Mencari Alaska Looking For Alaska Karya John Green Bagian 1
LOOKING FOR ALASKA Copyright John Green, 2005 All rights reserved
Ebook by pustaka-indo.blogspot.com
GM 322 0114 0019
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Gedung Gramedia Blok I, Lt. 5 Jl. Palmerah Barat 29" 33, Jakarta 10270
MENCARI ALASKA
Alih bahasa: Barokah Ruziati & Sekar Wulandari Desain sampul oleh: Martin Dima (martin_twenty1@yahoo.com)
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama anggota IKAPI, Jakarta, 2014
www.gramediapustakautama.com
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
ISBN: 978 602 03 0732 9 288 hlm; 20 cm
Untuk keluargaku: Sydney Green, Mike Green, dan Hank Green " Aku telah berusaha keras melakukan yang benar." (kata-kata terakhir Presiden Grover Cleveland)
Sebelum
Seratus Tiga Puluh Enam Hari Sebelumnya Seminggu sebelum aku meninggalkan keluargaku dan Florida serta sisa masa remajaku untuk pergi ke sekolah asrama di Alabama, Mom berkeras mengadakan pesta perpisahan untukku. Kurang dramatis rasanya jika kukatakan ekspektasiku rendah. Walaupun aku bisa dibilang terpaksa mengundang semua " teman sekolahku" , yaitu sekumpulan anak penyuka drama dan kutu buku di kelas Bahasa Inggris yang biasanya duduk bersamaku di kantin lantaran strata sosial kami, aku tahu mereka tak akan datang. Tapi tetap saja ibuku memaksa, dikuasai delusi bahwa selama ini aku menyembunyikan kepopuleranku. Ia memasak segunung kecil saus artichoke. Ia menghias ruang tamu kami dengan kain berwarna hijau dan kuning, warna sekolah baruku. Ia membeli dua lusin petasan confetti berbentuk botol sampanye dan menaruhnya di sekeliling pinggiran meja kopi.
Dan ketika Jumat yang ditunggu-tunggu itu tiba, saat aku hampir selesai mengepak barang, ia duduk bersama Ayah dan aku di sofa ruang tamu pukul 4.56 sore, dengan sabar menunggu kedatangan pasukan Selamat Jalan Miles. Pasukan tersebut nyatanya hanya terdiri atas dua orang: Marie Lawson, gadis pirang mungil dengan kacamata kotak, dan pacarnya yang bertubuh besar (penggambaran yang terlalu bagus), Will.
" Hai, Miles," kata Marie seraya duduk. " Hai," jawabku.
" Bagaimana musim panasmu?" tanya Will. " Oke. Kau?"
" Menyenangkan. Kami mementaskan Jesus Christ Superstar. Aku membantu dekorasi panggung, Marie mengerjakan pencahayaannya," jawab Will.
" Keren," aku mengangguk, dan percakapan kami bisa dibilang berakhir. Mungkin seharusnya aku mengajukan pertanyaan tentang Jesus Christ Superstar, hanya saja (1) aku tak tahu makhluk apa itu, (2) aku tak berniat mencari tahu dan, (3) aku tak pernah benar-benar mahir berbasa-basi. Ibuku, sebaliknya, bisa berbasa-basi sampai berjam-jam, maka dia memperpanjang kecanggungan dengan menanyai mereka tentang jadwal latihan, jalannya pertunjukan, dan apakah pertunjukannya sukses.
" Kira-kira begitu," kata Marie. " Banyak yang datang, kukira." Marie sepertinya jenis orang yang sering mengira-ngira.
Akhirnya Will berkata, " Baiklah, kami hanya mampir untuk mengucapkan selamat jalan. Aku harus mengantarkan Marie pulang jam
6. Selamat bersenang-senang di asrama, Miles." " Terima kasih," jawabku, lega. Satu-satunya hal yang lebih buruk daripada mengadakan pesta yang tak didatangi siapa pun adalah mengadakan pesta yang hanya didatangi dua orang yang luar biasa membosankan.
Mereka pergi, maka aku duduk bersama orang tuaku memandangi TV yang mati dan aku ingin menyalakannya, tapi tahu sebaiknya tidak. Dapat kurasakan mereka berdua memandangiku, menungguku berurai air mata atau semacamnya, seolah-olah aku tak menyangka bahwa akan seperti ini jadinya. Tapi aku sudah menyangka. Aku bisa merasakan belas kasihan mereka selagi mereka menyendok saus artichoke dengan keripik kentang yang disajikan untuk teman-teman
khayalanku, tapi merekalah yang lebih layak dikasihani: aku tak kecewa. Ini sesuai ekspektasiku.
" Inikah sebabnya kau ingin pergi, Miles?" tanya Mom. Aku memikirkannya sejenak, berhati-hati agar tak beradu pandang dengannya. " Eh, bukan," jawabku.
" Lalu kenapa?" tanyanya. Ini bukan pertama kalinya ia bertanya. Mom tidak benar-benar rela melepasku pergi ke sekolah asrama dan ia tidak menutup-nutupinya.
" Karena aku?" tanya Dad. Ia dulu belajar di Culver Creek, sekolah asrama yang juga menjadi tujuanku, begitu pula kedua saudara lakilakinya dan semua anak mereka. Kurasa ia senang aku mengikuti jejaknya. Kedua pamanku kerap bercerita betapa di kampus ayahku terkenal sebagai pembuat onar sekaligus murid berprestasi. Kedengarannya lebih seru dibandingkan kehidupanku di Florida. Tapi tidak, ini bukan karena Dad. Tidak sepenuhnya.
" Tunggu," kataku. Aku pergi ke ruang kerja ayahku dan mengambil buku biografi Franois Rabelais. Aku suka membaca biografi penulis, meskipun (seperti yang terjadi dengan Monsieur Rabelais) aku tak pernah membaca buku yang mereka tulis. Aku membuka buku tersebut di bagian belakang dan menemukan kutipan yang distabilo (" JANGAN PERNAH MENCORET BUKU-BUKUKU DE- NGAN STABILO," Dad memperingatkan ribuan kali. Tapi bagaimana lagi menemukan bagian yang dicari?)
" Jadi pria ini," kataku, berdiri di ambang pintu ruang tamu, " Franois Rabelais. Dia penyair. Dan kata-kata terakhirnya adalah, " Aku pergi untuk mencari Kemungkinan Besar," Itulah alasanku pergi. Agar aku tak harus menunggu sampai mati untuk mulai mencari Kemungkinan Besar."
Dan itu membuat mereka terdiam. Aku mencari Kemungkinan
Besar, dan sama sepertiku, mereka tahu aku takkan menemukannya di antara orang-orang seperti Will dan Marie. Aku kembali duduk di sofa, di tengah ibu dan ayahku, lalu ayahku melingkarkan lengan di pundakku dan kami tetap seperti itu, duduk diam di sofa untuk waktu yang lama, sampai rasanya sudah pantas untuk menyalakan TV, kemudian kami menyantap saus artichoke untuk makan malam dan menonton History Channel. Untuk ukuran pesta perpisahan, ini bisa jauh lebih buruk
Seratus Dua Puluh Delapan Hari Sebelumnya Florida sangat panas dan lembap. Cukup panas sampai-sampai pakaianmu menempel ke tubuh seperti pita perekat Scotch, dan keringat menetes seperti air mata dari dahi ke mata. Tapi yang panas hanya di luar, dan biasanya aku hanya pergi ke luar untuk berjalan dari satu tempat ber-AC ke tempat ber-AC lainnya.
Itu tidak membuatku siap menghadapi jenis panas khusus yang kutemui 24 kilometer di selatan Birmingham, Alabama, di Sekolah Persiapan Culver Creek. Mobil SUV orangtuaku terparkir di rerumputan, hanya beberapa meter dari kamar asramaku, Kamar 43. Tapi setiap kali aku berjalan ke dan dari mobil untuk mengeluarkan barang-barang yang kini terasa terlalu banyak, matahari membakar menembus baju dan memanggang kulitku dengan keganasan yang membuatku benar-benar takut menghadapi api neraka.
Dengan bantuan Mom dan Dad, hanya butuh waktu beberapa menit untuk mengeluarkan semua barang dari mobil, tapi kamarku yang tidak ber-AC, meskipun syukurlah tidak langsung tersorot matahari, hanya terasa sedikit lebih sejuk. Kamar ini mengejutkanku: aku membayangkan karpet tebal, dinding kayu, furnitur bergaya
Victoria. Selain satu kemewahan" kamar mandi sendiri" rasanya seperti hidup dalam kardus. Dengan tembok batako yang diselubungi berlapis-lapis cat putih dan lantai linoleum motif kotak-kotak putih dan hijau, tempat ini lebih mirip rumah sakit ketimbang kamar asrama khayalanku. Ranjang susun dari kayu tak berpernis dengan kasur vinil ditempatkan menempel ke jendela belakang. Semua meja, lemari, dan rak buku dibaut ke dinding untuk menghindari kreatifitas dalam penataan ruangan. Dan tidak ada AC.
Aku duduk di ranjang bawah selagi Mom membuka koper, mengambil setumpuk buku biografi yang direlakan Dad untuk kubawa, dan menaruhnya di rak buku.
" Aku bisa melakukannya sendiri, Mom," kataku. Dad berdiri. Dia sudah siap pergi.
" Setidaknya biarkan aku membereskan tempat tidurmu," ujar Mom.
" Jangan. Aku bisa sendiri. Tidak usah." Karena kita tidak bisa menunda hal seperti ini selamanya. Pada suatu saat, seperti halnya plester, kita harus melepasnya dan memang sakit, tapi kemudian semua berakhir dan kita lega.
" Ya Tuhan, kami akan merindukanmu," kata Mom tiba-tiba, mengarungi ranjau tumpukan koper untuk menghampiri ranjang. Aku berdiri dan memeluknya. Ayahku juga menghampiri, dan kami membentuk semacam kerumunan. Pelukan itu tak berlangsung lama karena udara terlalu panas dan kami terlalu berkeringat. Aku tahu seharusnya aku menangis, tapi aku sudah tinggal bersama orangtuaku selama enam belas tahun dan perpisahan sementara seperti ini rasanya wajar saja terjadi.
" Jangan khawatir," Aku tersenyum. " Aku bakal belajar bicara dengan logat Selatan." Mom tertawa.
" Jangan melakukan hal bodoh," kata ayahku. " Oke."
" Jangan pakai narkoba. Jangan minum alkohol. Jangan merokok." Sebagai alumni Culver Creek, Dad sudah melakukan hal-hal yang hanya pernah kudengar: berbagai pesta rahasia, terburu-buru melintasi ladang jerami (ia selalu mengeluh betapa dulu hanya ada murid laki-laki), mencoba narkoba, alkohol, dan rokok. Dad butuh waktu cukup lama untuk berhenti merokok, tapi hari-hari liarnya sudah menjadi masa lalu.
" Aku sayang padamu," mereka berdua bicara bersamaan. Itu memang perlu diucapkan, tapi kata-katanya membuat suasana jadi sangat tidak nyaman, seperti melihat kakek-nenekmu berciuman.
" Aku juga sayang kalian. Aku akan menelepon setiap Minggu." Tidak ada sambungan telepon di kamar kami, tapi orangtuaku sudah meminta supaya aku ditempatkan di kamar dekat salah satu dari lima telepon umum Culver Creek.
Mereka memelukku lagi" Mom, lalu Dad" dan selesai sudah. Dari jendela belakang, aku melihat mobil mereka menyusuri jalan yang berkelok-kelok keluar kampus. Mungkin seharusnya aku merasakan kesedihan atau kepiluan. Tapi saat ini aku hanya ingin menyejukkan diri, jadi kuambil salah satu kursi dan duduk di luar pintu di bawah naungan atap yang menjorok, menunggu semilir angin yang tak kunjung datang. Udara di luar sama panas dan pengapnya seperti di dalam. Aku mengamati lingkungan baruku: enam gedung tak bertingkat, masing-masing berisi enam belas kamar asrama, disusun membentuk pola bintang mengelilingi lapangan rumput bundar. Tempat ini terlihat seperti motel tua yang terlalu besar. Sejauh mata memandang, cowok-cowok dan cewek-cewek berpelukan, tersenyum dan berjalan bersama. Aku sedikit berharap ada yang
menghampiri dan mengajakku bicara. Aku membayangkan percakapan kami:
" Hei. Ini tahun pertamamu?" " Ya, ya. Aku dari Florida."
" Bagus. Berarti kau sudah terbiasa dengan udara panas." " Aku takkan terbiasa dengan udara sepanas ini bahkan seandainya berasal dari Hades," aku akan berkelakar. Aku akan meninggalkan kesan pertama yang bagus. Oh, dia lucu. Si Miles itu seru.
Itu tidak terjadi, tentu saja. Keadaan tak pernah berjalan seperti yang kubayangkan.
Merasa bosan, aku kembali ke dalam lalu mencopot kemeja, kemudian berbaring di kasur ranjang bawah yang seolah menyerap panas, dan memejamkan mata. Aku belum pernah terlahir baru melalui pembaptisan, tangisan dan semua itu, tapi pasti rasanya tidak lebih baik dibandingkan terlahir kembali sebagai orang yang masa lalunya tidak diketahui. Aku memikirkan orang-orang yang kisah hidupnya pernah kubaca" John F. Kennedy, James Joyce, Humphrey Bogart" yang belajar di sekolah asrama, serta petualangan mereka; Kennedy, contohnya, suka mengerjai orang. Aku berpikir tentang Kemungkinan Besar dan hal-hal yang dapat terjadi serta orang-orang yang mungkin kutemui dan siapa yang akan menjadi teman sekamarku (aku menerima surat beberapa minggu lalu yang menyebutkan nama orang itu, Chip Martin, tapi tanpa informasi lebih lanjut). Siapa pun Chip Martin, kuharap ia membawa banyak kipas berkekuatan besar, karena aku tidak membawa satu pun dan bisa kurasakan keringat mulai membanjiri kasur, yang membuatku jijik sehingga aku berhenti berpikir lalu menyeret bokong turun untuk mencari handuk dan mengelap keringat itu. Kemudian aku berpikir, Yah, sebelum mulai bertualang, koper mesti dibongkar.
Aku sudah menempelkan peta dunia di dinding dan menaruh sebagian besar pakaianku dalam laci-laci sebelum menyadari bahwa udara yang panas dan lembap ini bahkan membuat dinding kamar ikut berkeringat, dan kuputuskan bahwa sekarang bukan waktunya untuk kerja keras. Sekarang waktunya mandi air dingin yang nikmat.
Kamar mandi kecil itu dilengkapi cermin besar setinggi badan yang terpasang di balik pintu, sehingga aku tidak bisa menghindari pantulan tubuh telanjangku sewaktu bergerak condong ke depan untuk menyalakan keran pancuran. Tubuh kurusku selalu membuatku kaget; ukuran lenganku sepertinya sama ceking dari pergelangan ke pundak, dadaku sama sekali tak menampakkan lemak atau otot, dan aku merasa malu serta mulai memikirkan cara menyingkirkan cermin itu. Kusibakkan tirai kamar mandi yang putih polos lalu masuk ke bilik pancuran.
Sayangnya, pancuran ini sepertinya didesain untuk orang yang tingginya sekitar 110 sentimeter, jadi air dinginnya menyemprot tulang rusuk bagian bawah" dengan semburan keran yang lemah. Untuk membasuh wajah yang penuh keringat, aku harus merenggangkan kaki lebar-lebar dan berjongkok. John F. Kennedy (yang menurut biografinya memiliki tinggi 182 sentimeter, setinggi aku) tentu saja tidak perlu berjongkok di asramanya. Tidak, ini jalan hidup yang sama sekali berbeda, dan selagi tetes-tetes air perlahan membasahi tubuhku, aku bertanya-tanya dapatkah aku menemukan Kemungkinan Besar di sini atau jangan-jangan aku membuat kesalahan besar.
Sewaktu membuka pintu kamar mandi sesudahnya, dengan handuk melilit pinggang, aku melihat pemuda pendek dan berotot dengan rambut cokelat tebal yang berantakan. Ia menyeret tas
olahraga besar warna hijau tentara melewati pintu kamarku. Tinggi pemuda itu hanya 150 sentimeter, tapi tubuhnya kekar, seperti miniatur model Adonis, dan ia menguarkan bau rokok. Hebat, pikirku. Aku bertemu teman sekamarku dalam keadaan telanjang. Ia menghela tasnya masuk, menutup pintu, dan berjalan ke arahku.
" Aku Chip Martin," ia memperkenalkan diri dengan suara berat, seperti suara penyiar radio. Sebelum aku sempat merespons, ia menambahkan, " Aku mau saja menjabat tanganmu, tapi kurasa kau harus memegangi handukmu erat-erat sampai sudah memakai baju."
Aku tertawa dan mengangguk kepadanya (itu keren, kan? Menganggukkan kepala?) dan berkata, " Aku Miles Halter. Senang berjumpa denganmu."
" Miles, seperti " pergi sebelum aku tidur" ?" tanyanya. " Hah?"
" Itu puisinya Robert Frost. Kau belum pernah baca?" Aku mengangguk.
" Anggap dirimu beruntung." Ia tersenyum.
Aku menyambar celana dalam bersih, celana bola Adidas warna biru dan T-shirt putih, bergumam bahwa aku akan segera kembali lalu masuk lagi ke kamar mandi. Gagal sudah kesan pertama yang bagus.
" Jadi, di mana orangtuamu?" tanyaku dari kamar mandi. " Orangtuaku? Ayahku di California sekarang. Mungkin sedang duduk di kursi La-Z-Boy-nya. Mungkin sedang menyetir truk. Yang jelas, dia pasti melakukannya sambil minum. Ibuku mungkin baru meninggalkan gedung kampus."
" Oh," jawabku, yang sekarang sudah berpakaian lengkap, tak tahu
cara menanggapi informasi pribadi seperti itu. Mungkin seharusnya aku tidak usah bertanya, kalau tidak ingin tahu jawabannya.
Chip mengambil seprai dan melemparkannya ke ranjang atas. " Aku suka ranjang atas, kuharap kau tak keberatan."
" Eh, tidak. Yang mana saja tak masalah."
" Kulihat kau sudah menghias tempat ini," ujarnya, menunjuk peta yang tadi kutempel. " Aku suka."
Lalu ia mulai menyebutkan nama-nama negara. Nadanya monoton, seolah ia sudah melakukannya ribuan kali.
Afganistan.
Albania.
Aljazair. Andorra.
Dan seterusnya. Ia menyebutkan semua negara berawalan A sebelum mendongak dan menyadari tatapan takjubku.
" Aku bisa melanjutkan sisanya, tapi mungkin kau bakal bosan. Satu hal yang kurasakan sepanjang musim panas. Ya Tuhan, kau tak bisa membayangkan betapa membosankannya New Hope, Alabama di musim panas. Seperti mengamati kacang kedelai tumbuh. Dari mana asalmu, omong-omong?"
" Florida," jawabku.
" Belum pernah ke sana."
" Luar biasa, hafalan nama-nama negara tadi," kataku. " Yah, semua orang punya bakat. Aku bisa menghafal. Dan kau bisa& ?"
" Mm, aku tahu kata-kata terakhir banyak orang sebelum mereka wafat." Mengetahui kata-kata terakhir adalah kenikmatan bagiku. Orang lain menggilai cokelat; aku menggilai pernyataan saat sekarat.
" Contohnya?"
" Aku suka kata-kata terakhir Henrik Ibsen. Ia penulis naskah drama." Aku tahu banyak tentangnya, tapi belum pernah membaca naskahnya. Aku tak suka membaca drama, aku suka membaca biografi.
" Ya, aku tahu siapa dia," kata Chip.
" Nah, jadi dia sudah beberapa lama sakit dan perawat berkata padanya, " Kau terlihat membaik pagi ini." Ibsen memandang si perawat lalu menjawab, " Malah sebaliknya," lalu dia meninggal." Chip tertawa. " Mengerikan. Tapi aku suka itu."
Ia memberitahuku bahwa ini tahun ketiganya di Culver Creek. Ia memulai di kelas sembilan, tahun pertamanya di sekolah ini, dan sekarang ia kelas tiga SMA, sama sepertiku. Murid penerima beasiswa, ujarnya. Dibiayai sepenuhnya. Ia mendengar bahwa ini sekolah terbaik di Alabama, jadi ia menulis esai lamaran berisi keinginannya untuk bersekolah di tempat ia bisa membaca buku-buku tebal. Masalahnya, tulis Chip dalam esai itu, ayahnya selalu memukulnya dengan buku-buku yang ada di rumah, jadi ia hanya mengoleksi buku-buku tipis dan bersampul ringan demi keamanan. Orangtua Chip bercerai waktu ia kelas dua SMA. Ia menyukai " Creek" , begitulah julukannya untuk sekolah ini, tapi, " Kau harus berhati-hati di sini, dengan murid-murid dan guru-gurunya. Dan aku benci berhati-hati," ia menyeringai. Aku juga benci berhati-hati" atau setidaknya, aku ingin merasa begitu.
Chip menjelaskan semua ini sambil membongkar tas, melemparkan pakaian ke dalam laci dengan asal-asalan. Chip tidak suka aturan yang membedakan laci khusus kaus kaki atau khusus T-shirt. Ia berpendapat semua laci diciptakan sama dan mengisi setiap laci dengan benda apa pun yang muat. Ibuku bisa mati melihatnya.
Setelah selesai " beres-beres" , Chip menepuk pundakku dengan keras dan berkata, " Kuharap kau lebih kuat daripada yang terlihat," lalu berjalan ke luar kamar, membiarkan pintunya terbuka. Ia melongok ke dalam beberapa detik kemudian, dan melihatku masih berdiri tak bergerak. " Ayolah, Miles To Go Halter. Banyak yang harus dikerjakan."
Kami berjalan menuju ruang TV, yang menurut Chip berisi satusatunya TV kabel di kampus. Selama liburan musim panas, ruangan ini dipakai untuk tempat penyimpanan. Dijejali sofa-sofa, kulkaskulkas, dan gulungan-gulungan karpet yang menumpuk sampai hampir menyentuh langit-langit, ruangan ini riuh rendah oleh anakanak yang sibuk mencari dan membawa pergi barang-barang mereka. Chip menyapa beberapa orang, tapi tidak memperkenalkanku. Sewaktu ia memasuki labirin tumpukan sofa, aku berdiri di ambang pintu, berupaya keras agar tidak menghalangi pasangan-pasangan teman sekamar yang mencoba mengeluarkan barang melewati pintu depan yang sempit.
Chip butuh sepuluh menit untuk menemukan barang-barangnya, dan satu jam lagi bagi kami untuk mondar-mandir sebanyak empat kali menyusuri kompleks asrama antara ruang TV dan Kamar 43. Setelah selesai, rasanya aku ingin masuk ke kulkas mini Chip dan tidur seribu tahun, tapi Chip seolah kebal terhadap keletihan dan udara panas. Aku duduk di sofanya.
" Aku menemukannya di pinggir jalan dekat rumah beberapa tahun lalu," ia menjelaskan tentang sofa itu sambil memasang PlayStation 2 milikku. " Aku tahu sebagian kulitnya sudah retak, tapi ayolah, ini sofa yang keren." Kulitnya bukan hanya retak sebagian" sofa itu kira-kira terdiri atas 30 persen kulit imitasi biru muda dan 70 persen busa" tapi terasa nyaman buatku.
" Baiklah," katanya. " Kita hampir selesai." Ia berjalan menuju lemarinya dan mengeluarkan segulung lakban dari laci. " Sekarang kita butuh kopermu."
Aku berdiri, menarik koper dari bawah ranjang, dan Chip memosisikannya di antara sofa dan PlayStation 2 lalu mulai menyobeki lakban dalam carikan-carikan tipis. Ia menempelkannya di koper hingga membentuk tulisan MEJA KOPI.
" Nah," katanya. Ia duduk dan menaruh kaki di, eh, meja kopi. " Selesai sudah."
Aku duduk di sampingnya, dan ia memandangku lalu tiba-tiba berkata, " Dengar. Aku tak akan menjadi pintu gerbangmu memasuki kehidupan sosial Culver Creek."
" Eh, oke," jawabku, tapi bisa kudengar suaraku tersekat. Aku baru saja menggotong sofa orang ini di bawah sengatan sinar matahari, dan sekarang ia tidak menyukaiku?
" Singkatnya, kau akan menemukan dua grup di sini," Ia menerangkan dengan nada mendesak. " Ada anak-anak asrama biasa sepertiku, dan ada Weekday Warriors: mereka berasrama di sini, tapi mereka anak orang kaya yang tinggal di Birmingham dan pulang ke mansion ber-AC milik orangtua mereka setiap akhir pekan. Merekalah kelompok anak-anak keren. Aku tidak suka mereka, dan mereka juga tidak menyukaiku, jadi kalau kau datang ke sini dan berpikir bahwa karena kau anak gaul di sekolah negeri maka kau juga akan jadi anak gaul di sini, lebih baik kau jangan terlihat bersamaku. Kau sebelumnya di sekolah negeri, kan?"
" Eh& " kataku. Dengan pikiran kosong, aku mulai mengorek retakan di kulit sofa, membenamkan jemariku dalam busa putihnya.
" Yah, kemungkinan begitu, karena kalau kau masuk sekolah swasta, celana pendekmu pasti pas ukurannya." Ia tertawa.
Aku memakai celana tepat di bawah pinggul, karena kupikir itu keren. Akhirnya aku menjawab, " Ya, aku di sekolah negeri. Tapi aku bukan anak gaul di sana, Chip, aku cuma anak biasa."
" Ha! Baguslah. Dan jangan panggil aku Chip. Panggil aku Kolonel."
Aku menahan tawa. " Kolonel?"
" Ya, Kolonel. Dan kami akan memanggilmu& hmm. Pudge. Lemak tubuh."
" Pudge," kata Kolonel. " Karena kau kurus kering. Ini namanya ironi, Pudge. Pernah dengar? Sekarang, ayo kita cari rokok dan memulai tahun ini dengan benar."
Ia keluar kamar, sekali lagi hanya berasumsi aku bakal mengikutinya, dan kali ini ia benar. Syukurlah, matahari mulai terbenam di cakrawala. Kami berjalan melewati lima pintu ke Kamar 48. Papan tulis ditempel ke pintu menggunakan lakban. Di papan itu tertulis Alaska punya kamar sendiri! dengan spidol biru.
Kolonel menjelaskan padaku bahwa (1) ini kamar Alaska, (2) Alaska punya kamar sendiri karena teman sekamarnya dikeluarkan dari sekolah akhir tahun lalu, dan (3) Alaska punya persediaan rokok, walaupun Kolonel tidak berusaha mencari tahu apakah (4) aku merokok, yang (5) jawabannya tidak.
Ia mengetuk pintu satu kali, keras-keras. Dari balik pintu terdengar pekikan, " Ya Tuhan, kemari kau lelaki pendek, aku punya cerita hebat!"
Maka kami masuk. Aku berbalik untuk menutup pintu, tapi Kolonel menggeleng dan berkata, " Setelah jam tujuh, kau harus
membiarkan pintu terbuka kalau masuk kamar cewek," tapi aku nyaris tak mendengar ucapannya karena cewek terseksi sepanjang sejarah manusia berdiri di hadapanku, dalam balutan celana jins yang dipotong pendek dan tank-top warna peach. Dan ia berbicara kepada Kolonel, dengan lantang dan cepat.
" Jadi di hari pertama musim panas, aku di Vine Station yang hebat bersama cowok ini, Justin. Kami di rumahnya, menonton TV di sofa" dan ingat, aku sudah berpacaran dengan Jake" sebenarnya aku masih pacaran dengannya, dan itu cukup ajaib, tapi Justin temanku dari kecil. Jadi kami nonton TV dan mengobrol tentang ujian SAT atau apalah, lalu Justin merangkulku dan kupikir, Oh, oke, kami sudah berteman sekian lama dan ini benar-benar nyaman, dan kami cuma mengobrol. Lalu waktu aku sedang bercerita tentang analogi atau apalah, tiba-tiba ia menurunkan tangan seperti elang dan meremas payudaraku. MEREMAS. Remasan yang terlalu kencang selama dua, tiga detik. Dan hal pertama yang melintas di benakku adalah, oke, bagaimana cara melepaskan cengkeraman ini dari payudaraku sebelum meninggalkan bekas merah? dan hal kedua adalah Ya Tuhan, aku harus segera memberitahu Takumi dan Kolonel. "
Kolonel terbahak. Aku hanya menatap, terperangah, sebagian karena kekuatan suara yang keluar dari gadis bertubuh mungil (tapi, ya Tuhan, seksi) ini dan sebagian lagi karena tumpukan buku yang memenuhi dinding kamarnya. Koleksi bukunya berjejalan dalam rak-rak lalu tumpah menjadi timbunan buku setinggi pinggang di mana-mana, ditumpuk sembarangan menempel ke dinding. Jika satu buku saja bergeser, pikirku, efek domino bisa membuat kami bertiga kehabisan napas tertimbun literatur.
" Siapa cowok yang tidak tertawa mendengar cerita lucuku?" tanyanya.
" Oh, ya. Alaska, ini Pudge. Pudge menghafalkan kata-kata terakhir orang. Pudge, ini Alaska. Payudaranya diremas musim panas lalu." Alaska berjalan ke arahku dengan tangan terulur, lalu bergerak ke bawah dengan cepat di saat terakhir dan menurunkan celanaku. " Itu celana terbesar se-Alabama!"
" Aku suka celana longgar," tukasku malu, dan menarik celanaku ke atas. Celana ini dianggap keren di Florida.
" Sejauh ini dalam hubungan kita, Pudge, aku sudah terlampau sering melihat kaki kurusmu," Kolonel berkata tanpa ekspresi. " Nah, Alaska. Juallah rokok pada kami." Lalu entah bagaimana, Kolonel berhasil membuatku membayar lima dolar untuk sebungkus Marlboro Lights yang sama sekali tak ingin kuisap.
Ia mengajak Alaska untuk bergabung dengan kami, tapi gadis itu menjawab, " Aku harus mencari Takumi dan bercerita soal Remasan." Alaska menoleh ke arahku dan bertanya, " Apa kau melihatnya?" Aku tak tahu apakah sudah melihat Takumi, sebab aku sama sekali tak tahu siapa dia. Aku hanya menggeleng.
" Baiklah. Kalau begitu, sampai jumpa di danau beberapa menit lagi." Kolonel mengangguk.
Di pinggir danau, persis di depan pantai yang berpasir (dan palsu, kata Kolonel), kami duduk di ayunan Adirondack. Aku dengan patuh melontarkan lelucon: " Jangan remas payudaraku."
Kolonel tertawa dengan patuh, lalu bertanya, " Mau rokok?" Aku belum pernah merokok, tapi apa salahnya.
" Apakah di sini aman?"
" Tidak juga," jawabnya, lalu menyalakan sebatang rokok dan memberikannya kepadaku. Aku mengisapnya. Batuk. Megap-megap
mencari oksigen. Batuk lagi. Kepingin muntah. Mencengkeram bangku ayunan, kepalaku pusing, lalu melempar rokok itu ke tanah dan menginjaknya, yakin bahwa Kemungkinan Besar-ku tidak melibatkan rokok.
" Keseringan merokok?" Ia tertawa, lalu menunjuk bintik putih di seberang danau dan berkata, " Lihat itu?"
" Iya," aku menyahut. " Apa itu? Burung?" " Angsa," jawabnya.
" Wow. Sekolah dengan angsa. Wow."
" Angsa itu keturunan setan. Jangan sampai jarakmu lebih dekat daripada jarak kita sekarang."
" Kenapa?"
" Angsa itu punya masalah dengan manusia. Pernah disiksa atau semacamnya. Dia akan mencabik-cabik tubuhmu. Si Elang menaruhnya di situ untuk mencegah anak-anak merokok di pinggir danau."
" Si Elang?"
" Mr. Starnes. Nama kode: Si Elang. Dia dekan. Kebanyakan guru tinggal di kampus dan mereka semua bakal mengawasimu, tapi hanya si Elang yang tinggal di area asrama dan ia melihat semuanya. Ia bisa mencium bau rokok dari jarak sepuluh meter."
" Bukankah rumahnya di belakang sana?" tanyaku seraya menunjuknya. Aku bisa melihat rumah itu dengan cukup jelas meskipun hari sudah gelap, jadi kemungkinan besar ia juga bisa melihat kami.
" Ya, tapi biasanya ia tidak terlalu menggila sampai sekolah dimulai," jawab Chip enteng.
" Ya Tuhan, kalau sampai aku terlibat masalah, orangtuaku bakal membunuhku," kataku.
" Kurasa kau terlalu melebih-lebihkan. Tapi dengar, kau pasti akan terlibat masalah, walaupun orangtuamu takkan pernah mendengar 99 persen masalah tersebut. Sekolah tak ingin orangtuamu berpikir kau menjadi anak bermasalah di sini, seperti halnya kau ingin orangtuamu berpikir kau bermasalah." Ia mengembuskan asap tipis kuat-kuat ke arah danau. Kuakui, ia terlihat keren melakukannya. Entah bagaimana ia jadi tampak lebih tinggi. " Omong-omong, kalau terlibat masalah, jangan beritahu siapa pun. Maksudku, aku membenci bocah-bocah kaya di sini sebesar kebencianku pada perawatan gigi dan ayahku. Tapi bukan berarti aku mau mengadukan mereka ke guru. Bisa dibilang, hal paling penting adalah jangan jangan jangan pernah mengadu."
" Oke," kataku, meskipun aku bertanya-tanya: kalau seseorang memukul wajahku, apakah aku harus berkeras mengatakan aku menabrak pintu? Sepertinya agak bodoh. Bagaimana menghadapi tukang gencet dan bajingan kalau kau tak bisa membuat mereka susah? Tapi aku tidak bertanya pada Chip.
" Baiklah, Pudge. Kita sudah tiba di bagian malam saat aku harus pergi dan mencari pacarku. Jadi berikan beberapa rokokmu yang toh tak akan kauisap dan sampai jumpa lagi."
Aku memutuskan untuk tetap duduk di ayunan, sebagian karena udara panas akhirnya digantikan oleh udara yang lebih sejuk meskipun lembap, dan sebagian karena kupikir Alaska mungkin muncul. Tapi sesaat setelah Kolonel pergi, serangga datang menyerbu: kawanan no-see-um (yang dari namanya seharusnya tak terlihat tapi, omongomong, bisa dilihat) dan nyamuk mengerubungiku dalam jumlah begitu banyak sampai-sampai suara lirih kepakan sayap mereka terdengar bising. Lalu kuputuskan untuk merokok.
Nah, pikirku, Asapnya akan mengusir semua serangga ini. Dan, sampai taraf tertentu, memang benar. Aku bohong jika mengatakan aku merokok untuk mengusir serangga. Aku merokok karena (1) aku sendirian di ayunan Adirondack ini, (2) aku punya rokok, dan (3) kupikir jika semua orang bisa merokok tanpa terbatuk, aku pasti juga bisa. Singkatnya, aku tak punya alasan yang cukup bagus. Jadi yah, katakan saja bahwa alasannya adalah (4) gara-gara serangga.
Aku berhasil melewati tiga isapan sebelum merasa mual, pusing, dan hanya sedikit riang. Aku bangkit hendak pergi. Sewaktu berdiri, terdengar suara di belakangku:
" Jadi, kau benar-benar menghafalkan kata-kata terakhir?" Gadis itu berlari ke sampingku, memegang pundakku, dan mendorongku supaya kembali duduk di ayunan.
" Iya," jawabku. Lalu dengan ragu-ragu menambahkan, " Kau mau mengujiku?"
" JFK," katanya.
" Itu sudah jelas," aku menyahut. " Oh, begitu ya?" tanyanya.
" Bukan. Itulah kata-kata terakhirnya. Seseorang berkata, " Tuan Presiden, Anda tentu tak bisa berkata Dallas tak mencintai Anda," lalu dia menjawab, " Itu sudah jelas," lalu dia tertembak."
Alaska tertawa. " Ya ampun, kasihan sekali. Aku tidak seharusnya tertawa. Tapi aku akan tetap tertawa," lalu ia tertawa lagi. " Oke, Tuan Kata-Kata Terakhir Legendaris, aku punya satu untukmu." Ia merogoh ranselnya yang terlalu penuh dan mengeluarkan satu buku. " Gabriel Garca Mrquez. {#1f}e General in His Labyrinth. Salah satu favoritku. Ini tentang Simn Bolvar." Aku tak tahu siapa Simn Bolvar, tapi ia tak memberiku kesempatan untuk bertanya. " Ini novel sejarah, jadi aku tak tahu benar atau tidak, tapi di buku ini, kau tahu
apa kata-kata terakhirnya? Tidak, kau tidak tahu. Tapi akan kuberitahu, Seor Pesan Perpisahan."
Kemudian ia menyalakan rokok dan mengisapnya begitu dalam dan lama sampai kupikir satu batang itu akan habis dalam satu isapan. Ia mengembuskan napas dan membacakan untukku:
" Dia" maksudnya Simn Bolvar" terguncang oleh kesadaran hebat bahwa pertandingan tiada akhir antara kegagalan dan mimpimimpinya pada saat itu telah mencapai garis akhir. Sisanya hanyalah kegelapan. " Sial," dia menghela napas. " Bagaimana caraku keluar dari labirin ini?" "
Aku mengenali kata-kata terakhir yang hebat ketika mendengarnya, dan aku membuat catatan dalam hati untuk mencari biografi si Simn Bolvar ini. Kata-kata terakhir yang indah, tapi aku tidak begitu paham. " Jadi, apa yang dimaksud dengan labirin?" tanyaku.
Dan sekarang adalah waktu yang sama baiknya dengan semua waktu lain untuk mengatakan ia cantik. Dalam kegelapan di sampingku, gadis itu berbau keringat, sinar matahari, serta vanili, dan pada malam berbulan sabit seperti ini, aku hanya bisa melihat siluetnya kecuali saat ia mengisap rokok, ketika ujung rokok yang menyala menerangi wajahnya dalam cahaya merah pucat. Tapi bahkan dalam kegelapan, aku bisa melihat matanya" warna zamrud yang membara. Ia punya mata yang dapat membuatmu mendukung apa pun yang ia lakukan. Dan ia tak sekadar cantik tapi juga seksi, dengan payudara yang menonjol di balik tank-top ketat, kaki berlekuk yang berayun maju-mundur di bawah bangku ayunan, sandal jepitnya menggantung dari jemari kaki yang kuku-kukunya dicat biru elektrik. Pada saat itulah, dalam jeda setelah aku bertanya tentang labirin dan sebelum ia menjawab, aku menyadari pentingnya lekuk tubuh, ribuan titik tempat tubuh perempuan tersambung dari satu tempat ke tempat
lain, dari lengkung telapak kaki ke pergelangan kaki ke betis, dari betis ke pinggul ke pinggang ke payudara ke leher ke tulang hidung ke dahi ke pundak ke lengkungan punggung ke bokong ke lainlainnya. Tentu saja aku menyadari lekuk tubuh perempuan sebelum ini, tapi tak pernah benar-benar memahami arti pentingnya.
Bibir Alaska cukup dekat denganku sehingga aku dapat merasakan napasnya yang lebih hangat dari udara saat ia berkata, " Itulah misterinya, ya kan? Apakah labirin berarti kematian atau kehidupan? Dia berusaha kabur dari apa" dunia, atau akhir dunia?" Aku menunggunya berbicara lagi, tapi setelah beberapa waktu, jelaslah bahwa ia menginginkan jawaban dariku.
" Eh, aku tak tahu," jawabku akhirnya. " Apa kau benar-benar sudah membaca semua buku di kamarmu?"
Ia tertawa, " Ya Tuhan, tidak. Aku mungkin membaca sepertiganya. Tapi aku akan membaca semuanya. Aku menyebutnya Perpustakaan Hidupku. Sejak kecil, setiap musim panas aku mendatangi obral barang bekas dan membeli semua buku yang terlihat menarik. Jadi aku selalu punya buku untuk dibaca. Tapi ada begitu banyak hal yang mesti dilakukan: rokok untuk diisap, seks untuk dinikmati, ayunan untuk dinaiki. Aku akan punya lebih banyak waktu untuk membaca ketika sudah tua dan membosankan."
Kata Alaska, aku mengingatkannya pada Kolonel saat pemuda itu baru datang ke Culver Creek. Mereka sama-sama anak baru, tuturnya, sama-sama penerima beasiswa yang memiliki, ini istilah yang ia gunakan, " ketertarikan serupa pada minuman keras dan kenakalan" . Kata-kata minuman keras dan kenakalan membuatku khawatir bahwa aku akan terperangkap dalam apa yang disebut ibuku sebagai " pengaruh buruk" , tapi sebagai pengaruh buruk, mereka berdua sepertinya sangat pintar. Selagi menyalakan rokok baru dengan
puntung rokok sebelumnya, ia memberitahuku bahwa Kolonel pintar tapi belum banyak menikmati hidup ketika datang ke Creek.
" Aku langsung membereskan masalah itu," ia tersenyum. " Memasuki bulan November, aku mendapatkan pacar pertama untuknya, cewek baik-baik yang bukan dari kalangan Weekday Warriors bernama Janice. Kolonel mencampakkannya sebulan kemudian karena Janice terlalu kaya untuk rakyat jelata sepertinya, tapi terserahlah. Kami melakukan kejailan pertama tahun itu" kami menyebarkan kelereng di lantai Ruang Kelas 4. Sejak itu kami terus melakukan peningkatan, tentu saja," ia tertawa. Jadi Chip menjadi Kolonel" perencana bergaya militer untuk kejailan mereka" dan Alaska tetaplah Alaska, kekuatan kreatif yang menakjubkan di balik semua kejailan itu.
" Kau pintar seperti dia," katanya " Tapi lebih pendiam. Dan lebih manis, tapi lupakan omonganku barusan, karena aku mencintai pacarku."
" Yah, kau juga lumayan," cetusku, tersanjung oleh pujiannya. " Tapi lupakan omonganku barusan, karena aku mencintai pacarku. Eh, tunggu. Oh iya, aku tak punya pacar."
Ia tertawa. " Jangan khawatir, Pudge. Jika ada satu hal yang bisa kucarikan untukmu, itu adalah pacar. Ayo kita buat perjanjian: kau cari tahu arti labirin serta cara keluar dari sana, dan aku akan mencarikan pacar untukmu."
" Setuju." Kami berjabat tangan.
Beberapa waktu kemudian, aku berjalan menuju area asrama bersama Alaska. Jangkrik-jangkrik mengumandangkan lagu satu-nada mereka, seperti yang biasa kudengar di Florida. Alaska menoleh kepadaku saat kami berjalan menyusuri kegelapan dan berkata,
" Pernahkah kau ketakutan saat berjalan di malam hari, dan ingin berlari ke rumah meskipun rasanya konyol dan memalukan?"
Sepertinya itu hal yang terlalu pribadi dan rahasia untuk diakui kepada orang asing, tapi aku menjawab, " Ya, tentu saja."
Gadis itu terdiam sejenak. Lalu ia menyambar tanganku dan berbisik, " Lari lari lari lari lari," kemudian mulai berlari, menarikku di belakangnya.
Seratus Dua Puluh Tujuh Hari Sebelumnya Keesokan siangnya, aku menempel poster Van Gogh di belakang pintu sambil sesekali berkedip agar keringat tak masuk ke mata. Kolonel duduk di sofa, mengawasi apakah posternya lurus sambil meladeni berondongan pertanyaanku tentang Alaska. Apa ceritanya? " Dia berasal dari Vine Station. Kau bisa mengemudi melewati kota itu tanpa menyadari kehadirannya" dan setahuku, memang sebaiknya begitu. Pacarnya dapat beasiswa di Vanderbilt. Pemain bas di band. Aku tak tahu banyak soal keluarganya." Jadi Alaska benar-benar menyukai cowok itu? " Sepertinya. Dia belum selingkuh darinya. Baru kali ini dia tidak selingkuh." Dan seterusnya. Sepanjang pagi, aku tak mampu memedulikan hal lain, baik poster Van Gogh, video game, bahkan jadwal kelasku, yang dibawakan si Elang tadi pagi. Lelaki itu juga memperkenalkan diri:
" Selamat datang di Culver Creek, Mr. Halter. Kau diberi kebebasan yang sangat besar di sini. Jika menyia-nyiakannya, kau akan menyesal. Kelihatannya kau anak baik-baik. Aku tak ingin harus mengucapkan selamat tinggal padamu."
Lalu ia menatapku dengan sikap yang entah sungguh-sungguh atau sungguh-sungguh jahat. " Alaska menyebutnya Tatapan Kiamat,"
Kolonel memberitahuku setelah si Elang pergi. " Kalau sampai melihat tatapan itu lagi, artinya kau mampus."
" Oke. Pudge," kata Kolonel selagi aku berjalan menjauhi poster. Tidak betul-betul lurus, tapi lumayan. " Sudah cukup tentang Alaska. Berdasarkan perhitunganku, ada 92 cewek di sekolah ini dan semuanya tidak segila Alaska, yang, harus kutegaskan, sudah punya pacar. Aku mau makan siang. Ini hari bufriedo." Ia berjalan ke luar kamar, membiarkan pintunya terbuka. Merasa seperti orang bodoh yang dimabuk cinta, aku bangkit untuk menutup pintu. Kolonel, yang sudah setengah jalan melintasi area asrama, berbalik. " Ya Tuhan. Kau mau ikut atau tidak?"
Kau bisa mengatakan banyak hal buruk tentang Alabama, tapi kau tak bisa bilang Alabama takut pada penggorengan. Selama minggu pertama di Creek, kantin sudah menyajikan ayam goreng, steik ayam goreng dan okra goreng, yang menandai pengalaman pertamaku merasakan kelezatan berwujud sayuran goreng. Aku setengah berharap mereka bakal menggoreng selada bokor. Tapi tidak ada yang menandingi bufriedo, penganan yang diciptakan Maureen, koki Culver Creek bertubuh (dapat dimaklumi) luar biasa gemuk. Berwujud burrito kacang yang digoreng kering, bufriedo membuktikan secara telak bahwa menggoreng selalu membuat makanan jadi lebih nikmat. Aku duduk bersama Kolonel dan lima orang lain yang tak kukenal di meja bundar dalam kantin, membenamkan gigi dalam cangkang garing bufriedo pertamaku dan mengalami orgasme kuliner. Masakan ibuku lumayan, tapi aku langsung ingin membawa Maureen pulang saat {#1e}anksgiving.
Kolonel memperkenalkanku (sebagai " Pudge" ) ke orang-orang lainnya di meja kayu yang goyah itu, tapi aku hanya ingat nama Takumi, yang disebut-sebut Alaska kemarin. Takumi, pemuda Jepang
kurus yang hanya beberapa sentimeter lebih tinggi daripada Kolonel itu berbicara dengan mulut penuh sementara aku mengunyah perlahan-lahan, menikmati kerenyahan bertabur kacang.
" Astaga," Takumi berkata kepadaku, " tak ada yang menandingi pemandangan orang yang baru pertama kali makan bufriedo."
Aku tak berbicara banyak" karena tak ada yang menanyaiku apa pun dan karena aku ingin makan sebanyak yang kubisa. Tapi Takumi sama sekali tidak merasa malu" ia bisa makan, mengunyah, dan berbicara dalam waktu bersamaan.
Diskusi saat makan siang kali ini berkutat pada anak perempuan yang dulunya teman sekamar Alaska, Marya, dan pacarnya Paul, yang masuk golongan Weekday Warriors. Dari apa yang kudengar, mereka dikeluarkan dari sekolah di minggu terakhir tahun ajaran lalu, karena melakukan apa yang Kolonel sebut sebagai " Trifekta" " mereka tertangkap melakukan ketiga pelanggaran Culver Creek sekaligus, yang masing-masing pelanggaran dapat membuatmu dikeluarkan dari sekolah. Berbaring dalam keadaan telanjang di tempat tidur (" kontak genital" menjadi pelanggaran pertama), mabuk (nomor dua), sambil mengisap ganja (nomor tiga) ketika si Elang memergoki mereka berdua. Kabarnya seseorang mengadukan mereka, dan Takumi kelihatannya sangat berniat mencari tahu siapa orangnya" setidaknya cukup berniat untuk meneriakkan hal itu dengan mulut penuh bufriedo.
" Paul berengsek," kata Kolonel. " Aku sendiri tak akan mengadukan mereka, tapi siapa pun yang meniduri Weekday Warriors dengan mobil Jaguar seperti Paul pantas bernasib seperti itu."
" Bung," Takumi merespons, " pacarmu," lalu ia menelan satu gigitan, " juga Weekday Warriors."
" Ya betul," Kolonel tertawa. " Meskipun aku tidak suka fakta itu. Tapi dia tidak seberengsek Paul."
" Tidak seberengsek Paul, heh." Takumi tersenyum sinis. Kolonel tertawa, dan aku bertanya-tanya mengapa Kolonel tidak membela pacarnya sendiri. Aku bahkan tak peduli jika pacarku Cyclops berjanggut yang mengendarai Jaguar" aku akan merasa sangat bersyukur kalau bisa memiliki seseorang untuk bercumbu.
Malam itu, ketika Kolonel mampir ke Kamar 43 untuk mengambil rokok (ia kelihatannya lupa bahwa secara teknis rokok itu milikku), aku tidak terlalu peduli ketika ia tidak mengajakku keluar bersamanya. Di sekolah negeri, aku tahu banyak yang memiliki kebiasaan membenci kelompok orang ini dan itu" para kutu buku membenci anak-anak kaya yang belajar di sekolah persiapan, dan sebagainya" dan aku selalu merasa itu sungguh membuang waktu. Kolonel tidak memberitahu di mana ia menghabiskan sore tadi, atau di mana ia akan menghabiskan malam ini. Ia hanya menutup pintu di belakangnya sewaktu pergi, jadi kuanggap aku tidak diundang.
Tak masalah: aku melewatkan malam dengan menjelajah Internet (bukan situs porno, sumpah) dan membaca {#1f}e Final Days, buku tentang Richard Nixon dan Watergate. Untuk makan malam, aku memanaskan bufriedo beku yang Kolonel selundupkan dari kantin di microwave. Ini mengingatkanku pada malam-malam di Florida" tapi dengan makanan yang lebih enak, dan tidak ada AC. Berbaring di tempat tidur sambil membaca terasa sangat familier dan nyaman.
Aku memutuskan untuk melakukan apa yang kuyakini merupakan nasihat ibuku, yaitu tidur nyenyak sebelum pelajaran hari pertama dimulai. Bahasa Prancis II dimulai jam 8.10 pagi, dan kupikir aku tak akan menghabiskan waktu lebih dari delapan menit untuk
berpakaian dan berjalan ke kelas, jadi kupasang alarm untuk jam 8.02. Aku mandi lalu berbaring, menunggu tidur menyelamatkanku dari panas ini. Sekitar jam 11 aku terbangun dan menyadari bahwa kipas kecil yang terpasang di ranjangku mungkin akan lebih terasa jika aku melepas kaus, dan akhirnya aku tertidur dengan hanya mengenakan celana bokser.
Keputusan yang kusesali beberapa jam kemudian ketika aku dibangunkan oleh dua tangan penuh keringat yang mengguncang-guncang tubuhku. Aku langsung terjaga penuh, duduk tegak di ranjang, ketakutan, dan tidak mengerti suara-suara yang kudengar, tidak paham bagaimana bisa ada suara, dan jam berapa ini? Hingga akhirnya pikiranku cukup jernih untuk mendengar, " Ayo bangun, Nak, jangan buat kami menendang bokongmu. Ayo bangun," lalu dari ranjang atas kudengar, " Ya ampun, Pudge, bangun sajalah." Jadi aku bangun dan baru ketika itulah aku melihat tiga bayangan orang. Dua di antara mereka menarikku, masing-masing mencengkeram lengan atas, dan membawaku ke luar kamar. Dalam perjalanan keluar, Kolonel bergumam, " Selamat bersenang-senang. Jangan terlalu keras padanya, Kevin."
Mencari Alaska Looking For Alaska Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka membawaku, setengah berlari, ke belakang asrama lalu melewati lapangan bola. Tanahnya berumput tapi juga berkerikil, dan aku bingung mengapa tak satu pun dari mereka bersopan santun mengingatkanku untuk memakai sepatu, dan kenapa aku berada di luar dengan hanya memakai celana pendek, membuat kaki kurusku terpampang ke dunia? Seribu jenis penghinaan tebersit di benakku: Itu si anak baru, Miles Halter, terborgol ke gawang hanya mengenakan celana dalam. Aku membayangkan mereka membawaku ke hutan, yang tampaknya kami tuju, lalu mengeroyokku habis-habisan agar aku terlihat oke di hari pertama sekolah. Dan sepanjang waktu, aku
hanya memandangi kakiku karena tidak mau beradu pandang dengan orang-orang ini dan tak ingin jatuh. Jadi aku memperhatikan langkah, berusaha menghindari bebatuan besar. Aku merasakan refleks " melawan-atau-kabur" timbul-tenggelam dalam diriku, tapi aku tahu bahwa baik melawan maupun kabur tak pernah berhasil untukku. Mereka membawaku melalui rute memutar ke pantai buatan, dan saat itu aku tahu apa yang akan terjadi" penceburan gaya lama ke danau" maka aku menjadi tenang. Aku bisa menghadapinya.
Ketika kami tiba di pantai, mereka menyuruhku meletakkan tangan di samping dan pemuda yang bertubuh paling besar mengeluarkan dua gulung lakban dari pasir. Dengan kedua tanganku menempel ke sisi tubuh seperti tentara dalam posisi siaga, mereka membungkusku seperti mumi dari pundak ke pergelangan tangan. Lalu mereka mendorongku ke tanah; pasir dari pantai buatan ini menjadi alas yang empuk, tapi kepalaku tetap saja terantuk. Dua dari mereka mengangkat kakiku bersamaan sementara satu orang lagi" Kevin, sepertinya" memajukan wajah perseginya yang berahang kuat begitu dekat ke wajahku sehingga rambutnya yang berdiri dengan bantuan gel menusuk-nusuk wajahku, lalu berkata, " Ini untuk Kolonel. Kau tidak seharusnya berteman dengan bajingan itu." Mereka melakban kakiku, dari pergelangan kaki ke betis. Aku terlihat seperti mumi perak. Aku berkata, " Kumohon teman-teman, jangan," tepat sebelum mulutku dilakban. Lalu tubuhku terangkat dan dilempar ke air.
Tenggelam. Aku tenggelam, tapi bukannya panik atau semacamnya, aku malah berpikir bahwa " Kumohon, teman-teman, jangan," adalah kata-kata terakhir yang payah. Tapi lalu keajaiban besar spesies manusia" kemampuan kita untuk mengapung" muncul, dan ketika tubuhku mengapung menuju permukaan, aku bergulak-gulik dengan
susah payah agar hidungku yang lebih dulu terkena hangatnya udara malam, kemudian aku bernapas. Aku tidak mati dan tidak akan mati.
Baiklah, pikirku, ternyata tidak buruk-buruk amat. Tapi masih ada kendala kecil yaitu tiba di pantai sebelum matahari terbit. Pertama-tama, mencari tahu posisiku dari bibir pantai. Kalau mendongak terlalu tinggi, aku merasakan seluruh tubuhku mulai berputar, dan dalam daftar panjang cara terburuk untuk mati, " tertelungkup dalam balutan celana bokser" menempati urutan yang lumayan tinggi. Jadi aku hanya memutar bola mata dan melengkungkan leher ke belakang, dengan mata yang hampir terbenam, sampai aku melihat bahwa pantai itu" tak sampai lima meter jauhnya" berada tepat di belakang kepalaku. Aku mulai berenang, seperti putri duyung perak tanpa tangan, hanya mengandalkan pinggul untuk bergerak, sampai akhirnya bokongku menyentuh dasar danau yang licin. Kemudian aku berbalik dan menggunakan pinggul serta pinggangku untuk berputar tiga kali, sampai aku mencapai daratan di sebelah handuk hijau usang. Mereka meninggalkan handuk untukku. Betapa baiknya.
Air merembes masuk ke balik lakban dan membuat lekatan lemnya di kulitku melonggar, tapi lakbannya membungkus tubuhku sebanyak tiga lapis, sehingga aku harus menggelepar-gelepar seperti ikan keluar dari air. Akhirnya lilitan lakban terasa cukup longgar bagiku untuk menggeser tangan kiri ke atas lalu menjulurkannya keluar dengan bertumpu pada dada, dan merobek lilitan lakban.
Aku membungkus tubuh dengan handuk berpasir. Aku tak ingin kembali ke kamar dan bertemu Chip karena aku tak tahu apa maksud Kevin" mungkin mereka menunggu di kamar dan jika aku kembali
ke sana mereka bakal sungguh-sungguh menghabisiku. Mungkin aku harus menunjukkan pada mereka, " Oke, aku mengerti pesanmu. Dia cuma teman sekamarku, bukan teman sungguhan." Lagi pula, aku juga tidak merasa terlalu akrab dengan Kolonel. Selamat bersenangsenang, katanya. Yeah, pikirku, aku benar-benar bersenang-senang.
Jadi aku pergi ke kamar Alaska. Aku tidak tahu sekarang jam berapa, tapi bisa melihat cahaya remang dari bawah pintunya. Aku mengetuk pelan.
" Ya," jawabnya, maka aku masuk dalam keadaan basah dan berpasir, dengan hanya mengenakan handuk dan celana bokser yang basah kuyup. Kau tentu saja tak ingin perempuan terseksi di dunia melihatmu seperti ini, tapi kupikir ia bisa membantuku menjelaskan apa yang barusan terjadi.
Ia menaruh bukunya dan bangkit dari ranjang dengan seprai melilit tubuh. Untuk sesaat, ia terlihat khawatir. Ia terlihat seperti gadis yang kutemui kemarin, gadis yang dipenuhi energi, kekonyolan sekaligus kepintaran, dan mengatakan aku manis. Lalu ia tertawa.
" Sepertinya kau habis berenang, ya?" Ia mengatakannya dengan nada yang sedikit kejam, membuatku merasa bahwa semua orang sudah tahu, dan aku bertanya-tanya mengapa seisi sekolah sialan ini menyetujui tindakan menenggelamkan Miles Halter. Tapi Alaska menyukai Kolonel, dan dalam kebingungan ini, aku hanya memandang gadis itu dengan tatapan kosong, bahkan tak yakin harus bertanya apa.
" Jangan begitu," sergahnya. " Ayolah. Apa kau tahu banyak orang punya masalah sungguhan? Aku punya masalah sungguhan. Mommy tak ada di sini, jadi terima sajalah, jagoan."
Aku keluar tanpa berkata apa pun dan masuk ke kamarku, mem
banting pintu keras-keras sampai Kolonel terbangun, lalu mengentakentakkan kaki ke kamar mandi. Kunyalakan pancuran untuk membersihkan tubuh dari lumut dan bau danau, tapi keran pancurannya benar-benar payah, dan bagaimana bisa Alaska, Kevin, serta orangorang itu sudah membenciku secepat ini? Seusai mandi, aku mengeringkan tubuh dan masuk ke kamar untuk mencari baju.
" Nah," kata Kolonel. " Kenapa lama sekali? Kau tak tahu jalan pulang?"
" Mereka bilang ini semua karenamu," jawabku, suaraku mau tak mau terdengar marah. " Mereka bilang seharusnya aku tidak berteman denganmu."
" Hah? Tidak, ini terjadi pada semua orang," kata Kolonel. " Itu terjadi padaku. Kau diceburkan ke danau. Kau berenang keluar. Kau berjalan pulang."
" Aku tak bisa berenang keluar begitu saja," jawabku lemah, menarik celana jins dari bawah handuk. " Mereka melakban tubuhku. Aku bahkan tak bisa bergerak."
" Tunggu, tunggu," katanya sambil melompat turun dari ranjang dan memelototiku di tengah kegelapan. " Mereka melakbanmu? Bagaimana bisa?" Lalu aku menunjukkannya: aku berdiri seperti mumi, dengan kaki rapat dan tangan di samping, kemudian menunjukkan cara mereka melakbanku. Setelah itu aku mengempaskan tubuh ke sofa.
" Ya Tuhan! Kau bisa tenggelam! Mereka seharusnya hanya menceburkanmu yang cuma bercelana dalam ke danau, lalu lari!" teriaknya. " Apa yang mereka pikirkan? Siapa pelakunya? Kevin Richman dan siapa lagi? Apa kau ingat wajah mereka?"
" Yeah, sepertinya."
" Kenapa mereka berbuat begitu?"
" Apa kau pernah melakukan sesuatu pada mereka?" tanyaku. " Tidak. Tapi aku jelas akan melakukan sesuatu pada mereka. Kita akan balas dendam."
" Sudahlah, aku tidak apa-apa kok." " Kau bisa mati tadi."
Kurasa aku memang bisa mati tadi, tapi toh aku masih hidup. " Yah, mungkin sebaiknya kudatangi saja si Elang besok dan melapor padanya," kataku.
" Tentu saja tidak," tukas Kolonel. Ia berjalan menghampiri celana pendeknya yang teronggok di lantai dan mengambil sebungkus rokok. Ia menyalakan dua dan memberikan satu kepadaku. Aku mengisap benda terkutuk itu. " Kau tidak akan melakukan itu," ia melanjutkan, " karena bukan begitu cara menyelesaikan masalah di sini. Lagi pula, kau pasti tak ingin punya reputasi sebagai pengadu. Tapi kita akan menghadapi semua bajingan itu, Pudge. Aku janji. Mereka akan menyesal sudah mengganggu salah satu temanku."
Dan jika Kolonel berpikir bahwa menyebutku temannya akan membuatku berada di pihaknya, ia benar. " Alaska sedikit kejam padaku tadi," kataku. Aku memajukan tubuh, menarik laci meja yang kosong dan menjadikannya asbak.
" Yah, sudah kubilang emosinya gampang berubah." Aku naik ke ranjang dalam balutan kaus, celana pendek, dan kaus kaki. Tak peduli sepanas apa, tekadku, aku akan tidur dengan pakaian lengkap setiap malam di Creek, merasakan" mungkin untuk pertama kalinya seumur hidup" rasa takut sekaligus senang tinggal di tempat yang membuatmu tak pernah tahu apa yang akan terjadi, atau kapan.
Seratus Dua Puluh Enam Hari Sebelumnya " Yah, ini artinya perang!" Kolonel berteriak keesokan paginya. Aku berguling dan melihat jam: 7.52. Kelas Culver Creek pertamaku, Bahasa Prancis, dimulai delapan belas menit lagi. Aku berkedip beberapa kali dan mendongak melihat Kolonel, yang berdiri di antara sofa dan MEJA KOPI, mengangkat sepatu tenis yang sudah tidak putih lagi karena terlalu sering dipakai, dengan memegang talinya. Untuk beberapa lama, ia menatapku dan aku menatapnya. Lalu, hampir dalam gerakan lambat, sebentuk cengiran muncul di wajahnya.
" Harus kuakui," akhirnya ia berkata. " Ini cukup cerdik." " Apa?" tanyaku.
" Kemarin malam" barangkali sebelum membangunkanmu" mereka mengencingi sepatuku."
" Kau yakin?" sahutku, berusaha tidak tertawa.
" Apa kau ingin menciumnya?" ia bertanya, menyodorkan sepatu ke arahku. " Karena aku sudah menciumnya duluan dan ya, aku yakin. Aku tahu pasti kapan aku baru saja menginjak air kencing orang lain. Seperti yang selalu dikatakan ibuku, " Kaukira kau menginjak air, tapi sebenarnya ada air kencing di sepatumu." Tunjuk orang-orang itu kalau kau melihatnya hari ini," tambahnya, " karena kita perlu mencari tahu kenapa mereka sangat, eh, kesal padaku. Setelah itu kita harus mulai memikirkan cara untuk menghancurkan hidup menyedihkan mereka."
Ketika aku menerima Buku Panduan Culver Creek musim panas lalu dan dengan gembira mendapati bahwa bagian " Peraturan Pakaian" hanya berisi tiga kata, kasual dan sopan, aku tidak menyangka
murid-murid perempuan akan muncul terkantuk-kantuk di kelas dalam balutan celana pendek piyama, kaus, dan sandal jepit. Sopan, kurasa, serta kasual.
Dan ada sesuatu tentang gadis-gadis berpiyama (meskipun " sopan" ) yang membuat Bahasa Prancis jam 8.10 pagi terasa menyenangkan, meski aku sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan Madame O" Malley. Bagaimana mengubah " Ya Tuhan, aku tidak cukup tahu tentang Bahasa Prancis untuk lulus Bahasa Prancis II" ke dalam Bahasa Prancis? Kelas Bahasa Prancis-ku di Florida tidak menyiapkanku untuk Madame O" Malley, yang melewatkan basa-basi " bagaimana musim panas kalian" dan langsung terjun ke sesuatu bernama passe compose, yang rupanya kata kerja. Kursi kami disusun melingkar dan Alaska duduk persis di seberangku, tapi selama kelas berlangsung ia sama sekali tidak melihat ke arahku, meskipun aku terus mengamatinya. Mungkin ia bisa bersikap kejam& tapi caranya berbicara pada malam pertama itu, tentang keluar dari labirin, begitu cerdas. Dan cara bibirnya selalu melengkung ke kanan, seolah bersiap menyeringai, seolah ia menguasai bagian kanan senyum Mona Lisa yang tak bisa ditiru siapa pun&
Dari kamarku, populasi murid kelihatannya tidak terlalu banyak, tapi pemandangan di area kelas membuatku takjub. Area tersebut berbentuk gedung panjang, terbagi atas empat belas ruangan yang menghadap ke danau, dan berada sedikit di luar area asrama. Anakanak memenuhi jalanan sempit di depan kelas, dan meskipun tak ada kesulitan menemukan kelasku (bahkan dengan kemampuan yang memprihatinkan dalam hal mencari arah, aku bisa berpindah dari kelas Bahasa Prancis di Ruang 3 ke kelas Prakalkulus di Ruang 12),
aku merasa tidak nyaman seharian. Aku tidak kenal siapa pun, bahkan tidak tahu siapa yang seharusnya kukenal, dan pelajarannya sulit, bahkan di hari pertama. Ayahku menasihati untuk belajar dan kini aku memercayainya. Semua guru di sini serius, pintar, dan kebanyakan dari mereka dipanggil " Dr." , jadi ketika tiba waktunya untuk kelas terakhirku sebelum makan siang, Agama Dunia, aku merasa amat lega. Sebagai peninggalan dari masa ketika Culver Creek merupakan sekolah Katolik khusus laki-laki, kupikir pelajaran Agama Dunia, yang diharuskan bagi semua murid junior dan senior, bakal menghasilkan nilai A dengan mudah.
Ini satu-satunya kelasku yang meja-mejanya tidak disusun membentuk kotak atau lingkaran, jadi, karena tak ingin terlihat terlalu bersemangat, aku duduk di barisan ketiga pada pukul 11.03. Aku datang tujuh menit lebih awal, selain karena suka datang tepat waktu, aku juga tak kenal siapa pun di aula yang dapat kuajak bicara. Tak lama berselang, Kolonel masuk bersama Takumi dan duduk mengapitku.
" Aku sudah dengar cerita semalam," kata Takumi. " Alaska marah besar."
" Aneh juga, mengingat sikapnya yang menyebalkan tadi malam," jawabku terang-terangan.
Takumi hanya menggeleng. " Yeah, waktu itu dia tak tahu cerita lengkapnya. Dan perasaan orang mudah berubah, Bung. Kau harus terbiasa tinggal bersama orang lain. Kau bisa saja punya teman yang lebih buruk daripada" "
Kolonel memotongnya. " Sudah cukup omongan sok psikologismu, MC Dr. Phil. Ayo kita bicarakan hal lebih penting." Orang-orang mulai memasuki kelas, maka Kolonel mencondongkan tubuh ke arahku dan berbisik, " Kalau di antara mereka ada yang masuk di
kelas ini, beritahu aku, oke? Ini, beri tanda X di tempat mereka duduk," lalu ia merobek secarik kertas dari bukunya dan menggambar kotak untuk masing-masing meja. Selagi orang-orang memenuhi kelas, aku melihat salah satu dari mereka" yang bertubuh tinggi dengan rambut berdiri" Kevin. Kevin menatap Kolonel saat berjalan melewatinya, tapi dalam upaya menatap tajam, ia lupa memperhatikan langkah sehingga pahanya terantuk meja. Kolonel terbahak. Satu cowok lainnya, yang entah sedikit gemuk atau terlalu banyak berolahraga, muncul di belakang Kevin, memakai celana khaki motif kotak-kotak dan kaus polo hitam lengan pendek. Ketika mereka duduk, aku memberikan tanda X pada kotak-kotak yang tepat dalam diagram Kolonel lalu mengembalikan kertas itu kepadanya, tepat ketika Bapak Tua masuk.
Lelaki itu bernapas dengan pelan dan susah payah dari mulut yang terbuka lebar. Ia melangkah pendek-pendek menuju podium, tumitnya bergeser tak jauh melewati jemari di kaki satunya. Kolonel menyikutku dan menunjuk ke tulisan di bukunya, Bapak Tua cuma punya satu paru-paru, dan aku tak meragukannya. Napasnya yang terdengar jelas dan hampir putus asa mengingatkan pada kakekku ketika ia sekarat akibat kanker paru-paru. Dengan dada ringkih dan layu, menurutku Bapak Tua bisa saja mati sebelum sampai ke podium.
" Nama saya," katanya, " Dr. Hyde. Saya punya nama depan, tentu saja. Tapi kalian cukup memanggil saya Doktor. Orangtua kalian membayar mahal supaya kalian bisa bersekolah di sini, dan saya harap kalian bisa sedikit mengembalikan investasi mereka dengan membaca buku yang saya suruh saat saya menyuruh kalian membacanya, serta rajin datang ke kelas. Dan ketika berada di sini, kalian mesti mendengarkan perkataan saya." Jelas bukan nilai A yang mudah.
" Tahun ini, kita akan mempelajari tiga ajaran agama: Islam, Kristen, dan Buddha. Kita akan mengulas tiga agama lain tahun depan. Dan di kelas ini, saya akan banyak berbicara sementara kalian akan banyak mendengar. Karena kalian mungkin saja pintar, tapi saya lebih lama pintar. Saya yakin sebagian dari kalian tidak menyukai kelas ceramah, tapi seperti yang mungkin bisa kalian lihat, saya sudah tidak semuda dulu. Saya ingin sekali menghabiskan sisa napas saya untuk berbincang dengan kalian tentang sejarah Islam, tapi waktu kebersamaan kita singkat. Saya harus bicara, dan kalian harus mendengarkan, karena kita semua berkumpul di sini untuk mengejar satu tujuan utama dalam sejarah: pencarian arti. Apa sifat alami manusia? Bagaimana cara terbaik menjadi manusia? Bagaimana kita bisa menjadi diri kita saat ini, dan apa yang akan terjadi pada kita ketika kita tak lagi ada? Singkatnya: apa peraturan permainan ini dan bagaimana cara terbaik memainkannya?"
Sifat alami labirin, tulisku dalam buku catatan berjilid spiral, dan cara keluar darinya. Guru ini keren. Aku benci kelas diskusi. Aku benci berbicara, dan aku benci mendengar semua orang lain berbicara terbata-bata, berusaha mengungkapkan berbagai hal dengan kata-kata serancu mungkin agar tidak terdengar bodoh, dan aku benci betapa semua itu cuma permainan untuk mencoba mencari tahu apa yang ingin didengar guru lalu mengucapkannya. Aku sedang belajar, jadi ajari aku. Dan guru ini benar-benar mengajar: selama lima puluh menit, Bapak Tua membuatku menganggap serius agama. Aku tak pernah jadi orang yang religius, tapi ia mengajarkan kepada kami bahwa agama itu penting meskipun kita tidak menganut kepercayaan apa pun, sama seperti kejadian sejarah itu penting meskipun kita tidak hidup di dalamnya. Lalu ia menugaskan kami membaca lima puluh halaman untuk besok" dari buku berjudul Religious Studies.
Siang itu, aku punya dua pelajaran lagi dan tiga waktu kosong. Kami punya sembilan periode pelajaran, masing-masing lima puluh menit, yang berarti kebanyakan dari kami punya tiga " waktu belajar mandiri" (kecuali untuk Kolonel, yang punya satu waktu belajar mandiri ekstra di kelas matematika karena dia Genius Ekstra Spesial). Kolonel dan aku mengikuti kelas biologi yang sama, tempat aku menunjuk anak yang melakbanku semalam. Di pojok atas bukunya, ia menulis, Longwell Chase. W-day Warrior senior. Berteman dgn Sara. Orang aneh. Butuh waktu cukup lama untuk menyadari siapa Sara: pacar Kolonel.
Aku menghabiskan jam kosongku di kamar, mencoba membaca tentang agama. Aku mempelajari bahwa mitos tidak selamanya bohong; mitos adalah cerita tradisional yang mengisahkan orang-orang serta cara pandang mereka terhadap dunia dan apa yang mereka anggap suci. Aku juga belajar bahwa setelah peristiwa kemarin malam, aku terlalu capek untuk peduli tentang mitos atau apa pun, jadi aku tertidur sepanjang siang, hingga akhirnya dibangunkan Alaska yang bernyanyi, " AYO BANGUN, PUHDGIIIEEEE KECIIIIIL!" langsung ke telinga kiriku. Aku memeluk buku ilmu agama menutupi dada, seperti jaket pengaman.
" Sungguh mengerikan," kataku. " Apa yang harus kulakukan agar hal serupa takkan terjadi lagi padaku?"
" Tak ada yang dapat kaulakukan!" jawabnya riang. " Aku tidak bisa diprediksi. Ya ampun, tidakkah kau membenci Dr. Hyde? Benci, kan? Dia menganggap remeh orang lain."
Aku berdiri dan mengatakan, " Menurutku, dia genius," sebagian karena aku berpendapat demikian dan sebagian lagi karena aku ingin menentang Alaska.
Gadis itu duduk di pinggir tempat tidur. " Apa kau selalu tidur dengan pakaian lengkap?"
" Lucu juga," katanya. " Kau tak mengenakan banyak pakaian tadi malam." Aku hanya memelototinya.
" Ayolah, Pudge, aku cuma bercanda. Kau harus kuat di sini. Aku tidak tahu kalau kejadiannya seburuk itu" aku minta maaf dan mereka akan mendapat ganjaran setimpal" tapi kau harus kuat." Lalu ia pergi. Hanya itu komentarnya tentang hal ini. Ia manis, pikirku, tapi kau tak perlu menyukai gadis yang memperlakukanmu seakan-akan kau berusia sepuluh tahun: kau sudah punya ibu.
Seratus Dua Puluh Dua Hari Sebelumnya Seusai kelas terakhir dalam minggu pertamaku di Culver Creek, aku memasuki Kamar 43 dan menemukan pemandangan yang tak terduga: Kolonel yang bertubuh kecil dan tidak memakai baju, membungkuk di depan meja setrika, menyerang sehelai kemeja merah muda. Keringat menetes ke dahi dan dadanya selagi ia menyetrika dengan antusiasme tinggi, tangan kanannya menekan setrika di sepanjang kemeja dengan sekuat tenaga sehingga deru napasnya nyaris menyerupai napas Dr. Hyde.
" Aku ada kencan," ia menjelaskan. " Ini kondisi darurat." Ia terdiam untuk mengatur napas. " Apa kau tahu& " napas " & cara menyetrika?"
Aku berjalan menghampiri kemeja merah muda itu, yang lecek penuh kerutan seperti perempuan tua yang menghabiskan masa muda dengan berjemur. Kalau saja Kolonel tidak menggulung semua bajunya dan menjejalkannya ke dalam sembarang laci. " Kurasa kau
tinggal menyalakan lalu menekannya ke kemeja itu, kan?" kataku. " Entahlah. Aku bahkan tidak tahu kita punya setrika."
" Memang tidak. Ini punya Takumi. Tapi Takumi juga tak tahu cara memakainya. Waktu aku tanya Alaska, dia mulai berteriak, " Kau tak akan bisa memaksakan paradigma patriarkat padaku!" Ya Tuhan, aku butuh rokok. Aku butuh rokok tapi tak boleh bau rokok saat bertemu orangtua Sara. Oke, peduli amat. Kita akan merokok di kamar mandi dengan pancuran menyala. Pancurannya beruap. Uap menghilangkan kerutan baju, kan?"
" Omong-omong," ia berkata ketika aku mengikutinya ke kamar mandi, " kalau kau ingin merokok di dalam saat siang hari, nyalakan saja pancurannya. Asap akan naik mengikuti uap air ke ventilasi."
Walaupun secara ilmiah tidak masuk akal, tapi kelihatannya memang berhasil. Kecilnya tekanan air dan kepala pancuran yang pendek membuatnya hampir tidak berguna untuk mandi, tapi sangat bagus sebagai penghalau asap.
Sayangnya, pancuran bukan penyetrika yang bagus. Kolonel mencoba menyetrika kemejanya sekali lagi (" Aku hanya akan menekan kuat-kuat dan melihat apakah ada hasilnya" ) lalu akhirnya mengenakan kemeja itu dalam keadaan lecek. Ia memasangkan kemejanya dengan dasi biru berhias gambar burung-burung flamingo kecil yang membentuk garis horizontal.
" Satu-satunya yang diajarkan ayah berengsekku," kata Kolonel sambil dengan mahir membentuk dasinya menjadi simpul rapi, " adalah cara memasang dasi. Anehnya, aku tak dapat membayangkan kapan dia perlu memakai dasi."
Tepat saat itu, Sara mengetuk pintu. Aku bertemu satu atau dua kali dengannya, tapi Kolonel tak pernah memperkenalkan kami dan tak sempat melakukannya malam itu.
" Ya Tuhan, tak bisakah kau menyetrika kemejamu?" tanyanya, meskipun Kolonel jelas-jelas berdiri di depan meja setrika. " Kita akan pergi dengan orangtuaku." Sara terlihat keterlaluan cantiknya dalam balutan gaun musim panas berwarna biru. Rambut pirangnya yang panjang dan pucat digelung ke atas, dengan seberkas rambut menjuntai di kedua sisi wajah. Ia terlihat seperti bintang film" yang menyebalkan.
" Dengar, aku sudah berusaha semampuku. Tak semua orang punya pembantu yang bisa disuruh menyetrika."
" Chip, marah-marah begitu membuatmu terlihat makin pendek."
" Astaga, tak bisakah kita keluar dari ruangan ini tanpa bertengkar?"
" Aku cuma kasih tahu. Ini opera. Sangat penting buat orangtuaku. Sudahlah, ayo kita pergi." Aku kepingin pergi, tapi rasanya bodoh jika bersembunyi di kamar mandi, dan Sara berdiri di ambang pintu, satu tangan bertolak pinggang sementara satunya lagi memainkan kunci mobil.
" Aku bisa saja pakai tuksedo dan orangtuamu tetap akan membenciku!" teriak Kolonel.
" Bukan salahku! Kau yang memancing kebencian mereka!" Sara mengangkat kunci di depan wajah Kolonel. " Dengar, kita pergi sekarang atau tidak sama sekali."
" Persetan. Aku tak akan pergi ke mana-mana dengannu," jawab Kolonel.
" Terserah. Semoga malammu menyenangkan." Sara membanting pintu begitu keras sehingga biografi Leo Tolstoy yang amat tebal (kata-kata terakhirnya: " Sejujurnya& aku sangat peduli& apa yang
mereka& " ) jatuh dari rak bukuku dan mendarat di lantai bermotif kotak-kotak hitam-putih bagaikan gema bantingan pintu. " AAAAHHHH!!!!!" Kolonel berteriak.
" Jadi itu Sara," kataku.
" Kelihatanya dia baik."
Kolonel tertawa, bersimpuh di dekat kulkas mini dan mengeluarkan sebotol besar susu. Ia membuka tutupnya, minum seteguk, mengernyit, terbatuk pelan, lalu duduk di sofa dengan botol susu di antara kaki.
" Susunya basi atau bagaimana?"
" Ah iya, aku lupa memberitahumu. Ini bukan susu. Lima bagian susu, sisanya vodka. Aku menyebutnya ambrosia. Minuman para dewa. Kau hampir-hampir tak bisa mencium bau vodka dalam susu ini, jadi si Elang tak mungkin menangkapku kecuali dia mencicipinya. Sayang sekali rasanya jadi seperti susu basi dan alkohol untuk obat, tapi ini Jumat malam, Pudge, dan pacarku menyebalkan. Kau mau?"
" Tidak, terima kasih." Selain beberapa teguk sampanye saat Tahun Baru di bawah pengawasan ketat orangtuaku, aku belum pernah benar-benar minum alkohol, dan " ambrosia" sepertinya bukan jenis minuman yang tepat untuk memulainya. Aku mendengar telepon berdering di luar. Mengingat fakta bahwa 190 penghuni asrama harus berbagi lima telepon umum, aku takjub betapa jarangnya telepon berdering. Kami tidak diperbolehkan membawa ponsel, tapi aku melihat beberapa Weekday Warriors membawanya dengan sembunyisembunyi. Dan sebagian besar anak non-Warrior menelepon orang tua mereka secara rutin, seperti aku, jadi orangtua hanya menelepon jika anak-anaknya lupa.
" Kau mau angkat tidak?" tanya Kolonel. Aku tidak suka disuruhsuruh olehnya, tapi aku juga tidak mau bertengkar.
Di tengah senja yang penuh serangga, aku berjalan menuju telepon umum, yang dibor ke dinding antara Kamar 44 dan 45. Di kedua sisi telepon, puluhan nomor telepon dan catatan rahasia tertulis di sana dengan bolpoin atau spidol (205-555-1584; Tommy ke bandara jam 4:20; 773-573-6521; JG" Kuffs?). Menghubungi telepon umum seperti ini butuh kesabaran lebih. Aku mengangkatnya pada dering kesembilan.
" Bisa tolong panggilkan Chip?" pinta Sara. Kedengarannya ia menelepon dari ponsel.
" Oke, tunggu sebentar."
Aku berbalik dan Kolonel sudah berada di belakangku, seolah tahu Sara akan menelepon. Aku memberikan gagang telepon lalu kembali ke kamar.
Semenit kemudian, tiga kata melayang ke kamar kami menembus udara senja Alabama yang pekat. " Persetan denganmu juga!" teriak Kolonel.
Kembali ke kamar, Kolonel duduk dengan ambrosianya dan menuturkan, " Sara bilang aku mengadukan Paul dan Marya. Itu yang dikatakan para Warrior. Bahwa aku mengadukan mereka. Aku. Makanya mereka mengencingi sepatuku dan membuatmu hampir mati. Karena kau tinggal denganku, dan mereka menganggapku pengadu."
Aku berusaha mengingat siapa Paul dan Marya. Nama mereka akrab di telingaku, tapi aku terlalu banyak mendengar nama orang baru minggu ini, dan tidak bisa memasangkan " Paul" dan " Marya" dengan wajah-wajah yang telah kutemui. Lalu aku teringat sebabnya: karena aku belum pernah bertemu mereka. Mereka dikeluarkan dari sekolah tahun lalu karena melakukan Trifekta.
" Sudah berapa lama kau pacaran dengannya?" tanyaku. " Sembilan bulan. Kami tak pernah akur. Maksudku, aku bahkan tidak benar-benar menyukainya. Seperti ayah-ibuku" ayahku sering marah besar lalu memukuli ibuku sampai babak belur. Setelah itu ayahku akan bersikap sangat manis, dan mereka begitu mesra seperti sedang berbulan madu. Tapi dengan Sara, tidak pernah ada periode bulan madu. Astaga, bagaimana bisa dia berpikir aku pelakunya? Ya, aku tahu: kenapa kami tidak putus saja?" Ia mengusap kepalanya dan menarik segenggam rambut, lalu berkata, " Kurasa aku bertahan dengannya karena ia bertahan denganku. Dan itu bukan hal mudah. Aku bukan pacar yang baik, dia juga. Kami pantas mendapatkan satu sama lain."
" Tapi" "
" Aku tak habis pikir mereka mengira aku pelakunya," kata Kolonel sambil berjalan ke rak buku dan menurunkan almanak. Dia meneguk ambrosianya banyak-banyak. " Weekday Warriors bajingan. Bisa jadi salah satu di antara mereka yang mengadukan Paul dan Marya lalu menyalahkanku untuk menutupi jejak. Ya sudah, ini malam yang menyenangkan untuk dilewatkan di kamar, bersama Pudge dan ambrosia."
" Aku masih" " kataku, ingin mengatakan bahwa aku tak mengerti bagaimana kau bisa mencium seseorang yang menganggapmu pengadu, jika menjadi pengadu adalah hal terburuk di dunia, tapi Kolonel memotong.
" Jangan bicara sepatah kata lagi tentang ini. Kau tahu apa ibukota Sierra-Leone?"
" Tidak."
" Aku juga tidak tahu," ujarnya, " tapi aku berniat mencari tahu."
Setelah berkata begitu, ia menenggelamkan diri dalam almanak, dan perbincangan selesai.
Seratus Sepuluh Hari Sebelumnya
Mengikuti semua kelasku dengan baik ternyata lebih mudah daripada yang kukira. Kecenderunganku menghabiskan banyak waktu di dalam kamar untuk membaca memberikan sedikit keunggulan dibanding murid Culver Creek lainnya. Pada minggu ketiga sekolah, sebagian besar anak telah gosong terbakar matahari, cokelat keemasan seperti bufriedo akibat selalu mengobrol di area asrama yang tak dinaungi atap selama jam-jam bebas. Tapi kulitku tetap pucat: aku selalu belajar.
Aku juga selalu menyimak saat di kelas, tapi Rabu pagi itu, ketika Dr. Hyde mulai bercerita tentang penganut Buddha yang percaya bahwa segala hal berhubungan, kudapati diriku memandang ke luar jendela. Aku menatap bukit landai berselimut hutan di seberang danau. Dan dari kelas Hyde, segala hal memang sepertinya berhubungan: pohon-pohon seolah menyelubungi bukit, dan seperti halnya aku takkan pernah bisa melihat sehelai benang tertentu di tank top oranye amat ketat yang dipakai Alaska hari itu, aku tak bisa melihat detail pepohonan yang membentuk hutan" semuanya berjalin begitu rapat sehingga mustahil memikirkan sebatang pohon sebagai kesatuan yang terpisah dari bukit itu. Kemudian aku mendengar namaku dipanggil, dan aku tahu aku mendapat masalah.
" Mr. Halter," kata Bapak Tua. " Saya menyiksa paru-paru saya demi pendidikan moralmu. Akan tetapi ada sesuatu di luar sana yang tampaknya menarik perhatianmu dengan cara yang tak mampu saya lakukan. Mohon ceritakan: apa yang kautemukan di luar sana?"
Sekarang aku merasakan napasku sendiri tersengal, seisi kelas menatapku, bersyukur kepada Tuhan mereka tidak berada di posisiku. Dr. Hyde sudah tiga kali melakukan ini, mengusir anakanak yang tidak memperhatikan pelajaran atau bertukar pesan.
" Mm, saya hanya melihat ke arah, eh, bukit dan berpikir tentang, mm, pepohonan dan hutan seperti yang Anda katakan tadi, tentang bagaimana" "
Bapak Tua, yang sama sekali tidak menoleransi jawaban terbatabata, memotong. " Saya akan memintamu meninggalkan kelas, Mr. Halter, agar kau bisa pergi ke luar sana dan menemukan hubungan antara mm-pepohonan dan mm-hutan. Dan besok, ketika kau sudah siap untuk menganggap serius kelas ini, saya akan menerimamu kembali."
Aku duduk terpaku dengan bolpoin di tangan. Buku catatanku terbuka, wajahku memerah dan rahangku menjorok ke depan, trik lama yang selalu kulakukan supaya tidak terlihat sedih atau ketakutan. Dua baris di belakangku terdengar decit kursi. Aku berbalik dan melihat Alaska berdiri, mencangklong ransel di satu bahu.
" Maaf, tapi itu omong kosong. Anda tak bisa mengusirnya begitu saja. Anda mengoceh tanpa henti selama satu jam setiap hari, dan kami tidak boleh memandang ke luar jendela?"
Bapak Tua memelototi Alaska seperti banteng memelototi matador, lalu mengangkat satu tangan ke wajah keriputnya dan mengusap pelan pangkal cambang putih di pipi. " Selama lima puluh menit sehari, lima hari seminggu, kau mengikuti peraturanku. Atau kau gagal di kelas ini. Pilihan ada di tanganmu. Kalian berdua keluar dari kelas saya."
Aku memasukkan buku catatan ke ransel lalu berjalan keluar dengan perasaan terhina. Sewaktu pintu menutup di belakangku,
aku merasakan tepukan di pundak kiri. Aku menoleh, tapi tak ada siapa-siapa. Kemudian aku menoleh ke arah satunya dan Alaska tersenyum kepadaku, kulit di antara mata dan dahinya berkerut membentuk pola ledakan bintang. " Trik tertua yang pernah ada," katanya, " tapi semua orang pasti tertipu."
Aku tersenyum paksa, tapi tak bisa berhenti memikirkan Dr. Hyde. Ini jauh lebih buruk daripada Insiden Lakban, karena aku tahu benar bahwa tipe orang seperti Kevin Richman tidak menyukaiku. Tapi para guru selalu menjadi anggota tetap Klub Penggemar Miles Halter.
" Aku sudah bilang dia bajingan," kata Alaska.
" Aku tetap menganggap dia genius. Dia benar. Tadi aku tidak memperhatikan pelajaran."
" Ya, tapi dia tak perlu bersikap berengsek seperti itu. Seolah-olah dia perlu membuktikan kekuasaannya dengan mempermalukanmu?! Lagi pula," katanya, " orang-orang genius yang sesungguhnya adalah para seniman. Yeats, Picasso, Garca Mrquez: orang genius. Dr. Hyde: lelaki tua pemarah."
Kemudian ia mengumumkan bahwa kami akan mencari semanggi berdaun empat sampai kelas selesai, sesudah itu kami bisa merokok bersama Kolonel dan Takumi, " Yang keduanya," ia menambahkan, " adalah bajingan berengsek karena tidak keluar kelas mengikuti kita."
Ketika Alaska Young duduk bersila di hamparan daun semanggi hijau nan rapuh, memajukan tubuh untuk mencari semanggi berdaun empat sehingga kulit pucat di belahan dadanya terlihat jelas, maka berdasarkan fisiologi manusia, amat mustahil bagiku untuk bergabung dengannya mencari daun. Aku sudah mendapat masalah karena memandang ke tempat yang tidak seharusnya, tapi tetap saja&
Setelah barangkali dua menit menyisir semak semanggi dengan kukunya yang panjang dan kotor, Alaska menarik semanggi yang tersusun atas tiga kelopak daun berukuran penuh dan satu kelopak berukuran kerdil sebagai daun keempat, lalu menengadah kepadaku, nyaris tak memberiku waktu untuk mengalihkan tatapan.
" Walaupun kau jelas-jelas tidak mengambil peran dalam pencarian ini, otak mesum," katanya masam, " aku sungguh ingin memberimu daun ini. Tapi nasib baik hanya untuk orang payah." Ia menjepit kelopak yang kerdil itu di antara kuku dan jari jempol, lalu mencabutnya. " Nah," dia berkata pada si daun semanggi sambil menjatuhkannya ke tanah. " Sekarang kau tak lagi berkelainan genetik."
" Eh, terima kasih," kataku. Bel berdering, dan Takumi serta Kolonel menjadi dua murid pertama yang keluar dari kelas. Alaska menatap mereka lekat-lekat.
" Apa?" tanya Kolonel. Tapi Alaska hanya memutar bola mata dan mulai berjalan. Kami mengikuti tanpa bersuara melewati area asrama lalu menyeberangi lapangan sepak bola. Kami memasuki hutan, menyusuri jalan setapak mengitari danau hingga tiba di jalan tanah. Kolonel berlari menghampiri Alaska, dan mereka mulai bertengkar tentang sesuatu dengan suara pelan sehingga aku tak dapat mencuri dengar dan hanya bisa melihat kejengkelan satu sama lain. Akhirnya aku menanyakan tujuan kami kepada Takumi.
" Jalan buntu ini berakhir di gudang," jawabnya. " Jadi mungkin itu tujuan kita. Tapi bisa juga lubang merokok. Lihat saja nanti."
Dari sini, hutan berwujud makhluk yang amat berbeda dibandingkan yang terlihat dari kelas Dr. Hyde. Tanahnya tebal berlapis ranting yang berjatuhan, daun pinus yang membusuk, dan semaksemak hijau berduri; jalan setapaknya berkelok-kelok menembus barisan pohon pinus yang tumbuh tinggi dan kurus, daun-daun
jarumnya melindungi kami dari terpaan sinar matahari. Sementara pohon-pohon ek dan mapel yang lebih kecil, tak terlihat dari kelas Dr. Hyde karena tertutup pohon-pohon pinus yang lebih megah, menunjukan tanda-tanda musim gugur yang bila mempertimbangkan udara panas saat ini sepertinya belum akan datang: dedaunannya yang masih hijau mulai terkulai.
Kami tiba di jembatan kayu yang ringkih" hanya tripleks tebal berpondasi semen" di atas Culver Creek, sungai kecil yang berkelokkelok mengitari bagian luar kampus. Di sisi lain jembatan, ada jalan setapak kecil menyusuri turunan curam. Lebih tepat disebut rangkaian petunjuk dibandingkan jalan setapak" ranting patah di sini, sepetak rumput terinjak di sana" yang menandakan jalan ini pernah dilalui orang. Selagi kami berjalan dalam satu baris, Alaska, Kolonel, dan Takumi bergantian memegangi ranting mapel yang tebal, menahannya untuk orang di belakang mereka sampai aku, yang berjalan paling belakang, membiarkan ranting itu menyentak kembali ke tempatnya. Dan di sana, di bawah jembatan, terhampar oase. Lantai semen dengan lebar satu meter dan panjang tiga meter, dilengkapi kursi-kursi plastik biru yang dicuri lama berselang dari ruang kelas. Disejukkan oleh sungai dan naungan jembatan, untuk pertama kalinya aku tidak merasa kepanasan setelah berminggu-minggu.
Kolonel mengeluarkan rokok. Takumi membagikan dan yang lain langsung menyalakannya.
" Aku cuma bilang Dr. Hyde tak berhak merendahkan kita," kata Alaska menyambung percakapannya dengan Kolonel. " Pudge takkan memandang ke luar jendela lagi, aku takkan berkoar-koar menuntut keadilan lagi, tapi dia guru yang buruk dan kau tak bisa meyakinkanku untuk berpikir sebaliknya."
" Baiklah," jawab Kolonel. " Pokoknya jangan berulah lagi. Demi Tuhan, kau hampir membunuh lelaki tua malang itu."
" Serius deh, kau takkan bisa menang melawan Hyde," Takumi berujar. " Dia bakal memakanmu hidup-hidup, mengeluarkanmu sebagai feses, lalu mengencingi fesesnya. Dan omong-omong, itulah yang seharusnya kita lakukan pada siapa pun yang mengadukan Marya. Sudah ada yang dengar kabar?"
" Pasti salah satu anak Weekday Warriors," jawab Alaska. " Tapi rupanya mereka berpikir pelakunya Kolonel. Jadi entahlah. Mungkin si Elang hanya beruntung. Marya terlalu bodoh; dia tertangkap basah; dia dikeluarkan; tamat. Itulah yang terjadi bila kau bodoh dan tertangkap basah." Alaska mengerucutkan bibir membentuk huruf O, menggerak-gerakkan mulut seperti ikan mas sedang makan, mencoba mengembuskan lingkaran asap namun gagal.
" Wow," kata Takumi, " kalau aku sampai dikeluarkan dari sekolah, ingatkan aku untuk membalas dendam sendiri, karena aku jelas tak bisa mengandalkanmu."
" Jangan konyol," sergah Alaska, bukan marah tapi ingin menunjukkan dia tak peduli. " Aku tak mengerti mengapa kau begitu terobsesi untuk mencari tahu segala hal yang terjadi di sini, seakan-akan kita harus membongkar semua misteri. Ya Tuhan, itu sudah berakhir. Takumi, kau harus berhenti mencuri masalah orang lain dan mencari masalahmu sendiri." Takumi hendak menjawab, tapi Alaska mengangkat tangan seolah bermaksud menghalau percakapan itu.
Aku diam saja" aku tak kenal Marya, lagi pula " mendengarkan tanpa bersuara" adalah strategi sosialku.
" Nah," Alaska berbicara kepadaku. " Menurutku, cara Dr. Hyde memperlakukanmu sangat buruk. Aku hampir menangis. Aku kepingin menciummu dan membuatmu merasa lebih baik."
" Sayang sekali kau tidak melakukannya," sahutku tanpa ekspresi. Mereka tertawa.
" Kau menggemaskan," cetus Alaska. Aku merasakan intensitas tatapannya dan mengalihkan pandangan dengan gugup. " Sayangnya aku mencintai pacarku." Aku menatap jalinan akar pohon di pinggir sungai, berusaha keras supaya tak terlihat seperti baru dibilang menggemaskan.
Takumi juga tak dapat memercayai kejadian barusan, dan ia berjalan menghampiriku, mengacak-acak rambutku, lalu mulai bernyanyi rap kepada Alaska, " Yeah, Pudge menggemaskan / tapi kau suka cowok berandalan / Jadi Jake lebih menawan / karena dia sangat" sial. Sial. Aku nyaris berhasil menyusun empat rima dari menggemaskan. Tapi yang terpikir olehku cuma mengenyangkan, dan tentu saja tidak ada hubungannya."
Alaska tertawa. " Itu membuatku berhenti marah padamu. Ya ampun, menyanyi rap itu seksi sekali. Pudge, apa kau tahu saat ini kau sedang bersama MC paling gila di Alabama?"
" Ng, tidak."
" Mainkan iramanya, Kolonel Kehancuran," kata Takumi, dan aku tertawa membayangkan pria sependek dan seculun Kolonel bisa punya nama rap. Kolonel mengatupkan kedua tangan di sekeliling mulut dan mulai membuat suara-suara aneh yang kuduga dimaksudkan sebagai irama. Puh-chi. Puh-puhpuh-chi. Takumi tertawa.
" Di sini, di tepi sungai, kau mau aku beraksi? / Jika asapmu adalah es loli, pasti akan kujilati / Rimaku seperti Romawi kuno yang ketinggalan zaman / Irama Kolonel menyedihkan seperti karya Arthur Miller, Willy Loman / Kadang aku dibilang seperti preman / Tapiakubisaberimacepat dan juga lambat, man."
Ia berhenti sebentar, menarik napas dan mengakhiri lagunya.
" Seperti Emily Dickinson, aku tidak takut rima bebas / Dan itulah akhir dari syairnya, MC sudah lemas."
Aku tak dapat membedakan rima bebas dengan rima biasa, tapi aku sangat terkesan. Kami bertepuk tangan untuk Takumi. Alaska mematikan rokok dan melempar puntungnya ke sungai. " Kenapa merokokmu cepat sekali?" tanyaku.
Ia menatapku sambil tersenyum lebar, dan senyum selebar itu di wajahnya yang kecil bisa jadi akan terlihat konyol andai tidak ada pancaran hijau elegan di matanya. Ia tersenyum seriang anak kecil di pagi Natal dan berkata, " Kalian semua merokok untuk menikmatinya. Aku merokok untuk mati."
Seratus Sembilan Hari Sebelumnya
Menu makan malam di kantin keesokan harinya adalah daging gulung, salah satu dari sedikit makanan yang tidak disajikan dengan cara digoreng, dan mungkin sebagai akibatnya, daging gulung adalah kegagalan terbesar Maureen" gumpalan penuh serabut berlumur kuah daging yang tidak digulung dengan baik dan tidak terasa seperti daging. Meskipun aku tak pernah menaikinya, Alaska rupanya punya mobil dan menawarkan untuk mengantar Kolonel serta aku ke McDonald" s, tapi Kolonel tak punya uang dan uangku juga tak seberapa, gara-gara mesti membayari kebiasaan merokoknya yang boros.
Pendekar Naga Putih 73 Rase Perak Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Raja Petir 04 Asmara Sang Pengemis
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama