Ceritasilat Novel Online

Obsesi 2

Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu Bagian 2

"Aku percaya sama kamu kok," ucapku, dan wajah Tony langsung berubah berseri-seri lagi. "Tapi... aku tetap nggak tahu apa

yang harus kulakuin tentang Hanny."64

"Soal itu, biar aku yang urus," kata Tony tegas. "Nanti waktu

istirahat kedua, aku akan jelasin semuanya ke dia. Oke?"

Aku mengangguk. "Oke."

***

Aku tidak tahu apa hukuman yang diberikan oleh Pak Yono pada

Tony (Tony tidak mau mengatakannya padaku). Yang jelas, guru

yang hobi menghukum murid itu sama sekali tidak memberiku

hukuman. Ibu Lasmie pun tidak berkomentar apa-apa saat aku

telat masuk kelas, tapi guru Biologi itu memang jauh lebih manis

dan berhati lembut ketimbang Pak Yono.

Namun saat aku memasuki kelas, aku langsung menyadari ada

perubahan. Kini yang duduk di samping Hanny adalah Johan.

Tasku rupanya sudah dipindahkan jauh-jauh ke bangku di

depan bangku milik Jenny Bajaj dan Jenny Tompel. Di kelas

kami, bangku-bangku depan memang tidak populer, dan kini aku

menempati bangku paling depan?berarti kini aku menduduki

posisi cewek paling tidak populer di kelas, tanpa teman sebangku

pula.

Meski terpukul dengan semua itu, aku tidak ingin menimbulkan keributan lebih lanjut lagi dan menerima nasibku dengan

pasrah. Namun, di dalam hati aku tidak pasrah. Perasaanku berkecamuk antara marah, sedih, dan putus asa. Masa Hanny tidak

memercayaiku sedikit pun? Tidak mau menerima penjelasanku

sepatah kata pun? Masa dia lebih memilih untuk memutuskan

persahabatan kami selamanya?

Benar-benar keterlaluan.

Istirahat kedua dimulai jam dua belas. Begitu bel berbunyi,65

tahu-tahu Tony sudah berada di depan kelas kami. Semua orang,

termasuk aku, langsung memperhatikan Tony dan Hanny dengan

penuh rasa ingin tahu.

Kejadiannya cukup cepat. Hanny mengikuti Tony ke luar

kelas, sementara semua orang menjaga jarak untuk memberi

mereka privasi. Dari bahasa tubuh Tony, aku bisa menduga dia

sedang menjelaskan soal taruhan itu pada Hanny dan bagaimana

akhirnya dia tidak mengambil uang kemenangannya. Tahu-tahu

Hanny memberikan tamparan untuknya?aku bisa mendengar

suara terkesiap dari belakang, entah yang melakukannya adalah

Jenny Bajaj yang hobi dramatisir atau Jenny Tompel yang selalu

ingin tahu urusan orang?lalu Hanny meninggalkan Tony begitu

saja.

"Udah? Begitu doang?" Nah, ini baru ucapan Jenny Tompel.

"Begitu doang?" ulang Jenny Bajaj dengan suara ngeri. "Hanny

nampar Tony di depan semua orang! Astaga, dia pasti sakit hati

banget, sampai-sampai ngelakuin semua ini untuk ngembaliin

gengsinya!"

"Yah, reputasi cewek itu emang udah tercoreng sih," kata Jenny

Tompel puas. "Salah sendiri, siapa suruh dia pacaran dengan semua

cowok yang nembak dia. Sekarang baru tahu rasa deh!"

Aku membalikkan tubuhku dan berkata dingin, "Asal tahu aja,

cowok yang nembak Hanny jauh lebih banyak daripada yang

kamu duga. Tapi, Hanny cuma pacaran dengan yang betul-betul

dia suka."

"Ngapain sih lo belain dia?" ketus Jenny Tompel membalasku.

"Elo kan udah dibuang sama dia. Tanpa Hanny, lo bukan siapasiapa, tahu?"66

Kata-kata Jenny Tompel sangat menusuk hatiku, membuatku

segera menghadap ke depan lagi.

Yeah, kali ini Jenny Tompel benar. Tanpa Hanny, aku bukanlah

siapa-siapa.67

Tanpa Jenny, aku merasa bukan siapa-siapa.

Oke, ini memang kedengaran tidak masuk akal. Maksudku,

coba lihat aku. Aku ini bukan cewek biasa-biasa saja. Di luar

tampang dan penampilanku yang memang oke banget, aku juga

memiliki kepribadian yang tegas dan dominan, dengan bakat seni

di atas rata-rata. Kalau ada kata yang tepat untuk menggambarkan

diriku, kata itu adalah nyentrik. Ini sebabnya aku tidak pernah

bergabung dengan Yunita dan Lena yang giat menarik cewekcewek populer ke geng mereka, meski sudah berkali-kali mereka

mendekatiku. Bagiku, mereka hanyalah cewek-cewek cantik berotak kosong. Lagi pula, seperti kataku tadi, aku ini nyentrik.

Orang nyentrik sulit dimengerti oleh orang-orang lain, apalagi

oleh cewek-cewek berotak kosong.

Intinya, seharusnya aku baik-baik saja tanpa Jenny. Aku bisa

memilih untuk mulai berteman dengan cewek-cewek berotak kosong dan bertingkah seperti cewek berotak kosong, atau aku bisa

menjadi diriku dan berteman dengan Johan. Beres, kan?

Namun, bertingkah seperti cewek berotak kosong jelas tidak

6

Hanny68

sesuai dengan kepribadianku, sementara menghabiskan waktu seharian dengan Johan tidaklah semenyenangkan seperti yang kuduga. Dulu, waktu masih berteman dengan Jenny, aku memang

suka bergaul dengan Johan. Sekali-sekali kami akan ngobrol

panjang lebar, dan aku akan merasa tersanjung dengan semua

perhatiannya padaku. Sekali-sekali aku akan menggodanya dan

membuat wajahnya memerah, membuatku menyadari bahwa

Johan memang rada naksir padaku. Sekali-sekali aku akan

mengeluh padanya, dan Johan akan menunjukkan kemarahannya,

lalu aku akan merasa sangat dilindungi.

Kata kuncinya adalah sekali-sekali.

Kini aku selalu bersama Johan. Duduk bareng, makan bareng,

bahkan pulang bareng. Sudah begitu, sampai di rumah, dia masih

meneleponku. Padahal aku sudah kehabisan topik untuk mengobrol dengannya. Memang benar kata orang, sahabat cowok,

sebaik apa pun, tidak sebanding dengan sahabat cewek. Dengan

sahabat cewek kita bisa melakukan pembicaraan antarcewek,

tetapi dengan cowok, pembicaraan seperti itu membuatku rikuh.

Maksudku, aku tidak mungkin bisa mengeluhkan menstruasi

yang menyebalkan pada Johan, kan?

Dan, kini tidak ada "Hanny dan Jenny" lagi. Yang ada hanyalah "Hanny dan Johan", yang kedengarannya agak aneh karena

seperti pacaran, tapi lebih buruk karena nama cowoknya ada di

belakang, seolah-olah aku ini penindas cowok kelas kakap.

Padahal aku tidak suka menindas cowok. Seandainya aku punya

kelainan seperti itu, aku akan sangat gembira berpacaran dengan

Ivan si cengeng, yang langsung menangis setiap kali aku bersikap

kasar sedikit.

Sial, aku rindu pada Jenny.69

Cewek itu benar-benar tolol. Setelah aku memutuskan persahabatan kami, kini dia bergaul dengan Jenny Tompel dan Jenny

Bajaj. Seolah-olah memang di situlah seharusnya dia berada.

Memang sih, waktu aku menyuruh Johan duduk di sebelahku,

Johan langsung memindahkan tas dan peralatan Jenny ke bangku

di depan Jenny Tompel dan Jenny Bajaj. Tapi, itu kan tak berarti

dia harus bergabung dengan kedua cewek tak laku itu!

Sudah begitu, berhubung dia sudah bukan Jenny dari "Hanny

dan Jenny", anak-anak mulai mencari julukan baru untuknya. Tak

lama kemudian, anak-anak mulai memanggilnya Jenny Jenazah?

hasil pelesetan dari Jenasa, singkatan dari Jenny Angkasa. Julukan

yang tepat, kata anak-anak, karena Jenny Jenazah tinggal di

rumah yang menurut gosip ada hantunya. Jujur saja, aku pasti

bunuh diri kalau diberi julukan sejelek itu. Tapi, meski awalnya

Jenny tampak jengkel dengan julukan itu, belakangan kulihat dia

diam-diam tersenyum geli setiap kali ada yang memanggilnya

Jenny Jenazah.

Sial, aku rindu pada selera humor Jenny.

Hari ini aku melampiaskan kekesalanku pada Jenny Jenazah

dengan pertandingan voli. Guru olahraga kami, Pak Mochtar,

meminta kami cewek-cewek untuk membuat dua regu. Berhubung kelas kami cuma ada dua belas cewek, pembagian itu

sama sekali tidak sulit. Cewek-cewek populer, seperti aku, Yunita,

dan Lena, langsung memilih untuk berada di regu yang sama,

sementara cewek-cewek kuper berada di regu yang satu lagi. Regu

yang juga ditempati oleh Jenny Tompel, Jenny Bajaj, dan Jenny

Jenazah.

Namanya juga melawan regu cewek-cewek kuper, kami berhasil

melibas mereka habis-habisan. Bukan cuma skornya yang kalah70

telak, aku juga berhasil men-smash muka Jenny Jenazah tiga kali.

Muka Jenny Tompel mendapat smash lima kali dariku, sedangkan

muka Jenny Bajaj mendapat jatah satu kali sebelum akhirnya dia

digiring ke ruang UKS sambil menangis (dasar cengeng! Aku

tidak mengerti kenapa air matanya tidak pernah habis).

Terus terang saja, aku tidak tahu seberapa parah kerusakan

yang kusebabkan pada muka Jenny Bajaj, tapi tahu-tahu saja

cewek itu berhasil minta izin untuk pulang lebih cepat. Aneh,

padahal Jenny Tompel yang kena lima kali saja tidak kenapakenapa (siapa tahu, smash sebanyak itu membuat tompelnya rada

bergeser), meski gerutuan Jenny Tompel yang panjang lebar itu

jelas-jelas ditujukan padaku. Diam-diam aku membuat rencana

untuk menghadiahi Jenny Tompel beberapa smash lagi di ronde

kedua ini (yeah, cewek tidak mau kalah itu ternyata meminta

pertandingan ulang. Dasar tidak tahu diri!).

Saat sedang sibuk mengatur posisi, kami melihat mobil Innova

Jenny Bajaj lewat di samping lapangan voli. Sekilas aku bisa melihat Jenny Bajaj duduk di jok belakang, memegangi kursi depan

dengan muka pucat. Astaga, dasar cewek pengecut! Memangnya

kecepatan mobil itu berapa sih?

BRAKKK!!!

Kami semua terlonjak kaget mendengar bunyi tabrakan yang

keras banget itu. Sesaat kami semua cuma bisa membeku dengan

wajah yang sama pucatnya dengan wajah Jenny Bajaj sebelum

tabrakan.

Lalu, seseorang, entah siapa, berteriak, "Jenny! Jenny tabrakan!!!"

Teriakan itu langsung menyadarkan kami. Pak Mochtar, diikuti

olehku dan beberapa teman-teman sekelas yang lain, segera berlari71

ke pintu di samping lapangan voli yang menembus ke jalan raya.

Di sana kami melihat mobil Innova Jenny Bajaj menancap pada

tiang lampu lalu lintas di dekat sekolah kami.

"Apa-apaan ini?" gumam Pak Mochtar sebelum berlari mendekat

seraya mengeluarkan ponselnya dan menelepon ambulans. Saat kami

mendekat, dia langsung berteriak-teriak dengan panik. "Jangan

dekat-dekat! Nanti kalian menimbulkan kerusakan lebih parah!"

Namun, kami sudah sempat melihat kondisi Jenny Bajaj, dan

pemandangan itu melekat di otakku dalam waktu yang sangat

lama. Jenny Bajaj menyandar pada kaca jendela yang dipenuhi

darah, dengan kemeja seragam putih yang juga bersimbah darah.

Aku bisa melihat darah menetes-netes dari jarinya ke aspal, membuatku nyaris histeris. Tapi aku cuma menutup mulutku dengan

tangan, berusaha menahan tangis ketakutan.

Apakah kecelakaan Jenny Bajaj terjadi gara-gara aku? Karena

kalau aku tidak men-smash-nya, dia tidak akan minta izin untuk

pulang lebih cepat, dan semua ini tak akan terjadi.

Aku terhuyung-huyung saat berjalan mundur mengikuti perintah Pak Mochtar. Saat membalikkan badan, kulihat Jenny?

Jenny Jenazah, maksudku?sedang berdiri dengan wajah pucat

dan mata tergenang air mata. Begitu melihatnya, hal pertama

yang terpikir olehku adalah berlari ke arahnya, memeluknya eraterat dan menjerit-jerit, "Bukan salahku kan, Jen? Ini bukan salahku, kan?" Dan aku yakin Jenny akan menemukan kata-kata yang

tepat untuk menghiburku.

Namun, saat itulah aku mendengar teriakan histeris. "Jenny!

Mana Jenny?"

Kami semua menoleh dan melihat Tony menyeruak di antara

teman-teman sekelas kami, matanya mencari-cari dengan liar. Saat72

melihat Jenny?maksudku, lagi-lagi, Jenny Jenazah?Tony langsung menerkam Jenny dan memeluknya erat-erat.

"Ya Tuhan," kata Tony gemetar seraya menciumi rambut Jenny,

"kukira kamu yang tabrakan!"

Dan aku bisa melihat tangan Jenny merangkul leher Tony, sementara bahunya terguncang-guncang karena tangis.
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat Jenny Bajaj tergolek dalam keadaan bersimbah darah

di dalam mobilnya sudah cukup mengerikan bagiku, namun kini,

melihat betapa besar kepedulian Tony pada Jenny dan betapa

Jenny menyandarkan dirinya pada Tony, membuatku betul-betul

terpukul. Seharusnya Tony peduli padaku, bukan pada Jenny.

Seharusnya Jenny menangis bersamaku, bukan menyandarkan

dirinya pada Tony.

Sesaat aku menggapai-gapai, berusaha bernapas, berusaha mencari tempat pegangan. Namun tak ada seorang pun di sekelilingku yang memedulikanku seperti Tony peduli pada Jenny.

Lalu, seseorang menangkap tanganku.

"Tenang, Han, tenang!" Suara Johan terdengar lembut dan

menghibur. "Nggak apa-apa, Han. Itu cuma Jenny Bajaj."

"Ini bukan cuma Jenny Bajaj, Han!" kataku tercekik. "Gue

yang bikin dia minta izin pulang. Gue yang bikin dia kecelakaan...."

"Jangan nyalahin diri lo," hibur Johan. "Semua orang tahu sopir

Jenny Bajaj emang ugal-ugalan. Cepat atau lambat, dia pasti akan

bikin Jenny Bajaj terbunuh."

Jenny Bajaj terbunuh.

Kata-kata itu membuat kepalaku berputar-putar. Untunglah

aku masih memegangi Johan. Kalau tidak, aku pasti sudah terkapar di tengah jalan.73

"Elo keliatan nggak sehat," kata Johan prihatin. "Ayo, kita masuk aja."

Aku membiarkan diriku dibimbing oleh Johan. Kami melewati

Jenny yang masih memeluk Tony, dan sesaat mata kami bertemu.

Melihat kemesraannya dengan Tony membuatku tidak sanggup

menahan sinar kebencian memancar dari mataku.

Aku benci kamu, Jenny. Aku akan benci kamu selamanya.

***

Pelajaran hari ini berlangsung murung. Meski tidak pernah

menyukainya, saat ini kami semua mengkhawatirkan kondisi

Jenny Bajaj dan menunggu-nunggu berita dari rumah sakit. Setiap

kali ada orang melintas di depan kelas, semua orang?baik

teman-teman sekelas maupun guru-guru yang mengajar kami?

serempak menoleh, mengharapkan orang itu bakalan masuk ke

dalam kelas kami dan mengatakan, "Kalian semua boleh tenang.

Jenny Bajaj baik-baik saja." Namun, hingga jam pelajaran berakhir, kami belum menerima kabar apa pun dari rumah sakit.

Hari ini pula, seperti beberapa hari sebelumnya, aku pulang

naik mobil Johan. Perasaanku sangat tidak enak, jadi sepanjang

jalan aku cuma berdiam diri.

"Elo nggak usah nyalahin diri lo lagi, Han," kata Johan tibatiba. "Gimanapun, ini semua salah Jenny Bajaj."

Aku menoleh padanya dengan kaget. "Kok lo tega-teganya

ngomong gitu, Han?"

"Bukannya gue tega," sahut Johan serius. "Tapi, lo tahu sendiri,

Jenny Bajaj selalu ngarepin simpati orang-orang. Sekarang dia

berhasil ngedapetin itu, dengan nyawanya sebagai tebusan."74

Aku menatap Johan dengan tidak senang. "Jadi, menurut lo,

Jenny Bajaj sengaja nyelakain diri supaya dapat perhatian, gitu?"

"Bisa jadi, kan?" tanya Johan muram. "Ini hal yang sudah dia

harap-harapin sejak dulu. Mungkin awalnya dia cuma kepingin

bersikap dramatis, tapi nggak tahunya keadaan jadi di luar kendali."

"Jenny Bajaj bukan orang seperti itu!" bantahku. "Dia emang

sering ngedramatisir hal-hal yang terjadi pada dirinya, tapi dia

nggak pernah berusaha nyelakain diri sendiri kok."

"Yah, gue kan cuma ngeduga-duga," kata Johan heran. "Sekalian buat ngehibur lo. Kenapa lo malah marah-marah sama gue?"

"Gue..." Kepalaku mendadak jadi pusing. "Sori, Han, perasaan

gue emang lagi nggak enak."

Jari-jari Johan mencengkeram setir erat-erat. "Karena tadi

ngeliat Tony meluk Jenny?"

Tak kusangka dia memperhatikan hal itu juga. Yah, meskipun

sedang syok dengan kecelakaan yang menimpa Jenny Bajaj, kurasa

semua orang pasti memperhatikan kejadian itu. Tapi aku menolak

mengakui bahwa kejadian itu memang sangat memukul perasaanku.

"Entahlah," gumamku. "Gue rasa, semua kejadian hari ini

emang terlalu berat."

"Istirahat deh," kata Johan sambil meremas bahuku. "Tidurtiduran aja. Nanti begitu sampe, gue bangunin."

Yah, itu saran yang bagus. Aku segera memejamkan mata,

mengusir bayangan Jenny Bajaj yang bersimbah darah.

Juga bayangan Tony yang sedang mencium rambut Jenny.75

Hidup ini rasanya seperti sederetan mimpi buruk.

Pertama-tama, aku dimusuhi Hanny. Yah, bukan saja persahabatan kami terputus, kini Hanny menganggapku sebagai musuh

bebuyutannya. Setiap kali melewatiku, dia selalu melemparkan

tatapan seolah-olah aku ini sampah yang sangat menjijikkan,

membuatku menelan setiap sapaan yang ingin kuberikan padanya.

Waktu pertandingan voli, dia menjadikanku bulan-bulanannya.

Setiap kali smash-nya berhasil mengenaiku, dia langsung ber-highfive-ria dengan Yunita atau Lena, yang langsung cekikikan seraya

melirikku. Dan saat istirahat pertama tadi, waktu di kantin, dia

"tidak sengaja" menumpahkan teh botolnya padaku. Perbuatan

Hanny itu tidak membuatku merasa malu; aku malah merasa sedih.

Aku tidak ingin dimusuhi Hanny. Aku sayang sekali padanya.

Kedua, seperti yang bisa diduga, kini aku menyandang julukan

Jenny Jenazah. Karena sudah mengharapkannya, sebenarnya aku

tidak malu-malu amat saat mendapatkan julukan itu. Yang lebih

membuatku kesal, orang yang pertama kali memulai ejekan itu

adalah Johan, si cowok mengerikan yang menggantikan posisiku

7

Jenny76

sebagai sahabat Hanny, merebut bangkuku, dan menyeringai dengan tampang puas setiap kali Hanny mengerjaiku.

Ketiga, kecelakaan yang dialami Jenny Bajaj. Karena dilarang

oleh Pak Mochtar, guru olahraga kami, aku tidak mendekati mobil Jenny Bajaj saat kecelakaan itu terjadi. Namun aku sempat

melihat sekilas. Pose tubuh Jenny Bajaj mirip sekali dengan pose

tubuh Hanny di dalam mimpiku. Maksudku, tentu saja, mimpi

mengerikan tentang Hanny dimangsa hantu-hantu di rumahku.

Meski Jenny Bajaj tidak kehilangan bola matanya?kuharap begitu?dan daging serta kulitnya masih utuh, tubuhnya yang bersimbah darah juga terlihat sangat menakutkan. Kurasa pemandangan itulah yang membuatku tidak berani mendekat?bukan karena

larangan Pak Mochtar.

Untungnya tragedi itu tidak berbuntut kesedihan. Sehari setelah

kejadian itu, kami mendapat kabar bahwa Jenny Bajaj akan hidup

terus. Kerugiannya hanyalah gegar otak, tujuh jahitan, dan pitak di

belakang kepalanya karena harus dicukur dokter. Saat dia tersadar

dan menyadari pitaknya ternyata cukup besar, dia menangis meraung-raung sampai harus disuntik obat penenang.

Berita lebih besar datang dua hari setelahnya. Polisi mendatangi

sekolah kami, mengatakan bahwa seseorang telah memotong tali

rem mobil Jenny Bajaj. Sang sopir, seperti biasa, langsung ngebut

gila-gilaan begitu menjalankan mobil. Saat menyadari remnya blong,

sopir itu langsung panik dan mengantamkan mobil ke tiang lampu

lalu lintas. Omong-omong, si sopir juga cuma menderita gegar otak,

plus mendapat hiasan banyak sekali luka di mukanya. Kurasa Jenny

Bajaj harus melihat kondisi sopirnya supaya dia bisa mensyukuri

minimnya luka-luka yang dideritanya.

Kami semua, terutama cewek-cewek yang sedang berada di la-77

pangan voli?cowok-cowok di kelasku sedang main basket

indoor?langsung ditanyai oleh polisi. Bukannya kami semua jadi

tertuduh. Toh tak ada satu pun di antara kami yang tahu di

mana letak tali rem. Pertanyaan yang kami dapatkan terutama

mengenai orang-orang asing di sekitar sekolah kami, apakah ada

yang bersikap mencurigakan, siapa kira-kira yang dendam pada

Jenny Bajaj. Jujur saja, sebelum kejadian ini, kurasa banyak orang

di sekolah kami yang mengharapkan Jenny Bajaj mendapat celaka

atau semacamnya, tapi aku yakin tak ada yang cukup gila untuk

benar-benar mencelakai dia.

Dan terakhir, dengan absennya Jenny Bajaj, kini aku harus sebangku dengan Jenny Tompel. Aku tidak mengada-ada, tapi

kurasa hal ini bisa disebut sebagai musibah juga. Sebagai teman

sebangku Jenny Tompel, aku tahu dua hal yang tidak diketahui

orang-orang tentang Jenny Tompel.

Hal pertama, Jenny Tompel ternyata suka menyusun teori-teori

bikinan sendiri. Sebelum masalah tali rem itu ketahuan, dia

bilang Jenny Bajaj selalu yakin bahwa sopirnya sangat membencinya sampai-sampai ingin membunuhnya, dan kali itu, saking

tidak tahan dengan Jenny Bajaj, sopirnya nekat mengorbankan

diri supaya Jenny Bajaj bisa menutup mulutnya untuk selamalamanya. Setelah masalah tali rem ketahuan, Jenny Tompel bilang,

sopir Jenny Bajaj suka kebut-kebutan karena dikejar-kejar lintah

darat. Pada akhirnya, lintah darat itu menemukan sopir Jenny

Bajaj dan membunuhnya sebagai contoh bagi orang-orang yang

tidak mau membayar utang. Jenny Bajaj, menurut Jenny Tompel,

hanyalah collateral damage. Waktu kutanya apa itu collateral

damage, Jenny Tompel langsung membuka buku Fisika seraya

berlagak tidak mendengarku.78

Hal kedua?yang tidak kalah mengerikan dibanding hal pertama?adalah, setiap teman sebangku Jenny Tompel ternyata diwajibkan untuk memanggilnya "J-Li". Dulu Jenny Bajaj memanggilnya "J-Li", kini aku juga harus melakukannya. Jujur saja,

aku merinding setiap kali menyebut nama "J-Li". Tapi Jenny

Tompel langsung menjalankan aksi mogok bicaranya kalau aku

memanggilnya "Pel". Jadi, terpaksalah aku menggunakan panggilan "J-Li" yang terlalu imut bagi Jenny Tompel.

Bisa diduga, duduk bareng Jenny Tompel bagaikan siksaan

neraka bagiku. Waktu duduk dengan Hanny, aku memang tidak

banyak bacot. Tapi Hanny mengimbanginya dengan memberiku

percakapan yang ringan dan menyenangkan. Tentang cowokcowok yang sedang mengejar-ngejarnya, tentang mode yang

sedang ngetren saat ini, tentang toko aksesori yang baru dibuka

di mal. Kini yang kudengar hanyalah teori-teori busuk Jenny

Tompel ditambah dengan ucapan-ucapan siriknya tentang cewekcewek yang membuatnya iri, membuatku ingin sekali berlutut

padanya sambil memohon-mohon, "Hentikan! Please, hentikan

sekarang juga!" Terkadang aku bertanya-tanya, apa dosaku sampaisampai aku harus menjalani kehidupan seperti ini.

Kadangkala aku berharap tompel Jenny Tompel copot saja.

Satu-satunya hal menyenangkan yang terjadi belakangan ini

hanyalah kedekatanku dengan Tony.

Bukannya kami jadi dekat-dekat amat. Sebenarnya, sejak obrolan kami di lantai dua setelah dia memutuskan hubungannya

dengan Hanny, kami tidak pernah saling bicara lagi. Dan bukan

itu saja. Aku menghindarinya habis-habisan. Dalam pikiranku,

aku masih berharap untuk berbaikan dengan Hanny, dan sok

akrab dengan Tony akan membuat harapan itu menjadi hal yang79

mustahil. Di sisi lain, kurasa Tony juga merasa bersalah karena

sudah membuat retak persahabatanku dengan Hanny, karena dia

tidak pernah mendekatiku lagi.

Mungkin inilah yang terbaik bagi semua orang.

Kecelakaan yang dialami Jenny Bajaj mengubah semuanya.

Waktu itu, karena orang-orang berteriak-teriak "Jenny tabrakan!",

Tony mengira akulah yang mengalami kecelakaan. Saat melihatku,

dia tampak sangat lega, sampai-sampai memelukku di depan

semua orang. Belakangan, Jenny Tompel mengomentari tindakan

kami sebagai tindakan-sok-mesra-dan-menjijikkan-yang-tak-patutdipertontonkan-di-depan-umum?dan kurasa seperti itu jugalah

yang ada dalam pikiran Hanny, sampai-sampai dia memelototiku

saat kecelakaan itu terjadi.

Setelah dipelototi Hanny, barulah aku menyadari betapa memalukannya situasi itu. Buru-buru aku menarik diri dari pelukan

Tony. Saat melihat wajah Tony yang pucat pasi di hadapanku,

lagi-lagi aku menyadari betapa besar kecemasannya padaku. Dan

itu benar-benar menyentuh hatiku.

Di balik bahu Tony, Markus tersenyum dan mengangguk

padaku dengan wajah penuh kelegaan.

"Jadi, siapa yang kecelakaan?" tanya Tony sambil melongok ke

arah mobil Jenny Bajaj. Rasa ingin tahunya mulai terbit seiring

dengan surutnya rasa khawatirnya.

"Jenny Bajaj," sahutku.

"Jenny yang jempol kakinya kelindas bajaj di hari pertama

sekolah?" tanya Markus.

Ternyata Jenny Bajaj tak cuma beken di kelas sepuluh. "Iya,

Jenny yang itu."80

"Jangan dekat-dekat! Hei, Tony, Markus!" teriak Pak Mochtar
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan wajah lega saat melihat kedua cowok itu. "Kalian berdua kan

kuat. Ayo, bantu Bapak melepaskan pintu depan mobil ini!"

"Oke!" sahut Tony sambil menepuk lenganku. "Sori ya, Jen.

Tugas memanggil. Sampai ketemu nanti."

Lalu, semuanya pun berubah.

Kini, setiap kali aku memasuki kantin, aku akan selalu menemukan Tony sedang menatapku?dan tersenyum padaku saat pandangan kami bertemu?tak peduli dia sedang mengantre di depan kios

bakmi atau sudah sibuk melahap makanan apa pun yang ada di

depannya. Saat aku selesai membeli makananku dan menduduki

tempatku di meja panjang khusus anak-anak kuper?tentu saja

bersama teman sebangkuku yang setia, Jenny Tompel?Tony akan

tiba-tiba muncul dan duduk di seberang kami bersama Markus.

Pertama kali duduk berseberangan dengan dua cowok itu,

Jenny Tompel langsung salah tingkah. Saat botol merica bubuk

tidak mau mengeluarkan isinya, dia mengocoknya dengan geram

seolah-olah benda itu sudah mempermalukannya. Lalu, mendadak

saja tutup botol merica terbuka, dan sejumlah besar isinya

menghambur ke luar. Karena angin di kantin cukup kencang,

tahu-tahu saja seluruh kantin sudah dipenuhi wabah bersin-bersin.

Seseorang mengamuk dan berteriak, "Siapa nih orang yang berani

mati, yang ngebom kantin ini dengan merica?!"

Karena kami semua tahu Jenny Tompel tidak berani mati,

kami?maksudku aku, Tony, dan Markus?mengatupkan mulut

kami rapat-rapat, sekalian berjuang keras untuk tidak tertawa. Bagi

kalian yang belum pernah mengalaminya, ketawa-ketawa sambil

bersin memang bukan pengalaman yang terlalu menyenangkan.

Selesai makan, aku dan Jenny Tompel langsung kembali ke81

kelas. Tidak seperti teman-teman kami yang lebih populer, kami

tidak punya kegiatan lain yang menarik di luar kelas (kecuali

kalau kami sedang butuh suplai kertas ulangan, atau kalau tip-ex

kami tidak dikembalikan oleh oknum tukang pinjam yang tak

bertanggung jawab).

Saat aku sedang membaca buku, mencatat ulang, atau apa saja

yang iseng aku kerjakan, aku bisa melihat Tony mejeng di seberang kelas, berkongkow-ria dengan Markus dan sejumlah cowok

lain, sembari mencuri-curi pandang padaku.

Lalu, pelajaran berakhir dan kami semua pulang ke rumah.

Aku akan menghabiskan sore hariku dengan membaca di balkon,

sambil diam-diam menonton Tony yang asyik mencuci mobil di

seberang rumah. Setiap beberapa saat dia akan mendongak padaku dan melemparkan senyum yang seketika menancap di hatiku.

Yah, memang tidak ada sepatah kata pun yang terucap, dan

buat kalian yang pernah berpacaran, ini mungkin terdengar tidak

terlalu seru. Tapi buatku yang belum punya pengalaman sama

sekali, hubungan ini terasa manis, istimewa, dan romantis luar

biasa.

Tapi, tetap saja aku merasa terkejut waktu Tony meneleponku

di akhir minggu.

"Markus lagi di rumahku nih," katanya. "Kami lagi mikir untuk nyelidiki rumah hantu, kalo yang empunya rumah nggak

keberatan."

Karena aku tidak tolol, tentu saja aku langsung bilang oke. Tak

lama kemudian, kedua cowok itu sudah muncul di depan

rumahku, memberiku cengiran lebar dan muka tersipu-sipu yang

tampak lucu.82

"Ini ide Markus," kata Tony sambil menunjuk temannya. "Katanya, dia penasaran sama rumah Jenny Jenazah."

"Jadi, julukan baruku sudah beredar di antara kakak-kakak

kelas juga?" tanyaku seraya menyilakan mereka masuk.

"Thanks," ucap Markus. "Yah, kami kakak-kakak kelas memang

sangat tertarik dengan urusan adik-adik kelas kami." Dia menatap

bangunan luar rumahku dengan wajah penuh rasa ingin tahu.

"Rasanya suram, ya?"

Aku tersenyum. "Yah, rumah ini disebut sebagai rumah hantu

bukannya tanpa alasan."

"Kamu tahu nggak, kalo rumah ini salah satu rumah tertua di

kompleks kita?"

Aku menggeleng menjawab pertanyaan Markus.

"Waktu itu rumah-rumah di sekeliling sini belum ada, termasuk rumah Tony. Kalo dibangun secara biasa, rumah ini pasti

akan sangat panas. Sinar matahari menyeruak dari mana-mana,

dan nggak ada penghalangnya sama sekali. Karena itulah, rumah

ini dibangun dengan jendela-jendela kecil dan tinggi. Dengan

begitu, pertukaran udaranya tetap bagus, sekaligus juga menjaga

hawa di dalam rumah agar nggak terlalu panas."

"Terus, coba tebak topik apa yang kami tulis waktu disuruh

bikin karya tulis?" tanya Tony sambil menyeringai waktu melihat

wajahku yang keheranan. "Gara-gara karya tulis itulah kami masuk ke rumah ini, sempat bikin beberapa sketsa dan foto, sebelum

akhirnya lari kalang kabut gara-gara kemunculan seekor tikus."

"Tiga ekor!" tukas Markus. "Kalo cuma seekor, paling cuma

bisa nakutin elo, Ton."

"Sori ya, biarpun takut, gue nggak akan ninggalin temen se-83

orang diri," balas Tony. "Kalo gue lari, itu artinya lo yang lari

duluan."

"Alah, ngeles aja lo! Ngaku deh, elo yang lari duluan ninggalin

gue!" timpal Markus. Lalu dia kembali memperhatikan bentuk

rumahku. "Rancangan rumah ini emang bagus waktu zaman itu,

tapi sekarang tempat ini terlalu suram untuk ditinggalin. Kenapa

ortu kamu nggak ngerenovasinya?"

"Iya, nggak sempat, soalnya mereka sibuk banget," sahutku

menjelaskan. "Mereka lebih sering bepergian daripada tinggal di

rumah."

"Pantas aku jarang ngeliat ortu kamu," komentar Tony. "Jadi

sekarang, kamu tinggal sendirian?"

"Aku tinggal bareng Mbak Mirna, pengurus rumahku. Ada

juga Pak Mar, sopirku, tapi dia nggak tinggal di sini."

"Wah, gawat dong kalo malam-malam ada keperluan." Tony

menyeringai. "Kalo butuh sopir di malam hari, ingat aja, di seberang rumah ada satu yang nganggur."

Aku tersenyum. Markus menonjok lengan Tony dengan tampang agak kesal. Mungkin iri dengan kesempatan yang dimiliki

temannya itu.

Saat memasuki ruang tamuku, Tony dan Markus tampak terpesona.

"Wow," ucap Markus. "Persis kayak tujuh tahun lalu!"

"Ya," angguk Tony. "Tapi, tanpa sarang laba-laba dan tikustikus yang berkeliaran."

"Siapa ini?" Tiba-tiba Mbak Mirna muncul. Wajahnya langsung

berseri-seri saat melihat Tony. "Den ini anaknya Pak Andi yang

di rumah seberang?"

"Mbak tahu aja," sahut Tony nyengir.84

"Tentu dong," sahut Mbak Mirna pongah. "Mbak kenal semua

orang di jalan ini. Ayo, duduk dulu. Biar Mbak bikinin minuman."

"Kami boleh lihat-lihat rumah ini dulu, Mbak?" tanya Tony

sopan.

"Oh, boleh-boleh aja. Siang-siang gini, kadang hantunya suka

keluar juga kok."

"Aduh, gawat, terbongkar deh niat yang sebenarnya," kata

Tony saat Mbak Mirna meninggalkan ruangan. "Kayaknya pengurus rumahmu itu tipe orang yang nggak bisa ditipu, ya?"

"Iya. Waktu kecil, aku pernah malas banget pergi ke sekolah,

jadi aku pura-pura sakit. Langsung aja dia nyekokin aku jamu

yang pahitnya setengah mati. Sejak saat itu aku nggak berani

bolos lagi."

Tony dan Markus tertawa mendengar ceritaku.

"Ternyata kamu punya sisi gelap juga, Jen," komentar Tony

sambil tersenyum. "Kirain kamu anak baik-baik dari sononya."

"Ah, bukan," sahutku sekenanya. "Itu karena terpaksa kok."

Menyenangkan sekali bicara dengan Tony dan Markus. Mereka

menyimak ceritaku dengan sungguh-sungguh, menertawakan

kisah-kisah lucu yang kuceritakan, dan balas menceritakan kisahkisah mereka sendiri. Dalam sekejap mereka sudah terasa seperti

teman lama bagiku.

Mereka juga menunjukkan ketertarikan yang amat besar pada

rumahku dan kisah-kisah gelapnya. Wajah mereka diwarnai rasa

penasaran saat kutunjukkan taman kecil yang, konon, dibikin

untuk menutupi kolam renang tempat tenggelamnya anak perempuan pemilik rumah sebelumnya.85

"Namanya Jocelyn," kata Tony mengenang. "Aku nggak akan

lupa namanya."

Objek keingintahuan mereka yang lain adalah kamar tempat

sang nyonya rumah sebelumnya bunuh diri?alias kamarku. Tapi,

kalian tahu kan, kita diajari untuk tidak boleh mengajak cowok

masuk ke kamar kita. Karena itulah, aku cuma memperlihatkan

kamar itu sekilas pada mereka.

"Keliatannya seperti kamar cewek biasa," komentar Tony. "Nggak

ada serem-seremnya sama sekali."

"Memangnya apa yang kamu harapkan?" tanyaku geli. "Ada

tengkorak gelantungan, gitu?"

"Yah, nggak juga sih," sahut Tony sambil nyengir. "Selama

kamu tinggal di situ, pernah ada kejadian aneh?"

"Nggak sih," gelengku. "Tapi Hanny pernah ngalamin sesuatu

yang aneh."

"Sesuatu yang aneh?" Kedua cowok itu menatapku dengan muka

penuh harap.

Aku segera menceritakan pengalaman aneh Hanny yang melibatkan kecurigaannya bahwa dia sedang diawasi, yang berlanjut dengan

peristiwa pakaian yang tahu-tahu berpindah tempat dan terlipat

rapi. Saat ceritaku berakhir, Tony dan Markus terdiam lama.

"Sori, bukannya gimana, ya," kata Markus hati-hati, "tapi apa

semua itu bukan cuma khayalan Hanny aja? Maksudku, bisa jadi

dia lagi mikirin yang nggak-nggak karena suasana rumah yang

nyeremin."

Aku menggeleng. "Sepertinya Hanny bener-bener ketakutan.

Soal ngerasa diawasi, mungkin itu perasaannya aja, tapi dia nggak

mungkin mengada-ada soal pakaiannya yang tahu-tahu terlipat

rapi itu."86

"Mmm, soal Hanny," kata Tony tiba-tiba dengan salah

tingkah, "kalian masih musuhan?"

Aku mengangguk murung.

"Dia masih marah sama kamu?" tanya Markus heran. "Bukannya dia udah punya pacar baru?"

"Pacar baru?" tanyaku heran, lalu mendadak mengerti. "Ah,

pasti yang kamu maksud itu Johan. Bukan, Johan itu bukan

pacar barunya, tapi cuma teman biasa."

Sebenarnya bukan cuma teman biasa, tapi sahabat barunya?

penggantiku. Tapi aku tak akan bersikap cengeng di depan cowokcowok ini.

"Cuma teman biasa?" Markus mengangkat sebelah alisnya.

"Bukan itu yang kami dengar."

"Emangnya apa yang kalian dengar?" tanyaku ingin tahu.

"Bahwa Hanny udah jadian sama cowok itu," sahut Markus

sambil nyengir. "Kembali ke kata-kataku tadi, kami emang kakakkakak kelas yang hobi ngurusin masalah adik-adik kelas."

"Tadi katanya cuma tertarik, sekarang kok tahu-tahu ikut ngurusin juga?"

"Intinya, Markus suka ngegosip!" tandas Tony, lalu menambahkan dengan kening berkerut, "Tampang cowok itu familier banget. Rasanya aku pernah ngeliat dia, tapi aku nggak ingat kapan

dan entah di mana aku ketemu dia."

"Pasti kamu ngeliatnya di sekolah," kataku geli. "Nggak mungkin kamu belum pernah ketemu sama dia. Kita kan satu sekolahan. Meski nggak saling kenal, bisa aja kalian berpapasan."

"Mungkin," sahut Tony ragu-ragu. "Tapi, sepertinya bukan

di sekolah deh!"

"Cowok yang jalan bareng Hanny waktu kecelakaan itu terjadi,87

kan?" tanya Markus. Aku dan Tony sama-sama mengangguk.

"Aneh bener. Kalo nggak ketemu di sekolah, di mana lo pernah

ketemu makhluk aneh gitu, coy?"

"Makanya, gue juga bingung." Tony menggaruk-garuk kepalanya. "Nggak tahu deh. Mungkin cuma masalah muka pasaran."

"Mmm, kayaknya tampang Johan nggak gitu pasaran deh,"

kataku. "Mukanya rada-rada bikin serem."

"Iya, aku juga ngerasa begitu," kata Markus. "Tadinya kupikir
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu cowok baru Hanny. Entah apa yang dilihat Hanny pada cowok itu."

"Ng, Jen?" Tony tiba-tiba menepuk bahuku. "Itu kamar siapa?"

Aku menoleh ke kamar yang ditunjuk Tony. "Oh, itu kamar

orangtuaku."

"Bukannya ortumu lagi di luar negeri?"

"Iya. Emang lagi di luar negeri."

"Kok tadi aku liat di celah bawah pintu, rasanya ada orang di

dalam kamar itu?"

Tubuhku menegang mendengar kata-kata Tony, sementara

Markus langsung menukas, "Yang bener?"

"Sumpah!" kata Tony dengan muka penasaran. "Ada bayangan

gelap melintas gitu. Emang cuma sekilas, tapi gue nggak mungkin

salah liat."

Jantungku jadi berdebar-debar. "Mmm, mau coba liat?"

Tony dan Markus berpandangan.

"Suit?" tanya Tony.

Ternyata dua cowok ini kekanak-kanakan banget.

Karena jari Tony membentuk batu dan jari Markus membentuk

gunting, Markus yang kebagian berjalan di depan dan menekan88

hendel pintu. Kamar orangtuaku memang tidak pernah dikunci,

supaya Mbak Mirna bisa membersihkannya setiap hari.

Suara pintu berderit yang biasanya akrab di telingaku kini terdengar menyeramkan.

Tapi, seperti yang seharusnya, kamar itu kosong. Tempat tidurnya licin, dengan permukaan nakas dan meja rias yang bersih dari

debu. Mbak Mirna benar-benar melakukan tugasnya dengan

baik.

"Coy," Markus mengedikkan kepalanya pada Tony, lalu keduanya memandang ke kamar mandi.

Pintu kamar mandi bergoyang perlahan. Kali ini Tony-lah yang

maju duluan dan membuka pintu kamar mandi.

Mendadak sebuah bayangan melompat ke arahnya, dan Tony

langsung berteriak kaget. "Sial! Tikus lagi!"

Astaga, ternyata hanya tikus! Oke, memang tidak keren kalau

ada tikus berkeliaran di rumah kita, tapi itu jauh lebih baik daripada hantu yang sanggup gentayangan siang-siang begini atau

pembunuh berantai yang menyusup ke dalam rumah.

"Oke, tadi itu benar-benar nyeremin," kata Tony sambil tertawa kecut. "Sesaat rasanya rohku nyaris ikut melayang ke luar."

"Terakhir kali lo dikagetin tikus, lo juga ngomong gitu," kata

Markus dengan tampang tak kalah kecut. "Buset, gue udah siapsiap silaturahmi sama tante-tante bergaun putih tanpa kaki."

"Sama," sahut Tony. "Meski kalo dipikir-pikir lagi, tante-tante

bergaun putih tanpa kaki nggak mungkin bisa nimbulin bayangan

di celah pintu. Atau bikin pintu bergoyang-goyang. Hantu nggak

mungkin buka pintu dengan sopan?mereka menembusnya." Lalu

Tony tertawa keras-keras. "Gila, malu banget deh kalo sampai

ketauan satu sekolahan, Tony dan Markus nyaris mati dikagetin89

tikus! Hahaha." Dia menoleh padaku. "Jangan sebar-sebarin,

ya!"

"Tenang aja." Aku tersenyum lemah. "Rahasia kalian aman

bersamaku."

"Kayak omongan penjahat aja," komentar Tony sambil mengamatiku. "Kamu juga takut ya, Jen?"

"Masa nggak?" balasku. "Kalian aja takut, apalagi aku."

"Rumah ini emang hebat," Markus menggeleng-geleng. "Yang

udah tinggal bertahun-tahun di sini pun masih tetep bisa ditakuttakutin. Omong-omong, tawaran Mbak Mirna tadi soal minuman

masih ada nggak, ya?"

"Masih dong. Mau sekalian makan juga?"

Cuma tawaran itulah yang dibutuhkan dua cowok itu untuk

melupakan pengalaman menyeramkan sore itu.

Jadi cowok, terutama yang pemberani, memang enak.

***

Saking senangnya, malam itu aku tidak bisa tidur. Mana mungkin

aku tidak kegirangan? Bayangkan saja, seharian ini Tony dan

Markus main di rumahku. Dan, mereka benar-benar menikmati

saat-saat bersamaku. Kalau bukan karena diusir oleh Mbak Mirna

yang cemas dengan reputasiku sebagai gadis baik-baik dan

terhormat, mereka pasti bakalan nongkrong di rumahku sampai

larut malam.

Rasanya aku tidak sabar menunggu hari esok?atau esoknya

lagi, saat kami sudah kembali ke sekolah, seandainya mereka memutuskan bahwa mampir di rumah cewek selama dua hari berturut-turut tidak terlalu berlebihan.90

Dan, waktu sedang kegirangan itulah tiba-tiba aku melihat

bayangan melintas di luar kamarku.

Seperti yang dilihat Tony tadi siang.

Tikus, pikirku menenangkan diri. Cuma tikus. Memang menggelikan kalau aku harus terjaga sepanjang malam karena ditakuttakuti tikus...!

Terdengar suara derit pintu kamar orangtuaku.

Oke, bukan tikus. Tapi mungkin saja itu Mbak Mirna. Mungkin dia tersinggung dengan adanya tikus dalam wilayah kekuasaannya, dan bertekad untuk menghabisi makhluk malang itu malam

ini. Yang jelas, itu tidak mungkin hantu. Seperti kata Tony, hantu

tidak mungkin membuka pintu dengan sopan, karena mereka

sanggup menembus benda-benda padat. Dan kalau mereka sanggup menembus benda-benda padat, mereka tak mungkin bisa

mencungkil mata manusia dan menguliti mereka, lalu memasaknya, atau hal-hal semacam itu.

Maka dengan pemikiran seperti itulah, aku berhasil membujuk

diriku untuk tidur.91

Mengunjungi rumah Johan ternyata bukan ide yang baik.

Oke, sebelum kalian berpikir lebih jauh, aku akan menegaskan

sesuatu di sini. Sebelum hari ini, aku tidak pernah mengunjungi

rumah teman cowok. Alasannya bukan sesuatu yang konyol?seperti bahwa itulah yang harus dilakukan cewek baik-baik dan

terhormat?melainkan karena aku cewek populer yang tidak sudi

merendahkan diri datang ke rumah teman cowok. Yang benar

saja. Kalau mau ada acara kunjung-mengunjungi, tentu merekalah

yang harus datang ke rumahku.

Tapi kali ini aku membuat pengecualian, karena itulah yang

harus kita lakukan pada sahabat dekat kita. Karena mereka istimewa bagi kita, kita pun memberikan pengecualian-pengecualian.

Seperti dulu aku memberikan pengecualian pada Jenny Jenazah

si mantan sahabat yang kupecat lantaran hobi menusuk dari belakang. Jujur saja, kadang-kadang penampilan Jenny Jenazah sangat

kekanak-kanakan. Kadang-kadang dia keluyuran di mal denganku

hanya dengan mengenakan kaus kedodoran, celana tiga perempat

8

Hanny92

bermodel gombrong, dan topi bisbol yang membuat bentuk

rambutnya jadi aneh. Biasanya aku ogah jalan bareng cewek aneh

seperti itu, bisa-bisa aku dicap kuper juga. Tapi berhubung dia

sahabatku, aku berusaha menahan diri.

Alasan lain yang membuatku enggan ke rumah Johan adalah

lokasi rumahnya yang jauh banget. Yah, Markus, si teman-dekatcowok-brengsek-yang-kemungkinan-sama-brengseknya-dengansohibnya itu juga tinggal di luar kompleks perumahan kami, tapi

setidaknya dia tinggal di pusat kota yang ramai. Kebalikan dari

Markus, rumah Johan malah terletak beberapa kilometer di luar

batas kota. Logikanya, pergi ke rumah Johan sama saja dengan

pergi ke luar kota.

Namun, belakangan ini aku betul-betul butuh perubahan

suasana. Sudah cukup parah aku mengalami sejumlah musibah

beruntun?diputuskan Tony si bajingan-sok-ganteng-dengansenyum-tolol-yang-minta-ditonjok, dijadikan bahan taruhan konyol oleh mantan-mantan pacar yang ingin balas dendam lantaran

sakit hati, dan dikhianati Jenny Jenazah si cewek-sok-baik-yanggosipnya-kini-pacaran-dengan-si-bajingan-sok-ganteng?kini

mendadak saja aku tidak punya pergaulan sosial lagi. Boro-boro

pacaran, sudah tiga minggu berturut-turut aku tidak berkencan.

Mungkin saja ini tidak apa-apa kalau terjadi pada cewek biasa,

tapi, seperti yang sudah sering kutegaskan, aku bukan cewek

biasa. Fenomena ini jelas-jelas aneh, tidak wajar, dan amat sangat

mencurigakan.

Awalnya, kukira semua orang mulai meremehkanku lantaran

taruhan brengsek itu. Tapi setelah mengadakan beberapa pengamatan secara diam-diam, aku berhasil meyakinkan diriku bahwa

nasibku masih belum sejelek itu. Cowok-cowok masih sering me-93

natapku dengan mulut ternganga saat aku melemparkan senyum

pada mereka dan mendadak langsung mengeluarkan daya tarik

mereka sekuat-kuatnya saat sedang bicara denganku, sementara

cewek-cewek sirik sejenis Jenny Tompel masih sering melemparkan tatapan penuh rasa iri padaku. Jadi bukan itu masalahnya.

Masalahnya adalah, kenapa aku tidak mendapat ajakan kencan

selama tiga minggu penuh? Nah, itu masih merupakan tanda

tanya besar bagiku.

Tapi aku tidak akan diam-diam saja sambil menunggu nasib

berubah. Kuputuskan untuk menghibur diri, dan pergi ke rumah

Johan sepertinya adalah terobosan yang cukup besar untuk saat ini.

Lagi pula, seperti yang sudah kuocehkan panjang lebar tadi,

kita harus membuat pengecualian untuk sahabat baik kita.

Aku langsung menyesali terobosan besar ini pada detik pertama

aku menatap rumah Johan. Bukannya rumah itu jelek dan suram

seperti rumah Jenny Jenazah. Sebaliknya, rumah bertingkat satu

itu sangat mewah dan modern, bergaya Mediterania, dengan

langit-langit tinggi dan banyak jendela tinggi besar yang memungkinkan akses sebanyak-banyaknya bagi sinar matahari.

Yang membuatku merasa gelisah adalah lokasi rumah itu. Selain rumah Johan, sepertinya tidak ada rumah lain lagi dalam

radius satu kilometer. Terpikir olehku, seorang pembunuh berantai

akan memilih rumah Johan sebagai sarangnya. Rumah itu indah

dan terpencil, dengan pekarangan luas yang bisa berfungsi sebagai

pemakaman pribadi.

Oke, sekarang tubuhku menggigil. Untung saja aku sudah

memberikan alamat ini pada Pak Parmo. Sejam lagi, sopirku yang

bertubuh tinggi besar itu akan menjemputku. Jadi, kalau memang

ada pembunuh berantai berkeliaran di sini, bajingan itu akan me-94

nyesal. Pak Parmo punya otot lebih kuat daripada kebanyakan

kuli pelabuhan.

"Astaga, perjalanan dari sekolah ke rumah lo butuh waktu satu

jam," gerutuku saat kami turun dari mobil. "Kenapa lo nggak

milih sekolah yang lebih dekat aja?"

"Tadinya gue emang sekolah di sekitar sini," sahut Johan kalem. "Tapi, setelah beberapa saat, gue jadi bosan dan kepingin

perubahan suasana, jadi gue pilih sekolah bereputasi bagus dengan

fasilitas lengkap."

Aku manggut-manggut mengerti. "Tapi, apa nggak repot? Pasti

lo harus bangun pagi-pagi biar bisa sampe di sekolah sebelum bel,

kan?"

"Emang, tapi itu nggak masalah. Gue suka bangun pagi-pagi

kok."

Kami memasuki rumah Johan yang sunyi.

"Nggak ada pembantu atau pengurus rumah dan sejenisnya?"

tanyaku ingin tahu.

"Ada, tapi mereka datang pagi hari, dan pulang sebelum kita

pulang sekolah," Johan menjelaskan. "Keluarga gue nggak suka

ada orang asing berkeliaran saat kami sedang santai di rumah.

Ayo, Han, kita ke belakang sini."

Aku mengikuti Johan memasuki bagian rumah yang lebih dalam, dan melewati sebuah pintu tertutup rapat. Samar-samar terdengar lagu opera dari dalamnya.

"Itu kamar siapa, Han?" tanyaku ingin tahu.

"Adik cewek gue," sahut Johan. Tampangnya yang langsung

kelihatan tidak senang menunjukkan dia tidak begitu akur dengan

adiknya. "Anaknya nyebelin, cengeng, sok manis. Mirip Jenny

Jenazah!"95

Pantas saja. Aku selalu punya perasaan Johan tidak menyukai

Jenny, tapi kupikir aku cuma mengada-ada.

Tadinya aku ingin bilang pada Johan, sudah cukup kalau kami

bisa ngobrol di ruang duduk atau semacamnya. Meski aku bukan

Jenny Jenazah yang sok manis, aku masih punya sopan santun

untuk tidak masuk ke kamar cowok saat rumahnya sedang sepi

begini. Tapi rupanya Johan mengajakku ke ruang belajarnya.

Ruangan yang cukup aneh, kalau boleh kubilang. Ruangan itu

sangat berantakan?dasar cowok?tanpa ada hiasan-hiasan bagus

seperti lukisan, pigura, tanaman, atau benda-benda pajangan yang

lucu-lucu. Buku-buku pelajaran berserakan di atas meja belajar

yang sangat besar dan dipenuhi sampah?gumpalan-gumpalan

kertas, plastik-plastik pembungkus, piring kotor bekas makanan,
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cotton bud, dan tusuk gigi (oke, untuk dua benda terakhir ini,

aku tidak berani tanya apa itu masih baru atau bekas). Di samping meja yang sangat berantakan itu terdapat sebuah rak buku

dari kayu yang dipenuhi dengan buku-buku bertopik aneh?

hipnotis, ilusi, trik-trik sulap.

Namun, yang membuatku mengatakan ruangan itu aneh adalah

banyaknya binatang piaraan Johan. Semuanya dipisahkan dalam

kandang-kandang terpisah menurut jenisnya. Ada binatang-binatang

lucu seperti kelinci-kelinci berbulu putih bersih, tikus-tikus yang

juga berwarna putih, dan burung beo yang terus-menerus meneriakkan "Hanny! Hanny!" dan membuat kami berdua tersipusipu. Namun Johan juga memelihara kadal, iguana, dan ular, yang

bukan hanya mengerikan, melainkan juga berbau aneh.

"Buat apa semua ini?" tanyaku takjub.

Johan tampak senang karena aku tidak lari ketakutan. "Sebenarnya gue punya hobi kecil. Gue suka banget sama trik-trik sulap96

dan sejenisnya. Jadi untuk ngedukung hobi itu, gue pelihara

binatang-binatang yang biasanya ada di sirkus."

"Memangnya lo juga pelihara singa?" candaku.

"Maunya," seringai Johan. "Sayang nggak boleh."

Setelah Johan menceritakan "hobi kecil"-nya, aku baru menyadari betapa banyaknya peralatan sulap di ruangan ini. Topi

lebar yang biasanya digunakan untuk memunculkan kelinci, tali

tambang, kartu permainan biasa maupun kartu tarot, boneka

marionet. Jujur saja, aku jadi tertarik banget.

"Jadi, lo bisa sulap, Han?" tanyaku.

"Bisa," sahut Johan penuh percaya diri. "Mau gue tunjukin?"

Beberapa saat kemudian, aku jadi terkagum-kagum dengan beberapa trik yang ditunjukkan Johan, yang dengan sangat murah

hati diajarkannya padaku. Kata Johan, kunci dari sulap adalah

ilusi. Pesulap menyajikan sebuah pertunjukan yang menarik. Saat

penonton sedang asyik melihat pertunjukan itu sembari bertanyatanya, sang pesulap diam-diam melakukan trik dan voila, penonton berhasil ditipu!

"Kalo soal hipnotis?" Aku menunjuk beberapa buku dalam

raknya.

"Gue masih belajar," sahut Johan rendah hati. "Tapi ini jauh

lebih sulit dibandingkan mempelajari trik-trik sulap. Gue pernah

nyoba hipnotis diri gue sendiri, tapi sepertinya gue sendiri orang

yang sulit dihipnotis."

"Cari dong, korban yang mau dihipnotis," saranku.

Mata Johan bersinar-sinar. "Berminat?"

"Ih, nggak mau," tolakku mentah-mentah. "Nanti lo suruh gue

ngelakuin sesuatu yang malu-maluin, lagi. Seperti nari-nari di97

jalanan. Terus, tahu-tahu aja gue udah dibawa ke rumah sakit

jiwa."

Johan tertawa. "Gue nggak sejahat itu deh." Lalu, mendadak

dia terdiam. "Sori ya, Han. Sebentar, adik gue rese lagi."

Aku mengerutkan alis, karena tidak mendengar sesuatu pun

yang membuatnya menyimpulkan hal itu. Tapi Johan sudah keburu bangkit dan berjalan pergi. Saat aku sedang melihat-lihat

koleksi DVD yang dimiliki Johan?semuanya film horor dan

thriller?mendadak saja kudengar bentakan suara Johan yang

biasanya lembut.

"Kan udah kubilang, kamu jangan berisik kalo ada temanku

di sini! Apa kamu sengaja kepingin ngacauin acaraku? Aku nggak

ngerti kenapa semua orang bisa ngira kamu itu manis dan

nyenengin, padahal jelas-jelas kamu culas begini!"

Terdengar suara yang lebih lembut merengek dengan suara

yang mengibakan, lalu mendadak saja terdengar bunyi tamparan

keras yang membuatku terkesiap, diikuti suara tangisan lirih.

"Jangan nguping lagi dan kembali ke kamarmu!"

Wajah Johan tampak memerah saat memasuki ruangan ini,

seolah-olah dialah yang kena tampar.

"Sori, adik gue itu benar-benar ngeselin," ucapnya dengan

suara yang kembali melembut.

"Seharusnya elo nggak boleh main gampar gitu aja, Han,"

tegurku tak senang.

Johan menggeleng. "Elo nggak kenal adik gue, Han. Dia itu

benar-benar nggak bisa diomongin. Kalo nggak ditakut-takutin,

dia pasti nggak akan kapok-kapok gangguin kita."

"Sebenarnya, gue nggak merasa keganggu kok."98

"Yah, karena ini baru sebentar," kilah Johan. "Kalo udah berkali-kali, lo pasti emosi juga."

Bagaimana aku bisa menjelaskan padanya bahwa aku sama

sekali tidak merasa ada gangguan? Bahkan, kalau bukan karena

dia keluar dan marah-marah, aku pasti mengira adiknya masih

berada di dalam kamarnya sendiri.

Setelah kejadian itu, suasana berubah menjadi tidak enak, dan

aku mulai mengharap-harapkan kedatangan Pak Parmo.

"Ada apa?" tanya Johan tiba-tiba. "Kok liat-liat jam terus?"

"Oh, sebentar lagi sopir gue datang ngejemput."

"Sopir lo?" Wajah Johan mengeras. "Ngapain lo suruh sopir lo

jemput? Biar gue yang antar lo pulang aja."

"Nggak usah," tolakku. "Nanti bolak-balik. Kan rumah lo

jauh. Gue nggak mau ngerepotin."

"Nggak ngerepotin kok," bujuk Johan. "Lagian, masa udah

jauh-jauh ke sini, cuma main sebentar?"

"Yah, besok kan masih hari sekolah," kilahku.

"Kalo gitu, lain kali datang waktu akhir minggu aja, ya?"

Mendadak saja aku tidak punya keinginan untuk datang ke

sini lagi. "Nanti ya, baru kita bicarain lagi."

Aku merasa lega sekali saat mendengar klakson mobilku dari

luar rumah.

"Nah, gue pulang dulu ya, Han," pamitku.

"Tunggu sebentar."

Aku berpaling, dan perasaanku langsung tercekat melihat air

muka Johan. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang kejam, yang membuatku merasa seperti kelinci yang terjebak. Jantungku mencelos,

memberiku firasat seolah-olah nyawaku sedang berada di ujung99

tanduk. Perasaan yang benar-benar tak masuk akal, tapi tak bisa

kutepiskan begitu saja.

"Lo lupa tas lo," katanya sambil mengangsurkan tas ranselku

yang tadi kuletakkan di kursi di depan meja belajar.

"Oh, iya," sahutku gugup. "Thank you."

Dan, sementara Johan mengantarku ke depan, aku memakimaki diri sendiri di dalam hati, karena sudah memikirkan yang

tidak-tidak tentang sahabat baikku sendiri.

Hah, gila. Mungkin aku sudah terkontaminasi si Jenny

Bajaj...!100

Jenny Bajaj kembali ke sekolah dengan penuh gaya.

Aku tidak mengada-ada. Rupanya cewek itu berhasil membujuk

orangtuanya untuk membelikannya wig yang bisa menutupi pitaknya?dan bukan sembarang wig, melainkan wig rambut hitam

cemerlang yang lurus, panjang, dan benar-benar cantik. Tanpa

perlu bersusah-susah dengan proses rebonding atau smoothing,

Jenny Bajaj kini kelihatan seperti model iklan sampo yang bertampang mirip bajaj.

Dan gayanya memang makin mirip selebriti, berhubung ke

mana-mana dia dikawal oleh seorang bodyguard botak bertubuh

kekar dengan setelan dan kacamata hitam. Menurut Jenny Bajaj,

bodyguard itu memiliki kemampuan setara Jet Lee dan sudah

berkali-kali berhasil menggagalkan upaya pembunuhan yang

dilakukan para pembunuh bayaran bertaraf internasional.

Kurasa gegar otak yang diderita Jenny Bajaj lebih parah daripada yang diberitahukan dokter.

Namun, berhubung bodyguard itu menguntit Jenny Bajaj ke

mana-mana?kecuali ke toilet dan ke dalam kelas ketika jam

9

Jenny101

pelajaran berlangsung?secara otomatis bodyguard itu menjadi

"kembar siam" si Jenny Bajaj. Ini berarti, aku tidak bisa meloloskan

diri dari cengkeraman Jenny Tompel yang, omong-omong, iri luar

biasa dengan keindahan wig Jenny Bajaj.

"Taruhan," kata Jenny Tompel. "Di balik wig itu, Jenny Bajaj

pasti botak! Itu sebabnya dia nyewa bodyguard botak juga. Biar kalau

wignya tahu-tahu copot, penampilannya nggak kebanting."

Sebenarnya, menurutku, cewek botak yang dikawal oleh bodyguard botak sama saja seramnya dengan cewek botak yang dikawal oleh bodyguard gondrong, tapi kuputuskan untuk tutup

mulut saja. Saat ini rasanya lebih aman kalau tidak membantah

Jenny Tompel. Kecemburuannya pada wig Jenny Bajaj membuatnya lebih judes daripada biasanya. Meski sasaran utamanya

adalah Jenny Bajaj, siapa yang berani membuatnya kesal pasti

kena sembur api neraka juga.

Tapi, nyali Jenny Bajaj pastilah jauh lebih besar daripada

nyaliku, karena dia benar-benar bertekad untuk menyambung

kembali tali persahabatannya dengan Jenny Tompel. Di satu sisi,

aku bisa memahami betapa pentingnya memiliki paling tidak satu

teman. Pada saat-saat seperti ini kami sering diberi tugas untuk

membuat proyek secara berkelompok. Ini berarti, celakalah orangorang yang tidak punya konco seperti Jenny Bajaj. Seberapa pun

lihainya si bodyguard dan seberapa pun mampunya dia menandingi Jet Lee, dia tak bakalan bisa bergabung dengan Jenny

Bajaj dalam tim kerja kelompok peta buta Geografi (apalagi, jujur

saja, bodyguard itu tampak sedikit bloon).

Tapi, di sisi lain, kan masih banyak orang yang bisa didekati

selain Jenny Tompel?orang-orang normal yang tak bakalan mengeluarkan taring dan cakar setiap kali dia mendekat. Rasanya102

tidak tega banget, melihat Jenny Bajaj dengan matanya yang

tampak berkaca-kaca saat dilecehkan Jenny Tompel dan suaranya

yang tergetar saat mengucapkan nama akrab Jenny Tompel dengan nada memelas, "J-Li, masih marah nggak?"

Tapi apa daya, aku juga tidak mau kebagian semburan api neraka.

Bagi cewek yang biasa menjalani hidup damai sepertiku, Jenny

Tompel terlihat jauh lebih mengerikan dan berbahaya daripada

pembunuh-pembunuh bayaran yang mengincar jiwa Jenny Bajaj.

Bahkan, kuperhatikan, bodyguard Jenny Bajaj pun tampak kecut

setiap kali melihat nona majikannya dibentak Jenny Tompel.

Mungkin ini berarti taraf Jenny Tompel sudah melampaui Jet Lee.

Pagi ini pastilah pagi yang sial untuk Jenny Bajaj, karena Bu

Tari, guru Kimia kami, mendadak menyuruh kami bereksperimen

secara berkelompok di laboratorium kimia. Sementara anak-anak

lain meneriakkan luapan kegirangan mereka lantaran tidak perlu

memusingkan susunan rantai kimia, Jenny Bajaj melemparkan

tatapan panik ke arah kami.

"Tuh liat!" cibir Jenny Tompel. "Lagi-lagi masang tampang

malang. Dasar ratu drama."

Aku tidak bisa menyingkirkan rasa iba saat menatap wajah Jenny

Bajaj yang memelas. "Sebenarnya sih emang kasihan juga."

"Lo emang terlalu baik!" Nada bicara Jenny Tompel yang

penuh cemooh membuatku tidak merasa dipuji. "Tapi, kalo lo

kayak begini terus, bisa-bisa seumur hidup lo harus ngurusin

orang nggak tahu diri kayak gitu!"

"Ada orang-orang yang butuh diurusin," balasku, mendadak

kesal dengan sikap Jenny Tompel yang tak berperasaan. "Kalo

orang yang butuh diurusin itu butuh kita, kenapa kita nggak

ngurusin mereka?"103

"Terserah," balas Jenny Tompel angkuh. "Gue sih cuma peringatin lo aja, jangan sampe lo nyesel."

"Thanks," ketusku. "Gue malah takut nyesel kalo nyuekin orang

yang butuh gue dan milih barengan sama orang yang nggak butuh

gue."

Setelah mengucapkan kata-kata itu, kutinggalkan Jenny Tompel

yang ternganga melihat pemberontakanku dan menghampiri Jenny

Bajaj.

"Bajaj!" (Astaga, ucapanku kedengarannya kok seperti aku hendak menyetop tukang bajaj sungguhan?) "Mau sekelompok sama

gue?"

Mata Jenny Bajaj yang menyiratkan rasa terima kasih sudah

cukup untuk membuatku yakin bahwa aku telah mengambil keputusan yang tepat. Aku tidak pernah suka mencari perkara,

apalagi dengan cewek pendendam seperti Jenny Tompel. Tapi aku

lebih tidak suka lagi kalau harus bersekongkol dengannya untuk

menindas anak-anak lain. Sebagai cewek kuper, tentu saja aku

pernah ditindas, dan aku tidak ingin melakukan hal jahat itu
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada anak-anak lain.

"Makasih banget ya, Jen," ucap Jenny Bajaj dengan nada tulus

yang membuatku jadi canggung.

"Sama-sama," anggukku. Samar-samar aku menangkap seseorang menatapku dari jauh. Aku menoleh dan mendapati Hanny

menatapku dengan senyum kagum di bibirnya. Oke, kata "kagum" hanya tambahan dariku, tapi aku memang berharap dia

terkesan dengan tindakanku.

Sembari berjalan ke laboratorium, aku mendekatkan diri pada

Jenny Bajaj dan berbisik supaya tidak kedengaran si bodyguard

yang menguntit tak jauh di belakang kami, "Eh, Bajaj, kok body-104

guard lo nggak pernah belain lo tiap kali si Tompel jahatin

elo?"

"Iya, dia udah diwanti-wanti Kepala Sekolah, supaya nggak

ganggu anak-anak lain," jelas Jenny Bajaj. "Lagi pula, menurut

dia, J-Li emang agak-agak menakutkan...!"

Ternyata dugaanku betul. Sanggup bikin keder bodyguard yang

setara dengan Jet Lee, kemampuan Jenny Tompel memang tidak

bisa dipandang enteng.

Meski Bu Tari mengizinkan kami untuk memiliki tiga orang

anggota dalam setiap kelompok, Jenny Tompel memilih untuk

mengerjakan tugas laboratoriumnya sendirian. Kurasa dia rada

gengsi mengajak kami berbaikan. Namun, melihat bahunya yang

rada merosot saat mengerjakan eksperimen seorang diri, mendadak saja aku berbalik kasihan padanya.

"J-Li," panggilku dengan suara kecil, berharap tak ada yang

mendengarku mengucapkan nama culun itu. Sial, lagi-lagi Hanny

menoleh padaku. Kali ini dia memberiku tatapan aneh. "Mau

join sama kami nggak?"

"Makasih deh," sindir Jenny Tompel angkuh. "Gue nggak butuh uluran tangan orang sok baik."

"Ya elah, udah dibaikin masih ngelunjak," mendadak Hanny

berkomentar keras. "Nggak tahu diri gitu sih, makanya nggak

punya temen."

"Kayak lo banyak temennya aja," balas Jenny Tompel, membuat mata Hanny langsung melotot. "Dasar cewek bahan taruhan!"

"Lo manggil gue apa?" tanya Hanny dengan mata bersinar-sinar

garang.

"Masih berani banyak tingkah," cibir Jenny Tompel. "Padahal,105

setelah dimainin Tony, elo udah kagak laku! Sampe mau aja pacaran sama Johan, si cowok aneh!"

Muka Hanny memerah saking marahnya. "Gue peringatin, jaga

mulut lo ya, Pel! Sirik sih boleh aja, tapi kalo begini, berarti lo

minta dihajar juga."

"Ada apa ini?" Bu Tari mendekat. "Hanny, Jenny, apa yang kalian

bicarakan?"

Hanny dan Jenny Tompel sama-sama tidak menyahut saking

marahnya, maka aku buru-buru mengambil inisiatif.

"Nggak apa-apa, Bu," sahutku keras-keras untuk menarik perhatian Bu Tari. "Hanny dan Jenny Tompel sama-sama mau pinjam catatan saya, tapi catatan saya kan cuma satu."

Bu Tari mengerutkan alis. "Astaga, hal sekecil itu saja sampai

bikin ribut. Pinjamnya giliran saja. Hanny yang dapat giliran pertama."

Sepeninggal Bu Tari, aku segera menengahi mereka. "Udah,

kembali ke meja masing-masing. Besok aja berantemnya."

Tanpa berkata-kata lagi, kedua cewek itu kembali ke meja

masing-masing. Saat aku ingin kembali ke mejaku juga, kudengar

cibiran pelan, "Sok baik."

Aku berpaling dan menatap orang yang mencibirku dengan heran

bercampur sebal, tapi Johan sama sekali tidak kelihatan terganggu.

Dia malah membalas tatapanku dengan sinar mata menantang.

"Hanny nggak butuh lo belain, tahu? Hanny udah nggak butuh elo

sama sekali."

Mendadak saja aku paham kenapa cowok ini membenciku dari

dulu. Rupanya dia cemburu pada kedekatanku dengan Hanny. Ya

ampun, apa sih masalah cowok ini?

Aku ingin membalas ucapannya, tapi rupanya persediaan kata-106

kataku sudah habis dipakai untuk berdebat dengan Jenny Tompel

dan menengahi pertengkaran tadi. Jadi aku berlagak tidak mengacuhkannya?meski sebenarnya di dalam hati aku kesal banget?

dan kembali pada Jenny Bajaj.

"Dasar cowok rese!" gerutuku. "Jenny Tompel emang bego.

Mana mungkin Hanny pacaran sama cowok serese itu?"

"Lho, tapi..." Jenny Bajaj mengernyit. "Gue denger, kabarnya

emang begitu. Hanny sekarang pacaran sama Johan, kan?"

Oke, pertama-tama Markus, lalu Jenny Tompel, dan kini Jenny

Bajaj. Jangan-jangan semua orang sudah pernah mendengar gosip

soal Hanny dan Johan?atau lebih parah lagi, jangan-jangan itu

bukan sekadar gosip, dan cuma aku yang ketinggalan berita.

"Lo denger dari siapa?"

"Gue pernah denger Yunita dan Lena ngebahas soal itu di kantin," sahut Jenny Bajaj, tanpa malu-malu memberitahuku soal kebiasaannya menguping. Lalu dia berbisik dengan penuh persekongkolan, "Katanya, mereka denger dari sumbernya langsung."

"Hanny?" tanyaku kaget. Habis, tidak mungkin mereka mendengar dari Johan. Yunita dan Lena tidak pernah mau bicara dengan cowok-cowok aneh sejenis Johan. Ini berarti mereka mendengar dari Hanny. Dan kalau Hanny yang bilang begitu, itu

berarti berita itu bukan cuma gosip belaka.

Aku mengeluh dalam hati. Dari semua cowok yang bisa dikencaninya, kenapa Hanny malah memilih cowok aneh yang sangat membenciku itu? Dengan atau tanpa kejadian soal taruhan

itu, Hanny tetap cewek paling populer di angkatan kami. Cowok

mana pun yang belum punya pacar pasti langsung oke kalau

Hanny mengajaknya pacaran

...kecuali Tony, tentu saja.107

Selama beberapa saat kami tenggelam dalam kesibukan laboratorium, mengadakan berbagai eksperimen, mencatat hasil-hasilnya, dan menyusun laporan. Lagi asyik-asyiknya, tahu-tahu saja

ruangan menjadi gelap, disusul dengan keluhan keras anakanak.

"Tenang, Anak-anak!" seru Bu Tari di tengah-tengah keributan.

"Jangan bergerak, nanti kalian bisa menyenggol tabung percobaan!"

Aku mematuhi kata-kata Bu Tari tanpa banyak cincong. Bukan

rahasia umum lagi kalau laboratorium kimia adalah tempat yang

sangat berbahaya. Kalau kita sampai tepercik asam sulfat atau

sejenisnya, sudah untung kalau cuma pakaian kita yang bolong.

Salah-salah malah kita jadi pemeran utama Phantom of the Opera

(bukan si cewek, tentu saja, melainkan si Phantom yang menyeramkan itu).

Kuperhatikan sekelilingku dengan penuh rasa tertarik. Akibat

mati lampu, laboratorium langsung menjadi gelap. Aku nyaris tak

bisa melihat Jenny Bajaj, padahal aku bisa mendengar bunyi

napasnya. Kalau bukan karena dia dekat sekali denganku, ini berarti

Jenny Bajaj butuh membersihkan lubang hidungnya secepat mungkin.

Mendadak saja kudengar bunyi keras brak! diikuti oleh suara

jeritan keras dan bunyi pecahan kaca. Dengan ngeri kusadari itu

jeritan Jenny Tompel.

"Apa itu?" teriak Bu Tari dengan suara panik. "Siapa yang berteriak?"

"Jenny Tompel, Bu!" sahutku tidak kalah panik, dan dalam

kepanikanku, aku lupa memanggilnya J-Li. "Pel, Pel, lo nggak

apa-apa?"108

Seluruh kelas hening menunggu sahutan dari Jenny Tompel,

namun tidak ada sahutan sama sekali.

"Pel, J-Li!" teriakku tanpa peduli reputasi lagi. Peduli amat

seluruh kelas tahu aku memanggilnya J-Li. Saat ini yang kupikirkan

hanyalah keselamatan Jenny Tompel. "Jawab dong! Nggak usah

ngambek lagi!"

Lagi-lagi, tidak ada jawaban.

"Semuanya tetap jangan bergerak, ya!" seru Bu Tari tegang setelah

beberapa saat. "Salah-salah kalian malah menginjak orang."

Menginjak Jenny Tompel, maksudnya.

Lalu, tahu-tahu saja lampu menyala. Serempak kami semua

menoleh ke meja yang ditempati Jenny Tompel, dan kami terkesiap.

Seperti semua meja di ruangan laboratorium kimia, meja Jenny

Tompel terletak tak jauh dari rak besar berisi botol-botol bahan

kimia. Kini, rak berangka besi yang berat itu terjatuh, dan dari

sela-sela rak aku bisa melihat tubuh Jenny Tompel tertimpa di

bawahnya, berhias pecahan kaca dari botol-botol bahan kimia.

Samar-samar kudengar Jenny Bajaj menjerit keras di sebelahku,

tapi aku tidak sanggup bergerak saking syoknya. Napasku tercekat,

dan jantungku serasa nyaris berhenti. Apakah Jenny Tompel...?

"Kalian yang laki-laki!" teriak Bu Tari dengan muka pucat namun tetap sigap memikirkan prioritas. "Cepat bantu Ibu angkat

rak itu!"

Dibantu oleh bodyguard Jenny Bajaj, beberapa anak cowok?

termasuk Johan?mengangkat rak besi yang berat itu hingga

berdiri kembali. Aku langsung menghampiri Jenny Tompel yang

terbujur di lantai. Dengan ngeri kulihat wajah Jenny Tompel

berbaret-baret dengan banyak pecahan kaca menancap di sana.109

"Tompel!" panggilku sambil menyingkirkan pecahan kaca supaya aku bisa berlutut di dekatnya. Dengan hati-hati kuangkat

tubuh Jenny Tompel dan kubaringkan di pangkuanku. "Lo bisa

denger gue nggak? J-Li!"

Aku memeriksa napasnya, namun tidak bisa merasakan apaapa. Tapi mungkin saja dia cuma bernapas terlalu pelan.

"Coba rasakan nadinya," usul Bu Tari yang juga sudah berlutut

di dekatku. "Di leher."

Aku meraba-raba leher Jenny Tompel, mencari-cari nadi yang

disebutkan Bu Tari. Saat aku sedang meraba-raba itulah, mendadak mata Jenny Tompel terbuka lebar, membuatku menjerit

keras saking kagetnya. Nyaris saja kulemparkan Jenny Tompel

jauh-jauh, tapi karena terlalu kaget, tubuhku cuma bisa membeku. Apalagi Jenny Tompel sudah mencengkeram bajuku dengan

tangannya yang penuh darah.

"Berikutnya giliran elo!" katanya sambil memelototiku.

Setelah menyemburkan kata-kata mengerikan itu, Jenny Tompel

pun terkulai kembali.110

Saat ambulans pergi sambil membawa Jenny Tompel, aku berpaling pada Jenny?maksudku, Jenny Jenazah. Wajah cewek itu

benar-benar jenazah sungguhan?pucat, maksudku?sementara

tubuhnya gemetaran. Tidak mengherankan. Orang paling berani

di seluruh dunia pun pasti bakalan terguncang ditakut-takuti

Jenny Tompel yang sekujur tubuhnya dipenuhi pecahan kaca dan

darah. Sungguh, tadinya aku juga mengira Jenny Tompel sudah

"lewat". Tapi memang benar kata pepatah, "Orang jahat tidak

gampang mati."

Iba dengan kondisi Jenny, aku tidak memikirkan permusuhan

kami lagi. Lagi pula, hari ini Jenny sudah bertindak berani sekali.

Aku cukup kaget waktu melihatnya tidak segan-segan melawan

Jenny Tompel yang judes demi Jenny Bajaj yang tidak berguna?

dan lebih kaget lagi saat menyadari ada rasa bangga di dalam

hatiku melihat keberaniannya. Kurangkul bahu Jenny dengan

hati-hati. Meski ingin bersikap baik, aku tetap tidak rela baju

seragamku kena transfer darah Jenny Tompel yang masih menempel padanya. "Lo nggak apa-apa, Jen?"

10

Hanny111

Jenny menoleh padaku dan menatap nanar, tapi dia berhasil

menyunggingkan seulas senyum lemah. "Iya, gue baik-baik aja.

Cuma sedikit kaget."

"Nggak usah dengerin ocehan si Tompel," hiburku. "Lo tahu

sendiri kan, otaknya emang suka korslet, apalagi waktu barusan

kegencet gitu."

"Itu bukan ocehan doang."

Kami berdua menoleh pada Jenny Bajaj, yang dari tadi histeris

sambil dipeluk oleh bodyguard-nya yang juga sama terguncangnya

seperti kami. Melihat kepengecutan si bodyguard, kurasa Jenny

Bajaj pasti cuma membual saat mengatakan si bodyguard pernah

memenangi salah satu episode Fear Factor. Lagi pula, menurutku,

itu bukan pertimbangan yang bagus untuk merekrut seorang

bodyguard, kecuali kalau kita memerlukan bodyguard itu untuk

melenyapkan semua binatang menjijikkan di sekeliling kita.

"Apa maksud lo, bukan ocehan doang?" ketusku.

"Itu semua gara-gara elo!" sahut Jenny Bajaj. Wajah yang

biasanya selalu terlihat lemah dan ketakutan itu kini menatapku

dengan penuh kebencian. "Elo yang ngutuk Jenny Jenazah.

Waktu kalian berantem, lo kutuk Jenny Jenazah supaya hidup sial

selamanya. Tapi waktu itu lo cuma bilang Jenny aja. Akibatnya,
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan cuma Jenny Jenazah yang kena kutukannya, melainkan

juga gue dan J-Li!"

Aku muak mendengar Jenny Tompel dipanggil "J-Li", tapi rasa

muak itu tak berarti dibandingkan keherananku mendengar analisis

Jenny Bajaj yang berusaha menimpakan semua kesalahan padaku.

"Selama gue terbujur di rumah sakit," kenang Jenny Bajaj,

"gue sering mikirin, kenapa para pembunuh bayaran bisa ngejar

gue? Kan gue nggak salah apa-apa."112

"Eh, Bajaj!" hardikku. "Di dunia ini, nggak ada yang langsung

ngira dirinya dikejar-kejar pembunuh bayaran hanya gara-gara tali

remnya dipotong orang ya! Cuma elo yang langsung mikir gitu.

Pake nyewa bodyguard segala."

"Gue kan nggak mau ambil risiko," kilah Jenny Bajaj dengan

wajah merah menahan malu. "Tapi gue juga mikirin kemungkinan lain. Mungkin bukan pembunuh bayaran yang beraksi. Mungkin..." Tatapannya yang biasanya panik dan ketakutan kini terlihat

tajam menusuk saat terarah padaku, "...elo yang jadi penyebab

semua ini, Han!"

Aku tertawa mendengus. "Seumur hidup, belum pernah gue

ketemu orang yang lebih jago omong kosong daripada elo!"

"Silakan, lo mau ngatain gue seperti apa pun oke," sahut Jenny

Bajaj dengan suara bergetar. "Tapi kali ini gue nggak salah. J-Li

pun punya pikiran yang sama dengan gue. Semua musibah ini

gara-gara elo, Han!"

"Cukup," kata Jenny dengan suara lemah, namun berhasil menahan lidah tajamku yang sudah siap mencabik-cabik Jenny Bajaj.

"Nggak usah berantem lagi, boleh nggak? Hari ini udah cukup

buruk nih!" Lalu, dia menoleh pada Jenny Bajaj. "Sori, Bajaj,

tapi menurut gue lo salah. Hanny nggak ada sangkut pautnya

dengan masalah ini."

Tenggorokanku tercekat saat mendengar Jenny membelaku.

Belakangan ini aku benar-benar bersikap keterlaluan padanya, tapi

sedikit pun dia tidak menyimpan dendam padaku. Jujur saja, aku

mulai berpikir ulang tentang apa yang terjadi di antara kami.

Bagaimana kalau Jenny benar-benar tidak bersalah? Bagaimana

kalau dia tidak tahu apa-apa soal taruhan itu? Bagaimana kalau.113

"Jenny!"

Pikiranku langsung buntu saat melihat Tony mendekat. Sampai

saat ini pun aku masih tidak bisa melupakan cowok sialan itu.

Setiap kali melihatnya, jantungku masih berdebar-debar keras,

disertai rasa nyeri yang membuatku ingin menangis. Dan karena

menangis akan terlihat memalukan, aku memilih untuk mengerahkan kemarahanku. Sekarang pun aku mengertakkan gigi saat

melihat Tony langsung menghampiri Jenny. Sepertinya dia tidak

melihatku?atau siapa pun yang ada di sekitar situ. Tatapannya

hanya tertuju pada Jenny, pada wajahnya yang pucat dan bajunya

yang berlumuran darah.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Tony cemas. "Kenapa baju kamu

penuh darah, Jen?"

"Oh, tadi Jenny Tompel ketimpa rak di lab kimia, dan dia

sempat megang aku..."

Kata-kata Jenny terhenti, mungkin teringat sosok Jenny Tompel

yang mengerikan waktu mengucapkan kata-kata terakhirnya sebelum pingsan.

"Iya, aku dengar ada kecelakaan di lab, makanya aku buruburu ke sini," kata Tony. "Kamu pucat banget, Jen. Mau pulang

aja?"

Jenny menggeleng, lalu tersenyum saat melihat Markus menghampirinya.

"Kamu baik-baik aja, Jen?"

Oke, kenapa cewek biasa itu mendadak dikelilingi dua cowok

keren? Dunia memang tidak adil.

"Iya, yang kena bukan aku," sahut Jenny sederhana.

"Satu kecelakaan lagi," Markus menggeleng-geleng. "Kok bela-114

kangan ini banyak kecelakaan yang menimpa anak-anak di kelasmu, ya?"

Markus mengedarkan pandangannya, dan baru saat itu dia

melihatku. "Halo, Hanny."

Mendengar namaku, Tony tersentak dan mengalihkan pandangannya dari Jenny. "Oh, hai, Han. Mmm, kamu nggak apa-apa?"

Basa-basi banget. Aku tidak repot-repot menjawab pertanyaan

itu, melainkan langsung meninggalkan mereka semua dan kembali

ke mejaku bersama Johan.

"Sok mesra banget, ya," komentar Johan sambil menatap ke

arah Jenny dan dua cowok keparatnya. Mungkin cuma perasaanku

saja, tapi sepertinya Johan sempat saling melotot dengan Tony.

"Benar-benar nggak tahu malu, berani pamer-pamer soal hubungan mereka di sekolah."

Sebenarnya aku bisa saja menyebut beberapa pasangan yang

pacaran dengan kemesraan yang melampaui batas?termasuk aku

dan beberapa mantan cowokku dulu?tapi saat ini pikiranku

sedang sibuk memikirkan hal lain.

Apa betul kata Jenny Bajaj, bahwa semua kecelakaan ini garagara aku? Jujur saja, aku percaya soal kutukan?dan yah, aku

yakin, kalau aku benar-benar mengutuk orang, kutukanku pasti

akan menjadi kenyataan. Aku ingat, waktu aku memutuskan persahabatanku dengan Jenny, aku benar-benar marah dan benci

padanya. Bisa jadi.

Astaga.

Akulah yang menyebabkan semua kecelakaan-kecelakaan ini.

***115

Kami semua ada di lapangan voli. Melihat muka Jenny Bajaj

yang menyebalkan membuatku tak tahan, jadi aku mulai mensmash ke mukanya. Jenny Bajaj menangis, lalu minta izin pada

Pak Mochtar untuk pulang lebih cepat. Dia masuk ke dalam

mobilnya, melemparkan tatapan terakhir padaku, lalu mobil itu

mulai melesat dengan kecepatan tak terkendalikan sampai menabrak tiang lampu lalu lintas. Aku berlari secepat kilat untuk

menghampiri mobil itu, dan melihat Jenny Bajaj tergolek di

dalam mobilnya, bersimbah darah dengan gaya tidak wajar. Aku

berdiri dengan tubuh membeku. Tiba-tiba saja, mata Jenny Bajaj

yang tadinya tertutup kini membuka lebar-lebar. Sinar matanya

penuh kebencian saat dia mendesis, "Elo yang bikin gue jadi

seperti ini, Han! Elo penyebabnya!"

Adegan berganti dengan cepat. Kami semua ada di laboratorium

kimia. Jenny Tompel mengataiku "cewek bahan taruhan yang dimainin Tony", dan aku nyaris saja menamparnya. Setelah saling

menatap penuh kebencian, aku kembali ke mejaku. Lampu sekolah

tiba-tiba mati. Terdengar bunyi lemari jatuh yang keras. Saat lampu

menyala kembali, Jenny Tompel sudah terbujur di lantai dan tergencet lemari, dengan sekujur tubuh dipenuhi darah dari luka-luka

akibat pecahan kaca. Aku berdiri dengan tubuh membeku. Tibatiba, mata Jenny Tompel yang tadinya tertutup kini membuka lebarlebar. Sinar matanya penuh kebencian saat dia mendesis, "Elo yang

bikin gue jadi seperti ini, Han! Elo penyebabnya!"

Ad

egan berganti lagi. Aku menyerbu ke dalam kelas dan mendapati Jenny sedang duduk di bangku kami. Kumaki-maki dia

karena dia bersekongkol dengan Tony untuk mempermalukanku,

dan kuakhiri makianku dengan kata-kata, "Gue benci sama elo,

Jen. Gue sumpahin lo sial selamanya!"116

Adegan berganti ke rumah Jenny yang suram dan kini terlihat

remang-remang. Jenny berlari-lari di koridornya yang panjang

dengan muka ketakutan, sambil sesekali menoleh ke belakang.

"Jangan!" teriaknya. "Hentikan!"

Tapi, hantu tak kenal belas kasihan. Aku melihat tangan itu

terulur, tangan yang pucat dan tinggal tulang, mencengkeram leher Jenny, dan Jenny menjerit keras-keras. Hantu itu mengencangkan cengkeramannya, dan jeritan Jenny mulai berganti dengan

suara tercekik. Jenny meronta-ronta, tapi tenaganya kalah kuat.

Akhirnya tubuh Jenny melemas, dan jatuh ke lantai. Matanya

melotot ke arahku.

Aku menoleh ke arah jendela. Bayanganku terpantul di situ.

Bayangan seorang wanita bergaun putih dengan tubuh yang sudah membusuk.

Akulah yang mencekik Jenny. Aku hantunya. Rasa dendamku

berubah menjadi sesosok hantu yang menginginkan nyawa Jenny,

dan aku berhasil mendapatkannya.

Aku terbangun dengan tubuh penuh keringat dingin, napas

terengah-engah, dan mata penuh air mata.

Aku tidak menginginkan semua kecelakaan itu. Aku tidak

menginginkan nyawa orang-orang lain. Aku tidak sengaja mengutuk Jenny!

Apa yang harus kulakukan sekarang?117

"Berikutnya giliran elo!"

Itulah kata-kata terakhir Jenny Tompel sebelum menutup

matanya. Bukan berarti dia sudah meninggal dunia. Kurasa, Raja

Neraka sendiri juga terkaget-kaget menghadapi perkembangan

terakhir ini, dan sama sekali belum siap menerima Jenny Tompel

di kediamannya. Itulah sebabnya Jenny Tompel langsung mendapat prognosis "tidak mengalami luka-luka vital" dari petugas

ambulans tanpa perlu menjalani serangkaian tes menyakitkan.

Saat ini kami mendapat kabar bahwa Jenny Tompel sudah siuman

dan menyebabkan kesulitan bagi para staf di rumah sakit. Kuharap, para perawat tidak segan-segan menghunjamkan jarum

suntik raksasa padanya setiap kali dia mulai bertingkah, karena

itulah yang akan kulakukan kalau aku yang jadi perawat.

Yah, aku kesal sekali pada Jenny Tompel dan kata-kata terakhirnya itu. Jujur saja, kalimat sialan itu membuatku tidak bisa

tidur selama beberapa hari. Bukan berarti aku percaya soal kutukan. Aku punya pemikiran, seandainya Tuhan menanggapi dengan

serius setiap kutukan dan sumpah yang dilontarkan manusia, du11

Jenny118

nia tidak bakalan mengalami masalah kepadatan penduduk. Itulah

sebabnya aku tidak sakit hati setiap kali disumpahi orang dan

yakin banget kutukan itu cuma omong kosong belaka.

Tapi, masa kalian tidak ngeri kalau mendapat pengalaman

seperti yang kualami waktu itu? Lagi meratapi Jenny Tompel yang

kukira sudah tewas di tempat, tahu-tahu saja dia memelototiku

dengan muka berlumuran darah dan mencengkeram bajuku (serta

mentransfer darahnya ke baju seragamku yang malang), dan

berkata, "Berikutnya giliran elo!" Benar-benar mirip adegan di film

horor saja. Dasar menyebalkan. Sudah terluka parah, masih juga

sempat menakut-nakuti orang. Menyesal banget aku tidak

menuruti kata hatiku untuk melemparnya jauh-jauh.

Kurang tidur, ditambah dengan memiliki teman sebangku

seperti Jenny Bajaj yang hobi berceloteh dan gemar menyusun

teori konspirasi, seluruh tenagaku jadi seperti terkuras. Aku mulai

curiga bahwa kejudesan Jenny Tompel bukannya tak beralasan.

Memiliki teman sebangku seperti Jenny Bajaj seperti mendengarkan siaran radio yang tak putus-putusnya dan tidak bisa dimatikan. Sudah berkali-kali aku kepingin berteriak-teriak histeris,

"Shut up! Shut up!" tapi itu kan bukan gayaku. Jadi, yang kulakukan hanyalah membenamkan wajahku di atas lipatan tanganku,

sambil berusaha memejamkan mata dan berharap bisa tidur

sejenak seraya dibuai oleh siaran radio yang tak diinginkan ini.

Jumat itu, sepulang dari sekolah, aku memutuskan untuk menghibur diriku. Aku menyuruh Pak Mar pulang duluan, lalu pergi ke

ruang latihan judo yang kami sebut sebagai dojo dan mengintip

latihan hari itu. Seperti biasa, semua orang berlatih secara

berpasangan dan masing-masing berusaha menjatuhkan pasangan

mereka. Tidak sulit bagiku untuk menemukan Tony dan Markus.119

Keduanya tampak sangat mencolok di antara anak-anak lain yang

tidak setinggi dan sekeren mereka.

Dari jendela dojo aku melihat Tony dan Markus saling membetot, tapi selain berputar-putar di tempat, keduanya sama sekali

tidak bergerak. Lalu, mendadak saja mata Tony tertuju padaku.

Aneh sekali, padahal aku sudah memilih jendela paling pojok

supaya tidak menarik perhatian (aku kan tidak mau diusir oleh

sensei yang galaknya minta ampun itu), tapi tetap saja Tony bisa

menemukanku. Wajahnya yang tadinya sengit berubah ceria, dan

senyumnya sedang melebar saat mendadak saja dia dibanting oleh

Markus.

"Ippon!" seru Markus, cukup keras untuk didengar oleh seluruh

dojo, dan sejumlah anak yang belum berlatih segera bertepuk

tangan.

Tapi Tony tidak menghiraukan semua itu. Dia langsung menghambur ke luar dojo dan dalam sekejap dia sudah berada di

depanku. Ampun deh, cowok ini benar-benar kelihatan keren

banget dengan seragam judonya itu!

"Kok belum pulang, Jen?" sapanya sambil menyunggingkan

senyum yang membuat duniaku mendadak dipenuhi cahaya.

"Oh, ng, tadi aku masih ada urusan di sini, jadi kusuruh

sopirku pulang duluan," dustaku.
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, kalo begitu, nanti kita pulang bareng aja, mau?" tanya

Tony penuh semangat. "Latihanku nggak lama lagi kok. Biar aku

aja yang antar kamu pulang, oke?"

Diantar pulang oleh Tony? Wow!

"Oke," sahutku sambil menahan kegirangan dalam hatiku.

"Halo, Jen," sapa Markus dari balik punggung Tony. "Liat

nggak tadi aku ngebanting Tony?"120

"Hoi!" protes Tony jengkel. "Itu cuma kebetulan. Konsentrasi

gue lagi pecah lantaran..."

Mendadak Tony terdiam.

"Lantaran?" Markus mengangkat alis.

"Udahlah," gerutu Tony. "Lo menang kali ini."

Markus langsung nyengir dengan muka penuh kepuasan.

"Nggak gue sangka, lo ngaku kalah secepat itu, coy!"

"Nggak usah senang dulu, man. Lain kali belum tentu lo bisa

menang lagi."

"Terserah apa kata lo," balas Markus riang. "Yang jelas, nanti

lo harus traktir gue makan nasi liwet!"

Tony melirikku. "Lain kali aja deh, man."

"Mana ada lain kali? Ingat, coy, ngutang itu bukan perbuatan

yang baik."

"Bukannya gue mau ngutang, tapi..." Tony cemberut. "Gue

mau antar Jenny pulang."

"Oh, gitu," sahut Markus sambil menahan tawa. "Itu sih nggak

ada masalah. Udah makan belum, Jen?"

Karena rada lapar, aku pun menyahut jujur, "Belum."

"Kalo gitu, kita makan bareng di sekolah dulu, oke?"

"Oke."

Markus menoleh pada Tony, yang wajahnya bersinar-sinar kegirangan. "Beres, kan?"

"Kadang gue lupa kalo lo jenius, man."

"Nggak usah nyindir. Terakhir kali kita ngetes, IQ lo lebih

tinggi 20 poin dibanding gue."

"Oh ya, kadang-kadang gue lupa soal itu."

Kami pergi ke kantin. Sementara Tony dan Markus memesan

nasi liwet, aku memesan nasi padang. Berbeda dengan biasa, kali121

ini Tony dan Markus duduk dengan salah satu kaki diangkat ke

atas bangku kantin, dan keduanya melahap nasi liwet langsung

dengan tangan.

"Makan nasi liwet memang paling enak dengan gaya abangabang," kata Tony dengan wajah berlepotan nasi.

"Lebih enak lagi kalo bisa sambil lesehan," sahut Markus dengan mulut penuh.

Kutatap dua cowok itu dengan geli.

"Kita, kalo dibandingin sama Jenny, mirip kuli dan tuan

putri," kata Tony.

"Wah, gue sih nggak terlalu senang lo sebut gue sebagai tuan

putri, coy. Gimana juga jenis kelaminnya nggak matching!"

"Kalo lo jadi tuan putri, rakyat lo pasti pada mimpi buruk,"

gerutu Tony. "Maksud gue, Jenny yang jadi tuan putri, bego!

Cara makannya manis banget kalo dibandingin kita berdua.

Sayang," Tony menatapku penuh rasa ingin tahu, "...tuan putrinya pucat banget hari ini."

"Yeah," Markus ikut-ikutan menatapku, membuatku jadi risi

lantaran dipelototi dua cowok ganteng sekaligus. "Ada apa, Jen?

Kamu lagi nguatirin sesuatu?"

"Ng, bukannya aku terkontaminasi Jenny Bajaj ya," kataku canggung, "tapi sebenarnya aku ngerasa aneh aja karena belakangan ini banyak kecelakaan menimpa anak-anak di kelasku."

Tanpa kuduga-duga, Tony mengangguk. "Itu nggak berlebihan,

Jen. Kami juga merasa begitu. Ada dua kecelakaan yang terjadi,

keduanya terjadi pada waktu yang berdekatan." Lalu dia diam

sejenak, seolah-olah ragu-ragu untuk melanjutkan ucapannya.

Karena Tony diam saja, Markus yang melanjutkan, "Lebih

aneh lagi, dua kejadian barusan ini menimpa dua cewek bernama122

Jenny." Lalu, dengan nada lebih lembut, dia berkata, "Bukannya

nggak mungkin kalo kecelakaan berikutnya bakalan nimpa kamu,

Jen."

Oke, jadi bukan cuma Jenny Tompel yang berpikir begitu?

dan aku makin ketakutan saja. Yah, aku tahu, Jenny Bajaj dan

Jenny Tompel sama-sama selamat dari kecelakaan yang menimpa

mereka. Tapi itu tidak membuat kecelakaan-kecelakaan itu jadi

berkurang seramnya.

"Tapi, kamu nggak usah khawatir, Jen," kata Tony cepat-cepat.

"Aku dan Markus nggak akan tinggal diam. Kalo kami sampai

nemuin orang yang terlibat..."

Aku menatapnya dengan terperanjat. "Orang yang terlibat?"

Tony tersenyum geli. "Kamu nggak ngira ini kejadian supernatural, kan? Pasti ada yang coba nyelakain kalian. Semua ini

udah kelihatan jelas dari kejadian pertama. Tali rem mobil Jenny

Bajaj dipotong dengan sengaja. Ini berarti ada pelakunya!"

Selagi aku masih ternganga, Markus melanjutkan, "Orang ini

bukan orang sembarangan, Jen. Dia cerdas, itu sudah pasti. Dia

tahu soal otomotif, atau minimal dia berhasil mempelajari itu


Rajawali Emas 53 Pendekar Cengeng Pendekar Romantis 03 Pedang Siluman Dewi Ular 71 Kupu Kupu Iblis

Cari Blog Ini