Ceritasilat Novel Online

My Better Half 5

My Better Half Karya Indah Hanaco Bagian 5

Kalimat aneh yang diucapkan Maxim itu tidak sempat membuat Kendra tergelitik. Dia terlalu sibuk memastikan bahwa ini semua memang nyata.

" Aku ... maafkan aku, Max. Menurutku, kamu tidak mencintaiku. Aku tetap percaya itu. Kamu cuma merasa ... yah ... kasihan padaku." Hati Kendra seakan tertikam sembilu beracun. Tapi dia berusaha mati-matian mengeraskan hati. " Kamu cuma salah mengenali perasaanmu. Semuanya begitu kebetulan, kan? Setelah ibuku meninggal, kamu jadi...." Kendra tidak sanggup meneruskan kata-katanya. Dan dia berusaha keras agar tidak menantang mata Maxim.

Mendadak, Kendra menunjukkan ketertarikan tidak masuk akal pada tasnya. Tangan kirinya mengelus benda yang berada di pangkuannya itu berkali-kali. Kendra ingin mengulur waktu, memanggil kembali logika yang biasa dimilikinya. Tapi sepertinya tidak ada tanda-tanda keberhasilan.

" Kamu ... sebaiknya tidak mengoceh sembarangan! Aku, Maxim Fordel Arsjad, lebih baik mati ketimbang berpura-pura men cintai seseorang! Aku bukan orang yang seperti itu. Ada banyak perempuan yang kehilangan orangtuanya setiap hari. Apa lantas aku harus mengaku jatuh cinta pada mereka semua?" suara Maxim meninggi.

Jantung Kendra berhenti berdenyut seketika.

Maxim benar-benar marah. Dia tahu, dia memiliki kebiasaan buruk mudah naik darah. Tapi kali ini Kendra sudah benar-benar menguji kesabarannya. Lelaki itu sudah bersusah payah memberi penjelasan. Dan itu adalah siksaan karena Maxim tidak mahir bicara dengan lawan jenis. Tapi, apa reaksi Kendra? Si kepala batu itu tetap menyanggah perasaan tulus Maxim dengan alasan yang menyakitkan.

" Max..."

" Kamu benar-benar membuatku merasa tidak berharga sebagai laki-laki. Apa sangat sulit bagimu untuk percaya kalau aku punya perasaan istimewa padamu? Apa sulit untuk meyakini kalau aku jatuh cinta padamu? Kenapa kamu malah menganalisis perasaanku dan membuat kesimpulan sembrono?" Wajah Maxim memerah sekaligus tampak muram. Kegeramannya tergambar jelas di sana.

" Ini sangat mengejutkan. Aku tidak pernah menduga ... kamu akan merasa seperti ... itu."

Maxim berusaha sungguh-sungguh agar suaranya tidak lagi meninggi. Dia sedang bersama Kendra yang baru saja diakui sebagai orang yang dicintainya. Kalau dia terus-menerus marah, bagaimana Kendra bisa meyakini perasaannya? Pemikiran itu yang membuat Maxim berusaha bernapas normal, untuk meredakan gejolak di dalam dadanya.

" Kalaupun kamu tidak menduganya, bukan berarti tidak mungkin, kan?" Maxim menyabarkan diri. " Perasaanku, tidak ada hubungannya dengan apa yang terjadi beberapa hari lalu. Semuanya sudah bermula lama, tapi aku tidak menyadarinya. Dan ketika aku tahu ada sesuatu yang terjadi, aku panik. Kamu kira aku tidak berusaha membuang perasaanku? Sepertimu, aku takut kalau ini bukan sesuatu yang murni. Aku takut ini cuma perasaan sementara. Tapi Kendra, makin aku berusaha mengabaikannya, aku makin supaya aku bisa sering bersamamu. Fotomu yang kusimpan itu bahkan selalu kupandangi sebelum tidur. Memalukan tapi memang faktanya seperti itu."

Pupil mata Kendra melebar, seiring tiap kata yang meluncur dari bibir Maxim. Lelaki itu mendesah pelan setelah menuntaskan kalimatnya. Reaksi Kendra tidak seperti yang diharapkannya. Gadis itu dengan transparan menunjukkan kalau dia tidak memercayai apa yang diucapkan Maxim. Dan ketika kamu sudah bicara jujur dari hati yang paling dalam namun tidak diyakini oleh si pendengar, itu hanya menyisakan rasa frustrasi yang luar biasa.

Maxim akhirnya bersandar di sofa dengan mata terpejam. Kehilangan akal sekaligus harapan.

" Aku ... bodoh kalau sudah berurusan dengan masalah cinta. Aku juga buta soal hubungan lawan jenis. Aku menghabiskan masa remajaku dengan mengkhawatirkan ibuku. Sempat mengalami kelebihan berat badan dan entah berapa kali harus diejek gara-gara itu. Kurasa ... ini bukan prioritasku saat ini. Maksudku ... jatuh cinta dan hal-hal rumit yang berhubungan dengan itu. Maafkan aku, Max...."

Maxim tidak tahu kalau rasa sakitnya bisa seintens itu hanya karena Kendra menolak perasaannya. Oksigen menipis dan rasa ngilu menghunjam pembuluh darahnya dari berbagai arah. Jantungnya teras membengkak dan bergerak dengan kecepatan mengerikan. Ya Tuhan, dunia yang dikenal Maxim mendadak runtuh dan hanya menyisakan kegelapan.

" Maxim..." suara Kendra menariknya pada kekinian. " Kamu mau memaafkanku, kan? Setelah ini kita tetap berteman, kan?" suara gadis itu dicemari oleh kekhawatiran. Bukannya merasa tersentuh, Maxim justru kian marah.

" Oh, sekarang kamu yang mengasihaniku, ya?" tanyanya tajam.

mengucapkan kalimat yang sejahat itu. Maxim memaki dirinya sendiri, tapi dia tidak bisa berpura-pura sebagai malaikat baik hati yang menerima dengan tenang penolakan Kendra.

" Aku tidak mengasihanimu! Aku hanya tidak mau kalau kita...." " Aku bukan papamu, Kendra! Aku tidak akan melakukan hal seperti itu pada orang yang kucintai. Kurasa, kamu mengira kalau semua lelaki itu berengsek, kan?" tanyanya sinis.

Kendra terbelalak dengan kemarahan berkobar di matanya. " Kamu barusan bilang apa? Kamu memang orang berengsek!" Kendra berdiri dan melepaskan tangannya yang digenggam Maxim dengan kasar. " Aku membencimu, Max! Aku memercayakan rahasia-rahasiaku tapi itu malah jadi bumerang. Apa hakmu untuk menghakimiku? Aku...." Kehabisan kata-kata, Kendra memilih untuk meninggalkan ruang kerja Maxim.

Maxim ingin mengejar gadis itu, tapi kakinya seakan terpaku ke lantai. Lelaki itu menepuk pipinya dengan kencang. Dia baru saja membuktikan di depan Kendra kalau dirinya memang manusia mengerikan.

Mengingkari Kata Hati

You re every song

And I sing along Cause you re my everything (~Everything~ by Michael Buble)

S umpah, Kendra sangat ingin membenci Maxim selamanya. Bila

mungkin, dia juga berharap bisa mengulang waktu dan tidak akan pernah mengenal laki-laki menyebalkan itu. Ucapan Maxim yang menyinggung tentang Djody sudah cukup menjadi tiket agar mereka bisa bermusuhan selamanya.

Hari pertama, semuanya berjalan mulus. Kendra nyaris tidak bisa tidur karena terlalu sibuk memaki Maxim dalam bahasa paling biadab yang pernah dikenalnya. Namun makin hari perasaan bencinya malah kian terkikis. Bukannya ingin menjauh selamanya dari Maxim, belakangan ini Kendra malah berharap bisa melihat wajah lelaki itu lagi.

Keinginan yang memalukan, ya?

Karena urusannya dengan Sean belum selesai, Kendra terpaksa menjadwal ulang pertemuan mereka. Sekali lagi, Kendra terpaksa datang ke kantor Sean dan selama berada di dalam lift dia berdoa luar biasa serius agar tidak bertemu Maxim. Untungnya Tuhan berbaik hati mengabulkan doanya. Untungnya lagi, Sean tidak menyinggung tentang peristiwa dua hari sebelumnya. Dan Kendra berhak merasa lega karena Sean sama sekali tidak menyulitkan pekerjaannya. Itu artinya, dia tidak lagi harus mendatangi gedung tempat Maxim berkantor.

Fakta itu seharusnya melegakan. Itu yang selalu diyakinkan Kendra kepada dirinya sendiri. Tapi, mengapa kenyataannya tidak demikian? Maxim malah makin mengganggu stabilitas hidupnya. Bukan orangnya tentu saja, melainkan kenangannya.

Saat Maxim mengantarnya ke Bandung hingga dua kali. Ketika lelaki itu mencium punggung tangannya dengan lancang. Sehari penuh yang mereka habiskan berdua usai pemakaman Gayatri. Bahkan pertemuan terakhir keduanya yang berujung dengan pertengkaran. Pernyataan cinta yang aneh dan ciuman lembut di hidung Kendra.

Gadis itu makin kesulitan tidur karena tiap malam kata-kata Maxim digemakan oleh dinding kamarnya. Hingga dia makin dalam terisap dalam kebimbangan. Kendra tidak henti bertanya, tepatkah keputusan yang sudah diambilnya? Benarkah dia tidak menginginkan Maxim lebih dari sekadar teman? Bertambah banyak hari yang dilalui dan menjauh dari Maxim, Kendra justru makin tidak yakin.

" Aku tidak suka melihatmu seperti tadi! Aku benci kamu berdekatan dengan orang lain, walaupun itu Sean atau kakakku! Aku kan sudah pernah memperingatkanmu agar menjauh dari Sean. Lupa? Dan aku juga tidak suka melihatmu tertawa genit di depan orang lain!"

Belakangan Kendra mulai tersenyum geli tiap kali mengingat kalimat itu. Dia bertanya-tanya, begitukah perasaan Maxim yang sesungguhnya? Merasa cemburu jika dia berdekatan dengan orang lain? Bicara dan tertawa dengan lelaki yang bukan dirinya? " Masalahku adalah ... sepertinya aku jatuh cinta padamu..." Kendra malah makin kesal ketika mengingat pilihan kata Kenapa malah memakai kata sepertinya ? Untuk bagian ini, Kendra tidak akan memaafkan Maxim.

" Ya, aku memang gila. Tapi kalau ada yang patut disalahkan, itu adalah kamu! Kamu yang sudah membuatku jadi gila. Kamu pernah menyadari itu?"

Kendra juga tidak akan memaafkan bagian yang satu ini. Dia tidak merasa berbuat sesuatu sehingga membuat Maxim kehilangan akal sehat. Sejak awal perkenalan mereka, bukankah Maxim sudah menunjukkan gejala tidak normal? Kendra akhirnya cekikikan sendiri saat mencermati monolog yang berdengung di kepalanya. Sepertinya, dia kini yang mulai gila.

" Aku serius, Ken. Aku jatuh cinta padamu. Kenapa itu susah untuk dipahami? Dan kenapa kamu bilang kalau kamu bukan cewek yang tepat untukku? Standar siapa itu?"

Kendra tidak tahu bagaimana harus merespons kalimat itu. Maxim tampak sedih saat mengucapkan kata-katanya. Kendra ingin mengulang masa lalu, agar bisa mencegah Maxim mengucapkan kalimat itu. Ucapan bodohnya yang membuat lelaki itu merespons demikian.

" Aku tidak punya pengalaman banyak soal asmara. Aku belum pernah harus mengejar-ngejar seorang gadis. Aku bahkan tidak tahu bagaimana harus bersikap di depanmu. Kalau akhirnya aku cuma bisa marah, itu karena lebih mudah seperti itu. Aku tidak mungkin bisa membujuk dengan kata-kata manis. Aku cemas, kamu bisa muntah kalau mendengarnya."

Sungguh, Kendra tersanjung dengan kalimat yang dipilih Maxim. Belum pernah mengerjar-ngejar seorang gadis, katanya? Itu artinya, Kendra adalah orang pertama yang mampu membuatnya melakukan itu?

Tapi Kendra segera terjebak dalam kemuraman. Nyatanya, karan mereka, Maxim tidak sekali pun berusaha menghu bunginya lagi. Komunikasi mereka terputus nyaris sebulan ini dan tidak ada tanda-tanda akan ada perubahan. Jadi, kata-kata Maxim itu tidak bisa benar-benar dipercaya.

" Aku bukan papamu, Kendra! Aku tidak akan melakukan hal seperti itu pada orang yang kucintai. Kurasa, kamu mengira kalau semua lelaki itu berengsek, kan?"

Itu kalimat yang memberi beraneka rasa di dada Kendra. Diam-diam dia mulai mempertanyakan kebenaran kalimat Maxim. Mungkinkah dia terlalu takut untuk mengakui perasaannya karena apa yang dilakukan Djody di masa lalu? Mungkinkah dirinya selalu membanding-bandingkan tiap lelaki yang mendekat ke arahnya dengan sang ayah meski tanpa sengaja?

Kendra tidak benar-benar tahu apa jawabannya. Dia terbelah antara perasaan marah dan bimbang yang sama bergeloranya jika mengingat kata-kata Maxim itu.

" Kamu ... sebaiknya tidak mengoceh sembarangan! Aku, Maxim Fordel Arsjad, lebih baik mati ketimbang berpura-pura mencintai seseorang! Aku bukan orang yang seperti itu. Ada banyak perempuan yang kehilangan orangtuanya setiap hari. Apa lantas aku harus mengaku jatuh cinta pada mereka semua?"

Si sombong itu!

Pada akhirnya, Kendra kehabisan kata untuk terus mencela Maxim. Yang mengejutkan, dia kini menyadari kalau dia sangat merindukan pria itu. Kendra berusaha membaca perasaan yang bergelung di dadanya. Yang ada di benaknya malah adegan saat mereka berada di antara pohon jeruk dengan kaki telanjang. Saat itu, Kendra membisikkan banyak cerita hidupnya kepada Maxim yang bahkan tidak tepat disebut sebagai temannya.

Meski Maxim mengacaukan hidupnya, Kendra berusaha keras dan meletakkan urusan pribadi di kotak khusus yang cuma bisa dibuka saat sedang sendiri.

" Halo Kendra-nya Maxim, apa kabar?" seseorang me nyapa dengan suara riang. Kendra terpana mendapati Sean menghadiahinya senyum lebar.

" Kabar baik, tapi aku bukan Kendra-nya Maxim," gadis itu menjabat tangan Sean. " Hari ini jadwal audisi, ya?"

Sean mengangguk. " Kamu kejam, ya? Bertengkar dengan Maxim, dan malah mengabaikanku. Seharusnya, kamu yang mengurusi segalanya. Karena kamu yang mengajakku bergabung di acara ini," Sean cemberut. Tapi Kendra tahu kalau pria itu cuma berpura-pura.

" Maaf Sean, tapi tugasku hanya sebatas mendapat persetujuanmu saja. Setelahnya, ada tim khusus yang akan menangani," Kendra menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada.

" Ah, sepertinya aku tidak bisa sememesona Maxim, ya? Padahal dia cuma mampu cemberut saja," goda Sean lagi. Suhu pipi Kendra diyakininya mengalami peningkatan drastis. Benak nya kosong mendadak, tidak tahu harus mengucapkan atau melakukan apa.

Terpujilah Neala yang mendekat dan membuat Kendra mampu melepaskan diri dari kekakuan yang tidak nyaman. Dia memperkenalkan temannya itu pada Sean yang kemudian disusul yang lain. Kendra bisa melihat bagaimana Sean menikmati semua perhatian yang didapatnya dari lawan jenis.

Mendadak, bayangan gila mewujud di depan mata Kendra. Membayangkan Maxim sebagai Sean, tertawa renyah di antara sekelompok perempuan, sungguh terasa menyembilu. Memang, saat syuting prakencan, Maxim bisa membaur dengan baik. Tapi tidak sebaik Sean. Dan saat break syuting, lelaki itu kembali Demi menjaga kewarasannya, Kendra buru-buru kembali ke meja dan mengerjakan laporan lengkap hasil audisi tiga hari lalu. Seharusnya, jadwal Sean masih beberapa hari lagi. Tapi lelaki itu meminta agar dimajukan karena ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggal.

Jika Kendra mengira Sean akan segera disibukkan dengan proses audisi, dia kalah telak. Lelaki itu malah mengajaknya bicara empat mata sebelumnya. Kendra terpaksa menurut karena Sean sudah minta izin langsung kepada Helen. Mereka memasuki ruang rapat, tempat lelaki itu akan melihat proses seleksi lewat jendela kaca satu arah.

" Kalian bertengkar hebat, ya?" tanya Sean tanpa basa-basi. " Maxim kacau sekali, bisanya cuma memarahi semua orang yang ada di dekatnya. Dia sih tidak bercerita banyak, tapi aku menangkap kalau kamu ... menolak cintanya. Benarkah, Kendra?"

Gadis itu menjadi jengah. " Itu ... bukan hal yang ingin kubicarakan padamu, Sean."

Sean menyergah. " Aku bukannya ingin mencampuri urusan kalian. Tapi aku juga tidak bisa diam saja melihat Maxim seperti itu. Aku menyayangi sepupuku. Aku pernah bilang padamu kalau dia salah satu orang paling baik yang pernah kukenal, kan? Dia dan ketiga saudaranya."

" Iya, aku ingat," balas Kendra setengah hati. Dia berkalikali melirik ke pintu, mencari celah untuk meninggalkan Sean sendirian. Kendra yakin dia akan mati karena malu jika membicarakan Maxim di depan Sean. Dia bahkan baru bertemu lelaki di depannya ini sebanyak tiga kali. Mana bisa hal-hal pribadi dibaginya dengan Sean? Cuma Maxim yang memungkinkan Kendra melakukan itu.

" Aku tidak yakin apakah kamu sudah mengetahui soal ini.

lawan jenis. Setahuku, dia hanya pernah pacaran beberapa kali. Belakangan, Maxim berubah lebih serius mengurusi Buana Bayi dan Tante Cecil, tidak punya waktu untuk berkencan. Aku tidak tahu kenapa, seharusnya itu menjadi kewajiban Darien sebagai anak lelaki tertua. Tapi sejak papanya meninggal, Maxim seakan mengambil alih tanggung jawab di keluarganya. Dia bahkan cenderung overprotective pada Tante Cecil. Agak berlebihan, sih. Tapi mungkin seperti itulah cara Maxim menunjukkan kasih sayangnya."

Kendra mendengarkan dengan telinga yang begitu sensitif. Setiap kali ada yang menyebut nama Maxim di dekatnya, daun telinganya seakan tegak, siap menangkap informasi apa pun. " Aku tidak tahu soal itu...." Kata Kendra kemudian. " Apa kamu benar-benar tidak punya perasaan apa pun untuk Maxim? Sedikit pun tidak ada?"

Kendra kebingungan menjawab. Akhirnya, dia hanya mampu menatap Sean tanpa suara. Dan tampaknya lelaki itu cukup bijak untuk tidak mendesaknya.

" Berilah Maxim kesempatan, Ken! Dia serius, bukan cuma ingin mempermainkanmu. Dia memang jatuh cinta padamu. Aku sangat ingin kalian berbaikan. Sebelum ini, Maxim tidak pernah melihat perempuan lain seperti melihatmu."

Kendra tidak bisa bertahan dalam kebisuan karena kalimat Sean itu.

" Maksudmu?"

Sean tersenyum tipis. " Aku sepupunya, kami tumbuh bersama. Aku tahu kapan saatnya Maxim benar-benar jatuh cinta pada seseorang. Dia menatapmu dengan ... bagaimana ya aku menjelaskannya. Yang pasti, sulit untuk digambarkan dengan kata-kata.

Kendra menghela napas sebelum akhirnya tertawa lirih. " Sean, aku kasihan sekali pada gadis-gadis yang mendapatkan rayuanmu. Pasti sangat sulit untuk menolakmu, kan?"

Tawa Sean memenuhi ruangan. " Tapi tampaknya kamu kebal, kan? Maxim lebih memesona di matamu. Dan itu sungguh membuat harga diriku terluka."

Kendra mencibir. " Dasar perayu!" oOo

Perbincangan Kendra dengan Sean membuat wabah baru di dadanya. Jika sebelumnya setengah hatinya masih ingin membenci Maxim dan menjauh selamanya dari pria itu, kini terjadi transisi mengejutkan. Sebelah hatinya yang menginginkan Maxim, mendapat kekuatan tambahan untuk memperlebar wilayah kekua saan. Alhasil, hingga sore harinya, bagian yang ingin membenci sudah takluk dan menyerah tanpa syarat.

Selanjutnya, hati itu yang mengendalikan tubuh Kendra. Akal sehatnya ingin melakukan pembangkangan, tapi sia-sia belaka. Semua pikiran logis yang seharusnya bertahan di kepalanya, tidak berkutik. Kendra tidak menyetir pulang, melainkan menuju kantor Maxim. Sekali ini, dia putuskan untuk menjadi gadis pemberani. Kendra sudah lelah selama sebulan terakhir bergulat dengan perasaan yang tak menentu.

Dan semua ini gara-gara Maxim!

Kendra membulatkan hati, memantapkan kaki agar berani melangkah maju dan bukannya berbalik dan melarikan diri seperti pengecut. Meski belum tahu apa yang akan dikatakannya di depan Maxim nanti, tapi dia merasa bebannya mulai menguap. Apa yang Tangan Kendra terulur, hendak mendorong pintu Buana Bayi saat tiba-tiba Yudith mencul di depannya. Perempuan yang lebih tua tiga tahun dari Kendra itu bersiap untuk meninggalkan kantor Maxim. Kendra merasakan perutnya ditinju.

" Sepertinya kita pernah ... hei ... kamu yang bekerja di Th e Matchmaker, kan?" alis rapi Yudith yang melengkung indah itu pun bertaut. Senyumnya mengembang kemudian. Atas nama etika, Kendra berusaha keras melengkungkan senyum ramah. Ketika Yudith menutup pintu, mau tak mau Kendra harus mundur. Dia harus menunda niatnya untuk bertemu Maxim.

" Saya Kendra. Apa kabar Mbak Yudith?" Kendra menjabat tangan perempuan di depannya. Sekejap, Kendra mengira kalau Yudith tampak tegang saat dia menyebutkan nama. Tapi kemudian dia memutuskan kalau itu hanya ilusi optik. Yudith tersenyum lebar di depannya.

" Kamu mau bertemu siapa? Maxim, ya?" tembaknya. Kendra mengangguk. " Iya, ada sedikit urusan."

" Oh, begitu. Tapi urusannya bisa ditunda sebentar, kan? Saya mau mengajakmu minum kopi. Saya kan belum pernah berterima kasih padamu. Maxim sudah pernah bercerita kalau kamu yang punya jasa besar mempertemukan kami."

Tanpa menunggu persetujuan Kendra, Yudith menggandengnya menuju lift. Sementara itu, dampak kata-kata perempuan itu membuat perut Kendra terasa dipilin-pilin.

Yudith terus berceloteh, tidak memberi kesempatan gadis di sebelahnya untuk merespons. Dalam hitungan detik, entah berapa kali nama Maxim digemakan. Kendra merasa pengar sebagai impaknya.

" Saya kok bisa melupakan kebaikanmu, ya? Maxim bilang, with Celebrity. Eh, memangnya apa sih yang terjadi antara Maxim dengan Helen?"

Kendra pun memberi penjelasan secara singkat dan menyebut itu sebagai kesalahpahaman. Yudith menepati kata-katanya, mengajak gadis itu ke gerai kopi waralaba bertaraf internasional yang ada di gedung itu. Kendra membuat pesanan tanpa berpikir serius. Saat itu, rasanya dia sudah tidak mampu melakukan apa pun yang menggunakan otak.

" Maxim itu orang yang luar biasa. Sibuknya minta ampun, tapi dia sangat perhatian pada saya," Yudith tersenyum lebar, membuat lesung pipinya terlihat. Kendra tidak bisa berhenti merasa kagum sekaligus iri. Perempuan di depannya itu memiliki fi sik yang diidam kan oleh semua wanita normal. Yudith juga memiliki pekerjaan yang bagus, sebagai seorang bankir.

" Dia memang orang yang ... baik...." Kendra berusaha keras agar tak menunjukkan ketidaknyamanannya sejernih kristal.

Senyum Yudith memudar. " Seharusnya kami makan malam hari ini, tapi Maxim punya pekerjaan yang tidak bisa ditinggal. Saya sudah menunggunya sejak pukul setengah enam. Akhirnya ... batal."

" Iya, Mbak. Maxim memang sibuk," ucap Kendra seadanya. Yudith mengangguk. " Tapi saya bisa mengerti, kok! Kalau ingin hubungan kami langgeng, memang harus banyak bersabar. Dan berkorban, tentunya. Tapi seperti yang saya bilang tadi, Maxim luar biasa perhatian. Mungkin untuk orang lain sederhana, tapi buat saya berbeda. Dia rajin menelepon untuk mengingatkan agar saya tidak telat makan. Bahkan hampir setiap hari saya dibangunkan oleh telepon Maxim. Saya merasa diperlakukan dengan begitu istimewa." Perempuan itu tergelak halus, membuat dada Kendra Kendra menghabiskan waktu hampir setengah jam kemudian untuk mendengar berbagai pujian Yudith untuk Maxim. Dari kalimat-kalimat yang dipilihnya, Kendra sangat yakin kalau hubungan mereka berdua sudah jauh lebih serius dari yang diakui Maxim.

Rasa sakit kembali menerpa. Kendra masih mengingat dengan jernih pertemuan terakhirnya dengan Maxim. Semua kata-kata pria itu bahkan sudah menyerupai doa, bergema di kepalanya setiap ada kesempatan. Baru sebulan berlalu dan ternyata ada perkembangan intens yang terlewatkan oleh gadis itu.

Kendra marah kepada Maxim dan kepada dirinya sendiri yang melemah dari hari ke hari. Dirinya yang tidak konsisten. Dia juga marah kepada Sean yang sudah membohonginya. Lelaki itu bicara serius sambil menatap mata Kendra. Ternyata, Sean cuma menyampaikan dusta. Apakah tujuannya untuk mempermainkan perasaan Kendra karena telah menolak Maxim?

" Mbak, maaf saya terpaksa harus pamit, nih!" Kendra menunjuk ke arah jam tangannya. " Saya harus bertemu seseorang, urusan pekerjaan," dustanya dengan fasih.

Ketika Kendra membalikkan tubuh dan mulai berjalan, pandangannya mengabur oleh air mata. Ini kali pertama dia menangis karena Maxim. Dan Kendra bersumpah ini akan menjadi yang terakhir pula.

Cinta Itu

Merumitkan Hidup

Tahukah kamu

Betapa dalam aku terjebak dalam pesonamu Dan aku tak akan bisa melepaskan diri

Seumur hidupku Menjadi tawanan hatimu

Sungguh kuingin Menggapai tanganmu

Seraya berbisik lembut di telingamu Bahwa aku pecinta terbesarmu

Aku sangat ingin Kamu hanya memandangku Selamanya...

K endra tidak pernah tahu kalau patah hati seperti itu rasanya.

Sakitnya luar biasa. Mengganggu segala sisi kehidupan, mengaduk-aduk konsentrasi hingga menjadi remah-remah yang menakutkan. Belum lagi rasa tersiksa karena tidak mungkin bertemu lagi dengan orang yang dirindukan, atas nama harga diri dan gengsi. Oh Tuhan, betapa cinta itu merumitkan hidup.

Melewatkan malam pertama setelah pertemuannya dengan Yudith adalah hari yang luar biasa berat untuk Kendra. Dia benarbenar tidak mampu memejamkan mata hingga pagi. Dan air mata berjam-jam. Belum lagi mata yang membengkak karenanya.

Berasumsi kalau perasaan itu akan mendekapnya seumur hidup, Kendra pun menjadi was-was. Apakah dia punya daya resistansi yang memadai untuk bertahan? Baru melewati kurang dari dua puluh empat jam saja sudah membuatnya semaput.

Namun kemudian satu hari berlalu lagi meski terasa luar biasa lamban. Lalu menyusul satu hari lagi. Hingga beberapa minggu pun bisa dilalui Kendra dengan susah payah.

" Kendra, tolong berikan dokumen ini pada Sean, ya?" Helen meletakkan sebuah amplop cokelat di atas meja Kendra. Gadis itu baru saja ke luar dari pantri dan tersandung sesuatu hingga nyaris jatuh. Untung saja tangannya sempat menggapai dinding untuk menjaga keseimbangan.

" Dokumen apa itu, Mbak?" tanyanya. Tapi Helen sepertinya tidak mendengar dan sudah melewati pintu. Hampir pasti, perempuan itu tidak akan kembali ke kantor. Biasanya, Helen memang pulang cukup malam. Tapi jika menjelang magrib sudah meninggalkan kantor, biasanya karena urusan penting.

Kendra memandang ke sekeliling ruangan, menimbang-nimbang apa yang akan dilakukannya. Sekaligus memikirkan siapa yang kira-kira bisa dimintai tolong untuk menggantikan tugasnya. Tapi, lebih dua puluh orang yang ada di ruangan itu memiliki pekerjaan dan kesibukan masing-masing.

Yang paling mungkin dimintai tolong adalah Neala atau Pritha. Sayang, Neala tidak masuk kantor sejak dua hari lalu karena fl u berat. Sementara Pritha baru saja dilimpahi tambahan tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab Neala. Kendra sama sekali tidak melihat jalan keluar yang bisa mencegahnya mendatangi kantor Sean. Lagi.

Kendra hampir menangis karena putus asa. Menyesalkan amplop berisi data dan foto sepuluh peserta prakencan. Sean akan menjalani syuting beberapa hari lagi dan Kendra sama sekali tidak mengerti kenapa lelaki itu membutuhkan itu. Bukankah Sean sudah terlibat langsung dalam proses pemilihan peserta sepuluh besar?

Tidak punya pilihan, Kendra akhirnya meninggalkan kantornya menjelang pukul tujuh. Dia sudah menghubungi Sean dan pria itu sepakat untuk bertemu di kantornya. Sepanjang perjalanan Kendra berdoa semoga dia tidak bertemu dengan Maxim. Terutama, Maxim dengan Yudith yang saling memandang mesra. Itu akan menjadi hal yang sangat menyakitkan untuk dilihat, seperti menggarami luka yang masih berdarah.

Andai Maxim, Sean, atau perusahaan tempat mereka bekerja memiliki jam kerja normal, alangkah bagusnya. Hingga Kendra bisa mengatur waktu yang tepat sekaligus menghindari Maxim. Tapi Maxim dan Sean malah seakan terlalu mencintai pekerjaan mereka. Sehingga bukan hal aneh masih berada di kantor setelah malam menjelang. Kendra pernah menduga, mungkin Buana Bayi dan kantor Sean tetap beroperasi hingga tengah malam.

Kendra benar-benar menarik napas lega ketika Sean mempersilakannya memasuki ruang kerja pria itu. Pria itu masih seperti biasa, ramah dan menyenangkan. Tidak ada wajah familier yang ditemui nya sejak menginjakkan kaki di lantai dasar. Dan itu sungguh melegakan. Membuat bahu Kendra bisa rileks lagi dan ketegangan pun luruh.

Ini kali pertama Kendra memasuki ruang kerja Sean. Ukurannya lebih kecil dibanding yang dimiliki Maxim. Dindingnya dicat dengan warna creamy white. Sementara lantainya ditutup oleh parket.

Tidak ada banyak perabotan di ruang itu. Hanya ada meja kayu berwarna hitam dan kursi putih bersandaran tinggi. Seperti barang yang tidak terlalu diperhatikan oleh Kendra. Jika di ruangan Maxim terdapat sofa, di sini sebaliknya. Ada empat buah single chair krem berlapis kulit yang mengelilingi sebuah meja bundar tinggi. Kendra duduk di salah satu kursi.

" Mbak Helen menitipkan amplop ini untukmu. Kalau kamu tidak keberatan, boleh tidak aku mengajukan pertanyaan?" tanya Kendra hati-hati.

" Silakan."

Kendra berdeham. " Kenapa kamu meminta foto dan biodata ini? Apa ada masalah? Ada peserta yang ingin kamu ganti?"

Sean memberi jawaban tak terduga. " Bukan. Aku memang sengaja meminta Mbak Helen menyuruhmu ke sini. Amplop ini cuma kedok saja." Pria itu menghadiahi Kendra senyum tanpa dosanya yang pasti sudah meruntuhkan hati banyak perempuan.

" Apa maksudmu?" Insting Kendra mengatakan kalau ini bukan sesuatu yang ingin diketahuinya. Tapi dia tetap harus mengajukan pertanyaan.

" Bagaimana kondisi kalian? Maksudku ... Maxim dan kamu? Kita kan sudah bicara, tapi kenapa tidak ada perubahan? Kukira ... kamu akan berinisiatif melakukan sesuatu. Karena aku tahu kalau kalian ini sebenarnya sama-sama...."

" Berinisiatif apa? Aku...." Kendra terdiam. Namun kemudian dia memutuskan sudah tidak perlu menyembunyikan apa pun. Siapa tahu berbicara dengan Sean mampu mengurangi patah hatinya hingga setengah. Bukankah itu angka reduksi yang luar biasa?

" Aku benar-benar gemas melihat kalian berdua. Apa sih enaknya bertahan demi gengsi atau harga diri? Aku mungkin bukan cenayang, tapi aku bisa melihat apa yang terjadi di antara kalian." Senyum Sean mengabur.

" Aku sebenarnya tidak mau lagi membicarakan soal itu.

penasaranmu. Sebenarnya, aku datang ke kantor Maxim malam itu, setelah kita bicara di pagi harinya. Tahukah kamu siapa yang kutemui?"

Sean tampak tertarik. " Siapa? Tante Cecil?"

Kendra tertawa canggung. " Tebakan ngawur! Aku bertemu Yudith, pacarnya Maxim. Dia mengajakku minum kopi untuk berterima kasih karena sudah membuat Maxim bersedia mengikuti Dating with Celebrity. Kamu bisa bayangkan seperti apa perasaanku? Tidak perlu dijawab! Yang jelas, saat itu aku marah padamu. Aku merasa dipermainkan, dijadikan pion. Dan itu sama sekali tidak lucu karena melibatkan perasaan."

Sean tampak ternganga. Sejak mengenal pria itu, belum pernah Kendra melihat Sean begitu terkejut.

" Tapi Kendra, itu sama sekali tidak benar! Kamu kira aku akan...."

" Tidak benar apanya? Aku sudah mendengar Yudith bicara dengan jelas. Aku mungkin bodoh, tapi aku tidak tuli."

Pintu terbuka dan sebuah suara menyusul kemudian. " Ada apa kamu memintaku ke sini? Bukannya tadi siang kita ma...."

Maxim berdiri membatu saat menyadari siapa yang duduk di depan Sean. Sepupunya melompat dan mencekal lengan pria itu saat Maxim mencoba berbalik.

" Tidak perlu sok cemburu!" sergah Sean, kali ini terdengar begitu serius. " Aku sengaja memanggilmu ke sini karena aku gemas sekali melihat kebodohanmu. Kamu dan Kendra harus bicara!"

Maxim berusaha melepaskan cekalan sepupunya, tapi tampaknya Sean punya tekad yang tidak tergoyahkan. Kendra memandang pria itu dengan aneka perasaan yang membaur tak keruan. Di detik itu dia baru menyadari betapa besar rasa rindunya untuk Maxim. Tapi sayang, lelaki boleh dibilang hal terlarang dalam " Sean..." kata Kendra dengan suara setenang mungkin. Gadis itu berdiri dan berdoa semoga tidak ada yang memperhatikan kalau tangannya gemetar. " Aku pamit dulu. Semoga syutingnya berjalan lancar dan kamu bisa...."

" Kendra, aku sedang tidak membutuhkan doamu! Tetap di situ atau aku akan memanggil satpam dan membuat tuduhan palsu padamu!" sentak Sean. " Aku serius! Kalau tidak percaya, coba saja!"

Kendra melongo, tidak mengira kalau Sean juga mempunyai sisi aneh seperti yang sedang disaksikannya. Senyum dan sikap ramahnya sudah menghilang. Tapi yang paling menyakitkan bagi Kendra adalah melihat bagaimana Maxim menolak untuk berada satu ruangan dengannya.

" Ada apa sih dengan kalian? Max, aku sungguh tidak akan membiarkan kamu dan Kendra ke luar dari ruangan ini sebelum kalian bicara baik-baik seperti manusia dewasa."

" Hei, kamu tidak ber...."

Kata-kata Maxim terputus saat tubuhnya terdorong ke belakang. Ekspresi Sean mengeras, menatap Kendra dan Maxim bergantian.

" Aku serius dengan kata-kataku! Aku tidak akan membiarkan kalian melewati pintu ini sebelum menyelesaikan masalah yang ada. Kalian sudah dewasa, bersikaplah seperti orang dewasa!"

Lelaki itu hampir berlari saat menuju pintu dan Kendra mendengar bantingan serta suara klik yang khas. Astaga, Sean mengunci pintu dari luar! Kendra benar-benar merasa tak berdaya sekaligus malu. Berapa juta kali dia ingin melihat Maxim lagi? Tapi menyaksikan reaksi pria itu, Kendra yakin kalau Maxim justru lebih ingin menjauh selamanya.

Tidak tahu harus melakukan apa, Kendra duduk kembali dengan tubuh yang seakan baru saja kehilangan semua tulang belumemohon kepada Tuhan agar menahan air matanya. Minimal hingga Maxim tidak lagi ada di depannya.

Gadis itu melepas kacamatanya dan tertunduk, memandangi meja yang sama sekali tidak memiliki objek menarik. Dia menduga kalau Maxim akan mendobrak pintu agar bisa segera keluar. Itulah sebabnya Kendra kaget luar biasa saat menyadari Maxim akhirnya duduk di depannya. Tidak ada yang membuka mulut, bahkan sekadar untuk berbasa-basi bertanya kabar. Udara terasa beku dan membuat Kendra kesulitan bernapas. Dia hampir yakin, sepuluh menit ke depan oksigen di ruangan itu akan habis.

" Kamu ... untuk apa ke sini?" Maxim akhirnya yang bersuara lebih dulu. Kendra mengangkat wajah, memberanikan diri menantang mata pria itu. Maxim sepertinya belum bercukur paling tidak selama dua hari. Sial, kenapa lelaki itu tetap menawan? Kendra mengutuki matanya yang sudah lancang memandangi wajah Maxim. Dan ketika dia ingin menatap ke arah lain, indra penglihatannya melakukan pembangkangan terhadap perintah otaknya. Kendra tidak mampu mengalihkan pandangannya.

" Aku mengantar ini...." Tunjuknya ke arah dokumen yang masih tergeletak di meja. " Tapi ternyata ini cuma siasat Sean untuk ... menjebakku."

Maxim tertawa sinis, membuat bulu tangan Kendra berdiri. " Kalau dia memang melakukan itu, percayalah, itu ide gila Sean sendiri. Aku tidak punya andil apa pun."

Emosi campur aduk yang sudah ditahan Kendra berbulanbulan ini, akhirnya meretas tembok pertahanannya.

" Dan aku tidak menuduhmu. Jadi, tenang saja, Max!" balasnya tak kalah sinis.

Hening lagi. Kendra menatap tangan Maxim yang berada di atas meja dan saling meremas. Sebuah pemikiran menyusup di tapi tidak menemukan apa pun. Kendra merasa dirinya benarbenar bodoh karena merasa lega hanya karena fakta itu.

" Apa maksud Sean saat bilang bahwa kita harus menyelesaikan masalah yang ada?" tanya Maxim tak terduga.

Kendra mengangkat bahu, berusaha keras untuk terlihat tidak peduli. " Mana aku tahu? Dia bahkan menipuku supaya datang ke sini. Jadi, aku sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakannya." " Oh, tolong jangan berlagak sebagai korban di sini!" Kendra membelalang. " Aku tidak pernah berperan menjadi korban. Baik dulu, apalagi sekarang. Kamu yang berusaha memenuhi fantasimu sebagai pahlawan super."

Pelipis Maxim bergerak-gerak, kulit wajahnya yang putih berubah memerah.

" Aku selalu lupa kalau kamu ternyata punya sisi sinis yang mengejutkan."

Kendra makin frustrasi dengan perang kata-kata yang sedang mereka lakukan saat itu. Lelah, sedih, dan tidak bahagia, akhirnya dia memilih untuk tidak memberi respons apa pun. Kendra berjanji akan mengabaikan semua perkataan menyakitkan yang diucapkan Maxim.

Kesenyapan puluhan detik ternyata juga melumpuhkan Maxim. Pria itu akhirnya bicara, kali ini menggunakan nada suaranya yang datar.

" Bagaimana kabarmu? Sudah menemukan pangeran impianmu?"

" Aku tidak punya pangeran impian. Maaf kalau mengece wakanmu. Dan apa kabar pacar tercintamu? Kapan kamu dan Yudith akan menikah?"

Apa pun reaksi Maxim yang diharapkan Kendra, sudah jelas menggebrak meja dengan tinjunya bukanlah salah satunya. Gadis " Bisakah kamu berhenti menyebut nama Yudith? Harus berapa kali kuulangi kalau tidak ada apa pun di antara kami? Ada apa sih denganmu? Kenapa suka sekali menyakiti orang lain? Salahku di mana? Jatuh cinta padamu itu dosa besar, ya? Sehingga kamu tidak cukup hanya menolakku, tapi juga menyiksaku. Ya ampun, seharusnya aku memang tidak pernah nekat kasmaran padamu. Bahkan, seharusnya aku tidak pernah bertemu denganmu!"

Kata-kata Maxim begitu menyembilu. Kendra bisa saja tampil sebagai perempuan tangguh yang tidak mudah terpengaruh dengan apa yang sedang dialaminya. Tapi itu di episode lain hidupnya. Sama sekali tidak berhubungan dengan Maxim. Di depan lelaki ini dia tidak punya kekuatan super untuk tetap berlagak tegar.

Kehilangan kosakata untuk membantah, Kendra akhirnya hanya mampu menelungkup di atas meja. Kedua tangannya dilipat, menjadi penyangga untuk keningnya. Kacamatanya dibiarkan tergeletak begitu saja.

" Tolong bangunkan aku kalau Sean sudah membuka pintu." Tapi tentu saja Kendra tidak berniat untuk tidur. Mengantuk pun tidak. Dia hanya tidak sanggup lagi memandang Maxim seraya mengucapkan kata-kata yang menyakiti mereka berdua. Kendra juga ingin menyembunyikan air mata yang sepertinya sudah tidak tertahankan. Sejak tadi matanya terasa perih dan panas.

Menangis menelungkup di atas meja dengan Maxim duduk di depannya bukanlah kondisi ideal. Kendra sangat menyadari itu. Tapi dia sudah lelah berpura-pura kuat selama ini. Lagi pula, Kendra tidak melihat alasan kenapa dia tidak boleh menangis di depan Maxim.

" Kendra..." suara Maxim melembut. " Kamu kenapa?" Gadis itu mengabaikan Maxim. Air mata Kendra meruah sebenarnya, tapi Kendra tidak ingin menunjukkan itu di depan Maxim.

" Kendra..."

Tangis gadis itu malah kian kencang. Kendra benar-benar kehilangan kemampuan untuk mengendalikan tangisnya. Dia sudah tidak memusingkan apa pendapat Maxim tentangnya. Toh setelah ini dia tidak akan bertemu lelaki itu lagi. Meski dipaksa Helen untuk datang ke gedung itu, Kendra bersumpah dalam hati kalau dia akan menolak.

" Kenapa kamu menangis? Setelah kamu menolakku mentahmentah, harusnya kamu bahagia, kan? Bukannya malah menangis. Kamu ... tidak perlu mengeluarkan air mata. Toh, aku tidak akan mengganggu hidupmu lagi. Aku cukup tahu diri, kok!" Suara Maxim nyaris tidak tertangkap jelas oleh telinga Kendra.

Otak Kendra mulai mengolah informasi, merasakan ada sesuatu yang tidak pada tempatnya.

" Hei ... ssshhh ... aku sungguh tidak mau melihatmu menangis. Kendra ... Aku minta maaf...."

Sedetik kemudian, Kendra merasakan punggungnya diusap dengan gerakan lembut. Maxim bahkan pindah dari tempat duduknya, mendekat pada Kendra.

" Max..." Kendra tidak mengubah posisinya. " Ya?"

" Aku membencimu."

Maxim mendesah. " Aku tahu. Kamu tidak perlu mengatakannya lagi. Saat kamu menolakku, aku sudah tahu, kok. Aku juga tahu, aku tidak cukup baik buatmu. Tapi aku tidak mengira kalau perasaanku ... membuatmu begitu tersiksa. Kalau sejak awal aku tahu begini akhirnya, aku pasti tidak akan mengatakan apa-Kendra akhirnya mengangkat wajah dan menghapus air mata dengan punggung tangannya. Maxim mengeluarkan sapu tangan dan memberikannya pada gadis itu. Ketika Kendra mengabaikannya, Maxim berinisiatif menggunakan sapu tangannya untuk mengeringkan wajah Kendra. " Kamu ... dan Yudith...." Maxim mengerang. " Untuk apa lagi kita membahas itu?" " Karena aku pengin tahu." Kendra memandang Maxim. " Tidak terjadi apa-apa. Aku jatuh cinta pada orang lain, bukan pada Yudith. Nah, sekarang rasa penasaranmu sudah terjawab? Atau masih mau mengejekku?"

Kendra bisa merasakan suara Maxim dipenuhi keputusasaan. Suaranya agak tersendat saat bicara. " Aku ... tidak mengejekmu. Aku cuma ingin tahu apa ... yang terjadi sebenarnya." " Terserahlah," Maxim tampak pasrah.

" Lalu ... perasaanmu padaku?" " Apa?" Maxim terpana.

" Perasaanmu padaku, seperti apa?" Kendra nekat mengajukan pertanyaan itu.

Maxim berdiri. " Astaga! Apa kamu tidak merasa ini sudah keterlaluan? Apa kamu tidak mendengar kata-kataku tadi? Ini kali terakhir aku mengatakannya padamu, setelah ini aku bersumpah akan tutup mulut. Aku tidak mencintai siapa pun kecuali kamu. Ya, kamu! Informasi tambahan, siapa tahu bisa memuaskanmu. Aku sedang patah hati. Patah hati yang sangat parah karena penolakanmu. Puas?"

Setelah mengatakan itu, Maxim meninggalkan Kendra dan meneriakkan nama Sean sambil mengetuk pintu. Lelaki itu mendadak terdiam saat Kendra tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya. Tangan gadis itu terulur, memeluk Maxim dari belakang. Pipi " Aku akan marah sekali kalau kamu berhenti mengatakan cinta padaku. Karena ... karena aku juga jatuh cinta padamu, Maxim. Jatuh cinta mengerikan yang membuatku ... menderita dan tidak bisa hidup tenang sejak kita bertengkar. Aku ingin membencimu ... dan melupakanmu, tapi ternyata aku cuma bisa ... mencintaimu."

Can t Help Falling in Love

Cinta ini menyiksaku Cemburu ini meracuniku Rasa ragu ini membelengguku Ketidakpastian menjadikanku serupa debu

Tapi kau meyakinkanku Bahwa jantung yang berdetak di bawah kulitmu

Ada namaku yang bergema Seiring dengan tiap denyutnya

S ean membuka pintu dan segera menyeringai melihat peman
dangan di depannya. Maxim yang berdiri kaku dengan lengan Kendra melingkari perutnya.
My Better Half Karya Indah Hanaco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Akhirnya ada gunanya aku mengunci kalian di sini," kata nya ceria. Ketika Sean ingin menutup pintu kembali, Maxim mencegahnya.

" Kami mau keluar dari sini. Awas kalau kamu berani mengunci pintu lagi!"

" Oh, baiklah. Aku tidak keberatan," Sean merentangkan pintu. " Tidak ada terima kasih , heh?"

" Silakan bermimpi!" cetus Maxim pedas. Tapi wajah lelaki itu menyiratkan sebaliknya. Senyum tipis mengintip di bibirnya. Sementara Kendra tampak tidak nyaman karena Sean mendapati " Kalian berdua, tolong ya jangan bertengkar dan menyusahkan orang lagi. Berhentilah bersikap kekanakan. Kalau ada salah paham, jalan keluarnya itu disebut dialog. Bukannya menyimpan perasaan curiga dan mengambil kesimpulan sendiri."

" Kamu bicara apa, sih?"

Sean menunjuk ke arah Kendra yang sedang mengambil tasnya. " Tanya sama Kendra-mu itu. Sebulan lalu dia ke sini untuk menemuimu dan bertemu Yudith. Tebak apa yang terjadi selanjutnya? Dia batal menjumpaimu, kan?"

Maxim kaget mendengar ucapan sepupunya. " Kendra-ku, apa Sean tidak sedang mengigau?"

Kendra menjawab dengan wajah merah padam. " Aku bukan Kendra-mu!"

Maxim menjawab dengan keras kepala. " Tentu saja kamu itu Kendra-ku. Titik!"

Sean tertawa geli, terlihat begitu terhibur melihat adegan di depannya. Apalagi Maxim kemudian melingkarkan tangan kanannya untuk memeluk Kendra saat gadis itu mendekat. Tanpa malu, Maxim mengecup kening Kendra sekilas.

" Max, kamu tidak malu dilihat Sean?" Kendra berusaha mendorong Maxim agar menjauh. Tapi lelaki itu bergeming.

" Sean itu arca batu, abaikan saja!" Maxim menunduk dan berbisik di telinga Kendra. " Mulai sekarang, aku tidak akan melepaskanmu lagi!"

" Bersiaplah menderita, Ken! Kamu pasti akan segera kesulitan membedakan Maxim sebagai pacar atau bodyguard galak." Sean tergelak oleh kata-katanya sendiri.

Kendra menutup wajah dengan tangannya, menyembunyikan rasa malu. Maxim meraih kacamata dari atas meja dan memasangkan benda itu di wajah Kendra. Tangannya tetap memeluk Kendra ke arah Kendra seakan ingin memastikan kalau gadis itu memang nyata.

" Kenapa kamu memandangi terus-menerus? Aku tidak nyaman, Max!"

Maxim mengelus rambut Kendra dengan lembut. " Aku sudah lama sekali ingin melakukan ini. Mengelus rambutmu," akunya. " Aku memandangmu karena aku takut kamu menghilang kalau aku berkedip."

Untuk pertama kalinya di malam itu, Kendra tertawa. " Kamu ternyata jago merayu, ya? Sepertinya, menjadi perayu itu sudah ada dalam gen kalian. Kamu, Sean."

Maxim menyeringai. " Aku bukan seorang perayu. Harusnya kamu bertemu dengan Declan, adikku. Kamu pasti akan mengubah defi nisi perayu barusan."

" Oh ya?"

Maxim mengangguk. " Kita ke kantorku sebentar, ya. Tadi aku terburu-buru ke tempat Sean setelah dia menelepon." " Oke."

Ketika memasuki lobi Buana Bayi, Maxim membuat wajah Kendra merah padam lagi. Ada beberapa karyawan yang tampaknya sedang bersiap untuk pulang.

" Pengumuman, teman-teman. Ini Kendra, pacar saya," katanya dengan suara jernih yang bergema di ruangan luas itu. " Kenali baik-baik, siapa tahu suatu saat berselisih jalan...."

Kendra menyodok perut Maxim, mencegah pria itu bicara lebih banyak. Gadis itu berpura-pura tidak mendengar tawa rendah orang-orang yang ada di situ. Bahkan Padma berusaha menyembunyikan wajahnya di balik laptop yang terbuka.

" Kamu ini kenapa, sih? Aku kan malu, Max!" protes Kendra saat sudah berada di dalam ruang kerja Maxim.

" Ih, sok sensitif!" Kendra mencebik. " Apa kita memang sudah pacaran? Kamu kan tidak memintaku menjadi pacarmu?" godanya. Melihat Maxim tersenyum dan memandangnya penuh perasaan, membuat Kendra melupakan kepahitan selama dua bulan terakhir. Jika itu harga yang harus dibayar, dia merasa ikhlas.

Maxim menarik tangan Kendra sehingga gadis itu berdiri lagi. Tangan mereka saling bertautan. Tatapan keduanya saling mengunci. Suaranya terdengar lembut dan penuh perasaan saat bicara.

" Kendra Elanith, maukah kamu menjadi pacarku? Mencintaiku dengan sungguh-sungguh, menerima segala kekuranganku? Tidak mengajakku bertengkar hanya karena hal-hal tidak penting? Tidak lagi menyebut-nyebut tentang Dating with Celebrity serta nama perempuan lain? Dan meski bertengkar sehebat apa pun kita tidak akan mengucapkan kata-kata perpisahan?"

Kendra tertawa, namun air matanya tumpah lagi. " Aku merinding mendengarmu mengucapkan kata-kata sok romantis seperti itu. Benar-benar tidak cocok, Max."

Maxim segera menukas. " Aku tidak butuh protesmu. Aku hanya butuh jawabanmu."

Gadis itu memandang Maxim berdetik-detik. Menikmati bagaimana sorot mata dipenuhi cinta menari-nari di mata lelaki itu. Mana dia pernah menduga kalau suatu saat pria perengut yang menyebalkan itu bisa bertransformasi menjadi orang terpenting dalam hidupnya? Pria yang kepadanya Kendra menyerahkan seluruh hati dan perasaan terdalamnya?

Seperti biasa, ketidaksabaran Maxim merusak suasana. " Kendra, kenapa tidak menjawab, sih? Aku tidak akan menerima jawaban yang tidak menggembirakan. Tidak ada penolakan lagi," Kendra tergelak pelan, dia memberi isyarat agar pria jangkung itu menunduk. " Aku mau menjadi pacarnya Maxim Fordel Arsjad, berikut syarat-syarat aneh yang tadi sudah diucapkan." Kemudian, Kendra meniru apa yang pernah dilakukan Maxim di masa lalu. Dengan gerakan perlahan, gadis itu memajukan wajahnya dan mengecup puncak hidung kekasihnya.

Tawa Kendra meledak lagi setelah dia melihat ekspresi kaget di wajah Maxim. Mendapat jawaban positif, mungkin sudah diduga oleh lelaki itu. Tapi mendapatkan sebuah kecupan? Sepertinya tidak.

" Kenapa? Kamu kira cuma kamu yang bisa mencium hidung seseorang?" gurau Kendra.

Senyum Maxim mengembang kemudian. " Tidak juga. Tapi aku benar-benar tidak mengira akan mendapat hadiah itu darimu saat ini. Terima kasih, Kendra...."

Maxim mendekatkan kedua tangan Kendra ke wajahnya dan mencium jari-jari gadis itu dengan lembut.

" Saat aku pertama kali mencium punggung tanganmu, aku sudah jatuh cinta padamu. Kamu masih ingat peristiwa itu?"

Kendra mengangguk cepat. " Tentu saja aku ingat. Tapi ... aku tidak mau membicarakan masa lalu. Itu ... menyakitkan."

Maxim melisankan persetujuannya, mengerti apa yang dimaksud Kendra.

" Sebentar ya, ada sedikit pekerjaan yang harus kubereskan. Kamu butuh sesuatu?"

" Tidak."

Maxim duduk di kursinya dan menatap layar monitor laptopnya dengan penuh konsentrasi.

" Kenapa kalian tidak bekerja sesuai jam kerja normal? Sean " Apakah kamu selalu pulang pukul lima tepat, Kendra-ku?" tanya Maxim tanpa mengangkat wajah.

Kendra mengernyih. " Tidak, sih."

" Kata kuncinya sama, pekerjaan yang cukup banyak. Tapi jangan cemas, aku membayar lembur mereka dengan layak, kok! Eh, sebenarnya bukan aku. Melainkan Buana Bayi." " Oh, lega mendengarnya."

" Tenang saja, pacarmu ini bukan orang jahat, kok!" Kendra menikmati setiap perasaan bahagia yang memenuhi jiwanya. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa malam ini suasana hatinya berubah drastis. Maxim, impian yang menjauh dari hidupnya, akhirnya menjadi miliknya. Betapa rasanya sulit untuk diterjemahkan dalam kata-kata.

" Kamu sudah makan?"

" Aku tidak lapar."

" Oh, tapi kamu harus makan. Sebentar ya."

Perhatian Maxim kembali ke tercurah ke laptop. Kendra membenahi letak kacamatanya. Memandangi Maxim yang sedang tertunduk. Seumur hidup dia tidak pernah merasa terpesona begitu besar pada seorang lelaki, hingga bertemu Maxim. Bahkan setelah melihat langsung banyak selebriti lokal yang tak kalah menawan. Gadis itu masih mengingat dengan kejernihan luar biasa bagaimana kesalnya dia pada lelaki itu di awal perkenalan mereka.

Tapi Maxim selalu menjadi orang istimewa. Betapa pun menye balkannya lelaki itu, Kendra tidak pernah bisa benar-benar marah. Dia mampu menghadapi Maxim dengan santai. Lalu, Tuhan seakan menciptakan banyak kepingan puzzle dalam hidup Kendra yang melibatkan Maxim. Perjalanan pertama ke Bandung mungkin yang paling memengaruhi masa depan hubungan Lalu semuanya menjadi tidak lagi bisa dikendalikan. Ralat, seharusnya bisa dikendalikan kalau saja Maxim tidak menyeret Kendra ke sini dan mengakui perasaannya dengan cara cukup aneh. Sepertinya aku jatuh cinta padamu.

Sejak itu, Kendra tak mampu lagi mengelak dari perasaan asing yang diam-diam berusaha diabaikannya tiap kali bertemu dengan Maxim. Hingga di sinilah mereka berakhir. Kendra tidak pernah menduga kalau malam ini hidupnya berubah. Beberapa jam silam dia adalah gadis lajang yang sedang patah hati dan sangat tidak bahagia. Lalu seorang pria tukang ikut campur bernama Sean turut menuliskan takdirnya. Kini, lelaki yang dirindukannya berbulanbulan dan membuatnya menangis entah berapa kali, menjadi milik Kendra.

" Apa menjadi pacarku itu sangat tidak terduga, ya? Kamu sampai memelototiku seperti itu." Maxim sudah berdiri di depan Kendra, mengulurkan tangan kirinya. Kendra menyambut dan segera merasakan aliran listrik menyentak-nyentak di pembuluh darahnya. Jika terjadi kelangkaan listrik, mereka mungkin bisa menciptakan PLTC, Pembangkit Listrik Tenaga Cinta.

" Kamu membuat jantungku hampir meledak. Kurasa ... aku akan segera sakit, Max."

" Kamu kira aku tidak mengalami reaksi fi sik seperti itu. Kita harus menanggungnya bersama-sama, ya?" Tangan Maxim terulur, merapikan rambut Kendra yang menjuntai di keningnya. " Kamu masih berminat makan masakan Korea?"

Kendra mengangguk tanpa suara. Sebenarnya, restoran Korea yang ada di gedung itu menjadi tempat yang mengingatkan Kendra akan buruknya hubungan mereka dua bulan silam. Tapi dia tidak menampik kalau cita rasa masakannya membuat ketagihan. Seolah " Kita akan membuat ulang semua kenangan pahit menjadi manis."

Restoran bernama Little Korea itu tidak terlalu ramai. Maxim memilih meja yang letaknya agak di belakang tapi tepat di sisi jendela. Sehingga memungkinkan mereka menikmati pemandangan cantik Jakarta saat malam.

Lelaki itu memesan satu porsi nasi dan jjim dak, potongan ayam kukus yang kemudian ditumis bersama sayuran, sohun, dan saus kecap kental. Sementara Kendra memilih kalguksu. Kalguksu adalah mi gandum dengan kuah yang terbuat dari ikan kecil, kerang, dan kelp.

" Selama kita tidak bertemu, aku hampir menjadi vegetarian." Alis Kendra terangkat. " Ada hubungannya denganku?" tanyanya heran.

" Tentu saja!" Maxim tersenyum dan tampak geli. " Tiap kali mau makan, aku selalu teringat kamu yang menolak daging merah dan memilih ayam, atau ikan. Aku mulai menjauhi daging merah dan terpikir untuk sekalian menjadi vegetarian saja."

" Kamu benar-benar melakukannya? Maksudku, menjadi vegetarian?"

Maxim menggeleng. " Aku ternyata tidak sehebat itu. Aku masih suka daging. Eh, aku hampir lupa. Apa sih sebenarnya maksud Sean tadi? Tentang kamu yang bertemu Yudith? Apa benar kalau kamu pernah datang ke sini untuk menemuiku? Kalau iya, kenapa tidak jadi?"

Mata Maxim dipenuhi bintang, membuat Kendra tidak tega untuk menggodanya. Gadis itu akhirnya mereka ulang pertemuannya dengan Yudith hampir sebulan silam. Semakin banyak kalimat yang meluncur dari bibirnya, Maxim kian terlihat jengkel. " Kamu jangan cemberut padaku! Mana kutahu kalau Yudith " Lain kali, kamu jangan mudah percaya pada orang lain. Kenapa sih waktu itu tidak datang ke kantor dan bertanya langsung padaku? Kalau kamu melakukan itu, pasti kita bisa bahagia lebih cepat sebulan dibanding sekarang," gerutunya.

" Mana mungkin aku bisa berpikir seperti itu? Perempuan itu ... kadang...."

" Rumit," tukas Maxim cepat. " Hal-hal sederhana bisa berubah menjadi benang kusut." Lelaki itu memandang Kendra dengan sungguh-sungguh. " Kalau kamu benar-benar menemuiku saat itu ... masalah kita takkan separah ini. Untungnya, Tuhan menciptakan Sean yang suka mengurusi masalah orang. Kalau tidak, apa kamu bisa bayangkan yang akan terjadi pada kita. Kamu selamanya berpikir kalau aku mempermainkanmu dan malah jatuh cinta pada Yudith. Dan aku akan mengira kamu tidak punya perasaan apa pun untukku. Lalu aku pun mati mengenaskan hanya karena disibukkan oleh fantasi tentang kamu bersama orang lain. Bayangkan!"

Kendra enggan membayangkan hal-hal menyakitkan yang dipaparkan Maxim barusan.

" Nyatanya, itu tidak terjadi. Jadi, aku tidak mau berandaiandai," ujarnya tegas. " Max, aku masih bertanya-tanya. Kenapa Yudith menceritakan hubungan kalian padaku, ya? Kalau dipikir lagi, dia cukup berterima kasih kalau memang merasa perlu. Tidak perlu menyeretku untuk minum kopi. Hmmm ... kalau dipikir lagi, dia tidak memberiku kesempatan untuk masuk ke kantormu," Kendra mengingat-ingat.

" Kalau kita membicarakan hari yang sama, Yudith datang untuk mengajakku makan malam. Sebelum itu, dia sudah mencoba beberapa kali. Masih ingat waktu kita ke Bandung saat ibumu meninggal? Seharusnya, saat itu memang kami akan bertemu. Tapi aku membatalkan. Eh, jangan salah paham dan tiba-tiba merasa Yang disambut dengan tawa geli dari gadis di depannya. Maxim memegang tangan kiri Kendra yang berada di atas meja, mengelusnya lembut.

" Lalu?"

" Aku memang sejak awal tidak berniat melanjutkan hubungan kami ke mana-mana. Apalagi setelah melihatmu. Aku tahu kamu akan membuat banyak masalah. Tapi aku tidak peduli, aku cuma pengin bersamamu."

" Hei Maxim, aku tidak membuat banyak masalah!" Maxim mengabaikan protes Kendra. " Pagi hari sebelum pema kaman, Yudith menelepon lagi. Nah, saat itu aku sudah berusaha memberi penjelasan panjang. Tapi dia sepertinya sulit mengerti. Yudith masih terus menghubungiku, hingga akhirnya datang ke kantor. Saat itu, aku menjelaskan padanya kalau aku sudah jatuh cinta pada orang lain meski tidak mendapat lampu hijau. Aku menyebut namamu. Yang terjadi selanjutnya, aku tidak tahu pasti. Yudith mungkin melihat celah untuk membuat Maxim-mu ini tidak bisa dimiliki siapa pun. Dan untuk saat itu dia sukses, kan?"

Kendra tidak bisa menahan tawa mendengar cara lelaki itu menyebut " Maxim-mu" . Saat menyadari Maxim tidak juga melepaskan tangannya meski makanan sudah terhidang di atas meja, gadis itu mengajukan keberatan.

" Kalau kamu terus memegangi tanganku, kamu terpaksa makan dengan tangan kiri. Lalu, orang-orang akan mengira kalau kita ini kembar siam yang gagal dioperasi," Kendra berusaha menarik tangannya. Tapi Maxim tidak mengizinkan.

" Untuk hari ini, anggap saja aku kidal. Bukan cuma kamu yang punya keistimewaan. Apa namanya?" kening lelaki itu berkerut samar.

" Hmm ya, ambidextrous. Bayangkan betapa beruntungnya aku, Ken! Pacarku adalah makhluk dengan kemampuan langka."

Kendra mendadak muram. Kalimat Maxim menyadarkan dirinya bahwa ada masalah serius yang selama ini dengan sengaja diabaikannya.

" Maxim..."

" Ada apa? Kenapa wajahmu seperti itu?"

" Kurasa, ada yang perlu kuberitahukan padamu. Ini tentang ibuku."

Kendra berdeham. Merasa sangat tidak nyaman karena harus memberi tahu Maxim tentang fakta yang mungkin belum disadari lelaki itu.

" Ada apa, sih?" desah Maxim tak sabar. " Aku sudah lapar, nih." " Ibuku seorang penderita skizofrenia, kamu sudah tahu itu. Aku ... hmmm ... ada faktor genetik yang...."

Maxim meremas tangan Kendra sambil menjawab, " Aku tahu. Aku sudah mencari banyak informasi tentang skizofrenia. Tapi semuanya masih belum pasti, kan? Aku tidak ingin kita mencemaskan segalanya yang belum terbukti. Oke, andai kita berpikiran negatif, katakanlah itu terjadi suatu saat meski aku berharap sebaliknya. Lalu kenapa? Aku tidak akan meninggal kanmu. Mungkin kamu sulit menerima itu sekarang ini. Pasti kamu menganggap aku cuma menggombal. Tidak apa-apa, aku akan membuktikannya padamu. Bahwa aku orang yang setia, yang mencintaimu sungguh-sungguh."

Air mata Kendra mengancam ingin tumpah lagi. Buru-buru dia mengerjap seraya agak mendongak.

" Kendra-ku, cobalah berpikir positif dari hal-hal negatif yang ada. Kamu kira aku sehebat apa? Aku punya banyak kekurangan terhadap ular. Kamu mungkin akan mengira aku punya alter ego kalau melihat reaksiku saat melihat ular," Maxim bergidik ngeri. " Lalu, aku juga penderita caff eine use disorder. Pernah dengar?"

Kendra menggeleng, merasa terhibur melihat usaha Maxim untuk membuatnya santai lagi.

" Aku pecandu kopi yang cukup parah. Dalam sehari aku bisa mengonsumsi kopi lebih dari lima gelas. Aku tidak bisa lepas dari kafein."

" Itu bukan cacat mengerikan," protes Kendra. " Beda kasusnya dengan...."

" Hei, aku bahkan baru tahu kalau aku mengidap satu fobia lagi. Kali ini cukup parah dan berbahaya."

" Fobia apa?" Kendra mengernyit.

" Namanya athazagoraphobia gara-gara Kendra." " Hah? Mana ada fobia seperti itu!"

Maxim membangkang. " Tentu saja ada! Itu adalah ketakutan akan diabaikan atau dilupakan olehmu. Dan itu sangat menyiksa, bisa membuat seseorang mati perlahan-lahan."

Kendra terbengong. " Itu berlebihan, Max!" debatnya. " Itu nyata dan memang terjadi padaku. Nah, kekuranganku mengerikan, ya? Belum lagi aku yang suka cemberut dan mudah marah. Lalu aku mendapatkanmu, gadis istimewa yang kebetulan seorang nggg ... ambidextrous, gigih, sabar.... Hei, apa aku harus meneruskan daftarnya dan membuat kita berdua tidak jadi makan?"

Kendra tidak bisa berkata apa-apa. Terkelu tapi luar biasa bahagia.

FYI, I Love You

Kamu adalah hal terindah di dalam hidupku Jangan pernah meragukan hatiku Aku mencintaimu nanti

Kamu adalah jiwa tempat kubagi hidupku Bersamamu aku menjadi kuat Kamu adalah penggenap jiwaku

" Aku baru tahu kalau ternyata punya kekasih itu sangat enak. Ada yang mengkhawatirkan dan mentraktir makan malam. Gajiku nyaris utuh jadinya. Selain itu...."

" Stop!" Maxim mengangkat tangan dengan ekspresi menderita. " Makin lama aku merasa kamu tidak menganggapku sebagai pacar. Aku sepertinya kok lebih mirip dengan ... orangtua asuh, ya?"

Kendra tertawa, tidak menutupi perasaan kalau dia sedang bahagia. Mereka baru saja keluar dari bioskop, usai menonton fi lm aksi yang dibintangi Mark Wahlberg. Tangan Kendra melingkari lengan kiri Maxim. Belakangan ini dia makin tertulari sikap Maxim yang tidak sungkan menggandeng atau memeluk Kendra di tempat umum. Maxim menunjukkan perlindungan yang membuat hati Kendra terasa hangat. Demi mengimbangi sang kekasih, Kendra pun tak sungkan lagi melakukan hal yang sama.

" Halo Max..."

Pasangan itu berhenti dan berhadapan dengan Yudith yang sedang bersama beberapa orang temannya. Perempuan itu tampak begitu menawan dan membuat Kendra tanpa sadar merapikan ujung blusnya. Penampilan mereka jauh berbeda, dia tahu itu. Yudith adalah tipe perempuan yang memberi perhatian besar pada tampilan fi siknya. Sementara Kendra cenderung mengabaikan halhal seperti itu.

" Hai, Yudith. Apa kabar?" keduanya berjabatan tangan. " Kamu sudah pernah bertemu pacarku, kan?" tunjuk Maxim ke arah Kendra. Yudith mengangguk sopan dengan senyum tetap bertahan di bibirnya. Perempuan itu memperkenalkan Maxim dan Kendra pada teman-temannya. Hingga salah satunya mulai melebarkan mata dan menatap pasangan itu dengan penuh perhatian.

" Ini Maxim yang sempat berkencan dengan kamu, kan?" tanya perempuan bernama Netty itu. Yudith mengangguk pelan.

" Dan pacarnya ini salah satu orang yang bekerja untuk acara Dating with Celebrity itu," katanya dengan suara jernih. Kalimat itu sudah jelas memancing perhatian teman-teman Yudith. Kendra yakin, wajahnya pasti memucat. Dia bisa menebak maksud Yudith sengaja membuka fakta itu.

Seseorang segera menanyai Maxim tanpa basa-basi. " Kenapa kalian berhenti berkencan? Dan ... apakah pacaran dengan salah satu kru acara itu sama sekali tidak menyalahi aturan? Rasanya kok ... tidak etis," perempuan itu menatap Kendra.

Kalaupun Kendra ingin membela diri, gadis itu tidak perlu melakukannya. Karena dia mendengar Maxim bicara dengan nada dingin yang membuat bulu kuduk meremang.

" Dengan siapa saya pacaran, tidak ada hubungannya dengan Anda semua. Permisi!"

Kendra menarik napas luar biasa lega karena Maxim memilih untuk tidak memberi penjelasan panjang lebar. Untuk apa? Tidak akan ada gunanya. Menjauh dari Yudith dan teman-temannya adalah keputusan bijak.

" Jangan pernah lagi membicarakan apa yang terjadi barusan! Itu sama sekali tidak penting untuk kita," Maxim memberi peringatan saat melihat Kendra mulai membuka mulut.

" Oke. Meski aku merasa kamu sok tahu. Aku memang tidak ingin membicarakan soal itu, kok!"

" Bagus. Kamu ingin ke tempat lain?"

Kendra menggeleng. " Sudah malam, aku pengin pulang saja." Perasaan tertusuk yang tadi membuat Kendra tidak nyaman, luruh tanpa banyak usaha. Maxim selalu mampu memberi penghiburan untuk kekasihnya. Gadis itu kadang cemas karena Maxim mengenal dirinya terlalu baik.

Kendra menemukan kenyamanan yang tidak bisa dijelaskan tiap kali bersama Maxim. Sehingga dia memercayakan banyak rahasia kepada pria itu. Seperti misalnya kebiasaan anehnya yang harus memeriksa kompor sebelum dan setelah meninggalkan rumah. Rutinitas itu terbentuk bukan tanpa alasan. Melainkan melibatkan pengalaman traumatis di masa kecilnya.

" Ibu mulanya hanya duduk di kursi setelah menyalakan api kompor. Lalu Ibu malah melemparkan selembar serbet ke atas api dan cuma memandangi benda itu terbakar. Api mulai membesar dan nyaris membakar setengah dapur saat Ayah datang. Aku duduk di sebelah Ibu, cuma terpaku. Saat itu aku tidak merasa takut sama sekali. Umurku baru lima atau enam tahun, tapi aku masih mengingat peristiwa itu dengan baik. Yang membuatku panik justru reaksi Ayah. Ayah boleh dibilang histeris Aku dan ibu ditarik dari dapur. Baju Ibu bahkan sobek di bagian lengan. Saat itu aku baru menyadari kalau kebakaran itu ... berbahaya. Setelahnya, pengalaman itu meninggalkan bekas. Aku tidak bisa meninggalkan rumah tanpa memeriksa kompor. Aku pernah lupa dan terpaksa kembali ke rumah meski saat itu sudah tiba di kampus. Saat pulang pun aku pasti langsung ke dapur. Aneh, kan?"

Maxim tampak termangu mendengar kisah Kendra. Lalu dia buru-buru menjawab. " Tidak ada yang aneh. Itu caramu bertahan menghadapi pengalaman yang traumatis."

Kendra memejamkan mata sesaat sebelum mulai bicara kembali. " Aku sering berpikir kalau aku akan seperti Ibu. Seharusnya aku berteriak melihat api yang menyambar-nyambar, kan? Tapi aku " Hei, kamu masih terlalu kecil saat itu! Jangan berpikir seperti itu, Kendra-ku."

Maxim selalu mampu meredakan ketakutan yang tak pernah dikisahkan Kendra pada dunia. Maxim menjadi penyeimbang bagi hidup gadis itu. Maxim juga menjadi tempat Kendra membagi perasaannya yang tetap tidak bisa memaafkan Djody.

" Aku tidak mungkin bisa melupakan masa lalu, Max. Ayahku sudah melakukan hal yang sangat menyakitkan. Belakangan ini Ayah berusaha menghubungiku, tapi aku tidak pernah mengangkat ponselnya. Aku cuma bicara dengan Ayah sekali. Itu pun karena aku telanjur mengangkat teleponnya. Nomornya sama sekali tidak kukenal dan kukira berhubungan dengan pekerjaan. Setelah itu, aku lebih suka mengabaikan teleponnya."

Maxim bicara dengan suara paling lembut yang pernah diingat Kendra. " Kamu ingat kan, aku pernah bilang kalau suatu saat aku akan memberikan pendapatku soal ayahmu?" Begitu melihat Kendra mengangguk, lelaki itu melanjutkan kata-katanya. " Kurasa ini saat yang tepat. Tapi kamu harus berjanji tidak akan salah paham dan mengambil kesimpulan-kesimpulan aneh." " Oke."

Mata Maxim dipenuhi cinta saat dia memandang Kendra. " Aku tidak akan memintamu melupakan masa lalu, karena itu mustahil. Tapi, tidak ada salahnya membuka hati untuk memberikan maaf. Memang, aku tahu itu tidak mudah. Kalau aku berada di posisimu, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama denganmu, Kendra."

Kendra mendebat kekasihnya. " Kalau begitu, kenapa kamu memintaku memaafkan Ayah?"

" Karena itu akan membuang beban yang masih kamu tang-Lagi pula, kenapa tidak sesekali mencoba berpikir dari sisi ayahmu? Dia melakukan itu semua pasti ada alasannya."

Bayangan Djody yang telaten mengurusi Gayatri dan ketiga buah hati mereka masih terekam di benak Kendra. Ayahnya adalah lelaki paling penyayang yang diingatnya saat kecil. Namun kenapa akhirnya Djody memilih untuk berpisah dari Gayatri dan meninggalkan keluarganya demi keluarga baru yang dibangunnya kemudian, Kendra masih kesulitan untuk mengerti. " Entahlah..."

" Ayahmu tetap saja manusia biasa. Mungkin sudah tidak mampu lagi bertahan dengan ... maaf ... istri yang tidak bisa menjalankan perannya dengan maksimal. Selain itu, ayahmu juga masih harus bekerja, kan? Kamu bisa membayangkan bagaimana ayahmu harus merasa khawatir setiap hari saat meninggalkan rumah?"

Kendra mengerjap. " Aku tidak pernah memikirkan kemungkinan itu." Gadis itu menunduk dan bicara dengan suara lirih. " Ayah sebenarnya mengajakku pergi. Aku sudah menceritakan itu padamu, kan? Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Ibu. Mungkin karena aku tahu ... kedua kakakku tidak ... peduli pada Ibu. Dan di pemakaman Ayah sempat bilang, dia berniat mengirim Ibu ke rumah sakit karena tidak mampu mengurusnya lagi. Dan kedua kakakku akan tinggal di rumah untuk meneruskan sekolah mereka. Tapi...." Kendra mengangkat wajah dan matanya tampak berkaca-kaca. Tangan Maxim terulur, mengelus pipi kekasihnya. " Aku tahu...."

" Aku tetap kesulitan memaafkannya. Di mataku, Ayah mengkhianati Ibu. Mengkhianati keluargaku."

Kadang Kendra mengajukan protes karena merasa Maxim tidak pernah membagi rahasia penting dalam hidup lelaki itu. " Kamu tidak adil! Aku sudah menceritakan semua rahasia Maxim tentu saja membela diri dengan gigih. " Aku tidak punya rahasia apa pun! Hidupku tidak menarik sama sekali, luruslurus saja. Membosankan."

" Aku tidak percaya!"

Maxim tiba-tiba terdiam. Wajahnya berubah serius. " Kamu benar, aku memang punya satu rahasia gelap. Hanya satu."

Kendra dipenuhi rasa ingin tahu saat bertanya, " Apa itu? Kamu harus menceritakannya padaku!"

Maxim mengangguk pasrah. " Oke. Rahasiaku adalah..." lelaki itu merendahkan suaranya. " Aku mencintaimu setengah mati, dan tidak akan bisa bertahan hidup kalau kamu meninggalkanku. Aku bahkan mulai berencana untuk memasang chip di tubuhmu agar aku bisa selalu mengetahui di mana kamu berada."

Kendra memukul bahu Maxim dengan gemas. " Aku benarbenar membencimu, Maxim!"

" Dan aku sangat mencintaimu, Kendra."

Mobil yang dikendarai Maxim akhirnya berhenti di depan rumah Kendra. Keduanya tampak kaget mendapati pintu depan terpentang lebar. Maxim berteriak melarang Kendra masuk ke rumah, tapi gadis itu sudah melesat seperti anak panah. Maxim menyusul dengan jantung yang terasa hampir meledak saking cemasnya.

" Kendra! Aku sudah bilang kamu jangan...."

Di salah satu sofa, Djody yang sedang duduk perlahan berdiri. Di sebelahnya ada Suci dan suaminya. Sementara Kendra berdiri mematung, membelakangi Maxim. Tanpa ragu, lelaki itu maju dan memeluk bahu Kendra.

" Kendra ... maaf ya. Tante yang membukakan pintu. Ayahmu sudah menunggu sejak sore. Jadi...." Suci tampak serba salah. Karena Kendra diam saja, Maxim yang berinisiatif bicara.

Lelaki itu menunggu dengan tegang, Kendra yang akan marah atau menangis. Yang paling ekstrem, mungkin mengusir ayahnya. Tapi ternyata tidak. Kendra menyalami Djody meski tanpa bicara. Dan gadis itu bertahan berada di ruangan yang sama dengan ayahnya, sesekali membuka mulut meski cuma kalimat pendek yang meluncur.

Semuanya terasa hampir normal. oOo

Kendra tidak tahu kalau gosip mampu menyebar dengan kecepatan mencengangkan, bahkan jauh melebihi pandemi paling berbahaya sekalipun. Entah bagaimana, desas-desus hubungan asmaranya dengan Maxim merebak. Satu per satu teman sekantornya mulai menanyakan kebenarannya. Kendra menebak, sumbernya adalah Yudith. Tapi dia tidak berniat untuk mencari tahu.

Dia membuka mata pagi itu dengan rasa rindu yang menyiksa. Maxim sedang berada di Singapura untuk mengikuti seminar dan pameran sepatu prewalker tingkat Asia. Maxim baru pergi selama dua hari dan sudah membuat Kendra kesulitan tidur dan berkonsentrasi. Dan masih ada empat hari lagi yang harus dilewatkan Kendra tanpa kekasihnya.

Gadis itu berangkat ke kantor tanpa semangat utuh. Alarm di benak Kendra menyala nyaring saat akhirnya Helen memanggilnya untuk bicara.

" Tutup pintunya dan silakan duduk," nada memerintah terdengar mendominasi suara perempuan itu. Nyali Kendra langsung ciut karena menyadari wajah Helen yang tampak kusut. Meski dia sempat berharap kalau pembicaraan mereka akan berhubungan terlibat kejuaraan berkuda tingkat nasional, membuat jadwal syutingnya terpaksa dimundurkan sekitar tiga minggu.

" Saya cuma akan bertanya sekali dan kejujuranmu sangat diharapkan di sini. Benarkah kamu dan Maxim pacaran?" tanyanya tanpa basa-basi.

Meski sudah menduga, tetap saja Kendra merasa terkejut. Pagi ini dia tidak punya persiapan mental apa pun untuk menghadapi kondisi seperti itu. Tidak punya pilihan, Kendra akhirnya mengangguk.

" Sudah berapa lama?"

" Beberapa minggu, Mbak. Belum terlalu lama." " Sejak Maxim ikut melihat audisi?"

Kendra buru-buru menggeleng. " Saat itu belum terjadi apaapa. Kami pacaran sekitar delapan minggu ini."

" Benarkah?" mata Helen menyelidik. Kendra menjawab dengan anggukan tegas.

Helen bersandar di kursinya dengan tangan terlipat di dada. " Saya sebenarnya tidak mau mencampuri urusan pribadi kalian. Tapi masalahnya menjadi berbeda karena kamu pacaran dengan salah satu klien Th e Matchmaker. Gosip mulai berkembang, menuduh kita bekerja tidak profesional karena ada kru yang justru pacaran dengan selebriti."

Kendra selalu merasa geli mendengar ada orang yang melabeli Maxim sebagai selebriti. Tapi dia tidak ingin meralat kata-kata Helen.

" Maafkan saya, Mbak. Saya sama sekali tidak memikirkan efeknya akan seperti itu," Kendra merasa bersalah. " Jadi, apa yang harus saya lakukan?"

Helen tersenyum masam. " Kalau saya memintamu putus dari Kendra memucat, perempuan itu tertawa. " Astaga, kamu kira saya serius? Saya bercanda, Kendra!"

Kendra menarik napas lega. " Oh, syukurlah."

Helen terdiam dan memajukan tubuh. Perempuan itu mengetuk meja berkali-kali dengan pulpennya, membuat Kendra makin merasa cemas.

" Saya tahu ini tidak adil buatmu. Tapi ... kalau saya biarkan ini terjadi ... nama Th e Matchmaker yang dipertaruhkan. Saya sudah berusaha mencari jalan keluar lain, tapi tidak ada. Apalagi ada pihak tertentu yang mengajukan protes, termasuk pihak televisi. Jadi...."

" Saya harus mengundurkan diri?" tebak Kendra dengan kepala terasa ditusuki jarum.

Helen memandang Kendra dalam-dalam. " Saya merasa puas dengan pekerjaanmu selama ini. Tapi ... sayangnya iya, kamu harus mengundurkan diri."

Keluar dari ruangan Helen, kepala Kendra terasa berputar. Dia berharap semuanya cuma mimpi buruk yang kebetulan datang bertandang tanpa aba-aba. Tapi Kendra tahu ini bukan mimpi.

Kendra memang sangat ingin mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan disiplin ilmunya. Tapi keinginan sungguh berbeda dengan kenyataan yang kini terpentang di delannya. Kendra sama sekali belum serius berusaha untuk mencari pekerjaan lain di luar Th e Matchmaker. Membayangkan dia akan segera menjadi pengangguran, gadis itu luar biasa cemas. Menda dak, masa depan nya terlihat buram dan gelap. Apa yang akan dilakukannya esok hari? Bisakah dia mendapat pekerjaan yang lebih baik?

Berita tentang rencana pengunduran dirinya pun segera menjadi topik berita terhangat di kantor. Sean yang datang untuk meng ikuti syuting pun segera mendengar kabar itu.

Maxim? Alasan macam apa itu?" Sean tampak terganggu. Wajahnya terlihat serius, tanpa senyum.

" Kamu jangan mengatakan apa pun pada Maxim! Dia harus fokus dengan urusan pekerjaannya. Aku tidak mau dia ikut-ikutan mencemaskanku." Saat Sean hanya diam, Kendra mendesaknya. " Berjanjilah, Sean!"

" Oke. Tapi aku tetap saja merasa kalau yang sedang terjadi ini sa...."

" Sudah, ah! Kamu sendiri kan tahu kalau aku sangat ingin menjadi akuntan. Anggap saja ini jalan yang diberikan Tuhan untuk mewujudkan mimpiku," Kendra berusaha terdengar optimis.

Kendra memperhatikan kru yang sedang mengatur lampu. Kali ini, Helen memilih untuk melakukan pengambilan di kantor saja. Th e Matchmaker memang memiliki aula mini yang jarang dipergunakan kecuali untuk acara-acara tertentu. Karena syuting hari ini tergolong mendadak dan tidak ada waktu mencari tempat lain, Joshua mengusulkan agar mereka mempergunakan aula saja. Dan ide itu diterima tanpa keberatan sama sekali.

" Kamu bisa menebak apa yang akan dilakukan Maxim kalau dia tahu soal ini?"

" Hmmm ... mungkin akan memaksaku bekerja di Buana Bayi?" Sean terkekeh. " Ternyata kamu cukup mengenal sepupuku itu. Nah, pertanyaan selanjutnya adalah, apa kamu bersedia?"

Tanpa berpikir dua kali, jawaban Kendra meluncur. " Tidak. Karena aku tidak mau mencampuradukkan urusan pekerjaan dan pribadi. Pasti akan canggung sekali dan tidak nyaman kalau aku bekerja di sana."

" Berarti, kamu tipe orang yang tidak akan memacari bosmu,

ya?"

Kendra mencebik. " Tentu! Apa enaknya menjadi bayang
" Bagus! Berarti kamu tidak akan menolak kalau kutawari pekerjaan, kan? Ayolah, ketimbang menjadi pengangguran?" Kendra terpana. " Kamu ... apa?"

" Ada lowongan di kantorku, tapi bukan akunting, sih. Tapi tidak terlalu jauh juga, di bagian keuangan."

Mata Kendra berbinar. " Sungguh? Tapi ... kamu tidak sedang iseng kan, Sean?"

Lelaki itu menyeringai. " Aku serius, Kendra! Aku tidak siap dicincang Maxim kalau berani-beraninya membuat pacarnya kesal." Ekspresi Sean berubah serius. " Sebenarnya, sudah agak lama aku ingin menawarimu pekerjaan. Tapi aku tidak mau kamu dan Maxim salah paham. Jadi, karena kamu sudah memastikan tidak akan jatuh cinta dengan bosmu, aku bisa tenang."

Kendra melongo. " Masalah kepercayaan diri, keluarga kalian memang luar biasa, ya?" sindirnya.

" Tapi, kamu harus siap menghadapi Maxim. Kamu kira dia tidak akan membuat ulah?" Sean mengingatkan. Kendra tertawa sambil mengangguk.

" Aku sudah menjinakkannya, jangan cemas!" Kendra menepuk bahu Sean. " Terima kasih, ya. Kamu sepertinya terlahir untuk membereskan semua masalahku."

Seperti dugaan Sean, Maxim sempat meradang sepulang dari Singapura dan mendapati kekasihnya sudah berkantor di tempat Sean. Lelaki itu berusaha keras membuat Kendra mempertimbangkan tawaran untuk bergabung di Buana Bayi. Ketika ditolak, Maxim mulai mengomel. Dia bahkan merasa kalau Kendra sok idealis. Dan Th e Matchmaker yang sudah membuat keputusan tidak masuk akal. Bla bla bla.

" Ken, bukankah kamu sesumbar kalau sudah menjinakkan membelalakkan mata ke arah sepupunya. Mereka bertiga berada di ruangan Sean.

" Sean, tutup matamu, ya? Maaf kalau adegan berikut ini tidak cocok dikonsumsi umum," gurau Kendra.
My Better Half Karya Indah Hanaco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gadis itu berdiri di depan Maxim, melingkarkan kedua tangannya di leher kekasihnya. Mereka bertatapan selama beberapa sekon. Kemarahan di wajah Maxim yang memerah, mulai menyurut.

" Apakah kamu tahu, Max?"

" Tahu apa?" Maxim masih cemberut.

" Ketika dua orang yang jatuh cinta saling menatap, detak jantung mereka akan seirama." Kendra lalu menurunkan tangan kanannya dan ditempelkan di dada kiri Maxim. " Itu benar-benar terjadi saat ini. Tahukah kamu itu artinya apa?"

Maxim menggeleng.

" Dengan detak jantung yang seirama, apa lagi yang harus dikhawatirkan? Kamu tidak perlu menjagaku sepanjang waktu. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Bukan karena aku tidak memercayaimu, tapi aku yakin kamu pasti lebih menyukai aku yang tidak selalu menyusahkanmu. Kita memang menjadi pasangan, tapi bukan berarti segalanya harus dilakukan bersama-sama. Kita harus belajar memisahkan urusan pribadi dan pekerjaan. Aku cuma berbeda beberapa lantai dari tempatmu bekerja. Kalau kamu rindu, kamu tinggal naik lift ke sini...."

" Asal tidak mengganggu saat Kendra sedang bekerja. Dia sekarang anak buahku," Sean menyela dengan jail.

" Sean!" Maxim terganggu dengan interupsi yang dilakukan sepupunya.

" Jadi Maxim-ku, bisakah bersepakat untuk soal pekerjaan ini? Aku lebih nyaman seperti ini. Meski tidak menjadi akunting, satu ruang lingkup, malah. Kamu tidak mau aku dinilai sebelah mata karena bekerja untukmu, kan? Aku juga ingin dinilai karena kemampuanku."

Maxim terdiam selama beberapa detak jantung. Tapi Kendra tahu kalau dia yang akan menang. Terutama setelah pria itu menghela napas dan akhirnya mengangguk.

" Kamu tahu kenapa aku meminta Kendra bekerja untukku, Max? Karena Kendra bilang dia tidak akan pernah menyukai bos atau rekan kerjanya," Sean masih berupaya membuat Maxim jengkel. " Jadi, aku merasa aman."

Kendra tertawa sambil memegang pipi kekasihnya. " Jangan dengarkan dia! Sean sedang putus asa karena kesulitan mencari pasangan yang bisa mengerti sifat fl amboyannya. Tahukah kamu Max, kencannya berantakan karena menurut pasangannya Sean tidak bisa berhenti jelalatan."

Maxim terhibur dengan kata-kata kekasihnya. Sengaja ingin membuat Sean kesal, lelaki itu mencium pipi Kendra. " Sean yang malang."

Kendra memeluk Maxim. " Aku merindukanmu selama berhari-hari. Dan saat pulang, hal pertama yang kamu lakukan malah mengomel."

" Maafkan aku. Tapi soal mengomel ini ... akan sulit dihilangkan sepertinya. Aku mencemaskanmu."

Sean berdiri dan menukas. " Kalian seharusnya punya acara reality show sendiri. Bahkan aku pun sampai tersipu melihat adegan mesra kalian yang tidak tahu malu itu. Kendra, berhentilah memeluk Maxim dan mulai bekerja! Ingat, sekarang aku bosmu."

Maxim dan Kendra tergelak, sementara Sean meninggalkan keduanya sambil menggerutu.

" Kendra, malam ini aku mau mengajakmu bertemu Mama," Kendra melongo dengan pelipis yang mulai berdenyut dengan misterius. " Bertemu ... mamamu?"

Maxim mengangguk sambil menatap wajah kekasihnya dengan senyum terkulum. " Kenapa? Kamu takut, ya? Masih ingat waktu kamu datang ke rumahku pertama kali? Dengan berani bertemu dengan Mama dan...."

Kendra menukas cepat. " Kondisinya kan berbeda, Max! Waktu itu ... aku tidak punya pilihan lain...." Suaranya kian lirih di ujung kalimat.

Maxim tergelak sambil merendahkan tubuh, membuat wajahnya dan wajah Kendra berada dalam satu garis lurus.

" Kamu tahu kan, aku ini tipe anak seperti apa. Aku tidak terbiasa menyimpan rahasia. Maksudku, soal pacar."

Wajah Kendra memerah. " Tapi Max, kita belum lama pacaran. Kalau kamu mengajakku bertemu Tante Cecil ... apa itu tidak berlebihan?"

Maxim menggeleng dengan tegas. " Berlebihan apanya? Mama bahkan sudah pernah mengajakmu makan siang berdua. Mama juga terang-terangan mau menjodohkanmu dengan Darien. Itu artinya, Mama menyukaimu. Lalu, apa sih yang harus dice maskan?"

" Aku ... tidak tahu...." Aku Kendra jujur. Wajahnya saat itu pasti memerah karena merasa jengah dipandangi Maxim dengan serius. " Beri aku waktu ya, Max. Aku ... belum siap."

" Sebenarnya, aku sudah ingin melakukan ini sejak minggu pertama kita pacaran. Tapi aku takut kamu malah kabur. Belakangan, aku berpikir lain. Kendra-ku yang berani pasti tidak masalah bertemu Mama dan saudara-saudaraku. Kamu sudah mengenal hampir semua anggota keluargaku, kan? Apalagi momennya benarada di Jakarta. Atau ... kamu lebih suka Mama menjodohkanmu dengan Darien?" Bibir Maxim merengut.

Maxim yang pemaksa dengan argumen masuk akal dan bibir cemberut adalah kombinasi yang sulit untuk ditolak Kendra. " Aku..."

" Nanti aku jemput pukul enam, ya?" Maxim mengejutkan Kendra dengan mengecup hidung gadis itu. Senyum menawan Maxim adalah hal terakhir yang dilihat Kendra saat pria itu menegakkan tubuhnya.

" Maxim, aku belum bilang setuju!" Kendra masih berusaha membantah. " Dan jangan mencium hidungku saat kita bicara serius! Itu cuma membuatku ... kesulitan berkonsentrasi!" sungutnya.

Pria itu malah tergelak. " Bagus, akhirnya aku menemukan satu kelemahanmu. Lain kali kalau kamu terlalu keras kepala, aku hanya perlu mencium hidungmu."

Kendra kehilangan kata-kata.

Selesai


Hitler Bangkit Lagi Look Whos Back Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Pedang Siluman Darah 26 Munculnya Kera

Cari Blog Ini