Ceritasilat Novel Online

Miss Clean 3

Miss Clean Karya Sara Tee Bagian 3

Adelia. Maksud tersembunyi yang sengaja ditujukan pada Niken.

Niken yang diam saja seakan tidak mendengar ucapan Adelia.

"Cukup Del, jika kamu mau duduk dekat aku baiknya

kamu cepat duduk dan diam. Oke?" Arini memejamkan mata

untuk menahan perasaannya.

"Oke... Thank?s. Kalau entar disuruh pindah lagi sama Bu

Iin, aku bakal pindah kok. Sebagai sahabat aku nggak bakal

menyusahkan kamu." Adelia tersenyum tulus.

Sahabat? Sejak kapan Adelia menganggapnya sahabat? Begitukah orang melihatnya? Kedekatan kami seperti sahabat? Pantas

saja Niken marah, bisa jadi Adelia sudah mengumumkan kepada

semua orang bahwa Adelia dan aku sekarang sudah bersahabat.

Arini menepuk jidatnya sendiri, dasar Adelia...

"Del, entar pulang sekolah aku tunggu kamu di lapangan

basket, ada yang mesti aku omongin," ucap Arini sebelum Pak

Bambang, guru bahasa Indonesia memasuki kelasnya.

"Oke...," jawab Adelia riang.

Diam-diam Arini menuliskan sesuatu di kertas kecil yang

langsung diremas-remas dan dilemparkannya ke meja seseorang

tanpa sepengetahuan Pak Bambang yang sedang membacakan

puisi Aku karya Chairil Anwar sambil merem melek seperti

pujangga sungguhan. Arini tersenyum sambil mengangguk

pada orang itu setelah dia membuka pesan yang dilempar

Arini. Arini berdoa dalam hati supaya kali ini orang itu tidak

beralasan untuk tidak datang ke tempat yang Arini maksud.

Sudah beberapa saat yang lalu bel tanda bubar sekolah berbunyi. Kini sekolah mulai sepi. Apalagi di lapangan basket.

Tidak ada yang latihan saat ini. Biasanya mereka latihan sekitar jam tiga. Adelia sudah sepuluh menit menunggu Arini

yang tidak muncul juga, yang muncul justru orang yang sangat tidak ia harapkan kehadirannya.

Niken celingak-celinguk mencari Arini yang tadi mengirim

pesan lewat tulisan di kertas kecil. Katanya ada hal penting

yang mesti Arini bicarakan. Nggak ada salahnya memberi kesempatan Arini untuk bicara. Toh, Niken tidak bisa sepenuhnya

membenci Arini. Niken masih ingat persahabatan mereka. Bagaimana Arini banyak membantu dia dan Bapak selama ini.

Kebersamaan mereka bukan hanya satu dua tahun tapi sejak

kecil mereka sudah sering bersama. Arini sahabat masa kecilnya, tidak mudah untuk membenci orang yang pernah kita

sayangi sepenuh hati, bukankah begituTanpa sengaja Niken dan Adelia saling bertatapan. Tak ada

yang memulai pembicaraan, mereka sama-sama diam. Jarak

mereka pun cukup jauh. Di ujung lapangan satu dan di ujung

lapangan yang lain. Niken duduk di lantai lapangan basket

sedang Adelia memilih berdiri supaya roknya tidak kotor.

Niken teringat saat Adelia pamer kemampuannya bermain

basket beberapa waktu yang lalu. Ketika teman-teman Niken

meminta Adelia untuk masuk dalam tim basket sekolah. Adelia

bersedia, asal Niken tidak menjadi kaptennya. Tentu saja hal

itu membuat Niken marah. Untung teman-temannya lebih

mempertahankan Niken dan tidak jadi meminta Adelia masuk

timnya. Mereka masih mempercayai Niken untuk menjadi kapten tim basket.

Lima menit lagi berlalu tapi Arini tidak juga muncul. Baik

Niken maupun Adelia sama-sama mencoba untuk menghubungi Arini, tapi ponselnya tidak aktif. Keduanya mulai kesal.

Akhirnya mereka sadar kalau ini semua pasti hanya akal-akalan

Arini agar mereka berdua bertemu dan saling bicara baik-baik.

Adelia yang terlebih dahulu menghampiri Niken, dengan

wajah juteknya langsung berteriak.

"Jangan bilang kalau kamu ke sini menunggu Arini!" hardik

Adelia sambil berkacak pinggang.

Niken tidak mengacuhkan ucapan Adelia. Ia yakin ini akalakalan Arini. Wajah Niken merah padam menahan amarah.

Arini pikir usahanya akan berhasil. Arini salah besar! Sampai

kapan pun aku tidak bakal sudi berbaikan dengan Adelia. Niken

masih ingat kata-kata Adelia saat menghina Bapak. Niken bisa

saja memaafkan Adelia seandainya Adelia mau bersujud di kaki

Bapak. Tetapi Niken yakin itu tidak akan terjadi. Gadis sombong

seperti dia tidak akan mau merendahkan dirinya sekalipun pada

orang tua seperti Bapak. Ia pikir kedudukannya lebih tinggi karena

kekayaan yang dimilikinya. Niken harus mengakui kalau Arini

ada benarnya juga, Niken memang selalu sinis pada orang

kaya tapi Adelia memang memberi gambaran buruk tentang

orang kaya.

"Bukan urusanmu!" Niken menjauh dari Adelia.

"Heh! Yang harusnya menjauh itu aku, bukan kamu! Dasar

tukang sampah jorok! Semut hitam dekil!" Adelia mulai lagi

dengan caci makinya.

Niken membiarkan Adelia berbicara sesukanya. Walau sakit

hati, Niken mencoba menahan diri. Ia tidak punya tenaga untuk berdebat dengan Adelia saat ini. Kondisi kesehatannya

belum pulih benar akibat kehujanan kemarin.

Keduanya sama-sama diam, ketika ada gerakan di balik pohon di pinggir lapangan basket keduanya menoleh ke arah

yang sama sambil berteriak berbarengan.

"ARINI!" Keduanya heran kenapa bisa kompak.

Terpaksa Arini muncul. Niken geram melihat Arini. Adelia

pun tampak kesal karena harus dipertemukan dengan Niken.

"Kalau kamu pikir aku akan baikan dengan Adelia dengan

cara seperti ini, kamu salah Arini!" hardik Niken ketika Arini

muncul dengan wajah tanpa rasa bersalah.

"Iya, aku juga nggak sudi baikan dengan orang itu!" tunjuk

Adelia tepat di wajah Niken.

"Dengar ya, Rin, ini kali pertama kamu melakukan tindakan konyol seperti ini. Aku nggak mau hal ini terjadi lagi!"

Niken segera berlalu.

"Hei, kotor jorok! Aku juga nggak sudi baikan sama kamu

walau sahabat baruku ini menginginkannya!" teriak Adelia seakan ingin melempar sepatunya ke arah Niken yang berlalu

begitu saja.

"Kenapa sih kalian berdua sulit sekali untuk berdamai?"

Arini berteriak keras disertai isak tangis. "Sama-sama keras kepala! Sama-sama egois!"

"Udah deh, Rin, jangan buang air mata kamu sia-sia hanya

karena dia. Orang yang nggak penting!" Adelia meraih bahu

Arini untuk diajaknya pergi. "Kita main Facebook lagi ya? Atau

kamu ingin mengirim email ke kakakmu lagi?"

Arini menggeleng, ia benci Facebook dan tidak akan mengirim email kepada kakaknya lagi. Ia ingin mengirim surat saja

lewat pos, lebih manusiawi. Ia tidak mau melakukan kesalahan

terus-menerus. Yang Arini inginkan saat ini hanya satu, Niken

mau memaafkannya.

delia harus menelan kekecewaan untuk kedua kalinya

karena lagi-lagi Reno ingkar janji. Adelia sudah menunggu

Reno yang berjanji akan mengantarnya jalan-jalan ke mal di

pusat kota. Sekarang ia malah nggak muncul. Hanya SMS-nya

saja yang datang.

Maaf nggak bs antar k.mall krn aku msh flu

SMS singkat yang bikin Adelia kesal. Ia mencoba menghibur diri dengan berpikir bahwa Reno memang benar-benar

masih sakit.

Aku mo jenguk km tp nggak th rmh km

Adelia membalas SMS Reno dengan cepat.

Thx, nggak usah ke rmh. Nt merepotkan U. Doakan sj biar

cpt sembuh J

Adelia memasukkan kembali ponselnya ke tas saat Mama

memberitahu kalau pak sopir sudah menunggunya di depan.

Akhir-akhir ini Adelia malas membawa mobil sendiri. Adelia

takut tersesat karena belum hafal jalan di Solo.

Adelia pun tidak mengajak Arini karena Arini pun sulit dihubungi sejak kemarin. Mungkin dia masih syok soal kejadian

kemarin di lapangan basket. Dia mungkin butuh waktu untuk

sendiri karena ponselnya tidak aktif dari kemarin. Padahal ini

hari Minggu, harusnya Adelia bisa jalan-jalan dengan temantemannya, terutama Arini. Tapi kayaknya mereka sibuk membantu orangtua di sawah. Dengar-dengar ada panen raya, mereka semua berkumpul di sana. Gayanya saja pada ingin

membantu memanen padi, tapi kenyataannya mereka lebih

banyak duduk-duduk sambil ngerumpi, itu diketahui Adelia

karena kemarin Ajeng sempat bercerita bahkan mengajaknya

pergi untuk melihat panen raya. Adelia menolak. Males aja,

apa menariknya lihat panenan kayak gitu. Mendingan shopping

di mal lebih asyik walau sendirian...

"Barang yang sudah dibeli nggak boleh dikembalikan lagi

lho, Mbak," ucap pemilik toko jam yang dulu pernah dikunjunginya bersama Reno.

Sejenak Adelia tertegun. Kenapa kali ini pemilik toko jam itu

tampak tidak bersikap ramah kayak dulu. Padahal Adelia beli jam

tangan dua sekaligus untuk Mama dan Papa sebagai hadiah ulang

tahun perkawinan mereka. Aneh! batin Adelia.

"Ya iyalah Pak, saya tuh nggak pernah ngembaliin barang

yang sudah saya beli." Adelia sedikit tersinggung mendengar

ucapan pemiliki toko jam itu.

"Nyatanya, kemarin masnya mengembalikan jam yang sudah dibeli." Ucapan pemilik toko jam itu membuat Adelia

terkejut.

Bagai tersengat aliran listrik, Adelia sampai tidak bisa berbicara walau pemilik toko jam itu terus melihatnya dengan tatapan heran. Adelia masih tidak memercayai pendengarannya.

"Ya nggak apa-apa sih, Mbak, tapi jangan keseringan beli

terus dikembalikan begitu." Pemilik toko jam itu meralat

ucapannya karena ketakutan melihat reaksi Adelia yang di luar

dugaannya.

"Bapak yakin kalau yang mengembalikan jam tangan itu

orang yang dulu datang bersama saya?" Adelia mulai bertanya

lebih detail setelah kesadarannya pulih.

"Ya pasti, Mbak, saya masih ingat jelas barangnya. Lha

wong barang saya sendiri pasti ingat dong," jelas pemilik toko

itu sambil memerintahkan anak buahnya mengambil jam tangan yang dikembalikan Reno tempo hari.

Adelia mengamati jam tangan itu, ia tidak habis pikir kenapa Reno mengembalikan jam pemberiannya? Kalau tidak suka

kenapa tidak langsung ngomong saja? Bukankah bisa tukar

dengan model lain? Tapi Reno diam saja. Bahkan sampai sekarang pun Reno tidak membicarakan masalah jam itu padahal

tadi dia sempat SMS-an dengan Reno.

"Saya beli lagi saja, Pak. Sekalian yang dua tadi," pinta

Adelia yang bikin pemilik toko jam itu senang karena Adelia

memborong jam tangannya.

Semangat Adelia buat belanja hilang sudah, ia tidak bergairah lagi. Ia masih tidak mengerti mengapa Reno mengembalikan jam tangan itu ke toko bukan kepada dirinya. Ia mencoba berpikir logis tapi tidak bisa. Pikirannya buntu saat ini.

Adelia segera meraih ponselnya, memencet nomor Reno, satu

nada tersambung tapi buru-buru Adelia matikan lagi. Adelia

ragu apakah etis membicarakan masalah ini lewat telepon. Seandainya ia tahu rumah Reno pasti Adelia sudah menghampirinya. Tapi bagaimana kalau Reno marah dan nggak mau

bertemu lagi dengan Adelia? Adelia terus berpikir, ia tidak siap

untuk kehilangan Reno. Ia telanjur cinta pada Reno. Ia tidak

mau melakukan kesalahan yang akan ia sesali. Baru dua hari

saja nggak ketemu dengan Reno, Adelia merasa kangennya

minta ampun.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, Adelia hanya diam. Pak

sopir pun heran melihat sikap Adelia yang berubah menjadi

pendiam. Biasanya ia terus-terusan nyerocos tanpa henti mengomentari apa saja yang bisa dikomentari, terutama jika ia

melihat ada yang kotor.

"Langsung pulang atau mau pergi ke mana lagi, Non?"

tanya pak sopir sedikit mencemaskan Adelia.

"Langsung pulang saja, Pak. Kepala Adel pusing." Adelia

menyandarkan punggungnya lebih landai dengan mengatur

kursinya.

"Baik, Non." Setelah itu pak sopir tidak berkomentar lagi.

Ia diam sambil berkonsentrasi menyetir.

Adelia memejamkan mata, setitik air mata keluar dari sudut

mata saat tangannya menggenggam jam tangan yang dikembalikan oleh Reno.

Adelia merebahkan tubuh di sofa. Fisiknya sih tidak capai, hanya hatinya yang terasa sangat lelah.

"Oh... sudah pulang, Sayang?" Mama menghampiri Adelia.

Adelia melihat Mama mengenakan pakaian hitam-hitam.

"Mau pergi ke mana, Ma?" tanya Adelia tanpa menjawab

pertanyaan Mama.

"Melayat," jawab Mama. "Teman Papa ada yang meninggal.

Kasihan... sudah miskin, ditinggal suaminya selingkuh."

"Apa hubungannya antara miskin dan selingkuh, Ma?"
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ucapan Mama membuat Adelia tertarik untuk membahasnya

lebih lanjut.

"Ya... dulu dia anak orang kaya dan menikah dengan pemuda miskin. Setelah orangtuanya bangkrut mereka jatuh miskin dan suaminya meninggalkan dia untuk menikahi wanita

kaya lainnya. Amit-amit deh, untung Papa tidak demikian.

Dari dulu sampai sekarang Papa tidak pernah terlibat masalah

dengan perempuan lain." Mama segera beranjak saat Papa memanggil.

Adelia masih berpikir tentang ucapan Mama. Apa ia akan

berakhir seperti itu jika ia melanjutkan hubungannya dengan

Reno? Cowok miskin yang tega memperalat cewek kaya. Setelah tidak kaya lagi ditinggalkan begitu saja. Apakah Reno

cowok seperti itu? Oh Tuhan... Adelia meremas rambutnya.

"Mbok Jum...," teriak Adelia memanggil pembantunya.

"Ya, Non..." Mbok Jumilah tergopoh-gopoh menghampiri

Adelia.

"Tahu rumahnya Reno nggak?" tanya Adelia.

"Mas Reno siapa ya, Non?" Mbok Jumilah berlagak lupa.

"Itu... yang kuliah di UGM Yogya. Yang kemarin lusa datang

ke sini," jelas Adelia coba mengingatkan Mbok Jumilah.

"Oh... Mas Reno yang ganteng itu?" Pembantu yang bertubuh tambun itu tampak genit saat mengerjapkan matanya.

"Emang ada berapa Reno di desa ini?" Adelia mulai sewot,

ternyata penggemar Reno banyak juga.

"Kalau yang ganteng cuma satu, Non, yang lainnya sudah

tua. Namanya Mbah Reno," jelas Mbok Jumilah sambil cengarcengir.

"Namanya mbah ya sudah tua, Mbok. Gimana sih?" Adelia

manyun. "Antar aku ke rumahnya dong? Tahu kan rumah

Reno?"

"Yang ganteng, kan?" tanya Mbok Jumilah berlagak pilon.

"Lha iyalah, masa Reno yang tua. Yang benar saja!" Adelia

makin sewot, ia tidak sedang ingin bercanda.

"Iya tapi besok siang saja ya, Non? Soalnya Bapak dan Ibu

kan lagi pergi melayat. Nanti yang ngejagain Nenek siapa?"

Mbok Jumilah mencoba mengulur waktu.

Adelia makin geregetan, masa ia harus menunggu sampai

besok padahal ia sangat ingin tahu jawaban Reno jika ia menanyakan jam tangan itu. Tapi kalau dipikir ulang ada baiknya

juga ia menunggu sampai besok. Saat ini emosinya lagi tinggi,

takutnya Adelia tidak bisa mengendalikan diri dan akan membuat hubungannya dengan Reno berantakan. Akhirnya Adelia

menyetujui usulan Mbok Jumilah.

Sementara itu, Mbok Jumilah sendiri ingin mengatakan hal

sebenarnya tentang Reno yang telah punya pacar, tapi Mbok

Jumilah takut. Ia merasa tidak berhak mencampuri urusan pribadi orang lain. Berbahaya!

Karena terlalu lelah memikirkan Reno, Adelia sampai ketiduran. Ia terbangun tengah malam dan tidak bisa tidur lagi.

Daripada terus-terusan mikirin Reno dengan berbagai praduganya, Adelia memilih main Facebook. Lumayan untuk menghibur diri.

Saat membuka Facebook ia teringat pada Arini. Kasihan

juga Arini, sepertinya ia tertekan banget. Apa sih istimewanya

Niken sampai Arini segitu sayangnya pada Niken. Adelia tidak

menemukan istimewanya seorang Niken. Memang sih Niken

itu pintar, dan menjabat banyak posisi di sekolah, tapi di luar

itu tidak ada yang menarik sehingga bisa membuat Arini sampai nangis-nangis begitu. Apa enaknya jadi sahabat anak tukang sampah yang tiap hari bergelimang dengan kotoran. Hi...

sangat menjijikkan. Adelia mengusap lengannya yang merinding

membayangkan tumpukan sampah di rumah Niken.

Ada baiknya Adelia memastikan kalau Arini besok masuk

sekolah. Ia ingin minta maaf padanya. Bagaimanapun Arini

bermaksud baik untuk mendamaikan Adelia dan Niken. Adelia

segera mengambil ponselnya. Tapi ternyata ponsel Arini masih

belum aktif. Adelia memutuskan untuk mengirim SMS saja.

Rin, km dimana sih? Kok susah skl dihubungi? Plizzz call

me...L

Ya terkirim! Kalau nanti Arini mengaktifkan ponselnya pasti

ia bisa baca SMS dari Adelia. Syukur-syukur kalau dia mau telepon, harap Adelia.

Kembali Adelia main Facebook. Matanya berbinar melihat

teman-temannya di Jakarta online semua. Lumayan buat menghibur diri dan melupakan masalah jam tangan Reno yang bikin pusing itu....

Saking asyiknya main Facebook sampai larut bersama temanteman lamanya, Adelia hampir saja terlambat masuk sekolah.

Ia sampai di sekolah ketika gerbang sekolah mau ditutup. Sepedanya sampai menabrak pintu gerbang, untung saja tidak

menabrak petugas sekolah yang hendak menutup pintu. Bisa

panjang urusannya kalau hal itu sampai terjadi.

Adelia memarkir sepedanya sembarangan, ia pun segera berlari menuju kelas. Napasnya terengah-engah. Tetapi ia langsung

tersenyum saat melihat Arini ternyata masuk sekolah.

"Hai..." sapa Adelia seceria mungkin.

"Kata Bu Iin kamu disuruh kembali ke bangku kamu, Del,"

ucap Arini tanpa memandang wajah Adelia. Takut kalau kebohongan yang baru saja ia katakan diketahui Adelia.

Raut muka Adelia langsung berubah, senyumnya langsung

menghilang begitu saja.

"Oke, nggak apa-apa. Padahal aku ingin menunjukkan

padamu kalau aku bawa parfum banyak banget. Kamu boleh

pilih satu, gratis." Suara Adelia masih renyah.

"Nanti saja saat jam istirahat," jawab Arini cepat karena ia

melihat Niken sedang memperhatikannya.

"Oke, kamu benar. Aku ke sana dulu ya?" Adelia pindah ke

bangku samping Niken.

Wajah Adelia ditekuk. Niken pun segera menundukkan kepala pura-pura membaca buku.

Sepertinya dia sudah sembuh dari flunya, berarti dia nggak

bakal bawa penyakit menular itu kepadaku, batin Adelia sambil

melirik Niken. Lucu juga melihat wajahnya kalau sedang sakit,

makin hancur... Mukanya memerah, hidungnya merah seperti hidung badut... Adelia tersenyum sendiri membayangkan wajah

Niken waktu itu. Niken yang sadar kalau dia sedang diperhatikan langsung mengangkat wajahnya, dan menunjukkan tatapan tajam pada Adelia. Adelia jadi blingsatan.

"Ngapain lihat-lihat aku?" bentak Niken.

"Hai, siapa yang ngeliatin kamu? Ge-er banget sih? Daripada ngeliatin kamu mendingan aku lihat gambar monyet!"

balas Adelia sambil membuka bukunya yang bergambar monyet.

Pertengkaran mereka terhenti oleh kedatangan Pak Joko,

guru kimia, yang langsung memerintahkan para murid untuk

mengeluarkan kertas, ada ulangan mendadak. Kebiasaan deh...

Mana mungkin bisa mikir kalau semalaman nggak belajar dan

cuma main Facebook... batin Adelia kesal karena harus ada

ulangan.

Niken yang melihat Adelia tampak panik hanya tersenyum

sinis. Tampang sih boleh cantik, sayang otaknya kosong, batin

Niken.

Saat istirahat Adelia menggelar dagangannya. Ia membawa

parfum 8 mili-an banyak sekali. Mungkin ada sekitar seratus

botol kecil-kecil. Bukan saja Arini yang tertarik, tapi hampir

semua penghuni kelas ingin mencobanya. Hanya Niken yang

tidak ikut mengerubuti Adelia.

"Selain bersih, cewek itu juga harus wangi. Jika sewaktuwaktu pacar mencium atau memeluk, kita lebih pede karena

wangi. Nggak bau sampah!" Adelia masih sempat mengejek

Niken yang masih duduk di kursinya.

Semula Niken tidak ingin ikut campur, tapi karena Adelia

menghinanya maka Niken tidak tinggal diam. Ia menyeruak

masuk kerumunan teman-temannya. Di samping itu, sebagai

ketua kelas, Niken tidak ingin kelasnya dijadikan tempat jualan

parfum dan kosmetik.

"Maksud kamu apa?" bentak Niken.

Arini menarik tangan Niken untuk menenangkan tapi segera ditepiskan Niken. Mungkin dulu Niken masih memperhitungkan Arini, tapi sekarang tidak sejak Arini dekat dengan

Adelia.

"Hei, kenapa kamu jadi tersinggung?" Adelia berdiri menyambut tantangan Niken.

"Siapa yang memperbolehkan kamu jualan di kelas? Emang

kamu anggap apa kelas ini? Pasar?!" Teriakan Niken bikin beberapa orang menyingkir, mereka nggak mau terkena masalah

karena membeli parfum Adelia.

"Kalau nggak mau beli ya pergi saja, nggak usah sewot

gitu!" bentak Adelia sambil menahan rasa kecewa melihat teman-temannya menyingkir seperti serombongan pengecut yang

ketakutan dan melarikan diri.

"Dengar ya! Aku ketua kelas di sini dan aku berhak melarang siapa pun yang berjualan di kelas!" Niken mulai mengeluarkan kekuasaannya.

"Ouw... begitu ya? Bagaimana kalau aku nekad? Apa hukumannya? Memang kamu yakin guru-guru di sini sependapat

dengan kamu? Setahuku sekolah tidak melarang muridnya berjualan asal tidak pada jam pelajaran berlangsung." Adelia maju

selangkah membuat Niken mundur hingga tanpa sengaja tangan Niken menyenggol kotak parfum Adelia yang berisi beberapa botol minyak wangi.

Adelia berteriak histeris melihat botol parfumnya jatuh dan

pecah.

"KAMU JAHAT!" Adelia mendorong Niken.

Walau terhuyung Niken masih bengong, ia tidak sadar akibat perbuatannya.

"KAMU JAHAT!" Adelia mengulangi ucapannya sambil berjongkok memunguti pecahan botol dengan tangannya. Dan

"AUW!" Jari Adelia berdarah akibat terkena pecahan botol itu.

"Bodoh!" Niken menarik tangan Adelia menjauh.

Adelia yang masih heran melihat tindakan Niken menurut

saja saat Niken menariknya keluar kelas diikuti beberapa teman

yang penasaran apa yang akan dilakukan Niken.

delia meronta melepaskan tangannya dari cengkeraman

Niken. Walau tubuhnya kecil ternyata tenaga Niken lebih

kuat. Pantas saja ia tampak tidak kesulitan menarik gerobak

sampah. Adelia sampai merasakan pergelangan tangannya

sakit.

"Duduk!" Niken menarik kursi di ruang UKS.

Dengan sigap Niken membuka kotak P3K, tapi kotak itu

ko?song melompong. Niken menutupnya kembali dengan kesal.

"Petugasnya ke mana sih? Masa kotak P3K bisa kosong!

Nggak punya obat luka sama sekali," geram Niken.

Adelia mengaduh kesakitan, ia ngeri setiap kali melihat jari

tengahnya yang berdarah. Adelia mulai menangis dengan suara

keras.

"Hoi, bisa diam nggak? Pakai nangis segala, seperti anak

kecil!" bentak Niken.

"Ini semua gara-gara kamu! Sudah salah, pakai ngebentak

segala!" Adelia menangis semakin keras.

Niken menutup pintu sehingga membuat orang-orang yang

mengintip segera pergi dengan berkomentar tidak jelas. Niken

tidak peduli. Ia kembali menghampiri Adelia, meraih tangannya dan mengamati luka di jarinya.

"Tahan dikit, agak sakit." Niken mengambil pecahan kaca

kecil yang masuk ke dalam jari Adelia.

"Auw!" Adelia menjerit, ia menarik kembali tangannya.

Niken mengusap keringat yang keluar dari pelipisnya, ia

sampai berkeringat karena tegang. Ia meraih tangan kiri Adelia.

"Heh, keliru! Jari sebelah kanan yang luka, bukan yang

kiri!" Adelia menarik tangannya kembali. Tetapi gagal, tangan

Niken begitu kuat memegangi tangannya.

Wajah Niken memerah, saking gugupnya ia salah menarik

tangan Adelia. Tetapi tangan itu tidak segera dilepaskannya.

Niken mengamati cincin di jari tangan Adelia.

Sejenak Niken terdiam, ia mengingat sesuatu. Cincin ini

sepertinya pernah ia lihat. Model cincin yang unik dengan

batang cincin yang berpilin-pilin.

"Niat ngobati nggak sih, kok malah bengong? Sakit nih..."

Adelia menarik tangan kirinya dan mengganti dengan tangan

kanannya.

Niken ingat sekarang, cincin itu sama persis dengan cincin

yang dikenakan Reno. Oh, my God! Tak salah lagi. Masa ada

kebetulan yang sangat aneh seperti ini? batin Niken.

"Hei... sialan kamu... kamu pengin aku mati kehabisan darah, ya?" Adelia berteriak di telinga Niken.

Niken tersadar dari lamunannya. Kehabisan darah? Yang bener saja. Adelia lebay banget, lukanya nggak dalam dan darah

yang keluar pun tidak banyak. Memang berapa liter darah di tubuh

Adelia kok mudah banget habis gara-gara luka sekecil ini"Berisik!" Niken menarik tangan Adelia, membuatnya kesakitan, dan segera memasukkan jari Adelia ke mulutnya untuk

mengisap darah yang keluar. Niken langsung berteriak antara

marah dan jijik.

"Gila... lepaskan tangan aku! Jorok! Bau! Emang kamu

nggak ngerti ya kalau ludah itu mengandung banyak bakteri!"
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Adelia memukuli lengan Niken dengan tangan kirinya.

"Bisa tenang nggak sih atau aku gigit jari kamu sekalian?"

Niken akhirnya melepaskan tangan Adelia. Lengannya

terasa sakit karena pukulan Adelia yang bertubi-tubi. Ditolongin

malah mukulin. Benar-benar orang yang tidak tahu terima kasih,

batin Niken kesal.

"Heh, mau apa lagi?" Adelia melihat Niken menarik meja

ke arah jendela.

Niken melihat daun sirih yang ditanam di taman samping

ruang UKS. Ia berniat mengambilnya dengan cara memanjat

lewat jendela. Daripada keluar ruang lalu jalan memutar, lebih

baik memanjat jendela dan langsung bisa mengambil daunnya.

Niken ingat, daun sirih alias piper betle linn selain berkhasiat

menghilangkan bau badan, sakit mata, gatal, jerawat, juga bisa

menghentikan perdarahan dan mengobati luka.

Adelia sampai melongo melihat Niken begitu terampil memanjat naik lalu turun lagi dengan gesit.

"Nah, dapat juga obatnya." Niken menarik tangan Adelia

kembali dan memborehkan daun sirih yang sudah diremas-remas ke luka itu.

"Hei, tangan aku mau kamu apain lagi?" Adelia kembali

meronta.

"Bisa diam nggak?" Setelah luka Adelia terbungkus daun

sirih, Niken menarik pita rambut Adelia untuk mengikat daun

itu di luka Adelia.

"Gila... dasar orang hutan.... Kamu mau jari aku infeksi karena obat anehmu itu?" Adelia ngeri melihat jarinya. "Bisa-bisa

jari tengahku sebesar jempol kaki!"

"Kalau kamu nggak mau, aku ganti dengan lendir bekicot.

Di selokan dekat taman sekolah banyak. Aku ambilkan dulu."

Niken hendak beranjak tapi buru-buru pakaiannya ditarik

Adelia.

"Jangan! Ini saja cukup!" Adelia ngeri membayangkan lendir bekicot menempel pada jarinya.

Cara pengobatan yang aneh, pikir Adelia. Kalau Papa tahu

pasti Papa marah besar, tapi untuk saat ini yang penting nggak

ada darah yang keluar lagi. Hebat juga dia, batin Adelia.

"Sudah..." Niken duduk di hadapan Adelia. Ia juga melihat

jari Adelia tidak mengeluarkan darah lagi.

"Dengar ya, aku akan laporkan kamu pada Papa, pada Bu

Iin, pada Kepala Sekolah..." ucapan Adelia penuh emosi.

"Sekalian saja pada Pak RT, Pak Lurah, Pak Camat sampai

Pak Presiden." Niken sewot. "Luka begitu saja hebohnya minta

ampun."

Niken membayangkan dulu ia pernah mengalami hal yang

lebih parah saat ia ikut Bapak mengambil sampah. Kakinya

menginjak pecahan botol saat ia naik ke gerobak sampah untuk mengambil sapu lidi. Lukanya sepanjang sepuluh senti dan

dalam banget. Dua hari ia nggak bisa jalan dan mesti dilarikan

ke klinik untuk di jahit. Sekarang, Adelia yang hanya mendapat luka kecil saja hebohnya minta ampun. Lagi pula salah

dia sendiri, sudah tahu pecahan botol, kok malah diambil pakai tangan. Tapi karena Niken merasa bersalah, ia langsung

bertindak cepat untuk mengobati Adelia.

Namun hal itu tidak seberapa dibandingkan kerisauan hatinya melihat cincin Adelia yang sama dengan cincin yang dikenakan Reno. Niken ragu apakah ia harus bertanya pada

Adelia. Akhirnya ia memilih untuk memastikan dulu dengan

melihat cincin Reno sekali lagi. Ia tidak ingin Adelia mengejeknya karena salah tuduh.

"Aku mau kembali ke kelas buat membersihkan pecahan

kaca, kalau kamu mau tetap di sini terserah." Niken melihat

Adelia masih syok.

Niken melangkah pergi tanpa menoleh pada Adelia lagi.

"Hei, semut hitam!" teriak Adelia.

Niken tidak menoleh karena memang itu bukan namanya.

Seenaknya saja memberi julukan orang.

"Terima kasih." Suara Adelia terdengar sangat lirih seperti

gumaman.

Sampai di kelas, Niken melihat Arini membawa sapu. Ia baru

selesai membersihkan sisa pecahan kaca.

"Biar aku saja." Niken mengambil alih sapu itu dari tangan

Arini.

"Nggak apa-apa, sudah selesai kok. Tadi dibantu teman-teman juga." Arini mengembalikan sapu ke tempatnya semula.

Niken melihat ke sekeliling kelas. Hening... kemudian ia

berdiri di depan kelas.

"Saya minta maaf." Niken menggigit bibir bawahnya untuk

menenangkan perasaannya. "Seharusnya kejadian ini tidak perlu terjadi. Semua salah saya hingga membuat Adelia terluka.

Sebagai ketua kelas saya seharusnya tidak bertindak arogan

sampai menimbulkan kekacuan ini. Untuk itu..." Niken memejamkan matanya. "Izinkan saya mengundurkan diri dari jabatan saya sebagai ketua kelas. Hal ini sebagai konsekuensi dari

kesalahan saya." Suara Niken bergetar.

"Bagaimana jika kami menolaknya?" Ajeng angkat suara,

semua mata melihat ke arah Ajeng.

"Aku melihat dengan jelas kalau kamu nggak sengaja memecahkan botol parfum itu." Pandangan seisi kelas beralih

pada Ratna.

"Alah... itu hanya masalah kecil, nggak usah dibesar-besarkan!" Budi ikut berbicara yang langsung didukung dengan

murid-murid cowok lainnya.

"Iya, Ken, ini bukan salah kamu. Ini kecelakaan." Arini

mengajak Niken duduk. "Aku lihat kamu sangat panik dan itu

menunjukkan kamu peduli padanya."

Niken berterima kasih kepada teman-temannya. Ia sangat

bersyukur memiliki teman seperti mereka. Bahkan ketika ada

guru yang hendak masuk untuk memulai pelajaran, seorang

temannya yang masih berada di luar kelas memberitahu seisi

kelas untuk kembali ke tempat duduknya masing-masing. Dan

ketika guru datang semua tampak sempurna, seakan tidak pernah terjadi apa-apa di kelas itu. Hanya bau wangi dari tumpahan minyak wangi yang membuat gurunya curiga, tapi sepertinya ia mengabaikan karena memang baunya enak dan

membuat kelas menjadi nyaman. Pelajaran pun berlangsung

seperti biasa.

Saat pergantian jam pelajaran, Adelia muncul dan langsung

dikerubuti teman-temannya untuk menanyakan lukanya. Mereka sangat peduli dan tidak ada yang menyalahkan Niken

maupun Adelia dalam insiden itu.

"Sudah nggak apa-apa kok." Adelia melirik Niken yang duduk di sampingnya.

Niken berlagak tidak peduli pada Adelia sampai orang-orang

yang mengerubutinya pergi satu per satu. Sekarang tinggal

Arini yang masih tampak mencemaskan Adelia.

"Beneran nggak apa-apa, Del? Perlu aku antar pulang nggak

biar diobati Papa kamu?" Arini tidak peduli Niken akan berpikir apa tentang dirinya.

"Nggak usah, sudah diobati dokter gila tuh..." Adelia menunjuk Niken dengan dagunya.

Arini nyengir, ia geli melihat tangan Adelia dibalut dengan

pita rambutnya sendiri.

"Jari kamu jadi lucu, tapi heran kok bisa darahnya mampet

ya? Coba deh kamu kapan-kapan tanya Papa kamu kenapa

bisa begitu?" Arini mengamati jari Adelia yang jadi nggak

lentik lagi.

"Nggak ah entar Papa marah, dia nggak suka pengobatan

semacam ini." Adelia melirik Niken kembali.

Rasanya Adelia ingin menimpuk kepala Niken yang purapura sibuk menulis, entah apa yang dia tulis.

"Tapi kenyataannya bisa menyembuhkan juga lho, Del. Itu

kan termasuk pengobatan herbal," ucap Arini menjelaskan.

"Iya, tapi cara mengobatinya kasar." Adelia mengertakkan

rahangnya melihat Niken tidak bereaksi.

"Sudah tahu salah malah diam saja. Minta maaf kek. Pelajaran budi pekertinya dapat berapa sih? Harusnya, kalau orang

berbuat salah ya segera minta maaf. Minta maaf saja belum

tentu dimaafkan, apalagi tidak!" Adelia malah ngomel-ngomel

sendiri.

Arini nyengir, ia tahu ucapan itu tidak ditujukan untuk

dirinya tapi untuk Niken.

"Del, Niken kan nggak sengaja." Arini coba untuk membela

Niken yang sepertinya tidak butuh pembelaan dari siapa pun

termasuk Arini.

"Oh ya? Kalau pun benar nggak sengaja tapi tetap saja harus minta maaf. Bisu kali!" Adelia memelototi Niken. Yang

dipelototi masih diam saja dan malah terus mencatat.

Arini lama-lama sebal sendiri, Adelia diajak ngomong tapi

mukanya mengarah pada Niken.

"Ya udah deh, aku kembali ke bangkuku lagi." Arini berlalu.

Niken menutup buku yang ia gunakan untuk mencatat

tadi.

"Sudah selesai!" Niken menyerahkan buku catatan itu ke

pemiliknya.

"Kamu..." Adelia sampai bengong.

"Kalau nggak suka dengan tulisanku kamu boleh sobek dan

ganti lagi. Pokoknya aku sudah mencatatkan semua pelajaran

yang tadi nggak sempat kamu ikuti." Niken memasukkan

bukunya sendiri ke tas.

Adelia masih bengong tidak memercayai ternyata Niken

mau mencatatkan pelajaran yang tidak diikutinya tadi.

"Nggak bisa bilang terima kasih ya? Bisu ya? Pelajaran budi

pekertinya dapat nilai berapa sih?" Ucapan Adelia dikembalikan lagi.

Adelia hanya nyengir.

"Satu hal lagi, berapa harga parfum yang aku pecahkanNanti aku bayar dengan mencicil," ucap Niken dingin.

Adelia masih diam saja. Ia ingat kejadian tadi, ia masih bisa

membayangkan wajah panik Niken. Baru kali ini Adelia melihat wajah Niken pucat dan tampak sangat gugup. Apa itu

sikap yang benar sebagai musuh bebuyutanReno mematikan kompor untuk membuat mi instan ketika

ketukan di daun pintu rumahnya terdengar. Orangtuanya sedang pergi, jadi ia telantar, makan mi instan seperti di indekos

saat nggak punya uang buat membeli nasi bungkus.

"Tunggu!" Reno bergegas membuka pintu.

Dan ketika pintu dibuka ia sangat terkejut melihat orang

yang ada di hadapannya.

"Adelia?" Mata Reno membulat.

Adelia tersenyum.

"Kok malah bengong sih? Boleh masuk nggak?" Adelia senang melihat Reno terkejut.

Adelia sudah mempersiapkan kejutan lain yang lebih seru

dibanding kedatangannya yang tiba-tiba di rumah Reno.

delia mencium harum mi instan dari dapur Reno.

"Hai." Reno tersenyum kaku dan menunjukkan keterkejutannya melihat kedatangan Adelia. "Kamu mau mi?"

"Nggak, thanks. Papa melarang aku makan mi instan. Kata

Papa mi instan kurang baik untuk kesehatan." Adelia melayangkan pandangan ke sekeliling ruangan.

Rumah yang sangat sederhana. Dapurnya saja bisa dilihat

dari teras. Ruang tamunya juga berfungsi untuk ruang keluarga. Ada televisi 14" dan bufet berisi barang-barang serbaneka. Semua barang tak tertata rapi, bercampur aduk dengan

buku-buku yang sudah tampak lusuh.

"Beda ya sama rumah kamu?" Reno menebak pikiran Adelia.

Adelia tersenyum. "Sebenarnya aku kemari karena ada hal

yang ingin aku tanyakan."

Jantung Reno berdegup kencang.

"Bagaimana dengan sakitmu?" tanya Adelia. "Sepertinya

sudah sembuh."

Reno menarik napas lega, ternyata hanya bertanya soal keadaannya. Aduh... perhatian banget, batin Reno. Tapi ternyata

ketenangan Reno tidak berlangsung lama karena "bom" waktu

akhirnya meledak juga. Reno sudah menduga maksud kedatangan Adelia dari wajahnya yang muram.

"Aku mau tanya, Ren. Apa ini jam tangan yang dulu aku

berikan untukmu?" Adelia mengeluarkan jam tangan itu dari

tasnya.

Reno terbelalak, tangannya segera meraih jam tangan tersebut. "Oh... iya, ini jam yang tempo hari hilang." Ucapan

Reno terdengar putus-putus. "Sori beberapa hari yang lalu aku

kecopetan dan jam tanganku hilang. Aku mau bilang ke kamu

tapi takut kalau membuat kamu kecewa. Aku menunggu waktu

yang tepat untuk menyampaikan hal itu kepadamu. Tapi ternyata aku kelupaan..."

"Oh ya? Tapi aneh banget ya... kok pencopetnya tahu ke

mana dia harus menjual barang hasil curiannya?" Adelia tersenyum sinis.

"Iya... ya pencopetnya pintar kali, Del, ia paham soal jam

tangan jadi ia tahu dari mana asalnya." Reno cengar-cengir.
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Reno sadar alasannya memang tidak masuk akal tapi ia tidak

punya banyak waktu untuk berpikir. Reno tidak mengira Adelia

akan membawa jam tangan itu padanya.

"Rasanya aku pengin meninju pencopetnya biar kapok!"

Adelia mengepalkan tangannya.

Adelia langsung melayangkan tinjunya ke arah Reno. Hatinya benar-benar sakit saat ini. Ia kecewa dan marah karena

Reno membohonginya. Ia merasa Reno tidak menghargai pemberiannya.

Reno langsung menangkap tangan Adelia. Ia tahu bahwa

Adelia tidak akan percaya pada alasannya yang jelas dibuat-buat.

"Oke, sekarang aku mau jujur, Del. Kamu boleh marah

sama aku." Reno menarik napas panjang setelah melepaskan

tangan Adelia. "Jam tangan itu aku jual untuk biaya kuliah.

Aku menunggak pembayaran uang kuliah beberapa semester.

Aku takut kena DO. Tapi aku janji kalau aku punya uang, aku

akan menebus kembali jam tangan itu. Sekali lagi aku minta

maaf. Kamu boleh mengatakan aku cowok brengsek. Aku terima, Del. Itu kulakukan karena aku terpaksa." Reno memasang

tampang memelas untuk menyempurnakan kebohongannya.

Hati Adelia seketika luluh. Ia tidak mungkin tega melihat

orang yang sangat disayanginya mengalami kesulitan. Apalah

artinya sebuah jam tangan dibandingkan dengan kuliah Reno.

Adelia mengusap lengan Reno dan merasakan kuatnya ototnya. "Kenapa nggak bilang sih? Aku bisa bantu kamu tanpa

kamu perlu menjual jam tangan ini." Adelia menarik napas

panjang.

Hidung Reno kembang-kempis.

"Sekarang aku serahkan kembali jam tangan ini untukmu.

Tolong dijaga baik-baik seperti menjaga cincin couple kita."

Adelia meraih tangan Reno, meletakkan jam tangan itu lalu

mengatupkan kembali jari-jari Reno sambil menatapnya mesra.

Reno menundukkan kepala melihat tangannya dan tangan

Adelia menyatu. Jantungnya berdegup kencang apalagi ketika

ia melihat cincin kembarannya masih melingkar di jari manis

Adelia.

"Cincin kamu mana, Ren? Kamu jual juga?" Adelia mengamati tangan Reno yang tidak mengenakan cincin. Reno langsung menarik tangannya dengan lembut. Saat mengangkat

wajahnya ia melihat Adelia sedang menatapnya tajam.

"Eh, ada kok, sebentar ya?" ucap Reno gugup lalu masuk

ke kamar, tidak berapa lama ia keluar lagi menunjukkan

cincin?nya. "Aku sedikit risi jika pakai cincin. Kalau aku simpan

saja bagaimana?"

Adelia menarik napas panjang untuk mengekspresikan kekecewaannya. "Oke, nggak apa-apa, walau sebenarnya aku ingin

kamu pakai. Kalau kamu risi memakai cincin ya sudah kamu

simpan saja. Tapi ingat, jangan sampai hilang ya! Kalau kita

pergi bersama kamu mesti mengenakan cincin itu."

"Siap!" Reno bergaya memberi hormat pada Adelia.

"Kita keluar makan yuk, Ren?" ajak Adelia setelah mood-nya

membaik.

"Tapi mi aku gimana?" Reno ragu-ragu.

"Buang saja, kita beli makan siang yang lebih menyehatkan." Adelia meraih tangan Reno.

Niken duduk memeluk kakinya sambil melihat ke arah jalan.

Ia menunggu Bapak pulang dari pengepul. Tadi Bapak membawa botol bekas air mineral cukup banyak. Lumayan juga

uangnya, jadi nanti kalau Bapak berobat lagi ke Dokter

Lukman, Bapak bisa membayar biaya pengobatannya, tidak

perlu gratis terus. Malu, kata Bapak. Ia selalu menasihati kalau

memang punya uang jangan pura-pura bilang tidak punya

uang. Walau miskin, kita harus punya harga diri, ujar Bapak.

Orang yang saat ini sangat disayangi Niken hanyalah Pak

Rahadi dan Reno. Sedangkan Arini, Niken belum bisa benarbenar memaafkannya. Rasanya hati Niken masih sakit walau

makin hari makin berkurang karena Arini selalu memberi perhatian padanya.

Arini selalu menyempatkan diri untuk menyapa Niken dan

mengajaknya ke kantin, perpustakaan, atau ke tempat-tempat,

lain meski selalu ditolak Niken. Arini menunjukkan penyesalannya bukan hanya dengan kata-kata tapi juga dengan perbuatan. Tetapi, setiap kali Niken ingin memaafkan Arini, ia

selalu melihat Arini sedang bersama Adelia. Itu yang membuat

Niken mengurungkan niatnya untuk berbaikan dengan Arini.

Jika Arini terus-menerus mencoba memperbaiki hubungannya dengan Niken, berbeda dengan Reno yang mulai menjaga

jarak darinya. Padahal waktu liburan Reno tinggal sebentar

lagi. Apa mungkin Reno takut bosan jika ketemu terus. Masa cinta

bisa bosan? Bukankah kalau mencintai seseorang itu kita selalu

ingin bersama setiap waktu? Entahlah... mungkin Reno merasakan

titik jenuh setelah empat tahun pacaran, Niken memejamkan

mata untuk mengusir bayangan buruk dalam benaknya.

Niken pun harus mengakui bahwa ia jarang menghubungi

Reno. Padahal di awal pacaran, telepon berbunyi nyaris setiap

saat hanya untuk mengabarkan hal sepele dalam keseharian

mereka. Sekarang, hal penting pun tidak pernah dibicarakan,

misalnya saja soal cincin.

Sejak kapan Reno suka pakai cincin? Aneh, kan? Mirip dengan

milik Adelia lagi. Tambah aneh, kan? Kenapa juga cincin itu membuatku kepikiran terus. Sepertinya sama persis deh... tapi sebelum

dijajarkan mana mungkin aku tahu cincin itu sama persis atau

tidak. Sekilas sih sama, tapi tidak tahu apa ada perbedaan kecil

atau memang cincin model itu lagi tren sehingga diproduksi masalEntahlah, aku jadi bingung. Daripada penasaran, ada baiknya aku

menanyakan langsung pada Reno. Itu lebih baik daripada bertanya

pada Adelia yang pasti akan menjadi masalah yang lebih besar,

pikir Niken.

"Reno... kamu di mana sih?" Niken sampai berteriak karena

suara bising dari ponsel Reno yang telah tersambung.

"Aku di perjalanan menuju Yogya, Ken. Aku mesti bertemu

dosen, ada hal penting yang harus diselesaikan."

"Lho, kok nggak bilang sih kalau mau ke Yogya?" Niken heran dengan sikap Reno akhir-akhir ini yang sulit diduga.

"Iya nanti malam aku sudah balik lagi kok ke Solo. Nanti

malam aku ke rumah kamu," teriak Reno dari telepon. Suara

bising dari jalanan membuat komunikasi mereka tidak nyaman. "Ken, nanti aku telepon lagi ya? Di sini bising sekali."

Samar-samar terdengar suara cewek dari balik telepon, belum sempat Niken bertanya pada Reno telepon sudah terputus.

Niken menghela napas, buru-buru ia menepiskan pikiran buruk

saat teringat ucapan Arini supaya lebih memperhatikan Reno,

kalau tidak bakal diambil orang. Nggak mungkin Reno selingkuh... NGGAK MUNGKIN! Sudah empat tahun gitu lho...!!! gumam Niken meyakinkan dirinya sendiri.

Reno mematikan ponsel dan memasukkannya ke saku celana.

Ia tidak sadar Adelia mendengarkan pembicaraan telepon tadi.

"Siapa, Ren?" tanya Adelia dengan tatapan curiga yang

membuat Reno gelagapan.

"Teman, dia mau minta tolong membetulkan instalasi listrik

di rumahnya." Reno blingsatan.

"Ouw, kamu paham soal listrik juga?" Adelia terkesan dengan jawaban Reno. Macho sekali nih cowok, paham soal listrik

juga, batin Adelia.

"Sedikit." Reno nyengir.

"Nama temanmu seperti nama temanku juga, eh... maksud

aku nama musuh bebuyutanku. Ken... Niken alias si semut hitam." Adelia tertawa.

DEG! Jantung Reno berdetak kencang, ia tidak menyangka

dugaan Adelia mengarah pada Niken. Ternyata mereka berdua

bermusuhan. Kalau begitu tidak masalah, bukankah aku melakukan ini demi Niken? Pasti Niken tidak akan marah jika mengetahui ini, batin Reno

"Oh... kalau temanku ini cowok. Namanya Ken... Ken...

Arok!" Reno cengengesan.

"Ih... zaman sekarang masa masih ada nama seperti itu?"

Adelia mendelik sambil tertawa.

"Iya... itu hanya nama julukan. Seperti nama musuh bebuyutan kamu, si semut hitam." Reno nyengir, tidak tega rasanya

berkata seperti itu.

Adelia manggut-manggut dan membuat Reno kembali tenang. Reno mengusap-usap dadanya berkali-kali. Adelia melirik, Reno pun langsung menghentikan gerakannya sambil

cengar-cengir.

"Kita jadi nonton, kan? Nanti keburu habis lho tiketnya."

Reno berjalan mendahului Adelia.

Adelia sebal karena merasa diacuhkan, ia menarik tangan

Reno. Melingkarkan tangannya ke pinggang Reno sambil berjalan ke loket pembelian karcis bioskop. Mereka memang ingin

menonton setelah tadi makan di restoran pilihan Adelia. Reno

sempat malu karena Adelia meminta izin buat melihat dapur

untuk memastikan kebersihannya.

Reno heran, sampai segitunya Adelia menerapkan kebersihan pangkal kesehatan yang menjadi semboyan hidupnya.

Lihat saja di tasnya, slogan kebersihan tersebut terpampang

jelas. Reno pikir kalau suatu saat ada duta kebersihan pasti

Adelia yang terpilih. Terpilih karena mengampanyekan sloganslogan kebersihan. Sampai terkadang Reno merasa kesal saat

Adelia sedang bercerita mengenai kebersihan yang menjadi

perhatian utamanya.

Meskipun cewek, Adelia nggak suka berlama-lama di dapur.

Menurutnya dapur tempat paling jorok setelah WC. Padahal

dapur dan wanita seperti satu paket, tidak dapat dipisahkan.

"Lepasin tangan kamu dong, Del. Malu dilihatin orang..."

Reno berbisik ke telinga Adelia.

"Biarin... mereka hanya sirik..." Adelia cuek, ia malah semakin mempererat pelukannya di pinggang Reno.

Reno ingin segera mengakhiri permainan yang membuatnya

sangat tersiksa ini, tapi tiba-tiba ia teringat Niken. Reno ingat

saat Niken bercerita tentang impiannya, mata Niken tampak

berbinar-binar. Reno ingin sekali mewujudkan impian Niken

tersebut.

"Ren, boleh tanya nggak?" Adelia mengajak duduk di kursi

ruang tunggu sebelum masuk ke gedung bioskop.

"Tentu saja, tanya apa?" Reno menegakkan duduknya supaya tidak terus-terusan digelayuti Adelia.

"Apa yang kamu lihat dari seorang cewek yang bikin kamu

tertarik?" Adelia tiba-tiba teringat cerita mamanya tentang teman Papa yang meninggal karena nelangsa setelah ditinggal

oleh suaminya karena nggak kaya lagi.

"Hatinya," ucap Reno mantap.

"Wajah?" tanya Adelia.

"Wajah hanya pelengkap." Reno tersenyum, membayangkan

Niken yang berwajah polos.

"Kekayaan?" desak Adelia sambil berdoa dalam hati supaya

Reno bukan cowok matre seperti perkiraannya.

"Itu hanya bonusnya." Yang Reno bayangkan untuk menjawab pertanyaan Adelia adalah Niken.

Niken bukan orang kaya dan wajah Niken juga tidak bisa

dikatakan cantik, tapi Niken punya hati yang baik. Itu sudah

cukup bagi Reno untuk membuatnya jatuh cinta.

"Jadi kekayaan menurut kamu tidak begitu penting?" Adelia

belum puas mendengar jawaban Reno.

"Kekayaan hanya sarana untuk mewujudkan impian." Reno

ingat impian Niken memakai gaun pengantin yang indah.

"Uang hanya sarana untuk membuat orang yang kita cintai

merasa bahagia karena keinginannya terpenuhi."

"Berarti kamu nggak peduli jika cewek kamu bukan orang

kaya dan tidak cantik?" mata Adelia berbinar.

"Ya!" ucap Reno mantap sambil terus membayangkan Niken.

Tiba-tiba Adelia memeluk Reno. Reno terkejut. Ia melepaskan tangan Adelia dari lehernya. Reno heran melihat Adelia

begitu reaktifnya setelah mendengar jawaban-jawaban atas pertanyaannya sendiri.

Adelia sekarang makin yakin kalau ia tidak salah pilih.

Reno orang yang sangat ia inginkan untuk menjadi kekasihnya. Adelia tidak perlu khawatir jika suatu saat ia tidak cantik

lagi dan tidak punya uang sama sekali. Reno tidak akan meninggalkannya. Adelia yakin itu.

Tanpa mereka sadari sepasang mata terus mengamati keduanya dari jarak yang cukup jauh dan tersembunyi. Tetapi mata

itu bisa melihat jelas dan detail apa yang Reno dan Adelia

lakukan. Sepasang mata yang semula membelalak itu sekarang

tampak menyipit.

asar orang aneh... Adelia terkikik melihat jarinya sendiri.

Ia melepas gulungan pita dari jarinya, sambil nyengir

jijik. Dilemparkannya pita itu ke tong sampah dengan tangan

kiri, lalu mengetuk-etukkan jarinya di meja rias kamarnya.

Matanya tertuju pada cincin yang melingkar manis di jarinya.

Adelia melepas cincin itu, kemudian mengamatinya dengan

saksama. Melihat cincin itu membuatnya ingat pada Reno.
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Adelia sempat putus asa ketika melihat jari tangan Reno yang

tidak mengenakan cincin pemberiannya, ia kira sudah dijual

juga, ternyata Reno menyimpannya. Setidaknya Reno masih

menghargai cincin pemberiannya. Kecewa sih pasti, tapi Adelia

mencoba untuk memahami sikap Reno. Mereka baru beberapa

hari kenal, rasa canggung pasti ada. Apalagi Adelia pikir Reno

cowok lugu, tidak seperti teman-temannya di Jakarta. Bahkan

Adelia pernah "ditembak" cowok yang baru kemarin dikenalnya. Tentu saja Adelia menolak. Apaan... kenal dekat saja belum

sudah main tembak segala... Adelia yakin kalau Reno memang

berbeda.

Setelah selesai mengamati cincin itu, Adelia meletakkannya

di atas tisu yang digunakan untuk membersihkan wajah. Dibungkusnya cincin itu lalu diletakkan di meja rias. Ia mengamati jarinya yang sedikit kemerahan bekas cincin itu.

"Aduh... kok sudah jam setengah enam lebih sih..." Adelia

kaget ketika melihat jam mungil di meja rias.

Segera ia berlari masuk kamar mandi. Keasyikan melamun

jadi lupa waktu. Bisa gawat... Walau nggak ada hukuman bagi

mereka yang terlambat masuk sekolah, Adelia tidak mau terlambat. Selama ini pun ia tidak penah terlambat ...

Namun dasar Adelia, ia nggak bisa kalau nggak berlamalama di kamar mandi. Minimal setengah jam lebih ia berada

di kamar mandi. Kalau mandi sore, ia bisa lebih dari satu jam.

Sampai-sampai Mama harus mengingatkan Adelia untuk segera

keluar dari kamar mandi.

"Mbok Jum...!" teriak Adelia sekeras-kerasnya setelah keluar

dari kamar mandi.

Bukan Mbok Jumilah yang datang tapi malah Mama yang

datang tergopoh-gopoh. Wajah Mama tampak menegang.

"Ada apa, Sayang? Kok teriak-teriak begitu?" Mama melihat

rambut Adelia masih dibungkus handuk.

Adelia menunjuk meja riasnya sambil melotot.

"Mama masuk ke kamar Adel nggak? Kok cincin Adel nggak

ada sih? Tadi Adel letakkan di meja rias ini." Adelia jadi panik.

Mama tersenyum, ia lega karena teriakan Adelia bukan teriakan minta tolong karena ada yang luka, hanya soal cincin.

"Mama dari tadi nggak masuk ke kamar kamu deh. Mungkin Papa, Nenek, atau Mbok Jum." Mama melihat Adelia menjulurkan kepalanya ke bawah meja rias hingga yang terlihat

hanya punggung dan pantatnya.

Adelia mengeluarkan kepalanya, lalu ia berdiri dan melihat

ke meja riasnya yang kini bersih, tidak ada tisu bekas di atasnya. Ia ingat cincin itu dibungkus dalam tisu. Cara bungkusnya juga asal diremas saja. Jangan-jangan... OH MY GOD!

"Mbok Jum...!" teriak Adelia kembali.

"Adel... kok teriak-teriak lagi sih?" Dahi Mama berkerut.

"Mbok Jum...!" Adelia mulai kebakaran jenggot tidak menggubris peringatan Mama.

"Sayang... ini sudah siang, nanti saja carinya, kamu berangkat sekolah dulu. Mbok Jum sedang membeli sayur di tukang

sayur keliling. Mama panggilkan ya?" Mama segera keluar dari

kamar Adelia.

Adelia terduduk lemas di kursi riasnya. Ia mencoba mengingat kembali, dan ia yakin cincin itu dilepasnya sebelum

mandi, diletakkan di meja rias dengan dibungkus tisu bekas.

Tak ada kemungkinan lain. Wajah Adelia memucat, ia tidak

mau kehilangan cincin itu. Cincin itu sangat berharga karena

kembaran dengan Reno.

Mbok Jumilah datang dengan tegesa-gesa. Pasti deh Mama

sudah memberitahu Mbok Jum tentang cincinnya yang hilang, pikir

Adelia.

"Tadi memang Mbok Jum ke kamar Non Adel, tapi Mbok

Jum cuma buang sampah saja. Soalnya sampahnya sudah ditunggu sama Pak Rahadi. Mbok Jum nggak lihat cincin Non

Adel. Bener deh..." Mbok Jum ketakutan. Ia tidak ingin dituduh sebagai pencuri.

"Mbok Jum buang juga tisu bekas yang ada di meja ini?"

Adelia menunjuk meja riasnya.

"Iya, Non, ada tisu bekas. Mbok Jum ambil juga dan Mbok

buang ke tempat sampah. Kan biasanya juga gitu, Non," jawab

Mbok Jumilah pelan.

"Mampus aku!" Adelia menepuk jidatnya sendiri.

"Memang ada apa ya, Non?" Mbok Jumilah masih juga tidak paham.

Wajah Adelia memucat. "Di dalam tisu itu ada cincin Adel,

Mbok..."

"Eh! Masa sih, Non? Kok cincin dibungkus tisu bekas?"

Mata Mbok Jumilah membelalak.

"Tadi memang Adel lepas sebelum mandi dan Adel bungkus

dengan tisu. Maksud Adel nanti mau dipakai lagi setelah mandi. Eh... malah hilang... Sekarang sampahnya di mana?" Adelia

melihat tong sampah di kamarnya yang sudah kosong.

"Ya sudah dibawa Pak Rahadi semua, Non." Wajah Mbok

Jumilah memucat, ia pasrah bila harus dimarahi Adelia.

"Pak Rahadi ayahnya Niken itu?" Nada suara Adelia terdengar putus asa.

Mbok Jumilah mengangguk pelan. Ia menerima jika dimarahi asal gajinya tidak sampai dipotong karena ia ingin

segera membelikan baju baru untuk anaknya.

"Iya, Non..." Mbok Jumilah mengangguk-angguk.

Adelia terduduk lemas... Akhirnya ia harus berurusan lagi

dengan Niken...

***

Kelas masih sepi ketika Arini datang. Ia memang datang terlalu

pagi, semalam ia terus memikirkan "temuan" barunya. Ia memergoki Adelia jalan bareng dengan Reno. Tak bisa dibayangkan jika Niken sampai tahu, pasti perseteruan Adelia dan

Niken akan semakin dalam.

Memang dalam hal mata pelajaran Niken lebih pintar dari

Arini, tapi siapa sih yang bisa menjamin orang pintar dapat

menggunakan rasionya di saat marah? Dibanding Niken, Arini

merasa lebih bisa berpikir panjang. Ia tidak ingin memberitahukan "temuannya" itu pada Niken karena ia juga mempertimbangkan perasaan Adelia. Arini menduga kalau Adelia tidak

tahu jika Reno itu pacar Niken. Dasar Reno, sialan benar tuh

cowok! Nggak mengira kelakuannya begitu! Kasihan Niken.

Memang Adelia pernah bercerita pada Arini mengenai cowok yang ditaksirnya waktu Arini pertama kali datang ke rumahnya untuk membuat email. Tapi sayang ia tidak menyebutkan nama cowok itu.

Rahasia dong..., ucap Adelia kala itu sambil cengar-cengir.

Entar deh kalau aku yakin cintaku nggak bertepuk sebelah tangan

pasti aku kenalin ke kamu.

Adelia tampak senang banget kala itu, ia jatuh cinta pada

pandangan pertama dengan cowok itu. Sampai senyum-senyum nggak jelas. Pokoknya ceria banget. Arini pun menceritakan tentang kakak angkatnya. Jadilah mereka curhat-curhatan. Adelia memang orangnya ekstrover, baru akrab sebentar

saja ia sudah bercerita banyak hal termasuk tentang perasaannya pada cowok itu.

Arini menjambak rambutnya sendiri. Bingung! Harus bagaimana? Aku ingin Adelia dan Niken berbaikan sehingga aku bisa

nyaman berteman dengan keduanya. Tapi kalau begini kejadiannya,

bagaimana mungkin mereka bisa berbaikan lagi"Hai!" Adelia menyapa Arini lirih.

Arini melihat Adelia datang dan kelas sudah mulai ramai.

Berapa lama ia melamun sampai tidak memperhatikan siapa

saja yang sudah datang.

"Hai juga," jawab Arini dengan senyum kaku.

Adelia duduk di samping Arini. Wajahnya tiba-tiba jadi

bete. Mukanya ditekuk.

"Ada apa sih pagi-pagi manyun begitu?" tanya Arini.

"Cincin aku hilang, Rin. Tanpa sengaja terbuang ke tempat

sampah." Adelia menopang dagunya.

"Lho, kok bisa? Cincin yang kembaran dengan Reno itu?"

Arini melotot.

"Eh! Kamu kok tahu nama cowokku?" Adelia merasa surprise

banget.

Arini tergagap, ia kelepasan ngomong. Harusnya pura-pura

tidak tahu. Tapi telanjur, mau bagaimana lagi lebih baik dilanjutkan saja, batin Arini.

"Iya aku kemarin lihat kamu nonton dengan Reno," jawab

Arini dengan jantung berdegup kencang. Beruntung Niken belum datang.

"Wah, kok nggak nyamperin kami sih? Kamu sama siapa?"

Adelia jadi semangat lagi.

"Sendiri, tapi aku tidak jadi nonton kok, soalnya tidak ada

film yang menarik." Pandangan mata Arini masih ke arah pintu masuk kelas untuk memastikan bahwa Niken belum datang.

"Makanya cari pacar dong! Meski filmnya nggak ada yang

menarik, pacar kita kan sudah menarik..." Adelia tertawa lebar.

"Eh, kembali ke cincin. Kenapa bisa hilang sih?" Arini tidak

ingin membahas soal pacar karena bagi Arini hanya kakak angkatnya yang selalu dicintainya. Tak ada cowok lain selain dia.

"Padahal cincin itu kan penting banget."

"Itu dia masalahnya, Rin. Aku bungkus cincin itu pakai tisu

bekas dan aku letakkan di meja rias. Rencananya setelah aku

mandi mau aku pakai lagi. Nggak tahunya tisu itu dibuang

Mbok Jumilah, dikira hanya tisu kotor biasa... sebal!" Adelia

kembali manyun.

Terlintas ide di benak Arini. Ada titik cerah agar Adelia dan

Niken bisa berbaikan. Semoga saja dengan hilangnya cincin

Adelia membuat mereka berbaikan. Tugas Arini hanya memanas-manasi Adelia supaya ia menganggap bahwa cincin itu

sangat penting. Bahkan sebagai jimat supaya Adelia tidak merelakan cincinnya hilang begitu saja, sehingga ia akan memperjuangkan bagaimanapun caranya untuk bisa mendapatkan

cincin itu kembali. Dengan demikian, Adelia akan terus mengejar Niken untuk mencari cincin. Bayangkan mencari cincin

di tumpukan sampah. Yang benar saja. Barang yang berbentuk besar saja kadang susah menemukannya apalagi hanya sebuah

cincin. Pasti akan seru! batin Arini.

"Terus aku harus bagaimana, Rin?" Adelia tampak putus

asa.

"Dengar ya, Del, cincin itu sangat penting. Ibaratnya itu

ikatan kamu dengan Reno. Jangan sampai hilang. Bagaimanapun caranya kamu harus menemukan cincin itu kembali. Jangan sampai Reno tahu kalau kamu menghilangkan cincin itu.

Reno bisa hilang kepercayaan sama kamu. Menjaga cincin saja

nggak bisa apalagi menjaga cinta kalian." Arini tersenyum melihat kata-katanya dicerna Adelia dengan baik.

"Terus aku harus bagaimana?" tanya Adelia.

"Kamu tahu sendiri jawabannya." Arini tersenyum.

"Jadi aku mesti bersikap baik dengan Niken? Nggak ah! Aku

nggak mau! Nggak sudi!" Adelia mencak-mencak.

"Ingat, Del, cincin itu penting banget! Katanya cinta... ya

buktikan dong!" tantang Arini.

"Nggak, pokoknya nggak! Aku nggak sudi baikan sama dia!"

Adelia masih dengan kekerasan hatinya. Ia pun langsung kembali ke bangkunya.

Arini geleng-geleng kepala. Adelia memang keras kepala,

sama juga dengan Niken. Bedanya Adelia lebih banyak bicara

dan Niken lebih banyak diam dan memendam perasaannya.

Bel masuk sudah berbunyi, tapi Niken belum juga muncul

. Tak biasanya Niken memilih tidak masuk sekolah. Apakah

Niken sebenarnya sudah tahu kalau Reno selingkuh? Aduh... Arini

sampai memukul kepalanya sendiri. Ia ngeri membayangkan

perang besar yang bakal terjadi antara Niken dan Adelia.

Adelia menyandarkan sepedanya di pohon mangga di depan

rumah Niken. Rumah itu tampak sepi tidak berpenghuni. Sejenak Adelia ragu apakah Niken ada di rumah. Apakah tadi dia

tidak masuk sekolah karena dia pergiAdelia jalan berjinjit sambil menutupi hidungnya dengan

tisu saat angin menerpa tumpukan barang bekas. Adelia sudah

berdiri di depan pintu warna hijau lumut yang mulai lapuk.

Tangannya terulur untuk mengetuk daun pintu tersebut.

Satu kali, dua kali, tiga kali ketukan, tapi tidak ada yang

membukakan pintu. Adelia mulai yakin kalau rumah Niken

kosong. Niken dan Pak Rahadi pasti sedang pergi. Adelia mengeluh. Sia-sia ia datang ke rumah ini. Harusnya ia tidak berubah pikiran, tetap pada keputusannya untuk tidak berurusan

dengan Niken juga ayahnya sesuai ucapannya pada Arini.

Ketika Adelia hendak membalikkan tubuh, pintu rumah

Niken terkuak. Muncul sebentuk wajah kusut dengan mata

yang memerah dan berair. Mata Niken langsung membesar

ketika tahu siapa tamunya siang ini.

"Mau ngapain kemari? Pergi kamu!" bentak Niken sambil

membanting pintu keras-keras.

Untung Adelia lebih cepat menghindar sehingga wajahnya

tidak terbentur pintu.

"Hei! Kalau nggak karena cincin, aku nggak bakal sudi

menginjakkan kaki di tempat kumuh, kotor, dan jorok ini!"

Adelia menendang pintu rumah Niken.

Kemarahan Adelia memuncak melihat sikap Niken yang

jauh dari kata ramah. Ketika Adelia ingin berteriak kembali,

tetangga samping rumah Niken melongokkan kepala melihat

ke arahnya dengan pandangan mata aneh. Adelia segera mengurungkan niatnya. Ia tidak ingin digebuki orang-orang karena

merusak pintu rumah Niken. Terpaksa Adelia pulang dengan

kemarahan yang memuncak sampai ubun-ubun.
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

iken duduk di sudut rumah dengan mendekap kedua

lututnya. Lutut itu mulai basah oleh air matanya. Sebentar kemudian tangis Niken pecah. Tubuhnya berguncang. Begitulah setiap kali Niken mengingat kejadian tadi pagi saat ia

bertengkar hebat dengan Reno.

Awalnya, sebelum masuk sekolah, Bapak yang biasanya pulang sekitar pukul sembilan pagi tiba-tiba pulang pukul setengah tujuh. Dengan tergopoh-gopoh Bapak mencari Niken di

sekitar rumah, ternyata Niken sedang mandi di sumur samping

rumahnya. Bapak yang terus menerus memanggilnya membuat

Niken mandi lebih cepat dari biasanya.

"Ini lho, Nduk, coba kamu tanyakan ke toko mas, ini cincin

emas atau bukan?" Pak Rahadi memegang cincin itu di antara

jari telunjuk dan jempolnya.

"Bapak dapat dari mana?" tanya Niken keheranan.

"Sampah." Bapak menjelaskan hasil temuannya. "Waktu

Bapak mendorong gerobak sampah, cincin itu jatuh menggelinding. Kebetulan Bapak lihat jadi Bapak pungut lagi."

Niken menerima cincin tersebut dan mengamati beberapa

saat. Niken langsung terbelalak. Ia sangat mengenali cincin itu.

Cincin yang sama persis dengan cincin yang dikenakan Adelia

dan Reno.

"Bapak tinggal dulu buat melanjutkan pekerjaan. Nanti

siang saja kamu bawa ke toko emas." Pak Rahadi berjalan

menjauh.

"Pak!" panggil Niken. "Kira-kira cincin ini punya siapa ya,

Pak?"

"Ya ndak tahu, Nduk, sampahnya siapa. Kalau tahu pasti

Bapak langsung kembalikan kepada pemiliknya. Masa masalah

cincin saja Bapak harus mengumumkan. Iya kalau yang

mengaku punya cincin benar orang yang kehilangan. Tapi kalau ada yang mengaku padahal bukan miliknya?" Pak Rahadi

berbicara sambil berjalan menuju gerobaknya yang masih penuh dengan muatan sampah.

Niken mengamati cincin itu kembali. Sepertinya aku tahu

siapa pemiliknya, batin Niken. Di balik cincin itu terpahat

nama Reno. Seperti cincin kawin saja. Dan tidak perlu banyak

pertimbangan lagi Niken langsung bertandang ke rumah Reno.

Ia tidak peduli kalau hari ini ia harus bolos sekolah. Ia harus

meminta penjelasan pada Reno secepat mungkin.

Untuk menghindari keributan di rumah Reno karena tidak

enak dengan orangtuanya, Niken mengajak Reno keluar. Ia

mengajak Reno ke tepi sawah. Di sawah bisa lebih bebas. Tidak ada yang merasa terganggu.

"Eh, Ken... ngapain ngajakin aku ke sawah? Kamu sendiri

sudah pakai seragam kok malah nggak sekolah?" Reno masih

kebingungan melihat Niken yang tiba-tiba mengajaknya pergi.

Niken nggak mau berlama-lama. Ia merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan cincin yang ditemukan Bapaknya.

Cincin itu diapitnya di antara jari telunjuk dan jempol, diangkat dan didekatkan ke wajah Reno. Reno tidak bisa menutupi

keterkejutannya. Niken merintih dalam hati.

"Ini cincin kamu, kan?" bentak Niken.

"Bukan!" Reno ikutan nyolot, ia nggak suka ceweknya main

bentak.

"Oh ya? Lalu mana cincin kamu?" tanya Niken sengit.

"Ada! Tunggu..." Reno membuka jok motornya dan mengambil amplop.

"Cepetan!" Niken berusaha merebut amplop itu, tapi Reno

lebih cepat mengelak.

"Tunggu... nggak sabaran banget sih?" Reno merasa menang, ia tersenyum.

Dari dalam amplop itu, Reno mengeluarkan cincin miliknya

dan memamerkan pada Niken. Sejenak Niken terpaku. Berarti

bukan cincin milik Reno. Kebetulan saja dua cincin itu sama

persis.

"Coba aku lihat!" Niken ingin merebutnya tapi kembali

Reno menghindar.

"Dilihat saja, nggak perlu disentuh..." Reno cengengesan.

Niken mendekatkan kedua cincin tersebut. Keduanya sama

persis.

"Lagi model, Ken." Seakan Reno bisa membaca pikiran

Niken.

Namun sejurus kemudian Niken teringat sesuatu. Ia segera

merebut cincin dari tangan Reno. Reno mempertahankannya

hingga akhirnya cincin tersebut jatuh menggelinding. Keduanya mulai mencari. Untung jatuhnya di tanah padat yang

ditumbuhi rumput.

"Hayo... hilang, kan?" Reno menggerutu.

"Salah kamu sendiri kenapa diminta baik-baik malah nggak

dikasih." Niken berjongkok supaya lebih cermat mencarinya.

"Pokoknya kalau sampai hilang, uang tabungan kamu diambil buat beli lagi..." ancam Reno sambil tersenyum.

"Nggak... menurut perjanjian uang yang sudah masuk bank

nggak boleh diambil. Nanti kebiasaan ambil!" hardik Niken

sambil terus mencari cincin yang jatuh itu.

"Ih..." Reno meringis.

"Aha... dapat!" Niken memungut cincin itu.

Tiba-tiba wajah Reno memucat seiring dengan mata Niken

yang terbelalak. Dengan jelas Niken melihat nama ADELIA terpahat di sana.

"APA-APAAN INI?!" teriak Niken histeris.

"Tenang dulu, Ken, bisa aku jelaskan." Reno tampak tegang.

"Satu menit..." Niken memberi waktu.

Reno bingung harus memulai dari mana. "Cincin itu dibelikan Adelia. Oke... jujur, dia memang menyukaiku, tapi aku

tidak memiliki perasaan yang sama. Aku menyukaimu. Ya semacam cinta segitiga gitu. Dan aku dicintai dua cewek sekaligus. Tapi aku tidak bingung karena aku pasti memilih kamu."

"Oh ya? Kenapa kamu nggak jujur padaku? Kamu membohongi aku selama ini. Aku tidak tahu kalau kamu kenal Adelia

dan bahkan jalan bareng dengannya. Brengsek kamu, Reno!"

Niken mendorong dada Reno.

"Aku mesti bagaimana, Ken? Supaya kamu percaya kalau

aku ini cinta sama kamu tok til." Reno berbicara sampai urat

lehernya menegang. "Semua yang aku lakukan ini untuk

kamu. Eh sori, untuk kita!"

"BULLSHIT!!" Mata Niken mulai berair.

"Ken, aku tahu kita punya impian dan aku tahu kita ini

bukan orang kaya. Aku relakan diriku untuk berdekatan dengan Adelia supaya kita punya banyak uang untuk mewujudkan impian kita..." Belum selesai Reno berbicara, Niken langsung menamparnya. Reno tidak menyangka Niken bisa

melakukannya. Reno sangat terkejut.

"Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, Ren. Bukan oleh Adelia!" teriak Niken penuh luapan

emosi.

"Maafkan aku, aku hanya ingin membahagiakan kamu."

Reno terduduk lemas.

"Sudahlah, Ren, aku capek pacaran sama kamu. Mendingan

kita putus saja." Air mata Niken akhirnya jatuh juga.

"Nggak mau. Kalau kamu memang capek pacaran kita

nikah saja. Gaun pengantinnya ngutang dulu entar kita cicil

sama-sama." Reno meraih tangan Niken tapi segera ditepiskan

Niken.

"Pokoknya aku mau putus. TITIK!"

"Koma, Ken, jangan titik dulu. Aku nggak mau hubungan

kita berakhir hanya gara-gara cincin sialan itu!" ucap Reno

merajuk.

"Cincin sialan?" Niken tersenyum sinis. "Justru cincin ini

telah mengungkap siapa kamu sebenarnya! Cowok rendah

yang rela menjatuhkan harga dirinya untuk mendapatkan

uang. Pokoknya aku nggak sudi menerima uang haram kamu,

besok kita tutup rekening di bank itu. Karena semua sudah

berakhir. Kita sudah putus."

"Nggak!" teriak Reno.

"Putus!" Niken nggak kalah keras berteriak.

"Nggak!" Kembali Reno berteriak sambil meraih lengan

Niken.

Niken menepis tangan Reno kembali. "PUTUS!"

Tempat yang dipilih Niken memang tepat. Sepertinya ia

tahu bakalan ada adu mulut disertai teriakan maka ia memilih

sawah untuk mengakhiri hubungannya dengan Reno.

"Terserah, pokoknya aku ingin kita putus!" Niken berjalan

menjauhi Reno.

"Ken, sudah empat tahun lho. Banyak hal yang telah kita

lalui bersama. Masa gara-gara cincin kita putus?" Reno menyusul Niken.

"Empat tahun bukan waktu yang lama untuk mengungkap

siapa kamu sebenarnya. Cowok matre!" Niken mengelus dadanya.

Niken merasakan sakit yang luar biasa. Ia tidak menyangka

kalau hubungan asmaranya dengan Reno harus berakhir seperti

ini. Ia tidak menyangka cowok yang dikenalnya begitu baik

tega menipu cewek lain untuk kepentingan dirinya. Cowok

brengsek, itu julukan yang diberikan Niken untuk Reno. Reno

telah merusak impian Niken. Impian indahnya untuk memakai

gaun pengantin dari hasil perjuangan dan jerih payahnya.

Ibarat merajut gaun pengantin, sehari sehelai benang, setahun

selembar kain, sampai beberapa tahun hingga menjadi gaun

pengantin yang indah. Impian sempurna Niken telah dicabikcabik Reno.

"Niken... aku sayang kamu! Sampai kapan pun aku tidak

akan melepasmu... aku tidak mau putus denganmu..." teriak

Reno, berharap Niken masih bisa mendengarnya walau jaraknya sudah cukup jauh.

Reno terduduk di tanah. Matanya mulai memanas, pandangannya mulai kabur terhalang oleh air mata. Lalu ia berteriak sangat keras memanggil Niken sambil menjambak rambutnya sendiri.

Rumah Arini lebih besar dibandingkan rumah Reno maupun

rumah Niken. Lebih bersih dan lebih nyaman untuk ditinggali.

Lantainya dari keramik dan daun pintu serta kusennya dari

kayu kamper. Pokoknya dari deretan ujung ke ujung, rumah

Arini yang paling terlihat besar dan bagus.

Adelia duduk di depan Arini yang sedang membaca majalah

di teras yang letaknya terpisah dari rumah utama. Bernuansa

gazebo. Asyik untuk tempat bersantai.

"Nyesel aku menuruti saran kamu, Rin. Baru buka pintu

saja aku langsung diusir dan pakai banting pintu segala," cerita

Adelia dengan bibir manyun.

"Masa sih?" Arini menaikkan alisnya, tidak memercayai

ucapan Adelia.

Adelia mulai kesal. "Beneran aku nggak bohong. Seharusnya

aku rekam kejadian itu biar kamu percaya."

Arini tertegun. Niken sampai berbuat sekasar itu? Rasanya

nggak mungkin atau jangan-jangan? Gawat pasti Niken sudah tahu

hubungan Reno dan Adelia. Makanya Niken sampai bersikap seperti

itu. Sialan benar Reno, bikin rencanaku mendamaikan Adelia dan

Niken jadi berantakan, Arini mengeraskan rahangnya.

"Kok malah diam saja sih, Rin? Aku bingung harus bagaimana." Adelia mengambil majalah lain lalu membuka-buka

secara acak.

"Aku kecewa sama kamu, Del. Gitu saja menyerah? Katanya

cinta Reno..." Arini masih berharap rencananya tidak gagal

total.

"Iya sih, aku cinta banget sama dia, tapi aku juga nggak

mau berurusan dengan si semut hitam." Adelia menutup majalah.

"Iya nggak bisa dong, mereka itu kan satu kesatuan..." Arini

menutup mulutnya karena kelepasan ngomong.

"Maksud kamu apa, Rin?" terlambat, Adelia mulai curiga.

"Ya maksud aku..." Arini tampak sangat gugup. "Untuk

mendapatkan cincin itu kamu harus minta bantuan Niken."

Cepat-cepat Arini meralat ucapannya.

Adelia manggut-manggut dan membuat Arini dapat menarik

napas lega.

"Sepertinya mustahil deh Niken mau membantu." Suara

Adelia terdengar lirih.

"Jangan menyerah dong..." Arini menyenggol lengan

Adelia.

Pokoknya target Arini harus bisa membujuk Adelia buat terus mendekati Niken. Ia tahu benar sifat Niken. Ia tidak bisa

tahan kalau terus didesak. Ia mudah luluh pada orang yang
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gigih.

"Maunya sih... tapi ketika melihat sikap Niken, rasanya sulit

banget." Adelia menunduk mengamati bekas luka di jarinya

yang sudah mengering.

Arini menggenggam tangan Adelia. "Kamu pasti bisa, Del.

Ingat seberapa besar cinta kamu pada Reno. Hilangnya cincin

adalah sebagai pertanda, jika sampai kamu tidak menemukannya itu berarti cinta kamu juga akan hilang. Maka kamu harus

menemukan cincin itu kembali. Nggak ada salahnya sedikit

mengalah pada Niken untuk mendapat kemenangan besar..."

Ucapan Arini begitu masuk ke dalam hati Adelia. Ia memang tidak ingin kehilangan Reno. Cincin hilang sebagai pertanda buruk? Benar juga ucapan Arini. Sama halnya seperti

piring yang tiba-tiba pecah, mimpi gigi copot, dan sebagainya.

Semua itu berarti akan kehilangan sesuatu atau seseorang.

Arini kembali tenggelam dalam majalah yang dibacanya,

sedangkan Adelia bersandar pada tiang penyangga gazebo sambil terus berpikir bagaimana caranya ia bisa meminta bantuan

Niken untuk mencarikan cincin itu.

Tiba-tiba ponsel Adelia berbunyi, Adelia sampai melompat

saking kagetnya. Ketahuan kalau ia sedang melamun. Ada nama

Reno tertera di layar ponselnya. Adelia melihat ke arah Arini

yang sedang memperhatikannya seakan meminta pertimbangan.

"Reno..." desis Adelia.

"Jawab saja," saran Arini sambil menanti ucapan Adelia selanjutnya.

Adelia mengangguk, ia mulai memencet tombol hijau pada

ponselnya. Ia pun mengaktifkan speakernya supaya Arini juga

bisa ikut mendengarkan pembicaraannya.

"Halo..." sapa Adelia.

"Adelia, kita bisa ketemuan nggak?" tanya Reno.

"Iya, bisa." Mata Adelia berbinar. "Kapan?"

Arini memejamkan mata, menahan rasa jengkelnya. Ingin

rasanya Arini menonjok muka Reno karena suka mempermainkan cewek.

"Nanti malam aku jemput. Tapi jangan lupa pakai cincin

kamu. Aku juga mau pakai cincin aku," pinta Reno.

Adelia dan Arini berpandangan.

"Halo, Adel... kok diam saja?" Selang beberapa saat Reno

berbicara lagi.

"Iya..." Adelia tergagap.

"Oke... jangan lupa dipakai ya cincinnya? Bye..." Reno

mengakhiri pembicaraan.

Arini dan Adelia masih saling berpandangan. Sejurus kemudaian Arini mengaruk-garuk kepalanya.

"So?" tanya Arini.

"Kayaknya nggak ada pilihan lain..." Adelia segera berdiri

dan memohon diri.

"Oke, selamat berjuang..." Arini nyengir.

Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Arini, Adelia terus

berpikir. Kenapa kebetulan sekali. Biasanya Reno tidak menanyakan soal cincin karena dia sendiri keberatan kalau harus

mengenakan cincinnya. Apakah Reno sudah menyadari, bahwa

cincin itu sangat berarti dan ia mulai bisa menerima Adelia

sebagai pacarnya? Aduh asyiknya... Adelia tersenyum sendiri di

dalam mobilnya sambil terus menyetir. Tapi bagaimana jika

Reno tahu cincin itu hilang? Tidak... Adelia nggak mau kehilangan Reno. Pokoknya cincin itu harus ditemukan, tekad Adelia.

Dan tanpa terasa ia pun sampai di tempat yang ditujunya.

ukan Niken namanya, kalau berlama-lama larut dalam

kesedihan. Walau tidak dapat memungkiri hatinya masih

terasa sakit, tapi Niken berusaha bersikap sewajar mungkin. Ia

tidak ingin Pak Rahadi curiga. Tadi saja Niken sudah ditanya

mengenai alasannya tidak masuk sekolah. Terpaksa Niken harus berbohong dengan mengatakan kalau ia kurang enak badan. Ya, sebenarnya nggak seratus persen berbohong karena

memang ia sedang sakit, tapi yang sakit hatinya.

Niken belum bisa memaafkan Reno atas kebohongan yang

telah dia lakukan. Reno telah merahasiakan bahwa dia mengenal Adelia bahkan Reno tega memperalat Adelia. Bukannya

membela Adelia, tapi Niken merasa apa yang dilakukan Reno

merupakan kesalahan besar. Sebagai cewek ia tidak bisa membayangkan jika diperlakukan seperti itu oleh orang yang dicintainya. Maka Niken memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang telah terjalin selama empat tahun itu.

Setelah menyiapkan sarapan untuk Bapak di meja makan,

Niken bergegas berangkat ke sekolah. Dengan mengalungkan

tas, Niken membuka pintu depan untuk mengeluarkan sepedanya. Saat membuka pintu itulah ia melihat Adelia sudah berdiri di depan rumah. Adelia tersenyum, Niken sampai tidak

memercayai penglihatannya.

"Aku minta maaf untuk kejadian kemarin," ucap Adelia cepat.

Deg! Baru kali ini Adelia bicara semanis itu padanya apalagi

pakai minta maaf segala. Padahal kemarin Niken-lah yang pertama membentaknya lalu menutup pintu dengan keras.

"Bisa kan kita bicara baik-baik?" tanya Adelia yang melihat

Niken masih bengong.

Ingin rasanya Niken memegang dahi Adelia, dahinya pasti

panas. Ia pasti tidak sadar atau mungkin dia sedang mengigau.

Tapi tidak... Niken baru sadar kalau Adelia bisa melakukan apa

saja asal tujuannya tercapai. Termasuk perbuatan yang tidak masuk akal sekalipun, pikir Niken.

"Sudah siang, bicaranya nanti di sekolahan saja." Niken

mengeluarkan sepedanya melalui pintu yang sempit itu.

"Sebentar saja. Plis..." Adelia membantu Niken mengeluarkan sepeda dengan memegang bagian depannya.

"Oke, cepetan ngomong," ucap Niken tak sabar.

Adelia menyerahkan amplop cokelat yang tebal.

"Apaan ini?" Niken mengerutkan dahi, tangannya memegang amplop yang diberikan Adelia.

"Aku ingin kamu membantuku mencarikan cincin. Dan itu

sebagai upahnya," ucap Adelia lirih.

Wajah Niken langsung memerah. Ia menyodorkan amplop

cokelat tersebut pada Adelia. Adelia ternganga.

"Kapan sih kamu berhenti untuk menghina aku?" Niken

menatap tajam pada Adelia.

"Menghina?" Adelia memalingkan wajah. "Kamu selalu melihatku dari sisi negatif."

"Oh ya? Bukankah sama dengan kamu?" Niken tersenyum

sinis. "Bahkan kamu pun tidak bisa melihat sisi positif dari

seorang anak pengambil sampah!"

Adelia tertegun.

"Tak seperti kamu yang anak orang kaya, Del. Hidupku

tidak punya banyak pilihan. Aku harus jalani kehidupanku seperti ini." Mata Niken berkaca-kaca karena emosi yang berkecamuk dalam dirinya. "Tapi ucapanmu yang selalu bernada

menghina membuatku sakit hati."

"Aku minta maaf, Ken, sebenarnya aku tidak bermaksud

menghina kamu maupun profesi bapakmu. Tapi aku memang

jijik dengan segala sesuatu yang berbau dan kotor." Adelia menundukkan kepalanya.

"Sori, Del, tapi sepertinya aku punya alasan khusus untuk

tidak membantu mencari cincinmu yang hilang." Niken meraih tangan Adelia dan meletakkan amplop berisi uang itu ke

tangan Adelia. "Aku mau ke sekolah, terserah kalau kamu masih ingin tetap di sini."

Niken mengayuh sepedanya menjauh dari rumah. Adelia

memandang tangannya yang menggenggam amplop berisi

uang itu. Benar kata Papa, pikir Adelia. Tak semua orang miskin

itu mempan disuap. Hanya orang bermental tempelah yang doyan

dengan suap.

***

Wajah Adelia tampak murung. Berkali-kali Niken mengamati

tingkah Adelia yang terlihat lesu. Benarkah Adelia sangat tertekan dengan hilangnya cincin itu? Niken merasa kasihan,

namun ia tidak bisa memaafkan Adelia begitu saja karena kehadiran Adelia-lah yang menyebabkan hubungannya dengan

Reno jadi berantakan.

"Hai, Ken... Sudah masuk? Kemarin kenapa nggak masuk?"

Arini menghampiri Niken.

"Nggak enak badan," jawab Niken singkat.

"Lho, Del, wajah kamu kusut banget. Kamu sakit?" Arini

mengalihkan perhatiannya pada Adelia.

Susahnya punya dua teman yang berseteru. Arini harus bisa

membagi perhatiannya sama rata. Walau ia berusaha adil tapi

tetap saja ada yang merasa bahwa Arini bersikap tidak adil.

Mungkin akan berbeda kalau mereka tidak berseteru.

"Eh, Del, bagaimana cincin kamu? Udah ketemu?" tanya

Arini yang sengaja ingin melihat reaksi Niken.

Adelia mengangkat bahu.

Niken mendesah. "Penting banget ya cincin itu buat kamu?"

Pertanyaan Niken membuat Adelia seketika menoleh. "Tentu saja. Cincin itu sebagai pengikat aku dengan pacar aku.

Tentu saja penting banget." Mata Adelia berbinar.

Bukannya Niken yang bereaksi malah Arini yang belingsatan dengan muka pucat. Untung saja Adelia tidak menyebut

nama Reno, pikir Arini.

"Oke, kalau gitu aku punya dua syarat jika kamu mau cincinmu kembali." Niken masih bersikap tenang.

"Ya, apa pun syaratmu aku akan lakukan." Adelia makin

bersemangat. Ia teringat kata-kata Arini yang meyakinkan dirinya bahwa ia harus menemukan cincin itu kembali.

"Pertama, kamu harus minta maaf pada Bapak mengenai

kejadian dahulu saat di rumahmu. Bagaimanapun juga Bapak

tidak sengaja mengotori lantai dan pakaianmu tapi kamu telah

berbicara dan bersikap tidak sopan padanya." Niken menarik

napas panjang dan bersiap memberikan syarat kedua. "Yang

kedua, aku ingin kamu juga ikut mencari cincin itu di tumpukan sampah bersamaku. Cukup adil, kan?"

"YES!" teriak Arini yang bikin Adelia dan Niken bengong.

Arini menutup mulutnya, tidak seharusnya ia bereaksi seperti itu. Ia pun segera menenangkan diri agar dapat bersikap

wajar.

"Bagaimana?" tanya Niken saat melihat Adelia ragu.

Adelia tidak bisa membayangkan tangannya menyentuh

sampah dan hidungnya mencium bau busuk sampah. Ia tidak

mungkin bisa bertahan. Ia pasti langsung pingsan. Dan ketika

aku pingsan, apakah Niken akan menolong atau membiarkan ayam

dan anjing menginjak-injak tubuhku? Hi.... Adelia merinding

membayangkan semua itu.

"Hm... kalau aku minta tolong Mbok Jum untuk menemani

kamu cari cincinnya bagaimana?" Adelia mencoba untuk mengajukan opsi.

Niken menatap Adelia, sebenarnya ia tahu Adelia tidak

akan mau tangannya menyentuh kotoran. Makanya ia mengajukan syarat yang bagi orang lain mudah tapi bagi Adelia

sebaliknya.

"Nggak! Harus kamu sendiri." Niken tampak kesal. "Kalau

tidak mau ya sudah." Niken merapikan bukunya, ia hendak

keluar kelas mengembalikan buku ke perpustakaan.

"Ayolah, Del, itu syarat mudah banget." Arini menyenggol

lengan Adelia. "Kalau kamu berlama-lama, bisa jadi cincinmu

tertimbun sampah yang pasti akan semakin banyak. Akan lebih sulit mencarinya jika kamu buang-buang waktu, Del."

Arini deg-degan, ia sangat berharap Adelia akan setuju dengan

syarat yang diajukan Niken.

Adelia geleng-geleng. Ia tidak bisa membayangkan tubuhnya menjadi kotor oleh sampah yang sangat menjijikkan itu.

Sampah di dapurnya saja ia jijik apalagi sampah milik orang

sekampung.

"Kayaknya aku nggak bisa deh..." Mata Adelia berkaca-kaca.

"Yah... Adel... gitu saja nggak mau..." Tubuh Arini melorot

lemas.

"Sudah aku duga." Niken beranjak pergi. "Jangan lagi kamu

berharap akan menemukan cincinmu."

Niken pun keluar kelas disusul Arini yang meninggalkan

Adelia dalam kebimbangan.

"APA?!" teriak Arini saat mereka ngobrol di depan ruang perpustakaan.

Arini meminta waktu untuk bicara dengan Niken sebelum

ia masuk ke ruang perpustakaan. Niken memberi Arini kesempatan bicara hanya sepuluh menit.

"Jangan keras-keras." Niken menarik tangan Arini untuk

memberi jalan pada orang yang hendak masuk ke perpustakaan. "Bola nasib Adelia ada di tanganku. Jadi aku bisa mempermainkannya. Membalaskan sakit hatiku padanya. Karena

gara-gara dia, aku putus dengan Reno."

Arini menunduk. "Maafkan aku jika tidak memberitahumu

tentang kedekatan Adelia dan Reno. Aku tidak ingin menyakiti

salah satu dari kalian."

"Aku paham posisi kamu sekarang. Aku nggak menyalahkan

kamu. Tapi bisa kan kamu jaga rahasia ini?" Niken menatap

Arini yang berdiri di hadapannya. "Aku nggak ingin Adelia

tahu kalau aku ini mantan pacarnya Reno dan cincin itu sebenarnya sudah ada di tanganku."
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untuk kedua kalinya Arini terkejut. Ia menatap mata Niken

lama seakan belum yakin dengan apa yang didengarnya.

"Oke, tapi kamu juga harus janji padaku kalau kamu tidak

akan melukai Adelia dengan permainanmu." Arini menatap

tajam Niken.

Niken nyaris tidak memercayai ucapan Arini. Inikah sikap

seseorang yang dulu pernah menjadi sahabat baikku? Seakan-akan

ia tidak mengenali aku lagi. Apakah di mata Arini, aku sudah berubah menjadi orang jahat yang tega melukai musuhnya? Niken

merasakan hatinya sakit kali ini. Kenapa Arini tidak bisa ikut

merasakan sakitnya hatiku karena putus dengan Reno? Arini egois,

yang ia pikirkan hanya Adelia.

"Kamu kok tega ngomong begitu sama aku, Rin? Apa bagimu Adelia lebih penting ya?" Mata Niken mulai berkaca-kaca.

"Ke mana perginya sahabatku dulu? Ke mana, Rin? Kamu bilang aku berubah, sebenarnya siapa yang berubah, Rin? Aku

atau kamu?" Ucapan Niken penuh luapan emosi, ia pun terduduk di bangku depan ruang perpustakaan.

"Niken, maafkan aku... aku nggak bermaksud menyakiti

kamu. Aku hanya mencemaskan kalian berdua. Sungguh... jauh

dalam hatiku, aku ingin kalian berbaikan. Dan berhenti saling

menyakiti. Kita bertiga bisa berteman, Ken. Itulah yang aku

inginkan." Mata Arini pun berkaca-kaca.

"Dia telah merebut Reno dari aku, Rin?!" Niken mencengkeram tangan Arini yang berdiri di hadapannya.

"Tapi dia tidak tahu kalau Reno itu pacarmu." Suara Arini

terdengar lirih.

"Oke, seandainya dia tahu, apa kamu bisa menjamin dia

tidak bakal merebut Reno dari aku?" Pertanyaan Niken membuat wajah Arini memerah. "Kamu bisa jamin itu, Rin?"

Arini menggelengkan kepalanya lemah.

"Kamu sadar nggak, Rin, kamu terlalu membela Adelia.

Kamu telah melupakan persahabatan kita. Kamu bilang sayang


Pengemis Binal 28 Rahasia Siluman Raga Pendekar Rajawali Sakti 47 Buronan Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini