Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan Bagian 3
dua pelepah kelapa kering sebagai kayu bakar. Tidak, itu semua
telah diwariskan pada adik-adiknya yang lelaki, dan ia mulai ikut
ibunya dalam segala hal. Pagi-pagi ia telah menyalakan tungku,
menanak nasi dan belajar banyak tentang sayur lodeh. Tentu
saja ia masih ke sawah, tidak untuk membajak, namun untuk
menabur benih padi yang telah direndam semalaman, dan ketika
jarum- jarum hijau muda telah mencuat, perempuan-perempuan
dan ia ada bersama mereka, mencerabutinya untuk menanamnya
di petak-petak sawah yang telah diberi garis-garis penanda silang97
menyilang oleh ayah dan adik lelakinya. Sementara menunggu
padi tumbuh tua, ayah dan adik pergi untuk memberi mereka
pupuk, mengawasi air agar tidak mampet atau menggenang, dan
ia bersama ibunya menenteng rantang makan siang ke gubuk di
tepi tegalan. Bersama ibunya ia akan turun ke sawah lagi kala
ganggang dan rerumputan mesti dihalau, dan akan tiba saatnya
ia datang kembali untuk memangkasi padi tua dengan aniani, sebelum datang masa ketika mereka cukup membabatnya
dengan arit. Selebihnya Nuraeni mesti merawat tubuhnya jadi
gadis cantik, dan belajar menjaga kata-katanya menjadi patut.
Sebab ia telah punya pacar dan bersiap ke pelaminan.
Komar sendiri, mengikuti suatu kebiasaan yang lazim, telah
pergi dari desa tak lama selepas umur dua puluh tahun, sebab tak
banyak yang bisa diperbuat di rumah bagi anak-anak sebaya itu.
Syueb memiliki beberapa petak sawah dan ladang, tapi ia masih
bisa mengurusnya seorang diri bersama istri tanpa banyak perlu
bantuan, dan waktu begitu luang baginya untuk menjadi tukang
cukur satu-satunya di desa. Selepas pelajaran singkat bagaimana
mencukur rambut kepala orang, bagaimana meng?gunakan pisau
untuk mengiris kumis dan jambang, dan men?cobanya beberapa
kali menggantikan ayahnya, Komar pergi me?rantau mengikuti
seorang karib berbekal pengetahuannya tentang mencukur itu.
Tentu saja awalnya ia tak hendak menjadi tukang cukur, dan
hendak melakukannya kala terjepit belaka, sebaliknya ia berharap
memperoleh kerja di pabrik, sebagaimana begitulah yang lain.
Ia hanya akan pulang setahun sekali, menjelang Lebaran,
berombongan dengan banyak pemuda dan keluarga-keluarga perantau, yang pada hari-hari itu akan tampak berbaris sepanjang
jalan berbukit dengan kardus-kardus dan tas ditenteng dan dipanggul. Rambutnya kelimis oleh pomade, mengenakan kemeja
dengan lengan bergulung hingga siku, celana korduroy masih bau
toko, dan jam tangan bergelung di pergelangan, sepatu pantovel
hitam berkilau yang dijaga tak tersentuh jebakan lumpur di
mana-mana.
Di dalam tas besarnya ada tembakau untuk Syueb, kain untuk
ibunya, gaun cantik untuk kedua adik perempuannya, dan tentu
saja ia telah mengetahui lamaran atas Nuraeni tersebut, dan
mem?bawa oleh-oleh untuk bakal bininya. Sebagaimana si gadis
sendiri, Komar tak terlampau mengenal Nuraeni, tapi tahu ia
seorang gadis cantik dan tak ada sesal untuk memperolehnya. Ia
bahkan ingat kala gadis itu dilahirkan, sebab ia tengah bermain
di samping rumahnya, melihat orang-orang berkerumun
menantikan si bayi lahir. Ia juga berkali melihatnya kala Nuraeni
mulai tumbuh jadi anak sekolah, dan sekolah itu tak jauh dari
rumahnya. Tapi penge?tahuannya tak lebih dari sekadar bahwa
Nuraeni memiliki rambut ikal yang gelap dibiarkan panjang,
sering diikat karet berpita, hidungnya bangir dengan pipi
yang gembur, matanya bulat berkilau, dan ketika seseorang
memberitahu ayahnya telah memilih gadis itu untuknya, tak
ada ampun Komar memimpikannya ber?malam-malam, hingga ia
memutuskan untuk pulang lebih dini dari biasanya.
Mereka bertemu di malam Lebaran, Komar membawa biskuit
kaleng dan dompet merah muda yang manis, serta selembar foto
dirinya yang diberikan pada gadis itu secara malu-malu. Di sana
lelaki itu bergaya, tampaknya difoto seluruh badan di depan
Volkswagen Combi warna kuning menyala, jelas bukan milik
diri?nya sebab Komar tampak canggung dengan tangan menyiku
se?tengah masuk ke saku celana, dan mobil tersebut gamblang
teronggok di sebuah tempat parkir umum. Tapi roman mukanya
riang dan jumawa, serasa tak ada pose yang lebih baik dari itu.
Di hari Lebaran mereka berkencan seharian, keluar masuk
pintu tetangga dan kerabat untuk bersalam-salaman, barangkali
sekaligus memamerkan inilah calon laki dan bini, sebagaimana
dilakukan banyak pasangan lain yang barangkali baru berjumpa
hari itu. Komar dan Nuraeni berjalan beriringan sepanjang
jalan, berkali-kali mesti berhenti kala jumpa orang lewat, wajah
ke?duanya semu merah antara senang dan jengah. Nuraeni menggenggam erat dompet merah mudanya, Komar kikuk tak tahu
mesti meletakkan tangan di mana, kadang menyelipkannya ke
saku korduroy, lain waktu menyilangkannya di dada, kala lain
menggantung di belakang punggung, sebab tentu saja belum tiba
waktunya bagi mereka untuk bergandengan tangan, sebab bersentuhan sedikit saja serasa membikin tubuh keduanya menggigil
dan muka bertambah-tambah merah.
Komar membawanya untuk mencobai mie bakso Wa Dullah,
yang dikenal enak walau sedikit mahal, terletak di tepi sungai pada
deretan warung tempat orang menunggu rakit datang. Di sanalah
orang-orang berdesakan, sebab tak banyak tempat jajan lainnya
untuk dikunjungi, dan ketika pesanan datang, mereka mesti cari
batu besar untuk duduk dan memakannya sambil menggenggam
mangkuk di sebelah tangan, dan tangan lain meng?ayun sendok.
Sekali waktu itu bikin bakso Komar melompat, dan mereka
tertawa kecil, demikian hangat dan penuh cinta, sebab begitulah
selalu awalnya. Makan sore mereka adalah ikan bakar, bersama
beberapa teman memancing di kolam Wa Haji, yang selalu
mengundang banyak orang untuk membawa nasi timbel ke lereng
bukit miliknya, pada sebuah rumah pondok di bawah pohon
kedondong. Hari berlalu tapi kencan mereka tak juga berakhir.
Barangkali karena waktu tak terlampau melimpah bagi mere?ka.
Malam itu Komar membawa Nuraeni, juga dalam rombongan
banyak kawan, untuk melihat sandiwara di tobong. Malam
selepas Lebaran selalu jejal di sana, sebab sebagaimana tak
banyak tempat jajan, tak banyak pula tempat menghibur diri,
kecuali mau pergi jauh ke kota. Mereka masih mengingat baik
judulnya, meski tidak siapa yang main, berkisah tentang anak
durhaka serupa Malin Kundang, itulah Titian Rambut Dibelah
Tujuh, dengan gam?bar besar di pintu masuk penjual tiket penuh
wajah dibakar api neraka. Mereka tak melupakannya, sebab
itulah kali pertama Komar menyentuh tangannya, dan di dalam
gelap sementara me?reka duduk bersampingan pada kursi-kursi
papan, keduanya saling menggenggam. Tidak saling meremas,
hanya menggeng?gam dan itu pun cukup bikin mereka panas
serupa api disulut di dalam perut. Malam itu keduanya pulang
dan sama mimpi dipatuk ular.
Tak berapa lama selepas Lebaran, Komar mesti pergi lagi bersama rombongan kawan sebayanya, dan Nuraeni mengantarnya
di teras balai desa dengan mata berkaca-kaca. Ia pikir saat itu
dirinya sungguh jatuh cinta, dan berharap perkawinan itu akan
datang tak terlampau lama, tapi Komar meyakinkan dirinya ia
harus pergi, dan pasti akan balik lagi, Lebaran datang. Tas-tas
berjejalan di lantai balai, berisi pakaian dan barangkali nenas
serta pisang mentah, atau panganan yang dibuat ibu-ibu mereka
untuk bekal di jalan. Sebelum Komar sungguh melangkah
menuju balik bukit dan di sana rakit telah menunggu, Nuraeni
berpesan pen?dek, hal sederhana yang bakal dikatakan seluruh
gadis, "Kirimi aku surat."
Surat-surat itu biasanya datang setiap Senin pukul sepuluh.
Seorang tukang pos akan datang menenteng tasnya berjalan kaki,
dengan sepatu pasti berlepot tanah liat merah genting warnanya,
memberikan surat-surat ke balai desa, dan selama setengah jam ia
mesti beristirahat di sana, disuguhi teh manis hangat dan ke?ripik
kentang, sebelum mesti berjalan lagi menelusuri rute pulang,
untuk datang Senin depan. Para gadis akan menunggu di depan
balai, menunggu surat-surat dari pacar mereka, beberapa akan
memperolehnya, yang lain akan bersungut-sungut kecewa sambil
menghibur diri barangkali seminggu lagi. Tentu saja ada suratsurat bukan untuk mereka, tapi percayalah, itu tak banyak.
Senin satu minggu selepas kepergian Komar, Nuraeni telah
bersiap sejak subuh mengharapkan suratnya datang. Ia membereskan rumah dan mengepel lantai agar waktunya luang saat
mesti pergi dan menanti di balai desa. Kala itu sebagian besar
rumah berupa panggung, dengan lantai lampit yang mesti dipel
setiap pagi berjaga tidak kusam dan berdebu. Saat ayahnya kembali dari surau, lantai itu telah berkilat kena bayangan lampu
minyak yang belum padam sebab hari masih remang. Nuraeni
bergegas ke dapur, menyalakan tungku dengan serabut kelapa,
membuat bara dan meniupnya menjadi api pakai corong bambu,
dan ketika api menari ia menyorongkan bilah-bilah kayu bakar
dari para-para. Di atas tungku ia menjerang air, dan sementara
menunggunya mendidih, ia mencuci beras dan menyerahkan
urusan selanjutnya pada si ibu, sebab dirinya mesti bergegas ke
pancuran untuk mencuci pakaian dan piring kotor.
Si gadis melakukannya lebih gesit dan cekat hari itu, menenteng ember pakaian kotor dan mengapit baskom penuh piring
dan gelas kotor di sisi lain tubuhnya. Mereka punya kolam
ikan di mana di sana ada pancuran, tempat mereka mandi dan
men?cuci, airnya menggelosor melalui pipa-pipa bambu yang disambung-sambung bahkan hingga berkilo-kilo menuju mata air
jauh di bukit. Pancurannya dikelilingi dinding setinggi dada dari
anyaman bambu, beratap daun aren, dan merupakan kamar
mandi keluarga. Sementara ia mencuci, ayahnya memberi makan
ikan-ikan dengan daun talas yang dipotong dari tegalan kolam.
Hari telah pagi ketika Nuraeni selesai mencuci dan menumpahkan kotoran dapur ke kolam, membiarkan mulut-mulut ikan
berebut remah nasi dan sayur basi, dan cahaya matahari jatuh
memercik ke tanah menerobos celah daun kelapa dan rindangan
pepohonan lain. Orang-orang mulai lewat menenteng cangkul,
berkaus compang-camping dengan kolor usang, siap bergumul
dengan bumi, yang lain menenteng golok untuk menengok
ladang dan mencari kayu. Kabut telah mengapung merayap
sampai puncak bukit, sementara dua orang gadis berbincang
dari satu pancuran dan pancuran lain dengan suara kencang
mengalahkan burung pipit dan pelatuk di pelepah kelapa. Anakanak sekolah berderet sepanjang tegalan, melemparkan kerikil
ke tengah kolam, dengan tas terayun-ayun di punggung dan topi
membenamkan kepala-kepala kecil mereka.
Nuraeni menanggalkan pakaiannya, menyampirkannya di
dinding bambu, menutupi pintu pancuran dengan handuk yang
terentang, sebab tak ingin seseorang melihatnya telanjang, meski
anyaman bambu tetap membuat tubuhnya membayang. Ia duduk
mendekap lutut di bawah air yang tumpah dari lubang bambu,
deras dan jernih, memukul ujung kepalanya hingga rambutnya
terurai menyelimuti dirinya, dan air mengalir mengikuti permukaan kulitnya yang langsat dan ranum. Setelah banjir peluh dan
di bawah udara yang menjadi hangat, mandi membuat jiwanya
melambung, menggosok tubuhnya dengan sabun tanpa beranjak
dari bawah kucuran air, memeriksa celah-celah di antara jemari
kakinya, melunturkan daki, membilas rambut dengan lidah
buaya, dan tetap tak beranjak kala ia menggosok gigi, kecuali
ber?gerak kecil menggeliat kala ia mesti menjangkau sudut-sudut
tubuhnya.
Suara para gadis di pancuran lain telah lenyap pertanda mereka telah beranjak dan barangkali beberapa telah menyesaki
beranda balai desa, menunggu tukang pos yang kepayahan datang. Nuraeni keluar dari kurungan air, menghanduki dirinya
dan melilitkan handuk di tubuhnya, menutupi dada yang belum
tum?buh benar dan sepotong pahanya, kembali menenteng ember
berisi cucian yang hendak dijemur dan tangan lain mengapit
piring dan gelas yang telah berkilau oleh bersih. Rambutnya digelung dan ia bergerak dengan langkah kaki kucingnya, menelusuri tegalan antara kolam dan kolam, demikian indah ditentang
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pijar matahari dari timur, hampir tak menyadari kecantikan dirinya sendiri.
Menjelang pukul sepuluh ia telah ada di balai, dengan
rambut yang menjelang kering selepas dikipasi agak lama, dan
kini dikelabang dua dengan ujungnya terikat pita kuning pudar.
Benarlah dugaannya, gadis-gadis lain telah berjejalan di bangku
panjang di bawah papan pengumuman yang berisi jadwal puasa
lalu serta beberapa pengumuman yang mudah diabaikan.
Beberapa gadis tak beroleh tempat duduk, bergerombol di
bawah gerumbul nusa indah di tepi pagar bambu, dan Nuraeni
bergabung bersama mereka, berceloteh tentang lelucon-lelucon
Lebaran.
Bagaimanapun pikirannya masih membayang surat tersebut,
sebab inilah kali pertama ia menunggu surat dari seorang pacar,
meski ia tahu kebiasaan para gadis ini sebelumnya. Ada gelegak
di jantungnya, bertanya-tanya tentang kejutan apa bakalan ia
dapat di surat pertama, dan bahkan melihat tulisan jelek Komar
sekalipun barangkali cukup untuk bikin Nuraeni berdesir-desir
tak karuan, apalagi jika ia menaburinya dengan bedak wangi, sebagaimana sering dilakukan pacar Nyai Sri teman karibnya.
Kejutan itu adalah bahwa ia tak memperoleh surat yang
diangankannya. Si tukang pos kepayahan itu datang dengan setumpuk surat diikat karet gelang, dan tak satu pun di antaranya
ditujukan untuk si gadis Nuraeni. Mereka menggelar suratsurat tersebut di atas meja sementara si tukang pos mengipasngipasi dirinya dengan koran bekas, dan beberapa gadis menjerit
men?dapati amplop putih bercorak garis biru-merah di tepinya
bertuliskan nama mereka, sementara yang lain mendengus tak
ber?oleh apa pun. Nuraeni ada di antara gerombolan mereka,
meski masih mengacak-acak surat tersisa, sebagian besar untuk
kantor kepala desa dan sedikit untuk beberapa keluarga dari anakanak mereka. Ia berdiri memandangi amplop-amplop berserakan,
ham?pir menangis lantaran sedih tak kepalang, sebelum mencoba
menghibur diri sebab yang dihantam kecewa bukanlah dirinya
seorang. Ia pulang, bagaimanapun, dengan mata memerah dan
bibir mengatup tajam, berharap barangkali Senin depan, tapi tak
ayal itulah sakit hati pertama yang dialaminya, yang diperolehnya
dari Komar.
Sakit hatinya semakin bertambah-tambah kala minggu depannya tak juga ada surat datang, juga minggu berikutnya, sebagaimana minggu-minggu yang datang setelahnya. Gadis-gadis lain
barangkali tak memperoleh surat di satu Senin, tapi mereka memperolehnya di Senin lain, paling tidak sekali dalam sebulan. Beberapa beroleh kiriman-kiriman cantik, dan satu atau dua diberi
uang guna cincin beberapa gram, ada pula yang menemukan
mesin jahit atas nama mereka, sebagaimana suatu kali ada yang
beroleh gaun pengantin, tapi Nuraeni tak menemukan apa pun
tertulis untuknya.
Ia tak pernah datang lagi ke balai desa selepas beberapa minggu yang mendongkolkan, dan foto Komar di depan Combi yang
tadinya dipigura dan dipajang di samping tempat tidurnya, kini
dilemparkan ke kotak rongsokan di bawah tempat tidurnya,
meski sesungguhnya ia ingin mencabik-cabik itu sebelum
menghempaskannya ke dalam tungku mendidih. Tak lagi ia
mengharapkan apa pun, tak hendak membincangkannya, apalagi
menyeret- nyeretnya ke dalam mimpi, dan jika pun itu menyelinap
ke dalam tidurnya, hal ini bakalan jadi mimpi buruk penuh sebal.
Semakin bertambah hari, jika sesuatu mengingatkan dirinya
pada lelaki itu, malahan ia mulai bercuriga Komar tak sungguh
mencintainya dan tak ada maksud mengawini dirinya. Pikirkanlah, katanya pada diri sendiri, di hari Lebaran lalu ia tak dibawanya ke studio foto di dekat pesantren itu, seolah memang tak
menginginkan dirinya dalam bentuk apa pun, tak hendak menyelipkan gambarnya di dompet, dan merasa cukup meninggalkan
foto dirinya yang sesungguhnya tak begitu gamblang mempertontonkan tampang, sebab diambil terlalu jauh barangkali
dengan foto sekali jadi. Ia pantas bersirik sebab gadis lain
digiring pacar-pacar mereka ke studio Tan?s Brother, satu-satunya
keluarga Cina yang mereka kenal, dengan gaun-gaun manis dan
pupur dan lipstik dan di depan lampu menyorot, sebagaimana
gadis-gadis itu kemudian bercerita kepadanya, mereka dipotret di
depan gam?bar kolam penuh angsa.
Gagasan tentang perkawinan itu semakin menguap bersama
berlalunya waktu, dan ia kembali menjadi gadis kecil, meski
tetap berjaga tak turun ke sawah membajak dan menggembala
domba, tapi tak lagi bersikukuh untuk mendandani dirinya dan
berharap waktu akan tiba ketika keajaiban datang bahwa ia tak
perlu mengawini lelaki itu, dan barangkali kemudian lelaki lain
datang melamarnya, lelaki yang mau mengiriminya surat-surat,
mem?bawanya untuk difoto, dan siapa tahu memberinya pula
cincin cantik dan mesin jahit agar ia bisa belajar bikin gaun
pengantin sendiri.
Hidupnya serasa tak punya pacar, dan ia dengan cara menyakitkan harus menutupi keadaan dirinya sendiri. Barangkali
seorang teman mengetahuinya belaka, tapi ia meyakinkan dirinya
mereka terlalu sibuk mengurusi diri untuk tahu seorang karib
tak pernah beroleh surat cinta. Jika seseorang bertanya kabar
Komar, bahkan Syueb sendiri sering datang padanya untuk tahu
apa dan bagaimana anak lelaki tak kenal adat itu, Nuraeni akan
bilang bahwa Komar baik adanya, tak akan pulang sebelum
Lebaran datang. Serasa baginya ia dukun serba tahu yang mampu
meneropong kekasihnya melalui cermin kecil, dan seandainya
memang begitu, ingin sekali ia melemparinya dengan batu dan
menimpuknya dengan penumbuk padi, sebab tak ada lagi yang
bisa menandingi rasa sebalnya atas lelaki itu.
Lebaran kemudian datang lagi, tapi Nuraeni tak menantinya
dengan bunga-bunga di jiwa, selebihnya tak lain adalah api beku
yang mengeluarkan segenap kejudesannya. Ia berjanji untuk tak
bertanya perihal surat dan tak hendak mendengar penjelasan
ma?cam mana pun. Ia bahkan tak berpikir untuk menyambutnya,
dan jika ia datang, tak lebih menganggapnya sebagai tamu jauh
yang barangkali hendak menyambang meminta segelas minum.
Tak ada anjangsana dan tak ada kerinduan. Komar mesti
bersusah-payah mengembalikan kehangatannya, sebagai bayaran
atas polah yang telah ditimpakan kepadanya.
Demikianlah Komar akhirnya datang pula, masih dengan rambut berminyak pomade dan jam tangan yang lalu, korduroynya
lenyap berganti jeans biru berikat pinggang kulit imitasi, dan ia
tak mengenakan kemeja tapi kaus oblong lengan panjang. Tahun
ini ia memelihara kumis dan jenggot, dan membiarkannya tumbuh lebat meriap-riap. Tak ada penjelasan apa pun perihal surat
dari mulutnya, sebagaimana tak ada oleh-oleh berupa dompet
cantik untuk Nuraeni kecuali sekaleng biskuit. Jika tahun lalu
ia demikian santun dengan sikap duduk malu-malu dan rona
merah menggelayut di pipinya, kini ia demikian norak duduk
di tentang si gadis dengan kaki menimpa kaki yang lain dan
tangannya sigap mengeluarkan rokok kretek sebelum merepet
oleh api yang disulut membuat Nuraeni bergegas mencari asbak
dan meletakkan itu di depannya.
Nuraeni tak ajukan tanya, hanya diam di kursinya bermain
dengan kuku jari sendiri selepas menyuguhkan limun dingin di
samping asbak. Tak ada kabar bertukar dan tak ada rayu-merayu.
Komar malahan membuka sendiri kaleng biskuit pemberiannya
dan tanpa malu mencicipinya, sambil berceloteh sendiri tentang
ikan Wa Haji tahun lalu.
Malamnya, Nuraeni tak keberatan untuk diajak pergi ke tobong,
walau merasa enggan tapi segan pada ayah dan bakal mertuanya
jika mereka tahu ia berlaku dingin pada bakal lakinya. Kali ini
mereka melihat Nyai Dasima, ingat judul dan lupa siapa yang
main, sebab rombongan sandiwara selalu datang dan pergi dan
bukan kebiasaan berlarut-larut untuk datang ke tobong ke?cuali
di musim-musim tertentu. Bagi Nuraeni sendiri ini kunjung?an
ketiga, sebelumnya ia pernah melihat sandiwara lain bersama
rombongan teman-teman gadisnya di malam Hari Kemerdekaan
yang penuh karnaval. Tak ada hal ajaib sepanjang pertunjukan
kecuali Komar berusaha meremas tangannya, tapi ada yang memualkan di perjalanan pulang.
Mereka melambat membiarkan rekan pergi di depan, dan di
suatu setapak hening Komar tanpa malu minta cium pada Nuraeni.
Terhenyak oleh permintaan tak diduga-duga, Nuraeni mengkeret
dan menggeleng bergidik, tapi Komar menggenggam tangannya
kencang dan memaksa. Tidak, kata Nuraeni. Komar bersikeras,
hanya sedikit, pintanya, satu sentuhan pendek. Tam?paknya tak
ada pilihan lain, sebab menjerit pun malahan bakal bikin malu
mereka bersama, dan pikirnya Komar tak akan berlaku lebih edan,
sebab jauh di belakang masih ada pejalan lain yang hendak datang.
Tanpa menerima dan tak ada penolakan, ia mem?biarkan mulut
itu menyosor ke mulutnya, sementara dirinya terdesak ke batang
pohon waru. Bibir Komar mendesak ke bibirnya, ternyata tidak
pendek, tapi melumat basah, menggigitinya kecil, meruakkan bau
tembakau, dan selepasnya Nuraeni sungguh mual tak ada ampun.
Bagaimanapun itu tak mengembalikan kemesraan mereka
dan Nuraeni terus menjalani sikap bekunya sepanjang hari
selepas itu, hingga datang waktu Komar mesti kembali pergi.
Penuh basa-basi ia mengantarnya ke balai desa, dan di sana, sakit
hati ter?kenang kembali pada surat-surat yang tak pernah datang,
Nuraeni tak mengajukan permintaan manja apa pun. Malahan
Komar yang berkata.
"Tidakkah kau tanya apa kerjaku?"
Pikir Nuraeni, kenapa ia harus peduli apa yang dikerjakannya
sementara dirinya tidak peduli seorang gadis menunggu kabar
setiap minggu sampai merasa berlumut dan berkarat. Ia hanya
memandangnya dengan tatapan tajam nyaris kejam, merengutkan bibir yang pernah dilumatnya, kemudian mengawali sikap
sinisnya yang berlarut-larut, barulah ia membuka mulut, "Jadi
apa kerjamu?"
"Tukang cukur," jawab Komar.
Jadi ia pergi jauh hanya jadi tukang cukur, pikir Nuraeni.
Ia tak peduli dengan itu, bahkan seandainya Komar ternyata
pe?rampok, tukang pukul, preman, dan maling, semuanya tak
berarti apa lagi setelah satu tahun yang membinasakan rasa
cinta meluap itu. Ketika Komar mulai melangkah menenteng
tas mengikuti rombongan para perantau, Nuraeni bahkan tidak
melambaikan tangan, hanya anggukan kecil sebagai kata-kata
hilang ya aku tahu kau pergi, dan tentu saja tak ada mata berkilau
merah, apalagi derai air mata. Begitu Komar lenyap di kaki bukit,
ia segera ber?gegas ke pancuran untuk mencuci dan mandi. Benar,
ia mengan?tarkan calon lakinya tanpa berpikir mesti mandi dan
mematut diri. Hari itu ia tak sudi melakukannya.
Pada umur enam belas tahun, kenyataannya ia membiarkan
dirinya diseret ke penghulu dan kawin dengan lelaki itu. Mas
kawinnya berupa cincin enam gram dengan inisial nama mereka
terpahat di sana, dan Komar selalu membanggakan itu dipesan
pada seorang tukang patri ahli di kota. Nuraeni mengenakan
ke?baya putih dengan rambut disanggul, tampak cantik dengan
kejudesan yang bertambah-tambah. Komar mengenakan setelan
jas hitam dengan peci pinjaman, dan penghulunya Wa Haji.
Ayah Nuraeni merelakan domba betinanya untuk dipotong,
sebab si betina ini telah beranak lima dan besar-besar pula,
serta mengeruk beras di dalam peti simpanan mereka. Tak ada
tanggapan, tapi mereka memasak banyak untuk membingkisi
para tetamu yang datang.
Permusuhan itu mulai datang sejak malam pertama, kala
Nuraeni telah teronggok di tempat tidur kelelahan, dan masih
mengenakan kebaya pengantinnya, dengan pinggul dan kaki dibelit kencang kain batik. Komar yang keburu nafsu mengajaknya
telanjang dan bercinta, tapi Nuraeni hanya menggeram tanpa
mengubah ringkukan. Tanpa banyak tanya Komar melucuti
pakaiannya sendiri, meninggalkan celana dalamnya yang menggelembung oleh batang kemaluan yang mengacung kencang, lalu
mendorong tubuh istrinya agar bangun. Nuraeni hanya berguling
dan menggeram dan meraba guling. Sedikit jengkel, Komar
mulai menarik kain pembelit kakinya, mengulurnya hingga
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nuraeni berguling-guling tak karuan, dan kala itu telah tanggal,
tampaklah kaki langsat hanya mengenakan celana dalam hijau
muda berbunga-bunga. Tanpa memedulikan baju kebayanya,
Komar segera menerjang dan jatuh di atasnya, menarik turun
celana dalam Nuraeni, lalu celana dalamnya sendiri, kemudian
menusuknya. Mereka bercinta tanpa kata-kata, hingga pegal dan
jatuh tertidur. Selepas hilang keperawanan, Nuraeni tarik kembali
kainnya, menyelimuti diri sendiri, berbalik memunggungi
lakinya, mengangkang sedikit sakit di selangkangan.
Seminggu selepas perkawinan, Komar bin Syueb pergi turun
bukit menuju kota mencari tempat untuk mereka, dan sebulan
kemudian membawa Nuraeni ke gudang kelapa di Pasar Senin
tersebut. Di sana ia telah menyediakan kasur bagi mereka, juga
kompor dan perkakas, selain meja dan kursi dan kotak peralatan
cukurnya sendiri. Mereka bahkan memiliki sepeda unta tua, yang
dibeli Komar di pasar dadakan depan teras mereka. Keadaannya
merosot deras dibandingkan kala hidup bersama keluarganya di
kampung, tapi Nuraeni menjalaninya tanpa banyak tanya.
Masa-masa bercinta selalu merupakan saat yang sulit bagi mereka, sebab Nuraeni selalu menampilkan keengganan tertentu,
dan Komar hampir selalu memaksanya jika nafsu telah naik ke
tenggorokan, dan kerap kali itu hampir serupa pemerkosaan
bengis di mana Nuraeni akan ditarik dan dilemparkan ke atas
kasur, dan disetubuhi bahkan tanpa ditanggalkan pakaiannya,
lain waktu disuruhnya mengangkang di atas meja, kali lain disuruhnya nungging di kamar mandi. Adakalanya untuk menanggulangi keengganan Nuraeni yang makin menjadi-jadi, Komar
mesti memukulnya, menampar pipinya bukanlah hal yang jarang,
malahan sering pula menempeleng betis indahnya dengan kaki
ganasnya, membuatnya roboh dan tak berdaya, dan saat tak ada
tenaga itulah Komar bisa merampok selangkangannya.
Bagi Nuraeni sendiri, saat-saat bengis itu serasa kematian yang
datang sepenggal-sepenggal, dan ia tak tahu bagaimana mengelaknya. Tak terpikirkan olehnya untuk pergi dan kembali ke ayahnya, sebab tampaknya hanya akan menambah-nambah murka
orang kepadanya. Satu-satunya yang bisa ia lakukan tak lebih
dari membungkam diri, sebab sekali waktu kadang Komar cukup
manis juga dan memperlakukannya patut. Betapapun, harihari menderitakan tersebut tak pernah mengizinkannya untuk
menjadi cengeng, kelak ini diwariskan kepada anak-anaknya.
Demikianlah Margio lahir melalui persetubuhan macam begitu, dan anak ini tampaknya penghibur bagi Nuraeni yang melimpah-limpah, selain juga mengurangi kebrutalan lakinya. Si
bocah kecil menjadi mainan bagi mereka berdua, dan seringkali
membuat mereka lupa harus bergumul di tempat tidur, dan
Nuraeni mencintai Margio bertambah-tambah. Namun bersama
berlalunya waktu, kala si bocah kecil mulai tumbuh, merangkak
dan berjalan, berahi Komar memuncak-muncak lagi kerap bikin
ia sendiri menggigil, dan selalu mengincar Nuraeni lengah untuk
pelampiasannya. Nuraeni, menyadari hasrat itu telah kembali
pada lakinya, bertahan lagi dari seluruh keganasannya. Sebisabisa tak membikin dirinya telanjang di depan Komar, tapi itu tak
menghalangi lakinya merebut tubuhnya. Selalu ada saat ia bisa
menyingkap roknya, memelorotkan celana dalamnya, dan ber?diri
di pintu ia mengguncang bokongnya menembus tubuh bini?nya.
Ritual itu datang lagi, dengan tamparan keji dan pukulan gayung
tempurung kelapa, dan dengan cara itulah kemudian Nuraeni
bunting lagi, dan Mameh lahir dua tahun selepas Margio.
Delapan tahun hidup di sana cukup untuk membikin Nuraeni
merosot memudarkan semua pesona cantiknya, meski garisgaris itu masih tersisa di wajah dan tubuhnya. Sikap judes dan
bekunya bertambah-tambah kala Komar meminta kembali
cincin kawinnya guna membeli rumah 131, dan meski Nuraeni
memberikannya, ia membenamkan wajahnya di balik kerudung
saat mereka pindah guna menyembunyikan rasa sedih yang tak
terperi.
Di rumah baru, di luar kebiasaannya setelah delapan tahun
perkawinan, Nuraeni mulai banyak bicara dan kata-katanya merupakan warisan rasa keji nan pedas yang telah tumbuh sejak
lampau itu. Masalahnya, kata-kata tajam ini tak diajukan pada
siapa pun, melainkan pada kompor dan pancinya, yang tak
tergantikan sejak awal perkawinan. Kompor itu telah penuh
karat, nyala apinya tak lagi sejajar, dan lubang sumbunya telah
payah betul. Pancinya sendiri telah berkali-kali digerogoti lubang,
sebe?lum diselamatkan tukang patri keliling yang menambalnya
se?banyak sebelas kali. Kepada kompor dan panci itu, ia akan
menge?luhkan dinding bilik bambu yang menggelayut, yang tak
lebih apik dari kandang sapi.
Komar telah menyadari sindirannya, dan suatu hari, setelah
satu tahun mereka tinggal di 131, ia membeli bergulung-gulung
bilik bambu baru, dan dibantu Margio mereka melucuti dinding
usang dan menggantinya. Sepanjang satu minggu mereka bekerja
keras, memotong dan memaku, menjepitnya dengan kayu kecil, dan
selepas itu memberinya cat kapur. Kini rumah itu jadi lebih bersinar
oleh warna putih kemilau, hasil kerja Komar dan Margio, tapi sama
sekali tak bikin Nuraeni tersentuh. Memang betul, tak berapa lama
disebabkan angin laut yang datang melintasi per?kebunan cokelat
dengan mudah menghantam-hantamnya, dan bersama bergantinya
musim dinding itu kembali meliuk menciptakan gelombang badai.
Cat kapurnya rontok berserak di tanah dalam kepingan-kepingan,
menambah-nambah bahan omongan bagi pembicaraan Nuraeni
dengan kompor dan panci?nya.
Masih ada perkara lain, tentu saja. Genting tuanya, meski
di hari pertama telah dibereskan Komar dari sengkarut, telah
banyak yang retak digunting terik dan basah, membiarkan air
hujan ter?curah. Nuraeni mesti memajang ember dan baskom
di tengah rumah, atau membiarkan lantai tanah mereka
menjelma kubangan kerbau. Komar mesti pergi ke pabrik
batu bata dan membeli genting eceran untuk mengganti yang
buang waktu mencukur orang di
retak, menggantinya mempasar seharian. Sejenak itu mengatasi perkara kubangan kerbau
mereka, namun bersama datangnya musim penghujan yang
makin deras, bertambah pula genting retak dan ember serta
baskom mesti dipajang kembali. Bersama kompor dan panci
Nuraeni menertawakan diri sendiri.
Meskipun ia sendiri tak yakin bisa membangun rumah cantik
serupa yang berderet di pinggir jalan guna membungkam mulut
comel istrinya yang selalu cari-cari perkara, Komar punya dalih
bagus mengenai ini, "Kita tak bisa berbuat banyak selama tanah
ini milik Ma Rabiah."
Bahkan meskipun kemudian mereka berhasil memilikinya,
itu sama sekali tak menghentikan percakapan Nuraeni dengan
benda-benda di dapur. Komar mulai berpikir bininya memang
sinting, tapi tak mengurangi hasrat untuk merampok daging
lang?satnya.
Empat
Tidaklah sering bagi Margio melihat ibunya bahagia, hingga
seringkali ia berpikir untuk berbuat sesuatu menyenang-nyenangkan dirinya. Pulang ke kampung mereka dan membawa
se?suatu dari sana sekali dua membuat Nuraeni senang, tapi
tak lama dan tak sering. Jika ia punya sedikit uang dari kerja
sembarang di rumah orang, Margio akan membelikan ibunya
sepuluh tusuk sate atau selop baru, itu bisa bikin Nuraeni senang
tapi tak lama juga, hingga Margio selalu berpikir tak ada lagi yang
bisa bikin ibunya bahagia, dan barangkali sejak itulah ia selalu
menyalah- nyalahkan Komar.
Sepanjang hidupnya, ia telah sering melihat Komar memukul
Nuraeni di depan matanya sendiri, menghajarnya hingga babakbelur. Margio terlampau kecil untuk melerai, dan ia sendiri sering
dapat bagiannya pula. Ia hanya berdiri menyandar ke pintu,
dengan Mameh di sampingnya menggigit ujung baju, sementara
Nuraeni meringkuk di pojok rumah dengan Komar berdiri di
de?pannya, tangan menggenggam rotan penggebuk kasur. Komar
selalu punya alasan apa pun untuk mengayunkannya.
Kadang-kadang itu dilakukan pula di depan orang, hingga
Nuraeni mesti berlari mengelilingi rumah dan Komar mengejarnya, dan di antara mereka iblis-iblis terbang menyulut marah,
hingga Nuraeni masuk ke rumah mencoba membentengi diri
dengan pintu namun Komar selalu berhasil mendobraknya,
sekali waktu sempat hancurkan pintu tersebut, dan Nuraeni
akan ter?tangkap dalam dekapan, dibantingnya ke lantai, dan
ditendang pahanya berkali. Tetangga yang melihat bakalan
mengelus dada, sementara Margio melengos membuang muka.
Hanya Mameh yang akan menangis selepas itu, sambil memeluk
ibunya se?senggukan.
Margio sendiri mulai mewarisi sikap bengal ibunya, tak melawan pada Komar namun selalu memancing-mancingnya untuk
mengayunkan rotan bengis tersebut. Kadang-kadang Komar tak
suka ia pergi ke kampung kakeknya, tapi Margio akan memaksa
dan pergi tak bilang-bilang di Sabtu siang, kembali lagi di Minggu
malam dengan Komar menanti penuh api membara di matanya.
Hari Senin itu Margio akan pergi sekolah dengan kaki sedikit
terpincang, setelah Komar menggebukinya, dan menenggelamkannya ke bak mandi, dan menjewer kupingnya, dan melemparinya dengan gayung tempurung kelapa. Komar juga sering sirik
melihatnya anteng dengan mainan berupa kelereng atau gambar
umbul serta jangkrik, dan Margio akan semakin menjadi-jadi jika
Komar mengomelinya, membikin Komar habis sabar dan menempeleng Margio. Margio tak pernah melawan, sebagaimana semua
orang tahu, tapi tetap anteng dengan mainannya, sampai Komar
merampas itu dan membuangnya ke belumbang. Margio akan
memungutinya, dan Komar memburunya, menyeretnya di kaki
hingga si bocah terkapar menggerus tanah, diangkat dan dilemparkan ke dalam rumah membentur betis kursi. Bocah itu hanya
akan meringis, dan Komar akan datang lagi tak terpuaskan, mencengkeram rambutnya dan membantingnya ke tiang kayu, sekali
waktu membuat dahinya mengucur darah, tapi tak sekalipun
menghentikan lakunya.
Mereka menjalani hari yang murung, saat-saat yang damai
hanyalah ketika Komar pergi dengan sepedanya ke kios cukur
di pasar hingga waktu pulang datang. Bahkan Mameh yang tak
banyak polah, sekali waktu dapat juga pukulan rotan penggebuk
kasur itu, sebagaimana kucing lewat sekali dua dihajarnya pula.
Ketika akhirnya mereka memperoleh tanah itu dari Ma
Rabiah, Komar membeli pasir dan semen untuk bikin lantai
plester. Itu adalah usaha terakhirnya untuk membungkam mulut
pengomel Nuraeni, dan ia menyuruh Margio untuk membantu.
Margio sen?diri telah lewat lima belas tahun, cukup punya otot
untuk meng?aduk pasir dan semen, dan telah sekali ikut perburuan
babi Mayor Sadrah. Mereka bekerja di hari Minggu, Komar
mencampur adonan semen dengan sedikit kapur agar lebih
lengket, dan se?mentara Margio mengaduk menjungkirbalikkan
adonan, Komar membenamkan lantai tanah lembab mereka
dengan plester ke?biruan. Nuraeni menyediakan bagi mereka teh
manis, sesikat pisang ambon dan goreng ubi, tapi tak juga riang
dengan rencana besar Komar.
Lantai mereka tak bisa muncul dalam satu hari, dan mereka
melakukannya sepenggal demi sepenggal. Pertama ruang tamu,
membiarkannya kering tak terlewati, dan saat agak mengeras mereka menanam papan untuk kaki berpijak, disambung Minggu
berikutnya untuk mengalasi lantai kedua kamar tidur. Butuh empat minggu hingga sekujur rumah telah keras mencapai dapur
dan bahkan teras, dan kini Mameh bisa duduk di lantai bermain
congklak bersama temannya, menggelar tikar dan tiduran. Masamasa itu Komar begitu manis, memuji-muji hasil kerja Margio,
meski Nuraeni tetap bergeming dan tak tersentuh.
Lima bulan berlalu dan mereka menemukan retakan di lantai.
Awalnya Komar berpikir itu karena kapurnya masih mentah dan
yakin tak akan berlarut-larut, namun terbukti ia terlampau yakin
diri dan keliru, sebab retakannya bertambah-tambah dan di akhir
bulan telah amblas meliuk serasa sebuah bola besi seberat lima
ton menghantamnya. Seorang tetangga bilang itu barangkali disebabkan tanah yang lembab, tetangga lain kasih tahu dahulu
kala di sana belumbang sampah jika bukan sumur. Lubanglubang bermunculan, satu di ruang depan dan dua di dapur, dan
lubang kecil di kamar tidur.
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebagaimana terjadi dengan dinding bilik bambu dan atap
genting, Nuraeni merayakan kehancuran usaha Komar dengan
mendesas-desuskannya bersama bebanda di dapur. Mendengarkan ocehan ini, Margio hanya bisa segera berlalu, sebab ia tahu di
batas kesabarannya, Komar tak bisa berbuat lebih banyak ke?cuali
menyeret Nuraeni ke kamar dan menggamparnya di sana, jika
tidak langsung menyungkurkannya ke atas kompor saat itu juga.
Rumah ini sangatlah liar, pikir Margio, yang mengakui dengan
kerendahatian sepanjang tahun-tahun hidupnya ia tak mengerti
bagaimana hubungan Komar dan Nuraeni sesungguhnya. Ia
hanya melihat mereka yang saling mengganas satu sama lain,
Nuraeni yang terus mencibir dengan kata-kata pedas dan seandainya ia Komar, Margio sendiri yakin tak akan tahan dengan sindiran kejam macam begitu, sementara Komar keparat tak ada
habis, tak ragu pergunakan tangannya untuk menyiksa dan
mengirim keluarganya ke liang kubur selangkah demi selangkah.
Akhirnya Komar menyerah dan berteriak pada Nuraeni, semua
urusan rumah ini di tanganmu, dan begitulah memang. Komar
mulai lebih sibuk memelihara ayam dan kelinci, ia punya ayam
bangkok dan membawanya ke tempat sabung, dan memelihara
pula merpati aduan untuk ikut totoan di lapangan bola atau
bekas gedung stasiun kereta.
Selepas Komar tak lagi mau tahu, kenyataannya Nuraeni mulai
merias rumahnya, meski belakangan baru Margio dan Mameh
menyadari caranya merias sangatlah aneh. Suatu hari ia menggunting beberapa lembar bekas kalender lama, dan memperoleh
gambar Taj Mahal serta artis Meriam Bellina, yang ditempelkannya di dinding bilik, ditopang paku payung, terpampang di
ruang tengah di atas kursi kayu tempat menerima tetamu. Ia juga
me?motongi buku gambar Margio yang tak terpakai, dan di sana
ia memperoleh gambar-gambar Margio yang sama sekali tak ada
bakat, berupa tamasya gunung dan kaligrafi, dan menempelkannya pula di samping pintu. Tak seorang pun bersuara atas itu,
tidak Margio tidak pula Mameh, khawatir itu membuatnya lebih
murung, meski nyata kelakuannya tak juga bikin ia riang.
Hingga suatu hari ia memperoleh benih alamanda dari tetangga jauh, dan menanamnya di pekarangan rumah. Sebelum
ini pekarangan itu hening belaka, tempat anak-anak bermain
kelereng, kini ia mengeduk tanah dan menancapkan benih
alamandanya. Margio mulai merasa senang melihatnya punya
kesibukan, tak peduli remeh-temeh belaka, juga meski kehilangan
ladang main kelereng. Setiap pagi Nuraeni menyirami bunganya,
dan kala itu mulai tampak kukuh, kelopak daunnya tak lagi lesu, ia
telah datang lagi dengan seikat benih anak nakal. Ia menjadikannya pagar hidup, menjejernya sekeliling pekarangan depan,
hanya menyisakan sedikit saja untuk pintu masuk. Anak nakal
ini juga disiraminya, kadang Mameh berpikir ia mengurusnya
lebih telaten daripada kepada anak kandungnya sendiri.
Satu per satu bunga-bunga lain berdatangan, sementara
alamanda dan anak nakal itu semakin gemuk dan segar. Ia menanam melati di samping dinding dapur, menancapkan empat
gerumbul mawar dekat pagar anak nakal, nusa indah datang
kemudian, dan ratnapakaya dibiarkan liar di sepanjang selokan
pinggir gang samping rumah. Bahkan belukar lantana pun ditanamnya di tepi teras dengan tembok yang rompal-rompal, bakung
mencuat di dekat belumbang sampah, dan dari alamanda lama
yang telah meninggi ia menanam benih lain di sudut pekarangan
sebelah timur. Tampaknya pekarangan mereka akan menjadi
taman bunga paling lengkap di seluruh kota, mengalahkan toko
kembang mana pun, sebab kesumba pun ditanam Nuraeni,
ber?barengan dengan kana yang meminta lebih banyak tanah
lembab, dan sripagi dibiarkan merambat pada tiang bambu yang
terjulur ke pohon randu.
Generasi bunga-bunga terakhir yang datang adalah kembang
sepatu dan soka, kini mulai tampak berjejalan di pekarangan
yang tak lapang, bersamaan dengan kembang kertas yang
benihnya diminta dari Margio yang mengambilnya dari sekolah,
sebelum ditutup oleh beberapa anggrek yang ditanam di serabut
kelapa dan digantung di nok rumah. Komar mengamati semua
per?kembangan itu penuh rasa takjub, berpikir istrinya tengah
mempercantik hunian rumah mereka, dan sedikit banyak berharap mengubah perangainya. Tetanam itu mulai menghijau bersama datangnya musim yang segar, dan beberapa mulai mengeluarkan kuncup yang mekar, warna-warna keluar dari rimba
kehijauan, dan sebagaimana ayahnya, Margio mencoba mencuri
lihat seandainya Nuraeni memperlihatkan roman riangnya
melihat semua itu tumbuh dengan lebat.
Ternyata itu tumbuh terlampau sehat. Pekarangan rumah
penuh bunga, yang semula dikira bakalan menjadi taman
yang cantik dan menghiasi rumah mungil mereka, makin lama
berubah men?jadi rimba raya dengan bunga-bunga bermunculan.
Bulan-bulan berlalu dan alamanda itu mulai menjulang, kini
pucuknya meliuk melebihi atap rumah, dengan bunganya
yang kuning cemerlang di tentang langit biru, mendatangkan
beragam kupu-kupu yang terpesona olehnya. Melati di dinding
dapur berkedip putih di antara latar hijau tua, seperti bintang di
gelap malam. Semuanya meriap cepat, sebagaimana anak nakal
itu sungguh telah menjadi dinding pagar kukuh.
Kemudian Margio mulai menyebutnya sebagai belukar
bunga, sebab tak lagi terbedakan dengan semak pejal mana pun.
Daun-daun meranggas, mereka saling berimpitan menerobos
sesamanya. Komar mulai menyadari pikiran kelirunya, dan
memperla?kukan belukar itu sama kejinya. Ia sering datang dari
kios cukur dan roda sepedanya dibiarkan menggilas pagar anak
nakal, kemudian melemparkan sepedanya begitu saja hingga
tersandar di gerumbul mawar. Kelakuan buruk ini membikin
beberapa tetanam rebah, mati, namun yang lain tetap meranggas,
menambah- nambah sengkarut.
Dalam dua tahun, tak lagi orang bisa melihat muka rumah
tersebut, diselimuti sepenuhnya oleh daun-daun yang hijau gemerlap, dan jika tetamu datang, ia mesti bertanya-tanya di mana
pintu masuk. Pohon yang mati menjadikan tanah makin gembur,
dan pohon yang hidup semakin gemuk.
Suatu hari Mameh melihat seekor ular merayap di teras dan
menjerit-jerit sebelum Margio menangkapnya. Itu ular pohon
kecil biasa, jenis yang tak akan menggigit dan tak berbisa, biasa dimainkan anak-anak di jemari mereka, serta disuruh tukang sulap
untuk menerobos lubang hidung sebelum muncul di lubang
hidung yang lain. Tapi itu membikin Mameh berpikir untuk membabat bunga-bunga Nuraeni, paling tidak mengembalikannya
menjadi taman yang cantik, dengan pohon-pohon yang ramping, tercukur dengan baik. Ia telah bersiap dengan golok dan
kayu, namun ketika Nuraeni melihatnya, pendek ibunya berkata,
jangan: Bagaimanapun Mameh tak berani menentang sepotong
kalimat itu, ditambah roman ibunya yang bersikeras tak membiarkan seseorang menyentuh belukar bunganya. Mameh menyerah dan mengembalikan golok serta kayu tersebut ke dapur.
Baru belakangan Mameh mengerti sarkasmenya. Nuraeni tampaknya berharap membuat rumah itu seburuk yang bisa dipikirkannya, seremuk sebagaimana dikatakannya waktu pertama kali
datang ke 131. Atas sarkasme berlebihan Nuraeni, tak ayal bikin
Mameh takut juga, dan sebisa mungkin tak pernah menyentuh
bunga-bunga itu. Tak peduli betapa inginnya ia memetik melati
yang cemerlang, atau mawar yang serupa darah, ia selalu menahannya, takut ibunya murka. Mameh belum pernah melihat
Nuraeni murka, sebab kemurkaan selama ini selalu milik Komar,
tapi sebab ia tak pernah melihatnya, ia menjadi lebih takut sebab
dipikirnya, jika ibunya murka maka itu bakalan lebih jahat dari
segala kebengisan.
Kini barangkali belukar bunga itu tak hanya jadi sarang ular
dan ulat, mungkin rubah dan maling pun pernah bersembunyi
di sana. Tetangga tak hanya ketawa-ketawa, dan Komar sekadar
menerjangnya dengan sepeda. Jika seseorang bertanya untuk apakah bunga-bunga itu, Nuraeni akan menjawabnya pasti, "Guna
saweran pemakamanku."
Hanya sekali Mameh melihat Nuraeni memetik bunga-bunga
itu, yakni ketika Marian mati beberapa waktu kemudian. Nuraeni
memetikinya sambil mendendangkan kidung-kidung aneh, yang
tak dikenali Mameh, barangkali datang dari masa gadis ibunya.
Kidung itu sedih terdengar, sembari jarinya menjentik bebunga
dan memasukkannya ke dalam keranjang. Seolah memetik bunga
itu serupa membunuh mereka, dan kesedihannya setara dengan
rasa kehilangan bayi kecil manis itu.
Ketika Komar bin Syueb mati, bagaimanapun Mameh
meniru?nya, dan memetik bunga-bunga itu untuk mayat ayahnya.
Awal?nya ia berpikir ibunya akan merelakan itu, sebab rasanya
tak banyak yang telah diberikan untuk si mati, tapi dari mukanya
jelas Nuraeni tak sudi, seolah ia berkata, telah terlalu banyak yang
kuberikan kepada si mati keparat tersebut. Tapi waktu itu Mameh
sudah tumbuh jadi seorang gadis, dan ia tak terlampau menuruti
kehendak ibunya, maka ia terus memetik bunga-bunganya, tak
peduli sebesar apa pun rasa sakit diberikannya kepada Nuraeni.
Peristiwa-peristiwa ini memberikan kesimpulan bagi Margio
bahwa tak ada yang bisa bikin Nuraeni bahagia. Tidak pula
bunga- bunga itu. Sepanjang mereka memaharaja di pekarangan
dan menjadikannya semak belukar, Nuraeni tak terhentikan dari
omong kosong bersama kompor dan panci, sebagai pertanda
bah?wa kemurungan itu tak juga pergi darinya. Bahkan jika pun
be?lukar bunganya bikin ia bahagia, kebahagiaan itu sedikit saja.
Dan demi yang sedikit itulah Margio selalu menjaga pekarangan
rumah tak rusak dari kesemrawutannya, sejauh ia pikir
demikianlah yang dikehendaki ibunya.
Hingga suatu hari ia melihatnya demikian berbeda. Ia pulang
ke rumah karena lapar di pagi hari selepas tidur di pos ronda
yang sesaat sebab ia hampir begadang melihat pertunjukan
wayang dengan lakon Semar Papa. Ia melihat wajah ibunya
lebih berseri, ia tahu pasti sebab tak pernah begitu sebelumnya,
dengan rona merah yang tiba-tiba muncul di pipinya, walau tak
mengembalikan kemontokan sebagaimana sering diceritakan
paman-paman dan bibi-bibi. Tapi ia bisa melihat perbedaannya,
mata bulatnya kini lebih berbinar, dan lihatlah, ia mengenakan
gincu, juga pupur, dan sepagi itu telah mandi pula. Di meja
makan telah tersedia pula nasi hangat dan ikan bawal serta
sayur lodeh, tak sering ibunya segasik ini. Tadinya ia berpikir
bakalan menemukan sisa makan malam, dan ia terpesona oleh
perubahan mendadak tersebut. Ia bertanya diam-diam pada
Mameh adakah sesuatu terjadi pada ibunya, dan Mameh sama
tak tahu apa pun, tak peduli ia sering bersamanya di rumah. Mereka berdua mencoba mengingat-ingat apakah ini salah satu hari
istimewa, tapi tak menemukan penjelasan apa pun dari kalender
maupun weton. Mereka menyerah dan bertaruh roman ceria itu
hanya berlaku sehari saja, dan jelas mereka keliru, sebab Nuraeni
tampak semakin bahagia dari hari ke hari, meskipun sikap judesnya pada Komar tak berubah sama sekali.
Baru lama kemudian Margio mengetahui apa yang terjadi.
Nuraeni tengah hamil, dan jauh di dalam perutnya tengah berbaring si bayi kecil yang kelak diberinya nama Marian.
Ia mengetahuinya karena perut ibunya semakin membuncit
bersama datangnya hari dan minggu, dan ia sudah menebak pula
bayi itu bakalnya perempuan sebab begitulah jika perempuan
cantik menjadi-jadi di kala hamil kata orang. Nuraeni juga
ngidam macam-macam, termasuk minta buah cokelat muda bikin
Margio mesti jelajahi perkebunan bangkrut mencari sebatang
pohon ter?selamatkan masih punya buah. Lain waktu ia minta
lodeh jantung pisang, dan Mamehlah yang membikinkannya.
Sesungguhnya kehamilan ibunya sedikit bikin dongkol baik
Margio maupun Mameh. Pikirkanlah, kata Margio pada adiknya,
kini ia hampir dua puluh tahun, dan sekonyong bakal punya
adik bayi merah mentah. Tapi demi melihat roman cemerlang
di wajah ibunya, Margio tak banyak cakap dan malahan ikut
kasih per?hatian berlebih pada Nuraeni, khawatir sesuatu terjadi
pada ra?himnya mengingat perempuan itu sendiri telah beranjak
tua, be?rapa umurnya sekarang? Margio berhitung, paling tidak
Nuraeni telah tiga puluh delapan tahun. Kenyataannya Nuraeni
masihlah muda, pikir Margio, dan dengan binar di mata itu
serasa mengembalikan kejayaan masa gadisnya. Tahun-tahun
terakhirlah yang membikinnya menjadi begitu tua dan udzur. Ia
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih bisa hamil dua-tiga kali, kata si anak.
Hari-hari pertama itu kehamilannya memang belum menonjol
benar, hanya Mameh dan Margio yang mengetahuinya, lebih
ka?rena terpesona oleh perangai dan penampakan lahiriahnya.
Komar tampaknya belum menyadari, disebabkan sikap tak pedulinya pada Nuraeni, dan karena Nuraeni masih sebagai sedia kala
di depannya. Ia masih bicara dengan kompor dan panci, meski
kini nadanya riang dan penuh canda, dan ia juga masih pergi ke
rumah Anwar Sadat untuk kasih bantu-bantu di rumah tersebut.
Kerja bantu-bantu ini telah berlangsung lama, juga sepengetahuan Komar, disebabkan tak banyak perkara di rumah untuk
diurus tangannya. Ia sering diminta istri Mayor Sadrah untuk
memasak jika anak-anaknya datang, atau kala tamu militer berkunjung, dan bisa membawa pulang sebagian untuk makan di
rumah. Rumah pegadaian juga sering pakai kerjanya, untuk memasak atau bikin kue-kue, tapi yang paling sering ia kasih bantu
di rumah Anwar Sadat, terpisah satu rumah belaka dari 131. Itu
karena Kasia sendiri harus ke rumah sakit setiap hari, dan masih
bekerja kala pulang ke rumah, dan anak-anak perempuan mereka
tak lebih begundal-begundal pemalas semata.
Di sana Nuraeni akan bantu memasak nasi dan bikin sayur,
semua bahan telah disediakan Kasia di lemari. Ia juga mencuci
untuk mereka, menyetrika, menyapu lantai dan halaman, dan
si?sanya mengurus pula bayi kecil Maesa Dewi. Setiap hari, kala
Komar telah mengayuh sepedanya menuju pasar ke bawah pohon
ketapang, selepas makan pagi, Nuraeni akan bergegas ke rumah
tersebut, masuk tanpa pernah mengetuk pintu, pertama ia akan
memandikan si bayi kecil yang baru terbangun, menenteng
pakaian-pakaian kotor ke kamar mandi sementara Maesa Dewi
dan Laila berbaring di sofa menggerogoti keripik kentang dan
Anwar Sadat terayun di kursi goyang mengisap kretek. Nuraeni
memasak buat makan siang sementara pakaian kotor direndam
deterjen. Kala ia hamil, Nuraeni masih melakukan itu, dan barangkali karena itulah Komar tak menyadari bahwa mereka bakal
punya anak ketiga.
Sebelum Nuraeni, Margiolah senyatanya yang datang pertama
kali ke rumah Anwar Sadat dan sering dimintai kerja tetekbengek di sana. Itu masa mereka baru datang ke 131 dan Margio
disuruh ayahnya untuk pergi ke surau belajar mengaji pada Ma
Soma. Belajar mengaji itu merupakan pelarian yang bagus bagi
Margio menghindari rumah yang menjemukan, dan di sanalah
ia beroleh teman baru. Dan beroleh hiburan baru.
Selepas isya, bersama beberapa bocah, mereka akan bergerombol di teras rumah Anwar Sadat, tepat di samping kaca jendela
besar dengan tirai yang dibiarkan terbuka. Tak ada televisi di
rumah bocah-bocah itu, dan Anwar Sadat punya serta membiarkan mereka melihatnya. Demikianlah ia akan berjejalan, berselimut sarung, kadang bersama lelaki-lelaki tua mengepulkan
asap tembakau, di kursi-kursi batang kelapa yang berderet di
teras, untuk menonton televisi. Rada segan bagi mereka untuk
masuk, sebab di sana duduk menghadap televisi sebuah keluarga
yang demikian khidmat tak terganggu, dengan anak-anak gadis
duduk bersila mengunyah kacang polong. Tak patut mengganggu
kedamaian macam begitu, dan mesti mencukupkan diri mengintip televisi melalui kaca jendela.
Tapi di waktu-waktu tertentu, Anwar Sadat membolehkan
mereka masuk, dan seringkali dengan nada menyuruh, duduk
di tikar menggusur kursi, meja dan sofa. Kadang-kadang mereka
mau, lain kali tidak jika tak hendak menonton lama-lama,
tapi pasti mau jika ada gelagat Anwar Sadat bakalan memutar
video. Lelaki itu sering pergi ke penyewaan video di satu hotel
tepi pantai, terutama malam Minggu, dan membiarkan anakanak dari surau ikut pula menontonnya. Kini Margio kenal pula
Kungfu Shaolin sebagaimana mengenal Rambo.
Suatu kali Margio ada di samping jendela kaca seorang diri
dan hujan turun deras. Bocah lain telah berlarian pulang tapi
tidak Margio, sebab sepanjang sore Komar habis memukuli
Nuraeni dan Margio enggan melihat itu berlanjut sampai hari
gelap serta berniat untuk menghabiskan malam melihat televisi
di sana dan melewatkan sisanya berbaring di surau. Di dalam
rumah, keluarga itu lengkap duduk mempercakapkan sesuatu
hingga seseorang mengeluh lapar dan bisalah Margio mendengar
ternyata mereka tak bersiap dengan lauk buat santap malam.
Melihat dirinya ada duduk di teras, Anwar Sadat keluar menemui
Margio, dan ber?tanya sekiranya ia mau disuruh membelikan lauk
ke pasar. Malam begitu biasanya masih ada penjual gorengan,
sate ayam, bahkan ikan bakar. Sebelum Margio mengiyakan,
sekonyong datang si bungsu Maharani dan berkata pada ayahnya
bahwa ia mau pergi asal ditemani.
Itulah awal Margio sering bekerja untuk Anwar Sadat sekaligus hubungan ajaibnya dengan si gadis Maharani. Mereka berdua
sebaya, berjalan di bawah atap payung melintasi hujan dan gelap.
Disebabkan Anwar Sadat tak punya anak laki dan ia satusatunya lelaki di rumah itu, setiap ia punya gawean berat ia akan
datang ke 131 dan meminta Margio membantu. Margio bisa mengangkut karung-karung beras ke gudang, membetulkan talang
yang bocor, dan menebangi belukar di pekarangan depan rumah
tersebut. Untuk itu semua Anwar Sadat sering kasih ia uang, atau
bahkan menyuruhnya bersantap di meja makan mereka, dan di
kala Lebaran kasih celana dan sepatu baru. Hingga suatu ketika
Anwar Sadat bertanya apakah ia bisa memanggil ibunya untuk
bantu memasak, dan ia menjemput Nuraeni.
Bagi Nuraeni, itu juga berarti pelarian yang menyenangkan,
terbebas dari rumah yang lebih remuk dari apa pun. Ia senang
pergi ke rumah Anwar Sadat, tak peduli banyak pekerjaan menunggunya di sana, tak peduli seandainya tak ada uang diberikan
Kasia kepadanya dan merasa cukup dibiarkan membawa pulang
serantang sayur dan beberapa potong lauk. Di sana ia bisa mendengar lagu-lagu sendu diputar Anwar Sadat dari ruang melukisnya, melihat gadis-gadis cantik yang riang, dan tak peduli pula
betapa anak-anak itu, terutama Laila dan Maesa Dewi, sering
menyuruhnya hal-hal remeh dan tak masuk akal. Berkali Laila
menyuruhnya untuk memijat, Maesa Dewi memintanya merebus
mie, dan ia akan melakukannya dengan suka. Di rumah itu
Nuraeni tak pernah bicara dengan kompor, dan menjelma
menjadi perempuan manis sebagaimana mestinya.
Di waktu-waktu belakangan, datang ke rumah itu dan bekerja
di sana telah menjadi demikian rutin hingga Anwar Sadat dan
Kasia tak perlu lagi memanggilnya. Malahan sering pula ia
sekonyong muncul bagai dijatuhkan langit-langit di waktu masih
remang dan bertanya pada Kasia, apakah ia hendak memasak
sendiri atau dimasakkan pagi itu. Biasanya Kasia menguasai
dapur di kala sarapan, namun di waktu-waktu malas ia merelakan
itu pada Nuraeni.
Serasa itu jadi rumahnya sendiri, sebab Nuraeni akan menggilas lantai lebih kilau dari pemiliknya, menjelajahi batas-batas
ubin dengan kain lap kecil memastikannya tak menyisakan debu
senoda pun, menggosoknya berulang seolah kucing yang tak ada
puas menjilati kaki. Dan kaca-kaca jendela dibuatnya serasa tak
ada, menipu kumbang dan ngengat membentur-bentur, sesuatu
yang tak dilakukannya di 131, sebab di sana meskipun ada dua
jendela kaca besar, penampakannya telah pudar oleh kapur dinding bilik yang tercecer kala Komar dan Margio melaburnya.
Nuraeni juga tak membiarkan bunga-bunga meranggas di pekarangan, tidak sebagaimana belukar bunganya sendiri, dan itu
menambah-nambah senang Kasia, hingga perempuan itu mempertahankannya serasa memiliki seorang pembantu setia yang
bersedia kerja tanpa upah sekalipun.
Rasa senangnya barangkali ditopang perlakuan Kasia dan
Anwar Sadat yang bagus betul kepadanya, bandingkanlah
dengan Komar yang kerap menghadiahinya pemukul rotan dan
memer?kosanya hampir di segala lubang. Komar tampaknya tahu
Nuraeni senang berada di sana, dan tak ayal ini kerap bikin lelaki
itu cemburu buta, menghukum Nuraeni dengan segala keji yang
dipikirkan setiap otak busuk, namun tak pernah berhasil menghentikan kepergian Nuraeni, terutama di saat-saat ia sendiri
mesti pergi ke pasar memangkas bulu kepala orang. Lagi pula
tampak?nya Komar tak banyak daya melihat Anwar Sadat dan
Kasia mem?beri uang pada Nuraeni dan Margio lebih banyak dari
yang diberi?kannya sendiri. Ia tak bisa menghentikan mereka,
maka ia hanya bisa memberi rasa pedas dan sakit, mengganti
sikap manis yang tak mampu ia kasih.
Namun sikap baik itu memberi jebakannya sendiri, yang
menggoda dan menghasut, dan bikin Nuraeni hilang akal.
Bukan sikap pengabdiannya yang hampir tanpa pamrih, yang
dengan tulus akan ia berikan pada orang-orang yang bagus budi
kepadanya, tapi bahaya itu mengancam pada sikap hidung belang
Anwar Sadat, yang tampaknya masih melihat warisan gadis
cantik dimiliki Nuraeni, dibandingkan dengan istrinya sendiri
yang sejak awal tak pernah sungguh menghidupi rasa berahinya.
Sekali waktu, Nuraeni tengah mengiris-iris bawang berdiri
menghadap meja di samping kompor yang berdengung oleh
air mendidih, Anwar Sadat datang sekonyong melewatinya dan
tangannya terayun meremas bokong Nuraeni. Telah lama ia berhasrat melakukannya, melihat pinggul yang membuncah itu,
mengkhayalkan selangkangan yang terjepit olehnya, dan daging
yang lesak di bagian belakangnya, dan penuh kesengajaan jarinya
meremas menerjang daging penuh itu, membikin Nuraeni nyaris
memenggal jemarinya sendiri. Awalnya Nuraeni terhenyak,
meski telah lama ia tahu dari desas-desus bahwa lelaki ini matakeranjang dan tak bisa tahan atas perempuan, menoleh dan
matanya bertambah bulat. Tapi demi dilihat senyum tanpa dosa
itu, di wajah yang lembut dan sama sekali serasa tak ada nafsu,
milik bocah-bocah kecil perengek, ia tak bisa marah. Senyum itu
manis, dan apa yang bisa ia lakukan hanyalah mengusirnya jauh,
dengan alasan tak lebih itu tak patut, terutama jika mata anak
gadisnya menangkap kelakuan tak senonoh itu.
Kedua anak gadisnya tak banyak muncul hidung. Laila sering
pergi dan Maesa Dewi lebih suka ngamar di tempat tidur. Dan
terutama sebab Nuraeni tak menampik galak, Anwar Sadat semakin doyan meremas bokongnya, atau menepuknya, setiap kali
mereka berpapasan, atau menyempatkan diri menghampirinya
kala lengah. Nuraeni tak lagi menoleh dengan mata semakin
bulat, tapi malahan menampakkan wajah semu merah, dengan
senyum tertahan yang sulit diterka. Sebab ia merasakan sentuhan
tersebut hangat, awalnya pendek dan tak tergopoh, suatu
sentuhan yang tak pernah dirasakannya. Ia bersemu merah sebab
barangkali me?nyukainya, sekaligus melihat ketidakpatutannya.
Maka setiap kali lelaki itu tampak, melangkah dengan senyum
tanpa dosa penuh pertanda, ia merasai dada bergemuruh serupa
kereta rongsok, menanti tangan itu menggapai sekaligus takut
merajalela.
Suatu hari Anwar Sadat tak hanya lewat dan tangan terulur
meremas daging pantatnya serupa pembeli yang merabai buahbuahan terpajang merasakan kematangannya, namun berhenti
di belakangnya sementara Nuraeni tengah berdiri memilah-milah
bayam membuang daun-daun yang digerogoti ulat. Perempuan itu
sejenak tertahan, merasai dengus napas menembus rambutnya
dan membelai tengkuknya, didera rasa seram yang tak karuan
mengirim rasa beku sekujur tubuhnya, sementara tangan Anwar
Sadat masih melekat di gaunnya, mencengkeram gundukan daging belakangnya, dan bertanya-tanya apa yang akan dilakukannya, dan apa mesti ia buat. Anwar Sadat membenturkan dirinya
perlahan, Nuraeni terdorong kecil memepet meja, dan keduanya
berimpitan tiada jarak, bikin si perempuan tak berani menolehkan wajah, sebab jika itu dilakukannya mereka akan beradu pandang, beradu muka, dengan hidung bertabrakan. Nuraeni masih
terdiam menggigil, tangannya menggantung kaku dengan batangbatang bayam berjatuhan gugur ke atas meja, sementara di
belakangnya Anwar Sadat bersandar ke punggungnya, menekan
bokong Nuraeni yang mengembung dengan tubuhnya, dan
tangannya yang tadi mencengkeram kini mengendur, ditambah
satu tangan lain, merabanya dalam usapan lembut yang mengirimkan kehangatan menembus gaun dan celana dalam hingga
terasa gesekan perlahan itu ke pori si perempuan. Nuraeni
hampir hilang napas merasai sepasang tangan tersebut menari
di sana.
Serasa ia mangsa yang telah takluk dicengkeram tengkuk.
Anwar Sadat, menyadari tubuh itu telah menjadi miliknya, menurunkan belaian tangannya, menelusuri rok mengembang
itu mengelus gumpalan paha, menekan kain rok ke kulit si
perem?puan lalu menariknya kecil perlahan dengan ujung jari,
sesibak demi sesibak seolah ia tengah menggaruk, hingga rok itu
terangkat dan kala ujungnya terkait di ujung telunjuk, tangannya
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanpa tergopoh masuk dan sentuhan kulit mereka membuat
bebulu kecil berdiri awas. Anwar Sadat tidak lagi mencengkeram,
namun me?rabanya, merasai paha Nuraeni dengan cara menarik
jemarinya ke atas, kemudian turun, lalu memutarinya, dan rasa
dingin yang beku sekonyong mengentakkan si perempuan, yang
tersadar dan terlonjak.
Segera kedua tangannya jatuh dan menurunkan rok, menyentuh tangan Anwar Sadat dan menjauhkannya dari pangkal kakinya, lalu dengan sentuhan kecil sikunya menyodok si lelaki agar
menjauh dari punggungnya. Penolakan itu demikian tersamar,
membuat Anwar Sadat masih sempat meraih bokongnya lagi,
dan menjauh penuh kesadaran, seolah mengerti belum tiba
waktunya untuk mencebur lebih dalam, sebab bagaimanapun ia
pecinta yang handal.
Nuraeni menoleh, dan rona merah di wajahnya melebar-lebar,
warna marah yang aneh sebab tampaknya tak sungguh galak,
lebih seperti rasa segan semata. Anwar Sadat hanya tersenyum,
kembali dengan wajah tanpa dosa itu, sebelum berlalu dan
membiarkannya jadi penguasa dapur yang sempurna.
Bagaimanapun itu membikin Nuraeni bekerja lebih ringkas,
dan tak membuang banyak waktu untuk segera pulang membawa
serantang sayur bayam bening. Selama tiga hari ia tak muncul di
rumah tersebut, meski di hari kedua Kasia datang untuk melihatnya, dan untuk itu Nuraeni mesti berdalih badannya sedang
tak enak betul. Senyatanya memang tak enak badan, berkali-kali
tubuhnya menggigil setiap kepalanya mengenang tubuh yang
mengimpit itu, serta tangan yang berenang di kulit pangkal paha,
hampir naik menerobos sudut paling rahasianya. Semua penggalan peristiwa itu terus berulang, dan ia masih juga merasakan
belaian tersebut, kadang hangat lain waktu dingin, dan semakin
mencoba, bertambah tak bisa ia mencampakkannya.
Di hari ketiga demam itu mampu ditanggulanginya, sebab
kini ia bisa mengenangnya tanpa rasa beku, dan mulai melihat
sisi intimnya yang mengejutkan, rasa hangat yang tak dikenali,
dan tiba-tiba walau ada rasa malu menyelinap, Nuraeni sedikit
me?rindukannya, mendamba satu sentuhan di gumpalan daging
pan?tatnya, yang akan menjalar jauh ke dalam, menyentuh setiap
pori tubuhnya. Demikianlah kemudian ia datang lagi, tubuhnya
sedikit gugup kali ini, tercenung sejenak di depan pintu seolah
tamu yang pertama datang, masuk ke dapur dan bekerja namun
pikirannya terbang berkelepak. Ia mendengar langkah kaki itu,
telah dikenalinya sebab caranya mempergunakan sandal selalu
diseret, dan tak perlu menoleh untuk mengetahui Anwar Sadat
tengah merayap menuju dirinya. Meski begitu, menoleh pula
akhirnya, melihat lelaki itu hanya mengenakan kolor dan kemeja
terbuka satu kancing, tersenyum namun tak lagi tanpa dosa,
lebih tepat jika senyum godaan. Nuraeni membalasnya dengan
sikap jengah, senyum yang malu-malu, sebelum tertunduk meski
ekor mata masih tertancap ke sosok yang menghampiri. Anwar
Sadat sadar perempuan ini telah tertaklukkan, dan datang untuk
me?nangkapnya.
Kali ini Anwar Sadat tak semata menjawil bokongnya dan
me?remas dunia lentur di sana, sebab kini ia kembali berdiri di
bela?kang perempuan itu dengan tangan melingkar memeluknya,
menghentikan segala gerak dan membisukan segalanya. Serasa
Nuraeni melihat udara yang menjepit dan ia terpaku, sepenuhnya
sadar lelaki ini akan berlaku lebih ganas oleh semacam penyerahan dirinya, dan merasakan kepalanya terbenam di rambutnya, menyentuh hangat sampai tengkuknya, dan terasalah
riuh dengus napas berembus, terpompa satu-satu, tak berirama
mengiringi letupan napasnya sendiri yang terpenggal-penggal.
Tangan itu melingkar di pinggangnya, mengapit serasa jari kepiting, mengirimkan aroma panas ke tubuh dan hawa sekitar.
Keduanya sejenak menari, entah oleh dorongan irama macam
apa, di tengah dapur yang lengang, serasa pengantin baru bermanja-manja. Tangan Anwar Sadat merayap perlahan, begitu
perlahan menghindari kejutan yang sekonyong, sebab ia tahu
ketergesaan bakalan mematahkan segalanya, mengelus tubuh si
pe?rempuan hingga tergapai menuju atas pinggangnya. Di sanalah
kedua telapak tangan itu, mencungkupi kedua dada Nuraeni,
tangan kanan menggenggam dada kiri, dan tangan kiri menggenggam gundukan kanan, tidak meremasnya, hanya membelainya lembut. Dada itu tak seranum masa gadisnya, meskipun kini
kembali kencang oleh hawa hangat yang menguap, telah sedikit
menggelayut oleh sedotan mulut Margio dan Mameh kala masih
bocah-bocah mentah, dan terutama oleh gilasan tangan Komar
yang melumat.
Anwar Sadat menyadarinya, seandainya ia memperoleh perempuan itu belasan tahun sebelumnya, ia bakalan menemukan
seluruh penampakan badaniah yang hampir sempurna. Telah
berbulan-bulan perempuan itu datang ke rumahnya, bergerak
di depan matanya, dan demikian menyesal memperolehnya
semakin terlambat lagi. Sepanjang bulan-bulan itu ia memindai
kecantikan?nya yang terpendam, di balik roman sendu yang tak
banyak celoteh, menyibukkan diri dengan benda-benda di tangan.
Ia belum pernah menggodai perempuan yang terlampau dikenal,
tetangga sendiri, dan ia mengenali pula lakinya, dan terutama
masuk rumahnya hilir-mudik serasa perempuan itu ipar sendiri.
Tapi penampilannya yang penuh kabut, dan pemahamannya
yang memadai untuk melihat roman menderita atas perlakuan
lela?kinya yang tak tahu untung, memaksanya untuk merenungi
pe?rempuan itu lebih banyak. Memandanginya sembari berpikir
seperti apa tubuh pedalamannya, yang terbalut gaun terusan
itu, dan bertanya-tanya sungguhkah dirinya telah habis diremuk
Komar sebagaimana ia tahu, dan terpesona juga memikirkan
apakah perempuan ini pernah mengharapkan satu sentuhan
lembut pecinta agung, yang dengan sudi bakalan diberikannya
untuk si murung itu.
Kini Anwar Sadat menyadari kemerosotannya, melalui tangan
yang menggenggam buah dadanya, tak peduli itu masih terbalut
kutang dan lapisan gaun, ia bisa mengerti namun sekaligus
mengaguminya, sebab setelah tahun-tahun yang menderitakan
tersebut, perempuan ini masih menyimpan buah dada yang tak
dibiarkannya terlampau matang hingga membusuk. Berahi perempuan itu naik, sebab bola-bola itu menggelembung pejal, pemahaman Anwar Sadat atas perempuan memberitahunya, dan
memberi jawaban lama bahwa perempuan ini memang membutuhkan sentuhan macam itu.
Tentu saja tak ada keberatan bagi lelaki ini untuk memberikan
kehangatan kepadanya. Tangan penuh bakat itu, yang
menciptakan patung-patung naturalistik di depan rumahnya,
yang me?nyapu kuas meniru tanpa malu lukisan Raden Saleh,
yang telah membikin banyak perempuan menggelinjang diimpit
tubuhnya, mulai deras bergerak, jarinya terangkat sebelum
terbenam, menyapu dan menggaruk, dan benarlah Nuraeni
mulai bersandar ke tubuhnya, pandangan mata kosong ke
langit-langit, dan ber?napas dengan mulut bercelah. Anwar Sadat
mencengkeramnya lebih erat, mencungkupinya lebih menekan,
telapak tangannya berputar serupa membuka tutup stoples,
sekali-dua itu membikin mereka oleng saling mendorong sebab
otak tampaknya tak lagi jalan dan kaki-kaki tak lagi kukuh, dan
tubuh keduanya telah disiram dari pedalaman mereka sendiri.
Nuraeni mengenakan gaun dengan dua kancing di lehernya,
satu tangan Anwar Sadat perlahan membukanya dengan gerakan
tiga jari serasa mereka punya mata, menguak ngarai dalam yang
lunak, dan kini kedua tangannya terlepas dari gundukan tersebut,
hendak berpindah, menyelisip ke balik gaun dan kutang dan
menemukan harta ka?runnya di sana.
Ingin sekali Anwar Sadat merampok daging itu, menggilasnya
dan mereka semakin liar, hingga terdengar suara pintu terbuka,
di suatu tempat di depan rumah, menghentikan berahi tersebut.
Kala Maesa Dewi muncul ke dapur, Nuraeni tengah menghadapi
meja menggenggam pisau, tanpa apa pun di depannya untuk
diiris-iris, hanya berdiri tak ada nyali berbalik, sebab Maesa Dewi
bakalan melihat leher gaunnya yang menganga, dan kutangnya
yang sedikit terkuak. Sementara itu Anwar Sadat menghadapi
poci, menuang air ke gelas dan meminumnya, pun tak hendak
menoleh. Sesuatu di dalam kolornya lunak penuh kesegeraan.
Maesa memandangi keduanya sejenak, sebelum berjinjit bergegas
ke kamar mandi, hilang di sana memberi bebunyi deras kencing
yang tumpah ke lubang toilet. Anwar Sadat pergi meninggalkan
dapur, tak sepatah kata pun tertukar di antara mereka.
Sesungguhnya, jika Margio dan Mameh jeli, semestinya me?reka
telah melihat roman riang itu sejak hari tersebut di wajah Nuraeni.
Semu merahnya telah membayang kala sore ia pulang ke rumah,
demikian juga binar matanya, serasa waktu mundur bagi Nuraeni.
Ia mandi sangat lama dan mengenakan gaun tercantiknya,
dibeli Lebaran empat tahun sebelumnya, bermain-main dengan
anak kucing di depan kompor sementara menanti nasi menjadi
tanak. Tak biasanya ia begitu terhadap makhluk semacam kucing,
mengelusi bulunya, membiarkan jemarinya digigit, dan bernyanyi
kecil seolah memberinya nina bobo. Ketika Mameh me?lihatnya,
lalu Margio memergokinya, belakangan Komar memelototinya,
tak seorang pun telah menyadari gelagat anyarnya, dan masih
melihatnya sebagai bentuk kesintingan yang lain.
Nuraeni masih merenungi siang yang ganas itu, baginya tak
ada yang lebih indah daripada apa yang telah diperolehnya, dan
merindukan telapak tangan Anwar Sadat sejadi-jadinya. Tampaknya tak ada lagi yang menjadi kepeduliannya, selain merenungi
kenangan tersebut, berdebar menanti apa yang bakal kejadian
atas mereka setelahnya, sebab sisi kewarasannya tahu semua
itu tak akan berhenti di sana, dan masih ada saat-saat lain yang
dengan sabar telah menanti mereka untuk mengisinya.
Ia melangkah ke rumah Anwar Sadat pukul sepuluh sehari
kemudian dengan tubuh hampir menggigil dan sejenak nyaris
bikin ambruk di tengah jalan. Ia mengenakan atasan dengan
kancing berderet, dan rok yang mengembang, serasa ia telah
me?masrahkan dirinya, memberi Anwar Sadat jalan yang lebih
mudah untuk meraih dirinya. Ia berharap mengulang hari
kemarin, da?danya berderak menyengal, sekaligus cemas Maesa
Dewi akan jadi iblis pengusik yang merusak rasa intim mereka. Ia
memasuki rumah tersebut dengan langkah tak ada bunyi, telapak
kakinya menyentuh ubin demikian lirih, menuju dapur purapura tak mengharapkan siapa pun, sebab matanya memandang
lurus tak menoleh mencari-cari. Namun di sana ia berdiri di
tengah ruang, pedalaman dapur yang lengang, kompor berderet
di satu sisi dan meja serta lemari teronggok di sisi lain, dan di
antara benda-benda itu menjulang dirinya, kali ini tampaknya
tak hendak menyentuh apa pun, tidak wajan tidak panci, tidak
pisau tidak kentang. Ia di sana, menunggu dirinya sendiri yang
disentuh.
Didengarnya pintu kamar yang terbuka, dan ia bertanya-tanya
Anwar Sadatkah atau anak perempuannya? Nuraeni masih di
sana, tak menoleh untuk cari tahu, sebab dirinya terlalu lesu. Namun dari langkahnya kembali ia mengenalinya, itulah makhluk
yang ia nantikan. Anwar Sadat rupanya mengerti, melihat sosok
si perempuan tak berdaya di tengah dapur, bahwa siang itu akan
menjadi milik mereka berdua, semuanya kini di tangannya, dan
perempuan itu tanpa kata-kata telah berkata, terserah apa yang
hendak kau lakukan hingga kita tak akan terpatahkan oleh apa
pun juga.
Demikianlah Anwar Sadat mendatanginya, menarik tangannya, dan dengan langkah terseret menggiring dirinya ke kamar
tidur, menutup pintu dan mengunci mereka di dalamnya. Itulah
dunia intim sesungguhnya, tak terjangkau oleh apa pun juga,
bahkan tidak Maesa Dewi maupun Kasia.
Anwar Sadat masih berdiri di tentang pintu, sementara
Nuraeni canggung di depannya, muka menunduk tak tahu mesti
bersikap, kemudian mundur teratur hingga membentur ujung
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tempat tidur, dan terduduk di atas kasur. Tangannya menyentuh
seprei, matanya merenungi, seprei itu putih bersih dan tebal,
dengan motif ekor murai berwarna cokelat tua, permukaannya
lembut serasa bulu randu. Kasurnya busa, ia bisa merasainya,
padat namun bisa melesak. Ingin sekali ia berbaring di sana,
dengan kepala ditopang kedua tangan, meringkuk dengan lutut
sedikit menekuk, dalam tidur abadi yang hangat, tak ada lagi
tukang pukul yang merongrong dirinya, dan tak ada lagi hidup
penuh cemas. Anwar Sadat melangkah menghampirinya, terlihat
kakinya bergerak, dan itu menghentikan renungan Nuraeni hingga ia terdongak memandang penakluk berwajah tanpa dosa itu.
Sejenak mereka bertatapan, dan Nuraeni tersenyum malu,
kembali menunduk, dan memandang sesuatu menonjok di balik
kolor Anwar Sadat. Itu membuatnya kembali beku, namun Anwar
Sadat telah menyentuh bahunya, membuatnya kembali hangat,
lalu dengan satu sentuhan kecil mendorongnya rebah di per?aduan.
Di sana ia telentang, dengan kaki masih menjuntai ke lantai,
rambutnya melebar tumpah, sepasang dadanya ber?guncang oleh
sengal napas. Anwar Sadat membuka kedua kaki perempuan itu,
di antara keduanya ia berdiri, menjatuhkan di?rinya, mengimpit
di atas tubuh Nuraeni. Tekanan itu mendebarkan, namun
menggelorakan, seolah tahu kini tak lagi ada yang tertunda.
Sangatlah jelas Anwar Sadat seorang penyabar dalam bercinta.
Tanpa bersegera menanggalkan tameng-tameng mereka, ia membenamkan bibirnya ke bibir perempuan itu, sementara tangannya
melingkar mendekapnya, tak membiarkannya hengkang. Pada
awalnya Nuraeni hanya terdiam, membiarkan garis-garis bibir
yang semula kering saling bersentuhan, di batas jarak semacam
itu ia tak bisa memandangnya tajam, namun bisa merasai mulut
lelaki itu mengatup-ngatup serupa ikan di permukaan kolam,
mengirim aliran basah ke rekahan mulutnya. Anwar Sadat terus
memancingnya untuk membalas, memagut bibir bawahnya dan
sedikit menariknya, melepaskannya dan mengatup sepasang bibir
tersebut, hingga lama-kelamaan akhirnya balasan itu datang,
dalam gerakan-gerakan kecil, sebelum sekonyong telah mengatup
mulut si lelaki, dan Nuraeni menjadi lebih pemberani.
Selepas itu segalanya menjadi lebih gampang, Anwar Sadat
mengendusi leher perempuan itu, menyelusup ke tepian rahangnya, menuju balik telinganya, kembali ke bibirnya, mencari telinga
yang lain, dan mereka bergerak, berputar, Nuraeni mendorong
dirinya dengan kaki, hingga keduanya telah berada di atas tempat
tidur selengkapnya.
Bagaimanapun mereka tak berlanjut ganas, namun lebih perlahan dan khidmat, serasa pecinta-pecinta agung yang mengerti
bagaimana seni persetubuhan yang sesungguhnya. Anwar Sadat
melepaskan kelima kancing atasan perempuan itu perlahan, demikian lambat sehingga di antara mereka sendiri hampir tak menyadarinya kala itu telah menganga semua, dan Nuraeni harus
menarik tangannya untuk menanggalkan pakaian tersebut. Kini
ia tampak setengah polos, membuka sendiri penutup dadanya,
yang tampak serupa puding tumpah bergelinjang sendiri tak
kukuh, berguncang, sementara Anwar Sadat duduk di pahanya,
membuka kaos oblongnya, memperlihatkan dadanya sendiri
yang lebat oleh bebulu, di antaranya telah separuh putih.
Setengah polos keduanya masih saling memandang, hingga
Anwar Sadat menaruh kedua telapak tangan di puding langsat
tersebut, meng?guncang dan meremasnya tanpa terhancurkan,
sebelum tubuhnya tumbang tanpa melepas genggaman, kembali
menumpahkan cium berahi di mulut Nuraeni. Rok dan celana
mereka tanggal tanpa tubuh keduanya terpisahkan, didorong
tangan terampil yang menarik-narik dan melemparkan itu semua
ke lantai. Kini mereka polos sempurna, dengan lutut Nuraeni
terangkat dan ke?dua kakinya memutar mengapit tubuh Anwar
Sadat, di sana me?reka bercinta lama, penuh peluh dan dengusan
pendek, mengerisutkan seprei ekor murai hingga berpusing.
Momen itu demikian menakjubkan bagi mereka, sesuatu
yang nyaris tak terenungkan. Berbaring sama telanjang mereka
tak berkata-kata, sebab tak banyak mereka berbincang, sebab
berahi tampaknya tak membutuhkan kata. Dengan tubuh
dan jiwa yang lelah, keduanya berbaring berdampingan, mata
setengah redup menatap langit-langit dengan lampu mati dan
satu-satunya cahaya datang dari tirai tipis yang menghalangi
jendela, sinar ma?tahari yang beranjak siang. Nuraeni sendiri
masih takjub dengan keberanian tubuhnya sendiri, namun tak
terperi ia demikian bahagia, dan tak perlu bertanya pada lelaki
itu apa yang dirasa?kannya. Hingga tanpa ragu, perempuan itu
berbalik, menimpakan pahanya ke tubuh Anwar Sadat, dan
memejamkan mata. Ada garis lurus di bibirnya.
Siang itu ia pulang ke rumah dan belum seorang pun di sana
menyadari perubahan perangainya. Barangkali ia terlampau
menyembunyikan rasa suka, atau penghuni rumah terlampau
abai terhadap perempuan ini. Hanya Anwar Sadat yang merasakannya, terpesona bisa membuat perempuan itu menjadi
pengantin baru sepenuhnya, dan ia akan menyediakan dirinya
untuk Nuraeni, di hari-hari mereka yang panas dan semakin
liar, di tempat tidur yang sama dan lain waktu di tempat-tempat
ber?ganti. Adakalanya Maesa Dewi pergi juga dari rumah, dan
berdua mereka akan menutup semua pintu dan gorden dan
meredupkan lampu-lampu, dan berahi di atas sofa, di meja
dapur, di bak mandi, dan sekali waktu di lantai ruang tempat
Anwar Sadat melukis.
Nuraeni menyadari kemudian kehadiran jabang bayi di perutnya, tanpa perlu ia bertanya pada bidan atau mantri, sebab
naluri perempuannya telah gamblang menjelaskannya sendiri.
Itu sama sekali tak membikinnya panik, malahan tambah membuatnya suka, dan sering membikin ia duduk merenungi si bakal
bayi, mengelusi perutnya yang belum juga membuncit, seolah
itulah satu-satunya anak sejati yang ia miliki. Serasa anak pertama
yang lama dinanti-nanti, dan ia akan berkaca-kaca mendamba
hari ketika ia bakal menumpahkannya ke dunia, mendengarnya
menangis, melihatnya tumbuh, dan demi apa pun, ia pasti akan
sangat mencintainya. Sering ia bernyanyi-nyanyi kecil, seolah bayi
itu telah lahir dan tengah dihiburnya dari cengeng kanak-kanak.
Pada masa itulah Margio merasakan perubahannya, melihatnya lebih berias dan cemerlang dan cantik tanpa pernah ia melihat
ibunya seperti itu di tahun-tahun kebersamaan mereka, dan lama
setelahnya kemudian Margio sadar roman cantik itu datang dari
bayi perempuan yang meringkuk di rahimnya, membisikkan itu
pada Mameh bahwa ibu mereka tengah hamil, dan keduanya
ter?pesona akan penantian jabang bayi yang tak terduga-duga.
Masa itu Margio masih berpikir itu adik kandungnya, dari ayah
yang sama, meskipun ia sempat bertanya-tanya dengan cara apa
Komar mengangkanginya. Telah bertahun-tahun, tampaknya
sejak be?lukar bunga datang, Nuraeni minggat dari sampingnya
dan tidur dengan Mameh di kamar lain, dan demi melihat tubuh
udzurnya, serta pernah juga mengeluhkan kelaminnya yang
bengkak, Margio meragu jika Komar masih memburu Nuraeni
untuk me?nyodok lubang kemaluannya, tak peduli sebesar apa
pun nafsu berahinya.
Margio belum menyadari keberadaan Anwar Sadat dalam semua keajaiban rahim Nuraeni, masih berbaik sangka Komar memang masih mampu melakukannya, dan terbayang olehnya suatu
malam Komar menyeret Nuraeni dari kamar Mameh dan mengempaskannya di tempat tidur, atau di peti gudang beras, dan menodongnya mahakejam. Tentu ia melakukannya berkali-kali, hingga perempuan itu kembali hamil, tanpa memedulikan kenyataan
kedua anak yang mereka miliki pun hampir sering kurang makan.
Ia tak membicarakan hal itu dengan adiknya, menyimpan sendiri
pertanyaan-pertanyaan, dan dibikin heran setelah perut Nuraeni
tampak semakin bulat, Komar tampaknya belum juga menyadari,
sebab tak ada kata apa pun terucap mengenai adik bayi, juga tak beri
perhatian berlebih untuk bininya. Seolah-olah jika pun Komar telah
meniduri istrinya, ia tak yakin bisa membuahinya, dan tak pernah
menelisik adakah sesuatu berubah di penampakan rahim Nuraeni.
Ketika Komar bin Syueb akhirnya tahu, gempa amukan itu
datang sejadi-jadinya, mengejutkan Margio dan Mameh sekaligus,
sebab telah lama Komar demikian abai pada istrinya, meski masih
kerap memukulinya. Kini amuk itu datang lebih ganas, seperti
amarah yang lama tertahan, menyeret perempuan itu dari dapur
ke tengah rumah, dan menempelengnya tanpa mengatakan apa
pun. Nuraeni menjerit, kini tampaknya perempuan itu hendak
melawan, barangkali mempertahankan gumpalan tercinta di rahimnya, meneriakkan kata bangsat dan anjing dan babi, dan
Komar bin Syueb membalasnya dengan bangsat dan anjing
dan babi pula. Melihat Nuraeni yang melawan, Komar semakin
bengis mengayunkan lengannya, kali ini tidak dengan telapak
tangan terbuka, tapi telah tertutup menjadi kepalan, menimpa
deras dahi istrinya.
Nuraeni terempas ke dinding, menimpa palang kayu, dan
bikin bilik bambu sedikit tambah menggelayut. Komar datang
memburunya, mengayunkan kaki menghajar betisnya, dan
Nuraeni terpojok, ambruk di lantai. Itu pun tidak cukup, maka
ditendang pula pinggulnya, sebelum Nuraeni menangkap kaki
itu dan mendorongnya. Dengki melihat perempuan yang tak juga
mau dikalahkan, Komar mencengkeram rambutnya, membuat
Nuraeni kembali berjinjit meringis, dan pada saat mereka telah
sejajar, tangan Komar datang menimpuk rahangnya, kali ini
kem?bali ia terhuyung ke sudut lain, dengan pipi membiru semu
merah, sedikit bengkak, namun tetap bertahan tak mengucurkan
tangis, hanya tangan memeluk perutnya membentengi.
"Perempuan sundal!" pekik Komar bin Syueb, sambil melemparkan asbak seng ke mukanya, dan pergi meninggalkan mereka.
Margio dan Mameh ada di sana, demikian cepat semua adegan
itu, hanya bikin mereka pasi tak karuan. Ketika tersadar untuk
berbuat, Komar bin Syueb telah pergi. Mameh menghampiri
ibunya, memapahnya dan membawanya ke tempat tidur. Hanya
Mameh yang kadang tak bergeming, pada saat-saat tak tertahankan ia bisa menangis, dan sambil sesenggukan ia mengipasi
ibu?nya, mengelus memar-memar tersebut dan bertanya apakah
ingin diambilkan air kompres, tapi Nuraeni hanya menggeleng
dan menggenggami tangan Mameh.
Kini Margio menyadarinya, bayi kecil di dalam perut ibunya
bukanlah benih Komar. Kemarahan membengkak itu sangat terjelaskan, dan sejenak ia gamang di mana mesti berkubu. Ia sendiri
hampir tak percaya Nuraeni memperoleh benih dari seseorang,
dan Margio belum juga punya gagasan siapa yang telah menumpahkan itu di rahim ibunya, sebab menyadari ibunya telah memperoleh itu tidak dari Komar pun telah membikin Margio terguncang.
Ada rasa malu membuncah di dirinya, dan menuntunnya
pergi dari rumah, terdampar di pos ronda, dan terus merenungi
semua itu sebab ke mana pun pikirannya pergi, kenyataan tersebut demikian gamblang di depan matanya. Ia tak bicara pada
seorang pun kawan, meski satu dua bertanya mengapa ia demikian murung, sebab tahu hal begitu bukan untuk dipercakapkan. Apa jadinya jika semua kawan, dan lalu semua orang di
seantero bumi tahu, bahwa ibunya tengah bunting oleh seseorang
yang bukan ayahnya. Ingin sekali ia membakar kedua orang
keparat itu, yang baginya serasa mereka berdua berkomplot untuk
menganiaya dirinya dan Mameh, tapi jauh di dalam hatinya ia
tak bisa mengutuk ibunya yang telah melewatkan tahun-tahun
menderitakan tersebut, dan tak bisa menyumpahserapahi ayah
yang telah dikhianati demikian seronok.
Bagi Komar bin Syueb sendiri, tak ada yang lebih menyakitkan
diri daripada apa yang terpampang di hadapannya, seorang istri
yang memamerkan rahim berisi benih lelaki asing, lebih sakit
daripada memikirkan kenyataan bahwa ia tak pernah sanggup
membuat mereka senang. Ia pergi ke kios cukur dan lebih banyak
suwung, nyaris mengiris kuping pelanggannya, dan pelanggan
lain hampir dibuat rambutnya tercabik-cabik. Matanya semakin
berkaca-kaca, menyedihkan keadaan diri sendiri, mengenangi
tahun-tahun lewat yang penuh keputusasaan dan ia mencoba
mengurai dari mana segala kesalahan ini berawal, seandainya
memang ada kekeliruan.
Tahun-tahun itu berlalu demikian cepat, pikirnya, seperti
kereta yang tepat jadwal dan enggan menunggu. Ia mengenang
Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Bayangan Sukma 4 Dewi Cantik Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama