Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu Bagian 1
OBSESI
Johan series 1
Oleh Lexie Xu
Ebook by pustaka-indo.blogspot.com
GM 312 01 15 0005
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Gedung Gramedia Blok 1, Lt.5
Jl. Palmerah Barat 29?37, Jakarta 10270
Cover oleh Regina Feby
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
anggota IKAPI, Jakarta, Oktober 2010
www.gramediapustakautama.com
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
240 hlm., 20 cm.
ISBN: 978 ? 602 ? 03 ? 1293 ? 4Dedicated to my little angel, Alexis Maxwell.
You come into my life,
and you make the darkness disappear.
Thank you, Little Dude,
I love you so much.
67
Semua orang mengenalku sebagai Jenny dari "Hanny dan
Jenny".
Di seluruh angkatan baru SMA Persada Internasional, ada tiga
siswi bernama Jenny. Gara-gara keteledoran petugas administrasi
sekolah, ketiganya dimasukkan ke kelas yang sama di kelas X-3.
Hal ini menyebabkan berbagai kekacauan yang, pada akhirnya,
memaksa semua orang?mulai dari guru-guru paling serius hingga
ibu kantin yang hobi bergosip?memberikan julukan bagi para
Jenny.
Jenny pertama adalah Jenny Limantara, Jenny yang judes banget
dan hobi menyalahkan tompelnya yang rada berbulu untuk semua
masalahnya. Padahal, tompel itu oke-oke saja seandainya tidak
terlalu sering dihina-hina oleh pemiliknya sendiri. Akibat kelakuan
negatifnya sendiri, semua pun memanggil Jenny Limantara dengan
panggilan "Jenny Tompel", tak peduli berapa keras upayanya meminta, memaksa, dan memohon-mohon orang untuk memanggilnya
dengan panggilan "J-Li" yang, tentu saja, dimaksudkan agar mirip
dengan nama panggilan idolanya, Jennifer Lopez.
1
Jenny8
Yang kedua adalah Jenny Handoyo, Jenny yang merusak imagenya sendiri pada hari pertama sekolah dengan dilindas bajaj.
Cuma ujung sepatunya, sebenarnya. Jenny Handoyo adalah ratu
drama supercengeng. Dia meraung-raung sembari digiring ke
ruang UKS. Di sana dia diperiksa dan tidak ditemukan luka secuil pun?bentol bekas gigitan nyamuk pun tidak ada. Sejak hari
itu, dia dikenal sebagai "Jenny Bajaj". Kau akan mengira kejadian
itu membuatnya sedikit lebih kalem, tapi Jenny Bajaj sama sekali
tidak kenal kata kapok. Selalu ada saja keluhan dan tangisan yang
dikeluarkannya, membuat guru kesehatan, guru olahraga, dan
teman-teman sekelasnya?termasuk aku?diam-diam punya niat
terpendam untuk mencekiknya setiap kali melihatnya muncul
dengan air mata bergulir di pipi.
Dan, bukannya aku jahat, tapi kalau melihat muka Jenny Bajaj
yang bulat, cembung, dan kemerahan, bahkan orang yang tidak
pernah melihat bajaj seumur hidup pun bisa langsung membayangkan kendaraan imut tersebut.
Jenny ketiga adalah aku. Sebenarnya, setelah mendengar julukan superkeji yang diberikan pada Jenny-Jenny lain, aku sempat
ketakutan setengah mati. Soalnya, nama lengkapku adalah Jenny
Angkasa. Apa kalian bisa menebak, julukan apa yang akan mereka
berikan padaku? Yep, "Jenny Jenazah". Seharusnya sih "Jenny
Jenasa", tapi itu kan tidak ada artinya. Pasti semua orang lebih
suka "Jenny Jenazah" karena itu lebih menghibur mereka dan
menghina diriku.
Gawat banget, kan?
Untungnya, Hanny-lah yang menyelamatkanku. Di hari pertama sekolah, nasib mempertemukan kami sebagai teman sebangku, dan sejak hari itu kami tak terpisahkan lagi. Karena itu,
9
aku pun dikenal sebagai Jenny dari "Hanny dan Jenny"?meski
di seluruh sekolahku hanya ada satu Hanny.
Harus diakui, Hanny memang unik banget. Sesuai namanya,
dia mengingatkan semua orang pada madu (yah, tahu lah, biasanya orang-orang mengira nama Hanny ditulis dengan ejaan
Honey). Rambutnya selalu dipotong pendek, namun sangat sesuai
untuknya. Kulitnya tidak terlalu putih?berbeda denganku yang
pucat banget, nyaris seperti vampir karena aku jarang keluar
rumah?tapi sehat dan berkilauan. Senyumnya sangat manis, melelehkan hati setiap cowok yang melihatnya. Warna kesukaannya
pun warna madu?bukan cokelat, bukan kuning, tapi warna
madu?dan itu terlihat dari tas, kotak pensil, bolpoin, bahkan
pakaian dalamnya (yang terakhir ini kuketahui saat berada di
ruang ganti cewek, bukan karena aku punya kelainan suka
ngintip-ngintip pakaian dalam teman sendiri lho!).
Dengan segala kelebihan itu, Hanny langsung jadi cewek kelas
sepuluh paling beken tahun ini. Dalam bulan pertama sekolah, dia
sudah ditembak lebih dari dua lusin cowok dari kelas-kelas yang
lebih atas, memacari delapan di antaranya, dan mencampakkan semuanya?dan akulah saksi mata satu-satunya. Hanny, dengan segala
kemurahan hatinya, selalu melibatkanku dalam semua petualangan
cintanya. Saat dia pergi berkencan, dia selalu mengajakku?sama
seperti pacarnya yang juga mengajak teman-temannya. Biasanya
kami makan siang bareng, dilanjutkan dengan nonton di bioskop.
Di dalam bioskop, sementara dia berasyik-masyuk dengan pacarnya
di barisan belakang paling ujung, aku duduk dengan canggung
bersama teman-teman pacar Hanny yang sepertinya menganggapku
tidak ada. Tentu saja, untuk apa mereka memedulikanku? Aku jelek,
pendiam, dan canggung?jenis cewek yang mereka hindari di10
sekolah. Kalau bukan karena Hanny, aku tak bakalan punya
kesempatan untuk memiliki pergaulan sosial seperti ini.
Bukan berarti aku punya pergaulan sosial sungguhan lho. Seperti
kataku, aku lebih sering dicuekin daripada diajak bicara. Tapi, tetap
saja, kehidupan seperti ini jauh lebih baik daripada yang biasanya
kujalani. Jadi aku sangat berterima kasih pada Hanny yang sudah
memberiku masa-masa SMA yang bahagia dengan nama panggilan
yang sehat dan pergaulan sosial yang aktif.
"Tony!"
Nama itu membuatku langsung melupakan lamunanku dan
nyungsep ke dalam lokerku secepat kilat.
Bukan, yang namanya Tony bukanlah preman raksasa dengan
tampang mengerikan. Dia memang agak terlalu besar untuk
ukuran cowok kelas sebelas, tapi itu karena tubuhnya yang tinggi
banget. Bentuk badannya memang cukup "jadi", hasil latihan
judo bertahun-tahun, tapi tidak terlalu berlebihan. Dia juga tidak
galak atau mengerikan. Malah sebenarnya, dia cowok paling
bertaburan senyum di seluruh sekolah ini.
Dan, omong-omong, mukanya ganteng banget. Seganteng Ken
Zhu dari F4, Laguna dari Final Fantasy VIII, dan Kyo dari King
of Fighter dijadikan satu. Atau, setidaknya, begitulah menurutku
secara pribadi.
Yeah, aku jatuh cinta padanya. Itu sebabnya aku ngumpet di
dalam lokerku.
Bukannya aku aneh, tapi asal tahu saja, setiap kali Tony lewat,
aku akan memandanginya dengan muka tolol, mulut ternganga,
nyaris ngeces...! Pokoknya, super memalukan. Jadi, untuk menghindari insiden-insiden memalukan, aku ngumpet sajalah. Seperti
kata orang-orang bijak, dahulukan keselamatan.11
Dari balik pintu loker, aku mengintip ke koridor sekolah. Seperti biasa, Tony lewat dengan konco-konco cowoknya, dan dia
selalu berjalan paling depan. Rambut Tony yang panjang melambai-lambai ditiup angin semilir yang mengaliri koridor
sekolah. Sebenarnya rambutnya tidak gondrong-gondrong amat,
cuma sedikit melewati bawah kuping. Setiap kali diteriaki guru
piket, "Cepat potong rambutmu atau Bapak gunduli!" Tony akan
balas teriak, "Bayarin dulu duit ke salonnya!" Kesimpulanku,
Tony bukannya merasa dirinya keren dengan rambut gondrong,
melainkan dia tidak punya uang untuk pergi ke salon.
Baju seragam Tony tampak mencolok di antara teman-temannya, soalnya dekil banget. Warna dekil itu dipertajam oleh kilau
gigi Tony yang putih, membuat orang-orang berpikir, siapa sebenarnya cowok ini?cowok higienis yang rajin sikat gigi, ataukah
cowok jorok yang tidak membiarkan seragamnya dicuci? Tapi, di
luar kilau giginya itu?dan rambutnya yang senantiasa berkilau,
tanda dia hobi keramas?penampilan Tony memang lebih parah
daripada para sopir angkot yang tiap hari berkutat dengan asap
knalpot. Seragam yang dekil, tas ransel yang lusuh, sepatu kets
berlumpur yang bagian belakangnya diinjak. Mana dia tidak
pernah pakai kaus kaki, lagi?satu lagi alasan bagi guru piket
untuk mengejar-ngejarnya.
Berjalan di sampingnya adalah Markus, sohib Tony sejak zaman TK. Bertolak belakang dengan Tony, Markus punya tampang
cowok baik-baik. Mengenakan kacamata berbingkai tanduk yang
keren, berambut cepak ala militer, dengan seragam rapi jali. Dengan kulit putih bersih yang tak bakalan menggelap meski rajin
lari-lari di bawah sinar matahari dan bibir merah yang lebih
ranum daripada cewek-cewek ber-lip gloss, Markus jelas bukan12
penduduk asli negeri ini. Ayahnya pengusaha bule yang cukup
sukses di negeri ini, menikahi supermodel lokal bertampang
eksotis, dan menghasilkan anak berdarah campuran yang ganteng
banget. Tidak seganteng Tony, tentu saja, tapi cukup untuk
membuat banyak cewek diam-diam meliriknya setiap kali dia
lewat.
"Jen, ngapain lo nemplok di loker kayak cicak?" tanya Hanny
yang baru saja keluar dari ruang kelas kami. "Apa lo nggak tahu
kalo banyak virus Lho, itu kan Tony! Astaga, cowok itu benerbener ganteng banget!" Hanny mendesah. "Andai dia nembak
gue, gue bakalan putusin cowok gue yang sekarang ini, terus gue
jadian sama dia."
"Mmm," aku menjawil bahu Hanny, "bukannya lo baru putus sama cowok lo, Han?"
Hanny menatapku dengan pandangan kosong sebelum akhirnya
teringat. "Oh iya, bener juga. Gue lupa. Yah, biarlah. Urusan kecil gitu, nggak usah diinget-inget."
Cuma Hanny yang bisa menyebut pacaran?dan memutuskan
pacarnya?sebagai urusan kecil.
Seolah-olah merasa dirinya dibicarakan, Tony menoleh ke arah
kami. Sepasang matanya yang berseri-seri makin berbinar-binar.
Ya, pasti. Cuma cowok buta dan tak berhati yang tidak berbinarbinar kalau ketemu Hanny. Ralat, cowok buta dan tak berhati
pun bakalan berbinar-binar kalau ketemu Hanny, karena Hanny
punya wangi yang sangat feminin, yang sanggup melumerkan hati
cowok paling dingin sekalipun, sementara bauku.
Tunggu sebentar. Akan kucium dulu. Yep, tak salah lagi.
Bau keringat! Aku betul-betul harus beli deodoran secepatnya.
Dan, urusan beli deodoran ini makin mendesak saja saat Tony13
benar-benar menghampiri kami. Dari semua teman cowoknya,
hanya Markus-lah yang ikut menghampiri kami. Sisanya ngobrol
di kaki tangga, meributkan berbagai alasan kenapa Manchester
United bisa kalah melawan Liverpool.
"Halo, Hanny. Hai, Jen!" Panggilan yang dilontarkan dengan nada akrab itu langsung membuat kakiku lemas, apalagi
diucapkan dengan senyum manis yang menampakkan gigi putih
berkilau. Mungkin kalian terheran-heran dia mengingat namaku,
tapi buatku itu tidaklah aneh. Semua orang yang kenal Hanny
pasti tahu bahwa Hanny sering didampingi teman akrabnya yang
bernama Jenny. "Hanny dan Jenny", ingat?
Dengan sedih kulihat senyum yang tadinya diarahkan padaku,
kini beralih pada Hanny, cewek yang memang pantas mendapatkannya. "Dengar-dengar, kamu baru putus dari Ivan, Han?"
"Kok bisa tahu?" tanya Hanny dengan suara manjanya yang
tidak hanya bisa meluluhkan cowok-cowok, tapi juga aku.
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jelas dong," seringai Tony. "Anak itu nangis terus dari kemarin
dan nggak mau pulang ke rumah. Satpam-satpam yang jaga sore
sampe ketakutan. Mereka kira kelas kami ada hantunya."
Kami tertawa mendengar cerita Tony.
"Yah, berhubung kamu udah single lagi, mau nggak kita jalan
bareng besok?"
Biasanya Hanny akan menolak ajakan kencan yang begitu cepat, tapi kali ini dia tidak ragu-ragu. "Mau dong."
Tony berpaling padaku. "Kamu juga ya, Jen."
Aku yang tadinya sudah sempat lemas melihat ketertarikan
Tony pada Hanny, langsung melongo. "Aku?"
"Iya, kamu," sahut Tony geli. "Nanti kita jalan berempat bareng Markus. Sip nggak, Mar?"
14
"Yo?i, coy," angguk Markus seraya tersenyum ramah padaku.
Oke, ini pertama kalinya ada cowok yang benar-benar langsung
mengajakku pergi. Sejujurnya, saat pergi dengan Hanny dan cowokcowoknya, aku selalu punya perasaan buruk bahwa kehadiranku
sebenarnya tidak diharapkan. Namun, berhubung aku satu paket
dengan Hanny?"ngajak satu, yang datang dua", kira-kira seperti
itulah?mereka terpaksa menerimaku. Pikiran ini sangat menggangguku, membuatku sempat membatalkan janji satu-dua kali.
Tapi, setiap kali aku membatalkan janji, Hanny langsung ikutan
tinggal di rumah. Katanya dia tidak nyaman pergi tanpa aku. Jadi,
demi Hanny, demi kesenanganku sendiri, dan demi cowok-cowok
yang mengharapkan kencan dengan Hanny itu, aku pun menebalkan muka dan muncul tanpa diundang.
"Kalo gitu, kami jemput kalian sebelum makan siang ya, biar
kita bisa makan dulu," kata Tony sambil mengeluarkan ponselnya.
"Boleh minta nomor ponsel kalian nggak?"
Nah, sekarang bukan saja aku diajak pergi, Tony juga meminta
nomor ponselku. Meski ini bukan sesuatu yang patut dibanggakan, karena yang diincarnya kan Hanny, tak urung aku merasa
senang.
Setelah bertukar nomor ponsel?juga dengan Markus?kedua
cowok itu pun meninggalkan kami.
"Jenny," panggil Hanny dengan nada suara melayang di awangawang. "Wow. Tony ngajak gue kencan!"
Yeah, betul. Wow.
***
Kami memasuki ruang kelas kami. Sebagian murid sedang sibuk15
menggumamkan kalimat-kalimat dalam buku pelajaran Sejarah
bagaikan mantra. Tidak perlu Sherlock Holmes untuk menebak
bahwa setelah ini bakal ada ulangan Sejarah. Bagiku, Sejarah
adalah pelajaran yang mudah. Aku punya daya ingat yang kuat,
yang membuatku selalu tampil prima dalam segala pelajaran yang
membutuhkan hafalan. Tapi kalau harus menghadapi Matematika, Fisika, terutama Kimia, mataku langsung berkunangkunang.
"Jadi, kalian udah belajar belum?" tanya Jenny Tompel yang
tidak pernah bosan mengurusi orang lain. Sepertinya dia tidak
senang melihat Hanny dan aku cuma duduk-duduk sambil menggosipi acara hari Minggu kami.
"Belum," sahut Hanny santai. "Cuma ulangan Sejarah, kan?
Gampang."
"Tapi kan kali ini banyak hafalan tahun-tahun." Jenny Tompel
menatap Hanny dengan dengki. Jenny Tompel memang terkenal
memiliki antipati terhadap cewek-cewek cantik. Di kelasku, selain
Hanny, masih ada Yunita dan Lena, dua sahabat akrab sejak SD
yang sama-sama cantik dan keren. Keduanya juga sering diganggu
oleh Jenny Tompel. "Jangan-jangan, nanti kamu nyontek Jenny,
ya?"
"Enak aja," bantah Hanny jengkel. "Nuduh kok nggak tahu
diri gitu sih?"
Untunglah, pada saat itu Pak Agus memasuki ruangan. Jenny
Tompel segera kembali ke tempat duduknya di barisan tengah.
Dia membagi bangkunya dengan Jenny Bajaj, satu-satunya murid
di kelas kami yang bersedia duduk dengan Jenny Tompel?itu
pun karena tidak ada yang kepingin duduk dengan Jenny Bajaj
dan mendengarkan rengekannya sepanjang hari.
16
"Dasar sirik!" gerutu Hanny sambil membalikkan badan ke
belakang. "Bener nggak, Han?"
"Han" yang dipanggil Hanny bukanlah dirinya sendiri?Hanny
tidak seculun itu, tidak seperti aku yang kadang-kadang bicara
sendiri dan memanggil diriku "Jen". Yang dipanggil Hanny adalah
Johan, cowok pendiam dan penyendiri yang duduk di belakang
kami.
Seandainya aku disuruh menunjuk siapa yang paling pantas memerankan Dr. Frankenstein yang gila itu, calonku cuma satu?
Johan. Cowok tinggi kurus itu punya aura yang mengerikan. Rambutnya panjang, awut-awutan, dan rada berminyak. Berbeda dengan
kebanyakan ABG yang lebih memilih lensa kontak, Johan mengenakan kacamata dengan gagang yang pernah patah tapi disambungnya kembali dengan band-aid (dan alasannya bukan karena
dia miskin. Dengar-dengar dia malah berasal dari keluarga kaya
raya). Bibirnya selalu menyunggingkan senyum misterius, seolaholah dia tahu sesuatu yang tidak diketahui oleh kami semua.
Anehnya, Hanny senang bergaul dengan Johan, yang terangterangan menunjukkan bahwa dia memuja Hanny. Bukannya aku
suka pilah-pilih teman, tapi sebagai cewek yang tidak punya
banyak kelebihan, aku menerima siapa saja yang mau berteman
denganku. Tapi, ini Hanny yang kita bicarakan. Banyak cowok
yang rela membunuh untuk menjadi tempat curhatnya, namun
yang dipilihnya adalah Johan yang bermuka seram. Suatu hari,
karena penasaran, aku menanyakan hal itu pada Hanny. Tapi
Hanny cuma menyahut dengan polos, "Yah, itu namanya kasus
charity. Sebagai cewek beken, gue harus melakukan sesuatu yang
bikin semua orang mikir bahwa gue punya sisi tak terduga. Yah,
temenan dengan Johan adalah sisi gue yang tak terduga."17
Oke, aku tidak mengerti soal begituan, tapi aku setuju bahwa
berteman dengan Johan adalah sisi Hanny yang tak terduga.
"Iya," angguk Johan menanggapi pertanyaan Hanny. "Jenny
emang nyebelin banget!"
Cara bicara Johan yang seakan-akan ditujukan padaku?bukannya pada Jenny Tompel?membuatku merasa tidak nyaman. Tapi
Hanny sama sekali tidak merasa begitu, jadi mungkin aku saja yang
paranoid.
"Kadang saking sebelnya, rasanya gue kepingin cekik dia
deh!"
"Kalo mau, biar gue yang cekik aja," usul Johan.
Hanny menatap Johan tanpa berkedip, lalu tertawa terbahakbahak. "Dasar. Candaan lo memang aneh-aneh, Han. Kadang gue
nggak tahu lo bercanda atau sungguhan deh."
Asal tahu saja, aku merasa ucapan Johan tadi sungguh-sungguh.
Tapi, tentu saja itu cuma perasaanku, lantaran aku menganggap
Johan menakutkan.
Suara Pak Agus menyela pembicaraan kami. "Masukkan semua
buku dan keluarkan kertas ulangan!"
"Aduh, gue lupa bawa kertas ulangan," keluh Hanny. "Bagi
dong, Han!"
Tanpa banyak protes, Johan membuka tas ranselnya yang,
omong-omong, mirip banget dengan tas Hanny, hanya saja warnanya hitam. Dikeluarkannya buku kertas ulangan, dan disobeknya
selembar sebelum diberikan kepada Hanny.
"Thanks, Sayang," ucap Hanny seraya menoleh padaku. "Lo
mau juga, Jen?"
"Nggak," sahutku tergagap. "Gue bawa sendiri kok."
Buru-buru aku membalikkan badan dan menyibukkan diri18
dengan mempersiapkan alat tulisku. Sesaat, tengkukku terasa
dingin, membuatku menyadari bahwa Johan sedang mengawasiku.
Aduh, kenapa sih Hanny harus berteman dengan cowok seseram ini?19
Kadang aku merasa cuma Jenny orang yang memahamiku
di dunia ini.
Aku bukan cewek biasa. Kebanyakan orang akan setuju dengan
pernyataan itu. Bukannya sombong, tapi aku tahu wajahku cantik, tubuhku oke, dan penampilanku keren. Sudah tak terhitung
berapa banyak cowok yang naksir padaku, tak terhitung berapa
banyak cowok yang benar-benar menjadi pacarku, dan tak terhitung pula cowok yang kubikin patah hati.
Tapi, bukan itu yang kumaksud saat kubilang aku bukan
cewek biasa. Aku tidak pandai secara akademis. Menurutku, mempelajari yang namanya Matematika, Fisika, Ekonomi, apalagi Sejarah?apa gunanya kita menghafal tanggal pertempuran ini dan
itu, padahal jelas-jelas sekarang negara kita sudah damai?benarbenar membuang-buang waktu saja. Kalau sistem pendidikan kita
lebih bijaksana, seharusnya kami diajari cara berdandan, mode
pakaian yang sedang ngetren, dan cara menggaet pacar. Maksudku, coba lihat saja Jenny. Cewek malang itu benar-benar butuh
pertolongan. Meski dia tergolong murid pandai, tidak ada satu
2
Hanny20
pun pelajaran di sekolah yang bisa membantunya keluar dari
kesulitan masa remajanya.
Bukannya semua pelajaran di sekolah itu konyol. Aku suka
pelajaran Seni Rupa. Sejak kecil aku selalu menjadi kesayangan
guru-guru Kesenian, karena aku pandai menggambar. Darah artis
memang mengalir dalam tubuhku, meski orangtuaku lebih menyukai musik daripada seni lukis. Dan kalian tahu kan, artis
memang tidak mudah dipahami. Karena itulah aku benar-benar
menghargai orang yang mau memahamiku.
Seperti Jenny.
Kalau aku menyebut Jenny, maksudku sudah pasti bukan
Jenny Tompel yang bertampang menggelikan dan selalu mengira
dirinya kembaran J-Lo itu. Juga bukan Jenny Bajaj yang kepingin
kuinjak mukanya setiap kali dia mulai merengek. Kalau aku
menyebut Jenny, sudah pasti itu adalah Jenny sahabatku, bagian
dari "Hanny dan Jenny", cewek pemalu dan sederhana yang
penuh pengertian dan selalu sabar menghadapiku.
"Sst, Jen!"
Jenny mengalihkan perhatiannya dari kertas ulangan yang sedang ditekuninya. Tatapannya agak nanar karena konsentrasinya
sedang terpecah. Kupelototi dia dengan mata nyaris keluar?hal
yang tak terlalu sulit karena mataku memang lebar?dan dia langsung mengerti. Tanpa mencolok, dia menyingkirkan lengannya
yang tadinya menutupi kertas ulangannya.
Tapi sial, tulisan Jenny kecil banget, seperti barisan semut beriring. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang ditulisnya.
"Nggak keliatan," bisikku jengkel. "Tulisan lo gedean dikit
dong."
"Hanny! Ada apa?"21
Teguran Pak Agus, si guru Sejarah berjenggot kambing, menyentakkanku. Asal tahu saja, muka Pak Agus benar-benar mengingatkanku pada Mr. Tumnus, makhluk aneh dalam film The
Chronicle of Narnia. Saat pertama kali melihatnya, aku nyaris
ngakak. Tapi, kurasa guru-guru tak bakalan senang kalau kita
menertawakan muka mereka, seberapa pun anehnya tampang
mereka.
"Nggak apa-apa, Pak," sahutku sambil melemparkan senyum
polos penuh pesona. "Mau pinjam tip-ex sama Jenny."
Seperti guru-guru lain yang sudah pernah teperdaya oleh senyumanku, Pak Agus tidak memprotes kelakuanku yang mencurigakan. "Lain kali, kalau lagi ulangan, tidak boleh ada pinjammeminjam."
"Baik, Pak."
Sial, ini berarti aku tidak bisa terlalu banyak protes lagi. Aku
harus menajamkan mataku sebisanya dan menebak-nebak apa
yang diocehkan Jenny dalam kertas ulangannya itu. Semoga saja
tidak ada istilah-istilah yang sulit.
Setelah kertas ulangan kami dikumpulkan, aku langsung mengerang keras. "Gue benci pelajaran Sejarah!"
Jenny menatapku dengan mata berkedip-kedip bingung. "Masa
sih? Padahal kan seru."
Aku mendengus. "Apa serunya ngegosipin sejumlah orang yang
udah mati?"
"Yah, namanya juga sejarah, selalu terulang kembali. Kita belajar supaya saat ada yang terulang lagi, kita nggak ngulangin kesalahan yang sama."
"Dan, untuk itu, kita harus hafal tahun kematian mereka?"
Gerutuanku berhasil membungkam Jenny. "Daripada kita ngo-22
mongin mereka, mendingan kita ngomongin yang masih hidup,
muda, dan segar," tukasku. "Misalnya Tony dan Markus."
Seperti yang seharusnya, mata Jenny langsung berbinar-binar
saat aku menyinggung cowok-cowok yang muda, segar, dan ganteng luar biasa tersebut.
Dan, itu membuatku jadi semangat juga. "Jadi, besok lo mau
pake baju apa?"
"Hah?" Jenny tampak bingung. "Baju biasa, kan?"
"Jangan, bego!" cetusku kaget. "Ini kan bukan cowok-cowok
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang biasa keluar bareng gue. Ini Tony dan Markus, dua makhluk
paling ganteng di sekolah kita. Minimal lo pakai gaun gitu
deh."
Jenny mengerutkan alisnya. "Gaun? Tapi, Han, paling-paling
kita makan dan nonton. Apa nggak terlalu berlebihan?"
Oke, sebenarnya memang sedikit berlebihan, tapi aku tidak
mau tahu. Pokoknya aku mau pakai gaun, dan Jenny harus menemaniku supaya aku tidak kelihatan norak sendirian!
"Kali ini lo dandan cakep dikit lah," rengekku. "Gue yang
malu nih kalo penampilan lo dekil."
"Mmm," Jenny tampak bingung dan risi, "tapi gue kan
emang nggak akan bisa secakep elo, Han."
Aku mendecak. "Bisa! Elo aja yang nggak mau usaha. Kalo
perlu, nanti gue dandanin deh. Nanti pulang sekolah, gue ke
rumah lo deh, buat ngobrak-ngabrik lemari baju lo. Kalo nggak
ada baju yang cocok, kita pergi shopping."
Jenny melemparkan tatapan curiga. "Elo emang mau bantuin
gue, atau elo sebenarnya mau ngecengin rumah Tony?"
Ups! Ketahuan.23
***
Aku tidak pernah mengerti kenapa orangtua Jenny membeli rumah jelek dan suram ini.
Rumah ini memang besar, dengan bangunan yang kokoh, garasi yang luas, pekarangan yang dipenuhi pohon-pohon tinggi
dan rindang. Yah, kalau dipikir-pikir, mungkin pohon-pohon
itulah yang membuat rumah ini kelihatan suram. Memang, kalau
matahari sedang terik-teriknya, pohon-pohon itu akan sangat
menolong. Tapi kalau sedang mendung atau saat angin sedang
kencang, rumah ini benar-benar terlihat suram.
Pada malam hari, sudah jelas, rumah ini mirip rumah hantu.
Dan kalau aku tidak salah, memang ada gosip-gosip seperti itu
mengenai rumah ini. Tentang gadis kecil yang mati tenggelam di
kolam renang di belakang rumah, membuat orangtua sang anak
menimbun kolam itu dan mendirikan taman kecil untuk
melupakan tragedi itu. Namun, di saat-saat tertentu, masih sering
terdengar suara anak kecil yang menangis seraya meminta tolong.
Kisah itu berlanjut dengan sang ibu yang tidak bisa melupakan
tragedi itu dan akhirnya mati gantung diri di salah satu kamar.
Pada malam hari sering terlihat sosok wanita bergaun putih berjalan-jalan di koridor rumah, mencari-cari sang anak.
Berhubung namanya gosip, semua ini belum tentu bisa dipercaya?baik soal orang-orang mati maupun soal hantunya. Tapi,
kalau kalian bertanya padaku, aku yakin semua itu benar. Memang pernah ada yang mati di sini, dan memang rumah ini
berhantu. Seperti yang kukatakan tadi, aku bukanlah cewek biasa.
Aku peka terhadap hal-hal supernatural seperti ini. Aku percaya
hantu itu ada, meski menurutku kebanyakan dari mereka tidak24
berbahaya. Namun, tetap saja, aku tidak ingin sering-sering
bertemu mereka. Namanya orang mati, jelas tak sedap dilihat.
Rasa ngeri merayap di hatiku saat aku mengikuti Jenny menyusuri koridor suram itu. Seperti bagian luarnya, interior rumah
ini juga bikin depresi. Memang sih semuanya dicat putih bersih,
dengan lantai keramik yang berkilauan dan langit-langit tanpa
sarang laba-laba secuil pun. Pengurus rumah Jenny melakukan
pekerjaannya dengan baik, tidak seperti pengurus rumahku yang
minta digerebek Departemen Kebersihan.
Tapi, bahkan semua kebersihan itu pun tidak membuat rumah
ini terlihat cerah. Mungkin karena dikelilingi rumah-rumah bertingkat dua, ditambah dengan pepohonon lebat di pekarangan
dan jendela-jendela bertirai tebal, sinar matahari sulit tembus ke
dalam rumah ini. Meski harus kuakui rumah ini memiliki aliran
udara yang cukup bagus?bahkan lebih bagus daripada rumahku?namun itu tidak membuatku merasa lebih baik.
"Jen," tanpa sengaja aku berbisik, "emang lo nggak ngerasa
rumah lo serem?"
Bahu Jenny menegang sedikit sebelum tersenyum padaku. "Sesekali. Tapi, susah juga ya. Kan gue udah tinggal di sini selama
bertahun-tahun. Enam tahun, kalau nggak salah. Sejak kelas
empat SD soalnya."
Meski tahu Jenny tidak suka membicarakan hal ini, aku tidak
bisa menahan rasa penasaranku. "Emangnya elo nggak pernah
liat, mmm apalah gitu?"
"Hantu, maksud lo?" Jenny tersenyum lagi. "Iya, gue juga
pernah denger gosip kalo rumah ini berhantu. Tapi selama gue
tinggal di sini, nggak ada kejadian yang aneh-aneh kok."
Kata-kata Jenny membuatku sedikit lebih lega. Tapi hanya25
sedikit. Perasaanku baru benar-benar membaik saat memasuki
kamar Jenny yang lebih cerah dibandingkan bagian-bagian rumah
yang lain. Kamar itu memiliki balkon yang menghadap ke depan
rumah. Serta-merta aku berjalan menuju balkon.
"Menurut lo, Tony udah pulang sekolah?" tanyaku sambil
mengamati rumah besar di seberang rumah Jenny.
Yeah, ajaib, bukan? Rumah suram ini ternyata berseberangan
dengan rumah Tony, cowok paling ganteng di sekolah kami! Asal
tahu saja, aku sudah naksir dengan cowok itu sejak hari pertama
aku menginjak sekolah kami. Namun, Tony tidak pernah memperhatikanku, seolah-olah kecantikan dan kepopuleranku tidak
ada artinya. Jujur saja, aku sempat sakit hati, mengira dia tidak
tertarik padaku. Soalnya, menurut gosip, cowok itu lebih suka
cewek-cewek alim dan manis. Tapi hari ini tahu-tahu saja dia
menghampiriku, mengajakku kencan, dan meminta nomor ponselku. Ternyata cowok itu cuma menunggu kesempatan.
Untung banget aku sudah memutuskan Ivan yang cengeng itu.
Benci benar aku pada cowok yang hobi menangis setiap kali bertengkar denganku. Baru pacaran seminggu saja dia sudah menangis lima kali. Selain persediaan tisuku menipis dengan cepat,
aku juga jadi ilfil melihat mata berkaca-kaca dan hidung penuh
ingus. Tak kusangka, cowok yang awalnya tampak begitu kalem
dan manis, ternyata lebih drama queen dibanding Jenny Bajaj.
"Pasti belum pulang!" sahut Jenny dari balik lemarinya. "Hari
ini kan ada ekskul judo!"
"Oh ya, benar juga." Terbit kecurigaan dalam hatiku. "Kok elo
bisa hafal jadwal ekskul judo, Jen?"
Meski wajahnya dihalangi pintu lemari, aku bisa melihat gerakan
tubuh Jenny terhenti. "Oh, mmm, gue pernah liat."26
Halah, ketahuan banget sedang cari-cari alasan. "Elo naksir
Tony, ya?"
Wajah Jenny nongol dari balik pintu lemari, tampak bersalah.
"Nggak boleh, ya?"
"Bukannya nggak boleh, tapi harusnya elo ngobrol dong," gerutuku sambil memasuki kamar, lalu duduk di tepi ranjang, berhadapan dengan Jenny yang berdiri di depan lemarinya. "Gini,
Jen. Gue yakin lo tahu dia naksir gue."
Jenny diam sejenak, lalu mengangguk. "Ya."
"Kalo gue jadian sama dia, lo nggak apa-apa?"
Jenny diam lagi. "Ya."
"Beneran?" tanyaku ingin menegaskan. "Karena kalo elo nggak
suka, gue nggak akan jadian sama dia."
Jenny terperanjat. "Masa?"
Kini aku yang terdiam. "Hmm, nggak tahu juga sih."
Jenny tertawa kecil. "Ya, gue ngerti kok kalo lo mau jadian
sama dia, Han. Cewek mana yang segoblok itu, mau ngelepasin
Tony gitu aja?"
"Bener juga," sahutku sambil nyengir. "Iya, gue emang nggak
mungkin nolak dia kalo dia mau jadian sama gue."
"Iya," sahut Jenny. "Dan gue nggak keberatan kok lo jadian
sama dia. Kalian emang pasangan serasi."
Jenny benar-benar manis banget, kan? Inilah sebabnya aku
senang berteman dengannya. Tak ada secuil pun sifat sirik dalam
kepribadiannya. Sayang, jarang ada cowok yang bisa menghargai
sifatnya itu. Yah, namanya juga cowok-cowok puber. Saat ini
yang mereka lihat cuma tampang dan penampilan.
Bukannya tampang Jenny jelek. Sebaliknya, dia cukup cantik.
Rambut panjangnya berwarna hitam, indah berkilau. Kulitnya27
putih bersemu kemerahan. Sepasang matanya memancarkan
pengertian dan kebaikan hati. Bibir kecilnya menyunggingkan
senyum lembut penuh kerendahan hati. Andai saja dia mau berdandan dan bersikap lebih percaya diri, bisa jadi dia lebih populer
daripada Yunita dan Lena yang sok cantik itu.
Tapi, tentu saja, dia tak akan lebih populer daripada aku.
"Sekarang, ayo kita cari baju untuk lo!" kataku sambil ikut
bergabung di depan lemari Jenny. "Mana gaun-gaun lo?"
Aku terpesona saat melihat gaun-gaun milik Jenny. Tube dress
berwarna madu dari Guess, gaun oranye dengan bagian bawah
bermodel mermaid dari Mango, gaun panjang berwarna merah
dengan leher bermodel halter rancangan Coco Channel.
"Astaga, Jen!" seruku. "Kenapa lo nggak pernah pake gaungaun ini?"
"Ini kan gaun kondangan," kilahnya. "Nggak mungkin kita
pake ke bioskop, kan?"
"Tapi yang ini lumayan," kataku sambil mengeluarkan gaun
pendek berwarna hijau tua dengan tali bahu spageti. "Besok pake
ini, ya!"
Jenny mengerutkan alisnya. "Apa nggak terlalu pendek?"
"Ya nggak lah. Dasar kuno," cibirku, lalu mengambil tube dress
Guess-nya. "Gue cobain yang ini, ya?"
"Oke."
Sambil melompat-lompat gembira, aku memasuki kamar mandi
Jenny yang bernuansa ungu. Kalau pas untukku, aku akan mengenakan tube dress ini pada hari Minggu. Memang sih, tube dress
agak berlebihan untuk acara santai, tapi aku ingin tampil cantik
untuk Tony. Lagi pula, ini warna madu, warna keberuntunganku.28
Tanpa membuang-buang waktu, aku melepaskan pakaianku,
meletakkannya di atas toilet yang sudah ditutup dan mengenakan
tube dress tersebut. Sesuai dugaanku, aku tampak cantik sekali.
Saat sedang mematut-matut diri di depan cermin, tiba-tiba bulu
kudukku merinding.
Ada yang mengawasiku.
Spontan aku langsung menoleh ke belakang. Tidak ada apaapa, selain bath tub dengan tirai terbuka.
Aku kembali menghadap cermin lagi. Perasaan tak enakku lenyap saat melihat bayanganku di cermin. Aku tidak ingin menyombong, tapi aku benar-benar terlihat cantik. Tony pasti akan
tergila-gila.
Perasaan itu kembali lagi. Kali ini begitu kuat hingga aku terlonjak kaget. Dengan cepat aku memutar tubuhku, dan lagi-lagi
aku tidak melihat apa-apa. Tapi kali ini aku tidak bisa menahan
diri lagi. Aku langsung menghambur ke luar kamar mandi, ke
kamar Jenny, dengan tubuh gemetar.
"Wow!" seru Jenny kagum. "Elo keren banget, Han!"
Aku tidak mengindahkan pujiannya. "Jen, kamar mandi lo serem banget!"
Jenny menatapku dengan muka bloon. "Apa seremnya?"
"Nggak tahu," sahutku panik. "Pokoknya serem. Kayaknya ada
yang ngeliatin gue di dalam."
Jenny diam sejenak, lalu berkata, "Ayo kita periksa bareng."
"Nggak mau, serem!" tolakku.
Sesaat, kami berdua cuma bisa saling memandang.
"Seragam lo ada di dalam, Han," kata Jenny akhirnya. "Elo
nggak mungkin pulang dengan tube dress itu dong."29
Harus kuakui dia benar.
"Kalo gitu, tunggu dulu." Kuraih botol hairspray di depan meja
rias. "Harus bawa senjata dulu." Melihat air muka Jenny, aku
menambahkan, "Just in case."
"Oke." Tanpa ragu-ragu Jenny mencabut pisau cukurnya. Sahabatku ini memang asyik diajak kompak. "Ayo kita masuk."
Kami berdua memasuki kamar mandi itu dengan pose siapmenyerang-lalu-kabur-secepat-mungkin. Namun anehnya, saat
memasuki kamar mandi itu bersama Jenny, aku langsung merasa
tenang. Kamar mandi itu terlihat indah, dengan wangi-wangian
yang membuat kita merasa betah. Sama sekali tidak ada seramseramnya.
"Hmm, jadi tadi apa yang bikin kamu serem, Han?" tanya
Jenny hati-hati, tak ingin menyinggung perasaanku.
"Nggak tahu," sahutku ragu-ragu. "Tadi waktu gue lagi ngaca,
rasanya ada yang ngeliatin gitu dari belakang."
Jenny memandangi bath tub dan tirainya. "Mungkin tirainya
sempat goyang karena angin, dan elo jadi parno."
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nggak mungkin. Gue nggak pernah kayak gini," sahutku berkeras. "Rumah ini ada hantunya, Jen."
Meski berusaha menutupinya, aku bisa melihat kengerian di
mata Jenny. "Jangan nakut-nakutin gitu dong, Han."
"Nggak usah pura-pura deh," tukasku, tidak ingin ketakutan
seorang diri. "Elo juga sebenernya takut, kan? Ngaku deh,
Jen!"
Kata-kataku lenyap saat pandanganku jatuh pada seragamku
yang tadinya kuserakkan begitu saja di atas tutup toilet.
Seragam itu kini terlipat rapi di atas wastafel.30
Oke, sekarang aku jadi tidak bisa tidur.
Bukannya aku tidak sadar bahwa rumahku menyeramkan. Sebaliknya, sudah berkali-kali aku mengutuki hari saat orangtuaku
memutuskan untuk membeli rumah seram yang murah meriah
ini. Mereka sih enak, sering kabur ke luar negeri untuk keperluan
bisnis, jadi tidak pernah terganggu oleh kesuraman rumah ini.
Setiap kali pulang, mereka menjeritkan "Home sweet home!" dengan ceria. Mereka tidak akan mengerti perasaanku yang setiap
hari harus berkutat dengan rumah seram ini.
Tapi, lama-lama aku terbiasa. Apalagi dengan pemandangan
indah di depan rumah. Sore-sore, kalau cuaca sedang cerah, Tony
akan mencuci mobilnya sambil bertelanjang dada. Pemandangan
yang luar biasa banget, kan? Untuk menikmati pemandangan itu
secara maksimal, aku malah membeli teropong segala. Yeah, aku
memang creepy. Cewek creepy tinggal di rumah yang creepy.
Cocok deh.
Dan, kalau tidak nonton film horor?atau ditakut-takuti teman seperti yang terjadi padaku hari ini?aku tak ingat lagi soal
3
Jenny31
betapa menyeramkannya rumah ini. Bagiku, rumah ini ya rumahku, tempat aku tinggal selama bertahun-tahun. Selama ini tidak
pernah ada hal janggal yang terjadi kok.
Sampai hari ini. Itu juga kalau Hanny tidak cuma berkhayal.
Bukannya aku tidak memercayai kata-kata Hanny. Tapi, di
sinilah bedanya aku dan Hanny. Hanny memang mengaitkan semua yang ditemuinya dengan hal-hal supernatural begitu. Sedangkan aku lebih memercayai logikaku. Orang-orang yang memercayai logika, seperti Conan Edogawa alias Shinichi Kudo, tidak
akan mengakui keberadaan hantu yang tak bisa dijelaskan dengan
akal sehat. Atau, minimal, mereka tidak bakalan mengaku bahwa
mereka percaya meski disiksa dengan ribuan cara.
Seperti aku.
Malam ini aku benar-benar berada dalam kesulitan. Setiap kali
kepingin pipis, aku menunggu sampai kebelet banget, barulah
kuseret diriku ke kamar mandi. Akibatnya, aku jadi tidak bisa
tidur, memikirkan kapan harus pipis dan seberapa cepat aku bisa
ngacir dari kamar mandi. Padahal mataku sudah sepet banget.
Biasanya aku tidur jam sepuluh malam, tapi malam ini mataku
masih tetap nyalang saat jam beker di samping tempat tidurku
menunjukkan pukul dua belas.
Akhirnya, aku mengerti juga apa yang dimaksud dengan istilah
"cilaka butut".
Meski yang diocehkan Hanny adalah kamar mandiku, malam
ini semua tampak menyeramkan bagiku. Tirai jendela yang bergoyang-goyang dan bayangan yang ditimbulkannya. Suara kucing
kawin di atap rumah. Bahkan, layar televisi yang gelap pun tampak mengerikan. Bagaimana kalau layar televisi itu tiba-tiba menyala dan menampilkan adegan-adegan menyeramkan?32
Hiii.
Sudahlah, lupakan soal itu. Lebih baik aku fokus dengan rencana untuk besok. Besok siang Tony akan menjemput Hanny dan
aku. Karena rumahku lebih dekat dengan rumah Tony, pasti
cowok itu menjemputku lebih dulu. Bahkan kalau melihat tingkat
kecuekan Tony, barangkali dia bakalan menjemputku sambil jalan
kaki.
Tapi, jalan kaki atau naik pesawat jet bukan masalah bagiku.
Yang penting aku dijemput duluan. Artinya, aku bakalan punya
waktu berduaan saja dengan Tony. Memang sih, bukannya akan
terjadi sesuatu yang romantis. Orang paling idiot di dunia ini
juga tahu bahwa dia menyukai Hanny dan bukannya aku (dan
kurasa hampir semua cowok di dunia ini pasti lebih menyukai
Hanny dibanding aku. Kalau kalian ketemu yang sebaliknya,
bilang-bilang, ya!). Tapi, tetap saja, ini akan menjadi salah satu
peristiwa paling penting dalam hidupku. Meski waktunya tidak
terlalu banyak, mungkin kami akan sempat saling mengenal, dan
mungkin setelah itu kami akan jadi sahabat sehidup-semati.
Mendadak kulihat bayangan melintas di depan kamar, membuat jantungku nyaris copot seketika. Tenang dulu. Pikirkan secara logika. Tidak mungkin itu sesuatu yang tidak bisa dijelaskan
dengan akal sehat. Pasti itu cuma Mbak Mirna. Pengurus rumahku itu memang telaten. Setiap malam dia pasti mengecek setiap
jendela dan pintu. Ya, tidak salah lagi. Itu pasti Mbak Mirna.
Pikir-pikir, mungkin lebih baik kalau aku menyingkirkan
gengsiku dan meminta Mbak Mirna menemaniku tidur.
"Mbak Mirna?" Aku membuka pintu. "Mbak masih di atas?"
Tidak terdengar jawaban. Aku segera menuju ke arah tangga.
"Mbak Mirna?"33
Kulihat sebuah sosok melintas dari tangga ke arah dapur. Yep,
tak salah lagi. Itu Mbak Mirna. Tidak ingin mengejutkannya, aku
menuruni tangga dengan hati-hati. Dengan heran kulihat dapur
berada dalam keadaan gelap. Kenapa Mbak Mirna tidak
menyalakan lampunya?
"Mbak Mir."
Ucapanku lenyap saat melihat sosok yang kukejar itu bukanlah
Mbak Mirna, melainkan wanita dengan tubuh tinggi, rambut
panjang, dan gaun putih melambai-lambai. Wanita itu membelakangiku, sedang memotong sesuatu di atas talenan sambil
menggumamkan lagu yang tak kukenali. Lebih tepatnya lagi, lagu
itu tidak punya nada tertentu.
Aku ingin berlari sambil menjerit-jerit, tapi tubuhku membeku
dan mulutku terasa kering. Angin malam yang dingin membelai
kulitku, membuatku menggigil. Ataukah ketakutan yang menyebabkannya?
Lalu aku menyadari dari mana angin dingin itu berasal saat
terdengar suara anak kecil di belakangku.
"Ibu, Ibu sedang masak apa?"
"Sesuatu yang istimewa, untuk anakku tersayang," sahut ibunya
tanpa menoleh.
"Apa Ibu tahu, dari tadi ada yang mengintip Ibu?"
"Tentu saja Ibu tahu."
"Apa Ibu akan memasaknya juga, seperti yang Ibu lakukan
pada temannya?"
"Tidak, Sayang. Sebaliknya, dia akan makan bersama kita."
"Kalau begitu, sementara menunggu Ibu selesai, kami singkirkan sisa-sisa temannya dulu, ya?"
"Kamu memang pandai membaca isi hati Ibu, Sayang."34
Baru saat inilah aku menyadari adanya sosok yang tergolek di
pojokan dapur dalam posisi tak wajar. Sosok yang tadinya adalah
sahabatku Hanny, tapi kini hanyalah wajah tanpa bola mata,
dengan tubuh yang hanya bersisa tulang-tulang, tanpa kulit, tanpa
daging, tanpa organ dalam tubuh.
Melihat pemandangan mengerikan itu, aku tidak tahan lagi.
Aku pun mulai menjerit sejadi-jadinya
dan terbangun di atas tempat tidurku sendiri. Napasku
terengah-engah, tubuhku menggigil, kulitku penuh keringat dingin.
Kupandang sekelilingku. Aku berada di dalam kamar tidurku
seorang diri. Tidak ada siapa pun, terutama wanita bertubuh tinggi, berambut panjang, dan bergaun putih?atau anak kecil yang
hobi muncul di belakang orang.
Namun, tidak ada sinar matahari menembus dari balik tirai
jendela, dan itu berarti malam masih belum berakhir. Aku menoleh
pada jam beker yang menemaniku sepanjang malam. Brengsek! Baru
jam dua belas lewat lima belas menit! Ini berarti baru seperempat
jam berlalu sejak terakhir kali aku memelototi si beker? Jadi... aku
masih harus sendirian selama beberapa jam lagi?
Ini baru yang namanya "malam yang tak pernah berakhir".
***
Pagi ini aku benar-benar kesal.
Akhirnya, aku berhasil tidur juga. Tapi rasanya baru sebentar
saja aku memejamkan mata, beker dari neraka itu sudah menjerit-jerit memaksaku bangun. Sebenarnya aku ingin menuruti
kata hatiku dan melempar beker sialan itu ke luar jendela, tapi35
aku tahu, sebagai gantinya, Mbak Mirna akan muncul dan menggedor-gedor pintu kamarku?dan itu bakalan lebih mengesalkan
lagi karena aku tidak mungkin melempar Mbak Mirna ke luar
jendela, berhubung tubuhnya jauh lebih gede dariku. Gila, pengurus rumahku itu malah lebih kekar dan kuat ketimbang sebagian
besar satpam-satpam gendut-namun-loyo yang menjaga kompleks
kami.
Karena aku kesal berat, sekarang aku sudah tidak peduli
apakah ada hantu di kamar mandiku, wanita tinggi berambut
panjang menggentayangi koridor, atau anak kecil yang menggelayuti pundakku. Kalau saat ini aku bertemu mereka, percayalah, aku tak akan segan-segan menghajar mereka karena sudah
membuat perasaanku tak keruan seperti ini. Tak lupa akan kusemburkan kata-kata ini, "Urus urusan kalian sendiri, goblok!
Nggak usah bawa-bawa aku!"
Padahal, hari ini adalah hari yang sangat penting. Selama enam
tahun aku jatuh cinta secara sepihak pada cowok-ganteng-diseberang-rumah, dan hari ini aku bakalan keluar bareng cowok
itu. Oke, memang ini bukan kencan, tapi tetap saja aku ingin
memberi kesan sebaik-baiknya. Aku ingin dia mengenalku sebagai
Jenny-si-konco-baru-yang-superseru-dan-asyik-diajak-gila-gilaan,
bukannya Jenny-si-cewek-depresi-yang-sedang-cari-teman-untukbunuh-diri-bareng.
Dan, sialnya, tampangku hari ini benar-benar mirip cewek
depresi. Pucat dan lesu, dengan lingkaran hitam di seputar mata
bagaikan rakun. Aku hanya perlu mejeng di depan jurang, dan
semua yang di sekitarku akan langsung jejeritan, "Jangan! Hidup
masih sangat berharga!" Padahal aku tidak punya niatan bunuh
diri secuil pun.36
Hari ini rumahku tampak seperti biasanya. Meski sudah mengalami mimpi buruk, saat hari terang begini rasanya tak ada
seram-seramnya sama sekali. Aku menyusuri tangga seperti dalam
mimpiku tadi malam, lalu berjalan menuju dapur. Kulihat Mbak
Mirna sedang sibuk menggoreng sesuatu. Wangi masakan hangat
yang menyenangkan memenuhi udara.
"Masak apa hari ini, Mbak?" tanyaku sambil menguap.
"Nasi goreng."
Nasi goreng. Masakan kesukaanku. Sip lah. Sepertinya awal
hari ini tidak jelek-jelek amat.
Dengan sabar aku menunggu Mbak Mirna menyelesaikan pekerjaannya. Dengan cekatan pengurus rumahku itu memindahkan
nasi goreng ke piring yang sudah disiapkannya, lalu meletakkannya di depanku.
Jantungku seolah berhenti bekerja saat melihat dua bulatan
putih menghiasi nasi goreng itu. Yang terpikir olehku adalah
wajah Hanny yang tidak berbola mata lagi!
"Mbak!" teriakku rada histeris. "Ini apa?"
Mbak Mirna melirik sekejap. "Telor puyuh, Non. Masa itu aja
nggak tahu?"
Oh. Tapi tetap saja, selera makanku jadi terganggu. "Aku
nggak mau makan telor puyuh."
"Ya udah. Buat Mbak, ya?"
Dengan senang hati.
Aku memperhatikan Mbak Mirna yang makan dengan rakus
tanpa beban pikiran.
"Mbak."
"Ya, Non?"
"Mbak pernah merasa serem nggak, kerja di rumah ini?"37
Mbak Mirna menyahut ringan. "Nggak tuh."
"Nggak?" tanyaku sangsi. "Meski dengan berbagai gosip soal
hantu-hantuan itu?"
Jawaban Mbak Mirna tak kusangka-sangka. "Hantu-hantu itu
baik, Non. Mereka nggak akan gangguin kita, selama kita nggak
ganggu mereka juga."
"Mbak Mirna pernah ngeliat mereka?" tanyaku ingin tahu.
"Sesekali."
Mataku terbelalak. "Mbak nggak takut?"
"Takut dong," sahut Mbak Mirna polos. "Mbak juga takut
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sama bapaknya Non. Tapi bapaknya Non baik, kan? Ada orangorang atau hal-hal yang memang bikin kita takut, tapi sebenarnya
mereka baik-baik aja."
Aku manggut-manggut, teringat beberapa guru di sekolah yang
membuatku ingin ngacir setiap kali ketemu mereka, padahal mereka
belum pernah melakukan sesuatu padaku. Seperti Pak Yono, guru
Seni Rupa yang gosipnya punya kelainan suka menciptakan
hukuman-hukuman kreatif bagi murid-murid yang tidak mematuhi
perintahnya. Hingga saat ini aku belum pernah dihukum Pak Yono,
tapi tak urung wajahku langsung pucat setiap kali melihatnya.
Mungkin aku harus mulai memikirkan Pak Yono setiap malam.
Bagaimana kalau guru berkumis lebat itu bertemu dengan si
wanita tinggi berambut panjang? Mungkin Pak Yono bakalan
menjambak rambut wanita itu, sementara wanita itu mulai menarik-narik kumis Pak Yono.
"Ih, Non kok ketawa sendiri? Udah mulai miring, ya?"
Langsung aku memelototi Mbak Mirna.
***38
Aku merasa bangga banget saat berhasil melalui pagi itu dengan
baik. Menjelang siang, tampangku sudah bebas dari aura-aura
ketakutan. Kukenakan gaun hijau tua yang dipilihkan oleh Hanny
kemarin, mencocokkannya dengan sepatu bertumit rendah dengan
warna senada. Buset, rasanya memang agak berlebihan kalau aku
mengenakan pakaian seperti ini ke bioskop. Kutambahkan bolero
berwarna hitam. Nah, kini aku tampak lebih kasual. Peduli amat
Hanny mencak-mencak. Pokoknya, aku tak ingin kelihatan seperti
cewek norak yang hobi pamer baju.
Saat aku sedang berkutat dengan bajuku, ponselku berbunyi.
Sesuai dugaanku, itu telepon dari Tony yang menyatakan bahwa
dia akan menjemputku sekitar satu jam lagi. Wah, rasanya seperti
kencan sungguhan saja. Tapi aku cepat-cepat mengusir impian itu
jauh-jauh. Hidup ini harus realistis, Jen!
Sesuai janjinya, Tony muncul di depan rumahku tepat pukul
sebelas siang. Ternyata, pada saat-saat seperti ini, Tony tidak tampil dekil seperti waktu di sekolah. Dia mengenakan kaus putih
dengan lengan berwarna oranye, dipadukan dengan celana jins
Levi?s yang keren. Satu kata terlintas dalam pikiranku saat melihat
penampilannya yang rapi jali tersebut. Menggiurkan.
Astaga, datang dari mana kata seperti itu?
"Wow." Itulah kata pertama yang diucapkannya saat melihatku.
"Kamu cantik banget, Jen."
Gila, ini pastilah pujian tertinggi yang pernah kudapatkan seumur hidupku. Tapi penampilan ini bukan berkat diriku sendiri.
"Thanks. Hanny yang milihin gaunnya."
"Hanny emang punya selera yang bagus," komentar Tony sambil
menggiringku masuk ke mobilnya, ke kursi penumpang di bagian
depan. Makin lama rasanya makin mirip kencan berdua saja. Tony39
masuk ke mobil, lalu duduk di sampingku seraya menyalakan mesin
mobil. "Tapi menurutku, kamu juga nggak kalah menarik, Jen.
Kapan-kapan kita harus kencan berdua doang. Gimana?"
Kurasa mataku pasti melotot banget. Aku barusan diajak
kencan oleh Tony! Dan perasaanku makin membubung karena
Tony langsung bertanya dengan nada takut-takut, "Nggak
suka?"
"Bukan," gelengku. "Aku cuma nggak nyangka."
"Oh." Tony tertawa kecil. "Kalo gitu, boleh kapan-kapan kita
pergi bareng?"
Dan, semua cewek waras pasti akan menyahut seperti yang
kulakukan saat ini, "Oke!"
Sesaat kami cuma berdiam-diaman, sementara topik "kencan
bareng" sepertinya sedang mengambang di udara. Untuk mengusir
rasa canggung, aku bertanya, "Kita jemput Markus juga nggak?"
"Nggak," sahut Tony. "Rumah Markus kan jauh, jadi daripada
buang-buang waktu, dia langsung ke mal aja. Tadinya dia memang kepingin ke sini dulu, tapi aku nggak ingin bikin kamu
bingung."
"Bikin aku bingung?" tanyaku heran.
"Yeah." Wajah Tony tampak salah tingkah. "Hmm jujur aja,
kami berdua penasaran banget sama rumah kamu, Jen."
Oh. Dengan satu kalimat itu aku langsung paham. "Soal gosip
hantu itu, ya?"
"Iya," sahut Tony. "Sebenarnya, sebelum kamu tinggal di sana,
rumah itu terkenal sebagai rumah yang angker banget. Aku dan
Markus sering diam-diam masuk ke rumah itu, berlagak seperti
sepasang petualang tangguh. Tapi, begitu ada bunyi mencurigakan,
kami berdua langsung kabur tunggang-langgang."40
Aku tertawa mendengar kisah masa kecil Tony dan Markus.
"Sepertinya dulu kalian lucu banget."
"Sampai sekarang juga lucu," seringai Tony. "Jadi, selama kamu
tinggal di situ, pernah ngeliat sesuatu yang menarik?"
"Belum pernah sih," sahutku jujur. "Tapi... tadi malam aku
sempet mimpi soal wanita bergaun putih dan anak perempuannya."
"Ah." Tony tersenyum. "Wanita bergaun putih dan anak perempuannya. Tahu nggak, aku kenal mereka lho."
Mataku terbelalak mendengar kata-kata Tony. "Beneran?"
"Yah, maksudku, waktu mereka masih hidup."
Oh. Kukira Tony benar-benar mengenal hantu-hantu itu.
"Waktu aku masih kecil, mereka tinggal di rumah yang sekarang kamu tinggali itu. Sepasang suami-istri yang jangkung,
dengan penampilan yang sangat rapi, bikin aku selalu ngira kalo
mereka itu berdarah biru atau semacamnya. Mereka punya dua
orang anak, laki-laki dan perempuan. Anak laki-lakinya pendiam
banget dan sering ngumpet di dalam rumah, tapi anak perempuannya sering main di pekarangan. Dia bener-bener imut.
Rambutnya ikal kecokelatan, dengan pipi putih bersemu kemerahan. Semua yang ngeliat dia pasti langsung sayang banget
sama dia." Wajah Tony menjadi suram. "Saat dia tenggelam,
kami semua bener-bener sedih."
Tanpa sadar aku meletakkan tanganku di atas tangan Tony
yang memegang persneling. "Kamu juga?"
"Yeah, aku udah sempat nganggap dia adikku sendiri."
Tangan Tony membalas menggenggam tanganku, membuat jantungku melonjak. Tenang, Jantung. Ini bukan waktunya untuk berpikir macam-macam. "Itu pemakaman pertama yang kuhadiri. Lalu,41
nggak lama kemudian, ibunya gantung diri." Bisa kurasakan tubuh
Tony bergidik. "Di kamar depan yang menghadap ke rumahku."
Oh, kamar depan yang... Kamar depan???
"Kenapa, Jen?" tanya Tony, menyadari perubahan air mukaku.
"Hmm," aku menelan ludah, "itu kamar yang aku tempati
saat ini!"
"Oh." Tony diam sejenak. Genggaman tangannya pada tanganku semakin erat. "Sori, perasaanmu pasti jadi nggak enak."
Aku menggeleng. "Tapi selama ini aku nggak pernah ngerasa
kenapa-kenapa di ruangan itu."
"Yah, mereka orang-orang baik," kata Tony lembut. "Mereka
nggak akan ngeganggu orang-orang baik lain. Jadi, kamu nggak
perlu khawatir."
Kami tiba di rumah Hanny. Meski tidak terlalu jauh, rumah
Hanny terletak di blok yang berbeda dengan kami. Tempat yang
lebih eksklusif, dikelilingi pagar kawat dan dijaga oleh petugas
sekuriti yang jauh lebih bisa diandalkan ketimbang satpam-satpam
di dekat rumahku. Karena lebih eksklusif, harga tanahnya pun
jauh lebih mahal dan sangat terbatas. Itulah sebabnya rumah
Hanny lebih kecil daripada rumahku ataupun rumah Tony.
Tony segera menghubungi ponsel Hanny dan memintanya keluar,
lalu berkata padaku, "Sebentar ya, Jen. Aku jemput Hanny dulu."
Baru saat itulah kusadari bahwa aku dan Tony masih berpegangan tangan. Dengan tidak rela, kulepaskan tangan Tony,
lalu dia pun keluar dari mobil dan menunggu di depan pagar.
Ku
sadari bahwa setelah Hanny tiba, aku harus pindah ke jok
belakang. Kursi bagian depan adalah milik pemeran utama, dan
aku yang cuma figuran ini harus tahu diri.
Tapi aku bisa melihat wajah Tony yang bertanya-tanya saat dia42
masuk ke dalam mobil dan mendapati aku sudah duduk manis
di jok belakang. Tapi dia tidak sempat berkomentar macammacam, karena Hanny sudah menyapaku. Sahabatku itu tampak
cantik sekali dengan tube dress berwarna madu, dengan dandanan
senada yang membuatnya tampak sangat dewasa. Mendadak saja,
aku merasa diriku seperti anak kecil yang tidak menarik.
"Jen!" serunya kecewa. "Kok lo pakai bolero segala?"
"Iya," sahutku. "Takut nanti dingin di dalam bioskop."
"Ah, dasar," gerutu Hanny. "Sayang kan, gaun cantik gitu ditutup-tutupin." Lalu dia beralih pada Tony. "Markus mana, Ton?"
Dengan adanya Hanny, pembicaraan di dalam mobil berganti
dengan topik yang lebih menyenangkan, yaitu film-film yang
sedang beredar saat ini. Dengan mood kami berdua saat ini, kami
menghindari semua film horor yang tengah beredar. Untunglah
Tony sama sekali tidak menolak saat diajak nonton New Moon,
meski banyak pilihan film horor yang lebih sesuai seleranya.
Seperti yang dikatakan Tony, Markus sudah menunggu di mal.
Penampilan Markus sangat menakjubkan, dengan kemeja peach
lengan panjang, dengan ujung kemeja tidak dimasukkan ke dalam
celana khaki yang dikenakannya. Bahkan, Hanny pun sempat
mengomentari penampilan Markus yang menurutnya high-class
banget saat kami sedang pergi ke toilet.
Sore itu benar-benar sempurna. Seharusnya ini kencan pertama
untuk Tony dan Hanny?yeah, nama mereka pun serasi banget?
namun Tony sama sekali tidak membuatku merasa tersisihkan.
Bahkan saat kami nonton di bioskop, Tony tidak mengajak
Hanny duduk di pojokan berdua saja, melainkan tetap duduk
berempat bersama aku dan Markus. Markus pun bersikap sangat
baik padaku. Setiap kali kami merasa harus memberi waktu bagi43
Tony dan Hanny untuk berduaan, dia selalu menemaniku
ngobrol. Baru kali inilah aku benar-benar menikmati acara akhir
minggu kami. Biasanya sih aku benar-benar harus berperan
sebagai figuran yang siap didepak kalau tak dibutuhkan lagi.
Akhirnya kami pulang juga ke rumah. Seperti waktu berangkat
tadi, Markus pulang sendirian. Seperti tadi pula, Tony mengantar
Hanny dulu, barulah menuju kompleks rumah kami. Kami melewatkan perjalanan dengan ngobrol tentang New Moon, yang
ternyata jauh lebih bagus daripada film pertamanya. Kami berdua
sama-sama memuji akting Dakota Fanning sebagai Jane yang lucu
namun menyeramkan.
Tiba di depan rumah, Tony memasukkan mobil ke dalam
garasinya, lalu mengantarku pulang berjalan kaki. Angin sore
membelai rambut kami, sementara matahari mulai tenggelam,
menyisakan semburat berwarna lembayung di langit.
"Thank you buat hari ini, Ton," ucapku saat kami sudah berada
di depan rumahku.
"Sama-sama," sahut Tony sambil tersenyum. "Hari ini kamu
seneng nggak, Jen?"
Aku mengangguk. "Seneng banget."
"Kalo gitu, aku juga seneng banget," sahut Tony. Tiba-tiba dia
tampak gelisah. "Jen."
Aku menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu, tapi dia malah
membelai pipiku.
"Kalo lagi begini, kamu tampak polos banget," kata Tony
sambil tersenyum. "Seharusnya kamu bareng cowok lain yang lebih baik, tapi..." Tony terdiam lama sekali sebelum akhirnya bertanya, "Jen, mau jadi pacarku nggak?"44
Astaga, Tony mengajakku pacaran!
Aku tahu, ini bukannya sesuatu yang tak terduga. Maksudku,
kenapa juga dia mengajakku kencan kalau bukan karena tertarik
padaku? Tapi tetap saja, diajak pacaran oleh cowok paling ganteng di sekolah membuatku ingin meloncat-loncat gembira.
Mana cara Tony mengajakku pacaran sempat membuatku degdegan. Habis, sehari setelah kencan kami, malam-malam dia
muncul di rumahku dengan tampang pucat. Mirip hantu yang
muncul dari kegelapan, gitu. Kalau tampangnya tidak ganteng,
mungkin aku sudah lari sambil menjerit-jerit ketakutan.
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Han, mau jadian sama aku nggak?"
Begitulah katanya dengan suara gemetar. Astaga, cowok itu
benar-benar manis. Saking takut ditolak, dia sampai pucat dan
gemetar begitu. Supaya perasaannya lebih baik, aku langsung memeluknya erat-erat. Dan begitu aku memeluknya, dia langsung
melingkarkan kedua tangannya ke pinggangku, menarikku sampai
aku nyaris tidak bisa bernapas.
Pada saat itulah, aku pun jatuh cinta.
4
Hanny45
Yeah, aku tahu. Ini juga sesuatu yang sangat baru bagiku. Selama ini aku pacaran karena menyukai cowok-cowok yang mengajakku jadian, atau barangkali naksir pada mereka?seperti aku
naksir pada Tony sebelum dia mengajakku pacaran. Tapi, kalau
soal jatuh cinta, baru kali inilah aku merasakannya. Debaran jantung yang bertalu-talu saat berada di dekatnya, wajah yang memerah hanya karena bertatapan, rasa rindu di saat tidak berjumpa?intinya, semua omong kosong yang tadinya tak pernah
kupercayai.
Begitu Tony pulang, aku langsung menelepon Jenny.
"Jen, Tony ngajak gue pacaran!"
"Hah?" Suara Jenny seperti orang linglung. "Oh, congrats ya,
Han!"
Dalam kegembiraanku, aku sempat menyadari keanehan sikap
Jenny. "Lo kenapa, Jen?"
"Oh, nggak apa-apa. Dari kemarin gue kurang tidur. Jadi rada
lemes."
"Dasar payah," gerutuku. "Ya udah, mendingan lo istirahat aja
sono! Besok baru kita ngegosip seharian sampai puas!"
Setelah menutup telepon, aku baru menyadari ketidaksensitifanku. Astaga, Jenny kan juga menyukai Tony! Mungkin dia bukan
sekadar menyukai Tony, melainkan juga jatuh cinta padanya.
Habis, anak itu kan selalu serius. Bisa jadi, begitu mendengar aku
jadian dengan Tony, dia langsung menangis tersedu sedan di kamarnya yang mengerikan itu.
Oke, sekarang aku merasa bersalah.
Perasaan yang sangat konyol, bukan karena aku main belakang,
kan? Sejak awal aku sudah terang-terangan mengatakan pada
Jenny bahwa aku ingin pacaran dengan Tony. Sebaliknya, Jenny46
juga sudah merestui hubunganku dengan Tony. Jadi tidak seharusnya aku merasa bersalah, dan tidak seharusnya Jenny membuatku merasa bersalah.
Nah, sekarang aku jadi kesal pada Jenny. Berani-beraninya dia
menodai kebahagiaanku malam ini. Sudahlah, aku tidak mau
memikirkannya lagi. Lebih baik kupikirkan Tony, pacar baruku
yang ganteng banget.
Hmm, kira-kira besok Tony bakalan mengajakku jalan-jalan
tidak, ya?
***
Pagi yang mengesalkan. Belum apa-apa aku sudah nyaris dilindas
oleh sopir si Jenny Bajaj. Memang sih, Jenny Bajaj sudah
mengeluh berkali-kali tentang sopirnya yang sering membuat
nyawanya berada di ujung tanduk?tapi itu kan Jenny Bajaj, si
tukang dramatisir. Bukan cuma sopirnya yang ingin membunuhnya. Guru olahraga, penjaga sekolah, tukang minuman di seberang sekolah, penjual majalah, sopir bajaj yang pernah melindas
jempol kakinya hingga kerabat-kerabat Jenny Bajaj yang
kebanyakan berdomisili di Singapura, semuanya mengharapkan
kematian si Jenny Bajaj.
"Elo baik-baik aja, Han?" tanya Johan yang berhasil menarikku
kembali ke trotoar sebelum sopir Jenny Bajaj sempat menghabisiku. "Mobil siapa itu? Gila banget!"
"Itu mobil Jenny Bajaj!" tukasku jengkel. "Emang nggak punya
mata. Suatu hari pasti tabrakan deh tuh orang!"
Johan menatapku geli. "Kalo lagi marah-marah gini, elo lucu
banget, Han."47
Entah cara Johan menatapku?yang sepertinya kelewat mesra?
ataukah karena tangannya yang masih memegangi lenganku, mendadak saja aku merasa risi dibuatnya.
"Eh, gue udah punya cowok baru, Han," kataku sambil menarik diri darinya. "Kasih selamat ke gue dong!"
Wajah Johan berubah suram. Hmm, baik Jenny maupun
Johan, dua-duanya tidak ikut berbagi kebahagiaan denganku.
"Oh, ya? Selamat kalo gitu. Siapa cowok beruntung itu?"
"Tony."
"Tony anak kelas sebelas itu?" tanya Johan dengan nada jijik.
"Kenapa elo mau sama dia, Han?"
"Lho," aku terperanjat. "Dia kan ganteng, Han."
Oke, percakapan kami berdua memang kedengaran agak lucu
karena dipenuhi panggilan "Han" di mana-mana. Tapi kami
berdua sudah terbiasa kok. No biggie.
"Tapi dia itu tukang mainin cewek!" balas Johan marah. "Gue
nggak mau kalo sampe dia mainin elo, Han."
Oke, sekarang aku tersinggung. "Emangnya kenapa Tony harus
mainin gue? Gue nggak cukup baik untuk dia, gitu?"
"Bukan gitu maksud gue," kata Johan lemah. "Gue cuma mau
jagain elo, Han."
Melihat tampang Johan yang memelas, aku jadi tidak tega
juga. Kutepuk bahunya dengan sikap bersahabat. "Tenang saja.
Tony itu baik banget kok. Dia nggak akan mainin gue."
Johan menatapku sungguh-sungguh. "Gue harap lo bener. Gue
hanya pingin lo bahagia, Han."
Johan memang baik. Aku tidak mengerti kenapa dia dan Jenny
tidak pernah akur.
Kami jalan bareng menuju kelas. Seperti biasa, Jenny sudah48
duduk di bangku kami. Dia memang selalu datang pagi-pagi sekali.
Namun berbeda dengan biasanya, pagi ini wajahnya pucat dan
matanya bengkak, membuat perasaan bersalahku timbul lagi.
"Hei, elo nggak apa-apa?" tanyaku seraya duduk di samping
Jenny. "Kok pucat banget?"
"Oh, nggak apa-apa," sahutnya sambil tersenyum lemah. "Gue
emang kurang enak badan pagi ini."
Kenapa sih dia tidak mengaku saja kalau dia nangis semalaman? Kalau begini caranya, ingin menghibur pun aku tidak bisa.
Jadilah aku cuma diam saja, berpura-pura sibuk. Dan, aku tahu,
Jenny juga melakukan hal yang sama.
Sial, pacaran dengan Tony membuat persahabatanku dengan
Jenny jadi kacau. Jadi, sekarang aku harus bagaimana? Aku tidak
ingin kehilangan Jenny. Kurasa, meski mencari seumur hidup,
aku tak bakalan bisa ketemu sahabat lain lagi yang bisa mengerti
diriku dan menerima semua kekuranganku, seperti yang sudah
Jenny lakukan selama ini.
Tapi sebaliknya, aku juga tidak mungkin memutuskan Tony.
Ini pertama kalinya aku jatuh cinta, dan aku merasa sangat bahagia karenanya. Aku punya banyak harapan bersama Tony,
harapan-harapan yang tak ingin kukorbankan begitu saja.
Kuakui, di antara aku dan Jenny, Jenny-lah yang berhati besar.
Aku tidak hanya berhati egois, melainkan jauh lebih egois ketimbang manusia-manusia kebanyakan. Menurutku, sudah selayaknya dia yang mengalah padaku, dan tidak sepantasnya dia mengharapkan aku yang menuruti keinginannya.
Seharian ini aku dan Jenny tidak banyak bicara. Untunglah,
berhubung hari ini hari Senin, pelajaran hari ini sangat padat dan
menyebalkan, membuat pikiranku jadi sibuk. Ehm, sebenarnya49
tidak terlalu sibuk juga. Sementara orang lain mendengarkan
ocehan Pak Hengki tentang P = F/A yang membosankan, aku
malah mengkhayalkan hal-hal mesra yang ingin kulakukan bersama Tony. Cowok itu lebih sopan daripada cowok-cowok pada
umumnya. Selama kencan pada hari Sabtu kemarin, dia sama
sekali tidak memegang tanganku atau mencoba menciumku.
Padahal cowok-cowok lain pasti sudah melakukan berbagai manuver yang membuatku kepingin ngakak?atau marah. Kadang aku
suka dengan cowok-cowok yang "berani", tetapi ada juga yang
membuatku sebal dengan pendekatan yang terlalu kasar.
Bel istirahat berbunyi, dan kali ini aku tidak gembira karenanya. Soalnya, ini berarti aku harus menghadapi Jenny yang sedari
tadi bermuram-durja.
"Elo mau ikut gue ke kantin nggak?" tanyaku ketus.
Jenny mengangguk pelan.
Arghh. Aku sebal melihat sikap Jenny yang lembek. Seandainya
saja dia mau melawanku sedikit, setidaknya kami akan saling
membentak dan mencurahkan isi hati. Setelah itu kami akan
berbaikan dan hubungan kami akan kembali seperti sediakala.
Sip, kan? Kenapa dia malah memilih diam-diaman begini?
Aku berjalan duluan, sementara Jenny mengikuti di belakangku. Kalau sudah begini, jadilah kami seperti ratu dan dayang,
seperti yang sering disinggung oleh mantan-mantan pacarku yang
kurang ajar. "Hanny dan Jenny", begitulah mereka menyebut
kami, namun bisa juga diganti dengan mudah, "Ratu dan
Dayang". Meski aku selalu marah untuk membela Jenny, harus
kuakui kadang-kadang aku merasa pernyataan itu ada benarnya.
Seperti yang pernah kukatakan, aku bukan cewek biasa. Sikapku
sangat dominan, membuat sebagian orang?seperti Jenny dan50
Johan?tergerak untuk mematuhi perintah-perintahku. Dan karena Jenny selalu berada di dekatku, tak pelak lagi dia sering
kusuruh-suruh. Memang mirip dayang, kan?
Saat kami memasuki kantin, aku mendengar suit-suit tidak
jelas. Sebelum aku sempat terheran-heran, Tony sudah menghampiriku dengan senyum lebar di wajahnya.
"Hai, Han," sapanya mesra, lalu mendaratkan ciuman di pipiku.
Gila, pipiku langsung serasa terbakar oleh sentuhan bibir Tony.
Namun, lagi-lagi, sebelum aku sempat bereaksi, tepuk tangan
langsung memenuhi seluruh kantin. Astaga, beginikah rasanya
pacaran dengan cowok paling ganteng di sekolah? Mana Tony
langsung membungkukkan badannya ke beberapa arah sambil
berteriak, "Thank you, thank you!" Seolah-olah dia baru saja berhasil memenangkan sesuatu.
"Ayo, Han, aku traktir makan bakmi," kata Tony sambil meraih tanganku.
Lalu, mendadak saja perkembangannya jadi aneh. Begini, Sabtu
kemarin Tony bersikap manis sekali pada Jenny. Terus terang aku
sangat senang melihatnya, karena tidak banyak mantan pacarku
yang menyukai Jenny. Yah, maklumlah, Jenny kan pendiam
banget. Buat kebanyakan orang, dia sangat membosankan. Namun, pada hari Sabtu itu aku bisa melihat Tony betul-betul menyukai Jenny, dan itu menambah nilai plus cowok itu.
Nah, hari ini Tony justru bersikap dingin sekali pada Jenny.
Meski kami makan di meja?Markus juga ikut nimbrung?Tony
sama sekali tidak memedulikan Jenny. Jenny pun bersikap seolaholah Tony tidak ada, dan hanya bicara denganku atau Markus
(kebanyakan sih Jenny cuma berdiam diri).51
Dan, yang akhirnya membuatku kaget, tahu-tahu saja Tony
menarik tanganku. "Ayo, Han, kita jalan berdua aja."
Dari tampang Markus yang melongo melihat kepergian kami,
aku tahu ini bukan sesuatu yang biasa Tony lakukan.
Di bawah tatapan semua orang, aku dan Tony meninggalkan
kantin, menuju bagian sekolah yang lebih terpencil. Jantungku
berdebar-debar keras. Inilah saatnya! Tony akan mengajakku bermesraan di tempat sepi di sekolah. Wow. Aku belum pernah
melakukan sesuatu seperti ini, tapi aku pernah mendengar gosipgosipnya. Pacaran di ruang UKS, ciuman di lab biologi, belum
lagi gelap-gelapan di gudang sekolah!
Ternyata Tony membawaku ke lapangan basket. Saat aku mencoba mengingat-ingat, gosip seru apa yang pernah dilakukan di
lapangan basket, kudengar Tony berkata pelan, "Han, kita putus
aja, ya."
Kata-kata itu menyambarku bagaikan petir, membuatku sama
sekali tidak bisa berbicara.
"Sori, aku tahu semua ini terlalu cepat," kata Tony murung.
"Tapi aku emang nggak berniat pacaran sama kamu. Dan semakin lama sama kamu, aku semakin merasa ini semua kesalahan
besar."
Setelah diam beberapa lama, aku berhasil memaksa diriku
berbicara. "Kalo kamu emang nggak berniat pacaran sama aku,
kenapa kamu ngajakin aku jadian?"
"Soal itu... aku emang salah," gumam Tony. "Aku emang
nggak berpikir panjang. Sori."
Entah kenapa, aku teringat ada yang pernah mengatakan,
Semakin tinggi kita meloncat, semakin jatuh sakitnya. Aku sudah52
sempat berharap begitu banyak pada hubunganku dan Tony, dan
sekarang semuanya terasa begitu pahit, begitu nyeri, begitu
tragis.
Rasanya aku ingin menangis tersedu-sedu, memukuli Tony
yang sudah menyakiti hatiku, bertanya padanya apa salahku sampai dia menganggap berpacaran denganku adalah kesalahan besar.
Namun, aku tahu lebih baik. Saat ini, satu-satunya yang tersisa
dari diriku adalah harga diri, jadi aku hanya menegakkan bahuku
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan berkata, "Oke kalo itu mau kamu. Thanks kamu mau jujur
sama aku dari awal, Ton."
Sebenarnya aku ingin mengatakan beberapa hal lagi, tapi rasanya aku sudah tidak kuat menahan tangisku. Jadi aku membalikkan tubuhku, terseok-seok berjalan menuju kelas. Saat ini
yang ingin kulakukan hanyalah menemui Jenny dan menangis di
bahunya, mengatakan bahwa seumur hidup aku tak akan lagi
lebih mementingkan cowok dibanding dirinya. Aku akan selalu
menempatkan persahabatan kami di atas segalanya!
"Han!"
Kulihat Johan menghampiriku.
"Akhirnya, gue berhasil ketemu elo juga!"
"Jangan sekarang, Han," gumamku. "Gue lagi buru-buru nih!
Ada yang harus gue bicarain dengan Jenny."
"Jenny?" Nada suara Johan terdengar muak. "Buat apa lo ketemu pengkhianat itu?"
"Pengkhianat?" Langkahku terhenti. "Apa maksud lo, pengkhianat?"
"Dia berkomplot sama Tony untuk mainin elo, Han."
Tubuhku membeku saat mendengar kata-kata Johan.53
"Tadi gue berhasil ngorek-ngorek informasi dari salah satu anak
kelas sebelas. Rupanya, masalah ini sekarang lagi jadi gosip paling
heboh di anak-anak kelas sebelas dan dua belas. Ceritanya, beberapa cowok brengsek di kelas senior sakit hati karena diputusin
elo, lalu mereka mulai ngejelek-jelekin elo. Elo dibilang cewek
nggak bener, brengsek, dan entah apa lagi."
Meski seumur hidup aku sudah sering mendengar gosip-gosip
buruk mengenai diriku, aku tidak pernah terbiasa karenanya. Saat
ini pun perutku langsung mual begitu Johan mengatakan semua
itu. Namun, semua itu tak ada apa-apanya dibandingkan apa
yang meluncur dari mulut Johan selanjutnya.
"Mereka mulai bikin taruhan, siapa cowok yang sanggup bikin
elo patah hati. Jumlah uang yang terlibat rupanya banyak banget!"
Mulutku terasa kering. "Dan, Tony ngajuin diri untuk ngelakuin itu?"
Johan mengangguk dengan wajah iba dan penuh simpati.
"Kabarnya, hari ini dia harus cium elo di depan semua orang
untuk menangin taruhan itu."
Jadi, itulah sebabnya ada tepuk tangan di kantin. Oke, sekarang aku jadi makin susah bernapas saja. "Lalu, apa hubungannya
sama Jenny?"
"Dia tahu semuanya, Han!" Lagi-lagi wajah Johan terdengar
muak saat membahas Jenny. "Dia dan Tony kan udah naksirnaksiran sejak dulu. Selama ini mereka emang belum pernah pacaran, baru sampai tahap pedekate. Tapi Jenny tau semuanya dari
Tony."
Jadi, inilah sebabnya Tony bersikap manis sekali pada Jenny
pada hari Sabtu lalu. Karena mereka saling naksir. Saat itu kukira54
aku sedang berkencan dengan Tony. Namun sesungguhnya, Jennylah yang sedang berkencan dengan Tony. Dan aku masih mengira
sikap Tony pada Jenny adalah nilai plus. Aku benar-benar idiot.
"Menurut yang gue denger, Jenny-lah yang nyuruh Tony
pacaran sama elo."
Cukup sudah. Sekarang aku benar-benar marah.
"Gue harus ketemu Jenny sekarang!" geramku seraya berjalan
menuju kelas.
Seperti dugaanku, Jenny sudah kembali ke tempat duduk
kami, duduk dengan manis, memasang wajah malaikatnya yang
alim. Tak kusangka, cewek yang selama ini kukira cewek paling
baik di dunia, ternyata cewek culas berhati ular.
"Jenny!" bentakku, dan dia langsung tersentak kaget. Kini baru
kusadari, wajah yang sejak pagi kukira muram, bukanlah wajah
muram, melainkan wajah penuh rasa bersalah. "Ngaku sekarang
juga! Apa elo yang suruh Tony pacaran sama gue?"
Wajah Jenny memucat. "Lo denger dari mana, Han?"
Kemarahanku semakin berkobar-kobar. "Jadi, itu bener?"
Jenny diam sejenak, lalu menyahut pelan. "Ya."
Aku tidak bisa menahan diri lagi. Tanpa memedulikan orangorang yang berkumpul di sekitar kami, aku menampar Jenny.
Suara plak menggema di ruangan kelas kami yang mendadak
sepi.
"Gue nggak sangka, lo sanggup nikam gue dari belakang," kataku tanpa bisa menahan air mataku. "Diam-diam punya hubungan
sama Tony dan nggak mau ngasih tau gue, itu udah nyakitin
banget, Jen! Tapi ngebantu Tony ngerjain gue demi taruhan? Lo
bener-bener brengsek!"
Meski tidak bisa melihat Jenny dengan jelas karena terhalang55
air mata, dari suaranya aku tahu dia juga sedang berjuang menahan tangis. "Han, gue nggak ngerti. Taruhan apa?"
"Nggak usah berlagak bego. Gue nggak sudi dengar pembelaan
diri lo!" Aku berusaha bersikap galak, namun suaraku gemetar.
"Mulai sekarang, anggap aja persahabatan kita berakhir."
Mulut Jenny ternganga, seolah-olah ingin mengatakan banyak
hal, namun tak ada kata-kata yang keluar.
Namun, satu-satunya hal yang terpikir olehku adalah menyakiti
hati Jenny sebisa mungkin sebelum kami tidak bicara lagi untuk
selama-lamanya.
"Gue benci sama elo, Jen!" Kudengar suara asing keluar dari
mulutku. Suara penuh kebencian, dendam, dan kemarahan yang
amat sangat. Suara yang mengucapkan kata-kata kutukan yang
kelak akan sangat kusesali. "Gue sumpahin lo biar sial selamanya!"56
Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah melabrak Tony
dan menerornya hingga dia menjelaskan semuanya.
Oke, itu bukan gayaku. Gayaku adalah menaiki tangga menuju
kelas-kelas yang lebih atas dengan terhuyung-huyung, lalu mengetuk
pintu kelas XI-IPA-1 sambil menyedot ingus, dan dengan suara gemetar yang memalukan, memohon dengan sangat pada salah satu
anak kelas XI-IPA-1 yang cukup berbaik hati untuk memanggil
Tony.
Saat pintu kelas XI-IPA-1 terbuka, dari sekian banyak murid
yang asyik berkerumun, mataku langsung tertuju pada punggung
Tony (sebenarnya, itu karena seragamnya paling dekil di antara
teman-temannya). Sebaliknya, Tony masih asyik membelakangiku,
bercanda dengan teman-temannya, mungkin menertawakan apa
yang sudah dilakukannya pada aku dan Hanny.
Saat bahunya dijawil oleh temannya yang kuminta menyampaikan pesan, Tony menoleh dengan muka heran. Lalu dia mendongak dan matanya bertemu dengan mataku. Sedetik kemudian,
dia sudah menghambur ke depan pintu.
"Jen, kamu kenapa?" tanyanya dengan kepedulian yang mem5
Jenny57
buat hatiku makin sakit saja. Tangannya mengusap pipiku dengan
lembut. "Siapa yang bikin kamu nangis? Akan aku hajar dia
sampai terkaing-kaing!"
"Kamu!" semburku sambil menepiskan tangannya. "Kamu yang
bikin aku jadi seperti ini!"
Muka Tony langsung melongo. "Aku?"
"Kamu bikin taruhan apa soal Hanny?"
Nah, ini baru namanya labrakan, karena muka Tony langsung
memucat.
"Soal itu..." Dia menggaruk-garuk kepalanya. "Emangnya kamu
dengar dari siapa, Jen?"
Aku baru saja mau membuka mulut saat Pak Yono, si guru
sangar, menyela kami.
"Bel pelajaran sudah berbunyi," tegurnya. "Ayo, kembali ke
kelas masing-masing."
"Sori, Pak." Wajah Tony mengeras. "Tolong kasih kami
waktu sebentar. Saya lagi ada urusan penting di sini."
Sesaat, Pak Yono dan Tony saling memandang dengan sorot
mata tajam.
"Setelah urusan pentingmu selesai, kamu harus menerima
hukuman untuk kalian berdua," tandas Pak Yono.
"Oke."
Kami menyingkir dari depan kelas menuju ujung koridor yang
mengarah pada balkon di depan sekolah. Ini pertama kalinya aku
berada di lantai atas, tapi karena perasaanku sedang kacau, aku
tidak sempat melihat-lihat dengan kagum. Padahal di pintu-pintu
loker di depan kelas, terdapat banyak tempelan berita, foto, dan
gambar yang kelihatannya lucu-lucu.
Berduaan dengan Tony mengingatkanku pada malam itu. Ma-58
lam setelah kami pergi sesiangan. Tony mengajakku pacaran, dan
meski perasaanku melambung sampai melayang-layang karena
ajakannya itu, aku menolaknya.
"Kenapa?" tanyanya setelah diam beberapa saat. "Apa karena
seragamku dekil? Kalo soal itu, aku janji deh, mulai sekarang aku
bakalan rajin-rajin nyuci."
"Emangnya kamu jarang nyuci seragammu?" tanyaku kaget.
"Mmm kadang-kadang," sahutnya salah tingkah. "Yah,
namanya juga anak cowok, kalo terlalu asyik main, seragamnya
jadi jorok dan, ng... kadang lupa taruh di cucian, lalu tahu-tahu
aja seragamnya udah kudu dipake lagi." Mendadak Tony tampak
cemas. "Kamu nggak suka? Kalo gitu, aku akan lebih perhatian
lagi soal itu."
"Sebenarnya, menurutku itu rada lucu sih," sahutku sambil
nyengir. "Kamu jadi mencolok di mana-mana."
"Betul, kan?" Wajah Tony berubah berseri-seri. "Aku juga ngerasa begitu. Nggak seru kan, kalo terlihat sama kayak cowokcowok lain."
Sesaat kami cuma berpandangan dengan geli. Perlahan, Tony
meraih tanganku, menarikku mendekat padanya. Jantungku berdebar-debar saat merasakan hangat tubuh Tony di sekelilingku.
Ada aroma lembut pada dirinya, bukan sesuatu yang wangi seperti parfum atau aftershave, tetapi sangat menenangkan. Dan,
aku sangat menyukainya.
"Just give me a chance, okay?" pinta Tony. "Aku tahu, mungkin
saat ini kamu belum suka sama aku, tapi aku pasti bisa ngubah
perasaan kamu, Jen."
"Bukan itu masalahnya, Ton." Aku menghela napas. "Aku...
Hanny suka sekali sama kamu, Ton."
59
"Tapi yang aku suka itu kamu, bukan dia," sela Tony sambil
menggenggam kedua tanganku.
Aku ingin sekali menuruti keinginan hatiku, untuk sekali ini
saja. Aku ingin menerima perasaan Tony, menjadi pacarnya, dan
hidup bahagia untuk selama-lamanya. Tapi, apakah ini yang namanya bahagia untuk selama-lamanya? Bersikap egois dan membuat
Hanny sedih, mengacaukan persahabatan kami, dan membuatku
kehilangan sahabat?
Akhirnya, aku mengambil keputusan itu dengan berat hati.
"Gimana kalo kamu kasih kesempatan dulu buat Hanny? Please?"
Tony menatapku dengan tampang putus asa. "Kamu benerbener pingin aku jadian sama dia?"
Aku mengangguk dengan sikap setegas mungkin.
Tony terdiam lama sekali, lalu akhirnya menjawab, "Akan aku
pikirin."
Lalu, aku tidak tahu apa-apa lagi sampai akhirnya Hanny meneleponku dan mengatakan dia sudah jadian dengan Tony. Ternyata Tony menuruti keinginanku juga. Dan, meskipun itu keinginanku, saat mendengarnya hatiku langsung terasa hampa.
Rasanya begitu tolol, membiarkan kesempatan yang sudah kunanti-nantikan selama bertahun-tahun lepas begitu saja.
Tapi, bagaimanapun, aku tidak mungkin jadian dengan Tony.
Tidak selama Hanny menyukainya setengah mati.
Sekarang aku mengacaukan semuanya. Yeah, tadi kukatakan
pada Tony bahwa dialah yang membuatku menangis. Tapi sebenarnya, akulah yang melakukan semua ini pada diriku sendiri.
Aku yang meminta Tony jadian dengan Hanny. Aku yang bersikap tolol.60
"Jen." Suara Tony membuyarkan lamunanku. "Apa yang terjadi tadi?"
Dengan singkat aku menceritakan apa yang dikatakan Hanny
padaku. Teringat kemarahan Hanny yang begitu besar padaku?
bagaimana dia mengatakan dia benci padaku dan menyumpahiku
biar sial selamanya?membuatku menangis lagi. Lalu, tahu-tahu
saja, aku sudah mendapatkan diriku berada dalam pelukan Tony.
"Nggak apa-apa, nangis aja sesuka kamu." Suara Tony mengalir
lembut di atas kepalaku. "Hmm aku nggak punya saputangan,
tapi karena seragamku udah dekil, kamu boleh pake sesuka
kamu."
Kata-katanya membuatku tertawa di sela-sela tangisku. "Emangnya boleh ngelucu di saat-saat seperti ini?"
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yah, namanya juga berusaha untuk menghibur," katanya sambil
memelukku lebih erat. Dalam posisi seperti ini, aku bisa mengakses
baju Tony untuk dijadikan pengganti saputangan dengan lebih
mudah. "Mmm, aku akan jelasin soal taruhan itu, Jen."
Tony pun menceritakan padaku, bahwa sebenarnya di antara
anak-anak kelas sebelas dan dua belas, Hanny terkenal sebagai
cewek brengsek yang hobi mempermainkan cowok. Karena kesal
padanya, sejumlah cowok-cowok pun membuat taruhan, siapa
cowok yang sanggup menghancurkan hati Hanny. Salah satu
nama yang disebutkan adalah Tony.
Awalnya Tony menganggap taruhan itu cuma lelucon belaka.
Lelucon khas cowok-cowok yang sedang patah hati. Tapi makin
dibicarakan, dia makin tertantang. Dan puncak-puncaknya, Ivan
yang baru saja diputuskan oleh Hanny meminta Tony untuk menyambut taruhan itu. Berhubung Ivan salah satu teman Tony
sejak SD, Tony pun menyanggupinya.61
"Nah, waktu kita pergi bareng," lanjut Tony, "aku baru nyadar
kalo Hanny ternyata nggak seburuk yang dibilang orang-orang.
Setidaknya, dia sangat manis sama kamu. Dan kamu juga sayang
sekali sama dia. Jadi aku mutusin untuk ngebatalin taruhan itu.
Daripada pacaran dengan Hanny, aku jauh lebih ingin pacaran
sama kamu, Jen!"
Aku tahu, aku tidak anggun, tapi aku tidak bisa menahan
pertanyaan ini. "Kok bisa?"
"Kamu ingat kejadian kamu dikejar anjing waktu masih
SD?"
Wajahku langsung memerah. Tentu saja aku ingat kejadian
memalukan itu. Waktu itu keluargaku baru pindah ke rumah
yang sekarang dan masih belum mendapatkan sopir. Jadi, saat
pergi ke sekolah, aku harus berjalan ke depan kompleks untuk
mencari bajaj. Saat sedang berjalan itulah, mendadak seekor
anjing menganggapku makhluk yang menarik untuk dijadikan
sasaran, dan anjing itu mulai mengejarku. Aku langsung berlarilari sambil menjerit, "AHHHHHHH!" atau semacam itulah
(karena panik, aku tak ingat apa yang kujeritkan).
Pada saat itulah Tony keluar dari rumahnya. Waktu itu, seragamnya juga dekil seperti sekarang ini. Dia berhasil memancing
anjing itu pergi dengan sarapan yang dibawanya dan menenangkanku yang menangis meraung-raung.
Kurasa, itulah pertemuan pertamaku dengan Tony. Sejak saat
itu, aku jatuh cinta padanya hingga saat ini. Yeah, orang bilang,
kejadian saat kau pertama kali jatuh cinta selalu indah, tapi ternyata kejadian pertama aku jatuh cinta pada Tony sama sekali
tidak ada keren-kerennya. Di pihakku, maksudku. Kalau Tony sih
kerennya luar biasa.62
"Waktu itu aku lagi enak-enak sarapan, lalu mendadak aku
dengar lolongan yang histeris banget," kata Tony dengan mata
menerawang. "Langsung aja aku lari ke depan rumah. Ternyata
ada anjing yang sedang ngejar-ngejar anak perempuan yang lucu
banget, dengan rambut dikepang dua, seperti cewek dalam logo
Wendy?s."
Aduh, cerita ini makin memalukan saja!
"Sebenarnya aku rada takut sama anjing, tapi saat itu entah
kenapa aku ngerasa harus ngebela anak perempuan itu. Kalo
nggak, aku nggak pantas disebut anak laki-laki." Tony tertawa.
"Yah, pikiran yang konyol, tapi itu yang bikin aku berani menghadapi anjing itu. Ditambah sandwich daging asap yang kubawa,
tentunya. Kalo nggak ada sandwich itu, mungkin aku juga masih
mikir-mikir!"
Tony mengangkat daguku dengan satu jarinya, dan tatapan
kami pun bertaut.
"Sejak saat itu aku jatuh cinta sama kamu, Jen," katanya lembut. "Dan, sampai sekarang belum pernah ada cewek yang bisa
ngegantiin kamu."
Aduh, jantungku berpacu begitu cepat, sampai rasanya mau
copot. "Kok kamu nggak pernah bilang selama ini?"
"Hmm, waktu pertama kali, aku takut, karena kita masih
kecil," sahut Tony dengan wajah salah tingkah yang lucu. "Habis
itu, nggak tahunya si brengsek Markus bilang dia naksir kamu
juga. Jadi daripada rebutan cewek, kami berdua sepakat untuk
nggak ngejar kamu."
"Markus?" Aku terperanjat. Dicintai Tony saja rasanya sudah
tidak bisa dipercaya. Apalagi kalau menjadi cewek yang disukai
Tony dan Markus sekaligus!63
"Yeah, ngeselin, ya?" kata Tony jengkel. "Tapi waktu malam
kemarin itu aku benar-benar udah nggak mikirin Markus lagi.
Pertama kali pergi sama kamu, kupikir kamu akan jadi cewek
yang ngebosenin dan bikin aku ilfil. Nggak tahunya, kamu persis
seperti yang kupikirin. Bahkan lebih." Tatapan Tony berubah
lembut saat membelai rambut di pelipisku. "Kamu begitu manis
dan lembut, tapi punya selera humor yang bagus dan sering
tertawa. Kamu nggak suka berdebat, tapi bisa bikin orang-orang
ngerti perasaanmu dengan sikap diammu. Kamu nggak ngebiarin
hal-hal kecil bikin kamu kesal."
"Kamu tahu semua itu dari sekali pergi bareng?" tanyaku heran.
"Iya," sahut Tony sambil tersenyum. "Soalnya, selama kita pergi,
aku terus-menerus merhatiin kamu."
Gila, rasanya melayang banget. Belum pernah aku mendapatkan kata-kata yang begini manis dari seorang cowok. "Terus, soal
taruhan?"
"Oh ya, soal taruhan." Tony menyeringai. "Nyaris lupa, garagara ada topik lain yang lebih menarik. Yah, pokoknya, aku sudah mutusin untuk ngalah pada taruhan itu. Tapi kamu malah
minta aku jadian sama Hanny. Lalu, kupikir, okelah, aku akan
nuntasin taruhan itu dan menegaskan kemenanganku, tapi aku
nggak akan nerima uang kemenangannya, karena itu nggak adil
untuk Hanny." Dia menatapku lekat-lekat. "Kalo kamu nggak
percaya, kamu boleh tanya Markus, Jen. Semua orang sedang
ngata-ngatain aku goblok tadi, waktu kamu nyari aku di kelas."
Goosebumps Jeritan Kucing Setan Pendekar Naga Geni 24 Pendekar Empat Pendekar Mabuk 137 Duel Asmara
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama