My Better Half Karya Indah Hanaco Bagian 3
Ada beragam alasan yang diajukan mengenai kenapa mereka tidak pernah pulang ke Jakarta. Di hari libur hingga hari besar agama yang biasa dipakai orang lain untuk berkumpul dengan keluarga. Meski Arthur dan Tina tinggal di tempat berbeda, tampaknya mereka punya kesamaan seputar itu.
Keduanya memang menyediakan dana yang memadai untuk biaya perawatan Gayatri. Tapi bagi Kendra, uang tidak akan mampu menebus segalanya. Dia lebih membutuhkan kehadiran saudara-saudaranya.
Dia masih terlalu hijau untuk mengambil beban seberat ini. Sembilan tahun silam semuanya dimulai. Saat situasi memburuk setelah Djody tidak lagi sanggup bertahan memiliki istri penderita skizofrenia. Kendra diberi pilihan, memilih bertahan di sisi Gayatri yang hidup dalam dunianya sendiri. Atau pergi bersama sang ayah. Tapi mana bisa anak umur lima belas tahun berpikir rasional?
Sejak itu, Kendra menebas semua kasih sayang yang dimilikinya untuk Djody. Kendra hidup dengan perasaan nyaris benci yang menggerogoti jiwanya selama bertahun-tahun. Dan Kendra belum melihat perubahan apa pun di masa depan.
Di Antara Hujan Daun Jeruk
Cause you can see it When I look at you
K endra merasa luar biasa lega ketika esoknya bisa melihat
Gayatri lagi. Kali ini, ibunya terlihat sehat. Namun seperti biasa, Gayatri tidak terlalu memedulikannya. Perempuan itu hidup di dunianya sendiri, menarik diri dari lingkungan.
Syukurnya, Maxim menurut saat Kendra memintanya menjaga jarak dari ibunya, secara harfi ah. Bagi gadis itu, sungguh menyulitkan melihat ibunya berdiam diri atau mulai berhalusinasi dan berbicara dengan kalimat yang sulit dipahami. Kendra tidak nyaman jika banyak orang di luar sana mengetahui kondisi Gayatri yang sesungguhnya.
Gadis itu tidak lagi menyuruh Maxim pulang karena tidak ada artinya. Lelaki itu cuma tersenyum tipis dan mengabaikan katakata Kendra dengan sengaja.
" Aku takut kamu bosan selama dua hari cuma berkeliling di rumah sakit," itu salah satu argumen Kendra.
" Aku tidak akan bosan. Karena aku belum pernah menghabiskan waktu di tempat seperti ini," balas Maxim tenang.
" Astaga, ini rumah sakit! Bukan tempat wisata. Dan kenapa kamu tidak mengomel? Aku lebih terbiasa dengan dirimu yang " Kenapa aku harus mengomel? Sepertinya aku sudah menghabiskan semua omelanku di depanmu. Jadi, kemungkinan besar aku tidak akan marah-marah lagi padamu. Dan, oh, kenapa justru kamu yang berubah menjengkelkan?"
Perdebatan mereka berhenti sampai di situ. Maxim versi ini ternyata lebih sulit dihadapi saat emosi Kendra tidak stabil seperti sekarang. Mereka sedang berjalan bersisian di bagian belakang rumah sakit saat Kendra menunjuk ke satu arah.
" Dulu aku selalu ke sana tiap kali berkunjung, ke sekumpulan pohon jeruk itu. Aku suka sekali bertelanjang kaki, sengaja menginjak daun-daun yang sudah gugur di tanah. Aromanya akan menempel di tubuhku dan biasanya aku tidak mandi seharian karena itu."
" Oh ya?" Maxim tampak tertarik. " Aku belum pernah melakukan itu. Sebentar, tadi kamu bilang dulu . Apa sekarang kamu tidak melakukan itu lagi?" pria itu menyugar rambutnya dengan tangan kanan.
Kendra merasa terhibur melihat ekspresi lelaki di sebelahnya. " Sepertinya memang banyak pengalaman yang belum kamu cicipi," sindir Kendra. " Belakangan aku tidak bisa berlama-lama di sini. Biasa, masalah pekerjaan. Jadi, aku mengabaikan godaan untuk melangkah ke sana. Kurasa ... hei, kamu mau ke mana?"
Maxim tidak menjawab dan hanya menarik tangan kanan Kendra. Beberapa langkah kemudian, Kendra tahu mereka akan mengarah ke mana. Maxim mengarahkannya ke deretan pohon jeruk yang berbaris rapi di halaman belakang rumah sakit nan luas itu.
" Aku juga pengin mencium aroma jeruk di tubuhku. Ayo, kita bersenang-senang sebentar!"
Maxim sama sekali tidak mengajak atau meminta, melainkan memaksa. Tapi kali ini Kendra tidak berniat untuk mengajukan Mulai dari yang masih berwarna hijau segar, hingga yang sudah kecokelatan. Kendra segera membuka sandal jepit yang dikenakannya dan berjalan cepat meninggalkan Maxim. Pria itu mengikuti apa yang dilakukan Kendra.
" Kenapa kamu tidak menghubungi kakakmu? Atau sudah?" suara Maxim terdengar tak acuh. Seakan kalimatnya diucapkan sambil lalu.
" Entahlah ... kurasa tidak akan ada gunanya."
Kendra bersumpah kalau dia mendengar suara Maxim melembut saat bicara lagi. Bahkan cenderung membujuk. " Mereka tetap saja saudaramu. Berhak untuk tahu kondisi ibumu. Soal apakah mereka akan datang atau tidak, itu masalah lain." " Aku ..."
Kendra menggantung kalimat yang akan meluncur dari bibirnya. Gadis itu terdiam selama tiga detak jantung. Sebelum kemudian menjauh dan merogoh sakunya. Dia menghabiskan kurang dari satu menit untuk menelepon Arthur. Kendra melakukan hal yang sama saat menghubungi Tina.
Ketika kembali mendekati Maxim yang sedang berjalan pelan di antara daun-daun jeruk, Kendra mengangkat bahu. " Kenapa?"
" Seperti dugaanku, mereka tidak akan datang. Kesibukan pekerjaan dan keluarga. Yah ... seakan Ibu bukan keluarga mereka saja," Kendra menatap Maxim. Tapi kali ini dia tidak menangis. Semua kesedihannya sudah tumpah sejak kemarin. " Maxim..." " Ya, Kendra?"
" Apa kamu mau mendengar ceritaku? Tapi mungkin ini jenis cerita yang akan membuat bosan. Tidak ada yang...."
Maxim menukas cepat dan tegas. " Tentu saja aku mau! Sepertinya dari kemarin aku sudah bertanya-tanya tapi tidak Kendra tidak segera merespons. Melihat gadis itu hanya berdiam diri, Maxim mangangkat tangan kanannya, mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya ke udara.
" Aku bersumpah, akan menyimpan ceritamu seumur hidup." Kendra tergelak melihat keseriusan Maxim. Dia tidak mengira kalau kehadiran pria ini sejak kemarin mampu memberinya peng hiburan. Kendra bahkan takjub karena saat ini dia malah berniat berbagi sedikit kisah pada lelaki itu. Ternyata, memiliki teman untuk berbagi beban yang sudah terlalu berat itu, cukup menyenangkan juga.
" Aku berhasil membuatmu bersumpah hingga dua kali." Maxim berpura-pura kesal. " Ya, cuma kamu yang bisa membuatku melakukan hal-hal aneh."
" Cukup adil," senyum bertahan di bibir Kendra. " Tapi, aku masih punya satu syarat lagi."
" Apa? Sepertinya sangat sulit untuk mendapatkan kepercayaanmu, ya?" keluh Maxim.
Kendra berpura-pura tuli. " Syaratnya, jangan merasa kasihan padaku. Sekali saja aku merasa kamu seperti itu, maka aku takkan mau bicara denganmu lagi. Aku juga akan memastikan keterlibatanmu di Dating with Celebrity akan menjadi siksaan yang mengerikan."
" Ya Tuhan, aku baru tahu kalau ternyata kamu itu sangat suka mengancam. Oke, aku setuju. Lagi pula, untuk apa aku merasa kasihan padamu? Pasti sia-sia saja."
" Bagus. Aku memang terlalu hebat untuk dikasihani, kan?" " Hah!" Maxim mencibir.
" Kamu agak berubah, aku tidak tahu apakah ini temporer atau sebaliknya. Anggap saja ini sebagai apresiasi untuk sikap baikmu," " Wah, kamu baik sekali," Maxim menyindir. Ketika mereka berjalan bersisian seperti itu, Kendra diingatkan oleh perbedaan tinggi di antara mereka yang cukup jauh. Mata Kendra hanya sejajar dengan bahu Maxim.
Sore itu, di antara deretan panjang pohon jeruk dan daundaunnya yang sesekali jatuh, Kendra akhirnya memutuskan untuk berbagi. Gadis itu memberikan sepotong kisah yang selama ini disimpan di sudut terjauh memorinya. Jika biasanya dia akan memastikan tidak ada orang yang tahu rahasia yang disimpannya, kali ini Kendra membaginya pada Maxim dengan sukarela. oOo
Maxim lega saat akhirnya Kendra memutuskan untuk pulang ke Jakarta malam itu juga. Gadis itu batal menginap satu hari lagi.
" Suster Inge benar, aku tidak bisa melakukan apa-apa di sini. Lagi pula kondisi Ibu sudah stabil. Tidak ada yang perlu kukhawatirkan lagi. Jadi, lebih baik kita pulang. Karena ada banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan. Belum lagi harus menghadapi seorang laki-laki bawel yang menginginkan seleksi ulang. Sementara jadwal syuting sudah semakin dekat."
Maxim berpura-pura tidak mendengar kata-kata Kendra itu. Saat itu dia tidak sedang mencemaskan apa pun yang berhubungan dengan Buana Bayi atau Dating with Celebrity. Meski kemarin Aurora sepertinya nyaris terkena serangan panik saat Maxim menelepon. Pria itu mengabarkan soal cuti mendadaknya tanpa memberi alasan yang mungkin dianggap masuk akal.
" Aku butuh udara segar," katanya. Tak terduga, kalimat itu malah membuat Aurora terdengar cemas.
" Apakah terjadi sesuatu? Maxim? Jangan coba-coba menyem-Maxim mengernyit jika mengingat dialog mereka. Bahkan Cecil tidak mengajukan banyak pertanyaan saat Maxim pamit.
" Kamu tidak pernah bercerita apa pun tentang dirimu. Padahal aku sudah membuka banyak rahasia padamu," cetus Kendra setelah mereka meninggalkan rumah sakit.
" Memangnya kamu mau tahu bagian yang mana? Tanya saja. Aku tidak terbiasa bercerita, takut orang menjadi bosan. Lain halnya kalau ada pertanyaan yang harus kujawab."
Saat Maxim menoleh, dia bisa melihat mata Kendra dipenuhi ketidakpercayaan. Tapi dia lega karena gadis itu sudah kembali bersikap santai. Tidak lagi menunjukkan tanda-tanda frustrasi sekaligus tak berdaya seperti sebelumnya.
" Yakin kalau yang barusan bicara itu Maxim Fordel Arsjad?" Kendra mengeja nama lengkapnya.
" Ah, kukira kamu tidak tahu namaku." " Kamu mengelak, tidak menjawab pertanyaanku." Maxim berkata dengan nada tak sabar, " Kamu mau mengajukan pertanyaan atau tidak? Ingat lho Kendra, tidak ada kesempatan kedua. Anggap saja kamu benar, aku sedang terserang apalah, sehingga tidak bisa berpikir dengan jernih. Dan memberi kendali padamu untuk bertanya macam-macam. Setelah malam ini, aku tidak mau menjawab semua hal yang berhubungan dengan masalah pribadi. Meskipun untuk kepentingan Dating with Celebrity."
Kendra buru-buru membuka mulut. " Oke, oke. Aku tidak akan mengganggumu lagi. Kini saatnya untuk serius. Hmmm ... kenapa kamu mau mengikuti acara itu? Padahal aku sudah berkalikali mendengarmu mengejek Dating with Celebrity sebagai acara menyedihkan."
" Dan aku masih belum berubah pendapat tentang itu," tukas " Nah, itu yang tidak kumengerti. Kenapa kamu masih bersedia ikut dan menyusahkanku?"
Maxim tersenyum tipis. Merasa takjub pada dirinya sendiri karena belakangan tidak pernah bisa benar-benar marah pada Kendra. Meski adakalanya gadis itu mengucapkan kalimat yang membuat telinganya berdengung.
Dia tidak pernah menduga kalau ada masanya Kendra membuatnya kalah dan tak berdaya. Bibirnya boleh saja mengumpat tapi pada akhirnya Maxim melakukan hal-hal yang tak pernah terbayangkan dalam hidupnya.
Meski awalnya terbujuk oleh rayuan beracun Aurora, dia sudah bertekad membatalkan keikutsertaan di acara itu setelah Helen mengirim Kendra untuk menggantikannya. Maxim sangat yakin, Kendra pasti menangis karena tersinggung dengan sikap dan katakata tajamnya.
Belakangan, Maxim tidak yakin. Apalagi setelah Kendra menunjukkan kegigihan yang tak terduga. Terutama saat nekat datang ke rumahnya dan malah bertemu dengan Cecil.
" Maxim ... kamu belum menjawab pertanyaanku," Kendra mengingatkan. Serupa magnet, gadis itu menarik Maxim pada kekinian. Lelaki itu menyetir dengan tenang, membelah jalan tol yang cukup ramai.
" Hmmm ... ada beberapa alasan sebenarnya. Pertama, karena kakak perempuanku. Dan kedua, karena kamu."
" Aku? Kenapa aku masuk ke dalam daftar musuh yang akan kamu habisi?"
Maxim tergelak. " Itu karena kamu terlalu keras kepala untuk menyerah. Akhirnya, aku malah merasa bersalah jika masih menolak. Kendra...." Maxim menoleh ke kiri. " Apa kamu tahu Kendra membeo. " Maxim, apa kamu tahu kalau kamu itu sudah menyusahkanku?"
" Tentu saja aku tahu. Dan memang itu tujuanku," balas Maxim tanpa rasa bersalah.
" Bagaimana dengan kakakmu? Apa yang dilakukannya hingga bisa membujukmu?"
" Helen itu teman kakakku. Aku sih tidak tahu sejarah pertemanan mereka. Yang jelas, setelah wajahku tampil di Th e Bachelor, muncul tawaran untuk tampil di Dating with Celebrity. Aku sama sekali tidak tepat berada di acara itu. Aku bukan selebriti. Yang lebih cocok sebenarnya...." Maxim berhenti tepat sebelum menyebut nama Darien.
" Yang lebih cocok adalah orang-orang yang selalu berada di bawah sorotan kamera," Kendra menuntaskan kalimat Maxim, sok tahu. Tapi lelaki itu tidak berniat untuk meralat kata-katanya.
" Ya. Dan aku sama sekali bukan orang seperti itu. Tapi, kakakku selalu punya cara untuk membuat aku dan saudarasaudaraku menuruti keinginannya. Menyebalkan, memang. Tapi dia kumaafkan karena Mbak Aurora menyayangiku. Meski...." Maxim berhenti lagi. Mendadak merasa bersalah pada Kendra.
" Aku akan memaksamu turun di sini kalau merasa bersalah atau kasihan padaku," Kendra menyamankan diri di jok penumpang. " Oke, maaf."
" Kamu punya berapa saudara, Maxim? Apakah kalian akur?" Ini sebenarnya pertanyaan yang paling enggan dijawab oleh Maxim dalam hidup ini. Berapa banyak orang yang memandangnya dengan tatapan berbeda hanya setelah dia menyebut nama Darien? Bahkan Declan, meski untuk kalangan tertentu. Dan entah kenapa, Maxim selalu merasa terganggu. Dia tidak yakin bagaimana reaksi Kendra jika mengetahui kalau salah satu aktor dan model iklan top " Tiga. Satu adik lelaki, satu kakak perempuan, dan satu kakak lelaki."
" Semuanya bekerja di Buana Bayi? Eh, itu perusahaan keluarga, kan?"
" Ya, Buana Bayi itu perusahaan keluarga. Yang mendirikan kakakku, Aurora. Dengan modal dari suaminya, tentu saja. Aku bergabung sejak awal karena merasa lebih nyaman bekerja untuk kakakku. Tak masalah kalau kamu menuduhku memanfaatkan koneksi. Tapi dua saudaraku memilih untuk berpetualang di dunia yang mereka cintai. Dan ya, kami akur. Sangat, malah. Meski kadang jadi tergoda untuk ikut mengurusi masalah yang lain."
" Oh, itu bagus..." kalimat Kendra seakan belum tuntas. Tapi Maxim tidak bertanya. " Saudaramu yang lain profesinya apa?"
Maxim lebih suka jika Kendra tidak menanyakan tentang itu. Namun dia tidak bisa menolak untuk menjawab karena tadi sudah memberi hak pada gadis itu untuk bertanya.
" Adikku namanya Declan. Dia seorang aktivis lingkungan hidup yang lebih mencintai paus ketimbang pacarnya. Setidaknya, begitulah kecurigaanku. Dan kakakku...." Maxim menghela napas tanpa sadar. " Kakakku namanya Darien Tito Arsjad."
Pria itu menunggu teriakan histeris yang bisa membuat telinganya tuli permanen. Tapi nyatanya hanya ada keheningan. Heran, dia menoleh dan mendapati Kendra pun sedang menatapnya.
" Kenapa kamu berhenti? Aku sedang mendengarkanmu. Jangan cemas, aku tidak akan tertidur."
" Kamu tidak mendengar nama terakhir yang kusebut tadi?" Maxim penasaran.
" Aku mendengar, kok. Hei, kenapa aku merasa kamu berpikir " Kamu benar-benar tidak pernah mendengar nama itu? Kakakku seorang aktor dan bintang iklan. Saat ini pun dia sedang berada di Spanyol untuk syuting fi lm."
" Kakakmu aktor. Darien...." Kendra menyebut nama itu dengan nada lamban. " Oh, Darien yang itu? Dia kakakmu, ya? Setelah kamu menyebutkan hubungan kalian, aku baru berpikir kalau kalian punya kemiripan."
Maxim benar-benar keheranan. " Kamu bukan penggemar Darien, ya?"
Kendra malah balik bertanya. " Apakah harus?"
" Biasanya, gadis-gadis akan heboh tiap kali ada yang menyebut namanya." Maxim tertawa tiba-tiba, merasakan kelegaan aneh memenuhi dadanya. " Aku sangat pengin melihat tampang Darien saat dia tahu kalau ada seorang gadis yang nyaris tidak kenal namanya."
" Aku kenal namanya, kenal tampangnya, sudah menonton beberapa fi lmnya juga. Tapi, aku tidak akan histeris hanya karena ada yang menyebut namanya. Atau saat tahu kalau kamu itu saudara kandungnya. Oh ya, keluargamu masih lengkap, Max?"
Maxim menggeleng dengan tatapan tercurah ke jalanan licin karena hujan yang baru turun. " Papaku sudah meninggal, sekitar delapan tahun lalu."
" Oh, maaf."
" Tidak apa-apa. Jangan coba-coba merasa kasihan padaku," Maxim mengulangi kalimat Kendra.
Gadis itu tertawa kecil. " Aku baru tahu kalau kamu ternyata suka mencontek."
" Aku hanya sedang tidak kreatif."
Kendra tidak merespons, hingga Maxim mengira gadis itu sudah terlelap. Situasi yang aneh, dia menyetir untuk Kendra, lebih dari dua puluh empat jam bersama. Meski tentu saja saat tidur tidak dihitung.
" Kamu beruntung sekali karena punya keluarga seperti itu. Dekat satu sama lain. Jangan selalu melakukan hal-hal menyebalkan yang bisa menyakiti mereka. Aku iri padamu."
Kendra benar-benar tertidur setelah mengucapkan kata-kata itu. Meninggalkan Maxim dengan perasaan aneh yang terasa mengacak-acak emosinya.
Kidung Pelangi
And in this crazy life And through these crazy times It s you, it s you
M axim tidak tahu dirinya akan seperti apa jika mengalami
semua yang sudah dilalui Kendra. Saat ayahnya meninggal, Maxim merasa hancur. Karena dia memiliki hubungan luar biasa indah dan dekat dengan ayahnya. Begitu juga ketiga saudaranya. Tapi yang paling meremukkan perasaan adalah melihat ibunya yang begitu kehilangan.
Seingatnya, Maxim selalu lebih dekat ayahnya, Feisal. Namun setelah ayahnya berpulang, Maxim mulai mencemaskan Cecil. Perlahan tapi pasti, hubungan mereka menjadi lebih dekat dibanding sebelumnya. Maxim cenderung mengambil peran sebagai pelindung. Hingga dia tidak asing dengan protes yang diajukan saudara-saudara dan bahkan ibunya sendiri.
Maxim memberi perhatian besar, berusaha memastikan agar Cecil selalu dalam kondisi baik. Maxim bisa panik luar biasa hanya karena ibunya terlihat agak pucat, misalnya.
" Max, perhatianmu yang berlebihan itu bisa membuat Mama merasa tercekik," protes Declan, suatu ketika.
" Kamu itu jangan sok berperan sebagai pengganti Papa. Karena pada kenyataannya kamu cuma anak nomor tiga. Kamu tidak perlu berperan sebagai kepala keluarga. Aku membencimu karena itu Aurora? Maxim sudah tidak ingat kalimat apa saja yang pernah dilontarkan kakaknya itu untuk memprotes sikapnya. Yang jelas, tidak ada kata-kata yang nyaman di telinga. Tapi Maxim tahu, semua saudaranya sangat menyayanginya. Mereka juga mencemaskannya.
Declan pernah terang-terangan mengungkapkan opininya bahwa apa yang dilakukan Maxim itu kurang sehat. Tapi tentu saja Maxim punya argumentasi untuk membenarkan tindakannya.
" Siapa sih di antara kita yang pernah mengira kalau Papa akan pergi secepat itu? Kita semua pasti membayangkan kalau Papa akan berumur panjang, menyaksikan cucu-cucunya hadir ke dunia satu per satu. Tapi nyatanya tidak seperti itu, kan? Nah, siapa yang bisa menjamin kalau kita punya waktu panjang? Selagi masih ada kesempatan, aku ingin memanfaatkannya. Karena aku tidak mau Mama bersedih atau merasa sendirian."
Saudara-saudaranya mulai bisa menerima sikap Maxim. Meski Aurora masih tidak absen melontarkan kritiknya jika merasa Maxim bersikap berlebihan.
Maxim tidak pernah benar-benar mempertimbangkan bahwa ada keluarga lain yang hidup dengan cara berbeda. Kendra contohnya. Dia benar-benar kehabisan kosakata membayangkan apa yang dialami gadis itu.
Kendra memang tidak membicarakan perasaannya dengan terang-terangan. Tapi Maxim bisa menangkap kesedihan di suara dan wajah gadis itu. Menunjukkan betapa Kendra merindukan ibunya yang secara fi sik ada tapi sesungguhnya jauh tak terjangkau. Gayatri memiliki dunia sendiri yang tidak bisa dimasuki orang lain.
" Ibuku sering kali hanya duduk diam sambil bicara pelan dengan sosok yang tidak pernah bisa kulihat. Tidak lagi memperhatikan anak-anaknya. Mengabaikan urusan rumah tangga, bahkan tidak peduli dengan kebersihan tubuhnya sendiri. Aku tidak tahu sejak Ibu mendapat pengobatan yang memadai. Aku masih terlalu kecil untuk mengerti. Yang pasti, aku dituntut untuk bisa mandiri."
" Kamu memang perempuan mandiri," Maxim tidak tahan untuk tidak memberi komentar.
Kendra tersenyum. " Aku tahu. Tapi situasinya beda saat kamu baru berusia lima tahunan, Max. Defi nisi mandiri kan tidak sama. Begitulah. Hingga akhirnya kondisi Ibu terus memburuk. Empat tahun lalu, kedua kakakku yang saat itu sudah menikah, mengambil keputusan untuk memasukkan Ibu ke rumah sakit. Aku tidak setuju, sebenarnya. Tapi aku juga tidak mungkin mengurusi Ibu sendirian. Aku harus kuliah dan serius memikirkan masa depanku. Tidak bisa menjaga Ibu selama dua puluh empat jam."
Lalu masih ada kedua kakaknya yang seakan melepas tanggung jawab ke pundak Kendra, si bungsu. Seolah uang bisa menyelesaikan masalah kusut itu. Andai masalah yang sama terjadi di keluarga Arsjad, Maxim yakin kalau mereka berempat akan bahu-membahu menghadapi itu. Tidak akan ada yang ditinggalkan sendiri untuk mengurusi persoalan yang seberat itu.
Maxim ikut merasa geram dengan kedua kakak Kendra, hanya saja dia tidak mengungkapkan pendapatnya dengan terusterang. Dia ingin menjaga perasaan Kendra agar tidak kian sedih. Dan entah sejak kapan Maxim mulai mempertimbangkan untuk menjaga perasaan seseorang. Kendra memang membuat hidupnya susah. Maxim sudah bertambah yakin sekarang.
" Mungkin karena kami bertumbuh dalam keluarga yang tidak normal. Sehingga...."
" Hei, jangan bicara seperti itu!" Maxim memprotes pilihan kata yang digunakan Kendra.
" Ah, aku cuma mengungkapkan fakta, kok!" bantah Kendra. " Kakak-kakakku bahkan tidak merasa cemas dengan kondisi Ibu.
kecil yang mereka lewatkan. Apakah Ibu sudah seperti yang kukenal atau bagaimana. Hmmm ... tapi aku tidak merasa menyesal, kok! Aku mencintai keluargaku. Tidak peduli seperti apa sikap mereka." " Bagaimana dengan ayahmu, Ken? Apakah ...?"
Menukas dengan cepat, Kendra tidak menyembunyikan ketidaksukaannya atas pertanyaan Maxim. " Aku kan sudah bilang padamu, aku tidak mau membicarakan ayahku!"
" Oh, maaf. Aku lupa."
Mengenal Kendra lebih dekat, Maxim jadi tahu kalau gadis itu luar biasa ceroboh. Kecenderungan untuk meninggalkan barangbarangnya begitu saja hanya salah satunya. Sejak mereka tiba di Bandung, entah berapa kali Maxim mendapati ponsel gadis itu tertinggal di sana sini.
Yang paling parah, Kendra bahkan pernah salah masuk mobil ketika mereka hendak bertolak ke Jakarta. Maxim menekan klakson dan buru-buru keluar dari mobil saat menyaksikan Kendra membuka pintu mobil yang diparkir berseberangan dengan mobilnya. Gadis itu bahkan sempat masuk dan menutup pintu.
" Apa menurutmu sebuah Chevrolet Colorado memiliki kemiripan dengan Kijang Innova?" gerutu Maxim setelah Kendra duduk di sebelahnya. " Baru kali ini aku melihat ada orang yang salah masuk mobil dengan santainya. Kamu itu benar-benar ajaib, sadar tidak?"
" Aku tidak terlalu memperhatikan bentuk mobil atau mereknya. Tentu saja aku tahu model dan jenisnya tidak sama. Chevrolet Colorado ini mobil favoritku sepanjang masa. Aku cuma ... yah ... agak ceroboh," Kendra berargumen.
" Mobil favoritmu sepanjang masa ini sangat berbeda bentuk dengan yang kamu naiki tadi."
" Mataku kan sudah minus, Max. Jadi, wajar saja kalau tidak Pembelaan yang membuat Maxim menjadi gemas sekaligus tak berdaya.
Tapi yang terpenting, Kendra punya perhatian yang luar biasa untuk ibunya. Gadis semuda itu sudah harus mengurusi ibunya sendiri selama bertahun-tahun, dengan masalah gangguan kejiwaan kompleks yang tidak sederhana. Sementara di lain pihak, harus fokus pula menjalani hidupnya sendiri. Jadi, Maxim memaafkan sikap sembrononya.
Kendra juga membuat Maxim mengabaikan sinar matahari yang membakar kulitnya saat mereka menghabiskan siang di hala man belakang rumah sakit. Hidungnya menangkap aroma jeruk yang dominan. Dia tidak pernah mengira kalau berjalan bertelanjang kaki di atas hamparan daun jeruk ternyata cukup mengasyikkan.
Aroma jeruk itu masih bertahan hingga Maxim tiba di Jakarta. Begitu menginjakkan kaki di rumah, Maxim segera mencari Cecil. Membayangkan suatu hal buruk terjadi pada ibunya, membuat tulangnya terasa ngilu.
" Kamu dari mana, sih?"
Aurora ternyata ada di ruang keluarga bersama ibunya. Kali ini, kakak sulung Maxim itu membawa putri tunggalnya juga. Tapi Maxim tidak melihat kakak iparnya.
" Aku dari Bandung, ada urusan pribadi yang tidak bisa dibagi dengan Mbak. Maaf, ya."
Maxim mencium kedua pipi ibunya sebelum menggendong keponakannya, Fiona. Gadis cilik berusia empat tahun itu memegangi kedua pipi Maxim sebelum mendaratkan ciuman.
" Om wangi jeluk..." celotehnya dengan lidah cadel. Fiona terkikik geli sambil meraba rahang Maxim. Bakal janggut yang ada di sana pasti menggelitik telapak tangan mungil Fiona.
Fiona mengangguk. Setelah itu, tangannya mulai berpindah. Kali ini sasaran aktivitasnya adalah rambut Maxim yang memang tidak terlalu rapi. Gadis cilik itu mengacak-acak rambut pamannya. Maxim duduk di sebelah Cecil yang matanya dipenuhi binar bahagia melihat adegan yang melibatkan Maxim dan Fiona.
" Mama baik-baik saja, kan?" Maxim tidak bisa mencegah pertanyaan itu meluncur.
Cecil tertawa kecil. " Mama tidak sempat baik-baik saja kalau tiap setengah jam kamu menelepon ke rumah."
Maxim menyeringai. Dia teringat Kendra yang mengomentari frekuensi Maxim menelepon ibunya.
" Kamu memang anak perhatian. Aku yakin, mamamu pasti bahagia sekali punya anak seperti kamu."
Maxim jengah mendengar komentar Kendra. Tapi dia memang selalu berharap kalau Cecil merasa bangga dan bahagia padanya. Dan sepertinya cuma gadis itu yang tidak terganggu dengan seringnya Maxim menghubungi Cecil.
Aurora masih berusaha mencecar adiknya dengan setumpuk pertanyaan. Tapi Maxim benar-benar tidak bersedia menjawab. Karena sesungguhnya dia pun tidak tahu bagaimana memberi penjelasan yang bisa diterima akal sehat. Andai Aurora tahu untuk apa dia ke Bandung, Maxim tidak bisa menebak reaksinya. Untungnya Cecil tidak tertular kebawelan si sulung. Ibunya jauh lebih pengertian.
Maxim tidak betah dengan tubuhnya yang berkeringat. Dia sudah bersiap menuju kamar mandi saat aroma jeruk kem bali tercium. Akhirnya, Maxim mengurungkan niat untuk membersihkan tubuhnya. Dia hanya mencuci muka dan menyikat gigi. Rekor baru lagi karena Maxim tidak pernah tidur tanpa mandi Maxim akhirnya terlelap setelah selama lebih satu jam cuma mampu berbaring tanpa kantuk menghampiri. Memorinya malah aktif memutar ulang semua yang terjadi sejak kemarin sore. Malam itu dia memimpikan Kendra.
Helen meminta seleksi ulang untuk para peserta yang akan menjalani prakencan dengan Maxim. Kendra menyembunyikan kejengkelannya jauh-jauh. Dia tidak ingin Helen melihat jelas perasaannya lewat ekspresi yang tergambar di wajah.
Tapi jika mengingat kebaikan Maxim yang sudah rela menemaninya ke Bandung dan tidak bersikap menjengkelkan sama sekali, kekesalan Kendra pun mendebu.
" Mbak, saya rasa lebih baik Maxim dilibatkan saja sejak awal. Maksudnya, di seleksi ini. Karena saya rasa kita sudah membuangbuang waktu. Pilihan Kendra bagus, tapi selebritinya tidak setuju. Tidak ada jaminan kalau hasil kali ini pun tidak akan diprotes, kan?" usul Tommy, salah satu anggota tim kreatif yang mengurusi acara Dating with Celebrity.
" Saya setuju, Mbak," Neala ikut memberikan dukungan. Gadis itu sempat mengedipkan matanya ke arah Kendra. " Kalau tidak, takutnya Maxim akan menyusahkan kita. Dan ... bukankah selama ini dia memang sudah menyusahkan? Minimal untuk Kendra." Diam-diam, Kendra mengacungkan jempol untuk Neala. Rapat pagi itu mendadak hening karena Helen belum memberikan jawaban. Perempuan itu tampak memikirkan dengan serius usul yang diajukan Tommy dan Neala. Tangan kanannya mengetuk meja dengan irama yang teratur, menjadi satu-satunya suara yang Kendra menahan napas, berusaha agar tidak mendesak Helen supaya segera membuat keputusan. Dia sangat ingin bosnya memberi persetujuan. Sebelumnya, Kendra tidak berpikir untuk melibatkan Maxim dalam proses seleksi. Tapi apa yang dikemukakan Tommy tadi sangat masuk akal. Ternyata teman-temannya pun ikut gemas dengan sikap Maxim.
Namun Kendra ternyata tidak bisa menyalahkan Maxim sepenuhnya. Ada sisi setia kawan di dalam dadanya yang ingin membela pria itu. Bagian yang tumbuh begitu saja ketika Maxim menemaninya ke Bandung. Mendesak Kendra agar memaklumi sikap laki-laki itu. Bagaimanapun, Maxim memang terpaksa mengikuti acara reality show ini.
Kendra meringis tak terkendali saat menyadari pikiran yang baru bergema di benaknya. Maxim yang menyebalkan itu tampak nya berhasil membuat Kendra sedikit bersimpati. Apalagi setelah sepulang dari Bandung dia mendapati mobilnya sudah kembali seperti sediakala. Bagian belakang yang penyok itu sudah diperbaiki. Dan itu berkat jasa Maxim.
Entah bagaimana, lelaki itu berhasil mengatur agar mobil Kendra masuk bengkel. Satpam yang dititipi kunci mobil pun tidak memberi banyak keterangan. Hanya berkata bahwa ada orang yang mengambil mobil Kendra dengan persetujuan Helen. Gadis itu sungkan untuk bertanya kepada Helen atau Maxim. Jadi, dia memutuskan untuk tidak mencari tahu lebih jauh. Yang penting, kondisi mobilnya sudah tidak mengenaskan lagi.
" Baiklah, saya setuju," Helen akhirnya membuat keputusan. Kendra yang sedang hanyut oleh monolog di benaknya, cukup kaget saat mendengar suara bosnya. Sesaat, gadis itu merasa blur, tidak tahu apa maksud kata-kata Helen. Hingga kemudian dia " Kendra, tolong hubungi Maxim dan tanyakan kapan dia punya waktu untuk datang ke sini. Kita harus membuat jadwal seleksi baru," Helen memberi perintah. Kendra mengangguk tanpa suara. Dia hanya membuat catatan di bukunya.
Rapat masih berlanjut hingga setengah jam kemudian. Setelah membahas soal Maxim, tema perbincangan beralih ke sosok selebriti lain. Th e Matchmaker tidak memiliki jadwal khusus untuk rapat. Helen sering meminta bawahannya berkumpul jika ada yang memang perlu segera dibahas.
Setelahnya, Kendra berusaha menghubungi Maxim. Tapi ponselnya tidak aktif. Ketika Kendra menelepon ke Buana Bayi, Maxim ternyata sedang rapat. Kendra menyibukkan diri dengan setumpuk foto yang baru diletakkan di atas mejanya. Ini kali kedua dia akan menyeleksi wajah-wajah menarik untuk diundang mengikuti audisi. Tanpa membaca daftar yang sudah didiskusikannya dengan Maxim, Kendra hafal apa saja isinya.
Usia di bawah 27 tahun, rambut bergelombang minimal mencapai punggung atas, tinggi maksimal 170 sentimeter, lebih disukai yang berkulit cokelat, bukan tipe perempuan pesolek, pekerjaan tidak menjadi patokan, serta tidak manja.
Kendra tersenyum sendiri karena menyadari bahwa di luar dugaan Maxim tidak mempersoalkan penampilan fi sik. Bahkan lelaki itu sengaja menyertakan poin " bukan tipe perempuan pesolek" di daftar itu. Maxim bahkan sempat mengingatkan Kendra agar tidak lupa menambahkan poin itu.
" Apa kamu memang orang yang pelit, Max? Takut ya, punya pasangan pesolek akan menghabiskan uangmu? Biaya ke salon dan perawatan tubuh kan cukup mahal," kelakar Kendra ketika itu.
" Aku tidak pelit, dan rasanya aku masih mampu membiayai pasanganku untuk itu. Tapi aku memang tidak menyukai perem pu-Kendra benar-benar penasaran, kira-kira seperti apa perempuan yang bisa menarik hati Maxim. Seperti apa mantan kekasih yang pernah mendapatkan hatinya. Kendra menyesal, tidak mengajukan pertanyaan itu ketika mereka pulang dari Bandung. Seharusnya, dia tidak tertidur begitu cepat. Seharusnya, dia mengorek informasi sebanyak mungkin dari Maxim.
Dalam waktu kurang dari setengah jam, Kendra berhasil menyisihkan dua puluh lima foto yang dianggapnya sesuai kriteria Maxim. Dia sudah memilih dengan sangat berhati-hati. Kendra tidak ingin Maxim meminta mereka mengulangi seleksi ini lagi.
" Kamu harus memperhatikan kesehatanmu, Ken! Masa setiap hari cuma minum susu? Kamu kan bukan bayi," celoteh Joshua sambil menunjuk ke arah sebuah gelas. Lelaki itu adalah salah satu anggota tim kreatif yang banyak dipuja para gadis. Entah berapa banyak peserta audisi yang berusaha main mata dengan Joshua dan mengira dialah sang selebriti.
" Susu itu menguatkan tulang. Bekerja di sini, membutuhkan tulang yang kokoh," balas Kendra. Perempuan itu menyerahkan foto yang sudah disisihkannya kepada Joshua. Lelaki itu segera berkonsentrasi pada wajah-wajah di situ.
" Hmm, bagus. Kalau Maxim masih mengajukan komplain, kurasa dia punya masalah. Mungkin, orientasi seksual yang menyim pang."
Tawa Kendra meledak. Benaknya membayangkan apa reaksi Maxim andai dia mendengar kata-kata Joshua tadi. Dulu dia sudah pernah mengucapkan kata-kata yang kurang lebih sama dan Maxim meradang karenanya.
" Kriterianya apa saja?" tanya Joshua lagi. Kendra menyerahkan selembar kertas yang juga sudah dibubuhi tanda tangan Maxim, audisi ini, Ken! Kriterianya pas sekali denganmu. Aku yakin, kamu pasti lolos," cetus Joshua usil.
Maxim menelepon Kendra menjelang pukul tiga sore. Suaranya terdengar lelah dan agak serak. Seakan pria itu kekurangan waktu istirahat. Begitu tahu kalau Th e Matchmaker akan menjadwal ulang seleksi peserta kencan, Maxim segera menyebut tanggal.
" Omong-omong Max, temanku bilang kriteria cewek pilihanmu itu sesuai denganku. Jadi, kalau aku nekat mengikuti audisi, kira-kira bisa lolos, tidak?"
Maxim terdiam sejenak. " Kenapa? Kamu serius mau ikut?" Kendra yang cuma berniat menggoda, menyerana karena suara Maxim yang serius. Bukan pertanda baik. Kalau dia nekat menggoda pria itu, pasti Maxim akan kembali menjadi pemarah. Anehnya, setelah meletakkan telepon, perasaan Kendra menjadi tidak nyaman.
Hal-Hal Gila Karenamu
You make me sing You re every line You re every word You re everything
K endra mengira kalau Maxim akan datang ke kantornya
dengan setelan seperti biasa. Ternyata dia salah. Lelaki itu mengenakan celana jeans dan kemeja hitam berlengan pendek.
" Kendra, kamu serius mau ikut seleksi?" Itulah sapaan pertama Maxim begitu melihatnya. Kendra mengernyit, heran karena lelaki itu masih mengingat potongan dialog mereka.
" Kenapa? Kamu akan meloloskanku kalau aku ikut?" balas Kendra.
Maxim mengangguk. " Tentu! Aku lebih suka berkencan dengan orang yang kukenal. Paling tidak, aku tahu seleramu. Kamu sudah puas dengan segelas susu dan makanan rendah kalori. Porsinya juga tidak banyak. Tidak akan menghabiskan isi dompetku." Kendra melongo. " Kok kamu tahu?"
Maxim menjawab santai. " Kita sudah menghabiskan waktu selama dua hari. Kamu kira aku tidak memperhatikan apa saja yang kamu makan? Kamu lebih suka memilih makanan yang tidak melibatkan minyak goreng dalam proses memasaknya. Selain itu, kamu juga jauh-jauh dari seafood atau daging merah. Yang diperbanyak adalah sayuran, ayam, dan ikan. Selalu minta nasi dalam porsi sedikit . Juga...."
Beberapa kepala langsung menoleh ke arah mereka. Kendra buru-buru memberi isyarat agar Maxim menutup mulutnya. " Kamu tunggu di sini sebentar, aku mau bertemu dengan Mbak Helen dulu. Ingat, jangan bicara tentang menghabiskan waktu selama dua hari lagi! Nanti orang-orang bisa salah paham," suaranya sengaja direndahkan.
Kendra meninggalkan Maxim di ruang duduk yang saat itu cukup ramai. Di saat yang bersamaan, ada seleksi untuk selebriti lain. Tadinya Neala mengusulkan agar salah satunya dipindah jamnya. Tapi ternyata hal itu tidak memungkinkan karena beberapa peserta mengaku tidak berhalangan jika waktunya digeser. Baik dari peserta seleksi untuk Maxim maupun untuk selebriti lain nya.
Alhasil, Helen mengambil keputusan untuk tidak mengubah jadwal. Meski itu artinya mereka harus bekerja dua kali lipat dibanding biasa. Setelah Kendra memberitahukan bahwa Maxim sudah datang, gadis itu menerima sejumlah instruksi. Kendra meminta salah satu offi ce boy untuk mengantar Maxim ke ruang rapat yang sedang kosong.
Ketika Kendra menyusul, gadis itu membawa segelas kopi untuk tamunya. Sementara tangan kirinya mengempit amplop tebal yang berisi foto-foto.
" Kopi ini untukku?" Maxim seakan tidak siap akan disuguhi minuman. Kendra menarik kursi dan duduk di depan pria itu.
" Kamu kira cuma kamu saja yang melakukan observasi? Aku juga tahu kok kalau kamu itu penggemar berat kopi. Berapa gelas yang biasa kamu habiskan dalam sehari? Eh, tapi maaf, lho! Ini cuma kopi hitam biasa. Aku tidak menemukan creamer. Dan maaf Maxim malah bersungut-sungut. " Aku ke sini bukan untuk mendengar permintaan maaf bertubi-tubi."
Kenormalan sudah kembali.
Sikap manis Maxim tampaknya sudah melewati masa kedaluwarsa. Pria itu kembali pada tingkah laku aslinya. Tapi entah kenapa, Kendra merasa dia jauh lebih mudah menghadapi Maxim yang seperti ini. Gadis itu merasa bingung jika harus menjumpai Maxim yang baik hati.
" Coba kamu lihat foto-foto ini! Sebagian dari mereka sudah datang, mungkin kamu sudah berkenalan tadi. Eh, banyak yang tebar pesona tidak, Max?" Kendra sengaja menggoda Maxim. Pria itu tidak merespons, menatap satu per satu foto di depan
nya.
" Kamu tidak bekerja, ya? Kok pakai baju kasual?" " Waktu kamu menelepon ke kantorku, dijawab apa? Aku sedang membolos, ya?"
Kendra tertawa geli. " Pertanyaan malah dijawab pertanyaan. Sinis pula. Kembali ke Maxim yang asli, ternyata."
Pria itu mengangkat wajah dan menatap Kendra. Seakan ada kata-kata yang siap untuk diucapkan kepada gadis itu. Namun mendadak Maxim berubah pikiran dan kembali melihat foto satu per satu.
" Ada apa? Pasti mau marah lagi?"
Kendra yakin kalau Maxim tidak akan menjawab, setelah keheningan melingkupi mereka hingga lima kedipan mata. Tapi ternyata dia salah. Maxim memang tidak tertebak.
" Apa kabarmu, Kendra? Apa kamu baik-baik saja hari ini?" Kendra mendapati sensasi seperti diguyur air dingin di kepala saat baru terpanggang sinar matahari.
" Aku ... baik-baik saja. Kamu?" bibirnya membuka begitu saja.
" Aku, baik. Tidur dengan nyenyak, bangun pagi dan kembali ke aktivitas seperti biasa. Kalau lain kali kamu berencana ke Bandung lagi, tolong beri tahu, ya? Siapa tahu aku bisa ikut juga."
Kendra benar-benar tidak siap mendengar kalimat seperti itu meluncur dari bibir Maxim. Kata-kata lain dia tidak peduli, tapi jangan yang seperti itu. Tidak tahu bagaimana harus bereaksi, Kendra memilih mengabaikan kalimat Maxim.
My Better Half Karya Indah Hanaco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Kendra, kamu mendengarkan kata-kataku, kan? Lain kali kalau mau ke Bandung, kabari aku."
Nada suara memerintah.
" Kamu sepertinya memang butuh berkencan. Soalnya, tingkahmu makin hari makin aneh. Mungkin stres karena pekerjaan," balas Kendra akhirnya. Sekenanya.
" Harusnya aku menambahkan satu syarat lagi, sehingga kamu harus ikut seleksi ini. Karena aku sangat yakin, kalian akan kesulitan menemukan perempuan seperti yang kumaksud."
Kendra mulai yakin kalau pipinya berubah warna, kemerahan. Tapi dia bersyukur karena Maxim tidak mengangkat wajah dan melihat ke arahnya.
" Syarat apa? Berhubungan dengan skizofrenia?" tanyanya. Maxim jelas terlihat tidak menyukai kata-katanya. " Apakah di matamu aku ini orang yang semengerikan itu? Aku harusnya menambahkan satu poin lagi. Ambi ... apa namanya?"
" Oh, ambidextrous?" Kendra menarik napas lega. " Tidak seru kalau cuma aku yang lolos seleksi. Tidak ada saingan."
Maxim menatapnya serius saat menjawab, " Untuk berkencan, aku hanya butuh satu perempuan saja."
Kendra memutuskan kalau Maxim hanya ingin membuatnya jengkel. Karena itu, dia hanya tersenyum tipis.
" Aku adalah orang yang tidak akan berkencan hingga minimal dan betapa banyak tingkah selebriti tertentu, aku merasa bahagia tidak memiliki pasangan." Gadis itu melirik jam tangannya. Kendra bangkit dari kursinya dan menuju ke salah satu dinding. Ada tirai polos berwarna gelap yang digesernya. Kini, sebuah kaca terlihat. Menampilkan sebuah ruangan lain.
" Ruangan apa itu?"
" Seleksinya di situ. Nanti Mbak Helen dan dua orang anggota tim akan melakukan wawancara singkat sekaligus melihat penampilan peserta yang sudah terpilih. Kamu bisa mengawasi dari sini."
Maxim kini berdiri di sebelah Kendra. " Apa kaca ini seperti yang biasa kita lihat di serial detektif? Kaca satu arah?"
Kendra mengangguk. " Ya, inspirasinya dari situ. Dan jika kamu menekan tombol ini, suara dari ruangan itu akan terdengar juga," gadis itu menunjuk ke satu kenop. " Aku harap kamu menemukan apa yang dicari dan tidak bawel lagi. Foto-foto tadi bagaimana? Memenuhi syarat, kan?
Maxim memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Kendra. " Kamu jangan ke mana-mana! Aku kan sudah memintamu terlibat penuh."
Mengingat semua yang dilakukan Maxim beberapa hari lalu, mana mungkin Kendra meninggalkannya sendirian. Tapi tentu saja gadis itu menolak untuk membuat Maxim merasa puas.
" Aku banyak pekerjaan. Ada setumpuk foto yang masih harus kuseleksi untuk selebriti lainnya. Mbak Helen akan marah kalau aku tidak...."
" Solusinya gampang. Kamu berhenti dan mencari pekerjaan baru. Buana Bayi masih butuh banyak karyawan sepertimu."
Kendra terperangah. Apalagi saat melihat ekspresi Maxim yang datar. Gadis itu tidak bisa menebak apakah Maxim serius atau ber-" Kamu sih mudah bicara seperti itu. Aku...." pintu terbuka, menginterupsi obrolan ganjil Maxim dan Kendra. Helen melangkah masuk dengan senyum tipis mengembang di bibirnya.
" Kamu sudah melihat semua fotonya?" Helen mengerling ke arah meja. Maxim mengangguk.
" Sudah, dan kali ini lumayan puas."
Kendra mengerang pelan. Lumayan puas, katanya? Sepertinya selera Maxim memang luar biasa tinggi. Tidak sesuai dengan kriteria yang tertulis karena lelaki ini mengaku tidak memusingkan masalah penampilan. Nyatanya? Padahal Kendra sudah berusaha memilih perempuan yang menurutnya menawan. Kata-katanya versus sikap Maxim sungguh bertolak belakang.
" Wawancara akan dimulai kurang dari dua puluh menit lagi. Kamu bisa melihat langsung dari sini. Mereka tidak akan tahu kalau sedang diawasi. Biasanya, kami membuat keputusan secepat mungkin. Jadi, saat peserta keluar dari ruangan, mereka sudah tahu apakah akan berlanjut ke acara prakencan atau tidak. Kali ini, kami membuat pengecualian."
" Oh ya?" Maxim jelas hanya berminat berbasa-basi. Kendra berharap, semoga Helen tidak sampai mengangkat salah satu kursi dan melemparkannya ke arah lelaki itu. Harapan Kendra terwujud karena Helen tampak sabar dan memberi penjelasan tambahan.
" Setelah semua peserta mendapat giliran untuk diwawancarai, kita akan berdiskusi untuk memilih siapa yang memenuhi syarat. Mereka akan dihubungi lewat telepon saja."
Maxim menunjukkan persetujuan dengan anggukan kepala. " Mbak, saya mau minta maaf karena sudah merepotkan. Tapi saya memang tidak sreg dengan hasil kemarin itu." Maxim melirik Kendra yang berdiri di sebelahnya. " Saya harap, kerewelan saya tidak menyusahkan Kendra. Bukan dia yang salah, saya yang Bibir Kendra terbuka mendengar kalimat Maxim yang tak terduga. Dengan panik, dia menatap Helen. Cemas kalau bosnya mengira Kendra baru saja membuat pengaduan kepada Maxim. Tapi Helen tampak santai, menyembunyikan dengan sempurna apa pun yang melintas di benaknya.
" Tidak ada yang menjadi susah hanya karena kamu tidak sreg dengan pilihan yang sudah dibuat. Termasuk Kendra. Kami yang salah karena seharusnya melibatkanmu sejak awal. Saya malah jadi memikirkan cara yang lebih baik untuk menyeleksi peserta." Maxim mengangguk, terlihat puas sekaligus lega. " Mbak, Kendra tetap ada di sini, kan? Saya tetap ingin meli batkan dia. Karena terus terang saja dia yang membuat saya mau mengikuti Dating with Celebrity. Walaupun hingga saat ini saya masih merasa ide untuk terlibat di acara ini cukup ... konyol. Maaf."
Menurut tebakan Kendra, Helen pasti berusaha keras untuk menyabarkan diri. Karena setahunya, perempuan itu bukan tipe orang yang bisa menahan sabar jika berhadapan dengan kritik gamblang seperti yang diucapkan Maxim barusan. Senyum Helen masih merekah tanpa perubahan berarti.
" Tentu saja Kendra tetap mendampingimu. Saya kan sudah pernah berjanji soal itu."
Akhirnya, Kendra melihat senyum mahal ala Maxim. Andai lelaki itu mau memperbanyak senyum, pesonanya pasti akan naik hingga dua kali lipat.
" Terima kasih atas pengertiannya, Mbak," kata Maxim sopan. Kendra memutar matanya diam-diam. Setelah Helen pergi, gadis itu mulai mengomel.
" Apa-apaan sih, kamu? Mbak Helen bisa salah sangka, mengira aku sudah mengadu yang tidak-tidak padamu," katanya cemas. " Nyatanya, kamu kan tidak mengeluhkan apa pun." Mendadak, menyisakan ruang kurang dari lima sentimeter. Refl eks, Kendra mundur untuk memperlebar jarak. " Atau, memang kamu ditindas di sini?"
Kendra buru-buru menggeleng. " Kamu itu jangan terlalu mudah mengambil kesimpulan. Siapa yang berani menindasku?" gadis itu berpura-pura galak. Padahal dia mulai merasa tubuhnya meng alami pembekuan besar-besaran.
" Kalau ada sesuatu, kamu tidak boleh menyembunyikannya padaku. Kamu harus memberitahuku!"
Tangan kanan Kendra terangkat ke udara. Gadis itu menempelkan punggung tangannya di kening Maxim.
" Kamu benar-benar sehat, kan? Kenapa tingkahmu makin aneh hari ini, sih?"
Tak terduga, Maxim malah menarik tangan Kendra ke arah bibirnya dan memberi kecupan lembut.
" Aku sangat sehat, Kendra. Terima kasih karena sudah mengkhawatirkanku."
Kendra membelalakkan mata dan buru-buru mengibaskan tangannya. " Kamu benar-benar sudah gila. Ya ampun Max, apa acara ini benar-benar membuatmu tertekan?"
" Aku tidak gila."
Kendra menggeleng. " Aku yakin, sesuatu sedang terjadi padamu. Ada apa, sih? Awas kalau kamu seenaknya mencium tanganku. Aku anggap itu sebagai pelecehan!" ancamnya.
" Kalau aku tidak boleh mencium tanganmu, bagian mana yang kamu izinkan untuk kucium?" tanya Maxim mengejutkan.
Kendra kehabisan vokabuler secara misterius. Perasaannya campur aduk karena tingkah Maxim. Tapi gadis itu gagal mendeteksi perasaan yang mendominasi seisi dadanya. Apalagi saat mata " Maxim..." kata Kendra susah payah. " Kita punya urusan yang berhubungan dengan salah satu acara tv dengan rating tinggi. Kamu pengin aku terlibat banyak. Tapi kalau sikapmu menyebalkan seperti ini, aku memilih untuk mengundurkan diri saja. Aku lebih suka bekerja dengan selebriti lain yang tidak akan menyusahkanku. Silakan pilih!"
Maxim tidak serta-merta bereaksi. Lelaki itu menatap Kendra lama, hingga gadis itu nyaris mengalihkan pandangan karena jengah.
Hanya itu yang berhasil meluncur dari bibir Maxim. Hingga wawancara dimulai dan mereka berdiri berdampingan di depan kaca, lelaki itu tidak membuka mulut lagi. Maxim tampak serius memperhatikan apa yang terjadi di depannya, sambil memegang biodata peserta di tangan kanannya.
Kian lama Kendra makin tertimbun oleh rasa bersalah. Gadis itu mulai bertanya-tanya sendiri, apakah dia sudah keterlaluan? Apakah kata-kata yang dipilihnya terlalu jahat? Terlalu kasar?
" Maxim, kamu mau makan sesuatu? Roti?" tanya Kendra dua jam kemudian.
" Aku tidak perlu apa-apa. Terima kasih." " Mau minum kopi lagi?"
" Tidak."
" Air putih?" " Tidak."
Kaku, dingin, dan menjaga jarak. Kendra menggigit bibir melihat reaksi Maxim. Pria ini seperti anak kecil. Ketika merasa tersinggung, langsung menunjukkan perasaannya tanpa ragu. Tapi jika harus memilih, Kendra harus meralat pendapatnya lagi. Mendadak dia lebih suka Maxim yang bersamanya ke Bandung.
tangannya. Dia tidak suka Maxim yang pendiam dan tidak tertebak maunya ini.
Helen mengajak Joshua dan Tommy untuk rapat dengan Maxim. Kendra tentu saja ada di sana. Tapi boleh dibilang dia tersisihkan dari pembicaraan. Helen dan Joshua yang lebih banyak mendominasi pembicaraan. Maxim sendiri memilih menjadi pendengar, meski sesekali mengemukakan pendapat. Selama itu, tidak sekalipun dia menatap Kendra. Seakan-akan gadis itu tidak berada di sebelahnya.
" Mbak, aku kurang sreg dengan peserta ini," Maxim menunjuk ke sebuah foto yang dibubuhi angka tujuh belas di bagian kanan bawah.
Helen tidak sependapat. " Rasanya dia cocok untukmu. Dan memenuhi semua kriteria yang kamu mau."
Maxim menggeleng, menunjukkan sisi keras kepalanya tanpa sungkan. " Aku tidak merasakan chemistry apa pun. Aku tahu, aku tidak akan memilih dia di acara prakencan nanti."
Helen akhirnya mengalah. Dan bukan sekali itu saja dia harus menurut pada kemauan Maxim. Tommy memberi isyarat pada Kendra, mengeluhkan Maxim yang sangat pemilih. Kendra cuma membalas dengan senyum layu yang membuatnya mirip penderita migrain.
Ketika sepuluh peserta akhirnya terpilih, rapat itu berlangsung jauh lebih lama dibanding yang dibayangkan semua orang. Tapi Maxim tampak puas dengan hasilnya. Helen pun terkesan memberi banyak keleluasaan kepada Maxim. Biasanya, perempuan itu yang memegang kendali untuk memilihkan pasangan kepada selebriti yang mengikuti acaranya.
" Aku berani mempertaruhkan gajiku setahun, Ken," Tommy yang putus asa yang mau menikah dengannya. Dan aku sangat iba dengan perempuan tak beruntung itu."
Kendra menahan tawanya mati-matian sambil membereskan biodata peserta. Dia cemas Maxim mendengar ucapan Tommy. Saat dia mengangkat wajah, Maxim sedang berjalan melewati pintu. Lelaki itu pergi tanpa pamit padanya. Aneh.
Tersandera Perasaan
You re a carousel You re a wishing well
M axim kembali membuat ulah saat syuting segmen pra
kencan. Ada saja yang mendapat kritikan dari pria itu. Hingga lama-kelamaan jumlah orang yang merasa kesal padanya pun terus bertambah.
Kendra tidak tahu mengapa pria itu berubah makin mengerikan. Seingatnya, Maxim tidak separah ini. Tapi sayang, kenyataan malah menunjukkan hal yang sebaliknya.
Entah kenapa, Helen memiliki kesabaran yang berlimpah meng hadapi Maxim. Biasanya, Helen akan memberi peringatan keras jika merasa si selebriti sudah keterlaluan. Kendra sibuk mem buat tebakan, apakah itu karena hubungan pertemanan yang meng ikat Helen dan Aurora? Meski tidak yakin kalau Helen akan ber sikap lunak kepada adik temannya, tapi Kendra memikirkan kemung kinan itu.
Syuting hari ini dilakukan di sebuah galeri yang diubah menjadi ruang duduk besar nan nyaman. Ada beberapa meja yang dipenuhi dengan makanan. Dan minibar yang menyediakan beragam minuman. Kendra nyaris tidak pernah terlibat dalam acara syuting seperti ini. Karena tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukannya di fase ini. Tapi Maxim sudah menyeretnya ke tempat ini dan membuat Kendra terpaksa menghabiskan malam Sabtunya di sana.
Kendra memperhatikan saat Maxim berada di antara 10 perempuan cantik itu. Dengan mudah, lelaki itu membaur. Kendra melihat sisi fl amboyan Maxim yang entah kenapa membuatnya merasa kurang nyaman. Sebelum ini, dia selalu mengira Maxim akan memasang wajah masam. Ternyata, di depan sederet perempuan cantik, pria itu tampaknya berubah drastis.
Maxim mengenakan setelan gelap yang membuatnya terlihat menawan. Laki-laki itu tampak bersinar di bawah siraman lampu. Sementara kesepuluh peserta berdandan cantik dengan gaun malam yang memesona.
" Huh, dia sama saja seperti lelaki lain," gerutu Kendra kesal. " Lho, apa menurutmu dia berbeda? Itu rasanya terlalu naif," Neala ternyata berdiri menjulang di sebelah Kendra. Saat tahu yang mendengar ucapannya adalah Neala, Kendra merasa tidak perlu menyembunyikan apa pun.
" Tadinya kukira begitu. Dia kan cenderung galak dan menjaga jarak. Agak dingin juga. Entah kenapa. Aku pernah mengejeknya sebagai korban patah hati atau yang semacam itu. Dia marah, egonya terluka," Kendra mengenang pertengkaran mereka dengan senyum geli di bibir.
Neala memperhatikan apa yang tergambar di depan mereka. Beberapa kamerawan sudah sibuk mengambil gambar dari berbagai sudut.
" Dia terlihat nyaman. Apa kamu yakin dia bukan playboy kelas kakap?"
" Ha! Entahlah. Kamu sangat tahu kalau aku tidak punya pengalaman soal cowok. Tapi sebelum ini sih aku tidak melihat tanda-tanda Maxim itu seorang playboy. Tapi ... mungkin aku harus berubah pikiran. Pengetahuanku yang minim sudah mengacaukan Neala tergelak halus. Gadis itu baru saja diberi tanggung jawab yang lebih besar, mengurusi kostum. Tadinya, pihak televisi yang menangani masalah itu. Tapi Helen yang selalu ingin sempurna mengajukan banyak keluhan. Hingga akhirnya Th e Matchmaker dan stasiun televisi membuat kesepakatan baru. Menyerahkan masalah itu di bawah tanggung jawab biro jodoh. Dan Helen segera menunjuk Neala yang memang sangat paham pergeseran dunia mode paling mutakhir.
" Si Maxim itu benar-benar menyanderamu, ya? Kukira dia tidak serius saat memintamu terlibat dalam seluruh proses acara ini."
" Dia suka menyiksaku. Di matanya, aku adalah orang yang bertanggung jawab untuk penderitaan yang harus ditanggungnya. Karena terpaksa harus mengikuti acara ini. Jadi, kalau dia menderita, aku pun harus merasakan hal yang sama. Begitulah kira-kira arti keadilan untuknya."
" Astaga!"
Kendra tersenyum, namun wajahnya justru terlihat kian muram. " Padahal aku punya setumpuk pekerjaan. Selain menyiapkan seleksi untuk dua selebriti lainnya, aku juga belum membuat laporan lengkap dua episode yang akan ditayangkan. Belum lagi ratusan e-mail masuk yang terbengkalai dan belum sempat kuperiksa. Membuat panggilan seleksi untuk ... ahhh ... pekerjaanku sangat banyak. Dan aku malah menemani Maxim dan cuma bengong mirip orang idiot."
Neala menepuk-nepuk pundak temannya dengan lembut. " Sabar, ya? Semoga hari ini acara syutingnya lancar. Kalau Maxim sudah memilih, tentu tugasmu selesai. Omong-omong, kamu sudah mengisi perutmu? Aku makin khawatir melihatmu sekarang. Hanya minum susu dan menyantap makanan dalam jumlah jauh Kendra mengangkat bahu seraya berkilah. " Rasanya berat badanku masih normal, kok!"
" Aku tidak mau melihatmu sakit. Aku tahu, belakangan ini pekerjaan kita cukup menyita banyak waktu."
Kendra tiba-tiba berbisik dengan tatapan masih tertuju ke arah Maxim. Lelaki itu sedang tertawa bersama seorang perempuan bermata kucing. " Aku sedang mempertimbangkan untuk keluar dari Th e Matchmaker."
Neala tidak menyembunyikan kekagetan yang melompat di matanya. " Kamu ... apa? Serius?"
Kendra mengangguk pelan. Matanya kembali terpaku pada sosok Maxim. Pria itu mirip medan magnet yang membuat Kendra kesulitan memalingkan wajah.
" Setelah apa yang kualami dengan Maxim dan mengenal beberapa selebriti bertingkah, aku cemas kalau akhirnya aku benarbenar tidak tertarik berkomitmen. Jadi, aku ingin menyelamatkan masa depan cintaku."
Neala tergelak. " Kukira kamu serius."
Kendra tidak menjelaskan bahwa dia memang serius memikirkan opsi itu, berhenti dari pekerjaannya yang sekarang. Dan menjajal profesi lain yang lebih " serius" dan sama sekali tidak berhubungan dengan menyelenggarakan acara kencan. Selain itu, jam kerja yang tidak mematuhi aturan ketenagakerjaan itu cukup menyulitkan Kendra. Dia kekurangan waktu istirahat dan hari liburnya dipakai untuk aktivitas yang kurang produktif: tidur. Belum lagi jika dia harus ke Bandung untuk menjenguk Gayatri.
Belakangan, Kendra harus menunda jadwal kunjungan karena masalah pekerjaan. Dan itu membuatnya merasa tidak memperhatikan ibunya sebagaimana harusnya. Hanya saja, dia tidak kepada Neala. Meski kadang Kendra merasa bersalah, sudah menyembunyikan fakta itu dari teman baiknya. Tapi di sisi lain gadis itu pun berpendapat bahwa hubungan mereka tidak sedekat itu untuk berbagi rahasia gelap.
Dan hanya dalam waktu sepersekian detik, akal sehat Kendra memberi bantahan. Lalu, kenapa kamu memercayakan rahasiamu kepada Maxim? Entahlah, semuanya tidak terkendali ketika itu. Terjadi begitu saja. Maxim yang tiba-tiba menawarkan bantuan dan tak mampu ditolak oleh Kendra.
" Ken," Neala menyenggol temannya. " Tuh, bos barumu memanggil." Dagu gadis itu menunjuk ke satu arah. Kendra melihat Maxim melambai ke arahnya. Syuting sedang break, ternyata.
" Aku harus melayani dia dulu," gerutu Kendra sambil melangkah ke arah Maxim. Pria itu memisahkan diri, menjauh dari peserta prakencan.
" Kamu mau kopi?" tanya Kendra begitu dia mendekat. Setelah Maxim mangacuhkannya, ini kali pertama mereka bertemu lagi. Dan sejak tadi, mereka nyaris tidak berkomunikasi verbal. Maxim hanya mengangguk sekilas, tanpa senyum.
" Tidak. Apa menurutmu, kamu harus selalu menyiapkan kopi untukku?" Maxim cemberut. " Kamu bukan asistenku."
Kendra menghela napas. " Dua menit yang lalu kamu bisa ter tawa riang dengan perempuan-perempuan cantik itu. Tapi, di depanku kamu malah cemberut. Hmm, jadi sifat fl amboyanmu itu tidak akan pernah muncul di dekatku, ya?"
" Sifat fl amboyan dari mana? Jangan mengarang hal-hal aneh seperti itu!"
Kendra tahu, percuma saja dia mengomeli Maxim. Untuk meng hadapi pria ini, Kendra harus santai dan mengabaikan kesinisannya. Selama ini, cara itu cukup sukses. Menyabarkan diri, " Berhentilah cemberut! Kamu mirip balita yang sedang merajuk. Oh ya, kamu sudah membuat pilihan? Aku suka melihat perempuan yang bergaun ungu cerah itu. Kalian cocok sekali. Dan sepertinya memang ada chemistry, kan? Kamu nyaman di dekatnya. Namanya...." Kendra berusaha mengingat-ingat.
" Yudith."
" Hmmm ... ya. Yudith," Kendra mengangguk. " Menurutmu kami cocok?"
" Kenapa? Kamu tidak suka?"
" Jangan balik bertanya! Aku serius ingin tahu."
Saat itu, Kendra benar-benar ingin menepuk pipi Maxim. Tangannya bahkan sudah bergerak, saat dia teringat apa yang terjadi terakhir kali dia menyentuh wajah pria itu. Gerakannya pun membeku.
" Aku serius, Max," cetus Kendra akhirnya. " Kamu tidak ingin makan atau minum sesuatu?"
Maxim menggeleng. " Mana mungkin aku bisa makan dengan nyaman di saat seperti ini. Kamu di sini saja, jangan jauh-jauh. Tidak ada yang kukenal di sini. Maksudku, sebaik aku mengenalmu."
Kendra menahan diri agar tidak cekikikan. Astaga, manusia menyebalkan ini ternyata ingin ditemani.
" Ibumu bagaimana? Kamu sudah ke Bandung lagi?" Kendra tidak mengira kalau Maxim membelokkan percakapan ke arah itu. " Ibuku baik-baik saja. Aku sudah ke Bandung minggu lalu, berangkat pagi-pagi dan...."
" Kenapa kamu tidak memberitahuku? Lupa, ya? Aku kan sudah memintamu mengabariku. Kalau tahu, aku pasti akan ikut. Minggu lalu, aku tidak melakukan apa pun yang berguna."
Kendra menyeringai. " Bagaimana bisa aku mau memberitahumu? Kamu masih ingat bagaimana kondisi kita saat kamu meningkejelasan. Aku bingung menghadapimu yang emosinya mudah sekali naik-turun."
Maxim tidak menyembunyikan perasaan tak suka karena mendengar jawaban Kendra.
" Aku tidak mungkin marah tanpa alasan! Aku memang kesal sekali padamu. Kamu itu...." Maxim tidak melanjutkan katakata nya. Kendra ingin mendesak laki-laki itu agar menuntaskan kalimatnya. Tapi ternyata aba-aba tentang syuting yang akan segera dilanjutkan, terdengar.
" Oke, selamat melanjutkan syuting. Semoga kamu sudah memi l iki pilihan," Kendra menatap Maxim. Di detik itu, ada keinginan untuk membekukan waktu. Tapi itu adalah hal yang mustahil.
" Jadi, yang kamu rekomendasikan Yudith, ya?" " Ya. Tapi itu cuma sekadar rekomendasi saja."
Di akhir acara, Maxim ternyata memang memilih Yudith. Entah karena saran dari Kendra atau memang pria itu paling menyukai Yudith. Ada yang terasa menyentak di dada Kendra setelahnya. Dia tahu, Yudith dan Maxim akan menjalani satu kencan romantis untuk keperluan syuting. Selanjutnya, keputusan diserahkan kepada mereka berdua. Apakah kencan itu akan berlanjut atau justru berhenti.
" Aku harap, kencan kalian berjalan lancar. Dan semoga, bisa menemukan kecocokan, bisa berlanjut di dunia nyata," kata Kendra tulus. Dia menyempatkan diri menemui Maxim sebelum pulang.
" Kamu mengharapkan itu?" tanya Maxim seraya menatap gadis di depannya dengan penuh konsentrasi. Kendra mengangguk. Maxim tidak bicara selama berdetik-detik, sebelum akhirnya berbalik dan meninggalkan Kendra.
" Astaga! Marah lagi, ya? Apa sih salahku?" gumam Kendra tak oOo
Kendra berharap, dia bisa melupakan Maxim dengan mudah. Seperti halnya dia dengan santai mengacuhkan wajah-wajah menawan yang pernah menjadi klien Th e Matchmaker.
Dengan klien lainnya Kendra cuma sekadar saling sapa atau bertukar senyum. Kadang malah tidak ada interaksi sama sekali. Tapi dengan Maxim tentu berbeda. Tuhan membuat skenario aneh yang membuat Kendra merasa terjebak. Karena seakan Maxim memiliki beberapa wajah. Dia tidak tahu seperti apa Maxim yang sesungguhnya.
Kadang Kendra berharap dia akan memiliki kesempatan untuk mengulangi masa lalu. Yang ingin diubahnya adalah perjalanan ke Bandung. Tapi kemustahilan membuat Kendra merasa frustrasi.
Mereka tidak berkomunikasi sama sekali selama nyaris dua minggu. Kendra hanya mendengar cerita kalau syuting untuk segmen kencan berjalan lancar. Kendra memang sengaja tidak datang karena merasa akan sia-sia saja. Maxim sedang bersikap tidak masuk akal, dan Kendra tidak ingin membuat dirinya makin jengkel pada lelaki itu.
Meski sempat berharap kecerewetan Maxim kembali dan memintanya datang, tapi Kendra lega karena lelaki itu tidak melakukannya. Dia tidak yakin akan merasa nyaman melihat orang berbagi kemesraan di depan kamera.
Hari-hari berlalu seperti biasa. Kendra nyaris tenggelam dalam kesibukan. Dia agak melupakan niatnya untuk mencari pe kerjaan lain. Saat ini ada banyak tanggung jawab yang harus diselesaikannya. Lalu, Helen mengejutkannya dengan memberikan sebuah tugas baru.
" Kamu pernah mendengar nama Sean Gumarang?" Gadis itu mulai merasakan fi rasat buruk. Tiap kali Helen memanggilnya, dia memang merasa cemas akan diserahi tugas baru yang tidak disukai. Seperti yang terjadi dengan Maxim dulu. Dan hari ini, sepertinya itu akan terjadi lagi.
" Kamu sudah tahu apa yang akan saya katakan, ya?" perempuan itu tersenyum. Kendra merasa agak pusing gara-gara itu. Sebab setahunya Helen cukup pelit memberi senyum, apalagi pujian kepada bawahannya. Meski sikapnya kepada klien cukup ramah.
Helen berdiri dan mengambil sebuah tabloid, lalu menyodorkannya kepada Kendra. Gadis itu menerima tabloid sambil melihat ke arah sampulnya. Sempat ada pemikiran aneh bahwa dia akan melihat wajah Maxim di sampulnya. Atau berita bombastis seputar asmara peraih gelar Bujangan Paling Diidamkan itu dengan Yudith. Berawal dari sebuah acara kencan di televisi yang berakhir dengan kisah yang membahagiakan?
Tapi semua dugaan Kendra salah. Dia malah melihat wajah asing. Seorang lelaki berkulit kecokelatan dengan mata sayu yang mengancam kestabilan jantung kaum hawa. Pria itu jelas memiliki pesona yang tidak akan diabaikan lawan jenisnya. Berdiri di sebelah kuda berwarna putih yang terlihat gagah, senyumnya mengembang. Ada judul berukuran besar yang tertera di bawah foto.
Sean Gumarang, Bicara Tentang Keseimbangan Hidup. " Saya akan menugaskan kamu untuk menghubungi Sean." Kendra mendadak dirajam rasa ngeri. Tapi gadis itu berusaha keras tidak menunjukkan perasaannya.
" Memintanya mengikuti acara Dating with Celebrity?" tebak Kendra sambil menahan napas. Entah bagaimana, dia berharap dengan begitu bisa membuat Helen memberi jawaban negatif. " Ya, itu yang saya inginkan. Siang ini juga kamu bicara dengan Kendra menelan ludah dengan susah payah. Setelah Maxim, kini dia harus memastikan seseorang menjadi klien Th e Matchmaker. Lagi. Padahal, selama ini Helen yang bertugas untuk itu. Dan Kendra sama sekali tidak merasa kalau tugas barunya merupakan pertanda dari kenaikan pangkat.
" Mbak..." Kendra terdiam. Gadis itu bimbang, antara ingin menolak dengan menyanggupi saja. Tapi Helen sudah menyela di saat Kendra sedang mencari kata-kata yang dirasanya tepat.
" Saya harus berangkat ke Surabaya sore ini. Jadi tidak sempat bertemu dengan Sean. Sementara pihak televisi menginginkan Sean tampil di Dating with Celebrity. Oh ya, dia baru saja memenangkan kejuaraan berkuda tingkat Asia di Bangkok. Gosipnya, cukup sering berganti pacar."
Kendra menatap halaman depan tabloid itu lagi. Selama ini dia mengira kalau Maxim adalah kasus terakhir yang ditanganinya langsung. Tapi kini, ternyata Helen menugasinya lagi.
" Sean orang yang ramah, setidaknya itu yang saya dengar. Jadi, kamu tidak perlu cemas."
Kendra tahu, dia tidak punya pilihan lain. Kecuali dia ingin membuat Helen marah.
" Saya harus menghubungi siapa, Mbak? Apakah ada nomor kontaknya?"
Jawaban Helen adalah hal paling tak terbayangkan bagi Kendra. " Oh ya, saya lupa satu hal. Saya tidak mempunyai kontaknya Sean. Tapi saya yakin kamu bisa menghubunginya, makanya saya minta kamu yang menangani ini."
Kendra melongo. " Kalau begitu, mungkin saya...." " Satu lagi yang saya lupa, Sean ini sepupunya Maxim. Jadi, kamu bisa menghubungi Maxim untuk minta tolong diperkenalkan dengan Sean. Bisa kan, Kendra?"
Pria dengan Emosi Ala Rollercoaster
And you light me up When you ring my bell
K endra merasa menjadi orang paling tidak sopan di dunia
karena tak berhenti memaki dan merutuk sepanjang perjalanan menuju kantor Maxim.
" Kalau memang tidak ada kontaknya, kenapa menyuruhku? Kenapa aku selalu menjadi tumbal, sih? Dan kenapa si Sean ini harus bersepupu dengan Maxim? Ya ampuuunn...."
Kendra merasa lelah lahir dan batin ketika tiba di kantor Maxim. Dia bahkan belum menelepon lelaki itu untuk memberi tahu kedatangannya. Kendra tidak punya nyali untuk itu. Dia cemas kalau Maxim tidak akan mengangkat ponselnya jika tahu Kendra yang menelepon. Akhirnya, satu-satunya jalan yang dirasanya paling masuk akal adalah datang langsung ke kantor Maxim.
Di dalam lift, Kendra merasakan kakinya kesemutan. Aneh. Bahkan seisi dadanya seakan diserang siklon tropis. Gadis itu buru-buru menarik napas dan mengembuskannya secara teratur. Berharap kondisinya kembali normal. Dan tidak ada organ di dalam tubuhnya yang mengalami kerusakan.
Tadinya Kendra berniat menuju meja Padma saat seseorang menegurnya.
" Kamu ... aduh ... siapa ya namanya. Maaf, Tante lupa...." " Saya Kendra. Tante apa kabar?"
Kendra buru-buru menyalami Cecil dengan sopan. Dia sama sekali tidak menyangka kalau perempuan itu masih mengingatnya. Perempuan paruh baya itu menggandeng Kendra, mengajak gadis itu duduk di sofa. Bahkan Padma pun tampak terkejut melihat pemandangan itu.
" Tante sehat. Kamu bagaimana? Sepertinya kok kamu lebih kurus, ya?"
Kendra tersenyum. " Saya sehat meski kurus, Tante," kelakarnya. " Tante sendirian?"
Cecil mengangguk. " Tante mau mengajak Maxim dan Aurora makan siang. Tapi mereka masih ada rapat. Kamu mau bertemu Maxim, ya?"
Kendra mengangguk, merasakan tenggorokannya terasa kering secara misterius.
" Karena Maxim belum bisa meninggalkan rapat, kamu mau tidak menemani Tante makan siang?"
Kendra tidak mampu memikirkan jawaban lain selain memberikan persetujuan. Cecil tampak gembira saat melihat gadis itu mengangguk. Perempuan itu meninggalkan pesan kepada Padma sebelum mengajak Kendra meninggalkan kantor Buana Bayi.
" Susah sekali mengajak anak-anak Tante untuk makan siang. Maxim dan Aurora sibuk dengan pekerjaannya, meski tinggal satu kota. Declan nyaris tidak pernah lama menetap di Jakarta. Sementara Darien sibuk syuting terus. Eh, kamu belum kenal Darien dan Declan, ya?"
" Belum, Tante. Cuma Maxim pernah bercerita sekilas tentang mereka," balas Kendra sopan.
Cecil tampak memikirkan sesuatu. " Nanti kalau Darien ada di Darien cocok," perempuan itu menepuk lembut tangan Kendra yang digandengnya.
Kendra bersyukur karena dia tidak cegukan mendadak mendengar ucapan Cecil. Ibunda Maxim berencana menjodoh kannya dengan salah satu putranya? Kendra mendadak menyadari betapa menyedihkan hidupnya. Dia bekerja untuk seorang makcomblang yang justru masih melajang di usia yang sudah melampaui angka tiga puluh. Kendra sendiri bahkan tidak pernah menjalani hubungan asmara serius yang bisa dikenangnya.
" Eh, Tante belum bertanya padamu. Kamu mau makan apa?" " Apa saja, Tante."
Cecil mengajak Kendra keluar dari lift di lantai dua belas dan memasuki sebuah restoran yang khusus menyajikan menu dari Manado. Restoran itu memiliki interior yang menarik untuk Kendra. Ada banyak partisi dari kaca yang mempercantik ruangan sekaligus memberi kesan luas.
Ketika membaca buku menu, Kendra segera memesan satu porsi nasi jaha sambal kembung. Cecil mengajukan protes karena hanya itu yang dipesan Kendra. Tapi gadis itu beralasan kalau dia masih kenyang. Cecil akhirnya mengalah dan memesan nasi serta ayam isi di buluh untuk dirinya sendiri.
" Kok Tante pesannya cuma itu?" Kendra tergelitik mengajukan protes.
" Ini juga sudah cukup. Tante sebenarnya pengin pesan sayuran juga, tapi..." Cecil merendahkan suaranya, " kurang enak. Tante sudah mencicipi hampir seluruh menu di sini dan tidak bisa berhenti menyukai ayam isi di buluh. Pokoknya, kalau Tante datang ke Buana Bayi, pasti makan di sini."
Bibir Kendra membulat. Awalnya dia merasa canggung sekaligus tidak nyaman karena makan siang berdua dengan ibunda cukup dekat untuk makan siang bersama. Tapi gadis itu tidak bisa menolak ajakan yang super ramah itu. Mengejutkan karena Kendra ternyata bisa santai dalam waktu singkat.
" Kendra, Tante mau mengucapkan terima kasih padamu." " Terima kasih untuk apa, Tante?" Kendra menaikkan alisnya dengan tatapan penuh tanya. " Saya tidak melakukan sesuatu yang bagus, kok."
Cecil menggeleng, tanda tidak setuju. " Siapa bilang? Kamu sudah berhasil membuat Maxim mengikuti acara kencan itu. Dia sudah lama sekali tidak punya pacar, lho! Terlalu sibuk dengan pekerjaan. Tante sudah capek menyuruhnya mencari pacar dan segera menikah. Makanya ketika Maxim akhirnya mau mengikuti Dating with Celebrity, Tante lega sekali. Apalagi sepertinya semuanya berjalan lancar," Cecil tertawa kecil.
" Apanya yang lancar, Tante?" Kendra menyerah pada rasa penasaran. Padahal seharusnya dia tak perlu mengajukan pertanyaan itu, kan?
" Itu, hubungan Maxim dengan Yudith. Memang, Maxim tidak pernah bilang apa-apa. Yudith juga belum dikenalkan dengan Tante. Tapi Tante dengar mereka makin dekat dan sering ber kencan."
Cecil mengedipkan mata dan terlihat sangat gembira. Kendra merasa terharu. Mungkin memang begitulah seorang ibu. Mengkhawatirkan banyak hal tentang anak-anaknya.
" Mama makan siang tanpa mengajakku?" seseorang menarik kursi di sebelah Kendra. " Halo Kendra, apa kabar?"
Rasa gugup yang hampir menerjang, berhasil dibuang Kendra jauh-jauh. " Halo Maxim, kabarku baik. Kamu?"
" Sangat baik," balas Maxim sambil tersenyum samar. Lelaki itu " Kamu kok tahu Mama ada di sini?"
" Hanya menebak. Padma bilang Mama makan siang dengan Kendra. Dan aku yakin Mama tidak akan melewatkan restoran favorit, kan?"
Cecil menatap putranya dengan mata penuh binar. " Rapatnya sudah selesai?"
" Sudah. Makanya aku buru-buru menyusul ke sini. Aku lapar sekali, Ma."
Kendra merasa tersisih dari obrolan. Gadis itu makan dengan gerakan lamban. Mencoba berpikir jernih bagaimana dia bisa terjebak dalam situasi ini. Keadaan makin canggung saat Cecil menerima telepon dan meninggalkan restoran lebih dahulu. Hingga Kendra hanya berdua dengan Maxim.
Kendra tidak tahu kalau situasinya bisa sesulit ini. Setelah sikap Maxim yang tidak tertebak dan mereka tidak berinteraksi sama sekali, rasanya aneh berdua dengan pria itu.
" Kamu harus makan ini. Aku sengaja memesannya untukmu," Maxim mendorong satu porsi kecil klappertaart ke arah Kendra. " Kamu lebih kurus dibanding yang kuingat. Cobalah makan lebih banyak dari biasa dan jangan terlalu terobsesi dengan makanan rendah kalori."
" Aku tidak terobsesi dengan makanan rendah kalori. Aku cuma berusaha menyantap makanan sehat dengan porsi secukupnya." " Kamu berdiet?"
" Tidak..."
Maxim menatap Kendra. " Kenapa aku bisa mendengar kata tapi sebagai lanjutannya?"
Kendra tidak bisa tidak tersenyum. " Sok tahu." " Mamaku tidak menjahatimu, kan?"
" Ha? Tentu saja tidak. Mamamu sepertinya ... ingin men-" Kamu mau?" selidik Maxim.
" Atas nama sopan santun, aku hanya tersenyum. Memangnya kamu berharap responsku seperti apa?"
Maxim tidak menjawab.
My Better Half Karya Indah Hanaco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Max ... aku ingin meminta tolong." " Hmmm? Minta tolong apa?"
" Itu ... Mbak Helen ingin kamu memperkenalkanku dengan Sean Gumarang."
" Sean? Memang kamu...." Maxim tergelak tiba-tiba, mengejutkan Kendra. " Kamu mau memintanya mengikuti acara Dating with Celebrity, ya?" tebaknya penuh semangat.
" Iya. Dan kami tidak punya kontak Sean. Kalian sepupu, kan? Kamu mau membantuku?"
Maxim menjawab dengan suara lembut. " Tentu saja aku selalu mau membantumu, Kendra. Hanya saja, kamu yang jarang memberi ku kesempatan."
" Aku ... hmm ... di mana kita bisa menemui Sean?" Senyum Maxim tercetak di bibirnya. " Aku memang sangat ingin Sean mengikuti kencan bodoh itu. Tapi aku yakin, dia pasti tidak keberatan dikelilingi sepuluh perempuan cantik. Kantornya ada di gedung ini, hanya saja beda lantai. Sebentar!" Lelaki itu mengambil ponselnya dan menelepon.
Kendra mendengarkan Maxim menyebut namanya dan melontarkan gurauan pada lawan bicaranya. Sebenarnya, Kendra tidak berani menggantungkan ekspektasi apa pun saat datang ke kantor Maxim. Dia telanjur hampir yakin kalau lelaki itu tidak akan mau membantunya. Tapi kejutan tampaknya sudah menyambut gadis itu sejak menginjakkan kaki di kantor Maxim. Pertama, bertemu Cecil. Kedua, sikap Maxim yang jauh lebih me nyenangkan. Tapi, Kendra tidak berani berharap banyak. Maxim jauh lebih mirip " Ayo, habiskan klappertaart-mu. Sean menunggu kita di kantornya. Dua jam lagi dia mau ke luar."
Kendra memandangi makanan penutup yang membuat air liurnya berkumpul di mulut.
" Klappertaart itu tidak akan membuat berat badanmu ber - tambah, Kendra! Ada apa sih antara kamu dan makanan enak?" Maxim menunjuk ke arah meja. " Begini saja, aku akan memperkenalkanmu dengan Sean kalau kamu mau menjelaskan alasan soal pilih-pilih makanan ini. Kalau tidak, kamu terpaksa kembali dengan tangan kosong."
Gadis itu melongo. " Kamu sedang memerasku, ya? Aku selalu merasa, kamu pasti punya niat buruk. Dan sepertinya instingku memang benar," gerutunya.
Maxim menjawab dengan santai. " Kamu terlalu banyak menyim pan rahasia. Itu tidak menyehatkan, lho! Atau, perlukah kita berjalan di tengah pepohonan jeruk, lagi? Biar aku cari di mana ada perkebunan jeruk di Jakarta ini," Maxim mengeluarkan ponselnya. Tampak serius dengan kata-katanya.
Tapi Kendra tidak bisa membedakan Maxim yang serius dan yang bergurau. Laki-laki ini cukup mahir menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya. Dan jika berhubungan dengan pria bernama Maxim Fordel Arsjad, Kendra memilih untuk tidak menduga-duga. Karena hal itu hanya akan membuatnya lelah sekaligus jengkel.
Tahu dirinya tidak akan memenangkan adu keras kepala jika sudah berhadapan dengan Maxim, Kendra akhirnya mengeluarkan sebuah foto dari dalam dompetnya. Foto itu sengaja disembunyikan, tapi Kendra selalu melihatnya di saat-saat tertentu. Untuk mengingatkannya akan masa lalu.
" Siapa ini?" kening Maxim berkerut dengan segera. Kendra lebih jelas. Hingga akhirnya pemahaman berangsur-angsur mulai terpentang di wajahnya. " Kapan foto ini diambil?"
" Hampir lima tahun yang lalu. Seperti itulah aku, kelebihan berat badan hingga tiga puluh kilogram. Itu masa-masa yang sangat berat buatku. Aku melarikan diri dari kenyataan dan makanan menjadi pelampiasannya. Itu sudah terjadi sejak aku remaja. Terutama sejak ayahku...." Kendra bersyukur karena menemukan kenop rem tepat pada waktunya. Sehingga dia tidak akan membagi terlalu banyak rahasia pada Maxim.
" Lalu?" nada mendesak begitu dominan di suara lelaki itu. " Ini foto terakhir yang kuambil sebelum berjuang untuk menurun kan berat badan. Aku melakukan diet ketat dan berolahraga. Berusaha keras menjadikan dua hal itu sebagai gaya hidup. Hanya saja belakangan ini aku sudah tidak sempat berolahraga. Itulah sebabnya aku harus lebih fokus mengatur makanan." Kendra bersandar di kursinya. " Kenapa aku merasa kalau kita baru saja melewatkan satu sesi konsultasi kejiwaan, ya?"
Setelah berminggu-minggu, Kendra kini melihat Maxim tertawa lagi. Murni karena kata-kata gadis itu. Lelaki itu membayar tagihan dan menolak upaya Kendra untuk melakukan hal yang sama.
" Kamu selalu mentraktirku. Aku tidak mau terus-menerus...."
" Tadi mamaku yang mengajakmu ke sini. Idealnya sih, Mama yang traktir. Tapi karena hanya ada kita berdua, aku yang mengambil alih tanggung jawab itu. Lagi pula, uangku lebih banyak darimu. Maaf, aku tidak bermaksud menghina," Maxim memasukkan foto Kendra ke dalam dompetnya. " Rahasiamu aman bersamaku. Ayo, Sean sudah menunggu!"
Kendra mengajukan protes, berusaha mencegah fotonya " Kamu pasti punya banyak foto seperti ini, kan? Sudah, yang ini hibahkan saja padaku." Maxim sudah berjalan menuju pintu keluar. Kendra tidak punya pilihan kecuali mengekori lelaki itu. Upaya gadis itu untuk meminta Maxim mengembalikan fotonya selama perjalanan menuju kantor Sean, gagal total.
" Kurasa, kamu akan masuk surga nantinya, Max," gerutu Kendra, kesal sekaligus tak berenergi. Dia bersandar di dinding, me nunggu lift membawa mereka ke lantai dua puluh tujuh. " Oh ya? Apa aku sebaik itu?" goda Maxim.
" Setidaknya aku sudah melihat bukti nyata, kalau kamu tak mudah tergoda jika sudah membuat keputusan. Setan pun pasti kesulitan membuatmu berubah pikiran, kan?"
Maxim berpura-pura cemberut. Kendra bisa memastikan itu setelah melihat mata Maxim berkilau oleh rasa geli. " Aku anggap itu sebagai komplimen, ya?"
" Oh ya, ternyata Dating with Celebrity yang menurutmu acara kencan bodoh itu cukup berhasil, ya? Tante Cecil bilang kalau kamu dan Yudith makin lengket. Dan berencana untuk segera menikah," ucap Kendra melebih-lebihkan. Gadis itu tidak mengira kalau bibir Maxim terkatup rapat setelah kata-katanya.
" Hei, kenapa sih kamu mudah sekali merajuk? Tiba-tiba marah? Terutama..." Kendra berpikir sejenak, " tiap kali kita membahas soal acara kencan itu. Iya, kan? Ada apa, sih? Menjengkelkan sekali melihatmu sebentar tertawa, sebentar marah. Padahal, aku sama sekali tidak tahu kesalahanku."
Kendra mendengar Maxim menghela napas, terdengar berat. Ya ampun, jadi memang ada masalah serius yang bahkan tidak disadarinya?
" Max..." masalah bagaimana perasaanku, asal kamu senang. Oh ya, nanti malam kami akan berkencan. Puas kamu?"
Kendra benar-benar terperangah. " Maxim, kamu bicara apa, sih?" Pintu lift terbuka dan Maxim kembali melangkah ke luar lebih dulu.
Blur
You re a mystery You re from outer space
K endra masih menyimpan berjuta rasa penasaran atas jawaban
aneh Maxim di dalam lift tadi. Namun dia sama sekali tidak memiliki waktu untuk mencari tahu. Maxim menepati janjinya, memperkenalkan Kendra pada Sean yang sudah menunggu. Setelahnya, Maxim meninggalkan keduanya dengan alasan punya pekerjaan yang harus diselesaikan.
" Ken, jangan terpesona pada Sean! Dan kamu Sean, jangan merayu Kendra!" Maxim memberi ultimatum sebelum pergi.
Sean terkekeh. " Aku tahu, Max! Aku tidak akan mengganggu yang bukan milikku. Jadi, kamu boleh tenang," balasnya jail. Kendra mengernyit mendengar dialog aneh keduanya.
Sean bekerja di sebuah perusahaan kontraktor yang cukup punya nama. Sedikit lebih pendek dibanding Maxim, lelaki itu jelas sangat tahu kalau dia memesona. Satu lagi nilai tambah Sean adalah, pria itu murah senyum dan sangat supel. Kendra tidak akan heran jika Sean memiliki teman yang tersebar di seluruh penjuru mata angin.
" Maxim pasti senang sekali kalau aku mengikuti acara yang dikeluhkannya berminggu-minggu. Tapi aku memang senang."
Kendra tersenyum lebar, nyaris dari telinga ke telinga. " Jadi, kamu setuju ikut?"
" Ya, tentu saja!"
Kendra bertepuk tangan dengan gembira. " Ya ampun, aku senang sekali! Kukira, kamu akan sesulit Maxim. Tapi ternyata tidak. Terima kasih ya Sean, kamu sudah sangat membantuku."
Keriangan Kendra membuat Sean tampak terhibur. " Memangnya Maxim sesulit apa?"
Kendra hanya butuh kalimat itu sebagai dorongan tambahan. Gadis itu pun menguraikan cerita warna-warni yang melibatkannya dengan Maxim. Sean mendengarkan dengan penuh perhatian. Meski terlihat geli, pria itu tidak menginterupsi sekalipun.
" Ah, pokoknya orang itu selalu seenaknya. Sebentar marah, sebentar bergurau. Cemberut tanpa senyum. Yang paling membingungkan, dia kadang tiba-tiba kesal dan mengabaikanku tanpa alasan. Seakan-akan aku punya dosa besar."
Sean manggut-manggut. " Itu memang seperti Maxim. Kecuali bagian kesal tanpa alasan itu. Setahuku, Maxim orang yang sangat logis, kok! Dia tidak mungkin melakukan sesuatu tanpa alasan."
Kendra mencebik. " Kamu membelanya karena kalian bersepupu. Tapi dia memang melakukan itu padaku. Seperti saat di lift tadi. Atau...." Mata Kendra membesar. " Kurasa ... dia melakukan hal-hal aneh hanya padaku, ya? Hmmm ... sepertinya dia benarbenar mendendam karena aku yang memaksanya terlibat di acara kencan itu. Tapi, seharusnya dia berterima kasih, kan? Buktinya, dia dan Yudith sepertinya cocok. Itu kan berkat jasaku, meski kecil," Kendra tergelak.
Lelaki di depannya itu mengangguk. " Ya, kamu memang punya jasa. Tapi..." mata Sean menatap Kendra.
" Kamu orang yang santai dan selalu berpikir positif, ya? Kamu bisa menemukan hal-hal menarik dari suatu peristiwa yang tidak " Sepertinya itu memang diriku. Memangnya kenapa?" Sean tersenyum. " Kamu memang sangat cocok berteman dengan Maxim. Belakangan ini dia terlalu banyak cemberut dan mengumpat. Tapi, dia salah satu sepupu terbaik yang kumiliki."
" Ah, kamu salah! Kami sama sekali tidak cocok. Aku terancam mati muda kalau terlalu sering dekat dengan Maxim. Hei, kenapa kita malah membahas tentang si pemarah itu." Kendra menangkupkan kedua tangan di depan dada, sebagai tanda permohonan maaf. " Sekarang, kita akan membahas tentang Dating with Celebrity, ya," imbuhnya.
Kendra lalu menghabiskan beberapa menit selanjutnya untuk menjelaskan peraturan dalam acara itu. Sean mendengarkan dengan penuh konsentrasi, sesekali mengajukan pertanyaan jika ada yang tidak dimengerti. Ketika akhirnya Kendra meninggalkan lelaki itu, dia merasa sangat lega.
Hari ini boleh dibilang berlangsung lancar. Kendra tidak menemukan kesulitan berarti, kecuali sikap aneh Maxim yang masih tersisa. Namun dia tidak akan mengeluh. Sebenarnya, bertemu dengan Maxim adalah hal yang diinginkannya. Dan di awal pertemuan mereka, sikap lelaki itu bisa digolongkan pada kategori normal.
" Maxim, kenapa sulit sekali mengerti dirimu? Apa kira-kira Yudith tidak kesulitan, ya?"
Menyebut nama itu begitu saja, membuat senyum Kendra runtuh. Entah kenapa.
Maxim melirik ponselnya dengan gemas. Ini sudah ketiga kalinya Sean menelepon dalam waktu dua menit terakhir. Lelaki itu sengaja " Ada apa?" katanya cepat. Maxim akhirnya terpaksa mengangkat ponselnya. Kalau tidak, dia tahu Sean takkan berhenti. Dan itu cukup mengganggu kelancaran pekerjaannya. " Aku sedang sibuk, Sean!"
Maxim mendengarkan Sean bicara beberapa detik sebelum akhirnya mendesah pelan dan bergumam.
" Oke, aku akan meminta Padma ke kantormu sebentar lagi." Saat akan memanggil bawahannya itu, Maxim berubah pikiran. Lelaki itu melirik setumpuk laporan yang berantakan di atas mejanya. Membulatkan niat, Maxim meninggalkan ruangannya.
" Lho, katanya mau menyuruh Padma? Bukankah kamu sedang sibuk?" Sean tampak heran.
" Tadinya begitu. Tapi kurasa lebih baik aku saja yang mengambil sendiri. Takutnya, Padma tergoda membaca pesan atau apa." Sean menyindir terang-terangan. " Memangnya kamu tidak?" " Kamu kira aku tidak tahu caranya menghargai privasi?" " Oh ya? Baguslah kalau begitu. Jadi aku tidak merasa bersalah sudah menitipkan benda ini padamu. Sebenarnya ... aku lebih suka mengantarkan sendiri pada pemiliknya, tapi sebentar lagi aku harus bertemu klien," Sean menyerahkan sebuah ponsel kepada Maxim.
Sumpah Asmara Cindewangi Karya Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Hong In Pendekar Naga Geni 6 Munculnya Pendekar
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama