Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan Bagian 2
tidak kuharapkan kedatangannya saat ini.
"Eyaaaang!" Alika memeluk wanita tua yang dulu kupanggil
dengan hormat sebagai Ibu, Ibu mertua.
"Ibu," sapaku sebiasa mungkin.
"Tumben bawa anakmu jalan? Nggak lagi kerja?" tanyanya
ketus. Selalu seperti itu hubungan kami. Tidak pernah akur.
Bukannya aku tidak mencoba. Segala cara sudah kulakukan. Dari
mengalah, tidak ambil pusing, hingga menekan dalam-dalam sakit
hati. Tapi, tidak pernah ada tindakanku yang tepat di matanya.
Anak semata wayangnya telah menjadikan mantan Ibu
Mertuaku terlalu menyebalkan. Dia mengharapkan aku mengabdi
penuh hanya pada anaknya. Melayani atau menjadi budak? Istri
adalah pasangan hidup, bukan pembantu.
"Jalan sama Eyang, yuk."
Kalau memang sejak tadi dia berniat membawa Alika jalan,
mengapa aku ditelepon buru-buru menjemput? Sekali lagi aku
terjebak bersama dengan mereka.
Terpaksa.
Hidup tidak pernah adil. Dunia memang tidak semudah yang
kuinginkan. Kadangkala, saat kita mengharapkan A, yang datang
malah C.
Karena itu, aku berhenti berharap. Yang tersisa hanya berjuang.
Labirin
??
PART 11
Johan: Cincin
Aku pernah bermimpi. Berdiri di padang rumput tenang.
Lalu, tiba-tiba, dalam sekejap itu berubah menjadi tebing
curam tipis. Seketika semilir angin pun dapat menjatuhkan.
Tubuh terlempar. Melesat turun dengan begitu cepat. Perasaan itu
membuat jantungku serasa kosong.
Sama seperti kali ini. Seharusnya, aku akan pergi berbelanja
bersama Liz. Semua sudah kupersiapkan. Dari pakaian, bangun
awal, rencana-rencana untuk mencoba cemilan, juga memasak
kwetiau goreng kesukaannya. Tapi, semua gagal. Bukan Liz yang
berada di sana. Tapi, Ka, dengan sepeda motor automatic-nya.
"Tidak suka naik motor?" tanya Ka saat kusadari wajahku masih
menunjukkan bad mood.
"Bukan. Aku malah selalu pake motor ke mana-mana di
Pontianak."
"Iya kah? Kalau begitu, kita cocok dong!" Ka tertawa riang.
"Liz mana?" tanyaku.
"Jemput Alika," jawab Ka sambil menyodorkan helm.
"Alika?"
"Peri kecilnya Liz. Pusat dunianya," sahut Ka.
"Kenapa dijemput?" tanyaku.
"Memang jadwalnya hari ini jemput Alika. Walaupun lebih
awal sih, biasanya sore." Ka menjelaskan secara lepas. Tanpa
berpikir apa pun. Aku memanfaatkan kesempatan ini.
"Memangnya, Alika menginap di rumah siapa?"
"Di rumah Pa." ucapan Ka terhenti, "Mak ... maksudku, di
rumah Eyangnya. Ibu dari Papanya."
Ralat yang tiba-tiba serta penjelasan aneh itu membuatku semakin
curiga.
"Liz...."
"Ayo kita berangkat sebelum kesiangan. Sayuran habis. Aku
lapar. Lagi pula, nanti kamu terlambat kerja." Ka berbicara tanpa
jeda. Aku mencoba bertanya lagi. Tapi, dia sudah siap dengan
motornya. Menutup kaca helm dan memasang masker. Akhirnya
aku hanya bisa menyimpan berbagai pertanyaan di kepala.
??
Perjalanan dari tempat indekosku di Jalan Pleburan Barat menuju
pasar tidak begitu jauh. Kami sampai di daerah Gang Pasar Baru,
Labirin
pecinan, dalam waktu sepuluh menit. Lagi pula, tampaknya
Ka hafal dengan tempat ini. Dia dengan leluasa membawaku
berkeliling. Mengenalkanku pada beberapa penjual di sana. Dia
menawar dan bersenda gurau dengan akrab.
Selesai sudah kami membeli semua bahan yang kuperlukan.
Ka mengajak aku singgah ke rumahnya yang dekat dengan pasar.
Hanya dua gang setelah Pasar Baru. Itu juga alasan mengapa Ka
kenal dengan orang-orang tadi. Kejutan yang cukup membuatku
panik. Ka menenangkan dengan bercerita mengenai keluarganya
yang heboh. Ayah tukang guyon, Ibu cerewet serta jahil?pantas saja Ka mendapatkan sifat ceriwis itu dari orangtuanya. Biar
bagaimanapun, aku tetap tegang. Pengalamanku dalam mengunjungi rumah teman perempuan, tidak berakhir dengan baik.
Karena, satu-satunya rumah perempuan yang pernah kudatangi
adalah rumah orangtua Liz. Mereka menatapku tajam. Seakan aku
adalah racun.
Tapi, keluarga Ka menyambutku hangat. Ayah Ka, membuka
toko kelontong. Sedangkan, ibunya menjahit pakaian. Sepertinya,
apa yang dikatakan Ka benar. Kedua orangtuanya selalu ceria. Itu
mungkin sebabnya Ka memiliki sifat yang sangat riang.
"Ini Johan. Dia mau latihan bikin kwetiau goreng untuk dijadikan
menu warungnya." Ka mengeluarkan bahan-bahan dari kantong.
"Maaf merepotkan," ucapku.
"Pakai saja dapurnya. Jangan sungkan," sahut Ibu Kemala.
Sedangkan Ayah Ka, Pak Pranoto malah sibuk menyarankan
penyedap rasa yang bagus. Lalu, dia juga menceritakan mengenai
rasa kwetiau di Medan, kampung halamannya. Aku mendengarkan
Labirin
sambil membereskan bahan-bahan.
Aku sudah lama tidak berada dalam suasana kekeluargaan seperti
ini. Risih. Juga, iri.
Perlahan kumasak satu per satu bahan yang diperlukan. Dari
kaldu yang menggunakan potongan bengkuang hingga membersihkan daging sapi yang akan dimasukkan. Ka cukup pandai
dalam mengerjakan pekerjaan dapur. Dia mencuci sayuran, membuang ekor taoge, mencincang bawang putih, hingga memotong
daun bawang. Setelah semua proses tersebut, aku berhasil membuat empat piring kwetiau goreng.
Ka dan kedua orangtuanya menatapku sambil mengendus
aroma masakan tersebut. Aku canggung. "Silakan dicoba," ujarku.
"Enak!" Ka memuji. Kedua orangtuanya juga mengacungkan
jempol.
"Sedikit kurang manis. Tapi, sudah sebanding dengan mi
yang dijual di warung Hong Kong itu." Pak Pranoto merujuk pada
penjual mi yang cukup terkenal di daerah pecinan Semarang.
Di kuali masih tersisa dua porsi. Ka bertanya bingung. "Untuk
dibawa ke tempat Pak Lik Puji?"
"Iya. Satu porsi."
"Satunya lagi?"
"Untuk Liz. Dia suka yang banyak daging, dengan sedikit
sayuran. Digoreng kering bersama adukan telur. Juga dengan
taburan bawang goreng tanpa daun bawang." Entah mengapa aku
membayangkan wajah Liz saat pertama kubikinkan kwetiau goreng
dengan begitu banyak taoge. Dia mulai memprotes sana sini dan
menyisakan sayuran-sayuran itu di pinggir piring, yang kemudian
dia jejalkan ke dalam mulutku.
Labirin
"Kamu hafal betul selera Liz," ucap Ka.
Tanpa kusadari, aku tetap mengingat setiap bagian kenangan
bersama Liz. Bagaimana cara dia tersenyum, berbicara, atau
kebiasaan-kebiasaan lainnya.
"Masih ada banyak waktu, bagaimana kalau kita jalan ke mal?
Aku harus membeli kado untuk sepupuku." Ajakan Ka tidak dapat
kutolak walau sebetulnya aku malas. Dia sudah membantuku
begitu banyak hari ini.
??
Paragon City Mall, pusat perbelanjaan terbesar di Semarang.
Anak-anak muda mengatakan kamu belum gaul jika tidak pernah
nongkrong di sini. Dulu, aku sering mengitari tiap lantai mal ini
bersama Liz.
"Ke sana, yuk. Bagian mainan," ajak Ka.
Sesaat, aku seperti melihat sosok yang sangat kukenal.
Lukman! Dia Lukman, sahabat baik Liz dulu dan tentu
saja, suaminya sekarang. Aku tahu kabar itu saat berhasil mencari jejak Liz di jejaring sosial Facebook. Liz memasang foto
pernikahan mereka sebagai foto profil. Hanya saja, aku tidak
ingat kapan tepatnya. Aku mulai berusaha tidak selalu memantau
perkembangan status ataupun foto-foto yang diunggah oleh Liz.
Takut luka menjadi semakin dalam. Namun, beberapa waktu
yang lalu saat berada di Semarang dan bertemu lagi dengan Liz,
kucoba mencari namanya dalam daftar teman di Facebook.
Nihil, aku tidak menemukannya. Apakah Liz telah mem-block
atau menghapus aku dari daftar temannya atau bisa saja mem
Labirin
blacklist?
Semua sangat membingungkan.
Lalu, mengapa Lukman berjalan dengan wanita lain? Apakah
dia berselingkuh? Setan! Aku harus ke sana dan bertanya langsung.
Dia tidak boleh melakukan hal jahat seperti itu pada Lizku.
"Jo! Jo!" Ka mengguncang lenganku.
"Ya," jawabku tidak fokus.
"Aku dari tadi nanya, Barbie yang mermaid atau fairy yang
lebih oke?" Pertanyaan Ka tidak kugubris.
Ka menatap. Menarik wajahku mendekat. "Ada apa, Jo?"
tanyanya. Dia mengikuti pandangan mata.
Kami berdua sama-sama terkejut. Selain Lukman dan wanita
entah siapa yang menempel pada lengannya, ada Liz dan Alika. Liz
tidak berdiri di samping Lukman. Aku tahu, dia seperti menjaga
jarak. Aku menatap Ka, meminta penjelasan. Ka hanya diam.
Lalu, muncul seorang wanita tua yang memeluk Alika.
Akhirnya, kelima orang tersebut jalan bersama, dengan Liz yang
berada jauh di belakang.
Ka menarikku menjauh. Aku masih enggan beranjak. Ka
memaksa. Akhirnya kami duduk di foodcourt dengan dua gelas
lemon tea di meja.
"Ka,"
"Aku tahu kamu akan meminta penjelasan. Tapi, aku tidak
bisa bercerita. Yang kamu lihat adalah hidup Liz. Dia yang berhak
memilih untuk mengatakan atau tidak." Ka memasang posisi tidak
mau diajak bekerja sama.
"Ka, aku harus tahu. Ada apa sebenarnya? Liz yang kukenal
Labirin
tidak seperti ini!"
"Liz belajar dari kehidupan, Jo."
"Ka, aku tidak bisa melihat Liz diperlakukan seperti itu!
Lukman itu suami Liz, bukan? Bagaimana bisa dia menggandeng
wanita lain?" Aku merasa darahku mendidih. Setan itu! Dia
menduakan Liz. Tidak! Tidak mungkin kalau Liz membiarkan
Lukman beristri dua.
"Liz bisa membereskan urusannya sendiri, Jo. Tidak perlu
kamu," sahut Ka. Dia mulai terlihat bingung.
"Aku harus membantunya," ucapku. Aku meninggalkan Ka
sendirian di meja foodcourt. Pikiranku sedang kacau. Apalagi ditambah sikap Ka yang enggan bercerita.
??
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Liz tidak tampak sore ini. Begitu juga sore-sore yang lalu. Sudah
empat petang aku menunggunya, tapi tak juga terlihat. Mungkin,
mataku tidak jeli atau ... dia menghindar?
"Mas Jo, pusing kenapa toh?" tanya Tiwi. Aku menggeleng.
"Pacarnya nggak datang yo?"
Ucapan Tiwi tepat, sayangnya bukan pacar. Dia adalah mantan
pacarku.
"Teman, Wi." Aku melangkah gontai.
Warung Pak Lik Puji lebih ramai sekarang ini dengan tambahan keripik tempe serta menu baru, kwetiau goreng. Maka dari
itu, Joko, anak Pak Lik Puji mulai ikut membantu berjualan. Aku
pun memiliki waktu tugas bergantian dengan Joko.
"Sudah toh, daripada pusing, disamperin saja pacarnya." Tiwi
tersenyum penuh arti.
Labirin
"Teman, Wi." Sekali lagi aku meralat ucapannya. Tidak ingin
membuat semua salah kaprah. Juga, tak mau hatiku semakin
berharap.
"Mau teman atau pacar, nggak masalah, Mas Jo. Yang penting,
masalah-ne dikelarin dulu. Setelah jelas, semua akan lebih baek
toh." Ucapan Tiwi ada benarnya. Untuk apa aku menduga-duga.
Selama ini tidak ada penjelasan karena aku tidak bertanya langsung.
Segera kulangkahkan kaki menuju gedung perkantoran tempat Liz
bekerja. Menunggu di pintu masuk. Sudah jam pulang kerja, tapi
Liz belum tampak.
Ka terlihat bersama Liz, berjalan ke arah pintu samping.
Rupanya mereka tidak melalui pintu utama. Aku mengejar.
"Liz!" teriakku.
"Ada apa?" tanya Liz bingung. Sedangkan, Ka seakan
menunjukkan tampang tertangkap basah.
"Kamu menghilang seminggu. Aku nyariin kamu," ucapku
terbata. Tidak, tidak seharusnya seperti ini perkataanku. Ini mirip
aku yang kehilangan jejak Liz dulu. Saat orangtuanya mengirim dia
pergi jauh agar tidak dapat bertemu pengaruh buruk, aku.
"Menghilang? Aneh?" Liz mendelik.
"Ada yang mau kutanyakan. Lukman, aku melihat dia bersama
wanita lain." Wajah Liz kaku, tegang, dan marah. Bodoh! Mengapa
langsung kukatakan. Tidak bisakah aku mencari tempat duduk
terlebih dahulu. Menyusun kata-kata tepat.
"Bukan urusanmu!" Liz menjawab ketus.
"Liz."
"Jangan dekat-dekat denganku, Han. Urusan kita di masa lalu
sudah selesai. Dan aku terikat," ucap Liz sambil menunjukkan
Labirin
cincin putih di jari manisnya.
Aku menatap. Segera kutarik jari tersebut.
Wajah Liz pucat. Dia menyadari sesuatu. Segera saja dia
melepas tanganku dengan paksa. Lalu, berlari ke parkiran.
Ka hanya menghela napas panjang. Lalu, menggeleng pelan.
"Tidak bisakah kamu tak ikut campur urusan Liz?"
Tidak bisa, karena dia Liz.
Labirin
??
PART 12
Liz: Benteng
Han, jangan peduli padaku. Jangan mengasihani aku. Tetaplah
kamu menjadi Han yang hanya sebatas teman. Karena aku
yakin, kamu mampu menghancurkan benteng tinggi yang sedang
kubangun. Kumohon, perhatikan saja gadis lain. Agar tidak
berkembang serta menyeruak naik lagi rasa ini. Rasa yang tidak
sepatutnya ada.
Aku membuka cincin pada jari manis. Ketika perceraian
dengan Lukman, saat jari manisku kosong, kehilangan itu muncul.
Jari yang biasanya selalu dihiasi dengan logam mulia bermata
berlian yang disematkan Lukman setelah ijab kabul, kini lenyap.
Walau berusaha mengabaikan, namun jejak itu tetap terlihat. Saat
mengetik, menyentuh dahi, menyisir rambut, atau menggendong
Alika. Perbedaan warna kulit pada bagian yang tertutup cincin,
mengabarkan padaku, dulu di sana ada pengikat cinta sehidup
semati. Cincin mewah nan indah, namun tidak seindah kisah cinta
kami.
Kehilangan serta perasaan kosong itulah yang membawaku
pada kesalahan sore ini. Aku mencari-cari sesuatu yang dapat
menutup jejak pada jariku. Entah mengapa pilihanku jatuh pada
logam berbahan stainless murah ini. Tidak ada batu penghias. Tanpa
ukiran ataupun motif. Bening, mengilap, melingkar tanpa batas.
"Kamu tahu kenapa cincin pernikahan berbentuk lingkaran?"
tanya Han.
"Kenapa?" tanyaku.
"Karena itu untuk menggambarkan bahwa sebuah hubungan
akan terus berputar. Pasang surut, namun tidak boleh memiliki
sudut-sudut yang dapat membuat salah seorang tersudutkan." Han
mengeluarkan cincin dari sakunya, berbungkus plastik bening.
"Apa ini?"
"Cincin penanda hubungan itu tidak perlu berukir. Harus bersih,
karena kita memulai sebuah hubungan dengan hati yang bersih.
Menginginkan ikatan ini terus mulus. Tanpa permata pun sudah
dapat memancarkan cahaya kilau." Han menyematkannya pada jari
manisku. Kami saling bertukar pandang. Tersenyum malu. Lalu, Han
tertawa. Dia berbisik, "Sebenarnya, cincinnya ndak pakai macammacam karena uangku cukup buat beli yang itu doang."
Tapi, aku tahu, Han. Alasan utamamu bukan karena harga. Aku
ingat, hari itu ketika aku sibuk memilih kalung-kalung dengan
aneka bentuk, kamu sibuk membongkar deretan cincin pada
Labirin
kotak beludru di kios kecil pasar cenderamata. Kamu bersungguh
sungguh memilih, meneliti, tidak ingin satu pun bekas sambungan
yang terlihat.
Aku menyadari betul, kata-katamu memang benar. Sebuah
hubungan tidak perlu rumit. Sederhana dan bersih. Itu yang
terpenting. Semewah apa pun terlihat tidak berguna bila hanya
untuk dipamerkan.
Hal itu juga yang mungkin membuatku memutuskan untuk
mengenakan cincin putih polos darimu. Hanya saja aku begitu
bodoh. Selama hampir satu tahun setelah Lukman meminta
kembali logam dingin penanda pernikahan kami dan kugantikan
dengan cincinmu, semua terasa benar. Aku menganggap inilah
pasangan yang pas pada jari manisku. Lupa dengan asal muasal
benda ini.
Namun, tidak kusangka kamu masih ingat, Han.
??
Labirin
"Liz, maaf." Ka menyerbu saat aku baru saja duduk di meja kerja.
"Ada apa?" tanyaku biasa saja.
"Seharusnya, dari kemarin itu aku cerita ke kamu. Pas hari
Minggu, setelah belanja di Pasar Baru, aku ngajak Jo jalan ke
Paragon City. Nggak nyangka banget bakal bertemu Lukman,
kamu, dan Alika. Juga itu tuh." Ka sama seperti aku, malas menyebut nama Wanita Jalang itu.
"Bukan salahmu," sahutku. Memang bukan salah Ka. Dia
hanya berada di tempat yang salah pada waktu yang salah.
"Tapi, ada yang mau kutanyakan juga sih," ucap Ka ragu-ragu.
Aku menatap. Memberi isyarat agar dia mengemukakan
langsung saja.
"Kenapa kamu jalan bareng mereka? Bukannya...." Pertanyaan
Ka menggantung.
"Alika." Jawabanku sudah cukup dimengerti Ka. Dia kembali
mengangguk-angguk.
Hanya Alika yang bisa membuatku bertahan. Aku harus menunggu hingga anakku lebih mengerti akan keadaan yang terjadi.
Jika bisa memilih, aku akan lebih senang pindah ke tempat yang
jauh agar Alika tidak perlu terkontaminasi Pria Kapal Karam serta
gerombolannya.
Labirin
"Lalu, satu lagi," ucap Ka perlahan.
"Apa?" tanyaku.
"Kenapa Jo kaget dengan cincinmu?" Ka meraih jemariku
dan melihat jari manis yang kosong. "Lho, kok dibuka? Bukannya
kamu bilang, cincin itu memberimu kekuatan lebih?"
"Aku sudah bosan menipu diri, Ka. Sudah saatnya aku
mengakui kalau jari manis ini tidak lagi dilingkari apa pun."
Sejujurnya Ka, karena aku takut akan menginginkan sesuatu
yang lebih dari sebuah cincin. Kekuatan dari pria yang memakaikan cincin itu, yang lebih kubutuhkan saat ini.
Aku membuka laptop dan mulai mengetik, sementara
Ka masih juga penasaran. Kubiarkan dia dengan pikirannya.
Sementara aku berusaha fokus menyelesaikan tumpukan laporan.
Akhirnya Ka menyerah, dia memilih kembali ke sarangnya?
demikian dia menyebut mejanya yang berantakan.
Menjelang makan siang. Aku dan Ka turun lebih cepat dari
biasanya. Kali ini bersamaan, bersyukur karena Pak Bos masih cuti
liburan bersama keluarga. Han berdiri di sana menungguku. Dia
mencegat kami. Wajahnya berbinar.
"Hai," sapanya hangat.
"Hai, Jo. Sudah makan siang?" Ka yang menjawab sapaan Han.
"Ini lagi mau makan siang. Makanya, nungguin kalian." Han
lalu menyodorkan dua kotak kepada kami. Aku dan Ka saling
melempar pandangan penuh tanya.
"Apa ini?" tanyaku.
"Makan siang kalian," sahut Han antusias.
Akhirnya aku, Ka, dan Han duduk di ruangan pantry kantor. Ka
dengan antusias membuka kotak plastik berwarna biru dan kuning.
"Kwetiau goreeeeng!" teriak Ka senang.
"Dalam rangka apa?" tanyaku.
"Aku kemarin ketemu sama Mars,"
Tubuhku duduk tegak mendengarkan dengan saksama sambil
menyuap kwetiau buatan Han. Selalu enak masakannya.
Dagingnya banyak, sedikit sayuran, tanpa daun bawang. Manis
dan kering.
"Mars, apa kabarnya?" ucapku. Walau tinggal di kota yang
sama, kami jarang bertemu.
"Siapa Mars? Temannya Jupiter sama Merkurius?" canda Ka.
Bibirnya penuh dengan kecap.
"Bukan, tapi saudaranya Jupiter, Venus, Merkurius, dan
Bumi," sahut Han yang disambut tawa Ka.
"Serius? Orangtuanya peneliti antariksa atau astronot, sampaisampai memberi anaknya nama dengan nama planet?" Ka masih
Labirin
tertawa.
Semua orang yang mengetahui nama saudara-saudara Mars pasti
akan bereaksi yang sama. Dulu, aku dan Han juga begitu. Kami
terpingkal-pingkal hingga Mars marah. Mars yang humoris dan
jago olahraga. Dari keluarga yang semuanya berprofesi sebagai
guru, pengajar. Dia sendiri yang berbeda. Mars adalah pemain
basket. Namun, takdir tidak dapat disangkal, pada akhirnya dia
juga menjadi guru olahraga. Dia lebih suka menyebutnya pelatih
olahraga, bukan guru.
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memangnya apa hubungan Mars dan ini?" tanyaku datar. Han,
tidak menyinggung soal cincin. Ini lebih baik.
"Mars menawariku pekerjaan sebagai guru musik di tempat
kursus milik kakaknya. Besok mulai kerja." Han tersenyum
senang.
"Kereeen!" Ka berteriak girang. Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
Dia menjawab, wajahnya berubah, mulutnya manyun.
Setelah mengakhiri panggilan, Ka mendesah lalu menatap
kami. "Kamu tahu apa enaknya jadi atasan?"
Han tertawa sedangkan aku hanya memberikan tatapan
kasihan.
"Bebas mengganggu kapan pun!" Ka menghentak kakinya
kesal. Dia berjalan keluar lalu berbalik meraih kotak bekal secara
cepat. "Masih ada setengah. Sayang banget kalau sampai dikorupsi
sama Liz."
Aku melotot.
"Liz itu kurus kering tapi makannya maruk, lho!"
Labirin
"Pergi sana!" hardikku.
Kembali kesunyian terdengar. Ruangan pantry yang biasanya kecil,
hanya dua kali dua meter, menjadi begitu luas terasa. Lagi pula,
entah mengapa siang ini pantry kosong melompong. Biasanya,
setiap istirahat selalu saja ada karyawati menghabiskan bekalnya di
sini. Aku mulai memperhatikan isi ruangan. Dari lemari gantung
berbahan kayu dengan cat hijau, magic jar, teko elektrik, dispenser,
rak piring di samping tempat cuci yang berisi susunan cangkir
kopi dan teh, sendok, garpu, dan mangkok. Baru kusadari kalau
lemari es yang berada di sana sudah mengelupas bagian bawahnya,
membentuk sedikit karatan.
Meja dan kursi yang kududuki ini juga sudah berganti rupa.
Seingatku, pada saat aku pertama bekerja, kain pembungkus kursi
berwarna hijau terang, sekarang biru gelap. Tidak cocok dengan
wallpaper yang bergambar suasana musim gugur.
"Liz, bagaimana? Enak?" Setelah begitu lama membisu, akhirnya
Han membuka suara. Aku mau tidak mau menjawab, setengah
suara, pelan dibarengi anggukan. "Enak."
"Kemampuan memasakku masih oke, kan?" tanyanya.
"Selalu yang terbaik, dibanding kemampuan di dapurku." Aku
adalah penghancur masakan. Keadaan dapur akan kacau balau bila
aku yang mengurus. Beda dengan Han. Dia cekatan dalam segala
hal.
"Liz." Jemarinya menyentuh lenganku. Kurasakan jejak
kasar pada ujung jari. Secara spontan aku menarik tangannya.
Memeriksa setiap pecahan kulit.
"Kamu alergi dengan detergen, Han. Kenapa tidak pakai sabun
cuci piring yang lain?" Ternyata aku masih ingat kalau Han tidak
Labirin
mampu berurusan dengan sabun-sabun pencuci.
102
Labirin
"Ndak bisa, Liz, aku ini kan kerja sama orang. Lagi pula,
kasihan Pak Lik Puji harus mengeluarkan biaya lebih dengan
membeli sabun merek tertentu."
Aku mengangguk. Membenarkan perkataan Han. Melihat
jarinya yang kering dan merah, membuat aku sedih. Bagaimana
bisa dia mengajar serta memetik gitar nanti? Senar gitar akan
menggores bagian kulit yang mengelupas.
"Cari cara lain harusnya. Pakai sarung tangan, dibungkus
plastik, atau apalah. Atau, setiap malam itu dipakein lotion," ucapku lalu mengambil sebuah sebotol kecil lotion bayi yang selalu
kuletakkan di dalam dompet.
Aku mengoleskan sedikit demi sedikit, perlahan-lahan pada
permukaan jari. Pinggiran kukunya keras dan menekan ke dalam.
Ada bagian yang menggelembung, tanda akan mengeluarkan
nanah. Kembali kubuka dompet, mencari botol kecil Betadine.
Memiliki anak berusia tiga tahun memang membuat aku harus
selalu siap sedia dengan berbagai persediaan. Dompet berukuran
20 x 8 x 4 sentimeter ini seharusnya berisi uang, kartu, serta gadget.
Tapi, nyatanya, kantong tempat menaruh dua gadget itu kuisi salah
satunya dengan botol-botol kecil keperluan Alika. Dari bedak
tabur, lotion, Betadine, hingga minyak kayu putih. Berjejer rapi
di dalam. Bersebelahan dengan Blackberry yang tombolnya mulai
sering bertingkah.
Aku mengoleskan Betadine, mengusapnya dengan tisu gulung
yang tersedia di pantry. Han hanya menatapku. Wajahnya begitu
teduh. "Lain kali, perhatikan dirimu, Han. Jari-jari ini adalah
sumber penghasilanmu. Dari jemari inilah musikmu tercipta." Aku
tidak tahu apa yang sedang kuracaukan. Seharusnya, aku berhenti,
bukan terus meniup agar cairan antiseptik segera mengering
sehingga luka Han cepat sembuh.
Kusadari ada lubang kecil pada bentengku. Dari kejauhan
air mulai mencapai titik bahaya. Biarlah, hanya satu lubang kecil.
Bentengku masih berdiri kokoh. Tidak mungkin tumbang.
Labirin
??
PART 13
Johan: Melodi
Waktu, berhentilah berjalan. Detik, menit, kasihanilah
aku. Membekulah sesaat. Bumi, janganlah berputar
mengelilingi matahari. Kumohon.
Wajah Liz yang cemas dengan keadaan jemariku seakan
membuat aku hancur. Liz, bolehkah aku memelukmu? Bukan
sekejap, tapi hingga akhir masa. Namun, seharusnya aku
mensyukuri apa yang kualami saat ini.
"Dua bulan, baru sebentar saja lukanya sudah seperti ini.
Bagaimana jadinya bila kamu harus berurusan dengan detergen
lebih lama lagi?" Liz mengomel. Aku rasa itu adalah nyanyian
terindah. Dia memarahiku, sama seperti dulu. Bukan hanya
kalimat sopan nan kaku. Lalu, aku harus bersikap seperti apa?
Apakah bila aku melangkah jauh, dia akan menarik diri lagi?
Kemudian, bila aku hanya diam, apakah dia akan membeku
lagi?
Aku tidak tahu.
Jadi, izinkan aku menjadi kambing bodoh yang menatapnya
takjub.
Aku bisa merasakan semilir angin yang kamu tiupkan.
Perlahan memberi kesejukan tidak hanya pada jemari, tapi mencapai ke dalam hatiku.
"Liz!" Ka berdiri di depan pintu pantry, mengakhiri mimpi
indahku. Dengan gelagapan Liz melepas jalinan tangan kami. Dia
membereskan barang-barang dan mencoba menjawab Ka dengan
tampang datarnya lagi. "Ada apa?"
"Telepon dari ... itu." Ka menarik-narik kepalanya seakan
memberi isyarat agar Liz segera ikut dengannya.
Tak berapa lama, ponsel Liz berdering. Dia menyambar cepat.
Pada layar tertera nama begitu panjang yang tak dapat kubaca jelas.
Liz menekan tombol menjawab, dia menempelkan ponsel pada
telinga sambil berjalan keluar dari pantry. Kotak makan terlupakan,
juga dompet.
Suara Liz samar terdengar penuh emosi. Dia membentak
dan berteriak. Aku membuntuti. Sedangkan, Ka terlihat menggiring Liz menuju toilet. Alhasil, aku hanya bisa berdiri di
depan pintu toilet wanita. Menajamkan pendengaran, walau
Labirin
sia-sia.
Lima menit berlalu, mereka belum keluar. Sepuluh menit, masih
juga di dalam. Saat aku berpikir untuk mengetuk, Liz muncul di
balik pintu kayu. Dia terlihat kesal. "Ada apa?" bentaknya.
"Tidak," sahutku terbata.
Liz mendorong, lalu bergegas menuju lift. Sementara Ka hanya
menghela napas panjang.
"Ka," panggilku.
"Nanti, Jo. Ada urusan yang jauh lebih penting daripada
pertanyaan-pertanyaanmu. Permisi." Ka mengejar Liz, masuk ke
pintu lift lainnya.
Tinggal aku yang bingung dengan keadaan yang berubah
sangat drastis. Beberapa saat lalu, aku baru saja menikmati saatsaat tenang bersama Liz dan sedetik berikutnya, aku bukan siapasiapa lagi. Aku hanya orang dari antah-berantah yang tidak tahu
mengenai dunia Liz sama sekali lagi.
??
Aku mulai mengajar. Ternyata bukan tempat kursus, melainkan
sebuah PAUD. Bentuk sekolahnya cukup bagus dengan
mengambil kurikulum dari Singapura. Berurusan dengan anakanak bukan keahlianku. Dan, sial, Mars mengerjai aku. Tapi,
pekerjaan ini lebih besar gajinya daripada di warung Pak Lik Puji.
Venus berdiri lalu menatapku dari balik kacamata yang
kuperkirakan hanya sekadar pelengkap fashion. Tubuh tinggi
langsingnya dibungkus dengan pakaian bagus. Kudengar, kakak
perempuan Mars memiliki banyak uang setelah bekerja begitu lama
Labirin
di luar negeri.
"Aku menerima kamu menjadi tenaga pengajar di sini karena
permintaan Mars. Tapi ingat, kamu masih dalam tahap percobaan.
Satu bulan. Jika dalam satu bulan tidak bagus, silakan keluar."
Sejujurnya, aku tidak ingin menjadi guru PAUD. Tidak ada
satu pun pengalaman dalam hidupku yang berhubungan dengan
menjadi guru serta mengurus balita. Ini mimpi buruk.
"Kamu bertugas di kelas musik. Akan ada jadwal-jadwalnya.
Anak-anak akan ditemani oleh wali kelas serta asisten guru
sehingga kamu tidak akan terlalu repot. Kamu hanya perlu
menyampaikan pelajaran-pelajaran sesuai bahan yang ada." Venus
menyodorkan kertas-kertas yang harus kupelajari. Aku mulai
membuka dan membaca deretan huruf tersebut.
Semester satu, magical music. Pengenalan berbagai alat musik,
do-re-mi, fun with music.
Oke, semua ini membuatku semakin bingung. Aku harus
memperkenalkan alat musik, lalu mengajari mereka nada,
bersenang-senang, dan semua hal lainnya. Bantu aku, Tuhan.
"Itu bisa kamu baca nanti. Sekarang ikut aku," ucap Venus,
atau aku harus memanggilnya Miss Venus. Standar di Sunshine
School adalah International School. Maka, pengantarnya pun
berbahasa Inggris, juga Mandarin. Tujuannya untuk menghadapi
perkembangan zaman serta pasar bebas nantinya. Sebenarnya,
kalau mengikuti tren, seharusnya mereka memasukkan bahasa
Korea. Demam K-Pop dan kebudayaannya sedang melanda
Indonesia. Kurasa, kalau Venus mendengar ucapanku, dia bakal
melotot.
Ruang kelas musik sangat bagus. Ruangan sebesar lima
kali lima meter lengkap dengan AC serta televisi sebesar 32 inci,
Labirin
terlihat mewah. Lantai dan dindingnya dilapisi matras lembut.
Kurasa untuk mencegah anak-anak yang saling dorong membentur
dinding. Membayangkan anak-anak itu berteriak, menangis, dan
berkelahi saja sudah membuat bulu kudukku berdiri.
"Kami melengkapi peralatan musik untuk anak-anak.
Semuanya untuk membantu tumbuh kembang serta merangsang
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
imajinasi mereka." Venus memperlihatkan deretan keyboard, drum,
gitar, dan lainnya. Kamu harus mengakrabkan diri dengan semua
peralatan ini."
Pengarahan dari Venus benar-benar menguras konsentrasiku.
Tiga jam penuh dia mengoceh dan mengoceh. Dan tebak, satu jam
lagi akan ada kelas musik bersama anak-anak dari Toddler Blue. Aku
bahkan baru tahu untuk PAUD saja terbagi menjadi begitu banyak
kelas. Anak usia dua hingga tiga tahun masuk kategori Baby Class.
Umur tiga sampai empat tahun masuk ke Toddler. Lalu, usia empat
tahun masuk ke Kindergarten 1, atau di kalau di Indonesia itu TK A.
Terakhir, anak usia lima tahun masuk ke Kindergarten 2 atau TK B.
Apa jadinya Johan saat mengurus anak usia dua tahun?
Aaaargh! Mars, aku bersumpah akan menghajarmu nanti. Sungguh!
??
Dua hari ini aku bahkan tidak bisa memikirkan hal lain. Hanya
anak-anak, rengekan, teriakan, juga pertanyaan. Bocah-bocah kecil
itu sebenarnya sangat lucu?jika tidak sedang menangis. Tebak,
ini adalah awal tahun ajaran baru. Tebak lagi, itu artinya banyak
anak-anak baru mulai bersekolah. Dan, tebak lagi bagaimana
reaksi anak-anak kecil itu saat harus masuk ke kelas lalu setahap
demi setahap dilepas dari orangtua ataupun pengasuh? Ya, tepat!
Labirin
Tangisan panjang!
Aku bahkan tidak diberikan waktu untuk bernapas.
"Bagaimana, Teacher Jo?" tanya Ophie, salah satu guru yang
mengajar di kelas Toddler.
"Panggil saja Jo kalau sedang tidak di kelas atau di depan anakanak," ucapku.
"Tidak boleh. Nanti bisa diomelin Miss Venus. Ini saja harusnya kita komunikasinya pakai bahasa Inggris," jelas Ophie.
"Yah. Aku tepar!" Kurebahkan badan pada lantai matras berwarna biru cerah. Sementara Ophie dan beberapa guru memperhatikan sambil tersenyum.
"Wuih, Teacher Jo santai banget. Sepertinya aku harus mengusulkan ke Miss Venus untuk menambah tugasnya lagi." Suara
Mars menyentakku. Aku segera berdiri, menariknya, lalu membantingnya cepat. Mars tidak memperhitungkan gerakanku sehingga dia tidak berdaya terkunci oleh kakiku.
"Jo, Jo ... lepas!" erang Mars.
Guru-guru lain tertawa melihat tingkah kekanak-kanakan
kami.
"Tidak! Kamu menipuku, Mars!"
"Lepaskan, kalau tidak," ucap Mars dengan susah payah.
"Kalau tidak apa?"
"Kalau tidak, kamu akan diskors karena memberikan contoh
buruk pada rekan sekerja dan anak-anak."
Aku segera berdiri. Membetulkan pakaian serta penampilanku. "Jam pelajaran sudah selesai. Anak-anak juga sudah
pulang."
"Bukan berarti bisa berbuat seperti ini. Ini brutal! Skors dia,
Labirin
Venus. Hukum dia. Suruh dia push up seratus kali," ucap Mars
sambil mengelus leher dan pinggangnya. Aku membelalak,
memperingatkan Mars.
"Kali ini kumaafkan. Lain kali, jangan ulangi lagi." Venus berlalu menuju ruangannya. "Jika ingin membanting adikku, tolong
lakukan saat aku tidak ada."
"Hei! Kakak seperti apa kamu?" Mars memprotes sedangkan
aku tersenyum penuh arti.
??
Sore ini aku dipaksa Mars menemaninya nongkrong di kafe. Dua
cangkir kopi hitam kental disajikan pelayan.
"Kamu masih belum menjawab, angin apa yang membawamu
kembali ke Semarang?" Mars menyesap kopinya.
"Untuk apa aku memberitahumu?" Kuselonjorkan kaki pada
kursi kosong.
"Karena aku yang memberimu pekerjaan layak!" Mars masih
belum kapok dengan mengungkit pekerjaan sebagai guru PAUD itu.
"Kamu tidak kupatah-patahkan jadi tiga saja harusnya bersyukur," ancamku.
"Tenang, Bro. Calm down," ucapnya sambil tergelak.
Dari ceritanya, baru kuketahui kalau sudah empat guru musik yang
menyerah di bawah pimpinan Venus. Kakak perempuannya itu
sangat galak dan tegas. Lagi pula menghadapi anak-anak bukan hal
mudah.
"Dia sudah menikah?" tanyaku.
"Sayangnya, sudah. Pria tidak beruntung itu harus menerima
Labirin
siksaan lahir batin seumur hidup dengan hidup bersama macan
pemangsa," sahut Mars walau ia tidak bersungguh-sungguh dengan
ucapannya.
"Jangan bicara mengenai hidupku, ceritakan padaku mengenai
perjalananmu selama ini. Kudengar kamu kembali ke kampung
halaman. Lalu, aku cukup terkejut saat ada kabar pernikahan Liz
dan Lukman. Dan sialnya, aku tidak diundang." Mars memukul
meja. "Masa orang sekeren dan sepenting aku tidak diundang.
Huh!"
Mars adalah teman sekampus Liz yang lama-kelamaan juga
dekat denganku. Aku lebih cocok dengan Mars dibanding dengan
Lukman, mungkin karena sejak awal Lukman menaruh perasaan
pada Liz.
"Kamu tahu apa yang terjadi pada pernikahan Lukman dan Liz
sekarang ini?" tanyaku.
"Maksudmu?" Mars mendelik.
"Ada gonjang-ganjing apa, atau masalah apa?" ucapku lagi.
"Gila kamu, Jo. Aku tahu kamu suka sama Liz. Tapi mana
boleh kamu harapin dia ada masalah. Dia itu sudah menikah
sama Lukman. Lagi pula, bukannya dulu kalian berdua sudah
mengikhlaskan perpisahan itu?" Mars menatapku kesal.
"Bukan begitu."
Akhirnya, aku mulai menjelaskan dari awal kedatanganku ke
Semarang hingga kejadian-kejadian terakhir. Mars terus manggutmanggut. Sambil sesekali tampak hendak menyela, namun diurungkan.
"Begitu ya," ucap Mars ketika aku menyudahi cerita.
"Bagaimana menurutmu?"
Labirin
"Rumit," sahutnya pendek.
"Kalau tidak rumit, tentu sudah kutemukan jalan keluarnya,
dasar!" ucapku.
"Tenang, apa sih yang tidak bisa diselesaikan oleh detektif
ganteng seperti Mars," ujarnya sok yakin. Mars memang menderita
over percaya diri tingkat tinggi.
"Janji, kamu akan mencari info lengkap secepatnya?" tanyaku.
Dia mengangguk.
Aku menyesap kopi, menikmati langit. Sementara Mars mulai
terlihat menebar pesona pada beberapa gadis di meja lain.
Aku menatap tas hitam di samping kursi. Di dalamnya
terdapat dompet Liz yang belum kukembalikan. Beberapa kali
aku berusaha menemuinya di kantor, tapi dia maupun Ka tidak
terlihat. Cuti, ucap beberapa karyawan lain.
Bahkan, dihubungi melalui telepon pun juga tidak diangkat.
Termasuk Ka.
Keduanya, seakan menghilang dariku.
Labirin
??
PART 14
Liz: Badai
Mataku enggan dibuka. Kantuk masih mengantung di ujung
pelupuk mata. Pun badan ini, berderak serupa ranting
kering yang jatuh. Tapi, jemari kecil yang menyentuhku perlahan
seakan mengalirkan jutaan tenaga.
Aku membuka mata, tersenyum lalu menepuk tangan kecil itu
lembut. "Lika mau minum?"
Dia menggeleng. Di sudut matanya ada tetes air mata yang
menggenang.
"Mommy, pulang." Sejak semalam Alika sudah merengek
untuk keluar dari rumah sakit. Dia tidak suka berada di sini.
Sesungguhnya, Sayang, Mommy juga tidak mau kamu terbaring
dengan infus terpasang dan wajah yang lemah.
Semua salah si keparat Pria Kapal Karam dan Wanita
Jalang itu. Bagaimana mungkin mereka bisa begitu lalai dalam
menjagamu? Bagaimana bisa kamu bisa bermain dengan kotak
berisi detergen di dapur? Apa yang mereka kerjakan? Mereka
bertiga! Pria berumur 28 tahun, lalu si wanita pesolek itu. Walau
masih mahasiswi, dia sudah berusia 20 tahun. Dan, masih ada
nenek yang katanya sangat ahli dalam mengasuh anak. Bahkan
melebihi kemampuanku sebagai ibu. Ke mana mereka saat Alika
bermain dengan sabun? Lalu, mengapa tidak langsung dibawa ke
dokter hari itu juga? Mengapa harus menunggu sampai terjadi
diare dan sebagainya baru kalian panik dan melempar semua
tanggung jawab ke tangan ibunya?
Alika buang air berkali-kali. Apa pun yang dimakan dan
diminum, pasti dimuntahkan keluar. Tidak ada jalan lain. Terpaksa
Alika harus dirawat di Rumah Sakit Ibu dan Anak Anugerah.
Aku memeluk tubuh kecilnya saat mendaftar. Ka di sampingku. Sementara Lukman beralasan masih ada urusan, harus
mengantar Wanita Jalang ke kampus. Ibunya mengatakan lelah
serta kurang tidur setelah menjaga Alika semalaman di rumah.
Hebat! Aku harus bertepuk tangan untuk mereka yang segera lepas
tangan. Belum lagi ungkapan yang keluar dari mulut Wanita Tua
Sok Hebat itu.
"Masa ngurus anak masuk rumah sakit aja harus kami juga?
Kamu sebagai ibu sepatutnya cekatan. Apa gunanya jadi ibu kalau ini
itu nggak bisa."
Selama Alika dalam pengawasan serta pengasuhanku, dia selalu
Labirin
baik-baik saja.
Air mataku mengalir bersamaan dengan tangis lemah Alika
saat jarum infus dimasukkan. Tangannya dibalut perban dan kayu
penyangga.
Aku bersyukur ada Ka di dekatku saat ini. Dia begitu cekatan.
Mengisi formulir pendaftaran, memesan kamar untuk Alika,
mengabari orangtuaku, mengantar jemput mereka, bahkan
menemani aku di rumah sakit. Ka, kadangkala aku merasa kita
terlalu sama. Bahkan kamu juga jatuh cinta pada Han, pria yang
pernah menawan hatiku?sampai saat ini juga masih.
Aku masih seperti orang linglung menerima keadaan tak terduga ini. Ponselku sengaja kumatikan agar orang-orang berengsek
dari kantor tidak bisa merecoki. Aku sudah bekerja sangat keras.
Jadi, kurasa mereka tidak berhak mengganggu saat ini.
"Kapan sih dokternya datang untuk pemeriksaan?" Ka mondar-mandir sambil mengikat rambut panjangnya.
"Sebentar lagi kurasa," ucapku sambil berharap dokter anak
akan segera datang dan mengatakan kondisi Peri Kecilku telah
sehat.
Ka melihat ke arahku. "Sudah berapa hari kamu tidak mandi?"
"Entah," sahutku. Aku tidak ingin beranjak dari sisi ranjang
Alika satu sentimeter pun.
"Mandi dulu. Biar otakmu seger," ujar Ka. Aku menggeleng.
"Mandi!" Ka mendorong aku. "Lalu makan, sudah kubelikan
tadi." Tunjuk Ka pada nasi bungkus di atas meja. Aku masih
enggan beranjak. Dia menatapku kesal.
"Liz, berapa malam aku bersamamu di sini? Tidak bisakah
kamu memercayakan Alika padaku sebentar saja saat kamu mandi?
Lagi pula, saat makan pun kamu masih bisa sambil melihat dia."
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Labirin
Aku menunduk. "Bagaimana bila dia mencariku, Ka?"
"Aku akan berteriak sekuat tenaga agar kamu keluar dari kamar
mandi. Bahkan, walau sedang buang air besar pun, kamu tetap
harus segera keluar. Belum berpakaian pun, tetap harus segera ke
sisi ranjang," ucapan Ka membuatku tersenyum.
"Kamu gila!"
"Hanya orang gila yang bisa mengerti orang gila."
Selesai membersihkan badan, pikiranku lebih beres. Perlahan
sesuap demi sesuap kujejalkan nasi ke dalam mulut. Harus ada
tenaga untuk menjaga Alika, hanya itu di dalam otakku.
"Ka, dompetku sudah ketemu?" tanyaku lagi.
"Sudah. Nanti orangnya bakal nganter ke sini." Aku mengangguk.
"Siapa yang nemuin? Pak Parna? O?ce boy?"
"Bukan. Tapi orang lain," ucap Ka dengan senyum di
wajahnya.
??
Ruang perawatan khusus anak-anak kelas satu ini tergolong mahal.
Tapi, aku ingin memberikan yang terbaik untuk Alika. Dia tidak
perlu berbagi kamar dengan pasien yang lain. Lagi pula, dengan
begini, aku dan Ka tidak diusir dari kamar.
Ka terpaksa pergi, urusan kantor membuatnya tidak berdaya.
Tiga hari izin membuat semua berkas menggunung. Kata Ka,
tingginya melebihi gunung kembar milik Deswita, si sekertaris
seksi. Gadis gila itu selalu berusaha membuatku lebih ceria.
Kadangkala aku lupa memikirkan apakah Ka juga senang berteman
Labirin
denganku? Apa dia tidak bosan dengan sikap menyebalkan ini?
Suara ketukan di pintu. Aku mempersilakan masuk. Mungkin
salah satu perawat atau petugas kebersihan. Yang muncul adalah
Mars dan Han. Aku tidak percaya. Bagaimana mungkin. Lalu, di
belakang mereka ada Ka.
"Tadi ketemu mereka lagi muter-muter nyariin kamar ini,"
ucap Ka sebelum aku bertanya.
"Kalian taunya dari siapa?" tanyaku ketus.
"Dari sekertaris seksi yang berhasil kuajak makan siang," sahut
Mars. Ka dan aku menatap penuh cemooh. Deswita tidak perlu
dirayu. Dia tak akan pernah menolak ajakan keluar dari pria yang
bertampang dan berdompet tebal. Apalagi, menurutku, Mars
memiliki keduanya.
"Sakit apa Alika, Liz?" tanya Han sambil mendekati ranjang
putriku. Belum sempat aku membuka mulut, Alika terbangun dari
tidurnya. Han terlihat tidak enak, dia mundur dan berkata pelan.
"Kami mengganggu jam tidurnya ya?"
"Kamu sih nggak, Jo. Tuh yang berisik." Ka memasang
tampang nyolot ke Mars.
"Tidak juga, Alika memang sudah harus bangun. Makan dan
minum obat," sahutku sambil mengelus keningnya. Syukurlah,
demamnya sudah membaik.
"By the way, kantin di mana ya letaknya? Aku kelaperan nih."
Mars berbicara keras.
"Berisik!" bentak Ka, "kecilkan suaramu."
"Volume suaraku sudah seperti ini sejak dari orok (bayi)," sahut
Mars tidak peduli.
"Keluar sana, gih. Ke kantin, isi perutmu biar mulut itu bisa
senyap." Ka mendorong Mars keluar. Tapi, dengan cepat, pria itu
Labirin
menarik Ka untuk mengantarnya.
"Nanti kalau aku tersesat bagaimana?"
"Biarin! Makan aja di kamar mayat!"
Pertengkaran keduanya masih sayup terdengar.
Han tersenyum. "Tidak berubah," ucapnya merujuk pada
Mars.
"Iya," jawabku.
Han membantuku membawa gelas minum saat aku menyuapi Alika bubur. Lucunya, Alika begitu suka padanya. Han
menyanyikan lagu-lagu dan membuat berbagai suara dengan
mulutnya. Tubuh tinggi besar itu selalu menyimpan kelembutan.
Dua hari berikutnya, Han dan Mars selalu datang. Awalnya aku
tidak menyetujui, tapi dua makhluk menyebalkan dan keras
kepala ini tidak bisa ditolak. Mars selalu saja bisa memancing
Ka mengomel panjang lebar dan menemaninya ke kantin.
Meninggalkan aku dan Han berduaan.
"Alika sudah lebih segar," puji Han saat putriku menghabiskan
semangkok bubur.
"Iya, Oom. Kata Mommy, kalau mam banyak, bica puyang."
"Itu baru pinter. Nah, kalau sudah sehat. Nanti kita main ke
mal ya." Han pasti sekadar menyenangkan Alika. Tapi, dia belum
mengenal sifat putriku. Alika pasti akan terus bertanya mengenai
janji tersebut. Apalagi Alika sangat suka jalan ke mal. Si Centil
ini senang mengunjungi toko aksesori, memilih jepitan rambut,
bando, pita, topi, ataupun pernak-pernik lainnya. Sangat jauh
berbeda denganku.
"Lihat," ucap Han menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna
pink.
Labirin
"Apa ini, Oom?" Alika memperhatikan dengan saksama.
"Coba kamu buka." Han menuntun tangan-tangan mungil
Alika menekan sebuah tombol. Dalam sekejap, kotak terbuka. Ada
boneka peri di dalamnya, berputar di atas lapisan plastik bening
dengan orgel terlihat jelas di bawahnya.
"Cantik, cantik, cantik!" Alika berseru riang sambil menepuk
kedua tangannya. Tapi, selang infus membatasi gerakan. Dia meringis. Aku segera mendekat, memastikan jarum infus tidak lepas
lagi. Sudah dua kali benda tajam dingin itu harus dipasang ulang.
"Kamu istirahat dulu, Liz. Biar dia bermain bersamaku."
Aku menyetujui begitu saja perintah Han. Kusandarkan
badan pada sofa berwarna kuning. Selama lima hari Alika dirawat
di rumah sakit, ada orangtuaku yang selalu siap menopangku.
Mereka memang sengaja tidak kuminta datang setiap hari karena
kondisi tubuh dan usia keduanya yang sudah senja. Kemudian, ada
Ka yang menemani sejak awal. Bahkan rela tidur di rumah sakit
setiap malam. Lalu, Han yang dua hari ini, dari siang ada untuk
menyemangati dan bermain bersama Alika. Memberi waktu pada
Ka dan aku untuk beristirahat. Sementara Mars, walau sedikit
berisik dan mengacau serta menggoda beberapa perawat, dia juga
memberikan dukungan.
Pikiranku melayang pada malam ketika Han mengantarkan
dompetku. Alika menangis, tiba-tiba saja anak ini minta digendong.
Han lalu memeluknya, mengangkat tubuh Alika dengan mudah, lalu
membopongnya ke sana kemari sementara aku mendorong tiang infus.
Setelah menanyakan kepada perawat, Alika diperbolehkan untuk
berjalan-jalan ke luar kamar.
Sapaan dari seorang wanita paruh baya yang cucunya di rawat di
kamar kelas dua dijawab Han ramah. Han bahkan mengajari Alika
Labirin
salim pada nenek itu.
"Baru satu ya anaknya?" tanya Nenek.
"I ... ya," sahut Han.
"Mirip ibunya, matanya bulat besar. Hitam manis. Katanya
sebaiknya kalau anak perempuan itu mirip ayahnya. Kalau anak lakilaki mirip ibunya. Hidupnya bakal bagus."
Aku dan Han hanya meringis. Entah harus bersikap seperti apa.
Hanya saja aku bersyukur Alika tidak mirip Pria Kapal Karam.
Lihat, pria berengsek itu bahkan tidak mengunjungi putrinya sama
sekali.
"Haloooo, Alika. Uncle Mars dataaaang!" Mars memamerkan
senyum lebar. Sebuah ketukan mendarat di kepala Mars.
"Hei, gadis kasar bisakah kamu berhenti mem-bully-ku?" Mars
memberikan tatapan membunuh yang sama sekali tidak digubris Ka.
"Kalian berdua sangat cocok," ucap Han yang langsung disambut teriakan penolakan keduanya.
"Ogah, aku kan sukanya sama kamu, Han." Ka mendekati
Han.
"Tidak! Oom Han, punya Alika!"
Hah? Apa-apaan ini? Putri kecilku memeluk lengan Han erat.
"Sepertinya kamu dan anakmu memiliki ketertarikan pada pria
yang sama. Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya," kelakar Mars
yang langsung mendapat berbagai tatapan dari kami.
Ka, dengan tatapan bertanya. Han melirik tajam. Aku ingin
menyobek mulutnya.
"Kurasa sudah saatnya aku pulang!" Mars menghilang di balik
Labirin
pintu meninggalkan kekacauan.
"Aku urus kerjaan dulu," ucap Ka. Dia pergi dan aku tidak
mampu mencegahnya.
Kuharap ini bukan awal dari badai.
Labirin
??
PART 15
Johan: Benang
Aku tahu sebaiknya diam dan tidak banyak bertanya.
"Oom, gendong," rengek Alika manja. Aku tersenyum. Setidaknya,
ada putri kecil yang dapat mencairkan suasana setelah ketegangan
akibat ucapan bodoh Mars.
Liz mengikuti gerakan mengayunku melalui ekor matanya.
Sesekali dia tersenyum saat Alika menarik rambutku. Belum lagi
tangan kreatifnya dengan cekatan memasang jepitan Hello Kitty
pada rambutku.
"Oom cwiit," ucap Alika.
"Alika juga sweet." Kuambil ponsel dan mulai mengabadikan wajah lucu itu. Lalu, kusodorkan ponsel pada Liz. "Fotoin
dong."
Liz manyun, tapi terlihat garis senyum pada wajahnya. Aku
dan Alika bergaya, kuajarkan gaya ala alay masa kini yang membuat
Liz berdecak.
"Keep smileee!" teriak kami bersamaan.
Tidak kusangka, aku menemukan kebahagiaan saat melihat
senyum bocah kecil ini. Tidak pernah kuduga, muncul perasaan
sayang bukan hanya pada Liz, tapi pada putri kecilnya pula. Aku
juga membayangkan, bila dulu kami jadi menikah, bocah ceriwis
ini pastinya adalah anakku. Jika....
Ketika Mars menemaniku mencari informasi mengenai
keberadaan Liz yang tidak dapat ditemukan beberapa waktu lalu,
aku dikejutkan sebuah fakta. Meski aku mulai menduga-duga sejak
kejadian cincin di jari manis Liz.
"Liz? Ngapain juga nyariin dia yang sudah janda. Mendingan
sama yang masih gadis." Lirikan sekretaris seksi itu menggoda Mars
juga aku.
"Janda?" ucapku dengan nada suara meninggi.
"Kan dianya diceraikan begitu saja sama suaminya. Menyedihkan, apa pun nggak dapat."
Tanganku mengepal kuat. Bagaimana bisa Lukman menceraikan
Liz? Mengapa sampai terjadi perpisahan? Sungguh aku ingin menarik
kerah kemeja Lukman, menempelkan pada dinding, menghajarnya
hingga dia mengakui semua kesalahannya. Lalu, akan kulempar dia
hingga bersimpuh pada Liz, memohon pengampunan.
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mars menginjak kakiku. Wajahku masih tegang.
"Liz ada utang sama dia. Jadi, kami datang menagih. Hanya saja
Labirin
ponselnya dimatikan, kami kehilangan jejak. Jadi, tolonglah pria-pria
malang ini, Nona." Bujuk rayu Mars berhasil membuat gadis centil
itu membeberkan cerita mengenai Liz dari versinya.
Tapi, saat itu juga aku bersyukur. Dengan begini, artinya aku bebas
mendekati Liz lagi.
??
Hari ini Alika sudah bisa pulang. Kubantu Liz memasukkan
barang ke dalam mobil. Ka juga berada di sana, walau sekarang
gadis ceria itu sedikit menjaga jarak. Sedangkan Mars masih sibuk
menanyakan pin Blackberry milik salah seorang perawat berlesung
pipi.
"Aku yang nyetir," tawarku pada Liz. Dia menimbang sesaat,
lalu mengangguk.
Ka menarik Mars yang masih bergurau dengan gadis-gadis
front desk rumah sakit. "Jalan!"
"Astaga, sebegitunya dirimu ingin satu mobil denganku," ejek
Mars. Ka membelalak.
"Aku naik taksi saja," ucap Ka kesal. Mars gelagapan mengejar
gadis itu. Dia melontarkan beberapa perkataan lucu, Ka tidak
bergeming. Masih berdiri menunggu taksi. Akhirnya, Mars
menyeret paksa Ka menuju Rush hitamnya.
"Aku tidak mau satu mobil dengan Penjahat Kelamin!" teriak
Ka kesal. Kulihat Mars membopong Ka.
"Aku tidak mau berurusan dengan Ulegan Sambel lagi," ucap
Mars, lalu memacu mobilnya mendahuluiku.
Labirin
Aku dan Liz tertawa melihat tingkah keduanya.
Tapi, senyumku memudar saat kendaraan menuju arah Jalan
Kelinci. Sejujurnya, ada perasaan takut untuk datang ke rumah
orangtua Liz. Apakah mereka masih ingat denganku?
Keringat dingin mulai menyerbu tubuh. Bahkan sejak mobil
yang kukendarai ini memasuki Jalan Kelinci, jantung ini bagai
dilompati sekumpulan kelinci.
Banyak sekali perubahan di sini. Jalanan masuk sudah rapi,
menggunakan paving block. Papan-papan penunjuk gang kecil
dipasang menggunakan kayu serta plakat berbahan seng. Selokan
juga terurus baik. Rumah-rumah banyak yang telah berganti
wujud. Dulu, banyak yang berbahan kayu dengan atap seng.
Sekarang, dinding semen bercat warna-warni berjejer.
Apakah warung di persimpangan jalan masuk Kelinci Dua
masih ada? Tempat biasa aku menunggu Liz. Kadangkala, aku
membeli rokok ketengan serta sebungkus roti isi cokelat di sana.
Masih, ternyata masih ada. Liz mengatakan kalau pemiliknya
sudah berganti. Bude Endang telah menutup usia dua tahun lalu.
Anak dan menantunya kini mewarisi rumah kecil tersebut.
Mobil berhenti lama. Aku masih duduk. Liz memberi isyarat untuk
turun. Ragu melanda. Kedua orangtuanya berdiri di depan pagar
rumah dengan leher menjulur, mengamati jalanan kompleks.
Menanti kepulangan cucu mereka. Kulihat kedua orangtuanya
sudah mendekat. Mereka segera menyambut cucu tercinta. Dari
mulut ceriwis itu mengalir berbagai cerita selama di rumah sakit.
Sayup kudengar namaku disebut.
Aku menurunkan barang-barang dan meletakkannya di
meja teras. Di belakang terlihat mobil Mars melaju dan berhenti
Labirin
secara tiba-tiba tepat di belakang mobil Liz. Beberapa tetangga
melongok keluar. Mereka memperhatikan kami. Bahkan ada yang
sengaja mendekat dan menyapa. "Sudah sembuh cucu e?"
"Sudah. Ini sudah ceriwis lagi."
Aku merasakan tatapan aneh dari ayah Liz, Pak Pur?Purnomo
Hadi nama lengkapnya. Dia mengikuti tiap gerak-gerikku.
Matanya seakan bertanya pada Liz. Saat wanita yang rambutnya
telah memutih semua itu menggendong Alika masuk dan berpapasan denganku, dia mematung.
"Ini Oom Cipit, Uti." Alika diajari Mars untuk memanggilku
Om Sipit. Bu Triani kurasa sedang mengolah ingatannya. Perlahan
air mukanya berubah. Dia menatap suaminya gusar. Aku yakin
keduanya mulai mengingat diriku. Siapa aku dan apa yang terjadi
di masa lalu.
Mars dan Ka terlihat sibuk membantu mengambil kantongkantong plastik kecil berisi peralatan yang kami bawa dari rumah
sakit.
"Kenapa dia ada di sini?" Gelegar suara Pak Pur tidak berubah.
"Sabar, Pak. Malu sama tetangga toh," bujuk Bu Triani.
"Sejak kapan kamu berhubungan dengan orang ini?" Pak Pur
menatap Liz tajam.
Kami pernah mengalami ini, dulu. Ini bagaikan piringan lama
yang diputar kembali. Liz tampak lelah. Ka menatap bingung.
Mars hanya berdiri cemas.
"Pulang kamu. Pergi kamu dari sini!" Sekali lagi aku diusir. Alika
memanggil namaku. Namun, Bu Triani segera menggendongnya
masuk. Liz berdiri di antara batas antara sadar dan ruang hampa.
Salahku, membuat dia kembali merasakan semua ini. Tapi
Labirin
Liz, bila kali ini kita mencoba untuk jujur, apakah kita akan
membiarkan adegan usang terus berputar? Atau kita dapat
menciptakan naskah-naskah baru?
Mars menarikku mundur. Dia memaksa kaki ini berdiri di
sampingnya. Lalu, dengan sopan Mars berpamitan, demikian juga
aku. Namun hanya Mars yang dibalas. Johan, tidak pernah ada di
mata mereka.
Ka tetap tinggal. Mars membisikkan sesuatu yang tidak kuketahui. Keduanya mengangguk. Aneh juga melihat mereka akur.
Di dalam mobil aku hanya diam membisu. Mars juga sama.
Biasanya dia sangat berisik juga rewel. Ada saja yang dikomentari.
Dari lamanya lampu merah, pejalan kaki, motor yang menyalip,
dan sebagainya. Mungkin, dia memberikan aku waktu untuk
menenangkan diri.
??
Ka meneleponku, meminta bertemu. Jadi di sinilah aku.
Menunggu gadis itu di warung Pak Lik Puji dengan sepiring nasi
pecel dan teh hangat. Kulihat Ka mendekat, dia mengambil kursi
lalu duduk di depanku. Matanya lesu. Senyum tidak terlihat. Ada
getar emosi pada kilat hitam mata.
"Makan apa?"
"Tidak perlu." Ka duduk tegak, kaku. "Minum saja. Teh hangat
tawar."
Pesanan datang, pada Tiwi dia melempar senyum lemah. Lalu
jemarinya mengetuk meja yang dilapisi plastik bergambar salah
Labirin
satu produk minuman botol, sponsor dari warung-warung tenda.
"Ada apa, Ka?" tanyaku.
"Mengapa tidak pernah kamu katakan kalau masih, selalu, ada
rasamu pada Liz?" Dia membuka percakapan dengan sesuatu yang
cukup berat. Aku mendesah.
"Karena kupikir Liz sudah ada pemiliknya," sahutku jujur.
"Jika," Ka terdiam. "Jika dia sudah bebas, apakah kamu akan
memperjuangkan lagi rasa itu?"
Aku terdiam. Apakah aku berani kembali memperjuangkannya?
"Jika aku maju bertempur, luka akan lebih besar terbuka. Liz
tidak memiliki perisai ataupun senjata. Dia akan terluka lebih
parah daripada aku. Apakah aku tega melakukannya?" Kami
kembali terdiam.
"Mengapa tidak kalian gunakan bersama perisai itu?" tanya
"Karena semua tahu, perisai yang tersedia begitu kecil."
"Berikan perisai itu pada Liz," ucap Ka.
"Dia tidak akan mau menerimanya."
Ka beranjak. Menatapku sejenak. "Jika aku patah hati karena
kisah kalian akan berakhir bahagia, aku rela."
"Angkatlah senjata sekali lagi, Jo." Ka menepuk lenganku.
"Hingga titik darah penghabisan."
??
Aku merenungi ucapan Ka. Menyesap setiap perkataan perlahan.
Peperangan selalu membawa korban, tidak ada hasil yang baik.
Selalu ada luka yang tertinggal. Ada trauma menghantui. Juga
Labirin
kemungkinan untuk kalah.
Lagi pula, kami pernah melalui medan-medan pertempuran
itu. Tidak mungkin kuacungkan senapan pada kedua orangtua
Liz yang seharusnya kukecup kakinya penuh hormat. Juga, karena
putri di dalam kastil itu tidak akan beranjak bila sang raja dan ratu
tak menurunkan restu.
Tuhan, kembali aku memanggil nama-Nya. Dengan semua
kebesaran serta Mahakuasa, Allah, aku mempertanyakan. Takdir
apa yang Engkau tulis, Tuhanku. Apakah benang merahku tidak
pernah dapat terikat dengan Liz? Lalu, mengapa ada pertemuanpertemuan ini?
Aku memang bukan umat-Mu yang taat. Berdoa hanya ketika
masalah menghampiri. Namun, kumohon bantuan-Mu, Tuhan.
Jawaban atas semua kegelisahan ini.
Kami berdua sama-sama berdoa pada pencipta semesta. Mengamalkan ajaran kebaikan serta menjauhi larangan-Mu.
Kami tidak membunuh. Tidak juga berzina. Bukan pula pencuri atau penjahat. Mengapa cinta kami dianggap salah? Haram?
Terlalu banyak dinding labirin dalam dunia ini Tuhan. Sisi
berkelok perwujudan norma di masyarakat, hukum, agama, suku,
ras, golongan, juga kepentingan. Bisakah manusia hanya berjalan
menyusuri jalan setapak yang mereka inginkan tanpa perlu
memusingkan pembatas labirin apa yang akan menghadang?
Sekali lagi aku bersujud pada-Mu, ya Tuhanku. Jadilah padaku
semua kehendak-Mu.
Amin.
Labirin
??
PART 16
Liz: Putih
Ka duduk mendengarkan kisah yang kututurkan. Dia sesekali
menghela napas panjang serta mengetuk meja.
"Jalan itu terlalu berliku dan curam, Ka. Kami menyerah.
Memasrahkan cinta pada peraturan yang berlaku."
"Bodoh!" Ka berdiri, menatapku kesal.
"Ka, maafkan aku. Sungguh, aku mendukung perasaanmu
pada Han. Hanya saja," ucapku lirih.
"Hanya saja secara naluriah kamu mencarinya, Liz. Secara
alami, dua bagian akan saling melengkapi. Mengapa harus
menolak potongan puzzle dari hidupmu dan membiarkan susunan
kebahagiaan tidak pernah selesai?" Ka mengelus jemariku.
"Karena potongan puzzle itu akan membuat sedih hidup lain,"
sahutku, merujuk pada orangtua kami.
"Pikirkanlah jawabannya, Liz. Sesungguhnya, Han adalah
pengaruh buruk atau baik?" Ka menepuk puncak kepalaku.
Menarik wajahku mendekat. Memeluk erat diri ini. Rasanya aku
sudah lama lupa perasaan hangat pelukan. Aku telah menyakiti Ka,
tapi dia tidak marah.
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
??
Han berdiri di depan pintu mal, dia menatap setiap wanita yang
menggendong anak kecil. Sementara Alika sudah berteriak girang.
"Oom Cipit! Oom! Cini!"
Hari ini Han memenuhi janji mengajak Alika jalan ke mal,
setelah menerima gaji?bocoran dari Mars, yang memastikan Han
akan mentraktir kami makan?pertamanya.
Kulihat Han membantu Alika memukul buaya-buaya yang
keluar dari lubang mainan di Funstation. Alika tertawa ketika
Han membuat mulut buaya plastik sedikit pecah karena terlalu
bersemangat. Han segera menyuruh putri kecilku meletakkan
gagang pemukul, memberi isyarat agar diam dan menjaga rahasia.
Lalu, menggendong Alika menuju tempat permainan lain dengan
gaya ?tidak terjadi apa-apa?.
Alika cekikikan sambil menyuruhku menjaga rahasia kecil
mereka. "Sttt...."
Lalu, selanjutnya, Mars dan Ka membawa Alika ke toko buku.
"Dalam misi menghabiskan gaji Han," ujar Mars sambil mengajari
Alika untuk meniru senyum lebar ala penjahatnya. Yang tentu saja
dihadiahi tonjokan dari Ka.
Aku dan Han duduk di Pizza Hut dengan seloyang piza
Labirin
meat lover yang tersisa dua potong setelah diserbu oleh pasukan
kelaparan tadi. Cola yang ?oat-nya mulai mencair membentuk pola
pada cairan cokelat bersoda.
"Sudah berapa lama kamu di Semarang, Han?"
"Empat bulan," jawab Han.
"Tidakkah kamu merindukan rumahmu?" tanyaku.
"Rumah?" Han menyesap minuman dingin, gerakan jakunnya
terlihat jelas. Aku tidak pernah bisa melepaskan pandangan dari
dia. "Apa yang harus kurindukan dari rumahku, Liz? Di sana
memang aku membangun sebuah bangunan. Cita-citaku. Berisi
kamar dan ruangan kecil tempat aku menuangkan ide-ide. Studiostudio musik untuk disewakan. Kafe dengan meja berpayung
aneka warna. Semua terwujud sama seperti yang pernah kubagi
bersamamu. Hanya saja, semua tidak terasa benar, Liz. Itu hanya
rumah, tidak ada keluarga. Sepi, Liz," ucap Han.
Aku tahu di dasar hatinya dia merindukan orangtua dan
saudara-saudaranya. Walau Han tidak pernah ingin mengakuinya. Perasaan terusir membuat Han enggan mengingat mereka.
Mungkin dia sadar, perasaan rindu akan keluarga membuatnya
lemah.
"Di sana tempat orangtuamu berada, Han. Keadaan sunyi
akan menjadi ceria jika kita mengusahakannya. Kuburan sepi
karena manusia menganggapnya begitu mengerikan." Aku
mungkin sedang mengalami kerusakan pada salah satu kabel
otakku sehingga membahas hal yang kadangkala aku sendiri tidak
mengerti. Membicarakan tentang keluarga, sedangkan keluarga
kecil yang kubangun tidak berhasil. Bahkan kandas serta karam.
"Lalu, aku harus memasang musik keras di kuburan?" ledek
Han.
Labirin
"Kalau perlu," ucapku.
""
""
"Aku ingin memiliki keluarga, Liz. Bersamamu."
"Apa maksudmu, Han?" tanyaku dengan perasaan tak keruan.
Benarkah apa yang singgah di telingaku ini?
"Kurasa kamu sudah tahu pasti apa maksudku, Liz."
Jawaban Han membuat aku menunduk. Ada getar pada hati
ini. Semacam riak-riak yang perlahan membentuk ombak. Bisa
saja mengempaskanku pada bibir pantai harapan atau menenggelamkan hingga ke dasar samudra.
Kami terdiam. Diam yang penuh pertanyaan. Diam yang lebih
riuh dari kebisingan apa pun.
"Lalu, apa yang harus kita korbankan demi membentuk keluarga
ini?" tanyaku sedih.
"Tidak ada. Bila untuk menyayangi, kita harus membuang
Tuhan, itu bukan cinta. Namun, nafsu."
Aku membenarkan ucapan Han dengan anggukan pelan.
"Lalu, bila kita membiarkan rasa sayang ini tanpa memperjuangkannya, apa kita tidak sedang menyia-nyiakan kesempatan
kedua yang diberikan Tuhan?" Han berkata dengan wajah
seriusnya. Dia sebenarnya selalu terlihat serius dalam hal apa pun.
"Tuhanmu atau Tuhanku?" tanyaku.
"Tuhan, hanya Tuhan. Yang membedakan hanya tata cara
agama dan kepercayaan itu."
"Kamu mulai lagi, Han." Aku sebenarnya ingin mengakui apa
yang dikatakannya benar. Tapi bagaimana bila nanti di kemudian
Labirin
hari semua yang dipaparkan oleh masyarakat, orangtua, maupun
pemuka agama itu benar? Kita mulai memperdebatkan antara
Tuhanmu dan Tuhanku. Menunjukkan kaumku lebih baik
daripada kaummu, atau sebaliknya.
"Sang Pencipta hanya satu, Liz. Bila Dia menginginkan kita
bersatu, kita hanya perlu mencari jalan, apakah harus ditolak?"
Perkataan Han bagaikan kunci-kunci yang satu per satu membuka
gembok kotak pandora. Dari sana muncul sesosok yang sangat
kukenal. Bukan malaikat ataupun iblis. Hanya Johan, yang telah
lama kubekukan.
??
"Jadi, Han sekarang itu guru TK?" Ka memekik tak percaya.
"Salah, kindergarten." Mars mengoreksi ucapan Ka.
"Sama saja," gerutu Ka.
Aku dan Han terus tertawa melihat tingkah keduanya.
"Kusarankan Liz, sebaiknya Alika di sekolahkan. Dia jadi ada
sahabat untuk bermain. Dan, bisa memberi alasan agar kamu bisa
mengurangi jatah kunjungan ke rumah Lukman," ucap Han.
"Aha! Kamu mencoba menyabotase Alika!" tuduh Mars pada
Han.
Han gugup. "Bukan, bukan itu maksudku. Aku hanya membantu Liz memikirkan alasan yang tidak terlalu keras."
"Alasan yang ekstrem dan keras juga tidak masalah kok. Lagi
pula, Pria Kapal Karam itu tidak berhak menuntut apa pun lagi.
Hak asuh Alika sudah diputuskan pengadilan jatuh ke tanganku. Dia hanya mendapatkan belas kasihan dariku yang ternyata
tidak dipergunakan dengan baik. Kurasa sudah cukup kesempatan
Labirin
kuberikan. Sudah tiga kali dia membuat Alika dalam bahaya."
Memang benar. Lukman sama sekali tidak berubah. Dia tidak
menjaga anakku dengan baik. Pertama saat Alika pulang dengan
pantat lecet akibat ruam popok. Aku menyadari ketika hendak
memakaikan piyama. Ada aroma tidak sedap dari popoknya.
Ternyata Alika seharian memakai popok basah. Hanya karena
nenek tua sedang arisan dan Lukman tidak mau menggantikan
popok putrinya yang sudah penuh dengan kotoran. Jijik
katanya.
Yang kedua, ketika Bea memberikan Alika begitu banyak
cokelat dan permen, dia malah memuji. Apa pun yang Bea lakukan
adalah tepat. Semua yang kuajarkan salah. Aku tidak ingin ketika
Alika sudah lebih mengerti tentang keadaan, mereka memanjakannya berlebihan. Menanamkan ajaran yang dapat menjauhkan
Alika dariku.
Yang terakhir, kejadian kemarin. Itu tidak dapat dimaafkan.
Suka tidak suka, Lukman harus menerima ganjaran yang setimpal.
"Tapi usulan Han untuk memasukkan Alika ke preschool, bagus
juga." Mars terlihat lebih bijaksana.
"Tumben otakmu bagus," ledek Ka.
"Kamu tidak pernah tahu saja kalau aku ini genius," sahut
Mars.
Aku menimbang usulan mereka. "Repot antar jemputnya."
"Makanya biar mudah, masukkan ke Sunshine Preschool and
Kindergarten. Nanti kuberikan diskon khusus deh. Soal antar
jemput, bukannya kita bisa mengandalkan calon pa...."
Mars terbatuk saat Han dengan cepat menyikut dadanya keras.
"Kamu itu pemusik atau perusak?" gerutu Mars.
Labirin
"Harusnya kamu patahkan sekalian tulang rusuknya," ucap Ka.
"Tulang rusukku sudah hilang sejak dulu. Dan, belum
kutemukan. Maka dari itu, aku mencari-cari, mencocokkan dari
berbagai tulang rusuk yang ada di dunia ini. Barangsiapa yang
dapat melengkapinya maka dialah Cinderellaku dan aku Prince
Charmingnya," ucap Mars, lebay.
"Kurasa, saat Tuhan menciptakamu, tulang rusukmu digondol
sama anjing herder," ejek Ka lagi.
Kembali pertengkaran terjadi. Aku dan Han menikmatinya.
Mereka berdua mirip dengan kami dulu. Hal sepele dapat
membuat perdebatan panjang lebar. Perdebatan penuh canda.
Tangan Han meraih jemariku di balik meja kafe. Dia menyadari
ada yang berbeda. Sebentuk cincin kembali menghiasi jari
manisku. Ini pernyataanku Han. Ini keputusanku.
Han menatap, mempererat genggaman seakan tidak ingin
terlepas lagi. Kali ini kita akan mewujudkannya bersama.
"Bukan peperangan, Liz. Tapi kita berdua sedang tersesat dalam
sebuah teka-teki. Yang harus kita lakukan hanya menemukan jalan
keluar dari labirin."
Labirin
??
PART 17
Johan: Dinding Pembatas
Hari ini, kembali kuraih ponselku, sebuah nama terpampang
sedari tadi. Aku ragu untuk menelepon. Biarlah semua
terjadi. Sambungan terasa bagai berabad lamanya, walau baru satu
menit. Suara sahutan di seberang sana bagai mengguyur tubuh
dengan cahaya pagi.
"Ha-ha-halo, Ma." Tanganku meremas ujung kaus. Ini bukan
Johan yang kukenal. Tingkahku seperti remaja yang takut ketahuan
sedang bolos sekolah.
"Han," ucap Mama. Aku menangkap getar pada suaranya.
Getar emosi atau hanya perasaanku.
"Iya, ini Han, Ma." Kembali aku terdiam.
"Kamu sehat, Han?" Mama menanyakan apakah aku sehat.
Aku bahkan tidak mengkhawatirkan apakah Mamaku sehat atau
tidak. Sungguh, aku benar-benar anak durhaka.
"Sehat. Mama bagaimana kabarnya?"
Perlahan, sedikit demi sedikit, percakapan itu mengalir. Mama
menyembunyikan isaknya dalam alasan hidung tersumbat akibat
flu. Sedangkan aku membiarkan air mata mengalir perlahan dari
ujung mata.
Liz benar, sunyi tercipta karena tidak ada bunyi. Bila hendak
mendengar suara, mengapa tidak kita mencoba berbicara.
Beberapa kali aku menelepon Mama, sekadar menanyakan
kabar atau menyuruhnya untuk lebih banyak istirahat. Belum
kukabari mengenai diriku yang ada di Semarang.
"Papamu," pembahasan sore ini mencapai pada titik yang
kutakutkan. Setelah sekian kali perbincangan, pertama kalinya, dia
diangkat dalam topik percakapan.
"Papa apa kabarnya?" Ternyata aku masih terbiasa menyebut
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pria Tua yang pernah begitu kubenci dengan ?Papa?. Darah begitu
kental, mengalir terus di dalam tubuh. Tercipta aku yang bermula
dari perpaduan Papa dan Mama. Tak dapat kuingkari.
"Baik. Dia sudah semakin tua, Han." Mama mengucapkan
setiap patah kata seakan telah tersusun dalam sebundel berkas proposal gencatan senjata.
"Begitu juga aku, Ma."
"Ayah menurunkan sifat kepada anak. Anak mewarisi gen dari
ayah. Sadarkah keduanya kalau mereka begitu mirip?" Pertanyaan
Mama menamparku.
"Kutub yang sama selalu saling menolak, Ma."
Labirin
"Tapi, mereka sama-sama akan kembali pada sisi yang sama.
Kutub utara akan kembali pada utara. Kutub selatan akan menyatu
di selatan." Mama mulai mengeluarkan filosofinya.
"Siapa yang mengajarimu, Ma?" Aku tertawa pelan.
"Cucu Mama. Janice dan Jillian."
Aku bahkan melewatkan berbagai peristiwa penting dalam
keluarga. Termasuk kehadiran si kembar yang kini sudah berusia
enam tahun. Berapa tahun sebenarnya aku tidak menginjakkan
kaki ke rumah yang dulu selalu menyambutku hangat?
"Sembilan tahun, Han. Kamu tidak kembali. Tiga jamuan teh
pernikahan adik-adikmu tak kamu hadiri. Empat kelahiran tak
kamu sambut. Dua kali usaha keluarga hampir bangkrut, tak kamu
hibur Pria Tua itu. Mau berapa kali kejadian lagi baru kamu akan
kembali, Han?" Pertanyaan Mama benar-benar menghancurkan
aku. Dia tidak sedang menyalahkan diriku. Dia sedang memohon.
Apa yang lebih hina daripada anak yang harus membuat Ibunya
mengiba?
"Han salah, Ma. Maafkan, Han." Aku terisak layaknya anak
kecil.
"Kembalilah ke rumah, Han."
Aku terdiam. Mematung.
"Ma, jika Han melakukan satu pembangkangan lagi, apakah Han
tetap boleh kembali ke rumah?"
Kupastikan, Papa tidak akan terima aku membawa masuk
menantu yang tidak sesuai ketentuannya.
Mama membisu. Aku menimbang.
Labirin
"Han akan menikah, Ma."
"Kabar gembira. Puji Tuhan," ucap Mama gembira.
"Hanya saja, kami berbeda." Aku kembali terdiam.
"Berbeda?" Mama bertanya.
"Suku dan agama," ucapku.
Mama diam. Membisu. Tak menjawab.
"Mengapa selalu kamu tempuh jalan yang tidak diinginkan
Papamu? Pulanglah ke rumah. Akan Mama carikan jodoh yang
sesuai," ucap Mama akhirnya.
"Dia janda, beranak satu. Aku mencintainya sejak sembilan
tahun lalu."
"Han. Apa yang harus Mama sampaikan pada Papamu?
Dia pasti gembira mendengar kamu akan pulang. Tapi, setelah
itu, kamu menghantamnya dengan membawa aib masuk ke
rumah? Mungkin saat itu, pintu maaf dari Papamu akan tertutup
selamanya, Han."
"Maafkan aku, Ma." Sungguh aku ingin bersimpuh di kaki
orangtuaku dan memohon ampun.
"Kamu akan menjadi kepala keluarga, Han. Maka dari itu,
wanita yang akan menikah denganmu yang harus ikut dan tunduk
pada aturan kita!"
"Menikah bukan soal siapa yang tunduk pada siapa. Tapi, lebih
pada saling menghormati," ucapku lagi.
"Kembalilah ke jalan yang benar, Han. Pergilah berdoa.
Semoga Tuhan menyadarkanmu." Hanya itu ucapan dari Mama
sebelum sambungan telepon diputuskan.
Jalanku sudah benar, Ma. Hanya lebih berliku.
Labirin
??
Aku pernah menonton film dan melihat beberapa buku
mengenai pernikahan beda agama. Ada beberapa hal yang menghambat. Pastinya restu dari orangtua serta ketentuan dari negara
yang mengatur pernikahan tersebut.
Pemerintah mengatur bahwa dalam pernikahan itu keduanya
harus seagama. Barulah dapat disahkan dan dicatat. Belum ada
Kantor Urusan Agama yang mau menerima pernikahan beda
agama.
Kembali aku membuka blog dan website berisi catatan para
pelaku pernikahan beda agama. Aku pun ikut bergabung di dalam
komunitas tersebut. Semua demi melancarkan usahaku meminang
Liz.
"Serius?" tanya Liz padaku sambil memangku Alika. Kami sedang
mengunjungi Pantai Tirang. Tempat pertemuan pertama kami.
"Ya, aku bahkan sudah ikut dalam grup komunitas itu
di Blackberry Messenger." Kutunjukkan padanya grup yang
terpampang di layar ponselku. Dia melihat dan tersenyum. Alika
turun dari pangkuan. Berlari-lari kecil di hamparan pasir. Berputar
mengelilingi tikar yang kami duduki. Langkah-langkah kakinya
sesekali melompat.
"Add aku juga ke sana," pinta Liz.
"Siap! Your wish is my command," ucapku sambil terus
memperhatikan tingkah Alika.
"Oom," Alika berlari mendekat lalu memeluk lenganku manja. Dia
berusaha menahan topi lebar berbahan jerami yang baru Liz beli
dari penjual di pondok kayu tadi. Angin memainkan rambut ikal
Labirin
Alika, dia begitu mirip dengan Liz.
"Ya, ada apa?"
"Kelang," ucap bocah itu menunjukkan harta karun yang baru
dikumpulkannya.
"Cantik." Kucari sebuah kantong plastik bening tempat
menaruh kue-kue yang sudah habis kami makan. Lalu, meminta
Alika memasukkan kulit-kulit kerang ke dalamnya.
"Waaaaa." Alika memeluk kantong hartanya.
"Nanti Oom bawa pulang. Oom cuci. Baru kita warnai yah,"
ucapku yang langsung disambut tepuk tangan riang Alika.
"Digambal? Krayon," sahut Alika riang.
"Mommy nggak diajak?" Liz pura-pura ngambek. Alika segera
mendekat dan memeluknya.
"Tentu saja Mommy diajak. Mommy kan bagian bersihin
kerangnya ntar," sahutku sambil tertawa melihat reaksi wajah Liz,
manyun.
"Ih, bagian yang nggak enak dilempar ke Mommy." Wajah
sedih Liz mendapatkan elusan lembut dari Alika. Tangan kecil itu
menepuk rambut Ibunya sambil bergumam, "Cayang, cayang."
Perjalanan terjal sepanjang apa pun tidak akan jadi masalah karena
mereka berdua memang layak untuk diperjuangkan.
??
Aku dan Liz tidak sedang merajut hubungan cinta monyet.
Kami serius. Kami akan membuatnya berhasil. Masa berpacaran
mungkin sudah kami jalani bertahun-tahun yang lalu. Itu menjadi
bekal untuk menapaki jalan yang lebih jauh.
Labirin
"Setelah menikah nanti, apakah kita akan tinggal di Semarang
atau di Pontianak?" tanyaku pada Liz saat kami menikmati
semangkuk bakwan malang sepulang jam kerjanya.
"Menikah?" Kuah bakwan malang di mulut Liz hampir saja
muncrat ke mukaku bila dia tidak segera menutup dengan telapak
tangan.
"Ya, menikah," sahutku.
"Bukannya kita baru memulai...." ucap Liz.
"Ya, tapi kita bukan memulai pacaran. Merencanakan masa
depan," ucapku sambil menyodorkan tisu. Aku tidak ingin jalan
di tempat atau terlena. Masih banyak hal yang harus dikerjakan.
"Kamu ingin membangun masa depan bersamaku bukan, Liz?"
Liz membelalak. Dia menggigit pinggir bibir berkali-kali.
"Liz?" tanyaku.
"Tapi,"
"Kenapa?" Aku takut Liz berubah pikiran.
"Apa tidak terlalu cepat?"
"Aku telah menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan
kesempatan ini lagi. Jadi, tidak akan kusia-siakan, Liz." Aku
menatapnya lembut.
Liz ragu, dia masih menggigit bibirnya, cemas. Aku menanti.
Perlahan kulihat dia menunduk lalu segera mengangguk. Aku
tersenyum bahagia. Melihatnya takjub. Telapak tangan Liz
sekarang berpindah, menutup seluruh wajahnya.
Kemudian, aku melihat sekeliling. Sepertinya, aku melakukan
hal bodoh. Bagaimana mungkin menyatakan lamaran?hmm ... ini
termasuk lamaran, bukan??di warung gerobak bakwan malang.
Dengan meja dan kursi plastik, di bawah terpal biru bolongbolong, di tengah ramai dan berisiknya para pembeli. Bahkan
Labirin
iringan lagu dari pengamen pun terdengar fals. Bukankah momen
penting harus dipersiapkan dengan lebih matang? Lihat sekarang,
Liz terlihat sedih.
"Liz, maaf. Aku seharusnya melamar dengan gaya yang lebih
keren," ujarku. Tapi, Liz menggeleng cepat. Kulihat semburat
merah muncul di kedua belah pipinya.
"Liz, kamu kenapa?" tanyaku cemas.
"Jangan pedulikan aku," ucapnya terbata dan malu-malu.
"Mukamu merah, kamu sakit?" Aku benar-benar cemas.
"Aku ... kaget tahu. Kalau mau ngomongin begini harusnya
kasih tahu dulu. Biar aku ada persiapan mental," ucap Liz dari balik
telapak tangannya.
Aku tertawa. Dia melotot. Aku masih terus tersenyum, menahan tawa. Liz mengancam dengan tatapan galak, tapi semburat
merah pada pipinya memberikan kesan manis. "Liz, kamu sangat
manis,"
"Stop, Han. Aku bisa mati karena malu," ucap Liz sewot.
"Kamu manis," godaku lagi.
"Aku ngambek!"
Tawaku sekali lagi meledak. Beberapa pengunjung mungkin
menganggap kami pasangan tidak tahu malu.
??
Liz mengatakan tidak masalah soal pengaturan tempat tinggal. Di
Semarang atau Pontianak. Aku boleh mempertimbangkan dari sisi
kenyamananku.
Bila di Pontianak, tentunya aku sudah siap dengan rumah dan
kafe, mata pencaharianku. Namun, kota itu asing bagi Liz. Bila di
Labirin
Semarang, aku harus mulai mempertimbangkan untuk mencari
kontrakan rumah atau mengkredit rumah tipe kecil yang murah
sebagai tempat kami bernaung nantinya.
Aku harus memikirkan masak-masak setiap tindakan. Uangku tidaklah banyak. Tapi, Liz meyakinkan kalau semua dapat kami
lalui bersama. Urusan utama sekarang ini adalah meminta restu dari
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orangtua kami. Sebuah hal yang tidak mudah untuk didapatkan.
Sore ini, aku memberanikan diri mengunjungi rumah bercat putih
dengan halaman yang dipenuhi tanaman bunga itu. Liz pasti ketarketir menunggu di dalam kamarnya. Dia sengaja pulang lebih cepat
dan aku juga mempersiapkan mental baik-baik.
Kuketuk pintu pagar, Liz menghambur keluar. Dia membuka
dan mempersilakan aku masuk. Tangannya dingin saat kusentuh.
Alika berdiri di depan pintu sambil menatapku cemberut. Sudah
hampir dua minggu kami tidak bertemu, terlebih aku berjanji akan
melukis kerang-kerang yang kami kumpulkan hari itu di Pantai
Tirang.
"Alika," sapaku pada Putri manis bermata lentik.
"Lika lagi cedih. Mogok bicala sama Oom," ucapnya.
"Ada yang ngambek, tapi pakai kasih tahu segala," ledek Liz.
"Tapi Oom bawa ini, lho," ucapku sambil menyodorkan sepasang kerang aneka warna yang sudah kulukis sebagian lalu
kutempel sehingga bisa dibuka dan ditutup.
Alika melirik. Matanya berbinar. Tangannya lalu menyambar
cepat. "Eh, tidak bilang terima kasih?" Liz mengingatkan.
"Maacih, Oom. Oom baik deh," suara Alika kembali manja
dan ceriwis. Lalu, dia membuka kerang dan menemukan kalung
mutiara imitasi berwarna merah muda yang kubeli di salah satu
Labirin
gerobak di dekat pasar pagi.
"Aaaa, kelangnya keluar mutialaaa," mata Alika membelalak
takjub. Dengan cepat dia berlari ke dalam lalu berteriak memanggil
Eyang Putrinya.
Aku tersenyum sekaligus meringis. Perasaan kalut muncul
lagi. Jujur, aku takut bertemu dengan kedua orangtua Liz. Rasanya
belum siap. Namun, kusadari hingga kapan pun tidak pernah ada
kata siap untuk semua ini. Suka tidak suka, hadapi kenyataan yang
terpampang, jangan menghindar.
Wanita tua itu berjalan keluar sambil ditarik Alika. Senyum
di wajahnya langsung memudar. Garis kerutan berganti goresan
amarah. "Ada apa kamu ke sini?" tanyanya dengan nada yang
terlalu sopan dan kaku. Punggung Bu Triani ditegakkan, seakan
ingin memberitahuku kalau dia tidak gentar berhadapan denganku.
"Silahturahmi, Bu," jawab Liz.
"Dia ada mulut toh, kenapa kamu yang jawab?" tanya Bu
Triani.
"Apa kabar, Bu?" Aku berusaha mencairkan suasana tegang.
"Baik, bila tidak perlu melihat wajahmu."
Liz menoleh pada Ibunya. Dari cerita Liz, wanita ini tidak
pernah kasar pada siapa pun. Tidak juga pada Lukman yang telah
menyakiti putrinya. Tapi, hari ini Bu Triani tidak menunjukkan
keramahannya.
Bapak Liz mungkin mendengar suara berisik di depan rumah.
Dia muncul juga di pintu depan. "Kamu! Ngapain ke sini?" bentaknya keras.
"Silahturahmi, Pak," jawabku sopan.
"Pulang kamu! Jangan bawa pemikiran sesatmu kepada
Labirin
putriku lagi!" teriaknya.
"Tapi, aku sungguh menyayangi Liz, Pak. Kami ingin
melangkah ke jenjang yang lebih jauh," kuberanikan diri
menyampaikan maksud hati.
"Tidak sudi aku bermantukan dirimu." Pak Pur menepis
tanganku yang terulur. "Kamu itu pengaruh buruk untuk Liz.
Meracuni otaknya dengan segala ajaran yang tidak pantas. Kalau
kamu sayang dengan anakku, tentunya kamu dapat menjadi imam
bagi dirinya. Tapi, kamu bahkan tidak bisa berkorban hal sekecil
itu untuknya, apalagi untuk hal-hal lain?" Pak Pur mendorongku
keluar.
Liz mencegah. Aku memberi tatapan agar Liz tetap tenang.
Kami tidak boleh menggunakan emosi. Akal sehat dan kasih sayang
adalah yang kami butuhkan dalam meminta restu.
"Jangan pernah datang ke rumah ini lagi bila kamu belum bisa
menjadi imam bagi anakku! Jangan pernah lancang melamarnya
bila kamu sendiri masih begitu egois. Satu rumah tidak bisa dua
nakhoda!"
Hari ini aku gagal. Masuk ke dalam rumahmu pun aku tidak bisa,
Liz. Tapi kutahu pasti, aku telah berada di dalam hatimu, selalu.
Begitu juga sebaliknya.
Tuhan memberi cobaan pada kita. Dia juga pasti telah merencanakan jalan keluar untuk kita pula. Yakinlah, Liz.
Malam ini, hari ini, malam berikutnya, serta hari-hari berikutnya, kita akan terus berdoa, Liz. Kamu dengan cara agamamu.
Aku dengan cara agamaku. Bersujud memohon belas kasihan dari
Tuhan, Sang Pencipta Semesta. Dia, Yang Maha Pengasih.
Lalu, yakinlah, pada akhirnya semua akan menjadi terang.
Labirin
Karena Tuhan mengajarkan cinta kasih serta kebaikan. Sebab,
aku yakin Tuhan tidak akan meninggalkan kita. Untuk itulah kita
dipertemukan lagi.
Labirin
??
PART 18
Liz: Anak dan Orangtua
Anak adalah tanggung jawab orangtua. Mereka adalah milik
ibu dan bapak. Tuhan akan bertanya kepada orangtua
ketika di alam baka, pertanggungjawaban tentang apa yang telah
diajarkan pada anak-anak." Suara Bapak menggelegar di ruangan
kecil ini. Aku sudah pernah mendengar kata-kata ini bertahuntahun yang lalu. Ini juga yang menjadi alasan aku memutuskan
untuk mengakhiri hubungan dengan Han. Dulu.
"Zina itu, Liz! Haram!" tambahnya lagi.
"Zina itu bila kami tidak menikah, Pak." Suaraku mendecit.
"Menikah dengan pria yang berbeda agama itu tidak
diperbolehkan dalam ajaran agama kita," ucap Ibu.
"Tidak seperti itu, Ibu,"
"Dengan pemahaman agamamu yang dangkal, kamu mencoba
mengajari kami? Ibu dan bapakmu yang sudah lebih dahulu mengenal ayat-ayat suci. Yang mengajarimu bagaimana cara melafalkan doa?" bentak Bapak.
"Bukan begitu, hanya saja...." ucapanku mendapat tepisan.
"Pikirkan, Nduk. Apakah setelah orangtuamu meninggal, tidak
inginkah kamu kirimkan doa-doa?" Menghadapi Ibu ternyata lebih
sulit. Dia selalu dapat menemukan titik di mana aku merasa sangat
bersalah sebagai anak bila tidak mengikuti aturan. "Doa-doamu
akan terhalang oleh kesalahanmu ini. Lafalan ayat suci yang kamu
nyanyikan tidak pernah dapat sampai kepada kami."
"Itu tidak benar, Bu. Tuhan akan mendengarkan doa-doa yang
dipanjatkan dengan tulus, tanpa aturan yang mengikat," ujarku
sambil terus memantapkan hati. Tidak goyah oleh desakan orangtuaku.
"Jangan jadi durhaka, kamu, Liz!" Bapak menyudahi pertengkaran malam ini. Sedangkan Alika memelukku erat.
??
Labirin
"Berat, Han." Aku ingin menangis. Desir angin di Pantai Marina
membuat aku merapatkan blazer. Han berdiri, dia hanya meraih
jemariku. Kami tidak pernah lebih dari sekadar berpegangan
tangan. Han, menjaga kehormatanku.
"Bila berat, bagilah beban itu padaku," ucap Han.
"Orangtuaku masih tetap tidak mau memberikan restu,"
ujarku.
"Kita akan meyakinkan mereka perlahan. Dengan keseriusan
serta komitmen dalam menjaga serta mewujudkan hubungan ini,"
sahut Han.
"Lalu, bagaimana dengan orangtuamu?" tanyaku.
Han menatap langit. "Restu orangtua adalah doa untuk
kebahagiaan kita. Karena itu, aku akan mencoba memohon kepada
Papa dan Mamaku juga. Meskipun, aku sudah tidak diakui sebagai
anak."
"Han, apakah jalan yang kita tempuh ini salah?" Aku kembali
bimbang.
"Banyak pasangan yang sama seperti kita, Liz. Mereka berbeda keyakinan namun dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Menjadikan sebuah pernikahan berhasil dan langgeng itu bukan
diukur dari keyakinan, suku, ras, atau usia. Melainkan pada mau
tidaknya pasangan itu saling menghormati, menyayangi, serta
memahami satu sama lain. Tidak menganggap perbedaan menjadi
sandungan." Han memberiku semangat.
"Apakah pasangan yang sama seperti kita juga ada yang berhasil
mendapatkan restu lalu menikah?" tanyaku.
"Ada, jadi yakinlah kita juga pasti akan berhasil."
Han memaparkan rencananya. Dia telah berkonsultasi dengan
seorang penulis yang juga melakukan pernikahan beda agama.
"Ada yayasan di Tangerang yang bersedia membantu kita, Liz,"
ucap Han bersemangat.
"Tapi, kita tetap harus mendapatkan restu baru bisa menikah,
Han." Aku mengingatkan. Ada beberapa kelengkapan suratmenyurat yang harus kami penuhi. Salah satunya surat bermeterai
dan bertanda tangan orangtua yang memberi restu. Sungguh
menyedihkan, untuk bersatu dengan pria yang kusayangi pun aku
masih membutuhkan selembar surat yang tentu saja tidak akan
Labirin
mudah didapatkan.
"Orangtua kita mungkin belum mengerti bahwa penikahan
berbeda ini bukanlah tindakan melawan kodrat. Mereka hanya
perlu diyakinkan," sahut Han.
"Dengan cara apa?"
"Dengan tindakan serta keteguhan cinta kita, Liz." Han menatapku penuh kasih.
"Dulu kita berpisah karena tidak ingin menjadi durhaka, Liz.
Bukan karena sudah tidak cinta."
Aku membenarkan ucapan Han karena memang selalu ada rasa
sayang yang begitu dalam padanya.
Aku ingin segera merasakan kedamaian dalam pelukanmu,
Han.
??
Bapak kembali mengingatkanku akan dosa yang sedang kuperbuat.
Aku mencoba menjelaskan. Dia menolak mendengar. Bahkan
meminta aku segera keluar dari pengaruh buruk Han. Ibu menuduh aku telah diguna-guna. Ini bukan sejenis mantra, Bu. Tapi
cinta.
Cinta tak pernah diduga. Tak berwujud. Tak berbau. Menyebar perlahan. Dari hanya satu titik, kemudian menghangatkan
seluruh jiwa.
Cinta ini juga bukan aku cari. Dia muncul tiba-tiba. Bahkan
sudah pernah kuingkari, namun kembali bersemi. Pernah
pula kubakar habis, rata. Kemudian petak taman hati ditanami
rumpun lain. Tapi lihatlah, rumpun lain mati, kering. Dan, dari
tanah keras gersang, muncul tunas cinta itu. Meskipun tidak
Labirin
pernah kusiram, dia bertumbuh dengan tenang, karena unsur
unsur penting masih tersimpan di jiwa. Karena tunas cinta Han
dan aku, tulus.
??
Sudah enam bulan berlalu. Bapak masih keras menolak. Ibu mulai
lelah. Han tetap tenang. Aku semakin takut.
"Akad di penghulu, lalu pemberkatan di gereja. Kemudian,
baru dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (KCS)." Han mengeluarkan catatan-catatan.
"Tapi surat-surat ini," aku merujuk pada poin-poin yang harus
kami penuhi.
"Ini," tunjuk Han pada poin keempat?surat bermeterai
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan tanda tangan restu orangtua?yang paling sulit didapatkan.
"Wali nikah?" tanyaku lagi.
"Ayahmu atau paman atau saudara. Tapi bila tidak ada, bisa
diwakilkan penghulu. Hanya saja harus ada minimal dua saksi."
Han menjelaskan.
"Bukan di KUA? Hanya penghulu? Semacam nikah siri?"
tanyaku lagi. Han mengangguk.
"Tapi sah secara agama. Dicatatkan nantinya melalui KCS,"
sahutnya.
Sore ini adalah kunjungan Han ke rumah, entah yang ke berapa
kali. Aku sudah tidak ingin menghitung. Alika semakin lengket
dengannya. Namun, orangtuaku tidak membiarkan Han untuk
masuk. Mereka mengusir di depan pintu. Ke mana hilangnya
sopan santun serta ramah tamah yang selalu mereka ajarkan
Labirin
padaku.
Han mencoba meyakinkan kedua orangtuaku akan pernikahan ini. Hanya saja, mereka tidak bergeming.
"Jangan harap kami menerimamu bila kamu saja tidak dapat
menghormati permintaan sederhana ini." Bapak duduk kaku.
Wajahnya menunjukkan bahwa dia akan mempertahankan
pemikirannya hingga titik darah penghabisan.
"Tapi, Pak," ucap Han terpotong oleh tepisan Bapak.
"Kalian bisa menikah, nanti, setelah aku mati!"
"Bapak!" pekikku tertahan, "Jangan berkata seperti itu."
Akhirnya perjuangan kami kembali gagal. Bapak tidak
melembut sedikit pun. Sedangkan Ibu tampaknya mulai lelah.
Berapa lama lagi perjalanan terjal mendaki ini harus dilalui? Dua
babak kehidupanku, belum cukup.
??
"Pak," aku berdiri, menunggu reaksinya.
"Kalau kamu mau membicarakan tentang pria haram itu lagi,
Bapak tidak sudi!"
"Aku dan Han dulu menjalin hubungan selama lima tahun dan
berpisah, Pak. Karena kami tidak ingin menyakiti perasaan Bapak
dan Ibu. Lagi pula, bukankah aku sudah mencoba, Pak? Menikah
dengan Lukman dan kami kandas."
"Itu karena kamu tidak berusaha mempertahankan pernikahanmu. Pria ini pasti telah memengaruhi kamu!" tuduh Bapak.
"Bapak, bagaimana mungkin bisa menuduh aku seperti itu?
Saat menikah dengan Lukman, aku tidak pernah menghubungi
atau menjalin hubungan apa pun dengan Han. Aku setia menjaga
Labirin
kehormatan sebagai seorang istri. Mengabdikan diriku seutuhnya
pada pria yang kuharapkan akan menjadi imam dan pasanganku
hingga maut memisahkan," ucapku dengan suara bergetar. "Bapak
lupa Lukman yang mendua, bukan aku."
Langkah kaki gontai kubawa ke kamar. Di atas tempat tidur Alika
sedang dibuai oleh Ibu. Aku merasakan air mata jatuh perlahan.
"Liz, carilah pasangan yang seiman. Maka, tidak akan berat
jalanmu," saran Ibu.
"Kami sama-sama beriman kepada Tuhan pencipta semesta.
Sama-sama mengamalkan ajaran kebaikan dan cinta kasih. Jadi,
salahkah itu, Bu? Kafir kah dia?" isak tangisku semakin menjadi.
"Dia menyembah Tuhan yang berbeda," sahut Ibu.
"Apakah akan lebih halal jika aku menikahi pembunuh serta
koruptor yang memakan uang fakir miskin dibanding dengan
Han?"
Bapak berdiri di pintu kamar.
"Setidaknya, nanti akan jelas ke mana anak-anakmu dituntun.
Mereka tidak akan dipaksa masuk ke agamanya." Bapak menjawab.
"Apakah Bapak dan Ibu pernah bertanya padaku agama apa
yang ingin kupeluk?"
"Liz!" bentak Bapak. Alika terbangun. Ibu berusaha menggendongnya keluar, mendendangkan lagu-lagu bernapaskan
agama.
"Anak-anak nantinya akan belajar mengenai Tuhan, Pak.
Ketika sudah mengerti, mereka akan diberikan kebebasan untuk
mengikuti panggilan hati mereka. Orangtua mengarahkan, bukan
memaksakan," ucapku.
"Alika? Bagaimana dengan Alika? Dia bukan anak pria itu!"
Labirin
Bapak masih berdiri tegak, tak tergoyahkan.
"Alika sepenuhnya tanggung jawabku, Pak."
"Lambat laun dia akan meracuni pikiranmu, mengotori
keimananmu dan anak-anak dengan kepercayaannya. Lalu, setelah
menikah, kalian akan dipaksa memeluk agamanya," desis Bapak
penuh amarah.
"Tidak akan, Pak. Tak akan ada pemaksaan. Kami telah
berjanji, menghormati dan menghargai kebebasan masing-masing."
Bapak tidak percaya. Dia mundur agar Ibu dapat membawa
Alika masuk. Lalu, kedua orangtuaku keluar bersamaan. Sesaat
sebelum pintu kamar ditutup aku bertanya pada mereka. "Apakah
aku tidak boleh menggapai kebahagiaanku?"
Keduanya tidak menjawab. Pintu kayu ditutup.
Labirin
??
PART 19
Johan: A Shoulder to Cry On
Setiap kali aku menelepon Mama, selalu kusisipkan salam dari
Liz. Tapi, orangtua itu tidak menggubris. Dia malah bercerita
tentang anak temannya. Gadis cantik berusia 23 tahun, berbeda
delapan tahun denganku. Angka yang sangat bagus menurut
Mama.
Gadis, belum menikah, anak rumahan yang rajin bekerja. Satu
tempat ibadah dengan keluarga kami dan, menurut Mama, Papa
juga senang dengan rencana perjodohan yang diusulkan. Marta,
gadis pilihan Mama.
"Aku sudah menentukan pilihan, Ma."
"Pulanglah dulu. Lihat dan temui Marta. Kamu pasti akan
terpikat pada dia," bujuk Mama.
"Liz telah memikatku sejak sembilan tahun yang lalu. Setelah
berpisah pun aku tidak pernah bisa melupakannya, bukankah itu
cinta yang sangat mendalam, Ma?" Pertanyaanku tidak digubris
Mama.
"Akan Mama suruh Jimmy kirim fotonya ke kamu," ucap
Mama masih dengan semangat menjodohkan.
"Fotonya Jimmy? Sekalian kirimkan foto Janice dan Jillian
juga. Terus foto Jesica dan baby Lionell," sahutku sengaja pura-pura
tidak mengerti.
"Bukan, foto Marta. Dia putih, matanya bulat, ada lesung pipi
lagi. Rambutnya panjang dan lurus. Memang tidak terlalu tinggi.
Juga sedikit berisi badannya. Tapi tidak masalah," ujar Mama.
"Nanti akan kukirimkan foto Liz dan Alika untuk Mama lihat.
Mereka sangat manis, Ma. Alika, usianya tiga tahun. Ceriwis. Dia
selalu suka difoto. Setiap pulang sekolah, dia senang membiarkan
angin memainkan rambut ikal berombaknya."
"Tidak perlu." Mama mulai kesal dengan jawaban-jawabanku.
"Mama mau istirahat." Sambungan telepon pun terputus. Aku
tersenyum geli. Orangtua, mereka kadangkala sulit untuk menerima kenyataan bahwa tak selamanya tindakan mereka benar.
Bahwa masa depan anak adalah hak mereka sendiri.
??
"Kamu kirim fotoku dan Alika ke Mamamu? Gila kamu, Han!"
teriak Liz saat kami bertemu di ruang bermain Sunshine Preschool
and Kindergaten. Setiap pagi Liz akan mengantar Alika ke sekolah.
Sedangkan, pulangnya, Alika menjadi tugasku. Pada awal-awal
Labirin
masuk ke kelas bermain, Alika tidak mau ditinggal. Maka, Liz
menemaninya selama dua minggu penuh. Perlahan Alika mulai
dekat denganku. Dua minggu berikutnya, aku yang berada di kelas
menggantikan Liz. Alika sudah bisa menerima kalau aku tidak
boleh terus di ruangan itu. Teman sekelasnya tidak ada lagi yang
ditemani. Selain itu, aku adalah guru di sana, bukan Oomnya.
Bocah kecil itu dengan cepat mengerti dan membaur dengan
sahabat-sahabat baru.
"Memangnya kenapa?" tanyaku.
"Nggak kenapa-kenapa sih," sahut Liz dengan tampang
cemas. Dia masih menatapku tak percaya. Menghela napas, lalu
menggeleng pelan.
"Takut dijampi-jampi?" godaku.
Liz melotot. "Bukan." Aku tertawa.
"Mmm ... lalu?" gumamnya lirih.
"Dia tidak mengatakan apa pun. Tidak juga mau menanggapi
saat aku menanyakan, apakah dia sudah melihat fotomu dan Alika
atau belum," desahku pelan mengerti maksud dari kegelisahan
kekasihku itu, "Biasalah. Orang dewasa selalu saja tidak mau
menyinggung hal-hal yang dianggapnya tidak menguntungkan."
"Oo...." suara Liz lemah.
"Tapi, mau kuberi tahu satu berita penting?"
Liz mengangguk cepat. Dia mendekat saat kuisyaratkan
akan berbisik. "Wajah Marta bahkan tidak bisa menandingi
kecantikanmu."
Liz menjitak keningku. "Kamu! Kukira berita penting apa.
Suka bener sih ngeledek."
Aku meraih jemari Liz. "Itu bukan ledekan. Memang kenya
Labirin
taan dan sangat penting."
Liz tersipu. Dia segera menjauh. Berpura-pura sibuk mengawasi Alika. Menyembunyikan wajah merahnya.
??
Aku menelepon Pipit dan dia cukup terkejut dengan kabar terbaruku. Beberapa kali Pipit meminta aku mengulangi cerita
tentang Liz, untuk memastikan bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Pipit beragama sama seperti Liz, dia menyarankan agar
aku menghormati keinginan orangtua kekasihku.
"Mereka hanya ingin yang terbaik untuk anaknya."
Apakah aku adalah yang terbaik untuk Liz?
??
Aku berpikir dan tiba-tiba saja tebersit sebuah ide gila. "Liz,
cutimu masih banyak?" tanyaku di Minggu pagi. Kami sedang
mengunjungi The Fountain Waterpark yang terletak di kompleks
The Fountain Residences, Ungaran. Sengaja kupilih tempat ini
dibanding waterpark lain karena tempatnya yang asri. Selain
itu, kami ingin coba mengunjungi tempat baru. Lagi pula,
pemandangan dengan latar Gunung Ungaran terlihat begitu indah.
Alika sudah tidak sabar ingin masuk ke kolam dan mencoba
aneka permainan air. Dia menarik tanganku. Kupinta dia menunggu sebentar. Kami harus mencari tempat teduh untuk
Labirin
meletakkan barang-barang.
"Cuti? Masih. Ada apa?" Liz balik bertanya sambil menyusuri
pinggir kolam.
"Akhir bulan ini bisa cuti? Seminggu kira-kira," ucapku sambil
meletakkan tas di sebuah pondokan kecil dekat kolam. Hari ini
weekend, kemungkinan waterpark akan cukup padat pengunjung.
Untunglah kami datang lebih cepat.
"Untuk apa?" Liz memakaikan Alika baju renang bergambar
bunga.
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akan kukasih tahu nanti, setelah cutimu disetujui," sahutku.
Liz mendelik kesal. "Han!"
"Kejutan," ucapku lalu membiarkan wanita yang kucintai
menerka-nerka sementara aku menggendong Alika menuju kolam
setelah melakukan gerakan peregangan badan.
Aku menikmati permainan air dengan Alika. Namun, kami
gagal membujuk Liz untuk ikut serta. Dia memilih duduk dan
menikmati game di ponsel android-nya.
Tapi, ternyata, ketenangan tidak berlangsung lama. Saat aku
menggendong Alika keluar dari tempat bilas, terlihat Liz sedang
bertengkar dengan dua orang. Aku segera mendekat. Ternyata
Lukman dan gadis barunya.
"Kamu!" Lukman menatapku seperti melihat hantu. Kami
memang belum pernah bertemu sejak setelah perpisahanku dengan
Liz dulu. Apalagi saat ini Alika sedang dalam gendonganku.
"Apa kabar, Lukman?" Sapaku sekadar basa-basi.
"Sedang apa kamu di sini?" Lalu, wajahnya semakin panas
ketika menyadari Alika memelukku erat.
"Salim dulu sama Papa," ucapku yang langsung dikerjakan
Labirin
Alika. Bocah itu mengulurkan tangan, hendak salim.
Yang terjadi malah Lukman berusaha merebut Alika, tapi
aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Alika akan aman dalam
pelukan.
"Kembalikan anakku!" bentak Lukman.
"Sebaiknya kita bicarakan baik-baik," usulku, "Di restoran
saja. Tapi setelah aku dan Alika berganti pakaian."
"Tidak! Kita selesaikan di sini. Serahkan Alika, dia anakku,"
teriak Lukman marah.
"Aku sebenarnya ingin segera menyelesaikannya. Hanya saja,
saat ini lebih penting bagiku untuk membawa Alika berganti
pakaian. Pakaian basah tidak baik bagi kesehatannya. Tentunya
kamu tidak ingin putri kecilmu sampai masuk angin, bukan?"
ucapku acuh.
Lalu, kuturunkan Alika di dekat Liz, ibunya. Liz segera
membungkus bocah itu dengan handuk kering.
"Papa dan Mama Bea, berenang yuk," ucap Alika sambil
dibedaki Liz. Lukman tidak menjawab. Dia terlalu fokus dengan
keberadaanku.
Lukman mendesis sinis. Dia menyindir, "Rupanya ini alasan
kamu ngotot mau cerai."
Liz mengepalkan tinju. "Jaga mulutmu, Lukman. Ada Alika."
Aku meneguk air dari botol mineral. Terlintas di pikiran untuk
menyiram Lukman dengan air yang tersisa.
"Jaga mulutku? Lalu, kamu sendiri, mengapa tidak menjaga
kelakuanmu?" Lukman membentak, "Pergi bersama pria yang
bukan suamimu. Sama saja kamu itu perempuan murahan."
"Hati-hati dengan ucapanmu," ucapku tegas.
Liz selesai membantu Alika berpakaian. Dia menyodorkan
Labirin
sebuah training cup berisi susu. Lalu, bocah kecil itu duduk di
samping ibunya sambil meminum susu. Sesekali Alika menarik
tanganku, menunjuk pada orang-orang yang bermain perosotan.
"Tunggu, tunggu, aku baru sadar. Jangan-jangan selama kita
menikah kamu masih sering bermesraan dengan dia? Mantanmu
yang tidak akan pernah bisa bersatu," tuduh Lukman pada Liz.
"Dia selalu bersih, Lukman. Kamu yang kotor!"
Alika tampak tidak mengerti dengan pertengkaran kami. Dia
malah sibuk melihat deretan pelampung aneka bentuk binatang
yang disewakan.
"Bersih? Dari luar saja terlihat putih. Nyatanya isi dalamnya
busuk," ucap Lukman, "Baru saja berpisah denganku, lihat dia
kembali menggandeng mantannya. Lalu, apakah kalian akan
menikah?"
Gigiku bergemeretak. Menahan emosi.
"Aku lupa, kalian berbeda kepercayaan. Tidak bisa bersatu.
Karena itulah Liz lari ke pelukanku dulu. Menyedihkan, sekarang
Rahasia Gambar Sulam Karya Okt Gadis Hari Ke Tujuh Karya Sherls The Wednesday Letters Karya Jason
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama