Once Karya Yuli Pritania dan Senselly Bagian 1
Once
Yuli Pritania dan Senselly
Ebook by pustaka-indo.blogspot.com
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Penerbit PT Grasindo, Jalan Palmerah Barat 33-37, Jakarta 10270
Editor: Anin Patrajuangga
Desain kover & ilustrasi: Dyndha Hanjani P. Penata isi: Lisa Fajar Riana
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Grasindo, anggota IKAPI, Jakarta 2014
Isi di luar tanggung jawab Percetakan PT Gramedia, Jakarta
*******
Gadis itu berlari di sepanjang koridor rumah sakit yang sesak sebagian oleh pasien yang menunggu giliran untuk memeriksakan kesehatan, sebagian hanya sekadar keluarga atau teman yang datang menjenguk pasien yang dirawat. Gadis tersebut adalah bagian dari kelompok yang kedua. Sialnya, tujuannya adalah ruang ICU dan orang yang akan dijenguknya adalah kakaknya sendiri, yang sedang berada dalam keadaan sekarat.
Dia baru menghentikan larinya setelah mencapai lorong ruang tunggu yang juga penuh sesak, sehingga butuh beberapa saat baginya untuk mencari ibunya yang tadi meneleponnya dengan panik, mengabarkan tentang kecelakaan pesawat yang dialami oleh Eun-Seo, kakak perempuannya, yang setahunya hari ini baru kembali ke Korea setelah berlibur tiga hari di Italia. Liburan yang ternyata berakhir tragis karena pesawat yang ditumpanginya mengalami kecelakaan saat mendarat.
" Bagaimana?" tanya gadis itu, mendadak kehilangan kosakata. Ada Min-Ri, sahabat kakaknya, yang memeluk ibunya dari samping, orang yang gadis itu tahu juga berada dalam
pesawat yang sama dengan kakaknya tapi berhasil selamat, lolos dari maut dengan membawa tangan yang digips, kepala yang diperban, dan kruk yang tersandar di dinding sebagai alat bantu berjalan. Membuatnya dengan egois bertanya dalam hati kenapa harus kakaknya yang berada di dalam dan berjuang susah-payah untuk bertahan?
" Eun-Seo ingin bertemu denganmu. Ada yang ingin dia sampaikan, " beritahu Min-Ri karena ibunya tidak kunjung menjawab, sibuk menangis.
Gadis itu tahu kedengarannya paranoid, tapi kata-kata Min-Ri barusan seolah memiliki maksud lain, bahwa kakaknya ingin berbicara dengannya untuk terakhir kali, memberinya nasihat, pesan, atau semacamnya. Atau mungkin sekadar hanya ingin melihat wajahnya saja.
" Apa dia "
Min-Ri mengangguk samar, ada bulir air yang tertahan di sudut matanya, dan mendadak gadis tersebut merasa bersalah karena sempat berpikiran buruk tentang sahabat kakaknya, orang yang telah bersama kakaknya selama sembilan tahun dan kadang juga berperan menjadi seorang kakak jika dia sedang bertengkar dengan Eun-Seo.
Gadis itu mengangguk paham, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan masuk ke dalam.
Sunyi. Itulah kesan pertama yang dia dapatkan dari ruangan tersebut. Hanya terdengar bunyi alat monitor jantung yang mengeluarkan suara tik tik membosankan. Juga
desis tabung oksigen yang terpompa setiap kali salah seorang pasien menarik napas.
Kakaknya terbaring di tengah ruangan. Sendirian. Tidak ada satu orang pun yang menemani di sampingnya, membuat langkahnya menjadi semakin cepat, sebelum akhirnya memelan dan berhenti setelah dia berdiri di samping ranjang, mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan wanita kedua yang paling dicintainya di dunia setelah ibunya. Tidak peduli bahwa mereka lebih sering bertengkar daripada akur, mengingat sifat mereka berdua yang saling bertolakbelakang. Eun-Seo adalah seorang gadis tomboi yang suka berpetualang. Impiannya adalah berkeliling dunia. Sedangkan dia? Hanya seorang gadis feminin yang membenamkan diri dalam dunia modeling dan tulis-menulis yang selama ini digelutinya. Impiannya? Melihat matahari terbit di Meteora.
" Eonni?" 1 panggilnya, dengan suara sedikit gemetar, terutama setelah menyadari tangan kakaknya yang terasa dingin.
Dia menggigit bibir bawahnya, mengamati luka-luka gores yang cukup dalam yang tersebar di beberapa bagian wajah dan tangan Eun-Seo sementara leher dan kakinya digips, dan alat monitor di samping ranjang menunjukkan denyut jantung yang lemah. Pesawat yang kakaknya tumpangi memang jatuh ke jurang, menghantam pepohonan, dan patah menjadi dua bagian. Setidaknya itu yang dia dengar di radio tadi, sepanjang perjalanan ke tempat ini.
1 Kakak, panggilan dari perempuan kepada perempuan yang lebih tua
Dia merasakan sedikit gerakan dari jemari Eun-Seo yang digenggamnya, melihat kelopak mata kakaknya yang perlahan membuka sehingga dia cepat-cepat memperbaiki ekspresinya dan memasang senyum yang sepertinya malah membuatnya terlihat ganjil.
" Wasseo?" 2 bisik Eun-Seo pelan, serak, dan tersendat, seolah membutuhkan banyak tenaga untuk sekadar mengucapkan satu kata itu saja.
" Mereka bilang ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku. "
" Mmm, " gumamnya, menganggukkan kepala samar. Dia menarik kursi dengan kakinya lalu duduk, menunggu dengan penasaran hal penting apa yang ingin disampaikan Eun-Seo padanya.
" Kau tahu? Tidak ada yang lebih indah daripada Siena. Kau pasti akan sangat menyukai matahari terbitnya. "
Saat itu& dia tidak memahami apa maksud ucapan Eun-Seo. Dia terlalu kesal karena bukannya mengatakan sesuatu yang penting, Eun-Seo malah membahas kota yang dikunjunginya, persinggahan yang kemudian merenggut nyawanya. Saat itu& dia merasa membenci Siena. Tanpa tahu alasan kenapa kota itu bisa membuat orang jatuh cinta.
2 Kau sudah datang?
Chapter 1: The First Crush
" There is something extraordinary about the irst time falling." Ally Condie, Reached
One month later&
Amerigo Vespucci Airport, Florence, Italy 10.25 PM
adis itu menarik kopernya melewati kerumunan orang-orang yang juga berjalan menuju arah yang sama. Min-Ri sudah menjanjikannya seorang pemandu wisata dari agen perjalanan yang sebulan lalu disewa kakaknya dan dia berharap agar orang tersebut sudah datang dan tidak membuatnya menunggu. Dia sudah duduk selama empat belas jam di atas pesawat dan itu benarbenar membuat tubuhnya terasa tidak nyaman. Yang ingin dia lakukan sekarang hanyalah mandi air hangat dan tidur dengan nyenyak.
Tapi harapan hanya sekadar harapan. Tidak ada satu orang pun dari para penjemput yang mengacungkan karton bertuliskan namanya. Bahkan dia tidak melihat seraut wajah khas Korea pun di sana.
Dia menghela napas kesal, berjalan setengah menghentak sambil menarik kopernya yang cukup berat. Tujuannya sekarang adalah kafe, tempat dia bisa beristirahat, duduk, dan menunggu. Lagi pula dia mulai merasa lapar. Makanan di pesawat sama sekali tidak menggugah seleranya. Setidaknya dia membutuhkan kafein. Lalu mengisi perut dengan seloyang besar piza atau spageti. Merasakan kedua makanan itu dari negara asalnya pasti memiliki sensasi yang berbeda.
Dia mengaktifkan ponselnya yang tadi dimatikan selama penerbangan, berjalan memasuki kafe pertama yang dia temukan, menuju tempat duduk paling ujung, di dekat jendela kaca besar yang memberikannya pemandangan jelas ke arah luar, tempat banyak orang berlalu-lalang sekadar menjemput, mengantar, atau memang penumpang yang akan berangkat atau baru datang.
Seorang pelayan menghampirinya, menyodorkan buku menu yang hanya diliriknya sekilas.
" Latte macchiato, " ujarnya, menyebutkan nama salah satu minuman kesukaannya, yang terbuat dari espresso yang ditambahkan ke dalam segelas susu. Dia tidak terlalu menyukai pahit, jadi lebih memilih latte macchiato daripada espresso macchiato yang perbandingan susu dan kopinya mencapai 1:4.
" Would you like to order some foods? Our main menu today is creamy mushroom cheese ravioli."
Mendengar kata cheese dan mushroom disebutkan dalam satu kalimat, tanpa pikir panjang dia langsung menganggukkan kepala, melupakan rencananya untuk memesan piza atau spageti.
Pelayan tersebut mengulang pesanannya, memintanya menunggu lalu beranjak pergi, meninggalkannya sendiri dengan kebodohannya karena lupa meminta nomor ponsel tour guide-nya di kota ini. Sekarang dia terpaksa berpegangan pada harapan bahwa pemandu turnya itu segera menghubunginya atau dia harus pergi ke hotel sendirian dengan kemungkinan mendapati kendala bahasa yang pastinya akan sangat merepotkan. Tidak masalah dengan bahasa Inggris, tapi matilah dia kalau harus menghadapi penduduk lokal yang menggunakan bahasa Italia.
Dia merogoh ke dalam tasnya, mengeluarkan buku kecil bersampul cokelat. Buku harian kakaknya. Yang diserahkan Min-Ri padanya saat mengantarkannya ke bandara tadi.
Yah, di sinilah dia. Italia. Masih di Florence memang, tapi tujuannya adalah Siena, kota yang sampai detik ini masih dibencinya. Jadi kenapa dia malah bermaksud mengunjungi kota tersebut? Jawabannya sederhana. Karena itu adalah pesan terakhir Eun-Seo, yang menginginkannya datang ke sana satu bulan setelah kematian kakak perempuannya itu. Eun-Seo bermaksud kembali mendatangi kota itu lagi, bahkan sudah memesan tiketnya secara online sebelum dia pulang ke Korea. Hal yang menjadi misteri baginya. Membuatnya
bertanya-tanya mengapa, apa yang begitu menarik dari kota tersebut? Apa alasan kakaknya ingin kembali ke sana?
Dia tidak sempat mendapatkan jawabannya. Kakaknya mengembuskan napas terakhir dengan meninggalkan begitu banyak pertanyaan di benaknya. Dia sempat bertanya pada Min-Ri, yang kemudian menyerahkan buku harian yang sedang dipegangnya sekarang. Itu pun karena dia setuju untuk berangkat, walaupun lebih karena dia tidak mau tiket itu terbuang sia-sia.
Siena, 1 st day
Welcome to Siena!!! I m truly exciting about this tour!
Hotel tempat kami menginap luar biasa! Bangunannya sangat artistik dan klasik, tempat yang bagus untuk berbulan madu, sayangnya aku malah datang dengan Min-Ri (ssst, dia memelototiku).
Kami berkenalan dengan Mario dan Elisabetta, pemilik tempat ini, juga Runa, anjing mereka yang tidak berani kami dekati. Tapi aku sangat menyukai taman dan pemandangan yang bisa dilihat dari penginapan. Luar biasa indah. Semuanya hijau, penuh dengan perbukitan dan pepohonan, terutama pinus. Aku rasa adikku tersayang akan menyukainya. Dia dan segala romantismenya yang kadang menggelikan.
Awalnya hari pertama ingin kami habiskan dengan mengunjungi Piazza del Campo, Mangia Tower, atau
mungkin berbelanja di Piazza del Mercato, tapi Min- Ha, tour guide kami, menyarankan agar kami pergi ke La Foce, yang hanya buka setiap Rabu.
" Espresso macchiato. " " Sugar?"
Dia mendongak dari bukunya, ingin mencari tahu pria gila mana yang memesan espresso macchiato tanpa menginginkan tambahan gula orang Italia sendiri bahkan menambahkan gula ke dalam minuman itu saking pahitnya. Saat itulah matanya menangkap sosok pria yang duduk satu meja di depannya. Pemandangan yang kemudian memakunya di tempat dan memesonanya dengan seketika.
Dia biasanya menyukai pria yang berpotongan rapi, baik rambut maupun wajah yang harus bebas jenggot, juga berpakaian dengan pantas. Pria itu adalah segala kebalikannya. Rambutnya pendek, tapi tampak berantakan seperti tidak disisir. Ada bakal jenggot kasar yang memenuhi pipi dan rahangnya, juga kumis tipis di atas bibirnya yang sensual. Dia hanya mengenakan baju kaus tipis berwarna abu-abu muda, menutupi tubuhnya yang jelas tampak berotot dengan kadar yang pas, dengan dada bidang dan tangan yang kekar. Tapi pria itu memiliki mata yang tampak tajam dan gelap, membuat keseluruhan penampilannya memancarkan aura maskulinitas yang sangat kuat.
Dia menyadari betapa lekatnya tatapan yang dilayangkan pelayan wanita yang sedang mencatat pesanan pria tersebut,
yang malah tidak menunjukkan ketertarikan sama sekali sehingga wanita itu menyerah dan kembali ke dapur. Di saat yang bersamaan, pria itu mendongak lalu tanpa peringatan menatap lurus ke arahnya, mengarahkan matanya yang tajam ke wajahnya, membuat mukanya sepenuhnya memerah dan bodohnya, dia sedikit pun tidak bisa mengalihkan pandangan untuk sekadar menyelamatkan harga dirinya yang hancur lebur karena ketahuan memandangi pria asing yang tidak dia kenal hanya karena pria itu luar biasa seksi dan tampan.
Jantungnya berdetak luar biasa cepat saat alis tebal pria itu berkerut, dengan mata yang sedikit memicing seolah kurang menatapnya dengan jelas. Lalu lagi-lagi, tanpa peringatan apa-apa, pria itu berpaling, memandang ke luar jendela kafe, seolah tidak terjadi apa-apa beberapa detik sebelumnya.
Kedengarannya pasti sangat tolol dan luar biasa konyol, tapi dia baru saja jatuh cinta. Dengan pria yang dia tidak tahu siapa. Entah nama ataupun asal-usulnya. Dia hanya jatuh, untuk pertama kalinya dalam hidup. Dia dengan segala romantisme bodohnya tentang jatuh cinta pada pandangan pertama.
Aia Mattonata Relais, Siena, Italy 12.17 AM
Gadis itu meletakkan kopernya ke sudut ruangan, melemparkan tasnya ke atas sofa lalu mengempaskan tubuh ke ranjang. Dia lupa untuk memarahi Min-Ha yang datang terlambat untuk menjemputnya, melewatkan begitu saja pemandangan yang mereka lewati selama 1,5 jam perjalanan dari bandara menuju hotel, juga tidak terlalu memperhatikan
sambutan ramah dari pemilik penginapan. Dia tidak lagi ingat tentang keinginannya untuk mandi air hangat dan tidur nyenyak. Seluruh otaknya terfokus pada satu orang yang terus menerus ditatapnya selama sepuluh menit keberadaannya di kafe itu, sebelum akhirnya pria itu pergi sebelum Min-Ha datang menjemputnya.
Satu hal disadarinya selama pengamatannya yang tanpa henti terhadap pria tersebut; pria itu tampak muram. Ada raut kecewa terpancar dari wajahnya yang tegas. Rahangnya terkatup rapat seolah dia sedang menahan sesuatu sekuat tenaga. Tampak seperti pria yang sedang& patah hati. Entah dia harus senang atau sedih. Patah hati bagus, karena itu berarti pria tersebut masih single. Lalu, apa urusannya dengannya? Dia bahkan tidak mengenal pria itu untuk memiliki pikiran yang tidak-tidak tentang berusaha mendekat untuk menarik perhatian.
Cinta pertamanya& hanya berlangsung selama lima belas menit. Berakhir begitu saja.
06.55 AM " Kau yakin?"
" Iya. Aku jalan-jalan sendiri saja, tidak usah ditemani. " " Kalau kau tersesat bagaimana?"
Dia tertawa mendengar suara cemas Min-Ha. " Aku kan membawa peta dan aku punya ponsel. Kalau aku tersesat aku tinggal menghubungi dan merepotkanmu, kan? Dan aku tidak akan membatalkan jasamu sebagai tour guideku, jadi kau tidak perlu khawatir. "
" Baiklah kalau begitu. Tapi janji, kau harus menghubungiku kalau terjadi apa-apa padamu. Min-Ri sudah memperingatkanku agar menjagamu baik-baik."
" Aku mengerti. Aku hanya akan berkeliling ke tempat yang dekat-dekat saja hari ini. Mungkin ke Piazza del Campo. "
" Kalau kau ke sana sempatkan mampir ke Salumeria Il Cencio. Sarapan atau brunch."
" Aku sudah merencanakannya. Sampai jumpa kalau begitu. Aku akan menghubungimu kalau aku ingin ditemani pergi ke suatu tempat. Bye. "
Salumeria Il Cencio, Piazza del Campo, Siena, Italy 10.12 AM
Dia menggigit sandwich-nya besar-besar, memilih tempat di balkon yang memberikan pemandangan menyeluruh Piazza del Campo, kawasan terlarang bagi kendaraan, yang dipenuhi jajaran toko-toko, kafe, dan restoran, juga area luar biasa besar di bagian pusat, tempat para turis atau masyarakat sekitar biasa duduk-duduk santai untuk beristirahat seraya mengawasi orang-orang yang berlalu-lalang biasanya sambil ditemani makanan ringan, seperti gelato atau espresso. Tempat ini juga terkenal dengan aktivitas Palio-nya pacuan kuda yang biasanya diselenggarakan pada bulan Juli dan Agustus. Untung saja dia berkunjung di musim semi. Dia tidak terlalu suka keramaian dan hiruk-pikuk.
Dia mengunyah dan menelan roti isinya yang ternyata memang luar biasa enak, lalu kembali membuka buku harian kakaknya dan mulai membaca.
Bukannya berjalan-jalan seperti rencana semula, kami malah keluar-masuk kafe dan restoran. Menikmati piza, spageti, ravioli, lasagna, gelato, dan segala macam makanan khas Italia lainnya. Belum masuk waktu makan siang, kami benar-benar sudah kekenyangan. Tapi Min- Ha masih saja memaksa membawa kami makan siang ke restoran paling enak di seluruh Siena, La Taverna di San Giuseppe (aku memaksa Min-Ha mengejakannya untukku). Dan dia memang tidak berlebihan. Baik pelayanan maupun makanan, semuanya di atas rata-rata. Walaupun harganya juga sedikit di atas rata-rata, tapi setara dengan apa yang kami dapatkan.
Saat itu kebetulan tidak terlalu ramai, karena jumlah pelanggan baru melonjak saat makan malam, jadi pemiliknya menyempatkan diri untuk menyapa para tamu termasuk kami, bertanya bagaimana pendapat kami tentang pelayanan berikut makanan yang kami santap. Dan aku dengan tidak tahu malunya berapi-api menjelaskan betapa mematikannya tagliata yang mereka sajikan semacam daging sapi panggang yang dimasak dengan olive oil dan rosemary. Juga tidak henti-hentinya memuji torta di cioccolato yang menjadi makanan penutup yah, Min-Ha terpaksa menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris agar mereka mengerti apa yang kumaksud, karena aku tidak menguasai bahasa asing manapun sama sekali. Aku bahkan lupa bahwa perutku sudah penuh. Semuanya sangat enak dan bahkan ada banyak lagi makanan menggugah selera lainnya di buku menu.
Tapi yang mengejutkan, melihat keantusiasanku, pemilik tempat itu memanggilkan koki yang memasakkan makan siang kami, menyuruhnya untuk berbincang dan berbasabasi sebentar. Dan sialnya, aku tidak pernah membayangkan bahwa koki mereka adalah pria luar biasa tampan, seksi setengah mati, dan juga orang Korea!!!
Namanya Joon. Park Joon. Dan aku jatuh cinta.
Ah, jadi begitu? Kakaknya juga jatuh cinta. Seperti yang dialaminya sekarang. Karena itukah kakaknya memaksa agar dia juga mengunjungi kota ini? Untuk mencari pria yang membuatnya jatuh cinta? Jelas ada sesuatu dalam kisah mereka yang belum usai, karena dua hari berikutnya kakaknya meninggal dalam kecelakaan pesawat. Apakah pria itu tahu? Apakah pria itu menunggu kakaknya? Pasti itulah alasan kenapa kakaknya membeli tiket pesawat ke Italia untuk satu bulan berikutnya. Mereka berjanji untuk bertemu, entah di mana.
Dia meraih ponselnya, memencet sebuah nomor, lalu mengetukkan jemarinya tidak sabar ke atas meja selagi nada sambung terdengar.
" Min-Ha-ssi 3 , apa kau bisa memberitahuku rute menuju La Taverna di San Giuseppe?"
3 Panggilan resmi yang diimbuhkan di belakang nama orang untuk menunjukkan rasa hormat.
La Taverna di San Giuseppe, Via Giovanni Dupre, Siena, Italy 11.56 AM
Eun-Seo sama sekali tidak menuliskan apa-apa tentang betapa terkenalnya tempat ini sehingga menjadi tujuan bagi kebanyakan turis. Mungkin saat kakaknya datang ke sini dulu tempat ini tidak terlalu ramai, tapi sekarang jelas-jelas hampir seluruh kursi terisi penuh. Untung saja Min-Ha sudah memesankan tempat untuknya, walaupun dia tetap merasa tidak nyaman mendengar dengung percakapan dari segala arah, denting sendok, garpu dan pisau yang membentur piring, juga para pelayan yang hilir-mudik mengantarkan pesanan atau melayani para tamu yang membutuhkan sesuatu.
Seorang pelayan menyambutnya, mengatarkannya ke meja yang terletak di sudut ruangan setelah dia menyebutkan nama, sedikit menghilangkan kegugupannya karena posisi tempat duduknya yang cukup melegakan. Dia memang lebih suka ke mana-mana sendiri, tapi tidak untuk masuk ke dalam restoran seperti ini.
Pelayan tadi mengulurkan buku menu, bertanya apakah dia menginginkan wine, yang disambutnya dengan gelengan. Dia kemudian menunjuk tagliolini with black trules dan tagliata yang disebut-sebut kakaknya di buku harian, lalu setuju untuk memesan makanan penutup berupa cornetto casalinga con mascarpone e salsa di cioccolato, yang dijelaskan pelayan tersebut sebagai kreasi pastry mereka yang dilumuri krim dan cokelat.
Sembari menunggu, dia kembali menekuri buku bersampul cokelat itu, mencari tahu apa saja yang diceritakan kakaknya tentang pria yang membuatnya jatuh cinta.
Ada sesuatu yang tidak orang lain tahu. Tentang cinta pertamaku.
Aku sempat pacaran. Satu kali. Dengan Kyung-Hwan. Lelaki yang tinggal di sebelah rumah. Teman sekelasku. Yang setiap hari selalu berangkat ke sekolah bersamaku, menemaniku makan siang di kantin, lalu mengantarku pulang ke rumah, padahal itu membuatnya kelelahan, karena dia harus kembali lagi ke sekolah untuk berlatih basket bersama klubnya. Aku selalu saja menyontek tugas rumahnya dan dia selalu membiarkan. Saat itu& kami tidak terpisahkan. Tapi apakah aku mencintainya?
Aku menyukainya, itu pasti. Aku juga nyaman setiap kali berada di dekatnya. Tapi cinta tidak hanya tentang kebersamaan saja. Ada yang tidak kudapatkan darinya. Jantung yang berdebar-debar, keringat dingin, kaki gemetar. Kami seperti sahabat yang memiliki komitmen, dengan hubungan yang tidak pernah beranjak ke mana-mana.
Aku selalu penasaran bagaimana rasanya jatuh cinta. Padahal aku selalu menertawakan adikku tentang masalah ini. Mengejek impiannya tentang mencintai hanya satu lelaki seumur hidup. Menurutku, dia hanya terlalu mendalami perannya sebagai penulis novel romantis.
Tapi dia nyatanya tidak pernah melebih-lebihkan. Tentang jatuh cinta. Tentang cinta pertama. Pada pandangan
pertama. Juga tentang takdir. Tentang pertemuan-pertemuan yang tak pernah direncanakan.
Aku memaksa Min-Ha dan Min-Ri untuk makan malam di restoran itu lagi, beralasan bahwa aku ingin mencoba menu lainnya. Mereka setuju, walaupun aku rasa Min-Ri cukup curiga dengan semangatku yang meletupletup. Dia bisa menebak sendiri apa tujuanku sebenarnya. Itu kan gunanya dia bersahabat denganku selama bertahuntahun? Dia terlalu mengenalku.
Kami datang cukup larut dan baru pulang lewat tengah malam. Pria itu tidak keluar dari dapur lagi, jadi aku pikir keberuntunganku sudah berakhir. Siapa sangka kami malah bertemu dengannya di lapangan parkir, berbasa-basi sebentar dan aku hanya bisa menganga tolol, terpesona pada suara, wajah, dan penampilannya yang kasual. Aku suka logatnya saat berbicara, juga suaranya yang dalam dan berat. Dia bertanya tentang Korea dan Min-Ha dengan pintarnya mengajaknya bergabung bersama kami keesokan harinya ke Piazza del Mercato, karena aku dan Min- Ri sudah tidak tahan untuk berbelanja. Beruntung sekali karena ternyata dia libur kerja setiap Kamis dan Jumat, menyanggupi untuk menemui kami di tempat itu.
Mendadak aku menyesal karena tidak pernah berusaha memperlancar bahasa Inggris-ku. Joon memang fasih berbahasa Korea, tapi dia sudah cukup lama tinggal berpindah-pindah dua tahun terakhir di Italia, sehingga dia sering tanpa sengaja berbahasa Inggris saat berbicara dengan Min-Ha atau Min-Ri. Aku benar-benar tidak suka
terlihat bodoh. Tapi setiap kali dia tersenyum saat berbicara denganku, setiap kali matanya terfokus menatapku, aku melupakan banyak hal. Lagi. Seperti orang tolol saja.
" This is your order, Ma am. If you need something, you can call me."
Gadis itu menyingkirkan bukunya, sedikit kehilangan fokus saat aroma makanan di depannya memborbardir indra penciumannya, yang berlanjut dengan perutnya yang meronta minta diisi, padahal dia baru saja menghabiskan seporsi besar sandwich. Tapi wangi dan tampilan makananmakanan menggugah selera itu juga mengingatkannya akan sesuatu.
" Hey, can I ask you something?" " With my pleasure."
" Is there any cook here named Joon? Park Joon? He is from Korea."
Pelayan itu tampak berpikir sebentar sebelum akhirnya tersenyum dan mengangguk.
" Yeah, but it was about three weeks ago. He is a friend of the owner and he helped here for two weeks, because our chef took days of for his marriage and honeymoon. He was already back now."
" Umm, okay. Thanks." " You re welcome."
Jadi pria itu hanya koki pengganti? Benar-benar sangat kebetulan karena bisa-bisanya Eun-Seo malah bertemu
dengannya lalu jatuh cinta. Sekarang ke mana dia harus mencari pria itu?
Dia melirik irisan daging panggang di depannya, merasakan air liurnya mulai memenuhi mulut. Lupakan dulu pria itu, mengisi perut untuk sekarang terasa lebih penting. Jauh lebih penting.
Di mana dia sekarang?
Dia menghela napas keras. Lagi-lagi dia berbuat bodoh. Tadinya dia hanya berniat berjalan-jalan sebentar untuk menurunkan isi perut sebelum pulang ke hotel, tapi sepertinya dia berjalan terlalu jauh karena terpesona melihat bangunan-bangunan tua yang ditemukannya di sepanjang jalan. Sekarang dia ada di jalan kecil yang di kanan kirinya berderet lat dan apartemen. Kawasan ini sedikit terpencil karena dia tidak bisa melihat jalan besar dari sini. Lagi pula terlalu banyak gang, terlalu banyak belokan. Dia tidak ingat dari arah mana dia datang.
Gadis itu mengernyit saat mendengar bunyi guruh, baru menyadari bahwa awan gelap sudah memayungi langit, dan sesaat kemudian cahaya kilat menyambar dengan suara memekakkan telinga, disusul curahan air hujan dalam jumlah banyak, tanpa diawali dengan gerimis, membuatnya cepatcepat berlari mencari perlindungan. Dia berhenti di depan sebuah bangunan yang memiliki atap menjorok ke luar sehingga dia bisa berteduh di bawahnya, meskipun sekujur tubuhnya sudah basah kuyup.
Dia menepuk-nepuk lengan kardigannya, meremas ujung rok yang dia kenakan, lalu mengacak-acak rambut ikalnya yang mulai lepek karena basah. Beberapa detik kemudian tubuhnya melorot hingga posisi jongkok, dengan tangan yang mencengkeram perut. Dia sudah sangat sial dan perutnya dengan tidak tahu dirinya memulai kebiasaannya yang menyebalkan, tidak pernah peduli tempat. " Hey, are you okay?"
Sebuah suara berat dan dalam menyapanya, membuatnya dengan terpaksa mendongakkan wajah dan terpana. Pria seksi itu! Hari ini memakai kaus polos putih pas badan yang mencetak dadanya yang bidang, sedangkan tangannya menggenggam kantong-kantong belanjaan yang tampak penuh. Demi Tuhan, sempat-sempatnya dia menilai penampilan orang di tengah rasa sekarat yang dialaminya. " Wait& you are the girl in the caf, right? Airport?" Damn, terkutuklah kelakuan memalukannya malam itu. Mungkin seharusnya dia merasa senang karena pria itu mengingatnya, tapi jika alasannya sememalukan itu& .
" You know me?" tanyanya dengan susah payah, lebih mirip suara tercekat yang tidak elegan.
" You stared at me for ifteen minutes; it will be weird if I don t remember you."
" God, it s really embarrassing," gerutunya, menyembunyikan wajah di balik lengan.
" Not the irst time for me." Ada nada geli yang terselip dalam suara yang memabukkan itu. Dan dia baru menyadari bahwa
pria itu memiliki aksen British yang begitu kental, dengan huruf r yang terdengar samar dan lafal kata yang sangat jelas.
" Yeah, of course. No wonder," balasnya sinis. Pria itu sedang menyombong ya?
" So, what are you doing here? You are a tourist, right?" Dia mengabaikan pertanyaan pria itu. Sebagai gantinya dia malah mengedikkan dagu ke arah bangunan di belakangnya. " You live here?"
" Yeah," jawab pria itu, tampak sedikit bingung dengan pertanyaan yang dia ajukan.
" Thanks God!" serunya, mengerang lagi saat merasakan pergolakan yang tidak menyenangkan dalam perutnya.
Ini memalukan, ucapnya mengingatkan diri sendiri. Kau sudah mempermalukan dirimu sekali, apa kau harus mempermalukan dirimu lagi?
Sial, tapi dia benar-benar sudah tidak tahan.
" Well& can I borrow your& toilet?" ringisnya sambil menyunggingkan senyum yang lebih mirip seringaian. " Please?"
Chapter 2: The Sexiest Man Alive
" No, this trick won t work. How on earth are you ever going to explain in terms of chemistry and physics so important a biological phenomenon as irst love?" Albert Einstein
adis itu menutup pintu kamar mandi, berusaha tidak terlalu kentara memperhatikan ruang tidur pria itu. Flat tersebut memang hanya terdiri dari dua ruangan. Ruang tamu, dapur, dan ruang makan saling menyambung dan satu-satunya kamar mandi di tempat itu berada dalam ruang tidur.
Kamar pria itu berkesan elegan, dengan aroma maskulin yang menguar. Cukup rapi, tidak ada barang berserakan yang tidak pada tempatnya. Poin plus lagi untuk si seksi.
Dia berjalan keluar dan mendapati pria itu sedang sibuk di dapur mininya yang minimalis. Barang-barang belanjaan sudah dikeluarkan dari kantong dan bergeletakan di konter dapur. Ada air yang sedang dididihkan di atas kompor gas dan pria itu sendiri sibuk memotong-motong tomat dalam
bentuk dadu. Di sampingnya ada bawang putih yang sudah dicincang, botol kecil berisi lada hitam, daun kemangi yang sudah dicacah halus dalam mangkuk, olive oil, keju parmesan, dan entah apa lagi. Pengetahuannya tentang bahan masakan hanya sebatas itu saja.
" I m hungry. You want some?" tawar pria itu saat menyadari kedatangannya.
" Is it enough?"
Oke, dia memang sudah cukup mempermalukan diri. Sudah kepalang tanggung, jadi lanjutkan saja. Perutnya sudah kosong lagi setelah semua isinya dia keluarkan barusan. Lagi pula itu berarti dia bisa lebih lama lagi di sini. Dan omongomong, ini mulai terasa seperti di novel atau di ilm-ilm. Pertemuan-pertemuan tidak terduga semacam ini. " It s even enough for four people."
" What do you cook? Spaghetti?"
Pria itu mengacungkan mi kering yang tampak seperti spageti sebelum mencemplungkannya ke dalam air.
" It s capellini. They usually called it angel hair pasta. Because it s so thin. Give me twelve minutes to inish it. You can sit there." Dia menunjuk meja bar yang terletak di depan konter tempatnya bergelut dengan bahan-bahan makanan, seolah ingin menyajikan pertunjukan memasak secara LIVE.
" So& what s your name?" tanya pria itu sembari memasukkan bawang putih yang sudah dicincang ke atas olive oil yang sudah dipanaskan.
" Shin Hae-Kyung, " jawabnya tak fokus, terlalu terpesona dengan fakta bahwa selain berwajah luar biasa tampan dan bertubuh seksi, pria itu kelihatannya juga pintar memasak. " You are a Korean?"
Nada kaget yang digunakan pria itu membuatnya mendongak dan memandang pria itu heran.
" Maksudku& aku juga orang Korea. Ayahku campuran Inggris-Italia. Dan ibuku Korea-Amerika, " lanjut pria itu dengan bahasa Korea yang super lancar. Semua logat British-nya yang kental menghilang begitu saja.
Terjawab sudah dari mana semua wujud keindahan itu dia dapatkan. Dengan darah campuran seperti itu dan gen yang luar biasa, pantas saja pria itu bisa terlihat semenggairahkan ini. Sial, apa yang sedang dia pikirkan?
" Oh, I m Dex by the way. Dexter Rhone." Haruskah namanya juga seseksi itu?
" So& Hae for sun and Kyung for shine? Sunshine?" " You know it?"
Pria itu mengangguk, mengaduk saus pastanya yang sudah hampir jadi setelah memasukkan tomat dan lada, tampak sudah terbiasa dengan semua langkah dan gerakannya, seolah hal tersebut sudah dilakukannya berulang kali sehingga hanya membutuhkan sedikit konsentrasi. " What do you like? Sunrise or sunset?"
" My sister said I m the sunrise hunter."
" You have to visit La Foce then. The sunrise there is breathtaking."
" Isn t it just open every Wednesday? I m just here until Sunday. Not enough time."
Pria itu menata pasta ke dalam dua buah mangkuk, lalu menuangkan saus di atasnya, dengan aroma menerbitkan liur yang menguar ke mana-mana.
" One of the guards is my friend. I think I can take you there. More cheese?"
Hae-Kyung sedikit tersentak dan buru-buru mengangguk karena pria itu mengganti topik seenaknya.
" What do you mean by you can take me there?" " Kalau kau memang the sunrise hunter, rugi sekali kalau kau mengunjungi Siena tanpa melihat pemandangan matahari terbit di La Foce. Aku bisa menemanimu ke sana. Kalau kau tertarik. "
" Can you keep speaking in English?" tanyanya tanpa berhasil menahan diri. " Because when you speak in Korean it seems like& I can reach you."
" Hmm& what does it mean?"
" You know that I m& ng& interested on you& from the very irst time we met. You re like western people. Far. Something like& prince charming in fairy tale. Unreachable. Let s keep it in that way."
" I think it s okay& if you want to reach me." Pria itu menyeringai, menarik bibirnya ke satu arah, tampak seperti
setan penggoda penyebar dosa. " Your capellini pomodoro, Miss Shin."
" What is pomodoro?" tanyanya, terlalu malu sehingga menanyakan hal pertama yang terlintas di benaknya.
" Tomato," jawabnya cepat. " You are so straight. I mean& you tell your purpose directly."
" And you like to change the topic of conversation randomly." " One of my hobbies," guraunya, sembari membawa mangkuknya dan duduk di ujung meja. " Ngomong-ngomong apa pekerjaanmu?"
" Model, " jawab Hae-Kyung, mencecap suapan pertama dan nyaris mengerang.
" Pantas saja. Kau memang tinggi. 170?" " 172. Dan& kau bahkan jauh lebih tinggi. " Pria itu terkekeh. " 190, " akunya.
Mereka kemudian diam, sibuk menikmati makanan masing-masing.
" Apa menurutmu semua ini tidak terlalu kebetulan?" tanya Dex memecah keheningan. " Bertemu di bandara, lalu di sini. "
" Kau ingin membicarakan sesuatu tentang takdir?" tanya Hae-Kyung, tanpa sadar mendecak-decakkan mulut lalu menjilat saus yang tersisa di bibirnya dengan lidah, sekarat dalam kenikmatan. Masakan pria itu luar biasa! Bahkan saking fokusnya terhadap pasta yang sedang dia makan, dia sampai tidak menyadari bahwa pria tersebut sudah menghentikan
suapan dan ganti memandanginya lekat, mengamati setiap gerakan yang dia lakukan.
" Aku ini sangat percaya pada takdir, cinta pandangan pertama, dan semacamnya. Jadi kalau kau tidak mau terperangkap dalam bentuk komitmen seperti itu, lebih baik kau berhati-hati dalam memilih topik pembicaraan denganku. Bisa-bisa aku tidak melepaskanmu. "
Pria itu meraih gelasnya, menyesap air di dalamnya untuk membersihkan kerongkongan, lalu mengarahkan tatapannya lurus-lurus pada gadis itu.
" Kalau begitu mulai sekarang aku akan lebih sering menggunakan bahasa Korea setiap kali berbicara denganmu. "
Hae-Kyung mendongak dan menelan pastanya begitu saja tanpa sempat mengunyahnya sampai lumat. " Kenapa?" tanyanya bingung.
" Because I d like to see you attracted by me."
Flat itu tidak memiliki balkon, hanya sebuah jendela kaca selebar tiga meter yang membentang di salah satu sisi ruangan. Flat Dex berada di lantai paling atas sehingga keindahan kota Siena dari ketinggian tampak memanjakan mata.
Jendela itu menjorok keluar, menyisakan tempat yang cukup luas untuk sekadar duduk dan bersantai sambil menikmati pemandangan. Jadi dia melakukannya. Melipat kedua kakinya dan memangkukan dagunya ke atas lutut,
menatap gerimis yang sudah menggantikan hujan deras tadi siang.
Dex meminjamkan gaun kepunyaan adik perempuannya yang sering datang berkunjung ke sini setiap liburan. Walaupun gaun sepanjang betis itu hanya mencapai lututnya, tapi ukurannya cukup pas sehingga dia setuju mengenakannya dan mengganti bajunya yang basah. Pria itu sendiri sedang mandi, menyuruhnya menunggu sebelum diantarkan pulang.
Dia mendesah, melarikan jari-jarinya ke kaca yang dingin, dipenuhi titik-titik air yang meluncur turun, membuatnya berembun.
Siena. Mungkin memiliki mantra sehingga dua orang bersaudara sama-sama jatuh cinta. Pada pandangan pertama. Kemudian mengalami pertemuan-pertemuan tidak terduga yang terlalu kebetulan sehingga tidak bisa dianggap sebagai kebetulan semata.
Dia mengalihkan tatapannya, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, tiba-tiba terpaku pada tumpukan buku di sudut, tidak jauh dari tempatnya duduk, terutama pada buku yang tergeletak paling atas. Sebuah novel. " You found my favorite spot."
Dia menoleh, mendapati Dex yang baru keluar dari kamar dalam balutan kaus abu-abu gelap dan celana jeans, dengan sebuah handuk yang digunakannya untuk mengeringkan rambutnya yang masih basah. Membuat helaiannya yang sudah berantakan tampak semakin berantakan.
Dia buru-buru berdiri dan meraih novel tersebut, merasa begitu penasaran.
Once Karya Yuli Pritania dan Senselly di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Is this yours?"
" My sister s," jawabnya, melempar handuknya begitu saja ke atas sofa, menyisir rambutnya dengan jari lalu mengambil kunci mobil yang tergantung di dinding. " Kenapa memang? Aku juga sudah membacanya. Luma tunggu& nama pengarangnya Shin Hae-Kyung, kan? Apa itu kau?" tanya pria itu, tiba-tiba sadar.
Hae-Kyung tersenyum tipis, menganggukkan kepalanya pelan.
" Kau bilang kau seorang model. " " Ini hanya pekerjaan sampingan. " " Adikku bilang kau penulis terkenal. "
Hae-Kyung mengedikkan bahu. " Aku juga model terkenal. " Pria itu mendelik sinis sambil mengeluarkan dengusan tak percaya.
" Kalau kau tidak percaya, datang saja ke Korea dan sebutkan namaku. Semua orang pasti mengenalku. Kalau bukan sebagai model ya sebagai penulis. Atau malah duaduanya. "
" Kau sedang pamer ya?"
Hae-Kyung mencebik. " Kau saja yang tidak mau percaya, " ujarnya malas, berjalan menghampiri pria itu untuk memintanya secepat mungkin mengantarkannya pulang.
Saat itu& dia baru menyadari bahwa mata pria itu berwarna abu-abu.
" Besok aku akan menjemputmu pukul empat pagi. "
Gadis itu menoleh tanpa berpikir dan langsung menyesali keteledorannya. Pria itu menatap ke arahnya, dengan mata yang dinaungi kacamata hitam, dan tubuh yang bersandar ke kemudi. Seksi setengah mati. Membuatnya lupa cara menarik napas. Ditambah dengan sinar matahari yang semakin condong ke barat, bersiap untuk terbenam, membuat pelataran parkir dipenuhi cahaya berwarna jingga kekuningan yang sebagian menyusup melalui kaca depan mobil, tepat menyorot ke tubuh pria itu.
" By the way can I call you Kyung?" tanya pria itu tiba-tiba. " I think about it on our way here."
" W why?" ucapnya, balik bertanya. Setengah penasaran ingin melihat apa yang tersembunyi di balik kacamata pria itu. Pria itu tampak tidak terbaca sekarang. Misterius. Penuh rahasia. Terutama caranya menatap.
" Nothing. I d just like to call you like that."
Pria itu mencondongkan tubuh, membuatnya dengan releks mundur ke belakang, dengan jantung yang berdentum-dentum kencang, terutama saat tangan pria itu terulur ke balik tubuhnya. Tapi kemudian dia mendengar bunyi klik pelan saat pintu mobil terbuka dan tangan pria itu seketika memegangi punggungnya agar dia tidak terjatuh karena kehilangan sandaran.
" Kyung. It sounds right." Pria itu terlalu dekat. Terlalu dekat. " For me."
Chapter 3: The Date
" My daddy said that the irst time you fall in love, it changes you forever and no matter how hard you try, that feeling just never goes
away." Nicholas Sparks, The Notebook
Aia Mattonata Relais, Siena, Italy 04.02 AM
ria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, bersandar di pintu mobil sambil menggesekgesek tanah dengan kaki, bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang dia lakukan. Menunggu seorang gadis& menghabiskan sepanjang hari bersama& lalu? Apa yang dia harapkan? Bukan berarti dia serius ingin mendapatkan gadis itu, kan?
Satu hari yang lalu gadis itu hanya sebentuk wujud indah yang ditemuinya di tengah hiruk-pikuk bandara yang sibuk. Gadis itu cantik. Siapa pun akan mengakuinya. Wajah yang bisa membuat pria normal manapun menoleh dua kali.
Walaupun dia sendiri hanya mencukupkan diri dengan satu tatapan pertama dan selebihnya menikmati belasan menit yang berlalu saat gadis itu mengamatinya tanpa berusaha melakukannya secara diam-diam.
Tapi ketika gadis itu kemudian muncul untuk kedua kalinya, dengan sangat tidak terduga dan dalam sebuah bentuk kebetulan, tepat di depan apartemennya, dia tidak bisa lagi mengabaikannya begitu saja. Maka di sinilah dia& mempertanyakan banyak hal yang bahkan dia sendiri tidak terlalu menginginkan jawaban. Mungkin dia hanya perlu menjalaninya saja, lalu melihat hasilnya nanti. Tanpa memberi pertanda, janji, atau sesuatu yang mungkin saja akan diingkarinya nanti.
Dia mendongakkan wajah saat mendengar langkah kaki yang mendekat. Hari masih sangat gelap, hanya ada penerangan temaram dari lampu jalan dan lampu depan mobil yang sengaja dia hidupkan. Bahkan mungkin masih terhitung malam karena suara jangkrik masih terdengar, dengan cuaca yang cukup dingin untuk membuat badan menggigil. Tapi indra penglihatannya bekerja sangat baik dan mulai terbiasa dengan kegelapan di sekitar, karena dia bisa melihat gadis itu dengan jelas, berlari-lari kecil mendekatinya, dalam balutan sweater longgar berwarna krem yang menutupi gaun biru gelap bermotif bunga-bunga kecil di baliknya.
" Aneh ya? Awalnya aku ingin memakai kardigan, tapi ternyata terlalu dingin, " ujar gadis itu sebagai sapaan. " Hai, " ucapnya dengan senyum terkulum.
Gadis itu terdiam, menggaruk bagian belakang kepalanya sembari menunjukkan senyum yang lebih mirip ringisan. " H hai. "
Seperti itulah hari mereka dimulai.
La Foce, Strada della Vittoria, Chianciano Terme, 53042 Siena, Italy
05.42 AM
La Foce berjarak sekitar satu jam dari Siena, terletak di sisi timur Val d Orcia, dan diapit oleh hutan belantara. Karena posisinya yang di atas bukit, jalanan menuju ke tempat itu berkelok-kelok mengikuti kontur lembah. Luasnya sendiri mencapai ribuan hektar dan terdiri dari rumah utama dan rumah-rumah kecil lainnya yang disewakan.
" Akan menyenangkan kalau kau menginap di sana, " beritahu Dex. " Pemandangannya luar biasa. Hanya saja pusat keindahannya memang taman di rumah utama. Tempat itulah yang buka setiap Rabu. Jadi walaupun kau datang di hari lainnya, kau masih bisa berkeliling. "
" Kau pernah menginap di sini?"
Dex mengangguk. " Di hari pertamaku datang ke Siena. Kebanyakan dari rumah yang disewakan lokasinya cukup terpencil dan hampir semuanya memiliki kolam renang pribadi. Cocok untuk menyepi. Kau tahu& dibangunkan oleh kicauan burung di pagi hari& seolah dunia milikmu sendiri. "
Mereka berjalan cukup jauh, berhenti beberapa kali saat menemukan lokasi yang menunjukkan pemandangan alam yang luar biasa, terutama daerah perbukitan dengan jalanan berbentuk zig-zag yang dinaungi pohon-pohon cemara yang berjejer rapi di sepanjang jalan, menuju vila di seberang. Tidak ada satu orang pun yang mereka temui, juga tidak tampak aktivitas di sekitar.
" Kau mau mendengar sejarah tempat ini? Berhubungan dengan Perang Dunia II. "
Hae-Kyung menggeleng cepat. " Aku menikmati keindahannya saja. "
" Tidak suka cerita tentang perang atau tidak suka mendengar sejarah?"
" Dua-duanya. "
" Nilai Sejarah Korea-mu pasti buruk. " " Aku tidak suka membicarakan masa lalu. "
Dex tertawa. Lebih tepatnya menertawakan sifat aneh gadis itu.
" Di sana, " ujarnya kemudian saat mereka memasuki kawasan taman rumah utama, menuruni tangga-tangga rendah yang diapit pagar tanaman setinggi lebih kurang dua atau tiga meter, berbentuk balok-balok yang disusun berjajar. Dan Hae-Kyung bersusah-payah untuk tidak berdecak kagum dan bertingkah norak lalu mempermalukan diri sendiri, terutama saat mereka melewati bagian taman yang dipenuhi tanaman-tanaman yang dipotong dalam beragam bentuk dan
dikelilingi oleh pohon-pohon sejenis cemara yang puncaknya dipotong rata.
Mereka terus berjalan menuju ke ujung, yang berbatasan dengan lereng menuju lembah di bawah, di balik bangunan kastil yang dindingnya ditutupi tanaman rambat dan semak bunga berwarna ungu muda. Ada kursi kayu panjang yang di depannya terdapat gerombolan bunga wisteria setinggi pinggang, tepat menghadap pemandangan alam lainnya yang tidak kalah indah. Samar, terdengar bunyi kicau burung yang langka terdengar di bagian utama kota, juga aroma pagi yang segar dan menenangkan. Seolah tempat ini memiliki dunianya sendiri, tanpa terganggu jajahan modernisasi.
" Sebentar lagi matahari terbit, " ujar pria itu, mengedik ke arah sinar putih kekuningan yang mulai muncul malu-malu dari balik perbukitan.
Hae-Kyung duduk di atas kursi, mengangkat kedua kakinya lalu memeluknya dengan lengan. Sweater-nya yang hangat mencegahnya merasa kedinginan, walaupun membuat penampilannya terlihat tidak fashionable sama sekali. Sesuatu yang haram bagi seorang model, tapi dia seringnya malah tidak memperhatikan mode jika tidak sedang berada dalam urusan pekerjaan.
" Hei, boleh aku menanyakan sesuatu?" pintanya, berusaha mencari bahan pembicaraan agar suasana tidak canggung. " Silakan saja, " jawab Dex, menyanggupi.
" Waktu itu& di kafe& kau terlihat& hmm& muram. Seperti orang yang sedang patah hati. "
" Itu pertanyaan atau pernyataan?"
" Yah& aku hanya ingin tahu. Apa yang terjadi saat itu? Kau benar-benar sedang patah hati?"
" Kalau iya kenapa, kalau tidak kenapa?"
Hae-Kyung merengut. " Kau tidak bermaksud menjawab pertanyaanku, kan?"
" Aku hanya sedang menunggu seseorang, " ucap pria itu mengalah, memutuskan untuk menjawab. " Dia tidak datang. " " Pacarmu? Gadis yang kau sukai?"
" Apa kau tiba-tiba merasa sangat tertarik dengan kehidupan percintaanku?"
Hae-Kyung langsung memalingkan wajah ketika pria itu menoleh ke arahnya. Dia memang bisa berbicara normal, tapi dia belum terbiasa kalau harus bertatapan langsung. Tidak, tidak, dia masih gugup setengah mati.
Dia mendengar Dex tertawa kecil.
" Hanya seorang kenalan. Tapi aku memang sangat menyukainya. "
Ada gelombang tidak enak yang mulai menghantam perutnya dari dalam.
" Sebagai seorang teman, " lanjut Dex lagi, seolah sangat menikmati pergulatan batin Hae-Kyung yang terlihat jelas dari raut wajahnya, membuat gadis tersebut sedikit menyesal telah begitu terang-terangan memperlihatkan perasaannya.
Tapi kemudian tatapannya sepenuhnya tersita oleh cahaya terang yang menyinari perbukitan di depan, perlahan semakin
menyebar luas, merata sampai ke tempat mereka dalam percampuran warna kuning dan putih yang menyilaukan mata.
Dia tidak terlalu lama terpana karena sepersekian detik kemudian dia terburu-buru meraih kamera dari dalam tas lalu mulai memotret, mengabadikan keindahan duniawi yang luar biasa itu.
Matahari terbit di Siena, adalah pemandangan paling luar biasa yang pernah dilihatnya. Yang mulai membuatnya bertanya-tanya, akan seindah apa matahari terbit di Meteora yang selama ini diimpikannya?
Dexter duduk dalam diam, secara sembunyi-sembunyi memperhatikan. Gerakan luwes gadis itu saat membidikkan kamera dan berkali-kali menekan tombol shutter, helai rambut ikalnya yang terjuntai menutupi wajah dan tidak dipedulikannya sama sekali, decak kagum yang berkali-kali terlepas dari bibir mungilnya yang sedikit terbuka, ataupun matanya yang menyipit untuk melihat dari lensa kamera sekaligus menghalangi silau cahaya matahari yang membanjir di sekeliling mereka.
Dia pernah mengencani beberapa gadis, menyukai mereka, menghabiskan waktu bersama mereka, tapi tidak sekalipun jatuh cinta. Mungkin karena waktunya yang banyak tersita untuk mempelajari bisnis dan berkeliling dunia, tidak pernah menetap lama di satu tempat, sehingga dia tidak pernah berminat untuk menjalin hubungan serius.
Dia terlalu terpaku dengan dunia kuliner yang digelutinya, menghabiskan hari-harinya untuk menguasai cara memasak makanan-makanan khas dari kota-kota yang disinggahinya. Hal yang akan berguna baginya di masa depan, berkaitan dengan impiannya untuk memiliki restoran sendiri di samping membantu orang tuanya mengurus bisnis perhotelan, resort, dan kafe mereka yang akan jatuh ke tangannya sekembalinya dia ke Korea.
Dan saat ini, di tempat ini atau mungkin sudah terjadi di pertemuan kedua atau bahkan sejak pertemuan pertama di bandara dia merasakan pergantian fokus yang perlahan. Bahwa ada sesuatu tentangnya dan gadis di sampingnya ini. Tentang pertemuan-pertemuan tidak terduga, gelenyar aneh yang dia rasakan setiap kali mereka bersama, atau bagaimana gadis itu menyita seluruh perhatiannya. Tidak ada kebetulan di dunia, hanya lingkaran takdir yang sedari awal sudah terencana. Jadi menghindar pun sia-sia. Lagi pula dia menyukainya. Kebersamaan mereka.
Pria itu mengulurkan tangan, meraih helai rambut gadis itu lalu memuntirnya dengan jari telunjuk.
" Lanjutkan saja, " gumamnya saat mendapati tubuh gadis itu menegang dan kameranya diturunkan pelan-pelan, mendadak menyadari kegugupan gadis itu saat matanya menangkap gerakan denyut nadi yang kencang di bagian leher gadis tersebut.
" Aku membuatmu grogi?"
" Sangat, " jawab Hae-Kyung dengan suara tercekat.
" Bagus, " ujarnya, menyelipkan rambut gadis itu ke belakang telinga lalu menepuk bahunya ringan. " Kau juga membuatku grogi. Kita seri. "
All Orto de Pecci, via di Porta Giustizia, Siena, Italy 08.45 AM
Dex membawanya ke restoran Orto de Pecci yang terletak di sebuah lembah hijau yang cantik, terletak tidak jauh dari pusat kota saat dia mengatakan bahwa dia menginginkan piza sebagai sarapan.
Mereka berjalan melewati padang rumput yang dinaungi pepohonan. Tidak seberapa jauh terlihat perkebunan buahbuahan juga ladang sayuran. Kambing, itik, dan angsa bebas berkeliaran. Dex bilang tempat itu dipertahankan seperti tampilannya di abad pertengahan.
Pelayanan di restoran yang mereka datangi sangat ramah. Para pelayan menyambut mereka hangat dan memilihkan tempat duduk di dekat jendela sehingga mereka bisa menikmati suasana di luar. Dia setuju saat Dex bilang mereka sebaiknya memesan piza Margherita yang sangat terkenal di sana setelah memastikan mereka mendapatkan tambahan topping daging, karena piza tersebut dihias sesuai warna bendera Italia, merah-putih-hijau, yang disimbolkan oleh tomat, keju mozzarella, dan daun basil. Tapi dia menghabiskan waktu lama untuk memutuskan makanan sampingan. " Apa itu bruschetta?"
" Roti panggang dengan potongan tomat, bawang putih, daun basil, dan olive oil. "
Dia membalik halaman selanjutnya dari menu, melewatkan sup dan salad yang tidak dia suka, langsung menunjuk tetrazinni saat Dex menjelaskan bahwa itu adalah spageti dengan irisan ayam dengan saus kecap, juga jamur segar yang ditumis sebentar dalam saus krim dan keju mozzarella. Pergi makan bersama orang yang mengerti segala macam jenis makanan adalah sesuatu yang sangat menguntungkan kadang-kadang.
" Vanilla latte saja, " ucapnya saat pelayan menanyakan minuman yang ingin dia pesan. Dan Dex lagi-lagi memesan espresso macchiato tanpa gula.
" Kau suka pahit ya?"
" Kau sendiri suka manis. "
Dia melirik sinis. Pria itu suka sekali mendebatnya. Selalu memiliki jawaban untuk setiap pertanyaan.
" Ngomong-ngomong, setelah ini aku mau mengajakmu ke suatu tempat. Anggap saja aku menjadi tour guide gratis. "
" Boleh, " ujarnya menyanggupi, walaupun sebenarnya kemarin malam dia sudah berjanji dengan Min-Ha untuk mengunjungi beberapa tempat yang termasuk dalam lokasi tur. Hanya saja yang sekarang mengajaknya adalah Dexter, pria yang digilainya setengah mati, tawaran yang tidak mungkin dia tolak begitu saja. Lagi pula ini adalah hari terakhirnya di Siena. Besok pagi dia harus pulang.
Beberapa menit kemudian pesanan mereka datang dan Hae-Kyung sedikit terpana dengan piza yang terhidang di hadapan mereka.
" Oh, aku lupa. Kau terbiasa memakan piza versi Amerika ya? Ini versi Italia asli. Piza Amerika adonannya lebih tebal dan mirip roti, sedangkan piza di sini tipis dan kering. "
Hae-Kyung mengangguk paham, mengambil sepotong, mencoba satu gigitan dan langsung menyukainya. Piza itu terasa renyah dengan saus yang kaya bumbu. Pantas saja menjadi menu favorit di tempat ini.
" Boleh aku tahu bagaimana kau bisa menjalani dua profesi sekaligus dan menjadi sama terkenalnya dalam dua bidang tersebut?"
Hae-Kyung memasukkan potongan piza yang masih tersisa di tangannya ke dalam mulut dan membersihkan remah di telapak tangannya. Dia mengunyah dengan lambat, lalu menyeruput minumannya, seolah dengan sengaja mengulur-ulur waktu.
" Menulis hanya profesi sampingan. Kebetulan saja bukuku diminati banyak orang. "
Dex mencermati wajah gadis itu.
" Kau tidak suka menjadi penulis? Raut mukamu kelihatan tidak nyaman saat membicarakannya. "
Hae-Kyung mengedikkan bahu.
" Menulis adalah impianku. Aku iri dengan novel-novel yang berjejer di rak dan etalase toko buku. Aku ingin suatu saat namaku juga ada di sana. Aku suka berkhayal, kau tahu.
Tentang banyak hal. Dan aku tahu ide-ideku menarik. Jadi saat naskah pertamaku lolos, manajerku mendukungku sepenuhnya. Maksudku& yah, itu akan terlihat baik untuk publisitasku. Sebagai model yang berbakat. Dan profesi modelku juga membantu banyak dalam penjualan bukuku. Menarik minat pembeli. Pada awalnya. Sebelum akhirnya mereka tahu bagaimana kemampuanku dan tidak lagi menganggapku hanya memanfaatkan popularitasku sebagai model terkenal. "
" Kau tampak begitu percaya diri. "
" Aku orang yang tahu sampai mana batas kemampuanku. " Dex mencondongkan tubuh ke atas meja, menatap gadis itu tajam.
" Untuk seseorang yang sedang menceritakan impian yang telah berhasil dicapainya, kau sama sekali tidak terlihat bangga. Ataupun bahagia. "
" Bukan urusanmu, kan?" Pria itu menyeringai.
" Belum, " tandasnya. " Tapi akan ada saat di mana urusanmu akan menjadi urusanku juga. Siapa tahu?"
Ecco La Cucina, Loc. Palazzo a Merse, Siena, Italy 10.56 AM
Hae-Kyung teringat bahwa dia harus memberitahu Min-Ha tentang pembatalan janji mereka sekaligus pamit karena dia harus pulang pagi-pagi sekali dan baru saja selesai
menulis pesan singkat saat mobil Dex berhenti di depan sebuah bangunan yang terbuat dari batu.
" Tempat ini bekas pabrik penggilingan. "
" Apa yang ada di sini?" tanya Hae-Kyung seraya melepaskan seatbelt-nya.
" Kelas memasak. "
Gadis itu menganga dan membelalak panik, buru-buru turun dari mobil untuk menyusul Dex.
" Aku tidak bisa memasak, " serunya dengan napas tertahan. Dex tertawa dan dengan santai mengulurkan tangan lalu mengacak-acak rambut gadis itu.
" Aku tidak bilang ingin menyuruhmu ikut memasak, " ujarnya geli. " Aku hanya memastikan kita menyantap makanan enak siang ini. "
Dia meraih tangan gadis itu, menariknya masuk dan menuntunnya melewati ruang depan yang hanya berisi tiga orang. Mereka terus melangkah masuk dan sampai di sebuah ruangan di mana beberapa orang wanita sibuk membuat adonan pasta, selagi yang lain sibuk menyiapkan sayuran, buah, dan berbagai jenis bahan makanan. Seorang wanita paruh baya menoleh dan langsung berseru riang sambil berlari menghampiri mereka.
" DEX! It has been two months since the last time you came here!"
" Hi, Gina!" Dex tersenyum, merangkul wanita itu singkat tanpa melepaskan genggamannya di tangan Hae-Kyung.
Ini genggaman tangan pertama mereka dan gadis itu sepenuhnya berkeringat dingin. Dia tidak menyangka bahwa dia bisa segugup ini saat berhadapan dengan seorang pria.
" Eleanor, " sapa pria itu kepada wanita berambut ikal pendek yang kemudian juga menghampiri mereka. " Oh, and this is Hae-Kyung. She is from Korea."
" Your girl?" goda Gina, tersenyum lebar sambil mengedipkan mata.
Dex memilih mengabaikannya, sedikit membuat Hae- Kyung bertanya-tanya bagaimana hubungan mereka menurut pendapat pria itu. Teman bukan. Kekasih jelas tidak. Hanya dua orang yang dua kali bertemu tanpa sengaja.
" This is Gina, our host. And Eleanor, one of the instructors here."
" Hi, Hae-Kyung!" Gina mengulurkan tangan yang disambutnya sambil menganggukkan kepala. Cara wanita itu menyebutkan namanya sedikit aneh dan membuatnya tampak kesulitan.
" Just call me Abbie."
" Oh, okay, that s great. Abbie. Nice to meet you," ujar Eleanor senang, menyentuhkan pipinya ke pipi Hae-Kyung sebagai sambutan.
" Abbie?" bisik Dex bingung.
" Nama baptis 4 -ku. Gabrielle. Abbie. Itu juga nama panggungku sebagai model, terutama untuk peragaan dan pemotretan bertaraf internasional. "
" Kau tidak memberitahuku saat memperkenalkan diri. " " Aku hanya menyebutkannya kalau aku berkenalan dengan orang yang terlihat kesulitan menyebutkan nama Korea-ku. "
Dex mengangguk, mengalihkan pandangannya lagi kepada dua wanita di depan mereka.
" Can we look around?"
" Sure. Or maybe you want to cook?" " Later. I want to show her your place." " Okay then. Have fun."
Gina dan Eleanor kembali pada para peserta tur kelas memasak, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan dan sesekali memberi instruksi dan masukan terhadap hal yang sedang mereka kerjakan, sedangkan Dex membawanya berkeliling untuk melihat-lihat.
Dia terpana menyaksikan seorang peserta yang sedang membuat adonan dari tepung, menggosongkan bagian tengahnya, lalu mencemplungkan beberapa butir telur ke dalamnya. Ada banyak mangkuk, panci, penggorengan, alat pembuat pasta, juga setumpuk sayuran, buah-buahan, botolbotol berisi wine, dan serbuk tepung yang beterbangan saat
4 Orang Korea biasanya memiliki nama baptis, yang biasanya berupa western name nama barat. Terdiri dari dua kata. Kata pertama berupa nama barat dan kata kedua menunjukkan marga mereka.
pustaka-indo.blogspot.com
beberapa peserta membuat adonan. Dia sangat menyukai aroma saus spageti yang menguar dalam ruangan itu, juga suara keras saat adonan menghantam meja ketika seseorang sedang membentuk piza.
Dia selalu menyukai aktivitas di dapur, sebagai penonton. Terkagum-kagum melihat kemampuan seseorang saat memasak dan tidak sabar untuk mencicipi rasa saat perutnya berontak minta segera diisi.
" Itu daging apa?" tanyanya, menunjuk potonganpotongan daging yang baru saja selesai digoreng. Terlalu kecil untuk menyebutnya ayam dan tampilannya juga berbeda. " Kelinci. Sudah pernah coba?"
Dia menggeleng, memperhatikan salah seorang peserta meletakkan irisan jeruk dan buah zaitun ke atas tumpukan daging itu.
" Kau harus mencobanya. Itu salah satu menu utama yang sangat populer di sini, " beritahu Dex. " By the way, Gina, do you have any desserts?"
" Not yet. We plan to make crostata and tiramisu. You want to make something?"
" Yeah, may I?"
" Of course. We ll just make almond crostata then." " Good." Dia menoleh pada Hae-Kyung dan memberi tanda agar gadis itu mengikutinya ke meja di sudut. Pria itu menyuruhnya menunggu dan menghilang selama beberapa saat sebelum akhirnya kembali sambil membawa bahanbahan yang dia butuhkan.
pustaka-indo.blogspot.com
" Kau mau buat apa?"
" Upside-down cinnamon-apple cofee cake." " Sounds yummy."
" I bet it is."
" Kau juga sangat percaya diri. " " Aku selalu tahu batas kemampuanku. "
Hae-Kyung mencibir karena pria itu dengan sengaja meminjam kata-katanya.
" Kau bisa membantuku mengupas apel-apel ini dan memotongnya kecil-kecil dalam bentuk dadu. Kau tahu caranya, kan?"
Pria itu tidak terdengar meremehkan, hanya ingin memastikan apakah Hae-Kyung bisa melakukannya atau dia harus turun tangan sendiri, jadi gadis itu hanya mengangguk, tidak bisa melontarkan pernyataan marah.
Dia meraih apel dari dalam mangkuk lalu mulai mengupas, sedangkan pria itu mengeluarkan cinnamon rolls with icing yang sudah didinginkan dari dalam kaleng, membaginya menjadi delapan, lalu memotong masing-masingnya menjadi empat bagian, meletakkannya pada sebuah mangkuk besar. Setelah tahap pertama selesai, dia mengambil mangkuk yang lebih kecil dan memasukkan mentega, gula merah dan corn syrup ke dalamnya, lalu mengaduknya sampai menyatu. Pria itu melakukan semuanya dalam waktu singkat dan meraih apel lalu mengupasnya, membantu pekerjaan Hae-Kyung.
" Kau bercita-cita menjadi seorang koki?" tanyanya, memecah keheningan.
pustaka-indo.blogspot.com
" Aku hanya suka memasak. Tapi aku memang ingin memiliki restoran sendiri dengan menu dari berbagai belahan dunia. "
" Kenapa hanya memiliki restoran? Kau kan pintar masak. " " Kemampuan yang cukup untuk mengelola restoran dan memahami keinginan pembeli. Tapi hanya sebatas itu. Ada pekerjaan lain yang harus kulakukan. "
" Apa?" sambar Hae-Kyung cepat. " Kau benar-benar ingin tahu ya?"
" Hanya penasaran, " elaknya. " Kau pasti orang kaya, kan?" " Tahu dari mana?" kekehnya.
" Apartemenmu memang sederhana, tapi mobilmu Lamborghini. Jelas kau bukan orang biasa. "
" Apa kau seorang pengamat?"
" Tidak perlu menjadi pengamat untuk menyimpulkan. Aku benar, kan?"
" Aku biasa saja. Orang tuaku yang kaya. " " Jawaban klise. "
" Yang klise itu kadang adalah fakta. "
" Kau benar-benar tidak mau kalah ya kalau sedang berdebat, " dengus Hae-Kyung, menyerahkan satu mangkuk berisi apel yang telah selesai dipotongnya pada pria tersebut, yang juga telah menyelesaikan setengah mangkuk lainnya dengan ukuran yang sangat akurat, sehingga Hae-Kyung hanya bisa menatap miris pada potongan-potongan apelnya yang memiliki ukuran beraneka ragam: besar-sedang-kecil.
pustaka-indo.blogspot.com
Pria itu menuangkan satu mangkuk penuh hasil karya Hae- Kyung ke dalam loyang, memasukkan setengah mangkuk sisanya ke dalam mangkuk besar berisi cinnamon rolls dan menambahkan pecan semacam kemiri disusul adonan dalam mangkuk kecil yang terdiri dari mentega, gula merah dan corn syrup tadi, setelah itu menuangkannya secara merata ke dalam loyang.
" Bisa tolong hidupkan oven? 350 0 F. Dan masukkan ini. " Hae-Kyung mengangguk, mengambil loyang berisi adonan tersebut dan mengerjakan apa yang disuruh.
" Biarkan saja selama setengah jam, " beritahu pria itu, membersihkan tangannya di wastafel, lalu mengeringkannya dengan kain lap. " Kau mau mencoba membuat pasta? Spageti mungkin?"
" Kau bilang kau tidak akan menyuruhku memasak!" rengut Hae-Kyung, dengan raut wajah ngeri.
" Oke, baiklah. Tidak perlu histeris begitu, " ujar Dex menenangkan, walaupun dengan senyum geli di sudut bibirnya. " Sebentar lagi makan siang. Kita tunggu di luar saja. "
Mereka makan siang di bawah pergola 5 , bersama para peserta kelas memasak lainnya, menikmati makanan berlimpah yang telah mereka masak. Ada rabbit with olives and oranges yang
5 Semacam patio, tempat duduk-duduk santai atau untuk makan bersama sekeluarga di pekarangan rumah. Terbuat dari empat tiang kayu yang menopang atap yang juga terbuat dari papan-papan kayu yang disusun melintang. Di dalamnya disusun meja dan kursi-kursi seperti di ruang makan.
pustaka-indo.blogspot.com
tadi Hae-Kyung lihat, ravioli with ricotta and asparagus yang langsung ditolaknya mentah-mentah karena dia sangat benci asparagus, rolladen daging sapi gulung khas Jerman, spageti, piza, crostata sejenis pie, dan panna cotta sebagai dessert. Makanan-makanan itu tampak begitu banyak dan memenuhi meja, tapi lenyap dengan cepat karena semua orang menikmatinya. Terutama cake buatan Dex yang digilai semua orang, termasuk Gina yang tidak segan untuk memaksa Dex memberitahunya resep rahasia membuat cake tersebut menjadi begitu enak.
Gina juga memaparkan beberapa fakta tentang makananmakanan yang terhidang, dan Hae-Kyung baru tahu kalau piza sebenarnya berasal dari Mesir, karena bangsa itulah yang pertama kali rutin mengonsumsi roti, walaupun piza mereka hanya berupa adonan dasar tanpa topping. Setelah penjelasan itu dia mulai berkonsentrasi mendengarkan ceritacerita Gina yang memesona. Dex bahkan sampai mengejek ketertarikannya yang tiba-tiba terhadap sejarah yang tidak dia suka.
" Setidaknya aku harus tahu hal-hal dasar tentang sesuatu yang aku makan, " jawabnya sekenanya.
" Bukannya yang penting hanya apakah makanan itu enak atau tidak untuk kau makan?"
Hae-Kyung mendelik. Kalau dia harus mencari satu saja kekurangan pria di sampingnya ini, maka itu adalah sifat tidak mau kalahnya yang benar-benar menyebalkan.
" Ngomong-ngomong, apa kau suka seafood?"
pustaka-indo.blogspot.com
Ah, dia lupa. Pria itu juga suka sekali mengganti topik pembicaraan seenaknya.
" Suka sekaligus tidak, " ucapnya sambil menyuap potongan cake ketiganya. Bagaimana pria ini bisa begitu pintar memasak? Apa ketampanan dan keseksiannya sama sekali tidak cukup sampai dia harus menguasai keterampilan dapur juga untuk memikat wanita?
" Apa maksudnya?"
" Aku tidak menyukai cara makannya yang merepotkan. Kalau ingin makan udang, aku harus mengupas kulitnya dulu. Belum lagi kalau aku harus makan kepiting. Mengorekngorek daging dari dalam cangkangnya benar-benar membuat frustrasi. Aku keburu mati kelaparan sebelum bisa memakannya. "
" Daebak! 6 " seru pria itu terkagum-kagum. " Caramu berpikir benar-benar aneh. "
" Kalau pada akhirnya kau tidak menyukai jawabanku, seharusnya kau tidak usah bertanya saja!" sergah Hae-Kyung sebal. " Dan kenapa kau jadi mewawancaraiku begitu? Apa yang aku suka, apa yang tidak. Memangnya apa urusannya denganmu? Besok juga aku pulang ke Korea dan kita tidak bertemu lagi. "
Once Karya Yuli Pritania dan Senselly di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tubuh pria itu tiba-tiba menegang dan tatapannya menyorot tajam, seolah sedang marah.
" Kau tidak bilang bahwa kau besok akan pulang. " " Apa pentingnya?"
6 Luar biasa. Semacam ekspresi kekaguman.
pustaka-indo.blogspot.com
" Bagimu mungkin tidak, tapi bagiku iya. "
Setelah itu mereka tidak lagi bicara banyak. Pria itu seakan mengacuhkannya begitu saja walaupun mereka menghabiskan sepanjang sore bersama, melihat matahari terbenam dari puncak menara Fortezza di Radicofani dan berlanjut dengan makan malam di Antica Osteria da Divo, restoran kedua terbaik di Siena.
Aia Mattonata Relais, Siena, Italy 09.22 PM
Mobil Dex berhenti di pelataran depan penginapan dan Hae- Kyung mulai bertanya-tanya apakah mereka akan berpisah dengan cara seperti ini. Dia baru akan melepaskan seatbeltnya, saat suara pria itu menghentikannya.
" Besok aku akan mengantarmu ke bandara. "
Hae-Kyung menoleh, terkejut karena akhirnya pria itu mengajaknya bicara duluan. Dari tadi hanya dia saja yang sibuk mengoceh dan hanya ditanggapi dengan gumaman tidak bersahabat dari pria tersebut, meskipun dia benar-benar tidak habis pikir kenapa pria itu harus marah karena hal kecil semacam itu. Pada akhirnya dia memang harus pulang juga, kan?
" Kenapa? Kau keberatan?" lanjutnya karena gadis itu tidak kunjung menjawab. Nada yang dia gunakan sedikit sengit dan mengintimidasi, sehingga gadis itu tidak punya pilihan
pustaka-indo.blogspot.com
lain selain menggelengkan kepala, untuk pertama kalinya merasakan aura dominan dari pria itu.
" Pesawatmu pukul berapa?" " Sembilan. "
" Aku akan sampai di sini sekitar pukul enam. " Kali ini Hae-Kyung mengangguk.
" Masuk sana. Istirahat yang cukup. "
Gadis itu melepas seatbelt-nya, membuka pintu mobil, dan turun. Dia baru saja menutup pintu saat Dex memanggilnya lagi.
" Kyung?"
Dia memejamkan mata, menyadari betapa namanya terasa intim saat dilafalkan oleh mulut pria itu, menikmati momen itu untuk sesaat sebelum akhirnya berbalik.
Pria itu tersenyum tipis. " Selamat malam. "
" Hae-Kyung-ssi. "
Hae-Kyung berjengit, tersentak dari lamunan tololnya yang membuatnya tersenyum-senyum seperti orang gila, dan dengan releks melangkah mundur karena kaget dengan kemunculan seseorang yang begitu tiba-tiba di hadapannya.
" Oh, Min-Ha-ssi!" serunya sambil mengusap dada. " Kau mengagetkanku! Sedang apa di sini?"
" Mengantar peserta tur kami yang baru datang. Kau dari mana? Habis jalan-jalan ya?"
pustaka-indo.blogspot.com
" Begitulah. "
" Kau benar-benar tidak menggunakan jasaku sama sekali selama di sini. Bahkan besok kau sudah pulang. Kau mau biaya tur yang sudah kau bayarkan dikembalikan?"
Hae-Kyung menggeleng cepat-cepat.
" Biar saja. Lagi pula ini atas kemauanku sendiri. Kau juga sudah menjemputku di bandara waktu itu. "
" Bagaimana kalau besok aku yang mengantarmu ke bandara?"
" Tidak usah. Sudah ada seseorang yang menawarkan diri untuk mengantarku besok. "
" Ah, kau bertemu seseorang di sini? Teman lama? Atau kenalan baru?"
" Kenalan baru, " ucap Hae-Kyung, tidak bisa mengendalikan rona merah di wajahnya.
" Seorang pria ya?"
" Min-Ha-ssi, kalau kau bertanya-tanya lebih jauh lagi, kau benar-benar akan membuatku malu. "
Min-Ha tertawa keras.
" Walaupun wajah kalian tidak mirip, tapi kau tidak jauh beda dengan kakakmu. Aku juga ingat, satu bulan yang lalu, sama sepertimu, dia juga bertemu seorang pria. Lalu jatuh cinta. Mereka berjanji untuk bertemu lagi, tapi ternyata kakakmu& . "
Hae-Kyung mengangguk muram. " Apa kau pernah bertemu pria itu lagi?"
pustaka-indo.blogspot.com
Min-Ha menggeleng. " Aku beberapa kali mengajak peserta tur makan di restoran tempatnya bekerja, tapi dia tidak pernah kelihatan. "
" Yah, aku juga sudah ke sana. Pelayan bilang dia hanya koki sementara karena koki mereka sedang mengambil cuti untuk menikah dan bulan madu. "
" Ya sudah. Jika aku kebetulan bertemu dengannya lagi, aku akan menyampaikan berita tentang kakakmu. Sekarang sepertinya kau sudah harus istirahat atau bersiap-siap untuk kepulanganmu besok. Kapan-kapan berliburlah lagi ke sini. Kau tidak kapok, kan?"
Hae-Kyung tertawa kecil. " Tentu saja tidak. Tempat ini indah sekali. Mungkin kalau aku mendapatkan jatah libur lagi aku akan kembali ke sini. Terima kasih kalau begitu. Senang bisa berkenalan denganmu, Min-Ha-ssi. "
" Mmm. Sampai jumpa lain kali. "
Mereka bersalaman dan Hae-Kyung memperhatikan pria itu berjalan ke luar dari hotel, mendadak benar-benar sadar bahwa besok dia sudah harus pulang. Tidak ada lagi Siena. Tidak ada lagi Dex. Dia akan kembali ke kehidupan nyatanya segera. Melupakan semua dongeng indahnya tentang putri dan pangeran.
Tiba-tiba saja dia tidak ingin kembali ke Korea.
pustaka-indo.blogspot.com
Chapter 4: The Kiss
" And when her lips met mine, I knew that I could live to be a hundred and visit every country in the world, but nothing would ever compare to that single moment when I irst kissed the girl of my dreams and knew that my love would last forever." Nicholas Sparks, Dear John
Amerigo Vespucci Airport, Florence, Italy 08.02 AM
epanjang perjalanan dari Siena ke Florence, dengan jahatnya dia berharap akan ada kecelakaan di jalan yang menghambat mereka untuk sampai tepat waktu, atau setidaknya kemacetan mengerikan. Tapi tidak ada yang terjadi sesuai harapannya. Semuanya berjalan lancar, bahkan membeli sarapan pagi di sebuah gerai fast food pun tidak membuat mereka terlambat, walaupun kentang goreng dan hamburger super besar pesanannya terasa seperti karet di lidahnya yang mati rasa. Dan sepertinya dia saja yang merasa begitu karena Dex tampak lahap-lahap saja menghabiskan makan paginya.
pustaka-indo.blogspot.com
Mereka lagi-lagi tidak berbicara satu sama lain kecuali saat Dex menawarkannya membeli sarapan terlebih dahulu dan menanyakan menu yang dia inginkan. Tapi kali ini alasannya berbeda. Suasana di mobil bertegangan tinggi, seolah siapa pun yang membuka mulut akan menyebabkan ledakan yang tak terhindarkan. Dia mungkin tidak tahu bagaimana perasaan Dex padanya, mereka bahkan tidak pernah berbincang tentang sesuatu di antara mereka, tapi pasti sedikitnya pria itu menunjukkan tanda-tanda jelas. Setidaknya dengan respons pria itu tentang kepulangannya hari ini.
Dex menurunkan koper dari kursi belakang, menunggu Hae-Kyung turun lalu dengan tidak disangka-sangka mengulurkan tangan kirinya yang bebas, menawarkan genggaman. Kali ini terang-terangan, tidak seperti saat pria itu menggandengnya di Ecco La Cucina kemarin, sehingga dia butuh beberapa saat untuk memandangi tangan itu dengan tampang konyol, sebelum menyelipkan empat jarinya di celah antara telunjuk dan ibu jari pria itu. Dia bahkan belum sepenuhnya sadar saat pria itu dengan santainya mengubah posisi jemari mereka menjadi saling mengait satu sama lain, satu jari untuk satu celah.
" Supaya kau tidak mudah terlepas, " ujar pria itu dengan nada enteng seolah itu bukan sesuatu yang spesial.
Mereka berjalan dalam diam dan Hae-Kyung berkali-kali menghela napas pelan, berharap itu bisa meredakan detak jantungnya yang menggila, memukul-mukul rongga dadanya dengan intensitas yang membuat nyeri. Gadis itu bahkan mencengkeram bagian bawah kardigan yang dikenakannya
pustaka-indo.blogspot.com
sebagai lapisan luar di atas gaun merah dengan corak bungabunga sepanjang lutut.
" Ah, aku lupa mengembalikan baju adikmu, " serunya, tibatiba teringat. Cara kerja otaknya di bawah tekanan memang cukup aneh, tapi memaksimalkan kerja memorinya yang sering mengingat hal-hal tidak berguna tapi membuatnya lupa hal-hal yang seharusnya penting.
" Kau bisa mengembalikannya kalau kita bertemu lagi. " Bertemu lagi. Pria itu mengucapkannya dengan nada tidak ingin dibantah, sepenuhnya yakin bahwa besar kemungkinan mereka akan bertemu kembali.
Mereka berhenti di depan pintu keberangkatan, tanda bahwa mereka harus segera berpisah. Pria itu hanya bisa mengantar sampai sejauh itu, tapi dia merasa sama sekali tidak siap. Belum-belum dia sudah menunjukkan tanda-tanda ingin menumpahkan air mata, padahal dia sudah berjanji pada diri sendiri bahwa dia akan menangis sepuasnya sesampainya di dalam pesawat. Tidak di depan pria itu.
Pria tersebut menyerahkan kopernya, tapi belum melepaskan genggaman mereka, hanya berdiri di depannya dengan kepala tertunduk agar bisa menatap wajahnya dengan jelas. Tanpa high heels yang biasa dia kenakan, pria itu tampak menjulang di hadapannya. Padahal dia sendiri sudah sangat tinggi untuk ukuran wanita.
Dia mendongak, membiarkan matanya menjelajah bebas tanpa malu-malu, menyusuri rambut berantakan pria itu, mata abu-abunya yang menenggelamkan, hidungnya yang
pustaka-indo.blogspot.com
membentuk garis lurus, bibirnya yang berlekuk sempurna, bahkan bakal jenggot kasar yang menghiasi rahangnya. Hari ini pria itu mengenakan kemeja abu-abu gelap yang lengannya digulung sampai siku, tampak rapi, sekaligus kasual, membuatnya penasaran bagaimana penampilan pria tersebut dalam balutan jas resmi.
Dex mengangkat tangannya, menyadari bahwa jemarinya terlihat bergetar walaupun samar, dan semakin gemetar saat ujung jari telunjuknya menyentuh pipi gadis itu, menyingkirkan helai rambut yang terlepas dari ikatan ekor kudanya, lalu menyelipkannya ke belakang telinga. Sama seperti yang dia lakukan pagi kemarin, hanya saja dengan suasana dan keintiman yang berbeda.
Dia mengamati setiap inci kecantikan yang terpampang di hadapannya. Gadis itu manis, terutama dengan lesung pipi dan eye smile yang muncul setiap kali dia tersenyum. Atau pipinya yang merona dengan semburat merah muda saat terkena sentuhannya. Juga bibir mungil yang hari ini diberi sentuhan warna peach tipis.
Dia memandang lurus ke mata gadis itu yang sewarna kopi, hangat dan menghanyutkan, seperti candu dalam kafein harian yang dinikmatinya setiap pagi.
Dia mendekat, kali ini memerangkap wajah gadis itu dengan kedua telapak tangan, menatapnya intens, sebelum akhirnya menurunkan wajah. Berbisik serak.
" What will you do if I kiss you right now?"
pustaka-indo.blogspot.com
Gadis itu untuk sesaat terperangah, mengerjap kaget, dengan tatapan mata yang kemudian turun ke bibir pria itu dan tidak bisa memikirkan apa-apa selain fakta bahwa: she wants to taste it. Desperately.
" I ll kiss you back."
Pria itu tersenyum miring, persis seperti setan yang baru saja berhasil menggoda manusia yang diincarnya.
" In what way?" gumam pria itu pelan. Embusan napasnya terasa menggelitik. " Sweet, soft and slow like a irst kiss? Or passionately and rude until I make you breathless?"
" Just do it on your own style," sahutnya, mulai merasa tidak sabar.
" Bad then. I ve never kissed any woman before." Dan pria itu menciumnya. Mulanya ragu-ragu, berhati-hati. Bibir pria itu terasa lembut, seringan usapan bulu. Walaupun kemudian, tiba-tiba saja, seperti ada seseorang yang melemparkan bensin dan menyulut api di antara mereka, dan semuanya berubah. Bibir pria itu menekan bibirnya lebih kuat, lidahnya menjelajah, dan dia melupakan segalanya. Sampai akhirnya suara pengumuman terdengar dan menyadarkan mereka. Pria itu benar-benar membuatnya kehabisan napas.
" Lain kali& jika kita bertemu lagi, " bisik pria itu di dekat telinganya, merangkulnya erat dan mencengkeram bagian belakang kepalanya seolah tidak ingin melepaskan. " Ingatkan aku untuk tidak melepasmu pergi seperti ini. "
pustaka-indo.blogspot.com
Gadis itu terhenyak di kursinya, terengah-engah seolah habis lari maraton ratusan meter. Dia bahkan lupa untuk bersiap-siap menangis seperti rencananya semalam. Dia hanya duduk dengan pandangan yang tertuju pada punggung kursi di depannya, tidak bisa menyingkirkan seringaian puas yang melebar di bibirnya, menyadari bahwa udara di sekitarnya masih terasa panas sehingga dia berkeringat, dan itu tidak ada hubungannya dengan pendingin udara ataupun cuaca di luar. Saat ini dia memiliki suhu pribadi yang sepenuhnya dia nikmati.
Dia merogoh tas, mencari tisu yang selalu dia bawa ke mana-mana. Alih-alih menemukannya, tangannya malah menyentuh sebuah buku yang dua hari terakhir terlupakan begitu saja. Dia mengutuki kepikunannya dan menarik buku itu ke luar, membuka halaman terakhir yang dia baca setelah mendapatkan tisu dan menyeka butir keringat di keningnya yang hari ini tidak tertutup poni.
Hari kedua di Siena, sekaligus hari terakhir. Dan empat jam penuh bersama Joon.
Baiklah, aku tidak tahu bagaimana pendapatnya tentangku. Ini baru pertemuan ketiga kami dan di dua pertemuan pertama kami bahkan tidak bicara banyak. Aku saja yang kalap menggilainya. Yah, memangnya aku bisa apa? Ini kan juga bukan mauku.
Hari ini aku bertekad untuk memonopolinya, mencari tahu tentang dirinya sebanyak mungkin. Tapi Joon sepertinya
pustaka-indo.blogspot.com
adalah pribadi yang tertutup. Aku hanya berhasil mengorek tentang orang tua dan adiknya yang menetap di Korea, menjalankan bisnis keluarga, walaupun kami kemudian bicara panjang lebar tentang berbagai topik umum, terutama makanan. Dia tahu semua restoran bagus di Siena dan memberiku beberapa rahasia kecil dalam memasak. Berbeda dengan Hae-Kyung, adikku, walaupun dia sering mengejek bahwa aku ini tomboi, aku adalah koki keluarga. Hae- Kyung yang tinggal sendiri di apartemen bahkan sering pulang ke rumah hanya untuk menikmati masakanku dia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang urusan dapur. Jadi dengan kemampuan satu ini, aku berhasil dekat dengan Joon dan memahami semua penjelasannya tentang dunia kuliner yang sama-sama kami sukai. Setidaknya ada satu hal yang mirip antara kami. Itu sudah membuatku merasa sangat puas.
Dan seharian, aku menghabiskan waktu untuk memandangi wajahnya, terutama matanya, walaupun itu membuat leherku sakit karena terus-menerus mendongak. Dengan tinggi yang hanya 161 senti, rasanya benar-benar menyiksa saat harus menatapnya yang sepertinya sangat jangkung. 187 atau lebih.
Matanya berwarna abu-abu. Indah sekali.
Napas Hae-Kyung tercekat di kerongkongan. Tampan, pintar memasak, jangkung. Dengan mata berwarna abu-abu. Sebaiknya ini tidak seperti yang dia pikirkan.
pustaka-indo.blogspot.com
Chapter 5: Back to Normal
" I am glad it cannot happen twice, the fever of irst love. For it is a fever, and a burden, too, whatever the poets may say." Daphne du Maurier, Rebecca
Three weeks later& MangoSix Cafe, Seoul 12.11 PM
Tiga bulan tidak bertemu, aku bahkan dengar dari ibumu bahwa kau sempat liburan ke Italia, tidak ada kabar, sulit dihubungi, dan sekarang kau minta bertemu denganku. Kenapa? Deadline lagi?"
" Aish, Oppa, 7 duduk dulu!" seru Hae-Kyung, menepuknepuk meja di depannya, mengedip ke arah pria yang memasang tampang masam menyebalkannya itu. " Aku bahkan sudah memesankan mocca latte kesukaanmu. Dan, ah, aku juga menyiapkan hadiah pernikahan untukmu dan Sae-Ryung. "
7 Kakak. Panggilan dari perempuan kepada laki-laki yang lebih tua.
pustaka-indo.blogspot.com
Gadis itu mengambil bungkusan yang dia letakkan di kursi di sampingnya lalu menyerahkannya pada pria bernama Kyung-Hwan itu.
" Kau nyaris terlambat dua bulan, " desis pria itu, walaupun tetap mengambil hadiah tersebut.
" Masih kurang satu minggu lagi, " candanya.
" Aku benar-benar ingin menghubungimu, kau tahu? Aku bahkan tidak bisa datang ke pemakaman. "
" Tidak mungkin kan kau meninggalkan acara pernikahan yang sudah kau siapkan berbulan-bulan hanya untuk datang ke pemakaman kakakku?"
" Tapi tetap saja. Kau bahkan tidak pernah mengangkat telepon-teleponku. Aku datang ke rumah ibumu, tapi ibumu bilang kau di apartemen, sedangkan setiap kali aku ke sana tidak ada yang membukakan pintu. Sejak kapan kita jadi sejauh ini?"
" Maaf, " gumamnya, mengetuk-ngetukkan ujung jemarinya ke permukaan meja. " Saat itu aku belum siap menerima ucapan belasungkawa dari siapa pun. Fakta bahwa Eun-Seo Eonni sudah tidak ada& butuh tiga minggu sampai aku bisa menerima semua itu sepenuhnya. "
" Aku mengerti, " ujar Kyung-Hwan, mengusap lembut punggung tangan gadis itu. " Maaf. Aku menyebalkan ya?" Hae-Kyung tertawa kecil dan menggeleng.
" Aku sudah tidak apa-apa sekarang. Masih sedih, tapi tidak apa-apa. "
pustaka-indo.blogspot.com
" Jadi? Kapan kau ke Italia? Sekadar liburan atau memang ada pekerjaan di sana? Kenapa setelah pulang kau tidak segera menghubungiku?"
" Liburan. Hanya tiga hari. Dan setelah itu aku harus kembali ke rutinitas kerjaku yang menggila. Ada pemotretan di Jepang dan Guam, juga fashion show tahunan di Paris. Aku benar-benar sibuk, bahkan tidak ada waktu untuk tidur. Jadi aku bukannya sengaja tidak menghubungimu. Ini bahkan hari istirahat pertamaku setelah tiga minggu dan aku langsung mengajakmu bertemu, kan? Jadi Oppa tidak usah merajuk begitu. "
" Siapa yang merajuk, huh?"
" Jadi yang tadi itu namanya apa, hmm?"
" Aku hanya kesal karena kau bahkan belum pernah bertemu istriku sama sekali. Sahabat macam apa kau, Shin Hae-Kyung?"
" Ah, itu. " Hae-Kyung mengernyit, merasa bersalah. " Bagaimana kalau kita makan malam bersama saja? Oppa bisa atur waktunya dan aku akan mengosongkan jadwal. "
" Akhir minggu ini bagaimana? Aku memang berencana mengajak Sae-Ryung makan di luar. "
" Aku boleh ajak Jang-Woo tidak?"
" Jang-Woo? Adikmu? Dia pulang ke Korea?"
" Mmm. Beberapa hari yang lalu dia menelepon. Dia sudah menyelesaikan semua pekerjaannya. Oppa kan tahu dia tidak pulang saat pemakaman. Sepertinya dia merasa sangat bersalah. "
pustaka-indo.blogspot.com
" Tentu saja, bodoh. Yang meninggal kan kakaknya. " " Tapi kami juga mengerti kenapa dia tidak bisa pulang. Eun-Seo Eonni juga pasti tidak akan senang kalau adiknya menghancurkan impian yang sudah susah payah dia raih hanya untuk datang ke pemakaman. Kasusnya sama sepertimu yang tidak bisa datang karena hari itu adalah hari pernikahanmu. "
" Tapi Eun-Seo hanya mantan kekasihku, bukan kakak kandungku. Kasusnya berbeda. "
" Ah, Oppa, ngomong-ngomong mantan kekasih, aku jadi ingat sesuatu!" seru Hae-Kyung penuh semangat, mengubah topik pembicaraan seenaknya. " Kau tahu tidak bahwa kau bukan cinta pertama Eonni?"
Kyung-Hwan memasang tampang masamnya lagi. " Aku tahu. "
Semangat menggebu-gebu untuk bercerita Hae-Kyung langsung meredup dan hilang begitu saja, digantikan wajah merengut yang biasa dia perlihatkan kalau sedang kesal. " Dia juga bukan cinta pertamaku, " lanjut Kyung-Hwan lagi. " Benarkah?" Gadis itu kembali terlihat gembira hanya karena merasa menemukan hal baru yang selama ini tidak diketahuinya.
" Kenapa kau kelihatan senang begitu?" Dia menggelengkan kepala sambil meringis malu. " Jadi? Siapa cinta pertamamu?" tanyanya, berusaha mengalihkan pembicaraan.
" Sae-Ryung. "
pustaka-indo.blogspot.com
" Lalu untuk apa kalian berpacaran? Kau dan Eonni? Kalian bahkan tidak saling mencintai. "
" Waktu itu kan kami masih remaja. Hanya ingin mencobacoba bagaimana rasanya. Memangnya kau, yang tidak pernah berpacaran satu kali pun dalam 25 tahun kehidupanmu?"
" Apa kau perlu membahas ini?" tanyanya sambil menggertakkan gigi.
Kyung-Hwan tersenyum puas, mengedikkan bahu santai. " Dari mana kau tahu tentang hal ini?"
" Buku harian Eonni selama di Siena. "
" Jadi ke sana kau pergi? Siena? Kenapa? Ingin melihat tempat terakhir yang dikunjungi kakakmu?"
Hae-Kyung menopangkan sikunya ke atas meja lalu menyandarkan sisi wajah ke telapak tangan.
" Dia menyuruhku. "
" Eonni yang menyuruhku ke sana, " ulangnya. " Dia memang berencana kembali ke sana, bahkan sudah membeli tiket. Dan kau tahu kenapa? Karena dia jatuh cinta. "
" Jadi kau ke sana untuk mencari pria itu?"
Hae-Kyung mencebikkan bibir bawahnya. " Tidak. Awalnya hanya karena aku tidak mau tiket itu terbuang sia-sia. Dan buku harian Eonni baru aku baca setelah aku sampai di sana. Eonni bilang pria itu bekerja di restoran dan aku mendatangi restoran itu, tapi ternyata dia hanya koki pengganti sementara. " " Lalu?"
" Lalu apa?"
pustaka-indo.blogspot.com
" Sepertinya ada yang lain. Kau sadar tidak kalau wajahmu merah?"
Gadis itu mengerjap. Tertangkap basah. Dia memang baru saja memikirkan pria yang selama tiga minggu terakhir tidak berhasil dia lupakan, teringat terus seperti karat yang tidak bisa hilang. Tapi dia juga tidak menyangka bahwa semua itu akan terjiplak jelas di wajahnya. Membuat malu saja. " Kau juga bertemu pria ya di sana? Akhirnya. " " Tidak usah skeptis begitu. Apa kemungkinan bahwa aku bisa jatuh cinta benar-benar tipis?"
" Memang, kan? Dengan tampang sepertimu, juga profesi yang kau miliki, seharusnya mendapatkan pendamping bukan hal yang susah. Tapi kau sepertinya mematok kriteria yang terlalu tinggi. Dan pria yang kau temui ini& dia pasti luar biasa sekali karena bisa membuatmu sumringah begitu. Orang Italia asli?"
Wajah Hae-Kyung semakin memerah sebelum akhirnya dia menggeleng.
" Ayahnya keturunan Inggris-Italia. Ibunya Korea-Amerika. " " Aku sudah tahu bahwa pria itu tidak mungkin biasa-biasa saja. "
" Kau sedang mengejekku ya?"
" Tidak. Aku senang akhirnya kau menjadi gadis normal. Kau itu seorang model, astaga! Kau tidak lihat model-model lain? Berpacaran seperti bertukar pakaian dalam, dengan pria-pria kaya yang bisa mereka poroti sesukanya. " " Kau mau aku seperti mereka?"
pustaka-indo.blogspot.com
" Tidak. Karena itu aku masih bersahabat denganmu sampai sekarang. "
Hae-Kyung mengulurkan tangan, mencolek dagu pria itu dengan telunjuknya sambil mengedip genit.
" Kau manis sekali!"
" Menjijikkan, Shin Hae-Kyung. "
" Dasar tidak punya selera humor!" gerutunya sambil menyesap vanilla latte-nya yang dari tadi dia abaikan. " Ceritakan padaku. "
" Tidak mau. "
" Ayolah. "
Tidak butuh desakan ataupun rayuan sebenarnya, karena setelah itu dia malah menghabiskan waktu setengah jam untuk menceritakan secara detail semua hal yang dia lakukan bersama Dex, juga pendeskripsian luar biasa rinci tentang isik pria tersebut, membuatnya terdengar tidak tahu malu.
" Kalian seperti& ditakdirkan, " komentar Kyung-Hwan, tidak bisa menemukan istilah yang lebih tepat lagi dari itu.
" Aku tidak akan protes kalau ternyata dia memang takdirku. "
" Kau tidak perlu semenggebu-gebu itu, kan? Kau bahkan tidak perlu menceritakan padaku bahwa lidahnya terasa seperti Pepsi, " gumam Kyung-Hwan dalam nada rendah yang masih bisa ditangkap pendengaran Hae-Kyung. " Maaf, Oppa, " ujarnya malu. " Aku terlalu bersemangat ya?" " Siena sekarang pasti kota favoritmu. "
pustaka-indo.blogspot.com
Hae-Kyung mengangguk dengan senyum lebar di wajah. " Tidak benci lagi?"
Gadis itu menjawab dengan gelengan.
" Jadi setidaknya, seharusnya kau tahu bahwa seperti yang kakakmu bilang, kota itu memang luar biasa. Kau merasakan apa yang kakakmu rasakan saat berkunjung ke sana. " " Maksudmu?"
" Pernahkah kau berpikir, walaupun setelah itu dia tewas dalam perjalanan pulang, pada saat-saat terakhirnya, kakakmu benar-benar merasa bahagia?"
Dalam perjalanan pulang. Belum satu jam, Min-Ri bahkan sudah ketiduran.
Sudahkah aku bilang, bahwa Joon dan aku membuat sebuah perjanjian? Bahwa kami berencana bertemu lagi satu bulan ke depan, pada tanggal yang sama. Aku akan kembali ke Siena dan bertemu dengannya. Dia bahkan setuju unutk menjemputku di bandara. Saking semangatnya, aku sampai memesan tiket secara online semalam, untuk bulan depan.
Tapi tidak ada yang tahu tentang takdir kehidupan. Apa pun bisa terjadi. Mungkin saja aku tidak bisa datang. Jadi untuk berjaga-jaga, kami membuat kesepakatan lainnya. Bahwa dia akan pulang ke Korea, di tanggal yang sama, bulan berikutnya, jika di bulan pertama aku tidak datang. Kami akan bertemu di Poppy Garden, Simhak Mountain, Paju. Pukul sepuluh pagi. Dia bilang itu adalah tempat yang paling ingin dikunjunginya di Korea.
pustaka-indo.blogspot.com
Hae-Kyung-lah yang selama ini menyukai bunga poppy, aku sendiri penyuka daisy. Tapi itu tidak penting, kan? Maksudku& yang penting adalah pertemuannya, bukan tempat bertemunya.
Aku hanya& ingin sekali bertemu dengannya lagi.
A Boutique, Seoul 03.47 PM
" Belahannya sampai sini ya?" ujar Hwang-Ja, salah satu desainer yang ikut berpartisipasi dalam fashion show minggu depan dan berhasil mendaulat Hae-Kyung sebagai modelnya, walaupun gadis itu juga diburu oleh belasan desainer lainnya. Dan karena dia cenderung lebih suka membantu para desainer baru yang belum terlalu punya nama, jadi dia lebih memilih Hwang-Ja. Karena selain desainnya sendiri, model adalah salah satu unsur yang memperindah pakaian dan menaikkan nilai jual. Lagi pula dia menyukai tekanannya, semangat para desainer baru yang ingin menunjukkan karya mereka ke muka dunia.
" Kakimu jenjang dan itu salah satu poin utama yang kau miliki. Harus dipamerkan, " lanjut wanita itu.
" Bukankah seharusnya aku mempresentasikan pakaian yang kau rancang? Jadi seharusnya pakaian itu kan yang dipamerkan?"
" Tidak, " gelengnya. " Idenya adalah memamerkan kelebihan si pemakai sampai ke tingkat maksimal. Bukan pakaian, tapi si pemakailah yang harus dilihat. Pakaian ini hanya elemen
pustaka-indo.blogspot.com
pendukung. Wanita harus terlihat cantik karena diri mereka sendiri, karena kelebihan yang mereka miliki, bukan karena baju apa yang mereka pakai, perhiasan apa yang mereka kenakan. Itu mimpiku. Memperkenalkan pakaian yang seperti itu. "
Tiba-tiba saja dia merasa sangat menyukai wanita ini. " Lain kali, kalau Eonni sudah terkenal, jangan lupa menggunakan jasaku lagi ya?" pintanya sambil tersenyum. " Bukannya kau lebih sering menolong para pemula?" " Tidak juga. Aku membuat beberapa pengecualian. " Ponselnya berbunyi, menandakan pesan masuk, menghentikan pembicaraan mereka sementara.
Mau pergi minum kopi bersamaku? Ada yang ingin kubicarakan denganmu.
Kyung-Hwan
" Pacarmu?" goda Hwang-Ja.
" Oh, bukan, " ujarnya sambil mengetikkan jawaban. " Aku tidak suka pria beristri. "
Once Karya Yuli Pritania dan Senselly di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
MangoSix Caf, Myeongdong, Seoul 04.11 PM
" Mentang-mentang kau sudah pindah lagi ke Seoul, kau mengajakku bertemu tiap hari, " ejek Hae-Kyung, menyesap vanilla latte-nya lalu mendecak-decakkan lidah.
pustaka-indo.blogspot.com
" Aku hanya berpikir tentang& kita. "
" Kita?" seru Hae-Kyung, tampak syok. " Aku tidak tahu ada sesuatu tentang kita. Kita hanya bersahabat, kan? Apa aku yang salah sangka? Kau menyukaiku? Kau bilang Sae-Ryung cinta pertamamu. "
" YAK!" teriak Kyung-Hwan, menghentikan rentetan kalimat tidak masuk akal yang keluar dari mulut gadis itu. " Maksudku kau dan aku. Novel-novelmu. "
" Oh, itu. " Gadis itu menampakkan cengiran polos. " Mian. 8 Aku kira apa. Hahaha. "
Kyung-Hwan mendelik sesaaat sebelum mengubah raut wajahnya menjadi lebih serius.
" Apa kau keberatan kalau& kita memberitahunya?" " Tidak masalah, " ujar Hae-Kyung cepat.
" Tapi dia penggemar beratmu. Novel pertamamu bahkan selalu dibacanya setiap kali dia sedang merasa stres. Dia pasti akan kecewa kalau tahu kenyataannya. "
" Bagus untukmu. Menurutmu bagaimana pendapatnya jika tahu bahwa novel-novel kesukaannya itu adalah karanganmu? Hubungan kalian akan semakin membaik dan dia pasti jadi tergila-gila padamu. Aaaaah, membuat iri saja. " " Kau yakin& tidak apa-apa?"
" Dia istrimu. Dia perlu tahu seberapa mengagumkan suaminya. "
Saat itu sedang liburan musim panas. Delapan tahun yang lalu. Seperti yang biasa dilakukannya setiap akhir minggu, 8 Maaf (informal)
pustaka-indo.blogspot.com
dia pergi bermain ke rumah Kyung-Hwan. Dia sangat suka membaca dan Kyung-Hwan punya banyak sekali novel dan komik yang bisa dia pinjam. Jadi di sanalah dia menghabiskan hari liburnya, menolak tawaran orang tuanya untuk pergi berlibur bersama ke Jepang.
Biasanya dia akan datang bersama Eun-Seo, tapi setelah kuliah dan putus dengan Kyung-Hwan, kakaknya itu lebih sering keluar rumah dan menghabiskan waktu bersama teman-teman kampusnya. Mereka masih berteman. Kyung- Hwan dan Eun-Seo. Tapi tidak lagi sedekat dan sebebas dulu. Lagi pula Eun-Seo beberapa kali sempat berkencan, walaupun tidak ada satu pun yang berjalan lancar dan bertahan lebih dari sebulan. Dan di masa-masa itulah dia dan Kyung-Hwan menjadi semakin dekat. Mereka saling bercerita satu sama lain, nyaris tidak memiliki rahasia, sampai akhirnya sore itu Hae-Kyung mengacak-acak komputer pria tersebut. Tidak untuk bermain game atau menonton video, tapi beralih ke folder-folder lain. Dia bukannya bermaksud mengabaikan privasi pria itu, karena di antara mereka bahkan tidak ada yang disembunyikan Kyung-Hwan bahkan tidak memarahinya saat dia menemukan video-video dewasa di laptop pribadi pria tersebut, walaupun pria itu harus rela ditertawakan sepanjang minggu olehnya. Dia hanya ingin tahu. Karena dia sering memergoki Kyung-Hwan menghabiskan waktu selama berjam-jam mengetik di depan komputernya, sedangkan dia membaca novel dan menjajah tempat tidur pria itu tanpa canggung.
Dan apa yang dia temukan di sana adalah sesuatu yang luar biasa. Sebuah folder penuh dengan dokumen-dokumen,
pustaka-indo.blogspot.com
yang berisikan cerita-cerita iksi karangan pria tersebut. Hari itu, setelah menyalin semuanya secara diam-diam ke dalam disc dan membacanya di rumah, dia merasa cita-citanya untuk menjadi penulis bukan lagi sesuatu yang tidak mungkin. Kyung-Hwan memang seorang penulis yang baik, tapi kurang kreatif dalam hal imajinasi. Sebaliknya, dia sendiri adalah gudang imajinasi, tapi jelas tidak berbakat menyampaikan ide-idenya dalam bentuk tulisan.
Dia menghabiskan berhari-hari untuk membujuk Kyung- Hwan, mengajak pria itu bekerja sama. Sebagai partner duet. Pria itu yang menulis dan dia penyumbang ide. Sayang sekali bahwa Kyung-Hwan adalah orang yang sedikit konservatif, berkata bahwa cita-citanya adalah menjadi arsitek dan menulis novel, terutama dengan genre romance, adalah urusan para wanita. Setelah penolakan itu, Hae-Kyung sendiri sibuk memulai karier barunya sebagai model. Semuanya berjalan sangat mulus, baik di bidang pendidikan maupun profesi yang dia jalani. Untuk sesaat keinginannya menjadi penulis terlupakan. Lalu pada suatu hari manajernya bertanya apakah dia tertarik untuk berakting, bukan lagi sebagai model iklan, tapi bermain dalam sebuah drama atau ilm. Dia sama sekali tidak tertarik. Saat itu manajernya berkata bahwa akan sangat sia-sia jika dia tidak memanfaatkan ketenaran yang telah dia raih untuk mengembangkan karier, lagi pula pekerjaan sebagai model tidak akan tahan lama, karena akan banyak model-model baru yang lebih muda dan menarik. Jadi untuk kedua kalinya, dia kembali berusaha membujuk Kyung- Hwan.
pustaka-indo.blogspot.com
Pria itu tidak langsung menolak, hanya memberikan syarat yang sebenarnya hanya akan merugikan pria itu saja. Pria tersebut menawarkan diri menjadi ghostwriter-nya penulis bayangan. Profesi di mana seseorang menulis tapi karyanya akan diakui sebagai milik orang lain. Pria itu tidak ingin namanya disebut-sebut, juga tidak bersedia menerima royalti. Dia hanya akan membantu Hae-Kyung menuliskan ideide yang gadis itu berikan padanya. Pria itu merasa senang karena bisa melakukan hobi yang dia suka tanpa takut imagenya tercemar dan Hae-Kyung bisa mewujudkan cita-citanya menjadi penulis, menyalurkan ide-idenya dalam sebentuk cerita yang bisa disukai semua orang. Hae-Kyung setuju dan hanya ada beberapa orang yang mengetahui kesepakatan itu. Hae-Kyung, Kyung-Hwan, manajernya, editor, serta pihak penerbit.
Novel pertama mereka meledak di pasaran. Berlanjut dengan novel-novel berikutnya yang selalu masuk dalam jajaran best seller. Mereka adalah partner yang luar biasa, walaupun terpisah kota. Keberadaan internet dan email selalu memudahkan segalanya.
Dia tahu semua itu adalah pembohongan publik. Dan tentu saja merasa sangat bersalah. Tapi setidaknya semua ide, adegan, dan dialog-dialog berasal dari pemikirannya. Kyung- Hwan hanya membantu menuliskan dalam bentuk narasi yang menarik dan enak dibaca. Dengan begitu, dia juga tidak bisa dibilang tidak melakukan apa-apa.
Dia tidak memiliki bakat, tapi ingin meraih impiannya. Itu saja.
pustaka-indo.blogspot.com
Chapter 6: Not Poppies, But Daisies
That man made me feel things I never imagined could be felt. He made me want things I wasn t sure I could have. He made me need things I didn t know existed." Nicole Williams
Poppy Garden, Simhak Mountain 09.51 AM
adis itu memegangi tali tas yang tersampir di bahunya, menarik napas dalam-dalam, menghirup udara pagi pegunungan yang menyenangkan.
Sudah tiga tahun berlalu sejak dia pertama kali datang ke tempat ini untuk berburu matahari terbit. Saat itu, semuanya berada dalam campuran tiga warna. Merah, putih, dan hijau. Bunga-bunga poppy yang baru mekar terlihat di sepanjang jalan setapak, yang mereka bilang tampak seperti lukisan Monet dalam visualisasi langsung. Merah di antara kelopakkelopak bunga lainnya yang seputih kapas.
pustaka-indo.blogspot.com
Semuanya berubah. Tempat itu tidak lagi dia kenal. Yang ada hanya rumput-rumput yang tumbuh tinggi dan petakpetak bunga daisy. Seolah tempat itu sengaja mempersiapkan diri untuk Eun-Seo yang ingin bertemu dengan cinta pertamanya di sini.
Dia memutuskan untuk berkeliling, masih beberapa menit lagi sebelum pukul sepuluh. Dan dia pikir nantinya dia hanya akan memperhatikan setiap laki-laki yang lewat, mencari tahu apakah mereka memiliki mata berwarna abu-abu atau tidak.
Dia tidak terlalu mengerti dengan apa yang sedang dia lakukan. Apa hanya sekadar rasa penasaran atau sebentuk tanggung jawab yang dibebankan Eun-Seo padanya. Mungkin dia ingin perasaan Eun-Seo tersampaikan, setidaknya dengan membiarkan pria tersebut tahu, tentang bagaimana pria itu membuat kakaknya bahagia di hari-hari terakhir hidupnya.
Pendekar Gagak Rimang Lambang Penyebar Bende Mataram Karya Herman Pratikto Pendekar Bayangan Sukma 24 Sepasang
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama