Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman Bagian 2
Saya ingin mandiri."
"Kamu itu tamu, Pan. Tidak usah sungkan."
"Tapi?"
"Sudahlah, sambil beradaptasi di sini. Kamu kan
harus ke SD."
"Terima kasih. Sekali lagi terima kasih."
"Ayo, kita berangkat sekarang," ajak Apai Sahat.
Apai Sahat berdiri, kemudian diikuti Vano. Mereka
berjalan beriringan ke luar Rumah Betang Panjang.
Rencana hari ini, mereka akan menemui kepala seko
lah dan menyampaikan maksud Vano saja. Hari sudah
siang. Beberapa jam lagi sekolah akan bubar.
Mereka menyusuri jalan dari papan kayu, turun ke
lanting, dan naik ke perahu yang tidak dicat. Warnanya
cokelat agak keabu-abuan. Warna kayu yang sudah lama
ditebang dan terendam air. Alami.
"Tidak pakai yang ada mesinnya, Apai?" tanya Vano.
"Mendayung lebih sehat. Kita harus menghemat
energi," Apai Sahat menjawab dengan bijak.
Vano tersenyum kecut. Ia belum pernah mendayung
sebelumnya. Dan ia malas untuk melakukannya.
Ia masih ragu. Ia hanya berdiri dan menyaksikan
Apai Sahat yang sudah duduk di bagian belakang dalam
perahu.
"Ayo naik, Pan."
"Eh, iya."
Langkah Vano terasa berat. Sumpah, ia malas. Kena
pa tidak pakai perahu bermesin saja. Tinggal duduk lang
sung sampai. Dulu, naik sepeda saja tidak pernah. Lah
ini, mendayung. Ah, tidak.
Namun, ia terpaksa harus belajar mendayung. Karena
mulai hari ini, transportasinya adalah perahu dayung,
bukan yang serba mesin. Vano berusaha memaksa diri.
Ini kehidupannya yang baru.
Vano naik ke perahu dan duduk di depan. Apai
Sahat mulai mendayung setelah tambatan dilepaskan
Vano. Perlahan perahu melaju ke belakang, kemudian di
belokkan ke kanan, dan melaju memecah air. Menjauh
dari lanting. Vano masih diam. Berpegangan di kedua sisi
perahu. Membiarkan dayungnya tergeletak di bawah, tak
disentuh.
"Ayo dicoba, Pan."
Vano refleks menoleh ke belakang. "I-i-iya," jawab
Vano gagap.
Ia meraih dayungnya. Sedetik kemudian ia meng
ayunkan dayung di sebelah kiri. Ia gugup. Dayung me
nyibakkan air ke belakang, menghasilkan suara cipratan
yang khas.
Vano jadi teringat rumah. Ingat kebiasaannya duduk
di gazebo pinggir kolam renang karena hanya ingin men
dengarkan cipratan air yang mendamaikan. Seperti saat
ini. Namun, lebih syahdu sekarang karena dipadu suara
embusan angin yang menabrak dedaunan. Juga kicauan
burung yang saling bersahutan.
"Pelan-pelan saja. Jika saya di kiri, kamu di kanan.
Begitu bergantian agar perahunya bisa jalan lurus," jelas
Apai Sahat yang masih mendayung di sebelah kanan.
"I-i-iya." Vano masih belum bisa mengontrol diri
nya. Jantungnya masih berdegup kencang sejak tadi.
Perahu masih melaju memecah air sungai yang
bening. Terlihat beberapa ikan tengah berenang di per
mukaan. Lama-kelamaan, Vano mulai terbiasa dengan
dayungnya. Jantung Vano berdetak agak normal.
"Ternyata berat juga, ya," komentar Vano bersama
cipratan air dari dayungnya.
"Lama-lama akan terbiasa. Begini kan bisa sekalian
olahraga."
"Tapi sulit, harus bisa seimbang perahunya. Tangan
terasa pegal." Sifat manja Vano keluar.
"Kita menepi di dermaga kayu yang terapung itu."
Apai sahat menunjuk ke arah dermaga kayu di tepi
sungai.
"Caranya bagaimana?" Vano panik lagi.
"Dayung ke arah sana. Pelan-pelan saja."
"Apai saja yang ngatur deh. Saya nonton dulu."
Vano mengangkat dayungnya. Apai Sahat memain
kan dayung, menepikan perahu ke dermaga. Perlahan
perahu tersebut menepi, meski bagian depannya sempat
menabrak dermaga.
Vano langsung keluar dari perahu, disusul Apai Sahat.
Apai Sahat lalu menambatkan perahu pada lubang di
dermaga kayu agar tidak hanyut ikut arus sungai.
Mereka berdua masuk ke hutan. Menyusuri jalan
kayu seperti jembatan panjang. Papan kayu yang menjadi
alas pijakan hanya ada di tengah. Itu pun beberapa ada
yang sudah keropos. Jadi, harus berhati-hati jika melintas
di atasnya.
Lumut menutupi bagian pinggir kayu. Beberapa
tiang penyangga dirambati tumbuhan menjalar. Lembap
dan basah. Hawa dingin begitu terasa menusuk tulang.
Masih ada beberapa titik air yang tergantung di daundaun pohon yang menjuntai ke jalan kayu.
Suara burung terdengar bersahutan dari segala arah.
Semarak sekali. Terlihat kawanan Rangkong tengah me
lintas. Selain itu, ada burung berukuran agak kecil,
warna bulu bagian bawahnya cokelat, serta mempunyai
ekor agak panjang berwarna hitam. Kepala dan sayap
nya juga berwarna hitam. Vano pernah melihat burung
tersebut di rumah Hakim. Ya, itu Murai. Vano pernah
menanyakannya pada Hakim. Burung itu suka bersahutan,
terbang berpindah tempat, dan mencari serangga.
"Hati-hati, Pan. Kadang ada ular yang menggantung
di pohon atau melilit di kayu, lho."
"Benarkah?" Vano bergidik ngeri. Membayangkan
tiba-tiba ada ular yang jatuh dari pohon yang mema
yungi jalan itu.
Mereka berdua masih menyusuri jalan menuju
tengah hutan. Di ujung, jalan kayu menurun dan berganti
menjadi tanah biasa. Di sana ada satu bangunan panggung
yang beratapkan seng yang sudah karatan. Bangunan dari
kayu yang beberapa sisinya bolong. Pintunya terbuka,
begitu pun jendela yang terbuat dari kayu. Bangunan ini
memiliki dua ruang utama. Di dalam terlihat beberapa
anak berseragam putih merah duduk dengan rapi. Di
depannya ada wanita yang tengah menjelaskan sesuatu.
Vano berhenti. Senyuman tersungging di bibirnya.
Matanya tak bisa lepas dari bangunan menyedihkan itu.
Ada lecutan semangat yang membakar diri, mengalahkan
hawa dingin yang menusuk tulang.
"Ayo, Pan."
Vano masih berdiri mematung. Kakinya terasa sulit
digerakkan. Bukan karena takut atau apa, ia seperti tak
percaya berada di sini. Telah menempuh perjalanan se
panjang ini. Dan sekarang, ia dekat dengan cita-citanya.
Jantungnya berdegup kencang. Matanya masih terpaku.
Siapkah aku menjadi guru?
"Pan, ayo!" Apai Sahat sudah berjalan di depannya.
"Eh, i-iya." Vano sedikit berlari menyusul Apai
Sahat.
Mereka berjalan beriringan menuju bangunan pang
gung yang di bawah atapnya tertulis ?SD Mini Penggerak?
bercat hitam pada papan bercat putih. Sayangnya, warna
itu memudar. Mungkin karena faktor umur. Mereka
menaiki tangga, berjalan menuju ruang di sebelah kiri.
Di depan sana, ada wanita paruh baya yang menge
nakan kacamata. Badannya sedikit tambun dan dibalut
dengan pakaian serba cokelat. Wanita itu menjelaskan
sesuatu kepada anak-anak di depannya. Di papan tulis
tergambar Pulau Kalimantan. Sepertinya tengah berlang
sung pelajaran IPS.
Tok... Tok... Tok...
"Permisi, Inai," kata Apai Sahat.
Wanita paruh baya itu mengalihkan pandangannya
ke Apai Sahat. Kemudian menyunggingkan senyum dan
berjalan ke arah Apai Sahat yang tengah berdiri di depan
pintu yang terbuka.
"Eh, Apai Sahat. Ada perlu apa, ya?" tanya wanita itu
ramah sembari menyunggingkan senyum.
"Ada perlu sebentar. Tentang SD ini."
"Apakah perihal permohonan bantuan yang kami
ajukan ke pemerintah sudah cair?" Wanita itu terlihat
bersemangat.
Apai Sahat menggeleng. Ada raut masam pada wajah
Apai Sahat. "Maaf, Inai." Apai Sahat mengubah raut
wajahnya. "Oh ya, ini kenalkan. Topan, anak dari teman
saya. Dari Pontianak."
Vano tersenyum, kemudian menyalami wanita itu.
"Topan, Inai."
"Ini Inai Atin, Pan. Kepala sekolah SD ini," Apai
Sahat menjelaskan.
Ya. Wanita itu bernama Inai Atin. Kepala sekolah
sekaligus pencetus dan pendiri sekolah ini. Ia adalah
istri dari salah satu warga Meliau. Ia lahir dan besar di
Pontianak. Setelah menikah, Inai Atin mengabdikan diri
di sini karena keprihatinannya melihat anak-anak yang
tak bisa sekolah karena jarak yang jauh.
Inai Atin tersenyum. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Begini. Topan bermaksud mengabdi, membantu
mengajar di sini. Dia pintar, lho. Bisa Bahasa Inggris
juga," terang Apai Sahat sedikit memuji.
Inai Atin tampak gembira. "Boleh saja. Tapi, ya
beginilah kondisi kami. Jauh dari kata layak. Tapi anakanak di sini mempunyai semangat yang besar untuk
sekolah. Di sini ada enam kelas, tapi hanya ada dua ruang
kelas. Sekelas hanya tiga atau empat siswa saja."
"Tidak apa-apa." Vano tersenyum. Ia tidak kaget
dengan kondisi yang diterangkan Inai Atin. Ia sudah
mengetahui itu sebelumnya. Dan karena itulah ia di
sini.
"Oh ya. Soal honor, maaf, mungkin kecil. Karena
kami pun sebenarnya tidak mengharapkan. Itu atas ke
baikan orangtua murid sini. Niat kami membantu. Melihat
mereka bisa membaca dan menulis, itu sudah cukup."
"Tidak masalah. Saya bersedia jika tidak dibayar se
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kali pun. Saya hanya ingin membagi ilmu dan mengabdi
di sini. Saya ikhlas."
"Iya. Dia tinggal bersama saya. Keseharian dia akan
saya tanggung. Saya ikut gembira jika dia mengajar di
sini."
Mata Vano menangkap sosok wanita tengah me
ngintip mereka dari balik pintu di ruang sebelah. Hanya
terlihat wajahnya. Itu pun tak jelas karena terhalang oleh
Apai Sahat. Vano bertanya-tanya dalam hati.
"Baiklah. Saya juga senang. Masih ada pemuda yang
peduli seperti kamu." Inai Atin tersenyum. Senyum yang
ramah.
"Tunggu sebentar. Saya perkenalkan guru yang satu
lagi. Namanya Lestari. Dia warga Meliau juga."
Bergegas, wanita yang mengintip di balik pintu itu
masuk ke ruangan. Vano merekam kejadian itu, tapi ia
diam saja.
Inai Atin langsung berjalan menuju ke ruang sebelah.
Tak lama, kembali dengan wanita berkulit hitam manis.
Rambutnya dikuncir satu. Ia mengenakan dress bercorak
bunga-bunga putih. Wajahnya tampak tak ramah?bibir
mungilnya manyun dan alisnya menukik. Sepertinya,
ia tengah menunjukkan ketidaksukaan akan sesuatu.
Kini, Vano bisa melihat dengan jelas sosok wanita yang
mengintip tadi.
"Ini Lestari. Dia mengajar kelas satu sampai tiga."
Inai Atin memegang bahu Lestari.
"Topan." Vano melambungkan senyum ke arah wa
nita bernama Lestari itu sembari mengangkat tangannya.
Mengajak bersalaman.
Lestari malah memalingkan pandangan, memanyun
kan bibir, dan memasang wajah yang tak ramah.
Vano jadi salah tingkah antara kesal dan malu. Tapi,
ia masih mempertahankan posisi, menunggu tangannya
dijabat oleh Lestari.
"Lestari," kata Inai Atin lirih di dekat telinga Lestari.
Lestari menatap mata Vano. Tatapan itu tajam seperti
elang. Bukan tatapan ramah seperti Inai Atin. Seperti
bertemu musuh bebuyutan. Sikap Lestari sangat kentara
menunjukkan ketidaksukaannya pada Vano.
Lestari menyambar tangan Vano dengan cepat dan
melepaskannya lagi. "Lestari," katanya pendek, tanpa
disertai senyum.
Inai Atin tetap tersenyum. "Pan, besok kamu bisa
mulai mengajar. Bisa mengajar Bahasa Inggris juga untuk
kelas enam. Bantu di kelas empat dan lima juga. Sebelum
jam tujuh sudah sampai di sini, ya."
"Baik, Inai." Vano mengangguk.
??
Vano dan Apai Sahat memutuskan pulang setelah me
lihat-lihat keadaan sekolah ini. Besok barulah dimulai
hari yang sesungguhnya. Status guru akan disandang
Vano.
Ada rasa yang mengganjal di hati Vano. Tentang
Lestari. Bagaimana ia bisa tenang mengajar nanti jika
rekannya tidak suka dengannya. Vano memilih diam se
lama perjalanan di atas jembatan kayu. Hatinya berge
muruh. Ingin kembali, menanyakan alasan mengapa
Lestari bersikap seperti itu.
"Sudah jangan dipikirkan. Lestari memang begitu
kalau ada orang asing. Lama-lama juga bisa bersikap
baik. Dia itu memang terang-terangan orangnya." Apai
Sahat seperti membaca pikiran Vano.
"Iya. Semoga saja begitu."
??
LAGI-LAGI IKAN
Vano duduk sendirian di teras depan Rumah Betang
Panjang. Memandang ke depan, pada sungai yang cukup
lebar. Matahari perlahan hendak bersembunyi di balik
hutan. Langit pun memerah. Ia termenung.
Sikap Lestari tadi pagi masih membayanginya. Tak
mau lari dari pikiran. Meskipun ia sudah berusaha biasa
saja dan fokus pada apa yang ingin dilakukan, tapi tetap
saja terpikir. Bagaimana jika nanti Lestari malah menjadi
penghambat atau membuat ia tak betah mengajar.
Ia tak habis pikir, kenapa Lestari bisa bersikap seperti
itu. Toh, ia ke sini dengan niat yang baik. Bukankah itu
akan meringankan pekerjaannya?
"Lebih baik tak usah kupikirkan. Terserah dia saja
mau berbuat apa. Yang penting mulai besok, status
ku adalah guru. Guru SD Mini Penggerak." Vano ter
senyum. Ia mengangkat wajahnya, memandang langit.
Kawanan burung Rangkong melintas. Burung itu
memanglah burung khas dari Kalimantan Barat. Wajar
saja jika sering terlihat.
"Burung itu lagi."
Ada satu perahu panjang tak bercat datang dan
hendak menepi ke lanting. Terdengar suara cipratan air
yang dihasilkan dari dayung. Perahu itu dinaiki dua pria
paruh baya dan berkulit hitam. Sepertinya mereka baru
pulang dari menangkap ikan. Rona bahagia terlihat jelas
pada raut wajah mereka. Mungkin hasil tangkapannya
banyak.
Lestari tiba-tiba lewat di depan Vano. Sedikit berlari
sembari menenteng ember hitam berukuran sedang.
Rambutnya yang dikuncir kuda ikut terayun-ayun. Ia
turun ke lanting menyongsong kedatangan dua pria yang
turun dari perahu.
Niat ingin melupakan peristiwa tadi pagi, eh malah
ingat lagi. Gara-gara melihat Lestari lewat.
"Dia lagi." Vano mendengus sebal.
Vano berniat beranjak dari tempat itu. Tapi matanya
memaksa kakinya untuk tetap di situ, memperhatikan
apa yang dilakukan Lestari.
Dengan sigap, Lestari langsung mengeluarkan
ikan-ikan dari perahu dan memasukkannya ke ember
hitam yang ia tenteng tadi. Sedangkan, dua pria itu
merapikan jaring. Meski terlihat sangat berat, Lestari
tetap mengangkat ember berisi ikan sendirian. Dua
pria itu memikul jaring masing-masing dan berjalan
meninggalkan lanting.
Saat melewati Vano, Lestari tak menatapnya sedikit
pun. Disengaja atau memang tidak memperhatikan kebe
radaan Vano di situ, Vano tak pernah tahu.
Ada rasa takjub yang menyusup di hati Vano. Melihat
wanita muda itu menenteng ikan di ember sendirian.
Meski berat, tak sedikit pun terlihat rona keluh kesah
di wajahnya. Malah kebahagiaan jelas terpancar lewat
senyum yang selalu tersungging.
Vano terpana. Matanya tak mau lepas dari wajah
bahagia itu. Tapi, ia buru-buru membuang pikiran itu
setelah sadar bahwa itu Lestari?wanita galak dan calon
rekan kerjanya.
"Dari nangkap ikan ya, Apai?" tanya Vano pada pria
berkaus putih agak kekuningan dan longgar yang tengah
memikul jaring.
Pria itu berhenti. Kemudian menoleh ke arah Vano.
"Iya."
Pria di sebelahnya diam saja.
"Dapat banyak? Ikan apa saja?" tanya Vano berun
tun.
"Lumayan, ikan tomang. Sudah dulu, ya. Saya harus
ke rumah sekarang." Pria itu tersenyum dan melenggang
sebelum Vano membalasnya.
"Iya, Apai."
"Itu Apai-nya Lestari, Pan," kata Apai Sahat tiba-tiba
dari arah belakang.
"Yang mana?" Vano jadi penasaran.
"Yang tadi bicara sama kamu."
"Benarkah? Pantesan. Tadi Lestari bantu bawa ikan
hasil tangkapannya. Kok beda sama Lestari, ya? Apai
ramah, kok anaknya galak."
"Hush. Jangan bicara seperti itu. Aslinya Lestari
itu ramah. Lestari itu pekerja keras, baik, dan menurut
sama orangtua. Setiap hari dia menunggu bapaknya pu
lang menangkap ikan dan membantu membawanya ke
rumah."
"Ooh," jawab Vano singkat. Padahal sebenarnya
Vano tak mau tahu tentang si Lestari.
??
Gelap. Semua berkumpul di dalam ruang panjang di
Rumah Bentang Panjang. Di luar sudah sepi. Rumah
warga yang lain pun terlihat sepi. Hanya terlihat cahaya
temaram dari dalam, yang cahayanya menyusup di
celah dinding kayu dan jendela yang gordennya masih
terbuka.
Menu malam ini lagi-lagi ikan goreng yang sama
seperti tadi siang, pagi, dan kemarin malam. Lidah Vano
merasa bosan dengan menu ini. Lidahnya sudah terbiasa
dengan menu yang berbeda terus. Selain alasan itu, ia
juga malas untuk memilah-milah duri ikan.
"Pan, maaf ya. Menunya masih sama," kata Apai
Sahat seolah tahu isi kepala Vano.
Ajaib. Apai Sahat bisa membaca pikiran Vano. Tidak
mungkin jika ini adalah kebetulan semata. Ini bukan
yang pertama. Ataukah Apai Sahat adalah ahli nujum,
cenayang, dan sejenisnya? Ia bisa membaca pikiran orang.
Vano jadi khawatir.
"Sudah. Jangan berpikir yang aneh-aneh. Ayo,
makan."
Vano tersentak sekali lagi. Ini kesekian kalinya Apai
Sahat tahu isi kepala Vano. Takut kalau nanti Apai Sahat
membaca pikirannya lagi, Vano langsung meraih piring.
Kemudian menyendok nasi dan mengambil ikan yang
semuanya sudah siap di hadapan.
Sebetulnya, ia kangen dengan nasi goreng dan segelas
susu setiap pagi. Kangen dengan ayam goreng, fast food,
dan yang lainnya.
"Ini namanya ikan tomang, yang tadi Apai tangkap.
Banyak dijumpai di sungai dan danau sekitar sini. Di
danau juga ada ikan piranha kualitas nomor satu."
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benarkah?" Vano mencoba antusias dalam obrolan
ini sembari terpaksa menelan makanannya.
"Iya. Kita menjual ikan-ikan itu ke kota setelah
terkumpul lumayan banyak."
Vano melanjutkan makan. Meski sudah tak nafsu,
tapi ia terpaksa menelan. Demi Apai Sahat, demi perut
nya. Memang jika makan sekali rasanya enak. Tapi ini
sudah keempat kali berturut-turut. Vano bosan. Malas
juga kalau makan lambat terus.
"Apai, saya tidur dulu, ya. Biar besok tidak ke
siangan." Vano meminta izin setelah menghabiskan ma
kan malamnya.
"Silakan, silakan. Tidur yang nyenyak, ya."
Vano lalu masuk ke kamar. Terdengar iringan musik
dan suara orang menyanyi dari balik kamarnya. Setiap
malam mereka memang belajar menari. Tepatnya, meng
ajarkan secara turun-temurun agar tarian itu bisa lestari.
Vano berbohong. Ia tidak langsung tidur. Melainkan
membereskan buku yang akan ia bawa besok, sekaligus
membaca buku "Cara Menjadi Guru yang Menyenangkan".
Diterangi cahaya lampu dan ditemani Luna Maya yang
tertempel di dinding.
Ia benar-benar mencerna isinya. Dari buku itulah
Vano berharap bisa menjadi guru yang baik. Selama ini,
ia tak pernah mendapatkan materi tentang cara menjadi
guru. Hanya secuil pengalaman mengajar anak-anak
pengamen dan gelandangan waktu SMK lalu. Itu pun
cuma sebentar.
"Kebanyakan kok ngusulin pakai visualisasi, seperti
slide presentasi dan video sih," gerutu Vano. "Keren sih.
Tapi, di sini kan tidak ada alat-alat untuk mendukung
itu. Listrik aja tidak sampai."
Vano membalik lembar demi lembar buku tersebut
dengan cepat. Hanya membaca sekilas judul bab dan ju
dul sub-bab. Berharap menemukan cara sederhana men
jadi guru menyenangkan dan membuat kelas tidak mem
bosankan tanpa bantuan perangkat elektronik.
Dapat. Di bab terakhir tertulis kriteria guru yang
baik menurut survei ke beberapa anak sekolah. Vano pun
membaca setiap butir pernyataan yang tertulis di buku
itu.
Akhirnya, setelah membaca butir-butir pernyataan
itu, ia dapat menarik kesimpulan tentang guru yang
diidamkan siswa. Yaitu, tersenyum ramah, mengerti
keadaan murid, lucu, atau sering menyajikan tawa.
"Tapi aku tidak bisa melucu," desahnya.
"Memang benar apa yang dikatakan pada buku ini.
Tapi, apakah itu berlaku untuk anak di pedalaman seperti
mereka? Survei ini dilakukan pada anak perkotaan."
Kening Vano berkerut. Keyakinannya belum terkum
pul seratus persen. "Baiklah, akan aku coba. Meskipun
aku belum tahu karakter mereka."
Vano kemudian memasukkan buku tersebut dalam
tas, menyusul buku-buku bacaan yang ia bawa jauhjauh dari Kudus, yang sudah terlebih dahulu mendiami
tasnya.
"Tak sabar rasanya menatap mereka, mengajar dengan
ramah, perhatian, dan lucu."
Vano merapikan tempat tidur. Ia menelentangkan
tubuh, menutup mata, dan berusaha tidur. Namun, tetap
tak bisa terlelap atau pergi ke alam mimpi. Ia sungguh tak
biasa tidur di tempat yang keras seperti ini.
Badannya terasa sakit. Herannya, kemarin bisa lang
sung terlelap. Oh, mungkin karena lelah yang merajai
hingga ia sangat mudah mengantuk.
Vano berusaha terlelap lagi. Melupakan semua rasa
tak nyaman itu.
??
Hawa dingin begitu terasa. Matahari masih malu-malu
untuk muncul dari balik hutan. Vano memaksa dirinya
untuk keluar kamar dan mandi sebelum lanting ramai.
Di luar dugaan. Meski baru Subuh, tapi penghuni
Rumah Bentang Panjang sudah bangun. Ibu-ibu masak
bersama. Sedangkan, kaum pria tengah menyiapkan jaring
dan peralatan menangkap ikan. Semuanya sibuk sendiri.
"Sudah bangun, Pan?" tanya Apai Sahat yang kebe
tulan tengah merapikan jaring di depan kamar Vano.
"Iya. Mau mandi dulu. Sebelum lanting ramai."
"Silakan. Paling sudah ada anak-anak yang mandi."
Vano tersenyum. Ia langsung meneruskan langkahnya
ke luar dan menuju lanting. Rasa malas masih menggelayuti
tubuhnya, tapi ia berusaha menyingkirkan rasa itu.
Tak berapa lama, ia kembali. Menggigil kedinginan.
Badannya bergetar. Giginya gemelatuk. Apalagi ia hanya
mengenakan handuk yang melingkar di perut, menutup
bagian bawah tubuhnya. Tadi sekalian mencuci pakaian
yang dipakainya.
Ia bergegas ke kamar untuk ganti baju agar hangat.
Tak lupa menyisir rambut dengan gaya yang biasa.
Minyak wangi pun disemprotkan di baju lengan pendek
polos berwarna merah tua.
Saat Vano keluar kamar, makanan sudah siap. Mereka
langsung makan bersama dengan semua penghuni Rumah
Bentang Panjang. Memang sudah dua hari Vano tinggal
di sana, tapi ia belum akrab betul dengan penghuni
rumah. Selain karena penghuninya banyak, ia tidak mau
terlihat sok asyik. Vano berusaha melakukan pendekatan
dengan bertahap. Meskipun warga di sini sangat ramah
dan suasana kekeluargaan begitu terasa.
Matahari sudah tampak. Sinarnya memancar me
manasi Meliau. Mengusir dingin dan menghidupkan se
mangat pagi. Beberapa pria sudah meninggalkan kampung
untuk menangkap ikan. Ibu-ibu bersantai. Beberapa ada
yang menenun.
Dengan langkah tegap dan menggendong tas ran
sel, Vano keluar rumah. Saat itu juga, Lestari lewat di ha
dapannya. Tanpa teguran ataupun senyum, ia lewat be
gitu saja ke lanting dan bergegas melaju dengan perahu.
Sendirian. Vano tak ambil pusing dengan itu. Ia tak meng
hiraukannya.
"Pan, Apai tidak bisa mengantar. Harus nangkap
ikan. Kamu berangkat sendiri, ya. Sudah tahu tempatnya
dan juga sudah Apai ajarkan mendayung, kan?"
Deg. Wajah Vano berubah pucat. Ia tiba-tiba gugup.
Ia belum mahir betul mendayung perahu. Tapi, ia tidak
bisa memaksa Apai Sahat untuk mengantarnya. Lagi
pula, tidak mungkin mencegah Apai Sahat bekerja hanya
untuk mendayungkan perahu. Itu bodoh sekali. Tapi,
bagaimana jika nanti tenggelam? Vano kebingungan.
Dua anak laki-laki mengenakan seragam putih merah
melintas di depan Rumah Bentang Panjang.
"Tunggu! Kemari sebentar," panggil Apai Sahat.
Kedua anak itu berhenti, menoleh ke arah Apai
Sahat, kemudian berjalan mendekat.
"Ada apa, Apai?" tanya anak yang rambutnya di
cukur gundul.
"Ini, biar Apai Topan ikut dengan kalian, ya."
Vano tersenyum.
"Iya, Apai."
"Pan, ikut dengan anak-anak ini saja," suruh Apai
Sahat.
"Baik." Vano tersenyum lega.
Dua anak itu telah menyelamatkannya.
Vano langsung berpamitan dengan Apai Sahat dan
membuntuti dua anak yang sudah berjalan terlebih da
hulu ke lanting.
Perlahan perahu melaju meninggalkan Meliau. Vano
duduk paling depan. Kedua anak itu gotong royong
mendayung perahu. Vano malu. Seharusnya, yang men
dayung adalah dia, orang yang lebih dewasa.
"Kalian kelas berapa?" tanya Vano berusaha mem
bangun suasana.
"Kelas tiga," jawab anak dengan gaya rambut belah
tengah.
"Yang ajar kalian siapa?"
"Inai Lestari." Kini giliran anak yang gundul bicara.
"Bagaimana cara dia mengajar?"
"Ya begitulah," jawab anak berambut gundul.
"Apai ini siapa? Tanya terus dari tadi?"
"Saya Topan, guru baru kalian di SD Mini Peng
gerak."
??
IMPIAN
Vano belum bisa mengendalikan laju jantungnya yang
memompa darah begitu cepat. Peluh menetes dari kening.
Keringat dingin keluar dari poripori kulit. Gerah.
Ia masih diam memandang anakanak berseragam
merah putih yang duduk rapi di depannya. Mereka punya
mata yang terus menatap penuh harap diberi secuil ilmu.
Vano memandang mereka bagaikan anakanak serigala
yang kelaparan. Duduk termangu memandang Vano
yang berdiri di depan sejak tadi.
Dalam hati Vano berteriakteriak. Aaaak! Tolong!
Tolong! Apa yang harus kulakukan?
??
Inai Atin tidak bisa hadir pagi ini. Vano terpaksa mem
perkenalkan dirinya sendiri. Ia mengoceh sendiri tanpa
ada yang memberikan respons. Saat itu juga ketegangan
tercipta. Ia terdiam.
Anak-anak tak menggubris kehadiran Vano. Mereka
diam. Lalu, menampakkan muka tidak senang atas kebe
radaan Vano di situ.
Detak jantungnya berdetak semakin cepat. Ia gelisah.
Gugup. Peluh menetes dari keningnya lagi. Ia kegerahan.
Padahal cuaca pagi itu tidak terlalu terik.
Tuhan, bagaimana ini? Kenapa aku tak bisa tenang?
Vano membatin.
Ia menyeka peluh. Kemudian, menghela napas
panjang.
"S-s-sampai m-mana pelajarannya, a-anak-anak?"
sapa Vano tergagap, memecah ketegangan.
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut anak-anak
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu. Mereka tetap pada posisi semula. Diam.
Peluh terus menetes dari keningnya. Ia menelan
ludah. Matanya menyisir seluruh sisi kelas. Memandang
dinding kayu, jam dinding berwarna putih yang sudah
usang, serta foto-foto pahlawan yang ujungnya dimakan
rayap. Vano berharap mendapatkan bahan menarik
untuk ia omongkan. Tapi, tetap tidak ada yang bisa
memberinya ilham.
Sekarang tugasnya adalah mengajar Bahasa Inggris
kelas enam dan matematika di kelas empat serta lima
dalam satu waktu. Satu kelas isinya hanya tiga sampai
lima anak saja. Tapi, ia tetap bingung harus memulainya
dari mana, sedangkan ia belum tahu kemampuan anak
di depannya itu. Apalagi respons mereka yang tidak
bersahabat. Itu sangat menyulitkan.
Vano menggaruk-garuk kepala bagian belakang.
Lanjut menghela napas panjang.
"Ada yang sudah bisa Bahasa Inggris?" Kali ini ia ber
hasil mengatur dirinya.
Lagi-lagi semua diam. Hanya memandang Vano
dengan tatapan tak nyaman. Tatapan itu ... ah. Vano ke
bingungan.
Vano menghela napas panjang lagi. Rasanya saat itu
agak sulit untuk bernapas dengan lancar. Ia mengatur
posisi berdirinya. Mencoba menenangkan diri.
"Oke, hari ini Bapak tidak akan memberi kalian
pelajaran terlebih dahulu. Mari kita saling berkenalan.
Setuju?! Ada pepatah menyebutkan bahwa ?tak kenal
maka tak sayang?." Vano tersenyum, sedikit dipaksakan.
Semua anak-anak masih diam. Sial!
Vano memutar otaknya lebih kencang. Aduh, ini
benar-benar sulit. Mereka sama sekali tak merespons.
Mesin dalam kepalanya memanas karena bekerja terlalu
berat.
Aha! Terlintas ide unik di kepala Vano.
"Sekarang, ada tugas untuk kalian. Tuliskan keingin
an atau cita-cita kalian semua dan berilah alasan mengapa
kalian berkeinginan demikian."
Vano berbalik. Sedetik kemudian langsung menyobek
kertas dari buku tulisnya di atas meja. Lalu, menyobeknya
lagi hingga satu lembar menjadi empat kertas kecil. Ia
langsung keliling membagikan kertas-kertas itu pada selu
ruh anak. Anak-anak melongo tanpa berkomentar sepatah
kata pun.
"Saya tunggu lima menit. Semua harus sudah
terkumpul di meja. Apa pun itu tuliskan saja. Tulis sesuai
kata hati kalian. Tidak boleh menyontek, ya."
Anak-anak itu masih melongo. Mereka bingung.
Mereka menoleh ke kanan dan ke kiri?ke arah temanteman mereka. Wajah mereka berubah bingung. Men
dadak suara kelas riuh. Mereka berdiskusi dengan teman
sebelah.
"Apai ini siapa sih? Kok tiba-tiba memberi tugas?"
Anak laki-laki bertubuh tambun dan berwajah sangar
tiba-tiba protes.
"Lho, tadi saya kan sudah mengenalkan diri. Daripada
kalian diam saja, lebih baik berkenalan dengan tugas ini."
Vano tersenyum. "Sudahlah, cepat dikerjakan. Waktunya
tidak banyak, lho. Dan ingat, jangan menyontek. Tulis
saja apa yang kalian impikan."
Vano menyandarkan bokong di meja guru, kedua
tangannya ke belakang, menopang bahunya pada meja.
Senyuman tersungging melihat kelas mulai ramai.
Tak sengaja, matanya menangkap sosok Lestari yang
mengintip dari balik pintu. Ia diam saja tak memedulikan
kehadirannya. Menganggap tak ada siapa-siapa di sana. Ia
mengalihkan pandangan kepada anak-anak yang masih
sibuk dengan tugasnya.
Vano menengok jam tangan. Kemudian, ia me
ngangkat tubuhnya dan berjalan selangkah ke depan.
"Bagaimana? Apakah sudah selesai?" tanyanya.
"Belum!" Anak-anak berseru bersama disertai gele
ngan kepala.
"Tinggal satu menit, lho. Tulis saja, tidak usah
menyontek karena impian yang satu dengan yang lain
bisa berbeda."
Ia kembali menyandarkan bokongnya ke meja, me
nopang tubuh dengan tangan, dan memandang kelas
itu dengan senyum. Jantungnya normal. Desir angin
mulai terasa mengobati gerah yang sejak tadi mendera.
Ia tersenyum.
"Baik. Kumpulkan sekarang. Jangan lupa kasih
nama."
Anak-anak sekelas terpaksa menghentikan peker
jaannya. Kemudian, mereka maju ke depan dan menyeret
langkah untuk mengumpulkan kertas kecil bertuliskan
impian.
Dengan cara inilah Vano dapat mengenal anak-anak
satu per satu sekaligus mengetahui impian mereka.
Vano merapikan kertas yang terkumpul di atas meja.
Ia berbalik, melirik ke arah pintu yang terbuka.
Ternyata Lestari masih di sana. Hanya kelihatan
kepalanya saja. Lagi-lagi Vano tak memedulikan itu.
Masa bodoh. Ia kemudian memalingkan pandangan dan
mulai membaca apa yang sudah ditulis anak-anak.
"Pertama, ?Zali?, ?ingin menjadi dokter?. Wah, bagus.
Mana yang namanya Zali?" Vano celingak-celinguk
mencari siapa Zali.
Anak berambut cepak, berwajah sangar, dan yang
duduk nomor dua dari depan?yang tadi protes mengenai
tugas ini?mengangkat tangan.
"Oh ... kamu. Oke, alasannya ?karena ingin mem
bantu orang?. Wah, mulia sekali. Semoga keinginanmu
tercapai, ya. Nanti kamu bisa mengobati warga Meliau
yang sedang sakit. Kalau ke kota kan jauh." Vano me
lambungkan senyum ke arah Zali.
Zali ikut tersenyum. "Baik, Apai."
"Terus yang ke dua, ?Wulan?, ?ingin menjadi polisi
hutan?." Kening Vano berkerut. "Mana yang namanya
Wulan?" Matanya memandangi anak-anak.
Gadis kecil yang rambut dikuncir satu, duduk tepat
di depan Vano, mengangkat tangan.
"Alasanya, ?ingin menjaga hutan Kalimantan, juga
orang utan yang hampir punah?." Vano menghela napas
panjang. "Bagus sekali. Bapak dukung cita-citamu itu.
Tapi, kamu kan perempuan? Apa tidak takut dengan
binatang buas?"
"Tidak takut. Saya sekaligus ingin membuktikan
bahwa indo10 juga bisa."
"Oke, seperti Ibu Kartini ya berarti. Impian yang
hebat." Vano tersenyum.
Vano semakin bersemangat. Ia senang. Perkemba
ngan respons anak-anak semakin bagus. Kelas menjadi
ramai dan aktif. Ini yang ditunggu-tunggu. Ini yang
diharapkan, meski tak memberi pelajaran.
"Selanjutnya, ?Riki?, ?ingin menjadi guru?."
Deg. Vano diam sejenak. Berusaha mengatur napas
nya. "Mana yang namanya Riki?"
Anak yang duduk paling belakang berambut lurus
yang lepek dengan wajah menunduk mengangkat tangan
perlahan.
Perempuan (bahasa Dayak Iban)
"Oh, kamu. Alasanya, ?ingin mencerdaskan anakanak di pedalaman?."
Vano menelan ludah. Dadanya kembang kempis. Ia
seperti melihat Vano waktu kecil dulu?takut mengakui
bahwa impian sebenarnya menjadi guru.
"Bagus, Rik. Semoga impianmu yang mulia itu ter
wujud." Ia tersenyum.
Ingatannya berputar kembali. Ingatan tentang per
jalanan panjang yang telah ia tempuh hingga sampai di
sini. Juga tentang orangtuanya yang menentang impian,
kaburnya Vano dari rumah, mimpi, dan Mama. Ia ter
menung. Menundukkan wajah.
Wajah Mama muncul dalam ingatan. Ia merasa sa
ngat bersalah. Tak bisa membayangkan bagaimana orang
rumah khawatir padanya.
"Apai, lanjut dong." Anak berambut ikal yang war
nanya agak kemerahan menyeletuk, menyadarkan Vano
dari lamunan.
Bayangan Mama bergegas ia buang. Ia meneguhkan
hati dan mendoakan yang terbaik untuk Mama di sana.
Kemudian, Vano melanjutkan membaca satu per satu
impian anak-anak didiknya.
"Oh iya, sekarang kamu." Vano mengambil kertas
yang tersisa dan membacanya. "?Ginting?, ?ingin menjadi
tentara?." Vano tersenyum dan memandangi anak itu.
"Alasannya, ?biar terlihat gagah?."
Sontak anak yang lain tertawa kompak. Ginting
bergeming. Ia terlihat biasa saja. Bangga malah.
Vano mengerutkan keningnya. "Hmm, bisa dijelas
kan tentang alasanmu ini?"
"Tentara itu kan gagah-gagah, Apai. Aku ingin se
perti mereka. Menjaga perbatasan negara kita."
Vano semakin takjub kepada anak-anak dalam pe
dalaman ini. Cita-cita mereka begitu tinggi.
"Beri tepuk tangan pada Ginting." Vano bertepuk
tangan, diikuti anak-anak yang lain.
Semua sudah terbacakan. Vano pun sudah cukup
mengenal mereka satu per satu. Pada akhirnya, ia dapat
mengambil kesimpulan bahwa impian anak-anak di
sini tinggi. Impian yang mulia. Tidak ada yang bisa
membatasinya, meski itu pohon tinggi sekalipun. Meski
mereka berada di tengah hutan lebat seperti sekarang ini.
Yang penting, bagaimana caranya untuk mendukung dan
memotivasi mereka agar sepenuh hati memperjuangkan
mimpi.
??
Jam dinding usang menunjukkan pukul dua belas siang.
Waktunya untuk pulang. Matahari yang seharusnya tepat
berada di atas kepala tak terlihat. Tertutup awan hitam.
Murid kelas sebelah berhamburan keluar. Disusul
Vano yang juga membubarkan kelasnya. Anak-anak
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berebutan meraih tangan kanan Vano, kemudian men
cium punggung tangan sebelum akhirnya keluar kelas
dengan wajah riang. Vano memandang wajah anak-anak
yang bergantian mencium tangannya dengan haru.
Bulir bening menggenang di kedua kelopak mata. Ia
pun menyeka dengan tangan kiri, mencegah agar tidak
jatuh di pipi. Hatinya bergetar. Ia sangat senang. Senang
sekali.
Setelah kelasnya kosong, Vano kemudian keluar.
Di depan sudah ada Lestari yang berdiri memandang
lurus ke depan sembari mendekap buku berukuran folio.
Tas samping berwarna cokelat menggantung di lengan
kanannya.
Vano bersikap tak acuh. Padahal, ia sangat ingin
menanyakan perihal kemarin?mengapa ia bersikap
angkuh. Namun, ia urungkan karena cuaca semakin
memburuk.
Ia tetap berjalan dan melewatinya. Tapi, setelah tepat
berada di samping Lestari, Lestari malah berkata ketus,
"Bisa ngajar atau tidak?! Tidak ngajar, malah memberi
tugas tidak jelas seperti itu."
Sontak Vano menghentikan langkahnya tepat di
samping Lestari.
"Aku akan mengajar dengan caraku sendiri," timpal
Vano. "Dan itu awal yang cukup baik karena aku
mencoba berkenalan dengan mereka terlebih dahulu."
Vano berkata tegas. Matanya masih memandang lurus
ke depan.
Vano sedikit emosi. Tapi, ia berusaha untuk mena
hannya. Ia hanya mengepalkan kedua tangan. Kesal.
"Kenapa kau tidak memberikan materi yang ber
guna? Mereka membutuhkannya. Bukan tugas tak ber
guna seperti tadi." Lestari menaikkan volume suara dan
melirik ke arah Vano. Sepertinya ia tengah mengejek
Vano, menjatuhkan mental anak muda itu.
"Itu juga bagian dari materi. Materi tak harus di
sampaikan dengan cara mencatat dan menjelaskan de
ngan suasana tegang. Yang penting adalah suasana yang
menyenangkan dan rasa ingin belajar benar-benar terpatri
di jiwa mereka. Tak usah hiraukan saja aku. Aku akan
mengajari mereka dengan caraku sendiri." Ia megap-megap
karena telah beragumen panjang dengan tetap berusaha
menahan emosi.
"Hah, tapi tetap saja kau membuang hari ini dengan
percuma. Oke, mereka sekarang muridmu. Tapi aku tak
bisa membiarkan mereka menghabiskan hari dengan
percuma. Mereka capek-capek ke sekolah, mendayung
memecah sungai, dan sampai sini tak mendapat ilmu
apa-apa. Akan kuadukan ini pada Inai Atin."
"Silakan. Silakan saja. Aku tetap akan mengajar mereka
dengan caraku. Mereka akan menjadi anak yang berprestasi
tak kalah dengan anak-anak kota. Akan kudukung mereka
memperjuangkan apa yang diimpikannya."
"Impian? Bisa membaca, menulis, dan berhitung
saja sudah cukup bagi mereka." Lestari tersenyum kecut.
Meremehkan.
Vano menatap ke arah Lestari. "Hah, dangkal sekali
pikiranmu. Mereka punya potensi yang tinggi. Lebih
dari yang kau katakan!"
"Bukan dangkal. Tapi, aku bicara realita yang ada.
Ya, seperti itu kondisinya. Jika ada dana lebih, mereka
akan melanjutkan. Kalau tidak, ya selesai. Kita hidup di
tengah hutan. Tengah hutan! Kau harus ingat itu."
Lestari langsung melangkah. Berlalu meninggalkan
Vano sendirian di situ.
"Aku akan membuat mereka meraih impian mereka!
Hutan tak akan menjadi penghalang mereka! Ingat itu!"
Vano berteriak pada Lestari yang terlihat menjauh.
Lestari tak sedetik pun berhenti dan menoleh ke
belakang. Ia tetap berjalan dan pada akhirnya meng
hilang di antara pohon yang menjulang.
Semangat Vano berkobar. Kata-kata yang keluar
dari mulut Lestari terlalu meremehkan anak-anak. Juga
telah menyakiti hatinya. Itu cukup membuatnya panas,
menyala-nyala seperti api yang membakar hutan. Tekadnya
semakin kuat. Vano akan mendidik anak-anak agar mam
pu bersaing dan menggapai impian. Ia menggenggam
kedua tangannya, lalu meninju ke tiang kayu di samping
kanannya.
"Aku akan buktikan. Kuyakin mereka bisa." Mata
nya tajam menatap ke depan.
??
Mata Vano menyisir ke setiap sudut kelas. Kemudian
menatap buku yang ia bawa. Lumayan lama ia berada
di sana sendirian. Langit sudah gelap. Awan hitam me
nyemburkan kilatan-kilatan petir dan suara guntur yang
menggelegar.
Vano baru ingat jika tadi pagi ia ke sini naik perahu
bersama anak-anak. Kini, ia gelagapan. Vano langsung
berlari keluar, melewati jalan kayu, dan menuju dermaga.
Berharap ada perahu yang tertinggal.
Bagaikan berkejaran dengan kilat dan guntur, ia
mempercepat larinya. Di atas papan kayu yang mulai
rapuh, suara entakan kaki terdengar jelas di antara pe
pohonan yang bisu. Wajahnya pucat. Keringat dingin
keluar dari pori-pori kulitnya. Ia sangat takut jika ia
terjebak di sini dan baru ada yang menemukannya esok
hari.
Sampai di dermaga, Vano tercekat. Matanya tak
mendapati satu pun perahu di sana. Kosong. Sontak
tubuhnya layu. Ia ambruk, tertunduk, dan berlutut. Ber
payung langit yang gelap.
"Hah! Tolong!" Ia berteriak sembari mengangkat
kepalanya ke arah langit.
Langit pun seakan menjawab dengan kilat panjang
dan guntur menggelegar setelahnya. Vano semakin keta
kutan. Ia kembali tertunduk dan meringkuk.
Bukan hanya karena takut sendirian di hutan dan
tidak bisa pulang. Tapi ia juga takut dengan suara guntur.
Sejak kecil, ia memang sudah takut dengan suara yang
diakibatkan kilat yang menembus udara dan awan di
langit. Suara menggelegar yang memekikkan telinga.
Dan itu terbawa hingga sekarang.
Satu per satu titik air turun dari langit dan mengenai
kepala serta bahunya. Gerimis. Tak lama gerimis itu
berganti hujan. Hujan yang lebat berduet dengan kilat
dan petir.
Dinginnya air yang mengguyur tubuh terasa sam
pai menusuk tulang. Rambutnya lepek, matanya me
merah, dan ia mengigil. Giginya gemelatuk. Vano duduk
mendekap lututnya sendiri.
"Tolong..." Suaranya melemah.
"Siapa pun tolong..."
Ia hampir putus asa. Kehilangan tenaga akibat dingin
yang mendera. Tubuhnya bergetar. Menggigil.
Vano mengangkat wajah dan memandangi sungai di
depannya. Tak sengaja, matanya menangkap perahu dari
kejauhan. Remang-remang di antara hujan. Terlihat dua
orang yang di atasnya mengenakan jas hujan berwarna
biru tua.
Ada senyum kecil di bibir Vano. Energinya seperti
berangsur terisi kembali. Ia berdiri dan melambailambaikan tangan.
"Tolong!" Suaranya meninggi.
"Tolong!"
Orang dalam perahu itu sepertinya mendengar dan
melihat keberadaan Vano. Perlahan, perahu mendekat ke
dermaga.
"Apai!" Wajah Vano berubah benderang mendapati
bahwa orang di perahu itu adalah Apai Sahat.
"Ayo, cepat naik."
Dengan hati-hati, Vano naik ke perahu. Kemudian,
perahu itu meninggalkan dermaga dan melaju pulang
ke Meliau. Apai Sahat membagi jas hujannya. Vano
masih menggigil. Bibirnya biru. Wajahnya pucat. Tapi,
ia bersyukur telah diselamatkan oleh malaikatnya, Apai
Sahat.
??
SAKIT
"Brrr..."
"Brrr..."
Bibirnya terus bergetar, berwarna biru pucat. Na
pasnya satu dua seperti telah berlari berkilokilo meter.
Jantungnya berdegup kencang. Wajahnya putih pucat. Ia
tak berdaya.
Vano duduk sambil memeluk lutut, mendekap diri
nya sendiri, berusaha mencari kehangatan. Sarung kotak
kotak berwarna biru tua yang dirangkap dengan sarung
berwarna serupa belum bisa menghangatkan tubuhnya.
"Ini, minum jahe hangatnya, Pan." Apai Sahat
menyodorkan segelas air berwarna kekuningan yang
baunya menyengat. Asapnya beterbangan di antara udara
dingin yang memenuhi ruang panjang.
Vano mendongak menatap gelas yang dipegang Apai
Sahat. "Apakah itu jahe?" Suara Vano terdengar lirih.
Apai Sahat mengangguk. "Iya."
"Tidak, Apai. Saya tidak suka jahe." Vano menunduk
lagi, menahan dingin yang tak mau pergi.
"Hah? Jahe hangat bisa menghangatkan tubuhmu.
Biar kamu tidak kedinginan, yang nantinya berbuntut
masuk angin." Apai Sahat kemudian duduk bersila di
depan Vano.
"Tapi, saya beneran tidak suka. Tidak suka baunya.
Begitu pun rasanya. Sungguh. Maafkan Topan, Apai.
Bukan maksud Topan menolak."
Hujan masih mengguyur Meliau bersama kilatan
petir dan guntur yang menyertainya. Angin dingin
masuk dari ventilasi dan sela-sela dinding papan kayu
yang kurang rapat.
"Cobalah, Pan. Tidak usah dicium dan dirasakan.
Langsung minum saja. Inai sudah susah-susah mem
buatkannya."
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi?"
"Tidak ada tapi-tapian," potong Apai Sahat. "Ayo,
cepat kamu minum jahe ini!" Apai Sahat menyodorkan
segelas jahe itu ke depan Vano.
Vano mengangkat wajahnya lalu melihat wajah Inai
Marni?istri Apai Sahat?di belakang Apai Sahat yang
masih berdiri dan tampak khawatir. Begitu pun Apai
Sahat. Wajah itu seperti wajah kekhawatiran seorang
bapak pada anak.
"Brrr..."
"Kamu sudah kedinginan seperti itu, Pan. Cepat
minum ini. Menurutlah." Apai Sahat terus membujuk
nya. Memasang wajah yang sama. Khawatir.
Perlahan tangan kanan Vano keluarkan dari sarung
yang membungkus seluruh tubuhnya. Tangannya yang
masih bergetar meraih gelas dari tangan Apai Sahat.
Tangan Vano masih tak bisa tenang. Hingga gelas
yang sudah berpindah tangan itu ikut bergetar. Isinya
pun berguncang.
Ia mengarahkan bibir gelas pada mulutnya. Ia me
nahan napas, tak membiarkan aroma jahe yang me
nyengat itu masuk ke rongga hidungnya. Perlahan ia
meneguk jahe hangat itu.
Rasa pedas dan agak panas seperti membakar lidah.
Air jahe itu pun turun ke tenggorokan dan sampai ke
lambung, menerobos gumpalan angin yang memenuhi
lambung, dan memecahnya. Lambung Vano terasa
hangat, namun lidahnya menolak rasa.
Vano menjulurkan lidah tanda benar-benar tak me
nyukai itu. Rasa pedas yang aneh masih membekas di
lidahnya.
"Ayo lagi, Pan. Habiskan." Apai Sahat menyemangati
Vano.
Vano terpaksa meneguk lagi minuman jahe sampai
habis. Menahan rasa pedas serta bau menyengat yang
khas walau ia tetap tidak menyukainya. Demi Apai Sahat
dan istri.
Meski segelas jahe sudah habis, tapi belum mampu
menghangatkan seluruh badan. Hujan masih mengguyur.
Angin dingin terus berembus menyusup memenuhi
ruangan. Menembus kulit hingga membekukan persen
dian tulang.
Vano memutuskan untuk tidur. Masih dengan sarung
rangkap dua yang melindunginya dari dingin.
Guntur beberapa kali menggelegar, mengagetkan
Vano yang berusaha untuk terlelap. Vano takut akan
suara guntur. Dahulu, jika dalam kondisi seperti ini,
Mama sering menemaninya. Atau jika sedang sendirian,
ia menutup telinga dengan headphone dan mem-play
lagu klasik lumayan keras agar suara guntur dapat se
penuhnya tergantikan lagu pengantar tidur. Bantalnya
juga digunakan untuk menutup telinga, lalu Vano ber
sembunyi di bawah selimut tebal agar lama-lama bisa
tertidur.
Tapi sekarang, bantal hanya satu. Itu pun tipis. Tak
ada headphone dan lagu klasik. Hanya terdengar suara
katak di antara guntur. Ia ketakutan.
Di Paris dulu, ia bisa memanfaatkan pemanas ruangan.
Vano pun mengenakan mantel tebal dari wol. Susu hangat
ikut serta menghangatkan tubuh dari dalam. Sedangkan
di sini, susu hanyalah khusus sebagai minuman bayi. Itu
pun ASI. Tak ada susu formula atau sejenisnya.
Malam ini rasanya sulit sekali untuk terlelap. Ia terus
berusaha menahan dingin serta memerangi suara guntur
agar bisa menutup mata dan pergi ke alam mimpi.
??
Plak!
Ia tersungkur ke samping. Pipinya merah. Pria
dengan setelan jas dan celana bahan rapi sudah berdiri di
depannya. Mata pria itu melotot.
Vano menatapnya. "Papa," lirihnya, kemudian ter
tunduk.
"Anak berengsek! Lihat Mamamu!" Pria itu me
nunjuk pada seseorang yang tengah berbaring di atas
ranjang.
Jarum infus menancap di punggung tangan kanan
nya. Ada selang yang dipasang di hidung. Wanita itu
menutup mata. Sunyi. Hanya terdengar bunyi tut, tut,
tut dari elektrokardiograf di samping ranjang.
"Mama."
Bulir bening mengalir di pipinya.
Plak!
Tamparan keras mendarat lagi. "Mamamu kritis.
Semua itu gara-gara kamu!"
Vano tak bisa berkata. Ia mengutuk dirinya dalam
hati. Semua ini salahku. Persetan kau, Vano. Vano
memukul-mukul kepalanya sendiri.
"Itu tak akan membangunkan Mama. Percuma."
Pria itu berkata lantang.
Tut...
Suara alat itu memanjang. Hanya terlihat garis
horizontal di layarnya. Itu tandanya...
"Tidak!"
Vano bangkit tiba-tiba. Keringatnya mengucur deras.
Jantungnya berdetak hebat. Ini mimpi buruk.
"Ma, apa yang terjadi denganmu? Semoga Mama
tetap dalam perlindungan-Nya. Amin."
Vano berbaring kembali, merapatkan selimutnya,
dan berusaha menutup mata. Namun, bayangan itu
hadir setelah matanya tertutup. Dan saat itu pula ia
bangun. Akhirnya, Vano tak bisa terlelap lagi hingga fajar
menyingsing.
??
Angin pagi yang dingin berembus menembus pori-pori
kulit, menggerayangi seluruh tubuh, dan membekukan
persendian. Sarung rangkap dua itu masih setia meng
hangatkan tubuh Vano, meski angin masih bisa me
nyelinap di antara celah dan pori-pori kain.
Vano menggigil. Bibirnya tampak lebih pucat dari
semalam. Matanya berwarna merah dan sembab. Sekitar
kelopak matanya menghitam. Mirip binatang panda.
Wajahnya seperti orang mati. Putih pucat seperti vampir.
"Pan ... bangun ... sudah pagi." Apai Sahat mengetuk
pintu kamar Vano.
Namun, Vano tak menjawab. Bibirnya terasa kelu.
Tubuhnya bergetar. Angin yang diembuskan lewat mulut
bersuhu tinggi.
"Pan ... ayo. Sudah siang."
Vano masih belum memberikan jawaban.
Klek.
Apai Sahat langsung masuk. Matanya terbelalak dan
wajahnya berubah pucat saat mendapati Vano dalam
kondisi memprihatinkan.
"Pan, kamu kenapa?" Apai Sahat langsung duduk
dan memeriksa keadaan Vano. Punggung tangan kanan
Apai ditempelkan ke kening Vano. "Panas sekali," ujar
nya. "Kamu harus istirahat. Ini pasti gara-gara kehujanan
kemarin," Apai Sahat tampak khawatir.
"T-t-tapi, Apai. S-s-saya ingin m-m-mengajar." Suara
Vano sangat lemah.
"Tidak untuk hari ini." Apai Sahat menjawab tegas.
"A-a-anak-anak membutuhkan s-s-saya, Apai."
"Dan kamu lebih membutuhkan istirahat."
"T-t-tapi?"
"Pan! Ini demi kesehatanmu!" Suara Apai Sahat
meninggi.
Vano diam. Ia menatap wajah Apai Sahat. Ia me
nemukan wajah itu lagi. Wajah seorang bapak yang sangat
mengkhawatirkan keadaan anaknya. Ia belum pernah
melihat Papa berwajah sama khawatirnya seperti ini. Ia
juga belum pernah melihat Apai Sahat semarah ini.
"Maaf, Pan. Tapi, Bapak tidak akan mengizinkanmu
ke sekolah dalam kondisi seperti ini. Jika kamu tidak
kehujanan kemarin, kamu pasti tidak akan sakit."
"Apai..." Vano berkata pelan.
"Anak-anak itu kenapa bisa meninggalkanmu.
Lestari juga, kenapa meninggalkanmu?"
"Mereka tidak salah. Topan yang lupa kalau me
numpang perahu mereka dan tidak langsung pulang.
Padahal langit sudah gelap."
Terdengar suara tawa anak-anak lewat di depan
Rumah Bentang Panjang. Apai Sahat langsung beranjak,
meninggalkan Vano. Ia terlihat marah.
Dari luar, Vano seperti mendengar suara Apai Sahat
tengah marah. Benar dugaannya. Apai Sahat memarahi
anak-anak itu.
"Tidak. Itu pasti anak-anak. Mereka tak salah."
Vano berusaha bangkit, melawan tubuhnya yang
lemas, dan menanggalkan sarung yang sudah menemani
nya semalaman. Ia menyeret kaki dan menggunakan
dinding sebagai topangan tubuh layunya.
"Apai." Vano mendongakkan kepala keluar dari
pintu.
"Pan." Apai Sahat membalikkan pandangan dari dua
anak berseragam merah putih, menatap Vano di balik
pintu.
"Jangan marahi mereka. Mereka tidak salah," Vano
berkata, lemas.
"Tapi, mereka sudah meninggalkanmu, Pan!"
"Mereka bisa saja lupa. Saya juga lupa. Lupa itu
memanglah sifat manusia. Jangan marahi mereka."
Apai Sahat terdiam.
"Sekarang kalian berangkat ke sekolah. Belajar yang
rajin dan jadi anak yang pintar," suruh Vano pada dua
anak di depan Apai Sahat yang masih tertunduk.
Kedua anak itu mengangguk. Kemudian, mereka
berjalan meninggalkan Vano dan Apai Sahat menuju
lanting.
Beberapa saat setelah itu, Lestari lewat. Ia tak sedikit
pun menatap ke arah Apai Sahat dan Vano yang masih
di luar. Bahkan jalannya agak tergesa. Ia seperti sudah
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar semuanya. Makanya, ia berusaha menghindar.
Padahal Lestari setiap pagi selalu menyapa orang yang
ditemui. Senyum selalu mengembang di bibirnya.
??
Vano masih berbaring di atas tikar di kamarnya. Kening
nya dikompres dengan kain basah. Wajahnya masih
pucat. Hawa dingin masih menyelimuti tubuhnya.
Apai Sahat langsung masuk ke kamar Vano dan
membawa segelas air berwarna kuning keemasan. Bukan
jahe karena kuningnya lebih bening dan tak tercium bau
menyengat.
"Pan, ini minum madu dulu."
Vano memiringkan kepalanya, menatap gelas yang
dipegang Apai Sahat. "Apa itu, Apai?"
"Madu. Biar demamnya turun. Ini madu yang di
budidayakan sendiri oleh warga Meliau." Apai Sahat
langsung duduk bersila di dekat Vano.
"Benarkah?" Mata Vano berbinar.
"Iya. Madu kan bisa digunakan untuk menjaga ke
bugaran tubuh, menambah energi, antibiotik, dan untuk
penurun panas."
Vano mengangguk. Ia langsung melepas kom
presannya dan duduk. Kemudian meraih gelas dari
tangan Apai Sahat dan meminumnya hingga habis.
"Manis, Apai. Enak." Vano melambungkan senyum.
"Kan madu asli dan alami. Diseduh dengan air
hangat."
"Kapan-kapan ajak saya melihat budi daya madu ya,
Apai."
"Yang penting sembuh dulu. Ya sudah. Istirahat
lagi. Nanti siang Apai buatkan seperti ini lagi. Biar kamu
cepat sembuh."
Vano kembali merebahkan diri dan meletakkan
kompres di keningnya lagi. Apai Sahat pun keluar
kamar.
Saat berbaring memandang langit-langit kamar, ia
teringat dengan mimpi semalam. Tentang Mama dan
Papa. Pasti mereka tengah khawatir mencarinya ke manamana. Ia juga merasa berdosa. Tapi, jika tidak nekat, ia
tidak bisa merengkuh cita-citanya. Apalagi Mama. Ia
sangat khawatir dengan keadaan Mama. Ia mengutuki
dirinya sendiri.
Bulir bening menetes dari sudut matanya. Ia kangen
dengan Mama. Padahal waktu di Paris, ia tak pernah
merasakan rindu yang luar biasa seperti ini. Mungkin
karena di Paris ia masih bisa telepon, bahkan video call.
Sebenarnya Vano ingin pulang. Tapi tak mungkin. Ia
sudah telanjur basah dengan impiannya.
"Maafkan Vano, Ma."
??
"Biarkan Topan istirahat saja."
"Tidak apa-apa, Atin. Biar saya bangunkan."
Apai Sahat masuk ke kamar Vano. Ia langsung duduk
di samping Vano dan menepuk-nepuk lengan Vano.
"Pan, bangun," Apai Sahat berkata lirih di dekat
telinga Vano.
Mata Vano perlahan membuka. Berkedip-kedip. Ia
menguap panjang dan menggeliat. Matanya langsung
menangkap wajah Apai Sahat di atasnya.
"Ada Inai Atin dan Lestari menjenguk kamu."
Vano memalingkan pandangannya dan memandang
ke arah pintu kamar yang masih terbuka. Di sana, berdiri
Inai Atin yang tersenyum kepadanya. Di belakang tubuh
tambunnya ada Lestari yang masih memasang muka
jutek.
"Inai." Vano berusaha untuk bangkit dan duduk.
"Sudahlah, Pan. Tiduran saja. Masih pucat kamu,"
kata Inai Atin.
Apai Sahat menoleh ke belakang, ke arah Inai Atin.
"Silakan masuk. Silakan duduk."
Inai Atin langsung masuk dan duduk di sebelah
Apai Sahat. Sedangkan, Lestari masih berdiri di tempat
semula.
"Silakan masuk, Lestari. Biar saya buatkan minum
dulu."
"Aduh, tidak usah repot-repot," kata Inai Atin.
"Lestari, duduk sini." Inai Atin melambaikan tangan ke
arah Lestari.
Lestari menyeret langkahnya dan duduk di belakang
Inai Atin. Wajahnya masih saja tak ramah. Bibirnya
manyun dan matanya tak sedikit pun memandang ke
arah Vano.
Apai Sahat beranjak dari duduknya dan keluar untuk
membuatkan minum.
"Gimana, Pan? Sudah baikan?"
"Sudah sehat kok, Inai. Oh ya, bagaimana di
sekolah?" Vano balik tanya.
"Baik-baik saja. Lancar. Kamu ajarin apa kemarin?
Sepertinya mereka suka denganmu. Sudah ditunggu
anak-anak." Inai Atin tersenyum.
"Tidak, Inai. Baru sebatas perkenalan saja."
Lestari masih diam. Masih memasang wajah tak
bersahabat. Matanya berpaling dari Vano. Memandang
ke segala penjuru ruang kamar, kecuali wajah Vano.
"Cepat sembuh, ya. Biar cepat bisa ngajar lagi."
Vano mengangguk. "Paling besok sudah masuk,
Inai."
"Kalau sudah sembuh betul saja. Cuaca kan lagi tak
menentu. Kadang cerah, kadang hujan."
"Ini kan cuma demam ringan. Besok pasti sembuh."
Vano berusaha meyakinkan.
"Maaf, ya. Kami tidak bisa membawa apa-apa. Tadi
mendadak diberi tahu anak-anak kalau kamu sakit,
Pan."
"Tidak apa-apa. Inai sudah datang menjenguk,
Topan sudah senang."
"Lestari, kok diam saja," kata Inai Atin tiba-tiba.
Lestari terkaget. Ia berusaha mengendalikan diri.
"Terus harus bicara apa, Inai?" jawabnya asal.
Ia memalingkan wajah. Sepertinya, ia ingin cepatcepat melarikan diri dari sini.
"Lho, apa saja yang bisa menghibur Topan. Kan dia
lagi sakit."
"Saya bukan artis ataupun badut, Inai. Tidak ada
bakat untuk menghibur," Lestari menjawab. Ketus.
"Bisa saja kamu. Malah melawak. Itu juga termasuk
hiburan, lho." Inai Atin terkekeh.
Vano pun ikut terkekeh. Meski tak tulus. Hanya
ikut-ikutan Inai Atin saja. Ia tahu, Inai Atin sengaja ter
tawa agar menutupi sikap sebenarnya dari Lestari. Karena
Vano sudah tahu Lestari yang begitu benci dengannya
sejak pertama bertemu. Apa penyebabnya, ia belum
tahu.
Lestari terlihat semakin kesal.
"Kalian berdua itu contoh anak muda yang hebat.
Dulu Inai mendirikan SD itu dengan bantuan Apai
Sahat dan warga kampung. Melihat anak-anak yang
tidak sekolah dan ingin sekolah, hati Inai terketuk untuk
membantu. Inai memutuskan mengabdikan diri. Dan
sekarang kalian datang membantu Inai, meneruskan
perjuangan Inai." Inai Atin menepuk lengan Vano.
"Saya yakin mereka punya potensi, Inai. Mereka
punya impian yang tinggi. Saya yakin mereka bisa
meraihnya." Vano berkata penuh semangat.
Inai Atin menoleh ke arah Lestari yang ada di be
lakangnya. Lestari hanya menyambutnya dengan senyum
kecut.
??
BAHASA INGGRIS
Malam ini cerah. Tak ada awan hitam yang menggantung
di langit. Kerlapkerlip bintang terlihat sangat jelas.
Bulan seolah tersenyum pada Apai Sahat yang sedari tadi
memandanginya. Ia duduk termangu di teras Rumah
Betang Panjang. Tak menghiraukan riuh suara orang
bernyanyi, mengalunkan nada khas etnik untuk mengiringi
latihan tari dari dalam rumah.
Apai Sahat memang sengaja menyendiri. Meng
hindar dari kehangatan di dalam rumah. Mencari ke
damaian lewat lukisan alam di atas sana. Ia merenung,
memikirkan sesuatu.
Tibatiba Vano muncul dari dalam. Setelah menge
tahui keberadaan Apai Sahat, ia langsung duduk di
dekatnya. Apai Sahat tersadar karena kedatangan Vano
yang tibatiba.
Apai Sahat menoleh ke arah Vano. "Tidak istirahat,
Pan?"
"Sudah baikan, Apai. Bosan di kamar terus. Pengen
cari udara segar. Kebetulan malam ini cuacanya cerah."
Vano memandang ke atas.
"Tapi kan tetap dingin. Udara malam tidak baik
untuk kesehatan. Sana masuk, istirahat lagi."
"Sebentar lagi," tolak Vano. "Apai, besok saya be
rangkat, ya." Vano memasang wajah penuh harap.
"Kamu masih harus istirahat, Pan."
"Saya sudah sembuh kok. Ini saja sudah sehat."
Vano berdiri. Ia langsung menaikturunkan tangan?
memperlihatkan pada Apai Sahat kalau ia sudah benarbenar sembuh.
"Tidak, tidak. Kamu belum boleh berangkat. Kalau
sudah seratus persen sembuh saja nanti. Lihat, wajahmu
masih pucat." Ada raut kekhawatiran yang tergambar di
wajahnya.
Vano cemberut. "Apai..." Vano merengek.
"Sudahlah, Pan. Nanti kalau kamu sakit lagi, Apai
yang repot!" Nada bicara Apai Sahat agak meninggi.
Mulut Vano bungkam. Ia merasa tak enak. Apai Sahat
terlihat benar-benar khawatir padanya. Ia takut jika Apai
Sahat marah padanya. Padahal, selama ini Apai Sahatlah
yang sudah membantunya. Malaikat yang datang tak
pernah terlambat.
Ada yang mengganjal di hati Vano tentang mengapa
Apai Sahat sangat mengkhawatirkannya. Padahal ia
bukanlah siapa-siapa. Terus, tentang kebaikan Apai Sahat
selama ini. Tentang tatapan penuh kasih sayang yang ia
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lihat kemarin. Ini sedikit ?aneh?.
Vano menghela napas.
"Apai," Vano berkata pelan. "Kalau boleh Topan
tahu, kenapa Apai baik sekali sama Topan? Bahkan Topan
sudah Apai anggap seperti anak sendiri." Vano terpaksa
bertanya hal itu. Ia sangat ingin tahu alasan Apai Sahat.
Apai Sahat tersentak pelan. Namun, ia berusaha
menyembunyikannya dengan menunduk dan diam. Di
balik itu, ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin
merangkai alasan yang tepat. Suatu alasan yang jujur
atau bohong belaka. Apa pun itu, Vano tetap penasaran
tentang apa yang akan keluar dari mulut Apai Sahat.
Hening. Keduanya memilih sama-sama diam.
Vano tak berani mengulang pertanyaannya. Ia merasa
sudah kelewatan sudah bertanya seperti itu pada orang
yang sudah sangat baik. Sementara, Apai Sahat masih
menunduk dan diam. Vano jadi serba salah.
"Kamu seperti anakku, Pan." Apai Sahat tiba-tiba
berkata di tengah keheningan. "Andai masih ada, pasti
dia sudah sebesar kamu. Setampan kamu dan sepintar
kamu."
"Maksudnya?" Vano mengerutkan kening. Ia
terpaksa bertanya lagi karena sama sekali tidak mengerti
apa yang dikatakan Apai Sahat.
Apai Sahat menghela napas. "Anak Apai meninggal
waktu umur satu tahun karena demam berdarah. Biasalah,
di tempat terpencil tidak ada pelayanan kesehatan.
Mungkin jika dia masih ada, dia sudah sebesar kamu."
"Oh maaf, Apai." Vano seperti menjadi yang
tertuduh telah membongkar masa lalu Apai Sahat yang
pahit. Ia menyesal bertanya masalah itu.
"Kamu tahu? Dulu saat kamu ke sini dengan te
manmu itu, Apai seperti melihat anak Apai pada dirimu.
Entah apa yang telah meracuni pikiran Apai sehingga
lancang berpikiran seperti itu. Itu jujur. Saat Apai ngobrol
denganmu, Apai merasa nyaman. Dan saat kamu pulang,
Apai yakin kamu akan kembali." Apai Sahat menghela
napas sebentar. "Dan itu terbukti. Kamu kembali ke sini.
Tidak masuk akal memang. Tapi, Apai sangat senang kamu
ada di sini. Kamu sudah seperti anak Apai sendiri."
Cairan bening menggenang di kedua kelopak mata
Vano. Ia terharu dengan pengakuan Apai Sahat. Ia yakin
bahwa apa yang dikatakan Apai Sahat benar adanya.
Tidak mengada-ada.
"Terima kasih, Apai. Sudah menganggapku seperti
itu. Terima kasih untuk semua bantuannya selama ini."
Vano terharu. Ia seperti menemukan kasih sayang
seorang papa yang dirindukan. Namun, kasih sayang itu
bukan dari papa kandungnya, melainkan orang lain yang
sama sekali tak ada pertalian darah.
"Tak usah sungkan. Kamu di sini adalah anak
ambo11." Apai Sahat menepuk bahu Vano. "Sudah. Sana
istirahat lagi."
"Apai tidak masuk?"
"Apai masih ingin memandang langit, menum
pahkan rindu pada anak Apai di atas sana. Dia sedang
mengintip di balik bintang yang berpijar paling terang."
Anak angkat (bahasa Dayak Iban)
Inilah kasih sayang yang diinginkan Vano selama ini.
Kasih sayang seorang Bapak, yang di akhir-akhir ini tak
ia dapatkan dari Papa.
??
Vano keluar dari Rumah Betang Panjang. Ia sudah rapi
dengan kemeja biru muda dan celana hitam. Wajahnya
berseri. Rambutnya terlihat masih agak basah dan
disisir belah samping. Ia memutuskan mengubah gaya
rambutnya agar telihat lebih rapi.
Apai Sahat yang tengah berada di lanting dan
kebetulan melihat Vano langsung menyerahkan jaring
yang tadi ia rapikan pada pria di sebelahnya. Ia berjalan
mendekat ke arah Vano.
"Mau ke mana, Pan?" tanya Apai Sahat keheranan.
"Ngajar dong, Apai." Vano tersenyum. Berusaha me
yakinkan bahwa ia benar-benar sudah sembuh dan siap
mengajar hari ini.
"Lebih baik istirahat saja dulu. Besok baru ngajar."
"Sudah rapi gini, Apai. Tanggung." Vano terkekeh
sambil merapikan kerah bajunya.
"Kamu itu memang bandel, ya." Apai Sahat gelenggeleng kepala. "Ya sudah. Ayo, Apai antar kalau gitu."
Vano berhasil membujuk Apai Sahat. Sangat tidak
mungkin dilarang kalau sudah berpakaian rapi dan sudah
siap seperti itu. Semangat Vano turut serta meluruhkan
hati Apai Sahat.
"Bukannya Apai akan mencari ikan? Tidak usah
repot-repot. Biar Vano ikut sama anak-anak."
"Tidak apa-apa. Kamu kan belum sembuh benar.
Nanti siang biar Apai jemput. Sekalian, ngajarin kamu
mendayung lagi. Kalau sudah jago, nanti bisa bawa
perahu sendiri."
"Waduh, jadi seperti anak kecil nih. Pakai diantar
segala." Vano terkekeh, memperlihatkan giginya yang
rapi.
Mereka berdua langsung berjalan beriringan menuju
ke lanting dan naik ke perahu. Vano di tengah, sedangkan
Apai Sahat di ujung belakang. Apai Sahat bertugas me
ngendalikan laju perahu. Vano bertugas membantu men
dayung.
Perlahan, perahu itu meninggalkan lanting bersama
perahu-perahu lain yang dinaiki anak-anak berseragam.
Wajah mereka tampak bahagia. Semangat menuntut ilmu
tak pernah pudar. Vano senyam-senyum sendiri melihat
rona wajah mereka. Bahkan itu menjadi lecutan bahwa ia
tak boleh kalah semangat dari anak-anak itu.
Meski harus mengarungi sungai, melawan arus demi
sampai di sekolah dengan cepat, tidak mengenakan
sepatu, hanya sandal jepit, bahkan ada yang tak beralas
kaki, mereka tetap semangat untuk menimba ilmu.
Dari mereka, Vano belajar tentang perjuangan yang se
benarnya.
Vano meletakkan dayungnya kemudian menunjuk
ke arah anak-anak yang saling berkejaran dengan perahu.
"Mereka akan jadi orang hebat, Apai."
"Semoga saja."
Akhirnya, sampai di dermaga. Ada beberapa perahu
yang sudah ditambatkan di dermaga kayu. Lalu, ada satu
perahu yang baru sampai hampir bersamaan dengannya.
Vano langsung berdiri dan turun dari perahu.
"Terima kasih, Apai."
"Nanti siang Apai jemput. Tunggu saja di dermaga."
Vano mengangguk.
Apai Sahat meninggalkan dermaga. Ia kembali ke
kampung untuk menjemput rekannya lalu pergi me
nangkap ikan di danau.
Vano tak langsung berjalan masuk ke dalam hutan.
Ia memilih menunggu tiga anak perempuan yang baru
datang itu. Ia membantu menambatkan perahunya.
Kemudian membantu mereka naik ke dermaga.
Sialnya, setelah ketiga anak itu berhasil naik ke
dermaga, mereka malah berlari meninggalkan Vano.
"Ayo, nanti telat," kata salah satu anak perempuan
yang rambutnya dikuncir kuda.
"Waduh, sendirian deh." Vano menggerutu.
Sayang, gerutuannya itu sia-sia. Tak didengarkan
ketiga anak perempuan itu karena mereka sudah luma
yan jauh di depan.
Vano melanjutkan langkahnya. Berjalan di atas jalan
kayu. Sendiri.
Saat memasuki hutan, suasana lembap begitu terasa.
Meskipun cuaca semalam cerah, tapi daun-daun tetap
basah. Mungkin karena embun.
Wanita tambun berwajah bersahaja tersenyum me
nyambut kedatangan Vano. Ia berdiri di depan ruang
kelas. Senyumnya hangat, mengalahkan sinar matahari
yang berusaha menerobos di antara lebatnya pohon yang
menjulang. Vano pun membalasnya.
"Ayo, masuk anak-anak!" Inai Atin berteriak
memanggil anak-anak yang sedang bermain.
Mendengar teriakan Inai Atin yang menandakan
pembelajaran akan segera dimulai, Vano mempercepat
langkahnya.
"Pagi, Inai. Saya ngajar apa, untuk kelas berapa?"
Vano memberondong pertanyaan.
"Bersemangat sekali kamu, Pan. Sudah sembuh
benar?" Inai Atin meyakinkan.
Vano mengangguk. "Iya, Inai. Melihat anak-anak
yang semangat itu, semangat Topan langsung terpompa.
Beda sama anak-anak kota. Mereka cenderung malasmalasan kalau disuruh ke sekolah. Apalagi kalau tidak
ada fasilitas dan uang jajan." Vano terkekeh.
"Anak-anak sini kan benar-benar ingin bisa. Oh ya,
kamu ngajar Bahasa Inggris, ya. Dari yang paling dasar
dulu untuk kelas enam."
"Dasar yang mana?" Vano mengerutkan keningnya.
"Paling dasar pokoknya. Mereka belum pernah dapat
materi Bahasa Inggris."
"Siap!" Vano mengangkat tangannya, hormat ke Inai
Atin.
Inai Atin terkekeh. "Ada-ada saja kamu." Inai Atin
langsung berbalik menuju ke dalam kelas, diikuti Vano
di belakangnya.
Vano akan mengajar dalam satu ruang kelas dengan
Inai Atin yang mengajar kelas empat dan lima.
Salam sudah diwakili Inai Atin. Lalu, ia memper
kenalkan Vano lagi dan mempersilakan memulai pela
jaran.
Jantungnya berdegup kencang. Meskipun kemarin
ia berhasil menguasi kelas, tapi ini tak semudah kemarin.
Di sampingnya ada Inai Atin yang secara tak sengaja
ikut mengawasinya. Vano terdiam. Ia mengerutkan
kening dan berpikir keras serta mencari ide bagaimana
menghidupkan kelasnya hari ini. Apalagi anak-anak pasti
asing dengan pelajaran Bahasa Inggris.
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia mencoba tenang dan mengatur laju napasnya.
Merapalkan doa apa pun dalam hati, meminta kelan
caran pada Tuhan.
"Baik. Pagi hari ini kita akan belajar Bahasa
Inggris, kalian tahu? Bahasa Inggris itu adalah bahasa
internasional. Bahasa yang dipakai jika kalian ingin ke
luar negeri. Apakah ada yang ingin ke luar negeri?"
Ada binar kecerahan di wajah anak-anak kelas enam.
Mereka terlihat tertarik saat Vano menyebut luar negeri.
"Apa Apai pernah ke luar negeri? Kok tahu?" tanya
salah satu anak laki-laki yang duduk paling belakang.
Vano gugup. Namun, ia berusaha tetap tenang dan
menjawab dengan hati-hati agar tidak keceplosan.
"Belum sih. Tapi, Apai punya teman yang pernah ke
sana dan Apai sudah tanya-tanya." Vano berbohong. Ia
tetap menyembunyikan identitas.
"Oh"
"Oke. Hari ini kita awali dengan membaca huruf
dalam Bahasa Inggris." Vano tiba-tiba ingat dengan
pelajaran Bahasa Inggris yang diberikan guru SD-nya
dulu. Yaitu, menyanyi.
Vano langsung menuliskan abjad A sampai Z di
papan tulis yang terpaksa dibagi dengan garis lurus di
tengahnya. Bagian lain jatahnya Inai Atin.
"Apai, itu kan huruf-huruf biasa. Katanya mau baca
Inggris?" tanya anak perempuan paling depan.
"Memang hurufnya sama saja. Cara bacanya yang
beda. Nanti Apai akan baca satu per satu. Kalian ikutin,
ya."
"Iya," jawab anak-anak serentak.
"A dibaca ei. Ayo coba kalian tirukan."
"Ei..."
"B dibaca bi."
"Bi..."
Vano pun mengulang-ulang membaca huruf dalam
Bahasa Ingris. Agak sulit memang.
"Bagaimana kalau kita nyanyikan saja. Setuju?"
"Nyanyi gimana, Apai?" tanya anak perempuan
paling depan.
Anak perempuan paling depan itu yang sepertinya
sangat tertarik dengan pelajaran ini. Ia antusias sekali.
"Ikutin Apai saja, ya."
Vano pun mengeja abjad dalam Bahasa Inggris
dengan nyanyian. Sehingga anak-anak akan mudah meng
ingatnya. Lama-kelamaan, mereka pun akan lancar.
Kelas yang diasuh Vano pun ramai. Mereka senang
dan menikmati pelajaran itu. Anak-anak di bangku
sebelah dari kelas empat dan lima yang diajar Inai Atin
melongo ke arah kelas Vano. Mereka sepertinya ingin
bergabung.
Diam-diam mulut mereka ikut bernyanyi. Sedang
kan, Inai Atin hanya bisa tersenyum melihat muridmuridnya antusias diajar oleh Vano.
Kasihan anak-anak ini. Mungkin mereka ke
bingungan. Konsentrasinya terpecah karena tergabung
dalam satu ruangan dengan materi dan guru yang
berbeda. Tapi mau bagaimana lagi. Adanya hanya ini.
??
Inai Atin masuk ke ruang kelas Lestari. Kelas sudah
kosong, sedangkan Lestari terlihat sibuk di bangkunya.
"Lestari. Sibuk, ya?" Inai Atin melambungkan
senyum ke arah Lestari.
Lestari menoleh ke arah Inai Atin. "Eh, tidak, Inai."
Lestari membalas senyum Inai Atin. "Cuma lagi menilai
tugas anak-anak saja. Ada perlu apa?"
Inai Atin meraih kursi di belakang meja murid paling
depan. Kemudian menyeretnya dan meletakkannya di
depan meja Lestari. Inai Atin langsung mendudukinya.
"Kita dapat undangan untuk ikut lomba baca puisi
di Lanjak. Menurut kamu bagaimana, Tari? Ikut atau
tidak?" Inai Atin menyerahkan selembar kertas pada
Lestari.
Lestari pun meraih kertas itu. Kemudian dibacanya
sekilas.
"Apa anak-anak mau ikut? Lagian butuh biaya trans
portasi juga kan, Inai? Belum nanti menginap di sana. Kan
perjalanannya memakan banyak waktu." Lestari menolak
dengan halus.
"Tapi, selama ini, kita sudah menolak undangan
lomba, Tar."
"Dan, selama ini juga, anak-anak menolak untuk ikut
serta, kan?" Lestari terlihat serius dengan perkataannya.
"Betul juga. Kita minta pendapat Topan juga kalau
begitu, baiknya gimana. Topan kan sekarang bagian dari
sekolah ini. Tidak enak juga menolak undangan itu terus.
Kita harus menemukan solusi terbaik."
"Buat apa? Kan tinggal bagaimana keputusan Inai
saja. Tidak usah minta pendapat guru baru itu!" Wajah
Lestari berubah jutek. Alisnya menukik dan sengaja
meninggikan nada bicaranya satu level.
"Eh, eh, dia sekarang bagian dari kita juga, Tar. Tetap
harus ada keputusan bersama dong." Inai Atin berkata
agak tegas. "Ya, sudah. Inai panggil Topan dulu."
Tanpa memedulikan penolakan Lestari, Inai Atin
beranjak dari tempat duduknya.
"Duduk saja, Inai." Lestari berdiri dan mencegah Bu
Atin. "Biar saya saja yang panggil guru baru itu."
Lestari langsung berjalan keluar kelas. Sebenarnya, ia
malas untuk susah-susah memanggil Vano. Tapi, ia merasa
tak enak jika Inai Atin yang kerepotan memanggilnya.
Terpaksa dengan berat hati ia yang memanggilnya.
"Pan!" Lestari melambaikan tangan ke arah Vano
yang tengah bermain bola dengan anak-anak di halaman
sekolah.
Halaman depan sekolah tidak terlalu lebar. Hanya
sekotak tanah lapang yang di tepi kirinya tumbuh dua
pohon yang berjajar. Anak-anak biasanya menggunakan
pohon itu sebagai gawang.
Di bagian lainnya, anak-anak perempuan memilih
bermain tali atau sekadar petak umpat. Arealnya pun
tak jauh. Kegiatan itulah yang biasa mereka lakukan
untuk mengisi jam istirahat. Memang, tidak ada kantin
ataupun orang berjualan di sini. Siapa juga yang mau
berjualan di tengah hutan. Lagi pula, anak-anak itu tak
bawa uang saku. Bisa bangkrut yang jualan karena tak
ada pelanggan.
Vano yang mendengar ada yang memanggil nama
nya berhenti. Sehingga bola yang tadi dikuasai direbut
oleh Ginting, anak berbadan tambun berkulit hitam,
berambut ikal, dan bercita-cita jadi tentara.
Vano memandang ke arah Lestari, kemudian berlari
menemui Lestari yang masih berdiri di depan kelas.
"Ada apa, Tar?" Vano masih terengah-engah selepas
berlari.
"Tuh, dipanggil Inai," jawab Lestari jutek.
"Ada apa memangnya?"
"Ke dalam aja sana!" Lestari langsung berbalik dan
berjalan ke dalam, meninggalkan Vano yang masih
mengatur napasnya.
Vano langsung membuntuti Lestari setelah dirasa
pernapasannya cukup stabil.
"Bagaimana, Pan?" tanya Inai Atin tiba-tiba.
"Apanya yang bagaimana?" Vano terlihat bingung
tiba-tiba diberi pertanyaan seperti itu.
Inai Atin langsung memandang ke arah Lestari,
kemudian menggeleng.
"Ambil kursi dulu, Pan."
Vano langsung mengambil kursi murid paling depan
di sebelah yang sudah kosong dipakai Inai Atin tadi. Lalu,
Inai Atin menerangkan bahwa ada undangan untuk ikut
serta dalam lomba baca puisi di Lanjak.
"Ini kesempatan bagus. Anak-anak pasti menye
tujuinya. Saatnya sekolah ini mengepakkan sayap. Anakanak bisa tahu dunia luar sana juga. Saya sangat setuju."
Vano terlihat bersemangat. Ada kobaran api di matanya.
"Kok tahu anak-anak pasti setuju?" sambar Lestari.
"Tahun-tahun yang lalu kalau ada lomba pasti tidak ada
yang mau ikut."
"Jadi, tahun-tahun lalu sudah pernah dapat unda
ngan serupa?"
"Iya. Tapi, benar kata Lestari, mereka menolak untuk
ikut. Jadi, kita tidak pernah ikut lomba."
Lestari tersenyum sinis. Ia seperti sudah merasa
menang dalam rapat kali ini.
"Dan ini saatnya anak-anak untuk bangkit. Kita tidak
boleh menyia-nyiakan kesempatan ini." Vano semakin
bersemangat. Api sudah membakar semangatnya.
"Iya, kesempatan bagus. Tapi, biayanya dari mana?"
Lestari menyanggah argumen Vano lagi. "Ke Lanjak itu
jauh. Butuh biaya banyak. Lagi pula siapa yang mau
melatih baca puisi? Harus dipertimbangkan matangmatang." Lestari manyun. Alisnya semakin menukik.
"Kita bisa pinjam speedboat, kan? Untuk urusan
melatih, kita bisa bekerja sama. Apa pun hasilnya nanti,
kita tetap harus ikut. Masalah anak-anak biar saya yang
bujuk mereka."
"Ya coba saja, Pan!" Ada binar keyakinan yang ter
pancar di wajah Inai Atin.
"Tapi, jangan paksa mereka. Apa pun yang di
paksakan ujung-ujungnya tidak akan baik." Lestari masih
berkata jutek.
??
PUISI
Setelah perahu merapat di lanting, Vano dan Apai Sahat
langsung keluar. Apai Sahat kemudian menambatkan
perahunya di lanting, sementara Vano tetap berada di situ,
menunggu Apai Sahat selesai menambatkan perahu.
Setelah itu, mereka langsung berjalan beriringan ke
atas, menuju Rumah Betang Panjang.
Seperti biasa, semua pintu depannya terbuka, mem
biarkan cahaya matahari memasuki ruang panjang.
"Selamat siang." Vano menyapa penghuni yang
berada di dalam Rumah Betang Panjang.
Ada lima orang asing yang tengah mengobrol di
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam rumah. Mendengar suara Vano, kelima orang asing
itu langsung menoleh ke arah Vano secara serempak.
Mata Vano langsung menangkap salah satu sosok
di antara kelima orang itu. Ia mengerutkan keningnya,
memutar otak, berusaha mengingatingat wajah yang
seperti pernah ia lihat sebelumnya. Sampailah pada satu
nama. Widya. Keponakan Apai Sahat dari Pontianak.
Wanita cantik yang berbaik hati menampungnya
bermalam di Pontianak. Wanita yang sudah berbagi
secuil kisah cintanya di Taman Alun-Alun Kapuas yang
elok.
"Kamu baru pulang ternyata, Van?" Widya bangkit
dari duduknya.
"Widya?" Vano berjalan ke arah Widya. Wajahnya
masih mengisyaratkan keterkejutan.
Vano menyalami Widya, kemudian hampir ber
samaan duduk, di dekat empat orang lainnya.
"Kok kamu bisa di sini? Kapan kamu sampai sini?
Sama siapa?" cerocos Vano.
"Baru saja sampai kok. Aku ke sini sama temanteman dari WWF12 Kantor Lanjak. Biasa. Ada kunjungan
sekaligus pemantauan."
Vano memandang empat orang di sekelilingnya. "Oh,
jadi ini teman-teman dari WWF?" Vano tersenyum ke
arah empat orang yang ternyata adalah anggota WWF.
Keempat anggota WWF itu membalas senyum
Vano.
"Perkenalkan, saya Topan. Guru bantu yang mengajar
di SD Mini Penggerak." Vano menyalami satu per satu
anggota WWF itu.
Keempat orang itu menyambutnya dengan senyum
dan menyebutkan namanya masing-masing.
World Wildlife Fund for Nature; Organisasi non-pemerintah dan
internasional yang bergerak di bidang konservasi, penelitian, dan
restorasi lingkungan
Mereka terdiri dari dua orang perempuan dan dua
orang laki-laki.
Dua orang perempuan itu bernama Tantri dan Ita.
Tantri mengenakan kacamata yang lensanya agak tebal.
Mungkin minusnya sudah sampai lima. Sedangkan, Ita
mengenakan jilbab langsung pakai. Dua laki-laki itu
bernama Dito dan Albert. Dito berbadan agak tambun
dan rambutnya dicukur cepak, sedangkan Albert terbilang
bertubuh ideal, rambutnya lurus, dan dibiarkan jabrik.
Hampir mirip dengan Vano. Bedanya, Vano lebih putih
darinya.
"Lho, kok Topan? Namamu bukannya Vano?" tanya
Widya tiba-tiba.
Vano sedikit terperanjat. Ia baru sadar kalau sejak
tadi Widya memanggilnya Vano. Vano memutar otak,
mencari alasan yang tepat untuk menutupi semua yang
sudah direncanakannya dari awal.
"Vano cuma nama keren saja. Nama kalau pas ke
nalan sama cewek. Malu kan kalau pakai nama Topan."
Vano terkekeh sambil menggaruk-garuk kepala bagian
belakang.
"Iya. Sok keren saja tuh si Topan." Dari belakang,
Apai Sahat menambahkan, sekaligus menyelamatkan
Vano.
"Ada-ada saja kamu itu." Widya terkekeh.
Diikuti keempat anggota WWF yang ikut terkekeh,
ruang panjang yang lengang itu tampak ramai. Meskipun
malu karena pengakuan bohong tersebut, Vano tetap
bisa bernapas lega. Widya mudah saja percaya dengan
sandiwaranya.
Suasana akrab langsung tercipta di antara mereka.
Dito dan Albert akan menginap di kamar Vano. Sedang
kan Widya, Tantri, dan Ita akan menginap di kamar
tamu di sebelahnya.
Di Rumah Betang Panjang memang sudah disediakan
dua kamar untuk pengunjung, kamar untuk laki-laki dan
perempuan.
??
"Bagaimana rasanya mengajar di sini, Pan?" tanya Widya
di tengah-tengah keramaian tari yang digelar di Rumah
Betang Panjang.
Kalau ada tamu dari luar, memang harus disambut
dengan tarian pada malam hari. Ini sudah menjadi tradisi.
Tak lupa, suguhan khas dari Meliau pun dikeluarkan.
Seperti ikan tomang bakar yang menjadi primadona.
"Asyik kok. Anak-anaknya menyenangkan. Oh iya,
kita rencananya mau ikut lomba puisi. Tapi bingung cara
seleksi dan melatihnya nanti bagaimana."
"Wah, aku mungkin bisa bantu. Aku pernah ikut
lomba baca puisi. Tapi sayang, aku di sini cuma tiga hari
saja."
Ada binar cerah di wajah Vano. "Kebetulan sekali.
Besok kamu bisa bantu aku? Kita seleksi dulu sekaligus
memberi sedikit materi. Biar nanti ke belakangnya aku
yang tanganin. Bagaimana?"
"Setuju. Tapi aku harus izin sama teman-teman
dulu. Soalnya, besok ada rencana tinjauan ke hutan. Aku
ke sini kan diajak si Tantri."
"Oke." Wajah Vano semakin berseri.
Widya seperti setitik harapan baginya, bagi anakanak, juga bagi SD Mini Penggerak. Ia berharap Widya
bisa membantu. Meski cuma sehari dan hari itu akan
dimanfaatkan secara maksimal olehnya.
Widya beranjak dari samping Vano. Ia menemui ke
empat temannya yang tengah berdiskusi dan beramahtamah dengan penghuni Rumah Betang Panjang.
Tak lama, Widya kembali duduk di samping Vano
yang tengah melanjutkan membaca buku di antara
keramaian.
"Bagaimana, Wid?" tanya Vano segera.
"Oke. Besok aku bisa bantu. Tapi, lusa kamu harus
menemaniku ikut sama mereka meninjau orang utan di
tengah hutan. Gimana? Setuju?"
Vano mengerutkan keningnya. "Iya, aku setuju."
Vano dan Widya bersalaman tanda persetujuan atas
janji mereka berdua.
Malam itu berakhir di kamar masing-masing. Meng
akhiri kisah hari ini dengan terlelap mengistirahatkan
tubuh. Malam ini, Vano harus berbagi kamar. Dengan
tambahan tikar dan bantal, mereka bertiga tidur
berjajar.
??
Seperti janjinya, pagi ini Widya menemani Vano ke
sekolah. Mereka diantar oleh Apai Sahat. Lestari kebetulan
bersamaan dengan mereka di lanting. Tanpa sepatah kata,
Lestari langsung naik ke perahunya, disusul tiga anak
perempuan yang ikut menumpang. Lestari langsung
mendayung meninggalkan lanting.
Lestari bersikap tak acuh pada Vano, Widya, dan Apai
Sahat. Ia mempercepat dayungan. Sesekali ia mencuri
pandang ke belakang. Melihat Vano yang tengah ngobrol
dengan Widya, tak memedulikan sikap tak acuhnya.
Vano dan Widya tak hentinya mengobrol. Hingga
tidak terasa perahu sudah merapat di dermaga. Vano
naik ke dermaga, disusul Widya yang dibantu Vano.
"Nanti siang Apai jemput, ya. Jaga Widya ya, Pan."
Apai Sahat terkekeh.
Vano mengangkat jempol tangan kanannya sambil
tersenyum.
Apai Sahat langsung menjauhkan perahunya dari
dermaga kayu. Vano dan Widya tak langsung berjalan
ke dalam hutan. Mereka tetap berdiri di atas dermaga,
melepas kepergian Apai Sahat.
Setelah Apai Sahat sempurna tak terlihat, barulah
mereka berjalan beriringan masuk ke dalam hutan. Masih
mengobrol seru.
Udara pagi terasa sejuk sekali. Angin berembus sejuk.
Matahari tidak malu-malu lagi memancarkan cahaya.
Sinarnya berusaha menerobos pepohonan yang lebat.
Di sepanjang perjalanan, Vano dan Widya asyik ber
bincang. Kadang bercanda, lalu tertawa ria. Vano terlihat
bahagia mendapatkan teman yang mampu menghibur
dirinya.
Widya tak pernah habis kata-kata. Ia terus mencari
perhatian pada Vano. Mencairkan suasana. Membuat
Vano tak bosan berbicara dengannya.
"Ayo, masuk anak-anak!" Inai Atin berteriak di
depan kelas.
Sontak anak-anak yang mendengar Inai Atin ber
hamburan masuk ke kelas.
Mungkin Inai Atin selalu berangkat subuh karena
ia selalu lebih dulu berada di sekolah. Sungguh hebat
wanita satu itu.
Vano menggandeng tangan Widya, dan mengajakya
bergegas menuju ke arah Inai Atin. Di samping Inai Atin,
ada Lestari yang ikut menyuruh anak-anak yang masih
di luar untuk masuk ke dalam kelas. Wajahnya berubah
ketika Vano dan Widya sampai di depannya, jutek.
"Pagi, Inai. Ini kenalkan, Widya. Dia mau bantu
menyeleksi anak-anak." Vano semangat sekali.
Inai Atin tersenyum pada Widya, kemudian me
nyalaminya.
Widya membalas senyum tersebut dan bersalaman
dengan Inai Atin.
"Terima kasih ya, Widya. Kamu temannya Topan?"
"Saya keponakannya Apai Sahat, temannya Topan
juga." Widya tersenyum.
"Oh iya," Inai Atin menoleh ke arah Lestari dan
menggandeng tangan Lestari. "Perkenalkan, ini Lestari."
Lestari memasang wajah tak bersahabat. "Lestari,"
katanya singkat. Bibirnya manyun. Alisnya terangkat.
Widya tersenyum. Senyum yang dipaksakan. Separuh
hatinya bilang kalau ia tak suka dengan sikap Lestari.
"Widya."
"Inai, rencananya kita mau menyeleksi anak-anak pagi
ini juga. Biar ada banyak waktu nantinya buat latihan."
Vano menerangkan maksudnya dengan semangat.
"Jadi tidak ada pelajaran dong." Lestari menyambar
dengan nada jutek.
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita audisi untuk kelas empat, lima, dan enam saja.
Ya, memang terpaksa meniadakan pelajaran." Widya ikut
menjelaskan.
"Mereka rugi. Ke sini untuk mendapatkan pelajaran."
Lestari tetap mempertahankan pendapatnya.
"Bagaimana menurut, Inai?" tanya Vano tak
memedulikan penolakan Lestari.
"Ya, begitu saja. Kalau tidak sekarang, kapan lagi
kita menyikapinya? Mereka tidak akan rugi karena ini
juga salah satu pelajaran," jawab Inai Atin diplomatis.
Vano dan Widya tersenyum bersama. Mereka
menang dan mereka siap melancarkan aksi.
"Lestari, silakan kamu bisa memulai pelajaran di
kelasmu. Nanti Inai bantu." Inai Atin mempersilakan
Lestari. "Topan dan Widya, silakan mulai saja selek
sinya."
"Baik, Inai. Terima kasih sebelumnya."
Vano menggandeng tangan Widya dan berjalan
masuk ke dalam kelas. Widya tersentak, tapi berusaha
menutupinya. Ia merelakan tangannya digandeng Vano.
Wajah Lestari tambah jutek. Bibirnya semakin ma
nyun. Kakinya terasa berat digunakan untuk berjalan.
Matanya masih mencuri pandang ke arah Vano dan
Widya.
"Ayo masuk, Tari." Inai Atin merangkul Lestari dan
membawanya ke dalam kelas.
Vano dan Widya berdiri di depan kelas. Sontak
semua murid diam. Wajah mereka kebingungan men
dapati Widya yang tidak mereka kenal berdiri di samping
Vano.
"Apai, itu siapa? Guru baru atau inai tuai13?" Ginting
yang duduk di bangku paling belakang menyeletuk.
Widya tersipu malu. Ia jadi salah tingkah. Sedangkan,
Vano bingung tak tahu apa maksudnya.
"Inai tuai tuh pacar artinya." Widya menjelaskan.
Pipi Vano memerah. Ia salah tingkah. "Ssst! Emang
kamu tahu apa itu pacar, Ginting?" Vano balik bertanya.
"Pokoknya laki-laki dan perempuan yang berduaan,
begitu Apai." Ginting menjawab dengan polos.
Tawa menggema di dalam kelas. Widya semakin
salah tingkah.
"Nanti kalau sudah besar, kamu akan tahu sendiri.
Sudah. Ini perkenalkan. Inai Widya dari Pontianak. Dia
teman Apai."
"Cantik, ya," celetuk Wulan tiba-tiba. Diikuti tawa
teman-temannya.
Lagi-lagi Widya tersipu malu.
"Sudah, sudah. Pagi ini, Apai ada pengumuman
penting. Apai dan Inai akan menyeleksi kalian untuk
Pacar perempuan (bahasa Dayak Iban)
diikutkan dalam lomba baca puisi di Lanjak dua minggu
lagi."
Anak-anak saling berpandangan dan saling berbisikbisik.
"Akan dipilih satu laki-laki dan satu perempuan.
Siapa yang mau ikut, tunjuk tangan!" Vano menaikkan
suaranya.
Semangat Vano tak disambut positif oleh anak-anak.
Mereka semua malah terdiam.
"Ayo, siapa yang mau ikut?" Vano bertanya lagi.
Mereka masih diam.
"Lho, kenapa? Ini kesempatan bagus buat
menunjukkan pada dunia bahwa kalian bisa." Widya
memberanikan diri membujuk anak-anak yang terlihat
tak bersemangat.
"Katanya ada yang pengen jadi polisi hutan. Ada
yang pengen jadi dokter. Ada pula yang pengen jadi
guru. Inilah saatnya. Kalau ikut lomba saja tidak berani,
bagaimana kalian bisa mewujudkan impian kalian?"
Vano ikut membujuk anak-anak.
"Pasti kita kalah, Apai. Anak-anak dari sekolah lain
kan hebat-hebat." Zali menundukkan wajahnya.
"Dari mana kamu tahu kemampuan mereka? Masa
gitu saja sudah nyerah. Pengecut itu namanya. Pengecut
bukan jiwa seorang pemenang!"
Anak-anak semakin menunduk.
Widya memandang Vano yang terlihat agak emosi.
"Inilah saatnya kalian memperlihatkan kemampuan ka
lian. Inai yakin kalian bisa mengungguli mereka."
"Yang penting adalah keyakinan, optimis, dan mau
berusaha. Tidak berjiwa pengecut seperti ini. Kalah
atau menang urusan belakang. Yang terpenting adalah
keikutsertaan kalian. Kemampuan kalian yang ditun
jukkan."
"Kalau kalah kan malu," Zali berkata lirih. Ia masih
menundukkan wajah.
Vano melangkah ke bangku Zali. "Lebih memalukan
jadi seorang pengecut. Kamu harus tahu itu, Zal. Jika kamu
terus menanamkan jiwa seorang pengecut, bagaimana
kamu bisa menjadi dokter. Dokter itu pemberani."
Widya yang masih memandang ke arah Vano tampak
takjub dengan sosok Vano. Semangatnya luar biasa dan
tegas.
"Oke. Sekarang siapa yang mau ikut seleksi dan
siap menjadi pemenang, bukan seorang pengecut seperti
elang kehilangan paruhnya?"
Mereka masih diam.
Tiba-tiba, perlahan Zali mengangkat tangan. "S-ssaya, Apai."
Wulan pun mengikuti Zali. Kemudian Ginting,
Riki, dan semua murid tiga kelas itu.
Vano tersenyum bangga. Ia menang. Berhasil mem
bujuk anak-anak untuk selangkah lebih maju. Berhasil
mengubah pola pikir mereka.
"Bermimpilah yang tinggi. Setinggi langit di angkasa.
Toh tidak ada yang melarang. Jangan takut oleh apa
pun. Tak ada yang bisa menghalangi mimpimu selama
tekadmu itu lebih besar. Percayalah pada dirimu bahwa
kamu mampu," Vano berkata lantang. "Sudah siap men
jadi juara?!"
"Siap!" Anak-anak menjawab kompak.
Ruang kelas itu serasa panas. Terbakar oleh api yang
sudah disulutkan oleh Vano.
Inai Atin tiba-tiba muncul dari pintu. Ia tersenyum
bangga ke arah Vano, kemudian melangkah ke dalam
dan mendekati Vano. "Kamu berhasil, Pan."
Semangat Vano semakin membara.
Widya langsung saja mengambil bagiannya. Ia me
nuliskan puisi yang ia dapat dari buku catatannya. Puisi
yang sempat ia buat waktu SMA.
Yang Berharga
Akan selalu kujaga
Permata dalam hidupku
Kemilau dan berharga melebihi apa pun
Duhai ibu
Titahnya tak kuasa kulawan
Celaka bagiku
Jika ada segores luka yang kucipta
Meski ia mampu melupakannya begitu saja
Alasan mengapa aku ada
Karenamu
Air di padang gersang
Yang memberiku kehidupan
Dengan setia
Melelapkanku di kala bintang datang
Lewat dongeng atau tembang nina bobo
Jodoh Rajawali 11 Geger Perawan Siluman Pendekar Kelana Sakti 15 Pedang Ular Wiro Sableng 031 Pangeran Matahari Dari
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama