Ceritasilat Novel Online

Utukki Sayap Para Dewa 5

Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng Bagian 5



"Jangan sakiti Thomas "

Celia menyeret tubuhnya yang gemetaran di lantai dingin. Darah yang mengalir membentuk kolam kecil berwarna merah pekat. Bintang-bintang mulai berhamburan di kepalanya. Kepalanya pening. Celia tidak dapat berpikir apa pun.

Ishtar masih berkonsentrasi kuat di depan cermin. Dia tidak menyadari apa yang terjadi di belakang punggungnya.

"S-stop..., Ishtar" ujar Celia susah payah. Terdengar suara desingan angin di belakang telinganya. Makhluk bersayap berjongkok di depan wajah Celia. Sayapnya sangat besar, terlipat rapi ke belakang.

"Minggir" jerit Celia naik darah. Ia beringsut melepaskan diri. "Jangan halangi langkahku.

Wajah tampan itu menunduk di depan Celia. "Tolong, Celia. Dengarkan dulu. Dengarkan dulu :Suaranya seperti gema yang tertiup angin dingin.

"Thomas..." Dalam kesadarannya yang tinggal setengah, Celia mendengar suara lembut membelah udara. Suara

Ishtar. Sangat lembut dan diucapkan penuh perhatian. "Thomas..."

Dalam bayangan cermin, wajah Thomas mendongak. Menoleh ke kiri dan kanan. Mencari-muasal suara itu.

"Aku mencegah Dewi Antu menyakitimu, melemahkan sebagian kekuatannya. Hanya ini yang bisa kulakukan. Jika dia berhasil membebaskan diri dari cengkeramanku, ingatlah untuk berjuang melawannya mati-matian. Aku akan mengusahakan bantuan dari langit apabila kau mengalami kesulitan. Tapi sudah takdirmu untuk berjuang demi hidup dan cintamu. Bertahanlah. Sebentar lagi semuanya akan berakhir."

Suara itu menghilang diterpa angin.

Pemandangan di cermin berubah. Kali ini tampak Antu sedang dibekukan Ishtar.

Mata Celia membelalak. Menonton semua itu, tubuhnya semakin gemetar. Matanya berkaca-kaca. Dia merangkak sekali lagi sebelum terjatuh di lantai yang dingin. Napasnya sangat berat, menahan nyeri yang menggempur tubuhnya.

Makhluk bersayap berlutut di depannya dan memeluknya lembut. Celia mendongak, menatap sepasang mata biru yang sedang memandanginya tajam.

"Siapa kau?" tanyanya.

"Aku dayang-dayang terdekat Baginda Ratu Ishtar. Aku melayani dan melindunginya?

Leher Celia serasa tercekik batu besar. Mengapa...?" desisnya. "Mengapa dia tidak mengatakan hal ini padaku.

Makhluk bersayap menggeleng. "Dia tidak mau kamu tahu."

Celia merebahkan tubuhnya di pelukan sang dayang.

Seketika itu dia merasa sangat aman dan nyaman. (Dari... dari mana... monster-monster itu berasal?"

"Baginda Ratu Ishtar membutuhkan mantra dan konsentrasi yang luar biasa besar untuk mendapatkan tenaga sekuat itu demi melawan Antu. Pada saat itulah pintu penjagaan istana ini terbuka, karena seluruh energi Baginda Ratu Ishtar terserap ke Dunia-Makhluk-Hidup. Jika pintu-pintu terbuka, penjagaan kerajaan ini menjadi lemah. Monster dapat dengan mudah menyusup masuk, hendak menikam Baginda Ratu lshtar dari belakang. Membunuhnya. Karena itu, kami melindungi Dewi kami.;

Mulut Celia kering. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan, tapi sulit. "Tapi," katanya serak. "Bukankah Dewa Antu menyegel kerajaan monster agar mereka tidak dapat keluar?" Dia ingat penjelasan Marduk.

Makhluk bersayap tersenyum. "Ah, pasti ada dewa yang memberitahukanmu, ya?" Mata birunya yang teduh berkedip. "Betul, Dewa Antu menyegel kerajaan para monster. Tapi bagaimana juga, ibarat penjara, tetap saja ada yang berhasil menyusup keluar dan bergentayangan di istana dewa-dewi lain. Menyakiti para penghuninya, bahkan membunuh. Karena itulah, setiap kerajaan dewa-dewi dimantrai perlindungan dengan kekuatan mereka masing-masing. Pertahanan itu berupa energi kuat yang menyegel seluruh pintu masuk istana."

Celia terdiam.

Astaga.

Ishtar mempertaruhkan kerajaannya disusupi monster dengan menurunkan energi pertahanannya demi menyalurkan energi cadangan itu untuk melawan Antu.

Celia mengangkat kepalanya, ingin mengatakan sesuatu. Tapi bibirnya tidak bisa mengeluarkan suara sedikit pun.

"Shhh... istirahatlah, Celia. Jangan khawatir. Semuanya akan berakhir dengan baik."

Kepala Celia terkulai lemas. Pandangannya seketika mengabur dan sekali lagi kegelapan menyelubunginya.

Lima hari.

Lima hari berlalu lagi dalam ketidaksadaran.

Celia terbangun. Matanya membuka lebar. Wajah tampan berwarna pucat keperakan itu sedang duduk di sampingnya. Memandanginya. Sayap lebarnya terlipat sempurna di belakang. Pedang yang waktu itu terhunus tidak kelihatan di mana pun.

"Sudah enakan?" tanyanya lembut.

Sekujur tubuh Celia seperti dialiri energi baru. Gadis itu menggerakkan kakinya. Tidak ada rasa sakit lagi. Celia mengerang lembut. lalu berbalik. Dia tersenyum.

"Ya, sudah enakan. Terima kasih."

Cahaya biru pucat bersinar dari sepasang mata indah itu. Celia berusaha berdiri. Gerakannya berhenti mendadak ketika dia melihat sebentuk bola biru lembut bercahaya tidak jauh berada di samping makhluk itu.

Di dalam bulatan itu, tampak seseorang sedang berbaring mengapung di tengah-tengah.

"Ishtar?" tanyanya heran. Ishtar dikerumuni titik-titik sinar keperakan, bagai kunang-kunang. Celia bergerak dari ranjangnya dan berjalan menuju lingkaran. Dia berlutut. Tangannya berusaha menyentuh bola energi itu tapi tidak

terasa apa-apa. Hanya angin dingin mengembus di sana. Didorongnya tangannya semakin jauh.

Tak lama, terasa sebuah lapisan dingin, tersentuh telapak tangannya.

"Ishtar," panggil Celia sekali lagi. Perlahan, Ishtar menoleh. Tubuhnya masih terapung-apung bagaikan berenang di dalam kungkungan air biru muda. Matanya membuka, menatap Celia.

Air muka itu... Wajah itu...

Celia terpana.

Sangat putih. Tanpa harapan. Tanpa kemauan hidup. Jantung Celia seperti tertembus pedang. Terkoyak seketika.

"Siapa?" bisik Ishtar. Matanya seakan tidak dapat mengenali wajah Celia. Bahkan untuk fokus pun tampaknya ia mengalami kesulitan.

Mata Celia terasa panas. Tenggorokannya tercekik. "Ini aku, Ishtar. Celia."

"C... Celia...?" Secercah kebahagiaan melintas di mata hijau zamrud itu. Tapi hanya sekejap. Selebihnya tinggal pancaran penuh ketakutan. Duka. Malu. Putus asa.

"Celia..." Susah payah Ishtar membuka mulutnya. Setetes air mata turun pada pipinya. "Aku... aku m-minta... maaf..."

Tangan Celia semakin meringsek maju tanpa hasil. Lapisan dingin itu terasa sangat keras di telapaknya. Celia menunduk, mengarahkan mata ke jantungnya, berharap menemukan kedamaian di sana. Lalu dia mendongak lagi. Air matanya telah mengering. Gadis itu tersenyum penuh kelembutan.

Mata Ishtar berkedip melihat senyum Celia. Senyum yang

sangat indah, bagaikan angin semilir di musim semi. Memberikan kehangatan di kerajaannya. Melumerkan balok-balok es yang membekukan.

"Tidak apa-apa, Ishtar," bisik Celia.

Ishtar membuka matanya semakin lebar. Berusaha sekuat tenaga untuk tetap sadar. Sayapnya bergerak sedikit.

"Jangan khawatir. Aku memaafkanmu."

**

Di kota yang bising, tidak jauh dari sebuah rumah besar...

...matahari tampak lebih membara di langit, melelehkan sebentuk kepompong es yang berbaring di salah satu sudut taman. Orang-orang berbisik,

"Sepertinya matahari tidak mau tenggelam. Aneh."

SUARA dengungan.

Dengungan itu terus-menerus berkumandang di kepalanya. Membuatnya sakit kepala.

"Thomas, Sayang."

Sakitnya itu... tak terbayangkan. Jantungnya seperti ditikam samurai. Membuat seluruh tubuhnya kaku, tak mampu bergerak sedikit pun.

"Kau bisa mendengarku?"

Suara-suara lagi. Suara-suara yang seharusnya menghilang bersamaan dengan diputusnya energi pemisah antara dia dan Celia. Suara-suara itu menggumam, tumbuh di belakang kepalanya, menggaung terus menerus. Bagai suara dengungan lebah yang tidak dapat berhenti.

Semuanya gelap. Thomas merasa dirinya terputus hubungan dengan sesama manusia lainnya. Dia harus bangun segera. Tapi anehnya, Thomas tidak merasa tertidur.

"Thomas, bangun. Sadarlah."

Tidak. Suara itu terdengar "berbeda". Bukan suara lembut yang penuh perhatian. Ini lebih kepada suara yang berpurapura, dingin, dan tanpa jiwa, berusaha mengisi titik-titik kesadarannya.

Thomas membuka matanya. Berkedip-kedip melawan cahaya matahari. Dia berusaha sekuat tenaga menfokuskan bola mata itu, mencari-cari sumber suara yang begitu dekat di hatinya.

Thomas berusaha duduk. Tiba-tiba, ada sengatan yang luar biasa menyakitkan menikam dadanya. Menyayat dari leher sampai ulu hati. Membuatnya nyaris tercekik, tak mampu bernapas.

"Thomas!" pekik Celia di sebelahnya.

"Kenapa?"

Thomas benci membuat Celia mencemaskan dirinya. Kesadaran itu membuatnya tidak nyaman. Tak mampu berkata apa pun karena terlalu sakit, Thomas mengangguk pasrah.

Celia tersenyum.

"Thomas," katanya. Suara itu terdengar menahan kejengkelan.

"Kalau lagi sakit. jangan sok kuat. Kau perlu berbaring dan beristirahat. Oke?"

Thomas mendongak, berusaha menggapai tatapan Celia. Gadis itu masih berkata-kata,

"Pertama-tama, kau harus istirahat yang banyak. Demammu belum turun-turun dari tadi. Jangan bergerak gerak terus."

wajah Thomas mengerut.

Suara dengungan itu semakin menjadi-jadi. Intensitasnya malah meningkat.

"Celia," desahnya. Sangat sulit untuk berkata-kata. Lidahnya terbakar. Apa yang terjadi? Thomas tergagap, antara berusaha mengetahui apa yang sedang terjadi dan merasakan ketakutan yang mulai tumbuh.

"Apa yang-"

"Diam!" Suara itu terdengar sangat tajam, tapi wajah Celia seketika melembut.

"jangan... jangan ngomong dulu. Nanti kondisimu semakin parah."

Parah? Apanya yang parah? Thomas menutup matanya. Kendalikan rasa sakit itu. Dia pernah merasakan sakit yang lebih parah daripada ini. Dahinya berkerut. Ingatannya menghilang. Sejak kapan dia mengalami sakit yang lebih parah daripada sekarang? Mengapa Thomas lupa?

"Celia," panggilnya sekali lagi. Lirih.

Tatapan Celia sangat galak.

"Kalau kau tidak berhenti bergerak-gerak, aku akan memanggil dokter."

"Tapi "

"Thomas," potong Celia cepat.

"Diam. jangan bergerak. Nanti tambah sakit."

No way. Thomas tidak mau mendengarkan perintah Celia. Tidak mungkin dia terus-menerus berbaring di ranjang jika dia merasakan sesuatu yang aneh sedang terjadi pada dirinya. Thomas mendengus. Sakitnya nyaris tak tertahankan lagi. Tubuhnya gemetaran. Matanya berair. Tatapannya mengabur. Tapi Thomas menahan segalanya.

"Aku tidak mungkin-"

Dalam sekejap mata, semuanya berubah.

Ruangan kamar yang tampak hangat karena cahaya matahari dan dinding-dinding yang berwarna hijau padang rumput menghilang. Tiba-tiba ada seseorang... bukan, lebih tepatnya makhluk, menekan punggungnya, memeluk seluruh tubuhnya kuat-kuat. Seperti pelukan erat seorang kekasih.

Hantu...

Air muka Thomas tegang. Panik menghunjam tubuhnya. Tangan-tangan hantu mengetatkan pelukannya.

"Thomas!" Wajah Celia tampak pucat dan tak berisi. Matanya memandang kosong.

"Mengapa kau tidak mau mendengarkan kata-kataku? Kau harus berbaring, Sayang. Nanti kau menyakiti dirimu sendiri."

Tidak mungkin. Celia tidak berada di sini. Celia berada di dunia lain.

"Lepaskan aku, sialan!" teriak Thomas, berusaha membebaskan dirinya dari sesosok makhluk yang sedang memeluk dadanya. Menekan habis kemampuannya untuk bernapas.

"Dokter!" Celia berteriak-teriak.

"Dokter! Cepat! Cepat datang, Thomas berhalusinasi."

Halusinasi? Apakah dia sedang berhalusinasi? Tidak mungkin.

"Thomas! Dengarkan aku! Semuanya bohong belaka! Tidak ada yang hendak membunuhmu! Itu bukan kenyataan. Pertarungan ini sudah berakhir. Kita sudah bersama-sama kembali, Thomas."

Benarkah? Thomas mengerutkan kening sekali lagi. Mereka sudah bersama-sama kembali di bumi?

"Percayalah padaku, Thomas."

Thomas ingin memercayai Celia. Sangat. Sangat ingin.

Thomas memandang Celia.

wajah yang sangat cantik. Lembut. Manis. Feminin. Sesuatu membisikinya bahwa jika Thomas percaya pada Celia, semuanya akan kembali normal. Semua ini hanya khayalannya belaka.

Suhu berjalan masuk ke ruangan. Di belakangnya. Alya mengikuti.

"Ada apa?" tanyanya cemas.

Celia menggeleng.

"Tidak tahu. Tiba-tiba Thomas meracau."

Thomas menggelengkan kepalanya, mencoba mencapai kewarasannya. Thomas harus tahu mana yang benar!

Suhu mendekati Thomas. Lelaki itu memfokuskan pikiran. Dalam keheningan kontemplasi, tiba-tiba cahaya terang menyerbu matanya.

"Kau bukan Celia!" teriak Thomas. Ini pasti mantra. Mantra yang mempunyai kekuatan amat sangat besar.

"Peg-angi Thomas!" teriak Suhu. Air mukanya terlihat sangat cemas.

"Saya akan menidurkannya kembali!"

"TIDAK!" jerit Thomas. Menahan sakit. Menahan nyeri. Menahan keputusasaannya. Seluruh tubuhnya bergelora dalam energi tenaga dalam. Dia harus melawan semua ini.

"Minggir semuanya!" desis Thomas. Dia melempar pandangannya ke tempat lain, berusaha agar matanya tidak bertabrakan dengan mata Celia.

Suhu terlihat panik.

"Thomas, jangan lakukan. Kau masih sakit. Tubuhmu lemah dan-"

"Sori, Suhu," bisik Thomas, di tengah gemeletuk giginya.

"Kalian semua teman saya kalian harus percaya pada saya Jika semua ini hanyalah sihir untuk membunuh saya... maka saya akan melawan. Saya harus...!"

"Ini gila!" kata Alya.

"Sihir apaan sih?! 'Tidak ada sihir apa-apa. Ini semua karena demam yang kelewat tinggi..."

Thomas sudah siap.

Tenaga dalamnya terkumpul.

Cahaya terang bersinar dari kedua tangan Thomas. Dia mengangkat telapak tangannya sambil berdiri tegak. Dengan kecepatan penuh, Thomas melempar energi itu ke luar. Tenaga dalam itu meledak, menerpa Celia, Suhu, dan Alya. Tubuh-tubuh itu seketika berubah, menjadi hantu-hantu

mengerikan yang menjerit-jerit kesakitan. Lalu menghilang dalam cahava terang.

Tubuh Thomas basah karena keringat. Aduh Nyaris saja.

**

Ishtar mendesah perlahan. Dari mulutnya keluar asap putih dingin yang segera membeku di cermin.

Terlihat pemandangan yang jelas pada cermin. Thomas sedang bertempur dengan roh-roh halus yang bergentayangan di bumi. Roh jahat yang pasti dimunculkan dari' mantra Dewi Antu.

Sekarang Thomas telah bebas dari kepungan hantu-hantu. Ishtar menatap imaji Thomas dengan kagum. Luar biasa, lelaki itu mampu membebaskan dirinya dari makhluk-makhluk halus bumi. Konsentrasi yang luar biasa hebat.

Padahal tadi Thomas terlihat sangat memprihatikan. Dia dikelilingi roh-roh halus yang mengacaubalaukan pikiran dan menyedot habis energi tubuhnya.

wajahnya sangat pucat, seakan-akan darah berhenti mengalir di sana. Dia terlihat lemah, semakin lemah... nyaris kehilangan realitas hidup. Nyaris .

Untung Celia tidak melihat kejadian itu.

"Kenapa kau tidak mengizinkanku melihat Thnmas?"

Pertanyaan tajam dari Celia terngiang kembali di telinga Ishtar.

"Aku pikir itu bukan tindakan yang bijaksana, Celia," kata Ishtar, berusaha agar suaranya terdengar tak menghakimi. "Bagaimana jika sesuatu terjadi pada Thomas? Apakah kau sanggup bertahan menyaksikan penderitaannya? Menyaksikan penderitaan orang yang kaucintai? Tanpa bisa melakukan apa-apa? Sementara kau berada di sini..." "Kalau begitu, kembalikan aku ke bumi sekarang juga! Bukankah mantra darah Antu dan sayap Utukki telah kauhilangkan?" "Tidak bisa sekarang. Celia," jawab Ishtar perlahan. Betapa inginnya Ishtar melihat kegembiraan tumbuh di mata cantik itu. Betapa inginnya. Tapi, tidak. Ishtar akan meLakukan apa saja yang terbaik buat Celia. Bahkan jika itu akan membuat Celia membencinya. "Antu berhasil turun ke bumi melalui Portal Imigrasi tanpa kecurigaan sedikit pun. Dunia-Makhluk-Hidup sangat berbahaya bagimu. Cukuplah Antu saja yang menantang Thomas berkelahi. Jangan dirimu. Kau aman bersamaku di sini." (Mengapa kau tidak membawa Thomas kemari jika istanamu aman dari siapa pun?"

Ishtar menggeleng. "Tidak bisa. Kalian tidak ingin bersembunyi selama-lamanya dari kejaran Dewi Antu, bukan? Itu bukanlah pilihan yang bagus. Biar bagaimanapun tujuh ribu tahun sudah cukup lama. Thomas harus menghadapi jalan hidupnya sendiri. Berjuang untuk cintanya."

Dewi Cinta menunduk, membisu dalam perkataannya. Celia tidak perlu diberitahu betapa nyeri penderitaan Thomas pada akhirnya. Betapa jauh jalan tak berujung itu. Ishtar takut. Takut sesuatu yang mengerikan akan terjadi pada Thomas. Dan jika itu terjadi...

"Apakah kau bersedia... mengawasi Thomas dari sini?

Membantunya kalau-kalau ia membutuhkan bantuan?) tanya Celia. Suaranya terdengar gemetar dalam kepasrahan. (Kau tidak perlu memberitahukanku apa yang terjadi dengan

Thomas di bawah sana, tapi cukuplah... Aku merasa aman jika kau..." Leher Celia tersumbat. Gadis itu menunduk, tak mampu berkata-kata lagi.

"Aku akan mengawasi Thomas, Celia. Akan kulakukan

semampuku untuk menolongnya."

Celia mengangguk. "Satu permintaan, Ishtar," katanya susah payah. "Jika apa pun... sesuatu terjadi.." Celia mengumpulkan keberaniannya, mengambil napas dalam-dalam. "jika yang terburuk terjadi di... sana..":

Lalu hening.

Celia mengangkat wajahnya dan matanya bertemu tatapan mata Ishtar yang hijau bercahaya. "Aku ingin kau memberitahuku. Jangan pernah membohongiku. Berjanjilah padaku."

Ishtar tersenyum pahit dan meletakkan tangannya di bahu Celia. "Aku berjanji."

**

Thomas memandang sekelilingnya dengan heran. Tadi dia berada di dalam ruang tidur, di rumah Alya. Sekarang dia sudah tidak berada di sana lagi. Tampak pemandangan gunung menjulang di depannya. Dia sedang berdiri di tengahtengah hamparan sawah yang menguning.

Angin kencang bertiup. Batang-batang padi menganggukangguk dalam kesederhanaannya. Bau tanah dan lumpur bercampur air hujan menguat, terbawa ang-in.

"Kau pikir kau luar biasa hebat, mampu mengalahkan hantu-hantu kirimanku?"

Thomas membatu mendengarnya. Tampak makhluk tembus pandang berdiri tidak jauh dari tempatnya. Melambai

lambai tertiup angin.

Hantu. Demikian pikir Thomas.

Tapi itulah sosok Dewi Antu. Dia tampak lebih tinggi daripada Thomas. Tubuhnya yang kurus dan tembus pandang menjulang di depan Thomas. Rambutnya kusut masai berwarna hitam legam. Kuku jemarinya panjang-panjang. wajah Antu tampak pucat, dingin, dan mati. Matanya berwarna ungu tua, berkilat-kilat tajam menatap Thomas tak berkedip.

"Akhirnya kita bertemu juga, Thomas," kata Antu. Suara itu terdengar berat dan menggelegak seolah seluruh paruparunya dipenuhi air. "Jalan hidupmu belum lagi berakhir. Aku ingin tahu apakah kau sanggup melawanku."

Mata Thomas menyipit. Tubuhnya bergerak lincah, memasang kuda-kuda. Posisi menyerang, bukan bertahan.

"Aku belum siap mati," katanya singkat.

Antu tertawa. Tawa yang aneh, seperti orang sedang berkumur-kumur. "Ya, semua manusia mengatakan dia belum siap mati.:

Seekor capung hinggap di ujung batang padi, teranggukangguk mengikuti gerakan angin.

"Tapi katakan padaku, Thomas, apakah kau rela mati demi Celia?"

Thomas terpaku memandang Antu dalam keheningan total. Sayap capung berputar, tinggal landas, dan terbang ringan. Thomas tidak sempat memandangi capung yang terbang semakin tinggi, membubung ke kegelapan langit. Pikirannya hanya tertumpah kepada Antu.

"Kalau kau menginginkan jiwaku, coba saja kalau berani.

Kalau kau hendak mengambil nyawa Celia, langkahi dulu mayatku. Kalau aku harus mati demi Celia...," Thomas terdiam sejenak, " akan kulakukan."

Antu tersenyum samar. "Ya, tentu saja. Aku tahu kau akan berkata seperti itu. Tapi aku tahu " Antu bergerak, berjalan mendekati Thomas. Lelaki itu mundur satu langkah-"...kau tidak akan sanggup menghadapiku,"-bisiknya.

Tiba-tiba Thomas mencium bau kemenyan dan daging busuk. Dikernyitkannya hidungnya. Tidak, konsentrasinya tidak boleh terganggu bau-bauan itu. Bahkan dia tidak peduli. Sekarang saatnya untuk bertahan mati-matian atau mati sungguhan.

"Ah. Thomas." Mata Antu membuka lebar. Cahaya abuabu bercampur ungu tajam menerjang bola mata Thomas. "Kau akan mati perlahan-lahan di sini. Bisakah kaurasakan itu? Jiwamu akan kuambil sedikit demi sedikit. Detak jantungmu akan melambat, hingga akhirnya kau terjerat kematianmu sendiri."

Thomas dapat merasakannya. Pada saat ini, dia benar benar ingin mencekik Antu hidup-hidup agar berhenti mengoceh.

Tiba-tiba, terdengar suara bisikan yang berbeda di telinganya.

"Thomas," sapa suara itu. Terdengar bagaikan angin lirih yang berembus. Seketika, Thomas mengenali suara itu. Ishtar. Ishtar sedang berbicara kepadanya. "Masukkan tanganmu ke sakumu dan keluarkan benda ini."

Tangan apa? Saku? Thomas masih terpaku pada posisi kuda-kudanya. Terhipnotis tatapan kelam Antu.

"Thomas!" seru Ishtar lagi. Lebih keras. kali ini.

"Lekas masukkan tanganmu ke saku dan keluarkan benda itu."

Perlahan tangan Thomas masuk ke saku celananya. Dengan gemetar, tangannya mengeluarkan sebutir pil berwarna cokelat.

"Telan."

Tanpa sadar, Thomas memasukkan pil itu ke mulutnya. Dia menutup mata, merasakan pil mencair di atas lidahnya.
Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu Thomas menunggu... dan menunggu...

Tidak terjadi apa-apa.

Di depannya, Antu terus-menerus menarik jiwanya keluar dari tubuhnya. Sedikit demi sedikit. Melambatkan jantungnya. Mengisap habis napas kehidupannya.

"Thomaaaassss...," desis Antu penuh kegembiraan. Suara geluguk itu semakin kencang menembus telinganya. Tangan tipis, tembus pandang menyentuh bahu Thomas. Lelaki itu terpaku, tak mampu bergerak. Seluruh tubuh Thomas kembali dikelilingi roh-roh hantu yang penasaran.

"Tolonglah...," pinta Thomas. "Tolonglah. Aku tidak ingin mati sekarang. Tidak sekarang saat aku nyaris mendapatkan Celia kembali dalam hidupku. Jika nanti aku berhasil ber-temu kembali dengan Celia jika apa yang kuperjuangkan berkenan di hatinya...," Thomas menutup matanya kuat-kuat, "...ambillah jiwaku dan biarkan aku mati dalam kedamaian?

Sekilat cahaya menikam seluruh saraf di tubuh Thomas. Tajam. Menyakitkan. Sampai-sampai Thomas mengalami sesak napas. Matanya membelalak terbuka.

Antu terkejut. Tangannya yang tembus pandang langsung tersentak seperti dialiri listrik kekuatan tinggi. Muka

Thomas menyala terang. Tubuhnya yang membatu seketika menghangat.

Hanya itu yang dibutuhkan Thomas sekarang.

Dengan bantuan listrik itu Thomas berkonsentrasi, memanggil tenaga dalamnya yang terpecah belah di seluruh tubuhnya. Energi itu bergerak di seluruh nadi darahnya. menyelamatkan jantungnya yang berdenyut sangat lambat. Tak lama, jantung itu memompa darah semakin cepat. Cepat... dengan denyutan yang semakin terdengar normal. Energi itu juga bergerak turun ke paru-parunya, memberikan ekstra udara di sana, sehingga tubuhnya mendapat pasokan oksigen.

Thomas kembali berkonsentrasi. Dia mengaliri tubuhnya dengan pancaran spiritual yang entah didapat dari mana. Mungkin dari pil tadi yang dia telan? Mulutnya membuka dan menutup. Tanpa disadarinya, ternyata Thomas sedang berkomat-kamit dalam doa.

"Kau tidak dapat menyentuh Thomas, Antu," terdengar suara menggema. Sekali lagi, pasti Ishtar. "Pil itu melindungi tubuh fisiknya dari serangan roh-roh jahat. Pergilah sekarang dan jangan ganggu dia lagi!"

Thomas mendengar Antu menggeram marah.

"Hebat," jawab Antu singkat. Dewi yang berwujud seperti hantu itu berada tepat sepuluh sentimeter di depan wajah Thomas. Lelaki itu dapat merasakan bau bunga melati dan asap kemenyan dari mulutnya. "Kita akan bertemu lagi."

Thomas balas menatap Antu tak gentar. "Aku akan menunggu saat-saat itu." jawab Thomas anggun.

Tanpa kata-kata selanjutnya, Antu menghilang lenyap.

Thomas terjatuh berlutut di tengah-tengah sawah. Seekor kodok melompat-lompat di dekatnya, tapi dia tak sempat memerhatikan. Thomas berlutut dalam keheningan.

**

Celia berdiri di depan padang berumput. Di atas kepalanya,

langit berwarna biru yang ganjil terbentang luas.warna

warna yang terbentang di hadapannya tampak aneh. Tapi

bagi Celia, semuanya tidak terlihat aneh lagi. "Marduuuk!" panggilnya.

Celia harus bertemu Marduk. Ada banyak hal penting yang hendak dia tanyakan kepada dewa slebor itu.

Jangan takut, saya nggak bakal marah-marah lagi. Janji Pramuka. Sumpah."

"Marduk sudah tidak berada di sini lagi."

Celia terlompat karena terlalu terkejut.

Tampak makhluk berbentuk seperti kerbau besar keluar dari semak-semak. Bulunya berwarna tembaga, mengilat di bawah cahaya matahari. Sayap terbentang lebar di bahu yang terlihat sangat kokoh.

wajahnya tirus, berbentuk manusia dengan dua mata, satu hidung, satu mulut, dan sepasang telinga.

"S... siapa kamu?" tanya Celia heran.

"Nama saya Genii. Pelindung manusia dari iblis dan pewarta kabar gembira para dewa."

Celia pernah mendengar nama Genii. Bertahun-tahun hidup di Dunia-Atas membuatnya sangat up to date mengenai dewa-dewi. Para manusia membutuhkan Genii. Tidak heran, patung-patung Genii dipahat di depan setiap kuil dan

istana kerajaan di bumi. Genii terdiri atas dua jenis. Jenis pertama adalah makhluk berbentuk manusia berkepala elang, sementara jenis kedua adalah Genii yang sedang berdiri di depannya. "Mana Marduk?" tanya Celia tanpa basa-basi. "Genii ingin mengabarkan kepada Celia bahwa Marduk berada di kastil Dewa Antu, untuk menghadiri sidang pengadilan dirinya. Marduk dinyatakan bersalah karena membantu Celia, seorang manusia di Dunia-Atas.:Marduk? Diadili? Gara-gara dirinya? "Marduk melawan Peraturan Langit yang jelas-jelas melarang memberikan bantuan kepada manusia di Dunia-Atas. Tapi Marduk memang begitu. Kalau tidak melanggar peraturan, bukan Marduk namanya." "Tega sekali Dewa Antu. Bagaimana mungkin hukuman diberikan kepada makhluk yang membantu sesamanya?" "Peraturan Langit berbeda dengan peraturan manusia di bumi. Kami tidak mengharapkan manusia mengerti tata cara hidup dewa di sini." Kekesalan Celia menjadi-jadi. "Coba pertemukan aku dengan Dewa Antu. Aku ingin menjelaskan yang sesungguhnya terjadi." "Genii tidak dapat membawa Celia kepada Dewa Antu. Genii tidak dapat...

walau Genii berkehendak." "Jadi siapa yang dapat membawa saya ke Dewa Antu?" tanya Celia penasaran. Tiba-tiba. Genii mengedipkan sebelah matanya kepada Celia. "Tidak ada yang bisa membawa Celia ke Dewa Antu kecuali Celia meninggal. Roh manusia selalu diadili Dewa

Antu," katanya. Suaranya berubah. Dari mendengus-dengus, kali ini diucapkan dengan suara tenor tinggi. Ada secercah api keluar dari mulut Genii.

"Ma... Marduk?" tanya Celia tidak percaya.

Genii tertawa terbahak-bahak. Celia seketika mengenali suara tawa itu. Dahi gadis itu berkerut. Tulang pipinya mengeras. Celia benar-benar tidak mengerti. Sungguh dia benar-benar tidak mengerti.

"Kamu..." Tiba-tiba kesadaran menghunjam jantung Celia. "Kamu dasar konyol! Norak! Nggak lucu, tahu!"

Genii terus tertawa terbahak-bahak.

"Saya mengkhawatirkan kamu, tahu nggak?! Ngobrol dong dari tadi.

Sosok Genii yang berada di depan Celia mengabur dan perlahan-lahan tubuh makhluk lain muncul di hadapan Celia. Makhluk aneh berkaki empat, berbentuk setengah anjing dan setengah naga.

Marduk.

Makhluk itu berdiri di depannya sambil tersenyum-senyum puas. Asap putih membumbung tinggi keluar dari hidungnya. Beberapa percik api berjatuhan.

"Ketipu ni ye," ejek Marduk. "Penampilan terhebat saya, kan? Ayo, ngaku"

"Huh... Nggak lucu."

"Dasar cewek nggak punya sense of humor. Serius amat sih"

"Nanti aja bercandanya kalau semua ini sudah berakhir gembira."

"Tidak ada yang berakhir dengan gembira. Non. Kalau urusanmu sudah kelar. saya akan direcoki dengan masalah

manusia lain. Bagi dewa, nggak ada hari libur untuk bercanda. Ini cara Marduk untuk melepas stres)

Celia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jadi kamu tadi cuma bercanda kan, waktu ngomong kamu akan diadili?"

Marduk menghela napas berat. "Yang itu benar. Saya nyaris diadili karena menolongmu. Untung Dewa Ellil menyelamatkan saya. Kalau tidak, saya sudah dikerangkeng di penjara oleh Antu."

Celia teringat alasannya mencari-cari Marduk. "Marduk?" tanyanya. "Bisakah kamu ikut membantu Thomas menahan serangan Antu?"

Marduk melempar pandangannya ke tempat lain. "Yang itu saya tidak dapat melakukannya."

Celia menatap Marduk tidak percaya. "Kenapa? Kenapa tidak? Kamu tahu kan saya membutuhkan pertolonganmu. Thomas tidak mungkin melawan Antu sendirian. Kamu bisa turun ke bumi, mengubah penampilanmu, mengecoh Sang Penjaga di Portal Imigrasi, dan menyelamatkan Thomas."

(Pikirkan lagi, Non. Pikir. Pikir, mana mungkin Antu menunjuk Sang Penjaga yang tolol dan tidak berpengalaman di Portal Imigrasi? Saya tidak perlu mengubah penampilan. Sang Penjaga bakal dapat mengenali saya, biarpun saya menghilang."

"Jadi? Bagaimana kamu bisa membantu saya?:

"Ini." Marduk mengambil sesuatu dari udara dan menyerahkan kepada Celia.

Gadis itu menerima benda tersebut.

"Apa ini?"

"Pisau. Bingung, ya? Masa-"

aku tahu ini pisau. Nggak usah ngeJEK. maksudku, untuk apa pisau ini? Potong bawang?"

"lni pisau yang sangat istimewa. Dimantrai mantra Marduk. Simpan baik-baik dan lawan Antu dengan pisau itu. Cepat! Jangan bengong seperti itu. Lakukan sekarang.

"Lakukan apa?"

"Turun ke bumi, tolol;

"Tapi kata Ishtar...)

"Jangan dengarkan kata dia, Non. Pada hitungan ketiga, kamu akan berada di Portal Imigrasi. Katakan pada Sang Penjaga kamu ingin kembali ke bumi. Dia akan membiarkanmu lewat. Jangan ragu-ragu. Mantapkan hati. ingat jangan melawan nasib. Yang kamu perlukan sekarang adalah rasa percaya. Keyakinan. Tak usah takut karena Marduk selalu bersamamu. Oke? Satu, dua, TIGAl"

AAAAAA... "tunggu".... RRRRRGG...."Mardukkk".... GGGGGGGG... "gila" GGGGHHHHHH.... !!!

Celia membuka mata. Portal Imigrasi telah tertutup di belakangnya. Dia jatuh berdebum di bumi. Panggulnya terasa agak sakit ketika menghajar tanah lembek di bawahnya.

Di mana dia?

Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Sialan. Kenapa semuanya sawah? Kabut. Burung. Kodok. Ular. Butir-butir padi yang menguning. Matahari menurun di horizon. Siang menuju senja. Tidak kelihatan jalan, tiang listrik, rumah. peradaban... Ke mana Marduk melempar dirinya?

Oh. Tidak penting. Yang penting dia sudah kembali ke Dunia-Makhluk-Hidup. Kegembiraan membuncah di hatinya.

Celia tertegun. menyadari sesuatu. Tahun berapa sekarang di bumi? Semangatnya yang tadi tinggi tiba-tiba merosot habis. Jangan-jangan dia dilempar pada tahun beberapa ribu sebelum masehi di negara yang tidak jelas. Tambahkan beberapa spesies dinosaurus yang masih hidup.

Ngomong-ngomong tentang dinoasaurus, Celia harus bergerak, mencari tahu. Dia berdiri, membersihkan bajunya yang kotor kena lumpur lembek. Jantungnya berdebar keras

sekali. Ketakutan perlahan-lahan menerkamnya hiduphidup.

Ada sesuatu.

Dalam keremangan kabut, Celia mencoba mempertajam indra penglihatannya. Pendengarannya juga. Dia melemparkan pandangan ke segala arah dengan gemetar. Bulu kuduknya meremang seketika. Kulitnya merasakan udara dingin yang ganjil. Sedetik kemudian, tiba-tiba jantungnya seperti diremas. Seluruh tubuhnya seakan disetrum listrik berkekuatan tinggi. Nyeri. Pedas. Celia menjerit kesakitan dan terjatuh ke tanah.

Apa... apa yang terjadi...?

Darah mulai mengalir keluar dari pori-pori tubuhnya. Darah kental. Berwarna merah kehitam-hitaman.

Celia menyeret kakinya. Tapi dia tidak sanggup. Sekali lagi dia terjatuh.

Antu berdiri tegak di depan Celia, tak bergerak, mengawasi dengan sabar penderitaan gadis itu. Senyum keji terbayang di wajahnya.

Kabut masih membumbung melawan angin, mengacaukan jarak pandang Celia ke mana pun. Dari tempatnya berdiri, Antu dapat mengawasi Celia dengan jelas. Matanya menembus segala arah, menembus ke jantung hati Celia. Di belakangnya, matahari senja menyurutkan cahaya oranyenya melalui tubuh Antu.

Celia berlutut tidak jauh di depan Antu, sambil menekan dadanya dengan kedua tangan. Napasnya terengah-engah.

**

Telinga Thomas mendengarkan dengan waspada. Demikian juga dengan matanya. Membesar.

Oh. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak.

Ada sesuatu yang sedang terjadi. Thomas menjilat bibirnya yang kering. Perlahan-lahan dia bangkit dari posisi berlututnya. Tungkainya gemetar.

Ada sesuatu yang dia lupakan. Sesuatu... Apa itu? Thomas mengernyitkan keningnya, berusaha mencapai pemikiran itu. Ya, ada di sana. Suara hatinya sedang membisikinya. Apa? Ya jangan takut. Jangan takut. Semuanya akan berakhir jika dia berani menghadapinya. Hadapi saja. Dengan berani. Dengan kepala tegak. Ingat. Apa yang telah digariskan oleh langit selalu dapat ditulis ulang.

Thomas bergerak. Berlari, menyisir angin. Terdengar suara jeritan samar-samar. Suara itu terendam, seperti terbawa oleh udara.

Oh. Itu suara Celia. Dia belum pernah mendengar suara jeritan seperti itu. Pasti Antu sedang menyakiti Celia. Thomas mempercepat langkahnya, menuju sumber suara jeritan. Hatinya serasa meledak dalam ketakutan. Dia belum pernah merasa setakut ini.

Celia menekan dadanya kuat-kuat. Tanpa sadar sikunya menyenggol saku baju dan merasakan sebuah benjolan di sana. Oh... ya... pisau itu. Pisau pemberian Marduk.

Susah payah Celia meraba pinggulnya, tempat dia meletakkan pisau. Ditariknya benda itu keluar. Pisau tergenggam di telapak tangan. Dalam kesakitannya, Celia memandang kosong ke arah benda itu.

Pisau yang cantik. Berwarna kuning, bercahaya terang. Berkedap-kedip. Serasi dengan cahaya mentari senja yang sedang melukis langit. Pada gagangnya. ada ukiran cantik bergambar petir. Atau... ekor bintang jatuh? Celia tidak tahu. Pandangannya mulai mengabur. Sakit di dadanya menghancurleburkan kemampuan indranya.

Kata Marduk, Celia harus melawan Antu dengan pisau itu.

Melawan? Ya. Gampang sekali dewa sinting itu ngomong. Bagaimana caranya dengan kondisi seperti ini?

Seluruh tubuhnya mati rasa. Badannya dingin. Celia miring ke kiri dan merebahkan kepalanya di tanah. Kelopak matanya tertutup perlahan.

Betapa mudahnya manusia itu terjatuh.

Senyum Antu semakin lebar. Terlihat sangat keji. Kejam. Dingin.

Celia tidak dapat melawan serangan mantra Antu. Tubuhnya tidak kuat. Manusia memang lemah. Tolol. Enka juga begitu. Makhluk lemah yang tidak mampu berbuat apa-apa. Sekarang saatnya untuk adegan penutupan yang hebat. Akhir cerita percintaan yang tidak seharusnya terjadi.

Terdengar bisikan lembut di kepala Antu.

"Celia! Bertahan, Sayang. Bertahan."

Thomas... O, dia sedang memohon kepada gadisnya...

Aduh, manisnya.

Antu bersiap mengambil nyawa Celia.

**

Ishtar menatap bayangan di Cermin Penglihatan-nya dengan putus asa. Pemandangan yang terbentang di depannya membuatnya sedih. Dia tidak dapat melakukan apa-apa. Fisik Celia sangat lemah. Dia berbeda. tidak seperti Thomas yang mampu bertahan di setiap kondisi. Ishtar tidak berhasil melakukan kontak dengan Celia yang terengah-engah berjuang melawan kematiannya sendiri.

Ishtar memalingkan wajah. Dia tidak ingin menonton kematian yang sangat menyakitkan itu.

Pedih, Ishtar menutup matanya, menghirup udara lambatIambat. Celia telah meninggalkan kerajaannya. Dia tahu itu. Ada yang membantunya melewati pembatas antara DuniaAtas dan Dunia-Makhluk-Hidup. Belum pernah Ishtar merasakan kesepian yang teramat sangat seperti ini. Dan bukan itu saja. Kekasih yang paling dicintainya sedang megap megap di bumi menahan sakit. Menyongsong maut.

"Jangan takut, Ishtar. Nonton saja. Kepedihan baik untuk dirimu."

Ishtar menoleh terkejut. Marduk berdiri di belakangnya. Lidah naga itu menjulur-julur keluar disertai muncratan tiak-titik api.

"Kau!" desis Ishtar kesal. "Mengapa kau menurunkan Celia ke bumi?"

Marduk menelengkan kepalanya. "Astaga. Ishtar. Ck, ck. ck, kau masih belum mengerti juga?" "Mengerti apanya?" "Mengerti untuk percaya...," Marduk maju selangkah, "... percaya bahwa anugerah cinta yang kauberikan pada manusia mempunyai kekuatan mahadahsyat. Itu senjata yang dipunyai manusia, Ishtar."

"Aku ingin turun ke sana, membantu Celia."

"Belum cukupkah kekacauan yang kaubuat dalam hidup Thomas dan Celia? Mau bikin tambah ruwet? Tidak perlu turun ke sana deh. Percayalah pada Marduk. Mereka pasti menemukan jalan mereka sendiri."

Cermin Penglihatan berputar dalam kabut. Seketika pemandangan Celia terbentang lagi di hadapan Ishtar. Dewi itu berputar, memaksa dirinya menatap bayangan mengerikan itu. Bayangan yang berada di luar mimpi-mimpi liarnya. Sayap Ishtar terkulai jatuh. Setetes air mata menggelincir di pipinya yang putih.

"Ayo, manusia" bisiknya. "Ay0, lawan semuanya."

Sambil berkata begitu, dia melempar pandangan kepada Thomas. Tangannya naik dan masuk ke cermin.

Cahaya terang menerpa wajah Thnmas. Dalam sedetik itu, tiba-tiba dia mendapat penglihatan.

"Celia?" Thnmas bertanya hati-hati. Apakah benar yang dia lihat sekarang? Di tengah-tengah segala macam ilusi yang terjadi beberapa jam lalu, jiwa Thomas menjadi penakut. Tidak berani berharap macam-macam.

"Thomas..."

Suara itu terdengar seperti hantu. Jauh.

"Celia!" panggil Thomas. Mulutnya kaku untuk bicara.

"Kau di... mana...?"

"Aku..." Celia terbatuk.

"Di sini... Di bumi... Antu menyakitiku. Tidak sanggup lagi... bertahan..."

"DEMI LANGIT DAN BUMI, TIDAK!"

"Aku takut..." Celia terdengar sangat sakit untuk berkatakata.

"Thomas... datanglah. Aku di sini menunggumu..."

"Celia... Aku datang... Bertahan. Sayang. Bertahan..."

Thomas berlari semakin kencang. Daun-daun jatuh berguguran di atas kepalanya. Cahaya terang lenyap. Penglihatan itu hilang lagi.

Rasa sakit ini seperti selama-lamanya.

"Celia... aku datang "

Itu adalah imaji Thomas dan bisikan terindah penuh cinta yang terucap melalui angin. Celia kehilangan kesadaran.

Cahaya bintang di atas kepalanya sangat terang. Semuanya berjatuhan dengan kecepatan tinggi. Mata Celia sakit dalam kegelapan. Aneh. Napasnya tinggal satu-satu. Kepalanya terkulai. Seluruh tubuhnya mendingin.

Lalu terdengar suara.

Suara... suara yang tidak didengarnya melalui telinga. bahkan di kepalanya. Suara itu... hanya berada di sekitarnya. Lembut diucapkan. Tenang, bagai air yang tak beriak sedikit pun. Belum pernah Celia merasakan kedamaian yang luar biasa seperti ini. Tubuhnya terasa menghilang. Sakitnya terangkat.

Kemari, anakku

Mendengar kata-kata itu, Celia tersadar. Panik memenuhi seluruh indranya.

Tidak. Aku tidak mau.

Air mata putus asa meluncur turun di mata Celia. Mengaburkan pandangannya. Jemarinya bergerak sedikit. Hanya itu yang bisa dia lakukan dengan tubuh fisiknya. Samar-samar, tampak Genii berdiri dengan sabar di depan Celia. Kerbau besar itu mengenakan sayapnya lembut.

Mau tidak mau, Kau harus ikut aku.

Tidak! Aku tidak mau. Aku tidak akan pergi!

Mata Celia mulai berair. Tubuhnya membiru karena kekurangan cairan dan aliran darah segar. Dia ingin bergerak, tapi tidak bisa.

Aku tidak bisa mati sekarang. Aku harus menunggu Thomas. Dia akan... datang...

Napasnya tinggal satu-satu.

...sebentar lagi...

Di ujung horizon, cahaya matahari sudah nyaris menghilang. Dalam hitungan detik, gelembung raksaqa itu akan lenyap. Jantung Celia melambat. Ketika matahari kembali pada peraduannya, demikian juga denyut jantung Celia. Berhenti. Tak bergerak lagi. Hilang. Napasnya habis dan kelopak matanya tertutup sempurna.

Genii berbalik. Sepasang sayapnya yang kuat berkepakkepak indah.

Ikuti aku, anakku.

jeda sesaat. Waktu lenyap di udara. Tidak ada lagi dimensi waktu. Dimensi tempat. Sesuatu seperti menggerakan Celia, naik ke langit biru. Terbang? Dia tidak bersayap. Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa?

Apa yang terjadi?

Celia berdiri di samping tubuhnya yang tergeletak di

tanah. Dia terpaku di sana, syok. Matahari telah lenyap seluruhnya di horizon. Malam menggantikan senja.

Oh.

Genii menoleh, menatap Celia dalam keheningan, dan tidak berkata apa-apa.

Thomas berlari secepat-cepatnya, hendak menemui Celia. Dia sudah menunggu terlalu lama. Penantian itu seharusnya telah selesai.

Lalu dia melihat darah.

Darah kental ada di mana-mana. Tangkai-tangkai padi merunduk, berantakan. Melihat semua itu, Thomas tercekat. Sebenarnya sedari tadi dia sudah melihat ceceran darah itu di mana-mana. Tanpa sadar, matanya menolak memerhatikan kenyataan yang berada di depan mata. Dia tidak ingin kehilangan pengharapan yang tinggal setitik itu.

Tidak mungkin darah Celia. Tidak. Tidak mungkin. Darah itu terlalu banyak.

"Apa itu...?" bisik Thomas tidak percaya.

Celia memandangi tubuhnya yang terharing di tanah.

Dia telah mati.

Dia sedang memandang-i tubuhnya dari luar.

Tidak mungkin, desisnya. Aku tidak mungkin mati'.

Celia menoleh, mencari-cari Genii yang sedang berdiri agak jauh darinya. Kerbau itu sedang menunggu dalam keheningan. Celia menunjuk-nunjuk tubuhnya. Genii kembalikan aku lagi. Katakan, bagaimana jasanya? Kamu harus mengembalikanku. sayang. Genii tidak berkata apa-apa.

Suara Celia naik intonasinya. Suara ketakutan yang sangat

nyata. Aku.... aku tidak ingin mati sekarang. Kembalikan aku.

Tanpa banyak kata, Genii bergerak. Sayapnya mengepak dan dia menghilang perlahan. Celia termangu. Dia belum pernah merasakan kesendirian seperti ini. Kesepian.

"Celia!"

Kepala Celia mendongak cepat. Dia membatu di tempatnya berdiri.

Itu Thomas. Datang berlari, menyisir lautan batang padi. Rambut hitamnya berkibar-kibar ditiup angin. Wajahnya sama seperti apa yang diingat Celia. Tampan. Tapi kali ini gurat-gurat kecemasan terlihat sangat jelas di sana.

Thomas tiba. Penuh energi kehidupan.

Di depannya, Celia berbaring tak bergerak. Mati. Tanpa energi kehidupan.

Diikuti tatapan sedih Celia, Thomas berhenti dan terpaku.

Air mata Thomas seketika runtuh melihat tubuh itu. Dia jatuh berlutut di depan Celia. Menyentuhnya dengan hati-hati. Tidak. tidak!! Disentuhnya bahu Celia. Tidak ada gerakan apa pun. Tak bernapas. Tak ada detak jantung. Dengan lembut, Thomas mengangkat tubuh gadis itu dan mendekapnya. SOrotan matanya penuh kasih sayang. Thomas membuai tubuh Celia di lengannya hati-hati. Kenangan itu terbentang lebar di mata Thomas.

**

Celia sedang tersenyum. Celia sedang mengerling galak. Enka yang tampan. Enka yang lembut. Enka yang sekali lagi harus terbunuh.

Sejarah memang selalu berulang.

Dibelainya pipi Celia dengan lembut. Ini adalah wajah yang selalu diingatnya. wajah yang terekam sempurna. Apa pun yang terjadi di bumi. Thomas tidak dapat melupakan gadis itu. Lelaki itu melepaskan bendungan yang telah bertahun-tahun ditahannya. Dia menangis tersedu-sedu. memeluk tubuh Celia erat erat.

Thomas terlambat. Terlambat untuk segala-galanya. Tidak ada satu pun yang berhasil dia lakukan untuk menyelamatkan Celia. Bertahun-tahun mereka hidup terpisah, kini ketika bertemu kembali, Thomas harus kehilangan Celia.

Kehilangan Celia. Sekali lagi.

Apakah cinta dapat membuatnya sanggup terus bertahan? Thomas sudah tidak kuat lagi. Jika dia harus menghadapi penderitaan disiksa oleh para dewa, ia dapat melakukannya. jika dia harus melihat neraka demi Celia. dia bersedia. Tapi, jangan. jangan membuatnya melakukan hal ini. Memeluk tubuh orang yang paling dicintainya dalam keadaan begini... tubuh yang sudah tidak bernyawa.

Air mata Thomas meleleh, menetes di pipi Celia. Lelaki itu membelainya lembut. Semua orang di planet ini telah melupakan sebentuk wajah yang sangat cantik ini. Tapi dia tidak lupa. Jauh di dalam hati Thomas, wajah itu melekat di sana, terus tumbuh seiring perkembangan fisik mereka.
Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ah, Celia. Dia juga mencintainya. Mencintai sampai hatinya terasa sangat perih. Thomas mencengkeram bahu

Celia yang berbaring di pangkuannya. Erat-erat. Seakan meyakinkan dirinya sendiri bahwa Celia berada dekat dengannya sekarang. Tidak bersama tapi dekat.

Di samping Thomas, Celia berdiri gemetar. Dia tidak sanggup menyaksikan pemandangan itu.

Thomas... bisiknya sedih.Jangan menangis. Jangan bersedih...

"...Jangan menangis. Jangan bersedih..."

Apa? Suara apa itu? Di tengah-tengah kepiluannya, Thomas mendongak. Tangisannya seketika berhenti. Suara itu... dia sangat mengenalnya. Suara yang diingatnya dengan sempurna. Thomas mengumpulkan kekuatannya yang tersisa unmk memanggil Celia.

"Celia..."

Celia berdiri terpana.

"Kau di mana?"

Celia masih tak mampu bergerak. Thomas dapat mendengar suaranya? Gadis itu menelan ludah susah payah.

Leher Thomas seperti tercekik. Di depannya berdiri Celia, putih dan pucat seperti hantu. Kulitnya berwarna kuning muda. Matanya sayu, berwarna cokelat, berair, dan tampak lelah. Rambutnya yang dahulu hitam panjang terlihat sangat abu-abu, tergerai berantakan. Alam di sekeliling Celia tampak tak bergerak. Tangkai padi berhenti mengangguk. Hening menenggelamkan semesta. Langit gelap menguasai kubah bumi. Tak ada bintang yang berani berkedip saat itu. Melihat pemandangan yang terbentang di depannya, Thomas tak kuasa menahan haru.

"Celia...!"

Thomas memindahkan kepala Celia ke tempat yang lebih kering. Gerakannya lembut. Dia sendiri berdiri dan berjalan mendekati Celia-dalam rupa roh. Tangan Thomas bergerak. hendak menyentuh kepala gadis itu. Tapi dia hanya menyentuh angin dingin. Thomas mundur satu Iangkah, terkejut.

"Sori. A-aku... minta m-maaf..."

jangan, Thomas. jangan pernah minta maaf karena ingin menyentuhku.

Thomas menggeleng.

"Bukan. Aku tidak minta maaf karena aku ingin menyentuhmu. Aku minta maaf atas semua ketololan yang kulakukan di dalam hidupmu, sekarang maupun beribu-ribu tahun yang lampau. Aku. aku minta maaf karena tidak pernah... mengatakan kalimat itu. Aku..." Thomas menunduk. Mengumpulkan keberanian. Lalu dia menengadah sekali lagi.

"...aku mencintaimu, Celia. Lebih dari yang kubayangkan. Lebih dari yang kurasakan. Lebih dari hidupku sendiri."

Celia menutup matanya. Aneh, bahkan dalam kematiannya, dia dapat merasakan matanya berkaca-kaca. Walaupun fisiknya tidak bersama sama rohnya lagi, Celia dapat merasakan seakan-akan dia makhluk hidup. Ia merasa seakan tenggorokannya kering dan jantung-nya bertalu-talu riuh. Celia tahu, semuanya hanyalah ilusi.

Aku juga mencintaimu, Thomas. maaf aku tidak dapat bertahan.

Mereka berdiri berhadap-hadapan, dibuai semilir angin malam. Thomas ingin sekali mengulurkan tangannya dan mengenggam tangan Celia. Tapi dia tahu, Celia tidak lagi

berwujud daging. Tidak ada yang dapat dipegang Thomas. Hanya bayangan yang berada di depannya.

Thomas menelan ludah.

Tidak. bukan sekadar bayangan. Di depannya berdiri Celia, jiwa Celia. Lebih dari segala yang Thomas minta, ini hal yang paling sempurna. Di depannya, dalam bentuk roh, Thomas dapat melihat tubuh fisik Celia secara lengkap. Hatinya seketika terenyuh. Celia berdiri mematung memandangnya. Sambil menangis.

"Jangan menangis, Celia," kata Thomas tercekat.

Dia ingin sekali mengeringkan air mata itu. Dia ingin sekali merengkuh Celia dalam pelukannya dan mengatakan betapa bahagianya Thomas dapat bertemu kembali dengan kekasihnya. Betapa inginnya Thomas membelai-belai rambut panjang berwarna kelabu itu. Dan di atas semuanya, betapa inginnya Thomas mencium bibir Celia.

Celia maju satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah.

Tiba-tiba dia sadar, tubuhnya berjalan menembus Thomas.

Terkejut, mereka berdua berbalik dan saling terpaku. Tidak percaya dengan apa yang terjadi. Tubuh Celia limbung.

"Ssstt... Celia " bisik Thomas.

"Jangan menangis. Jangan..."

Aku menangis bukan karena kematian". Aku menangis karna terlalu bahagia dapat bertemu denganmu di bumi. walau dengan kondisi seperti ini.

Aku juga. Ingin sekali mulut Thomas berkata seperti itu. Tapi dia tidak sanggup. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, bagaimana Thomas dapat berbahagia melihat kenyataan yang ada di depannya ini? Tapi dia memaksakan seulas senyum untuk menyenangkan hari Celia.

**

Di kerajaannya, Ishtar merosot terharu. tangannya menutupi wajahnya. Terdengar isakannya yang pelan. Tangisnya pecah tanpa dapat ditahan-tahan.

"Ishtar...," panggil Marduk lembut.

Ishtar tidak sanggup menjawab. Tangannya naik, membuka, memberikan tanda kepada Marduk untuk membiarkan dirinya sendirian.

"Ishtar, jangan menangis."

"Ting... galkan... aku. Aku ingin... sendirian.:

Marduk tidak bergerak Dia berdiri di tempatnya, mengawasi punggung Ishtar yang terguncang-gunung karena isak tangis. Marduk baru tahu, Ishtar bukanlah dewi labil yang memuja cinta. Ishtar benar-benar dapat merasakan anugerah cinta itu.

Ishtar memang pantas menyandang gelar sebagai Dewi Cinta. Sekali lagi Marduk mendengus.

Tapi dia tetap tidak bergerak meninggalkan Ishtar.

**

"Jangan menangis lagi, Celia. Cukup sudah air mata yang terbuang sia-sia. Kita akan menyelesaikan jalan hidup ini. Sekali dan untuk selamanya."

Celia menghapus air mata di pipinya dengan punggung tangannya.

Thomas. lihatlah di tanganku. Ada pisau yang kugenggam di sana. Pisau pemberian Dewa Marduk. Ambillah. Pergunakanlah pisau itu untuk melawan Antu.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang Celia?"

"Bagaimana caranya? ..

**

Di langit, Dewa Antu mengawasi kejadian yang terjadi di bumi. "Sudah saatnya," katanya perlahan.

Dewa Ellil mengangguk. "Panggilkan Genii sekali lagi. Jemput Celia di Dunia-Mahluk-Hidup. jangan sampai Celia terbawa ke Dunia-Bawah."

Celia memandang Thomas dengan sendu. Di depannya, lelaki itu sedang memandangi pisau pemberian Marduk. Thomas, aku harus berangkat sekarang.

Thomas mengangkat kepalanya. Dia tidak percaya pada apa yang dikatakan Celia. Berangkat? Pada saat mereka baru saja bertemu?

"Berangkat ke mana?" tanya Thomas serak.

Aku harus berangkat ke Dunia-Atas. Aku akan bertemu Dewa Antu. Mereka akan mengadiliku. dan untuk setiap manusia yang mati. Tapi jangan khawatir aku akan bertemu Dewan Surga, kumpulan dewa-dewa tertinggi. Aku akan berbicara kepada mereka tentang keadaan kita.

"Bagaimana denganku?"

Kau harus memenangkan pertempuran melawan Antu.

"Begitu aja?"

. Begitu saja untuk menerima. Kalau ada yang lain, aku akan memberitahukanmu.

"Apakah kau akan kembali?"

"Aku akan kembali. aku Janji. selamat tinggal, Dunia:.

"Selamat tinggal," Thomas tergagap. Roh Celia perlahan menghilang di hadapannya. Pemandangan itu membuat Thomas termangu. Mirip sekali seperti ketika Celia terangkat ke langit.

Tujuh tahun yang lalu.

Thomas mendongak menatap langit. Di atas langit hitam legam dengan titik-titik bintang berwarna kuning menyambutnya. Dadanya terasa mau meledak. Thomas menggigit bibir. Tangannya mengepal kuat.

Yakinlah...

**

Bukan lagi kegelapan menyelubungi Celia. Tapi Celia tidak merasa takut. Hanya kedamaian dan ketenangan yang menyelubunginya, bagai kembali menjadi bayi kecil yang merasakan hangat dalam pelukan ibunda.

Beginikah rasanya kematian? Sudah berapa kali dia harus menjalani kematian agar terus hidup? Apakah kematian adalah kehidupan dalam hidup itu sendiri?

Celia menunggu dengan sabar.

Portal imigrasi dilewatinya dengan cepat. Sang Penjaga tidak mempunyai tanggung jawab untuk mempersulit roh manusia yang akan pergi ke Dunia-Atas atau Dunia-Bawah.

Celia mengedip ketika secercah cahaya menerabas kekelaman dimensi. Kuning. Hijau. Ungu. Biru. Abu-abu. Merah semakin banyak cahaya menari-nari di depan matanya. Seluruh tubuhnya terselubungi hujan cahaya. Dia belum pernah melihat cahaya sebanyak ini. Tampak lorong panjang terbentang di depannya.

Tanpa ragu, Celia melangkah. Rohnya melayang di lorong itu. lebur bersama sejuta sinar kunang-kunang. Hatinya terasa damai. Tidak ada rasa takut. Tidak ada rasa cemas. Semuanya mengalir bagai air.

**

thomas membersihkan daran kering yang menempel di wajah Celia. Dalam kematiannya, wajah itu tampak sangat tenang. Segaris senyum tipis menghiasi mukanya, memberikan kesan bagi Thomas bahwa Celia hanyalah sedang tidur nyenyak. Tidak lebih. Tidak ada kematian .

Thomas membelai rambut Celia dengan segenap hatinya. Tujuh tahun berlalu akhirnya dia dapat kembali menyentuh tubuh ini. Walau tubuh itu hanyalah sekadar raga tanpa jiwa yang mendiami, Thomas bersyukur. Bersyukur karena penantiannya tidak sia-sia.

Terdengar suara gemeresik. Thomas mendongak. Tidak ada siapa-siapa. Hanya suara angin yang memainkan tunastunas padi yang mulai menguning.

"Thomas..."

Lelaki itu melonjak. Matanya membulat berbahaya. Dia meningkatkan kewaspadaannya. Seluruh tubuhnya dalam keadaan siaga sempurna.

Antu berdiri di depannya. Bulan telah terbit di atas langit. Purnama. Cahayanya memandikan tubuh Antu yang tembus pandang. Sekelilingnya tampak sunyi.

Gigi Thomas bergemeletuk menahan marah. Tangannya terkepal kuat. Dia nyaris tidak dapat mengontrol emosinya karena terlalu marah.

"Kau yang membunuh Celia!" katanya tanpa basa-basi. "Kembalikan Celia sekarang juga!"

Antu melayang mendekati Thomas. Dalam keremangan malam, tubuh tembus pandang itu terlihat menakutkan. jantung Thomas berdebar lebih kuat. Tidak. pikirnya kesal.

Dia tidak akan takut menghadapi hantu sialan ini. Thomas teringat perkataan Celia. Yakinlah. Ya, dia akan menghadapi semua ini dengan sebaik-baiknya. Sekali dalam ribuan tahun. Cukup sudah penderitaannya. Sekarang atau tidak sama sekali.

"Apa yang kauinginkan" tanya Thomas tak gentar. Dia berdiri, tubuhnya menjulang berhadapan dengan Antu. Walaupun Antu tampak lebih tinggi dari Thomas, tak sedikit pun Thomas merasa terintimidasi. Thomas melirik sekelilingnya, mencari tempat yang dapat dijadikan persembunyian apabila keadaan memaksa. Tapi sekelilingnya hanyalah udara kosong. Dia berada di tengah-tengah padang padi. Hamparan sawah.

Antu tidak menjawab. Matanya yang ungu berkilawan terpaku memandang Thomas. Dalam sepersekian detik, dia bergerak, berjalan menembus Thomas dengan kecepatan cahaya.

Thomas sempat mengelak. Bahunya tertampar lengan tembus pandang Antu. Rasanya bagaikan dihajar benda padat yang menyakitkan.

"Katakan! Apa yang kauinginkan dariku?" Sambil memegangi bahunya yang nyeri, Thomas berusaha tenang. Tapi tak ayal, suaranya sedikit bergetar. "Kita sudah sampai di ujung jalan. Kalau kau tetap diam seperti itu, aku tidak akan pernah mengerti."

Antu bergerak sekali lagi.

"Berhenti, Ibu! Jangan sakiti aku lagi"

Antu berhenti mendadak, terkejut mendengar suara lengkingan Thomas. Lelaki itu berdiri satu senti di depannya. Antu menoleh, lengannya membuka lebar. Sinar terang memancar, menghajar tubuh Thomas. Sedikit meleset karena keterkejutan Antu mendengar teriakan Thomas.

Hm...

Terengah-engah Thomas merunduk. menahan rasa sakit. Tangannya menyusup masuk ke kantong, gemetar merabaraba di dalam sana. Ini dia, pisau itu. Jemarinya menggenggam pisau erat-erat. Cahaya kuning berkilawan dari dalam bajunya.

Benarkah apa yang dilihat Thomas? Dalam sedetik tadi, sekerjap kelembutan melintas di bola mata Antu. Tapi hanya sekerjap, karena selanjutnya mata Thomas dibutakan pancaran dingin pembawa maut itu.

Ibu...

Antu menyerang lagi. Thomas mengeluarkan pisau dari saku dengan cepat. Tapi gerakan Antu memang terlalu cepat untuk bisa diantipasi mata manusia. Thomas terhantam telak. Dia terpukul mundur, terhuyung-huyung.

"Kalau cinta membuat orang yang kucintai bahagia, aku ingin terus hidup. Tapi kalau Ibu menginginkan aku menghilangkan cinta ini, aku memang pantas dibunuh. Lampiaskan saja kemurkaan Ibu padaku. Biar aku menanggung sakit dan malu yang Ibu rasakan selama beriburibu tahun."

Mata Antu berkaca-kata. Dalam keremangan malam. air mata menitik.

"Maafkan aku, Bu. Maafkan aku bila bertingkah laku tidak layak sebagai anakmu."

Dalam kedukaan yang teramat dalam, Antu menghajar Thomas sekali lagi. Tapi kali ini Thomas lebih cepat. Dia melompat tinggi. bersalto, dan melampaui tubuh Antu.

Dalam sekejap mata, dia sudah berada di belakang tubuh Dewi Bumi. Thomas menghunus pisau dengan sigap.

Tangannya berhenti, tepat satu senti di belakang punggung Antu yang tembus pandang.

Ibu...

Waktu berhenti.

"Tusukkan pisau itu, Thomas," bisik Antu dingin, tapi pedih. "Agar dendam ini mati bersama kematianku. Aku ibumu, yang' telah melahirkanmu dan membesarkanmu. Pasti aku yang pantas mati atas nama kekacawan dan kepedihan tiada akhir ini. Tusuklah aku. Bunuhlah ibumu."

Tangan Thomas gemetar. Pandangannya mengabur karena genangan air mata di pelupuknya.

"Tikamlah"

Antu berbalik perlahan. Mereka berdiri berhadap-hadapan. Angin malam bertiup di antara mereka, membawa rambut panjang Antu beterbangan ke wajah Thomas. Cahaya pucat rembulan memandikan dua siluet yang terpaku di tengahtengah sawah.

Ibu...

"Lakukan sekarang, Thomas, sebelum aku berubah pikiran."

"Tidak..."

Tangan tipis Antu bergerak cepat, menyambar pisau. Pisau meluncur dari genggaman Thomas dan berada dalam genggaman Antu. Anehnya, Thomas tidak terkejut dengan kemampuan Antu merebut pisau. Bagaikan disihir, Thomas berdiri terpaku tak bergerak.

Satu detik berlalu.

Dua detik.

Gerakan kilat berubah menjadi gerakan lambat, bagai di dalam film. Darah menyembur keluar. Membasahi kemeja putih Thomas. Mengubahnya menjadi warna yang berbeda.

Darah. Begitu banyak darah.

Pisau pemberian Marduk tertancap di perut Thomas.

Seluruh tubuh Thomas mendingin. Tangannya kesemutan, sensasi aneh yang belum pernah dirasakannya. Mulutnya meringis dalam kenyerian. Dia menjerit. jeritan bisu di keheningan malam. Tubuhnya miring. Thomas roboh.

Rasa sakit itu membesar, merayapi seluruh tubuhnya. Aneh, kali ini Thomas tidak mempunyai keinginan untuk melawan rasa sakit itu. Dia tidak ingin bertahan. Dia tidak ingin fokus ataupun berkonsentrasi. Thomas membiarkan rasa sakit itu menguasai seluruh tubuhnya.

"Apakah...," tanya Thomas susah payah, "...Ibu begitu membenciku?"

Di depannya, Antu perlahan merosot ke tanah. Wajah yang tembus pandang itu terlihat semakin pucat. Rambutnya beterbangan tertiup angin. Antu bersimpuh bagaikan. hantu malam yang sedang menangisi kuburannya.

"Anakku," desis Antu. "Ibu tidak membencimu. Tidak pernah membencimu. Tidak akan pernah."

"lalu mm-meng... mengapa?:a

Darah kental mengalir lebih banyak.

Semakin banyak.

Darah tidak mengotori Antu, melainkan mengalir menembus tubuhnya. Merembes ke tanah kering.

Kepala Thomas mulai terasa berat. Dia pusing.

Ibu...

Antu tidak menjawab. Ia menunduk di depan wajah Thomas

Di balik tirai air mata itu, terlihat pancaran penuh kasih. Benarkah itu? Apakah ini semua hanya ilusi? Dahi Thomas mengernyit. Bukan karena dia menahan sakit, tapi karena berusaha menggapai perasaan Antu. Perasaan nyeri Bak sudah tak terasa lagi. Nyeri di dalam hati lebih meraja.

**

"Selamat datang di Pengadilan Tinggi Kerajaan Langit."

Celia menoleh. Di sampingnya tampak makhluk yang sangat jangkung dengan jubah keemasan.

Walaupun belum pernah berada di tempat yang sangat luas ini, Celia merasa sangat tenteram. Di depannya tiba-tiba hadir Dewa Anu, duduk di singgasana. Tampak perkasa.

Dan di sampingnya pasti Dewa Ellil. "Pengadilan dimulai!" serunya.

Celia diajak maju oleh makhluk itu.

Dewa Antu mengangkat tangannya.

"Kita akan menyaksikan kebenaran."

Di hadapan Celia, tampak kabut berputar-putar. Sebelum menyadari apa yang tampak di depannya, kabut itu menipis, memperlihatkan sebentuk gambar. Imaji Thomas dan Antu.

"Oh!" Tangan Celia naik, menutup mulutnya melihat kondisi Thomas. Tapi, alangkah herannya dia. Rasanya sangat berbeda ketika Celia menjadi manusia. Sekarang dia tidak merasakan kesenduan apa pun mengamati Thomas seperti itu. Hanya gelora kedamaian dan ketenangan yang tak terhingga memeluknya erat-erat.

Imaji itu terus berjalan. Seperti layaknya film layar lebar, Celia dapat melihat dengan jelas gambaran apa yang sedang

terjadi di bumi. Hanya saja, Celia juga dapat mendengar yang dirasakan Thomas dan Antu.

**

Antu berlutut sempurna di hadapan Thomas. Dia ingin membelai wajah lelaki itu, tapi dia tidak sanggup melakukannya. Terlalu banyak emosi negatif yang dia lepaskan untuk manusia ini. Telah banyak pula penderitaan yang harus dilalui Thomas.

Semuanya atas nama cinta.

Atas nama cinta ibunda.

Katanya, cinta ibu kepada anaknya melebihi cinta siapa pun, apa pun. Ibu selalu "memberi' apa yang terbaik buat anaknya. Ibu selalu melakukan apa yang terbaik buat anaknya.

Tapi apakah yang terbaik itu sudah cukup baik?

Tapi sekarang, duduk bersimpuh di depan Thomas yang sedang sekarat. Antu merenungi kembali apa yang telah ia lakukan kepada Thomas.

"M-m-m... maaf... kan..."

Mulut Antu terkunci erat. Kata itu tidak dapat dengan mudahnya keluar. Thomas memandang Antu tak berkedip. Tangannya bergerak, berusaha menggapai tangan Antu. Susah payah Thomas menggenggam tapi tak berhasil. Hanya angin yang berhasil disentuhnya.

Antu melirik ke bawah, menyadari Thomas berusaha menyentuhnya. Manusia tidak akan berhasil menggenggamnya karena tubuhnya sendiri terdiri atas udara dan bayangan. Tapi usaha itu membuatnya terharu.

Thomas meletakkan tangannya di antara jemari Antu, membayangkan mereka sedang bergenggaman tangan.

"...maafkan aku ," bisik Antu perlahan, hangus karena kedukaan yang sarat.

Setetes air mata bergulir di pipi Thomas.

"...maafkan aku karena tidak dapat mengerti apa arti cinta...."

"...Maafkan aku karena tidak pernah tersentuh gelombang perasaan itu..."

Cinta adalah alasan kuat bagi manusia agar terus hidup,

"...maafkan aku karena tidak dapat memberi makna cinta..."

Tangan Antu bergerak, menggenggam pisau yang masih

tertancap di perut Thomas. Lelaki itu mengawasi gerakgerik Antu dalam diam yang menyakitkan.

"...tapi biarkan aku melakukan satu hal benar setelah beribu-ribu tahun..."

Tangan Antu menyentuh pisau.

Air matanya berhamburan turun ketika tangannya secara perlahan menancapkan pisau semakin dalam di perut Thomas. Mata Thomas membelalak. Darah mengalir sempurna. Perlahan-lahan tatapan itu kehilangan cahaya kehidupan. Kelopak mata Thomas menutup. Kepalanya terkulai ke samping.

"...atas nama cinta, beristirahatlah dalam damai, anakku."

Napas Thomas pun berhenti. Antu membungkuk, mencium dahi Thomas. Ia terisak.

"Semoqa kau mengerti dan memaafkan ibumu."

Celia terenyak menyaksikan pemandangan itu.

Tapi dia tidak merasa takut. Tidak ada rasa sedih. Tidak ada rasa kemarahan yang menggelegak.

"Selamat datang di Pengadilan Tinggi Kerajaan Langit."

"Terima kasih."

Suara itu...

Suara yang sangat dikenalnya...

Celia menoleh cepat. Senyumnya merekah lebar ketika dia melihat sesosok roh berjalan memasuki ruangan sidang.

Thomas.

Thomas-nya.

Selamanya Thomas-nya.

Antu menangis tersedu-sedu di bumi. Tangisnya berupa lolongan panjang, terbang bersama angin dingin yang bertiup, bergemeresik di sela dedaunan. Membangun suasana ngeri di antara manusia yang mendengarnya.

Kegelapan total menyelubungi bumi. Awan berarak menutup lembutnya cahaya rembulan.

Tiba-tiba tubuh Antu terasa dialiri kehangatan. Tangan tak berbentuk sedang merangkulnya erat-erat. Antu tahu. Ini pasti Dewa Langit, pasangannya, sedang memeluknya. Sekejap, Antu merasa lebih nyaman.

"Thomas...," bisik Antu.
Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Thomas adalah... anak kita. Apa pun yang terjadi, Antu... dia anak kita "

**

Dewa Ellil berdiri di antara Thomas dan Celia. Dahinya berkerenyit dalam. Ciri khasnya.

"Siapa yang mencuri pisau milik Dewa Antu?" tanyanya menggelegar.

"Aku tidak mencuri!" seru Celia cepat. "Aku mendapatkannya dari Dewa Marduk. Ia memberikan pisau itu padaku."

"MARDUK" panggil Ellil keras.

Makhluk bertubuh setengah anjing dan setengah naga itu muncul dari tempat kosong. Napasnya mendengus dengus. Bunga-bunga api bermuncratan keluar dari hidungnya.

"Ada apa?" tanyanya santai.

"Atas nama Pengadilan Kerajaan Langit, aku hendak bertanya padamu. Apakah kau yang memberikan pisau itu kepada Celia?"

Marduk tersenyum mengejek. Lidahnya menjulur keluar seakan-akan sedang melecehkan Ellil. Dia berdiri menantang. "Kau tahu jawabannya, Ellil. Mengapa bertanya padaku?"

Ellil balas menatap Marduk tak gentar. "Jawab saja pertanyaanku."

"Tidak!" kata Marduk keras kepala. "Kau punya Kitab Takdir. Lihat saja di sana."

Mereka berdiri berhadap-hadapan. Ellil yang kaku tampak seperti mercusuar di depan gelombang sikap ngeyel Marduk.

Akhirnya Ellil menyerah dalam permainan saling menantang ini. Dengan geram. Ellil membuka telapak tangannya. sebuah pancaran cahaya redup, sebuah kitab muncul di hadapan Thomas dan Celia. Ellil menggenggam kitab itu.

"Buka saja," kata Marduk. Masih dengan gaya mengejeknya. "Situ yang nulis sendiri, kok situ yang lupa?"

"Aku tidak lupa!" sergah EIlil sambil merengut. Darahnya mulai naik melihat gaya Marduk yang menyebalkan.

"Kalau begitu. bacakan sekarang."

Di tengah-tengah percakapan antara dua dewa itu, Celia melirik Thomas. Dalam bentuk roh, wajah Thomas terlihat lebih bersinar. Sikapnya masih sama seperti dulu, bahkan lebih terlihat tenang dan damai. Thomas berpenampilan menarik. Rambut hitam legamnya semakin gelap, menjadi kontras dengan kulitnya yang pucat. Dengan mantap, raut wajah ovalnya yang bernuasa timur itu balas memandang Celia. Hidung Thomas yang mancung tampak serasi dengan tulang pipinya yang runcing. Bibir lelaki itu mengembang sedikit, tersenyum hangat kepadanya tanpa ragu.

Perhatian Celia kembali memandang Ellil. Di depannya. dewa itu mulai berkata-kata.

Kata-kata. Banyak sekali kata-kata. Celia sampai sedikit pusing. Ellil sedang menceritakan kronologis jalan hidup Thomas yang tertulis pada kitab karmanya.

Apa yang terjadi?

Di sana tertulis Thomas membunuh Dewi Antu. Wajah Celia seketika memucat. Apa yang dikatakan oleh Ellil? Thomas mendongak. tidak memercayai pendengarannya.

Thomas.

Membunuh.

Dewi.

Antu.

" bukan pisau Dewa Langit," kata Ellil perlahan-lahan, seakan mengeja. Masih tema membaca kitab tersebut. "Hanya pisau biasa. Pisau manusia biasa."

Senyum Marduk merekah. "Betul, kan? Apa kataku? Makanya! jangan asal nuduh saja!"

"Antu..."

Antu tersentak. Tidak menyangka ada yang memanggil namanya selembut ini.

"Semuanya telah berakhir. Thomas dan Celia berhasil membuktikan apa arti cinta yang sesungguhnya. Mereka lulus, Antu. Kau tidak dapat. menghalang-halangi mereka lagi."

Ishtar mengepakkan sayapnya perlahan. Suasana hening dan mengerikan yang terjadi sementara Antu menangis berubah total. Awan menyibak. Secercah cahaya rembulan memandikan bumi. Bayang-bayang kegelapan terusir.

"Aku tahu, lshtar," bisik Antu Lamat-lamar. "Manusia Sungguh luar biasa. Bagaimana mungkin mereka dapat bertahan seperti itu?"

Jangan tanyakan padaku. Aku tidak mengerti. Telah kulakukan segala cara untuk memisahkan mereka berdua. Tapi haailnya nihil. Di atas semua itu, aku mendapatkan pengampunan dari mereka." Ishtar tersenyum. "Bisakah kau melakukan hal yang sama?"

"Kaupikir aku tidak ikhlas dengan kenyataan ini?" Bibir Antu merapat. "Saat Thomas memutuskan tidak membunuhku. dia mengacaubalaukan jalan langit yang telah ditentukan

untuk dirinya. Ternyata di situlah karma Thomas berakhir, Ishtar. Pengampunan mengakhiri balas dendam. Cinta membebaskan kebencian. Aku langsung mendapatkan pencerahan pada saat itu."

"Karena itu kau membunuh Thomas? Agar mereka berdua dapat naik ke Pengadilan Tinggi Kerajaan Langit?"

Antu mengangguk. "Thomas telah menghancurkan belenggu karmanya yang diciptakan Dewa Antu. Langit menggariskan aku akan dibunuh anakku sendiri. Langit juga menggariskan bahwa cinta Thomas dan Celia tidak akan pernah bersatu karena dosa pembunuhan itu." Tangis Antu berhenti. "Aku tidak pernah mengerti mengapa Dewa Langit begitu berani menciptakan jalan hidup yang sangat mengerikan seperti itu. Dia berjudi dengan Thomas. Dia bermain dadu. Dia "

"...mempunyai keyakinan, Antu. Dewa Langit tidak bermain dadu. Dia sangat yakin Thomas mampu mengatasi semuanya."

Antu mendongak, menatap langit kelam. Air mata terakhir meleleh di pipi. Di sisinya terdengar suara burung gereja berkicau riang.

Ellil tersenyum kepada Thomas. Tak jauh dari sebelahnya, Marduk sedang pecicilan, menggoda para dayang-dayang perempuan.

"Pengampunanmu kepada ibumu sangat di luar dugaan, Thnmas." Ellil berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya mengendap. Lalu dia menoleh kepada Celia. "Pengampunanmu kepada Ishtar juga sangat mengagumkan, Celia. Aku

tidak berhasil menemukan jejak dendam di dalam hatimu. Jiwa kalian lebih besar dari pada jiwa para dewa-dewi. Atas nama Kerajaan Langit, kalian telah menggapai hidup baru."

Hening. Celia dan Thomas tidak memberikan reaksi apa pun.

"Ngomong jangan bertele-tele. Lil," sergah Marduk. "Mereka tidak mengerti."

Dahi Ellil berkerut kesal. Dia nyaris membuka mulut, menyergah Marduk agar diam sejenak Tapi sebelum mulutnya sempat berkata-kata, Marduk memotongnya cepat.

"Maksud Bapak satu ini adalah, kalian diizinkan kembali ke Dunia Makhluk-Hidup, menjadi manusia dan melengkapi hidup kalian dalam satu putaran karma sekali lagi. Gitu loooh!!"

Hening sekali lagi. Celia dan Thomas tidak memberikan reaksi apa pun.

MEREKA TIDAK MENGFRTI JUGA, BEGO!" bentak Ellil. MAKANYA! JANGAN SOK IKUT CAMPUR KASIH PIDATO PERPISAHAN

"Pidato apaan? Itu kan cuma pengumuman"

Bibir Ellil merengut ke bawah semakin jauh. "Pokoknya, jangan potong omongan dewa. Biar aku yang mengurus masalah ini. Ini protokoler baku Istana Langit. Jangan sok pintar." EIlil menjilat bibirnya. "Dan satu lagi, jangan memanggilku dengan Lil, Lil, Lil. Namaku Ellil. Hormat sedikit di ruangan yang berwibawa ini."

Marduk tidak mengatakan apa-apa. Tapi dari tatapan dan kuantitas asap yang terus-menerus keluar dari mulutnya,

kelihatan sekali dewa itu bersiap-siap memotong perkataan Ellil jika ada kesempatan.

Ellil menoleh kepada Thomas dan Celia. Bibirnya yang tadi merengut ke bawah, bergerak naik. Membentuk bulan sabit senyuman. "Kalian berdua diijinkan kembali ke Dunia Makhluk-Hidup, menjadi manusia-"

"astaga, Lil? Kata-katanya sama persis dengan apa yang kukatakan tadi. Namanya plagiat.:"

Ellil melotot. "DIAM! AKU-"

"Ngng..., maaf," potong Thomas ragu-ragu. "Kami mengerti apa yang Anda katakan tadi. Menjadi manusia kembali dan lain sebagainya," lanjut Thomas cepat ketika melihat mata Ellil yang masih membelalak.

"Tuh, mereka kan tidak sebego yang kamu duga, Lil."

Ellil berpikir keras kira-kira mantra apa yang dapat melenyapkan Marduk selama-lamanya dari tempat terhormat ini.

"Cuma...," Thomas tersendat. Hanya saja..."

"Yaaa, Manisss?" desis Marduk di tengah kepulan asap dan debu apinya. Dia melangkah gagah ke samping Ellil.

Ellil yang merasa terganggu dengan asap Marduk segera mengayunkan tinju cepatnya. Buk! Kepala Marduk terhantam telak, seketika pecah dan terbelah dua. Celia memandang adegan itu dengan ngeri. Tapi dalam sedetik kemudian, kepala itu menyatu kembali, memperlihatkan seringai khas dewa antik itu.

"Terima kasih, Lil. Sangat menolong. Dari tadi kebetulan aku kena migrain."

Thomas melanjutkan buru buru ketika melihat perhatian Ellil tercurah habis-habisan kepada Marduk. (Cuma apakah

kami akan diserang kembali dengan segala mantra atau mengalami penculikan dan pembunuhan dari para dewa?"

"Tentu tidak akan!" jawab Marduk cepat. Nadanya riang gembira. "Kami jamin hal itu."

"Sungguh?" tanya Thomas gembira.

Ellil membuka mulutnya, ingin menjawab. Tapi sekali lagi, Marduk berhasil menyerobot. "Sungguh." Makhluk itu melompat-lompat riang. "Nah, jadi, kalian tidak ada urusan lagi di Pengadilan ini. Saya akan mengantar kalian kembali ke bumi. Ruh kalian akan masuk kembali ke raga. Percayalah tidak ada yang akan mengganggu lagi. Dalam hitungan ketiga, kalian akan tiba di bumi. Satu, dua, TIGA"

Seberkas cahaya menerkam Celia dan Thomas.

Sayup-sayup terdengar teriakan.

(MARDUK! GILA! KAU TIDAK BERHAK MENURUNKAN MEREKA BEGITU SAJA! KEMBALIKAN! KEMBALIKAN MEREKA!!! KEMBALIIKA... AAA AAAN "

Tangan Thomas menggenggam jemari Celia erat-erat. Dalam kegelapan perubahan dimensi, Thomas berdiri berhadap-hadapan dengan Celia.

"Celia...," Thomas tersenyum. "Kita pulang...."

Setetes air mata membelah pipi Celia, bagai cahaya kunang-kunang menembus kegelapan. Ada puluhan sinar berkedip-kedip, ratusan, bahkan ribuan, tidak terhitung banyaknya. "Aku lelah dengan semua yang terjadi. Thomas," bisik Celia.

"lstirahatlah. Istirahatlah di hatiku."

Dalam embusan angin, sinar segala warna terbang kiri

kanan, turun-naik, atas bawah, tinggi-rendah, meliuk riang. Gemilang dalam kebebasan. Untaian sinar menjadi tarian cahaya. Cahaya yang melambangkan kebahagiaan. Melambangkan harapan. Melambangkan hari baru. Thomas dan Celia didekap hamparan cahaya tanpa batas. Mereka berselancar di atasnya, bebas penuh kemerdekaan.

Thomas merapatkan tubuhnya ke depan Celia.

"Sekarang aku tahu apa indra kedelapan itu."

Celia tersenyum sederhana. Di mata Thomas, senyum itu adalah dunia yang sedang digenggamnya. "Aku juga tahu, Thomas."

Thomas balas tersenyum. Di depannya, Celia memenjamkan mata. Tubuh Thomas mendekat. Dia mengambil napas dalam-dalam lalu menyentuh bibir Celia lembut. Mereka berciuman, di antara desisan kepak suara sayap para dewa dan hujan cahaya.

Indra kedelapan adalah Cinta.

**

NAEVA berjalan dengan langkah ringan keluar dari lift. Sekelilingnya tampak orang-orang berjalan dalam keheningan masing-masing. Sementara yang duduk tampak ditemani buku. Ya, buku atau lebih teparnya lagi, manga. Benda itu sahabat dekat orang-orang Jepang, tua dan muda.

Ponselnya berdering. Naeva hafal alunan lagu itu yang sengaja diprogram untuk si pemanggil. Dengan cepat, dia menekan tombol penerima.

"Halo, Sayang?" sapanya riang. Naeva berjalan melewati pintu utama gedung. Di sekelilingnya, pemandangan tidak berubah. Hanya manusia dan buku.

"Sedang apa?"

"Mami!" Suara kanak-kanak yang lincah itu terdengar menyejukkan hati. Anaknya tercinta, Isabella.

"Hari ini aku berhasil membuat sup cake? Bu Hanako bilang aku koki yang paling pandai membuat kue! Hebat. ya, Mami?"

Naeva berdiri di depan trotoar, tersenyum dikulum.

"Mami yakin mp mite-mu adalah kue yang terenak di dunia, Sayang. Bu Hanako benar. Kau akan jadi koki terhebat. Kalau sudah terkenal, jangan lupakan Mami ya!"

"Tidak mungkin!" jerit Isabella.

"Abel tidak akan melupakan Mami. Forever: And ever. And FOREVER, Mami!"

Naeva berjalan bergegas menuju stasiun kereta Subway. Di sekelilingnya tampak lautan manusia. berjalan dengan kecepatan yang seakan-akan telah diatur iramanya.

"Oke, oke, Abel. Duh, Mami lega sekali mendengarnya."

Tidak perlu menunggu terlalu lama, kereta tiba. Sambil mengepit ponsel di telinganya, Naeva berjalan mengikuti irama, berbondung-bondong dalam antrean menuju pintu kereta yang terbuka. Dia bercakap-cakap sebentar dengan anaknya sebelum menutup telepon. Kereta subway meluncur. Naeva tenggelam dalam lamunan.

**

Apartemen nomor 23. Lantai dua. Naeva mendongak ke atas, menatap gedung tinggi yang menjulang di depannya.

Kereta berhenti di stasiun yang tidak terlalu jauh dari tempat itu. Tapi tidak apa-apa. Naeva dapat berjalan kaki. Persis ketika melewati belokan, tiba-tiba...

BRAK'

Seorang lelaki berjalan dari balik belokan, menghantam bahunya. Naeva terjengkang ke belakang. Map plastik hitam yang mengepit di tangan kirinya berdebum jatuh. Dia buru buru berjongkok memunguti benda-benda yang bertaburan keluar dari map itu.

Pensil. Kertas. Pulpen. tape recorder: Berlembar-lembar foto.

"Aduh. maaf. Maafkan saya."

Lelaki itu turut berjongkok, membantu memunguti benda benda Naeva.

"Maaf. Maafkan saya." Mulutnya terus menceracau.

Naeva mendongak. Telinganya mendengar aksen bahasa Jepang yang sangat asing, yang diucapkan lelaki itu. Dia terpana seketika.

Lelaki itu...

Naeva mengenalnya. Sosok dan wajahnya yang telah berubah, tapi Naeva mengenalnya.

"A... dam?" tanyanya tidak percaya.

Lelaki itu mendongak. Air mukanya seketika terkejut. Naeva yakin. Adam pasti mengenalinya.

"Naeva?" tanya Adam tidak percaya.

Mereka berjongkok berdua, saling memandang di trotoar pinggir jalan.

"Astaga! Yang benar saja! Adam!" seru Naeva tertawa. Tangannya terkatup di depan hidungnya.

"Dari semua tempat di seluruh dunia, aku bertemu kamu di sini?"

Ya, betul. Di depannya berjongkok Adam. teman kuliahnya dahulu. wajahnya tidak berubah, hanya saja terlihat lebih matang dan lebih dewasa.

"Naeva!" Adam tidak kalah terkejutnya. Dia mengambil tape recorder dan menyerahkannya kepada Naeva. Lalu dia berdiri.

"Ini!" serunya sambil mengacungkan benda itu. Adam tertawa.

"'Tak bisa lepas dari benda itu ya?"

Naeva menelengkan kepalanya, mempelajari air muka Adam.

"Aku wartawan sekarang, Adam. Wartawan beneran, profesional. Asian Life journal." Naeva mengubek-ubek tasnya dan mengeluarkan sepotong kartu nama. Disodorkannya

ke depan Adam.

"Nah. Bagaimana denganmu sendiri? Apa kabar?"

Adam mengambil kartu nama itu. Dia tersenyum.

"Profesor Sejarah di University of Japan. Department of Culture. Kau tahu kan, ada pepatah, jika kau kelamaan di sekolah. maka...."

"...kan akan tinggal selama-lamanya di sekolah. Hahaha! Sudah dengar yang itu!" sembur Naeva. Matanya bersinarsinar.

"Ngomong-ngomong..."

"Ngomong-ngomong, mau minum kopi, tidak? Aku tahu tempat yang enak untuk kopi luak kesukaanmu. Kangen Indonesia, kan?"

Naeva mengacungkan tape recorder-nya.

"Aku masih harus bekerja, Dam. Kebetulan ada tugas mewawancarai pasangan penting yang tinggal di gedung ini." Tiba-tiba Naeva mendongak. Air mukanya terlihat gembira.

"Aku tahu! Ikut saja bersamaku sekarang melakukan wawancara ini. Setelah itu kita bisa pergi bersama untuk minum kopi. Bagaimana?"

Adam berpikir sejenak.

"Baiklah. Kebetulan juga jadwalku lagi kosong."

"Ayo!" Naeva bergerak.

"Kau pasti akan menyukai pasangan ini."

Apartemen itu didekor dengan simpel dan didominasi warna pastel lembut, sewarna warna bumi. Naeva memerhatikan kesederhanaan itu. Ciri khas budaya Jepang. Pada mulanya dia sedikit tidak terbiasa. Naeva tumbuh dengan gaya country dan kolonial Jawa yang ramai dengan

pernik-pernik. Tapi setelah setahun tinggal di negeri Seribu Sakura ini, akhirnya Naeva terbiasa melihat kesederhanaan itu-yang dahulu dia hubungkan dengan kata "kekosongan".

"Kami sudah menikah lebih dari 60 tahun."

Sepasang kakek dan nenek duduk di depan mereka. Mereka berbincang dalam bahasa lndonesia yang sopan. Wajah pasangan manula itu tidak terlihat seperti orang Jepang, walaupun menurut pembicaraan, mereka telah tinggal di Tokyo selama lebih dari setengah hidup mereka.

Wow. Adam mengangguk-angguk kagum. Ingatannya pindah kepada orangtuanya yang tinggal di kota Bandung. Sudah berapa lama mereka menikah? Hm, mungkin 35 tahun? Sekarang dia sendiri sudah berusia 33 tahun. Adam melirik jemari Naeva. Kira-kira temannya itu sudah menikah, belum ya? Tidak ada cincin apa pun yang melingkari jari manisnya.

Pikiran Adam melayang-layang. Percakapan dua arah di sampingnya tidak digubrisnya. Dia melirik ke jendela. Dari jendela, tampak bunga-bunga sakura yang mekar jatuh berguguran dari batang pohon. Betapa cantiknya.

Kakek yang berada di depannya membelai tangan istrinya.

"Tangan ini," katanya serak sambil tersenyum.

"Adalah tangan yang memasak, membersihkan rumah, membelai anak-anak kami ketika sakit, dan menjaga agar keluarga ini selalu dalam keadaan hangat, tenang. dan bahagia. Tangan ini seperti sayap para dewa, memberikan kehidupan bagi setiap manusia yang dicintainya. disentuhnya. Coba, rabalah. Rasakan lembutnya tangan ini. Rasakan lembutnya cinta."

Tangan Naeva terulur, membelai tangan keriput itu. Adam

hanya meliriknya sekilas. Dia merasakan tusukan pelan di bawah rusaknya. Naeve memelototinya tajam. Akhirnya lelaki itu ikut mengulurkan tangan dan membelai tangan itu.

Adam sedikit tercengang. Benar. Tangan itu terasa selembut kulit bayi dalam sentuhannya.

Kakek itu terkekeh.

"Betul, kan? Apa kata saya? Istri saya ini memang luar biasa."

Adam menoleh keluar lagi. Merasakan hatinya meleleh mendengar kata-kata itu. Di luar, tampak bunga-bunga sakura masih berguguran.

"Cinta bukanlah jalan yang penuh bunga setaman dan wangi semerbak," kata kakek itu. Nenek memohon diri dan ketika ia kembali, di tangannya tampak nampan dengan empat cangkir teh yang mengepul ditambah dua stoples kristal berisi penganan kering.

"Silakan," katanya ramah.

"Terima kasih," jawab Naeva sambil mengulurkan tangannya untuk mengambil cangkir tersebut. Diseruputnya dengan nikmat. Ah, teh hijau Jepang memang nomor satu.

Adam mengawasi gerak-gerik Naeva sebelum melakukan hal yang sama. Bibirnya nyaris terbakar karena teh yang terlalu panas. Samar-samar didengarnya Naeva bertanya sesuatu tentang bagaimana perjalanan kisah kasih mereka.

Kakek berdeham lalu melemparkan pandangan kepada Nenek. Keduanya tersenyum.

"Ah," kata Kakek sambil menarik napas.

"Ceritanya dimulai beribu-ribu tahun yang lalu. Begini..."

**

Satu jam kemudian Naeva dan Adam keluar dari sana dan

melangkah menuju taman. Senja telah menurun, tapi langit belumlah gelap benar. Cahaya kuning muda menangkup langit.

"Masih mau minum kopi?" tanya Adam.

Naeva menggeleng.

"Perutku sudah penuh teh."

Burung-burung berkicau di atas ranting-ranting hampa . Musim semi baru saja menjelang. Bunga-bunga sakura bermekaran di mana-mana. Beberapa terbang tertiup angin semilir. Adam berjalan menuju bangku taman, Naeva mengikuti. Mereka terduduk berdua di sana. memandangi hujan kelopak bunga sakura. Untuk sementara, tidak ada yang berkata-kata.

"Kita tidak akan mendapatkan hal seperti ini di Indonesia," bisik Adam, seakan-akan takut suara itu mengganggu orkestra alam nan megah yang terpampang di depan mata.

Naeva mengangguk singkat.

"Sayang ya," bisiknya pula.

Mereka duduk nyaris bersinggungan di bangku taman. Naeva memeluk erat tas di pangkuannya. Matahari belum sepenuhnya tenggelam.

Adam mendongak menatap langit.

"Kau percaya?" tanyanya memecah sepi.

Naeva menoleh.

"Percaya apa?"

"Percaya apa yang diceritakan narasumber wawancaramu tadi. Si kakek-nenek."

Naeva tersenyum.

"Percaya tentang cinta? Aku selalu percaya cinta."

"Bukan. Maksudku yang tentang cerita dewa-dewi, sejarah yang tidak dapat diulang, serta masa depan yang selalu dapat ditulis kembali."

"Kau yang jadi doktor Sejarah, Dam. Bukan aku. Harusnya aku yang bertanya padamu apakah kau percaya hal hal seperti begitu."

Adam hanya teraenyum. Kenangan sepuluh tahun samarsamar muncul bagai bayang-bayang kelabu di kepalanya. Suatu malam di sebuah perpustakaan bersama Naeva... tahun pertamanya sebagai murid kelas magister. Benarkah cerita dalam prasasti yang ditemukan Adam benar? Benarkah monster itu ada? Benarkah karma itu terjadi pada pasangan kakek-nenek yang diwawancarai Naeva?

Ponsel Naeva berdering lagi, memecah renungan Adam semakin jauh berkelana. Dengan sigap, Naeva membuka tas dan menekan tombol penerima.

Mungkin pasangan manula itu sudah pikun. Mungkin juga mereka berkhayal. Maklum, kakek-nenek berusia 80 tahun...

"Halo, Sayang?" sapa Naeva lembut. Adam menoleh. Matanya tersentak, menangkap foto yang terjatuh keluar dari tas. Perlahan tangannya terulur. Ia membawa Foto tersebut ke depan wajahnya. Di sebelahnya Naeva sedang bercakap-cakap dengan nada suara tinggi yang belum pernah didengar oleh Adam. Lelaki itu mengantar-amati foto dengan serius.

Percakapan Naeva selesai. Dia mengembalikan ponsel ke dalam tas.
Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anakmu?" tanya Adam sambil mengulurkan foto itu kembali ke tangan Naeva.

"Ya," angguk Naeva bersemangat.

"Cantik. Siapa namanya?"

"Abel."

Adam tidak berkata apa-apa. Kepalanya mendongak

menatap langit. Naeva membelai foto itu dan mengembalikanya ke dalam tas.

"Bintang-bintang telah terbit di langit. Lihat!" seru Adam ringan.

Naeva ikut-ikutan mendongak. Angin semilir berubah menjadi lebih dingin. Lampu-lampu kecil yang bergantungan di atas pohon mulai menyala. Cahaya kuning lembutnya membias ke setiap sudut taman.

"Aku jadi ingat ucapan kakek tadi," kata Naeva.

"Tentang Bintang Timur."

"Bintang Timur adalah Dewi Ishtar, dewi cinta. Planet Venus."

"Bintang yang terang sekali."

Adam mengangguk sambil terus mendongak. Diam-diam Naeva mengamati Adam dari samping. Wajahnya memang berubah dari wajah yang Naeva kenal sepuluh tahun lalu. Tapi, bagaimanapun, wajah ini wajah yang tetap sama.

wajah yang memancarkan keseriusan dan tekad kuat mengarungi hidup. Rambut Adam beterbangan sedikit tertiup langit. Dagunya yang lancip itu terlihat sangat elok. Tatapan matanya...

"...kah?" tanya Adam.

Naeva tergagap. Pipinya memerah seperti ketahuan mengutil di toko sualayan. Dia sungguh terkejut dengan pertanyaan Adam. Saat ia sedang hanyut dalam gelombang

pemikiran tentang lelaki itu.

"Hah?" tanya Naeva pura-pura santai.

"Kau sudah menikah?" Pipi Naeva memerah lagi.

"Menikah? Apa aku kelihatannya sudah menikah?"

"Hmm... aku tidak tahu bahwa orang-orang yang sudah menikah mempunyai penampilan tertentu dibandingkan dengan orang-orang single macam aku ini. Tapi, dengan adanya anakmu..." Suara Adam menghilang perlahan.

"Ya, tentu kukira kau telah menikah."

Naeva memandang Adam tanpa berkedip. Adam balas memandang Naeva. Suasana hening menyelimuti mereka berdua.

"Aku..," kata Naeva, tersendat. Matanya tidak lepas dari tatapan mata Adam.

"...tidak menikah. Belum pernah menikah."

"Lalu anak itu adalah..." Adam berhenti sebelum melanjutkan kata-katanya yang keluar dengan nada sumbang.

"Anak haram? Pernah hamil di luar nikah?"

"Uh, sembarangan. Anak itu anak adopsiku."

"Adopsi?"

"Kenapa memangnya?" tanya Naeva, sedikit defensif.

"Yang belum menikah tidak boleh mengadopsi anak?"

Mata Adam berkedip tidak percaya.

"Maksudku... ya, tentu saja kau buleh mengadopsi anak. Maksudku, kau tidak berhubung, kan?" Entah bagaimana, Naeva seketika heran. Ada jejak-jejak kegembiraan dalam suara Adam.

"Tentu saja aku tidak akan bohong soal beginian," kata Naeva sambil mengangkat dagunya tinggi-tinggi.

"Anak itu sengaja kuadopsi semenjak dia masih bayi berusia tiga bulan.

Ada yang meletakannya di depan pintu rumahku ketika aku bertugas di Vietnam, empat tahun yang lalu."

"Anak Vietnam?"

Naeva mengangguk.

"Namanya Abel?" ulang Adam sekali lagi.

"Aku menamainya Isabella, artinya abdi Tuhan. Dia membantuku menemukan Tuhan dengan caranya sendiri sebagai bayi. Dan ya..., kupanggil Abel. Kenapa?"

Adam tidak menjawab. Naeva menghela napas. Ini bagaikan kaset yang diputar ulang. Kenangan kembali beraktimulasi. Seharusnya Naeva mengenal kebiasaan Adam berdiam diri semenjak dahulu.

"Kakek tadi bicara sesuatu tentang jodoh."

Naeva berdehem. Lalu diam. Matahari telah terbenam sepenuhnya. Sekarang seluruh taman dikelilingi cahaya lampu. Terang kekuningan, menyepuh suasana.

"Apakah kau menyadari sesuatu tentang kita?"

"Kita?" Naeva berdeham lagi.

Adam menurunkan dagunya. Dalam keremangan cahaya lentera, terlihat air mukanya yang sedikit tegang.

"Namaku Adam dan kau adalah Naeva. Naeva adalah Eva dalam versi bahasa Prancis. Anakmu bernama Abel."

Entah apakah rasa dingin itu berasal dari angin malam, Naeva merasakan seluruh tubuhnya merinding.

"Mak maksudmu?"

Adam membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara. Dia tersenyum lembut.

"Ingat apa pesan Bintang Timur menurut cerita si Kakek tadi?" tanya Adam kepada dirinya sendiri.

"Ah, ya!" Dia berdecak.

"Selalu percaya cinta walau cinta akan menyalibkanmu."

Naeva menahan napas.

"...atau memberimu cawan kehidupan."

Tangan Adam bergerak ke atas, mengibaskan sekuntum

bunga sakura yang mendarat di ubun-uhun Naeva. Naeva bergetar karena sentuhan lembut itu. Gerakan Adam bagai memahkotai hati Naeva. Perempuan itu mengangkat wajah, mencari sandaran bagi jiwanya. Ke mana pun matanya mencari, wajah Adam memang ternyata ada di mana-mana. Memenuhi seluruh relung hatinya. Menggenapi. Melengkapi. Menjadi.

"Yuk," ajak Adam sambil berdiri.

"Sudah malam. Kau harus pulang. Anakmu menunggu."

Naeva berdiri di sebelah Adam. Bersama berjuta-juta bintang yang terbit di langit, dia telah meneriakan aklamasi hendak ke mana ia melangkah dalam hidupnya dan bersama siapa. Naeva bergerak, menyisiri daun-daun yang berserakan di jalan setapak. Di atas kepala mereka, puluhan lampu berkedip bagai bintang terang.

jemari Adam perlahan-lahan bergerak, menemukan jemari Naeva. Dengan jantung berdebar-debar, Naeva mengaitkan jemarinya di tengah-tengah jemari Adam. Mereka bergandengan erat, seakan tidak rela terpisahkan kembali. Ibu jari Adam mengusap jemari Naeva lembut. Cuma beberapa detik, tapi rasanya seperti selama-lamanya. Abadi.

Di taman ini

Di taman ini

Sebuah kota di pinggir dunia

Dengan lampu lampu kecil bergantungan di atas ranting Dan bunga sakura berguguran dari langit

Aku berjalan bersamamu

Satu hari dan satu rasa.

Aku memandang matamu menanti sebuah jawaban.

Apakah cinta itu sesungguhnya?

Seperti pisau bermata dua,

Manusia terperangkap pada kutukan atau anugerahnya

Kutukan... cinta dapat mengoyak hidup dalam sekejap mata

Bagai alam semesta runtuh di atas kepala

Anugerah... cinta dapat memberkahi hidup menjadi rentangan

abadi

Bagai jiwa-jiwa yang tak pernah mati.

Di sini, di ujung jalan

Aku masih melangkah bersamamu

jemari terkait dalam seribu cerita yang tersimpan di hati

Bersama, kita menuju titik akhir pada titian pelangi

Untuk kemudian berpisah dan dilahirkan sekali lagi.

**

"Kita menunggu Kain," bisik Adam di antara desah napasnya. Matanya menerawang, menatap ranting-ranting kering. Terus mengarah ke atas, menuju titik infiniti langit yang kelam. Dia mempererat genggamannya di tangan Naeva.

"Untuk melengkapi keluarga kecil ini."

Naeva tersenyum. Tangannya mengelus lembut perutnya, tak sabar ingin merasakan sebentuk kehidupan di sana. Sambil berjalan menuju stasiun subway, tampak dua sosok manusia mengurai mimpi sampai fajar menjelang.

Tamat

(edit teks by Saiful Bahri Situbondo)


Lima Sekawan 03 Petualangan Di Lembah Menyingkap Karen Karya Richard Baer Pendekar Naga Putih 19 Asmara Di Ujung

Cari Blog Ini