentang gaun baru yang kubeli di Galeria Yogya
kemarin dulu.
"Kau tidur?" kudengar suara bisikan Bayu, hampir
di dekat telingaku. merenggut pengembaraan pikiranku.
Kubuka mataku. Entah kapan lelaki itu sudah
berpindah tempat. Kepalanya berada tak jauh dari
kepalaku.
"Tidak...," sahutku. Kugeser kepalaku agak menjauh. Tak enak rasanya berada di dekat kepala seseorang. Apalagi kalau seseorang itu adalah Bayu.
Sebab meskipun belakangan ini pembicaraanku
dengannya tak lagi dipenuhi suara-suara ketus dan
perkataan yang tajam seperti dulu, aku masih belum
juga membuka hatiku untuk menerima kehadirannya
sebagai seorang teman dekat atau semacam itu.
Padahal sampai detik ini, ia masih sahabat Mas
Totok, yang berarti mereka berdua telah hampir
seperempat abad berteman akrab. Padahal ia juga
telah banyak membantuku mengumpulkan data penyusunan tulisanku. Dan bahkan sekarang ia sedang
berusaha agar anakku mendapat pengalaman yang
berkesan untuk mengisi liburan kenaikan kelasnya
ini. Padahal ia sama sekali tidak tahu tentang siapa
sebenarnya Rio.
"Juga tidak mengantuk?" kudengar lagi suara
Bayu di dekat telingaku. Rupanya ia juga telah
menggeser bantalnya. Sialan.
"Sedikit...," sahutku. Kugeser lagi bantal dan kepalaku menjauh.
"Kalau begitu, tidurlah!"
Daripada diajak bicara, kuturuti saja sarannya
itu. Kupejamkan mataku rapat-rapat, berharap lelaki
itu mengerti bahwa aku merasa risi berada di dekatnya.
Beberapa saat lamanya aku merasa lega. Tak ada
suara dari arah Bayu. Barangkali lelaki itu sudah
tidur. Karenanya pelan-pelan kubuka lagi mataku.
Tetapi alangkah kagetnya aku tatkala melihat wajah
Bayu berada dekat sekali dengan wajahku. Lelaki
itu sedang menatapiku dengan tubuh setengah berbaring, disangga siku tangannya.
Melihat mataku yang tiba-tiba terbuka itu, pipi
Bayu agak memerah. Dengan tersipu-sipu ia membela dirinya.
"Aku... aku sedang mengagumi wajahmu," katanya. "Kecantikanmu sungguh sempurna, Mega."
Aku tak mampu bersuara apa pun. Caranya berkata-kata dan sikap tersipu-sipunya itu membuatku
kebingungan. Apalagi kusadari betul betapa dekatnya
wajah kami berdua saat itu. Dan dengan posisi
tubuh yang kelihatannya begitu akrab pula. Aku terbaring menelentang ke langit dan dia berbaring
miring. menghadap ke arahku, dengan kepala yang
menjulur ke arahku karena tersangga oleh siku tangannya.
"Mega, aku yakin sekali cukup banyak lelaki yang
mengitarimu sesudah kematian suamimu..." Bayu
berkata lagi. "Kenapa kau tidak menikah lagi?"
Kukerutkan dahiku.
"Bukan urusanmu!" sahutku ketus. Yah, memang
bukan urusannya. Tentunya dia tidak perlu tahu bahwa meskipun apa yang dikatakannya itu tidak salah,
aku tak pernah membiarkan seorang lelaki pun
memasuki kehidupan pribadiku, justru karena akibat
fatal perbuatannya kepadaku sepuluh tahun yang
lalu.
"Memang bukan," Bayu berkata dengan sabar.
"Tetapi tidak bolehkah aku tahu?"
"Untuk apa ingin tahu urusan orang?"
"Karena orang itu adalah kau. Mega!"
Kukerutkan lagi dahiku.
"Kenapa sih sejak dulu kau selalu mau tahu urusankuI" tanyaku. Suara ketusku mulai keluar lagi.
Bayu tersenyum lembut. Matanya yang menatapku itu tampak berkilauan.
"Kau pasti akan marah kalau mendengar jawabanku!" katanya kemudian. Kudengar nada bercanda
'dalam suaranya. Seperti yang selalu kuingat tentang
dirinya, lelaki itu memang jarang sekali bisa bersikap serius. Orang yang kurang mengenalnya pasti
akan mengiranya kurang ajar.
"Memangnya jawaban apa yang akan kaukatakan?" Meskipun segan. aku ingin tahu juga apa
yang akan dikatakannya kepadaku.
"Betul kau ingin tahu?" lagi-lagi kudengar suara
canda itu. "Nanti marah"
"Sekarang saja pun aku sudah marah."
"Jadi menurutmu, bertambah besar kemarahanmu
tak jadi masalah bagiku, kan?" Bayu tertawa menyeringai. "Baiklah kalau begitu. Aku akan menerimanya, seberapa pun besarnya kemarahanmu
itu. Nah, jawaban dari pertanyaanmu itu adalah...
aku ingin sekali menciummu."
Aku tak mengira akan mendengar jawaban seperti itu. Namun begitu aku tahu apa yang dikatakannya itu bukanlah jawaban sebenarnya dari pertanyaan yang kuajukan tadi.
"Kau memang suka iseng, Bayu!" dengusku.
"Tidak. Jangan keliru menilaiku," sahut Bayu.
"Aku memang Suka main-main, tetapi dalam hal
ini aku bersungguh-sungguh. Aku ingin menciummu. Boleh maupun tidak."
"Kau gila!"
"Ya ampun, Mega, rupanya kau belum juga kenal
diriku!" Bayu bersungut-sungut. "Aku ini memang
gila. Ada begitu banyak bibir perempuan lain yang
disodorkan kepadaku, tetapi hanya bibirmu saja
yang ingin kukecupi"
"Omonganmu tak senonoh!"
"Senonoh atau tidak. boleh atau tidak, aku ingin
menciummu" Usai berkata seperti itu Bayu segera
melaksanakan apa yang dikatakannya itu. Sebelum
aku sempat berpikir apa pun, bibirnya langsung
mengecup bibirku.
Pada saat seperti itu aku tidak tahu lagi siapakah
yang gila. Bayukah atau diriku? Sebab begitu bibir
kami bertaut, begitu pula akal sehatku lenyap.
Ciuman Bayu begitu panas. Bahkan menggelora.
Aku tak dibiarkannya berpikir apa pun kecuali
ciumannya itu. Dan tangannya menyusup ke bawah
punggungku sehingga bagian atas tubuhku agak
terangkat. Akibatnya dada kami saling bersentuhan
sedemikian eratnya. Jantungku seperti mau meloncat keluar rasanya. Berdebar debar liar tak terkendali. '
Selama berada di Jakarta, kehidupan asmaraku
jauh dari api. Bara pun tidak. Hidupku nyaris seperti kehidupan seorang pertapa. Teman-teman lelakiku tak pernah berani mendekatiku kalau pandang mata dan sikapku mulai dingin. Aku tahu
betul. di belakangku mereka menjulukiku gunung
es. Bahkan ketika aku bersahabat dengan Nia
yang sekarang melanjutkan studinya ke luar negeri
atas biaya perusahaan, ada pula bisik-bisik yang
mengatakan bahwa sikap dinginku terhadap lelaki
itu disebabkan karena aku seorang perempuan yang
hanya bisa jatuh cinta kepada sesama jenisku.
Alias lesbian. Tetapi biarpun apa saja yang orang
bicarakan di belakangku itu kuketahui, satu pun
tak ada yang kuhiraukan sehingga mereka kebingungan sendiri.
Namun demikian aku harus mengakui pada
diriku sendiri, bahwa aku memang bisa saja dimasukkan ke dalam golongan orang yang tak normal jika bicara mengenai dunia asmara. Ada ketakutan untuk jatuh cinta. Ada rasa hampa tanpa
gairah apa pun kalau menghadapi sikap seorang
lelaki yang kelihatannya mau melangkahi ambang
batas sifat kekompakan sebagai teman. Semakin
ada lelaki yang bersikap agresif terhadapku. semakin aku kehilangan perasaan dekat Lebih-lebih
kalau ada di antara mereka yang menganggap seorang janda adalah perempuan yang lebih mudah
didekati, semakin aku melompat jauh darinya. Bisabisa aku akan membencinya seumur hidup. Sebab
meskipun aku bukan janda, dapat kumengerti betapa beratnya menjadi seorang janda muda. Dengan
demikian setiap pelecehan yang paling ringan sekalipun terhadap seorang janda, akan mengait kemarahan yang besar padaku. Sebab siapa sih perempuan yang dengan suka hati ingin menjadi
seorang janda"? '
Namun lepas dari semua itu, tatkala kurasakan
tubuhku seperti sedang berubah menjadi sebongkah
besar bara api yang menggelegak oleh ciumanciuman panas yang diberikan oleh Bayu, hatiku
bertanya-lanya sendiri. Benarkah aku perempuan
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang kurang normal? Benarkah aku tak akan pernah
lagi terpengaruh oleh pendekatan fisik maupun
mental dari lawan jenisku'?
Rasanya tidak. Aku seorang perempuan normal.
Barangkali akan lebih tepat kalau dikatakan bahwa
aku ini seperti macan yang tertidur lama dan tibatiba dibangunkan secara paksa. Atau ah, entahlah...
aku tak ingin berpikir lebih jauh.
Tetapi sayangnya justru karena tak mau berpikir
itulah ciuman-ciuman dan tangan Bayu yang sekarang berada di punggungku dan sedang bergerak
lembut mengelusi kulitku, kurasakan dengan seluruh
kepekaan fisikku. Akibatnya darah yang mengalir
liar tadi mulai membuat tubuhku menggeletar.
Syukurlah pada saat yang menggetarkan itu aku
sadar keadaan seperti itu tak seharusnya terjadi.
Aku bukan kekasih Bayu. Kami berdua tidak memiliki hubungan kasih.
Dengan pikiran seperti itu aku langsung bereaksi.
Aku berniat mendorong dada Bayu dan lalu menggulirkan tubuhku untuk menjauhinya. Sementara
itu bara tubuhku mulai redup karena pikiran itu.
Tetapi sayang sekali sebelum keinginanku kulaksanakan, Bayu mengubah gaya ciuman dan elusannya
yang panas tadi. Sekarang ciumannya menjadi sangat lembut. Dan terasa amat mesra. Dengan lidah"
nya ia menyusuri permukaan bibirku dengan cara
yang sedemikian intimnya. Sementara tangannya
mengelusi leher dan pipiku sampai akhirnya aku
merasa kebingungan oleh perasaan yang masih
asing bagiku, namun yang kumengerti apa artinya.
Dulu, hampir sepuluh tahun yang lalu. aku pernah
mengalami hal yang hampir sama. Tetapi semua
yang terjadi pada saat itu lebih banyak disebabkan
oleh rasa ingin tahu dan dengan kesadaran yang
terasa mengawang-awang karena kemudaan usiaku.
Namun sekarang aku seorang perempuan dewasa.
Meskipun hampir tidak ada pengalaman asmara
dalam hidupku kecuali yang dahsyat. dan cuma
sekali-sekalinya itu, aku tahu juga sekarang ini
tubuhku yang seperti macan tertidur lama itu sedang terbangun dan kelaparan.
Sungguh aku betul betul merasa bersyukur saat
itu aku berada di tempat terbuka. Meskipun tempatnya cukup sepi, kemungkinan munculnya orang
bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Kolam ikan milik
Bayu ini ada yang mengelola meskipun saat ini
bukan saatnya memberi makan.
"Cukup!" bentakku dengan suara parau ketika
bibir Bayu mulai berpindah ke lekuk antara leher
dan daguku. Kemudian kudorong dadanya.
Bayu menghentikan semua kemesraannya tadi
dengan seketika. Kulirik sekilas, wajahnya memerah
dan tangannya bergetar sewaktu menyisir rambutnya
dengan jemarinya.
"Maaf.." katanya dengan suara yang lebih parau
daripada suaraku. "Aku khilaf!"
Semula aku ingin membentaknya lagi, ingin
menumpahkan seluruh kemarahan yang sebenarnya
kutujukan kepada diriku juga. Tetapi hati nuraniku
menggugat. Bayu pasti akan menghentikan ciumannya seandainya aku langsung menolak dan mendorong tubuhnya pada saat bibirnya mulai menyentuh
bibirku tadi. Jadi tak seharusnya kutimpakan seluruh
kesalahan hanya kepadanya sendiri.
"Sudahlah!" Kulemparkan telapak tanganku ke
udara dengan rasa putus asa yang tibawtiba merasuki
hatiku. "Aku juga khilaf. Lupakanlah apa yang terjadi tadi."
Betapa mudahnya berbicara. Pada malam harinya
tatkala aku terbaring dalam kegelapan kamarku,
dalam cuaca dingin yang menggigit dan merasa
sendirian karena saat itu Rio sedang dikeloni oleh
kakek dan neneknya, peristiwa siang tadi menari
nari dalam ingatanku. Untuk pertama kalinya dalam
hidupku, aku menginginkan seseorang berada bersamaku di bawah selimut yang saat ini membungkus tubuhku. Dan ironisnya seseorang yang melintas dalam pikiranku itu adalah Bayu. Ya. Bayu.
Ini adalah lintasan pikiran yang sangat menyakitkan diriku sendiri. Sebab kenapa harus Bayu?
Bukankah aku pernah membencinya sedemikian
rupa"? Bukankah aku pernah sedemikian yakinnya
sampai berani sesumbar bahwa seumur hidupku
tak akan pernah kubiarkan hatiku tersentuh oleh
perhatian! apalagi pendekatan bersifat asmara dari
pihak Bayu?
Kepalaku sampai pusing memikirkan kenyataan
pahit seperti ini. Sebab aku yakin, mulai saat ini
hatiku yang selama ini tak pernah dirusuhi oleh apa
pun yang berkaitan dengan dunia asmara. sedang
berubah total. Ketenangan dan kedamaian batin
yang meskipun gersang tetapi dapat kulalui dengan
cukup mulus selama ini, akan berubah seratus
delapan puluh derajat.
Terus terang kini aku ketakutan menghadapi masa
depan!
"MAMA, kapan kita ke rumah Oom Bayu lagi?"
tanya Rio hari itu.
Kutatap wajah anakku yang tampaknya sedang
bosan bermain sendirian itu. Aku_ menarik napas
panjang.
Sudah beberapa hari keinginan Rio untuk pergi
ke rumah Bayu selalu kualihkan pada kegiatan
lain. Kemarin dulu kuajak ia melihat-lihat keraton
dan Candi Prambanan. Kami makan ayam goreng
Kalasan untuk makan siang. Esok harinya kubawa
Rio ke Pantai Parang Tritis melihat deburan ombak
dari kejauhan. Dari sana kami jalan-jalan ke Malioboro. Rio minta dilukis oleh seniman jalanan di
tempat itu. Sekarang lukisan itu sudah dibingkai
dan digantung di kamar.
"Bagaimana kalau hari ini kita melihat Candi
Borobudur?" seperti kemarin dan kemarinnya lagi,
kualihkan keinginan Rio kepada kegiatan lainnya.
Tetapi tidak seperti kemarin dan kemarinnya lagi,
Rio tidak terbujuk.
"Iyo mau ke rumah Oom Bayu, melihat ikan
dan kebun-kebunnya!" katanya, mulai menunjukkan
kekeraskepalaannya.
"Bagaimana kalau besok atau lusa saja? Mama
sedang ingin melihat Candi Borobudur," sahutku.
"Tidak. Hari ini kita akan ke rumah Oom Bayu,
baru besok atau lusa kita pergi ke Candi Borobudur."
Aku merasa jengkel didikte oleh anakku. Apalagi
untuk menuruti keinginannya yang sangat bertolak
belakang dengan apa yang ada dalam batinku.
Semenjak peristiwa ciuman di tepi kolam ikan
milik Bayu, aku tak mau lagi bertemu dengannya.
Mendengar namanya disebut orang saja pun hatiku
langsung merasa tertekan. Tetapi sialnya, ketika aku
dan Rio pamit pulang menjelang sore hari itu, Bayu
menjanjikan sesuatu kepada Rio.
"Kalau Rio ke sini lagi, akan Oom ajak jalanjalan ke lereng gunung mencari burung atau memetik
buah salak. Mau?"
Kanak-kanak mana yang tidak suka diajak oleh
seorang lelaki berpengalaman seperti Bayu? Apalagi
Rio. Anak Jakarta yang jauh dari kehidupan desa
itu sedang tertarik-tertariknya dengan segala hal
baru yang disaksikan dan dialaminya. Seperti menyaksikan sepak terjang Bayu yang begitu gesit
menarik pancing ketika ia berhasil menangkap
seekor ikan mas. Atau ketika Rio melihat lelaki
itu sedang membetulkan pagar bambu berkawat
duri yang roboh dengan kedua belah tangannya
yang kuat itu. Juga tatkala menyaksikan bagaimana
Bayu naik ke atas pohon untuk mengambil buah
nangka yang besar-besar.
Akibatnya. akulah yang direpotkan. Kalau sedang
merasa bosan melakukan seSuatu, langsung saja
ingatan Rio lari kepada Bayu. Seperti saat ini.
"Ya, Ma?" kudengar lagi bujukan Rio di telingaku. "Hari ini kita ke rumah Oom Bayu, ya?"
Untuk kedua kalinya aku menarik napas panjang.
"Mama sedang tidak ingin ke sana!" sahutku
kemudian.
"Kenapa?" Mata Rio terpicing menatapku dengan
rasa ingin tahu. '
"Karena di sana tidak banyak orang. Sepi. Kalau
kita pergi ke Candi Borobudur, kita bisa bertemu
dengan banyak orang" Suaraku terhenti oleh katakata Rio yang memotong bicaraku.
"Iyo tidak suka melihat banyak orang!" katanya
sambil menatapku dengan matanya yang bulat dan
bening itu. "Di Jakarta sudah terlalu banyak orang
yang Iyo lihat. Bosan. Bosan sekali, Mama."
Payah, pikirku. Mau membantah perkataan Rio
tidaklah bijaksana, sebab memang kehidupan kota
Jakarta yang penuh orang sering membuat kita
tertekan. Berada di tempat yang sepi dan jauh dari
orang banyak bisa menimbulkan perasaan damai.
Tetapi mau mengiyakan, berarti aku akan bertemu
dengan Bayu kembali. Serbasalah jadinya.
Syukur, sedang aku kebingungan mau mengata
kan apa kepada anakku itu, telepon berdering.
Telepon adalah barang yang masih termasuk baru
di rumah orangtuaku. Ayahku sudah pensiun. Ka
renanya hubungan telepon yang terjalin di rumah
ini pasti berkaitan dengan urusan kekeluargaan,
kekerabatan, dan hubungan-hubungan sosial antara
orangtuaku dengan masyarakat sekitar. '
"lyo boleh mengangkat, Ma?"
Kuanggukkan kepalaku. Mungkin saja itu telepon
dari salah seorang kakakku. Rio sudah semakin
akrab saja dengan mereka. Beberapa malam lalu
Mas Totok malah menjemput anak itu dan mengajaknya jalan-jalan bersama keluarganya.
Harus kuakui, aku ini termasuk orang yang
beruntung. Rio lahir di luar perkawinan dan aku
anak bungsu dalam keluargaku. Karena "kecelakaan" yang kualami waktu itu, umur anakku lebih
tua dibanding umur anak-anak ketiga kakakku.
Namun toh mereka semua menerima kehadiran
Rio dengan baik tanpa mengingat sejarah kelahirannya. Hal itu sangat membantuku untuk menempatkan diriku kembali di tengah-tengah keluargaku.
Aku yang selama sepuluh tahun ini menjauhi me"
reka dan bahkan mengambil jarak yang terlalu
lebar di antara kami, kini merasa lega. Bahkan
merasa beruntung sebab ternyata ketakutanku se
lama ini terlalu berlebihan.
Melihat anggukan kepalaku, Rio melompat ke
arah meja telepon dan langsung mengangkatnya.
"Halo..." Sambil menyuarakan "halo" itu, mata
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak itu menatap ke arahku. Aku ganti menatapnya.
ingin tahu apa yang dikatakannya untuk menanggapi si penelepon. Oleh sebab itu seketika aku
bisa menangkap matanya yang tiba-tiba berbinarbinar. Dan sebelum aku sempat menanyakan sesua-tu kepadanya, tiba-tiba ia menyampaikan berita
yang mengejutkanku, "Mama, Oom Bayu mau ke
sini menjemput Iyo!"
Aku terdiam. Dengan mata nyalang telingaku
berusaha menangkap kata-kata Rio selanjutnya,
kata-kata yang berisi tanggapan atas perkataan
Bayu di seberang sana.
"Kemarin dan kemarinnya lagi Mama mengajak
Iyo ke Prambanan, ke keraton, dan ke pantai apa
namanya Iyo lupa" Rio menghentikan bicaranya,
lalu menganggukkan kepala, seolah ia sedang berhadapan muka dengan si penelepon. "Ya, Parang
Tritis. Soalnya Mama belum mau mengantar Iyo
ke rumah Oom Bayu."
Wah, Rio masih terlalu polos untuk memilah milah perkataannya. Sekarang Bayu pasti tahu aku
memang sengaja tidak ingin pergi ke rumahnya.
meskipun aku mendengar waktu berpisah di tepi
kolam ikan itu Bayu telah berjanji akan mengajak
Rio jalan-jalan.
"Ya, Iyo suka sekali, Oom. Tetapi iyo makan
dulu, ya?" kudengar suara Rio lagi, yang kemudian disambungnya kembali setelah terdiam
mendengarkan perkataan Bayu dari seberang. "Oh,
ya deh. Iyo mau makan bersama Oom Bayu lagi."
Usai berkata seperti itu, Rio mendekatiku.
"Mama, Oom Bayu bilang kalau Mama belum
bisa mengantarkan Iyo ke rumahnya, dialah yang
akan menjemput lyol" katanya kemudian. "Iyo
mau diajak jaian-jalan. Boleh, Ma?"
"Untuk hari ini, bolehlah!" sahutku tanpa dapat
berbuat apa-apa. "Tetapi besok kita akan berjalanjalan melihat Candi Borobudur."
Rio menganggukkan kepalanya. Kemudian dengan
setengah berlari ia masuk ke kamar. Ketika keluar
kembali ia sudah menukar pakaiannya. Di belakangnya tergantung tas punggung yang belum lama ini
kubelikan.
"Kau membawa apa di dalam tasmu itu?" tanyaku ingin tahu.
"Pakaian dan handuk."
"Untuk apa?" tanyaku agak heran.
"Kata Oom Bayu. siapa tahu jalan-jalannya nanti
sampai sore, jadi Iyo harus membawa pakaian untuk
ganti sesudah mandi di sana. Boleh kan, Ma?"
"Ya. Tetapi hanya untuk kali ini saja lho."
Rio tidak menjawab. Aku tahu, di dalam hatinya
ia tidak menyetujui perkataanku itu. Tetapi ia
sadar bahwa membantahku hanya akan menimbulkan perasaan tak enak saja. Jadi ia merasa lebih
baik diam saja tanpa menanggapi perkataanku itu.
Anakku itu memang cerdas.
Aku pura-pura tak memperhatikan. Seperti dia,
aku juga segan bersitegang leher. Jadi aku memilih
masuk ke kamarku dan berlagak sibuk. Melipat-lipat
pakaian, mengatur meja rias, dan lain sebagainya.
Ketika telingaku mendengar suara mobil masuk ke
halaman dan tahu itu bukan suara mobil Bapak yang
saat itu sedang pergi berbelanja dengan Ibu, aku
tetap menyibukkan diriku di kamar. Sungguh mati
aku tak ingin melihat Bayu lagi. Sama seperti yang
kurasakan hampir sepuluh tahun yang lalu ketika ia
mengambil keperawananku. Kedua peristiwa itu,
baik yang terjadi-sepuluh tahun yang lampau dan
beberapa hari lalu ketika kubiarkan diriku terbawa
arus gelombang kemesraan yang ditimbulkan olehnya, jelas-jelas telah mendudukkan aku pada posisi
seorang pecundang. Dan aku tak mau mengakuinya,
bahkan terhadap diriku sendiri. Menghindari dan
menolak si sumber petaka yang menempatkanku
pada posisi tersudut itu merupakan keharusan bagiku.
Karenanya aku tak mau bertemu Bayu.
"Mama.," kudengar teriakan Rio dari halaman.
Aku tak menyahutinya.
"Mama, ada Oom Bayu. Mau pamit!" kudengar
lagi teriakan Rio.
Aku tetap tak berniat menyahutinya. Tetapi kali
ini tiba-tiba di muka pintu kamarku sudah terdengar
suara Bayu. Aku lupa kalau lelaki itu sudah seperti
keluarga saja di rumah ini. Keluar-masuk semaunya
sendiri.
"Aku pergi dulu," katanya.
Dengan seketika kupunggungi lelaki itu. Purapura sibuk dengan sesuatu.
"Ya...," sahutku tanpa berniat menoleh barang
sekilas pun.
"Iyo pergi ya, Ma..." Menyusul suaranya, tak
berapa lama kemudian Rio muncul di hadapanku.
Karena sudah menjadi kebiasaan, kedua belah
pipi anak itu kucium dengan tubuh masih membelakangi pintu. tempat Bayu masih berdiri di sana.
"Jangan nakal ya, Sayang," kataku kepada anakku
itu.
"Ya" Rio meraih leherku yang saat itu masih
membungkuk dan membalas ciumanku dengan mengecup pipiku.
"Dah, Rio."
Anak itu tidak menjawab, tetapi langsung meng
hambur keluar. Aku masih tetap belum berani menoleh, takut kalau-kalau Bayu masih ada di be]akangku. Dan memang, ternyata dugaanku tak
salah. Kudengar suara lelaki itu dari arah pintu.
Pelan tetapi jelas.
"Ada baiknya kalau kapan kapan aku juga kauperlakukan seperti caramu memperlakukan Rio
tadi," katanya.
"Pergi, Bayu!" aku mendesis, tetapi tetap memunggungi lelaki itu. "Cepat, sebelum kulempar
kau dengan sandalku"
Kudengar derai suara tawa lelaki itu, disusul
suara langkah kakinya yang menjauh. Aku yakin,
ia pasti cengengesan lagi. Sungguh, sepanjang aku
mengenalnya, lelaki itu selalu saja pandai membuat
emosiku bergolak. Dan sepanjang yang kuingat
pula di dalam hidupku, belum pernah ada lelaki
lain yang mampu membuatku jadi emosional seperti
yang kurasakan jika menghadapi kelakuan-kelakuan
Bayu.
Ketika bapak dan ibuku pulang dari berbelanja
dan tidak melihat Rio, mereka menanyakan anak
itu.
"Pergi bersama Bayu!" sahutku pendek.
"Dengan Bayu?" ibu menjinjitkan alis matanya.
"Kok bisa"?"
"Yah, kemarin kan sudah Mega ceritakan tentang
pertemuan kami yang tak disengaja," sahutku
enggan.
"Oh ya, kau lalu mewawancarainya."
Kuanggukkan kepalaku.
"Ya. Lalu beberapa hari kemudian kuajak Rio
ke sana supaya dia melihat dengan mata kepala
sendiri kehidupan para petani salak. Rupanya dia
sangat tertarik sehingga Bayu sangat senang ketika
mengetahui ada anak Jakarta kok tertarik pada
hal-hal semacam itu."
"Dan hari ini ia menjemputnya'?" sela Bapak.
"Ya. Rio sangat gembira dijemput olehnya!"
kataku agar kedua orangtuaku tidak bertanya-tanya
lagi kalau sampai sore nanti Rio belum pulang.
"Dia membawa pakaian. Katanya mau mandi di
sana."
"Anak itu membutuhkan figur seorang ayah!"
Ibuku menatapku dengan tatapan tajam.
Wah. aku sudah memasuki daerah berbahaya,
pikirku. Lekas-lekas kupalingkan wajahku. Harus
kuakui, ketika mendengar perkataan Ibn itu, hatiku
berdenyut oleh rasa bersalah. Sampai sekarang keluargaku tak pernah mengetahui bahwa Rio adalah
anak Bayu. Dan sekarang di dasar koperku aku
membawa surat dari Bude Tri untuk ibuku. Surat
itu ditulisnya beberapa waktu sebelum ia dipanggil
menghadap Sang Pencipta. Besar dugaanku surat
itu berisi pengakuan Bude Tri atas persekongkolannya denganku untuk menyembunyikan sejarah kelahiran Rio. Karenanya surat itu masih kutahan.
Rencanaku surat itu baru akan'kuberikan apabila
aku dan Rio akan kembali ke Jakarta nanti.
"Dan Bayu juga membutuhkan kehadiran seorang
anak dalam hidupnya," ayahku menyambung bicara
Ibu tadi.
"Kenapa?" terlontar begitu saja pertanyaan yang
semula hanya akan kutelan sendiri.
"Yah, karena sudah saatnya!" ibuku ganti mengambil alih pembicaraan. "Teman-temannya sudah
menikah semua di sekitar tempat ini."
"Bambang malah sudah menduda dengan seorang
anak tinggalan almarhum istrinya!" sela Bapak lagi.
Aku kaget.
"Bambang yang dulu tinggal di depan rumah kita,
Bu?" tanyaku kemudian. "Dia sudah menduda?"
"Ya. Ayahnya sudah meninggal lima tahun yang
lalu. Sekarang rumahnya ditempati oleh kakak perempuannya yang sudah menikah."
"Dan Bu Darto?" tanyaku lagi. Bu Darto adalah
ibu Bambang.
"Bu Darto ikut Bambang sejak istri lelaki itu
meninggal dunia. Mereka tinggai di belakang losmen yang ada di ujung jalan ini lho, Nduk," ibuku menjawab sambil mengangkat bungkusan berisi
gula pasir dan kopi yang baru dibelinya bersama
Bapak tadi. "Kalau tahu kau datang, ia pasti akan
berkunjung kemari."
Bambang termasuk teman akrabku meskipun dia
tiga tahun di atas usiaku. Dari dialah aku pernah
mendengar sesumbar Bayu yang mengatakan suatu
ketika nanti ia pasti akan berhasil menjadikan
diriku kekasihnya. Sesumbar seorang pemuda belia
yang sedang bandel-bandelnya. Tetapi yang entah
karena alasan apa, mengusik seluruh ketenangan
batinku hingga hari ini.
Cerita tentang Bambang menyingkirkan pembicaraan tentang Bayu. Aku merasa lega. Dengan
kelegaan hati seperti itulah aku membantu Bapak
dan ibu mengangkut barang barang belanjaan
mereka dari mobil ke dapur.
Tetapi kelegaanku itu ternyata tak berumur lama.
Ibu mengungkit lagi masalah Bayu.
"Bayu itu terlalu sombong!" katanya. "Terlalu
banyak pilih, jauh jodoh dia!" .
"Jangan bilang begitu. Bu!" Bapak menyela
lagi. "Kita kan tidak tahu apa yang ada dalam
hati orang. Siapa tahu dia memang menginginkan
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perempuan yang begini atau begitu dan kebetulan
tidak ada di daerah ini. Namanya juga cita-cita
mencari istri idaman. Aku dulu juga begitu kok.
Cuma bedanya, aku ini termasuk orang yang beruntung. Gadis yang kucita-citakan dan kuidamidamkan sebagai istri kutemukan padamu. Dan
aku tidak bertepuk sebelah tangan!"
"Ah, gombal!" Ibu tertawa. Tetapi aku tahu,
hatinya berbunga-bunga. Maka pembicaraan tentang
Bayu pun tersingkir lagi.
Meskipun demikian aku tahu sekarang. di mata
orang-orang di daerah Merapi ini Bayu dianggap
sombong dalam hal jodoh. Ketika kutanyakan secara bergurau pada awal perjumpaan kami lagi be
berapa waktu yang lalu, Bayu mengatakan ia belum
menikah karena pasangannya, yaitu mega, terbang
di langit yang tinggi. Tentu saja yang ia maksud
adalah aku. Tetapi tentu saja aku tak bisa meng
anggap perkataan itu serius. Bayu suka bergurau.
Bayu suka" cengengesan. Bayu sering kurang ajar.
Bayu jarang sekali bersikap serius. Dengan per
kataan lain, boleh jadi ada alasan lain yang ia tak
mau katakan dengan terus terang, mengapa sampai
sekarang ia belum juga menikah. Padahal untuk
ukuran daerah-daerah di sekitar Gunung Merapi
ini, ia termasuk jejaka lapuk.
Namun lepas dari apa pun mengenai diri Bayu
yang tak kuketahui secara pasti, pada kenyataannya
memang lelaki itu sangat menyukai Rio. Dan itu
sangat menekan perasaanku yang paling dalam,
sebab hanya aku sendirilah yang mengetahui kaitan
apa yang terjalin di antara dua orang itu. Dan
percaya atau tidak, apa yang kusaksikan di depan
mataku itu benar-benar merupakan bukti bahwa
pertalian darah antara ayah dan anak tak bisa disepelekan begitu saja. Rio sendiri pun memperlihatkan adanya kekuatan batin yang hanya kumengerti
maknanya. Anakku yang tak pernah merasa dekat
secara mental dengan seorang lelaki, kini menunjukkan sesuatu yang berbeda.
Sesungguhnyalah semenjak Bayu menjemput Rio
hari itu, hampir setiap hari mereka berdua mempunyai acara tetap tanpa melibatkan diriku. Kalau
pada malam hari aku bertanya kepada Rio tentang
apa saja yang ia lakukan bersama Bayu siang
harinya, anakku itu hanya menceritakan dengan
pendek bahwa ia diajak Bayu ke lereng Gunung
Merapi mencari burung atau cuma sekadar jalanjalan. Tetapi aku melihat dari kedua bola mata
dan bibirnya, Rio menyembunyikan sesuatu dariku.
Entah apa tetapi kelihatannya merupakan sesuatu
yang menyenangkan baginya.
Merasa jengkel karena tidak tahu apa-apa yang
dilakukannya bersama Bayu, pada suatu pagi aku
memancing minatnya untuk melakukan sesuatu
yang berbeda.
"Rio, kita kan belum melihat Candi Borobudur!"
kataku sambil berusaha menangkap siratan air
mukanya. "Padahal liburanmu tinggal sepuluh hari.
Jadi kita sudah harus pulang seminggu lagi supaya
ada waktu untuk bersiap-siap. Membeli bukuubuku,
membeli seragam baru, dan seterusnya!"
"Candi Borobudur itu seperti apa sih, Ma? Besar
mana dengan Candi Prambanan yang kita lihat
kemarin?"
"Tentu saja lebih besar Candi Borobudur, N a'k."
"Bagus mana?"
"Kedua-duanya memiliki keindahannya masingmasing dan juga memiliki sejarahnya sendiri. Nanti
Mama ceritakan!"
"Lalu setelah melihat candi, kita ke mana, Ma?"
"Terserah Rio," sahutku. "Rio mau ke mana,
Mama akan turuti. Sebab bagi Mama semua tempat
di sekitar kota Yogya ini bukan sesuatu yang baru.
Riolah yang harus melihatnya supaya tambah
pengalaman."
Rio terdiam beberapa saat lamanya. Aku tahu
ia sedang memikirkan sesuatu.
"Ada apa?" tanyaku. "Ada yang kaupikirkan?"
"Iyo bingung. Ma."
"Bingung? Kenapa?"
"Karena masih ada yang sedang iyo kerjakan
bersama Oom Bayu. Kalau kita pergi ke Borobudur,
nanti pekerjaan Iyo bagaimana dong?"
Aku tertawa. Lagak anak itu seperti orang dewasa
yang sedang mengerjakan sesuatu yang sangat
penting. Tetapi karena aku tahu bahwa sekecil apa
pun seorang anak ia memiliki kebutuhan yang sama
seperti orang dewasa dan juga mempunyai harga diri
yang sama walaupun porsinya berbeda, pertanyaan
itu kujawab juga dengan sebijaksana mungkin.
"Kalau begitu, katakanlah kepada Oom Bayu
mengenai rencana kita. Mudah-mudahan pekerjaan
kalian berdua bisa ditunda sehari atau dua hari dan
kemudian dilanjutkan pada hari berikutnya. Bagaimana?"
"Iyo rasa, itu usulan yang baik!" sahut Rio sambil
bangkit dari tempat tidurnya.
Aku tertawa lagi. Seperti tadi anak itu berlagak
seperti orang dewasa saja.
"Nah, kalau begitu tidurlah kembali!" kataku
kemudian. "Besok kalau Oom Bayu kemari.
katakan mengenai kepergian kita."
"Iyo' mau mengatakannya sekarang!" sambil ber
kata seperti itu, Rio menyingkapkan selimutnya sehingga tubuhnya yang terbalut piama bergambar
binatang-binatang kecil itu tampak.
Aku tahu ia akan menelepon Bayu. Kulirik. jam
sembilan kurang empat menit. Masih cukup pantas
untuk menelepon seseorang. Jadi kubiarkan dia
keluar kamar. Dan aku melanjutkan bacaanku. Kemarin aku membeli dua buku cerita di kota.
Esok paginya ketika aku baru saja selesai mengenakan celana panjang bergaris-garis hitam-putih
dengan blus yang sama coraknya, dan melilitkan
scarf merah di leherku, Rio yang sudah siap sejak
pagi muncul di muka pintu kamarku.
"Sudah siap, Ma?" tanyanya berkacak pinggang.
"Sudah. Tinggal memakai..."
"Minyak wangi!" Rio mengambil alih perkataan
yang belum sempat kuucapkan. "Ya, kan?"
"Ya."
"ltulah Mama!" Rio nyengir. "Selalu wangi."
"Tidak suka?" aku tertawa melihat ke arahnya.
"Suka sekali."
"Kalau begitu biarkan Mama mengoleskan minyak
wangi. Dan segeralah sarapan sana supaya kita bisa
segera berangkat. Semakin pagi kita berangkat,
semakin baik. Kita akan mempunyai waktu yang
panjang."
"Oke!" Kata "oke" yang sedang menjadi kesukaan Rio itu terdengar lagi.
Tetapi ternyata Rio tidak mau sarapan. Roti
yang disiapkan ibuku dimasukkannya ke dalam
tempat roti yang dibawanya dari Jakarta, untuk dimakan nanti.
"Kata Oom Bayu. kita akan sarapan di Boro
budur saja. Katanya ada banyak rumah makan di
sana!"
"Apa?" Kukerutkan dahiku. "Oom Bayu?"
"Ya. Oom Bayu akan menemani kita ke sana!"
Kukerutkan dahiku, nyaris marah.
"Kita hanya akan pergi berdua saja, Rio!" kataku.
Wajah Rio langsung tampak kecewa. Bahkan seperti mau menangis. Ibuku yang kebetulan ada di
situ mulai menengahi.
"Kebetulan ibu mendengar pembicaraan Rio di
telepon semalam!" katanya. "Kelihatannya Nak Bayu
ingin menemani kaiian. Kurasa itu baik sekali,
Mega. Ia lebih tahu jalan-jalan pintas ke arah
Borobudur sehingga lebih dekat. Lagi pula pergi
bertiga kan lebih enak daripada hanya pergi berdua
saja. Ya kan, Rio?"
"Ya."
Aku melirik ke arah ibuku. Ia memberi isyarat
agar aku jangan bersikap keras kepala sehingga
akhirnya aku mengalah.
"Baiklah, kita pergi bersama Oom Bayu!" kataku.
Ketika Rio berlarian ke depan dengan gembira,
tahulah aku bahwa Bayu sudah datang sejak tadi.
Rupanya ia tidak memasukkan mobilnya ke halaman.
Dan aku tahu betul sebabnya. la takut aku akan
marah melihat kedatangannya.
Apa yang ada dalam pikirannya itu tidak salah.
Aku memang marah melihat kedatangannya yang
tak diundang itu.
"Dia lagi. dia lagi!" gerutuku dengan perasaan
jengkel.
Ibuku menoleh ke arahku. Kulihat wajahnya menampilkan rasa kurang suka. Ia pasti tidak menyetujui
sikapku itu.
"Kenapa sih sejak dulu kau selalu membencinya,
Mega?" tanyanya. "Menurut Ibu sikapmu terhadapnya itu sama sekali tak patut. Tak sopan. Bahkan
sudah berlebihan. Apa sih salahnya kepadamu?
Coba kaurenungkan baik-baik secara objektif. Jangan sampai kenangan masa kecil ketika Bayu
masih anak nakal dan kurang ajar itu mempengaruhi pikiranmu sekarang ini. Segala sesuatunya
sudah berubah." '
Aku tidak menjawab. Tetapi wajahku menampilkan penolakan. Dan Ibu yang sudah begitu mengenalku, tahu itu. Ia menggelengkan kepalanya
berulang kali.
"Ketika kau membenci Bayu dulu, Ibu tak mau
ikut campur dan membiarkan hal itu begitu saja.
Sebab memang ada masa-masa seorang anak perempuan membenci anak-anak lelaki sebayanya.
Apalagi kalau anak lelaki itu dijodohkan dengannya
oleh teman-teman yang lain, meskipun itu cuma
sebagai canda dan sekadar main-main saja. Dan
Ibu sendiri pun pernah mengalami hal semacam
itu!" katanya sambil menatap tajam ke arahku.
"Tetapi kebencianmu terhadap Bayu tak pernah
surut meskipun itu sudah berlalu lama dan sudah
sekian tahun kalian tak pernah berjumpa. Kan
sudah lewat takaran itu. Bahkan aneh!"
"Apanya yang aneh!" Kuraih tas dan kacamata
penghalang sinar matahariku dari atas meja. Aku
tak ingin berlama lama membicarakan Bayu.
"Ya kau itu yang aneh. Coba kaurenungkan baikbaik, Mega. Jangannjangan kebencianmu kepadanya
itu ada latar belakangnya."
"Ah, Ibu!" aku menggerutu lagi. "Ada-ada saja."
"Bukan mengada ada, Mega. Camkan itu!"
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku enggan menanggapi perkataan Ibu. Cepatcepat aku melangkah keluar.
"Aku pergi dulu ya, Bu...," kataku sebagai gantinya.
Tetapi ibuku mempunyai kekerasan hati yang
hampir sama denganku. Di belakangku ia melontarkan perkataan yang diharapkannya dapat masuk ke
dalam pikiranku. Dan lalu akan kurenungkan baikbaik.
"Jangan jangan kebencianmu itu merupakan
mekanisme jiwamu, agar kau tidak tertarik kepadanya!" katanya. "Bukankah anak itu tampan, cerdas,
dan pandai bergaul dengan siapa saja?"
Kali ini perkataan Ibu harus kujawab. Kalau
tidak, ia akan mengeluarkan perbendaharaan ilmunya. Ketika masih muda dan sampai Mas Wawan
lahir, Ibu menjadi guru di sebuah SMP. Sebelumnya
ia pasti belajar ilmu psikologi. Dengan ilmu itulah
ibuku membaca orangnorang di sekitarnya. Dan
sedikit banyak aku harus mengakui bahwa kacamata
yang dipakai oleh ibuku cukup dapat dipertanggungjawabkan.
"Bu, menilai jiwa manusia itu tidak sama seperti
kalau Ibu menilai empat kali empat itu enam beias!"
sahutku sambil bergegas keluar.
Ibu tidak menjawab. Dan aku tak mau memusing
kannya. Di tepi jalan Rio sudah duduk di dalam
mobil Bayu yang besar. Melihatku keluar, anak itu
berseru kepadaku.
"Mama, kita semua duduk di depan!" katanya.
"Kata Oom Bayu, mobil ini mempunyai ruang du_
duk yang luas."
Bayu tersenyum mendekatiku.
"Maaf, aku lancang mau mengantarkan kalian
ke Borobudur!" katanya.
Aku diam saja. Tetapi pipiku menghangat tanpa
kusadari. Aku ingat pertemuan kami yang terakhir,
tatkala ia berhasil membiusku ke dalam pesona
ciumannya. Peristiwa itu sungguh sungguh membuatku merasa malu. karena merupakan bukti bahwa
hatiku rapuh menghadapinya. Untuk melupakannya,
menurutku aku harus menghindari si sumber malapetaka im. Yaitu Bayu. Tetapi kenyataannya aku
masih saja berjumpa dengan si biang kerok itu.
"Ayo, naiklah. Sebaiknya kita berangkat sekarang.
Sebab semakin pagi kita sampai di sana, semakin
baik," sambil berkata seperti itu, Bayu membuka
pintu depan mobilnya. Setelah aku masuk, ia memutari mobil dan langsung menyalakan mobil dan
alat pendingin udaranya.
Kulirik, Rio tampak gembira sekali. Apa saja
yang dilihatnya, ia tanyakan. Kadang-kadang bertanya
kepadaku dan kadang-kadang pula kepada Bayu. Di
sepanjang sejarah kehidupannya, belum pernah anak
itu tampak begitu penuh semangat seperti hari itu.
Ketika berada di candi, dengan penuh perhatian ia
memperhatikan relief-relief yang ada di tempat itu
karena dengan sabar dan dilandasi oleh pengetahuannya, Bayu menceritakan makna dan latar belakang
gambar-gambar candi itu. Sampai sampai ada beberapa orang anak sesama pengunjung candi yang
kebetulan berada di dekat Bayu. ikut mendengarkan
penjelasannya. Wajah mereka menampilkan rasa
tertarik yang kental.
Aku menarik napas panjang. Bayu memang memiliki daya tarik. Bahkan anak_anak kecil pun menyukainya. Aku sungguh tak percaya kalau selama
hampir sepuluh tahun ini ia tak pernah memiliki
hubungan khusus dengan sorang gadis. Hatinya
toh bukan terbuat dari batu karang yang keras.
Selama di daerah Bornbudur itu Bayu memotret
kami. menjelaskan sesuatu kepada Rio, mengajak
makan, mencicipi es kelapa kopyor yang enak,
dan membelikan anak itu beberapa macam suvenir.
Termasuk dua buah buku yang berisi sejarah Candi
Borobudur berikut foto-fotonya.
Tentu saja Rio senang sekali. Ketika kami makan
siang di Magelang sambil memperlihatkan kota itu
kepadanya, anak itu terus saja membaca bukubuku
itu pada saat menunggu makanan pesanan kami
datang.
"Kau itu kutu buku rupanya!" komentar Bayu
sambil tertawa.
Rio membalas tawa Bayu. Ia tahu betul apa
artinya kutu buku sebab aku sudah sering menyebutnya demikian.
"Membaca itu menyenangkan, Oom. Kita jadi
tahu banyak hal!" sahut anak itu.
"Sejak kecil aku lebih sering membelikan dia
buku daripada mainan!" kataku menyela.
"Seorang ibu yang bijaksana!" Bayu menatapku
dengan tatapan penuh arti. "Kalau sejak kecil
seorang anak sudah terbiasa membaca, ketika duduk
di perguruan tinggi nanti ia akan menjadi seseorang
yang tahu menghargai buku dan tidak hanya
membatasi buku-buku bacaannya pada buku-buku
wajibnya saja. Buku-buku lainnya juga ia baca
sehingga wawasannya akan semakin luas dan. juga
akan mendapat pemahaman yang menyeluruh dari
mata kuliah yang diajarkan oleh dosennya!"
Aku diam saja, tak ingin mengucapkan terima
kasih atas pujiannya itu.
"Tetapi, Mega. Rio juga harus dirangsang untuk
melihat fakta-fakta atau realitas yang ada di seputar
dirinya sehingga yang ia ketahui bukan hanya
teori-teori belaka!" katanya. "Juga ada baiknya
kalau ia mencari pengalaman empiris yang langsung
berhubungan dengan indranya. Aktivitas di luar
akan membentuk perkembangan fisiknya."
Aku masih diam saja meskipun kusadari
kebenaran katakatanya itu. Sebab kupikirpikir,
aktivitas di luar rumah yang paling menyenangkan
bagi seorang anak lelaki adalah bersama ayahnya.
' Setidaknya bersama seseorang yang bisa mewakili
figur ayahnya. Tetapi tentu saja hal itu tak
kukatakan secara terus terang kepadanya. Jadi lebih
baik aku diam saja.
Namun lepas dari apa pun itu, sejak hari itu Bayu
semakin sering mengajak pergi kami berdua. Tetapi
lama-kelamaan aku merasa sebaiknya diriku tak
usah ikut bersama mereka. Pergi ke. mana mana
bertiga saja membuat kesadaranku atas ikatan darah
di antara Bayu dan Rio itu Semakin menggerogoti
batinku dan menimbulkan rasa bersalah. Seharusnya
mereka berhak untuk mengetahui diri mereka masingmasing.
Bayu tidak memaksa aku. Ia memahami bahwa aku
merasa risi kalau kami sering pergi bertiga-tiga saja.
Seperti sebuah keluarga saja layaknya. Jadi begitulah.
akhirnya Rio dan Bayu pergi berduaan saja.
Merasa sendirian, aku'sering berjalan-jalan sendiri
ke sekitar Kaliurang. Kadang-kadang masuk ke sebuah rumah makan dan menikmati makanan kecil
sendirian sambil menatap Gunung Merapi.
Pada saat itulah tanpa sengaja aku berjumpa
kembali dengan Bambang. Lelaki itu sedang lewat
di muka rumah makan kecil tempat aku duduk sendiri menghadap jendela untuk menikmati pemandangan di hadapanku. la kaget melihatku dan tergopohgopoh masuk ke rumah makan itu.
""Mega-kah ini?" sapanya sambil mendekatiku.
"Ya ampun, kau benar-benar Mega." Apa kabar?"
Aku dan lelaki itu saling berjabat tangan dengan
hangat.
"Baik, Bambang!" kataku tertawa. "Ah, aku tak
mengira akan melihatmu di sini!"
"Dengan berada di sekitar tempat ini kemungkinan besar kau akan bertemu denganku!" kata Bambang
sambil menyeret kursi dan duduk di hadapanku.
"Rumahku di belakang losmen di sebelah ini."
Oh ya. lbuku pernah mengatakan hal itu. Tetapi
aku tak mengomentarinya. Sebab tak enak rasanya,
sudah tahu di mana rumahnya tetapi tak datang
mengunjunginya. Padahal rumah kami dulu berhadap
hadapan dan hubungan kedua keluarga kami termasuk
baik sekali.
"Oh ya? Sejak kapan?" tanyaku pura-pura tak
tahu.
"Sejak menikah sekitar enam tahun yang lalu."
"Hm, begitu. Sudah berapa orang anakmu.
Mbang?" tanyaku berbasa-hasi. "Dan apa kabar
temanateman kita yang lain'?"
"Anakku cuma satu, Mega. Dan mungkin tak
akan bertambah kalau aku tidak menikah lagi!"
"Lho, memangnya kenapa?" lagi-lagi aku bersikap
pura-pura tak tahu. Ah, dalam kehidupan nyata ini
memang terlalu banyak sandiwara yang dilakukan
para pemain ahli yang dibentuk oleh kebiasaan.
"Istriku sudah meninggal dunia dua tahun yang
lalu."
"Oh, maaf. Aku tak tahu..." Lagi lagi aku bersandiwara. "Sakit atau..?"
"Sakit." Kelihatannya Bambang tak ingin membicarakan kehidupan pribadinya. Ia mengalihkan
pembicaraan. "Dan kau sendiri bagaimana. Mega?
Berapa orang anakmu?"
"Anakku juga baru satu," sahutku. "Laki-laki."
"Wah, hebat." Bambang tersenyum menatapku
dengan cermat. "Pasti dia tampan. Menurut penglihatanku, kau semakin tampak jelita saja setelah menjadi
dewasa. Dan penampilanmu sungguh modis."
"Dan kau semakin pandai merayu, ya?" sahutku
tertawa.
"Hanya kepadamu saja!" Bambang juga tertawa.
"Tentunya kalau tidak ada suamimu."
Aku hanya tertawa saja. Tetapi Bambang berkata
lagi.
"Sudah lama sekali kau tidak pulang kandang,"
katanya. "Sekarang ini kau pergi dengan suami
dan anakmu? Liburan atau ada keperluan tertentu?"
"Aku pergi dengan anakku. Cutiku kuambil bersamaan dengan hari libur anak sekolah!" sahutku.
"Dan suamimu?"
"Aku tidak mempunyai suami," sahutku terus
terang.
Bambang menatapku dengan heran.
"Kenapa? Meninggal atau bercerai?" tanyanya
kemudian. Ada rasa ingin tahu yang amat kental
tersiar dari suaranya.
Karena sudah telanjur berbohong kepada Bayu,
ada baiknya kalau kebohongan itu kuhadapkan kepada orang lain juga. Siapa tahu mereka membicarakan hal itu di belakangku. Kalau ceritanya sama, tak
akan mengundang tanda tanya di hati mereka.
"Pergi untuk selamanya." sahutku.
"Oh, maaf!" kata Bambang. "Aku ikut berdukacita."
"Ah. itu cerita yang lama kok."
"Yah, memang cerita yang lama itu harus ditutup
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalau kita tak mau tenggelam dalam perasaan
yang sia-sia. Lagi pula kehidupan kan mengarah
ke masa depan."
"Ya."
Bambang menatapku lagi. Matanya berpendarpendar
"Aku sungguh berbahagia dapat bertemu lagi
denganmu!" katanya kemudian. "Dan harus kusyukuri
pertemuan yang seperti telah diatur oleh tangan
Tuhan ini. Ada persamaan nasib dalam kehidupan
kita berdua. Sama-sama kehilangan pasangan. Dengan
seorang anak yang kehilangan kasih."
Aku hampir tersedak mendengar perkataan
Bambang. Sudah cukup sering aku mendengar dan
menghadapi perkataan-perkataan yang mengandung
makna tertentu dari para lelaki yang ingin mendekatiku. Dan sekarang, dari suara dan sikap teman
lamaku ini pun aku menangkap firasat yang sama.
Apalagi pandang matanya yang tiba-tiba berbinar
ILU.
Untuk pertama kalinya aku menyesali cerita
bohongku mengenai kehidupan sebagai seorang janda
ini. Sebab firasatku mengatakan. Bambang akan
menambah repot pikiranku!
******
HARI itu hari Sabtu sore, malam Minggu. Udara
cerah. Kawasan Kaliurang penuh dengan mobil
dari kota-kota lain. Jakarta, Surabaya, Semarang,
dan kota Yogya sendiri. Sebagian besar di antara
mereka menginap di pelbagai penginapan yang
tersebar di tanah kelahiranku itu.
Aku duduk di teras bersama Bambang. Sejak aku
bertemu dengan Bambang kembali, sudah tiga kali
ia datang mengunjungiku. Dan sejak firasat tak enak
menghinggapiku, diam-diam kuminta Ibu atau Bapak
untuk ikut duduk menemani kami. Aku tak suka
hanya berduaan saja dengan lelaki itu.
Tetapi sekarang kedua orangtuaku sedang pergi
mengunjungi kenalan mereka yang baru pulang
dari Umroh. Terpaksalah aku menemani Bambang
sendirian sehingga dia merasa lebih bebas untuk
mengorek keterangan sebanyak-banyaknya mengenai
diriku.
"Kenapa ketika kau pergi ke Jakarta hampir
sepuluh tahun yang lalu itu tidak pamit kepada siapa
pun?" tanyanya.
"Karena aku harus segera ke sana untuk mengurus studiku" dalihku.
"Tetapi tak seharusnya kau pergi mendadak seperti dikejar setan begitu!" Ada nada tuntutan dalam
suaranya. "Kami semua merasa kehilangan dengan
kepergianmu yang mendadak seperti itu. Padahal
kalau tidak kita kan bisa pesta rujakan seperti ketika
Yayuk dan Sriati kuliah ke Semarangl"
"Sudah kukatakan, aku harus buru-buru mengurus studiku di Jakarta. Terus terang semula aku
ingin kuliah di Yogya. Tetapi tiba-tiba saja aku
berubah pikiran. Sedangkan waktu sudah mepet
sekali!" dalihku.
"Tetapi yang lebih mengecewakan kami adalah,
sejak kepergianmu itu tak satu kali pun kau datang
berkunjung ke Kaliurang. Seolah kau ingin melupakan kami semua!" kata Bambang lagi. "Setiap aku
bertanya kepada Mbok Ikem mengenai dirimu waktu itu, ia hanya menjawab bahwa kau tidak berlibur
kemari."
"Saat itu aku sedang terpukau oleh gemerlapnya
kota Jakarta!" aku berdusta lagi.
"Oh ya, kok sepi-sepi saja? Di mana anakmu
Rio?"
Ketika Bambang datang berkunjung sebelum ini,
Rio sedang di rumah. Aku memperkenalkannya
kepada Bambang untuk membuktikan kepada anak
itu bahwa'tamu kami saat itu adalah salah satu teman masa kecilku.
"Rio sedang berjalan-jalan ke Solo." Memang
benar, Rio sedang pergi bersama Bayu ke Solo.
"Ke Solo?" tanya Bambang. "Melihat-lihat apa di
sana?"
"Melihat museum, alun-alun, dan istana!"
"Dengan kedua kakek-neneknya?"
"Tidak. Ibu dan Bapak sedang mengunjungi
seorang teman."
"Kalau begitu dengan siapa anakmu pergi?"
"Dengan Bayu."
"Bayu?" alis mata Bambang naik. "Bayu sahabat Totok yang kaubenci itu?"
"Ya."
"Kok bisa?"
"Tentu saja bisa. Belum lama aku kembali ke
Kaliurang waktu itu, kami bertemu tanpa sengaja.
Sejak dia tahu aku ada di sini, ia sering mengajak
kami berdua berjalan-jalan," sahutku. "Soal bagaimana dulu aku membencinya, itu kan masa lalu.
Sekarang ini kita kan sudah sama-sama dewasa.
Dan bagaimanapun juga aku harus mengingat hubungan persahabatan antara dia dengan Mas Totok.
Ya. kan?"
"Dia tahu kau sudah janda?" ia mulai memancing.
"Ya."
"Wah, tak heran kalau anakmu sering diajaknya
pergi berjalan-jalan!"
"Apanya yang tak heran?" Aku ingat masa kecil
kami dulu. Bambang sering kali menyudutkan Bayu
dan menceritakan sesumbarnya yang menyebabkan
kebencianku kepada sahabat kakakku itu semakin
menebal. '
"Yah, kita ingat kan bagaimana sesumbarnya
dia dulu. Bahwa Mega hanya pantas disandingkan
dengan Bayu. Dan dia begitu yakin bahwa di
suatu ketika nanti ia akan berhasil menjadikanmu
pacarnya!"
"Ah, itu kan masa kecil kita, Mbang!"
"Memang. Tetapi kelihatannya dia serius. Lha
nyatanya, sampai sekarang dia belum mau mendekati gadis gadis lain. Padahal ada lho seorang
gadis yang sampai sekarang masih belum mau
menikah karena menunggu pendekatannya!" sahut
Bambang dengan suaranya yang menyiratkan keyakinannya itu. "Tetapi sekarang ini nyatanya dia
mau mendekatimu kembali. Dan caranya sangat
pintar, lagi. Melalui anakmu!"
Aku tertegun. Hal seperti itu tak pernah masuk
ke dalam pikiranku. Tetapi ah, aku kan bukan
anak kecil lagi. Perkataan Bambang bisa saja kuanggap semacam provokasi belaka. Sebab kalau.
kupikir-pikir kembali, sudah sejak dulu Bambang
selalu memojokkan Bayu. Barangkali saja ia merasa
iri kepada pemuda itu karena persahabatannya
dengan Mas Totok. Sebab mencari sahabat saja
Mas Totok bukannya memilih orang yang dekat
rumahnya. tetapi justru memilih yang tinggal di
tempat lain. Padahal mereka semua adalah teman
main.
Melihatku terdiam, Bambang berkata lagi.
"Sudah ke mana saja kalian diajak pergi olehnya?" tanyanya. Suaranya mengandung rasa ingin
tahu yang teramat kental.
"Yah. ke mana-mana. Beberapa kali malah ke
luar kota."
"Hebat juga pendekatannya!"
Mendengar perkataannya itu aku mulai merasa
tak enak. Sepuluh tahun aku tidak berjumpa dengan
Bambang. Tetapi sifatnya masih belum berubah.
Masih sama seperti dulu. Kematangan pribadinya
tak merekah sebagaimana seharusnya. Aku jadi
semakin merasa perlu berhati-hati menghadapinya.
Jangan sampai dia keliru menafsirkan sikapku yang
masih tetap memperlihatkan nuansa persahabatan
ini.
"Bagiku yang penting anakku merasa senang
sahutku lama kemudian.
"Memang itulah yang diinginkannya. Anakmu
menjadi jembatan untuk mendekatimu kembali!"
kata Bambang.
Aku terdiam kembali. Tetapi'diam-diam hatiku
menolak perkataan Bambang itu. Aku yakin. Bayu
bukan lelaki semacam itu. Kedekatannya dengan
Rio bukanlah suatu rekayasa, melainkan murni keluar dari ketulusan hatinya. Apalagi kalau melihat
bagaimana tanggapan Rio atas pendekatan Bayu itu.
Anak itu tidak termasuk orang yang terlalu mudah
menjaiin hubungan baik dengan seseorang. Dan toh
dengan Bayu, ia memperlihatkan sesuatu yang sangat
mengherankan. Sebab kelihatannya ia seperti sudah
teramat lama kenal Bayu. Begitu pun sebaliknya.
Jadi lepas dari hubungan ayah dan anak yang hanya
aku sendiri yang mengetahuinya, hubungan antara
Bayu dan Rio sebagaimana yang terlihat oleh mata
telanjang ini adalah hubungan yang memang mengherankan namun bukanlah sesuatu yang dibuat-buat
atau dimanipulasi seperti yang dikatakan oleh
Bambang.
"Mega..."
"Ya?"
"Bagaimana kalau aku yang mengajakmu pergi
jalan-jaian, maukah?" tanya Bambang mengagetkan.
"Masalahnya bukan mau atau tidak, Mbang.
Tetapi aku harus melakukan banyak hal sebelum
kepulanganku ke Jakarta kembali."
"Kapan kau pulang ke Jakarta?" tanya Bambang
lagi.
"Dalam waktu dua atau tiga hari mendatang."
"Nah, kurasa masih ada sisa waktu yang bisa
kausisihkan untukku. Mega. Ayolah kita nonton
Film atau jalan-jalan bersamaku. Sekali saja!" bujuk
Bambang.
"Tidak. Mbang. Maafkan aku!" sahutku dengan
suara tegas. Dalam hal seperti ini ketegasan amat
diperlukan agar lelaki itu tidak menaruh harapan
tertentu. "Aku benar-benar tak punya waktu untuk
hal-hal seperti itu. Kan sudah kuceritakan kemarin
bahwa aku datang kemari bukan hanya untuk berlibur saja."
Bambang tidak menjawab. Tetapi aku tahu dia
kecewa atas penolakanku _itu. Air mukanya tidak
seramah semula.
"Mau minum apa?" tanyaku untuk mencairkan
suasana.
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku ingin minum wedang ronde. Bagaimana
kalau kita berjalan-jalan ke ujung jalan ini? Di situ
ada warung sederhana tetapi yang wedang ronde dan
sekotengnya sangat enak. Mau?"
ibuku pernah juga mengatakan mengenai hal
yang sama tetapi sekali pun aku belum sempat
untuk mencobanya. Rasanya tidak ada salahnya
kalau ajakan Bambang itu kuturuti. Gang di ujung
jalan itu tak jauh dari rumah orangtuaku. Paling
banter hanya sekitar dua ratus meter saja jaraknya.
"Wedang ronde kan enak kalau diminum malam
hari, Mbang. Sekarang ini masih sore." Meskipun
bermaksud menuruti ajakannya, aku masih berusaha
untuk tidak kelihatan gampangan.
."Mungkin di tempat lain begitu. Di sini meskipun hari masih sore, udara dingin sudah mulai
menggigit kulit. Apakah kau tidak merasakannya?"
"Yah, merasakan juga sih."
"Nah!" Bambang mencondongkan tubuhnya:
"Yuk, kita jalan ke sana."
Apa boleh buat. Aku terpaksa berdiri.
"Ayolah."
Lepas dari rasa suka atau terpaksa, wedang
ronde yang dikatakan enak oleh Bambang itu memang sesuai dengan apa yang diiklankannyai Pedasnya pas. Manisnya pas. Hangatnya pas. Wanginya
pas. Sepertinya ada rasa wangi serehnya juga.
Atau entah apa. Tetapi memang agak lain daripada
wedang ronde yang pernah kurasakan selama ini.
"Enak?" Bambang memperhatikan wajahku.
"Ya. Memang enak."
"Itu membuktikan bahwa apa yang dibuat atau
dimasak oleh warung sederhana belum tentu kalah
rasanya dibanding sajian dari rumah makan atau
hotel yang mewah!"
"Itu aku tahu. Di Jakarta pun aku sering makan
atau minum di warung sederhana. Bahkan di tendatenda. Dan toh rasanya memang bisa disejajarkan
dengan masakan di tempat yang lebih bagus. Bahkan lebih enak."
"Hm, meskipun kau sudah jadi orang. hatimu
tak berubah, Mega."
"Siapa yang bilang aku sudah jadi orang"
"Aku."
"Penilaian dari mana itu?"
"Dari penampilanmu. Dari pakaian dan perhiasanmu. Dari mobilmu."
"Apakah kau selalu menilai keberhasilan orang
dari apa yang kelihatan dari luar?"
Bambang tertegun mendengar pertanyaanku.
"Tentu saja, tidak!" sahutnya terburu-buru. "Tetapi biasanya orang suka melihat apa yang lebih
cepat terlihat oleh pancaindra."
"Jadi?"
"Jadi, bukti bahwa kau sudah menempati suatu
kedudukan di tempat kerjamu, dan juga isi bicaramu yang sudah jauh terlontar ke depan dibanding
sepuluh tahun yang lalu, menunjukkan bahwa kau
sudah berhasil menjadi orang!"
Aku tertawa. _
"Kau mulai merayuku. ya?" komentarku kemudian.
"Sayang sekali aku bukan tipe orang yang suka dirayu lho."
"Betul, kau tak suka dirayu?"
"Betul sekali. Apalagi kalau rayuan gombal
"Dan bagaimana penilaianmu mengenai apa yang
kaukatakan sebagai rayuanku tadi?"
"Kalau itu rayuan, aku tidak suka. Sudah kukatakan tadi. Tetapi kalau sebagai pujian seorang
sahabat lama, bolehlah. Aku malah harus berterima
kasih karenanya."
"Hm, begitu"
"Apanya yang begitu?"
"Bahwa aku ini cuma sahabat lamamu."
Aku mulai menjadi waspada lagi demi mendengar perkataannya itu. Dengan cepat otakku kuputar untuk mendapat jawaban yang netral tetapi
juga menyiratkan bahwa aku tak mempunyai perasaan yang lebih dari sekadar persahabatan terhadapnya.
"Mungkin lebih dari sekadar sahabat. ya,
Mbang!" sahutku kemudian. "Kita kan bertetangga
sudah puluhan tahun lamanya. Ibuku berkata bahwa
kami sudah bertetangga dekat dengan keluargamu
sejak aku belum lahir. Kedua keluarga kita sudah
seperti saudara rasanya" '
Bambang terdiam. Kesempatan itu kupakai untuk
menengok arlojiku. Hari sudah petang. Senja mulai
turun.
"Kita pulang yuk."
Bambang menganggukkan kepalanya. Setelah
lelaki itu membayar apa yang kami minum tadi, ia
berdiri. Aku mengikuti perbuatannya.
Udara sejuk pegunungan menyambut kami ketika
sudah berada di luar warung. Sambil mulai mengayunkan langkah kulayangkan pandang mataku ke
arah Gunung Merapi. Raksasa itu mulai tampak
remang. Hitam, besar, dari menakutkan.
"Dingin...," komentarku sambii menaikkan kepak leher blusku.
"Perlu kupeluk biar hangat?" tanya Bambang.
Seketika aku sangat menyesali komentarku tadi.
Kenapa mulutku berkomentar seperti itu? keluhku
dalam hati.
"Wah, meskipun aku tinggal di kota metropolitan seperti Jakarta, aku tak bisa dan tak akan
pernah bisa berpelukan dengan lelaki yang tak ada
kaitan darah dengan diriku. Kecuali kalau ada
ikatan perkawinan atau pertunangan di antara
kami," sahutku cepat-cepat, berharap dapat memperbaiki kesalahan bicaraku tadi.
"Hm, begitu..." .
Entah apa pun makna di balik ucapannya itu,
aku tak peduli.
"Kaiau kita sibuk dan punya acara padat, rasanya
waktu berjalan dengan cepat sekali, ya?" kataku
mengubah pembicaraan. "Tahu-tahu saja aku sudah
hampir sebulan berada di Kaliurang."
"Selama ini sudah bertemu dengan siapa saja?"
tanyanya.
Wah, aku salah bicara lagi. Sebab selama hampir
satu bulan ini aku tidak berusaha mencari temanteman lamaku. Aku terlalu disibuki oleh diriku
sendiri, mengetik beberapa pekerjaan yang sengaja
kubawa dari Jakarta dan lalu menyusun hasil
wawancaraku dengan Bayu. Kalaupun keluar rumah. selalu saja ada urusan lain yang menyingkirkan keinginanku untuk mengunjungi teman-teman
lamaku. Memang keterlaluan rasanya.
"Terus terang hanya dengan Bayu dan kemudian
dirimu. Dan kedua-duanya tanpa kusengaja. Seperti
pertemuanku denganmu yang merupakan suatu kebetulan, begitu pun yang terjadi dengan Bayu,"
aku terpaksa mengakui kenyataan itu.
"Tetapi Bayu lebih beruntung. Dia mempunyai
cukup waktu untuk berhandai-handai kembali denganmu, sedangkan aku baru berjumpa kembali
denganmu beberapa hari yang lalu."
"Itu hanya kebetulan saja. Sebab sebenarnya
aku datang ke Kaliurang untuk mengenalkan anakku pada tanah kelahiran ibunya. Selain itu juga
membawa anakku itu pada pengalaman-pengalaman
baru dan melihat sesuatu yang tidak ada di Jakarta
dan sekitarnya. Seperti melihat candi-candi dan
lain sebagainya!" dalihku.
"Tetapi kalau kau memang benar merasa masih
mempunyai ikatan dengan tanah kelahiranmu ini.
pasti kau akan menyisihkan waktu untuk mencari
di mana teman-teman lamamu berada!" Ada nada
menyalahkan dalam suaranya.
"Yah, memang seharusnya demikian!" sahutku
mengakui kesalahanku. "Tetapi untuk kedatanganku
yang pertama ini aku memang belum memasukkan
hai-hal semacam itu ke dalam reneanaku mengisi
liburan. Tetapi nanti pada kedatanganku yang berikutnya, pasti aku akan mencari mereka."
"Kapan kau akan ke sini lagi?"
"Mudah-mudahan aku akan lebih sering datang
kemari!"
"Tetapi, Mega, janjimu untuk berusaha agar bisa
sering datang kemari itu menimbulkan pertanyaan
yang mengganggu hatiku." .
"Apa itu?" tanyaku. Rasa ingin tahu menggelitik
batinku. Sebab cara Bambang berkata seperti itu
menimbulkan kesan tertentu padaku.
"Kenapa selama hampir sepuluh tahun lamanya.
satu kali pun kau tak pernah datang kemari? Padahal
pada kenyataannya kau bisa mengusahakan supaya
lebih sering berkunjung ke tanah kelahiranmu ini."
Suatu pertanyaan yang sangat masuk akal. Tetapi
tentu saja aku tak akan menjawab secara terus
terang. Bahwa aku takut bertemu Bayu. Bahwa
dalam rentang waktu yang sepuluh tahun ini aku
berharap jejak-jejak langkah kakiku dulu sudah
mulai mengabur sehingga baru sekarang inilah aku 'berani muncul kembali.
"Waktu itu aku sibuk dengan studiku," dalihku.
"Lalu aku juga sibuk dengan anakku. Dan terakhir,
repot merawat budeku sampai beliau meninggal
dunia beberapa bulan yang lalu."
"Aku tak tahu kalau budemu sudah meninggal
dunia. Padahal kalau melihat bagaimana sepak terjangnya setiap beliau datang kemari, ia sepertinya tak
akan mungkin terjangkiti penyakit!" Komentar
Bambang melegakan hatiku. Ia berhasil kugiring
menjauhi percakapan yang bisa membahayakan diriku.
"Ya."
Kelegaanku semakin bertambah ketika pandang
mataku menangkap mobil Bayu terparkir di tepi
jalan depan rumah orangtuaku.
"Anakku sudah pulang!" kataku.
Bambang melayangkan pandang matanya ke arah
rumah orangtuaku yang tinggal sekitar dua puluh
meter dari tempat kami berjalan itu.
"Kau sudah begitu hafal mobil Bayu!" komentarnya. _
"Tentu saja. Beberapa kali aku pernah ikut naik
mobil itu. Dan hampir setiap hari ia menjemput
anakku!" sahutku mulai merasa sebal.
Aneh rasanya. Dulu aku membenci Bayu. Bahkan
sekarang pun kebencian itu belum mengelupas
seluruhnya. Tetapi dalam kebencian itu tak terdapat
perasaan sebal dan muak sebagaimana yang sekarang
kurasakan terhadap Bambang. Padahal dulu cukup
banyak hal tak menyenangkan pada diri Bayu yang
diadukan oleh Bambang kepadaku dan aku berterima
kasih karenanya. Tetapi yah, saat itu aku masih
begitu belia.
"Dia memang beruntung, bisa meraih hati anakmu."
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Anakkulah yang beruntung karena mendapatkan
perhatian dari Bayu. Ada banyak hal baru yang
ditunjukkan oleh Bayu kepada anak itu. Dan aku
yakin hal itu akan memperkaya wawasan anakku,
Liburannya kali ini sungguh menyenangkan!"
"Dan kau sendiri, bagaimana kesanmu mengenai
liburan cutimu ini?" Bambang memancingku.
"Yah, lumayan senang."
"Kau tidak ingin tahu bagaimana kabar Wangsit?"
Bambang meloncat lagi pada pembicaraan yang tak
kusukai.
"Tidak!" sahutku pendek.
"Apakah dalam hatimu tidak ada lagi kesankesan khusus yang mengait kenangan masa lalumu
dengan seseorang di tempat ini?"
Kukertakkan gerahamku diam-diam. Aku tak menyangka, Bambang yang sekarang tidak juga berubah menjadi lelaki dewasa yang lebih bijaksana,
sesuai dengan perkembangan usianya. Pertanyaan
seperti itu kok dilontarkan kepadaku.
"Maaf. Mbang, aku sedang tidak mood untuk
membicarakan sesuatu yang sangat pribadi sifatnya," sahutku kemudian.
"Dari Suara dan sikapmu aku menangkap kesan
bahwa kau sangat mencintai almarhum suamimu.
Dia sungguh beruntung memiliki istri setia seperti
dirimu."
Aku tidak ingin menjawab perkataannya. Sebal.
Sungguh-sungguh sebal. Dan untungnya saat itu
langkah kaki kami sudah memasuki halaman rumah
orangtuaku.
Di teras Rio sedang duduk bersama Bayu. Keduanya sedang sibuk membicarakan sesuatu. Tetapi
ketika mereka melihat aku datang. pembicaraan pun
berhenti. Sebagai gantinya Rio menghambur ke
arahku.
"Mama!" serunya sambil membawa bungkusan.
"Lihat, Ma, Iyo tadi membeli wayang kulit. Kata
Oom Bayu, ini adalah Semar, Gareng, Petruk. dan...
siapa tadi, Oom?"
"Bagong!" Bayu menjawab.
"Ya, Bagong. Seperti yang pernah Iyo lihat di
televisi dalam acara Ria Jenaka."
"Bagus sekali," aku tertawa. "Nanti malam kita
bercerita tentang apa saja yang kau saksikan di- Solo,
ya? Sekarang, beri salam kepada Oom Bambang
dulu!"
Dengan malu-maiu karena merasa telah mengabaikan tamunya. Rio mengucapkan salam kepada
Bambang. '
""Oleh-oleh 'untuk Oom Bambang apa?" tanya
Bambang sambil mencium kedua belah pipi Rio.
Aku merasa jengkel melihat kelakuan Bambang
itu. Biasanya dia tidak pernah semesra itu terhadap
Rio. Rupanya kehadiran Bayu membuatnya ingin
mengesankan keakraban di antara dirinya dengan
anakku itu.
"Tidak ada. Hanya ada oleh-oleh untuk Mama
dari Oom Bayur" sahut Rio polos.
"Sudahlah, ayo kita naik ke rumah!" kataku menyela.
"Halo, Mbang" sapa Bayu sambil mengulurkan
tangan ke arah Bambang. "Apa kabar? Hampir
satu tahun aku tak melihatmu. Ke mana saja?"
Bambang menyambut uluran tangan Bayu.
"Sibuk mengurus anakku. Kehilangan ibu merupakan sesuatu yang berat sekali baginya. Aku
harus memberi perhatian ekstra kepadanya."
"Mungkin sudah waktunya kau memikirkan
untuk mencari gantinya, Mbang!" sahut Bayu sambil menyeringai.
Bambang tersenyum sambil melirikku.
"Saranmu itu sungguh saran yang simpatik. Betul
kan, Mega?" sahutnya kemudian.
"Entahlah, bukan urusanku!" aku menjawab pendek, tanpa senyum sekilas pun.
Kali itu Bambang sadar bahwa aku tak suka
membicarakan hal-hal yang bersifat pribadi dengan
mengaitkan keberadaanku. Cepat-eepat ia mengubah
pembicaraan.
"Dan kau sendiri bagaimana, Bayu? Kudengar
tunanganmu dulu sedang berusaha meraih hatimu
kembali. Benar?"
Mendengar pertanyaannya itu, aku tertegun. Tak
pernah sekaii pun terbetik dalam pikiranku bahwa
Bayu pernah bertunangan. Lelaki itu tak pernah
menyiratkan hal tersebut meski cuma sepatah kata
pun.
"Mungkin!" kudengar Bayu menjawab pertanyaan Bambang tadi.
Aku tahu, Bambang sedang mencoba memasukkan bisa ke dalam hatiku agar aku menjauhi Bayu.
Sudah sejak awal perjumpaanku dengan Bambang
kembali, aku sadar lelaki itu tidak menyukai kedekatanku dengan Bayu. Entah karena ada tujuan
tertentu atau karena ia merasa terganggu karena
sikapku terhadap Bayu berbeda dari dulu, yang
jelas aku merasa jengkel terhadapnya. Tak se
harusnya dia bersikap kekanakan seperti itu.
Aku melirik ke arah Bayu, ingin tahu sikapnya
ketika menjawab pertanyaan Bambang tadi. Dan
aku melihat lagi seringai iiu. Sulit bagiku untuk
menangkap apa kira-kira yang dirasakannya ketika
mendengar pertanyaan Bambang tadi.
"Dia seorang gadis yang luar biasa, Bayu."
"Ya, memang." Bayu menyeringai lagi. "Nah,
kalian berdua belum bercerita, dari mana tadi?"
"Dari minum wedang ronde," aku yang menjawab.
"Di ujung jalan ini'?"
"Ya."
Pembicaraan terhenti oleh kedatangan kedua
orangtuaku. Aku merasa senang sekali mempunyai
kesempatan untuk meninggalkan kedua tamuku itu.
Karenanya begitu Bapak dan Ibu sudah masuk ke
rumah dari arah garasi, aku langsung minta diri.
"Tuan dan nyonya rumah sudah datang," kataku
sambil tersenyum licik. "Jadi aku mohon diri untuk
menyelesaikan pekerjaanku. Rio, mintalah air panas
kepada Mbok Rah, lalu segeralah mandi. Hari
sudah hampir malam. Tak baik mandi malammalam."
"Iyo sudah mandi kok, Ma...," sahut Rio.
"Oh ya?" Kuperhatikan anakku satu-satunya. Ia
memang tampak rapi, segar, dan pakaiannya sudah
berganti. Bukan pakaian yang dipakainya ketika
berangkat tadi pagi. "Mandi di mana?"
"Mandi di rumah Oom Bayu."
"Mandi sendiri, kan?"
"Ya, sudah pasti itu!" sahut Rio sambil nyengir.
Kalau dia tidak nyengir seperti itu, aku pasti
tertawa karena jawabannya yang cukup lucu itu
Tetapi karena cengirannya itu rasa geli yang seharusnya membuatku tertawa jadi lenyap. Sebagai
gantinya perasaanku terkesiap. Ketika Rio menyengir seperti tadi, wajahnya mirip sekali dengan
Bayu apabila lelaki itu menyeringai. '
Sepanjang yang kukenali, wajah Rio lebih banyak menurun wajahku. Kadang-kadang memang
aku menangkap wajah Bayu pada wajah anak itu.
Tetapi yang menunjukkan kemiripannya yang kental
memang baru ini tadi kulihat. Atau apakah karena
belakangan ini Rio banyak bergaul dengan Bayu
dan kemudian tanpa sadar ia meniru kebiasaannya
yang suka menyeringai, sehingga kemiripan itu
menjadi demikian kentaranya? Entahlah.
Namun di dalam hatiku telah timbul ketakutan
kalau-kalau orang lain dan terutama yang bersangkutan, menyadari adanya kemiripan itu. Hatiku
masih teramat berat untuk membiarkan orang tahu
siapa Rio sebenarnya. Lebih-lebih Bayu sendiri.
Sedikit-banyak perkataan Bambang tentang tunangan Bayu tadi semakin memperteguh hatiku untuk
tidak pernah mengatakan bahwa Rio adalah anaknya.
"Bagus sekali kau Sudah mandi, Rio. Kalau begitu temanilah tamu-tamu kita. Ada Eyang yang
juga akan mendampingimu!" kataku memutuskan
pembicaraan.
"Mama mau ke mana?"
"Mama mau mengetik. Rio tahu kan, Mama ke
Kaliurang ini membawa banyak pekerjaan?"
"Ya. Dan sebagian sudah Mama kirimkan lewat
pos waktu kita ke kota kemarin dulu, kan?"
"Tepat sekali. Ternyata kau memperhatikan juga
hal itu!" sahutku dengan besar hati. Tanpa disengaja
Rio telah ikut masuk ke dalam sandiwaraku agar
terlepas dari kedua lelaki muda di dekatku itu.
Jadi begitulah, aku bisa terlepas dari keharusan
menemani mereka. Dengan mulus aku berhasil
masuk ke kamarku.
Pada malam harinya Ibu dan Bapak memanggilku. Ketika itu Rio sudah tidur bergelung dengan
nyenyaknya di bawah selumut.
"Duduklah Mega. Ada yang ingin kami bicarakan denganmu!" kata Bapak.
Aku duduk dengan hati yang mulai berdenyut
waswas. Tak biasanya mereka berdua mengajakku
bicara dengan cara seperti itu. jangan-jangan mereka
telah mencurigai ada sesuatu antara Rio dan Bayu?
"Begini," kata Ibu begitu aku duduk. "Ini mengenai
Rio, Mega. Seperti yang pernah kita singgung waktu
itu, sampai hari ini tampak semakin jelas bahwa
anak itu begitu berbahagia tinggal di sini. Maka
menyambung pembicaraan kita waktu itu, Ibu dan
juga Bapak menginginkan supaya anak itu tinggal
dan bersekolah di sini. Sebentar lagi tahun ajaran
baru akan dimulai. Kepastian tentang keberadaan
anak itu sudah harus segera diputuskan supaya kami
bisa mengurus sekolahnya. Jadi, Nduk, kami harap
maulah kau memikirkan kepentingan anak itu. Biarkanlah kami yang mengasuhnya."
Aku terdiam. Apa yang dikatakan oleh ibuku
memang benar sekali. Waktu terus berjalan dan
aku sudah harus segera memastikan suatu keputusan bagi Rio. Dalam hal ini aku tak boleh memetik
tingkah kebutuhanku sendiri. Sebab hati ibu mana
yang sanggup berpisah dengan anaknya kalau tidak
sangat terpaksa. Namun demi kepentingan si anak,
seorang ibu harus berani menjalani kehidupan yang
penuh kerinduan terhadap anak itu. Dalam hal ini
jelas-jelas Rio pasti akan lebih berbahagia tinggal
di Kaliurang bersama kakek dan neneknya. Sudah
begitu di kota ada keluarga kedua kakakku yang
pasti dengan senang hati akan ikut mengawasi dan
menyenangkan hati anak itu._ Sudah kubuktikan
sendiri ketika kuajak Rio ke rumah mereka, seluruh
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keluarga mereka langsung menyukai Rio. Bahkan
beberapa kali selama liburan ini Rio dijemput
untuk menginap di rumah mereka.
Sedangkan di Jakarta Rio hanya akan tinggal
bersamaku yang sejak pagi hingga sore tidak ada
di rumah. Bahkan tak jarang harus pulang malam
kalau sedang banyak pekerjaan atau harus mewakili
kantor untuk menghadiri suatu undangan atau acaraacara tertentu yang berkaitan dengan perusahaan.
Sepeninggal Bude Tri segala sesuatunya memang
sudah berubah jauh. Belum lagi kalau aku harus
bertugas ke luar kota atau ke luar negeri. Kasihan
Rio sendirian. Dan bagaimana kalau Rio tiba-tiba
sakit seperti yang pernah terjadi beberapa waktu
yang lalu? Seberapa jauh wewenang dan kemampuan seorang pembantu rumah tangga untuk melakukan suatu tindakan darurat?
Berpikir seperti itu, aku terpaksa harus menyingkirkan perasaanku sendiri.
"Asalkan Rio mau tinggal di sini, Mega tidak
keberatan" akhirnya kukatakan juga apa yang
ada dalam pikiranku itu Aku yang hampir hampir
tak pernah menangis, tak sanggup membendung
runtuhnya air mataku. Aku sangat mencintai Rio
dan tak ingin berpisah dengannya. Tetapi apa boleh
buat.
"lseng-iseng Bapak pernah menanyakan hal itu.
Mega!" kata Bapak dengan suara lembut. "Dan
tampaknya ia merasa senang mendengar keinginan
kami."
"Apa yang dikatakan oleh bapakmu betul. Mega,"
Ibu menyambung perkataan Bapak. "Memang anak
itu ingin supaya kau juga tinggal di sini. Tetapi se
telah kami jelaskan segala sesuatunya, ia mau
mengerti."
"Dan dia mengajukan suatu syarat, Nduk!" Bapak
berkata lagi. Kini sambil tersenyum.
"Syarat apa. Pak?" tanyaku ingin tahu.
"Setiap liburan sekolah ia ingin mengajak kami
pergi ke Jakarta mengunjungimu," sahut Bapak.
"Dan sebaliknya, setiap ada kesempatan ia ingin supaya kau datang berkunjung kemari."
Aku tersenyum.
"Yah, mudah-mudahanlah!" kataku Kupikir pikir
kalau niat baik itu ada, selalu saja ada jalan untuk
merealisasikannya sejauh itu tidak menyusahkan
atau merugikan orang lain. Dan bukan dengan maksud memegahkan diri, bagi kami kota Jakarta dan
Yogya bukanlah sesuatu yang sulit untuk diarungi.
Dengan kereta api yang nyaman aku bisa pergi pada
hari Jumat malam dan kembali Senin pagi, langsung
ke kantor. Begitu pun sebaliknya.
"Nah, kalau memang Rio akan tinggal di sini,
biarlah aku dan bapakmu yang akan mengurus kepindahan sekolahnya."
"Yah, untung saja kok Mega membawa rapornya
ya, Bu. Padahal tujuannya kan cuma mau pamer
bahwa cucu Ibu dan Bapak itu pandai!" kataku.
Aku memang membawa rapor Rio dengan tujuan
pamer. Setiap kenaikan kelas ia selalu masuk tiga
besar. Aku ingin kedua orangtuaku ikut bangga
karenanya. Tak kusangka bahwa ternyata rapor itu
besar gunanya untuk mengurus kepindahannya.
"Dengan kepandaiannya Ibu yakin anak itu akan
mudah mendapatkan sekolah," kata Ibu lagi.
Mendengar perkataan Ibu, hatiku tergetar karena
teringat pada Bayu. Lelaki itu termasuk cerdas
dan sekolahnya berhasil. Kurasa Rio mewarisi apa
yang ada pada ayahnya.
"Tetapi sebaiknya kau mengurus surat pindah
dari sekolahnya yang lama, Mega!" kata ayahku
menyela.
"Baiklah! Pak. Nanti Mega kirim melalui titipan
kilat. Sehari sampai di tempat."
"Ya. Tetapi mendaftarkan Rio ke sekolah di sini
akan lbu lakukan secepatnya. Surat pindahan itu
bisa menyusul kemudian!" kata Ibu. lagi.
Aku' setuju. Paginya setelah Rio menyatakan
kemantapannya untuk bersekolah di sini, aku dan
Ibu bermaksud mengurus kepindahan sekolahnya
hari itu juga. Rio kami ajak serta. Tetapi baru saja
aku akan menyalakan mesin mobilku, Bayu datang.
"Mau ke mana, Bu?" ia langsung bertanya kepada Ibu.
"Mau mencari sekolahan untuk Rio!" sahut ibuku.
"Mencari sekolahan untuk Rio?" Bayu mengerutkan dahinya. "Maksudnya Rio mau bersekolah di
sini?"
"Ya. Kami sudah sepakat begitu. Setelah Bude Tri
meninggal dunia, anak itu tidak ada yang mengawasi. Padahal Mega memiliki kesibukan yang luar
biasa di luar rumah. Belum kalau sedang dinas ke
luar kota atau ke luar negeri," sahut Ibu lagi.
Bayu menatap ke arah Rio.
"Iya, Rio?" tanyanya. "Kau betul-betul ingin
sekolah di sini?"
"Ya." Rio menganggukkan kepalanya. "Karena
Mama berjanji akan sering datang menengok Iyo."
"Lalu mau mendaftarkan ke sekolah mana?"
Bayu bertanya lagi.
Karena pertanyaan itu ditujukan kepadaku, akulah yang menjawab dengan menyebut nama sebuah
sekolah. Tetapi kelihatannya Bayu tidak begitu senang mendengarnya.
"Kenapa tidak sekolah di kota saja? Di sana lebih
banyak pilihannya!" katanya, membenarkan dugaanku. "Anakmu itu sangat cerdas, Mega. Carilah sekolah yang sesuai untuknya."
"Kok tahu kalau cerdas?" pancingku.
"Yah, dari pergaulanku dengan dia selama bebe
rapa waktu ini, aku melihat hal itu. Dan pernah
ketika katanya rapornya bagus atau tidak. dia
menjawab bahwa dirinya menduduki peringkat kedua. Suatu bukti yang jelas, kan?"
"Usulmu itu baik sekali, Nak Bayu," Ibu menyela
pembicaraan. "Tetapi Kaliurang ke Yogya kan cukup
jauh. Kasihan Rio kalau setiap hari harus mengarungi
perjalanan yang cukup panjang."
"Tetapi dibanding bersekoiah di Jakarta yang
jarak antara rumah dan sekolah agak jauh dan masih
ditambah dengan kemacetan dan lain sebagainya,
Kaliurang ke Yogya masih jauh lebih enak, Bu.
Kalau memang diizinkan, biarlah saya yang akan
membantu mengantar dan menjemputnya."
"Nantilah kita lihat bagaimana baiknya," kuputuskan pembicaraan yang sedang berlangsung itu.
"Sekarang 1ni kami akan menjajaki lebih dulu. Nah
kami akan pergi sekarang."
"Tunggu dulu to, Nduk, " Ibu menyeia. "Kita kan
belum tahu apa tujuan Nak Bayu datang kemari."
Bayu tersenyum.
"Tidak begitu penting kok, Bu," katanya kemudian.
"Saya cuma mau mengajak Rio ke suatu tempat di
sekitar rumah saya. Besok saja."
"Baiklah." Ibuku menganggukkan kepalanya.
"Daah, Oom Bayu!"
"Daah!" Bayu tertawa ke arah Rio.
Tak terpikirkan olehku bahwa hari itu rahasia
kelahiran Rio akan terbuka justru ketika aku dan'
Ibu sedang mendaftarkan Rio ke suatu sekolah
yang terkenal mutunya.
Ketika aku sedang mengisi formulir dan menulis
kolom nama orangtua, ibuku memperhatikan diriku
dengan cermat. Saat itu barulah kusadari bahwa
perempuan itu begitu dipenuhi oleh rasa ingin
tahu yang luar biasa. Seketika itu juga aku tahu
apa yang ada di dalam pikirannya.
Terus terang aku merasa bingung karenanya.
Padahal di muka kami kepala sekolah sedang menunggu. Berlama-lama dengan sesuatu yang seharusnya bisa kukerjakan dengan cepat pasti akan
menimbulkan tanda tanya pada dirinya. Jadi pikirku,
daripada memunculkan tanda tanya yang tak perlu,
lebih baik memberi jawaban pada pertanyaan batin
ibu kandungku sendiri. Mungkin memang sudah
seharusnya rahasia kelahiran Rio yang telah kusimpan
selama hampir sepuluh tahun ini terbuka. Dipikir
pikir pula, barangkali dengan terbukanya rahasiaku
ini, kedua orangtuaku akan memahami diriku dan
siapa tahu ada baiknya bagi Rio di mata mereka
berdua.
Berpikir seperti itu aku langsung menuliskan
nama Bayu pada kolom nama ayah. Setelah itu
tanpa menoleh kepada ibuku aku segera melanjutkan
mengisi kolom-kolom lainnya dan segera menyerahkannya kepada kepala sekolah.
Ibuku tidak mengatakan apa pun selama berada di
lingkup sekolahan. Tetapi begitu berada di dalam
mobil, apa yang dilihatnya tadi ia katakan secara
terus terang meskipun caranya begitu halus mengingat
kehadiran Rio di dekat kami.
"Jadi, dialah lelaki itu!" begitu ia berkata..
Aku diam saja. Maka ibuku berkata lagi,
"Aku sungguh merasa heran. kenapa kau tidak
berterus terang saja, tetapi malah menyembunyikannya sampai hari ini kepada kami semua dan bahkan
kepada yang bersangkutan!"
Aku menarik napas panjang.
"Aku membencinya. Bu," sahutku. "Dan aku
tidak ingin terikat dengan dirinya."
"Kalau memang demikian, kenapa hal itu sampai
terjadi?" Ibu mengernyitkan dahinya. "Padahal dengan Wangsit yang begitu mesra dan menggebugebu saja tidak terjadi sesuatu pada kalian berdua."
"ltulah!" sahutku pendek.
"Itulah bagaimana, maksudmu?" ibuku mendesak.
Aku melirik ibuku dengan sengaja.
"Nantilah akan Mega ceritakan semuanya kepada
Ibu dan Bapak setelah membaca surat peninggalan
Bude Tri!"
"Surat peninggalan Bude Tri yang mana?"
Apa boleh buat, aku terpaksa menceritakan segala
sesuatu yang berkaitan dengan surat Bude Tri itu.
"Sampai sekarang surat itu masih ada di dalam
koperku, Bu!" kataku mengakhiri ceritaku. "Sedikit
pun aku tak berani mengintip apa yang ditulis oleh
Bude Tri itu, tetapi aku yakin sekali isinya pasti
menyangkut kelahiran Rio."
"Bagaimanapun Ibu masih merasa sangat heran.
Kok itu bisa terjadi, kalau mengingat bagaimana
bencinya kau kepada Bayu?" komentar Ibu. "Dan
lebih-lebih lagi, kok orang itu justru Bayu. Bukan
yang lain!"
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nantilah akan Mega ceritakan. Bu." Aku menarik napas panjang. "Tetapi dengan satu syarat
yang harus Bapak dan Ibu pegang kuat-kuat."
"Apa itu?" '
"Apa yang Bapak dan Ibu ketahui dan apa yang
akan Mega ceritakan nanti di rumah, tidak boleh
diceritakan kepada siapa pun juga. Baik kepada
Mas Didik, Mas Wawan, ataupun Mas Totok. Dan
terutama lagi, tidak kepada yang bersangkutan...
yaitu dia!" sahutku dengan suara tegas.
"Kenapa?"
"Pertama, aku masih membencinya. Kedua, aku
tidak ingin hidupku yang sudah'mapan ini akan
mengalami perubahan karenanya. Ketiga, aku tidak
ingin ia mencampuri urusan anaknya. Keempat,
aku tidak ingin terikat dengan dia baik secara
mental maupun fisik. Dan kelima..."
"Cukup, Mega. Kau tak usah mengemukakan
segala macam alasan seperti itu kepada Ibu. Sebab
meskipun merasa aneh, Ibu merasa tak berhak untuk
ikut campur masalah pribadimul" Ibu memotong perkataanku. "Cuma saja saran Ibu, cobalah kau berpikir
lebih dalam apakah merahasiakan kelahiran seorang
anak itu dari ayahnya merupakan sesuatu yang bisa
dibenarkan? Adilkah itu bagi mereka berdua?" '
Aku tidak mau menjawab pertanyaan yang menyudutkan itu sehingga ibuku bertanya lagi,
"Mega, apakah kejadian sepuluh tahun lalu itu
merupakan suatu perkosaan?" suara ibuku terdengar
amat hati-hati dan pelan. Tetapi rasanya bagiku
seperti tamparan di pipiku. Panas sekali rasanya.
"Tidak!" sahutku kemudian dengan suara pelan.
"Katamu, kau membencinya." suara ibuku terhenti oleh perkataanku yang memintas bicaranya.
"Memang..." Pipiku semakin terasa panas. Bahkan
tanpa sadar aku agak tersipu-sipu mendengar perkataan ibuku itu.
"Tetapi kok"
Untuk kedua kalinya suara Ibu kupotong'dengan
cepat.
"Sudahlah, Bu, apa yang terjadi sudah terjadi.
Dan telanjur menjadi bagian sejarah hidupku yang
tak bisa dihapus dengan penghapus ajaib apa pun,"
kataku. "Dan percayalah, Bu, kejadian itu cuma
satu kali saja terjadinya. Tetapi sampai hari ini
urusannya menjadi panjang bukan main dan sering
kali membuatku merasa lelah seperti seseorang
yang sedang berjalan sendirian di tengah hutan
belantara tanpa istirahat. Dan hal semacam itu
kujalani sendirian selama sepuluh tahun, Bu."
"Seandainya kau mau berterus terang sebagaimana yang kaulakukan terhadap Bude Tri, pasti
akan berbeda ceritanya, Mega. Kami pasti akan
mendampingimu!"
"Sudahlah, Bu. Aku tak mau membicarakanhal
_itu lagi. Nanti saja di rumah bersama Bapak!"
untuk ketiga kalinya perkataan Ibu kupotong. "Dan
apakah Bapak juga akan heran dan terkejut seperti
reaksi Ibu tadi atau tidak, yang penting rahasiakanlah semua itu dari siapa pun juga tanpa kecuali.
Biarkanlah waktu nanti yang akan berbicara, Bu.
Tolonglah Mega dalam hal ini!"
"Baiklah."
"Terima kasih." _
Aku tidak tahu bagaimana perasaan Ibu dan
Bapak setelah membaca surat Bude Tri dan men
dengar seluruh pengakuanku. Tetapi aku berharap
mereka berdua akan mampu memahami kedekatan
yang terjalin di antara Bayu dan Rio dengan kacamata yang lebih jernih dan lalu menempatkan segala
sesuatunya secara proporsional.
DUA hari sebelum aku kembali ke Jakarta, ketika
aku sedang duduk santai seorang diri di teras,
Bambang datang ke rumah.
"Kudengar anakmu akan bersekolah di sini.
Betul?" tanyanya, begitu dia duduk.
"Ya."
"Jadi kau akan pulang ke Jakarta sendirian saja?"
"Ya."
"Berani?"
"Aku tidak akan menjadi seorang wartawati kalau
tidak berani pergi sendirian!"
"Lalu apa acaramu selama dua hari sebelum
kepulanganmu nanti?"
"Berbelanja pakaian seragam dan beberapa buku
untuk anakku sebelum miliknya yang di Jakarta ku
paketkan!"
"Bagaimana kalau aku yang menemanimu berbelanja, Mega?" usul Bambang. "Pulangnya kita
mampir makan di suatu tempat."
"Aku sudah telanjur mengiyakan tawaran Bayu
untuk hal yang sama. Kebetulan. Riolah yang
mengaturnya!" sahutku mengatakan hal yang sebenarnya!
"Kapan itu?"
"Nanti sore."
"Lalu apa acaramu pagi ini?"
"Mau mencari oleh-oleh untuk teman-teman sekantorku."
"Ke mana?"
Meskipun jengkel harus menjawab pertanyaan"
pertanyaan Bambang, hal itu tak kuperlihatkan
secara terang-terangan. Aku masih mengingat tali
persahabatan yang pernah terjalin di antara kami.
"Belum tahu. Aku masih berpikir-pikir."
"Lalu apa saja yang akan kaubeli untuk oleh"
oleh?"
"Belum tahu juga. Tergantung apa yang nanti
akan kulihat." Lagilagi aku menahan jengkelku.
Lama-kelamaan lelaki itu terlihat nyinyir, mengurusi
apa yang bukan urusannya.
"Boleh aku memberi usul. Mega?"
"Usul apa?"
"Untuk uleh-oleh rekan sekantormu, sebaiknya
jangan berupa makanan."
"Lalu apa kalau bukan makanan?"
"Aku yakin makanan khas kota Yogya dan sekitarnya seperti slondok, emping gepuk manis,
krast'kan, enting-eming, gula kacang, dan bahkan
salak pondoh, sudah banyak di Jakarta. Beberapa
kali aku melihat itu semua ada di pasar-pasar
swalayan di sana. Sudah tak istimewa lagi."
Apa yang dikatakan oleh Bambang tidak salah.
Aku pun beberapa kali pernah melihat makanan
khas daerah bertengger di rak-rak pasar swalayan.
Sampai sampai bakpia Yogya, terasi Sidoarjo, dan
lain sebagainya juga tidak lagi sulit didapat di
Jakarta.
"Lalu apa usulmu itu?" tanyaku kepadanya.
"Aku mempunyai kenalan" yang berusaha di
bidang kerajinan tangan. Cuma usaha kecil-kecilan,
tetapi apa yang keluar dari rumahnya selalu mengandung keindahan seni yang tinggi."
"Apa itu?"
"Yah, macam-macam. Ada pakaian, taplak, selendang, dan lain' sebagainya yang disablon dengan
desain khusus," sahut Bambang dengan suara mea
yakinkan. "Tetapi yang khas adalah pajangan
pajangan rumah dari gerabah, kayu, dan tali tampai"
Aku terdiam. Pikirku, boleh juga aku memberi
oleh-oleh yang lain dari biasanya.
"Bagaimana?"
"Baiklah."
"Ayo kuantar!" Tanpa menunggu apa pun lagi
Bambang mengantarkanku ke tempat kenalannya
itu.
Kenalan yang memiliki usaha sebagaimana yang
dikatakan oleh Bambang itu ternyata seorang perempuan. Aryanti namanya. Umurnya sebaya dengan
umurku. tetapi masih belum menikah. Orangnya
manis, ramah, luwes, dan pandai meyakinkan orang.
Pas untuk usaha dan pekerjaannya itu.
"Daster ini bagus lho, Mbak!" katanya sambil
membeberkan bahan dagangannya di sebuah meja.
"Kainnya sejuk dipakai dan warna bunga-bunga
sablonannya sangat cerah."
Ketika aku sedang bimbang, Aryanti mengeluarkan sehelai scarf sutra bermotif batik.
"Atau yang ini'?" ia melanjutkan rayuannya tadi.
"Untuk oleh-oleh cocok sekali lho, Mbak. Tidak
menyita tempat dan harganya juga tidak mahal."
Aku menyukai scarf itu. Maka kupilih beberapa
helai untuk temanku dan juga untuk diriku sendiri.
"Ini desain Anda sendiri atau ada orang lain
yang membuat?" tanyaku. Scarf itu cantik-cantik
menurut pengamatanku. Untuk kerudung pun manis.
"Bekas tunangannya pernah membuatkan desain
untuk sablonnya!" Bambang yang menjawab.
Aryanti tertawa.
"Jangan berlebihan, Mbang. Aku dan Bayu belum sampai bertunangan kok!" katanya.
Di dalam hati aku terkejut. Jadi inilah gadis
yang disebut-sebut oleh Bambang beberapa malam
yang lalu. Tanpa sadar aku lebih memperhatikan
gadis itu.
Aryanti memiliki tubuh yang mungil tetapi dengan lekuk-liku yang cukup indah. Wajahnya manis
dengan tahi lalat di sudut atas bibir yang menambah
daya tariknya. Sayangnya rias wajahnya terlalu
berat. Bibirnya merah, alis matanya dicukur dan dibentuk melengkung. Pipinya diberi pemulas merah
sementara pelupuk matanya mendapat sentuhan
perona yang sesuai dengan warna bajunya.
"Kenapa sih hubungan kalian bisa putus?" ku
dengar Bambang bertanya, meraih pikiranku kembali.
Perhatianku kini tercurah kepada Aryanti. ingin tahu
apa jawaban gadis itu.
"Yah, ada banyak ketidakcocokan di antara kami."
Aryanti tertawa lagi sambil menatap ke arahku.
"Namanyajuga manusia ya, Mbak. Maunya macam macam dan antara yang satu dengan yang lain suka
tidak klop. Apalagi kalau hubungan itu bukan kemauan sendiri, tetapi karena diatur oleh kedua belah
keluarga."
"Tetapi kau mencintai Bayu. kan?"
Aku merasa jengkel sekali terhadap Bambang.
Aku yakin sekali lelaki itu memang sengaja mau
mengarahkan diriku agar mengetahui kehidupan
pribadi Bayu.
"Dia lelaki yang hebat, Mbang," Aryanti menjawab
dengan agak tersipu. "Gadis mana pun kalau sudah
mulai bergaul dengannya pasti akan jatuh cinta kepadanya!"
Langit Di Atas Merapi Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi tidak bagi perempuan yang ini!" Bambang
menunjukku. "Sejak dulu dia membenci Bayu."
"Jangan didengarkan perkataan Bambang itu lho
kataku cepat-cepat. Ingin sekali aku menampar
Bambang. Tetapi kutahan kuat-kuat.
"Siapa sih Mbak ini?"'perhatian Aryanti mulai
tergugah.
"Dia adik Totok!" Bambang yang menjawab.
"Oh, Mas Totok sahabat Mas Bayu itu to?"
"Ya. Setelah sepuluh tahun ini baru sekarang saya
kembali ke sini." sahutku.
"Daerah seindah dan senyaman ini kok ditinggal
lama-lama sih!" Aryanti tersenyum. "Saya yang
baru pindah dari Solo saja langsung jatuh cinta."
"Apalagi kepada salah seorang lelaki kelahiran
daerah ini, ya"?" goda Bambang. "Jatuh cintanya
setengah mati, kan?"
"Ah, kau!" Aryanti tersipu lagi.
Aku tak mau memasuki pembicaraan seperti itu.
Perhatianku kucurahkan pada tumpukan scarf yang
sedang kupilih. Dan akhirnya kuputuskan untuk
membeli enam helai Scalf untuk oleh-oleh temanteman dekatku. Setelah kubayar kuajak Bambang
pulang, lalu pamit kepada Aryanti.
Di mobil Bambang masih saja mengoceh tentang
hubungan Bayu dengan Aryanti.
"Gadis semenarik Aryanti tak seharusnya mendapatkan Bayu!" katanya.
"Memangnya Bayu kenapa sih?" pancingku.
"Kau kan sudah mengenalnya, Mega. Dan bahkan sifatnya yang ugal-ugalan itu pernah membuatmu membencinya setengah mati."
"Tetapi Aryanti tadi mengatakan bahwa Bayu
hebat."
"Namanya juga cinta,- Mega!" Bambang menjawab seenaknya. "Dan yang namanya cinta, sering
kali membuat orang yang bersangkutan tak lagi
mampu menilai secara objektif."
"Dengan kata lain kalau kita membenci seseorang sering kali penilaian kita terhadap orang itu
pun jadi tak lagi objektif." Dengan perkataan itu
aku hendak mengatakan kepada Bambang penilaianku terhadap Bayu adalah berat sebelah. Tetapi
tanpa sadar sebenarnya aku juga sedang menegur
diriku sendiri. Kubenci Bayu sampai nalarku tak
bekerja sebagaimana seharusnya. Kujauhi dan kuanggap dirinya tak ada sehingga pandang mataku
menjadi buram dan tak lagi proporsional.
"ltu lain. Mega."
"Apanya yang lain'?"
"Ya lain karena dalam hal ini Bayu memandang
enteng dirimu tetapi meninggikan dirinya sendiri.
Sesumbar bahwa suatu ketika nanti ia pasti berhasil
menjadikan dirimu kekasihnya!" sahut Bambang
cepat. "Itu kan sama saja memberi penilaian yang
rendah pada dirimu."
Kalimat dengan nada seperti itu sudah beberapa
kali kudengar dari mulut yang sama sepuluh tahun
yang lalu. Dan emosiku terpancing karenanya. Lalu
kebencianku kepada Bayu pun semakin menebal.
Tetapi anehnya sekarang perkataan yang sama itu
tidak mengait emosiku seperti dulu. Sebaliknya
penilaianku justru tertuju kepada Bambang. Bahwa
seperti yang sudah kulihat di awal perjumpaan
kami kembali beberapa waktu yang lalu, aku
melihat Bambang masih tetap seperti sepuluh tahun
yang lalu. Kedewasaan pribadinya tidak berkembang sebagaimana mestinya. Pola pikirnya tetap
sama seperti dulu.
Karena berpikir seperti itu, aku tidak mau memberi komentar atas perkataannya itu. Mengetahui
itu, Bambang menoleh ke arahku.
"Bagaimana kesanmu melihat Bayu sekarang?"
tanyanya penuh rasa ingin tahu.
"Dia baik terhadap anakku. Penuh rasa kebapakan," sahutku diplomatis.
"Hm, begitu...." Bambang bergumam. "Tetapi
apakah menurut pendapatmu hal seperti itu sungguh
murni keluar dari ketulusan hatinya"? Artinya, apa
yang ia lakukan untuk anakmu itu tidak diwarnai
oleh tujuan lain yang tersembunyi atau semacam
rekayasa demi maksud tertentu?"
"Kalaupun ada, itu bukan urusanku. Yang penting sekarang ini anakku menyukainya. Itu saja!"
sahutku. "Soal-soal lainnya, masa bodnhlah."
"Hebat juga ya perubahan cara berpikirmu" kata
Bambang.
Aku tak mau menanggapinya. Pertama, karena
segan bicara mengenai sesuatu yang tak kusukai.
Kedua, karena kami sudah sampai ke rumah orangtuaku. Ketiga, karena aku melihat mobil Bayu terparkir di sana. Dan keempat, begitu melihat aku
turun dari mobil Rio langsung menghambur ke
arahku.
"Mama, kata Oom Bayu sebaiknya kita pergi
lebih cepat daripada rencana semula," kata anak itu.
Aku ingat kami memang mempunyai rencana
untuk membeli keperluan sekolah Rio sore nanti.
"Kenapa?" tanyaku sambil berjalan menuju ke
rumah. '
"Supaya kita mempunyai waktu yang lebih banyak!"
"Baiklah kalau begitu," sahutku. "Tetapi sebaiknya kita mandi dulu ah!"
"Masa siang-siang mandi sih. Ma."
"Sudah hampir setengah tiga kok." Aku tersenyum menatap anakku. "Kau sudah makan siang?"
"Sudah. Bersama-sama dengan Eyang!" sahut
Rio sambil mengangkat wajahnya untuk melihat
ke arahku. "Mama belum makan, ya?"
"Sudah, Nak!" Bambang yang mengekor di belakangku menjawab pertanyaan yang seharusnya kujawab. "Kami tadi mampir makan sate Pak Min."
Aku tahu jawaban itu diucapkan oleh Bambang
supaya didengar oleh Bayu. Pikirku, cara lelaki
itu sungguh murahan dan kekanakan.
Untuk menghindari perkataan-perkataan mubazir
yang mungkin keluar lagi dari Bambang. aku berkata kepadanya,
"Terima kasih lho, Mbang, kau telah mengantarkan aku membeli oleh-oleh" kataku. Di balik perkataanku aku hendak mengatakan kepadanya bahwa
urusanku dengannya telah selesai. Bahwa aku mernpunyai urusan lain yang tak memerlukan dirinya
lagi.
Untunglah Bambang menangkap hal itu. Ia
menganggukkan kepalanya dan langsung minta diri.
"Kalau membutuhkan sesuatu lagi, teleponlah
aku!" katanya kemudian.
"Oke," aku menjawab demikian hanya untuk
Bende Mataram Karya Herman Pratikto The Chronicles Of Narnia 6 Pertempuran Pendekar Gila 3 Dendam Bidadari Bercadar
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama