Rainys Days Karya Fita Chakra Bagian 1
Fita Chakra
Rainy s Days Fita Chakra 901 14 0747
Ebook by pustaka-indo.blogspot.com
Cetakan Pertama, Januari 2014
Penulis
Fita Chakra Penyunting
Winda Veronica Perancang Sampul Athaya Zahra
Penataletak Isi
Fernandus Antonius Aldy Akbar
CHAKRA, Fita Rainy s Days
Jakarta; Ice Cube, 2014 viii + 227 hlm.,13 x 19 cm; ISBN 978-979-91-0652-0 Dicetak oleh PT Gramedia, Jakarta. Isi di luar tanggung jawab percetakan.
*****
Prolog
Gadis itu duduk pada ayunan bertali yang dililiti
tanaman rambat. Tubuhnya bergoyang pelan. Kepalanya terkulai lemas seperti boneka yang patah leher. Dan, matanya kehilangan sinar.
Berhari-hari sudah peristiwa buruk itu terjadi pada lelaki yang disayanginya. Namun, dia masih mengingat betul semuanya. Terlalu banyak kata " seandainya" muncul di otaknya. Pada akhirnya dia tahu, itu tak mengubah apa pun.
Tanpa bisa dicegah sebuah kenangan manis melintas. Saat bersa ma lelaki itu di suatu senja. Waktu itu, mereka berdua berada di suatu tempat bersama wangi bungabunga. Hanya beberapa menit, namun waktu seakan berhenti seketika.
" Hujan itu tak berarti sedih, Rainy," kata lelaki itu. " Meski hujan selalu datang di saat-saat buruk?" tanyanya seperti bocah yang menuntut penjelasan. Dia tak pernah punya kenangan menyenangkan di saat hujan.
Lelaki itu mendorong ayunan yang didudukinya lebih keras, membuat rambut tipis Rainy tertiup angin.
" Hujan akan berlalu. Dan saat itulah, kamu akan melihat pe langi. Tanpa hujan, pelangi tak kan muncul.
Hujan tak seburuk yang kau bayangkan. Kamu tahu, ada satu lagi yang kusuka dari hujan."
" Bau tanah usai hujan. Harum dan segar." Rainy memejamkan mata, ayunan itu membuat tubuhnya bergerak naik turun. Dia menyukai sensasinya. Menyenangkan sekali berada di ayunan. Saat meluncur turun, rasanya jantungnya ikut jatuh. Saat naik, rasanya seperti terbang.
" Berjanjilah untuk tersenyum, Rainy," katanya ketika ayunan melambat geraknya. " Berjanjilah untukku."
Tepat ketika ayunan berhenti dan gadis itu membuka mata, lelaki itu berjongkok di hadapannya, di antara bunga-bunga. Gadis itu tersenyum. Wajahnya bersemu merah.
Titik-titik hujan tiba-tiba turun membasahi bumi, membuyarkan lamunan sang gadis. Matanya menghangat seketika meng i ngat ucapan lembut lelaki yang kini tergolek lemah tanpa daya itu. Namun, dia tak juga beranjak menghalau titik-titik hujan dari rambutnya. Untuk kali ini saja, dia ingin larut dalam hujan.
Lalu, hujan pun menyembunyikan air matanya yang ikut turun bersamaan dengan titik-titik air.
Bab 1
Rainy
Awalnya, semuanya serba sempurna. Carousel berputar
dalam iringan lagu riang yang semakin lama semakin
cepat.
Roller coaster meluncur meliuk bersama jeritan para penum pang, dan warna-warni lolipop di sudut-sudut taman.
Di sampingku Ben, duduk melingkarkan lengan pada pundakku. Pelukannya serupa boneka monyet berperekat yang me nempel kuat di leher ketika velcro-nya kurekatkan. Hangat dan nyaman.
Tak ada yang lebih sempurna dari hari ini, kurasa. Lalu dengan cepat semuanya berbalik jadi bencana. Ini terjadi ketika Ben mulai menanyakan apa yang kuobrolkan dengan teman lamaku di telepon tadi. Dan dia mulai cemburu tak beralasan.
" Sudah kubilang, dia bukan siapa-siapa, Ben," kataku berusaha menjelaskan. Cowok yang kucintai itu kesal bukan main. Wajahnya merah padam membuat ketampananannya lenyap. Matanya menusuk tepat di jantungku. Dadaku berdebar menunggu-nunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
" Jangan ngobrol lama-lama dengan teman cowokmu seperti itu!" bentaknya.
Aku menghela napas, berharap sejuta kesabaran masuk ke dalam tubuhku. Seperti biasa, akhirnya aku memilih diam.
Tapi, bukan itu yang diharapkan Ben. Rupanya moodnya sedang tak bagus. Dia ingin melemparkan kekesalannya padaku, sebagai perusak suasana hatinya.
" Dasar nggak tahu diri!" omelnya. " Aku nggak suka kamu terlalu akrab dengan cowok lain!" Dia mondar-mandir di depan ku seperti harimau mengawasi buruannya.
Aku menunduk. Orang-orang yang melintas mulai memperhatikan kami karena suara Ben yang keras. Rasanya aku ingin menyelam ke dasar lautan dan menghilang dari muka bumi!
" Kalau sampai ini terjadi lagi, lihat apa yang bakal aku laku kan! Dasar murahan!"
Aku memainkan gula kapas berwarna pink dengan kedua ta nganku. Kuputuskan untuk berdiri dan pulang. Terserah dia mau bilang apa. Aku tak tahan lagi dicaci seperti ini.
" Hei, dengar, ya!" Ben memegang erat kedua pundakku, mengguncang-guncangnya sampai tubuhku bergetar.
Aku ketakutan sekaligus malu. Orang-orang mulai berhenti, menoleh dengan pandangan ingin tahu. Apa lagi yang akan dilakukan BenPlak!!!
Tangan Ben melayang ke wajahku. Aku terkejut. Ini
me mang bukan pertama kalinya dia menamparku. Tapi di depan banyak orang, perihnya lebih terasa.
" Ini hukuman untukmu!"
Kekesalanku tiba-tiba timbul. Mati-matian aku menahannya. Namun semakin aku menahan, kemarahanku naik ke kepala semakin cepat. Kukepalkan kedua tanganku. Seperti ilm yang dipercepat, adegan-adegan Ben menyakitiku terlintas kembali. Saat dia memukulku pertama kali, kedua kali, sampai aku lupa sudah berapa kali dia memukulku. Saat dia menghinaku di depan temantemannya karena aku tampak kelelahan atau karena tampak gemuk. Lalu bagaimana dia bermanis-manis di depan Mama, seolah tak pernah melakukan kesalahan padaku. Cukup sudah! Dia boleh merendahkanku saat berdua, tapi tidak di sini.
" Kamu keterlaluan, Ben!" bentakku. Aku mengambil napas panjang. Kali ini aku sudah tak bisa menahannya lagi. Sudah cukup, sudah cukup Rainy... kau pantas diperlakukan lebih baik dari ini. Sudah cukup!!
" Kita putus!!! Jangan ganggu aku lagi!" Kutatap mata Ben dengan nanar. Dia tampak terkejut. Mata Ben melotot. Sepertinya dia tak percaya dengan kata-kataku. Karena baginya aku ini gadis penurut.
" Apa kamu bilang?"
" Kita putus sajaaa!!" bentakku. Dadaku bergemuruh karena amarah.
Buru-buru, aku memalingkan wajah saat dia mengangkat tangannya.
" Jangan Ben! Cukup!" Pipiku terasa panas. " Pergi!" usirku.
Orang-orang mulai berkerumun di sekitar kami. Kurasa, Ben baru sadar kami jadi tontonan. Dia membalikkan tubuh lalu pergi tanpa kata-kata. Langkahnya cepat dan lebar-lebar, membelah lingkaran orang-orang tersebut. Ketika sosoknya menjauh, baru aku sadar apa yang kulakukan tadi.
Rasa gula kapas yang tertinggal di lidah tak lagi terasa. Aku membiarkannya jatuh, tepat di ujung kaki. Bentuknya tak lagi mengembang bulat sempurna, melainkan seperti kapas kempes. Tercabik-cabik, meleleh di beberapa bagian, dan sebagian terinjak. Sama sekali tak ada manismanisnya.
Mendadak, pandangan mataku mengabur. Cowok itu telah pergi dari hadapanku. Entah untuk sementara, atau untuk selamanya. Aku berharap tak melihatnya lagi. Hatiku terlanjur sakit. Akhirnya, aku tahu, Ben bukan hanya menginginkan aku sepenuhnya untuk dia sendiri. Tapi juga tega mempermalukanku di tempat umum. Apakah begitu cara seorang cowok bersikap pada cewek yang dicintainyaAku merasa seperti tontonan pinggir jalan. Topeng monyet yang membuat penonton tertawa karena kelucuannya, sekaligus berbelas kasih. Begitulah yang kurasakan ketika orang-orang yang melintas memandangku dalam diam.
Sesungguhnya, inilah bagian paling menyakitkan.
Belum pernah seumur hidupku ada orang yang membuatku merasa terbuang dan hina dalam waktu yang bersamaan.
Dadaku sesak, terhimpit rasa malu dan sakit hati. Namun beberapa menit kemudian, ketika aku tersadar, secuil perasaan cinta untuk Ben masih tersisa. Tangisku yang mulanya isakan pelan, berubah jadi sedu sedan. Lalu aku tersengal tanpa henti. Pelan-pelan, timbul perasaan yang lain. Aku menyesal. Aku tak tahu apa yang seharusnya kusesalkan? Apakah aku menyesal karena telah membentaknya? Atau sebaliknya, menyesal telah berbuat benarAku tak menyangka, memutuskan seseorang, bahkan di saat orang tersebut sering menyakiti sangat sulit. Sama sulitnya dengan memutuskan untuk menuruti perkataan Mama atau tidak. Karena saat menuruti berarti membohongi diri sendiri. Namun jika tidak, aku merasa jadi anak durhaka.
Dua tahun penuh kenangan bersama Ben membayang bagai ilm gerak lambat di dalam memoriku.
Dan seperti merayakan kesedihanku gerimis pun turun. Mula-mula pelan lalu menderas, hingga membuat orang-orang yang melintas berlarian mencari tempat berteduh. Tapi aku masih tersengal dalam hujan.
Kutatap langit penuh benci. Sejak dulu, aku tak pernah suka hujan. Karena hujan selalu datang di saat aku sedih. Saat menunggu orangtuaku datang untuk menghadiri rapat penting di sekolah dan ternyata mereka lupa. Saat mereka berjanji datang tepat waktu untuk merayakan ulang
tahunku namun mereka malah tak bisa meninggalkan pekerjaan. Di saat-saat itu, kedua orangtuaku menjadikan hujan sebagai alasan.
Sejak itu, aku terbiasa mengutuk hujan.
Dengan tubuh basah kuyup, kutatap tajam-tajam rintik air, berharap hujan akan pergi jika dimarahi seperti itu. Rambutku acak-acakan dan dress yang kukenakan jadi seperti jemuran yang lupa diangkat. Tapi aku tak peduli. Bagiku, hujan dan sedih selalu berendengan. Kini dan nanti, aku tetap membenci hujan. Meski namaku sendiri pun berarti hujan.
Rainy.
Kian
Pagi ini langit kembali gelap dan entah mengapa aku senang. Buru-buru, aku bersiap untuk berangkat kuliah, tak peduli gerimis mulai turun. Kurasa tak ada yang perlu dikhawatirkan dari gerimis ini, waktu kecil aku terbiasa main hujan-hujanan.
Tepat ketika aku membuka pintu, Fey, cewek yang tinggal di seberang kamarku sudah berdiri sambil tersenyum lebar. Dia mengenakan kardigan baby blue di luar dress-nya. Tangan kanannya memegang sebuah payung besar transparan.
" Kian, berangkat bareng, ya," katanya.
Cewek ini selalu tahu kapan aku keluar dari kamar. Padahal, aku berusaha supaya tidak membuat kegaduhan. Aku bahkan mengendap-endap seperti maling. Belakangan, aku curiga dia memasang sensor.
" Kenapa mobilmu?" tanyaku to the point. Aku tak ingin berlama-lama berada di dekat Fey. Dia berisik.
Fey kuliah di Fakultas Komunikasi, berbeda gedung denganku yang mempelajari bangunan. Kampus kami terpaut beberapa gedung, tapi Fey bisa tiba-tiba muncul di hadapanku seolah dia punya pintu ke mana saja.
Aku dan Fey sudah kenal kurang lebih dua tahun lalu. Waktu itu, kami masih mahasiswa baru. Pertama kali aku bertemu dengannya di warung makan. Waktu itu dia hampir menangis karena diomeli pemilik warung. Kami diberi tugas OSPEK untuk membawa sayur basi dan si pemilik warung mengira Fey menuduhnya menjual sayur basi.
Sambil menahan geli, aku memberitahu kalau sayur basi maksudnya sayur asem. Wajahnya yang muram langsung berubah cerah. Berkali-kali dia mengucapkan terima kasih padaku. Sejak saat itu, setiap berpapasan di kampus kami saling menyapa atau hanya sekadar tersenyum.
Setahun kemudian Fey pindah ke gedung apartemenku. Dan menempati kamar di seberang kamarku. Seperti penghuni apartemen yang lain, Fey biasa berangkat mengendarai mobil. Sepulangnya Fey juga suka hangout bersama teman-temannya. Mereka yang tinggal di sini,
punya banyak uang untuk membiayai gaya hidupnya.
Sedangkan aku, tinggal di apartemen ini bukan karena kedua orangtuaku kaya. Om Bayu, adik Ibu yang membiayai seluruh hidupku. Aku tak mau merepotkan Om Bayu dengan meminta banyak hal. Bisa kuliah dan tinggal di apartemen ini sudah cukup buatku. Karena itu, aku tak keberatan jadi satu-satunya orang di apartemen ini yang tidak punya mobil.
Fey melambaikan tangannya di depan wajahku, membuyar kan lamunanku. Mau tak mau, perhatianku kembali padanya. Fey sedang cemberut.
" Malah ngelamun," omelnya. " Mobilku mogok kemarin. Langsung masuk bengkel," katanya pendek.
" Nebeng temanmu, gih! Hujan." Aku mengusirnya halus sambil keluar dan menutup pintu.
Cuaca belakangan ini sedang tak menentu. Dua hari lalu hujan deras seharian. Kemarin, cuaca cerah dan sekarang, gerimis.
Aku melirik kamar di sebelahku dan bertanya-tanya, apakah sudah ada yang menempati? Seminggu lalu, penghuni lama pindah dan sampai sekarang belum ada penggantinya. Jika ada yang datang, aku berharap perhatian Fey teralih padanya sehingga dia lupa membuntutiku.
" Aku mau bareng kamu. Malas deh ketemu cowokcowok di gang kecil itu. Mereka suka ngisengin cewek yang lewat," keluh Fey.
Pernah suatu kali, aku melihat cowok-cowok kurang kerja an itu memaksa seorang cewek menyerahkan uangnya.
Aku berkelahi dengan mereka, meski tak mengenal cewek itu. Tubuhku babak belur, apalagi mereka. Salah satu dari mereka pipinya bengkak dan kakinya patah.
Kini, mereka tak berani lagi mengganggu cewek itu, setidak nya begitulah yang kutahu. Dan, jika aku melintas mereka langsung menghindar. Bukan karena tubuhku besar, tapi karena aku menguasai karate dengan baik. Kurasa, Fey pun akan aman bersamaku.
" Boleh ya? Ya?" Fey menunggu jawabanku. Matanya berkedip-kedip lucu seperti boneka.
Aku mengunci pintu dan menyimpannya ke dalam ransel. Ransel lusuh itu sudah lama menemaniku, tapi aku tak ingin menggantinya. Aku tak terlalu peduli dengan penampilan. Sama tak pedulinya pada rambutku yang mirip semak-semak. Marcell, sahabatku, sering mencerewetiku. Katanya, " Kalau rambutmu acak-acakan kayak gitu, mana ada yang mau jadi pacarmu?"
Aku geli mendengar ucapannya. Aku hanya ingin melewat kan hari-hari kuliahku dengan tenang, dan pacar tidak ada dalam rencanaku. Aku hanya ingin cepat-cepat selesai kuliah, lalu bekerja. Masa bodoh dengan pacaran! " Ya udah yuk," ajakku.
Meski enggan jalan bareng Fey yang super cerewet, aku akhirnya mengajaknya. Lebih karena kasihan. Kehilangan Ibu pada usia sepuluh tahun membuatku lebih menghargai perem puan. Kuharap dengan begitu, rasa sesal karena memaksanya pergi untuk menjemput kecelakaan itu menghilang pelan-pelan.
Fey tersenyum cerah dan tampak sangat cantik. Orangorang sering menduga Fey masih SMA. Postur tubuhnya yang kecil, ditambah tingkah lakunya yang kekanakan mempertegas hal itu. Sebetulnya dia manis juga. Kalau saja tak terlalu cerewet. Aku tak suka cewek yang banyak bicara.
Fey melirik gantungan kunci Winnie the Pooh di ranselku. Sama lusuhnya dengan ransel yang kubawa. " Kenapa?" tanyaku.
Fey menggeleng. Kuncir kudanya bergerak mengikuti gelengan kepala, membuatnya terlihat semakin menggemaskan.
" Kamu nggak malu bawa gantungan kunci itu?" Aku tertawa. Tidak mengangguk ataupun menggeleng. Aku yakin tak ada cowok berusia 21 tahun yang dikenalnya mau membawa-bawa gantungan kunci berbentuk boneka Winnie the Pooh sebesar itu.
" Aku suka Winnie the Pooh," ujarku. " Memangnya kenapa? Aneh?"
Fey menggeleng kuat-kuat. " Keponakanku, cowok kelas 1 SD. Dan dia sudah gak mau di kasih bonekabonekaan. Malu, katanya."
Aku tahu, ini aneh. Tapi Winnie the Pooh itu punya kenang an sendiri bagiku. Boneka itu dari Ibu. Aku berjalan menduluinya, lalu memencet tombol
lift.
" Aku juga suka Winnie the Pooh," teriak Fey di be lakangku.
Aku tahu Fey berbohong hanya untuk membuatku se nang. Sudah banyak cewek yang berpura-pura supaya bisa dekat denganku tapi aku tak tertarik. Aku hanya melakukan kewajibanku sebagai cowok yang baik.
Pintu lift terbuka beberapa detik kemudian. Tepat ketika Fey berhasil berdiri di sampingku. Napasnya sedikit terengah karena mengejarku yang berjalan lebih cepat.
Liftnya kosong dan aku ingin menunggu sampai lift itu lebih ramai. Berdua dengan Fey membuatku canggung. Apalagi Fey nempel terus kayak magnet ketemu besi. Namun tak ada pilihan lain. Aku hanya punya waktu lima belas menit agar tak terlambat masuk kelas. Kalau tidak ingin diomeli Bu Wening, aku harus bergegas. " Masuk." Aku menyuruh Fey masuk. " hanks, Kian." Fey kembali tersenyum cerah. Saat di dalam lift, aku mulai menyesal karena keburu senang dengan datangnya hujan. Apakah aku harus memakai payung transparan itu bersama FeyBab 2
Rainy
S eharusnya, sore ini udara cukup nyaman. Matahari
me nyem bunyikan sinarnya di balik awan. Sedikit mendung malahan. Gelap di langit selatan menandakan titik hujan akan tu run. Awan bergulung-gulung mewarnai langit sewarna kaus ku. Kelabu.
Tetapi, aku justru berkeringat. Bukan karena kegerahan. Tapi karena aku merasa tak nyaman berada di tempat ramai. Apalagi, di tempat baru.
Berkali-kali, aku mengusap keringat yang menetes. Berharap punya kemampuan menghilang sekaligus berpindah tempat da lam sekejap. Aku tak sabar ingin segera sampai di lantai 5.
Gedung apartemen yang akan kutempati berada tepat di hadapanku. Menjulang tinggi 10 lantai. Suasana di lingkungan apartemen itu cukup asri. Terlihat kalau pengelola berusaha membuat suasana adem dengan menanam pohon-pohon palem besar dan membuat taman di beberapa titik strategis.
Sewa apartemen ini tak terlalu mahal dibandingkan aparte men di pusat kota. Itu karena letaknya di pinggiran kota dan menyasar segmen mahasiswa. Di sekitar apartemen ini paling tidak ada dua kampus besar. Pantaslah, jika apartemen ini laris manis.
Jika orangtuaku tahu aku pindah ke sini, aku yakin mereka tak akan keberatan. Setiap bulan, mereka mengirim uang lebih dari cukup ke rekeningku. Aku terpaksa memakainya meski bertekad secepatnya berhenti menggunakan uang dalam rekening itu. Meminta, membuatku terkekang dengan aturan mereka. Aku ingin bebas menentukan hidupku.
Syukurlah, sedikit-sedikit aku mulai mendapatkan penghasilan dari menulis. Setelah pindah kampus, aku juga berniat mencari pekerjaan part time lainnya. Kurasa aku bisa kuliah sambil bekerja. Hanya butuh sedikit kerja keras dan niat yang kuat.
Aku benar-benar payah ya... bukan hanya pindah tempat tinggal, aku juga pindah kampus untuk menghindari Ben. Aku mendaftar di salah satu kampus yang dekat dengan apartemen ini. Tidak begitu repot mengingat aku sudah tingkat 3, jadi mata kuliah yang harus kuambil juga tinggal sedikit.
" Benar, kan, kata Mama. Apartemen jauh lebih nyaman dibanding kos-kosan sumpek itu." Mungkin, Mama akan berka ta begitu jika tahu aku pindah ke sini. Kali ini, aku menelan ludahku sendiri. Untungnya, Mama tak tahu aku pindah ke sini. Setidaknya untuk sementara. Buat apa kuberi tahu? Bikin masalah saja.
Aku memandang sekilas calon apartemen yang akan kutempati. Membayangkan seperti apa tampaknya. Sebuah apartemen kecil tipe studio di lantai 5, tepat di setengah tinggi gedung.
Sebelumnya, aku belum pernah tinggal di apartemen. Bagiku, tinggal di apartemen tidak seperti tinggal di rumah. Aku ingin kakiku menginjak bumi. Tapi ketika Ghea mengusulkan, aku setuju juga karena pindah adalah pilihan terbaik saat ini.
" Kau pasti bakal suka tempat ini. Lokasinya strategis. Ting gal jalan ke kampus, lima belas menit. Pilihanku tak pernah salah," ujar Ghea dengan kepercayaan diri luar biasa. Seperti biasa. Gadis itu tahu betul yang dimaunya, seperti halnya mengetahui kemauanku.
Aku meringis mendengarnya. Kadang-kadang, aku merasa dia bisa mendengar semua isi hatiku, bahkan di saat aku belum mengatakannya. Ghea tahu betul aku belum makan seharian meski aku berbohong.
Sambil berjalan, aku mendekap kardus berisi barangbarangku. Jemariku pucat karena menekan kardus itu kuat-kuat. Sesekali kardus itu melorot turun. Meski begitu, aku masih berusaha melesakkan topi pet menutupi wajah. Semakin tak ter lihat semakin baik. Aku masih merasa terganggu ketika ber papas an dengan beberapa cowok di pelataran gedung apartemen itu.
" Cepetan. Aku tak sabar mau nunjukin hasil buruanku," celoteh Ghea riang.
" Stt& pelan-pelan ngomongnya," omelku lirih. " Aku gak mau kita menarik perhatian."
" Kita? Maksudmu aku?" Ghea menunjuk hidungnya, merasa aku menuduh dengan telak. " Tenang, tak ada yang kenal kita di sini."
Aku mendengus. Tempat ini juga dekat dengan kampus Ghea, mana mungkin tak ada yang kenal? Ghea gadis yang mu dah menarik perhatian. Bersama Ghea, jangan harap bisa tenang. Dia bisa merepet gaduh seperti kesibukan di pasar pagi.
Ghea berhenti sejenak, menata rambutnya membentuk ce pol kecil. Titik-titik keringat mulai terlihat pelipisnya. Rupanya mem bawa koper besar cukup merepotkan juga. Kalau bukan karenaku, dia pasti tak akan mau mengangkat barang-barang berat itu ke mobil, menurunkannya lalu menggeretnya.
" Please, deh, cari bantuan aja, Rainy. Minta Mas Mono buat ngurus barang-barang lain," ujarnya hampir menyerah. Mas Mono, penjaga kosku pasti dengan senang hati membantu. Cukup dengan imbalan semangkuk bakso dan es teh manis kesukaannya.
" Nggak. Aku nggak mau dia koar-koar ke seluruh dunia kalau aku pindah ke sini," tegasku. " Lagipula kita bisa, kok, bawa sendiri. Kita nggak butuh cowok untuk mengangkat ini," kataku sok.
Ghea mencibir.
" Lagakmu. Bilang tuh, ke Ben, kamu nggak butuh dia."
Aku tersenyum tipis, tak mau menanggapi Ghea. Setiap kali mendengar nama itu, dadaku berdesir. Seperti ada sesuatu yang hilang, tercerabut secara paksa. Aku mengibaskan kepala, mengusir pikiran itu cepat-cepat. Meski perkataan Ghea benar, kali ini aku tak mau
" Liftnya di sana." Ghea menunjuk ke suatu arah. Aku mengikut saja. Ini pertama kalinya aku masuk ke da lam apartemen ini. Bahkan Ghea pun lebih tahu apartemen ini. Aku percaya, Ghea pasti memilih apartemen yang tepat.
Sejak masuk ke dalam kompleks apartemen ini, aku tak melihat ada yang salah. Taman yang luas, kolam renang, dan pusat perbelanjaan, cukup membuat suasana ramai jadi aku tak akan merasa sepi. Yang paling penting, di sini banyak orang ter lihat cuek. Beda dengan kos lamaku, yang ramai gosip.
Pintu lift terbuka tepat ketika aku dan Ghea tiba di depannya. Beberapa orang berhambur keluar lift, membuat kami minggir. Seorang cowok memandangku sekilas. Aku langsung menunduk, menyembunyikan wajah di balik topi pet yang kebesaran. Topi pet yang kubenci ini mungkin akan jadi pelengkap kostumku untuk sementara waktu.
Lift seakan berjalan amat lambat, setidaknya begitulah menurutku. Entah memang begitu, atau karena aku ingin cepat masuk ke dalam apartemen, supaya terhindar dari pandangan orang.
" Kenapa lift ini seperti siput?" keluhku gelisah. Tanganku sudah pegal mengangkat kardus berat itu. Padahal, itu baru kardus pertama yang kubawa. Masih ada beberapa kardus lagi yang belum kupindahkan. Sebagian besar berisi buku. Aku lebih rela menghabiskan uang untuk membeli buku ketimbang membeli make up dan pakaian.
" Sabar," Ghea berkomentar. " Kita sampai. Arah kiri. No 523." Kami berjalan menuju kamar 523. Koridor apartemen tampak lengang. Aku membayangkan seperti apa tetangga-tetanggaku. Semoga mereka bukan tipe orang yang selalu ingin tahu urusan orang lain, harapku.
Ghea mengeluarkan kunci dan memasukkannya ke lubang kunci, lalu " klik" . " Ayo masuk."
Aku membuka topi petku lalu mengerjapkan mata beberapa kali sambil memastikan semuanya bukan mimpi. Sebuah tempat tidur berukuran queen, pantry kecil dan kitchen set, serta satu kamar mandi bernuansa ungu kurasa cukup nyaman untukku. Beruntung banget aku mendapatkan apartemen yang full furnished jadi tak perlu repot-repot mengisinya. Harga sewanya pun cukup terjangkau.
" Not bad. Makasih banget ya Ghe udah repot nyariin ini," ujarku sambil duduk di pinggir tempat tidur.
" Bagus deh kalau kamu suka." Ghea melihat jam tangannya, " Jam berapa sekarang? Ya ampun, udah hampir jam 12. Aku janji nganter mama ke dokter," katanya sambil menyambar tas tangannya.
Aku mengangguk, meski yakin Ghea tak melihat anggukan ku. Dia sibuk mengecek pesan di ponselnya, khawatir mamanya menghubungi. Pada saat yang bersamaan terdengar lagu housand Years dari ponselnya, Ghea langsung menempelkannya di telinga.
" Ma... Ghea lagi on the..." Dia mondar-mandir sambil bicara. " Eh, maaf, kukira mamaku yang nelpon& " Ghea
memberi tanda agar aku tak bersuara.
Aku mengangkat alis, bertanya siapa yang menelepon.
" Ben, kan udah aku bilang, aku tuh gak tahu di mana Rainy," tegas Ghea.
Tubuhku mendadak kaku. Aku duduk tegak di tempat tidur menyimak Ghea. Wajah Ghea tampak serius.
" Udah deh, buat apa sih kamu cari dia lagi? Kamu bisa cari gadis yang seribu kali lebih baik dari dia kan. Sorry, aku lagi sibuk."
Ghea menutup ponselnya.
" Ben. Nyariin kamu," lapornya. " Kamu nggak bisa sembunyi terus-terusan, Rainy."
Aku mengangkat bahu.
" Paling tidak, aku aman sementara ini," ujarku kaku. Ghea menghela napas panjang. Kami berbeda pendapat dalam banyak hal. Ghea tegas dan punya pendirian. Aku sering tak bisa memutuskan yang terbaik untuk diri sendiri. Ghea suka menggambar jadi dia kuliah di jurusan arsitektur. Aku bisa berjam-jam tenggelam di balik laptop untuk menulis. Ghea berani berkata " tidak" untuk sesuatu yang tidak disukainya. Aku, butuh waktu bertahun-tahun untuk melepaskan seseorang yang selalu menyakitiku.
Aku mengempaskan tubuh ke kasur, meregangkan sejenak tulang-tulangnya sampai berbunyi. Tanganku terasa kaku, saking beratnya kardus yang kubawa. Pindahan itu ternyata menyita tenaga. Sekarang, yang ingin kulakukan hanyalah tidur.
" Rainy," panggil Ghea dari pintu. " Jangan lupa kunci pintu," ingatnya.
" Beres," sahutku.
" Dah," lambai Ghea sebelum menghilang dari balik pintu. Pintu pun ditutup dari luar.
Sepeninggalan Ghea, aku berbaring sambil menatap langit-langit apartemen. Perutku berbunyi. Aku mengingatingat ma kanan terakhir yang masuk ke perutku, yaitu burger yang kubeli dari sebuah kios di dekat rumah kos. Itu pun aku tak ingat, apakah burger itu benar-benar masuk ke perut atau tidak. Belakangan, aku sering mual.
Seharusnya aku makan saat ini juga. Tapi aku tak ingin makan. Aku menatap sekeliling ruangan apartemen, sampai mataku terpaku pada kardus yang kubawa.
Aku duduk di pinggiran tempat tidur, mengayunkan kedua kakiku untuk mengusir rasa malas. Masih banyak hal yang harus kukerjakannya. Aku lalu bangkit menuju kardus itu, me num pahkan semua barang-barang dari dalam kardus dengan semena-mena.
Semua yang ada di dalam kardus terlempar keluar. Pernak-pernik kecil hiasan meja, foto, obat mual, dompet yang kucari berbulan-bulan lamanya, semuanya berserakan di lantai. Aku menyesal tidak menyortir sebelum membawanya. Beberapa barang mungkin sudah tak diperlukan. Sayangnya, tak ada waktu untuk menyortir. Keputusan pergi dari kos itu begitu tergesa-gesa. Aku hanya meraup dari rak dan memasukkan ke dalam kardus begitu saja.
Mataku menangkap sebuah foto berpigura. Pelanpelan, aku meraihnya. Cowok di dalam foto itu menatapku. Dia tampan dan senyumnya menawan. Kedua tulang pipinya membentuk rahang yang keras, cocok dengan perangai tegas yang dimilikinya.
Tiba-tiba, mataku menghangat. Aku rindu dia. Tapi beberapa detik kemudian kuusap mata dengan punggung tangan. Tidak, aku sudah berjanji tidak akan mengingatnya.
Suara ketukan pintu membuatku hampir terlonjak. Bulu kuduk meremang tanpa sebab yang jelas. Tak ada yang tahu aku pindah ke sini, kecuali Ghea. Aku bangkit, mengintip dari balik lubang kecil di pintu.
Seorang cewek berambut sebahu tersenyum lebar, seolah-olah sudah lama mengenalku. Wajahnya oval sempurna, dengan mata seperti almond di bawah sepasang alis tipis melengkung. Kurasa dia rajin merapikan alisnya, tidak sepertiku. Tubuhnya mungil, dengan kulit putih bersih.
Aku tak kenal cewek itu.
" Ya?" Aku melongokkan kepala melalui pintu. Sengaja, tak membuka lebar pintunya. Meski kelihatan bersahabat, dia tetap lah orang asing.
" Hai! Kenalin aku Fey." Gadis itu menyodorkan tangan.
Aku memandangnya dari ujung rambut hingga kaki. Walau tak keluar, tetap saja aku khawatir ada orang yang melintas mengenaliku.
" Hai. Aku Rainy," kataku cepat-cepat menyambut
uluran tangannya, berharap cewek bernama Fey itu segera pergi. Tapi tampaknya tidak. Dia malah mengintip ke dalam apartemenku. Nggak sopan! makiku dalam hati, tentu saja.
" Reny?" ulangnya. " Rainy," ulangku.
Alisnya bertaut. Mungkin dia merasa salah dengar. Aku su dah biasa melihat reaksi seperti itu. Rainy itu bukan nama biasa. Rainy berarti gerimis.
" Aku tinggal di depanmu. Nomor 522." Dia menunjuk apartemennya. " Kamu baru pindah? Sebelumnya tinggal di mana? Boleh aku masuk?" cerocosnya tanpa jeda.
" Iya, aku baru aja pindah. Sorry ya aku masih capek banget. Lagipula, kamarku masih berantakan." Aku meringis.
" Oh, okey. Orang yang dulu tinggal di tempatmu sama se kali tak bersahabat. Mukanya cemberut terus, kayak banyak hutang." Fey tertawa kecil.
Mau tak mau aku ikut tersenyum mendengarnya. Cewek ini spontan sekali. Ceplas-ceplos.
Aku memperhatikan anting manik-manik panjang di telinganya yang bergoyang-goyang seiring dia bicara. Dress me rah jambu yang cerah itu mengingatkannya pada seseorang. Ben, yang selalu mengatur penampilanku. Ben pernah membelikan dress serupa dari bahan chifon melayang.
" Oke. Akan kuingat," jawabku singkat. Tanpa menunggu Fey pamit, aku menutup pintu. Lalu mengembuskan napas
pergi menuju lift di ujung lorong.
Huh, belum apa-apa sudah datang orang yang ingin tahu, batinku kesal. Hampir saja tadi aku menutup pintu dengan kasar kalau saja tidak ingat sopan santun.
Aku melintasi kamar. Mata Ben di foto berpigura itu seolah menatapku. Aku tak tahan. Kutelungkupkan foto itu. Tapi kemudian berubah pikiran. Kulemparkan foto itu ke dalam kardus, berharap wajah Ben tak lagi terlihat. Sialnya foto itu tak terbalik, seakan menantangku. Gerah.
Aku berjalan menuju balkon. Kubuka pintu ke arah balkon lebar-lebar lalu menyandarkan tubuh ke pinggirannya. Di bawah sana tampak beberapa orang berlalulalang.
Rainys Days Karya Fita Chakra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ada sepasang remaja yang berjalan bergandengan. Mereka tertawa-tawa. Mungkin baru pulang kencan. Atau baru jadian? Aku tersenyum miris. Kemudian kembali ter ingat Ben. Saat dua tahun lalu dia menyatakan cinta. Dia cowok paling romantis yang pernah kukenal. Sering mem beriku bunga. Pernah waktu ulang tahunku, dia mengirimkan banyak bunga sampai-sampai kamarku seperti toko bunga.
Ah, Ben lagi, Ben lagi! Kapan aku bisa melupakannyaAku merutuk dalam hati. Mengapa semakin ingin melupakan seseorang justru membuat ingatan akan mereka makin sering muncul? Ini seperti ketika Mama melarangku makan permen berbentuk hati waktu kecil tapi aku justru
makin sering memakannya. Entah karena larangan Mama membuatku penasaran, atau memang karena permen itu terlalu enak untuk dilewatkan.
Perutku seakan dikocok. Mual. Mataku memburam. " Hei, sedang apa kamu?"
Aku tergeragap. Kembali ke alam nyata. Spontan, aku menoleh. Seorang cowok memandangku ingin tahu dari balkon sebelah. Hidungnya mancung dengan rahang menonjol bertumpu pada pembatas balkon. Tubuhnya yang kurus jangkung melengkung, condong ke arah tempatku berdiri.
Aku cepat-cepat menghapus air mata. Sialan! Ngapain dia melihatku seperti ituDetik itu juga aku menyimpulkan Ghea salah pilih apartemen. Semua orang di sini ingin tahu urusan orang lain. Setidaknya sudah terbukti dari dua orang yang menyapaku. Cewek mungil yang cerewet tadi dan cowok kurus jangkung ini.
" Hati-hati, anginnya kencang. Kamu bisa sakit." Cowok itu masih saja bicara. Padahal, aku sudah mengerutkan kening, melengos, lalu memasang tampang tak suka. " Bukan urusanmu," ketusku.
" Siapa namamu?" tanyanya lagi.
Aku kembali menghindari tatapannya. Aku tak ingin dia melihat mataku yang sembap. Atau melihat betapa pucatnya wajahku.
Aku cepat-cepat masuk ke dalam kamar. Brak!
Aku membanting pintu. Persetan dengan kesopanan! Dari balik pintu kaca, aku mengintip. Cowok itu masih berdiri di luar dan terlihat bingung. Dia mengacak rambut tebalnya yang sudah acak-acakan. Mungkin dia sedang berpikir di mana letak kesalahannya.
Aku meringis.
Angin kencang dan awan gelap menggulung di luar, menandakan akan turun hujan lebat. Cowok itu rupanya lebih peduli pada kesehatanku dibandingkan dirinya sendiri.
Kian
" Kamu tahu gak cewek yang tinggal di depanku?" tanya Fey sambil mengunyah spageti.
Hari ini dia memergokiku makan sendiri di kantin. Terpaksa, aku membiarkannya duduk semeja. Kebetulan, tak ada meja lain yang kosong. Kantin penuh dengan mahasiswa yang kelaparan di siang hari. Mereka seperti kucing-kucing yang berebut tikus. Ramainya bukan main.
Rasanya, aku ingin menyepi di tempat lain. Aku mengingat-ingat sebuah kafe baru yang berada di dekat kampus. Kafe yang dihiasi tanaman di terasnya itu menarik perhatianku dengan jajaran buku-buku di sepanjang dindingnya.
" Kian," Fey meletakkan garpunya. " Kamu dengar gak, sih?" rajuknya.
" Eh, apa?" Lamunanku tentang kafe buku itu buyar. Fey menghela napas. " Tuh, kan. Melamun terus. Aku tanya, kamu kenal gak cewek yang tinggal di depanku?"
Aku menggeleng. Tiba-tiba, teringat sosoknya saat kami bertemu sore itu. Dia menangis, yah setidaknya matanya berair dan wajahnya tampak sangat sedih. Dan walaupun pipinya tidak tirus tapi badannya kurus sekali.
" Dia aneh," komentar Fey. " Misterius. Seperti menyembu nyikan sesuatu." Fey mengaduk-aduk spagetinya.
" Wajar. Dia kan baru pindah, belum kenal banyak orang," sahutku.
" Kamu nggak lihat sih, dia jarang keluar dari kamar," ujar Fey lagi. " Kalau aku sih, nggak bakal betah di dalam kamar seharian."
Aku memasukkan suapan terakhir gado-gadoku ke dalam mulut. Fey benar, sudah dua hari sejak kami bertemu dan aku belum pernah melihatnya lagi. Apakah dia sakitMarcell terlihat dari jauh. Postur tubuh yang menjulang mem buatnya mudah dikenali. Marcell adalah sahabatku sejak awal kuliah. Dan dia adalah idola para cewek di kampus ini. Wajah nya lumayan tampan, badannya tinggi dan cukup berisi, dan dia itu anak band lengkap dengan rambut gondrongnya. Tipe kesukaan cewek-cewek. Semua cewek yang berada di kan tin menoleh padanya dengan pandangan takjub. Marcell ter senyum ramah dan menyapa beberapa dari mereka yang dikenalnya.
Aku melambaikan tangan padanya. Lega karena
setidaknya ada yang menemaniku bersama Fey.
" Sayang banget dah kelar makan. Padahal mau aku traktir, nih," cetus nya melihat piringku. " Ehh ada Fey juga!" sapanya cu ek sambil duduk di samping Fey yang memasang tampang cemberut.
Fey dan Marcell entah kenapa tidak saling menyukai. Kata Marcell, Fey itu bukan tipe cewek kesukaannya begitu juga dengan Fey. Padahal kalau kuperhatikan mereka berdua cocok.
" Aku duluan ya. Ada urusan." Aku menepuk pundak Marcell. " Kalian ngobrol aja dulu. Temani Marcell ya, Fey."
Kulihat Fey membelalak tak suka. Sebaliknya, Marcell tersenyum lebar. Ketika aku keluar kantin, kulihat cewek yang tadi kami bicarakan duduk di taman sambil membaca buku. Sementara yang lainnya sibuk mengurus perut, dia tak tertarik ikut masuk ke kantin. Rambut tipisnya berkeliaran ditiup angin. Sebagian menutupi pipinya.
Aku menimbang-nimbang, mau menyapanya atau tidak. Melihatnya asyik dengan kesendirian, aku memutuskan untuk mengabaikan saja. Lagipula, dia tak suka melihatku. Jangan-jangan, nanti dia menyangka aku ini cowok kurang ajar karena mencampuri urusannya.
Namun, beberapa menit kemudian pikiranku masih tertahan pada matanya yang dalam itu. Aku yakin, ada sesuatu yang dipikirkannya sore itu. Bisa jadi, itu sesuatu yang sangat buruk.
Bab 3
Rainy
" A ku mau kamu berada di sisiku selamanya," ucap Ben
posesif.
Aku tersipu mendengarnya. Pipiku memanas seketika. Tersanjung. Belum pernah ada seorang cowok yang berkata seperti itu padaku. Perkataannya membuatku melayang. Aku merasakan kakiku terangkat sekian senti dari tanah. Ben menatapku. Tajam.
" Aku serius," ujarnya tegas.
Aku balik menatap Ben agar dia bisa melihat aku pun sama seriusnya.
" Aku juga."
" Jangan pergi berdua dengan cowok lain. Jangan pergi tanpa bilang padaku. Aku nggak mau kamu kenapa-napa," kata Ben lagi. " Kamu dengar, Rain?"
Aku mengangguk. Sedikit terintimidasi. Namun tetap saja merasa seperti seorang putri yang pangerannya mengatakan siap melakukan apa saja untukku.
Apakah semua orang pacaran selalu seperti itu? Aku tak tahu kalau pacaran akan membuatku tersanjung sekaligus terkekang. Ini pertama kalinya aku pacaran. Tapi aku yakin Ben adalah cowok yang baik.
Aku menatap mata Ben. Ada kesungguhan di sana. Tiba-tiba, aku merasa beruntung bersamanya. Dia adalah cowok yang meneruskan bisnis keluarga dan memainkan gitar dengan baik serta digilai banyak perempuan. Tapi dia memilihku daripada gadis lain. Bukankah seharusnya aku bersyukur" Aku dengar," sahutku.
Ben menarik napas. Lega. Dia lalu mengacak rambutku. Ada rasa hangat menyelimuti hatiku, seakan mengalir dari tangannya. Rambutku terasa semakin tipis dari hari ke hari, rontok. Namun, aku tak juga memangkasnya. Itu karena Ben menginginkan rambutku tetap panjang.
" Kenapa kamu nggak pakai dress yang aku belikan minggu lalu? Dress itu cocok banget buatmu," tuntut Ben.
Aku tersenyum, menyembunyikan gelisah. Mengenakan dress sungguh bukan diriku. Aku lebih nyaman mengenakan jins dan blus. Lagipula, aku tak suka jadi pusat perhatian. Dress itu berwarna shocking pink, akan terlihat mencolok saat kupakai.
" Kamu gak suka?" tuduh Ben.
Jantungku berdetak lebih keras, memberikan alarm peringatan. Aku tak suka mendengar nada suara Ben meninggi.
" Bilang saja kalau gak suka!" bentak Ben.
Mataku mengerjap. Kalau saja bisa menghilang seketika, ingin rasanya aku lebur di dalam perut bumi. Ben yang lembut bisa berubah jadi monster saat keinginannya dilawan. Saat merasa tidak diinginkan.
" Aku begini karena aku sayang kamu, Rainy. Aku peduli sama kamu!" tegas Ben.
Kepalaku mendadak pusing. Ben selalu mengatasnamakan cinta saat dia berlaku buruk padaku. Dan kurasa itu benar. Dia selalu ingin membuatku tampil menarik di matanya. Tapi dia juga tak suka kalau cowok lain menatapku karena gaun yang dibelikannya. Dia ingin memilikiku untuk dirinya sendiri.
Tubuhku mengkerut. Selalu begitu, berada di hadapannya membuatku kecil.
" Aku mau lihat kamu pakai dress itu besok!" Ben pergi dengan langkah-langkah lebar. Dia marah besar.
Aku memutuskan akan mengenakannya besok. Tak ada salahnya menyenangkan orang yang kusayangi. Aku membayangkan senyum melengkung di bibirnya. Seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya, marah Ben pasti menguap esok pagi. Dan dia akan meminta maaf berkali-kali.
Kian
Perjalanan dari apartemen ke kampus lumayan dekat. Hanya sekitar lima belas menit kalau jalan kaki melalui jalan setapak di belakang gedung apartemen.
Udara segar berembus, meniupkan angin dingin ke wajahku. Hujan tadi malam membuat udara bersih dan
aku sangat menikmatinya. Di jalan ini banyak pohonpohon tinggi. Membuat suasana rindang.
Fey mengoceh panjang lebar tentang berbagai hal. Tentang tugas kuliahnya yang menumpuk. Tentang teman-teman cowoknya yang menyebalkan karena tidak mau membantunya mengangkat perlengkapan kamera untuk tugas syuting iklan. Tentang bagaimana dia lebih menyukai cowok yang sopan dan menghargai cewek daripada cowok yang hobinya tebar pesona.
Kurasa dia sedang berusaha menarik perhatianku. " Meong& "
Suara kucing membuatku menoleh. " Pus& ," terdengar suara cewek memanggil. Mataku berkeliling mencari asal suara itu. Melihatku berhenti berjalan, Fey ikut menghentikan langkah.
" Meooong& Meong." Kucing itu masih mengeong. Aku berjalan menuju semak-semak. Tak ada kucing di sana. Di mana dia" Puus& " panggil suara itu.
" Meoong& " sahutnya lebih menyerupai erangan. Mataku menyapu semua tempat yang terlihat. Lalu terpaku pada cewek yang merunduk di pinggir selokan sambil mengacungkan sebatang kayu.
Aku berjalan mendekatinya.
" Kian, mau ngapain? Kita mau kuliah, bukan mainmain," seru Fey.
Aku mengibaskan tangan, tak mau diganggu. Cewek
itu menarik perhatianku. Dia merunduk, membiarkan sikunya terkena tanah becek yang tertinggal dari hujan kemarin. Mana ada yang mau repot-repot mengurusi kucing terjebak di selokan? Kurasa, dia penyuka kucing.
Cewek itu menoleh. Oh, ternyata dia. Cewek yang tinggal di sebelah kamarku. Yang kemarin kulihat menangis di balkon. Wajahnya masih semuram kemarin. Mata bulat besar dengan bulu mata lentik tetapi dikelilingi oleh lingkaran hitam. Pipi berisi dan tulang hidungnya tampak menonjol. Kulit wajahnya pucat dan kelihatannya dia sedang sakit.
" Ada apa?" tanyaku.
Dia menoleh sekilas, namun tak menjawab. Sepertinya dia malah kesal karena melihatku.
Ketika aku melongok ke selokan, aku melihat seekor anak kucing berwarna cokelat dengan bercak putih di dalamnya. Tubuhnya basah dan kotor. Entah sudah berapa lama dia berada di tempat itu. Dia pasti tak bisa melompat keluar dari selokan.
" Dia nggak akan bisa keluar kalau hanya pakai ranting itu," ujarku.
Cewek itu mendengus.
" Lalu kamu mau apa?" tantangnya.
Aku bisa merasakan kekesalannya. Matanya yang gelap menatapku tajam. Aku bisa melihat kebencian dalam tatapan itu.
" Kamu pasti kedinginan," ujarku pada kucing itu. " Meoong." Kucing itu menjawab.
Aku mencari cara untuk mengeluarkan kucing itu. Selokan itu cukup dalam. Kurasa, dia tak akan bisa melompat. Kulirik lagi cewek itu. Matanya yang bulat terlihat cemas. Dan seakan terhipnotis kuputuskan masuk ke selokan.
Fey melotot. " Kian, nanti bajumu kotor," tegurnya. " Lagipula sebentar lagi kuliah udah mau mulai." " Duluan aja," sahutku tak peduli.
Fey merengut, lalu menjejakkan kaki kesal. " Kamu tuh, dibilangin malah ngusir," omel Fey. " Kucing itu nggak akan mati kalau kita tinggal pergi kuliah."
Aku meloncat ke dalam got sempit itu. Hap! Air kehitaman menciprat, membuat Fey berjingkat.
" Kian! Kotor, tahu!" pekik Fey. " Aku pergi duluan deh." Fey bergegas pergi.
Kucing yang ketakutan itu mundur beberapa langkah ketika kudekati. Kuelus tengkuknya beberapa saat sampai dia tenang. Lalu, kutaruh tubuhnya di pinggir selokan sementara aku berusaha keluar dari tempat itu.
" Nah, sekarang kamu bebas, Pus," kataku puas. Pakaian dan sepatuku kotor dan bau.
" Makasih," ucap cewek itu kaku. Aku mengelus kucing itu. " Meoong...."
" Kau mau pergi kuliah juga? Ya udah berangkat sana, Kucingnya biar aku aja yang ngurus." Aku diam saja menunggu reaksinya.
Dia mengangkat bahu. Tanpa bicara, dia berjalan
menjauhi ku. Kurasa dia tak mau bicara denganku. Biasanya, gadis yang kutolong tidak begini. Mereka akan merepet bicara macam-macam, berulang kali mengucapkan terima kasih, dan berusaha mengakrabkan diri.
" Hei, kau bisa mengambil kucing ini nanti. Kamu tahu kan aku tinggal di sebelahmu?" panggilku. Aku memutuskan mengalah jika dia mau memeliharanya.
Dia menoleh sekilas. Lalu memilih bersikap tak peduli. Saat dia berjalan membelakangiku, aku masih menatapnya. Mata bulatnya yang sedih mengingatkanku pada Ibu& yang hanya diam ketika Ayah tak menghabiskan kopi buatannya. Dan dia mengingatku pada Ibu yang sangat sayang pada kucing.
Cewek itu menghilang di ujung jalan. Aku bahkan belum tahu namanya.
Aku tidak jadi pergi ke kampus. Dan ini, pertama kalinya aku bolos kuliah karena seorang cewek.
Aku pulang untuk memandikan dan memberi makan kucing kelaparan itu. Nanti, setelah cewek jutek itu pulang, akan kuantar kucing ini. Bagaimanapun, dia yang menemukan kucing itu. Jadi kupikir, dia lebih berhak memilikinya. Lagipula aku tak suka kucing. Mereka mengingatkanku pada Ayah.
Kucing itu meronta ketika kumandikan. Dia mengigil. Tapi ketika kubungkus tubuhnya dengan handuk, dia
mulai merasa nyaman. Lalu menjilat cepat-cepat susu hangat yang kusediakan, seolah takut aku mengambilnya kembali. Tiba-tiba, aku teringat masa kecilku.
Ibu sangat menyukai kucing. Di rumahku dulu ada 3 ekor kucing kampung yang sengaja dipelihara oleh Ibu. Awalnya kucing-kucing itu hanya lewat saja di halaman belakang. Melihat itu, Ibu pun menyiapkan makanan kucing. Sejak saat itu mereka jadi binatang peliharaan kami.
Aku sih oke-oke saja dengan kucing-kucing ini. Tetapi Ayah kurang setuju. Ayah gak suka kucing, katanya berisik dan bau. Tapi Ayah tetap mengizinkan kucing-kucing itu keluar masuk rumah kami seenaknya. Itulah Ayah. Dia selalu mengabulkan setiap permintaan Ibu.
Kehidupan keluargaku dulu bisa dibilang harmonis. Ayah dan Ibu sangat menyayangiku, terutama Ibu. Tapi siapa sangka, hal itu pulalah yang memisahkan Ibu dariku dan dari Ayah.
Usai Ibu dimakamkan, Ayah termangu memandangi nisan. Sesekali, aku melihat bahunya terguncang menahan tangis. Tapi ketika kutanya, matanya menatapku dengan pandangan aneh yang tak pernah kulihat sebelumnya. Aku pun tak berani bertanya lagi.
Kemudian, aku duduk beberapa langkah dari Ayah. Aku menjaga jarak supaya pandangan matanya tidak membuatku terluka lebih dalam. Kupikir, Ayah butuh waktu untuk diam, merasakan kesedihannya. Mungkin, saat pulang Ayah akan kembali merangkulku dan
mengatakan betapa dia menyayangiku seperti menyayangi Ibu. Nyatanya, sampai kami pulang, Ayah masih diam. Di hadapanku, Ayah menjelma jadi orang asing.
Aku jadi takut mendekati Ayah. Kau tahu, aku hanyalah anak berusia sepuluh tahun yang dibesarkan dengan cara yang menyenangkan. Aku tak pernah melihat Ayah seperti ini. Hidup tapi seperti tak bernyawa. Ayah seakan lupa cara tertawa.
Dua hari setelah pemakaman Ibu, dia mengemasi pakaiannya dan pakaianku.
" Kita mau pergi, Yah?" tanyaku ingin tahu. Ayah diam. Lalu, dia mulai memasukkan pakaianku ke dalam tas yang berbeda. Aku mulai cemas. Dadaku sesak. Tapi aku berharap dugaanku salah.
" Ayah mau pergi ke mana?" bisikku.
Ayah menatapku. Aku melihat kesedihan sekaligus kebenci an di dalam matanya. Tiba-tiba, aku merindukan pelukannya.
" Ayah mau kerja, di tempat yang jauh."
Itu kalimat pertama yang dikatakan padaku sejak pemakam an Ibu.
" Ke mana? Kian boleh ikut?" Tenggorokanku tercekat. Jantungku berdegup kencang dan perasaanku tak enak.
Ayah menggeleng. Dia kembali menatapku dalamdalam. Kali ini, aku melihat air mengambang di sudut matanya.
Tenggorokanku tercekat. Kering. Saat itu aku mengerti, aku dan Ayah akan pergi ke tujuan yang berbeda.
" Yah& " Aku menarik tangan Ayah, mencari kehangatan di dalam tangan kekar itu.
Ayah menolak kugenggam. Pelan-pelan, mataku berair.
Bab 4
Rainy
" E h, Mbak Gerimis& ." Mas Mono, penjaga
sekaligus petugas cleaning service di rumah kosku menyambut sambil cengar-cengir. Satu-satunya orang yang memanggilku dengan sebutan " Mbak Gerimis" hanyalah dia.
" Mau ambil buku-bukunya, Mbak?" " Iya, Mas. Tolong bantu, ya," pintaku.
Di sebelahku Ghea menahan tawa. Matanya mengatakan makan-tuh-omongan-tempo-hari. Aku balas memelototinya. Biarin-pegel-tahu. Kadang, aku heran dengan kemampuan kami bicara melalui pandangan mata. Bersahabat sejak usia tujuh tahun membuat kami mengerti apa yang dipikirkan satu sama lain, tanpa perlu berkata-kata. Kurasa, Ghea dan aku saling mengerti perasaan masing-masing. Ghea juga yang menemukanku menangis di taman hiburan setelah Ben pergi. Tanpa bertanya sedikit pun dia membawaku pulang dalam keadaan basah mirip kucing tercebur got. Seperti kucing tadi pagi.
" Beres, Mbak." Mas Mono dengan sigap berjalan menda hului kami.
Selasar kos tampak sepi. Hanya terlihat sandal dan
sepatu berjajar di depan setiap pintu kamar. Karena itulah aku sengaja datang siang-siang, saat penghuni kos yang lainnya beraktivitas di luar. Aku menghindari pertanyaan teman-teman kosku. Tak satu pun dari mereka yang tahu ke mana aku pindah dan mengapa.
Aku membuka pintu kamar. Aroma pewangi ruangan langsung tercium. Bau lemon segar yang kurindukan.
Kamar itu terlihat kosong tanpa karpet dan foto-foto di dinding. Tak bisa kupungkiri, aku rindu tempat ini. Mama boleh saja menentangku habis-habisan waktu aku memilih ngekos di tempat ini ketimbang tinggal di rumah sewaan Mama.
" Mama khawatir kamu sakit. Tempatnya sempit. Pengap," ujar Mama sambil mengernyitkan dahi.
Namun aku terlanjur menyukai rumah kos ini. Secara keseluruhan tempatnya bersih. Setelah aku tinggal di sini, aku baru tahu Mas Mono biasa mengepel lantai lebih dari dua kali sehari.
" Kemarin Mas Ben ke sini, lho, Mbak," kata Mas Mono tiba-tiba.
Aku dan Ghea langsung berpandangan.
" Mas nggak bilang, kan aku pindah ke mana?" Cemas menjalari hatiku. Mas Mono mengangkat kardus buku pertama ku dengan sigap, memutar tubuhnya ke hadapanku.
" Ya nggaklah. Saya kan nggak tahu Mbak pindah ke mana," katanya. " Saya masukkan ke mobil dulu ya, Mbak," pamitnya.
Mas Mono mengangguk. Dengan cekatan, dia membawa kardus itu berlalu dari hadapan kami. Ghea menyenggol lenganku.
" Ben belum nyerah loh," katanya serius. " Beberapa kali dia nelpon sampai aku pengen ganti nomor telepon deh," keluhnya kesal.
" Aku udah putus ama dia. Kalau dia nggak terima silakan. Sudah cukup semua perlakuan buruknya padaku." Mataku tiba-tiba memanas. Peristiwa buruk saat hujan deras itu masih sering terlintas di kepala. Kalau perasaan itu yang muncul, seluruh tubuhku bersekongkol memusuhi sosok Ben.
Tapi sebaliknya, kalau teringat saat-saat manis bersamanya, aku bisa berbalik nangis semalaman sampai harus mengganti sarung bantalku. Mulutku bisa saja bilang menolaknya, tapi hatiku berkata sebaliknya. " Aku rindu Ben...," ucapku seperti tanpa sadar. " Please, deh. Buat apa kamu merindukan cowok kayak gitu? Ben overprotective. Dia melarangmu bertemu temantemen cowokmu. Dia membuatmu jadi orang lain. Paling parah, dia memakimu di depan umum," geram Ghea.
" Ngomong itu mudah," gerutuku. Dari dulu, Ghea paling gak suka aku dekat dengan Ben. Tapi tak seperti biasanya yang terjadi, aku menolak mentah-mentah bujukannya untuk menjauhi Ben. Jadilah kami sering berdebat soal Ben. Menurut Ghea, ada banyak cowok yang lebih pantas mendapatkan cintaku. Sayangnya, telingaku seolah tuli mendengar ocehannya tentang Ben.
" Melupakan itu juga mudah," cetus Ghea melempar bantal. " Ingat saja kelakuan buruknya. Bagaimana dia membuat pipimu lebam hingga kamu tak keluar kamar berhari-hari," kecam Ghea kesal. " Kalau kau ingat hal-hal buruk itu, akan lebih mudah melupakannya."
Aku terdiam. Kalau sikap Mama yang overprotective bisa membuat aku jengah dan ingin menghindar, seharusnya aku pun bisa bersikap begitu pada Ben. Kebencian pada sikap seseorang mestinya mudah membuat menjauhinya. Tapi tidak jika orang itu adalah orang yang paling kau cintai. Aku meralat sendiri pernyataanku. Dasar plin plan, makiku. Betapa lemahnya aku!
" Besok jadi mau cari kerja part time?" Suara Ghea membuyarkan lamunanku.
" Aku kemarin lihat ada kafe yang dipenuhi buku Ghe... besok coba aku tanya-tanya deh," jawabku.
" Perlu ditemenin? Kebetulan aku besok gak ada kerjaan, ma les Sabtu di rumah aja." Aku tahu Ghea pasti khawatir. bekerja bukanlah hal yang biasa bagiku. " Oke... jam 10-an ya."
" Ada lagi yang perlu dibawa, Mbak?" Mas Mono udah berdiri di depan pintu, siap-siap mengangkat kardus yang masih tertinggal.
" Masih banyak, Mas. Tuh." Ghea menunjuk tiga dus yang tersisa.
" Saya bakal kangen pinjam buku-buku Mbak Rainy," komentar Mas Mono.
Mau tak mau aku tersenyum. Aku takkan segan
suka membaca, meski SMP pun tak lulus. " Di perpustakaan juga banyak, Mas," hiburku. " Iya. Tapi buku Mbak Rainy bagus. Saya juga bisa banyak tanya sama Mbak Rainy," alasannya. " Eh, kalau nanti Mas Ben datang lagi, saya mesti bilang apa?" ucapnya polos.
Aku menerawang sejenak. Sosok Ben yang tampan dan selalu rapi itu mampir di benakku. Biar begitu, aku masih sayang dia. Benar kata orang, cinta pertama itu tak terlupakan.
" Bilang saja, saya nggak mau ketemu dia lagi," kataku dengan suara bergetar.
Mas Mono melongo, seakan ingin bertanya macammacam. Tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah, " Sayang sekali& Padahal, Mas Ben itu cowok idaman. Keren, kaya, kayak bintang ilm& "
Aku mendengar Ghea hampir tersedak menahan tawa. Namun entah mengapa, aku malah ingin menangis mendengar ucapan polos Mas Mono.
Kian
Terakhir aku merasakan jantungku berdebar luar biasa karena sebab yang gak pasti itu waktu SMP. Dan sekarang aku kembali merasakannya. Dan ini aneh, hei... aku hanya akan memberikan kucing ini kepadanya. Tidak ada
maksud lain. Yah... mungkin aku akan coba menanyakan namanya atau sekadar basa-basi biasa, layaknya tetangga.
Malam ini, aku berdiri di depan pintu kamar cewek berwajah muram itu. Tadi sore, aku sudah mengetuk pintunya beberapa kali, tapi tidak ada respon. Mungkin dia pergi.
Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya pintu itu terbuka. Aku yakin, dia sudah melihatku dari lubang kecil di pintu itu.
" Ada apa?" Pertanyaan ketus itulah sapaan pertamanya. Aku tak akan pernah melupakannya.
" Nih. Kucingmu," kataku sambil tersenyum ramah dan me nyodorkan kucing kecil itu. " Sudah kumandikan." Dia melongo.
" Kenapa kau berikan padaku?" " Buat kamu saja," jawabku mulai kesal.
Dia menggeleng. Lalu menutup pintu dengan kasar. Tepat nya membanting pintu itu di depan hidungku. Aku kembali mengetuk pintunya. Tidak ada jawaban. " Kenapa sih cewek ini," ujarku kesal.
Aku kembali ke kamarku dengan penuh tanda tanya dan jengkel. Ada apa dengannya? Apa dia itu semacam anti sosialKucing ini harus dipelihara sama cewek jutek itu. Begitulah niatku waktu bangun pagi ini. Dan di sinilah aku. Kembali
kuketuk pintu cewek itu dan tak lama kemudian wajah bangun tidurnya muncul di hadapanku.
" Ada apa sih pagi-pagi kayak gini? Ganggu tahu!" Cewek ini benar-benar tidak ada manis-manisnya.
" Oke, biar kucing ini yang memutuskan akan ikut siapa." Aku meletakkan kucing itu di lantai. Dia mengendusendus beberapa saat di kakiku. Lalu mengeong perlahan. Dalam hati aku berharap dia memilih tinggal bersama cewek itu.
Aku hampir meloncat karena girang ketika kucing itu menyelinap di antara kedua kaki cewek galak itu. " Lihat dia menyukaimu," ujarku girang.
Dia tak menanggapi dan hanya melihat dengan mata ngantuknya ke arah kucing kecil yang malang itu. Tapi sorot matanya tiba-tiba berubah sendu dan lembut. Dia mengambil kucing itu dan mengelusnya.
" Kamu cuma mau mengantarkan kucing ini, kan?" tanyanya kem bali garang.
Aku menggaruk-garuk kepala. Cewek ini benar-benar ketus.
" Memangnya nggak boleh ya kalau aku mau ngobrol?" Aku ber tanya balik. " Ngomong-ngomong, kita belum kenalan."
Dia melengos. " Kian," kataku.
Ogah-ogahan dia menyambut. " Rainy," ujarnya singkat.
" Rainy? Gerimis?" Aku memastikan ejaan namanya.
Mungkinkah karena itu dia selalu tampak ingin menangisDia mengangguk dengan pandangan memangnyakenapa?-Masalah-buat-luAku mengacak rambut, salah tingkah.
" Moga-moga Browny betah bersamamu ya." Aku tak tahu harus berkata apa untuk meredakan kebekuan ini. " Browny?"
" Nama kucing itu. Aku memberinya nama Browny, kalau kamu gak keberatan, itu nama kucingku waktu kecil," kataku lagi. " Oya, maafkan aku. Soal kemarin& "
" It s okay." Dia mengibaskan tangan. Lebih seperti ingin mengusirku.
" Aku tak bermaksud mengganggumu. Hanya saja& " Mataku menerawang. Tiba-tiba aku ingat Ibu. Karena itulah aku tak tahan melihat perempuan murung, seperti Rainy.
" Kiaaan! Ngapain kamu pagi-pagi?" Tiba-tiba suara cempreng Fey terdengar dari ujung lorong.
" Ehm& " Rainy berdehem. " Aku ke dalam, ya," pamitnya.
Tanpa menunggu jawaban, dia masuk. Aku bisa membayangkan dia mengembuskan napas lega di balik pintu. " Hei," Fey menyentakku, " bengong aja."
Aku tergagap. Di depanku, Fey melebarkan senyum. Kontras sekali dengan gadis bernama Rainy yang jutek itu.
" Aku ke kamar dulu ya," ujarku sambil melangkah
Rainys Days Karya Fita Chakra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masuk ke apartemenku. " Kiaaan!"
Aku harus segera berangkat ke toko bunga. Aku kembali memeriksa kompor dan peralatan listrik lalu segera kusambar jaket dan kunci apartemen. Waktu kubuka pintu, Fey sudah ada di sana dengan tatapan curiganya. " Mau ke mana Kian?" tanyanya manja.
" Fey& aku hari ini sibuk banget, jadi mesti buru-buru. Sorry ya, kita ngobrol lain kali aja. Bye Fey."
Setelah mengunci pintu aku bergegas menuju lorong. Ada banyak hal yang harus kulakukan hari ini. Aku tak ingin Fey menggangguku. Sebisa mungkin kusembunyikan tempatku bekerja karena Fey bukan orang yang pas untuk diberitahu mengenai tempat itu.
Sambil berjalan menuju lift kuingat-ingat raut muka Rainy. Wajahnya yang polos tanpa make up itu selalu terlihat pucat. Rambut nya terurai panjang, sebagian mencuat di sisi-sisi wajah nya seperti ingin menyembunyikan kecantikannya. Aku tersenyum sendiri mengingat sikap juteknya yang justru me narik perhatianku.
Ada banyak cewek yang berusaha menarik perhatianku. Dari yang bermata bulat seperti komik-komik Jepang, hingga menyipit di sudut seperti mata kucing. Dari yang terang-terangan membuntutiku, sampai yang curi-curi pandang dari kejauhan. Tapi justru cewek yang cuek, jutek, dan pemurung ini membuatku penasaran. Mungkin karena dia mirip Ibu... yah bisa jadi karena itu.
Bab 5
Rainy
A ku menghirup udara dalam-dalam. Bau buku di
mana-mana membuatku nyaman. Aku senang menemukan tempat ini. Lebih senang lagi karena hari ini aku mulai bekerja. Mulai hari ini, aku harus lebih cermat mengatur waktu. Pagi sampai siang untuk kuliah. Sore sampai malam bekerja. Mungkin aku harus lebih bekerja keras. Tapi tak mengapa, memang ini mauku. Syukurlah aku masih mendapatkan libur sekali dalam seminggu.
Gaji pegawai di Kafe Buku ini tidak sampai seperempat uang bulanan dari Mama. Tapi setidaknya uang itu kuperoleh dari hasil kerjaku sendiri. Aku sudah berniat, pelan-pelan ingin mandiri. Bukan karena tidak ingin merepotkan Mama. Tapi lebih karena aku mau melepaskan diri dari dikte Mama.
Mama marah besar ketika aku bilang ingin pindah kuliah dari sekolah fashion desain ke jurusan Jurnalistik. Wajahnya merah padam seperti bom waktu yang siap meledak. Aku sampai menggigil melihatnya. Tapi sudah kepalang basah. Lebih baik melakukannya sekarang, atau menyesal selamanya. Sudah cukup lama aku jadi anak penurut. Sekarang waktunya aku memperjuangkan keinginanku.
" Mau jadi apa kamu?" Mama mencibirku habis-habisan. " Kamu lebih baik jadi desainer, sambil meneruskan usaha Papa." Aku bergeming. Seumur hidupku Mama sudah mengaturku seperti robot. Mama ingin menjadikanku seperti dirinya di masa lalu. Cantik dan sukses di bidang modeling.
Semilir angin dari jendela besar di sebelahku meniup lem but anak-anak rambut. Kafe ini memiliki jendelajendela besar yang membuatnya tak terlalu membutuhkan pendingin ruangan. Hanya ada dua pendingin ruangan, di dapur dan satunya di dalam kafe. Itupun tidak terlalu sering digunakan karena udaranya cukup adem.
Di bagian depan kafe, terdapat tumbuhan rambat yang menaungi sebagian terasnya. Beberapa meja berbentuk lingkaran ada di bawahnya. Aku paling suka bagian itu. Namun, tempat yang mudah terlihat sama sekali bukan pilihan yang baik. Jadi aku me milih membaca di tempat favorit kedua di kafe ini, yaitu di salah satu meja di sudut ruang yang paling dekat dapur. Tepat di samping salah satu jendela, di mana aku bisa membaca diterangi cahaya matahari.
Aku membalik-balik buku yang kubaca dengan cepat. Buku yang mengasyikan seperti ini bisa membuatku terhanyut suasana. Aku sering lupa waktu saat membaca. Tak banyak yang mengunjungi kafe ini di pagi sampai siang hari. Umumnya, mereka berdatangan saat jam makan siang. Kalaupun ada yang datang, yang mereka lakukan hanyalah memesan minuman dan makanan ringan sambil membaca
atau browsing. Kafe ini juga dilengkapi free wii. Tak heran jika suasananya hening. Itu karena para pengunjung lebih suka berdiam ketimbang ngobrol dan tertawa-tawa.
" Rainy," panggil Nadia, teman kerjaku. " Jam istirahat. Kamu gak makan?" tanyanya sambil melipat celemek. Nadia, pelayan kafe buku tempatku bekerja. Dia sudah bekerja hampir setahun lamanya.
Aku menggeleng pelan. Perutku berkriuk-kriuk sesaat, seolah mendengar pertanyaan Nadia. Tak kuhiraukan bunyi itu. Aku sudah biasa mendengarnya. Salah satu hal yang kusuka dari kafe ini, aku bisa mengalihkan rasa laparku dengan membaca buku.
" Wajahmu udah kayak orang yang tiga hari nggak makan, pucat banget," komentar Nadia mengamatiku. Lama kelamaan, aku merasa dia bisa menebak isi hatiku. " Wajahku sudah dari sananya begini."
Aku menunduk, menatap buku di hadapanku. Hurufhuruf di dalam buku itu terlihat mengabur. Kepalaku sedikit pusing. Mungkin karena minusku bertambah. Tiba-tiba, aku takut Nadia semakin cerewet, seperti Ghea. Seperti Mama. Seperti Ben.
Nadia mengangkat bahu, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. " Ya udah deh. Aku keluar sebentar ya. Tolong jaga kafe." Nadia menutup pintu hingga lonceng di pintu ber ge merincing. Tak lama, tubuh mungil yang lincah itu sudah meng hilang dari pandangan.
Sesaat, aku tergoda melihat cermin di dinding pantry. Wajahku memang tampak pucat. Mataku yang besar dihiasi
lingkaran hitam. Ah, tapi pipiku masih chubby. Tanpa sadar jemariku mencubit pipiku. Aku heran, mengapa pipiku masih saja terlihat chubby? Padahal aku sudah menjaga makanku.
Ting& ting& ting&
Suara lonceng di pintu berdenting, menandakan ada orang yang masuk.
" Ada yang ketinggalan, Nad?" teriakku dari dalam. " Ehm& permisi?" suara seorang cowok membuatku memutar badan. Releks, aku berjalan keluar. Sedikit limbung, karena pusing.
" Maaf, saya pikir teman& " Kalimatku menggantung seketika. Rasanya aku mengenali cowok itu. Kupicingkan mata. Ini cowok menyebalkan yang tinggal di samping apartemenku. Cowok sok pahlawan yang nyelamatin si kucing waktu itu. Kalau tidak salah namanya Kian. Kenapa takdir selalu menemukanku dengan orang yang tak ingin kutemui? Lagipula mau ngapain dia ke sini? Tampangnya tidak seperti orang yang suka baca buku.
Senyumnya melebar dan itu membuatku sebal, entah kenapa. Rambutnya acak-acakan, itu juga membuatku sebal. Memang sih, kalau dilihat-lihat tetanggaku ini cakep, tapi aku tidak suka. Entah karena aku lagi lapar atau memang cowok ini menebarkan aura aku-orang-yangmenyebalkan, aku jadi benar-benar kesal dengannya.
Aku menatapnya dengan pandangan tidak suka. Biar saja, biar dia tahu kalau aku tidak menyukainya. Ehh... dia malah tersenyum makin lebar.
" Hei... kita ketemu lagi! Rupanya kamu kerja di sini ya? Wah, asyik banget dong," katanya ceria.
Mendadak wajah Ben muncul di benakku. Perkenalanku dengannya diawali dengan basa-basi konyol seperti ini di kantin kampus lamaku. Mungkinkah cowok ini sama seperti Ben? Apakah dia suka mempermainkan cewek? Aku memandangnya penuh selidik. Tapi dia tak menyadarinya. Malah, dia melihat-lihat sekeliling kafe, seolah menyelidik atau berusaha mencari bahan pembicaraan lain.
" Hujan kemarin menyenangkan, ya? Bunga-bunga itu jadi terlihat lebih segar." Dia memandang deretan bunga mawar di luar kafe.
Aku hampir melengos kalau tidak ingat Nadia bisa mencak-mencak jika aku bersikap kasar pada pelanggan. Jadi, kutahan kekesalanku.
Aku tidak, bantahku. Tentu saja dalam hati. Aku tidak suka hujan. Hujan itu identik dengan tangis. Tangis itu sedih. Dan aku benci sedih. Tapi seolah menegaskan kesedihan, aku jarang tersenyum. Apalagi tertawa. " Mau pinjam buku?" tanyaku datar.
" Aku cuma mau duduk sambil ngerjain tugas," ujarnya sambil berjalan ke salah satu meja yang kosong. Dia duduk lalu mengeluarkan laptop dan beberapa buku. Aku mendengus. Oh, jadi numpang ngetik saja? " Pesan susu cokelat hangat, ya," katanya lagi. Aku hampir terkikik. Susu cokelat hangat? Cowok ini aneh. Tapi aku berlalu juga ke dapur, tanpa berkomentar. Tepat ketika aku sampai di dapur, lonceng berbunyi lagi.
Siapa lagi yang datang? Kuharap bukan Fey, tetangga depan kamarku yang sama mengesalkannya dengan cowok itu.
" Ngapain kita ke sini?" Aku terkesiap. Suara itu&
" Aku suka di sini. Suasananya tenang. Dan banyak buku." Seorang cewek menanggapinya dengan manja.
Penasaran, aku mengintip. Beruntung sekali ada tirai yang menutup dapur sehingga para tamu tak melihatku. Seketika, jantungku berdetak lebih kencang.
Benar. Dia Ben. Bersama seorang cewek yang kurus, tinggi, dan cantik. Dia mengenakan atasan tanpa lengan dan celana panjang berbunga-bunga yang kelihatan pas di badan. Siapa dia? Apakah dia pacar Ben yang baru? Jika benar begitu, mudah sekali dia melupakanku!
Kakiku membeku seperti es. Terpancang di lantai beberapa saat. Aku tak menyangka Ben datang ke kafe ini. Sampai kia mat pun aku yakin, tempat yang banyak bukunya tidak akan didatangi Ben.
Hatiku mendadak kesal. Sudah sering aku mendengar cerita tentang Ben yang bersama banyak cewek. Tapi baru kali ini aku melihatnya sendiri. Salahku sendiri, selalu percaya saja padanya. Hanya karena dia bilang bahwa akulah cewek yang paling dicintainya. Oh ya? Benarkah aku yang paling dicintainya? Di antara berapa cewek lain? Yang kutahu, seharusnya cinta hanya diberikan pada satu orang, karena hati tak bisa dibagi.
Hatiku seolah ditusuk ribuan jarum bersamaan. Kalau
saja bisa, aku ingin melemparkan Ben ke palung terdalam yang ada di dunia ini. Bodohnya aku! Seharusnya aku tahu hal ini sejak lama!
Aku mondar-mandir di dapur tanpa bisa memutuskan harus ngapain. Kedua tanganku mengepal erat karena geram. Otakku menyuruhku kabur dari tempat ini. Tapi kakiku tak mau. Nalarku masih jalan. Satu-satunya jalan keluar dari kafe ini ada di depan. Artinya, aku harus melewati mereka.
" Aku tidak suka di sini. Pindah saja, yuk. Malas di sini. Cari kafe yang lebih keren, Laras. Kau pikir duitku cekak?" Ben bersuara dengan nada sinis. " Lagipula, aku tak suka bersama buku-buku ini."
Tubuhku kaku, menempel di dinding dapur. Telingaku merekam pembicaraan itu. Meski geram, tak ada niat untuk meng gertaknya. Lebih baik, Ben tidak melihatku.
Beberapa detik kemudian kudengar gadis itu berkata, " Cuma ini kafe yang dekat dengan kampusku Ben. Bentar lagi aku ada kuliah, jadi nggak boleh telat," jawab si cewek itu.
" Kamu kira aku jauh-jauh datang ke sini hanya untuk nemenin kamu nunggu jam kuliah?" Nada sudara Ben mulai meninggi dan itu pertanda kalau dia tidak mau dibantah.
" Baiklah, ke kafe yang kau mau saja, Sayang," kata cewek itu mengalah.
Kuintip dari jendela samping, memastikan mereka benar-benar pergi. Setelah kudengar langkah kaki mereka
menjauh, barulah aku mengambil sebuah gelas dan mengisinya dengan cokelat hangat pesanan Kian. Ting& ting& ting&
Lonceng berbunyi lagi.
Aku kembali terkesiap. Takut Ben datang lagi. " Kenapa kamu?" Nadia masuk ke dapur. " Mukamu pucat banget."
Aku menggeleng lemah. Mulutku kaku, mendadak bisu.
" Makanya, makan dulu sana." Nadia mendorongku, mengambil alih cangkir berisi susu cokelat yang sudah kubuat. Tubuh Nadia kecil mungil, tapi dorongannya membuatku hampir jatuh. Tubuhku sempoyongan, hingga terpaksa kutahan tanganku kuat-kuat di pinggir meja. Sebegitu lemasnyakah akuKurasa, aku perlu udara segar. Napasku sesak. Aku sampai mengira alergiku kambuh.
" Maaf& Susu cokelatku sudah jadi?" Suara Kian mengagetkan kami.
" Sudah berapa lama kamu mematung di sini?" Nadia menyelidik. Lalu sigap dia menoleh pada Kian, reaksi spontannya sebagai pramusaji membuatnya merespon Kian. " Maaf, lama menunggu. Sebentar lagi diantar, Mas." Nadia buru-buru menja wab pertanyaan Kian.
" Baiklah. Kukira susu cokelatnya habis," tawa Kian ter dengar.
" Persediaan cokelat kami cukup untuk setahun ke depan," Nadia membalas candanya.
Kian berlalu kembali ke tempat duduknya. Sementara aku, berdiri seperti murid ketahuan mencontek. Aku tersudut di pandangi Nadia sedemikian rupa. Semoga dia tak meng anggapku tidak becus bekerja karena kejadian ini. Kuharap dia juga tak melaporkanku pada Bu Sisil.
" Aku& aku istirahat dulu," putusku, tak tahan melihat tatapannya yang menyelidik itu. Lalu aku berlari tanpa menghiraukan tatapan heran Nadia, melewati pintu yang berdenting-denting. Saat aku melintas di depan Kian, dia menatapku seperti Nadia.
Samar-samar aku mendengar Kian bertanya pada Nadia.
" Kenapa dia? Apakah dia sakit?"
Entah pendengaranku yang sedang sensitif atau memang begitu adanya. Aku mendengar nada khawatir. Alih-alih merasa senang diperhatikan, aku malah bertanya-tanya. Ada apa hari ini? Semuanya terasa salah di mataku.
Aku berlari sekuat tenaga yang kubisa. Tapi perasaanku mengatakan aku lebih mirip siput daripada kelinci. Tubuhku lemas luar biasa. Keringat dingin deras mengalir di keningku.
Aku duduk di kursi pertama yang kutemukan kosong di depan kedai crepes. Kuusap keningku dengan kasar. Pelayan kedai crepes memandangiku, berharap aku memesan makanan. Aku ingat perutku yang lapar.
" Satu beef and cheese," kataku tanpa berpikir lagi. Masa bodoh dengan dietku. Aku tak peduli apa kata Mama.
tekadku menguat. Yang kuinginkan saat ini hanyalah mengisi perutku.
Pelayan itu mengangguk cepat.
Tiba-tiba, aku teringat mimpi burukku tadi malam. Kukira, bertemu Ben dalam mimpi itu menyenangkan. Nyatanya, mimpi pun sama buruknya dengan kenyataan. Aku mulai memahami satu hal. Jika orang yang kausayangi justru membuat hidup dan mimpimu sama buruknya, sudah seharusnya kamu meninggalkannya.
" Ini Mbak, pesanannya." Satu crepes beef and cheese berpindah tangan.
Aku menggigitnya perlahan. Sesaat menikmatinya masuk ke dalam mulutku, melalui kerongkongan, dan memenuhi lambungku. Lumayan untuk ukuran perut yang belum diisi seharian.
Saat aku menggigitnya untuk ketiga kalinya, sesuatu mendorong makanan yang ada di dalam lambungku keluar. Pusing ku menjadi. Aku mual. Cepat-cepat aku berlari ke wastafel di samping kios tersebut.
" Hueek!"
Aku muntah lagi. Lemas.
" Mbak, kenapa? Mbak sakit? Atau crepes-nya nggak enak?"
Aku menoleh. Pelayan kios menatapku cemas. Tapi aku justru merasa sial. Muntah di tempat umum benarbenar membuatku malu. Aku mengibaskan tangan, menyuruhnya pergi.
" Tak apa. Hanya mual," usirku.
Pelayan itu mengangguk lagi. Lalu menyingkir dari hadapanku.
" Rainy& "
Aku menoleh, menemukan Kian di hadapanku.
Kian
" Kamu ngikutin aku?" ujar Rainy terlihat kesal. Kurasa dia ingin menutupi rasa malunya.
" Aku cuma khawatir," kataku. " Kuantar pulang, yuk." " Nggak perlu. Aku bisa sendiri," tolaknya. Aku memandangnya ragu.
Lalu tiba-tiba matanya berkejap. Tubuhnya limbung. Cepat kutangkap tubuhnya.
" Tuh, kan. Oke, duduklah," putusku sambil memaksanya duduk.
Aku melambaikan tangan pada pelayan crepes yang berdiri di dekat Rainy, kemudian kupesan sesuatu padanya.
Di depanku, Rainy terlihat sepucat kertas. Berkali-kali dia menelan ludah.
" Mual?" tanyaku.
Dia mengangguk. Kurasa, dia sibuk bergulat melawan rasa mual.
Rainy tergolek di salah satu kursi. Tubuhnya seakan tak punya daya, bahkan untuk sekadar menggerakkan tangan. Aku yakin, dia malu terlihat seperti ini di hadapan orang
asing. Tapi, tak ada yang bisa diperbuat saat tubuhnya benar-benar lemah.
Aku memesankan minuman hangat untuknya, lalu menyodorkannya tepat di mulutnya.
" Minumlah," ujarku setengah membujuk.
Seperti anak kecil yang disuapi ibunya, dia menurut. Rainy pun meneguk teh manis itu pelan-pelan. Kuharap, rasa manis teh itu membuat tubuhnya kembali bertenaga. " Gimana rasanya? Lebih baik?"
Rainy mengalihkan pandangan ke jalan. Pandangannya terlihat cemas. Berkali-kali dia melesakkan topi pet lebih dalam, padahal tak ada yang salah dengan letaknya. Beberapa orang mahasiswa melintas. Ada yang berombongan, ada pula yang sendiri.
" Nih, makan dulu," kataku lagi. Crepes baru pesananku datang.
Dia menggeleng pelan. Melihat crepes itu, mungkin dia teringat rasa mualnya.
" Makasih," desisnya nyaris tak terdengar.
Aku menatapnya. Beberapa pertanyaan sudah berbaris ingin keluar dari mulutku. Tapi dari tatapan matanya aku tahu kalau dia sedang tak ingin menjawab pertanyaan apa pun. Sepertinya dia tak ingin bicara apa-apa saat ini. Apalagi dengan orang asing.
" Jangan sampai lupa makan karena kerja donk," tegurku.
Dia diam seribu bahasa. Entah apa yang dipikirkannya tentangku kali ini. Diam-diam, aku memandangi wajahnya.
Namun, tetap saja, aku merasa dia menjaga jarak denganku. Aku harus lebih berhati-hati bicara pada cewek ini. Rainy berdiri, sempoyongan.
" Hei, mau ke mana?"
" Pulang," jawabnya pendek. " Kuantar, ya?"
Dia menggeleng lemah. Namun aku tetap berdiri, menyam bar tasku, dan berjalan di sampingnya.
" Ayolah Rainy& kita kan tetanggaan. Toh aku juga mau pulang," sahutku tak sabar.
Dia hanya diam saja tapi aku tetap berjalan di sampingnya. Kami lebih banyak diam hingga beberapa menit kemudian. Sesekali, aku meliriknya saat dia tak melihatku. Aku ingin mengetahui banyak hal tentang dirinya. Tapi diamnya membuat ku tak berani bertanya. Kami tiba di depan kamar masing-masing. Aku ingin masuk ke kamarnya dan membuatkan bubur atau apalah yang bisa membuatnya lebih baik.
" Lain kali, kalau kulihat kamu pingsan lagi, aku bakal nanya sama pemilik kafe, apakah dia memberimu makan," candaku sebelum masuk ke dalam kamar.
Dia menarik kedua ujung bibirnya. Lalu mengibaskan tangan mengusirku.
Aku bersyukur, dia tidak meradang karena secara tidak langsung, aku menuduhnya tak pernah makan. Anehnya, kali ini dia tidak sekesal kemarin. Mungkin, hari-hari berikutnya, dia akan lebih ramah padaku.
Bab 6
Rainy
H ariku sungguh-sungguh kacau belakangan ini.
Setelah Kian memergokiku muntah dan hampir pingsan, kurasa sekarang dia akan berpikir yang tidaktidak tentangku. Tapi sesung guhnya, aku pun merasa ada sesuatu yang salah pada diriku.
Pagi ini, aku bangun dengan rasa sakit menjalar di seluruh tubuhku. Kurasa, aku perlu istirahat hari ini. Jadi, kuputuskan untuk menelepon Nadia mengabarkan kalau aku tidak bisa masuk hari ini.
Baru saja kuraih ponselku, benda itu berbunyi nyaring.
" Halo," sapaku malas-malasan. Kulihat nomor telepon yang masuk tak terdaftar dalam kontakku. Hampir kututup ponselku kalau saja tidak terdengar suara yang amat kukenal.
" Rainy, jangan coba-coba lari dariku. Aku sudah tahu tempat persembunyianmu." Suara berat seorang cowok membuat napasku hampir terhenti.
Aku tercekat seketika. Lidahku kaku.
" Ben? Da& Dari mana kamu tahu nomorku ini?" tanyaku. Aku sudah mengganti nomor ponselku setelah kami berpisah.
" Aku gak mau putus," kejarnya tanpa menjawab pertanyaan ku. " Kau pikir mudah pergi dariku? Aku sayang ama kamu lebih dari siapa pun, Rainy," katanya menghela napas.
" Oya? Lalu kenapa kamu memperlakukanku seperti itu? Begini caramu memperlakukan orang yang kamu cintai?" tuntutku.
Entah dari mana keberanian ini datang. Kurasa, aku takkan berani membentaknya jika kami berhadapan muka. Mendengar suaranya saja membuat bulu kudukku berdiri. Ben serupa hantu, datang dan pergi tak diundang. Namun tetap saja, ini membuatku ketakutan.
" Sudah kubilang, aku ingin kamu jadi lebih baik. Wajar, kalau aku ingin kekasihku terlihat istimewa," suaranya seperti menekanku.
" Sudahlah, Ben. Cari saja cewek lain yang lebih baik dariku," putusku.
" Rainy! Tunggu saja, aku akan menemuimu& " Kudengar nada suaranya meninggi, khas Ben saat marah. Aku bisa membayangkan raut wajahnya yang mengeras, seolah-olah dia hadir di sini. Kuakhiri pembicaraan dengan paksa. Lalu aku berjalan hilir mudik menyeberangi ruangan di dalam apartemenku. Berkali-kali.
Beberapa kali benda itu berdering. Aku bergeming. Aku meringkuk di kasur dengan tubuh menggigil. Ketakutan mem buatku tak bisa berpikir jernih. Ketika ponsel itu berbunyi kesekian kalinya, kulempar benda itu ke dinding.
Bersamaan dengan pecahnya ponsel itu, tangisku pun
ikut pecah. Entah apa yang kutangisi, kepergian Ben atau mengasihi diri sendiri. Ghea benar. Bersembunyi terus tak akan menyelesaikan persoalan.
Bagaimana jika dia datang ke sini" Meong.... meong." Suara kucing malang itu mengalihkanku. Aku teringat Kian, apa aku minta bantuannya sajaKucing itu berjalan ke arahku, sepertinya dia lapar. " Maaf ya... aku lupa lagi ngasih kamu makan. Kamu harusnya gak milih aku...." Seperti bisa mengerti keadaanku, dia bergelung di kakiku sambil mengibasngibaskan ekornya seolah berkata tidak apa-apa.
" Aku cari kamu ke kampus dan ke kafe, tapi kamu gak ada. Ada apa?" tanya Ghea cemas saat memasuki kamarku. Kami saling menelepon hampir setiap hari. Tapi karena ponselku rusak, aku tak bisa menghubunginya.
Aku menatapnya dalam diam. Mataku beralih pada kepingan-kepingan ponsel yang belum kubersihkan. Seharian tadi yang kulakukan hanyalah berdiam diri di kamar. Aku terlalu takut untuk keluar rumah.
" Ya ampun, kenapa ponselmu?" pekik Ghea. " Ben mene leponmu?" tebaknya tepat sasaran.
Aku mengangguk. Mataku mulai berkabut lagi. Ghea memelukku tanpa berkata-kata. Tangisku meledak. Suara Ben berdenging di telingaku.
" Shh& buat apa takut? Kamu sudah melakukan yang benar. Bayangkan kalau kamu masih pacaran sama dia, Rain," Ghea bergidik saat mengatakannya. " Bisa-bisa kamu tinggal nama!"
" Justru itu. Sekarang aku takut dia akan ke sini!" pekikku di antara tangis.
" Nggak akan. Di sini terlalu ramai. Mana berani dia menyakitimu. Kamu bisa teriak minta tolong kalau dia macam-macam." Ghea menyakinkanku.
Aku menghapus air mata dengan kasar. Tisu bertebaran di lantai kamarku. Mungkin, aku sudah menghabiskan satu kotak tisu karena tangisku hari ini.
" Dia bisa menamparku di muka umum, Ghea! Memangnya kamu nggak ingat?"
Ghea mengusap tanganku.
" Tentu saja aku ingat. Tapi di sini, ada banyak orang yang bisa kau mintai tolong. Lagipula, kalau kamu berada di ujung dunia, dia tetap akan mengejarmu. Tak ada bedanya kamu berada di mana. Cowok seperti itu egois. Kamu harus berani menghadapinya, Rainy."
Aku mengangkat wajah. Kamarku sama kacaunya dengan mukaku. Aku tak berani ke luar sebelum sembapku hilang. Browny bermain-main dengan tumpukan tisu. Keempat kakinya sibuk mencakari tisu-tisu itu. " Dari mana kucing itu?" tanya Ghea heran. " Nemu di jalan," jawabku asal.
" Hati-hati alergimu bisa kambuh kalau dekat-dekat kucing," Ghea memperhatikan tingkah Browny. " Lucu
Jaka Sembung 10 Mahligai Cinta Sepasang Sumpah Palapa Karya S D Djatilaksana Pendekar Mabuk 70 Hilangnya Kitab Pusaka
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama