Miss Clean Karya Sara Tee Bagian 4
sama aku. Kamu bilang sampai tua kita akan terus bersahabat.
Kamu bilang persahabatan kita tidak akan terpisah apa pun
yang terjadi. Mana buktinya, Rin? Dalam hal ini pun kamu
lebih memikirkan perasaan Adelia. Kamu sama sekali tidak
peduli dengan perasaanku." Niken mencengkeram tangan
Arini.
Arini berjongkok di depan Niken. "Aku sayang kamu Ken,
aku tidak pernah melupakan persahabatan kita. Aku sampai
stres memikirkan bagaimana kita bisa bersahabat lagi seperti
dulu. Aku kangen saat kita seperti dulu. Sampai kapan pun
kamu sahabat terbaikku. Kamu harus yakin itu, Ken. Tak pernah terlintas dalam pikiranku untuk menodai persahabatan
kita. Apa yang terjadi di antara kita hanya kesalahpahaman
belaka." Arini mulai terisak.
"Kenapa semua orang yang aku sayangi tega membohongiku? Reno membohongiku dengan merahasiakan hubungannya
dengan Adelia dan kamu membohongiku dengan pura-pura
tidak tahu bahwa Adelia menyukai Reno. Kenapa itu justru
dilakukan oleh orang yang aku percaya?" Niken memejamkan
mata dan setitik air mata jatuh di pipinya.
"Jawabannya hanya satu, Ken." Arini menggenggam tangan
Niken. "Karena kami sangat menyayangimu dan kami tidak
ingin kamu terluka."
"Oh ya? Tapi mengapa ketika aku mengetahuinya justru
rasanya lebih menyakitkan, Rin? Sikapmu tadi jelas menunjukkan bahwa kamu mengetahui semuanya, makanya kamu ingin
Adelia menerima dua syarat dariku."
Brilian! puji Arini dalam hati. Pantas Niken banyak dipercaya untuk memegang beberapa jabatan sekaligus. Ia punya
pemikiran yang jauh ke depan dan analisisnya selalu tepat
rupanya.
"Sudahlah Rin, aku tidak marah lagi kok sama kamu. Kita
lupakan yang sudah lalu dan aku juga minta, untuk kali ini
kamu jangan lagi mencampuri urusanku dengan Adelia. Aku
ingin memberinya pelajaran berharga yang tidak dapat ia lupakan seumur hidup." Niken pun beranjak masuk ke perpustakaan.
Arini membiarkan Niken pergi. Ia mulai sadar bahwa Niken
benar. Arini telah mempertaruhkan persahabatannya dengan
Niken. Ia sadar telah banyak melukai hati Niken tanpa ia sadari. Ia hanya fokus pada tujuan akhir untuk membuat Niken
berdamai dengan Adelia tapi ia tidak berpikir bahwa jalan untuk menuju ke sana telah membuat hati Niken terluka.
***
Terpaksa Adelia me-reject panggilan dari Reno. Ia sudah tahu
maksud Reno yang mengajaknya bertemu yang ia sampaikan
melalui SMS yang baru diterimanya. Pastilah Reno akan minta
kepastian Adelia mengenai pertemuannya nanti. Dan Adelia
belum siap bertemu Reno saat ini karena cincin itu belum ditemukan. Adelia sudah berpesan pada Mbok Jum untuk bilang
pada semua orang yang mencarinya bahwa Adelia pergi.
Namun sial, ketika Reno nekat datang ke rumah bukan
Mbok Jumilah yang menemui, tapi Dokter Lukman. Dokter
Lukman menyampaikan bahwa Adelia ada di rumah. Bahkan
menyuruh Mama untuk memanggil Adelia supaya menemui
Reno. Saat mendengar pembicaraan itu, Adelia langsung bersembunyi dalam lemari pakaian.
Mama mendapati kamar Adelia kosong, segera Mama kembali menemui Papa dan Reno. Papa yang yakin Adelia ada di
rumah ingin memastikan sendiri keberadaan Adelia. Papa pun
mencari Adelia di kamar dan mendapati bahwa kamar Adeliakosong. Tetapi, Papa tidak beranjak. Kalau begini terus, Adelia
rasanya sudah tidak tahan berlama-lama bersembunyi dalam
lemari. Pengap...
"Adel... ayo keluar, Papa tahu kamu di dalam!" Papa mencari
Adelia dengan sesekali berjongkok melihat kolong tempat tidur.
Terpaksa Adelia muncul dengan wajah berkeringat dan rambut acak-acakan.
"Ngapain kamu sembunyi dalam lemari? Kayak tikus saja!"
bentak Papa.
"Kalau Adelia tikus, berarti Papa apa?" balas Adelia.
"Cepat kamu keluar dan temui teman kamu," perintah
Papa.
Adelia memutar otak dengan cepat untuk mencari cara agar
Papa tidak memaksanya menemui Reno.
"Pa, besok Adel ada ulangan di sekolah dan Adel mau belajar. Reno mau mengajak Adel keluar. Kalau Adel pergi, nanti
Adel malah kecapekan terus lupa belajar karena ketiduran. Besok pasti dapat nilai ulangan jelek dan Papa pasti kecewa.
Maka untuk menghindarinya Adel minta tolong Papa untuk
menyuruhnya pergi. Besok malam Minggu saja kemari." Adelia
yakin kali ini alasan yang dibuatnya akan berhasil.
"Bagus kalau kamu sekarang sudah sadar pentingnya belajar." Papa menepuk lengan Adelia. "Tapi untuk lebih sopan
kamu bilang sendiri sama teman kamu itu."
Duh! Adelia garuk-garuk kepala. Sama juga bohong deh kalau
begini.
Adelia kembali memutar otaknya lebih cepat untuk mencari
alasan lain. "Papa... kalau Adel menemui dia pasti Adel akan
dipaksa untuk pergi dan Adel pasti nggak tega menolaknya."
Adelia berkelit.
"Makanya belajar bagaimana cara menolak ajakan dengan
halus tanpa menyinggung perasaan orang." Papa malah menasihati dan membuat Adelia semakin jengkel.
Kembali Adelia garuk-garuk kepala. Papa kebanyakan baca
buku motivasi makanya sering memberi nasihat-nasihat yang
terkadang mudah diucapkan tapi sulit dilakukan.
"Baik, Pa, tapi kalau Adel ternyata gagal Papa jangan menyesal karena ulangan besok itu penting banget buat nambah
nilai semester Adel." Adelia melangkah perlahan menuju pintu
dan berharap Papa akan meralat ucapannya.
"Tunggu!" panggil Papa. "Kali ini biar Papa yang ngomong
tapi lain kali kamu harus belajar menyelesaikan masalahmu
sendiri."
"Siap!" Adelia mengangkat tangannya untuk memberi hormat pada Papa sambil cengengesan.
Papa hanya geleng-geleng melihat tingkah Adelia. Sekarang
Papa sudah keluar kamar, Adelia langsung berjingkrak. Tetapi
sebentar kemudian ia terduduk lemas di lantai. Sebenarnya ia
kangen banget pada Reno. Tapi gara-gara cincin itu hilang ia
jadi nggak bisa ketemu Reno... Cincin... Bagaimanapun caranya
aku harus menemukannya, tekad Adelia.
Adelia melompat kaget melihat Papa kembali masuk ke kamarnya.
"Papa lupa, ada yang ingin Papa tanyakan dulu." Papa
menghampiri Adelia.
Jantung Adelia berdegup kencang, ia punya perasaan yang
tidak enak melihat wajah serius Papa.
"Kamu nggak pacaran dengan laki-laki itu, kan?" Papa menatap mata Adelia. "Papa nggak suka kamu pacaran dengan
pria yang suka mengajak pergi dan mengabaikan pelajaran sekolah," hardik Papa.
Deg! Nilai minus buat Reno dari Papa gara-gara akal-akalan
Adelia. Adelia sebelumnya tidak berpikir kalau dampak kebohongannya akan membuatnya sulit pergi dengan Reno lagi.
Adelia memukul jidat sendiri setelah menyadari kebodohannya.
Niken pulang terlambat karena harus latihan basket. Sesampainya di rumah hari sudah sore, Niken pun segera menyandarkan sepedanya di bawah pohon. Setelah yakin sepeda itu tidak
akan jatuh, Niken melangkah masuk ke dalam rumah.
Sampai di depan pintu ia tertegun. Tubuhnya menegang
melihat apa yang terjadi di dalam rumahnya. Seorang gadis
menjatuhkan diri di kaki Bapak. Gadis itu adalah Adelia. Bapak
tampak terkejut dan meminta Adelia untuk berdiri.
"Sudah, Nduk, Bapak saja sudah lupa kejadian itu. Lagi pula
Pak Dokter sudah mengobati sakit Bapak. Bapaklah yang berutang budi pada kalian." Pak Rahadi mengajak Adelia untuk
duduk.
Seakan melihat kehadiran Niken, Adelia berbalik arah. Ia
melihat Niken berdiri terpaku di depan pintu.
"Lho, kok malah diam di situ. Ini lho ada teman kamu."
Pak Rahadi meminta Niken masuk.
Niken berjalan menghampiri Adelia dan berbisik di telinganya. "Keluar bentar, ada yang ingin aku omongin."
Niken keluar diikuti Adelia setelah keduanya meminta izin
Pak Rahadi untuk bicara di luar.
Sampai di teras rumah, Niken bertepuk tangan.
"Hebat!" Niken tersenyum penuh makna. "Yang hebat itu
bukan kamu tapi COWOK yang bisa menggerakkan hati seorang Adelia untuk menurunkan gengsinya yang setinggi langit."
"Jangan banyak omong deh. Kita mulai dari mana pencarian cincin itu?" Adelia tampak nggak sabaran.
Niken segera menarik tangan Adelia untuk lebih menjauh
lagi agar Bapak tidak mendengar pembicaraan mereka. Bisa-bisa
Bapak menyampaikan bahwa sebenarnya cincin itu sudah ada
di tangan Niken. Bisa kacau semua rencana Niken untuk memberi pelajaran pada Adelia.
"Tunggu, memang siapa bilang kalau kita mau mencari
cincinnya sekarang?" Niken tersenyum. "Sudah sore, besok saja
mencarinya. Lagi pula aku habis latihan basket. Masih capek
jadi tidak bisa menemanimu cari cincin. Kalau kamu mau, cari
saja sendiri!"
ARRRGH! Tangan Adelia mengepal, ingin rasanya ia melayangkan tinju ke muka Niken tapi ditahannya dengan sekuat
tenaga.
"Kita cari besok saja, pulang sekolah. Oke?" Niken masuk
rumah meninggalkan Adelia dengan kejengkelan memuncak.
Adelia pergi meninggalkan halaman rumah Niken sambil
terus mengeluarkan umpatan. Sedangkan Niken telah mempersiapkan kejutan untuk Adelia yang ia yakin bisa membuat
Adelia tidak pernah bisa melupakan kejadian itu seumur hidupnya.
eorang Adelia yang terkenal dengan gengsinya yang selangit mau bersujud dan meminta maaf pada Pak RahadiIni benar-benar luar biasa. Kekuatan cinta mampu menggerakkan seseorang untuk melakukan tindakan di luar kebiasaannya.
Niken masih tidak mempercayai sikap Adelia mulai berubah
padanya. Niken tahu, Adelia melakukannya demi cincin miliknya. Tidak tulus, pikir Niken. Tapi Niken senang karena tidak
lagi mendengar suara makian Adelia dan pandangan jijik darinya. Andai semua itu datangnya dari dalam hati yang tulus dan
bukan karena takut kehilangan cincin, alangkah indahnya, batin
Niken.
"Buat apa to Nduk, kok seperti pasaran saja." Bapak mengamati apa yang sedang Niken kerjakan.
"Nggak kok, Pak, hanya buat mainan saja." Niken tersenyum sambil tangannya terus memasukkan air yang sudah
diberi berbagai warna.
Pak Rahadi tertawa. "Kayak anak kecil saja kamu."
"Bapak nggak berangkat sekarang? Sudah hampir sore lho,
Pak." Niken mengingatkan Bapak supaya segera pergi mengambil gaji di kelurahan.
"Kamu itu, Nduk, masih siang begini dibilang hampir sore,
memang kelurahannya di mana? Dekat situ saja." Bapak sudah
berpakaian rapi. Kemeja batik dan sandal karet yang mulai rusak di bagian belakang.
"Perginya yang lama, Pak," ucap Niken yang bikin Bapak
langsung mengerutkan dahi.
"Eh..." Bapak menoyor kepala Niken. "Sama orangtua kok
bicara begitu."
Niken cengar-cengir. "Maksud Niken ..."
Niken tidak bisa menjelaskan pada Pak Rahadi kalau ia
akan membuat halaman rumah berantakan sebentar lagi. Ia
tidak ingin rencananya gagal gara-gara Bapak yang buru-buru
pulang dari kelurahan dan menghentikan semua permainannya.
"Maksud Niken, Bapak sekalian beli sandal. Sandal Bapak
kan sudah rusak. Beli saja di kota. Lama tidak apa-apa. Rumah
biar Niken yang jaga." Niken sudah selesai dengan kegiatannya,
ia berdiri untuk mengembalikan peralatan yang tidak digunakannya lagi.
"Kalau begitu Bapak berangkat sekarang." Pak Rahadi segera
menuntun sepeda tuanya meninggalkan rumah.
Niken menarik napas lega. Ia melihat hasil karyanya telah
selesai dengan sempurna. Tadi sepulang sekolah ia mampir ke
toko plastik untuk membeli kantong plastik berukuran kecil.
Sampai di rumah, kantong plastik kecil-kecil itu diisi dengan
air yang sudah diberi warna merah dan hijau. Sekarang Niken
punya seratus plastik yang dimasukkan ke dalam ember. Satu
plastik cukup nyaman dipegang dengan satu tangan sebelum
menjadi "bom air" yang siap dilemparkan mengenai sasaran
yang sebentar lagi akan muncul.
Ditunggu-tunggu... akhirnya Adelia muncul juga. Niken
buru-buru bersembunyi di balik pohon dengan menggenggam
satu plastik. Begitu Adelia menuju pintu, bom air di tangan
Niken langsung meluncur menuju sasaran.
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hei! Apa-apaan sih?" Adelia kaget mendapat sambutan
buatan Niken itu. Untung saja ia sempat menghindar sehingga
air yang berwarna merah itu tidak mengotori pakaiannya.
Dengan wajah memerah karena marah Adelia melayangkan
pandangan ke sekeliling untuk mencari orang jail yang melempar bom air padanya.
Niken tertawa sambil menutup mulutnya melihat Adelia
tampak sewot karena tidak dapat menemukan dirinya. Ia pun
melancarkan serangannya lagi dan kali ini jaraknya tepat sehingga Adelia tidak sempat menghindar.
Reno menceritakan setiap detail pertemuannya dengan Adelia
pada Arini termasuk rencana jahatnya memperalat Adelia untuk mewujudkan impian Niken. Berbagai perasaan berkecamuk
dalam diri Arini mendengar cerita Reno.
Keduanya berada di gazebo. Tempat yang nyaman untuk
mengobrol.
"Aku nggak mau putus dengan Niken, Rin. Kamu tahu kan
kami sudah jalan selama empat tahun." Reno mengakhiri ceritanya.
"Aku sih nggak heran jika Niken marah, Ren. Kamu sendiri
cari gara-gara. Harusnya setiap tindakan kamu pikirkan dulu
akibatnya." Arini mendesah.
Sebagai orang yang selama ini dekat dengan keduanya,
Arini menyesalkan keputusan Niken untuk mengakhiri hubungannya dengan Reno. Dan Arini pun melihat Reno sangat
frustrasi karena diputuskan Niken. Tetapi Arini pun menganggap Reno pantas mendapat pelajaran.
Kali ini di mata Arini, Reno tidak lebih dari cowok yang
sangat menyebalkan karena senang mempermainkan cewek.
Bukannya Arini menjadi pahlawan pembela kaumnya tapi
siapa sih cewek yang suka dipermainkan begitu"Aku tahu aku salah, Rin. Tapi sejak Niken mutusin aku,
aku hampir gila karena aku terus-terusan memikirkan dia."
Reno mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Terus kamu mau aku ngelakuin apa?" Arini merasa kasihan
juga melihat wajah Reno yang kusut.
"Ya tolong jelasin pada Niken bahwa aku sungguh-sung?guh
mencintainya dan nggak bermaksud untuk membohonginya,"
ucap Reno sungguh-sungguh.
"Tapi sikapmu menunjukkan kamu itu perhatian banget
pada Adelia. Adelia berharap banyak padamu." Arini mendesah. Ia teringat akan kejadian yang dilihatnya saat di gedung
bioskop, saat Adelia menggelayut manja pada Reno.
"Soal Adelia, aku tidak punya perasaan khusus." ucap Reno
tegas.
Duh cowok ini, rasanya Arini ingin menjambak rambutnya.
Enak saja bilang tidak punya perasaan khusus pada Adelia tapi
mau saja digelayuti seperti itu. Pergi nonton bareng... yang benar
saja. Sekarang minta bantuan buat memulihkan hubungannya dengan Niken. Mau enaknya saja! gerutu Arini dalam hati.
"Sori ya, Ren, tapi itu masalah pribadi kalian bertiga. Aku
nggak berhak ikut campur. Kamu coba selesaikan sendiri saja."
Arini menyilangkan kedua tangan di depan dada.
Arini melihat bahwa pikiran Reno saat ini sangat kacau.
Selama mengenal Reno, baru kali ini Arini tahu ternyata cowok walaupun keren kalau lagi stres jadi nggak ganteng juga.
Tapi ya... bagaimana lagi? Masalah ini dia sendiri yang bikin....
"Ya sudah, aku kira kamu bisa bantu aku, makanya aku
kemari." Reno pergi dengan membawa kekecewaan.
"Sori ya, Ren, ini masalah pribadi banget. Mungkin aku
bisa bantu menjelaskan pada Niken kalau kamu masih sayang
banget sama dia, tapi itu jika ia mau membicarakan masalahnya. Kalau tidak, ya aku nggak berani untuk mulai membicarakannya. Karena kayaknya dia juga stres banget karena masalah
ini." Arini teringat Niken yang sering kali terlihat melamun
saat di sekolah.
Niken keluar dari persembunyiannya ketika melihat Adelia berteriak-teriak histeris sambil melompat-lompat jijik melihat pakaiannya yang basah. Di tangan Niken sudah ada satu ember
berisi bom air. Niken kembali menyerang Adelia secara terbuka.
"Woi... hentikan!" Adelia ingin menangis mendapat serangan bertubi-tubi di tubuhnya. Kemeja putih dan celana
jinsnya sudah basah oleh air berwarna. Ia menjerit-jerit di antara gelak tawa Niken yang terus melemparinya dengan bom
air tanpa ampun. Adelia berjongkok mendekap kedua lututnya
sambil menunduk.
"Ternyata sangat mengasyikkan... Lemparan yang kulakukan
sebagian besar kena sasaran. Hebat!" Niken berteriak penuh
kemenangan.
Niken puas melihat lawannya tampak menyerah. Ia bisa
memastikan bahwa saat ini air mata Adelia bercampur dengan
bom air yang mengenai tubuhnya. Niken menghentikan serangannya sejenak.
Tanpa diduga, Adelia tiba-tiba berlari menyeruak menuju
tempat Niken berdiri untuk merampas ember yang dibawa
Niken. Niken lebih gesit mengelak sambil membawa ember itu
pergi.
"Awas!" teriak Adelia sambil mengejar Niken.
Adelia mulai putus asa karena gerakan lincah Niken. Ia merasa kesal, tidak ada jalan lain. Ia berjongkok, tangannya meraup tanah yang basah oleh air berwarna milik Niken dan
melemparkannya. Adelia terus melemparkannya membabi buta
sambil berteriak histeris. Ia mengamuk.
Beberapa serangan Adelia mengenai sasaran, Niken tidak
membiarkan Adelia mengotori pakaiannya lebih banyak lagi.
Ia meningkatkan kecepatan gerakannya melempar bom air.
Adelia pun tidak kalah nekat. Ia bahkan menyeruduk Niken
bagai banteng hingga keduanya terjatuh di tanah bersamaan.
Tubuh Adelia menindih tubuh Niken. Dengan sekuat tenaga
Niken menggeser tubuh Adelia. Kini mereka tampak sangat
berantakan. Pakaian mereka kotor dan mereka mulai memaki
satu sama lain dengan posisi tubuh telentang di atas tanah.
Tiba-tiba Niken bangun lalu berlari. Adelia pun segera mengejarnya.
"Rasakan pembalasanku!" teriak Adelia sambil melempar
sisa bom air yang Niken tinggalkan.
Niken berlari menghindar untuk mencari posisi yang tepat
untuk menyerang balik.
"Harusnya aku tadi mengisi kantong plastik itu dengan air
comberan!" teriak Niken.
"Oh ya? Nyatanya lihat sekarang kamu yang lebih berantakan, Semut Hitam!" Adelia terus menyerang dengan membabi buta.
Tak ada jalan lain untuk menghentikan Adelia selain menubruknya seperti yang Adelia lakukan tadi. Niken membalikkan badan dan dengan cepat menyeruduk Adelia. Keduanya
kini jatuh ke tanah. Adelia merintih kesakitan.
"Dasar gila!" hardik Adelia sambil memegangi lututnya
yang sakit.
"Kamu yang lebih gila!" teriak Niken sambil menarik tangan Adelia hingga rebah di tanah.
Adelia berteriak kaget. Ia tidak dapat menjaga keseimbangan
tubuhnya dan langsung rebah di samping Niken.
Niken geli melihat Adelia yang tampak berantakan.
"Ngapain lihat aku seperti itu?" hardik Adelia.
"Lihat, penampilan kamu hancur banget..." Niken tertawa.
Adelia tidak kuasa menahan tawanya juga. "Memang penampilan kamu gimana? Lebih hancur tahu!"
Keduanya lalu terdiam memandang langit sore. Angin menyapu wajah dan rambut mereka. Suara gesekan daun membuat simfoni yang menggetarkan hati.
"Kamu tahu, Ken, kamu itu cewek tergila yang pernah aku
kenal... teganya ngerjain aku seperti ini. Benar-benar konyol."
Adelia meraih tangan Niken. "Kamu tahu apa yang aku rasakan ketika bom air kamu mengotori pakaianku? Aku ingin
menangis karena jijik. Tetapi setelah aku mendapat serangan
bertubi-tubi. Ajaib, perasaan itu hilang dengan sendirinya. Aku
masuk dalam permainan gilamu."
Niken meringis. "Sampai akhirnya kamu memiliki kekuatan
untuk balik menyerang. Iya, kan?"
Adelia mengangguk. "Aku bisa melawan rasa jijikku karena
kamu. Aku bisa membiarkan tubuhku kotor karena kamu. Aku
nggak jijik lagi ketika tanganku menggenggam tanah basah
sebagai senjata untuk membalasmu. Aku mampu melawan perasaan jijik itu karena kamu." Napas Adelia terengah-engah
karena luapan emosinya.
"Dan sekarang pun kamu membiarkan dirimu rebah di tanah cukup lama dan sepertinya kamu nggak berniat untuk
bangun." Niken menggenggam erat tangan Adelia.
"Ya, aku ingin merayakan hari kemenanganku melawan rasa
jijik terhadap kotoran yang selama ini terus membelengguku."
Adelia mengalihkan pandangan dari langit ke Niken sambil
tersenyum. Untuk beberapa saat mereka saling menatap dalam
diam.
Namun tiba-tiba Niken teringat pada Reno dan pengkhianatan yang dilakukannya bersama Adelia. Niken langsung
bangkit dengan muka merah padam. "Oke... silakan merayakan
kemenanganmu dengan berlama-lama dalam kotor. Karena sepertinya aku yang mulai merasa jijik."
Adelia tidak ingin ditinggalkan sendiri. "Enak saja. Aku juga
mulai jijik lagi..."
"Kamu bawa pakaian ganti, kan? Cepat mandi dan ganti
baju sana!" Niken menunjukkan letak kamar mandi yang ada
di samping rumah.
"Eh, kok kamu tahu sih kalau aku ke mana-mana selalu
bawa pakaian ganti?" Wajah Adelia memerah. "Jangan-jangan
sudah lama kamu memperhatikan aku ya?"
"Bukan hanya aku, seisi kelas pun tahu kalau kamu suka
membawa tas berisi pakaian ganti dan parfum. Dasar cewek
aneh. Cepetan ganti baju!" Niken mendorong pelan tubuh
Adelia agar segera masuk kamar mandi.
Niken mulai membersihkan plastik yang digunakan untuk
bom air sebelum Bapak pulang.
"Mandinya di sini?" Adelia menunjuk pada kamar mandi
yang sudah tidak layak lagi dikatakan sebagai kamar mandi.
Pintu kamar mandinya hanya separuh dan bagian bawah
pintu sudah keropos. Adelia ngeri kalau ada yang mengintip
saat dia mandi. Walau rumah neneknya tidak sebagus rumahnya di Jakarta, tapi minimal kamar mandinya terletak di dalam
rumah, tidak di samping rumah seperti ini. Niken yang seakan
tahu apa yang Adelia pikirkan langsung menendang pantat
Adelia. Adelia melotot pada Niken sambil mengusap pantatnya
lalu masuk ke kamar mandi.
"Aku tungguin kamu di luar, tenang saja nggak ada yang
bakal ngintip. Paling hanya burung yang ngintip." Niken nyengir.
Adelia terpaksa memercayai Niken setelah perasaan jijiknya
pada kotoran kambuh lagi. Ia tidak bisa membiarkan kotoran
itu berlama-lama di tubuhnya.
Niken menunggu di depan kamar mandi dengan berjongkok, ada perasaan aneh mengalir dalam hatinya. Harusnya ia
sangat membenci Adelia karena dia sudah merebut Reno darinya. Tetapi entah kenapa rencananya hancur semua, bahkan
ia membiarkan tangannya dipegang Adelia saat mereka rebahan di tanah tadi. Ia merasakan bahwa Adelia menawarkan
perdamaian dan bahkan lebih dari itu. Persahabatan...
Reno bersembunyi tidak jauh dari rumah Adelia. Tangannya
menggenggam ponsel yang sebentar dipencet lalu didekatkan
pada telinganya. Beberapa kali ia mendengus kecewa karena
orang yang dihubungi tidak menjawab teleponnya. Ia melihat
layar ponsel yang tertera nama Adelia di sana.
Reno tidak berani bertandang ke rumah Adelia karena kemarin ia dibentak oleh Dokter Lukman. Reno bersikeras ingin
bertemu dengan Adelia tapi Dokter Lukman melarangnya.
Dokter Lukman tidak mengizinkan Adelia pergi bersama Reno.
Reno sudah mencoba menjelaskan kalau ia tidak bermaksud
mengajak Adelia pergi, ia hanya ingin berbicara dengan Adelia
sebentar saja tapi tetap saja Dokter Lukman tidak mengizinkan.
Sekarang yang bisa dilakukan Reno hanya menghubungi
Adelia lewat ponsel. Nadanya sih masuk tapi nggak dijawab. Banyak kemungkinannya. Adelia sengaja tidak mengangkat teleponku
atau memang ponselnya tidak berada di dekatnya sehingga ia tidak
mendengar nada panggil dari ponselnya, pikir Reno.
Rasanya Reno ingin membanting ponselnya, tapi nggak
jadi. Ia ingat sudah bersusah payah membeli ponsel tersebut.
Bayarnya pun mencicil pada teman indekosnya di Jogya. Terpaksa yang ia lakukan hanya nongkrongin rumah Adelia dengan jarak yang cukup jauh supaya Dokter Lukman tidak
mengetahuinya. Bisa berkepanjangan nanti kalau dia tahu
rumahnya ditongkrongi orang. Reno berharap Adelia muncul,
entah dari dalam rumah maupun dari luar rumah... ia akan
segera menghampirinya.
Adelia keluar dari kamar mandi, wajahnya tampak cerah. Pakaian yang ia kenakan sedikit basah karena tetesan air dari
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rambutnya yang panjang terurai.
"Gantian aku yang mandi..." Niken nyelonong masuk begitu Adelia keluar dari kamar mandi.
"Eh... kita cari cincinnya kapan?" tanya Adelia baru ingat
tujuan awalnya.
"Di rumah ini tidak ada aku sudah mencarinya. Kemungkinan di tempat lain. Setelah mandi kita cari di tempat pembuangan sampah umum," jawab Niken dari dalam kamar
mandi.
"Apa?! tapi..." Adelia tidak bisa membayangkan ia berada di
tempat pembuangan sampah umum.
Perutnya mual, walau ia mengatakan sudah tidak jijik lagi
dengan kotoran, tapi ia tetap tidak bisa membayangkan jika
dirinya harus berada di antara gunungan sampah yang bau
dan sangat menjijikkan. Telanjur, aku tidak bisa mundur. Aku
sudah mengorbankan kemeja dan celana jins, masa mau menyerah
begitu saja, batin Adelia.
Niken keluar dari kamar mandi, ia sudah berganti pakaian.
Rambutnya yang masih kering terikat karet gelang.
"Cepat banget, nggak mandi ya?" tanya Adelia heran.
"Nggak, entar juga kotor lagi. Yuk!" Niken berjalan menuju
pohon mangga tempat sepedanya disandarkan.
"Kamu serius ngeboncengin aku?" Adelia ragu-ragu mengikuti Niken.
"Iya, cepat naik!" perintah Niken.
"Tapi kalau sampai di sana aku pingsan gimana?" Adelia
ingin menangis rasanya, ia tidak bisa membayangkan berada
di tempat yang sangat tidak ia inginkan. "Kamu nggak akan
meninggalkan aku begitu saja, kan?"
Niken tersenyum. "Nggak. Kamu tenang saja."
Tak sadar air matanya jatuh lagi. Ia membayangkan wajah
Reno. Adelia berharap Reno bisa menghargai apa yang ia lakukan saat ini. Hari-hari yang sangat berat namun entah kenapa
ia merasakan kelegaan yang luar bisa. Aku tidak tahu dari mana
asalnya rasa itu, yang pasti aku merasa sangat bahagia saat ini,
batin Adelia tersenyum di sela tangisnya.
Sepanjang perjalanan, Adelia melihat truk-truk sampah melewatinya. Kotoran dari sampah yang dibawanya berterbangan
bercampur dengan aroma khas sampah. Adelia menutup hidungnya. Belum sampai ke tempat tujuan saja ia sudah ingin
muntah, tidak bisa ia bayangkan jika sampai di tempat yang
Niken maksud.
iken dan Adelia sampai di tempat yang bernama Putri
Cempo. Masih di wilayah Mojosongo juga. Sepanjang
mata memandang terbentang sampah yang menggunung beserta ratusan sapi. Adelia takjub melihatnya. Belum pernah ia
melihat sampah yang begitu banyak. Dan sapi-sapi itu, mereka
mencari makan dari sisa sampah.
"Wow..." Adelia membelalakkan mata.
"Putri Cempo adalah salah satu tempat terkotor di dunia."
Niken menarik tangan Adelia untuk minggir ketika ada truk
sampah yang lewat. "Tempat pembuangan sampah terbesar di
kota Solo."
"Dan sapi-sapi itu?" Adelia melihat ratusan sapi yang menyebar di atas gundukan sampah itu.
"Milik warga sekitar sini." Niken mengajaknya menjauh supaya sampah yang beterbangan karena angin tidak mengenai
mereka. "Uniknya, sapi-sapi itu waktu pagi hari akan dilepas
begitu saja dan saat hari sudah senja mereka akan kembali ke
kandang masing-masing. Sehingga tidak ada warga yang akan
kehilangan sapi mereka. Sapi-sapi itu sudah hapal ke mana ia
harus pulang."
"Luar biasa..." desis Adelia kagum pada sapi-sapi itu dan
juga pada Niken yang menjelaskan semuanya seperti pemandu
wisata.
Adelia berusaha keras menahan rasa jijiknya, namun lamalama ia tidak tahan juga. Kepalanya terasa berat dan bau busuk dari sampah yang baru datang membuatnya semaput.
Niken kaget, tidak menyangka reaksi Adelia sampai sejauh
itu. Ia pikir Adelia selama ini hanya berpura-pura saja. Tapi
ternyata dia memang benar-benar tidak tahan dengan sampah.
Dengan sigap Niken membawa Adelia ke rumah Bu Warni, sahabat Ibu yang rumahnya dekat dengan tempat itu.
"Teman kamu ya, Ken?" tanya wanita yang biasa dipanggil
Bude oleh Niken.
"Iya, Bude." jelas Niken saat mendampingi wanita itu merawat Adelia. "Orang Jakarta," tambah Niken getir.
Bu Warni mengusap lengan Niken tanda mengerti apa yang
Niken rasakan. Niken pasti teringat ibunya.
Setelah diolesi dengan minyak angin dan dipijit-pijit akhirnya Adelia sadar. Bu Warni memberikan segelas teh hangat
untuk diminum Adelia. Adelia mengernyitkan dahi, ia tidak
bisa membayangkan air yang ia minum itu berasal dari mana.
Apakah air itu bersih dan dijamin tidak terkontaminasi sampah? Tapi ia tidak punya pilihan selain meminumnya sedikit.
"Bagaimana sekarang? Sudah baikan?" tanya Bu Warni.
Adelia mengangguk lemah.
"Kalau kamu sudah baikan kita pulang sekarang, Del, sudah
sore. Nanti orangtuamu mencari." Niken pun segera berpamitan pada Bu Warni.
Adelia bengong, ia tidak mengerti maksud Niken mengajaknya ke tempat pembuangan sampah ini. Katanya mau mencari
cincin, kok malah hanya lihat-lihat sampah saja? Adelia mulai
kesal. Ia merasa dibohongi Niken.
"Kapan-kapan saja kita cari lagi cincinnya," jawab Niken
enteng sambil keluar dari rumah Bu Warni.
Adelia tidak bisa menahan kemarahannya. Ia langsung
mendorong Niken sampai hampir terjatuh. Matanya berkacakaca seiring dengan suaranya yang bergetar.
"Kamu sengaja ngerjain aku ya, Ken? Jahat banget sih
kamu jadi orang! Aku benci kamu! Kamu sudah bohongin
aku!" Adelia berlari dalam keadaan kalut.
Niken mengejarnya sampai akhirnya Niken dapat menangkap tangan Adelia. Adelia masih terisak.
"Apa sebenarnya maksud kamu mengajak aku kemari?"
Adelia berbicara sambil menangis.
"Aku minta maaf, tapi jadi orang jangan terlampau bodoh
karena cinta. Setidaknya cobalah berpikir sedikit rasional."
Niken menunjukkan lokasi pembungan sampah lagi. "Di sana
terbentang tumpukan sampah yang mata kita pun tidak dapat
melihat ujungnya. Sangat luas! Dan sampah di sana sangat
banyak sedangkan cincin kamu, hanya sebesar lingkar jari
kamu."
"Artinya?" tangis Adelia mulai berhenti.
"Aku hanya ingin menunjukkan pada kamu bahwa di sini
pun ada kehidupan. Lihatlah penduduk di daerah ini. Mereka
makan dan minum dari hasil memulung sampah. Dan lihatlah, hampir semua pekarangan rumah, mereka menjemur plastik-plastik bekas yang bisa mereka jual kembali untuk biaya
sekolah dan menghidupi anak istri mereka. Dan jangan salah,
banyak putra-putri terbaik bangsa yang berasal dari tempat ini.
Kamu tahu kan maksudku?" Niken memegang bahu Adelia.
"Jangan memandang orang hanya karena penampilan luarnya
atau jenis pekerjaan yang dilakoninya. Ingatlah sekarang kamu
sudah menjadi bagian dari mereka karena kamu sudah minum
teh dari air tanah ini."
Adelia tampak tenang sekarang.
"Oke, aku ngerti maksudmu tapi bisa nggak kamu antar
aku secepat mungkin pulang ke rumah, kayaknya aku sudah
nggak tahan lagi jika harus berlama-lama di tempat ini" Wajah
Adelia memucat. Niken pun segera mengajaknya meninggalkan
lokasi pembuangan akhir sampah tersebut.
Agar tidak pingsan lagi, Niken mengajak Adelia mengobrol.
Satu-satunya topik yang bisa membuat Adelia senang adalah
soal Reno. Walau sebenarnya topik pembicaraan ini sangat dibenci Niken. Tapi Niken ingin tahu sejauh mana hubungan
mereka.
"Kamu sudah lama mengenal cowok kamu itu, Del?" tanya
Niken mengawali pembicaraannya sambil mengayuh sepeda
menuju rumah Adelia.
"Belum sih, tapi sejak ketemu pertama kali, aku langsung
suka. Dia nolongin aku menangkap laba-laba yang ada di dalam mobilku. Orangnya macho, keren, dan segalanya deh. Pokoknya aku suka banget sama dia. Kapan-kapan aku kenalkan
dia sama kamu." Adelia terus saja berbicara dengan penuh semangat.
Niken bersyukur ia berada di depan Adelia sehingga Adelia
tidak melihat perubahan wajahnya saat ia memuji Reno.
"Kamu sendiri punya pacar... eh, maksudku pernah naksir
cowok?" Pertanyaan Adelia bikin jantung Niken berdetak kencang. Ia tidak sadar mengayuh sepedanya lebih kencang.
"Eh, jangan ngebut! Aku takut!" teriak Adelia sambil mempererat pegangan tangannya di pinggang Niken.
Niken memperlambat laju sepedanya. "Pernah. Kami bahkan sudah pacaran empat tahun dan baru saja putus."
"Hah? Kenapa?" Mata Adelia membelalak.
Niken menggigit bibir bawahnya dan mencoba untuk bersikap tenang.
"Dia tergoda cewek lain," ucap Niken lirih sambil menahan
air matanya.
"Terus, kamu atau dia mutusin?" tanya Adelia antusias.
"Aku yang mutusin dia. Aku nggak suka cowok pembohong
yang tidak setia." Suara Niken bergetar.
"Aduh... maaf ya, Ken, jadi membuat kamu teringat cowok
kamu." Adelia mengusap punggung Niken. "Kalau aku jadi
kamu pasti sudah aku gampar cewek kegatelan itu!"
Niken meringis. "Dia nggak tahu kok kalau cowok itu sudah punya pacar."
"Ya kalau begitu sudah relakan saja, cowok kayak gitu
ngapain dipertahankan. Tindakan kamu mutusin dia itu tepat
banget, Ken." Adelia berbicara dengan semangat.
Namun tiba-tiba Adelia hampir terjungkal ketika Niken
menghentikan sepedanya tiba-tiba. Mukanya membentur punggung Niken.
"Aduh ada apa sih, kok berhenti mendadak? Untung saja
aku nggak jatuh!" Adelia mengusap-usap hidungnya yang
terasa sakit.
Niken memejamkan mata. Ia harusnya mengikuti saran
Adelia untuk menggampar cewek yang merebut kekasihnya.
Dasar loading lambat... batin Niken. Cantik-cantik begonya minta
ampun. Pantas dia suka memaki karena dia kalau berbicara tanpa
berpikir dulu.
"Sori, tapi kejadian pingsan tadi tidak membuat kamu
amnesia kan sampai lupa rumahku?" Niken menatap Adelia
dengan tatapan aneh.
Adelia cengar-cengir. Lalu turun dari boncengan.
"Thank?s ya untuk hari ini." Adelia menatap heran mata
Niken yang berair. "Hai, kamu nangis?"
Niken langsung menggeleng. "Hanya kelilipan saja."
Niken bergegas mengambilkan sepeda Adelia lalu menyuruhnya segera pulang sebelum hari menjadi gelap. Niken sekarang yakin kalau ucapan Arini benar, bahwa Adelia tidak
tahu kalau Reno itu kekasih Niken. Reaksi Adelia begitu polos
dan tidak dibuat-buat. Adelia tidak salah, yang salah adalah
Reno, batin Niken geram.
Baru saja Adelia hendak membuka pagar rumahnya, tangannya
ditarik oleh seseorang.
"Reno?" Wajah Adelia tiba-tiba memucat.
"Sori, bisa bicara sebentar?" ajak Reno.
Penampilan Reno sangat berantakan. Rambutnya acakacakan dan kausnya tampak kotor.
"Tentu, ngomong saja." Adelia merasa aneh melihat penampilan Reno yang tidak seperti biasanya.
Reno biasanya selalu tampil keren, wangi, dan bersih, tapi
sekarang ia tidak ada bedanya dengan Niken.
"Tidak di sini." Reno mengajak Adelia untuk menjauh dari
rumahnya.
Tempat yang dipilih Reno adalah di sawah, tempat Niken
memutuskan hubungan dengannya.
"Aku sudah menunggu di depan rumah kamu hampir tiga
jam. Ke mana saja kamu?" Nada suara Reno sangat ketus.
"Aku... pergi sama teman. Kenapa?" Adelia merasa ngeri
melihat tatapan Reno. Di satu sisi ia tidak suka nada ucapan
Reno yang berlebihan seakan mengangap dirinya siapa. PacarBelum juga tuh, batin Adelia.
"Aku sudah mencoba menghubungi ponselmu tapi nggak
kamu jawab. Sengaja ya?" tuduh Reno.
"Ih, nggak! Aku memang kelupaan bawa ponsel." Suara
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Adelia sedikit bergetar karena ia terpaksa berbohong.
"Kamu sengaja menghindari aku, kan? Kamu bilang ke
papa kamu kalau aku ingin mengajakmu pergi padahal aku
hanya ingin bertemu kamu untuk menanyakan soal cincin
itu." Nada suara Reno meninggi.
Deg! Jantung Adelia berdegup kencang. Lagi-lagi Reno membahas soal cincin. Benar apa yang dikatakan Arini, harusnya
Adelia bisa menemukan cincin itu. Tapi dasar Niken rese... Dia
malah mengajak aku tamasya ke lokasi pembuangan sampah,
batin Adelia geram.
"Cincin?" Adelia mengulangi ucapan Reno.
"Iya, cincin punya kamu apakah masih kamu bawa?" tangan Reno mengguncang kedua bahu Adelia.
"Ada... tapi nggak aku bawa," kilah Adelia dengan pandangan mata gelisah.
"Plis, Del, jujur padaku. Sebenarnya cincin itu sudah tidak
ada padamu lagi, kan? Hilang atau sudah kamu berikan pada
temanmu?" Reno terus menatap mata Adelia seakan mencari
kejujuran lewat mata cewek itu.
Adelia melepaskan tangan Reno. "Aneh banget, dari mana
kamu tahu kalau cincin aku hilang. Apa kamu menemukannya
atau?"
"Jadi benar dugaanku, cincin itu sudah tidak ada padamu
lagi." Tubuh Reno tiba-tiba lemas, ia terduduk di tanah dengan
kepala tertunduk.
Adelia membelai rambut Reno. "Kita bisa beli lagi cincin
kembar yang lainnya."
Reno menengadah melihat Adelia. "Sepertinya aku harus
segera pergi. Ada masalah yang mesti aku selesaikan sekarang!"
"Ren! Sejak kapan kamu menganggap cincin itu sangat penting bagimu? Bukankah selama ini aku menyuruh kamu memakainya saja kamu nggak mau. Kenapa sekarang kamu tibatiba menjadi sangat peduli pada cincinku?" teriak Adelia.
"Aku tidak akan menjelaskan padamu karena kamu tidak
akan mengerti!" Suara Reno bergetar.
Reno meninggalkan Adelia begitu saja. Adelia berteriak memanggil Reno tapi sia-sia. Adelia mengumpat dengan sumpah
serapah. Ia merasa hari ini ia banyak bertemu dengan orang
orang yang berkelakuan aneh. Niken dan Reno, keduanya samasama berkelakuan aneh, batin Adelia sambil melangkah masuk.
Niken meluruskan kakinya yang terasa pegal setelah membonceng Adelia yang bongsor dengan sepedanya. Adelia memang
bawelnya minta ampun, gerak-gerak terus sepanjang perjalanan. Bikin kaki Niken harus menahan sekuat tenaga supaya
sepedanya tidak jatuh.
Perlahan Niken menarik tasnya, mengeluarkan ponsel dari
dalam tas untuk menghubungi seseorang.
"Bisa minta tolong nggak buat mempertemukan kami. Aku
mau mengakhiri semua ini." ucap Niken yang langsung dimengerti oleh orang di seberang sana.
eno memasukkan beberapa pakaiannya ke tas. Rencananya lusa ia akan balik ke Yogya. Libur kuliahnya sudah
berakhir dan ia harus mengejar ketinggalannya. Ia mengambil
lebih banyak SKS dengan harapan bisa cepat lulus dan mencari
pekerjaan. Tetapi yang membuat Reno masih berat meninggalkan Solo karena sampai saat ini Niken belum juga mau bertemu dengannya. Baik lewat telepon maupun bertemu langsung.
"Ren... dicari teman kamu tuh di depan..." Mbak Ana, kakak perempuan Reno yang sudah menikah dan punya anak
berumur empat tahun itu masuk ke dalam kamar Reno. Reno
segera keluar untuk menemui tamunya di hari Minggu ini.
"Hai, Reno..." Arini melambaikan tangan dari atas sepeda.
"Arini?" Reno tersenyum lalu menghampiri Arini yang turun dari sepedanya.
"Kata Mbak Ana, lusa kamu balik ke Yogya, ya?" Arini masih memegangi sepedanya.
"Iya, masuk dulu yuk?" Reno mengajak Arini masuk tapi
Arini menolak.
"Thank?s. Aku hanya sebentar kok." Arini mengeluarkan secarik kertas dari dalam sakunya. "Datang ke alamat itu ya!"
Reno mengerutkan kening, ia ingat benar dengan tempat
yang dimaksud dalam kertas itu.
"Jangan lupa bawa cincinnya ya!" Arini buru-buru menaiki
sepedanya untuk meninggalkan rumah Reno.
Belum sempat Reno bertanya, Arini keburu pergi. Ngapain
Arini ngajak ketemuan di rumah makan spesial ayam goreng dan
pakai bawa cincin segala? Apa mungkin Arini sudah menemukan
cara untuk mendamaikanku dengan Niken? Reno pikir tidak ada
salahnya ia datang, siapa tahu ia mendapat kesempatan untuk
menjelaskan pada Niken tentang kesalahpahaman di antara
mereka.
Reno celingak-celinguk mencari orang yang mungkin dikenalnya
saat berada di rumah makan spesial ayam goreng itu.
"Di sebelah sana kosong, Mas." Seorang pelayan datang
memberi informasi tempat duduk yang masih kosong.
Pelayan itu tidak tahu kalau Reno sedang mencari seseorang
yang mengundangnya datang ke tempat ini.
"Reno!" panggil Adelia sambil melambaikan tangan dari
meja paling ujung.
Seketika Reno menjadi lemas, harapannya bertemu dengan
Niken di tempat ini menguap. Ia melangkah lemas ke arah
meja yang diduduki Adelia. Di sana sudah ada Arini yang duduk di dekat Adelia. Ternyata yang mengundang Adelia.
"Lama menunggu?" tanya Reno tidak bergairah.
"Baru saja kok. Nggak tahu nih Arini kok mengajak kita
kumpul di sini." Adelia menyikut bahu Arini.
"Oh..." Reno memandang sinis pada Arini. "Sori kayaknya
aku ada kerjaan lain nih..." Reno berdiri.
"Hei, jangan pergi dulu, Ren. Tanggung, aku sudah pesankan banyak sekali menu di sini." Arini mencegah Reno pergi.
"Thank?s, tapi aku nggak lapar." Reno melangkah ke arah
pintu.
Namun tiba-tiba langkah Reno terhenti. Matanya terbelalak
ketika dari arah pintu Niken muncul. Ia mengenakan celana
jins dan kaus berwarna biru tua. Rambutnya dikuncir ke belakang seperti biasa. Gadis manis berwajah polos....
"Kayaknya orang yang kita tunggu sudah datang deh..."
Arini berdiri menyambut Niken.
Adelia mengerutkan kening. Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, kenapa tiba-tiba Niken muncul.
"Ren, Niken ingin menyampaikan sesuatu pada kita semua.
Ada baiknya kamu beri dia kesempatan," ucap Arini.
Reno langsung mengangguk. Mereka duduk kembali. Bersamaan dengan itu hidangan datang. Reno sampai terpana melihat begitu banyak menu yang disajikan. Tetapi hal itu hanya
terucap di dalam batinnya saja, ada hal yang lebih penting yang
harus ia perhatikan, yaitu alasan Niken meminta mereka berkumpul di tempat ini. Reno baru sadar kalau dugaannya salah,
bukan Arini atau Adelia yang mengundangnya tapi Niken.
"Oke, sori banget aku terlambat. Harusnya aku yang datang
duluan tapi aku tadi dimintai tolong Bapak buat membeli sabun di warung jadi telat begini." Niken berbicara untuk menghilangkan ketegangannya. "Terima kasih kalian sudah datang."
Jantung Niken berdegup kencang, ia tidak bisa berlamalama di tempat ini. Matanya mulai mengembun, ia tidak ingin
ada yang tahu kalau ia menangis. Maka ia ingin mempercepat
pertemuan ini. Niken meraih tangan Adelia yang terkejut melihat tangannya dipegang Niken. Sebelah tangan Niken yang
lain merogoh sakunya untuk mengeluarkan cincin.
"Cincin ini aku kembalikan." Niken mendesah. "Bapak
yang menemukan cincin ini, maaf aku sudah menyimpannya
beberapa hari dan sudah kugunakan untuk ngerjain kamu. Hanya sekadar memberi pelajaran saja sama kamu." Niken meletakkan cincin itu di telapak tangan Adelia.
Adelia menatap Niken tanpa mampu berbicara sepatah katapun.
"Dan kamu Reno, mana cincinmu?" pinta Niken.
"Aku... aku tidak membawanya, cincin itu ada di rumah."
Reno berpikir pasti Niken ingin mencocokkan kembali cincin
itu dengan milik Adelia.
"Plis, Ren," pinta Niken yang yakin Reno pasti membawanya.
Dengan berat hati Reno mengeluarkan dompetnya. Ia menyimpan cincin itu dalam dompet lalu menyerahkannya pada
Niken.
"Del, ini cincin Reno aku kembalikan padamu. Dengan
demikian posisi kita sekarang sama. Perlu kamu tahu aku dan
Reno sudah putus dan sekarang cincin itu sudah aku kembalikan padamu. Jadi baik aku maupun kamu sama-sama tidak ada
ikatan apa pun dengan Reno." Niken mengerjapkan mata untuk menghalau air mata yang akan jatuh.
"Niken... aku..." Reno meraih tangan Niken tapi segera ditepisnya.
"Niken, maksud kamu apa?" Adelia masih bingung.
Arini meraih pundak Adelia sambil menjelaskan. "Sebenarnya Reno itu pacar Niken. Mereka sudah pacaran selama
empat tahun. Dan sekarang mereka putus gara-gara salah paham dengan kamu."
"Kenapa kamu nggak pernah ngomong sama aku, Rin?"
Mata Adelia mulai mengembun.
"Mana aku tahu jika cowok yang kamu maksud itu Reno,
Del. Kamu hanya bilang naksir cowok dan merahasiakan siapa
dia sampai aku tahu sendiri saat kamu nonton bareng dengan
Reno." Arini menjelaskan perlahan dengan menahan perasaannya karena tidak tega melihat Adelia yang tampak syok.
Air mata Adelia menetes. "Maafkan aku, Ken. Aku sungguh
tidak tahu kalau kamu itu pacar Reno. Jadi yang kamu ceritakan waktu itu Reno? Kenapa sih kamu tidak berterus terang
saja?"
"Del, aku hanya ingin tahu seberapa besar cinta kamu sama
Reno, dan ternyata kamu rela melakukan apa saja demi Reno
untuk menemukan cincin itu." Niken mengulurkan tangan,
Adelia melihat tangan Niken dengan heran.
"Ken, maksud kamu... kamu ingin mengalah dengan merelakan Reno untuk aku?" Adelia menyambut tangan Niken
ragu-ragu.
"Kamu salah... Aku mengajak kamu bersaing untuk mendapatkan Reno." Niken memaksakan senyum.
"APA?!" teriak Reno. "Emang aku kalian anggap apaan?"
"Tenang, Ren. Kami menganggap kamu cowok yang layak
untuk diperebutkan." Niken tersenyum, rasa tegangnya hilang
seketika.
Reno cengar-cengir. Adelia membuang muka. Dasar buaya!
batin Adelia dengan memasang tampang muak.
"Oke, kayaknya aku nggak mau ada yang besar kepala di
tempat ini. Maka ada baiknya aku pulang saja." Niken berjalan
meninggalkan tempat itu.
Namun sebelumnya ia sempat menatap tajam pada Adelia
sekali lagi. "Ingat, Del, aku menantangmu!"
Reno menyusul Niken sampai di tempat parkir. Niken
menghentikan langkah bukan karena panggilan Reno tapi ia
ingat sesuatu. Hampir saja ia melupakannya.
"Niken, kamu apa-apaan sih? Kamu harusnya tahu kalau
aku pasti memilihmu. Aku ingin kita baikan lagi." Reno meraih tangan Niken.
Niken melepaskan tangan Reno. "Sayangnya aku tidak tahu,
kita lihat saja nanti apa yang akan terjadi. Yang penting sekarang kamu bayar dulu menu yang sudah aku pesan."
Niken menyerahkan satu amplop berisi uang untuk Reno.
"Ini uang yang kamu titipkan lewat tabunganku. Sudah aku
ambil semua uangnya dan aku tutup sekalian rekeningnya. Jangan lupa kembalikan sisanya dan ucapkan terima kasih pada
Adelia karena sudah mentraktir makan di tempat ini."
"Sial!!!" Reno mengumpat namun ia tidak bisa pergi mengejar Niken, bagaimanapun ia harus membayar bon pesanan.
Sementara Reno marah-marah di depan rumah makan, di
dalam Arini tampak menghibur Adelia yang masih syok mengetahui bahwa Niken adalah pacar Reno. Arini mengusapusap punggung Adelia yang masih saja terisak.
"Sudah, Del, bukan salah kamu kok," hibur Arini.
"Aku memang cinta sama Reno tapi rasa sayang aku pada
Niken lebih besar. Hari-hari terakhir ini sangat berarti bagiku.
Aku ingin sekali bersahabat dengannya. Mungkin ini kedengarannya konyol, namun dia telah berhasil memberiku
pengalaman berharga. Hingga aku bisa meyakinkan hatiku
bahwa aku benar-benar sayang sama dia. Tapi dengan kejadian
ini aku tidak yakin dia mau bersahabat denganku. Mungkin
selamanya kami memang tidak diizinkan untuk menjadi sahabat. Aku sendiri tidak yakin bisa memaafkan diriku atas semua
kebodohan yang telah aku lakukan." Adelia masih terus ter?isak.
"Aku ngerti perasaanmu, Del, tapi menyesal saja tidak akan
mengubah semuanya. Kamu harus bisa membuktikan pada
Niken kalau kamu benar-benar sayang sama dia dan nggak
pernah bermaksud merebut Reno darinya." Arini menarik
Adelia dalam pelukannya.
"Arini benar, Del. Akulah yang salah. Aku sudah memanfaatkan ketulusan cinta kamu. Aku minta maaf. Aku tidak jujur padamu." Reno telah kembali dari perburuannya yang gagal "menangkap" Niken.
"Tapi Niken belum tentu bisa memaafkanku," ucap Adelia
putus asa.
"Sepertinya kamu masih harus lebih mengenal Niken supaya kamu tahu dia seutuhnya. Kukira memang kamu dan
Niken ditakdirkan untuk bersahabat walau diawali dengan banyaknya peristiwa yang tidak mengenakkan, tapi pasti berujung manis," ucap Arini bijak.
"Kenapa kamu begitu yakin, Rin?" tanya Adelia heran.
"Ya, karena kamu memiliki apa yang sebenarnya Niken
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
inginkan juga." Arini tersenyum.
"Maksud kamu Reno?" Adelia menatap Arini tajam.
Arini menggeleng. "Sesuatu yang ketika aku mengetahuinya
sampai sulit untuk memercayainya. Sesuatu yang sangat asyik
dilakukan bersama-sama." Arini melepaskan pelukannya.
"Aku nggak ngerti, Rin." Wajah Adelia tampak polos.
"Ya, suatu saat nanti aku akan memberitahumu." Arini tersenyum membayangkan "temuannya" dua jam yang lalu.
Sebal dengan teka-teki Arini, Adelia beralih pada Reno yang
berdiri mengamati dirinya bersama Arini.
"Ren, kamu nggak perlu minta maaf padaku. Selama ini
akulah yang kege-eran. Kamu itu baik, tidak tegaan menolak
ajakan dan pemberianku. Aku yang tidak tahu diri. Selama ini
kamu tidak menunjukkan kalau kamu suka padaku. Aku yang
terlalu memaksakan diri. Aku janji, mulai sekarang aku tidak
akan mengganggu kamu lagi. Tapi izinkan aku minta sesuatu
padamu." Adelia sudah lebih tenang, ia menarik napas panjang. "Kembalilah pada Niken. Hal itu akan mengurangi rasa
bersalahku padanya."
"Terima kasih ya, Del, kamu sudah mau memaafkan aku."
Reno menyerahkan amplop berisi uang yang diberikan Niken
dan sudah dikurangi untuk membayar menu. "Jumlahnya masih kurang banyak dari harga jam tangan yang aku jual. Tapi
aku janji akan mengembalikannya jika aku sudah punya uang
nanti."
Kembali Adelia terperangah. "Maksud kamu apa?"
Reno menundukkan kepala. "Maaf aku telah membohongimu. Sebenarnya, uang dari penjualan jam tangan itu telah aku
berikan untuk Niken guna membantu mewujudkan impiannya
memakai gaun pengantin di hari pernikahan kami kelak."
"Impian?" Adelia membelalakkan mata.
"Aku benar-benar menyesal, Del. Niken pun kecewa padaku
karena aku telah menodai impian sucinya dengan uang hasil
memanfaatkan cewek lain." Mata Reno berkaca-kaca karena
luapan emosi dalam dirinya.
Adelia tersenyum. "Nggak perlu kamu kembalikan, Ren.
Aku ikhlas kok. Anggap saja ongkos karena kamu sudah mengajari?ku cara mencintai dengan benar."
Reno mengangkat wajahnya. Ia sangat menyesal telah melukai hati cewek yang begitu baik dan tulus mencintainya.
Reno hanya berharap suatu saat nanti Adelia menemukan cowok yang tentu lebih baik dari dirinya.
"Aku pastikan Niken akan meraih impiannya dan mendampinginya dalam pernikahan kalian kelak." Adelia menarik napas panjang.
"Lha, aku dikemanain?" protes Arini.
"Tentu saja kamu pasti menjadi pendamping Niken. Kita
bertiga akan menjadi sahabat untuk selamanya," ucap Adelia
mantap.
"Hmmm sori, aku duluan. Ada yang harus aku selesaikan
sekarang." Reno memotong ucapan Adelia. "Aku akan pastikan
bahwa akulah mempelai prianya." Reno segera pergi.
Ia tidak ingin berlama-lama di antara cewek yang membahas soal persahabatan itu. Baginya persahabatan para cewek
itu terlalu ribet, lebih ribet daripada memperbincangkan masalah duluan mana antara telur dan ayam.
Setelah Reno pergi, Adelia masih penasaran dengan rahasia
yang bisa membuat Niken menerimanya sebagai sahabat. Karena terus didesak, akhirnya Arini menyerah juga. Ia membisikkan kata-kata di telinga Adelia, setelah selesai mereka saling
menatap, senyum-senyum, dan akhirnya tertawa terbahakbahak.
Dua jam sebelumnya...
rini menekuri tulisan yang ada di kertas pemberian
Niken.
"Kami pernah bertengkar karena masalah sepele. Hanya masalah ayam goreng. Dan alamat itu yang tertera di kardusnya.
Aku ingin minta tolong agar kamu atur pertemuan kami di
sana." Niken memandang wajah Arini dengan tatapan mata
memohon.
"Oke, aku mau mempertemukan kita di rumah makan ini
tapi aku ingin tahu apa tujuan kamu, Ken?" Arini memasukkan kertas yang berisi tulisan Niken ke dalam tas.
Suasana rumah Niken tampak sepi, Bapak sudah berangkat
kerja. Niken sengaja meminta Arini datang dan saat ini mereka
mengobrol di bawah pohon mangga. Niken duduk di salah
satu akar besar dan Arini berjongkok di depan Niken.
"Aku sudah putus dengan Reno, Rin." Mata Niken mulai
berkaca-kaca.
Arini hanya diam, ia sudah tahu masalah ini dari Reno.
Niken menelan ludah. "Kami bertengkar hebat sampai
akhirnya aku minta putus. Dan setelah aku mengenal Adelia
lebih dekat aku yakin kalau dia itu orangnya baik walau sedikit aneh, dan yang pasti dia sangat mencintai Reno. Menurutku mereka pasangan serasi," ucap Niken getir.
"Itu artinya kamu menyerah, Ken? Kamu menyerahkan
Reno untuk Adelia begitu saja setelah sekian tahun kalian bersama? Bego banget sih kamu jadi orang!" Arini tiba-tiba nyolot. Napasnya naik turun menahan emosi. "Tidakkah kamu
bisa sedikit berusaha untuk mempertahankan cinta kalian?"
Niken balik menatap tajam pada Arini. "Adelia sangat mencintai Reno, Rin. Dia mau melakukan apa pun untuk mendapatkan cincin itu!"
"Oke, lalu bagaimana dengan perasaan dan impianmu?"
Arini memalingkan wajah. "Kamu selalu bercerita tentang
impianmu. Bahwa suatu saat kamu akan menikah dengan
Reno. Memakai pakaian pengantin yang indah... itu kan
impianmu, Ken? Apa kamu sudah lupa?"
"Cinta tidak harus memiliki, Rin. Bukankah cinta itu rela
berkorban untuk kebahagiaan orang yang kita cintai?" Suara
Niken terdengar lirih.
"Bullshit! Bagiku cinta itu harus memiliki, Ken. Kalau cinta
tidak harus memiliki, berikan saja pasangan kita kepada orang
lain. Bagaimana usaha kamu mempertahankan apa yang kamu
miliki sebagai bukti cinta kamu. Itulah cinta, Ken." Arini berbicara penuh luapan emosi.
Niken mencabut rumput di dekat kakinya, memainkan dengan tangannya.
"Jangan-jangan setelah sekian tahun kalian pacaran, kamu
jadi bosan sama Reno," tuduh Arini.
Niken melempar rumput di tangannya ke arah Arini. "Sembarangan kalau ngomong, aku masih cinta banget sama Reno
tahu."
"Ya sudah, kalau gitu pertahankan dia." Arini melipat tangannya di depan dada.
"Tapi Adelia rela melakukan apa saja untuk Reno," bantah
Niken walau tidak sepenuhnya yakin dengan ucapannya.
"Oh ya? Kamu yakin Reno akan lebih bahagia dengan
Adelia dibanding dengan kamu? Apa kamu bisa menjamin hal
itu, Ken? Yang bisa menjamin Reno bahagia atau tidak adalah
kamu, Ken. Bagaimana usaha kamu untuk membuatnya bahagia. Kamu tidak bisa menggantungkan kebahagiaan Reno
pada orang lain. Justru kamu yang harus membuatnya bahagia.
Itu bukti cinta kamu." Napas Arini sampai terengah-engah karena bicara terlalu cepat.
Niken terdiam beberapa saat. Arini meletakkan kedua telapak tangannya ke pipi Niken. Matanya menatap tajam Niken.
"Plis, Ken, perjuangkan cintamu, pertahankan impianmu.
Perjalanan cinta memang tidak selamanya mulus, Ken. Hanya
orang-orang setia yang mampu mewujudkan impian." Arini
memeluk Niken. "Kalau ingin menangis, menangislah sekarang
karena saat pertemuan di rumah makan spesial ayam goreng
nanti, aku tidak ingin melihat kamu menangis. Kamu harus
tegas untuk memperjuangkan Reno."
Niken mengangguk, air matanya jatuh berderai membasahi
pakaian Arini. Arini mendekapnya semakin erat ketika tubuh
Niken mulai terguncang oleh tangisan.
"Sekali pun aku tidak pernah meninggalkan kamu, Ken.
Walau aku bersama Adelia bukan berarti aku melupakan kamu.
Kamu sahabat terbaikku selamanya. Aku berharap kita bertiga
bisa bersahabat." Arini mengusap rambut Niken.
Niken mengusap-usapkan wajahnya ke bahu Arini. Lalu ia
menarik napas panjang. Tangisnya tidak lagi terdengar.
"Plis, Ken, jangan mengusap-usapkan ingus kamu ke pakaianku!" Arini nyengir, ia melihat indikasi kejailan Niken.
Niken tertawa mendengar ucapan Arini. "Kamu benar, Rin.
Aku juga ingin sekali main Facebook bersama kalian." Niken
langsung menutup mulutnya karena kelepasan ngomong.
Arini langsung mendorong tubuh Niken pelan lalu menatap
heran. "Facebook?"
Niken mengangguk. Ia mengusap wajahnya dengan telapak
tangan. "Ponselku jadul, Rin, nggak bisa buat Facebook-an.
Makanya aku kepengin banget bisa Facebook-an bersama.
Gratis pula."
"Yaelah, Niken..." Arini spontan tertawa sambil manggutmanggut. "Oh jadi selama ini kamu ingin Facebook-an bareng
di rumah Adelia?"
"Kan bisa ngirit Rin, nggak usah ke warnet." Niken nyengir.
"Ganti ponsel saja, kan banyak tuh yang murah tapi bisa
buat Facebook-an juga." Arini tersenyum.
Arini masih geli mengetahui kalau selama ini Niken bukan
hanya tidak senang Arini dekat dengan Adelia tapi juga karena
Niken ingin nimbrung ikut main Facebook.
"Nggak ah, enakkan pakai komputer." Niken berkilah.
"Oh... aku tahu, kalau ada yang gratis kenapa harus beli.
Iya nggak?" Arini tertawa keras.
Niken manyun. "Ih apaan..." Tangannya mencubit lengan
gempal Arini.
"Kalau mau ngirit, ya turunin dikit harga diri yang selangit
itu dong." Arini mencibir.
"Ah sudah, kenapa kita membahas masalah yang nggak
penting." Wajah Niken memerah.
Suasana langsung berubah dari melow jadi ceria. Arini makin tidak mengerti sikap Niken.
"Di satu sisi aku memang benci Adelia karena sikap dan
hubungannya dengan Reno, tapi di sisi lain aku juga ingin
bersahabat dengannya." Niken mengusap air matanya, dan
menggantinya dengan senyuman.
"Benar ingin bersahabat atau hanya ingin main Facebook
gratis sampai pagi?" goda Arini.
"Sudah ah, jangan dibahas lagi. Aku hanya kelepasan. Harusnya aku tidak katakan itu." Niken garuk-garuk kepala.
"Oke, kembali ke masalah besar kita. Aku ingin kamu mempertahankan impian kamu, Ken. Kayaknya bakalan seru jika di
antara kalian nggak ada yang mau mengalah." Arini cengarcengir.
"Sialan kamu, Rin!" Niken meninju lengan Arini. "Jangan
kuatir Rin, aku ngerti kok maksud kamu."
"Ya, tapi kamu juga harus bersiap. Jika kamu mempertahankan Reno berarti kamu harus merelakan keinginanmu
buat main Facebook gratis di rumah Adelia nggak terwujud,"
goda Arini.
"Eh, kok balik lagi ke Facebook?" Niken manyun.
"Habisnya aku heran banget sih sama kamu. Lagi membahas masalah kamu dengan Reno eh... malah lari ke Facebook.
Gile banget..." Arini tertawa.
Arini tidak tahu jika itu salah satu cara yang digunakan
Niken supaya tidak larut dalam kesedihan. Ia sengaja membayangkan sesuatu yang indah dan menyenangkan untuk bisa
melupakan sejenak kesedihan itu. Makanya tidak heran jika
Arini bingung melihat Niken begitu mudah menghilangkan
kesedihannya. Itulah trik Niken yang ia pelajari dari majalah
bekas yang tertumpuk di rumahnya.
Adelia meringkuk di sudut kamarnya seorang diri. Hari belum
terlalu malam tapi sejak pulang dari rumah makan spesial
ayam goreng itu Adelia langsung masuk kamar dan tidak
keluar-keluar.
Lututnya sudah basah oleh air mata. Tisu bekas ingus bertebaran di mana-mana. Biasanya ia sangat jijik jika melihat
tisu bekas ingus walau itu miliknya sendiri, tapi sekarang tidak. Ia bahkan mengacak-acak kamarnya untuk melampiaskan
kemarahan dan kekesalan hatinya. Baru setelah lelah, ia meringkuk di sudut kamar sambil menangis.
Patah hati, belum sempat cintanya bersambut ia sudah harus melepas Reno. Adelia sudah berusaha merelakan Reno.
Tetapi sangat sulit. Logikanya mengatakan Niken-lah yang lebih berhak mendapatkan Reno tapi hatinya berkata lain. Ia
telanjur cinta pada Reno. Tetapi ia dihadapkan pada kenyataan
bahwa ia harus bisa berpura-pura tegar di depan semua orang.
Mereka tidak tahu bahwa saat ini hati Adelia benar-benar
hancur.
Kenapa harus Niken? Orang yang mulai disukainya. Orang
yang selama beberapa hari ini sangat dekat dengannya. Orang
yang mulai disayanginya. Bohong banget jika Niken tidak merasakan hal yang sama, pikir Adelia.
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Adelia ingat benar ketika tangannya tergores oleh pecahan
botol parfum, saat itu Niken tampak sangat ketakutan. Ia begitu mencemaskannya. Lalu saat mereka berdua merebahkan diri
setelah perang bom air. Adelia merasa sangat menyatu dengan
alam, ia tidak jijik lagi ketika kulitnya menyentuh tanah yang
becek dan kotor. Dan ketika tangannya bergandengan dengan
tangan Niken. Sulit diungkapkan dengan kata-kata, karena
untuk pertama kalinya Adelia merasa dirinya tidak lagi menjadi Miss Clean, bahkan ia merasa enggan untuk bangun.
Lalu saat Niken mengajaknya ke Putri Cempo dengan membonceng Adelia dengan sepeda. Itu menunjukkan Niken sangat
peduli padanya. Niken ingin Adelia mengubah pola pikirnya
selama ini dan Niken berhasil! Ia mulai menyukai tinggal di
desa ini. Melihat orang-orangnya yang hidup sederhana dan
bersahaja. Niken telah mengajarkan begitu banyak hal berharga
dalam hidupnya. Seakan Adelia terlahir kembali. Tetapi sekarang kenapa badai seakan mengempaskannya begitu saja saat
Adelia mengetahui ternyata cowok yang disukainya adalah kekasih Niken. Ia dipaksa memilih antara cinta dan persahabatan. Dan Adelia sudah memutuskan untuk melupakan Reno
dan mempertahankan persahabatannya dengan Niken yang
mulai terjalin.
Adelia bangkit, mengusap air matanya lalu duduk di kursi
belajarnya. Tangannya menarik satu buku diary dan mulai
menuliskan kata-kata indah tentang persahabatan.
Merasa kesepian di tengah keramaian, itulah jika kita tidak memiliki
sahabat
Kita akan merasa hidup kita sempurna jika memiliki banyak sahabat
Membangun persahabatan seperti membangun rumah, penuh pengorbanan
dan air mata. Namun akan berakhir indah jika kita merasakan kasih
yang benar-benar tulus tanpa nafsu.
Kita tidak akan tahu siapakah sahabat kita sampai masalah datang
untuk mengujinya.
Seorang sahabat tidak akan lelah berbicara tentang kebenaran dan tidak
akan lelah menghadirkan telinga untuk mendengarkan curahan hati
sahabatnya.
Adelia menutup buku hariannya kembali. Wajahnya sudah
mulai bersinar, ia telah menentukan pilihan. Sebelum hatinya
terpaut begitu dalam, ia akan melepaskan Reno untuk sahabatnya. Ini bukti bahwa ia sanggup memberikan kebahagiaan
untuk sahabatnya dan berkorban untuk kebahagiaan sahabatnya. Semoga tidak terlalu dini untuk Adelia menyebut Niken
sebagai sahabatnya.
Adelia merapikan rambutnya dengan jepitan bunga matahari. Mematut dirinya sebentar di depan cermin, matanya
masih tampak sembap namun ia berharap tidak bakal lama. Ia
juga merapikan pakaian lalu keluar dari kamar.
Aroma masakan dari dapur membuat nafsu makannya muncul. Adelia memburunya sampai dapur. Ternyata Mbok Jumilah
sedang memasak semur daging dan cah sayur. Adelia langsung
menawarkan diri untuk membantu Mbok Jumilah. Wanita setengah baya itu sampai heran karena tidak biasanya Adelia
mau masuk dapur. Dia selalu berkata, dapur itu tempat terkotor kedua setelah WC. Tetapi sekarang dia malah masuk dapur
dan menawarkan bantuan.
"Sudah selesai kok. Non Adel tunggu saja di ruang makan
seperti biasanya. Sebentar lagi Mbok Jum sajikan," ucap Mbok
Jumilah masih keheranan melihat Adelia merapikan perabotan
dapur.
"Ya udah kalau gitu aku yang buang sampah dan bersihkan
alat-alat masaknya." Adelia langsung bertindak sesuai ucapannya.
Mbok Jumilah kelabakan. "Eh jangan, Non... Nanti tangan
Non Adel kotor..."
"Aku nggak peduli. Kata Mama cewek itu harus bisa masak
dan menjadikan dapur sebagai ruang yang paling menyenangkan." Adelia ingat ucapan Mama yang mengkhawatirkannya
karena tidak pernah mau masuk dapur apalagi memasak.
Dari balik pintu, Dokter Lukman dan istrinya mengamati
perubahan besar yang terjadi pada putrinya. Sebelumnya mereka tidak memercayai apa yang dilihatnya. Mereka mengintip
sambil berbisik-bisik, tanpa mereka sadari Adelia mengetahuinya.
"Kayaknya nggak usah pakai sembunyi segala deh, Pa...
Ma..." Adelia nyengir sambil memasukkan kulit wortel, kentang, dan bawang putih ke tong sampah.
Papa dan Mama langsung keluar dari persembunyian lalu
menghampiri Adelia yang masih sibuk bersih-bersih.
"Nggak salah nih yang Papa lihat? Anak Papa yang selalu
jijik dengan kotoran kini mau bantuin buang sampah dapur
segala?" Papa tersenyum sambil mengamati apa yang Adelia
lakukan.
"Sekarang Adelia nggak jijik lagi, Pa. Semua itu karena
Niken." Adelia tersenyum membayangkan wajah polos Niken
yang dulu selalu bisa membuat Adelia emosi setiap kali melihatnya.
"Niken, anak Pak Rahadi?" tanya Mama.
"Iya, dia yang menyadarkan Adel sehingga Adel nggak lagi
jijik melihat sampah." Adelia sudah selesai membersihkan dapur.
"Papa senang melihat perubahan ini. Jadi Papa nggak perlu
lagi mendengar teriakan kamu saat kamu jijik melihat sesuatu
yang kotor." Papa menepuk bahu Adelia dengan bangga. "Tapi
kamu juga harus ingat, menjaga kebersihan itu tetap penting.
Jangan lupa cuci tangan sebelum makan."
"Ih... dasar dokter, selalu nasihatnya soal kesehatan. Adel
tahulah kalau itu. Adel nggak lagi jijik dengan kotoran bukan
berarti Adel jadi orang yang jorok. Adel juga pasti jaga kebersihan. Papa jangan kuatir." Adelia mencuci tangannya berkalikali.
Adelia memang tidak bisa menghilangkan rasa jijiknya
begitu saja pada sampah dan kotoran. Tetapi minimal ia sudah
berusaha dan mencoba untuk melawan rasa jijik itu. Walau
sudah dicuci, tangannya masih merasa menyentuh kotoran itu.
Kulit Adelia jadi merinding. Tetapi ia tidak mau orang lain
tahu hal itu, apalagi Papa dan Mama.
delia datang ke rumah Niken untuk mengajaknya berangkat sekolah bareng. Pagi-pagi benar ia sudah datang. Padahal Niken baru saja selesai mandi. Adelia sudah siap dengan
pakaian seragam lengkap. Sepedanya disandarkan di pohon
mangga dekat sepeda Niken. Dengan langkah kecil, Adelia masuk ke rumah Niken.
"Duduk dulu, Del. Sebentar lagi aku selesai kok." Niken
masuk ke kamar untuk ganti pakaian.
Beberapa saat kemudian Niken keluar dengan seragam sekolahnya sambil menjinjing tas dan sepatu. Ia duduk di depan
Adelia.
"Bagaimana kabar Reno?" tanya Adelia yang bikin Niken
mendongakkan kepala saat ia hendak mengenakan kaus kakinya.
"Maksud kamu?" Niken menatap Adelia.
Adelia cengar-cengir. "Jangan salah paham, aku hanya ingin
kamu tahu bahwa aku mundur dan nggak akan meladeni tantanganmu."
"Kamu menyerah?" tanya Niken tidak acuh sambil kembali
mengenakan kaus kakinya.
"Kupikir ini keputusan yang terbaik. Kalian kan sudah pacaran empat tahun dan aku nggak akan merebut pacar sahabat
aku sendiri." Adelia menggigit bibir bawahnya.
Kembali Niken mendongakkan kepala, ia ingin meyakinkan
dirinya dengan apa yang ia dengar dari mulut Adelia. SahabatSungguh manisnya kata itu. Awal pertemuan yang tidak menyenangkan dilanjutkan dengan pertengkaran-pertengkaran yang
tiada ujungnya membuat Niken menepiskan harapannya untuk
bisa bersahabat dengan Adelia. Tapi sekarang Adelia datang
menawarkan persahabatan itu dengan tulus.
"Sahabat... ya... kita bersahabat. Kamu, aku, dan Arini. Kita
adalah tiga sahabat." Niken tertawa.
Niken buru-buru memasukkan kakinya ke kolong kursi saat
Adelia melihat sepatunya yang bolong. Niken meringis, ia
mengalihkan pandangan Adelia dengan memintanya segera
bersiap untuk berangkat.
"Bagaimana kalau kita berlomba untuk sampai ke sekolah?"
tantang Niken.
"Oke, hadiahnya apa?" Adelia menuntun sepedanya.
"Yang kalah harus mencium Pak Satpam!" Niken naik ke
sepedanya dan langsung mencuri start.
"Ogah!" teriak Adelia dengan segera mengayuh sepedanya
menyusul Niken yang lebih dahulu meninggalkan halaman
rumah.
"Terlambat..." Niken tertawa. "Taruhan sudah berlaku!"
Adelia berusaha mengejar Niken sambil berteriak penuh
ancaman. Niken tertawa. Baik Adelia maupun Niken tidak pernah berpikir mereka bisa tertawa lepas bersama-sama. Mengingat pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi di antara
mereka. Pencarian cincin menjadi titik tolak untuk mengakhiri
perseteruan itu.
Niken dan Adelia sampai ke sekolah sambil ngos-ngosan.
Adelia tidak bisa menyusul Niken, tapi Niken juga tidak menuntutnya untuk mencium Pak Satpam yang berdiri di pos
jaga sekolah. Nggak tega, batin Niken.
Beberapa orang yang tahu permasalahan mereka sedikit heran melihat keakraban Adelia dan Niken. Selama ini mereka
melihat keduanya seperti kucing dan anjing. Tapi sekarang mereka terlihat kompak. Jalan saja pakai gandengan tangan. Sampai akhirnya tangan mereka dipisah paksa oleh Arini yang
berada di antara Niken dan Adelia.
"Kita gandengan tangan bertiga... kayak anak TK dulu. Jalan
bergandengan memasuki kelas." Arini berkelakar.
"Iya... asyiknya bergandengan tangan dengan langkah bersama. Seiring sejalan." Adelia menambahi.
"Ih apaan... kalian norak banget." Niken tertawa.
"Kalian tahu nggak, aku selalu menantikan saat-saat ini."
Arini mengajak Adelia dan Niken ke kantin untuk merayakan
persahabatan baru mereka. "Capek tahu berada di antara kalian berdua yang berseteru. Condong ke sini disalahkan yang
lain."
"Dan kamu ngajak kami kemari buat ngerayain kebebasan
kamu dari rasa capek karena harus membagi perhatian kamu
untuk kami berdua?" Adelia memilih tempat duduk yang berkursi empat.
"Yup! Aku senang banget melihat kalian bisa damai seperti
ini. Makanya kali ini aku yang traktir kalian. Mau pesan apa?"
Arini berdiri untuk memesan makanan.
Niken yang tidak biasa sarapan pagi hanya meminta teh
hangat saja. Sedangkan Adelia hanya minta roti selai dan teh
hangat juga. Arini beda, ia memesan bakso dan es teh.
"Nanti sepulang sekolah kamu ada ekskul nggak, Ken?"
tanya Adelia pada Niken saat Arini pergi untuk mengambil
pesanan makanan.
"Hari ini ada latihan basket buat persiapan pertandingan
minggu depan. Oh ya, kamu mau gabung dengan tim basket?"
ucap Niken penuh semangat. "Kalau emang kamu lebih baik
dari aku boleh kok kamu yang jadi kaptennya. Tapi tentu saja
atas persetujuan pelatih dan teman-teman."
Adelia tersenyum. "Nggak kok, aku nggak sungguhan berniat buat jadi kapten tim basket menggantikan kamu. Aku
hanya ingin membuat kamu marah saja. Tapi kalau sekadar
ikutan main, boleh juga tuh."
"Asyik... Berarti entar sore kita latihan bareng. Teman-teman pasti senang karena mereka sangat terkesan dengan demo
basket kamu dulu." Niken menepuk bahu Adelia.
"Tapi malamnya kita main Facebook di rumahku bareng
Arini juga ya?" Adelia tersenyum sambil mengedipkan sebelah
matanya.
Deg! Ucapan Adelia bikin wajah Niken memerah. Ia langsung menginjak kaki Arini begitu ia sampai di dekat mereka.
Nampan yang berisi makanan yang dibawa Arini hampir tumpah gara-gara ia terkejut dengan injakan kaki Niken yang tanpa ampun.
"Kenapa kamu pakai bilang ke Adel kalau aku kepengin
main Facebook bareng di rumahnya... Aku kan jadi malu,
Dodol! Ember banget sih jadi orang." Niken berbisik di telinga
Arini.
Arini tertawa terbahak. Niken melihat Adelia tersenyum
manis dan tulus. Wajah Niken makin memerah. Sekarang
Niken tahu kalau tidak ada rahasia yang tidak diketahui para
sahabatnya. Ia tidak bisa main rahasia-rahasiaan lagi. Sebagai
sahabat mereka harus saling terbuka dan saling berbagi dalam
batas tidak mengganggu privasi masing-masing.
Kata Pak Anton, pelatih tim basket, kekalahan tim Niken kali
ini tidak terlalu memalukan. Selisih angkanya hanya sedikit.
Karena memang dari awal pertandingan tampak tidak seimbang. Diperkirakan dari tim lawan akan menghajar habishabisan tim Niken namun ternyata ketinggalan angka di awal
bisa dikejar sehingga selisihnya sangat tipis. Pastinya itu terjadi
setelah Adelia yang semula duduk di kursi cadangan diminta
Miss Clean Karya Sara Tee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk main menggantikan Laras yang sudah kelelahan. Berkalikali Adelia mencetak three point namun karena basket adalah
permainan olahraga beregu maka kesalahpahaman banyak
terjadi di antara tim sendiri. Itu karena kurangnya latihan bersama. Tetapi mereka optimis, di lain kesempatan akan tampil
lebih baik dengan formasi baru, memasukkan Adelia dalam tim
inti.
Tim lawan merayakan kemenangan disertai sorak-sorai kegembiraan dari para pendukung yang suaranya memenuhi
GOR tempat berlangsungnya pertandingan. Tim lawan akan
memasuki babak semi final dan tim Niken harus puas dengan
mengakhiri pertandingan sampai di sini.
Walau Pak Anton berusaha untuk membesarkan hati anak
didiknya, namun tetap saja tampak wajah-wajah kecewa. Niken
sebagai kapten tim merasa gagal mengantarkan timnya memasuki babak semi final.
"Ken, kita sudah lakukan yang terbaik hari ini. Toh kekalahan bukan akhir dari segalanya. Kesempatan akan selalu
ada." Adelia meraih pundak Niken.
"Adel benar, Ken. Lain kali kita kalahkan mereka." Arini
masih tampak segar karena tidak ikut main. Ia hanya sebagai
penonton yang berteriak paling lantang ketika tim Niken memasukkan bola ke dalam ring lawan.
"Iya, kalian benar." Niken menatap kedua sahabatnya. Tak
pernah terbayang, sekarang ia memiliki dua sahabat yang akan
selalu mendukungnya dalam suka dan duka.
Dari arah penonton Reno berjalan menghampiri Niken.
Arini langsung menyenggol bahu Adelia untuk memberitahu
kedatangan Reno.
"Hm... aku mau ke toilet dulu. Kebelet." Adelia segera pergi
meninggalkan Niken.
"Iya, aku juga mau ke toilet menemani Adel." Arini menyusul Adelia.
Niken tidak mengerti kenapa tiba-tiba kedua sahabatnya
pergi. Ia baru mengerti maksud mereka meninggalkannya sendiri setelah Reno berjalan ke arahnya. Reno mengenakan kemeja dengan kaus menyembul dari dadanya yang bidang dan
celana jins yang pas di kaki sehingga membuatnya nampak
gagah.
"Selamat ya!" Reno menyerahkan bingkisan untuk Niken.
Niken menerimanya dengan ragu. Keningnya berkerut dan
lama ia menatap Reno seakan tidak memercayai bahwa Reno
memberikan hadiah dan ucapan selamat saat timnya kalah.
Dasar orang aneh, pikir Niken.
"Selamat karena kamu telah memenangkan hatiku." Reno
tersenyum.
Ucapan Reno menepis kesalahpahaman Niken tentang
ucapan selamat itu.
Setelah menghilang beberapa hari, kini Reno muncul. Rasa
kangen terus ditahan Niken dengan menyangkal bahwa dirinya
sudah telanjur mengambil "tindakan bodoh" karena cincin itu.
Sekarang Reno datang, ingin rasanya Niken menjatuhkan diri
di pelukan Reno, tapi rasa gengsi lebih menguasai dirinya.
"Maksud kamu apa?" Niken memasang tampang jutek.
"Ini hadiah untuk taruhan kamu dengan Adelia. Dia bilang
telah menyerah dan itu berarti kamu yang menang." Reno
menyodorkan bingkisan itu. "Buka dong..."
Niken melihat sekeliling, tidak ada orang yang memperhatikan. Sebagian besar penonton sudah meninggalkan GOR.
Hanya ada beberapa yang masih mengobrol dan sepertinya
mereka asyik dengan urusannya sendiri.
"Ayo... buka saja." Reno memegang tangan Niken.
Niken merasakan jantungnya berdegup kencang. Setelah
empat tahun pacaran baru kali ini ia merasa jantungnya berdebar kencang seperti yang pernah ia rasakan waktu kencan
pertama dulu. Tenyata semua kejadian ini ada hikmahnya
juga. Adelia berjasa untuk me-refresh cinta Niken dan Reno.
Perlahan Niken merobek bungkusan setebal lima senti yang
Niken yakin isinya buku. Ia terdiam untuk beberapa saat.
"Itu buku biografi perancang busana pengantin yang terkenal. Namanya Sri Magdalena Tzu. Bagaimana ia mengawali
kariernya melalui pendidikan dan berbagai halangan yang
akhirnya mengantarkannya untuk menjadi perancang gaun
pengantin yang hasil rancangannya dipakai oleh para pejabat,
artis, dan bahkan selebriti dari luar negeri." Reno melihat mata
Niken mulai bekaca-kaca saat tangan gadis itu membuka halaman demi halaman buku yang dilengkapi dengan gambargambar gaun pengantin yang sangat indah dan menawan.
"Indah sekali..." ujar Niken lirih, matanya tidak berpindah
dari buku itu.
"Aku ingin kamu tidak hanya memimpikan untuk memakai
gaun pengantin indah di hari pernikahan nanti tapi lebih dari
itu, aku ingin kamu memiliki impian sebagai perancang gaun
pengantin. Menjadi desainer yang hebat. Dengan begitu kamu
bisa bebas menentukan model apa yang kamu suka." Reno
menutup buku Niken, jari-jarinya mengusap air mata dari pipi
Niken. "Maafkan aku atas kesalahanku selama ini. Aku memang kurang memahami impian kamu tapi aku ingin kamu
memiliki impian yang lebih besar. Karena di dunia ini tidak
ada yang mustahil. Kamu akan menjadi Princess Uwuh. Putri
yang dibesarkan dari sampah."
Wajah Niken merah padam. "Kamu mau bilang kalau aku
ini sampah hasil daur ulang begitu?" Niken langsung nyolot.
Reno tertawa lebar. Ia menarik Niken ke dalam pelukannya.
"I love you..." bisik Reno di telinga Niken.
"Love you too..." Niken merasa hadiah yang sesungguhnya
adalah kembalinya cinta mereka.
Tak jauh dari tempat Niken dan Reno berada, sepasang
mata milik Adelia basah oleh air mata. Arini segera menarik
Adelia ke dalam pelukannya. Tak ada kata-kata yang bisa
menghibur Adelia saat ini. Tetapi Arini bangga karena Adelia
telah mengambil langkah yang tepat untuk mengakhiri hubungannya dengan Reno. Arini melihat dari pancaran mata
Adelia arti pengorbanan sahabat sejati.
Tamat
Dewa Arak 56 Sumpah Sepasang Harimau Pendekar Slebor 34 Bunga Neraka Trio Detektif 36 Misteri Hilangnya
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama