Ceritasilat Novel Online

Me And My Prince Charming 3

Me And My Prince Charming Karya Orizuka Bagian 3

Aku menatap punggung Andros, mencoba menebak bagaimana ekspresinya sekarang.

" Bonyok gue tiba-tiba ngajak gue ke sini. Katanya mereka mau ngobrol sama bonyok lo, " kataku sambil meraih bantal dan memeluknya. Bantal yang sering digunakan Andros.

Andros tidak menjawab maupun berkomentar. Dia masih sibuk dengan bukunya.

" An, emang gue boleh ya, ke sini lagi?" tanyaku, berharap dia akan bilang ya . Tapi yang terjadi adalah& tidak ada. Andros bergeming. Aku menghela napas.

Tiba-tiba, aku teringat pada Namie. Aku belum memberi tahu Andros bahwa Namie datang ke sekolah tadi siang. Aku ingin tahu apa sebenarnya hubungan Namie dengan Andros.

" An, tadi siang gue ketemu sama.& "

" Cher, sorry nih, cuma gue harus bener-bener belajar. Sorry ya. " Andros memutar kursinya, lalu menatapku dengan pandangan memohon. " Gini aja,

sebentar lagi gue selesai. Lo tunggu sebentar. Abis itu, lo boleh ngobrol apa aja sama gue. "

Ingin rasanya aku menepuk jidatku sendiri. Harusnya, aku tak mengganggunya belajar. Aku ini bodoh benar, aku kan juga ingin pacarku lulus.

" Oke!" sahutku, sambil memberikannya senyuman. Andros langsung membalasnya, lalu kembali membelakangiku dan mulai menulis lagi.

Aku melayangkan pandanganku ke sekeliling kamar Andros. Benar-benar kamar laki-laki. Poster Ragnarok di dinding bagian kanan, Hoobastank, Metallica, dan kawan-kawan bertato di dinding bagian kiri, tim basket kesukaannya New Jersey Nets dan Jason Kidd di dinding belakangku, dan Natalie Imbruglia di hadapan Andros.

Piala-piala berbagai turnamen basket menghiasi lemari buku tepat di hadapanku. Aku beranjak mendekati rak buku itu. Ternyata, Andros suka roman juga. Selain itu, dia mengoleksi novel karya Agatha Christie. Di bagian atas yang berbahasa Indonesia, di bawahnya yang berbahasa asli.

Dia juga ternyata mempunyai koleksi buku trilogi he Lord of he Rings. Kurasa hal inilah yang membedakan Andros dan Adit. Adit bisa-bisa bersin jika disodorkan buku seperti ini.

" Ng& An?" tanyaku hati-hati. " Gue ganggu sekalii& aja. Abis itu gue nggak ngomong lagi, swear!" kataku.

Berhasil. Andros berbalik dengan pensil di mulutnya. " Apaan?" tanyanya, tanpa berkesan kesal.

" Gue boleh pinjem buku, nggak?" tanyaku.

" Pake nanya segala. Ambil aja. Kalo perlu bawa pulang, " kata Andros, lalu berbalik lagi.

Aku nyengir, lalu mengambil sebuah buku Torey Hayden berjudul Jadie. Setelah kubaca sedikit, aku kembalikan lagi ke rak. Kemudian, aku mengambil sebuah buku yang sudah sedikit tua. Karya Agatha Christie yang berjudul Murder on he Orient Express.

Aku kembali duduk di tempat tidur Andros. Baru ketika aku hendak membuka buku itu, Andros berbalik lagi.

" Ada perlu lagi? Mau tanya apa bukunya boleh dibuka?" canda Andros. " Nggak, " kataku sambil tertawa.

Andros tersenyum, lalu kembali belajar.

Sejenak, aku memandangi punggung Andros yang tampak begitu lebar dan kuat, lalu berkonsentrasi pada buku yang kupegang.

Dilihat dari tanggal yang dibubuhkan Andros, buku ini sudah berumur lima tahun, tapi masih layak dibaca. Aku membaca halaman pertamanya. Tapi, tiba-tiba mataku tertumbuk di halaman ke sekian, yang sedikit terpisah karena ada semacam pembatas buku. Mungkin Andros membaca sampai di situ.

Aku membuka halaman yang ada pembatas bukunya, lalu mendapati sehelai kertas putih bertuliskan sesuatu. Sesuatu yang membuatku ingin pingsan. Tidak, ingin mati. Tulisan itu berbunyi Namira and Andromeda- Love 4 eva .

Namira? Siapa ya? Aku mengambil kertas itu, lalu menyadari ada sesuatu di baliknya. Aku segera membalik kertas itu.

Ternyata, yang sedang kupegang bukanlah kertas, melainkan foto. Foto Andros dengan Namie. Mereka tampak sangat mesra. Namie memeluknya sangat erat dari belakang sehingga wajah mereka menempel satu sama lain.

Tanganku gemetar hebat. Aku seperti kehilangan seluruh tenaga yang ada di tubuhku dan terperosok ke jurang yang tak berdasar.

Andros dan Namie. Berpacaran. Atau pernah berpacaran. Atau masih berpacaran. Entahlah, aku sudah tidak bisa berpikir lagi. Aku menggigit bibirku sekuat yang aku bisa, tidak peduli kalau bibirku robek lagi. Hatiku sangat sakit, dan pecah berkeping-keping seperti kaca yang terhempas di lantai. Ini adalah mimpi terburukku.

Air mataku memang belum keluar, tapi akan keluar setelah aku melepaskan bibirku.

" Selesai!" Andros tahu-tahu menyahut.

Aku bangkit dan cepat-cepat menyelipkan foto itu kembali ke buku dan meletakkannya asal di rak buku.

" Nah, sekarang lo mau ngomong apa?" tanya Andros sambil bangkit dan memijat-mijat tangannya yang pegal.

Aku sudah tak bisa berkata apa pun. Aku sangat hancur. Andros tak pernah mengatakan apa pun tentang Namie. Dan tiba-tiba, aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku sedang dipermainkan. Atau dikhianati. " Cher? Lo kenapa?" tanya Andros.

Tak bisa. Aku tak bisa lagi memaakannya dengan hanya menatap wajahnya. Semua hal ini sudah keterlaluan.

" Gue& pulang aja, An, " kataku sambil secepat mungkin berderap keluar dari kamarnya, tanpa menghiraukan panggilannya.

Aku segera mengajak Papa dan Ibu yang sedang mengobrol dengan ayah dan ibunya Andros untuk pulang. Mereka sama bingungnya dengan yang lain, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin cepat-cepat pergi dari sini dan melupakan segalanya.

Sekarang, aku tahu alasan Andros tak pernah peduli padaku. Dia peduli pada orang lain.

" Lo kenapa, Cher?" tanya Adit begitu kami bertemu di lantai dua rumahku. Adit tampak sedang belajar matematika.

Aku segera duduk di sofa dan menumpahkan segala kekesalanku. Adit juga tidak apa-apa, yang penting manusia. Aku sangat butuh seorang manusia untuk mendengarkan aku saat ini, bukan komputer ataupun ponsel.

Aku segera menceritakan apa yang terjadi di sekolah ketika aku bertemu dengan Namie dan di rumah Andros ketika aku menemukan fotonya dengan Namie. Tapi Adit tidak tampak heran. Dia hanya menghela napas. " Akhirnya lo tahu juga, " kata Adit sambil bersandar ke sofa. Aku membelalakkan mataku. Jadi, Adit tahu?

Adit menangkap ekspresiku. " Namie itu& mantan pacarnya Andros. " Aku menatap Adit lekat-lekat. Mantan pacar. Belum berarti aku aman. " Ng& lo bener-bener mau denger cerita ini?" tanya Adit, tampak tidak yakin dengan ekspresi wajahku.

Aku mengangguk mantap. Aku sangat ingin mengetahui lebih lanjut tentang kehidupan Andros dulu. Aku sadar ternyata aku tidak tahu sama sekali tentangnya. Sama sekali tidak tahu.

" Namie itu cinta pertamanya, " kata Adit tanpa memberiku waktu untuk bersiap-siap.

Aku menggigit bibirku lagi. Cinta pertama terdengar menyakitkan bagiku. Dan jelas bukan awal yang baik.

" Namie itu kakak kelas kita dulu di SMP. Dia ikut basket juga, sama kayak Andros. Andros dulu orangnya pemalu, sampe akhirnya si Namie bisa bergaul sama dia dan ngubah dia jadi orang yang sama sekali beda. Andros sekarang udah tahu caranya bergaul, dia nggak kuper lagi kayak dulu. " Adit menarik napas dan melanjutkan ceritanya, " Mereka ke mana-mana selalu bareng. Akhirnya, mereka jadian. Andros jadi lebih periang sejak saat itu.

Tapi waktu Namie kelas satu SMU, dia memutuskan pindah ke New York tanpa ada penjelasan. Dia ninggalin Andros begitu aja. Padahal Andros udah percaya dan cinta setengah mati sama Namie. Sejak itu, Andros nggak mau lagi pacaran sampe dia ketemu elo. "

Entah kenapa aku sama sekali tidak senang Adit berkata demikian. " Tapi dia nggak nganggep gue pacarnya!" sahutku.

" Cher, lo harus ngerti, dia nggak semudah itu bisa ngelupain Namie! Mungkin dia takut bakalan kehilangan orang yang dicintainya lagi! Makanya dia jaga jarak sama lo. " Adit mengelus-elus punggungku yang sudah berguncang.

" Tapi Dit, Namie sekarang udah balik, Andros pasti lebih milih Namie daripada gue& . "

" Kata siapa gue lebih milih dia daripada elo?" sahut seseorang. Aku segera memutar tubuhku dan mendapati Andros di tangga. Dia tampak sangat marah.

" Tapi dia cinta pertama lo, kan?" sahutku sambil terisak. " Emang, tapi biasanya jarang kan, cinta pertama yang berhasil? Pasti ada cinta kedua dan selanjutnya, kan? Gue lebih percaya sama cinta terakhir daripada cinta pertama, " kata Andros lagi, sambil bergerak mendekatiku.

Ya Tuhan, dia cakep sekali. Tapi aku tidak akan membiarkan diriku terluka lagi.

" Tapi gimanapun lo pasti masih ada rasa sama dia, kan?" Andros menatapku tajam. " Nggak ada, " sahutnya. " Dia udah berbuat kesalahan dengan pergi begitu aja. Gue udah ngelupain dia. " Aku terisak semakin hebat. Andros menatapku serba salah. " Tapi An, Namie udah ada di sini. Dia balik, " kataku. Berat sekali mengatakannya, tapi bagaimanapun, mereka pasti akan bertemu.

Andros menatapku tak percaya. " Dia& ada di sini?"

Aku mengangguk. " Dia nanyain lo tadi siang. Lo pasti bakal balik sama dia, kan? Jawab, An!"

Andros menatapku lagi. Entah apa yang dipikirkannya.

Sekarang, aku sudah pasrah. Seharusnya aku sadar, percuma saja berpacaran dengan Andros. Dari dulu aku sudah menyadari ada yang tidak beres. Dia sama sekali tidak mencintaiku karena dia punya cinta yang lain. Cinta pertamanya. Dan aku tidak bisa berbuat apa pun tentangnya.

Aku pasti akan diputuskan malam ini. Lalu, Andros akan mengejar Namie.

" Nggak. Dia masa lalu, " kata Andros akhirnya, membuatku terkejut. Aku sangat-sangat-sangat terkejut.

" Apa? Tapi& lo... foto itu masih lo simpen.... "

" Gue bahkan nggak tahu foto itu masih ada. Udah gue buang. " " Tapi kalo lo ketemu dia besok& . "

" Gue nggak akan terpengaruh, " tandas Andros. " Dan gue udah pernah bilang kalo gue benci liat lo nangis. Gue nggak pengin liat lo nangis lagi. " Andros pun mengusap air mata di pipiku.

Tanpa pikir panjang lagi, aku segera mengham bur ke pelukannya. Aku tak peduli jika dia menganggapku murahan atau apa.

Andros memilihku. Andros memilihku daripada cinta pertamanya yang sangat cantik. Aku tak bisa lebih bahagia dari ini. Sungguh tak bisa.

Letting Go

Semalam, Andros menungguiku sampai aku tertidur di kamarku. Dia sangat manis. Aku tak akan bisa melupakan pelukan pertamaku dengannya. Dia begitu hangat dan membuatku merasa nyaman.

Walaupun begitu, ada sesuatu yang menggangguku malam itu. Ketika aku memutuskan untuk berpura-pura tertidur, Andros tampak memikirkan sesuatu. Dia hanya menatap kosong keluar jendela kamarku. Dan sepertinya, aku tahu apa yang dipikirkannya. Dia memikirkan Namie, cinta pertamanya yang datang untuk pertama kali sejak mereka putus.

Memang sih, Andros sudah memilihku, tapi aku belum merasa aman. Apa pun bisa terjadi jika Andros bertemu dengan Namie hari ini.

Tapi aku percaya. Aku percaya pada Andros. Aku ingin sekali percaya padanya. Entahlah.

" Ngelamun aja, " sahut Alfa, mengejutkanku. " Gambar apaan, tuh?" tanyanya sambil memandang kanvasku.

Memang tidak ada apa-apa di sana, hanya warna-warna kelam yang aku sapukan asal saja. Aku sedang tidak punya hasrat untuk melukis. Aku ingin hari ini cepat berlalu dan Andros memberiku kabar baik bahwa dia sudah menolak Namie dan Namie akan kembali ke New York dengan penerbangan pertama besok pagi.

" Hoi! Bengong lagi, " kata Alfa.

" Ah, sorry. Lagi banyak pikiran, nih, " kataku, lalu membereskan seluruh perlengkapanku.

" Oh. " Alfa mengangguk-angguk. " Oya, Cher, lo masih inget kan, sama kejutan yang gue bilang kemaren-kemaren?"

Aku mengangguk. Aku ingat yang Alfa bicarakan tempo hari. Semoga saja kejutan ini bisa mencerahkan hatiku, walaupun aku tidak begitu yakin.

" Gue kasih tahu kalo waktunya tepat, " kata Alfa sok misterius. Bukannya cerah, hatiku malah jadi semakin kelabu. " Bentar lagi, kok, " sambungnya.

" Kalo gitu nggak usah pake ngomong segala, " gerutuku, lalu membawa semua peralatanku sekaligus.

" Udah, sini gue bawain. " Alfa menarik semua peralatan melukis itu dari pelukanku. " Tapi gue mau di sini sebentar lagi. Ntar gue anterin ke kelas lo. "

Aku tersenyum padanya, berterima kasih. Aku segera melangkah ke luar kelas seni, melewati lapangan basket. Tampak tim basket sekolah kami sedang berlatih. Aku memanjangkan leher, mencari-cari Andros.

Ah, itu dia. Andros baru beres berlatih dan sedang berjalan ke kantin. Tapi tunggu dulu. Namie ada di gang semak rumput di depan Andros. Cewek itu memanggil Andros.

Aku segera bersembunyi karena aku berada di dekat mereka. Kami hanya terpisah semak-semak. Sedapat mungkin, aku berusaha tidak terlihat.

Aku mengintip ke arah Andros. Andros masih ce lingukan mencari-cari sumber suara. Namie me manggilnya lagi, kali ini lebih keras. Setengah mati, aku berharap Andros tidak mendengar dan pergi begitu saja. Tapi harapanku sia-sia. Andros akhirnya melihatnya. Bagaimanapun, mereka pasti akan bertemu juga.

Hatiku serasa ditusuk berbagai macam benda tajam ketika melihat sorot mata Andros yang tak pernah kulihat sebelumnya. Andros menatap Namie nyaris penuh kerinduan. Dia menatapnya selama kurang lebih tiga puluh detik, menghela napas, lalu maju mendekatinya. Namie menatapnya lekat-lekat.

Ya Tuhan, aku baru menyadari betapa cocoknya mereka. Aku menggigit bibirku lagi. Aku tak mau ketahuan. Aku tak mau disangka penguntit. Bukan mauku ada di sini.

" An& , " kata Namie lembut.

Andros menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. Tapi dia tidak mampu melakukannya lama-lama karena sekarang, dia sudah kembali menatap Namie.

" Apa kabar?" tanya Namie seolah tidak terjadi apa pun.

Andros menghela napas. " Lumayan. Ngapain lo ke sini lagi?" sahut Andros ketus.

Aku sangat senang Andros bisa menepati janji.

Namie tampak sangat kecewa. " Lo masih marah sama gue, An?" " Lo masih berani tanya apa gue marah sama lo? Lo ninggalin gue!!" sahut Andros emosi. " Lo ninggalin gue begitu aja tanpa ada penjelasan! Lo nggak pernah ngasih gue kabar! Gue bahkan nggak tahu lo masih hidup atau nggak! Lo udah ngebuat gue khawatir selama tiga tahun terakhir, mikirin apa lo baik-baik aja! Sekarang lo tanya gue, apa gue masih marah sama lo?!"

Aku tak pernah melihat Andros semarah ini. Wajahnya menegang dan urat di dahinya sampai timbul. Aku sudah mengetahuinya. Andros sama sekali belum bisa melupakan Namie. Apa yang dikatakannya kepadaku adalah bohong.

Dia masih mencintai Namie. Andros masih mencintai Namie. " Maain gue, An& . "

" Maaf ? Maaf lo bilang? Apa cukup dengan minta maaf ? Sekarang kenapa lo balik lagi, hah? Kenapa lo nggak selamanya di sana?" sahut Andros lagi. " An, gue& . "

" Lo udah ninggalin gue, ngebiarin gue sendirian selama tiga tahun, sementara lo di sana senang-senang!"

" Gue kena kanker, An!!" jerit Namie histeris.

Andros menghentikan amarahnya. Dia menatap Namie tak percaya. Aku sendiri menekap mulutku. Kanker.

" Apa? Lo apa!?" tanya Andros, tak percaya pada pendengarannya. " Gue kena kanker otak! Makanya gue ke Amerika untuk pengobatan selama tiga tahun! Gue nggak bilang-bilang karena gue nggak mau lo khawatir!" sahut Namie. Air mata sudah membasahi pipi mulusnya.

Andros menatap Namie nanar. " Kenapa lo nggak bilang gue sebelumnya? Kenapa? Kenapa lo nanggung beban ini sendiri, Nam, kenapa??"

" Gue& gue takut kehilangan elo, An. Gue sangat takut lo mutusin gue yang penyakitan! Gue berusaha untuk sembuh demi lo& tapi ternyata, gue kehilangan lo juga, " kata Namie, lalu terisak.

Air mataku juga sudah mengalir sangat deras. Aku sudah tak punya harapan lagi. Namie putus dengan Andros karena dia sakit, bukan karena dia ingin meninggalkan Andros. Aku tak bisa memaksa Andros untuk bersamaku lagi.

Andros menatap Namie yang tampak terguncang dan lang sung menariknya ke pelukan. Pelukannya sangat erat, seakan tak mau Namie pergi ke mana pun lagi.

Aku menekap mulutku, berusaha agar suara tangisku tak terdengar. Aku sangat hancur. Andros tak pernah memelukku seperti itu. Ini jelas membuktikan sesuatu. Andros lebih mencintai Namie lebih daripada aku. Itu pun kalau Andros pernah mencintaiku. Aku sekarang sama sekali tak yakin.

Lalu& Andros mencium kepala Namie dengan penuh rasa sayang. Rasanya tak ada gunanya lagi aku hidup. Sungguh.

Jadi, aku memutuskan untuk menyudahi menonton adegan ini. Aku mengendap-endap, merangkak men jauhi semak itu. Orang-orang mungkin terheran-heran melihatku melakukan itu apalagi dengan air mata membanjiri wajahku. Aku tiba-tiba berhenti saat melihat sepasang sneakers di depanku, lalu mendongak. Alfa sedang menatapku heran.

" Lo lagi ngapain sih?" tanya Alfa sambil membantuku berdiri. " Gue cariin di kela& . "

Perkataan Alfa terhenti saat melihatku terisak. Aku tahu, aku tak akan berhenti menangis. Alfa menatapku serba salah, lalu mengeluarkan sapu tangannya. Aku menatapnya selama beberapa saat.

" Belum gue pake, " kata Alfa, salah mengartikan tatapanku. Aku mengambilnya untuk mengelap air mataku. Tapi lebih banyak air mata keluar. Aku benar-benar sangat rapuh sekarang. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan.

Alfa menepuk-nepuk bahuku. " Cher? Lo kenapa sih?"

Aku tak punya pilihan, selain menceritakan bahwa Andros ternyata memilih Namie. Aku tidak menyalahkan siapa pun atas kejadian ini. Aku hanya menyalahkan diri sendiri karena telah mengambil keputusan untuk berpacaran dengan Andros, bahkan setelah tahu dari awal kalau itu akan menjadi hubungan yang sangat sulit. Ya, aku yang salah. Aku yang bodoh.

Alfa membawaku ke kelas seni dan menenangkan aku dengan segelas air. Aku sama sekali tak menyentuhnya. Aku tak mau apa pun saat ini. Aku hanya ingin terbangun dari mimpi buruk ini. Aku ingin hidup di dunia nyata lagi, di mana aku masih sendiri dan belum mengenal Andros.

" Bukan salah lo, " kata Alfa tenang setelah mendengar semua ceritaku. Aku menatapnya.

" Andros yang plin-plan. "

" Tapi Namie kanker, Fa. Gue bisa nerima alasan apa pun, selain kanker! Bukan salah Namie dia kena kanker! Dia juga menderita, Fa, dan penderitaan dia nggak sebanding dengan gue, " kataku.

" Lo emang cewek baik, Cher. Masih aja mikirin orang lain. " Alfa merangkulku.

Aku bisa menangis sepuas mungkin di dadanya. Selalu Alfa yang datang mencerahkan hatiku. Selalu dia.

Aku tiba-tiba rindu pada Maya.

Aku melangkah gontai ke luar gerbang sekolah. Aku ingin secepatnya sampai di rumah untuk mengecek kotak masuk e-mail-ku. Aku sudah mengirim e-mail kepada Maya lewat ponsel, tapi setelah itu baterainya habis.

Aku sudah tak punya kekuatan lagi untuk menangis. Aku sudah lelah. Entah mengapa, hatiku pun sudah sedikit mulai tenang, hingga muncul ilusi kalau aku bisa mengatasi ini. Tapi lebih tepatnya sih, aku pasrah.

Harusnya, aku membiarkan Andros hidup tenang dan tak mengganggunya dengan segala permintaanku. Harusnya, aku membiarkan Andros datang ke rumah hanya untuk bermain dengan Adit, tanpa harus merasa kesal. Harusnya, aku tidak pernah pacaran dengan Andros.

Meskipun demikian, sebagian kecil hatiku berkata lain. Aku tidak menyesal. Walaupun aku lebih banyak disakiti, lima bulan terakhir adalah waktu yang paling membahagiakan dalam hidupku.

Langkahku tertahan. Ada Andros. Di depanku. " Hai, " sapanya kaku sambil memaksakan senyum.

Hai? Setelah semua yang terjadi? Oh, aku lupa. Andros kan tidak tahu aku telah melihatnya dengan Namie.

Aku mengangguk dan menarik napas panjang. Kali ini aku siap. Sangat siap. " Gue mau ngomong, " kata Andros pelan.

Dari wajahnya, aku tahu apa yang akan dia bicarakan.

" Tadi& gue udah ketemu Namie. "

" Gue tahu, " potongku, tak ingin mendengar lebih banyak. Aku sudah melihatnya sendiri. Tak perlu mendengarnya lagi melalui sudut pandangnya.

" Lo tahu?" tanya Andros heran.

" Gue ada di sana, " kataku, merasa jauh lebih kuat. Maya, pinjamkan rohmu sebentar saja.

" Apa? Lo di sana? Jadi lo.& "

" Gue liat semuanya. Gue denger semuanya. Namie kanker, kan? Makanya dia ninggalin lo?"

Andros menatapku tajam. " Cher& . "

" An, gue bisa ngerti, sungguh, " kataku pelan. Kali ini, aku tidak mengeluarkan air mata sedikit pun. Aku setengah mati berjuang menahannya. " Gue nggak apa-apa kok, kalo lo balik lagi sama dia. "

Andros masih menatapku, lalu menggelengkan ke pala nya pelan. Tapi aku terus bicara.

" An, nyokap gue dulu kena kanker. Percaya deh, ditinggalin itu rasanya sangat menyakitkan. Dan gue nggak mau itu terjadi sama lo. Gue udah pernah bilang kalo cinta pertama itu nggak bakal hilang begitu aja, kan? Gimana juga lo pasti masih sayang sama dia. Apalagi dia pergi bukan karena dia pengin pergi, " kataku. Berat rasanya membela seseorang yang bukan diriku sendiri. Tapi, aku melakukannya karena aku tak punya hak apa pun lagi atas Andros.

Andros terdiam sambil menatapku. Aku berusaha menikmati saat-saat ini, saat Andros menatapku sebagai pacar untuk yang terakhir kalinya. " Cher, maain gue& . "

Akhirnya. Akhirnya, kata-kata itu terlepas juga dari mulutnya. Kata-kata yang menandakan bahwa dia telah menyerah atas aku dan kembali pada Namie. Hatiku sangat sakit melihat Andros mengatakannya dengan wajah terluka. Melihat wajah itu aku jadi ingin menarik semua kata-kataku tadi dan berjuang untuk mendapatkannya kembali. Kenapa sih, dia tidak mengatakan sesuatu yang lebih menyakitkan supaya aku bisa melupakannya?

" Gue nggak nangis kan, An?" kataku sambil tersenyum. Padahal hatiku begitu rapuh. Mungkin, bendungan air mataku sebentar lagi akan roboh. Tapi aku terus menahannya.

Sekarang, tatapan Andros berubah putus asa. Kalau saja masalah Namie ini hanya soal sepele, aku pasti sangat bahagia Andros menatapku seperti itu. Tandanya, dia peduli padaku. Tapi ini lain. Kami tak akan berbaikan lagi setelah ini.

" Lo bilang lo paling benci liat gue nangis. Sekarang lo nggak usah khawatir lagi! Karena gue sekarang adalah Cherry yang benar-benar berbeda! Gue akan lebih dewasa! Supaya gue nggak nyusahin siapa-siapa lagi!" Aku berusaha tampak ceria dengan tersenyum lebar, tapi sepertinya berlebihan karena Andros masih memandangku dengan tatapan itu.

" Gue harap lo sama Namie bahagia, ya! Kalo perlu, lo nggak usah ceritacerita soal kita sama dia! Nanti dia bisa sedih. Lagian nggak ada yang patut diinget. " Aku menjulurkan lidah. " Ya udah, gue balik dulu. Ntar bonyok marah. " Aku melangkah pergi dan melambaikan tangan kepada Andros. " Oh ya, " sambungku sambil berbalik, " UAN-nya sukses, ya!"

Aku mengedip, lalu berlari secepat mungkin menjauhi Andros. Air mata sudah membasahi pipiku.

Aku tidak tahu apa yang baru saja aku lakukan. Aku tidak tahu apa yang baru saja aku katakan. Aku benar-benar tidak tahu. Yang aku tahu, aku

mengorbankan perasaanku sendiri dengan mengatakan hal-hal yang sama sekali tidak ingin aku katakan. Demi melihat orang yang aku sukai bahagia.

Sekarang, aku bukan lagi cewek yang tak berguna. Sepertinya, aku sudah dewasa. Tapi bahkan kata dewasa terdengar buruk bagiku.

Kalau begini caranya orang menjadi dewasa, aku selamanya ingin menjadi anak-anak.

" Ya ampun Cher, gue minta maaf. "

" Nggak apa-apa, lagi, " kataku, berusaha menjadi Cherry yang tadi siang. Maya meneleponku dari Venezuela begitu membaca e-mailku.

" Nggak usah pura-pura kuat, " kata Maya, membuat pertahananku runtuh lagi.

" Habis gue harus gimana, May? Nggak adil kan, kalo gue harus ngerebut Andros? Namie nggak punya salah apa-apa. "

" Lo emang terlalu baik. Kalo gue, gue nggak peduli. Suruh aja Andros milih. "

" Gue nggak mau nyuruh Andros milih. Dia udah cukup pusing dengan semua masalahnya. Gue mempermudah dia, kan?"

Alasan lainnya adalah, kemungkinan besar Andros tidak akan memilihku. Selain sehat walaiat, aku tidak lebih cantik daripada Namie. Ditambah lagi, aku bukan cinta pertamanya.

" Ah elo. Dari dulu emang tukang ngalah, " gerutu Maya. " Gue nggak nyangka semua berakhir kayak begini. "

" Siapa yang sangka?" komentarku.

Maya terdiam sejenak. " Ng& Cher, lo nggak sedih?"

" Nggak. Kenapa harus sedih? Life goes on, Maya, " kataku dengan suara riang dibuat-buat.

Maya mendesah. " Ya udah deh kalo gitu. Yakin lo nggak apa-apa?" " Seratus persen!" sahutku.

" Ya udah, baik-baik ya. Bubbye. " Maya menutup teleponnya. Ya ampun, Maya, tentu saja aku tidak baik-baik saja. Aku hancur.

Namun, aku sudah bertekad tak mau menyusahkan siapa pun lagi. Aku tak mau membuat siapa pun khawatir lagi. Aku akan menjadi Cherry yang baru. Cherry yang dewasa. Cherry yang tegar.

Yah, mulai besok saja. Karena sekarang, aku sudah mulai menangis lagi.

Aku menarik napas panjang, lalu melepaskannya dengan cepat. Aku harus semangat!

Setelah mengangguk mantap, aku melangkah ke kantin, menuju meja yang sudah ditempati Andros dan Adit. Dari kejauhan, mereka tampak memandangku khawatir.

" Halo semua!" sahutku, berusaha sewajar mungkin. Aku duduk di kursi biasa, di depan Andros, lalu melambai ke arah tukang bakso langgananku dan memesan satu mangkuk.

Andros menatapku dingin sementara aku tersenyum kepadanya. Ya Tuhan, sangat tidak mudah melakukannya. Aku hampir menangis lagi.

" Kenapa? Ayo pada makan lagi. " Aku menyambar minuman Adit dan menyeruputnya.

Adit dan Andros berpandangan sebentar, lalu kembali makan walaupun tidak terlihat berselera. Tampaknya ada sesuatu yang terjadi antara mereka karena sepanjang makan mereka tidak berbicara sepatah kata pun. Biasanya mereka sibuk mengobrolkan Winning Eleven atau apa lah. Setelah selesai makan, Adit bahkan tidak mengatakan apa pun kepada Andros dan langsung pergi.

Sekarang, hanya tinggal aku dan Andros. Aku tak mau begini. Bisa-bisa, aku menangis lagi. Dan itu berarti aku belum berubah.

" Kenapa ya, dia?" Aku mencoba mencairkan suasana. Padahal yang aku ingin tanyakan adalah bagaimana hubungannya dengan Namie. " Marah sama gue, " jawab Andros singkat.

Aku tahu Andros menatapku, tapi aku mendadak jadi tertarik pada bakso di mangkukku.

" Oh ya? Kenapa?" Bodohnya aku. Seharusnya aku tidak menanyakan ini. " Karena elo, " jawab Andros, membuatku terdiam beberapa saat. " Oh, " kataku sambil mengangguk-angguk, seakan aku baru saja bertanya kabarnya.

Andros tidak berkomentar lagi. Dia juga sudah tak berminat pada saladnya.

Aku tidak menyangkal. Aku senang bisa berada di dekat Andros lagi, walaupun sekarang hubunganku dengannya sudah tak berstatus. Tapi di dalam hatiku, aku sangat terluka dengan kelakuanku sendiri.

Tiba-tiba, Adit muncul kembali dan segera mengajakku pergi. Aku, yang belum menghabiskan baksoku, tidak mau beranjak dari kursi. Aku ingin sebentar lagi bersama Andros.

Detik berikutnya, aku tahu apa alasan Adit memaksaku pergi. Seorang cewek cantik memasuki kantin dengan anggun, tampak kentara karena hanya dirinya satu-satunya yang tidak mengenakan seragam. Namie. Tuhan, biarkan aku menghilang sekarang juga.

Andros menatap Namie heran, lalu melirikku. Aku tahu aku tidak boleh terlihat kaku. Aku sudah menjadi Cherry yang berbeda. Cherry yang dewasa.

" Hai!" seruku pada Namie, mengagetkan semua orang terutama Adit dan Andros.

" Hai Cherry!" balas Namie, lalu mencium kedua pipi kiriku. Aku mencoba tersenyum selebar mungkin walaupun otot pipiku terasa kaku.

" Eh An, kamu udah kenal sama Cherry, ya?" tanya Namie sambil duduk di sebelah Andros.

Tatapanku dan Andros bertemu sesaat. " Andros sahabat kakak gue, " sambarku cepat.

Namie segera melotot kepada Adit. " Dit! Lo punya adik, tapi nggak pernah ngasih tahu gue?" sahutnya, seolah terluka.

" Adik tiri, " kata Adit singkat, tapi sama sekali tidak membuatku kesal. Adit sedang marah. Aku bisa melihat itu dari wajahnya yang menegang.

" Oh, " kata Namie. " Tapi manis juga! Aku heran kamu nggak pacaran sama Cherry selama aku tinggalin, An! Segitu setianya ya, kamu sama aku?"
Me And My Prince Charming Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maksud Namie memang bercanda, tapi pengaruhnya sangat besar pada kami semua. Andros tiba-tiba menyemburkan Pocari yang sedang diminumnya. Aku menjatuhkan garpu ke mangkukku yang mengakibatkan kuahnya menciprat ke mana-mana. Adit tiba-tiba menabrak meja. Namie bengong melihat semua itu terjadi dalam waktu yang bersamaan.

" Becanda, kok. " Namie tertawa renyah.

" Mana mungkin Andros suka sama cewek kayak gue, " kataku, lalu ikut tertawa.

Aku melirik ke arah Andros, yang tidak tertawa sama sekali. Dia menatap dingin ke arahku. Jadi, aku segera menunduk.

" Eh, An, ntar sore kamu temenin aku jalan, ya? Kan udah lama kita nggak jalan, " kata Namie manja.

Aku ingin sekali menyumbatkan kapas ke telingaku.

" Oh, terserah kamu deh, " kata Andros, membuatku tambah sakit hati. Andros memanggilnya kamu . Dia memanggilku elo .

Ya ampun, kenapa aku masih juga memikirkan hal-hal seperti ini, sih? Aku kan bukan siapa-siapanya.

Seakan semua belum cukup buruk, Alfa datang. Sebenarnya Alfa tidak buruk sih, cuma waktunya saja tidak tepat.

" Ng& lagi ada apaan nih?" tanya Alfa kepadaku. Dia memandang Namie, lalu memandangku penuh selidik.

Aku balas memberinya tatapan dia-lah-orangnya.

" Halo. " Namie menyodorkan tangannya yang segera dijabat Alfa. " Namie, " kata Namie manis.

" Alfa, " kata Alfa sedikit kaku.

" Wah, pacarnya Cherry ya? Keren juga, " kata Namie genit. Untuk kedua kalinya, aku, Andros, dan Adit salah tingkah. Sementara itu, Alfa dengan tenang menerimanya.

" Bukan!" sahutku. " Dia guru seni gue. "

" Oh. " Namie tampak kecewa sesaat, tapi tatapannya kembali ramah. " Tapi bentar lagi jadi cowoknya, kan?"

" Mungkin, " kata Alfa, membuat leher semua orang hampir patah karena menoleh kepadanya secara terlalu cepat.

Mungkin, katanya?? Bicara apa sih Alfa ini?

" Gue udah nembak, tapi dia nggak nerima gue, " lanjut Alfa, membuat semua orang semakin melongo. Mulutku sampai menganga karena ucapannya.

" Wah, lo bego Cher! Keren begini!" sahut Namie, lalu tertawa. Aku sendiri tidak tertawa. Aku melirik ke arah Andros, yang tampak sama terkejutnya denganku. Aku lalu melirik Alfa yang tampak kalem. Kenapa dia bohong segala, sih?

" Yah, Cherry kalo udah setia sama orang gitu, deh. Tapi gue nggak bakal nyerah, " kata Alfa lagi, sambil menepuk kepalaku dan menempatkan tangannya di sana.

" Bagus, bagus. " Namie tersenyum kepadaku.

Tidak bagus. Dua pendatang baru yang tidak bersekolah di sini merajai pembicaraan, tapi pembicaraan yang tidak kumengerti.

" Ng& Fa, bisa kita ngomong?" tanyaku, lalu tanpa persetujuannya, aku menggeret Alfa keluar kantin.

Alfa hanya tersenyum-senyum, membuatku semakin kesal. " Lo barusan ngomong apaan sih?" seruku begitu kami berada di luar jangkauan pendengaran Andros, Adit, dan Namie.

" Bagus kan? Lo nggak liat ekspresinya Andros? Jealous!" sahut Alfa. Aku terdiam. Ternyata, tadi Alfa membantuku.

" Udah nggak perlu, Fa! Gue udah nggak ada harapan lagi sama dia!" sahutku.

" Oh, gitu. Sori deh, gue cuma pengin godain dia. "

Aku menghela napas. " Dasar bego. Ngapain sih lo pake acara bilang udah nembak gue segala?"

" Nggak apa-apa. Emang kenapa?"

" Lo kan belum nembak gue! Maksud gue... lo nggak akan nembak gue, kan?" Aku menertawai pertanyaan bodohku barusan.

" Gue bakal nembak lo sekarang kalo lo mau, " kata Alfa, membuatku kaget setengah mati. Ekspresi wajahnya yang serius membuatku yakin kalau dia tidak sedang bercanda.

" Wah, lo becanda kan, Fa? Gue ke kelas dulu, ya? Matematika nih, " kataku, lalu melangkah kaku menuju kelas, menghindari tatapan Alfa. Alfa....

Aku tak pernah menyangka.

Ada apa dengan cowok-cowok cute di dunia ini?? Mereka sudah pada gila atau bagaimana??

Truth or Dare

Aku benar-benar tak tahu harus bagaimana. Perkataan Alfa tadi siang sangat mengganggu pikiranku. Sudah cukup semua masalahku dengan Andros, sekarang Alfa tiba-tiba mengatakan kalau dia menyukaiku. Yah, memang tidak tepat seperti itu sih. Dia hanya bilang kalau dia akan menembakku kalau aku meminta. Jadi di mana letak perbedaannya?

Ini benar-benar serius buatku. Alfa adalah pengganti Maya. Tempat aku mencurahkan segala isi hatiku. Tempat aku menyandarkan kepalaku.

Ya ampun, kalau dipikirkan sekarang, mengapa semua hal itu terasa memalukan?

Tapi dia selalu ada untukku. Yah, itu kata yang tepat untuk seorang Alfa. Dia selalu ada untukku, kapan pun aku membutuhkannya. Mungkin dia punya penangkap gelombang sedihku atau apa. Yang jelas, dia selalu datang ketika aku sedang dalam kesulitan.

Tapi semua itu tidak membuatku ingin menjadi pacarnya! Aku menyukainya, tapi sebagai teman dekat. Aku tidak pernah berpikiran untuk menjadikannya pacarku!

Memang sih dia sangat imut walaupun tak seimut Andros. Tapi, Alfa hanya cocok untuk menjadi seorang kakak. Benar. Kakak saja.

Aku segera bangkit dari tempat tidurku ketika mendengar suara dering ponselku. Alfa. Ya ampun, dia memang selalu ada untukku. Bahkan, ketika aku sedang tak ingin apa pun.

Aku mengangkatnya. " Ya?"

" Hei. Masih mikirin kata-kata gue tadi siang, ya?" sahut Alfa riang. " Ih, siapa juga, " elakku. Dasar sinting. Tentu saja aku memikirkannya. " Udah deh, jangan boong. Pasti mikirin kan? Mikirin juga nggak apa-apa, nggak ada yang ngelarang.... "

" Emang nggak apa-apa, tapi guenya yang ogah, " kataku, jual mahal. " Ngapain lo nelepon?"

" Nggak ada apa-apa. Gue cuma mau bilang kalo tadi gue becanda doang. Besok jangan ngehindar, ya?"

Alfa memang punya kekuatan membaca pikiran. Dia tahu aku pasti akan menghindarinya besok.

" Kok lo bisa tahu, sih?"

" Gue udah apal gelagat lo. Dua bulan cukup kok untuk tahu lo kayak gimana. Apalagi gue udah jadi tong sampah lo. "

Aku tertawa. Alfa memang sinting. Mana ada tong sampah seimut dia. Kalau ada, pasti tak akan kujadikan tong sampah.

Ng... atau mungkin kujadikan tong sampah saja.

" Ya udah deh, nanti jangan ngimpiin gue, ya, " kata Alfa, nadanya berharap.

" Tenang aja, lo nggak masuk datar. Bye. " Aku memutus hubungan. Aku pasti akan mimpi buruk. Aku sedang meletakkan ponselku di meja sebelah tempat tidur saat tanpa sengaja mataku tertumbuk pada buku-buku sketsa yang menumpuk di meja belajar.

Aku segera bangkit, lalu membuka salah satunya. Andros. Sedang melamun di pinggir lapangan. Setetes air mataku menitik membasahi gambar itu.

Andros. Walaupun sangat dekat, tapi aku merasa sangat jauh dengannya. Aku menarik napas, lalu mengembuskannya. Aku me mungut semua buku-buku itu, memutuskan akan membuangnya. Atau membakarnya. Atau apa saja yang bisa membuatku melupakan Andros.

Aku membuka pintu kamar, kemudian terpaku menyaksikan pemandangan di depanku.

Namie. Dan Andros. Di rumahku. Pada saat aku ingin membakar seluruh kenanganku tentang Andros.

Buku-bukuku jatuh berserakan di lantai.

Semua orang menoleh ke arahku. Adit menatapku cemas. " Ah Cherry! Apa kabar?" Namie tersenyum, lalu bergerak untuk membantuku memungut buku-buku sketsaku. " Aku bantuin, ya?" " Nggak usah, " kataku, secepat mungkin membereskan buku-buku itu. " Buku sketsa, ya?" tanya Namie. " Aku boleh liat, dong. "

Aku tahu Andros dan Adit ikut melotot pada saat Namie mengatakan dia ingin melihat buku sketsaku. Apa yang akan dikatakannya kalau semua buku ini berisi wajah pacarnya?

Ada bisikan kecil yang menyuruhku untuk memperlihatkannya dan mengatakan kepadanya bahwa Andros adalah pacarku sebelum dia datang. Tapi, aku segera mengusir pikiran bejat itu.

" Ng& jangan, ini produk gagal, mau gue bakar, " kataku cepat sambil berkelit dari jangkauan tangan Namie. Aku melirik ke arah Andros yang menatapku tajam, lalu segera mengalihkan pandangan.

" Oh, gitu. Ya udah deh. Tapi ntar lukisin gue sama Andros, ya?" pinta Namie, membuatku bengong sesaat.

Namun, aku bisa menguasai diri.

" Boleh, " kataku sambil tersenyum, lalu turun tanpa melihat bagaimana ekspresi Andros.

Aku tak membuangnya. Atau membakarnya. Atau melakukan apa pun yang bisa melupakan Andros. Aku malah menangis dan membuka satu per satu halaman buku-buku itu. Setiap gambar mempunyai cerita tersendiri. Dan kenangan tersendiri. Aku tak jadi membakarnya, tapi aku juga tak bisa membawanya kembali ke kamarku. Jadi, aku menyimpannya di gudang

untuk sementara. Aku tak mau kehilangan satu-satunya kenanganku dengan Andros.

Aku kembali ke atas dan mendapati mereka sedang asyik mengobrol. Yah, sebenarnya hanya Namie yang asyik bicara, sementara Adit dan Andros hanya sesekali berkomentar. Aku sedikit senang melihat keadaan ini. Tapi, aku lebih senang kalau Namie dulu pergi ke New York karena dia ingin ke sana, bukannya sakit kanker.

Aku baru menyadari sesuatu. Namie berpakaian lebih seksi daripada waktu dia ke sekolah. Malam ini, dia memakai rok mini denim dan atasan tipis berwarna biru muda. Sekarang, aku tahu bagaimana selera Andros terhadap seorang cewek. Yang jelas, bukan seperti aku yang hanya memakai kaus bergambar Tintin dan celana pendek.

" Eh, Cher! Sini, ikut ngobrol bareng-bareng!" sahut Namie tiba-tiba. " Ng& gue ada PR, " kataku tanpa berpikir.

" Besok kan hari Minggu?" Namie tertawa geli. " Udah deh, sini!" Namie lalu menarikku duduk di sofa.

Aku hanya bisa menurut, sambil menghindari pandangan Andros. " Oya, semua, kita main Truth or Dare yuk! Mau nggak?" sahut Namie, membuat aku, Andros, dan Adit saling pandang.

Ketika pandanganku bertemu dengan Andros, aku langsung buang muka. Aku tak mau berpandangan dengan mata itu lagi. Bisa-bisa aku berbuat nekat dengan membunuh Namie.

" Nggak bisa, " sahut Andros, seakan itu bisa menyelesaikan permasalahan. " Gue ajarin. Ini Truth or Dare ala gue" . Namie bangkit, lalu mematikan lampu dan menyalakan lampu duduk. " Nah, sekarang, kita pegangan tangan, " lanjut Namie sambil menggandeng tangan Andros dan Adit. Berarti, aku tak punya pilihan lain selain memegang tangan Adit dan Andros.

Yang jadi masalah adalah tangan Andros. Aku sempat gemetar, tapi aku bertekad tak akan menunjukkan perasaanku lagi kepada Andros. Jadi, aku menepukkan tanganku pada tangannya santai, lalu menggenggamnya. Aku tahu Andros menatapku, tapi aku pura-pura berkonsentrasi pada Namie dan instruksinya.

Tapi aku tak bisa berkonsentrasi pada Namie. Yang memenuhi otakku sekarang hanyalah tangan Andros yang besar dan terasa hangat. Dan entah apa ini hanya khayalan, aku merasa Andros mempererat genggamannya. Khayalan, pasti.

" Gue dulu, oke?" kata Namie setelah selesai memberi instruksi yang tidak satu pun dari kami dengar. " Gue mau nantang& Cherry. " Aku melotot. Pertanyaan pertama sudah ditujukan kepadaku? " Jadi, Cherry, Truth or Dare?"

Aku melirik Andros sekilas, lalu menghela napas. " Truth. " " Oke. Cher, berapa kali lo pernah pacaran?"

Aku segera merasa tegang. Begitu pula Adit. Apalagi Andros. Walaupun demikian, mereka tampak menunggu jawabanku.

" Sekali, " jawabku.

Namie membelalakkan matanya. " Pasti Alfa, " katanya sambil tersenyum penuh arti.

Aku balas senyum, tapi tak berani memandang ke arah Andros. " Sekarang giliran kamu, " kata Namie kepada Andros. Andros tampak mau tak mau. " Gue mau nantang& Adit. " Aku yakin Andros hanya cari aman.

" Dare, " kata Adit cepat-cepat, takut Andros menanyakan macammacam.

" Oke. Lo nari bugil di depan kita-kita, " kata Andros kejam. Adit melongo.

Aku dan Namie tertawa. Aku tak menyangka aku bisa tertawa, bahkan ketika Namie dan Andros ada di sini.

Adit menyanggupi tantangan Andros. Dia menari-nari sambil melepas bajunya, meliuk-liukkan tubuh seolah dia penari perut. Sangat kocak. Air mataku sampai menetes karena kebanyakan tertawa. Saat itulah, aku menangkap tatapan Andros dan segera berhenti tertawa.

" Gue, ya, " kataku setelah Adit selesai dengan tantangannya. " Gue mau nantang... Adit. " Aku juga cari aman.

" Gue lagi??" protes Adit. Aku mengedipkan mata kepadanya, mencoba mengirim sinyal. " Truth, " kata Adit akhirnya.

" Sejak kapan lo naksir Maya?" tanyaku. Aku sungguh tak tahu harus bertanya apa.

" Sejak pertama kali ketemu, " jawab Adit, tampak lega mendapat pertanyaan mudah.

" Sekarang gue, kan? Gue mau nantang Andros. An?" " Truth, " kata Andros santai.

" Kenapa kaset PS gue yang Final Fantasy nggak pernah lo balikin?" " Karena ilang, " jawab Andros, mau tak mau membuat bibirku tertarik ke atas. " Apa??" sahut Adit tak percaya.

Namie menghentikan usahanya untuk menerjang Andros. " Udah, udah. Pertanyaannya kok nggak ada yang bermutu, sih? Sekarang, aku mau nantang Andros. An?" tanya Namie sambil menatap Andros mesra.

Andros tampak menimbang-nimbang. " Dare, " kata Andros akhirnya. Jelas dia tak ingin Namie menanyakan sesuatu yang mungkin bisa membuat situasi semakin canggung.

" Oke. " Namie tampak gembira. " Tantangannya, kamu harus cium aku selama lima detik. "

Aku spontan melepaskan tanganku dari genggaman Andros. Andros hanya bengong, begitu pula Adit.

Namie meminta Andros menciumnya. Aku tak tahu harus bagaimana. Rasanya aku lebih baik mati daripada menyaksikan Andros mencium Namie. " An?" tanya Namie.

Andros segera sadar.

" Ng& kayaknya udah malem, Nam. Kita pulang aja, yuk?" Andros beranjak bangkit.

Namie menahannya. " Kamu kok gitu, sih? Kamu malu ya, kalo di depan temen-temen kamu? Di pipi aja, deh!" kata Namie genit.

Walaupun di pipi, tetap saja aku merasa kesal.

" Nam, lo yang bener aja& , " kata Andros sambil berusaha melepaskan tangan Namie.

" Lo kan udah bilang dare ! Lo harus berani bertanggung jawab, dong!" seru Namie.

Andros mendesah, lalu menatapku sebentar, seolah meminta izinku. Ya ampun, mengapa dia pakai memandangku segala?

" Laki-laki harus berani bertanggung jawab! Ya kan, Cher?" Aku melongo ketika Namie meminta pendapatku.

" Ya, " kataku, meluncur dengan sendirinya. Aku bahkan tidak sempat berpikir. Bukankah seharusnya aku mengatakan sesuatu seperti, Udahlah Nam, nggak usah dipaksa ?

Andros menatapku tajam. Aku tak berani memandangnya. " Oke, " kata Andros akhirnya.

Dia mengatakan sesuatu yang tidak ingin aku dengar. Mengapa Andros tidak menolaknya lagi? Mengapa Andros me nyang gupinya? Oh ya ampun, tentu saja Andros menyanggupinya. Namie kan pacarnya.

Namie tersenyum, lalu mendekatkan dirinya kepada Andros. " Dit, lo hitung ya, " katanya sambil memegang wajah Andros.

Aku seharusnya memalingkan wajah. Namun, leherku tak bisa bergerak. Mataku pun tak mau menutup. Aku tak tahu mengapa.

Dan terjadilah. Lima detik yang terasa selamanya bagiku. Aku menyaksikan sendiri bagaimana Andros mengecup pipi Namie.

Aku merasakan air mata menitik di pipiku. Sedapat mungkin, aku menahan tangis dengan menggigit bibirku.

" Selesai, " kata Adit setelah lima detik berlalu.

Andros segera memisahkan diri dari Namie. Buru-buru, aku menyeka air mataku dan bersikap seolah tak ada yang terjadi. Aku lalu mencuri pandang ke arah Andros.

Andros tidak sedang menatap siapa pun. Dia hanya melihat langit-langit dengan tatapan kosong.

Sementara itu, aku merasa semakin hancur. Harusnya aku tidak ada di sini. Harusnya aku di kamar saja. Harusnya tadi aku tidak keluar. Harusnya aku menolak mengikuti permainan konyol ini.

" An? Giliran lo. " Namie mengingatkan. Dia mau melanjutkan permainan ini. Tentu saja begitu, karena bukan dia yang dirugikan di sini. " Gue nantang Cherry, " katanya tanpa menatapku.

Aku menatapnya tak percaya, tapi lantas berkata, " Truth. " Aku tak pernah memilih Dare.

Andros membetulkan duduknya, lalu menatapku. Aku tak berani membalasnya. Andros baru saja mencium pipi orang lain tepat di hadapanku, sementara dulu dia kabur saat aku melakukannya.

" Apa bener lo udah pacaran sama Alfa?" tanya Andros membuatku terkejut.

Semua orang menunggu jawabanku. Aku sendiri tak tahu harus menjawab apa.

" Ada arah ke sana, " jawabku akhirnya.

Tatapan Andros menajam. " Oh, " komentarnya. " Gue doain semoga berhasil. "

Dia mendoakan aku supaya berhasil dengan Alfa.

Aku sudah cukup mendengar. Aku sudah cukup melihat. Dan aku sudah cukup disakiti. Aku tak mau berada di sini lebih lama lagi.

Aku berpura-pura menguap untuk menyamarkan mataku yang sudah berkaca-kaca. " Aduh, gue udah ngantuk berat nih. Gue tidur duluan, ya, " kataku, lalu bangkit dan secepat mungkin masuk ke kamarku, dan menguncinya.

Andros jahat! Bagaimana mungkin dia melakukan semua ini dalam satu malam? Dia sudah benar-benar meremukkan hatiku menjadi atom-atom yang aku tak yakin ada yang bisa menyatukannya kembali! Bahkan, Andros sendiri.

Aku menangis sejadi-jadinya. Aku memang belum dewasa. Aku hanya berpura-pura dewasa.

Aku sangat sakit hati karenanya. Juga hancur.

Pagi ini, tiba-tiba semua orang bersikap aneh. Papa, Ibu, dan Adit seolah sedang berkomplot dengan Andros untuk menghancurkan aku.

Di sekolah, aku juga benar-benar sendirian. Alfa tidak ada. Mungkin dia ada kelas di kampusnya. Aku sungguh-sungguh merasa kesepian, dan aku tidak sanggup menghadapi semua ini sendiri.

Aku menyendokkan yogurt ke dalam mulutku. Rasanya tak keruan. Sepertinya, lidahku juga ingin menghancurkanku.

Semua orang di kantin menatapku. Kurasa aku tahu sebabnya. Mataku pasti sudah sangat sembap karena aku tidak tidur semalam. Ditambah lagi, aku menangis sampai pagi.

Adit tiba-tiba muncul dan duduk di sebelahku, diikuti Andros di depanku. Ya Tuhan, aku sedang sangat tak ingin bertemu dengannya. Jadi, aku menunduk saja.

Adit dan Andros ternyata sudah berbaikan. Mereka mengobrol seperti biasa tanpa memedulikan aku.

Ponselku berdering. Aku mendapat kiriman lagu, entah siapa yang mengirimnya. Tanpa sengaja, aku menekan tombol loudspeaker. Pesan itu berbunyi nyaring di kantin.

Lagu Happy Birthday bergema selama beberapa saat. Aku pun sadar bahwa hari ini adalah hari ulang tahunku yang keenam belas. Aku sampai lupa. Maya yang jauh-jauh di Venezuela saja ingat. Aku tersenyum membaca pesan selamat ulang tahun darinya.

" Dasar Maya kurang ajar!" sahut Adit tiba-tiba, membuatku kaget setengah mati. " Padahal udah dibilangin ntar aja jam tujuh!"

Aku tersenyum kepada Adit. Dia ternyata ingat juga ulang tahunku. Ternyata, ini alasannya Papa, Ibu, dan Adit tampak aneh tadi pagi. " Happy birthday, " ucap Adit sambil mengacak kepalaku. " hanks, " kataku. " Kadonya?"

Adit tertawa renyah. " Ntar di rumah. "

Aku dan Adit lalu terdiam, menyadari Andros masih ada di depanku. Tapi, dia tidak berkata apa pun.

" Ng& gue lupa kalo lo ulang tahun, " katanya kemudian. Tentu saja. Aku malah heran kalau dia ingat. Tapi apa perlu dia mengatakannya? Bukankah kalau dia lupa lebih baik diam saja, atau purapura ingat dengan memberiku selamat?

Aku mengedikkan bahu. Aku tak kuasa untuk mengatakan apa pun. " Selamat. " Andros menyodorkan tangan dan menjabatku seolah aku menang lomba cerdas cermat atau apa.

" hanks, " kataku kaku. Tenggorokanku rasanya seperti tersumbat. Aku lalu membuang pandangan ke lapangan basket, berusaha sedapat mungkin menghindari tatapan Andros yang bak pisau. Mau tak mau, aku jadi teringat lagi kepada hal yang dilakukannya dengan Namie saat malam Truth or Dare. Dan mengingatnya membuatku mual sekaligus sedih.

Tahu-tahu, aku melihat Alfa di seberang lapangan. Sedang apa dia di sana? Alfa melambaikan tangannya kepadaku, seolah menyuruhku ke sana. Aku mengerling Andros dan Adit, yang ternyata juga sedang menatapnya.

" Halo semua!" seru seseorang dari arah belakangku. Seseorang yang tidak kusukai. Namie. Kenapa dia bisa dengan bebas masuk sekolah ini, sih?

Dengan riang, Namie menempatkan diri di samping Andros, mencium pipinya dulu sebelum duduk. Mencium pipi Andros di kantin yang sedang

ramai. Di depanku yang mana adalah mantan pacarnya. Walaupun dia tidak tahu.

Sebongkah batu tiba-tiba muncul di rongga perutku. Aku sesak napas memikirkan kemungkinan lain yang bisa terjadi setelah Andros dan Namie pulang dari rumahku. Apa mereka melangkah lebih jauh?

" Cher?" tanya Namie, mengagetkan aku. " Kenapa?"

" Nggak apa-apa, " kataku cepat. Aku melirik ke arah Andros yang bersikap biasa. Aku memandang lapangan basket lagi. Alfa masih di sana, dengan onggokan berwarna putih.

" Ng& gue harus pergi, " kataku, lalu bangkit dan pergi dari kantin. Aku tidak mau lebih lama lagi berada di sana. Aku selalu kehabisan napas setiap melihat Andros dan Namie berdua.

Aku menghampiri Alfa yang sedang menonton anak-anak bermain basket tidak sadar aku datang. Aku segera menangis begitu sampai di depannya, membuatnya kaget.

Alfa menanyakan aku kenapa. Jadi, aku langsung menceritakan semua kejadian di rumahku malam itu. Alfa tidak berkomentar dan hanya memandangiku.

" Udahlah, " kata Alfa akhirnya, lalu merangkulku. " Dia bukan cowok yang pantes diperjuangkan. "

Aku mendongak menatap Alfa. " Maksud lo?" " Lo pantesnya ngedapetin yang lebih dari dia. "

" Tapi gue cuma mau dia, Fa. Walaupun gue tahu itu udah nggak mungkin, " kataku, masih sambil terisak.

" Tapi dia ngasih penderitaan di hari ulang tahun lo. Bukannya ngasih kado atau apa. "

Aku menatap Alfa lagi, isakanku berhenti dengan sendirinya. " Lo tahu dari mana hari ini gue ulang tahun?"

" Yah, gue kan temen yang baik. Nggak ada salahnya nanya-nanya ke orang, kan?" Alfa tersenyum nakal.

Aku menunjuk onggokan yang ditutupi kain putih. " Itu apaan?" " Hadiah pertama buat lo. " Alfa menarik kain penutup benda itu. Ternyata, perlengkapan melukis baru, lengkap dengan cat minyak dan paletnya.

Aku memekik gembira dan berterima kasih kepada Alfa. Aku tak menyangka dia akan memberikan semua ini kepadaku.

" Lo jangan seneng dulu, " kata Alfa, membuatku terdiam. " Masih ada hadiah utamanya. "

Aku sungguh tidak mengerti Alfa. Apa yang membuatnya sebaik ini padaku? Aku bukan siapa-siapanya. Aku tidak pernah memberinya apa-apa. Bahkan selama aku mengenalnya, aku hanya menyusahkannya. " Tapi lo harus janji lo nggak usah nanya-nanya apa pun. Lo janji?" kata Alfa. Aku bingung, tapi aku menyanggupinya.

" Tutup dulu mata lo. "

Aku menutup mataku. Apa sih rahasia besarnya? Aku sangat tak bisa memaakannya kalau ternyata dia mau mengguyurku dengan air kolam atau apa.

" Buka, " perintah Alfa.

Aku langsung membuka mata dan men dapati sebuah amplop besar di depan wajahku. Aku mengambilnya, lalu membaca tulisan yang tertera di sana.

Art and Adventure in Provence

" Apaan nih?" tanyaku bingung. " Baca aja sendiri, " kata Alfa misterius.

Aku segera membuka amplop itu. Ya Tuhan. Ternyata, amplop itu berisi undangan untuk mengikuti workshop serta petualangan di Prancis selama sebulan.

" Tap-tap-tapi Fa, gue kan harus sekolah& . " " Tenang aja, gue udah minta izin sama kepala sekolah. " " Tapi, Fa, gue masih kelas satu! Dan pergi ke Prancis.& " " Bukannya bagus? Pengalaman kan? Sekali seumur hidup, Cher! Bukannya lo selalu mimpi ke Prancis dan belajar seni di sana? Impian lo jadi kenyataan!"

" Lo& siapa sih?" tanyaku akhirnya. Tidak mungkin seorang mahasiswa bisa berbuat sebanyak ini.

" Lo udah janji nggak nanya apa pun, " kata Alfa tenang.

Aku menatap kertas-kertas di tanganku, masih tidak percaya namaku ada di sana.

" Fa, ini beneran, kan? Maksud gue, ini bukan boongan, kan? Tunggu, tunggu. Ini tanggal satu April& April mop, kan, Fa?"

" Semua kata-kata lo berbentuk pertanyaan. Gue nggak bisa jawab. " Alfa tersenyum jail. " Kasian bener lo ya, ulang tahun pas April mop. Tapi ini bukan April mop, kok. Lo tanya aja ke penyelenggaranya kalo nggak percaya. Dan oh ya, kalo lo mau, lo bisa ngajuin diri buat sekolah di sana. Ntar gue cariin sponsornya. "

Aku seakan tersadar dari mimpi. Di tanganku ada undangan untuk berpetualang serta mengikuti workshop di Prancis. Aku bisa belajar seni di kota kelahiran berbagai pelukis terkenal, dan kemungkinan besar bisa

bersekolah di sana. Tinggal selamanya di sana. Ya Tuhan. Aku. Yang masih berusia lima belas tahun. Yah, sekarang enam belas.

Di depanku, Alfa masih tersenyum.
Me And My Prince Charming Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapa sebenarnya orang ini? Mengapa dia tahu banyak tentangku? Mengapa dia bisa mendapatkan undangan ini? Mengapa dia bersusah payah untuk mendapatkan kesempatan untukku, bahkan mengajukan diri untuk mencarikan sponsor?

Semakin banyak pertanyaan berkelebat di benakku. Tapi tak satu pun keluar dari mulutku karena, yah, Alfa tak akan menjawabnya.

Ever After

Prancis. Negara impianku. Ya Tuhan, aku tak percaya ini. Dan aku mendapat kesempatan berpetualang di sana. Dan oh ya, mungkin bersekolah.

Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku segera bangkit dan membukanya. Adit.

" Kenapa, Dit?" tanyaku.

" Kenapa, lo bilang? Turun! Sekarang kan, ulang tahun lo! Cepetan, Papa sama Ibu udah nungguin tuh!"

Aku lupa sama sekali tentang perayaan kecil ini. Aku segera turun, lalu mendapati semuanya sudah berkumpul di ruang makan.

Semua, ditambah Andros. Dan juga Namie. Ya Tuhan, kapan penderitaan ini akan berakhir?

" Selamat ulang tahun, ya, Cher, " kata Namie be gitu melihatku. Dia mencium pipi kiri-kananku, lalu memberi ku sebuah kado. " Dari gue sama Andros, " katanya, membuatku ingin membanting kado itu tak peduli apa isinya. Namie mengatakannya seolah dia dan Andros sudah menikah atau apa. " hanks, " kataku kaku.

" Alfa mana?" tanya Namie sambil mencari-cari sosok Alfa di sekeliling ruangan.

" Alfa?" tanya Ibu, membuatku ngeri.

" Alfa ada di rumahnya, " sahutku cepat kepada Namie. " Alfa guru seni Cherry, Bu, " tambahku. Aku harap dia tidak menanyakan lebih lanjut.

Aku boleh berlega hati karena Ibu hanya mengucapkan oh , lalu mengambil kue ulang tahunku, tapi Namie sepertinya tidak pernah kehilangan akal untuk membuatku cemas.

" Kok pacar sendiri nggak diundang?" tanyanya.

Semua yang mendengarnya terpaku di tempat tanpa suara. Aku bisa melihat Papa dan Ibu berpandangan. Aku menggigit bibirku. Aku belum bercerita apa-apa kepada mereka. Aku melirik ke arah Andros yang tampak tidak mau tahu.

" Dia bukan pacar gue, " kataku singkat.

" Tapi tadi di sekolah mesra banget! Kita-kita liat lho, tadi waktu Alfa ngasih kamu peralatan melukis! Terus waktu kamu dipeluk, kita liat juga!!" Namie meng a takannya terlalu ceria, menurutku.

Tapi aku tidak memedulikan itu. Aku lebih peduli pada perasaan orang tuaku yang mungkin kecewa karena aku sudah putus dengan Andros, pun jadi terlalu dekat dengan guruku. Selain itu, aku peduli pada pendapat Andros yang tadi melihat ketika aku dirangkul oleh Alfa.

Tapi tak mungkin Andros peduli. Bahkan, aku menyangsikan dia akan merasa cemburu kalau saja kami masih pacaran. Berhubung sekarang kami sudah tidak mempunyai ikatan, dia pasti menganggap kejadian tadi biasa saja.

" Biasa aja, kok, " kataku. Lidahku serasa kelu. Aku tak tahu harus bicara apa lagi. Aku ingin segera pergi dari sini.

" Ayo, dimulai aja acaranya, ntar keburu besok, " kata Adit, mencairkan suasana. Aku menatapnya penuh rasa terima kasih.

Aku memulai acara itu dengan mengucapkan keinginanku. Aku berdoa agar aku diberikan yang terbaik dalam hidupku dan supaya aku diberi petunjuk soal Prancis. Kemudian, tibalah saatnya pemotongan kue. Aku memberikan potongan pertama pada Ibu, setelah itu Papa.

" Wah, harusnya Alfa ada di sini!" sahut Namie, membuatku ingin memasukkan nampan ke mulutnya.

Aku hanya tersenyum, entah apa yang kupikirkan. Aku melirik ke arah Andros, yang segera mengalihkan pandangannya pada dinding rumahku.

Aku sangat merindukan Maya. Mungkin aku harus menabung supaya bisa terbang ke Venezuela dan mengunjunginya. Rasanya, aku ingin memberikan potongan kue selanjutnya kepadanya.

" Eh, ayo buka kado, " kata Adit sambil melemparkan kadonya kepadaku. Aku segera membukanya. Boneka berbentuk buah cherry yang sangat lucu. Aku memeluk Adit dan berterima kasih kepadanya.

Kemudian, aku membuka kado dari Ibu. Sebuah album yang berisi foto-foto Mama. Aku segera menghambur ke pelukan Ibu. Ini kado yang terindah yang pernah kuterima. Tidak sepadan dengan Alexandre Christie atau barang bermerek mana pun. Aku sangat mencintai mereka. Baik Mama maupun Ibu.

Aku membuka kado terakhir, dari Namie dan Andros. Sebenarnya aku malas, tapi kubuka juga demi menjaga kesopanan. Aku berniat akan membuangnya setelah mereka pulang. Ternyata, hadiahnya adalah sebuah miniatur putri duyung dalam sebuah bola kaca yang jika digoyangkan akan menimbulkan efek salju. Apa maksudnya ini? Apa mereka sedang mengumpamakan aku seperti putri duyung yang cintanya tak sampai pada pangeran?

" Andros yang pilih. " Namie memberi tahu sambil tersenyum. Aku menatap Andros, yang balas menatapku. Tapi bukan dengan tatapannya yang dulu. Aku menyadari betapa aku merindukan senyumannya ketika aku tertangkap basah sedang memerhatikannya. Juga gerakannya saat dia menyapu rambut dari dahinya. Juga pose favoritku: menyusupkan jarijari ke rambutnya sambil menatap ke arah lain.

Aku menitikkan air mata. Semua orang menatapku cemas. " Ng& terharu sama kalian semua, " dalihku cepat. Semua orang tampaknya menerima alasanku. Ibu merangkulku.

" Ada yang belum ngasih kado, nih, " kata Papa. Aku segera sadar Papa belum memberikan apa pun. Tapi aku tidak akan meminta apa-apa, asal dia tetap mau menjadi ayahku.

" Papa memang belum beli kado, tapi Papa sudah memikirkan kado untuk kamu di ulang tahun yang ke-16 ini. Kamu bebas meminta apa saja. Papa akan kabulkan, " lanjut Papa, membuatku terkejut.

" Wah, asyik amat!" seru Adit.

Aku tersenyum kepada Papa, lalu memeluknya. " Jadi, minta apa?" tanya Papa.

" Nanti aja, " kataku sambil mempererat pelukanku. " Cherry mau pikirin masak-masak. "

Papa tertawa mendengar gurauanku. " Ya udah, sekarang kita makan malam dulu, yuk, " kata Papa sambil menggiring kami semua ke meja makan.

Semua ini terasa seperti dj vu bagiku. Andros ada di rumahku lagi. Makan malam seperti dulu lagi. Hanya saja, sekarang ada Namie, yang membuat segalanya sekaligus terasa berbeda. Namie menempel terus padanya.

Selesai makan, aku segera membantu Ibu mencuci piring. Namie juga ikut membantu. Padahal, yang aku inginkan hanyalah dia secepat mungkin pergi dari sini. Beberapa saat kemudian, Papa memanggil Namie untuk mengobrol tentang New York.

Andros dan Adit tampak sedang mengobrol di tepi kolam renang di halaman belakang rumahku. Aku memerhatikan mereka dari jendela di depan bak cuci piring.

Kalau aku memutuskan pergi ke Prancis, itu berarti aku tak bisa bertemu Andros lagi. Tapi tetap tinggal di sini hanya akan memperburuk suasana.

Aku tak bisa terus-terusan melihat Andros dan Namie bersama-sama. Itu terlalu menyakitkan.

Tapi meninggalkan Andros pun sepertinya tidak akan menyelesaikan masalah. Aku akan tetap mencintainya, tak peduli aku ada di Prancis atau di Kutub Utara.

" Cher, Andros pengin ngomong sama lo, " kata Adit mengagetkanku. Aku menatapnya ragu. " Nggak ada yang perlu diomongin lagi, " kataku sambil memalingkan wajah.

" Jangan kayak gitu, Cher. Ayo sana. " Adit mendorongku ke halaman belakang. " Masalah Namie ntar gue beresin, " katanya lagi sambil mengedip.

Aku melangkah ke arah Andros yang sedang melamun menatap permukaan air yang tenang. Kakiku sekarang gemetar hebat, dan aku tak tahu apa aku bisa sampai ke depannya dengan keadaan seperti ini. Andros menoleh. Ekspresi wajahnya tak bisa ditebak.

" Ada apaan?" tanyaku, memberanikan diri. Setengah mati, aku berusaha agar suaraku tidak terkesan senang bicara dengannya.

" Ada apaan? Bukannya gue yang harusnya nanya itu ke elo?" tanya Andros balik.

" Tapi kata Adit lo pengin ngomong sama gue, " kataku, bingung. Andros mengernyit, lalu menggeleng pelan dan kembali menatap kolam. Aku harusnya tahu Adit membohongiku. Andros sudah tak peduli padaku. Bahkan, dia tak pernah peduli padaku. Untuk apa dia ingin bicara denganku? Bukannya dia harusnya senang bisa putus denganku dan kembali kepada pacarnya yang cantik?

Ya ampun, aku menyakiti diriku sendiri lagi.

" Yah, bener. Lo nggak perlu ngomong sama gue, " kataku, lalu menggigit bibirku. Aku berbalik, bermaksud pergi.

" Tunggu, " kata Andros sambil bangkit.

Aku terpaku di tempatku, tak berani membalik badan. " Lo baik-baik aja?" tanya Andros setelah diam selama semenit. " Gak pernah sebaik ini. " Aku sudah menangis dalam diam. Ke mana perginya Cherry yang dewasa?

" Karena Alfa?" tanya Andros lagi.

Kenapa dia bisa berpikiran seperti itu? Kenapa membawa-bawa Alfa? " Mungkin, " kataku, untuk kesekian kalinya mem bohongi diriku sendiri, juga Andros.

" Gue cuma mau bilang, kalo gue sama Namie.& "

" Gue nggak tertarik ngedenger cerita lo sama Namie, " kataku setengah berteriak. " Kalo lo mau curhat mending ke Adit aja!"

Andros memang tak mengerti perasaanku. Tega-teganya dia ingin bercerita tentang hubungannya dengan Namie kepadaku?

" Bukan itu, Cher, tapi soal Namie. Dia tuh.& "

" An!!" seruku sambil berbalik. " Bisa nggak sih lo nggak cerita soal dia? Bisa nggak sih lo ngehargain perasaan gue? Lo tahu nggak sih apa yang lagi lo lakuin sekarang? Lo tuh lagi curhat sama gue tentang pacar lo!! Apa sih yang ada di pikiran lo? Apa yang ngebuat lo berpikiran kalo gue mau ngedengerin cerita lo soal dia?" Air mataku sudah berlinang-linang.

Andros menatapku nanar, lalu menggeleng pelan. " Cher, lo harus denger ini& . "

Aku menatap Andros tak percaya. Dia memaksaku untuk mendengarkan sesuatu yang sangat tidak ingin aku dengarkan! Kisah kasihnya dengan Namie! Andros memang cowok tidak berotak, apalagi berperasaan.

Aku menutup kedua telingaku. " Gue nggak mau denger!!" jeritku histeris.

" Cher, apa lo sedih kita putus? Waktu itu lo bilang sama gue kalo lo nggak apa-apa. Tapi sekarang lo nangis lagi.& "

" Lo tahu apa?" Aku menyeka air mataku. " Dulu emang gue nggak rela berpisah sama lo. Tapi gue sekarang nggak peduli lagi! Mau lo pacaran sama Namie kek, mau kawin kek, gue nggak peduli! Lo juga udah nggak usah khawatir lagi kalo gue bakalan nangis gara-gara lo! Karena gue nggak akan lagi nyia-nyiain air mata gue buat lo!!" sahutku, lalu berlari secepat mungkin ke dalam rumah, meninggalkan Andros sendiri.

Aku langsung menuju kamar dan menguncinya. Menangis sejadijadinya.

Aku bohong lagi. Aku masih menangis karena Andros. Dan aku selalu akan menangis untuknya. Aku tahu itu.

Aku mendekati Papa yang sedang asyik dengan laptopnya. Papa melihatku, lalu berhenti mengetik.

" Kenapa, Sayang?" tanyanya ramah.

Aku duduk di depannya. Amplop workshop tergenggam erat di tanganku.

" Pa, Cherry mau minta hadiahnya sekarang aja, " kataku hati-hati. " Boleh. " Papa menutup laptopnya. " Jadi& , kamu mau apa?" Aku menyodorkan amplop itu kepada Papa. Papa menatapnya sebentar, lalu membuka dan membacanya. Air muka Papa langsung berubah saat membacanya.

" Kamu& serius, Cher?" tanya Papa begitu selesai membaca.

Aku mengangguk mantap. Pembicaraanku dengan Andros kemarin malam telah meyakinkanku untuk pergi ke Prancis. Aku tak mau bertemu dengannya lagi.

" Hh& tapi Prancis itu jauh, lho, Cher, " kata Papa seakan aku balita. Tapi aku menunduk saja.

" Kalau kamu memang ingin, pergi saja, " kata Papa akhirnya, setelah sepuluh menit mempertim bang kannya.

Aku segera menghambur ke pelukan Papa, walaupun sebagian diriku tidak menginginkan Prancis.

" Gimana?" tanya Alfa esoknya. Aku tersenyum, lalu mengangguk. " Cool!" sahut Alfa senang. " Kalo gitu, lo harus menghadap ke kepala sekolah! Tanggal dua puluh satu kita berangkat!" seru Alfa lagi. " Secepat itu?" tanyaku heran. " Tapi gue belum siap apa-apa!" " Udah gue siapin semuanya, " kata Alfa, semakin membuatku heran. " Lo cuma tinggal beres-beres barang lo doang. "

Aku menatap Alfa setengah penasaran setengah kagum. " Lo sebenernya siapa, sih?"

" Kalo udah waktunya gue kasih tahu, " kata Alfa sok misterius seperti biasa. Sebenarnya aku masih sangat penasaran, tapi aku menahan keinginan untuk bertanya lebih lanjut karena harus menghadap kepala sekolah.

Semua anggota keluargaku sudah tahu tentang Prancis. Dan aku sudah mengepak koperku. Adit terus-terusan membujukku supaya aku tetap tinggal, tapi aku tidak bisa. Dan tidak mau.

" Lo pergi karena Andros, kan?" tanya Adit.

" Bukan, " kataku. " Gue pergi karena gue mau belajar seni. " Adit tak percaya. Selama beberapa hari terakhir, dia menggunakan segala alasan untuk mencegahku pergi. Tapi sia-sia saja. Niatku sudah bulat.

Maya juga mencoba menghentikanku. Kebanyakan alasannya sama dengan Adit. Walaupun Maya sahabatku, aku tidak goyah. Aku sudah terlanjur hancur. Jadi, aku memutuskan untuk memulai baru hidupku di sana. Di Prancis.

Andros belum tahu soal ini. Aku mencegah keluargaku juga Maya dan Alfa untuk mengatakan hal ini kepadanya. Ini kulakukan karena aku tahu dia pasti tak mau tahu dengan kepergianku. Aku hanya mempermudah persoalannya.

Tinggal satu hari lagi tersisa. Besok, aku akan berangkat dengan Alfa. Meninggalkan seluruh keluargaku. Meninggalkan Andros.

Air mataku kembali menitik jika mengingat dia. Sebulan adalah waktu yang sangat lama jika menyangkut dirinya. Tapi aku bertekad melupakannya. Melupakan semua yang sudah terjadi. Dan semua itu tak akan pernah terjadi selama aku masih di sini, bertemu dengannya setiap hari.

Walaupun demikian, sampai sekarang aku masih menyangsikan aku akan bisa melupakannya walaupun aku sudah ada di Prancis. Sungguh.

Aku tidak dapat tidur. Aku memegang ponsel, berpikir apakah aku perlu mendengar suara Andros sekali lagi. Tapi aku segera menyingkirkan pikiran itu dari benakku.

Kalau aku berbicara lagi dengannya, kemungkinan besar aku akan tetap tinggal dan nekat merebut Andros dari Namie. Dan aku tahu itu tak boleh terjadi. Namie menderita kanker. Sama seperti Mama.

Tiba-tiba, ponselku berdering. Aku melotot tak percaya membaca nama yang tertera pada layar ponselku. Andros.

" Halo?" kataku pelan. Aku bisa merasakan dadaku bergemuruh saat ini. Hening sebentar di seberang. Kemudian, Andros berdeham. " Hai. Belum tidur?"

Aku menangis. Lagi. Kenapa dia meneleponku pada saat semua sudah kacau? Mengapa dia tidak meneleponku pada saat kami berpacaran dulu?

Aku akan menganggapnya sangat manis jika saja dia menanyakan apa aku sudah tidur atau belum sekitar sebulan yang lalu. Tapi sekarang, aku merasa semua ini sudah terlambat. Dia sudah punya Namie dan aku akan terbang sekitar enam jam lagi.

" Kenapa?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya tadi. " Ng& nggak apa-apa. Gue ganggu, ya? Ya udah deh. Ng& lo ada di rumah besok?" Mau apa dia menanyakan apa aku ada di rumah besok? Dia sudah punya Namie! Harusnya mereka bersama!

" Nggak. Gue mau ke Prancis, " sahutku, merasa akhirnya sekarang lah saatnya untuk mengatakan kebenaran.

" Oh, " katanya, membuatku setengah mati sedih karena ternyata dia memang tak peduli padaku. Kurasa kalau aku mati pun, dia tak akan peduli. " Lo becanda, kan? Lo bener-bener marah gue telepon tengah malem gini?" Ternyata, dia menganggapku hanya bercanda. Aku menghela napas. Aku ingin sekali mengatakan bahwa aku ingin mengobrol selamanya dengannya tanpa harus pergi ke Prancis, tapi itu tidak mungkin.

" Cher, ada hal yang harus gue omongin ke elo. Penting. Menyangkut ng& kepentingan kita bersama. Terus ada yang mau gue kasih juga ke lo. Gue nggak bisa omongin sekarang, gue mau ngomong langsung. Cher? Lo masih di situ, kan?"

Pasti kabar buruk. Pasti Namie memintanya pergi ke New York atau apa. Mungkin juga Andros mau mengatakan kalau aku sebaiknya menganggapnya sebagai kakak saja, sama seperti ketika aku baru mengenalnya.

" Nggak bisa. Gue mau ke Prancis, " kataku lagi, sekuat mungkin menahan isakan.

Andros terdiam sesaat. " Ya udah deh, kayaknya lo marah banget. Gue mau lo tahu, Cher, nggak bisa nyelesain masalah pake emosi. Tapi yah, ya udah deh, gue ke rumah lo aja besok. Dah, " katanya lalu menutup telepon.

Aku menjatuhkan diriku ke tempat tidur. Apa lagi yang ingin Andros katakan kepadaku? Aku sudah mau pergi. Apa dia masih juga ingin memaksaku mendengarkan romansanya dengan Namie?

Aku sungguh tak dapat tidur. Tiba-tiba saja, hari sudah pagi. Cahaya memasuki kamarku dengan lembut. Baru kali ini aku membenci pagi.

Aku segera mandi dan menyiapkan segala keperluanku. Pukul tujuh, aku sudah siap di depan rumah, beserta seluruh keluargaku untuk menunggu Alfa. Dia bilang dia akan menjemputku.

Sebenarnya, aku masih penasaran padanya. Aku tak mengerti dia itu siapa. Tapi yang jelas dia telah menjadi teman yang superbaik selama tiga bulan terakhir.

Aku tak suka mendengar deru mobil Alfa. Aku tak suka berpisah dengan keluargaku. Aku mendekap Ibu erat-erat, seolah tak mau melepaskannya lagi. Aku sangat menyayanginya. Kemarin, aku juga sudah berpamitan pada Mama.

Aku memeluk Papa erat, lalu memeluk Adit. Dia sudah cukup sukses menjadi seorang kakak bagiku. Padahal aku ingat, dulu hampir setiap hari aku bertengkar dengannya.

" Ayo, Cher, " kata Alfa setelah semua barangku masuk ke mobilnya. Aku melepas pelukanku dari Adit, lalu berjalan mengikuti Alfa. Aku tidak ingin pergi. Aku sungguh tidak ingin pergi kalau menyangkut keluargaku. Tapi aku harus untuk melupakan Andros. Juga mengejar citacitaku.

Air mataku menetes lagi. Ternyata, aku bukan Cherry yang dewasa. Aku masih Cherry yang dulu. Tapi aku berjanji akan menjadi orang yang berbeda saat aku pulang nanti. Aku berjanji.

Baru ketika aku akan memasuki mobil Alfa, sebuah Altis berhenti di belakangnya dengan sembarangan. Andros keluar dari mobil itu dengan tampang heran.

Dia mengenakan jeans dan kaus Metallica hijau hadiah dariku di ulang tahunnya yang ke-17. Rambutnya yang ikal tersapu angin. Inilah Andros yang kusuka. Imut, dan sendirian.

Aku tidak melihat Namie mengikutinya.

Sebenarnya, sudah beberapa hari ini, aku tidak melihatnya dengan Namie.

Aku menatap Andros pilu. Aku tahu akan begini jadinya. Aku bisa saja mengurungkan niatku untuk pergi. Tapi bayangan tentang Namie, ciuman itu, dan perkataan-perkataannya berkelebat dalam benakku seakan pemutaran sebuah ilm.

" Mau ke mana lo?" tanya Andros bingung.

Aku menatapnya dengan mata yang sudah basah. " Ke Prancis, " kataku singkat sambil memaksakan senyum.

Andros menatapku tak percaya. " Lo serius?" sahutnya. Dia melirik Adit tajam. Kurasa dia marah karena tak ada yang memberitahunya.

" Emang kenapa kalo gue serius?" tanyaku, tak bisa lagi membendung emosiku.

" Emang kenapa kalo lo serius?! Yang bener aja lo! Lo nggak ngasih tahu gue sebelumnya!" sahut Andros marah.

" Emangnya lo peduli!" sahutku.

" Gue peduli!!" balas Andros. " Kenapa sih lo?"

" An, lo nggak akan bilang kalo lo bakalan sedih gue ke Prancis, kan? Lo nggak pernah peduli sama gue! Lo nggak pernah peduli, bahkan waktu kita masih pacaran!" seruku sambil menangis.

" Apa...?"

" An, nggak ada bedanya kan, gue di sini atau di Prancis? Karena lo nggak pernah peduli sama gue! Jadi lo nggak usah sok-sok care! Lo juga udah punya Namie, jaga aja dia baik-baik!" sahutku, lalu masuk ke mobil Alfa dan menutup pintunya.

Alfa sendiri masih di luar, bengong melihatku kalap. Begitu pula keluargaku.

Aku menangis lagi. Andros masih terdiam di samping pintu mobil. Aku tak mau melihatnya lagi karena akan sangat berat bagiku untuk meninggalkannya. Wajahnya terkesan sedih bagiku, tapi aku yakin itu hanya khayalanku saja. Andros tidak akan sedih aku pergi. Ada Namie.

Walaupun tidak ada Namie, aku yakin dia juga tak akan merasa kehilangan.

Alfa memasuki mobil. Dia menatapku lekat-lekat. " Yakin mau pergi?" tanya Alfa sambil membelai rambutku.

Aku mengangguk.

Alfa memberi sinyal kepada sopirnya untuk segera berangkat. Mobil pun bergerak perlahan meninggalkan rumahku. Keluargaku. Androsku.

Aku menangis lagi melihat Andros yang hanya bisa menatap mobil yang membawaku menjauh. Dia tak tampak ingin mengejarku. Dia hanya menatap mobil ini dengan ekspresi putus asa.

Putus asa. Apa dia menyesali kepergianku?

" Cher, lo nggak ngasih tahu dia, ya?" tanya Alfa setelah aku berhasil meredakan tangisanku.

Aku mengangguk pelan. Alfa ikut mengangguk-angguk. Tiba-tiba, aku menyadari sesuatu. Mobil ini sangat mewah. Seorang sopir berseragam rapi mengendarai mobil ini.

" Fa, " kataku, merasa sebaiknya dia berterus terang. " Lo ini sebenernya siapa, sih? Kok lo mau-maunya repot-repot buat gue?"

" Lo belum buka e-mail, ya?" tanya Alfa sambil tersenyum penuh arti. Aku tak sempat sekali pun membuka e-mail. Tak ada cukup waktu untuk itu. Hari-hariku kuisi dengan menangisi Andros.

Aku menggeleng. Alfa tertawa renyah.

" Oke. Cherry, perkenalkan, gue Jean Gallardo, " kata Alfa sambil meyodorkan tangannya.

Aku tahu, wajahku sekarang pasti sudah tak keruan. Mulutku menganga lebar. Mataku melotot. Jean Gallardo? Iqbal Alfatah? Semua ini terasa membingungkan bagiku.

" Lo nggak percaya? Gimana kabarnya anak-anak kita? Michael? Leonardo? Monalisa?" kata Alfa masih tersenyum.

Dia Jean Gallardo. Alfa. Hanya saja, aku masih belum bisa percaya. " Lo& ?"

Alfa mengangguk. " Gue sengaja nyari lo ke sini. Gue sebenernya orang sini juga. Bokap gue diplomat, jadi sering pindah-pindah. Terakhir, gue tinggal di Prancis dan kuliah di Sorbonne. Dan gue yang datarin lo ke workshop itu. "

Mustahil. Benar-benar mustahil.

" Lo nyari gue ke sini? Lo kurang kerjaan, ya?" sahutku, seakan Alfa tak waras. Senyuman Alfa semakin lebar. " Panggilan cinta, sih. "

Sebenarnya, aku terkejut setengah mati mendengar kata-kata itu. Tapi detik berikutnya, aku tersenyum. Mungkin, sudah saatnya aku melupakan Andros dan memulai hubungan baru dengan Alfa.

Orang di sampingku ini lah yang selama ini melindungiku. Memerhatikan ku. Baik sebagai Jean maupun sebagai Alfa. Aku rasa aku harus memberinya kesempatan ini.

" Lo udah gila, ya? Udah nggak ada cewek cantik di sana?" godaku. Alfa tertawa mendengar leluconku.

" Lo& . bener-bener gila, ya, " kataku lagi.

" Lo tahu nggak, kenapa waktu itu gue bisa ada di Bogor?" tanya Alfa, membuatku menggeleng. " Karena gue ngikutin lo. "

" Lo ngikutin gue?" tanyaku tak percaya.

" Iya. Gue khawatir. Tapi berguna, kan? Kalo gue nggak ngikutin, bisabisa lo udah dipersunting sama raksasa tua itu. " Alfa lalu tertawa.

Aku ikut tertawa bersamanya, lalu menatapnya lekat. Dia memang tak membuat hatiku berdebar kencang sebagaimana Andros melakukannya.

Aku juga tidak punya perasaan apa pun terhadapnya, kecuali sebagai teman. Tapi aku yakin suatu saat pasti bisa menerima perasaannya. Tiba-tiba, ponselku berdering. Maya.

" Ya, May?" sahutku.

" Lo udah gila ya? Lo tetep berangkat juga walaupun Andros udah nggak sama Namie lagi??" sahut Maya, membuatku menjauhkan ponsel itu dari telingaku sejauh kira-kira tiga puluh senti.

" Apa, May??" Aku tak percaya pada pendengaranku. " Lo bilang apa tadi?" Maya terdiam sesaat. " Oh, jadi si Andros belum ngomong apa-apa sama lo?" " Ngomong apa sih maksud lo?" sahutku tambah heran. " Dasar cowok bego!" umpat Maya, membuatku semakin penasaran. " May! Ada apaan sih? Andros ngomong apa?"

" Cher, si Andros sama Namie udah nggak ada apa-apa lagi! Ternyata si Namie tuh bohong waktu soal kanker! Ternyata Namie pindah ke New York gara-gara dia kecanduan drugs!"

Pikiran maupun perasaanku seolah hampa. Aku tak bisa menggerakkan satu pun saraku.

" Dan bagian terburuknya, Cher, dia ternyata udah tahu kalo lo sama Andros lagi pacaran! Dari si centil Alissa! Namie ketemu Alissa dulu sebelum ketemu lo! Dia sengaja mutusin hubungan lo sama Andros!" Aku terdiam. Air mataku sekarang menetes lagi.

" Cher? Lo masih di sana, kan? Lo belum di pesawat, kan? Lo nggak akan ke Prancis, kan? Cher!!"

" Kenapa dia nggak ngasih tahu gue?" isakku. " Kenapa?"

" Gue kira dia udah ngasih tahu lo, " kata Maya pelan. " Makanya gue tadi marah-marah waktu tahu dari Adit kalo lo tetep pergi. "

Aku terisak lagi, memikirkan Andros. Memikirkan wajahnya ketika aku menolak mendengarkan kata-katanya. Ternyata, hal ini lah yang ingin disampaikannya waktu itu. Aku benar-benar bodoh.

Namie. Dia sengaja menghancurkan hubunganku dengan Andros. Dasar cewek menyebalkan.

" & Cher?" tanya Maya dari seberang. " & lo nggak masih dalam perjalanan ke bandara, kan?"

Aku terperanjat. Aku masih di sini, di mobil Alfa, dalam perjalanan ke bandara. Aku segera meminta sopir untuk menghentikan mobilnya. Alfa memandangku heran, tapi detik berikutnya, dia tersenyum, seolah memahami isi hatiku.

" Keluar aja, " katanya, masih tersenyum. " Ntar barang-barangnya Pak Sopir pindahin ke taksi. "

Aku memandang Alfa penuh rasa terima kasih. Dia benar-benar orang yang baik. Aku merasa buruk sekali harus meninggalkannya seperti ini.

" Nggak apa-apa. " Alfa membelai rambutku, mencegahku untuk meminta maaf. " Gue tunggu lo di Prancis dua tahun lagi. "

Aku memeluk Alfa sebagai tanda terima kasih, lalu segera keluar dan masuk ke taksi yang telah diberhentikan sopir.

Aku membuka jendelanya. Dengan lantang, aku berteriak, " Gue tunggu e-mail lo! Jean Gallardo!!"

Aku menyaksikan Alfa yang melambai kepadaku menjauh. Alfa adalah teman terbaikku. Teman laki-laki terbaikku. Aku sangat menyayanginya. Aku pasti akan merindukannya.

" & Cherry!!" sahut seseorang samar-samar. Ya ampun, aku lupa. Maya masih di telepon.

" May, sorry! Gue abis pindah ke taksi!" sahutku buru-buru.

" Bagus, deh. Kalo gue nggak ngingetin, kita bisa terus ngobrol sampe lo masuk ke pesawat, " kata Maya. Suaranya terdengar sangat lega. " May, menurut lo, apa Andros cinta sama gue?" tanyaku. " Lo tuh emang lemot ya soal yang beginian? Ya iya lah!" Walaupun bukan Andros sendiri yang mengatakannya, aku sangat bahagia mendengarnya.

" Tapi May, lo kok bisa tahu sih tentang ini? Maksud gue, Andros kan biasanya curhat ke Adit, tapi Adit nggak ngasih tahu gue, malah elo!" " Adit emang nggak tahu, " jawab Maya santai. " Andros cuma ngasih tahu gue. " " Kok bisa?"

" Soalnya, dia lagi bingung mau ngasih hadiah apa buat ulang tahun lo. Udah lama dia mikir-mikir, akhirnya dia nyerah juga, terus ngirim e-mail ke gue. Abis itu, dia cerita deh soal si Namie. Katanya dia nyium gelagat nggak beres dari si Namie. Gitu katanya, " kata Maya panjang lebar.

" Oh, " komentarku, tak peduli lagi soal Namie bodoh. " Terus apa hadiah yang lo saranin? Jangan-jangan yang aneh-aneh, lagi. Lo kan sinting. "

" Masih berani bilang gue sinting? Awas ya kalo lo suka sama kadonya! Gue nyaranin supaya dia beli kalung kristal warna ungu buat lo!" sahut Maya.

" Mana mungkin dia beli kalung kristal!" seruku, lalu tertawa. Maya ini ada-ada saja. Aku semakin geli membayangkan Andros masuk ke toko perhiasan. Sama sekali bukan dirinya.

" Dia beli, kok!" sahut Maya lagi, membuat jantungku serasa berhenti berdetak. " Dia bilang sama gue dia udah beli. Katanya mau dia kasih hari ini. Gue suruh dateng pagi-pagi, supaya dia bisa sekalian nyegah lo berangkat. Lo aja yang bego. "

Aku tak bisa memikirkan apa pun lagi. Saat ini, aku hanya ingin cepatcepat bertemu dengan Andros. Andros-ku. Andros-ku yang tidak perhatian. Tapi aku tak akan mempermasalahkannya lagi. Aku akan menonton ilm perang atau horor yang dia mau. Aku akan diam saja kalau dia datang bukan untukku. Aku akan menerima segala kekurangannya, asal dia ada di jangkauan pandangku. Itu saja.
Me And My Prince Charming Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akhirnya, aku sampai juga di rumah. Mobilnya masih ada di depan rumahku. Air mataku menitik lagi. Aku turun dari taksi, lalu berlari masuk ke halaman rumahku. Andros ternyata sedang duduk di ayunan. Sendirian. Dia menunduk, tangannya memegang dahinya.

Dengan langkah pelan, aku mendekatinya. Dia adalah Andros yang dulu. Andros yang dulu kukenal. Cool, cuek, tetapi cute.

Aku berhenti tepat di depannya. Dia tak menyadari aku di sana sampai akhirnya ujung sepatuku menyentuh sepatu Converse-nya.

Perlahan, Andros mengangkat kepalanya. Aku kembali menemukan sepasang mata cokelat Andros, yang sedang menatapku tak percaya. Aku memaksakan senyum untuknya. Sangat susah untuk tersenyum pada saat aku ingin menangis.

" Cher?" gumam Andros, masih tak percaya. Aku tak pernah sesenang ini dipanggil oleh seseorang.

Aku tak bisa menahan lagi keinginanku untuk menyentuh kepala Andros. Aku membelainya lembut. Air mataku mengalir semakin deras.

Andros bangkit, membuatku sadar bahwa dia sekarang begitu tinggi. Rasanya sudah sangat lama aku tidak berdiri di depannya. Terakhir kali adalah saat dia ingin membahas soal Namie, dan pada saat itu tentunya aku tidak memikirkan soal tinggi badan.

Andros menatapku dengan pandangan yang sulit kumengerti. Aku ingin sekali meyakinkan diriku kalau dia menatapku penuh kerinduan. Tatapan yang sama seperti yang aku lihat ketika dia menatap Namie waktu itu.

Aku balas menatapnya, walaupun sambil terisak. Aku sangat merindukan Andros. Aku sangat merindukannya.

Tiba-tiba, Andros menarik tubuhku dan memelukku. Aku telat menyadarinya, karena kejadian itu terjadi begitu cepat. Sekarang, aku merasakan kehangatan dari tubuh Andros, juga menghirup wangi Benetonnya. Andros me meluk ku begitu erat sampai aku kesulitan bernapas. Tapi aku tak peduli. Aku ada di pelukannya. Aku bahkan tak peduli kalau ada tulang igaku yang remuk.

Napas Andros terasa panas di leherku. Dia membenamkan kepalanya di rambut panjangku. Setelah dia mencium puncak kepalaku dengan lembut, aku yakin, aku tak bisa lebih bahagia lagi dari ini.

Setelah beberapa menit tujuh menit, tepatnya Andros melepaskan aku. Tubuhku terasa lemas. Lututku bergetar. Dadaku berdebar kencang. Kemudian, aku dan Andros terduduk di ayunan secara bersamaan.

Aku tidak percaya apa yang sedang kulihat. Wajah Andros sepertinya memerah. Dia terlihat salah tingkah. Tangannya menggaruk kepala dan matanya menatap ke semak mawar.

Melihat itu, aku jadi teringat masalahku semula. " Kenapa lo nggak ngasih tahu gue sih, si cewek jelek itu ternyata boong?" seruku setengah berteriak.

Andros tersentak, lalu menoleh. " Elonya marah-marah mulu! Setiap gue mau ngomong, lo potong! Gimana gue bisa ngomong?"

" Abis, gue kira& lo mau curhat soal dia sama gue.... " Aku sangat menyesal karena waktu itu tidak mendengarkannya.

Andros hanya mendesah. " Lo juga, kenapa nggak ngomong kalo lo benerbener mau ke Prancis, hah? Asal lo tahu aja, si Adit bonyok gue pukul tadi!" " Karena gue pikir lo nggak akan peduli kalo gue pergi!"

Mata Andros melebar. " Gue nggak ngerti apa yang ngebuat lo berpikiran kayak gitu. Jelas aja gue peduli! Gue nggak mau kehilangan siapa-siapa lagi! Lo ngerti?! Gue udah cukup kehilangan sekali! Dan gue nggak mau terjadi lagi!" Kali ini, aku yakin dia serius. Matanya menatapku tajam. " Maaf, " kataku pelan sambil balas menatapnya. " Gue minta maaf. " Andros menatapku lebih dalam, seolah dia berusaha menyelami pikiranku. Aku tak tahan melihat matanya. Pasti ada sihir di dalamnya, yang membuatku tak bisa bergerak. Segala atom-atom hatiku tiba-tiba bersatu kembali.

" Jangan lakuin itu lagi. " Andros bersandar pada ayunan dan menghela napasnya keras-keras. " Gue bisa gila kalo lo terus-terusan marah dan nangis di depan gue, " katanya lagi sambil memejamkan mata.

Aku tersenyum sambil memandang wajah sempurna dan rambut ikal Andros. Dia adalah pilihanku. Dan aku tak akan menyesal karenanya. " An?" tanyaku dan Andros membuka matanya.

" Hm?" katanya pelan.

" Kalungnya?"

" Kalung?" tanya Andros, membuat dadaku berdebar. " Oh, yeah. Bener. Kalung. Gue lupa. "

Ya ampun, ternyata amnesianya belum juga hilang. Tapi aku tak mempersoalkannya. Yang penting, dia ada bersamaku.

Andros merogoh seluruh kantongnya dan menemukan kalung itu di kantung jaketnya. Tanpa dibungkus. Benar-benar cowok buta romantis. " Ini, " kata Andros sambil menyerahkannya padaku.

Kalung itu sangat indah. Kristalnya berwarna ungu dan bercahaya memantulkan cahaya matahari, berbentuk buah cherry. Aku tersenyum lebar-lebar.

" Ng& lo suka? Gue nggak tahu lagi harus beli apa, makanya gue tanya Maya, " kata Andros tanpa melihatku.

Aku tahu dia pura-pura sibuk dengan kunci mobilnya.

" Gue suka banget!" seruku. " Bukan kalungnya yang gue suka, tapi artinya! hanks, ya, An. "

Andros menatapku sesaat, lalu mengangguk pelan. " Bagus deh kalo kamu suka, " katanya sambil kembali mengutak-utik kunci mobilnya sampai alarmnya berbunyi. Aku dan Andros sampai terlonjak dibuatnya. Andros segera menekan tombol untuk mematikannya, sementara aku mencerna kata-katanya tadi.

Sepertinya, ada yang aneh.

" Apa?" sahutku begitu Andros berhasil mematikan alarm mobilnya. " Apa kata lo barusan? Bagus kalau kamu suka ? Kamu?"

" Elo, elo, " ralat Andros cepat. " Bagus kalo lo suka. "

Aku kembali tersenyum. Aku sangat bahagia saat ini. Aku ingin menikmati saat-saat ini selamanya.

Aku menyodorkan kalungku kepada Andros. " Pakein dong. " Andros bengong sesaat sampai aku memaksanya memegang kalung itu. Aku segera memutar tubuh, lalu mengangkat rambutku.

" Rambut lo udah panjang banget, ya?" komentar Andros seraya memasangkan kalung itu di leherku.

" Lo nggak suka?" tanyaku menggodanya.

Andros tidak menjawab. Aku merasakan tangannya tergelincir sehingga kalung itu gagal dipasangnya.

" Kayak gimana dong rambut yang lo suka?" tanyaku lagi. Tangan Andros tergelincir lagi.

Tiba-tiba, aku teringat pada poster Natalie Imbruglia di kamar Andros. Aku bertekad untuk mengubah rambutku seperti itu besok.

" Ng& An? Lo nggak bisa ya?" tanyaku, setelah untuk kesekian kalinya tangan Andros tergelincir.

" Nggak bisa, " kata Andros akhirnya. Dia menyerah dan mengembalikan kalungku. " Minta pasangin nyokap lo aja, ya?"

Aku berbalik dan mendapati wajahnya sudah berkeringat. Ya ampun. Kurasa aku tak bisa mengharapkan lebih dari pacarku yang satu ini. Dia terlahir bukan untuk menyenangkan hati seorang wanita. Walaupun demikian, aku tak mengeluh. Aku segera memasang kalung itu sendiri, hanya membutuhkan waktu beberapa detik. Andros menatapku heran.

" Kalo bisa sendiri ngapain pake minta tolong!" protesnya sambil mengacak rambutku.

Aku tergelak, lalu menatapnya lekat.

" Ng& An? Kita masih putus, kan?" pancingku.

Andros menatapku heran. " Masih putus? Perasaan gue baru denger istilah kayak gitu. Bilang aja lo mau gue nembak lo lagi. "

" Emang, iya, " kataku sambil nyengir.

" Lo mau nggak jadi cewek gue lagi?" tanya Andros kemudian. Memang aku mengharapkan kata-kata itu. Namun, aku tak menyangka dia akan mengucapkannya secepat ini. Aku merasakan darah di seluruh tubuhku membeku, sama seperti yang dulu sering kurasakan saat melihatnya. Sama seperti ketika Andros menembakku untuk pertama kalinya.

Aku menjawabnya dengan tergagap-gagap. Aku sendiri tak mengerti aku bicara apa.

Andros menatapku heran sesaat, lalu menghela napas dan mengembuskannya. " Yah, gue anggep itu artinya iya, " katanya, lalu kembali bersandar dan memejamkan matanya.

Namun, tangannya menggenggam tanganku. Aku merasakan seluruh darahku akhirnya mencair, lalu mengalir seperti biasa lagi. Tangannya begitu hangat, sampai aku tidak ingin melepasnya lagi.

Aku adalah cewek paling beruntung sedunia. Jangan ada yang membantah.

Kumohon.

Walau pacarmu Josh Hartnet sekalipun. Aku sudah sangat bahagia sekarang.

S E L E S A I


Pendekar Rajawali Sakti 155 Misteri Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Roro Centil 12 Bocah Siluman Penghuni

Cari Blog Ini