My Better Half Karya Indah Hanaco Bagian 4
" Dia memang manusia paling ceroboh yang pernah ada. Aku sudah dua kali mengembalikan ponselnya. Sekali tertinggal di rumah, sekali lagi di kantorku. Sekarang, Kendra malah meninggalkan ini di kantormu. Dan anehnya lagi, dia cenderung tak acuh dengan barang-barangnya yang tercecer. Cenderung pasrah. Ini kali terakhir aku harus mengantarkan ponselnya lagi," omel Maxim panjang lebar. Sean menatap sepupunya dengan penuh perhatian. " Kamu sepertinya banyak tahu tentang Kendra, ya?" Maxim seperti melamun. Ibu jarinya mengelus layar ponsel " Bagaimana aku tidak tahu banyak? Kami terlalu sering bertengkar. Kurasa, seumur hidup aku paling sering bertengkar dengan Kendra. Padahal kami baru kenal kurang dari dua bulan."
Sean tampak terhibur dengan kalimat yang diucapkan Maxim.
" Kami tadi menggosipkanmu. Keluhan Kendra kurang lebih sama. Dan aku merasa lebih percaya dengan versinya. Kamu memang sering bersikap menjengkelkan, kok! Kendra bilang, kamu sering marah tanpa alasan."
Maxim memutar matanya. " Dia bilang seperti itu?" " Ya. Apa menurutmu dia bohong?"
Maxim tidak segera menjawab. Lelaki itu mengembuskan napas panjang, seakan ingin membuang beban berat yang ada di dadanya.
" Dia tidak sepenuhnya bohong. Aku memang marah, tapi dengan alasan tertentu. Cuma mungkin dia tidak menyadarinya. Kami ... bermasalah dalam hal komunikasi," aku Maxim kemudian.
Reaksi Sean adalah tertawa terbahak-bahak begitu Maxim menyelesaikan kalimatnya.
" Kenapa kamu tertawa?" Maxim tampak kesal.
" Bukan apa-apa. Tapi aku bisa melihat kalau kalian memang bermasalah dalam hal komunikasi ," ujarnya penuh arti. Sean berdiri dan merapikan kemejanya. " Aku harus pergi sekarang. Pastikan Kendra menerima kembali ponselnya. Dia pasti membutuhkannya. Sebagian besar hidup manusia modern bergantung pada ponselnya."
Maxim menggeleng dengan keras kepala. " Kendra tidak termasuk golongan itu. Kurasa, dia tidak akan bermasalah jika tidak punya gadget. Dia ceroboh, dan tidak terlalu terganggu dengan fakta itu. Kalau Kendra punya ketergantungan tinggi pada " Oke, terserah apa katamu. Bagaimana kencanmu dengan Yudith? Apakah permintaan untuk wawancara dari tabloid gosip sudah makin banyak?"
" Dalam mimpimu!"
Sean menepuk bahu sepupunya dengan senyum lebar yang masih bertahan. Mereka berjalan bersisian menuju pintu keluar.
" Kendra bilang, kamu sudah menyusahkannya. Membujukmu untuk mengikuti Dating with Celebrity adalah hal paling berat. Sebentar, kukutip kata-katanya dengan tepat. Maxim memarahi dan mengusirku dengan seenaknya. Kalau saja aku tidak sayang melepas pekerjaanku, pasti aku akan membuat semua giginya rontok ."
" Imajinasimu sungguh luar biasa. Aku tidak percaya Kendra mengucapkan kata-kata itu!"
Sean mengabaikan protesnya. " Aku menerima tawaran Kendra, dan aku tidak akan menyusahkannya. Aku bukan sepertimu yang untuk menandatangani kontrak saja harus mengambek berkalikali."
Maxim batal membuka mulut saat mendengar ponsel Kendra berbunyi. Lelaki itu melirik nama yang tertera di layar dan terpaku.
" Hei, kenapa wajahmu pucat begitu? Siapa yang menelepon?" Sean menyenggol sepupunya. Pintu lift terbuka diikuti suara denting khas. Keduanya melangkah masuk.
" Ini ... aku tidak tahu apakah aku harus menerima panggilan ini atau tidak," Maxim tampak serba salah. " Kendra, kenapa sih kamu harus meninggalkan ponselmu di mana-mana?"
Maxim mengabaikan perhatian orang-orang di dalam lift yang menatapnya keheranan. Lelaki itu sedang bimbang, terbelah antara kepantasan dan juga ketakutan yang bersinerga dengan rasa pena-" Kamu mengenal si penelepon? Kalau kira-kira penting, kenapa tidak diangkat saja?" usul Sean.
Ponsel itu berdering lagi untuk ketiga kalinya. Maxim memejamkan mata selama dua detik, mengusir semua akal sehat yang berjejalan di benaknya, dan mulai bicara dengan suara datar.
" Halo, selamat sore, saya Maxim. Ini ponsel Kendra, dia sedang tidak ada di tempat. Ada yang bisa saya bantu?"
Maxim mendengarkan si penelepon bicara. Wajah lelaki itu makin pucat dari detik ke detik. Ketika akhirnya hubungan terputus, Maxim tampak kalut.
" Apa yang harus kulakukan, Sean? Bagaimana aku harus memberitahunya?"
Sean ikut cemas. " Memberi tahu apa?"
Tapi Maxim tidak pernah menjawab. Lelaki itu malah mengambil ponselnya sendiri dan memberi serangkaian instruksi kepada orang yang dihubunginya.
Kendra menarik napas lega ketika berhasil tiba di kantornya. Ruangan berpendingin udara yang menjadi tempat Th e Matchmaker berkantor, mengusir kegerahan yang menguasainya puluhan menit. Terjebak macet di sana sini, AC mobil yang tidak menyala, membuat keringat Kendra mampu membuat sehelai handuk kering ukuran besar menjadi basah kuyup.
Helen sudah berangkat ke bandara entah sejak kapan. Kendra memutuskan untuk memberikan laporan singkat kepada Tommy saja. Dia yakin, Tommy akan meneruskan berita yang dibawanya kepada bos mereka. Semua tahu kalau Tommy adalah karyawan kesayangan Helen, bersaing ketat dengan Joshua. Bahkan ada gosip segitiga. Rumit. Dan menjadi kian kusut karena Joshua baru saja menikah beberapa bulan silam.
" Ken, aku membutuhkan bantuanmu," Pritha memanggil dari mejanya.
" Sebentar, aku mau minum dulu. Nanti aku ke situ." Kendra nyaris berlari menuju pantri untuk menghabiskan satu gelas penuh air putih. Gadis itu sempat menyambar selembar tisu untuk mengeringkan wajahnya yang berkeringat. Kendra ngeri membayangkan penampilannya saat ini. Rambut panjangnya dijepit asal-asalan, kemejanya kusut dan basah di bagian punggung.
" Kamu membutuhkan otak cemerlangku, Th a?" Kendra bercanda sambil membungkuk di sebelah Pritha.
" Ya. Aku sedang memilih beberapa alternatif lokasi syuting. Sejak tadi mataku sudah terlalu banyak melihat gambar. Aku sampai merasa pusing dan mungkin akan segera muntah kalau kamu tidak membantuku. Aku kesulitan membandingkan gambar yang satu dengan yang lain. Entah kenapa Mbak Helen memintaku melakukan ini." Joshua melintas dan Pritha buru-buru menyebut nama pria itu. " Joshua, kenapa kamu melepas tanggung jawab, sih? Memilih lokasi syuting kan tugasmu."
Gerutuan panjang Pritha mendapat respons tawa dari beberapa orang yang turut mendengar kata-katanya.
" Aku punya pekerjaan tambahan, Pritha Sayang. Gara-gara Maxim-nya Kendra, seleksi prakencan mengalami perubahan. Kini, pihak selebriti ikut menghadiri rapat untuk memilih peserta sepuluh besar. Menyita waktu dan tenaga," urai Joshua, membela diri. " Pilih yang unik dan tidak pasaran. Artinya, yang belum banyak muncul di acara lain. Terutama gaya interiornya." Joshua berlalu setelah menggumamkan sederet kata yang tidak didengar Kendra dengan jelas. Gadis itu mencurahkan konsentrasinya pada beragam gambar di laptop Pritha.
Th e Matchmaker memiliki hubungan dengan banyak pihak yang siap menyediakan berbagai tempat yang siap digunakan untuk syuting. Selama ini, Joshua tinggal memilih tempat yang dirasa cocok. Awalnya, ada yang mengusulkan agar mereka mengusung tema tertentu setiap minggunya. Tapi Helen tidak setuju karena dianggap bisa menambah pekerjaan yang tidak dibutuhkan.
" Th a, rumah ini menurutku bagus," Kendra menggerakkan kursor untuk mengklik sebuah rumah bergaya mediterania. " Perabotannya unik, sehingga tidak membutuhkan banyak tambahan. Sudah terlihat istimewa."
" Benarkah?" Pritha tampak ragu. " Tadi aku memang sudah memilih rumah itu. Tapi aku tidak terlalu yakin. Seleraku kadang aneh, kamu kan tahu itu."
Kendra mencubit lengan temannya dengan gemas. " Selama ini tidak ada yang komplain, kan? Lagi pula, mana mungkin Mbak Helen memberimu tugas ini kalau memang tidak yakin dengan kemampuanmu?"
Gadis itu menghabiskan beberapa saat kemudian untuk memberi usul pada Pritha. Kendra mengabaikan setumpuk pekerjaan yang harus diselesaikannya juga. Hari yang penuh warna itu masih disemarakkan dengan teriakan kencang dari arah pantri, membuat seisi kantor panik.
Winny, salah satu karyawati dengan rambut hingga melewati pinggang, histeris. Gadis itu menyalakan kompor untuk membuat minuman karena air di dispenser habis. Malangnya, ujung rambut Winny yang dibiarkan tergerai, entah bagaimana ikut terbakar. Kebetulan yang melegakan, ada seorang offi ce boy di pantri yang Gadis itu tidak menderita luka bakar, hanya saja bajunya menjadi basah kuyup.
" Aku tidak bisa menebak, Winny menjerit karena rambutnya terbakar atau bajunya yang basah," bisik Pritha. Kendra berusaha untuk menahan tawa sambil kembali ke mejanya. Saat itulah dia melihat Maxim menyerbu masuk dan berdiri membatu sesaat kemudian.
" Ada apa?" Kendra was-was. Tapi dia ingat sesuatu dan mulai mengaduk-aduk isi tasnya. " Aku tahu kamu sudah memperingatiku berkali-kali. Pasti ponselku tertinggal, ya?" Kendra berjalan mendekati Maxim, tidak ingin ada yang mendengar kalimatnya. " Dan kamu pasti marah karena harus mengantarkannya ke sini."
Tapi Maxim sama sekali tidak terlihat sedang marah. Lelaki itu justru terlihat pucat. Lalu tiba-tiba saja Maxim memeluknya! Kendra berdiri kaku, kesulitan bernapas dengan normal. Semua orang menatap mereka, tapi Maxim sungguh-sungguh tidak peduli. Akal sehat Kendra kembali dan gadis itu berusaha melepaskan diri. Sayang, Maxim tidak membiarkannya.
" Suster Inge menelepon. Bukan ... berita bagus...." oOo
Berkabung Bersamamu
You re every minute of my every day
M axim tersiksa melihat kesedihan yang mengaduk-aduk
Kendra, lahir dan batin. Awalnya gadis itu tidak menangis sama sekali. Dia masih bisa berpamitan pada beberapa teman sekantor meski suaranya agak terbata-bata. Maxim yang kemudian menjelaskan apa yang terjadi secara singkat.
Lalu terjadi pengulangan seperti di masa lalu. Hanya ada sedikit perbedaan di sana sini.
Maxim mengantar Kendra pulang, menunggu hingga gadis itu berkemas dan mandi. Ada seorang perempuan berusia empat puluhan tahun yang datang kemudian dan bicara dengan gadis itu. Maxim bisa mendengar suara tangis meski samar. Setelahnya, lelaki itu mampir ke rumahnya untuk melakukan hal yang persis sama dengan Kendra. Gadis itu menunggu di mobil seperti perjalanan pertama mereka ke Bandung.
Hanya saja, Kendra tidak mengajukan banyak protes kali ini. Tidak melarang Maxim mengantarnya ke Bandung. Tidak bersikeras ingin menyetir sendiri dengan mobilnya yang menurut Maxim sudah tidak layak jalan. Dan semua itu melegakan.
Cecil sempat ingin menemui Kendra saat putranya pamit. Tapi Maxim melarang karena cemas pertahanan Kendra akan runtuh jika mendapat simpati dari ibunya.
" Jangan sekarang ya, Ma? Kendra benar-benar sedih. Tapi dia Untung saja Cecil mau mendengarkan saran Maxim dan akhirnya menggumamkan sederet kalimat bernada duka cita. Maxim baru melihat sendiri Kendra mengeluarkan air mata setelah mereka berada di perjalanan. Gadis itu sengaja menghadap ke kiri, berpura-pura sedang menikmati pemandangan. Tapi telinga Maxim menangkap isakan halus yang coba disembunyikan.
Maxim tidak pernah merasa menjadi orang yang tak berguna seperti saat itu. Bahkan untuk sekadar mengurangi kepedihan yang ditanggung Kendra pun dia tidak mampu.
" Kendra..." panggil Maxim.
" Hmmm..." Kendra menjawab dengan suara bergetar. Tapi gadis itu tidak menoleh sama sekali. Maxim menepikan mobil. " Kenapa berhenti, Max?"
Maxim tidak menjawab. Dia mengambil tisu dan mengeringkan sisa air mata yang tersisa di pipi Kendra. Gadis itu pasti terburuburu menyeka air mata saat Maxim tiba-tiba berhenti. Setelahnya, Maxim memegang kedua pipi Kendra dengan gerakan hati-hati. Seolah tambahan sedikit tenaga akan membuat kulit gadis itu retak.
Kendra tidak mengajukan protes. Bahkan sepertinya dia kesulitan untuk bicara. Maxim hanya memperhatikan bagaimana bibir Kendra terbuka, seakan ingin mengucapkan sesuatu. Lalu matanya yang mengerjap berkali-kali.
" Tidak apa-apa kalau kamu menangis di depanku. Itu bukan berarti kamu lemah. Tidak ada yang salah dengan air mata, dan aku tidak keberatan soal itu." Maxim menarik napas, membiarkan jeda selama beberapa detik. " Aku mungkin orang yang menjengkelkan buatmu. Tapi aku peduli padamu. Yah ... meski buatmu itu sulit untuk dipercaya. Tapi aku sungguh-sungguh dengan katakataku."
Kendra masih tak bicara. Hanya saja matanya memandang " Aku tahu rasanya seperti apa, kehilangan orang yang benarbenar kita sayangi. Aku juga tahu, tidak ada kata-kata penghiburan yang bisa meringankan bebanmu. Ucapan duka cita tidak lantas membuatmu merasa lebih baik." Maxim menelan ludah. Dia tidak mengira kalau bicara dengan Kendra saat ini berubah demikian menyusahkan. " Kamu hanya perlu tahu, aku selalu ada untukmu. Aku serius."
Kendra masih tidak bicara. Hanya air matanya yang meruah kemudian. Bagi Maxim, itu sudah lebih dari cukup untuk saat ini. Kendra memercayainya. Maxim kembali menyetir. Yudith menelepon, bertanya tentang janji kencan mereka. Maxim bahkan lupa kalau dia dan Yudith berencana untuk menghabiskan waktu berdua. Tapi itu tidak penting lagi. Saat ini Kendra yang mendapat perhatian penuh darinya.
Kejutan menanti keduanya saat tiba di rumah sakit. Untuk pertama kalinya Maxim bertemu dengan Djody. Entah kenapa, dia selalu mengira ayah Kendra itu sudah meninggal dunia. Ternyata Djody masih sehat walafi at. Maxim bisa melihat kemiripan antara Djody dan putrinya.
Maxim menahan diri untuk tetap berdiri sekian meter dari tempat Kendra dan ayahnya berdebat. Dia tidak bisa mendengar adu kata di antara keduanya dengan jelas. Tapi tadi sekilas Inge sudah memberi tahu Kendra bahwa ayahnya ingin mengurus pemakaman Gayatri. Djody ingin mengebumikan mantan istrinya di Bandung. Sementara Maxim mengira kalau Kendra menginginkan yang sebaliknya, memberi penghormatan terakhir untuk Gayatri di Jakarta.
Kendra tidak banyak bicara. Dan Maxim pun tak mau mengganggunya. Mereka bermalam di penginapan yang sama. Maxim sangat ingin menghibur gadis itu, tapi hatinya terasa remuk tiap Djody sempat menemui Maxim secara khusus dan berterima kasih karena dia sudah menemani Kendra. Djody awalnya mengira kalau Maxim memiliki hubungan khusus dengan putrinya, tapi pria itu segera membantah.
Maxim memang tidak mengenal Djody secara pribadi. Tapi dia mempunyai fi rasat kalau lelaki itu orang yang baik. Hanya saja, bagaimana Kendra sampai enggan membicarakannya, Maxim sama sekali tidak bisa membayangkan apa penyebabnya. Tapi dia bisa melihat kalau Djody sangat menyayangi putrinya. Tidak lewat kata-kata, melainkan dari cara pria itu menatap Kendra. Masalahnya, Kendra jelas tidak nyaman dengan kehadiran ayahnya dan bersikeras untuk menjaga jarak.
Entah apa yang pernah terjadi di masa lalu. Tapi Maxim yakin, masalahnya tidak sederhana. Kendra ternyata menanggung banyak beban, jauh lebih besar dibanding dugaan Maxim semula.
Saat pemakaman Maxim baru tahu kalau ternyata keluarga besar Djody dan Gayatri banyak yang tinggal di Bandung. Bahkan Djody sendiri menetap di kota yang sama. Hari itu Maxim juga bertemu dengan Tina dan Arthur yang terbang ke Bandung tanpa pasangan masing-masing.
Kesedihan merebak di udara. Maxim menemani Kendra yang menjauh dari anggota keluarganya yang lain, berduka sendirian. Lelaki itu sangat ingin agar semuanya segera berlalu. Andai bisa, dia tidak mau Kendra melewati hari itu dalam hidupnya. Maxim rela menebusnya dengan apa pun. Sayang, itu hanya keinginan mustahil yang takkan bisa terwujud.
Kendra mengambil keputusan mengejutkan, mengajak Maxim kembali ke Jakarta seusai pemakaman. Tapi sebelumnya dia meminta Maxim menyetir ke rumah sakit terlebih dahulu. Maxim sempat menguping dialog antara Kendra dan Inge. Gadis itu marah " Saya tidak memberitahumu kalau Pak Djody rutin datang ke sini atas permintaan beliau. Lagi pula, saya tahu kalau kamu tidak akan suka kalau tahu tentang hal itu, kan?" Inge tampak berusaha bersabar meski dia tidak mau disalahkan.
" Tapi saya kan berhak untuk tahu, Suster!" suara Kendra meninggi. Ini kali pertama Maxim melihat Kendra begitu marah. Selama ini, seburuk apa pun perlakuannya pada gadis itu, Kendra menerimanya dengan santai. Tidak ingin gadis itu kian murka, Maxim menarik tangan Kendra. Menjauh dari Inge sambil memberi isyarat permohonan maaf pada perawat itu.
" Maxim, aku masih perlu bicara dengan Suster Inge," Kendra berusaha melepaskan tangannya. Tapi Maxim tidak menurut. Dia malah terus berjalan, menuju pohon jeruk yang berderet di belakang rumah sakit. Kali ini, tidak ada yang melepas alas kaki.
Maxim kemudian berhenti dan memaksa Kendra hingga menghadap ke arahnya. Awalnya, gadis itu hanya menunduk. Hingga Maxim memegang pipinya dan membuat Kendra mendongak.
" Kamu yakin mau kembali ke Jakarta sekarang?" tanya Maxim dengan suara selembut yang dia mampu. Gadis itu mengangguk. Matanya kembali berkilat oleh air mata.
" Ibuku sudah tidak ada lagi. Aku ikhlas, kok. Tapi aku tidak tahan berada di sini. Apalagi dengan ... kehadiran ayah dan kakakkakakku. Kamu bisa lihat sendiri betapa canggungnya hubungan kami, kan? Aku tidak ingin mendendam, tapi aku merasa sakit hati untuk semua yang sudah mereka lakukan. Di mana kakakkakakku saat Ibu membutuhkan mereka? Ayahku bahkan memilih menceraikan Ibu dan ... menikah lagi. Aku ... aku yang harus memikul semua beban. Bukannya aku menyesal, tapi aku sendiri butuh seseorang. Aku masih ... terlalu muda. Aku tidak tahu apa Kendra tidak mampu meneruskan kalimatnya. Ini kali pertama dia bicara demikian panjang sejak kemarin. Tidak tahan hanya berdiam diri, Maxim maju dan memeluk Kendra. Kali ini, yang dipeluk tidak berupaya melepaskan diri. Namun, tangis Kendra kian kencang. Tangan Maxim bergerak perlahan, mengelus punggung gadis itu. Lelaki itu mulai yakin kalau kengiluan yang menerpa dadanya nyaris menyamai rasa sakit yang ditanggung Kendra.
Di antara tiupan angin sore, aroma jeruk yang memagari, dan tangisan pilu yang meluncur dari bibir Kendra, Maxim tahu sesuatu sedang terjadi. Bukan hal yang baru, sebenarnya. Hanya sekadar menguatkan apa yang selama ini dicurigai hatinya. Tapi Maxim tahu, akan sangat sulit untuk mengakui itu. Mungkin karena keberaniannya yang takkan pernah cukup.
" Maxim ... terima kasih sudah menemaniku...."
Maxim tak sanggup bersuara. Dia cuma mampu mengeratkan pelukannya.
Kendra terbangun dengan kepala pusing dan mata nyeri. Dia memang terlalu banyak menangis tadi malam. Setelah Maxim mengantarnya pulang, tetangganya mulai berdatangan. Untungnya mereka tidak berlama-lama mengucapkan belasungkawa. Sehingga Kendra punya waktu untuk sendiri. Kendra hanya ingin menangis dan berduka karena tidak punya keleluasaan untuk melakukan itu sebelumnya. Ada banyak orang yang mengawasinya, terutama Maxim.
Gadis itu baru saja selesai mandi saat pintu rumahnya diketuk seseorang. Dan Kendra tidak bisa tidak terkejut karena mendapati Maxim berdiri di beranda rumahnya. Senyum Maxim membuat " Max..."
" Sebelum kamu bertanya kenapa aku datang ke sini dan bukannya ke kantor, aku cuma mau bilang kalau aku membolos hari ini."
Maxim melewati Kendra tanpa basa-basi, langsung menuju ruang keluarga. Kedua tangannya memegang kantong plastik yang kemudian diletakkan di atas meja kaca.
" Aku membawakanmu makanan. Kamu pasti belum sarapan, kan? Lupakan saja makanan rendah kalorimu itu, karena kamu sudah terlalu kurus. Ken, ini saatnya sedikit menaikkan berat badan mu."
Kendra hanya berdiri termangu, terpesona melihat Maxim mengeluarkan isi kantong plastik yang dibawanya.
" Kamu mau makan apa? Aku tadi membeli bubur ayam, lontong sayur, roti serikaya panggang, dan nasi uduk. Atau, kamu mau yang lain?"
Ketika Kendra tak juga beranjak mendekat, Maxim menarik tangan gadis itu dan memintanya duduk di sofa.
" Kamu ... untuk apa kamu membeli ini semua?" Maxim malah meraih kotak tisu yang ada di meja, menarik selembar, dan menyerahkannya kepada Kendra.
" Aku tidak tahu kalau membawakan sarapan saja bisa membuatmu menangis," guraunya. " Dapurnya di sebelah mana? Aku tidak membeli air minum."
Kendra tidak mampu menjawab, hanya mengangkat tangan dan menunjuk ke satu arah. Maxim kembali dengan dua gelas air putih.
" Aku makan nasi uduk. Kamu?" " Bubur ayam," balas Kendra susah payah.
Mereka berdua sarapan dalam keheningan. Tapi Kendra tidak dalam hidupnya pagi itu. Setelah bertahun-tahun, ini kali pertama dia sarapan bersama seseorang di rumah itu. Meski Maxim bukan anggota keluarganya dan mereka tidak bersantap di ruang makan yang menyatu dengan dapur.
" Max, kamu keberatan kalau lontong dan rotinya kuberikan pada orang lain? Aku sudah kenyang."
" Tidak masalah."
Kendra pamit sebentar untuk memberikan makanan yang belum disentuh itu kepada Suci. Kendra juga menyempatkan diri membeli kopi di minimarket. Saat dia kembali, Maxim sedang duduk santai sambil menonton televisi. Setelah berjam-jam, Kendra akhirnya bisa tersenyum juga karena pemandangan itu. Tanpa bicara dia menuju dapur dan membuatkan secangkir kopi untuk Maxim.
" Kok cuma satu gelas? Susumu mana?"
" Aku sudah minum susu tadi pagi." Kendra duduk di sebelah Maxim. " Kamu membolos hanya karena ingin memaksaku sarapan, ya?"
" Aku ingin menemanimu. Seharian ini aku akan tetap di sini. Jadi, percuma saja kalau kamu berniat mengusirku," Maxim bicara dengan tatapan tetap tertuju ke layar kaca.
" Aku tidak berniat mengusirmu."
Kini, Maxim menoleh dan merekahkan senyum untuk Kendra. " Aku cuma berjaga-jaga."
Kendra menatap Maxim, ingin mengucapkan sesuatu. Tapi gadis itu merasa akan lebih bijak jika dia mengurungkan niatnya. " Kamu menangis semalaman, ya?"
Tahu tidak ada gunanya berbohong, Kendra mengangguk. " Setelah kamu pulang, banyak tetangga yang datang. Dan ... aku jadi banyak mengeluarkan air mata. Semoga tubuhku tidak " Hei, kenapa memandangku seperti itu? Aku adalah orang yang selalu memegang janji. Aku tidak merasa kasihan padamu."
Gadis itu tergelak melihat ekspresi Maxim. " Aku tidak bilang apa-apa, kan? Aku melihatmu karena takjub."
" Takjub?"
" Ya. Siapa sangka kalau kamu yang akan menemaniku di saat ... seperti ini? Kamu, Maxim Fordel Arsjad yang suka bertingkah menyebalkan dan seenaknya. Dua kali kita ke Bandung dan kamu menunjukkan sisi yang berbeda." Kendra mencondongkan tubuhnya ke arah Maxim. " Apa kamu memiliki alter ego, Maxim?"
" Mungkin," balas Maxim santai. " Kalau iya, apakah itu akan jadi masalah buat kita?"
Kendra tergelitik dengan pilihan kata yang dipakai Maxim. Tapi dia tidak berniat mengoreksi.
" Oh ya, aku mau minta maaf padamu." " Minta maaf?" kedua alis Maxim terangkat.
" Iya. Karena kamu terpaksa membatalkan kencan dengan Yudith gara-gara aku. Semoga kalian tidak bertengkar. Atau ... perlukah aku bicara dengan dia agar tidak salah paham?"
Wajah Maxim menggelap, membuat Kendra cemas. Tapi kali ini pria itu tidak meninggalkan Kendra begitu saja, seperti yang pernah dilakukannya sebelum ini.
" Kendra, bisa tidak kalau kita berdua melupakan segala hal yang berhubungan dengan Dating with Celebrity?"
" Apakah terjadi sesuatu? Maksudku...."
" Aku tidak mau mendengar nama Yudith disebut-sebut lagi." Saat itu juga Kendra merasa bersalah. " Jadi, kalian benar-benar bertengkar, ya? Aduh Maxim, aku minta maaf. Aku...."
" Aku tidak bertengkar dengan Yudith. Jangan sok tahu! Aku cuma tidak nyaman kita membicarakan Yudith atau siapa pun," membicarakan secara terbuka, apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Tapi gadis itu buru-buru memasukkan logika ke dalam kepalanya. Masalah Maxim dan Yudith bukan urusannya sama sekali, wajar kalau lelaki itu jadi merasa tidak nyaman.
" Oke. Jadi kita sebaiknya membicarakan tentang siapa?" Kendra mencoba bercanda. Sekaligus mengusir perasaan tak nyaman yang mengganggunya. Jawaban Maxim mengejutkannya. " Tentu saja tentang kamu."
Senyum pria itu kembali, kemuramannya lenyap tanpa bekas. " Ya, kamu. Pernah menyadari tidak, kalau kamu itu cukup misterius. Eh, tidak berkaitan dengan hal-hal negatif, lho!" Tatapan Maxim membuat Kendra tidak bisa bergerak. " Aku bisa saja berpura-pura pengertian, tidak mengajukan pertanyaan yang akan membuatmu sedih atau teringat masa lalu. Itu sudah kulakukan selama ini. Tapi aku tidak mau lagi seperti itu. Aku sangat ingin tahu apa yang terjadi dalam hidupmu. Kenapa kamu bisa mengalami obesitas, misalnya. Aku ingin, kamu membagi halhal penting dalam hidupmu kepadaku. Aku ingin ... benar-benar ingin, menjadi ... temanmu."
Kendra sungguh tidak siap menghadapi hujan kata-kata dari Maxim itu. Lelaki itu mengatakan ingin menjadi temannya?
" Aku tidak misterius," Kendra akhirnya mampu membuka mulut.
" Satu lagi, aku seorang venustraphobia. Jadi, kamu tak perlu cemas kalau aku punya niat jelek."
" Venus ... apa sih?"
" Venustraphobia, fobia pada wanita cantik."
Kendra terpana dan tersipu sekaligus. Tapi dalam sedetik, tawanya pecah. " Maxim, caramu membujuk itu payah sekali.
menderita fobia aneh?" Nyatanya, Kendra memang membagi kisahnya.
Sehari denganmu, Mengubah Wajah Dunia
And I can t believe That I m your man
K endra menduga, kematian ibunya sudah membuat sel-sel
otaknya menjadi abnormal. Mungkin tidak semua, melainkan hanya sebagian kecil. Tapi memberi impak yang tidak simpel.
Bukti terbesar adalah dia membuka banyak cerita masa lalu kepada Maxim tanpa berpikir panjang. Padahal selama bertahuntahun Kendra lebih suka menyimpan semuanya sendiri. Namun, berhadapan dengan Maxim yang bicara sangat panjang, ternyata membuatnya tak berdaya.
" Ayah dan ibuku bercerai saat aku SMP. Aku bahkan yakin kalau ibuku tidak benar-benar menyadari apa yang terjadi. Hal itu membuatku sangat marah pada Ayah. Ketika mereka berpisah, Ayah memintaku untuk tinggal bersamanya. Tapi, mana bisa aku meninggalkan Ibu? Aku makin marah saat mendengar Ayah menikah lagi. Sejak itu, aku tidak mau bertemu ayahku lagi. Hingga kemarin."
" Selama bertahun-tahun ini kalian tidak pernah bertemu?" mata Maxim membesar. Kendra mengangguk, memberi penegasan.
" Dan aku tidak tahu kalau ternyata ayahku sering menjenguk Ibu. Andai tahu ... entahlah. Mungkin aku akan memindahkan Ibu Kendra mengangkat wajah, menantang mata Maxim. Lelaki itu terlihat kaget.
" Kamu akan melakukan itu?"
" Entahlah, mungkin saja. Apa menurutmu itu terlalu ekstrem?" " Aku ... aku tidak tahu apakah aku pantas berpendapat." Kendra cemberut. " Katanya mau jadi temanku? Aku kan barusan bertanya pendapatmu. Artinya, kamu diizinkan untuk berkomentar."
Maxim berdeham, tidak serta-merta memberi respons. Menurut tebakan Kendra, lelaki itu pasti sedang mempertimbangkan untuk memilih kata-katanya. Saat itu, dia melihat rambut depan Maxim menjuntai ke kening.
" Sudah waktunya kamu ke salon," tangan Kendra bergerak untuk merapikan rambut Maxim. Saat gadis itu benar-benar menyadari apa yang sedang dilakukannya, tangannya sudah menyentuh rambut lelaki itu. Di matanya, Maxim seakan baru terkena serangan panik. Lelaki itu pasti sangat kaget dengan apa yang dilakukan Kendra. Namun gadis itu mampu menguasai diri dengan baik sebelum segera menarik tangannya.
Suasana berubah kaku, keheningan terasa menyiksa. Mereka berdua sama-sama duduk dengan punggung tegak sambil menatap televisi. Pikiran Kendra sendiri berlompatan tak terkendali, sama sekali tidak tertarik pada gambar yang tersaji di kotak ajaib itu.
" Kendra..." " Apa?"
" Suatu saat aku akan memberikan pendapatku tentang ayahmu. Maksudku, konfl ik di antara kalian. Boleh?"
Kendra lega karena Maxim tidak membahas tentang apa yang baru dilakukannya dengan rambut pria itu.
" Ponselmu tidak tertinggal di mana-mana lagi, kan?" tanya Maxim tiba-tiba.
" Tidak. Ponselku ada di kamar. Kenapa? Pasti kamu mau menceramahi keteledoranku lagi," tebak Kendra. Kebekuan mencair dengan cepat. Kendra bersyukur karena dirinya punya kemampuan lumayan bagus dalam bergaul. Tidak sekaku Maxim. " Aku cuma bertanya. Tidak punya maksud apa-apa." Kendra bersiul mendengar kalimat lelaki itu. " Coba ya Max, kalau kamu setiap saat bisa bersikap seperti ini. Kita pasti tidak akan bertengkar dan bisa hidup damai. Eh, ada apa sih dengan Bandung? Kamu selalu bersikap menyenangkan selama kita di sana. Dan saat ini, Maxim Yang Menyenangkan masih bertahan setelah kita kembali ke Jakarta."
Maxim kesulitan menemukan kata-kata untuk merespons, dan itu membuat Kendra merasa senang. Karena biasanya Maxim pasti bisa menemukan kalimat untuk membalasnya.
" Kamu sudah bisa bercanda," ujar Maxim akhirnya. Kendra tercenung sejenak. " Mungkin karena aku sudah terlalu lama bersedih. Setiap hari, aku selalu cemas kalau ponselku berbunyi. Aku takut akan mendengar kabar buruk tentang Ibu." Gadis itu memandang Maxim, berusaha keras meredakan gelombang kesedihan yang ikut membanjir bersama kata-katanya. " Jadi ketika akhirnya ini benar-benar terjadi ... bebanku seakan terangkat. Hmmm ... kesannya kok malah aku bersyukur akan apa yang sudah terjadi, ya? Bukan itu maksudku," Kendra mengernyit tak suka. " Begini ...."
Maxim menukas. " Aku mengerti maksudmu, kok. Sungguh!" " Kurasa..."
Maxim memegang tangan kiri Kendra dan meremasnya lembut. " Kendra, aku tahu maksudmu," ulangnya. " Dan itu bukan lebih suka kalau kamu bisa segera tertawa lagi, seperti tadi. Tertawa tidak berarti kamu tak sedih lagi. Itu caramu menyembuhkan luka. Karena yang sudah terjadi tidak bisa diubah sama sekali."
Tangan kirinya terasa hangat, menjalar hingga ke dada Kendra. Kata-kata Maxim membuat hatinya lebih tenang. Mungkinkah genggaman dan ucapan Maxim memberi efek begitu hebat? Tapi gadis itu berusaha melepaskan tangannya dengan gerakan perlahan.
" Mungkin besok aku akan masuk kerja. Kurasa, tidak ada gunanya aku menangis berhari-hari, kan?"
" Kalau itu, aku kurang setuju. Kenapa tidak memanfaatkan waktumu untuk istirahat dulu?"
Kendra terkekeh. " Aku tidak bisa, Max. Sejak tadi pikiranku dipenuhi soal pekerjaan. Aku punya banyak kewajiban yang belum kuselesaikan. Memang sih, teman-temanku pasti akan membantu. Tapi, mereka sendiri punya setumpuk kesibukan. Belakangan ini tanggung jawab kami memang meningkat. Harusnya sih Mbak Helen menambah karyawan baru. Tapi entahlah, sampai sekarang belum ada perubahan."
" Apa pekerjaanmu sangat menguras tenaga? Sangat berat, ya?"
Kendra menahan senyum sambil menunjuk ke arah lawan bicaranya. " Kamu ingat apa yang terjadi sejak awal kita bertemu? Bayangkan jika aku harus menghadapi orang lain yang sama menyu sahkannya seperti kamu. Sampai aku harus menunggu berjamjam dan masih diusir. Harus mendatangi rumahnya juga. Masih mending kalau tuan rumahnya..."
" Iya, aku tahu kamu mau bilang apa. Aku memang menyebalkan. Dan aku sudah minta maaf untuk itu."
Kendra tertawa penuh kemenangan. Dia tidak mengira kalau si kaku Maxim bisa membuatnya gembira hari ini. Dia bahkan sudah " Kalau untuk satu orang saja aku harus menghabiskan banyak energi seperti itu, kalikan dengan tiga. Atau sepuluh. Menyulitkan sekali pastinya. Lalu masih ada Mbak Helen yang tidak mau menerima berita negatif. Semua yang ditugaskan padaku harus diselesaikan sesuai harapannya."
" Jadi, kamu sering dimarahi?" " Iya, sama kamu dan Mbak Helen."
Maxim mengatupkan bibirnya. Kendra merasa geli melihat pria itu sedang berjuang untuk tidak mengomel.
" Kenapa? Tersinggung? Itu kan memang fakta."
Maxim malah mengajukan pertanyaan baru. " Setelah aku, kamu sudah membujuk siapa lagi? Eh, seingatku kamu kan hanya menggantikan Mbak Helen waktu itu. Atau, aku salah?"
" Aku memang cuma menggantikan Mbak Helen. Tugasku sehari-hari kan melakukan seleksi awal untuk memilih peserta yang akan diundang wawancara. Nah, Mbak Helen menilai kalau kamu adalah contoh kesuksesanku. Akhirnya, aku diminta untuk menghubungi Sean. Tentunya, dengan memanfaatkan pertalian darah di antara kalian." Senyum Kendra melebar. " Jadi, boleh dibilang aku sudah memanfaatkanmu. Yah, anggaplah balasan untuk sikap menyebalkanmu di masa lalu."
Maxim segera mengajukan protes. " Kamu berkali-kali mengulangi soal itu. Tidak nyaman di telinga."
" Oke, aku minta maaf. Berarti sekarang kita sama-sama tanpa dosa, ya?"
" Sudah seperti lebaran saja," gumam Maxim sambil meraih gelas kopinya.
Kendra senang dengan kehadiran Maxim di rumahnya. Pria itu entah menyadarinya atau tidak membuat bebannya tak seberat yang diduga Kendra. Meski Maxim kesulitan untuk bercanda masamnya yang masih muncul. Tapi setidaknya lelaki itu tidak lagi mengo mel atau marah tanpa memberi penjelasan apa pun.
" Max, mumpung libur, aku mau mengajakmu ke suatu tempat." Kendra tiba-tiba teringat satu tujuan yang dulu sering dikunjungi. Sayang, belakangan dia tak pernah lagi singgah ke sana karena alasan pekerjaan.
" Kamu mau mengajakku berlibur?" mata Maxim tampak berbinar.
" Bukan berlibur, tapi ke suatu tempat. Tidak jauh dari sini, kok! Aku yakin, kamu belum pernah ke tempat seperti itu. Anggap saja, ini hadiah kecil karena kamu sudah menemaniku. Mau, ya?" Kendra setengah memaksa.
" Bukan tempat yang aneh, kan?" tanya Maxim curiga. " Tentu saja tidak! Bebas dosa, pokoknya!" tandas Kendra. " Sebentar, aku mau ganti baju dulu."
Tapi, " sebentar" versi Kendra tidak bisa terwujud karena beberapa tetangganya mulai berdatangan untuk berbelasungkawa. Gadis itu kewalahan menerima ucapan duka yang bertubi-tubi. Tapi dia berusaha agar tidak menangis lagi. Apalagi dia tahu kalau Maxim mengawasinya mirip predator yang sedang mengincar mangsa. Alhasil, mereka meninggalkan rumah Kendra menjelang pukul setengah dua.
Chevrolet Colorado yang dikendarai Maxim baru membelah jalan kurang dari dua ratus meter ketika Kendra memintanya menepi. Ada sebuah pesta pernikahan yang sedang digelar di salah satu rumah. Kendra mencari-cari sesuatu di dalam tasnya sebelum turun dari mobil. Semuanya terjadi begitu cepat. Maxim bahkan belum bisa menebak apa yang dilakukan Kendra saat gadis itu kembali dengan selembar amplop di tangan.
Kendra memasukkan sejumlah uang ke dalam amplop. " Aku mau makan siang. Bukannya kamu sendiri yang menyuruhku untuk banyak makan?"
Maxim tampak kebingungan. Lelaki itu menoleh ke kanan dan ke kiri dengan tatapan mencari-cari.
" Tapi di sini tidak ada restoran, Ken. Kamu mau makan apa? Tinggal sebut, nanti aku akan...."
Kendra menukas. " Tidak perlu! Kita akan makan di situ. Ternyata ada tetanggaku yang menggelar pesta pernikahan. Aku takut nanti tidak sempat mampir. Ayo turun, Max!" oOo
Seumur hidup, Maxim belum pernah datang ke sebuah acara pernikahan tanpa diundang. Tapi sekarang Kendra malah mengajaknya mendatangi pesta yang digelar oleh tetangga gadis itu.
" Ken, memangnya kamu diundang?" Maxim menarik tangan Kendra sebelum gadis itu keluar dari mobil.
" Biasanya sih, diundang. Tapi aku tidak ingat sudah menerima undangan untuk yang satu ini."
Maxim membelalakkan mata. " Belum pasti diundang dan kamu malah mau ke situ?"
Kendra mengibaskan tangannya. " Aku sudah mengenal tetanggaku hampir dua puluh empat tahun, Max! Hubungan antar tetangga di sini cukup dekat. Kalau sedang musim hajatan seperti ini, yang mau menggelar acara malah biasa berdiskusi dulu. Supaya tidak ada pesta di hari yang sama. Jadi, bukan hal aneh jika pesta pernikahan digelar di hari kerja, misalnya. Itu pasti karena ada kesepakatan sebelumnya. Kamu lihat sendiri yang tadi terjadi di rumahku, kan? Kurasa, sampai minggu depan pun pasti ada saja Maxim melepaskan tangannya, kepalanya mulai berdenyut. Mungkin Kendra akan menceramahinya tentang " kriteria tetangga yang baik" jika nekat melarang gadis itu turun dari mobil. Maxim menahan diri agar tidak mengerang atau malah meraung. Laki-laki itu akhirnya mengalah, turun dari mobil meski wajahnya terasa panas oleh rasa malu.
" Kita cuma memakai kaus dan celana jeans." Itu upaya terakhir Maxim untuk membuat Kendra berpikir jernih.
Gadis itu malah menggandeng lengannya. " Tetanggaku akan maklum kok, Max! Jadi, kamu tidak perlu merasa malu."
Karena Kendra menggandeng lengannya di depan umum, Maxim merasa senang. Setidaknya, cukup impas untuk mem buatnya menebalkan muka. Minimal untuk saat itu.
Setelah mencatatkan namanya di buku tamu dan memasukkan amplop ke dalam kotak khusus, Kendra menarik tangan Maxim lagi.
" Kita makan dulu sekarang. Kalau ditunda, makin siang. Perutku sudah lapar."
Maxim sungguh tidak bisa membantah lagi. Gadis itu mengambilkan makanan untuknya dan memenuhi piring itu. " Ini terlalu banyak. Bagaimana aku bisa menghabiskan semuanya?" Maxim memandang piringnya dengan kening berlipat.
" Makan saja semampumu. Setahuku, makanannya enak, kok! Tukang masaknya jempolan," Kendra berbisik sambil mengerling jenaka.
Maxim benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Dia cukup jengah karena banyak orang yang memandang penuh rasa ingin tahu ke arahnya. Tiap kali Kendra menyapa atau disapa seseorang, pasti ada yang bertanya tentang identitasnya.
My Better Half Karya Indah Hanaco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah mereka selesai makan, barulah lelaki itu menyadari maksud kata-kata Kendra saat mengajaknya untuk segera makan tadi. Maxim melihat Kendra dikelilingi banyak orang yang masih menggumamkan ucapan duka cita. Pemahaman pun muncul di benaknya, kalau Kendra memang sengaja melakukan itu. Mendapat kata-kata belasungkawa di tengah keriuhan sebuah pesta pernikahan, pasti membuat kesedihan Kendra tersamarkan dengan baik. Maxim menghela napas, mendapati dirinya memiliki cukup pengetahuan tentang gadis itu.
Ponsel Maxim berbunyi, menginterupsi semua pikiran yang berlompatan di benaknya. Saat membaca nama yang tertera di layar, lelaki itu mengeluh pelan. Tapi Maxim bukanlah tipe orang yang suka menghindar. Dia lebih memilih untuk berhadapan dengan masalah secara langsung. Tidak perlu melarikan diri dengan cara pengecut.
" Halo Yudith, ada apa?" tanyanya tanpa basa-basi. Maxim mendengarkan selama lima detik. " Aku minta maaf kalau kamu jadi salah paham. Aku tidak bermaksud membuatmu kesal, apalagi mempermainkanmu. Aku sudah menjelaskan semuanya tadi pagi, kan? Jadi, tak ada lagi yang perlu dibahas. Selamat siang."
Maxim menghela napas, tidak mengira semuanya jadi rumit. Kalau diizinkan mencari kambing hitam, Kendra patut disalahkan. Tapi apa pun yang terjadi, Maxim tidak akan menyesal. Dia justru bersyukur untuk semuanya.
" Maaf ya, kamu terpaksa kuseret ke pesta pernikahan untuk makan siang. Aku bisa melihat kekesalanmu. Kamu cemberut terus." Kendra menyeringai, sama sekali tidak tampak menyesal. Tapi Maxim bisa melihat kalau keriaan yang ditunjukkan bibirnya sama sekali tidak menyentuh matanya. Kemuraman masih melompat-lompat di mata gadis itu. Mobil Maxim sudah bergerak " Aku belum pernah makan siang dengan cara seperti itu." Maxim akhirnya tersenyum, merasa geli dengan pengalamannya barusan. " Karena itu, kuanggap kamu memberiku pengalaman yang berharga. Terima kasih."
Bibir Kendra terbuka dan pupil matanya melebar. " Kamu tidak marah? Serius? Padahal aku sangat yakin kalau setelah ini kamu akan meninggalkanku sendiri tanpa alasan."
Maxim tentu saja mengingat dengan baik bagian yang dise butkan Kendra itu. Tapi, jika mengungkapkan alasan sesungguhnya kepada gadis itu, ada risiko besar yang harus dihadapinya. Maxim hampir yakin, Kendra tidak akan menyukainya. Dan itu bisa berimbas buruk pada hubungan mereka.
Jika selama ini Kendra menjadi pihak yang ditinggalkan, Maxim yakin akan terjadi sebaliknya di masa depan. Yaitu, saat dia nekat bicara apa adanya. Karena gadis itu pasti akan salah paham. Dan itu adalah hal terakhir yang ingin dihindari Maxim dalam hidupnya.
" Aku tidak marah. Seorang teman, tidak akan sering marahmarah lagi. Aku janji."
Kendra tertawa, membuat gigi rapinya terlihat. " Wah, aku senang sekali mendengar kata-katamu. Ingat ya, jangan beraniberaninya kamu mengingkari janji. Karena kalau kamu marah sekali lagi, aku akan memusuhimu seumur hidup!"
" Ya ampun, aku benar-benar takut padamu," Maxim purapura bergidik. Dia tidak mengira kalau apa yang dilakukannya memancing tawa Kendra lagi. " Sekarang kita mau ke mana?"
" Tidak jauh, kok!" Kendra memberi instruksi hingga akhirnya mereka berhenti di sebuah toko bernama Eks Kado. Maxim tercenung memandang toko yang terlihat ramai itu.
" Aku sering menemukan barang-barang bagus dengan harga kenapa, aku selalu bisa merasa terhibur saat berada di Eks Kado ini. Aku ingin mengenalkanmu ke tempat yang kusukai. Aku akan membelikanmu sesuatu. Oh ya, ini toko barang bekas. Khusus menjual benda-benda yang pernah dihadiahkan oleh seseorang. Tapi mungkin tidak disukai. Ketimbang dibuang, lebih baik dijual. Unik, kan?"
Toko loak khusus menjual barang-barang berupa kado yang tak disukai? Dugaan Maxim selama ini sangat benar. Kendra memang menyusahkan hidupnya. Lahir, dan terutama batin. oOo
Kamuflase Rasa Hati
And I get to kiss you, baby Just because I can
K endra benar-benar merasa terhibur tiap kali mengingat ekspresi
syok yang ditunjukkan Maxim kemarin. Diajak makan di pesta pernikahan dengan pakaian kasual saja sudah membuatnya luar biasa kaget. Lalu digenapi dengan menjelajahi toko loak yang barang-barangnya berasal dari kado yang tak disukai. Entah bagian mana yang lebih mengejutkan Maxim. Toko loak atau asal barang yang dijual di sana.
Tapi Kendra lega karena Maxim tidak mengajukan protes berarti. Lelaki itu bersabar menunggunya memindai tiap rak dan etalase dengan tatapan tajam dan menyelidik. Hingga Kendra mendapatkan sebuah mafela bercorak abstrak yang cantik dan sebuah pemutar mp3 yang bahkan tidak pernah dijual di pasar Indonesia.
" Kamu ingin sesuatu? Aku yang akan mentraktirmu," goda Kendra. " Tadi kan aku sudah bilang, akan membelikanmu sesuatu." Maxim buru-buru menggeleng tanpa bicara.
Jika mengingat apa yang dilakukan Maxim seharian kemarin, mampu membuat Kendra melupakan semua kekesalannya pada lelaki itu. Entah ada hubungannya atau tidak, tadi pagi dia bangun dengan perasaan yang jauh lebih ringan dibanding sebelumnya.
Itulah sebabnya Kendra memutuskan untuk kembali bekerja, seperti yang diucapkannya pada Maxim. Meski itu artinya dia " Ken, ibumu baru meninggal, kenapa sudah memikirkan soal pekerjaan?" tanya Pritha dengan wajah prihatin. " Aku yakin, Mbak Helen pasti bisa mengerti, kok! Kamu butuh waktu untuk menenangkan diri. Kalau aku jadi kamu, mungkin aku cuti sebulan penuh."
Kendra menepuk punggung tangan temannya dengan lembut sambil mengucapkan terima kasih.
" Aku tidak apa-apa, kok! Justru aku akan makin sedih kalau tidak melakukan apa pun."
Neala bergabung dengan keduanya. Mengucapkan kata-kata senada. Juga kalimat penghiburan untuk Kendra.
" Kalian akan membuatku membanjiri kantor ini dengan air mata kalau tidak berhenti bicara. Sudah, ah!" Kendra tertawa cang gung sambil mengerjap berkali-kali, mencegah air matanya tumpah.
Neala memeluknya sambil berbisik lirih. " Oke, aku tak akan membuatmu menangis. Aku senang kamu sudah bekerja kembali. Oh ya, bagaimana rasanya dipeluk oleh Bujangan Paling Diidamkan?"
Air mata yang sudah menusuk-nusuk pun langsung menguap begitu mendengar kalimat terakhir Neala. Temannya itu tergelak sambil melepaskan pelukannya.
" Orang sekantor bergosip tentang kalian. Bahkan Yudith sampai tahu. Kebetulan dia datang ke sini, katanya ada keperluan dengan Mbak Helen. Entah siapa yang membocorkan soal pelukan maut kalian, Yudith sampai bertanya padaku dan Pritha."
Pipi Kendra terasa panas dan dingin dalam waktu nyaris bersamaan. " Pelukan maut apa? Wah, jangan-jangan Maxim dan Yudith bertengkar karena itu," ucapnya tak enak hati. Pritha mengedipkan mata dengan gaya bersekongkol. " Kalian Kendra membelalakkan mata. " Tentu saja tidak! Kami bahkan lebih banyak bertengkar dibanding berdamai."
Kendra masih ingin memberi penjelasan tambahan tapi Pritha dan Neala malah meninggalkannya sambil cekikikan.
" Hei, kalian jangan bergosip apa pun!" sergahnya, nyaris putus asa. Membayangkan dirinya menjadi sumber gosip, rasanya sungguh menjengkelkan. Lalu ditambah fakta bahwa Yudith mengetahui kalau Maxim memeluknya di kantor, membuat Kendra makin merasa tidak nyaman. Apa pun penjelasannya, sulit bagi seseorang untuk paham. Bahwa hubungannya dengan Maxim tidak pernah lebih dari sekadar teman.
Sesuatu yang menusuk tiba-tiba terasa menyentak. Tapi Kendra tidak tahu apa penyebabnya.
Tidak punya pilihan, gadis itu kembali ke mejanya dan menyalakan laptop. Kendra menarik napas saat menyadari banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikannya. Membalas e-mail masuk saja menghabiskan waktu hampir satu jam. Belum lagi sederet foto yang membentuk bukit mungil di mejanya. Kendra menghitung, ada empat tumpukan yang butuh untuk diselesaikan.
Helen datang ke kantor lebih lambat dua jam dibanding biasa. Biasanya, perempuan itu menjadi salah satu orang yang datang paling pagi. Helen meminta Kendra masuk ke ruangannya saat dia melewati meja gadis itu. Kendra pun segera mengekor di belakang Helen.
" Kamu mungkin sudah muak mendengar ucapan duka cita selama beberapa hari ini. Maaf, saya baru tahu tadi malam tentang ibumu. Ponsel saya hilang dan tidak ada yang bisa menghubungi saya." Helen tampak muram. Biasanya perempuan itu tidak banyak menunjukkan emosinya.
" Tidak apa-apa, Mbak...." " Saya baik-baik saja, terima kasih." Kendra lalu mengulang kalimat yang diucapkannya di depan Neala dan Pritha tadi. Tentang alasannya masuk kantor lebih cepat dibanding yang diduga orang lain.
" Sungguh?" Helen menantang mata Kendra. Gadis itu menjawab dengan anggukan mantap.
" Baiklah kalau begitu. Oh ya, bagaimana dengan Sean Gumarang? Kamu berhasil membujuknya untuk mengikuti Dating with Celebrity?"
" Iya, Mbak," Kendra gagal mencegah rasa senang memenuhi dadanya. " Sean orang yang kooperatif, begitulah pendapat saya."
Helen mengangguk, tampak puas dengan berita itu. " Kamu sudah menjelaskan aturannya?"
" Sudah."
" Jadi, kapan kira-kira Sean bisa datang untuk melihat audisi peserta?"
Rasa gugup segera membanjir. Kendra lupa, Helen adalah orang yang ingin segalanya berjalan dalam kereta supercepat.
" Saya belum sempat membicarakan itu, Mbak. Apakah ... apakah mulai sekarang selebriti memang dilibatkan dalam audisi?" Meski sudah pernah mendengar berita tentang itu, tapi selama Helen belum membuat pengumuman, semuanya belumlah resmi.
Helen mengangguk sebagai balasan. " Berterimakasihlah kepada Maxim. Dia yang membuat kita terpaksa mengubah seleksi untuk prakencan. Tapi ada bagusnya juga. Supaya sama-sama merasa puas dan tidak ada yang minta diadakan seleksi ulang."
Kendra berusaha agar bibirnya hanya tersenyum. Dia tidak ingin Helen melihatnya gembira karena tingkah Maxim. Kendra cuma merasa geli jika mengingat apa yang sudah dilakukan pria itu. " Saya akan menghubungi Sean, Mbak," putusnya buru-buru.
" Oke," Helen menyetujui.
Setelah keluar dari ruangan Helen, Kendra segera menghubungi Sean. Sayang, ponselnya tidak aktif. Kendra sempat tergoda untuk menelepon Maxim. Bukan untuk bertanya tentang Sean, melainkan ingin tahu kabar pria itu. Tapi Kendra buru-buru mengurungkan niatnya. Dia tidak punya alasan untuk mengontak Maxim sepagi ini, kan?
Kendra menghabiskan pagi itu dengan aktivitas bertumpuk. Neala sempat meminta bantuannya memilih beberapa gaun. Bagaimanapun, Kendra adalah perempuan tulen, dia menyukai pakaian yang indah. Meski membeli dan memakainya adalah hal yang berbeda.
Menjelang siang, Kendra berusaha menghubungi Sean lagi. Kali ini, usahanya berhasil. Sean menjawab hanya dua detik setelah nada sambung terdengar. Seperti yang diingat Kendra, suara lelaki itu ramah dan menyenangkan.
" Aku lebih suka kalau kita bertemu langsung, Kendra. Apa kamu punya waktu malam ini? Karena sebentar lagi aku harus kembali rapat."
Kendra tidak butuh waktu untuk mempertimbangkan lebih lama dan segera menyatakan persetujuannya.
" Tidak keberatan kalau kamu ke kantorku? Pukul tujuh?" Kendra sudah tahu dia pasti akan tampil berantakan jika harus berangkat dari kantor. Tapi selama ini tidak pernah ada yang mengajukan protes, kan? Bahkan Maxim yang menjadi manusia paling bawel abad ini pun tidak pernah mengomentari penampilannya.
" Oke. Tapi aku pasti tidak sempat untuk mandi dan berdandan rapi. Tidak keberatan?"
Sean tergelak sambil berkata, " Tidak." Kendra lega karena Sean benar-benar tidak sulit untuk dihadapi. Dengan penampilan dan sikap seperti itu, sangat wajar kalau pria itu punya banyak pengagum dan deretan panjang mantan kekasih.
Sebelum ini, Kendra tidak pernah memikirkan apakah Maxim pun memiliki barisan eks pacar. Tapi ketika mengingat Sean, mendadak pikiran itu menyerbu benaknya tanpa terkendali.
Mengingat keduanya memiliki pertautan darah, Kendra tidak akan terkejut andai Maxim pun bergonta-ganti pasangan. Meski jika melihat sikapnya selama ini, Maxim tidak seluwes Sean dalam bergaul. Dan Kendra agak cemas, apakah ada banyak kaum hawa yang terpesona meski secara fi sik Maxim lebih menawan dibanding Sean.
Kendra memukul keningnya sendiri dengan gemas. Di tengah pekerjaan yang menggunung, bagaimana bisa dia memikirkan Maxim dan para mantannya? Benar-benar tidak berguna!
" Ken, apakah Sean sama menyebalkan dengan sepupunya?" suara Neala menyedot perhatian Kendra. " Kamu sepertinya..."
" Sean orang yang menyenangkan, kok!" sergah Kendra buruburu. " Mau ikut audisinya? Atau ... mau berkenalan langsung? Malam ini aku akan bertemu Sean. Kamu mau menemaniku?"
Neala mempertimbangkan tawaran itu selama beberapa detik, sebelum akhirnya menggeleng.
" Kamu mau makan malam bareng Sean?" Neala menunjuk ke arah laptopnya dengan tatapan putus asa, bibirnya terkatup. " Aku iri padamu. Kamu akan bersenang-senang dengan makhluk keren dan aku terjebak dengan pekerjaan."
" Aku tidak bersenang-senang. Mbak Helen memintaku segera membicarakan jadwal audisi prakencan dengan Sean." Neala mendekat dan menepuk bahu temannya. " Hei, jangan Kendra memaksakan tawa. " Kenapa selalu menyebut nama Maxim? Tentu saja dia tidak ikut."
" Selamat bertemu Sean, kalau begitu. Titip salam buat Sean. Apa dia sama menariknya dengan fotonya?"
" Hmmm, kira-kira begitulah. Yakin, tidak mau ikut?" " Tidak yakin, sih! Tapi aku juga tidak punya pilihan lain. Apa boleh buat."
Maxim meneliti laporan penjualan yang baru saja diantarkan Padma dengan penuh konsentrasi. Sebenarnya, dia tidak bisa benar-benar fokus sejak pagi. Dan itu membuat kesal karena bukan kebiasaannya. Maxim benci jika tidak bisa memanfaatkan waktu dengan baik.
Suara ketukan halus terdengar. Dan sebelum Maxim bersuara, pintu sudah terbuka. Sean masuk dengan senyum lebarnya, terlihat tampan dengan kemeja lengan pendek berwarna hijau muda dan dasi dengan warna setingkat lebih tua. Jika Maxim lebih suka memakai setelan, Sean agak berbeda.
" Lho, bukannya tadi pagi kamu bilang akan sibuk sekali hari ini? Kok masih bisa datang ke sini?" mata Maxim kembali tercurah pada kertas di depannya.
" Aku memang sibuk, ada dua rapat penting yang tidak bisa dihindari. Tapi sekarang sedang jeda. Jadi, aku mau cuci mata dulu."
Maxim menukas pedas. " Jangan menggoda Padma atau karyawati lain di sini! Aku tidak akan memaafkanmu jika tetap melakukan itu."
Sean menyeringai sambil menarik kursi yang ada di depan " Cuma mereka yang tidak boleh kugoda?" tanyanya usil. Maxim menatap Sean dengan keheranan yang tercetak di wajahnya. Alisnya bertaut, menghasilkan kerut halus di kening lelaki itu.
" Apa maksudmu? Aku kesulitan menebak kalimat bersayap." " Aku tidak menggunakan kalimat bersayap, kok! Aku cuma meng ajukan pertanyaan. Mau makan malam denganku nanti, Max?"
Maxim terlihat kesal. " Kamu datang ke sini untuk menggangguku, ya? Ada apa sih denganmu? Apa kamu tidak melihat kalau pekerjaanku sedang bertumpuk?" gerutunya. " Aku tidak sem pat makan malam!"
Pintu terbuka lagi. Maxim dan Sean menoleh secara bersamaan dan meneriakkan kata yang sama. " Darien!"
Darien masuk dengan langkah-langkah panjang. Pria itu beberapa sentimeter lebih tinggi dibanding Maxim dan Sean. Kulitnya hanya setingkat lebih gelap dibanding sang adik. Ketika Darien tersenyum, lesung pipinya tercetak di kedua pipi.
" Apa kabar para lajang tua?" guraunya. Sean langsung mencibir namun dia memeluk Darien dengan hangat.
" Lihat siapa yang bicara," sindir Maxim. Kedua kakak beradik itu pun berpelukan setelah Sean memberi ruang. " Kapan kamu pulang?"
" Baru beberapa jam lalu. Aku langsung ke sini dari bandara." Sean menarik tangan Darien, memintanya untuk duduk di sofa. " Kamu dari mana, sih? Sepertinya tidak pernah tinggal lama di Jakarta. Kalau aku tidak salah, kita sudah tidak bertemu ... dua bulan?"
Darien tertawa. " Pernah mendengar istilah aji mumpung ?
tawaran yang datang sebelum ada yang menyadari kalau ternyata aku tidak bisa berakting," kelakarnya.
Sean mengulangi pertanyaannya. " Kamu dari mana?" " Medan. Aku baru selesai syuting fi lm layar lebar. Kalau punya waktu, kalian juga harus ke sana. Makanannya luar biasa."
Maxim menginterupsi. " Bukannya waktu itu kamu bilang sedang syuting di Spanyol?"
Darien menatap adiknya seakan Maxim baru saja mengucapkan pengakuan dosa yang mengejutkan.
" Ya ampun, itu sebulan yang lalu, Max! Setelah itu aku terbang ke Medan."
Maxim melongo. " Itu fi lm yang sama?"
" Iya, fi lm yang sama. Hanya saja lokasi syutingnya diadakan di beberapa kota. Rasanya aku sudah menjelaskan tentang itu hingga beberapa kali."
Sean yang merespons. " Pekerjaanmu itu sepertinya sangat melelahkan, ya? Untukku dan Maxim, perjalanan ke sana dan kemari itu rasanya membuang terlalu banyak waktu."
" Terima kasih untuk pujiannya," balas Darien santai. Lelaki itu jauh lebih sesuai jika menjadi kakak Sean dibanding Maxim. Sikap santai keduanya sangat mirip. Juga senyum yang nyaris selalu bertahan.
Darien menghabiskan waktu nyaris lima belas menit untuk bercerita tentang fi lm terbarunya. Atas permintaan Sean, tentu saja. Film yang diadaptasi dari sebuah novel romance top itu disutradarai oleh Liz Arabel. Begitu mendengar nama itu, mata Sean langsung berbinar.
" Aku mendengar gosip tentang kalian. Apakah itu benar?" tanyanya ingin tahu. Maxim menatap penuh tanya ke arah Sean, " Kamu orang kesekian yang bertanya soal itu," Darien menghela napas. " Tentu saja itu cuma gosip, berita bohong. Kalau sudah ada gosip, capek sekali karena harus menjelaskan ke banyak pihak. Kalau cuma berdiam diri, malah dianggap membenarkan. Serba salah."
" Itu cuma gosip? Lalu pacarmu yang sebenarnya, mana? Kapan mau diperkenalkan kepada kami?"
Sean menepuk bahu sepupunya dengan ekspresi prihatin palsu. " Max, Darien kemungkinan besar akan melajang seumur hidup. Dia tidak menyukai komitmen. Jadi, kita harus menghargai itu."
Kata-kata Sean mampu membuat Maxim tergelak. Lelaki itu kemudian menoleh ke arah kakaknya yang terlihat agak lelah. " Kurasa Mama benar-benar mengkhawatirkanmu. Beberapa hari lalu Mama sempat berpikir untuk menjodohkanmu dengan seseorang. Namanya Kendra...."
Begitu menyebut nama itu, Maxim sontak terdiam. Wajahnya berubah, memucat. Kegembiraan yang baru saja terpentang di wajahnya, menyusut dengan cepat. Sean sangat tertarik mendengar kata-katanya.
" Benarkah? Siapa yang mengatakan itu padamu?" Maxim menjawab dengan enggan. " Kendra. Sebelum dia bertemu denganmu, Kendra makan siang dengan mamaku."
" Dan siapa Kendra ini? Apakah sangat menarik hingga Mama mau menjodohkan denganku?" Darien mengusap dagunya. Sean berdiri setelah melirik jam tangannya.
" Kalau kamu mau berkenalan dengan cewek yang ingin dijodohkan Tante Cecil, bergabunglah denganku pukul tujuh, Darien. Kami akan makan malam. Max, kamu tidak diajak, maaf. Kamu akan sibuk bekerja, kan?"
Pada Suatu Makan Malam
Whatever comes our way We ll see it through
T oilet adalah tujuan utama Kendra begitu dia menginjakkan
kaki di gedung perkantoran itu. Gadis itu mencuci muka, membubuhi bedak di pipinya yang berkilat, memakai lipgloss, dan menyisir rambutnya yang berantakan. Rambut bergelombangnya cenderung sulit diatur. Kadang Kendra tergoda ingin pergi ke salon dan melakukan perawatan smoothing. Tapi godaan itu ternyata hanya sebatas godaan yang tidak ingin diwujudkannya.
Kendra tiba di kantor Sean pukul setengah tujuh. Dia sengaja datang lebih cepat untuk memberi kesan positif kepada calon klien Th e Matchmaker. Meski dia yakin Sean orang yang ramah dan menyenangkan, Kendra tidak ingin mencari gara-gara. Teguran dari Helen atau Sean bukanlah hal yang diinginkannya saat ini.
Sean menyambutnya dengan senyum lebar dan gaya akrab, seolah-olah Kendra adalah teman lamanya. Gadis itu pun merasa nyaman dalam sekejap. Kendra lega karena dia sepertinya memang tidak salah menilai Sean. Lelaki itu tidak sekaku atau segalak Maxim. Sean juga mengucapkan sederet kalimat berbau duka cita.
" Kendra, sebentar ya, aku mau membereskan pekerjaan. Sedikit lagi, kok."
Kendra mengangguk maklum. " Aku yang datang terlalu cepat. Kamu punya waktu setengah jam lagi," katanya bergurau.
Kendra duduk di ruang tunggu yang cukup luas sementara Sean kembali masuk ke dalam ruangannya. Gadis itu merogoh tas dan mengeluarkan ponselnya. Ada godaan untuk menelepon seseorang, sekadar mendengar suaranya. Tapi dengan gerakan sigap, Kendra memasukkan ponselnya kembali.
Selama menunggu Sean menyelesaikan pekerjaannya, Kendra mencoba menyamankan diri di ruang tunggu yang tidak terlalu luas itu. Ruang itu ditata dengan baik dan membuat betah.
Ada satu bidang dinding yang dipasangi panel kayu persegi, berwarna cokelat muda dan cokelat tua. Panel itu disusun dalam pola acak yang menjadi elemen artistik dan berkesan menghangatkan ruangan. Sofanya berwarna putih dengan rangka logam yang berkesan modern. Ada sebuah coff ee table persegi yang bergaya sederhana, dengan kaki meja dari material kaca. Lalu, jendela lebar yang menampilkan pemandangan kota Jakarta diberi penutup berupa horizontal blinds berwarna putih.
Kendra ditawari minuman oleh salah satu karyawati di sana, tapi ditolak gadis itu dengan halus. Akhirnya, Kendra meraih sebuah majalah setelah merasa waktu bergerak lamban. Padahal dia baru duduk di situ kurang dari sepuluh menit, tapi seakan sudah selamanya.
Gadis itu terdiam saat melihat wajah Maxim di sampul majalah Th e Bachelor bersama dua pria lain. Majalah ini terbit sekitar dua bulan silam dan Kendra sama sekali belum pernah membacanya. Padahal, penampilan Maxim di majalah itulah yang membuat Helen bersemangat menjadikannya klien di acara Dating with Celebrity.
Mata Kendra bergerak perlahan, memindai huruf demi huruf yang tertulis di rubrik " Sampul Muka" . Dengan segera dia tahu kalau Maxim tidak nyaman membicarakan kehidupan pribadinya. Lelaki yang tidak memberi pengetahuan baru untuk pembaca. Kendra akhirnya mulai bisa mengerti bagaimana Maxim menunjukkan ketidaknyamanan sehubungan dengan acara kencan itu. Karena pada dasarnya pria itu tidak mau menjadi pusat perhatian.
Tapi Kendra bersyukur karena Maxim bisa juga tampil luwes dan penuh pesona di babak prakencan. Untuk bagian kencannya sendiri gadis itu tidak menonton. Entah kenapa, rasanya tidak nyaman.
" Apa dia benar-benar menyebalkan saat mengikuti acara Dating with Celebrity?"
Kendra mendongak dan cukup kaget mendapati Sean sudah berdiri di depannya. Gadis itu mengembalikan majalah yang dipegangnya ke rak sebelum bangkit dari sofa. Dia meringis.
" Jawaban jujur? Begitulah, dia menyebalkan. Tapi belakangan ini dia agak berubah. Semoga perubahan itu bertahan lama," cetus Kendra. Tapi sekedip kemudian gadis itu menyesali ucapannya. Tidak seharusnya dia mengomentari sikap Maxim di belakang pria itu, kan?
" Siap menemaniku makan malam, Kendra?" Sean memberi isyarat ke arah pintu. Mereka melangkah beriringan. " Kamu tidak punya alergi, pantangan, atau hal-hal semacam itu, kan?"
Kendra tergelak. " Tentu saja tidak. Aku bisa menyantap semua makanan."
" Oh ya, aku sudah bilang belum?" " Apa?"
" Aku akan memperkenalkanmu dengan seseorang. Kurasa, dia kandidat yang bagus untuk menjadi peserta Dating with Celebrity."
Kendra berusaha bersikap tenang dan tidak menunjukkan rasa penasaran yang besar. " Siapa?"
Sean hanya tersenyum misterius tanpa jawaban apa pun.
Benaknya mulai menebak-nebak, siapa kira-kira yang akan diperkenalkan Sean? Tapi Kendra benar-benar tidak mempunyai petunjuk apa-apa. Dia sama sekali tidak tahu lingkup pergaulan Sean. Orang-orang seperti Sean bukanlah jenis teman yang diakrabi Kendra.
Kendra sudah pernah makan di beberapa restoran yang ada di gedung itu. Dia mulai bertanya-tanya, ke mana kira-kira Sean akan membawanya. Jawabannya datang tak lama kemudian. Begitu ke luar dari lift, mereka berhadapan dengan pintu masuk restoran yang menyajikan menu dari Korea.
Restoran itu dipenuhi dengan sofa-sofa nyaman berwarna merah cerah dengan meja persegi di depannya. Yang menarik, ada akuarium berbentuk bulat yang menempel hingga ke langit-langit. Akuarium itu diletakkan tepat di tengah ruangan.
Mereka baru saja duduk ketika seseorang bergabung di meja mereka. Sean tampak senang dengan kedatangan tamunya, pria matang yang wajahnya agak familier untuk Kendra. Sayangnya dia gagal mengingat siapa lelaki tersebut. Setelah Sean menyebutkan identitas tamunya, Kendra nyaris membenturkan kepala ke meja karena gemas pada dirinya sendiri.
" Ini Darien, kakaknya Maxim. Dia bintang fi lm terkenal, lho!" gurau Sean. Darien duduk di sebelah Sean, berhadapan dengan Kendra. Pria itu menyapa dengan sopan sekaligus ramah. Tanpa diminta, otak Kendra segera membandingkan sikap Darien dengan Maxim yang berbeda jauh.
" Darien ini yang ingin dijodohkan Tante Cecil padamu," Sean tergelak. Kendra menjadi salah tingkah. Wajahnya terasa panas dan bibirnya kesulitan untuk bicara.
" Tante Cecil cuma bercanda," kata Kendra akhirnya, dengan susah payah. Gadis itu menjadi benar-benar tidak nyaman. Dia sedang mengganggunya dan Darien yang hanya memperhatikan sambil tersenyum lebar.
" Itu artinya mamaku cukup menyukaimu," imbuh Darien akhirnya. Kendra mengerjap perlahan, tidak tahu harus bicara apa.
" Kalian jangan mengganggunya terus," seseorang tiba-tiba duduk di sebelah Kendra. Tanpa menoleh pun dia sudah hafal suara siapa itu. Kelegaan membuat senyumnya merekah.
" Lho, katanya kamu punya setumpuk pekerjaan dan tidak tertarik makan malam dengan kami," cetus Sean terang-terangan.
" Pekerjaanku sudah selesai," balas Maxim tanpa menjelaskan lebih rinci. Lalu perhatiannya beralih pada gadis di sebelahnya. " Apa kabarmu hari ini, Ken? Pemutar mp3-nya masih berfungsi, tidak?"
Kendra tidak bisa menahan geli jika mengingat bagaimana ekspresi yang terentang di wajah Maxim kemarin. Lelaki itu mirip orang yang baru terkena serangan panik karena dipecat dari pekerjaannya.
" Kabarku baik dan pemutar mp3 itu sangat sempurna. Kalau tidak, mana mungkin aku membelinya."
Pesanan mereka datang. Kendra memesan japchae, mi sohun dengan daging sapi dan irisan sayuran. Sementara Sean memilih maeuntang, sup ikan pedas dan sayuran yang dibubuhi pasta cabe merah. Darien sendiri tidak memesan apa-apa, beralasan masih kenyang.
" Ini mungkin makananmu yang paling memenuhi syarat untuk dikonsumsi," cetus Maxim sambil mencatat pesanannya sen diri.
" Itu karena aku bosan sekali mendengarmu mengeluh tentang apa yang kumakan," balas Kendra. " Eh, apakah aku sudah me-Maxim pura-pura bergidik. " Tolong, aku rela kamu suruh ke mana saja. Asal jangan ke tempat itu lagi. Apa kamu tahu kalau aku mimpi buruk tadi malam?"
Kendra tertawa geli. " Jangan berlebihan! Itu sama sekali tidak cocok denganmu, Max!"
" Aku serius! Apa kamu tidak bisa membayangkan apa yang harus kutanggung dalam waktu sehari kemarin? Makan siang di pesta pernikahan tanpa diundang. Dan ke toko loak dengan barang-barang aneh. Siapa sangka kalau ada orang yang memberi hadiah borgol, buku mantra, atau boneka seks? Atau, mungkin aku yang terlalu kolot, ya? Pantas saja kado seperti itu buru-buru disingkirkan oleh si penerima."
Kendra mulai menyuap makanannya dengan gerakan perlahan. " Itu karena kamu belum terbiasa. Aku dulu juga agak syok saat pertama masuk ke toko itu. Lama-kelamaan sih tidak merasa aneh lagi. Asal sabar memilih, banyak kok barang bagus di sana. Dan tentu saja murah," respons Kendra.
Maxim mengangkat kedua tangannya ke udara. " Oke, aku tidak akan berkomentar soal itu. Yang jelas, aku tidak akan mau menginjakkan kaki untuk kedua kalinya di sana."
Keduanya terus mengobrol, mengabaikan Sean dan Darien yang duduk tepat di depan mereka. Hingga akhirnya Kendra me nya dari kalau Sean bahkan belum menyentuh makanan yang dipesannya.
" Kenapa kamu belum makan, Sean?" Kendra menunjuk ke arah mangkuk yang belum disentuh.
Sean berpandangan dengan Darien. " Kami berdua sedang terpesona melihat kalian mengobrol begitu akrab. Berarti, Maxim yang menyebalkan itu tidak separah seperti yang terlihat, ya?" Lelaki itu menyeringai di ujung kalimatnya. Membuat rasa jengah begitu panjang, gadis itu membatu. Dia bahkan tidak berani mengerjapkan mata, apalagi bernapas. Tengkuk Kendra terasa dingin, tapi wajahnya seperti terbakar.
" Aku kan sudah bilang, jangan mengganggunya!" cetus Maxim. Suaranya datar dan tampak tidak terpengaruh dengan kata-kata Sean. " Sean, cepatlah makan! Supaya Kendra bisa segera menyelesaikan tugasnya. Ini sudah malam," imbuhnya.
Sean bicara pada Darien, seakan hanya mereka berdua yang ada di situ.
" Nah, sekarang kamu bisa melihat sendiri, kan? Awalnya, aku cuma agak curiga. Tapi ternyata ini lebih intens dibanding yang kukira."
Darien tampak terhibur, tawanya pecah. " Berarti, kesempatanku sudah benar-benar hilang, ya?"
Maxim menukas galak, " Kalian bicara apa, sih? Sean, jangan terus-menerus membuatku jengkel! Dan kamu kakakku, jangan ikut-ikutan menyebalkan! Bisa, kan?"
Kendra benar-benar menjadi tidak nyaman. Ini situasi yang sama sekali tidak bisa dibayangkannya. Akhirnya, gadis itu membuka mulut. " Sean, kalau waktunya kurang pas, aku bisa mengganti jadwal, lho!" Kendra membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat. " Di sini ada semua yang perlu kamu baca. Daftar kriteria dari pasangan yang diinginkan, juga kontrak yang harus dipelajari. Tidak rumit, kok!"
Sean menggeleng dan mendorong kembali amplop yang disodorkan gadis itu. " Waktunya sangat pas, santai saja."
Kendra belum sempat bereaksi saat Darien mulai bicara. " Aku tadi mendengar kalau ibumu baru meninggal. Hmmm, aku tidak pintar dalam berbasa-basi, tapi aku benar-benar turut berduka cita." Kendra berusaha keras agar bibirnya merekahkan senyum.
masih belum bisa menerima ucapan belasungkawa dengan gagah, ternyata. Gadis itu mendengar helaan napas berat di sebelah kanannya. Maxim. Tapi dia lega karena pria itu tidak mengucapkan sesuatu.
" Ceritakan tentang pekerjaanmu, Kendra. Aku baru mendengar sekilas dari Sean, tapi merasa tertarik. Seperti apa rasanya menjadi bagian dari upaya mencarikan jodoh orang lain?"
Karena Darien bertanya dengan gaya santai dan senyum yang tak luruh dari bibirnya, Kendra pun ikut rileks. Tanpa berpikir ulang, kisahnya pun meluncur. Ketenangan gadis itu pun kem bali.
" Awalnya sih karena aku membantu teman kuliahku, namanya Neala. Singkatnya, setelah wisuda aku akhirnya bergabung di Th e Matchmaker. Meski bukan pekerjaan yang sesuai dengan disiplin ilmu yang kupelajari. Aku seharusnya menjadi akuntan," tangan Kendra menjauhkan mangkuknya yang sudah kosong. " Sebenarnya, aku tidak berniat untuk bertahan di situ, kukira ini cuma batu loncatan. Namun kemudian pekerjaannya cukup banyak dan aku boleh dibilang tenggelam dalam kesibukan. Tidak punya kesempatan untuk mencari peluang lain. Tapi, bayarannya cukup memuaskan," urainya.
Darien dan Sean mendengarkan kalimatnya dengan penuh konsentrasi. Sementara Maxim sedang menghabiskan makanannya. Kendra mengira kata-katanya luput dari perhatian pria itu, tapi ternyata dia salah.
" Kamu belum menjawab pertanyaan kakakku, tentang seperti apa rasanya mencarikan jodoh orang lain."
Kendra melirik Maxim sambil mencebik. " Habiskan dulu makananmu, baru menginterogasi orang."
Maxim tampaknya ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian membatalkannya. Kendra kembali memandang dua pria di depan-Neala dan Pritha andai tahu kalau saat ini dia sedang dikelilingi oleh tiga orang pria menawan sekaligus.
" Kalau ada yang cocok dan bisa berlanjut setelah syuting, pasti rasanya akan sangat memuaskan. Ikut bahagia jika bisa membantu orang menemukan pasangan yang diidamkan. Sayang, selama ini boleh dibilang belum ada yang berhasil hingga menikah." Kendra menegakkan tubuh tiba-tiba. " Eh maaf, aku salah. Aku lupa, ada yang berpeluang besar untuk sukses, kok. Dia adalah contoh klien yang berhasil melanjutkan kencan setelah Dating with Celebrity berakhir dan mungkin akan segera menikah," tunjuknya ke arah Maxim. " Membuat rekor baru."
Maxim terbatuk-batuk begitu Kendra menyelesaikan kalimatnya. Merasa bersalah, gadis itu menepuk-nepuk punggung Maxim dengan lembut. Berusaha membantu agar batuk pria itu berhenti.
" Jangan makan dengan terburu-buru, Max!" katanya mengingatkan.
Sean menjawab dengan suara dipenuhi rasa geli, sehingga Kendra menoleh ke arahnya.
" Batuknya Maxim tidak berhubungan dengan makanan." " Oh ya?" Kendra kebingungan. " Jadi, kenapa?" Tidak ada yang bersedia menjawab pertanyaan polosnya. " Jadi Max, bagaimana hubunganmu dengan teman kencanmu itu? Siapa namanya, Sean?"
Maxim tampak kesal pada kakaknya. " Teman kencan apa? Kami cuma makan malam dua kali itu pun boleh dibilang kebetulan. Aku tidak enak menolak ajakannya terus-menerus."
Kendra menyela. " Bukannya tiga hari yang lalu kalian juga punya janji? Sepertinya sih bukan kebetulan kalau...." Maxim menukas dengan sewot. " Kendra, jangan sok tahu!" lagi marah. Siapa kemarin yang sudah membuat janji tidak akan bersikap menyebalkan?"
Maxim tak mau kalah. " Oke, memang aku yang berjanji. Tapi, mana bisa aku diam saja kalau kamu seenaknya menuduhku ini-itu? Tolong ya, jangan lagi menyebut-nyebut soal Dating with Celebrity atau Yudith!"
Kendra menatap Maxim tidak percaya, karena lelaki itu baru saja memarahinya di depan Sean dan Darien. Tak berdaya namun kesal, gadis itu akhirnya bicara pada dua pria di depannya.
" Andai kalian belum tahu, dia memang suka bertingkah seperti itu. Marah tanpa alasan jelas."
Sean menjawab sambil melirik ke arah Maxim. " Kamu salah, Kendra. Kami tentu saja sangat tahu tingkahnya. Membuat kesal, kan? Tapi biasanya sih dia selalu punya alasan untuk marah." " Kekanakan juga," timpal Darien dengan mata berkilat. " Dan nyaris seharian cemberut. Kurasa, lama-kelamaan dia bisa terkena kejang otot."
Darien dan Sean tertawa mendengar kata-kata Kendra. Hanya Maxim yang tidak. Dia kembali menjelma menjadi seorang perengut.
" Abaikan saja dia, mood Maxim sedang jelek," saran Sean. " Kamu tidak pernah ingin menjadi salah satu peserta?"
Kendra tertawa pelan. Membayangkan dirinya memperebutkan satu tiket ke babak prakencan demi seorang lelaki yang bahkan sama sekali tidak dikenal, rasanya memprihatinkan.
" Tidak, sama sekali. Aku bukan tipe orang yang akan melakukan hal seperti itu."
" Lho, kenapa?" Sean memajukan tubuhnya. " Kalau kamu meng ikuti seleksi, aku pasti akan memilihmu," cetusnya sambil " Kenapa aku merasa kalau kalian sedang menginvestigasi kehidupanku, ya?" Kendra mengabaikan Sean yang menurutnya bertingkah aneh. Pandangan beralih. " Jadi, kapan Mas Darien akan mengikuti Dating with Celebrity?"
Sean tergelak sambil menyikut Darien. " Kendra pun tahu kamu sudah terlalu tua. Dia barusan memanggilmu Mas , seharusnya sih lebih pas kalau Om . Aku sih...."
Maxim tiba-tiba bangkit sambil menarik tangan Kendra. " Kita. Perlu. Bicara. Berdua. Sekarang."
Bahasa Sukma
And you know
My Better Half Karya Indah Hanaco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
That s what our love can do
K endra bersyukur karena hari itu dia memakai sepatu kets.
Ditarik Maxim dengan kekuatan penuh tanpa sempat berpamitan sesuai standar sopan santun manusia beradab di depan Sean dan Darien, dia nyaris terjengkang hingga dua kali. Maxim boleh dibilang menyeretnya menuju lift. Kendra berusaha melepaskan tangannya karena merasa nyeri, tapi gagal total. Dia adalah si kerdil yang harus berhadapan dengan danawa.
" Maxim ... kamu kenapa, sih?" bentak Kendra kesal. Tadi dia bahkan nyaris gagal menyambar tasnya. Dan yang paling membuatnya malu, Darien dan Sean hanya menatapnya dengan ekspresi senang. Tidak melarang Maxim melakukan tindakan aneh itu.
" Maxim!" Kendra kembali memanggil pria itu. Tapi Maxim bergeming, mengatupkan rahang. Tatapannya lurus ke depan. Kendra bersyukur karena tidak ada orang lain di dalam lift. Dan dia sempat tergoda untuk meninju Maxim atau menendang tulang kering lelaki itu. Tapi, tentu saja Kendra tidak bisa benar-benar melakukannya. Bagaimana kalau Maxim ... terluka? Atau giginya benar-benar rontok? Kendra tidak bisa menahan senyum saat membayangkan gambar Maxim tanpa gigi depan.
" Kamu bisa tersenyum? Wah, pasti senang sekali rasanya digoda dua orang laki-laki genit tadi, ya?"
" Apa katamu?"
Terdengar suara denting khas yang menandakan pintu lift akan segera terbuka. Maxim kembali menarik tangan Kendra yang sejak tadi tidak dilepaskannya. Mereka memasuki kantor Buana Bayi. Kendra menutup mata, tidak ingin melihat Padma atau karyawan lain.
" Kamu ingin membuatku malu, ya?" Kendra mulai kehilangan kesabaran begitu Maxim menutup pintu ruangannya. " Karyawan di sini pasti bertanya-tanya, kenapa kamu seenaknya menyeretku ke sini."
" Duduk!" Maxim menunjuk ke arah sofa dengan gaya angkuh. " Aku benar-benar kesal padamu!"
Kendra memutar matanya, seakan Maxim baru saja mengucapkan kalimat yang paling tidak masuk akal.
" Kamu kesal padaku? Seharusnya, aku yang merasa kesal padamu. Kesalku sampai ke ubun-ubun, malah!" Kendra berdiri dan bercekak pinggang dengan marah. Dia tidak peduli meski harus mendongak agar bisa melihat wajah Maxim dengan jelas. Di kondisi normal, posisi seperti ini cukup menggaham keberaniannya. Menyadari dirimu jauh lebih pendek dari orang lain itu sungguh menyebalkan.
Maxim tampaknya tidak merasa terintimidasi dengan sikap menantang yang ditunjukkan Kendra. " Aku tidak suka melihatmu seperti tadi! Aku benci kamu berdekatan dengan orang lain, walaupun itu Sean atau kakakku! Aku kan sudah pernah memperingatkanmu agar menjauh dari Sean. Lupa? Dan aku juga tidak suka melihatmu tertawa genit di depan orang lain!"
Kendra mengangkat tasnya dan memukulkan benda itu ke lengan kanan Maxim. Meski sudah mengerahkan tenaga yang cukup besar, tampaknya pria itu tidak terganggu. Maxim tidak " Alasanmu apa? Kenapa kamu bertingkah aneh? Kenapa aku harus melakukan hal-hal yang kamu sukai? Apa yang salah dengan apa yang terjadi tadi? Kamu tuh yang amnesia! Aku bertemu Sean untuk urusan pekerjaan, bukan mau menebar pesona. Kamu membuatku terdengar seperti cewek genit yang...."
" Oke, aku salah di bagian tertawa genit itu. Aku minta maaf. Tapi di luar itu, aku takkan menarik kata-kataku," balas Maxim tegas. Tidak terlihat sekuku pun rasa bersalah di gerak-geriknya.
Kendra terdiam, berusaha keras mengambil jeda untuk mere dakan dentuman jantungnya yang seakan mengurangi kemampuannya untuk mendengar. Suara darahnya yang menderu-deru ikut menambah keributan di sekujur tubuh Kendra. Seharusnya, dia meninggalkan Maxim yang sepertinya sedang tidak waras. Tapi gadis itu tidak yakin kalau Maxim akan membiarkannya melewati pintu dengan aman.
" Maxim..." katanya dengan suara setegas yang Kendra mampu. " Selama ini, separah apa pun sikapmu, aku selalu bisa bertahan dan mengabaikannya. Tapi, hari ini aku sudah tidak mampu lagi bertoleransi. Aku datang menemui Sean untuk urusan pekerjaan, bukan seperti yang kamu gambarkan tadi. Kamu sudah menghinaku, meski aku tidak tahu salahku di mana."
Maxim menukas, " Aku tidak menghinamu! Aku menggambarkan apa yang kulihat, kok!" bantahnya keras kepala.
" Tapi, aku..." Kendra kehabisan napas sekaligus kata-kata. Suaranya merendah saat dia bertanya, " Oke, sekarang katakan apa masalahmu!"
Maxim tidak langsung menjawab. Lelaki itu malah maju dan menunduk, sehingga wajah mereka sejajar. Tatapannya menusuk, membuat Kendra mundur. Namun kakinya sudah membentur " Masalahku adalah ... sepertinya aku jatuh cinta padamu...." Lalu tanpa terduga, Maxim memajukan wajahnya dan mengecup ujung hidung Kendra.
Gadis itu membeku, merasakan bagaimana kata-kata Maxim seakan memberi efek bius pada dirinya. Juga kecupan yang tak diizinkan itu. Semesta seakan berhenti bergerak dan menghilang, hanya menyisakan Maxim yang berdiri di depannya dengan kening berkerut melihat ekspresi Kendra.
" Aku ... butuh minum...." Cetus Kendra tak terkontrol. Gadis itu lalu mengempaskan diri ke sofa dengan wajah bingung. Tangannya menyentuh hidungnya, merasakan seakan bibir Maxim masih menempel di sana.
Maxim meninggalkan Kendra dan kembali dengan segelas air putih yang diambilnya entah dari mana. Gadis itu segera meminum air yang disodorkan padanya hingga setengah gelas.
" Kendra ... kamu mendengarkan kata-kataku, kan?" tanya Maxim setelah gadis itu cuma berdiam diri puluhan detik. " Katakan sesuatu ... Tolong...."
" Kamu sungguh mengejutkanku. Bercanda pun tidak boleh keterlaluan, Max. Kamu benar-benar sudah mengganggu pekerjaanku malam ini. Aku harus menemui Sean lagi. Dan ... jangan seenaknya menciumku...!"
Entah dari mana Kendra mendapat kekuatan untuk berdiri. Tapi lututnya terasa goyah dan Maxim kembali menarik tangannya sehingga gadis itu terduduk lagi. Setelahnya, Maxim malah mengambil tempat di sebelahnya dan menyandera jemari kanan Kendra dalam genggamannya yang kuat.
" Kamu tidak akan menemui Sean atau siapa pun sebelum kita selesai bicara!"
" Ya, aku memang gila," aku Maxim blak-blakan. " Tapi kalau ada yang patut disalahkan, itu adalah kamu! Kamu yang sudah membuatku jadi gila. Kamu pernah menyadari itu?"
Kendra memandang Maxim dengan putus asa. Saat ini mungkin menjadi masa-masa paling berat baginya, setelah kematian Gayatri. Maxim ada di sebelahnya, mengaku memiliki perasaan untuk Kendra. Kondisi yang bahkan tak mampu diasumsikan Kendra akan terjadi meski cuma dalam mimpi paling brutalnya.
" Kamu barusan bilang sepertinya . Itu artinya kamu tidak jatuh cinta padaku, Max!"
" Aku yakin! Hanya saja tadi aku menggunakan kata yang salah," balas Maxim dengan kepala batu. " Aku ralat kata-kataku. Aku. Jatuh. Cinta. Padamu. Kendra. Elanith." Tatapan keduanya saling mengunci. Dan Kendra bisa merasakan seisi dadanya yang baru saja berhasil ditenangkan, mendadak riuh lagi.
" Kamu tidak mungkin jatuh cinta padaku. Kita ... sangat berbeda. Iya, kan? Kamu ... dan aku ... kita tidak cocok. Aku bukan cewek yang tepat untukmu. Aku...." Kendra mirip orang linglung.
Konsentrasinya yang pecah, teralihkan oleh remasan lembut yang diberikan Maxim di tangannya. Gadis itu kembali menatap lelaki di sebelahnya.
" Aku serius, Ken. Aku jatuh cinta padamu. Kenapa itu susah untuk dipahami? Dan kenapa kamu bilang kalau kamu bukan cewek yang tepat untukku? Standar siapa itu?" Maxim mengucapkan setiap kata dengan suara jernih.
Kendra menggeleng. " Kamu..." Gadis itu menegakkan tubuh saat sebuah ide menyusup ke dalam benaknya. " Aku tahu apa yang terjadi," ucapnya pelan. " Kamu melihat apa yang terjadi pada ibuku. Kamu tahu seperti apa kacaunya hidupku, keluargaku. Lalu ... kamu merasa kasihan padaku karena mungkin di matamu Maxim. Berlawanan dengan kata-kataku selama ini bahwa kamu menjengkelkan. Kamu merasa ikut bertanggung jawab untuk hidupku. Dan ... kamu mengira itu cinta. Ya, pasti seperti itu. Iya, kan?"
Kendra berusaha menampilkan keceriaan palsu saat mengucapkan kalimat-kalimatnya. Sementara Maxim justru tampak makin bertambah kesal.
" Siapa bilang aku kasihan padamu? Memangnya aku tidak punya pekerjaan lain sehingga harus mengasihanimu? Kamu kok memandang diri sendiri terlalu inferior, sih?"
Gadis itu menggeleng, seakan dengan begitu semua pengakuan Maxim tadi berubah menjadi mimpi belaka. Tapi ini memang kenyataan. Maxim duduk di sebelahnya, dengan ekspresi paling serius yang pernah dilihat Kendra. Juga dengan tangan yang menggenggam jemarinya dan tidak memberi kesempatan untuk membebaskan diri.
" Jangan seperti ini, Max! Tolong...!"
" Apa maksudmu? Apa menurutmu aku tidak boleh jatuh cinta padamu?"
Kendra menggigit bibirnya hingga terasa nyeri. " Bukan begitu!"
" Lalu apa?"
" Ini ... terlalu rumit. Kamu dan Yudith...."
" Astaga! Berapa kali sih harus kuulangi? Aku dan dia tidak punya hubungan apa-apa. Begini, kamu ingat waktu mengeluhkan sikapku yang marah tanpa alasan?"
Kendra mengangguk. " Tentu saja aku ingat. Saat audisi dan saat syuting prakencan."
" Kamu tahu sebabnya? Itu karena aku kesal padamu. Aku pernah bilang kalau sikapku ada alasannya. Ingat?"
" Saat audisi, aku mencium tanganmu, tapi kamu menuduhku gila. Memintaku tidak berbuat aneh-aneh kalau tidak ingin kamu mundur. Seingatku, aku pernah bertanya padamu, apa kamu memang menginginkanku mengikuti acara Dating with Celebrity. Dan kamu membenarkan. Masih ingat juga?"
" Tentu," balas Kendra dengan isi benak yang ribut menebaknebak.
" Oh ya, sebelum itu aku pernah memintamu ikut audisi, kan? Tapi kamu menolak mentah-mentah. Lalu saat syuting prakencan, kamu merekomendasikan Yudith. Kamu berharap supaya kencanku berjalan lancar dan segudang omong kosong lainnya. Itulah yang membuatku marah. Kamu mendorongku untuk menjauh darimu dan berkencan dengan entah siapa. Aku frustrasi," Maxim menyugar rambut dengan tangannya yang bebas. Kegemasan tergambar dari setiap geraknya. " Tapi aku berusaha untuk melakukan semuanya. Karena kamu memang menginginkan begitu."
Kendra tidak tahu harus mengucapkan apa. Dia tidak bisa memberi respons yang wajar karena otaknya berkabut. Gadis itu gagal berpikir dengan jernih. Pengakuan Maxim adalah salah satu kejutan terbesar yang pernah diterimanya. Kendra tidak pernah punya persiapan mental untuk berhadapan dengan hal seperti ini. Maxim, meski baru membuat pengakuan menggemparkan, adalah bintang yang takkan mungkin bisa terjangkau oleh jarinya.
" Aku tidak punya pengalaman banyak soal asmara. Aku belum pernah harus mengejar-ngejar seorang gadis. Aku bahkan tidak tahu bagaimana harus bersikap di depanmu. Kalau akhirnya aku cuma bisa marah, itu karena lebih mudah seperti itu. Aku tidak mungkin bisa membujuk dengan kata-kata manis. Aku cemas, kamu bisa muntah kalau mendengarnya." Maxim menghela napas. Keheningan mengapung di segala sudut. Dengan tangan kanan mengumpulkan akal sehatnya. Maxim sudah memberi impak mengerikan bagi tubuh dan benaknya. Gadis itu bahkan khawatir jantungnya akan meledak karena terus-menerus membuat suara dentuman nan cepat.
" Kendra ... jangan diam saja! Bicara sesuatu, tolonglah! Tapi, bukan kata-kata yang akan mengecewakanku, ya?"
Pengemis Binal 03 Bidadari Lentera Merah Pendekar Slebor 07 Pusaka Langit Pendekar Naga Putih 69 Tokoh Buronan
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama