Ceritasilat Novel Online

Menyusuri Labirin Kehidupan 3

Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan Bagian 3

pun kalian hanya menjadi pasangan selingkuh."

"Tunggu saja kartu undangan pernikahan kami sampai di

tanganmu," balasku kesal.

Lukman terlihat tidak senang. Dia mendorongku. Lalu, menarik lengan Alika paksa. Bocah kecilku menangis, mencari ibunya.

Liz mengejar, pacar Lukman menghalangi. Aku tidak bisa menahan

lagi. Dengan cepat kuikuti Lukman. Lalu, mencengkeram

lengannya. Liz dan Bea?begitu kudengar gadis itu dipanggil?

mengikuti dari belakang.

"Hentikan, Lukman. Aku tidak ingin menghajarmu di depan

Alika," bisikku.

"Kamu pengecut, Johan. Pengecut! Dulu kamu kabur,

Labirin

meninggalkan Liz. Lalu sekarang, untuk apa kamu kembali? Kalian

tidak pernah bisa bersatu," ejek Lukman. Wajahnya meringis

kesakitan, cengkeraman pada lengan berubah merah. Aku tahu ada

kebencian kutitipkan pada jejak merah.

"Salah. Kami akan bersatu dan bahagia. Dan, kamu, akan menyesali kebodohanmu," ucapku pelan lalu Alika kutarik mendekat.

"Papa dan Oom lagi ngapain?" tanyanya polos.

"Sedang menyelesaikan urusan kecil, Sayang." Aku mengecup

kening Alika dan membawanya kembali ke pelukan Liz, Ibunya.

Bea melihat jejak pada lengan Lukman. Dia memekik lalu

meniup penuh perhatian. Seakan angin dari bibir menor itu bisa

menyembuhkan luka dalam sekejap.

"Kamu membuatku kesal, Liz," ucap Lukman. "Aku akan

mengambil hak asuh atas Alika jika sampai kamu menikahi dia.

Aku tidak akan rela Alika sampai teracuni pemikiran buruknya!"

??

Kami tiba di rumah Liz dengan wajah lelah dan cemas. Pasti ada

begitu banyak hal yang dipikirkan olehnya. Ancaman Lukman

yang akan merebut Alika sedikit banyak pasti memengaruhi

pikiran. Liburan kali ini gagal, semua gara-gara Pria Kapal Karam.

Yah, benar juga julukan yang Liz berikan padanya. Lukman

memang tipe orang yang membuat semua hal menjadi rusak.

Kukira Lukman hanya menggertak, ternyata dia benar-benar

melakukan tindakan. Seminggu setelah pertemuan tak terduga

itu, dia muncul di rumah Liz lengkap dengan Ibunya dan seorang

wanita yang entah siapa, mengaku sebagai aktivis perlindungan

anak.

Labirin

Ini gila! Benar-benar gila.

Masalah restu belum kami dapatkan. Sekarang muncul Pria

Berengsek yang tiba-tiba saja sok kebapakan dan memikirkan

perkembangan moral anaknya. Anehnya, selama beberapa bulan

lalu dia tidak peduli anaknya sedang apa, bahkan tidak mempermasalahkan saat Liz hanya memberikan jatah satu hari kunjungan untuk Alika.

Liz buru-buru pulang sedangkan aku yang baru mengantar

Alika dari sekolah, bertemu di depan jalan masuk. Liz menyuruhku

segera pergi, dia takut bakal terjadi pertengkaran yang lebih besar.

Aku menolak. Jika kami menikah, Alika akan menjadi anakku juga.

Oleh karena itu, urusan kali ini aku harus mengetahui dan berada

di sisi Liz, membantunya.

Orangtua Liz duduk berhadapan dengan rombongan Lukman.

Tatapan tajam dilemparkan mereka kepadaku.

"Untuk apa dia di sini?" hardik Lukman. Gayanya begitu

sombong, sok berkuasa. Bila tidak memandang kedua orangtua

Liz, sudah sejak tadi kuhancurkan mulutnya.

"Aku mengantar Alika pulang sekolah," jawabku sopan. Lalu

Alika kuturunkan dari gendongan. Bocah itu menghambur ke

pelukan nenek dan kakeknya, bukan Lukman.

"Pakai apa?" Nenek tua cerewet dengan wajah menyebalkan

menanyaiku sinis.

"Motor," sahutku.

"Astaga! Bagaimana mungkin cucuku diantar pakai motor.

Cuaca panas, berdebu, kotor, angin, dan sangat berbahaya kalau

pakai kendaraan itu. Bagaimana kalau terjatuh dan...." dia menutup mulutnya ngeri.

Oh, demi apa pun itu, nenek tua ini lebih mengerikan

dibanding dua wanita tua yang harus kuhadapi. Aku bersyukur,

Labirin

setidaknya dia bukan Ibuku atau Ibunya Liz.

170

Labirin

"Naik motol asyik, Eyang. Keren. Seperti pembalap!" teriak

Alika riang.

"Lihat, dia bahkan membawa Alika, cucuku ngebut-ngebutan.

Aku tidak setuju!" Dia mencoba menarik Alika mendekat, lalu

memeriksa sekujur tubuh anak itu seakan aku baru saja menyiksa

bocah yang sangat kusayangi tersebut.

Orangtua Liz hanya diam.

"Untuk apa kalian ke sini?" Liz tidak menggubris protes

tidak penting mereka karena dia tahu betapa aku akan menjaga

keselamatan Alika dengan segenap jiwa.

"Kami akan mengambil kembali Alika." Lukman berkata keras

seakan ruang tamu berukuran empat kali lima meter ini sangat

lebar dan semua orang di dalamnya mengalami masalah dengan

pendengaran.

"Putusan pengadilan waktu itu menyerahkan pengasuhan

Alika ke tangan aku, ibunya."

"Tapi, dalam kasus ini, aku berhak mengajukan peninjauan

ulang. Karena kamu membahayakan keadaan jiwa anakku."

Lukman berkata seakan sudah menggenggam kemenangan.

"Dari mana datangnya pemikiran bahwa aku membahayakan

jiwa Alika?" Liz berang.

"Karena kamu akan menikah dengan pria ini. Dia akan meracuni pikiran anakku untuk masuk dalam ajaran agamanya." Picik

sekali pikiran Lukman. Aku tidak terima.

"Lihat itu, pantas saja kalau putraku memilih menceraikan

anak kalian. Dia bukan wanita yang baik, menjadi ibu saja tidak

becus. Tidak bisa membedakan pria baik sebagai imam keluarga

dengan setan," ucap Ibu Lukman.

"Dengar, perceraianku dengan anakmu yang super sempurna

itu terjadi karena kesalahannya."

Lukman membelalak mendengar perkataan Liz. Dia melotot

tajam. Kurasa ada rahasia yang belum terungkap selama ini.

Mungkin Liz menyimpannya, memandang hubungan yang

terjalin serta status Lukman yang masih tetap adalah ayah dari

Alika.

Lukman tiba-tiba saja memutuskan pembicaraan hari ini

sudah cukup. Mereka akan datang lagi nanti dan saat itu Alika

sudah harus siap untuk dibawa kembali ke rumah Lukman.

Liz mengempas tubuh ke atas kursi jati. Matanya merah. Aku

masih berada di sana tanpa memedulikan tatapan tajam Pak Pur.

"Kamu masih memilih pria ini meskipun akan kehilangan hak

asuh Alika?" tanya Pak Pur pada putrinya. Mengapa orangtua tidak

dapat menunggu saat yang tepat untuk melontarkan pertanyaan,

malah membuat anak semakin terpuruk.

"Apakah Bapak takut pada Lukman?" tanyaku lancang.

"Kamu tidak perlu ikut campur!" bentakmya.

"Harus. Karena aku tidak ingin Liz menderita," jawabku.

"Kamu sumber penderitaan Liz, sadarkah?" Pernyataan Pak

Pur begitu kejam. Aku tidak pernah menyakiti Liz ataupun Alika.

"Pak, bila kali ini Lukman berhasil membuat kami terpisah

karena ancaman akan merebut Alika, apakah tidak mungkin dia

akan kembali mengancam hal yang sama saat Liz akan memulai

hidup baru dengan pria lain? Bapak lihat sendiri, Lukman tidak

pernah peduli akan Alika ataupun Liz lagi. Dia bahkan sudah

menggandeng wanita lain. Sadarkah Bapak bahwa ini semua adalah

mengenai egonya sebagai pria. Apakah sebegitu takut dan harus

tunduknya Liz pada Lukman? Dia bahkan sudah tidak berhak atas

hidup Liz lagi. Liz berhak mendapatkan dukungan dari Bapak dan

Labirin

Ibu, bukan tekanan lagi."

Pak Pur meninggalkan kami tanpa menjawab ucapanku.

Sedangkan, aku melihat Liz mulai meneteskan air mata. Dia

menyandarkan kepala di bahuku. Tidak perlu kata-kata, kami

saling menguatkan dalam ketenangan.

Labirin

??

PART 20

Liz: Cuti

Hari-hari yang panjang. Minggu yang melelahkan. Aku

terbangun dengan perasaan ketakutan. Cemas, Lukman

akan berdiri di depan pintu dengan membawa pengacara seperti

yang dia koarkan saat kedatangan yang lalu. Kemudian, mereka

akan mengambil paksa Alika. Duniaku saat itu juga pasti akan

musnah. Itu kiamat, bagiku.

Meski berkali-kali Han, Ka, dan Mars mengatakan bahwa

Pria Kapal Karam tidak bisa mengusik hak pengasuhan Alika lagi

dariku setelah putusan sidang perceraian kami. Tapi, salahkah

jika aku takut? Lukman begitu pandai memutar fakta. Bahkan

kesalahan yang dia perbuat pun diatur agar terlihat bahwa semua

disebabkan oleh aku, istrinya yang tidak memenuhi kewajiban

sebagai pasangan hidup dengan baik. Meski sebenarnya dia dan alat

kelaminnya yang terlalu banyak menuntut.

"Mukamu lecek," goda Han.

"Ya," sahutku lemah.

"Bagaimana dengan pengajuan cutimu? Sudah ada kabar?"

Pertanyaan Han membuatku teringat dengan selembar surat yang

diletakkan begitu saja oleh bagian HRD di mejaku.

"Belum tahu. Aku sedikit kacau...."

Han mengacak rambut yang tadinya kuikat rapi. Dia selalu saja

senang melepas karet gelang di lembar hitamku. Lalu, mengacakacak rambut yang sebetulnya sudah cukup berantakan. "Ya, kamu

memang kacau. Tapi, tenang saja. Ada aku, satu-satunya pakar

yang akan membereskan semua kekacauan itu."

Aku tersenyum lemah. Kukirim chat pada Ka, meminta dia

melihat isi kertas di atas meja. Seharusnya dia cukup membalas,

tapi yang terjadi malah gadis itu muncul bersama Mars di warung

nasi ini.

"Kamu itu selalu aja muncul di saat-saat tidak tepat!" Ka

mengomel panjang lebar sambil menjejakkan pantatnya di kursi

kayu.

"Hei, aku mencari Han, bukan kamu. Jadi, tidak ada urusan

serta kamu tidak perlu GR. Walau aku tahu, dari sisi mana

pun, aku ini terlihat begitu keren. Juga, pastinya kamu sangat

merindukan senyum menawanku, hanya saja. Nona, kamu bukan

tipeku!" Ucapan Mars mendapat hadiah jambakan keras dari Ka.

Aku dan Han tertawa melihat adegan menyenangkan ini.

"Sudah?" ucap Han.

Labirin

"Belum!" Jawab keduanya bersamaan.

"Surat itu?" tanyaku dan segera saja Ka sibuk mencari di saku

blazernya. Dia menyodorkan, lalu tersenyum lebar.

"Cie ... yang mau cuti seminggu. Ada apa nih?" goda Ka.

"Cuti? Latihan bulan madu dulu?" kelakar Mars. Segera saja

Han menjitak kepalanya.
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menyodorkan kertas itu kepada Han dan menatap

meminta penjelasan. Han tersenyum lebar. "Saatnya liburan. Lepas

sejenak dari masalah PKK,"

"PKK?" tanya kami bersamaan.

"Pria Kapal Karam," ucapnya tanpa menunjukkan rasa

bersalah. Aku, Mars, dan Ka tertawa.

"Lalu, tujuannya? Bali? Singapur? Paris?" cecar Ka.

"Las Vegas. Gadis seksi, hinggar bingar, party dan se...." Sebuah

jitakan dihadiahkan Ka pada Mars lagi. Pria itu sepertinya sudah

terbiasa dengan jemari Ka.

Aku menunggu jawaban Han. Lebih dari dua orang yang

duduk bersama kami.

"Pontianak. Kita akan menjala restu dari orangtuaku. Semoga."

Han tersenyum dan aku membelalak.

Pontianak? Negeri mana itu? Tidak, aku tahu letaknya.

Hanya saja. Pontianak? Lebih mengerikan daripada aku harus

mengunjungi Pulau Boneka di Meksiko. Bukan, bukan karena

seram atau ada hal-hal menakutkan. Hanya saja, ada orangtua Han

di sana.

"Serius, Han?" tanyaku pelan.

"Serius! Aku akan pesan tiga tiket," jawab Han.

"Tiga tiket?" tanyaku lagi. Sementara Ka dan Mars bertukar

pandang.

Labirin

"Aku, kamu, dan Alika," jawabnya enteng.

Kembali aku menelan ludah. "Alika ikut?"

"Tentu saja. Bukankah kita akan memulai kehidupan bersama,

bertiga? Jadi, kita akan melakukannya dengan benar." Han

menatapku, meyakinkan aku kalau ini hal yang seharusnya kami

kerjakan. Aku mengangguk. Namun, beberapa detik kemudian

aku tersadar. "Bagaimana caranya memberi tahu orangtuaku?

Membawa serta Alika, lalu tujuan kita, lalu alasan, lalu orangtuamu...."

"Aku akan pergi meminta izin."

"Gila! Bapak pasti tidak akan setuju. Dia akan mengamuk!"

teriakku panik.

"Tapi."

"Baiklah, kita akan ke Pontianak!" Ka berkata sambil tersenyum.

Aku, Han, dan Mars saling bertukar pandang.

"Ya, aku dan Liz akan mendapat tugas untuk melakukan

pelatihan..." Ka terlihat berpikir sejenak, " promosi pencapaian

target pasar. Yah, itu cukup keren."

Aku menatap Ka. "Alasan. Kalian butuh alasan. Dan, aku butuh

liburan. Jalan-jalan."

"Benar yang Ka katakan. Alasan yang tepat," ucap Mars. Aku

dan Han akhirnya mengangguk.

"Lalu, kenapa bawa Alika?" ujarku lagi.

"Kalau begitu, ganti saja jadi kegiatan gathering keluarga besar

Rainbow TV!" usul Mars.

"Ngapain juga diadakan di Pontianak?" tanyaku.

"Bilang saja sekalian peresmian gedung cabang baru di

Kalimantan," usul Ka.

Labirin

"Ngawur," sahut Mars.

"Karena...." kami berempat terlihat kebingungan.

"Karena omzet terbesar diraih oleh cabang Kalimantan Barat,"

usul Han.

"Nah itu! Itu baru kereeeen!" Kami akhirnya mencapai kata

sepakat. Setelah melakukan tos dan bersulang dengan cangkir

minuman, Han mengambil ponsel untuk memesan tiket.

"Lima tiket, ya," ucap Mars pada Han. Lagi-lagi terjadi, senyap

dan saling pandang bertanya.

"Aku ikut dong! Mana mungkin aku ketinggalan hal seru

seperti ini!" ujar Mars dengan senyum lebarnya.

Gawat! Perjalanan ini entah akan berubah menjadi seperti

apa, aku tidak pernah tahu! Jalani saja. Biarlah Tuhan yang

mengatur. Karena Dia adalah penulis naskah kehidupan yang

menakjubkan.

??

"Gila, kamu bisa tahan dengan panas seperti ini?" Mars mulai

mengoceh saat kami turun dari pesawat.

"Khatulistiwa. Selamat datang." Han tersenyum sambil

menggendong Alika yang mengantuk.

"Lalu, mengapa kamu tidak hitam?" tanya Ka.

"Sudah dari gen yang diturunkan orangtua, mungkin."

Pipit dan pacarnya menjemput kami dengan mobil tempat

kursus. Ternyata, pacar Pipit adalah guru musik. Gadis itu hitam

manis, berambut lurus panjang. Dia tertawa ceria. Namun, sudut

matanya terus mencuri menatap aku. Ini bukan sekadar prasangka.

Labirin

Karena telah berkali-kali aku menangkap basah dia.

Jantungku mungkin sudah lepas kendali sejak pesawat

meninggalkan Bandara Internasional Achmad Yani Semarang.

Suaranya bagaikan tabuhan genderang. Hanya saja, genggaman

erat jemari Han terus memberiku kekuatan. Dia tidak perlu

berkata-kata atau melakukan hal yang besar untuk menyadarkan

betapa dia berusaha menenangkanku.

Alika terbangun ketika kami sampai di rumah Han. Rumah

asri dengan payung-payung meja kafe aneka warna. Dua orang

pelayan kafe menghambur menyambut Han. Mereka bercerita

panjang lebar mengenai keadaan usaha sejak ditinggal Han.

Tidak banyak perubahan, ucap mereka. Namun, tidak berwarna.

Pengunjung merindukan suara Han. Suara Han sangat indah. Aku

selalu menyimpan suara itu dalam ingatan dan hatiku sejak dulu

hingga sekarang.

"Nanti kalian tidurnya di rumah saja. Ini kuncinya. Aku dan Mars

tidur di studio." Han menyerahkanku kunci rumahnya. Aneh,

ini seperti aku sedang menerima tanggung jawab sebagai nyonya

rumah. Padahal belum tentu juga kami akan tinggal di rumah ini,

kota ini, tanah ini.

"Ini di mana?" Alika menarik tangan Han.

"Rumahnya Oom," jawab Han lembut.

"Keyen." Alika mulai berlari melewati kursi-kursi kafe. Lalu,

mengagumi sejenak payung aneka warna. Kemudian, melanjutkan

penjelajahan pada taman kecil di sudut halaman depan. "Ada buah

meyah," teriak Alika.

Han mendekat, menggendong Alika agar dapat meraih untaian

jambu air yang terlihat merah dan menggiurkan. "Mommy, buah!"

Labirin

"Asyik tuh buat ngerujak," ucap Ka.

"Petik aja," sahut Mars.

"Petikin dooong! Jadi laki kok ndak gentle banget sih," ucap Ka.

"Kalau untuk gadis manis, aku rela manjat bahkan metikin

bintang pun pasti bersedia. Tapi kamu? Cuih ... ora sudi," ejek

Mars. Seketika Ka menghajar Mars dan Alika kecil memberi

semangat untuk Tantenya.

Saat Han, Mars, Alika, dan Ka sibuk dengan jambu air, aku

dikejutkan dengan sentuhan Pipit. Dia menunjukkan bahwa dia

ingin berbicara hanya denganku.

Kami duduk di meja sudut, sedikit jauh dari keramaian. Dia

menghela napas berkali-kali hingga akhirnya memecah kebisuan.

"Aku tahu tentang kamu dan Han," ucapnya lalu kembali diam.

Apa dia tidak tahu, aku menanti cemas tiap ucapannya?

"Yah, seperti yang kamu lihat," sahutku berusaha biasa-biasa

saja.

"Aku tahu bagaimana hancurnya Han ketika kamu meninggalkannya dulu," ujar Pipit sambil menatapku lurus.

"Dulu," aku terdiam. Masa lalu, pahit. Masa depan? Masih

tidak jelas. Tapi, kami memperjuangkannya kali ini.

"Aku tidak sedang menyalahkan dirimu. Karena aku juga

berpikir sama. Tidak akan bisa bila satu keluarga dua kemudi."

"Maksudnya?" tanyaku.

"Perlahan, ajaklah dia untuk ikut denganmu. Demi kebaikan

kalian berdua," sahut Pipit.

"Aku menghormati dia sama seperti dia juga menghormati

aku. Kapal ini tidak memiliki dua kemudi. Hanya dua nakhoda.

Yang akan saling membantu, bergantian menjalankan bahtera

menuju lautan kehidupan," ucapku. Pipit menatap lalu meng
Labirin

geleng. "Semoga kamu akan segera sadar."

??

Mengelilingi kota Pontianak terasa menyenangkan. Han memboncengku dan Alika dengan motornya. Sedangkan Mars, dia

terpaksa harus duduk di belakang Ka yang mengendarai motor

dengan wajah merengut seperti ikan mujair. Sepanjang jalan,

Mars memprotes Han yang tidak memiliki mobil serta membuat

harga dirinya harus jatuh karena dibonceng oleh gadis jelek seperti

Ka. Tapi, omelan berbanding terbalik dengan kejahilannya yang

sengaja memeluk pinggang Ka. Alasannya terlalu banyak untuk

dijabarkan.

Han mengajak kami menikmati makanan khas kota kelahirannya. Dia tampak lebih bercahaya di sini. Sesekali bertukar

sapa dengan beberapa teman yang kebetulan lewat. Bercerita

tentang tempat-tempat kenangannya; sekolah, kafe, pekerjaan,

warung-warung, dan lain sebagainya. Ternyata Han memang

lebih cocok tinggal di sini. Lalu, apakah aku sanggup menemaninya? Meninggalkan Semarang, kota kelahiranku? Tempat persembunyianku?

Beranikah aku melangkah keluar dari bentengku? Lalu, masuk

ke dalam kerajaan antah berantah. Mulai dari awal lagi. Tanpa

satu orang pun yang kukenal baik. Tanpa keluarga, sanak saudara,

maupun sahabat. Hanya memiliki Han dan Alika. Lalu, apakah

Alika juga suka berada di sini? Mampukah Alika beradaptasi?

Bukan Alika. Tapi, aku yang tak mampu beradaptasi, kukira.

Labirin

??

PART 21

Johan: Riak

Liz takut. Aku juga. Di permukaan, air sungai tidak beriak.

Tenang. Namun, tak pernah ada yang tahu, di dasar lapisan
nya menyusut. Menyedot air, perlahan. Sama seperti nyaliku saat

ini. Mengerut, serupa keong terkena garam. Hanya saja, aku sudah

melangkah dan tidak boleh lagi mundur. Siapkah aku? Tidak. Tapi,

siap atau tidak, inilah perjalanan kami. Aku harus memimpin

pasukan untuk maju, mencapai garis akhir yang kami impikan.

Keluarga kecil, milik kami bersama. Aku, Liz, Alika, dan mungkin

bayi-bayi kecil lainnya.

Hari kedua di kampung halamanku, Pontianak. Mars terus

mengoceh mengenai panas matahari, sementara matanya terus

melirik gadis-gadis berkulit putih dengan mata sipit. Sedangkan

Ka menunjukkan wajah kesal dengan tingkah sahabatku. Mungkin

saja dia cemburu, atau aku salah menilai. Alika tidak bermasalah

dengan kota ini. Dia terlihat asyik menikmati pemandangan,

menjelajah wilayah baru. Sementara Liz, tampak berusaha

menunjukkan rasa nyaman di sini walau dialah yang paling

kebingungan. Bukan salahnya. Aku juga pasti akan mengalami

hal serupa. Berada di kota tak dikenal. Tempat di mana orangtua pasanganmu tinggal, itu sudah cukup memberi tekanan.
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu, menghadapi mereka menjadi tantangan lainnya. Ditambah

kenyataan bahwa aku adalah anak terusir yang tidak pernah pulang

ke rumah selama sembilan tahun ini. Tak hanya itu, sebuah hal

yang paling berat adalah, apa reaksi yang akan diberikan orangtuaku saat mengetahui jika Liz adalah janda satu orang anak

yang memiliki kepercayaan berbeda denganku, apa? Dan, tebak,

kami akan muncul di sana untuk meminta restu melangsungkan

pernikahan. Kurasa bukan Liz saja yang akan pusing, keluargaku

juga akan terkejut.

Bagaimana tanggapan orangtuamu nanti?

Itu pertanyaan Liz berulang kali. Aku tidak bisa menjawab. Tidak

ingin menerka. Juga tidak ingin membuat Liz semakin cemas. Satu

hal pasti, aku tidak akan membiarkan Liz dan Alika terluka, tidak

akan.

"Malnya cuma ini?" Mars menatap bagian tengah Lantai Dasar A.

Yani Mega Mall. Dia menatap sekeliling.

"Ada Pontianak Mall, yang menurutku hanyalah kompleks

perkantoran. Lalu, Mall Ramayana, lebih mirip sebuah department

Labirin

store yang fasilitasnya sangat kurang. Ada Matahari Mall Jend.

Urip. Tidak terlalu besar. Kadangkala tangga berjalannya tidak

jalan," sahutku sambil mengarahkan ke sebuah tempat makan.

"Ha! Kota ini butuh tempat rekreasi lainnya. Ini sudah mirip

pasar malam," sahut Mars sambil mengedarkan pandangan

pada sekeliling yang padat dan ramai. Malam ini ada acara yang

dilakukan oleh salah satu produk susu bubuk anak. Ada stand

produk, permainan, buku, juga ada panggung dengan pembawa acara serta penyanyi. Aku dulu sering mengisi acara-acara

ini. Kerinduan kembali menyergap, memetik gitar, ataupun

bersenandung memberi alunan musik pada pendengar adalah hal

yang sangat menakjubkan.

Suara Mars menarikku keluar dari melodi yang lama itu.

"Banyak hal yang bisa dilakukan di kota ini. Masih begitu banyak

tempat dan kesempatan!" ucap pria itu berapi-api.

"Mengapa tidak kamu saja yang berinvestasi di sini, Mars?"

ledekku.

"Ya, tenang saja. Tunggu aku menemukan uang bermiliarmiliar dulu." Mars membalas.

"Mimpi saja kamu, tukang mimpi." Ka mencibir.

Setelah berkeliling sejenak. Ka mengeluhkan perutnya yang

lapar. Lalu, aku memberikan beberapa pilihan tempat makan.

Akhirnya, dipilih tempat makan Cobek Penyet dengan aneka menu

masakan nusantara. Kami duduk di tempat yang mirip lesehan.

Bagi pengunjung yang tidak suka lesehan, mereka tetap bisa

duduk sambil berselonjor karena tepat di bawah meja ada lubang.

Sehingga, pengunjung tidak perlu membuka sendal atau sepatu.

Aku, Mars, Ka, dan Liz sibuk memesan makanan, berdebat hal-hal

Labirin

sepele. Sementara, Alika berdiri di pagar pembatas yang langsung

menghadap bagian dalam mal. Pengunjung berlalu-lalang, naik

turun eskalator. Ada yang keluar masuk dari pusat perbelanjaan Ace

Hardware. Beberapa kali, Alika mengajak kami menuju seberang,

tempat bermain Amazone. Liz membujuknya dengan alasan kami

harus makan dulu.

Setelah selesai makan, Ka dan Mars sepakat membiarkan

aku berduaan dulu. Awalnya, mereka ingin membawa Alika serta

berkeliling. Namun, bocah itu lebih senang duduk bersama ibunya.

Kemudian, aku terlibat pembicaraan panjang dengan Liz mengenai

rencana mengunjungi rumah orangtuaku. Liz mencoba mengenali

medan dan lawan. Kuceritakan isi rumah, seingat otak ini. Maklum

saja, sembilan tahun bukan waktu yang cukup singkat. Bisa saja

banyak hal terjadi, perubahan kecil ataupun perubahan besar.

Bahkan, aku baru tahu dari pembicaraan dengan Mama bahwa aku

sudah punya tiga keponakan lucu. Si kembar Janice dan Jillian dari

adik laki-lakiku, Jimmy, dan istrinya, Yanti. Lionell, bayi lucu dari

adik perempuanku, Jesica, dan Hendra?anak dari tangan kanan

Papa?yang seusia denganku.

Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Perbedaan usiaku

dengan Jimmy dan Jesica cukup jauh. Lima dan tujuh tahun

bedanya. Mama memang sepertinya sulit mengandung. Walau

dia tidak menggunakan alat kontrasepsi pun, dia tidak kunjung

mengandung setelah melahirkan aku. Seingatku, sebelum Jimmy,

Mama dua kali keguguran. Pada saat kehamilan pertama, Mama

mengalami banyak sekali kesulitan. Aku sering diingatkan agar

membalas semua pengorbanan Mama ketika besar nanti. Lucunya,

aku malah membangkang.

Kemungkinan besar Jesica sudah tinggal bersama suami dan

Labirin

anaknya. Jadi, yang tersisa di rumah adalah Papa, Mama, dan

keluarga kecil Jimmy. Liz mengangguk. Sesekali mata Liz melihat

putri kecilnya yang sedang asyik berbincang dengan pasangan yang

duduk di kursi luar rumah makan. Mereka mungkin menunggu

pesanan take away.

Alika bercerita riang, bertepuk tangan, menyanyi, dan tersenyum. Pasangan tua itu tampak menikmati celotehan Alika.

Keduanya lalu beranjak saat cucu-cucu mereka memanggil.

Aku tidak terlalu peduli. Saat ini otakku sedang sibuk mengatur

pertemuan dengan orangtuaku. Membayangkan penyambutan

mereka. Ucapan-ucapan serta sikap mereka semua. Terlalu rumit

dan memusingkan. Aku harus mengambil napas sejenak.

"Koh," sapaan yang terdengar familier. Dari awal masuk ke mal,

aku bertemu banyak teman-teman yang sudah lama tidak kutemui.

Sebentar kami bertukar sapa, cerita, maupun candaan. Bukan hal

yang aneh jika penduduk kota Pontianak di malam Minggu akan

kebetulan berkumpul di mal karena minimnya tempat rekreasi

keluarga.

Saat kutolehkan kepala, desir menjalar dari ujung tengkuk

hingga kaki. Darah yang mengalir begitu cepat. "Jim."

Liz menoleh, Alika masih asyik memainkan tisu di atas meja.

Merobek hingga kecil.

"Sama siapa aja, Jim?" tanyaku sembari mengedarkan pandang

ke arah meja di belakang kami yang terisi oleh istri dan anak

kembar Jimmy.

Adik laki-lakiku menunjuk pada keluarganya lalu memperjelas

dengan memperkenalkan mereka. "Yanti, lalu si kembar Janice dan

Jillian."

Aku mengangguk, kemudian tiba saatnya memperkenalkan

Labirin

calon keluarga kecilku. "Ini Liz dan Alika."

Tampak Jimmy terdiam. Yanti lebih sigap. Dia menyambut

uluran tangan Liz dan tersenyum. Bertukar sapa, menanyakan usia

Alika, serta berkomentar mengenai indahnya rambut ikalnya. Si

Kembar terlihat asyik bermain dengan Alika. Sesekali bocah-bocah

SD kelas satu itu menguncir rambut Alika lalu menjepit dengan

beberapa pita kecil yang baru mereka beli?bahkan label harga

belum dilepas?di toko aksesori Naughty.

Liz mencoba bercakap-cakap dengan Yanti sementara aku

ditarik menjauh oleh Jimmy. Wajahnya terlihat berbeda, Jimmy

dulu masih muda. Sangat muda. Kurasa dia mengalami pernikahan

yang dimulai dengan kesalahan. Kudengar kabar kalau Yanti

hamil duluan, baru dilakukan proses cepat mulai dari lamaran,

pertunangan, hingga pernikahan. Usia Jimmy dan Yanti waktu itu

19 tahun. Aku 24 tahun dan berada jauh di seberang lautan. Hanya

doa yang mengiringi setiap langkah mereka agar bahagia yang

dapat kupanjatkan, tidak lebih.

"Le (kamu) sudah menikah, Koh?"

"Akan," jawabku.

"Dengan dia?" tanya Jimmy.

"Yup," sahutku penuh keyakinan. Aku akan menikah dengan

Liz, pasti.

"Dia ... maksudku, anak itu kalian."

"Alika anak Liz dari pernikahannya yang terdahulu. Tapi, aku

menyayangi anak itu setulus hati. Lagi pula, Alika masih kecil. Dia

juga tidak pernah berharap akan memiliki ayah tiri," ucapku pelan.

"Dia ... beda dari kita. Orang mana dia, Koh?" tanya Jimmy

lagi.

"Orang Indonesia," sahutku sambil tertawa kecil, mencoba

Labirin

sedikit berkelakar.

"Aku tahu orang Indonesia. Maksudku...."

"Semarang," jawabku lagi.

Jimmy diam, melirik ke arah Liz lalu Alika.

"Kapan akan menikah?" tanya Jimmy lagi.

"Segera, setelah mengantongi restu dari Papa dan Mama juga

orang tuanya."

Jimmy menatapku bingung. Aku menggaruk kepala yang tidak

gatal.

"Kamu akan memberi tahu Papa mengenai rencana pernikahanmu, Koh?"

Aku mengangguk. "Pastinya. Karena biar bagaimanapun, aku

ingin Papa dan Mama hadir dalam pernikahan sederhana kami

nantinya. Juga, aku sangat butuh restu dan persetujuan dari mereka

berdua."

Jimmy kembali mengerutkan dahi, "Restu memang sangat

penting. Tapi, bagaimana bila, Papa...."

"Aku akan memohon, Jim. Karena tanpa tanda tangannya

di atas kertas persetujuan bermeterai, sulit bagi kami untuk

melangsungkan pernikahan," sahutku lemah.

"Hah?" tanya Jimmy bingung.

"Pernikahan beda agama masih sulit diterima oleh Kantor

Catatan Sipil di negara ini. Kalaupun ada, syarat-syaratnya itu

banyak. Salah satu dan yang terutama ya, restu orangtua kedua

belah pihak."

Mata Jimmy melotot, walau tidak terlihat begitu jelas perbedaannya. Hanya saja bola mata itu diam, tetap di tempatnya

selama beberapa saat. Lalu mengerjap cepat, jakunnya naik turun

tanda dia menelan ludah berkali-kali. "Nikah beda agama, Koh?"

Labirin

Aku mengangguk.

"Kamu semakin gila, Koh. Tidak ada kah wanita lain?"

"Perasaan tidak bisa dipaksakan. Kita tidak pernah tahu kepada

siapa panah cinta ditembakkan. Kami berpisah cukup lama, Jim.

Lalu, bertemu kembali dan rasa itu muncul lagi. Tidak berkurang,

bahkan semakin kuat." Aku menghela napas.

"Pikirkan baik-baik dulu, Koh." Jimmy menepuk pundakku.

"Aku pernah kehilangan dia satu kali, Jim. Dan, aku tidak

ingin itu terjadi lagi."

Jimmy akhirnya memilih berhenti berbicara denganku. Dia

pamit ketika pesanan makanan sudah disajikan di meja. Aku

mengajak Liz dan Alika pergi, malam sudah larut. Kami harus

pulang dan beristirahat. Terutama pikiranku ini.

Jimmy saja tidak dapat menerima rencanaku, apalagi orangtuaku. Bagaimana cara agar aku dapat meyakinkan mereka?

Labirin

??

PART 22

Liz: Bocah-Bocah

Setelah Alika tertidur, aku masih saja tidak bisa terlelap. Sudah
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak ada lagi pengunjung kafe atau penyewa studio musik.

Semua karena Han meminta waktu tutup yang lebih awal agar

Alika dapat beristirahat.

Ka dan Mars masih sibuk mengitari kota Pontianak bersama

Pipit dan Dika. Mereka bersemangat untuk makan durian di

pinggir jalan menuju Pasar Mawar. Tempat itu memang penuh

dengan pedagang kaki lima yang menggelar lapak dagangan durian.

Berbekal meja kayu ala kadar untuk memajang durian, lampu yang

entah dari mana datang aliran listriknya, lalu kursi-kursi plastik,

serta kantong dan keranjang bilah bambu sebagai tempat sampah.

Lapak durian mengambil hampir setengah sisi jalan. Sisi buruknya,

para pengguna jalan terhambat dengan parkiran semrawut. Segi

positifnya, lapak ini menjadi mata pencaharian penduduk dan

wisata kuliner ciri khas kota.

Di sini para pembeli yang tidak terlalu pandai dalam urusan

perdurianan cukup duduk, lalu penjual akan memilihkan durian

dan menyajikannya. Bila durian yang dipilihkan kurang bagus,

pembeli bisa menukarnya. Bahkan, disediakan juga air garam

yang bisa diminum dengan menggunakan bagian dalam dari kulit

durian. Alasannya, bisa untuk pencegah panas dalam. Aku tidak

terlalu yakin.

Dari luar jendela, samar kudengar petikan gitar dan suara

merdu yang lama kurindukan. Han. Aku mengintip dari balik

gorden berwarna krem. Dia duduk di salah satu kursi kafe dengan

gitar di tangan. Aku segera beranjak dari jendela menuju pintu

kamar. Kurapatkan kain bermotif bunga-bunga yang membungkus

badanku, lalu berjalan perlahan menuju pintu depan. Di balik sana

ada Han.

Suaranya membius.

Sometimes late at night

I lie awake and watch her sleeping

She?s lost in peaceful dreams

So I turn out the lights and lay there in the dark

And the thought crosses my mind

If I never wake up in the morning

Would she ever doubt the way I feel

About her in my heart

Labirin

Kuurungkan niat untuk menghampiri Han. Tubuh ini

berhenti di depan pintu. Menatap dari kejauhan serta menyerap

setiap suara dari mulutnya.

If tomorrow never comes

Will she know how much I loved her

Did I try in every way

To show her every day

That she?s my only one

If my time on earth were through

And she must face this world without me

Is the love I gave her in the past

Gonna be enough to last

If tomorrow never comes

Han, jika esok tidak pernah datang lagi untuk kita, jika matahari

tidak bersinar terang pada jalan kita berdua, apa yang akan terjadi?

Apakah aku mampu kembali meniti jembatan sendiri? Aku telah

terbiasa dengan adanya kamu di sisi ini, Han.

?Cause I?ve lost loved ones in my life

Who never knew how much I loved them

Now I live with the regret

That?s my true feelings for them never were revealed

So I made a promise to myself

To say each day how much she means to me

And avoid that circumstance

Where there?s no second chance

To tell her how I feel

Aku juga pernah kehilanganmu sekali untuk waktu yang begitu

lama, Han. Jika bisa, jangan lagi kita terpisah. Aku mohon. Tuhan,

Labirin

kumohon. Engkau yang mempertemukan kami dalam langit

takdir. Aku yakin, Engkau akan menunjukkan jalan agar kami

dapat bersama.

If tomorrow never comes

Will she know how much I loved her

Did I try in every way

To show her every day

That she?s my only one

If my time on earth were through

And she must face this world without me

Is the love I gave her in the past

Gonna be enough to last

If tomorrow never comes

So tell that someone that you love

Just what you?re thinking of

If tomorrow never comes

("If Tomorrow Never Comes", lagu dari Ronan Keating)

Aku sayang padamu, Han. Begitu dalam. Aku berjanji akan berjuang

bersamamu, di sisi kamu hingga tujuan kita tercapai. Kemudian, kita

akan membangun awal baru untuk rumah kecil bersama.

Kuharap akan ada masa depan, hari esok bersamamu.

Sampai jumpa pagi nanti, Han.

Labirin

??

"Alika ikut?" tanya Mars.

"Hmm," kulihat Han sedang menimbang, "Ikut."

"Kami ikut?" tanya Ka.

"Tidak perlu, kurasa." Han merapikan baju untuk keempat

kalinya. Dia pasti cemas. Sedangkan, aku ketakutan.

"Rumahnya di mana?" tanya Mars lagi.

"Di Jalan Purnama. Kompleks Purnama Gading, Nomor A8.

Yang dua tingkat. Di depan kompleksnya ada Warung Bakso Sapi

88, cukup enak." Kurasa Han sengaja memberi tahu alamat tujuan

kami agar Mars bersiap-siap ketika terjadi suatu hal yang tidak

diinginkan.

Kami berangkat pagi itu dengan motor Han. Cuaca cukup

bersahabat. Semoga saja ini berarti pertanda bagus. Aku hanya

berharap.

Alika mengoceh tentang air mancur di Tugu Digulist Untan.

Menurut Han, air mancur itu baru saja diresmikan, menjadi ikon

baru bagi kota Pontianak ini. Mahasiswa akan nongkrong di pinggir

bundaran di sekitar tugu dan Universitas Tanjung Pura setiap

malam Minggu ataupun hari-hari libur. Juga, di tempat ini sering

pula dipergunakan sebagai lokasi demonstrasi.

"Sudah dekat?"

"Lewat jalan ini, lalu belok ke Jalan Sutoyo. Terus ntar di

perempatan belok ke kiri. Ndak berapa jauh lagi sih," jawab Han.

"Oom, mau ke rumahnya Papanya Oom kan," celetuk Alika.

Kenapa bocah ini tahu?

"Iya, nanti Alika manggilnya seperti yang Oom ajarin kemaren ya.

Labirin

Panggil Papanya Oom pake ?akong?. Terus, Mamanya Oom, ?ama?.

Terus, adiknya Oom itu panggilnya ?cek-cek?, lalu panggil kakakkakak kembar kemaren itu, Cece Jillian dan Cece Janice."

Ternyata Han cukup sigap. Dia telah membekali Alika dengan

beberapa pengetahuan yang mungkin diperlukan untuk kunjungan

kali ini.

"Siap!" Alika melepas sebelah tangan untuk memberi hormat,

sedangkan aku berusaha menjaga agar bocah ini tidak jatuh walaupun banyak gerak di motor.

"Lalu, aku harus memanggil mereka dengan sebutan apa,

Han?" tanyaku bingung.

"Panggil saja ?Acek? dan ?Ai?, seperti yang kuajari itu." Aku

mengangguk-angguk.

Tuhan, lancarkanlah jalan kami. Kembali aku berdoa di dalam

hati.

Labirin

Han memencet bel di bagian dalam tiang pagar. Ternyata dia masih

ingat hal-hal kecil dalam rumah ini. Salah seorang dari si kembar

keluar, aku tidak bisa membedakan keduanya. Dia berteriak, lalu

Ibunya muncul. Tergopoh langkahnya mendekati kami.

"Koh Johan," sapanya sopan. "Mbak Liz."

"Papa ada di rumah ndak, Yanti?" tanya Johan.

Adik ipar Han mengangguk lalu membuka pagar. "Masuk

dulu, Koh."

Kami berjalan melewati halaman depan, ada mobil New Avanza

perak yang terparkir. Kemudian, di dalam garasi, aku melihat

sebuah mobil berwarna merah, tidak tahu apa merek dan tipenya.

Rumahnya sudah direnovasi, sepertinya. Terlihat rumah dua

tingkat ini berdesain modern minimalis. Berbeda dengan yang Han

gambarkan. Di samping kiri terdapat taman kecil dengan beberapa

bunga dan rumpun tanaman. Ada tiga pot mawar yang berbaris

dengan aneka daun hias juga bonsai. Aneh, aku mulai merasa

semakin aneh. Mungkin saja aku sedang berusaha menyerap semua

informasi, baik itu yang penting, maupun tidak. Perlu atau tidak.

Informasi ini berguna supaya aku lebih mengenali medan. Bisa juga

menerka seperti apa penghuni rumah bercat krem abu-abu ini.

"Liz," bisik Han pelan lalu menggenggam jemariku.

Seorang pria berusia sekitar 60 tahun masuk. Badannya

tidak bungkuk. Rambutnya mungkin disemir, belum menipis

di beberapa bagian. Matanya tidak mengenakan kacamata. Tapi

gurat-gurat terlihat di wajahnya, perjuangan hidup.

Han berdiri. Dia menatap aku dan Alika yang sedang

kugendong dalam diam. Si kembar muncul di belakang sambil

melambai pada Alika. Anakku meronta kecil, mencoba turun.

Kueratkan gendongan, membisikkan agar Alika tetap tenang.

Labirin

"Pa, apa kabar?" Han menyapa canggung.

"Duduk," Pak Budi?Ayah Han?menatapku sesaat. Kami

duduk. Lalu, muncul Yanti membawa minuman sementara si

kembar tetap menempel di samping kakeknya.

"Kudengar kamu sudah menikah," ucap Pak Budi. Aku dan

Han bertukar pandang. Kami terdiam.

"Akong," sapa Alika tiba-tiba saat Pak Budi menyuruhnya

mendekat.

"Usianya berapa?" Belum selesai rasa terkejutku, Pak Budi

mengelus rambut Alika.

"T-tiga tahun," jawabku terbata.

Ayah Han menggendong Alika. Lalu, dua cucunya yang lain

terlihat berbicara dalam bahasa daerah, aku sama sekali tidak

mengerti apa artinya. Tapi, mereka tersenyum lalu memainkan

rambut ikal Alika. Han juga tersenyum. Kuanggap itu hal yang

baik dalam pembicaraan mereka.

"Sebenarnya, Pa, kami belum menikah." Han berujar. Tampak

wajah pria tua itu kaget.

Jimmy muncul bersama Yanti. "Mereka beda agama, Pa. Maka
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

prosesnya rumit. Seperti yang aku ceritakan semalam."

"Berikan saja pada Papa suratnya, akan Papa tanda tangani.

Sehingga putrimu secepatnya dapat memiliki surat-surat yang

pasti." Pak Budi menatapku.

Ada apa ini? Mengapa ... semua terlihat jauh berbeda? Ada

yang salah dalam percakapan ini!

Setiap kali Han mencoba membuka suara untuk menjelaskan,

Jimmy memotong. Mengambil alih untuk berbicara. Apa maksud

Jimmy?

Seorang wanita masuk dari pintu depan. Tangannya

menggenggam kunci mobil. Lalu, dia menyodorkan kunci

itu pada Yanti. Menantunya mengangguk dan keluar untuk

memarkirkan mobil. Han memanggilnya Mama. Lalu, wanita itu

menatap, pandangan tajam menusuk penuh permusuhan. Han

menggenggam erat jemariku.

"Ceng i cau! Wa mai cia au ca bau jib!"1

Dengan suara keras, dia berbicara cepat dalam bahasa yang tidak

kuketahui. Berteriak pada Han, menunjuk padaku dan Alika. Lalu,

memaksa Papa Han melepas Alika. Aku sangat terkejut.

Labirin

1 Ceng i cau! Wa mai cia au ca bou jib = Usir dia keluar! Aku ?dak mau wanita

buruk ini di rumah kita

Jimmy ikut berbicara. Mencoba menengahi namun Ibu Han

tetap tidak mau mendengar. Yanti berdiri di depan pintu dengan

tangan menggenggam erat kunci mobil. Aku dan dia beberapa

kali bertukar pandang. Pak Budi menyerahkan Alika kepadaku

lalu menatap sejenak sambil menepuk kepala putriku lembut. Dia

menarik istrinya dan Jimmy masuk ke ruang tengah, meninggalkan

kami di ruang tamu dalam kebingungan.

Sepuluh menit, dua puluh menit, setengah jam berlalu.

Mereka belum keluar dari balik pintu pembatas ruang tamu

dan ruang tengah. Han memperhatikan kayu persegi panjang

bergagang perak seakan itu adalah pintu ajaib yang akan

mengeluarkan jin botol dengan tiga permintaan untuk dikabulkan.

Kucoba mengalihkan perhatian pada tiga bocah-bocah yang

asyik bermain di teras depan bersama Yanti. Mereka bocah kecil

yang tidak peduli dengan panasnya atmosfer di ruangan kecil

ini. Bocah-bocah yang masih begitu murni hatinya. Kawan atau

lawan? Mungkin saja mereka akan bertengkar saat memperebutkan

boneka ataupun jepitan rambut. Namun, beberapa menit

kemudian, ketiganya akan kembali tertawa bersama, berpelukan,

serta bermain tanpa memikirkan apa yang telah terjadi tadi.

Bagaimana dengan kami? Kami menyebut diri sebagai orang

dewasa, bukan bocah ingusan; aku, Han, Ayah-Ibu Han, Jimmy,

Yanti, orangtuaku, dan Lukman. Lalu, mengapa tingkah kami

tidak lebih baik dari anak kecil? Apakah semua ini bisa menjadi

contoh yang baik untuk anak-anak ini kelak?

Atau kami bocah-bocah tua yang tidak juga dewasa?

Labirin

??

PART 23

Johan: Syarat

Aku duduk seperti orang bodoh yang terlihat lemah di

mata wanita yang kusayangi. Kenapa aku masih tidak

mampu berkata apa pun di hadapan orangtuaku? Meski sudah

memberontak selama sembilan tahun, ternyata aku masih juga

menyisakan ketakutan akan dianggap anak durhaka. Menyebalkan.

Lucu, bukankah cap pembangkang sudah melekat laksana kulit di

sekujur tubuh sejak aku dipecat jadi anak?

Apa yang kutakutkan?

Liz berbisik pelan, "Han, ada apa?"

Aku menatap matanya. Ada cemas, takut, juga bimbang.

Bukankah aku harus menjadi tempatnya bersandar, pelindung,

serta menghapus air matanya. Tapi, mengapa malah kutambah

kegelisahan? Apakah aku telah gagal?

"Tidak ada apa-apa. Tenanglah. Aku akan membereskan semuanya," ucapku meyakinkan.

"Jangan menanggungnya sendirian, Han. Karena aku di sini

bukan untuk dilindungi. Aku berada di medan yang sama denganmu."

Saat itu aku sadar, wanita yang kusayangi bukanlah seseorang

yang akan membebaniku. Bahkan dia lebih kuat dan tegar dari

bayanganku.

Pintu dibuka, Jimmy menatapku, memberi isyarat untuk

masuk. Kualihkan pandangan pada Liz, Jimmy menggeleng. Dada

Liz naik turun begitu cepat, dia tegang. Aku beranjak, kubisikkan

padanya, "Doakan aku, Liz."

Dia mengangguk. Aku melangkah masuk. Wajah Liz semakin

tak terlihat dari celah pintu yang ditutup.

Papa diam, sedangkan Mama terus berteriak. Mengenai pantas

tidaknya, beda antara aku dan Liz, aib, malu, dan mencoreng nama

baik keluarga. Aneh.

"Mama tidak akan pernah setuju!"

"Ma, Mama mengerti kan alasan yang Jimmy katakan tadi?"

Aku dan Papa masih diam.

"Kamu pilih Mama atau wanita itu?" bentak Mama. Air mata

mengalir di pipinya. Aku benci harus dihadapkan pada pilihan

seperti ini. Dilema yang kualami lagi. Dulu, Papa meminta aku

berpikir orangtua lebih penting atau mimpi. Kujawab mimpi, lalu

aku diusir. Apakah kali ini aku akan kembali merasakan hal yang

sama?

Labirin

"Mama dan Liz sama pentingnya," sahutku.

"Aku, Mama yang mengandung dan melahirkanmu. Membesarkan hingga kamu bisa seperti ini!" isak Mama terdengar di

antara suaranya.

"Tapi, dia adalah wanita yang mengingatkanku betapa Mama,

Papa, dan keluarga adalah hal penting," jawabku lagi.

"Dia siluman rase!"

Aku ingat dulu Mama selalu mengibaratkan wanita-wanita

selingkuhan Papa sebagai siluman rase. Siluman yang berwajah

cantik, namun demikian jahat.

"Sudah kuputuskan. Aku akan menandatangani surat itu." Suara

Papa bagai air es yang disiramkan pada api.

"Koh," panggil Mama memohon pada Papa.

"Ing, apa yang Jimmy katakan benar. Lakukan yang terbaik.

Aku tidak ingin anakku yang hilang malah lenyap dan semakin

berubah." Papa berhasil membuat Mama tenang.

Kami mencapai kata sepakat setelah pertempuran yang

cukup panjang. Aku tersenyum pada Liz saat pintu terbuka.

Dia yang awalnya menahan napas kini mengembus napas lega.

Setelah duduk di samping Liz, aku mengajak dia mendekat untuk

bersalaman serta menyapa orangtuaku. Tanda perjanjian damai

telah ditorehkan.

Mama masih sinis, "Aku akan setuju bila syaratku dipenuhi.

Johan tidak boleh berpindah kepercayaan,"

Aku dan Liz mengangguk.

"Setelah menikah kalian akan tinggal di sini. Di rumah ini."

Syarat apa lagi itu? Tadi tidak dibicarakan syarat-syarat ini!

Aku tahu, saat ini pasti perasaan Liz tengah berkecamuk. Semacam

Labirin

badai pasir yang tiba-tiba menerpa di tengah cerahnya hari.

"Tapi,"

Ucapanku dipotong oleh Papa, "Kami sudah mengalah.

Sulitkah kamu untuk kembali tinggal di sini bersama kami?

Menjaga dua orangtua yang sudah renta?"

"Tanggung jawabmu, Koh. Sebagai anak pertama," tambah

Jimmy.

"Boleh saja kamu tidak tinggal di rumah ini. Tapi, dia harus

ikut kepercayaanmu."

Sungguh syarat-syarat ini sangat sulit dilaksanakan. "Akan

kami pikirkan dulu, Ma, Pa." Aku berucap lemah.

Kupikir hari akan cerah, langit telah biru, mendung kelabu

berganti awan putih, tapi aku salah.

Maafkan aku, Liz.

??

Liz berteriaklah padaku, maki, pukul, atau marahlah padaku.

Jangan bersikap seakan tidak ada apa-apa.

"Liz," aku menarik tangannya, "Kamu kecewa padaku?"

Dia menggeleng.

"Jangan bohong, Liz."

"Aku

tidak

membohongimu,

Han."

memberikan

senyuman.

"Aku mengecewakanmu. Aku tidak berani berkata-kata di

depan orangtuaku."

"Kita berdua sudah berusaha, Han. Orangtuamu, sudah

menerima keberadaanku. Setidaknya, aku tidak dianggap sesuatu

Labirin

yang tidak nyata." Liz menepuk pundakku perlahan.

Liz menerima panggilan telepon. Dia memberi isyarat untuk

menunda pembicaraan kami. Lalu, perlahan Liz berjalan setapak

demi setapak menjauh. Dia bersuara pelan, seakan takut aku akan

mendengar. Telapak tangan kiri mulai beranjak ke dahi, menyusuri

rambut panjang, lalu diempas kuat. Liz sedang berada dalam

pembicaraan sulit, pekerjaan, atau orangtuanya?

Aku mendekat. Liz tersentak. Dia menutup telepon dengan

telapak tangan. Lalu, kembali memberi isyarat meminta waktu

padaku. Kubisikkan padanya, "Percaya padaku juga, Liz. Aku

mampu menjadi tempatmu bersandar."

Liz terdiam. Lalu, mengangguk. "Lima menit. Nanti kuceritakan," ucapnya pelan.

Aku menuju kursi kecil dengan sebuah gitar di atasnya. Senar

kumainkan, denting-denting nada terdengar samar dan raguragu. Tak berapa lama, Liz selesai dengan pembicaraannya. Dia

mendekati dan mengambil posisi duduk di sebelahku. Kepalanya

bersandar pada bahuku. Pintanya, "Nyanyikan sebuah lagu

untukku."

Aku masih memetik senar secara acak, memainkan melodi

yang biasanya dimainkan ketika aku baru mulai mengenal gitar.

Apa yang harus kunyanyikan untukmu, Liz? Lalu, aku teringat

pada sebuah lagu.

"Lagu ini sebenarnya liriknya dibuat oleh Dina untuk pernikahan Olivia, sepupuku. Aku yang mengaransemen musiknya."

Liz mengangguk. Dia tidak bertanya lebih lanjut, siapa itu

Dina. Mengapa aku membuatkan musik dan sebagainya.

Kau paling istimewa, mengisi relung jiwa

Labirin

Namamu berdetak di jantung ini

Kau yang tercinta, tiada dua

Pilihanku untuk bersama, hingga hari tua

Gembira adalah saat melihatmu tersenyum

Keajaiban adalah cinta darimu

Bersamamu kuingin rajut cerita
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kisah indah sepanjang masa

Cinta yang tak lekang oleh waktu

Sebab kau dan aku, adalah satu

Kaulah cahaya dalam hidup ini

Sinari hidupku dari kegelapan

Kau yang terkasih, takkan ada yang lain

Janjiku menjagamu, selamanya

Tiada kata sempurna, bila tanpamu

Bahagia itu, bila aku bersamamu

Hanya kau dan aku

Ooo tak kan terganti

Tak kan terpisah

Liz menikmati nyanyianku. Matanya berbicara. Ada setitik air

mata di bening kaca itu. Tak kuasa kulanjutkan nyanyian ini.

Tanganku melepas senar-senar. Menarik dirinya mendekat.

Memeluk Liz erat.

"Teruslah bernyanyi, Han. Lagunya sangat bagus," ucapnya

Labirin

lirih dengan suara yang sesekali disergap isak tertahan.

Kupenuhi pintanya.

Bersamamu kuingin rajut cerita

Kisah indah sepanjang masa

Cinta yang tak lekang oleh waktu

Sebab kau dan aku, adalah satu

Liz mulai meneteskan air mata. Aku membiarkan dua bulir jatuh

menuruni pipinya. Kadangkala kita memang harus menangis, Liz.

Tapi kupastikan. Aku akan berada di sini, di sampingmu selalu.

Karna hidup akan berarti, bersamamu

Dari dua, kita menjadi satu

Selamanya .

Ini doaku. Dari dua kita akan menjadi satu. Selamanya.

??

Rupanya yang menelepon tadi pagi adalah Ayah Liz. Lukman

datang lagi ke rumah mereka. Menuntut, seharusnya hari ini Alika

berkunjung ke rumahnya. Dia mulai berkoar mengenai kami yang

sengaja menyembunyikan putrinya, mempersulit untuk bertemu,

haknya sebagai ayah hilang, dan berbagai ajaran buruk pada Alika.

Kali ini dia membawa pria yang berdandan rapi dengan

tas hitam ala eksekutif yang dia perkenalkan sebagai seorang

pengacara. Aku menenangkan Liz. Namun, kekasihku cukup

terpukul dengan semua omong kosong Lukman. Apalagi ayahnya,

Pak Pur mengomel panjang lebar tentang?aku?penyebab

Labirin

kekacauan yang sebetulnya tidak perlu terjadi.

"Bapak memaksa aku segera pulang dan menyelesaikan urusan

dengan Lukman," ucap Liz.

Aku mengangguk. "Aku akan memesan tiket segera."

"Ibu nggak mampu menahan gunjingan dari tetangga. Bahkan

Mbak juga mengirimi aku email semalam."

"Kita akan segera menyelesaikannya, Liz. Tapi, malam ini kita

ke tempat orangtuaku dulu. Pamitan," ucapku.

Liz mengangguk, "Harus."

??

Pertemuan kedua Liz dan keluargaku tidak juga membuat Mama

menjadi lebih lembut. Dia tetap duduk tegak menatap penuh

amarah pada Liz seakan kekasihku adalah sejenis makhluk berbahaya.

"Kami akan pulang besok," ucapku.

"Pesawat jam berapa?" tanya Papa.

"Jam 11, Sriwijaya." Aku melihat Papa mengambil rokok

dan mulai menyalakan api. Tapi, dengan cepat Mama menyikut,

berbisik sambil menunjuk pada Alika. Papa akhirnya menghela

napas dan memadamkan api rokok pada asbak kaca yang terdapat

beberapa puntung lainnya.

Aku tersenyum. Mama memang paling tidak suka dengan asap

rokok. Melarang tegas Papa, anak-anaknya, atau siapa pun yang

datang ke rumah merokok saat ada anak kecil.

"Kalau kalian mau merokok, merokok saja sendirian sana.

Jangan bagi-bagi asap menyebalkan itu ke semua orang. Lagi pula

Labirin

paru-paru anak kecil itu tidak akan mampu menyaring racunnya."

Itu kenangan dulu. Ketika kami masih SD, saat rekan bisnis

Papa datang dan mulai mengepulkan asap rokok ke seluruh

ruangan. Mama awalnya berusaha menahan diri karena Papa

mengatakan ini adalah rekan penting untuk usaha yang baru

dirintisnya. Namun, sepertinya kesabaran bukan teman dekat

Mama. Dia akhirnya meminta dengan sopan kepada pria itu.

Tapi perdebatan dilontarkan oleh rekan yang usianya jauh lebih

muda dari Mama. Mama berang dan mulai menasihati rekan

bisnis Papa mengenai pentingnya menjaga kesehatan dan lain

sebagainya.

"Papa masih merokok?" tanyaku.

"Sesekali saja," sahut Papa.

"Kalau bisa jangan merokok lagi," ujarku.

"Kamu sendiri, masih merokok?" tanya Mama tajam.

"Sedikit," sahutku pelan.

"Memangnya dia tidak pernah mengatakan padamu kalau

merokok itu tidak baik?" Mama menatap Liz.

"Sering. Hanya saja, aku curi-curi merokok saat tidak bersama

Liz. Jadi, kalau kami sudah menikah, tentunya dia akan lebih

mudah mengingatkanku sama seperti Mama memperhatikan

Papa." Aku melihat Mama membuang muka kesal. Sedangkan

Jimmy dan Papa tersenyum geli. Liz menatapku dengan pandangan

memperingatkan jangan mengganggu orangtua.

"Kapan kalian akan melangsungkan pernikahan?" tanya Papa.

Wajah kami semua tiba-tiba saja menjadi tegang.

"Secepatnya," sahutku.

"Kenapa? Kendala biaya?" Papa membetulkan posisi duduk.

Mama mulai kembali duduk tegak, seperti sedang siap menyambar

Labirin

umpan bila ada kesempatan.

"Kami tidak berencana melakukan resepsi. Hanya pemberkatan nikah oleh pastor dan akad nikah oleh penghulu," kucoba

menjelaskan.

"Tidak pakai resepsi?" tanya Jimmy.

"Tidak perlu lah. Nikahnya toh sama perempuan yang sudah

pernah duduk di pelaminan juga," celetuk Mama. Aku tidak

suka ucapannya, sangat menyakiti Liz. Aku hendak membuka

mulut, membalas perkataan Mama tapi Liz segera menahan. Dia

mengangguk satu kali padaku, memintaku tenang.

"Lalu, apa lagi yang ditunggu?" Papa mengambil cangkir dan

meneguk kopi yang disajikan Yanti.

"Segera menikah, lalu kembali ke sini. Akan Papa serahkan

freshmart yang di Sungai Raya Dalam," ucap Papa lagi.

Aku sudah tahu ini akan terjadi saat syarat yang diajukan Mama

dilontarkan. Aku akan kembali dihadapkan pada keharusan

melanjutkan usaha keluarga. Juga, mencemaskan apa yang akan

Liz rasakan ketika masuk ke rumah keluargaku. Dia pasti akan

sangat tidak nyaman. Apalagi dengan sikap permusuhan yang

ditunjukkan Mama.

"Kami masih menunggu turunnya restu dari orangtua Liz," jawabku jujur.

Mama menatap tak percaya. "Kenapa bisa?"

"Mereka tidak memperbolehkan nikah beda kepercayaan,"

jawabku.

"Dengar, apa pun yang terjadi, kamu tidak boleh ikut

kepercayaan mereka. Mama tidak bisa terima!" teriak Mama.

Labirin

Papa menepuk pundak Mama. Memintanya untuk diam. "Apa

perlu Papa dan Mama pergi melamarkan Liz untukmu?" tanya

Papa.

Aku sungguh senang dengan tawaran yang diberikan Papa.

"Kurasa belum bisa. Kami harus meyakinkan orangtua Liz

dulu. Baru, Han minta tolong sama Papa dan Mama untuk

melamarkan Liz secara resmi."

"Iya, daripada sia-sia. Capek sampe ke Semarang kalau tanpa

hasil," gerutu Mama.

Percakapan kami berlanjut pada hal-hal sepele. Tampaknya

semua sepakat untuk tidak menyinggung mengenai masalah

rencana pernikahanku dulu.

Langit kota Pontianak sore ini sedikit berkabut. Hujan tidak

singgah selama 18 hari, kata Mama. Aku hanya berharap permasalahanku dan Liz tidak akan diselimuti kabut terus. Harus ada

langit dan semesta yang bersih agar jalan keluar nan cerah dapat

terlihat.

Tuhanku, pada-Mu aku berserah. Muluskanlah jalanku

menuju janji suci kami ini.

Labirin

??

PART 24

Liz: Persimpangan

Pulang, untuk menghadapi masalah yang lebih pelik lagi.

Masalah yang membuatku berpikir untuk menyerah saja.

Sudah hampir satu tahun sejak aku bertemu lagi dengan Han.

Begitu banyak hal terjadi. Masalah datang silih berganti. Tapi,

aku masih menyimpan harap, walau hanya sebesar tetes air. Aku

menaruh semua impian pada butir kecil tersebut.

"Kamu itu pergi ke mana sebenarnya, Liz?" Ibu tidak peduli tubuh

ini masih lelah. Bahkan keluar dari bandara saja kami belum. Ka

mendorong koper kami, sementara aku menggendong Alika. Han

dan Mars sengaja menjaga jarak.

"Sudah Liz kasih tahu toh, Bu." Aku menahan diri untuk

berteriak.

"Kamu jangan bohong, Liz." Bapak menatap tajam.

Aku dan Ka terdiam. "Kami ke Pontianak, Pak." Ka menjawab.

"Lukman menelepon kantormu," ucap Bapak menekankan

kata demi kata seakan aku adalah tersangka kasus besar. Aku

menghela napas lalu diam.

Kami berjalan keluar. Roda koper berderak, beradu dengan

lantai keramik berwarna kombinasi krem dan cokelat. Bapak masih

diam. Ibu menanggapi cerita Alika mengenai jalan-jalan di kota

Pontianak.

"Air mancur? Di sini bukannya banyak air mancur yang lebih

bagus?"

"Mal? Lalu seberapa gede malnya? Pasti kalah sama mal di sini

toh."

Aku hanya menekan perasaan. Tidak bisakah mereka ikut

gembira dengan keceriaan cerita Alika? Jangan campur adukkan

kekesalan padaku dengan celoteh anakku.

Kami tiba di parkiran. Bapak memasukkan koper-koper ke bagasi

belakang. Aku membukakan pintu untuk Ibu, tepat saat Lukman

muncul. Berteriak layaknya petugas keamanan yang menangkap

basah pencuri. "Berhenti!"

Aku menoleh. Dalam ketidaksiapan menerima sergapan tibatiba, Alika berhasil diambil dari gendonganku. Lukman menatap

penuh emosi.
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kembalikan Alika!" Aku panik.

Lukman tidak peduli. Dia berjalan cepat dengan menggendong Alika yang berteriak memanggil namaku. Aku mengejar.

Berlari mengikuti. Mataku hanya tertuju pada anakku.

Labirin

"Lukman!" Suara Bapak terdengar.

"Kembalikan Alika padaku!" Suaraku bercampur antara

teriakan emosi serta bendungan tangis.

Orang-orang mulai mengerubungi kami. Tapi, lucunya mereka

hanya menunjuk. Ada suara bisik. Pasti yang mereka bisa lakukan

hanya mengasihani tanpa bertindak.

"Ini anakku juga, Liz. Ingat itu. Aku bahkan lebih berhak atas

Alika dibanding kamu. Wanita kotor yang membawa anaknya

bersama dalam perjalanan nafsumu dan pria berengsek itu!"

Lukman terlihat emosi. Alika menangis. Dia memanggil aku,

Mommy-nya. Alika kecil menjulurkan tangan untuk menggapai

aku, tapi tanganku tidak bisa menyentuhnya.

Lukman hendak masuk ke dalam mobil, bersama Alika. Ada

Bea di dalam, dia tampak siap. Sesekali jemari Lukman menahan

gerak tangan mungil itu.

"Alika," ucapku cemas.

"Kamu pergi dengan pria itu, bukan?"

"Kembalikan Alika!" teriakku kesal.

"Aku adalah Papa Alika. Dan aku berhak mengambil kembali

anakku saat ibunya mulai tidak memedulikan dia," tuduh Lukman.

Aku tidak peduli pada Alika? Itu tuduhan yang paling tidak

berdasar!

Kejadian selanjutnya begitu cepat. Kami sedang beradu mulut.

Air mataku hampir tak terbendung ketika tiba-tiba Han muncul

dari belakang mobil Lukman. Melancarkan sebuah pukulan tepat

di wajah mantan suamiku. Lalu, Lukman terhentak, mundur,

juga kehilangan keseimbangan. Kurasa kepalanya sekarang

sedang berdenyut, berkunang-kunang kesakitan. Sebuah pukulan

Labirin

lagi pada pipi kiri Pria Kapal Karam. Gendongan pada Alika

mengendur, merosot dari dada menuju perut. Han berhenti, segera

meraih dan memeluk Alika.

Detik berikutnya yang kutahu hanyalah Alika sudah dalam

pelukanku. Kami sama-sama menangis. Aku memeluknya erat.

Terlalu takut untuk melepaskannya lagi.

"Sebaiknya kamu segera menyingkir, Lukman. Ada banyak petugas

keamanan di sini. Banyak saksi juga yang melihat kamu hendak

menculik Alika!"

Han berdiri di sampingku. Mars terlihat siap dengan sebatang

kayu yang dia temukan entah di mana. Sementara itu, Lukman dan

Bea segera pergi dengan mobil mereka. Disertai rentetan umpatan.

??

Tiga bulan berlalu sejak peristiwa di bandara. Sungai antara

aku dan Lukman tidak berombak, riak kecil pun tidak terlihat.

Kuharap dia sudah jera.

"Alika mau makan apa?" tanya Han saat kami sedang duduk di

rumah makan.

"Ayam goreng!" Teriak putri kecilku.

"Buncis mau?"

"No," jawab Alika.

"Buncis enak, lho," ucap Han.

"Nggak enak. Bau," sahut Alika dengan bibir dimanyunkan.

"Hadeh, like mother like daughter." Han menggeleng-geleng.

Sementara aku dan Alika melakukan tos sambil tersenyum lebar.

Aku menyukai hari-hari tenang ini. Bersama Han dan Alika

Labirin

menjalani hidup. Semua yang sangat kuimpikan. Tapi, Bapak

masih tidak melunak. Bahkan setelah kami beri tahu bahwa orangtua Han sudah memberikan restu untuk pernikahan, Bapak tetap

tidak mengubah keputusannya.

"Kalian boleh menikah kalau dia itu sudah pindah kepercayaannya mengikuti kita. Itu syarat Bapak, tidak ada kompromi lagi!"

Aku dan Han memasuki jalan buntu lagi.

??

Tiba-tiba saja melintas sebuah ide gila. Terlalu gila untuk dicoba.

Apakah aku berani?

"Tapi?" Han terlihat bimbang. Dia menggerakkan lutut cepat.

"Hanya ide gila," ucapku lagi.

"Yah, ide gila. Tapi...." sahut Han. Dia sedang mempertimbangkan ucapanku tadi.

Kami berdua menganalisis, efek apa yang akan ditimbulkan

dari tindakan ini. Dari segi positif, tidak pasti. Jelasnya, lebih

banyak negatifnya.

"Terlalu rumit," tutur Han.

"Ya,"

"Hanya saja, kalau tidak dicoba, kita tidak akan tau apa

hasilnya." Han menatapku.

"Sepadan kah?" Kami menanyakan hal yang sama. Lalu,

mengangguk bersamaan.

Labirin

??

Malam itu, Han datang ke rumah. Duduk dengan gelisah. Begitu

juga aku. Kami akan menghadapi Bapak dan Ibu. Ini pertaruhan.

Aku dan Han tidak sedang mempermainkan kepercayaan atau

tidak menghormati Sang Pencipta. Kami hanya mencari sebuah

cara untuk menyadarkan orangtua.

"Apa lagi?" Suara berat Bapak bagai hentakan kuat pada meja

jati. Dia tidak duduk, masih berdiri dengan wajah menghadap

kami. Badannya tegak tak tergoyahkan. Menebar perasaan

mengintimidasi, mengabarkan jika dia adalah hakim yang akan

mengetuk palu. Tanpa tiga ketukan tersebut, maka kasus kami

tidak akan pernah usai. Bapak menyebutku korban, sedangkan

Han adalah tersangka. Ibu sebagai jaksa penuntut umum. Keluarga

dan masyarakat yang menjadi panel juri. Lukman adalah saksi.

Serta Alika sebagai bukti.

Aku mencairkan suasana. "Pak, ini dibawakan lumpia. Masih

hangat." Segera kubuka kotak kertas dan menyodorkan padanya.

Bapak hanya berdiri. Memandang tapi tak melihat. "Ada wedang

ronde juga." Aku menuang wedang dari teko ke dalam gelas-gelas

kecil.

Setiap usaha Han untuk berbaikan dengan Ibu dan Bapak

selalu mencapai jalan buntu. Mereka berdua terlalu tinggi, enggan

menatap ke bawah. Han dianggap sebagai setan yang menyebarkan

mimpi buruk.

"Kalau kalian mencoba menyogokku dengan semua makanan

itu, kupastikan usaha kalian sia-sia," ucap Bapak lalu berbalik,

"Buang-buang waktuku saja."

Aku meletakkan gelas di atas meja. Han membuka mulut, "Pak

Pur sebenarnya kami ingin membicarakan syarat yang diutara
Labirin

kan."

Bapak menoleh. Menatap dengan alis terangkat. "Kalian

tidak perlu membujuk lagi atau memaparkan berbagai alasan tak

penting."

"Bukan itu," ucapku hati-hati. Perasaan ini begitu kalut untuk

mengungkapkan apa yang ingin kami sampaikan. Ada rasa ragu

serta cemas.

"Kami sadar bahwa orangtua begitu penting. Orangtua

menyayangi kami dengan tulus dari sejak bayi hingga sekarang.

Papa, Mama, Bapak, dan Ibu pasti ingin yang terbaik untuk Liz

dan aku. Karena itu, kami sepakat untuk memenuhi syarat dari

kalian semua." Han berucap begitu cepat, terburu-buru. Seakan

bila tidak dilakukan dalam satu tarikan napas, maka nyawanya

akan hilang.

Wajah Bapak berubah. Dia tersenyum. Lalu, menatapku. "Ini

baru benar."

"Ya, kami berusaha memenuhi semua keinginan orangtua,"

sahutku.

"Syukurlah kalian sudah sadar kalau ini jalan terbaik." Ibu

tersenyum lega, "Dengan begini, maka jalan untuk penikahan lebih

mudah."

Sekali lagi aku menelan ludah. Ibu terlihat senang. Bapak

masih memandangi Han.

"Bapak dan Ibu akan memberikan restu untuk pernikahan

kami?" tanya Han.

"Tentu saja," ucap Ibu, "Kapan kalian akan mulai mempersiapkan pernikahan. Untuk urusan KUA, mungkin bisa minta

Labirin

bantuan dengan Pakde-mu."

Aku dan Han bertukar pandang. Kami kembali berusaha bicara.

Ada degup jantung yang saling berlompatan, juga dentum keras

pada nyali. Aku menggigit bibir berulang kali.

"Kami tidak bisa menikah di KUA, Bu."

Ibu menatap bingung.

"Mengapa tidak bisa? Bukannya nak Johan nantinya akan sama

seperti kita?" Ibu mengernyit.

Aku menggigit bibir lagi. "Ya, Han akan memeluk kepercayaanku seperti permintaan Bapak dan Ibu."

Han membantuku meneruskan ucapan yang sudah di ujung

bibir tapi tak mampu kusampaikan. "Dan, Liz akan memenuhi

syarat dari Mamaku. Dia akan memeluk kepercayaanku."

Bapak menggebrak meja, kesal. "Kalian jangan mempermainkan kami!!"

"Apakah kami salah, Pak?" tanya Han.

"Bukankah sudah kami penuhi syarat dari Bapak dan Ibu?"

Han terus berbicara tidak peduli betapa raut wajah Bapak siap

menerkam dan menelannya hidup-hidup. Aku mencoba menahan

laju perkataan Han. Namun, kedua pria ini terlalu keras kepala.

Mereka pejuang, maju ke medan perang untuk mempertahankan

keyakinan.

"Kalian mempermainkan kami!" bentak Bapak.

"Syaratnya adalah aku berpindah kepercayaan, bukan?" Han

menekankan ucapannya. Bapak kehilangan suara namun tangannya terus menghantam lemari pajang yang membatasi ruang tamu

dan ruang keluarga. Begitu keras pukulan pada kayu berlapis

tersebut. Aku tidak mampu membayangkan berapa rasa sakit pada

kuku jarinya.

Labirin

Aku ingin mendekat pada Bapak, memohon dia menghentikan

tindakan melukai diri sendiri. Aku anak yang buruk, sangat buruk.

Membuat semua kekacauan dalam harinya.

Han menahan kepalan tangan sebelum tangan Bapak menyentuh sisi lemari. Bapak menghujam dengan tatapan keras. Han

mencoba mengambil napas.

Lama hening melingkupi ruangan. Mataku terpaku pada lantai

dingin. Apa hatiku yang sudah membeku, sehingga tidak bisa

membedakan benar dan salah?

Bapak melepas telapak tangan Han. Dia menjauh. "Jika kami

memenuhi persyaratan dari Bapak saja, kami salah," ucap Han.

"Aku akan menjadi anak durhaka karena tidak memenuhi harapan

mereka. Apalagi yang kedua orangtuaku inginkan juga sama

seperti yang Pak Pur impikan untuk Liz, putri Bapak. Papa dan

Mamaku pastinya mencoba menuntunku menuju jalan yang benar.

Dalam kepercayaan kita, Tuhan mengajarkan untuk menghormati

dan menyayangi orangtua. Jadi, apakah harus aku melukai
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orangtuaku?" Perkataan Han tidak dibalas Bapak. Wajah yang

menunjukkan lebih dari setengah abad usianya terlihat letih dan

sedih. Bapak melangkah mendekati Han, rahang yang mengeras

seakan menahan emosi membuatku takut. Apakah akan terjadi

pertengkaran besar karena ide gilaku ini?

Tangan Bapak bergetar. Apakah dia akan menampar Han?

Keduanya keras kepala. Apakah Bapak tidak melihat, sebenarnya

Han sangat mirip dengannya.

Napasku hilang. Aku tak tahu bagaimana cara bernapas

dengan melihat dua pria yang begitu penting dalam hidupku saling

berhadapan. Seakan ini adalah pertarungan hidup mati.

"Lakukan yang menurut kalian benar. Pertanggungjawabkan

keputusan kalian berdua. Tunjukkan pada kami bahwa berbeda itu

Labirin

dapat sejalan dan tidak terpisahkan."

Apa?

Aku pasti salah mendengar!

Aku dan Han tercengang, terkejut, serta sekian detik kami

bingung. Bapak mengangguk pada Ibu, keduanya berjalan meninggalkan ruang tamu.

"Apakah itu artinya Bapak setuju?" tanyaku pada diri sendiri.

"Bapak memberi kita restu?"

"Bapak tidak melarang lagi?"

"Ibu juga, Bapak...." Perasaan tidak percaya dan senang datang

bertubi-tubi.

Han tersenyum bahagia. Dia menggenggam jemariku erat,

sedemikian erat hingga kupikir kedua telapak tangan kami telah

melebur menjadi satu.

"Han, kita berhasil."

Han menunjukkan ekspresi tenang, lembut, dan gembira.

"Jalan kita telah terbuka, Liz. Perjuangan ini telah mencapai

kata perdamaian."

??

Entah mengapa ini terasa bagai mimpi. Mimpi manis yang bisa saja

hilang ketika terbangun.

Kumohon bangunkan aku secepatnya bila hanya mimpi. Agar

dapat kuhadapi dunia nyata itu.

Labirin

??

PART 25

Johan: Dilema

Kegembiraan itu melaju begitu cepat. Bagai roller coaster.

Bergerak perlahan di awal, memberikan kami waktu untuk

menikmati pemandangan dari atas rel, bergulir laju agar cukup

dorongan sampai ke puncak, kemudian waktu seakan berhenti

sejenak tepat di bagian tertinggi sebelum akhirnya melesat

turun secepat kilat supaya segera tiba di garis akhir yang dinanti.

Mungkin akan ada begitu banyak roller coaster kehidupan yang

harus kami lalui, hanya saja aku yakin pasti, bisa kami lalui.

Bersama.

Liz dan aku mulai mengurus berbagai hal melalui bantuan

teman-teman dari yayasan di Tangerang. Kami dibantu banyak oleh

ketua di komunitas itu. Semuanya berjalan lancar. Kegembiraan

yang begitu besar melanda.

Ternyata, mencari gereja yang bersedia melakukan pemberkatan nikah tidak mudah. Akhirnya, kami mengambil jalan

tengah. Pemberkatan oleh pastor, tapi bukan di gereja, hanya di

rumah. Begitu juga akad nikah. Penghulu bersedia akan datang

ke rumah untuk menikahkan kami, aku akan mengucapkan ijab

kabul. Memikirkan ijab kabul, membuatku cukup takut.

Rencananya, Papa dan Mama akan datang dua minggu lagi.

Mereka akan melamar Liz.

"Dua minggu lagi?" Liz membelalak, "Tidak terlalu cepat kah? Kita

bereskan dulu urusan di sini."

"Bukannya semua urusan sudah selesai?"

"Ya ... sudah," ucap Liz ragu, "Selesai."

Aku tidak terlalu mengkhawatirkan sikap Liz. Dia pasti

canggung harus berhadapan dengan orang tuaku. Sama seperti aku

yang tetap saja cemas bertemu dengan ayah ibunya, meski sudah

sangat sering aku berkunjung ke rumahnya.

Aku sangat bersemangat, tapi juga gugup. Ini babak baru

dalam hidup, benar-benar baru. Menikah, memiliki keluarga

kecil, menjalani hidup bersama mereka, menafkahi, juga menjadi

pelindung bagi anak-anak dan istriku. Semuanya tidak pernah

kujalani sebelumnya, tapi aku akan berusaha menjalani dengan

baik. Bukan sempurna, tapi baik. Karena tidak ada hal sempurna

dalam hidup ini.

"Foto prewed?" tanya Ka.

"Perlukah?" Liz menatap risih.

"Kamu akan kelihatan cantik dalam balutan gaun pengantin

Labirin

berwarna putih." Aku membayangkan bidadariku yang cantik.

"Biayanya mahal," ucap Liz. Dia memikirkan biaya. Memang

semua pengeluaran untuk acara sederhana ini cukup gila-gilaan.

"Bagaimana kalau kita bikin foto prewed yang minimalis saja?"

ujar Mars.

"Maksudnya minimalis itu apa?" cecar Ka, "Serba kurang gitu.

Ala kadarnya? Itu untuk prewed-mu aja. Jangan merusak acaranya

Liz dan Johan!" Mata Ka menatap kesal.

"Bukan begitu maksudku," sahut Mars bete. "Kita beli gaun

putih yang sederhana, lalu kemeja keren, dan celana panjang putih

untuk Han. Kita pergi ke pantai atau mungkin di perempatan

lampu merah. Potret-potret bentar, edit sana sini dan jadilah foto

prewed yang ekonomis."

Ka manyun, matanya berputar, "Walau aku nggak suka idenya

datang dari kamu, tapi itu cukup keren."

"Tentu saja aku keren," sahut Mars.

"Boleh juga," ucapku dan Liz menganggukan kepala.

"Kapan kita akan melakukan foto prewed?" tanyaku lagi pada

Mars.

"Ha? Kamu mau foto prewed denganku? Yang benar saja,

Masbro. Aku ogah." Sebuah pukulan dari Ka kembali mendarat di

kepala Mars.

"Aku bersumpah, demi apa pun itu. Semenjak mengenal gadis

barbarian ini, kepalaku mengalami gegar otak berkali-kali!" Mars

memijat kepalanya. Sedangkan, aku tetap tertawa melihat tingkah

mereka.

"Bukannya kamu fotografernya?" tanyaku.

"Ooo, tentu saja tidak," ucap Mars, "Aku tidak ahli dengan

segala fokus, lensa, dan semua hal itu."

Labirin

"Lalu ngapain kamu kasih ide itu?" Ka membelalak kesal.

"Tenang, tenang. Nanti kuminta Bumi untuk jadi tukang fotofotonya," ucap Mars, "Semoga saja dia mau." Ada bisik kecil di

ujung ucapannya.

"Apa?" tanya Ka.

"Tenang, pasti dia mau. Mana mungkin Bumi menolak

permintaan adiknya yang keren nan ganteng ini," tawa Mars.

??

Bumi berdiri menatap aku dan Liz. Wajah Bumi berbeda dari

Mars, dia lebih gelap kulitnya dengan sikap yang keras kepala?

menurut Venus. Aku setuju dengan Liz dan Ka, entah kedua orangtua sahabatku itu berasal dari galaksi mana hingga memberi anakanaknya nama dari planet tata surya.

Bumi lebih tertutup, menurut Venus lagi. Bosku mulai

mengoceh panjang lebar ketika mengetahui Mars gagal meminta

Bumi untuk menjadi juru foto prewed kami. Dan siapa yang bisa

menolak kakak manis?Venus yang cerewet?dan cantik itu.

Sejujurnya, tiga pria planet tata surya yang dikategorikan sebagai

target lajang cukup patuh pada Kakak Venus. Entah apa mantra

yang dia rapalkan, lain kali aku akan mempelajarinya.

"Sisi kiri. Jangan kaku seperti manekin," teriak Bumi.

"Cerewet sekali si Bumi itu," ucap Mars sambil mengunyah

kacang goreng yang dibeli di minimarket dekat Pantai Tirang. Aku

berusaha tidak tertawa.

"Lain kali usulmu harus kupertimbangkan lagi." Mars menonjok lenganku.

"Hei, Mars. Jangan buat dia terluka. Dia masih belum selesai

Labirin

denganku." Liz melotot.

"Mars, menyingkir dari sana!" Bumi membentak. Kulihat

Mars hanya menghela napas pasrah sedangkan pada satu sisi Ka

menatap Bumi dengan pandangan memuja. Gawat, sepertinya

akan terjadi badai baru.

"Dia calon istrimu, bukan pajangan. Jadi tatap dengan pandangan penuh cinta!"

Kurasa Bumi cukup menyebalkan. Dia membentak, memerintah, dan memaksa kami berpose berjam-jam di pantai maupun

jalanan. Ketika melihat ada tempat yang menarik, Bumi segera

menarikku turun bersama Liz untuk mengambil gambar.

??

Hari panjang yang melelahkan. Hanya saja tidak menjadi masalah,

karena Liz bersamaku.

"Jadi, minggu depan orangtuamu datang?" Liz mengenakan

helm. Perlahan motorku melaju di jalanan.

"Yup. Mereka akan melamarmu secara resmi. Sebentar lagi

kamu akan jadi Nyonya Johan," sahutku.

Kami memarkirkan motor. Suasana rumah tampak ramai.

Begitu banyak pasang sendal di teras depan. Aku menatap Liz

bingung. Kami berjalan masuk, mengetuk pintu yang sudah

terbuka, dan memberi salam. Tiap pasang mata menatap kami,

seakan menilai dari ujung kaki hingga kepala. Aku merasa ada yang

salah. Ada yang aneh.

"Sebaiknya Bapak, Ibu, dan Saudara-Saudari pulang dulu.

Sudah larut," ucap Pak Pur.

Liz dan aku duduk. Kami yakin telah terjadi hal yang tidak

Labirin

enak. Saat Pak Pur masuk, istrinya segera mendekati. Keduanya

berucap pelan sambil sesekali Pak Pur meminta istrinya untuk

tenang dan diam.

"Ada apa, Pak?" tanyaku akhirnya.

Wajah Pak Pur tidak terbaca, dia memasang tampang seakan

tidak ada masalah.

"Sudah malam, kamu pulang dulu. Tidak enak dilihat

tetangga." Pak Pur lalu berjalan masuk.

Aku terpaksa menuruti permintaan orangtua itu. Hanya saja

kecemasan masih menumpuk di ujung hati. "Kabari aku kalau

terjadi sesuatu," pintaku pada Liz. Dia mengangguk. "Berjanjilah!"

Liz kembali mengangguk. "Kita akan menjadi satu keluarga.

Jangan menanggung sendirian." Liz memberikan kelingkingnya

lalu kami membuat tanda perjanjian dengan melingkarkan kedua kelingking. Hal konyol yang kekanak-kanakan, tapi menyenangkan. Kekasihku tersenyum, aku ingin selalu melihat kegembiraan di wajahnya.

Malam yang melelahkan, dengan sejuta pikiran mengenai

keadaan yang kulihat saat tiba di rumah Liz tadi.

??

Labirin

Mungkin aku saja yang terlalu berprasangka, buktinya beberapa

hari ini semua baik-baik saja. Meskipun Liz belakangan ini sedikit

sensitif juga pendiam. Dia beralasan memasuki masa sindrom

sebelum menikah. Aku pernah mendengarnya dari teman-teman,
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi mereka pria. Jadi kukira tidak terjadi pada wanita. Apa Liz

meragukan kalau aku adalah belahan jiwanya? Tidak mungkin!

Liz pasti hanya trauma dengan kegagalan yang lalu.

Aku berjalan keluar dari kelas. Mars duduk di ruang depan, di

dekat tempat bermain anak-anak TK. "Ada apa?"

Dia menggeleng. "Ada apa?" tanyaku lagi.

"Tidak ada," jawabnya.

"Ayolah, biarkan aku membantumu kali ini." Aku mengambil

tempat duduk tepat di samping Mars. Dia masih diam, enggan

membuka mulut. Bibirnya beberapa kali terbuka, lalu merapat lagi.

"Ka?" tembakku. Dia menatap bingung. Lalu, wajahnya seakan

berkata ?bingo?.

"Bumi?" ucapku lagi.

"Sejelas itukah?"

Aku mengangguk.

"Dia abangku, Jo. Ka menyukainya," ucap Mars, "Setan!"

"Perjuangkan bila memang pantas diperjuangkan." Aku

mencoba menyarankan berdasarkan hal yang pernah kualami.

"Aku akan membantunya mendapatkan Bumi." Jawaban Mars

sungguh membuatku terpana. Mars gila yang selalu melakukan hal

heboh dan menebar pesona pada setiap gadis, kini duduk merana

sendiri serta putus asa. Dia melirikku sejenak, "Cinta adalah ketika

dia bahagia, Masbro."

"Dan, kamu sedang jatuh cinta?" ucapku. Mars menggeleng.

Aku tertawa. Kami tertawa bersama.

"Gawat!" Ka berdiri di depan pintu masuk dengan terengahengah. Mars membelalak, dia takut gadis yang disukainya mendengar percakapan tadi.

"Ada apa, Ka?" tanyaku cepat. Semoga ini bukan mengenai

perasaan aneh yang mengganjal hati sejak malam itu.

"Liz berhenti kerja." Ucapan Ka membuatku tak percaya.

Apakah ini berkaitan dengan syarat Mama, pindah ke Pontianak?

Bukankah Liz mengatakan akan meminta mutasi ke cabang

Labirin

Kalimantan Barat? Ada yang tidak beres.

"Kenapa?" tanya Mars.

"Dia berkelahi tadi," ucap Ka pelan.

"Dengan siapa?" Aku sungguh cemas.

"Lukman," sahut Ka lirih.

"Lukman? Aku akan menghajar pria itu! Berengsek!" Sebuah

bola plastik hancur di tanganku saat itu juga.

"Bukankah lebih baik sekarang kamu menenangkan Liz

daripada ngurus pria busuk itu?" ujar Mars. Dia mencoba mengingatkanku pada prioritas. Aku mengiyakan walau amarah tidak

bisa padam. Sebelum tinju ini menghajar muka pria berengsek itu,

aku tidak akan tenang.

??

Liz masih duduk diam. Dia tampak sulit menghadapi aku. Aku

juga masih menunggu. Lebih baik membiarkan Liz sendiri yang

menemukan waktu tepat untuk mengutarakan apa yang di dalam

hatinya. Jika dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan, kurasa aku

akan semakin menambah beban.

Liz mengayun-ayunkan kaki yang menggantung pada kursi

kayu. Matanya menatap langit. Sore menjelang.

"Ka yang cerita ke kamu?" Akhirnya Liz membuka suara.

"Ya," jawabku.

"Ember banget tuh bocah," gerutu Liz.

"Memang dia dan Mars duo ember kan," candaku. Liz

tertawa. Kami tertawa cukup lama lalu akhirnya terdiam. Kembali

canggung.

"Kamu tidak mau bertanya kenapa aku berhenti kerja?" tanya

Labirin

Liz.

"Ya. Kenapa?" ucapku. Liz manyun dan menonjok lenganku

pelan.

"Dasar manusia cuek."

Liz, air tenang belum tentu tidak ada buaya. Yah, aku memang

terlihat diam, tapi sejujurnya ada begitu banyak hal yang ingin

kudengar darimu. Meskipun ketika melihat kamu tidak apa-apa,

itu lebih dari cukup.

"Lukman menemui Bosku, lagi," ucap Liz, wajahnya tenang

walau terlihat rahangnya mengeras.

"Dia mau melamar pekerjaan?" Aku menanyakan hal bodoh.

"Bukan," senyum Liz terlihat, "Dia melaporkan aku."

"Kamu korupsi uang perusahaan?" ledekku lagi.

"Perusahaan itu tidak punya sejumlah uang sebesar yang

kuinginkan, jadi apa gunanya korupsi," ujar Liz.

"Dia mengatakan bahwa aku menggunakan pekerjaan dari

kantor sebagai kedok untuk membohongi orangtuaku dan dia.

Membawa lari putrinya bersama kekasih gelapku," ucap Liz lagi.

"Hmm, kurasa aku tidak gelap."

Liz kembali menonjok lenganku.

"Lalu, karena itu kamu mengundurkan diri?" Aku menatap

Liz.

"Bos mengatakan aku selalu menjadi sumber masalah. Apalagi

aku menonjok Lukman tepat di depan Bos tadi," ucap Liz. Aku

membelalak. "Di kantornya."

"Keren!"

"Lukman mencoba membalas."

"Dia memukulmu di bagian mana? Sakit?" Aku segera memeriksa kekasihku. Sedikit luka saja pada Liz, maka Lukman harus

Labirin

membayar berkali lipat.

"Dia tidak sempat mengenaiku. Tapi bosku, pipinya merah.

Jadi...." Liz berhenti sejenak, "Aku diminta menyelesaikan

masalahku dulu baru masuk bekerja lagi. Kupikir itu tidak lebih

seperti permintaan halus agar aku mengundurkan diri."

Aku mengangguk, mendukung keputusan Liz.

Beberapa hari kemudian, saat hendak menjemput Alika berangkat

ke sekolah, kulihat neneknya berdiri di depan pagar rumah

dengan beberapa tetangga mengerumuni. Suara wanita-wanita itu

terdengar riuh. "Mana bisa begitu, Mbakyu."

"Haram hukumnya."

"Serius toh, Mbakyu."

"Dosa lho. Dikirim ke pesantren saja lagi."

"Kalau tidak titip dulu sama Paklik-nya di Yogya."

Mata mereka menatapku tajam. Bu Triani memintaku segera

masuk. Dari ujung telinga masih kudengar ocehan-ocehan tak

sedap.

"Ini toh."

"Nggak elok toh, Mbakyu. Mas Pur itu yang dituakan di sini.

Moso anaknya mencoreng muka bapaknya sendiri."

Aku berhenti mendengarkan mereka. Memilih untuk

menemui Liz saja. Tapi wajah Pak Pur terlihat lelah juga.

"Lukman datang lagi tadi, pagi-pagi sekali."

Kudengar suara Pak Pur datar, walau pasti banyak kecemasan

di dalamnya.

"Apa yang diinginkannya kali ini?" tanyaku langsung.

"Dia hanya meminta waktu untuk bersama Alika. Katanya,

Nenek Alika ulang tahun. Ingin merayakan bersama cucunya.

Labirin

Jadi, tadi Liz mengantar Alika. Dia tidak ingin sampai terjadi

yang tidak-tidak, sekalian mengecek apakah benar yang dikatakan

Lukman mengenai acara dan segala macamnya." Pak Pur menyulut

sebatang rokok.

"Acaranya di rumah Lukman?" Kulihat Pak Pur mengangguk.

"Kalau begitu aku pamit pulang dulu, Pak."

"Ya, hati-hati di jalan."

Aku berjalan beberapa langkah dan ada perasaan tidak enak

menyusup di hati. Sesuatu telah terjadi, pasti. Hanya saja aku tidak

tahu apa itu.

"Pak," aku berbalik menatap Pak Pur. "Apa yang terjadi?"

Ibu Triani menatapku lekat dan masuk.

??

Aku menyusuri jalanan kota Semarang, melihat setiap manusia

yang sedang beraktivitas. Ada yang diam, tertawa ceria, berbicara,

mematung, dalam penantian juga marah. Masih kuingat sebuah

curhat dari temanku?Alfian?yang bekerja jauh di perkebunan

sawit.

"Kehidupan itu seperti roda. Entah itu roda mobil, motor,

sepeda, ataupun traktor. Terserahlah, yang penting bentuknya bulat!

Tapi jikalau rodanya tak mampu berputar, semisal amblas atau

terperosok maka itulah yang dinamakan takdir. Tak ada rencana yang

sempurna!"

Tak ada rencana yang sempurna. Manusia membuat berbagai

daftar kegiatan dan impian yang akan dicapai, Tuhanlah yang

Labirin

menentukan.

Mungkin kebahagiaan ini terlalu tiba-tiba dan cepat, membuat

wadah penyimpan meluap. Meluber hingga kering tak bersisa.

Yang tertinggal hanya kesedihan.

"Ibu sering mengeluhkan kepalanya pusing. Gunjingan tetangga

membuat dia terlalu banyak berpikir."

Kenapa banyak sekali yang saling melempar berita tak sedap.

"Beritanya cepat menyebar. Bahkan saat Bapak pergi sembahyang, mereka tidak menganggap dia lagi. Bapak itu selalu menjadi

tetua, kini dipandang pun tidak."

Sepadankah impian kami dengan semua ini?

"Sebenarnya Lukman menahan Alika di rumahnya. Setelah

mengetahui kalau Liz akan membawa Alika pindah ke kotamu. Dia

mengajukan tuntutan pada Komnas Perlindungan Anak dengan

alasan Liz berusaha memisahkan ayah dan anak. Entah apa lagi,

semacam menghalangi hubungan orangtua. Merusak interaksi.

Sampai tuduhan kalau Liz itu akan mencuci otak Alika sehingga

melupakan ayahnya."

Kenapa sampai sebegitu jauh pemikiran bodoh Lukman? Lagi pula

bukannya dia tidak pernah peduli akan Alika?

"Sudah berkali-kali Lukman berusaha mengambil Alika di

sekolahnya. Alika adalah segalanya bagi Liz. Menikah denganmu

Labirin

berarti membuat dia akan menghadapi masalah. Akan ada hari-hari

panjang dalam perseteruan dengan Lukman. Aku meminta padamu

memikirkan masa depan cucu kami."

"Saat ini Lukman memberi pilihan pada Liz. Alika atau kamu."

Mengapa manusia selalu dihadapkan pada pilihan? Lalu, tidak

bolehkah manusia memiliki keduanya, bukan hanya salah satu?

Liz, bagaimana mungkin aku menempatkan dirimu dalam situasi

serumit ini. Kita bahkan tidak ingin mengalami perasaan harus

memilih antara orangtua ataupun cinta. Sekarang kamu harus

dipusingkan dengan keadaan bagai makan buah simalakama.

Mungkin melepaskan aku adalah pilihan yang paling baik

untuk dirimu, Liz.

Labirin

??

PART 26

Boneka dan Robot
Menyusuri Labirin Kehidupan Bersamamu Karya Catz Link Tristan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bila kebahagiaan itu terhempas bagai ombak, maka sia-sia

mencoba menjalanya. Jika impian bukanlah jalan takdir, sekuat

apa pun kita menggapai, kandas pula. Aku telah belajar dan menyadari, kehidupan tidak pernah mudah.

Liz menatap wajah Alika dengan pikiran melayang jauh pada

kenangan lampau. Dalam hidupnya ada tiga fase kisah cinta

dengan dua pria yang berhasil masuk. Fase pertama, cinta

masa remaja, Johan, yang telah dilabeli sebagai Pria Masa Lalu.

Kemudian, Lukman, Pria Kapal Karam. Lalu kedua pria itu

bertemu pada fase ketiga. Dan, Liz tidak butuh fase keempat, lima,

enam, atau tujuh. Dia sudah terlalu lelah. Pada Pria Masa Lalu yang

tidak akan pernah dapat dia lupakan kini telah dililitkan police

line tanda Johan telah menjadi Pria Terlarang. Liz sadar, Han?

Johan?membebaskan dia dari keharusan memilih. Tapi, dia juga

mengetahui bahwa telah dua kali, Han terluka olehnya. Tidak

seharusnya dia terus menyakiti pria yang dicintai dan mencintainya

setulus hati.

Suara Alika, putri kecilnya memberikan kekuatan lagi. Tidak

ada lagi kenangan atau impian. Jalani saja hidup demi Alika. Semua

fase itu tidak pernah terjadi, lupakan. Tidak pernah terjadi.

Liz mengambil tas lalu menggendong Alika masuk ke mobil.

Triani berlari kecil mengejar, membawakan dua buah kotak bekal.

"Kelupaan," ucap Triani.

"Iya. Terima kasih ya, Bu." Liz tersenyum, meskipun Triani

sadar itu hanyalah seulas garis melengkung pada bibir indah putrinya.

"Sayang Eyang Putri dulu. Bilang sama Eyang...." Liz mengingatkan Alika untuk berpamitan sebelum berangkat sekolah.

"Eyaaaang, Alika sekolah dulu." Kecupan pada kedua pipi

memberi rasa hangat pada Triani.

Dulu, Liz juga anak manis yang ceria. Dia selalu gemar bertanya

mengenai berbagai hal. Mengikuti Mbaknya ke sana kemari.

Melihat Liz, putrinya sekarang, membuat hati Triani begitu sedih.

Potongan-potongan tahap dalam kehidupan Liz membawa dia

menjadi dirinya sekarang. Cinta pertamanya, Johan terpaksa Liz

tinggalkan karena perbedaan yang tak dapat Triani dan Pur terima.

Perceraian dengan Lukman, menghancurkan kepercayaan akan

cinta. Tapi, Triani merasa kandasnya perjuangan Liz dan Johan

pada pertemuan kedua membuat anaknya menjadi lebih hancur,

Labirin

tepatnya kosong.

Tidak ada yang berubah pada Liz ketika akhirnya Johan

memutuskan untuk berpisah kali ini. Padahal, garis ?nish sudah di

depan mata. Bahkan sikap Liz terlalu biasa untuk sebuah pukulan

telak yang begitu kuat. Triani tahu betul bagaimana perjuangan

anaknya dalam menggapai impian membina rumah tangga bersama Johan.

Bahkan di hari Johan pergi, Liz tetap tersenyum dan tertawa

bersama. Liz kembali masuk ke dapur, memasak. Hal yang Triani

tahu tidak pernah dilakukan lagi. Dulu Liz belajar memasak agar

dapat membuat makanan untuk pacarnya, Johan. Triani mengajari,

tapi dia juga yang membuang hasil masakan Liz saat mengetahui

kepada siapa rantang itu akan diberikan. Setelah itu, Liz berhenti

memasak. Saat menikah, dia kembali masuk ke dapur, membuat

makanan sederhana. Namun usahanya sia-sia, masakan Ibu Mertua

lebih mendominasi meja makan. Tak selembar sayur pun yang

disentuh Lukman.

Liz mulai membeli koran, mencari-cari lowongan pekerjaan

sambil menemani Alika. Berpakaian rapi, memoleskan bedak

tipis, lalu berangkat untuk wawancara kerja. Dua minggu selalu

seperti itu. Liz bahkan mampu menceritakan berbagai hal lucu

saat melamar kerja pada keluarga. Dia juga mampu tersenyum saat

tetangga kembali bergunjing tentang Johan, Lukman, dan status

jandanya.

Panggilan kembali oleh perusahaan tempatnya bekerja atas

usaha Ka membujuk manajer mereka memberi Liz kegiatan rutin

kembali. Namun menurut Ka, Liz bukan Liz yang dia kenal.

Lizda tidak lagi keras kepala, dia malah terlalu banyak tersenyum dan tertawa. Membaur dengan cepat, memaksa diri me
Labirin

nyatu dengan lingkungan. Terlalu mengikuti aturan serta arus. Jiwa

pemberontaknya lenyap. Ka terus bersama Liz. Tapi bagi Ka, Liz

yang dia kenal hanya tersisa raga. Jiwanya tertawan entah di mana.

Ketika kartu undangan pernikahan Lukman dan Bea sampai

di tangan, Liz hanya tersenyum. Dia berdandan, membawa Alika

menghadiri pesta pernikahan. Menyalami serta memberi selamat

pada kedua mempelai. Triani dan Pur tak dapat mengatakan apa

pun. Mengapa pula putri mereka menghadiri pesta pernikahan

mantan suami yang berkhianat padanya? Liz seperti sebuah buku

cerita monoton yang dibaca tanpa intonasi.

Setiap malam, Triani mengintip dari celah lubang kunci, Liz

tertidur lelap. Tak ada mata nyalang, air mata, isak tersembunyi,

atau mimpi buruk seperti pada perpisahan pertama dengan Johan.

Sebagai seorang ibu, Triani tahu keadaan putrinya sangat hancur,

Liz menjalani hari bagai boneka hidup.

??

Johan duduk di meja makan bersama keluarganya. Mereka tertawa

terbahak saat Janice menceritakan mengenai teman sekolah yang

ditaksirnya. Bocah kecil itu mengucapkan kata suka. Siaw Ing

menatap mata putra sulungnya, Johan. Dia tertawa tapi tanpa

binar hidup di mata. Manik hitam yang selalu berpendar indah

sejak kecil tak lagi terlihat. Siaw Ing tahu betul mata Johan yang

paling ekspresif dibanding semua anaknya. Putra pertamanya itu

juga yang berjiwa keras serta bebas namun penuh cinta.

Johan memercayai cinta, sebab itulah dia tidak pernah menemukan gadis lain yang dapat menggantikan Liz, cinta pertamanya.

Siaw Ing tak menyangka, jalin cerita itu mengisi tiap lembar buku

Labirin

perjalanan hidup Johan.

Dia sempat bersyukur, bersorak riang ketika Johan pulang ke

Pontianak delapan bulan lalu dengan hanya membawa sebuah tas

ransel, tanpa menggandeng janda atau calon anak tirinya. Apalagi

Johan sama sekali tidak mengatakan apa pun lagi, juga tidak

menggubris pertanyaan papanya tentang rencana pernikahan

berbeda keyakinan tersebut. Siaw Ing menggelar pesta syukuran

atas kembalinya putra sulung serta lepasnya Johan dari pengaruh

buruk. Keluarga dipanggil, makanan disajikan begitu banyak

rupa, serta berbagai sembako dihantar sebagai sumbangan ke panti

asuhan. Dia menganggap ini pertanda baik.

Namun, lambat laun Siaw Ing menyadari putranya menjadi

aneh. Mereka memang telah terpisah selama sembilan tahun.

Hanya saja pertemuan lalu, Johan masih tetap anaknya yang dia

kenal. Bersemangat, keras kepala, serta hangat.

Hari demi hari, Johan menjadi terlalu biasa. Tidak ada bantahan.

Mengurus supermarket sesuai jadwal. Tak pernah lagi menyanyi

atau memetik gitar. Studio musiknya tidak pernah dia sentuh.

Johan tertawa saat ada cerita lucu. Menanggapi ucapan, tapi tidak

memulai percakapan. Bahkan tidak menolak ketika Siaw Ing

menyodorkan gadis untuk dijodohkan. Johan jalan dengan gadis

itu. Menjemput kerja, makan, nonton, dan jalan-jalan. Tapi Yenny

mundur, dia bilang bersama Johan dia tidak merasakan ikatan atau

emosi, terlalu datar.

Siaw Ing mulai menyadari anaknya tidak pernah berwajah

sedih, marah, ataupun lelah. Hanya satu ekspresi yang tampak,

ceria penuh tawa. Itu lebih mengerikan dibanding sedih yang

mendalam. Sebagai seorang Mama, Siaw Ing terpaksa mengakui

Labirin

hal apa pun yang terjadi di Semarang yang mengakibatkan

perpisahan antara Johan dan Liz?dia mengingat nama kekasih

anaknya, karena hanya satu gadis yang Johan cintai?merusak jiwa

anaknya begitu kuat.

Johan, tidak hidup. Dia seperti mainan kecil yang pernah

Siaw Ing belikan dulu. Sebuah robot dengan pemutar di bagian

belakang. Berjalan, berputar, bertepuk, dan meneriakkan hal

berulang saat mesin bekerja. Robot hidup berwujud Johan.

Labirin

??

LIZ DAN JOHAN:

Epilog

Jalani saja hidup, maka semua akan baik-baik saja. Semoga.

Perbedaan tidak untuk disatukan, tapi menjadi warna dalam kisah.

Dua warna bila dicampur dapat menjadi hal berbeda. Kadang

berupa warna baru, kadang memperkuat satu sama lain.

Berbeda, kita terlalu berbeda. Bila cinta tak dapat menyatukan kita,

biarlah persahabatan serta kekeluargaan yang menjadi jalan akhir.

Teriring doa agar kamu menemukan pasangan tepat yang menyayangimu, seperti aku mencintaimu. Melepasmu bukan berarti

melupakanmu. Menjauh tidak sama artinya dengan berkhianat.

Mematahkan janji, tak karena ingkar. Semua demi kebahagiaanmu.

Dua kali pertemuan. Dua kali perpisahan. Dua kali bersama

mencari jalan keluar dari labirin masalah. Tak satu pun kusesali.

Tak ada sepotong kenangan pun yang ingin kuubah saat

dapat memutar ulang kejadian. Hanya satu, luka yang tersisa

padamu, yang kutangisi. Kegagalanku memenuhi janjiku untuk

membuatmu selalu bahagia.

Maafkan aku. Lupakan aku.

Labirin

??

Aku dan Han tidak sedang mempermainkan kepercayaan

atau tidak menghormati Sang Pencipta. Kami hanya mencari sebuah cara

untuk menyadarkan orangtua?Lizda

Kami tidak membunuh. Tidak juga berzina. Bukan pula pencuri atau penjahat.

Mengapa cinta kami dianggap salah??Johan

Akhir kisah, garis akhir labirin, entah menuju ke mana

Kamu dan aku terlalu jauh berbeda.

Bersiaplah memasuki labirin kehidupan. Temukan pasanganmu, dapatkan jalan

keluar. Setelah satu labirin terselesaikan, mungkin saja kita akan menghadapi labirin

berikutnya. Yakinlah, setiap labirin punya kemenangan manis di akhir.

Bila tidak, cukup nikmati saja perjalananmu.

Tamat


Goosebumps Boneka Hidup Beraksi 3 Bidadari Dari Thian San Pendekar Cinta Raja Petir 05 Dedemit Selaksa Nyawa

Cari Blog Ini