Not Until Karya Violita Bagian 1
NOT UNTIL oleh Violita
Ebook by pustaka-indo.blogspot.com
GM 312 01 14 0043
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Gedung Gramedia Blok I, Lt. 5 Jl. Palmerah Barat 29 33, Jakarta 10270
Editor: Irna Permanasari Desain Cover: Yogei Noojin
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama anggota IKAPI, Jakarta, 2014
www.gramediapustakautama.com
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
ISBN: 978-602-03-0612-4 304 hlm; 20 cm
Terima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikan anugerah dengan mewujudkan mimpi ini.
Kepada kedua orangtua, Mama dan Papa, serta kedua kakak yang selalu memberikan kasih sayang yang sempurna.
Kepada sahabat yang selalu membimbing dan mendengarkan keluh kesahku. Semoga kalian tidak bosan dengan celotehanku.
Kepada Mbak Anastasia, Mbak Vera, dan tim Gramedia Pustaka Utama yang paling berperan dalam penerbitan novel ini. Terima kasih, Gramedia!!!
Kepada pembaca dan penikmat novel, selamat membaca novel perdana ini. Ini bukan kisah klasik, tetapi hanya kisah biasa yang memberikan pemahaman lain tentang arti kehidupan.
Thank you... Happy reading!
Ucapan Terima Kasih
YANG membuatnya tak makin sedih hanyalah sisa-sisa puing kesabaran. Raganya lelah menangis. Matanya sembap dengan garis hitam melingkarinya. Betapa besar kesedihan yang ditanggungnya. Menjalani hidup kini menjadi satu-satunya hal yang membuat tubuhnya gemetar ketakutan.
Kehilangan orang yang paling dia sayangi membuat kakinya seakan lumpuh. Rasanya ia ingin mati saja, menyusul orang-orang tersayang secepatnya. Tak perlu susah payah memikirkan hari esok.
Dia belum jadi apa-apa, masih jauh dari sukses, bahkan masih berseragam putih abu-abu. Namun, kenyataan pahit silih berganti menghampiri. Ayahnya, satu-satunya orangtua yang dia miliki sejak kecil, dikabarkan meninggal.
Saat mendarat, roda pesawat yang ditumpangi ayahnya terge
Prolog
lincir, lalu begitu saja mematahkan bagian tengah badan pesawat hingga tak berbentuk. Beruntung hanya ada dua korban. Sayangnya itu bukan keberuntungan Livia.
Kecelakaan itu malapetaka baginya: ayahnya menjadi satu dari dua korban bernasib malang itu. Meninggal di tempat. Sedangkan korban lain koma di rumah sakit di kotanya.
Dan sekarang dia benar-benar takut menjalani kehidupan sendirian. Tanpa sandaran. Meskipun selama ini ayahnya hanya meluangkan Sabtu atau Minggu untuknya, ia tak khawatir. Setidaknya ia masih bisa bersandar. Dia tak punya ibu sejak kecil. Kelahirannya seakan menjadi kesialan bagi ibunya. Dia tak pernah diajari rasanya mempunyai ibu. Namun, ada hal-hal yang membuatnya masih bersyukur. Walaupun bukan ibu kandung, dia sempat merasakan kasih sayang ibu, meskipun hanya sebentar. Dan kini perempuan yang menjadi ibu tirinya itu terbaring, mempertahankan nyawa di rumah sakit. Ya, ibu tirinyalah korban yang satunya, selain ayahnya.
Dia terus menangis. Kepedihannya tak terbayarkan apa pun. Dia kecewa campur menyesal karena tak berada di sisi kedua orangtuanya saat mereka mengalami kemalangan itu. " Livia." Suara lembut memanggil namanya.
Livia buru-buru menghapus air mata yang sedari tadi mengalir, kemudian menoleh ke arah pintu. Sejak tadi dia hanya memandang nanar ke hamparan taman yang terlihat dari jendela kamar.
Orang yang memanggilnya masuk dengan tenang ke kamar Livia. Nana namanya. Dia baru saja datang dari London dan matanya tak kalah sembap dengan mata Livia. Dia merasakan sakit yang sama, meski kejadian seperti ini pernah menghampiri hidupnya. Waktu mengalami pertama kali Nana rasanya tak bisa bernapas. Ternyata kejadian pertama itu membuatnya tahan banting saat menghadapi kemalangan kali ini.
Nana saudara tiri Livia. Gadis itu berjalan mendekat. Ketika ia merentangkan lengan ingin memeluknya, Livia menggeser badan, tanda penolakan. Tatapan Livia kosong. Bibir mungilnya bergerak.
" Keluarlah. Aku pengin sendirian," ucap Livia lemah. Selemah raganya saat itu.
Mata bulat Nana membesar, kaget dengan usiran saudarinya. Dia tahu Livia masih terbawa emosi. Makanya ia memilih diam, hanya menatap Livia dengan kecewa. Livia saudara yang paling mengerti dirinya. Namun, sekarang gadis itu menolak dirinya.
" Keluar!" Livia menghardik, seolah kehilangan akal sehat. Sungguh, ia membentak tanpa penyesalan. Nadanya yang cukup keras langsung menggema ke seluruh kamar. Saat sampai ke telinga Nana, hardikan itu terasa seperti tumbukan yang menyakiti hatinya.
" Maaf," ujar Nana, tak tahu harus mengatakan apa. Karena pernah merasakan kesedihan yang sama, dia beranggapan Livia memang perlu waktu untuk menyendiri, sama seperti dirinya saat itu.
Dengan langkah enggan, Nana berbalik dan bersiap meninggalkan Livia sendirian. Walaupun dalam hati dia tak ingin melakukannya. Dia ingin menemani Livia. Dia ingin Livia membagi kesedihannya. Namun...
" Pembawa sial!"
Ucapan itu membuat Nana kembali berbalik. Suasana rumah yang ramai membuatnya tak begitu mendengar ucapan yang baru saja dilontarkan Livia. Ia menahan kakinya, rasa ragu menyelimuti. Pembawa sialkah dia? Benarkah itu anggapan saudarinya seperti itu?
" Apa?" ucap Nana, mencoba meyakinkan pendengarannya. " Pembawa sial! Kalau bokap gue nggak ke London nyusul lo, semua ini nggak akan terjadi!" cecar Livia membabi buta. Kali itu terdengar jelas di telinga Nana.
Nana mengepal untuk menahan emosi yang menjalar naik. Dia mengerti emosi Livia sedang tak menentu sehingga mudah saja bagi gadis itu melantur. Tubuh Nana bergetar hebat.
Benar, kalau orangtua mereka tak mengunjunginya, bencana itu tak akan terjadi. Benar. Itu memang kesalahan dirinya. Jika saja dia tak merengek mengatakan rindu kepada kedua orangtua mereka, malapeteka ini tak akan terjadi.
" Kalau lo bener-bener menyesal, angkat kaki dari rumah gue! Nggak ada tempat buat lo di sini. Pembawa sial!"
Tangan Nana mengepal erat, tak kuat mendengar cercaan yang dilontarkan padanya. Pikirannya seketika berubah. Kecelakaan itu kan takdir. Jika ada yang ingin kamu salahkan, salahkan takdir! Bukan diriku.
" Bokap lo meninggal karena lo, kan?" Gumpalan emosi yang begitu kuat ingin meledak membuat Livia tak menemukan kata yang pantas untuk dilontarkan. Citranya sebagai gadis lembut di mata semua orang berubah seketika.
Ucapan Livia sungguh menyakiti Nana. Bahkan sekujur tubuh Nana bergetar hebat. Relung hatinya tertusuk tuduhan keji itu dan terluka. Selama ini begitukah anggapan semua orang kepada dirinya?
Sejak datang Nana bertekad bersikap tenang, tetapi ucapan Livia yang tak diduganya membuat gadis itu mau tak mau memuntahkan emosi. " Gue akan angkat kaki dari rumah ini," ucap Nana tegas, tak tahan dengan tatapan keji yang dilemparkan Livia, ditambah dengan emosi yang menguasainya. Dia merasa terhina.
Nana mengembuskan napas berat, mencoba menahan sakit yang baru saja dia terima. Penghinaan membuat dia bicara panjang.
10 50
Masih dengan mengepal, Nana menatap Livia tajam. " Dan sekarang gue menyesal, menyetujui nyokap gue menikah lagi beberapa tahun lalu. Gue pikir selama ini lo yang paling ngerti gue. Sejak umur lima tahun kita sahabatan, dan lima tahun kita saudaraan. Nggak ada penolakan dari kita saat orangtua kita memutuskan hidup bersama menjadi keluarga. Gue pikir kita bisa melengkapi satu sama lain. Tapi gue salah, tabiat lo baru kelihatan sekarang. Ternyata lo cuma serigala busuk yang menyamar jadi kucing manis. Kata-kata lo bener-bener kayak ular haus mangsa," cecar Nana, balas menghina bercampur kiasan.
Gadis itu segera berlalu, amarahnya makin meledak jika bertahan di situ. Bandung ternyata tidak cocok untuknya. Bandung menyimpan sejuta air mata. Bandung memendam luka yang ingin dia lupakan.
Pembawa sial.
Nana melangkah gontai ke luar kamar Livia, menuju kamarnya sendiri. Dia membuka pintu kamar dengan lemas.
Livia keterlaluan!
" Bunga& " panggil Nana. Tapi tak menemukan adiknya di sana. Nana memucat. Bunga tidak ada. Di luar kamar pun dia tak menemukan batang hidung adiknya. Tiba-tiba firasat buruk menyergap sanubarinya. Nana takut luar biasa.
" Nana..."
Nana menoleh.
Wanita tinggi dengan wajah tegas berdiri di belakang Nana. Tante Marina, adik ayah tirinya. Sejak dulu dia tak begitu suka Tante Marina, yang meliriknya tajam, sama seperti yang diperlihatkan Livia tadi.
11 50
" Tante," Nana menyapa.
" Keluar kamu!" ucap Tante Marina keras. " Keluar kamu, gembel!" Nana terkejut, tetapi tak mengambil hati terhadap ucapan tersebut. Pikirannya hanya diisi pertanyaan: di mana Bunga, adik semata wayangnya, berada.
" Bunga di mana? Bunga di mana, Tante?!" ucap Nana setengah teriak, efek tekanan hebat yang diberikan keluarga tirinya. Air mata mengalir di pipinya.
Plak!
Tamparan keras mendarat di wajah Nana, membuatnya terduduk di lantai. Bukan nyeri hati saja yang dia rasakan, melainkan nyeri fisik. Ia meringis, menatap sendu tante tirinya.
" Kenapa kamu selalu membawa sial bagi orang-orang di sekelilingmu, Nana?!" bentak Tante Marina.
Nana menangis.
" Kamu membuatku kehilangan kakak yang tak pernah tergantikan. Kamu selalu membawa sial, Nana!" cecar Tante Marina bertubi-tubi, tak peduli dengan wajah Nana yang masih memerah karena tamparannya.
Perempuan itu menatap Nana angkuh. Kakinya bergerak mendekati Nana, kemudian mengangkat dagu gadis itu dengan tangan kanan. Ia melemparkan senyum bengis. " Kamu ingin tahu apa yang terjadi dengan adikmu, heh, pembawa sial?"
Nana membelalak. Wajah tantenya mengabur karena air mata yang tergenang. Ia balas menatap Tante Marina dengan pandangan menuntut.
" Kamar jenazah rumah sakit Permata. Sekarang pergi kamu dari rumah ini!!" bentak Tante Marina. Dengan cepat ia mengambil koper Nana yang belum sempat dibongkar dan mendorongnya kasar ke arah Nana.
12 50
Nana merasakan sakit yang luar biasa saat koper itu membentur samping badannya. Dia hanya bisa melanjutkan tangis.
Nana menyeret kaki meninggalkan kamar rumah sakit. Air mata masih mengalir. Tubuhnya tak keruan. Sakit yang dia rasakan tak bisa ditahan lagi. Saat kekuatannya mencapai titik terlemah, tubuhnya melorot hingga ia terduduk di lantai rumah sakit.
" Adikmu, Bunga, mengalami depresi yang sangat luar biasa. Depresi yang dia alami membuatnya suka menyakiti diri sendiri. Akibat perbuatannya, adikmu mengalami luka dalam dan kami tidak bisa menyelamatkannya."
Nana nyaris pingsan saat menerima kabar tersebut. Kenapa kemalangan terus mendatanginya? Tapi dia bukan gadis lemah. Dalam sisa-sisa kesadarannya ia bertanya kepada dokter, " Bisakah saya membawa jenazah adik saya, Dok?"
Dokter itu menggeleng. " Kamu harus membayar biaya administrasinya dulu, Dik."
Nana tertegun. Ia hanya punya dua lembar lima puluh ribuan serta beberapa euro, tentu saja tak bisa menutup biaya administrasi Bunga.
Nana terdiam. Dia sebatang kara karena dibuang keluarga tirinya. Ia menelungkup di kedua tangan. Tangisnya kembali pecah.
Tuhan& aku tak sanggup menanggung beban seberat ini, ratap Nana dalam hati.
13 50
t has already began.
SEPOI angin menerpa wajah ketika Nana membuka kaca jendela mobil yang ia tumpangi. Udara kota ini begitu menyejukkan. Kota ini satu-satunya tempat kembali setelah dia merantau. Kota yang membangun dirinya menjadi seperti ini. Kota yang bahkan tak pernah ia mimpikan akan dibencinya. Sekarang hal yang begitu disukainya berbalik menjadi yang paling dihindarinya.
Nana meninggalkan Bandung dua jam lalu. Air mata mengalir sepanjang perjalanan. Semuanya sudah diurus. Mulai dari kepindahan rumah sakit tempat mamanya dirawat. Hanna, mamanya, koma akibat kecelakaan pesawat yang terjadi beberapa hari lalu, yang merenggut nyawa papa tirinya. Ibunda yang begitu dia sayangi kini hanya bisa terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
14 50
Adik satu-satunya meninggal akibat depresi berat, membuat Nana sangat putus asa. Ia tak sanggup menghadapi cobaan yang datang beruntun.
Nana menghela napas berat. Di depannya terdapat deretan bangunan tinggi khas metropolitan. Bukan pemandangan asing baginya. Keraguan muncul: bisakah dia menjalani hidup dengan normal mulai sekarang?
Sebenarnya bagi Nina tinggal sendirian mudah saja. Dia terbiasa, bahkan sangat terbiasa. Dia tak merasakan kehangatan keluarga sejak mamanya memutuskan menikah lagi dengan duda, sahabat papanya. Dan yang lebih penting anaknya sahabat karib Nana. Kehangatan keluarga itu sirna seiring bergulirnya waktu. Yang sekarang tersisa, puing-puing reruntuhan saja. Namun... Pembawa sial.
Begitukah diri Nana selama ini? Apakah kehadirannya membawa sial bagi orang-orang di sekitarnya?
Nana menepuk dada keras. Ngilu yang tergores di hatinya tak bisa dan tak akan pernah bisa hilang, dia jamin itu. Air matanya tak bisa keluar karena terus menangis. Jika masih menangis, mungkin matanya akan mengeluarkan darah. Namun dia tak peduli lagi, biar saja, biar buta sekalian! Hingga dia tak perlu melihat semua itu.
Nana masih menatap ke luar jendela. Ia tak punya apa-apa lagi sekarang. Adiknya, Bunga, baru saja menyusul Papa. Hanya tersisa Mama yang masih jauh dari kesembuhan. Ah, mampukah ia melewati beban berat itu?
Drrrttt& drrrttt&
Getaran ponsel membuat Nana mengerjap, tersadar dari lamunan panjang. Ia menatap layar ponsel, tertera jelas nama Ben. Cepat-cepat ia menerima panggilan telepon itu.
15 50
Ben adik Papa. Oom yang masih melajang itu baru menamatkan pascasarjana di London. Ia baru tahu oomnya juga menuntut ilmu di negeri yang sama dengannya saat tak sengaja bertemu dengannya beberapa tahun lalu. Itulah awal mereka berhubungan kembali. Sejak menikah dengan Hadi, papa tirinya, mamanya melarang Nana berhubungan dengan keluarga Papa. Ia tak pernah diberi jawaban jelas. Mamanya hanya mengatakan bahwa dia sedih kalau Nana terus menanyakan keluarga almarhum Papa dan sebaiknya menerima keluarga barunya.
Tapi Oom Ben menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi saat keduanya berjumpa di London. Nana perlahan melanggar pesan mamanya. Diam-diam ia menyimpan nomor ponsel Oom Ben dan sepakat mengatur pertemuan lebih sering.
Kebenaran cerita dan ucapan Oom Ben terbukti: Nana dibuang keluarga tirinya tepat setelah upacara pemakaman papa tirinya.
Oom Ben menjadi satu-satunya harapan Nana bergantung. Terlebih dia tak punya uang sama sekali. Tabungannya diblokir, padahal itu uang beasiswa yang Nana terima saat sekolah di London. Nana selalu ingat bagaimana kebaikan Oom Ben dalam membantunya membayarkan biaya administrasi rumah sakit Bunga dan mengatur segalanya beberapa hari lalu.
Selain itu, saat menerima kabar tentang kecelakaan pesawat orangtuanya, ia langsung meminta Oom Ben membantu mengurus kepindahannya dari high school-nya di London. Namun, kini ia menyesali keputusan itu. Nana menghela napas ketika mengingat kejadian menyakitkan itu. Dadanya sesak, rasanya oksigen yang memenuhi paru-parunya berubah menjadi butiran pasir yang menyesakkan.
" Oom Ben? Nana nggak jadi pindah ke Bandung," terang Nana spontan.
16 50
Terdengar Oom Ben mengucapkan sesuatu dari seberang sana. Nana mencengkeram ujung bajunya keras. Dia butuh waktu untuk menenangkan diri, mungkin lebih lama daripada prediksinya.
Bali
Nana menatap kosong ke depan. Bali bukan tempat yang adem seperti Bandung, namun entah kenapa Nana tenang di sini. Tinggal tiga minggu di Bali membuatnya betah dan bisa menerima apa yang telah terjadi. Di samping itu, ia mengurus Mama yang tengah melewati perawatan alternatif dan medis secara bersamaan. Sejauh itu ia merasa baik-baik saja karena keberadaan Oma yang selalu menemani. Opa sudah mendahului mereka.
" Mamamu bakalan lama sekali baru bisa sembuh dari koma." Nana menoleh, mendapati Oma yang sudah berumur lebih dari enam puluh duduk di sampingnya. Entah sejak kapan Oma berada di sana. Yang ia tahu, dari sorot matanya, Oma juga merasakan kesedihan yang sama: merindukan sosok orang yang dicintai.
" Bunga& " ucapan Nana terpotong. Rasanya ia ingin mati saja, sesak di hatinya masih belum kunjung hilang. Yah, manusia mana yang bisa menerima kenyataan sepahit dirinya? Ia bukan gadis tegar yang hanya menangis sehari kemudian bisa bangkit kembali. Ia hanya gadis lemah yang tak bisa menerima kenyataan. " Nana... adikmu sudah tenang di sana, Nak."
Nana menggeleng. " Bunga depresi, Oma... Aku... Kenapa Mama nggak pernah cerita padaku?" ujarnya menyesali. Bulir-bulir air mata kembali terjatuh.
Oma membelai-belai kepala Nana dengan lembut. Wanita tua itu tersenyum lembut, menenangkan. " Mama nggak mau membebanimu, Nana."
17 50
Nana menggeleng, tidak terima. " Mereka mengaturnya dengan mulus." Suaranya bergetar.
Gadis itu menghapus air mata. Ini tak bisa dibiarkan, dia harus bangkit. Harus. Bagaimanapun caranya. Penjelasan Oom Ben beberapa minggu lalu mulai membuka matanya.
Dulu, saat di London, Oom Ben hanya sedikit menceritakan kenapa perusahaan keluarga mereka menghilang begitu saja, gedungnya terbakar dan menewaskan beberapa karyawan. Setelah itu, tak ada lagi kabar perusahaan Kelana.
" Aku nggak akan membiarkan mereka bertindak semaunya, Oma. Aku janji, sebelum Mama sadarkan diri, akan kubuat keluarga Natara hancur," ucap Nana bersungguh-sungguh. Kilatan matanya menjelaskan kesanggupan ucapannya. Hukum alam masih berlaku sampai kapan pun.
Oma hanya diam, sambil terus mengusap kepala Nana. " Jangan gegabah, Nak. Lebih baik kamu di sini bersama Oma. Biarlah Oom Ben yang mengurus segala sesuatunya di Jakarta. Kamu sekolah saja."
Nana tertegun. Itu bukan pertama kali dia diajak tinggal di rumah Oma. Namun, semuanya harus bisa dikembalikan seperti semula. Apa yang menjadi haknya harus kembali padanya. Kejahatan yang mereka lakukan harus berbalik kepada mereka.
Nana tersenyum terpaksa. " Nggak bisa, Oma. Aku harus ke Jakarta," jawabnya singkat. Kegundahannya tampak. " Oma mengkhawatirkanmu, Nak," ucap Oma terang. Nana mengangguk, setetes air mata keluar. Akhir minggu ini dia harus meninggalkan Bali. Kedatangannya ke pulau itu hanya karena mamanya. Ia sengaja memindahkan Mama ke kota kelahirannya. Ia yakin mamanya akan baik-baik saja di sini. Di Bandung ada terlalu banyak orang jahat, yang bisa setiap saat menyakiti Mama.
18 50
" Jangan terlalu banyak menangis, Nana," pinta Oma. Nana mengangguk.
Pembawa sial.
Seumur hidup Nana tak akan melupakan kata-kata itu. " Seperti apa pun keadaan yang akan kamu lalui, jangan selesaikan dengan emosi. Lihat, seperti apa dirimu jadinya: suka melamun dan menangis. Kamu tidak seperti yang mereka katakan. Buktikan, Na, buktikan kamu bisa bangkit. Kamu bukan gadis lemah yang goyah karena kecaman mereka." Oma mengusap lengan Nana pelan, membuat gadis itu mengangkat wajah.
Nana menatap mata Oma dengan sayu. Benar, dia gadis yang kuat. Dia mampu melewati itu semua. Dia akan buktikan pada semua orang bahwa dirinya membanggakan.
Begitu saja air mata Nana berhenti. Tekanan dan kelemahan batin membuatnya terpuruk terlalu lama.
Kini saatnya Nana bangkit. Tapi sungguh, dia tak akan melupakan saat-saat terakhirnya di Bandung.
Pandangan Nana mengeras. Dia sungguh akan mampu menjalani itu semua.
Bagi sebagian orang mengalami perubahan besar terasa sulit. Tekanan yang terlalu besar menimbulkan perasaan lelah. Namun begitu timbul kemauan besar, kita bisa menjadi tonggak untuk melanjutkan hidup. Takut menghadapi keadaan tidak lagi menjadi hambatan. Semuanya bisa dilakukan begitu saja. Mengalir. Gadis yang bahkan belum menginjak usia tujuh belas, sanggupkah bersikap setangguh itu?
Tujuh belas tahun adalah masa labil remaja. Bagaimana bisa dia diberikan tanggung jawab begitu besar?
19 50
Nana memakai sunglasses. Dia menyusuri bandara Soekarno- Hatta. Sudah dua jam berlalu sejak keberangkatannya dari bandara Ngurah Rai, Bali.
Ini hidup baru Nana. Dan dia harus bisa melewatinya. Nana tertegun saat melihat wallpaper ponselnya: dirinya, Mama, Papa, dan Bunga terlihat begitu bahagia. Kalau saja waktu bisa diulang, dia akan berusaha mengumpulkan kebahagiaan yang mungkin takkan pernah lagi dia raih.
Sebenarnya bagaimana keadaan Papa dan keluarga barunya lima tahun itu? Well, Nana tak terlalu ambil pusing. Penolakan keluarga tirinya menyakiti hati. Ia sulit melupakan tatapan menjijikkan Tante Marina. Panggilan " gembel" yang dia lontarkam, seperti orang tak berpendidikan saja. Ia menggeleng pelan. Dia harus menyingkirkan segala hal yang mengganggu pikirannya. Life must go on. You have to move on!
Gadis itu berada di antrean pengambilan bagasi. Begitu berhasil menemukan dua koper besarnya, Nana langsung menariknya cepat. Baru selangkah Nana berjalan, ponsel dalam kantong jaket berdering keras. Nama Oom Ben terlihat di layar ponsel.
Nana berikrar dalam hati, tidak ada yang boleh mengetahui masa lalunya sekarang. Siapa pun. Cukup dia dan orang-orang yang terlibat. Masa lalu menjadi pil pahit yang tak ingin dia telan lagi.
Nana menghela napas. " Ya, Oom?" jawabnya ramah, mencoba bersikap seperti biasa.
Terdengar tawa khas pamannya dari seberang sana. " Kamu terdengar bahagia, Na, beda dengan beberapa hari lalu."
Nana tersenyum kecil. " Ada apa?" Suaranya kembali seperti kemarin-kemarin.
Oom Ben menghela napas panjang. " Sikap dinginmu datang
20 50
kembali. Bagaimana bisa kamu jadi moody seperti itu? Oom cuma mau nanya, kamu mau tinggal di apartemen atau rumah? Oom rasa kamu cocok tinggal di apartemen, mengingat kamu terbiasa di asrama putri saat di London. Bagaimana?"
Nana menerawang. Dia tak punya tempat tinggal di ibu kota. Dia tak ingin tinggal di apartemen. Suasana sunyi bisa membuat keadaannya tambah buruk. Namun saat mengingat ukuran rumah yang terlalu besar untuk ditinggali sendiri, dia merasa getir. Kesepiankah dia nanti?
Pro dan kontra berebutan mengisi pikiran Nana. Setelah menimbang cepat, ia membulatkan tekad. " Nana tinggal di rumah aja, Oom. Lagian kan Papa udah beli rumah di sini. Udah lama, kan? Nana tinggal di sana aja."
" Tapi, Na& " Oom Ben terdengar protes.
" I m okay. Oom nggak usah khawatir." Nana tahu Oom Ben begitu mengkhawatirkannya.
" Baiklah, Na, jemputanmu datang sebentar lagi. Kamu nggak apa-apa kan nunggu sebentar? Mereka bilang, jalan tol macet." Nana mengernyitkan dahi. " Mereka?" tanyanya bingung. Oom Ben terkekeh. " Lihat saja siapa yang akan menjemputmu."
Tuuuttt...
Sambungan telepon terputus. Alis Nana bertaut. Mereka? Berapa banyak sih orang yang akan menjemput gue?
Tiiinnn& Tiiinnn...
Aga menekan keras-keras klason mobil. Sudah lima belas menit mobilnya tak maju-maju. Bisa-bisanya jalanan tol macet saat dia menjemput keponakan bosnya.
21 50
" Heh, lo sabar dong! Di depan ada kecelakaan," ujar Stevan yang duduk di kursi belakang dengan wajah masam.
Aga berbalik sebentar, menjawab, " Gue udah sabar kali, Van, mobilnya aja nih yang nggak mau woles, mau maju terus."
Plakkkk...! Kardus tisu setengah penuh dilemparkan ke arah pengemudi.
" Yang driver siapa?" balas Nathan yang duduk di kiri Aga. " Oke, oke, gue cukup sabar ya. Kalau aja Bos Ben bukan teman baik kita, mana mau gue dijadiin sopir kayak gini?" cerocos Aga spontan.
" Ambil hikmahnya aja kali, Ga. Lo ngomooongg... terus dari tadi, nggak berhenti-berhenti. Makin lama makin mirip cewek!" timpal Nathan jengah.
Pengemudi BMW hitam pekat itu mendelik. " Duh, please ya. Hikmah apa yang bisa diambil dari pekerjaan sopir?"
Kali ini jitakan mendarat di kepala Aga. " Dasar orang kaya, sombongnya minta ampun!"
Aga meringis kesal. " Ah, lo berdua, ceramahin gue mulu dari tadi. Woles woi!" Mulutnya mengeluarkan sumpah serapah.
Dua teman Aga hanya saling lirik dan tersenyum miring. Terbiasa dengan sifat Aga yang seperti itu.
Satu jam kemudian BMW Aga memasuki kawasan bandara Soekarno-Hatta. Ketiga pemuda itu mencari ke sana-kemari. " Ag..." sapa salah satu dari mereka.
" Panggil gue Ga," protes Aga.
" Iya, bawel. Lo tahu dia di terminal mana?"
Aga berpikir sebentar, kedua alisnya naik-turun. " Terminal? Terminal apa ya? Terminal yang biasanya kita datangi emang terminal apa?" ujar pemuda itu dengan tampang polos. " Demit! Itu terminal internasional, stupid! Jelas-jelas dia dari
22 50
Bali. Namanya& siapa kemarin? Nana? Yes. Viona," timpal Stevan geram.
Aga hanya menaikkan sebelah alis. " Dia pakai baju apa ya kata Bos Ben? Mana gue nggak punya nomor handphone-nya," gumamnya, seperti bertanya pada diri sendiri.
Nathan dan Stevan sontak saling pandang, kemudian menatap Aga dengan tatapan yang sulit didefinisikan. " Jadi lo nggak tahu dia pakai baju warna apa?!" ucap mereka hampir bersamaan dengan suara setengah berteriak sehingga mengejutkan orangorang di sekitar mereka.
Nana menatap jam tangan. Sudah lewat satu jam setelah dia menerima telepon Oom Ben tadi. Ke mana sih orang-orang itu? Nana merutuk kesal.
Gadis itu berdiri dari duduk. Satu-satunya tempat yang dia tumpangi untuk menunggu jemputan adalah tempat makan siap saji.
Nana melangkah ke luar, mendorong dua koper besar dengan kesal. Dia tak pernah membayangkan hari pertamanya di ibu kota menyusahkan.
Ting! Dicari& Nona Nana, dari penerbangan Bali-Jakarta. Mohon Nona Nana segera ke pintu masuk terminal 1B.
Nana menoleh ke sumber suara saat namanya disebut. Kemudian ia berpikir, berapa banyak nama Nana yang dimiliki orang-orang di bumi? Apakah panggilan itu untuknya? Panggilan itu kembali terdengar, seolah menjawab pertanyaannya.
Ting! Harap Nona Viona Aphrodita Kelana alias Nana segera menuju terminal 1B.
Kali itu Nana benar-benar yakin orang yang dimaksud adalah
23 50
dirinya. Dia menebak dalam hati bahwa orang yang menunggunya itu adalah penjemputnya.
Mantap Nana melangkah menuju pintu keberangkatan terminal 1B. Ia memutar bola mata saat sampai, mendapati beberapa pemuda yang mengenakan kemeja kasual dan kets warna senada sedang celingak-celinguk. Sepertinya mereka mencari seseorang.
Nana melangkah mendekati petugas bandara yang ada bersama para pemuda itu. " Saya Viona Aphrodita," ucapnya datar.
Si petugas bandara tersenyum, kemudian berpaling kepada ketiga pemuda tersebut. Dugaan Nana benar: merekalah yang disuruh Oom Ben menjemputnya.
Setelah petugas itu selesai berbicara, dengan cepat ketiga pemuda itu mendekati Nana. " Jadi lo Nana? Lo bener Viona Aphrodita? Akhirnyaaa... kami nemuin lo juga."
Nana menatap pemuda comel tersebut dengan ekspresi datar. Ia tak mengerti, bagaimana mungkin ada manusia semacam itu. Sudah jelas dunia tahu ketiganya tak menemukannya, tapi Nanalah yang menemukan mereka. Ah, sudahlah.
Pemuda itu menyodorkan tangan, membuat Nana mengerutkan dahi. " Gue Aga, yang disuruh Bos Ben jemput lo," ucapnya riang.
Nana rada membungkuk ke arah Nathan dan Stevan, kemudian menatap Aga. " Thanks," ucapnya tanpa membalas jabatan Aga, kembali mengedarkan pandangan kepada dua pemuda lainnya.
Aga berpikir dalam diam. Gadis ini sama sekali tidak menunjukkan perubahan ekspresi di wajahnya. Pandangan datar dan membuat orang jengkel, khususnya dirinya.
Nathan tersenyum canggung. " Gue Nathan." Lalu diiringi suara Stevan, " Gue Stevan."
Hanya ada anggukan kecil dari kepala gadis itu sebagai respons.
24 50
Not Until Karya Violita di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aga masih diam. Dia mengalihkan pandangan ke arah Stevan dan Nathan yang mengedarkan pandangan ke mana-mana. Mereka pasti ingin tertawa, tebak Aga.
Sialan cewek ini, umpat Aga dalam hati sambil menatap Nana. " Yuk, gue anter ke rumah lo," ucapnya seraya membalikkan badan, bersiap pergi.
Nana mengalihkan pandangan yang berarti " bantuin bawa koper gue" ke arah Nathan dan Stevan, yang beruntung ditangkap cepat kedua cowok itu.
" Sini, biar kami aja yang bawain," ucap Stevan berbasa-basi. Gadis itu mengangguk mantap, kemudian mengikuti langkah Aga yang sudah jauh di depan. Stevan dan Nathan hanya melongo melihat tingkah gadis tersebut.
" Lo yakin dia cewek normal?" ucap Nathan terlihat frustrasi. Stevan menaikkan bahu. " Gue nggak tahu, Than."
Mobil yang ditumpangi keempat remaja itu bergerak cepat membelah jalan. Nana menatap jalanan. Aga yang berada di belakang setir sesekali melihatnya dari kaca spion, lalu menoleh ke arah Stevan dan Nathan, yang juga terlihat mencuri-curi pandang pada Nana.
" Stev, kemarin gue dapet lokasi motret yang bagus," ujar Nathan sambil menoleh ke belakang, memecah keheningan. Stevan memajukan badan. " Oh, yang lo SMS-in gue itu?" Aga nyeletuk, " Kemarin gue juga beli majalah Otomotif. Eh, tahu nggak, keluaran& " Aga menghentikan ucapannya saat melihat Nana menoleh sedikit ke arahnya.
" Na, lo nggak bosen? Lo mau denger musik? Gue puterin musik, ya?" Aga menawarkan dengan antusias.
25 51
Nana hanya diam.
Nathan dan Stevan tampak menunggu jawaban Nana. " Sorry& gue boleh minta ketenangan?" ucap Nana dingin. Stevan, Nathan, dan Aga spontan berpandangan. Aga hanya mengembuskan napas kesal. " Pedess... pedess& " rutuknya enteng, yang langsung mengundang cengiran Nathan dan Stevan. Mereka menahan tawa sambil menatap kasihan pada Aga.
Nana fokus pada jalanan, seakan tak mendengar celotehan Aga barusan. Yang dia tahu, dia harus memulai hidup baru di kota itu. Dan dia harus benar-benar fokus. Semua harus berubah, sesuai kemauannya. Sudah cukup dunia memorakporandakan hidupnya.
26 51
MW Aga memasuki kawasan perumahan di Jakarta Selatan. Nana mengedarkan pandangan ke daerah tersebut. Ia melirik ketiga pemuda yang menjemputnya itu dengan aneh. Mereka benar-benar diam sejak ia meminta ketenangan.
Namun, Nana tak begitu memusingkan lagi apa yang terjadi dengannya tadi atau kemarin. Yang paling penting adalah bagaimana dia menjalani hidup selanjutnya. Melangkah dengan kedua kakinya yang sempat " lumpuh" .
Mobil itu berhenti di depan rumah yang tak begitu dikenal Nana. Perasaan aneh menyelinap ke hatinya, ia yakin pernah ke sini, tetapi entah kapan. Mungkin sudah begitu lama. Entahlah. Ia masih belum mampu memanggil kembali memorinya. Setelah mesin mobil mati, Nana segera turun dari mobil. Di
27 51
depan pintu terlihat Oom Ben yang langsung tersenyum lebar sambil merentangkan lengannya lebar-lebar.
" Welcome home, Nana," ucap Oom Ben nyaring. Nana berjalan perlahan, kemudian memeluk Oom Ben." Makasih, Oom." Setelah mengucapkan kalimat singkat itu, ia melepas pelukan.
Oom Ben mengangguk. Senyumnya masih penuh. Ia melihat puas pada Aga, Stevan, dan Nathan yang mengangkat koper besar Nana. " Bagaimana? Nggak macem-macem kan sama keponakan saya?" komentar Oom Ben ringan, yang justru membuat ketiga pemuda itu berhenti seketika. Napas mereka terasa tercekat mendengar komentar tersebut.
What?
Mereka membelalak. Bagaimana mungkin Bos Ben menganggap mereka akan menggoda keponakannya yang menurut mereka sedikit weird itu?! Sepertinya Bos Ben perlu memeriksakan keadaannya ke dokter jiwa.
Aga menatap Bos Ben dengan malas. Setelah memastikan Nana sudah berjalan ke dalam rumah, pemuda itu buru-buru menghampiri si Bos dan berbisik, " Bos& ."
Bos Ben menoleh.
" & yakin dia nggak weird?!" ucap Aga lancang. Bos Ben menatap Aga tidak percaya. " Jaga ucapanmu!" Aga menghela napas, lalu menceritakan apa yang terjadi kepada mereka beberapa jam terakhir, termasuk tentang keanehan Nana yang terus-terusan menatap kosong ke arah jalanan.
Bos Ben hanya tersenyum tipis dan menepuk punggung Aga perlahan. Pria itu masuk ke rumah tanpa menjelaskan apa-apa, membuat Aga semakin yakin bahwa memang ada sesuatu yang terjadi pada gadis cantik itu.
28 51
Apa? Cantik? Sepertinya bukan Bos Ben saja yang harus memeriksakan kondisi kejiwaannya. Aga pun begitu.
Nana menatap foto keluarganya lekat-lekat. Foto itu dipajang di ruang tamu dengan bingkai besar. Di samping foto keluarga usang tersebut ada beberapa foto masa kecilnya, Mama, dan juga Papa.
Nana menatap sendu ke arah kedua orangtuanya yang terlihat bahagia di salah satu kumpulan foto itu. Ia tahu, latar belakang foto itu Gedung Sate di Bandung. Kata Mama, di sanalah kencan pertama orangtuanya dimulai. Mengingat semua itu, hati Nana seperti dihantam keras. Sesak. Tak ada yang mampu menjelaskan perasaannya. Dia begitu merindukan keluarganya. Semuanya. " Nana, you ve to be strong." Suara Oom Ben terdengar. Nana menghela napas berat. Itu memang saat untuk menunjukkan kekuatannya. Menjawab ucapan Oom Ben tersebut, Nana hanya mengangguk kecil, lalu memutuskan menuju kamarnya, di lantai dua rumah berasitektur minimalis itu.
Namun, tiba-tiba Nana menghentikan langkah, teringat sesuatu. Matanya menangkap tiga pemuda yang menjemputnya tadi berjalan tergopoh-gopoh membawa dua koper besar. Ia berbalik, meraih kedua koper itu dengan sigap, membuat Nathan dan Stevan terkejut.
Oom Ben berjalan mendekati mereka. " Kalian sudah kenalan? Mereka juga akan menjadi temanmu di sekolah."
Nana menatap Oom Ben tak percaya. Dia mengangguk. Tak berapa lama kemudian gadis berambut lurus panjang itu membalikkan badan dan kerepotan membawa koper ke kamar. " Oom?" ucap Nana saat berada di loteng.
29 51
Oom Ben menghentikan pembicaraannya dengan Aga, Nathan, dan Stevan, menengadah, dan memandang keponakannya. " Ada apa?"
Nana menggigit bibir. " Apa aku... di sini bakalan bener-bener tinggal sendirian?" ucapnya ragu.
Oom Ben tersenyum, menggeleng. " Tidak. Kamu tahu kan siapa yang bekerja di rumahmu yang dulu di Bandung? Nah, mereka akan bekerja di sini."
Nana tersenyum lega, mengangguk tanda paham, kemudian hilang dari pandangan Oom Ben. Langsung ke kamar. Sebenarnya dia tak begitu ingat wajah pekerja di rumahnya yang dulu. Sudah berapa tahun berlalu sejak dia meninggalkan kediamannya di Bandung?
Melihat situasi tadi, Aga menyenggol lengan Bos Ben pelan. " Bos, dia kenapa sih?" tanyanya penasaran.
Bos Ben menggeleng mantap. " Bukan urusanmu!" Aga melengos kecewa, terlalu ingin tahu sisi kehidupan Nana yang sebenarnya. Pemuda itu melihat ke arah foto keluarga gadis itu. Terlihat Nana masih kecil sekali, mungkin berumur tujuh tahun. " Iya kali, bukan urusan gue, ya," gumamnya.
Nathan dan Stevan tak ambil pusing. Mereka membantu Bos Ben mengurus berbagai perlengkapan rumah Nana.
Aga merutuki nasib. Bener-bener gue jadi pekerja kasar saat ini, batinnya, lalu bergabung dengan Bos Ben dan kedua temannya.
Nana mengamati aktivitas keempat pria itu dari balkon. Dari kamarnya bisa terlihat jelas teras maupun halaman rumahnya. Dia menghela napas. Besok dia mulai belajar di sekolah baru.
30 51
Nana mengamati penampilannya. Seragam Bizzarre International High School atau biasa disebut BIHS adalah blazer biru donker dan rok di atas lutut, dengan kemeja krem menempel rapi di badan, mengingatkan ia pada sekolah sebelumnya. Dulu seragamnya juga berwarna sama. Ia menghela napas. Sebaiknya ia segera melupakan kenangan masa lalunya.
Nana menatap dirinya di cermin. Tebersit pertanyaan: bagaimana kabar saudarinya? Apakah dia sudah sekolah seperti yang Nana lakukan saat itu? Tapi, ia segera menepis pertanyaan itu sebisa mungkin. Wajahnya kembali mengeras. Ia tak boleh memakukan dirinya pada lubang hitam yang diberikan keluarga tirinya itu. Dia membiarkan keegoisan menguasai dirinya, tak membiarkan satu celah pun dikuasai hati nuraninya.
Nana keluar kamar. Sesaat mengamati rumah yang semalaman dia huni itu dengan cermat. Memang harus ada sedikit renovasi. Tapi, ia tak perlu melakukannya terburu-buru. Hidup pasti berjalan juga bukan? Dia bebas melakukan semuanya pelan-pelan.
Nana baru sadar, sekolahnya masuk pukul 08.00 WIB. Buru-buru dia menyambar tas dan keluar rumah, menyusuri jalanan perumahan. Sampai di ujung jalan, ia berharap segera menemukan taksi, karena tadi menolak ajakan Oom Ben untuk pergi ke sekolah bersama.
Oom Ben tidak tinggal di rumah Nana, memilih tetap tinggal di rumahnya yang lebih dekat dengan kantor perusahaan Kelana, yang berganti nama menjadi Kailana.
Ah, taksinya datang!
31 51
Nana masuk ke sekolah baru setelah membayar ongkos taksi sesuai argo. Di gerbang ia menatap gedung sekolah, menarik napas lega. Ada replika bundaran HI di depan gedung sekolah. Terkesan replika itu dibuat untuk menunjukkan ciri khas Indonesia di sekolah internasional itu.
Sebisa mungkin Nana melangkah dengan normal, tak ada aksi buku terjatuh atau tabrak-menabrak yang berujung jatuh cinta dan membawa sejuta kebahagiaan ala sinetron.
Cih& kebahagiaan? Apa kau benar-benar yakin adanya hal itu? Mungkinkah kebahagiaan terwujud dari kesedihan mendalam?
Buru-buru gadis itu mengusir pikiran ngawurnya, memasuki gedung tersebut dengan santai. Beberapa siswa-siswi menatapnya dengan raut aneh. Wajar saja, dia kan murid baru.
Nana diberitahu bahwa kelasnya ada di lantai tiga. Sebenarnya dia tak usah repot-repot menaiki tangga karena tersedia lift. Namun, baiklah, Nana bukan manusia Indonesia yang senang bermanja-manja.
" Asyik... idola kita datang!"
Tertegun Nana mendengar hal itu. Dengan cepat ia berhenti, kemudian menatap kedua siswi yang ada di depannya. Ia turut melihat apa yang sedang disaksikan kedua murid itu. Well, ia penasaran dengan " idola" yang mereka maksud. Nana menyipit. Terlihat empat siswa masuk dengan posisi dua di depan dan dua di belakang. Ia menautkan alis. Jadi mereka yang ditunggu cewek-cewek itu? Nana memutar bola mata. Tidak penting.
Nana kembali melihat ke arah empat pemuda yang berjalan ke tangga. Oh! Astaga!
Jangan bilang tiga di antaranya adalah tiga kancil yang menjemput Nana kemarin. Sungguh ia tak habis pikir. Bagaimana
32 51
bisa mereka memosisikan diri sebagai idola di sekolah itu? Oh God, c mon. Apa semua orang di sini buta?
Nana menilik mereka dengan prihatin. Huh! Apa mereka semacam F4 yang ada di Boys Before Flower, serial drama Korea yang benar-benar melejit itu? Begini-begini ia juga pernah menonton serial drama Korea. Apakah di Indonesia, seperti ini wujudnya? Lalu siapa yang akan menjadi Geum Jan Di, gadis beruntung yang berhasil mendapatkan hati Goo Jun Pyeo? Ahh& dia bisa gila jika terus memikirkan hal ini.
Nana melanjutkan perjalanan menuju kelas. Dia bakal jadi tidak waras jika berlama-lama di situ dan mengikuti tingkah para siswi. Alis Nana semakin bertaut saat kedua murid di depannya itu terburu-buru mengejar keempat cowok tadi, dengan mengatakan: " Ntar makan siang bareng yuk."
Ihhh& Nana memutar bola mata, kemudian berbalik. Lebih baik dia mencari kelasnya dan duduk manis di bangku barunya. " Na."
Nana menengok ke belakang. Memangnya ada yang kenal dia? Dia mengerjap saat melihat empat idola itu mendekatinya. Dua siswi yang tadi melihatnya curiga. Nana kembali memutar bola mata.
" Lo udah tahu kelas lo di mana?" tanya Stevan yang sekarang berjalan mendekati Nana.
Nana menggeleng sekilas. Ia memang tidak tahu letak kelasnya.
" Lo sama kami satu kelas. Ya udah, samaan aja jalan ke kelasnya."
Nana mengangguk, mengikuti keempat orang itu dengan malas. Oh? Jangan bilang dia yang akan menjadi Geum Jan Di dalam serial itu! Nana benar-benar ingin tertawa.
33 51
Sampai di kelas, Nana langsung duduk di kursi yang ditunjukkan Aga, seakan tak punya kepemilikan. Dia melirik sekilas ke arah empat cowok yang berbincang seru itu. Hah& baiklah, Nana, kamu datang ke kota ini bukan untuk main-main, apalagi mencari cinta sejati. Kamu datang ke kota ini untuk bekerja. Bekerja! tukasnya dalam hati.
Nana mengalihkan perhatian pada siswi yang memperhatikannya. Ia tersenyum masam, kemudian mengambil earphone dan mendengarkan musik. Sesaat ia menoleh karena merasa ada yang memperhatikannya. Tak ada siapa pun. Dia yakin dirinya sedang diamati, entah oleh siapa.
" Jadi... kenapa kalian berlagak kayak idola di sekolah ini?" Nana mengeluarkan suara. Jelas-jelas dia risi pada tatapan para siswi di sekolah. Headline sekolah mengabarkan anak baru dekat dengan empat idola mereka. Ia geli mendengarnya.
Aga, Stevan, dan Nathan hampir tersedak mendengar ucapan itu. Nana mengatakan berapa kata? Oh God, terima kasih sudah mengembalikan gadis bengis itu menjadi manis.
Nana memandang ketiga pemuda itu tajam, meminta jawaban atas pertanyaannya tadi.
" Kami nggak minta, semuanya ngalir gitu aja," jawab Aga percaya diri.
Nana langsung mengernyit. Baiklah, memang lebih baik dia menyantap makanan daripada membahas keidolaan pemudapemuda di depannya itu. Ia menyesal menanyakan hal yang tak ada hubungannya dengannya. Kenapa harus mencampuri urusan orang?
Terlebih tadi Nana tak sengaja mendengar percakapan beberapa
34 51
anak bahwa keempat cowok itu menjadi idola, selain karena ketampanannya yang menurut Nana biasa saja juga pernah membuat harum nama sekolah melalui prestasi masing-masing.
Lalu? Untuk apa pula dia memikirkan hal itu. Bodoh, cerca Nana pada diri sendiri.
Tetapi tetap saja Nana melirik sekilas. Rasa-rasanya satu dari keempat cowok itu belum dia kenal. Dari semua nama yang dibisikkan siswi-siswi, Dio-lah yang belum dikenalnya. Dan pastinya cowok yang berada persis di depannya itu Dio.
Diova Esa Putra. Nana begitu saja menyebut nama panjang si cowok dalam hati. Tanpa sadar dia langsung menyelipkan nama baru itu dalam sudut ingatannya.
" Gue kaget lho, Na, pas tahu lo hafal nama kita bertiga. Mmm& secara lo kan kemarin..." Ucapan Nathan menggantung. Ia melirik ke arah Aga dan Stevan yang menatapnya tajam. Sesungguhnya dia juga takut salah bicara, bisa-bisa tatapan kosong kemarin itu kembali menghiasi wajah Nana.
Nana menyeruput air kemasan dingin sebagai penutup kegiatan makan. Seolah Nathan tak mengatakan apa-apa, ia berdiri dan menatap keempat cowok itu bergantian. " Well, thanks ajakan makannya. Gue ke kelas dulu."
Nana meninggalkan keempat cowok yang memandangnya terpaku. Sebagai murid baru ia jelas jauh dari kategori ramah. Tapi mau diapakan?
Tahu-tahu ada cewek berlari cepat melewati Nana, membuat perhatian Nana yang terfokus pada jalan menjadi pecah pada si cewek. Oh, ternyata cewek itu langsung bergabung di meja tempat Nana makan tadi. Tubuhnya tinggi semampai dengan riasan wajah tipis. Dia duduk di samping Dio dan terlihat akrab dengan keempat cowok idola itu.
35 51
Nana berbalik kembali. Untuk apa dia peduli?
Stevan menangkap pemandangan itu, kemudian menyenggol lengan Aga, membuatnya terkesiap dan mengalihkan pandangan dari tamu baru mereka. " Gue nggak tahu cara berteman yang baik sama dia," ucap Stevan.
Aga menggeleng tidak jelas. " Siapa? Nana? Gue juga nggak tahu caranya sabar menghadapi dia setelah kenalan."
Dio yang lagi mendengarkan celotehan cewek yang baru bergabung dengan mereka kini menatap tiga sahabatnya dengan pandangan meremehkan. " Katanya lo semua cowok ganteng nan friendly. Apa buktinya?"
Setika ketiga cowok itu memandang Dio. " Dia bikin gue penasaran," terang Aga. " Gue tahu dia sebenernya baik," komentar Stevan. Nathan menengok dan bertanya ke Dio. " Elo?"
Dio mengangkat bahu dan mencibir. " Gue nggak terlalu pengin berurusan sama dia!" Lalu ia mengalihkan pandangan pada cewek di sebelahnya, yang menatap mereka bingung.
" Yo, ntar temenin aku ke toko buku ya," ucap gadis manis itu. Dio hanya mengangguk sekilas, lalu beralih pada makanannya yang masih tersisa. Cewek di sampingnya itu berdiri, lalu pergi begitu saja, merasa urusannya sudah selesai.
Aga dan Stevan berpandangan, merasa aneh dengan sikap Dio yang tak kunjung tegas pada masalah hatinya. Katanya putus, kok masih jalan bareng, pikir mereka diam-diam
Nathan menoleh ke arah Dio. " Kenapa lo nggak ikut kemarin?" tanyanya penasaran.
Dio menyipit. " Lo pikir, mobil lo segede truk? Kalau gue ikut, itu cewek lo taruh di mana?" Suara beratnya terdengar menggelegar tak ramah.
36 51
Nana menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Beberapa jam berada di sekolah itu, dia belum juga menemukan seorang pun yang layak disebut teman. Dia memang berteman dengan empat cowok itu. Setidaknya dia juga harus memiliki teman perempuan yang bisa sedikit nyambung saat mengobrol. Itu jauh lebih seru daripada keempat cowok tadi, kan?
Teman?
Nana menelan ludah. Sepertinya ia sudah lupa cara berteman. Dia tak yakin orang-orang di depannya itu memang baik. Di dunia tak ada yang namanya sahabat, vonisnya masa bodoh.
Mendadak Nana merasakan rindu yang luar biasa pada kedua orangtuanya. Ia menunduk, menahan gejolak yang terasa. Gejolak emosi yang pedih. Semua yang dilihatnya meremang, mengabur begitu saja.
" Nana? Na?"
Nana mengangkat wajah ketika panggilan itu memenuhi telinganya. Ia tersadar dari kepahitan. Ada cewek berdiri di depannya, tersenyum.
Nana mengernyit.
" Lo kenapa?" tanya cewek itu. Nana menggeleng lemah.
" Kita belum kenalan, kan? Gue Karisa," ujar siswi itu lagi, sambil menyodorkan tangan.
Nana membalas jabatan itu ramah. " Nana," ucapnya. Karisa mengangguk. " Kalau butuh apa-apa, lo bilang gue aja. Pasti susah ya menyesuaikan lingkungan Indonesia?" Nana tersenyum tipis. " No. Gue besar di Indonesia kok."
37 51
Karisa mengangguk-angguk canggung. " Oh," jawabnya seadanya.
Nana hanya tersenyum masam menanggapi respons Karisa. Ia mengalihkan pandangan saat empat cowok yang tadi makan bersamanya masuk ke kelas. Sesaat kemudian ia melengos sambil memutar bola mata. Masih belum bisa menerima posisi empat kancil itu sebagai idola.
" Lo kenapa, Na?" tanya Karisa dengan pertanyaan yang sama lagi.
" Lo nggak mengidolakan salah satu dari mereka, kan?" Tawa Karisa menyembur saat mendengar pertanyaan tersebut. " Na, gue tahu mereka dari zaman apa gitu. Gue kenal Stevan sejak dia masih ingusan," jelasnya di sela tawa.
Nana tersenyum menanggapi. " Akhirnya, ada juga orang yang satu pandangan sama gue."
Dio berpaling dan mendapati anak baru itu tengah tersenyum. Pemandangan itu membuatnya sedikit tersentak. Sejak kapan gadis itu bisa tersenyum?
" Lo lagi liat apa, Yo?" tanya Stevan yang aneh melihat ekspresi bingung Dio.
Dio menggeleng. " Nggak. Bukan apa-apa." Kemudian ia melempar pandangan ke arah lapangan futsal yang terlihat jelas dari jendela kelas. Pikirannya melayang saat melihat seorang cewek berjalan bersama beberapa temannya. Gadis yang begitu dikenalnya, yang bisa membuat hatinya seketika bergemuruh. Aga terkekeh. " Ya udah sih, Yo, lo balikan aja kali sama dia." Dio menoleh, menatap Aga dengan pandangan tak suka. " Dia gue anggap sebagai adik gue sendiri." Jawaban yang memberi penekanan bahwa " antara kami sudah tak ada hubungan cinta lagi" .
38 51
Nathan tertawa. " Kalau gitu, lo sister-complex dong, suka sama adik sendiri!"
Dio memukul lengan Nathan dengan tinjunya. " Sialan lo!" Stevan ikut memperhatikan gadis yang ditatap teman-temannya. " Nggak ada salahnya lo kasih dia second chance."
Dio hanya menghela napas. Tak berani menanggapi. Baiklah, kisah cinta pertamanya yang bodoh, pikirnya. Ia kembali memperhatikan gadis itu.
Nana melamun saat melihat empat idola sekolah memperhatikan sesuatu di luar jendela. Beberapa detik ia langsung tersadar. Sudahlah, jangan berpikiran ke mana-mana. Dia harus menyelesaikan studi secepatnya dan memikirkan cara yang tepat untuk membalaskan semuanya kepada keluarga Natara, pikirnya. Menolak segala penasaran yang tak mampu dia jelaskan.
Satu bulan hidup di BIHS membuat Nana frustrasi. Itu kedua kalinya kursi dan mejanya basah tanpa sebab dan waktunya selalu sama: saat dia kembali dari kantin. Nana meremas ujung seragam dengan garang. Siapa yang mengerjainya?
Ditambah lagi hari itu bertepatan dengan kematian ayah kandungnya beberapa tahun lalu. Perkembangan kondisi mamanya tidak ada kemajuan Nana mendapat telepon tadi malam. Ingin melarikan diri saja sesegera mungkin, andai ia bisa. Entah ke mana.
Pembawa sial.
Nana ingin meluapkan kekesalan yang bercampur sedih dan kecewa. Hal tak menyenangkan itu membuat ia tak kuat menahan emosi negatifnya lebih lama lagi.
39 51
" Na?" Karisa menatap Nana prihatin saat gadis itu melihat kursi dan mejanya.
Nana mengembuskan napas. Huh, ini bukan sekolah elite semacam di sinetron, kan? Yang setiap muridnya bebas berlaku anarkis.
" Lo ada tisu?" tanya Nana pada Karisa. Karisa segera mengeluarkan tisu dari tas.
Nana yakin seyakin-yakinnya, itu semua akibat ia diantar pulang idola-idola sekolah itu kemarin. Persis seperti kejadian beberapa hari lalu.
Setelah mengelap kursi dan meja, Nana mendatangi empat pemuda yang sedang bercanda di sudut kelas. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa mereka mendapatkan fans yang terlalu anarkis seperti yang menerornya sekarang?
Ketiganya bukan sedang bercanda. Ternyata mereka sedang melihat Dio yang membuat entahlah, Nana tak bisa mengatakan bentuk pastinya sesuatu seperti karikatur, tapi rapi dan bagus.
Terbawa emosi, gadis itu melempar tisu basah bekas mengelap air di kursi dan mejanya begitu saja ke karikatur tersebut. " Nih! Kerjaan fans kalian!"
Serempak keempat cowok itu menoleh ke arah Nana. Karisa yang berada tepat di belakang Nana menutup mulut. Nana seperti tak sadar melakukan hal buruk itu. " Na!"
" Lo nggak berhak ngancurin gambar Dio, Na," protes Stevan cepat tanggap.
Seisi kelas merubungi lokasi perseteruan sengit itu. Nana melipat kedua tangan di depan dada. " Peduli amat!" katanya dengan nada melecehkan.
BRAKKK...
40 51
Dio menggebrak meja. Mata tajamnya mengarah ke Nana, ganas.
Nana kaget saat mendapati Dio begitu marah. Apa yang dia lakukan tadi salah?
" LO TAHU SEBERAPA KERAS GUE BUAT KARYA ITU, HAH?!" Bentakan Dio menggelegar ke seluruh ruangan kelas. Dadanya bergerak naik-turun dengan cepat. Emosinya tak terkendali. Dia selalu seperti itu, labil jika menyangkut masalah hatinya.
Nana mundur selangkah, tak menyangka apa yang dilakukannya membuat Dio marah. " So-sorry," ucapnya tergagap.
" Lo diajarin etika nggak sih sama orangtua lo? Gue yakin mereka nyesel ngelahirin lo. Mati aja lo! Go to hell!" sembur Dio bertubitubi, walaupun nada bicaranya tak sekeras tadi.
Tetap saja makian Dio membuat Nana bungkam. Orangtua? Menyesal.
Pembawa sial.
Nana menatap kosong ke depan, seakan terhipnotis ucapan kasar Dio. Apa katanya tadi? Orangtua? Dia tak pernah diajarkan etika? Papanya memang meninggal saat dia masih kecil, saat masih butuh kasih sayang ayah. Mamanya menjadi sibuk saat itu juga, menikah lagi beberapa tahun kemudian. Lalu keluarga kecil itu hancur berantakan saat mama dan papa tirinya mengunjunginya ke London.
Dio benar. Mamanya memang harus menyesal karena melahirkannya.
Dio benar. Seharusnya memang dia saja yang mati. Dio benar. Semua orang benar. Dia memang pembawa sial. Karisa mengguncang tubuh Nana yang menegang, beberapa kali. Dia memanggil nama temannya itu. Nana benar-benar hilang kesadaran.
41 51
Stevan, Aga, dan Nathan terperangah melihat Nana yang amat tegang.
Dio menghela napas. Dengan gerakan cepat ia keluar kelas, masih dengan penuh emosi. Kakinya menendang apa saja yang ia anggap menghalanginya. Dia bersusah payah membuat karikatur tersebut, dan sekarang? Lihatlah akibat ulah gadis tak berperasaan itu!
Ketiga cowok itu masih berdiri di depan Nana, menunggu reaksi gadis tersebut. Semua orang di kelas menahan napas. Tatapan Nana kosong ke depan.
Setelah beberapa saat, gadis itu tersenyum lemah, menatap Karisa yang mengguncang tubuhnya kuat.
" Nana!"
Nana tersenyum, namun pikirannya tak bisa diajak kompromi. Tahu-tahu dengan cepat Nana berlari, mengambil tas, dan menghilang di balik pintu.
Setelah itu tak ada teman sekolah yang tahu kondisi Nana.
42 51
IO mengepal keras saat melihat Nana pergi begitu saja meninggalkan kelas. Dia sangat kesal. Kenapa sih gadis itu harus cari masalah dengannya?
Dan benar, kehidupan bukan sinetron, yang bisa memaafkan begitu saja. Ada beberapa hal di dunia yang sulit dimaafkan, seperti kejadian tadi.
Dio menatap langit, terlihat jelas bayangan Acha, cinta pertamanya, terlukis di sana. " Seharusnya itu hadiah ulang tahunmu yang paling spesial, Cha. Seharusnya," ucapnya lirih.
Terbayang olehnya kenangan indah bersama gadis itu, dan kembali hatinya tertohok. Kenangan bisa menyakiti kapan saja. Andai itu tidak terjadi, pasti sampai saat ini mereka tetap baik-baik saja. Dio tak perlu memutuskan hubungan mereka dan mereka berdua bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.
43 51
Andai saja, ulang Dio dalam hati. Lantas kenapa setiap pengandaian itu terlalu menyakitkan saat diingat? Terlalu sakit untuk disimpan sebagai angan-angan?
Dio menikmati sentuhan angin di rambutnya, seolah menyerukan untuk tak menyelesaikan masalah dengan emosi. Bagian luar gedung olahraga memang tempat favoritnya saat ingin menenangkan pikiran. Hanya tiga temannya dan Acha yang tahu kebiasaan itu.
Dio menatap langit dalam-dalam. Dia menyukai langit. Entah karena apa.
Cowok itu menghabiskan jam pelajaran yang tersisa dengan tidur di sana, tak peduli kondisi gadis yang tadi dicacinya. Dia tak peduli. Oh, bahkan sangat tidak peduli. Apa gadis itu benar-benar ingin mati atau tidak, dia juga tak peduli.
Dio terbangun dari tidur beberapa jam kemudian oleh getar ponsel. Nama Ben tertera jelas di sana.
" Halo, Oom?" ucap Dio malas-malasan.
Suara derap kaki berlari datang dari arah tangga. Dio segera berdiri dan mendapati ketiga temannya yang dengan panik menghampiri.
Keempat cowok itu langsung berlari menuruni tangga. Tidak peduli tatapan sinis guru olahraga. Satu hal yang mereka pikirkan saat itu, yaitu gadis yang tiba-tiba terlihat sangat lemah, gadis yang seperti hilang kesadaran saat menerima cacian Dio. Nana!
Ben duduk lemas. Lelaki itu menatap lantai, lemah. Ia sama sekali tak tahu apa yang terjadi. Yang dia tahu, pelayan di rumah Nana
44 51
meneleponnya panik. Tentu saja dia langsung menghubungi empat siswa yang dia kenal baik itu untuk meminta penjelasan.
Keempat cowok tersebut berlari menuju Bos Ben yang masih duduk lemas di sofa.
Ben segera berdiri. Bukan, bukan untuk menemui empat pemuda yang baru datang itu. Namun karena mendengar pintu kamar Nana terbuka dan dokter keluar.
Ben merasakan tubuhnya tegang dan wajahnya pucat pasi. " Terlambat semenit, dia benar-benar sudah tidak ada," komentar dokter itu pelan. Ia sedikit lega karena berhasil menyelamatkan nyawa manusia.
Ben terdiam kaku. Rasanya kakinya tak kuat menopang tubuhnya. Nana, kenapa kamu harus melakukan hal bodoh seperti itu sih? batinnya penuh sesal.
Ben memang tak pernah membayangkan seperti apa derita yang ditanggung keponakannya selama itu. Di matanya Nana terlihat lebih kuat semakin hari, tapi ternyata beban yang dia tanggung terlalu berat. Beban yang seharunya belum ditanggung anak seumurnya. Ah, mengapa dia bisa sebuta dan sealpa itu? Ben bertanya-tanya dalam hati.
Not Until Karya Violita di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Dia sudah sadar, Dok," lapor suster yang baru keluar dari kamar Nana.
Dokter itu mengernyitkan dahi. " Kenapa bisa secepat itu?" ujar Dokter, terdengar kaget. Ia kembali masuk ke kamar Nana dan pintu ditutup.
Ben hanya diam. Menatap kosong ke arah empat remaja yang menjadi teman baiknya itu.
" Dia..." ucap Ben menggantung, " keponakan saya satu-satunya. Dia... kalau saja tak terselamatkan, saya benar-benar merasa
45 51
bersalah pada Faisal," lanjutnya sambil memandang foto Nana sekeluarga.
Para cowok itu sontak saling pandang.
Tunggu, hanya ada Aga, Nathan, dan Stevan. Ke mana Dio? Di mana pemuda yang semestinya bertanggung jawab atas masalah ini? Di mana pemuda yang membuat Nana bunuh diri?
Dokter keluar dari kamar Nana. Dari raut wajahnya, ia tak setegang seperti saat pertama tadi. Terlihat jelas bahwa keadaan Nana membaik.
" Dia sudah siuman. Jahitan di pergelangan tangannya masih rentan. Jadi tolong diwasi agar dia tak merabanya. Oh ya, Ben, dia stres berat. Tolong jaga pola makannya juga."
Ben mengangguk dan membiarkan dokter keluarga itu berlalu. Pelan-pelan Ben memasuki kamar Nana dan menemukan gadis itu sedang menatap kosong ke arah jendela.
Menyadari keberadaan orang lain, Nana menengok, tersenyum miris. " Kenapa aku diselamatkan?" ujarnya lemah. Wajahnya terlihat sangat pucat, antara menahan lelah, menahan sakit, dan kecewa atas kejadian itu.
Oom Ben menahan air mata yang akan keluar. Pertanyaan Nana menggambarkan betapa frustrasi keponakannya itu menjalani hidup.
" Kenapa aku masih hidup setelah sekian lama aku mikirin untuk melakukan ini? Kenapa?" tanya Nana lemah, suaranya serak. Ia kehabisan tenaga. Bibirnya putih dan kering.
Oom Ben membelai rambut Nana lembut. " Karena Tuhan tahu kamu bisa menghadapinya."
Nana menatap Oom Ben. " Tapi aku nggak kuat lagi, Oom. Aku udah coba, tapi nggak bisa."
Oom Ben membelai rambut Nana, tersenyum. Matanya basah.
46 51
" Kamu spesial. Kamu terlalu berharga untuk meninggalkan dunia. Oom mohon, sampai waktunya tiba, kamu harus terus bertahan. Kamu nggak boleh melakukan hal ini lagi."
Nana terdiam.
" Papamu& mamamu& selalu melakukan yang terbaik untukmu dan juga Bunga, Na. Mereka ingin kamu bahagia di masa depan, Na. Walaupun mereka udah nggak ada di sampingmu, tetaplah buat mereka dan Oom bangga."
Nana melirik pergelangan tangan kiri yang kini dibalut perban.
Entahlah. Dia tak tahu apakah dia merasa menyesal melakukan ini atau tidak. Dia menyerah.
Dio sungguh menyesal. Dia tak pernah berpikir bahwa ucapannya tadi akan begitu menyakiti Nana. Dia memang merasa aneh saat tahu gadis itu pindah sendirian ke kota ini tanpa keluarga. Tapi ia tak menyangka caci maki yang membawa-bawa nama orangtua bisa mendorong orang lain bunuh diri.
Pemuda itu terlihat panik. Sangat panik, hingga keringatnya terus bercucuran di pelipis. Dia seakan tersangka utama kejadian itu.
Dio berdiri saat melihat Bos Ben dan ketiga temannya turun dari kamar Nana. Ia tak berani menemui gadis itu, sekalipun hanya untuk minta maaf.
" Saya ada urusan di kantor. Kalian tolong jagain Nana sampai saya kembali," perintah Bos Ben terdengar lemas. Bos Ben menatap para cowok remaja itu dengan kecewa. Menurut Ben, tak ada yang pantas disalahkan selain mereka berempat. Toh Bos Ben memang menugaskan mereka untuk menjaga Nana di sekolah.
47 51
Stevan mengempaskan tubuh di sofa. " Gue nggak habis pikir dia bisa melakukan hal sebodoh itu." Ucapannya membuat ketiga temannya kompak mendelik padanya.
Nathan mengangguk setuju. " Apa kita harus melakukan sesuatu supaya dia nggak mengulanginya?"
Aga mengangkat bahu. " Nana cewek paling sadis yang pernah kita temui."
Stevan menerawang. " Gue jadi kasian sama dia." Dio memilih diam, tak punya kata-kata untuk diucapkan. Mengapa dia merasa begitu bersalah pada gadis itu?
" It was not your fault, Yo. Kata Bos Ben, dia memang lagi labil." Aga menepuk punggung Dio, memahami perasaan bersalah temannya, serta ingin mengeluarkannya dari perasaan bersalah itu.
Dio mengangkat bahu. Entahlah. Sepertinya mulai sekarang dia harus tahu dan peduli pada keadaan batin Nana. Terkadang waktu membawa kita ke dalam masalah yang berat, batinnya.
Malam memanggil, namun Dio masih belum beranjak dari sofa ruang tamu rumah Nana. Perasaan bersalah masih membayangi. Ia juga merasa rumah besar itu kosong dan dingin. Baik sebelumnya maupun saat Nana menempatinya. Tetap sama: hampa dan tak memberi kehangatan.
Dengan gamang kaki cowok itu menaiki satu per satu anak tangga, mencoba melihat keadaan Nana.
Dio terdiam. Mungkin Nana sedang istirahat karena sudah setengah jam berlalu sejak Stevan dan pelayan di rumah itu turun dengan piring yang nasinya sudah dimakan habis. Dio menekan hendel, kemudian mendorong pintu jati kayu itu pelan-pelan. Dia tak ingin gadis itu sampai terbangun karena kehadirannya.
48 51
Dio memandang kamar Nana. Besar dengan kasur king size di sudut. Ada meja belajar dan lemari buku kecil yang menghadap jendela. Wallpaper-nya unik, juga terkesan feminin.
Dio bernapas lega saat mendapati Nana pulas. Dia menatap Nana dalam-dalam, terlihat keringat meluncur dari pelipis Nana. Kesakitankah gadis itu? Atau dia mengalami mimpi buruk?
" Na, lama-lama lo bikin gue penasaran, tahu nggak?" gumam Dio sambil mengeluarkan saputangan, kemudian mengelap keringat dingin yang membasahi wajah Nana.
" Kenapa sih lo harus melakukan hal gila kayak tadi dan membuat gue merasa sebegini bersalah?" bisik Dio, kembali mengelap keringat Nana dengan hati-hati.
" Seberapa besar masalah lo? Sampai-sampai lo nekat mengakhiri hidup?"
Tentu saja tak ada jawaban karena gadis di hadapan Dio tetap pulas.
" Kenapa lo tertutup? Seandainya lo terbuka sedikit& mungkin luka hati lo nggak akan sebegini parah kali, Na."
Sekali lagi mata Dio mengelilingi kamar Nana. " Seharusnya lo bersyukur atas apa yang lo miliki saat ini."
Dio mengusap puncak kepala Nana. " Sweet dream, dan besok lo harus bener-bener bangkit. Jangan bikin gue merasa bersalah terus."
Dio berjalan menuju pintu kamar Nana. Dia juga perlu istirahat. Nana membuka mata saat mendengar decitan pintu tertutup. Gue nggak bermaksud ngebuat lo merasa bersalah, batinnya. Pening mulai terasa. Nana menekan kepalanya dengan tangan kanan. Gue hanya menyerah, terlalu lelah menghadapi ini semua, ucapnya dalam hati. Ia memandang lampu, dan perasaan sakit itu datang lagi.
49 51
Nana bangun subuh sekali. Dia ingin buang air kecil, tetapi tak tahu harus meminta tolong siapa. Bibi dan sopir di rumahnya pasti masih pulas. Ia tak ingin merepotkan mereka. Jadilah dia memutuskan untuk ke kamar mandi sendiri.
Sampai di kamar mandi dekat kamar, Nana lupa closet-nya rusak. Ia mendengus kesal karena harus pergi ke toilet di bawah. Saat melewati ruang tengah, ia terdiam karena mendapati Dio tertidur nyenyak di sofa. Dia yakin Oom Ben menginap di kamar tamu, lantas kenapa Dio masih berada di sini? Bukankah yang lain sudah pulang?
Merasa bersalahkah Dio? tanya Nana dalam hati. Nana melihat selimut Dio tersingkap. Dengan satu gerakan ia merapikannya. Setelahnya Nana meringis menahan sakit. Pergelangan tangannya kan baru dijahit. Itu pula yang membuat diamdiam dia merasa bersalah melibatkan pemuda itu dalam hidupnya. Dia tak ingin Dio terlibat, tapi entah kenapa& momennya begitu pas saat Dio mencacinya di kelas.
" Mau ke mana lo?"
Nana terkesiap, mata hitamnya spontan terbelalak. Didapatinya dua mata bening Dio menatap aneh ke arahnya dengan tajam. Gadis itu menyembunyikan ketergagapannya dengan gelengan singkat. " Kamar mandi."
Dio yang tidur di sofa ruang tengah langsung duduk, tetap menantang ke manik mata Nana yang masih menatapnya. " Kenapa nggak bangunin gue aja tadi?"
Nana menggeleng. " Gue nggak pengin lo merasa bersalah. Ini semua bukan salah lo."
50 51
" Masalah kemarin... sorry," ucap Dio pelan, namun sungguhsungguh.
Nana berjalan membelakangi Dio, tak berniat menanggapi ucapan pemuda tersebut.
Dio terpana melihat gadis itu berjalan begitu saja. Dia tetap gadis dingin seperti biasa, pikirnya. Baiklah, cukup, hari itu sudah beratus kali dia memikirkan Nana.
Kursi Nana masih kosong. Ini hari kedua. Karisa mengkhawatirkan keadaan teman barunya itu. Terlebih lagi, kemarin Dio juga tidak masuk sekolah. Sebenarnya ada apa di antara mereka?
Karisa melayangkan pandangan ke arah tiga cowok yang terlihat diam sejak kemarin. Pandangannya terpaku pada sosok pemuda yang begitu dikenalnya. Tak ada salahnya mencoba, bukan? yakinnya dalam hati.
Keyakinan itu mendorong Karisa melangkah mendekati Stevan, Aga, dan Nathan. Ah, lagian kenapa juga mesti takut? Dia kan bukan mau mencari gara-gara dengan mereka, terang Karisa dalam hati. Lagi-lagi untuk memantapkan hati.
Stevan yang pertama kali menyadari kehadiran Karisa. Pemuda itu menoleh, menatap gadis yang sudah lama tak berbicara dengannya itu dengan sungkan.
" Stev, gue boleh tanya, keadaan Nana gimana?" sapa Karisa, terdengar khawatir.
Aga dan Nathan menoleh, menatap Karisa sebentar, kemudian memandang Stevan.
Stevan hanya mengangkat bahu, tak mengatakan sepatah kata pun.
Karisa mencelos. Dia berdecak pelan, kemudian berbalik, dan
51 51
berlalu dari hadapan tiga pemuda itu begitu saja, tanpa mengucapkan permisi atau semacamnya.
Keputusan Karisa untuk berhubungan dengan ketiga cowok itu sepertinya salah. Idola mana yang mau menanggapi ucapanku? ujarnya dalam hati karena kesal.
Karisa berpaling saat mendengar teriakan dari belakang. Ia melihat Dio memasuki kelas dengan santai. Tak terlihat sedikit pun ekspresi penyesalan dalam raut wajahnya.
Dio menghampiri ketiga temannya, kemudian membisikkan sesuatu.
Karisa tak tahu apa yang mereka bicarakan, dan juga tidak mau tahu. Yang dia pedulikan, bagaimana keadaan Nana sekarang. Oh, sejak kapan dia memperhatikan Nana sampai sebegitunya?
Nana memainkan rambut pelan. Sudah dua hari dia tak sekolah. Pikirannya melayang pada hari kemarin. Sepertinya Dio merasa bersalah padanya hingga bisa-bisanya memutuskan tidak sekolah demi mengurusi Nana seharian.
Gadis itu tersenyum simpul. Ada beberapa kejadian lucu yang tak bisa dilupakannya. Seperti saat Dio menyuapinya, padahal, ya& yang terluka kan tangan kirinya.
Nana tertegun. Seharusnya dia tak merusak karikatur Dio dengan tisu basah. Dia juga merasa bersalah. Sungguh. Namun ia tak berniat membahasnya. Dia tak peduli karikatur itu untuk siapa, dan kenapa Dio bisa sebegitu marah padanya.
Ponsel berbunyi. Nana menatap layar ponsel. Terlihat jelas nama Dio di sana. Gadis itu tersenyum lagi. " Iya," jawabnya dingin. " Lo udah makan?"
52 51
Nana mengangguk. " Mmm& " " Besok lo mau sekolah?" " Mmm& "
" Gue lagi di jalan ke rumah lo." " Mmm& "
" Kenapa dari tadi mmm mulu sih?" " Yo?"
" Gue mau ke perusahaan Oom Ben. Lo mau nganterin gue?" " Oke."
Tuuuttt&
Sambungan telepon terputus.
Nana beranjak dari tempat tidur, memperhatikan penampilannya. Tak apa-apa pemuda itu datang lagi ke sini. Lagi pula, ia juga butuh seseorang untuk mengantarnya ke kantor Oom Ben, kan?
Setelah memastikan penampilannya tak terlalu buruk, Nana mengambil tas tangan kecil, kemudian meninggalkan kamar.
Pergelangan tangannya masih sakit, sungguh. Dan entah kenapa, Nana menyesali perbuatannya.
Dio datang tak lama kemudian, masih berseragam BIHS lengkap. Nana yang menunggunya di ruang tamu langsung berdiri, siap berjalan ke arahnya.
" Gue nggak ditawarin minum dulu nih?" sungut Dio, kesal karena Nana terlihat menjadikannya sopir pribadi saat mendapati gadis itu langsung berdiri dan bersiap meninggalkan rumah.
" Lo bisa ambil sendiri, kan?" jawab Nana singkat, melewati cowok itu, kemudian berdiri di depan mobil Dio.
Dio mendelik. Dia memang kehausan. Dengan langkah cepat
53 51
ia pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Dia bertemu Bi Inem yang sedang menyetrika. Dio tersenyum kecil pada pelayan Nana. Beres minum ia keluar, menghampiri Nana.
Nana diam saja sambil memandangi Dio. Saat pemuda itu mengangguk, dia bergegas membuka pintu dan duduk di bangku sebelah kemudi. Dia menikmati perjalanannya. Lagu You Belong with Me dari Taylor Swift mengalun indah di mobil.
If you could see That I m the one
Who understands you Been here all along So why can t you see You belong with me You belong with me
Tak ada yang berniat membuka percakapan. Keduanya memilih larut dalam pikiran masing-masing.
Mobil Dio memasuki parkiran gedung pencakar langit di kawasan Sudirman, Jakarta. Nana turun dengan cepat saat mesin mobil dimatikan.
Dio hanya menggeleng pelan, gadis itu masih saja terburuburu.
" Jangan buru-buru kali, Na. Bos Ben juga lagi meeting sama klien," ucap Dio menerangkan, ingat pesan singkat yang dikirim Bos Ben untuknya semalam.
Nana menghentikan langkah lalu membalikkan badan. " Apa?" " Bos Ben meeting sampai sore. Yah, paling lo bisa ketemu dia pas istirahat atau dua jam lagi. Emangnya ada urusan penting?" Nana memutar bola mata. Kekesalan terlihat jelas dari binar
54 51
matanya. Kenapa Dio tidak memberitahunya sejak awal dan malah membuatnya menunggu?
" Ada urusan apa sih sampai lo buru-buru gitu?" Nana menaikkan alis. " Penting tahu!" jawabnya lantang. Dio terkekeh pelan, menghampiri Nana. Dia mengacak rambut Nana, kemudian tersenyum manis. " Elo ya, dikasih perhatian malah balasnya kayak gitu."
Nana menepis kasar tangan Dio yang memainkan rambutnya. " Kenapa sih lo dari kemarin ngacak-acak rambut gue terus?" Dia menatap Dio dengan tidak suka.
Dio tertawa. Baru kali itu dia merasa Nana begitu lucu. " Elo juga kenapa sih sejak awal datang ke sini marah-marah mulu?" balasnya.
Nana melipat tangan di depan dada. " Bukan urusan lo!" Dio menyandar di badan mobil. " Emang bukan urusan gue." Nana melihat Dio dengan ekor mata. Sudahlah, dia tak ingin melanjutkan perdebatan itu. Ia memandang ke depan, melihat bangunan kokoh yang menjadi sandaran keluarga papanya sejak dulu.
Papa. Bunga. Mama.
Nana merasakan rindu yang luar biasa pada keluarganya. Tertegun, benar-benar tertegun sampai akhirnya dia sadar akan satu hal.
Dio memperhatikan Nana yang menjauh darinya. Gadis itu tampak menghubungi seseorang lewat ponsel. Penasaran, Dio mendekati Nana, berdiri beberapa langkah di belakang. " Ma, Nana kangen."
Dio terdiam saat mendengar suara lirih Nana yang menyiratkan kerinduan tertahan. Ia urung menegur Nana, memilih kembali bersandar di badan mobil. Nana sedang menelepon mamanyakah?
55 51
Lalu, kenapa Nana menjadi begitu rapuh saat Dio menyebut orangtuanya?
Dio mengacak rambut, bingung. Dia memang tak tahu apa-apa tentang gadis ini. Namun, entah kenapa, timbul keinginan untuk menjaga Nana. Menjaga gadis yang begitu rapuh itu.
Nana menghampiri Dio dan seketika lamunan pemuda itu buyar. Ia hanya memandangi Nana yang matanya sedikit sayu dan merah. Ah, dia menahan tangisan?
" Nelepon siapa? Mama lo?" tanya Dio penasaran. Nana berdiri di samping Dio, mengangguk. " Terus Mama lo bilang apa? Dia nggak ke sini?" Nana tersenyum sedih. " Mama gue.... koma."
Dio terdiam saat mendengar informasi itu. Ia menatap wajah Nana yang ekspresinya datar. Satu kenyataan terbuka. Ia menilik, memperhatikan wajah Nana. Gadis itu....
" Nana! Dio!"
Nana melambai ke arah Oom Ben yang menghampiri mereka. Dio memilih menunggu Nana di mobil. Tak lama kemudian dia menerima SMS Nana.
From : Nana
Bisa tungguin gue bentar?
Dio mengangguk, tak membalas pesan singkat itu. Dia tertidur di mobil selagi gadis itu membicarakan urusannya dengan Bos Ben. Dia mulai menuruti permintaan Nana, tanpa dia sadari.
Nana terdiam saat membaca laporan perusahaan yang diberikan
56 51
Oom Ben. Dia bisa membaca laporan semacam itu sejak dua tahun lalu. Tapi ini? Apa-apaan?
" Oom nggak nyangka, banyak orang seperti itu di dunia," ucap Oom Ben menggeleng-geleng.
Nana ikut menggeleng, tetapi dengan ekspresi yang berlawanan dari pamannya: tak percaya pada fakta yang tertulis di kertas yang sedang dipegangnya. Ini baru bulan kedua dan semua yang dulunya kacau tersusun rapi kembali. Ia memandang Oom Ben sekilas, ingin berterima kasih pada pamannya. Tanpa tangan dingin dan kerja keras Oom Ben mana bisa perusahaan berjalan semulus itu!
Oom Ben beranjak dari sofa di hadapan Nana, menuju meja kerja. Setelah mengambil map ia kembali mendekati gadis itu.
" Ini& ?" Nana mencoba menebak-nebak saat menerima map tersebut.
" Yang diberikan rumah sakit mengenai visum Bunga, serta foto memar biru di sekujur tubuhnya," Oom Ben menyodorkan laporan lain, " ini laporan yang harus kamu baca."
Nana mengambil laporan itu, kemudian membacanya dengan teliti. Ia terbelalak seketika. Laporan itu& tidak mungkin! Benarkah keluarganya seperti itu selama dia di London?
Nana tersenyum sinis. Terdiam cukup lama. " Sebenarnya aku udah duga. Bahkan sebelum aku dipindahin ke London."
Ben mengernyitkan dahi. " Kita belum punya bukti, Nana. Dan soal papamu, Oom belum bisa menemukan video itu. Tapi kemungkinan besar disimpan karyawan kepercayaannya."
Nana membisikkan sesuatu kepada Oom Ben. Mata besar lelaki itu langsung membulat, seolah menemukan sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehnya.
" Apa itu yang akan kamu lakukan, Nana?"
57 51
Nana menatap Oom Ben lamat-lamat. Meyakinkan diri bahwa itu keputusan terbaiknya. Ia menghela napas. Oomnya mendengarkan dengan saksama. Dia tak bisa membantah: Nana memang mewarisi seluruh sifat ayahnya. Tentu saja ia bangga, karena gadis itu bisa melakukan hal yang sangat bijak, sekalipun usianya belum dewasa.
Nana masih menatap Oom Ben. " Mereka harus tahu& rasanya kehilangan. Keluarga Natara." Ada kebencian mendalam di sorot matanya. Ia tampak seperti harimau kehausan yang akan melakukan apa saja demi memperoleh air.
Oom Ben terkesiap, sadar ada yang harus diketahui Nana. " Na, ini soal Livia."
Mata Nana membulat seketika. Darahnya mulai mendidih.
58 51
IO membuka mata saat menyadari ada orang yang mengetuk-ngetuk kaca mobil. Melihat Nana dengan tatapan ganasnya membuat ia langsung membuka pintu. Tunggu dulu, sejak kapan dia menjadi sopir pribadi Nana?
Nana masuk ke mobil dengan kesal. Dia mengempaskan tubuh, melempar pandangan ke luar, seolah menyalahkan Dio. " Sorry, Na, gue nggak denger," ucap Dio merasa bersalah. Nana berpaling. " Gue setengah jam tahu nungguin lo di luar," ucapnya marah.
Dio mengernyit. Kenapa pula Nana marah-marah? Bukankah Dio pemilik mobilnya? Lalu kenapa pula dia harus menuruti perintah Nana?
" Sorry deh," ucap Dio sekali lagi, memilih mengalah.
59 51
Namun gadis itu malah terus menatap ke depan, memikirkan sesuatu.
Dio menghela napas. Kenapa hidup gadis itu terlalu banyak beban sehingga malah menyakiti dirinya sendiri?
Nana berpaling, menatap Dio. " Kok belum jalan?" Dio menginjak pedal gas dengan tenang. Hening. Tak ada yang memulai percakapan di antara mereka. Sesekali ia melirik Nana. Gadis itu terus memandang ke depan.
" Tadi lo ngomongin apa sama Oom Ben?" tanya Dio memulai percakapan.
Nana mendelik, menatap Dio sebentar, lalu mengalihkan pandangan ke lampu jalanan, tak berniat menjawab.
Dio mengembuskan napas kesal. Rasanya dia telanjur sabar menghadapi gadis dingin di sebelahnya.
" Gue cuma nanya. Kayaknya lo tersiksa banget setelah ngomong sama Oom Ben. Apa itu salah?"
Nana tetap menatap lampu jalanan. Ia hanya mengangkat bahu. Mulutnya terkunci.
" Kalau ada masalah, yah lo cerita bisa kali, Na. Ada gue, ada Aga, Nathan, Stevan. Ada juga kan temen cewek lo. Karisa. Lo jangan simpen sendiri dong," lanjut Dio.
Mobil Dio berhenti saat sadar ujung mobilnya hampir mengenai mobil di depannya.
" Macet kayaknya," gumam Dio menyadari antrean mobil terlihat sangat panjang.
Nana hanya melirik sekilas ke arah Dio, lalu fokus lagi menatap ke depan. Dia tak ingin menanggapi berbagai ucapan Dio. Dia hanya ingin... menyendiri.
" Na, gue ngomong dari tadi ditanggepin dong. Berasa ngomong sama patung."
60 51
Nana mendelik. " Lo pernah ngomong sama patung?" Dio berdecak. " Tumben lo nanya gue."
Bukan saatnya berdebat. Nana melirik Dio. Cowok itu terlihat kesal. Dia lucu juga, pikir Nana sambil diam-diam mengamati wajah Dio yang begitu sempurna.
Nana berdeham saat tersadar dari kekagumannya. Belum saatnya dia memikirkan hal-hal seperti itu. Dia harus fokus pada tujuannya sekarang.
" Tangan lo udah baikan?" tanya Dio lembut. Nana mengangguk.
" Lo mau makan di mana? Di rumah atau sama gue di luar?" Nana mengangkat bahu. " Terserah lo aja."
Dio bingung menghadapi gadis manis di sampingnya itu. Ia tahu setiap orang punya masalah masing-masing. Namun, tak bisakah gadis itu bersikap normal selayaknya manusia? Kenapa dia terus-terusan seperti boneka hidup? Bahkan dia tak bersosialisasi, tak mencari teman.
" Lo aneh banget, tahu nggak sih?" ucap Dio.
Nana hanya diam, menatap ke luar jendela. Tak ingin menanggapi. Dia tak terlalu peduli anggapan Dio terhadapnya. Biar aja aku aneh, jawabnya dalam hati. Setiap manusia juga pernah aneh, kan? Lalu kenapa pemuda itu terus mencecarnya?
Dio mengempaskan punggungnya. Menyerah. Dia tak bisa menanggapi Nana dengan kesabaran lagi. Kalau memang Nana inginnya begitu, terserah.
Dio melirik Nana sekilas. Pandangan seperti itu lagi. Pandangan kosong bercampur luka. Entah apa yang dipikirkan gadis itu. Apa mungkin dia sedang memikirkan ibunya yang sedang koma? Dio menghela napas berat.
Nana terus memandangi jalanan dengan nanar. Apa yang
61 51
disampaikan Oom Ben tadi benar-benar mengganggu pikirannya. Dia pikir selama ini baik baik saja, tapi ternyata banyak hal yang terjadi di luar dugaan.
Pembawa sial.
Nana meremas ujung bajunya kuat-kuat. Dia terluka. Dia terluka saat kata-kata itu terlontar. Bahkan sampai mati pun dia terluka oleh kata-kata itu.
Pembawa sial.
Nana menutup mata, menggigit bibir bawah keras. Tidak! Dia bukan pembawa sial. Dia tak bisa disalahkan atas kematian dua ayahnya. Itu takdir. Toh kalau papa tirinya tidak mengunjunginya ke London, karena takdir, tetap akan meninggal. Jadi bukan dia yang harus disalahkan.
Kenapa? Kenapa beban itu terlalu berat untuk dipikul Nana? Nana membuka mata pelan saat menyadari ada yang menggenggam tangan kanannya. Ia menoleh dan mendapati Dio menatapnya cemas. Gadis itu mengerjap, kemudian menarik tangannya pelan.
" Lo kenapa?" ujar Dio lirih, seperti berbisik.
Nana tertegun. Kenapa nada bicara pemuda di depannya seolah menjelaskan dia ikut terluka?
Not Until Karya Violita di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Pergelangan tangan lo sakit lagi?" Pembawa sial.
Nana menggeleng cepat. " Gue bukan pembawa sial," ucapnya lirih. Keringat dingin meluncur di pelipis.
Dio termangu. Ada apa dengan Nana? Dia kan tak mengatakan bahwa gadis itu pembawa sial. Lalu kenapa? Apa emosi gadis itu sedemikian kacaunya hingga dia meracau?
Dio tersenyum. " Kalau lo capek, kita pulang aja yuk." Nana tak menggubris ucapan Dio. Dia menyandar dan kembali
62 51
menoleh ke samping, melihat jalanan kota yang semakin ramai. Dia... bukan pembawa sial. Dia sungguh bisa membuktikannya.
Dio terdiam. Ucapan Nana membuat pikirannya kacau. Semakin dekat dengan gadis itu membuatnya semakin masuk ke dunia Nana. Dia semakin ingin melindungi Nana. Walaupun Nana terus memblokade orang-orang di sekitarnya.
Tatapan Nana yang terlihat terluka dan ucapannya yang mengandung kepedihan menyita pikiran Dio.
Dio menggeleng pelan. Tidak. Dia tidak bisa tidak ikut campur. Bahkan mungkin hanya dia yang tahu kondisi psikis gadis itu. " Dio!"
Dio menengok kaget.
Aga menghampirinya dari arah kanan, kemudian dengan sukses menoyor kepala Dio. Kesal karena tahu sedang main basket tapi Dio malah sibuk memperhatikan gadis dingin keponakan Bos Ben yang ada di tepi lapangan.
" What s going on? Kenapa lo suka perhatiin Nana akhir-akhir ini? Udah bisa move on?" Aga langsung menimbuni Dio dengan beberapa pertanyaan.
Dio merasa jengah. " Maksud lo apa?!"
Aga terkekeh, hanya bercanda. Hanya mengetes apa yang sebenarnya terjadi antara dua manusia itu. Aga yakin sifat Nana yang selalu diam dijiplak sukses oleh Dio. Dio jarang menanggapi pertanyaan dengan jawaban yang nadanya supernyolot kayak barusan.
" Just kidding. Lo nggak tahu gue lagi kesal? Gue oper bola malah lo diam aja. Lama-lama lo mirip Nana, tahu nggak?" Dio balas menjitak kepala Aga. " Asal ngomong lo!"
63 51
" Woi... kenapa malah ngobrol lo berdua? Ayo main lagi." Stevan melintas di hadapan mereka. Pemuda itu terlarut dengan permainannya, sementara dua teman satu timnya malah tidak fokus.
Dio mendapatkan operan bola. Pemuda itu dengan santainya men-dribble dan semua siswi yang melihat permainan itu langsung menahan napas. Tahu dong Dio siapa? Iya, dia idola satu BIHS!
Nana yang sejak tadi asyik membaca buku manajemen bisnis di tepi lapangan bersama Karisa malah terganggu dengan pekikan tertahan orang-orang di sekelilingnya. Dia mengarahkan pandangan ke lapangan dan mendapati Dio sedang men-dribble bola dengan lincah.
Well, seperti itukah pesona Dio? Nana membatin sinis. Sungguh, sedikit pun dia tak tertarik. Daya pikat buku di depannya lebih kuat daripada pesona Dio.
Bruuukkk!
" Auu& " ringis Nana tertahan sambil mengusap kaki kanannya yang terkena lemparan bola.
Karisa langsung mengalihkan pandangan ke lapangan basket. Terlihat Dio berlari menghampiri mereka. Karisa yakin bola itu sengaja dilempar ke arahnya dan Nana. " Sengaja banget Dio lempar bola ke arah lo, Na," komentarnya.
Nana mengangkat kepala, melihat Dio yang ada di depannya. Sebelah alis Nana terangkat, menatap Dio kesal. Tak bisakah sehari saja pemuda itu tak mengganggu hidupnya?
" Lo sih seenaknya baca buku di dekat lapangan basket. Apa lo nggak tahu siapa yang lagi main di lapangan?" ucap Dio jengkel.
Nana menutup buku, kesal. Tidak. Dia bukan tak mau menanggapi ucapan Dio yang mengganggunya itu. Tapi seluruh pandangan di lapangan yang tertuju pada Nana membuat gadis itu bungkam.
64 51
Dio mengambil bola dari dekat kaki Nana, kemudian berbalik setelah mengucapkan sesuatu yang membuat Karisa langsung menutup mulut. " Kalau gue lagi main, lo harus perhatiin gue."
Tak ada reaksi apa-apa dari Nana setelah Dio mengucapkan hal tersebut. Ia hanya menatap punggung Dio dan terus menatapi pemuda itu yang langsung bermain kembali. Tentu saja dengan pandangan kesal yang tak terkira.
Karisa melongo tak percaya. Ia menyenggol lengan Nana pelan. " Lo sama Dio ada apa?"
Nana mengernyit. Apa maksud pertanyaan Karisa? Tak pernah ada momen spesial yang dilaluinya bersama Dio." Gue nggak ada apa-apa sama dia," terang Nana tegas, matanya masih fokus ke lapangan, memandangi anak-anak BIHS yang semangat memperebutkan bundar oranye.
Karisa menggeleng. " Lo jujur aja deh sama gue, Na." Nana melirik Karisa, tersenyum manis. " Lo cemburu?" Karisa terpaku saat melihat senyum tulus Nana. Tumben Nana peduli dan responsif padaku, batin Karisa heran, namun senang.
Karisa tertawa pelan. Sama halnya dengan teman lain, dia merasa ada yang aneh dalam diri Nana. Seperti luka yang ditutupinya. Tak sadar dia memperhatikan pergelangan tangan Nana yang ada bekas jahitan. Karisa memandang miris.
Nana menyadari ada yang aneh dengan pandangan Karisa. Gadis itu menyenggol Karisa. " Beneran lo cemburu?"
Karisa menggeleng. " Kalau sama gue sih& pesona Dio nggak terlalu ngena," terangnya jujur. " Lo kali yang cemburu," lanjutnya diiringi derai tawa.
Nana mengangkat bahu. " Gue belum pernah cemburu karena cowok." Ucapan Nana mengalir begitu saja. Matanya fokus lagi ke arah Dio yang kini tengah men-shoot bola di arena 3 poin.
65 51
Masuk!
Terdengar sorakan di seluruh lapangan. Permainan langsung selesai. Nana mengangguk pelan. Berhasil terhipnotis pesona Dio yang menunjukkan skill-nya dalam bermain basket.
Karisa masih termenung. Yang tadi diucapkan Nana benar-benar serius nggak sih? Dia bertanya-tanya dalam hati. Apa Nana belum pernah jatuh cinta? Kenapa bisa begitu?
" Na, lo sama Karisa nggak nyoba pergi main gitu? Shopping, misalnya."
Karisa kaget saat mendengar ucapan tersebut. Itu jelas-jelas suara berat Dio. Dia menoleh. Benar saja. Dio ada di samping Nana, minum air kemasan.
Nana menoleh sekilas ke arah Karisa, lalu berbalik memandang Dio, menggeleng. Dia memang tak punya rencana apa-apa dengan Karisa. Bahkan dia tak pernah memikirkan hal itu. Dan tentu saja, itu bukan hal penting untuknya.
" Kalau gue temenin kalian jalan-jalan, gimana?"
Karisa hanya diam. Kalaupun dia mau, belum tentu Nana mau. Dia takut menghadapi kenyataan bahwa selama ini hanya dia yang menganggap Nana sebagai temannya. Sedangkan Nana? Bisa saja ia tak menganggap Karisa siapa-siapa!
" Kalian maunya pergi ke mana?" berondong Dio. Stevan datang dan mengambil tempat di sebelah Karisa. Karisa menoleh sekilas, lalu menunjuk Dio dengan dagunya. Stevan menatap Dio tak mengerti.
" Gue ikut, ya?" Aga bergabung dan langsung dengan polos menyatakan keikutsertaannya.
Nana, Dio, Karisa, dan Stevan tercengang. Memangnya mereka mau ke mana? Bukankah hanya jalan-jalan ke mal atau& " Emang lo mesti ikut!" ujar Dio mantap.
66 51
Aga menatap Dio antusias. " Ke mana?"
Dio tampak berpikir, wajahnya berubah serius. Benar juga, sebenarnya mau ke mana mereka? Setelah berpikir beberapa detik, sebelah alisnya terangkat, dan dia tersenyum jail. " Nganterin lo ke neraka."
" Buwaahahaha& !" spontan Stevan dan Karisa terbahak-bahak. Dio juga tertawa setelah mengatakan hal tersebut. " Ngasal!" ucap Aga tak terima.
" Hahaha& bercanda kali. Mana mungkin juga gue mau nganterin lo ke neraka!"
Aga nyengir, langsung memberi bogem mentah ke lengan Dio. " Sumpah ya. Lo ngeselin banget hari ini!" Aga memandang Karisa dan Stevan yang masih tertawa kompak.
Nana? Gadis itu hanya tersenyum tak jelas.
" Ada apa nih?" Nathan muncul. Memandang bingung pada Karisa dan Stevan yang masih tertawa.
" Itu& si Dio mau nganter Aga ke neraka. Hahaha& " ucap Stevan.
Aga masih kesal. Mungkin kesalnya berlipat ganda. " Bully aja terusss& bully," ucapnya lantang.
Nathan hanya tertawa mendengar itu semua. " Gue serius nih, kita mau ke mana?" Aga bertanya. " Pergi?" tanya Nathan tak mengerti.
Yang lain mengangguk.
Dio mengacak rambut. Kenapa semua ikut sih? Padahal rencananya dia hanya bertiga dengan Nana dan Karisa. " Weekend ini?" tanya Nathan masih tetap tak paham. Stevan tersenyum cerah, seperti mendapatkan ilham yang tak ternilai harganya. " Jalan-jalan ke Kawah Putih, terus ke Bandung. Gimana?" usulnya.
67 51
" Gue setuju!" ucap Aga lantang dan bersemangat. Nana berpikir. Bandung? Tangannya terasa dingin. Ada sakit yang mengentak-entak di hati saat dia mendengar kota tersebut. Bandung memang kota kelahirannya. Wajahnya berubah muram. Dia benci Bandung, ah bukan& dia hanya benci segala kemalangan yang terjadi di kota itu yang menimpa dirinya. Dia membencinya dan tak ingin membangunkan lagi kenangan pahit yang terkubur dalam.
Kenangan menyakitkan yang bisa membuat Nana jatuh lemah. Kenangan yang sepatutnya tak disenggol lagi, apalagi sengaja dijemput.
Nana menunduk dalam, memegang erat-erat buku, kemudian berdiri, mengagetkan semua orang. " Gue nggak ikut," ucapnya dingin. Dia berjalan menjauhi teman-temannya. Dia tak mendengar apa-apa lagi setelah itu. Bahkan dia tak mendengar seruan Aga yang menyuruhnya kembali.
Nana tak ingin mengunjungi kota kelahirannya. Sungguh. Karisa diam, hatinya terasa sakit. Apa Nana tak ingin berteman dengannya?
" Keterlaluan!" Karisa melirik Dio yang emosinya memuncak seketika.
Entah mengapa Karisa justru tersenyum. " Mungkin& Nana belum mau temenan sama gue."
Dio berlari, lalu menahan tangan kanan Nana dari belakang. Sementara itu Stevan berusaha menghibur Karisa. " Dari pertama kali datang, Nana memang kayak gitu kok. Gue harap lo maklum sama sifatnya yang egois."
Karisa melirik Stevan yang berada di sampingnya. " Butuh waktu lama untuk bisa masuk ke kehidupan Nana."
68 51
Nana berhenti saat ada yang menahannya dari belakang, spontan berbalik. Ia menarik kasar tangannya. " Apa?" ucapnya menantang.
" Ada apa sih, Na? Acara ini direncanain buat lo dan Karisa. Lo nggak tahu gimana perasaan dia sekarang? Lo kenapa sih?"
Nana berbalik, berniat melarikan diri. Tidak, dia tak melarikan diri, hanya menghindar. Dia tak berniat bersenang-senang. Nana berhenti saat Dio menghalangi langkahnya. " Lo liat Karisa sekarang? Lo liat dia! Dia sedih, Na. Selama ini lo cuma sesekali nanggepin dia. Liat dia sekarang! Jangan egois!"
Nana menatap Dio tajam. " Kenapa lo& kalian& begitu ngurusin hidup gue sih?" ucap gadis itu.
" Karena kita teman. Dan kami nggak mau liat lo hidup dalam keterpurukan!" bentak Dio lantang, membuat semua orang di lapangan basket mengalihkan pandangan ke arah mereka.
Nana mengalihkan pandangan. " Teman?" ujarnya lemah. Seketika kenangan persahabatannya dengan Livia berputar seperti film. " Teman?" ulang Nana sekali lagi.
Pembawa sial.
Nana merasakan rintihan dalam hatinya. Hatinya sakit. Dia sakit saat mendengar ucapan itu. Dia sakit saat tahu sahabat satu-satunya menganggapnya sebagai pembawa sial. Dia sakit disalahkan.
" Kalau teman, nggak akan menyakiti, kan?" tanya Nana pelan, nyaris berbisik.
Dio mundur beberapa langkah. Tertegun melihat Nana yang seperti kehilangan kesadaran. Rupanya selain soal keluarga, Nana
69 51
juga rapuh soal teman. Sebanyak apa? Sebanyak apa beban yang ditanggung gadis itu?
" Ya, teman pasti nggak akan menyakiti," Dio mengulangi kalimat Nana.
Nana memaksa tersenyum. " Ya& seharusnya teman nggak akan menyakiti," tegasnya.
" Nana?" panggil Dio. Nana tak mendengarnya.
" Seharusnya... seharusnya gue nggak terlibat dalam kehidupan kalian sehingga kalian nggak perlu nganggep gue teman," ucap Nana, kemudian berlari meninggalkan Dio yang mematung.
Sudah dua kali. Sudah dua kali Dio membuat Nana menjadi seperti itu.
Dio terpaku. Kenapa ucapannya seolah menyakiti Nana? Membuat gadis itu seperti hilang kesadaran? Kenapa dia merasa bersalah pada Nana? Sekaligus merasa ingin menghiburnya?
70 51
AM pelajaran berakhir lima menit lalu. Karisa diam, melirik Nana yang sedang memasukkan alat tulis ke tas, kemudian bersiap keluar kelas. Karisa berjalan takut-takut ke arah Nana.
" Nana, maafin gue ya."
Dio, Nathan, Stevan, dan Aga yang masih berada di dalam kelas langsung mengalihkan pandangan ke arah Karisa dan Nana.
Nana menatap Karisa. Ada perasaan bersalah di hatinya. Dia tak ingin menyakiti orang lain. Entahlah, semua terasa lebih berat jika ada orang masuk ke hidupnya. Nana melirik Dio sekilas, yang menatapnya tak jelas.
Nana menyodorkan tangan. " I m sorry," ucapnya tegas dengan aksen Inggris kental.
Karisa memeluk Nana. Nana membalas pelukannya hangat.
71 51
Haruskah? Haruskah dia menerima Karisa sebagai temannya? Atau dia minta saja Karisa menjauh agar tak terluka.
Karisa melepas pelukannya, kemudian tersenyum senang. " Kita bener-bener teman kan, Na?"
Nana mengangguk. " Sorry for ignoring you."
Aga dan Stevan sontak saling pandang, kemudian mengembuskan napas lega. Mereka ikut tersenyum melihat kedua gadis itu. Begitu juga Nathan.
Mereka berjalan menuju pintu kelas, meninggalkan Dio yang masih mengemasi barang-barang.
" Sa, lo mau pulang bareng gue?" tawar Stevan.
Karisa hanya mengangguk, mengikuti langkah Stevan, Aga, dan Nathan.
" Gue duluan ya, Na."
Nana mengangguk, melambai pada Karisa. Setelah itu ia mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Hanya tertinggal dia dan Dio. Dan sepertinya dia harus segera melarikan diri dari pemuda itu.
Saat Nana berada di pintu, suara Dio terdengar menggelegar di telinganya. Begitu menusuk sehingga dia berhenti.
" Akting lo bagus!" ucap Dio seolah memuji. Ia tahu apa yang dilakukan Nana tadi tak benar-benar tulus dari hatinya.
Nana duduk menempelkan punggung ke sandaran kursi. Dia berhadapan dengan Dio, yang terlihat begitu garang. Ia memilih diam, tahu Dio marah kepadanya.
Memangnya Nana harus berbuat apa sih? Apa dia harus memohon agar Dio tidak marah kepadanya? Eh, apa? Apa otaknya mulai gila?
72 51
" Kalau bersikap kayak gitu terus, lo bisa menyakiti orang lain!" Nana tersenyum saat pelayan kafe mengantar latte. Ia menghirup aroma latte, merasa puas, lalu meminumnya perlahan.
Nana menatap Dio dari balik cangkir. Setelah isinya tinggal separuh, ia meletakkan cangkir itu di tatakannya.
" Kalau sekadar mengakui dia sebagai teman tapi nggak memperlakukan sebagai teman, lo sama aja menyakitinya."
Bungkamnya Nana membuat Dio ragu apakah gadis itu menyimak ucapannya atau tidak.
Nana membuang pandangan ke luar kafe. Hujan turun deras. Ia menarik napas panjang, seolah mengisi dadanya dengan udara bersih yang dibawa hujan yang selalu turun beberapa sore itu. " Lo denger gue nggak sih?"
Nana berpaling, kembali menatap Dio yang duduk tenang di depannya. Begitu tenangnya wajah tampan Dio hingga seolah tak terjadi apa-apa di antara mereka.
" Sejak kapan sih lo sok sibuk ngurusin gue?" cecar Nana tajam, jengah dengan kehadiran Dio yang mengganggu.
Memang aneh, Nana tak mampu menolak kehadiran Dio setelah dia melakukan percobaan bunuh diri. Dio terlihat menempel di sampingnya. Seharusnya Nana mengusir atau berbuat sesuatu yang membuat Dio menjauh. Namun sejujurnya, dia menikmatinya, entah kenapa.
" Egois," ucap Dio penuh penekanan.
" This is me," jawab Nana cepat. Kemudian diam. Dio menghela napas berat. Ada tekanan di dalam dirinya saat bersama gadis itu, sekaligus ada sesuatu yang menyuruhnya agar dia menemani Nana. Aneh. Dua perasaan bertentangan yang muncul bersamaan. " Apa nggak ada celah buat gue masuk ke kehidupan lo?"
73 51
Nana yang sedang memainkan ponsel langsung mengangkat wajah, menatap Dio. Ada kesungguhan di dalam kata-katanya. Apa yang membuat Dio ingin masuk ke hidupnya?
" Gue tahu ini bodoh. Gue yakin lo nggak akan membiarkan siapa pun mencampuri urusan lo. Tapi apa lo tahu rasanya melihat orang yang menatap dengan sorot terluka? Apa lo tahu rasanya saat kata-kata lo ternyata membuat orang lain terpuruk hingga nekat mencelakai dirinya sendiri?"
Yang terdengar hanya musik kafe.
" Gue pengin ngelindungin lo, Na. Ngelindungin lo dari beban berat yang lo tanggung. Yang sampai sekarang gue nggak tahu apa itu."
Tubuh Nana terasa memanas. Ada kesungguhan di mata Dio. Bahkan ada kejujuran yang terpancar.
Nana menunduk, tak bisa menjawab. Badannya terasa panasdingin dan sepertinya itu bukan waktu yang tepat untuk membalasnya dengan kata-kata pedas.
Nana bangun pagi-pagi sekali. Tadi malam dia memutuskan untuk ikut acara jalan-jalan ramai-ramai. Alasan keempat cowok itu: untuk mengakrabkan Nana dan Karisa. Padahal Nana tahu, mereka hanya cari alasan agar dia ikut. Karisa jelas ikut. Dan telah dipastikan setelah menjemput Nana, mereka akan menjemput Karisa di rumahnya.
Nana mengembuskan napas. Bandung tak sesempit BIHS, kan, yang bisa setiap saat bertemu kenalannya?
Sedikit lewat jam tujuh pagi terlihat Freed Dio yang berkapasitas enam orang terparkir mulus di depan rumah Nana.
74 51
Nana bersiap keluar saat Oom Ben menahannya dengan berkata, " Nggak apa-apa kamu pergi ke Bandung?"
Oom Ben memutuskan pindah ke rumah Nana. Ada beberapa hal yang harus diurusnya dengan Nana, sekaligus menjaga agar keponakannya itu tak berbuat hal yang tak semestinya lagi. Kejadian tempo hari cukup membuatnya syok.
Nana mengangguk pelan. Rasanya tidak akan apa-apa, dia mencoba meyakinkan diri. " No problem, Oom," jawabnya singkat. Ia melihat Dio menunggunya di pagar. Nana menghampiri pemuda itu cepat, kemudian keduanya masuk ke mobil.
Dari dalam rumah, Ben memperhatikan, ada yang berbeda dengan kedua remaja itu. Mereka terlihat& cocok satu sama lain. Ia menarik napas panjang. Apakah kehadiran Dio bisa pelan-pelan menghapus yang luka di dalam diri Nana? Tapi bagaimana jika justru Nana dilukai Dio?
Ben memijit dahi. Oh, memikirkan semua itu membuatnya pusing.
Nana tersenyum miring ketika Dio mengacak pelan rambutnya. Mereka dalam perjalanan ke rumah Aga, setelah itu ke rumah Stevan dan Nathan, dan yang terakhir ke rumah Karisa yang jaraknya paling jauh.
" Lo pernah ke Kawah Putih?" tanya Dio, memecah keheningan.
Nana mengangguk. Memorinya mengabur. Saat itu dia kelas lima SD dan mengunjungi Kawah Putih untuk penelitian tentang& ah& Nana tak ingat. Sudah lama sekali.
" Oh& sama."
Nana mengangkat alis. Kenapa sepertinya Dio kehabisan topik
75 51
untuk dibicarakan dengannya? Dan kenapa tiba-tiba Nana merasa terganggu saat Dio diam? Nana mengatur posisi duduk. Kenapa jalanan menuju rumah Aga begitu banyak lampu merah?
Nana memainkan ujung baju kaus. Baru pertama kali dia merasa secanggung itu. Dia melirik Dio sesekali. Cowok itu fokus melihat jalanan. Nana menarik napas panjang, kemudian mengeluarkannya pelan-pelan.
Nana mengalihkan pandangan dari Dio.
" Na, ke Holland Bakery dulu ya. Gue belum sarapan nih," ujar Dio, menoleh ke arah Nana, kemudian menatap jalanan.
Nana mengangguk cepat. Menurut saja. Lagi pula, dia menikmati kebersamaannya dengan Dio. Eh, jangan bilang Nana mulai membuka hati untuk Dio ya.
Lamunan Nana terhenti saat dering ponsel berbunyi. Oma. Ia buru-buru menjawab.
Mobil Dio terparkir rapi di Holland Bakery. Nana mengikuti langkah Dio yang keluar dari mobil sambil terus berbicara di ponsel.
Di dalam toko roti Nana memilih berdiri di pojok, menyimak ucapan Oma sambil melihat Dio yang sedang memilih roti. Ia menahan napas saat menanyakan kondisi ibundanya kepada Oma. Bagaimana Mama? Kenapa Mama belum juga sadar dari komanya? Sudah bulan keberapa ini?
Ucapan Oma membuat kebahagiaan Nana membuncah. Ia mengepal, menahan kuat-kuat agar tak berteriak.
" Nana, tadi pihak rumah sakit menelpon. Ada tanda-tanda ibumu sadar, Na. Kemarin jari-jari Mama bergerak-gerak."
Nana tak bisa membendung air mata saat Oma mengatakan itu. Mamanya akan sadar dari tidur panjangnya. Apakah Nana masih bisa mendapatkan kasih sayang ibu setelah itu? Hatinya
76 51
bertanya-tanya. Dia bahagia mendengar kabar yang disampaikan Oma.
Penantiannya selama hampir setengah tahun akan terjawab. Selama itukah dia menjalani kehidupan barunya? Selama itukah dia menantikan mamanya kembali?
Dio yang baru keluar dari Holland Bakery memandang Nana yang terlihat aneh. Tubuhnya menegang saat melihat Nana tak bergerak. Ada apa lagi dengan Nana?
Dio berlari, menghampiri Nana yang sekarang berdiri kaku di dekat mobilnya. Memastikan tak ada yang salah dengan keadaan gadis tersebut.
Oh, ayolah& hari ini waktunya bersenang-senang. Jangan ada lagi yang mengganggu pikiran Nana, pinta Dio dalam hati. " Na," panggil Dio pelan.
Tak ada jawaban.
Namun saat Dio menepuk bahu Nana pelan, gadis itu berbalik, tersenyum lebar, dan& seluruh kesadaran Dio terbang. Kantong plastik Holland Bakery jatuh seketika karena Nana memeluknya erat.
Jantung Dio berdebar keras. Oke, baiklah. Dia hanya kaget dan& bayangan wajah Nana yang tersenyum lebar mengisi pikirannya.
" Mama, Yo, Mama bisa gerakin tangannya," ucap Nana setengah menjerit. Ia benar-benar terlihat bahagia. Mata gadis itu berkacakaca, tapi penuh cahaya kehidupan. Mata itu tak lagi menyimpan duka.
Nana menyadari ada sesuatu di kakinya. Ia melepaskan pelukan, kemudian menunduk. Ya ampun! Kantong plastik roti yang baru dibeli Dio. Buru-buru ia mengambilnya.
Dio terdiam. Kemampuannya berbicara lenyap. Ia menatap Nana sambil bertanya-tanya soal perasaannya yang tak keruan itu.
Fear Street Petualang Malam Night Games Pendekar Pulau Neraka 14 Di Balik Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama