Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman Bagian 1
MENDAYUNG IMPIAN
Copyright 2014 Mohammad Abdurrohman
MENDAYUNG IMPIAN
Editor: Pradita Seti Rahayu
Ebook by pustaka-indo.blogspot.com
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Diterbitkan pertama kali tahun 2014 oleh
PT Elex Media Komputindo,
Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta
188142163
ISBN: 978-602-02-5056-4
Dilarang mengutip, memperbanyak, dan
menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Ucapan Terima Kasih
Sebetulnya berawal dari impian masa kecilku. Impian
yang mungkin terlontar begitu saja. Dan mimpi itu
berubah-ubah hingga dewasa. Tapi, muncul keinginan
untuk menuliskan mimpi satu itu dan mengabadikannya
dalam sebuah kisah perjuangan meraih mimpi menjadi
seorang guru.
Bukan proses yang mudah untuk menuliskannya.
Dan atas bantuan banyak pihak, novel ini selesai kutulis,
juga pada akhirnya menemukan "jodohnya".
Pada kesempatan ini, aku ingin berterima kasih kepada
Allah Swt. yang telah memberi segala nikmat kepadaku.
Dari izin-Nya-lah novel ini selesai dan terpublikasikan.
Juga pada Elex Media Komputindo yang membukakan
pintu untuk tulisanku, terkhusus pada Mbak Dita, selaku editor yang paling baik dan sabar saat kurecokin.
Terima kasih juga kepada kedua orangtuaku, Ibu Siti
Maryam dan Bapak Abdul Khamid yang selalu mendukungku meraih mimpi. Juga kakakku Fatkhur Rozi, serta
keluargaku yang selalu mendukungku. Novel ini adalah
persembahan cinta dariku.
Terima kasih kepada Senna Saraswati, dari artikel perjalanan di blognya aku bisa mengenal Meliau lebih jauh,
kehidupan di sana, dan kegiatan WWF1. Juga kepada
Jimmy Janting yang lewat blognya aku belajar sedikit Bahasa Dayak Iban2, serta teman-teman blogger yang lain
yang dari blog kalian aku menemukan informasi yang
mendukung penulisan novel ini. Meski tak pernah saling bertemu dan mengenal, kalian tetap berjasa untuk
novelku kali ini.
Tak lupa kusampaikan terima kasih pada Bapak Edi
Mulyono yang sudah membantu menyelesaikan sepuluh
BAB novel ini. Juga kepada Mbak Monica Anggen yang
mau kurecokin tentang ide awal novel.
Pada teman-temanku yang di dunia maya maupun
nyata: Fina Lanahdiana, Zahra Putri, Koko Ferdie, Kamal Agusta, Pembayun Bagus A, Vivi, Diy Ara, Novelia
Indri Susanti, dan yang lainnya, yang tak bisa aku sebutkan satu per satu. Kalian adalah inspirasi dan penyemangatku. Terima kasih semua.
Untuk yang terakhir kalinya, aku ucapkan terima
kasih untuk para penikmat tulisanku dan para pemimpi.
Kejarlah mimpi kalian, meski itu sederhana atau luar
biasa. Selamat membaca dan semoga terinspirasi.
Yang masih mengejar mimpi,
Reyhan M. Abdurrohman
******
PROLOG
"Titip surat ini, Apai." Vano menyerahkan selembar
kertas lusuh kepada Pak Sahat. Ada bekas tetesan air di
permukaan surat tersebut. Kelopak mata Vano pun masih
tergenang bulir bening.
"Iya, Van. Terima kasih selama ini sudah menjadi
inspirasi untuk anakanak." Pak Sahat pun tak kuasa me
nahan air matanya.
"Maaf sudah banyak merepotkan, Apai. Jangan lupa
kan Vano."
Pak Sahat mengangguk. Ia berusaha tegar melepas
kan ?anaknya? itu. Meski sebenarnya berat dirasa. Sosok
anak yang diimpikan kini harus pergi.
"Sampaikan salamku pada Inai, Inai Atin, Lestari,
anakanak, dan warga Meliau. Maaf Vano tidak bisa
berpamitan."
Bapak (bahasa Dayak Iban)
Pak Sahat mengangguk.
Rasanya berat sekali untuk melangkah pergi. Se
paruh jiwanya seperti masih tertinggal di sini. Separuh
cintanya masih menetap di sini. Namun ini sudah men
jadi keputusan.
Pak Sahat terus memandang Vano yang sudah ber
balik dan hendak masuk ke dalam Avanza. Tak hentihentinya ia menyeka air mata yang mengalir di pipi.
Dia pergi. Langkahnya menjadi guru terpaksa ter
henti. Terbang ke Jerman, melanjutkan S2 demi perintah
sang papa. Meninggalkan sekeping kenangan, tentang
cahaya di antara kelam.
Semangat belajar, perjuangan memberantas kebo
dohan, dan dasar cinta yang membuatnya kuat. Semuanya
ada di sana, di tengah hutan yang jauh dari peradaban.
??
Untuk inspirasiku, cahaya di antara kelam.
Kebahagiaan yang tak terkira, saya bisa bertemu
kalian. Melihat semangat belajar kalian dan kesederhanaan
kalian, membuat saya iri. Saya sadar, saya masih tak ada
apa-apanya.
Terima kasih sudah memberi kesempatan kepada saya
untuk membagi ilmu kepada kalian. Mewujudkan citacita saya sejak kecil. Cita-cita yang sebenarnya. Sebelum
semuanya tertutup obsesi orangtua, mengajar.
Meski sederhana, namun sulit kurengkuh. Seperti seka
rang ini, saya harus pergi karena keadaan.
Maafkan saya, SD Mini Penggerak, Inai Atin, dan
Lestari karena tak sempat pamitan.
Lestari, gadis yang membuatku tegar. Maafkan saya
sudah berbohong tentang siapa saya, tapi percayalah saya
tak berniat seperti itu. Saya hanya tidak ingin diketahui
siapa saya sebenarnya, agar tak ada yang menemukan saya
di sini. Tapi semua sudah terlambat. Saya terpaksa harus
pergi dan mengakhiri semuanya. Teruslah bagi ilmumu,
mereka membutuhkanmu.
Apai Sahat, terima kasih sudah menganggap saya
seperti anakmu. Sampai sekarang saya akan tetap menjadi
anakmu. Terima kasih.
Tunggu aku ... aku pasti kembali.
Topan
??
t.c
CITA-CITA TERPENDAM
"Ibu akan membahas tentang citacita. Kalau Ibu boleh
tahu, apa sih citacita kalian jika sudah besar nanti?"
Seperti biasa, Bu Guru Tania selalu mengajar dengan
ramah. Senyum selalu tersungging di bibirnya.
Tidak ada satu pun murid di kelas yang menjawab.
Mereka malah berdiskusi pelan dengan teman sebang
kunya. Malah ada yang memilih diam seperti fotofoto
pahlawan di kanan kiri atas dinding ruang kelas.
Seperti halnya Vano. Anak berwajah oriental serta
berambut jabrik itu diam. Bukan diam tanpa arti, tapi
ia sedang fokus berpikir. Memikirkan apa yang akan ia
jawab nanti. Apa yang sebenarnya ia citacitakan.
"Siapa yang ingin jadi polisi?" Bu Guru Tania
berusaha memancing mereka. Karena sedari pertanyaan
Bu Guru Tania terlontar tadi, tidak ada satu pun yang
bersuara.
"Saya, Bu!" teriak Riko dan Cepi serempak sembari
mengangkat tangannya, menunjuk langit-langit.
"Saya juga, Bu!" susul Agus, Fiko, dan Rean ikutikutan.
"Bagus. Terus, siapa yang ingin jadi dokter?" pan
cing Bu Guru Tania lagi.
"Saya, Bu!" Giliran Siska, Bimo, David, dan Rahma
yang mengangkat tangannya serempak.
"Saya juga deh, Bu," kata Maria terlambat.
"Saya kok ingin jadi dokter juga ya, Bu?" Rean me
nambahkan. Rupanya ia sedang kebingungan dengan
cita-citanya.
Kelas mendadak ramai. Semua berebut tunjuk ta
ngan dan saling berdiskusi. Foto-foto pahlawan yang
dipajang di kanan kiri dinding bagian atas kelas pun
seperti ikut menyumbangkan suaranya, menambah kega
duhan. Mereka seperti gembira melihat murid-murid
bersemangat.
"Iya bagus. Terus, siapa yang ingin jadi guru, tunjuk
tangan?" Kali ini Bu Guru Tania lebih bersemangat dari
yang tadi.
Diam. Kelas mendadak sepi. Foto-foto pahlawan itu
kembali diam. Senyap. Hanya ada angin yang berembus
dari ventilasi.
Vano mengangkat kepala, mencoba melihat suasana
sekitar. Tak ada yang mengangkat tangan. Tetap diam.
Sepi.
"Oh, jadi tidak ada yang pengen jadi guru, ya?" Bu
Guru Tania tampak kecewa. Kekecewaan itu pun seperti
dirasakan foto-foto pahlawan tersebut.
"Gajinya sedikit sih," celetuk Robi yang terkenal
ceplas-ceplos.
"Hahaha..." Sontak, tawa membahana di dalam
kelas. Tapi foto pahlawan-pahlawan tersebut seperti me
nelan kekecewaan.
Bu Guru Tania hanya bisa menggeleng.
Bercampur rasa malu, Vano mengangkat tangannya
pelan. "S-s-saya, Bu," katanya terbata. Wajahnya masih
tertunduk memandang bangku berwarna putih tanpa
sedikit pun ada coretan. Memang mencoret bangku dan
tembok dilarang. Siapa pun akan didenda jika ketahuan
melakukan hal merusak itu.
Semua mata murid sekelas menatap Vano yang masih
menunduk. Perlahan ia menurunkan tangan, masih
menunduk, tak berani mengangkat wajahnya. Betapa
gugupnya ia saat itu.
"Bagus. Hanya Vano saja? Yang lain?" Wajah Bu
Guru Tania kembali berseri.
Wajah murid-murid tersebut kembali ke arah
depan. Namun kembali hening. Beberapa murid pun
menggeleng.
"Kenapa pengen jadi guru, Vano?"
Vano diam. Semua mata teman-teman kembali me
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mandangnya, menunggu setiap kata yang keluar dari
bibirnya.
Merasa diperhatikan seperti itu, Vano jadi semakin
gugup untuk menjawab. Pelan, ia angkat kepalanya dan
menatap foto Ki Hajar Dewantara di pojok kiri atas.
Foto tersebut seperti tersenyum padanya. Vano pun
membalasnya.
"Karena ingin ikut mencerdaskan bangsa, Bu," ja
wabnya penuh kemantapan. Sengaja ia mengutip kali
mat dari pembukaan Undang-Undang Dasar.
"Bagus sekali, Vano. Perjuangkan cita-cita mulia
tersebut. Kau tahu? Guru itu pahlawan. Pahlawan dari
pahlawan. Berikan tepuk tangan untuk Vano. Semoga
cita-citanya terwujud."
"Oooh," kata murid lain serempak.
Tepuk tangan pun menggema di kelas. Vano pun
tersenyum bangga. Ia mendapat sanjungan dari temantemannya, juga Bu Guru Tania, dan Ki Hajar Dewantara.
Teman-teman pahlawan yang terpajang di dinding ikut
tersenyum meramaikan.
??
Vano senyum-senyum sendiri saat bayangan masa kecil
nya itu hadir bagai pemutaran film jadul di depan mata.
Betapa lugunya ia saat menjawab soal alasannya menjadi
guru. Tapi, itulah cita-cita Vano yang sebenarnya. Bukan
yang lain.
Ia bangkit dari posisi tiduran di atas gazebo di pinggir
kolam renang dan memilih untuk duduk. Vano langsung
mengatur duduknya di tepi gazebo, lalu mengayunkan
kakinya hingga menyentuh air. Sengaja, ia ciprat-ciprat
kan air ke depan sembari kembali melamun.
Lamunan Vano ditemani suara gemericik air man
cur dari pojok kolam yang mengucur ke tengah kolam.
Juga segarnya udara pagi itu karena pohon mangga yang
tumbuh rimbun di belakang gazebo. Beberapa bunga
pun seperti memberi relaksasi pada mata. Damai.
Gazebo berdiri di sudut taman. Langsung meng
arah ke kolam renang. Itu memang sudut favorit Vano
sejak kecil. Ya, sejak kecil. Ia menghabiskan waktu seng
gangnya bermain Lego di situ dengan kakaknya, Kevin.
Vano sangat ingin menjadi guru. Tetapi, Papa telah
mengubah haluan cita-citanya. Sekolah menengah, ter
paksa mengambil jurusan akuntansi di SMK terbaik di
Kudus. Hingga kuliah pun dengan terpaksa terdaftar di
Paris dengan jurusan business management. Didaftarkan
Papa tentunya. Padahal, saat itu ia sudah lolos SNMPTN.
Diam-diam ia mendaftar dengan uang tabungannya
sendiri. Apa boleh buat SNMPTN ia korbankan.
Baru sebulan yang lalu ia wisuda sarjana di Paris.
Sekarang Vano hanya di rumah melepas rindu dengan
tanah kelahiran. Hari-harinya ia habiskan hanya diam
di rumah atau sekadar jalan-jalan mengelilingi Kudus.
Kadang, ia nongkrong di depan pendopo kabupaten
yang selalu ramai setiap sore hingga malam. Banyak
pedagang kaki lima yang mencari nafkah di situ. Vano
juga mengunjungi tempat kenangan bersama temantemannya dulu, seperti di taman Museum Kretek, Bumi
Perkemahan Kajar, sampai air terjun Montel di Gunung
Muria, sendirian. Teman-temannya sudah sibuk dengan
profesi mereka masing-masing sehingga sulit untuk
berkumpul.
Pak Handoko?papanya Vano?yang masih rapi
dengan kemeja lengan panjang dan dasi yang meng
gantung di leher, muncul dari pintu berdaun dua yang
mengarah langsung ke kolam renang. Papanya berhenti
sebentar di pinggir kolam dan melihat sekitar. Setelah
matanya menangkap sosok Vano tengah sendiri di
gazebo, ia menghampirinya. Papa langsung duduk di
sebelah Vano.
Vano tersadar dari lamunannya.
"Eh, Papa." Vano memandang ke arah Papa yang
sudah duduk di dekatnya.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Van?"
"Enggak, cuma istirahat saja kok. Papa nggak ke
kantor?" Vano balik bertanya.
"Papa cuma ingin berbicara sebentar denganmu, soal
rencana Papa." Papanya mulai memasang muka serius.
"Rencana?" Dahi Vano berkerut.
"Iya, bagaimana jika kamu langsung melanjutkan S2
saja di Jerman? Kakakmu sudah hampir selesai tesis, lho.
Biar nanti bisa bantu mengurus pendaftaran kuliahmu
di sana."
Vano terlonjak. Baru saja melepas rindu tanah kela
hiran, sudah disuruh ke luar negeri, kuliah pada bidang
yang sama sekali tak disukainya. Hati Vano langsung
menolak. "Tapi, Pa. Vano sudah bosan hidup di luar
negeri. Vano bosan belajar apa yang tidak Vano sukai."
"Memangnya, apa yang kamu sukai? Jadi guru?
Tidak, tidak. Papa tidak akan setuju dengan cita-citamu
itu. Tidak ada masa depan yang cerah dengan kamu
menjadi guru, Van." Papanya menaikkan sedikit suaranya.
Ia terlihat tak suka dengan penolakan Vano.
"Tapi itu cita-cita Vano sejak kecil, Pa. Sejak kecil!
Dan Vano ingin mewujudkannya." Vano meyakinkan
Papa. Suaranya pun sengaja ia sejajarkan.
"Kamu itu pewaris salah satu perusahaan Papa.
Rencananya, nanti kamu yang akan memegang perusa
haan rokok Papa, sedangkan kakakmu nanti yang akan
memegang perusahaan elektronik. Adil, kan? Papa hanya
ingin masa depan yang terbaik untukmu," bujuk Papa
tidak mau menyerah.
"Tapi, aku tidak menginginkannya. Biar Kak Kevin
saja yang memegang keduanya. Vano ingin memper
juangkan cita-cita Vano, titik!" Vano sudah tidak tahan
lagi beradu argumen dengan Papa. Ia sudah sangat kesal
dengan itu. Rasanya, ia ingin beringsut sekarang.
"Percayalah, Van. Kamu tak akan bahagia menjadi
guru. Gajinya sedikit. Okelah jika kamu tidak mau me
lanjutkan S2, tapi tetap kamu harus belajar mengelola
perusahaan sejak sekarang. Tidak berdiam diri seperti
ini." Papanya memberondong argumen lagi.
Seperti Robi saja kamu, Pa. Berpikir sempit. Vano
teringat teman kecilnya dulu.
"Tapi, dunia bisnis itu bukan duniaku, Pa. Lagi pula
yang kucari bukan gaji, melainkan kepuasan batin. Aku
lebih?"
"Apa? Jadi guru?" potong Papa. "Tidak! Papa tidak
akan setuju. Keluarga kita tidak ada riwayat menjadi
guru. Semuanya adalah pengusaha, Van." Pak Handoko
mulai emosi. Matanya menajam, seperti serigala yang
hendak berkelahi.
"Tapi, Vano tetap tidak mau." Tak menunggu waktu
lagi, Vano langsung beranjak dari tempat duduknya
dan meninggalkan Papa. Ia memutuskan untuk pergi
ke kamar, menenangkan diri, dan ingin tenggelam di
ranjang ber-bed cover Juventus.
"Van, mau ke mana kamu? Papa belum selesai
bicara!"
Vano tetap melenggang pergi, tak acuh pada teriakan
Papa yang terdengar semakin kecil.
??
Brak!
Vano langsung menjatuhkan tubuhnya di ranjang
empuk setelah membanting pintu. Ia lalu meraih remote
televisi dan menyalakannya. Berkali-kali, jempol Vano
memencet tombol-tombol angka di remote tersebut. Tak
ada acara yang menarik. Semua membosankan. Hanya
ada sinetron yang klise dan acara gosip yang sama sekali
tak ia minati tertampil di LCD 39 inci yang diletakkan
di meja depan ranjang. TV LCD ini hasil produksi dari
perusahaan papanya sendiri.
Ia melempar remote ke ranjang, membiarkan TV
yang saat itu tengah menampilkan opening sebuah acara
menyala. Matanya memandang langit-langit kamar yang
bercat putih.
Acara reality show yang menampilkan artis ibu kota
?yang ditantang untuk mengajar di sekolah pelosok?
mulai. Remang-remang Vano mendengar suara dari TV
karena matanya mulai merem melek. Ia sedikit tertarik.
Vano melirik TV dan akhirnya benar-benar tertarik
dengan acara itu. Bukan dengan artis yang sikapnya ber
lebihan, tapi acaranya: menampilkan sekolah di pelosok,
guru, dan anak-anak yang pantang menyerah. Matanya
terpaku. Terpukau.
Hati Vano bergetar saat menonton. Ia membayang
kan bagaimana jika ia adalah salah satu dari anak tersebut,
yang penuh perjuangan untuk sampai ke sekolah. Harus
melewati sungai yang lebar dan deras. Kapan pun mereka
bisa hanyut jika cengkeraman kakinya di dasar tidak
kuat. Ya, mereka terpaksa turun menyeberangi sungai
setelah menanggalkan seragam dan menentengnya agar
tidak basah.
Saat kota-kota tengah berlomba dengan pemba
ngunan yang megah dan sekolah berlomba-lomba mere
novasi gedungnya, di sana masih ada sekolah reyot yang
jauh dari kata layak. Murid dan guru harus siaga karena
kapan pun gentengnya bisa roboh. Dindingnya sudah
tak lagi menampakkan warna cat. Kelas hanya disekat
dengan tripleks bolong-bolong.
Tak ada satu pun gambar pahlawan seperti di sekolah
Vano dulu. Jumlah guru sedikit untuk mengajar enam kelas
sekaligus, meski per kelas pun sedikit jumlah muridnya.
Hati Vano bergetar menyaksikan kenyataan itu.
"Ternyata, masih ada sekolah seperti itu di tengah
majunya Indonesia sekarang," desahnya.
Anak-anak itu tetap semangat ke sekolah, meski
jaraknya berkilo-kilo meter dari rumah dan hanya bisa
ditempuh dengan jalan kaki. Meski beralas sandal jepit
atau bahkan ada yang telanjang kaki, mereka tetap ke
sekolah. Tekad mereka mengalahkan jarak dan rintangan
di jalan.
"Sungguh, mereka sangat ingin bersekolah. Ingin
memerangi kebodohan. Tapi, sarananya sama sekali tak
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendukung. Seharusnya, mereka terlahir di kota. Sangat
beda sekali dengan anak kota yang justru malas untuk ke
sekolah. Malas untuk belajar. Aku beruntung."
Vano teringat akan kenangannya lampau. Dan kini
ia kembali tenggelam dalam kenangan itu.
Dulu, ia pernah diajak Hakim berlibur. Lebih te
patnya ditantang ke Kalimantan Barat, yakni daerah
Taman Nasional Danau Sentarum. Memang, Hakim
sangat menyukai tempat-tempat terpencil yang masih
asri untuk menjadi tujuan berliburnya. Ia pun tahu,
kalau Vano sama sekali tak suka tempat-tempat seperti
itu. Ia tahu, Vano biasa hidup mewah dan manja.
Waktu SMK, Hakim ikut ekstrakurikuler pecinta
alam. Beberapa gunung di Indonesia sudah berhasil
ia taklukan. Hebat. Wajar saja jika selera berliburnya
tergolong aneh.
Awalnya, Vano tidak mau. Apalagi jika mendengar
lokasinya?jauh dari kota, di hutan belantara. Bayangan
Vano menggambarkan di sana masih ada hewan buas,
nanti ia akan menyusuri jalanan becek yang penuh
rintangan pohon besar dan berduri, juga semak belukar
yang tak tahu hewan sebuas apa yang sembunyi di
belakangnya dan siap menerkam mereka. Ngeri.
"Aku janji, pasti mengasyikkan, tidak seperti yang
kau bayangkan itu," katanya membujuk Vano. Sepertinya
Hakim sudah membaca pikiran Vano tentang bayangan
Vano yang ngeri. "Atau kamu takut, hah?"
"Siapa yang takut?" sergah Vano. "Oke. Aku ikut."
Memang benar, perjalanan yang dilalui sungguh sangat
melelahkan karena cukup lama bergonta-ganti transportasi.
Dari Pontianak harus terbang ke Putusibbau. Dari situ,
naik mobil ke daerah Lanjak di Kapuas Hulu. Total
perjalanan adalah enam jam dengan medan jalan tanpa
aspal. Melelahkan. Belum lagi untuk sampai ke Taman
Nasional Danau Sentarum harus menyusuri sungai dengan
speedboat. Buaya sungai pun mengintai setiap waktu.
Semua itu terbayar dengan pemandangan yang luar
biasa di kanan kiri selama perjalanan. Di Putusibbau,
pohon-pohon asri bersama penghuninya sudah menyambut
kedatangan Vano dan Hakim. Hakim pun keenakan jepret
sana sini.
Saat menaiki speedboat menuju Kampung Meliau,
mata Vano disuguhi pemandangan yang luar biasa in
dahnya. Monyet-monyet terlihat lompat dari satu dahan
ke dahan lainnya. Sungai bersih tanpa ada satu pun sam
pah yang mengapung. Kicauan burung terdengar saling
bersahutan.
Di atas speedboat, Hakim masih sibuk dengan kamera
nya. Sedangkan Vano hanya terpana. Memandang surga
dunia yang tersembunyi.
"Keren, Kim. Beruntung aku sudah kamu ajak ke
sini."
"Haha, tanah Borneo memang keren," kata Hakim
bangga.
Saat hampir sampai di perkampungan, mereka bertemu
gerombolan anak-anak usia sekolah dasar tengah mendayung
perahu ke arah hutan di perbatasan Taman Nasional Danau
Sentarum. Mereka terlihat bersemangat. Anak-anak itu
seperti membawa kantong plastik yang dikaitkan dengan
tali rafia sehingga membentuk tas selempang. Mata Vano
tak lepas dari aksi anak-anak hingga mereka hilang masuk
hutan. Sedangkan, Hakim sibuk membidiknya.
"Mereka itu ke mana, Pak?"
"Hah? Apa?!" teriak Pak Karsi yang sedang mengatur
laju speedboat. Kelihatannya tak mendengar pertanyaan
Vano karena suara bising mesin.
"Itu anak-anak mau ke mana?!" Vano menaikkan
volume suaranya.
"Berangkat sekolah!" Pak Karsi juga berteriak.
Percakapan mereka tercipta dengan saling berteriak.
Vano di ujung depan perahu, sedangkan Pak Karsi di ujung
belakang perahu. Bertarung dengan suara bising mesin
speedboat.
"Hah? Sekolah?!"
"Iya benar!"
"Emangnya ada sekolah di tengah hutan sana, Pak?!"
Vano mengerutkan keningnya.
"Hah? Ada! SD Mini Penggerak!"
Hakim tetap sibuk dengan kameranya. Sekarang, ia
membidik rumah-rumah yang dibangun di atas air di
depan mereka. Ya. Itu Kampung Meliau, tempat mereka
menginap.
Vano tersadar dari lamunannya. Pemutaran film ter
sebut selesai.
"Andai aku bisa ikut menyumbangkan ilmuku
untuk SD itu," gerutu Vano. "Ah, tidak mungkin. Ini
hanya anganku. Papa tidak mungkin mengizinkan. Dulu
waktu SMK saja, aku ketahuan bergabung kelompok
peduli gelandangan. Saat tengah membantu mengajar
anak-anak pengamen, dimaki Papa habis-habisan.
Apalagi Papa sepertinya sangat menginginkanku me
warisi perusahaannya. Tidak mungkin."
Vano kembali telentang di atas ranjang. Matanya
kembali menatap langit-langit. Suara TV beradu dengan
suara detakan jarum jam dinding di atas TV besar. Barang
lainnya diam membisu.
Jika iya, apakah aku bisa hidup serba kekurangan di
sana?
??
RENCANA GILA
Tok... Tok... Tok...
"Van, sudah siang. Bangun ... langsung cuci muka,
ya. Kita tunggu di meja makan," Mama berseru dari luar
pintu. Seruan setiap pagi yang didengar Vano semenjak
ia berada di rumah.
Vano terbiasa bangun telat. Dulu, waktu di Paris,
biasanya bangun paling pagi jam sembilan. Untung saja
tidak ada jadwal kuliah pagi. Apalagi jika musim dingin,
ia akan betah bermalasmalasan di tempat tidur.
Pagi itu, tak ada jawaban apa pun dari dalam kamar.
Ia susah dibangunkan. Jam beker pun sulit memaksanya
bangun, apalagi seruan lembut Mama.
Mama langsung masuk ke dalam kamar Vano. Ka
mar itu gelap, hanya ada lampu tidur di atas meja yang
nyalanya remang. Cahaya matahari pun tak bisa menem
bus gorden biru muda yang masih menutupi jendela.
Di atas ranjang, Vano masih bersembunyi di bawah
selimut tebal. Mama hanya menggeleng, berjalan ke arah
jendela, membuka gorden, dan mengaitkannya di sisi
pinggir jendela.
Sinar matahari langsung masuk ke dalam kamar, me
nerobos dari sela-sela sebagian daun pohon mangga yang
menjulur menutupi jendela.
"Gini kan segar," kata Mama sembari memejamkan
mata sejenak dan menghela napas panjang.
Sedetik kemudian, ia berbalik dan mendekati ranjang
Vano. Lampu tidur di atas meja kecil di samping ranjang
ia matikan. Kemudian, Mama duduk di tepi ranjang.
"Van, Van. Bangun. Sudah siang." Mama menyibak
kan selimut yang menutupi tubuh Vano.
Perlahan mata Vano terbuka, tapi masih terasa berat
sekali. Ia memandang ke arah Mama yang sudah duduk
di tepi ranjang. Ia menggeliat manja.
Vano menguap panjang. "Mama."
"Sudah siang. Ayo bangun. Papa sudah menunggu
di meja makan."
Vano menguap panjang, kemudian mengucek mata
nya. "Kalian duluan saja. Vano masih ngantuk. Memang
jam berapa sih ini?"
Sebenarnya, ia sangat malas bertemu Papa. Ia tahu,
Papa pasti membahas tentang kuliah S2-nya di Jerman
lagi. Padahal Vano sudah lelah berdebat. Apalagi jika
yang didebatkan adalah sesuatu yang sama sekali tak ia
suka.
"Lho, kok gitu? Papa sudah menunggu. Ini kan
sudah setengah delapan. Bi Sri sudah membuatkan nasi
goreng dengan telur dadar. Nanti keburu dingin."
"Masih ngantuk, Ma. Mama Papa duluan saja." Vano
menarik selimutnya lagi dan pura-pura menutup mata.
"Tapi, ini sudah siang, Van. Ayolah, Van ... jangan
manja, ah."
"Iya, iya," kata Vano bete. "Mama Papa makan dulu
aja, nanti Vano nyusul. Mau mandi dulu." Vano cem
berut.
"Ya sudah. Jangan tidur lagi, lho. Awas," gertak
Mama.
"He em." Lagi-lagi Vano menguap panjang.
Mama langsung beranjak dari ranjang dan berjalan
ke arah pintu keluar. Sampai di ambang pintu, Mama
menoleh dan kembali berkata, "Cepat dikit, ya."
"He em," jawabnya singkat. Vano menyibakkan seli
mut dan beranjak dari ranjang hangatnya. Terpaksa.
??
Vano keluar dari kamar. Rambutnya masih basah dan
ditata dengan gaya spike kesukaannya. Wajah Vano pun
sudah terlihat fresh. Putih bersih, matanya agak sipit.
Masih ada darah Tionghoa mengalir pada dirinya. Papa
yang mewarisi. Sedangkan Mama Jawa tulen.
Ia berjalan menuju ruang makan. Wajahnya men
dadak masam saat mendapati Papa sedang membaca
koran di meja makan. Kopi di depannya pun terlihat
masih mengepul. Asapnya menabrak udara di atas
cangkir. Mama mondar-mandir dari meja makan ke
dapur dengan Bi Sri, membereskan piring.
Kenapa Papa belum pergi, Vano membatin sebal.
Terpaksa Vano melanjutkan jalannya ke meja makan.
Meski kakinya sungguh berat untuk diajak melangkah
karena masih ada Papa di sana. Kebiasaan Papa yang
tidak ia suka adalah: Papa akan terus membahas masalah
yang belum usai sampai tuntas dan memaksa bahwa
dirinyalah yang paling benar. Vano selalu dianggap salah
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan harus menurut. Ia tak mau dipaksa untuk mengikuti
hal yang hanya dibenarkan Papa. Apalagi kali ini soal
cita-citanya.
Pernah dulu, Kevin ingin sekali masuk ke STM,
tapi dilarang Papa. Kevin terpaksa mengikuti kehendak
Papa, yaitu mengambil jurusan akuntansi di SMEA
1?sekarang menjadi SMK 1. Bahkan, Kevin sampai
berhari-hari dikurung di kamar. Mengapa kebiasaan Papa
itu tak pernah hilang. Vano mendesah pelan.
Vano langsung duduk di kursi setibanya di meja
makan. Di depannya, di atas meja, sudah ada sepiring
nasi goreng dengan telur mata sapi juga segelas susu.
Sampai sebesar ini, Vano memang masih minum susu
di pagi hari. Itu sudah menjadi kebiasaan yang tak bisa
ditinggalkan. Saat hidup di Paris pun begitu.
Papa masih sibuk membaca koran, seakan tak tahu
kehadiran Vano.
"Sudah cakep nih anak Mama." Mama berjalan dari
dapur, selesai membereskan piring. Kemudian Mama
duduk di dekat Vano.
Vano hanya tersenyum manja. Lalu, melahap nasi
goreng yang sudah disendoknya.
Papa melirik ke arah Vano. Kemudian menutup
koran yang tadi ia baca dan menaruhnya di atas meja, di
sebelah cangkir kopi yang tinggal separuh.
"Van?"
"Papa kok belum berangkat kerja?" sambar Vano.
"Sengaja. Mau bicara sama kamu dulu."
Vano meletakkan sendoknya setelah suapan pertama.
Ia tahu, pasti Papa akan membahas tentang itu lagi.
"Tentang S2 di Jerman lagi, Pa? Sudah Vano bilang,
Vano tidak mau. Vano sudah bosan tinggal di luar
negeri. Vano bosan belajar terus apa yang Vano tidak
suka. Sudah cukup Vano menuruti jalan pikiran Papa.
Sekarang tolong izinkan Vano untuk memilih jalan Vano
sendiri. Yang Vano benar-benar suka, yang Vano citacitakan sejak kecil." Vano memberondong, tak memberi
kesempatan Papa untuk menanggapi.
"Vano, dengarkan Papa. Ini semua hanya untukmu,
masa depanmu, dan kebahagiaanmu. Kamu itu seharus
nya bersyukur. Kamu beruntung. Lihat orang-orang di
luar sana yang sangat ingin sekolah, tapi tidak bisa karena
terbentur biaya. Kamu ini ditawarin ke luar negeri, eh
malah tidak mau." Papa mengeraskan suaranya satu
tingkat. Itu tandanya Papa sudah mulai emosi.
"Justru itu, Pa. Vano ingin membantu mereka
yang tidak bisa sekolah. Mereka yang tidak beruntung.
Vano ingin membagi keberuntungan Vano, bukan me
nikmatinya sendiri seperti ini." Vano langsung berdiri.
Suasana sudah memanas. Apa yang ia pikirkan
benar-benar terjadi. Papa pasti akan terus membahas itu
dan memaksa dirinya.
"Vano, duduk dulu," kata Mama mencoba menetral
kan keadaan.
"Tapi Ma, Vano tidak betah berada di meja makan
ini. Jika Vano tahu bakal begini suasananya, mending
Vano di kamar saja tadi."
"Nasimu dihabiskan dulu," bujuk Mama.
Vano langsung melenggang pergi tak menghiraukan
perintah Mama. Sebenarnya, ia tak mau membantah.
Tapi, ia pun tak mau bertengkar terus dengan Papa di
hadapan Mama.
"Tunggu! Mau ke mana kamu? Papa belum selesai
bicara!"
Vano tak memedulikan Papa. Ia tetap melenggang
pergi ke kamarnya.
Brak!
Bantingan pintu kamar Vano terdengar sampai meja
makan.
"Dasar anak tak tahu diuntung!" umpat Papa penuh
amarah.
??
Vano menyenderkan tubuh di balik pintu, di dalam
kamarnya. "Aku tidak betah di rumah kalau begini
suasananya. Aku malah ingin cepat-cepat pergi ke
Kalimantan," gerutunya.
Vano mengacak-acak rambut dengan kedua tangan.
Ia sungguh sebal dengan sikap Papa. Memang hidupnya
berkecukupan. Tapi, batinnya tersiksa karena ia hanya
seperti robot yang digerakkan Papa. Semua Papa yang
mengatur.
Ia berjalan menuju cermin besar yang tertempel di
pintu lemari, di samping kanan ranjangnya.
Ia menatap bayangan dalam cermin. Wajahnya me
ngerikan, penuh amarah. Rambutnya sudah tak bergaya
apa-apa lagi. Berantakan. Seperti hatinya yang juga tak
beraturan.
"Vano, bagaimana kelanjutan kisah hidupmu, hah?!
Apa kamu yakin akan ke Kalimantan?! Apa kamu mampu
hidup di sana?!"
Bayangan dalam cermin itu diam. Hanya menun
jukkan raut wajah penuh keraguan. Terselip amarah di
matanya. Melotot besar. Berwarna merah menyala. Ada
api yang berkobar di dalamnya.
"Aku bingung ... apa yang harus kulakukan? Papa
pasti terus memaksaku."
Ia menyandarkan kepala di cermin. Keningnya me
nempel ke kening bayangan.
Sepersekian detik kemudian, ia mengangkat dan
memalingkan wajahnya dari cermin karena tetap tak
mendapatkan jawaban. Ia berjalan ke jendela.
Vano memandang ke luar jendela. Di dahan pohon
mangga ada burung pipit yang baru mendarat, kemu
dian terbang lagi saat ia menyentuh kaca jendela itu.
"Hakim. Ya, Hakim. Di mana dia sekarang? Aku
harus bertemu dia." Nama Hakim terlintas begitu saja
di kepalanya.
Hakim memang sahabat baik Vano sejak SMK.
Namun, mereka harus terpisah karena Vano harus ke
Paris, sedangkan Hakim kuliah di Jakarta. Hakim me
nyukai burung. Ia memelihara belasan burung hias di
rumahnya.
Vano langsung berbalik dan meraih handphone di
atas meja kecil di samping ranjang. Ia mencari kontak
Hakim dan meneleponnya.
Sekali, hanya terdengar suara perempuan yang
mengabarkan bahwa nomor tersebut sedang sibuk.
"Sial."
Vano mencoba lagi yang kedua kali. Masih sama
seperti tadi.
Kemudian yang ketiga kali.
Nihil.
"Sial. Sibuk ngapain sih nih orang?" Vano melem
parkan handphone-nya ke ranjang. Semakin kesal.
Vano menjatuhkan tubuh ke belakang, tepat di
ranjang. Tubuhnya mendarat dengan entakan. Vano lalu
memandang handphone yang tergeletak di samping. Ia
mengambilnya dan kembali menghubungi Hakim.
"Jika ini masih tidak bisa, aku tidak tahu harus
berbuat apa lagi."
Ada suara di ujung sana, sedikit serak dan nge-bas.
"Halo, Vano?"
"Sialan kamu, Kim. Ngapain aja sih? Dari tadi
ditelepon, cewekmu bilang sibuk mulu." Ada senyum
yang tersungging di bibir Vano.
"Hah? Cewek?" Hakim diam. Ia langsung me
nangkap apa yang dimaksud Vano tadi. "Gila kamu,
Van. Emang aku pacaran sama operator seluler?"
"Hahaha, habisnya dari tadi sibuk melulu, kata
cewekmu itu sih." Vano masih mengakak.
"Ada apa nih? Tumben telepon," tanya Hakim.
Vano langsung menceritakan semuanya. Tentang
penolakan studi S2 sampai rencananya ingin kabur,
menjadi guru ke Meliau.
??
GAMANG
Tak ada kemeriahan seperti di kota. Listrik hanya ada di
rumah Pak Kades2. Itu pun menggunakan genset. Tidak
ada TV dan peralatan elektronik lainnya. Genset hanya
digunakan untuk penerangan. Tidak ada handphone,
pun internet. Memang, tidak ada tower pemancar yang
dibangun di sana.
Vano bingung, bagaimana ia bisa hidup tanpa semua
fasilitas itu. Tapi, bagaimana lagi? Jika tak ke Kalimantan,
tidak mungkin ia bisa mengajar?sampai kapan pun.
Pasti Vano akan terus dipaksa untuk ke Jerman.
Hanya di tempat terpencil lah ia bisa bersembunyi,
sekaligus mulai merengkuh apa yang telah dicita
citakan. Tanpa ada yang tahu siapa dirinya dan siapa
orangtuanya. Dan tempat terpencil yang ia tahu hanyalah
tempat itu, di mana ada SD Mini Penggerak yang sama
Kepala Desa
sekali tak mendapatkan kucuran dana dari pemerintah.
Padahal, jelas-jelas itu masih bagian dari Indonesia.
Mengenaskan.
Vano termenung di depan TV yang ada di ruang
keluarga. Papa sudah berangkat ke kantor sejak tadi pagi.
Mata Vano menatap layar TV, namun pandangan itu
kosong. Pikirannya terbelenggu dalam dilema. Iya atau
tidak. Bagaimana caranya. Bisa atau tidak.
Mama datang dari arah ruang tamu. Ia baru saja
pulang dari rumah Tante Firda.
"Van," panggil Mama. Mama duduk satu sofa
dengan Vano, sekaligus menyadarkan Vano dari pikiran
kalut. Sedikit demi sedikit kesadarannya pulih.
Vano memandang Mama yang ada di samping
kirinya. "Eh, Mama. Sudah pulang ternyata."
"Iya. Cuma sebentar saja tadi di rumah Tante Firda.
Kamu nonton TV atau ngapain sih? Matanya lurus ke
depan, kok pikirannya seperti terbang?"
"Hehe, nonton TV-lah, Ma."
Mama memandang ke arah TV. "Oh, sekarang ton
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tonanmu sinetron, ya. Dulu katanya paling ogah nonton
sinetron."
Vano memandang TV datar di hadapannya. Benar,
di sana tengah terpampang adegan sinetron yang klise.
"Habis tidak ada acara lain," kilah Vano.
"Oh ya, Van, lusa Fina mau tunangan. Tadi Mama
diberi undangan yang dititipin sama Tante Firda."
"Fina?" Kening Vano berkerut. Ia mencoba meng
ingat-ingat nama Fina. Membongkar memori penyim
panan di otaknya.
"Oh, Fina anak Om Riko? Yang waktu kecil suka
ingusan itu? Yang katanya dulu suka sama Kak Kevin?"
"Masih ingat ternyata kamu. Lucu sekali ya dia dulu.
Terang-terangan bilang suka sama Kevin. Semenjak SMP
dia pindah ke Bandung. Papanya ditugaskan di sana,"
jelas Mama.
"Wah, kalau Kak Kevin tahu, bisa patah hati nih."
Vano terkekeh saat teringat masa kecil dulu.
Fina seumuran dengan Vano. TK-nya juga satu
sekolah. Waktu itu, Kevin sudah masuk SD. Fina sering
berada di rumah Vano karena mamanya menitipkan Fina
kepada Mama Vano dan sorenya baru dijemput. Dari
situlah Fina akrab dengan Vano, juga Kevin.
Karena keseringan bersama itulah lama-lama Fina
menyukai Kevin. Sosok Kevin seakan menjadi kakak
baginya. Secara terang-terangan, Fina pernah bilang pada
mamanya saat dijemput.
"Ma, Fina suka sama Kak Kevin," katanya pada saat
itu.
Kevin jadi salah tingkah. Mama Fina dan Mama
Vano hanya tertawa. Sampai sekarang tidak ada yang
tahu isi hati Kevin sebenarnya. Mungkin Kevin tidak
punya rasa apa-apa karena Fina hanya seperti adik atau
teman. Tidak lebih.
"Sekarang dia beda banget, lho. Jadi cantik, katanya
Tante Firda sih. Tante Firda ngajak ke Bandung bareng,
sekalian jalan-jalan. Kan weekend tuh. Kamu ikut kan,
Van?"
Vano terdiam. Ia berpikir, asyik juga jika ikut ke
Bandung sekaligus jalan-jalan. Tapi, rencana ke Kali
mantan melintas di kepalanya. Rencana jalan-jalan itu
pun berubah. Ia jadi berpikir. Vano bisa memanfaatkan
kepergian Mama Papa untuk kabur. Itu waktu yang tepat.
Kapan lagi mereka akan pergi berdua? Dua hari lagi.
"Hmm. Males ah, Ma," jawab Vano singkat. Ia ingin
menunjukkan bahwa ia memang tidak tertarik untuk
ikut.
"Kenapa? Ayolah. Kan Fina teman kecilmu. Kak
Kevin sudah tidak bisa ikut, masa kamu juga tidak
ikut?"
"Aku ada acara di hari itu, Ma." Vano mencoba men
cari alasan yang tepat agar tidak dipaksa untuk ikut.
"Acara? Sejak kapan kamu ada acara segala di Kudus?"
Mama heran. Karena selama di Kudus, ia jarang pergi ke
mana-mana. Kontak dengan temannya pun banyak yang
terputus.
Vano masih belum mendapatkan alasan yang tepat.
Ia pun berkata asal, "Ada, Ma. Pokoknya Vano tidak bisa
ikut."
"Pikirin dulu lagi deh, Van. Mama harap kamu bisa
ikut. Malu kan Mama dan Papa jika ke sana tidak bawa
anaknya satu pun."
"Tidak bisa, Ma." Vano berpikir keras. Kali ini ia
harus mendapatkan alasan yang tepat agar tidak dipaksa
Mama terus.
Akhirnya, alasan itu muncul begitu saja. "Vano ada
acara penting bareng temen-temen Vano. Semacam pesta
reunian gitu. Ini Vano mau pergi untuk transfer bayar
iurannya."
"Tidak bisa di-cancel? Atau kapan-kapanlah kamu
buat pesta di rumah."
"Maaf, Ma. Acaranya itu outbond dan menginap
di Kajar. Kira-kira dua hari. Kan weekend, jadi semua
teman-teman pada libur."
"Tapi?"
"Vano sudah janji bakal ikut. Ma, Vano pergi dulu
ya, mau transfer."
Vano langsung berlalu meninggalkan Mama. Takut
dipaksa-paksa lagi untuk ikut. Semakin ke sini, Mama
tertular kebiasaan Papa, suka memaksa.
??
Vano harus ke luar rumah. Tadi ia sudah telanjur bilang
mau transfer uang iuran. Pokoknya, ia harus keluar, ke
mana pun. Meski di kepalanya masih belum ada rencana
untuk pergi ke mana, yang penting bisa keluar dulu.
"Pergi dulu, Ma," katanya sambil berjalan mening
galkan Mama yang masih duduk di depan TV.
"Hati-hati. Jangan lama-lama."
"Iya..." Suara Vano terdengar menjauh.
Ia langsung menuju garasi dan melesat dengan Toyo
ta Avanza silver. Sebetulnya, sampai sekarang ia belum
kepikiran untuk pergi ke mana. Mobilnya ia arahkan
melaju ke pusat kota.
Sampai di pusat kota, ternyata ia masih belum
menemukan rencana. Setelah dua kali putaran mengitari
lapangan Alun-Alun Simpang Tujuh, ia memutuskan
untuk berhenti di depan toko buku Hasan Putra. Vano
memarkirkan mobilnya.
Sebetulnya, tidak ada buku yang ingin Vano beli.
Tapi apa boleh buat, daripada memutari alun-alun terus,
bisa pusing tujuh keliling nantinya.
Toko buku itu berada di barat alun-alun, di selatan
Masjid Agung Kudus. Toko buku berlantai dua dengan
dua pohon rindang di depannya yang memayungi hala
man parkir depan. Sejuk. Di bawah pohon itu berjejer
pedagang kaki lima. Mulai dari es, sampai gorengan.
Toko buku Hasan Putra sekarang sudah tidak menjadi
toko buku seutuhnya karena toko itu juga menyediakan
alat tulis kantor. Bahkan, ada pula keperluan ibadah, se
perti baju koko, gamis, dan mukena.
Mungkin karena sepi dan disebabkan kurangnya
minat baca masyarakat, si pemilik toko menambah ba
rang dagangan yang lain agar tidak mengalami kerugian.
Namun sayang, akibatnya, buku yang dijual tidak up to
date.
Vano langsung naik ke lantai dua, tempat bukubuku bacaan umum. Di lantai satu hanya ada buku tulis,
alat tulis kantor, dan perlengkapan ibadah.
Di lantai dua, ada kaca jendela lebar yang langsung
menghadap ke lapangan alun-alun. Dari jendela itu Vano
bisa melihat pedagang kaki lima yang berjajar di depan
toko, juga lalu-lalang pengguna jalan.
Vano berjalan ke arah jendela. Melihat suasana luar.
Setelah itu, ia berjalan lagi di antara rak buku. Melihatlihat buku yang tertata rapi di rak. Tidak ada yang me
narik perhatian karena memang tujuannya ke sini bukan
untuk membeli buku.
Langkah Vano terhenti saat matanya menangkap
buku bersampul putih dengan gambar guru yang sedang
mengajar. Di sampulnya tertulis ?Cara Menjadi Guru
yang Menyenangkan?. Ia mengambil buku tersebut dari
rak, lalu membaca sampul belakang.
"Ini dia buku yang keren. Buku yang aku butuhkan."
Ada senyum yang tersungging di bibirnya.
Ia pun memutuskan untuk membeli buku tersebut.
Daripada ke sini tidak beli apa-apa, malu dong. Bawa
mobil, tapi cuma lihat-lihat saja.
Vano langsung turun ke lantai bawah untuk mem
bayar buku tersebut di kasir.
Saat mengantre, ia melihat ada dua anak berpakaian
lusuh di depan toko buku. Wajah mereka dekil. Lakilaki dan perempuan. Si perempuan lebih tinggi dari yang
laki-laki. Masing-masing dari mereka membawa kecrekan.
Sepertinya mereka kakak beradik.
Si laki-laki ingin masuk membeli buku, tapi si pe
rempuan tak mengiyakan, tidak punya uang katanya.
Ada satpam yang menghampiri mereka.
"Sana! Pergi dari sini! Pengamen libur!" bentak sat
pam itu.
Kedua anak tersebut takut, wajah mereka tertunduk.
Si perempuan melangkah pergi, namun si laki-laki tetap
berada di tempat. Si laki-laki merengek ingin masuk.
Kasihan.
Vano yang melihat kejadian tersebut langsung men
dekat.
"Ada apa ini, Pak?"
"Ini pengamen mau masuk." Satpam tersebut tetap
bicara tegas.
"Sudah biar saya yang urus."
"Baik." Satpam meninggalkan Vano dan kedua anak
itu.
Kedua anak tersebut masih menundukkan kepala.
Vano merasa iba dengan mereka.
"Ada apa, Dik?" tanya Vano ramah.
"Tidak. Tidak apa-apa, Kak," kata si perempuan de
ngan suara sayu. Kepalanya masih menunduk, seakan tak
berani menatap lawan bicaranya, atau mungkin ia sedang
kelelahan.
"Buku, Kak. Buku." Si laki-laki di kanan si perem
puan merengek dan menarik-narik baju si perempuan.
"Ayo, pergi. Kakak tidak punya uang."
"Oh, buku? Emang mau beli buku apa?" Vano men
coba bersikap ramah kepada dua anak itu agar mereka
tak takut.
"Buku dongeng, Kak," kata anak laki-laki itu polos.
"Hush, ayo kita pergi. Kata ibu jangan gampang per
caya dengan orang asing." Si perempuan itu berkata lirih.
Vano mendengar ucapan itu. "Saya bukan orang ja
hat. Percayalah." Vano mengelus rambut kusut si perem
puan.
"Ayo, masuk. Kakak belikan buku yang kalian
inginkan."
Vano menggandeng tangan kedua anak itu dan
mengajak mereka masuk ke toko buku. Seperti terhip
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
notis, si perempuan luluh dan menuruti ajakan Vano. Si
laki-laki tersenyum senang. Mereka langsung menuju ke
lantai atas.
"Itu buku dongengnya ada di sebelah sana." Vano
menunduk sedikit dan menunjuk ke arah rak buku cerita
anak. "Silakan pilih sesuka kalian."
Wajah kedua anak itu cerah. Mereka langsung ber
jalan ke rak yang ditunjuk Vano. Mereka mengitari rak
buku, memilih-milih dengan saksama.
Vano tetap berdiri pada posisinya, memandang kedua
anak yang terlihat senang itu. Wajahnya kini berseri.
"Senangnya melihat mereka tersenyum," gumam
Vano.
Setelah mendapatkan buku yang mereka ingini, me
reka menemui Vano dengan buku di tangannya.
"Sudah, Kak." Wajah mereka tampak berbinar. Se
nyum tersungging di bibir.
"Cuma satu aja?"
"Iya. Ini sudah cukup," kata si perempuan. Si lakilaki sibuk memandangi buku di tangannya yang ber
gambar beberapa binatang.
"Kalian itu sekolah di mana?"
"Kami tidak sekolah, Kak. Cuma setiap minggu ada
kakak-kakak yang mengajari kami membaca, menulis,
dan berhitung."
"Siapa mereka?" tanya Vano penasaran.
"Tidak tahu. Mereka baik sekali. Mengumpulkan
kita, anak-anak pengamen dan pengemis di bawah po
hon. Mereka membawa papan tulis. Mereka juga mem
beri kami buku tulis."
"Baik sekali ya mereka. Terus mengapa kalian tidak
sekolah? Apa sudah cukup belajar dengan kakak-kakak
itu?"
"Tidak ada biaya, Kak."
"Lho? Bukannya SD sekarang gratis?"
"Seragam dan peralatan lain? Ibu kami cuma pemu
lung, Kak."
Vano menelan ludah.
"Kalian ambil beberapa buku lagi aja. Ambil sesuka
kalian. Bagikan dengan teman-teman kalian juga."
"Beneran, Kak?"
"Iya. Sana ambil lagi."
Mereka berlari menuju rak buku bagian cerita anak.
Mereka sangat bersemangat sekali memilih buku-buku
yang menarik, juga buku untuk dibagikan ke temanteman mereka.
Vano tiba-tiba ingat dengan SD Mini Penggerak. SD
pinggiran yang kekurangan buku bacaan pun buku ajar.
Ia langsung berjalan menuju rak buku cerita anak. Juga
mencari-cari buku ajar. Ia bermaksud membeli beberapa
buku untuk murid SD di Kampung Meliau itu. Rupanya
langkah untuk ke Kalimantan sudah mantap.
Setelah Vano dan dua anak tersebut mendapatkan
beberapa buku menarik, mereka langsung turun untuk
membayar di kasir.
"Borong nih, Pak?" Kasir perempuan mengecek
harga buku dan menjumlahkan semuanya.
"Iya, untuk anak-anak," jawab Vano disertai se
nyuman.
Setelah kasir menyebutkan jumlah uang yang ha
rus dibayar, Vano pun membayarnya. Untung tadi ia
sudah membawa uang cash yang lebih dari cukup untuk
membayar ini semua.
"Terima kasih, Pak."
Vano tersenyum dan berlalu meninggalkan kasir dan
toko itu bersama dua anak di sampingnya.
Sebelum dua anak tersebut pergi, Vano mengajak
mereka untuk minum es cendol di depan toko buku.
Mereka pun menyetujuinya dengan senang hati. Vano
memandang mereka yang terlihat lahap sekali menik
mati esnya. Ia merasa senang.
Kini, hati Vano sudah sangat mantap untuk pergi
ke Kalimantan menjadi guru, mengabdikan diri, dan
membagi kebahagiaan untuk SD Mini Penggerak.
Sebetulnya, ia masih ada keinginan bergabung de
ngan kakak-kakak yang diceritakan anak-anak itu. Tapi,
tak mungkin. Papa akan lebih mudah mengetahui dan
langsung melarangnya. Vano memang sudah pernah ber
gabung menjadi pengajar anak pengamen dan pengemis
waktu SMA dulu.
"Mungkin yang diceritakan anak-anak ini adalah
kalian, teman. Teruskan perjuangan kalian," kata Vano
lirih.
Vano memandang lekat wajah dua anak kecil yang
ada di depannya. Air mata menetes perlahan membasahi
pipi. Ada rasa sedih yang menyusup di hati. Tapi, ada juga
secuil kebahagiaan yang terselip karena sudah membuat
mereka tersenyum.
Dua anak itu pun pergi dengan hati yang senang,
dengan senyum yang lebar, dengan buku bacaan im
pian, setelah semangkuk es cendol habis tak tersisa.
Mereka menggenggam erat kantong plastik berisi buku
yang sudah mereka pilih. Vano melepas kepergian me
reka dengan berat sekaligus senang. Rasanya, Vano ingin
mengobrol banyak karena dari merekalah hatinya men
jadi mantap pergi ke Kalimantan.
Sialnya, Vano lupa menanyakan alamat dan nama
kedua anak itu.
??
PERGI KARENA HATI
Sekitar jam tujuh malam, Papa dan Mama meninggalkan
rumah. Sebelum melesat ke Bandung, mereka pergi ke
rumah Tante Firda terlebih dahulu. Mereka sudah janjian
akan berangkat bersama tapi dengan mobil masing
masing.
Hati Vano lega. Rencana untuk pergi besok seperti
nya akan berjalan mulus. Ia sudah diizinkan untuk tidak
ikut ke Bandung, meskipun perdebatan panjang tidak
dapat dihindarkan. Vano bersikeras menolak dengan ala
san outbond dengan temanteman SMK. Demi solida
ritas pertemanan, katanya. Dan beruntunglah Papa dan
Mama akhirnya mau mengerti. Sukses.
Rencananya, besok Vano akan berangkat agak pagi
agar tidak terburuburu nantinya. Juga, berjagajaga jika
ada sesuatu yang tak terduga berusaha menghalangi.
Lebih baik menunggu daripada terlambat.
Vano memulai perjalanan hidup yang telah dipilih.
Tiket sudah di tangan. Selepas dari toko buku kemarin,
ia langsung membeli tiket. Pesawat dijadwalkan akan
terbang sekitar jam sepuluh pagi.
Semua barang bawaan ia siapkan malam ini. Tak lupa
buku bacaan untuk calon anak didiknya dan buku "Cara
Menjadi Pengajar yang Menyenangkan" yang kemarin ia
beli, Vano siapkan. Semua yang akan ia bawa dimasukkan
ke dalam tas ransel berukuran cukup besar.
"Akhirnya selesai juga." Vano menarik napas panjang.
"Besok adalah awal perjalananku yang sesungguhnya."
??
"Vano! Kamu berani-beraninya minggat dari rumah ha
nya untuk mengajar anak-anak yang tak jelas ini! Lihat
Mamamu! Sekarang dirawat di rumah sakit. Itu gara-gara
ulahmu. Dia sangat mengkhawatirkanmu, kau tahu itu!
Kau itu anak durhaka. Bagaimana mungkin kau berani
berbuat seperti itu hanya karena cita-cita murahanmu."
Vano kaget. Ia berhenti berjalan, kemudian berbalik.
Sudah ada Papa di depannya.
Bagaimana mungkin Papa bisa berada di sini. Ia
tak bisa berkata apa-apa lagi setelah Papa memberon
dongnya dengan kata-kata kasar bernada tinggi. Apalagi
Papa menyebut tentang kondisi Mama. Vano tercekat.
Ia seperti tak punya daya lagi. Semangat yang meletupletup terguyur badai. Padam.
Kini semua gelap. Hanya ada dua cahaya dari atas,
yang menyorot ke arah Vano dan Papa.
Papa berjalan mendekat. Jaraknya kini satu meter
dari tempat Vano berdiri.
"Apa yang kau harapkan dengan menjadi guru tak di
bayar, hah?! Papa dan Mama sudah membesarkanmu, su
dah menyekolahkanmu hingga keluar negeri, sudah mem
berimu perusahaan. Kenapa kau malah minggat?!"
Vano menunduk, tak berani menatap mata Papa
yang penuh amarah. Ia menjatuhkan tubuhnya dan ber
lutut. Ia lemas. Tak ada sedikit pun energi yang mengisi
tubuh. Tubuhnya gemetaran.
"Ayo, pulang sekarang!" Papa maju ke depan, me
nunduk sedikit, lalu meraih tangan Vano, dan menarik
nya dengan kasar.
Vano hampir tersungkur ke depan. Tapi ia berusaha
mempertahankan posisinya.
"Ayo, cepat! Apa kau tega dengan Mama?!"
Vano berusaha mengumpulkan energi lagi. Perlahan,
ia mengangkat kepalanya dan berdiri. Tangannya masih
dipegang Papa.
Papa langsung menarik tangan Vano dan berjalan.
Vano pun terpaksa mengikutinya. Ia tak bisa berbuat
apa-apa lagi selain ikut dengan Papa.
Mereka berjalan dalam gelap. Di pikiran Vano se
karang hanya ada Mama. Tidak ada SD Mini Penggerak.
Bayangan Mama yang terbaring lemah di rumah sakit
hadir menghampirinya.
"Maafkan Vano, Ma," desahnya.
Dari belakang, wajah-wajah sayu anak berpakaian
lusuh hadir. Seperti ada lampu yang menyorot mereka.
Mereka melambai-lambai berharap Vano akan kembali.
"Pak Guru, kembali..." panggil mereka penuh harap.
Vano menengok ke belakang. Perlahan air matanya
menetes membasahi pipi. Hatinya bergetar. Ia berhenti.
Masih ada keinginan untuk kembali bersama mereka.
Tapi....
"Mau apa lagi? Ayo, Mama sudah menunggumu!"
Vano terpaksa melangkah lagi mengikuti Papa, me
ninggalkan wajah-wajah memelas itu.
Mata Vano terbuka. Kegelisahan menyelimuti. Ia
memandang ke kanan dan kiri. Gelap. Keringat dingin
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keluar dari pori-pori kulitnya. Gerah. Padahal AC di da
lam kamar sudah menyala.
Napas Vano satu dua. Dadanya kembang kempis.
Laju jantungnya semakin cepat.
"Mimpi buruk. Ini mimpi yang sangat buruk. Bagai
mana ini." Wajahnya pucat.
Vano kemudian menyibakkan selimut dan duduk
di tepi ranjang. Ia menatap tas ransel yang sudah terisi
penuh, yang terletak di atas kursi depan meja belajar.
"Aku takut mimpi ini menjadi nyata. Kenapa aku
bermimpi seperti ini saat aku sudah mulai yakin untuk
pergi. Bagaimana ini?"
Ia kemudian melirik jam kotak berwarna biru muda
di atas meja kecil, di samping ranjang. Masih jam satu dini
hari.
"Pertanda apa mimpi ini? Kenapa mimpi ini harus
datang?"
Ia berbaring kembali, mencoba memejamkan mata.
"Tuhan, beri aku petunjuk dan jalan terbaik untuk
ini," doanya lirih.
??
Alarm jam kotak di atas meja kecil di samping ranjang
berbunyi. Perlahan Vano membuka mata dan menguap
panjang. Ia melirik jam kotak tersebut. Di layar LCDnya tertulis angka ?05:00?.
Mimpi semalam masih membayangi. Tak mau pergi.
Ia gamang. Mimpi itu berhasil membuyarkan tekadnya
merengkuh cita-cita.
"Apa yang harus kulakukan?"
Rencana yang sudah ia susun jadi berantakan. Pada
hal tadi malam, ia sudah sangat senang.
Vano masih berbaring. Terbelenggu dalam kebingu
ngan. Waktu pun berjalan sia-sia. Seharusnya, ia sudah
siap berangkat sekarang. Sudah menapaki jalan hidup
yang baru. Melupakan hidup yang dulu untuk sementara
waktu. Tapi, mimpi itu membekas di kepalanya. Jika tak
ada yang menyebut kondisi Mama dalam mimpi itu,
mungkin ia sudah pergi. Tapi, ini soal kesehatan Mama.
Sosok wanita yang ia cinta.
"Hah!" Vano mengacak-acak rambutnya. Kemudian,
menyibakkan selimut. "Tuhan, beri aku jalan."
Vano langsung bangun dari ranjang dan berjalan
keluar kamar. Berjalan menuju ruang tengah. Lalu, ia
duduk di sofa menghadap ke layar datar TV yang ada di
depannya. Pandangan kosong. Pikiran kacau.
"Pagi, Den. Sudah bangun ternyata," sapa Bi Sri saat
melintas di ruang tersebut.
"Pagi, Bi. Masak apa nanti?"
Bi Sri berhenti, lalu mendekat ke Vano.
"Nasi goreng, Den. Tadi malam disuruh Nyonya
masak nasi goreng kesukaan Aden."
"Masakin sekarang ya, Bi."
"Sepagi ini?" Kening Bi Sri berkerut.
"Iya, lapar ... kalau sudah jadi panggil ya, Bi."
"Baik, Den." Bi Sri langsung berbalik dan pergi ke
dapur.
Vano beranjak dari sofa dan berjalan menuju kamar.
Ia bermaksud menelepon Hakim untuk minta pendapat.
Memang dari SMK, ia selalu curhat pada Hakim, apa
pun masalahnya. Hakim adalah pemegang kunci rahasia
hidupnya.
"Hoaammm ... halo." Suara di ujung telepon ter
dengar malas.
"Kim, bantu aku."
"Jam berapa ini? Gangguin orang aja. Bantu apa
sih?"
"Aku bingung banget, Kim. Seharusnya, aku sudah
sudah siap-siap untuk berangkat. Tapi, tadi malam tibatiba mimpi Mama sakit gara-gara aku pergi."
"Hoammm ... ikuti saja kata hatimu."
"Yah ... aku kan lagi bingung. Hatiku seperti bisu.
Hanya ada bayangan mimpi dan keinginanku menjadi
guru. Itu saja. Sepertinya, mereka saling bertengkar mem
perebutkan apa yang akan aku pilih."
"Tenangkan pikiranmu dulu. Pejamkan mata. De
ngarkan apa kata hatimu itu. Jangan dengarkan kata
mimpi dan obsesi."
"Tapi?"
"Sudahlah. Aku mau lanjut tidur..."
"Yah. Dasar pemalas," protes Vano.
Tut... tut... tut...
"Yah. Mati. Dasar tukang molor," umpat Vano.
Tok... tok...
"Sudah siap, Den," kata Bi Sri tiba-tiba di depan
pintu kamar Vano yang terbuka.
Vano menoleh ke arah Bi Sri. "Oh, iya, Bi."
Vano langsung menuju meja makan. Ia masih bi
ngung, pilihan apa yang akan ia ambil. Ia tak boleh gega
bah untuk mengambil keputusan. Jika salah memutus
kan, hanya penyesalan yang akan membuntuti nantinya.
Di depan Vano sudah ada sepiring nasi goreng leng
kap dengan telur mata sapi. Segelas susu pun bersanding
dengan piring itu. Seakan tak mau absen tersaji di meja
setiap paginya.
Sebenarnya, apa arti mimpi semalam. Apakah mimpi
itu hadir untuk mencegahku pergi atau hanya untuk me
nguji keseriusanku, Vano membatin.
Vano memasukkan sesuap nasi ke mulutnya.
Ah, aku tak percaya mimpi. Bukankah itu hanya bu
nga tidur? Tapi, jika benar terjadi? Aku akan menyesal
seumur hidup.
Setelah satu suapan, ia meletakkan sendok di pi
ring. Kemudian menutup mata, berusaha mencari dan
mendengarkan suara hatinya.
Sulit. Mimpi itu seperti bertarung dengan tekadnya
untuk pergi. Vano mencoba tenang. Mengusir mimpi
dan tekad tersebut. Mencari celah cahaya. Mencari suara
kecil yang sulit terdengar. Dan ia mendengarnya.
"Semoga ini pilihan yang terbaik. Apa pun konse
kuensinya nanti. Semoga tak akan ada penyesalan di
kemudian hari."
Vano melanjutkan melahap nasi goreng. Ia pun me
nambah kecepatan kunyahannya. "Sudah tidak ada wak
tu lagi."
Tak lama, piring di depannya itu kosong. Setelah
minum segelas susu, ia bergegas ke kamar.
Ia langsung mandi ala kadarnya, ganti baju, dan
keluar dengan ransel yang sudah ada di punggungnya.
Semua itu ia lakukan dengan cepat. Ia langsung mene
mui Bi Sri. Ia tetap bilang pada Bi Sri, akan pergi out
bond dengan teman SMK dulu. Bagaimanapun, Bi Sri
tak boleh curiga. Biar pun nantinya seisi rumah kebi
ngungan karena ia tak pulang-pulang.
"Iya, Den. Hati-hati, ya." Bi Sri tersenyum.
Vano keluar rumah dan berlari kecil menuju gerbang
kompleks. Kira-kira seratus meter jaraknya dari gerbang
rumah. Ia langsung menuju ke ujung gang, ke pangkalan
ojek. Ransel penuh di punggungnya tak sedikit pun
menjadi beban untuk bergerak cepat.
Dengan napas terengah-engah, ia mendekati tukang
ojek yang sedang duduk santai di atas motor Jupiter.
"Pak, antarkan aku ke terminal induk, sekarang."
??
TERTUNDA
Pesawat mendarat dengan selamat di Bandara Supadio.
Satu per satu penumpang turun dari pesawat.
Saat menjejakkan kaki di bumi, Vano langsung ber
henti, menarik napas panjang, dan mengembuskannya.
Ia pun mengucap syukur karena telah sampai dengan se
lamat di Pontianak.
Dengan senyum di bibir, ia kemudian berjalan ke
dalam bandara. Langkahnya terasa ringan. "Lanjut ke
Putussibau!" katanya penuh semangat.
Vano langsung menuju counter penjual tiket. Ren
cananya, ia langsung terbang ke Putussibau hari ini.
Nanti menginap dulu di sana saja sebelum melanjutkan
perjalanan ke pedalaman. Seperti perjalanan yang dulu
bersama Hakim.
Tak ada antrean panjang di depan counter. Sampai di
depan counter, ia disambut wanita berparas cantik yang
selalu menyunggingkan senyum. Walau tak pernah ada
yang tahu senyum macam apa yang ia sunggingkan.
"Selamat siang, Bapak. Ada yang bisa kami bantu?"
tanya wanita itu penuh keramahan.
"Beli tiket untuk ke Putussibau. Keberangkatan hari
ini, Mbak."
Wanita cantik di belakang meja itu pun tersenyum.
"Mohon maaf, hari ini tidak ada pesawat yang terbang ke
Putussibau. Jadwal keberangkatannya besok pagi, Bapak."
Vano terkaget. "Hah? Saya harus menunggu besok
dong?"
"Iya, Bapak. Pesawat yang terbang ke Putussibau
hanya dua kali dalam seminggu." Wanita cantik itu masih
tersenyum ramah.
"Sial," Vano mengumpat.
Vano baru ingat. Benar, pesawat yang ke Putussibau
cuma dua kali terbang dalam seminggu. Dulu waktu pergi
bersama Hakim, Hakimlah yang mengatur semuanya.
Vano berbalik. Lalu, merogoh sakunya dan mengam
bil handphone. Ia langsung memencet keypad, kemudian
agak menjauh dari counter tiket.
"Kim, kamu kok tidak mengingatkan kalau pesawat
ke Putussibau hanya ada dua kali dalam seminggu?" cero
cos Vano saat telepon itu tersambung.
"Eh, eh. Kamu sendiri kenapa tidak tanya? Aku kira
sudah tahu. Dulu kan sudah aku beri tahu." Hakim tak
mau disalahkan karena memang ia tak salah.
"Aku lupa. Lha, sekarang aku harus nunggu. Besok
baru ada pesawat. Harus menginap di Pontianak nih.
Buang-buang uang kan jadinya," kata Vano kesal. Ia kesal
pada dirinya, juga pada keadaan sekarang. Ia mengutuk
kebodohannya sendiri.
"Ya, mau gimana lagi?"
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Persediaan uang Vano tidak banyak. Jika malam
ini harus menginap, ia butuh biaya yang tidak sedikit.
Terus, bagaimana dengan perjalanan selanjutnya? Vano
memutuskan untuk meminjam uang Hakim.
"Yah ... terus kapan mau balikin? Emang kamu bawa
ATM?"
"Bawa dong. Ya, besok kalau ada uang. Ayolah ...
kamu tega lihat temanmu jadi gembel di Pontianak?"
"Kan sudah jadi risikomu. Jadi, gembel tidak masalah,
biar bisa ngerasain kehidupan gelandangan. Kamu nanti
juga harus terbiasa hidup serba kekurangan, kan?"
"Iya, iya. Makasih ceramahnya. Tapi, aku lagi tidak
butuh ceramah. Cuma butuh uang tambahan aja tuh.
Gimana?"
"Sialan. Dasar kamu anak Mami. Baru segini aja su
dah meraung-raung minta uang. Bagaimana nanti?"
"Itu beda lagi. Ini kan belum sampe lokasi yang
sebenarnya."
"Ya udah, ya udah. SMS-in nomor rekeningmu."
Setelah menutup telepon, Vano kembali ke counter
tiket. Tapi di sana sudah ada yang mengantre. Seorang
pria berkemeja kotak-kotak warna cokelat yang bagian
bawahnya dimasukkan ke dalam celana. Di belakangnya,
ada wanita dengan rambut panjang sepunggung yang
dibiarkan terurai.
"Yah, ngantre deh," gerutu Vano sembari berjalan
menuju counter tiket.
Vano berhenti tepat di belakang wanita itu.
Pria berkemeja kotak-kotak cokelat itu berbalik sete
lah menyerahkan sejumlah uang. Diikuti wanita di depan
Vano. Tak sengaja, Vano menatap wajah pria itu. Seper
tinya, wajah itu tak asing baginya. Pernah sekali atau dua
kali melihatnya, tapi kapan dan di mana? Ia lupa.
Vano memutar otak, mencoba membuka laci pe
nyimpanan. Mengobrak-abrik isi hard disk di otak. Pria
dan wanita itu berjalan menjauh. Mata Vano masih me
ngikuti mereka. Otaknya berputar semakin cepat.
Vano langsung mengikuti pria itu. Kemudian mem
percepat langkahnya agar tak tertinggal. Saat berada
di samping pria itu, ia mencoba memastikan kembali.
Tidak salah lagi.
"Apai Sahat?" sapa Vano dengan rona bahagia.
Pria itu berhenti. Wanita di sampingnya pun ikut
berhenti. Pria itu menatap Vano. Keningnya berkerut.
Merasa tak kenal dengan pria yang baru saja menya
panya.
"Saya Vano, Apai. Dulu pernah berkunjung ke ru
mah Apai dengan teman saya, Hakim. Masih ingat?"
jelas Vano semangat.
Jika benar itu Apai Sahat dan Apai Sahat masih me
ngenal Vano, selamatlah ia. Langkahnya pun semakin
mudah.
Kening pria itu masih berkerut. Kedua alisnya ber
taut. Ia menatap dengan teliti setiap lekuk wajah Vano.
Kemudian, ia menggaruk-garuk kepalanya.
Vano gelisah melihat ekspresi pria itu. Jangan-jangan
ia salah orang. "Maaf, mungkin saya salah?"
"Oh, iya, iya. Saya ingat sekarang. Kamu yang per
nah bermalam di tempat saya? Apa kabar?" Senyuman
tersungging di bibir pria itu.
Apai Sahat mengangkat tangan, mengajak bersa
laman. Vano langsung menyambarnya. Mereka bersala
man erat. Vano bahagia karena ini tandanya ia ada teman
ke Putussibau dan mungkin di Pontianak untuk malam
ini.
Wanita di samping Apai Sahat memperhatikan ting
kah mereka. Lebih tepatnya memperhatikan Vano?wajah
Vano. Ia diam.
"Baik. Lho Apai kok bisa di sini?" tanya Vano.
Ini benar-benar kebetulan.
"Iya. Kemarin ada keperluan di Pontianak. Saya me
nginap di rumah ini nih." Apai Sahat melirik wanita di
sebelahnya. "Kenalin, ini Widya. Keponakan Apai."
Akhirnya, wanita itu mendapatkan peran. Widya
bisa berkenalan dengan pria yang sudah membuatnya
mematung sejak tadi. Widya tersenyum, lalu menun
dukkan kepala sedikit. Ia malu rupanya.
"Vano." Vano tersenyum.
"Ayo, cari tempat duduk yang nyaman untuk ngo
brol." Apai Sahat merangkul bahu Vano, kemudian ber
jalan mencari tempat duduk.
??
"Kalau begitu, saya beli tiket dulu ya, Apai." Vano bang
kit dari tempat duduknya dan berjalan ke arah counter
tiket.
Tak lama, Vano datang dengan tiket di tangan. Ia
menemui Apai Sahat dan Widya yang masih setia me
nunggu.
"Berangkat sekarang, Apai?"
"Iya."
Apai Sahat dan Widya bangkit, lalu berjalan keluar
bandara. Diikuti Vano di belakangnya.
Mereka akan ke rumah Widya. Vano sekalian ikut
dan menginap di sana. Besoknya, baru berangkat ke Pu
tussibau bersama Apai Sahat.
Tadi, mereka sudah ngobrol banyak tentang tujuan
Vano ke sini. Apai Sahat dengan senang hati akan mem
bantu. Termasuk menginap gratis di rumah Widya ma
lam ini. Isi kantong terselamatkan.
Vano langsung mengirim SMS ke Hakim, memberi
tahukan bahwa ia tidak jadi pinjam uang.
Mereka masuk ke mobil sedan berwarna merah hati.
Dekorasi interior-nya paduan warna hitam dan merah
hati. Cocok sekali. Ada masing-masing dua speaker yang
tertempel di pintu mobil bagian depan. Satu speaker
subwoofer diletakkan di bawah kursi belakang. Siapa pun
pemilik mobil ini, ia adalah penggila modifikasi.
Apai Sahat duduk di sebelah sopir, sedangkan Vano
duduk di belakang bersama Widya. Widya masih mem
bisu. Ia belum berani berbicara pada Vano. Mungkin be
lum punya bahan obrolan yang bagus, juga karena masih
malu-malu. Ia hanya menjawab jika ditanya dan tak
pernah memulai pertanyaan. Suasana di belakang beku.
Mobil tersebut melaju ke pusat Kota Pontianak.
Apai Sahat menoleh ke belakang. "Van, mumpung
sudah sampai sini, bagaimana kalau jalan-jalan dulu?
Kamu tidak capek, kan?"
"Terserah Apai saja. Yang penting gratis." Vano
terkekeh.
"Bagaimana, Wid?" tanya Apai Sahat lagi.
Widya mengangguk. Tanpa ada suara sedikit pun
keluar dari bibir ranumnya.
Seperti patung saja. Aneh. Mungkin suaranya terlalu
mahal, Vano membatin.
"Langsung ke Taman Alun-Alun Kapuas, ya," kata
Apai Sahat pada sopir di sebelahnya.
"Iya, Apai," jawab sopir itu singkat.
Mobil sedan merah itu melaju ke arah kantor
walikota di jalan Rahadi Usman.
Setelah memberhentikan mobil di parkiran Taman
Alun-Alun Kapuas, mereka bertiga turun. Mereka ber
jalan di areal taman seluas tiga hektare yang terletak di
pinggir Sungai Kapuas. Pohon-pohon yang ditanam
belum terlalu besar. Jadi, cukup panas suasana di situ.
Pengunjungnya pun belum terlalu ramai. Cuma ada
beberapa pasangan remaja pria dan wanita yang lewat.
Ada yang duduk-duduk di bangku taman, berjalan
berdua, atau sekadar duduk di atas motor yang diparkir.
Beberapa masih ada yang mengenakan seragam sekolah.
Mereka masih berjalan. Apai Sahat dan Vano masih
mengobrol ke sana kemari, membangun suasana akrab.
Sedangkan, Widya berjalan dan diam.
Mereka langsung menuju ke depan air mancur. Du
duk di cekungan cukup besar yang membentuk setengah
lingkaran ke dalam dan sengaja dibuat bertingkat. Di
tengah-tengahnya air mancur menyembur buas. Replika
tugu khatulistiwa yang menjadi ikon Kota Pontianak ber
diri kokoh di belakang air mancur dengan latar belakang
Sungai Kapuas yang lebar. Indah.
Mereka memutuskan untuk duduk di cekungan. Di
dasarnya adalah luapan Sungai Kapuas. Mungkin sengaja
didesain seperti itu. Seolah-olah air mancur berada di
tengah-tengah air.
"Badas3 kan pemandangannya, Van?" tanya Apai
Sahat.
"Iya, Apai. Ini sudut terindah di taman ini."
"Oh ya, Van. Apai tinggal dulu ya, mau beli ma
kanan ringan."
Apai Sahat bangkit. Kemudian berjalan meninggal
kan Vano dan Widya yang masih duduk memandangi
air mancur.
Masih dalam suasana beku, Vano agak canggung
memulai obrolan dengan Widya. Apalagi sedari tadi
Widya jarang berbicara. Lebih tepatnya, tidak pernah.
Keduanya seperti patung. Hanya terdengar suara cipra
tan air dari air mancur, juga semilir angin yang menabrak
tubuh mereka.
Bagus (bahasa Dayak Iban)
"Pernah ke sini sebelumnya?" tanya Vano tiba-tiba
dalam keheningan. Sangat hati-hati.
"Sudah," jawab Widya super singkat.
"Berapa kali?" Vano bertanya lagi.
"Lupa." Jawaban Widya terdengar lirih.
Vano agak canggung melanjutkan pertanyaan. Seper
tinya, ia tak berhasil menghidupkan patung di samping
nya itu. Tak berhasil membangun suasana akrab. Tapi,
ia juga merasa tak enak jika terus membisu. Ia putuskan
untuk melanjutkan pertanyaan, berusaha meleburkan
suasana.
"Sama siapa? Pacar, ya? Kan tempat ini romantis.
Tuh banyak yang pacaran." Vano menunjuk beberapa
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pasangan pria wanita yang sedang berduaan duduk
memandang air mancur seperti mereka.
"Sekarang sudah bukan."
"Oh, maaf." Vano menyesal telah menyebut masalah
pribadi.
Vano mengeret. Ia bungkam sejenak. Ia merasa ber
salah sudah mengungkit masa lalu orang lain.
"Kau tahu? Banyak kenangan kulalui di sini." Tibatiba Widya berkata agak panjang.
Vano tak menyia-nyiakan ini. "Contohnya?"
"Biasanya, kami menonton air yang menari, dipadu
lampu berwarna-warni yang menyorotinya. Pada malam
hari, suasana akan lebih indah dari ini."
Berhasil. Vano berhasil memancing Widya untuk
berkata lebih dari satu kata. Vano meneruskan pertanya
annya.
"Bagaimana ceritanya kalau boleh tahu? Sehingga
tempat ini menjadi tempat kenanganmu?"
"Dia datang mengisi senjaku. Dulu setiap senja, aku
memang selalu ke sini. Dia pun begitu. Tapi, kita tak
menyadarinya. Sampai kami bertemu di sini, tepat di
sini. Di depan air mancur, di senja yang indah. Ia mulai
mengajakku berkenalan. Dan kami baru sadar jika kami
sama sukanya menikmati senja di sini. Mulai pertemuan
itu, aku tak pernah melewatkan senja. Aku hanya ingin
bertemu dia, melihat wajah damainya, mengobrol ber
sama membunuh senja. Akhirnya, ia menyatakan cinta.
Sesuatu yang memang sudah kutunggu-tunggu setelah
kami berhasil melakukan pendekatan. Masih di suasana
senja yang indah."
Vano terus memperhatikan Widya.
"Tiga bulan berlalu begitu indah. Tapi tak kusangka
ia harus pergi. Ia harus ke Bandung, melanjutkan pendi
dikannya di sana. Dan dia memilih putus daripada mene
ruskan hubungan dalam jarak jauh. Baginya hubungan
jarak jauh itu bukan sebuah hubungan. Sakit sekali. Aku
telanjur mencintainya. Mulai saat itu, aku selalu meluap
kan rindu itu di sini. Namun, lama-lama aku terbiasa
dengan hidup sendiri."
Langit memerah. Lampu taman sudah menyala. Lam
pu yang menyorot dari bawah air mancur pun menyala.
Cahayanya berkilauan indah terbias dari butiran air yang
menyembur dan terjatuh. Kerlap-kerlip begitu indah.
Gemericik suara air semakin terdengar. Romantis.
Taman semakin ramai. Orang-orang berpasangan
datang, juga keluarga kecil dengan buah hati yang riang
berlarian. Taman itu mendadak ramai.
"Kamu benar. Lebih indah jika malam tiba. Sekarang
aku tahu, mengapa kamu selalu menghabiskan senja di
sini. Romantis. Sama romantisnya dengan Menara Eiffel
di Paris."
"Kau pernah ke sana?" Widya menatap ke arah
Vano.
"Aku sempat kuliah di sana. Dan mungkin cerita
cintaku, hampir sama denganmu memutuskan hubungan
karena aku pulang ke Indonesia. Waktu itu, dia yang
memutuskanku. Padahal aku berjanji akan kembali lagi
ke sana. Sudahlah. Mungkin belum jodoh. Aku ingin
melupakannya."
"Eh? Kita kok jadi saling curhat gini, ya?" celetuk
Widya di suasana haru yang telah mereka ciptakan de
ngan ketidaksengajaan.
"Aku kira kamu itu titisan patung. Dari tadi diam
terus. Eh, ternyata bisa bicara panjang juga." Vano ter
kekeh.
Widya tersenyum.
Apai Sahat datang dari arah belakang. Ia langsung
duduk di sebelah Vano. Ia membawa kantong plastik
hitam yang terlihat penuh isi.
"Gaga ati meda kita4. Seperti orang pacaran saja,
berduaan. Ini Apai bawa jus, rujak, roti, dan gorengan."
Widya tersenyum salah tingkah.
Bahagia melihat kalian (bahasa Dayak Iban)
Vano menggaruk-garuk kepala belakangnya. "Apai
Sahat bisa saja. Wah, tahu aja kalau kita baru menanti
makanan jatuh dari langit."
"Khayalanmu ketinggian, Van. Tapi, kalian betulan
seperti orang pacaran," kata Apai Sahat meyakinkan.
"Setelah dihabiskan, kita pulang. Kamu pasti sudah
capek, Van. Besok kan harus lanjut perjalanan. Apai du
kung mimpimu. SD Mini Penggerak akan suka dengan
kehadiranmu."
"Siap. Terima kasih, Apai."
??
Jus sudah habis mereka minum. Makanan ringan lainnya
pun sudah tak bersisa. Mereka bertiga berdiri. Kemu
dian, berbalik dan berjalan meninggalkan tempat itu.
Meninggalkan air mancur yang indah, meninggalkan
secuil kenangan.
Handphone Vano berbunyi. Ia mengambilnya di
dalam saku, melihat ke arah layar.
"Saya terima telepon dulu ya, Apai."
"Oh ya, silakan."
Apai Sahat dan Widya berhenti, menunggu Vano
selesai mengangkat telepon. Keduanya mengobrol ringan
mengusir kebosanan.
"Halo, Ma." Suara Vano terdengar pelan.
"Vano, kok tidak ngasih kabar ke Mama?" tanya
Mama khawatir.
"Maaf, Ma. Tidak sempat."
"Kamu baik-baik saja, kan? Sudah makan? Jangan
sampai kecapekan."
"Sudah, Ma. Vano baik-baik saja. Tidak usah kha
watir sama Vano. Sudah dulu ya, Ma."
Vano memutus teleponnya, tak membiarkan Mama
berkata lagi. Kemudian, ia mematikan telepon dan kem
bali dimasukkan ke dalam saku.
"Kuharap tak ada pengganggu lagi. Maafkan Vano,
Ma," katanya pelan.
Vano menghampiri Apai Sahat dan Widya yang
menunggunya.
"Ayo, Apai."
??
SURGA TERSEMBUNYI
Vano dan Apai Sahat diantar Widya dan papanya ke
bandara. Pak Usman namanya. Jika dipandang sekilas,
wajahnya mirip Apai Sahat. Maklumlah, mereka saudara.
Cuma beda setahun, katanya.
"Terima kasih, Pak, sudah menampung saya sema
lam." Vano tersenyum, kemudian menjabat tangan Pak
Usman.
Semalam, mereka mengobrol panjang lebar saat ma
kan di rumah Widya. Vano pun antusias dalam obrol
an tersebut. Keluarga Pak Usman sangat welcome terha
dapnya.
"Terima kasih, Wid. Semoga kita bisa bertemu lagi
di lain kesempatan." Vano tersenyum setelah menjabat
tangan Widya. Senyum yang berbeda dari saat pertama
mereka bertemu.
Widya mengangguk dan membalas senyuman Vano.
Vano dan Apai Sahat langsung menuju pintu check
in karena pesawat akan segera terbang. Tak ada waktu
lagi untuk berlama-lama. Mereka hampir terlambat.
Ini gara-gara Apai Sahat tadi pagi tiba-tiba sakit perut.
Beberapa kali ia bolak-balik ke WC. Itu pun dengan
durasi yang cukup lama. Mungkin karena kemarin sore
terlalu banyak makan rujak yang super pedas dalam kea
daan perut belum terisi nasi. Apalagi setelahnya langsung
dijejal dengan es jus. Pantas saja jika perut Apai langsung
berdemo.
Kemarin sore, Vano dan Widya tak mau makan rujak.
Mereka hanya makan roti dan gorengan. Jatah rujak me
reka terpaksa masuk ke perut Apai Sahat semuanya. Mau
bagaimana lagi. Daripada mubazir.
Ya sudahlah. Vano masih bersyukur karena pesawat
belum terbang. Jika mereka terlambat sedikit lagi, mereka
harus tinggal di Pontianak beberapa hari. Dan itu hanya
akan membuang waktu sia-sia, juga uang yang semakin
menipis.
Pesawat terbang menuju Putussibau. Bandara Supadio
terlihat mengecil, semakin kecil, hingga akhirnya tak ter
lihat karena tertutup awan. Vano masih memandang
ke arah luar jendela. Sesekali dari sela-sela awan terlihat
hamparan hutan. Hijau dan hijau. Betapa hebatnya Kali
mantan menjadi paru-paru dunia.
Vano memandang ke arah Apai Sahat di samping
kirinya. "Apai, ada yang mau saya sampaikan," katanya
lirih.
Apai Sahat menoleh. "Apa?"
"Tentang nanti setelah saya tiba di sana. Tolong
kenalkan saya pada siapa pun juga sebagai Topan. Bilang
saja saya adalah anak dari teman Apai dari Pontianak."
"Mengapa begitu?" tanya Apai Sahat keheranan.
Dahinya berkerut.
"Hmm." Vano memutar otaknya. Ia tak ingin siapa
pun mengetahui siapa ia sebenarnya. "Ya ... biar mudah
diterima ngajar di SD Mini Penggerak, Apai. Jika kepala
sekolahnya mengetahui saya adalah anak dari teman
orang nomor satu di Meliau, pasti saya tidak akan ditolak
untuk mengajar di sana. Untuk urusan ganti nama, biar
pantas saja. Lagi pula, jika nanti saya memperkenalkan
dengan nama Vano, mungkin mereka akan tertawa.
Dikira nama palsu, sok keren gitu." Vano terkekeh.
Apai Sahat ikut terkekeh.
Vano mengembuskan napas lega setelah berargumen
panjang. Semoga dengan alasan asal yang tiba-tiba terlintas
di kepalanya itu bisa membuat Apai Sahat percaya.
Apai Sahat diam sejenak. Kemudian, ia mengangkat
kedua bahunya. "Ya, terserahlah. Padahal jika tak me
ngaku seperti itu, kamu juga sudah pasti akan diterima
mengajar di sana. Tenang saja."
Pesawat berukuran sedang itu masih berada di
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
langit Kalimantan. Tapi, sebentar lagi akan melakukan
pendaratan di Bandara Pangsuma. Semua penumpang
menyiapkan diri setelah ada aba-aba dari pramugari.
??
Apai Sahat dan Vano langsung keluar bandara mencari
kendaraan yang dapat mengantarkan mereka ke Lanjak
di Kapuas Hulu. Bandara Pangsuma tergolong bandara
kecil. Kegiatan di bandara pun tampak lengang. Bandara
ini berada di Kelurahan Kedamin Hulu, Kecamatan
Kedamin.
Tidak ada waktu untuk bersantai-santai lagi. Perja
lanan ke Lanjak kurang lebih dua jam. Dilanjutkan tiga
jam untuk menuju ke dermaga sungai. Itu pun jika tidak
ada kendala di jalan.
Vano menyerahkan semuanya pada Apai Sahat kare
na memang ia tak tahu apa-apa. Ia membuntuti Apai
Sahat. Pokoknya, Vano tinggal terima beres.
Apai Sahat melakukan tawar-menawar dengan bebe
rapa sopir yang menawarkan jasa angkot dengan mobil
pribadi. Naik kendaraan umum pasti akan berkali-kali
naik turun ganti kendaraan. Itu memakan waktu yang
lama. Tak mungkin juga naik ojek. Lima jam di atas
motor? Tidak, tidak.
Apai Sahat memilih mobil yang cukup besar dan
umurnya terlihat agak tua. Vano sempat heran. Benarkah
ia dan Apai akan naik mobil ini? Sebuah Carry tua yang
catnya sudah agak memudar. Pun di beberapa bagian ada
goresan. Di sebelah lampu depan agak penyok, mungkin
bekas tertabrak. Yah terpaksa, yang penting gratis.
Mereka berdua masuk ke dalam mobil. Apai Sahat
duduk di dekat sopir. Sedangkan, Vano di belakang.
Sendirian. Jok belakang cukup luas hingga Vano bisa se
lonjoran. Ia memutuskan untuk menyambung tidurnya
yang terganggu semalam akibat Apai Sahat tidurnya me
ngorok keras. Vano tak bisa nyenyak.
Vano menikmati perjalanan. Menikmati dengan ter
lelap, tentunya. Berjalan-jalan ke alam mimpi. Kaca jen
dela di bagian kiri sengaja dibuka sedikit agar ada angin
yang masuk. Sejuk. Udara di sini masih terjaga. Pohonpohon berbaris rapi di kanan kiri jalan bagai memayungi
tiap pengendara yang lewat di jalan yang cukup untuk
dua mobil dijajarkan.
Apai Sahat menoleh ke belakang, lalu menggelenggelengkan kepala dan tersenyum ketika melihat Vano
yang terlelap.
Dua jam terlewati. Jalan beraspal berubah menjadi
jalan tanah biasa. Sesekali bertemu dengan kubangan
lumpur yang cukup dalam juga lebar. Sesekali pula
bertemu dengan bongkahan batu yang sengaja ditata
menutupi bekas kubangan. Mungkin agar tidak becek,
tapi malah membuat tak nyaman berkendara.
Akhirnya, mereka sampai di tempat pemberhentian
perahu di tepi sungai. Tempat itu terbuat dari papan
yang dijejerkan dan ditopang dengan kayu yang cukup
besar. Sederhana. Seperti panggung di tepi sungai. Perahu
dayung hingga speedboat berjajar rapi di tepi papan itu.
Beberapa orang terlihat berdiri di atas papan. Ada juga
yang tengah bersantai di atas perahu.
Apai Sahat langsung menemui seseorang. Berbin
cang sejenak dan langsung menggandeng Vano menuju
speedboat bercat biru.
Setelah Vano dan Apai Sahat naik, mesin speed
boat tersebut dinyalakan. Perlahan, speedboat itu me
ninggalkan dermaga kayu. Sungai yang dilalui cukup besar
dan mungkin juga lumayan dalam. Di kanan kiri sungai
tumbuh pohon-pohon yang menjulang. Semak belukar
menjalar sampai menyentuh permukaan sungai.
Suara burung bersahutan. Bahkan deru mesin speed
boat dikalahkan oleh kicauan burung. Burung yang warnawarni terbang dari dahan satu ke yang lainnya.
Vano teringat waktu ke sini bersama Hakim. Masih
sama dengan yang dulu. Indah. Rasa takjub itu terulang
kembali, meski ini kali keduanya ke sini.
Dua kampung sudah terlewati. Vano terlihat lelah.
Namun, ia kembali bersemangat saat disambut senja
yang sangat cantik. Matahari seakan bersembunyi di
balik hutan, di ufuk barat. Langit pun memerah. Kawa
nan gagak berhamburan berpindah tempat. Semua itu
terbias pada air sungai. Ditambah lantunan cipratan air
dari perahu yang melaju. Indah.
??
Matahari telah hilang. Langit gelap. Satu dua titik-titik
cahaya di langit muncul. Purnama hadir menggantikan
tugas matahari.
Mereka sampai di Meliau sesuai dengan waktu yang
direncanakan. Speedboat menepi di pinggir lanting5. Ter
nyata pemilik speedboat adalah warga Meliau. Pantas jika
Apai Sahat memilih speedboat bercat biru itu.
Seperti papan yang disusun lebar dan terapung di pinggir sungai.
Tempat mandi dan mencuci, juga untuk menambat perahu
Terlihat beberapa titik cahaya temaram tergantung
di teras rumah panggung di atas sana.
"Sampai juga, Van." Ada bias kelegaan di wajah Apai
Sahat.
"Iya. Syukurlah." Wajah Vano berbinar. Meski ada
lelah yang menggelayuti.
"Capek? Ayo, ke rumah. Nanti langsung istirahat."
Apai Sahat menyusuri jalan yang beralas kayu. Kayukayu itu dijajarkan dan ditopang kayu lain yang ber
ukuran cukup besar. Sama seperti dermaga kayu di Lanjak.
Vano membuntuti Apai Sahat dari belakang. Terlihat ada
beberapa cahaya dari dalam rumah penduduk. Sedangkan,
di luar gelap. Hanya disinari purnama. Suara jangkrik
pun terdengar merdu. Katak juga tak mau kalah. Mereka
bersahutan.
Tok... tok... tok...
Apai Sahat mengetuk pintu.
Terdengar suara orang bernyanyi. Vano tidak tahu
apa yang dinyanyikan dari dalam. Sepertinya banyak
orang yang sedang berkumpul.
Klek.
Wanita paruh baya membuka pintu.
"Sudah pulang, Apai."
"Iya. Ini bawa teman juga. Namanya Topan. Dia dulu
pernah liburan ke sini juga."
"Oh, iya, iya. Lalu wai anang malu6." Wanita itu
sepertinya tak menghiraukan apakah Vano pernah datang
Silakan masuk, jangan malu (bahasa Dayak Iban)
atau tidak. Ia cuek dengan itu.
Vano bengong. Tak paham dengan apa yang dikata
kannya.
Apai Sahat yang mengetahui kebingungan Vano men
jelaskan, "Maksudnya, silakan masuk. Jangan malu-malu."
Apai Sahat tersenyum dan mempersilakan Vano masuk ke
dalam.
Vano paham. Ia tersenyum ke arah wanita itu. "Teri
ma kasih, Inai7."
Vano melangkahkan kakinya di Rumah Betang Pan
jang. Rumah ini dihuni oleh masyarakat yang masih
punya garis keturunan dengan Apai Sahat. Kedua belas
pintunya diwariskan secara turun temurun.
Mata Vano lalu menyisir setiap sudut ruangan.
Ruang panjang itu diterangi beberapa lampu putih yang
digantung di tengah langit-langit. Bangunan rumah ini
seluruhnya dari kayu. Beberapa orang sedang duduk
melingkar. Di tengahnya ada dua orang, yakni pria dan
wanita yang berpakaian adat?hasil tenunan sendiri?
sedang menari Ngajat8. Yang lain duduk dan bernyanyi
sambil menikmati tarian kedua orang itu.
Vano langsung duduk ikut menyaksikan ngajat9.
Gerakannya indah. Sama indahnya dengan pakaian yang
ditenun dengan ketelitian itu. Makanan khas Meliau
pun dihidangkan untuk Vano. Tak lupa ikan bakar hasil
tangkapan menemani santap malamnya.
Ibu (bahasa Dayak Iban)
Tari dari Meliau untuk menyambut tamu
Tarian (bahasa Dayak Iban)
Orang-orang di sini sangat ramah. Apai Sahat mem
perkenalkan Vano dengan nama ?Topan?. Mereka lang
sung menyalaminya dan mengobrol bersama. Semua
langsung akrab dengan Vano. Memang, mereka sudah
terbiasa dengan datangnya tamu. Suasana kekeluargaan
pun begitu terasa. Apalagi mereka benar-benar masih
keluarga dalam satu garis keturunan.
"Kamar kamu di sana. Seperti dulu. Silakan istirahat.
Tidur yang nyenyak."
"Terima kasih, Apai."
Vano berjalan masuk ke kamar yang ditunjukkan
Apai Sahat. Di pintunya tertempel selembar kertas dengan
tulisan ?Kamar Tamu?. Kamar-kamar di sini biasanya
disewakan untuk turis yang berkunjung. Rumah Betang
Panjang memang sering dijadikan homestay untuk turis.
Vano langsung merebahkan tubuhnya di atas tikar
yang terbuat dari anyaman tumbuhan berdaun panjang.
Ada lampu putih yang tergantung di atasnya. Lampu
ini khusus dipasang di kamar tamu. Kamar-kamar yang
lain dibiarkan gelap. Di sini harus menghemat energi.
Mereka hanya mempunyai satu genset saja. Itu pun dibeli
dengan swadaya.
Suara serangga malam masih terdengar. Bersama
lelah yang menerjang, Vano terlelap.
??
PAGI DI MELIAU
Perlahan, Vano membuka mata. Lampu yang tergantung
di langitlangit kamarnya masih menyala. Tapi, sinarnya
terkalahkan oleh cahaya matahari yang menerobos dari
jendela kaca tanpa gorden.
Ia menguap panjang. Rasanya malas sekali untuk
bangun. Badannya masih terasa lelah dan pegalpegal.
Kulitnya terasa lengket. Gerah. Ia menggeliat di atas tikar.
Tapi, setelah sadar tentang alasan mengapa ia berada di
sini, ia kaget dan langsung bangun. Matanya mendelik
menatap jam dinding yang terpasang di sebelah poster
Luna Maya.
"Hah! Sudah jam sembilan. Mengapa Apai Sahat
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak membangunkanku? Harusnya aku sudah berada di
SD itu." Vano terlihat kesal.
Ia mengambil bantal dan melemparnya ke dinding
kayu.
Vano berdiri dan langsung lari keluar kamar. Ruang
utama Rumah Betang Panjang sudah sepi. Hanya ada
beberapa ibu tengah mengayun-ayunkan bayi di kain sa
rung yang dikaitkan dengan tali ke langit-langit. Bebe
rapa ibu yang lain tengah menenun.
Vano berjalan menghampiri ibu-ibu yang tengah
mengobrol sambil mengayun-ayunkan bayi agar tidak
rewel itu.
"Permisi, Apai Sahat di mana, ya?" tanya Vano
ramah.
"Baru bangun? Apai Sahat lagi keluar. Katanya se
bentar. Makan saja dulu," terang ibu berbadan tambun
dan mengenakan daster berwarna biru muda.
Masyarakat di sini memang ramah. Mereka sudah
biasa dengan kehadiran orang asing.
"Oh. Terima kasih ya, Inai."
Vano berbalik, langsung berjalan menuju ke pintu
depan yang terbuka. Sinar matahari membasuh tubuhnya.
Di sungai, terlihat Apai Sahat mendayung perahu, tengah
menepi ke lanting. Vano menyunggingkan senyum. Ia
kemudian berjalan ke arah lanting.
"Apai!" Vano melambaikan tangan ke arah Apai
Sahat.
Apai Sahat memandang ke arah Vano yang masih
berdiri di atas jalan kayu. "Baru bangun, Pan?"
Vano kemudian turun ke lanting yang mengapung.
"Iya. Kenapa Apai tidak membangunkan saya? Kan saya
mau ke sekolah hari ini juga."
Apai Sahat keluar dari perahu, kemudian me
nambatkan perahunya di lanting. "Kamu kelihatannya
capek sekali, Pan. Kemarin menempuh perjalanan pan
jang. Bapak tidak berani membangunkan kamu. Hari ini
mau langsung ke sekolah? Apa tidak besok saja?"
"Iya, Apai."
"Ya sudah. Sana mandi dulu. Di sini."
Vano kaget. Matanya sedikit terbelalak. "Di sini?
Sungai ini? Tempat terbuka gini?" Telunjuknya menun
juk sungai.
"Iya, di sini. Memang mandinya di sungai. Di atas
lanting ini. Masa kamu tidak mandi? Badan kamu kotor
begitu. Apa tidak terasa lengket dan gerah?"
"Tapi malu, Apai. Saya tidak terbiasa mandi di
tempat terbuka gini." Wajah Vano berubah kecut.
"Anggap saja lagi mandi di kolam renang. Tidak ada
tempat mandi yang lain. Ya, memang di sini. Semuanya
dikerjakan di sini, dari mandi sampai cuci baju."
"Ya sudah. Terpaksa." Vano menyerah. Ia terpaksa
mandi di sini daripada badannya lengket dan gerah.
Vano berjalan malas kembali ke Rumah Bentang
Panjang, masuk ke kamar, dan mengambil handuk serta
sabun. Kemudian kembali ke lanting.
Ia menanggalkan pakaian dan menyisakan kolor saja.
Ia sengaja membelakangi jalan. Vano malu. Apalagi jika
ada orang lewat, pasti langsung memandanginya dengan
heran. Pantas saja. Badannya putih. Berbeda dengan
kebanyakan masyarakat sini yang hitam manis. Apalagi
belum banyak yang mengenal dirinya.
??
Vano keluar dari kamar mengenakan kemeja kotak-kotak
berwarna biru tua. Wajahnya tampak segar. Rambutnya
masih dengan gaya spike. Itu sudah menjadi gaya favorit
nya. Tidak bisa diubah. Semerbak wangi parfum mengisi
ruang panjang rumah itu. Jam tangan stainless berkilauan
di tangan kirinya. Orang yang berada di dalam ruang
panjang menatap ke arah Vano. Penampilan asing.
"Makan dulu, Pan," suruh Apai Sahat yang duduk
di atas tikar.
"Tapi, ini sudah siang, Apai." Vano terlihat gelisah.
"Daripada nanti kamu sakit. Nanti malah tidak bisa
ngajar."
Vano tak bisa membantah Apai Sahat. Benar juga.
Jika sakit, ia bakal merepotkan semuanya.
Ia langsung duduk di atas tikar. Di depannya sudah
tersaji sepiring nasi dengan lauk ikan goreng dan segelas
kopi hitam yang masih panas. Asapnya beterbangan me
mecah udara di atasnya.
Sebetulnya, ia sangat jarang makan ikan. Vano tidak
mau repot memilah-milah duri ikan. Biasanya, ia memilih
bandeng presto jika ingin makan ikan. Jika tidak, ia beli
ikan gurame berukuran jumbo.
Waktu kecil dulu, duri ikan pernah menyangkut
di tenggorokan Vano. Rasanya sakit agak gatal. Mulai
saat itu, ia sangat hati-hati saat makan ikan dan kadang
benar-benar tidak mau makan ikan.
Dan kini, di hadapannya ada ikan sebagai sarapan
pagi.
"Ayo, Pan. Dimakan," tawar Apai Sahat.
"Eh, iya." Terpaksa Vano menyantapnya.
Perlu waktu yang agak lama jika menunggu Vano
makan. Ia sangat teliti memilah duri. Ia tak mau keja
dian lampau terulang lagi.
Akhirnya selesai. Vano menyisakan kepala ikan dan
duri-duri yang berjajar di pinggir piring seperti pagar.
Apai Sahat tersenyum melihat cara makan Vano.
"Enak ya, Pan?" tanya Apai Sahat usil.
Vano tersenyum. Sedikit dipaksakan. Kemudian me
neguk kopi perlahan.
"Taruh di mana ini, Apai?" Vano mengangkat piring.
"Biarkan di situ. Biar nanti Inai yang membereskan."
"Tidak. Saya jadi tidak enak jika merepotkan terus.
Pendekar Guntur Lanjutan Seruling Naga Perawan Lola Karya Widi Widayat Wiro Sableng 179 Delapan Sukma Merah
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama