Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini Bagian 2
mulai membaca soal-soal matematika yang harus kukerjakan
Keasyikan mengerjakan soal-soal yang jumlahnya ada dua
puluh buah dan cukup sulit untuk ukuran otakku yang tidak
seberapa pintar, aku tidak menyadari ketika ada sesosok tubuh
tinggi besar yang sudah berjongkok di depanku.
"Nggak ngerjain PR, ya!"
Sebuah suara yang sepertinya kukenal dan menimbulkan
rasa jengkel di dadaku tiap kali mendengarnya. Kepalaku
75 75
mendongak seketika. Dan tampaklah seraut wajah yang membuatku ingin meletakkan pensilku dan ganti menonjok muka
yang sedang nyengir onta tepat di depanku.
Ya ampun, kenapa sih aku harus bertemu onta padang pasir
yang satu iniSetelah peristiwa kemarin, aku berharap selama sisa masa
belajarku di SMA ini, aku tidak akan pernah melihat penampakannya lagi.
"Ternyata kamu bandel juga, ya."
Aku kembali berkonsentrasi pada soal yang tengah kukerjakan.
"Dapat hukuman mengerjakan berapa soal?"
Nggak peduli.
Ngomong aja sendiri!
Aku benar-benar malas menanggapi omongannya. Namun,
aku tidak bisa pura-pura terus serius pada soal-soal matematika
yang tertulis di buku diktat yang kuletakkan di pangkuanku,
pensilku berhenti bergerak karena aku tidak bisa mengerjakan
soal yang ini. Aku diam menunduk sambil berpikir keras tapi
tidak mampu juga menyelesaikannya.
Tiba-tiba tangan Kemal mengambil buku-buku dari pangkuanku termasuk pensil yang terselip di jariku. Dengan santai
dia mengubah duduknya jadi bersila di depanku. Lututnya yang
terbungkus celana abu-abu menyentuh lututku yang tertutup
rok seragamku. Posisi duduknya seolah mengunciku agar tidak
bisa bergerak.
Huh, dasar anak pintar!
76 76
Hanya butuh waktu sepuluh menit, soal-soal yang tersisa
sudah dikerjakannya sampai selesai. Aku sampai melongo
melihatnya.
"Bilang terima kasih dong, kan aku sudah mengerjakan semuanya," ucapnya sambil mengembalikan buku-buku ke pangkuanku
dan menyelipkan kembali pensil di antara jari kananku.
Dari melongo, bibirku berubah mengerucut. Cemberut. Aku
bahkan tidak ingin mengucapkan sepatah kata pun di depannya.
Walaupun dalam hati aku bersyukur dia membantu mengerjakan
semua soalnya. Entahlah, rasanya berat banget untuk membuka
mulut dan sekedar bilang thank?s, karena setiap kali melihat
muka Kemal aku teringat ejekannya pada Raven. Dan aku
langsung merasa marah, sebal, jengkel, bercampur jadi satu di
dadaku.
"Dasar cewek aneh! Sudah dibantuin bukannya terima kasih
malah melotot begitu," ujar Kemal segera berdiri.
Dengan santai dia menepuk-nepuk pantatnya yang kotor
karena duduk di lantai dan segera berjalan tanpa menoleh
menyusuri lorong kelas. Aku terus menatapnya, menyumpahnyumpah dalam hati melihat cara berjalannya yang sebenarnya
biasa-biasa saja tapi tampak menyebalkan di mataku. Bukan
cara berjalannya saja yang tanpa alasan membuatku jengkel,
apa pun yang dilakukan si Onta Padang Pasir itu terlihat menyebalkan. Tiba-tiba langkahnya berhenti dan tubuhnya berbalik,
dengan gaya yang membuatku ingin muntah, sambil tersenyum
dia menempelkan jarinya di bibir membuat gerakan cium jauh
padaku.
77 77
Hueks!
Aku melengos sebal.
Aku masih duduk di luar di samping kanan pintu kelas. Duduk
bersila dengan buku diktat matematika dan buku tulis ter?geletak
di pangkuanku. Semua soal sudah selesai, separuh?nya atas
bantuan Kemal yang tiba-tiba muncul tanpa diundang dan
pulangnya pun tidak minta diantar. Seperti jelangkung, dia
termasuk makhluk yang mandiri. Aku masih bertahan di luar
karena Bu Priyanti berpesan aku baru boleh masuk setelah
pelajaran matematika berakhir dan aku harus menyerahkan buku
yang kupakai untuk mengerjakan soal langsung ke ruang guru.
Ini sebenarnya juga termasuk hukuman karena semua guru akan
tahu hari itu aku tidak mengerjakan PR matema?tika.
Untuk mengisi waktu, aku menyobek bagian tengah buku
tulis. Detik berikutnya aku sudah larut dalam gerakan pensilku
yang menggores-gores cepat di atas kertas bergaris dan membentuk sketsa seseorang yang semalam membuatku nyaris
tidak bisa memejamkan mata barang sejenak.
Seseorang yang sering kulihat dari kejauhan tapi tanganku
sudah sangat hapal menggambar garis-garis wajahnya. Hatiku
terasa gembira memandang gambar yang dalam waktu singkat
sudah membentuk wajah seseorang. Aku paling suka saat
menggambar bagian matanya, karena ketika menggambarnya
aku seolah bisa merasakan tatapan tajamnya yang selalu
menghunjam jantungku.
78 78
Dengan puas aku memandang gambar yang sudah sempurna
di pangkuanku. Membawa kertas itu menempel di dadaku,
memejamkan mataku rapat-rapat seolah merasakan tatapan
matanya yang menembus jantungku. Sungguh, dadaku berdebar-debar membayangkannya. Sesaat larut dalam lamunan
yang menghanyutkan khayalan, akhirnya aku membuka mata
pelan-pelan.
ASTAGA!
Aku nyaris melompat berdiri saking kagetnya. Atau lebih
tepatnya aku akan memilih pingsan dan langsung kehilangan
kesadaran saat ini juga, begitu melihat seraut wajah dengan
sepasang mata menatap tepat di kedua bola mataku. Posisinya
yang berjongkok di depanku membuat jarak antara mata kami
jadi lumayan dekat. Karena terlalu syok, kertas bergambar
sketsa wajah yang tadi kudekap di dadaku terlepas begitu saja
dan jatuh terbuka di pangkuanku.
Ya Tuhan, apakah dia sudah lama berjongkok di situTiba-tiba aku teringat gambar yang sudah terbuka lebar di
pangkuanku. Refleks, kedua tanganku dengan cepat meremasnya menjadi gumpalan kecil dan kugenggam erat di tangan
kananku.
Mukaku terasa panas.
Malu.
Sangat-sangat malu.
Aku yakin dia bisa melihat dengan jelas gambar yang tadi
kudekap erat di dada dengan penuh perasaan dan kemudian
terlepas begitu saja di pangkuan.
79 79
Perlahan, dengan sangat tenang Tama meraih tangan kananku. Aku menggenggam semakin kuat. Tangan kirinya memegang
pergelangan tangan kananku, tangan kanannya dengan lembut
membuka satu per satu jemari tanganku. Sementara matanya
tidak beralih dari kedua mataku.
Tubuhku gemetar.
Dadaku berdebar-debar liar.
Hatiku gusar.
Dengan mudah Tama mengambil gumpalan kertas dari
telapak tangan kananku. Membukanya pelan-pelan, meletakkannya di atas pahanya dan meluruskan bagian yang tampak
berkerut dan kusut serta mengusap-usap permukaannya
dengan telapak tangannya.
Aku diam terpaku melihat semua aktivitasnya. Tidak mampu
berbuat apa-apa biarpun dalam hati aku punya ide untuk
merampas kertas di atas pahanya dan merobek-robeknya
menjadi serpihan-serpihan kecil.
Setelah seluruh permukaan kertas rata, Tama melipatnya
dua kali menjadi lipatan persegi panjang, dilipat dua kali lagi
hingga menjadi bujur sangkar kecil yang rapi kemudian memasukkannya ke dalam saku kemeja seragamnya. Saat memasukkannya, bibirnya tertarik dan sebuah senyuman kembali
tersungging di bibirnya.
Aku terpesona melihatnya.
Tama berdiri dengan gerakan perlahan dan melangkah tenang masuk kembali ke dalam kelas. Meninggalkanku yang
80 80
duduk terpaku dengan tatapan kosong. Mulutku terbuka
seperti lupa bagaimana cara menutupnya. Bengong.
Buru-buru kedua tanganku mendekap dadaku. Masih kurasakan jantungku yang berdetak tidak beraturan. Ketika aku
tengah menikmati debaranku, aku merasa ada yang memperhatikanku di kejauhan. Mengikuti kata hati aku menoleh ke kiri,
ke arah lorong kelas yang memanjang dan di ujungnya berdirilah sesosok tubuh dengan tangan bersedekap dan tatapan
mata yang bisa kurasakan panasnya menyembur wajahku. Biarpun dari jarak yang lumayan jauh, tapi aku seperti bisa merasakan kemarahannya merambat lewat udara dan meluncur
cepat ke arahku.
Aku membuang napas pendek tanda kesal.
Huh, ngapain juga si Onta Padang Pasir itu berdiri melotot
di sana!
81 81
Rencana Pesta
alam ini, aku, Bashira, Ayah, dan Ibu duduk
berempat di meja makan mengadakan sema
cam rapat kecil untuk persiapan pesta ulang
tahun kami yang ke tujuh belas, yang jatuh
pada tanggal 28 Oktober.
"Nadhira!" seru Ibu untuk kesekian kalinya memperingatkanku
yang sejak tadi memang kurang berminat dalam posisi menyangga kepala dengan kedua tanganku.
Aku terlonjak kaget dan buru-buru menegakkan posisi
tubuhku, melipat kedua tangan di atas meja. Sejujurnya, aku
memang tidak ingin mengadakan pesta ulang tahun.
"Bu, aku nggak usah ikutan, ya? Biar Bashira aja, aku mau
merayakannya dengan Raven dan anak-anak pintu belakang.
82 82
Yah, makan-makan di kantin aja. Boleh ya?" Aku merajuk pada
Ibu untuk meminta pengertiannya karena aku benar-benar
ingin merayakannya hanya dengan teman-teman terdekatku.
Tatapan Ibu langsung mengunci kedua bola mataku. Wajahnya tampak serius dengan kening berkerut rapat.
"Kamu ini kenapa, sih? Ibu saja dulu ingin membuat acara
pesta ulang tahun ketujuh belas dan mengundang teman-teman
tapi tidak kesampaian karena tidak ada biaya. Lha, kamu yang
tidak ada masalah dengan biaya kok malah malas-malasan!"
"Aku hanya ingin merayakan bersama teman-teman dekat
saja," jawabku ngotot.
"Lho, di pesta ini mereka kan bisa kamu undang juga!"
"Tapi kalau pesta kan rame-rame gitu."
"Rame-rame gimana? Kan yang diundang cuma teman sekelas dan teman dekat lainnya. Acaranya di rumah, Dhi, bukankaya."
nya di hotel bintang lima. Kamu sendiri tahu kita bukan orang
"Tetap lebih enak dengan teman terdekat, Bu. Nggak perlu
ribet."
Kali ini Bashira yang duduk di sampingku, segera memutar
tubuhnya menghadapku.
"Dhi, anggap pesta ini untuk menandai usia kita yang sudah
masuk fase awal kedewasaan. Ini perayaan ulang tahun terakhir
dengan ngundang teman-teman. Setelah ini kita tidak perlu
mengadakan pesta yang ramai, cukup dengan orang-orang
terdekat."
"Tapi aku nggak suka acara begituan!" Aku tetap ngotot.
83 83
Ayah yang sejak tadi diam mulai serius memandangku dari
seberang meja. Melihat tatapannya justru membuatku bertekad
untuk menolak rencana ini.
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa?" tanya Ayah dengan suaranya yang berat dan
tatapan tajam.
"Kan sudah kubilang tadi," jawabku mulai kesal.
"Maksud Ayah, kenapa kamu susah sekali diatur!"
"Susah diatur bagaimana? Bukannya selama ini aku selalu
mengikuti apa yang Ayah inginkan. Tapi, tolong untuk yang satu
ini aku tetap nggak mau."
"Bashira saja nurut. Tidak keberatan," ujar Ayah mulai membanding-bandingkan lagi.
Aku menghela napas kemudian mulai melancarkan argumentasi yang selama ini sudah menyesak di dadaku.
"Ayah, aku dan Bashira memang kembar, berbagi tempat
yang sama di rahim Ibu. Tapi kami ini tetap saja dua pribadi
yang berbeda. Kembar kan tidak harus ke mana-mana bareng,
pakai baju yang sama, sama wajah, sama rupa, sama kelakuan,
sama pintar. Apa kalau Bashira terjun ke dalam sumur aku juga
harus ikut? Atau kalau aku koprol di tengah jalan, Bashira wajib
melakukannya juga? Jangan terus-terusan membandingkan
kami berdua. Aku sudah capek mendengarnya, Yah. Capek!"
Selesai mengungkapkan isi hatiku, napasku tersengal-sengal
terbawa emosi.
Kali ini bukan hanya Ayah yang memandangku tajam, Ibu
juga, Bashira bahkan melongo menoleh padaku.
Suasana jadi hening.
84 84
Sunyi.
Aku menundukkan kepala menatap meja makan. Menghitung
mundur dalam hati untuk mendengar kemarahan Ayah yang
kuyakin akan segera meledak karena argumentasiku yang cukup panjang tadi. Aku benar-benar menghitung mundur dalam
hati, lima... empat... tiga... dua... satu...
Namun, tidak juga kudengar gelegar kemarahan Ayah seperti
biasanya.
"Apa pantas dilihat orang kalau Bashira saja yang mera?yakan
ulang tahunnya? Nanti dikira kami sebagai orangtua membeda
bedakan anak sendiri. Pilih kasih," kata Ibu dengan intonasi
pelan tapi aku bisa merasakan ada kemarahan di sana.
"Kenapa harus bingung dengan pendapat orang, BuBukankah yang penting kita di rumah ini baik-baik saja. Tidak
ada masalah. Nanti aku akan bantu-bantu mempersiapkan
pestanya. Besoknya, beri aku uang untuk merayakannya di
kantin sekolah bareng lima orang teman dekatku. Tidak akan
habis biaya banyak."
Suasana kembali hening.
Tapi tidak lama.
Karena aku mulai mengajukan alasan yang sebenarnya tidak
kurencanakan sebelumnya. Pikiran itu melintas begitu saja di
otakku.
"Lagian, kasihan kan teman-teman yang diundang kalau yang
ulang tahun dua orang. Mereka harus beli dua kado sekaligus.
Iya kalau duitnya banyak, kalau yang dari keluarga pas-pasan
apa tidak malah menambah beban hidup mereka?"
85 85
"Mereka kan nggak harus bawa kado!" bantah ibu.
"Ya ampun, Bu, biarpun di undangan kita nggak bakal nulis
"tiada kesan tanpa kehadiran kadomu" atau kita cetak tulisan
seperti di undangan nikahan, "maaf kami tidak menerima
hadiah berbentuk uang ataupun barang", apa mereka akan
benar-benar datang dengan tangan kosong? Nggak kan, BuIbu sendiri yang selalu mengingatkan aku dan Bashira saat
diundang ke pesta ulang tahun untuk selalu membawa kado."
Kali ini sepertinya Ibu kehabisan kata-kata.
Sedangkan aku, entah datang dari mana persediaan kata
kataku yang melimpah ruah. Sehingga aku bisa mengucapkan
kalimat-kalimat panjang malam ini.
Kami semua kembali terdiam.
Tiba-tiba suara Ayah memecah keheningan yang terasa
canggung di meja makan.
"Baiklah. Tapi kalau nanti teman-temanmu bertanya kenapa
hanya Bashira yang mengundang mereka, kamu harus menjelaskan. Biar mereka tidak berprasangka yang bukan-bukan
pada kita."
Aku menatap Ayah dengan pandangan lega.
"Baik. Aku siap melakukannya," jawabku mantap. Kepalaku
menoleh pada Bashira yang sedari tadi tampak duduk diam di
sampingku, "Shira, siapa saja yang mau kamu undang?"
"Teman sekelas dan anak OSIS," jawab Bashira pendek,
menoleh padaku sebentar.
86 86
"Ibu, tugas apa yang harus kulakukan untuk membantu pesta
Bashira nanti?"
Raut wajah Ibu tampak tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Dipandanginya aku beberapa saat sebelum menjawab.
"Kita lihat saja nanti, apa yang bisa kamu kerjakan."
"Oke, sudah selesai, kan?" tanyaku sambil berdiri.
Tidak ada yang menjawab. Tapi Ayah, Ibu, dan Bashira serentak ikut berdiri. Begitu melihatnya aku segera beranjak
menuju kamarku. Aku hanya ingin melepaskan rasa legaku dengan melemparkan diri ke tempat tidur.
Suatu kebetulan yang sangat manis karena tanggal 28 Oktober
jatuh pada hari Minggu. Saat hari libur. Ayah dan Ibu memang
menginginkan pesta dilangsungkan siang hari. Menurut mereka
kalau malam hari, selain besoknya harus masuk sekolah, juga
faktor keamanan. Menurut mereka terlalu berisiko jika seorang
remaja pulang malam sendirian.
Aku larut dalam kesibukan mempersiapkan pesta. Tidak
banyak yang harus kulakukan karena ini hanya pesta kecil dan
sederhana. Untuk urusan konsumsi, jelas jadi tanggung jawab
Ibu dibantu saudara-saudara. Bashira memintaku mengurus
undangan, dalam arti menulis nama-nama yang diundang di
am?plop undangannya. Karena tulisan tanganku memang lebih
bagus dibandingkan Bashira. Sedangkan dia cukup mengurus
baju yang akan dikenakannya nanti dibantu Bulik Tari, adik ibu
yang pintar menjahit.
87 87
"Ini daftarnya, Dhi. Diurut dari atas saja biar tidak ada yang
terlewat," kata Bashira menyerahkan kertas HVS berisi daftar
nama.
Aku yang sedang asyik membuat sketsa wajahnya langsung
menghentikan gerakan tanganku. Dengan separuh tubuhku aku
sengaja menutupinya. Aku tidak ingin dia tahu, karena sketsa
wajahnya akan kubingkai di tukang pigura dan kujadikan hadiah
ulang tahun untuknya.
Sambil menelungkupkan separuh badanku di atas meja,
tangan kananku terulur menerima kertas yang disodor?kannya.
"Kamu kenapa, Dhi?" tanya Shira curiga melihat posisiku.
"Lagi sakit perut?"
"Oh."
"Biasa, lagi dapet!"
Aku mengangguk.
Usai berkata singkat Bashira berbalik keluar kamar. Tapi
ketika tangannya baru memegang gagang pintu kamarku, dia
terdiam cukup lama kemudian menoleh padaku.
"Eh, Dhi, apa aku boleh mengundang anak-anak pintu belakang?"
Keningku berkerut sesaat.
"Kalau Raven nggak masalah, dia memang sekelas dengan
kita. Tapi Ryu, Asta, Syarif, dan Fala kan nggak sekelas!"
"Tapi mereka semua kan teman dekatmu."
Sejenak ada keharuan menyentuh dadaku dengan perhatian
Bashira pada teman-teman dekatku.
88 88
"Terserah kamu saja. Ini kan pestamu."
Bibir Bashira langsung tersenyum.
"Langsung tambahkan ke daftarnya ya, Dhi," pinta Shira
sambil membuka pintu.
"Beres, Bos!"
"Thanks."
Begitu Shira menutup pintu kamarku, aku mengambil sketsa
di atas kertas ukuran A5 yang hampir selesai. Aku simpan dulu
di atas lemari pakaian karena aku akan menger?jakan tanggung
jawabku lebih dulu menulisi undangan.
Nama demi nama telah kutulis rapi dan indah di atas amplop
undangan. Sampailah pada satu nama yang membuat pandangan mataku tidak dapat beralih dan spidol warna pink terlepas
dari jemari tanganku.
Narotama.
Tatapan mataku terus terpaku dengan debar jantung tidak
menentu. Ya ampun, lebay banget ya. Padahal hanya membaca
namanya, kenapa reaksiku jadi senorak ini? Tapi aku juga tidak
bisa begitu saja menghentikan debaran jantungku yang semakin
menggila.
Setelah menarik napas panjang berulang kali, memejamkan
mata sesaat untuk menghadirkan bayangannya di kepalaku,
dengan senyum tersungging di bibirku dan pipi yang aku yakin
merona merah?ini hanya perkiraanku sendiri. Aku kan bukan
sedang bercermin. Jadi mana tahu pipiku merona atau tidak.
Aku hanya meniru cerita-cerita yang pernah kubaca ketika
se??orang cewek jatuh cinta untuk pertama kalinya?sengaja ku89 89
buat tulisan namanya seindah mungkin. Berbeda dengan semua
nama yang kutuliskan lebih dulu. Namun, sesaat kemu?dian aku
baru tersadar. Pasti Bashira akan menyadari kalau tulisan untuk
Tama berbeda.
Ah, perasaanku jadi tidak enak sendiri.
Setelah termenung sejenak, akhirnya aku menemukan jalan
keluarnya. Khusus untuk teman-temanku dari kelompok pintu
belakang akan kubuat tulisan serupa. Beres, kan. Biar nggak
ketahuan.
Namun, begitu menemukan jalan keluar, muncul satu lagi
masalah yang membuat kedua mataku melotot seketika,
rasanya kedua bola mataku akan melompat keluar dari rongganya.
K-e-m-a-l.
Aku mengeja nama itu perlahan. Mengulanginya lagi untuk
memastikan aku tidak salah baca. Tanganku langsung menggaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal.
Kenapa Bashira mengundangnyaAku langsung beranjak, setengah berlari membuka pintu
kamar dan menerjang pintu kamar Bashira tanpa mengetuk
lebih dulu. Bashira yang tengah mencoba baju pesta ulang
tahunnya langsung terlonjak begitu aku menerobos masuk
kamarnya seperti maling.
"Shira, kenapa Kemal kamu undang? Dia kan bukan teman
sekelas kita?" protesku sambil mengacungkan kertas HVS
berisi daftar nama.
90 90
Bashira mengelus-elus dadanya.
"Ya ampun, Dhi, bikin kaget saja. Kemal kan anak OSIS, dia
itu Wakil Ketua I. Wakil Ketua II-nya Tama dan posisiku jadi
Sekretaris OSIS," jelas Bashira dengan suara tenang.
Ah, kenapa juga pakai sebut-sebut nama Tama!
Aku takut ada perubahan di wajahku yang langsung terlihat
saudara kembarku begitu nama Tama disebut.
"Memangnya Kemal kenapa, Dhi?" tanya Bashira dengan
pandangan menyelidik.
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbalik meninggalkan kamar Bashira.
"Yang bener, Dhi? Kenapa?"
"Aku pernah nyaris berantem sama dia," jawabku sambil
"Tuh anak nyebelin banget!" jawabku tanpa menoleh ketika
melewati pintu kamar.
Baru membaca atau mendengar namanya saja, emosiku
lang?sung mendidih. Makhluk yang satu itu benar-benar menumbuhkan kebencian mendalam di dadaku. Apalagi kalau
mengingat ejekannya pada Raven.
Sumpah.
Seumur hidup aku tidak akan memaafkannya!
Huh, khusus untuk onta padang pasir yang satu ini, akan
kubuat tulisan paling jelek.
Rasain!
91 91
Party, Party,
Party!
ejak pagi aku sibuk mondar-mandir membantu per
siapan acara pesta ulang tahun Bashira. Ada bebe
rapa saudara yang membantu Ibu memasak sejak
subuh tadi. Saat seperti ini yang paling kusuka ada
lah bisa berkumpul bersama saudara. Mbah Kakung dan Mbah
Putri, baik dari Ibu maupun Ayah sudah dua hari yang lalu
datang. Rumah yang tidak seberapa besar jadi ramai.
Beberapa hari sebelumnya, seperti perkiraan ibuku, hampir
semua yang mendapat undangan langsung bertanya, kenapa
hanya nama Bashira yang tercantum di undangannya? Aku dan
Bashira bergantian menjelaskan.
"Kamu itu aneh, Dhi, dipestain kok nggak mau!" komentar
Raven sambil membolak-balik kartu undangan berwarna pink.
92 92
"Aneh apanya? Biasa aja. Aku hanya ingin merayakan bareng
kalian," jawabku mengedarkan pandangan pada Ryu, Asta,
Syarif, dan Fala yang waktu itu juga sedang serius membaca
kartu undangan yang barusan kubagikan. "Ini sekaligus
undangan dariku ya, hari Senin sepulang sekolah di kantin."
"Yah, tapi kalian kan kembar, Dhi. Rasanya aneh saja, yang
satu ngadain pesta, yang satunya malah jadi seksi sibuk,"
tambah Fala.
"Mau gimana lagi, aku nggak suka acara begituan."
"Begitulah kalau manusia sudah kena infeksi virus seniman,
inginnya menyepi seperti pertapa yang menyendiri di gua."
Kali ini Ryu yang angkat bicara.
Aku tertawa mendengarnya.
"Siapa yang kena virus seniman? Ah, ngaco aja!" bantahku
di sela-sela tawa.
dan waktu!"
"Lha, kamu itu! Sukanya menggambar nggak peduli tempat
"Ya ampun, Ryu, itu karena aku bosen di kelas."
Semua anak-anak pintu belakang yang waktu itu berkumpul
di kantin menunggu pelajaran tambahan, memandangku dengan tatapan serius. Tidak ada satu pun yang ikutan tertawa.
"Mungkin kamu memang punya bakat seniman, Dhi. Sudah
kelihatan tanda-tandanya," kata Raven.
"Sudahlah, tambah ngawur aja kalian ini. Senin jangan lupa
ya, siapkan kado untukku. Yang nggak bawa kado, cuma
kutraktir es teh segelas."
"Dasar!"
93 93
Kembali ke persiapan pesta, karena jadi seksi sibuk yang
lebih banyak disuruh-suruh, sampai pukul setengah sembilan
aku belum mandi.
"Dhi, ayo mandi, ganti baju terus dandan. Nanti temantemanmu keburu datang!" perintah Ibu ketika aku membantunya
menata meja prasmanan.
"Santai saja, Bu. Aku hanya butuh waktu sepuluh menit
untuk melakukan semua itu," jawabku dengan tangan kanan
mencomot kakap goreng tepung yang baru dibawa Bude.
"Hus! Bocah kembar kok bisa beda kayak kutub utara dan
selatan." Bude berkata sambil menjauhkan piring yang dibawanya.
"Nadhira, mandi!" teriak Ayah menggema.
Tanpa banyak komentar, aku langsung berlari melaksanakan
panjang.
perintahnya. Jangan berani-berani membantah, urusannya bisa
Kurang lebih lima belas menit kemudian aku sudah keluar
dari kamar. Untuk acara ini aku mengenakan atasan biru laut
model sabrina dengan kerutan di lengan, bermotif bunga-bunga
kecil yang kupadu dengan celana jins. Wajah hanya kusapu
bedak dan menambahkan lipgloss rasa strawberry di bibirku.
Rambut pendekku sengaja kuberi hiasan jepit mungil berbentuk
kupu-kupu yang kubeli di Pasar Baru kemarin.
Perlahan kuketuk kamar Bashira dan membukanya tanpa
menunggu jawaban dari dalam. Bashira tengah memutar-mutar
tubuh di depan cermin.
94 94
"Sudah, sudah cantik, Princess! Kalau terus-terusan berputarputar begitu nanti malah jadi pusing tujuh keliling," godaku.
"Gimana penampilanku, Dhi?" Bashira berhenti berputar
dan berbalik menatapku.
Aku langsung mengacungkan dua jempol sebagai jawaban.
Bashira memang terlihat cantik dengan baju terusan bermodel sederhana yang tingginya beberapa senti di atas lutut.
Baju warna pink bermotif bunga-bunga kecil itu tampak melekat pas dan pantas di tubuhnya. Rambut dan wajah Bashira
yang ditata di salon kecantikan membuat penampilannya
semakin sempurna di mataku. Dandanan yang tidak berlebihan
dan tetap memperlihatkan kecantikan Bashira sebagai remaja.
"Benar?" tanya Bashira kurang yakin.
Aku menghampirinya, merangkul bahu dan memutar tubuhnya menatap cermin. Di sana tampak dua orang gadis dengan
baju bermotif sama dengan warna yang berbeda. Yang satu
biru laut dan satunya pink.
"Tuh, lihat! Kalau kita berdiri jejer begini sudah mirip seorang
putri dengan angsa buruk rupa di sampingnya," hiburku sambil
tertawa.
"Jangan gitu ah, Dhi!" protes Bashira.
"Itu hanya perumpamaan. Ayo, cepat keluar sebentar lagi
pasti teman-teman datang," ajakku menarik tangannya keluar
kamar.
Benar saja, barusan kami keluar sudah ada tiga teman sekelas yang datang, Bashira buru-buru menyambutnya. Aku
95 95
berdiri di belakang Bashira, membantunya membawakan kado
yang diberikan teman-teman kemudian menumpuknya di meja
dekat kue tart berhias bunga-bunga pink dan bertulis nama
Bashira di tengahnya. Selain memberi ucapan selamat ulang
tahun pada Bashira, mereka juga mengucapkannya padaku.
Aku berdiri di pintu depan, di belakang Bashira, menyambut
kedatangan teman-teman. Ketika aku membalikkan badan
setelah meletakkan kado yang dibawa Raven, Ryu, Asta, Syarif,
dan Fala, kulihat seseorang yang mengenakan kemeja kotakkotak biru muda dipadu celana jins mendekati Bashira dengan
seikat bunga mawar warna merah muda di tangannya. Kakiku
yang sudah siap melangkah langsung terhenti. Rasanya kakiku
terpaku di lantai. Dadaku bergemuruh.
Dari belakang tubuh Bashira, aku seperti bisa melihat
pipinya yang merona, senyumnya yang mengembang penuh
rasa bahagia. Terjawab sudah tantanganku malam itu. Tidak
butuh waktu lama untuk mengakhiri persaingan secara terbuka
dengan Bashira. Hari ini, tepatnya pagi ini, aku harus berbesar
hari untuk menerima kekalahan yang terlalu dini, bahkan
sebelum aku sempat berpikir apa yang harus kulakukan untuk
mendapatkan hati Tama. Walaupun akhirnya sudah kuduga
akan seperti ini, toh hatiku terasa sakit juga. Perih. Seperti ada
luka yang menganga di sana.
Sengaja kupalingkan wajahku ketika Tama menyerahkan
bunga pada Bashira. Saat kakiku sudah bisa digerakkan lagi,
aku melangkah cepat menuju tempat Raven dan anak-anak
pintu belakang yang duduk bergerombol.
96 96
"Kamu cantik, Dhi, pakai baju itu," puji Raven begitu aku
menghempaskan pantat di kursi sebelahnya.
"Gombal!" jawabku singkat.
"Lho, dipuji bukannya berterima kasih malah ngatain orang.
Dasar cewek aneh!" balas Raven.
"Dhi, Tama sudah jadian ya sama Bashira?" tanya Fala dengan pandangan yang aku yakin tengah terpaku pada dua orang
yang menjadi pusat perhatian.
"Ya ampun, romantis banget. Kalau nanti punya cowok, aku
juga ingin dikasih bunga waktu ulang tahun," lanjut Fala.
Kembali rasa perih itu muncul di hatiku.
"Eh, mana nih kado buatku? Kok, belum pada bawa?" Aku
sengaja mengalihkan topik pembicaraan.
"Traktir belum, sudah minta kado!" komentar Asta sambil
melambaikan tangan pada beberapa anak OSIS yang sekelas
"He-eh."
dengannya. "Anak-anak OSIS diundang semua ya, Dhi?"
"Berarti Kemal juga diundang?" tanya Ryu.
Aku mengangguk malas.
"Ingat, Dhi, kalau Kemal datang jangan bikin keributan di
acara ulang tahun saudara kembarmu!" Raven serius memperingatkanku.
"Tergantung."
"Tergantung apanya?" tanya Raven mulai cemas.
"Tergantung, dia ngolok-olok kamu atau tidak. Kalau dia
tetap melakukannya, aku tidak peduli ada orangtuaku atau
siapa pun di sini!" jawabku yakin dan mantap.
97 97
Raven menghela napas.
"Jangan terus-terusan membelaku seperti itu, Dhi!"
Kepalaku bergerak ke samping. Menatap seraut wajah
menggemaskan yang kini tampak merasa bersalah. Kupandang
cukup lama hingga Raven terlihat salah tingkah.
"Aku nggak terima, Ven, kalau Onta Padang Pasir dan antekanteknya mengolok-olokmu seperti itu. Sumpah. Sampai mati
aku juga nggak terima!"
"Tapi nggak perlu sampai membahayakan dirimu sendiri."
"Oke. Aku akan berhenti membelamu, kalau kamu sudah
bisa membela dirimu sendiri. Ven. Jangan hanya diam diolok
olok seperti itu. Buktikan kalau semuanya tidak benar. Lawan
mereka, Ven. Buktikan kalau kamu adalah laki-laki sejati!"
Wajah Raven memerah kemudian menundukkan kepalanya.
"Kamu itu cowok, Ven. Beranilah membela dirimu sendiri!"
"Sssttt... sudah, sudah, acaranya sudah mau dimulai, Dhi. Itu
ayah dan ibumu sudah berdiri di samping Bashira," bisik
Fala.
Untuk pertama kalinya aku mengangkat kepala setelah
kedatangan Tama. Tepat saat itu Ayah memanggilku.
"Nadhira, sini!"
Aku masih tetap duduk termangu.
"Nadhira, ayo!" panggil Ayah lagi.
Raven dan Fala yang duduk di kiri dan kananku kompak
mendorong tubuhku. Aku menoleh bergantian pada mereka
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
98 98
berdua dengan tatapan jengkel seolah berkata, apa-apaan
kalian ini!
"Cepat sana!" bentak Fala tidak mempedulikan tatapanku.
Dengan langkah berat, aku melangkah menuju tengah
ruangan. Ayah menarikku berdiri di sisi Bashira. Aku menurut.
Berdiri kaku di samping Bashira dengan kepala tertunduk
malu.
"Hari ini adalah hari ulang tahun putri kembar saya. Hari
yang akan membuat mereka berdua mengawali langkah ke
pintu gerbang kedewasaan, semoga momen ini adalah titik
awal agar mereka menjadi lebih dewasa dan lebih baik. Khusus
untuk Nadhira, harus lebih rajin belajar, supaya tidak terlalu
tertinggal jauh dari Bashira..."
Kalimat terakhir membuat kepalaku makin tertunduk dalam.
Entah kenapa, diperbandingkan dalam acara resmi begini
rasanya aku ingin langsung berlari meninggalkan tempat ini.
Aku bisa merasakan seluruh pandangan tertuju padaku. Katakata Ayah selanjutnya hanya sayup-sayup terdengar di telingaku. Biarpun Ayah berdiri tepat di samping kananku, suaranya
seolah menjauh, karena dalam kepalaku berdengung pertanyaan yang membuatku tidak dapat mendengarkan suara
yang lain. Hatiku berderap cemas.
"Apa Tama tengah menatap tajam padaku?"
Malam ini, setelah melewati hari perayaan ulang tahun Bashira
yang berjalan lancar, biarpun sepanjang acara aku seperti orang
99 99
yang tengah sibuk mencari uang yang jatuh di lantai, menunduk
terus. Sepanjang acara itu tidak pernah sekali pun aku berani
melihat atau sekedar melirik Tama. Nyaliku hilang saat itu juga.
Tapi malam ini, bayangan wajah dan tatapan matanya seolah
memenuhi seluruh ruang kamarku. Apalagi setelah aku membantu membawa kado-kado ke kamar Bashira dan melihatnya
tengah mencium seikat bunga mawar dengan mata terpejam
dan penuh perasaan.
Duh, kenapa jadi sedih beginiBukankah aku harus bersikap sportif dan memberikan
ucapan selamat pada Bashira yang telah mendapatkan hati
Tama? Ya. Aku harus melakukannya. Mungkin justru cara
seperti itu yang bisa melegakan hatiku.
Aku duduk tegak di tempat tidur. Mengambil napas panjang
berulang kali sebelum bertekad mengetuk pintu kamar Bashira
untuk memberikan ucapan selamat. Ketika aku baru menurunkan kakiku di lantai, Bashira sudah menerobos masuk kamar"Sori, Dhi, nggak sempat ngetuk pintu. Ini ada kado untukmu," kata Bashira sambil mengulurkan sebuah kotak kecil
berwarna biru, yang di atasnya tertempel tulisan kecil hasil
print komputer, "Untuk Nadhira".
"Dari siapa?" tanyaku dengan tangan ragu-ragu menerimanya.
Bashira mengangkat bahunya tanda tidak tahu.
"Kemal nggak datang, kan?" tanyaku curiga.
100 100
"Kemal? Kayaknya nggak. Memangnya kenapa kalau Kemal
datang?"
"Cowok itu suka ngerjain orang. Nyebelin. Siapa tahu kado
ini darinya. Jangan-jangan dia memasukkan sesuatu di dalamnya," kataku sambil membolak-balikan kotak biru kecil di tanganku.
"Ih, jangan suka berprasangka buruk, Dhi. Orangnya aja
nggak datang."
"Siapa tahu dia menitipkan ke siapa gitu!"
"Kenapa sih musuhan sama Kemal?"
"Ceritanya panjang. Dan kalau ngomongin soal itu, aku
rasanya pengin langsung melabraknya."
Bashira tertawa sambil geleng-geleng kepala.
"Ada-ada saja. Sudahlah, kalau memang merasa itu titipan
Kemal nggak usah dibuka. Buang saja. Daripada nanti kenapa
melangkah keluar.
kenapa. Aku mau tidur dulu. Capek," pamit Bashira dan
Sesaat kemudian kepalanya kembali nongol di pintu.
"Eh, makasih ya, Dhi. Sketsa wajahku bagus banget. Aku
suka!"
Aku mengacungkan jempol kananku sebagai jawaban.
Begitu Bashira menutup pintu kamarku, konsentrasi kembali
terpusat pada kotak biru kecil yang masih kugenggam di tangan
kanan. Kedua keningku berkerut rapat memandangnya. Kemudian kudekatkan kotak mungil itu di depan hidungku, mengendus-endus baunya. Sudah mirip anjing pelacak polisi yang
mencoba mengenali barang terlarang dalam sebuah bungkusan.
101 101
Bolak-balik melakukannya tidak tercium bau apa pun, kecuali
bau wangi samar dari kertas kado yang membungkusnya.
Aksi berikutnya kukocok-kocok kotaknya di dekat telingaku,
terdengar ada bunyi barang membentur dinding kotaknya.
Semakin keras aku mengguncangnya, semakin terdengar
suaranya. Namun, biarpun bisa mendengar suara itu, aku tetap
saja tidak bisa menebak isinya.
Aku mencoba berpikir keras, memutar otak untuk memperkirakan benda apa yang kira-kira bakal digunakan Kemal untuk
mengerjaiku. Setengah putus asa karena tidak juga bisa menebaknya, sekaligus rasa penasaran yang sudah memenuhi ubun
ubunku, dengan gerakan cepat kusobek kertas pembungkusnya.
Tanpa membuang banyak waktu, kubuka langsung penutup
kotaknya.
Sepasang mataku membuka lebar dengan mulut menganga
begitu melihat seuntai kalung perak teronggok di dalamnya.
Perlahan aku mengambilnya dari dalam kotak, mengangkatnya
tepat di depan mukaku. Untaian kalung itu bergoyang perlahan,
membuat tatapan mataku tertuju pada liontinnya yang berbentuk bintang mungil.
Dengan kepala dipenuhi pertanyaan?siapa yang memberi
kado ini?tangan kiriku kembali meraih kotak kecil yang
tergeletak di dekat kakiku. Kembali kuamati dengan seksama
isi kotaknya.
Aha, terlihat lipatan kertas di dalamnya!
Kuletakkan kalung itu begitu saja di atas pahaku dan kedua
tanganku sibuk membuka lipatan kertas yang sepertinya
102 102
sengaja ditaruh di dasar kotak. Begitu lipatan itu terbuka,
mataku kembali terbelalak membacanya tulisan tanpa nama
pengirim.
Bunga tak selalu berarti cinta,
Bersama tak selalu berarti suka,
Dalam cinta ada makna,
Dalam suka ada rasa,
Selamat Ulang Tahun, Nadhira...
Dan di dalam hati, kamu dapat menemukan semuanya...
103 103
Aku Tahu.
Tapi Aku
oleh nambah, Dhi?" tanya Asta menyodorkan
mangkuk bakso ke depanku. "Masih lapar,
Cemburu!
nih!"
"Boleh. Silakan!"
"Aku juga ya, Dhi," timpal Syarif.
"Semua boleh nambah, sekenyangnya!" jawabku mantap.
"Bener nih? Emang duitnya cukup?" tanya Fala ragu-ragu.
"Santai aja, La. Kan ada Raven! Kalau duitku kurang, tinggal
minta aja sama si adik bayiku tersayang."
Raven merengut.
Kesal.
Seperti biasa kami berlima malah gemas melihatnya.
104 104
"Enak aja. Sudah suka mengejek adik bayi-adik bayi, masih
minta duit lagi," omelnya.
"Raven, sudah berapa kali kubilang, aku bukannya mengejek
tapi gemas, tahu!"
"Tapi aku nggak suka!" jawab Raven ketus.
Kami terdiam sesaat. Aku mengamati wajahnya dari seberang
meja. Mukanya yang putih mulus dan menggemaskan itu
tampak merah. Jelas sekali Raven menahan marah. Aku jadi
merasa bersalah.
"Oke. Sori ya, Ven. Mulai sekarang aku janji nggak manggil
adik bayi lagi!"
"Janji?"
"Janji!"
"Kok, cuma Nadhira yang janji!"
Kami berlima saling pandang kemudian sama-sama mengangkat tangan sambil serentak berkata, "Janji!"
Muka Raven langsung cerah.
"Eh, hampir lupa, ini kadonya, Dhi." Raven berkata sambil
mengeluarkan sebuah kotak dari ranselnya.
"Oh iya," Fala yang duduk di sampingku seperti diingatkan,
segera dia merogoh tas selempangnya dan mengeluarkan sebuah bungkusan yang agak besar. "Ini dari aku, Ryu, Asta, sama
Syarif."
"Wah, kok pada repot-repot sih."
"Halah, nggak usah basa-basi gitu, Dhi. Mukamu aja kelihatan
girang banget dapat kado!" komentar Syarif yang membuatku
tertawa ngakak.
105 105
"Yah, kan memang harus pura-pura gitu," bantahku membela
diri.
"Percuma aja pura-pura di depan kami. Dari kemarin kamu
terus-terusan menanyakan kado dari kami," sahut Asta.
"He-eh, rasanya kayak kita punya utang terus dikejar-kejar
debt collector aja!" tambah Ryu.
Tawaku makin berderai.
"Buka aja, Dhi," pinta Raven.
"Huss, nggak pantes buka kado di depan yang ngasih.
Pamali!"
"Ealah, pamali apanya. Toh, kami juga sudah tahu isinya,"
kata Fala dari sampingku.
"Kata Eyangku nggak boleh buka kado di depan yang ngasih,
Nggak sopan. Lagian kalian kan sudah tahu."
Raven tetap ngotot.
"Kami kan ingin tahu reaksimu waktu membuka kado itu!"
Kumasukkan dua kado dari teman-teman baikku dan memandang Raven beberapa saat, kemudian ganti memandang
Asta yang duduk di sampingnya, berlanjut ke Ryu, Fala, dan
Syarif. Ada rasa haru menghangatkan hatiku.
"Terima kasih untuk kadonya, apa pun isinya pasti sangat
berarti bagiku. Bukan jenis barangnya, tapi karena kalian teman-teman terbaikku. Berada di antara kalian selalu mem?buatku gembira."
"Cukup, Dhi!" potong Raven. "Omonganmu kayak Pak RT
ngasih sambutan di acara tujuhbelasan saja!"
Kami tertawa bersama.
106 106
Tiba-tiba aku ingat soal kado berisi kalung perak dengan
liontin bintang yang masih misterius, siapa yang memberi dan
membuat mataku susah terpejam semalam. Tanpa sadar tangan
kananku meraba leherku, telapak tanganku merasakan liontin
bintang kecil itu menempel dan membuat hatiku berdebar.
"Eh, kemarin kalian lihat si Onta Padang Pasir nggak?"
"Emangnya dia diundang juga?" tanya Raven heran.
"Dia kan anak OSIS, Ven. Semua anak OSIS diundang
Bashira!" jelasku.
"Terus kenapa juga nanyain dia? Kangen?"
Refleks tanganku kananku menyentuh liontin bintang kecil
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang menggantung di leherku. "Kangen apanya?"
"Sssttt... jangan diterusin. Orangnya datang tuh," bisik
Fala.
Kepalaku langsung menoleh dan melihat Kemal memasuki
kantin paling ujung bersama anak-anak OSIS yang lain. Termasuk Bashira yang tampak asyik mengobrol dengan Tama.
Buru-buru kepalaku kembali menoleh pada Fala di sam?ping"Kayaknya baru ada rapat OSIS ya, La? Pasukannya komplit
tuh!" kataku berusaha meredakan debaran dadaku karena
melihat Bashira dan Tama.
"Aku jadi nambah ya, Dhi." Asta berkata sambil beranjak dari
bangkunya.
Kepalaku mengangguk mantap.
"Aku juga!" sahut Ryu dan Syarif bareng.
"Silakan!"
107 107
Sekembalinya mereka bertiga, kami melanjutkan makan
dalam diam. Jadi nggak enak banget situasinya. Bukannya
kenapa-kenapa, tapi rombongan anak OSIS yang beberapa
saat lalu menyerbu kantin malah memilih duduk di sekitar meja
kami.
Sejujurnya aku penasaran banget ingin tahu di mana posisi
duduk Bashira dan Tama. Apakah mereka berdua duduk
bersebelahan? Berhadapan? Atau malah saling suap-suapanDuh, makin ngaco aja nih otakku. Daripada kekacauan otak ini
berlanjut jadi kerusakan permanen, aku punya ide untuk menghindar sebentar. Istilahnya, menenangkan diri.
"Aku ke toilet dulu, ya," kataku lumayan keras sambil
beranjak cepat.
"Bareng, Dhi!" teriak Raven.
Langkahku yang baru sekitar satu meter terhenti. Begitu
Raven mendekat, tanpa sadar tanganku terulur meraihnya.
Kegenggam erat pergelangan tangan Raven. Aku memang
sudah terbiasa menggandeng tangannya. Tapi untuk kali ini,
aku hanya ingin menguatkan diriku sendiri karena sekilas aku
melihat Bashira duduk di samping Tama dan aku harus melewatinya.
Yang luput dari perhitunganku adalah keberadaan si Onta
Padang Pasir. Ketika melewati mejanya, kudengar dengan jelas
kata-kata yang paling kubenci,
"Dasar banci, ke toilet aja minta ditemani."
Kakiku langsung berhenti mendadak. Dengan cepat tubuhku
berbalik dan menghampiri mejanya dengan tangan kananku
108 108
tetap menggandeng tangan Raven. Aku sengaja berdiri rapat
di sampingnya.
"Ngomong apa tadi?" desisku dengan emosi yang membakar
seluruh tubuhku.
Sialan.
Biarpun suaraku jelas menunjukkan kemarahan, tapi si Onta
Padang Pasir yang satu ini dengan santai menoleh padaku.
"Kenapa, mau membelanya lagi?"
"Jaga mulutmu!" bentakku.
"Sudah dijagain di sini. Nggak ke mana-mana dari tadi,"
jawabnya sambil nyengir.
"Basi. Nggak lucu!"
"Aku heran, kok kamu selalu uring-uringan begitu. Lha, yang
bersangkutan malah anteng-anteng saja." Kemal tampak melirik
Raven dengan tatapan mengejek.
Mungkin karena semalam kurang tidur, bingung menghadapi
perasaanku sendiri, tidak tahu harus bagaimana begitu tahu
Bashira bersama Tama, masih ditambah si Onta yang nyari
gara-gara, badai emosi seolah menggulung kesadaranku.
Luapan amarah ini rasanya sudah tidak mungkin kubendung
lagi. Entah setan atau dedemit mana yang tengah merasukiku,
aku membentak si Onta yang masih tersenyum di depanku,
"Oke, akan kutunjukkan padamu kalau Raven itu benarbenar cowok. Laki-laki sejati!"
Tubuhku berbalik cepat ke arah Raven. Berhadapan dengan
jarak yang sangat dekat, kepalaku mendongak menatapnya
dan tiba-tiba kata-kata ini keluar begitu saja dari mulutku. "Oke,
109 109
Raven, kita tunjukkan pada Onta Padang Pasir ini kalau kamu
bukan banci. Cium aku di sini!"
Muka Raven langsung pucat pasi. Kedua matanya membelalak
dengan mulut menganga. Muka bayinya tampak syok menatapku.
Kedua mataku mengedip beberapa kali untuk memberi
isyarat pesan, ayo, Raven cepat lakukan... sebentar saja!
Suasana kantin yang tadi lumayan ramai langsung senyap.
Sunyi.
Sepi.
Walaupun tidak mengedarkan pandangan ke sekeliling, aku
yakin semua mata tengah melotot menatap kami berdua.
"Ayo, Raven, kamu boleh pilih bagian mana dari wajahku
yang ingin kamu cium!" tantangku tanpa pikir panjang.
Tapi Raven bukannya makin berani, dia malah mirip patung
bayi sedang terkejut. Diam. Tidak bergerak sama sekali.
Keringat tampak mulai membanjiri wajahnya.
Aku berdoa dalam hati supaya Raven punya keberanian
melakukannya.
Apa sih susahnya menciumTinggal menempelkan bibir di pipi, atau di kening, mungkin
juga di bibir. Sekilas saja. Hanya menyentuh sedikit. Cukup
sepersekian detik. Paling juga nggak ada rasanya. Hanya ini
yang bisa menghentikan olok-olok yang membuat panas telinga.
Aku kembali memberi isyarat dengan kedipan mata. Raven
masih tetap membeku. Aku nyaris putus asa. Tapi tiba-tiba
110 110
Raven menggerakkan kepalanya. Senyumku langsung mengembang begitu tahu dia mendekatkan kepalanya pada?ku.
Dengan gerakan sangat cepat dan jelas terlihat gemetar,
Raven menyentuhkan bibirnya di keningku. Seperti dugaanku
cukup sepersekian detik saja. Dan semuanya bakal beres. Si
onta padang pasir ini bakal tutup mulut selamanya.
Benarkah semuanya beresTernyata tidak sesederhana perkiraanku. Karena sehabis
melakukannya Raven jatuh terduduk lemas di lantai kantin.
Sebelum aku sempat menyadari apa yang terjadi, tubuhnya
sudah terguling dan jatuh pingsan.
"RAVEN!"
Aku berteriak panik sambil berjongkok mengguncang tubuhnya. Ya ampun, apa memang cowok bisa pingsan hanya karena
mencium cewek? Ini salahku. Jelas-jelas salahku! Tapi sepertinya penyesalanku terlambat kali ini. Kutepuk-tepuk pipinya
sambil terus memanggilnya, "Raven, bangun, Ven. Bangun...."
Beberapa anak yang lain cepat menghampiri. Mengerumuni
kami berdua. Udara jadi terasa pengap. Panas.
"Dibawa ke UKS saja," usul sebuah suara yang membuat
dadaku terguncang seketika.
Itu suara Tama!
"Maaf ya, Ven," ulangku untuk kesekian puluh kalinya.
Dan untuk kesekian puluh kalinya juga Raven hanya menganggukkan kepala perlahan. Wajahnya masih tampak pucat.
111 111
Melihat kondisi Raven yang masih tampak syok, aku terus
bertanya-tanya dalam hati, sedahsyat inikah akibat mencium
kening seorang cewek? Baru mencium kening saja sudah
pingsan, apalagi kalau mencium bibir. Mungkin Raven bakal
kejang-kejang atau malah kena serangan jantung.
"Mbak Dhira nggak bareng sekalian?" tanya Pak Man membuyarkan lamunanku.
"Nggak, Pak Man, saya bawa motor sendiri."
"Kalau begitu, kami permisi dulu, Mbak."
"Monggo, Pak."
Saat mobil Raven sudah berjalan pelan, reflek aku berteriak.
"RAVEN, MAAF YAA...!!!"
Raven hanya memandangku dari balik kaca mobil yang makin
menjauh.
Aku menghela napas, memukul kepalaku sendiri untuk
kesekian kalinya menyesali ide yang entah datang dari bumi
bagian mana, sampai aku meminta Raven menciumku tadi.
Saat berjalan menuju tempat parkir di belakang perpustakaan,
aku berpapasan dengan Ryu, Asta, Syarif, dan Fala yang
berboncengan dua-dua.
"Duluan, Dhi!" teriak mereka kompak.
"Yoi, ati-ati!" jawabku sambil melambaikan tangan.
Setelah kedua motor itu lenyap berbaur dengan keramaian
jalan di depan sekolah, aku berbalik dan melanjutkan langkah
menuju tempat parkir. Begitu sampai di tikungan belakang
perpustakaan langkahku terhenti saat melihat seseorang yang
112 112
tengah duduk di atas motorku. Dasar Onta Padang Pasir.
Kurang kerjaan banget!
Sebenarnya aku berniat berbalik dan pulang naik angkot
saja dari pada berurusan dengannya lagi. Tapi rasanya kok
malah seperti pengecut. Melarikan diri tanpa berani berhadapan secara langsung.
Ah, kenapa aku harus menghindarToh, aku bukan di pihak yang salah. Dia yang selama ini selalu mencari gara-gara. Mungkin memang harus dihadapi sam?pai
titik darah penghabisan. Aku berusaha memberi semangat dan
membesarkan hatiku sendiri. Ayunan langkahku mantap menghampirinya.
"Bisa minggir nggak, aku mau pulang," kataku dengan
Kemal bergeming.
intonasi datar.
Tetap nangkring di atas motorku.
Kutarik napas panjang berulang kali untuk menenangkan
diri. Aku harus bisa mengendalikan emosiku saat ini.
"Budek, ya? Minggir!" bentakku sambil mendorong bahunya.
Sepertinya usahaku menahan emosi dengan berulang kali
menarik napas panjang, gagal total. Melihat ketenangannya
justru menyulut amarahku. Aku berdiri tegak dengan mata
me?lotot memandangnya.
"Kenapa sih kamu selalu marah-marah padaku?" tanya Kemal
dan dengan santai beranjak dari sadel motorku.
113 113
"Aku sekadar numpang duduk sebentar, pelit amat. Lagian
aku nggak mengolok-olok siapa pun. Jadi, kamu nggak punya
alasan melotot marah begitu padaku, Nona!"
"Oke," jawabku singkat.
Tanganku terulur untuk mengambil helm yang kucantelkan
di stang motor. Sebelum helm itu terpegang, tangan Kemal
sudah lebih dulu memegang pergelangan tanganku.
"Lepas!"
"Jangan buru-buru. Tunggu sebentar, aku hanya ingin membuktikan sesuatu padamu."
"Membuktikan apa?" tanyaku bingung sambil mendongakkan
kepalaku menatapnya.
Kemal memberikan senyuman padaku. Bukan semacam
seringai, atau senyum yang mengejek dan sengaja memancing
emosi. Senyumnya kali ini benar-benar lain. Senyum yang tidak
biasa. Bisa dibilang istimewa.
Ya Tuhan, ini onta ganteng juga kalau tersenyum begitu.
"Tadi, kamu sudah minta Raven untuk membuktikan kalau
dia laki-laki sejati. Sampai pingsan segala."
Mukaku langsung memerah. Malu.
"Terus?"
"Apa kamu lupa pernah mengataiku banci sebanci-bancinya
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
banci? Wah, itu sadis banget kedengarannya. Bisa dibilang
kadarnya pangkat empat dari yang biasa diterima Raven. Jadi,
Nona Dhira, bukankah aku juga berhak memilih sendiri area
mana dari wajahmu sebagai ajang pembuktianku?"
114 114
Mukaku memanas. Mungkin juga sudah pucat pasi seperti
Raven tadi.
Duh, Gusti, tidak pernah terpikirkan hal konyol yang kulakukan tadi akan menjadi bumerang yang menakutkan seperti ini.
Jantungku berdentum karena tegang. Sementara Kemal terus
memandangku dengan tatapan yang rasanya menggoyahkan
kedua kakiku.
Aku harus tenang. Tidak boleh panik! Tenang, Dhira. Tenang.
Pikirkan cara tercepat untuk menghindar dari onta padang
pasir ini.
"Maaf, tapi di sini tidak ada orang lain," jawabku mencoba
tenang.
"Kenapa? Memang harus ada penonton, ya?"
"Bukan soal penonton, tapi badanmu segede onta begini.
Aku tidak akan sanggup menggotongmu atau menyeret tubuhmu kalau kamu pingsan seperti Raven tadi!"
Kedua alis Kemal terangkat, bibirnya terkatup rapat seperti
menahan senyuman. Detik berikutnya dia sudah tertawa ngakak, memegangi perutnya dengan kedua tangan. Melepaskan
cekalannya pada pergelangan tanganku.
Kesempatan.
Aku langsung memanfaatkan momen beberapa detik itu
untuk melarikan diri. Berbalik dan berlari sekuat tenaga melewati tikungan pojok perpustakaan, terus lurus melewati lapangan basket. Tidak sekali pun aku menoleh ke belakang
karena aku yakin Kemal pasti mengejarku. Sampai di pintu
ger?bang timur sekolah napasku sudah tersengal-sengal. Rasa115 115
nya napasku sudah mau putus saja. Aku berdiri di pinggir jalan
sambil menunduk memegang perutku. Keringat sudah membanjiri seluruh tubuhku, membuat baju atasan putihku basah
kuyup.
Saat masih menunduk sambil memegang perutku, aku
melihat ban motor berhenti tepat di depanku. Seketika aku
memutar tubuhku ke kiri untuk berlari di trotoar. Aku yakin
itu motor Kemal.
"Nadhira..."
Panggilan itu membuat aku batal mengayunkan langkah.
Itu bukan suara Kemal.
"Nadhira, ada apa?"
Jantungku berdetak hebat.
Itu suara yang selalu membuat dadaku berdesir.
Suara itu kini terdengar dekat di telingaku. Aku masih ngos
ngosan tidak berani berbalik untuk berhadapan dengannya.
Aku tidak punya nyali setelah kejadian di kantin tadi.
"Nadhira..."
Sekarang bukan hanya suaranya, tapi tangannya sudah
memegang lengan kananku. Tubuhku seperti tersengat aliran
listrik tegangan tinggi. Aku jadi tersentak.
"Jangan takut, aku Tama. Lihatlah, jangan takut," bujuknya.
Sudah tahu.
Sudah ngerti.
Sudah paham.
Siapa dirimu.
116 116
Bukannya takut, aku tidak berani melihatmu. Meman?dangMelihat posisi tubuhku yang tetap menunduk, Tama melangkah ke depanku. Sekarang kedua tangannya memegang bahuku,
berusaha menegakkan tubuhku.
"Ada apa?" tanyanya menatap cemas padaku.
Tatapan itu memerangkapku. Aku bahkan tidak sanggup
mengalihkan pandanganku.
"Kemal," jawabku pelan.
"Oh," komentarnya singkat.
"Kuantar pulang, ya."
Kepalaku menggeleng. "Aku bawa motor."
"Tapi Kemal masih di tempat parkir."
"Dia masih di sana?"
Kedua mataku membelalak seketika.
Seuntai senyum yang menawan tercetak di bibir Tama, kepalanya mengangguk pelan. "Tinggal saja motormu, aman di parkiran sekolah. Nanti aku bilang sama satpam, nitip motor?mu."
"Terima kasih," jawabku lega. "Aku mau naik angkot saja."
Tama tidak menjawab, hanya tatapan matanya yang langsung
menghunjam kedua bola mataku yang membuatku tahu dia
tidak akan melepaskanku begitu saja. Apa boleh buat. Aku
terpaksa ikut dengannya.
Apa aku gembiraBahagiaBisa diantar pulang dan boncengan berdua dengannya117 117
Ah, kok aku malah bingung begini. Berdebar-debar. Gelisah.
Rasanya ingin meloncat dari boncengannya saja.
Sampai di depan rumah, kegelisahanku berganti kekhawatiran.
Bagaimana kalau Bashira tahu Tama mengantarku pulangWaduh, jangan-jangan dia marah karena cemburu.
"Terima kasih," kataku pelan begitu turun dari boncengan
dan berdiri di sampingnya.
"Kamu selalu ribut ya kalau ketemu Kemal?"
"Dia yang nyari gara-gara. Dia dan antek-anteknya selalu saja
mengolok-olok Raven. Padahal Raven tidak pernah mengusik
mereka." Aku terdiam sesaat, berpikir cepat apakah aku harus
menceritakan peristiwa di kantin atau tidak.
Tapi sebelum otakku memutuskan, bibirku sudah lebih dulu
mengambil sikap, "Ehm, kejadian di kantin tadi terpaksa kula"Ya, aku tahu."
kukan," jelasku sambil menunduk malu.
Kepalaku mendongak cepat.
Kaget.
"Aku tahu," Tama mengulangi kata-katanya.
Terdiam kemudian menunduk sejenak. Ketika mengangkat
kepalanya, sebuah senyum yang terlihat malu-malu tersungging
di bibirnya. Sebuah kalimat meluncur perlahan dari mulutnya.
"Tapi aku cemburu..."
118 118
Kamu Suka
en, kamu masih marah, ya?"
Kepala Raven menggeleng dan sekarang
tampak serius memelototi buku tulis yang
Kalungnyaterbuka di atas mejanya.
"Kalau nggak marah, kok masih diem terus. Nggak mau
ngomong sama aku."
Lagi-lagi Raven menggeleng.
Aku menggaruk kepalaku keras-keras. Nyaris putus asa
menghadapi sikap diam Raven sejak peristiwa di kantin tiga
hari yang lalu. Tidak biasanya dia mendiamkanku selama ini.
Bahkan rasanya baru kali ini dia marah padaku.
Apa Raven benar-benar tersinggung karena ulahku di kantin
waktu itu119 119
Oke, mungkin memang agak keterlaluan. Tapi itu kulakukan
untuk membelanya, biar Kemal berhenti mengolok-oloknya.
Duh, malah jadi pusing memikirkannya.
Sesaat aku termenung. Sebuah pikiran tiba-tiba melintas di
kepalaku. Apa Raven tidak suka mencium cewek? Dan lebih
suka jeruk makan jeruk. Bukankah hal seperti itu bisa saja
terjadi? Ya Tuhan, aku mohon jangan. Tangan kananku langsung
menutup mulutku. Semua keinginan untuk memaksa Raven
kembali bicara dan memaafkanku hilang seketika. Aku beringsut
agak ke tepi bangku, membuat jarak dengan Raven. Aku ingin
memberi waktu untuk dirinya sendiri. Tidak ingin merecokinya
lagi.
"Dhi..."
Aku yang baru beranjak dari bangku langsung kembali
duduk.
"Kamu memanggilku?"
Raven merengut.
Wajahnya sudah kembali jadi adik bayi yang menggemaskan.
Tapi aku belum berani memulai sesuatu.
"Mau ke mana?" tanyanya.
"Mau pindah ke bangku Nofti," jawabku jujur.
"Kenapa, kamu sudah nggak mau sebangku denganku lagi?"
Kupandangi sesaat raut wajahnya yang tampak sedih.
"Habis kamu mendiamkan aku terus. Daripada bikin kamu
marah lebih baik aku pindah saja. Maaf, Ven, waktu di kantin
itu idenya muncul begitu saja di kepalaku. Entah jin atau
120 120
dedemit mana yang tengah merasukiku. Percayalah, aku hanya
ingin membuat mulut Kemal diam, tidak mengolok-olok kamu
lagi. Maaf, kalau membuatmu tersinggung dan marah."
Selesai bicara aku kembali beranjak, tapi tangan Raven
mencekal tanganku. "Jangan pindah, Dhi!"
Kupandangi dia sekali lagi. "Kamu sudah nggak marah?"
"Aku memang nggak marah."
"Tapi kok diem terus?"
"Aku bingung, Dhi. Aku nggak pernah nyium cewek sebelumnya."
"Sama. Aku juga belum pernah dicium cowok sebelumnya.
Tapi yang di kantin itu kan nggak pakai perasaan yang gimana
gimana, Ven. Maksudku waktu itu, cukup sentuhkan sedikit
bibirmu di bagian wajahku sebentar saja. Hanya pembuktian
kalau kamu benar-benar cowok sejati!"
Ups.
Aku langsung kembali merasa bersalah saat melihat wajah
Raven memerah.
"Kamu juga meragukanku, Dhi?"
"Eh... ehm... maksudku... ehm... bukannya... yah... bukannya
nggak yakin kamu cowok sejati, tapi sejujurnya aku kecewa
denganmu. Berapa kali kamu diolok-olok mereka tapi kamu
diam saja. Mereka semakin keterlaluan dan kamu tetap saja
diam. Bertindaklah sebagai laki-laki, Ven. Lawan mereka!"
Raven kembali terdiam. Hanya sepasang matanya terus
menatapku.
121 121
"Kamu nggak ngerasa apa-apa, Dhi, waktu kucium?" tanya
Raven tiba-tiba.
"Maksudmu?"
Tangan Raven menunjuk dadanya.
Kepalaku menggeleng.
"Kok, kamu pakai acara pingsan segala sih? Bikin panik aja!"
protesku.
Sebelum Raven menjawab, terdengar sebuah suara memanggil namaku. Ternyata karena keasyikan mengobrol dengan
Raven, kami nggak tahu Pak Mochtar sudah masuk kelas.
"Nadhira!"
"Ya, Pak!" jawabku kaget.
"Ke sini!" perintah Pak Mochtar.
"Salah saya apa, Pak? Saya tidak menggambar kok. Sumpah.
Coba Bapak lihat, di atas meja ini tidak ada gambar. Dari tadi
saya mengobrol dengan Raven sampai tidak sadar Bapak sudah
masuk kelas. Maaf."
"Kemarilah dulu, jangan nyerocos macam petasan renteng
begitu."
Agak ragu aku beranjak dari bangku dan melangkah pelan
menuju meja guru.
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bu Sharmila tadi pesan, kamu harus ke ruang BP sekarang!"
"Lha, kan tadi saya sudah bilang, Pak. Saya tidak menggambar
apa-apa. Sumpah. Masa Bapak tidak percaya. Masa saya harus
pakai Sumpah Palapa seperti Patih Gajah Mada?"
122 122
"Ngawur. Sudah sana, lama-lama omonganmu makin ngaco."
"Bukannya ngaco, Pak. Biasanya kalau dipanggil ke BP itu
urusannya pasti karena saya menggambar saat jam pelajaran."
Aku tetap ngotot.
Pak Mochtar memandangku kesal.
"Diam. Pergilah ke BP sekarang juga dan tanyakan sendiri
pada Bu Sharmila kenapa beliau memanggilmu. Jelas? Cepat
sana!"
Sebelum melangkah, lagi-lagi pandanganku tertuju pada
sosok di belakang Bashira. Biarpun sekilas aku bisa menangkap
tatapan matanya yang selalu memberi dampak debaran cepat
di dadaku.
Belum lama berjalan di lorong kelas menuju ruang BP, dekat
kelas Kemal langkahku terhenti begitu melihatnya keluar dari
kelas. Saat dia menoleh dan melihatku, senyumnya langsung
mengembang.
"Nadhira, kita memang berjodoh. Baru saja aku keluar mau
menemuimu, eh pucuk dicinta ulam pun tiba. Kau sudah muncul di hadapanku."
Berjodoh gundulmu! Batinku sebal.
Kaki kiriku sudah mau berbalik memilih jalan memutar lewat
halaman depan sekolah untuk menghindarinya, tapi suara
hatiku berteriak mencegahnya. Kenapa harus menghindarinyaSeperti pengecut saja. Selama ini aku kecewa pada sikap Raven
123 123
yang tidak mau melawan, bagaimana mungkin aku malah
memilih lari untuk menghindar.
Dengan tarikan napas panjang disertai kedua telapak tanganku yang mengepal keras untuk menguatkan tekad, aku kembali
melangkah.
Namun, Kemal sigap meraih pergelangan tangan kananku.
Aku kembali berhenti, tepat di depannya dan mendongakkan
kepalaku.
"Ada apa!" tantangku.
Kemal tidak menghiraukan. Dia memindahkan tanganku ke
genggaman tangan kirinya, sementara tangan kanannya sibuk
merogoh kantong celana seragamnya. Sesaat kemudian, Kemal
memasukkan sebuah gelang yang terbuat dari tali temali yang
saling kait-mengait berwarna cokelat bata ke pergelangan
kananku. Setelah gelang itu masuk dengan ukuran yang pas di
pergelanganku, Kemal memandangku lekat-lekat.
Aku jengah juga dipandang selekat ini.
"Selamat ulang tahun, Nadhira," ucapnya dengan suara lembut.
"Ini kado dariku. Sekarang kita memakai gelang yang sama,"
lanjutnya mengangkat tangan kananku yang memakai gelang
yang sama persis seperti yang dipakainya di tangan kiri.
Entahlah, pemberian yang tampak sederhana ini terasa
mengusik hatiku. Aku merasa tatapan mataku sudah tidak segalak tadi. Sebuah senyum tersungging begitu saja di bibir"Terima kasih. Gelangnya keren," kataku jujur.
124 124
Juga ramah.
Kemal malah melongo memandangku. Genggamannya di
pergelangan tangan kananku terlepas begitu saja.
Waduh, jangan-jangan mau pingsan juga seperti Raven waktu
itu.
"Kemal...," panggilku sambil menggerak-gerakkan tangan di
depan wajahnya. "Ada apa?"
Dia tetap terdiam dengan pandangan tidak percaya menatapAh, daripada nanti terjadi sesuatu yang tidak diinginkan,
lebih baik aku segera angkat kaki.
"Aku pergi dulu ya, Mal. Dipanggil ke BP sama Bu Sharmila,"
pamitku.
Aku terheran-heran sendiri, ngapain juga harus pamitan
sa?ma dia.
hernya.
Kepala Kemal mengangguk-angguk seperti ada per di le"Bu Sharmila, apa salah saya? Tadi saya tidak menggambar
waktu pelajaran Pak Mochtar," kataku begitu Bu Sharmila
memintaku duduk.
Bu Sharmila memandangku dengan alis terangkat, kemudian
tertawa lebar.
"Ya ampun, Nadhira, kamu kok jadi parno begitu. Dipanggil
ke BP kan nggak selalu punya kesalahan atau melakukan pelanggaran.
125 125
Ganti kedua alisku yang menyatu di atas hidung. Heran
mendengarnya.
"Inilah yang sering salah kaprah. BP selalu identik dengan
pelanggaran dan hukuman. Padahal kalian bisa datang ke sini
kapan pun untuk sharing maupun saat merasa membutuhkan
bimbingan. Boleh cerita apa saja. Cita-cita, masalah dengan
orangtua di rumah, atau urusan sama pacar yang mengganggu
konsentrasi belajarmu."
Jujur. Aku baru tahu. Karena selama ini ruang BP memang
indentik dengan segala macam pelanggaran dan pemberian
surat panggilan untuk orangtua.
"Jadi, ada apa, Bu?"
"Begini, kamu kan pintar membuat sketsa, kebetulan majalah
sekolah membutuhkan ilustrasi untuk cerpen dan puisi. Yang
biasa bikin si Andro, anak kelas dua belas. Tapi dia minta diganti
karena sibuk les dan bimbel untuk ujian nanti."
"Kok, Bu Sharmila tahu?"
"Tahulah, Ibu kan pembina majalah sekolah. GimanaMau?"
Tawaran ini membuat dadaku sesak karena antusias. Senang.
Juga sangat bersemangat.
"Mau, Bu. Mau!"
"Oke."
Belum sempat Bu Sharmila melanjutkan kalimatnya, ponselnya yang tergeletak di atas meja bergetar. Begitu menempelkan ponsel di telinga, Bu Sharmila tampak khusuk mendengarkan. Sekitar lima menit kemudian Bu Sharmila selesai
126 126
dan menatapku, "Tunggu di sini dulu ya, Dhi, Ibu dipanggil Bu
Kepala Sekolah."
"Iya, Bu, silakan."
Tinggallah aku sendirian di ruang BP, padahal biasanya ada
guru BP lain. Mungkin mereka sedang mengajar di kelas.
Beberapa saat bengong mengamati seluruh ruangan, aku mulai
bosan. Kuraba saku atasan dan rok untuk mencari ponsel yang
biasanya kusimpan di sana, tapi aku baru sadar kalau ponselku
tertinggal di rumah. Yang kutemukan justru sebatang pensil
2B sepanjang jari telunjuk di saku atasanku. Ini kebiasaanku
dari kecil, suka mengantongi pensil ke mana pun pergi. Jari
tangan kananku memutar-mutarnya untuk mengisi waktu. Aku
menyesal kenapa tidak mengantongi kertas di saku. Kertas apa
saja. Biasanya karcis parkir, nota makanan, atau struk belanja
sering kali kusimpan di saku. Dan saat bengong, kertas-kertas
itu biasanya akan kugambari di bagian yang masih kosong.
Mataku terbelalak senang ketika tanpa sengaja menatap
gumpalan kertas di bawah meja Bu Sharmila, dekat tempat
sampah yang penuh berisi gumpalan kertas yang tidak terpakai.
Setelah kuambil sambil berjongkok di bawah meja, kertas itu
kubuka dan permukaannya coba kuluruskan. Masih tampak
bekas lipatan-lipatan di sana-sini, tidak apa-apa yang penting
bagian belakang kertas yang ternyata bekas undangan rapat
itu masih kosong. Bisa kugambari.
Tanganku mulai bergerak mengikuti kata hati. Tidak tahu
kenapa saat mulai menggambar tangan kiriku menggenggam
liontin bintang di dadaku. Jadi, coretan yang kubuat pun men127 127
jadi gambar seuntai kalung dengan liontin berbentuk bintang.
Ketika tanganku selesai menyapukan pensil dengan posisi
horizontal untuk background-nya, sebuah suara di belakang
punggungku mengagetkanku.
"Nadhira..."
Jantungku langsung bergemuruh mendengarnya. Posisi
tanganku berhenti bergerak seketika. Perlahan aku memutar
kepala ke belakang.
Ya Tuhan, di belakangku, aku melihat Tama berdiri dengan
senyum yang membuat tubuhku kaku.
"Mana Bu Sharmila?"
Butuh waktu beberapa saat untuk bisa menjawab pertanyaannya. Aku perlu meredakan dulu debaran di dadaku agar bisa
mengeluarkan suara dari mulutku.
"Lagi dipanggil Bu Kepala Sekolah."
"Oh," komentarnya singkat.
"Ada perlu?"
Kepala Tama mengangguk.
"Nanti saja aku kembali ke sini."
Yah, aku langsung kecewa. Padahal aku sangat berharap dia
mau menunggu di sini bersamaku. Berdua saja. Tapi, kalau
hanya berdua bukannya aku malah salah tingkah, bingung tidak
tahu harus bagaimana"Oh, oke," kataku memutar tubuh menghadapnya.
Pandangan mata Tama sepertinya melihat gambar yang tadi
128 128
tertutup tubuhku, kemudian dengan senyum mengembang dia
menatapku.
Pandangan kami bertaut sesaat. Dadaku kembali berdebar
hebat. Seluruh wajahku rasa memanas. Mungkin warnanya
sudah memerah.
"Kamu suka kalungnya?"
Refleks tangan kananku terangkat dan memegang liontin
bintang di dadaku dengan mata terbelalak dan mulut terbuka.
Senyumnya semakin lebar melihat reaksiku.
Sesaat kemudian tubuhnya sudah berbalik dan melangkah
ringan keluar ruang BP melewati pintu yang masih terbuka.
Aku masih memandangi pintu dengan tangan tidak beralih
dari liontin di dadaku. Satu pertanyaan menyerang bertubi-tubi
di kepalaku.
"Kok, dia tahu? Apa karena tadi ia melihat gambarku..?"
129 129
Puisi Itu...??!!
ku terpana.
Di depanku terbentang gambar dalam ukuran
yang tidak terlalu besar. Gambar cewek dari ke
pala sampai batas dada dengan pandangan samar
ke depan, dibayangi samar-samar wajah seorang cowok di
belakangnya.
Belum lama Bu Sharmila memberikan print out cerpen untuk
kubuat ilustrasinya. Perpustakaan sudah sepi, Mas Hanif yang
biasa bertugas di perpustakaan sedang istirahat makan siang.
Sebelum mulai menggambar tadi, aku membaca dulu ceritanya.
Judulnya, "Dalam Hati Saja" perasaan mirip judul lagu ya. Kisahnya tentang seorang cewek yang diam-diam menyukai sahabat
kakaknya. Semacam secret admirer-lah. Bahkan sampai akhirnya sahabat kakaknya punya pacar, dia tetap menyimpan
130 130
pera?saannya. Padahal cowok itu pun punya perasaan yang
sama, tapi tidak berani dan tidak enak hati karena menyukai
adik sahabatnya sendiri.
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Biarpun cerita seperti ini sudah sering kutemui, tapi ketika
membaca cerpen ini sepertinya aku bisa merasakan bagaimana
rasanya memendam perasaan pada seseorang. Mungkin yang
menulis memang pintar mendeskripsikan perasaan karakterkarakternya sampai yang membaca ikut terbawa dalam cerita
atau mungkin juga aku merasa ada persamaan antara tokoh
cewek dalam cerpen itu denganku. Tidak tahu mana yang lebih
tepat.
Kenapa tidak bilang saja terus terang! Batinku memprotes
sikap yang diambil tokoh-tokoh utamanya. Sepertinya aku
benar-benar terlarut dalam kisahnya. Bilang saja terus-terang,
kalau diterima ya syukur dan kalau ditolak anggap saja musibah.
Mungkin akan terasa sakit di awalnya, tapi selanjutnya akan
terasa lebih lega daripada terus-terusan menyimpan perasaan
tanpa mendapat jawaban. Bisa-bisa malah mati penasaran.
Ah, apakah aku juga akan punya keberanian untuk mengungkapkan perasaanku pada seseorang yang kusukaiSanggupkah aku berbicara jujur pada Tama tentang perasaanPerlukah aku mengungkapkannya, kalau jawabannya seperti
sudah jelas terlihat dari seikat mawar merah muda dan kedekatan mereka berdua.
Kelopak mataku mengerjap beberapa kali mengamati ilustrasi yang sudah kuselesaikan dan meninggalkan satu perasaan
aneh di dadaku. Tadi waktu mulai menggambar, aku seperti
131 131
terbawa dalam cerita. Begitu gambarnya selesai malah membuatku terpana cukup lama. Bagaimana tidak, karena gambar
cewek dalam ilustrasi itu mirip sekali denganku, malah bisa
dibilang seperti sketsa fotoku sendiri. Dan gambar cowok yang
kubuat samar-samar di belakangnya jelas banget kalau itu
wajah Tama!
Duh, kok malah jadi ngawur begini, keluhku bingung pada
hasil gambarku sendiri.
Setelah berpikir sejenak, tanganku cepat mengambil kertas
HVS dari tas yang kuletakkan di atas meja. Aku harus membuat
ilustrasi lagi secepatnya, sebelum Monika, pimpinan redaksi
majalah sekolah yang tadi bilang mau mengambil gambarnya
datang ke sini.
Begitu memegang pensil dan kertas kosong terhampar di
atas meja, aku memejamkan mataku untuk memunculkan karakter wajah cewek yang akan kugambar. Sayang sekali penulisnya tidak mendeskripsikan sedikit saja ciri-ciri fisiknya.
Seandainya saja disebutkan bagaimana rambut, hidung, atau
sepasang matanya, akan sangat memudahkanku menggambarkan
karakternya. Saat mataku terpejam bayangan wajah Bashira
dan teman-teman cewek lainnya bergantian singgah di kepalaku. Tapi tidak satu pun yang rasanya cocok dengan karakter
itu. Karena belum juga mendapat gambaran di kepalaku, aku
memutuskan untuk membaca cerpennya sekali lagi.
Akhirnya tanganku mulai bergerak. Pensil yang kupegang
mulai menorehkan bentuk-bentuk di kertas kosong. Sepuluh
menit kemudian ilustrasinya pun selesai, baik posisinya, sosok
132 132
cewek, maupun cowoknya berubah. Ceweknya kubuat berambut ikal sampai di bawah telinga dan cowoknya kubuat berambut gondrong. Posisi cowoknya di depan dengan tatapan
menerawang dan gambar samar-samar cewek di belakangnya.
Kupandangi dengan dengan kening berkerut rapat. Kok, wajah
ceweknya tetap mirip wajahku? Hanya saja versi diriku dengan
rambut ikal dan cowoknya? Lho, kok jadi mirip KemalSumpah, membuat ilustrasi ternyata tidak semudah yang
kuperkirakan.
Kenapa emosiku jadi terlibat saat membuatnyaSepertinya aku tidak bisa melepaskan diri dari keterikatan
dengan ceritanya. Apa kebetulan karena ceritanya mirip denganku? Atau karena selama ini aku memang selalu menggambar objek sesuai dengan kata hatiku. Yang cocok dengan
kon?disi emosiku.
Kujajarkan dua gambar yang telah kubuat. Kupandangi
bergan?tian dengan tangan menggaruk-garuk kepala tanda putus
asa. Aku sempat terpikir untuk membuat gambar yang baru,
ketika sosok Monika tampak melenggang masuk perpustakaan
sambil menenteng map biru.
Cepat-cepat kuambil gambar yang mirip aku dan Tama dan
kusembunyikan di bawah meja.
"Gimana, Dhi, sudah selesai gambarnya?" tanya Monika begitu
berdiri di depanku sambil meletakkan mapnya di me?ja.
"Ehm..." belum sempat aku berpikir untuk mencari kata-kata
lanjutan kalimatku, tangan Monika sudah meraih gambar di
depanku.
133 133
"Ini ya?"
Monika membawa kertas itu di depan wajahnya, mengamatinya dengan wajah mengernyit serius. Aku deg-degan melihatnya. Ya Tuhan, apa dia langsung mengenali wajah yang kugambar di situ.
"Bagus, Dhi, nanti kutunjukkan sama anak-anak redaksi."
"Ehm, Mon, sebenarnya aku masih kurang sreg dengan gambar itu," kataku mencari-cari alasan. "Beri aku waktu sebentar
lagi untuk membuat gambar yang baru. Oke?"
"Nggak usah, Dhi. Ini saja. Waktunya sudah mepet," jawab
Monika sambil memasukkan gambar itu ke mapnya.
"Cuma butuh lima belas menit, Mon. Tidak lebih."
"Masih ada satu puisi yang butuh gambar ilustrasi."
Monika menyerahkan selembar kertas padaku.
"Terima kasih ya, Dhi, sudah mau membantu kami. Sempat
pusing juga waktu Andro mendadak mengundurkan diri. Tidak
semua orang bisa membuat ilustrasi begini, kan? Untung Bu
Sharmila ingat kalau kamu bisa membuat sketsa."
"Sama-sama, Mon. Aku juga senang dikasih kesempatan ini.
Selama ini kegiatan menggambarku justru sering mengantarku
ke ruang BP untuk diberi sangsi," gurauku.
Tawa Monika berderai.
"Kamu sih suka nggak tahu tempat kalau sudah menggambar."
"Bukan salahku. Tanganku bergerak sendiri."
"Ah, dasar seniman!"
"Hah, seniman? Kalau aku ini jelas seniman tingkat BP, bolakbalik dipanggil dan dapat surat peringatan."
134 134
Kami tertawa bersama.
"Oke, Dhi, aku ditunggu anak-anak redaksi. Nanti kalau
puisinya sudah selesai kamu buatkan ilustrasinya, tolong antarkan ke kantin ya. Anak-anak redaksi lagi ngumpul di sana."
"Kantin?" tanyaku heran.
"Jangan heran, kami bisa rapat di mana saja."
"Oh, oke, nanti kuantar ke sana."
"Sekali lagi makasih, Dhi."
"Sama-sama."
"Kamu nggak keberatan kan kalau bulan depan kita minta
bantuanmu lagi untuk membuat ilustrasi?"
"Dengan senang hati," jawabku mantap.
Begitu Monika keluar dari perpustakaan, aku kembali merasa
cemas. Gelisah. Pasti anak-anak redaksi bisa mengenali sosok
yang kugambar tadi. Ada kekhawatiran yang mencengkeram
dadaku. Bagaimana kalau gambar itu sudah tercetak dan
karena semua murid hukumnya wajib membeli majalah sekolah,
pasti semua akan melihat gambar itu. Aku yakin sosok di gambar itu sangat familiar.
Aku menghela napas yang terasa sangat berat.
"Sudah selesai, Dhi?" tanya Mas Hanif yang baru selesai
makan siang.
"Belum, Mas, masih ada satu puisi lagi yang harus dikasih
ilustrasi."
"Yo wis, lanjutkan saja."
"Mas Hanif sudah mau pulang?"
135 135
"Nggak. Masih ada kerjaan juga. Masih lumayan lama. Lanjutkan saja menggambarnya."
"Oke, Mas."
Pikiran tentang ilustrasi yang dibawa Monika tadi kembali
menghantui. Aku menggelengkan kepala berkali-kali untuk
meng?enyahkan ketakutanku sendiri. Sudahlah, lupakan dulu
soal itu!
Tanganku mengeluarkan kertas yang bergambar sosokku
dan Tama dari bawah meja. Kupandangi beberapa saat dengan
perasaan berdebar. Seolah aku ingin terus memandanginya.
"Kok malah ngelamun, Dhi!"
"Eh, nggak, Mas!" jawabku gugup dan langsung mengambil
kertas HVS kosong menutupi gambar yang sedari tadi kupandangi.
Sekarang waktunya membuat ilustrasi untuk puisi yang satu
ini.
sendiri.
Ayo, mulai konsentrasi, Nadhira! Kataku menyemangati diri
Pandangan mataku tertuju pada selembar kertas yang tadi
diletakkan Monika di atas meja. Kuraih dan begitu aku membaca bait pertama puisi itu, jantungku rasanya mau melompat
dari rongganya. Dadaku bergemuruh.
Bunga tak selalu berarti cinta,
Bersama tak selalu berarti suka,
Dalam cinta ada makna,
Dalam suka ada rasa,
Dan di dalam hati dapat kamu temukan semuanya..
136 136
Dalam Diam,
Aku Bisa
Merasakan
iuh!
kalinya.
Aku menghembuskan napas untuk kesekian
Mengapa kebiasaanku menggambar selalu saja
menimbulkan masalah? Kalau biasanya sebatas berurusan
dengan guru BP dan surat peringatan untuk ditanda tangani
orangtua, kali ini rasanya lebih memusingkan kepala.
Setelah merasa gembira karena mendapat kesempatan
untuk membuat ilustrasi cerpen dan puisi di majalah sekolah,
akhirnya malah membuat tidurku menjadi gelisah akhir-akhir
ini. Waktu itu aku membuat dua ilustrasi, satu ilustrasi yang
tanpa sengaja sosoknya mirip wajahku dan Tama, dan satu lagi
mirip wajahku dan Kemal. Seingatku waktu itu Monika meng13
137 137
ambil gambar yang mirip aku dan Kemal karena gambar satunya
sengaja kusembunyikan di bawah meja.
Tapi kenapa gambar yang satunya tidak juga dapat kutemukanSeingatku gambar itu kututupi dengan kertas HVS kosong
ketika Mas Hanif menegurku. Setelah selesai membaca puisi
yang membuat aku kembali dicengkeram rasa penasaran tentang siapa yang menulisnya, akhirnya aku bisa menyelesaikan
gambar ilustrasinya berupa seikat bunga mawar dengan latar
belakang gambar hati, aku buru-buru menyerahkannya pada
anak-anak redaksi yang sedang berkumpul di kantin, setelah
itu aku buru-buru pulang. Baru malam harinya aku teringat
pada ilustrasi yang pertama kubuat.
Hampir semua buku kubuka satu per satu, kukibas-kibaskan
siapa tahu kertas itu terselip di sana. Bahkan tas sekolahku
mungkin sudah puluhan kali kutumpahkan semua isinya di
lantai kamar, kuperiksa setiap kantungnya, kurogoh-rogoh untuk memastikan. Tapi hasilnya sama saja.
Nihil!
Gambar itu seolah lenyap begitu saja seperti terkena mantra
sulap simsalabim abrakadabra! Cling! Terus hilang dari pandangan.
Jelas aku bingung setengah mati karena seperti sudah
kuceritakan tadi, sketsa itu mirip dengan wajahku dan Tama.
Bukan mirip sih, tapi bisa dibilang persis! Aku yakin setiap anak
yang mengenal aku dan Tama akan langsung mengenalinya.
Soal gambar satunya yang jelas sudah diambil Monika, tidak
138 138
begitu kupusingkan. Walaupun jelas wajahku dengan versi
rambut ikal dan Kemal di gambar itu, aku lebih bisa menghadapinya. Paling-paling si Onta Padang Pasir itu akan mengolok-olokku kalau diam-diam suka padanya. Peduli amat! Aku
cukup menulikan telinga dan menghindari bertemu langsung
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengannya. Aku yakin, seminggu dua minggu dia akan lelah
sendiri dan melupakannya.
Dan untuk anak-anak yang lain, pasti mereka juga tidak
peduli. Permusuhanku dengan Kemal sepertinya sudah diketahui seluruh penghuni sekolah. Mereka akan berpikir aku
sengaja mengejek Kemal lewat gambar. Karena dalam gambar
itu tampak jelas wajah Kemal dengan pandangan menerawang
mar menjadi background-nya.
seolah merindukan seseorang dengan gambar wajahku tersaSementara gambarku dengan Tama dengan posisi sebaliknya.
Seolah aku yang tengah merindukan Tama. Masalahnya hanya
Bashira!
satu orang yang sangat kurisaukan.
Bagaimana kalau dia sampai tahuWalaupun dia sudah tahu aku memang menyukai Tama dan
telah terang-terangan menantangnya untuk bersaing secara
fair, aku tidak bisa memprediksi reaksinya nanti.
Ah, bukankah yang diambil Monika waktu itu gambar yang
satunya? Jadi, kemungkinan besar gambar yang kukhawatirkan
hanya terjatuh di perpustakaan dan dianggap Mas Hanif sudah
tidak terpakai lalu dibuang ke tempat sampah. Beres. Tidak
ada masalah, kan139 139
Aku menepuk jidatku cukup keras untuk mengembalikan
kesadaranku yang seolah-oleh terombang-ambing ketakutan
dan kekhawatiranku sendiri.
"Kenapa, Dhi? Pusing?" tanya Raven cemas.
Kepalaku langsung menoleh kaget.
"Apa?"
"Kamu pusing?"
"Kenapa?" tanyaku masih linglung.
Tangan kanan Raven terulur menyentuh keningku. Keningnya
berkerut serius.
"Nggak panas," gumamnya.
"Ada apa, Ven?"
Raven memandangku cukup lama. Raut wajahnya yang biasanya mirip bayi itu tampak sangat serius.
"Kamu lagi ada masalah apa sih, Dhi? Beberapa hari ini kamu
kelihatan seperti orang bingung. Terus, barusan mukul jidat
apa?"
sendiri, ditanya malah balik nanya. Sebenernya ada masalah
Ganti aku yang menatapnya cukup lama. Aku seolah menemukan kembali adik bayi yang dulu selalu ingin kulindungi.
Setelah peristiwa di kantin waktu itu, Raven sepertinya masih
marah dan terus mendiamkanku. Biarpun aku sudah berulang
kali minta maaf, tapi dia hanya menjawab dengan anggukkan
kepala.
"Kamu sudah nggak marah, Ven?"
Raven menggeleng.
"Jawab! Jangan cuma menggerakkan kepala mengangguk
140 140
atau menggeleng. Biasanya kamu tetap marah kalau begitu.
Ayo, jawab dengan ucapan!"
Mulutnya mengerucut sebal.
"Iya, Nadhira, aku memaafkanmu!"
"Benar?"
"Benar!"
"Sumpah?"
"Sumpah!"
"Janji?"
"Janji!"
"Sekali lagi maafkan emakmu ini, adik bayi," godaku.
Raven mendelik marah.
Aih, lutunaaa...!!!
Refleks aku langsung memeluknya.
"Terima kasih, Ven," kataku jujur dari dalam hati.
Tangan Raven menepuk-nepuk pundakku pertanda kami
sudah baikan lagi seperti dulu. Kami berdua tertawa bersama,
seolah kembali bertemu sahabat lama yang sudah lama
terpisah.
Namun, bibirku langsung terasa kaku begitu aku melihat
sepasang mata yang menatapku tajam dari belakang bangku
Bashira. Pandangannya terasa menusuk dadaku. Di telingaku
seperti menggema kalimat terakhir yang diucapkannya
padaku,
"Ya, aku tahu. Tapi aku cemburu..."
141 141
Langkahku terhenti seketika di lorong kelas begitu melihat
sosok Kemal berjalan dari arah berlawanan. Refleks tangan
kiriku meraih tangan Raven dan memegangnya erat-erat. Awalnya Raven kaget dengan langkahku yang terhenti mendadak
kemudian jadi tambah bingung ketika aku menggandeng erat
tangannya.
"Ada apa, Dhi?"
"Kita muter aja, Ven," ajakku sambil membalikkan badan dan
setengah menyeretnya.
"Dhi?"
"Nggak lihat di depan ada si Onta Padang Pasir? Aku lagi
males ribut, Ven, lebih baik kita hindari saja."
Kepala Raven menoleh ke belakang.
"Mana, Dhi? Sudah nggak ada!"
Langkahku kembali terhenti dan tubuhku memutar seratus
delapan puluh derajat. Ada beberapa anak yang tampak lalu
lalang tapi sosok Kemal sudah tidak ada.
"Perasaan, tadi dia jalan dari arah sana."
"Salah lihat kali, Dhi. Mungkin karena kamu jadi parno kalau
melihat dia."
Badanku berbalik dan kembali berjalan ke arah semula tanpa
melepaskan genggaman tanganku. Entahlah sejak Kemal dan
kelompoknya suka mengolok-olok Raven, aku jadi semakin
posesif menjaganya. Karena aku tahu, Raven entah tidak mau
atau tidak berani menghadapi olok-olok mereka.
"Hai, Dhi, gambar ilustrasinya cihuy!" teriak Suta salah satu
anggota kelompok Kemal dari pintu kelasnya.
142 142
IlustrasiYa Tuhan....
Belum sempat otakku mencerna maksud ucapan Suta
barusan, tiba-tiba Kemal sudah muncul dari balik pilar di depan
kelasnya. Aku mencengkeram tangan Raven lebih keras.
Menambah kecepatan ayunan kakiku menjadi setengah berlari.
Tapi, Kemal sengaja berhenti tepat di depanku. Terpaksa aku
mengerem langkah dan berhenti sehingga nyaris menabrak
tubuhnya yang berdiri menjulang di depanku.
"Minggir!" desisku pelan tapi tajam.
Tidak ada reaksi.
Tidak ada jawaban.
"Aku lagi nggak ingin ribut!"
"Bisa minggir, nggak!" bentakku sambil mendongakkan
kepala.
Kemal menunduk menatapku. Sebuah senyum tersungging
di bibirnya. Ah, lagi-lagi aku harus mengakui, kalau senyumnya
cukup memesona. Tatapan matanya terasa hangat menatap"Aku suka ilustrasinya, Dhi. Keren. Benar-benar sesuai dengan ceritanya," katanya lembut.
Kedua mataku membelalak lebar.
APAAA...?!!
Rasanya aku mengerti apa maksud ucapannya. Benarkah
majalah sekolah hari ini sudah beredar? Kenapa aku belum
melihatnya? Biasanya majalah sekolah akan dibagi lewat ketua
143 143
kelas karena semua siswa sudah membayar biaya langganan
enam bulan di depan saat awal semester.
"Terima kasih, Dhi..."
Aku tidak menghiraukannya. Dengan cepat kutarik Raven
kembali melangkah ke samping di sebelah tubuh Kemal yang
masih berdiri diam di tempatnya.
"Memangnya kamu membuat ilustrasi apa sih, Dhi?" tanya
Raven penasaran sambil berusaha menjajari langkahku.
"Cerpen sama puisi buat majalah sekolah."
"Kenapa sekarang nanya lagi?"
"Iya, aku tahu. Kamu kan sudah cerita waktu itu."
"Maksudku kamu menggambar apa, kok sampai Kemal bilang
terima kasih segala?"
"Nanti kita lihat sama-sama gambarnya," jawabku sambil
berbelok di samping ruangan BP menuju tempatku berkumpul
bersama anak-anak pintu belakang.
Ternyata Ryu, Asta, Syarif, dan Fala sedang serius membaca
majalah sekolah yang kali ini covernya didominasi warna hijau.
Mereka berempat serempak mengangkat kepala begitu aku
dan Raven tiba. Keempatnya memandangku dengan sorot mata
yang tidak biasa.
"Kok ngeliatinnya gitu amat, sih!" protesku sambil melihat
mereka satu per satu.
Tidak ada yang menjawab, hanya Asta yang mengacungkan
majalah yang dibawanya. Sebelum aku sempat bertindak Raven
langsung menyambarnya.
144 144
"Ilustrasinya apa sih, sampai pada heboh begini?" tanya
Raven sambil membuka cepat halamannya.
"Langsung lihat halaman enam belas sama delapan belas,
Ven," jawab Fala.
Begitu menemukan halaman yang disebutkan Fala, kepala
Raven mendekat untuk mengamati gambarnya.
"Ini gambar kamu sama Kemal ya, Dhi?"
"Iya," jawabku pasrah.
Tidak perlu menyangkal. Karena gambar itu memang yang
diambil Monika sebelum aku sempat membuat gambar yang
lainnya.
"Kamu suka sama Kemal, Dhi?" tanya Syarif dengan nada
tidak percaya.
"Apa? Gila apa!"
"Tapi waktu baca cerita cerpen ini dan kamu buat ilustrasi
sangat mirip wajahmu dan Kemal, kok aku juga punya kesan
seperti pertanyaan Syarif."
"Fala, itu hanya ilustrasi. Biarpun gambarnya mirip aku sama
si Onta Padang Pasir itu bukan berarti aku juga mengalami hal
yang sama dengan tokoh cewek dalam cerita itu," jelasku serius
supaya mereka tidak salah paham.
"Tapi kenapa ilustrasinya harus mirip wajahmu dan KemalAku yakin, siapa pun yang membaca ceritanya dan melihat
ilustrasinya pasti punya pendapat yang sama. Ilustrasi kan
memang memberi gambaran isi cerita, Dhi!"
"Iya, aku ngerti. Cuma waktu itu aku nggak sengaja menggambarnya. Mungkin karena lagi jengkel-jengkelnya sama si Onta
145 145
Padang Pasir itu sampai terbawa di kepala waktu menggambarnya. Sebenarnya sudah mau aku ganti, tapi Monika bilang
waktunya mepet, terus dia ambil gambar yang itu."
"Kamu juga jengkel sama Tama, Dhi?" tanya Raven menatapku
tidak percaya.
"Hah?" komentarku singkat sambil menoleh kaget menatap
Raven.
"Kamu musuhan juga sama Tama?"
Lho Kembar Kok Beda Karya Netty Virgiantini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jengkel? Musuhan? Apa maksudmu, Ven?" tanyaku bingung.
"Ini gambar ilustrasi puisinya kok mirip banget wajahmu sama
Tama!"
"YA TUHAN..."
Tangan kananku dengan cepat merebut majalah yang
terbuka di tangan Raven. Begitu melihat gambar di halaman
Pendekar Rajawali Sakti 33 Manusia Shugyosa Samurai Pengembara 1 Pendekar Naga Putih 18 Dewi Baju Merah
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama