Ceritasilat Novel Online

Mendayung Impian 4

Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman Bagian 4

hangatnya sinar matahari yang seakan cemburu pada

senyum Inai Atin. Vano langsung bersalaman dengan Inai

Atin dan saling berbalas senyum. Wulan pun mencium

tangan Inai Atin.

"Wulan ke dalam dulu, ya." Wulan langsung bergegas

ke dalam.

"Lestari tidak bersamamu, Pan?" tanya Inai Atin.

"Tidak. Lho, saya kira sudah berangkat dari tadi.

Tadi saya sudah menunggunya cukup lama."

Vano kecewa sudah mendengarkan perkataan Wulan.

Tadi ia yakin Lestari belum berangkat. Tapi, tak apalah.

Toh tadi masih ada perahu di lanting.

"Belum. Ah, mungkin ada pekerjaan rumah yang

harus dia kerjakan terlebih dahulu."

"Mungkin saja, Inai."

Vano dan Inai Atin masih mengobrol di depan kelas.

Memandang anak-anak bermain.

Inai Atin melirik jam tangan di pergelangan tangan

kirinya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh.

"Sudah jam tujuh, Pan."

Inai Atin langsung berteriak memanggil anak-anak

yang masih bermain di luar.

Anak-anak langsung berhamburan masuk ke dalam

kelas. Vano memandang ke jalan setapak. Masih belum

terlihat sosok Lestari.

"Lestari kok masih belum datang ya, Inai? Terus

yang pegang kelasnya siapa?"

"Kita tunggu sebentar. Kamu buka saja kelas Lestari

terlebih dahulu."

"Baik."

Vano berbalik dan melangkah ke dalam kelas. Namun,

baru dua langkah, Inai Atin berkata, "Tuh Lestari baru

datang." Sontak menghentikan langkah Vano.

Vano berbalik badan, menyambut Lestari bersama

Inai Atin.

Lestari berjalan menunduk. Rambutnya dibiarkan

tergerai ke belakang, sebagian ada yang dibiarkan jatuh

ke depan. Mungkin ia menunduk untuk melindungi

wajahnya dari sinar matahari yang menyengat. Tapi,

Lestari bukan tipe perempuan yang suka mementingkan

penampilan. Tentang rambutnya, ia tidak sempat

menguncir rambut mungkin karena sudah siang. Bukti

nya saja sekarang ia telat.

Lestari berdiri di hadapan Inai Atin dan Vano. Ia

masih menundukkan wajah meski sudah berada di bawah

atap seng.

"Tumben telat, Lestari. Inai kira ada apa-apa." Inai

Atin tersenyum.

"Iya. Maaf, Inai. Tadi bantu Inai di rumah dulu,"

jawab Lestari pelan, sembari mengangkat wajahnya

sedikit.

Sekarang Vano dapat melihat wajah Lestari dengan

jelas. Wajahnya tampak kusut dan pucat. Memang ia

tidak pernah memakai make up. Tapi, wajahnya selalu

bening dan tampak ceria. Kali ini, tidak ada seulas

senyum sedikit pun. Padahal matahari semangat me

nyinari bumi, tapi ia murung.

"Kamu tidak apa-apa, Tari? Sepertinya wajahmu

kusut," kata Vano memperhatikan wajah Lestari.

Lestari langsung menunduk sebentar, kemudian

mengangkat wajahnya lagi dan menunjukkan senyuman.

Senyum yang dipaksakan. "Tidak kok. Terima kasih atas

perhatianmu."

Inai Atin berdeham.

Vano jadi salah tingkah.

"Permisi." Lestari langsung berjalan ke dalam kelas.

Sedangkan, Inai Atin senyam-senyum ke arah Vano.

"Inai, tadi Lestari kok pucat banget, ya."

"Tidak tahu. Nanti tanya saja lagi." Bu Atin berdeham

lagi.

Inai Atin langsung masuk ke dalam kelas, diikuti

Vano.

??

Istirahat yang ditunggu datang juga. Vano langsung

menghampiri Lestari yang berada di dalam kelas. Lestari

masih terduduk di bangkunya. Lestari terlihat sama sekali

tidak ceria. Padahal jika istirahat seperti ini, biasanya ia

akan keluar. Bermain dengan anak-anak, memperhatikan

anak-anak dari depan kelas, atau terkadang hanya

membaca buku di bawah pohon. Tapi sekarang, ia hanya

duduk, menunduk tanpa melakukan apa pun.

Vano berjalan masuk ke dalam kelas. Lestari yang me

rasakan kedatangan Vano, langsung mengangkat wajah

nya, mengusap matanya, dan mengatur posisi duduknya.

"Kamu tidak apa-apa? Sepertinya kamu sedang

menangis," kata Vano saat tiba di depan Lestari.

"Sudah kubilang kan tadi, aku tidak apa-apa." Lestari

berkata jutek.

Vano memperhatikan wajah Lestari lekat. "Itu

pipimu kok merah. Jelas itu bukan blush on. Kamu bukan

tipe cewek yang suka dandan." Vano menyelidik karena

heran.

"Aku tidak apa-apa," tegas Lestari.

"Jika kamu tidak apa-apa, wajahmu tak sepucat ini

dan kamu akan ceria seperti biasa. Ceritalah denganku.

Kamu bisa memercayaiku."

Lestari menyunggingkan senyum. Senyum yang sama

seperti tadi pagi, dipaksa. "Tuh, aku ceria."

"Itu terpaksa. Jelas sangat terlihat kalau senyum itu

terpaksa. Ayolah, cerita denganku. Apa pun masalahmu,

aku akan mendengarkannya."

Lestari mendesah. "Aku akan menikah."

Vano tersentak. Tidak mungkin. Lestari yang katanya

tidak punya kekasih, tiba-tiba mau menikah. Ada sedikit

kecemburuan di hatinya, tapi ia berusaha menutupi.

"Bagus dong." Vano tersenyum.

"Bagus, jika aku menikah dengan orang yang

kucinta, tapi ini ... aku menikah dengan pria beristri tiga

dari negeri sebelah."

Vano tersentak untuk yang kedua kalinya. "Kok

bisa?"

"Panjang ceritanya. Keadaan yang sudah memak

saku." Ada bulir bening menggenang di kelopak mata

Lestari.

Vano memandang Lestari, tidak mengerti. Apa

maksudnya menikah secara tiba-tiba dengan pria beristri

tiga. Vano tak menemukan penjelasannya.

"Ceritakan saja. Kamu bisa berbagi semuanya dengan

ku. Jika aku bisa membantu, pasti akan aku bantu."

"Sulit. Mungkin tidak akan ada yang bisa memban

tuku." Lestari menunduk, kemudian mengangkat wajah

nya lagi, dan menyibak sebagian rambutnya yang jatuh ke

depan.

"Apai terlilit utang yang besar. Aku tidak tahu pasti

berapa nominalnya. Aku pun tidak tahu untuk apa dan

dari kapan Apai berutang."

"Terus, apa hubungannya kamu dipaksa menikah

dengan pria beristri tiga?" Vano masih tak mengerti.

"Dengan pria beristri tiga itu Apai berutang. Pria itu

menginginkan aku menjadi istri ke empatnya. Dengan

begitu, utang Apai akan dianggap lunas seluruhnya.

Apai menyetujuinya tanpa bertanya dahulu denganku.

Mungkin jika utang itu lunas, aku tidak harus menikah

dengan pria itu." Lestari menghela napas. "Aku hanya

tidak mau meninggalkan anak-anak karena sudah pasti

aku akan dibawa pria itu ke negaranya."

Vano tertunduk. Ia merasa geram dengan pria yang

diceritakan Lestari, juga bapaknya Lestari yang begitu

mudah menyerahkan anak gadisnya.

"Terus, bagaimana rencanamu selanjutnya?"

"Entahlah. Hanya itu satu-satunya kunci yang dapat

mencegah pernikahan." Lestari menunduk.

"Boleh aku bertemu Apai? Aku ingin tahu berapa

nominal utangnya. Mungkin jika tidak terlalu banyak,

aku bisa membantu."

"Jika tidak terlalu banyak, Apai juga bisa melu

nasinya. Bunganya terus berkembang, melebihi nominal

utang sebenarnya."

"Nanti sore, bawa aku bertemu Apai. Aku ingin tahu

dari beliau."

??

Vano masih berada di rumah Lestari, menunggu bapaknya

Lestari untuk menanyakan detail tentang utang itu. Vano

tak tega melihat Lestari yang terpaksa menikah dengan

pria yang sama sekali tidak ia cinta. Ia cemburu. Apalagi

dengan itu, Lestari akan meninggalkan anak-anak di SD

Mini Penggerak.

Ibunya Lestari mengeluarkan segelas teh hangat dan

menaruhnya di sebelah Vano yang sedang duduk bersama

Lestari di teras rumah. Mereka duduk di atas rumah

panggung, memandang ke jalan papan kayu. Sekaligus

memandang Kapuas Hulu yang lebar.

"Terima kasih, Inai." Vano tersenyum.

"Sama-sama. Mungkin sebentar lagi Apai pulang."

"Apa Inai tidak tahu berapa tepatnya utang Apai?"

tanya Vano tanpa basa-basi.

"Inai kurang tahu karena itu sudah ditambahkan

dengan bunga yang terus berlipat."

"Apakah Inai menyetujui jika Lestari menikah

dengan pria itu?"

"Inai sama sekali tidak setuju. Tapi, pria itu yang

meminta Lestari, kita tidak punya pilihan lain. Lestari

pun sudah cukup matang untuk menikah."

"Tapi Lestari sama sekali tidak mencintai pria itu,

Inai. Apakah Inai tetap akan memaksa?"

Ibunya Lestari terdiam.

Lestari yang duduk di sebelah Vano, tiba-tiba me

megang tangan Vano. Memberikan kode dari kedipan

mata.

"Inai ke dalam saja, ya," suruh Lestari sopan.

"Inai tinggal dulu, ya." Ibunya Lestari pun masuk.

"Aku tidak pernah menolak permintaan Inai. Aku
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak pernah mengeluh di depannya meski di belakang

kamu tahu sendiri bagaimana hancurnya perasaanku."

"Kenapa?"

"Karena dia Inai-ku. Beliau yang melahirkanku,

merawatku hingga sekarang. Makanya, tolong, jangan

menceritakan penolakanku. Katanya kamu hanya ingin

membantu melunasi utang itu meski aku tidak yakin."

"Kenapa kamu meragukanku? Aku sangat yakin bisa

membantumu." Vano berkata lantang.

Lestari diam. Begitu pun Vano. Vano jadi teringat

dengan Mama di rumah. Lestari benar, ibu tidak se

harusnya dibantah. Beliau harus dihormati, dikasihi, dan

dicintai.

Hati Vano bergetar. Ia sadar telah salah pada Mama.

Meninggalkan Mama yang begitu menyayanginya. Tanpa

memberikan kabar sedikit pun sampai sekarang. Vano

jadi rindu dengan sosok Mama.

Bapaknya Lestari datang dari arah lanting. Tangan

kirinya membawa seember tangkapan. Punggung

kanannya memikul jaring yang sudah dirapikan. Jaring

itu masih menyisakan tetesan air. Membasahi jalan

kayu.

Vano segera berdiri menyambutnya. "Selamat siang,

Apai." Vano menyalami tangan bapaknya Lestari setiba

nya di rumah.

Lestari pun berdiri dan menyalami tangan apai-nya.

"Apai ke dalam dulu, ya. Silakan dilanjutkan."

"Maaf, saya mau bicara dengan Apai," kata Vano,

menghentikan langkah bapaknya Lestari yang akan ke

dalam.

Bapaknya Lestari terlihat bingung. "Ada perlu apa,

ya?"

"Soal rencana pernikahan Lestari yang terkesan

dipaksakan. Apakah tidak bisa dibatalkan?"

Wajah bapaknya Lestari seketika berubah serius.

"Tidak, tidak! Lestari sudah seharusnya menikah. Lihat

teman-teman sepantarnya, bahkan mereka sudah beranak

satu atau dua. Mau tunggu apa lagi? Lestari harus segera

menikah. Apai malu, dikira Lestari itu perawan tidak

laku."

"Tapi, tidak harus menikah dengan pria yang sama

sekali tidak Lestari cintai. Apalagi pria itu sudah beristri

tiga," debat Vano.

"Kamu tidak tahu apa-apa. Kamu baru anak kemarin

sore, di sini." Suara bapaknya Lestari sedikit meninggi.

"Saya teman Lestari. Apakah karena utang itu?

Berapa total utang Apai dengan pria itu? Saya akan

berusaha membantu."

"Hah! Bagaimana kamu bisa membantu? Bahkan

kamu menumpang di rumah Sahat. Kamu hanya jadi

benalu di keluarga Sahat. Apa kamu tidak malu dengan

dirimu sendiri?"

Vano ciut seketika. Perkataan itu benar. Ia tidak

punya apa-apa. Bahkan selama ini, ia sudah banyak

merepotkan Apai Sahat. Apa-apa minta bantuan Apai

Sahat. Vano jadi malu pada dirinya sendiri, pada Apai

Sahat, bapaknya Lestari, dan juga Lestari.

"Apakah tidak ada cara lain selain membayar utang

itu?" tanya Vano pelan.

"Tidak ada! Itu adalah pilihan terbaik. Lestari akan

menikah dengan pria yang sudah mapan dan matang.

Lestari akan hidup layak di sana. Dan kamu, tidak usah

repot-repot membantu."

Bapaknya Lestari langsung masuk ke dalam.

"Tapi, apakah tidak bisa?"

Percuma. Bapaknya Lestari sudah di dalam. Beliau

tak akan mendengar celoteh tidak setuju Vano. Jika

mendengarnya pun, pasti akan dihiraukan.

"Sudahlah, Pan. Terima kasih atas niat baikmu."

"Tapi, aku akan tetap membantumu Lestari. Aku

tidak mau kamu menikah dengan pria itu karena..."

Vano menggantung kalimatnya.

"Karena apa?"

"Karena ... kamu temanku. Ya, kamu rekan guruku

di sekolah. Anak-anak membutuhkanmu."

Lestari tersenyum. Kali ini senyum tulus dari hatinya.

"Terima kasih, ya. Aku harus ke dalam."

??

Sebuah Perenungan

Air sungai mengalir tenang. Perahuperahu berjajar

rapi dan tertambat di lanting. Gelap. Cahaya rembulan

remangremang seakan bersembunyi di balik awan.

Bintang yang biasa bertaburan enggan menampakkan

diri.

Keramaian di dalam Rumah Betang Panjang tidak

terdengar sampai di lanting. Hanya suara serangga

malam dan cipratan air dari ikan yang sesekali muncul di

permukaan. Tenang.

Vano duduk di perahunya. Perahu hadiah dari Apai

Sahat karena keberhasilannya mendayung perahu sendiri.

Perahu yang setia mengantarkan Vano menempuh tugas

suci. Kadang mengantarkan pula gadis yang kini harus

ia bantu.

Tangan Vano mengusap sisi atas pinggir perahu. Ia

tertegun, merenungkan semua. Jika tidak ada Apai Sahat,

mungkin ia tidak berada di sini sekarang. Mungkin ia tak

akan pernah bisa merengkuh cita-citanya menjadi seorang

guru. Perkataan bapaknya Lestari masih terngiang-ngiang

di kepala.

"Aku hanya benalu." Vano mendesah pelan.

Pikirannya melayang-layang. Dalam kondisi se

perti ini, ia memerlukan ketenangan. Maka dari itu, ia

memilih menyendiri di sini. Di atas perahu. Di malam

hari yang gelap.

Semilir angin terasa begitu dingin. Memaksa ingat

annya kembali ke masa lampau. Betapa manjanya ia.

Dari kecil sudah hidup jauh lebih dari cukup. Apa pun

bisa minta. Minta mainan baru, langsung ada. Minta

peralatan sekolah baru, langsung diajak ke mal. Seperti

punya peri saja.

Semua itu hanya membuat dirinya terbiasa minta.

Menjadikannya manja. Bahkan sampai sekarang pun ia

masih terbiasa minta bantuan ke Apai Sahat.

Sebenarnya, ia tak ingin dimanjakan karena itu

berakibat buruk di masa depan. Ia jadi tidak tahu

kehidupan yang sebenarnya. Tidak tahu apa itu

perjuangan hidup sesungguhnya. Baru di sinilah ia

mendapatkan pelajaran hidup itu.

"Inilah hidup yang sesungguhnya." Vano menatap

langit yang gelap.

Bisa saja ia kerja dengan menerima tawaran Papa

memimpin salah satu perusahaan. Tapi, itu sama saja

pemberian. Bukan murni hasil kerja keras.

"Apakah langkah yang kuambil ini benar, Tuhan?"

Perkataan Lestari tadi sore terngiang di kepalanya.

"Aku tidak pernah menolak permintaan Inai. Aku tidak

pernah mengeluh di depannya meski di belakang kamu

tahu sendiri bagaimana hancurnya perasaanku."

Lamunan Vano melayang ke Mama. Ia sama sekali

tidak tahu kondisi Mama sekarang. Ia tidak tahu sedang

apa Mama di sana. Masih sehatkah beliau. Atau malah

... tidak, tidak. Tidak ada yang menginginkan hal buruk

itu terjadi.

"Mama, maafkan Vano. Vano tahu, Vano salah. Tapi,

ini impian Vano. Jika Vano menghubungi Mama, pasti

Mama langsung menyuruh Vano pulang. Vano tidak

akan tega mendengar tangisan Mama."

Bulir bening menggenang di kelopak mata Vano.

Bulan sempurna hilang. Tertutup awan yang sudah

berkumpul di atas sana. Angin berembus semakin kencang.

Menyibak daun-daun pohon di tepi sungai. Dingin.

Satu lagi yang melintas di kepalanya adalah Lestari

dan cara mencegah pernikahan Lestari. Hanya ada satu

kunci yang ia tahu; melunasi utang bapaknya. Tapi,

bagaimana caranya? Sangat tidak mungkin jika ia minta

pinjaman dari Apai Sahat.

"Bagaimana ini?"

Vano memukul permukaan sungai. Airnya menciprat

ke segala arah sampai mengenai wajahnya. Ia meluapkan

semua rasa yang membuncah di dada.

Rumah Betang Panjang masih terlihat ramai. Lampu

di dalam dan di luar masih hidup. Ada satu dua orang

yang melihat latihan dari balik pintu. Hampir setiap

malam ada latihan tari. Tapi malam ini, Vano ingin

sendiri. Menjauh dari keramaian untuk merenung.

Diam-diam Vano kagum dengan warga Meliau.

Mereka tetap berjuang melestarikan budaya warisan lelu

hur. Terus mengajari menari dan juga menenun pada

anak-anaknya.

Bayangkan jika semua warga Indonesia memiliki

kepedulian dan rasa cinta pada budaya yang tinggi seperti

warga Meliau. Mungkin tak ada lagi kasus pencurian

kebudayaan oleh negara tetangga. Mungkin Indonesia

bisa terkenal karena kebudayaannya yang beragam.

Matanya berbinar seketika. Terlintas di kepanya

tentang cara membantu Lestari. Bagaimana melunasi

utang tersebut. Seperti ada bohlam yang menyala di atas

kepala.

Ia ingat masih menyimpan handphone yang mati

karena tidak di-charge juga ATM di dalam dompet.

"Dengan itu aku bisa minta bantuan Hakim. Ya,

Hakim. Hanya dialah yang tahu keberadaanku di sini.

Hanya dia yang kupercaya. Sahabat terbaikku sejak

SMK." Vano menyunggingkan senyum.

Hanya Hakim. Tidak mungkin jika meminta ban

tuan orang rumah atau teman lainnya. Hakim sudah

teruji bisa memegang janji.

"Aku hanya perlu ke kota. Mencari sinyal juga sim

card yang baru untuk menghubungi Hakim." Vano

menghela napas. "Tuhan, semoga Hakim bisa mem

bantu."
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa disadari, Apai Sahat tiba-tiba sudah berada di

atas lanting, di belakang Vano. Bahkan langkah kakinya

ketika berjalan di atas lanting tidak terdengar oleh Vano.

"Mau ke kota, Pan?" tanya Apai Sahat tiba-tiba.

Vano tersentak. Tubuhnya sedikit bergerak refleks.

Perahunya bergoyang. Vano berusaha menyeimbangkan

posisi duduknya lagi dan membalikkan wajah.

"Maaf, mengagetkan." Apai Sahat tersenyum.

Giginya yang kuning terlihat samar karena tak ada

cahaya bulan yang memancar.

"Oh, Apai. Tidak apa-apa."

"Melamun apa? Kok menyendiri di sini."

"Tidak, Apai."

"Sepertinya mau hujan. Tidak masuk?"

Inilah yang Vano sukai dari Apai Sahat. Perhatian.

Apai Sahat selalu ada, tanpa dicari, setiap Vano ada

masalah. Apai Sahat selalu menanyakan apakah Vano

baik-baik saja setiap kali melihat ada yang ganjil dengan

Vano.

"Nanti, Apai. Masih pengen menyendiri."

"Oh, jadi Apai ganggu nih? Sudah semakin larut.

Apa tidak gatal karena digigit nyamuk? Oh, ya, jika ada

keluh kesah yang ingin diceritakan ke Apai, ceritalah.

Apai siap mendengarkan," kata Apai Sahat panjang.

"Tidak ganggu kok, Apai. Ini melamunnya juga

sudah selesai."

Vano keluar dari perahu. Berdiri di depan Apai

Sahat.

"Melamun apa? Tadi sepertinya Apai dengar kamu

mau ke kota, ya? Ada perlu apa?"

"Oh, itu. Cuma mau kontak teman lama saja." Vano

menghela napas. "Apai tahu tidak, kalau Apai Lestari

punya banyak utang?"

"Hmm." Kening Apai Sahat berkerut. "Dia pernah

cerita. Sedang bingung buat bayar utang. Ada apa me

mangnya?" Apai Sahat terlihat penasaran.

Mata Vano berbinar. Mungkin ia bisa mengorek

informasi dari Apai Sahat. Terutama berapa banyak utang

bapaknya Lestari.

"Apai tahu, berapa total utangnya?" tanya Vano

serius.

Kening Apai Sahat makin berkerut. Ia bersedekap.

Berusaha mengingat-ingat apa yang dikatakan bapaknya

Lestari waktu lalu. "Dulu bilangnya, kalau tidak salah

enam juta. Ada apa memangnya?" Apai Sahat semakin

penasaran.

"Apakah Apai tidak tahu kalau Lestari dipaksa

menikah dengan pria beristri tiga dari Malaysia jika

utang itu tidak terbayar?"

Apai Sahat terkaget. Bahunya berguncang sedikit.

"Apa kamu serius? Dia tidak pernah cerita soal ini."

"Serius, Apai. Tadi Topan sudah menemuinya, tapi

beliau malah berkelit. Bilang Lestari memang sudah

waktunya menikah."

"Apa Lestari menyetujuinya?"

"Lestari terpaksa melakukan ini. Dia tidak ingin

melihat orangtuanya susah. Tapi, dari lubuk hati paling

dalam, dia sama sekali tidak mencintai pria itu. Dia tidak

mau dijadikan istri keempat."

"Kasihan Lestari. Terus bagaimana rencanamu?"

Suara Apai Sahat memelan.

"Satu-satunya cara agar pernikahan itu batal adalah

melunasi utang itu. Makanya, saya mau ke kota minta

bantuan teman lama."

"Saya bisa membantu. Apai punya sedikit tabu

ngan."

"Tidak, Apai. Vano malu karena sudah banyak

merepotkan."

"Terus, apa yang bisa Apai bantu? Apai juga ingin

membantu. Dia kan teman Apai juga."

"Oh, iya. Apai bisa membantu saya ke Putussibau?"

"Kebetulan, besok Apai akan ke Putussibau menjual

ikan."

??

Butuh Bantuan

Vano tergesagesa keluar dari Rumah Betang Panjang.

Langit masih gelap. Bulan masih bersinar di atas sana.

Terlihat semburat cahaya dari timur. Matahari masih

belum menampakkan diri.

Apai Sahat dan Pak Gugun sudah siap di atas

lanting setelah terlebih dahulu memasukkan ikan yang

ditaruh dalam dirigen yang dilubangi berbentuk kotak

di salah satu sisi sampingnya. Vano bergegas turun dan

menghampiri Apai Sahat dan Pak Gugun.

"Maaf, Apai. Lama."

"Tidak apaapa. Tidak ada yang ketinggalan, kan?

ATM, HP, dompet?" tanya Apai Sahat memastikan.

"Tidak. Sudah semua."

Vano dipersilakan naik terlebih dahulu untuk duduk

di bagian depan speedboat. Langsung disusul Apai Sahat

yang duduk di tengah. Paling belakang Pak Gugun yang

bertugas mengendalikan mesin speedboat. Di antara

mereka, ada beberapa dirigen berisi ikan dan tertata rapi

di atas speedboat.

Perjalanan menuju Putussibau dimulai. Mesin speed

boat dinyalakan. Perlahan speedboat itu meninggalkan

Meliau dengan kecepatan sedang karena muatan yang

penuh.

Vano terpaksa meninggalkan anak didiknya hari

ini untuk kembali menyelamatkan guru yang mengajar

mereka. Semangatnya menggebu. Ini adalah satusatunya cara yang bisa ditempuh. Seperti ada sesuatu

yang menggerakkan dirinya, untuk membantu Lestari.

"Semoga nomor Hakim masih aktif." Vano bergu

mam di antara deru mesin speedboat.

Hanya Hakim harapannya sekarang. Dia tidak mau

menerima bantuan Apai Sahat kali ini. Apalagi nominal

utang cukup besar bagi warga pedalaman seperti ini.

Cukup Apai Sahat membantunya sampai di Putussibau.

Vano menatap ke depan dengan tajam. Rahangnya

mengeras. "Ini demi kamu, Lestari. Juga demi mereka,

anak didikmu, yang masih butuh ilmumu."

Langit berangsur terang. Matahari terlihat dan

tersenyum manis menyapa penduduk bumi. Deru mesin

speedboat memecah sunyinya pagi.

Vano menoleh ke arah Apai Sahat. "Apakah di Lanjak

tidak ada pasar sehingga Apai menjualnya ke Putussibau?"

tanyanya.

"Ada. Tapi, sepi. Lebih baik menjualnya langsung ke

Putussibau meski harus menempuh perjalanan panjang.

Beginilah susahnya berada di pedalaman."

"Berarti semua hasil dari Meliau langsung dijual

ke Putussibau? Apa cukup keuntungan yang didapat

dibanding modal yang sudah dikeluarkan?"

"Ya ... dicukup-cukupkan saja," kata Apai Sahat

santai. "Kita kan punya kendaraan langganan yang akan

antar jemput ke Putussibau, mungkin sekarang juga

menuju ke dermaga kayu. Biayanya agak murah."

Kening Vano berkerut. "Kendaraan langganan?"

"Iya. Mobil bak terbuka yang akan membawa kita ke

Putussibau." Apai Sahat menjelaskan.

Vano kembali termenung dan menghadap ke depan.

Matahari sudah meninggi. Di kanan kiri masih terlihat

hutan yang lebat. Air sungai terlihat tenang. Deru

speedboat berirama dengan kicauan burung-burung liar

yang mulai terdengar.

??

Pak Gugun yang mengendalikan speedboat langsung

mematikan mesinnya saat perahu itu hampir sampai di

dermaga. Perahu pun melaju pelan mendekati dermaga.

Pak Gugun mengarahkan laju perahu dengan dayung

yang sudah disiapkan. Lalu, menepikan perahu dengan

pelan dan sempurna.

Benar apa kata Apai Sahat. Mobil colt bak terbuka

sudah menunggu kami di dermaga kayu. Sang sopir

tersenyum ramah menyambut kedatangan kami. Ia

mengenakan jaket jins yang warna aslinya agak me

mudar, yang ritsletingnya dibiarkan terbuka. Rambut di

kepalanya ditutup dengan kupluk berwarna hitam.

Vano yang duduk paling depan turun lebih dahulu.

Lalu, disusul Apai Sahat yang langsung menambatkan

perahu ke tiang dermaga agar tidak terbawa arus sungai.

Pak Gugun juga ikut turun. Meski tak dijaga, tak ada

yang berani mencuri perahu yang tertambat di sini.

Apai Sahat dan Pak Gugun menyalami Pak Sopir

terlebih dahulu, begitu pun Vano. Kemudian, Apai Sahat

dan Pak Gugun langsung menurunkan dirigen berisi ikan

dari speedboat.

Tak enak terlihat menganggur, Vano ikut membantu

mereka menaikkan dirigen ikan ke atas bak. Pak Sopir

juga ikut membantu. Biar lebih cepat selesai.

Dirigen itu agak berat karena diisi air juga agar ikan

tetap hidup. Harga jual ikan mati dan hidup berbeda.

Lebih mahal yang masih hidup dan masih segar.

Sebelumnya, di kampung, ikan dikumpulkan

terlebih dahulu dalam bak atau keramba di sungai.

Barulah seminggu dua kali dibawa ke Putussibau untuk

dijual. Ini lebih menghemat biaya daripada setiap kali

menangkap langsung dijual ke Putussibau.

Sayangnya, memang tidak ada pengepul yang mau

mengambil tangkapan ke Meliau. Jadi, warga Meliau dan

kampung pedalaman lain harus berjuang menjual ikan

ke Putussibau.

Mobil bak terbuka itu melaju meninggalkan

dermaga. Pak Gugun minta duduk di depan, samping

sopir, karena ia ingin tidur di perjalanan. Membayar

utang tidur tadi malam. Sedangkan Vano dan Apai Sahat

duduk di belakang bersama dirigen yang berisi ikan.

Ini kali pertamanya naik di mobil bak terbuka seperti

ini. Ini juga kali pertamanya ikut menjual ikan. Angin

yang berembus langsung mengenai wajah dan tubuhnya.

Angin yang masih segar.
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mobil itu masih melewati jalan tanah. Tidak ada

genangan air di sana. Mungkin tadi malam hujan tidak

turun di sini. Di Meliau hanya turun sebentar. Di kanan

kiri berjajar pohon kelapa sawit yang menjulang tinggi.

Vano duduk bersandar menghadap ke belakang.

Apai Sahat masih duduk di tepi kanan, berpegangan ke

kepala mobil, dan memandang ke depan.

Jalanan berganti aspal. Sudah tidak ada lagi jalanan

yang tidak rata. Mobil melaju lebih cepat, memburu

waktu. Terlihat satu dua rumah yang letaknya ber

jauhan.

Sudah sampai di Lanjak. Vano masih hafal medan

ini. Medan yang sama ketika mengantarkan Zali dan

Wulan lomba di SD 1 Lanjak.

Mobil bak terbuka itu langsung melesat, membawa

mereka ke pasar induk di Putussibau. Memang agak siang

mereka akan tiba di pasar. Dari pasar di Putussibau, ikan

akan langsung dijual ke Pontianak dan kota-kota sekitar

Putussibau. Ada juga yang langsung dijual ke warga

Putussibau.

Mobil memasuki pasar. Aktivitas pasar sudah tidak

terlalu ramai. Hanya ada beberapa truk dan mobil bak

terbuka yang keluar masuk. Mungkin mereka yang

menjual atau membeli secara grosir. Mobil mereka

langsung menuju ke pengepul langganan.

Setelah parkir, Pak Gugun dibangunkan Pak Sopir.

Mereka bersama-sama menurunkan dirigen ikan, tak

terkecuali Vano. Pekerjaan dilakukan bersama-sama agar

cepat selesai.

Tidak lama waktu yang dibutuhkan untuk menu

runkan dirigen itu. Sekarang pegawai pengepul itu yang

bekerja. Menghitung dan menimbang ikan. Mengeluarkan

ikan dari dirigen dan memasukkannya ke tempat ikan

mereka yang lebih besar. Tempat itu berbentuk tabung

besar setinggi kurang lebih satu setengah meter.

Sementara Apai Sahat menunggu uang hasil ikan,

Vano pergi ke salah satu konter di areal pasar. Ia akan

membeli sim card baru.

Seorang pria berwajah oval menyambut kedatangan

Vano dengan senyum. Kemudian menanyakan apa yang

ingin dibeli Vano.

"Sim card satu," Vano menunjuk ke arah sim card

yang terpajang di etalase.

Pria itu langsung mengambilkannya untuk Vano.

"Boleh minta listriknya? Handphone saya mati. Nanti

sekalian ditotal dengan biaya sim card-nya."

"Boleh." Penjual pria yang melayani Vano langsung

mengambilkan stop kontak yang terhubung kabel ke

dekat Vano.

Vano langsung mengeluarkan charger-nya dari saku

belakang. Kemudian membuka handphone dan mengganti

sim card yang sudah tak bisa digunakan lagi. Handphonenya langsung di-charge. Ia menunggu sebentar agar

baterai terisi sedikit dan bisa untuk menelepon.

Setelah dirasa cukup, Vano menghidupkan hand

phone-nya. Kemudian ia registrasi dan langsung meng

hubungi Hakim dengan kabel charger yang masih

terpasang.

Tut... tut... tut...

Aktif, tapi tidak ada jawaban.

Vano mencoba menghubungi Hakim lagi.

Tut... tut... tut...

"Angkat dong, Kim. Kamu ke mana sih?" gerutu

nya.

Tidak ada jawaban.

Ini ketiga kalinya Vano mencoba menghubungi

Hakim.

Suara tut-tut-tut berhenti, pertanda sudah diangkat.

"Halo, Hakim?" Ada binar ceria di raut wajah Vano.

"Iya. Ini siapa, ya?"

Vano masih mengenali suara itu.

"Apa kamu tidak mengenali suaraku? Tadi ke mana

saja? Berkali-kali tidak kamu angkat." Vano mencerocos

saja.

"Tidak usah basa-basi. Saya lagi banyak pekerjaan.

Ini siapa?" Nada suara Hakim terdengar meninggi.

Sepertinya ia benar-benar tidak mengenali suara Vano.

"Aku Vano, Tevano!" Vano meninggikan suaranya.

"Serius?"

"Iya. Apa kamu tidak mengenali suaraku? Sialan,

kamu." Vano agak emosi. "Aku butuh bantuanmu se

karang."

"Aku bukan perekam suara yang mampu menyim

pan suara ribuan orang. Bantuan apa? Lama tidak ada

kabar, sekarang muncul langsung minta bantuan. Tidak

sopan sekali kamu. Kamu tahu? Orangtuamu sangat

khawatir. Berita kehilanganmu sudah menyebar luas sejak

kepergianmu. Akulah orang pertama yang diinterogasi

mereka, orangtuamu," kata Hakim panjang, tidak mem

berikan kesempatan Vano untuk bicara.

Vano menyumpahi Hakim dalam hati karena bicara

panjang lebar. "Tidak ada waktu untuk membahas itu.

Aku butuh uang segera."

"Uang? Untuk apa? Biaya hidup kamu di sana?"

"Bukan. Untuk membantu teman." Vano terlihat

geram karena Hakim terlalu banyak tanya.

Pulsa di sim card baru itu hanya sedikit. Dan Vano

tidak punya uang berlimpah untuk mengisi pulsanya lagi

jika habis. Kalaupun ada, ia akan memberikan seluruhnya

pada Lestari.

"Aish, berapa yang kamu minta?"

"Enam juta," Vano berkata lantang.

"Uang sebanyak itu buat apa?"

"Sudah kubilang untuk membantu teman. Apa kerja

otakmu tidak maksimal lagi? Ayolah kawan, bantu aku.

Aku tidak ada waktu lagi. Bahkan pulsaku ini minim,"

Vano menghela napas. "Suatu saat akan aku ganti plus

bunganya berkali-kali lipat. Aku janji. Akan aku SMSkan nomor rekeningku segera. Aku tak punya banyak

waktu. Cepat aku tunggu."

Vano langsung mematikan teleponnya. Ia yakin

Hakim akan segera mentransfer uangnya. Ia tahu Hakim.

Sahabat yang setia. Tak mungkin tega membiarkan

temannya merengek minta bantuan.

Vano langsung membayar sim card baru itu dan biaya

listrik untuk men-charge handphone-nya. Setelah urusan

itu selesai, ia kembali ke pengepul tadi.

Rupanya mereka sudah menunggu Vano. Pem

bayaran sudah selesai. Dirigen bekas tempat ikan sudah

semuanya naik ke bak mobil.

"Maaf menunggu lama."

"Tidak apa-apa. Kita menuju rumah makan dulu, ya.

Yang terpenting adalah mengisi perut karena itu sumber

tenaga untuk kita beraktivitas." Apai Sahat memberi

usul.

Pak Sopir tersenyum, mengiyakan usulan Apai Sahat.

Begitu pun Pak Gugun dan Vano.

Pak Sopir langsung masuk ke belakang setir. Pak

Gugun masih duduk di sebelah sopir. Vano dan Apai

Sahat melompat naik dan duduk di pinggir kanan dan

kiri mobil bak.

Panas yang menyengat tak menyurutkan semangat

Vano. Ia tak pernah mengeluh sepanjang perjalanan tadi.

Sudah biasa dengan keadaan seperti ini.

??

Apai Sahat yang membayar semua tagihan makan siang

itu. Setelah perut terisi, mereka langsung menuju ke bank

yang ada mesin ATM-nya. Tak lama ada SMS masuk.

Dari Hakim. Hakim memberitahukan bahwa ia sudah

mentransfer uangnya.

Uang Vano di rekening sudah dihabiskan untuk

biaya perjalanannya ke Meliau dulu. Perjalanan panjang

yang membutuhkan banyak biaya. Sebagian lagi sudah

diberikan ke Apai Sahat saat mengantar Zali dan Wulan

lomba ke Lanjak beberapa waktu lalu.

ATM ternyata tidak terlalu jauh jaraknya dari tempat

makan mereka. Vano bergegas turun dan masuk ke ruang

mesin ATM. Yang lain tetap menunggu di mobil. Vano

memasukkan ATM-nya, kemudian menulis password

dan langsung mengecek saldo.

Benar. Hakim sudah mentransfer uang yang di

sebutkan Vano tadi. Tidak lebih, juga tidak kurang. Vano

langsung memberikan perintah ke mesin ATM untuk

mengambil uang enam juta.

"Sial!" Vano memukul mesin di depannya itu.

"Aku lupa, jika pengambilan uang lewat ATM

maksimal lima juta dalam sehari," Vano menggerutu

kesal.

"Kalau begini masih kurang satu juta lagi."

Vano teringat, ia masih punya handphone canggih,

yang biasa disebut smartphone. Jika dijual di Jawa akan

laku tiga jutaan. Tapi di sini, Vano tidak berharap lebih.

Mana ada konter yang berani membeli handphone

mahal ini. Pasti tidak ada yang berani menawar karena

tahu harganya selangit.

Vano mengambil handphone di saku, kemudian

menatapnya. "Berapa pun hargamu, tetap kujual. Semoga

ini cukup."

Vano mengambil uang lima juta yang dikeluarkan

mesin ATM. Semua uangnya pecahan seratus ribuan

yang terlihat baru. Ia terpaksa menyisakan satu juta

kiriman Hakim dan sedikit sisa saldo terdahulu.

"Bagaimana, Pan? Sudah?" tanya Apai Sahat begitu

Vano mendekatinya di mobil.

Wajah Vano ditekuk. "Kurang satu juta, Apai. ATM

tidak mengizinkan pengambilan uang di atas lima juta

dalam sehari."

"Apai bisa bantu kurangnya." Apai Sahat mena

warkan diri.

"Masih ada handphone Topan. Tolong antarkan

Topan ke konter handphone yang besar."

Wajah Apai Sahat terlihat agak kecewa karena Vano

menolak bantuannya.
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pak Sopir langsung mengantarkan mereka menuju

ke konter handphone.

Tiga toko yang didatangi kompak tidak berani

membeli handphone Vano. Handphone itu tidak ada

pasarnya di sini.

Apai Sahat memegang pundak Vano. "Biarlah Apai

yang bantu, Pan. Handphone itu kamu simpan saja jadi

tabunganmu. Kamu tidak mau melihat Lestari menikah,

kan? Tidak ada cara lain."

Vano tertegun. Ia tak ingin merepotkan Apai Sahat

lagi.

"Biar kujual, berapa pun lakunya."

Apai Sahat menggeleng. "Sayang. Itu handphone

mahal. Simpan saja."

"Tidak, Apai. Saya tidak mau merepotkan lagi."

Vano menggeleng pelan.

"Kamu tidak merepotkan. Apai masih menyimpan

uang pemberianmu waktu lalu. Anggap saja kamu

menggunakan uangmu sendiri."

"Tidak. Itu sudah menjadi hak Apai."

"Terima saja, Pan. Kurang satu juta, kan? Bahkan

uang pemberianmu masih ada sisa."

Vano tertegun. Keningnya berkerut. Tidak ada cara

lain, selain menerima bantuan dari Apai Sahat.

??

Lestari Hilang

Hampir tengah malam, rombongan speedboat Vano

sampai di Meliau. Perjalanan pulang sama lancarnya

dengan perjalanan berangkat. Bedanya, mereka terpaksa

menempuh perjalanan malam. Tidak mungkin jika harus

menginap di Putussibau. Itu hanya akan membuang

uang saja.

Untunglah Pak Gugun sudah persiapan membawa

senter di kepala. Perjalanan malam tak ada kendala.

Meski di perjalanan Vano merasa merinding saat melaju

di sungai. Gelap. Sumber cahaya hanya dari senter yang

dipasang di keningnya, Apai Sahat, dan Pak Gugun.

Cahaya bulan terlihat redup, tertutup awan.

Vano minta duduk di tengah. Itu pun dempet dengan

Apai Sahat yang duduk di depan. Vano tak pernah berada

di tengah hutan atau di atas sungai malammalam begini.

Hanya terdengar deru mesin speedboat dan beberapa kali

suara burung hantu. Bulu kudu Vano berdiri. Apai Sahat

berusaha menenangkan Vano.

"Tidak usah takut. Tidak akan ada apa-apa," kata

Apai Sahat.

Tak mempan. Vano tetap merasa ketakutan. Ini

pengalaman pertamanya. Ia memegang lengan Apai

Sahat erat dan berusaha memejamkan mata. Lalu, Vano

menunduk dan bersandar di punggung Apai Sahat hingga

akhirnya benar-benar tertidur.

"Sudah sampai, Pan." Apai Sahat membangunkan

Vano.

Vano refleks gelagapan. Ia mengusap matanya, lalu

mengumpulkan sebagian nyawa dan energinya. Setelah

dirasa cukup, Vano langsung turun dari perahu.

Karena hari sudah malam, Apai Sahat langsung

mengajak Vano masuk ke dalam Rumah Betang Panjang

untuk istirahat. Sebelumnya, mereka berpamitan dengan

Pak Gugun.

??

Matahari sudah muncul dari peraduan. Memancarkan

sinar hangatnya. Vano yang baru bangun tidur lang

sung beranjak. Tidak mandi dulu. Bahkan ia masih

mengenakan kaus yang dipakainya kemarin. Tadi malam

Vano langsung tidur karena mengantuk berat. Ia sudah

tidak sabar memberi kabar bahagia ini pada Lestari.

Vano lalu keluar rumah. Tak lupa membawa segepok

uang lembaran seratus ribuan yang ia ambil kemarin. Ia

berlari menuju rumah Lestari. Langkahnya terdengar

mengentak di atas jalan papan kayu. Dari kejauhan,

terlihat tiga pria berdiri di teras depan rumah Lestari.

Vano segera mempercepat larinya.

"Serahkan anakmu!" teriak orang berkepala botak,

berbadan besar, dan mengenakan jaket hitam berbahan

kulit imitasi.

Pintu rumah Lestari masih tertutup rapat.

Vano berhenti di depan rumah Lestari. "Hai, siapa

kalian? Pagi-pagi seperti ini sudah membuat keributan."

Vano sebenarnya sudah menduga siapa mereka.

Tiga pria itu balik badan, lalu menatap Vano yang

berdiri tegak di jalan. Tak memedulikan keberadaan

Vano, mereka berbalik dan berteriak lagi. Pintu rumah

terbuka. Lestari keluar. Dia sudah menenteng tas. Di

belakangnya ada orangtuanya. Mereka tertunduk. Seperti

tidak rela melepas Lestari pergi dengan pria itu. Apalagi

ibunya yang terlihat meneteskan air mata.

Vano naik ke teras rumah Lestari. Menerobos dua

pria bertubuh besar. Yang satu adalah orang botak yang

berteriak tadi. Yang satunya berambut cepak, mengenakan

kacamata hitam, dan tak memakai jaket. Wajah keduanya

terlihat sangar.

Vano terus menerobos hingga orang yang berdiri

paling depan. Pria berambut cepak. Usianya tidak ter

lihat tua meski sudah beristri tiga. Ia mengenakan kemeja

kotak-kotak dibalut jaket kulit asli yang dibiarkan

terbuka ritsletingnya. Di pergelangan tangan kanan

pria itu melingkar jam tangan berwarna emas. Lalu, di

lehernya menggantung kalung emas sebesar tambang.

Ya, Vano sudah bisa menebak kalau orang inilah yang

akan membawa Lestari pergi.

Vano berdiri membelakangi Lestari dan kedua

orangtuanya. Ia menghadap tiga pria itu.

"Tunggu dulu. Apa-apaan ini?" tanya Vano purapura tidak tahu.

"Siapa kamu? Apa urusanmu datang ke sini, hah?!"

Pria beristri tiga itu bertanya dengan nada keras.

"Saya hanya ingin melunasi utang Apai Lestari."

Vano langsung mengeluarkan uang dari saku dan

menyodorkannya pada pria itu. "Sekarang lepaskan

Lestari."

Pria itu menangkis uang yang disodorkan Vano.

"Tidak bisa seperti itu. Aku sudah menyiapkan per

nikahan ini. Semua sudah siap. Tinggal pengantin pe

rempuannya saja. Lestari harus ikut denganku."

"Utang lunas, berarti tidak ada pernikahan dengan

Lestari. Silakan cari perempuan lain." Vano mengangkat

tangannya, mempersilakan pria itu pulang.

"Tidak bisa. Aku bisa rugi nanti."

"Bukan urusanku! Yang penting utang sudah lunas

berikut bunga-bunganya."

Pria yang mengenakan kalung emas berkilauan itu

geram dengan sikap Vano. Ia ingin menumpahkan semua

amarahnya, tapi tidak bisa. Ia sudah kalah. Bahkan saat

dua pria berbadan besar di belakangnya hendak maju,

segera dihadang olehnya. Utang lunas. Itu berarti tidak

ada pernikahan. Sudah jelas perjanjiannya.

"Ayo, pergi!" Pria itu akhirnya pergi bersama dua

pria berbadan besar.

Vano merasa lega. Begitu pun Lestari dan kedua

orangtuanya. Ternyata tidak terlalu sulit mengurus orang

itu. Vano mengira akan ada perkelahian karena pria tua

itu tidak terima.

"Akhirnya semua baik-baik saja." Vano bersyukur.

Vano hampir telat menyelamatkan nasib Lestari.

Telat sebentar saja, Lestari sudah dibawa pergi.

Lestari meletakkan tasnya. Tanpa disadari, Letari

langsung memeluk Vano dengan haru. Vano terpaksa

merelakan tubuhnya menjadi sandaran. Lestari masih

terisak. Ada desir rasa nyaman yang dirasakan Vano.

Vano bahagia karena Lestari tidak jadi menikah, juga

karena ini pelukan pertama Lestari untuknya.

Orangtua Lestari terlihat bahagia. Lestari segera

melepaskan pelukan setelah sadar bahwa yang dipeluk

adalah Vano. Mereka berdua salah tingkah. Terlebih

Lestari yang memeluk duluan.

"Maaf, aku tidak sengaja." Lestari tersipu.

Wajahnya memerah. Ada binar kebahagiaan yang

terpancar dari matanya.

"Tidak apa-apa." Vano menyengir.

Tiba-tiba bapaknya Lestari mendekati Lestari.

"Namun, kamu harus segera menikah Lestari. Apai tidak

ingin melihatmu jadi perawan tua."

"Tidak dulu, Apai. Lestari butuh waktu. Lagi pula,

Lestari belum punya calon," kata Lestari.

"Lihat, sudah berapa banyak pria desa yang sudah

kamu tolak? Bahkan sekarang mereka sudah mempunyai

anak."

"Lestari hanya ingin menikah dengan orang yang

Lestari cinta."

"Siapa pria yang kamu cinta itu?"

"Entahlah," Lestari menjawab singkat, penuh ke

raguan.

Mata bapaknya Lestari melotot. "Bahkan kamu

tidak mengetahuinya?! Dan ingat, harus dengan orang

bersuku sama, Dayak Iban. Itu sudah peraturan adat

yang tak tertulis."

Vano sedikit kaget. Namun ia segera menyadarkan

diri. Ia akan berusaha memendam rasa itu.

Bapaknya Lestari menoleh ke arah Vano. "Pan,

terima kasih sudah melunasi utangku. Urusanmu sudah

selesai, kan? Semoga uang itu bukan pemberian Sahat."

Vano tertunduk. Ia tahu bapaknya Lestari berniat

menyuruhnya segera pulang.

"Hari ini ngajar, kan? Kutunggu di sekolah, ya."

Vano melambungkan senyum ke arah Lestari.

Lestari mengangguk sembari membalas senyum

Vano.

??

Saat istirahat, Vano duduk di teras sekolah sambil

memandang anak-anak yang tengah bermain di halaman

depan. Ia senyam-senyum sendiri melihat tingkah anakanak.
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lestari tiba-tiba duduk di sebelah Vano.

"Terima kasih sudah membantu." Lestari masih

menatap ke depan.

Vano menoleh ke arah Lestari. Wajahnya berseri.

Vano tenggelam dalam pesona gadis itu.

"Sama-sama." Vano melambungkan senyum.

Lestari menoleh ke arah Vano. "Boleh tahu, kenapa

kamu mau membantuku? Jumlah uang itu tidak sedikit.

Suatu saat aku akan mengembalikannya."

"Aku hanya ingin membantu. Tidak usah

dikembalikan. Lupakan saja."

"Tidak, tidak. Itu tetap menjadi utangku. Serius

hanya ingin membantu?"

Vano bungkam. "Mmm, a-aku hanya ingin

melihatmu tetap mengajar."

Dari dalam kelas, Inai Atin berteriak menyuruh

anak-anak untuk masuk. Pelajaran akan dimulai lagi.

??

"Tolong!"

"Tolong!"

Teriakan minta tolong itu terdengar jelas dari

Rumah Betang Panjang. Seisi Rumah Betang Panjang

berhamburan ke luar menuju sumber suara. Vano yang

baru bangun langsung ikut keluar rumah.

Ini masih subuh. Matahari belum sempurna terlihat.

Hanya ada semburat cahaya dari timur di balik hutan.

"Tolong!"

Ternyata sudah banyak warga yang berhamburan

menuju ke sumber suara. Vano melihat tujuan warga.

Rumah Lestari. Vano tercekat. Ia bingung. Ada apa lagi.

Ia memberhentikan ibu-ibu yang lewat di hadapan

nya. "Ada apa, Inai?"

"Lestari hilang. Mungkin diculik." Wajah ibu itu

terlihat khawatir.

Vano tercekat untuk kedua kalinya. Bagai tersengat

listrik ribuan kilo volt. Ia langsung berlari menuju rumah

Lestari.

Di sana banyak warga yang berkumpul, berdiri

mengerubungi teras depan rumah Lestari. Sedangkan

Ibu Lestari masih berteriak-teriak minta tolong. Histeris.

Istri Apai Sahat terlihat menenangkan Ibu lestari. Ibu

Lestari tetap histeris minta tolong. Ibu-ibu yang lain ikut

membantu menenangkannya.

Vano menerobos barisan warga yang mengepung

rumah itu. "Lestari hilang ke mana?"

"Jika ada yang tahu, tidak akan seheboh ini, Pan."

Salah satu warga yang sudah mengenalnya menyeletuk.

Ibu-ibu mengajak Ibu Lestari masuk ke dalam rumah.

Vano dan Apai Sahat ikut ke dalam.

Di dalam, di pojok ruangan, bapaknya Lestari

terduduk lesu. Ia menunduk, tak berdaya.

Ibu-ibu memberi minum pada Ibu Lestari. Vano dan

Apai Sahat menuju ke arah bapaknya Lestari.

"Bagaimana kejadiannya?" tanya Apai Sahat pelan.

Bapaknya Lestari diam.

"Kenapa tiba-tiba Lestari hilang?" tanya Vano dengan

intonasi tinggi.

Vano khawatir dengan keadaan Lestari sekarang.

Kenapa bisa gadis itu tiba-tiba menghilang.

"Sabar dulu, Pan. Tahan emosimu." Apai Sahat

berusaha menenangkan.

Bapak Lestari masih diam.

"Apakah Apai benar-benar tidak tahu? Tidak mung

kin tiba-tiba Lestari hilang. Apa diculik?"

Ya, diculik. Satu-satu alasan logis kenapa Lestari

tiba-tiba menghilang adalah diculik.

"Pasti mereka yang menculik," kata Vano, menduga.

"Mereka siapa?" tanya Apai Sahat tidak mengerti.

"Siapa lagi kalau bukan pria tua itu." Vano terlihat

emosi. "Dia pasti sakit hati karena kita mampu melunasi

utangnya. Dia tidak rela kalau dia gagal menikah. Pasti

ini ulah mereka. Sangat tidak mungkin Lestari tiba-tiba

hilang kalau bukan diculik. Dia pasti dia pelakunya.

Pantas saja kemarin mereka tidak melawan. Ini pasti

penculikan yang sudah direncanakan."

"Kamu tidak bisa menuduh tanpa bukti, Pan," kata

Apai Sahat.

"Mana kamar Lestari?" tanya Vano tiba-tiba.

Apai Sahat tak mengerti. Begitu pun bapaknya

Lestari. Tapi, pria itu tetap menunjuk ke arah kamar

yang tertutup gorden merah.

Vano bergegas bangkit menuju kamar Lestari.

Matanya melihat semua sisi kamar. Tikarnya tampak

berserakan. Vano kembali ke Apai Sahat.

"Lihat, tikar di kamar Lestari berantakan. Pasti saat

diculik, Lestari meronta-ronta."

"Di mana tempat tinggal pria itu?" tanya Vano tak

sabaran.

Bapak Lestari diam.

"Ayo Apai, katakan. Kita harus mengejarnya," Vano

memaksa.

Emosinya membuncah. Ia benar-benar khawatir

dengan Lestari. Tapi, bapaknya terus saja diam tidak

memberikan titik terang. Mungkin saja beliau masih

kaget dengan kejadian ini.

"Putussibau. Gudang beras dan gandum," kata

bapaknya Lestari pelan.

"Baiklah. Ayo, kita kejar dia. Tidak ada waktu lagi."

"Kita tidak boleh gegabah, Pan. Harus dipikirkan

secara matang. Kita tidak punya bukti dan saksi." Apai

Sahat berusaha melunakkan emosi Vano.

"Tapi, Topan yakin pasti mereka pelakunya. Siapa

lagi?"

"Lebih baik kita tenangkan orangtua Lestari dulu.

Mereka sangat terpukul atas hilangnya Lestari. Barulah

kita atur rencana."

??

Ibu Lestari sudah berangsur tenang. Bapaknya juga sudah

lumayan tenang. Vano dan Apai Sahat mengajak mereka

diskusi. Menanyakan kronologis kejadian.

"Inai tidak tahu," kata Ibu Lestari sambil meng

geleng.

"Apa tadi malam Inai tidak mendengar suara apaapa?" tanya Vano tergesa. Ia masih belum bisa menahan

emosinya.

Ibu Lestari mengerutkan kening. "Tidak. Inai tidur

lelap sekali."

"Kalau Apai, apakah mendengar sesuatu?" Vano

memandang ke arah Bapak Lestari.

"Tidak. Tidak mendengar apa-apa."

"Kita harus coba ke sana, mencari Lestari. Saya yakin,

mereka yang menculiknya. Tidak ada salahnya mencoba

ke sana, kan? Ini untuk kebaikan Lestari juga."

"Tapi, apa tidak percuma kalau Lestari tidak ada di

sana?" Bapaknya Lestari ragu.

"Terus kita mau apa? Kita tidak bisa diam begitu

saja. Kita harus mencoba mencarinya." Vano menatap ke

arah Apai Sahat. "Apai, ayo antarkan saya ke Putussibau

sekarang." Vano menatap ke arah bapaknya Lestari. "Jika

Apai juga mau ikut, ayo sebelum siang."

"Baiklah," kata bapaknya Lestari.

Mereka langsung berjalan keluar dan mempersiapkan

perjalanan ke Putussibau. Tidak ada waktu lagi. Mereka

harus bergegas.

??

Kucuran Darah

Vano, Apai Sahat, dan bapaknya Lestari meninggalkan

Meliau dengan speedboat. Apai Sahat bertugas mengen

dalikan mesin speedboat. Speedboat itu melaju dengan

kecepatan penuh karena muatan yang tidak terlalu berat.

Matahari sudah menampakkan diri. Sinar hangatnya

membasuh tubuh mereka. Mengusir hawa dingin yang

tadi pagi menyelimuti.

"Memangnya bagaimana ceritanya kamu bisa ber

hubungan dengan pria tua itu? Sampaisampai Lestari

yang menjadi korban?" Apai Sahat bertanya pada

bapaknya Lestari.

Bapaknya Lestari diam sejenak. "Aku dulu terpaksa

meminjam. Itu sudah lama sekali. Pantas saja kalau

bunganya berlipatlipat. Aku pikir dia sengaja tidak

menarik utangku dulu agar menumpuk dulu bunganya.

Baru diungkitungkit setelah cukup banyak. Aku benar

benaar lupa waktu itu."

"Mereka bisa berbuat nekat kalau sudah begini."

Apai Sahat menampakkan wajah khawatir.

Vano yang duduk di depan masih diam. Ia seper

tinya ingin marah dan tak terima dengan ini semua.

Tapi bagaimana lagi, semua sudah telanjur. Yang ada

di pikirannya sekarang hanya Lestari. Bagaimana

menyelamatkan Lestari.

"Bagaimana bisa kamu memberikan Lestari pada

pria itu?" tanya Apai Sahat lagi.

"Aku tidak memberikan Lestari. Dia yang meminta.

Lagi pula, Lestari sudah seharusnya menikah dan punya

anak. Aku tidak punya pilihan lain."

Vano dengan segera menoleh ke belakang. "Lestari

akan menikah dengan orang yang dia cinta. Bukan pria

tua itu. Cinta tidak bisa dipaksa!"

Sejak tadi pagi, ia masih tidak bisa menahan

emosinya. Ini tentang Lestari, gadis yang dia cinta.

"Tapi, sampai kapan? Bahkan sampai sekarang dia

belum punya kekasih. Lihat teman-temannya, sudah

punya anak," jawab bapaknya Lestari.

"Dia masih punya cita-cita yang ingin dikejar. Jodoh

tidak akan ke mana. Seharusnya Apai percayakan masalah

cinta pada orang yang menjalaninya, yaitu Lestari." Hati

Vano bergetar.

Melihat dua orang di depannya saling adu argumen,

Apai Sahat angkat bicara. "Sudah, sudah. Untuk apa kalian

berdebat. Sekarang waktunya kita untuk memikirkan

bagaimana mencari Lestari dan menyelamatkannya jika

benar dia diculik pria tua itu."
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lengang. Semua diam. Hanya terdengar deru mesin

speedboat.

"Nanti kita pakai kendaraan apa ke Putussibaunya,

Apai?" tanya Vano pada Apai Sahat.

"Jika kita tidak terlambat, mungkin ada mobil bak

terbuka seperti kemarin. Setiap hari mobil itu parkir di

dermaga untuk membantu warga pedalaman ke pasar,"

Apai Sahat menjelaskan.

Vano menghela napas lega.

??

Mobil bak terbuka yang akan mengantarkan mereka

hampir meninggalkan dermaga. Di atas mobil itu sudah

ada tiga pria dari kampung sebelah yang membawa ikan

tangkapan untuk dijual ke pasar. Untungnya, Vano

bergegas melompat dari speedboat dan berlari mengejar

mobil yang baru beberapa meter berjalan.

"Di mana gudang gandum milik pria itu?" tanya

Apai Sahat saat mereka sudah duduk di atas mobil bak

terbuka.

"Di pasar," jawab bapaknya Lestari, singkat.

Apai Sahat menghela napas lega. "Pas sekali. Mobil

ini juga mau ke pasar. Jadi, tidak perlu cari kendaraan

lain."

Vano memilih untuk diam. Ia ingin secepatnya mene

mukan Lestari dan menyelamatkannya. Ia sangat khawatir

dengan keadaan lestari, gadis yang ... ah, gadis pengajar

SD Mini Penggerak lebih tepatnya.

Mereka semua kemudian turun di pasar. Tepatnya di

tempat pengepul ikan langganan Apai Sahat. Pasar masih

terlihat ramai seperti biasa. Truk dan mobil bak terbuka

keluar masuk area pasar.

"Di mana gudang gandum pria tua itu?" tanya Apai

Sahat.

"Di sana." Bapaknya Lestari menunjuk ke arah

gudang besar.

Ada truk dan beberapa mobil bak terbuka berjajar

rapi, menunggu bongkar muat. Beberapa orang terlihat

melakukan aktivitas bongkar muat. Memikul karungkarung dari mobil bak terbuka berukuran kecil dan

membawanya masuk. Sebagian melakukan hal sebaliknya,

memikul karung dari dalam ke truk untuk didistribusikan

lagi.

Emosi Vano seakan semakin membuncah. "Ayo kita

masuk segera, mengecek apakah benar ada Lestari di

dalam sana." Vano terlihat menggebu.

Apai Sahat segera mencegahnya. "Jangan dulu. Kita

tidak bisa gegabah. Kita kalah jumlah. Kita tidak bisa

melabrak begitu saja tanpa bukti. Pikirkan cara yang

lebih bagus. Jangan membahayakan diri kita."

"Tapi?"

Apai Sahat memotong kalimat Vano, "Mereka pasti

punya senjata. Kamu tidak mau berakhir di sana tanpa

Lestari, kan?"

"Baik. Terus apa rencana Apai selanjutnya?" tanya

Vano.

Apai Sahat mengerutkan kening, bersedekap, dan

berpikir. "Yang pasti kita harus memastikan apakah

benar di sana ada Lestari atau tidak terlebih dahulu. Jika

memang benar ada, kita pikirkan cara berikutnya."

Kening Vano berkerut. "Bagaimana jika salah satu

dari kita mencoba masuk ke dalam dengan menyamar

meminta kerja menjadi kuli panggul di sana?"

Bapak Lestari membuka suara, "Bisa juga. Tapi siapa?

Kamu pasti sudah dikenal mereka. Apalagi saya." Bapak

Lestari menoleh ke arah Apai Sahat. "Apai Sahat, apakah

pernah bertemu pria itu?"

Apai Sahat menggeleng. "Jangankan bertemu. Tahu

orangnya saja tidak."

"Tepat sekali." Wajah Vano berbinar. "Jadi, Apai

yang harus ke situ, mengecek keadaan sekaligus mem

baca situasi," Vano memberi usulan.

"Baiklah," Apai Sahat berkata lantang.

Vano dan Bapak Lestari memantau dari jarak aman.

Mereka bersembunyi di balik gudang kosong di seberang

gudang gandum milik pria itu. Apai Sahat melancarkan

aksinya. Pergi ke sana.

Sampai di sana, ia terlihat berbicara dengan seorang

pria. Ya, pria tua yang memakai kalung emas itu.

Sedikit berbicara dengan wajah paling menyedihkan

agar dikasihani sehingga diterima membantu jadi kuli

panggul. Apai Sahat berhasil. Ia terlihat memikul karung

dari dalam dan menaikkannya ke bak truk.

Vano dan Bapak Lestari terus mengintai. Mereka

terpaksa menunggu Apai Sahat sampai pekerjaan selesai.

??

Matahari merangkak turun ke peraduan. Langit ber

angsur memerah. Pekerjaan selesai. Truk dan mobil bak

terbuka berukuran kecil meninggalkan gudang gandum.

Kuli-kuli meninggalkan gudang setelah menerima

upah dari pria tua itu. Begitu pun Apai Sahat yang

langsung berjalan ke arah Vano dan Bapak Lestari yang

masih menunggunya di belakang gudang kosong.

"Bagaimana, Apai? Apakah ada Lestari di sana?"

tanya Vano segera.

Apai Sahat menghela napas. "Bukan hanya Lestari.

Ada dua gadis lain yang disekap di sana. Di ruangan

tertutup. Untung tadi saya berhasil menengok lokasi itu

saat pura-pura minta izin ke WC. Saya mengintip dari

celah dinding kayu."

"Bagiamana keadaan Lestari, Apai?" Vano memotong

cerita Apai Sahat.

"Tangannya ditali, begitu pun kakinya. Mulutnya

ditutup lakban hitam." Ada gurat kesedihan di raut wajah

Apai Sahat.

"Ayo, kita selamatkan Lestari segera." Vano meng

gebu. Cerita Apai Sahat tentang keadaan Lestari mem

buatnya tidak tenang. Ia ingin secepatnya menyela

matkan Lestari.

"Jangan gegabah, Pan. Tidak semudah itu. Ruangan

itu dijaga ketat. Ada sekitar sepuluh orang yang menjaga.

Tadi, saya hampir ketahuan. Kita harus minta bantuan."

Kening Vano berkerut. "Polisi. Ya kita harus ke kantor

polisi segera. Apalagi kata Apai tadi ada dua gadis lagi di

dalam sana. Mungkin mereka juga korban penculikan."

"Ayo, kita ke kantor polisi terdekat. Kita cari tukang

ojek." Apai Sahat memberi usul.

"Tapi, harus tetap ada yang jaga di sini untuk tetap

mengintai," kata Vano.

Vano dan Apai Sahat melihat ke arah Bapak Lestari

secara serempak. Seperti sudah paham maksudnya, Bapak

Lestari mengangguk.

Apai Sahat dan Vano langsung berlari keluar pasar

dan mencari ojek yang masih mangkal. Meskipun perut

belum terisi sejak tadi siang, Vano tetap bugar dan

semangat. Ini demi cintanya.

Udara malam terasa dingin. Bulan tampak menawan

bersama bintang yang bertaburan. Rupanya, awan tak

berani menghalangi sinar bulan.

Di bawah bulan yang tersenyum, Vano dan Apai

sahat yang sudah naik ojek melaju menuju ke kantor

polisi terdekat.

Sampai di sana, Vano dan Apai Sahat bergegas masuk

kantor dan melaporkan bahwa ada penculikan di gudang

gandum milik pria tua dari Malaysia. Tidak banyak polisi

yang bertugas jaga malam. Hanya ada enam polisi.

Keenam polisi itu tengah bersantai di ruang depan

sembari menonton TV. Kantor itu tidak terlalu besar.

Hanya ada beberapa meja dan bangku memanjang.

Vano langsung menyampaikan laporan kepada salah

satu polisi yang tengah duduk di belakang meja.

"Apa laporan kalian bisa dipertanggungjawabkan?"

tanya polisi berbadan tambun dan berkumis tebal itu

ragu.

"Jika tidak serius, saya tidak akan jauh-jauh ke sini

melaporkan ini!" Vano berkata galak.

"Tapi, apakah ada bukti-buktinya?" tanya polisi itu

lagi.

Vano geram dengan polisi satu ini, yang tidak cekatan

dalam menerima laporan tindak kriminal. "Sudah tidak

ada waktu lagi, Pak. Apai Sahat saksinya. Bahkan ada dua

gadis lagi yang disekap di dalam."

Apai Sahat mengangguk. "Sudahlah. Ayo cepat ke

lokasi. Kita tidak punya banyak waktu untuk melakukan

penggerebekan." Apai Sahat ikut memburu.

"Tapi, personel kita sedikit karena ini jaga malam."

Polisi itu masih saja mengelak.

"Berapa pun itu, aku tak perduli. Kalian yang ber

wenang. Kalian bisa saja menelepon kantor yang lain

untuk segera datang membantu," usul Apai Sahat.

"Apa kamu tidak ingin kenaikan pangkat karena

prestasimu menangkap penculik dari negeri Malaysia,

hah?!" Vano ikut-ikutan.

"Baiklah." Polisi itu menatap teman-temannya yang

masih asyik menonton TV. "Ayo, semuanya langsung naik

ke mobil. Kita lakukan penyergapan malam ini juga."

Enam polisi yang berada di kantor tersebut langsung

berhamburan keluar dan melompat naik mobil polisi

yang bagian belakangnya ada bangku panjang serta saling

berpunggungan.

Vano dan Apai Sahat ikut bersama mobil polisi itu.

Apai Sahat duduk di depan untuk menunjukkan lokasi

kejadian.

Mobil tersebut memasuki area pasar. Dada Vano

seolah begemuruh. Ia berharap semuanya akan baik-baik

saja. Tidak ada yang terlukai, apalagi Lestari.

??

Pistol mereka sudah teracung, siap memuntahkan peluru

hanya dalam satu tarikan saja. Vano menelan ludah. Ia

berharap tidak akan ada baku tembak. Ia takut kekerasan.

Lima polisi langsung turun dan mengepung gudang

itu. Mereka mengacungkan senjata. Siap menembak jika

ada perlawanan.
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Satu polisi berjaga di mobil bersama Vano, Apai Sa

hat, dan Bapak Lestari. Sirine mobil dinyalakan. Meraungraung memecah kesunyian malam.

Polisi yang berjaga di mobil itu berteriak dengan toa,

"Cepat keluar, penjahat! Kalian sudah terkepung. Kalian

tidak bisa apa-apa lagi sekarang."

Sayang, tidak ada respons dari dalam gudang. Polisi

yang mengepung tetap siaga.

"Perhatian! Cepat keluar! Kalian sudah terkepung.

Segera serahkan diri. Kami sudah tahu siapa kalian dan

apa yang kalian lakukan."

Masih tidak ada respons dari dalam. Pintu gudang

masih tertutup. Mereka ternyata punya nyali juga.

"Sekali lagi kami katakan. Cepat keluar atau kami

benar-benar melukai kalian."

Masih sama. Dua polisi mendobrak pintu gudang

dengan kaki.

Dor!

Dor!

Salah satu polisi itu langsung tumbang. Tepat di

dada, peluru yang dimuntahkan senapan laras panjang

itu mengenainya. Darah segar mengucur. Polisi yang

satunya langsung berlari ke dalam, sembunyi di balik

tumpukan karung gandum.

Polisi yang mengepung tidak mundur. Mereka terus

maju. Mengendap masuk ke dalam gudang dan ber

sembunyi di balik tumpukan karung gandum. Di dalam

terjadi baku tembak. Musuh terus memuntahkan peluru.

Sepertinya, mereka sudah terlatih menggunakan senjata

api.

Para polisi terus menyerang, menumbangkan bebe

rapa musuh yang terus melawan. Panas. Pertarungan

itu berjalan sengit. Musuh kali ini kuat. Mereka lebih

menguasai keadaan.

Vano yang mendengar suara tembakan bergidik

ngeri. Ingin berlari ke arah gudang, melihat keadaan, tapi

ia sebenarnya sangat takut dengan keadaan yang seperti

ini. Langkahnya ragu.

Polisi yang tadi berteriak dengan toa di mobil segera

menyusul Vano. "Kembali kau! Jangan mendekat ke

gudang itu."

Vano berhenti. Langkahnya semakin berat. Tapi ia

ingin ke dalam, melihat keadaan dan menyelamatkan

Lestari. Lestarilah tujuannya ke mari.

Sekarang mereka hanya bertiga dan berdiri di

samping mobil, di bawah sinar bulan.

Baku tembak masih terdengar dari dalam. Vano

mengepalkan tangan keras. Ia tak bisa mengontrol

emosinya. Ketakutan terpaksa ia tekan. Ia berlari menuju

ke gudang gandum dengan tangan kosong.

Apai Sahat dan Bapak Lestari langsung berhamburan

mengejar Vano. Apai Sahat langsung ke dalam menyusul

Vano yang ternyata tengah bersembunyi di belakang

tumpukan karung bersama polisi yang lain.

Mereka memang benar bisa masuk ke dalam dengan

selamat dari sela-sela hujaman peluru. Tapi tidak ada yang

bisa menjamin mereka akan bisa keluar dengan selamat.

Bisa saja, mereka lepas nyawa di gudang ini bersama

polisi lain yang tak punya taktik khusus menyelamatkan

Lestari.

"Kenapa kalian masuk?" tanya polisi berbadan tam

bun tadi.

"Saya khawatir dengan keadaan di sini," kata Vano.

"Saya lebih khawatir dengan keadaan kalian. Musuh

kita, musuh serius. Semoga sebentar lagi ada bantuan."

Anak buah pria itu dibekali laras panjang. Pantas

saja, mereka tak takut hanya dengan gertakan polisi

tadi. Sepertinya, peringatan polisi tadi dimanfaatkan

mereka untuk menyusun strategi dan mempersiapkan

persenjataan.

Hanya sisa tiga polisi yang ikut bersembunyi di

balik tumpukan karung gandum. Polisi itu sudah tidak

melakukan tembakan. Begitu pun musuh. Tapi, suasana

tetap panas.

Suara tembakan membahana dalam gudang yang

tertutup. Beberapa karung gandum berlubang dan me

ngeluarkan isinya.

"Kita tidak bisa bertahan terus seperti ini," kata Vano

takut.

"Kita juga tidak bisa melawan. Pria itu penjahat kelas

kakap. Makanya tadi aku menyuruh kalian menunggu di

luar."

Baku tembak berhenti sejenak.

"Hei, kalian polisi kacangan. Cepat lari atau

menyerahkan diri. Jika tidak kepala gadis cantik ini akan

hancur!" Suara pria tua itu terdengar lantang.

Vano mengintip dari balik karung gandum.

Matanya terbelalak. Ia tersentak. Di sana ada pria tua

itu. Di samping pria itu ada seorang gadis cantik. Gadis

yang memaksa Vano untuk berangkat ke Putussibau. Ya,

Lestari. Lestari seperti sudah tidak berdaya. Tangannya

terikat dengan tali tambang. Ada moncong laras panjang

menempel di pelipisnya.

Di kiri kanan pria itu ada pria-pria berbadan kekar

menenteng laras panjang mengacung ke arah tempat

persembunyian Vano dan polisi.

"Itu Lestari, Apai. Bagaimana ini? Aku tidak ingin

Lestari kenapa-kenapa." Vano terisak.

"Sudahlah diam saja. Aku lagi berpikir sekarang!"

bentak polisi itu.

"Bagaimana?! Aku hitung sampai hitungan tiga. Jika

kalian tidak menyerah, gadis ini akan mati mengenaskan

di depan kalian!" Pria tua itu berteriak lagi.

"Kita harus menyerah, Apai. Tidak ada cara lain."

Vano khawatir.

"Dua..."

"Ayo, Apai..." Vano memohon.

"Ti..."

Dor!

Pria tua itu mejatuhkan senjata laras panjangnya.

Badannya terhuyung ke depan. Bahkan sudah tidak

bernyawa sebelum badannya sempurna menyentuh tanah.

Darah keluar tepat di dadanya. Ia mati tertembak.

Vano menoleh ke pintu masuk. Matanya menangkap

sosok Bapak Lestari tengah mengangkat pistol tepat ke

arah pria tua itu.

Pada detik itu, tiga polisi yang tersisa langsung

melepaskan tembakan beruntun pada orang-orang yang

memegang laras panjang yang tertegun menatap bosnya

sudah tidak bernyawa.

Dor!

"Ah!" Bapak Lestari berteriak kesakitan.

Peluru panas mengenai perut Bapak Lestari.

Tubuhnya terhuyung ke depan dan jatuh ke tanah. Lestari

yang mengetahuinya langsung berlari ke arah bapaknya.

Ia menghiraukan baku tembak yang terjadi. Bisa saja ia

tertembak peluru nyasar saat berlari. Tapi, ketakutan itu

ia tepis begitu saja.

Polisi bertubuh tambun dengan sigap membalas

orang yang menembakkan peluru ke arah Bapak Lestari.

Musuh sudah habis. Mati di tempat.

Vano, Apai Sahat, dan tiga polisi yang tersisa

langsung berhamburan ke arah Bapak Lestari. Lestari

yang tangannya masih terikat hanya bisa tertunduk me

mandangi bapaknya. Vano langsung membuka tali yang

mengikat pergelangan tangannya, kemudian membuka

lakban di mulut Lestari.

Lestari langsung memangku kepala bapaknya. Darah

mengucur di perutnya.

"Apai, bertahan, Apai." Lestari terisak.

"T-t-tari, M-m-maafkan Apai. I-i-ini semua salah

Apai. Jika malam itu Apai tak membiarkan pria keparat

itu menculikmu, semua ini tidak akan terjadi," kata

Bapak Lestari pelan.

"Apai ... Apai harus kuat." Lestari terisak. Lestari

memandang orang yang mengelilinginya. "Tolong bawa

Apai ke rumah sakit terdekat. Apai harus cepat dapat

pertolongan."

Dengan sigap, Vano dan Apai Sahat langsung meng

gotong Bapak lestari ke atas mobil polisi.

Polisi berbadan tambun mengantarkan mereka ke

rumah sakit. Sedangkan, dua polisi lain mengurus jasad

musuh itu dan mencari dua gadis lain yang disekap

juga.

??

Sang Pembohong

Lestari duduk di bangku panjang di depan ruang operasi.

Ia masih terisak, khawatir dengan keadaan bapaknya.

Vano terus berusaha untuk menenangkan Lestari. Apai

Sahat dan polisi berbadan tambun tadi ikut menunggu.

Polisi itu akan menunjuk Lestari menjadi saksi di kasus

ini.

Sudah satu jam berjalan. Pintu ruang operasi itu

belum juga dibuka. Lestari masih terisak. Terlihat sekali

bahwa Lestari sangat menyayangi bapaknya.

"Percayalah, Apai akan selamat." Vano memegang

pundak Lestari.

Lestari masih tertunduk dan meneteskan air mata.

"Ayolah Lestari..."

Pintu ruang operasi terbuka. Dokter yang masih

mengenakan seragam operasi berwarna biru muda keluar.

Ia melepaskan masker dan menyunggingkan senyum.

Sepertinya ada kabar gembira yang ingin disampaikan.

Lestari langsung berdiri dan menghampiri dokter

tersebut. Disusul Vano, Apai Sahat, dan polisi.

"Bagaimana, Dok?" tanya Lestari segera.

"Syukurlah. Semua berjalan lancar." Dokter ber

kumis tipis itu menyunggingkan senyum.

"Syukurlah." Hati Lestari lega. Ia sangat bersyukur

karena bapaknya bisa selamat.

"Untungnya, peluru tidak masuk terlalu dalam.

Mungkin karena jarak tembak yang lumayan jauh,"
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terang dokter.

Dokter itu lalu pergi meninggalkan mereka yang

sudah lega. Penantian dan doa yang selalu dipanjatkan

ternyata dijawab Tuhan. Lestari menyeka air mata yang

membasahi pipi.

Tak lama, Bapak Lestari dipindah ke ruang perawatan

biasa. Lestari dengan setia ikut mendorong ranjang

bapaknya menuju ruang perawatan. Sayang, bapaknya

belum juga membuka mata. Obat bius masih menguasai

kesadarannya.

Polisi itu minta izin kembali ke kantor karena malam

sudah semakin larut.

??

Matahari pagi datang, pertanda aktivitas siap dimulai.

Lestari dengan setia menemani bapaknya dari tadi

malam. Vano dan Apai Sahat memilih tidur di bangku

luar ruangan. Bapak Lestari masih belum sadar.

Ruang perawatan berkapasitas empat orang. Rua

ngan itu disekat dengan tirai berwarna biru muda.

Lestari duduk di kursi di samping ranjang. Sedangkan

Vano yang baru masuk berdiri di samping Lestari.

Lestari menoleh ke arah Vano. "Pan, terima kasih

untuk semua pengorbananmu."

Vano tersenyum. "Sama-sama. Semua demi SD Mini

Penggerak."

"Kamu pemuda yang baik. Maafkan dulu pernah

memusuhimu."

Jantung Vano berdegup kencang sekali. Ia tak per

nah sedekat ini dengan Lestari. Rasa itu hadir dan ingin

sekali terucapkan. Tapi, kata-kata Bapak Lestari muncul

di kepalanya. Peraturan adat tak memperbolehkan

pernikahan beda suku.

Ia berusaha menguatkan diri dan kembali pada

tujuan awalnya ke sini, menjadi guru di SD Mini Peng

gerak. Hanya itu. Meski sebenarnya ia benar-benar

memiliki rasa cinta pada Lestari.

Cinta tak harus memiliki. Aku mencintainya, juga

anak didikku. Ini untuknya juga anak didikku.

Tiba-tiba pintu terbuka. Polisi berbadan tambun

yang kemarin masuk ke ruang perawatan bersama Apai

Sahat.

"Permisi. Bisakah Lestari ikut dengan kami sebentar?

Kami hanya akan meminta keterangan soal kasus ini biar

segera diproses," terang polisi itu.

Vano memandang ke arah Lestari. Lestari pun

mengangguk.

"Aku ikut. Biar Apai Sahat yang menjaga," pinta

Vano.

"Boleh. Silakan saja."

Polisi itu langsung mengajak mereka keluar ruang,

kemudian membawanya ke kantor polisi untuk dimintai

keterangan.

Di kantor polisi, Vano dengan setia menemani Lestari

yang dimintai keterangan. Yang menginterogasi Lestari

bukan polisi berbadan tambun kemarin. Mungkin ia

memang bukan bagian interogasi.

Ruangan polisi itu tampak penuh. Beberapa polisi

terlihat berseliweran di ruangan. Bangku-bangku penuh

oleh penghuninya.

Polisi yang menginterogasi itu memperhatikan

wajah Vano, lekat. "Aku sepertinya pernah melihatmu,

anak muda."

Polisi tersebut mengerutkan kening, seakan membuka

file ingatan dalam otaknya.

Kening Vano berkerut. "Di mana? Kita baru ketemu

pagi ini, kan?"

"Tidak, tidak. Tunggu sebentar." Kening polisi

tersebut masih berkerut.

Ia mencoba mengingat-ingat di mana pernah melihat

Vano. Ia seperti sudah pernah melihat wajah itu. Matanya

menatap wajah Vano tajam, kemudian menatap papan

putih yang berada di belakang vano. Ada tiga foto yang

terpampang dengan tulisan ?Orang Hilang? di atasnya.

Mata polisi itu menatap salah satu foto pria berkulit

putih yang berada di tengah.

Tanpa suara, polisi itu beranjak dari tempat duduk

nya. Kemudian berjalan ke arah papan di belakang Vano.

Setelah sampai, ia meyobek foto pria berkulit putih itu,

kemudian kembali duduk di tempatnya.

Vano dan Lestari saling berpandangan, lalu meng

angkat bahu. Bingung dengan tingkah aneh ini.

Polisi itu membandingkan wajah dalam foto dan

wajah Vano. "Apa namamu Tevano Aliandra Putra?"

Vano tersentak. Bahunya refleks berguncang. Wajah

nya mendadak pucat.

"Dia Topan, Pak Polisi," kata Lestari mem

benarkan.

"Bukan, dia Tevano Aliandra Putra. Ciri-ciri fisik

yang tertera dalam keterangan ini merujuk padanya.

Tidak salah lagi."

Vano gelisah. Ia tak bisa berkata apa-apa. Polisi

ini menang. Sekarang semuanya terbongkar. Ia tak

menyangka informasi tentang dirinya sampai di sini.

Padahal menurutnya ia sudah jauh dari rumah. Di

tempat paling pelosok di negeri ini. Nyatanya, orangtua

Vano menyebarkan informasi tentang dirinya sampai

sini. Tamatlah perjalanannya.

Lestari terkekeh. "Tevano apanya? Dia ini Topan,

Pak. Keponakannya Apai Sahat."

Polisi itu langsung memberhentikan dua polisi yang

kebetulan lewat. "Tolong amankan pria ini. Aku akan

menelepon keluarganya segera."

Dua polisi itu mengangguk, kemudian langsung

memegangi kedua lengan Vano.

"Tidak, Pak. Saya Topan, bukan Vano." Vano

berusaha berontak, meski ia tahu itu percuma.

"Tunggu keluargamu datang menjemput. Kita akan

tahu yang sebenarnya," kata polisi itu yakin.

"Apa-apaan ini, Pak. Jelas ini namanya Topan.

Keponakan Apai Sahat dari Pontianak. Kenapa malah

ditangkap?" Lestari berusaha membela.

"Siapa Apai Sahat? Ini Tevano Alindra Putra, putra

kedua orang kaya di kotanya. Dia dilaporkan orangtuanya

menghilang. Ternyata berada di sini."

Lestari memadang ke arah Vano. Vano malah

menunduk.

"Kamu bisa panggil Apai Sahat itu ke sini, sembari

menunggu keluarga Tevano datang. Aku akan menelepon

keluarganya terlebih dahulu."

Vano dipaksa masuk dan diamankan di ruang

lain. Polisi itu kemudian menelepon dan melakukan

percakapan dengan orang di seberang sana. Lestari masih

di situ memperhatikan polisi yang sedang menelepon.

"Pas sekali. Orangtuanya sudah di bandara. Mau

terbang ke Putussibau. Katanya sudah dapat kabar dari

seseorang perihal ini. Berarti benar, itu Tevano Aliandra

Putra."

"Tidak mungkin."

"Silakan kamu bisa kabari Apai Sahat itu. Kita akan

tahu siapa dia sebenarnya."

Lestari berbalik dan langsung pergi ke rumah sakit,

mengabari Apai Sahat. Semuanya malah melupakan

pemeriksaan pada Lestari dan perihal kasusnya disekap

di dalam gudang bersama dua gadis lainnya.

Apai Sahat sudah datang bersama Lestari. Mereka tidak

diizinkan untuk bertemu Vano terlebih dahulu. Mereka

harus menunggu orangtua Vano yang saat ini sudah

berada dalam perjalanan menuju ke kantor polisi.

Tak lama menunggu, akhirnya orangtua Vano datang

bersama Widya. Lestari dan Apai Sahat kaget, kenapa

mereka bisa datang dengan Widya. Vano diantar keluar

oleh dua orang polisi.

Wajah Vano terangkat sedikit. Matanya menangkap

sosok Mama dan Papa di hadapannya. Mata Mama

terlihat basah oleh genangan air mata. Mata papanya

membulat merah. Vano menyiapkan diri akan dimaki

Papa di sini, di depan Mama, Lestari, dan Apai Sahat.

"Vano..." Mama Vano berlari memeluk Vano sangat

erat.

Vano tak bisa membendung air matanya. "Maafkan

Vano, Ma." Kedua tangannya merangkul tubuh Mama

erat.

Lestari terkaget. Berarti semua ini benar. Ia bukan

Topan. Ia Tevano Aliandra Putra. Putra kedua orang kaya

di kotanya.

"Ternyata dia kaya, lho." Widya menoleh ke arah

Lestari. Mulutnya menyeringai. "Aku akan mendapat

kannya."

Lestari masih terperangah. Ia tak bisa menerima

kebohongan ini. Ini terlalu menyakitkan. Vano yang

dikira baik ternyata seorang pembohong.

Pak Handoko, papanya Vano, mendekati Mama

dan Vano yang masih berpelukan erat. Papa menyuruh

mereka menyudahi pelukan itu, kemudian....

Plak!

Tamparan keras itu mendarat di pipi Vano. Vano

mengaduh kesakitan. Wajah Papa terlihat sangat marah.

"Papa ini apa-apaan sih? Sudah untung Vano masih

sehat di sini," kata Mama.

Papa tak memedulikan Mama. "Kamu itu anak tidak

tahu diri! Kenapa tiba-tiba kabur?! Apa kurangnya yang

Papa kasih ke kamu, hah?!" Seoalah ada kobaran api di

mata Pak Handoko.

Vano menunduk. Ia tahu, ia salah. Tapi ia hanya

ingin mewujudkan keinginannya.

Pak Handoko mengangkat tangannya, bersiaga

untuk menampar pipi Vano lagi.

"Stop, Pa. Jangan maki Vano lagi. Dia punya alasan

kenapa dia kabur dari rumah. Yang penting dia baik-baik

saja." Mama terisak. Ia tak tega melihat Vano yang masih

kesakitan.
Mendayung Impian Karya Mohammad Abdurrohman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Vano memberanikan diri dan angkat bicara. Bagai

manapun, ia tidak bisa menyerah begitu saja. "Hanya satu

yang Vano ingini dari Papa. Vano hanya ingin menjadi

guru, Pa. Dan Papa pasti tidak bisa menuruti keinginan

Vano itu." Vano terisak.

"Apa maksudmu? Papa sudah mewariskan perusa

haan Papa untukmu. Itu jauh lebih baik dari menjadi

guru. Ayo, kita pulang segera."

"Tidak, Pa. Vano akan tetap di sini. Vano di sini

menemukan keluarga baru. Keluarga yang begitu

menyayangi Vano, yang memperhatikan Vano. Bukan

dengan harta yang melimpah atau apalah itu. Vano

senang di sini. Vano sudah menjadi guru untuk anakanak yang tepat. Anak-anak yang mempunyai semangat

tinggi untuk bisa." Air matanya masih mengalir di pipi.

Mama terperanjat. "Apa maksudmu? Jadi guru di

mana? Keluargamu siapa?"

"Di Meliau, Ma. Pedalaman sana. Apai Sahat adalah

bapak angkat Vano," Vano menunjuk ke arah Apai Sahat.

"Selama ini beliau yang sudah merawat Vano."

Lestari mendekati Vano. Matanya membulat,

ada genangan bening di kelopak matanya. Dadanya

bergemuruh. "Ternyata, selama ini kamu bohong? Kamu

bukan keponakan Apai Sahat. Kamu adalah anak orang

kaya. Aku sudah tahu semuanya sekarang. Sungguh tega

kamu, ya. Membohongi kami semua. Aku, Inai Atin, dan

anak-anak. Seharusnya dari awal aku tidak setuju kamu

mengajar di situ."

Air mata Lestari tumpah. Kebohongan adalah hal

yang paling dia benci. Apalagi oleh orang yang sudah

dia percaya. Dada Lestari masih bergemuruh. Lestari

langsung berlari keluar kantor polisi. Membawa rasa

sedih yang mendalam. Saat itu juga, ia benci dengan

Vano.

"Tunggu Tari..." Vano hendak mengejar, tapi segera

dicegah Pak Handoko.

Vano berusaha melepaskan tangannya dari geng

gaman Papa. "Sekarang Papa mau apa lagi?"

"Pulang sekarang. Akan Papa kirim kamu ke

Jerman!"

"Pa..."

Apai Sahat memilih diam sebelum semuanya mem

baik. Ia tidak ingin memperkeruh keadaan. Takut salah

bicara. Bagaimanapun, ia ikut campur tangan dalam

kebohongan Vano selama ini.

"Pa, tolong, Pa. Biarkan Vano di sini," Vano me

mohon.

"Tidak bisa! Ayo, kita pulang segera. Aku tidak mau

berlama-lama di tempat ini." Papa terlihat benar-benar

marah.

Vano diam sejenak. Ia sangat tidak ingin berada di

keadaan seperti ini.

"Baik," Vano berkata pelan. "Aku akan pulang dan

kuliah bisnis di luar negeri. Tapi Vano punya satu syarat

yang harus Papa penuhi." Vano menantang Papa.

Vano tak sadar bisa bicara seperti itu. Ia sudah sangat

bingung dengan keadaan ini. Mulai dari terbongkarnya

identitasnya, Papa Mama yang sampai di sini dengan

cepat, Lestari yang marah, dan Widya. Ini seperti kejadian

beruntun yang akan menghabisinya.

"Syarat apa? Apa pun permintaanmu Papa akan

penuhi, asal kamu mau kuliah dan menjalankan bisnis

Papa."

Vano menghela napas. "Vano ingin Papa mem

beri bantuan untuk SD Mini Penggerak, merenovasi

gedungnya, dan memberikan honor untuk penga

jarnya."

Papa terperanjat. Permintaan yang tak masuk akal.

Papa mengerutkan keningnya. "Gila kamu! Uang itu

nyarinya susah. Buat apa membantu sekolah di pedalaman

seperti itu."

"Mereka adalah cahaya, Pa. Mereka punya semangat

tinggi untuk bisa. Mereka penerus bangsa ini, Pa."

"Hah, Papa tak peduli!"

"Oke. Jika Papa tidak mau, aku akan tetap di sini.

Aku tak mau pulang."

"Pa, turuti saja, Pa." Mama Vano terisak.

"Baiklah. Papa menyetujuinya." Pak Handoko berkata

ragu. "Tapi, kamu harus pulang dan ke Jerman segera."

Vano mengangguk. Rasanya berat menerima

keputusan ini. Tapi tak ada pilihan lain. Ia harus kembali.

Ini demi mereka.

Papa menoleh ke arah Widya. "Terima kasih, Wid,

sudah memberi tahu kami keberadaan Vano."

Vano kaget. Mata tajamnya menatap ke arah Widya.

Kemudian, ia mendekati Widya. "Wid, jadi kamu yang

memberi tahu mereka?"

Vano masih tak bisa percaya ini. Widya yang dikira

mendukung Vano mengajar di sini ternyata merusak

semuanya. Widya yang membuat impian Vano terampas

kembali.

Widya diam. Ia terlihat ketakutan. Merasa bersalah.

"Katakan, Wid!" Vano memperkeras suaranya. Yang

berada di ruang tersebut sampai ikut kaget.

"Hei, Van! Papa tidak pernah mengajarimu kasar

dengan perempuan."

"Ini bukan urusan, Papa." Vano masih menatap ke

arah Widya.

"A-a-aku hanya ingin yang terbaik untukmu,"

Widya berkata dengan gelagapan. "Karena aku ... aku ...

mencintaimu."

Vano kaget untuk yang kedua kalinya. "Yang ter

baik bagiku hanya berada di sini. Kukira kamu sahabat

terbaik. Ah, lupakan saja aku."

Hati Widya retak. Dari awal bertemu ia sudah

menaruh hati pada Vano, tapi sama sekali tak dirasa

Vano. "Van..." Widya memegang tangan Vano.

"Lepaskan, Wid. Kamu menghancurkan semua

nya."

"Sudahlah, Van. Widya sudah baik memberi tahu

Papa tentangmu. Papa akan memberi hadiah padanya.

Vano melirik ke arah Widya. Ia ingin marah, tapi

percuma. Semua sudah terlambat.

Vano memalingkan wajah kemudian mendekati

Apai Sahat. "Terima kasih untuk semuanya, Apai. Untuk

semua kebaikan, Apai. Untuk semua bantuan, Apai. Dan

untuk kasih sayang yang Apai berikan untuk Vano." Vano

mulai sesengukkan. "Maafkan Vano sudah merepotkan

Apai." Vano kemudian memeluk Apai Sahat. Pelukan

hangat antara ?ayah dan anak?.

Cukup lama mereka berpelukan. Kemeja di bahu

Apai Sahat basah oleh air mata Vano. Setelah itu, Vano

mencium punggung tangan Apai Sahat. Ciuman cinta

seorang anak. Apai Sahat menitikkan air mata.

Berat rasanya bagi Apai Sahat melepaskan Vano.

Seorang pria dewasa yang sudah dianggapnya sebagai

anak sendiri. Ia harus pergi sekarang. Lagi, Apai Sahat

kehilangan sosok anak yang diidam-idamkan.

"Aku ingin bertemu Lestari, Apai."

"Lebih baik jangan. Tulis saja surat. Nanti Apai

sampaikan. Sepertinya Lestari begitu terpukul dengan ini

semua. Lagi pula, Apai tak tahu ke mana perginya."

"Tapi, aku ingin bertemu sebelum aku pergi."

"Kamu tahu sifat Lestari seperti apa, kan?"

Vano mengangguk. "Baiklah. Sebentar, aku mau titip

surat saja." Ia kemudian menulis surat dan diberikannya

kepada Apai Sahat.

"Pak, sampaikan salam dan terima kasihku pada

Inai, pada Inai Atin, pada anak-anak, dan warga Meliau

yang sudah menerima Vano selama ini. Sampaikan

permintaan maaf Vano jika selama ini ada kesalahan dan

tak bisa berpamitan."

Vano memeluk Apai Sahat lagi. Menumpahkan air

matanya lagi. Bagaimanapun Apai Sahat adalah sosok

papa yang diidamkan Vano.

Apai Sahat melepas kepergian Vano. Sedangkan

Widya harus patah hatinya. Lestari yang bersembunyi di

samping kantor polisi juga diam-diam melepas kepergian

Vano. Perasaannya bercampur dan tak bisa diungkapkan

lagi.

Vano begitu berat meninggalkan tanah ini. Lang

kahnya terhenti. Impiannya selesai. Bagaimanapun ia

sudah sedikit mewujudkan mimpinya.

Aku akan kembali nanti. Tunggu aku setelah me

namatkan S2-ku. Ini semua demi kalian. Vano menitikan

air mata.

Tamat


Ramalan Malapetaka Prophecy Karya David Pedang Siluman Darah 25 Kitab Pembawa Naga Sakti Sungai Kuning Huang Ho Sin

Cari Blog Ini