Not Until Karya Violita Bagian 2
77 51
Ketika Nana memeluknya tadi, ada semburan rasa senang yang tak bisa ditahannya. Perutnya seperti melepaskan ribuan kupukupu. Hatinya membuncah riang. Dio terus menatap wajah Nana yang gembira.
Itu pertama kalinya Dio melihat Nana bahagia.
" Lho? Kalian udah ngumpul aja di sini?" Dio terkaget saat melihat Aga, Nathan, Stevan, dan Karisa berada di teras rumah Aga. Mereka berempat sepertinya siap pergi.
Aga berdecak pelan. " Lo lama banget, tahu nggak?" Dio mengacak rambut, kemudian tersenyum lebar. " Tadi gue makan dulu di jalan. Sorry& " Dio memandang Karisa. " Eh& lo kok bisa tahu rumah Aga, Sa?"
Nana yang ada di belakang Dio hanya diam melihat teman-teman yang kesal dengan keterlambatan mereka.
Dio melirik Nana sekilas, sepertinya sikap gadis itu kembali seperti semula. Tidak apalah, daripada membuatku kesulitan bernapas, pikir Dio. Bayangan Nana tersenyum lebar melintas di kepalanya.
Karisa tertawa mendengar pertanyaan Dio. " Gue dijemput Stevan. Kenapa emang?" tanyanya balik.
Dio memandang Stevan penuh tanda tanya. " Kalian lagi ngedate, ya?" tanyanya, membuat Stevan dan Karisa saling pandang dan kemudian menatap Dio dengan pandangan tak mengerti.
" Lho? Lo lagi curhat ya? Bukannya yang lagi pendekatan itu lo sama Nana?" balas Stevan sok tenang.
Darah Nana berdesir saat mendengar namanya disebut Stevan.
Dio langsung melirik ke belakang, tapi Nana malah mengalihkan
78 51
pandangannya ke taman bunga di bagian depan rumah Aga, pura-pura tidak peduli.
Stevan terkekeh pelan saat melihat Dio salah tingkah. Dia paling mengenal Dio dan tahu apa yang terjadi di antara kedua temannya itu.
" Deket bukan berarti lagi pendekatan," sanggah Dio cepat. Stevan berdecak ringan. " Terserah lo deh mau jelasinnya gimana."
Perjalanan menuju Kawah Putih termasuk panjang. Nana dan Karisa kelelahan hingga tertidur. Aga asik bermain PSP, sedangkan Nathan memejamkan mata sambil mendengarkan musik.
" Bensin lo mepet nih. Nanti setelah Pertamina depan, gue aja yang nyetir," tawar Stevan yang duduk di sebelah bangku kemudi.
Dio hanya manggut-manggut. Menjadi sopir perjalanan ini dan suasana mobil yang sepi lantaran tidak ada yang berani mengobrol karena trauma pada kesan pertama Nana yang bilang dengan juteknya " boleh gue minta ketenangan" membuat Dio mengantuk. Dia suka mengobrol saat melakukan perjalanan. Namun saat dia membuka mulut beberapa jam lalu, Aga dengan polos mengiriminya pesan singkat:
Jangan ribut. Nana suka ketenangan.
Sekarang, selagi Nana tidur, Dio meminta Stevan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi saat mereka menjemput Nana di bandara beberapa bulan lalu. Stevan menceritakan dari awal
79 51
sampai akhir dengan ekspresi yang& bisa membuat orang terbahak. Tentu saja tawa Dio disetel pada volume kecil.
Karisa terbangun karena mencium bau bensin. Gadis itu membuka mata lebar-lebar. Dia menengok ke belakang, melihat Nathan dan Aga asyik dengan aktivitasnya masing-masing. " Lo udah bangun, Sa?" sapa Stevan.
Karisa hanya mengangguk, kemudian memandang Stevan ragu. " Gue pengin ke toilet bentar ya, Van. Tungguin gue."
Tentu saja Karisa pasti ditunggui. Mana mungkin mereka melanjutkan perjalanan tanpa Karisa. Kalaupun mereka akan pergi tanpa Karisa, Stevan-lah yang pertama kali protes. Ups, Stevan tertegun, sadar akan sesuatu. Mmm&
Ide melintas di otak Stevan. Ia tersenyum saat melihat Karisa berjalan mendekati mereka. " Lo nggak ngantuk, Yo? Masih dua jam lagi lho sampainya. Lo duduk di tengah aja deh sama Nana, biar Karisa nemenin gue di depan."
Dio memang lelah dan mengantuk. Dengan cepat dia membuka pintu, turun, lalu membuka pintu tengah, duduk di samping Nana, langsung menyandar dan memejamkan mata.
Ketika kembali Karisa tertegun karena kursinya diduduki Dio. Ia menatap Stevan dengan bingung. Stevan terkekeh pelan dan membukakan pintu depan untuknya.
Sebenarnya& ada apa sih? Karisa bertanya-tanya dalam hati.
Nathan dan Aga yang duduk di paling belakang masih terus menahan cekikikan. Mereka berusaha tidak membangunkan dua teman mereka di depan.
Stevan yang mengendarai mobil ingin menyemburkan tawa. " Ntar kalau Nana marah gimana?" Karisa menyesali perbuatannya.
80 51
Dipegangnya hasil foto kamera Polaroid yang dibawa Stevan, mengibas-ngibasnya ke arah belakang.
Stevan menggeleng. " Yaela, Sa, kita kan nggak akan nunjukin ke Nana. Kita cuma mau ngeliatin ke Dio. Hahaha& " Stevan kelepasan tertawa keras.
Dan ternyata sukses membangunkan Nana. Gadis itu merasa kepalanya berat. Oh! Apakah dia tidur sebegitu lamanya hingga membuat kepalanya...
Apa? Nana langsung menoleh ke samping.
Sejak kapan dia tidur di bahu Dio dan Dio menumpukan kepalanya di kepala Nana?
" Baru bangun, Na?" ujar Stevan menahan tawa, melirik Nana dari kaca spion.
" Hahaha& " Aga dan Nathan tak tahan lagi. Tawa mereka meledak seketika dan sukses membuat Nana menunduk, menahan malu.
Baiklah, itu pertama kali Nana benar-benar malu. Tadi seingatnya yang duduk di sebelahnya adalah Karisa. Dan? Ah& kenapa Karisa berada di depan?
Nana menyikut Dio pelan. " Dio& kepala lo berat banget sih." Dia menyikut Dio hingga membuat cowok itu menggerakkan kepala.
" Nggak bakal bangun kali, Na. Dio kan kebo," komentar Nathan sambil terkikik dari belakang.
Nana menggeser duduknya pelan, memberi ruang di antar dirinya dan Dio.
Nathan dan Aga masih memperhatikan dari belakang. Nana menghela napas, kemudian memfokuskan mata ke arah tulisan " Kawah Putih" yang terpampang besar-besar di depan sana.
81 51
" Sampai jugaaaaaa..." Karisa berteriak sambil merentangkan lengan.
Nana berdiri di samping Karisa. Dia menutup mata, kemudian menghirup napas dalam-dalam, menikmati udara segar. Tempat wisata itu tidak jauh berubah rupanya.
Udara siang itu begitu cerah. Memang paling indah datang ke Kawah Putih saat hari cerah. Tak ada kabut. Keenam remaja itu menyusuri tangga untuk mencapai Kawah Putih. Nana beberapa kali menghirup napas dan terus mengedarkan pandangan ke sekeliling.
" Kalau udah sampai di bawah, jangan dalam-dalam hirup napasnya. Yang ada ntar lo malah hirup belerang."
Nana menoleh ke samping. Dio berjalan beriringan. Nana mengalihkan pandangan ke depan, terlihat Aga, Karisa, Stevan, dan Nathan berjalan jauh di depan. Ia menggeleng pelan. Sepertinya mereka sengaja membuat Nana terus-terusan bersama Dio.
" Dio& Nana& sini kami foto," ujar Karisa melambai-lambai dari atas.
Nana mengangguk, mempercepat jalannya. Klik.
Nathan segera mengambil SLR dan melihat hasilnya. Foto yang dapat menjelaskan segalanya. Stevan dan Aga menghampiri Nathan, ikut melihat hasil foto tersebut. Di foto terlihat betapa Nana tersenyum lebar. Gadis itu benar-benar cantik.
" Ini& mata gue nggak salah, kan?" ucap Aga sambil mengucekngucek mata.
" Gilaa& gue baru sadar pesona Dio segitu parahnya," kagum Stevan.
Nathan dan Aga spontan tertawa.
82 51
Dio yang menyadari keusilan teman-temannya bergegas menghampiri mereka.
Nathan segera mengambil posisi. " Mmm, Karisa, Nana, latarnya bagus, kalian nggak mau foto berdua?"
Satu foto lagi. Dan kali itu Nana hanya tersenyum manis. Aga menyenggol lengan Dio dengan sikunya. " Na& kita foto berdua yuk," ujarnya bersiap lari menuju Karisa dan Nana.
Dio melotot ke arah Aga. Apa maksudnya? Dia langsung menatap Nana dengan pandangan " Jangan-mau-Na" . Nana yang tak bisa mengartikan tatapan Dio, malah mengangguk.
" Ah, sial, gue kecolongan," rutuk Dio sambil mengacak rambut.
Stevan yang mendengar itu nyengir. " Tinggal foto lagi aja kali, Yo. Ribet banget sih hidup lo."
Dio mengernyit. Sejak bangun tadi, dia mencium sesuatu yang tak beres di antara teman-temannya. Mereka kompak melirik-lirik Dio, kemudian tertawa, seolah menggoda. Dio melihat sesuatu menyembul di kantong belakang celana Nathan.
Dengan cepat Dio mengambil kertas itu. Ternganga. Astaga! Itu kan fotonya bersama Nana saat di mobil dan dengan posisi kepala mereka saling menumpu.
Stevan yang berada di belakang Dio langsung tertawa melihat Dio menatap fotonya lekat-lekat. Saat sadar Nana menatap aneh ke arah mereka, Stevan menahan tawa.
Wajah Dio berubah menjadi merah padam dan masam.
Mereka menghabiskan waktu sekitar satu jam di Kawah Putih. Setelah puas menikmati keindahan alam yang unik dan segar itu, enam remaja tadi melanjutkan perjalanan ke Bandung.
83 51
Nana memasuki kota kelahirannya dengan nanar. Bandung punya sejuta kenangan untuknya, sejuta kebahagiaan, sejuta kepahitan.
Nana begitu hafal jalanan yang dia lalui saat itu. Dia tak akan bisa melupakan, di kota itu& semuanya terbentuk.
Saking dingin dan lapar, mereka memutuskan makan di restoran siap saji. Nana pernah mengunjungi restoran pilihan temantemannya itu. Tanpa ada yang menyuruh, Nana langsung berjalan menuju tempat duduk kosong favoritnya. Dia bersama Livia sering ke situ dulu. Dan selalu duduk di tempat itu. Nana menutup mata saat duduk di meja bernomor 12. Kenangan muncul tanpa diundang.
" Kenapa milih duduknya jauh amat sih?" Sehabis bertanya begitu Dio terpana menatap pemandangan di luar restoran. Jalanan dan lampu-lampu kendaraan bermotor membuat tempat duduk itu terasa strategis karena semua terlihat memesona. Juga deretan rumah penduduk yang memancarkan cahaya. Tentu saja semuanya terlihat jelas mengingat lokasi restoran tersebut lebih tinggi daripada jalan raya. " Pilihan lo oke juga, Na."
Nana melempar pandangan " makanya-jangan-protes-dulu" pada Dio.
Aga berdecak kagum. " Gue pernah sih ke sini, tapi nggak tahu ada tempat duduk sestrategis ini," komentarnya sambil mengambil tempat di depan Nana.
Nana mengangkat alis. " Lo pernah tinggal di sini?" tanyanya. " Lho? Emangnya lo nggak tahu?" Aga balas bertanya. Nana menggeleng.
" Gue SMP di sini, Na," ucap Aga seraya membuka buku menu.
Sedangkan Nana hanya manggut-manggut. " Gue ke toilet dulu
84 51
ya." Ia beranjak, berjalan santai menuju toilet. Benar, semua yang dia lalui di situ memberi kenangan tersendiri. Mana mungkin dia tak tahu tempat duduk strategis kesukaan saudara tirinya dulu? Nana menghela napas. Berusaha mengusir kenangan yang tak ingin diingatnya.
" Eh, lo liat-liat dong kalau jalan. Baju gue jadi ketumpahan nih."
Nana menghentikan langkah saat mendengar pertengkaran kecil di depannya. Rasanya ia mengenal suara tadi. Ia mengangkat kepala dengan cepat dan memandang punggung orang yang memarahi pelayan restoran itu.
Orang tersebut berbalik dan spontan membelalak. Nana yang tak kalah kaget menantang mata tersebut dingin. " Nana."
" Livia."
Dua saudara tiri kembali bertemu.
85 51
ANA masih memilih bungkam. Bahkan hingga beberapa hari berlalu sejak pertemuan singkatnya dengan Livia, dia masih memilih tak banyak bicara. Pikirannya meracau tidak jelas sejak pertemuan itu, terbagi-bagi, dan dia tak bisa mengatasinya satu per satu. Ya, ia membenci pertemuan singkat itu. Dia membencinya hingga benar-benar kesal saat memikirkannya.
Sungguh, Nana merasa sedang mempertaruhkan harga dirinya.
Dia membenci Livia yang menghancurkan kepercayaannya. Menyakitkan.
" Kenapa lo belum makan?"
Nana menoleh ke kanan, terlihat Dio melahap burger isi keju dan mayones dengan daging sapi panggang.
86 51
Lagi-lagi Nana menghela napas.
" Wajah lo mendung lagi. Mirip langit musim dingin," tutur Dio di sela-sela makan.
Nana menautkan kedua alis, tak mengerti.
Dio dengan santai menyeruput jus jeruk, melirik Nana yang masih terpaku. " Walaupun ada matahari, hawanya masih dingin." Nana berdecak. " Gue nggak ngerti."
Dio tersenyum. " Cuma pencinta langit kayak gue yang ngerti."
Nana diam. Mereka hanya makan berdua. Iya, akhir-akhir itu mereka merasa dikucilkan Aga, Nathan, Stevan, dan Karisa. Entah apa tujuan sikap teman-teman mereka itu. Nana tidak mengerti.
Sejatinya apa yang Nana alami bukanlah apa yang dia prediksi. Dia sedikit kewalahan, benar. Ditambah lagi dengan perasaan baru, ah perasaan yang baru muncul dari hatinya pada pemuda di sampingnya itu.
Nana tak ingin menyimpulkan lebih awal. Dia tak mengerti kondisi badannya yang aneh saat bersentuhan dengan Dio. Oh, tidak. Itu bukan semacam genggaman atau pelukan. Kadang kala, saat Nana berjalan, kulitnya dan kulit Dio tak sengaja bersentuhan. Dan itu memberikan efek khusus pada dirinya.
Nana menggeleng. Tujuannya datang ke Jakarta bukanlah untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan perasaan. Dia harus secepatnya belajar secara otodidak mengenai perusahan dan bisnis. Setelah itu dia akan melancarkan rencananya untuk.... Ah, sepertinya dia harus belajar lebih jahat sedikit lagi. Agar nanti saat tiba waktunya, dia tak kewalahan.
Nana harus mematikan perasaan bersalah.
Nana mengangkat alis saat melihat Deva berlari terburu-buru ke arah mereka. Bahkan belum sempat mengatur napas, Deva
87 51
berkata tersengal-sengal, " Yo, A-Acha jatuh pas main basket, di ruang kesehatan sekarang."
Seketika burger di mulut Dio langsung tertelan, membuat pemuda itu tersedak, dan mencari air.
Nana langsung menyodorkan air kemasan yang memang ada di sebelah kirinya. Ia tertegun. Acha? Jatuh?
" Serius lo?!" teriak Dio, berdiri seketika, membuat Nana mengejang karena kaget.
Deva hanya mengangguk, lalu berbalik arah, sangat khawatir, diiringi langkah Dio yang ikut meninggalkan kantin.
Diam-diam Nana menatap punggung Dio yang menjauh. Ada yang mengentak di hatinya. Saat nama Acha disebut, Nana merasa dirinya langsung dilupakan Dio.
Ah, itu bukan cemburu, tapi sakit hati. Nana menggeleng. Dia tak harus sakit hati, kan?
Memangnya kenapa kalau Dio menganggap Acha yang sedang luka sebagai prioritasnya?
Tak ada yang salah, kan?
Tapi kenapa Nana ingin menangis?
Aga mematikan lagu yang diputar melalui headset saat melihat Nana berjalan murung. Aga bukan orang yang mengerti emosi. Tapi untuk orang seperti Nana, perubahan signifikan itu terlalu tampak, sehingga mudah dimengerti siapa pun.
Nana bukan orang yang pandai menyembunyikan perasaan. Walaupun cenderung tak menanggapi, Aga yakin Nana tak pandai berbohong. Saat ke Kawah Putih beberapa hari lalu, walaupun tanpa emosi suka, raut wajah Nana begitu cerah. Menggambarkan dia bahagia. Saat dulu Dio membentak Nana, raut wajah gadis itu
88 51
berubah mendung. Begitu mendungnya, namun ia tak menyangka gadis itu nekat melakukan percobaan bunuh diri.
Apakah Nana sedih sekarang? Aga bertanya-tanya. Saking sibuknya memikirkan Nana, dia tak sadar gadis yang dipikirkannya itu hanya berjarak beberapa langkah darinya.
Nana menatap Aga dengan aneh, seolah Aga spesies yang baru ditemukan. Gadis itu terlihat bingung, bukan karena tersedot ketampanan Aga. Pikirannya memang kacau sejak tadi. " Mendung ya?"
Nana spontan menengadah, melihat langit. Dia mengernyit saat mendapati langit cerah-cerah saja.
Tanggapan Nana membuat Aga spontan tertawa. " Bukan langitnya, tapi lo." Ucapan itu membuat Nana menatapnya tak mengerti. Aga berdiri di samping Na" na, tertawa lebih keras, seolah baru saja menemukan kebahagiaan. " Lo lagi mendung banget ya? Keliatan banget awan-awan hitam menyelimuti wajah lo."
Nana menggeleng, tak berniat menanggapi ucapan Aga. Ia tak ingin perasaannya yang tak keruan malah semakin membuat runyam keadaan.
" Beda banget warna wajah lo dengan saat kita pergi ke Kawah Putih."
Nana berjalan pelan. Terserah saja Aga mau komentar apa, dia tak ingin menjawabnya. Lagi pula, ia tak mengerti hal yang Aga bicarakan. Mungkin tepatnya: Nana tak mau mengerti.
Aga menyusul Nana. " Lo mirip banget sama langit saat musim dingin deh, Na."
Nana menoleh. Ucapan Aga membuatnya teringat sesuatu. Membangkitkan sesuatu yang berusaha dia kubur dalam sudut pikirannya.
89 51
" Wajah lo datar dan sering mendung. Tapi saat wajah lo cerah, entah kenapa, membuat orang-orang di sekeliling lo bahagia."
Nana hanya diam. Musim dingin ya? Seketika wajah Dio mengambang dalam pikirannya, membuat hatinya berdesir. Tadi pemuda itu juga mengumpamakan dia dengan musim dingin.
Aga dan Nana menyusuri jalan menuju kelas dalam diam. Setelah mengeluarkan terlalu banyak komentar, Aga memilih diam.
Tanpa mereka sadari, Dio berjalan di belakang mereka, bersama dengan pikiran kacau yang dibawanya dari UKS. Tadi saat Dio masuk, wajah Acha masih pucat dan terlihat menahan sakit. Tubuhnya lemas. Tentu saja Dio panik. Bagaimana mungkin tidak khawatir saat terjadi sesuatu pada orang yang dia sayangi? Dio tersadar dari lamunannya saat suara lembut Nana memenuhi gendang telinganya.
" Aga," panggil Nana, terdengar Dio, " Mendung nggak berarti mau hujan, kan?"
Aga hanya mengangguk.
" Begitu juga manusia. Kalau wajahnya muram, belum tentu dia lagi sedih. Dan... sejujurnya gue nggak terlalu suka langit musim dingin."
Aga tertegun mendengar penuturan gadis dingin itu. Nana masuk ke kelas duluan, meninggalkan dua pemuda yang terdiam karena kata-katanya.
Dio mengangkat alis, posisinya masih di belakang Aga. Satu pertanyaan mengusik pikirannya, menyingkirkan segala kekhawatiran yang berkecamuk dalam dirinya: Sejak kapan Nana dan Aga dekat?
90 51
Nana memandang Dio tidak suka. Sehabis ditinggal di kantin begitu saja, entah kenapa dia ingin marah-marah pada cowok itu. Tak peduli Dio mengerti atau tidak. Dia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya kesal, dan sebaiknya mereka tak bertemu dulu.
Kesal? Kesal yang tak beralasan!
Selesai pelajaran Dio menghampiri Nana. Membuat Nana kaget, namun memilih membuang wajah ke arah lain.
" Lo marah sama gue?" tanya Dio to the point. Membuat anakanak di kelas mengalihkan pandangan ke arah mereka, merasa terhipnotis dengan suara lantang Dio.
Nana tetap membuang muka. Sebisa mungkin dia menutup telinga rapat-rapat agar tak mendengar penuturan Dio selanjutnya. Dia tak tahu kenapa dia kesal. Saat melihat wajah Dio, darahnya langsung naik ke puncak kepala.
" Ya udah, kalau lo nggak mau ngomong sama gue lagi. Gue ke UKS liat keadaan Acha dulu."
Ucapan Dio membuat Nana berdiri sambil menyandang tas. " Bukan urusan gue!" balas gadis itu sengit sambil berjalan menuju pintu kelas.
Aga, Stevan, dan Nathan langsung menghampiri Dio yang masih terpana akan perubahan sikap Nana beberapa jam itu.
" LagiS kali," bela Aga berusaha netral. Tangan Aga berada di bahu Dio.
Mendengar suara lantang Aga dari belakangnya membuat Dio kehilangan kendali. " Ah, berisik!" Ia berjalan ke luar kelas dengan kaki yang sengaja dientak-entakkan.
Aga termenung. Kenapa hari ini semua orang hobinya marahmarah? " Gue nggak tahu hari ini Hari Marah Sedunia," ucap Aga menggeleng-geleng tak paham.
91 51
Nathan dan Stevan menjitak kepala Aga pelan. " Berisik!" ucap keduanya bersamaan, menirukan gaya ucapan Dio tadi.
Dio mendorong pintu UKS dengan sedikit kasar. Bunyi decitan keras membuat orang di dalam ruangan tersebut langsung menoleh ke arahnya karena kaget. Baru saja masuk selangkah, pemuda itu membulatkan mata tatkala pandangannya tertancap pada mata pelangi itu.
Ah, mata pelangi?
Dio tak tahu sejak kapan dia mulai menyebutnya mata pelangi. Hari itu, ya& saat mereka berlibur bersama, Dio melihat jelas di mata Nana ada pelangi. Warna-warni itu terpancar indah saat gadis itu bahagia.
Sayangnya mata itu kembali tertutup mendung. Dio merasa pandangan Nana seperti hujan. Badai bahkan. Dingin dan mengerikan.
Nana mengalihkan pandangan ke arah Dio, melirik Acha sebentar, kemudian mundur beberapa langkah. Nana membungkuk cepat, lalu segera meninggalkan dua orang tersebut tanpa memandang keduanya.
Dio berpikir, apa yang dua gadis tak saling mengenal itu bicarakan?
Saat Dio melangkah ke dalam, Acha menyambutnya dengan senyuman manis. Senyum yang dulu membuat Dio bahagia, tapi sekarang kebal rasa, tak merasakan apa-apa lagi. Senyum yang dulu membuatnya rindu berlarut-larut, sekarang tak berarti lagi.
Semua berubah begitu cepat hingga tak menyisakan bekas. Sampai-sampai Dio sendiri tak menyadari bahwa perubahan itu begitu besar.
Dio mengusap tangan Acha, tersenyum membalas senyuman
92 51
gadis itu. Yang Dio tidak tahu, senyumnya masih bisa menggerakkan partikel-partikel hati Acha untuk bergerak lebih cepat. Senyumnya masih menawarkan kebahagiaan tersendiri bagi yang menikmati, walaupun yang terjadi pada diri Dio justru sebaliknya. " Udah nggak apa-apa?" tanya Dio, menandakan kekhawatiran. Acha mengangguk layaknya anak kecil. Anak kecil yang mencari perlindungan untuk berteduh.
" Kamu bakalan tepatin janjimu buat jagain aku, kan?" tanya Acha.
Dio terdiam, tubuhnya kaku. Dia tak mampu menjawab. Bahkan untuk satu huruf pun. Ia menghela napas panjang, kemudian menatap gadis di depannya. Bibirnya terkunci rapat. Wajah gadis lain melintas cepat di kepalanya.
Kenapa Dio menghadapi dilema? Sejak awal, bukankah dia memang hanya menginginkan gadis di depannya ini? Selama bertahun-tahun dia menjalani kasih bersama Acha. Bukankah dia hanya menginginkan Acha?
Lalu apa arti Nana? Apakah hanya sebagai pelampiasan? Dio membantah dua bisikan yang terus menggema di otaknya. Tidak. Dia tidak menjadikan siapa pun sebagai pelampiasan. Dia tak menjadikan siapa pun berharap kepadanya. Tapi kenapa dia menjadi bingung saat Acha menanyakan hal itu?
Dio mengalihkan pandangan kepada Acha. Gadis itu masih menunggu jawaban. Dia harus mengambil keputusan dengan cepat. Perasaan itu tak boleh terus dibiarkan membelenggu hingga ke dasar jurang.
Dio memantapkan hati, kemudian mengangguk. Senyuman Acha melebar seketika.
Tanpa sadar Dio berjanji kepada anak kecil. Dia tak tahu, apa jadinya jika dia melanggar janji itu suatu saat nanti.
93 52
Nana memainkan ujung jari. Itu minggu kedua dia tak berhubungan dengan Dio. Mereka tak bertegur sapa, tak saling berkomunikasi, dan juga tak saling menatap lagi.
Dia tak tahu apa yang terjadi dalam dirinya. Semua mengalir begitu saja. Tindakannya yang menolak kehadiran Dio diperkuat dengan tingkah Dio, yang sepertinya menolak kehadirannya juga. Mereka saling menjauh.
Tak biasanya Dio langsung mengalihkan mata saat Nana menoleh ke arahnya. Dan Nana tak begitu peduli mungkin karena dirinya juga bertekad kuat untuk lari dari kejaran Dio. Sekarang dia tak perlu kerepotan berlari karena pemuda itu lebih dulu berhenti.
Entah angin apa yang bertiup ke arahnya, Nana merasa kehilangan. Ia baru pertama kali merasakan hal itu. Perasaan tidak suka timbul saat melihat Acha berada di depannya ketika jam makan siang, juga saat Dio mengacak rambut Acha pelan. Pemandangan itu begitu memuakkan.
Mungkinkah Nana hanya pelarian kala kerumitan melanda hubungan dua orang itu?
Benarkah?
Nana menggeleng pelan, mencoba tak peduli. Dia tak ingin keadaan menjadi lebih rumit. Dia membenci air mata. Air mata adalah tanda kelemahan, yang dulu sempat dia tumpahkan berhari-hari kepada orang yang tak pantas disebut manusia. Sungguh dia membenci air mata, air mata siapa pun itu, temasuk linangan air mata Acha saat bertemu dengannya dua minggu lalu di UKS.
Nana gamang. Itu baru pertama kali, sejak Fanny mengatakan bahwa Acha ingin berbicara dengannya di UKS. Ia menggigit bibir
94 52
bawah, kemudian tangannya mendorong pintu UKS dengan cepat. Menampilkan sosok Acha yang tertidur lemah di sana.
Nana tak memungkiri gadis itu manis, bahkan lebih manis daripada dirinya. Garis wajahnya menampilkan kelembutan, berbeda dengan dirinya yang selalu menampilkan ekspresi keras. Tinggi semampai, dagu tak begitu runcing, bibir mungil, dan hidung mancung yang dimiliki gadis itu membuatnya betah membandingkan dirinya dengan Acha.
Not Until Karya Violita di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kenapa Nana jadi seperti itu sih? Membandingkan dirinya dengan gadis lain!
Acha membuka mata pelan. Saat mata Acha bertemu dengan matanya, Nana tersenyum masam, dan berdiri kaku di tempatnya, tak berniat mendekat.
Tatapan Nana berubah saat Acha menampakkan wajah serius. Dalam hati ia mengakui keberanian gadis itu untuk memanggil dirinya ke UKS.
Nana menyipit, membalas sorot mata Acha yang mengeras. Membuktikan bahwa sebenarnya dia rival.
Rival?
Untuk apa?
Nana berpikir keras, namun tak berhasil menemukan sesuatu. Acha menangis. Setitik air mata keluar dari pelupuk, kemudian berlanjut hingga pipinya basah.
Nana mundur selangkah. Bayangan Livia yang menangis menguasai penglihatannya. Dia masih mengingat bagaimana saudarinya itu menangis, kemudian tanpa ragu mengusirnya.
Nana menggeleng. Tak seharusnya kenangan itu membuatnya trauma. Ya, ada rasa sakit saat Nana mengingat Livia. Yang tak bisa ia jelaskan. Yang membuatnya mengepal, yang sakitnya sampai pada aliran darah.
95 52
Acha yang terisak membuka mulut. Dia tahu Nana tegang, terlihat dari pancaran matanya. " Gue sama Dio& saling suka, sejak awal kami ketemu, kelas 8 SMP."
Nana tetap tenang. Membiarkan Acha melanjutkan ucapannya. Dia sebenarnya kaget saat bayangan Livia dengan semua keluarga gadis itu mendadak menyergap.
Pikiran Nana tak fokus. " Na."
Ada yang memanggil namanya. Na& Na& Pembawa sial. Nana mundur beberapa langkah. Tidak!
" Nana& "
Nana mengerjap, melihat Acha yang menatapnya bingung. Nana menghela napas pelan. Pikirannya kacau. Suhu tubuhnya meningkat, jantungnya berdetak cepat, dan darahnya mendidih.
" Lo ngerti, kan? Kebersamaan lo sama Dio cuma bikin lo sakit hati. Dia jadiin lo pelarian atas masalahnya sama gue."
Nana mengangkat alis. Tertohok. Kenyataan macam apa itu? Ia jelas tak bisa menerima ucapan Acha. Memangnya gadis itu siapa? Cih. Dia tak berhak lagi mengurusi pemuda itu. Dan satu lagi, dia tak berhak mengurusi Nana. Hati Nana terasa sakit.
Nana mencoba berpikir. Hatinya ngilu karena ucapan Acha. Namun, dia mencoba menyangkal. Ia menantang mata Acha kuatkuat setelah mendapatkan kata-kata yang pas untuk gadis itu. " Cuma itu yang pengin lo omongin?" ucapnya telak. Acha tersentak. Kaget campur kecewa. Penuturannya yang sepanjang itu, bahkan beberan kisahnya dengan Dio hanya dibalas satu kalimat itu?
Nana berjalan mendekati Acha. Tatapannya tak fokus. Pikirannya terbagi-bagi. Dia tak ingin berada di ruangan itu. Sungguh. " Gue nggak ada apa-apa sama cowok lo," terang Nana, jelas-jelas ada
96 52
nada penyindiran. " Gue nggak rugi kalau nggak tahu kisah lo sama cowok lo." Nana menajamkan pandangannya. " Dan apa yang lo omongin tadi, sama sekali nggak ada hubungannya sama gue."
Acha tepekur saat mendengar kalimat yang begitu sinis keluar dari mulut Nana. Pantas saja empat pemuda idola itu mau menuruti perkataan Nana.
Jadi seperti itukah gadis ini? Dia benar-benar dingin tanpa hati. Apa yang membuatnya seperti itu?
" Lo bisa kan jauhin Dio?" Dan inilah inti segala ucapan panjang lebar Acha. Ceklek.
Nana dan Acha sama-sama menengok ke arah pintu. Tampak sosok yang sedang dibicarakan masuk. Nana menatap Acha dingin, kemudian mengangguk.
Nana menarik napas panjang mengingat kejadian itu. Bukankah dia yang menyetujui bahwa dia akan pergi dari pemuda itu? Lantas kenapa saat ini dia...
Ponsel Nana berdering keras. Dari nadanya Nana yakin satu pesan singkat masuk. Tanpa pikir panjang ia menyambar ponsel, kemudian membuka pesan tersebut.
Nana membelalak. APA?
Pesan itu nyata dan Oom Ben yang mengirimnya. Nana menarik napas panjang karena sulit mengontrol detak jantungnya yang berlarian. Rasa sakit yang datang diteruskan jantung ke semua pembuluh darah.
Sialan! rutuknya sambil mencengkeram ponsel.
97 52
ANA menunduk dalam-dalam. Sepi yang ia rasakan semakin menjadi-jadi, walaupun Stevan, Nathan, Aga, dan Karisa selalu ada untuknya menemaninya ke mana pun, walaupun dia tak pernah minta. Ia merasa hari-harinya kosong.
Ini baru permulaan liburan akhir tahun pelajaran. Karisa sibuk dengan kegiatan OSIS. Aga dan Stevan juga begitu. Menurut desas-desus, kedua cowok itu mempersiapkan strategi untuk menggaet adik kelas dengan wajah dan sikap yang berbanding lurus. Mereka terburu-buru ingin mengakhiri status jomblo.
Lain dengan Nathan dan Dio yang sedang sibuk mempersiapkan pertandingan futsal antarsekolah. Sejak mereka berdua ditakdirkan sebagai duo tak terkalahkan dalam pertandingan futsal maupun basket, mereka diembani tugas dari yayasan untuk memenangi
98 52
setiap perlombaan. Walaupun status mereka kemarin sebagai siswa kelas 11.
Kali itu mereka berlima mengajak Nana main ke sekolah. Padahal Nana malas dan ingin fokus pada hal-hal yang seharusnya dia urus. Perusahaan.
Nana membayangkan, bagaimana akhir tahun sekaligus menjadi akhir kebahagiaannya. Ia bisa mengingat semua yang telah ia lalui.
Nana mengembuskan napas, pasrah. Jika bukan karena pesan singkat yang dikirim Karisa untuknya, dia tak akan mau repot-repot menghabiskan sehari liburannya untuk datang ke sini.
Sender: Karisa
Katanya lo BT? Ke sini yuk, gw sm anak2 ntar ada acara makan malam brg di kafe depan. Rencananya sh mau jmpt lo, tapi kami masih sbuk. Kalau smpai lo blm dtg nanti, gw ngambek.
Seriuskah Karisa mengikrarkan diri jadi teman? Lalu haruskah Nana percaya? Kenyataannya, dia masih gamang untuk kembali memercayai teman atau sahabat.
Mereka, lima temannya itu, selalu ada untuk Nana selama enam bulan ini, bahkan rela menahan emosi kala tak dipedulikannya. Bukan itu saja. Mereka masih mau menerimanya, mengajaknya ke kafe, juga mengabarinya berbagai informasi.
Seperti itukah bentuk pertemanan? Lalu seperti apakah wujud persahabatan?
Nana sama sekali tidak ingin tahu, juga tak ingin melebih-lebihkan. Kenyataannya mereka hanya menghabiskan waktu bersama, bukan berjanji untuk menjadi sahabat. Selalu ada bagi yang lain,
99 52
baik pada saat dibutuhkan maupun tak dibutuhkan, itukah yang dinamakan sahabat?
Nana bingung, tapi harus menjalani hari sebagaimana semestinya, menjalani alur yang seharusnya ia lalui. Mengalir mengikuti alur kehidupan seperti ikan di dalam sungai. Ia yakin, pertanyaan yang terlontar dari otaknya pelan-pelan akan dijawab waktu dan kenyataan.
Sebelumnya Nana hanya punya seorang sahabat, yang sampai sekarang belum ada penggantinya. Mungkin suatu hari nanti, tempat kosong orang tersebut akan diisi oleh lima teman di sekolah barunya itu.
Bukankah tak ada yang namanya mantan sahabat? Lalu kenapa sahabat bisa berubah menjadi musuh?
Nana menggeleng pelan, menyangkal pikiran bodoh yang merasukinya. Ia melirik jam tangan. Astaga! Ia datang lebih awal dari perjanjian. Dua jam lebih awal.
Nana menjadi bingung sendiri. Terlebih lagi, kakinya menuntunnya ke ruang olahraga yang berada di tingkat paling tinggi di sekolahnya. Ia tak tahu apa yang membawanya ke pinggir gedung olahraga, berjalan begitu saja tanpa berpikir.
Nana tak berniat bunuh diri lagi, kan?
Nana berbalik, berniat untuk menyusul Karisa yang pasti berada di ruang OSIS untuk mempersiapkan MOS dengan kawankawannya. Tapi sesuatu membuatnya berhenti melangkah.
Dengan gerakan cepat Nana berjalan menuju pagar pembatas ruang olahraga. Langit sangat biru, tak ada awan hitam sedikit pun. Awan cerah mengumpul di tepi.
Ini belum senja, baru pukul empat lewat beberapa menit. Embusan angin mengurai rambut Nana hingga beterbangan kecil, membuatnya nyaman.
100 52
Gadis itu bertanya-tanya, kapan terakhir kali dia merasakan suasana senyaman itu?
Nana merentangkan kedua tangan. Embusan angin semakin kencang. Ia berjinjit sedikit.
" NANA!!"
Seseorang menghardiknya keras.
Dio mengelap keringat yang terus meluncur akibat latihan futsal. Ia bermain tiga pertandingan yang membuatnya kelaparan. Dia ingat Aga, Karisa, Stevan, dan Nathan akan membuat acara makan-makan sore itu.
Capeknya luar biasa. Setelah memberesi handuk, Dio segera membawa tas beranjak dari lapangan futsal indoor di lantai dua.
Lapangan futsal outdoor sedang direnovasi. Entah apa yang direnovasi, Dio tak terlalu memikirkan. Yang dia tahu anggotanya tidak boleh berlatih di sana selama sebulan itu.
Ckckck& kenapa renovasi harus sebegitu lama? " Yo, mau ke mana lo?"
Dio berbalik, melihat Nathan mengikat tali sepatunya, tak jauh dari tempatnya berdiri.
Dio melambai. " Jam enam gue ada di tempat parkir, sekarang mau tidur dulu," jawabnya, yang dibalas anggukan Nathan.
Dio tak menggunakan fasilitas lift untuk mencapai puncak tertinggi gedung sekolah. Dia memilih menaiki tangga. Besok failed anniversary-nya bersama Acha. Tak terasa sudah setahun dia dan gadis itu tak berhubungan khusus lagi.
Dio masih mengingat jelas bagaimana dia meminta Acha menjadi pacarnya. Bagaimana dia dan Acha melewati masa transisi.
101 52
Dan& dan bagaimana Acha selingkuh, tapi dia masih bisa memaafkannya.
Sampai sekarang gadis itu masih ada dalam pikirannya. Cinta pertamanya.
Tapi bagi sebagian orang, mengingat cinta pertama hanya sekadar tanda terima kasih pada si mantan karena telah mengajarkan cinta. Bahkan menurut sebagian orang, cinta pertama tak perlu terlalu diperjuangkan.
Begitulah pikiran Dio. Masih labil. Dia belum bisa kembali ke pangkuan gadis itu.
Hatinya masih belum menerima diduakan. Tapi dia juga tak bisa hidup tanpa kabar dari Acha. Egoiskah dia? Membiarkan Acha menangis terus-terusan di depannya?
Bayangan Acha mengabur seketika saat mata Dio menangkap sesuatu.
" NANA!!" hardik Dio keras saat mendapati gadis itu merentangkan tangan lebar-lebar, seperti berniat menjatuhkan diri dari ketinggian gedung.
Nana menurunkan lengan. Tubuhnya mengejang karena teriakan keras tadi. Namun dia tak berniat berbalik, terlalu hafal dengan si pemilik suara itu. Ya, dia terlalu hafal. Ditatapnya pagar pembatas yang berada tepat di hadapannya dengan nanar. Reaksi macam apa yang dikeluarkan tubuhnya saat ini? Perasaan perih yang ingin dimuntahkan.
Dio berlari menuju Nana, lalu menarik napas lega karena bayangannya tak terjadi. Gadis itu terpaku, menatap lurus ke depan, tak berniat sedikit pun melihat ke arah Dio.
102 52
Dio tersenyum lega, dan berjanji takkan pernah membiarkan Nana berbuat semaunya lagi.
Dio menoyor pelan puncak kepala Nana dua kali saat berdiri di sampingnya. Arah pandang kedua remaja itu berbeda. Dio bersandar di pagar pembatas.
Hati Nana berdesir. Sudah berapa lama dia tak berada sedekat itu dengan Dio?
Dio melipat tangan, melirik Nana. " Mau berbuat nekat lagi?" ujarnya sinis.
Nana mengernyit. Apa? " Lo mau terjun dari sini?"
Nana melirik Dio, tak mengerti. Oh! Ia paham. Bodoh, teriaknya dalam hati, mana mungkin aku melompati pagar setinggi ini? Cowok ini kebanyakan berkhayal.
Dio menarik napas panjang, merapal setiap kata yang ingin dilontarkannya, yang ternyata malah keluar sebagai kata-kata bernada keras. " Lo udah bosen hidup?! Kapan sih lo menghargai hidup? Seharusnya lo merasa beruntung karena masih hidup! Banyak orang di luar sana yang pengin hidup! Lo malah..."
Dio menghentikan ucapannya saat Nana sedikit mundur dan menatapnya. Gadis itu tersenyum meremehkan." Lo... nggak lagi khawatirin gue, kan?"
Telak. Nana mengucapkan kalimat yang membuat ucapan Dio mati. Mati kutu, tepatnya. Pemuda itu tak mampu menjawab. Dio berpikir keras, kenapa gadis ini begitu jujur? Bicara langsung dan apa adanya. Lalu kenapa pula dia gugup?
" Iya, Bos Ben khawatir lo kenapa-napa. Karisa, Nathan, Aga, Stevan khawatir dan..." Dio berusaha melanjutkan kata-katanya.
Nana berbalik, bersandar di pagar pembatas gedung itu, bersebelahan dengan Dio. Kesal karena Dio bersikap seolah-olah tak
103 52
terjadi apa-apa di antara mereka. Kesal karena Dio menjauhi dan mendekati dirinya sesukanya.
" Gue lagi bicarain lo! Gue tahu mereka khawatirin gue. Lo nggak denger? Gue nanya sama lo! Bukan sama mereka. Lo khawatirin gue, kan?"
Nana menahan tawa saat melihat semburat merah mengalir di telinga Dio. Pemuda itu tak bisa menyangkal lebih lama lagi. Ia merasa menang.
Dio merasakan darahnya mendidih. Rasanya sudah lama sekali ia tak berkomunikasi dengan Nana, tepatnya pasca kejadian itu. Jujur dia begitu merindukan Nana. Kalau saja diizinkan, dia ingin memeluk tubuh mungil itu dengan sekuat tenaga. Lalu meneriakkan kata rindu.
Apa?
Dio menghela napas, kemudian mengacak rambut Nana pelan. Dia tak bisa membohongi diri lagi. Ah, dia jengah membohongi diri sendiri di depan gadis itu. Toh seberapa pun dia mengelak, Nana gadis serbatahu yang tak bisa dibodohi.
" Iya. Puas lo?"
Nana menengok ke lain arah. Dadanya panas. Ia ingin berteriak. Tanpa sadar, senyum manis terukir di wajahnya. Ia menarik napas, kemudian menantang manik mata Dio. Ekspresinya kembali datar. Apa yang membuatnya berubah saat dekat dengan pemuda itu? " Tadi gue nggak berniat bunuh diri kok."
Dio menelan ludah. Dua kali. Dua kali ia salah sangka terhadap gadis itu. " Terus?"
" Cuma menikmati ketenangan." Mmm& jawaban sekenanya. Nana tersenyum. " Mana mungkin gue bisa lompatin pagar setinggi ini? Stupid!" Ia menahan tawa yang akan meledak karena melihat ekspresi Dio.
104 52
Dio menghela napas. Lega. Ternyata dugaannya salah. Syukurlah. Bagaimana bisa ia membayangkan gadis semanis Nana tak bernyawa? Pasti dia menjadi gila seketika.
Apa? Apa tadi Dio mengikrarkan bahwa dia tak ingin kehilangan Nana?
Dio meraih tangan kiri Nana. Bekas jahitan masih terlihat jelas di sana. " Yang ini saja bekasnya belum hilang. Jangan pernah lagi bikin bekas lainnya. Bikin gue khawatir!"
Nana terdiam. Dia tahu ada kesungguhan dalam kata-kata Dio. Bahkan pemuda itu selalu terlihat serius di depannya. Nana menggigit bibir bawah. Bimbang.
Ada yang ingin dibuktikan, tapi bagaimana caranya? Ada yang tak bisa dijelaskan. Karena itulah timbul kebimbangan, sulit dibuktikan.
Nana berada di situ. Di situasi bimbang. Jauhi Dio.
Pembawa sial.
Selalu. Kata-kata itu selalu terdengar di telinga saat dia melihat Dio. Kata-kata itulah yang mendorongnya untuk menjauhi Dio. Dia tak ingin Dio memasuki hidupnya, walaupun merindukan cowok itu.
Dio menatap wajah Nana yang diam dan mengeras. Ada yang dipendamnya.
Andai saja dia bisa jadi tumpuan gadis itu.
" Langitnya bagus, tapi bukan lo. Masih ingat kan, gue pernah bilang bahwa lo langit musim dingin?"
Nana mendelik. Tergetar. Ia bertanya dalam hati, tak bolehkah dia egois untuk sekali saja? Tak bolehkah dia menikmati saat ini untuk dirinya sendiri? Semua yang terpendam tak mampu dia tahan lagi.
105 52
" Kalau gitu, lo langit musim semi," cetus Nana. Dio mengangkat sebelah alis.
" Karena kehadiran lo bikin semua yang ada di sekeliling lo bahagia," ucap Nana pada akhirnya.
Dio tersenyum mendengar penuturan tersebut. Hatinya terasa panas dan jantungnya berdebar-debar. Apa tadi& Nana memujinya? Ada yang membuncah dalam dadanya. Dia tak bisa lagi menyembunyikan perasaan. Dorongan untuk merengkuh gadis itu ke pelukannya tak bisa lebih lama lagi menyiksanya. Seharusnya mereka sama-sama tak membohongi diri. Dengan gerakan cepat, Dio menarik tangan Nana, kemudian memeluk gadis itu erat. Dio membenamkan kepala di bahu Nana. Darahnya mengalir cepat saat dia menghirup aroma stroberi sampo Nana.
Nana tersentak saat mendapati dirinya dalam pelukan Dio. Begitu erat. Dadanya menempel di dada Dio hingga dia bisa merasakan detak keras jantung pemuda itu. Dengan cepat Nana menundukkan wajah. Dia tak ingin Dio melihat semburat merah yang menjalari pipinya.
Dio membiarkan angin mewarnai sorenya bersama Nana, angin yang mengantar perasaannya.
Tanpa sadar, atau entah memang itu keinginan sejak lama, Dio mengutarakan, " Gue kangen sama lo."
Nana diam, hanya menikmati paduan rasa yang baru pertama kali dia rasakan ini. Paduan yang membuatnya tersenyum. Gejolak emosi yang orang sebut cinta.
Eh? Sudahkah hati dingin Nana mencair pelan-pelan?
106 52
Tak ada yang banyak berubah sejak kejadian sore itu. Malamnya, enam sekawan itu makan bersama di lantai paling atas pusat perbelanjaan ternama di Jakarta. Nana dan Dio lebih banyak diamdiaman. Sama seperti sebelumnya, mengingkari apa yang telah terjadi. Padahal langit dan angin tak bisa lagi mereka bohongi.
Namun, Karisa menangkap ada yang berbeda. Nana dengan cepat menyambar kursi di sebelahnya dan Dio hampir beradu mulut dengan Aga karena ingin duduk di sebelah Nana. Oh baiklah, Aga memilih duduk di sana karena di depannya terlihat jelas view jalanan Jakarta yang benderang di sekitar mal tersebut. Namun Dio? Apa yang membuatnya ngotot sekali ingin duduk di sana?
" Duduk di sembarang tempat juga sama aja kali, Ga," cetus Dio saat Aga belum juga mau mengalah.
" Lo kalau mau deket Nana bilang aja deh," sungut Aga. Dia kesal karena Dio seenaknya mengambil tempatnya, padahal sudah menjelaskan panjang lebar dalam perjalanan ke sini. " Entar, awas aja kalau ada yang berani ngambil tempat yang view-nya langsung ke jalan. Janji?"
Mereka mengangguk. Aga bisa mengingat jelas itu semua. Stevan dan Nathan terbahak-bahak.
" Woi, Ga, lo nggak malu sama Karisa? Tingkah lo sama kayak perawan, tahu nggak?" ceramah Nathan di sela tawa. Aga memajukan bibir. " What the hell are you talkin about?" Stevan dan Nathan kembali tertawa.
" Ya ampun, Sa, kamu dapet temen yang manja sama kayak kamu tuh," tanggap Stevan, lalu menyeruput lemon tea yang sudah datang.
Semua orang, termasuk Nana, menatap ke arah Stevan. Tampaknya pemuda itu tak menyadari ucapannya. Karisa manja? Me
107 52
manggil Karisa dengan sebutan " kamu" ? Mmm& Ada sesuatu yang terjadi di antara Stevan dan Karisa, tentu saja.
" KAMU?!" teriak ketiga pemuda itu bersamaan.
Nana memiringkan wajah ke arah Karisa. Bibirnya jelas mengucapkan kata " kamu" meskipun tanpa suara, bertanya-tanya pada Karisa.
Aga langsung melirik ke arah Karisa dengan penuh curiga. " Lo berdua... ada apa-apanya, ya?"
Nathan yang duduk di sebelah Stevan menyenggol sikut Stevan tiga kali. " Heh, sejak kapan lo ngomong pake kamu-kamuan, hah?"
Dio menatap Stevan, juga tak percaya. " Ngaku aja kalian udah jadian."
Aga dan Nathan mengangguk jelas.
" Lo semua curigaan aja sih? Gue sama Karisa cuma temenan kok."
Karisa tertawa menanggapi sikap Nathan, Aga, dan Dio. " Gue masih mikir kali jadian sama playboy kampung kayak dia," ucap Karisa melihat ke arah Stevan dengan ekor mata.
Stevan merengut tak terima. " Gue juga masih mikir kali jadian sama cewek cengeng kayak lo."
Karisa menyeruput jus jeruk. " Oh, ya udah," tanggapnya tak peduli.
Nathan, Dio, dan Aga hanya senyum-senyum sendiri melihat kejadian tersebut.
" Jadi juga lo berdua lama-lama," ucap Aga.
Nathan dan Dio mengangguk setuju sambil tersenyum penuh arti.
Nana merapikan seragam. Itu hari pertama menjadi siswa kelas
108 52
12. Lalu& ? pikir Nana. Bukankah semakin cepat dia menamatkan sekolah, semakin mudah membuat kongsi-kongsi itu jatuh dan hancur?
Nana menuruni tangga dengan anggun. Ia terbelalak ketika ada pemuda yang... duduk di meja makan bersama Oom Ben. Sejak insiden beberapa bulan lalu itu, Oom Ben memutuskan pindah total ke rumah Nana. Dia tak ingin keponakan satu-satunya itu terluka lebih parah lagi.
Nana duduk di samping Oom Ben, di depan Dio. Baru saja dia ingin menyantap roti selai kacang yang dibuatkan Bi Inem, oomnya membisikinya sesuatu yang mampu membuat Nana melupakan rasa laparnya.
Apa? Gadis itu tegang.
Dio terus menyantap sarapan. Jarak rumahnya dengan rumah Nana memang dekat, hanya beda gang, sehingga membuatnya cepat sampai jika ada apa-apa dengan gadis itu.
Pandangan Nana yang berubah mengeras saat mendengar bisikan Bos Ben membuat Dio penasaran. Dia tahu, banyak rahasia yang disembunyikan Bos Ben dan Nana.
Nana berdeham pelan saat melihat pandangan Dio yang menuntut penjelasan.
" Oom, boleh nanti malam aku liat laporan..." Ucapan Nana menggantung, melirik Dio.
Oom Ben mengangguk. " Jangan buru-buru," ucapnya, lalu meminum latte hangatnya pelan, " kalau kamu masih terbawa emosi, semua yang sudah terencana akan berantakan."
Nana menelan ludah saat dapat nasihat pagi dari Oom Ben. " Lalu?"
" Kamu pikirkan caranya bisa menang tanpa main belakang, di meja perjudian itu," ucap Oom Ben lantang.
109 52
Nana menganga.
Begitu menyelesaikan sarapan, Oom Ben berdiri, mengelus puncak kepala Nana. " Kamu tahu kan, Oom akan membantumu, bagaimanapun kondisimu. Jadi jangan gegabah."
Gadis itu hanya terdiam, melihat punggung Oom Ben yang berjalan menjauh. Tatapannya kosong. Benar. Dia tak boleh lagi terbawa emosi.
Dio yang tak tahu apa-apa hanya memilih diam. Termasuk saat melihat Nana menghela napas berat, seperti ada sesuatu yang perlu diselesaikan gadis itu dalam waktu dekat.
Entahlah, biarkan Nana mengurusnya sendiri. Dia yakin Nana tahu apa yang akan dia lakukan.
" Lo lagi nggak punya selera humor ya, Na?" ucap Aga yang jengah karena sejak tadi Nana hanya diam, seperti memikirkan sesuatu.
Nana memutar bola mata, melempar pandangan aneh kepada Aga. " Sejak kapan gue punya selera humor?" balasnya sengit.
Aga keki sendiri. Kalau saja Dio tak menitip gadis itu kepadanya karena ada keperluan lomba futsal, dia akan langsung ke ruang OSIS atau berdiri di lapangan untuk memberikan orientasi kepada anak kelas 10.
Aga berhenti saat mendapati Nana tak ada di sampingnya. Dia menoleh ke belakang dan mendapati gadis itu berhenti berjalan, hanya memandang lurus ke depan.
" Na, ayo!" ajak Aga dari tempatnya berdiri.
Nana melirik Aga. Sepertinya gue harus melancarkan aksi lebih awal...
110 52
Nana berjalan tenang. Saat melewati Aga, gadis itu berkata, " Gue mau pipis. Lo langsung ke ruang OSIS aja."
Aga mengerutkan kening. " Tapi Dio nyuruh gue nemenin lo sampai kelas."
Nana mendelik. " Halooo? Gue bukan anak kecil lagi atau lo mau ikut gue ke toilet?" Wajahnya berubah keras, kemudian berjalan menjauhi Aga.
Aga mengacak rambut, kewalahan menghadapi sikap Nana yang berubah-ubah.
Nana memasuki toilet dengan tenang. Dirapikan rambutnya di depan kaca. Ia menahan napas, melihat toilet yang hanya satu dan tertutup. Tak beberapa lama kemudian, pintu itu berdecit terbuka.
" Elo...," ucap gadis yang baru keluar itu tertahan, langsung berhenti, menahan emosi. " Kenapa lo di sini?!" ucapnya lantang. Suaranya bergetar hebat.
Not Until Karya Violita di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukan itu saja. Nana menangkap tubuh orang tersebut juga bergetar. Nana menunduk dalam.
Gadis itu langsung mencekal tangan Nana, membuat Nana hampir menjerit karena kesakitan. " Jangan sampai ada yang tahu soal kita. Gue... gue benci banget sama lo, Na!" desisnya tajam. Lalu ia pun pergi dari hadapan Nana.
Nana mengangkat tangan yang dicekal tadi. Senyuman yang sulit diartikan tergambar di wajah manisnya.
Nana menatap lagi tangannya, geram. Permainan ini dimulai, batinnya benci.
Dia masih bisa mengingat isi pesan Oom Ben beberapa waktu lalu.
111 52
Sender: Oom Ben Livia s coming soon.
Pesan yang bisa membangkitkan Nana dari keterpurukannya selama itu.
Pembawa sial.
Kita akan lihat, siapa yang akan mengalami lebih banyak kesialan.
112 52
IO menggeser sedikit tubuhnya. Badannya lemas sehabis membaca pesan singkat dari gadis yang pernah menawan hatinya.
Dio menghela napas berat. Sulit dipercaya getaran hatinya tidak tertuju lagi pada Acha. Gadis yang dulu mati-matian dia pertahankan. Gadis yang dulu dia pikir dia akan mati kalau mereka tak bersama. Namun, semua itu terasa hambar saat hatinya berganti arah. Hati yang mencari kebahagiaan baru setelah lama tersakiti.
Acha mengatakan liburannya begitu menyenangkan dan akan pulang dua minggu lagi. Padahal hari pertama sekolah sudah dimulai.
Kadang Dio menyayangkan, terlalu cepat hatinya memutuskan sesuatu. Dia merasa jatuh cinta lagi. Kali itu asmaranya bukan
113 52
hanya menggetarkan hati, melainkan juga sekujur tubuhnya. Ya, ia jatuh cinta pada gadis dingin itu.
Kini seluruh pikirannya tertuju pada Nana. Dio ingin sekali melihat senyum gadis itu. Senyum yang hanya keluar sesekali. Senyum kebahagiaan Nana.
Entah kenapa Dio ingin berada di samping Nana selamanya. Dia tak tahu sejak kapan hatinya berlabuh ke hati Nana, pelabuhan yang ia sendiri tidak menyangka mampu ia taklukkan. Tapi Dio yakin, hatinya tak berlabuh pada orang yang salah. Akhir-akhir itu Nana semakin menawan. Kadang gadis itu menjauh, membuat jarak di antara mereka terasa lapang dan dalam. Tapi, Dio pejuang. Ia berjuang untuk mendapatkan gadisnya.
Dio mengacak rambut. Galau. Andai saja ia tak berjanji pada Acha untuk tak mendekati gadis itu lagi. Semuanya pasti tak serumit sekarang.
Seperti biasa BIHS terlihat begitu ramai saat empat pemuda itu masuk. Pandangan kagum kebanyakan berasal dari murid kelas 10, yang baru saja dinobatkan sebagai anggota BIHS.
Nathan berbisik pelan kepada Stevan. " Pesona gue belum luntur ternyata," pujinya pada diri sendiri.
Stevan hanya tertawa, kemudian merangkul bahu Nathan. " Lo jadi deketin Vanya, anak kelas 10 itu?" tanyanya setengah berbisik.
Dio dan Aga hanya menggeleng-geleng saat dua temannya itu membicarakan gadis cantik, padahal keduanya sama-sama belum mau melepaskan status jomblo yang sudah mereka sandang lebih dari dua tahun.
Dio berhenti saat menyadari Aga tak lagi berdiri di sampingnya,
114 52
menengok ke belakang. Merasa ada keanehan, Stevan dan Nathan turut melihat ke arah Dio.
Dio mengernyit sambil mendekati Aga yang masih berdiri di belakangnya. " Kenapa lo?"
Aga terlihat kaget oleh sapaan Dio. Dengan tegas ia menggeleng. " Nggak apa-apa," ucapnya rada aneh.
Dio menajamkan tatapannya, curiga. " Lo nggak nyembunyiin sesuatu, kan?"
Aga tertawa, kemudian melayangkan tinju ringan ke perut Dio, yang tidak sakit tentunya. " Gue cuma lagi liat Nana tuh." Aga menunjuk sembarangan.
Dio memfokuskan pandangan pada arah yang Aga tunjuk. Benar, gadis itu sedang memainkan ponsel sambil menyandar ke tembok. Terlihat begitu serius.
" Lo suka sama Nana?" selidik Dio. Wajahnya menampakkan ketidaksukaan.
" Ckckck& " Aga berdecak tak santai.
Nana melihat ponsel. Matanya terus menyusuri layar ponsel yang bergerak, mencari sesuatu. Ia tersenyum hambar, berhasil menemukan sesuatu yang dia cari.
Nana berbalik, berniat kembali ke kelas. Yang ia cari sudah ia dapatkan, dan sepertinya pemuda itu sudah sampai di sekolah.
Namun tepat saat Nana berbalik, seseorang menabraknya hingga membuat lututnya mencium lantai yang dingin. Ia meringis kesakitan.
Hati Nana jengkel. Saat melihat pemilik sepatu yang sengaja mengadangnya itu, Nana meringis.
" Maaf, nggak sengaja," ucap orang itu.
115 52
Sebenarnya Nana ingin mencakar, kalau saja tak ingat bahwa ada hal lebih penting yang harus ia lakukan.
Nana berdiri beberapa detik kemudian, memandang lemah, seolah ada luka yang dipendamnya saat melihat wajah orang itu.
" Jangan masang tampang sok bersalah deh. Eh, tapi lo memang pantas sih merasa bersalah."
Nana mematung. Dia ingin memukul orang itu. Pembawa sial.
Badan Nana bergetar. Ia tersenyum sinis. " Bukannya lo yang bilang bahwa kita nggak usah saling kenal, Livia?"
Sorot mata kedua gadis itu menajam. Ada kebencian satu sama lain.
Nana ingin melangkah pergi saat Livia mendorongnya, membuat bekas jahitan di tangannya robek, tergesek tepian tempat duduk besi yang tajam.
Nana meringis, menahan sakit. Dulu ia kehilangan kesadaran sehingga sarafnya tak mampu lagi merasakan sakit.
Livia mengentakkan kaki. " Gue benci lo, pembawa sial!" Lalu dia setengah berlari meninggalkan Nana, yang mulai berkeringat dingin karena menahan sakit di tangannya.
Nana tetap berdiri di tempat. Kakinya tidak kuat berjalan. Badannya kaku karena menahan sakit. Keringat dingin mengalir di tubuhnya.
Darah mulai mengalir deras dari pembuluh darah di tangannya.
Jangan. Aku tak boleh mati sekarang, pinta Nana dalam kesakitan.
Saat hampir kehilangan kesadaran, Nana merasakan seseorang membantunya berjalan. Tangan kokoh dan aroma maskulin yang
116 52
begitu dikenalnya. Kemudian ia tak merasakan apa-apa lagi. Pandangannya mengabur, dan seketika semuanya menjadi gelap.
Dio melirik jam tangan. Lima menit lagi guru masuk ke kelas, tapi Nana belum juga menampakkan diri. Karisa yang sibuk dengan kegiatan OSIS baru saja memasuki kelas.
Dio berlari menghampiri Karisa. " Lo nggak sama Nana?" Karisa menggeleng bingung. " Nggak. Gue kan dari ruang OSIS," jawabnya datar.
Dio menghela napas. Perasaannya tidak enak. Dia tak suka merasakan ini: perasaan tiba-tiba takut kehilangan Nana.
Aga menghampiri Dio. " Coba lo cek di tempat gue liat dia tadi deh."
Tanpa menjawab Dio segera berlari meninggalkan kelas. Dia melirik para guru yang bersiap memasuki kelas.
Baiklah. Siapa yang tidak sadar bahwa Diova Esa jatuh cinta pada Viona Aphrodita?
Dio menuruni tangga. Matanya memperluas jangkauan. Tak ada. Gadis itu tak ada di situ. Dio berlari, tetap mencari. Tepat di posisi dia melihat Nana tadi, gadis itu berdiri kaku. Tangannya terjatuh di sampingnya. Dio menyipit, ada sesuatu yang keluar dari tangan kiri Nana. Ya ampun! Darah. Darah yang mengalir deras.
Nana membuka mata pelan, menatap ke langit-langit. Ruangan serbaputih itu dikenali Nana. Nana ingin memperbaiki posisi tidur. Saat badannya menyenggol tangan kiri, nadinya berdenyut dan rasa sakit menyengat. Jadi seperti itukah sakit yang seharusnya
117 52
ia rasakan dulu? Sakitnya luar biasa. Bahkan Nana tak mampu menggerakkan tangan kirinya.
Nana melirik tangannya. Aneh. Bagaimana bisa bekas jahitan yang sudah berbulan-bulan terbuka kembali? Seperti sakit hati saja. Luka lama yang kembali melebar, nyeri yang dihasilkannya pun luar biasa. Livia harus mendapatkan balasan yang setimpal.
Dio mengerjap. Astaga. Dia tertidur. Matanya menelusuri ruangan. Dia mendapati Nana yang kesusahan untuk duduk. Wajahnya menegang. Dio bangkit, berlari, kemudian membantu gadis itu duduk dengan menegakkan kepala ranjang rumah sakit.
Menyadari Dio kesusahan mengatur napas, Nana pelan-pelan tersenyum.
Napas Dio masih memburu. Bangun tidur dalam kondisi cemas tak keruan, kemudian berlari walaupun tak lebih dari dua meter, membuat jantungnya bekerja ekstra.
Jantungnya tetap berdetak abnormal saat Dio merasakan jemari tangan Nana menyentil puncak hidungnya. Gadis itu tersenyum. Hah? Bahagiakah dia karena gagal mengakhiri hidup?
" Kenapa sih jahitannya basah? Bukannya udah berbulan-bulan ya?" ucap Nana mengangkat tangan kirinya yang diperban.
Dio mengacak rambut Nana pelan. Tentu saja jahitan itu bisa terbuka. Tak sadarkah gadis itu dulu menyilet tangannya terlalu dalam? Hingga membuat nadinya hampir putus? Dan tadi, bukannya tangannya terluka kembali?
" Kenapa? Kenapa tadi lo tersenyum? Lo bahagia karena nggak jadi mati? Oh, gue lupa ngasih tahu bahwa luka kali ini nggak sampai nadi. Yah, palingan nggak lama lagi tangan kiri lo bisa kembali sensitif."
Nana mengangguk-angguk, tak berniat menanggapi ucapan Dio. Yang harus dia lakukan adalah menyembunyikan detak
118 52
jantungnya yang berlompatan. Bila Nana tetap menatap mata elang Dio, tubuhnya bisa-bisa terbakar.
Diam-diam Dio juga merasakan hal serupa. Kecanggungan Nana menular padanya. Bukan. Bukan karena Nana terlalu dingin. Tapi entah kenapa, ada yang berbeda.
Dio menghela napas panjang. " Lo nggak tahu sih gue sampai pengin mati pas liat lo nggak sadar tadi," ucapnya tiba-tiba.
Nana membelalak. Kaget. Hei, bukankah ini terlalu cepat? Terlalu cepat bagi Dio untuk menumpahkan isi hatinya. Ucapan Dio membuat Nana salah tingkah hingga ia memilih menunduk. " Maaf& "
Apa?
Dio tersenyum lebar mendengar kata paling krusial itu keluar dari mulut Nana. Kok bisa ya Nana minta maaf? Sepanjang dirinya berada di samping Nana, tak sekali pun dia mendengar Nana meminta maaf. Oh ya, Nana memang jarang mengatakan " maaf" , lebih sering mengatakan " sorry" dengan aksen Inggris-nya.
Makanya begitu mendengar Nana mengatakan " maaf" dengan tulus seperti itu, Dio melambung. Betul kan firasatnya tadi, ada yang berbeda dari Nana.
" Na, lo ngomong apa?" ucap Dio untuk meyakinkan diri sendiri. Nana mengangkat wajah, menampilkan ekspresi tak suka. Dio diberi hati malah minta jantung, putusnya. Ia melempar pandangan sinis kepada Dio, yang saat itu tersenyum penuh arti.
" Gue kaget aja. Ah udahlah, lo mau apel?" tawar Dio menunjuk keranjang buah yang terletak di meja kecil di samping ranjang Nana.
Nana hanya mengangguk.
Dio langsung mengambilkan apel, lalu berjalan ke wastafel untuk mencucinya.
119 52
" Yo?" panggil Nana dengan suara yang bisa membuat Dio melayang ke langit. " Gue suka perhatian lo," ucap Nana dengan segenap keberanian yang datangnya entah dari mana. Pipinya jangan tanya warnanya. Bersemu merah!
Dio terpaku. Jantungnya berdetak cepat. Ia melayang dan& bahagia. Dia tak pernah sebahagia itu sebelumnya.
Kedua tangan kokoh Dio lantas menarik tubuh Nana, memeluk erat. Tak ada lagi yang bisa memisahkan mereka.
Rasain detak jantung gue, Na, pinta Dio dalam hati. Nana mengusap punggung Dio sambil tersenyum. Ada yang membuncah dalam hatinya hingga pipinya merona, menahan kebahagiannya. Ah, apa lagi yang mesti mereka sembunyikan?
" Kalau gitu, gue akan selalu ngasih lo perhatian setiap hari sehingga lo terus-terusan suka sama gue."
Nana tersenyum mendengar niat Dio. Dia ingin menikmati kebersamaannya berdua pemuda itu. Dia ingin menuruti bimbingan hatinya.
Lalu setelah semua itu, masih bisakah keduanya membohongi diri? Sanggupkah keduanya menutupi perasaan yang sudah terlalu tampak? Cinta datang tidak mengenal waktu. Cinta datang tibatiba dan saat kau merasakan kedatangannya, berjuanglah. Berjuang mempertahankan orang yang kamu cintai.
" Dio kamu sud "
Dio melepas pelukannya, menatap ke sumber suara. Nana juga menengok. Keduanya merasakan pipinya memanas saat mendapati Oom Ben berdiri membawa kantong plastik hitam.
" Apa saya mengganggu kalian?" ucap Oom Ben, yang jelas-jelas merusak suasana.
Dio segera turun dari posisi duduknya di ranjang Nana, men
120 52
dekati Oom Ben, kemudian mengambil kantong plastik hitam tersebut. Pemuda itu menggeleng. " Ganggu apaan, Oom?" balasnya tergagap campur salah tingkah.
Oom Ben hanya tertawa, kemudian menyuruh Dio keluar dengan gerakan kepalanya.
Dengan gerakan cepat Dio langsung berada di mulut pintu dan bergegas keluar.
Oom Ben mendekati Nana yang jelas salah tingkah. Matanya menyelidik tajam. " Jatuh cinta, hmm?"
Nana mendelik ke arah Oom Ben, menggeleng. " Kami nggak seperti yang Oom pikirkan kok."
Oom Ben mengusap kepala Nana. " Siapa pun tahu, akhir-akhir ini kamu begitu dekat dengan Dio. Kamu masih mau menyangkal?"
Nana memutar bola mata. " Oom!" ucapnya tertahan. " Well... Oom nggak akan bahas itu lagi, tapi kagum sama dia karena bisa menawan hatimu."
Nana diam dan menampilkan ekspresi tidak suka, ekspresi yang merupakan topeng salah tingkahnya. Kenapa dia terus-terusan mengenakan topeng? Padahal wujud aslinya hampir ketahuan.
Oom Ben melirik tangan Nana yang diperban. " Kenapa itu bisa terjadi?"
Wajah Nana mengeras. " Dia... yang melakukannya," ucapnya kembali ingat bagaimana Livia mendorong tubuhnya tadi.
Lelaki itu menatap Nana, tak percaya. Bukankah gadis itu baru pindah ke Jakarta kurang dari empat hari lalu? Secepat itukah? Oom Ben menggeleng-geleng, ekspresinya tak dapat ditebak. " Kurang ajar!"
Nana hanya diam dan menatap Oom Ben. " Lalu sekarang kamu akan berbuat apa?"
121 52
Nana mengangkat wajah. " Dia harus dapat balasan atas semua perbuatannya!"
Ya, hukum karma berlaku sampai akhir hayat. Hukum balasmembalas, hukum alam yang tak dapat diganggu gugat. Dan Nana ikut bermain untuk mempercepat terjadinya hukum karma.
" Balasan yang setimpal!" ucap Nana tajam. Bagaimanapun Nana harus menetralisir hatinya. Dia tak mau semua rencana menjadi berantakan gara-gara luapan hati yang tak terkontrol.
122 52
INTIK hujan kembali menyapa kota ini. Merintik di tengah belantara kemarau panjang yang enggan beranjak. Rintik hujan meniupkan kesejukan di dunia yang jarang terasa akhir-akhir itu.
Nana merasa ada yang aneh pada hujan kali ini. Awannya terlihat begitu muram, walau tak henti-hentinya menumpahkan air.
" Selalu ada beban yang ditanggung sendiri."
Nana mengerjap, terbangun dari lamunan panjang. Dio mengklakson mobil di depannya, memintanya beranjak.
Jakarta, biasalah macet. Apalagi jam pulang kantor seperti itu, jalanannya bisa lebih penuh daripada pasir di pantai.
" Kalau gini bisa kejebak dua sampai tiga jam nih," gerutu Dio kesal.
123 52
Nana hanya menggeleng-geleng. Sejak tadi, hampir satu jam, pemuda di sebelahnya itu tak terus saja menggerutu. Mengeluarkan segala macam umpatan, yang sampai dia ulang berkali-kali. Kehabisan stok umpatan tampaknya.
" Mana gue ada janji jam sembilan. Sial!" gerutu Dio lagi. Nana mengernyit, lama-lama ikutan kesal melihat Dio berulah seperti itu. " Ck! Lo bisa nggak sih nggak ngeluh? Iya, gue tahu lo ada janji jam sembilan. Gue tahu macetnya nggak akan berakhir dua-tiga jam. Gue bosen denger rutukan lo, tahu nggak? Tadi juga gue bilang, jangan lewat jalan sini, tapi lo tetap milih, kan? Ya, ini semua juga salah lo!" ucap Nana panjang lebar, yang akhirnya menyalahkan Dio. Rasanya baru kali ini dia mengeluarkan kata sepanjang itu, selama lebih dari enam bulan.
Dio mengangkat alis. " Kenapa lo jadi nyalahin gue sih?" Nana berdecak tak suka. " Yah emang salah lo!"
" Terserah!" tanggap Dio cepat. Kesal. Sekalinya Nana mengeluarkan kata-kata, justru menyalahkannya.
" Dia yang salah, dia juga yang marah. Manusia zaman sekarang," ucap Nana mirip gerutuan. Matanya menerawang ke luar jendela mobil. Lebih baik dia menikmati awan yang berarak dan bersiap mengeluarkan kandungan air yang menjadi bebannya daripada mendengarkan segala macam sumpah serapah dari mulut Dio.
Tapi, mmm... tanpa Nana sadari, kehadiran pemuda di sampingnya membuat pikirannya hanya terfokus pada satu hal. Tanpa dia sadari, beban di pikirannya sedikit menghilang.
Braaak!
Nana kaget mendengar suara pintu mobil yang ditutup kasar. Diliriknya Dio yang terengah-engah. Rambut dan bajunya basah. Nana mengernyit, kapan pemuda itu keluar? Ia sama sekali tak menyadarinya.
124 52
" Sial!" rutuk Dio.
Nana mengangkat alis. " Kenapa lagi sih?" ucapnya jengah. Dio mengacak rambut yang basah, dan gerakannya itu membuat getaran halus di hati Nana. Gadis itu terpana. Dio tak menyadari dirinya dipandangi tanpa bernapas oleh gadis di sampingnya.
" Di depan banjir, parah banget. Nggak bisa gerak sedikit pun. Padahal hujannya juga baru sebentar. Tapi iya sih, deres banget!"
Nana tersadar dari keterpanaannya, buru-buru mengalihkan pandangan, sebisa mungkin tidak menatap mata Dio. Bisa-bisa dia tak menginjak tanah lagi. Melayang terbius pesona cowok itu.
Jantung Nana berdebar keras, membuat ia yakin seluruh dunia akan tahu jika berada di dekatnya.
Kenapa pemuda itu begitu memesonanya?
Dio melirik Nana dengan tatapan tak mengerti. Tiba-tiba saja Nana mengalihkan pandangan ke arah lain saat dia sedang berbicara. Ada apa lagi? Ada masalah apa lagi yang membuat gadis itu merasa terganggu?
Tidakkah Dio tahu sesungguhnya dialah yang menyebabkan masalah dalam diri gadis itu, hingga ia kesulitan mengatur debar jantungnya sendiri.
Nana menarik napas panjang. Sekarang, setelah sekian lama terjebak macet dan hujan, dia baru sadar bahwa kelamaan di mobil berdua Dio adalah kesalahan besar!
Nana memberanikan diri menoleh, bertumbukan dengan mata Dio yang masih mengepungnya, menyebabkan dia tak bisa melarikan pandangan ke mana-mana.
Tahu-tahu saja pemuda itu menggenggam tangan kanan Nana kuat-kuat. " Lo kenapa? Jangan bikin gue khawatir."
125 52
Nana menghela napas. Elo. Elo, Dio, batinnya menyalahkan Dio, tapi mulutnya terkunci.
" Lo nggak mau cerita sama gue?"
Nana menggeleng. Tetap memilih diam. Dia harus menetralisir perasaannya. Nana yakin seribu kali yakin, berada di samping Dio membuatnya kesusahan mempertahankan deru jantungnya yang seakan ingin meledak.
Nana tersenyum tak ramah. " Apa sih lo? Sok perhatian!" ketusnya, yang tak lain adalah bentuk pelarian dirinya agar bisa beralih dari mata yang mampu menghipnotisnya itu.
" Gue memang selalu perhatian sama lo. Lo-nya aja yang nggak pernah sadar," Dio membela diri. " Eh, Na, lo nggak pernah pacaran ya?" tanya Dio tiba-tiba.
Nana menerawang. Seingatnya dia tidak pernah menjatuhkan diri dalam ikatan dengan lelaki mana pun. Dia menggeleng.
Dio terbelalak, tak percaya. " Serius? Cewek London nggak pernah pacaran?"
Nana mengembuskan napas kesal. " Denger ya, Tuan Diova, di sana gue hidup di asrama putri. Dan gue nggak terlalu berminat pacaran dengan western boy. I prefer oriental. Lebih perfect."
Dio menganga tak percaya. " Berarti gue perfect dong?" ucapnya polos.
Nana tertawa. " Kepedean lo ternyata hiper ya?"
Dio menganga lagi. Bukan karena jawaban Nana melenyapkan gelembung-gelembung harapannya, tapi apa tadi? Gadis itu tertawa!
" Lo ketawa, Na!"
Nana mengernyit. Hah?
" Dan gue suka lo ketawa," ucap Dio jujur, membuat Nana kembali tak menginjak tanah.
126 52
Nana menunduk, senyum simpul menghiasi wajah cantiknya. Dan itu pertama kali dia membiarkan dirinya jatuh terlalu dalam. Jatuh pada mata yang tak pernah dia prediksikan pesonanya. Dia sudah jatuh cinta terlalu dalam.
Dio mengusap pelan pipi Nana yang merona, tak menyangka, bahwa memenangkan hati gadis itu bisa semulus ini.
Nana menepis tangan Dio kasar. " Mobilnya udah bisa jalan. Cepetan!" seru Nana lantang.
Dio kaget, kemudian menatap Nana yang menunduk. Dio terkekeh pelan. " Lo salah tingkah," ucapnya mengagetkan Nana. Nana membuang muka. " Sok tahu lo!"
Dio kembali tertawa. " Atau lo baru sadar bahwa lo udah jatuh cinta sama gue?"
Nana melengos. Pede sekali.
Nana mengangkat tangan kirinya yang masih diperban. Dia bersama Karisa berjalan sedikit di belakang empat cowok keren BIHS. Bagi Nana, cowok-cowok itu hanya menang dalam hal tampang, kenapa murid-murid BIHS memperlakukan mereka seperti raja? Mestinya yang namanya siswa semua sama saja, kan? Lalu kenapa sistem kasta masih berlaku di sekolah yang katanya internasional itu?
Karisa menggandeng Nana, membuat gadis itu kaget dan meliriknya sekilas.
Karisa terkikik geli. " Kemarin lo sama Dio ngapain, hayooo?" godanya pada Nana.
Nana menarik napas panjang. Kenapa sih semua orang bersikap berlebihan? Sejak pagi Karisa, Stevan, Aga, dan Nathan menanyakan hal yang sama padanya.
127 52
" Kemarin kan gue pulang dari rumah sakit, yah nggak ngapangapainlah." Memang tak ada kejadian yang berarti bagi Nana kemarin. Dia hanya terjebak macet, dan... oh!
" Tatapan kalian itu lho, Na. Mmm... Tahu nggak, lo berhasil bikin Dio move on dari Acha?"
Nana merasa sesak saat Karisa menyebut nama itu. Nana memang egois. Dia tak ingin nama gadis masa lalu Dio disebut di depannya.
Nana menggeleng. " Gue sama dia nggak seperti yang kalian pikirin."
Karisa tertawa. " Well, kalian bakalan melangkah seperti yang kami pikirin."
Nana mengangkat bahu. " Terserah lo," ucapnya mengalah. Pada tahu nggak sih, belum ada kata sakral yang keluar dari mulut Dio padanya? Belum ada status yang jelas. Oh, melangkah seperti apa yang dipikirkan teman-temannya itu?
Nana berhenti saat melihat Livia datang dari arah berlawanan. Tatapan Nana mengeras. Tatapan mengepung langkah Livia yang belum disadari gadis itu.
Nana mengeluarkan ponsel.
To: Oom Ben
Oom, Nana belum ingin buru-buru karena kita masih punya waktu tahunan untuk menghancurkan mereka.
" Na..."
Not Until Karya Violita di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nana menoleh ke arah Karisa. " Apa?" " Kenapa berhenti?"
Nana menggeleng. Dia harus mengatur semuanya agar tidak runyam. Jangan sampai melibatkan teman-teman dekatnya.
128 52
Keenam temanan itu segera mencari tempat duduk paling strategis di kantin. Tumben-tumbennya kantin penuh, padahal belum jam istirahat.
Nana memilih duduk di samping Dio saat mereka berhasil mendapat tempat duduk, yang langsung membuat keempat temannya setengah gila karena senyum-senyum sendiri.
Dio sendiri tak mengacuhkan teman-temannya, tak mau peduli lebih tepatnya, walaupun Nathan berdeham keras tiga kali dari tadi.
" Lo kenapa, Than?" tanya Stevan, juga menahan tawa. Nathan mengangkat bahu. " Kenapa ya tenggorokan gue jadi gatel gini?"
Aga melengos. " Tenggorokan lo yang gatel atau mata lo yang gatel?" ujarnya menimpali.
Nathan dan Stevan terbahak. " Dua-duanya," ucap mereka spontan.
Karisa yang berada di sebelah Aga ikut tertawa. Nana melirik ke arah Karisa dengan kesal. Kenapa sih Dio tak menanggapi itu semua?
" Iri aja lo!" ucap Dio sambil menyeruput jus jeruk. Nana menunduk, ingin menyembunyikan raut wajahnya yang merona, sambil memainkan sepatu. Ia menoleh ke Dio saat merasa tangannya yang tertumpu pada kursi disentuh.
Dio tersenyum lebar pada Nana. " Lo belum makan dari tadi pagi. Cepetan makan," kata Dio dengan nada lembut, yang membuat Nana melambung.
Nana mengangguk saja. Entah sejak kapan dia mulai menuruti anjuran Dio.
129 52
Dio melirik Nana sekilas. Rasa bosan mulai mekar dalam dirinya. Bagaimana tidak? Sejak setengah jam lalu Dio hanya berdiam diri sambil duduk manis di samping Nana yang membaca buku. Dio sempat melirik judulnya tadi. Itu semcacam buku untuk pengusaha, berbahasa Inggris.
Dio tersenyum saat mendapatkan sesuatu. Sesuatu yang bisa membuat Nana mengalihkan perhatian padanya. Ia memiringkan posisi duduknya, kemudian memajukan badannya, menatap wajah Nana yang sedang serius. Lama sekali Dio menahan badan sampai Nana mengalihkan perhatian padanya.
Nana menoleh pada Dio. Jantungnya berdebar keras saat Dio berada di posisi itu. Tadi dia memang meminta Dio menemaninya ke taman. Pemuda itu mengangguk saja tanpa tahu diajak Nana ke taman belakang sekolah untuk menemaninya baca buku.
" Apa sih, Yo?" tanya Nana ketus. Ia menunduk, pura-pura membaca buku saat menyadari pipinya merona.
" Nggak enak banget sih dianggurin," ucap Dio lantang dengan nada menyedihkan, seolah membuat diri terlihat semakin memprihatinkan. Dia mengembalikan posisi badannya ke semula, duduk di samping Nana.
Nana menatap Dio sekilas. Perasaan bersalah mulai menyapa. Terlebih melihat Dio memasang tampang pilu. Sepertinya pemuda itu terjebak di dalam lubang hitam yang sangat lama. " Aku kan lagi baca," jawab Nana pelan, mencoba memberi pengertian.
Saat itu jam kosong. Siapa juga yang tak mau memanfaatkan jam kosong? Nana memanfaatkannya dengan membaca, demi mendalami perusahaan keluarga papanya.
Dio membelalak. Apa tadi?! Aku? Sejak kapan Nana memakai
130 52
aku-kamu dalam percakapan mereka? Itu baru pertama kali dia mendengar Nana mengatakan " aku" selain kepada Oom Ben.
Dio tersenyum manis ke arah Nana. Saat mengacak rambut gadis itu, ada perasaan nyaman yang luar biasa, hingga dia tak ingin melepaskan sentuhannya. Jantungnya berdebar keras.
Nana merengut saat Dio mengacak rambutnya. Bukan karena Dio mengacak rambutnya, tapi karena ada perasaan lain yang merasuki sanubarinya, perasaan yang tak bisa dia jelaskan dengan kata-kata.
Perasaan aneh yang hanya muncul saat dia berada di dekat Dio.
Nana berdeham. Sadar akan satu hal: dia tak boleh mendekati Dio, sesuai janjinya kepada Acha. Ia mengalihkan pandangan, menatap lurus ke depan. Kalau terus-terusan begini, bisa-bisa Acha menangis di depannya, seolah Nana telah merebut mainan paling berharga miliknya.
Dio sadar akan perubahan sikap Nana. Ada sesuatu yang dipikirkan Nana.
" Na, kenapa sih? Nggak suka gue di sini?"
Nana mengalihkan pandangan pada Dio. Pemuda itu menatapnya dalam, membekap Nana dalam tatapannya hingga Nana tak bisa mengalihkan pandangan.
" Lo lagi mimpi ya? Jelas-jelas gue yang ngajak lo ke sini tadi," ucap Nana gelisah, menahan hawa panas dari dalam dirinya garagara tatapan Dio.
Dio terkekeh pelan. " Gue bosen, Nanaaaaa..."
Nana mengangguk-angguk, kemudian menutup buku. Dia menggeser tubuhnya agar sedikit menjauh dari Dio, membentuk jarak di antara mereka. Nana tahu, sedikit lagi dia berada dalam
131 52
jarak sedekat itu dengan Dio, hatinya akan menggembung dan meledak, persis balon gas kena panas.
Dio mengernyit. " Na, ngapain sih jauh-jauhan? Kayak musuhan aja," tegur Dio tak suka, menarik lengan Nana, menyuruh Nana mendekat.
Nana yang merasakan sengatan dalam dirinya menurut saja. Sensasi aneh itu datang lagi. Nana tertegun. Apa dia benar-benar menyukai Dio?
Dio menggeser duduknya pelan, kemudian memiringkan kepala, bersandar di bahu Nana, membuat gadis itu membeku, tak mampu bergerak, bahkan berhenti bernapas.
Nana merasakan debaran jantungnya semakin keras. Dia berusaha menarik bahunya, tapi kepala Dio terus menahan.
" Yo, jangan manja deh," ucap Nana, " Acha nggak suka kita deket."
Dio menarik kepalanya, menatap Nana dengan pandangan tidak suka.
Nana menggigit bagian dalam bibirnya. Apa dia sudah membuat Dio marah?
" Apa dia punya hak larang-larang kamu?" tanya Dio. Nana mengernyit. " Dio! Dia masih ada rasa sama kamu!" ucapnya keras. Mencoba membuka mata Dio pada kenyataan yang ada.
Dio kaget. Ucapan Nana yang blakblakan itu membangunkannya. Dia tahu Acha masih mengharapkannya.
Dio menatap kosong. Terbayang olehnya saat dia memergoki Acha berselingkuh dengan Kelvin. Hatinya perih.
" Gue sama dia udah berakhir. Perasaan gue sama dia udah nggak ada sejak dia selingkuh," ucap Dio pelan.
Nana tak berkomentar. Dia pernah mendengarnya, dulu Dio
132 52
sangat menyayangi Acha tapi sayangnya gadis itu malah mengkhianati kepercayaan Dio.
Omong-omong soal mengkhianati kepercayaan, Nana tahu benar rasanya dikhianati.
Dio menoleh, kemudian tersenyum pada Nana. Sadar bahwa dia menyebabkan kecanggungan itu. Ia menghela napas. " Dulu gue sama Acha bener-bener deket. Sampai gue mengira dia adalah segalanya." Dio tersenyum miris membayangkan hal tersebut.
Nana memilih diam, tak tahu maksud Dio menceritakan hal itu. Namun pandangan pemuda itu... tatapan lembutnya... Darah Nana berdesir. Entah kenapa, dia tak suka Dio menceritakan tentang Acha terang-terangan.
" Bahkan setelah tahu dia selingkuh, gue masih tetap pacaran sama dia, masih menyayangi dia. Sampai detik ini pun gue masih mau menyayangi dia," ucap Dio lirih.
Nana tertegun mendengarnya. Dio jelas-jelas mengatakan bahwa dia menyayangi Acha. Lalu kenapa dia masih merasakan jantungnya berdebar keras saat menyadari hal itu? Bersikaplah masa bodoh, Nana, pintanya dalam hati.
" Sekarang gue sadar dia bukan lagi kebahagiaan gue." Dio menatap Nana. " Kebahagiaan gue, sekarang ada di depan mata gue."
Nana terperangah mendapatkan pernyataan tersebut. Baru saja dia menekankan bahwa apa yang dia rasakan sudah tak boleh diteruskan. Lagi-lagi pemuda itu membuatnya melambung. Ia berusaha menghindari tatapan Dio, takut tak bisa mengendalikan diri.
Dio menggenggam tangan Nana erat. " Aku sayang kamu. Kamu juga... merasakan hal yang sama, kan?"
Nana terperangkap dalam beningnya mata Dio. Ia kehilangan
133 52
kemampuan bicara, lidahnya kelu. Dadanya sesak, lupa caranya menghirup oksigen.
Sender: Dio
Already in parking area.
Nana mengembuskan napas berat. Dia menutup tumpukan laporan perusahaan beberapa tahun yang tadi diberikan Oom Ben. Nana ke kantor oomnya secara rutin, memelajari banyak hal. " Sudah dijemput?" tanya Oom Ben dari meja kerja. Nana mengangguk datar. Oom Ben sudah tahu hubungannya dengan Dio.
" Aku pulang dulu ya, Oom," pamit Nana, beranjak mengambil tas yang tergeletak sembarangan di meja.
Oom Ben dengan cepat menghampiri Nana. Di tangannya ada berkas kuning. " Ini kamu pelajari. Oom dapat dari website Natara."
Nana mengangguk, kemudian berjalan menuju pintu. Ia melangkah menuju lift dengan cepat, tak mau membuat Dio menunggu terlalu lama.
Dio berdiri tak jauh dari mobil. Sedang menimbang-nimbang untuk menghampiri ruangan Oom Ben untuk menjemput Nana yang tak kunjung datang dan tak membalas pesan singkatnya. Namun saat melihat Nana tak jauh di depannya, ia menghela napas lega.
Dio melihat di tangan Nana ada berkas-berkas perusahaan. Meskipun tidak tahu tujuan Nana yang seperti terburu-buru masuk ke dunia bisnis, dia tak pernah bertanya, memilih mengikuti saja alurnya bersama gadis itu. Dio tahu Nana tak suka dipaksa.
134 52
" Bukan cuma sekolah yang punya PR," ucap Dio sambil melirik ke berkas yang dibawa Nana.
Nana segera menjejalkan berkas tersebut ke tas. " Aku kan bilang, nggak usah jemput, Yo," ucap Nana.
Dio mengangguk-angguk, tahu Nana tak ingin dia menjemputnya dengan alasan tak ingin merepotkan. Namun melihat kondisi Nana yang selalu pulang larut, bahkan hingga jam sepuluh malam seperti saat itu, membuat Dio berpikir dua kali.
Dio tersenyum. " Aku sukarela kok, Na. Catet ya, suka dan rela," ucapnya yang membuat Nana memutar bola mata.
Dio membukakan pintu bagi Nana, menimbulkan getaran halus dalam hati Nana. Sesaat kemudian Dio berada di depan kemudi dan mereka mulai membelah jalanan Jakarta.
Nana menelan ludah, mengamati lampu jalanan yang menerangi langit. Dia sudah maju sejauh itu, dan tak mungkin mundur. Ia menghela napas. Kesedihan kembali datang dan menghantui. Dia kesepian, merindukan kehangatan keluarga. Keluarga Natara memang tak bisa diampuni.
Nana mengatupkan bibir. Pernyataan bahwa Dio menyayanginya mengganggu pikirannya. Lelaki itu... ah!
" Ngapain liatin aku segitunya sih?"
Nana tertegun, lalu tersenyum. " Kukira kamu marah." " Marah?"
Nana mengangguk, memang menyangka Dio marah karena tak membalas pesan singkatnya.
" Udah makan?" Dio mengalihkan topik.
Nana menggeleng, baru sadar belum mengisi perut. " Selalu kayak gitu. Kalau telat makan, siapa yang sakit? Siapa yang repot?"
135 52
" Kenapa jadi marah-marah sih?" balas Nana ketus, pandangannya dialihkan ke jalanan.
Dio menatap Nana. " Aku marah buat siapa, Na?" ucapnya, nadanya diperhalus agar ketegangan di antara mereka mereda. " Nanti aku makan," balas Nana, terdengar tak suka. Dio tersenyum, sebelah tangannya mengusap puncak kepala Nana, tak ingin gadis itu marah.
Nana melirik Dio. Ia tak bisa melupakan ekspresi sedih Dio saat menceritakan hubungannya dan Acha tadi siang. Diam-diam hati Nana berdenyut ngilu.
" Kenapa harus datang ke kantor? Apa nggak bisa dipelajari di rumah aja?" tutur Dio, menghentikan mobil karena lampu merah.
Nana menggeleng.
Dio mendesah, ternyata Nana belum juga membuka diri untuknya.
Dio bergeming.
Nana memiringkan badan, menatap Dio dengan pandangan sayang, seolah lupa bahwa dia dan pemuda itu hampir berseteru.
" Kamu sama Oom Ben... kalian... kenapa bisa deket banget?" Sebenarnya Nana sudah lama penasaran perihal ini.
Dio mengangkat alis, mencoba mengingat pertemuan singkat dengan Oom Ben lebih dari dua tahun lalu. Ia tersenyum. " Biliar." Nana terdiam.
" Kami kenal karena biliar. Waktu itu, dua bulan sebelum masuk SMA, aku, Stevan, Aga, dan Nathan sering main di tempat yang sama. Kami tahu siapa Bos Ben. Dia yang paling jago di tempat
136 52
itu. Waktu itu dia nantangin kami berempat tanding, yang menang boleh main gratis."
Dio melirik Nana, menginjak pedal gas karena lampu merah berubah menjadi kuning dan hijau. " Hasilnya draw. Bos Ben ngusulin main sekali lagi. Tapi kami nolak. Sejak itu aku dan Stevan kenal sama Nathan dan Aga. Kami sama-sama tahu kami pelanggan di tempat itu, tapi belum pernah kenalan."
Nana manggut-manggut mendengar cerita tersebut. " Jadi kalian kenal karena pamanku?"
Dio tersenyum, kemudian mengangguk. " Pas SMA ternyata kami sekelas. Dan terus sama-sama sampai sekarang."
Nana tertegun saat mobil Dio berhenti. Dia melihat sekeliling. Ini lingkungan rumahnya.
Hah? Cepat sekali mereka tiba?
Dio mengacak rambut Nana. " Sudah sampai, Nona," kata Dio dengan nada dibuat-buat.
Nana tersenyum kecil, mencubit pipi Dio gemas, kemudian turun sambil berucap, " Makasih ya."
137 52
ENGATAN udara Jakarta membuat Nana ingin mandi. Benar, ozon atmosfer menipis, apalagi setelah dia merasakan sinar matahari yang menyengat jaraknya hanya sejengkal.
Nana mengeluarkan buku tulis merah, kemudian mengipasngipaskannya tepat di depan muka. Dia menunggu Dio sejak satu jam lalu, tetapi pemuda itu belum juga menampakkan batang hidungnya.
Huh!
Sejak kapan Nana sering mengomel seperti itu? Nana menoleh ke kiri saat mendengar suara mesin mobil melaju ke arahnya. Dia hafal suara mesin itu sehingga tanpa menoleh pun perkiraannya tepat seratus persen. Di sekolah itu memang hanya Dio yang memiliki mobil Audy.
138 52
Dio menghentikan mobil di depan Nana. Dengan gerakan cepat dia keluar dari mobil, kemudian menatap Nana dengan perasaan bersalah. Kedua tangannya disatukan, kemudian dia letakkan tepat di depan wajah. " Sorry, Na," ucap Dio sungguh-sungguh.
Nana hanya menatap dingin, tersenyum kecil, lalu mengalihkan pandangan ke segala arah. Yang penting tidak tertumpu pada mata Dio.
" Na," panggil Dio.
" Ya udah, jalan aja yuk," jawab Nana pelan.
Nana tahu pemuda di sampingnya itu merasa bersalah, tapi juga tak menutupi kenyataan bahwa dia kesal. Iya dia kesal karena Dio selalu menomorduakannya gara-gara kecintaannya pada futsal. Apa dia tak cukup menarik? Huh!
Dio menghela napas, kemudian menginjak pedal gas mobil. Sesekali dia melirik ke arah Nana yang masih terlihat kesal. Bahkan setelah lima menit perjalanan, Nana masih enggan memalingkan muka untuk menghadap ke arahnya.
Sebenarnya... ada apa dengan Nana? Kenapa akhir-akhir ini Dio merasa Nana sedikit manja padanya?
" Nggg... apa mau makan dulu sebelum pulang?" Dio mendapat jawaban berupa anggukan. Si gadis tak menoleh sedikit pun.
Rupanya Nana lebih tertarik dengan pemandangan yang tak diduganya di kiri jalan. Livia terlihat berdiri, mungkin menunggu seseorang. Pandangan Nana mengeras. Ia membelai tangan kirinya yang masih diperban. Dia harus mengambil langkah cepat untuk menghancurkan Livia dan dayang-dayang berupa oom dan tantenya.
" Na..."
Kalau saja semuanya tak terjadi, Nana tak akan setega itu ke
139 52
pada sahabatnya sendiri. Sahabat? Cih! Sahabat harusnya saling percaya, bukan malah saling menuduh. Tanpa sadar Nana terus menatap Livia dari kaca spion mobil. Bahkan gadis itu tak mendengar Dio yang sudah memanggilnya lebih dari tiga kali. " Nana..."
Nana tersentak. Kembali ke dunia nyata lagi. Ia menoleh, kemudian menatap Dio yang sempat menengok ke arahnya. Tatapan pemuda itu menyelidik, seolah ada yang salah dalam dirinya. Eh? Apa? Bukannya dia sedang marahan dengan pemuda itu?
" Gue minta maaf, bener-bener minta maaf. Lo jangan kayak gini dong!" pinta Dio.
Nana ingin tertawa mengingat Dio jarang menampilkan ekspresi semacam itu kepada orang lain. Tiba-tiba ide jail untuk mengerjai Dio tercetus begitu saja.
Nana mendesah berat, kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain.
" Na..."
" APA?" seru Nana keras.
Dio spontan menoleh ke arah Nana yang sepertinya gerah dipanggil terus-menerus. Tanpa mengurangi konsentrasi, tangan kiri Dio menggenggam tangan Nana.
Nana kaget bukan main karena merasakan darahnya mendesir hebat saat tangan Dio menggenggam tangannya. Dengan spontan ia menarik tangan, kemudian menoleh tidak percaya ke arah Dio.
" Apa sih, pegang-pegang sembarangan?!" sungut Nana kesal. Dio mengangkat alis. Dia mengurangi kecepatan mobil karena di depan lampu menyala merah. Dia harus mencari cara agar Nana tidak marah.
140 52
Nana melirik Dio. Sepertinya pemuda itu kehabisan akal. Apa hanya segitu perjuangannya?
Nana kembali berpikir, sejak kapan dia mulai mengharap perhatian Dio? Sejak kapan perasaan asing itu muncul? " Udahlah, Na. Jangan cemburu sama bola dong, please..." Nana mengangkat alis. Cemburu? Bola? Jangan harap. " Siapa yang cemburu?"
Dio mencondongkan badan ke arah Nana, kemudian tersenyum manis. " Lo. Kenapa lo manja banget sama gue sih?" Apa?
Nana mendorong tubuh Dio hingga terdengar bunyi " buk" karena badan Dio membentur kaca jendela. Spontan pemuda itu mengaduh pelan.
" Nggak usah ngomong yang nggak-nggak deh," tanggap Nana, berusaha menormalkan detakan jantungnya yang semakin parah karena senyuman Dio tadi.
Nana tak habis pikir, sejak kapan senyum itu dapat meluluhlantakkan hatinya seperti ini?
" Lo... salah tingkah," ucap Dio tertawa renyah. Sangat renyah hingga membuat telinga Nana mencandu mendengar tawa itu.
Nana mengerjap, tersadar. Dengan cepat dia membuang napas kesal. Cemburu? Salah tingkah? Siapa? Dia? Tidak sama sekali!
" Bangun, Nana sayang."
" Kalau Nana nggak bangun, Mama sama Papa nggak mau nemenin Nana main lagi."
" Nana."
Nana mengerjap. Terbangun dari tidur. Akhir-akhir itu dia sering memimpikan mama dan papanya. Bukan, itu bukan seperti mimpi.
141 52
Memori Nana hanya menampilkan apa yang pernah ia alami bersama kedua orangtuanya.
Nana merindukan sentuhan kasih sayang orangtuanya. Sungguh.
Nana menyatukan tangan. Kenapa? Kenapa waktu begitu cepat memisahkan dia dari orang-orang yang dia sayangi? Kenapa?
Pembawa sial.
Nana menutup mata saat sakit itu mulai terasa lagi. Hatinya bak diiris pisau tajam. Kenapa dia tak diperlakukan adil?
Air mulai mengalir dari kedua mata Nana yang tertutup. Semua yang pernah ia alami membuatnya mati rasa. Bahkan ia bingung saat sadar dirinya tidak terbaring di kasur.
Wuss...
Bunyi deburan ombak.
Nana membuka mata. Astaga. Di mana ini?
Mata Nana mencari ke sana kemari saat tak menemukan seorang pun di sekitarnya. Ia mengerjap ketika samar-samar terlihat orang duduk menghadap pantai, tak jauh dari mobil tempatnya berada.
Nana turun dari mobil dengan membanting pintu. Membuat orang yang tertangkap matanya tadi menoleh ke arahnya. Orang itu malah tersenyum dan melambaikan tangan, mengajak Nana mendekat.
Nana duduk di pembatas jalan dan pantai. Hatinya resah karena mimpinya tadi.
" Gue pikir lo bakal marah-marah karena gue nggak bilangbilang dulu bawa lo ke sini. Tapi tenang aja, gue udah izin sama Bos Ben dan dia dengan senang hati memperbolehkan." Dio mengusap rambut Nana lembut.
142 52
Nana tak menggubris. Tak mendengar, tepatnya. Pikirannya terpecah hingga membuat indra pendengarannya tak bekerja.
Nana tak ingin menjadi lemah. Tapi di situlah Nana berada, di titik terlemahnya. Dia tak bisa berbohong bahwa dia sanggup menahan semua itu. Dia bukan gadis kuat yang bisa membohongi perasaan. Bulir-bulir air mata jatuh tanpa Nana sadari.
Dio kaget bukan main saat melihat Nana menangis dalam diam. Apa yang membuat gadis itu menangis?
Dio menggeser duduknya, memperpendek jarak di antara mereka. Tangannya melingkari tubuh Nana, menyandarkan kepala Nana di dada bidangnya, memeluk gadis itu dari samping. Dio hanya berharap Nana bisa menghentikan tangisnya. " Kenapa... kenapa lo belum juga membagi kesedihan lo sama orang lain? Kenapa lo masih simpen sendiri? Gue ada di sini, Na, buat lo. Kenapa lo belum juga menyadarinya?"
Nana termangu saat mendengar keluhan Dio, tetapi tetap menatap pantai pada pagi itu dengan nanar. Detik berikutnya ia menegakkan tubuh, melebarkan jarak dengan Dio.
Tangan kanan Nana mengusap pelan matanya yang mulai bengkak. " Lo tahu kan, Yo, gue yatim."
Dio mengangguk pelan.
" Gue nggak punya ayah saat berumur sepuluh tahun," tutur Nana, " tapi masih ingat kenapa Papa meninggal."
Nana tersenyum pedih. " Papa meninggal saat mau menjemput gue di sekolah. Waktu itu hujan deras banget. Papa telepon ke sekolah dan bilang supaya gue nunggu di sekolah. Gue nangis karena temen-temen udah pulang semuanya, tinggal beberapa guru. Gue takut. Gue terus merengek, padahal Papa bilang, hujannya menghalangi penghilatan Papa saat nyetir."
Nana menghirup udara dalam-dalam.
143 52
" Papa akhirnya setuju untuk menjemput gue. Gue langsung berhenti nangis dan nunggu di dekat gerbang sekolah, di tempat satpam. Waktu itu masih gerimis, tapi langit udah menurunkan awan-awan kelamnya. Dan udah ada cahaya matahari, meskipun masih hujan."
Nana berusaha menahan bulir-bulir air mata supaya tidak turun lagi.
" Satu jam gue nunggu, Papa belum juga datang. Bahkan cuaca yang sempat panas ngasih tanda mau hujan kembali. Akhirnya papa sahabat gue yang menjemput gue."
Nana menghela napas berat.
" Mobil Papa nabrak pohon karena jalanan licin. Papa meninggal seketika."
Nana menunduk.
" Para guru di sekolah nyalahin gue. Kalau aja gue nggak merengek minta jemput, kecelakaan itu nggak bakalan terjadi. Gue syok karena temen-temen bilang, gara-gara sifat gue yang manja, gue kehilangan Papa."
" Itu takdir, Na."
Nana mengangguk beberapa kali. " Gue sadar itu takdir, tapi teman-teman nggak ada yang mau ngedeketin gue saat itu. Gue bener-bener kesepian. Papa baik banget, banyak orang yang kenal, dan banyak orang yang menyayangkan kematiannya." Dio bungkam.
" Gue sadar posisi gue. Gue lebih banyak diam akhirnya. Iya, diam membuat keadaan terasa lebih baik."
Dio mengusap punggung Nana pelan, kehabisan kata-kata. " Setahun kemudian Mama memutuskan menikah lagi. Jelas gue nggak terima. Tapi gue bisa apa? Semua orang nyalahin gue. Termasuk ucapan papa tiri gue waktu itu."
Not Until Karya Violita di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
144 52
Nana tersenyum sinis. " Saat marah, dia keceplosan bilang, Kamu mau protes apa, Nana? Apa kamu lupa sama kesalahanmu yang membuat sedih semua orang? Jelas kesalahan itu mengarah pada kematian Papa yang disebabkan rengekan gue. Gue terus-terusan nyalahin diri gue sejak itu."
Air muka Nana mengeras. " Akhirnya gue tahu kematian Papa bukan kesalahan gue. Kematian Papa nggak wajar." Dio menatap Nana terkejut. " Maksudnya?"
Nana menatap ke arah laut. " Rem mobil Papa blong dan tercium kalium sianida di mobilnya. Oom Ben yang bilang sama gue saat kami bertemu di London."
Nana tersadar sudah bicara terlalu banyak. Ia melirik Dio. Tidak. Dia tak akan melibatkan siapa-siapa dalam rencananya, termasuk Dio, orang yang saat itu paling berarti baginya. Dia tak akan membiarkan Dio terlibat dan celaka.
Gadis itu memandang Dio, tersenyum manis. " Makasih ya, lo orang pertama yang tahu soal masa lalu gue."
Dio mengusap pelan pipi Nana. " Makasih udah percaya sama gue." Dengan satu gerakan cepat Dio menarik Nana ke dalam pelukannya.
Nana hanya terdiam. Ya, dia tak akan membiarkan orang lain mengetahui lebih jauh. Dia tak akan melibatkan siapa-siapa.
Sesaat kemudian Nana tersentak saat menyadari apa yang berada di belakang Dio. Bunga yang sudah lama tidak ia lihat. " Dandelion."
Dio melepas pelukannya, teringat tujuannya membawa Nana ke pantai utara Jawa Barat itu.
" Ini kan tanaman liar, kenapa bisa ada di pot gini sih?" sungut Nana kala meraih pot yang disodorkan Dio.
Dio hanya tersenyum. " Sebelum dia mati," Dio membuka plastik,
145 52
lalu memetik dandelion, dan memberikannya pada Nana, " make a wish."
Ucapan Dio menggerakkan saraf senyum Nana. Sepenuh hati Nana meniup dandelion. Dengan bantuan angin laut yang cukup kencang, helai demi helai bunga dandelion beterbangan, seolah senang dipermainkan angin.
Nana tersenyum senang mengamatinya. " Kenapa cuma satu tangkai?"
Dio tersenyum. " Karena gue tahu, yang lo pengin bukan mawar, tapi bunga itu."
Nana terbelalak. " Dari mana lo tahu?"
Dio mengetuk-ngetuk kepala dengan telunjuk. " Think." Nana diam. Bukan itu jawaban yang dia minta.
" Bos Ben yang bilang. Katanya, gue harus bikin lo seneng hari ini."
Nana mengernyit. " Kenapa?" Dio mengangkat bahu.
Suasana hening. Dio maupun Nana tak tahu harus mengatakan apa. Mereka sesekali mencuri pandang, canggung dengan keadaan seperti itu.
" Lo mau dibilang mirip dandelion, Na?"
Nana menoleh ke arah Dio, seketika menggeleng. " Gue bukan tipe manusia yang nerima aja dipermainkan orang lain. Kayak dandelion yang dipermainkan angin. Selama masih bisa memperjuangkan nasib, gue akan berusaha terus, nggak seperti dandelion yang pasrah aja diterbangkan angin."
Nana tersenyum. " Gue lebih mirip mawar daripada dandelion."
Dio mengangkat alis. " Cantik, tapi berduri."
146 52
Nana menahan senyum. " Gue anggap itu pujian," ucapnya, kemudian berdiri.
Dio menatap Nana penuh tanda tanya. " Ke mana?" " C mon. Katanya lo mau bikin gue seneng seharian ini?"
Aga mulai gelisah saat Dio dan Nana belum juga tampak di sekolah. Kemarin keduanya bolos bersama. Sekarang mereka akan bolos lagi? Aga benar-benar tak habis pikir. Sebenarnya ada hubungan apa di antara mereka berdua?
" Mereka ke mana sih? Lima menit lagi bel nih," ucap Karisa yang juga gelisah menunggu Nana. Dia takut temannya itu kenapa-napa lagi.
" Nana nggak apa-apa, Sa. Jangan parno deh," ucap Stevan yang duduk di depannya menenangkan. Dia mengusap pelan tangan Karisa, mau tak mau menimbulkan senyuman di wajah Karisa.
Aga menyenggol bahu Nathan saat melihat pemandangan di depannya. Nathan hanya tertawa, kemudian membisikkan sesuatu kepada Aga. Mereka berbisik-bisik satu sama lain.
Stevan yang mendapati pemandangan itu langsung melempar tatapan tajam kepada dua temannya. Dia menjauhkan diri dari Karisa, kemudian menghampiri dua temannya. " Lo berdua lagi ngomongin apa?"
Nathan dan Aga langsung bungkam begitu mendapati Stevan di depan mereka. Keduanya spontan terkikik geli. " Lo sama Karisa jadian setelah nge-date kemarin, kan?" tebak Nathan seketika.
Stevan baru saja akan membuka mulut, tapi suara Karisa keburu memenuhi pendengarannya.
" Nana!" teriak gadis itu.
147 52
Dari arah gedung utama terlihat Nana dan Dio yang datang bersama.
Karisa langsung menghampiri Nana. " Kemarin lo ke mana aja?" Nana menatap Dio yang berjalan di depannya sebentar. Keduanya malah melempar pandangan ke arah lain bersamasama.
" Gue ada urusan kemarin," jawab Nana seadanya. Nana kembali melirik Dio, yang terlihat terlibat pembicaraan serius dengan Aga, Nathan, dan Stevan. Ia masih mengingat jelas bagaimana pemuda itu marah kepadanya tadi pagi saat menjemputnya.
Nana makan roti panggang dengan lahap. Dia memang kelaparan setelah diculik seharian kemarin dan baru sadar tak mandi seharian kemarin.
" Pagi. Udah mandi belum lo?"
Nana hanya melirik sekilas, kemudian melanjutkan makan roti.
" Lo kayak bunglon, tahu nggak, Na? Dikit-dikit berubah, dikitdikit berubah."
Nana menganga karena rotinya disambar Dio.
Nana mendelik. " Bisa kan lo ambil di sana," tunjuknya pada piring roti bakar di depan Nana.
" Yah& gue maunya yang ada bekas tangan lo, gimana dong?" ucap Dio menggoda Nana.
Nana mengerjap, kemudian mengambil tas. " Ayo berangkat!" Dio mencibir. " Dasar Princess Bunglon!"
Nana menghentikan langkah, menatap Dio datar. " Lo bilang gue apa?"
148 52
" Princess Bunglon."
Nana menyikut perut Dio dengan kasar, lalu pergi begitu saja, tidak memedulikan erangan Dio yang kesakitan di belakangnya.
Dan setelah itu Dio tak mengajak Nana bicara sepanjang perjalanan. Bukankah dia yang salah? Dio sendiri yang memberikan gelar tak diinginkan kepada Nana. Lalu kenapa pula dia yang marah?
Nana hanya memandang datar ke arah Dio, kemudian kembali memandang Karisa.
" Yakin lo nggak ke mana-mana sama Dio?"
Nana menggeleng. " Lo sendiri& ke mana aja sama Stevan kemarin?" balas Nana, yang spontan membuat wajah Karisa memerah karena malu. " Kenapa kalian belum masuk kelas?" ucap Nana mengalihkan pembicaraan.
Karisa mencelos. " Nungguin kalian lah!" Nana kaget. " Lo kenapa, Sa?"
Karisa menggeleng. " Nggak apa-apa."
Terlihat Aga yang melambaikan tangan ke arah mereka, menyuruh mendekat.
Karisa langsung mengangguk, kemudian menarik tangan Nana agar berjalan karena bel sudah berbunyi.
Stevan dan Karisa terlihat asyik berbicara berdua sepanjang perjalanan ke kelas. Aga, Dio, dan Nathan entah membicarakan apa, sampai-sampai mereka meninggalkan Nana berjalan sendirian.
Saat Nana akan masuk ke kelas... Byuuur...
Nana segera menyingkir dari air yang mendadak tumpah di
149 52
dekatnya. Jantungnya berdegup kencang. Karena teman-temannya jauh di depannya maka tak tahu insiden tersebut.
Nana meringis. Tangan kirinya yang masih diperban dan terkena air tadi terasa panas. Kulit di sekitarnya memerah.
Nana berjongkok. Ia mencelupkan ujung telunjuknya ke tumpahan air yang menggenang di lantai. Berasap. Spontan ia menarik tangannya. Astaga! Air panas!
Satu nama langsung tercetus di pikiran Nana.
150 52
PA?!"
Oom Ben geram saat melihat bagian tangan kiri Nana yang tak tertutup perban masih kemerahan. Itu karena cipratan air panas yang tadi disiramkan
seseorang.
" Kurang ajar!" Oom Ben marah sekaligus tak tega keponakannya menjadi korban. Mereka harus bertindak cepat. Mereka perlu segera menyusun strategi untuk menghancurkan mantan keluarga Nana.
" Seharusnya kamu langsung memberitahu Oom, Nana!" Rencana paling baru tersusun dalam otak Nana. Ya, dia masih ingat soal undangan dengan nama perusahaan Namajaya.
Oom Ben memandang Nana tak mengerti. Gadis itu fokus pada pikirannya sendiri. Tapi ia tak akan mengganggu Nana. Gadis itu
151 52
terlalu pintar, dan Oom Ben menyadari itu saat dia menceritakan peristiwa yang sebenarnya terjadi pada ayah kandungnya. " Oom," panggil Nana.
Oom Ben menoleh, melihat mata Nana berbinar, ingin menyampaikan sesuatu.
" Tender di Bogor, aku ikut ya?" ucap Nana. " Sudah saatnya kita say hi sama mereka."
Oom Ben tersenyum lebar. Ya, inilah momen yang selama ini ditunggunya: Nana membuka gerbang perang.
" Kamu yakin?" ucap Oom Ben memastikan.
Nana mengangguk mantap. " Mereka harus tahu bagaimana nyawa dibalas nyawa."
Walaupun sudah bertahun-tahun perusahaan ini Ben kelola dengan baik, ia tak berniat mengambil jatah Nana. Dia tak akan pernah melupakan kakak kandungnya yang diperlakukan tidak adil oleh keluarga barunya.
Nana mengingat sesuatu. " Oom?" " Ada apa, Nana?"
" Mmm..." Nana ragu. " Kenapa..." Ah, kenapa dia malah gugup? " Kenapa Oom ngizinin Dio ngajak aku pergi pagi itu?"
Oom Ben menyipit, mencoba mengingat-ingat kejadian itu. " Dia bilang dia mau bikin kamu senang karena baru aja keluar dari rumah sakit."
Kenapa jawaban Oom Ben berbeda dengan ucapan Dio? " Bukannya Oom yang nyuruh dia supaya bawa aku?"
Oom Ben menautkan alis, tak mengerti tuduhan Nana. Rasanya dia tak pernah berbicara seperti itu. Subuh itu, saat Ben baru saja pulang dari kantor, Dio sudah ada di teras rumahnya. Pemuda itu minta izin untuk mengajak Nana jalan-jalan seharian dan membe
152 52
rikan suprise. Dio sempat menanyakan bunga kesukaan Nana. Ben hanya mengangguk karena sangat mengantuk. Tapi kenapa... " Ah, iya ya? Oom lupa," ralat Oom Ben, berbohong. Nana mencium gelagat aneh pada Oom Ben. Dia yakin ada yang Oom Ben sembunyikan darinya. Kenapa harus disembunyikan?
" Yang penting hari itu kamu bahagia kan, Nana? Dia benarbenar sayang sama kamu."
Wesi Adji Belambangan Karya Hartanto Ps Fear Street Petualang Malam Night Games Misteri Elang Hitam Karya Aryani W
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama