Ceritasilat Novel Online

Mencari Alaska 2

Mencari Alaska Looking For Alaska Karya John Green Bagian 2

Jadi sebagai gantinya Kolonel dan aku memanaskan bufriedo yang sudah berusia dua hari" tak seperti kentang goreng, misalnya, bufriedo yang dipanaskan di microwave sama sekali tak kehilangan rasa maupun kerenyahannya yang memuaskan" dan sesudahnya

Kolonel berkeras menghadiri pertandingan basket Creek yang pertama di musim ini.

" Basket di musim gugur?" tanyaku. " Aku tak tahu banyak soal olahraga, tapi bukankah musim gugur saatnya bermain football?"

" Sekolah-sekolah di liga kita terlalu kecil untuk punya tim football, jadi kita main basket di musim gugur. Walaupun, man, tim football Culver Creek bakal jadi tim yang indah. Bokong teposmu barangkali bisa memulai di posisi lineman. Kembali ke soal basket, pertandingannya seru."

Aku benci olahraga. Aku benci olahraga, aku benci orang-orang yang berolahraga, aku benci orang-orang yang menontonnya, dan aku benci orang-orang yang tidak membenci orang-orang yang berolahraga atau menontonnya. Di kelas tiga SD" tahun terakhir seseorang pantas bermain kasti" ibuku ingin aku punya teman, jadi ia memaksaku masuk klub Orlando Pirates. Aku memang berteman" dengan sekelompok anak TK, yang benar-benar tak memperbaiki status sosialku di mata teman-teman sebaya. Terutama karena tinggi badanku yang menjulang di atas pemain lainnya, aku hampir bergabung dengan tim pemain terbaik tahun itu. Anak yang mengalahkanku, Clay Wurtzel, bertangan satu. Aku anak kelas tiga dengan tinggi tubuh di atas rata-rata dan punya dua tangan, tapi dikalahkan Clay Wurtzel yang masih TK. Dan aku juga bukan kalah karena iba pada anak bertangan satu. Clay Wurtzel bisa memukul dengan sangat bagus, sedangkan aku kadang-kadang gagal memukul bahkan saat bolanya diam di tiang penopang. Salah satu hal paling menarik tentang Culver Creek adalah bahwa ayahku meyakinkan tidak ada persyaratan harus ikut pelajaran olahraga.

" Hanya ada satu waktu ketika aku mengesampingkan kebencianku pada Weekday Warriors dan omong kosong country-club mereka,"

Kolonel memberitahuku. " Yaitu saat AC di ruang olahraga dinyalakan untuk pertandingan basket Culver Creek gaya kuno. Kau tak boleh melewatkan pertandingan pertama dalam setahun."

Selagi kami berjalan menuju aula olahraga serupa hanggar, yang sudah pernah kulihat tapi tak pernah ingin kudatangi, Kolonel menjelaskan hal terpenting tentang tim basket kami: mereka tidak terlalu bagus. " Bintang" tim, kata Kolonel, adalah murid senior bernama Hank Walsten, yang menjadi penyerang utama meskipun tingginya hanya 172 sentimeter. Alasan utama kepopuleran Hank di kampus, seperti yang sudah kuketahui, adalah karena ia selalu punya ganja. Kolonel bercerita bahwa selama empat tahun, Hank memulai setiap pertandingan tanpa sekali pun bermain dalam keadaan sadar.

" Dia menyukai ganja seperti Alaska menyukai seks," ujar Kolonel. " Dia pernah membuat alat pengisap ganja hanya dari laras senapan angin, buah pir matang, dan foto Anna Kournikova berukuran 20 x 25 senti. Dia memang bukan anak paling pintar, tapi kau harus mengagumi dedikasinya pada konsumsi narkoba."

Dari Hank, tutur Kolonel, anggota tim terus memburuk sampai tiba pada Wilson Carbod, pemain tengah yang tingginya 182 sentimeter. " Tim kita sangat buruk," kata Kolonel, " sampai-sampai kita tak punya maskot. Aku menyebut tim kita Culver Creek Tanpa Arti."

" Jadi mereka payah?" tanyaku. Aku tak terlalu paham apa gunanya menonton tim kita sendiri dipecundangi, meskipun ruangan ber-AC sudah menjadi alasan yang cukup bagus bagiku.

" Oh, sangat payah," jawab Kolonel. " Tapi kita selalu menghajar SLB habis-habisan." Rupanya, basket bukan prioritas di Sekolah Luar Biasa Alabama, jadi biasanya kami mengakhiri musim pertandingan dengan satu kemenangan.

Aula olahraga sudah dipenuhi sebagian besar murid Culver Creek sesampainya kami di sana" aku melihat, misalnya, tiga cewek gotik Creek yang memulas kembali eyeliner mereka di barisan bangku teratas. Aku tak pernah menonton pertandingan basket sekolah saat di Florida, tapi aku yakin penonton di sana tidak semembaur ini. Meski begitu, aku tetap kaget melihat sang Kevin Richman menduduki bangku persis di depanku sementara tim pemandu sorak sekolah lawan (warna sekolah mereka sangat menyedihkan, cokelat lumpur dan kuning-kencing-dehidrasi) berusaha menyemangati segelintir pendukung lawan di tengah kerumunan. Kevin berbalik dan menatap Kolonel lekat-lekat.

Seperti kebanyakan anak Warrior lainnya, Kevin berpakaian rapi, tampak seperti calon pengacara yang gemar bermain golf. Rambut pirangnya, yang dipotong pendek di bagian samping dan berdiri di atas, selalu dilumuri begitu banyak gel sehingga terlihat basah abadi. Aku tidak membencinya seperti Kolonel membencinya, tentu saja, karena Kolonel membenci Kevin berdasarkan prinsip, dan kebencian berdasarkan prinsip jauh lebih kuat dibandingkan " Bung, kuharap kau tidak membungkus tubuhku dan menceburkanku ke danau." Meski begitu, aku mencoba menatapnya seganas tatapannya kepada Kolonel, namun sulit melupakan fakta bahwa ia sudah melihat bokong cekingku yang hanya berbalut celana dalam bokser beberapa minggu lalu.

" Kau mengadukan Paul dan Marya. Kami membalas dendam. Gencatan senjata?" tanya Kevin.

" Aku tidak mengadukan mereka. Dan Pudge jelas tidak mengadukan mereka, tapi kau melibatkan dia untuk bersenang-senang. Gencatan senjata? Hmm, coba kubuat pemungutan suara sebentar saja." Para pemandu sorak duduk dan memegang pom-pom di dada

mereka seperti sedang berdoa. " Hey, Pudge," ujar Kolonel. " Apa pendapatmu tentang gencatan senjata?"

" Ini mengingatkanku ketika Jerman menuntut agar Amerika menyerah di Pertempuran Bulge," kataku. " Kurasa pendapatku mengenai gencatan senjata ini sama seperti tanggapan Jenderal McAuliffe terhadap tuntutan Jerman: Sinting."

" Kenapa kau mencoba membunuh anak ini, Kevin? Dia genius. Sinting untuk gencatan senjatamu."

" Ayolah, dude. Aku tahu kau mengadukan mereka, dan kami wajib membela teman kami, jadi sekarang sudah selesai. Kita akhiri saja." Kevin terlihat sangat tulus, mungkin karena reputasi Kolonel dalam hal mengerjai orang.

" Begini saja. Silakan kaupilih satu presiden Amerika yang sudah wafat. Kalau Pudge tidak tahu kata-kata terakhir orang itu, berarti gencatan senjata. Kalau tahu, berarti kau akan menghabiskan sisa hidupmu dengan menyesali hari saat kau mengencingi sepatuku." " Itu bodoh sekali."

" Oke, tak ada gencatan senjata."

" Baiklah. Millard Fillmore," ujar Kevin. Kolonel cepat-cepat menatapku, sorot matanya seolah berkata, Benarkah ia presiden? Aku hanya tersenyum.

" Ketika Fillmore sekarat, dia sangat lapar. Tapi dokternya memang sengaja membuat dia kelaparan untuk mengobati demamnya atau apalah. Namun Fillmore terus-terusan mengoceh bahwa dia ingin makan, jadi akhirnya si dokter memberikan satu sendok teh sup. Dengan sarkastis, Fillmore berkata, " Makanannya lezat," lalu dia meninggal. Tidak ada gencatan senjata."

Kevin memutar bola mata lalu berjalan pergi. Terpikir olehku bahwa aku bisa saja mengarang kata-kata terakhir Millard Fillmore

dan Kevin mungkin akan tetap percaya. Kepercayaan diri Kolonel menulariku.

" Itu momen cowok tangguh pertamamu!" Kolonel tertawa. " Nah, memang benar aku memberimu target mudah. Tapi tetap saja. Bagus sekali."

Sayangnya untuk tim Culver Creek Tanpa Arti, kami tidak bertanding melawan SLB. Kami bertanding melawan sekolah Kristen dari pusat kota Birmingham, tim basket beranggotakan lelaki-lelaki primitif bertubuh amat besar, dengan janggut tebal dan kebencian pada sifat mengalah.

Skor di akhir babak pertama: 20-4.

Dan ketika itulah keseruan dimulai. Kolonel memimpin seluruh yel.

" Roti jagung!" teriaknya. " AYAM!" penonton menyahut. " Nasi!"

" KACANG POLONG!"

Lalu, bersama-sama: " NILAI SAT KAMI LEBIH TINGGI!" " Hip Hip Hip Hore!" seru Kolonel.

" SUATU HARI NANTI KALIAN AKAN BEKERJA UNTUK KAMI!"

Pemandu sorak tim lawan mencoba membalas yel-yel kami dengan " Atap, atap, atap terbakar! Kau masuk neraka jika nafsumu lebih besar," tapi kami selalu bisa membalas dengan lebih bagus. " Beli!"

" JUAL!"

" Tukar!"

" BARTER!"

" KALIAN LEBIH BESAR, TAPI KAMI LEBIH PINTAR!" Ketika tim tamu melakukan lemparan bebas di hampir setiap pertandingan di negeri ini, pendukung tim tuan rumah sangat berisik, berteriak-teriak dan mengentak-entakkan kaki. Itu tidak berguna, sebab para pemain belajar untuk mengabaikan keributan. Di Culver Creek, kami punya strategi yang jauh lebih baik. Awalnya, semua orang berteriak dan memekik seperti di pertandingan biasa. Tapi kemudian semua orang berkata, " Shh!" dan terjadi keheningan total. Tepat ketika tim lawan berhenti menggiring bola dan bersiap melempar, Kolonel berdiri dan meneriakkan sesuatu. Misalnya: " Demi Tuhan, tolong cukur bulu punggungmu!" Atau: " Aku butuh diselamatkan. Bisakah kau melayaniku setelah melempar bola?"

Menjelang akhir babak ketiga, pelatih sekolah Kristen meminta jeda dan mengeluhkan perbuatan Kolonel kepada wasit sambil menunjuk anak itu dengan murka. Kami sudah tertinggal dengan skor 56-13. Kolonel berdiri. " Apa?! Kau punya masalah denganku?" Si pelatih berteriak, " Kau menganggu pemainku!" " MEMANG ITU TUJUANNYA, SHERLOCK!" Kolonel balas berteriak. Wasit menghampiri dan mengusir Kolonel dari ruang olahraga. Aku mengikutinya.

" Aku sudah ditendang dari 37 pertandingan berturut-turut." " Gila."

" Yeah. Satu atau dua kali, aku harus melakukan tindakan yang benar-benar gila. Aku pernah berlari masuk ke lapangan saat

pertandingan tinggal sebelas menit lagi dan mencuri bola dari tim lawan. Kacau sekali. Tapi, kau tahulah. Aku mesti mempertahankan kesuksesan."

Kolonel berlari mendahuluiku, menikmati pengusirannya, dan aku berlari kecil di belakangnya, mengikuti langkahnya. Aku ingin menjadi salah satu orang yang punya kesuksesan untuk dipertahankan, yang mengguncang dunia dengan kehebatan mereka. Tapi untuk saat ini, setidaknya aku kenal orang-orang seperti itu, dan mereka membutuhkanku, seperti komet membutuhkan ekor.

Seratus Delapan Hari Sebelumnya

Keesokan harinya, Dr. Hyde memintaku tetap tinggal setelah kelas berakhir. Saat berdiri di depannya, aku baru menyadari betapa bungkuk bahunya, dan tiba-tiba saja ia tampak sedih serta tua. " Kau suka kelas ini, bukan?" tanyanya.

" Ya, Sir."

" Kau punya waktu seumur hidup untuk merenungkan ajaran Buddha tentang kesalinghubungan." Ia mengucapkan setiap kalimat seolah-olah sebelum ini ia sudah menuliskan, menghafalkan, dan sekarang membacakannya. " Tapi sewaktu memandang ke luar jendela, kau melewatkan kesempatan untuk mengeksplorasi ajaran Buddha yang sama menariknya, tentang kehadiran dalam setiap aspek kehidupanmu sehari-hari. Benar-benar hadir. Hadirlah di kelas ini. Lalu, ketika kelas selesai, hadirlah di luar sana," ia berkata seraya mengangguk ke arah danau dan dunia yang membentang. " Ya, Sir."

Seratus Satu Hari Sebelumnya

Pada hari pertama di bulan Oktober, aku sudah tahu ada yang salah begitu aku cukup terjaga untuk mematikan beker. Tempat tidur berbau lain. Aku merasa lain. Butuh waktu satu menit yang memusingkan sebelum aku sadar: aku merasa dingin. Yah, setidaknya, kipas kecil yang menempel ke ranjangku mendadak terasa mubazir. " Dingin!" aku berteriak.

" Ya Tuhan, jam berapa sekarang?" aku mendengar suara dari atasku.

" Delapan lebih empat," jawabku

Kolonel, yang tidak punya beker tapi hampir selalu bangun untuk mandi sebelum bekerku berbunyi, mengayunkan kaki pendeknya ke sisi tempat tidur, melompat, dan bergegas mendatangi lemari lacinya. " Sepertinya aku melewatkan kesempatanku untuk mandi," ia berkata seraya mengenakan kaus hijau bertuliskan CULVER CREEK BASKETBALL dan celana pendek. " Yah, selalu ada hari esok. Dan ini tidak dingin. Barangkali 27 derajat."

Bersyukur karena tidur dengan pakaian lengkap, aku hanya perlu memakai sepatu, lalu Kolonel dan aku setengah berlari menuju kelas. Aku menyusup ke kursiku dalam sisa waktu dua puluh detik. Di tengah jam pelajaran, Madame O" Malley berbalik untuk menuliskan sesuatu dalam bahasa Prancis di papan, dan Alaska memberiku secarik kertas.

Rambut kusutmu bagus. Belajar di McDonald" s untuk makan siang?

Ujian prakalkulus penting pertama kami tinggal dua hari lagi, maka Alaska menyeret enam anak dari kelas prakalkulus yang tak termasuk Weekday Warriors dan menjejalkan kami dalam mobil biru dua pintunya. Karena kebetulan yang membahagiakan, cewek kelas

dua nan manis bernama Lara terpaksa duduk di pangkuanku. Lara lahir di Rusia atau semacamnya, dan ia berbicara dengan sedikit aksen. Karena kami hanya terpisah empat lapis baju, aku menggunakan kesempatan itu untuk memperkenalkan diri.

" Aku tahu siapa kau." Ia tersenyum. " Kau teman Alaska dari Flow Reeda."

" Yap. Bersiaplah mendapat banyak pertanyaan bodoh, karena aku payah dalam prakalkulus."

Ia hendak menjawab, tapi kemudian terdorong ke arahku sewaktu Alaska memacu mobilnya keluar dari tempat parkir.

" Anak-anak, kenalkan, ini Blue Citrus. Dinamakan begitu karena mobil ini adalah lemon," kata Alaska. " Blue Citrus, ini anak-anak. Kau mungkin ingin memasang sabuk pengaman" kalau bisa menemukannya. Pudge, kau mungkin ingin berperan sebagai sabuk pengaman untuk Lara." Mobil ini tak bisa berlari kencang, maka Alaska menebusnya dengan menolak mengangkat kaki dari pedal gas, apa pun konsekuensinya. Bahkan sebelum kami meninggalkan kampus, Lara sudah tersentak-sentak tanpa daya setiap kali Alaska membelok dengan tajam, jadi aku mengikuti saran Alaska dan melingkarkan lengan di pinggang Lara.

" Terima kasih," katanya, nyaris tak terdengar.

Setelah perjalanan lima kilometer yang cepat dan ugal-ugalan ke McDonald" s, kami memesan tujuh kentang goreng ukuran besar untuk dimakan bersama, lalu keluar dan duduk di halaman rumput. Kami duduk membentuk lingkaran mengelilingi nampan-nampan kentang goreng, dan Alaska mengajari kami sambil merokok dan makan.

Seperti layaknya pengajar yang baik, Alaska tidak menoleransi banyak bantahan. Ia merokok, berbicara, dan makan selama satu jam

tanpa henti, sementara aku mencorat-coret buku catatan dan tangen serta kosinus yang sebelumnya membingungkan mulai tampak jelas. Tapi tak semua orang seberuntung aku.

Ketika Alaska membahas sesuatu yang sangat jelas mengenai persamaan linear, si pemabuk/pemain basket Hank Walsten berkata, " Tunggu, tunggu. Aku tidak paham."

" Itu karena kau hanya punya delapan sel otak yang berfungsi." " Penelitian menunjukkan bahwa mariyuana lebih bagus untuk kesehatanmu daripada rokok-rokok itu," Hank membalas.

Alaska menelan semulut penuh kentang goreng, mengisap rokoknya, lalu mengembuskan asap ke arah Hank di seberang meja. " Aku mungkin mati muda," ujarnya. " Tapi setidaknya aku akan mati dalam keadaan pintar. Sekarang, kembali ke tangen."

Seratus Hari Sebelumnya

" Bukan bermaksud menanyakan hal yang sudah jelas, tapi kenapa Alaska?" tanyaku. Aku baru saja menerima hasil ujian prakalkulus, dan aku dipenuhi kekaguman pada Alaska, karena bimbingannya sudah memuluskan jalanku mendapat nilai B-plus. Ia dan aku duduk berdua di ruang TV, menonton MTV pada hari Sabtu yang muram dan berawan. Ruangan ini dipenuhi sofa peninggalan generasi murid Culver Creek sebelum kami, sehingga udaranya pengap oleh debu serta jamur" dan mungkin karena alasan itulah ruangan ini hampir selalu kosong. Alaska menyesap Mountain Dew dan menggenggam tanganku.

" Pertanyaan itu selalu muncul pada akhirnya. Begini, ibuku itu semacam hippie waktu aku kecil. Kau tahulah, pakai sweter kebesaran yang dia rajut sendiri, mengisap ganja, dan sebagainya. Sedangkan

ayahku tipe Republiken sejati. Jadi waktu aku lahir, ibuku ingin menamaiku Harmony Springs Young, sementara ayahku ingin menamaiku Mary Frances Young." Selagi berbicara, ia menggoyanggoyangkan kepala mengikuti musik di MTV, walaupun lagu yang diputar adalah jenis pop balada pasaran yang katanya dia benci.

" Jadi bukannya menamaiku Harmony atau Mary, mereka setuju untuk membiarkanku memutuskan sendiri. Waktu aku kecil, mereka memanggilku Mary. Maksudku, mereka memanggilku sayang dan sebagainya, tapi di formulir sekolah dan semacamnya, mereka menulis Mary Young. Lalu saat ulang tahun ketujuh, hadiahku adalah memilih namaku sendiri. Keren, ya? Jadi sepanjang hari aku memelototi bola dunia milik ayahku untuk mencari nama yang benar-benar keren. Pilihan pertamaku adalah Chad, seperti nama negara di Afrika. Tapi ayahku bilang itu nama anak laki-laki, jadi aku memilih Alaska."

Andai orangtuaku membiarkanku memilih nama sendiri. Tapi mereka hanya memilih satu-satunya nama putra sulung yang dipakai keluarga Halter selama abad ini. " Tapi kenapa Alaska?" tanyaku.

Ia tersenyum dengan sisi kanan mulutnya. " Yah, belakangan aku baru tahu artinya. Alaska berasal dari bahasa Aleut, Aleyska. Artinya " ia yang memecah laut," dan aku menyukainya. Tapi ketika itu, aku hanya melihat Alaska di bola dunia. Wilayah luas, seperti yang kuinginkan. Dan jaraknya sangat jauh dari Vine Station, Alabama, seperti yang kuinginkan."

Aku tertawa. " Dan sekarang kau sudah dewasa, juga berada cukup jauh dari rumah," kataku sambil tersenyum. " Jadi, selamat." Ia berhenti menggoyangkan kepala dan melepaskan tanganku (yang sayangnya berkeringat).

" Keluar tidak semudah itu," ujarnya serius, matanya menatapku seolah aku tahu cara keluar tapi tak ingin memberitahunya. Lalu ia

sepertinya mengalihkan pembicaraan secara mendadak. " Misalnya setelah kuliah, kau tahu apa yang ingin kulakukan? Mengajar anakanak berkebutuhan khusus. Aku pengajar yang baik, kan? Kalau aku bisa mengajarkan prakalkulus padamu, aku bisa mengajar siapa pun. Seperti anak-anak autis, misalnya."

Ia berbicara dengan suara pelan dan penuh renungan, seperti sedang mengungkapkan rahasia kepadaku, dan aku memajukan tubuh ke arahnya, tiba-tiba diserbu perasaan bahwa kami harus berciuman, kami harus berciuman sekarang juga di sofa oranye kotor yang penuh bekas sundutan rokok dan tumpukan debu berpuluh tahun. Dan aku bisa saja melakukannya: aku bisa terus memajukan tubuh sampai akhirnya mesti memiringkan wajah agar tidak menabrak hidung mancungnya, dan aku akan merasakan kejutan bibirnya yang teramat lembut. Aku bisa. Tapi kemudian ia tersentak.

" Tidak," ia berkata, dan awalnya aku tak tahu apakah ia membaca pikiranku yang ingin sekali menciumnya atau hanya menanggapi omongannya sendiri. Alaska berpaling dariku dan dengan suara lirih, mungkin ditujukan untuk dirinya sendiri, berkata, " Ya Tuhan, aku tak ingin jadi orang yang hanya duduk-duduk sambil mengoceh tentang apa yang ingin dia lakukan. Aku akan langsung melakukannya. Membayangkan masa depan sama saja seperti bernostalgia." " Hah?" tanyaku.

" Kau menghabiskan seumur hidupmu terperangkap dalam labirin, berpikir tentang bagaimana suatu hari nanti kau akan keluar dari sana, dan betapa hebatnya saat itu terjadi. Membayangkan masa depan membuatmu bertahan hidup, tapi kau tak pernah melakukannya. Kau hanya menggunakan masa depan untuk kabur dari masa sekarang."

Kurasa itu masuk akal. Dulu aku membayangkan kehidupan di

Creek akan lebih menyenangkan daripada ini" kenyataannya, lebih banyak pekerjaan rumah ketimbang petualangan" tapi jika tak membayangkannya, aku takkan pernah sekolah di Creek sampai kapan pun.

Ia kembali menonton TV yang tengah menayangkan iklan mobil, dan berkelakar tentang Blue Citrus yang juga butuh iklannya sendiri. Menirukan suara berat dan penuh semangat si pembaca, ia berkata, " Mobil ini kecil, lambat, dan payah, tapi bisa jalan. Kadang-kadang. Blue Citrus: Kunjungi Penjual Mobil Bekas Terdekat di Kota Anda." Tapi aku ingin bicara lebih banyak tentang dia, tentang Vine Station, dan masa depan.

" Kadang aku tidak memahamimu," kataku.

Ia bahkan tidak melihat ke arahku. Alaska hanya tersenyum ke arah TV dan berkata, " Kau tak akan pernah memahamiku. Itulah tujuannya."

Sembilan Puluh Sembilan Hari Sebelumnya Esoknya, aku menghabiskan sepanjang hari dengan berbaring di tempat tidur, tenggelam dalam dunia fiksi Ethan Frome yang luar biasa tak menarik, sementara Kolonel duduk di mejanya, memecahkan rahasia persamaan diferensial atau apalah. Meskipun mencoba menjatah rihat rokok di tengah uap pancuran, kami tetap kehabisan rokok sebelum hari gelap, sehingga harus mendatangi kamar Alaska. Ia telentang di lantai, memegang buku di atas kepala. " Ayo merokok," ajak Kolonel.

" Kau kehabisan rokok, kan?" sahutnya tanpa mendongak. " Well. Ya."

" Punya lima dolar?" tanya Alaska. " Tidak."

" Pudge?" tanyanya lagi.

" Yeah, baiklah." Aku mengeluarkan lima dolar dari saku, dan Alaska memberiku sebungkus Marlboro Lights berisi 20 batang. Aku tahu mungkin hanya akan merokok lima batang, tapi selama aku mensubsidi kebutuhan rokok Kolonel, ia takkan bisa mencelaku sebagai golongan anak orang kaya, Weekday Warriors yang kebetulan tidak tinggal di Birmingham.

Kami menjemput Takumi dan berjalan ke danau, bersembunyi di belakang pepohonan, tertawa-tawa. Kolonel mengembuskan lingkaran-lingkaran asap dan Takumi menyebutnya " banyak lagak," sementara Alaska mengikuti lingkaran-lingkaran asap itu dengan jari, menusukinya seperti anak-anak yang mencoba memecahkan gelembung sabun.

Lalu kami mendengar bunyi ranting patah. Mungkin hanya rusa, tapi Kolonel tetap bersiap lari. Suara dari belakang kami berkata, " Jangan lari, Chipper," dan Kolonel berhenti, berbalik, lalu kembali menghadap ke arah kami dengan malu.

Si Elang berjalan pelan menghampiri kami, bibirnya mengatup muak. Ia memakai kemeja putih dan dasi hitam, seperti biasa. Ia mengamati kami bergantian dengan Tatapan Kiamat.

" Kalian semua berbau seperti ladang tembakau North Carolina yang terbakar," katanya.

Kami duduk diam. Aku merasa sangat tidak enak, seperti tertangkap basah saat kabur dari lokasi pembunuhan. Apakah ia akan menelepon orangtuaku?

" Sampai jumpa di Dewan Juri besok jam lima sore," ia meng
umumkan, lalu meninggalkan kami. Alaska berjongkok, memungut rokok yang tadi dibuangnya, lalu mulai merokok lagi. Si Elang berbalik lagi, indra keenamnya mendeteksi Ketidakpatuhan Terhadap Pihak Berwenang. Alaska menjatuhkan rokok itu lalu menginjaknya. Si Elang menggeleng-geleng, dan meskipun lelaki itu pasti luar biasa marah, aku berani sumpah ia tersenyum.

" Dia sayang padaku," kata Alaska sewaktu kami berjalan kembali ke asrama. " Dia juga menyayangi kalian semua. Da hanya lebih menyayangi sekolah ini. Itulah masalahnya. Dia pikir menghukum kita bagus untuk sekolah dan bagus untuk kita. Itu pertentangan abadi, Pudge. Kebaikan melawan Kenakalan."

" Kau filosofis sekali untuk ukuran cewek yang baru tertangkap basah," aku menyahut.

" Kadang-kadang kau kalah dalam pertempuran. Tapi kejahatan selalu memenangkan perang."

Sembilan Puluh Delapan Hari Sebelumnya Salah satu hal unik tentang Culver Creek adalah Dewan Juri. Setiap semester, staf pengajar memilih dua belas murid, tiga dari masingmasing kelas, untuk bertugas di Dewan Juri. Mereka memutuskan hukuman untuk pelanggaran ringan, yang mencakup segala hal, mulai dari berada di luar setelah jam malam sampai merokok. Pelanggaran yang paling lazim adalah merokok atau berada di kamar murid perempuan setelah jam tujuh malam. Jadi kau menemui Dewan Juri, memaparkan kasusmu, dan mereka menjatuhkan hukuman. Si Elang bertindak sebagai hakim, dan ia memiliki hak untuk mengubah keputusan Dewan Juri (seperti dalam sistem pengadilan Amerika sungguhan), tapi ia nyaris tak pernah melakukannya.

Aku berjalan ke Ruang Kelas 4 begitu pelajaran terakhir usai" lebih cepat empat puluh menit, supaya aman. Aku duduk di koridor dengan punggung menempel ke tembok dan membaca buku pelajaran sejarah Amerika (jujur saja, bagiku ini semacam membaca ulang) sampai Alaska muncul dan duduk di sebelahku. Ia menggigiti bibir bawahnya, dan aku bertanya apakah ia gugup.

" Iyalah. Dengar, duduk manis saja dan jangan bicara," ia mengingatkan. " Kau tak perlu gugup. Tapi ini ketujuh kalinya aku ketahuan merokok. Aku cuma tak ingin" terserahlah. Aku cuma tak ingin membuat ayahku sedih."

" Apa ibumu merokok atau semacamnya?" tanyaku. " Tidak lagi," sahut Alaska. " Tidak apa-apa. Kau akan baik-baik saja."

Aku baru mulai khawatir saat jam menunjukan pukul 4.50 dan Kolonel serta Takumi masih belum menunjukan batang hidungnya. Anggota Dewan Juri masuk satu per satu, berjalan melewati kami tanpa melakukan kontak mata, yang membuatku merasa semakin cemas. Pada pukul 4.56, kedua belas Juri sudah datang, ditambah si Elang.

Pukul 4.58, Kolonel dan Takumi berbelok di sudut menuju deretan ruang kelas.

Aku belum pernah melihat yang seperti ini. Takumi memakai kemeja putih berkanji dan dasi merah bermotif paisley hitam; Kolonel memakai kemeja merah muda leceknya dan dasi flamingo. Mereka berjalan serempak, dengan kepala tegak dan dada membusung, seperti pahlawan dalam film aksi.

Kudengar Alaska menghela napas. " Kolonel melakukan gaya berjalan Napoleon-nya."

" Semua beres," Kolonel memberitahuku. " Yang penting kau diam saja."

Kami berjalan masuk" dua di antara kami memakai dasi, dua lainnya memakai kaus lusuh" dan si Elang mengetukkan (sumpah demi Tuhan) palu ke podium di depannya. Dewan Juri duduk dalam satu barisan di belakang meja persegi panjang. Di bagian depan ruangan, dekat papan tulis, diletakkan empat kursi. Kami duduk, lalu Kolonel menjelaskan apa persisnya yang terjadi.

" Alaska dan aku merokok di pinggir danau. Kami biasanya merokok di luar area kampus, tapi kami lupa. Kami minta maaf. Ini tak akan terjadi lagi."

Aku tak tahu apa yang terjadi. Tapi aku tahu tugasku: duduk manis dan tutup mulut. Salah seorang anak menatap Takumi dan bertanya, " Bagaimana dengan kau dan Halter?"

" Kami menemani mereka," Takumi menjawab dengan tenang. Anak itu menoleh kepada si Elang dan bertanya, " Anda melihat mereka merokok?"

" Saya hanya melihat Alaska, tapi Chip berusaha kabur, yang menurut saya tindakan pengecut, begitu pula tingkah sok lugu Miles dan Takumi." Si Elang memberiku Tatapan Kiamat. Aku tak ingin terlihat bersalah, tapi aku tak mampu membalas tatapannya, jadi aku hanya menunduk memandangi tangan.

Kolonel mengertakkan gigi, seakan-akan berbohong membuatnya kesakitan. " Memang benar begitu, Sir."

Si Elang bertanya apakah di antara kami ada yang ingin berbicara, lalu bertanya apakah ada pertanyaan lagi, kemudian menyuruh kami menunggu di luar.

" Apa-apaan itu?" tanyaku kepada Takumi begitu kami sudah di luar.

" Duduk manis saja, Pudge."

Kenapa Alaska mengaku padahal ia sudah begitu sering terlibat masalah? Kenapa Kolonel, yang bakal dapat kesulitan bila terlibat masalah serius? Kenapa bukan aku? Aku belum pernah tertangkap untuk pelanggaran apa pun. Aku yang paling tak punya beban. Setelah beberapa menit, si Elang keluar dan memberi isyarat kepada kami untuk kembali ke dalam.

" Alaska dan Chip," seorang anggota Juri berkata, " kalian mendapat hukuman sepuluh jam kerja" mencuci piring di kantin" dan kalian secara resmi hanya punya satu kesempatan sebelum kami menelepon orangtua kalian. Takumi dan Miles, peraturan tidak menyebutkan tentang menonton orang merokok, tapi Dewan Juri akan mengingat kasus kalian jika sampai melanggar peraturan lagi. Adil?"

" Adil," Alaska cepat-cepat menjawab, jelas terlihat lega. Saat aku beranjak ke luar, si Elang memutar tubuhku. " Jangan sia-siakan hak istimewamu di sekolah ini, anak muda, atau kau akan menyesal." Aku mengangguk.

Delapan Puluh Sembilan Hari Sebelumnya " Kami menemukan pacar untukmu," Alaska berkata kepadaku. Semua orang tetap bungkam tentang kejadian minggu lalu di sidang Dewan Juri. Namun peristiwa tersebut tampaknya tidak memengaruhi Alaska, yang (1) berada di kamar kami malam-malam dengan pintu tertutup, dan (2) mengisap rokok selagi duduk di sofa yang sebagian besar berwujud busa. Ia menyelipkan handuk di bawah pintu dan berkeras bahwa itu aman, tapi aku cemas" tentang rokok itu dan tentang " pacar" .

" Yang harus kulakukan sekarang," katanya, " adalah meyakinkanmu

untuk menyukai cewek itu dan meyakinkan dia untuk menyukaimu."

" Tugas yang amat berat," Kolonel menegaskan. Ia berbaring di ranjang atas, membaca buku wajib untuk kelas Bahasa Inggris-nya. Moby Dick.

" Bagaimana kau bisa membaca dan berbicara sekaligus?" tanyaku.

" Yah, biasanya tidak bisa, tapi baik buku ini maupun perbincangan kalian sama-sama tidak menantang dalam hal intelektual." " Aku suka buku itu," kata Alaska.

" Ya," Kolonel tersenyum dan memajukan tubuh untuk menatap gadis itu dari ranjang atas. " Kau pasti suka. Paus putih besar adalah metafora untuk segala hal. Kau hidup untuk metafora penuh kepurapuraan."

Alaska tak terusik. " Jadi, Pudge, apa pendapatmu tentang bekas blok Soviet?"

" Mmm. Aku mendukungnya?"

Alaska menjentikkan abu rokok ke dalam kotak pensilku. Aku hampir protes, tapi buat apa repot-repot? " Kau tahu cewek di kelas prakalkulus kita?" tanya Alaska, " yang suaranya lembut, dan kalau bilang ini jadi inii. Tahu tidak?"

" Yeah. Lara. Dia duduk di pangkuanku dalam perjalanan ke McDonald" s."

" Betul. Aku tahu. Dan dia menyukaimu. Kaupikir dia membicarakan prakalkulus waktu itu, padahal dia jelas-jelas bicara tentang percintaan yang panas denganmu. Itu sebabnya kau membutuhkanku."

" Dadanya besar," kata Kolonel tanpa mendongak dari si paus.

" JANGAN JADIKAN TUBUH PEREMPUAN SEBAGAI OBJEK!" teriak Alaska.

Sekarang Kolonel mendongak. " Maaf. Dadanya bagus." " Tidak lebih baik!"

" Tentu saja lebih baik," balas Kolonel. " Besar itu penghakiman atas tubuh perempuan. Bagus itu hasil pengamatan. Dadanya memang bagus. Maksudku, ya Tuhan."

" Kau benar-benar parah," tukas Alaska. " Jadi, Pudge, menurutnya kau manis."

" Bagus."

" Tidak berarti apa pun. Masalahnya, saat berbicara dengannya kau hanya bisa " ah uh uh" dan ujung-ujungnya bencana."

" Jangan terlalu keras padanya," Kolonel menyela, seolah-olah ia ibuku. " Astaga, aku paham anatomi paus. Bisakah kita lanjutkan, Herman?"

" Jake ada di Birmingham akhir pekan ini, dan kita akan kencan rangkap tiga. Yah, tiga setengah tepatnya, karena Takumi juga ikut. Jadi tekanannya sangat kecil. Kau tak mungkin mengacau, karena aku akan ada di sana sepanjang waktu."

" Teman kencanku siapa?" tanya Kolonel. " Pacarmu adalah teman kencanmu."

" Baiklah," ia menyahut, lalu dengan suara tanpa ekspresi berkata, " tapi kami tidak terlalu akur."

" Jumat bagaimana? Sudah ada rencana untuk Jumat ini?" Lalu aku tertawa, sebab Kolonel dan aku tak punya rencana untuk Jumat ini, atau Jumat-Jumat lainnya sepanjang sisa umur kami. " Sepertinya tidak ada." Alaska tersenyum." Sekarang, kita harus

mencuci piring di kantin, Chipper. Ya ampun, begitu banyak pengorbanan yang kulakukan."

Delapan Puluh Tujuh Hari Sebelumnya Kencan rangkap-tiga-setengah kami berawal dengan cukup baik. Aku berada di kamar Alaska" demi mendapatkan pacar untukku, Alaska setuju menyetrikakan kemeja hijauku" ketika Jake muncul. Dengan rambut pirang sebahu, pangkal cambang gelap, dan semacam kejantanan-dibuat-buat yang bisa memuluskan karir sebagai model katalog, Jake setampan perkiraanmu tentang pacar Alaska. Gadis itu melompat ke pelukan Jake dan melingkarkan kaki di tubuhnya (Jangan sampai ada yang melakukan itu padaku, aku membatin, aku pasti bakal ambruk). Aku sering mendengar Alaska bicara tentang berciuman, tapi baru saat itu aku melihatnya berciuman: Selagi Jake mendekap pinggangnya, Alaska memajukan tubuh, bibirnya merekah, kepalanya dimiringkan, lalu ia menyambut mulut Jake dengan penuh gairah sehingga aku merasa harus berpaling tapi tidak bisa. Beberapa lama kemudian, gadis itu melepaskan diri dari Jake dan memperkenalkanku.

" Ini Pudge," ujarnya. Jake dan aku berjabat tangan. " Aku sudah mendengar banyak hal tentangmu." Jake berbicara dengan logat Selatan samar, yang jarang kudengar di luar McDonald" s. " Kuharap kencanmu nanti malam berhasil, karena aku tak ingin kau mencuri Alaska dariku."

" Ya ampun, kau sungguh menggemaskan," kata Alaska sebelum aku sempat menyahut, lalu mencium Jake lagi. " Maaf." Ia tertawa. " Tapi sepertinya aku tak bisa berhenti mencium pacarku." Kukenakan kemeja hijauku yang baru disetrika, lalu kami bertiga

mengumpulkan Kolonel, Sara, Lara, dan Takumi, kemudian berjalan menuju aula olahraga untuk menonton Culver Creek Tanpa Arti melawan Harsden Academy, sekolah swasta nonasrama di Mountain Brook, area perumahan terkaya di Birmingham. Kebencian Kolonel pada Harsden membara oleh api seribu matahari. " Satu-satunya hal yang lebih kubenci daripada orang kaya," dia memberitahuku sewaktu kami berjalan ke aula olahraga, " adalah orang bodoh. Semua anak di Harsden kaya, dan mereka terlalu bodoh untuk masuk Creek."

Karena kami seharusnya sedang berkencan, menurutku aku mesti duduk di samping Lara sepanjang pertandingan. Tapi ketika aku mencoba melewati Alaska untuk menghampiri Lara, gadis itu menatapku tajam dan menepuk tempat kosong di sebelahnya pada bangku panjang.

" Aku tak boleh duduk di sebelah pasangan kencanku?" " Pudge, salah satu dari kita sudah menjadi perempuan seumur hidupnya. Yang satu lagi belum pernah sampai ke marka kedua dalam berpacaran. Kalau jadi kau, aku akan duduk, tampak imut, dan menjadi dirimu yang penyendiri seperti biasa."

" Oke. Apa katamu saja."

Jake menimbrung, " Bisa dibilang itu strategiku untuk menyenangkan Alaska."

" Aww," cetus Alaska, " manis sekali! Pudge, aku sudah cerita Jake sedang merekam album dengan bandnya? Mereka keren, seperti perpaduan antara Radiohead dengan Flaming Lips. Aku sudah cerita aku yang memberi nama bandnya, Hickman Territory?" Kemudian, sadar bahwa ia bersikap konyol: " Aku sudah cerita kemaluan Jake besar dan dia kekasih yang menakjubkan?"

" Sayang, ya ampun." Jake tersenyum. " Jangan di depan anakanak."

Aku ingin membenci Jake, tentu saja, tapi saat menyaksikan mereka berdua, tersenyum dan saling menyentuh tanpa henti, aku tidak membencinya. Aku ingin menjadi dia, itu jelas, tapi aku berusaha mengingat bahwa aku sedang pura-pura berkencan dengan orang lain.

Pemain bintang Harsden Academy adalah sosok Goliath setinggi dua meter bernama Travis Eastman yang oleh semua orang" bahkan ibunya, kurasa" dipanggil si Raksasa. Kali pertama si Raksasa mendapat lemparan bebas, Kolonel tak bisa menahan diri untuk mengumpat sewaktu ia mengejek: " Kau berutang segalanya pada ayahmu, orang kaya bodoh sialan."

Si Raksasa berbalik sambil melotot, dan Kolonel hampir diusir setelah lemparan bebas pertama itu, namun ia tersenyum kepada wasit dan berkata, " Maaf!"

" Aku ingin tinggal lama untuk pertandingan ini," katanya kepadaku.

Di awal babak ketiga, dengan skor Creek yang secara mengejutkan tidak tertinggal terlalu jauh yaitu 24 angka, dan si Raksasa berada di garis lemparan bebas, Kolonel memandang Takumi dan berkata, " Sudah waktunya." Takumi dan Kolonel berdiri selagi penonton berseru serempak, " Shhh..."

" Aku tak tahu apakah ini saat yang tepat untuk memberitahumu," teriak Kolonel kepada si Raksasa, " tapi Takumi ini bercumbu dengan pacarmu sebelum pertandingan!"

Ucapannya membuat semua orang tertawa" kecuali si Raksasa, yang berpaling dari garis lemparan bebas lalu berjalan tenang, dengan bola di tangan, menghampiri kami.

" Menurutku kita lari sekarang," kata Takumi. " Aku belum diusir," jawab Kolonel.

" Nanti saja," kata Takumi.

Aku tak tahu apakah ini kegugupan umum orang yang sedang berkencan (meskipun calon pasangan kencanku duduk terpisah lima orang dariku) atau kegugupan khusus karena si Raksasa menatap ke arahku, tapi entah mengapa aku berlari menyusul Takumi. Kupikir kami sudah aman ketika sampai di ujung deretan bangku panjang, tapi kemudian ujung mataku menangkap benda oranye bundar yang kian lama kian besar, seperti matahari yang melesat ke arahku. Pikirku: sepertinya benda itu akan mengenaiku. Pikirku: aku harus menunduk.

Tapi pada jeda antara saat sesuatu dipikirkan dan benar-benar dilakukan, bola itu mengenai sisi wajahku dengan telak. Aku terjatuh, bagian belakang kepalaku menghantam lantai aula olahraga. Lalu aku langsung berdiri, seolah tidak kesakitan, dan meninggalkan aula.

Harga diri membuatku mampu bangun dari lantai, tapi begitu berada di luar, aku langsung duduk.

" Aku gegar otak," aku mengumumkan, yakin dengan diagnosisku sendiri.

" Kau tidak apa-apa," kata Takumi sambil berlari mundur ke arahku. " Ayo pergi dari sini sebelum kita terbunuh."

" Maaf," kataku. " Tapi aku tak bisa bangun. Aku menderita gegar otak ringan."

Lara berlari keluar dan duduk di sampingku. " Kau tidak apa-apa?"

" Aku gegar otak," jawabku.

Takumi duduk di sampingku dan menatap mataku. " Kau tahu apa yang terjadi padamu?"

" Si Raksasa menghantamku."

" Kau tahu berada di mana?"

" Aku sedang kencan rangkap-tiga-setengah." " Kau tak apa-apa." kata Takumi. " Ayo pergi."

Lalu aku memajukan tubuh dan muntah di celana Lara. Aku tak tahu kenapa aku tidak memundurkan atau memiringkan tubuh. Aku maju dan mengarahkan mulutku ke celananya" celana jins bagus yang membuat bokong tampak indah, jenis celana yang dipakai cewek saat ingin terlihat menarik tapi tidak tampak terlalu berusaha" dan aku memuntahi celana itu.

Kebanyakan selai kacang, tapi jelas ada sedikit jagung. " Oh!" pekik Lara, kaget dan sedikit terguncang. " Ya Tuhan," kataku. " Aku benar-benar minta maaf." " Kurasa kau mungkin gegar otak," kata Takumi, seolah gagasan itu tak pernah terlontar sebelumnya.

" Aku menderita mual dan sakit kepala yang biasanya dikaitkan dengan gegar otak ringan," ucapku mengingat tulisan yang pernah kubaca. Sementara Takumi pergi menjemput si Elang dan Lara mengganti celana, aku berbaring di trotoar beton. Si Elang datang bersama perawat sekolah, yang mendiagnosisku dengan" dengar baik-baik" gegar otak, setelah itu Takumi menyopiriku ke rumah sakit. Lara duduk di sampingnya di depan. Aku berbaring di belakang dan perlahan-lahan mengulang kata-kata " Gejala. Yang. Biasanya. Dikaitkan. Dengan. Gegar. Otak."

Jadi aku menghabiskan acara kencanku di rumah sakit bersama Lara dan Takumi. Dokter menyuruhku pulang dan tidur banyakbanyak, tapi aku harus memastikan ada yang bisa membangunkanku kira-kira setiap empat jam.
Mencari Alaska Looking For Alaska Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku samar-samar ingat Lara berdiri di ambang pintu, kamarku gelap, di luar gelap, semuanya tenang dan nyaman tapi agak berputar,

dunia berdenyut seolah didera irama bas yang berat. Dan aku samarsamar ingat Lara tersenyum kepadaku dari ambang pintu, ambiguitas berkilau dari senyum seorang gadis, yang seolah menjanjikan jawaban atas pertanyaan tapi tak pernah memberikannya. Pertanyaan itu, pertanyaan yang kita semua ajukan sejak anak-anak perempuan tak lagi menjijikkan, pertanyaan yang terlalu sederhana untuk menjadi lugas: apakah ia suka padaku atau suka padaku? Lalu aku tertidur dengan sangat nyenyak dan baru terjaga pukul tiga pagi, ketika Kolonel membangunkanku.

" Sara mencampakkanku," katanya. " Aku gegar otak," sahutku.

" Kudengar begitu. Itu sebabnya aku membangunkanmu. Video game?"

" Oke. Tapi matikan suaranya. Kepalaku sakit." " Yeah. Kudengar kau memuntahi Lara. Jantan sekali." " Dicampakkan?" tanyaku sambil berdiri.

" Yeah. Sara memberitahu Jake aku bernafsu pada Alaska. Katakatanya persis seperti itu. Dengan urutan yang sama. Dan aku bilang, " Yah, aku tidak tergila-gila pada apa pun saat ini. Terserah kalau kau tak percaya," dan kurasa Sara memang tak percaya, karena setelah itu dia bilang dia tahu betul aku pernah mencumbu Alaska. Yang tentu saja tak masuk akal. Aku. Tidak. Selingkuh," kata Kolonel. Akhirnya game selesai terunduh dan aku hanya setengah mendengarkan ceritanya selagi aku menggerakkan mobil berputar-putar mengelilingi arena sepi di Talladega. Putaran-putaran itu membuatku mual, tapi aku terus bermain.

" Jadi intinya Alaska mengamuk." Kolonel meniru suara Alaska, membuatnya terdengar lebih melengking dan memusingkan daripada suara aslinya. " " Perempuan seharusnya tak boleh bohong tentang

perempuan lain! Kau sudah melanggar perjanjian suci antarperempuan! Bagaimana perempuan bisa bangkit dari tekanan patriarkat kalau perempuan saling menusuk dari belakang?!" Dan seterusnya. Lalu Jake membela Alaska, mengatakan bahwa gadis itu tak mungkin selingkuh karena Alaska mencintainya, lalu aku bilang, " Jangan pedulikan Sara. Dia hanya senang menyakiti orang." Lalu Sara bertanya kenapa aku tak pernah membelanya, dan di tengah segala omongan itu aku menyebutnya perempuan sinting, yang hanya memperburuk keadaan. Kemudian pelayan meminta kami pergi, jadi kami berdiri di lahan parkir dan Sara berkata, " Aku sudah muak." Aku hanya menatapnya dan dia berkata, " Hubungan kita berakhir." "

Kolonel berhenti bicara. " " Hubungan kita berakhir?" " ulangku. Aku merasa sangat linglung dan kupikir lebih baik aku hanya mengulangi kalimat terakhir dari apa pun yang diucapkan Kolonel agar ia bisa terus berbicara.

" Yeah. Jadi begitulah. Kau tahu apa yang menyebalkan, Pudge? Aku benar-benar sayang padanya. Maksudku, kami tak punya harapan. Pasangan yang sama sekali tak serasi. Tapi tetap saja. Maksudku, aku bilang padanya aku mencintainya. Dia orang pertama yang bercinta denganku."

" Dia orang pertama yang bercinta denganmu?"

" Yeah. Yeah. Aku belum pernah cerita ya? Dia satu-satunya cewek yang pernah tidur denganku. Entahlah. Meskipun kami menghabiskan 94 persen waktu kami dengan bertengkar, aku sangat sedih." " Kau sangat sedih?"

" Setidaknya, lebih sedih daripada yang kubayangkan. Maksudku, aku tahu kami tak akan bertahan lama. Kami belum merasakan momen menyenangkan sepanjang tahun ini. Sejak aku tiba di sini,

kami selalu saja bertengkar. Seharusnya aku bersikap lebih manis padanya. Entahlah. Benar-benar menyedihkan."

" Benar-benar menyedihkan," ulangku.

" Rasanya konyol merindukan seseorang yang bahkan tak akur denganmu. Tapi entahlah, rasanya menyenangkan, kau tahu, punya seseorang untuk diajak bertengkar."

" Bertengkar," kataku, lalu, dengan bingung dan nyaris tak sanggup lagi bermain, aku menambahkan, " rasanya menyenangkan."

" Betul. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Aku senang memiliki Sara. Aku memang sinting, Pudge. Aku mesti bagaimana?"

" Kau bisa bertengkar denganku," aku menjawab. Kuletakkan alat pengendali dan bersandar di sofa busa kami lalu terlelap.

Selagi tergelincir ke alam mimpi, kudengar Kolonel berkata, " Aku tak bisa marah padamu, anak ceking sialan."

Delapan Puluh Empat Hari Sebelumnya Tiga hari kemudian, hujan mulai turun. Kepalaku masih sakit, dan menurut Kolonel, benjol besar di atas pelipis kiriku terlihat seperti peta topografis Makedonia mini, yang sebelumnya tak kuketahui merupakan tempat, apalagi negara. Dan ketika kami berjalan melintasi rerumputan yang kering dan hampir mati pada hari Senin itu, aku berkata, " Sepertinya kita perlu hujan." Kolonel mendongak menatap awan-awan rendah yang berarak mendekat dengan cepat dan mengancam, lalu berkata, " Yah, perlu atau tidak, sebentar lagi kita pasti diberi hujan."

Dan benar saja. Dua puluh menit setelah kelas Bahasa Prancis dimulai, Madame O" Malley sedang mengubah kata kerja " percaya"

menjadi bentuk pengandaian. Que je croie; Que tu croies; Qu" il ou qu" elle croie. Ia mengulangnya terus-menerus, seakan-akan itu bukan kata kerja tapi mantra Buddha. Que je croie; Que tu croies; Qu" il ou qu" elle croie. Hal yang sungguh lucu untuk diucapkan berulang-ulang: aku mungkin percaya; kau mungkin percaya; dia mungkin percaya. Percaya apa? pikirku, dan tepat saat itu, hujan turun.

Hujan langsung tercurah dengan begitu deras, seolah-olah Tuhan marah dan ingin menenggelamkan kami.

Hari demi hari, malam demi malam, hujan terus turun. Begitu deras sampai-sampai aku tak bisa melihat ke seberang area asrama, sampai-sampai danau meluap hingga membenamkan ayunan Adirondack, menelan setengah bagian pantai buatan. Di hari ketiga, kulupakan saja payungku dan berkeliaran dalam keadaan basah. Makanan di kantin terasa seperti asamnya air hujan, segala hal berbau apak, dan pancuran menjadi luar biasa konyol lantaran seluruh bumi terkutuk ini punya tekanan air yang lebih besar daripada pancuran di kamar mandi.

Dan hujan membuat kami semua menjadi pertapa. Kolonel menghabiskan seluruh waktu di luar kelas dengan duduk di sofa, membaca almanak dan bermain video game. Aku tak yakin apakah ia ingin bicara atau hanya ingin duduk di busa putih sambil menikmati ambrosianya dengan damai.

Setelah bencana yang merupakan " kencan" kami, kurasa tindakan terbaik adalah tidak berbicara kepada Lara dalam kondisi apa pun, kalau-kalau aku terserang gegar otak dan/atau serangan muntah, meski Lara memberitahuku di kelas prakalkulus keesokan harinya bahwa itu bukan " masalah pentiing" .

Aku hanya bertemu Alaska di kelas dan tak pernah bisa berbicara dengannya, sebab ia selalu terlambat datang ke kelas dan segera keluar

begitu bel berdering, sebelum aku sempat menutup bolpoin dan menutup buku catatan. Di malam kelima sejak hujan turun tanpa henti, aku masuk ke kantin dengan rencana kembali ke kamar dan menyantap bufriedo yang dipanaskan seandainya Alaska dan/atau Takumi tak ada di sana (aku tahu benar Kolonel berada di Kamar 43, minum susu dan vodka untuk makan malam). Tapi aku tetap tinggal karena melihat Alaska duduk sendirian, memunggungi jendela yang basah terguyur hujan. Aku menyambar okra goreng sepiring penuh lalu duduk di sampingnya.

" Astaga, sepertinya tak akan pernah berhenti," kataku, mengacu pada hujan.

" Benar sekali," jawab Alaska. Rambutnya yang basah menjuntai dari kepala dan sebagian besar menutupi wajahnya. Aku mengunyah. Ia mengunyah.

" Bagaimana kabarmu?" Akhirnya aku bertanya.

" Aku sedang tak ingin menjawab pertanyaan yang dimulai dengan bagaimana, kapan, di mana, mengapa, atau apa."

" Apa ada masalah?" tanyaku.

" Itu pertanyaan apa. Aku tak mau menjawab pertanyaan apa sekarang. Baiklah, aku harus pergi." Ia mengerucutkan bibir dan mengembuskan napas perlahan, seperti Kolonel saat mengembuskan asap rokok.

" Apa" " lalu aku terdiam dan mengubah pertanyaan. " Adakah kesalahan yang kuperbuat?"

Ia memegang nampan dan berdiri sebelum menjawab, " Tentu saja tidak, Sayang."

Panggilan sayang darinya terdengar merendahkan, bukan romantis, seakan-akan bocah lelaki yang baru pertama kali mengalami hujan selebat ini tak mungkin dapat memahami masalahnya" apa pun itu.

Butuh usaha amat keras untuk tidak memutar bola mata kepadanya, meskipun Alaska tak akan melihatnya karena ia berjalan keluar dari kantin dengan rambut menutupi wajah.

Tujuh Puluh Enam Hari Sebelumnya

" Aku merasa lebih baik," kata Kolonel di hari kesembilan hujan badai ketika ia duduk di sampingku di kelas agama. " Aku mendapat pencerahan. Kau ingat malam itu, waktu Sara masuk ke kamar kita dan benar-benar bertingkah seperti perempuan jalang?" " Ya. Opera. Dasi flamingo."

" Betul."

" Ada apa dengan hari itu?" tanyaku.

Kolonel mengeluarkan buku catatan berjilid spiral, yang separuh bagian atasnya basah kuyup, lalu perlahan-lahan membuka lembar demi lembar sampai menemukan bagian yang dicari. " Itu pencerahannya. Dia benar-benar perempuan jalang sejati."

Hyde terhuyung-huyung masuk, bertopang sepenuhnya pada tongkat hitam. Selagi berjalan menuju kursinya, ia berkata tanpa ekspresi, " Lutut jahatku memperingatkan bahwa hujan mungkin akan turun. Jadi bersiaplah." Ia berdiri di depan kursi, mencondongkan tubuh ke belakang dengan hati-hati, mencengkeram kursi dengan kedua tangan, lalu mengempaskan tubuh ke kursi disertai serangkaian tarikan napas cepat dan pendek" seperti perempuan mau melahirkan.

" Walaupun tenggatnya masih dua bulan lagi, hari ini kalian akan mendapatkan topik makalah untuk semester ini. Nah, aku yakin kalian semua sudah membaca silabus kelas agama dengan begitu sering dan serius sehingga saat ini kalian pasti sudah hafal." Ia

menyeringai. " Tapi ingat, makalah ini lima puluh persen dari nilai kalian. Aku mengimbau kalian semua untuk mengerjakannya dengan serius. Sekarang, mari bicara tentang Yesus."

Hyde berbicara tentang kitab Markus, yang belum pernah kubaca sampai kemarin, meskipun aku beragama Kristen. Sepertinya. Aku pergi ke gereja, eh, kira-kira empat kali seumur hidupku. Lebih sering daripada kunjunganku ke masjid atau sinagog.

Hyde memberitahu kami bahwa pada abad pertama, kurang-lebih di zaman Yesus hidup, sebagian koin Romawi bergambar Kaisar Augustus, dan bahwa di bawah gambar itu terukir tulisan FILIUS DEI. Putra Tuhan.

" Kita berbicara," tuturnya, " tentang masa ketika dewa-dewa memiliki putra. Jadi bukan hal yang terlalu aneh untuk menjadi putra Tuhan. Keajaibannya, paling tidak saat itu dan di tempat itu, adalah bahwa Yesus" petani, orang Yahudi, rakyat jelata dalam kekaisaran yang hanya dikuasai para bangsawan" merupakan putra Tuhan dengan T besar, Tuhan Abraham dan Musa yang Maha Kuasa. Bahwa putra Tuhan bukanlah kaisar. Bahkan bukan rabi kawakan. Hanya petani miskin. Hanya orang biasa, seperti kalian. Bila Buddha istimewa karena dia menanggalkan kekayaan dan gelar bangsawannya untuk mencari pencerahan, Yesus istimewa karena dia tak memiliki kekayaan atau darah bangsawan, namun mewarisi kebangsawanan yang hakiki: Raja segala Raja. Kelas selesai. Kalian bisa mengambil salinan ujian akhir sebelum keluar. Tetaplah kering." Saat berdiri untuk pergi, aku baru menyadari bahwa Alaska membolos" bagaimana bisa dia membolos di satu-satunya kelas yang layak dihadiri? Aku mengambilkan salinan ujian untuknya.

Pertanyaan ujian akhir: Apa pertanyaan terpenting yang harus dijawab umat manusia? Pilih pertanyaanmu dengan bijak, lalu jelaskan

bagaimana agama Islam, Buddha, dan Kristen mencoba menjawabnya.

" Kuharap si tua itu tetap hidup selama sisa tahun ajaran," kata Kolonel selagi kami berlari pulang menembus hujan, " karena aku jelas mulai menikmati pelajaran itu. Apa pertanyaan terpentingmu?"

Setelah tiga puluh detik berlari, aku sudah kehabisan napas. " Apa& yang& terjadi& setelah& kita& mati?"

" Astaga, Pudge, kalau tak berhenti berlari, kau bakal tahu jawabannya." Ia memelankan langkah. " Pertanyaanku adalah, mengapa orang baik hidupnya sering menderita? Ya ampun, bukankah itu Alaska?"

Alaska berlari ke arah kami dengan kecepatan tinggi sambil berteriak, tapi aku tak bisa mendengar suaranya di tengah derai hujan sampai ia sudah sangat dekat sehingga aku bisa melihat air liurnya beterbangan.

" Orang-orang berengsek itu membanjiri kamarku. Mereka menghancurkan seratusan bukuku! Dasar Weekday Warriors bajingan. Kolonel, mereka melubangi selokan dan menyambung selang plastik dari selokan ke kamarku lewat jendela belakang. Seisi kamarku terendam air. Buku {#1f}e General in His Labyrinth punyaku benarbenar hancur."

" Hebat juga," kata Kolonel, seperti seniman yang mengagumi karya seniman lain.

" Hei!" pekik Alaska.

" Maaf. Jangan khawatir, dude," ujarnya. " Tuhan akan menghukum orang-orang jahat. Dan sebelum Dia melakukannya, kita akan menghukum mereka lebih dahulu."

Enam Puluh Enam Hari Sebelumnya

Jadi ini yang dirasakan Nabi Nuh. Kau bangun suatu pagi, Tuhan telah mengampunimu, dan kau berkeliaran sambil menyipitkan mata karena sudah lupa betapa sinar matahari terasa hangat dan kasar di kulitmu, bagai kecupan di pipi dari ayahmu. Seluruh dunia lebih terang dan jernih daripada sebelumnya, seolah-olah Alabama dimasukkan ke mesin cuci selama dua minggu dan dibersihkan dengan detergen super kuat serta pencerah warna, dan kini rumput terlihat lebih hijau sementara bufriedo terasa lebih renyah.

Aku tetap berada di area ruang kelas sore itu, berbaring telungkup di rerumputan yang baru kering dan membaca buku pelajaran sejarah Amerika" Perang Saudara, atau oleh penduduk di wilayah ini dikenal sebagai Perang Antar Negara Bagian. Bagiku, ini perang yang menghasilkan ribuan kata terakhir hebat. Misalnya Jendral Albert Sidney Johnson, yang ketika ditanya apakah ia terluka, menjawab dengan, " Ya, dan sepertinya parah." Atau Robert E. Lee, yang sekian tahun seusai perang, di tengah igauan menjelang ajal, berseru, " Serang tendanya!"

Aku sedang merenungkan mengapa jenderal-jenderal Konfederasi memiliki kata-kata terakhir yang lebih bagus daripada jenderaljenderal Serikat (kata terakhir Ulysses S. Grant, " Air," lumayan payah) ketika aku menyadari kehadiran bayangan yang menutupi sinar matahari. Sudah lama sekali aku tidak melihat bayangan sehingga aku agak kaget. Aku mendongak.

" Aku bawa makanan kecil buatmu," kata Takumi, menjatuhkan sebungkus pai krim oatmeal ke bukuku.

" Sangat bernutrisi." Aku tersenyum.

" Kau dapat oat. Kau dapat meal" makanan. Kau dapat krim. Benar-benar piramida makanan."

" Benar sekali."

Lalu aku tak tahu harus berkata apa. Takumi tahu banyak tentang hip-hop; aku tahu banyak tentang kata-kata terakhir dan video game. Akhinya aku berkata, " Aku tak habis pikir mereka merendam kamar Alaska."

" Ya," sahut Takumi tanpa memandangku. " Yah, mereka punya alasan sendiri. Kau harus mengerti bahwa di antara semua orang, bahkan para Weekday Warriors, Alaska terkenal sangat jail. Maksudku, tahun lalu, kami menaruh VW Kodok di perpustakaan. Jadi kalau punya alasan untuk membalas dendam, mereka akan mencobanya. Dan itu cukup cerdik, mengalirkan air dari selokan ke kamarnya. Maksudku, aku tak ingin mengagumi tindakan mereka..."

Aku tertawa. " Yeah. Itu bakal sulit ditandingi." Kubuka bungkus pai krim dan menggigitnya. Mmm& ratusan kalori lezat dalam tiap gigitan.

" Alaska akan menemukan kejailan lain," katanya. " Pudge," katanya lagi. " Hmm, Pudge, kau butuh rokok. Ayo kita jalan."

Aku merasa gugup, seperti yang selalu kurasakan ketika seseorang menyebut namaku dua kali dengan hmm di tengahnya. Tapi aku bangun, meninggalkan buku-bukuku, dan berjalan menuju Lubang Merokok. Tapi sesampainya kami di tepi hutan, Takumi beralih dari jalan tanah. " Aku tidak yakin Lubang aman," ujarnya. Tidak aman? pikirku. Itu tempat teraman untuk merokok di seluruh dunia. Tapi aku hanya mengikutinya melewati sesemakan lebat, bergerak di antara pohon-pohon pinus serta belukar berduri setinggi dada yang tampak mengancam. Beberapa saat kemudian, ia duduk begitu saja. Kutangkupkan tangan di sekeliling korek untuk melindungi api dari tiupan angin, lalu menyalakan rokok.

" Alaska mengadukan Marya," kata Takumi. " Jadi si Elang mungkin

juga tahu soal Lubang Merokok. Entahlah. Aku belum pernah melihat si Elang pergi ke arah sana, tapi siapa yang tahu apa saja yang Alaska laporkan padanya."

" Tunggu, kau tahu dari mana?" tanyaku tak percaya. " Yah, satu, aku menyimpulkan sendiri. Dua, Alaska mengakuinya. Dia memberitahuku setidaknya sebagian dari kebenaran, bahwa di akhir tahun ajaran lalu, dia pernah mencoba menyelinap ke luar kampus setelah jam malam untuk bertemu Jake tapi ketahuan. Dia bilang sangat berhati-hati" tidak menyalakan lampu mobil dan sebagainya" tapi si Elang memergokinya, dan Alaska menyimpan sebotol anggur di dalam mobil, jadi dia benar-benar dalam masalah. Lalu si Elang membawa Alaska ke rumahnya dan memberikan tawaran yang selalu dia berikan pada siapa pun yang tertangkap basah. " Katakan padaku semua yang kau tahu atau pergi ke kamarmu dan kemasi barang-barangmu." Jadi Alaska menyerah lalu memberitahu bahwa Marya dan Paul sedang mabuk dan berada di kamarnya saat itu. Hanya Tuhan yang tahu apa saja yang dibocorkan Alaska. Jadi si Elang melepas Alaska karena dia butuh tikus-tikus pengadu dalam pekerjaannya. Alaska sebenarnya sangat cerdik dengan mengadukan salah satu temannya, karena tidak akan ada yang terpikir untuk menuduh teman dekat. Itu sebabnya Kolonel sangat yakin pelakunya Kevin dan gengnya. Aku juga tak percaya pelakunya Alaska, sampai aku sadar bahwa dia satu-satunya orang di kampus yang tahu apa yang sedang dilakukan Marya. Aku awalnya mencurigai teman sekamar Paul, Longwell" salah satu anak yang membuatmu jadi putri duyung tak berlengan. Ternyata dia ada di rumah hari itu. Bibinya meninggal. Aku mengecek obituarinya di koran. Hollis Burnis Chase" nama yang luar biasa untuk perempuan."

" Jadi Kolonel tidak tahu?" tanyaku terenyak. Aku mematikan rokok

meskipun belum habis, karena aku merasa ngeri. Aku tak pernah menyangka Alaska bisa berkhianat. Emosinya tidak stabil, ya. Tapi bukan pengadu.

" Tidak, dan dia tidak boleh tahu, karena Kolonel bisa mengamuk dan membuat Alaska dikeluarkan. Kolonel menganggap serius semua hal tentang kehormatan dan kesetiaan, kalau kau belum menyadarinya."

" Aku menyadarinya."

Takumi menggeleng, tangannya menyingkirkan daun-daun untuk menggali tanah yang masih basah di bawahnya. " Aku cuma tak mengerti mengapa Alaska begitu takut dikeluarkan. Aku juga tidak kepingin dikeluarkan, tapi kau harus menanggung akibat perbuatanmu. Aku tidak paham."

" Yah, dia jelas tak suka rumahnya."

" Benar. Dia hanya pulang saat Natal dan musim panas, ketika Jake juga di sana. Tapi terserahlah. Aku juga tak suka rumah. Tapi aku takkan pernah mau membuat si Elang senang." Takumi memungut ranting dan menancapkannya di tanah merah yang lembut. " Dengar, Pudge, aku tak tahu kejailan macam apa yang disiapkan Alaska dan Kolonel untuk mengakhiri ini, tapi kita berdua pasti akan terlibat. Aku memberitahumu semua ini supaya kau bisa tahu apa yang kauhadapi. Karena kalau sampai tertangkap, sebaiknya kau terima saja."

Aku membayangkan Florida, membayangkan " teman-teman sekolah" , dan untuk pertama kalinya menyadari betapa aku akan merindukan Culver Creek jika harus meninggalkan tempat ini. Aku menatap ranting Takumi yang berdiri tegak dari lumpur dan berkata, " Demi Tuhan aku tidak akan mengadu."

Akhirnya aku mengerti kejadian hari itu di depan Dewan Juri: Alaska ingin menunjukkan kepada kami bahwa kami bisa memercayainya. Bertahan hidup di Culver Creek artinya loyalitas, dan dia sudah mengabaikannya. Namun kemudian ia menunjukkan arti loyalitas kepadaku. Ia dan Kolonel berkorban untukku agar dapat menunjukkan cara kerjanya, supaya aku tahu mesti berbuat apa ketika saatnya tiba.

Lima Puluh Delapan Hari Sebelumnya

Sekitar seminggu setelahnya, aku terbangun pukul 6.30" 6.30 di hari Sabtu!" karena alunan merdu Decapitation: rentetan tembakan otomatis diiringi musik latar penuh dentuman bas yang mencekam dari video game. Aku berguling dan melihat Alaska menggerakkan pengendali ke atas dan ke kanan, seolah-olah itu dapat membantunya menghindari kematian. Aku punya kebiasaan buruk yang sama. " Tak bisakah kau setidaknya mematikan suaranya?" " Pudge," jawabnya, pura-pura mencela, " suara adalah bagian penting dari pengalaman artistik video game ini. Mematikan suaranya sama saja seperti membaca Jane Eyre dengan melompat-lompat. Kolonel sudah bangun setengah jam yang lalu. Kelihatannya dia agak kesal, jadi kusuruh dia tidur di kamarku."

" Mungkin aku akan bergabung dengannya," sahutku limbung. Tanpa ditanya, Alaska berkomentar, " Kudengar Takumi memberitahumu. Yeah, aku mengadukan Marya, aku minta maaf, dan takkan mengulanginya lagi. Berita selanjutnya, kau akan tetap di sini selama {#1e}anksgiving? Karena aku juga."

Aku berguling kembali menghadap dinding dan menarik selimut menutupi kepala. Aku tak tahu apakah harus memercayai Alaska,

dan aku jelas sudah muak dengan emosinya yang tidak bisa diprediksi" satu hari bersikap dingin, hari berikutnya bersikap manis; satu saat bergenit-genit, saat berikutnya bertingkah menjengkelkan. Aku lebih memilih Kolonel: setidaknya ketika merajuk, ia punya alasan.

Berkat keletihan yang sangat, aku dengan cepat tertidur lagi, yakin bahwa jeritan monster-monster sekarat dan pekik girang Alaska saat membunuh mereka hanyalah musik latar yang menyenangkan untuk menemani mimpi. Setengah jam kemudian aku terbangun ketika ia duduk di ranjangku, bokongnya menyentuh pinggulku. Kami dipisahkan oleh celana dalamnya, jinsnya, selimut, celana korduroiku, dan celana bokserku, pikirku. Lima lapis pakaian, namun aku merasakannya, kehangatan sentuhan yang membuat gugup" bayangan samar gelora pertemuan dua mulut, tapi hanya sekadar bayangan. Dan di momen yang menjanjikan itu, aku setidaknya cukup peduli. Aku tidak tahu apakah menyukai Alaska, dan aku ragu apakah bisa memercayainya, tapi setidaknya aku cukup peduli untuk mencari tahu. Alaska di ranjangku, mata hijaunya yang besar menatapku. Misteri abadi dari senyum jailnya yang hampir-hampir seperti seringai. Lima lapis pakaian di antara kami.

Ia melanjutkan ucapannya seolah-olah aku tak pernah tertidur. " Jake harus belajar, jadi dia tak mau aku ke Nashville. Katanya dia tak bisa berkonsentrasi pada musikologi saat menatapku. Kubilang aku bisa pakai baju tertutup, tapi dia tidak yakin, jadi aku tetap di sini."

" Aku menyesal mendengarnya," kataku.

" Oh, jangan. Banyak yang harus kukerjakan. Aku harus merencanakan serangan. Tapi kupikir kau juga harus berada di sini. Malah, aku sudah menyusun daftar."

" Daftar?"

Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan secarik kertas dari buku catatan yang dilipat berkali-kali lalu mulai membaca.

Mengapa Pudge Harus Tinggal di Creek Saat {#1f}anksgiving: Sebuah Daftar, oleh Alaska Young.

" (1) Sebagai murid yang sangat berdedikasi, Pudge telah melewatkan banyak pengalaman Culver Creek yang seru, termasuk namun tidak terbatas pada (a) minum anggur denganku di hutan, dan (b) bangun pagi pada hari Sabtu untuk sarapan di McInedible lalu naik mobil menjelajahi wilayah lain di Birmingham sambil merokok dan berbincang mengenai betapa membosankannya wilayah lain di Birmingham, dan juga (c) keluar larut malam dan berbaring di rumput lapangan bola yang berembun sambil membaca buku Kurt Vonnegut di bawah sinar rembulan.

" (2) Meskipun tidak mahir dalam tugas-tugas seperti mengajar Bahasa Prancis, Madame O" Malley membuat isian daging yang sangat enak, dan dia mengundang semua anak yang tinggal di kampus untuk menghadiri makan malam {#1e}anksgiving. Yang biasanya hanya aku dan murid program pertukaran dari Korea Selatan itu, tapi tak apalah. Pudge pasti disambut dengan senang hati.

" (3) Aku tak tahu mau menulis apa untuk Nomor Tiga, tapi Nomor Satu dan Nomor Dua sudah cukup bagus menurutku."

Nomor Satu dan Nomor Dua jelas menarik, tapi pada dasarnya aku senang membayangkan hanya ada dia dan aku di kampus. " Aku akan bicara pada orangtuaku. Setelah mereka bangun," kataku. Ia membujukku ke sofa dan kami bermain Decapitation bersama sampai ia tiba-tiba membanting alat pengendali.

" Aku tak bermaksud menggoda, aku hanya capek," katanya sambil melepas sandal. Ia menarik kaki ke atas sofa, menyelipkannya ke

balik bantal, lalu beringsut mendekat untuk merebahkan kepala di pangkuanku. Celana korduroiku. Celana bokserku. Dua lapis. Aku bisa merasakan kehangatan pipinya di pahaku.

Ada saat-saat yang pantas, bahkan dianggap baik, untuk merasa bergairah ketika wajah seseorang berada sangat dekat dengan alat vitalmu.

Ini bukan salah satunya.

Jadi aku berhenti berpikir tentang lapisan pakaian dan kehangatan, mematikan suara TV, dan fokus pada Decapitation.

Pukul 8.30, aku mematikan permainan dan beringsut keluar dari bawah Alaska. Ia berguling telentang, masih terlelap, garis-garis celana korduroiku membekas di pipinya.

Aku biasanya hanya menelepon orangtuaku setiap Minggu siang, jadi ketika Mom mendengar suaraku, ia langsung bereaksi berlebihan. " Ada apa, Miles? Kau baik-baik saja?"

" Aku baik-baik saja, Mom. Kupikir" kalau kau tak keberatan, kupikir aku mungkin akan tinggal di sini saat {#1e}anksgiving. Banyak temanku yang tidak pulang& " bohong " & dan aku punya banyak tugas.." bohong lagi " & aku tak mengira pelajarannya sesusah ini, Mom& " benar.

" Oh, Sayang. Kami sangat merindukanmu. Dan ada kalkun {#1e}anksgiving besar yang menunggumu. Juga saus cranberry yang bisa kaumakan sepuasnya."

Aku benci saus cranberry, tapi entah mengapa ibuku yakin betul bahwa itu makanan kesukaanku, walapun setiap {#1e}anksgiving aku dengan sopan selalu menolak menaruhnya di piringku. " Aku tahu, Mom. Aku juga merindukan kalian. Tapi aku sangat

ingin nilaiku bagus di sini..." benar " & ditambah lagi, rasanya sangat menyenangkan bisa punya, Mom tahu, teman& " benar.

Aku tahu menggunakan alasan teman akan membuat Mom setuju, dan memang benar. Jadi aku mendapat restunya untuk tinggal di kampus setelah berjanji akan terus bersama mereka setiap saat selama liburan Natal (kayak aku punya rencana lain saja).

Aku menghabiskan sepanjang pagi di depan komputer, bergantiganti mengerjakan makalah agama dan bahasa Inggris. Hanya tersisa dua minggu pelajaran sebelum ujian" minggu depan serta minggu setelah {#1e}anksgiving" dan sejauh ini, jawaban terbaikku untuk pertanyaan " Apa yang Terjadi pada Manusia Setelah Mereka Mati?" adalah " Yah, Sesuatu. Mungkin."

Kolonel masuk kamar saat tengah hari, memeluk buku matematika tingkat tinggi yang tebal.

" Aku barusan bertemu Sara." katanya. " Bagaimana kejadiannya?"

" Mengerikan. Dia bilang masih mencintaiku. Ya Tuhan, " Aku mencintaimu" benar-benar obat terlarang dalam putus hubungan. Hanya membuatmu makin kecanduan. Mengatakan " Aku mencintaimu" saat berjalan melintasi area asrama mau tak mau bakal membuatmu mengatakan hal yang sama. Jadi aku langsung kabur." Aku terbahak. Ia mengeluarkan buku catatan dan duduk di depan mejanya. " Yeah. Ha-ha. Kata Alaska, kau tidak pulang."

" Yeah. Tapi aku merasa agak bersalah karena menyingkirkan orangtuaku."

" Yeah, dengar ya. Kalau kau tinggal di sini karena berharap bisa bermesraan dengan Alaska, kuanjurkan sebaiknya jangan. Kalau kau melepas Alaska dari tambatannya yaitu Jake, semoga Tuhan meng
ampuni kita. Bakal ada drama, sudah pasti. Dan peraturanku adalah, selalu menghindari drama."

" Aku tinggal bukan karena ingin bermesraan dengannya." " Sebentar." Ia mengambil pensil dan menulis di buku catatan dengan penuh semangat seolah baru saja membuat terobosan dalam bidang matematika, lalu kembali mendongak kepadaku. " Aku baru membuat kalkulasi dan aku bisa memutuskan bahwa kau bohong besar."

Dan Kolonel benar. Tega benar aku menyingkirkan orangtuaku, yang sudah cukup baik untuk membayar pendidikanku di Culver Creek, orangtua yang selalu mencintaiku, hanya karena aku mungkin menyukai gadis yang sudah punya pacar? Tega benar aku membiarkan mereka sendirian dengan kalkun raksasa dan gundukan saus cranberry yang tidak enak? Jadi saat jam pelajaran ketiga, aku menelepon ibuku di kantornya. Kurasa aku memang ingin mendengarnya meyakinkanku bahwa tidak masalah bila aku tetap tinggal di Creek selama {#1e}anksgiving. Tapi aku tak mengira Mom bakal mengabarkan dengan penuh semangat bahwa ia dan Dad sudah membeli tiket pesawat ke Inggris sesaat setelah aku menelepon, dan berencana melewatkan {#1e}anksgiving di kastel sebagai bulan madu kedua.

" Oh, itu" bagus sekali," kataku, lalu cepat-cepat menutup telepon karena aku tak ingin Mom mendengarku menangis. Mungkin Alaska mendengarku membanting gagang telepon dari kamarnya, karena ia membuka pintu ketika aku berbalik, tapi tak mengatakan apa-apa. Aku berjalan melintasi area asrama dan langsung menyeberangi lapangan bola, menerjang semak-semak di hutan, sampai akhirnya tiba di tepi sungai tak jauh dari jembatan. Aku duduk di batu, kakiku

menapak tanah gelap di dasar sungai, lalu melemparkan kerikil ke air yang jernih dan dangkal, dan kerikil-kerikil itu mendarat dengan bunyi plop yang hampa, nyaris tak terdengar di antara gemuruh aliran sungai yang meliuk-liuk menuju selatan. Cahaya matahari menembus dedaunan serta jarum-jarum pinus di atas kepalaku bagaikan menembus renda, membentuk corak bayangan di tanah.

Aku memikirkan satu-satunya hal yang kurindukan di rumah, ruang kerja ayahku dengan rak buku yang ditata memenuhi dinding, dari lantai ke langit-langit dijejali buku-buku biografi tebal, dengan kursi kulit hitam yang menjagaku cukup tidak nyaman sehingga tak bakal mengantuk ketika membaca. Rasanya konyol untuk marah seperti ini. Aku yang menyingkirkan mereka, tapi rasanya seperti aku yang disingkirkan. Tetap saja, aku merasa sangat merindukan rumah.

Aku mendongak ke jembatan dan melihat Alaska duduk di salah satu kursi biru di Lubang Merokok. Dan meskipun sedang ingin sendirian, kudapati diriku berkata, " Hei!" Lalu, ketika ia tidak menoleh ke arahku, aku berteriak, " Alaska!" Ia beranjak menghampiriku.

" Aku mencarimu," katanya sambil duduk di sampingku. " Hei."

" Aku ikut prihatin, Pudge," katanya lalu melingkarkan lengan di bahuku, merebahkan kepalanya di pundakku. Terpikir olehku bahwa ia sama sekali tak tahu apa yang terjadi, tapi ia tetap terdengar tulus.

" Apa yang harus kulakukan?"

" Kau akan melewatkan {#1e}anksgiving bersamaku, bodoh. Di sini."

" Jadi kenapa kau tak mau pulang?" tanyaku.

" Aku takut hantu, Pudge. Dan rumahku penuh hantu."

Lima Puluh Dua Hari Sebelumnya

Setelah semua orang pergi; setelah ibu Kolonel muncul dengan mobil hatchback reyot dan Kolonel melempar tas olahraganya yang berukuran raksasa ke kursi belakang; setelah ia berkata, " Aku tak terlalu suka mengucapkan selamat tinggal. Sampai jumpa minggu depan. Jangan melakukan apa pun yang takkan kulakukan" ; setelah limusin hijau datang menjemput Lara, yang ayahnya dokter satu-satunya di salah satu kota kecil di selatan Alabama; setelah aku bergabung dengan Alaska dalam perjalanan mengerikan kita-tak-butuh-remsialan ke bandara untuk mengantar Takumi; dan setelah kampus dilingkupi kesunyian mencekam, tanpa bantingan pintu, tanpa alunan musik, tanpa suara tawa dan teriakan; setelah semua itu:

Kami berjalan ke lapangan bola, dan dia mengajakku ke pinggir lapangan tempat hutan berawal, rute serupa yang kulewati saat akan diceburkan ke danau. Di bawah sinar bulan purnama Alaska menerakan bayangan, dan kau bisa melihat lekukan dari pinggang ke pinggulnya dalam bayangan itu, lalu setelah beberapa saat ia berhenti dan berkata, " Gali."

Aku menyahut, " Gali?" dan ia menjawab, " Gali." Untuk sesaaat kami terus bertanya jawab seperti itu, lalu akhirnya aku berlutut dan menggali tanah hitam lembek di pinggir hutan. Baru sebentar menggali, jemariku terantuk kaca, dan aku menggali di sekitar kaca itu sampai bisa mengeluarkan sebotol anggur merah muda" Strawberry Hill namanya. Aku menduga jika rasanya tidak seperti cuka dicampur sedikit sirup mapel, mungkin seperti stroberi. " Aku punya KTP palsu," katanya, " tapi KTP-nya payah. Jadi setiap

kali pergi ke toko minuman keras, aku mencoba membeli sepuluh botol minuman ini dan vodka untuk Kolonel. Jadi ketika KTP itu akhirnya dipercaya, persediaanku cukup untuk satu semester. Lalu vodka kuserahkan pada Kolonel, dan ia menyimpannya entah di mana, sementara aku mengubur botol-botolku."

" Karena kau bajak laut," kataku.

" Aye, matey. Benar sekali. Walaupun konsumsi anggur sedikit meningkat semester ini, jadi kita harus belanja besok. Ini botol terakhir." Ia membuka tutup botol" tidak ada gabus penyumbat di sini" menyesap isinya, lalu memberikannya kepadaku. " Jangan menghawatirkan si Elang malam ini," kata Alaska. " Dia pasti sudah cukup senang melihat sebagian besar orang pergi. Barangkali dia sedang memuaskan diri sendiri untuk pertama kalinya bulan ini."

Aku agak cemas sewaktu memegang botol itu di bagian leher, tapi aku ingin memercayai Alaska, maka itulah yang kulakukan. Aku menyesap sedikit, dan begitu menelannya, kurasakan tubuhku menolak sirup menyengat itu. Cairan tersebut mengalir naik lagi di esofagus, tapi kutelan dengan paksa, dan ya, akhirnya aku melakukannya. Aku minum alkohol di kampus.

Maka kami berbaring di rerumputan tinggi antara lapangan sepak bola dan hutan, saling mengoperkan botol dan menengadah untuk meneguk anggur yang bikin mengernyit itu. Seperti yang dijanjikan dalam daftar, Alaska membawa buku Kurt Vonnegut, Cat" s Cradle, dan membacakannya keras-keras. Suara lembutnya berbaur dengan kuak kodok sementara belalang-belalang mendarat lembut di sekeliling kami. Aku tak terlalu memperhatikan kata-katanya, tapi lebih menyimak irama suaranya. Ia jelas sudah membaca buku ini berulang kali, maka ia membaca tanpa cela dan dengan penuh percaya diri. Aku juga dapat mendengarnya tersenyum saat membaca, dan

bunyi senyumnya membuatku berpikir bahwa mungkin aku akan lebih menyukai novel jika Alaska Young yang membacakannya untuku. Beberapa saat kemudian, ia menaruh bukunya, dan aku merasa hangat namun tidak mabuk oleh botol yang tergeletak di antara kami" dadaku menyentuh botol, dadanya juga menyentuh botol, tapi kami tidak saling bersentuhan. Lalu ia meletakkan tangan di kakiku.

Tangannya persis di atas lututku, telapaknya terbuka dan terasa halus pada celana jinsku, telunjuknya membuat lingkaran-lingkaran dalam gerakan lambat yang merayap menuju bagian dalam pahaku, dan dengan selapis pakaian di antara kami, aku begitu menginginkan gadis itu. Berbaring di sana, di antara rumput tinggi yang bergeming, di bawah langit penuh bintang, mendengarkan suara lirih napasnya yang berirama dan keheningan bising kawanan kodok, belalang, serta mobil-mobil di kejauhan yang melaju tanpa henti di jalan raya I-5, kupikir ini mungkin waktu yang tepat untuk mengucapkan Tiga Kata Keramat itu. Dan aku menguatkan diri untuk mengucapkannya seraya memandangi langit penuh bintang, meyakinkan diri bahwa ia juga merasakan hal yang sama, bahwa gerakan tangannya yang begitu hidup dan nyata di kakiku bukan sekadar main-main, jadi persetan dengan Lara dan Jack karena sungguh, Alaska Young, aku sungguh mencintaimu. Apa lagi yang lebih penting daripada itu? Bibirku bergerak untuk bicara dan bahkan sebelum aku sempat mengucapkan kata-kata itu, ia berkata, " Labirin bukan tentang kematian atau kehidupan."

" Mm, oke. Jadi tentang apa?"

" Penderitaan," katanya. " Berbuat salah dan mengalami berbagai kejadian yang salah. Itu masalahnya. Bolvar berbicara tentang rasa

sakit, bukan tentang hidup atau mati. Bagaimana keluar dari labirin penderitaan?"

" Apa yang salah?" tanyaku. Dan aku tak lagi merasakan tangannya di kakiku.

" Tak ada yang salah. Tapi penderitaan selalu ada, Pudge. PR atau malaria atau punya pacar yang tinggal jauh darimu padahal ada cowok tampan berbaring di sebelahmu. Penderitaan itu universal. Itu satu hal yang dikhawatirkan para penganut Buddha, Kristen, dan Islam."

Aku berbalik menghadapnya. " Oh, kalau begitu mungkin kelas Dr. Hyde tidak sepenuhnya omong-kosong." Kami berdua berbaring miring, ia tersenyum, hidung kami hampir bersentuhan, mataku menatapnya tanpa berkedip, wajahnya memerah karena alkohol. Aku membuka mulut lagi tapi kali ini bukan untuk berbicara, dan ia mengangkat satu jari lalu menempelkannya di bibirku kemudian berkata, " Shh, shh. Jangan rusak momen ini."

Lima Puluh Satu Hari Sebelumnya

Keesokan paginya, aku tidak mendengar ketukan pintu, bila memang ada.

Aku hanya mendengar, " BANGUN! Kau tahu sekarang jam berapa?"

Aku menengok jam dan bergumam lemah, " Jam 7.36." " Bukan, Pudge. Ini jamnya pesta! Kita cuma punya sisa tujuh hari sebelum semua orang kembali. Ya Tuhan, aku bahkan tak bisa mengatakan betapa asyiknya ada kau di sini. {#1e}anksgiving tahun lalu, aku menghabiskan waktu dengan menyusun satu lilin besar dari semua lilin kecil yang kumiliki. Bosan banget. Aku menghitung petak

langit-langit. Enam puluh tujuh ke bawah, 84 ke kanan. Penderitaan berat! Siksaan total."

" Aku capek sekali. Aku" " dan langsung dipotong Alaska. " Kasihan Pudge. Aduh aduh, kasihan Pudge. Kau mau aku naik ke ranjang dan berpelukan denganmu?"

" Yah, kalau kau menawarkan" " " TIDAK! BANGUN! SEKARANG!"

Ia membawaku ke belakang deretan kamar Weekday Warriors" 50 sampai 59" dan berhenti di depan jendela, menempelkan tangannya di kaca, lalu mendorong sampai jendela itu setengah terbuka, kemudian merangkak masuk. Aku mengikutinya.

" Apa yang kaulihat, Pudge?"

Aku melihat kamar asrama" dinding batako yang sama, ukuran yang sama, bahkan tata ruang yang sama seperti kamarku. Sofa mereka lebih bagus, dan mereka punya meja kopi sungguhan, bukan MEJA KOPI. Ada dua poster di dinding. Salah satunya bergambar tumpukan uang seratus dolar dengan tulisan di bawahnya: SATU JUTA PERTAMA ADALAH YANG TERSULIT. Di dinding seberangnya, poster bergambar mobil Ferrari merah. " Mm, aku melihat kamar asrama."

" Kau tidak benar-benar melihat, Pudge. Ketika masuk ke kamarmu, aku melihat dua cowok penggemar video game. Ketika melihat kamarku, aku melihat cewek pencinta buku." Ia berjalan ke sofa dan memungut botol soda plastik. " Lihat ini," katanya, dan aku melihat botol itu setengah terisi cairan cokelat gelap. Ludah bercampur tembakau. " Jadi mereka mengunyah tembakau. Dan mereka jelas-jelas tidak higienis. Jadi apa mereka akan peduli kalau kita mengencingi sikat gigi mereka? Mereka takkan cukup peduli, itu sudah pasti. Lihat. Beritahu aku apa yang mereka suka."

p u s t a k a i n

o . b l o g s p o t . c o m

" Mereka suka uang," jawabku sambil menunjuk poster. Alaska melontarkan tangan ke udara dengan putus asa.

" Mereka semua suka uang, Pudge. Oke, masuk ke kamar mandi. Beritahu aku apa yang kaulihat di sana."

Permainan ini lumayan menjengkelkan, tapi aku masuk ke kamar mandi sementara ia duduk di sofa yang terlihat mengundang itu. Di bilik pancuran, aku menemukan selusin botol sampo dan kondisioner. Dalam lemari obat, aku menemukan botol silinder berisi sesuatu bernama Rewind. Aku membukanya" tampak gel kebiruan berbau bunga dan alkohol, seperti salon rambut yang mewah. (Di bawah wastafel, aku juga menemukan sebotol Vaseline yang sangat besar sehingga hanya mungkin digunakan untuk satu tujuan, dan aku tak ingin memikirkannya.) Aku kembali ke kamar dan berkata dengan penuh semangat, " Mereka mencintai rambut mereka."

" Tepat sekali!" teriaknya. " Lihat di ranjang atas." Pada kepala ranjang dari kayu tipis, sebotol gel STA-WET berdiri goyah. " Kevin tidak bangun tidur dengan rambut sudah berdiri kusut begitu, Pudge. Dia menatanya. Dia mencintai rambut itu. Mereka meninggalkan produk rambut mereka di sini, Pudge, karena mereka punya persediaan yang sama di rumah. Semua cowok itu. Kau tahu sebabnya?" " Untuk mengkompensasi alat vital yang kecil mungil?" tanyaku. " Ha-ha. Bukan. Karena mereka bajingan sok macho. Mereka mencintai rambut mereka karena tidak cukup pintar untuk mencintai hal lain yang lebih menarik. Jadi kita serang mereka di bagian yang paling telak: kulit kepala."

" Ooo-keee," kataku, tak yakin bagaimana tepatnya mengerjai kulit kepala orang lain.

Ia berdiri dan berjalan ke jendela lalu membungkuk untuk merayap keluar " Jangan melihat bokongku," katanya, jadi aku melihat bokong
nya, yang melebar dari pinggang rampingnya. Ia dengan mudah berjungkir balik keluar dari jendela yang setengah terbuka. Aku memakai pendekatan kaki-lebih-dulu, dan begitu kakiku menapak tanah, kuguncangkan tubuh atasku keluar dari jendela.

" Wah," katanya. " Tadi itu kelihatannya aneh. Ayo ke Lubang Merokok."

Ia menggeser-geser kakinya untuk menendangi tanah oranye kering sepanjang perjalanan menuju jembatan, tak terlihat seperti berjalan tapi lebih seperti bermain ski. Sewaktu kami menyusuri jalan setapak dari jembatan ke Lubang, Alaska berbalik dan menoleh kepadaku, menghentikan langkahnya. " Kira-kira di mana kita bisa mendapat cat biru yang kuat, standar industri?" ujarnya, lalu menahan dahan pohon agar tidak menyambarku.

Empat Puluh Sembilan Hari Sebelumnya Dua hari kemudian" Senin, hari libur sungguhan kami yang pertama" aku menghabiskan sepanjang pagi mengerjakan tugas akhir kelas agama lalu siangnya pergi ke kamar Alaska. Ia sedang membaca di tempat tidur.

" Auden," ia berkata. " Apa kata-kata terakhirnya?" " Tidak tahu. Tak pernah dengar namanya."

" Tak pernah dengar namanya? Bocah buta huruf yang malang. Ini, baca kalimat ini." Aku mendekat dan melihat kalimat yang ditunjuknya.

" Kau boleh mencintai tetanggamu yang rusak / Dengan hatimu yang rusak," aku membaca dengan lantang. " Yeah. Lumayan bagus," kataku.

" Lumayan bagus? Tentu, dan bufriedo lumayan enak. Seks lumayan

menyenangkan. Matahari lumayan panas. Ya Tuhan, kalimat ini menjelaskan banyak hal tentang cinta dan luka" ini sempurna." " Mmm-hmm," aku mengangguk tanpa semangat. " Kau benar-benar payah. Mau berburu film porno?" " Hah?"

" Kita tak bisa mencintai tetangga kita sampai tahu betapa rusaknya hati mereka. Memangnya kau tak suka film porno?" ia bertanya sambil tersenyum.

" Mm," jawabku. Sejujurnya aku jarang menonton film porno, tapi gagasan menonton film porno bersama Alaska terdengar sangat menarik.

Kami memulai di bagian kamar nomor 50-an lalu berjalan ke belakang memutari area heksagon" ia mendorong jendela belakang sementara aku mengawasi sekitar dan memastikan tidak ada orang yang lewat.

Aku belum pernah masuk ke kamar sebagian besar murid. Setelah tiga bulan, aku kenal sebagian besar murid, tapi hanya segelintir dari mereka yang secara rutin berbicara denganku" hanya Kolonel, Alaska, dan Takumi, sebenarnya. Tapi dalam waktu beberapa jam, aku jadi mengenal teman-teman sekelasku dengan baik.
Mencari Alaska Looking For Alaska Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wilson Carbod, pemain tengah Culver Creek Tanpa Arti, menderita ambeien, atau setidaknya ia menyembunyikan salep ambeien di laci terbawah mejanya. Chandra Kilers, gadis manis yang agak terlalu menyukai matematika, dan yang diyakini Alaska sebagai calon pacar Kolonel, mengoleksi boneka Cabbage Patch Kids. Aku tak bermaksud mengatakan ia mengoleksi boneka-boneka itu waktu berumur lima tahun. Ia mengoleksinya saat ini" lusinan jumlahnya" boneka berkulit hitam, putih, berdarah Latin, berdarah Asia, laki-laki dan perempuan, bayi-bayi yang memakai baju petani atau pengusaha.

Weekday Warrior senior bernama Holly Moser membuat gambar telanjang dirinya dengan pensil, melukiskan sosok gempalnya dengan detail-detail lekukan.

Aku tertegun menyadari betapa banyaknya anak yang menyimpan minuman keras. Bahkan para Weekday Warrior, yang pulang setiap akhir pekan, menyembunyikan bir dan minuman keras di manamana, dari tangki toilet sampai di dasar tumpukan baju kotor.

" Astaga, aku bisa mengadukan siapa pun," Alaska berkata pelan sambil mengangkat sebotol Magnum ukuran satu liter dari lemari Longwell Chase. Aku bertanya-tanya mengapa ia memilih mengadukan Paul dan Marya.

Alaska menemukan rahasia semua orang dengan begitu cepat sehingga aku menduga ia pernah melakukan ini, tapi ia pasti belum mengetahui rahasia Ruth dan Margot Blowker, saudara kembar di kelas sembilan, yang baru masuk dan sepertinya lebih kurang pergaulan dibandingkan aku. Alaska mengedarkan pandangan sebentar, lalu berjalan ke rak buku. Ia mengamati rak dengan saksama, lalu mengeluarkan Injil Raja James, dan itu dia" botol ungu minuman Maui Wowie.

" Cerdik sekali," katanya sambil memutar tutup botol. Ia menenggak isi botol dalam dua tegukan panjang lalu memekik, " Maui WO- WIE!"

" Mereka bakal tahu kau masuk ke sini!" seruku.

Matanya melebar. " Oh gawat, kau benar Pudge!" katanya. " Mungkin mereka akan menemui si Elang dan melaporkan minuman keras mereka dicuri!" Alaska terbahak lalu menjulurkan tubuh ke luar jendela, membuang botol kosong ke rumput.

Kami juga menemukan banyak sekali majalah porno, dijejalkan sembarangan di antara kasur dan rangkanya. Ternyata Hank Walsten

menyukai hal lain selain basket dan ganja: majalah porno Juggs. Tapi kami tidak menemukan film sampai memasuki Kamar 32, yang ditempati dua cowok dari Mississippi bernama Joe dan Marcus. Mereka sekelas dengan kami di kelas agama, dan kadang duduk bersamaku serta Kolonel di kantin, tapi aku tak terlalu mengenal mereka.

Alaska membaca stiker di bagian atas kaset. " Perempuan Jalang dari Madison County. Wah. Kedengarannya seru."

Kami berlari membawanya ke ruang TV, menutup semua gorden, mengunci pintu, dan menonton. Film itu dibuka dengan adegan seorang perempuan berdiri di jembatan dengan kaki terpentang sementara seorang lelaki berlutut di depannya, mencumbunya. Tak ada waktu untuk dialog, kurasa. Saat mereka mulai melakukannya, Alaska berkomentar dengan penuh amarah. " Mereka tidak membuat seks terlihat menyenangkan untuk perempuan. Cewek itu cuma dijadikan objek. Lihat! Lihat itu!"

Aku sudah melihat, tentu saja. Meskipun mata si perempuan, yang cokelat dan kosong, menunjukkan keengganannya, aku tak dapat menahan diri untuk mencatat dalam hati. Letakkan tangan di pundaknya, aku mencatat. Cepat, tapi jangan terlalu cepat agar tidak langsung berakhir. Jangan terlalu banyak menggeram.

Seolah membaca pikiranku, Alaska berkata, " Demi Tuhan, Pudge. Jangan pernah melakukannya sekasar itu. Itu sakit. Kelihatannya seperti siksaan. Dan perempuan itu hanya diam dan pasrah? Ini bukan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Hanya hubungan badan. Apanya yang erotis? Mana ciumannya?"

" Melihat posisi mereka, sepertinya mereka tidak bisa berciuman sekarang," jawabku.

" Itu maksudku. Dari cara mereka melakukannya saja, itu menunjuk
kan perempuan hanya jadi objek. Si lelaki bahkan tak bisa melihat wajah si perempuan! Inilah yang dapat terjadi pada perempuan, Pudge. Perempuan itu putri seseorang. Kalian membuat kami melakukan ini untuk mencari uang."


Tembang Tantangan Karya S H Mintardja Tangled Karya Emma Chase First Love Never Die Karya Camarillo

Cari Blog Ini