Ceritasilat Novel Online

Miss Clean 1

Miss Clean Karya Sara Tee Bagian 1

MISS CLEAN

oleh Sara Tee

Ebook by pustaka-indo.blogspot.com

GM 312 01 14 0058

? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Gedung Kompas Gramedia Blok I, Lt. 5

Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270

Desain cover oleh Chyntia Yanetha

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

anggota IKAPI,

Jakarta, Agustus 2014

www.gramediapustakautama.com

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ISBN: 978 - 602 - 03 - 0809 - 8

248 hlm; 20 cm

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Isi di luar tanggung jawab percetakan

Thanks to:

Tuhan Yesus Kristus Sang Penulis hidupku.

Suami dan kedua anakku,

Marcella Devina dan Raymond Axel

Sahabatku, Misael Rani Puspita,

yang selalu setia menemaniku.

Crew GPU semua, terutama Mbak Raya.

Dan pembaca karyaku di mana pun Anda berada.

BAGAIMANA orang bisa berkata hidup di desa itu lebih

enak karena bisa mendengar suara jangkrik dan kodokBagi Adelia, suara itu nggak lebih indah daripada suara klakson

dan raungan kendaraan di jalan raya.

Menyebalkan! Kenapa mesti tinggal di desa? Kata Papa, kita

harus meninggalkan Jakarta untuk memulai hidup baru bersama Nenek di Solo. Adelia pikir, Solo itu kan salah satu kota

di Jawa Tengah, pasti nggak sesepi ini. Ternyata rumah Nenek

itu bukan di pusat kota, tapi di pinggir kota alias di daerah

Mojosongo. Masih masuk wilayah Solo sih, tapi Solo Utara.

Daerahnya masih sepi. Masih banyak sawah dan ladang,

jalannya juga naik turun. Rumah-rumah juga masih jarang,

jaraknya berjauhan, dan jarang sekali ditemui rumah-rumah

yang bagus. Rata-rata rumah penduduk terbuat dari kayu dan

sangat sederhana.

Huh! Sekarang di sinilah Adelia si gadis kota harus tinggal.

Dari hiruk pikuknya Jakarta beralih ke sunyi senyapnya Solo.

Ini semua terjadi karena Kakek meninggal. Papa adalah anak

tunggal, makanya diminta untuk menemani Nenek di Solo.

Nenek sih nggak mau tinggal di Jakarta dan lebih suka di Solo.

Jadi terpaksa deh Papa yang harus mengalah.

Itu nggak enaknya jadi anak tunggal. Coba kalau punya

saudara pasti tanggung jawab menjaga dan merawat Nenek

bukan hanya pada Papa saja. Tapi yang lebih menyebalkan,

Mama juga setuju untuk tinggal di Solo. Heran deh, Mama

rela meninggalkan teman arisannya dan ikut Papa ke Solo.

"Hai, kok malah bengong?" Mama menyenggol tangan

Adelia. "Ayo dimakan. Masakan Nenek enak, lho..."

Adelia nyengir, ia melihat sayur yang dikatakan Mama

enak. Ampun deh... Sayur apaan tuh... Daun dengan kuah berwarna kuning? Kayak kambing aja makan daun, batin Adelia

dengan muka cemberut.

"Hai... bengong lagi..." Mama mendekatkan sayur "aneh"

itu pada Adelia.

Adelia buru-buru menyingkirkan piring nasi miliknya.

"Nggak ada lauk yang lain?"

Mama menyikut bahu Adelia untuk memberi kode yang

artinya, "jangan bilang begitu, hormati orang tua yang sudah

bersusah payah memasak bla... bla... bla".

"Iya coba dulu, Nduk, itu sayur daun singkong yang dimasak dengan bumbu gulai. Jadi gulai daun singkong." Nenek

tertawa dan terlihat giginya yang tinggal dua. Kayak lagu Burung Kakak Tua.

"Nduk?" Adelia mendesis.

Apaan tuh, aku dipanggil Nduk? Nggak banget... protes Adelia

dalam hati.

"Adel, Nek... bukan Nduk," protes Adelia.

Mama, Nenek, dan Papa yang sedari tadi hanya diam sekarang ikutan tertawa. Bibir Adelia langsung manyun.

"Nduk itu panggilan untuk anak perempuan," jelas Mama

yang dibenarkan Nenek dengan manggut-manggut.

"Ogah... nggak usah diganti deh." Adelia mendorong piringnya menjauh. "Adelia mau makan piza..."

Papa mendesah. "Jangan aneh-aneh. Sudah SMA kok kayak

anak kecil."

Adelia tidak berani membantah ucapan Papa. Kalau dengan

Mama sih Adelia siap berdebat, tapi kalau dengan Papa nggak

deh. Kalau sudah marah menakutkan. Tapi herannya nih,

profesi Papa kan dokter, hampir semua pasiennya bilang Dokter Lukman itu dokter yang sabar. Mereka nggak tahu saja

kalau Papa lagi marah pada anaknya. Pasti deh anggapan mereka tentang dokter yang sabar akan segera berubah.

"Kalau memang Papa anggap aku udah dewasa, kenapa

Papa nggak mengizinkan aku buat indekos di Jakarta?" bantah

Adelia dengan wajah ditekuk.

"Hal ini sudah kita bahas berkali-kali dan Papa nggak mau

acara makan siang ini menjadi ajang perdebatan!" jawab Papa

seperti hakim yang menjatuhkan vonis.

Sudah sering dibahas. Memang! Tapi yang ada hanya Papa

yang memaksakan kehendaknya. Papa bilang kalau Adelia sudah lulus SMA baru boleh indekos sendiri di luar kota. Terus

kalau sudah lulus pasti deh Papa akan beralasan lagi nanti kalau sudah jadi sarjana. Terus beralasan lagi kalau sudah kerja,

sudah menikah, dan terus saja begitu. Kenapa nggak bilang

saja kalau Papa dan Mama takut ditinggal anak tunggalnya.

Takut kesepian, huh!

"Adelia nggak jadi makan. Males!" Adelia langsung berdiri

dan pergi, tidak memedulikan tatapan papanya.

"Adel!" Bentakan Papa tidak digubris Adelia.

"Biar Mama saja." Mama kemudian menyusul Adelia ke kamarnya.

"Maafkan sikap Adel, Bu." Suara Papa melunak.

Nenek manggut-manggut. "Tidak apa-apa, Ibu mengerti. Dia

itu persis seperti kamu dulu waktu masih muda."

"Lha, kok malah saya yang kena, Bu?" Papa merengut.

Nenek kembali tertawa. Ia sepertinya tidak begitu memusingkan sikap cucunya.

Adelia membanting pintu sekeras-kerasnya. Pintu yang terbuat

dari kayu jati muda itu kemarin sudah ditempeli stiker kesukaan Adelia yang bertuliskan "Jagalah kebersihan"; "Buanglah sampah pada tempatnya"; "Kebersihan sebagian dari iman"

dan sebagainya. Slogan-slogan yang benar-benar Adelia terapkan, sehingga ia dijuluki "Miss Clean" oleh teman-temannya

karena selalu tampil bersih. Adelia bisa sampai dua jam berada

di kamar mandi jika tidak digedor-gedor papanya. Dan ke

mana-mana Adelia selalu membawa tas berisi pakaian ganti,

bedak, dan parfum. Ia tak membawa kosmetik, seperti lipstik,

eye shadow, pensil alis, dan sebagainya karena dilarang Mama

dengan alasan masih SMA, takut merusak kulit Adelia yang

putih mulus. Adelia bertekad akan memborong aneka macam

kosmetik setelah ia lulus SMA dan diperbolehkan Mama berdandan. Menurut Adelia, orangtuanya itu kolot.

Tubuh kecil Adelia langsung meluncur ke tempat tidur. Tangannya mengepal memukul tempat tidur berkali-kali. Tempat

tidur itu berukuran lebih kecil daripada tempat tidurnya di

Jakarta, dan lebih keras tentunya. Belum lagi luasnya hanya

separuh dari kamar Adelia di Jakarta. Pokoknya semua berbeda

banget. Itu yang bikin Adelia Sebal! Sebal! Sebal!

Rambutnya yang panjang dan berwarna kemerahan, hasil

pewarnaan, sampai berantakan karena ia bergulingan di tempat

tidur. Beberapa saat kemudian ia teringat pada ketiga sahabatnya di Jakarta. Adelia segera merapikan rambut, mengikatnya

dengan tali rambut lalu turun dari tempat tidur, membongkar

koper dan mengeluarkan laptopnya. Setidaknya Adelia masih

punya hiburan karena ia membawa laptop sehingga bisa Facebook-an dengan teman-temannya. Jadi nggak bakal ketinggalan

info mereka.

Adelia duduk, meluruskan kakinya yang panjang, dan menaruh laptop di pangkuannya saat ia melihat sahabat-sahabatnya online. Tumben hari Minggu mereka pada online. Nggak ada

acara, apa mungkin mereka malah kumpul bareng di rumah Mikha

yang jadi markas. Tak lama kemudian ia meng-update statusnya

di wall untuk memancing komentar teman-temannya yang sedang online itu.

Adelia

Gue kesepian... Nggak ada bedanya dengan tinggal di hutan...

Mikha: Hai Adel... kapan nyampe(Pertanyaannya standar banget...)

Vanya: Wah, kalau di hutan kamu jadi Jane, dong...

(Dasar Vanya... hiperbol banget!)

Kirana: Maksudnya apa nih(Seperti biasa... lola ? loading lambat)

Adelia: @Mikha: Udah nyampe dari kemarin.

@Vanya: Sayangnya di sini nggak ada Tarzan ganteng.

@Kirana: Aduh... cape deh!

Adelia menunggu comment selanjutnya. Sambil menunggu,

ia membuka Google untuk mencari hal menarik dari Kota Solo.

Siapa tahu ia bisa menemukan sesuatu yang membuat ia betah

tinggal di Solo, karena sampai saat ini ia belum bisa menemukan apa pun yang menarik terutama di Mojosongo. Ia tidak

melihat ada restoran mewah, yang ada hanya warung kecil. Ia

tidak melihat ada mal, yang ada hanya toko kelontong. Ia tidak

melihat tempat spa, yang ia lihat hanya salon dengan dua kursi

dan cermin. Ia tidak melihat diskotek, yang dilihatnya hanya

penduduk desa yang mengadakan sunatan anaknya. Nggak ada

Timezone, yang ada hanya pasar malam yang digelar di lapangan dengan permainan yang sangat minim. Apalagi orangorangnya, beda banget dengan yang ia temui di Jakarta. Pakaian orang-orang di sini juga berbeda, yang cewek kebanyakan

memakai rok panjang di bawah lutut dengan setelan kaus

oblong yang warnanya nggak matching banget. Misalnya,

bawahan hijau tua dengan kaus warna kuning. Dan cowoknya

juga begitu, pakai kaus gambar caleg dan celana pendek. Bahkan, banyak juga para petani yang bertelanjang dada saat

menggarap sawah dengan caping menutupi kepala. Pemandangan yang benar-benar sempurna untuk menggambarkan

keadaan desa yang sederhana dengan pola hidup warganya

yang bersahaja.

Aduh, pada ngapain sih mereka, kenapa nggak komentar lagi

sih... gerutu Adelia saat kembali membuka Facebook-nya tapi

tidak menemukan comment dari teman-temannya. Apakah mereka sekarang sudah sibuk masing-masing? Kalau begini akan mudah bagi mereka melupakan aku. Ini baru dua hari, kalau sampai

bertahun-tahun mungkin mereka akan benar-benar lupa. Komunikasi lewat media elektronik memang tidak dapat diandalkan.

Nggak seperti tatap muka. Karena nggak mungkin bisa mengejar jawaban kalau mereka tidak merespons.

"Adel..."

Ups! Mama bikin kaget saja. Mama masuk kamar Adelia dengan wajah memelas. Adelia tahu ini pasti strategi Mama biar

ia nggak ngambek lagi. Mama pasti sebentar lagi akan membujuk Adelia buat makan bersama. Dia akan menawarkan

omelet buatannya. Atau akan menjanjikan piza yang akan dibelinya di kota akhir pekan"Mama dan Papa minta maaf, mungkin ini sulit kamu terima, Sayang." Mama memulai rayuannya, ia naik ke ranjang,

melingkarkan tangannya ke pundak Adelia. "Tapi Mama ingin

Adel memahami posisi Papa. Di sini kita akan tinggal lama.

Papa akan buka praktik di rumah ini dan kamu mesti menyesuaikan diri dengan keadaan dan orang-orang di sini."

Fiuh! Ini namanya bukan menghibur, kalau menghibur mestinya

Mama bilang, ini hanya sebentar, Sayang. Minggu depan kita akan

kembali ke Jakarta setelah berhasil membujuk Nenek untuk tinggal

di sana. Nah, itu baru menghibur, batin Adelia.

Setidaknya ada harapan kalau Adel nggak selamanya tinggal

di desa. Tapi Mama malah bicara sebaliknya. Adelia diminta

untuk belajar menyesuaikan diri. Adelia nggak bisa membayangkan hari-hari mendatang kalau baru dua hari saja di desa

ini, ia sudah ingin kabur untuk kembali ke Jakarta.

"Di sini hanya ada satu SMA negeri. Papa sudah cek, sekolahannya memang bagus. Besok kamu sudah bisa masuk

sekolah. Seragam, tas, buku-buku, sudah Mama siapkan semuanya." Usapan tangan Mama di rambut Adelia segera ditepis

Adelia dengan kasar.

Adelia ingin berteriak, semua hal Mama dan Papa yang

mengatur. Adelia Sama sekali nggak diberi kebebasan menentukan pilihan. Bahkan untuk hal penting seperti sekolah, Adelia

nggak diberi kesempatan memilih.

"Besok, biar Papa yang antar kamu ke sekolah," lanjut
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mama.

Bagus! Sempurna! Adelia akan tampak seperti anak Taman

Kanak-kanak yang datang ke sekolah diantar orangtuanya.

Sempurna sudah penderitaan Adelia. Ia sudah kehilangan teman-temannya. Kehidupannya di Jakarta seakan direnggut oleh

kedua orangtuanya. Egois banget!

"Ya sudah, mungkin kamu masih capek. Kamu istirahat

dulu saja. Papa dan Mama mau pergi sebentar buat persiapan

buka praktik." Mama beranjak pergi.

Sejak kemarin sebenarnya Papa sudah buka praktik di rumah. Papan nama bertuliskan "dr. Lukman Sandjaya" sudah

terpasang dan kemarin Adelia melihat ada beberapa orang

yang berobat. Berarti harapan untuk kembali ke Jakarta sangat

kecil. Ada baiknya Adelia memikirkan bagaimana caranya agar

Mama dan Papa mengerti kalau ia benar-benar nggak mau

tinggal di desa. Mungkin dengan minum racun serangga atau

cari tali buat gantung diri. Entahlah... Susah membuat mereka

mengerti. Mereka pikir semua berjalan lancar dan baik-baik

saja.

agi Niken, ada banyak keuntungan pacaran di rumah.

Yang pertama bisa ngirit. Nggak perlu ongkos buat beli

bensin dan makanan. Yang kedua bisa lebih romantis kalau

rumah dalam keadaan sepi. Tapi bagi Reno, pacar Niken, kebalikannya. Ia sudah bela-belain pulang dari indekosnya di

Yogya buat ketemuan dengan pacarnya. Eh... malah di rumah

doang. Kalau rumahnya asyik buat tempat pacaran sih oke.

Tapi ini NGGAK! Di mana-mana ada timbunan barang bekas,

mulai dari kaleng bekas, plastik bekas, koran bekas, dan juga

botol-botol bekas. Semua barang-barang itu dikumpulkan Pak

Rahadi, ayah Niken, sesuai dengan profesinya sebagai petugas

kebersihan di kampungnya.

Bagi Reno, pacaran di rumah itu nggak asyik. Selain pemandangannya nggak menyenangkan, juga bau dari barang
barang bekas membuatnya semakin tidak nyaman.

"Tapi Bapak lagi sakit, Ren. Masa, aku tinggal sendirian di

rumah?" Niken beralasan.

Gadis yang masih tercatat sebagai siswi SMA Negeri 8 Solo

ini bertubuh mungil. Rambutnya yang panjang dan hitam hanya diikat dengan karet gelang. Wajahnya jauh dari sapuan

makeup bahkan bedak pun tidak ia pakai. Kulitnya yang cokelat

tampak alami dan sedikit suram. Tulang selangkanya sedikit

menonjol karena tubuhnya yang kurus. Pakaiannya sangat sederhana, kaus yang warnanya sudah pudar dan bawahan panjang sampai pergelangan kaki.

"Terus kapan kita jalan? Perutku laper banget nih..." Reno

mengusap perutnya yang datar.

Walau cengar-cengir karena kelaparan, Niken melihat Reno

tetap saja tampak keren. Setelah lulus SMA dan melanjutkan

kuliah di Yogya, Reno tampak makin keren. Penampilannya

berbeda dibandingkan pemuda kampung lainnya. Pakaiannya

selalu rapi, pakai hem warna hitam dengan kaus oblong berleher di dalamnya dan celana jins warna biru tua yang pas

dengan kakinya yang panjang. Rambutnya cepak seperti taruna. Hidungnya mancung, bibirnya tipis dan ada bekas luka

di dekat bibir bawahnya yang membuatnya tampak seksi.

"Kamu mau apa, aku masakin, ya?" Mata bulat Niken menatapnya. "Mi instan mau?"

"Ya ampun, aku di indekos makan mi instan terus, sekarang

di rumah pacar sendiri juga mau dimasakin mi instan. Lamalama mukaku mirip mi instan..." Reno menggaruk-garuk kepala

tampak sedikit kesal.

"Terus apa dong? Yang ada saja, ya? Biar ngirit." Niken masuk tanpa menunggu Reno bicara lagi.

Ngirit! Itu kata-kata yang sering Niken ucapkan. Saking

ngiritnya, pernah Niken ke sekolah jalan kaki karena sepedanya rusak. Padahal ia bisa naik angkot. Tetapi, ia memilih jalan kaki biar uang sakunya bisa ditabung. Ia pun hampir

nggak pernah jajan di kantin. Kalau toh Niken berada di kantin, pasti diajak Arini, sahabatnya. Dan tentu saja yang mengajak itulah yang membayar.

Niken ingin mengumpulkan uang untuk mewujudkan impiannya. Impian tentang masa depannya yang masih jauh tapi

sudah ia pikirkan sejak sekarang. Gara-garanya ia melihat acara

pernikahan Pangeran William dan Kate Middleton di televisi.

Dan Niken melihat, Kate tampak anggun memakai gaun pengantin yang indah. Hal ini membuat Niken membayangkan

dirinya bisa memakai gaun seperti itu... wah... luar biasa!

Memang berlebihan jika membayangkan bisa melangsungkan pernikahan seperti itu, tapi setidaknya ia bisa menyewa

pakaian pengantin di salonnya Tante Sisca, salon paling terkenal di desanya. Lalu ia mambayangkan dirinya menjadi Kate

Middleton dan Reno menjadi Pangeran Williamnya. Wuih!

Asyiknya...

"Nah, ini ada sedikit camilan." Niken membawakan sepiring singkong rebus dan segelas teh yang masih mengepul

untuk Reno.

Reno mendesah kesal. Menu andalan Niken dikeluarkan juga.

Siang-siang begini disuruh makan gituan. Nggak asyik banget...

"Kamu kan di Yogya kuliah sambil kerja Ren, jangan terlalu

boros dong. Kan kamu tiap akhir pekan sudah ngeluarin uang

buat pulang ke Solo. Jadi nggak perlu jajan." Niken mulai

menceramahi Reno tentang berhemat.

"Tapi sesekali kan nggak apa-apa, Ken." Reno menggeser

duduknya, tangannya menggenggam tangan Niken. "Aku itu

sayang banget sama kamu, Ken. Kamu harus yakin aku pasti

mendapatkan biaya buat pernikahan kita nanti. Aku pastikan

kamu bisa memakai gaun pernikahan, jangan kuatir. Lagi pula

itu masih lama kan? Aku saja masih semester tiga dan kamu

masih SMA. Nikahnya setelah kita berdua lulus dan kerja."

"Iya, aku tahu, tapi nggak ada salahnya jika mulai sekarang

belajar ngirit, hemat itu soal kebiasaan lho, Ren. Nggak bisa

dilakukan tiba-tiba." Niken nggak mau kalah.

Reno menepuk jidatnya, ia tambah bete. Ia nggak ingin

acara pacarannya hanya diisi dengan ceramah Niken. Pacaran

apaan? Nggak beda dengan mendengarkan khotbah.

Belum setengah jam, Reno sudah pamit pulang. Ia berjanji

besok akan datang lagi, kebetulan kali ini dia agak lama pulang ke Solo, ia mendapat cuti dari tempatnya bekerja sebagai

penjaga warnet selama seminggu sekalian liburan kuliah. Jadi

masih banyak waktu buat berduaan dengan Niken. Siapa tahu

besok Pak Rahadi sudah sembuh, jadi nggak ada alasan lagi

buat Niken nggak mau keluar rumah. Soal ngirit nanti bisa

diatur, nggak perlu masuk warung. Beli makanan yang dijual

di kaki lima pun boleh, sambil nongkrong kayaknya lebih

asyik.

Kalau dihitung detail, Niken dan Reno sudah pacaran selama

empat tahun lima bulan sebelas hari. Mereka pacaran sejak

Niken masih SMP dan Reno SMA. Awalnya mereka hanya saling taksir. Niken melihat Reno seperti Christian Sugiono made

in Mojosongo. Cakep dan gagah. Reno dan Niken sama-sama

aktif di Karang Taruna, mereka sering kali terlibat kegiatan bersama.

Reno menyukai Niken karena "bentuknya" yang lucu. Kurus, tingginya hanya sebahu Reno yang punya tinggi 173 cm,

dan wajahnya tampak polos. Walau begitu Niken sepertinya

nggak pernah punya rasa lelah. Orangnya aktif. Bayangkan,

pagi-pagi ia sudah membantu ayahnya mengambil uwuh atau

sampah penduduk. Lalu ia cepat-cepat bersiap diri untuk pergi

ke sekolah.

Di sekolah pun ia mengikuti banyak kegiatan dan memegang beberapa jabatan penting. Pokoknya hidupnya dinamis.

Bagaimana bisa gemuk kalau kegiatannya seabrek? Hal itulah

yang membuat Reno tertarik pada Niken. Daya juangnya tinggi

dan penuh percaya diri. Hingga mereka akhirnya memutuskan

buat jadian.

Karena Reno mendapat beasiswa kuliah di UGM, mereka

terpaksa terpisah jarak. Mereka bertemu setiap akhir pekan.

Bagi Niken itu bukan masalah, hari-harinya sudah padat, jadi

sedikit terhibur agar tidak selalu memikirkan Reno. Bahkan

saat Reno tidak pulang ke Solo, Niken tidak menelepon untuk

sekadar menanyakan penyebab Reno tidak pulang. Justru yang

senewen Arini, sahabat Niken, yang selalu mengingatkan kalau

sebagai "pacar yang baik" hal itu perlu dilakukan. Jangan sampai Reno berpikir kalau Niken sudah tidak peduli pada pacarnya. Sepertinya kalau dalam hal ini Arini ada benarnya deh.

"Nduk, tadi kok sepertinya Bapak mendengar suara Nak

Reno?" Mata Pak Rahadi yang keriput mulai terbuka.

Sejak sakit dua hari yang lalu tubuhnya tampak makin kurus. Pak Rahadi tampak makin lemah dan lebih memilih banyak berbaring. Sakitnya sih pada awalnya hanya diare tapi

kemarin pakai muntah segala. Itu yang membuat Niken cemas.

Pak Rahadi sudah dibujuk untuk pergi ke dokter, tetapi ia memilih untuk dibuatkan jamu dari daun jambu biji saja.

"Iya, tadi Reno kemari sebentar, sekarang sudah pulang."

Niken membantu Pak Rahadi untuk duduk. Ia meletakkan bantal di punggung Pak Rahadi supaya bisa duduk tegak. "Sampah

warga udah Niken ambil semua pagi tadi. Ada sekarung plastik

bekas gelas air mineral yang Niken dapatkan dan sudah Niken

gabungkan dengan yang lain. Besok pulang sekolah akan

Niken bawa ke pengepul."

Pak Rahadi kembali memejamkan mata, dan dari sudut

matanya ada air yang jatuh. Niken terkejut. Buru-buru Niken

mengusap air mata bapaknya dengan jarinya.

"Bapak kok nangis?" Niken mengusap-usap bahu kurus bapaknya.

"Seandainya ibumu masih ada di sini..." Pandangan mata

bapaknya menerawang.

"Yah... mulai lagi deh." Niken memotong ucapan Bapak.

Niken tidak ingin lagi mendengar tentang Ibu. Baginya, Ibu

telah mati sejak ia memilih hidup bersama laki-laki kaya di

Jakarta dan meninggalkannya bersama Bapak. Sampai sekarang

tidak ada kabar beritanya. Kebencian Niken pada ibunya sangat

luar biasa. Semua kenangan tentang ibu telah Niken hapus.

Bahkan tidak ada satu pun foto ibunya yang dibiarkan tertinggal, semuanya dibakar. Niken tidak ingin Bapak mengingat Ibu

lagi. Selamanya.

"Pak, dengar-dengar anaknya Bu Mangun yang jadi dokter

di Jakarta itu buka praktik di kampung kita lho, Pak. Kalau

tidak salah, namanya Dokter Lukman, kita ke sana, yuk? Minta

obat." Niken mengalihkan pembicaran. "Dengar-dengar juga

bagi yang tidak mampu bayar nggak usah bayar!"

"Ndak usah, Nduk, paling sebentar juga sembuh." Pak Rahadi minta dibantu turun dari tempat tidur.

Kalau bapaknya maunya begitu, Niken nggak bisa memaksa.

Paling kalau jamu daun jambu bijinya sudah tidak berpengaruh lagi Bapak akan mau berobat. Jadi buat memaksa Bapak

untuk ke dokter sekarang ini rasanya percuma.

Niken baru selesai mandi ketika ia mendengar suara motor

bebek yang tidak asing lagi di telinganya. Itu motor Arini yang

dipinjamkan ayahnya. Biasanya Arini selalu naik sepeda seperti

Niken. Tapi jika saat ini Arini naik motor, pasti karena motor

itu sedang tidak dipakai ayahnya. Katanya susah buat pinjam

motor. Harus dijadwal antara dia dan kakak perempuannya.

Niken segera keluar menyambut sahabatnya itu.

"Ken, ke bazar kampung, yuk?" tanya Arini.

"Nggak bisa, aku mesti nungguin Bapak." Niken mengeringkan rambutnya yang panjang dengan handuk. "Tadi saja Reno

ngajak jalan aku nggak mau karena mesti nungguin Bapak."

"Gile... kamu nolak ajakan Reno hanya karena nungguin

Bapak?" Arini mengusap muka lebarnya yang berkeringat dengan sapu tangan setelah melepas kacamatanya yang berlensa

lumayan tebal. "Terus dia nggak marah?"

"Marah?" Niken mengerutkan dahi. "Kenapa harus marah?"

"Ya ampun... Kamu nggak mikir apa? Dia itu balik ke Solo

buat nemuin kamu. Kok malah dicuekin gitu?"

"Nggak cuma aku dong. Dia pulang juga buat nemuin

orangtua dan adik-adiknya. Keluarganya kan di sini juga."

"Iya, tapi khususnya nemuin kamu." Arini mengempaskan

tubuh tambunnya ke kursi rotan.

"Sok tahu kamu, aku yang pacaran, kamu yang bingung."

Niken tertawa geli.

"Hei! Dengerin aku, cari cowok yang kayak Reno itu susah.

Sudah keren, baik, anak kuliahan. Wuih! Beruntung banget sih

kamu padahal muka kamu kan pas-pasan."

Niken langsung geram, ia mencubit pipi tembem Arini.

"Asem!"

Arini kesakitan, ia menyingkirkan tangan Niken dari pipinya sebelum Niken mencuil-cuil pipinya sambil membayangkan makan bakpao.

"Aku bilang Reno, sesekali nggak keluar jajan kan nggak

apa-apa. Cukup ngobrol di rumah. Bisa ngirit."
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hah? Ngirit?" Mata Arini terbelalak.

"Iya, emang kenapa?" Niken tersenyum.

"Baru kali ini aku dengar pacaran pakai hitungan?"

"Hah? Bukannya semua hal harus dihitung?"

"Nggak semuanya, Ken... lihat sikon dong. Masa pacaran

pakai acara pengiritan? Pacaran yang wajar dong. Emang Reno

lagi pacaran sama emaknya?"

"Sialan kamu!" Niken kembali mencubit pipi Arini, kali ini

pipi yang sebelahnya biar sama rasa sama rata.

"Ih lepasin!" Arini meronta. "Cepetan kamu samperin Reno

dan minta maaf. Kita semua nggak tahu tebal tipisnya dompet

cowok kita, kan?"

"Terus, Bapak siapa yang jagain?" Niken yang semula girang

langsung terdiam, berpikir kalau ia pergi lalu siapa yang menjaga bapaknya.

"Aku," jawab Arini mantap.

"Beneran?" Niken melompat girang, ia kembali hendak menyerang pipi Arini, tapi kali ini Arini lebih sigap untuk menghindar.

"Sekali lagi kamu cubit pipi aku, awas!" Arini melindungi

kedua pipinya dengan telapak tangannya.

"Sori... abis gemes banget. Kok bisa punya pipi tembem

gitu?" Niken tertawa.

"Ya iyalah, masa badan aku segede gini pipinya kempot

kayak kamu? Yang benar saja?" Arini mencibir.

"Oke, kalau gitu titip Bapak. Tolong jangan digodain...,"

canda Niken sambil bergegas.

"Ih! ngapai godain Bapak kamu..." Arini nyengir. "Eh, bazarnya gimana, Ken?"

"Entar kita atur lagi waktunya." Niken melambaikan tangan.

Sebelum Arini berubah pikiran Niken segera pergi. Tak perlu

banyak waktu buat dia bersiap, hanya ganti baju dan bawa

jaket lalu berpamitan pada Bapak. Sepeda mininya ada di depan rumah jadi tinggal dikayuh ke rumah Reno yang jaraknya

nggak lebih dari lima ratus meter dari rumah Niken.

delia sempat berpikir dia mau bunuh diri tapi nggak

jadi. Alasannya karena ia sudah mencari obat serangga

tapi nggak ketemu. Mau beli di warung, belum tahu letak warung terdekat. Warung yang ia ketahui ada di dekat rumahnya

hanya menjual mi ayam, pasti tidak jual obat serangga. Nggak

ada hubungannya, kanTerus mau cari tali buat gantung diri juga nggak ketemu.

Maklum baru pindah rumah nggak tahu letak tali milik neneknya. Mau tanya pembantu atau Nenek juga nggak mungkin,

nanti mereka pasti bertanya buat apa. Yang ditemukan Adelia

hanya tali plastik yang berukuran pendek-pendek. Adelia malas

buat menyambungkannya satu per satu. Belum lagi kalau sambungannya nggak kuat, bukannya mati malah setengah mati

menahan sakit. Mending di-cancel saja niatan bunuh dirinya.

Belum lagi jika mikirin Mama dan Papa yang hanya memiliki Adelia. Maklum anak tunggal. Kalau Adelia mati, siapa

yang merawat Papa dan Mama kalau sudah tua? Lagi pula

Adelia nggak yakin sahabat-sahabatnya di Jakarta bakal menangisi kematiannya. Paling mereka akan berkata kalau mereka

menyesal sudah berteman dengan orang bodoh yang melakukan tindakan bodoh pula.

Ya sudahlah, soal rencana gila Adelia untuk bunuh diri gagal total. Mendingan cari alternatif lain agar bisa betah hidup

di kampung. Habisnya, sejak kecil sudah terbiasa hidup di tengah keramaian. Adelia nggak pernah hidup dalam suasana

sunyi sepi kayak di Mojosongo ini.

Kata Nenek, dulu Mojosongo lebih sepi lagi. Masih banyak

tanah yang ditumbuhi pohon jati. Penduduknya jarang, sekarang ini sudah ramai. Para pendatang mulai membuat perumahan kecil yang dijual dan banyak pasangan yang baru menikah membeli rumah di sini. Yang Adelia tahu tentang

Mojosongo, ya hanya tempat Nurdin M. Top, si teroris, beken

itu ditemukan dan tertembak mati. Beritanya ada di berbagai

media, baik di dalam maupun luar negeri. Selain itu, ia tidak

tahu apa-apa. Papa pun sebenarnya belum pernah mengajak

Adelia ke Mojosongo. Kalau Papa menjenguk Nenek, dia biasanya hanya pergi sendirian, waktu lebaran pun ia tidak pernah

ke Mojosongo. Maka wajar jika hubungan Adelia dan Nenek

terasa kaku karena memang sebelum ini mereka tidak pernah

bertemu. Apa alasan Papa nggak mengajak Adelia ke Mojosongo sebelumnya, Adelia nggak tahu dan rasanya itu nggak

penting makanya Adelia pun tidak bertanya pada Papa. Paling

juga ada hubungannya dengan Kakek. Karena setelah Kakek

meninggal, baru Adelia diajak ke sini.

"Masuk!" Adelia berteriak ketika mendengar pintu kamarnya

diketuk dari luar.

Mbok Jumilah, tetangga dekat rumah yang sengaja dipekerjakan Papa sejak tinggal di rumah ini, datang membawa setumpuk seragam untuk Adelia. Adelia mengambil sepasang

pakaian putih abu-abu yang sudah disetrika licin oleh Mbok

Jumilah.

"Kata Ibu, Mbak Adel disuruh mencoba seragamnya dulu.

Kalau nanti kurang pas masih bisa dibenahi mumpung masih

sore." Mbok Jumilah segera pergi setelah menyampaikan pesan

Mama.

Apaan nih... roknya kok panjang banget... Adelia merentangkan rok abu-abunya. Dan langsung berteriak memangil kembali

Mbok Jumilah yang baru lima langkah meninggalkan kamarnya.

"Bilang sama Mama, penjahitnya suruh motongin rok ini

sebanyak-banyaknya. Disamain dengan seragam Adel yang di

SMA Nusantara II Jakarta dulu." Adelia meletakkan kembali

tumpukan seragam itu ke tangan Mbok Jumilah yang segera

melaksanakan tugasnya.

Adelia kemudian menendang daun pintu hingga tertutup

kembali dengan keras. Wajahnya tampak memerah. Yang benar

saja, pakai rok panjang ke sekolah. Nggak banget deh.... Menurutnya, memakai rok panjang yang menutupi betis nggak ada

bedanya dengan pakai jarik atau sarung. Kaki terasa lembab.

Percuma tiap hari ia mencukur bulu kakinya dan mengolesinya

dengan cream pemutih dan penghalus kulit jika harus ditutupi

kain. Tak lama, mamanya sudah muncul tanpa mengetuk pin"Adel... ayolah, jangan bikin Mama dan Papa pusing karena

keinginan kamu yang aneh-aneh. Ini peraturan sekolah, Sayang. Semua siswanya harus pakai rok panjang sampai menutupi tumit."

"Sekalian saja pakai sarung!" Adelia menjatuhkan dirinya ke

atas kasur.

"Sayang, jangan begitu, nanti Papa kamu dengar. Dia bisa

marah lagi." Mama membujuk Adelia.

Terlambat, Papa sudah ada di depan pintu dan mendengar

keributan Adelia soal rok panjangnya.

"Bukan cuma harus pakai rok panjang sesuai dengan peraturan sekolah, tapi kamu juga harus naik sepeda jika pergi ke

sekolah, tidak boleh bawa perhiasan, tablet, dan ponsel kamu

Papa ganti dengan yang biasa saja, asal bisa digunakan untuk

komunikasi dan tidak kamu pakai main Facebook." Papa terus

berbicara.

"Kenapa nggak sekalian cekik leher Adelia saja, Pa, biar

mampus!" teriak Adelia penuh emosi.

"Apa kamu bilang?" Tangan Papa terangkat, siap mendarat

di pipi Adelia.

Mama segera mencegahnya dengan menangkap tangan

Papa. "Jangan, Pa! Ini bisa kita bicarakan baik-baik."

"Papa jahat! Papa tidak mau mendengarkan Adel, Papa

egois dan suka memaksakan kehendak! Adelia nggak betah

tinggal di sini! Adelia mau balik ke Jakarta!" Suara Adelia tidak

begitu jelas karena disertai tangisan.

"Baik, Papa akan katakan kenapa Papa berlaku keras sama

kamu. Yang pertama, Papa ingin kamu jadi anak yang baik!"

"Bullshit!" Walau lirih, suara Adelia terdengar oleh Mama

yang segera memberi peringatan padanya untuk menutup mulut.

"Jangan dikira Papa tidak tahu apa yang kamu lakukan bersama teman-teman sekolah kamu di Jakarta," lanjut Papa.

"Maksud Papa apa?" Air mata Adelia semakin mengalir deras.

"Papa tahu kalau Micky tertangkap polisi karena kasus narkoba. Micky itu teman kamu juga, kan? Papa tidak mau kamu

bergaul dengan dia!"

Sejenak Adel teringat Micky, teman satu angkatannya yang

pernah main bareng sama Mikha, Vanya, dan Kirana. "Adel

nggak terlalu kenal dengan Micky, Pa. Papa jangan asal nuduh

dong!"

"Papa hanya ingin menjauhkan kamu dari orang-orang seperti itu!"

"Dengan memaksa Adel tinggal di tempat yang sunyi iniPapa ingin Adel menderita?"

"Adel...!" sergah Mama.

"Baik, mungkin Papa bisa percaya bahwa kamu tidak memakai narkoba tapi bagaimana kamu bisa mempertanggungjawabkan kartu kredit kamu? Kamu gunakan untuk beli apa

saja? Ke mal, pesta dengan teman-temanmu? Membeli barangbarang yang tidak berguna? Itu yang kamu lakukan? Sama

sekali tidak menghargai keringat dan jerih payah Papa! Menghamburkan uang seenaknya!" Suara Papa tidak lagi setinggi

tadi.

"Adelia sayang, selain karena ingin kumpul dan menjaga

Nenek, Papa dan Mama juga ingin kamu berubah. Meninggalkan kebiasaan buruk dan menjadi anak yang manis." Mama

mengusap rambut Adelia.

"Dengan menjadi gadis desa yang culun dan katrok?"

Adelia kembali menangis.

Papa mengajak Mama untuk keluar dan meninggalkan

Adelia sendiri. Semula Mama protes, tidak ingin meninggalkan

Adelia sendiri di kamar, tapi lama-lama Mama menurut juga.

Ia bisa memahami penjelasan Papa yang ingin Adelia merenungkan kembali kata-kata orangtuanya.

Sepeninggal Papa dan Mama, Adelia makin geram. Ia melemparkan barang-barang yang ada di kamarnya. Setelah puas

menangis sambil mengamuk, Adelia terduduk di lantai. Wajahnya ditutupi telapak tangannya. Ia tidak bisa membayangkan

bagaimana penampilan barunya dengan rok panjang saat di

sekolah nanti. Bagaimana ia bisa pergi ke sekolah tanpa mobil

dan harus mengayuh sepeda, tanpa perhiasan apa pun baik di

leher, jari, tangan maupun kaki. Nggak ada tablet yang selalu

menemani dan yang lebih menyakitkan harus berpisah dengan

Blackberry-nya. Ini benar-benar menyakitkan! Ketakutan Papa

terlalu berlebihan! Ini nggak adil! Papa terlalu protektif. Tapi

untung saja Papa lupa menyebutkan satu hal, Papa lupa melarang Adelia membawa tas berisi pakaian ganti, bedak, dan

parfum. Setidaknya itu yang membuat Adelia jadi sedikit tenang.

Mata Adelia masih terlihat bengkak ketika ia keluar kamar. Rumah tampak sepi. Papa sudah buka praktik dengan menggunakan ruang tamu sebagai ruang praktiknya. Semua dibuat serba

sederhana. Mama pun tidak kelihatan, paling ia membantu

Papa jadi pencatat medis. Bagaimanapun, dulu Mama pernah

sekolah perawat walau tidak selesai karena hamil. Jadi, Mama

sedikit banyak tahu tentang dunia medis.

Ajaran Papa dan Mama sebagai orang-orang berbasis medis

adalah menjaga kebersihan. Itu yang sampai sekarang mendarah daging pada diri Adelia. Adelia selalu tampil bersih. Ia

selalu berteriak jika ada yang kotor. Pembantunya di Jakarta

sudah paham tabiat Adelia. Pembantunya selalu mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik supaya Adelia tidak marahmarah karena ada kotoran di kamar, atau pada barang-barang

yang sering digunakan Adelia.

Salah satu alasan Adelia makin tidak betah tinggal di tempat Nenek adalah kebersihan di rumah Nenek yang tidak terjaga. Adelia masih ingat ketika masuk rumah Nenek untuk

pertama kalinya. Ia nyaris muntah-muntah karena bau amis

yang tercium dari dapur sampai ruang tengah. Belum lagi

debu-debu yang menempel di kaca jendela yang membuat

Adelia merinding. Maka Mama berinisiatif untuk meminta dua

orang tetangga, khusus membersihkan kamar Adelia dilanjutkan dengan ruangan lain.

Alhasil rumah Nenek bak disulap, jadi bersih dan wangi

sesuai keinginan Adelia. Nenek pun tidak keberatan rumahnya

jadi bersih. Tetapi, yang membuat Nenek sedikit jengkel adalah

ia jadi kebingungan mencari barang-barang sebab semua sudah

berpindah tempat. Tapi demi cucu tercinta, Nenek mengalah.

Setelah dipikir-pikir tidak ada gunanya terus-menerus protes

pada Papa. Papa tetap pada pendiriannya untuk menetap di

desa. Maka ketika "roh mengalah" masuk dalam hati Adelia,

ia merasa mau tidak mau harus menerima keputusan Papa.

Sekarang yang harus dipikirkan adalah mencari cara agar ia

tidak stres. Mumpung belum terlalu malam, ia memutuskan

untuk berkeliling kampung dengan mobil. Kata Papa kan tidak

boleh membawa mobil jika ke sekolah, jadi kalau berputarputar kampung boleh dong, sekalian survei letak sekolahannya

supaya besok tidak perlu diantar Papa kayak anak Taman

Kanak-kanak.

Kalau Adelia pamitan pasti tidak diperbolehkan pergi karena

hari sudah gelap, mendingan kabur saja. Apalagi sekarang

kunci mobil sudah ada di genggaman tinggal cabut. Papa banyak pasien dan otomatis Mama juga sibuk membantu. Ini

kesempatan untuk kabur lewat pintu belakang untuk melihat

suasana malam di desa. Makin sepi nggak, yaSetelah berhasil kabur, Adelia langsung mencari letak sekolahnya. Tanya dua kali saja ia sudah bisa menemukan sekolah barunya. Sengaja Adelia berhenti di depan sekolah. Dari

dalam mobil ia mengamati bangunan yang lumayan bagus
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk ukuran sekolah di desa. Jadi Adelia tidak begitu kecewa.

Bangunannya tampak kokoh dan dindingnya terlihat baru dicat ulang. Warnanya abu-abu seperti rok SMA.

"Cari siapa, Mbak?" Seraut wajah tiba-tiba menyembul dari

luar kaca mobil Adelia.

Adelia sampai tersentak kaget, ia tidak mengira ada orang

yang muncul dari tempat gelap dan tiba-tiba ada di dekat kaca

mobilnya. Untung saja dia cewek, jadi nggak begitu menakutkan. Takutnya ada orang jahat. Aduh... rasanya stereotipe banget. Masa orang yang jahat itu mesti cowok. Seperti orang

yang baru patah hati karena dikecewain cowok saja, berpikir

kalau semua cowok itu jahat. Setidaknya kalau cewek kan

nggak mungkin menculik lalu memperkosanya. Wuih serem

banget...

Adelia langsung merasa tidak suka dengan cewek itu, kesan

pertama saja sudah bikin kaget. Dan pertanyaannya itu lho,

mau tahu saja urusan orang. Dasar orang desa, nggak pernah

bisa menghargai privasi orang. Rasa ingin tahunya besar. Kalau

di kota, orang-orangnya biasanya tidak mau mencampuri

urusan orang lain, bahkan terkadang sesama tetangga pun tidak saling kenal. Kalau di desa, ya seperti ini deh, mau lihat

sekolah saja pakai ditanya-tanya. Dan tatapan matanya itu lho,

nggak enak banget... kesannya mencurigai.

Adelia menurunkan sedikit kaca mobilnya. Sekarang ia sudah bisa melihat dengan jelas orang yang ada di depannya.

Gadis desa yang tampak seusia dengannya, matanya yang besar menatapnya tajam. Benar-benar wajah yang menyebalkan

karena sudah membuat kaget setengah mati. Nggak tahu datangnya

dari mana, tiba-tiba saja muncul. Menyebalkan, batin Adelia.

"Yang pasti bukan cari kamu!" bentak Adelia

"Eh!"

Cewek itu adalah Niken yang sengaja menghampiri Adelia

yang sepertinya membutuhkan bantuan karena dari tadi mengamati sekolahnya. Tapi Niken langsung menyesal karena tanggapan yang nggak ramah dari Adelia.

Tanpa ba-bi-bu lagi Niken langsung pergi meninggalkan

Adelia dengan tatapan mata penuh kebencian. Sama seperti

tatapan Adelia saat bertemu Niken tadi.

***

Niken menerima segelas jahe hangat dari tangan Reno. Reno

memesan jahe di "wedangan". Warung yang memang buka

dari sore hingga malam dengan menu nasi kucing?nasi dan

sedikit bandeng juga sambal?aneka gorengan, dan minuman

hangat.

"Gimana, dia nyari alamat rumah siapa?" tanya Reno sambil nyeruput jahenya.

"Nggak tahu. Nyesel aku menyapanya. Masa aku tanya

baik-baik dia jawabnya ketus, ?Yang pasti bukan cari kamu?.

Sebel, nggak?" Niken masih gondok dengan sikap Adelia yang

jauh dari kata ramah dan sopan.

"Kalau dilihat dari plat nomornya sih dari Jakarta." Reno

melihat mobil Adelia telah pergi meninggalkan sekolah.

"Makanya aku samperin, siapa tahu aku bisa bantu mencarikan alamat yang ingin dituju. Eh... malah tanggapannya

kasar gitu. Dasar orang Jakarta!" Niken menyeruput wedang

jahenya.

"Eh... nggak semua orang Jakarta gitu lho..." Reno langsung

menutup mulutnya melihat wajah Niken yang semakin keruh.

Niken akui, waktu ia mendekati mobil itu dan melihat plat

nomor B ingatannya langsung melayang pada pria yang membawa ibunya pergi. Kebencian Niken pada pendatang dari Jakarta tampak dari mukanya, tidak heran jika Adelia juga langsung nyolot.

"Ya sudah, jangan dipikirkan. Anggap saja lagi sial." Reno

mengambil tahu goreng dan segera memasukkan ke mulutnya.

Reno sengaja mengalihkan pembicaraan agar tidak membuka luka lama Niken. Walaupun begitu, tetap saja ucapan

Reno membuat mood Niken rusak. Ia jadi bete.

"Udah malam Ren, pulang yuk!" Niken melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah delapan.

"Oke, aku bayar dulu. Oh ya, Bapak dibawakan apa?" tanya

Reno sambil merogoh saku celananya dan mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan.

"Terserah kamu. Jangan lupa bawakan juga buat Arini. Nanti dia protes kalau nggak dibawakan makanan." Niken mengambil jaketnya dan bersiap pergi.

"Oh iya, dia kan berjasa karena membuat kita bisa ngedate." Reno meminta penjual untuk membungkuskan makanan

yang dipilihnya.

Tak lama kemudian, Reno dan Niken pun berboncengan

menuju rumah Niken. Sepanjang perjalanan Niken terus memikirkan pertemuan singkatnya dengan Adelia. Kesan pertama

yang sangat buruk tapi Niken penasaran juga, ngapain cewek

itu mengamati sekolahnya malam-malam begini. Seingatnya,

ia belum pernah bertemu cewek itu sebelumnya. Dan rasanya

nggak ingin bertemu cewek itu lagi. Kalau bisa selamanya!

rini menunggu kepulangan Niken sambil mondar-mandir

di depan pintu. Tangannya menggenggam ponsel yang

sesekali ia tempelkan ke bibir manyunnya. Bibirnya mendesisdesis kayak ular. Alisnya berkerut. Dan ketika melihat Niken

datang dengan Reno, Arini pun segera menghampirinya.

"Ke mana saja sih kalian, kenapa ponsel kalian nggak pada

aktif?" tanya Arini dengan tergesa.

"Ponselku ketinggalan di rumah." Reno nyengir.

Niken segera merogoh sakunya untuk mengecek ponselnya.

"Ya... ponselku abis baterainya."

"Ya udah nggak usah banyak bicara. Ken, baiknya kamu

cepetan tengokin Bapak deh," ucap Arini panik.

Melihat Arini panik, Niken pun ikut panik. Tanpa buang

waktu, Niken langsung berlari ke dalam rumah disusul Reno.

"Pak, kita ke dokter sekarang saja, ya?" ajak Niken sambil

berjinjit menghindari bekas muntahan Pak Rahadi.

Arini memberikan jalan untuk Reno supaya bisa segera

membawa Pak Rahadi keluar.

"Naik apa, Ren? Masa naik motor?" Arini mengikuti Reno

dari belakang.

Niken bergegas menyiapkan tas yang akan dibawanya kemudian mengunci rumahnya setelah mereka keluar.

"Pakai motor juga tidak apa-apa, Nduk, Bapak masih bisa

pegangan kok." Suara Pak Rahadi terdengar serak.

"Kalau gitu aku yang memegangi Bapak di belakang, biar

Reno yang bawa motornya dan Arini mengendarai motornya

di belakang kita." Setelah Pak Rahadi menaiki motor yang dibawa Reno, Niken memegangi tubuh Pak Rahadi dari belakang.

"Pelan-pelan Ren."

Reno membawa motornya sangat pelan.

"Kok bisa sampai begini sih, Ken?" tanya Reno di sela konsentrasinya mengendara.

"Nggak tahu, tadi pagi sih masih baik-baik saja." Wajah

Niken makin cemas melihat kondisi Pak Rahadi yang sangat

lemas.

"Ini salah Bapak kok, Le, sebenarnya Genduk sudah menyuruh Bapak buat berobat ke dokter baru itu, tapi Bapak pikir

dengan minum jamu daun jambu biji sudah cukup. Lha, wong

Bapak pernah sakit seperti ini tapi bisa sembuh dengan jamu

itu. Lha, ini kok nggak sembuh-sembuh..." Suara yang terdengar sangat dipaksakan keluar dari mulut Pak Rahadi.

Air mata Niken nyaris keluar.

Tak lama akhirnya mereka sampai juga. Rumah Dokter

Lukman tampak sepi. Pagarnya tertutup rapat. Reno curiga jangan-jangan penghuninya pergi. Bisa celaka kalau begini. Dokter kampung yang biasa didatangi orang-orang sekitar sedang

pergi ke kota dan nggak tahu kembalinya kapan.

"Biar Bapak aku turunkan dulu, kamu yang pencet bel rumah itu, Ken." Niken menuruti perintah Reno, Arini yang baru

saja menstandarkan motornya segera menghampiri.

Dari dekat, rumah itu tampak sepi. Tetapi sepertinya masih

ada penghuninya di dalam. Seorang wanita setengah baya

keluar dengan tergopoh-gopoh. Niken mengenalinya sebagai

Mbok Jumilah, tetangganya yang jadi pembantu di rumah Bu

Mangun, orangtua Dokter Lukman.

"Pak Dokternya ada, Budhe?" Niken mesti menaikkan tumitnya untuk bisa melongok melewati pagar besi agar terlihat

oleh Mbok Jumilah.

"Oh... Niken to?" Mbok Jumilah membukakan pintu gerbang. "Baru keluar tadi. Masuk dulu, ditunggu di dalam saja."

"Matur nuwun, Budhe..." Niken memberi kode pada Reno

dan Arini untuk membawa Pak Rahadi masuk.

"Tunggu di sini dulu, aku teleponkan Pak Dokter biar cepat

pulang." Mbok Jumilah bergegas masuk.

"Mbok!" Niken coba mencegah Mbok Jumilah tapi Mbok

Jumilah sudah telanjur masuk.

"Nggak apa-apa, pesannya Pak Dokter memang suruh telepon kalau ada tamu." Mbok Jumilah berteriak dari dalam.

Rupanya tadi dia mendengar panggilan Niken.

Setelah menunggu beberapa saat Arini terlihat mengantuk.

Matanya memicing dan bersandar di bahu Niken.

"Reno, bisa tolong antar Arini pulang dulu? Biar aku yang

jagain Bapak." Niken berinisiatif ketika melihat Arini menguap

untuk kesekian kalinya.

Reno mengangguk. Ia segera mengajak Arini untuk pulang.

Reno mengekor Arini yang mengendarai motornya sendiri. Sepeninggal Reno dan Arini, Niken membetulkan posisi duduk

Pak Rahadi supaya agak tegak.

"Gimana kalau begini? Agak enakan kan, Pak?" Niken

mengganjal punggung Pak Rahadi dengan tangannya.

Tangan Niken sampai kesemutan karena Dokter Lukman

belum juga datang. Yang keluar malah cewek berambut panjang dengan atasan tank top dan celana pendek jins super pendek. Sandal kamarnya yang berwarna kuning bersih diseret

menuju tempat Niken dan Pak Rahadi duduk. Kepala Niken

yang semula tertunduk karena mengantuk, langsung mendongak ketika melihat ada seseorang yang berdiri di depannya.

"Lo lagi... nggak usah nunggu Papa, dia bakal lama pulangnya!" ucap cewek itu, yang ternyata Adelia, berbicara dengan

gaya bicara Jakarta-nya.

Adelia masih ingat, cewek yang sudah bikin dia kaget tadi

waktu di mobil saat lagi asyik mengamati sekolahan. Sekarang

dia muncul lagi padahal Adelia berharap ia nggak bakal ketemu dengan cewek itu lagi. Tapi malah sekarang dia datang

ke rumah membawa orang tua yang pasti bapaknya, soalnya

wajahnya mirip. Wajah memelas, kusut, dan lelah.

Spontan rasa kantuk Niken hilang. Ia juga masih ingat, bukankah itu cewek sombong yang naik mobil dan mengamati sekolahannya tadi"Kamu?" Niken terperangah.

Niken tidak mungkin lupa dengan cewek sombong dan ketus yang seumur hidup baru ditemuinya. Dan yang membuat

Niken tidak mengira adalah dia ternyata anak Dokter Lukman.

"Kenapa? Kaget ya? Aduh... kenapa sih dunia ini sempit

banget. Ketemu lagi sama semut hitam." Adelia mengibas-ngibaskan tangannya.

"Semut hitam? Maksud kamu apa?" Niken semakin tidak

suka dengan nada bicara dan julukan baru yang Adelia berikan.

"Iya, semut hitam. Kamu itu kecil mungil dan hitam kayak

semut..." Adelia tertawa mengejek.

Niken membelalakkan matanya, enak saja memberi julukan

semut hitam. Kalau Adelia memberi julukan Niken semut hitam, maka dia juga pantas diberi julukan semut rangrang yang

bentuknya besar dan berwarna merah, kalau menggigit sakit

dan bikin bentol. Tetapi keinginan Niken untuk membalas

ejekan tersebut ia urungkan. Ia tidak mau bertengkar karena

saat ini yang ia pikirkan adalah kesembuhan bapaknya.

"Mendingan kamu pulang dan besok pagi Bapak kamu

bawa lagi kemari," usul Adelia dengan nada suara dingin.

"Ndak bisa, sakit Bapak harus diobati sekarang." Niken meninggikan suaranya untuk mengimbangi suara Adelia.

"Sudahlah, Nduk, kalau Pak Dokternya pergi, besok saja berobatnya. Bapak biasa sakit diare dan muntah begini, lha wong

kerjanya Bapak kan ngambilin sampah," kata Bapak pelan tapi

Adelia masih bisa mendengarnya dengan jelas.

"Apa?! Semacam pemulung gitu?" Seketika wajah Adelia

mengkerut, ia jijik membayangkan pekerjaan itu.

Adelia tidak bisa membayangkan orang yang pekerjaannya

setiap hari mengambil sampah warga seperti yang dilakukan

Pak Rahadi. Di mata Adelia, sampah berarti barang busuk yang

sangat menjijikkan. Kenapa orang mesti memilih profesi itu

padahal banyak jenis pekerjaan lain.

"Kenapa? Semua pekerjaan itu baik asal halal. Jadi pemulung atau pengangkut sampah bukan pekerjaan hina. Aku juga

sering melakukannya. Kamu mau coba?" Niken melihat perubahan wajah Adelia yang tampak jijik.

Belum sempat Adelia masuk rumah, Pak Rahadi tiba-tiba

muntah. Pak Rahadi pikir ia bisa mencapai tempat sampah

yang berada di dekat Adelia berdiri, tapi ternyata belum sampai ia sudah muntah. Celakanya, muntahannya mengotori

pakaian Adelia. Adelia pun langsung menjerit dan mengomel.

"Orang tua sialan... jorok banget...." Adelia sampai melompat-lompat karena jijik.

"Hai, apa kamu bilang? Orang tua sialan? Yang sopan dong

kalau ngomong!" Niken langsung naik darah. Ia memapah Pak
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rahadi untuk duduk kembali.

"Pokoknya sekarang kalian pergi dari rumah gue!" Adelia

masih tampak histeris, tangannya menunjuk pintu keluar.

"Oh... nggak usah kamu usir, aku dan Bapak juga mau

pergi!" Niken kemudian memapah Pak Rahadi keluar.

"Maafkan Bapak ya, Nak?" ucap Pak Rahadi lemas.

"Nggak usah minta maaf, Pak. Bapak nggak salah. Bapak

nggak sengaja. Dia saja yang kebangetan! Kemuntahan saja

sampai teriak-teriak kayak gitu." Niken bicara dengan bapaknya

tanpa memedulikan Adelia yang terus mengomel sambil berteriak menyuruh Mbok Jumilah segera membersihkan bekas

muntahan Pak Rahadi.

"Pokoknya ruangan ini harus Mbok Jum pel sekarang juga

sampai tiga kali pakai cairan pembunuh kuman dan baju Adel

ini dibuang saja, nggak perlu dicuci. Adel sudah nggak bakal

mau pakai lagi baju ini!" Adelia terus saja berteriak-teriak.

Oh... jadi nona sombong, jutek, sok bersih, dan belagu itu

namanya Adel, batin Niken ketika mendengar teriakan Adelia.

Saat berjalan memapah Pak Rahadi menuju rumahnya,

Reno datang menghampiri dengan motornya.

"Lho, kok nggak tunggu aku kalau mau pulang?" tanya

Reno heran.

"Ceritanya panjang, nanti di rumah aku ceritakan," jawab

Niken yang masih tampak kesal.

Reno tidak bertanya lagi, ia langsung membantu Niken

mengantar Pak Rahadi sampai rumah.

Niken membantu bapaknya untuk tidur dengan posisi nyaman

di tempat tidur yang beralas selembar tikar. Bapak suka tidur

di sana, nyaman dan nggak kalah dengan tidur pakai springbed,

Ih yang benar saja, batin Niken. Tapi itulah Pak Rahadi dan

kebanyakan orang di desa yang suka tidur tanpa kasur.

"Besok ke Puskesmas saja, Pak, nggak sudi Niken ke sana

lagi." Niken masih geram sepeninggal Reno dari rumahnya.

Pak Rahadi menatap anaknya dengan sayu. "Ya, Bapak pantas dimarahi karena Bapak yang salah kok, Nduk."

"Nggak dong, Pak, siapa juga yang mau sakit? Kalau boleh

milih, semua orang tentu milih sehat terus. Sikap anak Dokter

Lukman itu memang keterlaluan." Nada suara Niken meninggi.

"Sudah, jangan marah-marah terus. Sepanjang jalan tadi

kan sudah marah-marah masa sampai di rumah masih dilanjutkan." Pak Rahadi mencoba membuat suasana hati Niken

menjadi lebih baik dengan senyumannya.

"Niken tuh sayang banget sama Bapak. Bapak satu-satunya

orang yang Niken miliki sekarang. Siapa pun yang berani

menghina Bapak, Niken akan balas." Belum habis kesal dengan

sikap Adelia, telinganya mendengar suara ketukan pintu depan.

Kenapa si Reno balik lagi, yah? pikir Niken. Tapi dugaan

Niken ternyata salah, yang datang adalah sepasang suami-istri

berpakaian batik. Yang pria tampak berwibawa dan yang wanita tampak anggun.

"Maaf, cari siapa?" tanya Niken merasa tidak mengenali

tamunya.

"Apa benar ini rumahnya Pak Rahadi?" tanya wanita itu

dengan suara lembut dan sopan.

"Iya," jawab Niken bingung.

"Oh... saya Dokter Lukman dan ini istri saya." Orang yang

bernama Dokter Lukman itu bicaranya sangat halus dan ramah.

"Eh..." Niken garuk-garuk kepala.

"Kami bermaksud untuk melihat keadaan Pak Rahadi sekaligus minta maaf atas sikap Adelia, putri kami," ucap Dokter

Lukman masih dengan nada suara yang ramah.

"Iya, Mbok Jumilah yang cerita. Kami sangat malu dan menyayangkan sikap Adelia. Untuk itu kami segera kemari," ujar

istri Dokter Lukman tidak kalah baiknya.

Niken masih bengong sampai lupa mempersilakan Dokter

Lukman dan istrinya masuk untuk melihat kondisi Pak Rahadi.

Niken benar-benar bingung. Kok bisa cewek menyebalkan seperti Adelia punya orangtua yang super baik seperti mereka.

Ini benar-benar aneh! Berbeda sekali... sangat bertolak belakang. Seketika itu juga makian dan kemarahan Niken hilang.

Apalagi setelah memeriksa kondisi bapaknya, Dokter Lukman berjanji akan datang lagi apabila obat yang diberikannya

untuk Pak Rahadi habis, sekaligus mengecek kesehatan Bapak

kembali. Dokter Lukman menolak ketika Niken memberikan

sejumlah uang untuk biaya periksa dan obat. Ternyata benar

kata orang-orang kampung, ada dokter baru yang sangat baik.

Hanya saja orang-orang tidak tahu kalau dokter baik itu punya

anak yang tabiatnya kayak setan, pikir Niken yang masih tidak

habis pikir dengan perbedaan sifat antara Adelia dan orangtuanya.

egala sesuatu yang berbeda itu selalu menarik perhatian.

Contohnya Adelia, ia memang berbeda dengan cewek lain

di sekolah. Gaya bicaranya Jakarta banget. Gayanya eksklusif

bak artis. Dan yang paling menyebalkan, Adelia selalu tahu

kalau dia sedang menjadi pusat perhatian di sekolahnya yang

baru, maka ia langsung tebar pesona. Para cewek yang ingin

disebut gaul segera bergabung dengan Adelia, dan para cowok

juga tak kalah antusias bak melihat Chelsea Olivia bersekolah

di tempatnya.

Niken baru saja meletakkan tasnya saat mendengar kehebohan tentang adanya siswi pindahan dari Jakarta. Daripada

tanya sumber yang nggak jelas, Niken memilih bertanya pada

sahabatnya, Arini, yang juga ikut-ikutan heboh.

"Orangnya cantik, Ken, kulitnya putih mulus dan rambutnya panjang kemerahan. Pokoknya cantik..." Arini terus berbicara tentang kelebihan fisik cewek itu.

"Kamu yakin dia masuk kelas kita?" Niken bertanya sambil

merapikan meja guru, mengganti taplak mejanya, dan meletakkan bunga plastik di atasnya.

"Iya, kelas XI IPA 1." Arini membantu merapikan ujung

taplak yang terlipat.

"Terus mana orangnya?" tanya Niken setelah menyelesai?kan

tugas piketnya.

"Ada di kantin, dikerubutin cowok-cowok." Arini tersenyum. "Mereka itu seperti semut yang mengerubuti gula."

Niken nyengir, ia sudah menduga siapa anak baru itu. Tapi

segera Niken membuang pikiran itu. Ia sama sekali tidak ingin

dugaannya benar. Dua kali bertemu dengan cewek menyebalkan itu, ia tidak ingin bertemu lagi apalagi kalau sampai ketemu tiap hari. Ia tidak bisa membayangkan ...

Saat bel berbunyi, Niken mengajak teman-temannya yang

ada di luar kelas untuk segera masuk. Sebentar lagi pelajaran

fisika dimulai. Kebetulan pula guru fisikanya adalah Bu Iin sekaligus wali kelasnya.

Bu Iin datang dengan seorang siswi baru. Arini menyenggol

bahu Niken supaya mengangkat kepalanya melihat si anak baru.

Saat itulah mata Niken bertatapan langsung dengan mata

siswi baru yang datang bersama Bu Iin.

Dia lagi... desis Niken.

Ampun deh... Ketemu semut hitam lagi, di kelas ini pula...

Adelia menggerakkan bahunya tanpa melepaskan pandangannya pada Niken.

Niken memalingkan wajah ke arah para cowok di kelasnya

yang mulai cari perhatian. Ada yang bersiul, ada yang melongo mengagumi kecantikan Adelia, ada pula yang nyeletuk

mau jadi pacarnya, dan segala omongan yang nggak penting

dan norak lainnya.

Bu Iin berdiri di depan kelas bersama Adelia. Pandangan

mata Adelia diarahkan ke seluruh ruang kelas, terutama ke

arah para cowok yang bertingkah cari perhatian. Ia tampak

begitu tenang dan percaya diri.

"Mulai hari ini kita mendapat teman baru pindahan dari

Jakarta." Bu Iin mulai memperkenalkan Adelia.

Adelia menebar pesona dengan senyum manisnya. Hal itu

tampak dari cara dia memperkenalkan diri. Niken benar-benar

merasa sangat muak dengan gaya Adelia memperkenalkan diri

yang sok banget.

"Nama saya Adelia Lukman. Saya pindahan dari SMA Nusantara II Jakarta. Di sini saya tinggal bersama Papa yang berprofesi sebagai dokter dan Mama yang bekerja sebagai asisten

Papa. Mungkin ada yang sudah tahu siapa saya atau pernah

bertemu dengan saya?" Adelia melihat ke arah Niken yang tengah menatap papan tulis. Niken tahu kalau Adelia melihatnya tapi ia pura-pura tidak melihat. Ia semakin muak ketika

Adelia memperkenalkan diri sebagai anak dokter segala. Dan

herannya, Niken mendengar gumaman serta decak kagum dari

teman-temannya. Emang profesi orangtuanya ada hubungannya

dengan dia sekolah di sini? Mau anak dokter kek atau anak tukang

sampah, nggak akan ada perbedaan di sekolah ini. Jika Adelia pikir

dengan memberitahu seisi kelas tentang profesi ayahnya ia akan

mendapat perlakuan khusus, itu salah! batin Niken.

"Niken, bisa maju ke depan?" pinta Bu Iin.

Ngapain si semut hitam disuruh maju segala, awas jangan

sampai dia berdiri di sampingku terlalu dekat, batin Adelia.

"Niken adalah ketua kelas di sini. Selain itu dia juga ketua

OSIS dan kapten tim basket putri sekolah ini." Bu Iin memperkenalkan Niken.

Bah, ketua kelas? Emang nggak ada orang lain yang lebih

pantas apa? Cewek berpenampilan katrok ini ketua kelasnya? Mereka memilihnya berdasarkan apa sih? batin Adelia sambil melirik sinis Niken yang sudah berdiri di sampingnya.

Niken tersenyum, senyumnya begitu kaku. Kenapa cewek

sombong, ketus, dan menyebalkan ini mesti bersekolah di sini? Di

kelasku pula. Tak bisa dibayangkan harus melihat wajahnya yang

memuakkan itu tiap hari. Terbayang betapa suramnya hari-hari ke

depan nanti, batin Niken.

"Adelia, kalau kamu mau tanya apa pun tentang sekolah

ini tanya saja pada Niken." Bu Iin mengalihkan pandangannya

ke Niken. "Niken, tolong bantu Adelia untuk menyesuaikan

diri di sekolah ini, agar dia kerasan di sini."

Semoga saja tidak, sehingga dia segera pindah dari sekolah ini

dan kembali ke habitatnya semula. Di Jakarta! batin Niken sambil menjawab Bu Iin dengan senyuman dan anggukan.

Sial, apa hebatnya si semut hitam ini sehingga guru di sini

begitu memercayainya untuk mendampingi murid baru, batin

Adelia.

"Selamat datang..." Niken mengulurkan tangan.

Ih... ngapain pakai salaman segala. Apa dia sudah cuci tangan

tadi? Apa dia nggak membantu ayahnya buat memilah sampahApa dia sudah pakai cairan pembunuh kuman seperti yang sering

aku pakai? Kalau tidak... hi... tidak bisa kubayangkan di tangannya menempel jutaan kuman penyakit, batin Adelia.

Niken menggerakkan tangannya, kalau Adelia tidak segera

menyambut tangannya, Niken akan menarik kembali tangannya. Dan Niken mulai menghitung mundur. Untunglah Adelia

segera menyambut uluran tangan Niken. Ia hanya menyentuh

ujung tangan Niken dan segera menariknya kembali. Niken

merasa sangat tersinggung dengan sikap Adelia yang dinilainya

tidak sopan. Sayangnya, Bu Iin tidak melihat sikap keterlaluan

Adelia itu.

"Untuk sementara Arini pindah di bangku sebelah Maya

ya? Biar Adelia duduk sebangku dengan Niken," perintah Bu

Iin.

Oh My God, sebangku dengan semut hitam? Duduk berdekatan

dengan jarak tidak lebih dari setengah meter dengannya? Yakin

kalau kuman-kuman di tubuhnya nggak hijrah ke tubuhku? batin

Adelia hingga membuat mimik mukanya terlihat aneh.

Adelia tidak tahu kalau mendampingi murid baru termasuk

salah satu tugas ketua kelas. Ketua kelas memang bertugas

menjaga kondisi kelas supaya nyaman untuk si murid baru.

Tapi kali ini Niken memberi pengecualian. Ia nggak suka dengan murid barunya kali ini. Nggak ada satu pun dari kelakuan Adelia yang bisa membuat Niken berniat untuk melaksanakan tugasnya. Tapi di depan Bu Iin seakan Niken siap. Bu

Iin tidak perlu tahu betapa Niken tidak ingin melaksanakan

tugasnya mendampingi si murid baru yang sombong itu.

"Sekarang kalian berdua silakan duduk! Kita akan memulai

pelajaran hari ini." Bu Iin menyudahi acara perkenalan murid

baru itu.

Kelas kembali ke kondisi semula. Kelas XI IPA 1 memang

terkenal dengan siswanya yang berprestasi bagus sehingga saat

menerima pelajaran mereka sangat serius. Mereka dengan cepat

melupakan adanya murid baru, dan berkonsentrasi pada pelajaran Fisika yang diajarkan Bu Iin.

Adelia menggeser mejanya menjauh dari meja Niken lima

senti sehingga meja mereka tidak tersambung lagi. Niken menatap Adelia dengan marah.
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Takutnya ada kuman-kuman dari sampah yang hijrah ke

mejaku..." Adelia tersenyum sinis pada Niken.

Niken menatap tajam mata Adelia. "Kalau nggak mau dekat

dengan aku, pindah saja ke neraka!" Ganti Niken yang tersenyum sinis.

Karena merasa sebal, Adelia langsung membuang muka.

Bagi Adelia, sekolahnya yang baru semuanya oke. Temanteman barunya oke, guru-gurunya juga oke. Yang nggak oke

hanya ketua kelasnya saja. Itu yang membuat bel tanda istirahat pertama terasa lama. Ketika akhirnya bel istirahat berbunyi, adelia langsung tersenyum senang.

Saatnya tebar pesona pada cowok-cowok culun itu... pikir Adelia.

"Bisa antar aku ke toilet?" tanya Adelia saat Niken hendak

keluar kelas.

"Keluar kelas, belok kiri mentok." Niken bicara tanpa melihat Adelia.

"Pertanyaanku bisa antar nggak?" Adelia berdiri dengan

berkacak pinggang.

"Jalan sendiri saja, punya kaki, kan?" Niken kemudian menatap Adelia.

"Oh... gini ya sikap seorang ketua kelas?" Adelia mengertakkan gerahamnya. "Mau aku laporin ke Bu Iin?"

Niken tersenyum sinis. "Silakan saja"

"Ada apa sih?" Arini segera menghampiri saat melihat kedua orang itu tampak bersitegang.

Arini menatap bergantian wajah kesal dan mulut manyun

dari dua orang di hadapannya yang sama-sama tidak menjawab pertanyaannya.

"Ken, ada apa?" Akhirnya Arini memutuskan untuk bertanya pada Niken.

"Nggak ada apa-apa. Ke kantin, yuk?" Niken menarik tangan Arini.

"Eh... Adelia ikut sekalian yuk...," ajak Arini sambil menahan tarikan tangan Niken. Tenaga Niken ekstra kuat juga.

"Thanks, nggak usah lah..." Adelia kemudian melambaikan

tangan pada Arini.

Kecuali kalau nggak bareng semut hitam, pasti aku mau, batin

Adelia.

Ngapain juga Arini pakai mengajak Adelia ke kantin segala,

batin Niken. Untung saja dia nggak mau.

Awas ya, sebentar lagi sahabat kamu yang gendut itu bakal

menjauhi kamu. Dan kamu akan rasakan betapa menyakitkannya

ditinggalkan seorang sahabat, geram Adelia saat Niken dan Arini

pergi.

Niken menyedot es tehnya dengan sedotan hijau, sedangkan

Arini memasukkan bakso ke dalam mulutnya untuk kedua kali.

Nafsu makan Arini memang besar makanya badannya juga

besar. Selain itu, Arini juga suka menraktir Niken. Katanya

nggak bakal sampai bokek kalau menraktir Niken karena paling

dia hanya minta es teh. Niken jarang makan di kantin. Katanya

makan di kantin pemborosan, mendingan makan di rumah saja.

Pagi dia sudah masak untuk sarapan bersama Bapak dan kalau

makanannya bersisa, bisa untuk makan siang, jadi bisa ngirit.

"Kenapa sih, Ken, kamu kayaknya nggak suka dengan

Adelia?" Pertanyaan Arini membuat Niken terkejut.

Niken tidak menyangka kalau Arini bisa melihat sikapnya.

Apa tampak banget, ya? Takutnya bukan hanya Arini yang tahu

kalau aku benar-benar nggak suka dengan Adelia. Kalau teman-teman yang lain tahu bagaimana? Niken jadi cemas sendiri.

"Kamu nggak seperti biasanya deh, Ken." Arini kembali memasukkan baksonya yang ketiga. Kini tinggal dua butir bakso

yang masih tersisa di mangkoknya.

"Itu hanya perasaan kamu saja, Rin." Niken mencoba

mengelak.

"Nggaklah, aku ini sahabat kamu. Aku paling tahu kalau

kamu sedang senang maupun susah. Dari wajah kamu kelihatan. Kamu kayaknya bete banget." Arini memperlambat gerakan makannya.

"Kamu benar Rin, dua kali aku dapat kesan buruk dari dia

sebelum hari ini." Niken akhirnya mengaku dan menceritakan

alasannya.

Niken masih ingat ketika Adelia membentaknya malam itu.

Saat ia berniat membantu Adelia yang tampak kebingungan di

dalam mobilnya sambil melihat sekolahnya. Lalu penghinaan

yang dilakukan Adelia. Kata-kata kasar yang ia ucapkan ke Bapak menyempurnakan kebencian Niken pada Adelia.

Arini manggut-manggut mendengarkan alasan itu. Pantas

saja tadi mereka saling menatap tajam, batin Arini memercayai

ucapan Niken.

"Sampai sekarang dia masih menatap aku dengan pandangan jijik karena profesi Bapak dan aku." Niken menyudahi

penjelasannya.

"Tapi coba deh kamu cari sisi baiknya Adelia, pasti pandangan kamu terhadapnya akan berbeda." Nasihat Arini boleh

juga, tapi terlalu berat dilakukan oleh Niken.

"Kayaknya sulit deh, Rin. Ibarat kanker sudah stadium 4.

Sudah parah banget."

Arini tertawa mendengar jawaban Niken. Mendengar penjelasan Niken, wajar kalau dia tidak menyukai Adelia. Adelia

adalah orang pertama yang tidak disukai Niken. Selama ini

Niken tidak pernah sampai mengatakan rasa tidak sukanya

terhadap seseorang, kecuali pada Adelia.

agi Adelia sekolah barunya sangat mengasyikkan. Dalam

tempo singkat temannya bejibun. Mereka datang sendiri

tanpa Adelia perlu mencarinya. Mereka seakan ingin tahu banyak tentang kehidupan remaja kota. Beberapa di antaranya

bahkan ingin dolan ke rumah Adelia setelah Adelia menawarkan main Facebook bareng. Rata-rata mereka sudah tahu tentang Facebook tapi kebanyakan hanya memakai ponsel bukan

komputer apalagi laptop untuk membukanya. Adelia berjanji

akan mengajari mereka men-download aplikasi-aplikasi yang

keren dan terbaru. Selain itu, mereka juga tidak perlu membayar seperti yang mereka lakukan saat di warnet.

Niken dan Arini baru memasuki kelas saat mendapati teman-teman mereka berkumpul mengerubuti Adelia. Niken

mendengar suara Adelia disertai tawanya yang renyah bersahutan dengan teman-temannya.

"Hai, Ken, entar siang kita mau dolan ke rumah Adel. Kamu

ikut nggak?" tanya Indri di antara kerumunan itu.

Niken tidak menyangka kalau Adelia sedang memperhatikannya, ia kira Adelia sibuk dengan orang-orang yang mengerumuninya. Niken segera memalingkan wajah.

"Nggak, aku mesti jagain Bapak." Niken kembali ke bangkunya.

"Ayolah Ken, kamu kan pinter. Teman kamu di Facebook

kan sudah banyak. Pasti asyik jika kamu ikut," bujuk Maya.

"Nanti kan aku yang ngajari kalian. Gampang kok," ucap

Adelia untuk teman-temannya tapi tatapannya untuk Niken.

"Sekarang kalian bubar deh, kembali ke bangku masing-masing. Sudah bel, kan?" perintah Niken dan direspons anak-anak

dengan segera membubarkan diri.

Adelia diam-diam mengakui pengaruh Niken di kelas. Nggak

nyangka si semut hitam pengaruhnya besar juga, pikir Adelia.

Rumah Adelia jadi ramai saat pulang sekolah. Ia membawa

rombongan teman-temannya yang mau main Facebook di rumahnya. Mamanya sampai heran melihatnya demikian juga

dengan Papanya. Mereka senang karena sepertinya Adelia sudah berubah, ia tidak uring-uringan lagi. Mereka sudah bisa

mendengar tawa Adelia di antara teman-temannya. Mereka tidak keberatan jika rumahnya jadi ramai karena kedatangan

teman-teman Adelia.

"Lihat tuh, kemarin saja masih uring-uringan sekarang sudah beda. Bisa membawa teman-temannya sepasukan gitu..."

Papa tertawa.

Mama juga ikut tertawa. "Biar Mama suruh Mbok Jumilah

buatkan makan siang untuk mereka."

Papa menyetujuinya. Belum sempat Mama berlalu, Adelia

menghampirinya.

"Ma, mereka kayaknya pada laper deh, Ma..." Adelia mengelayuti bahu Mama.

"Iya, Mama baru saja mau nyuruh Mbok Jumilah menyiapkan makan siang untuk kalian." Mama melirik Papa sambil

tersenyum geli. "Kayaknya anak Mama senang tuh sekolah di

desa?"

Adelia tertawa. "Kalau bintang bersinar di antara para bintang maka sinarnya tidak begitu kentara, tapi jika bintang

ber?sinar dalam gelap pasti sinarnya akan tampak."

"Siapa yang jadi bintangnya?" goda Papa.

"Adel dong, Pa..." Adelia membayangkan sambutan temanteman yang membuatnya seperti bintang. Jadi pusat perhatian

ternyata menyenangkan... Adelia cengar-cengir.

"Syukurlah kalau kamu senang sekolah di sini." kata Mama

sambil beranjak ke dapur.

"Iya tapi ada yang bikin Adelia sebal." Adelia tiba-tiba ingat

Niken. "Papa ingat nggak dengan cewek anak petugas kebersihan itu?"

"Iya, Papa ingat." Papa mengerutkan kening. "Memang

kenapa dia?"

"Dia itu ketua kelasnya!" Adelia bicara dengan nada tinggi.

"Ya sudah, berarti itu kesempatan kamu untuk minta maaf

atas perlakuan kamu pada ayahnya." Papa menasihati sambil

melihat Mama yang membawakan es buah untuk teman-teman

baru Adelia.

"Nggak ah, Pa, males. Sikapnya nggak menyenangkan. Sepertinya dia masih sebal pada Adel. Adel pun nggak mau

deket-deket dengan orang yang tiap harinya berkutat dengan

sampah. Adel kan jijik dengan sampah." Adelia manyun.

"Adel, nggak baik bicara seperti itu. Kamu harus baik pada

semua temanmu." Tiba-tiba saja Mama sudah ada di dekat

Adelia mengomentari ucapan Adelia.

"Mama kamu benar. Apalagi dia ketua kelasnya lho..." tambah Papa.

"Mau dia ketua kelas, pemilik sekolah. Nggak ngaruh tuh.

Adel nggak punya niatan untuk baikan sama dia. Nggak

Akan!" teriak Adelia bikin teman-temannya menoleh.

Teman-temannya kembali asyik main Facebook ketika mendengar suara orangtua Adelia juga meninggi. Urusan keluarga,

nggak boleh ikut campur, batin mereka.

"Adel, Papa nggak suka kamu bersikap seperti itu!" bentak

Papa.

"Papa sudahlah, jangan dipaksa. Mungkin saat ini Adelia

dan siapa namanya itu?" tanya Mama sambil mikir.

"Niken, Ma," ucap Papa.

Adelia kaget, bahkan Papa pun ingat namanya. Aneh... tapi

iyalah kemarin Papa ke rumah Niken buat ngobatin bapaknya.

Jelas saja Papa masih ingat nama Niken. Papa paling jago soal

mengingat nama, nggak seperti Mama yang lebih mudah ingat

orangnya daripada namanya. Tapi bagi Adelia, Niken adalah

orang yang tidak ingin ia ingat baik nama maupun orangnya.

Tapi mana mungkin? Mereka saja sekarang sekelas dan satu

bangku. Terbersit di pikiran Adelia untuk pindah ke kelas lain.

"Nanti mereka lama-lama juga akan baikan sendiri. Biasalah

anak muda, gengsinya selangit!" Ucapan Mama bikin Papa

nggak marah lagi.

Bahkan Papa membiarkan Adelia bergabung kembali dengan

teman-temannya buat main Facebook. Mama lega karena Papa

sudah tidak membahas masalah itu lagi. Baru saja bisa baikan

dengan anak semata wayangnya, jangan sampai ribut lagi.

Sore harinya Adelia berniat untuk jalan-jalan dengan mobil.

Kata Papa ia boleh menggunakan mobil saat tidak ke sekolah.

Dan sore ini Adelia ingin jalan-jalan sekalian memanaskan mesin. Sudah dua hari nggak terpakai. Adelia kangen ingin memakainya walau sekadar mutar-mutar desa.

Sepanjang perjalanan, Adelia banyak melihat tanah kosong

yang hanya ditumbuhi rumput dan tanaman liar, juga pohon

jati. Mojosongo memang terkenal dengan pohon jatinya. Bahkan di setiap rumah penduduk pun rata-rata memiliki pohon

jati walau hanya satu atau dua yang ditanam di halaman rumah mereka. Saat ini pohon jati sedang berbunga sehingga

daun-daunnya banyak yang luruh.

Adelia sengaja memperlambat laju mobilnya sambil menikmati pemandangan desa sore hari. Diam-diam ia menyesal

sudah berpikiran buruk tentang desa ini. Ia baru menyadari

bahwa tinggal di desa itu ternyata asyik juga. Ia ternyata hanya emosi sesaat ketika dipaksa Papa pindah ke rumah Nenek.

Pantas saja kalau Nenek tidak mau diajak tinggal di kota.

Habis tinggal di desa itu asyik sih.

Di sini Adelia mengenal teman-teman sekolahnya yang ternyata asyik semua kecuali yang satu itu, si semut hitam. Orang

yang dianggap penting oleh para guru. Adelia sempat melihat

Niken berbicara sangat akrab dengan beberapa guru. Tapi sekali

lagi, itu nggak berpengaruh baginya. Mau dekat dengan guru,

wali?kota, atau presiden pun nggak berpengaruh.

Yang pasti Adelia juga sudah punya pengaruh di antara teman-temannya. Sekarang temannya banyak dan mereka asyikasyik semua. Masih lugu dan lucu. Nggak seperti teman-temannya di Jakarta yang hanya bisa saingan mode dan tempat wisata

kuliner. Eh! Kok jadi ngebandingin mereka, batin Adelia. Adelia

sudah meng-upload fotonya bersama teman-teman barunya di

Facebook agar teman-teman lamanya juga mengetahuinya.

Adelia meraih CD dari dalam dashboard sambil terus melajukan mobilnya pelan. Ia menarik satu CD, bukan yang dimaksud olehnya. Adelia meletakkan CD itu sembarang di kursi

sebelahnya. Lalu tangannya kembali masuk ke dalam dash?board

untuk mengeluarkan CD lagi, tapi lagi-lagi bukan yang ia maksud. Lalu ia menepikan mobilnya untuk mencari CD yang
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diinginkannya, ia takut kalau CD lagu kesukaannya hilang. Ia

melongok ke dashboard dan mengeluarkan semua CD yang disimpan. Tiba-tiba Adelia berteriak keras, ia langsung keluar dari

mobil. Menjerit dan berjongkok di depan mobil. Tubuhnya

bergetar, tangannya dikibas-kibaskan ke pakaiannya.

"Hei... kenapa, Mbak?" Sentuhan di bahunya membuat

Adelia mendongakkan kepala.

Adelia terperangah. Christian Sugiono? Suaminya Titi Kamal...

kok ada di sini sih? Eh, bukan! Mirip saja. Masih mudaan cowok

ini. Jauh... lebih muda.

"Mbak nggak apa-apa?" tanya cowok itu, membuyarkan lamunan Adelia.

"Eh!" Adelia tergagap, mukanya memerah.

Cowok itu mengulurkan tangannya. Ragu-ragu Adelia meletakkan tangannya di tangan cowok itu. Bagai tersengat listrik, tubuh Adelia bergetar. Ia tidak bisa membayangkan apa

warna wajahnya saat ini. Yang bisa ia rasakan hanya jantungnya yang berdebar sangat kencang dan tubuhnya yang melemas. Ia benar-benar terpesona dengan cowok itu.

"Ada... Ada..." Adelia menunjuk mobilnya. "Ada laba-laba

di mobil saya..."

Cowok itu tersenyum. Duh! Senyumnya paten banget... Adelia

merasa jadi cewek kolokan. Siapa peduli. Yang pasti selain ganteng, cowok itu gentle banget. Ia mau membantu menangkap

laba-laba kecil di mobil Adelia.

"Dapat!" teriak cowok itu girang sambil memegang labalaba kecil itu.

Adelia mengirik. Ia bisa merasakan tangannya yang seakan

masih memegang laba-laba itu.

Cowok itu lalu melemparkan laba-laba itu jauh.

"Sudah aman sekarang." Dia mempersilakan Adelia untuk

masuk mobil kembali. "Kok bisa ya, mobil mewah begini ada

laba-labanya." Tiba-tiba cowok itu menutup mulutnya sendiri.

"Ups, sori..."

"Eh, nggak apa-apa lagi." Adelia tersipu. "Padahal udah aku

beri wewangian. Nggak tahu tuh dari mana masuknya. Mungkin sudah lama nggak dibuka kali, ya?"

"Bisa juga, tapi sekarang sudah nggak ada lagi kok." Cowok

itu menutup pintu mobil Adelia setelah cewek itu masuk.

"Fobia laba-laba, ya?"

"Nggak, tapi aku paling jijik lihat semua yang kotor termasuk sampah. Karena sampah itu tempat tinggalnya berbagai

kuman penyakit dan binatang yang menjijikan, seperti kecoa

dan tikus." Kembali Adelia merasakan kulitnya merinding.

"Ya udah, silakan melanjutkan perjalanan." Cowok itu melambaikan tangannya sepertinya tidak begitu menyukai topik

pembicaran Adelia.

"Terima kasih, ya." Adelia menyalakan mesin mobilnya.

"Boleh kenalan?" Adelia mengulurkan tangan.

Cowok itu tersenyum. "Tentu saja." Tangannya menyambut

tangan Adelia yang terulur. "Reno."

"Adelia." Adelia menjabat erat tangan Reno.

Adelia segera melajukan mobilnya dan membiarkan Reno

terpaku memandang kepergiannya. Rasanya romantis banget.

Seperti adegan di film saat si tokoh laki-laki tidak rela melepas

kepergian si tokoh perempuan.

Aku cinta Mojosongo! Aku suka tingal di sini! teriak Adelia

dalam mobil. Ia tidak menyangka ternyata di sini ada cowok

keren yang nggak kalah dengan cowok metropolitan. Nyesel,

kenapa pakai acara demo nggak mau tinggal di desa. Kalau begini

sih tinggal selamanya di desa oke saja asal bisa tiap hari ketemu

dengan cowok itu, batin Adelia sambil cengar-cengir.

Namanya Reno, sebagus orangnya. Ganteng dan gentle. Senyumnya bikin jantung berdetak kencang. Masih terbayang

dengan jelas di benak Adelia saat laki-laki itu mengulurkan

tangannya. Tangannya tampak kuat dengan lengan yang berotot. Wuih! Rasanya tepat bila aku mengatakan bahwa I?m

falling in love... batin Adelia dengan senyum yang tersungging

di bibirnya.

Tapi... bagaimana ya caranya supaya bisa ketemu lagi dengan cowok itu? Aduh, kenapa nggak tanya dia tinggal di

mana? Nggak apa-apalah di sini penduduk masih sedikit, pasti

ada yang tahu tempat dia tinggal. Lagian Papa kan dokter, bisa

tanya salah satu dari pasien Papa. Atau tanya Nenek dan Mbok

Jumilah pun pasti dapat jawabannya. Mereka kan penduduk

asli sini. Nggak seperti di kota yang susah banget jika cari rumah seseorang. Kalau di desa, tinggal sebut nama, orang-orang

sudah tahu ciri-ciri orangnya, tinggalnya di mana, anak siapa,

dan sebagainya. Eh! Kok jadi ngebandingin lagi antara kota dan

desa, kayak petugas statistik saja, batin Adelia geli.

Tenang saja pasti ketemu lagi dengan cowok itu, Adelia meyakinkan diri sendiri. Contohnya dengan si semut hitam, nggak

ingin ketemu eh... malah selalu ketemu. Begitu pula dengan

Reno, pasti deh suatu ketika jumpa lagi. Masalahnya bagaimana

supaya bisa dekat dengan dia, bukan sebatas kenal doang...

Mobil Adelia sudah berlalu, tapi Reno masih berdiri terpaku.

Ia ingat sekarang, bukankah itu mobil yang pernah berhenti di

depan sekolah Niken? Malam itu Niken menghampiri mobil tersebut dan kembali dengan ngomel-ngomel karena sikap tidak

ramah orang yang ada di dalam mobil itu. Mobil dengan plat

nomor B. Pasti nggak salah lagi, batin Reno.

Reno tersenyum ketika di otaknya tebersit satu ide. Ia tidak

peduli jika ada orang yang menganggapnya gila karena berdiri

di tengah jalan sambil tersenyum. Tapi nggak lah, masa ada

orang gila yang sekeren aku, batin Reno. Reno pun membuat

rencana untuk merealisasikan ide yang baru saja terlintas di

pikirannya.

ari kedua Adelia masuk sekolah kembali membuat Niken

emosi. Kali ini, Adelia jualan bedak, parfum, pemutih

kulit, dan sebagainya. Dan herannya bukan hanya para cewek

yang tertarik tapi juga para cowok. Ada apa ini? Kenapa sekarang para cowok di kelasnya ikut-ikutan tren yang nggak benar. Tapi setelah diamati lagi ternyata para cowok itu hanya

ingin cari kesempatan, siapa tahu bisa menyenggol tangan halus Adelia.

"Hai, Ken, kayaknya ini cocok deh buat kamu." Adelia secara khusus menghampiri Niken yang beranjak menjauh dari

tempatnya berkumpul bersama anak-anak.

Niken melirik sekilas botol plastik itu. Isinya seperti cairan

kental.

"Ini cream pemutih kulit biar kulit kamu sedikit cerah.

Nggak kusam lagi dan yang pasti jadi wangi!" Adelia menggoyang-goyangkan botol itu di depan wajah Niken.

Darah Niken langsung naik ke ubun-ubun. Tetapi, Niken

mencoba untuk menahannya. Ia hanya menyingkir menuju

bangkunya.

"Dilarang jualan di dalam kelas!" ujar Niken yang sengaja

dibuat keras supaya yang lain mendengar.

Satu per satu kembali ke tempat duduknya. Niken tidak

begitu tahu apa fungsi kosmetik-kosmetik itu, ia juga tidak

mau tahu.

"Kamu tahu nggak kenapa aku ke mana-mana bawa tas kecil berisi pakaian, bedak, dan parfum?" Adelia memburu

Niken, ia sengaja memanas-manasi Niken. Padahal biasanya ia

yang lebih dulu menyingkir kalau ada Niken, ambil berkata

bau sampah dan sebagainya, tapi kali ini Adelia sepertinya sengaja ingin membuat Niken emosi. "Supaya aku selalu tampak

cantik, fresh, dan nggak bau kayak kamu!" Adelia menutup

hidungnya di depan Niken sambil mengibas-ngibaskan tangannya.

Niken menganggap sikap Adelia melewati batas. Niken pun

mendorong tubuh Adelia. Adelia yang tidak menduga itu,

hampir kehilangan keseimbangan.

"Niken!" teriak Arini sambil menggelandangnya menjauh

dari Adelia ke luar kelas.

Niken mengatur napasnya, pandangan matanya tetap terarah pada Adelia.

"Jaga emosi kamu, jangan sampai image kamu selama ini

jatuh di mata teman-teman," bisik Arini, yang segera meredakan emosi Niken.

"Maaf," ucap Niken dengan suara mengambang sambil memejamkan mata.

"Aku tahu kamu marah, kesal, dan nggak suka pada Adelia.

Tapi kamu harus jaga emosi kamu. Orang seperti itu harus dilawan dengan otak, bukan dengan otot." Arini kembali menasihati Niken.

"Maaf lagi." Kembali Niken memejamkan mata.

"Iya, dimaafkan..." Arini tersenyum.

"Aku memang tidak sekaya dia, Rin. Tapi aku juga punya

harga diri." Mata Niken berkaca-kaca.

"Iya aku tahu." Arini mengusap bahu Niken. "Lebih baik

kamu ke toilet dan basuh mukamu."

Niken mengangguk. Tetapi baru beberapa langkah, Arini

memanggil.

"Ken, aku sudah pikirkan satu cara untuk mengakhiri masalahmu dengan Adelia." Arini menghampiri dan memegang

kedua bahu Niken. "Tapi kamu harus percaya padaku. Apa pun

yang aku lakukan adalah demi kamu. Demi persahabatan kita.

Karena aku sayang sekali sama kamu."

Niken menatap mata Arini. "Aku nggak ngerti maksud kamu,

rencana apa?"

"Ada deh..." Arini nyengir sambil mengedipkan sebelah

mata.

Niken tersenyum. Sebelum ia beranjak ia masih sempat

mendengar suara Adelia yang kembali mempromosikan barang

dagangannya.

Adelia berdiri di depan kelas sambil menerangkan satu per

satu produknya. Arini melangkah mendekat setelah memastikan bahwa Niken sudah pergi ke toilet. Adelia menjelaskan

produk yang berbentuk botol kecil yang lucu.

Jadi cewek itu harus tampil cantik setiap waktu. Kalian nggak

akan pernah tahu kapan kalian bertemu dengan cowok yang selama ini kalian impikan. Bayangkan, jika kalian tiba-tiba bertemu

dan kalian nggak siap. Misalnya, saat badan kalian bau dan wajah kalian tampak kusam. Maka, good bye deh cowok impian.

Makanya jangan sampai hal itu terjadi. Kalian harus selalu tampil

cantik dan wangi setiap saat. Oke? Promosi Adelia memang tepat

sasaran, sehingga banyak teman-teman sekelasnya membeli

produk yang ditawarkan Adelia.

"Adel, beli satu dong..." Arini berujar pelan.

"Oke, yang mana?" Adelia tersenyum.

"Itu yang di tangan kamu, buat pemutih wajah, kan?" tanya

Arini.

"Yoi... sembilan puluh lima ribu." Adelia menyerahkan produk itu pada Arini.

"Wah, mahal banget." Ragu-ragu Arini menerima botol plastik itu.

"Bisa dicicil kok." Adelia berbisik di telinga Arini

"Beneran?" Mata Arini berbinar.

Adelia mengangguk.

"Oke, aku ambil satu. Tapi..." Arini melayangkan pandangan

ke seluruh kelas. "Jangan bilang pada Niken kalau aku beli produk kamu, ya?"

Adelia kembali tersenyum. "Oke, aku ngerti kok."

"Aku usahain bayar cash kok."

"Eh jangan, dicicil saja." Adelia tersenyum penuh arti.

Arini segera memasukkan produk yang baru dibelinya ke

dalam saku lalu pergi. Sementara itu, Adelia sibuk memasukkan kembali produknya ke dalam tas karena pelajaran akan


Pendekar Hina Kelana 34 Utusan Dari Pedang Bayangan Dan Panji Sakti Huan Pendekar Mata Keranjang 13 Mendung Di

Cari Blog Ini