Mencari Alaska Looking For Alaska Karya John Green Bagian 4
Kami masuk ke kamar mandi kami, mengambil tiga rangkai petasan yang tersisa dari bawah wastafel, dan berlari ke rumah si Elang. Kami tidak yakin ini akan berhasil lagi.
Tapi ternyata cukup berhasil. Si Elang melesat keluar dari rumahnya begitu rangkaian petasan pertama mulai meletus" ia menunggu kami, sepertinya" dan kami berlari ke hutan, memancingnya cukup jauh sehingga ia tidak akan mendengar bunyi mobil Alaska. Kolonel dan aku berputar kembali, mengarungi sungai untuk menghemat waktu, menyelinap masuk ke Kamar 43 melalui jendela belakang, dan tidur lelap seperti bayi.
Sesudah
Satu Hari Sesudahnya
Tidur Kolonel gelisah karena mabuk, dan aku berbaring telentang di ranjang bawah, bibirku menggelitik dan terasa hidup seolah masih berciuman. Kami kemungkinan besar akan tidur sampai melewatkan kelas pagi andai si Elang tidak membangunkan kami pukul delapan dengan tiga ketukan cepat. Aku berguling sewaktu ia membuka pintu, dan cahaya pagi menerobos masuk ke kamar.
" Kalian harus pergi ke aula olahraga," katanya. Aku menyipitkan mata ke arahnya, si Elang sendiri seolah hilang ditelan sinar matahari yang terlalu terang. " Sekarang juga," tambahnya, dan aku tersadar. Tamatlah riwayat kami. Kami ketahuan. Terlalu banyak rapor. Terlalu banyak minum dalam waktu yang terlalu singkat. Mengapa mereka harus minum semalam? Lalu aku bisa merasakan bibir gadis itu lagi, merasakan anggur, asap rokok, Chap Stick, dan Alaska, dan aku bertanya-tanya apakah ia menciumku karena mabuk. Jangan keluarkan aku, batinku. Jangan. Aku baru saja mulai menciumnya.
Seolah menjawab doaku, si Elang berkata, " Kalian tidak mendapat masalah. Tapi kalian harus pergi ke aula olahraga sekarang." Aku mendengar Kolonel berguling di ranjang atas. " Ada apa?" " Sesuatu yang buruk telah terjadi," kata si Elang, lalu menutup pintu.
Selagi mengambil celana jins yang tergeletak di lantai, Kolonel berkata, " Ini pernah terjadi beberapa tahun lalu. Ketika istri Hyde
meninggal. Kurasa kali ini giliran Bapak Tua sendiri. Si tua malang itu benar-benar tidak punya banyak napas yang tersisa." Ia mendongak menatapku, matanya yang setengah terbuka tampak merah, lalu ia menguap.
" Kau kelihatan agak pengar," aku berkomentar.
Ia memejamkan mata. " Yah, kalau begitu aku pandai berakting, Pudge, karena sebenarnya aku sangat pengar."
" Aku mencium Alaska."
" Yeah. Aku tidak semabuk itu. Ayo kita pergi."
Kami berjalan melintasi area asrama menuju aula olahraga. Aku memakai jins longgar, sweter tanpa kaus di baliknya, dan rambut acak-acakan bekas tidur. Semua guru berada di area asrama, mengetuk pintu-pintu, tapi aku tidak melihat Dr. Hyde. Aku membayangkan lelaki itu terbujur kaku di rumahnya, bertanya-tanya siapa yang menemukannya pertama kali, bagaimana mereka bisa tahu ia menghilang sebelum ia tidak datang untuk mengajar. " Aku tidak melihat Dr. Hyde," aku memberitahu Kolonel. " Si tua malang."
Aula olahraga sudah setengah penuh ketika kami tiba. Podium sudah diletakkan di tengah lapangan basket, dekat bangku penonton. Aku duduk di barisan kedua, Kolonel persis di depanku. Pikiranku terbagi antara duka untuk Dr. Hyde dan kebahagiaan karena Alaska, mengingat bibirnya yang begitu dekat saat membisikkan, " Kita lanjutkan kapan-kapan?"
Sama sekali tak terlintas di pikiranku" bahkan ketika Dr.Hyde tertatih-tatih memasuki aula olahraga, berjalan dengan langkah pendek dan pelan ke arah Kolonel dan aku.
Aku menepuk pundak Kolonel dan berkata, " Hyde di sini," dan Kolonel menyahut, " Oh sial," dan aku berkata, " Apa?" dan ia menyahut,
" Di mana Alaska?" dan kujawab, " Tidak," dan ia berkata, " Pudge, dia di sini atau tidak?" lalu kami berdua berdiri dan mengamati wajahwajah dalam aula olahraga.
Si Elang naik ke podium dan berkata, " Apakah semua sudah hadir?"
" Belum," aku menyahut. " Alaska belum hadir."
Si Elang menunduk. " Apakah semua yang lain sudah hadir?" " Alaska belum hadir!"
" Oke, Miles. Terima kasih."
" Kita tidak bisa mulai tanpa Alaska."
Si Elang menatapku. Ia menangis, tanpa suara. Air mata mengalir ke dagu dan jatuh ke celana korduroinya. Ia menatapku, tapi itu bukan Tatapan Kiamat. Matanya mengerjapkan air mata ke wajah, dan si Elang terlihat sangat sedih.
" Kumohon, Sir," kataku. " Bisakah kita menunggu Alaska?" Aku merasakan seisi ruangan menatap kami, berusaha memahami apa yang sekarang kuketahui namun tidak bisa kupercaya.
Si Elang menunduk dan menggigit bibir bawah. " Tadi malam, Alaska Young mengalami kecelakaan." Air matanya mengalir lebih deras sekarang. " Dan dia tewas. Alaska meninggal dunia."
Sesaat, semua orang di aula olahraga tidak bersuara, dan tempat ini tak pernah begini sunyi, bahkan dalam momen-momen sebelum Kolonel mengolok-olok lawan ketika melakukan lemparan bebas. Aku memandang bagian belakang kepala Kolonel. Aku hanya memandangi rambutnya yang tebal. Selama sejenak, suasana begitu sunyi sehingga kau bisa mendengar suara tak bernapas, kehampaan yang diciptakan oleh 190 murid yang terkesiap.
Pikirku: Semua ini salahku.
Pikirku: Rasanya aku tidak enak badan.
Pikirku: Aku mau muntah.
Aku berdiri lalu berlari keluar. Aku berhasil tiba di tempat sampah di luar aula, satu setengah meter dari pintu ganda, dan memuntahi botol-botol Gatorade kosong serta McDonald" s yang baru dimakan setengah. Tapi tidak banyak yang keluar. Aku hanya tersedak-sedak, otot perutku menegang dan tenggorokanku terbuka, diiringi suara parau napas yang tersengal-sengal. Di sela muntah dan batuk, aku menghirup udara kuat-kuat. Mulut Alaska. Mulutnya yang mati dan dingin. Takkan ada kelanjutan sampai kapan pun. Aku tahu ia mabuk. Emosi. Tentunya kau tidak membiarkan seseorang mengemudi dalam keadaan mabuk dan emosi. Tentunya. Dan demi Tuhan, Miles, apa yang salah denganmu? Lalu akhirnya muntah itu datang, muncrat ke sampah. Semua yang tersisa darinya di mulutku, di sini dalam tempat sampah ini. Lalu aku muntah lagi, lebih banyak" lalu oke, tenang, oke, sungguh, ia tidak mati.
Ia tidak mati. Ia masih hidup. Ia masih hidup entah di mana. Ia di dalam hutan. Alaska bersembunyi di hutan dan ia tidak mati, hanya bersembunyi. Ia hanya mengecoh kami. Ini cuma Kejailan Luar Biasa Alaska Young. Ini khas Alaska. Lucu, suka bermain, dan tidak tahu kapan atau bagaimana menginjak rem.
Lalu aku merasa jauh lebih baik, karena ia sama sekali belum mati.
Aku kembali masuk ke aula olahraga, dan semua orang terlihat berada dalam fase berkabung yang berbeda-beda. Ini seperti tayangan yang kaulihat di TV, seperti ulasan khusus National Geographic tentang ritual pemakaman. Aku melihat Takumi berdiri di sebelah Lara sambil merangkulnya. Aku melihat Kevin dengan potongan rambut tentara, kepalanya terkubur di antara kedua lutut. Gadis
bernama Molly Tan, yang sekelas dengan kami dalam pelajaran prakalkulus, melolong, menghantamkan kepalan tangan ke paha. Semua orang ini yang hanya sedikit kukenal, semuanya berkabung. Lalu aku melihat Kolonel, lututnya ditarik ke dada, berbaring miring di bangku, Madame O" Malley duduk di sampingnya, mengulurkan tangan ke bahunya tanpa benar-benar menyentuhnya. Kolonel menjerit. Ia menarik napas, lalu menjerit. Tarik napas. Menjerit. Tarik napas. Menjerit.
Awalnya kupikir ia hanya berteriak. Tapi setelah beberapa tarikan napas, aku mengenali ritme. Dan setelah beberapa tarikan napas lagi, aku menyadari bahwa Kolonel mengucapkan kata-kata. Ia menjeritkan, " Aku menyesal."
Madame O" Malley meraih tangannya. " Kau tidak salah apa-apa, Chip. Tidak ada yang bisa kaulakukan." Kalau saja ia tahu.
Dan aku hanya berdiri di sana, menyaksikan pemandangan itu, berpikir tentang Alaska yang tidak mati, lalu aku merasakan tangan seseorang di pundakku. Aku berbalik dan melihat si Elang, lalu aku berkata, " Kurasa dia melakukan kejailan konyol," dan ia menjawab, " Tidak, Miles, tidak, aku sungguh prihatin." dan aku merasakan pipiku memanas lalu berkata, " Dia sangat hebat. Dia bisa mengerjai kita semua," dan si Elang berkata, " Aku melihatnya sendiri. Aku turut berduka."
" Apa yang terjadi?"
" Ada yang menyalakan petasan di hutan," katanya, dan aku memejamkan mata kuat-kuat, menghadapi fakta yang tak terbantahkan: aku telah membunuhnya. " Aku keluar mengejar mereka, dan kurasa Alaska pergi meninggalkan kampus. Hari sudah larut. Dia berada di jalan raya I-65, di selatan pusat kota. Ada truk tergelincir dan melintang di jalan, menghalangi kedua jalur. Mobil polisi baru tiba
di lokasi. Dia menabrak mobil itu tanpa berusaha membanting setir. Aku yakin dia pasti sangat mabuk. Polisi mengatakan mereka mencium bau alkohol."
" Dari mana Anda tahu?" tanyaku.
" Aku melihatnya, Miles. Aku berbicara dengan polisi. Alaska tewas seketika. Setir mobil menghantam dadanya. Aku benar-benar prihatin."
Lalu aku berkata, Anda melihatnya dan ia menjawab ya dan aku bilang bagaimana rupanya dan ia bilang, hanya sedikit darah keluar dari hidungnya, dan aku terduduk di lantai aula olahraga. Aku bisa mendengar Kolonel masih berteriak-teriak, dan aku bisa merasakan banyak tangan di punggungku selagi aku membungkuk. Namun aku hanya bisa melihat Alaska terbaring telanjang di meja besi, setitik darah mengalir dari hidungnya yang berbentuk seperti setengah tetesan air mata, mata hijaunya nyalang, menatap kosong ke kejauhan, mulutnya melekuk ke atas secukupnya untuk terlihat seperti senyuman, dan tubuhnya terasa hangat di tubuhku, bibirnya lembut dan hangat di bibirku.
Aku dan Kolonel berjalan kembali ke kamar kami tanpa bersuara. Aku memandangi tanah di bawahku. Aku tak bisa berhenti memikirkan bahwa Alaska sudah meninggal, dan aku tak bisa berhenti memikirkan bahwa ia tidak mungkin meninggal. Orang tidak tibatiba meninggal. Aku tak bisa bernapas. Aku merasa ketakutan, seolah ada yang memberitahuku bahwa mereka akan mengeroyokku sepulang sekolah dan sekarang jam pelajaran terakhir dan aku tahu pasti apa yang akan terjadi. Udara begitu dingin hari ini" membekukan secara harfiah" dan aku membayangkan berlari ke sungai lalu
menyelam dengan kepala lebih dulu. Sungainya begitu dangkal sehingga tanganku menggesek bebatuan, dan tubuhku bergulir masuk ke air yang dingin. Kejutan air dingin membuatku mati rasa, dan aku akan diam di sana, mengalir bersama air pertama-tama ke Sungai Cahaba, lalu ke Sungai Alabama, lalu ke Teluk Mobile dan Teluk Meksiko.
Aku ingin melebur ke rerumputan kering kecokelatan yang kami injak selagi kami berjalan tanpa suara kembali ke kamar. Kaki Kolonel sangat besar, terlalu besar untuk tubuhnya yang pendek, dan sepatu tenis murahan baru yang ia pakai sejak sepatu lamanya dikencingi hampir terlihat seperti sepatu badut. Aku membayangkan sandal jepit Alaska yang melekat ke jemari kaki berkuku biru sewaktu kami berayun di ayunan pinggir danau. Akankah petinya dibuka? Bisakah perias jenazah menciptakan ulang senyumnya? Aku masih bisa mendengarnya berkata, " Ini sangat menyenangkan, tapi aku sangat mengantuk. Kita lanjutkan lagi kapan-kapan?"
Kata-kata terakhir milik pendeta abad ke-19 bernama Henry Ward Beecher adalah, " Sekarang datanglah misteri itu." Penyair Dylan {#1e}omas, yang menyukai minuman enak setidaknya seperti Alaska menyukainya, mengatakan, " Aku minum delapan belas gelas wiski berturut-turut. Aku yakin itu rekor," sebelum meninggal. Kata-kata terakhir favorit Alaska adalah dari penulis naskah Eugene O" Neill: " Lahir di kamar hotel, dan" sialan" mati di kamar hotel." Bahkan korban kecelakaan mobil kadang-kadang masih sempat mengucapkan kata-kata terakhir. Putri Diana berkata, " Ya Tuhan. Apa yang terjadi?" Bintang film James Dean berkata, " Mereka harus melihat kita," tepat sebelum menabrakkan mobil Porsche ke mobil lain. Aku tahu begitu
banyak kata terakhir. Tapi aku takkan pernah tahu kata terakhir Alaska.
Aku berada beberapa langkah di depannya sebelum menyadari bahwa Kolonel jatuh tersungkur. Aku berbalik, dan ia tengkurap di tanah. " Kita harus bangun, Chip. Kita harus bangun. Kita hanya harus sampai di kamar."
Kolonel memalingkan wajahnya dari tanah dan memandangku dengan tatapan kosong lalu berkata, " Aku. Tak. Bisa. Bernapas."
Tapi ia bisa bernapas, dan aku tahu ini karena ia terengah-engah, bernapas seolah mencoba meniupkan udara ke tubuh orang mati. Aku mengangkatnya dan ia mencengkeramku lalu mulai menangis tersedu-sedu, kembali berkata, " Aku menyesal," berulang kali. Kami belum pernah berpelukan, aku dan Kolonel, dan tidak banyak yang dapat dikatakan karena sudah sepatutnya ia minta maaf. Jadi aku hanya meletakkan tangan di belakang kepalanya dan mengucapkan satu-satunya kebenaran:
" Aku juga menyesal."
Dua Hari Setelahnya
Aku tidak tidur malam itu. Fajar begitu lambat datang, dan bahkan ketika akhirnya datang, dengan matahari yang bersinar terang menembus gorden, radiator reyot tidak bisa menghangatkan tubuh kami, maka Kolonel dan aku duduk tanpa berbicara di sofa. Kolonel membaca almanak.
Tadi malam, aku menahan dingin untuk keluar menelepon orangtuaku. Dan kali ini saat aku berkata, " Hei, ini Miles," dan ibuku menjawab dengan, " Ada apa? Semuanya baik-baik saja?" aku bisa
dengan aman mengatakan tidak, semuanya tidak baik-baik saja. Lalu ayahku mengangkat telepon.
" Ada apa?" tanyanya.
" Jangan berteriak," kata ibuku.
" Aku tidak berteriak; ini karena pesawat teleponnya." " Yah, bicaralah lebih pelan," katanya, jadi butuh waktu sebelum aku bisa mengatakan sesuatu, lalu begitu sudah bisa, butuh waktu lagi untuk menyusun kata-kata dengan benar" temanku Alaska meninggal karena kecelakaan mobil. Aku menatap nomor-nomor dan pesan-pesan yang dicoretkan di dinding sebelah telepon.
" Oh, Miles," Mom berkata. " Aku turut berduka, Miles. Apa kau ingin pulang?"
" Tidak," kataku. " Aku ingin berada di sini& Aku tak bisa percaya." Dan aku memang belum benar-benar percaya.
" Menyedihkan sekali," kata ayahku. " Kasihan orangtuanya." Kasihan orangtuanya, aku membatin, dan berpikir tentang ayah Alaska. Aku bahkan tak dapat membayangkan apa yang akan dilakukan orangtuaku jika aku mati. Menyetir dalam keadaan mabuk. Ya Tuhan, kalau ayahnya sampai tahu, ia bakal mencabik-cabik aku dan Kolonel.
" Apa yang dapat kami lakukan untukmu sekarang?" tanya ibuku. " Aku hanya ingin kalian mengangkat telepon. Aku hanya ingin kalian menjawab teleponku, dan kalian sudah melakukannya." Aku mendengar suara menyedot ingus di belakangku" entah karena kedinginan atau menangis" dan memberitahu orangtuaku, " Ada yang mengantre teleponnya. Aku harus pergi."
Sepanjang malam, aku merasa dilumpuhkan hingga tak sanggup bersuara, diteror. Apa yang kutakutkan, sebenarnya? Hal itu telah terjadi. Ia meninggal. Tubuhnya pernah begitu hangat dan lembut di
kulitku, lidahnya dalam mulutku, dan ia tertawa, mencoba mengajariku, menjadikanku lebih ahli, berjanji untuk melanjutkan. Dan sekarang.
Dan sekarang tubuhnya semakin lama semakin dingin, semakin mati seiring setiap tarikan napasku. Pikirku: Itulah yang kutakutkan. Aku kehilangan sesuatu yang berharga, dan aku tak dapat menemukannya, padahal aku membutuhkannya. Rasa takut seperti ketika seseorang kehilangan kacamata lalu pergi ke toko kacamata dan mereka memberitahunya bahwa dunia kehabisan kacamata dan ia harus hidup tanpanya.
Sesaat sebelum pukul delapan pagi, Kolonel mengumumkan tanpa ditujukan kepada siapa pun, " Sepertinya ada bufriedo hari ini." " Yeah," kataku. " Kau lapar?"
" Ya Tuhan, tidak. Tapi itu nama ciptaannya, kau tahu. Dulu namanya burrito goreng waktu kami baru masuk ke sini, dan Alaska mulai menyebutnya bufriedo, lalu semua orang mengikuti, hingga akhirnya Maureen mengganti namanya secara resmi." Ia terdiam. " Aku tak tahu harus melakukan apa, Miles."
" Yeah. Aku tahu."
" Aku sudah selesai menghafal semua ibukota," katanya. " Dari negara bagian?"
" Bukan. Itu waktu kelas lima. Ibukota semua negara. Sebutkan satu negara."
" Kanada," kataku. " Yang lebih sulit." " Mm. Uzbekistan?"
" Tashkent." Ia bahkan tak butuh waktu untuk berpikir. Kata itu
berada di ujung lidahnya, seakan-akan selama ini ia sudah menungguku mengatakan Uzbekistan. " Ayo kita merokok."
Kami masuk ke kamar mandi dan menyalakan pancuran, lalu Kolonel mengeluarkan sebungkus korek api dari saku jins dan menyalakan sebatang. Tidak berhasil. Ia mencoba lagi dan gagal, lalu mencoba lagi, menggosokkan korek pada kertas penutup kotaknya dengan penuh amarah hingga akhirnya ia membanting benda itu ke lantai dan berteriak, " SIALAN!"
" Semua baik-baik saja," kataku, merogoh saku untuk mengambil pemantik.
" Tidak, Pudge, tidak baik-baik saja," katanya, membuang rokoknya lalu berdiri, tiba-tiba kesal. " Sialan! Ya Tuhan, bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana dia bisa begitu bodoh! Dia tak pernah berpikir panjang. Begitu impulsif. Astaga. Ini tidak baik-baik saja, Pudge. Aku tak percaya dia begitu bodoh!"
" Kita seharusnya menghentikan dia," kataku.
Ia mengulurkan tangan ke dalam bilik untuk mematikan pancuran lalu memukul dinding ubin dengan tangan terbuka. " Ya, aku tahu kita seharusnya menghentikan dia, sialan. Aku seratus persen sadar kalau kita seharusnya menghentikan dia. Tapi kita seharusnya tidak perlu melakukan itu. Kau harus mengawasinya seperti anak umur tiga tahun. Satu kesalahan saja dan dia langsung mati. Ya ampun! Aku bisa gila. Aku mau jalan sebentar."
" Oke," jawabku, mencoba menjaga suaraku tetap tenang. " Maaf," ia berkata. " Aku merasa sangat kacau. Rasanya seperti mau mati."
" Itu bisa terjadi," kataku.
" Yeah. Yeah. Aku bisa saja mati. Kau takkan pernah tahu. Begitu saja. Seperti, WUSS. Dan kau tiba-tiba pergi."
Aku mengikutinya ke kamar. Ia menyambar almanak dari ranjangnya, menarik ritsleting jaket, menutup pintu, dan WUSS. Ia pergi.
Pagi datang membawa beberapa tamu. Satu jam setelah Kolonel pergi, si tukang madat Hank Walsten mampir untuk menawariku ganja, yang kutolak dengan ramah. Hank memelukku dan berkata, " Setidaknya kejadiannya berlangsung seketika. Setidaknya tak ada rasa sakit."
Aku tahu ia hanya mencoba membantu, tapi ia tidak mengerti. Rasa sakit itu ada. Rasa sakit tanpa henti di ulu hatiku yang tak mau hilang bahkan ketika aku berlutut di lantai kamar mandi yang dingin menggigit, muntah-muntah tanpa ada yang keluar.
Dan apalah arti tewas " seketika" ? Berapa lamakah seketika itu? Satu detik? Sepuluh? Rasa sakit dalam sekian detik itu pasti menakutkan ketika jantungnya pecah dan paru-parunya berhenti bekerja, tidak ada oksigen dan tidak ada darah mengalir ke otaknya, hanya kepanikan. Seketika apa? Tidak ada yang seketika. Tidak ada yang instan. Nasi instan perlu waktu lima menit untuk matang, puding instan sejam. Aku tak yakin rasa sakit hebat yang hanya seketika itu benar-benar terasa instan.
Apakah seluruh hidupnya sempat melintas di depan matanya? Apakah ada aku di sana? Apakah ada Jake? Dan ia berjanji, masih lekat dalam ingatanku, ia berjanji untuk melanjutkan, tapi aku juga tahu bahwa ia mengemudi ke utara ketika meninggal, ke utara menuju Nashville, menuju Jake. Mungkin ciuman kami tak berarti apa pun untuknya, sekadar tindakan impulsif. Dan ketika Hank berdiri di ambang pintu, aku hanya memandang melewatinya, menatap area
asrama yang terlalu hening, bertanya-tanya apakah ciuman kami berarti untuknya, dan aku hanya dapat meyakinkan diri bahwa ya, tentu saja, ia sudah berjanji. Kita lanjutkan kapan-kapan.
Lara tamu berikutnya, matanya membengkak. " Apa yang terjadii?" tanyanya selagi aku memeluknya, sedikit berjinjit agar bisa meletakkan dagu di puncak kepalanya.
" Aku tak tahu," jawabku.
" Kau menemuinya malam itu?" ia bertanya, berbicara ke tulang selangkaku.
" Dia mabuk," aku memberitahunya. " Aku dan Kolonel pergi tidur, lalu kurasa dia membawa mobil ke luar kampus." Dan itu menjadi kebohongan standar.
Aku merasakan jemari Lara yang basah terkena air mata menekan telapak tanganku, dan sebelum sempat berpikir lebih jauh, aku menarik tanganku. " Maaf," kataku.
" Tidak apa-apa," katanya. " Aku ada dii kamarku kalau kau mau mampir." Aku tidak melakukannya. Aku tidak tahu mesti berkata apa kepadanya" aku terperangkap dalam cinta segitiga dengan satu sisi yang mati.
Sore itu, kami kembali memenuhi aula olahraga untuk mengikuti pertemuan. Si Elang mengumumkan bahwa sekolah akan menyewa bus pada hari Minggu ke pemakaman Alaska di Vine Station. Sewaktu kami berdiri untuk meninggalkan aula, aku melihat Takumi dan Lara berjalan ke arahku. Pandangan kami berserobok dan Lara tersenyum lemah. Aku balas tersenyum, lalu cepat-cepat berbalik
dan menyembunyikan diri di tengah kerumunan orang berduka yang mengalir keluar dari aula olahraga.
Aku sedang tidur dan Alaska terbang ke dalam kamar. Ia telanjang dan utuh. Payudaranya, yang hanya sempat kuraba sesaat dalam kegelapan, terlihat sangat penuh dan menggantung dari tubuhnya. Ia melayang beberapa sentimeter di atasku, napasnya terasa hangat dan manis pada wajahku bagai tiupan angin di rerumputan tinggi. " Hai," kataku. " Aku merindukanmu."
" Kau terlihat keren, Pudge."
" Kau juga."
" Aku telanjang bulat," katanya lalu tertawa. " Bagaimana aku bisa setelanjang ini?"
" Aku hanya ingin kau tetap di sini," kataku.
" Tidak," jawabnya, dan berat tubuhnya menimpaku, mengimpit dadaku, membuatku sesak napas. Tubuhnya dingin dan basah seperti es yang mencair. Kepalanya terbelah dan cairan kental merah mudakelabu mengalir dari retakan di tengkoraknya lalu menetes ke wajahku. Ia berbau formalin dan daging busuk. Aku muntah-muntah dan mendorongnya menjauh, ketakutan.
Aku terbangun karena terjatuh dan mendarat dengan bunyi keras ke lantai. Syukurlah aku tidur di ranjang bawah. Aku tidur selama empat belas jam. Saat itu pagi. Hari Rabu, pikirku. Pemakamannya hari Minggu. Aku bertanya-tanya apakah Kolonel sudah kembali saat itu, di mana pun ia berada. Ia harus kembali untuk menghadiri pemakaman, karena aku tak sanggup pergi sendiri, dan pergi dengan siapa pun selain Kolonel sama saja seperti pergi sendiri.
Angin dingin memukuli pintu, dan pepohonan di luar jendela belakang terguncang begitu keras sehingga aku dapat mendengarnya dari kamar kami. Aku duduk di ranjangku dan membayangkan Kolonel di suatu tempat di luar sana, kepalanya tertunduk, giginya mengertak, berjalan memasuki angin.
Empat Hari Sesudahnya
Saat itu pukul lima pagi. Aku sedang membaca biografi pengelana Meriwether Lewis (yang terkenal karena Ekspedisi Lewis & Clark) dan mencoba untuk tetap terjaga ketika pintu terbuka dan Kolonel masuk.
Tangan pucatnya gemetar dan almanak yang dipegangnya terlihat seperti boneka yang menari tanpa tali.
" Kau kedinginan?" tanyaku.
Ia mengangguk, melepas sepatunya, lalu naik ke ranjangku di bawah dan menarik selimut. Giginya gemeletuk seperti kode Morse.
" Ya Tuhan. Kau baik-baik saja?"
" Sekarang lebih baik. Lebih hangat," katanya. Tangan kecil dan pucat muncul dari balik selimut. " Maukah kau menggenggam tanganku?"
" Baiklah, tapi itu saja. Tidak pakai cium." Selimut bergetar karena tawanya.
" Kau dari mana saja?"
" Aku berjalan sampai Montevallo." " Enam puluh lima kilometer?!"
" Enam puluh tujuh," koreksinya. " Yah. Enam puluh tujuh pergi. Enam puluh tujuh pulang. Seratus tiga puluh dua totalnya. Bukan.
Seratus tiga puluh empat. Ya. Seratus tiga puluh empat kilometer dalam 45 jam."
" Memang ada apa di Montevallo?" tanyaku.
" Tidak banyak. Aku hanya berjalan sampai sudah terlalu kedinginan, lalu pulang lagi."
" Kau tidak tidur?"
" Tidak! Mimpi-mimpiku mengerikan. Dalam mimpiku, dia tak lagi terlihat seperti dirinya. Aku bahkan sudah tak ingat seperti apa rupanya."
Aku melepas tangan Kolonel, mengambil buku tahunan yang lalu, dan mencari foto Alaska. Dalam foto hitam-putih itu, ia mengenakan tank-top oranye dan celana jins yang dipotong pendek sampai ke tengah paha kurusnya, mulut gadis itu terbuka lebar dalam tawa abadi sementara lengan kirinya mengunci kepala Takumi. Rambutnya tergerai ke wajah hanya sampai menutupi pipinya.
" Betul," kata Kolonel. " Yeah. Aku bosan melihatnya marah tanpa alasan. Bagaimana dia tiba-tiba murung dan mengoceh tentang tragedi yang begitu menindas atau apalah tapi tak pernah menjelaskan apa masalahnya, tak pernah punya alasan yang jelas untuk sedih. Dan aku hanya berpikir kau harus punya alasan. Pacarku mencampakkanku, jadi aku sedih. Aku tepergok merokok, jadi aku kesal. Kepalaku sakit, jadi aku gampang marah. Dia tak pernah punya alasan, Pudge. Aku muak menghadapi dramanya. Dan kubiarkan saja dia pergi. Ya Tuhan."
Emosi Alaska yang naik-turun juga membuatku kesal, kadangkadang, tapi tidak malam itu. Malam itu aku membiarkannya pergi karena ia yang meminta. Sesederhana itu bagiku, dan sebodoh itu. Tangan Kolonel begitu mungil dan aku menggenggamnya erat,
dingin tubuhnya merembes ke tubuhku dan kehangatanku merembes ke tubuhnya. " Aku sudah menghafal populasi," katanya. " Uzbekistan."
" 24.755.519."
" Kamerun," kataku, tapi sudah terlambat. Ia tertidur, tangannya lemas dalam genggamanku. Kuletakkan kembali tangannya di balik selimut lalu aku naik ke tempat tidurnya, menempati ranjang atas setidaknya untuk malam ini. Aku tertidur mendengarkan tarikan napasnya yang pelan dan teratur, sikap keras kepalanya akhirnya luluh dihadang keletihan tak terperi.
Enam Hari Setelahnya
Hari Minggu itu, aku bangun setelah tidur selama tiga jam dan mandi untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Aku mengenakan satusatunya setelan jas yang kumiliki. Aku hampir tak membawanya, tapi ibuku berkeras bahwa kita takkan pernah tahu kapan kita membutuhkan setelan jas, dan ternyata benar.
Kolonel tidak memiliki setelan jas, dan melihat perawakannya, ia tidak bisa meminjam dari siapa pun di Creek, jadi ia memakai celana panjang hitam dan kemeja abu-abu.
" Sepertinya aku tak bisa memakai dasi flamingo-ku," katanya sembari memakai kaus kaki hitam.
" Terlalu ceria untuk acara hari ini," jawabku.
" Tak bisa dipakai untuk menonton opera," kata Kolonel, hampirhampir tersenyum. " Tak bisa dipakai untuk menghadiri pemakaman. Tak bisa dipakai untuk menggantung diri. Sebagai dasi, benda ini agak tak berguna." Aku memberinya sebuah dasi.
Sekolah menyewa bus untuk membawa murid-murid ke kota asal Alaska, Vine Station. Tapi aku, Lara, Kolonel, dan Takumi pergi dengan mobil SUV Takumi, memilih jalan-jalan kecil agar tak perlu melewati lokasi kecelakaan. Aku memandang ke luar jendela, menyaksikan daerah pinggir kota yang mengelilingi Birmingham berganti menjadi bukit-bukit landai dan ladang-ladang di utara Alabama.
Di kursi depan, Takumi bercerita kepada Lara tentang kejadian ketika payudara Alaska diremas saat musim panas, dan Lara tertawa. Itu kali pertama aku melihat Alaska, dan sekarang kami akan melihatnya untuk terakhir kali. Lebih dari apa pun, aku merasakan ketidakadilan situasi ini, kecurangan tak terbantahkan karena mencintai seseorang yang mungkin saja membalas cintamu tapi tidak bisa karena ia sudah mati. Aku memajukan tubuh, menyandarkan dahi pada bantalan kepala Takumi dan aku menangis, merintih. Aku bahkan tidak merasakan kesedihan melainkan kesakitan. Rasanya sakit, dan ini bukan eufemisme. Sakit seperti dipukuli.
Kata-kata terakhir Meriwether Lewis adalah, " Aku bukan pengecut, tapi aku sangat kuat. Sangat sulit untuk mati." Aku tidak meragukannya, tapi mati tak mungkin lebih sulit daripada ditinggalkan. Aku memikirkan Lewis selagi mengikuti Lara memasuki kapel berbentuk A yang menjadi satu dengan rumah duka satu lantai di Vine Station, Alabama, kota yang begitu depresi dan membuat depresi seperti yang selalu digambarkan Alaska. Tempat ini berbau jamur dan desinfektan, kertas pelapis dinding di foyer sudah mengelupas di sudut-sudut ruangan.
" Kalian semua datang untuk Ms. Young?" seorang lelaki bertanya kepada Kolonel, dan Kolonel mengangguk. Kami dipandu ke ruangan besar dengan barisan-barisan kursi lipat yang hanya diisi oleh seorang
lelaki. Ia bersimpuh di hadapan peti mati di bagian depan kapel. Peti itu tertutup. Tertutup. Aku tak akan pernah melihat wajahnya lagi. Tak bisa mencium dahinya. Tak bisa melihatnya untuk terakhir kali.
Tapi aku harus. Aku harus melihatnya, dan dengan suara terlalu lantang aku bertanya, " Kenapa petinya tertutup?" Lelaki itu, yang perut gendutnya mencuat dari jas yang terlalu ketat, berbalik dan berjalan menghampiriku.
" Ibunya," kata lelaki itu. " Peti mati ibunya terbuka, dan Alaska berkata, " Jangan pernah membiarkan mereka melihatku mati, Daddy," jadi begitulah. Lagi pula, Nak, dia tidak ada di dalam situ. Dia bersama Tuhan."
Lalu ia meletakkan tangan di pundakku, lelaki ini yang bertambah gemuk sejak kali terakhir ia mesti memakai setelan jas, dan aku tak percaya apa yang telah kulakukan padanya. Matanya hijau bercahaya seperti mata Alaska namun tenggelam dalam rongga mata gelap, seperti hantu bermata hijau yang masih bernapas, dan jangan tidak jangan jangan mati, Alaska. Jangan mati. Aku melepaskan diri dari rangkulannya, berjalan melewati Lara dan Takumi menuju peti mati Alaska, lalu bersimpuh di depannya dan meletakkan tangan di permukaan kayu yang halus, kayu mahoni gelap, seperti warna rambutnya. Aku merasakan tangan kecil Kolonel di pundakku serta sebutir air mata jatuh ke kepalaku, dan untuk beberapa saat, hanya ada kami bertiga" bus-bus yang mengangkut murid belum sampai, Takumi dan Lara menghilang, hanya ada kami bertiga" tiga tubuh dan dua jiwa" tiga orang yang mengetahui kejadiannya tapi terlalu banyak lapisan di antara kami, terlalu banyak yang memisahkan kami satu sama lain.
Kolonel berkata, " Aku hanya begitu ingin menyelamatkannya," dan
aku menjawab, " Chip, dia sudah pergi," dan ia berkata, " Kupikir aku akan merasakannya menunduk menatap kita, tapi kau benar. Dia sudah pergi," dan aku berkata, " Oh Tuhan, Alaska, aku mencintaimu. Aku mencintaimu," dan Kolonel berbisik, " Aku sungguh menyesal, Pudge. Aku tahu kau dulu mencintainya," dan aku bilang, " Tidak. Aku masih mencintainya." Alaska bahkan bukan manusia lagi, hanya daging yang membusuk, tapi aku masih mencintainya. Kolonel bersimpuh di sebelahku, menempelkan bibirnya ke peti dan berbisik, " Maafkan aku, Alaska. Kau layak mendapatkan teman yang lebih baik."
Apakah sangat sulit untuk mati, Mr. Lewis? Apakah labirin itu benar-benar lebih buruk daripada yang ini?
Tujuh Hari Setelahnya
Aku menghabiskan keesokan harinya di kamar kami, bermain football tanpa suara, tak bisa diam saja sekaligus tak bisa melakukan apa pun. Ini Hari Peringatan Martin Luther King, hari terakhir kami sebelum kelas dimulai lagi, dan aku tidak bisa memikirkan apa pun selain bahwa aku telah membunuhnya. Kolonel menghabiskan pagi denganku, namun ia lalu memutuskan pergi ke kantin untuk menyantap daging gulung.
" Ayo," katanya.
" Tidak lapar."
" Kau harus makan."
" Berani bertaruh?" tanyaku tanpa mendongak dari layar. " Astaga. Terserahlah." Ia menghela napas lalu pergi sambil membanting pintu. Ia masih sangat marah, pikirku dengan agak iba. Tidak ada alasan untuk marah. Kemarahan hanya mengalihkan dari
kesedihan yang merongrong, kenyataan pahit bahwa kau telah membunuh dan mencuri masa depan serta kehidupan Alaska. Kemarahan tak dapat memperbaiki itu. Sialan.
" Bagaimana daging gulungnya?" Aku bertanya kepada Kolonel ketika ia kembali.
" Masih seperti yang kauingat. Tidak terasa seperti daging." Kolonel duduk di sampingku. " Si Elang makan bersamaku. Ia ingin tahu apakah kita yang menyalakan petasan." Aku menghentikan permainan dan menoleh kepadanya. Dengan satu tangan, ia mengorek salah satu potongan vinil biru yang tersisa di sofa busa kami.
" Kau bilang apa?" tanyaku.
" Aku tidak mengadu. Omong-omong, dia bilang bibi Alaska atau entah siapa akan datang besok untuk membereskan kamarnya. Jadi jika ada barang milik kita, atau barang yang tak ingin ditemukan bibinya..."
Aku kembali ke permainan dan berkata, " Aku tak ingin melakukannya hari ini."
" Kalau begitu akan kulakukan sendiri," sahutnya. Ia berbalik dan berjalan ke luar, membiarkan pintu terbuka, dan sisa-sisa udara dingin yang mendadak masuk mengalahkan penghangat ruangan, jadi aku menghentikan permainan dan berdiri untuk menutup pintu. Ketika aku mengintip dari balik tembok untuk melihat apakah Kolonel sudah masuk ke kamar Alaska, ia berdiri di sana, tepat di depan pintu kami, lalu ia menarik sweterku, tersenyum, dan berkata, " Aku tahu kau tak akan membiarkanku melakukannya sendirian. Aku tahu itu." Aku menggeleng dan memutar bola mata tapi tetap mengikutinya, melewati telepon umum, dan masuk ke kamar Alaska.
Aku belum pernah memikirkan bau Alaska setelah ia meninggal. Tapi ketika Kolonel membuka pintu, aku menangkap sisa aromanya: tanah basah, rumput, dan asap rokok, serta pelembap kulit beraroma vanili di bawahnya. Gadis itu membanjiri keberadaanku saat ini, dan hanya kemauan kuat yang mencegahku membenamkan wajah dalam tumpukan baju kotor yang meluap dari keranjang di dekat lemari. Kamarnya persis seperti yang kuingat: ratusan buku ditumpuk menempel ke dinding, selimut warna lavendel tergulung kusut di kaki ranjangnya, tumpukan buku yang berdiri goyah di meja samping ranjang, gunung lilinnya mengintip dari bawah ranjang. Kamarnya terlihat seperti yang kuduga, tapi baunya, bau khas Alaska, mengejutkanku. Aku berdiri di tengah kamar dengan mata tertutup, menarik napas perlahan lewat hidungku, aroma vanili dan rerumputan musim gugur yang belum dipotong, tapi seiring tiap tarikan napas, aroma itu memudar saat aku mulai terbiasa dengan baunya, dan sesaat kemudian Alaska sudah pergi lagi.
" Ini tidak tertahankan," kataku lugas, karena memang demikian adanya. " Ya Tuhan. Buku-buku yang tak akan pernah dia baca. Perpustakaan Kehidupan-nya."
" Dibeli di obral barang bekas dan sekarang mungkin akan kembali ke obral barang bekas lainnya."
" Dari debu menjadi debu. Dari obral barang bekas ke obral barang bekas," kataku
" Baiklah. Saatnya bekerja. Ambil apa pun yang pasti tak ingin bibinya temukan," kata Kolonel, dan aku melihatnya berlutut di depan meja, membuka laci di bawah komputer, jemari kecilnya menarik
tumpukan kertas berstaples. " Ya Tuhan, dia menyimpan semua makalah yang pernah dia tulis. Moby Dick. Ethan Frome. "
Aku menyelipkan tangan di antara kasur dan kerangka ranjang untuk mencari kondom yang aku tahu ia sembunyikan untuk kedatangan Jake. Aku mengantonginya, lalu beralih ke lemarinya, mencari botol minuman keras atau alat bantu seks atau entah apa lagi yang tersembunyi di antara tumpukan pakaian dalam. Aku tidak menemukan apa pun. Lalu aku beralih ke tumpukan bukunya, mengamati bagaimana buku-buku itu ditumpuk miring dengan punggung menghadap ke luar, koleksi literatur semrawut yang merupakan Alaska. Ada satu buku yang ingin kubawa, tapi tak dapat kutemukan.
Kolonel duduk di lantai dekat ranjang, kepalanya merunduk ke lantai, memeriksa kolong tempat tidur. " Dia benar-benar tidak meninggalkan minuman keras, ya?" tanyanya.
Dan aku hampir menjawab, " Dia mengubur semuanya di hutan dekat lapangan bola," tapi aku tersadar bahwa Kolonel tidak tahu soal itu, bahwa Alaska tak pernah mengajaknya ke tepi hutan dan memintanya menggali harta karun yang terkubur, bahwa ia hanya membagi rahasia itu denganku, dan aku menyimpannya untuk diri sendiri sebagai kenang-kenangan, seolah membagi kenangan itu akan membuatnya hilang.
" Kau melihat buku {#1f}e General in His Labyrinth?" tanyaku sembari memindai judul-judul pada punggung buku dengan saksama. " Ada banyak warna hijau di kovernya, seingatku. Sampulnya tipis dan buku itu terkena banjir, jadi mungkin halamannya menggembung, tapi aku tak yakin dia" " lalu Kolonel memotongku dengan, " Yeah, ada di sini." Aku berpaling dan Kolonel sedang memegang buku itu, halaman-halamannya mengembang seperti akordeon akibat kejailan
Longwell, Jeff, dan Kevin. Aku menghampirinya, mengambil buku itu lalu duduk di ranjang. Kalimat-kalimat yang digarisbawahi Alaska dan catatan-catatan singkat yang ia tulis semua kabur akibat terendam air, tapi buku itu masih bisa dibaca. Aku sedang berpikir untuk membawanya ke kamarku dan mencoba membacanya mesti itu bukan buku biografi ketika aku membuka halaman menjelang akhir buku:
Ia terguncang oleh kesadaran hebat bahwa pertandingan tiada akhir antara kegagalan-kegagalan dan mimpi-mimpinya saat itu mencapai garis akhir. Sisanya hanyalah kegelapan. " Sial, " ia menghela napas. " Bagaimana caraku keluar dari labirin ini!"
Seluruh paragraf itu digarisbawahi dengan tinta hitam yang meluber karena terendam air. Tapi ada tinta lain, berwarna biru, yang ditorehkan setelah banjir, dan gambar panah yang ditarik dari tulisan Bagaimana caraku keluar dari labirin ini! ke catatan pinggir yang ditulis dengan huruf-huruf bulat melengkung: Langsung & Cepat.
" Hei, dia menulis sesuatu di sini setelah banjir," kataku. " Tapi ini aneh. Lihat. Halaman 192."
Aku melempar buku itu kepada Kolonel dan ia membuka halaman tersebut lalu mendongak kepadaku. " Langsung dan cepat," katanya. " Ya. Aneh, kan? Cara keluar dari labirin, kurasa."
" Tunggu, bagaimana kejadiannya? Apa yang terjadi?" Dan karena hanya ada satu kejadian, aku tahu apa yang ia tanyakan. " Aku sudah memberitahumu apa yang dikatakan si Elang padaku. Ada truk melintang di jalan. Mobil polisi datang untuk menghentikan lalu lintas, dan dia menghantam mobil polisi itu. Dia terlalu mabuk untuk menghindar."
" Terlalu mabuk? Terlalu mabuk? Lampu mobil polisi itu pasti menyala. Pudge, dia menabrak mobil polisi yang lampunya menyala,"
katanya tergesa-gesa. " Langsung dan cepat. Langsung dan cepat. Keluar dari labirin."
" Tidak," kataku, namun bahkan ketika mengucapkannya, aku bisa melihatnya. Aku bisa melihat Alaska cukup mabuk dan cukup marah. (Karena apa" karena selingkuh dari Jake? Karena melukaiku? Karena menginginkanku dan bukan pacarnya? Masih kesal karena mengadukan Marya?) Aku bisa melihatnya menatap mobil polisi itu, menyasarnya, dan tidak memedulikan siapa pun, tidak memikirkan janjinya padaku, tidak memikirkan ayahnya atau siapa pun, dan perempuan jalang itu, perempuan jalang itu, ia bunuh diri. Tapi tidak. Tidak. Itu bukan dirinya. Tidak. Ia berkata Kita lanjutkan lagi kapan-kapan. Tentu saja. " Tidak."
" Yeah, mungkin kau benar," kata Kolonel. Ia menjatuhkan buku itu, duduk di sampingku dan meletakkan dahi di tangannya. " Siapa yang mengemudi sepuluh kilometer dari kampus untuk bunuh diri? Sama sekali tidak masuk akal. Tapi " langsung dan cepat" . Rasanya seperti firasat yang aneh, bukan? Dan kita belum benar-benar memahami apa yang terjadi, kalau dipikir-pikir. Ke mana dia pergi, mengapa. Siapa yang menelepon. Seseorang menelepon, kan? Atau aku hanya" "
Kolonel terus berbicara, berusaha memecahkan misteri, sementara aku mengambil buku itu dan menemukan halaman tempat pertandingan abadi sang jenderal mencapai garis akhir, dan kami berdua terperangkap dalam pikiran masing-masing, jarak di antara kami mustahil terhubung, dan aku tidak dapat mendengarkan Kolonel karena sibuk mencoba menangkap jejak terakhir aroma Alaska, sibuk meyakinkan diri bahwa tentu saja ia tidak melakukannya. Melainkan aku" aku yang melakukannya, begitu juga Kolonel. Kolonel bisa saja mencari jalan keluar dari masalah ini, tapi aku lebih tahu, tahu bahwa
kami tak akan bisa menjadi apa pun selain dua orang yang sepenuhnya bersalah.
Delapan Hari Setelahnya
Selasa. Hari pertama sekolah. Madame O" Malley meminta kami mengheningkan cipta di awal pelajaran Bahasa Prancis, pelajaran yang selalu diselingi momen-momen hening yang panjang, lalu menanyakan bagaimana perasaan kami.
" Buruk," kata seorang gadis.
Mencari Alaska Looking For Alaska Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" En franais," respons Madame O" Malley. " En franais."
Semua terlihat sama, tapi lebih hening: kelompok Weekday Warriors masih duduk di bangku di luar perpustakaan, tapi mereka bergosip dengan suara kecil dan pelan. Kantin dipenuhi bunyi nampan plastik mengenai meja kayu dan garpu menggores piring, tapi semua percakapan seperti teredam. Namun melebihi keheningan semua orang lainnya, ada kebisuan di tempat Alaska seharusnya berada, Alaska yang meletup-letup dan selalu berceloteh. Sebaliknya, ini terasa seperti momen-momen ketika ia menarik diri, menolak menjawab pertanyaan bagaimana atau mengapa, hanya saja kali ini untuk selamanya.
Kolonel duduk di sebelahku di kelas agama, menghela napas, dan berkata, " Kau bau rokok, Pudge."
" Tanya apakah aku peduli."
Dr. Hyde terseok-seok masuk ke kelas, tumpukan tugas akhir kami terkempit di satu tangan. Ia duduk dan menarik napas dengan susah payah beberapa kali, lalu mulai berbicara. " Sudah menjadi
hukum bahwa orangtua tidak seharusnya mengubur anak-anak mereka," katanya. " Dan harus ada yang menegakkannya. Semester ini, kita akan lanjut mempelajari tradisi-tradisi agama yang akan diperkenalkan pada kalian musim gugur ini. Tapi tidak ada keraguan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang akan kita ajukan saat ini lebih mendesak dibandingkan beberapa hari lalu. Apa yang terjadi pada kita setelah kita mati, contohnya, bukan lagi sekadar pertanyaan filosofis. Ini pertanyaan yang harus kita ajukan tentang teman sekelas kita. Dan cara hidup dalam bayangan duka bukanlah sesuatu yang harus dijajaki oleh sembarang penganut Buddha, Kristen, dan Islam. Pertanyaanpertanyaan dari pemikiran religius telah menjadi, saya rasa, personal."
Ia mencari-cari di antara tugas kami, mengambil satu dari tumpukan di depannya. " Ini tugas akhir Alaska. Kalian tentu ingat bahwa kalian diminta menjabarkan pertanyaan terpenting yang dihadapi manusia, dan bagaimana tiga kepercayaan yang kita pelajari tahun ini menjawab pertanyaan tersebut. Ini pertanyaan Alaska."
Sambil menghela napas, ia mencengkeram kursi dan menghela tubuhnya berdiri, lalu menulis di papan: Bagaimana cara kita keluar dari labirin penderitaan ini?" A. Y.
" Saya akan membiarkan tulisan ini sepanjang semester," ujarnya. " Karena semua orang yang pernah tersesat dalam hidupnya merasakan desakan merongrong dari pertanyaan itu. Pada satu titik kita semua mendongak dan menyadari bahwa kita tersesat dalam labirin, dan saya tidak ingin kita melupakan Alaska, saya tidak ingin melupakan bahwa bahkan ketika materi yang kita pelajari terlihat membosankan, kita berusaha memahami bagaimana orang-orang menjawab pertanyaan tersebut dan pertanyaan yang kalian ajukan dalam esai kalian" bagaimana kepercayaan yang berbeda berdamai dengan apa
yang Chip sebut, dalam tugas akhirnya, sebagai " kesialan manusia dalam hidup" ."
Hyde duduk. " Jadi, bagaimana kabar kalian?"
Kolonel dan aku diam saja, sementara sekumpulan orang yang tidak mengenal Alaska memuji kebaikannya dan mengaku sangat kehilangan. Awalnya aku merasa terganggu. Aku tak ingin orangorang yang tidak ia kenal" dan tidak ia sukai" merasa sedih. Mereka tak pernah memedulikannya, dan sekarang mereka berlaku seolahseolah Alaska saudara mereka. Tapi kurasa aku juga tidak begitu mengenal Alaska. Kalau mengenalnya, aku pasti akan mengerti apa yang ia maksud dengan " Kita lanjutkan kapan-kapan?" Dan kalau aku peduli padanya seperti yang seharusnya, seperti yang kupikir kulakukan, mana mungkin aku membiarkannya pergi?
Jadi mereka tidak terlalu menggangguku. Tapi di sampingku, Kolonel bernapas pelan dan dalam melalui hidungnya seperti banteng yang hendak menyerang.
Ia bahkan memutar bola mata ketika Weekday Warriors Brooke Blakely, yang orangtuanya sudah menerima rapor buatan Alaska, berkata, " Aku hanya sedih karena tak pernah bilang padanya aku menyayanginya. Aku tak tahu mengapa."
" Benar-benar omong kosong," kata Kolonel saat kami pergi makan siang. " Kayak Brooke Blakely peduli saja pada Alaska."
" Kalau Brooke Blakely meninggal, apa kau tidak bakal sedih?" tanyaku.
" Mungkin, tapi aku tak akan sesumbar bahwa aku tak pernah bilang aku menyayangi Alaska. Aku tidak menyayanginya. Dia sangat bodoh."
Kupikir semua orang lainnya punya alasan yang lebih baik untuk berduka daripada kami" bagaimanapun, mereka tidak membunuh Alaska" tapi aku tahu sebaiknya tidak mencoba berbicara pada Kolonel saat ia sedang marah.
Sembilan Hari Setelahnya
" Aku punya teori," kata Kolonel ketika aku memasuki kamar setelah hari kedua sekolah yang menyedihkan. Musim dingin mulai berlalu, tapi kabar itu belum sampai kepada entah siapa yang mengurus tungku perapian, jadi ruang-ruang kelas terasa sangat pengap serta panas, dan aku hanya ingin merayap naik ke ranjang lalu tidur sampai tiba waktunya untuk mengulang semuanya dari awal.
" Aku tidak melihatmu di kelas hari ini," kataku sembari duduk di tempat tidur. Kolonel duduk di depan mejanya, membungkuk di atas buku tulis. Aku berbaring telentang dan menarik selimut sampai menutupi kepala, tapi Kolonel tak gentar.
" Yah, aku sibuk mengolah teori ini, yang tidak terlalu meyakinkan sebenarnya, tapi masuk akal. Jadi, begini. Dia menciummu. Malam itu, seseorang menelepon. Jake, mungkin. Mereka bertengkar" tentang selingkuh atau hal lain" siapa yang tahu? Jadi dia marah dan ingin pergi menemuinya. Dia kembali ke kamar sambil menangis, dan meminta kita membantunya keluar dari kampus. Dan dia ketakutan karena, entahlah, anggap saja kalau dia tidak bisa menemuinya, Jake akan memutuskannya. Itu hanya alasan hipotesis. Jadi dia keluar kampus dalam keadaan mabuk dan emosi, dia marah pada dirinya sendiri entah karena apa, dan dia terus mengemudi lalu melihat mobil polisi itu. Kemudian dalam sekejap semuanya jadi masuk akal dan akhir dari misteri labirinnya ada di depan mata maka dia mela
kukannya begitu saja, langsung dan cepat, menyasar mobil polisi itu tanpa menghindar, bukan karena mabuk tapi karena dia bunuh diri."
" Itu konyol. Dia tidak sedang memikirkan Jake atau bertengkar dengan Jake. Dia bercumbu denganku. Aku mencoba mengingatkan soal Jake tapi dia menyuruhku diam."
" Jadi siapa yang meneleponnya?"
Aku menendang selimutku dan, dengan tangan terkepal, meninju dinding seiring setiap kata yang kuucapkan. " AKU! TIDAK! TAHU! Dan kau tahu, itu tidak penting. Dia sudah mati. Apakah Kolonel yang genius akan menemukan cara untuk membuatnya tidak terlalu mati?"
Tapi itu penting, tentu saja, karena itulah aku tetap meninju dinding batako kami dan karena itulah pertanyaan-pertanyaan tersebut mengambang di bawah permukaan selama seminggu. Siapa yang menelepon? Ada masalah apa? Mengapa dia pergi? Jake tidak menghadiri pemakamannya. Ia juga tidak menelepon kami untuk mengatakan turut berduka cita atau menanyakan apa yang terjadi. Ia hanya menghilang, dan aku tentu saja bertanya-tanya. Aku bertanya-tanya apakah Alaska berniat menepati janjinya untuk melanjutkan apa yang kami lakukan. Aku bertanya-tanya siapa yang menelepon, dan mengapa, dan apa yang membuatnya begitu marah. Tapi aku lebih baik bertanya-tanya daripada mendapatkan jawaban yang tak sanggup kuhadapi.
" Mungkin dia pergi ke sana untuk memutuskan Jake," kata Kolonel, suaranya tiba-tiba melemah. Ia duduk di ujung ranjangku. " Aku tak tahu. Aku tak benar-benar ingin tahu."
" Yah," katanya. " Aku ingin tahu. Karena jika dia tahu apa yang dia lakukan, Pudge, dia menjadikan kita kaki tangannya. Dan aku
membencinya karena itu. Maksudku, astaga, coba lihat kita. Kita bahkan tak bisa lagi bicara pada siapa pun. Jadi dengar, aku telah membuat rencana: (1) Berbicara pada saksi mata. (2) Mencari tahu seberapa mabuk dia. (3) Mencari tahu ke mana dia pergi dan mengapa."
" Aku tak ingin bicara dengan Jake," kataku setengah hati, sudah menyerah mendengar rencana Kolonel yang tak ada habisnya. " Kalau dia tahu, aku benar-benar tak ingin bicara dengannya. Dan kalau dia tak tahu apa-apa, aku tak ingin berpura-pura tidak ada yang terjadi."
Kolonel berdiri dan menghela napas. " Kau tahu, Pudge? Aku merasa kasihan padamu. Sungguh. Aku tahu kau menciumnya, dan aku tahu kau patah hati karenanya. Tapi jujur saja, tutup mulutmu. Kalau Jake tahu, kau tak boleh memperburuk keadaan. Dan kalau sebaliknya, dia tak akan tahu sampai kapan pun. Jadi berhentilah memikirkan dirimu sendiri sejenak dan pikirkan temanmu yang sudah mati. Maaf. Hariku buruk."
" Tak apa," kataku, kembali menarik selimut sampai menutupi kepala. " Tak apa," ulangku. Dan, terserahlah. Memang tak apa-apa. Harus tak apa-apa. Aku tak sanggup kehilangan Kolonel.
Tiga Belas Hari Setelahnya
Karena sumber utama kami dalam hal kendaraan transportasi telah disemayamkan di Vine Station, Alabama, aku dan Kolonel terpaksa berjalan kaki ke Departemen Kepolisian Pelham untuk mencari saksi mata. Kami pergi setelah menyantap makan malam di kantin, malam turun lebih awal dengan cepat. Kami menyusuri Highway 119 sejauh
dua setengah kilometer sebelum tiba di gedung berlantai satu dari semen yang berada di antara Waffle House dan pom bensin.
Di dalam, meja panjang setinggi ulu hati Kolonel memisahkan kami dari kantor polisi sebenarnya, yang kelihatannya terdiri atas tiga petugas berseragam di depan meja mereka, semuanya berbicara di telepon.
" Saya adik Alaska Young," ujar Kolonel nekat. " Dan saya ingin bicara dengan polisi yang melihatnya tewas."
Pria kurus dan pucat dengan janggut pirang kemerahan berbicara cepat ke telepon lalu menutupnya.
" Aku melihatnya," katanya. " Dia menabrak mobilku." " Bisakah kami bicara dengan Anda di luar?" tanya Kolonel. " Yap."
Polisi tersebut menyambar mantelnya lalu berjalan menghampiri kami, dan selagi ia mendekat, aku bisa melihat nadi kebiruan di balik kulit wajahnya yang hampir transparan. Sebagai polisi, sepertinya ia tidak sering berada di udara terbuka. Ketika kami sudah berada di luar, Kolonel menyalakan rokok.
" Kau sudah sembilan belas?" tanya si polisi. Di Alabama, kau boleh menikah umur delapan belas (empat belas bila seizin Mom dan Dad), tapi kau harus berusia sembilan belas untuk merokok. " Silakan didenda. Saya hanya ingin tahu apa yang Anda lihat." " Aku hampir selalu bekerja dari jam enam sampai tengah malam, tapi waktu itu aku tugas jaga sampai pagi. Kami mendapat telepon tentang truk yang tergelincir, dan aku hanya berjarak satu setengah kilometer dari lokasi kejadian jadi aku ke sana, dan baru saja berhenti. Aku masih di dalam mobil, dan dari ujung mata aku melihat lampu depan mobil itu. Lampuku menyala dan aku membunyikan sirene, tapi lampunya tetap menuju ke arahku, Nak, jadi aku cepat-cepat
keluar dari mobil dan berlari menjauh lalu mobilnya menghantam mobilku. Aku sudah melihat banyak hal, tapi belum pernah melihat yang seperti itu. Dia tidak membelok atau mengerem. Dia hanya menabraknya. Jarakku tak sampai tiga meter dari mobil waktu dia menabraknya. Kupikir aku bisa saja mati, tapi aku masih di sini."
Untuk pertama kalinya, teori Kolonel terasa masuk akal. Alaska tidak mendengar sirene? Tidak melihat lampu mobil? Ia cukup sadar untuk mencium dengan hebat, pikirku. Tentunya ia cukup sadar untuk membanting setir.
" Apa Anda melihat wajahnya sebelum dia menabrak mobil? Apa dia tertidur?" tanya Kolonel.
" Kalau itu aku tak bisa jawab. Aku tak melihat gadis itu. Tak ada banyak waktu."
" Saya mengerti. Dia sudah meninggal waktu Anda mendatangi mobilnya?" tanya Kolonel.
" Aku" aku sudah berbuat semampuku. Aku berlari menghampirinya, tapi setirnya" yah, tanganku menggapai ke dalam, kupikir bisa melepas setirnya, tapi sudah tak mungkin mengeluarkannya dari mobil dalam keadaan hidup. Setir itu menghancurkan dadanya."
Aku mengernyit membayangkannya. " Apakah dia mengatakan sesuatu?" tanyaku.
" Dia meninggal seketika, Nak," katanya seraya menggeleng, dan harapan terakhirku untuk mengetahui kata-kata terakhir Alaska sirna.
" Menurut Anda ini kecelakaan?" Kolonel bertanya. Aku berdiri di sebelahnya, pundakku membungkuk, menginginkan rokok tapi tak berani selancang dia.
" Aku sudah 26 tahun bertugas di sini, dan aku sudah melihat orang mabuk lebih banyak daripada yang bisa kalian hitung. Tapi
aku belum pernah melihat orang yang begitu mabuk sampai tak bisa membanting setir. Tapi entahlah. Menurut koroner, itu kecelakaan, dan mungkin memang kecelakaan. Itu bukan bidangku, kalian tahu. Kurasa sekarang itu urusan antara dia dan Tuhan."
" Semabuk apa dia?" tanyaku. " Apakah mereka mengujinya?" " Yeah. Kadar alkohol dalam darahnya 0,24. Itu jelas-jelas mabuk. Mabuk berat."
" Apakah ada sesuatu di mobilnya?" tanya Kolonel. " Apa pun yang tidak wajar seingat Anda?"
" Aku ingat ada brosur-brosur universitas" tempat-tempat di Maine, Ohio, dan Texas" kupikir gadis ini pasti dari Culver Creek dan sungguh menyedihkan rasanya, melihat gadis seperti itu mencari tempat kuliah. Betapa malang nasibnya. Dan ada bunga. Bunga di kursi belakang. Seperti dari toko bunga. Tulip."
Tulip? Aku langsung teringat pada tulip yang dikirim Jake. " Apakah warnanya putih?" tanyaku.
" Betul sekali," jawab si polisi. Mengapa ia membawa tulip-tulip itu? Tapi polisi itu tak mungkin tahu jawaban dari pertanyaan tersebut.
" Kuharap kalian menemukan apa pun itu yang kalian cari. Aku sering memikirkannya, karena belum pernah melihat yang seperti itu. Aku berpikir keras, membayangkan andai aku cepat-cepat menyalakan mobil dan menjalankannya, gadis itu mungkin akan baikbaik saja. Mungkin masih ada waktu. Sekarang mustahil mengetahuinya. Tapi menurutku tidak penting apakah ini kecelakaan atau bukan. Keduanya sama-sama buruk."
" Tak ada yang dapat Anda lakukan ketika itu," kata Kolonel dengan lembut. " Anda telah melakukan tugas Anda dan kami sangat menghargainya."
" Yah. Terima kasih. Kalian pergilah sekarang, dan hati-hati, beritahu aku kalau punya pertanyaan lain. Ini kartu namaku kalau kalian butuh sesuatu."
Chip menaruh kartu itu dalam dompet kulit palsunya dan kami berjalan pulang.
" Tulip putih," kataku. " Tulip pemberian Jake. Mengapa?" " Suatu ketika tahun lalu, aku, Alaska, dan Takumi berada di Lubang Merokok, dan ada bunga daisy kecil berwarna putih di tepi sungai, lalu tiba-tiba dia melompat ke air sedalam pinggang, mengarunginya ke seberang dan mengambil bunga itu. Dia menaruhnya di belakang telinga, dan waktu aku tanya, dia bilang orangtuanya selalu menaruh bunga putih di rambutnya ketika dia kecil. Mungkin dia ingin mati bersama bunga putih."
" Mungkin dia berniat mengembalikannya pada Jake," kataku. " Mungkin. Tapi polisi itu jelas-jelas meyakinkanku bahwa dia bisa jadi bunuh diri."
" Mungkin kita harus membiarkan saja dia mati," kataku frustrasi. Menurutku sepertinya apa pun yang mungkin kami temukan tak akan memperbaiki keadaan, dan aku tak bisa mengenyahkan bayangan setir mobil menghantam dadanya, dadanya " bisa dibilang hancur" ketika ia menarik napas terakhir yang tak pernah datang, dan tidak, ini sama sekali tidak memperbaiki keadaan. " Bagaimana jika dia benar-benar melakukannya?" Aku bertanya pada Kolonel. " Kesalahan kita sama sekali tak berkurang. Hanya menjadikan Alaska perempuan jalang yang egois dan jahat."
" Demi Tuhan, Pudge. Apa kau sebenarnya ingat seperti apa dia dulu? Kauingat bagaimana dia bisa menjadi perempuan jalang yang egois? Itu bagian dirinya dan dulu kau tahu itu. Sekarang sepertinya kau hanya peduli pada Alaska yang kauciptakan sendiri."
Aku mempercepat langkahku, berjalan di depan Kolonel, menutup mulut. Dan ia tak akan mengerti, karena ia bukan orang terakhir yang dicium Alaska, karena ia tidak ditinggalkan dengan janji yang belum ditepati, karena ia bukan aku. Persetan semua ini, aku membatin, dan untuk pertama kalinya aku membayangkan pulang saja ke rumah, melupakan Kemungkinan Besar demi kenyamanan temanteman sekolah yang sudah tak asing bagiku. Apa pun kesalahan teman-teman sekolahku di Florida, tak ada di antara mereka yang mati meninggalkanku.
Setelah jarak yang cukup jauh, Kolonel berlari mengejarku. " Aku hanya ingin keadaan menjadi normal lagi," katanya. " Kau dan aku. Normal. Seru. Hanya normal. Dan aku merasa seandainya kita tahu" "
" Oke, baiklah," aku memotong. " Baiklah. Kita akan terus mencari."
Kolonel menggeleng, tapi lalu tersenyum. " Aku selalu menghargai antusiasmemu, Pudge. Dan aku akan terus berpura-pura kau masih memilikinya sampai antusiasme itu kembali lagi. Sekarang ayo kita pulang dan mencari tahu mengapa orang bunuh diri."
Empat Belas Hari Setelahnya
Gejala kecenderungan bunuh diri yang aku dan Kolonel temukan di internet:
-Pernah mencoba bunuh diri -Ancaman bunuh diri secara verbal -Membagikan barang-barang berharga
-Mengumpulkan dan mendiskusikan metode bunuh diri
-Mengekspresikan keputusasaan dan kemarahan kepada diri
sendiri dan/atau dunia -Menulis, membicarakan, membaca, dan menggambar tentang
kematian dan/atau depresi -Menyatakan bahwa dirinya tidak akan dirindukan jika ia
tiada -Melukai diri sendiri
-Baru kehilangan teman atau keluarga karena meninggal atau
bunuh diri -Kemunduran drastis dan tiba-tiba dalam prestasi akademis -Gangguan makan, kurang tidur, terlalu banyak tidur, sakit
kepala kronis -Penggunaan (atau meningkatnya penggunaan) obat-obatan
yang dapat memengaruhi pikiran -Kehilangan minat dalam seks, hobi, atau kegiatan lain yang sebelumnya disukai
Alaska menunjukkan dua dari semua gejala di atas. Ia kehilangan ibunya, walaupun bukan baru saja. Dan kebiasaan minumnya, yang selalu banyak, jelas meningkat selama sebulan terakhir hidupnya. Ia memang beberapa kali membicarakan kematian, tapi sepertinya selalu setengah bercanda.
" Aku sering membuat lelucon tentang kematian," kata Kolonel. " Aku membuat lelucon minggu lalu tentang menggantung diri dengan dasi. Tapi aku tidak bakal bunuh diri. Jadi itu tidak masuk hitungan. Dia tidak membagikan apa pun dan jelas-jelas tidak kehilangan minat terhadap seks. Orang harus benar-benar menyukai seks kalau sampai mau bercumbu denganmu."
" Lucu," kataku.
" Aku tahu. Ya Tuhan, aku genius. Dan nilai-nilainya bagus. Aku juga tak ingat pernah mendengarnya berkata ingin bunuh diri."
" Pernah sekali, soal rokok itu, ingat tidak? Kalian semua merokok untuk menikmatinya. Aku merokok untuk mati." kataku. " Itu lelucon."
Tapi ketika didesak oleh Kolonel, mungkin untuk membuktikan padanya bahwa aku bisa mengingat Alaska yang sebenarnya dan bukan Alaska yang aku inginkan, aku terus-menerus mengembalikan percakapan ke masa-masa ketika Alaska bersikap kejam dan tempramental, ketika ia sedang tidak ingin menjawab pertanyaan bagaimana, kapan, mengapa, siapa, atau apa. " Ia bisa terlihat begitu marah," pikirku lantang.
" Memangnya aku tak bisa?" Kolonel menjawab ketus. " Aku penuh kemarahan, Pudge. Dan akhir-akhir ini kau juga bukan orang yang penuh ketenangan, tapi bukan berarti kau bakal bunuh diri. Tunggu, jangan-jangan iya?"
" Tidak," sahutku. Dan mungkin ini hanya karena Alaska tidak bisa menginjak rem sementara aku tidak bisa menginjak gas. Mungkin ia punya jenis keberanian aneh yang tak kumiliki, tapi tidak.
" Baguslah. Jadi yah, emosinya memang naik turun" dari api dan belerang menjadi asap dan abu. Tapi sedikit banyak, setidaknya tahun ini, semua gara-gara urusan Marya. Dengar, Pudge, dia jelas tidak berencana bunuh diri waktu berciuman denganmu. Setelah itu, dia tidur hingga telepon berdering. Jadi dia memutuskan untuk bunuh diri pada satu waktu antara dering telepon dan tabrakan, atau ini hanya kecelakaan."
" Tapi mengapa menunggu sampai sepuluh kilometer dari kampus untuk mati?" tanyaku.
Ia menghela napas dan menggeleng. " Dia kan senang menjadi misterius. Mungkin ini yang dia inginkan." Saat itu aku tertawa, dan Kolonel berkata, " Apa?"
" Aku hanya berpikir" Kenapa menabrak mobil polisi yang lampunya menyala? Lalu aku berpikir, Yah, dia membenci pihak berwenang." Kolonel terbahak. " Hei, coba lihat. Pudge berkelakar!" Rasanya hampir-hampir normal, lalu jarakku dari kejadian itu sendiri seolah menguap dan aku mendapati diriku kembali ke aula olahraga, mendengar berita itu untuk pertama kalinya. Air mata si Elang jatuh ke celananya, aku berpaling kepada Kolonel dan memikirkan sekian jam yang kami habiskan di sofa ini selama dua minggu terakhir" segala hal yang dirusak Alaska. Terlalu marah untuk menangis, aku berujar, " Ini hanya membuatku membencinya. Aku tak ingin membencinya. Dan apa gunanya kalau hanya membuatku membencinya?" Masih menolak menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa. Masih bersikukuh membangun aura misterius.
Aku membungkuk, meletakkan kepala di antara lutut, dan Kolonel meletakkan tangan di punggungku. " Gunanya adalah bahwa selalu ada jawaban, Pudge." Kemudian ia meniupkan udara dari bibirnya yang mengerucut dan aku bisa mendengar getar kemarahan dalam suaranya ketika ia mengulangi, " Selalu ada jawaban. Kita hanya harus cukup pintar. Situs tadi menyebutkan bahwa bunuh diri biasanya melibatkan rencana yang disusun dengan matang. Jadi sudah jelas dia tidak bunuh diri." Aku malu karena masih merasa hancur berkeping-keping dua minggu setelahnya sementara Kolonel bisa begitu tabah, maka aku duduk tegak.
" Oke, baiklah," jawabku. " Itu bukan bunuh diri."
" Walaupun sebagai kecelakaan, itu tidak masuk akal," kata Kolonel.
Aku terbahak. " Kita jelas membuat kemajuan."
Kami diinterupsi oleh Holly Moser, senior yang kukenal terutama karena aku pernah melihat sketsa telanjangnya saat liburan {#1e}anksgiving bersama Alaska. Holly bergaul dengan Weekday Warriors, yang menjelaskan mengapa aku hanya pernah mengucapkan dua patah kata kepadanya seumur hidupku, tapi ia langsung masuk ke kamar kami tanpa mengetuk dan berkata bahwa ia merasakan indikasi mistis kehadiran Alaska.
" Aku sedang berada di Waffle House dan tiba-tiba semua lampu mati, kecuali lampu di atas bilikku, yang mulai berkedip. Lampunya seperti menyala sedetik, lalu mati sebentar, lalu menyala lagi beberapa detik, lalu mati. Dan aku sadar, kalian tahu, itu Alaska. Sepertinya ia berusaha berbicara denganku dalam kode Morse. Tapi, yah, aku tidak paham kode Morse. Dia mungkin tidak tahu itu. Begitulah, aku pikir kalian harus tahu."
" Terima kasih," jawabku singkat, dan ia berdiri sejenak, menatap kami, mulutnya terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi Kolonel balas menatapnya dengan mata setengah terpejam, rahangnya mencuat dan kemuakannya terlihat jelas. Aku memahami apa yang ia rasakan: aku tidak percaya ada hantu yang menggunakan kode Morse untuk berkomunikasi dengan orang yang tidak pernah disukainya. Dan aku tidak menyukai kemungkinan bahwa Alaska memberikan kedamaian pada orang lain yang bukan aku.
" Demi Tuhan, orang seperti dia seharusnya tidak boleh hidup," kata Kolonel setelah Holly keluar.
" Tadi cukup konyol."
" Bukan cuma konyol, Pudge. Maksudku, memangnya Alaska sudi bicara dengan Holly Moser? Ya Tuhan! Aku muak melihat orangorang yang sok berduka ini. Dasar perempuan jalang bodoh."
Aku hampir memberitahunya bahwa Alaska tidak akan mau mendengar Kolonel menyebut perempuan mana pun jalang, tapi tak ada gunanya bertengkar dengan Kolonel.
Dua Puluh Hari Setelahnya
Hari Minggu, aku dan Kolonel memutuskan untuk tidak makan malam di kantin, melainkan berjalan keluar kampus dan menyeberangi Highway 119 menuju Sunny Konvenience Kiosk, tempat kami menikmati santapan seimbang berupa pai krim oatmeal, masing-masing dua potong. Tujuh ratus kalori. Cukup energi untuk menopang seorang pria selama setengah hari. Kami duduk di trotoar depan toko dan aku menghabiskan makan malam dalam empat gigitan.
" Aku akan menelepon Jake besok, asal kau tahu saja. Aku mendapat nomor teleponnya dari Takumi."
" Baiklah," kataku.
Aku mendengar bunyi lonceng di belakangku dan menoleh ke arah pintu yang terbuka.
" Kalian nongkrong di sini," kata wanita yang baru saja menjual makan malam kepada kami.
" Kami sedang makan," jawab Kolonel.
Wanita itu menggeleng dan memerintah, seakan-akan kami anjing, " Minggat."
Jadi kami pergi ke belakang toko dan duduk di sebelah tempat sampah Dumpster yang berbau busuk.
" Berhentilah mengatakan " baiklah" , Pudge. Itu konyol. Aku akan menelepon Jake, dan akan kutulis semua yang dia katakan, lalu kita akan duduk bersama dan mencoba mencari tahu apa yang terjadi."
" Tidak. Kau mesti melakukannya sendiri. Aku tak mau tahu apa yang terjadi antara Alaska dan Jake."
Kolonel melenguh dan mengambil sebungkus rokok Donasi Pudge dari kantong jinsnya. " Kenapa tidak?"
" Karena aku tidak mau! Apa aku harus memberikan analisis mendalam untuk setiap keputusan yang kuambil?"
Kolonel menyalakan rokok dengan pemantik yang kubeli dan mengisapnya. " Terserahlah. Masalah ini harus dipecahkan dan aku butuh bantuanmu, karena kita berdua mengenalnya dengan baik. Jadi begitulah."
Aku berdiri dan menatap Kolonel yang duduk dengan pongah. Ia meniupkan asap tipis ke wajahku, dan aku naik pitam.
" Aku capek menuruti perintah, keparat! Aku tak mau duduk denganmu dan membahas hubungan mesranya dengan Jake, sialan. Aku tak bisa mengatakannya lebih jelas lagi: Aku tidak mau tahu tentang mereka. Aku sudah tahu apa yang dia ceritakan padaku, hanya itu yang perlu kuketahui, dan kau bisa jadi bajingan yang merendahkanku selama kau mau, tapi aku tak akan duduk dan mengobrol denganmu tentang betapa dia begitu mencintai Jake! Sekarang kemarikan rokokku." Kolonel melempar bungkus rokok ke tanah dan dalam sekejap mata ia sudah berdiri, mencengkeram sweterku, mencoba dengan sia-sia untuk menarikku ke bawah agar sejajar dengannya.
" Kau bahkan tak peduli padanya!" ia berteriak. " Yang penting hanya kau dan khalayan sialanmu yang berharga bahwa kau dan Alaska memiliki hubungan cinta rahasia dan dia akan meninggalkan Jake untukmu lalu kalian hidup bahagia selamanya. Tapi dia mencium banyak cowok, Pudge. Dan jika dia masih di sini, kita berdua tahu dia akan tetap menjadi pacar Jake dan hanya akan ada drama di antara
kalian berdua" bukan cinta, bukan seks, hanya kau yang mengejarnya tanpa hasil sementara dia hanya berkata, " Kau manis, Pudge, tapi aku cinta Jake." Kalau begitu mencintaimu, mengapa dia meninggalkanmu malam itu? Dan kalau begitu mencintainya, mengapa kau membantunya pergi? Aku mabuk waktu itu. Apa alasanmu?"
Kolonel melepaskan sweterku, dan aku mengambil rokok di tanah. Tanpa teriakan, tanpa gigi yang dikertakkan, tanpa nadi yang berdenyut di dahiku, tapi dengan tenang. Dengan tenang. Aku menunduk kepada Kolonel dan berkata, " Persetan denganmu."
Teriakan yang membuat seluruh nadiku berdenyut muncul belakangan, setelah aku setengah berlari menyeberangi Highway 119, melintasi area asrama, melewati lapangan sepak bola, dan menyusuri jalan tanah menuju jembatan, ketika aku sampai di Lubang Merokok. Aku mengangkat salah satu kursi biru dan melemparkannya ke dinding beton. Bunyi dentang plastik menghantam dinding beton menggema di bawah jembatan sementara kursi itu terkulai miring, lalu aku berbaring telentang dengan kedua kaki tergantung melewati tebing dan berteriak. Aku berteriak karena Kolonel adalah orang brengsek yang berpuas diri dan merendahkanku, aku berteriak karena ia benar, karena aku memang ingin memercayai bahwa aku memiliki hubungan cinta rahasia dengan Alaska. Apakah ia mencintaiku? Maukah ia meninggalkan Jake untukku? Atau itu hanya satu lagi momen impulsif Alaska? Rasanya tidak cukup hanya menjadi lelaki terakhir yang diciumnya. Aku ingin menjadi lelaki terakhir yang dicintainya. Dan aku tahu aku bukan lelaki itu. Aku tahu, dan aku membenci Alaska karena itu. Aku membencinya karena tak memedulikanku. Aku membencinya karena ia pergi malam itu, dan aku
juga membenci diriku sendiri, bukan hanya karena aku membiarkannya pergi tapi karena jika aku cukup baik untuknya, ia pasti tidak akan pernah ingin pergi. Ia hanya akan berbaring denganku, berbicara dan menangis, sementara aku mendengarkan dan mencium air mata yang menggenang di matanya.
Aku menoleh dan menatap salah satu kursi biru kecil yang tergeletak miring. Aku ingin tahu apakah akan ada satu hari ketika aku tidak memikirkan Alaska, apakah aku sebaiknya mengharapkan datangnya waktu ketika gadis itu akan menjadi kenangan samar" hanya dikenang pada hari peringatan kepergiannya, atau mungkin beberapa minggu setelahnya, baru teringat setelah terlupakan.
Aku tahu bahwa akan lebih banyak lagi orang kukenal yang mati. Jasad mereka bertumpuk. Mungkinkah ada ruang dalam memoriku untuk mereka semua, atau aku akan melupakan Alaska sedikit demi sedikit setiap hari sepanjang sisa hidupku?
Suatu kali, di awal tahun ini, aku dan Alaska berjalan ke Lubang Merokok, lalu ia melompat ke sungai Culver Creek dengan masih mengenakan sandal. Ia melangkah menyeberangi sungai, berhati-hati menapaki bebatuan berlumut, dan menyambar ranting basah dari seberang sungai. Selagi aku duduk di lantai beton, kakiku terjuntai ke arah air, ia membalik bebatuan dengan ranting itu dan menunjuk udang karang yang bertemperasan.
" Tinggal direbus lalu diisap isi kepalanya," kata Alaska penuh semangat. " Itu bagian terbaiknya" kepala."
Ia mengajariku segala hal yang kutahu tentang udang karang, ciuman, anggur merah muda, dan puisi. Ia menjadikanku berbeda.
Aku menyalakan rokok dan meludah ke dalam sungai. " Kau tak bisa mengubahku lalu tiba-tiba pergi," aku berkata keras-keras kepadanya. " Karena sebelumnya aku baik-baik saja, Alaska. Aku
baik-baik saja hanya dengan diriku, kata-kata terakhir, dan temanteman sekolah. Kau tak bisa mengubahku lalu tiba-tiba mati." Sebab Alaska telah mewujudkan Kemungkinan Besar" ia telah membuktikan padaku bahwa sungguh setimpal meninggalkan hidup remehku yang lama demi kemungkinan-kemungkinan yang lebih besar, dan sekarang ia telah pergi membawa keyakinanku pada kemungkinan. Aku bisa mengingat semua yang Kolonel katakan dan tetap " baikbaik saja" . Aku bisa mencoba berpura-pura bahwa aku tak lagi peduli, tapi itu tidak akan pernah menjadi kenyataan lagi. Kau tak bisa membuat kehadiranmu penting lalu mati, Alaska, karena sekarang aku sudah jauh berbeda, dan ya, aku menyesal melepasmu pergi, tapi kau yang memutuskan. Kau meninggalkanku tanpa Kemungkinan, terperangkap dalam labirin sialanmu. Dan sekarang aku bahkan tak tahu apakah kau memilih jalan keluar yang langsung dan cepat, apakah kau sengaja meninggalkanku seperti ini? Jadi aku tak pernah mengenalmu, bukan?
Aku tak bisa mengingat, karena tak pernah kenal. Selagi aku berdiri untuk berjalan pulang dan berbaikan dengan Kolonel, aku mencoba membayangkan Alaska di kursi itu, tapi aku tak dapat mengingat apakah ia menyilangkan kakinya. Aku masih dapat melihatnya tersenyum padaku dengan setengah cengiran Mona Lisa, tapi aku tak dapat membayangkan tangannya dengan cukup jelas untuk melihatnya memegang rokok. Aku perlu benar-benar mengenalnya, putusku, karena aku butuh lebih banyak untuk mengingat. Sebelum aku dapat memulai proses memalukan untuk melupakan bagaimana dan mengapa dalam kehidupan dan kematiannya, aku perlu mempelajarinya: Bagaimana. Mengapa. Kapan. Di mana. Apa.
Di Kamar 43, setelah dengan cepat menawarkan dan menerima permintaan maaf, Kolonel berkata, " Kita sudah membuat keputusan taktis untuk menunda menelepon Jake. Kita akan mengambil jalan lain dulu."
Dua Puluh Satu Hari Setelahnya
Selagi Dr. Hyde terseok-seok memasuki kelas keesokan harinya, Takumi duduk di sampingku dan menuliskan sesuatu di pinggiran buku catatannya. Makan siang di McInedible, tulisnya.
Aku menjawab Oke di bukuku sendiri lalu membalik ke halaman kosong ketika Dr. Hyde mulai berbicara tentang Sufisme, dimensi mistis dalam Islam. Aku hanya membaca materinya sekilas" belakangan ini aku belajar sekadar supaya tidak gagal" tapi dari bacaan sekilas itu, aku menemukan banyak kata terakhir yang hebat. Seorang Sufi miskin yang berpakaian compang-camping memasuki toko perhiasaan milik seorang saudagar kaya dan bertanya kepada saudagar itu, " Apakah kau tahu bagaimana kau akan mati?" Saudagar itu menjawab, " Tidak. Tak ada orang yang tahu bagaimana mereka akan mati." Dan sang Sufi berkata," Aku tahu."
" Bagaimana?" tanya si saudagar.
Kemudian sang Sufi berbaring, bersedekap, dan berkata, " Seperti ini," lalu mati. Si saudagar langsung melepas tokonya untuk menjalani hidup serba kekurangan guna mengejar jenis kekayaan spiritual seperti yang dimiliki sang Sufi.
Tapi Dr. Hyde menceritakan kisah yang berbeda, yang kulewatkan saat membaca materi pelajaran. " Karl Marx dikenal luas pernah menyebut agama sebagai " candu masyarakat" . Buddha, terutama sebagaimana ajaran tersebut banyak dijalankan, menjanjikan penyem
purnaan lewat karma. Islam dan Kristen menjanjikan surga kekal bagi mereka yang percaya. Dan itu jelas candu yang ampuh, harapan akan datangnya kehidupan yang lebih baik. Tapi ada kisah Sufi yang menantang gagasan bahwa orang percaya hanya karena mereka membutuhkan candu. Rabi" ah al-Adiwiyah, perempuan suci hebat dalam Sufisme, terlihat berlari-lari di jalanan kotanya, Basra, membawa obor di satu tangan dan seember air di tangan satunya. Ketika seseorang menanyakan apa yang ia lakukan, Rabi" ah menjawab, " Aku membawa seember air untuk dituangkan ke api neraka, dan obor ini akan kugunakan untuk membakar pintu gerbang surga sehingga orang-orang tidak akan mencintai Tuhan karena ingin masuk surga atau takut masuk neraka, tapi karena Ia adalah Tuhan." "
Perempuan yang begitu kuat sampai-sampai ia membakar surga dan membanjiri neraka. Alaska pasti menyukai perempuan Rabi" ah ini, tulisku dalam buku catatan. Meski begitu, akhirat sangat penting buatku. Surga, neraka, dan reinkarnasi. Sama besarnya dengan keinginanku mencari tahu bagaimana Alaska mati, aku juga ingin tahu di mana ia berada sekarang, jika memang ada di suatu tempat. Aku suka membayangkannya memperhatikan kami dari atas, masih menyadari keberadaan kami, tapi itu terdengar seperti khayalan dan aku tak pernah benar-benar merasakannya" seperti yang dikatakan Kolonel di pemakaman bahwa Alaska tidak ada di sana, tidak ada di mana-mana. Sejujurnya, aku hanya dapat membayangkan Alaska yang sudah mati, tubuhnya membusuk di Vine Station, bagian lain dirinya sekadar hantu yang hidup hanya dalam ingatan kami. Seperti halnya Rabi" ah, aku menganggap manusia tidak sepatutnya percaya pada Tuhan semata-mata karena surga dan neraka. Tapi aku tidak merasa perlu untuk berlari-lari membawa obor. Kau tak bisa membakar tempat yang tidak nyata.
Seusai kelas, selagi Takumi memilah-milah kentang goreng pesanannya di McInedible, hanya memakan yang paling garing, aku merasakan kehilangan Alaska sepenuhnya, masih terguncang oleh pikiran bahwa ia bukan hanya pergi dari dunia ini tapi dari dunia mana pun.
" Bagaimana kabarmu?" tanyaku.
" Uh," jawabnya, dengan mulut penuh kentang goreng, " tidak baik. Kau?"
" Tidak baik," Aku memakan segigit cheeseburger. Aku mendapat mobil-mobilan plastik dari paket Happy Meal-ku dan mobil itu tergeletak terbalik di meja. Aku memutar rodanya.
" Aku merindukannya," kata Takumi, menyingkirkan nampan, tidak tertarik pada kentang goreng lembek yang tersisa.
" Yeah, aku juga. Aku menyesal, Takumi," dan aku benar-benar menyesal dengan sepenuh hatiku. Aku menyesal kami berakhir seperti ini, memutar-mutar roda di McDonald" s. Aku menyesal orang yang menyatukan kami sekarang terbaring mati di antara kami. Aku menyesal membiarkannya mati. Maaf aku belum berbicara padamu karena kau tak boleh mengetahui kebenaran tentangku dan Kolonel, dan aku benci berada di dekatmu dan harus berpura-pura bahwa dukaku bukan hal yang rumit" berpura-pura bahwa ia mati dan aku merindukannya, padahal ia mati karena aku.
" Aku juga. Kau tidak pacaran dengan Lara lagi, ya?" " Sepertinya tidak."
" Oke. Dia bertanya-tanya juga."
Aku mengabaikan Lara akhir-akhir ini, tapi kemudian ia balas mengabaikanku, jadi kupikir hubungan kami sudah berakhir, tapi
mungkin belum. " Yah," aku memberitahu Takumi. " Aku cuma tak bisa" entahlah. Ini cukup rumit."
" Tentu. Dia pasti mengerti. Tentu saja. Tak ada masalah." " Oke."
" Dengar, Pudge. Aku" ah, entahlah. Ini menyebalkan, ya?" " Yeah."
Dua Puluh Tujuh Hari Setelahnya
Enam hari kemudian, empat hari Minggu setelah Minggu yang terakhir, aku dan Kolonel mencoba menembak satu sama lain dengan pistol cat sambil berputar 900 derajat di arena skateboard. " Kita perlu alkohol. Dan kita harus meminjam alat penguji napas alkohol milik si Elang."
" Meminjamnya? Apa kau tahu di mana letaknya?" " Yeah. Dia belum pernah mengujimu?" " Mm. Belum. Dia pikir aku kutu buku."
" Kau memang kutu buku, Pudge. Tapi jangan biarkan detail seperti itu menghalangimu minum." Sebenarnya, aku tak pernah minum sejak malam itu, dan tidak merasa ingin melakukannya lagi selamanya.
Lalu aku hampir menyikut wajah Kolonel, tanganku mengayun liar seolah memutar-mutar tubuh ke arah yang benar sama pentingnya dengan menekan tombol yang tepat di waktu yang tepat" anggapan keliru dalam bermain video game yang selalu diyakini Alaska. Tapi Kolonel begitu terpaku pada permainan sehingga bahkan tidak menyadarinya. " Apa kau punya rencana pasti bagaimana kita akan mencuri alat penguji napas itu dari dalam rumah Elang?"
Kolonel menatapku dan berkata, " Apa kau payah dalam permainan ini?" lalu, tanpa berpaling lagi ke layar, ia menembak selangkangan peseluncurku dengan cat biru. " Tapi pertama-tama, kita harus mencari minuman, karena ambrosianya sudah basi dan koneksiku ke minuman keras" "
" WUSS. Sudah pergi," pungkasku.
Ketika aku membuka pintu kamarnya, Takumi sedang duduk di depan meja, headphone besar menutupi seluruh kepalanya yang bergerak mengikuti irama musik. Ia sepertinya tidak menyadari kedatangan kami. " Hei," kataku. Tak ada respons. " Takumi!" Tak ada respons. " TAKUMI!" Ia berbalik dan melepas headphone-nya. Aku menutup pintu di belakangku dan berkata, " Apa kau punya alkohol?"
" Kenapa?" tanyanya.
" Eh, karena kami mau mabuk-mabukan?" jawab Kolonel. " Asyik. Aku ikut."
" Takumi," kata Kolonel. " Ini" kami harus melakukan ini sendiri."
" Tidak. Aku sudah muak dengan omong-kosong itu." Takumi berdiri, berjalan ke kamar mandi dan keluar dengan sebotol Gatorade berisi cairan bening. " Aku menyimpannya di lemari obat," kata Takumi. " Karena ini obat." Ia mengantongi botolnya lalu keluar dari kamar, membiarkan pintu terbuka di belakangnya. Sesaat kemudian, ia mengintip ke dalam dan dengan brilian meniru suara bas Kolonel yang sok memerintah. " Demi Tuhan, kalian ikut atau tidak?"
" Takumi," kata Kolonel. " Oke. Dengar, yang akan kami lakukan ini sedikit berbahaya dan aku tak ingin melibatkanmu dalam masalah.
Sungguh. Tapi dengar, mulai besok kami akan menceritakan semuanya padamu."
" Aku muak dengan semua omong-kosong rahasia ini. Dia temanku juga."
" Besok. Janji."
Ia mengeluarkan botol dari kantong dan melemparnya kepadaku. " Besok," ujarnya.
" Aku tidak terlalu ingin dia tahu," kataku selagi kami berjalan kembali ke kamar, dengan botol Gatorade menyesaki kantong sweterku. " Dia bakal membenci kita."
" Yah, dia bakal lebih membenci kita kalau kita terus berpura-pura dia tidak ada," jawab Kolonel.
Lima belas menit kemudian, aku berdiri di depan pintu rumah si Elang.
Ia membuka pintu dengan spatula di tangan, tersenyum dan berkata, " Miles, ayo masuk. Aku baru saja membuat sandwich telur. Kau mau?"
" Tidak, terima kasih," kataku, mengikuti si Elang ke dapur. Tugasku adalah menjauhkan si Elang dari ruang tamunya selama tiga puluh detik agar Kolonel bisa mengambil alat penguji napas tanpa ketahuan. Aku batuk dengan keras sebagai kode untuk Kolonel bahwa situasi aman. Si Elang mengambil sandwich telurnya dan makan segigit. " Angin apa yang membawamu kemari?" tanyanya.
" Saya hanya ingin memberitahu Anda bahwa Kolonel" maksud saya, Chip Martin" dia teman sekamar saya, seperti yang Anda ketahui, dan dia mengalami kesulitan di kelas bahasa Latin."
" Yah, setahuku dia tidak menghadiri kelas itu, yang tentu saja membuatnya kesulitan mempelajari bahasa tersebut." Ia berjalan menghampirku. Aku terbatuk lagi dan melangkah mundur, si Elang dan aku seperti menari tango menuju ruang tamunya.
" Benar, yah, dia terjaga setiap malam memikirkan Alaska," kataku, berdiri tegak dan tegap, mencoba menutupi pandangan si Elang ke ruang tamu dengan pundakku yang sama sekali tidak lebar. " Mereka sangat dekat, Anda tahu."
" Aku tahu itu" " katanya, dan di ruang tamu, sepatu kets Kolonel berdecit di lantai kayu. Si Elang menatapku bingung dan berjalan melewatiku. Aku cepat-cepat berkata, " Kompornya masih menyala ya?" dan menunjuk ke wajan penggorengan.
Mencari Alaska Looking For Alaska Karya John Green di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si Elang berbalik, menatap kompor yang jelas-jelas tidak menyala, lalu bergegas ke ruang tamu.
Kosong. Ia kembali menghadapku. " Apa kau sedang merencanakan sesuatu, Miles?"
" Tidak, Sir. Sungguh. Saya hanya ingin membicarakan Chip." Ia menaikkan alis dengan skeptis. " Yah, aku mengerti ini kehilangan yang sangat berat bagi teman-teman dekat Alaska. Sungguh menyedihkan. Tidak ada yang bisa menghibur duka semacam ini, bukan?"
" Tidak ada, Sir."
" Aku bersimpati pada kesulitan Chip. Tapi sekolah itu penting. Alaska pasti ingin, aku yakin, agar studi Chip berlanjut tanpa gangguan."
Aku yakin itu, batinku. Aku berterima kasih kepada si Elang dan ia menjanjikanku sandwich telur suatu hari nanti, yang membuatku gugup memikirkan ia bisa tiba-tiba muncul di kamar kami suatu siang dengan membawa sandwich telur dan mendapati kami (a)
sedang merokok secara ilegal selagi Kolonel (b) meminum susu dan vodka dari botol plastik, juga secara ilegal.
Setengah perjalanan melewati area asrama, Kolonel berlari menghampiriku. " Itu tadi cantik sekali, " Apa kompornya masih menyala?" Kalau kau tidak menanyakan itu, aku pasti tamat. Walaupun sepertinya aku harus mulai menghadiri kelas bahasa Latin. bahasa Latin bodoh."
" Kau sudah dapat?" tanyaku.
" Yeah," katanya. " Yeah. Astaga, kuharap dia tak akan mencarinya malam ini. Meskipun sebenarnya dia tak akan pernah curiga. Mana ada orang yang mencuri alat penguji napas?"
Jam dua pagi, Kolonel meneguk gelas vodka keenamnya, mengernyit, lalu dengan heboh menunjuk-nunjuk Mountain Dew yang kuminum. Aku memberikan botol itu kepadanya dan ia minum banyak-banyak.
" Aku tidak yakin aku sanggup menghadiri kelas bahasa Latin besok," ujarnya. Kata-kata Kolonel tidak jelas, seolah lidahnya membengkak.
" Satu lagi," aku memohon.
" Baiklah. Tapi ini yang terakhir." Ia menuang seteguk vodka ke gelas kertas, menenggaknya, memonyongkan bibir, dan mengepalkan tangan menjadi tinju kecil yang rapat. " Ya Tuhan, ini mengerikan. Rasanya jauh lebih enak dengan susu. Sebaiknya kadar alkoholku 0,24."
" Kita harus menunggu lima belas menit setelah minuman terakhirmu untuk mengujinya," kataku. Aku sudah mengunduh instruksi alat ini dari Internet. " Apa kau merasa mabuk?"
" Kalau mabuk diibaratkan kue, aku ini Famous Amos." Kami tertawa. " Chips Ahoy! pasti lebih lucu," kataku. " Maafkan aku. Ini bukan kondisi terbaikku."
Aku memegang alat itu. Perangkat perak yang ramping kira-kira seukuran remote control kecil. Di bawah layar LCD-nya terdapat lubang kecil. Aku meniup ke dalamnya untuk menguji, dan angka 0,00 terpampang. Sepertinya alat ini bekerja.
Setelah lima belas menit, aku memberikan alat itu pada Kolonel. " Tiup lubang ini kencang-kencang sedikitnya dua detik," kataku. Ia mendongak kepadaku. " Itukah yang kaukatakan pada Lara di ruang TV? Karena begini, Pudge, blow job itu cuma istilah. Bukan benarbenar ditiup."
" Diam dan tiup sajalah," kataku.
Dengan pipi menggembung, Kolonel meniup ke lubang itu dengan kencang dan lama, sampai wajahnya memerah.
0,16. " Oh, tidak," katanya. " Ya Tuhan."
" Kau sudah dua pertiga menuju target." kataku menyemangati. " Yeah, tapi aku sudah tiga perempat menuju muntah." " Tapi ini tidak mustahil. Alaska bisa. Ayolah! Kau bisa menang minum dari cewek, kan?"
" Beri aku Mountain Dew," katanya dengan tabah.
Kemudian aku mendengar langkah kaki di luar. Langkah kaki. Kami sengaja menunggu sampai jam satu malam sebelum menyalakan lampu, berpikir bahwa saat itu semua orang pasti sudah tidur" bagaimanapun ini malam sekolah" tapi ada langkah kaki, sial, dan selagi Kolonel menatapku bingung, aku menyambar alat penguji napas darinya lalu menjejalkannya di antara gumpalan busa sofa kemudian mengumpulkan gelas kertas dan botol Gatorade berisi vodka lalu menyembunyikannya di belakang MEJA KOPI. Dalam satu gerakan,
aku mengambil sebatang rokok dari bungkusnya dan menyalakannya, berharap bau asap rokok akan menutupi bau alkohol. Aku mengembuskan asap rokok tanpa mengisap, mencoba memenuhi kamar dengan asap, dan aku sudah hampir kembali ke sofa ketika tiga ketukan cepat terdengar di pintu dan Kolonel menatapku, matanya melebar, masa depan yang tiba-tiba suram berkelebat di depan matanya, dan aku berbisik, " Menangislah," ketika si Elang memutar kenop pintu.
Kolonel membungkuk, kepalanya terselip di antara lutut dan pundaknya berguncang. Aku melingkarkan lengan di bahunya ketika si Elang masuk.
" Maaf," kataku sebelum si Elang sempat mengucapkan apa pun. " Dia mengalami malam yang berat."
" Kalian merokok ya?" tanya si Elang. " Di dalam kamar? Empat jam setelah lampu dimatikan?"
Aku membuang rokok ke dalam kaleng Coke yang setengah kosong. " Saya minta maaf, Sir. Saya hanya mencoba berjaga menemaninya."
Anjing Kematian Hound Of Death And Mustika Lidah Naga 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama