Not Until Karya Violita Bagian 3
Nana tertunduk malu. " Dan kamu juga, kan?"
Nana mengangkat wajah dan melihat Oom Ben yang tersenyum menggoda. Wajahnya terasa panas. Setelah beberapa detik, Nana kembali menunduk, menghitung luas ubin di situ. Dia mendadak merasa bodoh.
" Tapi, Nana, Oom harap kamu tidak melupakan alasanmu datang ke Jakarta. Kalau ingin menang, kamu harus fokus. Singkirkan penghalangmu."
Dio menatap ragu ke arah Nana. Sejak kemarin dia belum bertegur sapa dengan Nana, walaupun mereka pulang bersama. Kemarin, saat menjemput Nana dari kantor, gadis itu diam seribu bahasa. Bahkan saat turun dari mobil Dio pun, Nana membuka pintu dengan cepat lalu berjalan begitu saja, tanpa mengucapkan sepatah kata.
Dan di sekolah ada saja alasan yang membuat Dio kesal. Kenapa parkir harus dipindahkan ke tempat yang lebih jauh dari kelas mereka? Membuat dia dan Nana harus lebih lama berjalan dalam diam. Dio tidak tahu apa yang dipikirkan Nana.
153 52
Nana berhenti, menoleh ke samping, dan melihat Dio melakukan gerakan yang sama. Pandangan mereka bertemu. Nana merasa detak jantungnya memburu.
" Gue ke toilet dulu. Lo nggak usah nungguin," ucap Nana ketus, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain.
Dio mencibir. " Siapa yang mau nungguin lo? Bunglon!" balasnya sengit, kemudian melangkah mendahului Nana. Lho kenapa mereka malah bertengkar secara terang-terangan seperti itu?
Nana menatap punggung Dio, merasa tak percaya. Juga kesal. Ya, sebenarnya dia hanya kesal kepada Dio yang tak mau mengerti dirinya. Sejak kemarin pemuda itu terus-terusan memandangnya aneh, seolah dia binatang yang siap dimangsa.
Terserah. Gue nggak peduli, ujar Nana dalam hati. Gadis itu melangkah cepat ke toilet. Dia yakin melihat siluet itu masuk ke sana. Ia membuka pintu toilet hati-hati. Memperhatikan dirinya di cermin yang cukup besar sambil menunggu seseorang keluar dari bilik toilet.
Nana memutar badan tepat saat pintu kamar kecil itu terbuka. Ia tak pernah salah prediksi. Ia memandang tajam ke arah orang tersebut. Lalu detik berikutnya ia tersenyum sinis saat Livia terlihat gugup di depannya. Sewaktu gadis itu mengalihkan pandangan sambil berjalan ke arah pintu keluar toilet, dengan cepat Nana mengangkat kaki hingga membuat tubuh Livia jatuh seketika.
" Sudah selesai main-mainnya, Tuan Putri Livia?" desis Nana tajam. Ia membungkuk, mendekati Livia yang terduduk kesakitan. Tatapannya ganas dan menyakitkan.
Nana menjambak rambut Livia keras ke belakang, membuat gadis itu memekik dan menengadah seketika. " Kalau gue ngomong lihat dong!"
154 52
Livia tak bisa berkata apa-apa. Nana begitu menakutkan. Sorotan tajam kedua mata gadis itu seperti siap menerkam. Livia belum pernah merasa setakut itu.
Nana mengertakkan gigi, berusaha keras mengendalikan emosi. Semuanya: Papa, Bunga, Mama.
Setelahnya, Nana menarik napas dalam-dalam, meregangkan tangan, membuat jambakan pada rambut Livia berkurang. Gara-gara keluarga Livia!
Masih dalam posisi berdiri, Nana menatap wajah Livia lekatlekat. Emosinya memuncak, darahnya mendidih. Ia ingat lontaran kata-kata gadis itu.
Buk...
Tendangan sepatu keras Nana berhasil memerahpadamkan wajah Livia. Wajah gadis itu hampir saja mencium lantai karena tidak kuasa menahan badannya.
" Ahhh!" Livia menjerit tertahan, memegang pipi kiri yang ditendang Nana. Sudut bibirnya mengeluarkan darah. Ia kesakitan. Juga ketakutan.
" Itu cuma secuil dari apa yang lo lakukan ke gue. YOU STARTED THE GAME!" ucap Nana tajam sambil berjalan ke pintu. Livia meringis. " Pembawa sial!"
Nana berhenti. Tidak. Dia tak akan selemah itu untuk luluh gara-gara sumpah serapah andalan Livia. Tidak akan!
Nana berani bersumpah, dia tak pernah membenci orang sedalam kebenciannya pada keluarga tirinya. Amat sangat membencinya.
Nana memainkan jemari, gelisah. Pikirannya kacau saat melihat empat cowok populer itu mulai dikerubungi adik kelas. Apa sih
155 52
pesona keempat pemuda itu hingga membuat mereka begitu disukai?
Nana merasa sesak saat melihat tangan seseorang mengusap puncak kepala seorang cewek.
" Kenapa lo mandangin kami kayak gitu?"
Nana kaget dan menoleh ke samping. Lho? Sejak kapan Aga berada di sampingnya? " Bukannya lo di sana?" tunjuk Nana ke arah Stevan, Nathan, dan Dio.
" Gue baru sedetik duduk di sini." Nana menganga.
" Gue capek berdiri. Gue bilang aja bahwa gue mau nemenin lo. Eh, fans-fans gue malah pindah ke Nathan dan Dio. "
Nana hanya tersenyum kecil menanggapi penjelasan Aga. " Ya udah, balik lagi aja ke sana. Fans lo bakalan ngerubungi lo lagi."
Aga memandang Nana. " Gue capek. Masa lo nggak denger gue?"
Nana mendengus. " Lo mau bilang, gue budek gitu?" Aga menyibak rambut Nana gemas. " Lo sendiri yang ngomong gitu lho," ucapnya sambil tertawa.
Nana merapikan rambut sambil memandang Aga. " Liat tuh, fans lo pada cemburu sama gue. Nanti gue diteror lagi, kayak waktu itu."
Aga tertawa. " Eh? Gue udah ngasih pencerahan sama fans gue supaya nggak terlalu fanatik. Ya... lo kan tahu gue idola yang baik."
Nana ternganga, tetapi sedetik kemudian tersenyum lebar karena Aga tertawa di sampingnya. " Ya ya ya, terserah lo deh," ujar Nana.
Aga dan Nana berpaling ke arah Nathan dan Stevan yang meninggalkan kerumunan dan berjalan mendekati mereka. Nana tersenyum pada dua pemuda itu.
156 52
" Berduaan mulu lo. Eh, Karisa mana?" ucap Stevan. Matanya mencari keberadaan gadis itu.
Nathan menyikut Stevan. " Pacaran mulu lo sama Karisa." Stevan mendelik. " Emang salah gue nanyain dia?" Teman-temannya itu senang melebih-lebihkan hubungan mereka.
Aga tertawa mendengar ucapan Stevan. " Semua orang juga tahu lo lagi pedekate sama Karisa!"
Stevan menoyor Aga. " Sok tau lu!" ucapnya, meskipun hatinya mengakui kebenaran ucapan Aga.
Nana tersenyum mendengar percakapan teman-temannya. Mereka selalu seperti itu. Bertengkar dan berdebat. Bukankah seperti itu persahabatan yang sebenarnya? Bertengkar tapi tetap saling menjaga, berdebat tapi tetap saling memahami.
Nana kaget saat menyadari Dio duduk di sampingnya. Ia memandang pemuda itu sekilas, kemudian menyimak kembali perdebatan antara Aga dan Stevan.
Nana mengernyit saat tubuh Dio menjauhinya. Pemuda itu berjalan menjauh, menerima panggilan telepon. Gaya bicara Dio memang aneh, setengah berbisik-bisik, membuat Nana penasaran ingin mengetahui orang di seberang sana.
" Gue ke kelas dulu deh, males ngomong sama banci." Nana menatap punggung Aga yang berjalan menuju pintu keluar ruang olahraga. Aga marah? Nana mengalihkan pandangan pada Stevan dan Nathan.
Nathan tersenyum. " Udah biasa kali, Na, dia marah-marah. Ntar juga baikan lagi kok," jawab Nathan tenang.
Stevan mengangguk menyetujui.
Nana tersenyum tipis, kemudian mengangguk. " Kami nyusul Aga dulu ya, Na."
Nana mengangguk. Sesaat kemudian ia melangkah, ingin pergi
157 52
juga. Matanya menyapu seluruh isi lapangan, terpaku pada Dio yang masih menempelkan ponsel di telinganya.
Nana mendengus, perlahan mendekati Dio, bermaksud mengajak ke kelas bersama. Namun baru saja dia akan menepuk pundak Dio yang lebih tinggi darinya, napas Nana tercekat, tubuhnya menegang.
" Iya, Cha, aku juga kangen sama kamu... makanya cepetan balik ke sini."
Nana terdiam. Ada yang mendenyut di hatinya, rasa nyeri mengentak-entak, entah apa sebutannya. Yang dia tahu, dia hanya butuh kesendirian.
Nana memutar badan, berjalan menjauh. Dia sudah tak peduli lagi.
Nana membuka mata perlahan. Penat. Setelah mendengar ucapan Dio tadi, dia malas bertemu orang lain. Karena itu dia memutuskan untuk menghabiskan seluruh jam pelajaran di perpustakaan.
Nana memijit kepalanya yang terasa nyeri. Mood-nya hancur. Memangnya selama ini dia mempunyai mood yang baik? Ia menggeleng. Kehadiran pemuda itu mengacaubalaukan kehidupannya. Dan sialnya lagi, Nana tak bisa menolak.
Buku ensiklopedia yang menutupi wajah Nana, diletakkan, ditutup, kemudian dikembalikan ke tempat asalnya.
Nana melangkah ke luar perpustakaan, tersenyum canggung saat penjaga perpustakaan melirik ke arahnya. Dia sudah empat jam di situ, dan pasti penjaga itu menyadari kehadirannya.
Adakah orang yang bisa membuatnya merasa lebih baik sekarang?
Nana berjalan menuju kelas dengan lemas. Sekolah sudah
158 52
berakhir satu jam lalu dan dia melewatkan empat mata pelajaran dengan tertidur di perpustakaan.
Kakinya berhenti saat sadar siapa yang berjalan di depannya. Livia dengan tumpukan buku. Gadis itu memang lebih suka membawa tas kecil yang hanya bisa dimasukkan buku berukuran kecil dan bukan buku cetaknya yang tebal. Nana tersenyum, ingin bermain-main dengan saudara tirinya itu.
Dengan mantap Nana berjalan mendekat, bermaksud menabrak gadis itu dari belakang. Namun Livia keburu ditabrak duluan oleh seseorang yang berjalan di depannya. Nana tak begitu peduli itu siapa. Yang jelas ia harus berterima kasih karena tak perlu repotrepot menabrak gadis itu.
Nana masih terdiam di tempatnya. Buku Livia jatuh dan gadis itu langsung memungutinya satu per satu. Nana tetap bergeming saat melihat buku bersampul biru luput dari pandangan Livia. Gadis itu sibuk berbicara dengan orang yang menabraknya.
Tak ingin membuang kesempatan, Nana berjalan mendekat, menendang dengan kasar buku yang luput dari Livia, kemudian menatap gadis itu tajam.
Livia terdiam, membalas tatapan Nana, kemudian berlalu begitu saja. Begitu juga dengan orang yang menabraknya.
Nana mengambil buku bersampul biru tersebut. Dia yakin itu buku penting, apalagi ada kunci berkode yang membuat orang lain tak bisa membukanya.
Nana tersadar. Astaga, itu diary!
Nana menyimpan buku bersampul biru milik Livia ke tasnya. Dan benar saja, sekolah sudah bubar. Ke mana teman-temannya?
159 52
Ah, Karisa kan sedang sibuk dengan kegiatan OSIS. Mungkin gadis itu berada di ruang OSIS bersama Aga dan Stevan. Nathan dan... Dio?
Nana merasakan perutnya mulas saat mengingat nama Dio. Masa bodoh. Dia sudah tak peduli dengan pemuda itu lagi " Akhirnya... lo datang juga ke kelas."
Nana merasakan bulunya meremang saat mendengar suara tersebut. Ia tidak berniat menengok ke sumber suara. Well, mengingat namanya saja perut Nana mual, apalagi melihat wajah orang itu, mungkin bisa membuatnya muntah.
" Lo masih marah sama gue?" Dio mendekati Nana, berdiri di belakang gadis itu.
Nana diam, tahu posisi Dio, namun tak berniat memutar badannya satu senti pun.
" Masa cuma gara-gara gue bilang lo bunglon, lo langsung kayak gini?" sesal Dio. Tak biasanya Nana mengabaikannya.
Nana mengambil tas, lalu berbalik sambil menunduk, menggeser tubuh Dio dengan sikunya agar menjauh, dan bersiap melangkah. Namun tangannya keburu ditangkap Dio.
Jangan kira gadis itu tidak berontak hingga terlepas dari cengkraman Dio. Ia menatap Dio sekilas, kemudian berjalan cepat dari hadapan pemuda itu.
Namun Nana harus mengurungkan niatnya, karena Dio berlari dan keburu menutup pintu kelas. Ia menahan pintu dengan menyandarkan badannya.
Merasa keduluan, Nana diam, tak berniat memandang Dio. Merasa lelah, akhirnya dia duduk di bangku deretan depan. Sungguh, dia lelah dengan sikap abu-abu pemuda itu kepadanya. Bagaimana bisa cowok itu mengumbar perasaan sayangnya kepada dua gadis sekaligus?
160 53
Nana tak marah, hanya kesal kepada diri sendiri yang takluk pada Dio. Balasannya? Pemuda itu masih mengharapkan kehadiran gadis lain.
Dio menarik kursi dan duduk di hadapan Nana. Tangannya dimasukkan ke saku celana, mengambil sesuatu.
Nana terbelalak. Saputangannya. Bagaimana bisa? " Punya lo, kan?"
Nana memeriksa saku roknya. Benar. Tak ada saputangan di dalam sana. Kapan saputangan itu ditemukan Dio?
" Gue temuin di lapangan basket indoor, tepat di belakang posisi gue nelepon tadi," tutur Dio tenang, seolah menjawab pikiran Nana.
Dengan kasar Nana mengambil saputangan itu. Dia peduli apa?
" Gue tahu lo tadi ada di belakang gue," ucap Dio lagi. Nana memberanikan diri memandang mata Dio. Mata itu, mata yang sempat menenangkannya. Dia memasang ekspresi diam dan kosong, tak tahu harus berbuat apa. Terlebih hatinya terasa nyeri saat melihat mata itu.
Nana mengalihkan pandangan ke arah lain.
Dio memberanikan diri menggenggam tangan Nana. " Lo nggak lagi patah hati kan, Na?"
Nana mendelik tajam. Jika bisa dia akan memukul Dio sampai babak belur, dia akan menendang Dio karena memainkan perasaannya. Nyatanya dia tetap diam dan membeku, seolah terhipnotis mata Dio, lagi.
Memainkan perasaan?
Sejak kapan dia memiliki perasaan pada Dio? Perasaan apa yang dipermainkan Dio?
161 53
" Lo nggak perlu cemburu dan memang sebenernya nggak ada yang perlu lo cemburuin."
Nana terpaku mendengar kalimat tegas Dio. Apa maksudnya? Apa Dio ingin mempermainkan perasaannya lagi?
Dio merasakan sesuatu bergetar dalam sakunya. Dia mengeluarkan ponsel dan melirik nama yang muncul. Acha.
Dio mendengus kesal. Dia berdiri, kemudian menerima telepon dari Acha, dan berjalan menjauhi tempat teman-temannya berdebat.
" Halo, Cha?"
" Dio... aku kangen." Dio mengernyit. " Cha..."
Acha terdengar tertawa. " Aku cuma pengin bilang bahwa aku balik seminggu lagi."
Dio tersenyum miris. " Oke."
" Kamu nggak mau ngomong sesuatu, Yo?" Alis dio terangkat, berpikir.
" Males ngomong sama banci." Ucapan Aga yang begitu keras membuat Dio terkejut dan membalikkan badan. Ia melihat Aga berjalan ke luar, disusul Nathan dan Stevan.
Lho? Kenapa mereka tak mengajaknya pergi juga? Dio tersenyum. " Aga lagi marah. Aku tutup dulu ya teleponnya." Dan sambungan terputus. Dio baru saja akan menurunkan ponsel dari telinganya kalau saja tak mendengar langkah di belakangnya.
Jantungnya berdetak tak keruan, dan dia yakin Nana akan mendekatinya. Muncul akal bulus untuk mengetahui perasaan Nana yang sebenarnya. Dio tersenyum lebar, kemudian berbicara sendiri.
162 53
" Iya, Cha, aku juga kangen sama kamu, makanya kamu cepetan balik ke sini."
Sehabis mengucapkan kalimat sandiwara itu, Dio meminta maaf di dalam hati. Dia hanya ingin tahu, seberapa penting arti dirinya bagi Nana. Tanpa tahu hati gadis itu luluh lantak di belakang sana.
Nana membelalak setelah Dio selesai menceritakan isi percakapannya dengan Acha. Dia ditipu?
Dio tertawa bahagia, menyentuh kedua pipi Nana dengan kedua tangan. " Gue bukan playboy yang mengumbar gitu aja perasaan gue ke lebih dari satu cewek."
Nana merasakan pipinya memanas, segera menepis tangan Dio, kemudian dengan cepat berdiri. Dio melakukan hal yang sama.
" Tuh... lo marah-marah lagi. Kapan sih, Na, lo nyadar gue cuma sayang sama lo?" ucap Dio tulus, menatap Nana yang membelakanginya. " Marah lo bikin gue sakit jiwa, tahu nggak?"
Gombal! Nana tetap mempertahankan egonya. Namun saat Dio berbalik menghadapnya, pertahanan Nana runtuh. " Gue sayang sama lo"
Sekali lagi.
Nana tersenyum lebar saat merasakan Dio merengkuh tubuhnya erat. Ia membalas pelukan itu dengan hangat. Air mata bahagia meluruh. Perasaannya senang, ingin tersenyum sepanjang waktu. Itukah yang disebut bahagia? Merasa ingin bersama orang yang kita sayangi selamanya?
Nana tersentak saat merasakan cubitan halus Dio di pipinya. " Jangan pernah berduaan lagi sama cowok selain gue. Gue cemburu, Na."
Dalam hati Nana menyetujui pernyataan tersebut.
163 53
IO menatap wajah Nana yang ketiduran di ruangan Bos Ben. Seperti biasa dia menjemput gadis itu di kantor setelah lewat jam sembilan malam. Tadi Bos Ben mengatakan untuk langsung saja ke ruangannya karena Nana ketiduran, sedangkan dia sendiri masih ada urusan lain di ruang kerja anak buahnya.
Wajah Nana yang tertidur menyiratkan rasa lelah. Dio sadar Nana memang banyak pikiran. Jadwalnya menemui Oom Ben di perusahaan diperketat sehingga Nana baru keluar dari kantor tersebut setelah jam sepuluh malam. Tentu saja, dia selalu menemani Nana.
Kedekatannya dengan Nana membuat Dio penasaran dengan apa yang sebenarnya direncanakan Bos Ben bersama keponakannya itu. Bukankah mempelajari perusahaan bisa pelan-pelan dan nanti? Tapi kedua orang itu terlihat terburu-buru.
164 53
Dio duduk di sebelah sofa tempat tidur Nana. Wajah Nana yang seperti anak kecil tanpa dosa membuat Dio terharu. Dia membelai lembut rambut Nana, kemudian menyusuri lekuk wajah yang diciptakan Yang Mahasempurna dengan indah.
Wajah Nana memang tak ada kebarat-baratannya, hidungnya tak terlalu mancung, matanya tak besar tapi bukan sipit, bibir Nana yang mungil selalu tampil pink alamiah. Pipinya pun pink tanpa polesan apa pun. Segar. Dan menawan.
Dorongan sayang yang begitu besar membuat Dio mendekatkan wajah ke wajah Nana, mencium lembut pipi gadis kecintaannya itu.
Darah Dio mengalir sangat cepat. Hanya beberapa detik.
Dio menjauhkan wajah dari pipi Nana. Tersenyum bahagia. Pelan dia mengguncang bahu Nana, tak ingin gadis itu bangun dengan terkejut.
Pelan-pelan mata gadis itu terbuka. Juga senyumnya merekah begitu saja. Mmm... malam yang manis.
Nana panik saat menyadari dia tak membawa ponsel ke sekolah. Padahal biasanya dia tak bisa melupakan benda yang merupakan kebutuhannya itu. Ia menghela napas, mencoba bersikap wajar. Baiklah, tersisa lima jam lagi sebelum jam pelajaran berakhir. Semoga saja tak ada informasi yang berarti.
Nana memijit kepalanya. Pusing. Beberapa hari itu dia sibuk menyiapkan laporan untuk dipresentasikan agar perusahaannya bisa mengalahkan perusahaan Natara. Sungguh, Nana sudah tak sabar lagi berhadapan dengan mantan keluarganya itu. " Na."
165 53
Nana menoleh, mendapati Karisa yang memandangnya cemas. Nana mengerutkan dahi, meminta jawaban kenapa Karisa memanggilnya. Dia lelah, bahkan untuk bicara pendek sekalipun.
" Wajah lo pucet. Lo istirahat aja ya di UKS," ujar Karisa, terdengar meminta.
Nana menggeleng. Dia tidak apa-apa, badannya hanya capek dan tak lebih daripada itu. Otaknya masih berfungsi untuk menerima pelajaran. Lagi pula, dia lagi malas bolos.
" Karisa bener, lo seharusnya istirahat, Na."
Dio dan kawan-kawan ada di depannya. Entah berapa lama Nana termenung. Saat dia tersadar, posisi duduk Karisa yang tadi persis di depannya sudah digantikan Dio. Karisa mengambil bangku lain di samping Nana.
" Gue nggak apa-apa," jawab Nana pelan. Benci karena semua orang tengah menatap prihatin ke arahnya.
" Lo belum sarapan, tadi malam juga nggak makan. Gue nggak mau tahu, sekarang lo harus istirahat."
Sesaat Nana ingin membantah Dio, tapi kemudian mengurungkannya. Dia lelah dan malas berdebat. " Gue nggak apa-apa. Lo jangan kayak nenek-nenek deh."
Dio berdecak. " Gue kayak nenek-nenek juga demi lo kali!" Nana memutar bola mata. " Mana handphone lo?" Ia menadahkan tangan kanan, menyorongnya ke Dio.
Dio dan Aga spontan saling pandang, begitu juga Nathan dan Stevan.
Tanpa pikir panjang Dio mengeluarkan ponsel, memberikan pada Nana. " Buat apa?"
166 53
Nana mencubit pipi Dio, menampilkan ekspresi senang. " Gue pinjem ya, sehari aja. Handphone gue ketinggalan di rumah."
Dio tertawa sembari mengacak rambut Nana gemas. " Gue kira lo mau ngaduin gue ke Bos Ben gara-gara gue ngomelin lo." Stevan mengernyit. " Kalian berdua pacaran?"
Nana melempar pandangan tak mengerti ke arah Stevan, setelah itu melirik Dio. Dia memasukkan ponsel Dio ke tas. Tanpa tahu Stevan, Karisa, Aga, dan Nathan tengah menunggu jawaban mereka berdua.
" Udah deh, bubar, gue nggak apa-apa," Nana mengusir seenaknya. Baru saja dia menyelesaikan ucapannya, terasa ponsel Dio bergetar.
Nana memandang punggung Dio yang berjalan menuju tempat duduknya sendiri. Karisa juga kembali berada di tempatnya.
Nana memberanikan diri mengeluarkan ponsel tersebut. Membuka pesan singkat yang baru saja masuk.
Sender: Acha
Aku udh pulang. Skrg lagi di kelas. Nnti ketemu di lapangan basket indoor. Miss You :*
Nana merasakan dadanya memanas seketika, kembali memandang Dio yang kini memandang bingung ke arahnya. Nana tersenyum kikuk. Entah keberanian dari mana, dia mulai menggerakkan jari, menghapus pesan tersebut.
Nana tak ingin ada yang mengganggu mereka lagi.
" Tadi ada SMS nggak?"
Nana menatap ragu ke arah Dio. Ia menjawab dengan tautan
167 53
alis, seakan tak mengerti. Lalu ia mengeluarkan ponsel Dio dari tas, menyerahkan kepada pemiliknya. Pertanyaan Dio itu membuat darahnya mengalir deras ke puncak kepala, lalu lepas dalam bentuk emosi. Diam-diam ia ingin menutupi perbuatannya tadi.
" Cek aja sendiri," jawab Nana dingin. Ia merutuki kebodohannya, kenapa dia tak punya kemampuan berbohong pada pemuda itu?
Dio mengacak rambut Nana. " Aku kan cuma nanya, kenapa jawabnya gitu sih?"
Aku? Entah kenapa sejak kapan panggilan manis itu terbiasa keluar dari mulut Dio maupun Nana saat mereka hanya berdua. Nana menggeleng. " Capek."
Dio menautkan alis. Alasan capek tak cukup mendukung sikap dingin Nana. " Gue ada salah sama lo?"
Nana kaget, menatap Dio yang terlihat menyelidikinya. Ia menghela napas. " Aku pernah janji sama Acha untuk nggak ngedeketin kamu."
Hening.
" Aku bukan pelarianmu kan, Yo?" tanya Nana menuntut kepastian.
Dio tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat Nana menanyakan hal tersebut. Selama itu ia tak pernah menganggap Nana sebagai pengisi kekosongan saat tak ada Acha.
Nana ingin egois, tak ingin Dio membagi perhatiannya kepada siapa pun, apalagi gadis masa lalunya itu.
" Bimbang?" Nada suara Nana tak terdengar seperti orang yang bertanya, begitu gamblang dan seakan menertawakan diri sendiri.
Dio menatap Nana. Ada apa dengan Nana? Kenapa tiba-tiba dia membahas Acha dan melontarkan kata-kata semacam itu?
168 53
Dio mengulurkan tangan, menggenggam tangan Nana lembut. " Kamu ngomong apa sih? Kelelahan ya? Aku antar pulang?"
Nana menggeleng. Kecewa dengan sikap Dio. Seharusnya dia sadar sejak awal bahwa Dio tak bisa menetapkan hati di antara dua pilihan.
Dio kaget saat ponselnya bergetar.
Sender: Acha Km di mana?
Nana melirik Dio sekilas. Hatinya berdenyut pedih saat melihat kebimbangan melingkupi wajah Dio. Dia tahu pengirim pesan itu. Dia begitu tahu siapa yang dapat mengambil pemuda itu darinya.
Mengambil? Sejak kapan dia mengikrarkan bahwa Dio hanya miliknya?
Not Until Karya Violita di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nana menghela napas lagi, kemudian tersenyum miris, " Lapangan basket indoor. Gue nggak tahu dia menunggu lo berapa lama. Mungkin... udah satu jam dari tadi."
Tersentak mendengar ucapan Nana, posisi duduk Dio berubah menjadi berdiri seketika. Entah memang sedang bimbang atau sekadar dorongan hati, Dio berlari meninggalkan Nana, menuju masa lalu yang kembali menjemputnya.
Nana merasakan puluhan belati menusuk hatinya. Lebih pedih daripada saat mendengar Dio mengatakan agar cepat pulang kepada Acha. Lebih perih daripada apa pun.
Tidak. Dia tak akan patah hati segampang itu.
Ia menatap kepergian Dio dengan nanar. Kehadiran Acha memang membuatnya tersisih. Bahkan Nana bisa memprediksi,
169 53
suatu saat Dio benar-benar pergi dari dirinya. Entah kapan itu akan terjadi.
Nana kembali bertanya pada dirinya sendiri, aku bukan pelariannya, kan?
Sikap gamang Dio membuat Nana kehilangan mood habis-habisan sepanjang hari. Dia tak pulang bersama Dio. Dia memutuskan untuk pulang duluan, diantar Aga. Sekarang dia tengah berkutat di ruang Oom Ben bersama pamannya itu.
Gadis itu tak ingin memikirkan Dio dan segala kebimbangannya. Urusan cinta tak boleh mengganggu konsentrasi dalam menjalankan hal yang seharusnya dia lakukan.
Seharusnya?
Nana menatap jenuh ke arah tumpukan laporan di depannya. Dia muak.
" Na, kamu jenuh?"
Nana menatap Oom Ben yang hari itu bersikap seperti peramal, bisa menangkap keanehan gerak-geriknya. Dia menggeleng pelan. Sial, kenapa aku terus-terusan memikirkan Dio sih? Kenapa pula pemuda itu tidak menghubungiku dari tadi? Sibuk pacaran?
Amarah terus menguasai Nana sepanjang hari. Bahkan tidur pun tak akan membuatnya merasa lebih enak.
" Kamu lagi ada masalah?"
Nana menatap Oom Ben datar. " Masalahku ada pada keluarga Natara, Oom," ucapnya gamblang, berusaha menutupi keresahan hati yang betah singgah. Lalu ia buru-buru menyibukkan diri dengan membaca laporan.
" Bukan masalah itu, Nana. Masalah hatimu. Kamu seperti jengkel. Atau terguncang?"
170 53
Nana mencelos. Dia tak terguncang. Dia hanya ingin marah. Entah pada siapa. Tiba-tiba Nana membanting laporan di tangannya sekuat tenaga. " Oom, I ve had enough!" serunya frustrasi.
Oom Ben tersenyum lega lantaran sejak tadi pun mengerti keadaan Nana yang sebenarnya. " Kamu selesaikan dulu masalah hatimu, lalu baru fokus ke sini lagi. Kamu bekerja terlalu keras akhir-akhir ini. Oom bisa melakukan ini sendiri."
" Oom akan menghancurkan mereka, kan?" tanya Nana, seolah meminta jaminan.
Oom Ben tertawa renyah. " Of course. Mereka harus membayar apa yang telah mereka perbuat, Nana."
Nana menarik napas. " Nana yakin yang melumeri rokok Papa dan stir mobil dengan kalium sianida itu Papa Livia, Oom."
Oom Ben menerawang, sendu. " Ya... kasusnya sudah bertahuntahun tidak diangkat. Kita harus bergerak cepat dan teliti."
Nana mengangguk. " Depresi yang dialami Bunga dan yang membuat memarnya..." Ucapannya terputus, teringat sesuatu. Tak ada yang berkata-kata.
" Oom!" teriak Nana mengejutkan Oom Ben. " Sidik jari orang itu pasti ada di sana, Oom!" Nana berpikir keras, mencoba mengingat foto Bunga yang pernah dikirim Mama melalui e-mail. " Di mana?"
" Di barang-barang kesayangan Bunga!" Dahi Ben langsung berkerut, berpikir keras. " Kita harus ke Bandung!"
Matahari belum sampai ke peristirahatannya. Sore masih terang. Nana dan Oom Ben segera melaju ke Bandung. Mereka tak
171 53
membiarkan waktu menguasai dan membuat mereka tertikam lagi. Sore itu juga mereka niatkan mengambil tas kesayangan Bunga yang diduga meninggalkan jejak kejahatan keluarga Natara.
Nana meremas perutnya yang terasa nyeri. Dia belum makan sejak tadi, sejak kemarin malah. Dia melirik Oom Ben yang fokus menyetir. Dia tak akan menyusahkan Oom Ben.
Lebih baik Nana memejamkan mata. Dia tak akan menyerah hanya karena sakit perut. Mereka sudah hampir sampai di Bandung dan dia malah kesakitan? Oh, tidak!
Oom Ben menepi, lalu menghentikan mobil di depan minimarket. Nana kebingungan, terus meremas perutnya yang semakin nyeri.
Tak berapa lama Oom Ben kembali menuju mobil sambil menenteng kantong plastik putih. Lelaki itu masuk ke mobil, memberikan kantong tersebut kepada keponakannya. " Sebentar lagi kita ketemu keluarga Natara. Masa kamu tampil dalam keadaan sakit perut begitu?"
Nana tersenyum lega, mensyukuri hari itu oomnya tetap berlaku sebagai peramal, tahu kebutuhan perutnya yang memang menjerit nyaring.
Dengan lahap Nana memakan roti dan meneguk minuman kaleng bernutrisi untuk mengisi perut. Jantungnya berdebar keras saat terang lampu jalanan Bandung terasa memantulkan kenangan yang tak bisa dia singkirkan.
Tubuh Nana menegang saat mobil Oom Ben memasuki kompleks perumahan yang terlalu dikenalnya. Kediaman Natara. Kediaman keluarga yang pernah menendangnya.
Nana menahan napas.
Oom Ben menghentikan mobil sejajar pagar kediaman Natara. " Kamu bisa melakukannya?"
172 53
Nana mengangguk. Oom Ben memang tak boleh terlihat sekarang. Dia harus menghadapi keluarga Natara sendirian. Nana menggigit bibir bawah, kegamangan muncul lebih cepat daripada keberaniannya.
Nana memperhatikan mobil yang memasuki kediaman tersebut. Oom Joen dan Tante Marina. Mereka baru pulang kantor.
Nana menarik napas panjang, lalu turun dari mobil tanpa mengatakan apa pun. Dia berjalan mantap, bahkan pandangannya mengeras saat satpam rumah Natara terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba.
Nana mengamati Oom Joen dan Tante Marina yang tengah keluar dari mobil. Dia masuk dengan wajah dingin, menyusul mantan paman dan bibinya tersebut.
Tante Marina mundur beberapa langkah saat menyadari ada Nana di belakangnya. Tubuhnya membeku seketika. Beraniberaninya anak itu datang kemari lagi.
" Pergi kamu, anak sial! Rumahku akan kotor jika diinjakmu!" bentak Tante Marina spontan. Tangannya terangkat, bersiap menampar Nana.
Nana tersenyum sinis. " Gue cuma butuh barang-barang Bunga yang ketinggalan setahun lalu."
Tante Marina tak dapat menahan guncangan dalam dirinya, langsung menampar Nana dengan sekali gerakan, membuat gadis itu tersungkur. Jejak merah membekas pipinya. Nana sulit menjaga keseimbangan emosinya. Traumanya juga mencuat kembali. Tidak! Dia tak akan selemah itu.
" Pergi kamu, gembel!"
Nana mengangkat sudut bibir, tersenyum sinis. Dia berdiri dengan sisa-sia kemampuannya, menantang Tante Marina. " Cepat
173 53
kasih gue barang-barang Bunga!" Ia memutar badan, bergegas memasuki rumah, langsung ke loteng, ke kamar Bunga.
Jantung Nana berdetak kencang saat melewati kamarnya dan kamar Livia. Dia pernah menjadi bagian rumah itu. Masih sama. Hanya saja kamar itu tak terawat.
Nana memberanikan diri mengambil tas dan baju-baju Bunga. Juga perlengkapan sekolah adiknya dan segala sesuatu yang bisa dijadikan bukti. Ada rol besi yang tergeletak di bawah tempat tidur, dengan cepat dia mengambilnya, dan& terbelalak saat melihat bercak seperti darah di tengah rol tersebut. Amarah Nana memuncak, tapi dia mati-matian berusaha meredamnya. Seperti apa Bunga disiksa di dalam rumah mewah berhawa neraka itu? Dia bergidik.
Nana berbalik. Tante Marina, Oom Joen, dan para pembantu di rumah itu tengah memandangnya jijik. Dia tak peduli. Cepat atau lambat semua kejahatan akan terbukti dan efeknya berbalik, menerkam keluarga itu.
Nana membawa barang-barang tersebut dengan tas besar milik Bunga. " Gue akan balik lagi mengambil sisa-sisa barang Bunga. Jadi gue harap kalian bisa membereskannya dengan baik." Tante Marina maju, menamparnya sekali lagi. " Cepat keluar!" Nana tersenyum sinis, berlari secepat mungkin, keluar dari kediaman Natara.
Tante Marina seakan tersadar. Gerak-gerik Nana& Tak ada tangis pada anak itu saat dia menampar membuatnya yakin dengan analisisnya. Ia mengambil telepon. " Cepat kejar Nana!" perintahnya lantang pada beberapa satpam yang menunggu di teras. Ia sendiri langsung terduduk karena menyesal terlambat menyadari itu semua.
174 53
Marina yakin Nana akan membalas semua perlakuan dirinya dan keluarganya.
Joen melirik Marina, bingung.
" Cepat katakan pada Livia untuk berhati-hati mulai sekarang. Urus semuanya, kita pindah ke Jakarta besok!"
Nana mengusap sudut bibirnya. Berdarah.
" Sebelum mereka menyadari sesuatu, sebaiknya Oom ngebut dan ambil jalan memutar, jangan lewat jalan biasa," ucap Nana terengah-engah dan sulit karena bibirnya perih. Dia memandang ke arah spion.
Oom Ben mengangguk, melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.
Nana mengalihkan pandangan dari kaca spion, memperhatikan barang-barang Bunga yang sekarang ada di pangkuannya. Rasanya dia ingin menangis, saat sadar dirinya tak punya saudara kandung lagi.
" Nana."
Nana melihat ke spion. " Dua mobil di belakang kita adalah suruhan keluarga Natara."
Oom Ben terkejut, menengok kaca spion. Benar. Dua mobil itu mengikuti mereka.
Nana menahan napas. " Mereka udah tahu aku mau membalas semuanya."
Oom Ben melirik Nana beberapa saat.
" Kalau ketangkap, kita mati!" ucap Nana. Ia menatap Oom Ben. " Orang pertama yang harus disingkirkan adalah Tante Marina, otak semua ini," tegas Nana.
Oom Ben memutar balik mobil, kemudian menghilang seiring
175 53
dengan memerahnya lampu jalan. Dia menghela napas lega saat melihat dua mobil itu terjebak lampu merah sehingga tidak mengikuti mereka lagi.
Nana masih memperhatikan kaca spion dengan tajam. " Oom selidiki penyelewengan dana yang ada di Banten agar kita tidak kalah sama mereka."
Oom Ben menatap Nana tak percaya. " Tapi, Na& " " Karena aku punya firasat. Yang membuat Bunga depresi adalah Tante Marina, bukan Hadi Natara."
Nana menutup mata sejenak. Setelah sekian lama, baru kali itu Nana berani menyebut nama papa tirinya.
Nana bersumpah sekali lagi, akan membalas semua ini.
176 53
ANA!"
Nana kaget setengah mati. Suara nyaring Karisa menggema di ruangan, membuat anak sekelas menengok ke arahnya. Nana mengangkat wajahnya yang menunduk, lalu memaksa tersenyum.
Nana mendapati Dio di pojok ruangan. Tadi pagi dia tak dijemput pemuda itu. Dia beralasan menggunakan mobilnya mulai hari itu sehingga Dio tak perlu repot-repot lagi menjemputnya setiap hari.
Oom Ben sempat mengompres pipi Nana yang sekarang tampak lebam. Nana harus memperketat pengawasan pada Livia, tak boleh lengah pada keluarga Natara.
" Lo habis ditonjok siapa?" Calvin, ketua kelas, bertanya dari ujung sana.
177 53
Nana tahu apa yang diperhatikan teman-temannya. Pipinya yang memerah dan lebam di sudut bibir. Itu akibat perbuatan kasar Tante Marina.
Tiba-tiba Nana merasa tangannya ditarik, diajak ke luar kelas. Tangan kokoh yang membuat hatinya berdesir. Nana berjalan menunduk. Syal yang dia gunakan hari itu ditutupkan ke depan pipi sehingga dia terlihat sedang sakit gigi.
Dio meregangkan pegangannya pada tangan Nana, mengajak duduk di kantin yang saat itu sepi karena jam pelajaran sedang berlangsung.
Dio mengamati wajah Nana. Apa yang terjadi pada gadis itu kemarin? Kenapa tiba-tiba pagi itu wajahnya lebam? " Lo ngapain kemarin?"
Nana membiarkan syalnya terjatuh, agar Dio mengamati wajahnya yang memar.
" Kamu habis ngapain sih?" Kali ini suara Dio terdengar lebih lembut. Dia menyentuh dagu Nana, mengangkat wajah gadis yang masih diam itu dengan lembut, menggerakkan ke kanan dan ke kiri, memastikan tak ada lagi luka di wajh Nana.
Nana menahan tangan Dio yang mengangkat dagunya, malas berbicara, apalagi harus menjelaskan kisah panjangnya pada Dio. Toh dia juga sudah bertekad, tak akan melibatkan siapa pun dalam masalahnya.
Sekilas Nana menangkap Livia yang mengamatinya dari kejauhan. Dia menoleh secara mendadak, menatap tajam ke arah gadis itu. Livia langsung menunduk dan pergi. Entah apa yang akan dilakukan gadis itu padanya.
" Na, jawab dong!"
Nana memutar bola mata, jengah karena sikap Dio yang mulai membuat kupu-kupu dalam hatinya kembali beterbangan. Kemarin
178 53
Dio meninggalkannya demi Acha. Dia kecewa, tapi tetap berharap.
" Na, jawab dong!"
Nana mengangkat alis. " Jawab apa? Gue harus jawab apa, Dio?!" Nana membuka mulut, tak bisa menahan emosi yang bergejolak. Kalau saja dia tak sadar itu di sekolah dia bisa menampar Dio. Nana hanya ingin kepastian hubungan mereka. Itu saja. Dio menegang saat menyadari Nana kesal padanya. Apa Nana marah karena dia meninggalkannya kemarin untuk menemui Acha?
" Aku khawatir sama kamu, Na."
" Kemarin kamu nggak khawatir sama aku?" ucap Nana kesal. Dio menghela napas. " Sorry karena aku ninggalin kamu gitu aja."
Nana berdecak. " Sorry?"
" Kalau aku yang bimbang, kamu gimana? Kalau aku lebih milih jalan sama Aga, kamu gimana? Jawab, Diova!" ucap Nana dingin.
Dio mengepal kuat. " Sorry."
Nana menggeleng. " Udahlah, dia udah kembali dan udah sepatutnya kamu balik sama dia."
Nana menatap Dio dengan kesal, tak melihat kemungkinan Dio akan mempertahankannya. Baiklah, apa pemuda itu memang royal melontarkan kata sayangnya seperti waktu itu? Apa kata itu tidak menjelaskan perasaannya?
Dio menggenggam tangan Nana erat. " Na... aku minta maaf dan& kasih aku kesempatan satu kali lagi."
Nana berdecak, melirik Dio, tak tega pada wajah yang penuh rasa bersalah itu. Dia hanya ingin pemuda itu mengerti bahwa
179 53
Nana menyayangi Dio, lebih daripada apa pun. Dia ingin menegaskan bahwa Dio berhasil merebut hatinya.
Dio berjongkok di depan Nana, menggenggam kedua tangan Nana, dan berkata dengan tulus. " Sekali lagi saja, Na."
Tak beberapa lama, Nana mengangguk setuju. Dia benci saat dia tak bisa marah kepada Dio. Dia benci saat dirinya selalu lemah di hadapan pemuda itu. Tapi, bukankah sepantasnya kita mempertahankan orang yang kita sayangi? Termasuk memberi kesempatan kepadanya.
Dio berdiri menghadap Nana, menggenggam tangan kanan gadis itu, kemudian mengecupnya sekilas. " Makasih ya. Aku sayang kamu."
Kalimat spontan Dio membuat Nana kembali terbuai, meski belum ada kejelasan status hubungan mereka. Status yang seharusnya diberikan Dio untuknya.
Nana memang tak menceritakan apa-apa kepada temantemannya perihal lebamnya itu. Dia diam dan sepertinya mereka mengerti bahwa Nana butuh privasi dan tak memaksa menjelaskan semuanya.
Seperti biasa, mereka berada di lapangan basket indoor untuk menonton pertandingan. Karisa berada di samping Nana dan berkali-kali meneriakkan nama Stevan. Membuat Nana kegerahan, ingin berteriak juga.
Tapi Nana mengurung niatnya. Teriakannya cukup sekadar berbunyi di dalam hatinya karena kenyataannya ia tetap mengatupkan mulut sambil memperhatikan ke dalam lapangan.
Pertandingan selesai, dan kelas mereka menang 16 poin dari kelas lawan.
180 53
Nana tak bisa menahan senyum saat Aga berjalan ngos-ngosan di depannya. Terlihat sekali Aga kelelahan dan kehausan. Nana menoleh ke samping, melihat Karisa membagi minuman dingin kepada Stevan dan Nathan. Karisa tak lupa melemparkan handuk kecil pada mereka berdua, seperti biasa.
Nana memberikan handuk kecil kepada Aga, membuat pemuda itu sedikit terpana dan menerimanya dengan tawa. Tanpa mengatakan apa-apa Nana mengambil minuman dingin yang seharusnya untuk Dio, memberikannya kepada Aga sambil tersenyum.
Nana merasakan dirinya meremang. Lalu ia mengedarkan pandangan ke seluruh lapangan, ke bangku penonton terutama. Nihil, tak ada siapa pun lagi. Namun Nana yakin ada yang memperhatikannya.
Dio mengernyit saat melihat ke arah Aga dan Nana yang duduk berdampingan. Cemburu menyelusup ke relung hatinya. Dia ingin mendekat, kalau saja perasaan ragu itu tak membelenggunya saat melihat Acha berdiri tak jauh di depan Nana.
Dio memilih melempar bola basket ke arah Calvin. Dia bermandikan keringat dan sudah tak tahan untuk berganti baju seragam. Ia berjalan bimbang. Acha melambai semringah ke arahnya. Dio tersenyum, membalas lambaian Acha.
Dio tidak sadar bahwa Nana berjalan mendekatinya. Tiba-tiba saja Nana menyapukan handuk kecil ke wajah Dio, kemudian memberikan minuman kaleng dingin, membuat Dio kaget dan langsung mengalihkan pandangan ke belakang Nana. Acha sudah menghilang.
Namun Dio sudah memilih. Untuk berganti hati. Dan melupakan apa yang pernah terjadi, seberapa kuat pun masa lalu menjemputnya.
Nana menoleh ke belakang, mengikuti pandangan Dio. Tak ada
181 53
siapa-siapa, hanya teman-teman mereka. Ia mengerucutkan bibir.
Dio tersenyum, kemudian mengacak rambut Nana, membuat Nana mengerjap kaget.
Nana duduk di taman sekolah sambil membaca pesan singkat dari Oom Ben. Dia berjanji untuk menunggui Dio latihan futsal. Lagi pula, dia sudah meminta izin pada Oom Ben agar tak datang ke kantor hari itu.
Nana bosan. Andai saja Stevan dan Karisa tak pergi kencan, dia pasti punya teman sewaktu menunggui Dio. Lalu sekarang dia harus melakukan apa? Dio sedang latihan untuk pertandingan beberapa minggu lagi.
" Heh, bengong aja lo!"
Nana menoleh ke samping. Aga sudah duduk di situ. Nana memasukkan ponsel ke saku, kemudian menatap Aga. " Ngapain lo di sini?"
Aga melengos, menyandar ke kursi taman. " Ealah& lo pilih kasih nih, Na, sama Dio lembut banget, sama gue nggak." Nana memutar bola mata. " Yah bedalah lo sama dia." Aga mengembuskan napas kesal. " Padahal kan gue yang duluan suka sama lo."
Nana terpana. " Lo ngomong apa?"
Aga menggeleng. " Emangnya gue ngomong apa?" Ia baru menyadari kebodohan yang telah dilakukannya. Ia menatap Nana ragu-ragu, lalu tertawa begitu saja.
Nana menggeleng pelan. Keanehan Aga semakin lama semakin parah. Bagaimana bisa dia tertawa? Tak ada yang lucu sedikit pun.
182 53
" Lo ngapain ketawa?" tanya Nana.
Aga menggeleng. " Wajah lo kayak preman pasar, tahu nggak sih?"
Jelas tidak terima, Nana mendengus, mencubit lengan Aga gemas, kemudian melayangkan tatapan membunuh.
" Awww& !" Aga meringis karena cubitan kecil Nana membuat kulitnya merah seketika. " Sadis banget sih lo, Na!"
Nana menggeleng. " Tau ah& makin bete gue ngomong sama lo!"
Aga tertawa, kemudian menyikut pelan. " Gue bercanda." Nana menjulurkan lidah.
" Tapi ada seriusnya juga. Hahaha& "
Dan Aga benar-benar menjadi sangat menyebalkan.
Nana melambaikan tangan seiring menjauhnya mobil Dio. Mobilnya sendiri terparkir manis di garasi karena Dio memaksanya menjemput-antar.
Nana membuka pintu rumah bersemangat. Dia tak tahu Dio menggunakan ilmu apa sehingga membuatnya terbang seperti itu. Ia melihat foto keluarganya yang besar, memandang wajah papanya, menutup mata.
Pa, Nana sudah menemukan seseorang.
Nana berjalan menuju kamar. Dia lelah karena setelah latihan futsal, Dio mengajaknya ke mal untuk menghabiskan sore dan malam mereka.
Nana mengempaskan tubuh ke kasur, tak berniat mengganti pakaian. Toh besok dia tak sekolah.
Sesaat kemudian gadis itu kembali berdiri, memutuskan menuju meja rias. Nana tersenyum saat memar dan lebamnya terlihat
183 53
samar, hampir hilang. Sepertinya besok dia harus memikirkan cara menyamarkan memar tersebut.
Nana membuka laci, terbelalak saat menemukan sesuatu di dalam sana.
Buku biru. Diary Livia.
Nana mengambil diary itu. Dia tak akan bisa membukanya kalau tak tahu kode yang mengunci diary tersebut.
Ada enam angka, dan Nana harus memikirkan baik-baik. Pertama-tama Nana mencoba dengan tanggal lahir Livia, kemudian tanggal lahir kedua orangtuanya. Tak satu pun yang cocok, membuat Nana frustrasi.
Livia lahir 2 Februari 1995. Nana mencoba segala kombinasi yang berhubungan dengan angka tersebut. Namun tetap gagal.
Nana mulai bosan, memilih membuka email. Ada email baru dari temannya di London. Dia membalas email itu sambil berbaring. Setelah itu dia berpikir, besok dia akan menghancurkan gembok itu dengan palu. Beres.
Nana memeriksa spam di akun emailnya. Ada email yang belum dia baca, dari temannya yang lain. Temannya itu mengabarkan bahwa dia baru saja pacaran dengan cowok Belanda dari sekolah khusus putra, tetangga sekolah mereka.
Tiba-tiba Nana teringat sesuatu. Astaga! Email itu& email yang pernah dikirim Livia beberapa tahun lalu, yang mengatakan bahwa dia dapat pacar. Nana yakin, dia belum menghapus email tersebut.
Livia.natara@ymail.com
Na& aku baru aja kencan sama seseorang. Duh, Na, dia baik bgt. Km tahu nggak, tadi dia nembak aku, trus aku bilang aja iya. Aku seneng bgt. Km kapan punya cowok bule di sana? 7 Agustus 2009
184 53
Nana menghela napas, kembali memandangi diary Livia yang tergeletak di kasur. Dia mencoba kombinasi angka tersebut,
090807. Ceklek!
Diary itu terbuka.
Nana tersenyum miring. Itu diary Livia sejak kelas 1 SMA. Nana membelalak saat membaca:
2 Feb 2010
Bunga dipukul lagi. Aku nggak tega, tapi kesel juga. Kenapa Bunga mecahin pajangan kuda yang dia kasih? : (
Astaga! Nana meremas kertas diary itu. Lagi? Jadi adiknya tinggal di sana dengan siksaan? Nana bergidik, muak pada keluarga Natara.
Nana mengamati tulisan terakhir Livia. Tak tertulis kapan tanggal pastinya, namun ada namanya, setelah cacian yang ditumpahkan kepadanya di lembar sebelumnya.
Pindah ke sekolah baru. Aku nggak nyangka bakalan ketemu kamu lagi, tapi sayangnya kamu gabung sama orang yang menyebabkan ayahku meninggal. Kenapa kamu harus berteman dengan Nana? Aku masih sayang kamu, nggak mau kamu jatuh cinta sama Nana. Kenapa? Kenapa tadi pagi kamu jalan bareng dia?
Nana ternganga membacanya. Apa? Cinta pertama Livia& ada di dekatnya? Siapa? Apa satu di antara keempat cowok itu?
Nana terdiam, yakin Livia masih sangat menyayangi pemuda itu. Dia bisa memanfaatkan keadaan.
Nana tersenyum penuh arti. Baiklah, siapa sebenarnya mantan
185 53
Livia? Penasaran membuat dirinya merasa harus segera menemukannya!
Not Until Karya Violita di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nana merapikan blazer, mantap menghadiri meeting perusahaan. Dia memang tidak akan masuk ke ruangan, sekadar menunggu di luar, dan mendapatkan laporan segera setelah meeting usai.
Saat Oom Ben menanyakan apakah dia sudah siap, Nana mengangguk, lalu berjalan menuruni tangga. Dia menuju mobil Oom Ben. Jantungnya berdegup semangat saat mobil itu melaju dan beberapa menit kemudian memasuki gedung besar tempat meeting dilaksanakan.
Tentu saja itu penting. Mereka akan berhadapan dengan keluarga Natara.
Nana menajamkan penglihatan saat melihat Oom Joen dan Tante Marina berjalan ke dalam perusahaan. Ia memutuskan untuk menunggu di mobil saja.
" Good luck, Oom!"
Oom Ben mengangguk, meraih jas, lalu meninggalkan mobil. Nana menghela napas, berdoa sekali lagi agar mereka menang dan bisa mengucapkan " selamat tinggal" kepada keluarga Natara.
Nana menyipit saat melihat Livia yang mengenakan blazer cokelat tua turun dari mobil. Nana tersenyum, apalagi bersamaan dengan masuknya pesan singkat dari Oom Ben.
We win!
Livia tak bisa menahan rasa terkejut saat melihat Nana bersandar di mobil. Nana mengenakan blazer hitam dengan rok selutut. Nana tersenyum sinis pada Livia, membuat gadis itu terpaku di
186 53
tempat. Sepertinya Livia masih syok dengan perlakuan Nana tempo hari.
" Welcome. Lo jadi penerus di perusahaan Natara atau cuma jadi babunya Marina supaya suatu saat dia bisa buang lo?" ucap Nana sinis.
" Ngapain lo di sini?"
Nana berjalan mendekat. " Menurut lo?" ucapnya dingin. Tubuh Livia menegang saat Nana menyentuh bahunya. " Perusahaan sekelas Natara bisa kalah tender?" ucap Nana meremehkan.
" NANA!"
Nana melangkah mundur, melihat Tante Marina dan Oom Joen yang setengah berlari menuju mereka. Nana tersenyum meremehkan saat mereka bertiga ada di depannya.
" Halo, keluarga Natara. Saya dan Nana sudah lama ingin bersapa dengan kalian."
Nana tersenyum lebar ke arah Oom Ben yang baru bergabung.
Ben mengangguk. " Lebih tepatnya Ben Kelana, adik Faisal Kelana. Saya paman Nana yang dulu tinggal di Inggris." " Kailana Group?" ujar Marina menebak.
Ben mengangguk. " Kalian salah jika menganggap meninggalnya Faisal menjadi akhir kejayaan perusahaan Kelana yang sekarang berganti nama menjadi Kailana."
Nana berdiri tegap, bersidekap. " Perusahaan Kelana yang berganti nama jadi Natara belum berakhir, Oom. Mereka lupa bahwa yang memimpin perusahaan Natara kali ini hanyalah staf HRD yang tak pantas jadi bos.
" & dan Hadi Natara, pemimpin sebelumnya, adalah manajer yang
187 53
mengorupsi uang perusahaan, tapi masih dilindungi Papa. Dan kemudian berkhianat. Dia jatuh cinta pada istri Papa. Makanya dia membunuh Papa dengan cara tersamar. Lalu dia pun gagal menjadi suami yang baik." Nana menatap geram pada tiga orang yang mulai kehilangan kendali berpikir.
" Jaga mulut lo, Na!" bentak Livia keras.
Nana tersenyum miring. " Lo marah karena yang gue bilang bener, kan?"
" PAPA GUE NGGAK BEGITU!" bentak Livia lebih keras. Nana spontan tertawa. " Bokap lo memang kayak begitu, Livia. Kenapa? Kenapa lo masih membela pembunuh, Livia? Bukannya lo menuduh gue sebagai penyebab kematian bokap lo?"
Tante Marina memeluk Livia, menenangkannya. " Apa yang kamu ucapkan, anak pembawa sial?" bentak Tante Marina.
Nana kembali tertawa. " Kailana is growing up. Kalian berada di ujung kehancuran," ucap Nana tajam, juga puas bisa mengibarkan bendera perang. Dia rindu menyambut kemenangannya.
188 53
ANA tersenyum kecil, memori di kepalanya memutar kejadian kemarin. Dia tak menyangka semuanya akan berjalan dengan baik dan secepat itu. Sambutan yang mereka berikan berhasil membuat syok keluarga
Natara.
" Lagi seneng ya?"
Nana menggeleng spontan, melihat Dio melahap es krim cokelat. Nana terkikik geli saat melihat sisa es krim di sudut bibir Dio, yang tak disadari pemuda tersebut.
" Kenapa ketawa?" ucap Dio, merasa Nana merahasiakan sesuatu.
Nana mengulurkan tangan, mengusap es krim tersebut pelan. " Makannya jangan kayak anak kecil dong, Yo," ucap Nana setengah berbisik.
189 53
Yang tak Nana sadari, tubuh Dio spontan menegang akibat perlakuannya tadi. Bukankah kalau di film-film, justru cowok yang melakukan hal seperti itu? Dio menatap Nana, tak percaya. Percaya atau tidak, hatinya melambung dan jantungnya ingin meledak.
Nana menaikkan alis saat menyadari Dio menatapnya terusterusan. Merasa jengah Nana menyikut perut Dio. " Kenapa sih?"
Perhatian ekstra Nana barusan membuat Dio semakin menyayanginya. Ditambah lagi Nana menempel terus di sampingnya. " Dio."
Nana dan Dio sama-sama kaget mendengar panggilan itu. Nana melirik Dio, dan pemuda itu melakukan hal yang sama pada Nana.
Acha.
Nana menahan napas saat gadis itu mendekati Dio, menarik tangan Dio manja, membuat Dio berdiri.
Nana menghela napas berat. Dio selalu saja seperti itu, tak bisa menentukan dengan siapa dia lebih nyaman. Bukan apa-apa. Lama-lama Nana jenuh dengan sikap abu-abu Dio.
Oh! Masih ada yang membuat Nana menghela napas. Kehadiran gadis yang menemani Acha: Livia. Dia berdiri agak jauh, terlihat tegang saat berpandangan dengan Nana.
Nana terus menatap tajam Livia. Siapa sebenarnya mantan pacar Livia yang ada di antara keempat temannya? Dia terus berpikir. Bukankah kejadiannya sudah lama? Berarti cowok itu pernah tinggal di Bandung?
Nana mengalihkan pandangan ke arah Acha dan Dio yang sepertinya sudah selesai bicara. Dio berjalan ke arah Nana, sedangkan Acha berjalan ke arah Livia. Nana kembali menghela napas. Dia tak suka Dio masih berhubungan dengan Acha. Itukah yang dinamakan cemburu?
190 53
" Yuk ke kelas," ajak Dio pada Nana.
Tak adakah keinginan Dio untuk menceritakan apa yang mereka bicarakan tadi?
Nana kaget saat menyadari ada sesuatu di tangan Dio. Kotak makanan. Dia tahu pasti siapa yang membawakan bekal itu. Dia kembali menghela napas, lalu mengangguk. Mencoba bersabar dan tak mau peduli dengan situasi tersebut.
Terserah. Aku tak mau peduli, vonis Nana seketika.
Nana menatap cuek pada Acha yang menanti di luar kelas. Sepertinya gadis itu tengah menunggu Dio pulang. Lalu dia mengalihkan pandangan ke arah Dio. Tampaknya pemuda itu belum menyadari kehadiran Acha.
Bu Hanni yang mengajar fisika segera meninggalkan kelas begitu bel berbunyi. Kelas menjadi riuh seketika saat para siswa bergegas keluar kelas.
Nana memandang Stevan yang langsung menuju tempat Karisa, membisikkan sesuatu sehingga membuat tawa Karisa pecah. Keduanya tertawa bersama. Nathan dan Aga menyusul Stevan. Mereka seperti membicarakan sesuatu, yang entah kenapa Nana tak berminat mencari tahu.
Karisa menghampiri Nana, menarik tangannya agar berdiri, kemudian berkata, " Lo nggak ada acara kan sekarang? Ikut nonton yuk," ajaknya dengan wajah ceria.
" Bukannya lo mau kencan? Kenapa nontonnya rame-rame?" tanya Nana.
" Siapa yang kencan? Ayolah, Na, mumpung Aga dapat golden ticket," ujar Karisa menarik-narik baju Nana pada bagian bahu, persis anak kecil yang minta dibelikan boneka.
191 53
Nana mengangguk. Dia tak punya kegiatan apa-apa karena Oom Ben berada di Banten untuk menyelidiki sesuatu. Karisa menggandeng Nana menuju Nathan, Aga, dan Stevan. Aga tertawa renyah saat Nana bergabung. " Wajah lo udah nggak merah lagi," goda Aga.
Nana spontan mencubit perut Aga, membuat cowok itu meringis kesakitan hingga tawa Nathan dan Stevan meluncur meledakledak.
" Mampus lu, Ga!" ucap Nathan di sela tawa. " Sorry!" Aga menyerah.
" Lo semua mau ke mana?"
Semua langsung membalikkan badan. Dio berdiri menyandang ransel.
" Mau nonton dong, mumpung ada golden ticket nih," jelas Stevan.
Dio hanya meng-oh-kan, kemudian keluar kelas tanpa menghiraukan Nana yang menatapnya pahit.
" Dia nggak ikut?" tanya Nana.
Aga menggeleng. " Dio mau nemenin Acha. Nggak tahu deh mau ke mana."
Nana ber-oh singkat, kemudian mengikuti langkah temantemannya. Dia melihat Dio dan Acha berjalan bersama di depannya. Dio bahkan tak memandangnya sedetik pun tadi. Nana merasa diabaikan, seolah Dio tak pernah mengucapkan kata sayang kepadanya.
Nana mengembuskan napas saat melihat Dio membukakan pintu bagi Acha, lalu mobilnya menghilang dari parkiran BIHS. Dia menggeleng pelan, berusaha mengerti kondisi Dio yang sedang bimbang.
192 53
" Kita have fun aja sekarang. Nggak ada Dio bukan berarti lo nggak mau pergi bareng kita, kan?"
Nana kaget mendengar perkataan itu. Aga tersenyum lebar padanya.
Nana mengangguk. Ya, dia masih punya banyak teman, walaupun tak ada Dio.
Mobil yang dikendarai Stevan melaju, membelah jalanan Jakarta. Nana menatap ke luar jendela, sendu.
Kapan terakhir kali dia selemah itu? Ah, atau justru& kuat?
Nana mengunyah spageti pelan-pelan. Setelah selesai nonton dengan golden ticket yang didapatkan Aga, kini mereka beralih pada food court di lantai paling atas mal itu karena belum makan sejak pulang sekolah.
Nana baru tahu arti golden ticket yang sebenarnya adalah bisa nonton gratis. Walaupun golden ticket-nya hanya satu, Aga boleh mengajak lima teman.
Nana menelan ludah saat memperhatikan Stevan dan Karisa yang tertawa-tawa kecil. Ah, kenapa dia sering sekali memperhatikan pasangan itu? Tadi juga, saat nonton di bioskop, di sebelahnya pasangan yang lebih tua darinya menggamit lengan pacarnya dengan mesra.
Nana mengalihkan pandangan pada spageti. Kalau saja Dio dan Acha tidak jalan bersama, pasti yang sekarang duduk di sampingnya adalah Dio. Nana memaki dirinya. Kenapa dia harus terus membayangkan cowok itu? Katanya sudah tak peduli!
Masih ada lagi yang mengganggu pikirannya. Sejak kapan Acha dekat dengan Livia? Apa mereka satu kelas? Nana tak mencari tahu kelas Livia karena terlampau muak pada keluarga Natara. Dia
193 53
teringat pada sosok cinta pertama Livia, mantan pacar yang kemungkinan besar ada di antara ketiga pemuda di samping dan depannya itu.
" Hhm& " Nana berdeham, mengalihkan perhatian. Aga yang sedang menikmati milk shake menatap Nana dengan pandangan tak mengerti. " Apa?"
Respons Aga membuat Nana teringat sesuatu. Bukankah dulu Aga bilang bahwa dia pernah&
" Lo pernah tinggal di Bandung ya?" tanya Nana. Aga mengangguk. " Iya. Kenapa?"
Nana mengangguk. " Dulu lo sekolah di SMP mana?" Aga memandang Stevan dan Nathan bergantian, tak mengerti. " Di SMPN 24, tapi gue pindahan kelas 8," jelas Aga.
Nana mengangguk, seperti menemukan sesuatu. Tak salah lagi, cinta pertama Livia pasti Aga, pikirnya diam-diam. " Emang kenapa, Na?" Nathan mulai membuka mulut. Nana menggeleng. " Nggak apa-apa, cuma nanya. Gue kan orang Bandung juga."
Nathan terkekeh. " Aga sih labelnya aja tinggal di Bandung, tapi sama sekali nggak tahu Bandung. Kelas 8 pindah, eh pas kelulusan pindah lagi," terang Nathan.
Nana menatap Nathan bingung. Dari mana dia tahu semua itu?
" Waktu pertama kali gue ketemu dia di kelas, gayanya cupu abis. Gue tahu dia bukan anak kampung, tapi gayanya itu lho. Norak!" Nathan bercerita diselingi tawa, yang juga mengundang tawa Stevan dan Karisa.
Nana menatap Nathan tak mengerti. " Kok lo tahu?" Aga mendengus kesal, tak terima penilaian Nathan. " Waktu itu
194 53
gue pindahnya ke kelas Nathan. Lo nggak tahu Nathan juga orang Bandung?"
Nathan menahan tangan Aga yang ingin menjitak kepalanya, kemudian tertawa. " Yoi, Na, 14 tahun gue besar di Bandung." APA?!
Nana menggigit bibir bawah, mengingat-ingat pembicaraannya tadi sore bersama Nathan dan Aga. Jadi mereka berdua samasama dari Bandung? Lalu siapa yang sebenarnya menjadi masa lalu Livia?
Nana membuka diary Livia, membaca sekali lagi curhatan jatuh cinta. Livia hanya sesekali mengatakan rindu pada sosok " kamu" yang dia nyatakan sebagai pacarnya itu. Dia tak menerangkan lebih rinci siapa orang tersebut.
Jadi mana yang benar? Nathan atau Aga? Siapa dari keduanya yang menghadiahkan pajangan kuda?
Nana menghela napas. Siapa sebenarnya mantan Livia yang sangat dia sayangi itu?
Nana mengedarkan pandangan ke seluruh ruang kelas, mendapati Dio sibuk memainkan ponsel. Sesekali pemuda itu tersenyum simpul. Nana yakin Dio sedang ber-texting ria dengan Acha.
Nana menghela napas berat. Dia ingin mendekati Dio, meskipun sekadar menanyakan apakah ia baik-baik saja. Atau mungkin untuk berbicara yang ringan-ringan saja. Nana rindu. Dan rindunya itu menusuk tulang, membuat dirinya menjadi lemah. Tidakkah Dio merasakan hal yang sama? Apa kebersamaan
195 53
mereka akhir-akhir itu hanya dirasakan sebagai angin lalu yang mudah dilupakannya?
" Ehm& ."
Nana menengok dan mendapati Karisa menatapnya. Nana sebisa mungkin memasang tampang datar. Namun Karisa melihat gambaran sedih yang terpancar dari mata Nana, persis seperti saat Nana datang ke kelas pertama kali.
" Lo nggak apa-apa, Na?"
Nana malah berpura-pura mengerutkan dahi, seolah tidak mengerti. Dia menggeleng. " Emangnya ada alasan buat merasa apaapa?"
Karisa melotot. " Na...," ucapnya setengah merajuk, " please& cerita sama gue."
Nana menggeleng lagi. " Gue nggak apa-apa, Sa. Ada atau tidak dia di hidup gue, nggak akan mengubah apa-apa."
Karisa terdiam mendengar perkataan Nana. Di dalam hati dia merutuki Dio yang jelas-jelas tahu perasaan Nana terhadapnya tapi lebih memilih Acha yang pernah menyelingkuhinya. Dio benarbenar bodoh.
Kini gantian Nana mengamati Karisa yang terdiam. Dia tahu Karisa sedang menebak perasaannya. Karisa memang selalu mengerti apa yang tidak dia katakan. Tapi, sudahlah.
Nana melirik Dio, yang sepertinya akan beranjak dari kelas. Buru-buru dia berdiri, kemudian mencegat cowok itu.
Jangan tanya betapa kagetnya Karisa melihat tindakan Nana. Buru-buru dia mengikuti Nana, berdiri tak jauh dari cewek itu yang menunduk dan membisu.
" Yo," panggil Nana lemah. " Aku mau bilang..." Ucapan Nana terhenti dering ponsel Dio. Pemuda itu langsung mengetik sesuatu.
196 53
Dio menatap Nana dengan tatapan memohon. " Na, kali ini aja gue keluar sebentar ya. Emergency nih," ucap Dio setengah memohon, lalu segera keluar dari kelas dengan tersenyum lebar. " Aku mau ngomong sebentar, lima belas detik." Dio berbalik, menumpukan kedua tangan di bahu Nana. " Aku harus ketemu Acha dulu. Kamu bisa ngerti, kan?"
Nana menghela napas. Kehadirannya ditolak. Dio benar-benar tak menganggapnya. Apa kehadirannya selama ini memang seperti itu? Menjadi angin yang tak tersentuh, terlalu abstrak dalam kehidupan Dio?
Apa memang hanya Acha yang Dio perhatikan? Kalau begitu kenapa dia masih mengharapkan cowok itu?
Ah, jatuh cinta ternyata menyakitkan. Seharusnya dia tak perlu membuat dirinya terjatuh kalau akhirnya berdiri saja akan sesulit itu.
Nana berjalan gontai menuju kursinya. Dia melewati Karisa tanpa melihat gadis itu sedikit pun. Semua orang di kelas juga pasti tahu apa yang Nana rasakan.
Mungkin akan ada lagi luka yang menganga lebar-lebar, luka di dalam hatinya. Egois! Dio hanya berani berucap dan berbuat, tapi tak berani bertanggung jawab. Ke mana janji yang pernah dia lontarkan?
Nana duduk di tepi kolam renang rumahnya. Rumah sebesar itu hanya ditinggali empat orang. Miris. Kalau saja Papa Hadi Natara tidak memorakporandakan keluarganya, keadaannya tentu tidak begitu.
Nana memainkan kakinya di dalam kolam. Airnya dingin. Sama
197 53
seperti dirinya: dingin dan kesepian. Nana rindu kehangatan keluarga. Nana rindu kasih sayang kedua orangtuanya.
Dadanya sesak. Tangannya terkepal kuat. Lihat saja nanti, kalau tiba waktunya, keluarga Natara akan dia hancurkan sampai tak bersisa.
Nana menutup mata pelan, merasakan sepoi angin yang seakan membisikkan kidung kesunyian padanya. Ia membuka mata. Dia sudah terlalu lama seorang diri.
Nana menoleh, mendapati Aga yang kesulitan berjalan ke arahnya karena membawa kotak besar. Begitu sampai di depan Nana, Aga mengeluarkan isi kotak tersebut dengan cepat. Teddy Bear cokelat hadir di antara mereka. Nana menatap Aga, ragu. " Buat gue?"
Aga terkekeh pelan. " Bukan, buat Bi Inem," jawabnya asal sambil menyerahkan Teddy Bear kepada Nana.
Nana manggut-manggut saat menerima Teddy Bear. Ia menatap boneka itu, memeluknya sebentar, lalu menghela napas panjang. Aga duduk di samping Nana. " Lo suka?"
Nana menoleh, mengangguk. " Kenapa lo kasih gue boneka?" Aga tertawa kecil. " Soalnya beberapa hari ini lo keliatan sedih, kayak kesepian. Menurut penelitian, memeluk Teddy Bear bisa mengurangi rasa kesepian." Aga menelan ludah, " Yah& kalau ceweknya tipe kayak lo, gue nggak tahu juga, suka boneka atau nggak."
Nana tersenyum miring, kemudian menggeleng. " Like every other girl, gue suka boneka," jelasnya, kemudian memeluk boneka itu erat-erat, berharap bisa menyalurkan rasa kesepiannya pada boneka itu.
" Syukur deh. Jadi lo nggak bakalan buang boneka itu, kan?"
198 53
Nana memajukan bibir. " Emangnya gue nggak punya perasaan?"
Aga tertawa mendengar ucapan Nana. Nana ikut tersenyum. Namun Aga tahu senyum itu hambar, senyum tipu yang Nana tampilkan di depannya dan teman-teman lain. Aga mengenali, saat Nana bersama Dio, senyum gadis itu berbeda, lebih tulus dan memancarkan aura sayang.
Nana melirik Aga yang terdiam. " Kenapa, Ga?"
Aga terkejut, kembali tersadar pada Nana yang ada di dekatnya. " Nggak apa-apa. Mmm& tanda persahabatan kita ya?"
Nana hanya tersenyum miring, kemudian mengalihkan pandangan dari mata Aga. Dia tak terlalu percaya pada persahabatan. Sahabat yang dulu dia miliki sekarang hanya menjadi omong kosong belaka. Ia tak ingin terjebak dalam persahabatan kosong lagi. " Nana!"
Nana dan Aga sama-sama menoleh. Nana terbelalak ketika mendapati Dio berada di ambang pintu menuju kolam renang.
Nana berdiri, dan Aga mengikuti. Dia menahan napas saat Dio dengan cepat menghampirinya.
Seluruh dunia pun tahu tatapan Dio adalah tatapan tidak suka. Dio melirik Teddy Bear yang dipegang Nana, kemudian menarik napas panjang. Tangannya terkepal kuat.
" Ikut gue," ucap Dio sambil menarik tangan Nana. Sayangnya, tangan itu langsung ditahan Aga. " Mau bawa Nana ke mana lo?" ucap Aga lantang.
Dio melirik Aga dengan tajam. Ketegangan terasa sangat jelas di antara kedua cowok itu. " Gue disuruh Bos Ben nganter Nana ke kantor."
Aga menggeleng. " Biar gue aja yang nganter!"
199 53
Nana hanya memperhatikan Dio dan Aga secara bergantian, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
Rahang Dio mengeras. " Nggak bisa! Oom Ben nyuruh gue. Yuk, Na!"
Aga kembali menahan mereka dengan tangannya. " Lo kenapa maksa gitu sih, Yo? Belum tentu Nana mau pergi sama lo." Buk!
Tahu-tahu Aga tersungkur. Wajahnya memerah akibat bogeman mulus Dio mendarat tepat sasaran. Aga segera berdiri, ingin membalas pukulan, tapi Nana segera menahannya. " Cukup!" seru Nana.
Aga menatap Dio yang sama-sama diselimuti emosi. Sudut bibirnya terangkat. " Liat, Yo! Bahkan setelah lo mengabaikan dia, dia masih belain lo! Di mana otak lo, hah?!" Aga berdecak, kemudian pergi dari hadapan Dio dan Nana. Hatinya jengkel karena Dio tak bisa mengendalikan emosi.
Di sisi lain Nana masih terdiam atas kejadian tadi. Dia melepas dengan kasar cengkeraman Dio di pergelangan tangannya, mengucapkan dengan lirih. " Gue nggak mau pergi. Apalagi sama lo."
200 53
ANA berjalan menyusuri koridor sekolah. Kepalanya ditundukkan, rambutnya yang dibiarkan tergerai menutupi wajah. Hari ini dia tak punya secuil pun keinginan untuk sekolah. Lebih tepatnya, bertemu objek yang ada di sana.
Nana mendengus, mulai gila rasanya. Bisa-bisanya dia membiarkan Dio mengacak-acak hidupnya? Dia terlalu dalam jatuh ke pelukan Dio hingga sulit melepaskannya, walau sedetik saja.
Langkah Nana terhenti saat melihat pemandangan tak asing di depannya. Ia menghela napas lagi, mencoba menahan gejolak ingin mencakar rambut perempuan di samping cowoknya itu. Cowoknya?
Nana bahkan tidak tahu dari kapan dia memproklamirkan bahwa Dio miliknya. Sudah beberapa hari Dio tak menjemputnya ke
201 53
sekolah, Nana ingin lari dari dunia. Kalau perlu tak usah saja bertemu orang-orang itu.
Nana menghela napas saat mengingat ucapan Dio yang menyuruhnya bertahan dan bersabar. Nyatanya, bertahan tak semudah meracik mi instan. Dia harus memiliki tenaga ekstra untuk bertahan. Dia harus meneguhkan hati sekuat-kuatnya hingga kelelahan.
Nana menahan napas saat Dio menyentuh rambut Acha, terlihat gemas. Pandangan Nana mengabur, dadanya sesak, ingin lari sesegera mungkin dari tempat itu, namun kakinya berat.
Akhirnya Nana membalikkan badan, mencoba menghindar, dan tak peduli pada tatapan beberapa siswa. Dalam hati kecilnya, dia masih berharap Dio melihat, mengejar, dan mempertahankannya.
" Great, Na."
Nana terpana mendengar ucapan itu, menengadah, menatap orang yang berbicara dengannya itu dengan gamang.
Aga tersenyum, kemudian merangkul bahu Nana. Dengan gerakan cepat gadis itu berputar dan kembali melihat pemandangan tadi.
" Hidup harus tetap dijalani, walau lo lagi patah hati," ucap Aga menuntun Nana yang sepertinya lupa cara berjalan.
Nana hanya menuruti ke mana Aga membawanya. Batinnya merutuki diri sendiri, jadi seperti inikah dirinya sekarang? Lemah karena cinta?
Cinta?
Benarkah apa yang dia rasakan pada Dio itu cinta?
202 53
Dio termenung saat melihat... oh baiklah, Aga merangkul Nana? Dia penasaran. Apa sebenarnya yang terjadi di antara keduanya hingga terlihat begitu dekat? Berani-beraninya Aga merangkul gadisnya.
Dio terperanjat, diliriknya Acha yang menatap kecewa. Spontan Dio tersenyum. " Kenapa, Cha?"
Acha mendengus, membuat Dio bingung. " Ada apa, Cha?" panggil Dio sekali lagi.
Acha menggeleng, kemudian merangkul tangan Dio manja. " Nanti kamu jadi temenin aku beli kado buat Mama, kan?"
Dio menatap sekilas punggung Nana yang hilang di belokan bersama Aga. Ingin sekali rasanya dia mengejar, kemudian menahan Nana agar tak pergi bersama Aga.
Dio cemburu.
Dio mengangguk. Ada hal lain yang dia rasakan. Berbeda. Dio yakin itu.
Nana tak ingin membiarkan keadaan runyam. Pertengkaran hebat antara Dio dan Aga kemarin membuatnya terbebani. Ditambah lagi, kecemasannya pada hasil penyelidikan kematian Bunga yang akan keluar beberapa hari lagi.
Nana mencoret asal buku tulisnya. Pikirannya terpecah-pecah. Dia tak bisa menyelesaikan semuanya dengan suasana hati yang begitu buruk seperti sekarang.
Dua pemuda itu masih diam-diaman, persis anak kecil. Nathan dan Stevan kewalahan mendamaikan mereka berdua.
203 53
Not Until Karya Violita di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nana menggeleng pelan. Itu karena dirinya. Dia harus menyelesaikan dengan caranya sendiri. Tapi bagaimana?
Ah, andai saja dia tak terperangkap sejauh ini. Andai saja sejak dulu dia hanya fokus memikirkan cara membalas dendam kepada keluarga Natara. Andai saja hati ini tak jatuh terlalu dalam.
Pengandaian muncul saat persoalan terjadi. Nana berteman baik dengan rasa sakit, membuatnya tak sungkan untuk mengabaikannya.
Tapi sakit kali ini, ia terluka saat melihat kemesraan yang diumbar Dio dan Acha. Dia gamang dan sulit berpikir jernih.
Nana tersenyum kala bel tanda pelajaran selesai berbunyi. Dia memandang ke arah empat idola yang kini bersitegang. Aga terlihat membereskan buku-bukunya, sedangkan Dio memperhatikan Aga dengan sinis.
Helaan napas panjang keluar dari Stevan dan Nathan, serta tatapan cemas dari Karisa.
Nana tegang.
" Lo berdua mau sampai kapan diem-dieman gini?" tembak Nathan, jengkel menghadapi tingkah Dio dan Aga. " Kalian enggak mau nyelesain baik-baik?" cecar Stevan. Satu per satu penduduk kelas meninggalkan mereka yang tersisa di kelas.
" Tanya sama temen lo itu," ucap Aga sinis sambil memasukkan bukunya dengan kasar.
" Lo duluan yang nyolot sama gue," balas Dio sengit. Aga berdecak. " Lo juga nyolotin Nana."
Dio berdiri sambil berkacak pinggang. " Urusan gue sama Nana, kenapa lo yang repot?!" Nada suaranya meninggi. Aga membalas tatapan Dio dengan tajam. " Gue males temenan
204 53
sama orang yang hobinya nyakitin perasaan cewek," terang Aga jujur.
" Lo nyindir gue?"
Aga berdiri. " Lo& " Tangan Aga terangkat, bersiap melayangkan bogem mentah.
" STOP!"
Nana berteriak dari tempat duduknya. Membuat pertengkaran itu terhenti dan teman-temannya mengalihkan pandangan ke arahnya. Kupingnya panas mendengar keributan itu.
Nana berdiri dari tempat duduknya, berjalan pelan menuju empat pemuda yang terlihat tegang. Karisa mengikutinya.
Nana menatap dingin ke arah Dio. " Kalian jangan bertengkar karena gue," ucapnya lemah. Ia menunduk, kemudian memegang tangan Aga yang masih mengepal. " Dan lo... nggak usah belain gue."
Sesaat kemudian gadis itu tersenyum miris. " Sejak awal nggak ada yang bener-bener salah." Dia menarik napas. " Kalaupun ada yang harus disalahkan, salahin gue. Karena... karena... gara-gara gue kalian jadi rumit."
Nana menatap Dio. " Jangan berantem karena gue. Gue nggak butuh dibela siapa pun!"
Nana berbalik lalu meninggalkan kelas. Sakit yang dia derita saat itu tidak bisa dia temukan obatnya.
Nana menutup mata sebentar. Benar. Sejak awal memang ada yang salah dengan kehidupan barunya.
Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Nana menggeliat di tempat tidur. Semua yang terjadi bukan hanya menyumbat otaknya untuk berpikir, juga membuat dia susah tidur.
205 53
Nana duduk, gelisah. Bukan karena sakit hati yang terus-terusan ditelannya karena melihat Dio dan Acha, bukan juga karena pertengkaran Aga dan Dio yang jelas-jelas melibatkannya.
Sejujurnya, Nana tidak tahu kenapa dia gelisah. Dia tak punya alasan khusus untuk tak lelap dalam tidur. Namun perasaan gelisah datang.
Nana membuka diary Livia. Kalau tahu siapa di antara Nathan atau Aga yang merupakan mantan Livia, dia bisa mengalihkan perhatiannya, lebih fokus mengerjai dan membuat Livia sakit hati.
Kalau saja masalahnya tak serumit ini. Dia pasti bisa berpikir jernih dan segera menemukan apa yang dia cari. Namun itu hanya angan-angan. Kenyataannya dia tak bisa menjernihkan kepala, dan hatinya terus meronta kepedihan. Dia tak mampu fokus. " Couldn t sleep?"
Tubuh Nana mengejang. Oom Ben baru saja membuka pelan pintu kamarnya. Nana menggeleng pelan.
" Barusan Oom memarahi mereka. Kamu sulit menentukan pilihan di antara keduanya?" Suara Oom Ben terdengar menggoda.
Nana menggerutu, kesal. Pamannya bukannya mencarikan jalan keluar atas masalahnya, justru bisa-bisanya menggoda. " Oom, masalahnya bukan seperti itu!"
Oom Ben tertawa. " Seperti apa? Hatimu memilih Dio, tapi Dio memilih Acha, sementara Aga tidak terima?"
Nana memutar bola mata. " Oom, ini bukan masalah seperti itu!"
Oom Ben duduk di tepi ranjang. " Masalahnya jelas seperti itu, Nana."
" Whatever! Aga terlalu fokus padaku," ujar Nana lemah.
206 53
Oom Ben menggeleng. " He s obviously care about you. Dan bagaimana dengan Dio?"
" Oom, aku datang ke sini bukan untuk mengurusi masalah semacam itu!"
Oom Ben berdiri. " Tapi kamu tetap remaja, Nana. Cepat atau lambat kamu akan mengalami masalah hati. Lalu... kenapa kamu belum tidur?"
Sekalipun jengkel, gadis itu menyerahkan diary Livia kepada Oom Ben.
Oom Ben menerima dan menatap diary itu bingung, " Aku bingung, siapa cintanya Livia, di antara Nathan dan Aga."
Oom Ben tertawa seketika. " Kamu benar-benar payah dalam urusan cinta ya?"
Oom Ben mengusap kepala Nana. " Bawa saja mereka ke depan Livia, dan lihat siapa yang menampilkan ekspresi paling terkejut." Ia mengetuk-ngetuk lembut puncak kepala Nana. " Ini hanya soal seujung kuku, tapi kamu memperumitnya."
Lelaki itu beranjak dari kamar setelah berpesan, " Kegalauanmu... jangan sampai mengubah dirimu!"
Begitu bel istirahat berbunyi, Nana segera bangkit dan menarik lengan Aga dengan cepat. Membawa pemuda yang tak tahu apa-apa itu ke luar kelas. Nana tak peduli dengan tatapan tak mengerti ketiga cowok lainnya.
Aga hanya menurut saat Nana membawanya, tak merasa ada sesuatu yang aneh. Mungkin Nana ingin mengatakan sesuatu tentang Dio. Ia tak ambil pusing.
207 53
Nana berhenti di pintu utama sekolah, melepas pegangannya pada lengan Aga. " Sorry buat kemarin dan kemarinnya lagi. Lo sama Dio..."
" Ssttt..." Aga memotong ucapan Nana, " bukan salah lo." Nana mendengus. " Percuma lo ngomong gitu, gue tetap merasa bersalah."
Aga menatap Nana. Pahatan wajah Nana terlalu rapi, begitu mirip dengen wajah elok Acha. Pantas saja Dio sulit menentukan pilihan di antara keduanya. Aga hanya bersimpati dengan Nana yang bersedih karena Dio mempermainkannya. Salahkah Aga tak ingin melihat Nana terluka?
Gadis yang Aga pikirkan itu tampak memandang ke belakang Aga. Mana Livia? Tadi dia sempat mendengar Livia berencana pergi ke perpustakaan karena jadwal pengembalian bukunya sudah jatuh tempo. Ah, sesungguhnya Nana mendengarnya dari Acha yang tadi mampir ke kelasnya.
Hati Nana berdesir, darahnya terasa panas. Memikirkan Acha dan Dio bisa membuatnya kehilangan arah, terbawa arus emosi.
" Dengar, Na, ini bukan salah lo, tapi salah Dio. Dia mainin hati lo!"
" Waktu itu gue nggak bermaksud belain dia, Ga. Gue cuma nggak mau urusan ini menjadi lebih rumit," terang Nana, kembali memfokuskan mata ke belakang Aga.
Aga hanya diam, memahami perasaan Nana yang sebenarnya. " Mmm... nggak apa-apa," jawabnya singkat.
Kenapa Livia lama sekali? rutuk Nana dalam hati. " Gue tahu lo sebenarnya nggak mau berantem sama Dio, Ga," ucap Nana lirih. " Gue juga sebenernya bingung karena tiba-tiba dia jauhin gue gini," gumam Nana tanpa sadar. Ia kembali menoleh, gadis itu sudah tampak, sedang menuju sini.
208 53
Sudah saatnya aku tahu segalanya, Livia.
Hening? Nana merasakan sesuatu yang aneh. Aga belum juga merespons ucapannya. Ia menatap Aga. Aneh. Pemuda itu mematung di tempat, menatap lurus ke depan.
Livia sepertinya belum melihat keberadaan mereka. Nana kembali menatap Aga. Apa? Aga menatap dalam-dalam ke arah Livia. Nana menelan ludahnya sendiri. Jadi benar ada kisah cinta di antara mereka?
Aga tertegun, melirik Nana dengan cepat. " Lo lagi liatin siapa sih?"
Aga tersenyum. " Bukan siapa-siapa."
Nana menghela napas lega. Tuhan membuat semuanya menjadi lebih mudah. Nana yakin, ini jalan supaya dia bisa membuat Livia merasakan sakit yang sesungguhnya. Keterlaluankah dia, mempermainkan cinta Livia?
Masa bodoh. Nana tak peduli. Keluarga Natara juga tak peduli rasanya ketika Nana dicap sebagai pembawa sial, tak merasakan bagaimana pedihnya kehilangan orang-orang yang ia sayangi.
Sudah saatnya Nana membalas semuanya. Ya, ini waktunya. Dia tak akan membiarkan satu orang pun menghancurkannya.
" Na, hari ini ulang tahun Oom Ben yang ke-33. Kami mau ngerayain di Puncak. Lo ikut, kan?"
Nana tersentak. Ulang tahun Oom Ben? Kenapa dia tak tahu apa-apa? Astaga!
" Kenapa baru bilang sama gue?" tanya Nana, seakan tak terima dirinya tahu belakangan.
Aga tersenyum geli. " Namanya juga surprise!"
209 53
Nana menggandeng Karisa masuk ke vila di Puncak. Ternyata keempat pemuda itu sudah mempersiapkan segalanya, walaupun hubungan Aga dan Dio tak juga membaik. Tentu ada kue ulang tahun dan surprise party.
Nana melirik ke belakang, merutuki keberadaan Acha di tengahtengah mereka. Nana ingin membentak Dio saja rasanya. Benarbenar membentak hingga semua kekesalannya tersalurkan dengan baik. Kenapa dia harus mengajak Acha segala?
" Na, kamar lo di pojok kanan ya," ucap Aga memberitahu. Pemuda itu asyik memainkan PSP sambil rebahan di sofa.
Stevan meletakkan tangan di pundak Karisa. " Kamu nggak capek?" tanyanya, membuat kuping Nana panas.
Nana berjalan sendirian ke lantai atas. Dia terdiam saat Dio dan Acha berjalan bergandengan di depannya. Rupanya Dio mengantar gadis itu menuju kamarnya, tanpa mengetahui Nana berada di belakang mereka.
Nana menghela napas panjang, ingin lari saja dari kenyataan. Rasa sesak itu kembali menyergap. Dia pernah berada di posisi Acha sekarang, dan entah kenapa tak rela melepaskan posisi itu kepada siapa pun.
Nana terdiam, mengalihkan pandangan ke kotak yang dibawanya sebagai hadiah ulang tahun Oom Ben. Untung dia sempat membeli hadiah di sebuah pusat perbelanjaan. Mereka berempat menghadiahkan jam bermerek ternama, sementara Nana kebingungan mencari hadiah.
Dio tekejut ketika tahu Nana ada di belakangnya. Ia menatap Nana dalam-dalam, ada sirat kerinduan. Mereka sampai di depan kamar Acha.
Nana mengangkat wajah saat kaki kedua manusia di depannya itu berhenti berjalan. Kakinya spontan berhenti dan menatap tepat
210 53
ke manik mata Dio. Demi Tuhan, dia merindukan cowok itu dalam jangkauannya.
Pemuda itu membalas tatapan Nana. Pandangan mereka bertemu. Seolah dengan pandangan tersebut mereka bisa menjelaskan apa yang masing-masing rasakan.
Buru-buru Nana melewati mereka, membuka pintu kamar, lalu dengan cepat menutupnya kembali. Tubuhnya disandarkan ke pintu, terdiam beberapa lama.
Saat pertahanannya luntur, tubuh Nana merosot. Dia menunduk, duduk di lantai kayu yang dingin. Sakitnya begitu menyiksa batin. Nana menutup wajah dengan kedua tangan, menangis.
Bahkan dengan tangisan pun, sakit di hatinya belum juga hilang.
Nana terisak dalam diam. Dia ingin menghardik Dio, meminta cowok itu kembali ke sisinya, meminta dia untuk menjauhi Acha, menagih segala ucapan cowok itu kala mereka bersama. Tak bisakah semua diulang kembali?
Dio berhasil memikat perhatian Nana, bahkan Dio berhasil memiliki hatinya. Lantas, puaskah dia mempermainkan Nana begini dalam?
Kenyataannya, Nana sangat merindukan Dio. Titik!
Nana membuka pintu kamar dengan mata yang sedikit sembap saat Karisa mengetuk-ngetuk pintu dengan keras. Nana tak tahu apa yang terjadi padanya hingga bisa jatuh ke lantai dan ketiduran.
Gadis itu kelelahan karena menangis. Saat Nana melirik jam dinding, sudah pukul setengah tujuh. Berarti dia ketiduran sekitar dua jam.
211 53
" Lo kenapa sih nggak keluar kamar dari tadi?" tanya Karisa menyelidik.
" Nggak apa-apa." Suara Nana sedikit serak akibat menangis. Sesuatu yang sudah lama tak hadir di dalam hidupnya.
Ogah-ogahan Nana mengikuti langkah Karisa. Temannya itu mengetuk pintu kamar Acha. Beberapa saat kemudian, Acha keluar dari kamar dengan pakaian baru. Nana sendiri belum sempat berganti pakaian karena ketiduran.
Ketiga gadis itu menuruni tangga pelan-pelan. Dio, Nathan, Aga, dan Stevan sudah menunggu mereka di bawah. Pakaian mereka rapi-rapi.
Nana memperhatikan penampilannya. Hanya dia sendiri yang belum rapi. Dia menepuk punggung Karisa, membuat gadis berambut ikal tersebut menoleh pada Nana.
" Gue ganti baju dulu ya," bisik Nana. Acha juga menoleh ke arahnya.
Karisa tertawa. " Lo pake baju apa aja tetep cantik, Na." Nana menggeleng, tapi melirik Acha.
Sejak kejadian di ruang UKS, Nana dan Acha tak pernah lagi bertegur sapa, bahkan mereka tak saling melihat. Status " rival" yang diam-diam tersemat di antara mereka memperlebar jarak di antara keduanya.
Lalu apa yang mesti ditutupi saat mereka tak menginginkan kehadiran satu sama lain?
Nana kembali ke kamar, mengganti pakaian dengan cepat, menyisir rambut, kemudian membawa kado yang sempat dilupakannya.
212 53
APPY birthday to you... happy birthday to you... happy birthday... happy birthday... happy birthday to you!"
Ketujuh remaja itu segera bernyanyi saat Oom Ben memasuki vila. Nana membawakan kue kepada Oom Ben dengan tersenyum. Oom Ben benar-benar kaget, tapi tampak semringah. Dia menatap Nana, menyelidik. Seingatnya tadi Nana mengatakan bahwa dia izin ke Puncak untuk mengambil sesuatu yang berhubungan dengan rencana mereka sehingga Oom Ben setuju saja saat Nana memintanya menjemput di vila yang dia sebutkan sepulang kantor.
Oom Ben meniup lilin dengan cepat, kemudian kembali menatap Nana. " Sudah pandai berbohong sama Oom, Nana?" Nana tersenyum miring, menatap Aga, Nathan, Stevan, dan Dio
213 53
yang nyengir-nyengir tak jelas. " Ide mereka tuh!" Nana mengatakan sejujurnya, menunjuk keempat pemuda itu dengan dagunya.
Oom Ben tersenyum, kemudian mengacak-acak rambut Nana. Dia memandang Aga, Nathan, Stevan, dan Dio secara bergantian. Tersenyum puas. " Saya hampir lupa hari ini ulang tahun saya," ucapnya.
Aga mendekati Oom Ben. " Makanya kami rayakan. Kan tahun kemarin nggak jadi karena Bos harus ke Sydney."
Nana memberikan kado kepada Oom Ben. " Happy birthday, Oom!"
Oom Ben memeluk keponakan satu-satunya itu dengan hangat. " Terima kasih, Nana." Nana membalas pelukannya.
" Rekaman video beberapa tahun lalu itu telah didapatkan, nanti Oom akan menjemputnya," bisik Oom Ben di tengah-tengah pelukannya.
Nana melepas pelukan, menatap Oom Ben setengah tak percaya.
" Secepat itu? Oom udah tahu karyawan Papa itu tinggal di mana?"
Oom Ben mengangguk, membuat Nana kembali ternganga.
Dio melirik Nana yang terlihat asyik menonton Oom Ben dan Nathan bermain Play Station. Rasa bersalah dan rindu muncul saat dia menatap gadis itu. Dio tak tahu apa yang terjadi pada dirinya, merasa sulit memilih dan terus tersakiti.
Acha kembali datang dan menyuguhkan rasa yang sama kepadanya. Dia memang merindukan gadis itu, merindukan segala perhatian yang pernah Acha berikan, merindukan saat-saat mereka
214 53
bersama. Dia membutuhkan Acha, sekaligus menginginkan Nana.
Pertengkarannya dengan Aga tempo hari tak membuka matanya, Dio tetap tak bisa menentukan, siapa pemilik hatinya yang sebenarnya.
Acha memanggil Dio dari arah belakang. Dio masih memperhatikan Nana, meskipun tampaknya yang diperhatikan tak tahu. Dengan enggan Dio mengikuti Acha yang membawanya ke kolam renang. Mereka berdiri berhadapan.
" Ada apa sih, Cha?" ucap Dio. Sebenarnya dia malas menyudahi keasyikannya menatap Nana tadi. Dia terlalu rindu sehingga lupa bahwa dia menyakiti dua gadis sekaligus.
Acha mengerutkan dahi. Tumben-tumbennya Dio jengkel? Biasanya pemuda itu bersikap manis kepadanya, bahkan memanjakannya meski dia sudah melampaui batas.
Biasanya yah... Acha lupa ada gadis lain yang juga mengisi hati Dio. Jika masih mengharapkan Dio, dia harus siap memperjuangkannya dengan cara apa pun.
Untuk itulah Acha kembali memberi perhatian khusus pada Dio, mengingatkan Dio pada masa-masa manis mereka dulu mengingatkan setiap momen romantis mereka hingga Dio lupa bahwa dia pernah melakukan kesalahan.
Acha tahu dia pernah melakukan kesalahan besar. Menggeser keberadaan Dio dengan cowok lain di hatinya. Seenaknya mendua. Dan dia sungguh menyesal. Untuk itulah dia berdiri di situ sekarang, untuk memperbaiki semuanya.
" Kamu berubah," ucap Acha dengan nada bergetar. Dio terbelalak mendapati Acha menangis di depannya. Dia panik karena Acha tak suka menangis di depan orang. Acha yang dia
215 53
kenal adalah gadis yang sabar dan tangguh. Lalu kenapa gadis itu mendadak menangis?
" Berubah apanya?" tanya Dio, mencoba sedikit lebih manis. Acha berdecak. " Kamu berubah, Yo! Kamu nggak kayak dulu lagi!" ucap Acha terisak.
Dio seperti kehilangan akal. Dia tak ingin Acha menangis karena dirinya, apalagi membiarkan gadis itu terluka karena dia.
" Cha... jangan nangis dong. Aku jadi bingung," pinta Dio sambil menyentuh bahu gadis itu.
Acha tetap menangis. " Kamu berubah sejak ada Nana, Yo," ucap Acha telak.
Jantung Dio berdegup cepat saat nama itu disebut. Menyadarkannya betapa penting kehadiran Nana, dulu... saat Acha tak bersamanya.
Dulu?
Dio bergeming, tak tahu harus berbuat apa. Juga tak tahu dia harus melakukan apa supaya Acha berhenti menangis.
" Aku harus ngapain supaya kamu berhenti nangis, Cha?" ucap Dio lirih, seolah tahu rasanya disakiti.
" Jauhi Nana!"
Dio terdiam mendengar permintaan tersebut.
Menjauh? Dari gadis yang sudah hampir memiliki seluruh hatinya?
Acha kembali terisak, membuat Dio ingin lari saja. " Cha... iya, Cha. Aku bakalan ninggalin Nana demi kamu," ucap Dio akhirnya.
Acha menatap Dio dalam. " Kamu janji? Kamu nggak akan ingkar janji kayak dulu lagi, kan?"
Entah apa yang membuat kesadaran Dio menghilang, dia mengangguk setuju.
216 53
Nana masih menyaksikan Oom Ben dan Nathan asyik bermain PS. Apa mereka tak sadar umur? pikir Nana. Dia menengok ke Karisa, Stevan, dan Aga, yang turut memperhatikan permainan mereka berdua. Situasinya membuat Nana bosan.
" Mau ke mana, Na?" Suara Karisa terdengar saat Nana berdiri. " Bentar lagi mau makan malam lho," lanjutnya.
Nana mengangguk, kemudian berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman. Tenggorokannya kering.
Setelah menutup pintu kulkas, Nana melihat dari jendela kaca, Acha dan Dio sedang bercengkrama di dekat kolam renang. Mereka tak menghiraukan angin malam yang menyusup, berdiri berdekatan.
Pelan-pelan Nana berjalan mendekat, mencoba mencuri dengar pembicaraan pasangan itu. Nana tahu itu bukan urusannya, tapi... entahlah! Dia seakan tak tahu perbuatannya bakal membawanya pada luka yang mendalam. Menuju jurang yang mungkin tak bisa dia panjat kembali.
" Cha... iya, Cha. Aku bakalan ninggalin Nana demi kamu." Suara berat Dio terdengar begitu nyaring di telinga Nana. Nana menahan napas. Hatinya pelan-pelan hancur.
Otak Nana tetap bekerja. Memori bersama Dio tergambar jelas seperti film. Kata-kata yang pernah dilontarkan pemuda itu langsung terngiang-ngiang di telinganya.
Aku sayang kamu, Na...
Kasih aku kesempatan.
Kapan sih, Na, lo anggap kehadiran gue? Gue cemburu.
Kamu bisa ngerti, kan?
217 53
Kamu juga merasakan yang sama, kan?
Apa itu ilusi belaka? Ilusi permainan Dio yang begitu lincah membuatnya melambung dan melemparnya jatuh seketika. Katakata sakral yang membuat Nana mengubah keputusannya sehingga bangkit untuk terus menikmati hidup yang sudah disiasiakannya. Untuk menjemput kebahagiaannya yang telah hilang. Dan kini, semua yang dia cita-citakan hancur seketika. Aku nggak butuh mendungmu.
Kalau mendungmu cuma bikin hujan dalam hari-hariku, aku nggak butuh.
Nana melangkah menjauhi dua orang yang tengah berpelukan itu. Pelukan yang pernah mewarnai hari-harinya. Pelukan yang pernah membawanya terbang, dan pelukan yang kini membuat pertahanannya hancur.
Cinta tak pernah memilih dengan siapa dia akan tinggal dan menetap. Entah orang itu punya hati atau tidak. Entah orang itu ceria atau pemurung. Cinta tak pernah memilih dengan siapa dia harus bertuan.
Nana menutup mata, membiarkan tetesan air matanya turun, seiring luruhnya tembok hati yang disakiti.
Bagi Nana, menyembunyikan perasaannya mudah saja. Terbiasa berekspresi datar membuatnya tak kewalahan mengubur kecemburuan. Apalagi mengubur sakit hatinya.
Seperti saat ini, saat makan malam. Acha dan Dio memasuki ruang makan sambil bergandengan. Nana menelan ludah, entah kenapa bibirnya menjadi kelu, dan air liurnya menjadi sangat pahit. Nana menunduk saat mata Dio mengepungnya. Dia meneruskan makan.
218 53
Acha tersenyum manis, kemudian duduk di depan Aga, di sebelah Dio yang berhadapan dengan Nana. Sebelum mengambil piring, Acha berdeham pelan. Membuat semua orang di meja makan menoleh padanya.
Nana menegakkan kepala, ikut menatap gadis cantik di depannya itu.
" Aku sama Dio resmi balikan." Uhuk... Aga tersedak.
Nana menatap Aga yang berada di sebelahnya dengan pandangan tak mengerti.
" A-air..." ucap Aga di sela batuk.
Nana menyodorkan minuman ke Aga yang tengah menjadi pusat perhatian.
" Makanya makan jangan sambil nguap," ucap Nana asal, sambil menepuk-nepuk punggung Aga.
Semua orang tersenyum saja. Ah, tidak. Ternyata ada yang menatap tak suka. Apa yang membuatnya tidak suka? Setelah dia terang-terangan menggandeng gadis lain.
Karisa dan Stevan hanya saling pandang, tak mengerti. Bukankah selama ini yang bermesraan dengan Dio itu Nana? Bukankah baru kemarin Dio dan Nana berpegangan tangan dan saling menunjukkan rasa sayang? Lalu?
Nathan yang menyadari keanehan teman-temannya mengambil inisiatif. " So... kapan kalian balikan?"
Tadi, jawab Nana dalam hati. Nana tetap berusaha tak acuh dengan terus melahap nasi goreng. Mengabaikan tiap tatapan menyedihkan semua orang.
Konyol.
Tadi Nana menghabiskan kesedihannya di kamar mandi dan
219 53
bertekad saat keluar tak ada lagi yang harus disedihkan dan tak ada lagi pil pahit yang harus ditelan.
Not Until Karya Violita di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nana jengkel saat orang-orang tak juga melahap makanan. Akhirnya dia menghentikan makan, kemudian menatap datar ke arah Dio dan Acha.
Acha masih terpana dengan keanehan Nana. Namun saat gadis itu menatap datar ke arahnya dan Dio, Acha tersenyum kecil. Sepertinya Nana tidak apa-apa.
" Baru sebentar tadi," jawab Acha mantap.
Karisa tak bisa lagi menahan ketidaksukaannya. Dia memang sudah merasa selama ini Dio mempermainkan sahabatnya. " Bukannya yang deket sama lo itu Nana, Yo?" ucap Karisa lantang, Stevan langsung memberikan tatapan membunuh kepadanya.
" Hati lo di mana sih? Deket sama yang ini, tapi jadiannya sama yang itu? Belajar jadi playboy, Mas?" lanjut Karisa tak menggubris protes dalam pandangan Stevan.
Dio baru saja mau membuka mulut kalau Acha tak menahannya dengan genggaman lembut. " Sa, deket belum tentu saling memiliki... dan jaga omongan lo ya."
" Lo nggak bisa gitu dong!" Karisa protes, masih juga belum menerima.
Nana menatap Karisa. Diam, teriaknya dalam hati. Jangan buat gue seperti orang yang paling menyedihkan saat ini, lanjutnya dalam hati.
" Kenapa lo malah nyolot ya, Sa? Nana aja biasa-biasa aja," ucap Acha menantang.
" Karena Nana sahabat gue!" bela Karisa. " Iya, terus?" balas Acha sengit.
Karisa berdecak. " Ckckck... kayak gini Yo cewek yang lo pilih?" Karisa berdesis tajam dan berdiri seketika. " Gue udah kenyang!"
220 53
Karisa berlari menuju kamar, meninggalkan teman-temannya yang melongo.
Nana menatap Oom Ben dengan tatapan bersalah. Nana seperti meminta sesuatu yang abstrak kepadanya, Oom Ben mengangguk.
Nana berdiri dan meninggalkan ruang makan dengan cepat. Sepertinya dia harus melakukan sesuatu untuk membuat Karisa mengerti.
Nana mengetuk pintu kamar pelan. Tak ada jawaban. Setelah menarik napas panjang, dia memberanikan diri untuk membuka pintu. Toh memang tak dikunci. Dia menghela napas saat mendapati Karisa duduk menunduk di ranjang.
Nana tersenyum, mengusap punggung Karisa pelan. Temannya itu persis seperti Bunga saat melakukan kesalahan. Nana jadi merindukan adiknya.
Nana kembali mengusap punggung Karisa.
" Sorry, gue bikin lo malu tadi. Sorry, gue udah bikin lo kayak orang yang paling menyedihkan."
Nana menggeleng pelan, memeluk Karisa dari samping, mencoba memberikan kekuatannya pada gadis itu. Nana tak akan pernah lagi menjadi gadis lemah.
" Lo nggak salah, Sa. Nggak ada yang salah dalam persahabatan."
Karisa tertegun mendengar ucapan Nana. Nana tak pernah mengakui Karisa sebagai teman dekatnya. Nana tak pernah mengumbar kata sahabat. Namun sekarang?
221 53
Karisa tersenyum. Setitik air mata keluar begitu saja. " Makasih ya, Na. Makasih lo ngertiin gue. Padahal gue nyusahin lo."
Nana tersenyum. " Nggak. Lo nggak pernah nyusahin gue. Gue tahu lo khawatir tadi."
Karisa melepas pelukan Nana, kemudian menatap Nana tak mengerti. " Lo sama Dio beneran nggak ada apa-apa?"
Nana menerawang. Bahunya terangkat sedikit. " Well, sebelum hari ini kami memang ada apa-apa."
" Terus tadi kenapa lo...?"
Nana menerawang lurus. " Karena ada hal yang nggak bisa dipertahankan. Sejauh apa pun gue mempertahankannya, sekeras apa pun gue teriak agar jangan pergi, dia tetap lepas." Karisa tertegun mendengar penuturan Nana.
" Sa, gue janji, ini pertama sekaligus terakhir kali lo ngeliat gue sebegini rapuh. Oh ya, kalau memang dia bahagia sama masa lalunya, kenapa gue harus repot-repot mempertahankannya? Kebahagiaan kan nggak bisa dipilih."
Karena hari esok masih ada. Karma doesn t have a menu, sambung Nana dalam hati.
Nana menghela napas berat. Pagi menyapa, sementara sejak malam dia belum juga berhasil memejamkan mata. Dia tak bisa tidur karena kejadian semalam.
Semalaman Nana memikirkan segala hal yang telah terjadi. Dio dan Acha balikan. Lalu dia harus berbuat apa untuk memulihkan perasaannya? Mengemis supaya pemuda itu kembali? Cih! Nana tak akan melakukan itu.
Nana kecewa saat kebersamaan mereka dipandang Dio sebagai angin lalu, dengan seenaknya dihilangkan tanpa bekas. Padahal
222 53
jelas-jelas pemuda itu meninggalkan luka yang begitu dalam pada dirinya.
Nana turun dari tempat tidur, kemudian membuka pintu kamar. Ia memasang headset ponsel di salah satu telinganya.Suara Christina Aguillera mengalun indah di telinganya. Saat mendengar liriknya Nana merutuk pelan, kenapa seolah menyindirnya? Nana mengeluarkan ponsel dan memilih repeat this song.
Seems like it was yesterday when I saw your face You told me how proud you were but I walked away If only I knew what I know today
Nana memilih keluar dari vila, berjalan-jalan di sekitarnya. Ia menghirup udara dengan pongah, kemudian melepaskannya dengan kasar.
Ia terlalu lelah dengan semua ini, ingin segera mengakhirinya. Mengakhiri kepahitan yang membuat hidupnya berantakan.
Saat melihat ada yang menuju arahnya, Nana menghentikan langkah. Tubuhnya menegang, tak mampu bergerak. Detak jantungnya bergemuruh.
Dio tak kalah kaget melihat kehadiran Nana. Ini masih jam enam pagi, untuk apa gadis itu bangun dan berjalan sendirian? Udara di Puncak sangat dingin. Bagaimana jika Nana kedinginan dan masuk angin?
Dio ingin menegur, tapi sadar bahwa dia telah menyakiti Nana. Apalagi ia merasa pandangan tajam yang diberikan Nana seolah menuduh dirinya sebagai makhluk paling hina di dunia.
I would hold you in my arms I would take the pain away
223 53
Thank you for all you ve done Forgive all your mistakes
Nana mengalihkan pandangannya dari wajah pemuda itu. Dia memilih untuk melanjutkan jalan karena semakin lama dia menatap mata Dio, semakin susah melupakan cowok itu.
Dengan cepat Dio menahan Nana dengan tangannya, menggandeng gadis itu berjalan menjauhi vila, tanpa memedulikan protesnya.
Mereka berada di bagian tertinggi bukit perkebunan teh. Terengah-engah, tapi Nana senang. Saat melihat ke bawah, matanya menangkap jalanan masih sangat sepi.
Dio duduk di rumput. Tangannya yang menggandeng Nana memaksa gadis itu melakukan hal yang sama. Kini keduanya duduk bersebelahan.
Nana melepas headset dari telinganya, membiarkan benda itu menggantung di pundaknya. Ia mencoba menstabilkan emosinya dengan menarik napas panjang beberapa kali.
" Maaf," ucap pemuda itu lirih, menatap Nana yang menatap lurus ke depan. Ucapannya terdengar sungguh-sungguh.
Nana menoleh, mendapati tatapan lembut Dio. Sejujurnya Nana tidak tega. Tapi tak ada lagi yang harus dikasihani, baik dirinya maupun Dio. Dia hanya perlu menyelesaikan hubungan mereka.
There s nothing I wouldn t do To hear your voice again
Sometimes I want to call you but I know you won t be there
224 54
" Maaf? Buat apa?" ucap Nana menahan jeritan hati. " Bukannya gue mestinya kasih selamat ke lo?"
Dio mengalihkan pandangan dari mata Nana. Dia tahu betul gadis itu terluka, walaupun berbicara lantang. Ah, mata pelangi itu, aku membuatnya kembali mendung. Masihkah aku berkesempatan melihat senyum tulus gadis itu?
" Akhirnya terbukti bahwa gue memang pelarian lo, kan?" ucap Nana, tersenyum miring, seakan menertawakan kebodohannya selama ini, sekaligus berusaha menyembunyikan gejolak yang hampir meledak. Termasuk juga menahan keinginannya untuk menampar Dio.
" Kita sama-sama terjebak keadaan. Jadi, mari kita akhiri semuanya," tegas Nana. Namun sedetik kemudian ia tertegun mendengar ucapannya sendiri. Benarkah ia memilih mundur dalam hal asmara? Tapi, ah, baiklah, toh kedatanganya ke Jakarta memang bukan mencari dambaan hati, bukan?
" Sikap gue sama lo yang menjadikan lo jahat atas perasaan gue& gue minta maaf." Nana terdiam. " Selamat berbahagia ya." Dia beranjak dari duduk, memasang headset, dan bersiap pergi. Tangan Dio kembali mencengkeram tangannya kuat.
Nana menggerakkan tangannya, mencoba melepas cengkeraman itu, tapi bukannya tangannya yang terlepas bebas, colokan headset di ponselnya yang terbebas.
I m sorry for blaming you for everything I just couldn t do
And I ve hurt myself by hurting you
Dio terdiam mendengar lagu yang diputar di ponsel Nana. Ingin rasanya dia merengkuh Nana, mengatakan bahwa dia akan mem
225 54
pertahankan Nana, mengatakan bahwa dia tak akan menyakiti gadis itu.
Nana mengambil kesempatan itu untuk kabur dari Dio. Dia melepas genggaman Dio, kemudian berlari menjauhinya. Sejauh mungkin, bahkan kalau bisa mereka tak usah bertemu lagi.
Some days I feel broke inside but I won t admit Sometimes I just want to hide cause it s you I miss You know it s so hard to say goodbye when it comes to this Christina Aguillera Hurt
226 54
DA yang berbeda antara hari itu dan kemarin. Nana menyadari betul perubahan itu. Dia lebih memilih diam daripada bicara, dia lebih banyak menghela napas daripada menghirup udara segar. Terjadinya setelah mereka pulang ke rumah masing-masing dari Puncak.
Nana tahu penyebab dunianya terbalik seperti itu. Tidak, dunianya tak terbalik, hanya kembali seperti dulu. Saat hanya ada dia dengan kesendiriannya, saat dia merasa tak membutuhkan siapa pun di dunia.
Sebetulnya Nana menyukai kebersamaan sehingga saat dia memilih menyendiri, kekosongan begitu terasa.
Nana sudah tak sama lagi. Dia menghindari acara bersama Dio, Nathan, Aga, Stevan, dan Karisa. Alasannya? Tentu saja karena ada Acha di antara mereka. Nana menghindar. Dia selalu punya alasan untuk tak bepergian bersama atau sekadar berkumpul.
227 54
Lihat saja bagaimana saat istirahat sekolah Nana menyibukkan diri di perpustakaan. Dia tak menggubris pertanyaan Karisa yang semakin hari semakin bingung. Kalaupun menjawab, paling hanya berupa gelengan atau berkata " tidak" .
Sesungguhnya Nana tak mengerti kenapa dirinya menjadi aneh seperti itu. Nana kesal. Tidak. Tepatnya Nana sakit hati. Dia sakit hati karena Dio menjadikannya pelampiasan. Sakit hati karena dia tidak diperlakukan adil. Ujung-ujungnya dia hanya mampu menyalahkan diri sendiri yang dengan sukarela jatuh sedalam itu.
Seharusnya dia tak usah jatuh cinta. Cinta itu bullshit! Cinta hanya omong kosong yang membuat hati terluka. Begitulah kesimpulan Nana saat itu.
Ya, Nana memang baru sekali itu jatuh cinta. Dulu saat mendengar cerita Livia tentang cinta pertamanya, diam-diam dia iri. Dia juga ingin merasakan kebahagiaan yang Livia miliki. Bagaimana perasaannya melambung, jantungnya berdegup kencang, kemudian bersemburat merah saat berdekatan dengan si penawar hati. Oh!
Nana mencibir, menyesal karena hanya memikirkan yang indahindah soal cinta. Memang kebahagiaan yang dibawa cinta melebihi apa pun, tapi sakit karena tamparannya juga melampaui apa pun.
Kini gadis itu tak tahu harus melakukan apa. Setiap hari dia menghabiskan waktu dengan buku dan Oom Ben, mempelajari detail perusahaan.
Wiro Sableng 073 Guci Setan Tapak Tangan Hantu Karya Batara Pembunuhan Di Malam Natal Hercule
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama