Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan Bagian 2
dan kemarahan itu sering reda bersama berlalunya waktu. Maka ketika
Margio mengatakannya pada Mameh, gadis itu juga mengabaikannya,
atau barangkali ia sendiri memang berharap Margio melakukannya.
Waktu itu tentu saja belum ada mata kucing di wajah Margio,
namun Mameh bisa merasakan amarah yang mengapung dari
ubun-ubunnya. Rasa itu semakin menjadi-jadi, di hari-hari itu,
tak lama setelah Marian adik kecil mereka mati hanya satu
minggu selepas dilahirkan. Mameh selalu berpikir segala sesuatu
bisa dipergunakan Margio untuk membunuh ayah mereka,
maka ia se?lalu menjauhkan pisau dan golok darinya, dan selalu
mengawasi?nya. Sejujurnya Mameh sendiri tak peduli seandainya
benar Margio mau membunuh ayah mereka, tapi sudut-sudut
ke?warasannya yang tersisa mendorong Mameh untuk mencegah
niat tolol semacam itu.
Kesal karena menyadari dirinya tak bisa melakukan apa yang
dikehendakinya, Margio pergi dari rumah. Di lapangan bola ada
tenda-tenda dengan lampu-lampu serta gadis cantik yang menjual
tiket, suara dengkuran gajah, auman harimau, dan musik riang
jenaka pengiring para gadis plastik. Di waktu-waktu tertentu,
Holiday Circus datang ke tempat mereka dan mengadakan pertunjukan sepanjang dua minggu. Tak seorang pun bisa meramalkan kapan mereka datang, kadang setahun sekali, kadang dua
tahun, tapi pernah pula lima tahun mereka tak datang, meski
be?gitu setiap kali datang selalu menjadi hiburan yang melimpahlimpah bagi penduduk kota, tak peduli mereka telah mengenal
baik seluruh atraksinya, sebab tak banyak yang berubah dari
tahun ke tahun, kecuali gadis-gadis plastik yang berganti dengan
bocah-bocah periang yang lebih merah dan lebih belia.
Ia pergi seorang diri, membeli tiket tanpa banyak omong, dengan tangan melesak ke dalam celana jeans yang tak tercuci sepanjang delapan belas hari. Telah lama ia tak melihat sirkus, sejak
ayahnya mengajak pertama kali jauh di masa lampau, dan kali ini
ia melihatnya tidak karena keinginan untuk melihat pertunjukan menakjubkan, namun lebih didorong keinginannya untuk
me?nenggelamkan diri di dalam arus penonton, kebisingan, dan
ber?sembunyi di sana. Ia mengambil tempat duduk yang paling
tinggi, hampir menyentuh langit-langit terpal, dan di sana duduk
me?nanti sirkus dibuka dengan menopang dagu.
Pikirannya kosong kala direktur sirkus berjas hitam dengan
dasi kupu-kupu terpasang simetris menyambut kedatangan mereka dengan senyum ramah tak pernah berubah, berpidato
singkat menceritakan sedikit perjalanan Holiday Circus yang
dibawanya berkeliling pulau-pulau nusantara, kota-kota, bahkan
bermain pula di atas kapal pada hari ulang tahun Angkatan
Laut dan se?dikit membocorkan rencana mereka mengunjungi
beberapa kota lain selepas singgah di lapangan bola mereka.
Bahkan ketika se?orang perempuan cantik dengan topi tinggi
berhias jumbai ekor bulu merak, mengenakan rompi merah
menyala dengan rok mini sewarna yang memperlihatkan celana
pendeknya, berstoking hitam dan bersepatu merah berkilau,
berbicara pada mereka membacakan urutan pertunjukan,
dengan bibir bergincu penuh go?daan, Margio bertahan dalam
ketermenungannya dan tak me?mikirkan kecabulan macam apa
pun sebagaimana sering ia laku?kan saat melihat perempuanperempuan cantik dengan dandanan provokatif macam begitu.
Ia masih bertopang dagu, malahan kini sedikit memejamkan
matanya, diapit seorang perempuan gembrot yang datang ber?sama
anak kecilnya, kedua mereka tak henti-hentinya mengunyah kacang
hingga suara gigi mereka lebih ribut di telinga Margio daripada
musik pengiring sirkus, dan di samping yang lain se?orang pemuda
yang duduk tak begitu nyaman sebab gadisnya terus-menerus
rebah ke bahunya dan minta dipeluk dan si pe?muda barangkali
segan pada Margio yang duduk khusyuk minta tak diganggu.
Tadinya ia berharap bisa menghibur diri dan melupakan
kabut kemarahan yang dibawa dari rumah dengan melihat
gadis plastik. Tak ada hal lain yang dipikirnya menarik, kecuali
gadis-gadis kecil dengan tungkai kaki indah dan tubuh meliukliuk di atas meja bulat berputar, kadang bergelantungan di
tali lintang-melintang. Ia memejamkan mata sebab tak ingin
melihat orangutan yang naik motor kecil, berputar-putar dan
kala berhenti pawangnya harus menarik motor itu dari belakang,
juga tak ada hasrat melihat burung beo mengayuh sepeda kecil
mereka meskipun anak-anak bertepuk ramai. Badut-badut yang
membanyol lebih tampak menyebalkan daripada jenaka, hingga
ia berpikir untuk mengutuk mereka jadi badut kartu sungguhan.
Namun kala gadis-gadis plastik keluar dan mereka berlompatan
membikin menara tinggi sebelum ambruk dengan cara paling
indah, apa yang ditunggu itu tak juga memberi kesan apa pun.
Margio hampir pergi meninggalkan tempat duduknya, dan
berpikir untuk pergi ke warung Agus Sofyan untuk minum, kala
mereka mengeluarkan kerangka-kerangka besi dan membuat
kurungan. Ia tahu apa maknanya, dan kakinya tertancap di
sana, menunggu penuh debar. Para lelaki itu bekerja cermat tak
bertele-tele, dan sekonyong berdiri kandang megah setinggi enam
meter, dan Margio mendengar suara menggeram binatang yang
mem?buat jantungnya berdegup semakin kencang dan darahnya
meng?alir bertambah-tambah deras. Ia tak lagi duduk bertopang
dagu, tangannya jatuh di atas lutut, dan pakaiannya jadi kuyup
oleh peluh mengguyur. Ia menantikannya dengan sangat sabar,
melihat pintu kandang disambung dengan bokong sebuah truk,
seorang pawang menunggu di sana dengan pakaian peraknya
berkilauan serta cambuk terjulur ganas. Pintu truk terbuka,
dan dengan enggan binatang anggun itu melenggang menuju
kandang, ka?dang ia hendak balik lagi ke truk, sebelum si pawang
memaksa, mencambuk lantai menakutinya, dan si harimau,
masih enggan, melompat ke tengah kandang.
Rasa akrab yang hangat melimpahinya, menyeretnya pada kenangan lama, melihat tubuh yang belang itu melenggang dan bersemayam di kursi kayu bulat tinggi, di sana ia jongkok dan menggaruki hidungnya. Tepatnya ia menjilat kakinya, dan basah di
kakinya dipakai untuk mencuci mukanya. Barangkali ia bangun
dari tidur, atau berias di depan tuan-puan penonton. Tak berapa
lama datang pasangannya, serta sepasang lain singa India. Bagaimanapun mereka tidak putih serupa angsa, melainkan cokelat
serupa foto lama yang jadi sefia, dengan tubuh tak sebesar sapi,
meski tak kehilangan keagungannya sedikit juga. Margio mengabaikan kenyataan bahwa mereka bukan binatang yang dinantikannya, menyadari kekerabatan mereka, dan terharu atas perjumpaan tak terencanakan tersebut, seolah nasib telah menuntun
mereka dan ia hanya tinggal menjalaninya.
Lama setelah kakeknya mati, ia terus menunggu hari ketika
harimau putihnya datang. Hari-hari melelahkan, hingga ia berpikir harimau itu tak akan pernah datang dan mencoba mengabaikannya, bahkan bercuriga itu telah jadi milik ayahnya. Itulah
barangkali yang membuatnya berhati-hati pada Komar bin Syueb,
berjaga, mengawasi apakah lelaki itu sungguh telah mewarisi
sang harimau. Selama tahun-tahun itu, ia tak melihat tandatanda bah?wa ayahnya memiliki si makhluk itu, sekaligus tak juga
melihat pertanda Komar bin Syueb tak memilikinya. Sepanjang
hari-hari yang penuh amarah, ia semakin tak terkendali dibakar
kecem?buruan. Margio terus mengintip Komar bin Syueb, dari
dekat dari jauh, serupa jin pengiring, untuk memastikan apakah
ia ada bicara dengan piaraannya. Lama-lama itu melelahkan, dan
Margio telah berserah untuk mendengar Komar bin Syueb telah
memilikinya, atau di antara mereka berdua tak satu pun akan
didatanginya.
Hingga malam di sirkus itu. Kala pertunjukan usai dan ia berdesakan di antara kerumunan, dengan tangan kembali melesak
ke kantung celana, kini pikirannya penuh oleh kesan atas tubuhtubuh liar yang tetap tak terjinakkan sungguh-sungguh itu. Ia
terus memikirkannya, melihat gambarnya di dinding tenda
sirkus, hampir gila oleh semacam godaan melihat perempuan
binal dan kehendak untuk meremas tubuhnya. Di bawah lampu
sorot dan mesin diesel yang berdengung dekat penjual tiket, ia
bersandar ke pagar dan hampir masuk lagi untuk berkencan
dengan sepa?sang harimau tersebut, kala ia menyadari tak lagi
punya uang untuk tiket. Ia berjalan mengelilingi pagar sirkus,
berharap melihat mereka di kandangnya, pada mobil-mobil besar
yang teronggok di tengah lapangan bola, namun orang-orang itu
tampaknya mengurung mereka rapat. Ada dirasakan darahnya
menghangat, dan berpikir barangkali harimau itu sudah ada
di dalam dirinya, yang diperlukan adalah suatu cara untuk
mengeluarkannya.
Malam itu ia tak pulang, tak hendak berjumpa orang, hanya
ingin ditemani bebayang harimau di kepala. Ia pergi ke surau
menjelang tengah malam dan berbaring di sana, melihat harimau
itu di langit-langit, di tempat pengimaman, di rangka beduk, di
mana pun. Sejak masa kanak ia telah sering tidur di surau, selain
di pos ronda, barangkali lebih banyak daripada mondok di rumahnya sendiri. Malam itu ia bermimpi tentang putri jin yang
keluar dari mata air, mengajaknya kawin, dan putri itu wajahnya
serupa Maharani. Lalu bangun di pagi hari, dengan harimau
putih rebah menjejerinya. Begitulah awalnya.
Margio sendiri tak pernah bisa melacak dari mana asal-usul
kemarahannya atas Komar bin Syueb. Baginya itu serupa piutang
yang mesti ditagihnya, yang telah menumpuk sehingga hampir
membikin dirinya sendiri bangkrut secara mental. Rasa cinta
yang tak kepalang pada ibu dan adiknyalah, barangkali, yang telah
menahannya dari kemarahan memaharaja. Ia tak bisa mengelak
dari kenyataan bahwa Komar bin Syueb tetap tiang bagi mereka,
tak peduli betapa keropos dan limbungnya tiang itu, serta oleng
dan sumber badai yang mestinya merobohkan dirinya sendiri.
Margio hanya tahu bahwa ia ingin menghabisinya, berpikir itu
akan terjadi dan ini hanyalah masalah waktu yang tak kunjung
tiba, dan sepanjang kehidupannya, usaha yang lebih membuatnya
menderita adalah upaya untuk meredam kehendak itu, didorong
harapan udik bahwa segalanya akan baik dengan sendirinya,
dan cara yang ingin dipilihnya tak akan memberi jalan bertabur
bunga apa pun.
Ia selalu menyebut dirinya semacam Kresna, yang di puncak
kemarahan tanpa ampun bisa sekonyong menjelma brahala, dengan seribu kepala seribu tangan dan seribu nafsu menghancurkan, dan tak seorang pun bisa menghalanginya, tidak pula dewa54
dewa. Satu-satunya hal terpuji dari sang prabu, demikian ia akan
memanggilnya, bahwa ia tak pernah membiarkan brahala itu
ke?luar dari tubuhnya, kecuali sekali yang tak berlanjut-lanjut.
Margio akan berpikir bahwa ada sesuatu di dalam dirinya, hendak
keluar bersama aroma marah, dan adalah tugasnya untuk tidak
membuat itu keluar, sebab segala sesuatu telah ditulis dewa-dewa.
Tak peduli betapa besar rasa marah itu untuk ditanggungnya.
Sepanjang tahun-tahun yang lewat, ia masih bisa menahannya,
hingga malam ketika Marian adik bungsunya mati. Itulah yang
membikin ia tak terkendali, dan kepada Mameh berkata hendak
menghentikan hidup Komar bin Syueb. Baginya, kematian
Marian melebihi bencana apa pun yang bisa dipikirkannya datang
ke rumah mereka, serupa satu pengkhianatan kejam, dan ia tak
lagi berkehendak menahan nafsu brutalnya, suatu nafsu yang
sering?kali dilampiaskannya sedikit pada bokong babi di musim
per?buruan. Ia akan melihat bokong itu menjelma menjadi dada
ringkih Komar bin Syueb, menusuknya dengan tombak, sedikit
saja untuk membuatnya tersadar ada sesuatu mengancam. Kini
ia berharap bisa menusuk dada yang sesungguhnya, mengirim?nya
ke kerak neraka, dan meletup dalam kata-kata.
Marian mati seminggu sebelum Holiday Circus datang dan
mendirikan tenda mereka. Mati dalam keadaan tubuh kering
kurang susu, bahkan selama seminggu hidupnya ia telah setengah
mati. Ia tak ada demam, tapi jelas hendak mati. Semua orang
akan merasakan ajal itu mengerubuti dirinya seperti lalat terbang
di atas bangkai, terpampang di matanya yang tak ada bayangan
hidup panjang, dan setiap kali Margio melihat itu, sedihnya
berlipat-lipat oleh duka di wajah ibunya. Komar bin Syueb tampaknya satu-satunya yang tak peduli apakah bayi merah itu akan
terus mengisi dunia atau bakal sarang cacing di kuburan, melihatnya serupa kotoran yang salah tempat, dan semua orang berani bersumpah ia tak pernah menyentuhnya, apalagi sekadar
menyapa ?ciluk-ba?. Pada hari itu, seharusnya Komar mencukur
rambutnya, mengadakan kenduri kecil demi keselamatannya,
dan tentu saja memberi nama indah untuknya, dan sebagaimana
se?mua akan bersumpah pula, ia tak melakukannya.
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Margio akhirnya menyembelih sendiri ayam jago Komar,
tanpa meminta pada pemiliknya, dan menggelar selamatan kecil
bertiga bersama Mameh dan ibu mereka. Ia mengambil perkakas
cukur ayahnya, menyumpah-serapahi si tukang cukur yang tak
hendak mencukur si anak bungsu, dan mencukur sendiri bayi
yang rebah tak bisa nangis di pangkuan ibunya. Dan mengenai
nama itu, Komar tak memberi gagasan sedikit jua, malahan pergi
entah ke mana, dan akhirnya ibu mereka memberinya nama
pendek, tanpa nama keluarga tanpa nama panjang.
"Marian."
Paling tidak, seandainya ada satu yang membahagiakan,
Marian mati setelah dicukur dan punya nama. Margio bisa memahatkan nama pendek itu di nisannya yang mungil, yang ditanami Mameh dengan bunga cempaka, dan dipenuhi aroma kenanga. Sekaligus kematian ini menambah-nambah minyak bagi
api kebencian Margio pada ayahnya hingga ia berpikir, jika selama
ini dirinya ingin membunuh Komar bin Syueb, sekaranglah saatnya.
Komar bin Syueb pulang tak lama setelah mereka menguburkan Marian subuh-subuh, tanpa dosa dan bengis di wajah.
Barangkali ia tidur di tempat pelacuran, atau pembuangan
sampah, kini tak ada lagi yang peduli. Tak seorang pun kasih
sapaan padanya kala ia datang, tidak keluarga tidak tetangga,
sebab jika ada yang paling tidak berduka pada kematian Marian,
tampaknya lelaki inilah makhluknya. Ia menampilkan dirinya
sebagai lelaki udzur setengah mampus yang tanpa kendali rasa
apa pun, masuk rumah duka sekonyong dan tak juga bertanya
apa yang sedang kalian sedihkan, sebab betul tampaknya ia
sendiri tahu kematian Marian dan itulah yang menyeretnya
pulang untuk merayakannya, duduk di dapur dan memakan
ayam sisa selamatan tak ada malu, dan tidur mendengkur penuh
kekejian. Hingga kemudian, tak tahan oleh kelakuan tanpa alingaling, Margio meraih panci dan satu-satunya panci yang mereka
miliki, membantingkan ke lantai menimbulkan ledakan heboh
yang tentu membangunkan Komar bin Syueb.
Gencatan senjata bertahun-tahun itu kini berakhir, demi peristiwa panci dibanting tersebut. Komar bin Syueb tahu itu ditujukan kepada dirinya, dan tahu bocah itu telah di luar batas
kesabarannya sendiri, berjaga-jaga dan tak memberi jawaban apa
pun membuatnya diam terus di tempat tidur tak tahu apa-apa
secara pura-pura. Bagi Margio sendiri, itulah pengumuman pertamanya, kemarahan yang diungkapkan, sesuatu yang tak pernah
dikeluarkan dan kini ayahnya telah tahu bahwa ia menyimpan
beludak kemarahan di lambungnya. Ada rasa terkejut kala ia
menyadari telah mengakhiri kebungkamannya, namun segalanya
telah bermula dan ia harus bersiap menghadapinya. Pada umurnya yang kedua puluh, ia berpikir, tak ada apa pun lagi yang mesti
ditakuti menghadapi ayah yang kini menjelang lima puluh. Dan
si ayah, masih di tempat tidurnya, juga menyadari batas umur
itu, mengakui dengan kepasrahan menyedihkan bahwa Margio
bukan bocah merah yang dulu itu lagi, menginsafi amukan apa
pun tak bakal bisa ditahannya lagi.
Demikianlah hari-hari itu mereka menjaga jarak, mempersiapkan pertarungan sekaligus menghindarinya. Komar bin Syueb
menjadi demikian lembek dan menjauh, dan Margio menyadari
ketakberdayaan ayahnya, mulai menahan diri untuk tak membiarkan kebenciannya meletup, meski itu ngepul mendidih,
sampai pagi ketika ia berjumpa harimau putihnya. Brahalanya.
Mameh melihatnya tak berapa lama, menggelosor dari raga
Margio, serasa sosok yang tanggal dari baju, membikinnya terlempar ke belakang, sebab dipikir itu hendak menerkam dirinya,
sebelum si liar bersarang kembali, tertancap jauh di dada Margio.
Itu kala Margio pulang suatu petang, menemukan ayah mereka
tengah memotong lima ekor ayam peliharaannya, seorang diri
saja. Komar bin Syueb merepotkan diri dengan ayam-ayam, tak
minta bantuan siapa-siapa, menjepit kaki dan sayap mereka
dengan telapak sandalnya sendiri, satu tangan mencengkeram
kepala unggas malang tersebut, dan satu tangan lain mengayun
pisau dapur. Cres, cres, ia memenggal kepala mereka satu demi
satu, melemparkannya ke dalam kurungan, di sana mereka menggelepar melawan rasa ajal.
"Apa hendak ia bikin?" tanya Margio pada Mameh, tanpa
Komar mendengar.
"Pikirnya ia hendak bikin selamatan tujuh hari Marian."
Itulah barangkali yang bikin harimaunya keluar dari sarang.
Margio tak bakalan rela lelaki tua celaka itu berbuat baik untuk
Marian, yang telah disia-siakannya, dan bahkan sering ia berpikir,
Komar bin Syueb telah membunuh si bungsu, atau sengaja membiarkannya mati. Dan kini Komar celaka itu hendak bikin selamatan tujuh hari, maka terkutuklah untukmu, pikir Margio,
bayi tersebut tak bakalan menerima kebaikan apa pun darinya.
Mameh melihat wajah merah yang remang, seperti berbulu,
dengan mata berkilau kekuningan, dan suara menggeram yang
kasih gema, sebelum bebayang putih itu menari di matanya.
Hampir saja ia menjerit, sebelum itu lenyap kembali, bersemayam
dengan pintu kandang seolah terkunci rapat. Margio telah
mengurungnya, menahannya tak liar, dan tak berharap melanjutlanjutkan per?kara, bocah itu masuk rumah dan pergi lewat dapur.
Selepas episode singkat panci dibanting, Komar mengurung
diri di biliknya, keluar untuk pergi ke kios cukur, dan balik untuk
bersarang kembali di tempat tidur. Itu adalah waktu-waktu ketika
dipikirnya Margio bakalan kasar padanya, jika tidak sungguhsungguh hendak membunuhnya. Sosok si bocah mendadak jadi
monster yang lebih hantu dari segala setan, terhenyak menyadari
berapa umurnya sekarang, tinggi tubuhnya, berat bobotnya, dan
barangkali ia mewarisi harimau keparat itu. Lelaki tua ini bertindak bijak untuk tidak menambah-nambah urusan dengan si
cikal ini, sebab tampaknya Margio tak lagi anak penurut dan
pengalah yang akan duduk diam di pojok rumah, atau pergi tanpa
kata-kata. Segalanya telah datang bocah itu sanggup melawan,
dan Komar bin Syueb terlalu waras untuk menentang ototnya.
Kemudian Mameh melihatnya keluar dari bilik, dan ia tampak
begitu manis kini. Tak banyak bicara sebagaimana semula, Komar
bin Syueb ambil alih kerja-kerja yang sering ia abai untuk dilakukan. Ia mengambil sapu ijuk dan menyapu lantai, begitu berkali
walau tak ada remah tercecer, dan di pagi serta petang, ia mengisi
bak untuk mereka mandi. Sehari kemudian tak dinyana-nyana, ia
bahkan mencuci pakaian, dan Mameh kehilangan lebih banyak
pekerjaan rutinnya. Mameh hendak menghentikan semua sikap
manis tersebut, sebab ayahnya harus bersiap pergi ke kios cukur,
dan sepulangnya tentu Komar bakalan lelah, tapi lelaki ini tak
ambil peduli, mengacuhkan Mameh dan membiarkan anak perempuannya nyaris tak ada kerja.
Belakangan Mameh menyadari pamrihnya, dengan tatapan
sedih melihat lelaki itu memotong ayam seorang diri untuk
selamatan tujuh hari Marian. Tanpa kata-kata, terlampau
gamblang bagi Mameh untuk membacanya, serasa tulisan nasib
yang tertera di dahi, betapa Komar bin Syueb ini secara sia-sia
hendak berdamai dengan mereka, menghilangkan jejak busuk
yang bertele-tele mengulur jauh ke belakang. Sia-sia, sebab tak
seorang pun tersentuh hatinya oleh kebaikan melimpah-limpah
tersebut. Me?nyedihkan sebab semua orang berpendapat kelakuan
manisnya terlampau terlambat.
Tengoklah Margio, rasa benci itu bertambah-tambah, serasa
memperoleh minyak baru bagi apinya, secepat ia tahu niat tersembunyi ayahnya. Jangan pikir aku akan memaafkanmu, pikirnya. Ia pergi dari rumah, tak hendak mendukung apa pun yang
dibuat Komar, dan terdampar di berbagai tempat, menendangnendang dinding pos ronda, minum di warung Agus Sofyan,
dan melempari kelapa di perkebunan terbengkalai, sementara
ayah?nya mencuci ayam-ayam itu sendiri, menanggalkan mereka
dari bebulunya, menentengnya ke dapur, dan di sana Komar bin
Syueb merebus, menggoreng mereka, serta menanak nasi pula.
Men?jelang magrib ia mendatangi tetangga, mengundang mereka
da?tang selepas Isya, untuk berkumpul membaca Yassin, demi
kesela?matan Marian.
Margio pulang selepas tetangga menghilang, meninggalkan
tikar yang terhampar, dan selama itu segala urusan di tangan
Komar bin Syueb semata. Tidak Mameh dan tidak ibunya.
Komar bin Syueb menyuruhnya makan, ada tersisa ayam goreng
dan nasi dan lodeh kentang untuknya, tapi Margio tak ada ingin
me?nyentuh apa pun. Ia hanya pergi ke dapur untuk muncul lagi
di ruang tengah, berjalan masuk ke kamar dan keluar lagi, pergi
ke kamar mandi untuk buang kencing, masuk dapur dan berdiri
di teras di bawah lampu. Mameh datang dan ikut membujuknya
makan, Margio hanya mengeluarkan rokok dan menyulutnya.
Di semesta yang remang, Mameh bisa lihat matanya yang
bertambah-tambah kemilau dan tambah-tambah pijar kuning.
Masih diingat kehendak Margio untuk membunuh Komar, dan
kehendak itu tambah menjadi-jadi tanpa mesti mengatakannya.
Matanya menyorot benderang, setiap lariknya seperti menancap,
dan pikir Mameh, mata itu sendiri barangkali bisa bikin mati
Komar bin Syueb. Namun ia juga bisa melihat penderitaannya.
Margio yang manis tengah berperang melawan Margio yang jahat,
sebelum satu di antara mereka bisa membunuh Komar bin Syueb,
dan di sana Mameh lihat wajah lelah, serasa kalah bukan oleh
musuh tapi disebabkan pertarungannya sendiri. Bagaimanapun,
sebagaimana kemudian ia tahu, Komar bin Syueb tidak mati
oleh Margio, tidak pula oleh harimau piaraannya. Malam itu,
selepas dibuangnya puntung ke pekarangan, Margio bilang pada
Mameh, "Aku akan pergi." Dan menambahkan, "Jika tidak, aku
bakalan membunuh lelaki ini."
Bagi Mameh, yang tak menguping sungguh-sungguh dan tak
berpikir Margio sungguh akan pergi, serasa ia hanya berkata,
"Aku ingin pergi." Sebab tak ada alasan ia mesti pergi. Di tahuntahun terakhir, sudah sangat jelas Margio tak betah tinggal di rumah, dan tempat hunian abadinya adalah pos ronda dan surau.
Bahkan kalaupun sungguh ia mau pergi, Mameh pikir ia masih
bisa ditemukan di tempat-tempat itu. Belakangan Mameh tahu
pikirannya keliru.
Suatu hari, pagi datang sebagaimana biasa dan mereka kehilangan
Margio tiba-tiba. Kawan-kawannyalah yang pertama menyadari
Margio pergi, sebab ia tak ditemukan sampai siang datang.
Seseorang berkata ia melihat sirkus itu, dan malam tadi mereka
berkemas untuk pergi tanpa seorang pun tahu ke mana. Semua
berprasangka bocah itu kecantol gadis plastik dan hengkang
mengikuti jejak rombongan Holiday Circus, sambil bertaruh ia
bakalan kembali sebab cinta sesungguhnya tertambat di kampung
halaman sendiri, sebagaimana mereka bercuriga bocah ini
memiliki hubungan diam-diam dengan Maharani anak Anwar
Sadat. Kemudian, dikarenakan beberapa kawannya datang ke
rumah dan bertanya, Mameh lalu sadar Margio sungguh pergi.
Kepergiannya membuat banyak orang sedih, terutama
Mayor Sadrah yang bersiap menghabisi babi-babi, dan terutama
lagi ternyata Komar bin Syueb. Selama seminggu ia mencoba
mengabaikan ketidakadaan anak sulungnya, menempuh hidup
sebagai biasa, bangun tidur dan memberi makan ayam tersisa
serta tiga pasang kelinci. Setiap pagi Komar mengeluarkan
sepeda untanya, aus oleh karat dan kurang gemuk, dengan
suara rantai berderak, dan sebagaimana kebanyakan sepeda di
kampung itu, tanpa rem dan berko. Komar pergi ke pasar untuk
memungut wortel dan kol busuk di tempat sampah penjual
sayur, lalu pulang selepas mampir di pondok penggilingan padi
meminta dedak, dan memberikan semua itu untuk piaraannya.
Dedaknya mesti dikasih air hangat, diaduk dan dihidangkan di
beberapa tempu?rung kelapa, biar unggas-unggas itu tak berebut,
sementara kol dan wortel busuk cukup dilempar ke kandang
kelinci dan mereka akan menggerogotinya. Komar cukup sibuk,
ditambah kerja-kerja berlebihannya, untuk membuat seolah ia
tak peduli Margio telah hengkah. Tapi Mameh tahu ia mulai
merindukannya, sebab suatu pagi Komar bin Syueb bertanya
kepadanya.
"Adakah Margio balik?"
"Belum," kata Mameh acuh. "Percayalah ia bakalan balik kala
waktunya kawin."
Komar sama sekali tak terhibur oleh kata-kata Mameh yang
tak menghibur, dan dengan segera tubuhnya merosot dalam
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sakit yang datang serempak. Rasa kehilangan itu rupanya tidak
main-main, sebab ia mulai tak beranjak dari tempat tidur, kurus
tak karuan dan mengigau tak ada henti. Berbelas hari ia tak
lagi memangkas belukar di kepala orang, kecuali memangkas
nyawanya sepenggal demi sepenggal. Komar mengeluh ada
paku bersarang di lambungnya, dan memang benar kemudian
ia muntah-muntah penuh darah, dan kulitnya membiru benjolbenjol. Mameh pergi memanggil mantri, yang menyuruhnya
untuk diseret ke rumah sakit, maka Mameh memanggil dua
orang paman adik ibunya, yang menandu Komar bin Syueb. Ada
begitu banyak penyakit, kata dokter, dan ia dikutuk untuk tidur
di bangsal dingin penuh hantu orang mati.
Sepanjang waktu-waktu sekarat itu, istrinya tak mau ambil
urus dirinya, dan Mameh harus menanggung semua kerepotan
seorang diri. Barangkali ia telah merasakan waktu kematiannya
semakin dekat, dan Mameh mulai yakin saat ajal itu memang telah
hinggap. Serasa bunga kenanga mekar segera, begitu pula kamboja
dan cempaka dan gagak-gagak hitam berkaok-kaok di suatu jarak.
Dua hari di bangsal rumah sakit, Komar akhirnya minta pulang
sambil bertegas pada Mameh. "Jangan panggil dokter mana pun
lagi. Aku cukup sehat untuk menanti kuburanku selesai digali."
Itu masa Komar masih bisa ngomong. Suatu pagi mulutnya
tak lagi bisa dibuka, bungkam memberontak pada sang tuan,
dengan rahang mengejang lengket tiada kira. Itu pernah terjadi
sekali waktu, dan sembuh lama setelahnya melalui serangkaian
pijatan dukun, yang mengurut leher dan ujung kakinya dengan
air bawang. Kali ini Mameh tak lagi yakin Komar bisa membuka
kembali mulut itu, pertanda kematiannya yang terlampau gamblang, selepas kegagalan tiga orang dukun urut melenturkan
kembali rahang tersebut. Komar sangat tersiksa, di kasur ia berguling, memukul-mukul pipi, menggigit tangan dan menarik rahangnya, tapi itu semakin menyiksa belaka. Ia tak bisa makan
kecuali segala sesuatu dibikin lembek, dan Mameh mesti menyuapkan bubur tim, Komar mendorongnya dengan telunjuk,
bikin ia batuk-batuk dan sepahannya meleleh ke kasur. Kemudian
tangan itu tak bisa bergerak pula, serasa putus urat dipenuhi
bintik-bintik cokelat ajaib, hingga Mameh harus kasih mulut
itu teh manis. Tak banyak yang bisa dimakan Komar, dalam
beberapa hari tubuhnya menyusut serupa cicak menggelepar.
Suatu malam Mameh mendengar Komar menggeram. Ia datang dan bertanya adakah sesuatu yang sakit. Rasa sakit itu tak
lagi dihiraukan Komar, dan membalas dengan geraman yang lain.
Rupanya ia ingin bicara, Mameh pasang telinga tajam, tapi suara
Komar tak lebih baik dari tetalu. Mameh berpikir cerdik, memberinya kertas dan pensil sisa masa sekolahnya, dan itu menambah kesia-siaannya semata, sebab tangan Komar tak lagi ada
faedahnya. Mameh berpikir semakin cerdik. Ia ambil kertas dan
pensil tersebut dan setiap kali ia menulis dengan benar, Komar
mengangguk pendek dengan mulut coba menyeringai senang.
Sebuah kalimat pendek meleret, menghabiskan separuh malam
mereka, serasa membuang waktu menebak teka-teki silang, dan
jawabannya adalah kehendak terakhir yang sederhana orang mau
mati, "Kuburkan aku di samping Marian."
Keesokan harinya Mameh menyampaikan pesan itu pada
ibunya. Telah lama perempuan ini tak banyak buka mulut,
namun pada permintaan ini, ia berbaik hati berkata, "Katakan
itu pada penggali kubur."
Bagaimanapun sangatlah jelas Komar bin Syueb mencari jalan
damai di sisa hidupnya, terutama pada si kecil yang barangkali
mati olehnya. Malam terakhir itu Mameh mendengar seekor
gagak hinggap di bubungan, dan di sana si gagak ribut sendiri,
sebelum terbang menyisakan gema gaoknya. Pikirnya, sebentar
lagi Komar sungguh mati. Ia ingin tak percaya tahayul, tapi semua
orang telah bilang, setiap seekor gagak hinggap di bubungan,
seseorang mati di bawahnya. Ia tak bisa tidur hingga menjelang
subuh, dan saat itulah Komar bin Syueb mati, dalam sakit dan
penderitaan menanti anak sulung yang minggat kembali. Jika
ada hal yang bikin Mameh sedih, lelaki ini lewat tanpa sempat
ber?jumpa Margio, meskipun ia cukup yakin, seandainya Margio
datang sebelum Komar mati, kedatangannya tak lebih untuk
menghabisi nyawanya belaka.
Mameh melihatnya subuh itu mengambang lelap di tempat
tidur. Tubuhnya merosot tajam menjadi rongsokan daging, yang
tak akan memuaskan nafsu si gagak pemakan bangkai sekalipun.
Tak ada orang menggorok lehernya, meski Komar selalu berpikir
seseorang di rumah itu akan melakukannya, atau Margio datang
dan memenggalnya, lebih disebabkan sakit berlipit-lipit tersebut.
Ia mati saat bokongnya telah gila dan ada bisul di pikirannya.
Sayonara, katanya, dan ia pergi menggelosor melewati kisi jendela
digandeng malaikat maut, memandangi hari-harinya berakhir,
kasurnya yang asin, kamarnya yang pengap, dan dunianya yang
garing.
Setiap menjelang subuh, Mameh orang pertama yang terjaga
di rumah 131, rumah mereka. Masih serupa pejalan tidur, ia selesaikan seluruh tugas untuk ayah yang teronggok setengah mati,
datang ke kamarnya menenteng ember kecil dari dapur, berkecipak air hangat di dalamnya, dengan lap berenang di atasnya. Di
hari-hari terakhir, saat rasa sakit menancap ganas dan bau tanah
permakaman mengapung di ujung hidung, Komar sedikit tobat
dan memaksa waras mendirikan salat. Mamehlah yang ambilkan
wudhu untuknya, membasuh tangan serta kaki dan muka, dan
membiarkannya salat sembari berbaring. Lima kali sehari. Satu
sentuhan tangan Mameh cukup untuk membangunkan Komar,
memberitahunya adzan subuh segera datang, tepatnya bikin
Komar buka mata, tanpa beranjak sebab ia lengket ke atas seprei,
dengan kepala terbenam pada tiga lapisan bantal lapuk, serta
tubuh bonyoknya tenggelam di dasar selimut belang garis hitamputih yang terangkut dari rumah sakit.
Subuh itu sentuhan tangan Mameh tak bikin Komar bangun,
membuat Mameh mengguncangnya, dan tetap tak ada geliat kecil
apa pun. Pertama, karena mata itu telah terbuka, dan kedua,
sebab Komar telah mati. Mengetahui ayahnya tamat, Mameh
hampir tersedak. Sebelum terjun, ember itu segera dijejakkan di
lantai. Si gadis meraba dadanya sendiri, komat-kamit tak mesti,
lalu dengan ajaran berguna dari film, ia mengatup mata ayahnya.
Sayonara, katanya, gunting dan sisir akan jadi saksimu. Ia
mencari-cari sekiranya roh Komar tersangkut di langit-langit, tapi
sekadar me?nemukan rantang air sisa mengompres dahi Komar
semalam, bubur tim tak lumat, pisang ambon tak tersentuh dan
teh manis yang meragi, di atas meja tepi ranjang.
Itulah anak perempuan yang sepanjang hidupnya, kini de?lapan
belas tahun, bahkan lupa diberi anting-anting. Di telinganya tak
lebih tergantung gulungan benang kasur, berjaga lobang tindik
tak merapat, siapa tahu kelak ada dua-tiga gram batang emas.
Memang benar Komar pernah ajak Mameh kecil tamasya di laut,
dan dengan pongah ia mengajari gadis itu cara bikin istana pasir.
Juga betul, Komar pernah suruh Mameh pergi ke tukang jahit
guna pesan baju Lebaran, dan satu masa pernah juga menggiringnya melihat Pandawa Lima di bioskop. Berani bertaruh, ketika ia
mati, tak satu pun itu dikenang Mameh, dan Komar yang tamat
tahu itu.
Lamat-lamat suara muadzin datang dari surau di sisi timur
rumah Anwar Sadat, parau milik Ma Soma, disusul suara pintupintu rumah tetangga yang terbuka, kunci-kunci diputar atau
selot ditarik, dan ditutup kembali, dan suara-suara sandal diseret
se?panjang gang kecil menuju surau, digonggongi anjing-anjing
kam?pung yang terganggu dari tidur nyenyak, dan ayam-ayam
jago mengepakkan sayap sebelum kukuruyuk dalam empat nada,
yang terakhir panjang melenguh. Mameh pergi ke biliknya, di
sana ia tidur dengan ibunya, menggugah perempuan itu memberitahu, "Ayah sedang mati." Ibunya bangun dan memastikan
lakinya sungguh mati, sewajarnya, dan tidak karena dicekik anak
perempuannya.
Tapi selepas itu Nuraeni, perempuan ini, malahan pergi
ke dapur dan duduk di bangku kecil menghadapi kompor
dan bergumam sendiri, atau bicara dengan kompor dan panci
sebagai?mana biasa. Perempuan ini rada sinting, paling tidak
begitulah pikir anak perempuannya sendiri. Mameh hanya
mengikutinya ke dapur, berdiri di ambang pintu, memandang
keremangan dan menanti, sebab ia sendiri tak tahu apa mesti
dibikin menghadapi ayah yang mati. Ia berharap Margio segera
datang dan membebas?kan mereka dari kebingungan ini, atau
mereka berdua akan mem?biarkan Komar bin Syueb terus
berbaring di tempat tidurnya sam?pai membusuk.
Dalam keheningan itu, Mameh mendengar semacam isak
tangis, sedu kecil, tak meragukan itu datang dari mulut ibunya,
di tengah gumaman tak ada makna. Betapa mengejutkan itu bagi
Mameh, menyadari perempuan ini bisa bersedih pada suami
yang sepanjang hidupnya dihabiskan untuk memukuli dirinya,
untuk salah ini dan salah itu dan tanpa salah sama sekali. Mameh
cukup yakin, jika ibunya bersedih, itu bukan karena ia mencintai
Komar, tapi disebabkan oleh kebiasaan hidup bersamanya,
semenderita apa pun.
Piaraan Komar yang tersisa mulai ribut di pekarangan,
me?minta jatah pakan pagi hari mereka. Semenjak Komar
sekarat, tak ada lagi sayur busuk dan dedak bagi makhlukmakhluk malang itu, dan Mamehlah yang kemudian ambil alih
mengurus me?reka, hanya memberi apa yang bisa ditemukannya
tersisa di da?pur. Kini kalian ditinggal mati tuan agung ini,
pikirnya, dan nanti sore barangkali menyusul untuk selamatan,
seandainya seseorang berharap memberinya doa. Mameh akan
merasa senang untuk memenggal leher mereka, sebagaimana
berkali dilakukan Margio diam-diam.
Tangis itu masih berdengung dari dapur, dan Mameh masih
berdiri di ambang pintu, serasa adegan sandiwara yang kehabisan
kata-kata. Mameh hendak mengusik ibunya, memaksanya untuk
berbuat sesuatu, tapi dipikirnya kemudian, pasti perempuan
ini sama tak tahu apa mesti dibuat. Maka Mameh menyalakan
lampu dapur, tombolnya ada di gudang beras. Sesungguhnya itu
bukan gudang beras, hanya terdapat peti besar tempat pepaya
dan pisang kadang diperam, dan selebihnya tak lebih dari dua
atau tiga kilo beras yang dibeli Komar dari pasar selepas ia
membabat rambut orang. Di bawah cahaya benderang, dengung
tangis Nuraeni terjeda sejenak, namun tanpa bergeming ia
melanjutkan karnaval kesedihannya, memunggungi Mameh
menancap ke raga kompor.
Mencoba menyibukkan diri dan berpikir barangkali dengan
cara itu segalanya berjalan begitu saja, Mameh mengambil
panci teman ngobrol Nuraeni dan mengambil air dari sumur.
Dinyatakannya sumbu kompor, dan api yang merayap naik semakin menambah tampak wajah sembab ibunya, tiba-tiba merosot
begitu tajam menjadi boneka kecil yang diremas lumat, lebih pasi
dari si mayat sendiri. Mameh bertanya-tanya, seduka itukah yang
dirasakan ibunya, sebab dirinya sendiri jauh lebih merasa riang
daripada sedih atas berita ajal Komar bin Syueb, sambil meletakkan panci di atas kompor menjerang air, sebagaimana akan ia
lakukan selepas membangunkan ayahnya setiap subuh.
Lama mereka tak bertukar kata hingga ia mendengar kembali
langkah-langkah kaki orang kembali dari surau, beberapa saling
bercakap, dan sempat terpikirkan untuk keluar menyambut mereka dan bilang Komar bin Syueb sedang mati, berharap mereka
akan datang dan memberi sedikit pertolongan bagaimana mesti
mengurus orang mati, tapi ia tak tahu bagaimana mengatakannya. Ia merasa jengah dan tak patut berkata, "Paman, ayahku sedang mati," sebab pasti mereka akan menemukan nada riang dari
kata-katanya. Mameh kembali diam hingga kaki-kaki para pejalan
lenyap di rumah mereka, berdiri di belakang ibunya, berharap
Nuraeni memberi sedikit gagasan, paling tidak menyuruhnya
mendatangi rumah seseorang untuk memberi kabar kematian
ayahnya. Ketika Marian mati, segalanya di tangan Margio. Seandainya ia tahu siapa yang harus dipanggil jika seseorang mati!
Suara-suara mulai datang dari kiri-kanan, di rumah-rumah
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tetangga, kala tungku dan kompor dinyalakan, dan anak-anak
membuang kencing di batang pohon pisang. Piring-piring kotor
berlabuh di tempat cucian, dan timba air dikerek orang dan bakbak mandi dipenuhi. Ada suara sepeda lewat, memburu pasar
menenteng keranjang-keranjang kosong, atau penuh jika ia seorang penjual, dan jauh di jalan, suara lonceng kuda delman
ber?dentang seirama dengan ketoplak sepatu besinya. Kembali
anjing-anjing menggonggong, sebelum berguling di tanah pasir,
melanjutkan tidur yang terpenggal. Di dapur mereka, hanya
suara air yang mulai menghangat dan guncangan bahu Nuraeni
yang tak ada henti.
Inilah perempuan yang sekali waktu pernah ditunggangi
Komar bin Syueb dengan ganas, pikir Mameh.
Peristiwa itu telah jauh berlalu, tapi Mameh tak akan pernah
melupakannya, terjadi di suatu malam yang dingin, membikin
tubuh menggigil dan sepanjang malam ingin kencing. Rasa pejal
yang harus ditahannya tak lagi mampu membendung bah dalam
perutnya, membikin Mameh beranjak dari tempat tidur dan tak
menemukan ibunya. Ia pergi ke kamar satunya, dan di sana ia
hanya menemukan Margio tidur lelap serupa bangkai. Malam
itu demikian kelam bikin Mameh tak ada nyali pergi ke kamar
mandi seorang diri, tapi tidur Margio yang sentosa menghalangi
Mameh untuk membangunkannya. Sambil bertanya-tanya ke
mana ibu dan ayahnya, Mameh merayap menuju dapur yang
gelap meraba-raba tombol lampu di gudang.
Malam itu Mameh tak pernah menyalakan lampu. Gudangnya
diremangi oleh lampu teras tetangga yang menerobos kisi-kisi,
dan di atas peti ia melihat dua sosok saling bergumul sama-sama
telanjang, serupa pacuan kuda. Ia pernah melihat pacuan kuda
sekali waktu, pada suatu Minggu di kebun kelapa, dan kala ia
melihat bayangan di atas peti, gambar pacuan kuda berkelebat
di benaknya. Di sana Nuraeni menungging, serupa kuda, dan
Komar bin Syueb menyodok dari belakangnya. Mameh bisa melihat bokong Komar yang mengguncang ganas, dan setiap guncangan disusul lenguhan Nuraeni serupa sapi yang digorok leher.
Itu juga datang berkelebat, sebab Mameh pernah lihat leher sapi
digorok di Hari Kurban.
Nyaris itu bikin ia ngompol sungguhan di tempat, melihat
tubuh yang banjir peluh dan mendengar ibunya merintih sekarat
disodok Komar dengan ganas. Ia merayap ke kamar mandi, menumpahkan isi perutnya, kembali ke biliknya tanpa kehendak
menoleh ke gudang beras, dan tak bisa tidur setelahnya, takut
ibunya mati ditunggangi ayahnya di atas peti. Bertahun-tahun
selepas itu ia masih akan mengenangnya, melihat roman ibunya
dengan tatapan sedih, dan memandang ayahnya dengan satu
perasaan jijik tertentu.
Hal ini ditambah-tambah oleh peristiwa kamar mandi.
Tempo itu Mameh baru berumur empat belas, tengah gelo
dengan gumpalan daging yang, "tiba-tiba menyodok di dadaku,"
katanya. Gumpalan itu membuncit, ranum dan kemilau serupa
balon baru diembus, kemerahan dengan kuncup warna cokelat.
"Hendak melesat bagai pelor," Mameh menggambarkannya
dengan lebih tepat, bibirnya cemberut, sedikit rasa sebal pada
tubuh yang tak tersembunyikan itu. Ia jadi gelo sebab banyak
lelaki suka lirik tonjolan itu, terutama jika lubang kancingnya
ter?kuak, meski sedikit saja. Setiap pagi, keduanya menggeliat
semakin menggelembung, dan Mameh semakin gelo, serasa
mereka hendak pergi tinggalkan dirinya.
Sebaliknya, hal itu berbeda di kamar mandi. Mereka memajang
pengilau akbar di atas bak mandi, serasa jendela ajaib melihat
dunia kembar, sisa kaca lemari yang pecah diterjang kucing. Separuh waktu mandi Mameh diboroskannya untuk berdiri telanjang mengagumi potongannya sendiri, dengan dada bengkak
itu, dan Mameh serasa lengkap jadi perempuan. Ia suka daging
pejalnya, memujanya, mencungkupinya dengan genggaman
tangan, mengukur pertumbuhannya dari waktu mandi ke waktu
mandi lain, kadang mengguncangnya sedikit, bertanya-tanya apa
isi di dalamnya, serta didorong kekaguman melihat perempuan
dewasa yang berjalan dan memperlihatkan dada yang bergoyang
terguncang-guncang. Dadanya masih mungil, tidak bergoyang,
maka ia mengguncangnya dengan tangan, begitulah.
Sesungguhnya ia berdiri di suatu dunia kecil yang rawan, sebab
pintu kamar mandi tak terkunci, selotnya hilang entah. Semua
orang selalu ingat akan beli selot baru kala mandi, lalu alpa
setelahnya. Satu-satunya pertanda kamar mandi berpenghuni
adalah gebyur air. Kala itu Mameh belum menyentuh air,
masih melayari gundukan dadanya dengan telunjuk, merasakan
kegeliannya sendiri, waktu pintu terkuak mendadak, merekah
dan menghentikan waktu.
Komar bin Syueb berdiri di sana, mengenakan kolor dan singlet, rokok lintingan mengepul di mulut, tangannya menggenggam erat tali kolor menangkalnya merosot, serupa monumen
yang telah ada sejak berabad-abad. Mameh memekik, sejenak
mengambang dan melayang, sebelum ambruk jongkok dan
mengu?burkan wajah di celah kedua lutut. Mameh selalu berpikir
momen itu sangat lama, meleret hingga lebih lama dari hidupnya
sendiri. Tanpa mengangkat wajah, Mameh tahu Komar bin
nutup kembali pintu, gontai berlalu dengan kaki
Syueb memengangkang menahan beban kotoran yang hendak menjebol,
tak ada sepatah kata jua dari mulutnya, meninggalkan Mameh
yang mendadak ngompol.
Kini ayah tahu dadaku monyong, dan ada belukar di kemaluan, pikirnya. Komar bin Syueb telah membongkar semua rahasia anak gadisnya. Sepanjang tahun-tahun yang kemudian
berlalu, Komar tahu Mameh berharap ia melupakan perisiwa
dra?matik tersebut. Komar tak pernah lupa, entah kenapa, dan
Mameh tahu ia tak lupa, dengan keyakinan tertentu. Hari-hari
pertama, Mameh menyingkir tak hendak bersua dengannya,
dan Komar mesti geletakkan uang logam jajan sekolah di meja.
Bagaimanapun ia tak ada maksud memergoki tubuh bugil anak
perempuannya, tak peduli setan dan iblis sering merasuki dirinya,
tapi Mameh pasti berpikir serasa dicabuli ayah sendiri. Dan
dicabuli ayah sen?diri tidaklah menyenangkan, membikin Komar
bersiap suatu masa Mameh akan mencabiknya pakai pisau dapur.
Hari demi?kian tak pernah datang, dan sebagaimana Margio,
Mameh tak cabut nyawanya, malahan urus tubuh sekaratnya.
Maka kematian Komar membangkitkan rasa senang pada Mameh, rasa senang yang bagi dirinya sendiri aneh. Rasa senang
itu semestinya datang pula pada Nuraeni, dan barangkali dengan
tangis mengguncang kecil itulah ia merayakannya.
Pagi telah datang dan keduanya masih mengabaikan mayat
yang terbaring kaku di tempat tidurnya, masih mengurung di
dapur, kadang bergerak sedikit melepas pegal. Air telah mendidih
memancarkan bunyi desing nyaring, dan Mameh telah mengentaskannya, mematikan kompor. Semestinya ia menanak nasi, tapi
melihat Nuraeni tak pula beranjak dari bangku di depan kompor
itu, membikin nafsu Mameh untuk memasak jadi rontok.
Di luar anak-anak sekolah telah lewat dan semesta menjadi
hangat, penuh nyanyian dan polah, hanya di dalam rumah kesuraman makin menjadi-jadi oleh pintu-pintu yang masih tertutup, dua perempuan yang semrawut tak cuci muka sejak subuh,
dan tak ada kehendak mandi. Waktu serasa berhenti di sana,
Mameh kembali bersandar ke tiang pintu, sementara Nuraeni
telah berhenti dari tangis, namun tetap tak beranjak, dan bau
kematian mulai menguap bersama udara panas yang datang, menerobos langit-langit yang bolong, dan kisi-kisi dan celah dinding
bilik.
Hari telah pukul satu, sekonyong-konyong, ketika Mameh
masuk ke kamar mandi membuang kencing, kemudian tanpa
sadar melangkah membuka pintu, membiarkan cahaya siang menerobos dapur membuat silau mata keduanya, lalu kakinya melangkah tanpa satu tujuan pasti, dengan hidung mengembang
menghirup aroma segar pekarangan yang rimbun oleh belukar
bunga. Di teras ia berdiri, dengan pakaian yang masih kusut dan
rambut tak terikat, sekilas menyerupai memedi sawah yang semalam dihantam badai menerjang-nerjang, hingga seorang lelaki
tetangga, Jafar, melangkah melewati depan rumah dan berhenti
memandang dandanan Mameh yang tak ada bagusnya. Mereka
saling memandang, Jafar melihatnya dengan tatapan ajaib serasa
gadis itu kehilangan kewarasan, sebab matanya kosong tak ada
binar.
"Kenapa kau, Nak?" tanya Jafar.
Entah dari mana datangnya suara itu, Mameh sendiri tak
sungguh-sungguh bermaksud mengatakannya, "Ayahku mati dan
sedang membusuk."
Sejenak Jafar mengabaikan kalimat tersebut, sebelum menyadari maknanya. "Demi Tuhan, telah berapa minggu?"
"Tadi malam."
Demikianlah seseorang akhirnya mengambil urus mayat itu,
belum sungguh-sungguh membusuk, tapi telah lembek dan bau
lembab. Jafar memberitahu Kyai Jahro dan beberapa tetangga berdatangan selepas Ma Soma kasih tahu mereka dengan pengeras
suara surau. Seseorang menggotong dipan dan mempersiapkan
berember-ember air, dan Komar bin Syueb dimandikan dengan
segera. Penggali kubur datang tergopoh membawa galah lentur
dari bambu, mengukur tubuh Komar dan pergi lagi selepas meminta sebatang rokok pada sang kyai. Mameh telah berpesan
kepadanya untuk buatkan kuburan di samping Marian, mewantiwanti untuk tak mengabaikan kehendak tersebut.
Bahkan sepanjang kesibukan orang keluar-masuk rumah
menenteng mayat Komar bin Syueb ke teras, ke sumur, ke surau,
Mameh dan Nuraeni masih sebagaimana sedia kala, memandang
linglung pada semua itu. Mameh barangkali sedikit waras, ia
bicara pada beberapa orang, menemui beberapa pamannya,
meski tak juga mengurus diri, paling tidak menyisir rambut dan
meng?ganti pakaian, jika tidak mencuci muka dan pergi mandi.
Nuraeni, sebaliknya, masih duduk di dapur, menyadari semakin
dekat waktu Komar dibenamkan ke tanah, ia kembali duka dan
se?senggukan. Tak ada orang yang mengganggunya, mengetahui
ketidakwarasan jiwanya yang tak disangka-sangka, dan membiarkannya sesuka hati, kecuali ia memaksa ingin ikut dikuburkan.
Itulah kala Margio kemudian datang, dengan rona wajah
yang cemerlang seolah seluruh cahaya berasal dari dirinya.
Semua orang bisa menangkap kesan terbuka bahwa ia senang
dengan kematian ayahnya, meski ia kemudian mengambil alih
pemakam?an itu, menyisakan dirinya sebagai anak tahu diri, dan
ikut ke surau untuk beri salat jenazah. Mameh memetik bungabunga yang tumbuh di pekarangan, seluruhnya punya Nuraeni,
dan tampak jelas ibunya tak suka dengan apa yang ia lakukan,
perempuan sinting ini dengan cara aneh memperlihatkan
kedukaan sekaligus ketidaksudian bunga-bunga dipetik untuk si
orang mati yang adalah suaminya. Tapi Mameh tak peduli, terus
memetik dan mengumpulkan bunga-bunga di keranjang.
Keranda mulai datang dari surau, Komar bin Syueb telah
berbaring di dalamnya, diselimuti kain keemasan dengan
rumbai-rumbai perak, bertuliskan kalimat syahadat. Kyai Jahro
memimpin doa di depan, dan iring-iringan orang mengekor di
belakang, sedikit saja, sebagian besar kawan Margio yang baru
turun dari gunung berburu babi, tak memedulikan pakaian
me?reka yang berlepot lumpur. Margio ada di antara mereka,
persis di samping keranda ayahnya, menabur bunga yang dipetik
Mameh sepanjang perjalanan. Komar bin Syueb akan dikubur di
permakaman umum Budi Dharma, berteman kamboja dan cempaka, ditunggu dengan penuh marah si kecil Marian.
Mereka telah pergi, dan rumah itu kembali hening, hanya doa
yang lamat-lamat menghilang menjauh, meninggalkan Mameh
dan Nuraeni kembali dalam kebisuan mereka. Nuraeni telah
beranjak dari dapur, tampaknya ia merasa lapar dan pegal, tapi
tak ada makan tersedia bagi mereka, menyeretnya berjalan ke
ruang tengah, menggelosor ke teras memandang pekarangan
dengan bunga-bunga kesayangannya telah lenyap, duduk di
bangku tempat Komar tadi dimandikan. Mameh mengikutinya
dengan mata, masih terbayang wajah menyedihkan yang hampir
mati disodok kemaluan lakinya di atas peti dan melenguh serupa
leher sapi digorok, dan tiba-tiba pikiran itu meletup di kepalanya.
Mameh berjalan menghampirinya, dengan suara tajam berkata.
"Ada baiknya kau kawin lagi, Bu."
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nuraeni tersentak dan tangannya deras menampar anak perempuannya. Mameh mengelus pipinya, panas dan pedas.
Tiga
Mereka datang ke 131 kala Margio masih tujuh tahun dalam satu
perjalanan yang kelak sering disebut Margio sebagai "Tamasya
Keluarga Sapi". Mereka menempuh tiga jam perjalanan dramatik,
ke sebuah tempat yang disebut-sebut Komar bin Syueb sebagai
"rumah milik sendiri", menempuh jalan koral yang di banyak
tempat menjelma kubangan kerbau dan mereka harus melaluinya
serupa orang-orang Yahudi melintasi Laut Merah, sebagaimana
kemudian kadang diceritakan Ma Soma di surau selepas mengaji.
Keluarga itu berjejalan di atas gerobak yang ditarik dua ekor
sapi gemuk, gerobak dan sapi itu dipinjam cuma-cuma dari pemilik penggilingan padi, dan dari sanalah sebutan itu datang, dan
Komar bin Syueb sesungguhnya telah bertindak bijak untuk tidak
menyewa truk yang akan menguras banyak isi pundinya. Lelaki
itu duduk di kursi kemudi, menggenggam tali kekang yang menggelayut nyaris tak ada guna, tangan lain mengacungkan cambuk
penuh nafsu, juga tak ada guna sebab tak pernah bisa membikin
kedua sapi itu melangkah lebih kencang. Di sampingnya duduk
Nuraeni memangku si kecil Mameh, terbenam di balik kerudung
hijau tua bermotif bunga perak, berkali-kali harus menenangkan
kedua anaknya yang terus mengeluh atas perpindahan mereka.
Margio sendiri duduk terguncang-guncang di atas gulungan
kasur, menahan panci dan ember tidak hengkang, dan sekali
waktu satu guncangan batu bisa juga membikin benda-benda
terlompat, hingga Margio harus turun memungutinya sementara
gerobak terus bergerak, berlari mengejarnya, melemparkan
benda-benda terjatuh, dan dirinya sendiri naik kembali untuk
duduk dan kadang berbaring melihat elang terbang jauh di langit
yang biru.
Sesungguhnya ada jalan pintas berupa jalan raya beraspal
yang membujur sepanjang tepi pantai, tempat bis dan truk lewat,
na?mun Komar bin Syueb khawatir sapi-sapi ini terganggu atau
mengganggu mereka. Maka ia menempuh perjalanan sesat, melintasi bukit-bukit kecil dan memotong sawah, menelusuri perkampungan dengan rumah-rumah yang berderet di bawah rumpun bambu dengan perempuan-perempuan menjemur padi di
pekarangan rumah dan para lelaki mencari kayu bakar. Di setiap
kampung terlewati orang-orang berhenti dari polah mereka dan
memandang takjub pada tamasya yang lewat, membuat Nuraeni
semakin menenggelamkan diri di balik kerudungnya, namun
tak membikin Komar bin Syueb kehilangan muka, malahan
menyapa mereka dan jika seseorang bertanya mau pindah ke
mana, tanpa ragu ia menyebut tujuannya.
Margio tak peduli dengan anak-anak yang bertelanjang kaki
dan dada yang berdiri di pinggir jalan memandang mereka, lebih
sibuk membacai gambar umbul di tangannya, memindai dengan
baik mana Arjuna dan mana Karna, dan mati-matian berusaha
membedakan Nakula dan Sadewa, dan hanya terganggu jika poci
atau tas pakaian yang tak terikat betul terlempar sejenak setelah
roda gerobak menghantam batang pohon yang rebah, atau
batu sebesar kepala yang suatu ketika konon dilemparkan jauh
dari gunung meletus. Ia masih tak rela untuk pergi dari tempat
me?reka selama ini, dengan teman-teman bermain adu gambar
dan kelereng dan layang-layang dan berburu jangkrik. Tak ada
jaminan di tempat baru ia bakalan memperoleh teman-teman sebaik sebelumnya.
Mereka datang dari sepetak rumah yang berdiri di tepi perempatan jalan koral, seminggu sekali menjelma menjadi Pasar
Senin, sebab setiap Senin pagi akan dijejali pedagang-pedagang
yang meletakkan bakul-bakul di pinggir jalan, di teras rumah,
atau di tanah kosong sudut jalan yang lain. Mereka menjual
kelapa dan pisang dan pepaya dan singkong, beberapa menggelar
baju- baju cantik di kerangka kayu yang dipajang di sepeda
mereka, seorang nenek tua menjual bunga-bunga di tempayah,
dan ada pula orang menyeret sapi dan kerbau dan domba untuk
men?jualnya, dan ayam-ayam diikat kakinya bersama bebek, dan
berember-ember ikan dijual bersama lele. Perempuan-perempuan
datang untuk membeli, juga truk-truk kecil yang akan mengangkut kelapa dan pisang dan singkong dan pepaya hampir tanpa
sisa. Jika ada yang tetap bertahan di teras rumah di luar hari
Senin, itu adalah si tukang cukur Komar bin Syueb, berbekal
cermin besar dan kotak perkakas, serta meja tempat cermin
tersandar dan kursi tempat pelanggan duduk, juga paku tempat
handuk dan kain mori menggantung.
Rumah mereka sesungguhnya bukanlah rumah, awalnya tak
lain dari gudang kelapa. Di sampingnya, berdiri rumah gedong
agung, dengan kaca-kaca menyelimuti sekeliling rumah, dengan
lantai keramik gading yang terus berpijar sebab seorang pembantu
terus-menerus mengepelnya, dikelilingi kebun kecil yang rindang
oleh pohon jambu air, jeruk, dan mangga, dan hamparan kecil
tempat dua buah truk sering menginap. Suatu kali pemilik
gedong itu membikin gudang kelapa lebih besar, di belakang
pabrik minyak, meninggalkan istri dan anak-anaknya, dan gudang
ke?lapa yang menjadi kosong. Komar bin Syueb datang bersama
Nuraeni menempatinya, Margio masih meringkuk di perut ibunya, menyewanya seharga dua belas kepala di kursi cukur setiap
bulan, serta kewajiban untuk menjagai rumah besar tersebut bersama penghuninya.
Itu bukan rumah, sebab tak ada kamar kecuali kotak tembok
selebar dan sepanjang beberapa depa belaka. Mereka menggelar
kasur di ruangan itu, yang pada awalnya harus dibersihkan dari
serabut kelapa dan kalajengking dan kadangkala keluarga kepik
dan tikus, berjejalan dengan sepeda dan lemari pakaian dan tikar
untuk duduk-duduk. Tak ada dapur, hingga Nuraeni mesti meletakkan kompor dan rak piring dan ember-ember di teras belakang rumah, di bawah pohon melinjo. Ia harus melindungi kompor dengan papan kayu lapuk dari angin jahat yang menggodai
apinya, dan usai memasak ia akan membawa rantang dan mangkuk sayur serta bakul nasi ke dalam rumah, meletakkannya di
samping kasur dan di sana pula mereka makan. Juga tak ada
ka?mar mandi, maka setiap pagi dan petang mereka datang ke
rumah gedong, dan beruntunglah mereka memperoleh sendiri
kamar mandi dan kakus yang berbeda dengan istri serta anakanak pe?milik rumah. Margio dan Mameh lahir di sana, hidup
dengan cara demikian, dan tampaknya hidup cukup bahagia.
Di tahun-tahun terakhir, Margio beroleh kewajiban untuk
mengisi bak mandi sampai penuh, dan mengangkut tiga ember
air ke teras belakang tempat Nuraeni menjadikannya sebagai dapur, untuk air minum dan cuci piring. Ia melakukannya sebelum
berangkat sekolah, dan melakukannya lagi sebelum pergi
bermain layang-layang ke pesisir di sore hari. Ia punya banyak
teman di sekitar tempat itu, termasuk anak penjual es yang
berbaik hati sering memberinya es lilin, hingga mereka mesti
pindah ke rumah 131.
Pemilik gedong datang untuk membawa istri dan anakanaknya, dan ia menjual rumahnya beserta kebun jambu air dan
tentu saja gudang kelapa, hingga itu berpindah tangan. Komar
bin Syueb menjelajah daerah-daerah sekitar, hingga tersesat dekat
la?pangan bola, tak jauh dari rayon militer dan pasar kota, dan menemukan 131 tak lagi dihuni sepanjang delapan belas bulan terakhir. Ia bertanya dari satu manusia ke manusia lain, dari mulut
satu ke mulut lain, mencari pemiliknya yang tak lagi tampak
batang hidung, dan saat berjumpa, ia tak sulit betul memperolehnya, sebab si pemilik lama malahan berpikir itu akan ambruk dan
tak lagi ada guna. Ia pulang menemui keluarganya, berkata telah
menemukan rumah buat mereka, dan mesti pindah, tapi ia mesti
membujuk Nuraeni untuk menanggalkan cincin kawinnya, guna
membayar hunian baru mereka.
Tak mudah baginya meyakinkan anak-anak itu untuk pindah,
bahkan Nuraeni sendiri tampaknya enggan, tak peduli bertahuntahun mereka tinggal tanpa punya dapur dan kamar mandi. Tapi
Nuraeni bukanlah bocah kecil ingusan, ia menanggalkan cincin
kawinnya dan membiarkan Komar bin Syueb pergi ke pasar kota
untuk menukarnya dengan uang, dan uang itu ditukarnya kembali dengan rumah. Hal ini berbeda dengan Margio, yang berkalikali membujuk untuk tetap di sana, dan tak mau mendengarkan
satu penjelasan jernih bahwa pemilik baru rumah gedong tak berniat menyewakan gudang kelapa itu pada mereka, dan sebaliknya
hendak menjadikannya sebagai toko kelontong yang menjual
sikat gigi dan sabun dan gula-gula.
"Lagi pula," kata Komar bin Syueb, "kita akan tinggal di
rumah sendiri."
Margio tak terkesan oleh rumah sendiri. Pada umur tujuh
tahun, ia telah begitu populer di antara kawannya, yang mengajak
mereka pergi berburu belut di hari Minggu yang riang, menjualnya di Pasar Senin dan sisanya dimasak Nuraeni untuk makan
mereka. Ia juga pergi bersama anak-anak untuk cari kayu bakar di
perkebunan, masa itu perkebunan belum juga terbengkalai dan
ia harus punya nyali menghadapi mandor yang tak suka anakanak menjatuhkan pelepah-pelepah kelapa kering sebab itu bisa
bikin buahnya juga rontok. Kayu bakar itu dijualnya pula, sebab
ibunya tak pakai tungku, dan dengan itu ia bisa membeli kertas
dan benang layang-layang, dan kelereng. Jangan lupa ia pemilik
kandang-kandang jangkrik terbanyak di antara sebaya. Margio
kecil selalu berpikir ia memiliki segalanya, dan memandang
kepindahan mereka penuh kecurigaan akan mencerabutnya dari
itu semua.
Hingga sempat pula ia ngambek dan mengancam untuk tidak
ikut pindah, memilih tetap di sana walau mesti tidur di teras tetangga, atau gubuk di tengah kebun cokelat, sebelum Komar bin
Syueb menyeretnya ke pojok rumah dan memarahinya di sana,
mengatainya sebagai anak badung tak tahu adat, dan Margio
hanya diam, dan Komar bin Syueb menyuruhnya buka mulut,
dan ketika Margio hendak buka mulut itu dikira Komar bin
Syueb sebagai pembantahan, maka melayanglah tamparan pedas
ke wajah Margio. Romannya jadi merah, matanya berkaca-kaca,
tapi Margio tak pernah mengizinkan dirinya menangis, maka ia
hanya diam saja, dan sebab Margio terus membisu, Komar bin
Syueb mengambil rotan penggebuk kasur, dan membantingkan
itu ke betis anak lelakinya, bikin Margio oleng dan bersandar ke
dinding mengangkat sebelah kakinya. Bagaimanapun kemudian
Margio ikut serta pindah.
Demikianlah kemudian kasur digulung, diikat kencang dengan
tambang plastik, ditumpuk di atas gerobak sapi yang telah dialasi
tikar. Rak piring diikat di tepi belakang, sementara piring dan
gelas dimasukkan ke dalam keranjang dan diselimuti dengan
kain dan bantal. Perkakas cukur dilipat dan tertimbun di bawah
tas berisi pakaian mereka, kursi dan meja, juga ember-ember,
panci, kompor, dan baskom. Margio menyelipkan kandang-kandang jangkriknya, kotak kelerengnya, sementara gambar umbul
diikat karet terjejal di saku celana merah ati seragam sekolah yang
dikenakannya. Ia berdiri di sana, di tepi gerobak sapi, dengan
kemeja kehilangan dua kancingnya, rambut kaku kemerahan,
ber?sandal jepit beda warna, dan Komar bin Syueb menyuruhnya
segera naik, setelah pintu ditutup, dan kata selamat tinggal
diucap?kan.
Jika ada hari paling sedih dalam hidupnya, inilah hari itu.
Margio bisa melihat wajah ibunya yang enggan, menenggelamkan
diri dalam kerudung yang tak pernah dipakainya, duduk di samping Komar bin Syueb. Roman itu juga sedih, tapi Nuraeni
lebih banyak diam, dan Margio bertanya-tanya, manakah yang
mem?buatnya lebih sedih, kepindahan ini atau kehilangan cincin
kawin. Tadinya ia berharap ibunya bisa jadi sekutu, namun
melihatnya hanya membisu tak alang membuatnya jengah, dan
dengan murung ia naik ke atas gerobak dan duduk di atas kasur,
dilihat teman-temannya yang berdiri di teras, tempat bertahuntahun Komar bin Syueb mencukur orang.
Sesungguhnya perjalanan mereka tidaklah begitu jauh, menjadi lama karena kaki sapi yang melangkah lambat dan jalan
me?mutar yang dipilih, sebagaimana kemudian hari Margio bisa
datang menemui teman-temannya cukup berjalan kaki. Tapi
tetap saja bagi Margio itu serasa perjalanan jauh tak ada ujung.
Di atas kasur ia lebih banyak membisu, kadang-kadang telentang
memandang awan dan segerombolan kuntul, lain waktu
tertelungkup melihat jalan yang berkelok bergerak menjauh,
atau bertopang dagu melihat tamasya sawah dengan bau padi
me?nyengat. Nuraeni juga membisu, bahkan setengah tertidur,
seolah ini perjalanan penuh aib, dan setiap mereka berpapasan
dengan manusia, perempuan ini bergeming tak menoleh, bagai
pengantin baru menjaga harkat diri, memeluk anak perempuan
kecilnya yang tertidur pulas di bawah guncangan semena-mena,
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan ke?mudian hari Margio sering mengingatkannya betapa ia
beruntung telah tidur sepanjang perjalanan yang memalukan
tersebut.
Hanya Komar bin Syueb duduk dengan dada tegap, kadang
menyanyikan kidung menghibur diri sendiri. Kadang mereka beristirahat jika terlihat kedua sapi telah lelah, dan membiarkan mereka buang kotoran semau-mau, sementara para penumpang ambil minum dan memakan pisang serta kerak nasi yang digoreng.
Mereka mulai masuk ke jalan beraspal ketika Komar bin Syueb
berkata sebentar lagi hendak sampai, meninggalkan jejak lumpur
dua garis sepanjang petilasan roda gerobak yang terbuat dari kayu
dengan pelapis karet tebal bergerigi. Mereka telah sampai di kota,
untuk menyebut daerah pinggiran dengan rumah-rumah cantik
yang berderet sepanjang jalan. Tak satu orang pun pernah melihat
rumah mereka yang baru, tapi demi melihat rumah-rumah cantik
itu, dengan pagar berwarna mengilau berhias besi-besi kecil serta
lampu neon dan kotak pos, tak alang bikin Margio bersemangat.
Ia melirik ibunya, berharap hasrat menyenangkan itu bisa dibaca
di sana, tapi Nuraeni tetap mengubur diri. Margio tak memedulikannya lagi, melihat orang-orang di teras rumah mereka yang
penuh kaca dengan tanaman kuping gajah digantung di pot dan
anggrek menempel di tiang. Ia bertanya-tanya, di rumah mana
mereka akan berhenti.
Bagaimanapun mereka tak berhenti di salah satu rumah cantik
sepanjang jalan itu, malahan berbelok masuk gang kecil yang
ham?pir tak dapat dilalui gerobak mereka sampai Margio mesti
menarik rak piring yang terjulur menghalangi dan membenturbentur pagar rumah orang. Di sana gerobak berjalan lebih pelan,
lebih terguncang, melewati gubuk-gubuk yang berjejalan, dan
kebun-kebun tak terawat, tersembunyi di balik rumah-rumah
riang yang baru lalu. Hingga mereka berhenti di sebuah tanah
lapang, tepat di bawah pohon randu yang baru merontokkan
bunga-bunganya. Di hadapan mereka teronggok 131.
"Inilah rumah itu," kata Komar bin Syueb, tak tersembunyikan
rasa senangnya, yang tak beroleh tanggap dari Margio maupun
Nuraeni. Mameh bangun dari tidur panjangnya.
Rumah itu sedikit lebih besar dari rumah lama mereka, pasti
ada kamar tidur dan dapur dan kamar mandi. Panjang dan lebarnya tak lebih dari tujuh depa, menurut Margio, satu badai laut
yang jahat cukup untuk membuatnya lenyap, dan satu buah kelapa jatuh menimpanya, cukup untuk bikin itu ambruk. Sekilas
orang bisa melihat kemiringannya ke sebelah timur, meskipun
memang tampaknya tak akan roboh begitu saja untuk tahuntahun yang akan datang. Tampak redup dan bau mati, lembab,
dan sengsara. Atapnya genting tanah merah yang telah kusam,
hitam oleh lumut yang terpanggang terik siang dan terendam
hujan, Margio berani bertaruh banyak lubang yang akan bikin
air menggelosor ke tengah rumah. Dindingnya tak lebih dari
bilik bambu, disebabkan musim yang datang dan pergi, telah
meng?gelayut ke luar dan ke dalam, bergelombang tanpa aturan,
dengan pulasan kapur yang telah rontok membuat penampang
irisan bambunya telanjang.
Komar bin Syueb membuka kunci gembok yang tergantung
di pintu, sementara yang lain berdiri di belakangnya, terpukau
oleh harta karun yang mengecewakan ini. Pintunya rada sulit
di?buka, barangkali telah memuai hingga ketika mereka berhasil
membukanya, pintu itu dengan keparat tak lagi mau tertutup
dengan sempurna, sebagaimana juga berlaku dengan jendelajendela. Pedalamannya gelap sebelum cahaya menerobos dari jendela, bau busuk oleh sampah yang tertinggal delapan belas bulan,
penuh sarang laba-laba, tikus yang berlarian mendengar langkah
kaki, codot yang terusik dan berputar-putar di ruangan, sebelum
berhasil memperoleh celah untuk kabur. Bau kotoran codot dan
tokek memaharaja menguap bersama udara yang mencoba mengalir lamban.
Lantainya tak lebih dari tanah lembab, benar kata Margio,
disebabkan air hujan yang terjun bebas ke tengah rumah,
bergerinjul tak nyaman di kaki. Mereka tak mungkin menggelar
tikar dan kasur di lantai sebagaimana di rumah sebelumnya, dan
harus bersiap dengan ranjang.
"Tak adakah yang lebih remuk dari ini?" Untuk kali pertama,
Nuraeni buka mulut,
"Jangan cerewet, remuk-remuk ini rumah sendiri," kata
Komar.
Itu benar. Semestinya Nuraeni mengerti dengan cincin kawin
emas seberat enam gram tak banyak yang bisa mereka peroleh.
Rumah ini milik mereka, meskipun tidak termasuk tanah tempatnya berdiri.
Sepanjang minggu mereka membersihkannya, mengusir
sarang laba-laba dan menangkapi tikus-tikus yang beranak-pinak
di lubang-lubang yang segera mereka timbun. Komar bin Syueb
meminjam cangkul dan meratakan permukaan lantai serta
mem?bersihkannya dari beragam kotoran binatang, dan bersama
Margio naik ke atap rumah untuk membetulkan genting yang
sengkarut diterjang angin dan kaki merpati. Rasa dongkol
Margio semakin bertambah-tambah, tapi tak banyak yang bisa
diper?buatnya kecuali mengikuti keinginan ayahnya, atau rotan
pemu?kul kasur itu kembali bakal menghajarnya. Mereka juga
harus memangkas pakis dan jamur, dan membabat belukar
dadap di belakang rumah di samping sumur.
Beruntunglah mereka punya sumur, meski harus membersihkannya pula dan memasang tali timba. Kamar mandinya merupakan yang termewah di rumah itu, dibuat dengan tembok
beralaskan pecahan ubin keramik, dengan kakus yang mampet
dan butuh waktu sebulan untuk membuatnya bisa dipakai,
dan selama itu mereka harus buang kotoran ke kebun cokelat
atau ke parit kecil di belakang pabrik batu bata. Kamarnya ada
dua, Komar mendatangkan ranjang kayu suatu pagi, satu kamar
untuknya dan Nuraeni dan si kecil Mameh, dan yang tersisa
untuk Margio seorang diri, sebelum kelak kepemilikan kamarkamar itu berubah, saat satu kamar untuk Nuraeni dan Mameh,
yang tersisa untuk Komar bin Syueb, dan Margio tergusur ke
dipan di ruang tengah, atau pos ronda, atau surau, atau warung
Agus Sofyan.
Tanahnya sendiri milik nenek tua bernama Ma Rabiah, yang
sebagaimana Kasia istri Anwar Sadat, ia memiliki tanah-tanah
yang menghampar melewati tapal batas desa-desa. Rumah 131
menumpang begitu saja, juga rumah-rumah di sekitarnya, kecuali
rumah-rumah sepanjang pinggir jalan yang berhasil membeli
tanah-tanah mereka dari pemilik sebelumnya. Itu adalah masamasa ketika banyak keluarga datang dan pergi menenteng
kerangka-kerangka rumah, serasa semua itu bisa dilipat dan
dimasukkan ke dalam karung. Kerangka-kerangka kayu tersebut
datang dengan truk, diturunkan di sebuah tanah kosong,
beberapa bahkan tak pernah bilang pada Ma Rabiah hingga sang
pemilik melihatnya telah berdiri dengan dinding bercat putih dan
pekarangan berhias melati cantik. Hingga ketika pemilik rumah
memutuskan untuk pindah lagi, ia akan membobol dinding bilik
bambunya, menggulungnya, dan menenteng kembali kayu-kayu
rangka rumah, kemudian seseorang datang dan menggantikan
tempatnya.
"Di sinilah kita tinggal, menunggu Ma Rabiah mengusir dan
kita mesti melipat semua ini," kata Nuraeni tak lama selepas
mereka membersihkan rumah dengan sia-sia.
Sepanjang sejarahnya, Ma Rabiah tak pernah mengusir seorang
pun, mereka sendirilah yang datang dan pergi. Bahkan nenek tua
itu tak pernah pula memungut sewa, atau minta bantuan untuk
pajak, kecuali datang menemui mereka untuk bicara hal-hal
lain dan tertawa terkekeh-kekeh dengan perempuan-perempuan
dan pulang kembali ke rumahnya. Ia nenek tua baik hati, janda
seorang veteran, dan satu-satunya ikatan di antara mereka
sebagai pemilik tanah dan para penumpang hanyalah kalengkaleng biskuit yang dikirimkan para pemilik rumah ke ruang
tamunya setiap hari Le?baran tak peduli Ma Rabiah tak pernah
memintanya, dan belakangan tak pernah pula memakannya
sejak kehilangan banyak gigi.
Jauh bertahun-tahun sebelumnya, kala tempat itu masihlah
belukar raya kecuali sepanjang pantai yang ditinggali para nelayan, tanah-tanah itu barangkali tak bertuan sama sekali, sebab
para perompak pun enggan menjadikannya sarang, hingga datang segerombolan pendatang dari timur yang membuat patokpatok dan membagikannya di antara mereka. Orang-orang inilah,
konon dua belas lelaki yang datang menunggang keledai, gagah
berani mengusir babi-babi dan ajak menjauh, yang pertama
membikin rumah-rumah dan ladang-ladang, tuan atas tanah
yang menghampar dengan batas tak terjangkau pandangan,
memukau para nelayan dan penghuni sebelumnya yang lebih
banyak berkerumun sepanjang sungai-sungai. Mereka membabat
belukar, menanam padi, dan dikenang sebagai leluhur kota.
Mereka mendatangkan perempuan-perempuan cantik dari
desa-desa sekitar, atau dari kampung-kampung nelayan, mengawininya dan beranak-pinak, mewarisi tanah-tanah tersebut,
ladang-ladang dan sawah-sawah dan kebun kelapa. Di antara mereka, satu keluarga melahirkan Ma Rabiah, dan keluarga lain menyisakan Kasia, serta beberapa yang lain pula. Kasia datang dari
generasi keempat tukang patok itu, sementara Ma Rabiah konon
datang dari generasi ketiga, meskipun begitu, apa yang dimilikinya nyaris tak terhitung dan terpetakan juga, meski ia telah membaginya di antara saudara-saudara sepupu. Ketika Komar bin
Syueb datang dan menumpang, patok-patok itu konon masih
ada sebagaimana patok-patok pertama dulu ditancapkan.
Si gadis Ma Rabiah kawin dengan seorang prajurit di masa
awal republik, dan keduanya hidup cukup makmur tanpa harus
memiliki tanah-tanah tersebut, ditopang oleh penyelundupan
ter?buka yang diurus militer kota sepanjang tahun-tahun revolusi
dan setelahnya sebagaimana bisa ditanyakan kebenarannya pada
Mayor Sadrah. Demikianlah kemudian tanah-tanah itu jadi terbengkalai di tangan kedua orang yang tak peduli dan barangkali
tak ingat pernah memilikinya, mengembalikannya menjadi belukar raya di mana kaso dan alang-alang tumbuh liar, hingga
orang-orang berdatangan di masa kota menemukan bentuknya,
dan melihat tanah-tanah kosong itu penuh tanda tanya. Mereka
mendatangi rumah Ma Rabiah, berharap menyewa atau membeli,
namun karena Ma Rabiah tak membutuhkan uang macam apa
pun, ia malahan menyuruh mereka untuk menempatinya begitu
saja. Hanya beberapa pemilik rumah di sepanjang jalan bersikeras
membayar, sebab mereka tak ingin terusik dan terusir, dan tentu
saja punya uang untuk itu.
Mereka, Ma Rabiah dan suaminya, beroleh delapan anak lakilaki dan perempuan, yang dikenal orang kota atas naluri usaha
mereka yang tanpa ampun. Salah satu dari merekalah yang pertama kali mendatangkan bioskop dengan film yang diputar setiap
hari, tiga kali dalam satu hari, tanpa libur. Salah satu dari mereka
pulalah yang belakangan membuka toko donat, dan memamerkannya sebagai donat nomor satu di dunia. Yang lain membikin
pabrik udang, tepatnya memborong udang dan ikan dari seluruh
nelayan sepanjang separuh pantai selatan untuk menjualnya kembali ke negeri-negeri pemakan udang, dan orang-orang menyebut
bak penampungan serta lemari es raksasanya sebagai pabrik. Mereka hilir mudik di jalanan dengan mobil gemerlap, pujaan kota,
sekaligus malapetaka bagi para penumpang di tanah ibu mereka.
Tak lama selepas kematian ayahnya, anak-anak itu mulai ribut
soal tanah warisan, tak peduli tanah-tanah itu milik ibu mereka,
dan Ma Rabiah masihlah hidup dengan bugar. Anak sulung
mengusir sebuah keluarga yang telah tinggal di sana sepanjang
delapan belas tahun, bergeming oleh permintaan penundaan
sementara pemilik rumah meminta waktu untuk mencari
tempat pindah, sebab ia hendak mendirikan pabrik es di sana,
dan si pe?milik rumah harus membongkar rumahnya dan pergi
entah. Polah si sulung membikin sirik adik-adiknya, dan mereka
mengusir be?berapa keluarga lain, mendirikan toko dan pabrik
dan kolam ikan atau bahkan membiarkannya menjadi sarang
demit. Mereka mem?bikin patok-patok baru, membagi-bagikannya
di antara mereka sendiri, tanpa bicara dengan ibunya.
Meskipun tak pernah terungkap dengan kata-kata, Ma Rabiah
bisa melihat wajah-wajah cemas melekat di roman orang-orang
itu. Ia sering berjalan-jalan menelusuri kerajaannya tersebut, singgah dari satu pondok ke gubuk lain, berbincang-bincang dengan
mereka, dan mulai mencemaskan pula kelakuan kedelapan anak
tak tahu diuntung itu. Ia menegur mereka atas segala polah
meng?usir orang tanpa bincang kepadanya, tapi mereka lebih
keras ke?pala dari setan dan dari yang dibayangkannya, tak hanya
tak membalas teguran, malahan menjawab itu dengan berkali
pengusiran lain.
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sakit hati pada bocah-bocah itu, ia mulai berpikir mencari
cara untuk tak memberi mereka apa pun yang dimilikinya.
Kepada beberapa orang, tanpa canda ia berkata, "Carikan aku
cara men?cabut mereka sebagai ahli warisku."
Gagasan itu datang dengan sendirinya, suatu masa, tanpa seseorang perlu menyulutnya. Ia bicara dari satu rumah ke rumah
lain, duduk bersama laki-laki dan perempuan, mengatakan bahwa
ia hendak menjual tanahnya, dan menyuruh mereka membayar
tanah-tanah yang ditempatinya. Tentu saja tak ada orang yang
tak berharap memiliki itu sendiri, sebagaimana Komar bin Syueb
juga berharap, tapi tak banyak di antara mereka memiliki uang
semestinya untuk berdiri tak terusir dari sana. Ma Rabiah tampaknya telah berhitung dengan itu, datang dengan rencana gamblang tak bertele-tele.
"Kujual semurah mungkin."
Bagi Komar bin Syueb sendiri, semurah mungkin itu berarti
cukup memangkas rambut orang sebanyak seratus dua puluh kepala untuk memiliki tanah tempat rumahnya berdiri dengan pekarangan kecil di depannya. Itu setelah delapan tahun mereka
tinggal, dan Komar punya simpanan yang tadinya ia pikir untuk
menebus kembali cincin kawin yang hilang, dan sampai ketika
kematiannya datang ia tak pernah mengembalikan cincin kawin
itu. Tetangga-tetangga yang lain menarik tabungan-tabungan
yang tak seberapa, meminjam uang dari Makojah rentenir kota,
atau menjual motor dan kalung, hingga dalam waktu satu tahun
dengan deras tanah-tanah menjadi petak-petak yang beralih
milik.
Surat-surat perjanjian dibuat, ditandatangani, diberi cap jempol si nenek tua, diberi materai. Kecemasan itu menguap, sebab
tak ada lagi alasan mesti melipat rumah ke dalam karung, dengan
selembar surat pembelian yang belakangan dipigura orang- orang
dan dipajang di ruang tamu, serupa piagam penghargaan yang
lebih berharga dari benda duniawi macam mana pun, dan
menyayangi Ma Rabiah semakin bertambah-tambah, walau tak
lebih dengan sekaleng biskuit sebagai pengungkapannya.
Dan harga yang semurah mungkin itu pun, barangkali
disebabkan begitu banyak surat-surat jual-beli dibubuhi cap jempolnya, bikin Ma Rabiah kaya betul-betul mendadak. Tak terpikirkan sebelumnya bahwa ia sungguh kaya betulan, melihat
lembar-lembar uang yang bertumpuk di atas tempat tidurnya,
sebab ia tak tahu kalaupun harus disembunyikan, tak ada tempat
untuk itu. Kecemasan giliran datang kepadanya, takut delapan
anak culas itu melihat uang berhamburan, dan mengetahui duduk
soalnya, hingga ia menemukan penyelesaiannya, yang bakalan
menggemparkan penduduk kota lama setelahnya, dan menjadi
kisah yang didongengkan untuk anak-anak serupa sebuah le?genda
kota yang patut dikenang.
Di hari tuanya yang tersisa tak banyak, Ma Rabiah menghabiskan uangnya membeli sepasang kuda yang dibiarkan berkeliaran
di tepi pantai, jadi mainan anak-anak saking jinaknya. Ia juga
membeli sebuah bis, konon karena sejak kecil ia begitu senang
naik bis, dan disebabkan ia tak bisa mempergunakan bis,
kendaraan itu teronggok di belakang rumah jadi kandang ayam.
Suatu hari ia pergi ke bioskop milik anaknya, tanpa sepengetahuan pemiliknya, dan memborong semua tiket untuk menonton
film seorang diri. Mereka masih ingat film itu, Puteri Giok,
sebab setelah itu ia memborong lagi semua tiket untuk membuat
bioskop dilihat orang cuma-cuma sepanjang dua hari.
Ia tak berhenti membelanjakan uangnya, pergi ke toko pakaian
dan membeli lima gaun pengantin yang tak pernah dipakainya,
kecuali satu saja untuk tidur malam itu, dan satu lagi menjelang
ia mati. Ia membeli sekarung roti dan membagikannya pada
anak-anak, dan menghabiskan yang tersisa untuk membawa
pulang sepeda roda tiga, yang dikendarainya sambil tertawa
terkekeh-kekeh.
Barulah kedelapan anak ini mengetahuinya, setelah mereka
tak berhasil mengusir beberapa rumah sebab pemiliknya menunjukkan surat jual-beli berpigura itu, selepas melihat sepasang
kuda berkeliaran, selepas melihat dengan cemas bis yang penuh
kotoran ayam, dan terutama setelah manajer bioskop mengadukan kelakuan ibu mereka. Penuh kegeraman, mereka berkumpul
dan berkomplot untuk merampas apa pun yang tersisa, membuat
surat panjang yang menyatakan bahwa ibu mereka telah mewariskan semua yang tersisa, dan memaksa Ma Rabiah untuk
menerakan cap jempolnya. Belajar dari kekeraskepalaan anakanaknya, perempuan tua itu menggeleng, dan tak sudi berbagi.
Sebagaimana kelak akan tetap diingat, Ma Rabiah pagi itu mengenakan gaun pengantinnya yang terakhir kali, selepas menolak
bujuk rayu bengal anak-anaknya, dan duduk di sebuah bangku
kecil di halaman rumah, ia memakan tanah pekarangan segumpal
demi segumpal. Beberapa orang mencoba menghentikannya,
namun ia bersikeras lebih baik memamah tanah-tanah tersebut
daripada jatuh pada anak-anak celaka yang merampok ibunya
kala masih hidup, dan terus meraupi tanah memenuhi mulutnya.
Seseorang melaporkan ini pada mereka, juga pada polisi dan tentara di rayon militer. Waktu mereka datang, ia telah terkapar
de?mikian cantik dengan gaun pengantin satin berenda-renda,
mati tak ada nyawa, seseorang menyebutnya sebab ia tersedak
segum?pal kerikil. Bagaimanapun anak-anak ini memperoleh apa
yang mereka inginkan, tapi kekeraskepalaan Ma Rabiah untuk
mem?pertahankannya sampai mati akan jadi legenda kota tak ada
henti.
Lepas dari itu semua, kini Komar bin Syueb memiliki sendiri
rumah itu dan tanahnya. Tak henti-hentinya ia dibuat heran oleh
kesempatan baik yang menimpanya, sebab ia tak yakin bisa memilikinya sebelum itu, kecuali ia mesti memangkas rambut ratusan kepala orang dan tak mencicipi sedikit pun uangnya. Kini
ia tak lagi mencukur di teras rumah, sebaliknya ia melakukannya
di pasar, mangkal dengan sepedanya di bawah pohon ketapang,
berjejer dengan pedagang mie ayam, dan jika malam ditempati
penjual bajigur.
Meskipun begitu, kekecewaan asali yang dibawa sejak kedatangan mereka dan menyaksikan rumah 131 tak lebih manis
dari kandang dedemit tak juga mau hilang dari Margio dan
Nuraeni, dan kini setelah menjadi gadis kecil Mameh juga tak
menunjukkan rasa senang apa pun. Tak satu pun di antara
mereka tampak merayakan kepemilikan atas tanah itu, sebab
nya tak banyak yang berubah sejak delapan tahun
kenyataanmereka tinggal di sana, kecuali Margio dan Mameh yang semakin
tinggi dan besar, dan Nuraeni yang menyusut semakin kusut.
Seseorang yang mengenalnya dari masa gadis, akan mengerti
dengan terang perempuan ini telah merosot begitu rupa. Lihatlah
kartu tanda penduduknya yang telah kadaluarsa, yang dibuat di
awal perkawinannya, memperlihatkan perempuan cantik dengan
rambut ikal dan pipi montok, cemerlang dengan mata bulat yang
berbinar. Bandingkanlah itu saat ini dengan wajah sesungguhnya,
meski ia tak kehilangan jejak cantik asal-usulnya, dengan mata
yang jadi kelabu dan redup, pipinya menyusut cenderung cekung,
kulit putihnya tak lagi cemerlang namun mendekati pasi. Roman
ini menunjukkan dengan sepenuhnya rasa kecewa yang dideritanya, tanpa ia mesti berbuih berkata, dan Komar bin Syueb tahu
itu. Ketika ia mengatakan bahwa tanah itu dibelinya dari Ma
Rabiah, Nuraeni tak menganggapnya lebih berarti daripada sore
ketika ia berkata telah membeli tiga kilo beras dari pasar.
"Paling tidak kau bisa menanaminya dengan bunga dan tak
seorang pun bakalan datang untuk membabatnya," kata Komar
berupaya memancing gairahnya.
Gairah itu tak juga datang. Nuraeni hanya pergi ke dapur,
be?gitulah kelakuannya belakangan itu jika hendak melarikan
diri dan tak hendak bersuara untuk lakinya. Ia duduk di bangku
kecil menghadapi kompor. Komar telah mengenal baik polah
ini, meng?ikutinya dengan gemas, dan melihatnya tengah bicara
sendiri, tampaknya dengan kompor dan panci. Pada awalnya
itu seperti gerutuan kecil saja, tanpa maksud menujukkannya
pada siapa pun, namun semakin hari sangatlah jelas Nuraeni
selalu bicara dengan kompor dan panci, dan tampaknya mereka
berbincang-bincang dan hanya mereka yang memahami.
Itulah waktu ketika ia berpikir bininya barangkali telah sinting.
Tidak, barangkali itu hanya pura-pura sinting, sebab sering pula
ia waras dan bisa diajak bicara. Masih sempat mengomelkan hal
ini dan hal itu, dan menyuruh anak-anak melakukan sesuatu, memarahi Mameh yang abai menyapu rumah, memanggil Margio
untuk mengusir tokek, namun sering juga ketika ia tak sewaras
itu dan hanya mengenali dirinya sendiri. Komar bin Syueb menyadarinya sebagai kesintingan, dan ketidakwarasannya tampak
mulai bertambah-tambah, sebagaimana kemudian Mameh dan
Margio juga tahu.
Ia mengawininya saat Nuraeni enam belas tahun, dirinya
sendiri mendekati tiga puluh. Sebagaimana banyak gadis di kampung mereka, nasib perkawinan Nuraeni telah ditentukan sejak
empat tahun sebelumnya, saat dadanya sendiri belum tumbuh
dan belukar kemaluannya belum menyemak, kala Syueb datang
dengan sebaskom beras dan mie dan selendang biru tua melamarnya untuk Komar. Tentu saja ayah si gadis telah membicarakan
hal itu jauh-jauh hari sebelumnya lagi dengan Syueb, memastikan
Nuraeni tak jatuh ke pemuda lain dan Komar tak mencari gadis
lain. Mereka bersepakat bahwa kelak, barangkali empat tahun
lagi kala Nuraeni telah cukup subur buat punya anak, keduanya
akan dikawinkan di surau terdekat. Lamaran itu hanya melibatkan Syueb dan ayah si gadis, didampingi istri mereka semata,
serta satu-dua kerabat, sementara Komar pergi entah sebagaimana
banyak pemuda lain, dan Nuraeni barangkali tengah mencuci
pakaian di pancuran atau mencari kerang di sungai dengan
kawan sebaya.
Si gadis tak diberi tahu sampai sore tiba ketika ayahnya
berkata, "Nyai, kelak kau kawin dengan Komar bin Syueb."
Ia tak mengenal lelaki itu bagaimanapun, kecuali ingatan
sekilas sebagai penghuni kampung yang sama. Dan itu tak bikin
ia terlampau terkejut, sebab nama mana pun barangkali sama
asingnya untuk didengar. Lagi pula ia telah menanti petang semacam itu, saat ayahnya akan berkata dengan siapa kelak ia akan
kawin, sebab itulah yang selalu ditunggu para gadis di sana. Berita
itu, sebaliknya, cukup membuat riang si gadis dua belas tahun,
meski ada sedikit waswas serupa apa perangai calon lakinya.
Paling tidak, kini dan seterusnya sampai ia kawin, Nuraeni boleh
berkata pada kawan karib bahwa ia ada punya pacar. Tak ada
yang lebih memalukan bagi gadis di atas dua belas tahun tanpa
dikenal siapa pacarnya yang kelak akan jadi lakinya.
Sore itu segera mengubah banyak hal, sebab Nuraeni kecil
menjadi Nuraeni si gadis. Ibunya membelikan lipstik merah ati
dan pupur serta pensil alis, dan ia tak lagi membiarkan dadanya
yang mulai sedikit monyong dibiarkan terbuka di tengah udara
sejuk desa berbukit. Kabar itu beriak deras, menyerbu telinga
kerabat dan sahabat, bahwa gadis itu setengah terikat nasib
dengan Komar bin Syueb, dan mereka ikut riang bersama dirinya.
Ia tak lagi mengikuti ayahnya ke sawah di pagi hari, ikut menunggangi bajak agar melesak ke dalam lumpur sementara dua
ekor kerbau mengisut berjalan sepanjang petak-petak, membuatnya mandi tanah. Tak juga mengeluarkan sepasang domba mereka
dan menggiringnya ke padang rumput di punggung bukit menggembala bersama bocah-bocah lain, dan waktu pulang menenteng
Pendekar Mabuk 030 Tandu Terbang Dewi Ular 88 Misteri Bencana Kiamat
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama