Not Until Karya Violita Bagian 4
Nana menutup buku Replika dengan gusar saat bel berbunyi. Dia enggan balik ke kelas. Jika ada pilihan, dia ingin berlari sekencang mungkin dan tidak kembali.
Tapi Nana tahu, dirinya bukan pecundang yang hanya bisa bersembunyi.
228 54
Nana mengalihkan pandangan saat melihat Acha keluar dari kelas. Tiap hari pacaran? Nana mencibir.
Mau tak mau Nana masuk ke kelas, dengan santai, sebisa mungkin menutupi lukanya. Dia membawa buku dan melewati begitu saja bangku Karisa yang menatapnya dalam-dalam. Dia duduk di bangkunya, kemudian membuka buku tersebut dan membaca.
Sebenarnya Nana tak membaca buku itu. Dia melamun sambil matanya mengarah pada tulisan-tulisan kecil di lembaran buku itu, seakan isi buku itu akan diuji pada jam pelajaran selanjutnya.
Karisa mulai bosan dengan sikap antipati Nana terhadap dirinya. Dia tahu Nana terluka, terlebih Dio juga tak menjelaskan apa-apa, dan tetap membiarkan Nana terluka. Dia ingin menonjok Dio karena bersikap seperti raja tega.
Sejak memproklamirkan kembali bersama Acha, Dio tak pernah menyapa Nana sekali pun. Se-ka-li pun. Itu yang membuat Karisa kesal, seolah di antara mereka tak pernah terjadi apa-apa. Dio brengsek, ujar Karisa dalam hati.
Kalau saja Dio bukan teman baik Stevan, Karisa pasti menjauh juga dari keempat cowok itu. Dia akan mengikuti ke mana pun Nana pergi, namun sayangnya, Stevan melarang.
Nana butuh waktu.
Sampai kapan Nana membutuhkan waktu? Sampai dia menemukan lagi sosok yang bisa disayangi dan menyayanginya? Kapan? Dua tahun lagi? Aih, itu terlalu lama. Tanpa sadar Karisa mengoceh sendiri dalam hati.
229 54
Karisa mendekati Nana. Jam pelajaran kosong. Apa Nana tidak tahu? Guru-guru kan sedang rapat dengan pemilik yayasan.
Setelah sampai di depan Nana yang terlihat serius membaca, Karisa mengembuskan napas. " Na?"
" Mmm& ?"
Hati Karisa kecewa, karena Nana bukan saja menjauhi Dio dan kawan-kawan, tetapi dirinya juga. " Lo kenapa jauhin gue?"
Nana mengangkat kepala. Sejak tadi dia tahu dia diperhatikan Karisa, cepat atau lambat Karisa pasti akan berbicara padanya. " Gue nggak jauhin siapa-siapa."
Karisa mendengus kesal. Semua orang juga tahu lo menjauh, Na, jawab Karisa dalam hati. " Na."
Nana tersenyum muram. " Gue nggak jauhin siapa-siapa, Sa." Nana menjawab ketus, kemudian berdiri, pergi dari kelas yang tak dia sukai itu.
Karisa memandang punggung Nana nanar. Manusia bisa berubah secepat itu ya, bahkan dalam sedetik, semuanya bisa berubah. Sedihnya.
Karisa kaget menyadari remasan di bahunya. Stevan. " Gue udah bilang, Nana butuh waktu. Lo harus ngertiin dia, Sa."
Karisa mengangguk. Dari jauh dia memandang Dio. Sungguh, bukan hanya Nana yang membenci pemuda itu. Karisa juga.
Nana duduk di taman belakang sekolah. Dia ke tempat itu bersama Dio atau tidak untuk menenangkan diri. Mengingat Dio, kemampuan berpikirnya melemah. Pemuda itu berhasil membuatnya seperti itu.
Nana jadi teringat peristiwa terbongkarnya identitas mantan
230 54
pacar Livia. Aga. Nana tak tahu alasan pasti kenapa dia juga menjauhi Aga, tapi pandangannya telah berubah kepada Aga saat terbongkarnya rahasia itu.
Aga memang dekat dengannya. Bahkan Aga membela dia, tapi sayangnya, Nana tak ingin hubungan mereka sedekat itu.
Apa pernyataan semacam itu membuktikan Nana tak sepenuhnya membenci Livia?
Nana menggeleng. Dia harus bicara dengan Livia, sedikit mengancam gadis itu untuk mengisi kekosongan waktu. Ia mengeluarkan cutter mini yang sering digunakannya untuk pelajaran seni budaya.
Mengancam dengan kematian? Huh! Nana ingin tertawa. Nana tahu Livia selalu mengaktifkan email, sama seperti dirinya. Dia tak tahu nomor ponsel Livia saat itu karena telanjur menghapusnya dengan darah mendidih dan kebencian. Dia tak ingin secuil pun nama keluarga Natara di kehidupan barunya.
To: Livia.natara@ymail.com Taman belakang sekolah.
Nana menghela napas saat mengirim email tersebut. Hanya email yang bisa menghubungkannya dengan Livia. Tak lama kemudian email Nana dibalas.
From: Livia.natara@ymail.com What?
Nana ingin sekali membanting ponselnya kalau tak ingat misinya. Dia benci berhubungan dengan Livia lewat apa pun. Dia terlalu membenci keluarga Natara.
231 54
" Kenapa lagi sih lo?"
Nana terperanjat, mengalihkan wajah, dan mendapati Aga berada di sampingnya. Duduk di sebelahnya.
" Maksud lo?" tanya Nana judes.
Aga menatap Nana lemah. " Udah lebih dari seminggu lo jauhin kami. Lo nggak pernah ngumpul lagi sama kami."
Nana bungkam. Benar. Dia memang sengaja tak berhubungan dengan mereka. Tragisnya, dia tak tahu mengapa harus menjauh.
" Semuanya& terasa berat." Suara Nana bergetar. Dia tak ingat lagi pada Livia saat pikirannya tertancap pada satu nama lain.
Aga prihatin melihat Nana serapuh itu. Gadis dingin yang ia kenal pertama kali bukan seperti itu. " Nana, lo nggak bisa terusterusan stuck di sakit hati lo."
Nana tersenyum tipis. " Gue nggak stuck." " Oh ya?"
" Dia& ninggalin gue seenaknya. Dia mengumbar sayang, tetapi nggak menegaskan kami ada hubungan. Setelah Acha memintanya, dia balik ke cewek itu. Gimana bisa gue maafin? Gimana bisa gue main sama dia?" ucap Nana memuntahkan kepedihannya.
Aga manggut-manggut. Nana terpuruk dan itu karena Dio, temannya sendiri. Sepenting itukah kehadiran Dio di kehidupan Nana? " Masih banyak orang yang sayang sama lo, Na. Kami peduli sama lo. Gue sangat peduli sama lo!" ucap Aga tegas.
Nana mendengarnya, tapi tak bisa mencerna. Dia memilih memandang rumput. Melamun begitu saja. Makanya dia begitu kaget saat Aga memeluknya erat. Namun dia tak merasakan apa-apa, berbeda dengan Dio. Tak ada getaran halus, tak ada perasaan membuncah, dan tak ada hawa panas yang mengalir di dalam dirinya. Pelukan Aga sangat dingin. Nana tak merasakan hatinya ter
232 54
bang. Nana terdiam. Benar, dia mengharapkan orang lain berada di sampingnya. Orang yang begitu saja menjauhinya.
" Lo harus belajar menghargai orang-orang yang sayang sama lo," ujar Aga lembut.
Kenyataannya hanya satu orang yang mampu memperlakukannya seperti itu.
Nana benci saat dirinya diperlakukan tidak adil. Oleh Dio, oleh keluarga Natara, oleh siapa pun.
Natara?
Nana mengerjap, tersadar saat melihat Livia berjalan mendekatinya.
Nana tersenyum sinis dan membalas pelukan Aga. Cutter mini yang digenggamnya kini mata pisaunya diarahkan ke pundak Aga hingga berjarak beberapa senti saja.
Nana menatap Livia tajam. Tubuh Livia terdiam kaku.
Livia terdiam menyaksikan itu semua. Nana dan Aga berpelukan di depan matanya. Hatinya terasa teriris. Dia masih menyayangi Aga hingga sekarang.
Tubuh Livia mematung saat Nana mengarahkan cutter ke pundak Aga. Livia menganga, tak percaya. Nana kembali mengancamnya, mengancam lewat Aga. Tak puaskah Nana menghancurkan semuanya?
Livia melangkah mundur. Hatinya sakit, sadar bahwa Aga jatuh ke tangan Nana. Dan sekarang Nana malah mempermainkannya dengan kematian.
Nana begitu tahu Livia tak ingin melihat Aga terluka, dan itu benar-benar dimanfaatkannya.
Air mata Livia jatuh, kecewa dan takut.
233 54
Nana tersenyum sinis mengingat kejadian tadi. Selepas kepergian Livia, dia melepas pelukan Aga, melipat cutter, kemudian menggenggamnya erat. Dia hanya ingin sedikit bermain-main dengan Livia. Lagi pula, mana mungkin cutter tumpul itu bisa menembus kulit Aga?
Aga mengajak Nana pulang bersama.
Nana menggeleng. Menolak. Dia ada urusan dengan Oom Ben setelah pulang sekolah. Dan dia memutuskan pergi ke kantor sendirian.
Saat Nana tiba, Oom Ben baru masuk ruangannya. Lelaki itu baru saja selesai meeting.
" Mood kamu sedang baik?"
Nana mengangguk semangat. Tentu saja, dia baru mendapatkan kepuasan dari kekecewaan Livia.
Nana memandang bingung pada kliping yang dibawa Oom Ben. Dia mengambil dengan cepat kliping berbentuk buku tersebut, membukanya hati-hati dan perlahan.
Juni 2004
Kelana Group mengalami kebangkrutan dan menghilang dari dunia bisnis. Selepas meninggalnya Direktur Utama.....
Nana menahan napas saat membacanya. Hatinya menyesak, mengentak-entak, seperti ingin segera diberi penawar. Nana membaca artikel selanjutnya.
234 54
November 2004
Natara Group, perusahaan yang baru saja didirikan pebisnis muda, berhasil mendapatkan keuntungan besar dalam proyek...
" Hadi Natara yang pernah bekerja sebagai manajer di Group Kelana& " Nana membaca perlahan kalimat tersebut, kemudian menatap Oom Ben yang tersenyum lebar.
Oom Ben mengusap rambut Nana. " Bukti yang berhasil Oom kumpulkan beberapa waktu ini. Lengkap sudah bukti pengambil alih secara sepihak Kelana yang diganti nama dengan Natara."
Nana mengambil berkas yang Oom Ben berikan dan membacanya sambil tersenyum semringah. Bukti bahwa ayah Livia menggelapkan uang perusahaan serta black market yang dimainkan perusahaan Natara dan anak-anaknya beberapa tahun itu.
Nana spontan memeluk Oom Ben erat. Kebahagiaannya membuncah.
" Oom hampir menyerah saat kasus itu menghilang begitu saja. Pro dan kontranya nyaris tak terdengar lagi."
" Kenapa Oom bersikukuh melakukan semua penyelidikan itu?"
Oom Ben menerawang. " Pertama kali bertemu Hadi, Oom sadar bahwa dia bukan orang baik.
" Kasus ini segera diproses di pengadilan. Tadi Oom dengar Marina dan Joen sudah ke kantor polisi untuk diinterogasi. Bukti visum penganiayaan Bunga yang waktu itu diberikan ke pihak kepolisian sudah diproses secara hukum," Oom Ben tersenyum lega, " dan juga penyelewengan dana yang kamu katakan, sudah terbukti. Mereka bersalah."
235 54
Nana tersenyum manis. " Mereka memang pantas mendapatkan ganjaran itu, Oom."
Papa, Bunga& semuanya berjalan lancar, ucap Nana dalam hati.
Nana dan Oom Ben berjalan perlahan di gedung apartemen ternama di Jakarta Selatan. Mereka masuk lift dan memencet angka 7.
Keluarga Natara benar-benar hancur sekarang. Mereka tak punya apa-apa lagi untuk diperjuangkan. Kasus yang menimpa mereka ada setumpuk di pengadilan, tak ada celah untuk berkelit.
Dua hari itu Nana sibuk terkait kasus itu. Dia dan Oom Ben ke kantor polisi untuk menyerahkan bukti tambahan, berdiskusi dengan pengacara, dan mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan kasus tersebut.
Tak apa capek sekarang karena Nana bertekad, sampai mati pun dia tidak akan menutup kasus itu. Dia bersungguh-sungguh.
Nana tak sempat memikirkan perasaannya yang disakiti Dio. Dia tak peduli, hilang bagaikan angin. Mungkin saking sibuk dan sakitnya, hati menjadi kebal. Atau mati rasa?
" Pak, tolong beri saya waktu dua hari lagi."
Oom Ben dan Nana berpandangan mendengar suara memohon itu. Mereka spontan menoleh ke depan, tepat di sumber suara tersebut.
" Debt collector dan pihak bank," bisik Ben memahami. Nana menyilangkan tangan dan menatap adegan di depannya sambil tersenyum senang, seolah itu acara humor di televisi.
236 54
" Klien lari karena kasus ini. Utang perusahaan tidak bisa ditutupi," ujar Livia.
" Tidak bisa! Kami sudah menyita semua barang pribadi Natara!" ujar orang bertubuh tambun.
Livia menangis sesenggukan. " Saya janji akan melunasi. Tapi tolong beri keringanan waktu."
Wajah Livia memerah karena tangis. Nana menelan ludah melihat Livia begitu tak berdaya. Tubuhnya menjadi lebih kurus.
Nana berbalik, sudah cukup melihat pemandangan di depannya, bukti bahwa usahanya selama itu tak sia-sia.
" Mau ke mana kamu, Na?" ujar Oom Ben mengikuti langkah Nana.
" Pulang," jawab Nana singkat.
237 54
ANA."
Nana mengalihkan pandangan, terlihat Karisa dan Stevan berlari menyusulnya. Mereka kewalahan mengikuti Nana yang berjalan cepat ke ke
las.
Nana mengangkat alis, tak mengerti. Ada apa mereka memanggilnya? Apa ada sesuatu yang penting?
" Ke mana aja sih lo, Na?"
Nana menggeleng. Dua hari itu dia memang sibuk membereskan kasus keluarganya bersama Oom Ben sehingga tak sekolah. Lagi pula, tak ada yang perlu dikejarnya di sekolah. Tak ada hal penting yang mampu mengalihkan perhatiannya di sekolah, beda dengan dulu. Datang kesekolah hanya menyakiti hatinya.
Nana menggandeng Karisa, menarik gadis itu agar berjalan
238 54
mendahului Stevan. " Yuk ke kelas," ajak Nana tanpa peduli Stevan yang menatapnya tak suka.
Karisa terperangah melihat perlakuan Nana. Dua hari tak bertemu membuat Nana mengalami perubahan drastis: dia mendekati Karisa. " Tumben seneng banget?"
Nana mengangguk sambil tersenyum. Mereka terus melangkah dengan Stevan yang mengikuti dengan wajah cemberut.
Merasa tak nyaman, Nana berhenti dan menoleh ke belakang. " Kenapa lo, Van?"
Stevan menatap Nana dengan kesal. " Lo, Na, baru dateng setelah menghilang, main gandeng-gandeng cewek gue aja," ceplos Stevan asal, mengambil tempat di sebelah Karisa.
Wajah Karisa spontan merona. Dia menyikut Stevan dengan gemas.
Nana melirik Karisa. " Oh, jadi lo udah nggak di PHP-in sama dia?" ucap Nana terang-terangan.
Telinga Stevan memanas mendengar komentar Nana. Dia tak pernah sekali pun memberi harapan palsu kepada Karisa, selain hanya menyalurkan kasih sayangnya yang& ah, sudahlah.
Nana mencibir, kemudian meninggalkan pasangan itu cepatcepat. Masa bodoh. Namun, sekali lagi Nana menoleh ke belakang dan mendapati Stevan sedang merangkul pundak Karisa.
Nana menggeleng pelan. Tugasnya di Jakarta sudah selesai. Kalau tak mengingat ujian nasional akan dilaksanakan beberapa bulan lagi, Nana pasti segera mengurus kepindahannya. Pindah ke Bali, berada di dekat ibundanya, yang entah kapan akan sadar dari koma.
Nana menerawang merindukan mamanya. Dia begitu merindukan hingga ingin menangis. Sudah lebih dari setahun dia tak me
239 54
rasakan kasih sayang mamanya. Walaupun di London dulu dia juga terpisah, tapi tak seberat itu rasanya.
Melihat ibu yang terbaring lemah dan tak bisa melakukan apaapa, amat menyakitkan, lebih sakit daripada patah hati. Patah hati?
Nana tak peduli.
Aga mengetuk pelan kepala Nana. Sejak tadi pemuda itu mengekori Nana. Entah apa modusnya. Yang dia tahu dia risi diikuti Aga. " Apa sih, Ga?" ucap Nana mulai kesal.
Aga tertawa, senang Nana sudah kembali seperti pertama kali mereka bertemu di bandara.
" Inget nggak, dulu lo juga ketus gitu sama gue pas pertama kali kenalan?"
Benar juga. Nana sadar banyak perubahan yang dia lalui. " Ya, terus?" ucap Nana akhirnya. Dia melambai kepada penjaga kantin yang mengantar pesanan mereka. " Makasih ya, Mbak," ucap Nana.
Mbak penjaga kantin itu tersenyum. Wajah ayu khas Jawa yang dimiliki si Mbak mengingatkan Nana pada mamanya.
Nana mengikuti garis wajah Papa. Tidak terlalu lembut, tetapi juga tidak terlalu keras.
" Lo ngapain aja sih dua hari ini?"
Nana memilih memasukkan bakso bulat-bulat ke mulutnya. Setelah selesai menelan, baru dia menjawab pertanyaan Aga. " Liburan," ujarnya asal.
Aga terpana, tahu dibohongi. Jelas-jelas kemarin Oom Ben bilang bahwa dia sibuk bolak-balik ke kantor polisi untuk mengurus hal penting.
240 54
Apa hubungannya dengan Nana?
Nana memandang Aga yang tengah memikirkan sesuatu, tahu pemuda itu tak percaya jawabannya. " Gue bohong, hehehe..." Lagi-lagi Aga terkesiap.
" Gue bantuin Oom Ben supaya kasusnya cepat kelar," terang Nana, lalu menyeruput jus jeruk.
Aga sama sekali tak menyentuh bakso. Dia sibuk berpikir. Kalau tidak menatap kosong ke depan, dia asyik memainkan bakso dengan sendok tanpa memakannya.
" Lo kenapa?" tanya Nana.
Aga menatap Nana yang memandangnya bingung, kepalanya digelengkan beberapa kali, menjelaskan dia tak memikirkan apaapa. Tapi Aga tak bisa berbohong. Bukan hanya Nana yang mengganggu pikirannya akhir-akhir itu. Juga Livia, gadis masa lalunya, yang tiga hari itu tak terlihat.
Aga tak merindukan Livia. Dia hanya penasaran, kenapa Livia dan Nana absen bersamaan? Namun bedanya, Nana kembali pada hari ketiga, sedangkan Livia belum. Ke mana gadis itu?
" Lo lagi mikirin seseorang?" tebak Nana. Siapa lagi kalau bukan saudara tirinya itu? Sejak tahu Aga pernah pacaran dengan Livia, diam-diam Nana jadi sering memperhatikan Aga. Dia penasaran, bagaimana Livia bisa bertekuk lutut pada pemuda itu? " Kalau Dio datang lagi ke hidup lo, lo terima nggak?" Kenapa Aga harus merusak selera makannya dengan menyebut nama cowok itu sih?
" Maksud lo apa?"
Aga menggeleng. " Gue cuma nanya, Na. Berandai-andai aja." Nana mengangkat bahu " Gue nggak peduli."
Aga menyesal sudah bertanya begitu pada Nana. Sudah tahu
241 54
Nana orangnya seperti apa, tapi malah nekat ingin mendapatkan pencerahan dari Nana.
" Cinta pertama lo& ?" Nana baru saja mau menyebut nama Livia, tapi keburu sadar bahwa Aga akan banyak bertanya bagaimana dia bisa tahu hal tersebut.
Aga mengangguk pelan. " Padahal gue suka lho sama lo." Nana memutar bola mata. " Kita lagi bicarain lo, Ga." Aga mengangguk-angguk. " Oke, kita lagi bicarain gue." Nana mengembuskan napas kesal, kemudian menyikut perut Aga. " Nyebelin lo." Lalu menghambur ke luar dari kantin.
Nana menatap nanar ke depan. Pemuda itu tengah berada di sana. Ia sudah memantapkan hati untuk tidak berhubungan apa pun lagi dengan pemuda itu. Sejak hari itu, ketika cowok itu memutuskan segalanya, Nana menghindari setiap kontak dengan Dio, termasuk kontak mata.
Namun tidak kali itu. Guru fisika membagi murid-murid sekelas menjadi beberapa kelompok, dan Nana kebagian satu kelompok dengan Dio, Calvin, Oliv, dan Naomi. Sedangkan Nathan, Stevan, dan Karisa malah satu kelompok, sementara Aga di kelompok lain.
Nana mencoba bersikap tak acuh. Dia berdiskusi tentang listrik paralel dan kegunaannya dengan Naomi, tapi di sela diskusi Naomi malah membisikkan sesuatu yang membuat bulu kuduk Nana berdiri.
" Dio dari tadi perhatiin kita mulu."
Nana menggeleng-geleng saja, tak membalas perkataan Naomi. Kalau dia memedulikan atau membalas tatapan Dio, tembok yang susah-susah dibangunnya akan luruh begitu saja.
242 54
Nana tak ingin terbuai lagi.
" Ya udah, nanti pulang sekolah kita ke lab fisika, lanjutin diskusi," ujar Calvin selaku ketua kelompok.
" Mesti pulang sekolah nanti?" tanya Nana, tak nyaman berlamalama sekelompok dengan Dio.
" Iya lah. Kapan lagi coba?"
Nana manggut-manggut saja, setuju dengan ucapan Calvin. Dia membereskan buku-bukunya, ingin beranjak ke kursinya karena bel pulang sekolah segera berbunyi.
" Oh iya, Na, kenapa lo nggak masuk dua hari ini?" Nana menghentikan langkah saat suara nyaring Calvin terdengar begitu keras. Dia menyipit, melihat Dio sedang menatapnya juga, sama seperti Calvin, menunggu jawabannya.
Namun Nana hanya menggeleng, membiarkan pertanyaan itu terbenam dalam pikiran masing-masing. Nana tak akan menjawab kepada siapa pun, kecuali&
Nana merutuki diri sendiri. Dia tak boleh mengharapkan Dio, walau hanya sedetik.
" Na, gue, Stevan, dan Nathan duluan ke lab fisika, ya." Karisa berpamitan dari arah pintu. Ketika mendapat anggukan Nana, ketiganya langsung menghilang dari kelas.
Nana menatap sekeliling. Teman sekelasnya memang selalu begitu, meninggalkan kelas begitu bel berbunyi. Alhasil, Nana yang suka bermalas-malasan membereskan barang-barangnya selalu ketinggalan.
Nana mengerjap saat Aga menepuk pundaknya. Pemuda itu tersenyum sambil mengacak rambut belakangnya. " Ada apa?" tanya Nana dingin.
243 54
Aga menggeleng. " Gue duluan ya, Na. Gue mau ketemuan sama temen lama."
Nana menghela napas. " Ya udah, pergi aja," ketusnya tanpa berpikir siapa teman lama yang dimaksud Aga.
Aga tertawa. " Jangan merasa kehilangan gitu dong, Na. Besok kan kita ketemu lagi."
Iih, GR!
Nana memutar bola mata, menepuk lengan Aga dengan bukubuku yang akan dimasukkan ke loker hingga Aga meringis kesakitan.
Aga mengalihkan pandangan ke arah Dio, yang juga terlihat siap meninggalkan kelas karena sudah menyandang tas. " Gue duluan ya, Yo," ujar Aga.
Dio hanya mengangguk, sejujurnya malas mendapati adegan Nana-Aga yang membuat hatinya panas. Dio tak terima, tentu saja. Dia masih menyayangi Nana.
Nana melihat Dio dengan ekor matanya sambil berjalan menuju loker di bagian paling belakang kelas, segera memasukkan bukubukunya, kemudian mengunci loker dengan satu gerakan cepat. Hening.
Nana berputar. Tubuhnya menegang saat tau Dio masih berada di dalam kelas. Bahkan cowok itu menatap dirinya.
Nana tak bisa mengartikan tatapan itu tajam atau merindu. Dia menunduk, berjalan menuju bangkunya. Lebih baik dia cepat keluar sehingga tak masuk perangkap Dio.
" Gue pengin ngomong," ujar Dio lirih.
Nana melirik Dio dan menjawab cepat, " Nggak ada yang mesti diomongin."
" Na, gue min& " " DIO!"
244 54
Not Until Karya Violita di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dio mengepal keras saat mendengar dengan jelas seruan dari luar kelas. Dio tahu siapa yang memanggilnya. Acha ada di sana. Sendirian. Padahal dia benar-benar ingin meminta maaf kepada Nana. Menjelaskan ketidakbahagiaannya, menjelaskan penyesalan yang datang menyergapnya.
Nana melangkah menuju bangkunya, memilih duduk kembali, menunggu Dio keluar sehingga dia bisa dengan bebas berjalan. Karena kalau boleh jujur, adanya Dio beberapa meter darinya bisa membuatnya kewalahan, terutama untuk bernapas.
Nana merindukan Dio, tentu saja. Dia selalu merindukan Dio. Tapi hatinya begitu sakit saat melihat Dio memilih gadis lain. Dia membenci Dio yang memilih Acha.
Hatinya berdenyut nyeri.
Nana masih hafal bagaimana Dio memanggilnya, bagaimana Dio menyapukan perhatian lembut dalam hidupnya, kemudian& membuatnya jatuh. Semuanya menyisakan bekas yang amat dalam di hatinya.
Tidak. Sudah cukup rasa sakit itu.
Nana melangkah menuju pintu kelas, tapi berhenti saat suara lantang dari luar kelas memasuki telinganya.
" Kamu nggak pernah ngertiin aku, Yo!" Suara Acha.
" Kamu yang nggak pernah ngertiin aku, Cha! Cukup semua ke-childish-an ini! Gue capek berantem mulu."
Nana terdiam di ambang pintu. Dia berniat keluar, tak ingin mendengar percakapan ini. Namun bagaimana?
" Kamu! Kamu selalu bertindak semaumu. Aku pacarmu, Yo! Aku berhak nuntut perhatianmu!" Suara Acha bergetar.
" Udah deh, Cha, kurang kasih apa gue sama lo! Lo blokade gue dari temen-temen, gue terima. Lo minta gue nggak usah latihan
245 54
futsal agar bisa nemenin lo, gue terima. Lo bilang gue nggak boleh deketin Nana, gue lakuin. Apa lagi yang salah?!" Suara berat Dio terdengar bergetar hebat, menahan amarah.
" Kasih sayangmu! Kasih sayang yang nggak pernah lagi kamu kasih ke aku!"
Nana menutup mata. Dia seperti maling saja. Mendengar pembicaraan yang tak seharusnya dia dengar. Sungguh, dia merasa tak enak karena jadi terkesan menguping. Padahal mereka yang bertengkar keras-keras, batin Nana.
" Gue bilangin ya, semua berubah, Cha! Dunia gue udah lain." Acha terisak pelan. " Aku sakit denger kamu ngomong kayak gini, Yo."
Suara Dio meninggi. " Siapa yang lebih egois, gue apa lo? Mana yang lebih sakit di antara kita? Sekarang ini gue cuma sayang Na& "
Suara Dio terhenti karena mendengar bunyi decitan pintu kelas terbuka.
Nana.
" Gue nggak bermaksud nguping," ujar Nana dingin, lalu berjalan secepat mungkin meninggalkan pasangan yang sedang bertengkar itu.
Sayup-sayup Nana masih mendengar lontaran Dio pada Acha. " Puas lo?"
Nana menghela napas, berusaha tak peduli.
Sore hari Nana memilih bersantai di taman belakang rumah yang ada kolam renang. Nana duduk di tepi kolam sambil mencelupkan kaki.
Pikirannya melayang pada kejadian pulang sekolah tadi. Dio
246 54
dan Acha bertengkar hebat. Dan sepertinya hubungan mereka tidak dapat dipertahankan lagi.
Nanaaa... lo mikir apa sih? Nana menegur dirinya sendiri. Tapi kalau beneran mereka putus bagaimana?
Nana menggeleng-geleng, tak boleh terus-terusan memikirkan Dio seperti itu. Memangnya dia bersedia sakit hati lagi? Namun, Nana juga tak bisa membohongi diri.
Duh, enaknya Nana bersikap bagaimana sih?
Belum terjawab lamunan Nana, Oom Ben terlihat terburu-buru berjalan menghampiri Nana. Begitu sampai di dekat Nana, dia membisikkan sesuatu. Mata Nana membulat seketika.
" Livia?!"
Nana hampir berteriak saat mendapati Livia duduk manis di ruang tamunya. Gadis itu terlihat begitu kurus. Mungkin karena tidak makan beberapa hari atau menahan beban, entahlah. Nana tak peduli. Livia mati pun, dia tidak peduli.
" Ngapain lo ke sini?" sapa Nana ketus, menyilangkan tangan di depan dada, memandang Livia tajam, seolah ingin menikamnya. " Berani-beraninya ya lo masuk ke kandang singa. Ckckck..." Nana mendekati Livia.
Livia menahan napas, memberanikan diri menatap Nana. Dia melihat sorot kebencian yang mendalam di wajah Nana, mengingatkannya pada apa yang dia lakukan setahun lalu.
Livia menunduk sambil memainkan jemari. " Gue& minta maaf, Na."
" Untuk?"
Livia menarik napas panjang, benar-benar menunduk, tak mau memperlihatkan matanya yang memerah. " Untuk kesalahan Papa,
247 54
untuk kesalahan gue, dan perlakuan buruk keluarga gue pada Mama dan Bunga. Untuk semuanya."
Nana tertawa seketika. Tawa nyaring yang tak berisi, tawa menyindir. " Maaf lo bilang?" Emosinya merambat naik.
Oom Ben menyentuh Nana, menahannya agar tidak menyakiti Livia.
" Lo pikir semuanya bisa diselesaikan dengan minta maaf?" Bahu Nana naik-turun karena menahan emosi. Hatinya teriris ingat dia dianggap pembawa sial oleh keluarga Natara, hatinya merintih pedih saat melihat tubuh Bunga yang penuh memar dan mamanya terbaring koma.
Keluarga Natara kejam.
" LO NGGAK SADAR SEBERAPA BEJAT KELUARGA LO, HAH?" Nana hilang kendali hingga melayangkan tamparan keras ke pipi Livia.
Plak&
Oom Ben memejam saat menyaksikan itu.
" Kita pernah bersahabat, Vi," ucap Nana bergetar, " tapi lo malah menganggap gue sebagai penyebab kematian papa lo." Nana menarik napas panjang, mendinginkan hati. " Gue tahu sejak awal Tante Marina dan Oom Joen nggak pernah suka sama gue. Gue tahu, dan Mama pasti juga tahu. Tapi gue bertahan, Vi!"
Livia tak bereaksi apa pun.
" Sampai gue tahu penyebab kematian papa gue karena bokap lo melumeri kalium sianida di rokok dan setir mobilnya! Sampai gue tahu tubuh Bunga biru dan mengalami depresi berat! Sampai gue tahu perusahaan Papa diambil alih bokap lo secara diam-diam! APA LO YAKIN GUE BAKALAN MAAFIN LO, HAH?" Nana kalut. Pandangannya kosong. Kebencian yang begitu
248 54
dalam membutakannya. Nana mengambil vas di tengah meja, kemudian mengempaskannya dengan kasar ke lantai. Praaanggg&
Air mata mengalir di pipi Nana. Gejolak emosi berubah menjadi air mata kepedihan yang dia tahan lama. " Sakit, Vi! Coba aja lo jadi gue," ujar Nana miris.
Livia berlutut di hadapan Nana, tanpa memedulikan serpihan vas yang mengenai lutut dan kakinya.
Nana masih tak bisa mengendalikan emosi. " Berdiri lo!" hardiknya keras.
" Maaf, Na, gue minta maaf. Tolong, tolong gue, Na." Nana mendorong tubuh Livia. Karena lemas dan tumpuannya tak kuat, Livia jatuh membentur tepian meja. Bagian belakang kepalanya mengeluarkan darah. Livia pingsan.
Nana terkesiap, mundur beberapa langkah. Saat tubuhnya menabrak dinding, tubuh Nana merosot, terduduk di lantai dan menangis.
Menangis karena menahan derita begitu lama.
249 54
ANA menatap tubuh Livia yang terbaring lemah di rumah sakit. Mata Livia tertutup, tubuhnya lemah. Selang infus yang mengalirkan zat bergizi menancap di tangannya. Kepalanya diperban, lutut dan beberapa bagian kakinya penuh olesan Betadine karena luka terkena serpihan kaca.
Sedikit pun Nana tak merasa kejadian yang menimpa Livia sebagai kesalahannya. Dia membenci Livia dan keluarganya.
Itu karma, ucap Nana memantapkan diri. Keluarga Livia memperlakukan keluarga Nana dengan buruk. Dia tak akan pernah memaafkan mereka.
Nana menoleh saat pintu kamar Livia terbuka. Oom Ben masuk membawa makanan.
" Aku nggak bermaksud nungguin dia," ucap Nana melirik ke Livia.
250 54
" Sejak kemarin kamu di sini terus, Na."
Nana mengangguk. Benar, sejak kemarin dia menunggui Livia tanpa alasan jelas. Sejak kemarin dia hanya duduk sambil sesekali menatap wajah Livia yang tertidur nyenyak. Gadis itu masih belum sadar. Menurut dokter, Livia sangat tertekan sehingga asupan makanannya menurun. Luka di kepalanya yang berdarah membuat tubuhnya semakin lemah.
Nana tersenyum miris. " Mungkin lebih baik kita biarkan dia mati kemarin, Oom."
Ben mengusap punggung Nana. " Kamu bukan pembunuh, Na."
Nana menggeleng. " Aku cuma ingin melihat mereka mati di depanku, Oom."
Ben menghela napas. " Jangan! kita sudah menang di pengadilan, Marina dan Joen akan menghabiskan hidup mereka di penjara."
Nana tersenyum miring. " Lalu harus kita apakan sisa keluarga Natara? Nana pengin mereka semua lenyap, Oom."
Ben kembali mengusap punggung Nana. " Dia saudaramu, Na."
" Aku nggak peduli, selama di tubuhnya masih mengalir darah Natara."
Itu hari kedua Nana berada di rumah sakit. Kata dokter, depresi dan sedikit makan selama berhari-hari memperlemah tubuh sehingga Livia tak bisa bangun secepat yang diperkirakan. Benturan keras di pelipis juga memengaruhi kesadarannya.
Nana berdiri. Saat dia mau membuka pintu kamar, pintu tersebut lebih dulu terbuka.
251 54
" Nana?"
Mereka berdua sama-sama kaget.
Aga menggerakkan dagu, meminta Nana agar ikut bersamanya. Ia membawa Nana ke taman rumah sakit.
" Gue yang nganter Livia ke rumah lo, Na."
Nana terdiam, memandang pasien dan suster yang lalu lalang di depannya. Dia mendengar, tapi malas menanggapi.
" Siang itu tiba-tiba Livia menelepon gue. Dia minta agar gue menjemput dia sesegera mungkin di depan apartemennya. Gue nggak tahu maksudnya. Tapi karena dia nangis sebelum gue nutup telepon, terpaksalah gue menuruti dia."
Aga menarik napas, melanjutkan penjelasannya. " Tubuh Livia lebih kurus, dan matanya bengkak. Gue tanya dia, udah makan apa belum. Dia jawab, udah. Dia minta gue nganterin dia ke rumah lo."
Tanpa menatap Aga, gadis itu berkata, " Apa aja yang dia ceritain ke lo?"
Aga terkesiap. " Mungkin... semuanya." Aga tersenyum pada Nana. " Kalian saudara, kan?"
Nana tak pernah lagi menganggap keluarga Natara sebagai bagian kehidupannya.
" Livia ceritain itu semua sambil nangis. Bikin gue nggak tega." Nana mengerjap, tak peduli hubungan kekeluargaannya dengan Livia diketahui banyak orang. Bisa menghancurkan keluarga Natara saja sudah lebih daripada cukup. Dia berhasil membuat Tante Marina dan Oom Joen mendekam di penjara dan Livia tak punya apa-apa lagi.
" Dia gadis paling ceria yang pernah gue kenal. Saat itu kami kelas 2 SMP."
Aga menerawang, mengingat cinta pertamanya dengan Livia.
252 54
" Pertemuan klise, nabrak dan ditabrak. Gue langsung minta kenalan dan kami pun dekat. Tanpa diketahui siapa pun."
Aga tersenyum riang. " Saat itu dia cerita ke gue bahwa dia punya sahabat yang sekarang jadi saudaranya. Dia bahagia banget waktu cerita ke gue. Dia juga menyayangkan nggak bisa ngenalin gue ke saudaranya karena dia sekolah di London."
Aga menatap Nana. " Yang gue nggak nyangka ternyata saudaranya itu lo."
Nana tersenyum miris.
Aga kembali menerawang. " Saat nerima email lo yang cerita lo seneng tinggal di London, Livia malah nangis karena mikir lo nggak bahagia saat tinggal di Indonesia bersama dia. Sejak kepergian lo, dia nggak pernah punya sahabat. Bagi Livia, lo satu-satunya sahabat, nggak ada yang lain."
Nana menahan air mata yang hampir keluar mendengar penuturan Aga. Sungguh, dia tak pernah menyangka Livia begitu menghargai persahabatan dengan dirinya. Dia hanya berbohong saat mengirimi Livia email yang mengatakan dia sangat bahagia di London, karena sebenarnya dia hanya tak ingin dicemaskan keluarganya di Indonesia.
" Dia kesepian setelah lo pergi. Dia bilang, lo cewek tertangguh yang pernah dia kenal."
Aga menghela napas. " Gue nggak nyangka, sebenernya gue udah kenal lo jauh sebelum kita kenalan. Gue kenal lo dari ceritacerita Livia.
" Sayangnya hubungan gue sama Livia putus karena backstreet kami ketahuan Oom Hadi yang jelas-jelas nggak setuju. Gue marah pada beliau dan mutusin Livia begitu aja. Akhirnya gue pindah ke Jakarta, ketemu Stevan dan Dio."
253 54
Nana memilih diam, menyimak penuturan Aga yang panjang itu.
" Gue berasa nggak bisa napas melihat Livia nangis kemarin. Gue nggak tega."
Nana melirik Aga yang kini terdiam. " Maksud lo apa ceritain gue semua ini?"
Aga kaget mendengar pertanyaan Nana, sesaat menatap mata gadis itu. Sorot mata Nana masih menyisakan luka, juga memperlihatkan kebencian mendalam. " Gue cuma.. sharing." Nana tersenyum sinis. " Supaya gue maafin Livia?" Aga kaget lagi.
" Gue menghargai usaha lo. Tapi gue udah maju terlalu jauh, nggak akan mundur, Aga. Sekalipun lo udah tahu semuanya," jelas Nana dingin, kembali menatap ke depan, lalu berdiri.
Aga menahan Nana dengan tangannya. " Lo nggak akan mencelakai Livia lagi, kan?"
Nana terdiam lama, menatap Aga. Tatapan Aga seolah memberitahu bahwa jika Nana mencelakai Livia, Aga juga akan terluka. Bukankah Nana berjanji tidak melibatkan orang-orang di sekelilingnya?
Nana menggeleng. " Nggak. Tapi lebih daripada itu," ucapnya mantap. " Gue iri sama Livia. Bahkan saat sekarang, saat dia nggak punya apa pun, masih saja ada orang seperti lo, yang menyayanginya tulus."
Aga terkejut.
" Gue iri karena dulu, saat gue dibuang begitu aja sama keluarga Natara, nggak ada satu pun yang belain gue, seperti lo belain Livia sekarang."
Nana berjalan menjauhi Aga, namun baru beberapa langkah
254 54
berbalik. " Lo bisa jenguk dia sekarang. Sebelum gue blokade orang-orang yang mau nengokin dia."
Aga bangkit, kemudian tersenyum. " Gue yakin kebahagiaan akan menyapa lo, cepat atau lambat."
Nana berjalan menuju koridor rumah sakit dengan gontai. Dia baru saja mengisi perutnya di kantin. Dia berbalik arah saat melihat Acha dan Dio keluar dari kamar Livia. Tampaknya mereka sudah tahu apa yang terjadi pada Livia, dan bisa jadi tahu fakta dirinya.
Nana bersembunyi di balik tembok, matanya tertuju pada Acha dan Dio yang berjalan beriringan dalam diam. Tak ada gandengan, juga tak ada wajah cerah Acha.
Huh, dasar pemain rasa, vonis Nana dalam hati. Tak cukupkah Dio memainkan perasaan Nana saja?
Nana menahan diri untuk tidak keluar dari persembunyian saat sadar untuk apa dia bersembunyi. Dia tak punya urusan apa-apa dengan mereka, dan bukankah terserah dia mau melakukan apa pun, tak perlu peduli pada keberadaan mereka.
Namun, tetap saja Nana menahan napas. Tepatnya, menahan getaran yang memacu cepat saat Acha dan Dio melewatinya. Mata bening Nana mengikuti mereka.
Nana batal keluar saat Dio menengok ke belakang. Jantungnya berdegup keras, aliran darahnya memacu cepat. Dia tak ingin Dio mengetahui keberadaannya. Dia mengembuskan napas lega saat mereka menghilang dari pandangannya. Lalu mulai berjalan kembali.
Tanpa terasa Nana sudah berada di depan ruangan Livia. Dia membuka pintu dengan lemah, ingin memastikan keadaan Livia.
255 54
Tubuh Nana menjadi kaku saat melihat Aga duduk di kursi di samping ranjang Livia. Aga menatap gadis itu sendu, seolah dunia Aga terenggut dengan sakitnya Livia.
Nana cemburu. Bukan, bukan karena Aga memperhatikan Livia, tapi karena dia juga ingin mendapat perlakuan sama. Makanya dia masih mematung di pintu, menata rapi-rapi perasaannya yang mulai tak menentu. Dia merindukan...
" Nana?" Aga menyapa.
Nana mengangkat kepala, melirik Aga. Dia menutup pintu, lalu berjalan gontai menuju pemuda itu.
" Lo belum pulang?" tanya Nana, nadanya seperti mengusir. Aga menggeleng. " Tadi lo ketemu Acha dan Dio?" Nana mengangkat bahu. " Gue lihat, tapi mereka nggak lihat gue kayaknya."
Aga mencibir. " Masih ada yang disembunyiin?" Nana menyipit. " Bukan urusan lo," katanya ketus. Aga tertawa, kemudian berdiri, menepuk beberapa kali bahu Nana, dan berkata. " Gue kan cuma nanya."
Nana hanya diam, tak menanggapi. Emosinya kepada Aga lamalama tak bisa diatur.
" Gosipnya sih mereka udah putus, tapi masih aja jalan bareng," tutur Aga. Ia melirik Nana dengan cepat, ingin tahu ekspresi yang ditampilkan gadis tersebut saat mendengar informasi terbarunya itu.
Nana mengernyit, tahu siapa yang dimaksud " mereka" dalam kata-kata Aga. Buat apa dia memberitahu Nana? Nana menatap Aga. " Peduli gue apa ya?" ucapnya, lebih ketus.
Aga tersenyum. " Semua orang tahu perasaan lo sama Dio kali!" Nana membalas senyum Aga dengan tatapan tak mengerti. " Dan semua orang juga tahu perasaan gue sama dia saat ini."
256 54
" Gue pulang dulu ya, besok balik lagi." Nana mengangguk.
Setelah Aga benar-benar hilang dari balik pintu, Nana tak tahu harus melakukan apa. Dia menatap Livia yang memasuki hari kelima tidak sadar. Nana mencibir. Kalau sudah selama itu tak sadar, tak usah sadar saja sekalian. Merepotkan.
Nana berjalan menuju jendela besar. Kamar Livia berada di lantai lima dengan jendela menghadap ke taman sehingga Nana dapat melihat pemandangan dengan leluasa.
Nana tersenyum saat melihat anak kecil yang bermain dengan suster dan ibunya, mengingatkan dia pada Bunga dan Mama. Bagaimana kabar Mama?
Drrrttt... drrrttt...
Dengan cepat Nana mengambil ponsel, membaca siapa yang meneleponnya.
Oma.
Nana yakin itu ada hubungan dengan Mama. Buru-buru dia menjawabnya.
" Nanaa... akhirnya, Nak, mamamu sudah sadarkan diri." Ponsel hampir saja terlepas karena tubuh Nana melemas seketika saking senangnya. " Apa? Mama udah sadar? Oma, sore ini Nana ke Bali," ucapnya mantap.
Keinginan Nana untuk berkumpul bersama keluarganya hampir terjadi. Sudah terlalu lama Mama koma akibat kecelakaan pesawat. Sudah terlalu lama dia kehilangan sosok Mama. Nana rindu belaian dan kasih sayang Mama.
Nana bahagia.
Air mata berlinang dan jatuh. Bukan air mata kesedihan. Itu air mata kebahagiaan. Air mata yang menjelaskan semua penantian panjang Nana.
257 54
Nana membalikkan badan. APA?!
Livia membuka mata. Hal pertama yang dilihatnya adalah langitlangit putih yang bercorak aneh di atasnya. Kepalanya masih sakit, lutut dan bagian tulang keringnya juga ngilu. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ah, dia ternyata berada di rumah sakit.
Livia mencoba bergerak. Telinganya menangkap suara di dekatnya.
" Apa? Mama sudah sadar?"
Perlahan Livia menoleh, mendapati Nana tengah membelakanginya. Tubuh Livia bergetar hebat. Mama? Sudah sadar?
Yang Livia tahu Mama tidak ada di Jakarta dan Nana tak terlalu sering mengunjungi Mama.
Dia mendengar Nana terisak, pelan-pelan air matanya meluruh. Dia juga rindu Mama. Hanya Mama Hanna yang dia punya. Hanya Mama Hanna yang pernah memberikan perhatian keibuan kepadanya.
Dia ingin bertemu Mama.
Livia terisak. Dia menatap punggung Nana. Kata maaf sepertinya tidak cukup untuk mengubah segalanya. Nana terlalu membencinya.
Livia berpaling saat menyadari Nana membalikkan badan. Gadis itu menatap tajam, seakan siap membunuh Livia.
Livia memejam ketakutan. Air mata masih terus mengalir dari pipinya.
Livia menyesal. Sungguh dia menyesal. " Na." Dia berani menyapa, walau pening langsung menyerang.
258 54
Nana menatap Livia angkuh. Syukurlah gadis itu sudah sadar. Ia bisa langsung memesan tiket ke Bali untuk mengunjungi Mama. Ia tak perlu repot-repot menyuruh orang untuk menjagai gadis itu.
Di alam bawah sadarnya Nana masih memedulikan Livia. Nana berusaha mengelak. Tidak! Perasaannya tak segampang itu untuk dipermainkan.
Kalau saja semuanya tak serumit itu, pasti Nana bisa memaafkan Livia.
" Aku juga pengin ketemu Mama."
Cih. Apa dia geger otak beberapa hari ini hingga melupakan segalanya?
Nana berdesis tajam. " Lo pikir gue bakal ngizinin lo ketemu Mama? Dia mama gue, bukan mama lo!"
Livia hanya memejam, meremas selimut rumah sakit, kembali terisak. " Aku kangen Mama."
Nana menggeleng sebal, lalu berdecak. " Menurut lo, gue peduli?" ucapnya ketus, berniat beranjak dari ruangan itu segera mungkin.
Namun, betapa kagetnya Nana ketika tiba-tiba Livia meraih tangan Nana.
" Lepas!" teriak Nana keras.
Livia tak menghiraukan tepisan Nana. " Tolong, aku juga pengin ketemu Mama. Tolong..."
Nana melirik Livia, membisu. Gadis itu seakan merintih kesakitan. Nana peduli apa?
" Itu mama gue! Mama lo udah mati!" ucap Nana dengan penekanan pada kata " mati" .
Air mata terus mengalir di wajah Livia. Dia tak punya tenaga untuk menyusul Nana, berbicara pun sangat susah.
259 54
Nana menatap Livia. " Gue bukan keluarga lo dan lo bukan keluarga gue! Jangan mimpi terlalu tinggi!" Nana membanting pintu rumah sakit dan pergi begitu saja.
Biar saja Livia rasakan hidup sebatang kara seperti yang pernah Nana alami.
260 54
AMA sudah sadar.
Hanya kata itu yang terngiang di telinga Nana. Nana sudah memberitahu Oom Ben, memberi kabar bahagia itu kepada orang yang selama ini terlalu berjasa untuknya. Oom Ben turut senang, langsung membolehkan Nana ke Bali.
Bahkan saat mengambil beberapa baju dan memasukkannya ke tas, Nana sampai tak menyadari ada orang yang memperhatikannya dari luar kamar.
Not Until Karya Violita di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah semuanya beres, Nana segera berjalan menuju pintu kamar. Dia diberitahu Oom Ben, pesawat akan lepas landas tepat dua jam lagi sehingga dia tak harus menunggu penerbangan selanjutnya.
Nana kaget menyadari Dio berada di depannya. Tatapan
261 54
pemuda itu masih... Ah, tidak. Nana sudah kebal dan bisa menghadapi Dio.
" Mau ke mana lo?"
Nana menyipit. " Bali," jawabnya enteng, lalu mengambil celah untuk berjalan meninggalkan Dio.
Dio menahan tangan Nana. " Udah dapet tiket? Gue perlu ngomong sama lo."
Tak ada waktu. Nana tak akan membiarkan Dio mengalanginya. Benar. Pemuda itu harus menyingkir sekarang juga.
" Dio, pesawat gue udah mau berangkat. Lo jangan mempersulit deh." Nana melepaskan genggaman Dio di tangannya. " Gue perlu ngomong sama lo."
Nana mendengus. " Lain kali, oke?"
Dio dengan cepat mengambil tas Nana dan berjalan lebih dulu daripada gadis itu. " Kita ngomong sambil jalan. Gue anter lo."
Nana hanya terpaku melihat punggung Dio. Dia tak mengerti, apakah begitu cara Dio kembali mempermainkan hatinya?
Nana meremas ujung baju. Perjalanan menuju bandara terasa sangat lama karena Dio ada di sebelahnya.
Nana mencoba tak peduli akan hadirnya kembali pemuda ini di dekatnya. Aku tak akan jatuh ke lubang yang sama, mantapnya dalam hati. Tapi, tunggu! Bagaimana cara ampuh membohongi perasaan?
Dio berdeham pelan, tapi terdengar begitu keras di telinga Nana. Ia melirik Nana sekilas. Mobil yang dikendarainya memasuki jalan tol. Dio membayar, dan keadaan tetap hening. Dio tak ingin mengulur waktu, tapi juga sadar bahwa apa yang
262 54
ingin ia katakan butuh keberanian besar. Baru kali itu ia gugup karena perempuan.
Nana mengalihkan pandangan ke jalan, lelah menunggu. Ya, dia terlalu lelah mengikuti kemauan Dio.
Nana masih menumpukan matanya ke samping jalanan. " Gue mau minta maaf sama lo."
Nana mendengar jelas ucapan Dio, namun berpura-pura tak mendengar. Hatinya masih menjerit ngilu.
" Na, gue tahu lo marah sama gue. Oke, gue emang brengsek. Gue bener-bener minta maaf."
Nana menahan napas. Bukankah aku berjanji untuk tak peduli, ikrarnya dalam hati.
" Gue tahu ini nggak mudah buat lo, buat perasaan lo, ta..." " Jangan berlebihan menilai perasaan gue. Saat itu gue cuma labil. Setelah pikiran gue terbuka, gue sadar itu kesalahan," potong Nana cepat.
Nana memang menyayangi Dio, ah lebih dari itu, mencintai Dio. Cinta pertamanya. Tentu saja itu tak terlupakan.
Dio melirik Nana. Mobil memasuki lingkungan Bandara Soekarno-Hatta, berarti waktunya bersama Nana menipis. Pelan-pelan Dio mengurangi kecepatan mobil, ingin egois sekali saja, ingin bersama Nana lebih lama.
" Terserah, mau anggap perasaan lo itu kesalahan atau bukan. Gue cuma pengin lo tahu gue merasakan yang sama, dan maaf gue menyia-nyiakan kesempatan itu kemarin-kemarin. Gue nyesel. Gue baru sadar bahwa..." Dio menggantung ucapannya. Keberaniannya memudar. Dio gugup.
Nana menoleh, mendapati Dio kebingungan. Dia menunggu lanjutan ucapan Dio.
263 54
Dio menatap Nana. " ...bahwa gue terlalu sayang sama lo dan nggak bahagia di samping Acha."
Darah Nana berdesir cepat. Hatinya mengembang dan wajahnya tersenyum manis. Sesaat kemudian dia menghela napas. Kata itu, kata yang dinantinya dari dulu, meluncur dari bibir Dio. Tidak! Dia tidak mau lagi. Saat dirinya serius, justru Dio mempermainkannya. Bagaimana dia tahu Dio hanya ingin bermain-main dengannya atau tidak?
Tegas Nana memilih untuk menyiram bunga yang baru saja bermekaran di hatinya itu dengan air asam, memilih menyakiti hatinya sendiri.
Nana memilih mengabaikan ucapan Dio. Dia hanya menatap terminal keberangkatan.
" Kamu bener-bener pemain perasaan ya? Setelah kamu putusin Acha, masih berani deketin aku?" ucap Nana saat turun. Dia membanting pintu mobil Dio sekeras mungkin. Mungkin itu kali terakhir dia bisa bersebelahan dengan Dio.
Dio merasakan hatinya berdenyut nyeri saat Nana mengucapkan hal tersebut. Dia baru tahu dicerca orang yang paling disayangi terasa sesakit ini. Ia mengemudikan mobil cepat ke parkiran. Setelah memarkir ia berlari memasuki bandara.
Nana berjalan menuju eskalator, Dio bisa melihatnya dengan jelas. Dio berlari menghampiri Nana.
Dio berhasil masuk ke bandara dengan bantuan teman papanya yang tadi dihubunginya. Dia segera berlari menuju eskalator, tapi Nana sudah menghilang dari pandangannya.
Oh, itu dia! Nana ada di dekat pintu keberangkatan. Tangan Dio langsung meraih Nana, menahannya.
Nana memutar badan, terbelalak mendapati Dio berada tepat
264 54
di belakangnya dengan napas tersengal-sengal. Bagaimana Dio bisa masuk ke sini?
" Nana... hhh... hhh..." Dio berusaha mengatur napas. Nana melepas genggaman Dio dengan kasar, membuat pemuda itu kaget dan memilih masuk ke ruang tunggu. Nana tidak sabar untuk segera ke Bali.
" NANA, GUE SAYANG LO!" Apa?
" WOULD YOU BE MY GIRL?"
Kenapa Dio berani melakukan hal senekat itu? Nana berhenti. Terperangah. Hanya sesaat. Kesadarannya menjemput gadis itu hingga ia segera masuk ke ruang tunggu. Pesawat berangkat lima belas menit lagi dan dia tak punya banyak waktu untuk mengurusi Dio, bahkan perasaannya sendiri.
Dio mengacak rambut frustrasi saat Nana menghilang dari pintu ruang tunggu. Dia tak boleh masuk ke sana. Lagi pula, Nana tak ingin menerima kehadirannya.
Dio mengabaikan pandangan aneh orang-orang kepadanya setelah dia berteriak tadi. Pemuda itu berjalan lemah, sungguh tak punya kekuatan apa-apa.
Benarkah Dio kehilangan Nana?
Dio berbalik dan menatap pintu ruang tunggu dengan nanar. Benarkah dia kehilangan kesempatan atas kesalahan yang pernah dia buat?
Dio beranjak ke luar bandara, kaget saat melihat Aga berada di depan terminal dengan wajah pucat pasi bersama Karisa, Nathan, dan Stevan.
" Nana udah berangkat?" tanya Karisa cemas.
Dio mengangguk lemas. Yang dia butuhkan sekarang adalah
265 54
ketenangan untuk menjernihkan pikiran. Namun saat melihat Karisa mulai menangis, Dio menjadi tegang, menatapnya tajam. Karisa terisak. " Kata Oom Ben, Nanaa..."
Dio mengguncang tubuh Karisa. " Nana apa?" tanyanya mendesak.
Karisa menunduk. " Nana pindah ke Bali, setelah itu ngelanjutin kuliah di London," lanjut Karisa bergetar.
Stevan mengambil tempat di samping Karisa, merangkul gadis itu dalam tangisannya.
Dio terdiam mematung, melirik Aga dengan tatapan tak suka. " Lo tahu semua ini?"
Aga hanya mengangguk pelan. Lemas karena kehilangan sahabat terbaiknya.
Nana merebahkan diri di kasur. Perjalanan ke Bali yang terburuburu ternyata begitu melelahkan. Sekarang pukul sebelas malam waktu setempat. Dia beranjak menuju balkon kamar. Rumah Oma berlantai dua dan Nana paling suka berada di kamar atas karena bisa memandang lanskap Bali dari sana.
Nana menatap langit. Dulu dia selalu pulang jam segitu saat tengah sibuk-sibuknya membalas dendam pada keluarga Natara. Pada waktu seperti itu dia pasti sedang berada di mobil seseorang, yang rajin mengantar-jemput Nana.
Rencana kepindahannya ke Bali belum sepenuhnya Nana terima. Oom Ben mengusulkan agar dia fokus ke pendidikan sehingga punya modal untuk memimpin perusahaan bersamanya. Cepat atau lambat, perusahaan akan melebarkan bisnisnya ke luar negeri sehingga otomatis kesibukan Oom Ben akan melebihi sekarang.
266 54
Namun Nana masih meminta waktu untuk mempertimbangkannya, tak ingin terburu-buru memutuskan agar tak menyesal nanti.
" Semua sudah selesai, Nana. Kini waktunya kamu fokus ke pendidikan," ujar Oom Ben di telepon, sekaligus memintanya untuk mengurusi kepindahan ke Bali jika dia mau.
Tapi Nana masih bimbang.
Nana menikmati langit yang penuh bintang. Beda dengan angkasa Jakarta yang jarang bertabur bintang.
" Belum tidur, Na? Besok harus menemani Mama terapi lho," tanya Oma yang berada di kamar Nana.
Nana menggeleng pelan, masih pendiam, seperti sifatnya beberapa tahun itu. Oma sadar bahwa Nana beranjak dewasa.
Nana memeluk Oma penuh kehangatan. " Semua sudah selesai, Oma. Nana bahagia sekarang," ucapnya pelan.
Oma mengusap rambut panjang Nana dengan lembut. " Mamamu sudah sadarkan diri dari tidur panjangnya. Apa rencanamu ke depan?"
Nana melepas pelukan Oma, menatap langit. " Nana mau Mama bener-bener sembuh dulu."
Oma mengusap lengan Nana. Udara di situ lebih dingin dibandingkan Jakarta, dan Nana merasa cocok tinggal di situ.
" Tadi Ben telepon. Katanya kamu mau dipindahin ke sini. Masuk SMA biasa."
Nana mengangguk pelan. Dia yakin ada hal lain yang membuat Oom Ben memaksanya segera pindah. Mungkin dia ingin Nana melupakan sakitnya saat bersekolah di Jakarta, berkesempatan menata hatinya.
Menata hati?
Hati Nana sudah runtuh. Dia tak punya pertahanan hati lagi. Nana menutup mata, bimbang. Dia tak ingin meninggalkan
267 54
teman-temannya di Jakarta. Namun, dia ingin melupakan Dio dan segala kenangan yang bersangkutan dengannya. Hidupnya harus diperbarui.
" Kamu sudah memutuskan?" Nana menggeleng pelan.
" Ada yang membuatmu ragu untuk pindah?" tanya Oma mendesak.
Benar. Ada yang membuat Nana harus bertahan di sana. Ada yang menariknya untuk kembali ke Jakarta.
Nana bimbang. Dia ingin melihat Dio sekali lagi sebelum memutuskan pilihan. " Baru kali ini Nana merasa sulit memutuskan sesuatu, Oma," lirih Nana.
Oma menatap langit. " Cucu Oma sudah besar. Sudah harus bisa memutuskan sesuatu," ujar Oma tersenyum.
Walaupun tak melihat senyum Oma karena menengadah, Nana merasa kata-kata Oma membuatnya menyadari sesuatu. " Kamu tidak ingin kehilangan teman-teman di sana, kan?" Nana mengangguk pelan. Bukan hanya itu, Dio menyatakan perasaannya dan dia mengabaikannya, itu yang membuat Nana bimbang. Atau mulai menyesal?
Dio menyayangi Nana dan Nana pun menyayangi Dio. Masih adakah hal lain yang dapat menghalangi cinta mereka?
" Di dalam hidup, kamu harus berani melepas sesuatu kalau ingin menerima yang baru," ujar Oma, semakin membuat Nana bimbang.
Nana menggeleng. " Bukan itu, Oma."
Oma tersenyum sambil terus membelai kepala Nana. " Kamu tahu yang terbaik untuk dirimu, Nana. Oma dan Mama selalu mendukungmu."
268 54
Nana terdiam. Dia merasa menemukan sesuatu. Dia bisa memutuskan. Semoga saja itu pilihan terbaik.
Nana mengerjap. Kenapa akhir-akhir ini dia bolak-balik berhubungan dengan rumah sakit? Baru saja keluar dari rumah sakit menunggui Livia, sekarang dia ke rumah sakit kembali untuk menemani Mama.
Nana membuka pintu kamar Mama. Mamanya terbaring lemah dengan mata terbuka. Beberapa saat lalu, saat Nana baru sampai di Bali, Mama masih menutup mata dan alat-alat medis tersambung di badannya. Tapi sekarang Mama sudah lebih baik. Mama menengok, tersenyum menyambut kedatangan Nana. Nana berjalan setengah berlari, mendekati, lalu memeluk Mama. Air matanya mengalir begitu saja. Dia bahagia karena Mama sudah sadarkan diri dan kembali menemani hari-harinya. Nana tak peduli lagi dengan hal-hal lain. Yang dia tahu, Mama sudah sadar dan akan hidup bahagia dengan mamanya.
" Nana seneng Mama udah bangun," ucap Nana lirih, terisak. Mama menatap Nana, lalu mengerjap. Tertidur terlalu lama membuat saraf Mama belum mampu bekerja normal sehingga yang bisa dilakukan hanya membuka mulut, mengerjap, mendengar, dan menggerak-gerakkan jari kaki maupun tangan.
Nana kaget saat pintu terbuka. Oma masuk dengan beberapa suster dan dokter. Nana berdiri, memandang dokter dengan penuh harap.
" Waktunya terapi, Na," ucap Oma. Nana mengangguk saja.
Selama terapi yang berjalan dua jam, Nana menemani Mama. Mama diminta menggerakkan tangan. Nana yakin rasanya sakit.
269 54
Sekarang Mama diminta berdiri sambil berpegangan pada tepi ranjang.
Nana membantu Mama berdiri. Oma berada di sisi lain, turut membantu anaknya berdiri. Beberapa kali Mama berjalan mengelilingi ranjang sambil terus berpegangan. Napas Mama terengahengah.
" Cukup terapi hari ini," ucap sang terapis sambil meminta Mama duduk di kursi roda.
Nana mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih, dia mendorong kursi roda Mama dan membawanya ke taman rumah sakit.
Walaupun tak seluas rumah sakit di Jakarta, Nana yakin pengobatan di situ yang terbaik. Dia belum mau kembali ke Jakarta, meskipun beberapa waktu lagi akan menjalani ujian semester ganjil.
Nana berlutut di depan mamanya sambil menggenggam tangannya kuat. Menyalurkan energi positif untuk Mama agar bisa sembuh secepat mungkin.
" Nana kangen Mama," ucap Nana lirih.
Mamanya hanya mengerjap, lalu berusaha mengangkat tangan untuk mengusap pelan kepala putrinya yang menunduk menahan tangis.
Nana menegakkan kepala. " Kenapa Mama nggak pernah cerita bahwa penyebab kematian Papa adalah Oom Hadi?" Mamanya mengerjap sekali.
" Semuanya sudah selesai, Ma, Nana sudah memberi balasan setimpal pada mereka."
Mama kembali berusaha mengusap kepala Nana. " Bunga udah ninggalin kita, Ma. Mama nggak pernah cerita
270 54
bahwa keluarga itu membuat Bunga depresi berat sampai akhirnya..."
Nana menerawang. " Akhirnya Nana tahu alasan Nana dikirim ke London. Oom Hadi pengin Nana jauh dari Mama dan Bunga supaya bisa bertindak seenaknya pada Mama, kan?"
Nana menghela napas. " Kenapa Mama nggak bilang sama Nana bahwa perusahaan Papa yang tiba-tiba menghilang itu diganti nama menjadi Natara Group?"
Nana menatap Mama yang mengeluarkan air mata. Ia terpana, kemudian mengusapnya lembut. " Mama nggak usah nangis."
Mama menangis bukan karena bersalah tak memberitahu Nana. Dia sengaja tak memberitahu Nana karena putrinya itu benar-benar mewarisi sifat ayahnya. Dia tak ingin Nana terlalu membenci keluarga Natara. Namun sekarang dia menyesal karena melewatkan proses transisi Nana. Seharusnya dia mendamipingi putrinya
" Nana sedih saat Mama setuju Nana dikirim ke London. Aku merasa dibuang," ucap Nana menumpahkan perasaannya yang terpendam lama. " Tapi melihat Mama seperti ini aku nyesel nyalahin Mama. Mama lebih menderita daripada Nana." Nana tersedu di pelukan Mama.
Mama mengusap air mata anaknya. Dia sudah mendengar dari Oma soal pembalasan yang dilakukan Nana kepada keluarga Natara. Dia menyesal telah mendidik Nana menjadi gadis dingin yang membenci keluarganya sendiri.
Nana masih terisak. " Mama harus sembuh. Jangan sia-siain perjuanganku."
271 54
IVIA terbangun karena mendengar decitan pintu. Suster masuk membawa sarapan. Selalu seperti itu. Setiap hari suster mengantarkan makanan sambil tersenyum.
Livia membalas senyuman itu dengan canggung. " Makasih ya, Sus," ucapnya ramah.
Suster itu mengangguk dan memberesi tempat tidur Livia. " Cowok yang tiap hari datang ke sini, pacarmu?" Wajah Livia memerah seketika. Aga memang setiap hari datang menemaninya, sejak pulang sekolah sampai Livia tidur, bahkan hari Minggu Aga sudah ada di situ sebelum Livia bangun.
Terkadang Aga mengajak teman-teman, seperti Nathan, Karisa, dan Stevan. Dio yang dikenalnya sebagai pacar Acha juga turut menemani.
Sudah jam sebelas siang. Livia ingin segera pulang. Pulang?
272 54
Livia menggigit bibir. Pulang ke mana? Dia kan tak punya rumah lagi. Harta pun sudah disita bank. Dia benar-benar jadi gelandangan sekarang.
Livia menikmati sarapan dengan lahap. Dia tak punya uang, tinggal beberapa ratus ribu yang tersisa di dompet. Ah, Livia punya akal. Uang segitu masih bisa untuk mencari tempat kos sementara. Dia harus bekerja.
Kening Livia berkerut saat mendengar decitan pintu terbuka. Oom Ben datang dan tersenyum cerah pada Livia. Livia membalasnya canggung. Itu pertama kalinya dia bertemu Oom Ben minus Nana, membuatnya canggung bercampur takut.
Livia mengenal Oom Ben dari Marina, bibinya, saat mereka tahu orang yang mendukung di belakang Nana adalah pamannya yang dulu sekolah di Inggris. Mereka langsung mencari tahu seluk-beluk Oom Ben dan kekuatannya.
Lelaki tampan itu tersenyum pada Livia, meletakkan sekantong plastik entah apa isinya, Livia tidak tahu di meja samping Livia.
" Bagaimana? Kamu sudah baikan?"
Livia mengangguk. Deg-degan karena takut terjadi sesuatu padanya.
Oom Ben berdeham pelan, tahu Livia gelisah berhadapan dengannya. " Jangan takut. Saya cukup akrab dengan Aga, Nathan, Stevan, dan Dio."
Livia mengangguk. " Ada apa... mmm... Oom ke sini?" Oom Ben tertawa dan memperlihatkan garis-garis halus di seputar bibirnya. " Saya hanya ingin menjengukmu." Livia menunduk.
" Besok sudah boleh pulang?"
Livia menggeleng, tak tahu kapan diperbolehkan pulang. Dokter
273 54
hanya mengatakan beberapa hari lalu bahwa dia bisa cepat pulang bila kondisinya baik-baik saja.
" Lho? Kata dokter tadi sudah bisa pulang," ucap Oom Ben bingung. " Ah sudahlah, barang-barangmu di mana?" Livia menatap Oom Ben takut-takut. " Di rumah Aga, Oom." Oom Ben tersenyum. " Saya ingin memberitahu, kamu kan... mmm... tidak punya tempat tinggal. Nana bilang, kamu boleh menumpang di rumahnya sampai kamu menemukan tempat tinggal yang cocok."
Livia terperangah. " Nggak usah, Oom. Setelah keluar dari rumah sakit, saya mau cari kos."
Ben mengernyit, tidak mengerti. " Baiklah. Kalau begitu, sampai kamu menemukan tempat kos," ucapnya mantap.
Ben berbohong, Nana tak pernah mengatakan bahwa Livia boleh menumpang di rumahnya. Tadi malam Nana hanya mengatakan bahwa gadis itu sudah tak punya tempat tinggal, tanpa menyinggung soal bantuan padanya.
Tapi setelah tadi subuh Oma menelepon bahwa Mama Nana, Hanna, gelisah memikirkan keadaan Livia, Ben tak tega melihat Livia menjadi gelandangan. Dulu Nana juga hampir merasakan hal serupa kalau Ben tak cepat menghubungi Nana.
Memikirkan masa lalu membuat hati Ben perih. Dia tak dendam pada keluarga Natara, meski tak terima kakak satu-satunya diperlakukan tidak adil, bahkan setelah dia meninggal.
Ben tahu itu bukan kesalahan Livia. Nana juga tahu itu. Tapi entah kenapa, mereka ingin sedikit bermain-main dengan perasaan yang belum bisa menerima.
" Oom..."
Ben melirik.
" Maaf ya, Oom."
274 54
Ben mendekati Livia, kemudian mengusap kepalanya pelan. " Kamu harus tahu, saat kamu seperti ini, keluarga Nana masih memikirkanmu," ucap Ben pelan.
Livia menelan ludah. Oom Ben benar, dia tak pernah memikirkan perasaan Nana saat dibuang begitu saja dulu.
" Seharusnya kamu berterima kasih kepada mereka, apalagi pada Nana. Dia tak membunuhmu," kata Oom Ben menerangkan.
Livia diam saja. Air matanya berlinang. Hatinya seakan teriris. Dia menyesal telah berbuat jahat pada Nana. " Aku menyesal, Oom."
Oom Ben tersenyum. " Itu bagus. Setidaknya kamu masih muda, Livia, ubah keburukan keluargamu mulai sekarang."
" Saya harus pergi, ada meeting. See you soon." Oom Ben membenahi dasi, kemudian pamit dari kamar rawat Livia.
Livia menangis sesenggukan. Dia takut hidup sendirian seperti sekarang itu. Penyesalan yang datang belakangan memang menyakitkan. Livia merasakan itu. Di samping itu dia menyesal karena Nana tak lagi seperti dulu. Nana membencinya, sementara dia tak punya apa pun dan siapa pun.
Nana, maaf. Kata maaf dan terima kasih harus diucapkan Livia berbarengan.
" Maaf. Maaf," ucap Livia di sela tangis.
Livia merasa matanya lelah dan berat. Mungkin karena menangis berjam-jam tadi pagi. Setelah itu Livia memutuskan tidur. Dia tak ingat apa-apa lagi. Pulas.
" Kamu udah bangun?"
Livia kaget mendengar ucapan itu. Suara Aga. Aga duduk di sofa sambil memainkan ponsel.
275 54
Livia menghela napas, lega menemukan sosok yang dulu hadir dalam mimpinya.
Aga memang baik, menemaninya, membuatnya tertawa dengan cerita-cerita lucu yang berbeda setiap hari. Aga tak pernah menyinggung soal hubungan mereka, atau membiarkan Livia minta maaf atas perlakuannya dulu. Maksudnya, apa yang papanya katakan pada Aga.
Livia masih ingat jelas kejadian itu. Papanya tak membolehkan dia pacaran sehingga memaki-maki dan mengancam Aga. Cowok itu menghilang dan tak pernah lagi menemui Livia.
Aga pasti sakit hati, pikir Livia kala itu. Namun hatinya tetap memikirkan Aga, bahkan berharap Aga kembali padanya. Livia tak pernah jatuh cinta lagi setelah itu, meskipun banyak cowok yang menyatakan perasaan padanya.
" Matamu sembap, pasti tadi nangis lagi."
Aga selalu memperhatikan Livia, memberi rasa nyaman, dan itu membuat Livia sedikit bersemangat. Namun dia tahu Aga tak mau berhubungan secara khusus dengannya.
" Udahlah, Vi, jangan ada lagi yang disesali," ucap Aga menenangkan. " Biarkan semua berlalu," sambungnya.
Selimut penyesalan tebal membuat Livia tak bisa mendengar apa-apa, selain hati kecilnya. " Bahkan setelah aku menjahati keluarganya, Nana masih mikirin tempat tinggalku nanti," ucap Livia di sela isakan.
Aga berdiri dari sofa, berjalan menghampiri Livia, merengkuh gadis itu, membiarkannya menangis lepas dalam pelukannya, yang ternyata membuat getaran halus itu kembali terasa. " Kamu tahu kan, Nana orangnya baik."
Livia mengangguk. " Rasanya aku pengin mati aja, Ga," ucap Livia lemah.
276 54
Aga menelan ludah. " Dulu... saat kamu belum sekolah di Jakarta, Nana pernah hampir mati karena bunuh diri."
Livia menganga. Nana pernah bunuh diri? Yang benar saja! " Saat itu kami bingung. Bos Ben nggak mau kasih tahu masalah Nana. Sikap Nana yang pendiam semakin membuat kami bingung," Aga berhenti untuk menarik napas, " tapi setelah tahu semuanya, aku mengerti kenapa sikapnya kayak gitu."
Aga menepuk punggung Livia. " Aku nggak bermaksud ikut campur, tapi kamu tahu, Vi, keluargamu salah. Sekarang seharusnya kamu tahu siapa keluargamu yang sebenarnya, siapa yang benerbener care sama kamu."
Livia mengangguk. Aga masih tetap baik padanya, padahal... Ah, sudahlah. Memikirkan semua itu semakin membuat dia ingin mengakhiri hidupnya saja.
" Aga," panggil Livia lemah. " Ya?"
" Boleh aku minta tolong?"
Nana duduk selonjor, baru saja pulang dari rumah sakit mengantar Mama terapi jalan. Mamanya mulai bisa bicara, tapi masih susah bergerak.
Nana bangkit. Langit tampak jingga bercampur merah, menandakan matahari mencapai tempat peristirahatannya.
Nana memandang ke barat, berharap segera ada bintang yang berkerlap-kerlip di sana. Angin yang sepoi membuatnya tertidur.
Not Until Karya Violita di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saat mata Nana menutup, bayangan tentang kejadian di Jakarta muncul di pikirannya. Mulai sejak saat bertemu Aga, Nathan, dan Stevan di bandara, bertemu Dio di sekolah, bunuh diri, dan... Nana membuka mata. Bayangan itu menghilang seketika. Dia
277 54
tak mau mengingatnya lagi. Semua sudah usai dan dia ingin menikmati hidup baru di Bali.
Nana sudah memutuskan. Drrrttt... drrrttt...
Nana merogoh ponsel, melihat nama di layar. Dio.
Nana menggeleng pelan, melepas SIM Card dengan cepat dan membuangnya entah ke mana. Dia ingin membuang kepahitan masa lalunya, mengganti dengan kebahagiaan.
" Nanaa..."
Panggilan Oma menyadarkan Nana dari lamunan. " Iya, Oma."
Oma menunjuk setumpuk bungkusan. " Ada apa, Oma?" tanya Nana. " Itu ada kiriman dari Jakarta."
Barang serta surat kepindahannya ke SMA di Bali dikirim Oom Ben beberapa hari lalu. Dia bakal resmi menjadi murid berseragam putih abu-abu, bukan blazer seperti di BISH. Untuk itulah Nana belajar giat, mengejar ketinggalannya. SMA biasa pelajarannya lebih banyak daripada SMA bertaraf internasional.
Di kamar, Nana duduk di ranjang sambil menatap kiriman itu. Itu jelas dari Oom Ben, tapi entah kenapa hatinya tak yakin. Dia terdiam beberapa lama, menimbang-nimbang. Tapi alamatnya di Bali hanya diketahui Oom Ben.
Saat membuka paket itu, Nana kaget. Ada album foto dengan sampul biru tua. Di depannya tertulis jelas: To Nana.
Nana membuka album tersebut, mengerutkan dahi saat melihat foto masa kecilnya di halaman pertama. Rahangnya mengeras. Itu bukan dari Oom Ben, tapi dari seseorang yang meminta Oom Ben
278 54
mengirimkannya kepada Nana. Dia menghela napas saat membuka halaman selanjutnya.
Nana mengusap wajah kecilnya di foto, yang terlihat ceria bersama keluarganya yang bahagia. Mama, Papa, dan Bunga. Aih, Bunga masih bayi.
Nana tersenyum miris saat mendapati di halaman selanjutnya, foto-foto dirinya bersama Livia bertebaran. Dia menutup album foto tersebut dengan kasar.
Mmm... dia tahu siapa yang mengiriminya benda tak penting itu.
Di dalam hati, Nana masih menyimpan benci pada orang yang di tubuhnya mengalir darah Natara, walaupun tak sebenci dulu.
Dio menatap langit, nanar. Hampir sebulan ia tak bertemu Nana, bahkan tak dapat menghubunginya di ponsel karena gadis itu mengganti nomornya. Email yang ia kirim tak kunjung dibalas.
Rasanya ia sudah kehilangan Nana. Nana memutuskan pindah ke Bali setelah mamanya bangun dari koma. Mungkin dia akan kuliah di tempat yang jauh.
Sebetulnya tak masalah dengan jarak, asal hatinya bersama Nana, begitu pikir Dio. Ia tahu dirinya salah, membuat hati gadis itu hancur gara-gara dia memutuskan memilih Acha.
Dio baru merasakan penyesalan sekarang. Dan tentu dia tak menyukai perasaan itu. Tidurnya menjadi tidak nyenyak. Hatinya gelisah karena selalu memikirkan Nana.
" Masih galau, Dio?"
Dio kaget saat menengok ke belakang melihat Oom Ben. Juga gengnya: Nathan, Aga, dan Stevan, yang sepertinya datang bersama Oom Ben.
279 54
" Aku nggak galau, Bos."
Oom Ben terkekeh. " Bagaimana? Keponakan saya berhasil mengacak-acak perasaanmu?"
Dio menghela napas. " Bukan itu lagi, hati ini hancur rasanya." Aga tertawa geli mendengar ucapan Dio. " Aah, ntar juga lo move on dengan cepat!"
Dio mendengus. " Maksud lo apa?" jawabnya tak terima. Ben menepuk pundak Dio. " Sudahlah, dia sudah sangat bahagia dengan ibundanya di sana."
Dio mengangguk pelan. Ia tak suka terlalu diperhatikan seperti itu oleh Oom Ben, Aga, Nathan, maupun Stevan. Namun ia juga tak bisa berbohong, absennya Nana dalam kehidupannya sekarang menimbulkan lubang dingin yang begitu besar dalam hatinya.
Dio tak merasakan getaran halus itu dari Acha. Ia hanya memimpikan Nana pada malam-malamnya. Ia ingin Nana kembali.
Dio kaget saat menyadari ponselnya bergetar. Unknown number terlihat jelas di sana. Dio menatap Aga, Bos Ben, Nathan, dan Stevan secara bergantian. Ia mengangkat panggilan itu, " Halo..." Diam.
" Halo, ini siapa ya?" Masih diam.
Dio mulai kesal. " Haloooo, ini siapa sih? Kalau nggak dijawab, gue tutup nih teleponnya."
Dio mengerjap, kemudian memutuskan sambungan telepon, setelah sempat mendengar helaan napas berat di seberang sana.
Tanpa Dio sadari, ia bukan satu-satunya orang yang merasakan rindu yang teramat dalam kepada seseorang. Jauh di sana, di
280 54
pulau yang berbeda dengan langit yang sama, Nana masih mematung memandangi langit.
Gadis itu sudah mengganti nomor ponselnya dengan yang baru. Tentu saja belum ada yang tahu. Malam itu Nana merasakan rindu yang luar biasa.
Tubuh Nana bergetar, teramat rindu pada orang yang mewarnai harinya dulu. Dia ingin mendengar suara orang yang pernah mengetuk pintu hatinya itu.
Nana menghela napas, kemudian mengambil ponsel, mencari nomor yang dihafalnya itu dengan cepat, lalu menyentuh tombol Call.
" Halo..."
Jantung Nana berdegup cepat saat mendengar suara berat yang dikangeninya itu.
" Halo..."
Nana tak berniat menjawab, menutup mata sambil menikmati apa saja yang Dio katakan.
" Halooo... ini siapa sih? Kalau nggak dijawab, gue tutup nih teleponnya."
Nana mendengar bunyi sambungan terputus sesaat kemudian. Dia menarik napas panjang, tangannya bergetar hebat, ponselnya masih menempel di telinganya meskipun tahu sambungan sudah terputus. Terputus untuk selamanya. Karena dia berjanji untuk meninggalkan semua kenangan bersama pemuda itu di Jakarta. " Ini aku. Nana," ucapnya lirih. Tidak kepada siapa-siapa.
281 54
IVIA memantapkan hati pada pilihannya. Saat itu dia berada di Bandara Soekarno-Hatta. Keberangkatannya bukan tanpa alasan, melainkan karena dia ingin membalas utang budi.
Livia tahu utang budi tak bisa dibalas. Dia hanya ingin hidupnya tenteram. Dia melangkah ke pesawat saat terdengar panggilan beberapa kali dari petugas bandara. Itu pun hanya menenteng satu tas sedang berisi baju, dia takut salah alamat.
To: Aga
Aga aku prg dulu ya. See you.
Setelah mengirim pesan singkat itu, Livia mematikan ponsel, bersiap dengan penerbangan. Jantungnya berdegup cepat, dia cemas ditolak.
282 54
Penerbangan menuju Bali hanya sebentar. Mendarat di bandara berarti harus menenangkan hati. Termasuk juga saat berada di dalam taksi menuju rumah yang akan dikunjunginya.
Pernah sekali saat liburan Mama Hanna mengajaknya ke situ bersama Bunga. Ingatan yang sekali itulah yang menuntunnya ke tempat orang yang mau dia temui.
Setelah melongok ke kiri-kanan untuk memastikan jalanannya benar, taksi yang Livia tumpangi berhenti di depan rumah bertingkat dua. Setelah membayar argo, Livia pelan-pelan berjalan menuju pintu rumah tersebut.
Tumben Livia menjadi seberani itu, meskipun harus menguatkan hati saat mengetuk pintu. Ya, dia harus menemui Nana, bagaimanapun respons gadis itu.
Pintu terbuka. Livia mundur selangkah, wajahnya yang putih sedikit terperangah. Penampilan Oma di depannya tak jauh berubah sejak dia terakhir bertemu.
" Livia?" ucap Oma tak kurang kaget.
Livia mengangguk sambil berusaha tersenyum. " Lama nggak ketemu Oma," sapanya ramah.
Dari tatapan Oma, Livia tahu, Oma sudah tahu semuanya. Padahal dulu Livia tak menyangka Nana memindahkan Mama Hanna ke rumah sakit di Bali.
" Masuk, Livia," ajak Oma.
Livia mengikuti Oma, kemudian duduk di ruang tamu. " Sebenarnya Livia mau ngomong sama Oma juga," ucap Livia, menghentikan langkah Oma yang hendak membuatkan minuman untuknya.
Nana menyerah dengan soal-soal ujian semester itu. Dia berhasil
283 54
menyelesaikan 36 dari 40 soal kimia. Sebenarnya soalnya tidak susah, tapi karena perasaan Nana sedang tak enak, dia jadi sulit berkonsentrasi.
Nana terdiam lama. Setelah yakin jawabannya benar, dia berdiri. Tepat saat itu bel berbunyi, tanda ujian selesai.
Nana segera melangkah ke luar kelas dengan membawa tas. Seragamnya putih dengan rok abu-abu sepanjang mata kaki. Predikat siswa pindahan dari Jakarta dan junior high school London membuat gadis itu sedikit kesusahan mencari teman. Oh, bukan. Sebenarnya Nana yang tidak ingin mencari teman. Nana sadar dia bersekolah di situ hanya sampai ujian nasional selesai. Setelah lulus dia segera mengurus beasiswa yang diterimanya dari salah satu universitas di London.
Nana benar-benar bersyukur dia pernah menjadi student of the year di sekolahnya di London. Nilai-nilainya bagus dan membanggakan hingga banyak tawaran dari berbagai high school, tapi dia tetap melanjutkan di sekolah putri.
Nana mengucir rambut panjangnya seperti ekor kuda. Wajah putihnya memang terlihat menonjol di antara para siswa. Dia tak terlalu memusingkan dirinya yang sering dilirik cowok-cowok di sekolah baru. Dia tak terlalu peduli pada berbagai aktivitas temannya maupun penilaian mereka terhadap dirinya. Dia hanya menjalani hidup secara datar: ke sekolah dan menemani Mama terapi.
Nana berjalan menuju parkiran. Mobilnya tidak diparkir di sana. Hanya beberapa murid yang mengendarai mobil ke sekolah, selain guru-guru, berbeda dengan BISH yang parkirannya lebih besar daripada lapangan futsal outdoor.
Nana lebih memilih berjalan memutar menuju tempat parkir di dekat gerbang depan daripada menuju jalanan biasa. Di gerbang dia melihat sopir keluarganya parkir. Dia tersenyum kecil saat para
284 54
murid memandangnya takjub, seolah dia putri yang baru melepaskan diri dari kerajaan dan berbaur dengan rakyat kebanyakan. Dengan cepat dia membuka pintu mobil dan masuk.
Sesungguhnya Nana merindukan BISH, terlebih murid-muridnya. Terutama cowok itu. Dia tak bisa melupakan Jakarta yang membuat hidupnya begitu bewarna.
Livia terdiam lama di depan pintu rawat inap mamanya. Terlihat Mama duduk bersandar di ranjang, disuapi suster.
Livia menceritakan secara utuh semua hal yang terjadi kepada Oma. Tentu saja Oma mengerti dan membolehkan dirinya ke rumah sakit menemui Mama.
Sekarang di depan Mama, Livia nyaris tak percaya bahwa Mama benar-benar sadar dari koma yang lama. Oma juga bilang hari ini Mama sudah diperbolehkan pulang, untuk itulah Oma mengajak Livia menjemput Mama.
Mama menyadari kehadiran Livia, memanggil nama gadis itu lemah, " Li-vi-a..."
Livia berlari, memeluk Mama erat, dan tangisnya pecah seketika. " Maaf, Ma, maafin Via," ucapnya parau.
Mama mengelus punggung Livia dengan susah payah, merindukan Livia walau bukan putri kandungnya.
Livia melepas pelukan, duduk di kursi di samping ranjang Mama sambil menggenggam Mama. " Via kangen Mama."
Mama mengangguk, menghapus air mata di pipi Livia. Dia tahu Livia tidak seperti keluarga Natara yang lain. Sepertinya hanya Mama yang tahu.
Livia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ke mana Oma dan suster?
285 54
Namun Livia tak peduli. Dia rindu Mama Hanna karena dari Mama-lah dia merasakan kasih sayang dan perlindungan seorang ibu.
Livia menghentikan tangis. " Nana..." ucapnya menggantung, " Mama udah tahu kan apa yang terjadi sebenarnya?" Mama mengangguk pasrah.
" Livia menyesal pernah mengusir Nana, Ma. Via menyesal karena saat itu Via cuma dengerin kata-kata Tante Marina dan Oom Joen. Nana bener-bener benci sama Via, Ma. Via nggak tahu harus ngapain supaya Nana mau maafin Via. Via tahu itu nggak akan mungkin. Nana bener-bener benci keluarga Natara."
Livia menarik napas panjang. Tangannya mengusap lembut pipi ibu tirinya, menyalurkan segala kerinduan dan keinginan yang memperlihatkan penyesalannya.
Langkah Nana begitu malas dan diseret-seret di sepanjang koridor rumah sakit. Sejak tadi pikirannya terpecah. Perasaannya tidak enak.
Saat melihat Oma keluar dari ruangan Mama, entah apa yang membuat Nana menghindar dan bersembunyi di lorong yang berseberangan dengan lorong yang dilalui Oma.
Nana tidak bad mood, hanya malas melakukan sesuatu. Itu bukan exam syndrome yang sering menyerang murid-murid pada masa ujian. Tapi dia bawaannya ingin marah-marah saja, tidak tahu pada siapa. Semacam merindukan seseorang.
Tanpa sadar Nana sampai di depan pintu ruangan Mama. Dia membuka pintu. Mungkin dengan bertemu Mama, perasaannya menjadi lebih baik.
Dari celah pintu, Nana melihat jelas Livia.
286 54
Sakit hatinya mengentak-entak, meminta pertanggungjawaban. Nana ingin menjambak dan menyeret gadis itu jauh-jauh dari Mama.
Nyatanya, Nana tetap berdiri di tempat, berdiam, dan mendengarkan percakapan yang terjadi di dalam. Tubuhnya merinding, menahan emosi.
" Nana bener-bener membenci keluarga Natara." Nana menahan napas saat melihat Livia memeluk mamanya. Dia sakit hati karena Mama membalas pelukan Livia. Seharusnya Mama mengusir Livia, sama seperti dirinya.
Entah kenapa Nana merasa didepak sekali lagi.
Nana pernah memiliki perasaan seperti tu. Setelah pernikahan Mama dengan Papa Hadi, mamanya mulai membagi perhatian kepada Livia. Saat itu Nana hanya diam dan mengatakan bahwa itu wajar saja karena mereka jadi saudara.
Tapi saat melihat Livia terluka dan mamanya menjadi panik, Nana tak bisa tidak cemburu karena mamanya tak pernah secemas itu saat dirinya luka. Dia kecewa, apalagi saat Mama setuju-setuju saja waktu Papa Hadi ingin memindahkannya ke London saat dia masuk SMP. Mamanya girang menerima hal itu, tanpa tahu perasaan Nana yang sebenarnya.
Betapa kecewanya Nana karena Mama tak menahan kepergiannya. Dia tak tahu apakah itu cara Papa Hadi mendepaknya ke luar dari keluarga Natara atau cara mendekatkan Livia dengan Mama. Yang pasti Nana merasa dibuang.
Astaga...
Nana menyadari kebenciannya kepada Livia tumbuh saat pertama kali mereka menjadi saudara.
Nana mengintip ke dalam, melihat mamanya tenang mendengarkan cerita Livia.
287 54
" Mama tahu kan saat itu Via nggak bisa ngapa-ngapain? Ma, bantu Via supaya Nana balik lagi kayak dulu. Via kehilangan Nana."
Cih. Nana ingin muntah mendengar gombalan Livia, muak dengan Livia serta keluarga Natara yang lain.
Nana membenci Livia. Sungguh.
" Via rindu sama Mama."
Brakkk...
Nana membuka pintu kamar dengan mengempaskannya, berdiri dengan tubuh bergetar, menahan amarah.
Mama dan Livia terkejut atas tindakan Nana. Livia spontan berdiri dan tubuhnya kaku saat berhadapan dengan Nana. Kilatan mata tajam Nana masih sama seperti dulu. " Itu bukan mama lo, itu mama gue," ucap Nana lantang dan keras. Dia berjalan cepat mendekati Livia dan berdiri tepat berhadapan. Tatapan Nana seakan mengepung Livia, dingin dan meremehkan. Tatapan yang ingin mendepak Livia ke luar dari ruangan itu. " Lebih baik lo pergi dari sini! Nggak ada tempat yang tersisa buat lo, sampah!" hardik Nana.
" Nana..."
Nana melirik mamanya yang menyebut namanya lemah. Tapi dia tak peduli, hanya memikirkan amarahnya yang memuncak. Dia benci mendapati Livia di situ, apalagi berada di dekat mamanya.
Livia mencoba meraih tangan Nana dengan lembut. " Nana, aku minta maaf."
Nana menepis kasar tangan Livia yang mencoba menggenggam tangannya. Jangan harap dia bisa disogok semudah itu. Sekalipun dunia sudah memaafkan keluarga Natara, dia tak akan memaafkannya.
" Pergi sana!" usir Nana. Hatinya pilu.
288 54
Livia diam, menunduk dalam-dalam saat Nana terus mencercanya.
Nana mengusap-usap tangannya sendiri agar jangan sampai menampar Livia. Tak bisakah Livia membiarkannya hidup tenang?
" Mama nggak pernah perhatiin Nana. Bahkan setelah Nana berhasil membuat semuanya kembali baik, Mama lebih belain keluarga dia," ucap Nana, beranjak meninggalkan ruangan tersebut.
Nana menatap Livia, kembali memaki tajam. " Seharusnya gue memang bikin lo mati aja."
Begitu keluar dari kamar mamanya, air mata Nana tumpah. Dia membiarkan kepedihannya mengalir bebas ke luar.
Nana memeluk bantal guling. Mama tadi akhirnya pulang ke rumah bersama Oma dan Livia, tapi Nana belum berniat melihatnya. Dia masih emosi karena kejadian tadi.
Nana tahu dia keterlaluan saat memaki Livia tadi. Namun mau apa lagi? Dia terlalu membenci gadis itu hingga mampu berbuat kasar.
Dan dia juga tak bisa menahan cemburu saat melihat Mama lebih membela Livia daripada dirinya. Dia cemburu, merasa dibuang. Mama membagi cinta secara tak adil sejak dulu.
Nana berdiri, yakin Livia berada di rumahnya. Entah di mana. Dia belum keluar kamar sejak pulang dari rumah sakit.
Diam-diam Nana menuruni tangga, sebisa mungkin tak menimbulkan suara. Saat membuka kamar Mama, dia tak menemukan ibundanya.
Langkah Nana seakan ditarik menuju dapur. Lapar juga kalau
289 54
terus-terusan marah seperti itu. Dia membuka kulkas dan mengambil camilan sehat. Saat mau memasukkan camilan itu ke mulut, sayup-sayup dia mendengar suara dari taman belakang.
Nana memasang telinga, tak bermaksud mencuri dengar, hanya penasaran.
" Seharusnya kamu lebih memperhatikan Nana." Itu suara Oma. Nana bisa mendengar jelas.
Nana berjalan ke halaman belakang. Oma dan Mama duduk di gazebo kecil. Nana berada tak jauh di belakang mereka.
" Kamu lihat Nana sekarang? Apa dia benar-benar putrimu? Nana berubah menjadi gadis dingin yang tak berperasaan di depan orang. Tapi apa kamu tahu Nana sebenarnya rapuh?" Oma menghentikan ucapannya. " Mama melihat Nana menangis, bangkit, dan melakukan semua itu karena ingin membela keluarga. Mama tak bilang kamu salah mendidik atau memanjakan Nana. Tapi apa kamu tahu, Hanna, Nana benar-benar seperti mayat hidup saat tahu kamu koma dan Bunga meninggal karena depresi disiksa keluarga Livia?"
" Kamu terlalu memperhatikan Livia dan segala kelemahannya, tanpa sadar ada satu anak lagi yang harus kamu perhatikan."
Nana tetap diam, kini mendengar isak tangis. Oh? Mamanya menangis?
" Nana anakmu. Mama menyadari saat kamu menikah dengan Hadi, perhatianmu teralihkan kepada Livia dan Bunga. Mama sering melihat Nana memperhatikan mereka dengan cemburu. Nana juga butuh perhatianmu, sejak dulu.
" Sekarang kamu lihat, Nana benar-benar berubah. Kamu tak boleh lagi lebih memperhatikan anak orang lain saat tahu anakmu butuh perhatianmu. Kamu melewatkan proses transisi Nana
290 55
menjadi remaja, Hanna. Jangan lewatkan lagi proses transisi dia menjadi dewasa."
Mama masih menangis.
" Dia tak merasakan kasih sayangmu lagi saat berada di London. Nana pernah cerita itu kepada Mama, Han. Jangan membuat Nana merasa seperti itu lagi. Sekarang tanggung jawabmu untuk membentuk Nana menjadi pribadi dewasa yang mantap."
Nana melangkah mundur. Sudah cukup dia mendengar semua itu. Oma sudah mengatakan semuanya kepada Mama, tak perlu lagi penjelasan dari mulut Nana.
Nana menatap nanar punggung mamanya yang tengah menangis itu. Mama menangis karena dirinya? Sungguh jika boleh menghilang, dia ingin menghilang sekarang karena sudah membuat mamanya menangis.
Sekarang Selasa, berarti besok hari terakhir ujian semester. Nana menggeliat pelan. Saat dia menoleh ke samping terlihat Mama tersenyum kepadanya.
Nana berpikir semalaman, menjernihkan batinnya. Juga menganalisis tentang dendam dan pembalasannya. Tentang kesalahan dan maaf. Nana sudah memikirkannya, sekaligus menemukan jawabannya.
Dia ingin menjalani hari seperti biasa, sebagai gadis biasa tanpa beban. Dia ingin menjadi orang luar biasa, yang bisa memaafkan musuh terbesarnya. Namun sayangnya, dia masih bingung bagaimana merealisasikannya.
Nana menatap Mama datar. Namun begitu Mama menangis dan mengucapkan maaf dengan terbata, dia langsung menghambur ke pelukan mamanya.
291 55
" Aku juga kangen Mama. Bahkan lebih kangen daripada siapa pun," ucap Nana lirih. Air matanya mengalir.
Mama mengusap punggung Nana lembut. Air mata penyesalan kembali keluar, seperti tadi malam.
Nana melepas pelukan Mama, tersenyum. " Ma, maafin Nana udah bikin Mama nangis. Kemarin Nana emosi dan kehilangan akal sehat."
Mama mengangguk, kemudian mengusap jejak air mata Nana yang sekarang sudah berhenti mengalir.
Besoknya Nana terus berpikir. Dia menangkap bayangan Livia dari balik kamar. Dengan cepat dia keluar, mengikuti gadis itu.
Livia terdiam saat Nana berada di dekatnya. Aneh. Sekalipun melipat tangan kaku, Nana terlihat ramah.
" Lo tidur di mana?" tanya Nana. " Di kamar tamu."
" Lo tidur di kamar gue aja," ucap Nana dingin.
Livia benar-benar ingin melompat dan menghambur memeluk Nana saat mendengar ajakan itu. Walaupun terlihat dingin, dia tahu Nana mencoba menerimanya.
Livia benar-benar bahagia.
Kini Livia berjalan menghampiri Mama dan Nana yang tersenyum menyambutnya.
Nana mengembuskan napas, tahu itu akan berat, menerima Livia kembali sebagai saudaranya. Tapi dia akan berusaha. Tadi malam dia sudah berjanji pada Mama. Dia akan berubah.
Hanya keluarga kecil itu yang dia punya. Keluarga kecil yang tak bisa tergantikan.
292 55
Livia memang keluarga Natara, tapi ia telah menjadi bagian keluarganya. Keluarga kecilnya bersama Mama.
293 55
ANA memasuki lift tergesa-gesa. Bot putih melekat di kakinya. Udara musim gugur mulai menyapa wilayah itu. Dia menekan tombol 15, lalu menggosokgosokkan tangan, lupa mengenakan sarung tangan
dan syal.
Nana menekan password untuk masuk ke apartemennya, kemudian dengan cepat menanggalkan sepatu, berjalan menuju kamar yang berada di kiri pintu masuk.
" Na, lo nggak bawa apa-apa? Huh. Padahal gue kelaparan." Nana berdecak menanggapi suara itu. Suara lantang Livia yang sedang menikmati acara di televisi, entah telenovela atau drama, tapi terlihat artis yang menangis-nangis.
" Beli sendiri di depan nggak bisa ya?" tanya Nana ketus, kemudian menutup pintu kamar.
Epilog
294 55
Livia mencibir. Nana masih tetap bersikap dingin kepadanya, walaupun telah menerimanya.
Tak lama kemudian Nana keluar kamar, duduk di samping Livia. Dia membawa selimut untuk menutupi tubuhnya dan dengan seenak udel mengganti acara televisi.
" Na, lagi seru tuh," teriak Livia tak terima.
Nana memutar bola mata. " Acara kayak begitu bikin lo melow. Udah deh, nonton ini aja."
Livia mendapati pembawa berita menyampaikan info terkini dunia. Ia menatap Nana sebal, kemudian mengentakkan kaki. Memutuskan beralih ke laptop, yang membuatnya tertawa girang.
Not Until Karya Violita di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nana melihat Livia dengan ekor matanya. Gadis itu mengenakan headset dan menatap layar laptop dengan wajah berseri. " Aku juga kangen banget sama kamu, Ga," ucap Livia manja. Nana menelan ludah. Pasti Livia skyping dengan Aga. Entah kapan mereka kembali jadian, Nana tak ingat. Yang Livia ceritakan kepadanya, Aga meminta ia tak melihat pemuda lain, kecuali dirinya.
Huh... mau saja diberi harapan palsu, batin Nana. Nana mengalihkan pandangan ke berita yang ditontonnya. Dua tahun itu semuanya berjalan baik-baik saja. Livia memutuskan untuk melanjutkan kuliah di universitas yang sama dengan Nana, walau berbeda jurusan.
Mama dan Oma pindah ke Jakarta beberapa hari setelah keberangkatan Nana dan Livia ke London. Kailana Group membuka cabang di Singapura, Thailand, dan Cina, yang dipimpin Oom Ben. Perusahaan di Jakarta diserahkan kepada Mama.
Nana tak merasakan hidupnya sulit. Dia hanya sedikit kewalahan dengan sikap Livia yang manja, kadang sampai membuatnya naik darah.
295 55
Dulu?
Nana terdiam. Dua tahun lalu semua terasa berat. Beban baru yang dipikulnya benar-benar membuatnya terkurung dalam kebencian. Syukurlah sekarang bebannya menghilang pelanpelan.
Nana juga bisa menahan emosi. Semuanya berjalan baik, kecuali satu hal.
Ting tong!
Nana membuka mata perlahan. Bel apartemen berbunyi nyaring sejak tadi. Mengganggu tidur saja, sungut Nana dalam hati.
Nana mengenakan sandal, kemudian membuka pintu kamar. Apartemen itu mempunyai dua kamar, satu kamarnya dan satu lagi kamar Livia. Selain itu terdapat ruang santai, dapur, serta kamar mandi.
" Viaaa... lo buka pintu deh," teriak Nana.
" Na, gue lagi mandi," balas Livia berteriak dari kamar mandi. Nana berjalan ogah-ogahan. Menuju wastafel untuk membasuh wajah, kemudian merapikan kuciran rambut sambil berjalan menuju pintu. Begitu membuka pintu, dia spontan terbelalak. " SURPRISEEE!"
Nana melongo. Mengerjap beberapa kali, meyakinkan dirinya bahwa dia sudah benar-benar bangun dan berada dalam kenyataan.
" Aihh... Nana, lo makin cantik aja!" jerit Karisa langsung memeluk Nana dengan erat. Di belakang Karisa menanti giliran dengan tersenyum lebar adalah Aga, Nathan, dan Stevan.
" Bisa-bisanya kalian ke sini tanpa ngabarin gue!" protes Nana dengan senyum lebar. Tentu saja dia kaget dengan kedatangan
296 55
teman-teman yang tak pernah bertemu dengannya dalam dua tahun itu.
Aga berdecak. " Na, sambutan lo gitu amat," ucapnya sambil pura-pura memperlihatkan wajah masam.
Nana membuka pintu apartemen lebar-lebar.
" Pacar gue mana?" ucap Aga saat memasuki apartemen dan tak melihat orang lain.
Karisa cekikikan. " Kaget kan lo?"
Nana hanya mengangguk, sadar bahwa apartemennya bakal diacak ketiga cowok itu. Dia memperlihatkan wajah galak. " Heh... kalian jangan ngacak-ngacak apartemen gue ya!" teriaknya. Karisa menutup sebelah telinganya.
Aga yang ingin menyentuh pigura berisi foto Livia, Nana, dan Mama segera menarik tangan, juga Nathan yang ingin duduk di sofa kembali berdiri, sedangkan Stevan cuek saja dengan terus memakan camilan yang didapatnya dari kulkas.
Karisa tertawa. " Kami rencanain ini udah lamaaa banget, Na." " Buset... bagus banget pemandangan London dari sini. Lo emang pinter nyari view ya, Na," puji Aga yang berada di depan jendela besar yang langsung menghadap ke jalanan. Cklek...
Pintu kamar Livia terbuka. Gadis itu tersenyum, menghambur memeluk Aga. " Aaa... miss you, honey!"
Nathan yang berada paling dekat dengan mereka hanya menatap sambil menelan ludah. Setengah geli dengan pemandangan itu, Aga mencibir ke arah Nathan. " Makanya, Than, gue suruh ajak Katrine ke sini, lo-nya nggak mau."
Nathan mencibir. " Dia pendiem kayak Nana. Susah sosialisasi ntar," jawab Nathan sembarangan tanpa tahu pelototan Nana tertuju tajam ke arahnya.
297 55
Nana merasa ada yang aneh dengan teman-temannya itu. Ah, maksudnya, ke mana satu orang lagi yang selalu menemani mereka? Bukannya cowok itu selalu hadir dalam acara seperti itu? Apalagi sekarang liburan, kan?
" Kalian... cuma... datang berempat?" tanya Nana akhirnya, memutus rasa penasarannya.
Karisa tercengang mendengar pertanyaan Nana, menatap Nathan dan Aga yang sama-sama heran.
" Lo nyariin Dio?" tegas Stevan mengambil alih perhatian. " Katanya dia patah hati sama lo."
Stevan terkikik pelan, dan disambut gelak tawa Aga dan Nathan. Karisa juga ikut tertawa.
Nana melayangkan tatapan aneh kepada mereka. Dia yakin ada yang tidak beres.
" So, sore ini kita ke mana nih, Na?" tanya Nathan. " Kok nanya gue?" jawab Nana masih bingung.
" Gue nggak mau tahu, lo harus ngajak kami jalan-jalan!" ucap Stevan membuat Nana kaget.
" Kami jauh-jauh ke sini, masa nggak diajak jalan-jalan?" protes Karisa merengut, setengah manja.
Sekakmat. Mereka masih tetap suka memaksa Nana untuk melakukan sesuatu.
Nana mendengus, kemudian beranjak ke kamar untuk segera mandi. " Ngerepotin!"
Nana mengendarai mobil mengitari London. Dia duduk bersama Nathan, sementara para pasangan duduk di belakang, sedari tadi tak saling melepaskan.
Sejujurnya Nana sedikit jengah melihat Karisa dan Livia yang
298 55
terus-terusan manja pada Stevan dan Aga. Seperti tak punya tempat lain saja untuk bermesraan.
" Heh, kalau mau manja-manjaan turun gih. Gue enek liat kalian," ucap Nathan, membuat Nana terkekeh pelan.
" Makanya jangan jomblo!" seru Stevan tertawa. Nathan menghela napas.
Sore itu Nana mengajak teman-temannya menyusuri sungai Thames. Mereka mengunjungi London Eye yang ada di dekat sungai itu.
" Gue mau naik itu," ucap Karisa menunjuk London Eye. Nana mengangguk, kemudian mengurus segala sesuatunya. Beberapa saat kemudian dia bergabung dan mengatakan, " Masuk aja. Mmm... gue nggak ikut ya. Bosen. Ntar kalian cari gue di sekitaran sungai Thames aja." Nana menyerahkan kunci mobil ke Livia.
Livia mengangguk saja, setuju.
Nana berjalan pelan, menikmati keindahan Thames. Dia suka tempat itu. Sejak dulu, sejak berumur belasan tahun, dia senang merasakan angin musim gugur yang mendingin. Termasuk juga memandangi daun-daun berguguran di tepi jalan.
Nana terus berjalan menyusuri jalanan panjang. Perasaan aneh datang lagi. Dia menoleh ke belakang, merasa dikuntit seseorang.
Oh, tidak mungkin kan teman-temannya mengerjai Nana dengan sengaja mengikutinya? Lalu kenapa perasaan aneh itu datang lagi?
Nana kembali menoleh ke belakang.
Akhirnya Nana memilih mengabaikan perasaan itu dan terus menyusuri jalanan panjang menuju sungai Thames. Nana duduk di tepi sungai Thames. Mungkin airnya akan beku
299 55
saat musim dingin tiba. Selain musim gugur, ia juga menyukai musim dingin. Dia tak tahu alasan apa yang membuatnya menantikan musim dingin. Saat musim dingin, dia gemar menatap langit, seperti mengingatkannya pada sesuatu.
Mungkin kesepian dan kedinginan yang Nana rasakan selama itu membuatnya menjadi satu dengan kedua musim tersebut. Lo mirip langit musim dingin.
Mungkin juga karena kata-kata itu Nana menantikan musim dingin agar bisa menatap lama langitnya.
" Well, pemandangan ini memang bagus."
Nana membeku di tempat. Suara berat itu... Sebegitu rindukah Nana akan sosoknya sehingga suaranya langsung dikenalinya? " Gue suka berada di sini."
Nana mendapati sosok yang begitu dia rindukan, tapi hanya terbelalak tak percaya.
Penampilan Dio dengan jaket kulit hitam yang sangat tiba-tiba membuat Nana tercekat. Jantungnya melompat-lompat kencang dan tubuhnya menjadi panas, padahal angin musim gugur benarbenar menusuk tulang.
Mata Nana dan Dio bertemu. Sorot mata Nana tak sedingin dulu. Kini gadis itu lebih membuka diri, Dio bisa merasakannya.
Dio tersenyum tanpa bicara. Ia terlalu merindukan Nana. Nananya. Ia tak pernah jatuh cinta lagi, sama seperti Nana. Perasaannya terbawa Nana. Ia sangat menyayangi gadis itu.
Nana terdiam, sulit mengendalikan perasaannya. Dia ingin memeluk Dio, tapi gengsi. Jadilah dia berlama-lama menatap pemuda itu.
" Kenapa? Sadar kalau lo juga kangen sama gue?" " Kenapa lo ada di sini, Yo?"
300 55
Dio terkekeh. " Beberapa hari gue ngikutin lo. Lo baru sadar tadi bahwa lo diikutin."
Nana memutar bola mata. Pantas saja Karisa, Aga, dan Nathan kebingungan saat dia menanyakan Dio. Ternyata Dio datang ke London lebih awal daripada mereka.
Nana berdeham. " So... gimana kabar lo?" Dio tersenyum. " Kabar gue atau kabar hati gue?" Nana merasakan jantungnya kembali berdegup kencang. " Semua orang juga tahu gue masih stuck sama lo." Nana menunduk. Bagaimana bisa Dio mengungkapkannya secara gamblang, sedangkan dia kesusahan menenangkan degupan jantungnya? Bagaimana bisa Dio membawa kembali hal yang seharusnya sudah mati sejak dulu?
Dio meraih tangan Nana, menggenggamnya. " Mana mungkin gue nggak nungguin jawaban pernyataan gue waktu itu?"
Ah... pernyataan waktu itu! Saat mengingatnya wajah Nana langsung bersemu merah.
" Na, lo belum menjawabnya," ucap Dio lirih. " Gue nggak maksa lo. Kalau penantian gue kurang cukup selama ini... gue bisa..." " Aku mau."
Dio terdiam, menatap Nana yang tersenyum manis kepadanya. Eh, Nana mengatakan apa? Dio terkekeh geli.
" Mau? Gue belum ngajuin permintaan lho!"
Nana mendengus, kemudian menarik tangannya dari genggaman Dio. Bukankah Dio menantikan jawabannya selama ini? Lalu kenapa pemuda itu masih bermain-main dengannya?
Dio tersenyum, buru-buru meraih tangan Nana. " Kamu selalu di hatiku, Na, selamanya."
Nana mengangguk. Kebahagiannya lengkap. Dia membiarkan saja dirinya meleleh di depan Dio. Toh dia harus mengakui bahwa
301 55
dirinya memang mencintai Dio sejak dulu. Cinta yang datangnya tidak diketahui secara pasti. Cinta yang membuat kebekuan dalam dirinya mencair seketika.
Cinta memang tak pernah adil kalau kita tidak menuntut keadilannya. Nana menyadari betul hal itu.
Nana tersenyum saat Dio merengkuhnya erat. Di tepi sungai Thames, di depan London Eye, mereka berikrar memulai sesuatu yang baru.
302 55
Violita
Sering hanyut dalam tulisan-tulisan orang lain maupun tulisannya sendiri. Seorang gadis yang akan beranjak pada fase dewasa sesungguhnya. Menurutnya, senja merupakan lukisan terindah alam. Selain menulis, kesibukannya adalah menuntut ilmu di salah satu universitas negeri.
Tamat
Si Rase Hitam Hek Sin Ho Karya Chin Yung Goosebumps 8 Gadis Pecinta Monster Rahasia Istana Terlarang Karya Wo Lung
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama