Ceritasilat Novel Online

Menyusuri Labirin Kehidupan 1

Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan Bagian 1



Menyusuri Labirin

Kehidupan Bersamamu

novel

Ebook by pustaka-indo.blogspot.com

Catz Link Tristan

Penerbit PT Elex Media Komputindo

? ? ? ?? ??

Menyusuri Labirin

Kehidupan Bersamamu

Copyright 2014 Elly Taurina Lingga

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang

Diterbitkan pertama kali tahun 2014 oleh PT Elex Media Komputindo,

Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta

188141137

ISBN: 978-602-02-4049-7

Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau

seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Isi di luar tanggung jawab Percetakan

t.c

Daftar Isi

Part 2 - Liz: Cerita Lalu ......................................................

Part 3 - Johan: Kebetulan Kedua ........................................

Part 4 - Liz: Drama yang Usai.............................................

Part 5 - Johan: Keputusan ..................................................

Part 6 - Liz: Mak Comblang ...............................................

Part 7 - Johan: Untukmu ....................................................

Part 8 - Liz: Misi Mak Comblang .......................................

Part 9 - Johan: Kanaya .......................................................

Part 10 - Liz: Dunia Kecil...................................................

Part 11 - Johan: Cincin ......................................................

Part 12 - Liz: Benteng ........................................................

Part 1 - Johan: Kenangan ...................................................

Prolog ..................................................................................

Part 13 - Johan: Melodi ...................................................... 105

Part 14 - Liz: Badai ............................................................ 115

Part 15 - Johan: Benang ..................................................... 125

Part 16 - Liz: Putih ............................................................. 133

Part 17 - Johan: Dinding Pembatas .................................... 141

Part 18 - Liz: Anak dan Orangtua ....................................... 153

Part 19 - Johan: A Shoulder to Cry On ................................ 161

Part 20 - Liz: Cuti .............................................................. 173

Part 21 - Johan: Riak .......................................................... 181

Part 22 - Liz: Bocah-Bocah ................................................ 189

Part 23 - Johan: Syarat ....................................................... 199

Part 24 - Liz: Persimpangan ............................................... 211

Part 25 - Johan: Dilema...................................................... 221

Part 26 - Boneka dan Robot ............................................... 235

Epilog ................................................................................ 241

Tentang Penulis ..................................................................

Labirin

Terima Kasih

Pertama dan terutama, kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena

tanpa anugerah-Nya, aku tidak akan pernah bisa mencapai apapun.

Kepada keluarga kecil yang selalu mendukungku. Juga tiga saudara

jahil dan orangtuaku.

Penerbit Elex Media, Mbak Rina dan Mbak Dita yang baik hati.

Yang selalu ramah walau aku sering merecoki. Senang bekenalan

dan bekerja bersama kalian. Maaf kalau aku merepotkan.

Lia Zhang dan Dina, tempat curhat segala macam hal. Dari waras

hingga ngaco.

Raziel, Renee. Sahabat yang selalu bersedia membantu agar terus

berkembang.

Keluarga besar grup House of Romance, kemudian, Wattpad, Cafe

Rusuh, dan Cersil De Jia. Kalian bagai kotak harta karun penuh ide

cemerlang.

Untuk Dishi Reindiny, yang selalu sabar saat kutanyai mengenai

kota Semarang tanpa kenal waktu.

Lea Willsen, informasi email darimu menjadi pembuka jalan bagi

naskah ini.

Spesial untuk Liz Lavender, berawal dari cerpen untuk hadiah

ulang tahunmu, naskah ini hadir. Terima kasih karena bersedia

kusodori naskah gaje setiap saat?bahkan tengah malam sekalipun.

Terima kasih untuk Kahitna dan lagu-lagunya yang menemaniku

menulis, juga Andana Pratama yang mengubah lirikku menjadi

lagu.

Para pembaca dan pencinta tulisan di seluruh dunia. Kalian

membuat langit lebih berwarna.

viii

Labirin

Terakhir, namun sangat berarti. BB Curve item dengan keypad yang

mulai sering demo pemberian Dute. Sarana aku menuangkan ideide gila.

Prolog

Hubungan manusia itu bagaikan labirin. Batas-batas yang

membentuk lekuk, puzzle, serta dinding labirin adalah

masalah dan berbagai kondisi yang dialami manusia. Jalanjalan yang dilalui adalah takdir yang kadang tidak dapat ditebak.

Beberapa anak manusia dimasukkan secara bertahap ataupun bersamaan ke dalam labirin. Hanya saja, pada satu kesempatan, mereka

akan mencari cara untuk menemukan pintu akhir, jalan keluar.

Sesungguhnya bukan itu hal utama dari sebuah labirin.

Namun, perjuangan. Ketika kamu menemukan teman maupun

pasangan yang tepat untuk menemanimu mengelilingi labirin,

setiap dinding bagaikan pagar dari tanaman hijau rindang serta

menyejukkan. Tapi bila tidak, semua akan menakutkan. Labirin itu

akan menjadi penjara seumur hidup yang tak dapat kamu lalui.

Mengapa harus takut dalam menapaki lorong? Bukankah kita

yang memimpin perjalanan ini?

Bersiaplah memasuki labirin hidup, temukan pasanganmu,

serta dapatkan jalan keluar. Setelah satu labirin terselesaikan,

mungkin saja kita semua akan menghadapi labirin berikutnya.

Yakinlah, setiap labirin selalu akan ada kemenangan manis di akhir.

Labirin

Bila tidak, cukup nikmati saja perjalananmu.

PART 1

Johan: Kenangan

Sebut aku pengecut. Melarikan diri hanya karena ditolak oleh

gadis yang kusukai. Masih kuingat cercaan Pipit padaku hari itu.

"Kau tuh laki atau bukan? Pergi sana, perjuangkan! Rebut Dina

kembali!"

Jika gadis itu memang mencintaiku, sedikit saja, aku memiliki

alasan bertahan dan bertarung habis-habisan demi mendapatkan

dia. Namun, Dina tidak pernah memilihku dari pertama. Hati,

jiwa, dan raganya telah tertambat pada pria lain.

Bicara tentang patah hati, ini bukanlah patah hati pertamaku.

Bukan juga patah hati yang membuatku begitu terpuruk. Sejujurnya, aku terus membandingkan dengan wanita itu. Mendapati

berbagai kemiripan antara keduanya, yang memancing rasa ingin

tahu akan Dina. Kejadian bersama Dina membawaku kembali

pada kenangan lama. Saat aku dan wanita di masa lalu harus

menentukan pilihan yang teramat sangat sulit. Cinta atau restu.

Perpisahan, yang membuatku mencari keamanan pada kota

kelahiran.

Lucunya, ketika mengalami penolakan, aku malah memilih

melarikan diri ke kota ini, berlibur di Semarang. Kota yang

terpaksa kutinggalkan, padahal aku selalu ingin membangun

rumah kecil di sini. Tempat kenanganku bersama wanita masa lalu.

Yah, aku harus menyebutnya wanita dari masa lalu, sekarang.

Apa yang kupikirkan dan kuharapkan sebenarnya?

??

Keluar dari Ahmad Yani Internasional Airport, aku segera menuju

salah satu taksi yang terparkir di depan pintu masuk bandara.

Belum tangan ini menyentuh pintu taksi, pikiranku berubah.

Aku tidak ingin langsung menuju salah satu penginapan murah

meriah dengan kualitas pelayanan bagus yang sering kupakai

dulu. Ada tempat lain yang ingin dituju. Dengan tas ransel kecil?

berisi beberapa lembar pakaian dan barang-barang penting?di

punggung, aku menyusuri jalanan. Tidak jauh dari jalan keluar

bandara, terlihat beberapa motor terparkir di sana.

"Pantai Tirang."

"Pantai Marina lebih keren toh, Mas. Fasilitasnya lengkap,

pasirnya cantik. Terus, banyak yang seru-seru lainnya. Top pasti."

Pengendara motor itu memberi saran. Mungkin, dia mengira aku

turis yang sama sekali buta mengenai kotanya. Atau, sepertinya dia

Labirin

enggan karena tahu rute menuju Pantai Tirang jelek. Sebenarnya,

potensi dan keindahan pantai tersebut sangat menakjubkan. Hanya

perlu sentuhan dan perhatian lebih.

"Mau anterin atau ndak? Kalau ndak, aku cari yang lain,"

ucapku sambil melihat beberapa motor ojek yang terparkir.

Pengendara motor itu segera mengangguk dan memasang helmnya.

"Sudah pernah ke Pantai Tirang yo, Masnya?" tanya dia.

"Sudah."

Ya, aku sudah pernah pergi. Bahkan sering.

Mungkin, aku manusia paling bodoh. Mencoba melupakan patah

hati dengan menyusuri kenangan patah hati yang pertama. Dulu,

aku bertemu dengannya di Pantai Tirang. Dia gadis manis kurus

setinggi pundakku, dengan pakaian serba ungu. Warna favoritnya.

Dia menghampiri, berdiri di depanku. Aku memperhatikan

rambut ikalnya, bergelombang seperti ombak bergulung di pantai.

Tanpa basa-basi, dia langsung bertanya soal berbagai hal tanpa rasa

canggung.

"Wisatawan ya?"

"Kok bukannya ke Pantai Marina saja?"

"Tertipu sama tukang ojek pasti toh."

"Zaman modern gini kok yo nggak cek internet dulu soal objek

wisata di tempat yang akan dikunjungi."

Anehnya, bisa dikatakan, seharusnya aku bersyukur karena

menemukan pantai indah ini. Dia bercerita tentang berbagai hal

mengenai Pantai Tirang. Objek wisata yang kurang diperhatikan.

Labirin

Mulai dari akomodasi, jalan masuk, sampai pengelolaan yang tidak

terurus. Aku, dalam diam, terus mendengarkan ocehannya. Sama

seperti hari ini, kubiarkan debur ombak bercerita dan aku duduk

mendengarkan. Memuaskan kerinduan akan dirinya.

Menjelang sore, langit mulai terlihat memerah. Dia pernah

dengan girang berteriak hanya karena melihat matahari terbenam,

kekanak-kanakan. Tapi itu yang kusuka darinya. Begitu bebas dan

lepas. Salah satu sifat yang juga dimiliki Dina. Aku hampir saja

melupakan sebab kedatanganku, Dina dan patah hati.

Dina. Gadis itu memang sangat menarik. Namun kuakui, dia

hanya mengingatkanku pada wanita dari masa lalu. Rupa Dina

sudah semakin samar sejak aku lepas landas dari Bandara Supadio,

terganti dengan wajah wanita masa lalu. Seluruh hal dari dirinya
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih terus menghantuiku, meski kukira telah berhasil lenyap

dari pikiran. Menapakkan kaki di kota yang katanya dijuluki

sebagai Venetie De Java oleh Belanda dulu?karena Semarang

banyak dilalui sungai di tengah kota seperti di Venesia, Italia?

mengingatkanku pada waktu lalu.

Aroma pantai menghidupkan kembali wangi tubuh yang

berbau lavender. Jejak pada pasir menuntun pada tapak kaki yang

pernah menjejak di sana, juga di hatiku.

Matahari terbenam, aku mengangkat ransel dan beranjak.

Kulihat salah satu motor ojek yang kosong. Segera saja kuhampiri,

menawar harga untuk diantar ke tempat yang pernah aku dan dia

kunjungi setelah menatap matahari terbenam.

Kami duduk lalu makan di pinggir jalan. Katanya, ini adalah

makanan terlezat yang pernah ada. Tanpa perlu aku membuka mulut

bertanya, dia menjelaskan tentang nama makanan dan tempat yang

Labirin

kami kunjungi. Kawasan Simpang Lima Semarang, kebanggaan

penduduk kota ini. Bahkan bisa dikatakan, menyaingi Malioboro di

Yogyakarta. Inilah surga kuliner dan pusat tempat menemukan Nasi

Ayam Semarang.

Aku meletakkan gelas yang sudah habis. Masih segar di ingatan,

saat itu, ketika aku baru saja menyelesaikan tegukan wedang

lengkeng, dia sudah menarik tangan. Beranjak cepat dari warung

makan menuju tempat lain. Berputar-putar melihat muda-mudi

dan keluarga yang bersantai, melepas penat sambil membawa

sepotong lumpia yang baru saja digoreng. Begitu juga sore

hari Minggu ini. Aku melakukan hal yang sama persis seperti

pertemuan pertama kami.

Setelah puas berputar hingga dengkul terasa mau copot, dia

mengajakku menuju bioskop.

membawaku menuju sebuah bangunan, E-Plaza. Tanpa bertanya, dia

Kenangan itu jugalah yang membawaku menuju loket Plaza 2

kali ini. Dia, yang bisa kukatakan sebagai maniak film, selalu

saja mengajakku menonton. Sejak pertemuan pertama hingga

kami pacaran. Semakin menjadi-jadi ketika dia menemukan

cerita pendek yang termuat dalam sebuah buku kumpulan

cerita.

"A15 dan A16," ucapku pada petugas.

"Sisa A16, Pak. Boleh?"

Aku terdiam sejenak. Lalu mengangguk.

Kuingat, dia selalu suka dengan tempat duduk A15 dan A16.

Labirin

Aku menertawakan kebiasaan bodohnya. Dia meniru lagi apa yang

pernah dibacanya dari cerpen dengan judul yang sama, "A15 ?

A16", karya salah seorang penulis dari Semarang juga.

Aku menyandarkan tubuh pada kursi berwarna merah dengan

bahan yang lebih baik dari beberapa tahun lalu. Mungkin, sudah

lima tahun sejak kuputuskan pergi dari Semarang dan kembali

pada kota kelahiranku. Kembali menghadapi sikap sinis dan

pengusiran dari Papa. Serta melarikan diri dari patah hati yang

teramat dalam. Lucunya, kegagalan dalam percintaan membawaku

kembali pada kota penuh kenangan ini. Kota tenang dan indah.

Seindah dirinya.

Lampu ruangan mulai redup. Layar besar menampilkan

beberapa hal yang sudah kuhafal di luar kepala. Pop corn dan

minuman kuletakkan di lengan kursi. Tak berapa lama setelah

film mulai berjalan, seseorang menempati kursi di sebelahku, A15.

Seorang pemuda berbadan besar. Aku tertawa kecil. Menertawai

kebodohanku karena berharap dia tiba-tiba saja muncul dan

duduk di kursi sebelah. Namun, dia berbeda dengan tokoh di

dalam cerita yang telah difilmkan. Kisah yang secara mengejutkan

juga disukai Dina. Dia, wanita masa laluku, selalu diam menatap

layar. Menikmati jalinan kisah. Bahkan tidak juga melepaskan

konsentrasi?bila filmnya bagus?untuk mengambil pop corn serta

minuman.

Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Akting Nicholas Cage dan

John Cusack dalam The Frozen Ground sangat memukau. Dia

pasti akan suka dengan film seperti ini. Menegangkan, film tentang

detektif, dan punya jalan cerita yang sangat menarik. Lagi-lagi aku

ingat padanya.

Tas ransel mulai membebani pundakku. Bagaimana tidak, dari

Labirin

pagi hingga ke malam aku terus memanggul tas ini. Ketika kaki

berjalan melewati lorong keluar studio dan melewati loket karcis,

seorang gadis kecil menggenggam dua lembar kertas lalu menabrak

kakiku. Aku memungut dan meletakkan karcis itu pada telapak

tangan mungil yang sudah terbuka lebar. Judul filmnya Planes,

Plaza 1 dengan nomor kursi.

"Alika!"

Wanita masa laluku mendekati lalu menggandeng si gadis kecil

yang telah berbalik. Aku menatap punggung gadis kecil yang masih

sempat berbalik menatap serta tersenyum ke arahku.

"Liz!"

Suara panggilan untuk memasuki ruangan bioskop sudah

terdengar. Aku yakin suaraku cukup nyaring. Mengalahkan pengeras suara di berbagai penjuru bioskop tersebut.

"Han?"

Liz berdiri. Mematung. Gadis kecilnya kini menarik lengan

bajunya. Menyodorkan kertas yang tadi kupungut sambil menunjuk barisan penonton yang memasuki ruangan.

"Ayo, Mommy!" rengek gadis kecil yang memiliki mata bulat

cerah seperti miliknya.

Dia menatapku terus sambil melangkah menjauh.

Dan, masih kuingat pada lembar putih, tiketnya tertera A15 A16.

Aku yakin kegilaanku mencapai taraf tertinggi. Bolehkah aku

tinggal sejenak? Belum ingin kutinggalkan Semarang, juga dirinya.

Labirin

??

PART 2

Liz: Cerita Lalu

Aku diam. Diam. Kemudian terdiam. Membeku. Mematung

dari ujung kaki hingga kepala. Dia ada di sana. Bukan hantu

atau monster mengerikan. Dia hanya cerita lalu. Pria Masa Lalu.

Tuhan ... ah, tidak seharusnya kulibatkan Sang Pencipta kali ini.

Sebab, dalam kenangan tentangnya, selalu ada label Tuhan yang

mengikuti kami. Bukan Tuhan, aku salah, namun agama. Kami

terpaksa menyerah karenanya. Kupikir pilihanku tepat kala

itu. Aku condong berjalan pada jalur ?benar?. Benar dan tepat

menurut pandangan semua orang serta keluarga juga norma di

masyarakat.

Perpisahan itu menyisakan luka yang teramat dalam. Mungkin

tepat menembus hingga bagian punggungku, tapi tidak mengenai

organ vital. Bersyukur? Tidak juga. Yang pasti, karena perbedaan

tipis tersebut, aku masih bisa selamat dan hidup.

"Mommy," Alika menarik tanganku.

"Ya, Sayang?" Gadis kecilku menunjuk pada kaca mobil yang

diketuk.

Lamunan tentang Pria Masa Lalu membuat aku terdampar

pada hamparan pasir putih. Jauh dari hiruk pikuk dunia. Lepas

dari aturan nan mencekik leher. Hanya ada aku dan Pria Masa

Lalu dalam memori lama yang terasa segar di awal, manis di

pertengahan, namun pahit di akhir. Pahit, yang entah mengapa

bila diberikan pilihan untuk kembali mengecap ke masa sebelum

bertemu dengannya, aku akan tetap memilih jalur yang sama.

Kereta yang sama. Perahu yang sama. Meskipun tahu, pada akhirnya kami harus berpisah pada stasiun maupun pelabuhan berbeda.

Pahit yang memabukkan.

"Mommy," ucap Alika kembali menarik lengan bajuku.

Aku menatap Alika. Sekali lagi bocah kecil ini yang membuat

aku kembali sadar akan perjalanan panjang yang masih harus

kutempuh, bersamanya. Saat ini hidupku hanya akan diisi dengan

Alika dan Alika. Karena dia segalanya.

Ada suara ketukan kuat pada jendela di sampingku. Terkejut,

aku menoleh. Mendapati seorang pria dengan wajah masam. Dia

menepuk kaca dengan tak sabaran. Dia, pria yang hadir setelah

Pria Masa Lalu, yang saat ini juga sudah menjadi kisah lalu. Aku

menyebutnya Pria Kapal Karam. Aku yakin dia akan mencercaku

Labirin

bila tahu telah menyematkan julukan aneh padanya. Tapi, aku

punya alasan sendiri. Dia adalah nakhoda yang menenggelamkan

bahtera rumah tangga kami. Kemudian, melempar sebuah

sekoci beserta pelampung untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Sedangkan aku, dibiarkan berenang dengan sebuah botol kecil

yang bocor. Tidak hanya itu. Setelah sampai di pesisir pantai,

bukan tim SAR yang menyambutku. Dia langsung menghadirkan

pengadilan di sana untuk menghakimi diriku. Atas semua ketidakbecusan wanita yang dinikahinya dalam menjalankan peran sebagai

istri, menantu, ipar, maupun ibu. Menyebalkan, karena aku pernah

menyalahkan diriku sendiri atas semua keretakan yang terjadi

hingga belang Pria Kapal Karam terbongkar.

"Kenapa baru sekarang antar Alika?" Pria Kapal Karam sekarang

suka berteriak. Mungkin dia berpikir telingaku sudah rusak, penuh

dengan air samudra juga pasir di pantai.

"Kerjaanku baru selesai," jawabku pelan sambil menjaga

sisi sinisku tidak merangkak naik kemudian memanjat keluar

dari mulut, mata, maupun telinga. Sebab kutahu akibat dari

membiarkan kesinisan itu muncul. Ketakutan yang tergambar pada

wajah bidadari kecilku. Aku akan menekan semua rasa hingga tidak

ada perasaan. Asalkan Alika tidak tercemar oleh pertengkaran siasia kami.

"Kerja, selalu kerjaan. Aku sudah tahu, Alika tidak pernah

menjadi prioritasmu. Sejak dulu, bagimu Alika tidak lebih penting

daripada pekerjaan."

Sungguh, jika tidak ada hukuman penjara bagi pembunuh,

saat ini mungkin Pria Kapal Karam sudah tidak akan pernah bisa

mengeluarkan suaranya lagi, selamanya. Aku berpikir untuk

Labirin

menyiksanya perlahan. Menjahit mulutnya, mencabut satu per

satu kuku dari kedua puluh jemari, membuat ukiran-ukiran

?terima kasih? pada sekujur tubuh, dan yang terakhir, menyiramnya

dengan cuka. Merencanakan serta membayangkan saja sudah

menimbulkan sensasi menyenangkan. Hanya saja, aku tidak bisa.

Membunuhnya tidak sebanding dengan akibat yang aku terima.

Aku tidak takut akan hukuman di bui. Tapi, tidak bertemu Alika,

itu adalah kiamat bagiku. Apalagi memikirkan akan jatuhnya hak

asuh ke tangan mantan pasangan hidupku.

"Alika, bersenang-senang ya sama Papa. Lusa Mommy jemput."

Aku membiarkan dia mengoceh. Aku juga berbicara, menutupi

jejak suaranya pada telinga putri kecilku, harta terindah dari Sang

Pencipta. Satu-satunya hal terbaik yang berasal dari Pria Kapal

Karam.

Kulihat Alika melambaikan tangan dari gendongan Papanya,

lalu seorang gadis muda berlari keluar dari dalam rumah mencubit

pipi putriku, gemas?atau sebal? Gadis itu adalah Calon Istri Masa

Depan Pilihan Pria Kapal Karam.

Aku masih malas menyebut namanya, Lukman Timur. Pria
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang pernah meminang, mengucapkan ijab kabul di hadapan

Bapak, penghulu, juga para kerabat dan sahabat. Pria yang berjanji

memastikan matahari selalu tersenyum ceria untukku karena

dia adalah sisi timur yang menjadi awal hari. Ternyata, lucunya,

dia malah menyembunyikan matahari sehingga hidupku tidak

bercahaya lagi.

Suara klakson terdengar. Lampu lalu lintas menunjukkan warna

hijau. Sial, beberapa hari ini aku terus melamun, mengenang hal
Labirin

hal tidak perlu.

Kendaraanku melintasi jalanan kota Semarang. Melewati

rambu-rambu yang dulu sering kulalui. Aspal hitam ini pernah

menemaniku selama perjalanan menuju kantor maupun pulang

ke rumah. Rumah, tempat suami dan anakku menunggu. Namun,

sekarang semua hanyalah sisa kenangan, yang perlahan akan

terkikis seiring menipisnya si lapisan hitam. Selanjutnya, ketika

dana telah dikucurkan, aspal yang rusak akan ditimpa dengan yang

baru. Jalan kembali licin dan bersih. Tapi sadarlah, tidak ada yang

dapat menjanjikan jalanan tetap mulus. Terik matahari, berbagai

kendaraan yang lewat, serta hujan akan membuat batu-batu

muncul, lubang-lubang menganga, dan jalanan rusak. Sama halnya

dengan hidup manusia.

Aspal lama adalah kenangan. Aspal baru adalah hidup baru.

Lalu, bukankah sepatutnya aku meninggalkan memori buruk

itu? Membiarkan semuanya tinggal kenangan. Kisah cinta hanyalah cerita lalu sekarang. Harusnya aku memulai dunia baru.

Mengambil gambar untuk film masa depan. Lucunya, ketika aku

memutuskan untuk melakukan itu, saat ?camera, rolling, action!?

diucapkan, dengan aku sebagai pemeran utama, sutradara,

sekaligus krunya, aku lupa Tuhanlah penulis naskah kehidupan.

Tidak akan pernah ada film yang dapat direkam dalam kamera

terbagus sekalipun tanpa naskah cerita. Bahkan sebuah iklan

memerlukan naskah. Penulis naskah tidak pernah muncul

ataupun terlihat. Dia bekerja di balik layar, jauh dari gemerlap

lampu sorot. Namun, setiap jalinan kisah yang dituliskan akan

menjadi pegangan bagi semua yang terlibat dalam pengambilan

Labirin

gambar.

Aku tidak pernah menduga naskah apa yang sedang Tuhan

tuliskan untuk masa depan yang baru kutapaki. Yang jelas,

Dia memasukkan Pria Masa Lalu dalam pengambilan gambar

tersebut minggu kemarin. Walau aku masih bertanya apakah

dia akan menjadi figuran, pemeran pembantu, antagonis atau...

mungkinkah dia, Johan, Pria Masa Lalu, akan menempati posisi

pemeran utama pria dalam film terbaruku? Sedangkan aku yang

menjadi figurannya? Aku hanya dapat bertanya.

Karena cerita baru yang akan kubuka, dimulai dengan cerita

lalu.

Labirin

??

PART 3

Johan: Kebetulan Kedua

Apa yang sebenarnya aku cari? Sungguh, aku tidak tahu.

Mungkin bodoh mencari ketenangan di tempat yang bisa

membangunkan naga yang tertidur dalam hatiku.

Bicara mengenai naga, aku tidak suka dongeng yang mengisahkan putri cantik jelita yang diselamatkan oleh pangeran

tampan nan gagah berani dari sebuah kastil yang dijaga naga jahat.

Bagaimana bila sebenarnya naga itu adalah kesatria? Dia hanya

mencoba memenangkan hati dan perasaan sang putri dengan

menjaganya dari segala macam marabahaya. Bagaimana bila

pangeran tampan tidaklah baik hati? Naga hanya melakukan apa

pun agar kekasih hati aman dan dekat di sisi. Walau pada akhirnya,

penonton lebih suka jika naga kalah serta ditaklukkan pangeran

tampan. Kemudian, putri serta pangeran hidup bahagia selama

lamanya.

Lagi-lagi otakku ngawur.

Aku berada di Paragon Mall. Salah satu mal terbesar di kota ini.

Untuk apa aku ada di mal? Besok liburanku berakhir. Lalu, setelah

semua hal yang tiba-tiba terjadi dan terpaksa menyulitkan Pipit

untuk mengurus kafe musikku, oleh-oleh yang cukup bernilai

terasa layak diberikan padanya.

Aku melewati pintu masuk. Terlihat sebuah panggung megah

menghiasi bagian tengah lantai dasar mal. Ada counter-counter

kecil yang dijaga para SPG cantik berkaus putih dengan gambar

pelangi dan bercelana panjang putih. Warna yang lembut. Aku

memicingkan mata, membaca spanduk besar serta gerbang

yang terbuat dari styrofoam dengan bentuk pelangi aneka warna.

?Rainbow TV, The joy of colorful entertainment.?

Slogan yang menarik. Ternyata acara promosi televisi kabel.

Sekarang banyak televisi berlangganan yang menjamur seperti

ini. Aneh, acara televisi reguler saja tidak habis ditonton, apalagi

dengan semua deretan channel televisi tersebut. Kuperhatikan, di

atas panggung ada peralatan band lengkap. Tangan ini gatal ingin

memetik gitar. Padahal baru satu minggu berpisah dari senar-senar.

Aku kembali memusatkan perhatian pada tujuan awal. Oleholeh. Sebuah toko pakaian wanita di depanku. Tidak, aku tidak

akan membelikan Pipit baju, bukan keahlianku. Kalung. Yah,

kalung cukup praktis. Kuedarkan pandangan mencari kios atau

toko aksesori.

Nyatanya, aku tidak bisa melepaskan pandangan dari kegiatan

di atas panggung. Mataku kembali melirik. Peralatan band lengkap

itu belum tersentuh. Kudengar kasak-kusuk beberapa orang yang

Labirin

berkaus sama dengan SPG di depan tadi.

"Belum datang band yang kita sewa?"

"Bagaimana ini?"

"Bukannya acara dimulai lima belas menit lagi?"

"Kamu yang bertugas menyewa penyanyi, kan?"

Seperti biasa. Saling tuduh dan menyalahkan mulai terjadi bila ada

kekacauan. Namun, berbeda kalau acara atau apa pun itu menuai

sukses. Semua berebut untuk ambil jasa. Menyedihkan.

"Kamu yang harus tanggung jawab!"

"Cari solusi dong!"

"Tahunya ngomong doang. Pikir!"

Aku yakin para panitia acara sudah kebakaran jenggot. Untuk acara

sebesar ini, bagaimana mungkin mereka tidak menyiapkan band

atau penyanyi pembuka.

Belum sempat aku menjauh, terlihat dua wanita berjalan ke

arah panitia. Keduanya mengenakan kaus yang sama. Hanya saja,

tambahan kardigan hitam pada wanita pertama membuatnya

terkesan hangat. Lalu, blazer hitam yang membungkus tubuh

wanita kedua membuatnya begitu elegan, seperti biasa. Dia di sana,

dengan kedua tangan di saku blazer, rambut diikat, sedikit sapuan

kosmetik natural yang membuat kulit hitam manisnya terlihat

eksotis.

Sial! Aku mulai menjadi gila lagi. Gila akan pesona dia, wanita

dari masa lalu.

Kadang kala, aku ingin protes kepada Sang Pencipta. Bagaimana bisa Dia menghadirkan kebetulan-kebetulan yang sesung
Labirin

guhnya ingin kuhindari? Bolehkah aku berpikir kalau Tuhan

tidak pernah adil? Mempertemukan hanya untuk memisahkan.

Kemudian, perpisahan dilanjutkan dengan pertemuan kembali.

Bayangkan, di hari pertama aku kembali menginjakkan kaki

di Semarang, aku harus bertemu dirinya. Di tempat yang menjadi

kenangan. Serta, membawa aku pada kenyataan bahwa dia masih

membeli tiket bioskop dengan nomor bangku yang sama. Hanya

saja, saat ini dia bukan gadisku lagi. Dia sudah menjadi istri

seorang pria beruntung dan ibu dari seorang putri cantik.

Kemudian, Semarang bukanlah kota kecil. Luasnya kurang

lebih 373,67 kilometer persegi dengan begitu banyak pusat

perbelanjaan serta penduduk di kota ini. Namun, entah mengapa,

aku kembali dipertemukan dengan Liz. Di awal kedatangan dan

ketika aku bersiap kembali ke kota tempat tinggalku, Pontianak.

Kakiku melangkah mendekat, menguping sambil purapura mendengarkan penjelasan SPG mengenai kelebihan televisi

berlangganan ini. Mata menatap brosur yang penuh tulisan dan

harga, tapi otak berputar pada sisi lain.

"Kalian tidak menghubungi manajer band ini?" tanya Liz.

"Sudah, Bu. Tapi tidak ada jawaban." Beberapa panitia

menunduk. Kurasa Liz cukup disegani di kalangan mereka.

"Kalian urus band itu sampai dapat. Sementara aku akan

mencoba mencari penggantinya," ucap Liz tegas. Lalu, dia berdiskusi dengan wanita berkardigan hitam di sampingnya. Keduanya terlibat pembicaraan yang cepat dan penuh pertimbangan.

"Liz," sapaku tanpa sadar.

Dia menoleh. Terkejut, sama seperti pertemuan pertama kami

sekian lama itu.

Labirin

"Siapa, Liz?" tanya wanita di sebelahnya.

Liz masih terdiam. Dia hanya berdiri. Mematung. Menatapku

seperti sedang memandang hal buruk berwujud manusia. Atau,

hanya perasaanku saja. Mungkin monster. Naga. Setan. Apa pun

itu.

"Liz, udahan bengongnya. Kita mau mengurus acara nih!"

Wanita itu menepuk pipi Liz. Dia wanita yang lucu dan sangat

ekspresif, menurutku. Pantas saja keduanya berada dalam tim yang

sama. Keduanya cocok. Liz juga sangat ceria dan bersemangat. Dia

selalu memiliki hal-hal menarik untuk membuat hari indah dan

riang. Suara, tawa, cerita, canda, juga wajah cemberutnya selalu

memberiku kisah menarik.

"Maaf, aku mengganggu, ya?" ucapku merasa bersalah.

"Iya," ujar Liz.

"Tidak," sahut wanita berkardigan. Aku tersenyum. Sementara

itu, Liz membuang muka, temannya menatapku lekat.

"Kamu ngurus acara ini?" Tunjukku pada panggung yang

masih kosong, sedangkan kursi sudah hampir terisi penuh.

"Astaga, Liz. Bentar lagi Pak Bos dan tamu VIP bakal datang.

Catet, V-I-P!"

Liz mulai panik.

"Kita harus cari band atau apa pun itu. Bagaimana kalau

kita tarik saja orang-orang yang sedang karaokean di Nav, family

karaoke itu?" Usul teman Liz yang benar-benar menunjukkan

mereka tengah dihadapkan pada situasi rumit.

"Aku saja yang menggantikan sampai band utama kalian

datang." Oke, aku juga shock dengan tawaranku ini. Gila! Bermain

akustik dengan gitar sambil bernyanyi itu susah. Apalagi belum

Labirin

latihan. Aku tidak memegang gitar atau alat musik lainnya selama

seminggu ini. Aku dalam bahaya besar. Sejujurnya, aku sedang

melemparkan diri ke dalam kawah gunung berapi.

Liz menatapku. Temannya juga. "Kamu? Pengamen?" tanya

wanita berkardigan.

"Bukan. Dia penyanyi kafe, dulu." Lalu, kejadiannya berlangsung begitu cepat. Liz menarik tanganku menuju belakang

panggung. Bertanya apakah aku siap dan sebagainya. Sementara

otakku juga sedang memproses setiap potongan kejadian cepat ini

walau kurasa sambungan kabel di bagian berpikir dan logikaku
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang eror.

"Han, terima kasih." Liz menyodorkan gitar sebelum aku naik

panggung.

Saat menaiki tangga berkarpet merah aku berpikir, ini seperti

sedang menaiki panggung cerita. Ketika naik, aku akan menjadi

pemeran dalam kisah tersebut. Ada tanggung jawab untuk

menyelesaikan peran hingga akhir, hingga layar ditutup.

Teater yang mungkin akan melibatkan aku, Liz, dan masa lalu.

Aku tahu satu hal yang pasti, Liz masih menguasai ruang terbesar

di dalam hatiku. Dan, di sini aku sudah tidak berarti apa-apa lagi

baginya. Ruang hati Liz sudah dihuni suami dan anaknya.

Tapi, Liz, bolehkah aku kembali masuk dalam kehidupanmu?

Setidaknya menjadi sahabat, cukup sebagai sahabat. Atau, menjadi

naga yang telah ditaklukan pangeran tampan serta kalian kurung di

penjara kastil. Sehingga aku dapat menjagamu suatu saat nanti.

Jariku memetik senar gitar. Menghasilkan nada, seirama

detak jantungku. Lagu ini dulu pernah menjadi napasku. Ingat
Labirin

kah, Liz?

Di sendiriku

Hati ini telah melukis cinta

Yang kuingini

Yang saat ini ku tak tahu di mana

Di manakah kau cantik?

Sesungguhnya aku kangen kamu

Di manakah dirimu aku nggak ngerti

Dengarkanlah kau tetap terindah

Meski tak mungkin bersatu

Kau selalu ada di langkahku

Mengapa harus

Keyakinan memisah cinta kita

Meski cintamu aku

("Nggak Ngerti", salah satu lagu Kahitna)

Labirin

??

PART 4

Liz: Drama yang Usai

Han, kenapa kamu muncul lagi?

Bukankah drama yang kita bintangi telah selesai? Sudah

terpasang kata tamat pada akhir kisah. Walau bukan ditutup

dengan ending yang kita inginkan. Bukan kita penulis naskahnya,

Han. Kita hanya pemain yang terlibat di dalamnya. Aku tidak

tahu pendapatmu. Namun, aku bahagia bisa berada dalam sebuah

cerita bersamamu, dengan ?kita? sebagai pemeran utamanya. Tidak

semua cerita akan berakhir bahagia selama-lamanya layaknya

cerita dongeng yang selalu kubaca di masa kecil. Karena, kita

memerankan kisah kehidupan nyata, based on true story. Jadi,

kenyataan yang berbicara, Han.

Kamu dan aku sadar betul, setelah selesai, drama itu tidak

pernah bisa tayang di stasiun televisi mana pun. Bahkan dalam

proses pembuatannya, kita berdua telah dikecam dan dicaci.

Kisah kita dulu menuai protes, meskipun aku dan kamu telah

memutuskan untuk mengubah akhir cerita, seperti yang mereka

pinta. Sesuai aturan dan norma-norma yang mereka dengungkan

kebenarannya. Mengorbankan kita berdua.

Berapa tahun Han kamu dan aku tidak bertemu? Jangan

tanyakan padaku, aku tidak ingat. Kenapa? Aku memang ingin

menghapus kamu dari hidupku. Memulai hidup baru. Lucu, Han,

lucu sekali. Ketika hidup baru itu kandas, kamu kembali muncul.

"Liz!" Ka?Kanaya nama panjangnya?mengejutkanku seperti

biasa. Dia tersenyum manis. Gadis menyebalkan ini adalah sahabat

terbaikku. Dia suka ikut campur meski sudah diperingatkan

berkali-kali agar menjauh.

"Aneh, tidak biasanya Nona Sibuk bengong di depan

komputer. Ada apa nih?" ledek Ka.

"Aku sedang memikirkan cara untuk membunuhmu."

"Aaaaw, seyeeem (seram). Tapi, kamu tidak akan tega

membunuh makhluk Tuhan yang paling imut sedunia dan akhirat

ini. Aku berani bertaruh." Ka tertawa lebar sementara itu aku hanya

menatap sinis.

Benar. Aku memang tidak mungkin membunuhnya. Dia terlalu

mengerti diriku. Bahkan, gadis gila ini membantuku menyusun

jebakan untuk Pria Kapal Karam dan Calon Istri Masa Depannya,

atau boleh kusebut dengan Maling Jalang. Saat semua orang

menatap aneh pada status baru yang sebenarnya tidak ingin

kusematkan pada pundak, dia malah tersenyum mengerikan dan

Labirin

berkata, "Mari kita bersatu mengebiri pria-pria penjahat kelamin."

Sejak saat itu, aku membiarkan Ka menjadi sahabatku. Lebih

tepatnya, membebaskan dia untuk merecokiku.

"Liz, Si Ganteng yang kemarin bernyanyi akustik itu temenmu,

ya?" tanya Ka sambil mengedipkan mata.

"Penyanyi akustik itu temanku. Tapi, kalau Si Ganteng yang

kamu maksud, aku tidak mengerti yang mana," jawabku asal.

"Itu, yang kemarin itu. Kan gantang sangat." Ka masih

berkedip-kedip seperti lampu yang hampir putus sumbunya.

"Gantang? Kentang?" tanyaku pura-pura tidak mengerti.

"Gantang itu level tertinggi dari ganteng," ucapnya seenak

perut. Dia berdiri dengan sikap penuh percaya diri. Gadis ini sepertinya tidak pernah kekurangan suplai rasa optimis. Aku iri padanya.

"Salah!" Kucoba berdebat.

"Terus?" tanyanya bingung.

"Level tertinggi dari ganteng itu genteng," ucapku asal mengimbangi kram otak tingkat kronis Ka.

"Liz!" teriak Ka, "Kamu fenomenal! Tadi sangat lucu! Apalagi

kamu mengucapkannya dengan ekspresi datarmu." Ka mulai

terbahak-bahak tanpa peduli tatapan cemooh dari seisi ruangan

kantor. Ka, punya kebiasaan buruk, tertawa tanpa melihat situasi

dan kondisi.

Dia mengingatkanku pada sosok Lizda yang dulu. Lizda, nama

yang diambil dari bahasa Indonesia, mengandung arti ?gadis lemah

lembut?. Sayangnya, gadis lemah lembut itu harus beradaptasi serta

bermetamorfosis menjadi sosok lain.

Setelah selesai tertawa juga menghapus air mata yang keluar

dari kedua sudut mata, Ka kembali berbicara. Wajahnya masih

Labirin

merah. "Jadi Si Gantang itu ada nomor ponselnya ndak?"

"Johan," ucapku pendek.

Ka mendelik, keningnya berkerut, bertanya.

"Namanya Johan. Berhenti memanggilnya gantang," ucapku.

Aku merasa risih dengan cara Ka memuji Han.

"Kenapa tidak boleh? Dia keren. Suaranya bagus. Petikan

gitarnya memabukkan. Dan, yang terpenting, dia super-dupertriple-giga gantang sangat!" sahut Ka sambil bergoyang ala ulat bulu.

"Dia tidak gantang." Aku berbohong. Menahan semua perasaan yang tiba-tiba muncul. Ada Si Sinis mencoba menekan sosok Si

Lemah ke dasar jurang. Jangan biarkan sisi lemah itu mendobrak

keluar. Jangan pernah!

"Liz, kukira otak dan hatimu saja yang bermasalah," ucap Ka

sambil mengangkat gagang telepon dan menekan angka-angka,

"Rupanya matamu juga perlu penanganan."

"Siapa yang kamu telepon?" tanyaku.

"Halo. Ya, mau daftar untuk pemeriksaan mata, Dokter

Suhatman. Jam enam sore? Baik! Atas nama Liz." Ucapan Ka

terputus. Kuhentikan sambungan telepon itu dengan menarik

lepas sambungan kabel perangkat telepon.

Kutatap Ka lekat. Akhirnya, dia malah tertawa terbahak-bahak

sambil mengambil posisi duduk di atas mejaku.

"Ganteng itu relatif, Ka."

"Yup. Relatif," sahutnya.

"Apa yang menurutmu keren, belum tentu dirasa sama oleh

orang lain." Aku mulai sok tahu.

"Sepertinya kita selalu berbeda pendapat tentang ini. Menurutmu, Iron Man itu ganteng. Sedangkan, aku lebih suka Captain

America. Walau sebenarnya aku bersedia menampung semua pria
Labirin

pria tim Avengers itu di kamarku. Kecuali Hulk. Dia harus duduk

di halaman depan sambil membantuku mencabuti rumput." Ka

kembali tertawa.

"Terserah kamu saja, Ka. Tapi, kurasa, sekarang waktu yang

tepat bagimu untuk mengandaikan Pak Bos sebagai pria tergantang. Karena dia menatapmu dengan sinar membunuh sejak

kamu tertawa tadi." Aku senang melihat wajah kecut Ka.

Dia menjulurkan lidah dengan tangan memberi kode penebasan leher. "Mampus," ucapnya tanpa suara. Lalu, langsung

melompat turun dari meja. Belum dua langkah, Ka sudah berhenti,

melihat kerumunan karyawan yang asyik bergosip. Dia berbalik

kemudian melemparkan lambaian kecupan jarak jauh padaku saat

beberapa karyawan lain berusaha menguping pembicaraan.

Telepon di mejaku berdering. Aku mengangkat. Kukira Pak Bos

yang menelepon, meminta laporan kegiatan kemarin.

"Liz, aku punya berita baik dan buruk untukmu. Yang mana

yang ingin kamu dengar dulu?" tanya Ka dari balik pembatas

sambil terus menebar lambaian kecupan padaku.

"Baik," sahutku.

"Kurasa anak-anak mulai berhenti menggosipkan perceraianmu." Ka bersiul-siul.

"Aku tidak peduli," ucapku. Tidak ada yang penting dari gosip

itu. Selama mereka tidak berkicau di depan orangtua serta anakku.

"Buruk."

"Berita buruknya adalah kamu mulai digosipkan terlibat

a?air."

Aku mulai waspada. Melotot pada Ka. "Jangan main-main!"

"Selamat, Liz. Kamu digosipkan resmi menjadi pasangan

Labirin

lesbianku."

Aku tersenyum dan Ka berusaha menahan tawa. Entah berita

gila apalagi selanjutnya.

"Ka, aku butuh bantuanmu," ucapku serius.

"Apa, Liz?" tanya Ka bingung dan cemas.

"Teleponkan rumah sakit tadi," sengaja kuputus ucapanku.

"Liz?"

"Dan, daftarkan mereka semua ke psikolog."

Kami berdua tertawa.

Setelah keusilan pagi hari, aku kembali bekerja seperti biasa.

Meneruskan laporan. Ada uang insentif sales dan teknisi yang harus

segera dicairkan. Ini akhir bulan yang sungguh sibuk sementara

otakku tidak bisa konsentrasi. Ada cabang kecil yang menarik

pikiranku pada Han.

Menilik pernyataan Ka tadi mengenai relativitas ganteng

atau tidak, kuakui kadang kami tidak sependapat. Han lebih dari

ganteng. Dia sudah melewati tahap itu.

Aku ingat Han yang kukenal beberapa tahun silam, pemuda

bebas yang keren. Masih bertubuh kurus tinggi. Punya rambut

pendek berpotongan ala boyband zaman dulu. Poni dibelah tengah.

Wajah polos dan culun. Dia selalu berhasil kukerjai. Jika kuingat

penampilannya dulu, aku merasa lucu. Tapi toh gayaku dulu juga

tidak terlalu modis. Hanya saja, kami merasa itulah penampilan

ter-cool melebihi siapa pun.
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara, dia yang sekarang telah berubah banyak. Dari

hanya pemuda, menjadi pria. Pria matang yang sempurna. Kurasa

perjalanan hidup menempanya. Han berubah begitu drastis.

Labirin

Han, kenapa kamu muncul di hadapanku lagi?

Sekali lagi pertanyaan ini hadir di kepalaku.

Atau mungkinkah ini bukan mengenai drama kita berdua? Apakah

kali ini aku hanya akan menjadi figuran? Siapa pemeran utama

wanitanya, Han?

Labirin

??

PART 5

Johan: Keputusan

Aku duduk, lalu berdiri. Berputar, kemudian berjalan ke titik

pertama lagi. Ini bukan sebuah koreografi tarian ataupun

semacam gerakan senam. Hanya tingkah orang bodoh yang berada

dalam kegundahan tingkat tinggi. Seharusnya, saat ini aku sudah

memesan tiket penerbangan menuju Pontianak dengan pesawat

Sriwijaya Air. Lalu berkemas, serta memesan taksi untuk esok pagi.

Tapi, nyatanya, aku masih saja mengitari kamar penginapan.

Ruangan tempat aku menginap tidaklah besar. Hanya sebuah

kamar kecil berukuran dua kali tiga meter. Sebuah ranjang kayu

dengan seprai ala rumahan. Ada juga meja. Walau cuma berbekal

kipas angin dengan jendela serta ventilasi, ruangan ini memberikan

sirkulasi udara yang cukup bagus. Ada fasilitas wi? di ruang depan

serta tempat penyewaan sepeda. Bersih, rapi, dan sederhana.

Sangat sebanding dengan harga sewa per malam yang hanya seratus

sepuluh ribu rupiah. Apalagi pelayanan dari pemilik serta pekerja

di Hostel Imam Bonjol ini sangat ramah. Letaknya yang strategis

juga menjadi nilai lebih. Dekat dengan Lawang Sewu, Jalan

Pandanaran, mal Paragon City, serta tempat-tempat makan. Aku

dulu juga menginap di sini. Aku mendapatkan informasi mengenai

tempat favorit para backpacker dari Liz. Menghemat begitu banyak

uangku sehingga cukup untuk bertahan selama sebulan sambil

mencari pekerjaan.

Kali ini apakah aku juga akan melakukan hal gila seperti dulu

lagi? Di sinilah aku, gelisah mencari jawaban serta keputusan.

Untuk apa? Mengapa? Apa manfaatnya?

Tidak tahu. Aku tidak pernah bisa menjawab. Tapi, hatiku meminta agar jiwa dan raga ini tetap tinggal.

"Pit, kamu masih di indekos?" Suara Pipit sedikit berisik,

jaringan antarpulau sedang tidak bagus tampaknya.

"Hujan, Jo. Aku naik ke lantai atas dulu. Cari sinyal." Teriakan

Pipit cukup jelas.

"Sudah?" tanyaku.

"Siap! Besok pesawat jam berapa, kau?" tanya Pipit. "Biar

kami jemput. Jemput oleh-oleh tentu saja." Suara tawa khas dia

terdengar.

"Masih mirip kuntilanak kau, Pit," ledekku.

"Cari mati kau, Jo. Tunggu je, nanti kurobek-robek mulutmu."

Pipit tidak pernah serius dengan ancamannya. Dia hanya lawan

Labirin

bertengkar yang asyik.

Aku mengatur napas, semoga saja keputusan ini tidak salah.

"Pit, indekos kamu akan jatuh tempo minggu depan, kan? Lebih

baik kamu jangan nge-kost lagi."

"Hah?"

??

Aku mengitari jalanan Simpang Lima berbekal koran pagi sambil

mengipasi tubuh dengan sebuah kertas berisi iklan kredit barang

elektronik yang dibagikan tadi. Tenggorokan haus, dahaga ini

mendesak untuk dipuaskan. Air mineral di dalam botol berpindah

cepat ke dalam lambung, menyisakan napas yang terengah-engah.

"Baru habis menghitung pasir di Gurun Sahara, ya?" Suara

ceria membuatku berpaling. Dia wanita berkardigan yang kutemui

hari itu bersama Liz.

"Haus," ucapku malu.

"Memang lagi panas. Padahal jarang lho Semarang sepanas

ini."

Aku hanya mengangguk. Dia belum merasakan teriknya

matahari di kota yang dilalui garis Khatulistiwa.

"Sendiri?" tanyanya. Aku mengangguk. Lalu, ponselnya berbunyi. Dia membalas cepat chat yang masuk. Kemudian, kembali

menatapku. Wanita ini sepertinya aneh. Dia mengingatkanku pada

semangat Liz dulu.

Wajahnya bulat telur, dengan dua sisi pipi yang terbilang lebih

berisi. Rambutnya bergelombang, mirip Liz. Lagi-lagi aku membandingkan setiap wanita yang kukenal dengan Liz. Matanya

Labirin

berbinar cerah, tapi menyembunyikan ketajaman. Senyum

merekah selalu menghiasi bibir itu sejak pertama kami bertemu.

Tubuhnya tidak tinggi, mungkin sebahuku dengan badan yang

sedang, tidak kurus juga tidak gemuk. Berbeda dengan Liz. Liz

kurus tinggi. Lagi-lagi, kubandingkan dengan Wanita Masa Lalu.

Liz tahukah kamu, dalam setiap standar wanita yang kucari,

kujadikan dirimu sebagai tolak ukurnya.

"Makan siang, yuk!" Wanita itu menarik tanganku lalu memilih

salah satu meja di warung nasi tempat aku membeli minuman tadi.

"Gudegnya enak, lho." Dia berkata lalu melambai pada

pelayan. "Nasi gudeg, tiga yah."

Aku menatap, bertanya.

"Liz juga doyan. Dia tidak pernah protes kalau kupesankan

itu." Jawabannya membuat angin segar singgah di hati. Liz dan Liz.

Hanya nama itu yang dapat membuat aku kehilangan akal sehat.

"Dia." Pertanyaanku bahkan belum selesai.

"Liz tuh sibuk sekali. Bahkan untuk istirahat aja, dia perlu

mencuri waktu. Jadi, kami bagi tugas. Aku akan turun mencari

lokasi dan memesan makanan sehingga pas dia datang, semua

sudah siap. Tinggal dikunyah terus bayar, terus kerja lagi deh."

"O." Aku hanya bisa mengucapkan ?O? seperti orang bodoh.

"Tumben, kamu pilih warung nasi ini. Biasanya." Suara Liz

terhenti. Dia menatapku lekat. "Kenapa ada dia di sini?"

Aku mencoba tetap tenang, walau kata-kata Liz seakan memberitahukan dengan jelas ketidaksukaannya akan kehadiranku.

"Aku nemuin dia lagi minum air sebotol penuh dalam sekali

teguk. Dia sepertinya baru merasakan siraman panasnya matahari

Labirin

Semarang."

"Ka, baginya matahari di sini tidak lebih memanggang dibanding terik di Pontianak." Ternyata dia masih ingat kata-kataku

dulu. Dia ingat.

"Ooo, Johan dari Pontianak," ucap wanita yang dipanggil Ka

oleh Liz, "Tapi, Pontianak itu sebelah mananya Indonesia yah?" Ka

terlihat bingung.

"Kalimantan Barat." Ucap aku dan Liz bersamaan.

"Cieee, kompakan dia." Ka melempar ledekan yang segera

berhenti ketika mata Liz melotot padanya.

Setelah itu, kami makan sambil sesekali Ka?Kanaya nama aslinya,

yang diambil dari bahasa Sansekerta?bertanya padaku layaknya

penguji pada peserta tes wawancara kerja. Sementara Liz hanya

diam, menikmati nasi di piring biru.

"Jadi, kamu lagi cari kerjaan dan kost-an?" tanya Ka buruburu.

"Kerjaan saja. Karena kost-an aku sudah dapat tempat. Di

indekos yang dulu itu, Liz," ucapku.

"Aku sudah lupa."

Kurasakan kecewa merayap naik. Liz tidak lagi ingat. Padahal

aku sengaja memilih tempat itu. Dulu ... dia yang membantuku

mencari indekos. Tentu saja dia sudah lupa, Johan. Kamu sudah

tidak berarti apa pun baginya, Johan. Aku merutuki kebodohanku.

"Jadi, sekarang tinggal nyari kerjaan," sahut Ka sambil berpikir

keras, tergambar jelas pada wajahnya. Dia ekspresif, memamerkan

dengan gamblang lewat mimik wajah. Aku mengangguk.

Labirin

Sementara Liz sibuk dengan nasi yang tidak juga dimakan.

"Hei!" teriak Ka antusias, kami terkejut.

"Bukankah di kantor ada lowongan kerja?"

"Tidak!" Liz menyahut terlalu cepat bagiku, seakan dia

sudah mengantisipasi. Menandakan dia tidak suka aku berada di

dekatnya, mungkin.

"Liz?" tanya Ka.

"Maksudku ... ya ada lowongan sebagai staf bagian keuangan.

Tapi dia hanya lulusan SMA," ucap Liz. Aku dan Ka menatap. Sisi

buruknya, Liz menganggap remeh diriku yang hanya lulusan SMA.

Sisi baiknya, dia ingat satu informasi lagi mengenai diriku.

"Maksudku ... dia tidak akan pernah cocok duduk di belakang

meja itu. Dengan Pak Bos menyebalkan serta rekan sekerja yang

jutek. Kamu tahu, Ka, bagian keuangan itu mirip ladang ranjau

darat. Saling menjebak. Johan lebih suka bebas tidak terkekang

oleh aturan. Dia pemusik."

Setelah mengatakan informasi yang cukup panjang?

terpanjang selama pertemuan-pertemuan kami beberapa waktu

ini?dia terlihat salah tingkah. Ka juga menyadari hal tersebut.

Sebelum Ka membuka mulut, Liz telah beranjak dari kursinya.

Dia menggumamkan tentang terlambat, istirahat telah selesai,

Pak Bos, sudah jam dua, dan sebagainya dalam racauan tidak

jelas. Sedangkan Ka dan aku menyadari jarum pendek jam masih

berada di posisi satu dan jarum panjangnya pada angka lima. Kami

bertukar pandang. Liz berjalan cepat dengan sepatu hak tinggi.

Menerobos pelanggan warung makan yang memang terkenal ramai

pengunjung di siang hari.

"Minta nomor ponselmu. Akan kuhubungi kalau ada info kerjaan

Labirin

yang cocok. Juga info-info lainnya." Garis bibirnya seperti anak

kecil yang akan berbagi rahasia tempat harta karun berisi permen

warna-warni. Ka menyodorkan ponselnya. Aku dengan patuh

memasukkan nomorku. Entah untuk apa.

??

Pipit memarahiku tiga malam yang lalu. Berkali-kali mengumpat

sambil berteriak tidak jelas. Aku yakin pacarnya akan menerima

luapan emosinya juga.

"Kau gile, Jo. Otakmu tuh masih ade ndak di kepala? Janganjangan tercecer di jalan pas kemaren kau naek pesawat."

Maaf, Pit. Aku memang tidak pernah bisa berpikir jelas saat berada

di dekat Liz.

"Aku bisa menjagakan kafe dan rumahmu. Tidak masalah.

Tapi, sudah kaupikir dengan jelas masa depanmu nanti? Berapa

banyak uang yang tersisa? Apa yang akan kamu kerjakan? Untuk

apa? Mengapa? Keadaanmu sudah bagus di sini. Pekerjaan ada.

Rumah sudah bagus. Teman. Hanya karena patah hati kamu sampai

sepengecut itu, Jo?"

Aku bahkan sudah lupa perasaan patah hati karena Dina. Tapi,

yang di dalam dada ini, luapannya lebih deras daripada banjir

tahun lalu. Mendorong keluar setiap akal sehat. Aku tidak sedang

patah hati saat ini, Pit. Tertarik, atau sebutlah aku pengagum

Labirin

rahasia Liz.

"Gila ada batasnya, Jo. Dan, menurutku ini bukan gila, tapi
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

goblok! Apa yang kauharapkan di sana, Jo? Kaupikir aku lupa? Dia

bukan? Wanita itu masa lalu, Jo!"

Memang dia adalah masa lalu. Tapi, aku tidak sedang meniti

jembatan yang sama seperti dulu. Cuma sebuah keinginan untuk

tetap berada di sini, di dekatnya, sudah lebih dari cukup. Aku

hanya menatap rumah di seberang jembatan sana.

??

"Kamu dan Liz teman, dulu?" tanya Ka.

"Iya. Teman." Aku menjawab sambil menatap Liz. Setelah

tahu kantor tempat Liz bekerja berada di dekat Simpang Lima?

tepatnya di Jalan Gajah Mada, Wisma HSBC?aku jadi sering

mencari kesempatan di kala makan siang. Menunggu di salah

satu warung tenda tepat di depan gedung tinggi tersebut. Pun

bersyukur, Ka selalu saja membocorkan tempat makan siang lewat

status Blackberrynya.

Labirin

"Kebetulan!" teriak Ka.

"Kalau lebih dari tiga kali, itu bukan kebetulan lagi namanya."

Liz melempar ucapan ketus. Tapi, aku sudah terbiasa.

"Lalu, apa namanya?" tanyaku.

"Kesengajaan," sahutnya pelan.

"Mungkin juga. Karena sekarang ini aku sedang sekarat.

Persediaan uang makin menipis sementara perut tidak bisa hanya

diisi dengan udara yang gratis," ucapku.

"Kamu belum dapat kerjaan?" Liz bertanya cemas, atau aku

yang salah mengartikan?

"Belum," sahutku.

Pembicaraan kami terputus lagi karena waktu makan siang

sudah usai. Ka dengan terang-terangan memperlihatkan perhatiannya padaku. Liz terlalu cuek.

Sebuah pesan singkat masuk. Kukira Ka, ternyata....

Kamu mau bekerja sebagai apa, Han?

Aku tidak tahu.

Liz masih menyimpan nomor teleponku setelah sekian tahun.

Tidak sia-sia aku mempertahankan nomor ini di antara banyaknya

program-program menarik dari sejumlah provider dengan promo

harga murah nan menggiurkan. Pipit bahkan mengatakan kalau

nomor telepon genggamku ini sama sekali bukan kombinasi angka

cantik, tapi angka keramat. Hanya karena aku ngotot tidak ingin

menggantinya.

"Jimat, kayaknya tuh. Angka togel!"

Liz, kamu yang memilih kartu perdana ini ketika aku mampu

membeli telepon genggam pertama kali.

Masa kamu mau jadi pelayan kafe?

Labirin

Kalau perlu, mengapa tidak? Halal kan?

Kalau kamu mau, kudengar di CL ada kafe baru.

Sedang mencari pelayan dan juru masak.

Madre Caf, cobalah.

Pesan singkat dari Liz membuatku tersenyum. Ini lebih dari

cukup walau kutahu rasa ini salah. Liz sudah milik orang lain.

Dia bukan lagi wanita bebas. Ada pengikat pada jari manisnya.

Rinduku padanya sudah terlarang. Bukan lagi sekadar perbedaan

kepercayaan, ini mengenai batas-batas pernikahan.

Aku tidak boleh salah melangkah. Tidak boleh mengacaukan

kehidupan Liz. Dulu, kesempatan pernah datang padaku, terbuang

sia-sia begitu saja. Lebih tepatnya tertutup dengan bantingan

cukup keras walau aku berusaha mendobrak.

Ketika engkau datang

Mengapa di saat ku

Tak mungkin menggapaimu

("Soulmate", lagu dari Kahitna)

Labirin

??

PART 6

Liz: Mak Comblang

Ayolah, Liz. Bantu aku," rengek Ka padaku.

Ini permintaan yang sulit kukabulkan walau sangat mudah.

Bukan perkara besar sebenarnya. Tidak juga terlalu rumit. Lalu,

mengapa aku tidak mampu mengucapkan ?ya? pada permohonan

Ka, sahabat baikku?

"Nanti kupikirkan," sahutku.

"Liz, jangan berpikir terlalu lama." Ka belum beranjak dari

meja kerjaku.

"Aku masih banyak kerjaan, Ka." Mencoba tidak terlalu

memperlihatkan kegugupan padanya, aku beralasan. Akhirnya,

Ka menjauh. Tidak terlalu jauh karena meja dia terletak di sebelah

bilikku.

Lima menit saja belum. Bahkan, ketikan di layar belum

berpindah halaman. Ka sudah mengetuk, kepalanya menyembul

dari sebelah sana. Kedua tangan menggantung pada pembatas.

"Sudah kamu pikirkan, Liz?" tanyanya. Aku mendelik, melotot.

"Ayolah, Liz, bantu aku. Aku butuh dirimu, sungguh. Apalah

yang bisa kulakukan tanpa kamu."

"Oke, itu lebay sekali, Ka!" Aku tersenyum melihat wajahnya.

Dia memohon. Kali ini tidak lupa menyertakan puppy eyes

keahliannya, yang telah dilatih sekian lama sebagai bagian dari

akting kamuflase.

"Baiklah." Aku menyerah.

"Asyik! Jadi, kapan kamu akan mulai memuluskan hubungan

ini?"

Astaga! Semua pasang mata menatap curiga. Mereka memasang

kuping bahkan berhenti mengerjakan sesuatu di meja. "Kalau aku

sempat," sahutku.

"Tapi, bukankah dia temanmu? Seharusnya kamu tahu

informasi tentang dia," ucap Ka.

"Aku bahkan baru bertemu dengan Johan setelah sekian lama

hilang kontak. Nomor teleponnya pun aku tidak punya," ucapku,

berbohong. Aku selalu menyimpan nomor Han di ponselku.

Berkali-kali berganti gadget atau nomor, tapi kupastikan nama dia

tetap ada pada buku teleponku. Ka mengangguk, percaya.

"Bagaimana kamu bisa mengenalnya, Liz?" tanya Ka penasaran. Namun, pertanyaan itu tidak perlu kujawab. Suara Pak

Bos yang menyuruh Ka masuk ke ruangan dengan laporan data

pelanggan menyelamatkanku.

Labirin

Bagaimana aku bisa mengenal Han?

Pasir putih Pantai Tirang, debur ombak, serta matahari yang

bersahabat adalah lukisan dalam kanvas takdir yang mempertemukan. Kamu dan tas ransel kecil. Wajah kusut tertipu tukang ojek.

Kamu beruntung lho karena menemukan Pantai Tirang.

Wajahmu hari itu masih kuingat jelas. Perasaanku juga.

Aku bersyukur akan perjumpaan kita.

??

Siang ini, aku tidak ditemani Ka. Aku harus bertugas mengurus

persiapan stand pameran di mal Citra Land.

Kewaspadaanku meningkat saat memasuki mal. Apa Han

mencoba melamar pekerjaan di kafe yang kuberitahukan itu? Tidak

mungkin! Menjadi pelayan bukanlah pilihan yang cocok untuknya.

Saat ini usia Han sudah 31 tahun. Kami berbeda dua tahun. Dia

pernah mengatakan kalau aku bershio tikus dan dia shio anjing.

Kombinasi yang tidak bisa dikatakan cocok, namun tidak juga

bermasalah. Aku tidak pernah mengerti mengenai perhitungan

itu, Han. Aku hanya suka mendengar caramu menjelaskan dengan

sangat serius. Masih ada kesempatan, katamu. Kenyataannya

adalah tak pernah ada pintu yang terbuka untuk kita.

"Singgah untuk makan siang, Mbak? Ada promo diskon untuk

happy hour."

Labirin

Aku menoleh, berharap. Tapi, pelayan itu bukanlah Han.

Dua jam mengawasi persiapan dan segalanya membuat

kepala ini pusing. Terlalu banyak kepala dan mulut. Saling memberi pendapat tapi tidak bergerak. Aku bosan dengan tingkah

mereka.

"Kerja, bukan cuma ngomong! Kata-kata tidak akan bisa

membuat stand itu berdiri!"

Mereka menatap. Gertak rahang tertahan, kurasa. Sayang

sekali, aku lebih berkuasa dibanding kalian semua. Akhirnya, aku

harus turun tangan juga. Melepas blazer dan menggulung lengan

kemeja. Apa yang bisa dilakukan oleh teknisi-teknisi pemalas itu?

Bagaimana mungkin memasang satu stand kecil saja butuh hampir

dua hari. Lagi pula, ini adalah orang-orang pilihan Mentari yang

menyebalkan itu. Tenaga ahli yang kompeten, dia menekankan

pada saat kami berdebat mengenai anggota tim pameran.

Makan pada jam empat sore apakah masih bisa dikategorikan

sebagai makan siang? Dering ponsel terdengar. Kutekan tombol

?diam?. Pesan singkat masuk. Kubiarkan pesan itu terpampang di

layar tak terbalas. Belum lagi kerjaan satu selesai, para senior baik

hati di kantor sudah merongrong dengan kerjaan lain. Berengsek.

Bahkan makananku pun belum tersentuh.

Kutatap sepiring teriyaki bento yang menggugah selera. Peduli

setan dengan mereka dan omelannya. Perutku harus diisi. Kalau

aku sampai sakit, mereka juga tidak akan membantu dan ada Alika

yang harus kujaga.

Alika ... dia malaikat kecilku.

Aku tidak akan bertahan cukup lama dengan luka yang ditorehkan

Labirin

Lukman jika bukan karena Alika.

Setiap orang pernah melakukan kesalahan, belaku. Tapi, jika

kesalahan itu dilakukan berulang kali, apakah itu wajar? Juga, dia

tidak menunjukkan akan berubah. Malah menimpakan kesalahan

padaku. Pada titik itu aku tersadar, kebocoran kapal sudah tidak

bisa ditambal.

Pria Kapal Karam telah berpindah ke kapal lain.

Satu tahun sudah kami berpisah rumah. Proses panjang di

pengadilan membuat perceraian baru disahkan empat bulan lalu.

Sedangkan, Lukman telah bersama dengan Maling Jalang itu

bahkan sebelum kami berpisah ranjang.

"Kamu harus move on, Liz. Cari pria lain yang dapat

membantumu melupakan sakit."

Tidak mudah menata hati yang hancur. Pada Lukman, kupercayakan hati yang telah kalah pada peperangan cinta silam. Dia

berjanji akan mencintai dan membahagiakanku dengan segenap

jiwa raganya. Bahwa dialah tempat aku bersandar setelah semua

yang kulalui.

Lukman tahu betul kisahku dan Han. Dia adalah teman

baikku di kampus. Beberapa potong rahasia Han pernah dia

dengar langsung. Kegigihannya dalam membantuku bangkit dari

keterpurukan akibat kegagalan cinta yang terlalu berbeda antara

aku dan Han meluluhkan hatiku. Perlahan kubiarkan Lukman

masuk dalam kehidupan. Tutur kata lembut, perhatian, hobi yang

sama, ketaatannya pada Tuhan kami, dan penerimaan orangtuaku

mampu membuat aku mengatakan ?ya? pada saat dia melamar.

Perlahan, aku menutup kotak kecil berisi Han dari kisahku.

Mengunci dan menggemboknya rapat. Membiarkan Lukman

Labirin
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengisi kotak harta karun baruku dengan cintanya.

Tapi, aku sadar, beberapa kali aku mengambil kotak berisi

kisah Han. Membersihkannya dari debu. Berpikir untuk sedikit

mengintip. Meski kesadaran akan kesetiaan terhadap suamiku lebih

besar daripada sekadar rasa rindu pada Han. Hanya saja, Han tidak

pernah benar-benar hilang dari pikiran. Apakah aku juga telah

melakukan hal jahat, menduakan Lukman? Seperti yang selalu Pria

Kapal Karam itu tuduhkan padaku.

"Kamu tidak seratus persen mencintaiku, Liz. Kalau kamu menyayangiku, pasti kamu bisa memenuhi semua permintaanku. Apalagi hal itu tidaklah sulit."

"Man, berikan alasan mengapa aku harus berhenti dari pekerjaanku?" tanyaku.

"Karena kamu telah menikah. Seharusnya istri itu di rumah.

Mengurus rumah tangga," jawab Lukman dengan wajah kesal.

"Aku akan berhenti kerja bila waktunya telah tepat, Man." Masih

kuingat tanganku yang dia tepis.

"Kapan?"

"Kalau kita sudah bisa membeli rumah sendiri. Saat usaha

interior design-mu sudah lebih mapan." Wajah Lukman menggambarkan ketidaksukaannya terhadap alasanku.

"Jadi, maksudmu, aku tidak mampu menafkahimu? Aku ini

gagal? Uangku sedikit? Lebih besar gajimu daripada penghasilanku?"

Sepertinya aku telah menyinggung harga diri Lukman sebagai suami.

"Bukan itu maksudku. Aku hanya mencoba membantu. Dengan

begini, kamu bisa fokus. Lagi pula kita belum memiliki momongan."

Lukman tak mau mendengar. Dia menggebrak meja.

Labirin

"Berhenti kerja atau kamu akan terima konsekuensinya!"

Suara telepon kembali terdengar. Ibu.

"Ya?"

Alika kecil terbangun dan meminta dibelikan roti keju. Apa

pun akan mommy lakukan untukmu, Alika. Saat ini, aku sudah

mendata hal-hal yang harus kulakukan untuk ke depannya. Alika

berada dalam daftar utama. Mencari pasangan hidup atau menikah

tidak termasuk dalam daftar itu. Kurasa, tidak akan mudah

menyembuhkan hati dari pengkhianatan. Lebih sulit daripada

perpisahan dengan Han. Ada ketakutan yang begitu besar. Apakah,

setiap kisah cintaku akan berakhir tragis? Benarkah cinta itu ada?

Lalu, kesetiaan diletakkan pada bagian mana dari cinta?

Maka dari itu, memastikan putri kecilku hidup berkecukupan

serta bahagia, itu yang utama. Kebahagiaanku bukanlah prioritas.

Labirin

??

PART 7

Johan: Untukmu

Gila! Mencari pekerjaan tanpa ijazah itu bagai mencari

jarum di antara tumpukan jerami. Bahkan kafe itu juga

tidak mau menerimaku sebagai pelayan. Terlalu tua katanya. Aku

menertawakan diri. Johan, kamu harus sadar usiamu berapa.

Genap 31 tahun tiga bulan lagi.

"Kerja apa saja, aku mau." Terpaksa aku menemui Mas Jiwo, teman

lama. Walau tidak enak merepotkan dia.

"Kamu itu uedan! Datang-datang minta kerjaan. Dikira

aku ini penyalur tenaga kerja?" Mas Jiwo menyulut rokok lalu

mengembuskan asap ke udara.

"Sesama orang edan bukannya ada kontak batin toh, Mas?"

kelakarku.

"Masih bisa ketawa kamu, Jo." Mas Jiwo mempersilakan aku

makan roti hasil praktik uji coba resep istrinya. "Dia senang ikutan

kegiatan klub memasak yang ibu-ibu blogger itu. Ada untungnya

juga, aku dapat makanan terus. Tapi capeknyo, sebelum makan

harus jeprat-jepret dulu. Lalu yo harus nemenin dia nyari bahanbahan yang aneh-aneh. Apalah itu oregano, basil, krim kocok.

Pusing aku." Dari ekspresi wajah, aku tahu pasti Mas Jiwo tidak

mempermasalahkan kerumitan kecil ini. Dia sebenarnya bangga,

namun pria biasanya tidak suka menunjukkan atau pamer ke

semua orang.

Pria berbeda dengan wanita. Keduanya memiliki sisi tersendiri,

namun saling berhubungan dan melengkapi. Dari kepercayaanku

dan Liz, kami mempelajari bahwa ketika diciptakan oleh Tuhan,

Hawa berasal dari tulang rusuk Adam. Mereka adalah pasangan

pertama. Saling melengkapi.

Namun, dalam dunia nyata, manusia bisa tetap hidup walau

telah kehilangan tulang rusuk. Hanya saja ada bagian yang terasa

kosong.

Pada kepercayaan yang lain, disebutkan bahwa setiap

manusia memiliki sebuah benang merah yang terikat pada jari

kelingking. Menghubungkan dia dengan pasangan hidupnya.

Namun, menurutku, kadang kala benang merah itu terputus

di tengah jalan. Lalu, muncul benang lain yang mengikat.

Lama-kelamaan, ikatan menjadi semakin kencang atau kendor.

Sehingga bisa saja semakin erat atau terlepas. Dua pilihan.

Bergantung takdir dan cara kita memperlakukan benang merah

tersebut. Jangan ditarik terlalu kuat atau dibiarkan longgar. Jaga

Labirin

dengan sepenuh jiwa.

Benang merahku dengan Liz mungkin sudah terputus pada

masa lalu. Tapi kutahu pasti, jari kelingkingku tidak terikat pada

siapa pun saat ini karena aku menggulungnya. Masih kucari

benang merah yang mirip dengan milikmu pada salah satu bagian

dari dunia.

"Woi! Woi!" Mas Jiwo menepuk pipiku. "Ini duduk di depanku

tapi pikirannya entah jalan ke mana!"

"Maaf. Lagi pusing mikirin mau kerja apa nantinya, Mas."

"Haduh, aku juga yo bingung." Mas Jiwo menggaruk kepalanya.

Mbak Rahayu keluar dengan seteko kopi. Dia ikut duduk

sambil memangku Surya, anak bungsu mereka. "Ikut kerja sama

Pak Lik-ku saja mau? Tapi yo cuci-cuci piring saja."

"Gajinya kecil toh. Gila kamu, Yu. Moso Johan yang tiap harinya metik gitar disuruh nyuci-nyuci piring." Mas Jiwo mengetuk

kening istrinya pelan.

"Sementara toh, Mas. Nanti kalau sudah dapat kerjaan lain."

"Aku mau, Mbak."

??

Siang menjelang sore. Membantu Pak Lik Puji membereskan

warung nasi pecelnya bukan perkara mudah. Aku belum terbiasa.

Pria tua itu juga terlihat sungkan padaku. Aku mengeluarkan

bahan-bahan makanan dan menatanya sambil berlomba dengan

waktu. Ada beberapa persiapan lain yang wajib dikerjakan. Kursi

yang masih terletak di atas meja harus diturunkan, disusun, dan

Labirin

dilap bersih. Botol kecap, tempat sendok garpu, gelas-gelas air

mineral, juga tempat tisu perlu diatur. Kemudian, tidak lupa

sebuah kain spanduk besar dipasang agar pembeli dapat melihat

apa yang tersedia.

Warung pecel nasi Pak Lik Puji memang kalah tenar dibanding

salah satu warung lainnya. Tapi, dia tidak mempermasalahkan.

Tiap manusia berbeda selera, ucapnya. Ada lidah yang pas dengan

bumbu racikannya, ada juga yang tidak. Dia tidak juga ingin

mengikuti jejak Yu Sri dengan menjual sate keong, itu rezeki dan

resep rahasianya. Jadi, dia merasa cukup puas dengan menu-menu

yang disediakan.

Aku membolak-balik kertas menu, sederhana, dan tidak

terlalu banyak pilihan. Hanya nasi yang disajikan dalam pincuk,

dicampur dengan pecel aneka sayuran segar, lalu diguyur

siraman bumbu kacang. Tersedia juga aneka lauk-pauk lain serta

minuman.

Beberapa pembeli mulai berdatangan. Memesan lalu memilih

tempat duduk. Mereka membawa sendiri makanan yang sudah

dipesan. Tiwi, anak Pak Lik, bertugas mengantar minuman, lalu

membantu bapaknya membungkus makanan. Tugasku, mencuci

gelas serta merapikan meja.

Pesan masuk ke ponselku, mungkin Ka. Sudah hampir dua minggu

aku tidak mampir untuk makan siang. Aku mencoba mencari

pekerjaan yang ternyata sangat sulit. "HP-nya bunyi tuh, Mas."

Tiwi memberi tahu. Aku mengangguk. Dengan malas kubuka

percakapan di Blackberry Messenger. Aku tidak percaya, itu Liz! Liz

mengirimkan permintaan pertemanan. Apakah dia mendapatkan

pinku dari Ka? Dia bertanya? Masa bodoh, yang jelas Liz meng-add

Labirin

aku. Itu yang paling penting.

Cepat aku mengonfirmasi permintaan pertemanannya. Tapi

sialnya, pending! Apa-apaan ini, ayolah.

"Mas Jo, tolong meja dua dibersihkan." Tiwi berkata dengan

halus. Aku malu, bukannya serius bekerja malah sibuk menatap

layar ponsel. Segera kukerjakan tugasku.

Beberapa pesan masuk secara berurutan. Aku melirik saku

celana, Tiwi juga, bergantian. "Dilihat dulu, Mas. Siapa tahu

penting."

Aku ingin loncat dan mengirimkan kepalan tanda ?yes? ke udara

saat melihat ternyata Liz yang mengirimkan pesan.

Kemana saja? Kenapa nggak ada kabarnya?

Ka menanyakan kamu tuh. BBM dari Ka nggak kamu

balas-balas.

Aku memang tidak membuka pesan dari Ka belakangan ini.

Tidak ingin saja. Karena kutahu pasti gadis itu memberi perhatian

lebih. Aku tak mau memberi harapan palsu.

Sibuk, Liz. Kerja.

Kerja di mana? Kafe?

Sejenisnya lah. Hehehehe. Warung tenda di Simpang

Lima. Warung Pecel Nasi Pak Puji. Singgah yo kalo

sempat. Tapi pun mungkin ndak ketemu aku.

Labirin

Soalnya aku bagian cuci-cuci.

Nantilah kalau ada kesempatan aku singgah

bareng Ka.

Pesan terakhirnya sore itu. Setelah pesan tersebut, tidak ada

lagi pesan hingga minggu depan.

??

Malam saat aku sedang membereskan meja, Liz berdiri di depan

warung. Dia menatap lalu berbalik sebelum akhirnya kuteriaki.

"Liz!" Aku mengejarnya.

"Aku kira salah warung," sahutnya.

"Mau pesan apa?" tanyaku.

"Nasi pecel sama teh hangat," jawabnya.

Pak Lik Puji dan Tiwi tampak saling berbisik. Mereka meledekku yang terlihat salah tingkah. "Iki bawakan untuk pacarmu itu,"

ucap Pak Lik. Aku menggeleng cepat.

"Cuma teman, Pak Lik." Ya, hanya teman, tidak bisa lebih.

"Temani saja dulu ?temanmu? itu, Mas. Kerjaan masih sepi."

Kurasa aku tidak salah mendengar saat Tiwi menekankan kata

?teman? pada ucapannya. Aku hanya mengangguk lalu mengantarkan pesanan. Kemudian, aku mengambil posisi duduk tepat di

depan Liz.

"Dimakan. Coba dulu."

Liz mengunyah dan mengunyah. "Aku nggak suka sayuran,"

ucapnya.

"Ya, aku tahu." Senyum menghiasi wajahku.
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Labirin

"Lalu, kenapa aku pesan nasi pecel, ya? Bodoh!" rutuk Liz.

"Karena penjualnya aku. Maka, sayurannya terasa seperti

steak," ledekku.

"Kamu masih saja suka ngaco kalau ngomong." Liz mendorong nasi menjauh.

"Sudah ndak mau makan?" tanyaku. Dia mengangguk.

Aku mengambil piring dan sendoknya, lalu menyuapkan

sesendok demi sesendok makanan tersebut. Liz membelalak, "Pakai

sendok yang lain. Lagi pula itu kan bekas."

"Mubazir. Lagi pula, kita dulu sering berbagi makanan toh...."

kata-kataku terhenti. Aku mengucapkan hal tabu. Kami memang

dulu sering berbagi makanan. Tapi, sekarang berbeda. Hanya saja

bersama Liz, kenangan bukanlah masa lalu karena aku merasa

kembali terlempar pada saat-saat itu. Masa lalu dan masa kini tidak

dapat kubedakan. Atau, tidak ingin kubedakan.

Labirin

??

PART 8

Liz: Misi Mak Comblang

Ka merasa Han beberapa hari ini mengabaikannya. Pesan ke

Blackberry Messenger tidak pernah dibaca.

"Dia sibuk kali."

"Sesibuk apa pun, harusnya untuk cek BBM aja pasti bisa." Ka

berargumen. Tapi kuakui, di zaman yang serba canggih seperti ini,

keberadaan gadget tidak akan pernah jauh dari pemiliknya.

Ka memaksaku menambahkan Han dalam daftar kontak

di Blackberry. Walau di mulut aku menolak dan terus menolak,

mengatakan tidak perlu, hanya memenuhi daftar kontak. Tapi,

kenyataannya, hati ini bersorak. Setidaknya, dengan begini, aku

bisa melihat perkembangan Han.

Atas desakan Ka pula aku mengirim pesan pada Han.

Namun, kembali kurahasiakan isi balasan dari Pria Masa Lalu

itu. Hanya alasannya sibuk mencari pekerjaan yang kusampaikan

pada Ka.

Warung tenda, aku penasaran dengan tempat kerja Han.

Sengaja aku menyembunyikan informasi ini dari Ka. Sejujurnya,

aku berharap selangkah di depan Ka dalam mengenal Han.

Mendengar Han bekerja sebagai pencuci piring di warung makan,

membuatku sedih. Mengapa, Han? Apa yang membuatmu melarikan diri ke sini lagi, hidup morat-marit tanpa kejelasan?

"Kenapa kamu ke Semarang?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Pengen saja," jawab Han sambil mengunyah pecel yang

tadinya milikku.

"Kamu bermasalah lagi sama orangtuamu?" tanyaku. Dulu

kedatangannya yang pertama dimulai karena pertengkaran dengan

Papanya. Pria paruh baya itu tidak terima kalau Han memilih

jalur musik. Dia membohongi orangtuanya dengan masuk ke

fakultas yang tidak disetujui. Dia memilih masuk ke sekolah musik

daripada harus mempelajari akuntansi. Sudah cukup kakak dan

nantinya juga adik-adiknya akan memenuhi keinginan Papanya.

Terusir dari rumah, tanpa tujuan, membuat Han memilih

secara acak tempat tujuan. Pilihan itu membawa dia bertemu

denganku.

Persahabatan yang berawal dari kebetulan menjadi semakin

berarti. Aku yang sore itu sengaja mengunjungi Pantai Tirang,

menemani Widi?Mbakku, kakak perempuan?yang berjanji

dengan pacarnya. Bosan menjadi kambing congek atau penepuk

nyamuk, aku memilih menikmati ciptaan Allah Yang Mahabesar.

Pasir putih nan halus serta air jernih dengan pohon kelapa me
Labirin

mamerkan keindahan alam yang Sang Penguasa Surga berikan.

Dibesarkan dalam keluarga yang menaati tata aturan agama

memberikan aku sisi religius, namun kami tetap diberikan kebebasan berekspresi. Orangtua mengarahkan serta menjaga kami dari

segala macam pemikiran sesat.

Bertemu dengan Han mengubah duniaku. Dari sebuah danau

tenang, menjadi lautan penuh gelombang. Akan tetapi, aku menikmati berselancar dalam ombak tersebut.

"Sejak dulu, aku selalu bermasalah dengan orangtuaku," sahut Han

pelan.

"Kamu belum berbaikan lagi dengan mereka?" Han menggeleng menjawab pertanyaanku.

"Mereka tidak menginginkan aku," sahut Han.

"Bagaimana kamu tahu?" tanyaku. Dulu, ketika masih

muda, darah pemberontak pada tubuh kami mengalir deras.

Aku sangat membenci keputusan sepihak Papanya. Mendukung

Han untuk lepas dari kekangan Pria Tua itu. Namun, sekarang

aku menyadari, anak tidak akan pernah bisa lepas dari orangtua

seutuhnya.

"Mereka tidak mencariku," balas Han malas. Dia masih enggan

membahas hal ini.

"Mengapa tidak kamu saja yang mencari mereka, Han? Kamu

lebih waras daripada mereka," ucapku.

"Jadi, menurutmu orangtuaku kurang waras?" Han bertanya.

"Bukan."

"Kalau begitu aku yang tidak waras?" tanyanya lagi.

"Bukan tidak waras. Lebih dapat berpikir dengan akal sehat

Labirin

bukan ego ataupun harga diri," jawabku. Han menatap lekat.

Hentikan menatapku seperti itu, Han. Aku tidak pernah mampu.

Mata sipit tajammu selalu bisa membiusku. Bola mata yang

terpajang pada sosok rapuhku bisa memperlihatkan betapa aku

merindukanmu.

"Saat ini, aku tidak bisa berpikir dengan jelas, Liz. Otakku sedang

kacau," sahut Han.

"Karena itu kamu kabur. Lagi." Aku melihat Han mengangkat

wajahnya cepat.

Kami terdiam beberapa saat. Angin malam ini cukup kencang.

Sesekali kain spanduk bergoyang. Terpal penutup atap tenda

beradu dengan tiang-tiang besi. Membentuk gelombang. Lalu,

angin menjadi tenang. Para pengunjung mulai terlihat ramai.

Mereka yang masih mengenakan pakaian kerja; kemeja dan blazer

rapi mengisi kursi-kursi kosong. Suasana hiruk-pikuk. Aku melihat

semua pemandangan ini dengan dua mata terbuka lebar. Namun,

otakku tidak bisa mencerna. Ada yang salah dengan cara berpikir

serta logika. Bukan Liz yang biasanya. Aku kembali menjadi gadis

remaja berpikiran pendek.

Tangan Han mengaduk es cendol dengan sendok kecil.

Menyodorkan padaku. Aku hanya menatap. Dia menyendokkan di

depan bibir. Secara spontan dan terasa benar, aku membuka mulut,

menerima suapan tersebut. Satu demi satu sendok hingga kusadari

masih banyak orang yang duduk di meja-meja lain di warung

tenda Simpang Lima ini. Mereka pasti menatap risih. Bukan tidak

mungkin, ada satu atau beberapa orang yang mengenalku.

"Awalnya hanya ingin melepas penat setelah patah hati, Liz."

Labirin

Pengakuan Han menamparku telak. Dia patah hati. Patah hati oleh

gadis lain. Gadis di kota kelahirannya. Gadis yang mungkin saja

memiliki kepercayaan yang sama dengannya.

Lalu, mengapa kota ini, Han? Untuk apa kamu datang? Kamu

bukan orang yang kubayangkan akan muncul di hadapanku.

Walau beberapa saat lalu, ketika aku terpuruk akibat luka yang

ditorehkan Pria Kapal Karam, aku mencari-cari dirimu. Bersembunyi pada kenangan. Berandai, jika kamu yang menjadi

Lukman, apakah akan ada perceraian dalam kehidupan rumah

tangga kita?

Kamu seakan menyusup kembali dalam mimpi masa laluku.

Mimpi untuk hidup bahagia selama-lamanya bersama Peter

Pan. Ya, aku tidak bermimpi seperti anak gadis lainnya. Bukan

mengenai putri dan pangeran tampan. Aku hanya ingin menjadi

Tinkerbell, peri yang menyukai Peter Pan. Bersama dengannya

bermain di Neverland, pulau anak-anak, di mana tidak tersentuh

oleh keruwetan dunia dewasa serta tidak perlu menjadi tua. Tapi

sayang, jodoh Peter Pan bukan Tinkerbell.

Lagi-lagi kami berdua terdiam. Suara Tiwi yang memanggil

Han untuk kembali bekerja menjadi penanda kami harus berpisah.

Malam juga telah larut. Langit sore telah berubah warna. Aku

harus pulang menemui peri kecil yang sesungguhnya. Hidupku

sebagai peri kecil sudah lenyap. Aku adalah wanita dewasa, Ibu dari

seorang putri. A single mom. Tenggelam dalam mimpi bukanlah

rencanaku, tidak akan pernah lagi. Kisah dongeng, hidup bahagia

selama-lamanya hanyalah omong kosong!

Aku beranjak. Membayar pada seorang gadis. Han tergopoh

Labirin

mengejar, hendak membayar makananku. Dia kalah cepat. Lagi

pula bagaimana mungkin kubiarkan Han yang baru bekerja

dengan persediaan uang menipis mentraktirku.

"Dulu aku tidak pernah mengerti perasaan rindu ibu pada anak.

Karena itu, aku bersikeras bahwa kamu harus menggapai impianmu. Melupakan mereka. Hidup baru. Hanya kamu dan duniamu.

Peduli setan dengan mereka. Namun, ketika aku menjadi seorang

ibu, aku tahu derita ketika harus berpisah dengan putriku,"

ucapku, "Jadi, Han, bila kamu memang belum bisa memaafkan

ataupun berdamai dengan Papamu, cobalah untuk menelepon

Mamamu. Dia pasti sangat mengkhawatirkan kamu."

"Dia tidak mencariku, Liz."

"Pernahkah kamu berikan nomor teleponmu? Pernahkah

kamu bertemu dengannya? Lagi pula, dia sudah tua, Han. Usia

menggerogoti tubuhnya. Mamamu pasti susah mencarimu. Dia

tidak bisa membawa kendaraan, bukan? Tidak seperti kamu yang

masih kuat dan gagah. Cari dia, Han. Setidaknya telepon, kabari

keadaanmu. Tanyakan padanya, kesehatannya. Sampaikan sayang

dan rindumu. Sebelum terlambat."

Aku melangkah pergi. Menuju parkiran mobil. Menghidupkan

mesin mobil dan AC. Ketukan pada jendela terdengar. "Terima

kasih, Liz. Kamu memang paling mengerti aku." Han tersenyum

lalu kembali ke tempat kerjanya.

Kita berdua memang saling mengerti. Aku mengenal kamu

hingga bagian rahasia terdalam, begitu pula dirimu. Namun, itu

dulu.

Han, hidupku kini penuh rahasia. Kehidupan pula yang

mengajariku soal kehilangan orang-orang yang kusayangi. Aku

Labirin

hampir saja sulit bertemu dengan putriku. Perebutan hak asuh

yang berjalan alot dan panjang membuatku lelah dan takut.

Kurasa, Mamamu juga akan merasakan yang sama. Setidaknya aku

ingin membantumu memperbaiki hubungan dengan keluargamu.

Dulu aku mendukung kamu yang keras kepala untuk menjauh,

aku menyesalinya.

Labirin

??

PART 9

Johan: Kanaya

Pesan singkat dari Liz lagi. Aku sebenarnya senang. Namun,

beberapa hari ini dia terus-terusan menyebut Ka dalam chat

kami. Walaupun aku mencoba mengalihkan pembicaraan ke

hal lain, dia tetap fokus dan dengan mudahnya mengembalikan
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

percakapan pada jalurnya. Beberapa kali Liz bahkan mempromosikan Ka sebagai gadis baik hati. Bahwa kami memiliki banyak

kesamaan, dari makanan kesukaan, ayah Ka berasal dari suku yang

sama serta selera musiknya cocok denganku. Tapi Liz, aku adalah

warga Indonesia, hanya warna kulit serta tempat kelahiran yang

membedakan kita.

Kamu dalam misi apa, Liz? Apakah Ka yang meminta

kamu untuk semua ini?

Ka tidak tahu. Hari itu, saat pembicaraanmu

yang mengatakan kamu lari karena patah hati,

kupikir obat yang paling mujarab adalah dengan

jatuh cinta lagi. Dan Ka, dia menyukaimu.

Jadi apa salahnya aku membantu.

Tidak ada salahnya. Hanya saja, seharusnya kamu bertanya,

Liz. Apakah aku membutuhkan bantuanmu atau tidak, karena

sikapmu mengisyaratkan kalau kamu tidak ada lagi rasa padaku.

Sadarlah, Johan. Dia sudah menikah. Istri dari seorang pria

yang teramat beruntung. Ibu dari seorang putri cantik. Mana

mungkin ada rasa lagi padamu! Kamu bukan siapa-siapanya lagi.

Lalu, untuk apa aku bertahan di sini? Kemasi barang-barangmu,

Johan. Kembalilah ke Pontianak!

Tidak, sebentar saja lagi. Biarkan aku berada di dekatnya, sesaat

saja.

Menurutmu, kami akan cocok?

Pasti. Dia sahabat baikku.

Aku mengenalnya. Dia pasti cocok untukmu.

Labirin

Mengapa kamu yakin betul?

Karena ... Ka pintar, manis, mandiri walau sedikit manja.

Tapi kamu sudah cukup dewasa sehingga

bisa menjaga dan memaklumi sifatnya itu. Buktinya,

kamu dulu mampu mengatasi sikap anehku.

Liz, kamu dan Ka kasusnya beda. Tapi, bila menurutmu Ka

baik untukku, aku akan mencoba. Lagi pula, jujur, jika ada Ka, aku

memiliki alasan untuk bisa bertemu denganmu terus. Tidak elok

rasanya menyambangi kamu atau berdekatan denganmu bila tidak

ada orang lain atau alasan penting. Aku tidak menjadi masalah.

Namun, nama baikmu akan dipertaruhkan.

Baiklah. Bila menurutmu aku cocok dengan Ka,

maka aku akan mencoba jalan dengannya.

Pelan-pelan saja dulu. Lihat dan rasakan sendiri

apakah kamu dan Ka cocok. Jodoh tidak pernah

ada yang tahu.

Liz, kamu aneh. Beberapa saat yang lalu, kamu begitu menggebu menjodohkanku dengan sahabat baikmu. Lalu, sekarang,

kata-katamu berbeda.

??

Kulihat Ka memasuki warung tenda. Kepalanya celingak-celinguk

mencariku. Ini masih jam kerja, aku bergelut dengan buih sabun

serta air. Bukan penampilan terbaik. Tidak ada gunanya keluar

Labirin

menyapa Ka.

"Di sini?"

"Bisa nggak jalannya pelan sedikit?"

Suara Liz. Segera kubereskan pekerjaan dan melesat keluar.

Terlihat senyum berbeda ditunjukkan Tiwi dan Pak Lik Puji.

Kupasang wajah sebiasa mungkin. Berharap tingkahku tidak

terlihat seperti anak remaja yang dikunjungi orang yang disukai. Ka

melambai. Aku mengangguk. Liz hanya berjalan santai, dia tenang

seperti biasa.

Kusapa Ka terlebih dahulu. Kemudian, terselip sebuah pujian

akan cocoknya warna merah pada kulit putih indah milik Ka.

Mulutku gatal, ingin mengatakan bahwa Liz juga tidak kalah

cantik dibanding Ka. Dia selalu menarik dan spesial.

"Sate hati dan cekernya dimakan," ucapku.

"Tidak. Cukup pecel saja," sahut Ka.

"Dia vegetarian,"

"Tapi, hari itu dia makan ayam goreng," balasku cepat.

"Makanya kalau orang lagi ngomong bok? ya didengerin sampai

selesai." Liz mendengus, "Ka hanya vegetarian selama tanggal 1 dan

15 penanggalan lunar."

"Kamu...." tanyaku.

"Konghucu," jawab Ka riang. "Mau ikut nemenin aku sembahyang di Klenteng?"

"Johan, Katolik," jawab Liz cepat. Lalu, dia menggumamkan

maaf. Refleks, katanya. Kami berdua memang sangat sensitif

mengenai agama. Karena, kepercayaan ini lah yang membuat kami

harus berpisah.

Labirin

"Dan, Liz Islam. Bukankah ini keren. Seperti semboyan negara

kita, Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetapi tetap satu juga!" Ka

begitu bersemangat.

"Omong kosong!" Sahutku dan Liz bersamaan.

"Ha?" Ka terlihat bingung. "Kalian berdua aneh."

??

Liz berpamitan setelah melihat hari mulai gelap. Dia bergegas

mengambil tas lalu berjalan cepat ke parkiran. Sisa aku dan Ka.

"Kamu dan Liz sudah berteman lama?" Tanya Ka padaku.

"Lumayan," jika dibilang lima tahun bersama sebagai lama,

kurasa tidak. Karena lama itu berarti hidup bersama dengannya

selama-lamanya. Namun, bila dibilang baru atau cepat, tidak juga.

Sebab untuk melupakan kenangan lima tahun itu butuh seumur

hidupku.

"Kenal di mana?" Ka masih penasaran.

"Di Pantai Tirang, kebetulan," sahutku.

"Oo ... Liz memang suka ke Pantai Tirang." Ka mengaduk

wedang jahenya.

"Mari bicarakan hal lain," ucapku. Bila saat ini aku sedang

memberi kesempatan pada Ka untuk mencocokkan diri denganku,

pembicaraan mengenai Liz bukanlah topik yang tepat.

Berbicara dengan Ka selalu seru. Dia punya cerita yang banyak.

Dari pekerjaan hingga cerita gila lainnya. Ka adalah gadis

keturunan Tionghoa dari ayah kelahiran kota Medan. Sedangkan

Labirin

ibunya asli Semarang. Ka adalah anak satu-satunya.

"Anak tunggal itu membosankan." Ka masih menatapku

lekat.

"Kurasa, memang membosankan," sahutku.

"Aaa! Tanggapanmu mirip seperti kata-kata Liz. Dan dia akan

dengan santainya menambahkan kalau anak tunggal akan lebih

disorot. Semua tanggung jawab dipikul oleh pundak kecil cengeng

ini!" Ka menaikkan bahu.

Aku tertawa.

"Dia adalah orang yang paling tidak menunjukkan emosi,

juga sangat datar. Bahkan memarahi orang pun wajahnya hanya

menatap biasa, seperti ini." Ka berusaha menirukan wajah Liz. Aku

kembali tertawa.

"Liz yang kukenal sangat ceria," ucapku.

"Ya, dulu. Sebelum...." Ka terdiam. Menutup mulut.

"Sebelum?" tanyaku penasaran.

"Rahasia perempuan. Kalau mau tahu, kamu harus jadi perempuan," ledek Ka.

"Kalau aku jadi perempuan, kamu PDKT-nya sama siapa?"

Ucapanku disambut wajah memerah Ka, "Apa sejelas itu usaha

PDKT ini?"

Aku hanya tersenyum.

"Aku jadi malu." Ka tertawa lebar.

??

Ka gadis yang manis, menarik, dan cantik. Hanya saja, hatiku

tidak bisa melihatnya hanya sebagai Ka. Aku menatapnya sebagai

Labirin

sahabat Liz.

"Liz tidak ikut?" tanyaku.

"Tidak. Dia lagi sibuk. Ngurusin promo di mal Citra Land."

Ka memesan sepiring nasi goreng. Sementara aku menunggu soto

ayam yang belum diantarkan.

"Liz itu beda bagiannya dari kamu?"

"Beda. Dia itu seksi sibuk. Semua diurusin."

Sepertinya, kalau bersama Ka, tidak ada satu bagian pun yang

berisi kesunyian. Dia terus berbicara. Aku hanya mendengarkan

sambil sesekali menjawab pertanyaannya.

"Kenapa nyasar ke Semarang? Pasti ada alasannya toh. Jangan

bilang tidak tahu," ucap Ka.

"Melarikan diri dari patah hati ke tempat kenangan yang

menurutku paling berkesan," sahutku.

"Patah hati?" Ka melongo, "Jadi, kamu baru patah hati?"

Aku mengangguk.

"Tenang saja, aku punya obat yang mujarab untuk patah hati."

Ka tertawa.

"Masa?"

"Konsultasikan saja masalah percintaan dan hatimu kepada

dokter Ka. Ditanggung beres. Sudah banyak buktinya kok. Tanya

deh sama Liz," ucap Ka.

"Liz mengalami masalah patah hati juga?" tanyaku.

"Heem ... ra."

"Rahasia?" Kami tertawa.

Tapi, percakapan-percakapan ini membuat aku bertanyatanya. Ada apa sebenarnya dengan Liz? Mengapa dia menjadi

Labirin

sangat jauh berbeda.

Kurasa aku dapat memanfaatkan Ka untuk mengorek informasi lebih lanjut. Aku bukan ingin ikut campur, atau, aku memang

ingin tahu segalanya tentang dirimu, Liz.

??

Kulihat Liz berjalan keluar dari E-Plaza. Kudekati, dia terlihat

gugup. "Nonton?"

Dia mengangguk. "Sendiri?" Dia hanya diam, enggan menjawab.

"Thor?" Masih diam. Kuraih tiketnya. A15-A16.

Kusejajarkan langkah. Menemaninya. "Bagaimana filmnya,

bagus?"

"Bagus."

"Kudengar, pada bagian akhir, setelah film selesai, ada dua

potongan adegan yang bagus."

Dia selalu bereaksi terhadap percakapan tentang film. "Ya, ada.

Aku menunggu sampai terakhir. Bahkan seisi studio sudah kosong.

Tinggal aku dan petugas kebersihan aja. Risih sih. Tapi sangat

pantas dinantikan," jawab Liz lancar.

"Kalau begitu, aku harus bersabar nunggu bajakan originalnya," ucapku.

"Ada ya bajakan tapi original?" ledek Liz.

"Ada. Walau tidak sebagus kalau menonton di kursi A15-A16."

Lalu, kami kembali diam.

Labirin

"Kamu nggak kerja?" tanyanya.

"Aku disuruh membeli gula. Tadi toples gulanya Pak Lik Puji

dijatuhkan Tiwi," sahutku. Aku mencari topik percakapan lain.

"Mereka harus membuat inovasi dalam menu. Jika tidak, akan sulit

bersaing."
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Liz menatap, membuka mulut lalu mengurungkan niat hingga

akhirnya dia berbicara juga karena aku terus menatap, menanti.

"Kamu bukannya jago masak?"

"Kira-kira masakan apa yang cocok di lidah orang-orang

Semarang, ya?" tanyaku. "Bantuin dong."

"Gudeg, lumpia, bandeng presto, nasi pecel, angkringan ... apa

lagi yah?" Liz duduk di meja dan memesan sepiring nasi pecel.

Sama seperti yang sebelumnya, nasi itu hanya dimakan

dua hingga tiga suap. Setelah itu, dibiarkan begitu saja. Aku

menghabiskannya dengan lahap. Kali ini Liz tidak memprotes.

"Nasi pecel yang lain ditambah peyek, ini kok nggak? Kurang

nendang kalau nggak ada yang garing-garing krenyes gitu," ucap

Liz.

"Iya. Tapi, kata Pak Lik itu ciri khas warung lain." Aku

berbicara dengan mulut penuh sehingga tersedak. Kuraih cangkir

wedang milik Liz dan kuteguk. "Maaf," ucapku. Terlihat Liz

menyembunyikan senyum.

"Kalau ditambah keripik tempe?" usul Liz.

"Boleh itu! Keren itu!" Aku senang dia cukup antusias membantu. Aneh, malam ini Liz tidak buru-buru pulang. Atau, tepatnya setelah beberapa bulan ini kuperhatikan. Liz, dalam seminggu,

setiap hari Kamis, Jumat, dan Sabtu selalu tidak terburu-buru.

Seakan sengaja menghabiskan waktu berlama-lama di luar.

Mengapa dia tidak pulang segera ke rumah? Apakah anak dan

suaminya tidak perlu diurus?

"Bagaimana kalau nambah menu kwetiau? Di sini kwetiau

Labirin

cukup digemari. Apalagi kwetiau goreng buatanmu enak.

Favoritku, belum ada yang bisa menyaingi." Pengakuan Liz

memberi angin segar padaku. Liz masih ingat akan rasa masakanku.

"Akan kubicarakan pada Pak Lik, setelah...."

"Apa?" tanyanya penasaran.

"Setelah masakanku ini lolos tes uji rasa lidahmu," sahutku.

"Kenapa harus aku?" tanyanya lagi.

"Karena kamu tahu seperti apa selera pasar. Dan, kamu juga

yang pernah mencicipi masakanku dulu. Lagi pula, aku sudah lama

tidak pernah memasak. Tanganku lebih banyak dipakai untuk

memetik gitar," aku beralasan. Liz hanya mengangguk.

??

"Besok sore ya, Jangan lupa," teriakku sebelum Liz pergi.

Setelah dia pergi, aku baru sadar, aku tidak tahu di mana harus

membeli bahan-bahan.

Beli bahan-bahan kwetiau di mana ya?

Di pasar.

Jawab Liz.

Pasar mana?

Tanyaku lagi.

Labirin

Ya sudah. Besok pagi kuantar.

Aku melompat girang. Pesan singkat dari Liz memberiku

semangat. Aneh rasanya, seakan masa-masa yang lalu kembali nyata

di pelupuk mata.

Masa ketika aku dan Liz menyusuri jalan-jalan kota Semarang,

menunggu dia selesai kuliah, atau sewaktu Liz menanti aku di kafe,

selesai bekerja.

Labirin

??

PART 10

Liz: Dunia Kecil

Apa yang ada di otakku? Bukankah selama beberapa bulan

ini aku terus menanamkan di pikiran untuk menjauh dari

Han? Menjaga jarak. Berhenti memikirkan dia. Tapi, lihat! Dalam

semalam, aku telah merusaknya.

Kakiku mengikuti dia hingga ke warung tenda, duduk di

sana, membiarkan Han makan dari piringku serta berbicara

lepas dengannya. Mana Liz yang emotionless itu? Ya, julukan yang

kusandang setelah proses panjang akan matinya rasa percaya akan

cinta. Gilanya lagi, aku bahkan berjanji akan mengantarkan dia

berbelanja bahan makanan.

Gila! Ini sudah tidak dapat ditoleransi. Aku harus mencari

alasan. Batalkan. Cari cara. Apa pun itu.

Kenapa aku sepanik ini? Bukankah Han bukan siapa-siapa lagi

bagiku? Dia hanya sebatas teman. Jangan membohongi diri, Liz.

Saat ini kamu menginginkan Han lebih dari siapa pun.

Kupencet nomor ponsel Ka. Degup jantung terlalu kuat bertalu. Napasku tidak tenang. Ka, angkat teleponnya. Aku sama

sekali tak menyadari sekarang sudah tengah malam. Sepertinya

gadis itu telah terlelap.

Aku sejak tadi belum bisa tertidur. Biasanya, aku akan tertidur saat sedang menidurkan Alika. Berbaring di sampingnya,

mendendangkan lagu sambil menepuk tubuh Alika lembut. Bukan

Alika yang perlu ditemani. Tapi aku. Aku membutuhkan kehangatan serta aroma lembutnya untuk membuatku tenang dan

terlelap. Andai Alika ada di sini sekarang. Tentunya hatiku akan

lebih sadar. Dia adalah penyeimbang dalam tubuhku.

Alika, Mommy merindukanmu. Alika, tidur nyenyak ya,

Sayang. Besok kita akan bertemu.

??

Pesan singkat dari Ka masuk. Dia sedang menuju indekos Han.

Aku kembali merasakan jantung berpacu cepat. Mereka akan

bertemu. Mereka akan berjalan berdua, berbelanja, dan memasak.

Seperti yang dulu aku dan Han lakukan.

"Perempuan itu harus belajar masak!" Han menarik tanganku masuk

ke pasar yang becek.

"Apa menariknya dari hanya bisa memasak dan menawar harga

Labirin

sayuran?" celetukku tak mau kalah.

"Kalau bisa nawar harga sayuran, artinya uang belanja bulanan

bisa diirit. Nah, sisanya bisa kamu pake buat beli tiket nonton

bioskop," sahut Han.

"Terus, nontonnya sama suami?" tanyaku kesal. Han mengangguk. "Yah, sama aja bohong dong. Harusnya, suami yang beliin

tiket bioskop, biar romantis gitu!"

"Dasar pelit. Bakal susah jodoh kamu kalau pelit begitu!" ledek

Han.

"Biarin. Nanti juga pasti ada pangeran tampan yang melamarku." Pertengkaran kami terus berlanjut sepanjang perjalanan

menyusuri lapak-lapak pasar. Ibu-ibu penjual sayur hanya tertawa

mendengar Han dan aku beradu mulut sambil sesekali menawar

harga cabai rawit, sawi, ataupun daging.

"Memangnya, harus pangeran tampan yang melamarmu?" tanya

Han.

"Tidak juga sih. Aku lebih senang Peter Pan!"

"Peter Pan mah anak kecil. Bagaimana kalau dilamar sama

naga?"

"Kalau naganya banyak duit, tidak masalah." Dan kepalaku

diketok Han dengan sepotong kol.

"Yo, Le? iki untuk dijual toh. Bukan dipakai untuk maen-maen!"

Suara Ibu penjual sayur membuat kami lari kabur.

Kenangan itu kembali berputar tanpa dapat kucegah. Aku

menyuruh Ka mengantar Han berbelanja, dengan alasan hari ini

Alika harus dijemput lebih awal. Ayahnya atau mantan suamiku

ada urusan. Tidak sepenuhnya berbohong. Tiba-tiba saja Pria Kapal

Karam itu mengirimkan pesan singkat yang menyuruhku segera

Labirin

menjemput Alika setengah jam lagi. Alika rewel, katanya.

Aku buru-buru naik ke mobil. Memacu kendaraan melewati

jalanan kecil. Rumah Ibuku berada di Semarang bawah, sedangkan

Lukman, berada di Semarang atas. Bedanya? Tentu saja ada.

Semarang bawah lebih dikenal sebagai kawasan perkampungan.

Sedangkan, tempat tinggal Lukman, terkenal sebagai daerah yang

lebih maju dan elite. Dari situ saja sudah terlihat perbedaan antara

aku dan Lukman.

Dia sering kali menyinggung tentang anaknya yang mendapatkan lingkungan yang buruk karena tinggal denganku. Tetangga

serta teman-teman yang kelasnya rendah, katanya.

Apa dengan tinggal di perumahan elite seperti kawasannya

akan menjadikan Alika anak yang hebat? Kurasa tidak. Bukti jelas

adalah Lukman sendiri. Dia adalah produk gagal. Tipe manusia

yang memandang rendah orang lain. Meninggikan diri hingga

lupa, selalu ada yang lebih tinggi daripadanya.

Di mana pun, anak-anak diasuh dan dididik oleh orang tua

yang mengajarkan segala tata krama, sopan santun, nilai-nilai

kebaikan, serta cara menyikapi dunia. Aku tidak mengatakan

bahwa Liz adalah ibu terbaik di dunia. Tapi, aku mencoba belajar

untuk lebih baik. Menjaga anakku dengan segala cara agar dia bisa

mandiri dan ceria. Sehat serta pintar. Aku ingin membungkusnya

dengan kehangatan, namun tetap membiarkan dia tidak sesak oleh

rasa sayang ini.

Sesaat setelah turun dari mobil, kulihat Lukman dan calon

istri yang entah mengapa sampai saat ini belum juga dinikahinya,

padahal kami sudah resmi bercerai, sedang berdiri di depan pintu.

Alika cemberut. Sedangkan, Wanita Jalang itu memasang senyum

sinis ke arahku lalu segera berganti menjadi senyum semanis madu

Labirin

ketika menatap Lukman atau Alika.

"Dia sudah makan?" tanyaku.

"Ya, pasti sudah sarapan. Kamu gila apa? Sekarang sudah

jam 10.30. Kamu pikir kami tidak menjaganya dengan baik? Bea

mengurus Alika lebih baik daripada kamu."

Aku membiarkan Lukman mengoceh. Sementara tanganku

sibuk memasukkan barang-barang Alika ke mobil.

"Lihat ini, Bea membelikan Alika boneka Talking Tom dan dia

menyukainya. Alika bahkan terlihat lebih rapi dan cantik dengan

kepangan-kepangan rambut itu daripada saat bersamamu. Tiap

kali kamu bawa dia ke sini, penampilannya kucel. Rambut acakacakan, ileran, bahkan bajunya lusuh."

Aku membanting pintu mobil. Kesal! Jangan pernah samakan

aku dengan Wanita Jalang itu! Dia tidak menjaga Alika seperti aku

menjaga anakku.

Kugendong Alika masuk, safety belt terpasang. Sengaja kututup

pintu cepat tanpa mendengar ocehan Lukman lagi.

"Alika senang di tempat, Papa?" tanyaku.

"Seneng, main cama Eyang," sahut Alika manja.

Ibu dari Lukman, memang kurang menyukai aku. Tapi, wanita

tua itu menyayangi Alika begitu dalam. Karena dia pula, aku

merelakan Alika harus dibagi pengaturan pengasuhannya. Hanya

saja, terkadang, Eyangnya terlalu memanjakan Alika.

"Lalu, katanya Papa, Alika rewel?" tanyaku lagi.

"Nggak kok. Mama Bea mau coping (shopping)."

Deg! Mama Bea? Sejak kapan Alika memanggil Wanita Jalang

itu dengan sebutan Mama? Apa yang harus kulakukan? Apa?

Tidak mungkin kukatakan pada Alika kecil yang tidak

mengerti bahwa wanita itu tidak pantas dipanggil sebagai Mama.

Labirin

Tidak mungkin juga aku membuat dia bingung dengan memaksa

putri kecilku memanggil Bea sebagai tante saja. Akan ada banyak

pertanyaan di otak cemerlangnya. Kemudian, belum lagi tuntutan

dari Lukman dan Eyang yang mengharuskan demikian.

Perubahan apalagi yang harus kutoleransi? Dan, apakah aku
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

siap?

??

Ka mengirimkan pesan singkat saat aku sedang menikmati sepotong piza bersama Alika.

Johan masak kwetiauw goreng. Enaaaak banget.

Kamu harus coba juga deh.

Yak ah? Syukurlah. Hati-hati sakit perut.

Jawabku.

Di mana?

Tanya Han padaku.

Jalan. Family time.

Sengaja kusebutkan waktu untuk keluarga agar Han berhenti

menggangguku. Aku takut, semakin lama pertahananku akan

semakin rapuh. Han harus menjauh. Satu-satunya cara adalah

dengan membiarkan dia jatuh cinta pada Ka. Mereka harus jadian.

Labirin

Dengan begitu, tenanglah hidupku.

Benarkah?

Setan! Mengapa tiba-tiba muncul pertanyaan itu di sisi lain

hatiku?

Tentu saja benar!

Kamu yakin?

Hentikan omong kosong dan pertentangan batin tidak

penting ini.

Tentu saja aku yakin.

Kamu tidak akan merasa kehilangan Han?

Aku sudah kehilangan Han bertahun-tahun yang lalu dan

aku sadar kami tidak pernah dapat bersatu. Terlalu sukar.

??

Semarang bukan kota kecil. Tapi, tidak juga terlalu besar. Paragon

City Mall, tempat aku menghabiskan hari Minggu ternyata juga

menjadi tujuan Lukman dan Bea. Kalau kalian hendak jalan-jalan

ke mal, kenapa Alika tidak dibawa? Egois!

"Papa," teriak anakku.

"Alika, Sayang." Bea tampak terkejut saat sedang memilih gaun

di salah satu butik. Dia melepas pegangan pada kain satin berwarna

biru gelap. Lalu, memeluk Alika serta mendaratkan kecupan

berlebihan. Alika merapat pada tubuhku. Secara naluriah, anakanak akan menemukan tempat yang paling aman dan nyaman

Labirin

baginya.

Dunia benar-benar kecil. Atau, takdir sungguh sedang mempermainkanku. Saat sedang menatap Lukman kesal, ada suara yang


Lambang Naga Panji Naga Sakti Karya Wo 10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Wiro Sableng 164 Janda Pulau Cingkuk

Cari Blog Ini