Ceritasilat Novel Online

Me And My Prince Charming 2

Me And My Prince Charming Karya Orizuka Bagian 2

jeanangelo@yahoo.com Missin U already

Hi Cherry!

How are you doing? It s been too long since I talked to you. Just want to say that I miss you, hope we ll meet soon.

It s very nice here, you know, but it will be nicer if you re here with me. By the way, I can t wait to read your reply&

love. -JG

Love. JG. Mengapa tidak Love. AA. sih? Sebenarnya siapa sih yang pacarku? Mengapa aku merasa Jean lebih memerhatikanku daripada Andros yang adalah pacarku sendiri?

Aku sudah terlalu pusing untuk membalas e-mail Jean, jadi aku segera menjatuhkan diri ke tempat tidur lagi. Aku sudah tak dapat menangis. Tadi malam, semuanya sudah kukeluarkan habis-habisan.

Tahu-tahu, lagu Toxic menggema di kamarku. Ponselku. Aku mengambilnya dari meja komputer. Maya. Pasti dia heran karena aku tidak masuk hari ini. Aku belum mengatakan apa-apa sejak tadi malam. Aku terlalu sakit untuk menceritakannya kembali. Aku sudah tak punya cadangan air mata.

Tapi aku menangis juga, entah dari mana air mata itu. Aku menceritakan seluruh detailnya kepada Maya. Maya dengan sabar mendengarkan. Tapi begitu sadar kalau saat ini sedang jam pelajaran isika, aku segera menghentikan ceritaku. Dia cepat-cepat mengatakan bahwa masalahku jauh lebih penting daripada pelajaran dan bahwa dia sekarang ada di toilet.

Yang paling menyakitkan, Maya memberitahuku kalau Andros tetap bersikap seperti biasa, bercanda dengan Adit dan bermain basket. Dia sama sekali tidak khawatir dengan keadaanku.

Aku sudah tak ingin bertemu dengannya lagi, walaupun bertentangan dengan kata hati. Aku memang tak bisa melewati satu hari tanpanya, tapi lebih tak bisa menahan sakit setiap kali dia tak peduli padaku. Andros. Cowok yang sudah membuatku gila. Aku membenamkan wajah ke bantal. Menangis lagi.

Semalam, aku tidak keluar kamar. Ibu mengantarkan makanan ke kamar. Aku bercerita kepadanya kalau aku hanya sedang PMS. Jadi, beliau tidak banyak bertanya kenapa mataku sembap dan sebagainya.

Saat ini, aku sudah berada di sekolah. Dari pagi, aku hanya berdiam di kelas, mengerjakan catatan-catatan yang tertinggal selama aku tak masuk. Selain itu, aku juga tidak mau bertemu Andros.

Maya mengajakku ke kantin saat istirahat, tapi aku menolaknya. Maya tetap memaksa, bahkan sampai menggeretku. Aku pasrah saja mengikutinya. Padahal, aku tak tahu harus bagaimana jika bertemu Andros.

Andros ada di sana, di mejanya yang biasa. Aku melewatinya tanpa melihat. Aku sudah memutuskan kalau aku tak akan bicara apa pun kepadanya.

Aku merasakan Andros menatapku, tapi aku tak peduli dan duduk di mejaku yang biasa. Maya menatapku senang.

" Nah, gitu dong. Jangan mau dimainin cowok. Lo kudu tough, " kata Maya sambil tersenyum. Rupanya Maya sudah memberi cap buruk pada Andros setelah aku menceritakan kejadian semalam.

Aku menatap Maya. Hanya menatap Maya. Aku tak lagi mencuri-curi pandang ke arah Andros. Saat ini, aku sungguh sedang tak ingin melihat wajah tampannya. Melihatnya membuatku semakin hancur.

Aku menggigit bibirku keras-keras, berusaha tidak menangis lagi. Maya pun sangat menghargai perasaanku karena dia tidak menyinggungnyinggung soal Andros lagi. Aku bersyukur karenanya. Tapi pikiranku tentangnya tiba-tiba berubah saat dia berkata, " Ng& Cher? Boleh nggak gue ngomong sesuatu? Soalnya dari tadi ngegangguin gue. " Aku mengangguk.

" Ng& dari sejak kita duduk sampe sekarang, si Andros ngeliatin lo mulu, " lanjut Maya, membuatku semakin ingin menangis.

Kenapa sih, Andros harus menatapku terus? Aku sudah hampir menyerah dan ingin balas menatap Andros ketika teringat wajahnya yang tertidur tadi malam. Aku lalu memutuskan untuk tidak memedulikannya selama beberapa hari. Itu keputusan inal. Supaya dia tahu bagaimana sakitnya aku.

Bel berdering. Menurut Maya, Andros masih di tempatnya. Aku jadi bingung harus bagaimana. Setelah mendapat sedikit nasihat dari Maya, kami berdiri dan menyingkir dari kantin tanpa melihat Andros. Kami berpurapura sibuk bercerita soal episode Smallville saat Clark menyelamatkan Lana dari badai. Aku dapat merasakan Andros menatapku heran, tapi aku tak peduli. Aku benar-benar sebal padanya.

Sudah tiga hari, aku melakukan hal ini kepadanya. Tidak memedulikan Andros, maksudku. Dan aku merasa aku sedikit menguat karenanya. Aku jadi jarang menangis lagi, berkat seminar khusus yang diadakan Maya tiap istirahat.

Saat ini, aku ada di apartemen Maya. Aku sedang tak ingin ada di rumah, yang tiap malam selalu kedatangan Andros.

Aku beri tahu saja, tidak mudah menghindari Andros setiap bertemu. Aku harus melengos, pura-pura meng obrol dengan seseorang, atau bahkan memegang sesuatu yang tidak ingin kupegang dan melakukan sesuatu terhadapnya. Pokoknya apa saja yang bisa menghindarkanku dari Andros. Meskipun demikian, hatiku sangat terluka setiap aku melakukan ini. Aku pernah sangat tidak tahan dan ingin melihat matanya yang cokelat, tapi menurut Maya, jika aku memandang matanya sekali saja, aku pasti bisa langsung memaakannya. Kurasa Maya benar juga.

Jadi, aku memutuskan untuk tetap menunduk jika bertemu dengannya. Sudah dua malam terakhir, aku jadi tiba-tiba sangat tertarik pada nasi di piringku. Tak pernah sekali pun aku menatap Andros yang sedang makan, sebagaimana yang rutin kulakukan dulu. Aku-masih-sangat-sakit-hati.

" Ah, gue dapet e-mail lagi dari nyokap!!" seru Maya ngeri sambil cepat-cepat menghapus pesan dari ibunya yang sudah menumpuk dan menghabiskan separuh dari kapasitas kotak suratnya.

" Lo tahan ya, tinggal sendiri di sini, " kataku sambil menuangkan air mineral ke dalam gelas.

Maya memang tinggal sendiri setelah ayah dan ibunya memutuskan pindah ke Venezuela.

" Gue seneng kok hidup sendiri, " kata Maya cuek, lalu membuka situs resmi Beyonce Knowles.

" Jadi, kapan lo nyusul ke sana?" tanyaku sambil duduk di sebelahnya, mengagumi sosok indah Beyonce di laptop Maya.

" Yah, kapan-kapan lah. Kalo gue udah bosen di sini, " kata Maya lagi sambil meng-klik situs Westlife.

Aku mengernyit. " Ngapain sih lo pake buka-buka situsnya Westlife?" " Nggak apa-apa. Iseng doang, " jawab Maya santai.

Aku heran pada Maya. Dia bisa jadi sangat aneh. Dia selalu saja memerhatikan semua pemeran cewek dalam suatu serial. Dia tidak pernah memberi perhatian pada cowok-cowok imut, sebagaimana yang cewek normal biasa lakukan. Tapi, kadang-kadang, dia akan membuka situs-situs boyband yang isinya cowok-cowok cantik, seperti sekarang ini.

Tunggu dulu. Apa Maya& ah, lupakan saja. Kalaupun iya, aku bukan tipenya. Jadi, aku bisa tenang. Lagi pula aku tahu Maya hanya menyukai Adit sepanjang hidupnya. Yang sebenarnya, sama tidak normalnya. Aku jadi pusing sendiri.

" May, lo sama Adit gimana?" tanyaku, mendadak penasaran. " Udah nggak ada hubungan lagi, " jawab Maya datar.

Aku menatapnya heran. " Maksud lo apaan? Tapi kalian masih temenan, kan?"

" Nggak juga. Gue udah nggak ada hubungan apa-apa lagi sama Adit terhitung dia kenal sama Putri. Titik. "

" Tapi besok Adit ulang tahun, May. " " Gue tahu. Udah beli kado, " kata Maya lagi.

Aku benar-benar bingung. " Katanya udah putus hubungan, kok masih lo beliin kado?"

" Gue mau nanya terakhir kali sama dia. Kalo dia milih Putri, ya berarti semua berakhir. "

" Masih koma dong kalo gitu. " Aku memutar bola mata. " Oya, gue sama keluarga gue udah nyiapin kejutan nih buat dia. "

Maya melepaskan pandangannya dari laptop dan memandangku lekatlekat. " Kejutan apaan?"

" Kita-kita bakalan pura-pura lupa kalo si Adit ulang tahun, malemnya baru dirayain. Rencananya sih, mau ngajak lo sama Andros berkomplot. Ibu yang ngasih tahu Andros, karena gue nggak berani. Nah, lo juga punya peranan penting. Kalo lo mau nanya yang tadi, lo tanya dulu di kamarnya, abis itu suruh dia turun, baru deh kita kasih surprise!" sahutku bersemangat. " Itu juga kalo gue diterima. Kalo dia lebih milih Putri?"

" Nggak bakal. Gue yakin dia suka sama elo, " kataku yakin. Setahuku, Adit memang menyimpan perasaan pada Maya, tapi dulu Maya masih enggan membalasnya.

" Ya udah deh. Besok gue dateng jam enaman ya, " kata Maya akhirnya.

Maya memang hebat. Dia berani mengungkapkan isi hatinya kepada cowok. Aku? Aku tidak yakin apa besok bisa menghadapi Andros tanpa bicara sepatah kata pun.

Esoknya, Adit tak berkata apa pun soal ulang tahunnya. Dia malah tak tampak ingat sama sekali. Tapi aku yakin itu cuma aktingnya saja.

" Gimana, May, lo udah siapin kata-kata buat ntar?" tanyaku ketika Maya muncul seperti biasa menegakkan kepalanya bak putri raja yang sombong setiap kali melewati Adit dan Andros yang sedang makan di kantin.

" Ngapain pake disiapin segala? Spontan aja, " jawab Maya, membuatku semakin kagum kepadanya. Maya segera duduk di depanku.

" Ng& May, kalo lo ditolak, gimana dong?" kataku hati-hati ketika melihat Putri muncul dan duduk di sebelah Adit. Mau tidak mau, aku khawatir Adit sudah benar-benar jatuh cinta pada Putri.

" Gue ke Venezuela, " jawab Maya singkat.

Aku melotot ke arah Maya. " Jadi alasan lo tinggal di sini itu Adit? Kalo Adit nggak nerima lo, lo bakal ke Venezuela?"

Aku benar-benar tak percaya ini. Ternyata, Maya cinta mati pada Adit! Maya mengangguk seolah pertanyaan ini tidak penting. Aku sering menganggap Maya aneh. Apa sih dari Adit yang disuka oleh Maya? Adit itu sifatnya persis Andros, terutama bagian tidak peka-nya.

Yah, aku suka sama Andros. Jadi, aku aneh juga. Tapi setidaknya Andros luar biasa imut!

" Lo tahu nggak, Putri neror gue pake SMS, " kata Maya tiba-tiba.

Aku kaget setengah mati. " Yang bener lo?"

Maya mengangguk. " Kalo nggak percaya, lo baca aja sendiri. " Maya lalu menyodorkan ponselnya.

Aku segera membuka inbox.

" Tadinya gue nggak tahu ini nomor siapa. Eh, terus dianya ngaku. Dasar cewek jelek, " gumam Maya ketika aku membaca SMS-SMS dari Putri.

Isi SMS-SMS itu kebanyakan hujatan. Aku tak mengira Putri bisa berbuat serendah ini. Aku menatap Maya yang sepertinya biasa saja.

" May, selamat berjuang ya, " kataku simpati. " Ganbate, " sambungku untuk menyemangatinya, menggunakan kata dari anime yang sering Adit ucapkan.

Maya hanya tersenyum simpul. Aku sangat berharap Adit tidak bertindak bodoh dengan menolak Maya. Karena& aku bisa kehilangan satu-satunya sahabatku.

Andros. Harusnya aku tahu. Harusnya bukan aku yang membuka pintu. Harusnya aku diam saja di kamar dan menunggu saat kejutan bagi Adit datang. Tapi, berhubung Maya sudah ada di kamar Adit dan kami harus menyiapkan segala kue dan kado, aku turun. Aku baik-baik saja, sampai bel berbunyi. Dan aku membuka pintu. Dan bertemu Andros. Dan membeku seperti biasa.

Andros tampak serba salah melihatku. Bibirnya bergerak seolah hendak mengatakan sesuatu, tapi segera mengatup lagi. Aku jadi kesal. Padahal, dia terlihat luar biasa ganteng malam ini. Aku bisa pingsan jika tidak ingat aku sedang marah padanya.

" Masuk, " kataku cepat tanpa meninggalkan kesan aku senang melihatnya datang. Tapi faktanya begitu. Aku senang bercampur marah. Tak keruan pokoknya.

" Eh, Andros udah datang. Ya udah, sini, ngumpet dulu. Matiin lampunya, " kata Papa sambil bersembunyi di balik sofa.

Andros segera mematikan lampu ruang tamu. Ruangan itu jadi gelapgulita. Sialnya, Andros malah bersembunyi tepat di sebelahku. Tubuh Andros terasa sangat hangat. Aku jadi berkeringat dingin& . Tidak boleh. Aku sedang marah padanya, ingat!

Di dalam kegelapan, aku bisa merasakan Andros sedang menatapku. Aku segera buang muka.

Tiba-tiba, terdengar suara orang menuruni tangga. Kami sudah siap-siap memberi kejutan, tapi ternyata yang turun Maya. Dia langsung berderap pulang, tanpa mengatakan apa pun pada kami yang sedang bersembunyi. Seketika, aku merasakan irasat buruk. Kemungkinan besar Maya ditolak.

Papa menyalakan lampu duduk, lalu menatapku heran. Aku mengangkat bahu. Beberapa saat kemudian, Adit turun dengan gontai. Kami segera keluar dari persembunyian masing-masing.

" Surprise!!" seru kami kompak.

Adit menatap kami heran, lalu detik berikutnya nyengir nakal. " Wah, apaan nih?" sahut Adit sambil membalas pelukan Ibu. Papa juga memeluknya. Andros juga. Aku juga, mau tak mau. Walaupun rasanya sedikit aneh berpelukan dengan cowok yang baru kukenal dua tahun yang lalu.

Wajah Adit tampak gembira. Tak ada tanda-tanda dia telah menolak Maya. Aku ingin sekali menanyakannya, tapi terpaksa kutunda demi suasana yang sedang ceria ini.

Ibu memberikan ampliier untuk gitar elektrik Adit. Sebulan yang lalu, ampliiernya meledak karena Adit sering menaruh gelas di atasnya. Aku

sangat ingat betapa hebohnya waktu itu. Semua tetanggaku berduyunduyun mengungsi karena menyangka di rumahku sudah meledak bom atau apalah.

Andros memberinya CD System of a Down yang terbaru. Adit sudah lama menginginkan CD itu, tapi dia tak punya uang untuk membelinya karena setiap perak uang Adit habis untuk membeli kaset PS.

Aku memberinya headphone, untuk dipakainya saat bermain gitar. Aku sudah tak tahan mendengar apa yang dikatakannya sebagai musik tapi terdengar seperti raungan banshee bagiku setiap malam. Aku mimpi buruk setiap kali Adit bermain gitar.

Kejutan terakhir datang dari Papa. Papa memberi hadiahnya tidak memakai bungkus kado. Dia melempar kannya kepada Adit. Sesaat, Adit bengong begitu menerima benda yang ternyata kunci itu. Sedetik setelahnya, dia berlari ke luar rumah.

Sebuah motor yang kuyakini bermerek Ducati terparkir di halaman rumah kami. Adit memang belum mempunyai motor lagi setelah motor bebeknya dicuri orang. Padahal, motor itu sudah tak punya kelebihan lagi selain mesinnya. Adit sudah menelanjanginya habis-habisan,kabelnya sampai mencuat ke mana-mana. Aku tak pernah mau diantar oleh Adit ke sekolah tidak dengan motor itu. Aku malah bersyukur ada orang yang mau mengambilnya.

Tapi lain soal dengan yang ini. Motor ini seperti yang dipakai pembalappembalap MotoGP. Sangat keren. Andros sampai berdecak kagum. Adit? Jangan ditanya. Dia akan membawa motor itu ke kamarnya dan tidur di atasnya jika diperbolehkan. Tentu saja itu tidak akan terjadi selama Ibu ada di rumah.

" hanks, Pa!" seru Adit, lalu memeluk Papa.

Aku senang Adit sedikit lebih akrab dengan Papa. Juga senang karena

Aku tidak lupa pada Andros. Dia masih ada di rumahku, menunggu Adit yang sekarang sudah berke liling kompleks dengan alasan test drive. Aku sendiri sedang membantu Ibu membersihkan bekas-bekas pita. Sebenarnya, Ibu sudah mengatakan kepadaku kalau dia tak perlu dibantu, tapi aku memaksanya. Aku tidak mau bertemu dengan Andros di atas. Bisa-bisa, aku memaakannya jika melihatnya.

Bukannya aku tidak mau memaakan, tapi berat sekali rasanya setiap kali teringat sosok Andros yang tertidur di bioskop malam itu.

" Kamu nggak belajar, Cher?" tanya Ibu setelah semua beres. Aku mengangguk, lalu naik sambil berharap Andros ada di kamar Adit, bukannya di ruang tengah.

Tapi Andros ada di sana, sepertinya sengaja menungguku. Kalau saja aku tidak sedang marah, aku pasti senang sekali melihatnya menungguku. Sekarang& aku malah ingin dia ada di Baghdad atau di mana saja selain di sini.

Aku berusaha menghindari tatapan Andros dan segera menuju kamarku. Tanpa kuduga, Andros mengadangku.

" Cher, gue mau ngomong soal yang kemaren. "

Aku benar-benar tak berani menatapnya, juga menjawabnya. Aku hanya mendesah. Aku rasa aku akan menangis lagi. Entah apa yang membuatku secengeng ini.

" Cher, kemaren gue ngantuk berat. Mana dingin, lagi. "

" Kenapa lo nggak bilang kalo lo ngantuk? Kalo gitu kan kita nggak usah jadi nonton!" sahutku, tak tahan lagi.

" Lo gimana sih? Gue kan udah nemenin lo nonton, " kata Andros. Aku tak tahu bagaimana ekspresinya. Aku masih menunduk.

" Lo bilang duduk di sebelah gue sambil tidur itu nemenin? Mending gue nonton sendiri aja kalo gitu!" Air mata sudah membanjiri wajahku.

" Gue kan udah bilang gue nggak suka ilm kayak begitu, ngebosenin. Nggak heran kan, gue tidur?"

Kali ini aku memberanikan diri untuk menatap Andros tajam. Aku tak akan memaakannya walaupun wajahnya seimut Josh Hartnet.

Andros balas menatapku serba salah. Mungkin bingung melihatku menangis.

Masa bodoh. " Bilang aja lo emang males nemenin gue nonton! Lo harusnya nggak usah maksain pergi bareng gue!" jeritku.

Andros mengernyitkan dahinya. " Lo ngomong apaan sih? Beda cerita kan, kalo kemaren kita nonton ilm yang lebih seru dikit. "

Aku menatapnya tak percaya. Jadi, dia menyalahkan aku atas kejadian kemarin?

" Gue udah mau beli tiketnya, kan? Kenapa lo larang kalo lo emang mau nonton ilm itu? Udahlah An, ngaku aja kalo sebenernya lo kepaksa pergi bareng gue!"

Wajah Andros sekarang sangat berbeda. Ekspresinya persis seperti di ayunan beberapa hari yang lalu. Sangat marah, kurasa. Tapi aku tak peduli. Aku kira Andros akan minta maaf kepadaku. Kenyataannya, dia malah menyalahkanku atas apa yang terjadi.

" Gue nggak ngerti maksud lo, " kata Andros, lalu menyandarkan diri pada dinding dan menatap langit-langit. " Dulu gue pernah bilang kan, lo harus bisa menerima gue apa adanya. Ya begini ini gue. Nyatanya lo masih juga nggak bisa terima. "

Aku menunduk. Kalau begini dia yang apa adanya, berarti aku harus bersiap-siap untuk selalu tidak dipedulikan. Hal ini lebih membuatku sedih ketimbang tidak menjadi pacarnya sama sekali.

" Jadi, apa yang harus gue lakuin?" tanyaku, lelah.

Andros menatapku, dengan tatapan berbahaya itu. Aku tahu aku sudah memaakannya. Walaupun demikian, hati kecilku masih berontak.

" Gue mau lo ngertiin gue, " kata Andros pelan. " Gue bukan kebanyakan cowok. Gue nggak tahu harus gimana sama cewek. "

Aku balas menatapnya. Adit benar. Maya juga. Dia memang tidak tahu caranya berpacaran.

Selama beberapa saat, aku terdiam. Andros juga.

" Gimana perasaan lo sama gue?" tanyaku tiba-tiba. Aku sendiri tak mengerti bagaimana aku bisa bertanya hal itu kepada Andros. Tapi bisikanbisikan kecil berbunyi adik terus saja terngiang-ngiang di telingaku.

Andros menatapku bingung, lalu mengalihkan pandangannya ke karpet dan menghela napas. " Gue juga nggak tahu gimana persisnya, yang jelas gue sedih karena beberapa hari ini lo ngehindarin gue terus. "

Aku seperti diberi tahu sesuatu oleh Andros, yang merupakan kabar buruk sekaligus baik. Buruknya, dia tak tahu bagaimana perasaannya kepadaku. Tapi baiknya, dia sedih saat aku menghindarinya. Itu berarti aku punya sedikit harapan.

Andros menatapku lagi. Aku balas menatapnya, lalu tersenyum. Andros membalasnya dengan senyuman terimut sedunia.

" Jangan nyuekin gue kayak kemaren-kemaren lagi, ya, " katanya, membuatku sangat bahagia.

Aku tak peduli dia memerhatikanku atau tidak. Yang jelas, perhatianku sangat berpengaruh padanya. Jika dia tak ingin aku mendiamkannya lagi, aku akan mematuhinya. Aku juga tak tahan harus pura-pura tertarik pada hal lain selain Andros setiap kali bertemu dengannya.

Jarak kami sekarang terpaut dua meter, tapi aku bisa merasakannya kehangatan tubuhnya, seperti ketika dia bersembunyi di balik sofa bersamaku.

Aku ingin sekali memeluknya, tapi aku tidak bisa. Aku tidak seagresif itu.

Belum saja....

New World

Maya sudah menceritakan semuanya tentang kejadian malam itu. Adit memang berengsek. Dia bahkan tak memberikan kesempatan Maya untuk berbicara. Ketika mendapati Maya di kamarnya, Adit langsung pasang tampang masam dan mencecar Maya. Dia bilang Maya aksinya seperti putri raja, sok selebriti, sama sekali tidak sebanding dengan Putri yang baik dan seksi, plus Maya tidak pernah menghargai orang.

Maya mendengarkan hujatan Adit dengan tenang, walaupun aku yakin dia sangat sakit hati. Dia juga membiarkan Adit sampai selesai. Setelah Adit selesai, barulah Maya memberinya kado yang telah dipersiapkan sambil mengucapkan selamat ulang tahun. Kemudian, Maya segera turun tanpa mengatakan apa-apa lagi.

Aku benar-benar kagum pada Maya, sungguh. Dia adalah cewek yang paling tegar yang pernah kukenal. Selain Mama tentunya, yang berjuang mati-matian melawan kankernya.

Mungkin pribadi Maya memang terbentuk dari ayahnya yang orang Venezuela, sehingga dia tidak seramah orang Indonesia. Tapi Maya tetap sahabatku. Dia yang mengusir anak-anak cowok yang mengisengi aku saat SD. Sejak itulah, aku berteman dengannya. Awalnya, tidak ada yang mau berteman dengannya karena dia luar biasa cantik. Maya terus bertanya, apa salah punya wajah cantik?

Maya memang cantik, tapi dia tidak sombong meskipun orang-orang menganggapnya begitu. Orang yang tidak mengenalnya tidak akan tahu bagaimana aslinya. Dia bisa jadi sangat menyenangkan, dan dia adalah sahabatku satu-satunya di dunia ini. Bagaimanapun, aku tak ingin kehilangan dirinya.

Aku tak bisa mencegahnya lagi. Adit sudah sangat melukai hatinya. Adit bodoh. Tentu saja Putri tak sebanding dengan Maya. Maya jauh lebih baik dari Putri. Adit belum tahu saja belang cewek itu.

Aku sering tergoda untuk memberi tahu Adit apa yang terjadi. Tapi Maya selalu melarangku. Entah apa maksudnya. Kupikir Maya sudah terlalu sakit hati. Aku juga akan begitu jika Andros tiba-tiba memarahiku tanpa alasan yang jelas di saat aku hendak memberikan hadiah ulang tahun. Kalau aku jadi Maya, pasti aku sudah menangis tanpa sempat mengucapkan apa pun kepadanya, apalagi ucapan selamat ulang tahun.

Sekarang, aku sedang di kantin menunggu Maya, untuk menghabiskan detik-detik terakhir bersama. Dia akan pindah ke Venezuela besok. Ternyata keputusannya soal Venezuela serius. Beberapa hari ini, dia dengan diamdiam dan rapi mengurus surat kepindahannya. Dia tak ingin seorang pun tahu dia akan pindah, terutama Adit.

Aku sangat sedih. Beberapa hari ini, aku tak se mangat lagi memikirkan apa pun. Aku sudah bersama Maya selama tujuh tahun. Dia sudah kuanggap kakakku sendiri. Aku sangat tak mau dia pergi.

Maya akhirnya datang, tampak sangat cantik dengan rambut merahnya yang sudah kembali lurus. Tampaknya era Lana Lang musim lagi. Dari kejauhan saja, Maya sudah terlihat luar biasa. Semua cowok melihatnya. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa Adit yang dipilihnya.

Maya datang seperti biasa, masih mengulum Chup a Chup seperti tidak terjadi apa-apa. Seperti dia akan ada di sini lagi bersamaku besok. Rasanya, aku akan menangis sebentar lagi.

Maya duduk di depanku, heran melihat mataku yang berkaca-kaca. " Kenapa lo?" tanyanya santai.

Aku sudah menangis sekarang. Aku tak mau dia pergi. Sungguh. Aku akan setia mendengarkan ocehan nya tentang dandanan cewek mana pun. Aku akan menungguinya di salon, asal dia tidak pergi.

Aku rasa aku menemukan sahabat sejatiku.

Aku melamun di ruang tengah depan kamarku. Besok pagi, Maya akan pergi. Tadi siang, aku sudah habis-habisan menangis dan memeluknya, juga memintanya agar jangan pergi. Tapi keputusannya sudah bulat.

Tetapi, pada akhirnya, aku bisa memaklumi. Dia memang seharusnya ada di Venezuela, bersama ayah dan ibunya.

Maya memberiku semua koleksi serial Amerika-nya, mulai dari Higher Ground sampai he O.C. Dia bilang supaya aku tidak kangen padanya. Tetap saja aku akan merindukannya walaupun ada Hayden di depanku.

Aku menghela napas panjang. Aku memang sudah merelakan Maya pergi, tapi tidak dengan rasa sakit di hatinya. Adit sudah membuatnya pergi. Aku sangat sebal pada cowok satu itu.

Seakan tahu isi kepalaku, Adit keluar dari kamarnya. Malam ini, Andros tidak datang karena rumahnya kedatangan tamu penting ayahnya. Otomatis, Adit tidak punya lawan untuk bermain PS.

Aku menatapnya sengit. Adit balas menatapku, tampak bingung. Adit belum tahu besok Maya akan pergi. Mungkin Adit tak akan pernah tahu. Entah apa yang merasukiku, tapi aku tiba-tiba memutuskan untuk memberi tahunya. Aku tak tahan dengan keadaan ini. Aku berharap Maya tidak jadi pergi jika Adit yang melarangnya.

" Dit, lo harus ke apartemen Maya, saat ini juga!" sahutku sambil melonjak dari sofa.

Adit menatapku seolah aku sudah gila. " Ngapain? Ogah, " sahutnya sambil mengambil remote TV dan mengganti channel MTV yang sedang kutonton. Aku segera menyambar remote itu, lalu mematikan TV-nya. " Lo harus!" sahutku. " Kalo nggak, lo bakalan nyesel seumur hidup!"

Adit menatapku lagi. " Maksud lo apaan sih?"

" Lo nggak usah pake tanya-tanya lagi! Lo harus pergi sekarang, sebelum terlambat!!"

" Nggak mau. " Adit membuang muka. " Mau ngapain gue ke sana? Yang ada gue diusir. Gue kan bukan level cowok yang boleh masuk apartemennya. "

Aku bengong menatap Adit. Ternyata ini masalahnya. Adit menganggap Maya terlalu tinggi untuknya. Adit menganggap Maya sombong, seperti yang semua orang kira. Dan Maya menganggap Adit lebih menyukai Putri daripada dirinya.

Aku tertawa beberapa saat, lalu segera menarik tangan Adit. " Lo bego! Maya tuh suka sama lo, tahu nggak!" seruku tanpa memedulikan ekspresi wajah Adit yang berubah bloon. " Ayo cepetan ke sana! Gue nggak mau kehilangan sahabat terbaik gue gara-gara kebodohan kalian!"

Adit sepertinya masih berusaha mencerna kata-kataku, tapi aku sudah menggeretnya turun menuju motornya. Sekarang sudah pukul sebelas malam. Jadi, Papa dan Ibu sudah tidur. Adit menyalakan mesin motornya, lalu menghilang di balik kegelapan.

Aku jadi khawatir sendiri. Mungkin Adit belum sadar kenapa dia ada di jalanan malam-malam. Volume otaknya kan tidak lebih besar dari otak kuda.

Usahaku sia-sia. Yah, tidak sepenuhnya sia-sia, sih. Setidaknya Maya dan Adit sudah jadian.

Maya tetap pergi ke Venezuela. Baru saja dia menele pon dari bandara dan menceritakan apa yang terjadi. Ternyata, dia juga tidak menyadari kesalahpahaman itu. Dia tidak tahu kalau Adit berpikiran dia tidak menyukai

Adit karena Adit bukanlah cowok tinggi tegap berwajah tampan seperti Arnold. Ih, lagi pula Maya tidak akan menganggap Arnold tampan. Yah, badan tinggi tegap boleh lah, tapi sisanya, eww.

Maya juga berkata semalam dia dan Adit berciuman. Ya Tuhan, mengapa Maya pakai menceritakannya, sih? Memangnya aku mau dengar? Selain itu, dia juga bilang, ciumannya berlangsung selama sepuluh detik. Yikes!!

Aku hampir saja memuntahkan roti isi yang sedang kumakan. Ngomongngomong, sepeninggal Maya, sekarang aku makan sendirian di kantin. Sepi banget rasanya.

Tahu-tahu, dua sosok menghampiriku dan duduk bersamaku. Andros dan Adit. Aku sangat bingung. Apa yang terjadi di sini?

" Maya pesen kita harus nemenin lo setelah dia pergi, " kata Adit sambil merebut roti isi yang kupegang.

Dasar Adit. Aku yakin Maya berpesan kalau Andros yang harusnya menemaniku, bukannya dengan Adit juga. Apa asyiknya kalau begini? Walaupun demikian, aku tetap berterima kasih kepada Maya. Karenanya, aku jadi tak sendirian lagi.

" Ng& Putri tuh, " kataku kepada Adit ketika melihat Putri bersama Alissa dan rombongan cewek ber-rok mini lainnya aku yakin dia sudah direkrut Alissa masuk ke kantin.

" Putri siapa, ya?" sahut Adit tak peduli sambil mengunyah. Melihat sikapnya ini, aku yakin Maya sudah menunjukkan SMS-SMS kejam dari Putri.

Aku dan Andros tertawa melihat tingkah Adit. Sehari yang lalu, dia masih lengket dengan Putri. Sekarang, melihat pun dia tidak mau.

Aku lantas sadar kalau selama beberapa hari ini, aku tidak bicara dengan Andros. Aku sangat sibuk dengan Maya. Andros memergokiku menatapnya,

tapi anehnya dia tidak tersenyum seperti biasa. Dia malah pura-pura menghirup minumannya. Setidaknya, kesan itulah yang aku tangkap. Aku menggelengkan kepalaku cepat untuk menghilangkan pikiran itu. Siapa tahu Andros memang berniat minum sepersekian detik setelah dia melihatku. Semoga saja.

Tiba-tiba ponselku berdering. Maya. Aku segera mengangkatnya. " Halo?" sahutku gembira.

" Hoi! Gimana, seru nggak ditemenin Andros pas makan?" tanya Maya. Aku sangat senang mendengar suaranya.

" Iya!" sahutku singkat, sambil mengerling ke arah Andros yang sedang menatapku. " Lo ada di mana?"

" Di terminal. Ya di bandara lah!" " Oh iya, ya. " Aku merasa sangat bodoh.

" Cher, mulai sekarang lo harus berusaha sendiri, ya! Tapi kalo ada masalah, lo tinggal e-mail gue! Oke?"

" Iya, " jawabku, masih terbawa emosi.

" Oh ya, sekarang gue mau kasih tips. Lo pasti ngiri dong soal ciuman gue sama Adit?"

Ya ampun. Kenapa Maya harus membicarakan hal ini pada saat kedua orang yang ada hubungannya sedang berada di depanku?

" Nggak juga, " kataku mencoba mengakhiri topik itu.

Tapi percuma saja. Maya yang sedang bicara di sini. " Boong! Pasti boong! Lo pasti mau juga kan sama Andros? Jangan boong deh! Nih, gue kasih saran. Dengerin! Andros pasti nggak bakal nyium lo duluan, kan? Nah, sebagai alternatifnya, lo yang mesti cium dia duluan!"

" Hahhh??" teriakku histeris.

Seluruh penghuni kantin menatapku seakan aku gila, termasuk Andros dan Adit.

" Lo udah gila, ya?" bisikku kepada Maya.

" Belom. Emangnya semalem yang nyium duluan tuh siapa? Adit?" " Hah?" sahutku lagi. " Jadi& lo duluan?" Aku benar-benar memilih katakata agar tidak menarik perhatian Andros dan Adit.

" Bukan! Bokap gue! Lo kenapa sih? Ya gue, lah! Nah, Cher, gue saranin, lo lakuin itu kalo kalian lagi bener-bener berdua, iklim mendukung, dan dia lagi ada sekitar lima puluh senti dari lo. Lebih jauh dari itu, jangan! Nanti dia sempet kaget. Kan nggak seru. "

Rupanya, Maya benar-benar sudah gila. Aku sama sekali tidak akan mencium Andros. Selain kami tidak pernah berduaan, iklim tidak pernah mendukung karena Adit ada di mana-mana, Andros juga tidak pernah ada di dalam jangkauan satu meter dariku yah, kecuali saat kami jadian. Aku pun tidak punya keberanian untuk menciumnya. Ya ampun, aku ini cewek!

Well, Maya juga cewek. Tapi, dia berbeda. Dia sangat latin. Dan cewek Latin biasanya agresif. Tak seperti cewek Timur. Ah, bicara apa aku ini. " May, udahlah, jangan ngomongin ini.& "

" Ah, tapi lo mau juga, kan? Cobain, deh, Cher! Asyik banget! Apalagi sama bibirnya Andros yang merah. "

Wajahku sekarang pasti sudah sangat merah. Aku tidak akan heran bila ada uap keluar dari kepalaku. Perkataan Maya sudah sangat membuatku malu. Apalagi, Andros ada tepat di hadapanku. Aku tak punya pilihan lain selain melihat bibirnya ketika si sinting Maya mengucapkannya. " Cher? Lo kenapa?" tanya Andros, mengagetkanku. " Demam lagi?" Aku menggeleng pelan, masih menatapnya dan bibirnya saat dia berbicara. Maya memanggil-manggilku dari telepon.

" Cher! Lo denger gue kan? Aduh Cher, udah ya, low bat nih. Bubbye!!" Aku bahkan tidak sadar Maya sudah memutuskan sambungannya. Aku masih terbengong-bengong menatap Andros.

Ya ampun. Maya sudah membuatku berfantasi yang tidak-tidak.
Me And My Prince Charming Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Nggak ada PS lagi, ya mulai besok, " kata Papa saat makan malam. Ternyata, Papa sudah tahu dari dulu soal kegiatan belajar-main-PS itu. Adit dan Andros spontan menoleh ke arahnya.

" Yah& kenapa, Pa?" protes Adit.

" Kalian ini udah mau ujian. Udah banyak ulangan, kan? Kalian harusnya belajar. "

Adit dan Andros saling menatap lesu.

Aku juga menyayangkannya. Berarti Andros tidak akan ke rumah ini lagi. Hilang sudah semua kesempatan untuk bertemu dengan Andros lagi. Memang sih, di sekolah kami selalu bertemu, tapi tidak pernah ada saat-saat romantis. Ya ampun. Memangnya selama ini ada saat-saat romantis di rumahku? Akhir-akhir ini, memang sih aku jadi sedikit lebih dekat dengan Andros. Aku pernah meminta Adit mengantarkan aku ke toko buku untuk membeli buku sketsa. Tapi karena ada urusan, Adit menyerahkan aku kepada Andros. Aku sangat senang waktu itu. Andros dengan sabar mengantarku berkeliling toko buku untuk mendapatkan semua bahan yang kuinginkan. Dan semua cewek memandangku iri.

Saat ini, aku memang mempunyai kesibukan lain. Aku ikut kelas seni untuk mengisi waktu luangku yang biasanya kuhabiskan bersama Maya. Dulu, kupikir aku sudah cukup berbakat tanpa harus masuk kelas seni.

Ternyata, kelas itu sangat menyenangkan. Gurunya masih sangat muda, baru berusia dua puluh tahun, mahasiswa di sebuah institut seni. Dia sangat berbakat dan juga sangat cute. Namanya Iqbal Alfatah. Kami semuanya memanggilnya Alfa, supaya lebih keren. Asal tahu saja, murid yang masuk kelas seni sekarang bertambah lima kali lipat setelah kedatangan Alfa. Dan semuanya cewek.

Aku tentu saja tidak termasuk cewek-cewek itu. Aku berbakat. Dan kebanyakan cewek-cewek itu tidak tahu bagaimana membedakan cat air dengan cat minyak. Menggelikan sekali.

" Ayo, An, cepetan dikit. Ini malam terakhir kebebasan kita. Jangan sampe terbuang percuma!" ujar Adit konyol, membuat seluruh keluargaku tertawa.

Mereka lalu naik dengan terburu-buru. Dasar anak-anak aneh. Tapi cute. Andros, maksudku.

Aku sedang senang-senangnya menggambar. Apa pun yang ada di jangkauan pandangku pasti kugambar. Tiga buku sketsaku sudah penuh, dan tiga perempatnya berisi wajah Andros. Aku selalu mencuri-curi waktu untuk menggambarnya. Saat dia sedang makan, sedang bermain basket, atau sedang melamun di pinggir lapangan.

Saat ini, aku sedang menggambar kolam sekolah. Kolam ikan, bukan kolam renang. Alfa menyuruh kami semua menggambarnya dari berbagai angle. Aku dengan mudah melakukannya. Setelah menyelesaikannya dalam dua puluh menit, sisa empat puluh menitnya aku pakai untuk melukis bebas dengan menggunakan cat minyak. Aku mengerjakannya di ruang kelas seni.

Aku melukis seorang wanita di tengah-tengah padang bunga. Entah mengapa aku melukisnya, tapi wanita itu sangat mirip Mama. Mama yang cantik. Mama yang baik. Mama yang sudah di surga.

Air mataku menetes selama aku mengerjakannya. Aku rindu sekali pada Mama. Aku bahkan sudah jarang melihat makamnya. Anak macam apa aku? Aku segera berjanji akan menengoknya setelah kelas seni berakhir. Aku akan minta Adit mengantarku.

Jadi juga.... Karya cat minyakku yang pertama.

Sebenarnya aku sudah banyak melukis, tapi hasilnya tidak pernah sebagus ini. Aku tak pernah serius dalam melukis. Kali ini, aku mencurahkan segala rinduku pada Mama.

Tiba-tiba, pintu terbuka. Alfa. Aku segera mengelap air mataku dan menyembunyikan diri di balik kanvas. Tapi terlambat. Alfa sudah melihatku, juga air mataku.

" Kenapa, Cher?" tanyanya lembut sambil meng hampiriku. " Ng& nggak apa-apa, kok, " elakku cepat, sambil berusaha menutupi lukisanku.

" Apa ini?" Terlambat lagi. Alfa sudah melihatnya. " Kapan kamu ngerjain ini?" tanya Alfa sambil mengamati lukisanku.

" Setengah jam-an yang lalu, " kataku.

Alfa memandangku dan lukisan itu bergantian dengan takjub. " Keren juga! Dari awal, saya tahu kamu punya bakat lebih, " katanya sambil duduk di kursi sebelahku. Matanya belum lepas dari lukisanku. " Oh ya?" tanyaku, senang karena ada yang mengakui bakatku. " He-eh, " kata Alfa. " Ibu kamu?"

Aku mengangguk. Bagaimana dia bisa tahu?

" Wajahnya persis kamu, tapi nggak mungkin kamu nangis waktu bikin lukisan kamu sendiri. "

Aku memandang lagi lukisan itu. Omong kosong wajahnya mirip denganku. Mama seratus kali lebih cantik daripada aku.

" Boong. Gue nggak mirip sama Mama. Mama cantik, " kataku. " Emang kamu nggak cantik?" tanya Alfa, membuatku heran. " Emangnya gue cantik?" Aku balas bertanya.

Alfa hanya tertawa. " Kamu persis sama ibu kamu. Jadi, kamu cantik. " Aku memandang tak percaya ke arah Alfa. Seumur hidupku, tak ada yang pernah mengatakan aku cantik. Kecuali Papa. Yah, mana mungkin sih ada orang tua yang mengatakan anaknya jelek.

" Mungkin kurus aja, " sambung Alfa, yang membuatku kembali ke alam nyata.

Aku memang kurus, aku tahu. Tapi apa benar aku cantik? " Tapi nggak apa-apa, kok. Yang penting hatinya. Bener, nggak?" kata Alfa lagi. Aku tersenyum membalasnya. " Kok lo bisa sih hafal sama gue?" tanyaku, tiba-tiba penasaran. Dari sekitar enam puluh orang siswa di kelas seni, Alfa mengenaliku.

" Gue kan ngapalin orang yang berbakat, yang bener-bener ada di sini untuk belajar seni. Bukannya karena, ng... urusan duniawi. "

Aku tertawa mendengarnya. Memang seni bukan urusan duniawi? Tapi aku kagum pada Alfa. Dia imut, tapi tak mau membesar-besarkannya. " Kok sekarang ngomongnya pake gue, sih?" tanyaku lagi. " Ng& soalnya gue capek jaim terus! Mana sopan di kelas ngomongnya gue-elo. Kalo sama lo sih, nggak apa-apa, kan?"

" Gue laporin ke Kepsek lo!" ancamku, membuat Alfa langsung memohon-mohon. Aku tergelak. " Bercanda! Nggak apa-apa, lagi. Tapi kalo di kelas jangan, ya? Soalnya gue takut di serbu sama anak cewek yang lainnya. Ntar lo disangka pilih kasih, lagi. "

" Lagian siapa yang mau dipecat?" sahut Alfa, lalu tertawa geli. " Jadi, temenan, nih?" Alfa menyodorkan tangannya.

Aku menjabatnya sambil tersenyum nakal. " Rahasia lo aman di gue, " kataku.

" Rahasia lo juga aman, " balas Alfa sambil melirik lukisanku. Aku segera tertawa lagi. Senang rasanya mempunyai teman lain selain Maya, terutama yang memiliki lebih banyak kesamaan.

Big Mistake

" Wah, gue nggak bisa, Cher, mau ada les. Lo tahu kan, bentar lagi UAN, gue kudu ngejer ketertinggalan gue, " kata Adit begitu aku memintanya untuk menemaniku berziarah ke makam Mama.

Adit memang bodoh. Mengapa tidak belajar dari dulu, sih? " Lo aja, An!" sahut Adit kemudian, sambil menyenggol Andros. " Besok ada ulangan isika kelas satu nih, gue belum belajar, " kata Andros sambil mengunyah bakso. Walaupun begitu, dia tetap cowok-sedang-makanbakso-paling-imut.

" Ya udah deh, gue pergi sendiri aja, " kataku akhirnya. Makam itu memang sedikit jauh, hampir ke luar kota. Jadi, aku memutuskan untuk naik taksi saja.

" Bener nggak apa-apa lo sendirian?" tanya Andros. Ya ampun, apa ini tanda dia perhatian padaku?

Aku mengangguk mantap. Aku mau terlihat kuat seperti Maya. Lagi pula, aku tak mau Andros mendapat tiga untuk ulangan isikanya.

Meskipun begitu, aku tetap khawatir. Makam Mama ada beratus-ratus kilometer jauhnya dari sini. Yah, tidak sejauh itu juga, sih, tapi aku yakin bisa mengeluarkan lebih dari seratus ribu untuk ongkos taksi. Well, tidak segitunya juga. Tapi yang jelas sangat jauh.

Pemikiran itu membuatku lemas, tapi tak menyurutkan semangatku untuk mengunjungi Mama.

Sesampainya di kompleks pemakaman, aku segera berjalan menuju makam Mama. Pemakaman itu terlihat sepi. Langkahku kemudian terpaku di depan makam Mama. Terdapat buket mawar putih di atasnya. Sedetik kemudian, aku tersenyum. Ibu pasti sering ke sini.

Aku menghela napas sebentar, lalu berlutut di sebelah makam Mama. Dan mencurahkan segala kerinduanku padanya. Aku begitu terhanyut dalam suasana hatiku sehingga tak menyadari hari yang mulai gelap. Aku menyeka air mataku, lalu terbengong-bengong menatap sekeliling.

" Ya ampun! Udah jam enam!!" jeritku, lalu kemudian menutup mulutku sadar kalau aku tidak sedang di lapangan.

Bagaimana ini? Aku tidak ingin sendiri di tempat yang menyeramkan seperti ini!

Aku segera keluar dari kompleks pemakaman, lalu berjalan cepat di sepanjang jalan besar. Aku sama sekali tidak tahu di mana aku sekarang. Dan aku tidak tahu harus pulang naik apa.

Bodoh. Tentu saja taksi.

Aku segera mengeluarkan ponselku. Mati. Pasti baterainya habis. Sialan. Aku menoleh kiri-kanan, berharap ada yang mengenaliku. Ya ampun, aku berharap ada seseorang yang mengenaliku di negeri antah-berantah ini. Aku pasti sudah gila.

Akhirnya, aku terduduk di sebuah halte. Aku sangat lelah setelah berjalan kira-kira setengah jam tanpa arah. Mungkin saja aku mendekati rumah. Atau malah menjauhinya. Aku tidak tahu. Aku bingung.

Air mataku mulai menetes. Ya ampun, kenapa aku benar-benar cengeng? Kalau saja aku adalah Maya, aku pasti tidak akan begini. Yah, tentu saja tidak akan. Maya punya Audi.

Tapi aku bukan Maya. Aku tak punya Audi. Dan kantong air mataku hipersensitif. Aku bahkan tak bisa berpikir jernih.

" Neng? Sendirian?" tanya seseorang.

Aku menoleh ke arah sumber suara seseorang yang luar biasa besar dan berkumis tebal. Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini?

" Ng& sama tiang, " kataku, berusaha mengalihkan perhatiannya. Aku sedang sangat tidak ingin mengobrol dengan laki-laki berbadan raksasa dan punya tato Wati di lengan atasnya. Oh ya ampun, yang benar saja. Wati. Maya pasti bisa mati karena tertawa.

Tawa laki-laki raksasa itu membahana. Dia persis hantu-hantu di sinetron misteri. Buto Ijo atau apalah. " Lucu juga kamu ini. Kamu masih sekolah, ya?" tanyanya sok akrab lalu duduk di sampingku.

Dia ini mau apa? Aku mulai takut dan sedapat mungkin bergeser menjauhinya. Mungkin saja dia punya niat lebih dari menyapaku. Aku hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaannya tadi.

Laki-laki itu tersenyum seraya duduk semakin rapat padaku. Tuhan& tolong aku, buat supaya kursi halte ini memanjang sampai rumahku& .

" Abang temenin, ya?" tanya laki-laki itu lagi.

Aku menatapnya seakan dia gila. Memang sepertinya dia gila. Abang apaan?

" Nggak usah, " sahutku ketus. Aku sama sekali tidak ingin memperpanjang obrolan ini.

Laki-laki itu tiba-tiba menarik tanganku. Oh Tuhan!!

Aku segera bangkit dan mencoba kabur, tapi tangan raksasa itu sangat kuat. Aku meronta sekuat tenaga, juga berteriak. Namun, tak ada yang mendengar. Orang-orang di sekitarku seakan tak melihat apa yang terjadi atau pura-pura tak melihat. Aku tak tahu mengapa.

" Lepasin!" teriakku sekuat mungkin. Tapi sia-sia saja. Tak ada yang mau tahu. Laki-laki hina itu sekarang sudah menatapku penuh arti. Menjijikkan sekali. Aku lebih baik mati daripada harus melihat wajah itu!

Laki-laki berengsek itu masih saja mencengkeram tanganku, bahkan coba-coba memelukku.

" Arrgghh!!" jeritku. Aku sangat takut.

Aku tak tahu apa yang terjadi berikutnya. Yang jelas, sekarang laki-laki bajingan itu sudah terkapar. Seseorang memukulnya sampai pingsan.

" Cher! Lo nggak apa-apa?" sahut seseorang, yang kuyakini telah menolongku. Aku sangat berharap itu Andros, tapi yang kulihat adalah Alfa. Iqbal Alfatah. Guru seniku. Sedang apa dia di sini?

Aku menggeleng pelan, masih sangat terguncang sekaligus heran. Alfa memegang keningku, mengecek temparatur tubuhku, menggoyanggoyangkan aku, dan terakhir menyiramku dengan air mineral. " Apaan sih lo? Dingin, tahu!!" semburku marah. " Ah, syukur deh, lo sadar! Gue kira lo shock berat!"

" Gue emang shock berat! Kenapa sih orang-orang di sini? Mereka nggak mau tahu ngeliat gue digangguin!" sahutku berkobar-kobar sambil menatap orang-orang yang lewat. Mereka saling berbisik dan menunjuk laki-laki tidak tahu malu yang terkapar di tanah.

" Dia itu kepala preman di sini. Udah, sekarang lo ikut gue. Kalo anakanak buahnya dateng, bisa mampus gue, " kata Alfa sambil menggeretku ke motornya.

Aku menurut dan naik ke motornya. Alfa langsung tancap gas. Saat ini, cuacanya benar-benar tidak mendukung. Seragamku yang basah kuyup membuatku setengah mati kedinginan. Aku menggigil di belakang Alfa.

Alfa tiba-tiba menghentikan motornya, membuka jaket, lalu memakaikannya padaku. Aku pun jadi ingat kalau aku masih belum mengerti kenapa dia bisa ada di sana, menyelamatkan aku.

" Alfa!!" sahutku, membuatnya menoleh ke arahku. " Ngapain lo di sana?" sambungku cepat.

Alfa mengernyitkan dahinya. " Lo bukannya seneng udah ditolongin. " " Bukan gitu! Gue seneng banget waktu liat muka lo, bahkan gue nggak pernah seseneng itu liat muka orang! Yah kecuali& ah, udahlah. Yang penting, lo ngapain di sana?"

" Anggap aja, kalo gue superhero, " kata Alfa sambil menyalakan mesin motornya. " Gue kebetulan lagi ada urusan. "

Aku naik lagi ke atas motornya setelah hanya mengucapkan Oohhh . Apa pun alasannya, aku tidak peduli. Yang penting dia sudah menyelamatkan nyawaku.

Baru kali ini, aku merasakan utang budi pada seseorang. Aku tahu ucapan ini tidak bisa membalasnya, tapi aku mengatakannya juga.

" hanks. "

Entah dia mendengarnya atau tidak. Saat ini, angin bertiup sangat kencang. Mungkin ucapanku tadi sudah terbawa angin ke gunung.

Namun ternyata, Alfa mendengarnya. Karena detik berikutnya, dia memperlambat laju motornya untuk mendengarkan kata-kata berikutnya yang keluar dari mulutku.

Aku sangat membutuhkan seseorang untuk bicara. Kejadian tadi sangat membuatku takut. Aku tak pernah setakut itu dalam hidupku. Yah, sebenarnya pernah sih, ketika Mama meninggalkan aku. Tapi aku tak pernah menyangka perasaan takut itu akan muncul lagi.

" Fa, " kataku pelan.

" Hmm. "

" Boleh nggak gue pinjem punggung lo?"

Alfa terdiam sesaat, lalu kemudian mengangguk. Aku langsung memeluk punggungnya dan menangis sepuasku.

" hanks ya. Buat segalanya hari ini, " kataku setelah kami sampai di rumah. Rumah yang tiba-tiba sangat kurindukan.

Alfa hanya tersenyum melihat wajahku yang kuyakini sangat sembap. " hat s what riends are for. "

Aku membalas senyumnya. Entah apa yang membuatku bisa mengungkapkan semua perasaanku kepadanya. Yang jelas aku merasa sangat nyaman dengannya walaupun kami baru saja berteman. Mungkin karena dia seperti Maya, yang kuat dan tenang dalam menghadapi masalah. Tidak sepertiku, yang cengeng dan kekanak-kanakan.

" Ng... jaketnya& . "

" Lo cuci aja dulu, " kata Alfa.

Aku langsung bengong. Sedetik kemudian, dia tertawa renyah, membuatku juga jadi ikut tertawa. Alfa punya kekuatan untuk memaksaku tertawa, bahkan ketika aku sedang sangat tak ingin.

Tiba-tiba, Alfa terdiam dan menatap ke suatu arah di belakangku. Aku berbalik, mengikuti arah pandangnya.

Andros. Melihat aku dengan Alfa. Ya Tuhan, apa dia salah paham? " Hai, " sapa Andros ringan kepadaku, lalu mengangguk kepada Alfa. Bodoh benar aku ini. Tentu saja dia tidak akan salah paham. Dia bahkan tak menampakkan rasa penasarannya setelah melihatku berdua Alfa di depan rumahku pukul sembilan malam. Hatinya sangat tidak peka kalau tentangku. Tapi hatiku sangat peka jika menyangkut dirinya. Ya Tuhan, aku mulai pusing.

" Ng& gue pulang dulu, Cher. Lo hati-hati, ya, " kata Alfa, segera menyadari suasana yang buruk ini. Alfa meluncur pergi setelah mengangguk

Setelah deru motor Alfa tak terdengar lagi, aku melangkahkan kakiku pelan-pelan ke arah Andros.

" Ngapain lo ke sini?" tanyaku berusaha biasa.

Andros menatapku yang, yah, basah dan memakai jaket cowok. Tapi sepertinya, dia tak peduli.

" Ng& gue& . "

" Emang Adit nggak ada?" tanyaku setelah tiba-tiba menyadari pasti Andros ke sini untuk mencari Adit. Aku melangkah menuju rumahku, melewatinya tanpa menunggu jawabannya.

" Ada. Tapi gue nggak nyari Adit, " kata Andros sambil mengikutiku. Aku berhenti di depan pintu, lalu berbalik dan menghadapnya. " Terus ngapain lo ke sini? Bukannya lo mau ada ulangan isika?"

" Itulah. " Andros menyusupkan jemarinya ke rambut ikalnya. Dia tidak memandangku, tapi meman dang ke arah lain.

Tiba-tiba, aku jadi sangat tergoda untuk menyuruhnya diam beberapa saat sementara aku ke dalam mengambil kamera. Posenya sekarang pas sekali untuk menghias kamarku. Dia tampak luar biasa imut. " Gue mau minta tolong sama lo. "

Perkataannya barusan membuat mulutku menganga. Dia datang malammalam untuk minta tolong kepadaku? Aku akan mengabulkannya, apa pun itu. " Minta tolong apaan?" tanyaku berbasa-basi.

" Tolong ajarin gue isika, please& , " Andros memohon. " Gue udah berusaha konsentrasi, tapi nggak masuk-masuk. Gue putus asa nih. " Aku bisa-bisa pingsan kalau dia memohon lebih lama lagi. " Lo kan jago banget sama isika. Please Cher, jangan biarin gue nggak lulus.& "

Bodoh. Siapa yang mau membiarkannya tidak lulus? Tapi, kalau misalnya dia tidak lulus, aku masih bisa bertemu dengannya untuk setahun ke depan.&

Aku segera menepis pikiran itu. Yang benar saja. Aku tidak akan melakukan itu. Walaupun aku mencintai Andros, bukan berarti aku bisa senang di atas penderitaannya. Tak akan pernah.

" Oke, " kataku, membuat Andros tersenyum. Kakiku sampai gemetaran, tapi untungnya, masih ada sedikit tenaga untuk membuka pintu.

Rumahku sudah sangat sepi. Papa dan Ibu pasti sudah tidur. Adit apalagi. Dia pasti lelah karena seharian di tempat les.

Aku mengajak Andros ke atas, ke ruang tengah lantai dua. Andros segera duduk di sofa. Aku mengikutinya.

" Adit udah tidur, ya? Sepi banget, " kata Andros sambil mengamati pintu kamar Adit yang tertutup rapat.

" Mungkin. Dia kan capek berat belajar dari jam enam pagi sampe jam enam sore, " kataku sambil melepas sepatu dan meletakkannya di rak sepatu. " Lo nggak ikut les juga?"

" Nggak. Gue cuma lemah di isika. Makanya gue ngerasa rugi ikutan les. Beda sama Adit yang lemah di semuanya. "

Aku nyengir setuju, yang segera dibalasnya.

" Bisa dimulai nggak?" tanya Andros sambil mengeluarkan buku-buku isikanya.

Aku mengangguk. " Tapi, An, gue kan belum sampe bab-bab akhir. " " Nggak apa-apa. Yang penting bab-bab awal selamat. "

Aku menghela napas, lalu duduk dan menyadari bahwa aku masih kuyup. Aku segera melepas jaket Alfa, lalu terhenti saat mendapati Andros

tiba-tiba bengong menatapku. Menatap tubuhku, tepatnya. Aku mengikuti arah pandangnya.

Seragamku. Basah. Dan menjadi semi transparan, sehingga memperlihatkan apa yang ada di baliknya. Aku segera menyambar jaket Alfa, lalu menutup kembali tubuhku dengannya. Andros langsung buang muka, padahal aku yakin dia telah melihatnya selama kurang lebih lima detik. Dia terlihat serba salah. Wajahnya pun memerah.

Ya ampun. Aku telah membuat wajahnya merah. Tapi aku yakin wajahku lebih merah dari miliknya.

Kami terdiam selama kurang lebih lima menit. Aku sibuk berpikir apa dia malu atau malah sedang menahan tawa karena ternyata di balik seragamku tidak ada yang bisa dibanggakan.

" Ng& gue tadi& ng& . "

Aku segera bangkit untuk menghindari kata-kata Andros. Dia bahkan mengucapkannya tanpa memandangku. Kurasa dia sedang ingin tertawa atau apa. Jadi, aku akan memberinya waktu untuk itu.

Aku segera masuk kamar dan melepas bajuku. Ya ampun, aku baru saja mempermalukan diriku sendiri di depan Andros. Dengan gontai, aku membuka lemari pakaian, memeriksa apakah ada baju yang sama sekali tidak menonjolkan lekuk tubuhku. Tapi pada akhirnya, aku memutuskan untuk memakai piyama. Aku sudah terlalu lelah untuk memikirkan apa pun. Aku bahkan tak tahu apa aku masih bisa mengajari Andros.

Saat aku keluar kamar, Andros masih berada di posisi yang sama. Pandangan kami bertemu selama beberapa detik sampai Andros menyenggol vas di atas meja ketika berusaha meraih pulpennya.

" Ayo mulai, " kata Andros bersemangat atau memaksakan diri untuk bersemangat.

Aku menghela napas, bersyukur dia tidak memper panjang soal seragamku yang basah tadi, lalu duduk di sampingnya. Tapi, Andros malah menggeser posisinya menjauhiku.

Aku tak percaya ini. Dia bahkan tak mau ada di radius semeter dariku. Benar-benar cowok yang tidak punya perasaan. Tak apa-apa kalau dia Darren, tapi dia Andros! Dia pacarku, tapi dia bahkan tak mau aku di dekatnya. Malang betul aku ini.

Aku menatap Andros sedih, lalu segera menjauh dari Andros dan duduk sekitar dua meter darinya. Andros menatapku heran, tapi aku tidak peduli. " Kenapa duduknya nggak sekalian di dapur?" candanya. Tanpa mengatakan apa pun lagi, aku segera bangkit dan berjalan menuju dapur. Aku tidak menghiraukan tatapan Andros. Dia sangat keterlaluan. Aku mengambil sekaleng Pocari kesukaannya dan brownies lezat buatan Ibu, lalu kembali ke atas.

" Oh, gue kira lo serius, " kata Andros lega begitu aku muncul. " Kalo gue serius emang lo peduli?" sahutku sambil melemparkan Pocari kepadanya yang ditangkapnya dengan susah payah lalu menaruh brownies dengan kasar ke meja. Aku sangat lelah. Juga sedih. Andros menatapku lagi. Aku tidak membalasnya.

" Bisa kita mulai?" Aku duduk, lalu membuka salah satu buku dengan tak sabar. " Bab apa yang pengin lo pelajarin?"

Aku bisa mendengar helaan napas Andros. " Bab kinematika gerak lurus, " katanya kemudian, seolah tak ada yang terjadi.

Selama satu jam, aku mengajari Andros. Selama itu juga, aku tak mengeluarkan sepatah kata pun yang tak ada kaitannya dengan isika. Aku hanya membenarkan jawabannya jika ada yang salah atau memberinya soal

lain jika dia benar. Aku melakukannya dengan sedikit kesal. Dan dari jarak dua meter.

" Cher, " panggil Andros, membuatku mendongak. " Lo nggak harus ada di sana, kok, " sambung Andros, sepertinya lelah juga dengan acara belajar jarak jauh ini.

" Tadi lo ngehindar waktu gue pengin duduk di deket lo, " kataku berusaha supaya tegar. Tapi suara yang keluar terdengar serak.

" Itu kan.. ng& udahlah, sini, " kata Andros sambil bangkit, lalu menarikku ke sebelahnya. Pertahanan diriku runtuh lagi. Untuk yang kesekian kalinya.

Setelah duduk di sebelah Andros, aku jadi tidak bisa berkonsentrasi lagi. Dia sangat wangi. Tubuhnya pun sangat besar, membuatku ingin memeluknya.

" Lo ada masalah, Cher?" tanya Andros setelah pertanyaannya tentang rumus gravitasi untuk kesekian kalinya tak kujawab.

Aku memang punya masalah. Masalahku adalah punya pacar yang sama sekali tidak peduli padaku.

" Cher? Lo sakit, ya?" tanya Andros, tapi tak berusaha mengecek temperatur tubuhku seperti yang dilakukan Alfa kepadaku. Andros malah kelihatannya takut padaku. Seakan aku penyakit menular atau apa. " Emang kalo gue sakit lo peduli?" tanyaku sengit.

Aku sudah tak tahan lagi. Suasana hatiku sedang buruk. Aku baru saja dilecehkan oleh seekor raksasa buas dan yang menolongku adalah guru seniku, bukannya pacarku. Harusnya itu tak akan terjadi kalau saja Andros mau mengantarku. Aku kan bisa mengajarinya setelah pulang dari makam.

Andros hanya menatapku heran. Air mataku mengalir lagi mengingat wajah raksasa jelek itu. Tadi, aku sangat ketakutan dan sikap Andros membuat perasaanku semakin parah.

" Jelas aja gue peduli, " kata Andros, mungkin bingung menghadapiku dan air mataku.

Aku balas menatapnya, lalu menyeka air mataku. Aku sudah berpikiran bodoh. Tentu saja dia akan mengatakan peduli padaku. Dia tak mungkin ingin melihatku bunuh diri. Aku menggeleng perlahan, lalu berpura-pura sibuk menatap lembar jawaban Andros.

Andros masih terus mengamatiku, tapi aku yakin itu karena dia heran aku ini manusia atau makhluk penghasil air mata karena, yah, aku selalu saja menangis di hadapannya. Dia tak tahu kalau aku menangis karenanya. Karena ulah-tak-peduli-nya.

" Ng& Cher, yang tadi itu, guru seni lo, kan?" tanya Andros tiba-tiba. Aku mengangguk. Apa, dia mau cari-cari bahan obrolan? Aku sudah tak tertarik lagi.

" Lo dianter sama dia ke makam?" tanya Andros lagi.

Aku mengangguk lagi, malas bercerita lebih banyak. Halo, aku pergi sendirian ke makam dan diganggu oleh raksasa jelek sampai akhirnya ditolong oleh guru seniku yang entah datang dari mana!

" Keujanan selama di jalan?" tanya Andros lagi.

Sekarang, aku menoleh ke arahnya. Andros secepat mungkin memalingkan muka. Ya ampun, bahkan untuk memandangku saja tidak sudi. Memangnya aku Medusa?

" Kenapa lo tanya-tanya? Emangnya lo peduli sama gue?" sahutku tak tahan. Andros sekarang balas menatapku tajam, mungkin muak karena aku bertanya hal yang sama berulang-ulang. " Maksud lo apaan sih, Cher? Ya jelas gue peduli! Paru-paru lo bisa radang lagi! Kenapa naik motor sih? Taksi udah pada lenyap?" sahut Andros, dengan ini tak bisa kupercaya raut wajah yang benar-benar terlihat khawatir.

Aku menunduk. Mungkin benar, dia peduli padaku. Tapi dia peduli karena aku bisa mati. Dia peduli pada apa yang bisa dilakukan keluargaku terhadapnya kalau aku mati. Bukan bagaimana perasaannya kalau aku mati.

" Kalo lo peduli kenapa lo nggak nganterin gue?" sahutku lagi. Air mataku sudah berlinang-linang.

" Lo bilang nggak apa-apa sendirian! Kalo gitu lo mestinya ngomong kalo lo emang nggak bisa pergi sendiri! Jangan sok berani!"

Lagi-lagi, Andros marah padaku. Harusnya aku maklum kenapa dia marah-marah seperti ini. Aku memang patut dimarahi. Andros sudah sangat baik mau berpacaran denganku. Aku kan cuma cewek jelek. Andros menatapku yang terisak hebat putus asa.

" Cher, maain gue, " kata Andros. " Harusnya gue nganterin lo. Maaf, ya. " Tangisanku semakin keras, tapi ini karena Andros minta maaf padaku. Dia memang cowok yang benar-benar baik. Harusnya, aku tidak menyangkanya yang macam-macam.

Andros menepuk-nepuk kepalaku. Aku tidak bisa lebih bahagia lagi. Walaupun jarak kami terpaut sepanjang tangan Andros, aku tetap merasa bahagia. Kata-kata Andros telah membuatku hidup kembali. Aku bisa dengan mudah melupakan raksasa buruk rupa tadi dengan satu tepukan dari Andros di kepalaku.

Aku menyeka air mataku. Aku pasti tampak jelek dengan mata bengkak. Aku sudah cukup jelek dengan mata normal. Andros tersenyum, dan aku langsung membalasnya.

" Belajar lagi, ya, " katanya, lalu kembali menekuni bukunya. Aku masih memandanginya. Menatap Andros sangat menyejukkan hatiku. Tahu-tahu, aku ingin lebih dari ditepuk. Aku sangat menyukai Andros,

lebih dari diriku sendiri. Aku lalu teringat kata-kata Maya. Aku harus lebih agresif. Jarakku dengannya tidak sampai semeter. Iklim pun mendukung karena saat ini, hanya ada kami berdua.

Sebelum aku sempat berpikir, aku sudah bergerak ke arahnya. Kemudian, menciumnya di pipi selama kira-kira dua detik. Dua detik terindah dalam hidupku. Aku tak tahu apa yang Andros rasakan, tapi aku tahu dia pasti kaget karena dia sempat tersentak.

Aku langsung serba salah. Aku tahu wajahku memerah sampai ke telinga.

Selama beberapa saat, Andros tidak bereaksi. Dia hanya menatapku. Aku tak tahu apa arti tatapan itu. Aku benar-benar bingung. " Kayaknya gue harus pulang, " kata Andros akhirnya, membereskan semua buku-bukunya dengan terburu-buru, lalu bangkit dengan cepat. " Dah, " lanjutnya, sebelum bergegas turun.

Ya Tuhan, aku bodoh sekali. Barusan, aku melakukan hal terbodoh dalam hidupku!

Andros mungkin jijik dengan perbuatanku tadi. Dia pasti menganggapku cewek murahan, yang berani menciumnya lebih dulu.

Untuk kesekian kalinya hari ini, aku menangis lagi. Maya salah besar soal ciuman. Salah besar. Dan aku tak mau mengingat-ingatnya lagi.

Happy Fool

Semalaman, aku tidak bisa tidur karena memikirkan ciuman pertamaku dengan Andros. Memikirkan ekspresi wajahnya yang tidak dapat ditebak setelah aku menciumnya.

Dia mungkin cuma kaget. Atau mungkin jijik. Entahlah. Yang jelas, dia buru-buru pergi setelah aku menciumnya. Padahal, aku hanya menciumnya di pipi. Aku memang cewek paling menyedihkan di seluruh dunia.

Aku memutuskan untuk mengirimkan e-mail kepada Maya dan menceritakan kejadian lengkap tentang semalam, tapi Maya belum membalasnya. Aku telah beberapa kali mengecek kotak masuk dari ponselku.

Aku menghempaskan diri ke kursi kantin. Darren, yang saat ini berada di depanku bersama gerombolan Alissa, segera mengejekku. Mereka bilang aku sok membuat video klip. Aku tak peduli. Sejak Maya pergi, anak-anak itu semakin gencar mengerjaiku, tapi aku semakin kuat setiap harinya. Aku tak pernah lagi menangis karena mereka. Sekarang, yang bisa membuatku menangis hanya Andros. Oh yah, juga si raksasa superjelek itu.

Aku melamun sambil menancapkan garpu pada salad, lalu memakannya tanpa semangat. Aku sedang sangat tidak bertenaga. Otak dan mataku lelah karena tidak tidur semalaman. Hatiku pun lelah karena memikirkan Andros.

Tiba-tiba, Adit muncul. Dengan Andros. Harusnya aku tahu, mereka pasti akan muncul. Harusnya, aku tidak berada di sini. Harusnya, aku berada di samudra Atlantik atau di mana saja selain di sini.

Andros menatapku sekilas, lalu buang muka sepersekian detik setelahnya. Kemudian, dia mencari bahan obrolan lain dengan Adit, kedengarannya seperti Ragnarok atau apa.

Mereka duduk di depanku. Adit jelas belum diberi tahu oleh Andros karena sikapnya masih seperti biasa. Andros duduk tanpa sekali pun melihat

ke arahku, seakan aku ini transparan. Mungkin, yang terlihat olehnya hanyalah kursi kosong dan garpu yang melayang.

Aku juga memutuskan untuk tidak melihatnya dan membuang pandangan ke arah lapangan basket. Kalau aku lebih lama di sini, air mataku pasti akan mengalir.

Pandanganku tiba-tiba tertancap pada sosok cowok yang mengenakan jeans di antara anak-anak yang mengenakan seragam. Dia sedang berjalan ke arah kantin. Berlari, lebih tepatnya. Ujung garpuku masih di dalam mulut ketika Alfa dengan terengah-engah menghampiriku. Semua orang di kantin memerhatikannya yang artinya sama dengan memerhatikanku. " Ng& , Fa?" tanyaku bingung.

Adit segera menatap Alfa tajam. Aku menyempatkan diri melirik ke arah Andros, tapi dia sibuk dengan spagheti-nya. Aku mendengus, lalu memutuskan untuk tak peduli pada perhatiannya.

" Kenapa, Fa?" tanyaku lagi, kasihan dengan Alfa yang seperti baru ikut marathon.
Me And My Prince Charming Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Tunggu. Bentar. Gue... Ambil... Napas... Dulu& , " kata Alfa terengah, lalu mengambil napas.

Dia tampak cute sekali. Kalau saja aku belum berpacaran dengan Andros....

" Cher, ada lomba ngelukis di kampus gue. "

Mataku langsung berbinar cerah mendengar perkataannya. Lomba melukis? Pasti aku bisa menunjukkan bakatku di sana. Siapa tahu aku bisa memenangkan sesuatu. Aku belum pernah memenangkan apa pun selama hidupku. Yah, pernah sih, lomba makan kerupuk. Tapi lomba makan kerupuk tak memerlukan keahlian apa pun. Juga tidak membuat bangga siapa pun. Ini jelas kesempatan bagiku untuk menunjukkan ke semua orang kalau aku punya kelebihan yang patut kubanggakan.

" Lomba ngelukis? Kayak anak SD aja. Lomba ngelukis apa? Donal Bebek?" tanya Adit, masih menatap Alfa sengit.

Aku menendang kaki Adit. Apaan sih dia, ikut campur urusan orang saja. " Bukan. Lomba lukis tingkat remaja dan dewasa. Hasilnya nanti dijadikan pameran. Dan dijual dengan harga tinggi. Dinilainya juga sama pelukis berbakat. " Alfa tak tampak tersinggung oleh perkataan Adit. " Emang lo bisa ngelukis?" tanya Adit kepadaku. Aku benci padanya.

" Bisa. Lo aja yang nggak pernah perhatian, " sahutku. Padahal, kata-kata itu aku tujukan untuk Andros. Aku yakin Andros juga sama tidak tahunya tentang bakatku ini.

" Lo udah gue datarin, tinggal dateng tanggal dua puluh nanti ke kampus gue. Bawa semua perlengkapan nya, oke? Dan lo harus mempersiapkan diri. Inget, Cher, ini kesempatan buat lo. "

" Sejak kapan guru sama murid saling panggil pake lo-gue?" sela Adit, membuatku dan Alfa saling lirik.

Akhirnya, Andros menatapku. Tapi aku yakin itu hanya tatapan yang tak berarti. Andros tak peduli padaku.

" Sejak kita ada di luar kelas. Gue temen Cherry, " jawab Alfa enteng, lalu kembali mengobrol denganku.

" Bolos kuliah lo ya? Hari gini dateng ke sekolah. Kalo cuma murid atau lo bilang tadi temen kenapa nggak nunggu sampe pulang sekolah? Sampe jamnya kelas seni?" Adit mulai mencerocos lagi.

Aku menoleh kepada Alfa. Benar juga. Sekarang masih pukul sepuluh. Alfa seharusnya belum datang. Tapi, dia ada di sini untuk memberitahuku.

" Gue pengin cepet-cepet ngasih tahu aja, " jawab Alfa, masih tenang. " Lo belom kenal teknologi handphone?" sambar Adit. Dia sudah keterlaluan.

Alfa menatap Adit tajam. Aku tak akan heran bila Alfa menghajarnya, tapi Alfa tak melakukannya.

" Cher, kita ketemu abis sekolah aja, ya. Ntar kita omongin lagi. Lagian, bentar lagi gue ada kelas. Dah. " Alfa melambai singkat ke arahku, lalu langsung melesat pergi.

Aku melotot kepada Adit, tapi dia bersikap seolah tidak ada yang terjadi. " Lo kenapa sih, Dit? PMS?"

Adit hanya mengedikkan bahu.

Aku menyentakkan garpuku ke piring salad. Nafsu makanku mendadak hilang. Dua cowok ini benar-benar menyebalkan. Aku ingin segera pergi dari sini, menjauh dari pacar yang sangat cuek dan kakak yang tiba-tiba jadi overprotective.

Untuk meredam kekesalan, aku mengecek e-mail-ku sekali lagi. Ada balasan dari Maya. Aku segera membacanya.

Aku hampir menangis membaca e-mail Maya. Tapi, aku segera menggigit bibirku keras-keras. Saking kerasnya, bibirku sampai robek.

" Cher! Cher! Lo nggak apa-apa?" sahut Adit, panik melihat mulutku tiba-tiba berdarah.

Andros segera bangkit, lalu mendekatiku. Aku tak yakin apakah dia khawatir atau hanya kaget. Yang jelas, aku sudah memutuskan. Aku akan menjadi cewek yang kuat, seperti Maya.

" Nggak apa-apa, " sahutku sambil menepis tangan Andros yang akan mengelap mulutku dengan tisu.

Aku berdiri dengan menyentak, lalu segera pergi dari kantin. Aku berderap menuju kelas seni untuk menumpahkan segala kekesalanku pada kanvas.

deadsexxy@hotmail.com So sorry!!!

YA AMPUN CHERRY!!! GUE BENER-BENER MINTA MAAF!!! Gue harusnya sadar nggak semua cowok sama, ya? Tapi gue pikir Adit sama Andros tuh mirip! Mereka sama-sama cuek, ke mana-mana berdua, makanya gue pikir Andros pasti bakalan seneng kalo lo cium! Maain gue, Cher, please& apa yang harus gue lakuin, Cher? Gue bener-bener nyesel& Cher, lo nggak usah mikir yang macem-macem deh, lo tuh cantik banget! Andros itu cowok terbego sedunia!

lo harus kuat, oke? Be the tough girl! Jangan selalu nangis! Kalo lo kuat, mungkin Andros bakalan sadar kalo lo tuh beda! Oke? Jangan nyerah! Ganbate! Eh, gimana sih, cara nulisnya? Ya pokoknya semangat, deh!

Tadi, aku melihat dengan jelas ekspresi Andros ketika aku menepis tangannya. Aku senang melihatnya merasa ditolak.

Itu pun kalau dia merasa ditolak.

Lima hari berlalu sejak aku mencium Andros. Namun, aku tak pernah memikirkannya lagi. Sekarang aku sibuk dengan karya-karyaku. Aku sudah menciptakan lima buah karya di atas kanvas. Dan Alfa selalu membimbingku. Dia memang sangat baik, juga berbakat.

Aku dan Alfa sudah tidak seperti guru dan murid lagi. Layaknya teman akrab, kami ke mana-mana berdua. Walaupun demikian, kepala sekolah memperbolehkannya karena ini demi kepentingan seni belaka. Aku membawa nama sekolah dalam lomba melukis itu. Sudah tentu kepala sekolah akan mengabulkan segala permintaanku.

Murid-murid kelas seni lainnya terkadang cemburu padaku. Beberapa hari lalu, aku menemukan salah satu karyaku tergeletak dan tersobek-sobek. Alfa menghiburku dan mengatakan bahwa dia tak pernah menyukai lukisan itu, dan bahwa aku bisa lebih baik daripada itu. Alfa benar-benar tahu cara menghiburku.

Saat ini, aku sedang duduk di taman sekolah, melukis dari sudut sekolah yang menghadap ke arah lapangan basket dan kolam ikan yang besar. Aku selalu melakukannya ketika jam istirahat karena ingin menghindari Andros.

Akhir-akhir ini, aku selalu membuang muka setiap bertemu dengannya. Ini aneh bagiku. Biasanya, aku selalu ingin melihatnya. Namun sekarang, aku tak lagi punya keberanian itu. Melihat wajahnya mengingatkanku akan semua hal yang pernah membut hatiku sakit. Aku benci mengingatnya karena membuatku mudah rapuh.

Aku hidup untuk maju.

Aku menyapukan kuasku pada kanvas, bermaksud melukis lapangan basket. Tapi, di sana ada Andros, sedang memerhatikan aku dari kejauhan. Sedapat mungkin, aku kembali berkonsentrasi pada kanvasku. " Sekarang nggak lagi mendung, kok. "

Terdengar suara seseorang dari belakangku. Aku tak perlu menoleh. Itu Alfa, sang dewa-penyelamat-dalam-hal-apa-pun-ku.

" Hah?" gumamku sambil mengamati lukisanku.

" Sekarang lagi nggak mendung, " ulang Alfa, lalu tersenyum. " Kok awannya abu-abu?"

Aku mengamati lukisanku secara lebih saksama. Memang benar. Awan dalam lukisanku sama sekali tidak sama dengan kenyataannya. Awanku lebih gelap, seolah akan ada badai atau apa.

Aku tahu apa yang menyebabkan ini. Seorang cowok yang sangat kurindukan, tapi tak pernah merindukanku.

Aku menatap lapangan basket lagi, tapi Andros sudah tak ada di sana.

" Gue deg-degan, " kataku, sambil memegang paletku lebih erat dari sebelumnya.

Hari ini, aku akan bertarung dengan lima puluh peserta lainnya untuk mendapatkan gelar juara dalam lomba melukis. Aku benar-benar menginginkannya.

" Santai aja. " Alfa kemudian merangkulku menuju tempat lombanya.

Ruangan ini begitu besar dan nyaman. Aku rasa aku bisa tertidur karenanya. Alfa mendorongku masuk. Dia tersenyum kepadaku, yang langsung kubalas. Alfa bisa membuat hatiku tenang. Dia selalu begitu.

Aku bergabung dengan peserta lainnya untuk mendengarkan pengarahan, lalu segera mengambil tempat untuk memulai lomba.

Setelah waktu lomba dimulai, aku menarik napasku perlahan, lalu melepaskannya. Aku akan berusaha. Lukisan ini untuk seseorang yang sangat kucintai.

" Lama ya?" kataku sambil melihat jam.

" Lo sadar nggak, lo ngeliat jam setiap lima detik sekali, " gurau Alfa sambil menyodorkan Coke padaku.

" hanks. " Aku membuka kaleng itu. " Tapi Fa, gue bahkan lebih degdegan sekarang dibanding pas lombanya!"

" Dimaklumi. " Alfa duduk di sebelahku. " Tapi gue yakin kok sama lo. " Aku berterima kasih karena ditemani oleh orang yang baik seperti Alfa, bukannya kakak atau pacar yang menyebalkan.

" Berapa jam lagi ya?" tanyaku sambil menengok kanan-kiri, mengamati peserta lain yang juga tampak tegang menunggu pengumuman. " Udah tahu cara pengumumannya?" tanya Alfa tiba-tiba. " Pemenang pertama, Cherry Danisha?" kataku seolah Alfa anak kecil. " Bukan, " ucap Alfa, membuatku penasaran. " Begitu ruangan itu dibuka, lukisan yang menang bakal dipajang di tempat kehormatan. "

Aku memandang Alfa takjub. Langsung dipamerkan sebagai pemenang? Hal ini tidak pernah terbayang olehku. Aku jadi sangat bergairah menunggu pintu itu terbuka.

Tapi begitu pintu itu benar-benar dibuka, aku malah ingin melarikan diri. Aku sangat takut akan menemukan lukisanku di bak sampah. Semua orang berduyun-duyun memasuki ruangan, tapi aku masih tertancap di depan pintu.

" Kenapa lo? Ayo masuk, " ajak Alfa.

Dia menggandeng tanganku, lalu membawaku masuk. Aku memejamkan mata selama perjalanan ke dinding pameran dan membiarkan Alfa menuntunku.

" Lumayan, " komentar Alfa setelah kami sampai di depan lukisanku. Aku langsung membuka mata dan mendapati lukisanku ada di atas papan bertuliskan Juara dua-Cherry Danisha-My Passion . Aku bengong selama beberapa detik, sampai akhirnya Alfa memelukku dari belakang.

" Hebat lo!" sahut Alfa girang. Aku sendiri sudah menangis karena terharu. Ternyata aku memang benar-benar berbakat. Aku juara dua!

Seseorang tiba-tiba menyelamatiku. Alfa berkata dia adalah pemenang pertama. Reza namanya, tiga puluh lima tahun. Aku mengamati lukisan yang menjadi juara pertama itu, lalu terbengong-bengong. Alfa, yang lebih senior dariku, juga ikut bengong.

Lukisan itu judulnya Surgaku Nerakaku . Di sana terdapat ilustrasi semua kesenangan duniawi. Maksud dari lukisan itu sendiri adalah berupa kritikan terhadap krisis sosial yang terdapat di ibukota. Sangat menakjubkan bagiku.

Selama setengah jam aku berdiri di depan lukisanku sendiri. Aku sangat bahagia sampai tidak ingin meninggalkannya. Selain itu, aku membawa piala dan penghargaan di tanganku. Aku tak tahu apa yang bisa lebih membahagiakan dari ini.

Seperti menjawab pertanyaanku, seseorang tiba-tiba muncul di belakangku. Bayangannya terpantul di kaca yang melapisi lukisanku. Seseorang yang menjadi objek lukisanku. Seseorang yang merupakan inspirasiku. Aku berbalik dan mendapati Andros sedang berdiri di depanku.

Aku tahu, sekarang tak ada gunanya lagi menjadi pura-pura kuat. Aku memang menginginkan Andros ada di sini. Andros lah yang sudah membuatku meraih juara dua.

Andros menatapku sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain sambil menyusupkan jari-jari ke rambutnya. Pose kesukaanku. " Ng& lo menang nggak?" tanyanya tanpa melihatku.

" Juara dua. Tapi gue tetep seneng, " kataku sambil menyeka air mata yang sudah menetes ke pipiku.

" Oh. " Andros mengangguk-angguk, lalu mendekat ke lukisanku. Matanya tiba-tiba melebar. " Ini& ??"

" Elo, " kataku, meneruskan kalimat Andros.

" Oh, " gumam Andros, tampak salah tingkah. Dia menggaruk kepalanya sebentar, lalu berbalik. " Selamat, ya Cher. Gue nggak tahu lo pinter gambar. " " Lukis, " ralatku.

" Oh, yah, ngelukis. "

Aku menatap Andros yang masih tidak mau menatapku. Dia tiba-tiba jadi tertarik pada kerumunan orang yang mengelilingi sang pemenang. " Ngapain lo ke sini?" tanyaku.

" Ng& gue& kebetulan aja lewat sini, " kilah Andros, meski sama sekali tak bisa mengelabuiku.

" Oh ya? Mau ke mana lo kebetulan lewat sini?" tanyaku lagi. Andros kelihatan salah tingkah lagi. Kuharap apa yang kulihat benar. Kuharap, dia tadi berbohong.

" Gue sebenernya& yah, cuma lewat aja sih, " kata Andros, benar-benar menyakiti hatiku.

Kupikir dia datang untuk memberiku semangat atau mengantarku pulang. Ternyata dia hanya lewat. Aku tak mau bertanya lebih lanjut karena sama saja menyakiti diriku sendiri lebih parah. Aku hanya ber oh sebentar, lalu mengikuti caranya berpura-pura melihat ke arah lain. Aku sangat ingin pergi dari sini. Aku memerhatikan beberapa cewek melihat Andros dengan kagum. Tapi kali ini, aku sungguh tak peduli.

Di saat yang tepat, Alfa muncul.

" Cher, gue udah ambil motor, ayo pulang, " ajaknya, tapi segera terdiam begitu melihat Andros. " An?" sapanya ramah, lalu menjabat tangan Andros. " Ng& kalo gitu, gue balik duluan, deh. "

" Fa, tunggu!" seruku sambil menahannya yang hendak pergi. " Lo kok tega sih? Lo nggak nganter gue pulang?"

Alfa melebarkan matanya, lalu melirik Andros. " Kan ada Andros?" " Ah, Andros cuma lewat doang, " kataku sinis. " Ayo, Fa. "

Bukannya aku ingin melukai Andros aku tak yakin apa Andros akan terluka bila aku dekat dengan Alfa, atau siapapun tapi aku ingin membuktikannya.

Alfa hanya bengong ketika aku menarik tangannya dan membawanya keluar. Aku bahkan tak sempat melihat ekspresi Andros. Tapi melihat dirinya yang tidak mengejar kami, pemikiranku terbukti. Dia tidak peduli.

Cuaca di luar sangat dingin. Aku menyesal mengapa tidak membawa jaket. Meminjam jaket Alfa rasanya tak mungkin karena jaketnya yang dulu belum kukembalikan. Bisa-bisa aku mengoleksinya.

" Lo serius?" tanya Alfa setelah sampai di motornya. " Nggak pulang sama Andros? Dia kan dateng mau ngejemput elo. "

" Kata siapa?" sahutku ketus. " Udah, nggak usah banyak omong. Mau nganterin nggak? Kalo nggak mau, juga nggak apa-apa. "

" Jangan marah dong. Lo lagi ada masalah, ya? Ya udah deh, nih pake, " kata Alfa sambil menyodorkan helm padaku.

Baru ketika aku akan memakainya, sebuah tangan mencengkeram tanganku dan merebut helmnya.

" Cherry balik sama gue. " Andros melemparkan helm itu kepada Alfa, lalu membawaku ke Altis-nya. Aku mengikutinya dengan perasaan kesal, sekaligus senang.

" Kenapa sih lo? Katanya cuma lewat, " sindirku sambil masuk ke mobilnya.

" Oke, oke, gue nggak cuma lewat, gue disuruh bokap-nyokap lo buat ngejemput lo, " kata Andros sambil membawa mobilnya ke jalanan.

Aku menatap Andros tak percaya. Dia disuruh oleh orang tuaku? Jadi, dia tidak datang atas keinginan sendiri? Ya Tuhan, bisa-bisanya aku berpikiran dia datang untukku?

" Stop di sini, " kataku dingin. Andros menatapku heran. " Stop di sini!!" seruku keras.

Andros pun menghentikan mobilnya. " Lo mau ngap& . Cher? Mau ke mana lo?"

Aku sudah turun dari mobilnya. Aku tak bisa terus-terusan begini. Bisabisa bibirku habis sama sekali.

" Cherry! Lo mau ngapain?" sahut Andros sambil mengejarku. " Gue mau pulang naik taksi!" seruku.

" Lo kenapa sih, Cher?" sahut Andros setelah berhasil menyamai langkahku.

" Lo tanya gue kenapa? Gue kira lo dateng mau nyemangatin gue! Gue kira lo dateng karena lo mau dateng! Tahu-taunya lo disuruh bokap gue!" Air mataku sudah mulai mengucur deras.

" Cher, apa bedanya, sih? Gue tetep ada di sini, kan?"

" Tapi nggak sama!" sahutku. " Lo emang ada di sini, tapi lo nggak mau ada di sini!"

" Cher, gue mulai pusing nih. Gue tadi nggak bilang kan, kalo gue nggak mau ada di sini?"

" Emang lo nggak bilang! Tapi pas lo bilang lo di suruh sama bokap gue, gue jadi tahu! Kalo lo emang niat ke sini, lo nggak bakal bilang disuruh bokap gue!"

Andros tampak serba salah. Selalu serba salah setiap melihatku menangis. Dia menghela napas. " Oke, gue minta maaf& . "

" Apa semua masalah bisa selesai dengan cuma minta maaf?" potongku cepat. " Terus gue harus apa?"

Aku menatap Andros lekat-lekat. Biasanya, aku bisa langsung memaakan Andros. Tapi kali ini berbeda. Aku benar-benar marah.

" Lo sebenernya peduli nggak sih sama gue?" " Peduli, " jawab Andros, nyaris seperti tanpa berpikir.

" Oh ya? Perasaan gue, lo nggak pernah peduli sama gue. Lo nggak pernah ngasih perhatian sama gue. "

" Apa harus begini caranya pacaran, Cher? Harus selalu ngasih perhatian?"

" Nggak perlu selalu, " jawabku, merasa akhirnya sekarang lah saatnya aku mengutarakan semua unek-unekku. " Cuma sekali buat gue cukup. Tapi lo nggak pernah sekali pun merhatiin gue. "

" Apa? Tapi gue& . "

" Apa lo punya foto gue? Apa lo tahu tanggal ulang tahun gue? Apa lo punya nomor hape gue? Apa lo pernah sekali pun nelepon gue?" tanyaku, sambil mencoba tegar. Dan entah kenapa berhasil. Aku lebih tenang daripada yang sudah-sudah.

Andros menatapku lagi. " Emang nggak sih, tapi apa perlu.& " " Emang buat lo nggak penting, tapi buat gue penting!"

Andros menatapku lagi, lalu menendang kaleng di depannya. " Oke. Cuma itu? Inget tanggal lahir, nomor hape, nelepon lo. Oke, gue jalanin!" Andros terdengar putus asa.

" Nggak usah repot-repot, " kataku sambil menyeka air mataku. " Lo nggak usah ngelakuin itu karena terpaksa. Gue sadar lo emang bukan cowok macem itu. "

" Lo gimana, sih? Lo tadi bilang& . "

" An, lo putus asa kan, pacaran sama cewek yang banyak maunya kayak gue? Lo mau putus kan, sama gue?" Sebisa mungkin, aku menahan tangis. Sebentar lagi semua berakhir.

Andros memandangku dengan pandangan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Dia tampak sangat marah.

" Gue nggak pernah ngomong kayak gitu, kan?" sahut Andros. " Jadi kenapa lo punya pikiran aneh-aneh kayak gitu, hah? Lo sengaja mau bikin gue marah atau gimana sih? Gue capek, Cher!"

Aku menatap Andros tak percaya. Aku telah memberikan Andros kesempatan untuk memutuskan hubungan denganku, tapi Andros tidak melakukannya.

" Kalo lo mau apa-apa, lo bilang! Lo nggak usah pura-pura atau apa pun untuk nyenengin gue! Gue kasih tahu ya, Cher, gue nggak suka liat lo nangis, apalagi nyuekin gue!"

" Tapi lo yang nyuekin gue setelah ng& malem itu. Lo pasti nganggep gue menjijikkan, kan?"

Andros terdiam sesaat, lalu menjambak rambutnya sendiri. " Waktu itu gue& gue shock aja. Sorry soal yang itu. Gue nggak bermaksud nyuekin lo, " kata Andros sambil mendekatiku. " Dan gue nggak pernah nganggep lo menjijikkan. "

Akhirnya, aku kembali menangis. Tapi kali ini, tangis bahagia. Entah berapa kali aku tersakiti oleh Andros, tapi aku selalu bahagia setelah berbaikan dengannya. Mungkin aku cewek bodoh. Tapi bodoh yang bahagia.

" Cher, lo jangan nangis lagi, dong! Gue kan udah bilang gue paling benci liat lo nangis!" sahut Andros begitu aku terisak.

Ini adalah hari terbaik bagiku. Dan aku tak akan melupakannya.

First Love vs Last Love

" Ceria amat, " komentar Alfa begitu melihatku masuk ke kelas seni sambil tersenyum lebar.

" Ya dong, " kataku sambil mengambil posisi di depannya. " Hari ini kan nggak ada kelas, " kata Alfa lagi.

" Gue mau ngambil buku sketsa. Kemaren ketinggalan di sini. Nah, ini dia. " Aku memungut buku sketsa yang tergeletak di lantai.

Alfa memerhatikanku sesaat, entah mengapa. Dia seakan sedang menimbang-nimbang.

" Fa? Kenapa?" tanyaku sambil menghampirinya. " Ng& nggak. Ntar deh, kalo lo udah siap, gue kasih tahu. " Aku menatapnya penasaran. Apa yang dia sembunyikan dariku? " Ya udah kalo emang nggak mau ngasih tahu, " kataku pura-pura marah, lalu melengos keluar dari kelas. Alfa hanya tersenyum padaku.

Aku menghirup udara luar yang sejuk. Hari ini cuacanya menyenangkan. Tidak panas, juga tidak terlalu dingin. Mengingatkan aku pada cuaca awal musim semi di Paris. Well, aku belum pernah ke sana, sih. Jean yang sering menceritakannya kepadaku.

Aku melangkah riang ke arah lapangan basket. Sudah tiga hari sejak aku dan Andros berbaikan. Selama itulah, aku jadi lebih sering menggambarnya. Aku punya empat buku sketsa edisi khusus Andros, walaupun belum punya pose Andros kesukaanku tangan menyusupkan jari-jari ke rambut sambil menatap ke arah lain karena dia tak pernah bertahan cukup lama dalam pose itu dan memberikan aku kesempatan untuk mengabadikannya. Mungkin, aku bisa memotretnya.

Ya ampun, memotret pacar sendiri. Aku payah benar. Seharusnya tinggal minta saja dia berpose.

Tak berapa lama, aku sampai di pinggir lapangan basket. Andros tampak sedang berlatih dengan kaus biru, rambutnya yang ikal dan menutupi sebagian dahinya sekarang ditahan oleh bandana putih. Ya ampun, dia memakai bandana! Mungkin dia memakainya karena rambutnya menghalangi pandangan, tapi ini membuatnya seratus kali lipat lebih cute dari sebelumnya!

Dia memang luar biasa imut. Ini sudah sepatutnya kusyukuri, tapi sekaligus kusesalkan karena sekarang tiba-tiba puluhan cewek jadi rajin menonton anak basket berlatih. Sebal. Mana kentara aku di antara cewekcewek cantik di sekolah ini.

Aku memerhatikan Andros yang sekarang sedang memegang bola. Rambutnya melambai-lambai seiring dengan hentakan kakinya. Kemudian, dia melesakkan bola ke dalam ring. Sudah imut, hebat pula.

Tahu-tahu, Andros melihat ke arahku, lalu tersenyum lebar. Aku tak tahu apa ini nyata. Aku langsung menoleh ke belakang, mengira dia sedang melihat orang lain. Tapi Andros masih tersenyum menatapku, membuat segerombolan cewek yang berdiri di depanku tiba-tiba menjerit-jerit histeris. Hei, hei. Andros tersenyum kepadaku, cewek-cewek malang! Aku membalas senyum Andros walau dia sudah kembali berlaga. Ya Tuhan, aku sangat menyukainya! Tidak, tidak. Aku sangat mencintainya!

Aku berbalik, bermaksud ke kantin untuk membeli air mineral dulu sebelum menggambar Andros. Aku sedang berjalan riang sambil sibuk dengan pikiranku sendiri, ketika seseorang menabrakku sampai jatuh. Buku sketsaku berantakan di tanah.

" Ups, sorry, " seru seseorang di depanku.

" Ah, nggak apa-apa. " Aku berusaha berdiri setelah mengumpulkan buku-bukuku. Kemudian, aku mendongak untuk melihat sosok orang yang menabrakku.

Seorang cewek. Sangat cantik. Dan tinggi. Dan kurus. Dan modis. Pokoknya sempurna untuk menjadi supermodel.

Cewek itu mengibaskan rambut semi pirangnya dengan anggun, lalu tersenyum kepadaku. " Kamu nggak apa-apa?" tanyanya sambil memegang pundakku.

Aku menggeleng, masih terpana dengan sosok cewek itu. Dia sangat menakjubkan. Balutan jeans hipster dan atasan tipis warna merah muda menonjolkan lekuk tubuhnya dengan sempurna. Aku tidak tahu apa aku sanggup berjalan semeter saja keluar rumah dengan pakaian seperti itu.

" Oh, oke, " katanya, lalu memandang sekeliling sambil melepas kacamata aviator-nya. Matanya biru, walaupun aku yakin itu hanya sotlens karena dia berwajah Indonesia.

Cewek itu terus saja menengok kanan-kiri. " Mau cari siapa?" tanyaku akhirnya.

Cewek itu kembali menatapku. " Oh. Ng& kenalan gue. Tapi bener nggak ya, sekolah di sini& , " katanya, tampak sedikit cemas. " By the way, nama gue Namie. Lo?"

Aku menyambut tangannya yang terulur. " Cherry. " " Cute name!" sahut Namie.

Aku tersenyum dan bilang terima kasih. " Ng& lo bisa bantu gue?" tanyanya kemudian. Aku langsung mengangguk.

" Gue lagi nyari orang. Ng& namanya Andros. Andromeda Arastya. Orangnya tinggi, rambutnya ikal, terus yah& cute gitu. Ada nggak ya di sini?"

Aku menatap Namie menyelidik. Dia mencari Andros. Kira-kira mereka ada hubungan apa ya? Mungkin saja dia menyukai Andros, lalu mengejarngejarnya& . Wah, gawat. Kalau yang mengejarnya cewek cantik begini,

jangan-jangan Andros akan membuangku begitu saja ke pinggir kali.

Aku ini berpikir apa, sih? Bisa saja Namie hanya temannya, kan? Atau saudaranya?

" Gue kenal. Dia sekolah di sini, kok, " kataku, berusaha menggunakan nada yang sewajar mungkin.

" Oya?" sahut Namie gembira. " Di mana dia?"

" Ng& lagi latihan basket. Gue bisa anterin lo ke sana, " kataku. " Wah! Cool! Ayo!" Namie langsung bergerak men dahuluiku. " Ng& bukan ke sana, " sahutku membuat langkah Namie terhenti. Dia nyengir, lalu mengikutiku.

Aku benar-benar berharap Namie ini hanya berteman dengan Andros. Kalau lebih dari itu, berarti gawat. Aku benar-benar akan dibuang ke pinggir kali.

Semua orang memandang Namie selama kami berjalan ke lapangan basket. Namie sendiri acuh tak acuh sambil terus mengajakku mengobrol. Ternyata, Namie baru kembali dari New York. Hebat sekali. Amerika-nya tak tanggung-tanggung. New York.

" Andros ke mana?" tanyaku kepada Adi, salah satu teman Andros, begitu sampai di lapangan. Andros tidak ada di sana. Padahal, beberapa menit yang lalu dia masih bermain.

Adi tidak langsung menjawab pertanyaanku. Dia menatap Namie dari ujung rambut sampai ujung kaki.

" Di?" tanyaku lagi. " Andros ke mana?"

Adi akhirnya sadar, dan tampak tak senang aku mengganggu fantasinya. " Udah pulang, " jawab Adi singkat, lalu kembali menatap Namie. " Udah pulang?" Namie bergumam kecewa. Detik berikutnya, ekspresinya kembali cerah. " Apa gue ke rumahnya aja, ya?"

Kata-kata itu membuatku mematung. Cewek ini tahu rumah Andros. Atau bahkan sudah pernah ke rumah Andros. Aku, yang adalah pacarnya, sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di sana.

" Ah, nggak deh. Besok gue ke sini lagi aja, " kata Namie akhirnya, membuatku sangat lega. " Ya udah, gue balik dulu ya. See ya!" Namie melambai, lalu berbalik pergi.

Aku memerhatikan punggung Namie. Cara jalannya saja sudah seperti model. Sangat anggun. Tiba-tiba, dia memutar tubuhnya.

" Cherry!! Makasih ya!!" serunya.

Aku mengangguk sambil melambai.

Ya ampun, selain cantik, ternyata Namie juga sangat manis. Matilah aku jika Andros tahu cewek seperti itu mencarinya.

" Ayo, Cher, " ajak Ibu sambil mengambil tas kecilnya. Aku mengangguk dengan bersemangat. Sangat bersemangat. Hari ini, entah mengapa Papa dan Ibu berencana untuk berkunjung ke rumah Andros. Kunjungan kekeluargaan, katanya. Hal ini jelas sangat membuatku bahagia. Seperti Andros dan aku akan menikah saja. Aku harap begitu!!

Aku segera mengikuti Papa dan Ibu ke dalam mobil. Adit tidak ikut karena harus belajar untuk ulangan matematika. Aku yakin Andros juga sedang belajar, tapi tak jadi masalah jika Andros tak bisa menemuiku. Yang jelas, aku selangkah lebih maju jika sudah pernah datang ke rumahnya. Ya ampun, aku rasa aku mulai gila.

Lima belas menit kemudian, kami sampai di rumah Andros. Ayah dan Ibunya Andros, Om Dharma dan Tante Ellis, sangat baik terhadapku. Dan kejutannya, mereka mengetahui hubunganku dengan Andros. Aku sangat bahagia sampai tak bisa bernapas.

Mereka mengajakku mengobrol sebentar, mengagumi wajahku yang cantik. Aku harap mereka tidak mengada-ngada atau sekadar mencari bahan obrolan.

Jadi, di sinilah aku. Tepat di depan kamar Andros. Sudah sekitar sepuluh menit aku berdiri di sini, sama sekali tak berani mengetuk. Tadi, Tante Ellis menyuruhku untuk menemui Andros karena takut aku akan bosan mendengar percakapan orang tua. Jelas saja aku bosan. Yang benar saja, soal korupsi lagi?

Aku menempelkan buku-buku jariku pada pintu kamar Andros, tapi tak berani menggerakkannya. Dadaku berdebar keras sekarang. Tahu-tahu, aku merasakan tangan seseorang di bahuku.

" Huaa!!" sahutku kaget. Ternyata hanya Mbak Sumi, asisten rumah tangga Andros, yang membawakan sirop dan kue-kue.

" Maaf! Kaget, ya, Mbak? Mbak ngapain di sini? Nggak masuk? Saya mau membawakan ini& . "

" Biar saya aja yang bawa, Mbak. Saya sebentar lagi juga mau masuk, " kataku sambil mengambil alih nampan yang dibawa Mbak Sumi.

Mbak Sumi memohon diri, lalu menghilang di tangga. Aku menghela napas lega. Ya ampun, mengagetkan saja. Sekarang, aku tidak punya pilihan lain. Aku harus segera masuk karena nampan ini lumayan berat.

Kamar Andros wangi sekali. Wangi cowok. Wangi Beneton-nya. Aku tidak mengetuk karena kedua tanganku kupakai untuk memegang nampan. Untuk membuka pintu saja, aku harus bersusah payah dengan sikutku. Andros membelakangiku, tampak sedang belajar.

Setelah mengumpulkan keberanian, aku berdeham kecil. Andros berbalik dan menatapku. Dia bengong se saat, tapi tersenyum melihatku dan nampan yang sama konyolnya.

" Cher? Ngapain lo? Kerja paruh waktu di rumah gue?" tanya Andros sambil membantu mengambil nampan dari tanganku.

Aku cemberut, berlagak merajuk.
Me And My Prince Charming Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Serius, ngapain lo di sini?" Andros kembali duduk di kursi belajarnya. " Emang kalo mau ke rumah lo harus ada tujuan, ya?" Aku duduk di tempat tidurnya.

Andros menghela napas, berbalik, kemudian kembali berkutat dengan buku-bukunya. " Ya nggak gitu, sih. Cuma gue lagi belajar. Kalo mau dateng harusnya hari Sabtu aja, jadi lo nggak dicuekin. "


Roro Centil 16 Tiga Siluman Bukit Hantu Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur Mushasi Karya Eiji Yoshikawa

Cari Blog Ini