Ceritasilat Novel Online

My Better Half 1

My Better Half Karya Indah Hanaco Bagian 1

Indah Hanaco

My Better Half

My Better Half

Ebook by pustaka-indo.blogspot.com

Copyright 2014 Indah Hanaco Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Diterbitkan pertama kali tahun 2014 oleh PT Elex Media Komputindo,

Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta

My Better Half

Editor: Afrianty P. Pardede

188142468

ISBNP: 978-602-02-5344-2 Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Usai menonton sebuah acara reality show perjodohan, aku

tergoda untuk membuat kisah tentang acara kencan di televisi. Kesulitan nyaris nol saat mulai menyusun sinopsis. Kali ini, aku langsung menemukan dua nama yang kunilai pas untuk mewakili tokoh utamanya: Maxim dan Kendra.

Maxim, berasal dari bahasa Rusia yang memiliki makna " teragung" . Sementara Kendra sendiri merupakan bentuk feminin dari Kendrick. Berasal dari bahasa Inggris, Kendra berarti " raja yang berkuasa" . Melengkapi nama keduanya menjadi keasyikan tersendiri. Hingga tercipta kemudian Maxim Fordel Arsjad dan Kendra Elanith.

Terima kasih untuk editorku Afrianty P. Pardede yang memberi lampu hijau untuk mengerjakan naskah ini meski aku molor dari jadwal. Maafkan aku, ya. Berkat izin dari Afri, kisah Maxim dan Kendra pun bergerak naik-turun hingga selesai.

Terima kasih juga untuk Aimee yang sengaja memilihkan lagu Everything-nya Michael Buble untuk menjadi soundtrack novel ini. Tak kuduga, lagu cantik ini sangat memudahkan pekerjaanku. Setiap kali mood agak turun, Everything berhasil membuatku kembali ke jalur yang seharusnya. Demi berbagi kenangan akan lagu ini, aku menyelipkan potongan liriknya di awal-awal bab.

Kisah yang Sayang untuk Dibuang

Aku mencintai novel ini begitu besar. Setiap hurufnya mewa kili perasaan yang terdalam. Maxim dan Kendra membawaku menjelajahi dunia mereka, begitu nyata dan membuat berdebar. Saking merasuknya kisah ini, di 24 jam terakhir aku bisa menulis hingga tujuh belas ribuan kata. Aneh bin ajaib karena selama ini rekorku tak sampai sepuluh ribu kata. Kata-kata seakan mengalir dari jari-jariku begitu saja.

Maxim dan Kendra membuatku terus berkembang sebagai penulis. Aku merasa ada perbedaan antara novel ini dengan novelnovelku yang lain. Aku juga menemukan satu lagi potongan puzzle dalam hidup. Setelah ini, aku harus mencari kepingan-kepingan lain untuk membuat pelangi bagi diri sendiri dan semua pembaca bukuku.

Terima kasih untuk Elex Media Komputindo yang memberiku kepercayaan besar. Ini novel ketigaku di Elex selama tahun 2014. Angka yang sangat kusyukuri karena sebelumnya gagal menembus penerbit yang satu ini. Tahun ini adalah tahun yang penuh keajaiban buatku.

Dan untuk pembaca novel ini semoga menyukai Maxim dan Kendra sepertiku. Aku menulis ini demi Anda semua. Hanya ingin bilang bahwa cinta itu keajaiban yang paling dekat dengan kehidupan kita.

Jadi, untuk yang masih patah hati dan bersedih karena sang mantan, jangan berlama-lama terjebak dalam kegetiran, ya? Karena cinta semestinya tidak membuatmu sakit hati. Mengapa tidak membuka mata dan menikmati indahnya dunia selagi mampu? Siapa tahu ada cinta baru yang siap memberimu bahagia.

Luv, Indah Hanaco

Bujangan Paling Diidamkan

Berada di bawah tatapanmu Membuat hatiku diliputi kehangatan Seakan selama ini aku cuma mengenal pekat dan gelap Menyadarkanku akan kehadiranmu

Dirimu yang utuh Menawan dan indah

Dengan cara yang melembutkan jiwa

Aku cuma bisa terpana Mensyukuri saat Tuhan menciptakanmu

M axim Fordel Arsjad mengernyit saat melihat sampul majalah

gaya hidup beroplah tinggi, Th e Bachelor. Wajahnya terpampang di sana, bersama dua orang pria lainnya. Ada judul mencolok yang juga tertera, setidaknya menurut opini Maxim. Bujangan Paling Diidamkan. Bah!

Dua pria yang wajahnya juga terpajang di The Bachelor adalah Malcolm Manoppo dan Jimmy Prasad. Tidak ada satu pun yang dikenal Maxim secara pribadi. Malcolm seorang atlet basket yang konon mendapat tawaran menggiurkan dari sebuah klub dan siap memecahkan rekor bursa transfer lokal. Sementara Jimmy adalah model top yang cukup sering diundang show ke luar negeri. Mereka bertiga menjalani sesi wawancara dalam waktu yang berbeda.

Maxim bukannya tidak tahu mengapa dia mendapat kehormatan diwawancarai majalah itu. Saat ini, dirinya dianggap sebagai pengusaha muda yang turut berperan besar membawa sepatu prewalker bermerek Buana Bayi mendapat perhatian publik. Buana Bayi baru diproduksi kurang dari tiga tahun tapi sudah hampir merajai angka penjualan di tanah air. Maxim sempat enggan menjalani wawanncara. Karena merasa ini adalah kesuksesan kolektif. Ada tim tangguh yang berjuang untuk kesuksesan Buana Bayi, bukan cuma dirinya.

Ponselnya berbunyi, dan Maxim mengerang dengan mencolok saat melihat nama yang tertera di layar. Sean Gumarang. Maxim terdorong untuk mengabaikan telepon itu. Tapi dia tahu kalau Sean tidak akan puas sampai bisa mengolok-oloknya.

" Halo," katanya kemudian. " Kalau kamu menelepon cuma untuk mengejekku, terima kasih."

Suara Sean yang santai memang dimaksudkan untuk menipu sekaligus membuat kesal sepupunya. " Wah, pagi-pagi sudah marah. Aku sarankan, cek tekanan darahmu ke dokter, Max!"

Maxim tidak terbujuk untuk meladeni Sean. " Aku banyak pekerjaan, Sean! Tidak sempat untuk bercanda," balas Maxim ketus.

" Hei, ada tidak yang bilang kalau sekarang kamu itu makin menyebalkan?" tanya Sean ringan. " Aku tidak sedang meng ganggumu, kok. Aku cuma mau tahu, seperti apa rasanya menjadi Bujangan Paling Diidamkan?" tawa Sean meledak kemudian.

" Aku sudah tahu, pasti itu tujuanmu," Maxim cemberut. " Itu julukan yang sangat memalukan. Th e Bachelor bilang mereka akan menerbitkan edisi khusus. Kukira cuma berisi artikel sejumlah pria lintas profesi yang dianggap sedang sukses. Astaga, ternyata...." Maxim enggan meneruskan kalimatnya. " Jadi, sudah cukup mendengar keluhanku pagi ini?"

Maxim yakin, di mana pun Sean berada saat ini, pasti dadanya sedang dipenuhi rasa puas. Begitulah mereka berdua selama

Meski menurut Sean belakangan ini Maxim sudah tidak sesantai dulu dan lebih banyak cemberut.

Sejak pagi itu, Maxim merasa orang-orang di kantor memandangnya dengan tatapan aneh. Entah memang seperti itu atau cuma perasaannya saja. Maxim tidak pernah menyukai perhatian. Menjauh dari fokus orang-orang sekitarnya membuat lelaki itu merasa aman. Dia setuju diwawancarai Th e Bachelor pun atas bujukan tepatnya paksaan kakak perempuannya, Aurora.

" Ayolah Max, ini cuma wawancara biasa. Anggap saja semacam promosi gratis buat Buana Bayi. Tidak semua orang mendapat kesempatan untuk tampil di majalah top, lho!"

" Tapi, bukan aku yang bertanggung jawab atas kesuksesan Buana Bayi. Masih ada banyak orang yang...."

" Tapi cuma kamu yang tampangnya enak dilihat. Yang lain sudah terlalu uzur," Aurora tersenyum lebar. " Orang ingin tahu, siapa yang berada di balik Buana Bayi. Ketika tahu kalau salah satu perancang sepatu prewalker ini adalah kamu, ibu-ibu muda pasti berebut ingin membeli koleksi kita."

" Itu sama sekali tidak ada hubungannya, Mbak! Itu alasan yang sangat mengada-ada," bantah Maxim.

" Tentu saja ada! Kamu sih tidak pernah tahu bagaimana otak kaum perempuan itu bekerja. Rumit, tahu! Kami berbeda dengan kalian. Ayolah Max, jangan egois. Ini peluang bagus yang belum tentu akan kamu dapatkan lagi di masa depan. Apalagi kalau usiamu sudah bertambah tua dan pesonamu memudar. Atau setelah Declan bergabung di sini. Kamu kalah bersaing, aku jamin itu!"

Ada sederet kalimat bujukan lain yang dilontarkan Aurora kepada Maxim. Saat ini Maxim baru menyadari, semua rayuan kakaknya itu cuma menyusahkannya saja. Lihat yang terjadi sekarang! Entah berapa kali Maxim memergoki kelompok-kelompok Tidak cuma di kantornya saja. Melainkan juga di lantai lain gedung perkantoran yang sama dengan Buana Bayi. Sejak pagi dia mulai merasakan adanya keanehan saat menyeberangi lobi dan memasuki lift. Hal itu membuat telinga Maxim terasa gatal dan dorongan untuk memberi teguran dirasanya cukup besar. Tapi Maxim bertahan agar tidak mempermalukan diri sendiri.

Hingga sore Maxim menyibukkan diri dengan setumpuk pekerjaan. Mengabaikan rasa tidak nyaman yang merabung dan membuatnya ingin sekali menyematkan topeng di wajah, supaya tidak dikenali karyawan lain.

Pria berusia dua puluh sembilan tahun itu memimpin departemen penjualan. Dia juga memiliki kemampuan merancang sepatu yang cukup jempolan. Maxim menjadi bawahan langsung kakak sulungnya, yang menjabat sebagai direktur pemasaran. Hampir setahun lalu desain pertama yang dibuat Maxim dilempar ke pasaran. Seperti yang sudah diduga banyak pihak, desainnya lang sung mendapat perhatian dan menjadi produk terlaris Buana Bayi dalam waktu singkat.

Semuanya berawal dari ketidaksengajaan. Maxim bahkan tidak pernah tahu kalau dia memiliki kemampuan merancang sepatu yang cukup bagus. Buana Bayi sedang dikejar tenggat waktu untuk peluncuran produk baru. Sementara tim desain tidak juga berhasil menciptakan rancangan yang bagus. Beberapa konsep yang diajukan selalu ditolak, terutama oleh Aurora.

Hingga kemudian Maxim yang merasa gemas mulai mencoratcoret di kertas dan dilihat kakaknya. Alhasil, rancangan itu yang dibawa Aurora ke hadapan suaminya yang sekaligus menjadi direktur Buana Bayi, Donald Ong. Dan hanya beberapa jam kemu dian Maxim mendapat kepastian kalau desainnya yang akan dipakai. Itu adalah keputusan yang sangat mengejutkan pria itu. Dia Aurora memaksa Maxim membuat beberapa desain baru dan mendapat komplimen. Kadang, ada pikiran aneh yang menyelinap di benak Maxim. Apakah jauh di bawah kegelapan dia memiliki alter ego? Ide itu sontak ditertawakan ketiga saudaranya.

Maxim melirik jam. Ketika akhirnya punya waktu luang untuk menegakkan punggung dan sedikit bersantai, gelap sudah hampir jatuh di Jakarta. Maxim berdiri dan menghampiri jendela kaca, memindai pemandangan sore kotanya yang padat. Kantornya berada di lantai dua puluh satu sebuah gedung perkantoran di kawasan Jakarta Pusat.

Rapat demi rapat menguras tenaga Maxim seharian ini. Belum lagi desain baru yang harus segera dirampungkannya. Sebenarnya, pekerjaannya di departemen penjualan ini sudah cukup menyita waktu. Tapi Maxim tidak bisa menghalau kesenangan saat mengonsep sepatu untuk para bayi di luar sana. Padahal pen didikannya tidak berhubungan sama sekali dengan desain-men desain.

Dia adalah lulusan fakultas hukum. Jurusan yang diambilnya demi menggenapi janji pada almarhum ayahnya. Meski seumur hidup dia tidak tertarik untuk mengaplikasikan ilmunya.

Maxim mengabaikan suara telepon yang berbunyi di mejanya. Namun setelah deringan keempat, lelaki itu mengalah dan menghampiri meja.

" Halo," sapanya kaku. " Ada apa, Padma?" tanyanya tanpa basabasi.

" Ada telepon dari Helen Mohini, Pak."

Maxim sangat benci dipanggil " Pak" , tapi dia tidak berniat untuk mengoreksi. Dia juga membenci suara Padma yang terdengar yakin kalau Maxim akan segera mengenali nama yang baru disebut perempuan itu.

" Siapa itu Helen?" tanya Maxim karena Padma tidak memberi " Bapak tidak tahu? Oh, maaf. Helen itu seorang makcomblang selebriti. Dia...."

Maxim meradang. " Dia ... apa? Makcomblang? Kenapa dia menghubungi saya? Bilang saja saya tidak bisa menerima teleponnya."

Kalau tidak ingat bahwa telepon di mejanya itu tidak memi liki dosa, sudah pasti Maxim akan membantingnya hingga hancur. Lelaki itu mulai memaki-maki dengan gemas. Apa yang terjadi padanya sehingga seorang makcomblang selebriti tertarik menghubunginya. Maxim berani mempertaruhkan tabungannya kalau ini semua ada hubungannya dengan cover majalah Th e Bachelor itu.

Ketukan halus di pintu terdengar. Setelahnya, Padma masuk ke dalam ruangan, diikuti kakak Maxim yang suka ikut campur.

" Jangan bilang kalian berdua datang ke sini untuk membujukku menerima telepon apa pun yang berasal dari makcomblang gila," tuduhnya terang-terangan. " Padma, aku akan memindahkanmu ke bagian lain kalau selalu membuat laporan kepada kakakku!"

Wajah Padma memucat. Perempuan itu menghentikan langkah dengan canggung. Tapi Aurora tidak menunjukkan kalau dia merasa terintimidasi oleh ancaman adiknya.

" Padma ke sini mau mengambil berkas yang kubutuhkan. Mana analisis pasar yang kamu kerjakan?" Aurora mencari-cari di antara tumpukan dokumen yang memenuhi meja Maxim. Begitu menemukan apa yang dicari, dia menyerahkannya kepada Padma disertai sederet instruksi.

Maxim sering memperhatikan betapa dominannya Aurora. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya memiliki pasangan seperti kakaknya. Aurora tidak cuma cerdas, tapi juga memiliki Maxim kadang merasa iba melihat saudara iparnya, Donald. Pria itu harus menebalkan kesabaran jika ingin terus bersama Aurora. Meski Donald yang menjadi direktur di perusahaan itu, sudah bukan rahasia umum kalau keputusan justru dibuat oleh sang istri.

" Duduklah, aku mau bicara padamu. Sebentar saja," Aurora merekahkan senyum manis. Maxim mulai curiga. Kakaknya tidak dengan mudah mengumbar senyum kalau tidak ada yang diinginkannya.

" Mbak mau apa? Siapa sih si Helen ini? Dan kenapa dia bisa menghubungiku? Pasti ini ada hubungannya dengan Mbak, kan?" tuduh Maxim lagi.

Aurora tidak membantah. Perempuan itu memilih duduk di sofa yang disiapkan untuk tamu yang datang ke ruangan Maxim. Sementara sang adik memilih tetap duduk di ujung meja kerjanya.

" Helen itu teman kuliahku. Dia membuka semacam biro jodoh dengan klien orang-orang terkenal. Nah, sudah dua tahun ini dia ditunjuk untuk menangani acara Dating with Celebrity. Pernah dengar?"

Maxim menggeleng dengan cepat. " Apa memang orang-orang terkenal merasa perlu bantuan seseorang untuk mencari jodoh?" tanyanya tak percaya. " Koreksi aku kalau salah. Seingatku, kita masih punya satu saudara laki-laki yang kebetulan juga aktor terkenal. Darien Tito Arsjad lebih tepat untuk dicarikan jodoh. Dan Mbak tahu sendiri kalau dia sudah bertahun-tahun tidak pernah mengenalkan kekasihnya pada kita. Tidak cemas?"

Aurora tidak memedulikan komentar adiknya. " Intinya, acara itu mempertemukan orang-orang terkenal dengan teman kencan yang sudah diseleksi ketat. Setiap minggu, satu episode ditayangkan. Tidak sedikit yang kemudian berlanjut hingga menjalani hubungan

Maxim mulai yakin kalau kakaknya melebih-lebihkan. Itu adalah tipikal si sulung klan Arsjad. Mungkin karena tahu Maxim tidak percaya, Aurora pun menyebut nama seorang bintang sinetron yang namanya asing di telinga Maxim. Dan meski sang adik sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ketertarikan, Aurora tidak putus asa.

" Tadi siang Helen menghubungiku. Dia baru tahu kalau Maxim Fordel Arsjad yang menjadi salah satu Bujangan Paling Diidamkan versi majalah Th e Bachelor, adalah adikku. Jadi...."

Maxim menggeram pelan. " Julukan konyol itu kudapatkan gara-gara Mbak."

Aurora mengibaskan tangan di depan wajahnya, meminta agar Maxim tidak bicara dulu.

" Helen ingin memintamu bergabung dalam salah satu episode Dating with Celebrity. Acara ini sedang populer, lho! Rating-nya cukup tinggi untuk ukuran sebuah reality show. Aku...."

" Aku tahu! Tidak setiap saat ada makcomblang terkenal yang memintaku bergabung di acaranya. Ini juga menjadi semacam promosi gratis untuk Buana Bayi. Bayangkan bagaimana ibuibu muda di luar sana akan berlomba-lomba mengoleksi sepatu prewalker Buana Bayi karena terpesona dengan salah satu desainernya," Maxim menirukan gaya Aurora dengan total.

Tawa sang kakak pecah di udara. Maxim terpaksa menunggu hingga kakaknya bisa bicara lagi dengan suara normal. Wajahnya cemberut, menunjukkan ketidaksukaan yang transparan.

" Aku tidak membutuhkan makcomblang untuk mencarikanku pasangan, Mbak!" cetusnya.

" Oh ya, aku mau mengoreksi komentarmu soal Darien tadi. Seingatku, kamu bahkan sudah lebih lama sendirian dibanding-" Aku tidak harus membawa gadis yang kukencani ke depan kalian," bantah Maxim.

" Ah, kenapa sih kamu selalu salah paham? Declan jauh lebih pengertian dibanding kamu."

Maxim meringis. " Tentu saja playboy aktif seperti Declan tidak akan melewatkan kesempatan seperti ini. Tapi aku bukan si bungsu yang tahunya cuma bersenang-senang dan menghabiskan waktu dengan menyelamatkan dunia," bantahnya.

Kini, Aurora menatap Maxim dengan serius. " Ini cuma acara reality show, Max! Demi Tuhan! Kamu hanya perlu memilih satu orang teman kencan di antara beberapa pilihan. Selanjutnya, bersenang-senanglah! Kalaupun setelah kencan pertama tidak ada yang menarik, kamu bebas untuk mengakhiri, kok! Seperti yang kubilang tadi, anggap saja sebagai semacam refreshing. Atau mencari teman, barangkali."

Maxim sudah siap dengan bantahannya. " Kalau begitu cara refreshing atau mencari teman, kurasa hidup ini sudah berubah begitu rumit. Aku tidak mau, Mbak!"

Tapi Maxim mengabaikan kemampuan membujuk Aurora yang luar biasa. Hingga kurang dari lima belas menit kemudian pria itu cuma bisa mengangguk tidak berdaya.

" Oke, aku akan menerima telepon Helen. Tapi kalau setelahnya hidupku malah mengalami kekacauan, aku akan membuat Mbak menderita seumur hidup. Penderitaan pun harus dibagi, tidak boleh ditanggung sendiri," ancam Maxim dengan suara tak berdaya.

" Setuju," balas Aurora seraya buru-buru meninggalkan ruang kerja sang adik. Mungkin takut kalau Maxim akan berubah pikiran dan kembali menolak ajakan Helen. Begitu pintu ditutup, Maxim menarik dasinya dengan gerakan kasar. Alhasil, kulit lehernya

Maxim menyumpah-nyumpah dalam hati. Hari ini sepertinya menjadi hari yang sangat menyiksa baginya. Lelaki itu berusaha mengais memori, mengingat mimpi apa yang menghias tidurnya tadi malam. Dia cemas, apakah sudah ada pertanda akan buruknya yang harus dihadapinya hari ini? Tapi sepertinya tidak ada. Semuanya terasa normal dan baik-baik saja tadi pagi. Sayang, begitu melihat sampul majalah Th e Bachelor di atas mejanya, semua memburuk untuk Maxim.

Tidak sampai seperempat jam setelah Aurora meninggalkan ruangannya, Maxim menerima telepon dari Helen. Barusan dia menyempatkan diri mencari informasi tentang perempuan itu di internet. Dan data yang didapatnya membuat Maxim tercengang. Helen yang konon makcomblang terkenal itu ternyata belum menikah! Padahal perempuan itu sudah nyaris berumur tiga puluh lima tahun.

Tapi Maxim menyimpan fakta itu dalam benaknya. Dia bersyukur karena mampu menahan diri agar tidak menghina orang yang ingin mencarikannya jodoh itu dengan status kelajangan Helen. Hanya saja Maxim merasakan ironi yang menggelikan. Seseorang ingin mencarikanmu jodoh, sementara dia sendiri belum memiliki pasangan. Wah!

" Maxim, saya Helen, teman Aurora. Tadi Aurora sudah menjelaskan secara singkat tentang acara Dating with Celebrity, kan? Saya akan menemui kamu untuk menjelaskan lebih detail soal acara ini. Saat ini, saya hanya ingin memastikan kalau kamu sudah setuju untuk terlibat."

Maxim bertahan dari godaan hebat untuk membanting teleponnya. Belum apa-apa dia sudah merasa kalau Helen ini perempuan yang tangguh dan ... agak menyebalkan. Tidak jauh berbeda Helen jelas tahu bagaimana caranya memegang kendali dan tidak memberikan kesempatan pada lawan bicaranya untuk membantah. Pilihan sapaannya pun menarik. Tidak menyebut Maxim dengan " Anda" , meski ini pertama kalinya mereka berbicara. Tapi malah memilih " kamu" . Tanpa dikehendaki, membuat Maxim berpikir kalau perempuan itu mengira sedang berbicara dengan bawahannya.

" Iya, saya sudah setuju," balas Maxim dengan suara datar. Pria itu menyugar rambutnya yang tadinya rapi. Membuat rambut ikalnya agak berantakan. Kebiasaan buruk yang sulit untuk dihindari.

" Baiklah kalau begitu...."

Jeda lebih sepuluh detik. Maxim mendengar seseorang bicara di seberang, juga suara seperti kertas yang dibolak-balik.

" Saya akan menemuimu secepatnya untuk membicarakan soal ini. Sekaligus menyerahkan kontrak yang harus kamu tanda tangani. Besok sepertinya waktu yang tepat. Saya ... eh ... sebentar! Besok saya ada pekerjaan penting. Bagaimana kalau lusa saja?"

Maxim menarik napas. Perempuan bernama Helen itu bahkan tidak bertanya apakah dia punya waktu.

" Baiklah. Lusa lebih baik. Makan siang?" " Ya, makan siang."

" Di mana?"

" Di sana ada restoran enak?"

" Di gedung perkantoran ini? Ada banyak."

" Pukul dua belas, ya. Terima kasih Maxim," tandas Helen sebelum telepon diputus.

Maxim menatap telepon di tangannya dengan hampa sebelum meletakkan benda itu di tempat yang seharusnya. Instingnya menga takan kalau dia akan menghadapi masalah besar karena mem-Bersepakat dengan Helen sepertinya tidak jauh berbeda dengan membuat konsensus dengan setan. Astaga!

Kesan Pertama yang Tak Menggoda

Apakah kamu nyata? Saat menawariku harapan Yang bahkan tidak berani kuimpikan

Apakah kamu berwujud? Tatkala menggenggam duniaku yang abu-abu Dan mengubahnya menjadi pelangi

Beraneka warna dan aroma Aku cemas tak mampu menyelamatkan hatiku Jika ini hanya episode setengah hati

K endra Elanith memaksakan diri membuka mata. Tangannya

merayap di dinding, ke luar dari kamar dan menuju kamar mandi. Gadis itu berdoa semoga rasa kantuk yang menggelayuti kelopak matanya segera menjauh dengan siraman air dingin. Kendra baru pulang menjelang tengah malam. Dan pagi ini harus tiba di kantor tepat waktu kalau tidak ingin mendapat teguran.

Helen Mohini mendirikan biro jodoh eksklusif bernama Th e Matchmaker. Awalnya, Helen hanya melayani permintaan dari orang-orang berduit. Th e Matchmaker menjadi populer kemudian. Hingga akhirnya sebuah stasiun televisi meminta perempuan itu menangani acara kencan berjudul Dating with Celebrity itu.

Sesuai judulnya, salah satu peserta adalah orang yang dianggap pesohor dan sudah dipilih dengan saksama. Selanjutnya, Helen dan timnya bertugas menyeleksi para pelamar yang biasanya cukup membludak, berdasarkan ciri fi sik dan latar belakang yang diinginkan sang selebriti. Hingga tersisa sepuluh orang saja.

Kesepuluh peserta ini yang mendapat hak istimewa untuk bertemu dengan si pesohor. Dalam semacam acara perkenalan santai. Puncaknya, akan dipilih satu orang peserta yang akan diajak kencan. Kelanjutan dari kencan itu tidak lagi menjadi urusan Helen.

Kendra menjadi salah satu karyawan yang menangani bagian perekrutan, khusus menangani pelamar berjenis kelamin perempuan. Sejak menamatkan kuliahnya setengah tahun silam, Kendra bergabung dengan Th e Matchmaker. Awalnya, dia hanya membantu salah satu teman kuliahnya, Neala yang sudah lebih dulu bergabung di sana. Sekaligus mencari peluang bagi pekerjaan lain yang sesuai dengan ilmu akuntansi yang dipelajarinya.

Ketika mendapat tawaran untuk bergabung di Th e Matchmaker, Kendra cukup antusias. Tapi jauh di dalam benaknya dia tahu kalau pekerjaan itu hanya sementara. Tapi sayangnya, satu bulan berlalu menjadi dua bulan. Hingga kini sudah mencapai enam bulan.

Kendra masih berambisi untuk menemukan pekerjaan yang lebih disukainya. Karena melihat sekelompok kaum hawa bersaing untuk mendapat satu kursi istimewa di depan seorang selebriti adalah hal yang meremas hatinya. Seakan perempuan harus berusaha luar biasa keras untuk meraih perhatian seseorang. Bahkan harus bersaing terang-terangan.

Kendra memiliki pendapat berbeda jika yang mengajukan lamaran kencan adalah seorang lelaki. Baginya, begitulah seharusnya kaum adam. Berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan orang Air dingin ternyata cukup mujarab melumatkan sisa kantuk yang menempel. Kini, mata Kendra terbuka lebih lebar. Kondisi yang cukup manusiawi untuk seseorang yang harus segera berangkat bekerja dalam waktu kurang dari setengah jam lagi. Diam-diam Kendra bertekad untuk lebih serius mencari pekerjaan yang sesuai dengan disiplin ilmunya. Dan yang sudah pasti membuatnya bekerja dengan jam yang normal.

Satu hal yang sangat disukainya karena bekerja di Th e Matchmaker adalah ketidakharusan untuk memakai seragam. Kendra bebas mengenakan pakaian apa pun. Selain itu, gajinya juga memuaskan. Bahkan dia masih mendapat " bonus" dengan melihat dari dekat orang-orang ternama.

Awalnya Kendra mengira para pesohor di acara Dating with Celebrity adalah orang-orang yang berprofesi sebagai model, penyanyi, atau bintang sinetron. Ternyata dia salah. Helen juga mengundang pengusaha atau atlet. Intinya, orang yang namanya sedang sering didengungkan di Indonesia. Kemarin Kendra melihat nama seorang atlet bulu tangkis yang siap menjalani syuting untuk dua minggu lagi. Dan seorang pemilik restoran yang khusus menyajikan menu Prancis.

Ketika melihat jam dinding di kamarnya, Kendra memaki dirinya yang bisa bangun sesiang ini. Perempuan itu berpakaian dengan terburu-buru, menarik sebuah celana jeans longgar dan blus berkerah kemeja dengan ritsleting pendek di bagian depan.

Kendra menyisir rambut sepunggungnya dengan cepat, hingga sempat mengaduh saat sisirnya tersangkut di bagian yang kusut. Air matanya nyaris merebak sebagai efeknya. Kendra menjepit rambut dan menyambar kacamatanya sebelum meninggalkan kamar. Gadis itu berlari menuju dapur, meski dia hampir yakin tahun ini dia tidak mampu meninggalkan rumah tanpa memeriksa kompor terlebih dahulu.

Kendra berdoa sebelum menstarter mobil sedan bututnya, semoga tidak membuat ulah. Hal itu sudah menjadi semacam ritual yang tidak bisa dilupakan gadis itu tiap kali mulai duduk di depan setir. Napas leganya diembuskan begitu mendapati mesin bisa menyala dengan sempurna.

Kendra sudah bisa menyetir saat umurnya baru menginjak angka dua belas tahun dan kakinya belum leluasa menginjak pedal gas. Diam-diam gadis itu belajar menyetir pada tetangganya kala itu, Boris. Sebenarnya, Boris tidak tepat kalau disebut sebagai teman nya. Boris seusia kakak sulungnya, Arthur. Tapi Boris tidak keberatan mengajari Kendra belajar menyetir.

Jalanan Jakarta dipenuhi kendaraan, itu sudah bukan hal yang istimewa. Tapi Kendra bersyukur karena letak kantornya cukup dekat dari rumah. Boleh dibilang, dia tidak pernah benar-benar bermasalah dengan jalanan yang macet. Beban seisi dunia yang seakan menggelayuti bahu Kendra pun mendebu begitu dia tiba di kantor.

Gadis itu pun mulai larut dengan kesibukannya, memindai puluhan foto yang tergeletak di mejanya. Segala jenis perempuan cantik ada di sana. Kemudian matanya membaca dengan detail persyaratan yang diinginkan si selebriti. Tinggi minimal 170 sentimeter, usia maksimal 25 tahun, kulit putih dan mulus, gigi rapi, wajah bebas jerawat, memiliki pekerjaan yang mapan, masih lajang dan belum pernah menikah.

Kendra tersenyum miris saat menyadari hanya bagian usia serta masih lajang dan belum pernah menikah itu saja yang bisa dipenuhinya. Nyaris muntah membaca deretan persyaratan itu. Jelas terlihat betapa tinggi tuntutan si selebriti. Ketika melirik nama yang Pria itu adalah model top dengan tinggi lebih dari 190 sentimeter dan dikenal sangat suka bergonta-ganti pasangan. Nigel salah satu makhluk berhormon testosteron paling rupawan yang mungkin pernah dilihat Kendra seumur hidup. Meski dia belum pernah melihat Nigel secara langsung.

" Kamu lagi menyeleksi foto untuk siapa?" Neala mendekat sambil menyodorkan segelas susu dan selembar roti gandum polos. Menu sarapan yang sangat sering disantap Kendra. Dan Neala kadang berbaik hati mengambilkan untuk Kendra jika gadis itu datang dengan terburu-buru. Seolah-olah dia sudah tahu Kendra yang tergesa-gesa belum sempat mengisi perutnya.

Satu lagi yang disukai Kendra dari pekerjaannya di Th e Matchmaker adalah pantri yang selalu dipenuhi makanan untuk sarapan. Mulai dari yang berlemak tinggi hingga yang rendah kalori. Sedangkan untuk makan siang, ada layanan katering yang melayani. Helen berusaha keras menyediakan semua yang dibutuhkan karyawannya.

" Oh Nea, apa jadinya aku tanpa kamu di dunia ini?" desah Kendra sambil mengambil alih gelas dari tangan sahabatnya. Lalu setengah porsi susu pun berpindah ke perutnya.

" Aku sudah tahu kamu pasti belum mengisi perutmu dengan apa pun. Dan satu lagi, gombalanmu itu tidak akan menyentuh hatiku," Neala membungkuk di belakang Kendra. " Siapa selebritinya?"

" Nigel." Sorot mata penuh pemahaman bisa dilihat Kendra di mata temannya hanya dengan menyebut satu nama itu. " Dan aku merasa malang untuk semua peserta ini. Silakan baca," Kendra mengangsurkan lembaran persyaratan. Hanya dalam hitungan detik dia mendengar Neala menirukan suara geraman rendah. " Makin lama, para selebriti itu merasa makin tinggi saja. Tiap pula, untuk apa si Nigel ini ikutan? Sudah jelas kalau dia tidak tertarik berkomitmen," omel Neala.

" Aku cuma memenuhi syarat untuk usia dan kelajangan. Poin yang bisa kamu penuhi malah lebih banyak, Nea. Tidak tertarik untuk ikut?"

Neala menegakkan tubuh sambil mencibir kesal. " Kurasa, andai di dunia ini dia menjadi laki-laki terakhir, aku memilih untuk tetap melajang seumur hidup. Aku tidak tahu, orang ini sedang mencari teman kencan atau boneka pajangan?"

Kendra tergelitik dan gagal mencegah tawanya pecah. Neala selalu bisa meringankan paginya yang dirasa tidak nyaman.

" Kurasa, Nigel ini sedang berencana untuk membuka agency model. Siapa tahu dia mau pensiun."

Kendra merasakan tepukan halus di bahunya. " Kurasa, orang senarsis dia tidak akan mundur dari dunia model secepat itu. Selamat bekerja, Ken. Tolonglah beri kesempatan kepada cewekcewek itu."

Kendra membalas ucapan Neala dengan lambaian tangan. Dia mulai memilah-milah foto yang sudah dilengkapi biodata itu. Membaca satu per satu ciri fi sik yang tertulis di sana. Dengan terpaksa, gadis itu harus menyingkirkan sepertiga pelamar hanya karena masalah tinggi badan. Beberapa karena usia, warna kulit, hingga pekerjaan.

" Semoga suatu saat laki-laki bernama Nigel ini kena batunya. Minimal punya pasangan yang tidak sesuai kriteria yang dia mau," doanya sungguh-sungguh. " Mencari teman kencan saja syaratnya luar biasa. Mungkin seharusnya dia mencantumkan juga gaji minimal, makanan favorit, keterampilan khusus, atau skor IQ," omel Kendra.

Gadis itu tenggelam dalam pekerjaannya hingga kemudian Kendra, dalam waktu delapan belas jam terakhir hanya susu dan roti dari Neala yang masuk ke dalam perutnya. Gadis itu baru saja akan mengajak Neala makan siang saat Helen meneriakkan namanya. Bos Kendra itu juga memberi isyarat agar gadis itu masuk ke ruangannya.

Sebagai efeknya, Kendra tergopoh-gopoh bangkit dari kursinya dan menyeberangi ruangan. Helen adalah orang yang sepertinya terobsesi dengan segala yang serba cepat. Jika sudah menurunkan sebuah perintah, maka harus dikerjakan sesegera mungkin. Kalau yang terjadi sebaliknya, jangan heran andai mendengar suara perempuan itu meninggi.

" Ada apa, Mbak?" Kendra berdiri di depan pintu yang terbuka. Helen sedang berbicara dengan seseorang di telepon dan memberi isyarat agar gadis itu menunggu. Setelah sekian detik yang seakan membengkak menjadi berjam-jam, Helen akhirnya bicara dengan nada memerintah yang khas.

" Kamu harus segera bergegas menemui seseorang untuk makan siang. Kamu menggantikan saya untuk menjelaskan dengan detail tentang acara Dating with Celebrity." Helen menunjuk ke arah jam tangannya sambil menyebutkan alamat yang harus dituju Kendra. " Kamu harus tiba di sana kurang dari setengah jam. Sebenarnya saya janji akan bertemu orang itu pukul dua belas. Tapi sepertinya sudah tidak mungkin bisa tepat waktu. Nanti saya akan menelepon dia tentang keterlambatan ini."

Kendra sangat ingin membuka mulut dan menjelaskan bahwa bagi sebagian besar manusia di luar sana, menepati janji itu sangat penting. Bukan seenaknya membatalkan atau menunda tanpa pemberitahuan yang pantas. Tapi tentu saja dia menahan diri dengan maksimal karena tahu kalau Helen tidak akan menyukai kritik.

" Maxim Fordel Arsjad," cetusnya. Meski Kendra tidak punya ide tentang siapa pemilik nama itu, dia berusaha untuk tidak menunjukkannya.

" Oke, saya berangkat sekarang, Mbak. Oh ya, saya bisa minta nomor ponsel Maxim?"

Helen mengangguk cepat sambil menuliskan sederet angka di atas secarik kertas. " Semoga makan siangnya berjalan lancar. Kemarin Maxim bilang ada restoran yang enak di sekitar kantornya. Mudah-mudahan dia tidak bohong," cetus Helen, setengah berkelakar.

Senyum Kendra langsung lenyap begitu dia membalikkan tubuh untuk meninggalkan ruangan Helen. Sebenarnya dia ingin sekali berteriak di depan perempuan itu agar tidak memintanya meng gantikan siapa pun untuk makan siang. Apalagi dengan kondisi seperti saat ini, terlambat.

Kendra tahu kalau Helen sedang sibuk, tapi dia tidak bisa membayangkan ada yang melupakan janji makan siang dengan cara seperti itu. Helen bahkan tidak menunjukkan isyarat penyesalan karena harus menunda pertemuan. Bahkan boleh dibilang kalau Helen tidak ambil pusing apakah laki-laki bernama Maxim ini akan marah karenanya.

Kendra hanya melambai ketika Neala menanyakan sesu atu. Telinganya sedang enggan bekerja sama. Menolak untuk mendengarkan kata-kata di sekitarnya. Karena sedang berkon sentrasi pada monolog di benak Kendra yang riuh-rendah.

Gadis itu tidak bisa melukiskan perasaannya yang kacau balau. Dia punya fi rasat kalau dirinya akan berhadapan dengan kesulitan besar. Rasa pengar mendadak meninju kepala Kendra. Gadis itu hanya mampu melakukan satu hal di saat genting seperti itu: Berdoa supaya orang bernama Maxim itu adalah tipe lelaki super baik yang tidak keberatan dengan kehadiran Kendra yang menggantikan Helen. Berdoa semoga Maxim tergolong penyuka jam karet yang selalu terlambat datang ke sebuah acara. Berdoa semoga Maxim mengajaknya makan di tempat yang menyediakan makanan lezat dan tidak langsung mengusirnya.

Sebelum menstarter mobil, Kendra memanfaatkan ponselnya untuk mencari data tentang pria bernama Maxim ini. Dalam sekejap internet menyajikan beragam informasi. Lelaki berkulit putih yang wajahnya mengingatkan Kendra pada Criss Angel tanpa aksesori itu terlihat ramah. Setidaknya, itulah yang ditunjukkan oleh foto. Apalagi profesinya sebagai kepala departemen penjualan sekaligus salah satu perancang sepatu prewalker untuk Buana Bayi.

Nama Buana Bayi bukanlah nama yang asing untuk Kendra meski dia belum memiliki anak. Mendapati fakta kalau dia akan berhadapan dengan perancang sepatu bayi, rasanya jauh lebih melegakan. Dibanding jika harus menemui atlet atau bintang sinetron terkenal.

" Semoga si perancang sepatu ini punya hati yang lembut. Kalau tidak, mana mungkin tertarik dengan dunia bayi, kan?" Kendra menghibur diri sendiri seraya menyalakan mesin mobilnya. Pemikiran yang sangat aneh, tapi Kendra tidak sempat mengoreksinya.

Gadis itu merasa tegang sepanjang perjalanan. Untungnya kondisi jalan raya cukup bersahabat, tidak membuat dirinya kian panik. Hanya saja Kendra gerah dan berkeringat karena cuaca yang panas dan pendingin mobilnya yang tidak bekerja entah sejak kapan.

Kendra akhirnya agak lega saat menerima SMS dari Helen yang memberitahukan kalau Maxim sudah setuju akan menunda sudah dipilih lelaki itu. Ketika akhirnya Kendra memasuki halaman parkir gedung perkantoran yang dituju, rasa leganya sangat luar biasa.

Kendra menerapkan prinsip Helen yang ingin serba cepat itu hingga cukup menyesatkan dan membuat lelah. Seperti biasa, segala yang serba cepat justru tidak sesuai dengan dirinya. Kendra seorang yang ceroboh. Dia terpaksa kembali ke tempat parkir karena ponselnya tertinggal di mobil.

Benda berukuran kecil tapi terbukti sangat vital untuk segala aktivitasnya itu sangat sering tertinggal. Dalam waktu setahun terakhir ini, Kendra bahkan sudah mengganti ponsel hingga tiga kali. Gadis yang sedang terburu-buru kembali panik saat menyadari kalau dia bahkan belum melihat penampilan teranyarnya.

Dengan udara yang panas, keringat yang menyerbu, dan sudah berjam-jam silam dia menyapukan bedak di wajah, Kendra sudah bisa menebak performanya. Tidak ingin kembali ke mobilnya yang sudah ditinggalkan cukup jauh, Kendra mendekat ke sebuah mobil double cab yang terparkir tidak jauh dari pintu masuk.

Sesaat, perempuan itu terperangah saat menyadari kalau mobil itu adalah favoritnya, Chevrolet Colorado yang gagah. Mobil impian yang sangat ingin dimilikinya untuk menggantikan sedan butut yang umurnya tak akan panjang itu.

Setelah melihat ke segala penjuru dan memastikan tidak ada yang memperhatikan tingkahnya, Kendra membungkuk. Dia baru saja hendak merapikan rambutnya dengan bantuan kaca jendela si Colorado yang gelap itu. Tiba-tiba, kaca jendela itu malah bergerak turun, membuat Kendra melompat mundur saking kagetnya. Astaga, mobil itu ternyata berpenumpang!

" Apa kamu tidak bisa masuk ke toilet dan berdandan di sana?" Kendra belum pernah merasa malu separah itu. Dia buru-buru menunduk, menggumamkan kata maaf yang tidak jelas, sambil buru-buru kabur dari tempat itu. Gadis itu setengah berlari menuju pintu masuk. Sesuai saran pemilik Chevrolet Colorado tadi, Kendra menuju toilet. Mencuci muka dan merapikan rambutnya di sana mungkin bisa meluruhkan rasa malunya juga.

Setelah merasa penampilannya tidak terlalu mengerikan, Kendra akhirnya ke luar dari toilet. Gadis itu sekali lagi membaca alamat restoran yang diberikan Helen. Restoran yang menyediakan makanan Indonesia itu berada di lantai lima. Kendra bergegas menuju lift.

Saat melewati pintu masuk restoran, Kendra menjadi bingung karena ada beberapa orang pria sedang duduk sendirian. Meski dia sudah melihat sekilas wajah Maxim, tapi Kendra tidak berani memastikan seperti apa tampilan asli pria itu. Tidak punya jalan lain, Kendra hanya bisa menelepon.

" Halo, selamat siang. Saya Kendra, dari Th e Matchmaker. Saya...."

" Saya ada di meja nomor dua puluh dua," balas sebuah suara datar. Setelahnya hubungan di putus begitu saja tanpa basa-basi. Kendra melongo dan cuma mampu menatapi layar ponselnya untuk sesaat. Memastikan bahwa pria bernama Maxim itu sudah mematikan telepon dengan tidak sopan.

Kendra menghela napas, terpenggal antara kesal dan tidak berdaya. Namun dia memantapkan hati, menyadari ini sudah menjadi tugasnya. Pramusaji mengantar Kendra ke meja yang dimaksud. Seorang pria jangkung segera berdiri di depannya sambil mengulurkan tangan. Diam-diam Kendra mengernyit, merasa tidak terlalu asing dengan wajah di depannya.

" Silakan duduk!" kata Maxim dengan suara yang sama sekali fi rasat buruk. Sepertinya tidak ada sosok pria ramah yang menjadi perancang sepatu prewalker yang ada di benaknya tadi.

" Kamu terlambat tujuh menit. Tapi saya berusaha maklum. Karena sepertinya ... kamu benar-benar ke toilet untuk berdandan."

Kata-kata Maxim membuat benak Kendra kosong untuk sesaat. Dan ketika akhirnya memorinya kembali, Kendra sangat ingin ada gempa bumi dahsyat yang membuatnya punya alasan untuk meninggalkan pria itu. Dan segera berlari menuju pintu darurat. oOo

Episode Balas Dendam yang Salah Kaprah

Berada di dekatmu

Menghirup udara yang sama denganmu Mencium aroma yang serupa denganmu Seperti sebuah episode sempurna

Dalam mimpi yang paling agung Aku bahkan takut untuk mengerjapkan mata Cemas kalau semua akan musnah

Dan berganti rupa Bisakah ini bertahan hingga kefanaan berakhir?

M axim bisa menangkap kekagetan di mata gadis itu. Kendra,

begitu nama yang tadi didengarnya, nyaris tidak bernapas selama beberapa detik. Matanya terbelalak memandang Maxim.

" Kamu ... yang tadi berada di dalam mobil keren itu? Eh ... maksud saya di Chevrolet Colorado?" Meski agak tersendat, gadis itu berhasil juga menuntaskan kalimatnya.

Maxim mengangguk. " Ya, itu saya."

Lelaki itu tidak berniat menjelaskan kalau dia baru saja hendak ke luar ketika ada seorang gadis yang memilih untuk berkaca di jendela mobilnya. Maxim tadi meninggalkan Buana Bayi untuk bertemu sebentar dengan ibunya yang sedang berada di rumah sakit, tidak jauh dari kantornya. Tentunya setelah Helen menelepon tentang penundaan makan siang mereka. Juga seseorang yang menggantikan perempuan itu untuk menemui Maxim.

" Oh, ini benar-benar memalukan...." Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tapi posisi itu hanya bertahan kurang dari tiga detak jantung. " Maaf, tadi itu memang kejadian yang konyol," ucapnya dengan wajah memerah. Maxim tidak tertarik untuk berbasa-basi saat ini. Terutama setelah apa yang dilakukan Helen. Tapi dia tetap harus memiliki sedikit sopan santun. Menurut tebakannya, Kendra pasti belum sempat mengisi perut.

" Kamu mau pesan apa?" Maxim menyodorkan buku menu yang berada di dekatnya. " Silakan pilih yang kamu suka. Saya yang akan mentraktirmu," tegasnya. Lelaki itu kemudian sibuk membaca daftar makanan yang tersedia. Ketika sudah memantapkan pilihan, pria itu memanggil pramusaji.
My Better Half Karya Indah Hanaco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maxim memesan satu porsi lontong medan dan caramel ice blended coff ee. Sementara Kendra jelas terlihat tidak nyaman meski berusaha keras untuk menutupinya. Tadinya Maxim bahkan mengira kalau gadis itu tidak akan memesan apa-apa. Tapi Kendra ternyata punya keberanian juga untuk memilih tekwan dan milkshake cokelat almond.

" Apa Mbak Helen sudah menjelaskan kalau saya yang akan menggantikannya hari ini?" tanya Kendra. Gadis itu jelas tidak ingin Maxim memandangnya seperti orang aneh.

" Sudah," balas Maxim pendek. Tamunya tampak tidak puas dengan jawaban singkatnya. Tapi Maxim tidak peduli, karena itu bukan masalahnya. Kendra dan Helen yang harus menyelesaikannya.

" Saya akan mulai menjelaskan tentang Dating with Celebrity. Acara ini...."

" Stop! Saya lebih suka jika saat ini kita makan dulu dengan Meski tampak tidak nyaman, Kendra akhirnya hanya mengangguk. Dan itu cukup melegakan Maxim. Saat ini dia sudah kelaparan dan tidak akan bisa bertoleransi mendengar penjelasan Kendra tentang acara reality show itu. Sehebat apa pun penjelasannya. Dan meski dia tahu cita rasa makanan yang sudah dipesannya tidak akan memuaskan. Tapi kadang orang harus mengesampingkan selera pribadi demi tujuan tertentu, kan?

Keduanya berdiam diri dan disibukkan dengan pikiran masing-masing hingga lebih sepuluh menit setelahnya. Maxim sebe narnya tidak terlalu suka makan di tempat itu. Menurutnya, makanan di tempat itu sama sekali tidak enak. Tapi kali ini adalah pengecualian. Semacam hukuman untuk Kendra yang sudah berani datang terlambat. Meski sebenarnya Maxim lebih suka jika dia menghukum Helen yang sudah membatalkan janji seenaknya.

Lelaki itu menyembunyikan senyumnya jauh-jauh saat melihat Kendra hanya mampu menelan tiga sendok tekwan sebelum akhirnya menyerah.

" Sudah bisa saya mulai sekarang? Sebelumnya saya mohon maaf karena datang terlambat. Mbak Helen berhalangan hadir karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan dan sama sekali tidak bisa ditinggalkan," Kendra mulai bicara. Maxim yakin perempuan itu sedang berimprovisasi mencari alasan.

" Tidak!"

Bibir Kendra terbuka mendengar ucapan Maxim. " Maaf, maksudnya?"

Maxim menegakkan tubuh, menghapus segala ekspresi ramah yang bisa dibaca oleh manusia dari wajahnya. Matanya menatap Kendra dengan tajam. Ekspresi itu sudah dilatihnya selama bertahun-tahun dan selama ini sukses besar untuk mengintimidasi " Saya tidak ingin mendengar penjelasan apa pun tentang kencan konyol yang digagas bosmu itu."

" Apanya yang hah ? Kamu sudah mendengar dengan jelas apa yang saya ucapkan tadi."

Maxim menyaksikan Kendra menggigit bibir dengan gugup. Dia berani bertaruh kalau gadis itu sedang bertarung dengan dirinya sendiri. Antara ingin menumpahkan protes dengan berusaha bersabar.

" Pak Maxim...." Kendra berusaha bersikap formal. " Maxim saja," tegas lelaki itu. " Dan tak perlu pakai Anda ." " Begini ... Maxim...." Kendra mulai bicara lagi, agak kaku saat menyebut nama lelaki itu& . " Saat ini di kantor saya sedang ada masalah. Katakanlah, chaos. Cukup merepotkan dan agak berbahaya. Dan orang yang bisa menyelesaikannya hanya Mbak Helen. Karena sedang banyak masalah, mungkin Mbak Helen lupa menghubungi kamu tepat waktu. Setelahnya, saya terpaksa diminta menggantikan beliau." Kendra berdeham pelan. Maxim melipat kedua tangan di depan dada dan bersandar senyaman mungkin. " Lalu?"

Kendra menjadi tidak nyaman diperhatikan seperti itu. " Ini situasi pelik yang tidak bisa dihindari. Saya tahu kalau kamu pasti merasa kesal. Karena terpaksa menunda makan siang. Selain itu, Mbak Helen malah mengutus orang lain. Tapi ... saya bisa memberi penjelasan yang cukup detail." Gadis itu membuka messenger bagnya yang cukup besar dan mengeluarkan setumpuk kertas dari dalamnya.

" Simpan saja kertas-kertasmu itu! Saya tidak akan tertarik." Kendra mengabaikan kata-kata Maxim. " Dating with Celebrity ini salah satu acara reality show yang sangat sukses. Sejak pertama pasangan yang berhasil bertahan hingga menikah. Tapi saya rasa acara ini sudah...."

" Kamu tidak mendengar saya, ya? Saya sama sekali tidak tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang acara yang tidak bermanfaat seperti itu. Apalagi terlibat di dalamnya. Sama sekali tidak!" Kendra mengerjap. " Tapi..."

Maxim menggeleng tegas. " Dua hari lalu, kakak saya berhasil membujuk sehingga saya bersedia mengikuti acara ini. Setelahnya, saya bicara dengan Helen di telepon. Bosmu itu sudah memastikan kalau hari ini kami akan bertemu untuk membahas soal itu sekaligus makan siang. Tapi apa yang terjadi kemudian?" tanya Maxim dengan gaya dramatis.

Kendra tidak benar-benar terintimidasi. Setidaknya, gadis itu masih mampu memberi balasan.

" Saya tadi sudah menjelaskan situasinya. Di kantor...." " Itu bukan alasan!" suara Maxim agak meninggi. " Saya adalah orang yang sangat menghargai janji dan waktu. Tapi seperti nya Helen tidak melakukan hal yang sama. Dia seenaknya memundurkan janji hanya beberapa detik sebelum pukul dua belas siang. Selain itu, dia malah mengutus orang lain. Nah, kalau dia saja tidak menganggap pertemuan ini penting, untuk apa saya melakukan yang sebaliknya?"

Kendra terdiam. Maxim bisa melihat wajah gadis itu memucat. " Maxim...." panggilnya dengan suara pelan. " Saya rasa Mbak Helen sama sekali tidak punya niat untuk menganggap sepele pertemuan ini. Masalahnya adalah...."

Maxim menyambar cepat, " Masalahnya adalah, Helen merasa di dunia ini hanya urusannya yang paling penting. Apa kamu tahu kalau dia bahkan tidak bertanya apakah saya keberatan dengan pertemuan yang diundur? Helen mungkin lupa, bukan dia sendiri " Saya minta maaf...."

Kendra jelas-jelas tidak tahu lagi harus berbicara apa. Gadis itu membenahi letak kacamatanya yang menurut Maxim seharusnya tidak perlu. Pria itu tersenyum tipis akhirnya.

" Jadi, lebih baik kamu kembali ke kantormu dan habiskan waktu dengan lebih produktif. Saya tidak akan berubah pikiran. Sampaikan kepada Helen, saya sama sekali tidak berniat ikut serta di acaranya." Maxim berdiri. Kendra mengikuti apa yang dilakukan lelaki itu.

" Hati-hati di jalan. Terima kasih sudah jauh-jauh datang ke sini. Selamat siang, Kendra."

Maxim meninggalkan Kendra tanpa menoleh lagi. Setelah membayar tagihan, pria itu segera meninggalkan restoran. Meski merasa tidak tega karena menjadikan Kendra sebagai sasaran kekesalannya, tapi pria itu cukup lega. Sejak tadi dia sudah menahan geram karena sikap Helen yang dianggapnya sama sekali tidak menghargainya.

Tempat pertama yang dituju Maxim saat tiba di kantor adalah menuju ruang kerja sang kakak, Aurora. Setelah ketukannya mendapat respons, lelaki itu masuk dengan langkah tegap.

" Aku membatalkan keikutsertaan di acara Dating with Celebrity. Teman Mbak yang bernama Helen itu seenaknya saja bersikap. Sama sekali tidak menghargai janji yang sudah dibuat."

Aurora yang sendiri berkutat dengan laptopnya, tampak kaget. " Membatalkan? Kamu jangan bercanda, Max!"

Maxim memandang kakaknya dengan serius. " Siapa bilang aku bercanda? Coba saja Mbak bayangkan apa yang terjadi hari ini! Teman Mbak sendiri yang berjanji kalau pukul dua belas tadi dia akan menemuiku di sini. Tiba-tiba dia meneleponku untuk cuma beberapa detik sebelum waktu yang dijanjikannya." Maxim mengulangi apa yang tadi diucapkannya di depan Kendra. " Kamu serius?"

" Ya ampun, untuk apa aku bohong?"

Aurora mendongak ke arah Maxim yang berdiri menjulang di dekat mejanya.

" Helen mengutus salah satu karyawannya untuk menemuiku. Dia juga memundurkan jam makan siang seenaknya. Intinya, aku melihat Helen itu sebagai orang yang tidak bisa menghargai orang lain. Dan situasi makin parah karena karyawannya itu telat hampir tujuh menit."

Aurora tersenyum mendengar kalimat terakhir adiknya. " Kenapa kamu tidak memaafkan tujuh menit yang berharga itu?" suaranya dicemari nada menyindir.

Maxim menggeleng tegas. " Tidak bisa seperti itu, Mbak. Tapi aku lega karena berhasil mengusir karyawannya Helen. Oh ya, namanya Kendra."

Aurora terbelalak, kekagetan terpentang di matanya. " Kenapa kamu mengusirnya? Dia kan tidak bersalah, Max! Karyawannya hanya mengikuti perintah bosnya. Kenapa kamu membuat keputusan gegabah?"

Untuk sesaat, Maxim merasa jengah mendengar kata-kata kakak nya. Tapi tidak cukup memadai untuk membuatnya hingga merasa bersalah.

" Mbak seharusnya tidak memarahiku segalak ini. Cobalah bicara dengan Helen. Bukan untuk alasan karena dia sudah membatalkan janji seenaknya.. Tapi aku lebih kesal setelah menyadari kalau dia kurang menghargai orang. Aku sama sekali tidak menyukai fakta itu."

Aurora menyandarkan tubuh di kursinya yang nyaman sambil " Aku tetap merasa kalau reaksimu itu berlebihan. Helen itu orang yang memiliki segudang kesibukan."

" Oh, dan aku tidak ya?" sindir Maxim. " Aku bahkan terpaksa tidak menemani Mama ke dokter karena menghormati janjiku. Tiba-tiba teman Mbak itu memundurkan jam makan siang begitu saja. Untungnya Mama masih menunggu dokternya saat aku mampir ke sana."

Aurora menggeleng. " Kamu itu kadang sok tua. Memangnya mau apa kamu menemui Mama di rumah sakit? Mama sudah hidup dua puluh tujuh tahun lebih lama darimu. Kamu kira Mama tidak bisa menghadapi dokter sendirian?"

Maxim tidak merasa geli mendengar komentar kakaknya. Itu bukan kali pertama ada yang mengkritiknya seputar soal sikapnya yang dianggap keterlaluan terhadap ibu mereka. Terlalu melindungi, terlalu perhatian hingga ke taraf menakutkan. Tapi tentu saja laki-laki itu tidak setuju.

" Mama sudah tua, aku takut nantinya malah merasa diabaikan oleh anak-anaknya."

" Mama kita tidak seperti itu. Mama kita terlalu tangguh untuk secengeng itu. Astaga, Max! Mama cuma mengontrol kesehatan, bukan dalam kondisi sakit parah."

Maxim tidak menyetujui kalimat kakaknya dan itu ditunjukkannya dengan jelas. Lelaki itu meninggalkan ruangan Aurora sambil mengangkat bahu dengan gaya tidak peduli.

Ibunya memang tergolong orang yang sangat menjaga kesehatan. Secara rutin, Cecil Arsjad mengunjungi dokter langganannya yang berpraktik di rumah sakit top yang tidak jauh dari kantor Maxim. Dan biasanya, Maxim berusaha menemani ibunya meski mendapat protes dari berbagai pihak. Termasuk dari sang ibu sendiri. Tapi tidak ada yang mampu membuat Maxim Maxim memasuki ruangan yang menjadi tempatnya bekerja beberapa tahun terakhir ini. Dia sama sekali tidak pernah menduga kalau bisa begitu menyukai pekerjaannya saat ini.

Sebenarnya, keluarga besar ayahnya sudah membangun bisnis sejak puluhan tahun silam. Keluarga Arsjad memiliki supermarket dengan puluhan cabang yang berdiri di berbagai pro vinsi. Ayahnya pun berharap untuk melihat anak-anaknya bergabung di sana.

Hingga Darien menjadi pemberontak pertama. Alih-alih menyelesaikan kuliah dan bergabung di usaha yang dikembangkan keluarga besar ayahnya, Darien malah memilih untuk menandatangani sebuah kontrak iklan yang kemudian membuat namanya tenar. Kakak lelaki Maxim yang memang dilimpahi Tuhan dengan banyak sekali kelebihan fi sik, akhirnya memilih profesi menjadi bintang fi lm dan sinetron. Darien enggan menjejakkan kaki di dunia bisnis.

Lalu Aurora menyusul, tapi kali ini melakukan sesuatu yang tidak henti disyukuri Maxim hingga detik ini. Beberapa tahun silam Aurora memiliki bayi dan kesulitan mencari sepatu yang sesuai keinginan dan memenuhi standar kesehatan. Saat itulah kakak sulungnya mencetuskan ide untuk mendirikan perusahaan sepatu bayi. Tanpa banyak pertimbangan, Maxim menjadi pendukung terbesar kakaknya setelah Donald.

Bertiga mereka bahu-membahu demi Buana Bayi. Meski belakangan Donald sudah cukup jarang datang ke Buana Bayi karena berkonsentrasi di perusahaan lain yang didirikannya bersama beberapa teman kuliahnya.

Tidak ada yang menduga kalau Buana Bayi bisa sebesar saat ini. Itulah salah satu alasan kenapa Maxim sangat sulit menentang keinginan kakaknya dalam banyak kesempatan. Meski mengomel Seperti yang terjadi dengan majalah Th e Bachelor dan Dating with Celebrity.

Maxim merasa dia berutang satu kehidupan kepada Aurora. Dia tidak pernah mengira kalau ada bagian dirinya yang ternyata sangat menyukai aktivitas merancang sepatu bayi. Lelaki itu sangat yakin, tidak akan ada pekerjaan yang lebih dicintainya dibanding ini.

Buana Bayi memberikan banyak hal untuk Maxim. Sebelum ini, mana dia tahu kalau sepatu untuk bayi yang sedang merangkak seharusnya berbeda dengan yang diperuntukkan bagi bayi yang mulai merambat. Atau butuh ruang sekitar 1,5 sentimeter dari ujung kaki bayi sebagai syarat sepatu yang tepat. Atau sepatu butuh bantalan medial arkus agar bayi tidak mudah lelah.

Lelaki itu sering kali tergoda membayangkan apa yang terjadi jika Darien yang sekarang menempati posisinya. Kakaknya itu pasti akan sangat tersiksa harus duduk di kantor selama delapan jam minimal. Darien mencintai pekerjaannya sebagai aktor. Tidak pernah mau duduk diam di belakang meja. Meski Maxim sering curiga kalau itu disebabkan karena Darien menderita klaustrofobia. Tapi, tentu saja Darien yang keras kepala itu membantahnya.

Bagaimana jika Declan yang mengambil alih tempat Maxim? Di mata kakak-kakaknya, Declan tidak akan pernah menjadi manusia dewasa. Meski saat ini usia Declan sudah mendekati dua puluh tujuh tahun. Tidak ada yang menganggap serius pilihannya menjadi aktivis lingkungan hidup.

Declan ikut memerangi perburuan paus, orangutan, badak, dan entah hewan apalagi. Sepertinya si bungsu klan Arsjad itu sudah berpetualang ke seluruh penjuru mata angin. Dan belum terlihat tanda-tanda kalau Declan akan berhenti dan mulai serius Maxim menyalakan laptop. Dia mulai memeriksa surat elektronik yang masuk. Setelah membaca satu per satu dan memastikan tidak ada yang benar-benar penting, lelaki itu melanjutkan pekerjaan yang tadi tertunda. Dia mulai membuka buku gambar khusus yang digunakan untuk merancang sepatu.

Maxim biasa menggambar rancangannya di situ sebelum dipindahkan ke komputer. Dan ada tim khusus yang akan mengerjakan bagian itu. Maxim hanya perlu menyertakan keterangan detail di tiap gambarnya.

Ada beberapa orang lagi yang juga melakukan hal yang sama. Setiap bulan desain sepatu yang sudah matang akan didiskusikan sebelum dipilih beberapa yang dianggap paling bagus. Setelahnya, si perancang akan mempresentasikan desainnya di depan para pengambil keputusan Buana Bayi alias Aurora dan Donald. Setelah mendapat lampu hijau, barulah produksi dimulai. Tidak langsung dalam jumlah besar karena tim pemasaran harus melakukan tes pasar dulu.

Konsentrasi Maxim segera meruah pada pekerjaannya. Dalam sekejap lelaki itu sudah melupakan seisi dunia yang sedang berputar di luar sana. Ketika akhirnya Padma menyambungkan sebuah panggilan telepon untuknya, Maxim langsung meradang. Kendra masih berusaha mendapatkan kesempatan kedua.

" Saya rasa kamu cuma membuang-buang energi dengan menelepon ke sini. Tolong ya Nona, jangan menyulitkan kita berdua. Saya tidak tergoda untuk mengikuti kencan bodoh yang kalian tawarkan. Dan jangan lagi menghubungi saya!" kata Maxim tanpa basa-basi. Dia tidak peduli andai Kendra merasa tersinggung. Karena itu sama sekali bukan urusannya.

Lelaki

dan Ego Sebesar Dunia

You re a falling star You re the gateway car

K endra memandangi teleponnya dengan bibir terbuka. Seakan

ada makhluk ajaib yang siap melompat dari dalam benda itu. Masih sulit percaya kalau teleponnya baru saja ditutup dengan tidak sopan oleh Maxim. Lagi. Apakah lelaki itu memang terbiasa menutup telepon dengan kasar?

Kalau menuruti kata hati dan harga dirinya yang terluka, Kendra sangat ingin merontokkan gigi Maxim. Supaya lelaki itu tidak bisa lagi memamerkan gigi rapinya. Atau sekalian saja memotong lidahnya agar takkan mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati orang lain. Tapi dia juga tidak mau harus menghabiskan hidupnya yang berharga itu di dalam hotel prodeo.

Kendra kembali ke kantor dan melaporkan apa yang terjadi kepada Helen. Dia sangat berharap kalau bosnya akan ikut memaki Maxim dan memberi sedikit penghiburan. Tapi Kendra tahu, dia hanya berusaha menipu diri sendiri. Mana mungkin Helen mau bersikap sebaik itu?

Yang terjadi, kedua mata Helen nyaris melompat keluar. Diikuti sederet kalimat yang isinya tidak jauh-jauh dari tudingan kalau Kendra sudah bekerja di bawah standar. Tidak becus. Helen lupa, dia yang menyebabkan itu semua. Maxim bahkan sudah menyinggung soal Helen yang tidak menepati janji. Tapi, Kendra nyaris tidak punya kesempatan untuk mengangkat poin itu.

" Saya tidak mau menerima kabar penolakan. Kamu seharusnya tahu itu, Ken! Jadi, saya kasih kamu satu kesempatan lagi. Hubungi Maxim dan buat jadwal pertemuan lagi."

" Kapan Mbak bisa bertemu dia?" balas Kendra dengan kepala berputar.

Helen menatapnya galak. " Kok malah saya? Kamu yang harus bertemu dia lagi. Kan saya sudah menugasimu, Ken. Maka, selesaikanlah tanggung jawab itu dengan baik!"

Kendra benar-benar sakit kepala sekarang. Membayangkan harus bertemu lagi dengan makhluk kasar seperti Maxim, bisa membuatnya mengalami menopause dini. Laki-laki itu bukanlah teman bicara yang menyenangkan. Kendra tidak akan kaget jika Maxim takkan pernah menemukan jodoh. Atau kalaupun menikah, istrinya mungkin orang yang hanya mengincar dompet lelaki itu.

" Mbak...." Kendra memaksakan diri agar bisa bicara dengan tenang. " Pekerjaan saya bertumpuk. Kalau harus mengurusi Maxim juga, mungkin agak ... sulit. Lagi pula, dia orang yang me...."

" Kendra, saya tidak mau mendengar alasan apa pun! Saya sudah memberimu tugas, kerjakan saja! Kamu bukan orang baru yang sama sekali tidak tahu kalau saya tidak menyukai pembangkangan. Pekerjaanmu nanti akan digantikan orang lain untuk sementara." Suhu wajah Kendra mengalami penurunan mendadak. " Ini..."

" Kalau kamu menolak, saya akan memindahkanmu ke bagian lain. Tentunya bukan naik pangkat. Tertarik untuk menjadi cleaning service?" ancam Helen terang-terangan.

Mengeluh pun tidak ada gunanya. Bersikeras menolak malah adalah melakukan apa yang diminta Helen. Dan memang itu yang kemudian coba untuk diwujudkannya.

" Oke, Mbak. Saya akan berusaha."

" Jangan cuma berusaha! Tapi kamu harus berhasil membujuk Maxim untuk bergabung di Dating with Celebrity. Tidak ada kata gagal!"

Kendra mengangguk sebelum mengundurkan diri dari ruangan yang ditempati Helen. Dia sering bertanya-tanya, apakah di dalam dadanya Helen memiliki sepotong hati yang bisa merasa iba atau tidak tega? Makin mengenal Helen dia kian yakin kalau perempuan itu luar biasa egois.

Helen tidak merasa bersalah meski sudah menciptakan masalah besar dengan Maxim. Kendra tidak tahu bagaimana harus bersikap. Yang pasti, dia sudah menjadi korban di sini. Andai negara melarang para bos untuk memperbudak bawahannya, alangkah indah hidup ini.

Perempuan itu kembali ke mejanya dan mulai menimbangnimbang apa yang akan dilakukannya demi memastikan Maxim mau menemuinya lagi. Hanya tiga detak jantung setelah duduk di kursinya, Kendra mengangkat telepon dan memencet sederet angka. Kantor Maxim.

Tapi hasilnya sama sekali tidak menggembirakan. Dengan senang hati Maxim melontarkan kata-kata kasar tanpa penyesalan sama sekali. Lalu menutup sambungan telepon begitu saja.

Kendra masih termangu, tidak percaya kalau hari ini begitu menyedihkan hidupnya. Bahkan ada kejadian yang cukup membuat urat malunya ingin menyembunyikan diri selamanya.

Gadis itu sungguh tidak tahu apa yang akan dilakukannya demi memastikan Maxim bergabung di Dating with Celebrity. Pengusaha sepatu bayi itu tampaknya bukan tipe lelaki yang mudah goyah.

ini dia selalu memandang diri sendiri sebagai gadis yang optimis dan bernyali.

Tidak ada satu ide pun yang melintas.

Kendra akhirnya memilih untuk menyelesaikan pekerjaan menyeleksi calon kandidat untuk teman kencan Nigel. Dia sudah meninggalkan kantor lebih dari dua jam dan terpaksa menangguhkan pekerjaannya. Gadis itu berharap semoga orang yang ditugaskan Helen untuk menggantikannya, akan bekerja lebih baik.

" Bagaimana pertemuanmu dengan Bujangan Paling Diminati itu?" Neala duduk di depan Kendra. Yang ditanya malah mengembuskan napas, entah lega atau malah tertekan.

" Tidak bagus. Gagal total."

" Oh ya? Kenapa?" Neala tampak lebih dari sekadar tertarik untuk membicarakan masalah itu.

" Laki-laki bernama Maxim itu marah karena Mbak Helen memundurkan janji. Juga karena memintaku yang menemuinya. Alhasil, dia menolak untuk terlibat dalam acara Dating with Celebrity. Sementara di lain pihak, aku menjadi orang yang tersu dutkan. Aku adalah orang yang tidak bisa melakukan tugas sederhana seperti itu," keluhnya.

" Dan aku bisa menebak kelanjutannya." Neala tampak bersimpati. " Kamu harus membujuk Maxim, kan?"

Kendra mengangguk sambil kembali membaca kertas-kertas di depannya. " Aku sudah beralasan kalau pekerjaanku bertumpuk. Tapi...." gadis itu terlihat tak berdaya. " Kamu lebih mengenal Mbak Helen," katanya kemudian.

Neala tampak prihatin tapi juga tidak berdaya. " Jadi, apa rencanamu?"

Kendra merapikan mejanya. " Entahlah. Yang jelas, hari ini aku kali dalam waktu kurang dari tiga jam ini, cukup melukai egoku. Nanti aku akan berpikir lagi, semoga mendapat ide yang genius."

Neala tersenyum lebar mendengar kata-kata yang meluncur dari bibir Kendra. " Dan ego yang terluka itu sungguh berbahaya."

" Setuju!" Kendra tiba-tiba menghentikan aktivitasnya dan menatap Neala dengan serius. Suaranya sengaja direndahkan saat bicara. " Si Maxim ini mengerikan, menurutku."

" Kenapa? Menderita penyakit menular?" goda Neala. " Aku serius, Nea! Orangnya dingin dan sombong. Menyebalkan, pokoknya. Tipikal laki-laki yang sangat tahu kelebihan fi siknya dan mungkin ... kantongnya. Membuat tidak nyaman," cetus Kendra sok tahu. " Selain itu, sepertinya dia sengaja menyiksaku. Tempat makan siang yang dipilihnya menyajikan menu paling tidak enak yang pernah kucicipi. Aku sebenarnya kesal sekali diperlakukan tidak manusiawi. Tapi ... apa boleh buat. Semoga aku punya kesempatan untuk membalas orang itu."

" Separah itu? Bahkan makan siangnya?"

Kendra mengangguk. " Kurasa, ada masalah serius seputar ego dan kepercayaan diri pada orang-orang yang tergolong selebriti ini. Setelah melihat syarat yang diajukan Nigel dan bertemu Maxim, kurasa sampai sepuluh tahun ke depan aku masih lebih suka melajang."

Neala terbahak-bahak dan membuat beberapa orang melirik ke arah mereka. " Jangan membuat janji yang tidak bisa ditepati, Ken!"

Kendra tidak menaruh perhatian pada kalimat temannya. Omelannya masih berlanjut. " Orang-orang ini mungkin mengira kalau planet tidak lagi mengelilingi Matahari. Mereka yang menjadi pusat semesta."

" Sekarang aku baru benar-benar yakin kalau si Maxim ini sudah membuatmu menderita. Omong-omong, lebih cakep aslinya Kendra mengangkat bahu. " Aku tidak memperhatikan soal itu. Sebenarnya ... sejak awal semuanya sudah salah. Aku malu sekali. Hanya saja tampaknya komposisi kulit wajahku ini agak istimewa. Mungkin dikombinasi dengan kulit badak. Makanya aku agak bermuka badak hari ini, tidak tahu malu."

Neala cekikikan. Karyawan lain yang bernama Pritha pun ikut bergabung di meja Kendra. Pritha mendengar ucapan Kendra dan ikut tergelak.

" Apa sih yang membuatmu malu?"

Kendra pun menceritakan apa yang terjadi saat dia mencoba bercermin di kaca mobil milik Maxim.

" Ha? Kok bisa?"

Kendra memandang Pritha dengan gaya menyerah. " Kamu kan tahu betapa cerobohnya aku. Jadi, pertanyaanmu itu sulit untuk kujawab. Hal-hal aneh, konyol, dan memalukan sepertinya sudah ada di dalam DNA-ku. Takdir manis."

Neala menyergah untuk menyuarakan protesnya. " Jangan bawa-bawa takdir untuk kesalahan yang kamu buat sendiri."

Pritha memberi sedikit penghiburan. " Andai ini bisa membuatmu sedikit senang, aku bersimpati padamu, Ken. Semoga kamu bisa menaklukkan si Maxim ini. Dan pastikan dia mentraktirmu makan siang yang enak."

Kendra menyeringai. " Berarti dari tadi kamu menguping, ya?" " Seisi ruangan ini bisa mendengarmu mengomel sejak tadi," balas Pritha. " Kendra, semangat!"

Tingkah teman-temannya membuat Kendra merasa geli. Tapi juga menghangatkan hati.

" Tentu! Aku tidak akan menyerah dengan mudah. Dia sudah menghinaku dua kali hari ini. Mana mungkin aku tidak menuntut kekesalannya hingga nyaris hilang. Semangat baru bertumbuh di dadanya.

Malam itu Kendra tiba di rumah menjelang pukul setengah delapan. Tergolong cepat bila dibanding hari lain. Tapi selama ini dia sama sekali tidak mengeluh dengan jam kerja yang lebih panjang dibanding karyawan kantoran lainnya. Helen memberi kompensasi yang lebih dari cukup untuk para karyawannya.

Memandangi rumah yang kosong dan sepi selalu membuat hati Kendra merasa terjepit sesuatu. Nyeri dan membuat sedih. Tapi gadis itu terus berjuang untuk bertahan agar tidak ada rasa panas yang membakar matanya. Dia tidak mau menangis lagi. Kondisi serba sepi ini sudah dijalaninya bertahun-tahun. Tapi dulu masih lebih baik karena ada kakak dan ibunya yang menemani. Empat tahun terakhir, Kendra benar-benar menghadapi kesepian yang membekukan ini sendirian.

Entah sudah berapa kali dia ingin pindah dari rumah itu. Karena setiap dindingnya meneriakkan kenangan yang sudah dilewatinya seumur hidup. Ketika keluarganya masih lengkap. Tapi di sisi lain, Kendra juga tidak tega membiarkan rumah kesayangannya tidak terurus. Sejak bekerja, dia benar-benar tidak lagi punya waktu mengurus rumah. Saat akhir pekan, gadis itu biasanya memilih untuk tidur berjam-jam atau menyelesaikan pekerjaan yang tersisa. Kadang, dia harus berkendara sejak pagi menuju Bandung.

Itulah sebabnya Kendra terpaksa meminta bantuan seseorang untuk membersihkan rumah. Beruntung dia mengenal banyak tetangga yang selalu siap memberi pertolongan.

Kendra pun akhirnya menyerahkan salah satu kunci rumahnya kepada Suci, tetangga di sebelah rumahnya. Dia sudah mengenal Suci sejak kecil. Dan perempuan itu tidak keberatan meminjamkan pembantunya untuk memastikan rumah Kendra tetap bersih. Suci Sebelum tidur, seperti biasa Kendra ke dapur dan memeriksa kompor. Meski dia tahu tidak akan menemukan api yang menyala di sana. Malam itu, Kendra bermimpi dia membuat Maxim meminta maaf sambil berlutut. Saat membuka mata paginya dan teringat mimpinya, Kendra tergelak sendiri. Bahkan Tuhan pun berusaha menghiburnya dengan memberikan mimpi yang melegakan. Meski mustahil, rasanya tetap saja memuaskan.

Mungkin mimpi itu yang memberi tambahan dorongan kepada Kendra untuk menyetir menuju ke kantor Maxim siang harinya. Gadis itu berpura-pura tidak tahu kalau sekretaris Maxim memandangnya dengan tatapan penuh selidik. Meski Kendra menjadi bertanya-tanya apakah penampilannya sangat berantakan sehingga pantas ditatap seperti itu.

" Pak Maxim tidak ada di kantor, Mbak. Mungkin baru kembali sekitar dua jam lagi."

Kendra berakting tenang dan santai meski di dalam hatinya dia mulai mengumpat. Senyum palsunya merekah. " Tidak apa-apa, saya akan menunggu."

Padma menatapnya lagi. " Maaf, Mbak tadi dari mana, ya?" Kendra kembali menyebut pekerjaannya dan tujuan datang ke tempat itu.

" Oh ya, saya tidak bisa memastikan kalau Pak Maxim akan benar-benar kembali ke kantor dalam waktu dua jam ini. Bisa saja tiba-tiba ada urusan mendadak yang membuat...."

" Jangan cemas, Mbak! Saya tidak keberatan menunggu lama," sergah Kendra buru-buru. Mendadak, sikap pantang menyerahnya mencuat tanpa bisa diadang. " Di mana saya bisa duduk?"

Padma menunjuk ke arah sofa yang berhadapan dengan mejanya. Kendra tidak yakin apakah club sofa berbahan beludru berbeda. Pasalnya, ada beberapa warna yang membuat ruangan lebih semarak.

Sofa terpanjang yang diperuntukkan bagi tiga orang itu berwarna lime. Lalu ada dua buah sofa tunggal berwarna oranye. Dan dua lainnya berwarna kuning. Selama tiga jam setelahnya Kendra mati-matian melawan rasa bosan dan kantuk yang mulai menyerang.

Entah berapa kali Padma memperhatikannya dengan saksama. Tapi tentu saja Kendra mengabaikan perempuan muda itu. Dia berusaha tenggelam dengan gadget-nya. Tapi rasanya tidak ada yang benar-benar mampu membuat Kendra mampu melewati detik demi detik dengan cepat. Waktu melamban, membangun dinding perselisihan dengan gadis itu.

Tak terkatakan perasaan lega yang memenuhi dada Kendra ketika akhirnya dia melihat wajah Maxim lagi. Lelaki itu baru saja melewati pintu masuk yang berada di seberang ruangan. Langkahnya begitu pasti, menyiratkan kepercayaan diri yang tinggi. Kendra buru-buru berdiri dan mengupayakan senyum ramah melengkung di bibirnya.

Saat Maxim menyadari kehadirannya, pria itu berhenti melangkah. Wajahnya berubah kaku. Ketidaksukaan memancar dari setiap pori-porinya. Senyum Kendra pun membeku. Seraya bertanya dalam hati, mengapa senyumnya tidak bisa memberi efek positif pada Maxim. Andai lelaki itu mendadak mabuk kepayang, alangkah baiknya.

" Kamu?" Maxim berekspresi seakan Kendra adalah seorang gadis sinting.

" Saya Kendra, dari Th e Matchmaker," gadis itu menyebutkan nama tempatnya bekerja.

" Aku tahu!" Maxim setengah membentak. Kendra berusaha sopan santunnya. " Kemarin aku sudah bilang, kalau aku tidak ingin berurusan dengan kalian dan segala kencan menyedihkan itu. Apa belum jelas?"

" Saya rasa..."

" Tolong tinggalkan kantor ini!" usir Maxim kasar. Lelaki itu melewati Kendra untuk masuk ke dalam ruangannya. Kendra mengikuti tanpa berpikir panjang. Dia melemparkan pandangan memohon ke arah Padma yang berusaha mencegahnya masuk. Entah karena tatapannya yang menyedihkan atau alasan lain, Kendra bisa melihat Padma mundur.

" Maxim, kenapa sih kamu kasar sekali?" darah Kendra terasa menggelegak. " Apa kamu tahu kalau aku sudah menunggu sejak tiga jam yang lalu? Kenapa kamu tidak mau memberiku satu kesempatan saja untuk memberi sedikit penjelasan?" Sopan santun Kendra juga turut mengalami defi sit. Dia bahkan tidak lagi memakai kata ganti " saya" .

Maxim berbalik seraya melonggarkan dasinya. Seakan ke hadiran Kendra membuat lelaki itu merasa gerah. Gadis itu mengatupkan bibirnya, mencegah lidahnya melisankan sederet kalimat yang bisa disesalinya kelak.

" Penjelasan apa? Aku sama sekali tidak tertarik. Aku tidak akan terbujuk, Nona!" Maxim menunjuk ke arah pintu yang terbuka di belakang Kendra. " Tolong tutup lagi pintunya kalau kamu keluar. Aku punya banyak pekerjaan yang jauh lebih penting. Kamu lebih baik menghabiskan energi dengan merayu orang lain untuk dijadikan peserta acara kencan menggelikan itu."

Lelaki ini benar-benar keterlaluan. Kendra sampai menghirup udara sekuat tenaga, memenuhi dadanya dengan oksigen. Betapa ingin gadis itu melemparkan sebuah kursi ke wajah Maxim yang menawan itu. Membuat satu cacat permanen di wajah lelaki itu " Kamu itu lelaki egois yang mengerikan. Apa kamu tidak bisa menghargai sedikit pun jerih payah orang lain? Aku sudah berusaha untuk...."

" Aku tidak tertarik mendengar usahamu. Sekarang, keluar atau kuminta satpam yang menyeretmu. Pilih mana?"

Kendra sangat ingin menumpahkan kemarahan dengan katakata jahat yang bisa membuat kulit wajah Maxim yang putih menjadi merah tua. Ketika akhirnya bibir Kendra terbuka, dia hanya berkata, " Sekarang aku tahu kenapa kamu menolak terlibat di acara Dating with Celebrity ini. Kamu pasti penyuka sesama jenis." Lalu Kendra berbalik meninggalkan Maxim. oOo

Gadis Mungil

dan Energi yang Menakutkan

You re the line in the sand When I go too far

M axim terbelalak mendengar kalimat yang diucapkan Kendra

dengan suara tenang itu. Belum lagi bantingan pintu yang menyusul kemudian. Gadis lancang itu baru saja menudingnya sebagai seorang pencinta sesama jenis. Meski kesal, tapi Maxim lega karena Kendra akhirnya meninggalkan ruangannya. Setelah lebih tenang, dia meminta Padma untuk masuk ke dalam ruangannya.

" Kenapa kamu membiarkan gadis itu menunggu saya?" tanyanya tanpa basa-basi.

" Dia yang bersikeras, Pak," Padma membela diri. " Saya...." Maxim tahu dia sudah berlaku tidak adil jika menimpakan semua kesalahan kepada Padma. Nyatanya, utusan Helen itu pun tergolong keras kepala. Dan mungkin tidak punya rasa malu juga.

" Berapa lama dia menunggu saya? Jangan bilang kalau dia sudah di sini sejak tiga jam yang lalu," Maxim bersiap menyalakan laptop.

" Dia memang sudah menunggu selama hampir tiga jam," balas Padma pelan. Tangan Maxim berhenti bergerak.

" Kamu serius?"

Padma mengangguk untuk menegaskan jawaban sebelumnya.

" Dia benar-benar menunggu selama tiga jam?" " Iya, Pak."

Setelah Padma meninggalkan ruangannya, Maxim dibanjiri rasa tidak nyaman. Dia baru menyadari betapa kelewatan sikapnya tadi. Dia mengusir orang yang sudah menunggunya selama tiga jam. Maxim bahkan tidak yakin apakah Kendra disuguhi minuman.

Ada dorongan untuk mengangkat telepon dan menghubungi Th e Matchmaker. Tapi Maxim tidak ingin hal itu dimanfaatkan untuk mendesaknya mengikuti acara Dating with Celebrity itu. Lagi pula, bukankah tadi Kendra sudah menudingnya seorang gay? Rasanya itu cukup dijadikan alasan untuk menggugurkan keinginannya meminta maaf.

Maxim pun segera melupakan ketidaknyamanannya secepat mungkin. Lelaki itu memilih untuk memusatkan konsentrasi kepada pekerjaan yang sudah menunggunya. Dia bersyukur karena Aurora tidak menerobos masuk dan bertanya-tanya tentang insiden yang melibatkan Maxim dan Kendra. Atau bertanya tentang hasil rapatnya tadi. Bukan hal yang aneh kalau kakaknya selalu ingin tahu pada setiap peristiwa kecil yang dialami adik-adiknya. Apalagi yang berhubungan dengan pekerjaan.

Hari ini tergolong hari yang menggembirakan untuk Maxim, kecuali yang berkaitan dengan Kendra. Pertemuannya dengan salah satu pimpinan jaringan hypermart top beberapa saat yang lalu memang menghabiskan waktu cukup panjang. Namun memberi hasil yang sepadan.

Buana Bayi mendapat area tambahan untuk memajang produk-produknya. Kesepakatan itu merupakan hasil lobi yang dilakukan oleh Aurora selama berbulan-bulan. Hari ini seharusnya Aurora yang menutup kesepakatan, tapi perempuan itu mendapat Akhirnya, dipilih jalan tengah, mengutus Maxim ke pertemuan dengan pihak hypermart.

Maxim melirik jam tangannya. Hari ini dia sangat ingin pulang ke rumah tepat waktu. Belakangan ini kesibukan sudah benarbenar meniadakan waktu luang baginya. Maxim sudah sangat jarang makan malam di rumah, menemani ibunya. Selama setahun terakhir, bisa dihitung dengan jari berapa kali dia pulang di bawah pukul tujuh. Sisanya, sudah pasti lebih malam.

Padahal, hanya Maxim yang kini tinggal bersama Cecil. Aurora sudah pasti menempati rumah yang disiapkan Donald. Declan lebih sering berada di luar negeri ketimbang di Jakarta. Sementara Darien memilih untuk tinggal di apartemen.

" Bagaimana hasilnya?" Itu kalimat pertama yang diucapkan Aurora saat memasuki ruangan sang adik.

Maxim menyeringai. " Kukira Mbak tidak ingat untuk bertanya. Tumben baru ke sini setelah lebih setengah jam aku kembali."

" Tamuku baru pulang. Oh ya, aku juga mendengar ada karyawan Helen yang datang dan kamu usir setelah tiga jam menunggu. Benarkah?"

" Kukira bagian itu terlewatkan," sindir Maxim. " Jawabannya adalah benar. Tidak ada yang perlu kujelaskan," elaknya. " Tapi, selama tiga...."

" Pertemuan dengan pihak hypermart berjalan mulus. Aku tadi mencoba menelepon, tapi ponsel Mbak tidak aktif. Ya sudah, tebakanku Mbak tidak mau diganggu."

Upaya Maxim untuk tidak membicarakan tentang Kendra tampaknya berhasil. Karena sekedip kemudian dia dan Aurora terlibat pembicaraan serius tentang hasil pertemuan yang dihadiri Maxim. Aurora menunjukkan kelegaan karena sang adik mampu melakukan tugasnya dengan baik.

" Ada di mana anak itu?"

" Di Prancis. Katanya dia sedang menghadiri acara kampanye untuk melindungi hutan tropis."

" Siapa pacar terbarunya? Masih lebih suka cewek bule?" tanya Maxim asal-asalan.

Aurora mengangkat bahu. " Mana kutahu? Lagi pula, itu bukan urusanku. Dia tidak membuatku cemas untuk urusan pasangan. Kalaupun ada yang harus kukhawatirkan soal jodoh, Declan berada di urutan terakhir. Darien menjadi prioritas. Mengkhawatirkan melihat adikku yang tampan tidak pernah memperkenalkan pacarnya selama beberapa tahun ini. Sementara gosip di luar sana begitu kencang, menghubungkan Darien dan entah siapa saja. Lalu kamu, yang tidak juga mau berkencan dengan serius. Acara perjodohan yang...."

" Tolonglah Mbak, kita tadi sedang membicarakan Declan." Aurora terlihat menahan tawa. Seakan menikmati ketidaknyamanan Maxim.

" Dia mengalami kecelakaan, terserempet motor. Tapi katanya tidak parah. Hanya saja dia tidak mau Mama sampai tahu."

Maxim sudah berupaya maksimal untuk membuat Declan berhenti melanglang buana untuk mengurusi masalah lingkungan. Dia tahu kalau ibu mereka mencemaskan si bungsu demikian besar. Tapi sayangnya, anak-anak keluarga Arsjad digariskan untuk memiliki tekad baja dan kekeraskepalaan yang cukup mengkhawatirkan. Declan pun tak terkecuali.

" Kapan anak itu mau pulang dan belajar bertanggung jawab untuk hidupnya? Tidak cuma menjadi aktivis sementara kehidupan pribadinya berantakan?"

Aurora serta-merta membela si bungsu. " Aku benci sekali kalau kamu mulai memainkan peran ayah bagi kami semua. Kami sudah

separah kamu. Satu lagi, Declan tahu apa yang diinginkannya. Dia melakukan sesuatu yang berguna bagi lingkungan. Tidak ada yang berantakan di hidup Declan. Kalaupun dia gemar berganti kekasih, tentu saja itu masalah lain."

Maxim membuang napas dengan mata tertuju pada layar laptop. " Kata-kata Mbak tidak kreatif. Aku bosan mendengarnya. Sepertinya tidak pernah berubah sejak tiga tahun lalu. Oh ya, aku tidak pernah memainkan peran sebagai ayah. Apa enaknya memiliki anak bermasalah seperti kalian bertiga?"

Aurora mendekati meja adiknya seraya membenahi letak pigura berisi foto Maxim dan Cecil.

" Tapi kamu tetap menyebalkan."

Maxim tergelak. " Seharusnya kata-kata itu untuk Mbak. Karena selalu berusaha mencampuri urusan orang lain. Kalau soal Declan, aku tahu Mama cemas. Mama ingin dia pulang dan mulai mencari pekerjaan tetap."

" Dia melakukan apa yang disukainya. Hargailah itu! Mama tetap akan mencemaskannya meski dia seharian tinggal di rumah. Seorang ibu selamanya akan khawatir kepada anak-anaknya. Tidak peduli apakah anaknya masih balita atau sudah menikah."

Membicarakan saudara-saudara Maxim terutama Declan hanya akan membuka pintu perdebatan yang tidak berakhir. Aurora selalu membela Darien dan Declan. Maxim kadang tergelitik untuk bertanya, apakah kakaknya melakukan hal yang sama di belakangnya? Apakah Aurora membelanya jika saudaranya yang lain mulai mengkritik Maxim?
My Better Half Karya Indah Hanaco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Jadi, kamu tetap tidak mau mengikuti acara kencannya Helen?"

Topik pembicaraan tiba-tiba menikung tajam, kembali ke tema awal. Maxim menghela napas. Menertawakan dirinya yang terlalu " Aku sangat bodoh kalau mengira Mbak akan menyerah menyinggung soal Helen. Jawabannya jelas, aku menolak. Aku tidak tertarik sama sekali. Mereka saja tidak menghargaiku." " Mereka?"

" Maksudku Helen."

" Tapi, kenapa kamu mengusir karyawannya? Menunggu selama tiga jam itu bukan pekerjaan yang menyenangkan, Max!"

Maxim mengangkat bahu dengan gerakan ringan. " Kemarin aku sudah bicara dengan jelas. Kalau hari ini gadis itu datang ke sini dan menungguku selama berjam-jam, apa lantas aku yang salah? Tidak, kan?"

Aurora tampak sungguh-sungguh saat bicara lagi. " Aku merasa kasihan dengan karyawannya Helen."

" Tidak masalah. Itu opini pribadi," balas Maxim tenang. Untuk itu, dia mendapatkan pelototan dari sang kakak. Tapi setelahnya Aurora meninggalkan Maxim setelah mereka mendiskusikan beberapa hal seputar pekerjaan.

" Nanti aku mau mampir ke rumah. Aku mau menjenguk Mama."

" Bagus. Mama memang membutuhkan perhatian dari kalian. Darien tuh tolong dikasih tahu, Mbak. Dia jarang sekali pulang."

" Pernah mendengar istilah sibuk ? Itulah yang terjadi pada Darien," balas Aurora santai sambil berjalan menuju pintu.

Keinginan Maxim untuk pulang lebih cepat akhirnya bisa terwujud. Dia sampai di rumah pukul tujuh lewat lima menit. Keningnya berkerut melihat ada dua buah mobil yang terparkir di halaman. Salah satunya milik Aurora. Yang satu lagi tidak dikenalinya.

Maxim mendengar suara perbincangan yang diselingi tawa halus. Ketika akhirnya dia melewati ambang pintu, lidahnya terkelu.

benar-benar mengerti. Yang jelas, dia melihat ibunya dan Aurora sedang berbincang dengan Kendra.

Mata Cecil berbinar begitu melihat kehadiran Maxim. Perempuan itu melambai dengan senyum lebar.

" Max, kamu sudah mengenal Kendra, kan? Dia ke sini untuk membujukmu mengikuti acara kencan yang sedang top itu. Dan Mama sudah berjanji akan memastikan kamu benar-benar ikut." BAM!

Maxim merasa kalau sebuah pintu sedang dibanting di depan hidungnya tanpa perasaan. Dia sangat ingin menyeret Kendra ke luar dan meminta gadis itu tidak lagi mengganggunya. Jika memungkinkan, Maxim bahkan tidak akan keberatan melaporkan Kendra sebagai penguntit. Ya ampun, bagaimana bisa makhluk sekecil dia bisa memiliki tekad yang mulai terlihat menakutkan?

" Selamat malam, Maxim...." Kendra memamerkan senyum yang diyakini Maxim sangat palsu.

Kendra bisa merasakan tulang-tulangnya mulai meleleh saking takutnya. Ekspresi Maxim terlihat kejam dan mengancam. Seakan lelaki itu siap untuk mencabik-cabik tubuhnya secara harfi ah. Gadis itu mulai menyesali keputusan nekatnya untuk mendatangi rumah Maxim.

Putus asa karena ditolak bahkan diusir oleh Maxim, Kendra tidak punya banyak pilihan. Apalagi Helen pun sama menye balkannya, tidak mau mengerti posisi Kendra. Helen sama sekali tidak merasa tersentuh meski Kendra sudah menjelaskan bagaimana dia menunggu berjam-jam hanya untuk diusir oleh Maxim. Helen tetap memaksanya untuk membujuk Maxim tanpa kemungkinan Akhirnya, Kendra melakukan satu hal lagi sebagai upaya terakhir untuk membuat Maxim setuju mengikuti acara Dating with Celebrity. Kendra menelepon Buana Bayi untuk mencari tahu alamat rumah Maxim. Tentunya dengan menyamar sebagai kurir yang ingin mengantar sesuatu ke rumah keluarga Arsjad. Kendra bahkan lupa apa saja yang diucapkannya hingga akhirnya berhasil mendapat yang diinginkan. Kini, dia berada di ruang tamu luas di rumah Maxim. Ditemani oleh ibu dan kakak lelaki itu yang bersikap begitu ramah. Berbanding terbalik dengan Maxim.


Wiro Sableng 063 Neraka Krakatau Baby Sitter Club 3 Rahasia Stacey Sumpah Asmara Cindewangi Karya

Cari Blog Ini