Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman Bagian 3
Diawali doa penangkal mimpi buruk
Setelah puisi tertulis di depan, Widya memberi tanda
di mana harus jeda dan berhenti. Tanda dua garis miring
dan satu garis miring.
"Bisa disalin di buku tulis kalian masing-masing,
ya."
Anak-anak dengan segera menyalin puisi itu. Saat
Widya menunggu anak-anak selesai menyalin, Vano
mendekatinya.
"Wid, terima kasih bantuannya, ya." Vano berkata
lirih.
"Kan belum selesai, terima kasihnya nanti saja kalau
sudah dapat kandidat." Widya terkekeh.
"Tidak soal itu. Tapi yang tadi. Terima kasih sudah
membantuku membujuk anak-anak, mengubah pola
pikir mereka, dan memberi semangat pada mereka."
Widya tersenyum. Ia salah tingkah.
"Apakah sudah selesai?" tanya Widya tiba-tiba, me
ngalihkan pembicaraannya dengan Vano.
"Sudah, Inai..."
"Sekarang Inai akan jelaskan bagaimana caranya
membaca puisi ini."
Widya langsung menjelaskan cara membaca puisi
itu. Harus jeda di tanda satu garis miring dan harus
berhenti agak lama di dua garis miring. Kemudian,
Widya menjelaskan maksud dari puisinya dan bagaimana
ekspresi dalam membacanya.
Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan anak-anak
dijawab Widya dengan mudah. Anak-anak antusias pada
penjelasan yang diberikan Widya.
Setelah semua mengerti, Widya memberi con
toh membaca puisi tersebut. Semua anak diam dan
memerhatikan dengan saksama. Tepuk tangan menggema
setelah Widya selesai membaca puisi itu. Ekspresinya
luar biasa. Anak-anak seperti larut dalam suasana yang
dicipta.
"Inai beri waktu sampai jam sebelas untuk berlatih
dan belajar. Nanti Ibu dan Pak Topan akan menyeleksi
kalian. Semangat!" Widya meninju ke arah atas.
Widya menghampiri Vano dan Inai Atin yang berada
di pojok belakang. Sedari tadi, mereka memerhatikan
Widya saat menjelaskan dan membaca puisi itu.
??
"Sudah jam sebelas. Latihan cukup. Saatnya audisi."
Widya tampak semangat sekali.
Widya, Vano, dan Inai Atin masih berada di bela
kang ruang kelas.
"Yang pertama, Ginting, silakan ke depan." Vano
menunjuk ke arah Ginting.
Ginting menoleh ke belakang, menatap Vano.
"Belum siap, Apai."
"Ayo, harus sudah siap. Mau jadi pecundang atau
pemenang?"
Ginting berdiri dengan sangat terpaksa. Ia menyeret
langkahnya. Tangannya jelas sekali bergetar ketika
memegang buku. Keringat dingin menetes dari kening.
Tak ada alasan untuk menunda-nunda. Akhirnya, ia
mulai membaca puisi tersebut.
"Beri tepuk tangan," kata Vano setelah Ginting
selesai membaca puisi. "Selanjutnya Zali."
Langkah Zali tegap. Ia sepertinya sudah siap. Tak
basa-basi, ia langsung membaca puisi dengan lantang.
Ekspresinya bagus. Jedanya pun pas.
Widya manggut-manggut menyaksikan anak-anak
membaca puisi, juga memandang Vano yang bersema
ngat sejak tadi. Diam-diam ia mengagumi sosok pemuda
tampan itu.
"Bagus. Beri tepuk tangan," kata Vano. "Selanjutnya,
Wulan."
Seperti Zali, calon Polisi Hutan itu berjalan mantap
ke depan. Ia membaca puisi tersebut dengan ekspresi
yang total, tapi tidak berlebihan.
"Pan, sepertinya kita sudah menemukan pemenang."
Wulan berkata lirih ke dekat telinga Vano.
"Zali dan Wulan?" jawab Vano santai.
"Tepat sekali. Suara mereka lantang. Ekspresi bisa
diperbaiki lagi. Yang terpenting adalah keberanian dan
kesiapan mereka."
"Kok kita bisa sama pendapatnya, ya? Aku juga
berpendapat demikian."
Widya tersipu malu.
??
ORANG UTAN
Anakanak kelas empat sampai kelas enam sudah me
nunjukkan hasil latihan singkatnya di depan kelas. Me
reka menunjukkan beragam ekspresi juga karakter suara
yang berbedabeda.
Hebat. Meskipun hanya latihan sebentar, mereka
termasuk berhasil membawakan puisi. Itu karena tekad
dan kemauan mereka, meski agak dipaksa di awalnya.
Wajar.
Matahari semakin tinggi. Sebentar lagi sekolah sudah
harus bubar. Siapa yang terpilih untuk mengikuti lomba
di Lanjak harus diumumkan siang ini juga.
Tidak butuh waktu lama untuk Vano dan Widya
berunding. Pilihan mereka tetap sama dan mereka se
pakat. Sedangkan Inai Atin yang diajak berunding
menyerahkan semua keputusan di tangan Vano dan
Widya. Lestari malah sama sekali tidak kelihatan batang
hidungnya.
"Langsung saja Apai umumkan siapa yang akan
mewakili sekolah ikut lomba. Sebetulnya semuanya
bagus. Semuanya sudah berusaha dengan maksimal.
Tapi, tetap hanya ada dua saja yang mewakili sekolah
kita. Mereka adalah ... selamat untuk Zali dan Wulan."
Vano tepuk tangan.
Tepukan itu diikuti Widya dan anak-anak sekelas.
Di wajah Zali dan Wulan tergambar jelas rona bahagia.
Sedangkan, beberapa anak terlihat murung. Patah se
mangat.
"Untuk yang tidak bisa mewakili sekolah, jangan
patah semangat. Jika ada lomba-lomba lain nantinya,
Apai pasti akan mengadakan seleksi lagi. Senyum dong.
Dukung Zali dan Wulan untuk membanggakan sekolah
kita."
"Untuk Zali dan Wulan, semangat ya. Maaf, Inai
tidak bisa melatih kalian nanti. Kalian bisa berlatih
sendiri di rumah. Jika ada kesulitan, tanyakan saja sama
Apai. Beliau akan memantau kalian. Inai percaya kalian
bisa jadi juara."
"Sekarang, waktunya pulang. Zali dan Wulan bisa
berlatih di rumah, ya. Lusa sebelum pulang kita bisa
latihan lagi." Vano tersenyum.
Anak-anak dengan semangatnya beranjak dari
bangku. Berhamburan ke depan. Bergantian meraih
tangan Vano dan Widya lalu menciumnya. Lagi-lagi
Vano merasakan keharuan. Di saat seperti inilah ia
merasa dibutuhkan, merasa benar-benar menjadi orang
yang berguna.
Semua bangku sudah kosong. Kelas kembali sunyi.
"Pan, besok jangan lupa ikut kita ke dalam hutan,
ya." Widya mengingatkan janjinya Vano.
"Iya. Tapi aku harus izin dengan Inai terlebih dahulu.
Semoga saja diizinkan." Vano langsung keluar kelas untuk
menemui Inai Atin yang sedang berdiri bersama Lestari
di depan kelas sebelah.
Widya membuntuti Vano.
"Inai, ada yang mau Topan bicarakan."
Kehadiran Vano mengusik Lestari. Karena merasa
tak suka, Lestari langsung berjalan ke dalam kelas.
"Besok saya mau izin. Mau ikut tim WWF untuk
melakukan tinjauan ke hutan."
"Boleh ya, Inai?" Widya ikut merengek mohon izin
pada Inai Atin.
"Tidak masalah sih." Inai Atin menjawab dengan
enteng.
Lestari tiba-tiba keluar dari kelas sembari menenteng
buku di depan dada. "Katanya mau melatih baca puisi
untuk lomba? Kok malah besok tidak masuk? Lomba
kan sebentar lagi." Lestari memojokkan Vano.
Rupanya, diam-diam ia mendengar pembicaraan
Vano dan Inai Atin tadi. Sekarang, Lestari sudah berada
di samping Inai Atin. Wajahnya angkuh. Sama sekali
tidak enak dilihat. Bikin geram.
"Zali dan Wulan hebat kok. Mereka bisa latihan
sendiri. Kan cuma izin sehari saja. Menurut saya, masih
ada banyak waktu untuk berlatih." Widya berusaha
membela Vano.
"Bagaimana, Inai?" tanya Vano penuh pengha
rapan.
"Tapi, ini lomba pertama bagi mereka. Kalau
mentornya saja begini, bagaimana bisa menang?" Lestari
terus memojokkan Vano.
Lestari benar dalam hal ini. Vano sudah berjanji akan
melatih anak-anak. Tapi, Vano juga punya janji dengan
Widya. Wanita yang sudah menolong sekolah ini. Jika
tidak ada Widya, mungkin sampai besok belum terpilih
siapa perwakilan yang tepat untuk mengikuti lomba di
Lanjak.
"Mereka sudah punya mental juara kok." Widya tak
mau kalah.
"Iya, Inai izinkan, Pan. Biar bisa menambah pe
ngalaman kamu. Kamu belum pernah jalan-jalan masuk
hutan, kan?"
Jawaban Inai Atin membuat Vano berseri. Begitu
pun Widya yang merasa menang dari Lestari. Dari
awal, ia memang tak suka dengan sikap Lestari. Widya
menyeringai ke arah Lestari.
"Terima kasih, Inai. Sebagai gantinya, biar Zali
dan Wulan latihan di Rumah Betang Panjang malam
harinya."
"Setuju." Widya mengacungkan tangannya.
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketidaksukaan Lestari semakin kentara. Lestari
manyun. Lagi-lagi, ia kalah. Dan ia sudah tidak bisa
berkata apa-apa. Bahkan ia semakin benci dengan Vano
karena suara Vano yang sekarang didengar Inai Atin.
Bukan dirinya, yang lebih dulu sudah mengabdi di sini.
Vano dan Widya pamit pulang duluan. Mereka me
ninggalkan Inai Atin dan Lestari yang masih memasang
wajah tak bersahabat.
"Lestari," kata Inai Atin lirih. "Sebenarnya, kamu
ada masalah apa dengan Topan?"
Lestari kaget. Ia tak menyangka Inai Atin tiba-tiba
bertanya seperti itu padanya. Ia memilih menunduk
sambil memikirkan alasan yang tepat.
"Kenapa dari awal kemunculan Topan kamu tidak
suka? Apalagi saat kemunculan Widya? Kamu selalu
kontra dengan rencana positif mereka," tanya Inai Atin
lagi.
Lestari masih diam. Bungkam seribu kata.
"Jangan seperti itu. Apa pun masalahmu dengan
dia, jangan terus-terusan bersikap seperti itu. Mulailah
menerima kehadirannya. Nanti kalau dia tidak ada malah
kamu cari." Inai Atin terkekeh.
"Tidak, tidak, Inai. Buat apa saya mencari si Topan?"
jawab Lestari sewot.
"Tuh kan. Atau kamu tidak suka Topan dekat
dengan Widya?" Inai Atin tersenyum. Senyuman yang
menggoda.
"Jadi, Inai menyimpulkan kalau Lestari cemburu?"
"Tidak. Inai tidak memberi simpulan apa-apa. Kamu
sendiri kan yang barusan menyimpulkannya sendiri?"
Inai Atin terkekeh.
"Maaf, Inai. Saya harus pulang sekarang." Lestari
mengalihkan pembicaraan.
Lestari tak mau lama-lama di sini karena nantinya
akan terus diinterogasi oleh Inai Atin. Padahal, ia tidak
memiliki alasan kuat mengapa membenci Vano. Ia hanya
sekadar tidak suka dengan orang yang tiba-tiba datang,
sok sebagai pahlawan. Atau diam-diam ia menaruh hati.
"Jangan terus-terusan membenci Topan ya, Tari.
Kalian itu rekan kerja, pemuda yang Inai banggakan."
"Permisi, Inai." Lestari langsung meninggalkan Bu
Atin di depan kelas, sendirian.
??
Vano membayar janjinya. Hari ini ia akan ikut tim WWF
ke Bukit Peninjau. Menyusuri sungai dan danau, masuk
ke dalam hutan, melihat kelangsungan hidup satwa liar.
Tujuan utamanya adalah sarang orang utan. Satwa yang
semakin punah karena pertumbuhannya yang sangat
lambat. Juga karena perburuan manusia dengan dalih
orang utan adalah hama yang merusak pohon kelapa
sawit di perkebunan.
Matahari bersinar cerah. Tak ada satu pun awan yang
berani menghalangi sinarnya ke bumi. Vano, Widya, dan
tim WWF berangkat dengan dua speedboat yang cukup
panjang.
Vano, Widya, dan Dito berada di perahu yang
dikendalikan Pak Tri, sedangkan Albert, Ita, dan Tantri
berada dalam satu perahu yang dikendalikan Pak Mardi.
Hampir bersamaan, kedua speedboat tersebut me
ninggalkan Meliau, menyusuri sungai menuju ke Bukit
Peninjau.
Lamanya perjalanan di air sungguh tak terasa karena
sepanjang perjalanan mereka disuguhi pemandangan
yang luar biasa indahnya. Pohon-pohon berjajar di
pinggir sungai, juga tanaman rambat yang menyentuh
permukaan sungai, dipadu langit biru cerah yang hanya
ada satu dua awan yang menggantung.
Udara terasa begitu sejuk. Suara burung dan cipratan
air dari baling-baling perahu mendamaikan. Sesekali
terlihat juga ikan yang muncul di permukaan.
Terlihat bukit yang menjulang di depan. Speedboat
diarahkan menuju daratan. Tak ada dermaga, hanya
tanah yang sedikit lapang karena tidak ditumbuhi ilalang.
Speedboat ditepikan. Masing-masing pengendalinya turun
duluan dan menambatkan speedboat di pohon yang cukup
kokoh. Barulah Vano dan kawan-kawan WWF turun dari
speedboat.
Sarang orang utan letaknya di tengah hutan di kaki
Bukit Peninjau. Mereka harus masuk ke dalam hutan.
Dito berada di barisan paling depan, diikuti Widya,
Vano, Tantri, Ita, dan yang terakhir Albert.
Jalan yang dilalui cukup sulit. Tidak ada jalan setapak.
Tanah tertutup daun kering. Sesekali batang pohon
tumbang melintang di jalan yang mereka lalui. Memaksa
mereka untuk melompati pohon tumbang itu.
Di sepanjang perjalanan, Dito menjelaskan bebe
rapa tanaman yang kebetulan mereka temui, seperti
anggrek hitam dan kantung semar. Ini menjadi tam
bahan pengetahuan untuk Vano dan Widya yang baru
sekali datang ke sini.
Akhirnya, mereka sampai di sarang orang utan yang
tergantung di antara dahan-dahan pohon. Sayangnya,
tak ada orang utan yang mendiami. Mungkin mereka
tengah mencari makan.
"Orang utan ini bukan satwa biasa. Lihat saja
sarangnya yang tersusun dari banyak ranting dan daun
kering. Tempatnya berada di atas agar tidak diserang
hewan liar. Bangunannya kokoh sehingga kuat untuk
didiami bersama keluarganya. Ini menandakan orang
utan punya intelegensia tinggi," Dito menjelaskan pada
yang lain.
Vano dan Widya manggut-manggut. Sungguh ini
pengalaman pertama yang menakjubkan. Meski penuh
perjuangan untuk mencapai lokasi ini.
"Sayang ya, mereka tidak ada di sarang." Vano
menelan kekecewaan.
"Apalagi jumlahnya sangat terbatas. Sekarang sudah
hampir punah. Jadi, kita harus ikut menjaganya, bukan?"
Tantri bersuara.
Widya mendekat ke salah satu pohon yang di atasnya
tergantung sarang orang utan. Ia mengamati lebih dekat,
juga mengamati kertas berwarna merah muda yang
dilaminating dan tergantung di batang pohon itu.
"Kertas ini untuk apa?" Widya memperlihatkan ker
tas tersebut kepada yang lain.
"Itu sebagai catatan saja. Penanda dari kita bahwa
sarang ini sudah kita temukan dan akan terus kita
pantau," jelas Dito.
Ingatan Vano terbang ke SD Mini penggerak. Ia ingat
pada salah satu anak didiknya, Wulan, yang bercita-cita
sebagai polisi hutan.
"Semoga kau bisa menjaga hutan ini, Wulan." Vano
mendesis.
"Tunggu dulu, cepat kalian bersembunyi di balik
semak-semak." Albert tiba-tiba bersuara.
Dito, Tia dan Tantri yang sudah mengerti langsung
menunduk dan bersembunyi. Sedangkan Vano dan
Widya masih kebingungan.
"Cepat kalian kemari," kata Tia pelan.
Vano dan Widya berjalan dengan langkah pelan ke
tempat Tia.
"Ada apa sih?" tanya Widya penasaran.
"Ada yang datang," Albert menjawabnya.
"Siapa? Kenapa kita malah bersembunyi? Apa dia
orang jahat?" Vano masih tidak mengerti.
"Pemilik sarang itu. Lihat ke arah sana." Albert
menunjuk ke arah atas di dekat sarang. Ada orang
utan yang tengah menggendong anaknya sambil ber
gelantungan menuju sarang.
Menakjubkan. Ini kali pertama Vano dan Widya
menyaksikan orang utan di alam liar. Ada bonus juga
karena orang utan itu sedang menggendong bayi kecil
nya.
Mereka masih bersembunyi di semak-semak. Terus
mengamati orang utan itu. Dito mengamati dengan tero
pong yang sedari tadi tergantung di lehernya.
Orang utan itu masuk ke sarang. Berdiam diri di
situ. Mungkin mereka tengah beristirahat setelah pergi
mencari makan.
"Setelah ini kita ke mana?" tanya Wulan.
"Berkeliling Danau Sentarum, soalnya sebagian pe
ngamatan sudah kita lakukan kemarin," jawab Ita.
"Bagian dari pengamatan lagi?" Vano menyahut.
"Hanya berkeliling. Melihat nelayan yang mencari
ikan dan menyusuri keindahan danau yang diapit hutan
dan perbukitan. Kalian pasti menyukainya." Senyum Ita
merekah.
Setelah orang utan itu pergi lagi meninggalkan
sarang, rombongan Vano bangkit dari persembunyian.
Mereka berjalan menuju ke speedboat. Melewati jalan
yang tadi. Dito masih memimpin barisan.
Dua speedboat itu kembali membelah sungai. Me
ninggalkan Bukit Peninjau, menuju Danau Sentarum.
Danau sentarum memiliki keindahan yang luar biasa.
Menjadi sumber kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Saat menyusuri Danau Sentarum, beberapa kali mereka
berpapasan dengan orang-orang yang tengah menangkap
ikan.
Mereka menggunakan jaring atau perangkap ikan
yang mereka buat sendiri. Dalam satu perahu, ada dua
sampai tiga orang yang gotong royong menarik jaring,
juga menebar perangkap ikan.
Vano dan kawan-kawan WWF masih membelah
Danau Sentarum. Vano tak hentinya memuja Sang
Kuasa, yang telah memperlihatkan padanya peman
dangan indah di sepanjang perjalanan.
Tak sengaja, mereka berpapasan dengan Apai Sahat
yang masih menjaring ikan bersama dua orang warga
Meliau.
"Apai!" Vano melambaikan tangan ke arah Apai
Sahat.
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apai Sahat menoleh ke arah Vano. "Sudah selesai
kegiatannya?"
"Sudah. Keren banget. Ini pengalaman pertama
Topan. Melihat orang utan di alamnya."
"Sudah dapat ikan apa aja, Apai?" tanya Widya.
"Biasa. ikan tomang dan beberapa arwana." Apai
Sahat memperlihatkan ember yang berisi ikan, hampir
penuh.
"Boleh ikut mencoba nangkap ikan, Apai?" Vano
menawarkan diri.
"Boleh. Sini." Apai Sahat meraih pinggir speedboat
dan menempelkan kedua pinggir perahu itu.
Vano berdiri. Tangannya dipegangi Apai Sahat karena
sulit menjaga keseimbangan. Perahu goyang-goyang.
"Hati-hati, Pan." Widya memperingatkan.
Dengan sangat hati-hati, Vano berpindah perahu.
Vano sudah berpindah sekarang.
"Kamu mau di sini dulu, Pan? Soalnya kita mau
kembali," kata Dito.
"Sekarang?" Vano memastikan.
"Iya."
"Baiklah. Aku nanti pulang dengan Apai."
"Oke."
Perahu yang ditumpangi Vano tadi menjauh dan
perlahan pergi meninggalkan perahu Apai Sahat.
"Sekarang bagaimana caranya menangkap ikan,
Apai?" Vano terlihat antusias sekali.
Seperti anak kecil yang mempunyai mainan baru, ia
memerhatikan Apai Sahat mempraktikkan cara menjaring
ikan. Mulai membentangkan jaring, melemparkannya ke
air, dan menariknya bersama-sama.
"Sekarang kamu coba, Pan." Apai Sahat menye
rahkan jaring siap lempar pada Vano.
Vano kemudian berdiri dan menjaga keseimbangan.
Ia mulai mengatur pegangan jaringnya, kemudian di
lempar sambil dibentangkan. Setelah semua jaring masuk
ke dalam air, Vano menariknya. Karena terlalu berat,
Vano kehilangan keseimbangan. Perahu goyang-goyang.
Dan...
Byurrr!
Vano tercebur ke sungai.
Semua kaget. Tak kecuali Apai Sahat. Vano megapmegap. Dengan sigap, Apai Sahat menceburkan diri dan
menangkap Vano. Kemudian, dengan bantuan teman
Apai, Vano diangkat ke atas perahu. Sialnya, jaring yang
tadi dipegang Vano tenggelam, tak terselamatkan.
Vano basah kuyup. Sesekali ia batuk. "Maafkan saya,
Apai. Gara-gara saya jaringnya hilang." Vano menekuk
wajahnya.
Ia merasa bersalah. Bukan membantu, ini malah
mengacaukan semuanya. Menghilangkan alat menang
kap ikan milik Apai Sahat.
"Tidak apa-apa. Apai masih punya di rumah. Kamu
tidak apa-apa kan, Pan?"
"Tidak. Untung ada Apai Sahat, meskipun sebenar
nya bisa berenang, tapi tiba-tiba kakiku kram."
"Syukurlah. Pulang sekarang saja. Nanti kamu ke
dinginan. Lagian, sudah lumayan ikan yang Apai dapat
kan."
??
Vano duduk di depan Rumah Betang Panjang. Ditemani
Widya dan sepiring ketela goreng. Mereka menanti
Zali dan Wulan datang untuk menebus janjinya akan
mengajari baca puisi malam ini.
Tapi, yang ditunggu tak kunjung datang. Ketela di
atas piring sudah sejak tadi raib. Udara yang berembus
semakin dingin. Latihan tari di dalam Rumah Betang
Panjang sudah usai. Dan Vano tetap bersikeras me
nunggu.
"Mungkin mereka ada PR. Ini sudah larut malam,
Pan." Widya berkata lirih.
"Tapi aku sudah berjanji, Wid."
"Kamu sudah melaksanakan janji itu. Buktinya
kamu sudah mau menunggu mereka. Besok masih ada
waktu untuk belajar, kan?"
Vano diam. Dia mendongakkan kepala, meman
dang rembulan yang berpijar begitu terang. Kemudian ia
mengalihkan pandangan ke kanan, ke ujung jalan papan
kayu. Gelap. Ia menoleh ke kiri, memandang ujung jalan.
Masih sama, gelap.
"Aku mau masuk dulu, ya. Jangan lama-lama. Sudah
larut malam." Widya berdiri lalu melangkah ke dalam
rumah.
??
170
HADIAH PERAHU
Widya dan tim WWF akan meninggalkan Meliau pagi
ini, sekitar jam delapan nanti. Pulang membawa data
terbaru, juga kenangan. Widya ingin lebih lama tinggal.
Ada seseorang yang berhasil mencuri sepotong hatinya di
sini. Tapi, ia tidak bisa. Ia harus kembali ke rutinitas di
Pontianak.
Dengan berat hati, ia melepas kepergian Vano
ke sekolah, sebelum mengemasi barang bawaan, juga
setangkup kenangan.
??
"Pan, kamu yang di belakang, ya." Apai Sahat melepaskan
tali yang mengikat di selasela kayu lanting.
"Waduh. Kalau menabrak atau malah terbalik bagai
mana?" Vano berusaha mengelak.
Jujur saja, ia belum bisa sepenuhnya menguasai
perahu. Ia baru bisa lancar mendayung. Jantungnya
tiba-tiba berdetak semakin cepat. Ada rasa was-was yang
menggelayuti.
"Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Apai yakin, kamu
pasti bisa. Kamu kan sudah mencicipi air di sini dengan
tercebur kemarin."
Vano jadi teringat kejadian kemarin. Saat hendak
menarik jaring yang membawa ikan yang terperangkap,
ia tercebur gara-gara tidak kuat dan kurang keseim
bangan. Vano sangat takut waktu itu. Sehingga jaring
yang tadinya ia pegang erat, dilepaskannya, juga ikanikan yang terperangkap. Untunglah ada Apai Sahat sigap
menolong.
Vano memikirkan perintah Apai Sahat itu. Nurani
nya berusaha membujuk. Sedang rasa takut terus meng
gelayuti.
Jika tidak belajar sekarang, mungkin Apai Sahat akan
kerepotan antar jemput. Jika tidak belajar sekarang, ia
akan tetap menjadi anak manja yang tidak bisa apa-apa.
Apai Sahat sudah banyak membantu. Bahkan, jaring
yang menjadi alat menangkap ikan paling cepat sudah
ia tenggelamkan. Ia merasa bersalah dan terpacu untuk
menyetujui perintah Apai Sahat.
Vano mengatur laju jantungnya. Dengan langkah
tegap, ia masuk ke dalam perahu di ujung belakang.
Tangannya meraih dayung. Dengan merapal doa, ia
memulai dayungan pertama.
Dayungnya menyentuh lanting, menjauhkan pe
rahu dari lanting. Ia mengingat-ingat cara Apai Sahat
mengendalikan perahu, kemudian ia praktikkan saat itu
juga. Sekarang, ialah sang pengendali perahu.
Apai Sahat berusaha mengimbanginya dengan men
dayung santai. Vano pun berusaha untuk tetap tenang.
Awal-awalnya, ia merasa kesulitan karena sering kali
perahu berjalan serong ke kanan. Bahkan beberapa kali
hampir menabrak anak-anak yang mendahuluinya. Apai
Sahat membiarkan, tak sedikit pun membantu dan
mengarahkan Vano.
"Maaf, ya. Baru belajar."
"Tidak apa-apa, Apai," kata anak itu.
Perahu itu melaju lambat. Bahkan perahu anakanak sudah jauh meninggalkan. Jantung Vano masih
berdegup kencang. Masih ada satu hal yang ia takutkan,
yaitu menepikan perahu ke dermaga.
Beberapa perahu anak-anak sudah terparkir rapi di
dermaga. Itu akan membuat Vano kesulitan. Jantungnya
berdegup semakin kencang. Ia kesulitan mengatur laju
jantungnya, juga perahunya.
"Bagaimana ini?" Vano terlihat gugup. Keringat
dingin bercucuran dari kening.
"Tinggal pinggirkan saja, kan?" jawab Apai Sahat
enteng.
"Sulit, Apai. Apalagi tempatnya sudah penuh
begitu."
"Dicoba saja. Tidak ada yang sulit jika belum
mencoba." Apai Sahat tersenyum.
Vano semakin bingung. Tidak ada cara lain. Ia tetap
menjadi pengendali sekarang. Mau tidak mau ia harus
menepikan perahu.
Ia berusaha menenangkan dirinya dulu. Akan lebih
sulit mengatur perahu jika dirinya belum bisa diatur.
Vano menghela napas panjang. Degup jantungnya ber
angsur normal.
Sedikit demi sedikit, ia membelokkan perahu ke
kanan. Kemudian mendayung pelan. Ujung depan pera
hunya mengarah ke sela di antara dua perahu.
Sial!
Ujung perahu menabrak ujung perahu yang ter
parkir. Ini terlalu ke kanan.
"Tidak, apa-apa, Pan. Kirikan lagi, mainkan da
yungmu." Apai Sahat mengangkat dayungnya dari air,
membiarkan Vano leluasa mengatur perahu.
Vano membanting arah dayungnya dengan pelan,
menyelaraskan keadaan. Perlahan, perahu masuk di antara
dua perahu yang sudah terparkir. Sisi kanan perahu sampai
menempel ke perahu di sampingnya. Tak mengapa, toh
tidak menimbulkan sesuatu yang berbahaya, hanya bunyi
gesekan saja.
Perahu itu berhasil terparkir.
"Berhasil, Apai!" Vano teriak kegirangan.
Ia langsung berdiri di atas perahu. Lalu, mengangkat
dayung tinggi-tinggi sambil merekahkan senyum bahagia.
Giginya yang menguning karena jarang disikat terlihat
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jelas.
"Hebat, Pan. Apai yakin kamu bisa. Yang penting itu
tekad, bukan takut." Apai Sahat terkekeh.
??
Wajahnya sedikit ditekuk. Ada mendung yang tiba-tiba
menyelimuti. Sekolah sudah di depan mata. Lestari sudah
berdiri di teras depan sekolah. Vano tertunduk.
Vano berusah mengatur napasnya. Tetap melang
kahkan kaki menuju ke sekolah.
"Bagaimana latihannya semalam?" Pertanyaan Lestari
yang tiba-tiba berhasil membuat Vano terhenti.
Vano menggeleng. "Mereka tidak datang."
"Oh," jawab Lestari super singkat.
"Tumben sekali kamu menanyakan soal latihan?
Bukannya kamu orang yang sangat tidak setuju jika kita
akan mengikuti lomba?" Vano balik bertanya.
Lestari agak terkaget. "Ya, karena aku hanya ingin
melihat kesungguhanmu. Katanya latihan. Tapi tidak jadi,
kan? Latihan malam memang tidak efektif. Seharusnya
kamu pertimbangkan itu terlebih dahulu."
"Ngapain kamu memedulikanku? Bukannya kamu
paling anti denganku? Tadi malam aku sudah menunggu
mereka sampai larut. Jelas aku tidak mengingkari janji,
kan?"
Lestari kikuk. Ia bingung mau menjawab apa lagi.
Nyatanya Vano yang malah memojokkannya.
"Aku hanya ingin yang terbaik untuk mereka. Malam
adalah waktu belajar dan mengerjakan PR. Bukan latihan
puisi. Harusnya kamu tahu itu."
"Oke, aku salah. Jika kamu menginginkan yang
terbaik untuk mereka, kenapa kamu tidak membantu
mereka saja? Men-support mereka, memberikan jalan
lebar untuk meraih prestasi?"
"Makanya tadi aku tanya tentang latihan semalam.
Aku sudah berusah peduli. Kamu malah berpikiran negatif
tentangku." Lestari melengos dan masuk ke dalam kelas.
Vano tetap pada posisinya. Memandang punggung
Lestari yang hilang di balik pintu.
Ia kemudian masuk ke dalam kelas. Mempersiapkan
materi pelajaran sembari menunggu anak-anak me
menuhi bangku dalam kelas karena Inai Atin baru saja
menyuruh anak-anak masuk.
Setelah semua bangku terisi, Vano memulai pela
jarannya bersama Inai Atin dalam satu ruang kelas.
Saat istirahat, Vano memanggil Zali dan Wulan
masuk ke dalam kelas. Mereka akan berlatih dengan
Vano.
"Maaf, Apai. Tadi malam kami harus belajar," kata
Zali. Ia merasa bersalah karena tidak hadir tadi malam.
"Tidak apa-apa. Kan hari ini bisa latihan. Belajar
memang nomor satu."
Mereka berdua pun membacakan puisi yang ditulis
kan oleh Widya kemarin. Mempraktikkan lagi bagaimana
cara Widya membacakan puisi. Ekspresi, gerakan tangan,
dan suara tak luput menjadi perhatian Vano. Vano di sini
sebagai penikmat. Karena ia tidak mengetahui apa pun
soal puisi.
"Oke. Sekarang sudah cukup. Apai lihat kalian sudah
cukup baik. Tingkatkan lagi ekspresinya, baca puisi ini
dari hati. Hafalkan puisi ini, minimal setengah hafal.
Apai yakin kalian pasti menang."
"Lho ini lomba baca puisi, kan? Bukan menghafal
puisi?" tanya Wulan bingung.
"Betul. Tapi, akan lebih bagus jika kalian hafal puisi
tersebut. Kalian akan lebih menyatu dengan puisi. Mata
kalian tidak terus menatap kertas yang kalian pegang,
tapi mata kalian bisa menatap juri, menatap penonton.
Mata kalian dapat berbicara mengisyaratkan sesuatu. Itu
akan lebih memukau."
Zali dan Wulan mengangguk setuju.
??
Saat Vano keluar kamar, Apai Sahat langsung men
cegatnya. Vano kaget dan bingung. Tumben sekali Apai
Sahat mencegatnya di pintu kamar.
"Pan, Apai punya kejutan buat kamu." Wajah Apai
Sahat terlihat segar.
"Kejutan apa?" Vano penasaran.
"Ini hadiah berkat kerja kerasmu. Semoga bisa
membantu keseharianmu."
"Apa sih, Pak?" Vano semakin penasaran.
"Ayo keluar."
Apai Sahat menggandeng tangan Vano. Mereka
berjalan beriringan keluar rumah. Sampai di luar, Apai
Sahat menunjuk ke arah lanting. "Lihat itu."
Mata Vano menatap ke arah yang ditunjuk Apai
Sahat. "Perahu?"
"Ya. Itu perahumu." Apai Sahat berkata lantang.
Vano kaget mendengar perkataan Apai Sahat barusan.
"Apa, Apai?" tanya Vano memastikan.
"Ya. Itu perahumu."
Kupingnya tidak salah dengar. Apai Sahat bilang,
perahu di lanting itu adalah perahunya. Vano sangat
bahagia. Ia hampir tidak percaya bahwa Apai Sahat
menghadiahkan perahu itu untuknya. Perahu tidak
bercat. Warnanya masih alami, cokelat kayu.
"Iya. Semoga dengan ini bisa memudahkanmu ke
sekolah. Apai tidak usah antar jemput kamu lagi."
"Tapi, Topan belum jago mengendalikan perahu."
"Kemarin kamu sudah membuktikannya, Pan. Mulai
hari ini, kamu bisa menggunakan ini ke sekolah."
"Terima kasih banyak, Apai. Maaf selama ini Vano
terus menyusahkan."
Vano meraih tangan Apai Sahat dan mencium
punggung tangannya. Ia pun berlari ke lanting bersama
beberapa anak-anak yang ke lanting juga.
Bersama matahari pagi yang bersinar cerah, tanpa
awan mendung yang menutupi, Vano meninggalkan
Meliau sendiri. Naik perahu tanpa cat pemberian Apai
Sahat, sendirian.
Ukuran perahu itu tidak cukup panjang. Cukup
maksimal tiga orang saja. Mungkin agar Vano lebih
mudah mengendalikannya.
Vano mendayung dengan hati yang gembira. Senyum
merekah di bibirnya. Tangannya terasa ringan menyibak
air sungai dengan dayung. Perahu terus membelah sungai,
bersama beberapa perahu anak-anak yang memenuhi
sungai.
??
Hari ini mereka berlatih lagi di sela-sela jam istirahat.
Dan saat itu juga, Vano melihat Lestari secara diam-diam
memerhatikan mereka latihan. Vano tak ambil pusing
soal itu. Ia fokus pada Zali dan Wulan.
Tak disangka, ia kira hanya sekali itu saja. Tapi hari
berikutnya, lagi-lagi Vano melihat Lestari diam-diam
memerhatikan mereka latihan. Lestari mengintip dari
balik jendela.
Saat Vano menatapnya, sesegera mungkin Lestari
memalingkan wajah dan berpura-pura melakukan se
suatu. Entah itu meneriaki anak-anak yang sedang ber
main atau pura-pura merapikan rambut.
Vano menghampiri Lestari saat mau pulang. "Apa
yang kamu lakukan setiap kali kami latihan?"
"Hah?" Lestari terlihat kaget. "Aku tidak melakukan
apa-apa. Seperti biasa, memerhatikan anak-anak ber
main."
"Aku melihatmu memerhatikan kami."
"Ngapain aku memerhatikan kalian? Seperti tidak
ada kerjaan saja."
"Oh, kukira kamu ingin membantu. Tapi jika kamu
ingin membantu, aku tidak keberatan. Senang malah."
"Aku tidak bisa berpuisi," Lestari berkata pelan.
Lestari langsung berlalu meninggalkan Vano yang
berdiri di depan kelas.
"Tunggu." Vano berlari mengejar Lestari.
Lestari yang tahu dikejar Vano mempercepat jalan
nya. Vano pun begitu.
Vano langsung memegang lengan Lestari saat berha
sil mengejarnya. "Kita selesaikan masalah kita sekarang.
Aku sudah tidak mau punya masalah dengan siapa pun.
Aku ingin tenang mengajar di sini."
Lestari meronta, minta dilepaskan. "Masalah apa?
Yang mana? Aku kira kita tidak punya masalah apaapa."
Vano masih memegang lengan Lestari. Ia tidak akan
melepaskan Lestari sebelum semuanya jelas. Ia berharap
hubungannya dengan Lestari membaik.
"Kamu bilang tidak punya masalah? Terus selama ini
kenapa kamu selalu marah padaku? Selalu bersikap tidak
bersahabat denganku? Selalu?"
"Aku mau pulang!" Lestari melepaskan tangan Vano
dari lengannya dengan kasar.
Lestari berlari di atas papan kayu yang mulai rapuh
karena lembap.
"Tunggu!"
Lestari tetap berlari hingga hilang di antara pepo
honan yang rindang. Vano mematung. Ia merasa bersalah
telah bersikap kasar pada Lestari.
??
TENTANG LESTARI
Tiga hari menjelang lomba baca puisi.
Sehari sebelum hari H, mereka harus berangkat ke
Lanjak. Sangat tidak mungkin jika hari itu juga pergi
ke sana. Pasti akan telat karena butuh banyak waktu di
perjalanan.
Urusan menginap tidak jadi soal. Apai Sahat punya
kenalan orang Lanjak. Apai Sahat sudah mengatur itu.
Kemarin, Vano juga sudah minta bantuan Apai untuk
mengurus transportasinya.
"Biarlah saya yang urus. Kalian tinggal terima beres,"
kata Apai Sahat santai.
Beruntung sekali masih ada orang sebaik Apai Sahat.
Lagilagi merepotkan. Tak apalah, Apai Sahat memang
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang menawarkan diri. Ia memang orang yang baik.
"Terima kasih, Apai," jawab Vano.
"Nanti pakai dua speedboat menuju ke dermaga
Lanjak. Di sana nanti sudah ada mobil Carry milik teman
yang siap mengantar ke rumahnya yang dekat dengan
lokasi lomba," terang Apai Sahat.
"Saya menurut saja. Apai yang sudah hafal me
dannya." Vano terkekeh.
Ia sudah memasrahkan urusan ini pada Apai Sahat
yang notabene lebih kenal dan berpengalaman dengan
daerah ini. Ia hanyalah orang baru, bahkan masih bi
ngung dengan arah mata angin jika di hutan.
"Bagaimana dengan biayanya, Apai?"
"Kamu tidak usah memikirkan itu. Apai sudah
anggap kamu sebagai anak sendiri. Lagi pula ini untuk
masyarakat Apai juga, kan?"
"Topan jadi tidak enak." Vano berdiri. "Topan masuk
ke dalam sebentar."
Vano langsung masuk ke dalam kamarnya dan
kembali membawa beberapa lembar uang pecahan
seratus ribu rupiah.
Vano menyerahkan uang itu. "Ini, ada sedikit
tabungan Topan dari kota. Topan jadi malu dari awal
belum mengeluarkan uang sepeser pun."
Apai Sahat tidak langsung meraihnya. "Apa ini? Tidak
usah repot-repot seperti itu. Ini tabung saja. Speedboat itu
tidak bayar. Cuma minta ganti bahan bakar saja. Terus
penginapan juga tidak bayar. Kan rumah teman Apai."
"Topan mohon, terima ini, Apai. Jika tidak, Topan
akan terus merasa merepotkan, menjadi benalu di
kehidupan Apai. Topan tidak suka itu." Vano memasang
tampang memelas. Tangannya menyodorkan uang itu
lagi.
"Tapi, beneran tidak usah, Pan." Apai Sahat me
nolaknya.
"Apai." Vano memohon.
"Baiklah, saya terima." Apai Sahat mengambil be
berapa lembar saja. "Sisanya kamu tabung."
"Tidak, Apai. Ambil seluruhnya."
"Apai akan marah jika kamu terus memaksa. Kamu
juga perlu tabungan."
"Baiklah. Terima kasih banyak, Apai."
Apai Sahat tersenyum. "Ini sudah menjadi kewajiban
seorang ?ayah?, kan?"
Vano tersenyum. Inilah keluarga sesungguhnya. Mes
ki tak bergelimang harta, tapi artinya begitu terasa.
Urusan transportasi dan penginapan beres. Persiapan
Zali dan Wulan juga sudah final. Mereka berdua sudah
siap secara penampilan dan mental. Tinggal latihanlatihan ringan selama menuju hari perlombaan.
??
Kemarin Apai Sahat pergi ke Lanjak dan sampai pagi
ini belum juga kembali. Apai Sahat meminta bantuan
temannya itu untuk menginap semalam saja. Juga minta
bantuan agar dijemput dengan mobil Carry di dermaga
Lanjak.
Vano menatap ujung sungai. Masih belum terlihat
batang hidung Apai Sahat. Ia risau kalau-kalau ternyata
teman Apai Sahat tidak bisa membantu. Hancur semua
rencananya.
Hari semakin siang. Vano terpaksa pergi ke sekolah
tanpa kabar baik dari Apai Sahat. Vano duduk di ujung
belakang perahu. Dayung hendak diturunkan. Tapi dari
belakang, ia melihat Wulan yang berlari tergopoh-gopoh
sampai tepi lanting.
Mata Vano menyisir ke seluruh bagian lanting. Sudah
tidak ada perahu lagi yang tertambat, selain perahu Vano
yang hendak meninggalkan lanting.
"Sudah tidak ada perahu lagi. Mau bersama?" tanya
Vano.
"Baiklah, Apai." Wulan naik ke perahu dan duduk di
ujung depan perahu.
Sampai sekarang, Vano masih berangkat ke sekolah
agak siang. Ya, karena memang harus mengantre mandi dan
bersama-sama sarapan pagi di Rumah Betang Panjang.
Wulan tak ingin terlihat menganggur. Ia ikut
mendayung. Vano berusaha mengimbangi dayungan
Wulan agar perahu bisa melaju dengan mulus.
Rumah-rumah di Meliau sudah terlihat mengecil.
Sedari tadi, hanya diam yang tercipta sampai Vano
membuka suara. "Tumben kamu kesiangan, Wulan?"
"Tadi malam belajar, terus latihan di depan kaca."
"Hebat kamu, Wulan. Bagaimana? Sudah siap, kan?"
tanya Vano lagi.
"Siap. Tapi terkadang Wulan masih merasa tidak
percaya diri." Wulan menunduk lesu.
"Yakin saja dengan dirimu sendiri. Tidak usah
mengincar juara. Yang penting kamu sudah tampil dengan
sebaik-baiknya. Juara adalah bonus atas kerja kerasmu."
"Tapi tetap tidak percaya diri, Apai. Pasti mereka
akan memakai seragam terbaik mereka, sedangkan saya..."
Wulan memandang kemeja putih, yang warnanya agak
menguning.
"Tidak masalah, Wulan. Ini bukan lomba busana,
kan? Hiraukan saja mereka. Buktikan, kamu akan mem
baca puisi lebih bagus dari mereka yang berseragam
bagus. Intinya bukan seragam. Tapi, bagaimana kamu
membawakan puisi itu."
Wulan mengangguk. Meski masih ada mendung
yang menggantung di wajah polosnya.
Perahu itu masih melaju membelah sungai. Mereka
berdua mendayung perahu bergantian di kedua sisinya.
Sehingga perahu bisa melaju dengan lurus.
??
"Pan!"
"Pan!"
Apai Sahat berlari menuju ke ruang kelas sambil
memegang kertas di tangan kanannya. Melewati anakanak yang sedang bermain di halaman depan. Melewati
Lestari yang tengah berdiri di depan kelas, memandang
anak-anak. Semua mata tertuju pada Apai Sahat.
Apai Sahat terlihat gelisah. Seperti ada hal penting
yang ingin disampaikan pada Vano.
Vano yang mengetahui Apai Sahat datang, langsung
menyongsong kedatangannya. Meninggalkan Zali dan
Wulan yang sedang berlatih membaca puisi.
"Ada apa, Apai?" tanya Vano keheranan.
"Saya dapat ini dari panitia." Sambil mengatur napas,
Apai Sahat menyodorkan surat itu ke Vano. "Sekilas
Apai baca, surat ini adalah pemberitahuan bagi peserta
bahwa puisi yang harus dibaca nantinya adalah puisi dari
panitia. Di belakang ada lampiran puisinya."
Vano meraih surat yang ditaruh dalam amplop putih
dari tangan Apai Sahat. Dengan cepat, ia membuka dan
membacanya. Ia tercekat. Wajahnya mendadak pucat. Ia
langsung membaca lampiran di belakang, satu lembar
yang distaples dengan surat pemberitahuan tersebut.
"Kenapa pemberitahuan ini mendadak sekali?"
"Tidak mendadak, Pan. Ini sudah lima hari yang
lalu. Lihat tanggal penulisan suratnya."
Mata Vano menatap tanggal yang tertulis di pojok
kanan atas, di bawah kepala surat. "Benar. Berarti kita
yang telat informasi. Bagaimana ini? Anak-anak sudah
menguasai puisi yang dibuat oleh Widya. Tidak mungkin
dalam waktu singkat, mereka bisa menguasai puisi yang
baru. Terus siapa yang akan memberi contoh bagaimana
cara membacanya pada mereka? Aku tidak tahu soal
puisi."
Inai Atin yang tadi berada di ambang pintu mendekat.
"Ada apa, Pan?" tanyanya.
Vano menyerahkan surat itu pada Inai Atin. Wajah
Vano masih terlihat pucat.
"Bagaimana ini, Inai? Siapa yang melatih mereka?
Topan tidak bisa. Topan hanya bisa menikmati penam
pilan mereka. Tidak bisa mengartikan dan memberi eks
presi pada puisi."
"Hmm, kenapa tidak coba minta bantuan pada
Lestari?" kata Inai Atin santai.
Kening Vano mengerut. "Lestari? Dia bilang tidak
tahu apa-apa soal puisi. Kemarin, saya sudah bertanya
padanya." Vano menyeka keringat dingin yang menetes
di kening.
"Dia pernah juara satu baca puisi waktu SMP dulu.
Inai yakin, dia bisa membantu." Inai Atin tersenyum,
berusaha menyuntikkan semangat pada Vano.
"Tapi, kata dia, dia tidak tahu apa-apa soal karya
sastra ini, Inai," kata Vano mengotot.
Sebenarnya, ia tidak ingin berurusan dengan Les
tari. Apalagi yang menyangkut soal lomba ini. Lestari
nyatanya sudah menolak ikut campur dari awal.
"Kamu dibohongi. Sekarang dialah satu-satunya
harapan kita."
Vano menelan ludah. Ia menoleh ke arah Wulan dan
Zali yang sedari tadi kebingungan dengan kondisi ini.
Vano melihat wajah pengharapan di keduanya. Wajah
ingin menang karena terlanjur berjuang.
"Tidak ada cara lain. Akan aku coba untuk bicara
dengan Lestari."
Vano meninggalkan Apai Sahat, Inai Atin, Zali, dan
Wulan di ruang itu. Ia berjalan keluar, ke arah Lestari
yang masih sibuk memerhatikan anak-anak bermain di
halaman depan.
Lestari sama sekali terlihat tak mau tahu tentang
kabar apa yang dibawa Apai Sahat. Buktinya, ia masih
berada di posisi semula.
"Permisi, Lestari." Vano berkata pelan.
Untuk saat ini ia harus berdamai. Menahan egonya.
Demi anak-anak.
Lestari menoleh ke arah Vano. "Ada apa?"
"Anak-anak butuh bantuanmu."
"Bantuan apa? Aku tidak bisa apa-apa." Lestari masih
menjawab jutek. Tak acuh.
Vano langsung menceritakan perihal kedatangan
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apai Sahat yang membawa kabar mengejutkan dan
menyulitkan. Ada perubahan puisi yang harus dibaca di
lomba nanti. Kabar yang diterima begitu mendadak. Vano
menceritakannya dengan wajah penuh pengharapan.
Hanya Lestari yang dapat menyelamatkan mereka.
Lestari bagaikan kunci untuk membuka kotak harta
karun. Sebagaimana sebuah kunci pembuka kotak ber
harga, itu akan sangat sulit didapat. Dan Vano sedang
berjuang mendapatkannya.
"Sudah kubilang, aku tidak bisa puisi!" Nada bicara
Lestari meninggi.
Wajahnya terlihat sebal dan tidak ingin diganggu
dengan melibatkannya pada lomba yang disetujui Vano.
"Kamu bohong. Siapa yang waktu SMP pernah
menjuarai lomba puisi?"
"Siapa? Kamu?" Lestari menyeringai.
"Seharusnya ilmu itu untuk dibagi. Bukan disimpan
sendiri. Pengalaman itu di-share, bukan dipendam sen
diri."
"Betul. Makanya sekarang aku mengajar di sini."
"Kamu pura-pura tidak peduli atau benar-benar
tidak peduli dengan mereka sih?" Mata Vano menajam.
"Aku tahu kamu pernah menjuarai baca puisi waktu
SMP dan aku tahu kamu mampu mengajari anak-anak.
Tapi, kenapa kamu seperti tak peduli sama sekali dengan
mereka? Padahal mereka sudah bersemangat untuk ikut.
Lagi pula, kamu tidak harus mengajari dari dasar. Tinggal
mencontohkan bagaimana membaca puisi itu dengan
ekspresi dan suara yang tepat. Terus bagaimana makna
tersirat dan tersurat dari puisi tersebut. Jujur, aku tidak
paham itu. Kalau aku paham, aku tidak usah meminta
bantuanmu!"
Vano menghela napas, lalu lanjut berbicara. "Baik,
aku akan berusaha semampuku. Apa pun hasilnya nanti.
Terserah kamu mau peduli atau tidak. Aku yakin, anakanak akan berpikiran negatif tentangmu."
Lestari terdiam.
"Jika kamu memang punya masalah denganku, baik,
mari kita selesaikan. Atau anggap saja aku tidak ada."
Vano berbalik dan meninggalkan Lestari yang masih
terdiam.
Lestari seperti dihujam pisau tajam, tepat di hati
nya. Ia tersadar bahwa selama ini telah acuh tak acuh
pada lomba. Itu berarti acuh tak acuh pada anak-anak
dan sekolah ini. Ia ingin sekali membantu mereka, tapi
gengsi dengan Vano.
Vano kembali menemui Inai Atin dan Apai Sahat
yang memandanginya. Ia menundukkan wajah. Me
nyembunyikan kesedihan karena tidak berhasil mem
bujuk Lestari. Ia seperti kehilangan semangat dan hara
pan tentang lomba ini.
"Apai, ayo kita coba." Wulan memegang tangan
Vano.
Vano memandang wajah berseri gadis kecil itu. Ia
melambungkan senyum. "Kamu yakin?"
Wulan mengangguk. "Bukankah Apai yang sering
bilang bahwa kita harus selalu yakin?"
"Iya. Tapi Apai tidak bisa memberi contoh untuk
membaca puisi ini."
"Kita bisa membedah puisi ini bersama, kan?" Zali
tiba-tiba ikut menyemangati.
Semangat itu kembali terbit. Vano berusaha untuk
kembali yakin. Yakin pada anak-anak yang punya se
mangat luar biasa itu. Yakin pada dirinya bahwa ia bisa
membimbing mereka.
Inai Atin memegangi pundak Vano. "Inai akan coba
bicara pada Lestari."
Vano memandang ke arah Inai Atin. "Terima kasih,
Inai. Tapi jangan dipaksakan jika memang dia tidak
mau. Saya tidak ingin hubungan saya dan dia semakin
renggang."
"Baiklah, Pan. Kamu bisa diskusi dengan anakanak dahulu. Nanti selepas sekolah bisa lanjutkan
latihannya."
Vano mengangguk.
Apai Sahat mendekati Vano. "Selamat berjuang, Nak."
Lalu, ia menepuk pundak Vano. "Apai pulang dulu, ya."
"Iya, Apai. Terima kasih bantuannya." Vano melam
bungkan senyum.
Ada desir bahagia yang menyusup di relung hatinya.
Apalagi baru pertama ini Apai Sahat memanggilnya
dengan panggilan ?nak?. Itu artinya ?anak?. ia merasa
benar-benar anak Apai Sahat. Meskipun tak ada pertalian
darah, tapi rasa itu begitu besar.
??
PUISI UNTUK GURU
Semua murid sudah pulang. Inai Atin dan Lestari masih
sibuk di ruang kelas sebelah kanan. Sedangkan di ruang
kelas sebelah kiri ada Vano, Zali, dan Wulan yang tengah
latihan.
Tidak ada waktu lagi untuk menunda latihan.
Apalagi membujuk Lestari yang keras kepala untuk
melatih Zali dan Wulan. Tinggal hari ini dan besok. Lusa
sudah harus berangkat ke Lanjak. Mungkin di sana bisa
latihan ringan.
Vano menuliskan puisi dari panitia itu di papan tulis
yang kemudian akan disalin Zali dan Wulan di buku
mereka masingmasing.
Permata yang Mahal
Mutiara itu berjatuhan dari keningmu
Pasti mahal harganya
Bahkan aku tak bisa membelinya
Itu terlalu berharga
Berkilat-kilat diterpa cahaya
Paling menawan di antara gulita
Meneteskannya demi anakmu yang buta
Memberinya setitik cahaya
Tuk hari esok yang berwarna
Berjuang bak pahlawan
Memberantas kebodohan
Tak ada yang membalasmu
Membayar permata yang kau tumpahkan
Kecuali hanya terima kasih
Yang terdalam
"Ayo Apai, contohin dulu," kata Zali setelah selesai
menyalin puisi tersebut.
"Waduh, sebenarnya Apai tidak bisa. Apai memang
pernah ikut audisi untuk lomba puisi waktu SD. Itu pun
gagal."
"Dicoba saja, Apai." Wulan memberi semangat.
"Baiklah."
Vano terpaksa memberi contoh membaca puisi dari
panitia lomba. Meskipun membaca di hadapan Zali dan
Wulan, Vano tetap gemetaran. Tapi, ia berusaha memberi
contoh semampunya.
Zali dan Wulan malah cekikikan melihat gaya Vano
dalam membaca puisi. Suaranya sumbang. Begitu pun
ekspresinya yang terkesan berlebihan. Vano yang sudah
mengakui bahwa tidak bisa membaca puisi pasrah saja
menjadi bahan tawa mereka. Hitung-hitung hiburan
untuk mereka, juga dirinya.
Vano senang melihat tawa mereka. Tawanya begitu
lepas. Vano ikut tertawa. Larut dalam hiburan yang ia
cipta.
"Tuh, kan. Apai sudah bilang kalau tidak bisa. Coba
kalian saja, Apai yang menikmati penampilan kalian.
Mungkin nanti bisa Apai kasih komentar. Apai penikmat,
bukan pelaku." Vano terkekeh.
"Tuh si Zali dulu." Wulan menunjuk ke arah Zali di
samping kirinya.
"Tidak. Kamu dulu lah, Wulan." Zali mengelak.
"Laki-laki yang pertama," sergah Wulan.
Vano malah cekikikan sendiri melihat dua anak di
depannya yang saling tunjuk mempersilakan diri untuk
tampil terlebih dulu.
"Ya sudah. Suit deh. Yang menang tampil dulu."
Vano menengahi.
Tidak ada cara lain. Daripada waktunya habis untuk
berdebat siapa yang terlebih dahulu membaca. Zali dan
Wulan menerima tawaran Vano. Mereka pun langsung
suit.
Zali menang.
"Wek! Kamu duluan." Wulan memelet-meletkan
lidah.
"Huh." Zali terlihat sebal. Ia memelet balik ke
Wulan.
Vano cekikikan lagi melihat tingkah mereka. "Sila
kan, Zali duluan."
Zali langsung mengambil ancang-ancang. Meng
hela napas panjang, membaca judul, dilanjut nama
pengarangnya.
Bagus. Namun, semakin ke tengah, semakin datar.
Biasa saja. Meski tidak berlebihan.
"Lumayan. Tapi, masih ada yang kurang. Tapi,
sudah bagus." Vano mengomentari. "Sekarang giliran
mu, Wulan."
Sama. Hanya penyebutan judul dan nama penga
rang yang bagus. Setelah itu datar. Mereka seakan belum
menemukan ekspresi yang cocok. Belum menemukan
maksud dari puisi itu.
"Kurang kalian seperti tidak bisa menyatu dengan
puisi itu. Tidak seperti puisi yang kemarin."
"Bagaimana, Apai?" Wulan terlihat lesu.
Zali dan Wulan menundukkan kepala. Vano me
megang kepalanya. Mondar-mandir di depan Zali dan
Wulan, seperti setrika.
"Oke. Apai coba kasih contoh lagi."
Vano membaca cepat terlebih dahulu puisi itu.
Mencoba menemukan makna di balik kata-kata yang
tersusun dalam kalimat dan bait. Menentukan ekspresi
apa yang pas untuk membaca.
Vano mengangkat kertas bertulis puisi itu. Kemu
dian menghela napas panjang.
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau kalian ingin menyatu dengan puisi itu, kalian
harus tahu makna puisinya terlebih dahulu." Suara
Lestari yang tiba-tiba itu menghentikan Vano yang baru
saja akan membaca judul puisi.
Vano langsung memandang ke arah Lestari yang
berjalan masuk ke dalam ruang kelas.
"Tidak usah kaget gitu. Aku mau membantu mereka,
bukan kamu."
"Serius kamu mau membantu kami?" tanya Vano
tak percaya.
"Bukan kamu. Tapi mereka, Zali dan Wulan. Sudah
menjadi kewajibanku membantu. Mereka juga muridmurid yang akan membanggakan sekolahku," Lestari
menjelaskan.
Vano tersenyum. "Oke. Baiklah. Kamu membantu
mereka, bukan aku. Toh, memang aku tidak ikut lomba
ini."
Ada seberkas cahaya harapan yang dipancarkan
Lestari. Secuil semangat dan keyakinan yang tersisa tibatiba membesar. Berkobar. Memanaskan jiwa. Vano sudah
menduga bahwa Lestari akan membantu, meski ia tahu
kalau Lestari masih gengsi. Tak apalah. Ini demi anakanak.
Lestari langsung mengambil alih Zali dan Wulan.
Lestari mengajak mereka berdiskusi, lalu menerangkan
arti dan pesan yang ingin disampaikan. Tak lupa
menerangkan bagaimana caranya menyampaikan puisi
itu. Membacanya dengan ekspresi yang pas. Sehingga
mampu menghanyutkan pendengarnya.
Dari belakang, Vano bersedekap sambil tersenyum
memerhatikan mereka. Ada desir bahagia yang terasa.
Ia yakin, di waktu yang mepet ini, mereka tetap bisa
memberikan yang terbaik untuk perlombaan itu.
Lestari menyuruh Zali dan Wulan memperhati
kannya membaca puisi. Memperhatikan ekspresi wajah,
vokal, serta gerakan tangan. Zali dan Wulan terpesona
melihat Lestari membaca puisi bertema guru itu. Vano
tak kalah terpesonanya dengan Zali dan Wulan. Bahkan
ia melongo menikmati penampilan Lestari.
Ia seperti melihat sisi lain dari Lestari. Vano melihat
Lestari punya potensi dalam bersyair. Mungkin ada darah
seni yang mengalir di tubuhnya. Namun, tidak digali
sehingga semakin tertimbun.
Lestari bukanlah guru tamatan SMA biasa. Dia
adalah satu-satunya orang yang lulus SMA dari teman
seangkatannya. Dari Meliau. Salah satu orang ber
prestasi milik Meliau. Permata Meliau. Pahlawan Meliau
selain Inai Atin yang sudah terlebih dulu berjuang dan
mengabdi.
Vano terharu mendengar Lestari membacakan pu
isi tersebut. Itulah salah satu alasan mengapa ia ingin
menjadi guru. Ya, karena ia ingin menjadi orang yang
berguna. Menjadi pahlawan yang berjasa. Meski jasa itu
tak tertanda.
Di sini, ia bagai menemukan sosok pahlawan tanpa
tanda jasa sebenarnya. Dua guru wanita yang rela berjuang
sekuat tenaga demi mereka, anak didiknya. Sayang sekali
jika yang diperjuangkan berhenti di bangku sekolah
dasar.
Vano bergegas menyeka air mata yang sedikit me
netes. Ia tak ingin terlihat cengeng. Ia gengsi.
"Sekarang giliran kamu, Zali. Coba tirukan seperti
Inai tadi."
Zali langsung berdiri. Membaca puisi, menirukan
ekspresi dan gerak tangan Lestari.
"Bagus, Zali. Memang masih perlu sedikit latihan
lagi," komentar Lestari. "Tidak mengecewakan. Ham
pir mirip. Cuma masih harus latihan ekspresi wajah.
Hanyutkan pendengar ke dalam puisi itu. Ajak mereka
meresapinya."
"Sekarang kamu, Wulan. Lebih bagus dari Zali, ya."
Lestari tersenyum, mempersilakan Wulan untuk mem
bacakan puisi itu.
Wulan menghela napas panjang. Ia pun mulai mem
baca puisi tersebut. Berusaha menampilkan yang terbaik.
Mengeluarkan seluruh kemampuan, menirukan ekspresi
Lestari sampai selesai.
"Sama dengan Zali. Masih kurang di ekspresi wajah.
Tapi sudah cukup bagus," Lestari memberi komentar.
"Untuk yang satu itu, memang harus mendapatkan per
hatian ekstra. Ini sangat penting karena dengan ekspresi
penonton akan hanyut ke dalam puisimu itu. Latih lagi
di depan cermin jika di rumah."
Diam-diam Vano mengagumi sosok Lestari. Pada
hal dari awal Lestari bersikap tak bersahabat padanya.
Kali ini Vano harus rela menyerahkan Zali dan Wulan
untuk diajar Lestari yang lebih tahu soal puisi. Ia hanya
menunggu di belakang.
Lestari melanjutkan mengajari mereka soal ekspresi
wajah. Menyuruh Zali dan Wulan membacanya berkalikali. Besok adalah hari terakhir berlatih di sekolah. Lati
han terpaksa dilakukan sampai sore.
Vano tidak lepas tanggung jawab begitu saja. Ia tetap
menunggu mereka. Memperhatikan kemajuan Zali dan
Wulan, juga memperhatikan Lestari.
Selesai latihan, Zali dan Wulan pulang duluan. Vano
menghampiri Lestari yang masih sibuk membereskan
berkasnya.
"Lestari, terima kasih sudah membantu mereka. Kamu
memang hebat. Mengapa tidak dari awal kamu membantu
mereka?" sela Vano tiba-tiba.
"Jangan tanyakan hal itu atau aku mundur." Lestari
memasang wajah jutek.
Vano mengira Lestari sudah berubah. Ternyata masih
sama jika dengannya.
"Tidak, tidak. Latihan tinggal besok. Tidak ada
waktu lagi." Vano mundur. Ia tidak ingin menghancurkan
semuanya.
Lestari mempercepat pekerjaannya. Membereskan
berkas yang tertinggal di meja, kemudian memasukkannya
ke dalam tas. Tanpa berkata lagi, ia pergi meninggalkan
Vano.
Vano melepas kepergian Lestari. Hanya punggung
nya yang terlihat, berangsur mengecil, dan hilang di
ujung jalan. Ada desir aneh yang merasuki dirinya lagi.
Sebuah kekaguman pada seorang Lestari.
??
Dua hari lagi sebelum hari H. Ini latihan terakhir di
sekolah. Besok pagi, mereka sudah harus berangkat.
Menempuh perjalanan panjang menuju Lanjak. Menyu
suri sungai dengan speedboat. Menyusuri jalanan hutan
menuju pusat Lanjak. Sungguh perjalanan panjang yang
akan melelahkan. Apalagi cuaca masih tak menentu.
Hujan terus mengintai di balik awan hitam.
Hari ini latihan full seharian. Sejak pagi, Zali dan
Wulan dilatih oleh Lestari di depan sekolah. Di bawah
pohon yang biasa digunakan untuk gawang. Sebagai
gantinya, Vano memegang kelas Lestari. Ini sekaligus
geladi resik. Jadi, latihan harus maksimal.
Hari sudah siang. Anak-anak berhamburan keluar
dari ruang kelas. Vano bersama Inai Atin pun keluar dari
ruang kelas, lalu berjalan menuju ke arah Lestari.
"Bagaimana, Lestari? Sudah siap untuk besok?" tanya
Inai Atin.
"Siap, Inai."
"Oh ya, besok kamu dan Vano yang menemani Zali
dan Wulan, ya. Inai mengajar anak-anak saja."
"Bukankah lebih baik Inai saja yang ikut?" Lestari
menolak.
"Kamu yang melatih mereka, Vano yang menjadi
penanggung jawabnya. Pas, kan? Jika ibu ikut, nanti
sekolah libur dong. Kasihan anak-anak."
Vano masih diam di samping Inai Atin.
"Bagaimana, Van?" tanya Inai Atin.
Vano terpaksa berkata, "Saya ikut saja. Yang penting
ada temannya."
"Jangan ikut-ikut gitu." Inai Atin menoleh ke arah
Vano.
Vano menunduk. "Lestari saja. Soalnya dia kan yang
melatih mereka, benar kata Inai."
"Tuh, Vano sudah setuju."
Lestari sudah kalah. Ia tidak bisa menghindar lagi.
Vano tahu, Lestari pasti marah dengannya karena ikut
setuju dengan perintah Inai Atin.
"Baiklah." Ada gurat tidak ikhlas tergambar di wajah
Lestari.
Lestari lanjut mengajari Zali dan Wulan. Vano
menunggunya di bawah pohon satunya. Memandang
Zali, Wulan, dan Lestari.
"Oke. Besok kalian datang ke lanting tepat waktu,
ya," kata Lestari sebelum Zali dan Wulan pulang.
??
Dua speedboat sudah terparkir di lanting. Zali dan Wulan
sudah berada di depan Rumah Betang Panjang. Mereka
menggendong tas yang terlihat penuh. Apai Sahat dan
Vano keluar dari rumah.
"Lho, Inai Lestari mana?" tanya Vano.
"Belum datang, Apai." Zali yang menjawab.
"Ya sudah kita tunggu sebentar."
Vano melihat jam di tangannya. Jarum panjang tepat
menunjuk di angka tujuh. Sudah setengah jam mereka
menunggu. Matahari mulai meninggi.
Lomba akan dilaksanakan di SD 1 Lanjak, di Desa
Sepandan, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas
Hulu. Salah satu SD terbaik di Lanjak. Akreditasinya B.
Gedungnya pun terbilang bagus untuk ukuran sekolah
di perbatasan Indonesia.
Rencananya mereka akan menginap di rumah Pak
Termo, teman Apai Sahat. Rumahnya tak terlalu jauh
dari lokasi lomba. Tinggal jalan kurang lebih 200 meter
untuk sampai ke lokasi. Pak Termo sudah menyiapkan
kamar tamu untuk mereka.
"Bagaimana ini, Apai?" Vano bertanya ke Apai
Sahat.
"Coba kamu jemput di rumahnya."
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Vano mengangguk. Baru berbalik, hampir berjalan,
Lestari sudah terlihat. Jalannya agak tergesa. Lestari
menenteng tas yang terlihat penuh. Vano tetap pada
posisinya, menunggu Lestari sampai.
"Maaf, telat." Lestari menyeka peluh yang menetes
di keningnya.
"Tidak apa-apa. Ayo, kita berangkat," kata Apai
Sahat.
Mereka turun ke lanting dan naik ke perahu. Vano
bersama Apai Sahat, sedangkan sisanya seperahu.
Perahu meninggalkan Meliau, meluncur menuju
dermaga Lanjak. Dipayungi langit cerah, meski semalam
baru turun hujan. Matahari bersinar garang. Menemani
perjalanan mereka menuju Lanjak.
??
204
HARI PERLOMBAAN
Sudah ada mobil Carry menunggu di dermaga Lanjak.
Bapak sopir berkumis tipis, yang tadinya tiduran di
dalam mobil, terbangunkan oleh deru mesin speedboat.
Bapak sopir itu langsung keluar menyambut kedatangan
rombongan Apai Sahat dengan senyuman. Apai Sahat
membalas senyumnya lalu bersalaman. Begitu juga Vano,
Lestari, dan anakanak.
Tak menunggu lama, mereka langsung melanjutkan
perjalanan ke rumah Pak Termo. Apai Sahat duduk di
samping sopir. Vano dan Zali duduk di tengah, sedangkan
paling belakang Lestari dan Wulan.
Ternyata bapak sopir sudah menunggu mereka sejak
satu jam yang lalu. Lestari yang mengetahuinya terlihat
merasa bersalah. Keterlambatan itu disebabkan olehnya
karena harus membantu ibunya terlebih dahulu. Itu
menurut pengakuan Lestari saat ditanya Apai Sahat di
atas perahu tadi.
Di dalam mobil, bapak sopir mengobrol terus dengan
Apai Sahat sampai tiba di rumah Pak Termo. Sedangkan
Vano hanya diam, terkadang memejamkan mata. Me
nikmati udara sejuk dari kaca jendela yang dibuka sedikit.
"Wah, rumahnya besar, ya." Zali terperangah saat
turun dari mobil, melihat rumah di hadapannya.
Rumah Pak Termo berukuran cukup besar. Dinding
dan lantai terbuat dari papan. Panggung rumahnya tidak
terlalu tinggi. Tidak ada garasi. Mobilnya diparkir di
halaman yang luas di depan rumah itu. Ada satu pohon
di depan rumah. Ayunan menggantung di salah satu
dahannya tampak usang.
Pot-pot bunga berjajar rapi di beranda depan,
menandakan pemilik rumah suka berkebun. Halamannya
dipenuhi rumput gajah. Hijau, menyejukkan mata.
Pak Termo adalah salah satu pemilik perkebunan
kelapa sawit. Dia juga menjadi salah satu orang kaya
di Lanjak. Maklum saja, jika di antara rumah tetangga,
rumah Pak Termolah yang terlihat paling megah.
Pria berkacamata dengan rambut dibelah menyam
ping keluar dari rumah itu. Perawakannya agak gemuk.
Di lehernya melingkar kalung emas. Di pergelangan
tangan kirinya melingkar jam berwarna perak. Dialah
Pak Termo.
"Sahat, selamat datang." Pak Termo menyalami Apai
Sahat, kemudian merangkulnya seperti baru bertemu
sahabat lama. Padahal baru kemarin mereka bertemu.
Persahabatan mereka terlihat terjalin sangat baik hingga
sekarang. Pantas dijadikan contoh.
"Terima kasih untuk bantuannya, Termo. Kamu
tidak ke kebun?" tanya Apai Sahat.
"Ah, tidak usah repot-repot pada sahabatmu ini. Oh
ya, di kebun sudah ada pegawaiku. Aku sengaja mau
menyambut kalian. Silakan masuk semuanya." Pak Termo
tersenyum ramah.
Apai Sahat menyuruh Vano dan yang lainnya
menyalami Pak Termo, kemudian masuk ke dalam.
Apai Sahat, Vano, dan Zali akan sekamar. Pak Termo
langsung mengantar mereka. Begitu pun Lestari dan Wulan
yang sekamar. Kedua kamar itu letaknya berhadapan.
Mereka melepas lelah di kamar, kecuali Apai Sahat yang
memilih bernostalgia dengan Pak Termo ke kebun sawit
Pak Termo.
Sore harinya setelah mandi, Zali dan Wulan dudukduduk di beranda depan rumah. Ada anak berseragam
SD datang, kemudian langsung masuk. Zali dan Wulan
saling berpandangan melempar tanya.
Vano datang dari dalam, duduk di dekat Zali dan
Wulan. "Bagaimana? Enak di sini atau di Meliau?"
"Di sini rumahnya besar, tapi sepi. Kalau di Meliau
kan ramai. Kalau sore gini, banyak teman main," kata
Zali.
"Iya, Apai. Tadi ada anak SD langsung masuk saja.
Kita tidak disapa sama sekali," tambah Wulan.
Kening Vano berkerut. "Mungkin anaknya Apai
Termo. Ya, mungkin lagi capek, baru pulang sekolah."
"Kok sampai sore?" tanya Zali lagi.
"Ada les mungkin."
Tiba-tiba Lestari ikut keluar. "Kalian mau latihan
lagi tidak? Daripada bengong."
"Ayo, latihan! Di dalam saja, ya," ajak Vano.
Zali dan Wulan mengangguk.
Mereka langsung masuk ke dalam dan latihan di ruang
tamu. Kursi kayu yang sudah dipelitur ditata berbentuk
L, mengisi ruang tamu yang terbilang luas itu. Hiasan
lampu kristal menggantung tepat di tengah ruangan.
Tepat di atas meja. Beda dengan ruang tamu rumah di
Meliau, yang hanya ada tikar untuk alas duduk.
Zali dan Wulan bergantian membaca puisi. Sedang
kan, Vano dan Lestari duduk memperhatikan mereka.
Istri Pak Termo juga ikut nimbrung dengan mereka.
Ikut memperhatikan Zali dan Wulan berlatih membaca
puisi.
"Anak saya besok juga ikut, katanya," celetuk istri
Pak Termo.
"Oh, kebetulan sekali. Kalau begitu, besok barengbareng saja ke sekolahnya." Vano menawarkan diri.
"Aduh, maaf. Saya besok harus ke perkebunan. Apai
besok harus ke Putussibau. Biar anak saya yang bareng.
Itu pun kalau dia mau."
"Oh begitu ya, Inai. Iya. Lebih baik putra Inai bareng
dengan kami," kata Lestari.
Seolah tidak pernah ada masalah, Lestari bersikap
biasa saja pada Vano. Vano menyadari perubahan sikap
Lestari. Ia diam, membiarkan semua itu mengalir begitu
saja. Ia malah suka dengan keadaan yang sekarang. Ia tidak
usah melihat wajah tak menyenangkan Lestari lagi.
"Biasanya sih berangkat sendiri dia."
??
Ruang lomba tidak terlalu besar. Bahkan terlihat begitu
sempit ketika peserta bercampur dengan penonton me
menuhi ruangan. Itu adalah ruang kelas yang katanya
paling luas di SD 1 Lanjak.
Dua gedung berdiri berbentuk L dengan lapangan di
tengahnya. Dindingnya terbuat dari kayu tripleks yang
tebal. Atapnya berupa seng yang terlihat sudah karatan.
Dua bangunan itu berbentuk rumah panggung yang
tidak terlalu tinggi. Pot-pot bunga berjajar rapi di depan
kelas, menyegarkan mata.
Tiga buah meja dan kursi juri masih kosong. Ada
tumpukan kertas ukuran folio di atasnya. Kursi peserta
yang tercampur dengan penonton sudah penuh. Bahkan
ada yang rela berdiri dan mengintip dari balik jendela.
Jarum jam terus berdetak. Lima menit lagi acara
dimulai. Vano masih terlihat berdebat dengan bagian
pendaftaran ulang di ruang pendaftaran. Sedangkan
Zali, Wulan, dan Lestari sudah berada di dalam ruangan.
Menunggu nomor urut yang diundi ketika daftar ulang.
Tiga juri yang bersahaja sudah masuk ke dalam aula.
Satu wanita berjilbab dan dua pria berperawakan kurus
serta gemuk. Lestari terlihat kebingungan. Ia menoleh ke
arah jendela luar, kemudian memalingkan pandangan ke
arah pintu di depan dan belakang. Sedangkan Zali dan
Wulan terlihat grogi. Ini adalah kali pertamanya keluar
dari Meliau, berinteraksi dengan orang luar. Ini sekaligus
kali pertamanya mengikuti ajang seperti ini.
??
"Maaf, tidak bisa, Apai. Syarat-syarat Anda kurang leng
kap." Petugas pendaftaran mengulangi pernyataannya
sambil merapikan tumpukan kertas di depannya.
"Kami sudah menghabiskan banyak waktu untuk
berlatih. Kami sudah menempuh perjalanan panjang
untuk ke sini. Apakah gara-gara lupa membawa surat
pengantar dari sekolah, lantas kami terpaksa meng
gantungkan mimpi anak-anak? Apa kamu tega? Kasih
kami kesempatan, Apai."
Petugas pria dengan kacamata minus yang lumayan
tebal itu menggeleng. "Bagaimana dengan surat pem
beritahuan lomba dari panitia?"
Vano menggeleng. "Sungguh kami lupa. Kami terlalu
fokus dengan anak-anak. Sangat tidak mungkin jika
kami pulang terlebih dahulu untuk mengambil selembar
syarat itu. Kumohon..."
"Sekali lagi kami minta maaf. Ini sudah menjadi
prosedur kami."
Brak! Vano memukul meja.
"Tega-teganya kau melenyapkan cita-cita anak
kami!"
Emosinya sudah tak terbendung. Vano mengepalkan
tangan, bersiap-siap meninju pria di depannya. Untunglah
saat bogem itu hendak melayang secepatnya tangan Vano
ditahan oleh Apai Sahat.
"Pan, kendalikan emosimu. Ada apa ini?"
"Maaf, saya hanya tidak tega dengan anak-anak,
Apai. Dan pria ini terlalu mempersoalkan selembar kertas
yang tak pernah kita buat!"
"Maksudnya?" Apai Sahat terlihat kebingungan.
"Kami kurang persyaratan. Cuma kurang surat
pengantar dari sekolah."
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apai Sahat mengangguk. Kemudian menatap pria
berkacamata tebal itu. Ia mengamati setiap lekuk wajah
pria itu. Termasuk memperhatikan tompel kecil yang
berada di atas alis kanannya. Keningnya berkerut. "Rusdi?
Apakah kamu Rusdi? Adik kelasku saat SMP? Anggota
PMR yang takut darah itu?" tebak Apai Sahat yakin.
Pria berkacamata tebal itu mengerutkan kening,
terlihat berpikir.
"Apakah kamu lupa aku? Aku Sahat. Seniormu itu.
Apa kamu masih tidak ingat?"
"Oh, iya! Aku ingat sekarang. Kenapa kamu bisa di
sini?" Pria itu menyalami Apai Sahat.
"Ini adalah anakku. Topan. Dia guru muda di SD
Mini Penggerak. Tadi apa yang kurang, katanya?"
"Ah, cuma surat pengantar."
"Apakah dengan tidak ada itu, kita tidak bisa ikut
lomba ini?"
"Ini adalah persyaratan dari panitia."
"Apakah kamu tidak bisa memberi pengecualian
pada kami? Ini pertama kali kami mengikuti lomba."
"Baiklah," Pak Rusdi menghela napas. "Silakan ambil
nomor undian."
Vano langsung mengambil nomor undian. Zali
mendapatkan nomor dua puluh, sedangkan Wulan nomor
delapan belas. Vano bergegas ke dalam ruang lomba.
Menerobos penonton yang berjubel di pintu masuk.
Saat Lestari melihat kedatangan Vano dari pintu
belakang, wajahnya berseri. Kekhawatiran seakan luntur,
tinggal separuhnya. Kini Vano sudah kembali, giliran
dag-dig-dug menanti penampilan Zali dan Wulan.
Jantung Zali dan Wulan seakan berpacu bersama
waktu. Mereka terintimidasi penonton yang luar biasa
antusias, yang sangat menunggu penampilan terbaik.
Atau bahkan hiburan jikalau nanti ada peserta yang salah
baca atau kencing di celana karena saking takutnya.
Acara mulai diawali dengan pembukaan dan sam
butan kepala juri. Lalu, dilanjutkan dengan penjelasan
penilaian oleh juri wanita yang berjilbab.
"Tenanglah. Intinya kalian harus yakin." Vano me
megang pundak Zali dan Wulan yang kebetulan duduk
di kanan kirinya.
Mereka berdua mengangguk meski masih tersirat
ketakutan di mata keduanya.
"Anggap saja penonton adalah botol-botol kosong.
Mereka tak tahu apa-apa dan kamu adalah penguasa
ruangan ini. Kamu rajanya. Tidak usah takut." Lestari
yang berada di samping Wulan mendekap Wulan.
"Ini suasana baru bagi mereka. Bisa melatih mental
mereka untuk menjadi seorang pemenang," kata Vano
lantang.
Lestari mengangguk, menyetujui perkataan Vano.
Kursi peserta yang masih kosong di kanan Zali
diduduki seorang anak laki-laki yang tampak mencolok
karena seragamnya putih bersih. Mungkin seragam baru
yang memang dipersiapkan khusus untuk lomba ini.
Zali menoleh. Begitu pun anak laki-laki itu, menoleh
ke arah Zali. Ia menyeringai, membanggakan seragam
barunya.
"Kau akan kalah anak hutan." Anak laki-laki tersebut
berkata pelan tepat di telinga Zali.
Zali geram. Tangannya mengepal. Ia ingin sekali
menonjok anak laki-laki yang sok di samping kanannya
itu. Beruntunglah, ia bisa menahan emosinya. Ia harus
tahu diri bahwa tanpa bantuan bapak anak laki-laki itu,
ia tidak bisa sampai di sini.
"Lihat saja nanti, Zul."
Anak bernama Zulkifli itu menyeringai lagi. Menata
kerah bajunya dan memalingkan pandangannya dari
wajah Zali. Zali mengetahui namanya saat di meja makan
tadi malam. Orangtuanya menceritakan sederet prestasi
Zulkifli. Padahal anak itu sedang berada di kamar.
Zulkifi adalah putra bungsu Pak Termo. Pria baik hati
sahabat Apai Sahat. Sayangnya, Zulkifli tidak mewarisi
sifat baik hati bapaknya. Zulkifli sombong dengan
kekayaan Pak Termo. Bahkan saat Zali dan Wulan ada
di rumahnya, ia tidak sedetik pun bicara pada mereka. Ia
memilih berdiam diri di kamar.
Sampai makan malam pun dibawa ke kamar. Pak
Termo dan istri heran dengan sikap anaknya itu. Malah
Istri Pak Termo yang meminta maaf atas sikap Zul.
Masih ada secuil amarah yang tersimpan di hati Zali.
Apalagi soal sebutan ?anak hutan? yang diberikan Zul
itu. Zali sungguh tak terima. Tapi mau bagaimana lagi,
bapaknya sudah berbaik hati.
Satu per satu nama dan nomor urut peserta dipanggil.
Ada yang sepertinya sudah siap. Ada pula yang gemetaran
di depan sehingga puisi yang dibaca terulang-ulang. Zali
dan Wulan masih terlihat tegang.
Ketegangan memuncak seketika saat nama Wulan
dipanggil. Wulan pun sepertinya tak bisa tenang. Apalagi
tadi nomor urut lima merajuk tak mau ke depan.
Mungkin nyalinya ciut atau ia ikut lomba karena dipaksa
guru.
Wulan meraih tangan Lestari meminta restu, begitu
juga Vano. Mereka berdua tak lupa menenangkan hati
Wulan. Wulan berjalan dengan tegap ke depan. Membuka
selembar kertas bertulis puisi.
Wulan membaca puisi itu dengan sebaik-baiknya.
Semua mata tertuju pada Wulan. Gadis kecil yang mem
punyai cita-cita menjadi polisi hutan. Ia mampu melawan
rasa takutnya. Memupuk keyakinan bahwa ia akan bisa.
Memukau. Tepuk tangan menggema di dalam
maupun dari luar aula. Ketiga juri pun bertepuk tangan.
Meriah sekali. Kelegaan sementara terasa di hati Lestari
dan Vano. Dan Wulan terasa begitu plong.
"Kau berhasil, Wulan." Vano memeluk Wulan.
Vano sampai terharu mendengar calon polisi hutan
itu membaca puisi tentang guru. Tentang profesi yang
sangat diimpikannya. Dan kini sudah terwujud, meski
tanpa restu orangtua.
Lagi-lagi ketegangan itu terulang saat nama Zali
dipanggil. Sama seperti Wulan, Zali meminta restu pada
Lestari dan Vano. Zali terlihat lebih tenang daripada
Wulan.
Zali menunjukkan penampilan terbaiknya dalam
membaca puisi. Semua hadirin diam. Ruangan itu terasa
sunyi, tanpa suara. Lalu, Zali membaca judul beserta
nama pengarangnya. Suaranya lantang. Semua mata
masih menatapnya hingga ia selesai membaca puisi guru
itu.
Hasilnya menakjubkan. Lebih dari penampilan Wulan
tadi. Sambutan penonton begitu membahana. Bahkan juri
perempuan yang berjilbab memberikan standing applause.
Vano semakin yakin Zalilah juaranya. Linangan air mata
terus ia seka.
??
Mereka berjalan beriringan meninggalkan bangunan
sekolah berbentuk L itu. Dua piala berhasil mereka bawa.
Namun ada raut kesedihan yang tergambar di wajah
kedua anak itu. Zali seperti tak bersemangat, padahal
hasil yang ia dapat tidak mengecewakan.
"Kalian kenapa?" tanya Vano memastikan kondisi
mereka.
"Maaf, kami tidak berhasil menjadi juara." Zali
bersuara dengan parau.
"Kalian bercanda? Kalian sudah menjadi juara. Kalian
berhasil menghadiahkan piala ini untuk sekolah, untuk
teman-teman kalian. Mereka pasti bangga melihatnya."
"Tapi kami tidak juara satu." Wulan menimpali.
Vano jongkok, pundak Wulan dan Zali. "Kalian itu
sudah menjadi pemenang. Yang terpenting adalah, kalian
sudah berhasil melakukan itu dengan maksimal." Vano
menghela napas. "Sudah Apai bilang, kalah menang tak
jadi soal."
"Kalau saja tidak ada anak yang seragamnya baru itu,
pasti aku bisa juara satu." Zali mengepalkan tangan.
Ternyata masih ada amarah yang tersimpan di
hatinya.
"Kamu sudah hebat, Zali. Banggalah dan ber
syukurlah dengan apa yang sudah kalian dapatkan.
Setidaknya, kalian berhasil menaklukan rasa takut kalian.
Kalian berhasil mengalahkan mereka semua. Anggap
saja anak berbaju baru itu lebih beruntung darimu
untuk hari ini saja. Ingatlah, Tuhan pasti punya rencana
dengan apa yang sudah ditakdirkan," kata Vano berusaha
menghibur.
"Sekarang senyum dong. Angkat piala ini tinggitinggi dan ucapkan syukur pada-Nya." Lestari menam
bahkan.
Zali dan Wulan berusaha membuang rasa kecewanya.
Mereka menyunggingkan senyum termanis. Mengangkat
pialanya dan berlari sambil melompat-lompat. Apai Sahat
hanya menganggut-anggut.
"Kalian cocok," celetuk Apai Sahat sambil menepuk
bahu Vano dan Lestari.
??
Dua Piala
Mereka akan menginap semalam lagi di rumah Pak
Termo. Besok pagi baru pulang ke Meliau. Sebelumnya,
Apai Sahat sudah meminta orang yang mengantar
kemarin untuk menjemput di dermaga Lanjak besok.
Zul, yang sampai rumah duluan, ternyata sudah
memajang piala juara satunya di atas meja di sudut ruang
tamu. Zali yang melihatnya langsung teringat lagi tentang
lomba yang baginya gagal ia menangkan itu.
"Besok, kita pajang piala ini di kelas, ya," kata Vano
saat menangkap kekesalan pada Zali.
"Iya. Biar temanteman bangga denganmu." Lestari
menambahkan.
Zali mengangguk. Meski masih ada secuil kesal yang
bersemayam di hatinya. Bagaimana pun, Zali dan Wulan
sudah berusaha semaksimal mungkin.
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayo, ke kamar. Bereskan barangbarang dan istirahat.
Besok kita menempuh jalan panjang untuk pulang," ajak
Lestari.
Mereka langsung menuju kamar masing-masing.
??
Mereka terlalu pagi sampai di dermaga Lanjak. Dua
speedboat yang menjemput belum datang. Apai Sahat
mempersilakan bapak sopir untuk meninggalkan me
reka. Kasihan jika terus menunggu sampai jemputan
datang. Apalagi jika nanti dibutuhkan Pak Termo untuk
mengantarnya.
Setelah sekitar setengah jam mereka menunggu di
dermaga, akhirnya dua speedboat itu datang. Rasa lesu
dan lelah menunggu serasa hilang seketika. Tergantikan
senyum yang merekah lebar. Karena hari sudah siang,
mereka bergegas naik ke speedboat dan melaju menuju
Meliau. Meninggalkan keramaian Lanjak, serta secuil
kisah penuh perjuangan.
Mengarungi Sungai Kapuas Hulu tidak mem
bosankan. Di sepanjang perjalanan, akan disuguhi ke
indahan alam yang masih sangat alami. Surga tersembunyi
yang dimiliki Indonesia.
Melewati hutan tropis yang lebat. Bukit-bukit yang
menjulang pun tak kalah indah. Dipadu cuaca yang
begitu cerah. Matahari secara maksimal memancarkan
sinarnya ke bumi. Hanya ada beberapa awan yang
melintas, terkadang menutupi sinarnya.
Cuaca memang tak bisa ditebak. Saat siang cuaca
sangat panas, sore atau malamnya bisa saja turun hujan
yang sangat lebat. Bahkan angin dan guntur ikut datang
menghunjam.
Seperti sekarang. Di tengah perjalanan, gerombolan
awan hitam datang sangat cepat dari arah barat. Mata
hari yang tadinya garang tertutup begitu saja. Sinarnya
terkalahkan gumpalan awan hitam yang siap menumpahkan
air. Angin berembus lumayan kencang. Dan dua speedboat
itu masih di tengah Sungai Kapuas Hulu.
"Bagaimana ini, Apai? Sepertinya akan turun hujan."
Vano terlihat cemas.
Apai Sahat menoleh ke arah bapak yang mengen
dalikan speedboat. "Bawa jas hujan atau plastik?"
"Aduh, maaf. Saya kira cuacanya cerah. Dari tadi
malam tidak turun hujan."
Apai Sahat terlihat lesu. "Berdoa saja sepaya tidak
turun hujan!" teriak Apai Sahat agar didengar oleh
penumpang perahu yang satunya.
Mereka sudah dipayungi awan hitam. Kilat me
nyambar-nyambar di atas. Guntur terdengar bebe
rapa detik kemudian. Cahaya memang lebih cepat dari
kecepatan suara. Itu sebabnya guntur selalu menjadi
pengiring kilat.
Wulan terlihat ketakutan di perahu sebelah. Vano
juga agak takut dengan kilat dan guntur. Tapi, ia tetap
berusaha tegar. Tetap berani. Meski kilat datang berkalikali tepat di atasnya.
Tak lama, hujan turun mengguyur mereka. Speedboat
tetap melaju dengan kecepatan yang sama. Terpaksa,
mereka hujan-hujanan. Membiarkan baju dan tasnya
basah. Juga piala kemenangan yang masih didekap oleh
Zali dan Wulan.
Tubuh Vano terlihat bergetar. Ia menggigil kedinginan.
Hujan terus menghunjam. Kilat terus hadir memberi ca
haya sekejap.
"Kamu tidak apa-apa, Pan?" tanya Apai Sahat kha
watir melihat Vano meringkuk.
"Brr ... t-t-tak a-apa."
"Bertahan. Sebentar lagi sampai."
Vano tak menjawab.
"Lestari, kamu dan anak-anak baik-baik saja?!" Apai
Sahat berteriak.
"Iya, kami baik-baik saja, Apai!"
Apai Sahat menoleh ke arah bapak pengendali
speedboat. "Lebih cepat sedikit."
Speedboat langsung dipercepat, menyalip speedboat
yang ditumpangi Lestari. Seolah mengerti maksudnya,
speedboat yang ditumpangi Lestari ikut mempercepat
lajunya.
??
Matahari pagi seolah tersenyum. Langit bersih. Hanya
ada beberapa awan putih yang menggantung. Hawanya
terasa sejuk karena hujan kemarin baru berhenti pukul
tujuh malam.
Jalan papan kayu basah. Tetesan air menggantung
di dahan dan daun. Daun kering yang menumpuk
menutupi tanah terlihat basah. Berkilauan terkena biasan
cahaya matahari.
Vano memaksakan diri untuk tetap mengajar meski
agak tidak enak badan karena kehujanan kemarin. Ia
terkena flu. Badannya agak demam. Tapi, ia ingin melihat
ekspresi anak-anak melihat Zali dan Wulan membawa
piala kemenangan. Sebuah pencapaian yang begitu sulit.
Penuh perjuangan yang berarti untuk mendapatkannya.
Kemarin setelah sampai mereka langsung pulang ke
rumah masing-masing. Hujan masih mengguyur dengan
deras. Vano yang kedinginan langsung mengeringkan
diri, berganti pakaian, dan membungkus tubuhnya
dengan sarung yang dirangkap tiga.
Istri Apai Sahat langsung menyuguhkan jahe hangat
yang terpaksa diteguk Vano. Lumayan untuk meng
hangatkan dari dalam meski ia masih tidak suka dengan
minuman satu itu.
Piala pertama Zali dan Wulan, yang sekaligus menjadi
piala pertama untuk SD Mini Penggerak, dipajang di atas
meja di pojok depan sebelah kanan kelas Inai Atin.
Anak-anak masih berkumpul. Ingin melihat piala
yang ukurannya lumayan besar itu. Zali dan Wulan
diberi selamat oleh Inai Atin dan teman-temannya
secara bergantian. Hadiah uang yang tidak terlalu besar
jumlahnya disumbangkan untuk keperluan sekolah
sebagian dan sebagian lagi diserahkan untuk Zali serta
Wulan.
Dua piala yang menjadi kebanggaan. Dua piala
pertama yang dimiliki, menghiasi sekolah reyot di tengah
hutan. Dua piala yang menjadi pijakan awal untuk pialapiala selanjutnya.
Teman-teman Zali dan Wulan ikut bangga. Ini
kali pertamanya mereka melihat piala secara langsung.
Apalagi itu piala milik teman mereka, dipersembahkan
untuk mereka dan sekolah tercinta.
"Inai bangga dengan kalian. Semoga ini menjadi
awal yang terbaik untuk sekolah ini." Inai Atin memeluk
Zali dan Wulan.
Zali dan Wulan tersenyum. Sepertinya Zali sudah
mampu menerima juara dua yang diperolehnya.
Terlihat sekali gurat kebahagiaan dan kebanggaan pada
wajahnya.
Sementara anak-anak masih berkumpul melihat
piala tersebut, Vano dan Lestari berdiri di sebelah Inai
Atin, melihat ke arah piala tersebut.
Rasa bangga luar biasa bagi Vano karena telah
mengantarkan sekolah ini untuk menuai prestasi.
Ternyata ia mampu melakukan itu. Menjadi guru yang
diimpikannya. Berbekal keyakinan dan tekad yang kuat,
semua jalan seperti terbuka begitu saja. Meski terkadang
ada kerikil yang menghadang, mungkin itu adalah ujian
Tuhan. Apakah keyakinan dan tekadnya goyah atau
tidak.
Tak disengaja, dengan sering bersamanya Vano
dengan Lestari kemarin, Lestari menjadi tidak seperti
dulu yang cuek, jutek, dan suka mara-marah. Lestari
seperti lupa dengan siapa ia kemarin. Atau mungkin
Lestari memang amnesia.
Lestari menjadi bersikap biasa saja pada Vano. Bahkan
bisa dibilang ramah. Vano yang menyadari perubahan
itu sejak kemarin diam saja. Ia malah bersyukur Lestari
berubah. Jika benar Lestari amnesia, ia berdoa semoga
Lestari tetap amnesia tentang kebencian pada dirinya di
awal dulu.
Lestari tersenyum ke arah Vano. Vano langsung
membalasnya. Ada desir bahagia yang merasuki jiwa
Vano. Ia senang sekali sekarang Lestari sudah berubah
meski sebenarnya ia tidak tahu pasti apa dan mengapa
Lestari bisa berubah.
Vano masih ingat, terakhir Lestari jutek adalah
sebelum berangkat lomba. Saat itu ia sedang melatih
Zali dan Wulan di bawah pohon. Lestari tetap jutek saat
diminta Inai Atin yang menemani anak-anak lomba.
Vano menyetujuinya. Mata Lestari menyipit, bibirnya
manyun, dan alisnya terangkat.
Dari kebersamaan kemarin, diam-diam Vano kagum
dengan Lestari. Lestari dengan tulus mengajari Zali dan
Wulan. Dan ia semakin yakin bahwa penolakan ikut
lomba kemarin adalah murni karena ia masih menaruh
benci padanya. Sebenarnya, Lestari peduli. Sangat peduli
malah.
??
Semenjak Lestari berubah, Vano juga ikut membantu di
kelas Lestari. Malah Lestari sendiri yang meminta Vano
untuk membantunya. Lestari menjadi lebih dekat dengan
Vano. Lestari seperti benar-benar amnesia pernah jutek
pada Vano. Bahkan membenci Vano.
Jalan Vano menjadi guru semakin lancar. Akhirnya,
kini ia benar-benar menjadi guru. Impian sejak kecil
yang sempat terkubur itu menjadi kenyataan. Ya, semua
karena perjuangan. Perjuangan panjang juga berat.
Diam-diam ada getaran aneh yang merasuki hati.
Sebuah perasaan yang pernah ia rasa sebelumnya dengan
seorang wanita keturunan Paris. Hatinya bergetar saat
bersama Lestari. Apakah ini getaran yang sama seperti
dulu? Tidak, tidak. Vano tak mau impiannya terhalang
hanya karena cinta. Padahal impian itu baru saja
terwujud.
Vano memendam perasaan aneh itu. Ia mencoba
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersikap biasa saja. Tujuannya ke sini untuk mengajar.
Bukan menjalani kisah cinta seperti sinetron yang tak
pernah ada habisnya. Rumit.
Vano sudah duduk di atas perahunya. Sendiri. Saat
akan melepaskan tambatan perahu dari lanting, matanya
menangkap sosok Lestari yang lari tergopoh-gopoh lalu
turun ke lanting.
Lestari mengumpat tak jelas. Tak terdengar jelas oleh
Vano. Wajah Lestari tampak kesal.
"Ada apa, Lestari?" tanya Vano pelan dari atas
perahu.
Lestari menoleh ke arah Vano di atas perahu. "Ren
cananya aku mau ikut perahu Wulan. Dia malah sudah
berangkat duluan. Perahuku dipakai Apai mencari ikan."
Lestari menekuk wajahnya.
"Kebetulan perahuku kekurangan muatan. Mau
bareng?" ajak Vano.
"Boleh." Lestari melambungkan senyum.
Vano berdiri, keluar dari perahu, dan menuntun
Lestari untuk naik ke perahu. Setelah Lestari duduk
dengan sempurna, Vano langsung naik ke perahu di ujung
belakang.
Setelah melepaskan tambatnya, perlahan Vano men
dayung perahu. Hanya berdua karena anak-anak sudah
berangkat semua. Tak ada lalu-lalang perahu yang lain di
sungai. Hanya perahu Vano.
Mereka berdua berdiam diri. Hanya terdengar suara
kicauan burung. Juga cipratan air dari dayung Vano. Ada
desiran aneh yang merasuki hati Vano. Ah, apa ini? Vano
segera menyadarkan diri, mengusir desiran itu, dan fokus
mendayung.
Sekali lagi ia menegaskan tujuannya ke sini hanya
untuk mengajar. Ya, mengajar. Bahkan ia sudah rela me
ninggalkan gemilang kehidupan di kota. Meninggalkan
Mama dan Papa, bahkan membohongi mereka. Sungguh
picik jika menodai impiannya dengan kisah lain, termasuk
cinta.
Tiba-tiba Lestari menoleh ke belakang. "Pan, kenapa
kamu mau mengajar di pedalaman seperti ini?" tanya
Lestari tiba-tiba di tengah kebisuan.
Vano gelagapan. "Aku ... aku hanya ingin mewujudkan
impianku menjadi guru."
"Kenapa di pedalaman? Kenapa tidak di Pontianak
saja, misalnya."
"Mmm ... aku hanya kagum dengan semangat
mereka. Di kota, aku tak akan mendapatkan semangat
yang serupa. Kebanggaan yang luar biasa bisa ikut
mengajar mereka. Bukankah kamu lulus SMA di Pon
tianak? Mengapa tidak melanjutkan kuliah?" Vano balik
bertanya.
Pembicaraan dimulai. Suasananya berangsur men
cair.
"Bercanda kamu. Kuliah hanya untuk orang-orang
yang sudah berlebih uang. Lagi pula, aku ingin mengabdi
di sini, membantu Inai Atin."
"Kenapa tidak ikut program beasiswa?"
"Siapa sih yang tidak ingin kuliah dengan beasiswa,
aku pun demikian. Tapi Apai beliau melarangku.
Di kampung sini, akulah wanita asli Meliau yang ber
pendidikan paling tinggi. Teman seangkatanku maksimal
lulus SD. Bahkan ada yang tidak sekolah. Sekarang
mereka sudah punya anak, bahkan ada yang menikah
dengan pria negeri seberang."
"Malaysia maksudmu?"
"Iya. Mana lagi? Di Meliau, aku sudah dicap sebagai
wanita yang tidak laku, perawan tua yang merana. Mak
lum, pernikahan usia dini tidak tabu lagi di sini."
Vano menghela napas. Ah mengapa Lestari mem
bahas masalah itu. "Lantas, apakah kamu sudah punya
calon?"
Lestari bungkam, kemudian menggeleng. Ia mem
buang wajahnya dari Vano, lalu kembali menatap ke
depan. Mungkin lelah jika harus menoleh ke belakang
terus. Vano hanya bisa melihatnya dari belakang.
Perahu itu membelah Sungai Kapuas Hulu dengan
lamban. Hanya Vano yang mendayung sekaligus menjadi
pengendali laju perahu. Di awal, Lestari menawarkan diri
untuk membantu mendayung, tapi Vano menolaknya.
Baginya tak etis membiarkan gadis ikut mendayung, di
kala masih kuat melakukannya sendiri.
Ada dua primata yang melintas, melompat dari pohon
satu ke pohon yang lain. Saling berkejaran. Mungkin itu
adalah si jantan yang tengah mengejar betinanya. Atau
mereka hanya bermain-main saja. Meregangkan otot
dengan melompat dan bergelantungan sambil mencari
makan.
"Kenapa kemarin-kemarin kamu jutek denganku,
Tari?"
"Anggap saja itu ?ujian? buatmu. Jujur, aku kurang
suka dengan orang asing. Apalagi orang asing yang tibatiba berniat membantu mengajar. Tanpa surat tugas,
bahkan identitasnya hanya diketahui sekilas."
"Kalau sekarang, kenapa bisa berubah baik?" Vano
terkekeh.
Lestari bungkam. Ia jadi salah tingkah.
Perlahan, perahu itu mendekat ke dermaga kayu.
Dermaga sudah penuh. Untung masih ada celah di sisi kiri
dermaga yang menjorok ke sungai. Vano mengarahkan
perahunya ke celah sempit itu. Lestari langsung keluar
setelah moncong perahu menyentuh tiang dermaga.
Vano segera menambatkan perahunya dan mengejar
Letari.
"Tunggu."
Lestari tak menoleh ke belakang. Vano mempercepat
jalannya.
"Maafkan kata-kataku yang tadi." Ia tak mau itu
akan membuat keadaan buruk seperti awal lagi. Seperti
ini sudah cukup. Ia sangat menikmatinya.
"Tidak apa-apa." Lestari berkata singkat, tetap ber
jalan cepat.
Vano berlari kecil, mengejar Lestari. Lestari mem
perlambat langkahnya setelah terkejar. Akhirnya, mereka
berjalan beriringan. Melintas di atas jalan kayu. Tapi
saling diam. Vano tak ingin lagi merusak suasana hati
Lestari. Lestari pun telanjur malu.
??
Lestari Akan Menikah
Semenjak kejadian kemarin?Lestari ikut perahu
Vano?ia jadi keseringan ikut Vano. Terkadang ada Zali,
Wulan, atau yang lainnya. Terkadang pula hanya berdua.
Berangkat bersama, pulang pun bersama.
Vano menikmati kehidupannya yang sekarang.
Meski tak ada uang melimpah, tak ada fasilitas mewah.
Tapi kesederhanaan, kebersamaan, serta impiannya sudah
membuatnya puas.
Karena kebersamaan mereka yang terlampau sering,
hati Vano tumbuh benih asmara. Namun ia rela untuk
menekannya. Ia sadar, di sini tujuannya bukan mencari
cinta, tapi mengejar cita. Ya, ia ingat itu.
??
Hari baru memberi semangat baru. Berharap hari ini
akan menjadi hari yang lebih baik daripada kemarin.
Langit tampak biru bersih. Hanya ada satu dua awan
yang melintas di atas gedung sekolah SD Mini Penggerak.
Matahari seakan tersenyum ramah pada makhluk di
bumi. Suara burung-burung yang beragam terdengar
bersahutan. Anak-anak yang selalu riang bermain di
halaman. Vano datang bersama Wulan yang tadi ikut
perahunya. Tidak ada Lestari.
Tadi sudah cukup lama, Vano dan Wulan menunggu
Lestari di lanting. Sampai semua anak sudah berangkat,
Lestari masih saja tidak terlihat.
"Mungkin sudah berangkat duluan tadi, Apai," kata
Wulan.
"Mungkin saja. Baiklah, mari kita berangkat se
karang."
Vano langsung mendayung perahunya. Meninggal
kan perasaan tak yakin kalau Lestari sudah berangkat. Ia
ingin mengecek ke rumah Lestari terlebih dahulu, tapi
Wulan memaksa segera berangkat.
Inai Atin memang rajin. Wanita paruh baya yang
bersahaja itu tersenyum menyambut kedatangan Vano
dan Wulan. Senyum yang menghangatkan, melebihi
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And Animorphs 16 Memburu Yeerk Kembar Jodoh Rajawali 11 Geger Perawan Siluman
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama