Ceritasilat Novel Online

Mencari Alaska 3

Mencari Alaska Looking For Alaska Karya John Green Bagian 3

" Yah, bukan aku," kataku membela diri. " Maksudku, secara teknis. Aku kan tidak bikin film porno."

" Tatap mataku dan bilang ini tak membuatmu bergairah, Pudge."

Aku tak bisa. Ia tertawa. Tak apa, katanya. Wajar. Lalu ia berdiri, menghentikan film, menelungkup di sofa, dan menggumamkan sesuatu.

" Apa katamu?" tanyaku seraya berjalan menghampirinya dan meletakkan tangan di punggungnya.

" Shhhh," katanya. " Aku sedang tidur."

Begitu saja. Dari seratus mil per jam ke kondisi tidur, hanya dalam sepersekian detik. Aku sangat ingin berbaring di sampingnya di sofa, memeluknya dan tidur. Tidak berhubungan seks seperti di film itu. Bahkan tidak bercinta. Hanya tidur bersama, dalam arti yang paling lugu. Tapi aku tak punya keberanian dan ia punya pacar dan aku kikuk dan ia cantik dan aku amat membosankan dan ia amat menakjubkan. Jadi aku berjalan kembali ke kamar dan mengempaskan tubuh ke ranjang bawah, berpikir bahwa jika manusia diumpamakan sebagai hujan, aku gerimis dan ia badai.

Empat Puluh Enam Hari Sebelumnya

Hari Rabu pagi, aku bangun dengan hidung tersumbat dan melihat Alabama berubah menjadi tempat yang benar-benar baru, dingin dan beku. Sewaktu berjalan ke kamar Alaska pagi itu, rerumputan beku

di area asrama berderak hancur ketika kuinjak. Embun beku jarang ditemui di Florida" jadi aku melompat-lompat seperti sedang menginjak-injak pembungkus plastik bergelembung. Krak. Krak, Krak.

Alaska memegang lilin hijau menyala dengan sumbu api menghadap ke bawah, melelehkan cairan lilin ke gunung berapi buatan sendiri, yang terlihat seperti gunung berapi proyek-ilmiah-SMP dalam gambar Technicolor.

" Jangan membakar dirimu," kataku, melihat api mulai merayap menuju tangannya.

" Malam turun dengan cepat. Hari ini menjadi masa lalu," katanya tanpa mendongak.

" Tunggu, aku pernah membacanya. Apa itu?" tanyaku. Dengan tangan yang bebas, ia menyambar sebuah buku dan melemparkannya ke kakiku. " Puisi," katanya. " Karya Edna St. Vincent Millay. Kau pernah membacanya? Aku takjub."

" Oh, aku membaca biografinya! Tapi tidak ada kata-kata terakhirnya. Aku lumayan kecewa. Aku cuma ingat dia sering sekali berhubungan seks."

" Aku tahu. Dia pahlawanku," Alaska berkata tanpa ironi sama sekali. Aku tertawa, tapi Alaska tak menyadarinya. " Apa kau tak merasa aneh karena lebih menikmati biografi para penulis hebat daripada karya mereka yang sebenarnya?"

" Tidak!" kataku. " Hanya karena mereka menarik, bukan berarti aku ingin mendengar renungan mereka tentang salju." " Itu tentang depresi, bodoh."

" Ooooh, benarkah? Kalau begitu, wow, puisinya hebat," jawabku. Ia menghela napas. " Ya sudahlah. Salju mungkin turun di musim

dingin ketidakpuasanku, tapi setidaknya aku punya teman sarkastis. Duduklah."

Aku duduk bersila di sampingnya dan lutut kami bersentuhan. Dari kolong ranjang ia mengeluarkan kotak plastik bening berisi puluhan lilin. Ia menatapnya sebentar, kemudian memberiku lilin putih dan pemantik api.

Kami menghabiskan sepanjang pagi dengan membakar lilin" yah, dan sesekali menyalakan rokok dengan api lilin setelah menjejalkan handuk menutupi celah di dasar pintu kamarnya. Selama dua jam, kami menambahkan tiga puluh sentimeter gundukan lilin ke puncak gunung warna-warni itu.

" Gunung St. Helen minum LSD," katanya.

Pukul 12.30, setelah dua jam aku memohon-mohon agar kami pergi ke McDonald" s, Alaska memutuskan sudah saatnya makan siang. Sewaktu kami berjalan ke lahan parkir khusus murid, aku melihat mobil asing. Mobil hijau kecil model hatchback. Aku pernah melihat mobil ini, pikirku. Di mana aku melihatnya? Lalu Kolonel melompat keluar dari mobil itu dan berlari mendatangi kami.

Bukannya menyapa kami dengan, misalnya, " Halo" atau apalah, Kolonel berkata, " Aku diinstruksikan untuk mengundang kalian ke acara makan malam {#1e}anksgiving di Kediaman Martin."

Alaska berbisik ke telingaku, lalu aku tertawa dan menjawab, " Aku diinstruksikan untuk menerima undanganmu." Jadi kami mampir ke rumah si Elang, melapor bahwa kami akan makan kalkun ala kompleks trailer, dan melaju dengan mobil Kolonel.

Kolonel menjelaskannya kepada kami dalam dua jam perjalanan menuju selatan. Aku terimpit di kursi belakang karena Alaska lebih

dulu memilih kursi penumpang di depan. Alaska biasanya menyetir, tapi saat tidak menyetir ia ratu penguasa kursi penumpang. Ibu Kolonel mendengar bahwa aku dan Alaska tidak pulang dan tak tega membayangkan kami harus melewati {#1e}anksgiving tanpa keluarga. Kolonel sepertinya tidak terlalu senang dengan ide ini" " Aku pasti harus tidur di tenda," katanya, dan aku tertawa.

Tapi ternyata Kolonel benar-benar harus tidur di tenda, perangkat nyaman berwarna hijau berbentuk setengah telur yang dapat menampung empat orang, tapi tetap saja tenda. Ibu Kolonel tinggal di trailer, jenis trailer yang biasanya tersambung ke truk pikap yang lebih besar, hanya saja trailer ini sudah tua dan bobrok, dan mungkin takkan bisa tersambung ke truk tanpa hancur. Ukurannya sama sekali tidak besar. Aku nyaris tak dapat berdiri tegak tanpa mengenai langitlangit. Sekarang aku mengerti mengapa Kolonel pendek" ia terlalu miskin untuk menjadi lebih tinggi. Tempat ini sebenarnya hanya berupa satu ruangan panjang, dengan tempat tidur besar di bagian depan, dapur kecil, dan ruang keluarga di bagian belakang dengan TV dan kamar mandi sempit" begitu sempit sehingga kau harus duduk di toilet agar bisa mandi.

" Memang tidak mewah," ibu Kolonel (" Namaku Dolores, bukan Miss Martin" ) memberitahu kami. " Tapi kalian semua akan menikmati kalkun seukuran dapur ini." Ia terbahak. Kolonel langsung mengajak kami keluar dari trailer setelah tur singkat tadi, dan kami berjalan mengelilingi area tempat tinggalnya, deretan trailer dan rumah karavan di jalan tanah.

" Nah, sekarang kau mengerti mengapa aku membenci orang kaya." Dan aku memang mengerti. Aku tidak habis pikir bagaimana Kolonel

bisa tumbuh di tempat sekecil itu. Keseluruhan trailer bahkan lebih kecil dibandingkan kamar asrama kami. Aku tak tahu mesti berkata apa kepadanya, bagaimana membuatnya merasa tidak terlalu malu.

" Maaf kalau sudah membuatmu tidak nyaman," katanya. " Aku tahu kau mungkin asing dengan hal-hal seperti ini."

" Aku tidak," Alaska menyambar.

" Yah, kau tidak tinggal di trailer," balas Kolonel. " Miskin ya miskin."

" Kurasa begitu," sahut Kolonel.

Alaska memutuskan untuk membantu Dolores memasak makan malam. Menurutnya diskriminatif menyerahkan urusan masak-memasak pada perempuan, tapi lebih baik menikmati makanan diskriminatif yang lezat daripada makanan payah yang dimasak laki-laki. Jadi aku dan Kolonel duduk di sofa lipat di ruang tamu, bermain video game dan membicarakan sekolah.

" Tugas agamaku sudah selesai. Tapi aku harus mengetiknya di komputermu saat kita kembali. Kurasa aku sudah siap menghadapi ujian akhir, dan itu bagus, karena kita harus canakan-meren las-ba dam-den."

" Ibumu tak mengerti bahasa Latin jadi-jadian?" Aku menyeringai.

" Tidak kalau aku bicara cepat. Demi Tuhan, pelankan suaramu." Makanannya" okra goreng, jagung rebus, dan semur daging yang begitu empuk sehingga langsung koyak oleh garpu plastik" meyakinkanku bahwa Dolores bahkan lebih jago memasak daripada Maureen. Okra yang digoreng Dolores lebih tak berminyak, lebih garing. Dolores juga ibu terlucu yang pernah kutemui. Ketika Alaska

menanyakan pekerjaannya, ia tersenyum dan menjawab, " Aku insinyur kuliner. Untuk kalian, itu artinya koki di Waffle House."

" Waffle House terbaik di Alabama," Kolonel tersenyum, lalu aku menyadari bahwa ia sama sekali tidak malu tentang ibunya. Ia hanya takut kami akan bersikap seperti anak-anak asrama sombong yang suka merendahkan orang lain. Aku selalu menganggap kebencian Kolonel pada orang kaya agak terlalu berlebihan sampai aku melihat dia bersama ibunya. Ia tetap Kolonel yang kukenal, tapi dalam konteks yang jauh berbeda. Membuatku berharap bahwa suatu hari nanti, aku juga bisa bertemu keluarga Alaska.

Dolores memaksa agar aku dan Alaska berbagi tempat tidur, dan ia tidur di sofa lipat sementara Kolonel menempati tenda di luar. Aku khawatir Kolonel akan terserang flu, tapi sejujurnya aku tak ingin melepas kesempatan tidur berdua dengan Alaska. Kami tidur dengan selimut berbeda, dan selalu ada sedikitnya tiga lapis pakaian di antara kami, tapi kemungkinan itu membuatku terjaga setengah malam.

Empat Puluh Lima Hari Sebelumnya

Penganan {#1e}anksgiving terenak yang pernah kumakan. Tidak ada saus cranberry yang payah. Hanya potongan-potongan besar daging putih empuk, jagung, buncis yang dimasak dengan cukup banyak lemak bacon untuk membuatnya terasa seperti makanan tak sehat, biskuit dengan saus daging, pai labu untuk makanan penutup, dan segelas anggur untuk setiap orang. " Aku tahu," kata Dolores, " kita seharusnya minum anggur putih untuk mendampingi daging kalkun,

tapi" aku tak tahu bagaimana dengan kalian" tapi kurasa aku tak peduli."

Kami tertawa dan menyesap anggur, lalu setelah selesai makan, bergantian mengungkapkan rasa syukur. Keluargaku selalu melakukannya sebelum makan, sehingga kami mengucapkan syukur dengan terburu-buru agar dapat segera menyantap makanan. Maka kami berempat duduk mengelilingi meja dan mengucap berkat. Aku bersyukur untuk makanan yang lezat dan teman-teman yang menyenangkan, untuk memiliki rumah saat {#1e}anksgiving. " Trailer, setidaknya," Dolores berkelakar.

" Oke, giliranku," kata Alaska. " Aku bersyukur karena baru saja merasakan {#1e}anksgiving terbaik dalam sepuluh tahun."

Kemudian Kolonel berkata, " Aku hanya bersyukur untuk kehadiranmu, Mom," dan Dolores tertawa lalu menjawab, " Anjing itu tak akan berburu, Nak."

Aku tidak tahu arti ungkapan tersebut, tapi sepertinya itu berarti, " Tidak cukup," karena Kolonel lalu melanjutkan daftarnya dengan menyebutkan bahwa ia bersyukur menjadi " manusia terpintar di kompleks trailer ini." Dolores tertawa lalu berkata, " Cukup bagus."

Dan Dolores? Ia bersyukur karena ponselnya menyala lagi, karena anaknya pulang, karena Alaska membantunya memasak dan karena aku menemani Kolonel sehingga anak itu tidak mengganggunya, karena pekerjaannya lancar dan rekan-rekan kerjanya menyenangkan, karena ia punya tempat untuk tidur dan anak yang mencintainya.

Aku duduk di kursi belakang dalam perjalanan pulang" seperti itulah aku memikirkannya; pulang" dan tertidur dibuai irama monoton jalan raya.

Empat Puluh Tiga Hari Sebelumnya

" Keseluruhan model bisnis " Coosa Liquors" dibangun berdasarkan penjualan rokok untuk remaja di bawah umur dan alkohol untuk orang dewasa." Alaska menatapku dengan frekuensi yang mengkhawatirkan selagi mengemudi, terutama karena kami sedang menyusuri jalanan sempit dan berbukit di selatan sekolah, menuju Coosa Liquors yang dimaksud. Saat itu hari Sabtu, hari terakhir liburan sungguhan kami. " Yang sebenarnya hebat, kalau kau hanya butuh rokok. Tapi kita butuh minuman keras. Dan mereka meminta KTP untuk pembelian minuman keras. Dan KTP palsuku payah. Tapi rayuanku bisa membereskan masalah." Ia belok kiri dengan tiba-tiba dan tanpa menyalakan sein, memasuki jalan yang menurun dengan curam diapit ladang di kedua sisi jalan. Ia mencengkeram kemudi erat-erat selagi kami melaju kencang dan menunggu hingga detik-detik terakhir sebelum mengerem, tepat sebelum kami mencapai kaki bukit. Di sana berdiri pom bensin yang tak lagi menjual bensin, dengan papan nama pudar yang terpasang di atapnya: COOSA LIQUORS: KAMI MELAYANI KEBUTUHAN SPIRITUAL ANDA.

Alaska masuk sendiri lalu keluar lima menit kemudian membawa dua kantong kertas berisi barang-barang selundupan: tiga karton rokok, lima botol anggur, dan seperlima vodka untuk Kolonel. Dalam perjalanan pulang, Alaska bertanya, " Kau suka lelucon tok-tok?" " Lelucon tok-tok?" tanyaku. " Maksudmu seperti, " Tok tok& " " " Who" s there?" sahut Alaska. Siapa di sana?

" Who who?"

" Memangnya kamu burung hantu?" pungkasku. Payah. " Brilian," kata Alaska. " Aku punya satu. Kau mulai." " Oke. Tok tok."

" Siapa di sana?" tanya Alaska.

Aku menatapnya dengan pandangan kosong. Semenit kemudian, aku baru mengerti dan tertawa.

" Ibuku memberiku lelucon itu waktu aku enam tahun. Masih lucu hingga sekarang."

Jadi tentu saja aku sangat terkejut ketika ia masuk ke Kamar 43 sambil menangis sewaktu aku sedang memoles makalah akhirku untuk pelajaran bahasa Inggris. Ia duduk di sofa, setiap helaan napasnya bercampur rengekan dan teriakan.

" Maafkan aku," katanya, terisak-isak. Ingus menetes dari dagunya.

" Ada apa?" tanyaku. Ia mengambil tisu dari MEJA KOPI dan mengelap wajah.

" Aku tidak& " ia memulai, disusul isakan sehebat tsunami, tangisannya begitu kencang dan kekanakan sehingga membuatku takut, dan aku bangkit, duduk di sampingnya, lalu merangkulnya. Ia berpaling dan membenamkan kepala dalam busa sofa. " Aku tidak mengerti mengapa aku merusak segalanya," ia berkata.

" Maksudmu seperti soal Marya? Mungkin kau hanya ketakutan."

" Ketakutan bukan alasan yang bagus!" ia berteriak ke dalam sofa. " Ketakutan adalah alasan yang selalu dipakai semua orang!" Aku tidak tahu siapa " semua orang" itu, atau kapan yang dimaksud dengan " selalu" . Meskipun aku sangat ingin memahami ambiguitas Alaska, kelicikannya mulai menjengkelkan.

" Mengapa baru sekarang kau menyesalinya?"

" Bukan itu saja. Semuanya. Aku memberitahu Kolonel di mobil."

Napasnya masih tidak beraturan, tapi sepertinya ia tak lagi terisak. " Waktu kau tidur di belakang. Dan katanya ia akan terus mengawasiku saat kami mengerjai orang. Ia tidak bisa memercayaiku bertindak sendirian. Dan aku tidak menyalahkannya. Aku saja tidak memercayai diriku sendiri."

" Butuh keberanian untuk memberitahunya," kataku. " Aku berani, tapi di saat yang tidak tepat. Maukah kau" mm," lalu ia duduk tegak dan bergerak ke arahku, jadi aku mengangkat lengan selagi ia ambruk ke dada kurusku dan menangis. Aku merasa iba padanya, tapi ini salahnya sendiri. Ia tidak harus mengadu.

" Aku tak ingin membuatmu kesal, tapi mungkin kau harus memberitahu kami semua mengapa kau mengadukan Marya. Apa kau takut pulang atau semacamnya?"

Ia melepaskan diri dariku dan memberiku Tatapan Kiamat yang dapat membuat si Elang bangga, dan aku merasa ia membenciku atau membenci pertanyaanku atau keduanya. Kemudian ia berpaling, menatap ke arah lapangan bola di luar, dan menjawab, " Aku tak punya rumah."

" Yah, kau punya keluarga," aku menyanggah. Baru tadi pagi ia bercerita tentang ibunya. Bagaimana mungkin gadis yang melontarkan lelucon itu tiga jam lalu tiba-tiba menangis tak keruan seperti ini?

Ia menatapku dan menjawab, " Aku mencoba untuk tidak takut, kau tahu. Tapi aku tetap saja menghancurkan semuanya. Aku tetap mengacau."

" Tidak apa-apa," sahutku. " Tidak apa-apa." Aku bahkan sudah tak tahu lagi apa yang ia bicarakan. Satu kalimat ambigu ke kalimat ambigu berikutnya.

" Tidakkah kau tahu siapa yang kaucintai, Pudge? Kau mencintai gadis yang membuatmu tertawa dan menunjukkan film porno dan

minum anggur denganmu. Kau tidak mencintai perempuan jalang yang gila dan pemurung ini."

Sejujurnya, kurasa ucapan itu ada benarnya.

Natal

Kami semua pulang saat libur Natal" bahkan Alaska yang katanya tidak punya rumah.

Aku mendapat jam tangan yang bagus dan dompet baru" " hadiah orang dewasa," ayahku menyebutnya. Tapi seringnya aku hanya belajar selama dua minggu itu. Liburan Natal bukan benar-benar liburan, mengingat itu kesempatan terakhir kami untuk belajar menghadapi ujian, yang dimulai sehari setelah kami kembali. Aku memfokuskan diri pada prakalkukus dan biologi, karena dua pelajaran itu yang paling mengancam targetku mendapatkan indeks prestasi rata-rata 3,4. Kuharap aku bisa bilang bahwa aku membuat target itu karena senang belajar, tapi sebenarnya karena aku ingin masuk college yang bagus.

Jadi, yah, aku menghabiskan banyak waktu di rumah untuk belajar matematika dan menghafalkan kosakata Prancis, seperti yang selalu kulakukan sebelum masuk Culver Creek. Sebenarnya dua minggu di rumah rasanya persis seperti kehidupanku sebelum Culver Creek, hanya saja orangtuaku kini lebih emosional. Mereka tidak banyak bercerita tentang perjalanan ke London. Sepertinya mereka merasa bersalah. Itu hal lucu tentang orangtua. Meskipun aku tinggal di Creek saat {#1e}anksgiving karena keinginanku sendiri, orangtuaku tetap merasa bersalah. Menyenangkan rasanya memiliki orang-orang yang merasa bersalah padamu, walaupun aku lebih suka seandainya Mom tidak menangis setiap kami makan malam. Ia berkata, " Aku

ibu yang buruk," lalu ayahku dan aku cepat-cepat menjawab, " Itu tidak benar."

Bahkan ayahku, yang penyayang tapi tidak sentimental, tanpa tedeng aling-aling berkata ia merindukanku saat kami sedang menonton {#1f}e Simpsons. Kubilang aku juga merindukannya, dan itu kenyataan. Bisa dibilang begitu. Mereka orang yang sangat baik. Kami menonton di bioskop dan bermain kartu. Aku menceritakan kisahkisah yang dapat kusampaikan tanpa membuat mereka ketakutan, dan mereka mendengarkan. Ayahku, yang mencari nafkah dengan menjual lahan yasan tapi membaca lebih banyak buku daripada semua orang yang kukenal, berbincang denganku tentang buku-buku yang kubaca untuk kelas Bahasa Inggris. Sementara ibuku berkeras agar aku duduk bersamanya di dapur dan belajar cara memasak hidanganhidangan sederhana" makaroni, telur orak-arik" karena sekarang aku " tinggal sendirian" . Meskipun aku tidak punya, atau tidak menginginkan, dapur. Meskipun aku tidak suka telur atau makaroni keju. Namun saat Tahun Baru, aku sudah bisa memasak hidanganhidangan itu.

Ketika aku pergi, mereka berdua menangis, ibuku menjelaskan bahwa itu hanya sindrom sarang kosong, bahwa mereka hanya sangat bangga padaku, dan mereka sangat mencintaiku. Mendengarnya membuat kerongkonganku tersekat, dan aku tidak memedulikan {#1e}anksgiving lagi. Aku punya keluarga.

Delapan Hari Sebelumnya

Alaska memasuki kamar kami di hari pertama seusai libur Natal dan duduk di samping Kolonel di sofa. Kolonel sibuk memecahkan rekor kendaraan tercepat di PlayStation.

Ia tidak berkata merindukan kami, atau senang melihat kami. Ia hanya menatap sofa dan berkata, " Kalian benar-benar perlu sofa baru."

" Tolong jangan bicara padaku saat aku bertanding," kata Kolonel. " Ya Tuhan. Apakah Jeff Gordon harus menerima omong-kosong ini?"

" Aku punya ide," kata Alaska. " Ide cemerlang. Kita butuh kejailan pendahuluan yang berbarengan dengan serangan pada Kevin dan kaki-tangannya."

Aku duduk di ranjang, membaca buku pelajaran untuk persiapan ujian sejarah Amerika besok.

" Kejailan pendahuluan?" tanyaku.

" Kejailan yang dirancang untuk mengecoh administrasi agar mengira situasi sudah aman," jawab Kolonel, kesal karena terganggu. " Setelah kejailan pendahuluan, si Elang akan berpikir murid junior sudah melakukan kejailan mereka dan takkan menduga saat kejailan yang sesungguhnya datang." Setiap tahun, murid junior dan senior melakukan kejailan pada satu waktu dalam setahun" biasanya sesuatu yang payah seperti menyalakan petasan di area asrama pada pukul lima pagi di hari Minggu.

" Apakah selalu ada kejailan pendahuluan seperti itu?" " Tentu tidak, bodoh," kata Kolonel. " Kalau selalu ada, si Elang bakal mempersiapkan diri untuk dua kejailan. Terakhir kali kejailan pendahuluan dilakukan" hmm. Oh ya, tahun 1987. Kejailan pendahuluannya adalah mematikan aliran listrik ke kampus, lalu kejailan sesungguhnya adalah melepaskan 500 jangkrik hidup dalam saluran pemanas di ruang kelas. Terkadang kau masih bisa mendengar kerik jangkrik."

" Ingatanmu sungguh mengesankan," kataku.

" Kalian berdua seperti pasangan suami-istri tua." Alaska tersenyum. " Dalam arti yang mengerikan."

" Kau belum tahu saja," kata Kolonel. " Kau harus melihat anak ini mencoba naik ke ranjangku malam-malam."

" Kembali ke topik!" tukas Alaska. " Kejailan pendahuluan. Akhir minggu ini, karena ada bulan baru. Kita menginap di gudang. Kau, aku, Kolonel, Takumi, dan sebagai hadiah spesial untukmu, Pudge, Lara Buterskaya."

" Lara Buterskaya yang kumuntahi?"

" Dia hanya malu. Dia masih menyukaimu," Alaska tertawa. " Muntah membuatmu terlihat" rapuh."

" Dadanya bagus sekali," kata Kolonel. " Apakah Takumi kaubawa untukku?"

" Kau harus melajang dulu untuk sementara." " Benar juga," kata Kolonel.

" Habiskan saja beberapa bulan lagi bermain video game," ujar Alaska. " Kordinasi tangan dan mata akan berguna saat kau memasuki marka ketiga."

" Ya Tuhan, aku sudah lama sekali tidak mendengar sistem marka, sepertinya aku sudah lupa marka ketiga," Kolonel merespons. " Aku bisa saja memutar bola mata padamu, tapi aku tak mau berpaling dari layar."

" Cium, sentuh, raba, seks. Kau seperti melompati kelas tiga saja," kata Alaska.

" Aku memang melompati kelas tiga," jawab Kolonel. " Jadi," kataku, " apa kejailan pendahuluan kita?"

" Kolonel dan aku akan memikirkannya. Tak perlu melibatkanmu dalam masalah" untuk saat ini."

" Oh. Oke. Mm, kalau begitu aku mau merokok saja." Aku keluar. Ini tentu saja bukan pertama kalinya Alaska tidak melibatkanku, tapi setelah kebersamaan kami selama {#1e}anksgiving, rasanya konyol merencanakan kejailan dengan Kolonel tapi tidak mengajakku. Kaus siapa yang basah terkena air mata? Kausku. Siapa yang mendengarkannya membaca Vonnegut? Aku. Siapa yang terkecoh lelucon tok-tok terburuk sedunia? Aku. Aku berjalan ke Sunny Konvenience Kiosk di seberang sekolah dan merokok. Ini tak pernah terjadi padaku di Florida, kemarahan yang oh-sangat-SMA ini tentang siapa yang lebih menyukai siapa, dan aku membenci diriku karena membiarkannya terjadi sekarang. Kau tak harus peduli pada gadis itu, aku membatin. Persetan dengannya.

Empat Hari Sebelumnya

Kolonel sama sekali tak mau memberitahuku tentang kejailan pendahuluan, kecuali bahwa namanya Malam Gudang, dan bahwa ketika berkemas nanti, aku harus mengemas pakaian untuk dua hari. Senin, Selasa, dan Rabu sungguh menyiksa. Kolonel selalu bersama Alaska dan aku tak pernah diajak. Jadi aku menghabiskan banyak waktu untuk belajar menghadapi ujian akhir, yang amat membantu indeks prestasiku. Dan aku akhirnya menyelesaikan makalah agama.

Jawaban dari pertanyaanku cukup lugas, sebenarnya. Kebanyakan penganut Kristen dan Muslim memercayai surga dan neraka, meskipun ada banyak perdebatan dalam kedua agama tersebut mengenai apa, tepatnya, yang akan membawa manusia ke salah satu tempat itu setelah meninggalkan dunia. Agama Buddha lebih rumit, karena doktrin Buddha mengenai anatta, yang pada dasarnya menyatakan

bahwa manusia tidak memiliki jiwa yang kekal. Sebaliknya, manusia memiliki kumpulan energi, dan kumpulan energi ini dapat berpindah, bermigrasi dari satu tubuh ke tubuh yang lain, bereinkarnasi terusmenerus sampai akhirnya mencapai pencerahan.

Aku tak pernah suka menulis paragraf penutup untuk makalah" ketika kita hanya mengulang apa yang telah kita sampaikan dengan kata-kata seperti " Sebagai kesimpulan" atau " Akhir kata" . Aku tidak melakukan itu" sebagai gantinya, aku menjelaskan mengapa menurutku ini pertanyaan yang penting. Menurutku, manusia menginginkan jaminan. Mereka tak sanggup membayangkan bahwa kematian hanya berwujud kehampaan besar dan gelap, tak sanggup membayangkan orang-orang terkasih tiada, dan bahkan tak sanggup membayangkan diri mereka sendiri tiada. Aku akhirnya memutuskan bahwa manusia memercayai kehidupan setelah kematian karena tak sanggup berbuat sebaliknya.

Tiga Hari Sebelumnya

Hari Jumat, setelah ujian prakalkulus yang di luar dugaan berjalan lancar menutup periode ujian pertamaku di Culver Creek, aku mengemas pakaian (" Pikirkan gaya trendi ala New York," saran Kolonel. " Pilih baju warna hitam. Pilih baju yang pantas. Nyaman, tapi hangat." ) dan kantong tidur ke dalam ransel, setelah itu kami menjemput Takumi di kamarnya dan pergi ke rumah si Elang. Lelaki itu memakai kostumnya yang biasa, dan aku bertanya-tanya apakah ia hanya punya 37 kemeja putih dan 30 dasi hitam yang sama persis dalam lemarinya. Kubayangkan ia bangun di pagi hari, menatap lemarinya dan berpikir, Hmm& hmm... bagaimana kalau hari ini aku memakai kemeja putih dan dasi hitam? Inilah jenis lelaki yang butuh istri.

" Aku membawa Miles dan Takumi pulang untuk menghabiskan akhir pekan di New Hope," kata Kolonel.

" Kau sangat suka New Hope ya, Miles?" si Elang bertanya padaku.

" Yiha! Bakal ada pesta dansa di kompleks trailer!" kata Kolonel dengan aksen Selatan. Ia sebenarnya bisa punya aksen itu saat menginginkannya, tapi seperti hampir semua orang di Culver Creek, ia biasanya bicara tanpa aksen.

" Tunggu sebentar, aku mau menelepon ibumu," kata si Elang pada Kolonel.

Takumi memandangku dengan kepanikan yang tak berhasil disembunyikan dengan baik, dan aku merasakan makan siangku" ayam goreng" merayap naik dalam perut. Tapi Kolonel hanya tersenyum. " Silakan."

" Chip, Miles, dan Takumi akan berada di rumah Anda akhir pekan ini?& Ya, Ma" am... Ha!& Baiklah. Sampai jumpa." Si Elang mendongak kepada Kolonel. " Ibumu wanita yang sangat baik." Lalu ia tersenyum.

" Tak salah lagi," Kolonel menyeringai. " Sampai jumpa hari Senin."

Selagi kami berjalan menuju lahan parkir aula olahraga, Kolonel berkata, " Aku sudah meneleponnya kemarin dan memintanya memberiku alibi. Dia bahkan tidak menanyakan alasannya. Dia hanya berkata, " Aku percaya padamu, Nak," dan itu memang benar." Begitu sudah tak terlihat dari rumah si Elang, kami membelok tajam ke kanan memasuki hutan.

Kami menyusuri jalan tanah melewati jembatan dan kembali ke

gudang sekolah, yang begitu bobrok dan rawan bocor sehingga lebih menyerupai pondok kayu yang sudah lama tidak ditinggali ketimbang gudang. Mereka masih menyimpan jerami di sana, meskipun aku tak tahu untuk apa. Kami toh tidak punya program berkuda atau semacamnya. Aku, Takumi, dan Kolonel sampai lebih dulu, lalu menggelar kantong-kantong tidur kami di tumpukan jerami yang paling empuk. Saat itu pukul 6.30.

Alaska sampai tak lama kemudian, setelah memberi tahu si Elang bahwa ia akan menghabiskan akhir pekan bersama Jake. Si Elang tidak mengecek kebenarannya karena Alaska menghabiskan sedikitnya satu akhir pekan setiap bulan di sana, dan ia tahu orangtua Alaska tak pernah peduli. Lara muncul setengah jam kemudian. Ia memberi tahu si Elang bahwa ia hendak pergi ke Atlanta untuk menemui teman lama dari Rumania. Si Elang menelepon orangtua Lara untuk memastikan mereka tahu Lara tidak berakhir pekan di kampus, dan mereka tidak keberatan.

" Mereka percaya padaku." Lara tersenyum.

" Kadang-kadang kedengarannya kau tidak punya aksen," kataku. Komentar yang amat bodoh" tapi jauh lebih baik daripada memuntahinya.

" Ii hanya pelafalan i yang lebih halus."

" Tidak ada i halus dalam Bahasa Rusia?" tanyaku. " Bahasa Rumania," ia mengoreksiku. Ternyata Rumania memiliki bahasa sendiri. Siapa yang tahu? Pemahaman budayaku harus meningkat drastis jika aku hendak berbagi kantong tidur dengan Lara dalam waktu dekat.

Semuanya duduk di kantong tidur masing-masing, Alaska merokok tanpa peduli bahwa bangunan ini sangat mudah terbakar, dan

Kolonel mengeluarkan sehelai kertas komputer lalu membacakan isinya.

" Maksud dari perayaan malam ini adalah untuk membuktikan secara pasti bahwa kehebatan kita dalam melakukan kejailan sama seperti kehebatan Weekday Warriors dalam mengacau. Tapi kita juga akan berkesempatan membuat hidup si Elang sengsara, suatu kenikmatan yang tidak boleh dilewatkan. Maka," ia berkata, terdiam sejenak seolah menunggu suara drum, " malam ini kita bertarung dalam tiga sektor:

" Sektor Satu: Kejailan pendahuluan. Kita akan membuat si Elang panik.

" Sektor Dua: Operasi Botak. Lara akan beraksi sendirian dalam misi pembalasan dendam yang begitu elegan dan kejam sehingga hanya mungkin direncanakan oleh, yah, aku."

" Hei!" Alaska menginterupsi. " Itu ideku!"

" Oke, baiklah. Itu memang ide Alaska." Kolonel tertawa. " Dan akhirnya, Sektor Tiga: Rapor. Kita akan meretas jaringan komputer sekolah dan memakai database nilai mereka untuk mengirim surat pada orangtua Kevin dan kawan-kawan, mengabarkan bahwa mereka tidak lulus dalam beberapa mata pelajaran."

" Kita sudah pasti bakal dikeluarkan," kataku.

" Kuharap kau tidak mengajak si anak Asia karena mengira ia genius komputer. Karena aku bukan genius komputer," kata Takumi.

" Kita tidak akan dikeluarkan dan akulah si genius komputer. Kalian semua menyumbangkan tenaga dan menjadi pengalih perhatian. Kita tidak akan dikeluarkan bahkan seandainya ketahuan, karena di sini tidak ada pelanggaran yang pantas diganjar dengan pengusiran" yah, kecuali lima botol anggur Strawberry Hill dalam ransel

Alaska, yang akan kita sembunyikan baik-baik. Kita cuma, yah, menimbulkan sedikit keonaran."

Rencana dijabarkan dan tidak ada ruang untuk kesalahan. Kolonel sangat bergantung pada keharmonisan yang sempurna sehingga jika salah satu dari kami mengacau sedikit saja, semua akan hancur berantakan.

Ia telah mencetak daftar tugas untuk kami masing-masing, termasuk perkiraan waktu sampai ke hitungan detik. Jam tangan kami disamakan waktunya, pakaian kami hitam, ransel tersampir di bahu, napas kami beruap dalam udara dingin, pikiran kami dipenuhi detail rencana, jantung kami berpacu, kami keluar dari gudang bersamasama begitu hari gelap, sekitar pukul tujuh. Kami berlima berjalan berbaris dengan percaya diri, dan aku tak pernah merasa sekeren ini. Kemungkinan Besar telah menunggu di depan mata, dan kami tak terkalahkan. Rencana itu mungkin mengandung kesalahan, tapi kami tidak.

Setelah lima menit, kami berpencar menuju tujuan kami masingmasing. Aku tetap bersama Takumi. Kami adalah pengalih perhatiaan.

" Kita ini Marinir," katanya.

" Yang pertama berjuang, yang pertama mati," aku menyetujui dengan gugup.

" Benar sekali."

Ia berhenti dan membuka tasnya.

" Jangan di sini, dude," kataku. " Kita harus pergi ke rumah si Elang."

" Aku tahu. Aku tahu. Aku hanya" tunggu sebentar." Ia mengeluarkan ikat kepala besar dari tasnya. Warnanya cokelat, dengan boneka kepala rubah di bagian depan. Ia memakainya.

Aku tertawa. " Apa-apaan itu?" " Ini topi rubahku."

" Topi rubahmu?"

" Yeah, Pudge. Topi rubahku." " Mengapa kau memakai topi rubah?"

" Karena tidak ada yang bisa menangkap si rubah sialan." Dua menit kemudian, kami berjongkok di belakang pohon lima belas meter dari pintu belakang rumah si Elang. Jantungku berdegup kencang seperti entakan drum musik techno.

" Tiga puluh detik," bisik Takumi, dan aku merasakan kegugupan menggetarkan yang sama seperti malam pertama aku bertemu Alaska, ketika ia menarik tanganku dan berbisik lari lari lari lari lari. Tapi aku diam di tempat.

Pikirku: Kami tidak cukup dekat. Pikirku: Ia takkan mendengarnya.

Pikirku: Ia akan mendengarnya dan keluar begitu cepat sehingga kami tidak punya kesempatan.

Pikirku: Dua puluh detik. Aku bernapas keras dan cepat. " Hei, Pudge," Takumi berbisik, " kau bisa melakukan ini, dude, kau cuma harus berlari."

" Benar." Cuma berlari. Lututku baik-baik saja. Paru-paruku sehat. Ini cuma berlari.

" Lima," katanya " Empat. Tiga. Dua. Satu. Nyalakan. Nyalakan. Nyalakan."

Benda itu menyala dengan desisan yang mengingatkanku pada setiap perayaan 4 Juli bersama keluargaku. Kami berdiri diam selama sepersekian detik, menatap sumbu, memastikannya menyala. Dan sekarang, pikirku. Sekarang. Lari lari lari lari lari. Tapi tubuhku tak

bergerak sampai aku mendengar Takumi setengah berteriak setengah berbisik, " Sialan, cepat pergi."

Dan kami pergi.

Tiga detik kemudian, terdengar letusan hebat. Bagiku kedengarannya seperti senapan otomatis di Decapitation, tapi lebih keras. Kami sudah berjarak dua puluh langkah, dan kupikir telingaku akan pecah.

Pikirku: Yah, ia jelas akan mendengarnya.

Kami berlari melewati lapangan bola lalu masuk ke hutan, berlari menaiki bukit tanpa benar-benar memahami arah. Dalam kegelapan, ranting yang berguguran dan bebatuan berlumut baru terlihat di saat-saat terakhir, membuatku tergelincir dan jatuh berkali-kali, khawatir si Elang berhasil mengejar kami, tapi aku terus bangkit dan berlari di samping Takumi, menjauh dari deretan kelas dan area asrama. Kami seolah berlari menggunakan sepatu emas. Aku berlari secepat cheetah, yah, cheetah yang terlalu banyak merokok. Lalu, setelah berlari tepat satu menit, Takumi berhenti dan membuka ransel.

Sekarang giliranku menghitung mundur. Menatap jam tangan lekat-lekat. Ketakutan. Saat ini si Elang pasti sudah keluar dari rumahnya. Ia pasti berlari. Aku bertanya-tanya apakah larinya kencang. Ia sudah tua, tapi sedang naik darah.

" Lima, empat, tiga, dua, satu," dan desisan lagi. Kami tidak berhenti kali ini, terus melaju ke arah barat. Napas tersengal-sengal. Aku bertanya-tanya apakah sanggup berlari tiga puluh menit lagi. Lalu petasan meledak.

Letusan berhenti dan aku mendengar teriakan, " BERHENTI

SEKARANG JUGA!" Tapi kami tidak berhenti. Berhenti tidak ada dalam rencana kami.

" Aku si rubah sialan," Takumi berbisik, kepada dirinya sendiri dan kepadaku. " Tidak ada yang bisa menangkap si rubah."

Semenit kemudian, aku berjongkok. Takumi menghitung mundur. Sumbunya menyala. Kami lari.

Tapi petasannya melempem. Kami sudah bersiap jika ada satu petasan yang melempem dengan membawa rangkaian petasan ekstra. Tapi jika ada satu lagi yang melempem, Kolonel dan Alaska akan kehilangan waktu semenit. Takumi berjongkok, menyalakan sumbu, dan lari. Letusan dimulai. Petasan berdentam dordordor seirama debar jantungku.

Ketika letusan petasan berhenti, aku mendengar, " BERHENTI ATAU KUTELEPON POLISI!" Dan meskipun suara itu terdengar jauh, dapat kurasakan Tatapan Kiamat-nya menusukku.

" Babi-babi tidak bisa menghentikan rubah; aku terlalu cepat," kata Takumi kepada dirinya sendiri. " Aku bisa berima sambil berlari; aku sangat hebat."

Kolonel sudah memperingatkan kami tentang ancaman polisi, mengatakan bahwa kami tidak usah khawatir. Si Elang tidak suka membawa polisi ke kampus. Publisitas yang buruk. Jadi kami tetap berlari. Melangkahi dan menerobos bermacam pohon, semak serta dahan. Kami terjatuh. Kami bangkit. Kami berlari. Jika tak bisa mengejar kami dengan mengikuti bunyi petasan, ia jelas bisa mengikuti suara kami yang terus-terusan memaki " sialan" ketika tersandung batang pohon mati atau terjatuh ke semak mawar liar. Satu menit. Aku bersimpuh, menyalakan sumbu, berlari. Dor. Kemudian kami menuju utara, mengira sudah melewati danau. Ini kunci rencana kami. Semakin jauh kami berlari selagi tetap berada

di area kampus, semakin jauh si Elang akan mengejar kami. Semakin jauh mengejar kami, semakin jauh si Elang dari ruang kelas, tempat Kolonel dan Alaska sedang melakukan sihir mereka. Setelah itu kami berencana memutar kembali dekat deretan ruang kelas, dan bergerak ke timur di sepanjang sungai sampai tiba di jembatan di atas Lubang Merokok, tempat kami akan bertemu lagi dengan jalan setapak dan kembali ke gudang dengan penuh kemenangan.

Tapi ini masalahnya: Kami membuat kesalahan kecil dalam navigasi. Kami belum melewati danau, saat ini kami malah menatap ladang dan danau di belakangnya. Terlalu dekat dengan deretan kelas untuk berlari ke mana pun kecuali menyusuri tepi danau, aku menoleh kepada Takumi, yang berlari bersamaku langkah demi langkah, dan ia berkata, " Jatuhkan petasannya sekarang."

Jadi aku berjongkok, menyalakan sumbu, dan berlari. Kami sekarang berlari melewati lapangan, dan jika si Elang berada di belakang kami, ia pasti bisa melihat kami. Kami sampai di ujung selatan danau dan mulai berlari menyusuri tepiannya. Danau itu tak seberapa besar" panjangnya tak sampai lima ratus meter, jadi kami belum jauh berlari ketika aku melihatnya.

Si angsa.

Berenang ke arah kami seperti angsa kesurupan. Sayapnya mengepak penuh amarah, lalu makhluk itu berada di tepi danau di depan kami, mengeluarkan suara yang tak terdengar menyerupai apa pun di dunia ini, seperti bagian terburuk dari suara kelinci sekarat ditambah bagian terburuk dari suara tangisan bayi, dan kami tak bisa berbuat apa-apa selain berlari. Aku menabrak si angsa dengan kecepatan penuh dan merasakannya menggigit bokongku. Setelah itu aku berlari terpincang-pincang sebab bokongku terasa terbakar, dan aku

membatin, Ada kandungan apa dalam liur angsa yang membuatnya terasa membakar?

Rangkaian ke-23 ternyata petasan melempem, membuat waktu kami terbuang satu menit. Saat itu, aku butuh satu menit. Aku hampir mati rasanya. Sensasi membakar di bokong kiriku telah berganti menjadi nyeri yang intens, semakin menyakitkan setiap kali aku bertopang pada kaki kiriku, jadi aku berlari seperti kijang terluka yang mencoba kabur dari kawanan singa. Kecepatan kami jelas sudah jauh menurun. Suara si Elang sudah tak terdengar sejak kami menyeberangi danau, tapi aku yakin ia masih mengejar kami. Ia mencoba mengecoh kami agar berpuas diri, tapi itu takkan berhasil. Malam ini, kami tak terkalahkan.

Kelelahan, kami berhenti dengan tiga rangkai petasan yang tersisa dan berharap sudah memberikan cukup waktu untuk Kolonel. Kami berlari beberapa menit lagi, sampai tiba di pinggir sungai. Suasana begitu gelap dan sunyi sehingga aliran kecil air terdengar membahana, tapi aku masih bisa mendengar suara napas kami yang tersengal selagi kami ambruk ke hamparan tanah liat basah dan kerikil di sebelah sungai. Setelah kami berhenti, baru aku bisa memperhatikan Takumi. Wajah dan lengannya tergores-gores, kepala rubah itu kini berada tepat di atas telinga kiri. Mengamati lenganku sendiri, aku melihat darah menetes dari luka-luka yang lebih dalam. Aku baru teringat pada semak berduri yang kuterobos, tapi aku tak merasa sakit.
Mencari Alaska Looking For Alaska Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Takumi mencabuti duri dari kakinya. " Rubah ini sudah kehabisan tenaga," katanya, lalu tertawa.

" Angsa itu menggigit bokongku," aku memberitahu. " Aku lihat," Ia tersenyum " Berdarah tidak?" Aku merogoh ke dalam celana untuk memeriksa. Tak ada darah, jadi aku merokok untuk merayakannya.

" Misi terlaksana," kataku.

" Pudge, temanku, kita tak termusnahkan."

Kami tidak dapat memastikan lokasi, sebab sungai ini berkelok berkali-kali di seluruh wilayah kampus, jadi kami menyusurinya selama kurang lebih sepuluh menit, dengan perhitungan kecepatan berjalan kami setengah dari kecepatan berlari kami, kemudian membelok ke kiri.

" Ke kiri, mungkin?" tanya Takumi. " Aku benar-benar tak tahu arah," jawabku.

" Si rubah menunjuk ke kiri. Jadi kiri." Dan, tak salah lagi, si rubah mengarahkan kami kembali ke gudang.

" Kalian baik-baik saja!" kata Lara selagi kami berjalan mendekat. " Aku sudah khawatir. Aku melihat si Elang berlari keluar darii rumahnya. Dia pakai piyama. Dan terlihat sangat marah."

Kataku, " Yah, kalau tadi dia marah, aku jelas tak ingin bertemu dengannya sekarang."

" Kenapa kalian lama sekali?" ia bertanya kepadaku. " Kami mengambil jalan pulang yang jauh," jawab Takumi. " Ditambah Pudge berjalan seperti nenek-nenek ambeien karena si angsa menggigit bokongnya. Di mana Alaska dan Kolonel?"

" Aku tak tahu," kata Lara, lalu kami mendengar langkah kaki di kejauhan, gumaman dan ranting-ranting yang patah. Dalam sekejap mata, Takumi menyambar kantong tidur dan ransel kami lalu menyembunyikannya di balik tumpukan jerami. Kami bertiga berlari keluar melalui bagian belakang gudang lalu memasuki hamparan rumput setinggi pinggang, dan merunduk. Si Elang mengikuti kami sampai ke gudang, pikirku. Kami mengacaukan semuanya.

Tapi kemudian aku mendengar suara Kolonel, sangat jelas dan bernada kesal, berkata, " Karena itu menyempitkan daftar kemung
kinan tersangka menjadi 23! Kenapa sih kau tak bisa mematuhi saja rencananya? Ya Tuhan, di mana yang lain?"

Kami berjalan kembali ke gudang, merasa agak konyol karena bertindak berlebihan. Kolonel duduk di tumpukan jerami, sikunya bertumpu pada lutut, kepalanya menunduk, telapak tangannya menekan dahi. Berpikir.

" Yah, yang penting kita belum tertangkap. Oke, pertama-tama," katanya tanpa mendongak, " beritahu aku rencana lainnya berjalan lancar. Lara?"

Gadis itu mulai bicara. " Ya. Lancar." " Bisa lebih detail, tolong?"

" Aku melakukannya seperti yang tertulis dii kertas. Aku menunggu dii belakang rumah sii Elang sampai aku melihatnya mengejar Miles dan Takumi, lalu aku berlarii dii belakang asrama. Setelah itu aku masuk ke kamar Keviin lewat jendela dan menaruh benda itu dalam gel dan kondisioner, kemudian aku melakukan hal yang sama dii kamar Jeff dan Longwell."

" Benda itu?" tanyaku.

" Semir rambut nomor lima warna biru pekat standar industri," kata Alaska. " Yang kubeli dengan uang rokokmu. Aplikasikan pada rambut basah, dan warnanya takkan hilang hingga berbulan-bulan."

" Kita menyemir rambut mereka jadi biru?"

" Yah, secara teknis," jawab Kolonel, masih berbicara ke pangkuannya, " mereka sendiri yang akan menyemir rambut mereka jadi biru. Kita hanya mempermudah pekerjaan mereka. Aku tahu kau dan Takumi tak menemui masalah, karena kami di sini dan kalian di sini, jadi kalian sudah bertugas dengan baik. Dan kabar baiknya adalah, tiga orang berengsek yang lancang mengerjai kita akan mendapat

kiriman rapor yang menyatakan mereka gagal dalam tiga mata pelajaran."

" Uh-oh. Apa kabar buruknya?" tanya Lara.

" Oh, ayolah," kata Alaska. " Kabar baik lainnya adalah ketika Kolonel khawatir dia mendengar sesuatu dan langsung lari ke hutan, aku memastikan bahwa dua puluh Weekday Warriors lainnya juga akan menerima kiriman rapor. Aku mencetak rapor mereka semua, memasukannya ke amplop sekolah, lalu menaruhnya di kotak surat." Ia menoleh kepada Kolonel. " Kau jelas pergi sangat lama," katanya. " Si Kolonel kecil: begitu takut dikeluarkan dari sekolah."

Kolonel berdiri, menjulang di atas kami yang duduk. " Itu bukan kabar baik! Itu tidak ada dalam rencana kita! Itu artinya ada 23 orang yang bisa dicoret si Elang dari daftar tersangka. Dua puluh tiga orang yang mungkin akan tahu ini ulah kita dan mengadu!"

" Kalau itu terjadi," kata Alaska dengan amat serius, " aku yang akan bertanggung jawab."

" Betul." Kolonel menghela napas. " Seperti kau bertanggung jawab atas Paul dan Marya. Kau mau bilang bahwa kau mondar-mandir di hutan menyalakan petasan dan di saat yang sama meretas komputer sekolah lalu mencetak rapor palsu menggunakan alat tulis sekolah? Karena aku yakin si Elang pasti percaya!"

" Tenang, dude," kata Takumi. " Pertama, kita tidak akan ketahuan. Kedua, jika kita ketahuan, aku akan bertanggung jawab dengan Alaska. Risikomu lebih besar daripada kita semua." Kolonel hanya mengangguk. Itu fakta yang tak terbantahkan: Kolonel tidak mungkin mendapatkan beasiswa ke sekolah yang bagus jika dikeluarkan dari Creek.

Tahu bahwa tidak ada yang dapat menghibur Kolonel melebihi

pembahasan kecerdasannya, aku bertanya, " Jadi bagaimana caramu meretas jaringan komputer sekolah?"

" Aku masuk ke kantor Dr. Hyde lewat jendela, menyalakan komputer, dan mengetik password," jawabnya sambil tersenyum lebar. " Kau menebaknya?"

" Tidak. Hari Selasa aku pergi ke kantornya dan memintanya mencetakkan daftar bacaan yang dia rekomendasikan. Lalu aku melihatnya mengetikkan password: J3ckylnhyd3."

" Wah, sial," kata Takumi. " Aku bisa saja melakukan itu." " Tentu, tapi kalau begitu kau jadi tak bisa memakai topi seksimu," kata Kolonel sambil tertawa. Takumi melepas ikat kepala itu dan menaruhnya di dalam tas.

" Kevin bakal sangat kesal soal rambutnya," kataku. " Yeah, aku sangat kesal soal perpustakaanku yang terendam. Kevin itu boneka tiup," kata Alaska. " Kita ditusuk berdarah. Dia ditusuk meletus."

" Betul," kata Takumi. " Dia itu bajingan. Dan dia pernah mencoba membunuhmu."

" Ya sih," aku mengakui.

" Banyak orang di sini yang seperti dia," lanjut Alaska, masih berapiapi. " Kau tahu? Anak-anak kaya boneka tiup sialan."

Tapi meskipun Kevin bisa dibilang pernah mencoba membunuhku dan sebagainya, sepertinya ia bukan orang yang layak dibenci. Membenci anak-anak keren menghabiskan banyak energi, dan aku sudah lama berhenti melakukannya. Bagiku, kejailan ini hanya balasan untuk kejailan sebelumnya, hanya kesempatan emas untuk, seperti kata Kolonel, menimbulkan sedikit keonaran. Tapi bagi Alaska, sepertinya ini punya arti lain, arti yang lebih besar.

Aku ingin bertanya padanya tentang hal itu, tapi ia sudah berbaring

di tumpukan jerami, kembali tak terlihat. Alaska telah selesai berbicara, dan ketika ia selesai berbicara, ya sudah. Kami tak mengganggunya selama dua jam, sampai Kolonel membuka sebotol anggur. Kami minum bergantian sampai aku bisa merasakannya di perutku, asam dan hangat.

Aku ingin menyukai minuman keras lebih dari yang sebenarnya kurasakan (dan itu bisa dibilang kebalikan dari perasaanku tentang Alaska). Tapi malam itu, minumannya terasa enak, ketika kehangatan anggur dalam perutku menyebar ke seluruh tubuh. Aku tidak suka merasa bodoh atau hilang kendali, tapi aku suka cara minuman keras membuat semuanya (tertawa, menangis, buang air kecil di depan teman-temanmu) terasa lebih mudah. Mengapa kami minum? Buatku, ini hanya untuk bersenang-senang, terutama karena kami terancam dikeluarkan dari sekolah. Sisi positif tentang ancaman dikeluarkan dari Culver Creek yang selalu membayangi adalah kami menjadi lebih menikmati setiap momen seru yang terlarang. Sisi negatifnya, tentu saja, adalah bahwa ancaman itu selalu bisa menjadi kenyataan.

Dua Hari Sebelumnya

Aku bangun cepat keesokan paginya, bibirku kering dan napasku terlihat di udara yang dingin. Takumi membawa kompor portabel dalam ranselnya, dan Kolonel membungkuk di atas benda itu, memanaskan kopi instan. Matahari bersinar cerah namun tak bisa mengalahkan dingin, dan aku duduk dengan Kolonel, menyesap kopi (" Satu hal tentang kopi instan adalah baunya sangat enak, tapi rasanya seperti empedu," kata Kolonel) lalu satu per satu, Takumi, Lara, dan Alaska bangun. Kami menghabiskan hari itu dengan bersembunyi, tapi berisik. Bersembunyi dengan berisik.

Di gudang sore itu, Takumi memutuskan kami perlu membuat kontes rap freestyle.

" Kau duluan, Pudge," kata Takumi. " Kolonel Kehancuran, kau jadi beat box kita."

" Dude, aku tak bisa rap," aku memohon.

" Tak apa-apa. Kolonel juga tidak bisa membuat irama. Coba saja berima sedikit lalu kulanjutkan."

Kolonel menangkupkan tangan di mulut dan mulai membuat suara-suara aneh yang kedengarannya lebih menyerupai kentut daripada irama bas, dan aku, eh, menyanyi rap.

" Mm, kita duduk di gudang dan matahari di ujung mata / waktu aku kecil di Burger King aku pakai mahkota / dude, aku benar-benar tak bisa berima / jadi biar temanku Takumi yang berirama."

Takumi melanjutkan tanpa jeda. " Sialan, Pudge, aku kaget sampai sakit / Tapi seperti Freddy di Nightmare on Elm" s Street / aku selalu punya hal untuk dimainkan / semalam aku minum anggur rasanya seperti cegukan / irama Kolonel payah seperti malaria / saat aku pegang mik semua cewek histeria / Aku mewakili Jepang dan Birmingham / waktu kecil aku dipanggil si kulit kuning seperti demam / tapi aku tak malu akan warna kulitku / begitu pula semua cewek yang pernah bersamaku."

Alaska menimbrung.

" Oh tidak, kau baru saja mengejek gender / akan kupukul bokongmu lalu memasukkanmu ke blender / kaupikir aku suka Tori dan Ani jadi rimaku tak mahir / tapi aku bisa mengalir seperti Ghostbusters punya lendir / remehkan perempuan dan kau bakal kena batunya / kau akan mati dan hilang seperti Babilonia."

Takumi kembali melanjutkan.

" Jika mataku menyakitkan aku akan mengeluarkannya / aku dan cewek selalu bersama seperti kakek dan encoknya / sialan, rimaku mulai kacau / bantu aku Lara karena ini giliran kau."

Lara bernyanyi dengan lirih dan gugup" ia bahkan lebih buta irama dibandingkan aku. " Namaku Lara dan aku dari Rumania / Inii cukup sulit, mm, aku pernah mengunjungi Albania / aku suka naik mobil Alaska yang bermerek Geo / pengucapan huruf hidup terbaikku adalah EO / aku tidak fasih dengan huruf i tak besar / tapi membuatku terdengar kosmopolitan, benar? / Oh Takumi, kurasa sudah cukup / ada baiknya permainan ini kaututup."

" Aku menjatuhkan bom seperti Hiroshima, atau malah Nagasaki / ketika gadis-gadis mendengarku bernyanyi mereka pikir aku Rocky / aku masih minum sake untuk mewakili negaraku / anak-anak tak mengerti rimaku jadi mereka mengejekku / tubuhku tidak kecil meski tak sebesar gedung / tapi berbeda dengan Pudge, aku tidak super canggung / Aku si rubah sialan dan ini kelompokku / freestyle kami kacau seperti sepatu olahragaku. Dan selesai."

Kolonel menutupnya dengan beat-box freestyle, dan kami semua bertepuk tangan.

" Rapmu juara, Alaska," kata Takumi sambil tertawa. " Aku berbuat semampuku untuk mewakili perempuan. Lara membantuku."

" Ya, benar sekalii," jawab Lara.

Lalu Alaska memutuskan bahwa meskipun hari masih jauh dari gelap, ini waktunya kami mabuk-mabukan.

" Dua malam berturut-turut rasanya terlalu memaksakan keberuntungan kita," kata Takumi selagi Alaska membuka botol anggur.

" Keberuntungan cuma untuk orang payah." Alaska tersenyum lalu menempelkan botol ke bibirnya. Kami menyantap biskuit asin serta sebongkah keju Cheddar yang dibawa Kolonel untuk makan malam. Menyesap anggur merah muda hangat dari botol untuk menemani biskuit dan keju kami membuat makan malam ini terasa mewah. Dan ketika kami kehabisan keju, yah, semakin banyak ruang untuk Strawberry Hill.

" Kita harus pelan-pelan atau aku bakal muntah," komentarku setelah kami menghabiskan botol pertama.

" Maaf, Pudge. Aku tak tahu ada yang membuka paksa mulutmu dan menuang anggur ke dalamnya," jawab Kolonel, melempar sebotol Mountain Dew kepadaku.

" Rasanya terlalu dermawan menyebut minuman busuk ini anggur," erang Takumi.

Lalu, tak ada angin tak ada hujan, Alaska mengumumkan, " Hari Terbaik/Hari Terburuk!"

" Hah?" tanyaku.

" Kita semua akan muntah kalau kita cuma minum. Jadi kita akan memperlambatnya dengan permainan minum. Hari Terbaik/Hari Terburuk."

" Aku belum pernah dengar," kata Kolonel.

" Karena aku baru menciptakannya." Alaska tersenyum. Ia berbaring miring pada dua tumpuk jerami, cahaya sore mencerahkan warna hijau di matanya, kulit kecokelatannya menjadi kenangan terakhir akan musim gugur. Dengan mulut setengah terbuka, terpikir olehku bahwa ia pasti sudah mabuk sewaktu aku menyadari tatapan menerawang di matanya. Tatapan mabuk satu kilometer, aku membatin, dan selagi aku memperhatikannya dengan kekaguman tanpa suara, terpikir olehku bahwa, yeah, aku juga agak mabuk.

" Seru! Apa peraturannya?" tanya Lara.

" Semua orang menceritakan hari terbaik mereka. Pencerita terbaik tidak perlu minum. Lalu semua menceritakan hari terburuk mereka, dan pencerita terbaik tidak perlu minum. Kita lanjutkan terus sampai hari terbaik kedua, hari terburuk kedua, sampai salah satu dari kalian menyerah."

" Bagaimana kau tahu salah satu dari kami yang akan menyerah?" tanya Takumi.

" Karena aku peminum terbaik dan pencerita terbaik," jawab Alaska. Sulit melawan logika itu. " Kau mulai, Pudge. Hari terbaik dalam hidupmu."

" Ng. Boleh minta waktu satu menit untuk memikirkannya?" " Pasti tak terlalu baik kalau kau harus memikirkannya dulu," kata Kolonel.

" Berengsek kau." " Dasar sensitif."

" Hari terbaik dalam hidupku adalah hari ini," aku berkata. " Dan ceritanya adalah aku terbangun di samping seorang gadis Hungaria yang sangat cantik dan udaranya dingin namun tidak terlalu dingin dan aku minum kopi instan suam-suam kuku, makan Cheerios tanpa susu, lalu berjalan menyusuri hutan dengan Alaska dan Takumi. Kami melemparkan kerikil ke seberang sungai, yang terdengar bodoh tapi tidak. Entahlah. Seperti matahari saat ini, dengan bayangan panjang serta cahaya terang dan lembut yang kaudapat ketika matahari belum sepenuhnya tenggelam? Sinar yang membuat semuanya lebih baik, lebih indah, dan hari ini, semuanya terasa bagai diterangi sinar itu. Maksudku, aku tidak melakukan apa-apa. Tapi hanya duduk di sini, bahkan meskipun aku menonton Kolonel meraut kayu atau

apalah. Apalah. Hari yang hebat. Hari ini. Hari terbaik dalam hidupku."

" Menurutmu aku cantik?" Lara berujar, lalu tertawa dan tersipu. Pikirku, Sepertinya ini waktu yang tepat untuk membuat kontak mata dengannya, tapi aku tak bisa. " Dan aku orang Rumaniia!"

" Cerita itu ternyata berakhir dengan jauh lebih baik daripada perkiraanku," kata Alaska, " tapi aku masih bisa mengalahkanmu."

" Coba saja, Sayang," aku menyahut. Angin sepoi-sepoi berembus, rerumputan tinggi di luar bergoyang karenanya, dan aku menarik kantong tidurku sampai ke bahu agar tetap hangat.

" Hari terbaik dalam hidupku adalah 9 Januari 1997. Umurku delapan tahun, dan aku serta ibuku pergi ke kebun binatang dalam rangka karyawisata sekolah. Aku suka beruang. Dia suka monyet. Hari terbaik. Tamat."

" Itu saja?!" kata Kolonel. " Itu hari terbaik sepanjang hidupmu?!" " Yap."

" Aku suka," kata Lara. " Aku juga suka monyet."

" Payah," kata Kolonel. Aku tidak menganggap cerita itu payah tapi hanya sesuatu yang sengaja ditutupi Alaska, satu lagi contoh kebiasaannya membuat dirinya tampak misterius. Tapi biarpun tahu itu disengaja, aku tak bisa menahan diri untuk berpikir: Apa yang begitu hebat tentang kebun binatang? Tapi sebelum aku sempat bertanya, Lara berbicara.

" Oke, giliranku," katanya. " Mudah saja. Hari saat aku datang ke sini. Aku bisa bahasa Inggriis tapi orangtuaku tidak bisa. Kami turun dari pesawat dan saudara-saudaraku ada di sini, bibi dan paman yang belum pernah kutemui, dii bandara, dan orangtuaku sangat bahagia. Umurku dua belas dan aku selalu dianggap anak kecil, tapi itu hari pertama orangtuaku membutuhkanku dan memperlakukanku seperti

orang dewasa. Karena mereka tidak bisa bahasanya, kan? Mereka membutuhkanku untuk memesan makanan, menerjemahkan surat imigrasi dan pajak, dan sebagainya. Mulai hari itu mereka berhenti memperlakukanku seperti anak kecil. Selain itu, dii Rumania kami miskin. Dan dii sini, kami lumayan kaya." Ia tertawa.

" Baiklah." Takumi tersenyum, mengambil botol anggur. " Aku kalah. Karena hari terbaik dalam hidupku adalah hari ketika aku kehilangan keperjakaan. Dan kalau kalian pikir aku mau menceritakannya, kalian harus membuatku lebih mabuk daripada ini."

" Tidak buruk," kata Kolonel. " Sama sekali tidak buruk. Mau dengar hari terbaikku?"

" Itulah permainannya, Chip," jawab Alaska, terlihat kesal. " Hari terbaik dalam hidupku belum terjadi. Tapi aku sudah tahu. Aku melihatnya setiap hari. Hari terbaik dalam hidupku adalah hari ketika aku membelikan rumah yang sangat besar untuk ibuku. Dan bukan cuma di tepi hutan, tapi di tengah Mountain Brook, bersama semua orangtua Weekday Warriors. Bersama orangtua kalian semua. Dan aku juga tak akan membelinya dengan hipotek. Aku akan membelinya dengan uang tunai, dan aku akan mengantarkan ibuku ke sana, lalu membukakan pintu mobil dan ia akan keluar lalu melihat rumahnya" rumah berpagar kayu, berlantai dua dan segalanya, kau tahu" kemudian aku menyerahkan kunci rumah kepadanya dan berkata, " Terima kasih." Man, ia membantuku mengisi formulir pendaftaran ke sekolah ini. Dan ia membiarkanku bersekolah di sini. Itu bukan hal mudah kalau kau berasal dari tempat kami, membiarkan anakmu pergi jauh untuk bersekolah. Jadi itulah hari terbaikku."

Takumi memiringkan botol dan minum beberapa teguk, lalu memberikannya kepadaku. Aku minum, begitu juga Lara, kemudian

Alaska mendongakkan kepala dan membalik botol, dengan cepat menenggak isinya yang masih tersisa seperempat botol.

Sembari membuka botol selanjutnya, Alaska tersenyum kepada Kolonel. " Kau memenangkan ronde tadi. Sekarang apa hari terburukmu?"

" Hari terburuk adalah ketika ayahku pergi. Dia sudah tua" umurnya mungkin tujuh puluh sekarang" dan dia sudah tua waktu menikahi ibuku, tapi tetap saja dia selingkuh. Ibuku memergokinya dan dia marah besar, jadi dia memukul ibuku. Lalu ibuku mengusirnya, dan dia pergi. Aku di sini waktu itu, dan ibuku menelepon. Dia tidak memberitahuku cerita lengkap tentang perselingkuhan dan sebagainya, juga pemukulan itu, hingga lama setelahnya. Dia hanya bilang ayahku pergi dan tidak akan kembali. Sejak itu aku tak pernah mendengar kabar darinya. Sepanjang hari itu, aku menunggu ayahku menelepon dan menjelaskan apa yang terjadi, tapi dia tak pernah melakukannya. Dia sama sekali tak pernah menelepon. Kupikir dia setidaknya mengucapkan selamat tinggal atau semacamnya. Itu hari terburuk."

" Sial, kau mengalahkanku lagi," kataku. " Hari terburukku adalah di kelas tujuh, ketika Tommy Hewitt mengencingi baju olahragaku dan guru olahragaku bilang aku harus pakai seragam kalau tidak mau gagal dalam pelajaran olahraga. Olahraga kelas tujuh, ya kan? Ada kegagalan lain yang lebih buruk. Tapi waktu itu aku menganggapnya masalah besar. Aku menangis dan mencoba menjelaskan apa yang terjadi pada guruku, tapi rasanya sungguh memalukan dan dia hanya berteriak-teriak terus sampai aku mengenakan celana dan baju olahraga yang basah karena kencing. Itu hari ketika aku berhenti memedulikan tindakan orang lain. Aku tak pernah peduli lagi, tentang menjadi pecundang atau tak punya teman atau hal semacam itu. Jadi

kurasa di satu sisi itu baik untukku, tapi kejadian tersebut sangat mengerikan. Maksudku, bayangkan aku bermain voli atau apalah dengan pakaian yang kuyup karena kencing, sementara Tommy Hewitt memberitahu semua orang tentang perbuatannya. Itu hari terburuk."

Lara terbahak. " Maaf, Miles."

" Tak apa-apa," kataku. " Ceritakan saja hari terburukmu supaya aku menertawakan penderitaanmu," lalu aku tersenyum, dan kami tertawa bersama.

" Hari terburukku bisa jadi hari yang sama dengan hari terbaikku. Karena aku meninggalkan semuanya. Maksudku, inii mungkin terdengar bodoh, tapi aku juga meninggalkan masa kecilku, karena kebanyakan anak dua belas tahun tidak harus, kau tahu, mempelajari formulir W-2."

" Apa itu formulir W-2?" tanyaku.

" Itu maksudku. Formulir untuk pajak. Jadi. Hari yang sama." Lara selalu diperlukan untuk berbicara mewakili orangtuanya, pikirku, jadi mungkin ia tak pernah belajar berbicara untuk dirinya sendiri. Dan aku juga tidak pandai berbicara untuk diriku sendiri. Berarti kami punya kesamaan penting, sifat pribadi yang tak dimiliki Alaska atau yang lainnya, meskipun kesamaan itu membuat Lara dan aku tidak bisa mengekspresikannya satu sama lain. Jadi mungkin dorongan ini hanya muncul karena melihat matahari yang belum sepenuhnya tenggelam menyinari rambut ikalnya yang gelap, namun saat itu, aku ingin mencium Lara, dan kami tidak perlu berbicara untuk berciuman. Peristiwa muntah ke celana jinsnya dan berbulanbulan saling menjauhi kini terlupakan.

" Giliranmu, Takumi," kata Lara.

" Hari terburuk dalam hidupku," Takumi bercerita. " 9 Juni 2000.

Nenekku meninggal di Jepang. Dia meninggal dalam kecelakaan mobil, padahal dua hari sesudahnya aku hendak pergi mengunjunginya. Aku berencana menghabiskan liburan musim panas bersamanya dan kakekku, tapi aku malah terbang untuk menghadiri pemakamannya. Dan satu-satunya momen ketika aku benar-benar melihat seperti apa rupa nenekku, selain di foto-foto, adalah di pemakamannya. Dia dimakamkan sesuai agama Buddha dan mereka mengkremasinya, tapi sebelum itu dia berada di semacam" yah, sebenarnya bukan benar-benar Buddha. Maksudku, agama rumit di sana, jadi sedikit Buddha dan sedikit Shinto, tapi tentu kalian tidak peduli" intinya adalah dia dimasukkan ke tempat pembakaran atau semacamnya. Dan sekali-kalinya aku melihat nenekku adalah sesaat sebelum mereka membakarnya. Itu hari terburuk."

Kolonel menyalakan rokok, melemparkannya kepadaku, dan menyalakan satu untuk dirinya sendiri. Menakutkan rasanya bagaimana ia bisa tahu kapan aku ingin merokok. Kami memang seperti pasangan yang sudah lama menikah. Sejenak aku berpikir, sangat tidak bijaksana melempar rokok yang menyala di gudang penuh jerami, tapi momen kehati-hatian itu berlalu, dan aku hanya berusaha sebaik mungkin agar tidak menjentikkan abu ke jerami.

" Belum ada pemenang telak," kata Kolonel. " Peluang masih terbuka lebar. Giliranmu, Teman."

Alaska telentang, kedua tangannya mengait di belakang kepala. Ia berbicara pelan dan cepat, namun hari yang sunyi telah berganti menjadi malam yang lebih sunyi" kawanan serangga kini menghilang seiring datangnya musim dingin" dan kami bisa mendengar suara Alaska dengan jelas.

" Hari setelah ibuku membawaku ke kebun binatang tempat ia menyukai monyet-monyet dan aku menyukai beruang, adalah hari

Jumat. Aku pulang dari sekolah. Dia memelukku dan menyuruhku mengerjakan PR di kamar supaya aku bisa menonton TV nanti. Aku masuk ke kamar, dan dia duduk di meja dapur, sepertinya, lalu dia berteriak dan aku lari keluar, dan dia sudah terjatuh. Dia terbaring di lantai, memegangi kepalanya dan kejang-kejang. Aku ketakutan. Seharusnya aku menghubungi 911, tapi aku hanya berteriak dan menangis sampai akhirnya dia berhenti mengejang. Kupikir dia tertidur dan apa pun yang menyakitinya sudah tidak sakit lagi. Jadi aku hanya duduk di lantai bersamanya sampai ayahku pulang satu jam kemudian, dan dia berteriak, " Mengapa kau tidak menghubungi 911?" lalu berusaha memberinya pernapasan buatan, tapi saat itu ibuku sudah lama pergi. Aneurisme" perdarahan di otak. Hari terburuk. Aku menang. Kalian minum."

Jadi kami minum.

Tidak ada yang berbicara selama semenit, kemudian Takumi bertanya, " Ayahmu menyalahkanmu?"

" Yah, awalnya tidak. Tapi ya. Mana mungkin dia tidak menyalahkanku?"

" Tapi kau masih kecil waktu itu," Takumi membantah. Aku terlalu terkejut dan merasa tidak nyaman untuk berbicara, berusaha mencocokkan informasi ini dengan apa yang aku tahu mengenai keluarga Alaska. Ibu Alaska memberitahunya lelucon tok-tok" ketika Alaska berumur 6 tahun. Ibunya dulu merokok" sekarang tidak lagi, tentu saja.

" Yah, aku memang masih kecil. Anak kecil bisa menelepon 911. Mereka melakukannya tiap saat. Kemarikan anggurnya," ia berkata, tanpa ekspresi dan tanpa emosi. Ia minum tanpa mengangkat kepala dari jerami.

" Aku turut berduka," kata Takumi.

" Mengapa kau tak pernah memberitahuku?" tanya Kolonel, suaranya lembut.

" Tak pernah terpikir." Lalu kami berhenti bertanya. Apa yang harus kami katakan?

Dalam kesunyian panjang yang mengikuti, selagi kami mengedarkan anggur dan perlahan-lahan menjadi semakin mabuk, aku mendapati diriku berpikir tentang Presiden William McKinley, presiden Amerika ketiga yang dibunuh. Ia hidup selama beberapa hari setelah tertembak, dan menjelang akhir hayatnya, istrinya menangis dan berteriak, " Aku mau pergi juga! Aku mau pergi juga!" Dan dengan sisa tenaganya, McKinley menoleh kepada sang istri lalu mengucapkan kata-kata terakhir: " Kita semua akan pergi."

Itu adalah momen sentral dalam hidup Alaska. Ketika ia menangis dan berkata bahwa ia mengacaukan semuanya, sekarang aku mengerti apa maksudnya. Dan ketika mengatakan ia mengecewakan semua orang, aku tahu siapa yang ia maksud. Itu adalah segala hal dan semua orang dalam hidupnya, maka mau tak mau aku membayangkannya: kubayangkan seorang anak kurus berumur 8 tahun dengan jemari kotor, menunduk memandangi ibunya yang kejang-kejang. Jadi ia duduk dengan ibunya yang sudah atau mungkin belum mati, yang kubayangkan sudah tidak bernapas lagi tapi tubuhnya belum dingin. Dan dalam momen antara sekarat dan kematian, Alaska kecil duduk bersama ibunya dalam kesunyian. Kemudian di tengah kesunyian dan kondisi mabukku, aku menangkap kilasan dirinya ketika itu. Ia pasti merasa sangat tidak berdaya, pikirku, sehingga satu-satunya hal yang dapat ia lakukan" mengangkat telepon dan menghubungi ambulans" bahkan tidak terlintas di pikirannya. Ada masa ketika

kita menyadari bahwa orangtua kita tidak bisa menyelamatkan diri mereka sendiri atau menyelamatkan kita, bahwa semua orang yang mengarungi waktu pada akhirnya akan terseret arus ke laut" bahwa, singkatnya, kita semua akan pergi.

Maka Alaska menjadi impulsif, dibayangi ketidakmampuannnya melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Ketika si Elang mengancam mengeluarkannya, mungkin ia menyebut nama Marya karena itu hal pertama yang terlintas di benaknya, karena saat itu ia tak ingin dikeluarkan dan tak bisa berpikir panjang. Ia tentu ketakutan. Tapi yang lebih penting lagi, mungkin selama ini ia takut akan dilumpuhkan oleh rasa takut lagi.

Kita semua akan pergi, kata McKinley kepada istrinya, dan itu tak dapat dipungkiri. Itulah labirin penderitaan kita. Kita semua akan pergi. Cari sendiri jalan keluarmu dari labirin itu.

Tak satu pun pemikiran tersebut yang kusampaikan kepada Alaska. Tidak akan pernah. Kami tidak pernah mengungkitnya. Malah, hari itu hanya menjadi hari terburuk lainnya, walaupun yang terburuk dari semuanya. Dan selagi malam turun dengan cepat, kami terus minum dan bersenda gurau.

Belakangan malam itu, setelah Alaska memasukkan jari ke tenggorokan dan membuat dirinya muntah di depan kami karena ia terlalu mabuk untuk berjalan ke hutan, aku berbaring dalam kantong tidurku. Lara berbaring di sebelahku, dalam kantongnya, yang hampir menyentuh punyaku. Kugeser tanganku ke pinggir kantong tidur dan mendorongnya agar sedikit menindih tangannya. Kutempelkan tanganku ke tangannya. Aku bisa merasakannya, meskipun ada dua kantong tidur di antara kami. Rencanaku, yang menurutku sangat

cerdik, adalah mengeluarkan tangan dari kantong dan memasukkannya ke kantong tidur Lara, lalu menggenggam tangannya. Itu rencana yang bagus, tapi ketika aku mencoba mengeluarkan lengan dari kantong yang sempit, aku menggelepar seperti ikan terdampar dan nyaris membuat tulang bahuku terkilir. Lara tertawa" bukan denganku, tapi menertawakanku" tapi kami masih tidak saling bicara. Karena tak mungkin mundur lagi, aku tetap menyelipkan tangan ke kantong tidurnya, dan ia tertawa tertahan selagi jemariku menyusuri garis dari siku ke pergelangannya.

" Gelii," bisiknya. Rusak sudah rencanaku berlagak seksi. " Maaf," bisikku.

" Tidak apa-apa, geli yang enak," katanya, lalu menggenggam tanganku. Ia menautkan jemarinya ke jemariku dan meremas. Lalu ia berguling dan menciiumku. Aku yakin mulutnya terasa seperti alkohol basi, tapi aku tidak peduli, dan kuyakin mulutku juga terasa seperti alkohol basi dan rokok, tapi dia tidak peduli. Kami berciuman.

Pikirku: Ini menyenangkan.

Pikirku: Aku tidak buruk dalam ciuman ini. Sama sekali tidak buruk.

Pikirku: Aku jelas pencium terbaik sepanjang sejarah alam semes
Tiba-tiba ia tertawa dan menjauh dariku. Ia mengeluarkan tangan dari kantong tidur dan mengelap wajahnya. " Kau meleleri hidungku," katanya, lalu terbahak.

Aku ikut tertawa, mencoba memberinya kesan bahwa gaya ciuman penuh liur itu sengaja kulakukan untuk melucu. " Maaf." Meminjam sistem marka dari Alaska, aku belum melakukan lebih dari lima

pukulan single 1 seumur hidupku, jadi aku berusaha mengaitkannya dengan kekurangan pengalaman.

" Aku masih baru untuk urusan ini," kataku.

" Menyenangkan kok," katanya sambil tertawa, lalu menciumku lagi. Tak lama kemudian kami sudah sepenuhnya keluar dari kantong tidur kami, bercumbu tanpa suara. Ia berbaring di atasku, dan aku memeluk pinggang rampingnya. Bisa kurasakan dadanya di dadaku, dan ia bergerak perlahan di atasku, kakinya mengimpit tubuhku. " Kau terasa menyenangkan," katanya.

" Kau cantik," kataku, lalu tersenyum kepadanya. Dalam kegelapan, aku bisa melihat siluet wajahnya. Mata bulatnya yang besar berkedip kepadaku, bulu matanya hampir-hampir menggesek dahiku.

" Bisakah dua orang yang sedang bercumbu tidak ribut?" tanya Kolonel dengan suara keras dari kantong tidurnya. " Kami yang tidak bercumbu sedang mabuk dan capek."

" Mabuk. Terutama," Alaska berkata perlahan, seolah berbicara membutuhkan usaha keras.

Kami hampir tak pernah mengobrol, aku dan Lara, dan kami tidak punya kesempatan lagi untuk mengobrol gara-gara Kolonel. Jadi kami berciuman tanpa suara dan tertawa pelan dengan mulut dan mata kami. Setelah begitu lama berciuman sehingga nyaris mulai membosankan, aku berbisik, " Kau mau jadi pacarku?"

Dan ia menjawab, " Tentu saja," lalu tersenyum. Kami tidur bersama dalam kantong tidurnya, yang jujur saja terasa agak sesak, tapi tetap menyenangkan. Aku belum pernah merasakan tubuh orang lain menempel di tubuhku ketika tidur. Itu akhir yang bahagia untuk hari terbaikku.

1 Pukulan yang memungkinkan pemukul melanjutkan dengan aman ke marka pertama (dalam permainan bisbol).

Satu Hari Sebelumnya

Keesokan paginya, istilah yang kugunakan sekenanya karena saat itu bahkan belum subuh, Kolonel membangunkanku. Lara terbungkus dalam pelukanku, merapat ke tubuhku.

" Kita harus pergi, Pudge. Waktunya bersiap-siap." " Dude. Lagi tidur."

" Kau bisa tidur setelah kita kembali ke kamar. SEKARANG WAKTUNYA PERGI!" teriaknya.

" Oke. Oke. Jangan teriak. Kepala sakit." Dan kepalaku memang sakit. Aku bisa merasakan anggur semalam di tenggorokanku dan kepalaku berdenyut seperti pagi hari setelah aku gegar otak. Mulutku terasa seakan-akan ada sigung yang merayap masuk ke tenggorokanku dan mati di sana. Aku berusaha keras tidak mengembuskan napas di dekat Lara selagi ia terhuyung keluar dari kantong tidur.

Kami mengemas semuanya dengan cepat, melemparkan botolbotol kosong ke hamparan rumput tinggi" sayangnya, membuang sampah sembarangan tak dapat dihindari di Creek, sebab tidak ada yang ingin membuang botol minuman keras kosong di tempat sampah sekolah" dan berjalan meninggalkan gudang. Lara meraih tanganku lalu melepaskannya dengan malu. Alaska terlihat sangat berantakan, tapi berkeras menuangkan beberapa tetes terakhir Strawberry Hill ke dalam kopi instannya yang dingin sebelum melemparkan botol ke belakang.

" Obat mabuk," katanya.

" Bagaimana keadaanmu?" tanya Kolonel. " Pernah lebih baik."

" Pengar?"

" Seperti pendeta pemabuk di Minggu pagi."

" Mungkin kau seharusnya tidak minum terlalu banyak," saranku.

" Pudge," Alaska menggeleng dan meneguk kopi dingin campur anggur. " Pudge, yang harus kaumengerti tentang diriku adalah bahwa aku orang yang sangat tidak bahagia."

Kami melangkah beriringan menyusuri jalan tanah yang basah dalam perjalanan kembali ke kampus. Tepat setelah kami sampai di jembatan, Takumi berhenti, berkata " uh-oh" , bersimpuh, lalu memuntahkan lahar kuning dan merah muda.

" Keluarkan semuanya," kata Alaska. " Kau akan baik-baik saja." Takumi selesai, berdiri, dan berkata, " Aku akhirnya menemukan sesuatu yang dapat menghentikan si rubah. Si rubah tidak bisa mengalahkan Strawberry Hill."

Alaska dan Lara berjalan ke kamar mereka, berencana untuk melaporkan kedatangan kepada si Elang nanti siang, sementara aku dan Takumi berdiri di belakang Kolonel saat ia mengetuk pintu si Elang jam 9 pagi.

" Kalian pulang pagi. Apa kalian bersenang-senang?" " Ya, Sir," jawab Kolonel.

" Bagaimana ibumu, Chip?"

" Dia baik-baik saja, Sir. Sangat sehat." " Dia memberi makan kalian banyak-banyak?"

" Oh ya, Sir," jawabku. " Dia berusaha membuat saya gemuk." " Kau perlu itu. Semoga hari kalian menyenangkan."

" Yah, kurasa dia tidak mencurigai apa pun," kata Kolonel dalam perjalanan kembali ke Kamar 43. " Jadi mungkin kita benar-benar

berhasil." Aku berpikir untuk mengunjungi Lara, tapi terlalu capek, jadi aku naik ke kasur dan tidur sampai pengarku hilang.

Itu bukan hari yang sibuk. Aku seharusnya melakukan hal-hal luar biasa. Aku seharusnya mengisap intisari kehidupan. Tapi hari itu, aku menghabiskan 18 dari 24 jam yang ada untuk tidur.

Hari Terakhir

Keesokan paginya, Senin pertama di semester baru, Kolonel keluar dari kamar mandi tepat ketika alarmku menyala.

Saat aku sedang memakai sepatu, Kevin mengetuk pintu sekali dan membukanya, lalu melangkah masuk.

" Kau terlihat tampan," kata Kolonel dengan santai. Rambut Kevin sekarang berpotongan ala tentara, dengan sepetak kecil rambut biru pendek di kedua sisi kepala, persis di atas telinga. Bibir bawahnya mencuat" kunyahan tembakau pertamanya pagi ini. Ia berjalan ke MEJA KOPI kami, mengangkat kaleng Coke, dan meludah ke dalamnya.

" Kau hampir saja gagal. Aku melihatnya di kondisionerku dan langsung mencuci rambut. Tapi aku tidak melihatnya dalam gelku. Rambut Jeff sama sekali tidak terpengaruh. Tapi aku dan Longman harus tampil seperti Marinir. Untungnya aku punya gunting rambut."

" Cocok untukmu," kataku, meskipun sebenarnya tidak. Rambut pendek mempertegas bentuk wajahnya, terutama mata kecilnya yang terlalu berdekatan. Kolonel berusaha keras terlihat tangguh" siap menghadapi apa pun yang mungkin akan dilakukan Kevin" tapi sulit untuk terlihat tangguh ketika kau hanya mengenakan handuk oranye.

" Gencatan senjata?"

" Yah, sayangnya penderitaanmu belum berakhir," kata Kolonel, merujuk pada rapor yang sudah dikirim tapi belum diterima.

" Baiklah. Kalau itu maumu. Kita akan berbicara lagi setelah semuanya selesai, kurasa."

" Kurasa begitu," sahut Kolonel. Saat Kevin berjalan keluar, Kolonel berkata, " Bawa kaleng yang kauludahi, bajingan jorok." Kevin hanya menutup pintu di belakangnya. Kolonel menyambar kaleng, membuka pintu, dan melemparkannya kepada Kevin" hanya sedikit meleset. " Ya ampun, jangan terlalu mendesaknya."

" Belum ada gencatan senjata, Pudge."

Aku menghabiskan sepanjang sore itu dengan Lara. Kami bersikap sangat manis, meski kami tidak tahu apa pun tentang satu sama lain dan hampir-hampir tidak bicara. Tapi kami bercumbu. Ia meremas bokongku sekali, dan aku terlonjak sedikit. Aku sedang berbaring, tapi aku melakukan versi terbaik dari terlonjak yang bisa dilakukan ketika berbaring, dan ia berkata, " Maaf," yang kujawab, " Tidak apaapa. Bokongku hanya agak nyeri karena digigit angsa."

Kami berjalan ke ruang TV bersama-sama, dan aku mengunci pintunya. Kami menonton {#1f}e Brady Bunch, yang belum pernah ia tonton. Episode tersebut, yang menceritakan Keluarga Brady mengunjungi kota kosong bekas pertambangan emas dan mereka semua dikurung dalam penjara satu-kamar oleh penambang tua sinting dengan janggut putih lebat, sangat buruk, dan memberi kami bahan lelucon yang tak habis-habis. Dan itu bagus, lantaran kami tak punya banyak hal untuk dibicarakan.

Tepat ketika Keluarga Brady dikurung dalam penjara, Lara tibatiba bertanya, " Kau pernah dapat seks oral?"

" Mm, pertanyaanmu tak ada ujung pangkalnya," kataku. " Ujung pangkal?"

" Kau tahu, tak ada angin tak ada hujan." " Angin dan hujan?"

" Itu ungkapan. Artinya tidak disangka-sangka. Maksudku, apa yang membuatmu berpikir begitu?"

" Aku hanya belum pernah melakukannya," ia menjawab, suara lirihnya bernada menggoda. Sangat berani. Rasanya aku mau meledak. Aku tak pernah menduga. Maksudku, mendengar omongan semacam itu dari mulut Alaska adalah satu hal. Tapi mendengar suara lirih Rumania-nya yang manis mendadak berubah seksi& " Belum," jawabku. " Belum pernah."
Mencari Alaska Looking For Alaska Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Menurutmu bakal menyenangkan tidak?"

MENURUTKU!?!??!?!?!!? " Mm. Yeah. Maksudku, kau tak harus melakukannya."

" Kurasa aku ingin melakukannya," ia berkata, dan kami berciuman sebentar. Lalu selagi aku duduk menonton {#1f}e Brady Bunch, melihat Marcia Marcia Marcia melakukan kekonyolan khas Brady, Lara membuka kancing celanaku dan menurunkan celana dalamku sedikit.

" Wow," katanya. " Apa?"

Ia mendongak kepadaku, tapi tidak bergerak. " Ini aneh." " Apa maksudmu aneh?"

" Hanya besar, sepertinya."

Aku tak keberatan dengan aneh yang semacam itu. Lalu ia memegangnya. Dan diam

" Apakah aku harus melakukan sesuatu?"

" Mm. Aku tidak tahu," jawabku. Segala hal yang kupelajari dari menonton film porno dengan Alaska tiba-tiba kabur dari benakku. Jadi aku diam saja.

" Haruskah aku menggigitnya?"

" Jangan gigit! Maksudku, kurasa sebaiknya jangan. Kupikir" maksudku, ini menyenangkan. Aku tak tahu apakah ada cara yang lain."

" Maksudku, kau tidak" "

" Mm. Mungkin kita harus tanya Alaska."

Jadi kami pergi ke kamar Alaska dan menanyakannya. Gadis itu tertawa tak henti-henti. Ia duduk di ranjangnya dan tertawa sampai menangis. Ia masuk ke kamar mandi, kembali dengan membawa tube pasta gigi, dan menunjukkannya kepada kami. Dengan detail. Belum pernah aku merasa begitu ingin menjadi pasta gigi Crest Complete.

Aku dan Lara pergi ke kamarnya, dan di sana ia melakukan persis seperti yang diperintahkan Alaska, dan aku melakukan persis seperti yang diramalkan Alaska, yaitu mengalami seratus kematian kecil yang luar biasa, tanganku mengepal, tubuhku gemetar. Sesudahnya, aku merasa begitu malu dan gugup, sehingga tentu saja Lara yang akhirnya memecahkan keheningan dengan bertanya, " Jadi, kau mau mengerjakan PR?"

Tidak banyak yang bisa dilakukan di hari pertama semester, tapi Lara membaca bahan pelajaran bahasa Inggris-nya. Aku mengambil biografi tokoh revolusioner Argentina, Che Guevera" poster wajahnya menghias dinding kamar" yang tersimpan di rak buku teman sekamar Lara, kemudian aku berbaring di sebelah Lara di ranjang bawah. Aku mulai membaca dari belakang, seperti yang kadang
kadang kulakukan pada biografi yang tak ingin kubaca sampai habis, dan menemukan kata-kata terakhirnya tanpa banyak kesulitan. Guevera yang ditangkap oleh tentara Bolivia berkata, " Tembak saja, pengecut. Kau hanya akan membunuh seorang lelaki." Aku teringat kata-kata terakhir Simn Bolvar dalam novel Garca Mrquez" " Bagaimana caraku keluar dari labirin ini!" Tokoh-tokoh revolusioner Amerika Selatan sepertinya mati dengan penuh gaya. Aku membacakan kata-kata terakhir tersebut pada Lara. Ia berbaring miring lalu merebahkan kepalanya di dadaku.

" Mengapa kau sangat menyukai kata-kata terakhir?" Anehnya, aku belum pernah benar-benar memikirkan alasannya. " Aku tak tahu," jawabku, meletakkan tanganku di punggungnya. " Terkadang, hanya karena kata-kata itu lucu. Misalnya waktu Perang Saudara, seorang jenderal bernama Sedgwick berkata, " Mereka tak bisa menembak gajah dari ja" " lalu dia tertembak." Lara tertawa. " Tapi sering kali, orang mati sesuai cara mereka hidup. Jadi kata-kata terakhir memberitahuku banyak hal tentang diri seseorang, dan mengapa dia menjadi orang yang kehidupannya layak dituliskan dalam biografi. Apa itu masuk akal?"

" Yeah," jawabnya.

" Yeah?" Hanya yeah?

" Yeah," katanya lagi, lalu kembali membaca.

Aku tak tahu cara bicara dengan Lara. Dan mencoba bicara dengannya membuatku frustrasi, jadi setelah beberapa lama, aku bangkit untuk pergi.

Aku memberinya ciuman selamat tinggal. Aku setidaknya bisa melakukan itu.

Aku menjemput Alaska dan Kolonel di kamar kami dan kami berjalan ke jembatan, tempat aku menceritakan dengan detail bencana oral dengan Lara.

" Aku tak percaya ia melakukannya dua kali di hari yang sama," kata Kolonel.

" Hanya secara teknis. Sebenarnya cuma sekali," Alaska mengoreksi.

" Tetap saja. Maksudku. Tetap saja. Pudge dapat seks oral!" " Kolonel yang malang," kata Alaska dengan senyum sedih. " Aku mau saja melakukannya padamu karena kasihan, tapi aku sangat terikat pada Jake."

" Mengerikan," sahut Kolonel. " Kau seharusnya hanya menggoda Pudge."

" Tapi Pudge punya paaaacaaar." Alaska terbahak.

Malam itu, aku dan Kolonel berjalan menuju kamar Alaska untuk merayakan kesuksesan Malam Gudang kami. Ia dan Kolonel sudah banyak merayakan beberapa hari belakangan ini, dan aku sedang tidak ingin mendaki Strawberry Hill, jadi aku duduk dan mengunyah pretzel selagi Alaska dan Kolonel minum anggur dari gelas kertas bergambar bunga-bunga.

" Kita tidak minum dari botol malam ini, Sayang," kata Kolonel. " Kita sedikit berkelas!"

" Ini kontes minum Selatan tradisional," balas Alaska. " Kita akan menghibur Pudge dengan satu malam kehidupan Selatan yang sesungguhnya: Kita akan terus minum, satu gelas kertas ke gelas kertas berikutnya sampai yang lebih lemah tumbang." Dan itulah yang mereka lakukan, berhenti hanya untuk mematikan

lampu pada jam sebelas malam sehingga si Elang tidak akan mampir. Mereka mengobrol sedikit, tapi kebanyakan mereka hanya minum. Aku tidak lagi mendengarkan percakapan mereka dan akhirnya menyipitkan mata menembus kegelapan, menatap punggung-punggung buku di Perpustakaan Kehidupan Alaska. Bahkan dikurangi buku-bukunya yang rusak karena banjir kecil, aku bisa terjaga hingga pagi membaca judul-judul buku yang ditumpuk sembarangan itu. Selusin bunga tulip putih dalam vas plastik bertengger goyah di salah satu tumpukan buku, dan ketika aku menanyakannya kepada Alaska, ia hanya menjawab, " Peringatan hari jadiku dengan Jake." Aku tak tertarik melanjutkan dialog itu, jadi kembali membaca judul-judul buku, dan sedang bertanya-tanya bagaimana bisa mengetahui katakata terakhir Edgar Allen Poe (sebagai catatan: " Tuhan, selamatkan jiwaku yang malang ini" ) ketika mendengar Alaska berkata, " Pudge bahkan tidak mendengarkan kita."

Dan aku menjawab, " Aku mendengarkan."

" Kami sedang berbincang tentang permainan Jujur atau Tantangan. Cuma bisa dimainkan di kelas tujuh atau masih keren?"

" Aku belum pernah memainkannya," kataku. " Aku tak punya teman di kelas tujuh."

" Nah, beres kalau begitu!" teriak Alaska, agak terlalu keras mengingat hari sudah larut dan juga mengingat fakta bahwa ia terangterangan minum anggur di kamar " Jujur atau Tantangan!"

" Baiklah," aku menyetujui, " tapi aku tidak mau bercumbu dengan Kolonel."

Kolonel duduk merosot di pojok kamar. " Tak bisa bercumbu. Terlalu mabuk."

Alaska mulai. " Jujur atau Tantangan, Pudge." " Tantangan."

" Bercumbu denganku." Jadi aku melakukannya.

Secepat itu. Aku tertawa, terlihat gugup, dan ia memajukan tubuh lalu memiringkan kepala, dan kami berciuman. Tidak ada lapisan di antara kami. Lidah kami menari maju-mundur di mulut masingmasing sehingga tidak ada mulutnya atau mulutku, hanya mulut kami yang bertaut menjadi satu. Ia terasa seperti rokok, Mountain Dew, anggur, dan lip gloss Chap Stick. Tangannya menyentuh wajahku dan aku merasakan jemarinya menelusuri garis rahangku. Kami berbaring selagi kami berciuman, dia di atasku, dan aku mulai bergerak di bawahnya. Aku menarik diri sebentar, untuk mengatakan, " Apa yang terjadi di sini?" dan ia meletakkan satu jari di bibirnya lalu kami berciuman lagi. Tangannya meraih satu tanganku dan meletakkannya di perutnya. Pelan-pelan aku menindihnya.

Aku menarik diri lagi. " Bagaimana dengan Lara? Jake?" Sekali lagi, ia menjawab dengan sssh.

" Kurangi lidah, lebih banyak bibir," katanya, dan aku berusaha sebaik mungkin. Kupikir lidah adalah intinya, tapi Alaska yang lebih ahli.

" Ya Tuhan," Kolonel berkata dengan cukup keras. " Makhluk celaka itu, drama, bergerak mendekat."

Tapi kami tidak memedulikannya. Alaska memindahkan tanganku dari pinggang ke dadanya, dan jemariku dengan hati-hati bergerak di balik kausnya tapi di atas bra. " Kau pintar melakukannya," ia berbisik. Bibirnya tak pernah meninggalkan bibirku selagi ia berbicara.

" Ini sangat menyenangkan," bisiknya, " tapi aku sangat mengantuk. Kita lanjutkan lagi kapan-kapan?" Ia kembali menciumku, mulutku

menolak melepaskannya, dan ia bergerak dari bawahku, meletakkan kepalanya di dadaku, lalu langsung tertidur.

Kami tidak berhubungan seks. Kami tidak menanggalkan pakaian. Tangannya tak pernah beranjak lebih rendah dari pinggulku. Tapi itu tidak penting. Selagi ia tidur, aku berbisik, " Aku mencintaimu, Alaska Young."

Saat aku hampir tertidur, Kolonel berkata, " Dude, apa kau baru saja bercumbu dengan Alaska?"

" Yeah."

" Ini tidak akan berakhir baik," katanya kepada diri sendiri. Lalu aku tertidur. Tidur nyenyak masih-bisa-merasakan-bibirnyadi-mulutku, tidur yang tidak benar-benar tenang tapi juga sulit dibangunkan. Lalu aku mendengar telepon berdering. Sepertinya. Dan sepertinya, meskipun tak mungkin tahu, aku merasakan Alaska bangun. Sepertinya aku mendengarnya pergi. Sepertinya. Mustahil mengetahui berapa lama ia pergi.

Tapi Kolonel dan aku terbangun ketika ia kembali, kapan pun itu, karena ia membanting pintu. Ia menangis tersedu-sedu, seperti pagi setelah {#1e}anksgiving tapi lebih parah.

" Aku harus pergi dari sini!" teriaknya. " Ada apa?" tanyaku.

" Aku lupa! Ya Tuhan, berapa kali aku bisa mengacau?" katanya pelan. Aku bahkan tak sempat mempertanyakan apa yang terlupa olehnya sebelum ia berteriak lagi, " POKOKNYA AKU HARUS PERGI. BANTU AKU PERGI DARI SINI!"

" Kau harus pergi ke mana?"

Ia duduk dan meletakkan kepala di antara kakinya, menangis. " Tolong alihkan saja perhatian si Elang sekarang supaya aku bisa pergi. Kumohon."

Kolonel dan aku, dengan serempak, sama-sama merasa bersalah, berkata, " Oke."

" Pokoknya jangan nyalakan lampumu," kata Kolonel. " Menyetirlah perlahan dan jangan nyalakan lampumu. Kau yakin tidak apaapa?"

" Berengsek," katanya. " Alihkan saja perhatian si Elang untukku," ia berkata, isakannya bercampur teriakan seperti anak kecil " Ya Tuhan, ya Tuhan, aku minta maaf."

" Baiklah," kata Kolonel. " Nyalakan mobil saat kau mendengar letusan kedua."

Kami pergi.

Kami tidak berkata: Jangan mengemudi. Kau mabuk. Kami tidak berkata: Kami tidak akan membiarkanmu masuk ke mobil saat sedang emosi.

Kami tidak berkata: Kami memaksa untuk menemanimu. Kami tidak berkata: Ini bisa menunggu sampai besok. Apa pun" semuanya" bisa menunggu.


Rajawali Emas 24 Dayang Dayang Dasar Rajawali Emas 24 Dayang Dayang Dasar Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali

Cari Blog Ini