Ceritasilat Novel Online

My Better Half 2

My Better Half Karya Indah Hanaco Bagian 2

" Kamu ternyata gigih sekali, ya? Tampaknya, kamu kesulitan mengerti pesan yang sudah kusampaikan. Aku...."

Maxim memotong dengan cepat. " Max, apa Mama pernah mengajarimu untuk bersikap tidak sopan kepada tamu? Mandilah dulu, setelah itu kamu boleh bergabung dengan kami."

Kendra terpesona melihat Maxim menuruti kata-kata ibunya tanpa sepatah pun kata bantahan.

" Dia memang kadang menyebalkan dan keras kepala. Tapi dia anak yang sangat penurut," kata Aurora sambil tergelak. Perempuan itu seakan bisa membaca suara benak Kendra dengan jitu. " Wah ... bagus itu...." Balas Kendra dengan kikuk. " Tante senang kamu datang ke sini. Kalau tidak, Tante mana mungkin tahu kalau Maxim diundang mengikuti acara Dating with Celebrity. Tante ini penggemar acara itu, lho!"

Ini satu hal yang tidak diduga Kendra. Tadinya dia yakin kalau ibu Maxim akan sama sombongnya dengan lelaki itu. Bukan hal aneh jika keangkuhan seperti yang ditunjukkannya merupakan warisan keluarga. Ternyata gadis itu salah. Bahkan kakak Maxim yang baru datang pun bersikap ramah padanya. Kini Kendra terpaksa meralat pendapatnya. Mungkin Maxim adalah seorang anak adopsi sehingga memiliki watak yang berbeda dan " Maxim sudah seharusnya menikah. Tapi bagaimana bisa kalau berkencan saja pun dia sudah hampir tidak pernah lagi? Anak itu terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai lupa untuk bersosialisasi. Sekarang, saat ditawari menjadi peserta acara kencan, malah bertingkah. Dia itu tidak punya waktu mencari pasangan. Jadi tidak ada salahnya kalau mendapat bantuan dari orang lain, kan?"

" Tadinya Maxim sudah bersedia, Tante. Tapi kemudian terjadi salah paham dan akhirnya dia membatalkan kesepakatan," kata Kendra hati-hati.

" Membatalkan? Mana bisa dia bersikap seenaknya!" Aurora tampak geli mendengar ucapan ibunya. " Siapa bilang, Ma? Bahkan tadi aku mendengar kalau ada yang menunggunya di kantor selama tiga jam. Dan Maxim malah mengusirnya begitu saja." Perempuan itu menatap Kendra. " Tadi itu kamu, ya?" Gadis itu memberi jawaban dengan sebuah anggukan pelan.

Cecil tampak kaget. " Dia mengusirmu?" suaranya agak meninggi. Meski ragu, Kendra akhirnya mengangguk lagi.

" Tidak apa-apa, Tante. Seperti yang tadi saya bilang, ada kesalahpahaman. Ini ... bukan masalah besar," katanya buru-buru. " Anak itu tampaknya harus diajari sopan santun." Aurora tidak menyembunyikan tawanya. " Ma, dia sudah terlalu tua untuk pelajaran itu."

Ketika Maxim bergabung dengan mereka bertiga, Cecil mengo melinya tanpa ampun. Pria itu tidak membela diri, meski Kendra bisa melihat ekspresi tidak sukanya. Gadis itu mulai berdoa sungguh-sungguh, semoga Maxim tidak pernah tergoda untuk menyiksanya karena kelancangannya hari ini.

" Ma, aku sungguh tidak punya waktu untuk acara menye ... reality show seperti ini," kata Maxim ketika akhirnya punya kesem-Cecil menggeleng dengan ketegasan yang mengagumkan. " Mama tidak mau mendengar alasan apa pun! Mama sudah berjanji pada Kendra, akan memastikan kamu menjadi peserta acara itu. Dan tentu saja Mama tidak mau dianggap sudah berbohong," balasnya.

" Ma..." Maxim tersenyum sabar. " Aku benar-benar tidak bisa...." " Sudah berapa lama kamu tidak berkencan? Mama tidak mau kamu melajang selamanya."

Kendra bisa melihat perubahan warna kulit wajah Maxim. Memerah.

" Tentu saja aku tidak akan melajang selamanya! Ma, kenapa kita membicarakan soal ini di depan seorang tamu?" cetusnya tidak nyaman. Maxim menyugar rambut lembapnya dengan ekspresi aneh. Lelaki itu jelas tampak tidak nyaman. Entah kenapa, Kendra menikmati momen itu. Ada rasa puas yang merayap di dadanya melihat Maxim terlihat tidak berdaya.

" Max, Mama tidak mau mendengar bantahan apa pun! Lagipula kamu sudah bertingkah tidak sopan hari ini, kan?" " Tidak sopan?" Maxim kebingungan.

" Ya," Cecil mengangguk. " Mbakmu sudah membocorkan sama Mama tentang tingkahmu yang tidak sopan tadi siang. Kamu meng usir Kendra setelah menunggumu selama tiga jam? Itu sulit untuk dimaafkan, Max!"

Mendadak semua penderitaan yang dialami Kendra karena Maxim, terbayar lunas. Berikut bunganya, malah. Melihat pria itu kesulitan bicara di depan ibunya, sungguh memberi kegembiraan yang luar biasa. Hilang sudah lelaki galak yang tidak punya empati itu. Yang tersisa, Maxim berwajah memelas sekaligus tak berdaya. Oh, puasnya!

Insiden Banyak Babak

You re the swimming pool On an August day

J adi ini taktikmu untuk membuatku setuju?" nada mengecam

terdengar jelas di suara Maxim. Kini mereka hanya ditinggal berdua karena Cecil dan Aurora ingin makan malam. Sebenarnya Kendra juga diajak serta, tapi tentu saja dia menolak mati-matian. Mana bisa dia menelan makanan dengan risiko dipelototi oleh Maxim.

" Aku tidak punya pilihan. Kalau kamu terganggu, aku minta maaf," kata Kendra. " Mbak Helen tidak...."

" Oke, aku setuju."

Kendra melongo. " Kamu barusan bilang apa?" tanyanya mirip orang linglung. " Kamu benar-benar setuju?"

Wajah Maxim terlihat masam. " Ya sudah, kalau kamu tidak tertarik...."

" Hei, kamu tidak bisa mengubah keputusanmu seenaknya!" Kendra tersenyum dengan kelegaan luar biasa. Untuk sesaat dia sempat mengira kalau semua itu cuma mimpi.

" Besok kamu datang ke kantorku lagi. Kita akan membahas lebih detail soal ini," balas Maxim. Kendra bersorak dalam hati, tidak mengira kalau kenekatannya berbuah manis. Tapi dia tidak mau menunjukkan perasaannya di depan Maxim karena tahu lelaki itu tidak akan menyukainya.

" Oke. Karena kita harus membahas tentang kriteria cewek yang kamu inginkan. Besok aku..." keningnya berkerut. " Sebentar! Bukankah besok hari Sabtu?"

Maxim menjawab dengan nada ketus. " Aku tidak mengenal hari libur. Besok aku ada di kantor."

Buat Kendra, Sabtu dan Minggu adalah hari-hari istimewa yang akan dihabiskannya dengan tidur sepanjang siang atau mengun jungi ibunya. Tapi dia tahu, cuma besok kesempatannya. Kalau dia melewatkannya, sudah pasti Maxim memiliki alasan untuk membatalkan persetujuannya. Lagi.

" Baiklah, aku akan ke kantormu. Pukul berapa?" " Pukul sepuluh, dan tidak terlambat sedetik pun!" " Sebaiknya kita menyamakan waktu, supaya kamu tidak memajukan jammu diam-diam," sindir Kendra seraya mengeluarkan ponselnya. Dia menyebutkan waktu yang tertera di layar seraya menatap jam dinding yang ada di ruangan itu.

" Memangnya kamu tidak memiliki jam tangan, ya? Kok malah mengandalkan ponsel."

" Kritik sepuasmu, aku tidak akan tersinggung." Kendra meraih gelas minuman dan menghabiskan isinya. Setelahnya, gadis itu berdiri. " Sampaikan salamku pada mama dan kakakmu. Mereka baik sekali. Sampaikan maafku juga karena sudah mengganggu. Sampai jumpa besok, Maxim. Terima kasih sudah memberiku ke sem patan lagi. Aku pastikan kamu tidak akan menyesali keputusanmu," Kendra berjanji.

Gadis itu bisa melihat kalau Maxim sama sekali tidak terhibur dengan kata-katanya. Wajah lelaki itu kian cemberut saja.

Kendra hampir mencapai pintu saat tiba-tiba saja dia berbalik. Maxim ternyata berada tepat di belakangnya. Kepala Kendra nyaris itu dia baru benar-benar menyadari kalau lelaki itu benar-benar jangkung.

" Dan semoga besok kamu tidak mengajakku makan siang di tempat yang kemarin. Makanannya ... luar biasa tidak enak."

Untuk kali pertama, Kendra melihat sorot geli bermain di mata Maxim. Meski lelaki itu berusaha agar dia tidak menunjukkan perasaannya.

" Kamu terlalu percaya diri. Kata siapa aku akan mengajakmu makan siang?"

Kendra mengangkat bahu. " Aku bukan terlalu percaya diri. Itu namanya antisipasi."

Gadis itu kembali melangkah melewati beranda yang cukup luas. Rumah cantik milik keluarga Maxim ini membuat nyalinya ciut. Dia bahkan berkeringat dingin saat memperkenalkan diri kepada satpam. Dia tidak yakin kalau tujuannya bertemu dengan Maxim akan diizinkan dengan mudah.

Tapi hidup memang menyiapkan banyak kejutan, kan? Tidak hanya dipersilakan masuk setelah satpam menelepon untuk memberi tahu siapa tamu yang datang. Kendra juga disambut dengan ramah oleh Cecil. Terakhir, Aurora yang baru datang pun ikut bergabung dan membuat Kendra merasa lebih nyaman. Membuat kekesalannya pada Maxim meluntur begitu saja.

" Aku sebenarnya kesal sekali padamu," Kendra bicara terusterang. Maxim masih mengekor di belakangnya. " Tapi karena mama dan kakakmu sangat baik, aku memutuskan untuk memaafkanmu."

Kendra membalikkan tubuh dengan cepat karena reaksi Maxim meski cuma lewat sepatah kata. Saat dia melihat wajah lelaki itu, dengan kalimat yang tadi dilontarkannya sehingga wajahnya kembali cemberut.

" Kurasa kamu sudah mendengar kata-kataku, kok!" balasnya kalem.

Maxim mendengus dengan suara keras. " Kamu kira, cuma kamu saja yang berhak merasa kesal? Kamu seenaknya menuduhku gay. Sudah lupa?"

" Ingat, sih. Cuma itu kan bentuk dari kekesalanku. Tiga jam menunggu dan malah diusir dari begitu saja. Kamu kira itu pengalaman enak? Belum lagi bosku sama sekali tidak mau tahu dan mengancam akan menjadikanku petugas cleaning service kalau tetap gagal membujukmu."

Maxim malah terlihat puas begitu mendengar uraian Kendra. " Baguslah kalau begitu. Aku tidak akan merasa prihatin," ucapnya menyebalkan.

Kendra terlalu lega dan senang untuk bisa merasa jengkel lagi. Kesediaan Maxim untuk bergabung di Dating with Celebrity membuat semua bebannya lenyap. Dan Kendra sedang menikmati saat-saat itu. Enggan diamuk emosi negatif yang pasti akan mengganggu.

Meninggalkan rumah Maxim, Kendra seakan diingatkan kalau sudah dua hari ini dia tidak bisa bernapas dengan normal. Seakan ada yang mengganggu saluran pernapasannya. Tapi kini, semua kesulitan yang dihadapinya seakan tidak punya arti sama sekali.

Malam itu, dia terlelap tanpa mimpi atau interupsi lain yang mengganggu. Demi pekerjaan yang sedang dibutuhkannya, Kendra tidak keberatan harus menghabiskan akhir pekannya di kantor Maxim. Padahal dia sudah menyusun rencana untuk berangkat ke Bandung. Kali ini, gadis itu terpaksa menunda niat itu hingga Demi memastikan agar Maxim tidak punya kesempatan untuk berbuat sesuatu yang merugikan, Kendra datang nyaris seperempat jam. Tapi sejak pagi dia menjadi kesal karena tidak menemukan ponselnya di mana pun. Kendra mengutuki dirinya yang sangat ceroboh dan mudah lupa di mana meletakkan barang-barang.

" Wah, tampaknya kamu takut aku membatalkan kesepakatan, ya?" Maxim melihat jam tangannya. " Makanya kamu datang lebih pagi."

Kendra menolak untuk terpancing. Dari segi usia, dia mungkin lebih muda dari lelaki itu. Tapi Kendra yakin kalau dirinya jauh lebih dewasa dibanding pengusaha menyebalkan itu. Gadis itu mengikuti Maxim yang berjalan memasuki ruang kerjanya. Kendra mengabaikan Padma dan beberapa karyawan yang menatapnya dengan pandangan aneh.

" Apa kantormu tidak pernah libur di hari Sabtu begini?" " Tergantung. Kalau lagi banyak pekerjaan, liburnya cuma hari Minggu saja."

Hari ini Maxim tidak mengenakan setelan seperti biasa. Lelaki itu mengenakan blue jeans model straight leg dan polo shirt lengan pendek berwarna cokelat tanah. Terlihat cukup kontras dengan kulit putihnya.

" Silakan duduk, Kendra. Aku mau membereskan sedikit pekerjaan dulu," Maxim menunjuk ke arah satu set sofa bergaya art deco yang ada di ruangannya. Sofa itu berbahan corduroy dengan lengan yang terbuat dari kayu. Kendra menurut tanpa mengajukan keberatan.

Gadis itu menyibukkan diri membolak-balik majalah yang ada di meja bundar. Setumpuk bacaan tersaji di sana. Mulai dari majalah gaya hidup, arsitektur, hingga otomotif.

" Kenapa majalah Th e Bachelor tidak ada? Padahal aku ingin " Kamu harus mencarinya di kios majalah, bukan di sini," balas Maxim dengan suara datar. Kendra mendongak saat tiba-tiba lelaki itu mendatanginya dan menyodorkan sesuatu.

" Kamu pasti orang yang luar biasa ceroboh sampai bisa meninggalkan ponsel begitu saja."

Kendra nyaris melompat saking girangnya. " Di mana kamu menemukan ponselku? Kalau tidak ketemu, aku pasti terpaksa membeli ponsel baru lagi. Aku memang sangat sering kehilangan benda ini," gumamnya sambil menerima ponsel itu.

" Membeli lagi? Memangnya sudah berapa kali kamu kehilangan ponsel?"

" Entahlah. Sudah terlalu sering sampai aku lupa jumlah tepatnya. Eh, kamu menemukan ponselku di mana?" Kendra mengulangi pertanyaannya.

" Ketinggalan di sofa. Aku belum pernah bertemu perempuan muda seceroboh dirimu. Tidak ada seorang gadis yang melupakan ponselnya, kecuali kamu. Tidak berniat membuat borgol khusus untuk ponselmu?"

Kendra mengabaikan kritik dari Maxim. " Terima kasih ya, Max. Eh, aku boleh memanggilmu Max saja, kan?" Gadis itu agak kaget saat menyadari kalau dia sudah tidak cemas lagi menghadapi Maxim. Dia bahkan bisa bergurau meski lelaki itu tidak menanggapi dan memilih konsisten untuk tetap cemberut.

Maxim tidak memberi respons dan kembali sibuk dengan laptopnya. Kendra menganggap itu sebagai persetujuan. Gadis itu menimang ponselnya sesaat dengan perasaan lega.

" Kamu tidak membuka email atau SMS-ku, kan?" kata Kendra sambil lalu.

Nada tersinggung terdengar jelas di suara Maxim ketika lelaki itu menjawab. " Kamu kira aku tidak bisa menghargai bendaaku membuka ponselmu. Isinya pasti tidak menarik. Dan tidak penting."

Kendra mengangkat wajah dengan heran. " Kenapa sih kamu selalu marah-marah?" tanyanya polos. " Aku kan cuma iseng. Tapi kamu selalu merasa perlu untuk membuat kesal orang lain."

Maxim terkelu. Melihat lelaki itu kehilangan kata-kata, Kendra tidak tertarik untuk terus bicara. Perempuan itu kembali memeriksa e-mail pribadinya. Sementara e-mail yang berhubungan dengan pekerjaan selalu dibaca via laptopnya. Entah berapa lama Kendra dan Maxim larut dalam kesibukan masing-masing. Hingga akhirnya Maxim mengajaknya makan siang.

" Lho, katamu tidak mau mengajakku makan siang?" cetus Kendra usil. Tapi saat mengingat kalau Maxim mungkin salah satu makhluk langka yang tidak memiliki selera humor, gadis itu buruburu menambahkan. " Aku ke sini untuk membahas tentang kriteria gadis yang kamu inginkan. Dan seharusnya tidak akan memakan waktu panjang kalau...."

" Aku lapar," Maxim malah berjalan menuju pintu. Kendra terpaksa mengikuti lelaki itu. Tidak siap dengan risiko kalau ternyata Maxim meninggalkannya sendirian dan tidak kembali lagi. Kendra kesulitan menebak apa yang diinginkan pria itu. Komentar ketus dan wajah masamnya itu cukup mengganggu. Tapi anehnya Kendra mulai terbiasa. Dan gadis itu memilih untuk mengabaikan reaksi Maxim yang sudah pasti tidak menyenangkan baginya.

Maxim mengajaknya makan di sebuah restoran China. Lelaki itu memesan ifu mi seafood. Sementara Kendra memilih nasi tim ayam. Bukan tergolong menu mewah. Tapi cita rasanya cukup aduhai.

Kendra punya fi rasat, kalau dia memuji makanan yang disantapnya, Maxim hanya akan meremukkan semangatnya dengan menutup mulutnya saja. Meski benaknya dipenuhi keheranan, bagaimana dia dengan mudah bisa bertoleransi pada Maxim sejak kemarin malam. Abnormal tapi fakta.

Kendra mulai bertanya-tanya apakah Maxim memang orang yang sangat irit bicara atau hanya di depannya saja. Ataukah lelaki ini sedang menderita sakit gigi atau sariawan parah. Sayang, dugaan terakhir gugur dengan sendirinya karena Kendra melihat Maxim makan dengan nyaman.

Setelah makan siang yang nyaris bisu itu, mereka kembali ke ruang kerja Maxim. Kali ini lelaki itu tidak sibuk menekuri laptopnya lagi, melainkan duduk di depan Kendra.

" Sekarang, apa yang harus kulakukan?" tanyanya kaku. Kendra segera menyambar kesempatan itu dengan senang hati. Dia mengeluarkan surat kontrak yang sudah disiapkan saat pertama kali menemui lelaki itu. Maxim menerima empat lembar kertas yang disodori Kendra.

" Aku harus membaca kontrak ini dengan hati-hati," cetusnya. Kendra menekan dalam-dalam perasaan tersinggungnya meski Maxim mengisyaratkan seolah dia berniat menipu lelaki itu.

" Silakan saja. Nanti aku akan mengambil kontraknya kalau kamu sudah setuju dan menandatanganinya."

" Jadi, kamu ke sini untuk menyerahkan ini saja?" Kendra menggeleng dengan sabar. " Tentu saja bukan. Aku juga ingin membahas tentang kriteria gadis yang kamu inginkan."

Maxim benar-benar melongo. " Kamu serius? Kukira tadi malam kamu cuma bercanda."

" Serius. Pihak selebriti memang diharuskan memberikan kriteria yang diinginkan. Supaya Th e Matchmaker bisa mencarikan pasangan yang sesuai keinginan. Minimal, mendekati." " Aku ... tidak tahu...." Katanya kemudian. " Tidak tahu apanya?" balas Kendra bingung.

" Itu ... aku tidak tahu kalau harus membuat daftar tentang kriteria pasangan yang kukehendaki. Karena menurutku itu hal yang ... konyol. Aku tidak pernah punya standar tentang warna kulit atau panjang rambut seorang gadis sebelum berkencan, misalnya. Karena ketertarikan terhadap lawan jenis itu kan ... tidak bisa diatur. Bisa muncul kapan saja, pada siapa saja."

Kendra menahan diri agar tidak tergelak melihat Maxim kebingungan. Kepercayaan diri yang biasa memancar mendadak lenyap. Meski cuma sekejap, Kendra terhibur melihatnya. Dia juga sangat penasaran ingin tahu versi " siapa saja" yang baru diucapkan Maxim.

" Ini keharusan, supaya tidak muncul protes karena para peserta ternyata tidak sesuai keinginan." Kendra memegang pulpen dan buku catatan. " Nanti aku akan memindahkan ke laptop. Tadi laptopku ketinggalan," urainya tanpa merasa bersalah.

Nada mengkritik kembali muncul di suara Maxim. " Benda sebesar itu bisa ketinggalan? Aku sungguh takjub melihatmu. Awas, ponselmu jangan sampai tercecer lagi!"

Maxim akhirnya bersedia menguraikan beberapa kriteria gadis yang diinginkannya setelah dibujuk Kendra. Meski prosesnya tidak lancar karena lelaki itu tampak berpikir keras sambil menggerutu berkali-kali.

" Kenapa sih kamu suka sekali mengomel? Apa susahnya membuat daftar ini? Usia, tinggi badan, pekerjaan, ciri fi sik tertentu, atau pendidikan. Hal-hal seperti itu," kata Kendra, seakan Maxim tidak mengerti penjelasan sebelumnya.

" Aku tahu!" Maxim merengut. " Aku mengomel karena masih Kendra langsung bisa menebak ke mana arah pembicaraan Maxim.

" Aku kan sudah minta maaf, Max! Aku juga sudah menjelaskan kondisiku. Masa sih kamu tidak bisa mengerti?"

Maxim menukas, " Tetap saja aku tidak menyukai caramu itu. Ini kan seharusnya menjadi masalah kita berdua. Tapi kamu malah ikut melibatkan keluargaku. Jujur, aku sangat tidak tertarik dengan acara kencan bikinan bosmu ini."

Kendra menghela napas, menyadari kalau stok kesabarannya sudah berubah menjadi remah-remah.

" Kamu itu pendendam, ya? Aku mulai berpikir kalau sebenar nya penolakanmu ini tidak ada hubungannya dengan apa yang dilakukan Mbak Helen. Jangan-jangan, kamu pernah patah hati atau diselingkuhi, hingga seperti sekarang. Selalu cemberut, mengumpat, me...."

" Hei, jangan suka berasumsi! Siapa bilang aku pernah patah hati atau diselingkuhi? Enak saja!"

Kendra menantang mata Maxim dengan perasaan lelah. Tiga hari ini dia sudah menjadi bola pingpong yang berkeliaran di antara Maxim dan Helen. Ditolak berkali-kali membuatnya mulai marah.

" Kamu itu sangat kekanakan," katanya lagi. Sebelum Maxim membantah, Kendra berdiri dan mengambil surat kontrak yang ada di atas meja. Gadis itu menegakkan tubuh dan mengangkat dagu dengan gaya angkuh. " Aku sudah cukup bersabar kamu perlakukan tidak manusiawi selama tiga hari ini. Tapi, meski aku sangat cemas kalau Mbak Helen akan benar-benar menjadikanku sebagai petugas cleaning service, aku menolak terus-menerus dihina. Kalau kamu memang tidak berminat mengikuti acara ini, tidak Kendra merasakan kepuasan saat melihat ekspresi tergegau di wajah Maxim. Gadis itu segera berderap menuju pintu, meninggalkan tuan rumah yang kehilangan kata-kata.

Ambidextrous Versus Perengut

And you re the perfect thing to say

K endra sudah tidak peduli andai Helen benar-benar marah

dan memecatnya. Dia sudah tak sanggup lagi berperan sebagai manusia sabar yang bodoh. Mendiamkan saja saat Maxim mengkritiknya nyaris tanpa henti. Batas toleransinya sudah membunyikan tanda peringatan. Code red.

Kendra selalu membenci hari Senin karena memutus semua kesenangan yang bisa dinikmatinya di hari Sabtu dan Minggu. Khusus kali ini, semangatnya benar-benar lumpuh.

Kemalangan tampaknya gemar mengakrabkan diri padanya. Ponselnya kembali hilang. Kendra hampir yakin kalau benda itu tertinggal di kantor Maxim. Tapi Kendra memilih lebih baik kehilangan ponsel ketimbang menghubungi Maxim dan bertanya tentang itu.

Kejutan besar menunggu Kendra saat gadis itu tiba di kantornya. Dia tidak pernah menduga kalau ada tamu yang datang mencarinya sepagi itu. Terutama jika sang tamu bernama Maxim!

" Kamu yakin, berada di kantor yang tepat?" sindir Kendra saat mendapati Maxim sendirian di ruang duduk yang biasa digunakan untuk menerima tamu.

" Duduklah!" Maxim memberi perintah sambil menunjuk ke Bibir Kendra terbuka. " Apa?"

" Ya, kamu sudah mendengar kata-kataku tadi. Silakan merasa puas," cetus Maxim tajam.

" Lho, kenapa aku harus merasa puas?" Kendra buru-buru duduk.

" Nih, ponselmu!" Maxim menyerahkan alat komunikasi milik Kendra. " Lain kali, aku tidak akan mau menjadi kurir yang harus selalu mengantar ponselmu yang ketinggalan."

Kendra mendesah pelan, " Sudah kuduga...." " Kamu barusan bilang apa?"

Kendra menggeleng dengan cepat. " Bukan apa-apa." Maxim memandang gadis itu selama beberapa detik tanpa mengucapkan apa pun. Suara lelaki itu dipenuhi kesungguhan saat membuka mulut kemudian. " Aku tahu kalau aku sudah bersikap tidak sopan padamu. Aku minta maaf."

" Karena kamu sudah mengembalikan ponselku, aku maafkan," ujar Kendra kemudian. Dorongan untuk marah kepada Maxim karena tingkahnya yang mengesalkan dua hari silam, pecah. Secara ajaib seakan tersedot entah ke mana begitu Kendra melihat ekspresi Maxim yang kaku. Gadis itu sangat yakin, Maxim pasti sudah berperang dengan dirinya sendiri begitu hebatnya sebelum memutuskan untuk datang dan meminta maaf.

" Terima kasih." Maxim jelas-jelas terlihat jengah. Kendra tidak bisa tidak tertawa melihatnya. " Bagaimana rasanya mengucapkan kata-kata itu? Meminta maaf?"

Wajah Maxim berubah masam. " Seperti minum soda dari cuka." Seseorang bergabung dengan mereka berdua. " Hai Maxim, apa kabar? Saya Helen," perempuan itu mengulurkan tangan. Maxim berdiri untuk menyambut makcomblang itu. " Saya kira ... kami belum melakukan seleksi untukmu," Helen melirik ke arah Kendra baru saja mau membuka mulut untuk menjelaskan bahwa kedatangan Maxim tidak berkaitan dengan Dating with Celebrity ketika pria itu bersuara.

" Saya ke sini untuk menandatangani kontrak. Sekaligus meminta Kendra untuk menangani seleksi para kandidat. Saya cuma mau berurusan dengan dia," tunjuknya ke arah Kendra. Pernyataan itu mungkin menjadi kejutan terbesar dalam hidup Kendra selama bekerja di Th e Matchmaker.

" Oh, oke. Kendra memang sehari-harinya bertugas melakukan seleksi awal," balas Helen santai. Kalaupun dia merasa aneh dengan permintaan Maxim, perempuan itu tidak menunjukkannya. Setelah berbasa-basi kurang dari tiga menit, Helen meninggalkan tamunya. " Apa?" Maxim duduk lagi.

" Aku tidak mau kamu mengerjaiku lagi. Setelah setuju mengikuti acara ini, malah sengaja berulah. Seperti kemarin itu. Aku...."

Maxim menukas, " Aku kan sudah minta maaf. Dan itu mencakup soal acara kencan ... ini."

Kendra memperhatikan gerak-gerik Maxim dengan serius. " Kamu yakin? Nanti tidak akan mengomel seharian lagi? Tidak akan berwajah ala kertas lecek?"

" Aku serius! Kamu mau terus menginterogasi aku atau menyiapkan kontrak untuk kutandatangani?"

Tidak ingin Maxim berubah pikiran lagi, Kendra buru-buru meninggalkan ruang duduk itu dan kembali beberapa menit kemu - dian. Maxim membaca kontrak itu dengan cepat sebelum membubuhkan tanda tangannya.

" Selanjutnya apa?"

" Kita akan membuat daftar yang kemarin batal." Maxim menarik napas, membuat Kendra mengangkat wajah.

" Apalagi? Jangan bilang kamu berubah pikiran. Kamu sudah tidak bisa mundur sekarang. Dan kalau kamu masih memasang tampang kecut terus, aku mungkin benar-benar akan mempertimbangkan untuk memberimu soda rasa cuka."

Maxim merespons dengan suara nyaris lirih. " Aku tidak punya kriteria tertentu."

" Tapi kamu harus punya beberapa poin. Agar aku lebih mudah memilih untuk seleksi awal."

Maxim akhirnya menyerah. Mereka menghabiskan nyaris satu jam untuk berdebat tentang usia dan penampilan fi sik.

" Ini kali pertama aku terlibat dalam hal menentukan kriteria pasangan yang diinginkan. Bukan bermaksud mengkritikmu, tapi menurutku kamu itu terlalu ... perfeksionis. Semua salah." Kendra memindahkan pulpennya ke tangan kanan seraya menggerakgerakkan jari-jari kirinya. Menunjukkan kalau tangannya lumayan pegal karena menulis.

" Kamu memang mengkritikku," timpal Maxim. " Aku kan sudah bilang, aku tidak punya kriteria tertentu sebelum memilih pasangan. Kamu yang memaksa. Jangan salahkan aku kalau jadi bingung."

Kendra menyeringai. " Tapi tetap saja, kita terpaksa menghabiskan waktu lama karena kamu berubah pikiran dengan cepat," katanya sambil melihat ke arah kertas yang sudah dipenuhi tulisan tangannya yang tegak dan cukup rapi. Ada beberapa bagian yang terpaksa dicoret karena Maxim ingin mengubahnya.

" Bukan ketat," ralat Maxim. " Aku menginginkan A, lalu kamu menawar dan mengajukan C. Tentu saja semuanya jadi lebih lama."

" Itu karena kamu sendiri tampak tidak yakin dengan pilihanmu. Dan begitu aku memberikan masukan, kamu berubah keras " Kurasa itu karena kamu tidak bisa tidak ikut campur," Maxim meringis. Menurut Kendra, itu ekspresi yang aneh sepanjang berhubungan dengan Maxim. Mungkinkah karena dia terbiasa melihat lelaki itu menampakkan wajah datar atau merengut?

" Aku tukang ikut campur, ya?" Kendra memutuskan kalau itu setingkat lebih rendah dari pujian. Karena Maxim mengucapkan itu tanpa wajah kesal. Gadis itu menulis lagi.

" Eh, sebentar! Jangan bilang aku sedang berhalusinasi atau ini cuma ilusi optik saja." Maxim terlihat syok. " Kamu ... bagaimana kamu bisa menulis dengan tangan kanan dan kiri?" tunjuknya ke depan.

Kendra tertawa melihat ekspresi pria di depannya itu. " Ini kelebihanku. Anggaplah aku sengaja memamerkannya di depanmu, supaya kamu terkesan," kelakarnya.

" Supaya aku terkesan? Percayalah, kamu sudah melakukan itu saat menungguku selama tiga jam. Juga ketika nekat datang ke rumahku," Maxim menyugar rambutnya.

" Aku seorang ambidextrous," kata Kendra dengan santai. " Kuharap kamu pingsan atau terjatuh dari sofa itu setelah mendengar kelebihanku ini."

Wajah Maxim tampak memucat. " Apakah itu semacam ... keanehan atau penyakit langka?"

Kendra tergelak hingga berdetik-detik. Di depannya, Maxim cuma bisa melihatnya dengan tatapan tidak suka. Lelaki itu kembali mengatupkan bibirnya, tanpa senyum.

" Tentu saja tidak! Kamu takut tertular penyakit yang tidak ada obatnya, ya? Ambidextrous itu kemampuan untuk menggunakan tangan kanan dan kiri dengan sama baiknya. Jadi, aku bisa menulis menggunakan kedua tanganku. Kalau aku tidak salah, orang ambidextrous hanya satu dibanding seribu. Nah, sekarang kamu Maxim tidak bisa berkata-kata entah berapa lama. Kendra yakin, laki-laki itu benar-benar syok sekarang.

" Ya ampun Maxim, tidak perlu terlalu kagum begitu!" Kendra tertawa lagi. " Setelah ini, aku akan menyeleksi calon peserta yang sudah dipilih oleh tim. Kemudian akan diadakan wawancara singkat sekaligus melihat penampilan pelamar yang terpilih. Dari situ akan dipilih sepuluh orang untuk bertemu lang sung denganmu. Kamu yang akan memilih sendiri. Begitulah kira-kira prosesnya."

Maxim tercenung sekian detik. Tangan kanannya merapikan dasi yang tampak baik-baik saja di mata Kendra.

" Ingat ya, kamu yang mengurus semuanya. Aku tidak mau berhubungan dengan yang lain. Seleksi atau apa pun harus melibatkanmu," tandas Maxim dengan nada suara tidak mau dibantah.

Kendra hampir yakin, permintaan aneh itu karena Maxim ingin menyiksanya. Minimal memarahinya jika ada yang membuat lelaki itu tidak berkenan. Kendra juga punya fi rasat kalau Maxim akan menyusahkannya. Tapi dia berusaha mengabaikan hal itu untuk sementara.

Kesediaan Maxim terlibat di Dating with Celebrity adalah sebuah hal yang pantas dirayakan. Meski Kendra harus meringis ngeri jika mengingat perjuangannya beberapa hari ini. Bukan saatsaat yang menyenangkan.

" Oh ya, kemungkinan besar kamu harus datang ke sini lagi untuk melihat video peserta yang diundang. Kira-kira seminggu lagi."

" Oke, tidak masalah."

Kendra memandang Maxim dengan serius. Tangan kanannya yang bebas membuat ketukan teratur di meja.

" Apalagi?" tanya Maxim penasaran. Ada kerut halus di kening-" Kenapa kamu mudah sekali menyatakan persetujuan? Ini bukan perangkap, kan? Ah, rasanya aku akan menyesali semua ini."

" Aku bukan pelaku kriminal," Maxim tampak tersinggung. Tapi entah kenapa Kendra merasa pria itu hanya berpura-pura.

" Oh, oke. Kamu bukan pelaku kriminal. Cuma seorang lakilaki menyebalkan yang tidak tahu caranya tersenyum." oOo

Maxim meninggalkan kantor Th e Matchmaker dengan perasaan aneh yang menggumpal di dadanya. Dia tidak pernah mengira akan ada suatu pagi saat dia bukannya buru-buru berangkat ke kantor. Melainkan mendatangi kantor lain untuk menyetujui acara kencan bodoh yang ditayangkan televisi.

Selama ini Maxim menilai dirinya adalah orang yang tidak nyaman berada di bawah sorotan. Dia tidak seperti Darien dan Declan yang menikmati setiap perhatian publik. Dia lebih suka bersembunyi di balik tumpukan pekerjaan. Itulah sebabnya dia selalu menilai wawancara dan pemotretan dengan Th e Bachelor adalah salah satu siksaan hebat dalam hidupnya. Juga kesalahan terbesarnya.

Lalu dia dengan bodohnya masih memberi kesempatan pada Aurora untuk kembali mendesaknya melakukan sesuatu yang tidak diinginkan. Dating with Celebrity yang populer itu. Ini bahkan lebih fatal dibanding wawancara dengan Th e Bachelor.

Kemudian masih ada Kendra yang secara tidak terduga muncul. Entah kenapa, gadis itu membuat Maxim merasa sangat buruk ketika meninggalkan ruangannya sambil merebut surat kontrak yang belum ditandatangani.

Belum lagi saat Kendra menunggu berjam-jam di kantornya dan telinga Maxim mendengarkan dengan jelas tiap kecaman yang mereka berikan karena sikapnya itu.

Paduan dari berbagai peristiwa itu membuat Maxim tidak punya pilihan selain setuju terlibat di acara itu. Tanpa kemungkinan untuk meloloskan diri lagi. Apa boleh buat!

Bahkan sebelum meninggalkan kantor Th e Matchmaker pun Maxim tahu kalau dia akan menyesali apa yang dilakukannya pagi ini. Dan untuk itu dia menyalahkan Kendra yang sudah membuat hati nuraninya terusik dua hari terakhir ini. Menjadikan Maxim terpaksa melupakan kebiasaannya untuk bersikap tak peduli.

Mempertimbangkan apakah seseorang merasa tersinggung dengan sikap dan kata-katanya bukanlah sifat Maxim. Jauh lebih cocok pada Declan atau Darien. Dia bahkan mengira kalau dirinya tidak bisa berempati kepada orang lain. Tapi Kendra ternyata mampu membuatnya merasa bersalah.

Maxim heran, bagaimana bisa gadis itu begitu santai menghadapinya? Dimarahi, disindir, bahkan diejek pun tidak membuat Kendra benar-benar terusik. Kecuali kejadian terakhir di kantor Maxim. Tapi, ketika tadi pagi lelaki itu menemuinya, semua kekesalan Kendra sepertinya sudah tersapu. Seakan-akan Kendra sangat mudah melupakan emosi negatif yang melandanya.

Berbanding terbalik dengan Maxim. Mana bisa dia melupakan orang yang sudah membuatnya merasa sangat kesal dalam waktu begitu singkat? Kalau dia menjadi Kendra, hal pertama yang akan dilakukannya adalah mengusir tamunya. Tak peduli meskipun pagi itu demikian cerah atau bosnya menjanjikan kenaikan gaji yang menggiurkan.

Meski akhirnya Maxim membubuhkan tanda tangan di kontrak, lelaki itu belum sepenuhnya ikhlas. Baginya, Kendra yang sudah menyeretnya ke dalam masalah. Kalau Helen mengutus Karenanya, Maxim juga berjanji akan membuat Kendra sama susahnya dengan dirinya sendiri.

" Kamu dari mana? Tumben baru datang."

Maxim melewati kakaknya yang sedang berbicara dengan Padma. " Aku punya urusan yang harus diselesaikan." " Urusan apa? Lagi-lagi ini bukan seperti dirimu yang biasa." " Mbak terlalu suka mencampuri urusan orang lain. Seharusnya, ada undang-undang yang melarang seseorang mencari tahu masalah orang lain. Meskipun terikat hubungan kekerabatan atau pernikahan."

Sebelum Maxim menutup pintu, dia merasakan dorongan di punggungnya. Aurora mengikuti sang adik.

" Ah, jangan sok berahasia! Helen sudah meneleponku dan melapor kalau mereka berhasil mendapatkan tanda tanganmu. Kenapa baru sekarang? Bukankah kamu bertemu Kendra hari Sabtu kemarin?"

Maxim menunjukkan ekspresi tidak senang. Bibirnya terkatup dengan kening berkerut.

" Seharusnya aku bisa menduga kalau masalah ini tidak akan men jadi rahasia," keluhnya. " Aku mau bekerja dulu, Mbak. Tolong jangan mengganggu dengan pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan Buana Bayi. Karena aku tidak akan men jawab nya."

Meskipun jawaban yang diberikan Maxim sungguh menjengkelkan, tapi Aurora malah tertawa.

" Baiklah, Dik! Silakan bekerja dan hasilkan uang yang banyak untuk perusahaan ini. Aku berharap semoga kamu berhasil mendapat teman kencan yang sesuai harapan. Atau yang mampu membuatmu tidak bisa bersikap menyebalkan lagi selamanya. Aku capek melihat wajah cemberutmu itu."

Setelah Aurora pergi, Maxim memikirkan kata-kata kakaknya " Kenapa belakangan ini ada saja orang yang meributkan wajahku? Memangnya apa yang salah?" tanyanya keheranan.

Setelah Kendra, kini Aurora mengatakan hal yang senada. Seingat Maxim, seumur hidup kakaknya tidak pernah mengajukan protes tentang ekspresinya. Lalu mendadak pagi ini terjadi sebaliknya.

Sisa hari itu membuat Maxim tidak memiliki waktu untuk memikirkan hal lain di luar persoalan pekerjaan. Dia disibukkan dengan rapat lumayan panjang dengan tim desain. Ada perdebatan dan adu argumentasi seperti biasa. Setelahnya, Maxim harus membaca dengan saksama laporan perkembangan pasar.

Maxim bahkan makan siang menjelang pukul tiga sore karena pekerjaan yang menggunung. Kejutan terjadi ketika dia menerima telepon dari kakaknya, Darien. Sang aktor yang lebih tua dua setengah tahun dari Maxim itu ternyata sedang berada di Th ailand untuk menjalani syuting iklan. Padahal kemarin mereka baru bertemu saat Darien berkunjung ke rumah. Ketika itu, Darien tidak mengatakan apa pun.

" Kamu sekarang ada di Th ailand? Apa kamu bisa menghilang begitu saja?" sindir Maxim. " Mama tahu anak laki-lakinya syuting di sana?"

Tawa halus Darien terdengar. " Aku lebih suka membuat laporan sepulang syuting. Kamu tahu sendiri Mama seperti apa. Terlalu mencemaskan banyak hal. Jetlag-ku makin parah kalau sebelumnya mendengar omelan Mama."

" Mama tidak mengomel," bela Maxim. Tapi dia sangat tahu, ibu mereka punya segudang kecemasan terhadap anak-anaknya yang kadang malah membuat sesak napas. " Jadi, kamu sekarang mau pamer, ya?"

Obrolan keduanya masih berlangsung hingga tujuh menit berpikir serius. Bagaimana reaksi Kendra jika tahu kalau dia memiliki kakak selebriti dalam arti sesungguhnya? Ataukah gadis itu sudah tahu?

Dan Kerewelan

Tak Cuma Milik Perempuan

And you play it coy But it s kinda cute

N iat Kendra untuk mengunjungi ibunya di akhir pekan ini

pun terpaksa ditunda lagi. Sebelumnya, dia harus datang ke kantor Maxim. Sabtu selanjutnya, dia masih disibukkan dengan urusan pekerjaan. Kali ini, karena ikut mengurusi syuting prakencan yang melibatkan sepuluh peserta terpilih dengan si selebriti. Yang harus menjalani syuting adalah seorang model majalah pria dewasa, Tessa Marris. Lalu Sabtu ini Kendra meringkuk di kasur karena radang tenggorokan yang cukup mencemaskan.

Terpujilah Suci, tantenya, yang berhasil menyeretnya ke ruang praktik dokter umum yang hanya berselisih tiga rumah dari kediaman Kendra. Obat dari dokter terbukti ampuh menurunkan rasa nyeri yang menusuk-nusuk tenggorokannya. Demamnya pun nyaris punah setelah minum obat yang ketiga kalinya.

Tapi, rasa bersalah masih bergelung di dadanya. Seharusnya dia sudah mengunjungi ibunya dua kali dalam jangka waktu satu bulan terakhir. Kendra memang tidak bisa terlalu sering menyetir menuju Bandung yang macet di akhir pekan. Apalagi sekarang dia memiliki pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Kendra sempat mempertimbangkan dengan serius untuk pinlain Kendra tahu itu berarti dia harus melepaskan rumah keluarga. Menjualnya atau minimal menyewakannya. Membayangkan fakta itu sudah membuat hati Kendra terasa menggelembung oleh rasa sakit.
My Better Half Karya Indah Hanaco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untuk Kendra, rumah itu berarti segalanya. Seluruh perjalanan hidupnya ada di sana. Juga keluarga besar yang dicintainya teramat sangat. Kedua kakaknya boleh saja tidak peduli apa rencananya untuk rumah mereka. Tapi Kendra terlalu gamang untuk mengubah arah hidupnya.

Belum lagi fakta bahwa Bandung adalah kota yang sangat asing untuk gadis itu. Dia tidak mengenal siapa pun di sana. Alhasil, hasrat untuk meninggalkan Jakarta pun gugur dengan sendirinya. Kota berisik yang padat dan penuh warna itu sudah menawan hatinya tanpa ampun.

Menjauh dari ibunya mungkin menjadi hal terberat yang harus ditanggung Kendra. Tapi sejak kecil dia sudah terbiasa dengan situ asi itu. Dulu, mereka menjauh secara emosi. Kini, fi sik yang ber jauhan pun menjadi penyempurna. Tapi itu tidak membuat cinta Kendra menyusut. Ibunya adalah orang terpenting dalam hidupnya. Selamanya akan tetap seperti itu.

" Tante, aku sudah sebulan ini tidak ke Bandung," kata Kendra. Wajahnya pucat. Suci menepuk bahunya dengan lembut.

" Minggu depan kamu bisa pergi. Sekarang, yang paling penting adalah sembuh dulu. Makan tepat waktu, minum obat. Belakangan ini kamu sangat sibuk, ya?" Suci tampak prihatin.

Mereka berdua duduk di daybed sofa yang menghadap ke arah televisi. Ruang keluarga ini menjadi salah satu tempat favorit Kendra selain kamarnya. Kadang saat duduk sendirian di situ, gambar dari masa lalu bermain di kepalanya. Juga sosok Arthur Itu adalah saat-saat paling membahagiakan dalam hidup Kendra. Merasakan denyut kehidupan yang begitu semarak di dalam rumahnya. Saat keluarganya masih utuh. Tidak ada yang terasa berat kala itu. Kasih sayang mampu menutupi segala kekurangan dengan sempurna.

Kini, Kendra belajar banyak tentang makna " sementara" . Pada akhirnya tidak ada yang abadi. Semua kebahagiaan itu mulai mengalami defi sit dan berganti rasa pahit yang bertahan di urat nadi Kendra. Dia tidak akan pernah bisa kembali ke masa lalu, meskipun begitu ingin. Kekinian menariknya menjauh dari masamasa penuh senyum dan tawa itu.

" Tante, aku rindu Ibu. Juga rindu Kak Arthur dan Kak Tina," air mata Kendra menjebol pertahanannya begitu saja. Kendra terisak di dalam pelukan Suci, orang yang tahu banyak tentang segala badai yang harus dialami Kendra. " Aku pengin seperti dulu."

Suci mengelus lengan Kendra dengan lembut. Memperlakukan gadis itu seperti darah dagingnya sendiri.

" Tante ingin sekali mengatakan bahwa keinginanmu akan terwujud. Tapi kita berdua sangat tahu kalau itu adalah mustahil. Masing-masing sudah memilih jalan sendiri."

" Tapi Ibu tidak memilih, melainkan dipilihkan." " Pada akhirnya, itu sama saja. Dan cuma kamu yang bertahan di sini. Tapi kamu pun harus serius memikirkan diri sendiri. Memikirkan pekerjaan dan masa depan. Kadang, Tante sangat ingin marah pada kakak-kakakmu. Arthur terutama. Tapi Tante tidak punya hak untuk itu."

Kendra menghapus air mata dengan punggung tangannya. Dia tahu maksud Suci. Arthur memang sering bertindak kelewatan. Tapi Kendra tidak punya energi lagi untuk marah atau mengajukan protes. Dia sudah terlalu lelah menjalani sekian tahun penuh beban " Istirahatlah! Supaya kamu cepat sembuh. Tante benci melihatmu seperti ini. Sakit dan sendirian. Apa Tante sebaiknya menginap di sini?"

Kendra menggeleng sambil menggumamkan terima kasih. Suci punya keluarga yang harus diurusnya. Namun perempuan itu selalu menyempatkan diri untuk ikut mengurus Kendra. Gadis itu tahu, dia berutang terlalu banyak pada Suci.

Kendra sempat khawatir kalau dia terpaksa tidak masuk kantor karena radang tenggorokannya. Terutama karena ini akan menjadi minggu yang sibuk. Helen sudah mengisyaratkan agar syuting prakencan untuk Maxim harus sudah dimulai minggu depan. Hari Senin ini dijadwalkan untuk seleksi peserta secara langsung. Kendra tidak ingin penyakitnya membuat pekerjaannya ikut tertunda.

Entah keinginannya untuk sembuh atau obat manjur yang diberikan oleh dokter yang membuat tubuhnya segera fi t. Sehingga Senin pagi itu Kendra bisa kembali menyetir menuju kantornya. Meski suaranya masih serak dan ada sisa nyeri di tenggorokannya. Tapi sejauh ini semuanya masih bisa ditahan Kendra.

Hari itu, semua agendanya berjalan lancar. Sebelum tengah hari, penilaian yang diberikan langsung oleh Helen dan tim khusus yang dibentuknya sudah berhasil menyaring sepuluh peserta.

Kendra tidak pernah meragukan penilaian Helen. Perempuan itu seakan memiliki mata ketiga. Tidak ada yang bisa lepas dari penilaiannya. Helen punya kemampuan hebat dalam menilai watak manusia. Sekilas, orang akan melihat kalau perempuan itu cuma memberi penilaian lewat kriteria fi sik sesuai keinginan si selebriti. Padahal tidak demikian sebenarnya.

Helen punya insting apakah seorang peserta akan klik dengan si selebriti atau sebaliknya. Apakah si peserta murni ingin memansekadar ingin muncul di tv dan mendapat popularitas instan. Halhal seperti itu.

" Apa pendapatmu?" Helen mengejutkan Kendra yang sedang memperhatikan video berisi tanya jawab antara tim Dating with Celebrity dengan peserta. Setelah melalui penyuntingan, video itu akan turut ditayangkan.

" Peserta yang lolos semuanya oke, Mbak." " Begitu ya?"

" Iya," angguk Kendra. " Apakah ada masalah?" tanyanya mulai cemas.

" Bukan masalah, sih. Hanya saja kamu tadi tidak terlibat sama sekali. Padahal Maxim kan menginginkan kamu yang memegang kendali."

Kendra merasa jengah. Bukan hal yang normal melihat Helen mempertimbangkan pendapatnya.

" Menurut saya, kesepuluh fi nalis memang yang terbaik, kok!" ucap Kendra jujur. Helen manatapnya selama beberapa detik hingga akhirnya mengangguk.

" Coba kamu hubungi Maxim. Dia sudah bisa melihat video itu. Saya ingin kita bisa mengatur jadwal syuting secepatnya." Helen menghela napas. Kendra merasa perempuan itu terlihat lelah. " Karena rating Dating with Celebrity cenderung naik, pihak televisi ingin menambah frekuensi tayangnya menjadi dua kali seminggu. Kamu bisa bayangkan apa yang terjadi kalau saya setuju, kan? Pekerjaan kita akan lebih padat dua kali lipat. Dan saya khawatir kalau kualitas acara ini akan menurun juga. Belum lagi kita harus menghadapi banyak sekali selebriti berengsek yang bertingkah seenaknya."

Kendra menyembunyikan senyumnya di depan Helen. Tapi sepertinya dia tidak perlu cemas perempuan itu akan menangkap Sebelum meninggalkan Kendra, Helen kembali meminta gadis itu untuk menghubungi Maxim.

Kendra mematuhi perintah Helen. Ketika berhasil bicara dengan Maxim, gadis itu segera memberi penjelasan singkat. Dia mengira Maxim akan mengatur jadwal agar Kendra bisa datang ke kantornya. Makanya Kendra kaget saat lelaki itu menegaskan akan tiba sore itu juga.

Ada rasa lega memenuhi dadanya membayangkan urusan dengan Maxim akan segera selesai. Beberapa hari berhadapan dengan pria alpha male yang terbiasa memegang kendali itu cukup menyedot tenaga dan kebahagiaan Kendra.

" Semoga Maxim tidak sempat mengajukan banding. Kenyinyirannya sungguh menakutkan," Kendra menghela napas. " Dan semoga setelah ini aku tidak perlu lagi berurusan dengan para selebriti itu. Siapa pun dia."

" Jadi, ini standarmu untuk menentukan perempuan yang pantas berkencan denganku?" Maxim tampak tersinggung. Wajah cemberutnya muncul lagi. Pria itu sedang duduk di depan laptop milik Kendra.

" Sudah kuduga, berurusan denganmu tidak akan pernah mudah," Kendra membungkuk di sebelah Maxim. Tangannya bergerak di atas mouse dengan cekatan. Mereka berada di ruang khusus yang disiapkan Th e Matchmaker untuk para klien yang sedang berkonsultasi. Atau melihat video peserta sepuluh besar. Seperti saat ini.

" Memangnya aku tidak berhak mendapat pasangan kencan Kendra menoleh ke kiri dan agak kaget saat menyadari betapa dekatnya mereka berdua saat itu. Perlahan, gadis itu bergerak menjauh.

" Kami sudah berusaha memilih yang paling mendekati kriteria yang kamu inginkan," balas Kendra, defensif. Tapi Maxim sudah jelas menunjukkan ketidaksetujuan di wajahnya.

" Tapi aku bahkan tidak menyukai satu pun. Maksudku..." Maxim berdeham pelan, " ...tidak ada yang menarik."

Kendra mulai curiga kalau Maxim hanya ingin membuatnya kesal sekaligus capek.

" Tidak ada yang menarik katamu?" Kendra menegakkan tubuh. Mungkin Maxim merasa terintimidasi sehingga lelaki itu pun ikut berdiri. Menjulang di depan Kendra dan membuat gadis itu terpaksa harus agak mendongak. Tapi Kendra tidak merasa gentar. Sejak awal dia tahu jika Maxim tergolong tipe pria yang suka menggertak.

" Tidak. Ada. Yang. Menarik." Maxim memberi tekanan di tiap kata yang diucapkannya. " Aku tidak suka dengan apa yang kulihat. Apa aku tidak boleh protes? Jelas-jelas kalian mengisyaratkan bahwa keinginanku yang paling penting, kan? Maksudku tentu saja seputar calon teman kencanku. Karena nanti aku yang akan berkencan. Wajar sekali kalau harus ada ketertarikan. Dan aku sama sekali tidak merasa tertarik pada semua perempuan ini." Telunjuk kanan Maxim teracung ke arah monitor.

Di mata Kendra, lelaki itu sangat kekanakan karena menampik sepuluh perempuan menawan dengan alasan yang dirasa tidak masuk akal. Ketertarikan seperti apa yang dimaksudnya?

" Kamu sengaja mau membuatku kesal, ya?" Kendra tidak tahan lagi. Tangan kanannya diletakkan di pinggang. Senyum Kendra runtuh sudah. Wajahnya berubah kaku, dengan warna merah yang " Aku mau kamu melakukan seleksi ulang karena tidak sesuai dengan harapanku. Apa untungnya kalau aku cuma mau membuatmu kesal? Kamu kira aku suka situasi ini? Aku akan menjalani kencan dengan salah satu di antara sepuluh orang itu. Dan tidak ada satu pun yang menarik buatku!"

Kendra berteriak putus asa. " Kamu sendiri bahkan bersikeras tidak punya kriteria. Seharusnya, kamu bisa terima selama yang ditawarkan adalah perempuan tulen!"

Maxim maju selangkah dengan wajah tak kalah merahnya. Lelaki itu sengaja agak menunduk sehingga matanya sejajar dengan mata Kendra. Tatapannya menusuk, membuat bulu tangan Kendra berdiri.

" Kamu, kenapa selalu menghinaku? Setelah menuduhku gay, kamu juga bilang aku pernah patah hati karena diselingkuhi. Kamu kira aku pernah mengalami hal-hal menyedihkan seperti itu?" sentaknya dengan gaya angkuh.

Kendra memegang kepalanya seraya mundur dua langkah, merentang jarak dengan Maxim.

" Sebenarnya, apa sih masalahmu? Kenapa kamu tidak bisa menghargai hasil pekerjaan orang lain?" Gadis itu mengembuskan napas dengan perlahan. " Aku capek menghadapimu. Kamu itu orang yang susah untuk dipuaskan. Kalau kamu kira aku ada di sini cuma untuk memastikan kamu dilayani dengan baik, kamu salah besar. Aku masih punya setumpuk pekerjaan. Aku benarbenar menyerah."

Kendra berbalik dan menuju pintu. Tapi, baru berjalan tiga langkah, gadis itu terpaksa kembali. Ponselnya yang diletakkan di atas meja, berbunyi. Begitu melihat nama yang tertera di layar, Kendra merasakan darahnya membeku.

" Halo..." suaranya bahkan bergetar saat memberi salam.

pendengar. Tangan kirinya mencengkeram sandaran kursi hingga kuku-kukunya memutih.

" Bagaimana keadaannya sekarang?" Kendra berusaha keras agar tidak ada tangis yang meledak. Jantungnya terasa membesar dan memenuhi dada, membuat suara degup yang luar biasa berisik.

" Saya segera ke sana. Terima kasih sudah memberi tahu saya, Suster," katanya lirih. Kendra terdiam sejenak. " Tidak apa-apa, saya tetap mau melihat Ibu saya."

Ketika akhirnya hubungan telepon diputus, Kendra termangu selama berdetik-detik. Dia melupakan kehadiran Maxim di dekatnya.

" Kendra, ada apa?" tanya Maxim dengan suara normal. Kendra menoleh dan mencibir terang-terangan. " Tidak perlu sok perhatian!" Gadis itu mematikan laptopnya dengan bergegas. " Selanjutnya, silakan berurusan dengan Mbak Helen. Kalau kamu tidak puas, lapor ke beliau. Ini kali terakhir aku terlibat denganmu. Setelah ini, bersikaplah dewasa dan jangan cuma menyusahkan. Karena jadwal syuting sudah semakin dekat."

" Hei, kamu mau ke mana?" Maxim sepertinya tidak siap melihat Kendra akan meninggalkannya di ruangan itu.

" Aku mau pulang, ada urusan penting. Jauh lebih penting ketimbang bertengkar denganmu," dengus Kendra tanpa menutupi rasa kesal yang tergambar jelas di wajahnya.

" Kendra, kamu tidak bisa seenaknya meninggalkanku sendiri! Aku kan sudah bilang, aku cuma mau berurusan denganmu!"

Kendra membalikkan tubuh sebelum membuka pintu. " Kenapa aku tidak bisa meninggalkanmu sendiri? Aku persilakan untuk mencari orang lain untuk menjadi pengasuhmu. Karena aku sama sekali tidak mau berurusan denganmu. Selamat sore, Pak Maxim," Kendra tahu kalau Maxim mengekorinya dan membuat mereka berdua menjadi sasaran perhatian teman sekantornya. Gadis itu bahkan bisa melihat Neala menyeringai lebar dan Pritha menahan tawa. Pikirannya sedang kusut dan tidak punya waktu untuk melihat situasi saat itu sebagai hal yang menggelikan.

" Kendra..." Maxim memanggilnya. Tapi Kendra lebih suka menjadi manusia tuli ketimbang harus menjawab lelaki itu. Dia terus melangkah menuju ruang kerja Helen. Setelah mengetuk pintu, gadis itu segera masuk dan bicara langsung ke intinya.

" Mbak, saya mau minta izin pulang lebih cepat hari ini. Ada masalah dengan ibu saya," katanya dengan suara pelan. " Saya tidak yakin besok bisa bekerja seperti biasa. Karena kemungkinan besar saya harus menginap di Bandung."

Helen mengalihkan tatapan ke satu titik di sebelah kanan Kendra. Saat itu gadis itu baru tahu kalau Maxim nekat mengikutinya hingga ke ruangan itu.

" Oke, kamu boleh libur selama dua hari. Tapi saya tidak bisa memberi waktu lebih dari itu."

Mata Kendra berbinar. " Terima kasih, Mbak. Saya akan kembali secepatnya."

Helen menyergah. " Bukan secepatnya, tapi hari Kamis kamu sudah harus kembali bekerja. Kita punya setumpuk pekerjaan."

Kendra buru-buru mengangguk, mencegah Helen berubah pikiran. " Iya, saya tahu."

Helen terdiam sesaat. " Bagaimana hasil seleksinya? Apa kamu setuju, Maxim?"

Kendra baru saja akan membuka mulut ketika Maxim menukas. " Apakah bisa kalau saya menginginkan seleksi ulang, Mbak? Ada yang rasanya ... kurang pas. Saya tidak punya ketertarikan yang cukup dengan para peserta." Jeda. " Tapi itu pun kalau Mbak tidak Kendra menatap Maxim segalak yang dia mampu. Kalimat terakhir lelaki itu begitu manis sekaligus mengesalkan. Jauh berbeda dengan yang didengungkannya di telinga Kendra tadi. Gadis itu berdoa semoga Helen menolak keinginan Maxim.

" Hmm baiklah, nanti kita atur jadwalnya. Setelah Kendra kembali dari Bandung. Sebenarnya ini tidak lazim tapi ... kalau kamu memang tidak merasa tertarik pasti akan sulit kalau dipaksakan."

Maxim sudah pasti merasa menang karena berhasil mendapat persetujuan dari Helen. Sementara Kendra sedang tidak ingin melanjutkan debat mereka.

" Kamu mau ke Bandung sekarang? Kuantar, ya?" Maxim menawarkan jasanya dengan mengejutkan begitu mereka meninggalkan ruangan Helen. Kendra melongo dan menatap pria itu dengan serius. Sesaat kemudian dia memutuskan kalau Maxim sedang tidak waras.

Hari yang Abstrak

Oh, when you smile at me You know exactly what you do

K amu benar-benar gila kalau mengira aku akan menerima

tawaranmu. Semakin aku jauh darimu, semakin tenang hidup ku."

Membiarkan Maxim mengantarnya ke Bandung adalah hal terakhir yang akan dilakukan Kendra dalam hidupnya. Setelah bicara seperti itu, gadis itu segera mengabaikan Maxim. Dia sibuk membereskan berkas-berkas di mejanya. Setelahnya, Kendra bersiap untuk meninggalkan kantor.

" Ken, Bandung itu jauh, lho!"

" Aku tahu, Max. Terima kasih sudah mengingatkan. Aku sekarang benar-benar yakin kalau Bandung dan Jakarta itu bukan jarak yang dekat. Sekarang, pulanglah! Hati-hati di jalan," cetusnya cepat.

Tawaran dari Maxim membuat Kendra merasa curiga. Lelaki yang belum genap seperempat jam silam bertengkar dengannya dan sengaja mencari cara untuk membuat hidup Kendra menderita, tidak bisa dipercaya. Maxim pasti ingin membuat hidupnya makin sengsara.

Saat sudah berada di dalam mobil dan mulai menyalakan mesin, Kendra melihat Maxim yang sedang memperhatikannya sambil bersedekap. Pria itu berdiri di depan pintu masuk. "

Kendra tidak punya waktu untuk memikirkan apa pun di luar ibunya saat itu. Mungkin itu sebabnya konsentrasinya pecah. Kecerobohannya mendadak mengambil alih saat Kendra berjuang untuk keluar dari tempat parkir. Gadis itu sedang memundurkan mobil saat bumper belakang menghantam sesuatu dengan kencang. Cemas, Kendra melompat keluar dari mobil untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata dia baru saja menabrak pagar besi.

Kendra merasa gemas dengan kebodohannya. Bagian belakang mobilnya penyok lumayan parah karena tabrakan tadi memang cukup keras.

" Kamu tidak bisa menyetir sekarang. Lihat, mau keluar dari sini saja kamu sudah menabrak pagar. Kalau saja tadi yang tertabrak adalah mobil lain, bisa dibayangkan seperti apa, kan?"

Entah sejak kapan Maxim berada di sebelah Kendra. Gadis itu mengatupkan bibir. Meski kesal, dia sangat tahu kalau kata-kata Maxim benar.

" Biar aku saja yang mengantarmu. Entah apalagi yang akan kamu tabrak sepanjang perjalanan menuju Bandung."

Kendra mendesis tanpa menoleh ke arah Maxim. " Kamu jahat sekali karena berharap aku celaka."

" Kamu pasti tahu bukan itu poinnya. Ayolah, jangan keras kepala. Sudah jadi rahasia umum kalau lelaki menyetir jauh lebih baik dibanding perempuan. Sori, bukannya aku tidak menghargai emansipasi. Kalau kamu mengkhawatirkan ibumu, pasti akan segera meninggalkan tempat ini. Dan bukan menyesali mobil yang penyok."

Kendra gemas sekali pada Maxim. Tapi bertengkar dengan pria menyebalkan itu bukanlah prioritas terkininya. Tapi tetap saja dia tidak bisa berhenti merespons. " Aku tidak menyesali mobil yang penyok." Kendra yakin kalau Maxim tahu dia sedang " Ambil tasmu, kita naik mobilku saja," Maxim menunjuk ke satu arah. " Aku membawa mobil yang kamu gunakan untuk bercermin. Nanti, kamu bisa berjam-jam...."

" Aku tahu! Dasar orang menyebalkan!"

Kendra akhirnya menyerah. Menyetir ke Bandung dengan pikiran penuh kabut seperti saat itu memang bukan pilihan bijak. Sesaat, dia tidak lagi memedulikan apa pun motif Maxim sehingga menawarkan jasanya. Kendra akan memikirkannya nanti, ketika semuanya sudah lebih tenang. Minimal masih ada satu pikiran positif yang menggerayangi kepalanya. Kendra bisa merasakan duduk di dalam mobil impiannya.

Mereka berhenti sebentar di rumah Kendra untuk mandi dan mengambil pakaian ganti. Selanjutnya, keduanya mampir ke rumah Maxim dan lelaki itu melakukan hal yang sama persis dengan Kendra. Termasuk mengganti pakaiannya dengan jeans dan kaus. Kenneth memilih untuk menunggu di dalam mobil karena tidak yakin akan memberi jawaban bagus jika kebetulan bertemu dengan keluarga Maxim.

" Untuk apa kamu membawa baju ganti? Kamu kan bisa langsung pulang setelah mengantarku," kata Kendra curiga. " Cuma untuk berjaga-jaga."

" Aku cuma merasa kalau kamu ini sedang ... merencanakan sesuatu. Berpura-pura baik untuk membuatku marah. Karena tadinya aku mengira kita sudah tidak ada masalah lagi sejak kamu datang ke kantorku pagi itu. Tapi," Kendra mengernyit, " nyatanya tadi kamu masih tetap saja orang menyebalkan yang sama. Maaf ya kalau kamu tidak suka mendengar kata-kataku. Tapi aku memang sudah tidak bisa menoleransi sikapmu," aku gadis itu lagi.

Maxim tampak tidak siap dihujani kritik seperti itu. Tangannya Selama tiga detik yang terasa panjang bagi Kendra, mereka saling menantang mata.

" Kenapa? Belum pernah ada yang mengucapkan kata-kata seperti itu padamu, ya?" Kendra menutupi rasa jengahnya dengan bicara ketus. " Kalau iya, aku kasihan padamu. Karakter jelekmu dibiarkan berkembang lepas kendali dan menyusahkan orang lain." Keheningan yang membekukan.

" Kamu benar, belum ada orang yang bicara seperti itu padaku. Karena sebelum ada yang menghinaku, aku akan memastikan orang itu akan mengalami hari terburuk dalam hidupnya."

Kendra bertepuk tangan dengan berlebihan. " Selamat, kamu sudah melakukan itu sejak hari pertama kita bertemu. Hanya saja aku terlalu bandel untuk membuatmu merasa puas."

Kejutan terbesar adalah Maxim malah tersenyum. Mungkin itu senyum pertamanya yang dilihat Kendra. Hingga membuat gadis itu terkelu.

" Kalau begitu, pertahankanlah kebandelanmu itu. Aku lebih senang seperti itu. Karena sangat jarang ada yang bertahan kecuali anggota keluargaku."

" Dasar manusia aneh!"

" Kita sama-sama aneh," argumen Maxim. Kali ini tanpa marah. Cukup mengherankan Kendra karena kata-kata yang diucapkannya tadi seharusnya memenuhi standar pencetus emosi ala Maxim.

Kendra berdiam diri selama setengah jam pertama. Pikirannya begitu kusut. Dia bahkan tidak ingat untuk menelepon kedua kakaknya. Ketika fakta itu menembus benaknya, tangan Kendra sempat bergerak untuk mencari ponsel. Namun akhirnya gadis itu mengurungkan niatnya untuk memberi tahu Arthur dan Tina. " Ibumu sakit, ya?" Maxim akhirnya bersuara. " Ya."

" Ibuku memang tinggal di sana."

Lelaki itu berdeham pelan. " Jadi, kamu tinggal di rumah tadi dengan siapa? Itu rumahmu, kan?"

" Tentu saja itu rumahku!" " Kamu tinggal dengan siapa?" " Sendirian."

" Oh ya?" Maxim terlihat kaget. " Kenapa tidak tinggal bersama ibumu saja? Atau ibumu menetap di Jakarta. Oh, jangan bilang kalau kamu sudah menikah dan mengikuti suamimu."

Kendra menatap Maxim. " Kenapa harus ada kalimat oh, jangan bilang kalau kamu sudah menikah ? Lagi pula, kamu tidak menyimak kata-kataku tadi. Aku tinggal sendirian. Kalau sudah menikah, tentu saja aku akan tinggal bersama suamiku." Maxim tidak memedulikan sindiran Kendra barusan. " Kenapa kamu tidak tinggal bersama ibumu? Kamu belum menjawab pertanyaanku, lho!"

" Apa kamu pernah mempertimbangkan karier sebagai seorang wartawan?"

" Aku cuma ingin tahu. Kalau kamu tidak bersedia menjawab, tidak masalah."

Kata-kata Maxim itu menyentuh sisi lemah Kendra. Membuatnya merasa tidak berdaya dan gemas pada diri sendiri karena bersikap mengesalkan. Tampaknya dia sudah tertular Maxim. Mudah marah pada pria itu.

Akhirnya, setelah jeda puluhan detik, Kendra membuka mulut juga.

" Maaf..."

Maxim sepertinya tidak siap mendengar Kendra bicara. " Kamu bilang apa? Meminta maaf?"

Kendra meringis, mengingat kejutan saat Maxim datang ke itu karena aku ketularan kamu. Sepertinya berdekatan denganmu membuatku menjadi orang lain. Aku jadi mirip kamu. Oh ya, sebelum kamu tanya. Tidak ada soda rasa cuka yang kucicipi saat ini."

Tawa Maxim meledak. Kendra menatap laki-laki itu dengan heran, tidak punya petunjuk bagian mana ucapannya yang mampu membuat Maxim tergelak. Wajah lelaki itu memerah karena tawanya.

" Oke Kendra, kali ini aku berbaik hati. Maafmu kuterima." Masih ada senyum yang bertahan di bibir Maxim. " Jadi sebenarnya kamu ini orang Bandung, ya? Pindah ke Jakarta karena masalah pekerjaan?"

Kendra menggeleng. " Lalu?"

" Aku sedang tidak pengin menjawab pertanyaan apa pun. Aku lelah, cemas, baru sembuh dari radang tenggorokan, dan ... bertemu monster."

" Pasti monster yang kamu maksud itu aku. Hmmm, karena sepertinya kondisimu tidak menggembirakan, aku akan berusaha maklum."

Kendra menoleh ke kanan, menatap Maxim yang sedang menyetir dengan tenang. Mungkin baru kali ini dia bisa melihat lelaki itu tampil santai. Tawanya tadi tetap saja menjadi bagian yang mengejutkan.

" Ternyata kamu bisa juga tertawa dan bercanda. Kurasa, itu hal genius yang kutemukan hari ini."

" Radang tenggorokanmu sudah sembuh?" tanya Maxim tidak terduga. " Kamu sudah ke dokter?"

" Perhatian sekali," sindir Kendra. Tapi sesaat kemudian dia segera menyesali sikap buruknya. Paling tidak, selama nyaris satu jam terakhir Maxim menunjukkan niat baik. Meskipun Kendra " Aku sudah ke dokter, dan sekarang sudah membaik," ucap Kendra kaku.

" Saranku, lebih baik kamu tidur dulu. Nanti kalau sudah tiba di Bandung, aku akan membangunkanmu."

Tapi, mana bisa Kendra memejamkan mata dalam kondisi seperti itu? Rasa takut terlalu besar mencengkeram dadanya. Dia mencemaskan kondisi ibunya. Tapi Kendra tidak punya kesempatan untuk meluapkan emosinya.

" Aku ... meski sejak tadi aku mengomel, aku mau berterima kasih padamu. Karena sudah mengantarku. Kalau aku harus menyetir sendiri, kurasa ... entahlah. Aku pasti tidak bisa berkonsentrasi dengan baik. Mungkin...."

" Tidurlah..." suara Maxim melembut.

Bukannya menuruti saran lelaki itu, Kendra malah terisak-isak hingga menghabiskan waktu bermenit-menit. Yang melegakan gadis itu adalah Maxim tidak mengomelinya sama sekali. Padahal jika melihat sifat Maxim yang mulai dikenalnya, lebih masuk akal jika lelaki itu menceramahinya tentang " suara tangisan yang mengganggu konsentrasi" . Maxim malah meletakkan sekotak tisu di atas pangkuan Kendra tanpa bicara.

Kendra sebenarnya membenci dirinya saat itu. Karena tidak mampu mengendalikan diri dengan baik di depan orang lain. Tapi saat itu dia memang tidak memiliki energi tambahan untuk terus berpura-pura kuat. Ini mungkin salah satu masa paling rentan dalam hidupnya. Bebannya sudah terlalu berat, hampir melebihi kapasitas yang mampu ditanggung Kendra. Atau mungkin sudah? " Maaf..."

Maxim tidak memberi respons. Kendra menegakkan tubuh. Entah berapa lembar tisu yang harus dikorbankan untuk mengeringkan pipinya. Saat itu, dia memutuskan untuk sedikit memuasbertanya-tanya dan mendapat kejutan besar saat mereka berada di Bandung.

" Aku tidak bisa tinggal bersama ibuku karena ada masalah serius. Ibuku tinggal di rumah sakit khusus sejak empat tahun terakhir." Kendra menutup wajah dengan kedua tangannya. Membiarkan jeda menggantung.

" Rumah sakit khusus?" suara Maxim dipenuhi keheranan. " Kenapa begitu?"

Ketika Kendra mengangkat wajah, pipinya kembali basah. " Semoga kamu tidak menyuruhku turun di sini," katanya pelan. " Ibuku menderita skizofrenia."

Maxim mati-matian membenamkan kekagetan yang menerjangnya begitu Kendra menyelesaikan kata-katanya. Kalaupun dia punya dugaan mengapa Kendra hidup terpisah dari ibunya, itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan gangguan kejiwaan kompleks.

Maxim berusaha keras memasang ekspresi datar, seakan ucapan Kendra bukan sesuatu yang pantas menjadi penyebab kepalanya terasa nyaris meledak. Di detik itu Maxim baru menyadari kalau gadis di sebelahnya itu bisa membuat kuota kejutan seumur hidupnya, habis. Kendra benar-benar sosok yang tidak bisa ditebak. Tidak seperti yang terlihat di permukaan.

Kendra mungkin salah satu gadis paling gigih yang pernah dikenal Maxim. Lalu kemampuannya untuk menulis dengan tangan kanan dan kiri sekaligus. Belum lagi ketahanan mentalnya yang pantas diapresiasi saat menghadapi Maxim. Dibentak dan dimarahi tidak membuatnya menangis dan kabur. Lalu kini, fakta " Kamu tidak akan menyuruhku turun di sini, kan?" Kendra mengulangi pertanyaannya. Maxim berakting tak acuh.

" Tenang saja, aku akan mengantarmu ke tempat tujuan. Hari ini, kamu mendapat kehormatan, menjadikanku sopir pribadimu."

Bibir Kendra mengerucut saat Maxim melirik gadis itu. " Kamu tidak takut padaku, Maxim?"

Itu adalah pertanyaan paling mengejutkan yang didengar Maxim dalam waktu seminggu terakhir.

" Takut padamu? Haruskah? Apakah kamu sedang punya rencana untuk menjahatiku?"

" Kamu tahu bukan itu yang kumaksud!" Kendra bersungutsungut. Maxim lega karena gadis itu sudah tidak menangis lagi.

" Aku tidak takut, Kendra! Meski aku tidak terlalu banyak tahu soal skizofrenia, tapi aku tidak akan kabur. Apalagi menurunkanmu di tengah jalan seperti yang kamu cemaskan," senyum Maxim merekah. " Oh ya, sebenarnya ada masalah apa hingga kamu terburu-buru ke Bandung?"

Kendra tampak membetulkan letak kacamatanya. Maxim akan sangat maklum jika gadis itu enggan bicara banyak dengannya. Bagaimanapun, mereka berdua adalah orang asing. Andai mereka bertukar tempat, Maxim tidak akan sudi membuka mulut untuk bercerita tentang kondisi ibunya.

Tapi di lain pihak, lelaki itu merasa nyaris kehilangan udara saking penasarannya. Tadi, begitu mendengar tentang ibunda Kendra yang sedang sakit, kekesalannya seputar seleksi peserta kencannya pun lumer. Dengan kecepatan mengagumkan, malah.

Sebagai akibatnya, Maxim segera teringat Cecil. Sebagai anak, dia sangat tahu seperti apa rasa paniknya andai ibunya jatuh sakit. Dan matanya menangkap kepanikan itu di dalam gerak dan ekspresi Kendra setelah menerima telepon tadi. Tanpa bisa dicegah, itu sangat menyayangi ibunya. Setidaknya, mereka punya satu persamaan.

Meski cuma mendapat potongan-potongan informasi, Maxim segera tahu kalau Kendra harus ke Bandung. Sialnya lagi, ada bagian dirinya yang mendadak ingin menjadi pahlawan. Atau minimal berjasa untuk gadis itu. Hingga tahu-tahu Maxim sudah menawarkan diri untuk mengantarkan Kendra ke Bandung. Tawaran yang meluncur begitu saja dari lidahnya dan tak mampu dicegah oleh akal sehatnya.

Kesialan sepertinya menggandakan diri saat Kendra malah menyambut niat baiknya dengan kata-kata ketus. Dan entah kenapa Maxim malah punya kesabaran baru dan mengabaikan kesengitan yang ditampilkan Kendra. Mungkin memang tidak pantas, tapi Maxim bersyukur karena Kendra tidak berhati-hati saat menyetir tadi. Dan keuntungan pun menjadi milik Maxim.

" Ibuku mengidap banyak penyakit. Selain skizofrenia, maksudku. Darah tinggi, pernah terkena stroke, dan penyakit jantung. Tadi yang meleponku adalah perawat yang biasa mengurus Ibu. Kali ini, jantungnya yang bermasalah."

Maxim kaget karena akhirnya Kendra bicara juga. Dia mulai menebak-nebak apa yang terjadi dalam hidup gadis itu. Tapi Maxim jauh dari rasa puas karena tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saat itu, bertanya kepada Kendra menjadi opsi terakhir.

" Bagaimana kondisi ibumu? Apakah serangan jantungnya ... hmmm ... parah?" tanya Maxim hati-hati.

" Entahlah. Semoga saja tidak. Perawatnya bilang, kondisi ibuku stabil. Kuharap itu isyarat positif."

Maxim tidak bicara apa-apa selama nyaris satu menit. " Memang aku tidak tahu apa-apa tentang hidupmu. Tapi kalau boleh berpendapat, aku merasa kalau kamu orang yang kuat. Aku Maxim merasa sangat bersalah saat mendengar isak Kendra sekedip kemudian. Laki-laki itu bertanya pada diri sendiri, apakah dia sudah mengucapkan sesuatu yang keliru? Sepertinya Kendra mulai membuat hidupnya tersiksa.

Masa Lalu

dan Kegetirannya

Baby don t pretend That you don t know it s true

S aat itu, Kendra benar-benar membenci Maxim. Kenapa lela
ki itu harus bicara dengan nada lembut yang membuat air matanya kembali meruah? Belum lagi harapan Maxim yang diucapkan kemudian.

Kapan kali terakhir ada orang yang mendoakan ibunya? Apalagi telinga Kendra menangkap ketulusan di suara Maxim, meski penilaiannya patut dipertanyakan juga. Bahkan, Arthur dan Tina sudah terlalu lama mengabaikan sang bunda, Gayatri.

" Kamu sering mengunjungi ibumu, Ken?" tanya Maxim setelah Kendra bisa bernapas normal lagi.

" Aku berusaha ke Bandung dua minggu sekali. Hanya di hari Sabtu. Karena kalau hari Minggu, aku khawatir dengan lalu lintasnya. Aku tidak mau membolos. Kadang aku menginap, tapi termasuk jarang."

" Kamu anak tunggal, ya? Bagaimana dengan ayahmu?" Seharusnya, Kendra memarahi Maxim karena terlalu ingin tahu. Namun dia sedang tidak ingin mengumbar emosi. Bertengkar dengan Maxim tadi sore sudah menyedot energinya. Kendra tidak pernah menyukai konfrontasi.

ku ... hmmm..." suara Kendra terdengar lirih di ujung kalimatnya. " Aku tidak mau membicarakan soal itu, soal ayahku."

Maxim merespons lebih cepat dibanding yang diduga Kendra. " Oke."

Lalu, bibir Kendra kembali bergerak. Menceritakan kisah yang seharusnya cuma tersimpan di dalam memorinya dan pantang dibagi dengan Maxim. Tapi sayangnya bibir gadis itu tidak mematuhi perintah otaknya untuk berhenti bicara.

" Kak Arthur menetap di Lombok. Aku hampir yakin kalau dia yang meminta agar dipindahkan ke sana. Tapi aku tidak punya bukti untuk dugaanku itu," gadis itu menggigit bibir. Kenangan melintas di benaknya dalam berbagai warna semarak. " Dulu, dia kakak yang sangat kubanggakan. Pemberani dan sangat menyayangi keluarga. Tapi Kak Arthur mulai berubah sejak menikah. Sepertinya ... dia takut pada istrinya. Dia nyaris tidak terlibat dalam urusan kesehatan ibuku. Kecuali masalah fi nansial. Setiap bulan, kakak sulungku itu menyiapkan sejumlah dana untuk biaya perawatan Ibu di rumah sakit."

" Oh ya?"

Kendra mengangguk, tidak peduli andai Maxim tidak melihat gerakannya.

" Kak Tina juga tidak menetap di Jakarta. Melainkan di Bali. Jadi, aku sendiri yang tinggal di rumah keluarga kami. Aku juga yang diserahi tanggung jawab untuk mengurusi Ibu. Seperti halnya Kak Arthur, Kak Tina juga boleh dibilang tidak terlibat dalam hal merawat Ibu."

Ketika Maxim menukas, Kendra menangkap ketidaksabaran dalam suara pria itu. " Kamu mengurus semuanya sendiri? Benarbenar sendirian?"

Kendra mengangguk pelan. " Ya, aku sendirian. Karena aku paksa dititipkan di rumah sakit. Aku..." gadis itu agak melamun. Kilasan gambar dari masa lalu yang menyakitkan pun mulai berganti menari di matanya.

" Kendra..."

" Aku sebenarnya tidak mau mengirim Ibu ke mana pun. Tapi kondisinya sudah tidak memungkinkan untuk dirawat di rumah tanpa pengawasan khusus. Akhirnya, Kak Arthur menemukan sebuah tempat di Bandung. Rumah sakit yang dikelola seorang psikiater yang memiliki ayah penderita skizofrenia. Jadi, rumah sakit itu benar-benar diperuntukkan bagi pasien dengan masalah kejiwaan. Tapi dibuat sedemikian rupa sehingga kondisinya lebih nyaman."

Gadis itu mendesah pelan, memejamkan mata meski bukan karena ingin terlelap. Napasnya mulai teratur, mirip seseorang yang baru saja menembus mimpi. Tapi Kendra sama sekali tidak tidur.

" Kenapa aku harus menceritakan semua ini padamu? Dan kenapa aku mau saja diantar olehmu. Kalau kamu..." nada peringatan mengemuka di suara Kendra, " kalau kamu sekali saja menja dikan masalah ini untuk memojokkanku, dalam cara apa pun, aku tidak akan memaafkanmu."

Maxim terlihat tersinggung ketika mereka bertatapan. Tapi suaranya terdengar normal saat bicara.

" Kamu kira aku seberengsek itu? Menjadikan masalahmu sebagai senjata untuk mendapatkan keuntungan? Lagi pula, apa sih yang bisa kumanfaatkan? Aku sudah terikat padamu. Maksudku ... pada acara Dating with Celebrity-mu itu."

Kendra akhirnya bicara dengan nada lelah. " Baiklah, kali ini aku akan percaya padamu. Aku tidak punya pilihan lain."

" Aku rasa, itu bisa digolongkan sebagai pujian. Aku bersumpah, tidak akan membahas apa yang terjadi hari ini pada siapa pun.

mau makan dulu? Ini sudah malam dan aku tidak ingin ada yang mengeluh kelaparan. Mumpung ada rest area di depan."

Kendra menggeleng, berusaha tidak menunjukkan kalau dia terkejut dengan sumpah Maxim. " Kalau kamu jadi aku, apa masih bisa makan dengan tenang? Aku juga tidak lapar."

Tapi Maxim tetap membelokkan mobilnya ke arah rest area dan meninggalkan Kendra kurang lebih selama sepuluh menit. Lelaki itu kembali ke mobil dengan membawa roti, biskuit, dan air minum dalam satu kantong plastik ukuran sedang. Dia sempat menawari Kendra yang cuma dijawab dengan gelengan kepala.

Tidak banyak interaksi di antara keduanya. Maxim berusaha mengajukan banyak pertanyaan, tapi tidak mendapat respons yang memuaskan dari Kendra. Gadis itu berusaha keras memberikan infomasi sesedikit mungkin kepada Maxim. Dia merasa sudah terlalu banyak bicara. Lelaki itu adalah pria asing yang kebetulan sedang bersinggungan dengan pekerjaannya saat ini.

Kendra tidak pernah menceritakan masalah keluarganya kepada orang lain, termasuk Neala yang tergolong cukup dekat dengannya. Dan dia sama sekali tidak berniat untuk memecahkan rekor itu dengan Maxim. Yang tahu banyak soal masalah keluarganya hanyalah para tetangga dekat. Itu hal yang sama sekali tidak terhindarkan karena mereka menyaksikan tahun demi tahun bagaimana kondisi Gayatri kian memburuk. Juga Kendra yang mendapat impak terbesar.

Jika diibaratkan domino, Kendra adalah kartu terakhir. Dia tidak punya kartu lain sebagai tempat bersandar dan membagi beban kejatuhan itu. Tidak ada yang akan ikut menanggung rasa sakitnya. Dia menahan semua beban dari deretan kartu yang ada di depannya.

Ketika mereka tiba di rumah sakit, Kendra langsung keluar sempurna. Kendra mengabaikan teriakan Maxim yang mem peringatkan kecerobohannya.
My Better Half Karya Indah Hanaco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menjelang tiba di rumah sakit, Kendra sudah menelepon perawat yang biasa menangani ibunya. Perempuan berusia pertengahan empat puluhan itu, Inge, menunggu Kendra di lobi rumah sakit yang lumayan sibuk.

" Suster, bagaimana kondisi Ibu?" Kendra memegang lengan Inge dengan napas memburu. Wajahnya terlihat pias, napasnya memburu, dan matanya berkaca-kaca.

Inge berusaha menenangkan Kendra, menghadiahi gadis di depannya dengan seulas senyum.

" Kondisi Bu Gayatri sudah stabil. Tapi saya rasa tetap harus menghubungi kamu. Hanya saja, saya tidak mengira kamu langsung ke sini."

Seseorang menghentikan langkah di sebelah Kendra. Suara napas Maxim yang terengah pun menerpa telinga gadis itu.

" Ini ... teman saya, Suster," Kendra merasa dia punya kewajiban memperkenalkan Maxim dengan Inge. Meski dia tidak tahu apakah label " teman" yang baru disematkannya pada sosok lelaki jangkung yang suka cemberut itu sudah tepat. Mereka lebih pantas menjadi musuh, terutama dari sisi Maxim.

Maxim mengekori Kendra ke mana pun gadis itu melangkah. Awalnya Kendra merasa risih dan meminta Maxim menunggunya di lobi atau mobil. Laki-laki itu tidak membantah, tapi juga tidak menurut. Capek memberi intruksi yang sama sekali tidak dipatuhi, Kendra akhirnya membiarkan Maxim menempel mirip bayangannya.

Gadis itu mengikuti Inge menuju kamar Gayatri. Ibunya terlelap, dengan wajah dihiasi senyum tipis. Terlihat begitu damai sekaligus cantik. Gayatri memiliki banyak sekali kemiripan dengan memiliki hidung mungil tapi lancip itu. Juga mata lebar yang ekspresif. Atau kulit bening yang indah.

Nyatanya, Kendra mendapatkan hidung yang sedang, mata agak sipit, serta kulit kecokelatan. Menjiplak apa yang dimiliki ayahnya, Djody. Sementara Arthur menjadi sosok yang merupakan perpaduan pas dari ayah dan ibu mereka. Tapi, Kendra tidak bisa memprotes apa yang sudah dihadiahkan Tuhan padanya, kan?

Bahkan dia tidak bisa mengajukan keberatan karena nyaris tidak punya kesempatan untuk merasakan kasih sayang Gayatri. Karena ibunya harus menghadapi masalahnya sendiri. Dari ingatan samar-samar gadis itu, sejak berusia empat tahun dia sudah tidak pernah lagi merasakan Gayatri memeluk atau memangkunya dengan penuh kasih sayang. Saat itu, Gayatri sudah hidup di dunianya sendiri, memisahkan diri dari lingkungan.

Kendra berdiam entah berapa lama di kamar ibunya. Berharap Gayatri membuka mata dan melihat kehadirannya dengan mata berbinar. Memeluknya, melisankan nama Kendra, bahkan andai mungkin mengatakan kalau dia begitu mencintai putri bungsunya itu. Tapi harapannya tidak mewujud nyata.

" Kendra..."

Gadis itu merasakan seseorang menyentuh bahunya. Dia mendongak dan mendapati Maxim memandang ke arahnya. Lelaki itu tidak menarik tangannya, dan Kendra tidak mengajukan protes apa pun. Konsentrasinya tersedot untuk hal lain di luar mereka berdua.

Maxim membungkuk dan berbisik di telinga Kendra. Gadis itu merasakan napas Maxim menerpa kulitnya.

" Kamu dan ibumu butuh istirahat. Ayo, kita keluar dari sini. Besok pagi, kamu bisa kembali lagi ke sini...."

Kali ini, Kendra tidak ingin mendebat pria itu. Dia tahu, memperingatkannya tadi. Bahkan, boleh dibilang Inge melarang Kendra berlama-lama di ruangan itu. Hanya saja gadis itu membandel. Dan Maxim ikut-ikutan memberi dukungan dengan tetap berada di ruangan yang sama.

Kendra terlihat lelah. Wajahnya kuyu dan agak pucat. Matanya sedikit membengkak karena cukup banyak mengeluarkan air mata.

" Untuk apa kamu masih ada di sini? Pulanglah, Max! Aku bisa pulang ke Jakarta sendiri, kok! Aku cuma perlu mengambil tasku di mobilmu."

" Aku tidak akan pulang. Aku akan menemanimu di sini, sampai urusanmu kelar."

Mereka berdua sedang berjalan di koridor rumah sakit. Kendra memperlamban langkahnya karena kata-kata Maxim tadi.

" Jangan konyol! Untuk apa kamu tetap di sini? Kamu kan harus bekerja. Kalau aku, sudah mendapat izin cuti sampai lusa. Lagi pula ... masalahku tidak ada hubungannya ... denganmu," ucap Kendra dengan perasaan tidak nyaman yang menyerbu tiba-tiba.

" Aku tidak konyol, kok! Aku akan menemanimu. Lagi pula, aku boleh dibilang tidak pernah cuti. Sekali ini, aku ingin menghabiskan waktu selama dua hari tanpa memikirkan pekerjaan."

Kendra menaikkan alisnya saat menoleh ke arah Maxim. " Kamu tidak demam, kan? Atau baru disambar petir? Atau mungkin...."

Maxim tersenyum, membuat kalimat Kendra berhenti sebelum dituntaskan.

" Aku sangat sehat dan tidak mengalami hal-hal aneh seperti yang ada di kepalamu itu."

" Baru beberapa jam terakhir ini aku melihatmu tertawa dan tersenyum. Sekarang, malah mau menemaniku di sini dan membolos." Kendra menyipitkan mata. " Aku mungkin baru mengenalmu beberapa minggu. Tapi aku yakin tingkahmu itu abnor-" Itu karena kamu tidak mengenalku," Maxim membela diri. Kendra diam sambil terus menatap Maxim. Hingga gadis itu nyaris menabrak seorang pasien berkursi roda. Maxim yang sigap, menarik gadis itu agar menepi.

" Aku tetap merasa ada yang salah dengan dirimu." Maxim akhirnya hanya mengangkat bahu, enggan beradu kata dengan Kendra. Lelaki galak itu mengalami sedikit transformasi. Kata-katanya tidak lagi kasar dan membuat kesal. Kendra cukup kaget karenanya. Di tengah masalah ibunya yang membuat harinya kusut, fakta tentang Maxim tetap saja membuatnya terpana.

" Kita makan dulu, sudah terlalu malam," Maxim menunjuk ke arah jam tangannya. Nada suara memerintah itu terdengar. " Setelahnya, kita akan mencari penginapan atau hotel di sekitar sini. Supaya besok kamu tidak terlalu jauh kalau mau men...."

" Apa? Hotel?" Kendra melongo, mereka berdua kembali berhenti melangkah. Ekspresinya menunjukkan kekagetan. Gadis itu lantas merendahkan suaranya. " Kamu gila?"

Kini, giliran Maxim yang terpana. " Apa yang salah dengan menginap di hotel? Kamu kira aku mau duduk semalaman di lobi rumah sakit atau tidur di mobil? Ogah!"

" Tapi ... tapi ... aku...."

" Astaga, kamu kira aku akan melakukan sesuatu kalau kita menginap di hotel?" suara Maxim meninggi, membuat orangorang mulai memperhatikan mereka. " Aku masih sanggup untuk membayar dua kamar sekaligus! Kamu pikir..."

Kendra buru-buru menarik lengan Maxim agar menjauh dari lobi. " Kamu tahu tidak, orang-orang melihat kita. Kamu senang?"

" Siapa yang bisa tahan kalau dicurigai seperti itu? Maaf ya Kendra, aku bukan laki-laki jahat yang suka memanfaatkan gadis-Setelah mereka berada di samping mobil Maxim, barulah Kendra melepaskan cekalannya di lengan pria itu. Maxim tidak mengeluh dicekal cukup kencang. Kendra sendiri merasa tangannya agak nyeri.

" Aku..." Kendra terdiam. Semua kemampuannya dalam mengo lah kata, lenyap tanpa bekas. Bahunya merosot, wajahnya tampak muram, dan matanya mengerjap perlahan. " Aku sudah kelewatan," Kendra tidak sanggup menantang mata Maxim. Dan dia sudah pasrah jika sisi buruk Maxim kembali mencuat.

" Kalau itu permintaan maaf, aku terima. Sekarang, kita makan dulu, ya?"

Kendra akhirnya memilih untuk menutup mulut dan menuruti Maxim kali ini. Sejak tadi entah sudah berapa kali dia mengucapkan kalimat mubazir yang pasti memberikan efek tidak nyaman di telinga lelaki itu. Dan karena Maxim mendadak memutuskan untuk menjadi orang yang penyabar, rasa bersalah Kendra naik menjadi dua kali lipat.

Gadis itu menurut saja ketika Maxim mengajaknya ke sebuah kafe dua puluh empat jam yang bersebelahan dengan rumah sakit. Dia memaksakan diri menelan makanan yang dipesan meski lidah Kendra tidak mampu mendeteksi rasanya. Hambar.

Dia hanya mengajukan protes ketika Maxim mengajaknya melihat sebuah penginapan yang bisa dicapai dengan berjalan kaki kurang dari lima menit. Jarak penginapan itu sekitar dua ratus lima puluh meter dari rumah sakit. Nyaman meski tidak mewah.

Protes Kendra akhirnya tidak mampu membuat Maxim berubah pikiran dan kembali ke Jakarta. Pria itu tetap enggan meninggalkan Kendra sendiri. Dan menolak mati-matian upaya Kendra membatalkan niatnya untuk memesan dua kamar.

" Oh, mungkin kamu lebih suka kalau kita sekamar saja?" godasudah membeku. Maxim terlalu banyak mengejutkannya hari ini. Setelah tersenyum, tertawa, kini bahkan berkelakar!

" Sekarang aku benar-benar yakin kalau otakmu sudah tidak berfungsi dengan normal."

Hasil akhirnya, mereka menginap di dua kamar yang bersebelahan. Kendra baru mandi menjelang pukul sebelas malam. Setelahnya, baru dia membaringkan tubuh di ranjang. Kepenatan terasa mencengkeram sekujur tubuhnya, dari ujung kuku kaki hingga ujung rambut.

Kendra kesulitan memejamkan mata. Rasa kantuknya tertahan entah di mana. Gadis itu hanya bisa pasrah tidur menelentang dengan mata terbuka. Langit-langit kamar berubah fungsi menjadi layar besar yang menyajikan potongan gambar dari kehidupannya.

Kendra sudah jenuh merindukan Tina dan Arthur. Faktanya, kedua saudara tersayangnya itu malah seakan lebih suka menjauh dari kehidupannya. Karena mereka tidak mau menanggung beban yang semestinya bisa dibagi bertiga. Untuk Tina dan Arthur, Gayatri adalah masalah pelik yang tidak diinginkan.

Memang, tidak ada yang pernah terang-terangan meng ucapkan itu. Kendra pun selama bertahun-tahun berada di area penyangkalan. Dia selalu merasa yakin kalau Arthur dan Tina memang tidak punya pilihan kecuali meninggalkan Jakarta. Tentunya karena alasan pekerjaan dan pernikahan.

Tapi Kendra tidak bisa membohongi diri sendiri terlalu lama. Nyatanya, kedua kakaknya tidak pernah menunjukkan niat baik yang bisa membuat Kendra memaklumi keputusan mereka. Arthur dan Tina bisa disebut menghilang dari kehidupannya. Kendra belum pernah bertemu keduanya dalam waktu empat tahun terakhir.

Suatu pagi, dia terbangun dengan pikiran yang terasa jernih.

menghilang dari hidup Kendra dan Gayatri. Di mata keduanya, si bungsu dan ibu mereka adalah satu paket yang tidak terpisahkan. Karena Kendra memang tak pernah berniat meninggalkan ibunya.


Fear Street Cheerleaders Musibah Ketiga Pendekar Hina Kelana 27 Dendam Dalam Candika Dewi Penyebar Maut X I I I

Cari Blog Ini