Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan Bagian 6
sepinggiran rel kereta di pintu gerbong kereta.
Stasiun kota Malang menjadi tempat pemberhentian terakhir kereta Mataramaja, semuanya sibuk mengurusi barang-barang masing-masing, dari stasiun
terlihat dari luar terpampang tulisan Stasiun Malang, untuk mengabadikan perjalanan ini kita berfoto-foto ria sambil menunggu jemputan panitia yang mengadakan acara pendakian ini, sejam berlalu tapi tak kunjung panitia menjemput
kita, akhirnya kita memutuskan untuk membeli jajanan di sekitar stasiun. Puas
jajan di sekitar stasiun Malang akhirnya menyewa angkot menjadi pilihan terakhir untuk menuju pasar Tumpang.
Malam hari di pasar Tumpang kelompok Unyu kedatangan anggota terakhir,
"Bang Benny dataang!!" semua kelompok unyu menyambutnya,
Akhirnya pertama kalinya kita berkumpul secara langsung, komunikasi sebe?
lumnya lewat whats app membuat kita sudah saling mengenal terlebih dahulu.
Semula kelompok Unyu terdiri 5 orang dari sahabat aku beserta abang kan?
dung?ku yaitu bang Fadly sebagai ketua kelompok, lalu ada bang Benny, Nadia,
dan bang Harry di pertengahan pencarian teman kelompok yang mengharuskan setiap anggota lebih dari 10 kita berhasil membujuk Hayya dan Keyko
yaitu teman satu daerah kami, lalu seorang analist kimia yang pandai berpuisi
Rumah adalah di Mana Pun
Imam menjadi salah satu anggota tertua tetapi berbadan termungil di antara
pria-pria yang ada di Unyu, kak Lidya seorang calon dokter di kota Padang
melengkapi perempuan cantik di Unyu, dan terakhir Mas Pras si fotografer dan
koki restoran Jepang masuk ke kelompok Unyu menjelang 1 minggu keberangkatan kita menuju Malang, lengkap semua personel kelompok Unyu, dari orang
IT, dokter gigi, tekhnik mesin, desing interior, analis kimia, dokter umum, fotografer, sastrawan semuanya serba ada di sini.
Siang hari menjelang sore akhirnya jeep dengan bak belakang terbuka yang di
tungggu dari pagi datang juga,
"Turunin jas hujan, ya," om Ded meberikan instruksi
Hari itu cuaca di kota Malang sulit di tebak, kadang matahari menampakan wajahnya, lalu habis itu bergantian awan gelap menutupinya. Hujan rintik-rintik
mengiri keberangkatan kami. Perjalanan dari pasar Tumpang ke Ranu Pane begitu menyenangkan, menikmati berdiri di jeep terbuka sehingga saat hujan kita
bisa merasakan hujan menerpa tubuh.
Mendaki gunung di akhir tahun cocok bagi yang tidak ingin merasakan panas
terik matahari, tetapi guyuran hujan dan kabut akan menemani perjalanan,
sayangnya di musim hujan ini kita tidak melihat bunga-bunga bermekaran,
hanya melihat hamparan hijau, orange, atau coklat sebuah padang savanna,
Tiba di Ranu Pane guyuran hujan dan dingin menyambut kita
"Kalian udah siap, kelompok Unyu ya jalan pertama," salah satu panitia mempertanyakan persiapan kami
Terlihat muka kelompok Unyu tegang, di ketegangan kita merapatkan badan,
sambil saling berpegang tangan, ini perjalan pertama kita kita untuk mendaki
gunung, saat itu segalanya terasa menghangat, jantung berdetak lebih cepat
dari normalnya, genggaman tangan pun saling mengerat.
"Kita berdoa yah semoga perjalanan naik maupun turun selalu dalam lindungi
Allah" bang Fadly memimpin doa.
Rumah adalah di Mana Pun
Dingin yang merasuk kedalam kulit, membuat sendi-sendi terasa kaku, hidungku mulai terasa sangat membeku, jam 4 sore Ranu Pane melepas perjalanan
kita, tim Unyu menjadi pertama yang berjalanan, dalam hati ku merasa kesal,
kenapa pertama apakah karena kita semua belum pernah ngedaki gunung se?
tinggi ini jadinya dianggap nanti akan menjadi tim keong yang sampai ke pos
nya terakhir?
Setelah berdoa dan dengan percaya diri kita melangkah dengan semangat, aku
kira semuanya akan berjalan baik-baik saja, tapi saat di awal perjalnan salah
satu dari kita ada yang terlihat janggal.
Abang Harry berhenti sejenak, lalu berjalan lagi, dan tiba-tiba berhenti, kita
yang dibelakang menjadi bingung, lalu abang berjalan lagi, dan berhenti lagi,
bang Harry memanggil guide kami mas Iwan, lalu ia minta tukaran carrier,
aku kira abang kaget dengan awal perjalanan ini, tetapi tetap abang berhenti
lagi berjalan berhenti lagi, kita tersendat-sendat perjalananya seperti air yang
macet, abang memalingkan wajah kebelakang dan deg!!
Melihat bibirnya yang biru, seperti berkelabat dengan hari-hari kemarin, abang
sebelum berangkat kondisi tubuhnya demam, kakinya bengkak, dan tiba-tiba
teringat kata-kta yang sering di ucapkan mama,
"Abang waktu lahir suspect sakit jantung"
Kali ini aku benar-benar menyalahkan diri sendiri, mengutuk-ngutuk diri sen?
diri, sepanjang perjalanan hanyalah penyesalan yang di rasa. Seperti membawa
ketempat nisan rasanya, ini baru awal ngga mungkin abang di balikin ke Ranu
Pane, pendakian pun di paksakkan, abang di paksa tubuhnya mendaki
Mengingat hari-hari sebelum menjelang keberangkatan aku kesal mengingatnya karena sebelum pendakaian dari awal aku memaksakan dia olahraga tapi
tidak juga olahraga, di saat semua orang mempersiapkan dirinya, tetapi dia
tidak melakukan apapun.
Sepanjang perjalana Ranu Pane menuju pos 1 membuat aku seperti orang gila,
emosi yang berubah-rubah, kadang menjadi kesal, tiba-tiba menjadi lunak
dan pengertian, lalu tiba-tiba menjadi kesal lagi. Perjalanan diawal tidak terasa
Rumah adalah di Mana Pun
nikmat. Perjalanan mencapai pos 1 memakan waktu 3,5 jam, sesampai di sana
matahari sudah tenggelam.
Seperti apa pos itu? Awalnya aku mengimajinasikan bahwa pos itu seperti
sebuah tempat peristirahatan, yang banyak tempat duduknya dan beberapa
warga di sana yang berjualanan makanan ringan seperti mie atau kopi panas
ternyata beda sama yang aku pikirkan, di sana hanya seperti tempat berteduh
kecil berbentuk lingkaran di tepi jurang, di tempat itu begitu rame dengan
pendaki yang beristirahat, kami pun solat magrib, berdoa semoga perjalnan ini
berjalanan lancar.
Cuaca sangat dingin, di dalam hati aku bertanya, perjalanan ini di mana ujungnya, lama sekali sampainya, setelah magrib abang sedikit stabil energinya,
tetapi tidak bisa berjalan cepat, dan akhirnya kita menjadi tim yang terakhir
sampai, ah benar kita jadi tim kancil.
Sepanjang jalan untuk memeriahkan suasana, semuanya menggoda aku untuk
bernyanyi.
"Kitty nyanyi dong, masa diam aja, biasanya kalo di tempat karoke suara kitty
yang paling keras," Nadia menggoda aku.
Aku suka bernyanyi tetapi kalian harus siap-siap mendengarkan suara-suara
ku yang tidak bernada, yaah emang tidak indah tetapi sedikitnya memeriahkan
perjalanan, perjalanan Ranu Pane penuh dengan akar-akar kayu, dahan-dahan
yang rendah sehingga kita harus berteriak kencang untuk mengatakan awas
kayu, atau bilang, hati-hati jurang selain itu konsentrasi dan mata pun harus
mawas karena salah-salah kita berjalan jurang di sebelahnya.
Di pertengahan perjalanan aku mulai menikmatinya, sudah mulai bisa mengiringi irama perjalanan ini, tetapi tidak sepenuhnya saat itu abang masih menjadi
beban. Semakin malam tenaga kita semakin habis, beban carrier yang berada
di pundak kita terasa makin berat, abang tidak bisa berjalanan cepat, dadaknya
masi terasa sesak, dan aku tau kakinya pun sebenarnya sakit. Akhirnya mas
Iwan mengambil keputusan untuk membagi 2 kelompok lagi,
Rumah adalah di Mana Pun
"Kelompok ini ngga bisa mengikuti irama Harry, ini sudah makin larut malam,
harus bagi dua kelompok, Harry sama tim sweeping, dan Unyu yang lain ikut
saya," bang Iwan akhirnya bersuara setelah lama diam.
Aku memilih menemani bang Harry apapun resikonya. Kak Lidya dan bang
Benny juga begitu memilih menemaniku dan bang Harry. Lega rasanya, akhirnya tidak memberatkan yang lain.
Seelah mengambil keputusan itu mas Iwan berjalanan sangat kencang bersama yang lainnya, semuanya meninggalkan kami, di dalam hati aku membatin
abang, abang pasti bisa, semangat bang, jangan nyerah dan kadang hati ku
menggerutu Qisty malu udah nyusahin banyak orang demi bang Harry, apalagi kak Lidya, yang Qisty tau carrier termasuk berat,. Tapi kadang-kadang
menyalahkan diri sendiri gara-gara keinginan Qisty mau naik gunung, Qisty
mengorbankan abang untuk naik juga, padahal ini bukan keinginannya. Batin
ku berperang kala itu.
Pantulan cahaya terlihat dari dataran, dari seberangnya juga terlihat api unggun beserta lampu-lampu berasal dari tenda, aku begitu semangat ketika melihatnya lebih dekat lagi, begitu banyak terlihat tenda warna-warni
"Abaang, ayoo agak cepat jalananya kita udah sampai ituu," sambil menarik
tangan abang Harry aku seperti melihat sebuah danau dari kejauhan, apakah
itu Ranu Kumbolo
Aku semakin meyakinkan abang untuk berlari, mencapai sana, aku juga sudah
berjanji tiba di tenda, sepatu abang yang sempit itu, kakinya yang membesar
karena di paksa jalan itu akan aku bantu melepaskan dan aku akan melapnya
agar sedikit hilang sakit yang dia tahan.
Hallo Ranukumbolo, apa sampai di sini perjalanan ku? menemani abang atau
meninggalkanya esok hari dan berjuang menuju puncak itu.
Rumah adalah di Mana Pun
Aku menarik napas panjang biarkan hari esok yang menjawabnya, hari ini
abang begitu menyebalkan dan berarti bagiku tetapi aku begitu bahagia
a?khirnya di tengah malamnya Ranukumbolo kita tiba di peristirahatan.
Ternyata benar, yang memulihkan fisik seorang pendaki hanyalah tidur, pagi itu
sangatlah dingin, aku meringkuk di dalam sleeping bag yang dipinjaman kak
Safiq, tetapi kalo di pikir sangat sayang rasanya kalu melewatkan sunrise, saat
tenda dibuka, aku takjub, pemandangan yang gelap semalam terasa berbeda
sekarang, ahh ini yang disebut Ranukumbolo, indah sekali, sebuah danau terhampar luas dan didepanya ada dua bukit yang aku kira akan terbit matahari di
tengah-tengahnya, ternyata matahari itu terbit di bagian tengah jika di musim
semi, dinginnya udara Ranukumbolo yang menusuk badan tidak mengalahkan
aku untuk bisa merasakan lebih dekat.
Oh seperti ini cara masak pakai nesting, porter kita mengajari menggunakan
benda ajaib itu, sebuah rantang berbentuk kotak, dan ada kaki yang tempat
tunggkunya, menu pagi ini Keyko dan mas Pras yang masak, kita masak bakso,
sosis, dan kuah-kuah, karena dari malam aku belum makan, terlihat sekali aku
seperti orang kelaparan yang memakan duluan, makan di gunung sensasinya
beda, segalanya terasa nikmat, lapar di perutku membuat nasi, sosis, dan kebersamaan begitu menjadi sebuah kenikmatan berbeda yang belum pernah
aku alami.
Setelah makan pagi sambil menikmati pemandangan Ranukumbolo, semuanya
mulai melipat tenda-tenda yang didirikian tadi malam, tetapi ada satu tenda
yang tidak di lipat di biarkan begitu saja. Lalu om Ded menyamperi ku
"Kitty, bang Harry nggak bisa ikutan naik, dia stay di Ranukumbolo aja, tenaga
dia tidak bisa melanjutkan perjalanan, tapi tenang aja bang Harry sama peserta
lainya kok, beberapa yang tidak naik karena kecapaian" om Ded meyakinkan ku.
"Terus kitty ikut?" aku bertanya kepada mereka
"Ikut kit, yang punya ide ke sini 'kan Kitty," bang Fadly nyelutuk.
Kegelisahan tadi malam menjadi kenyataan, berat sekali meninggalkan abang,
Rumah adalah di Mana Pun
tetapi semua memaksa aku untuk terus melanjutkan perjalanan. Aku begitu
cemas, tetapi jauh di dalam hati aku ingin sampai ke sana, perjuangan untuk ke
sini sulit, dan yang puny ide untuk pendakian ini aku, bukan bang Fadly, bukan
Nadia, bukan bang Benny, bukan Hayya, bukan Keyko tetapi Qisty. Ya mimpi ini
harus di tuju. Aku meninggalkan abang dengan sagat berat hati, dengan banyak menasehatinya, dengan meninggalkan makanan yang super banyak untuk
persediaanya satu malam.
"Abang Qisty pergi dulu ya, hati-hati abang di sini" Aku pamit kepada abang
Aku melanjutkan perjalanan, abang mengantarkan kita ke tanjakan cinta,
tanjakan yang curam, tanjakan yang terasa berat ketika di puncaknya karena
abang harus tinggal di sana. Di belakang tanjakan cinta ada sebuah pemandangan ilalalng yang luas begitu indah, ini Oro-oro ombo, saat musim semi akan
penuh hamparan bunga lavender berwarna ungu, sayang yang aku lihat ilalang,
bukan bunga lavender.
Perjalanan hari ke dua pun di mulai. Ternyata kita bukan tim keong, kita bisa
berjalanan sangat cepat, perjalanan Ranukumbolo ke Kalimati sangat berbeda,
bukan jurang-jurang yang menemani kita, tapi tanjakan yang tiada henti menemani kita, di tengah-tengah perjalanan hujan semakin deras, kak Lidya orang
yang menemaniku dari Ranu Pane ke Ranukumbolo, sosok wanita yang kuat
menjadi sangat lemah kala itu, berkali-kali kak Lidya mengatakan nyerah,
Hujan semakin lebat, aku berkata lapar terus menerus dan akhirnya mas Iwan
memilihkan kita sebuah pohon yang bisa untuk membentangkan fly sheet, mas
Pras, Imam, bang Benny, bang Fadly berusaha membentangkan fly sheet, sulit
di bentangkannya karena angin kencang dan hujan yang deras. Kita terus kebasahan dan kedinginan, kak Lidya semakin kekurangan oksigen, beberapa kali
dia harus menghirup oksigen.
Kami ber 9 akhirnya saling merapat untuk menghangatkan badan, dingin, tubuh kita dingin tetapi hati kita terasa hangat, kebersamaan menguatkan kita.
Bekal satu kotak nasi dan sedikit nugget menjadi penganjal perut, tidak cukup
sebenarnya nasi satu kotak dan nugget setengahnya, tapi lapar dan dingin yang
menusuk kulit harus di tahan
Rumah adalah di Mana Pun
"Kitty makan lagi aja," Keyko menyuapkan ku
Makanan habis, dan tenaga kita sedikit pulih tetapi lapar tidak berkurang ba?
nyak, perjalanan di lanjutkan dan akhirnya kita sampailah sebuah padang
ilalang yang didepanya terlihat hutan-hutan, di sana sudah banyak tenda yang
berdiri, berkumpulan orang-orang, dan beberapa yang mendekati api unggun,
dan aku berdiri melihat sekelilinginya di padang ilalang itu aku melihat sebuah
bukit yang ujungnya tidak terlihat, puncak, sebuah puncak yang pernah aku
impikan.
Kalimati kala itu menyabut kita dengan hujan dan dingin,
"Imam jangan ngerokok," kita semua cemberut ketika melihatnya di tawarkan
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebatang rokok
Imam tak tahan lagi dengan dinginya, badanya yang kurus yang tidak diselimuti lemak-lemak tidak bisa menghangatkan badanya, badan kita semua
berasap, saking suhu tubuh kita sangat tinggi tetapi suhu lingkungan sangat
rendah. Suhu semakin keatas semakin dingin, aku pun mengganti baju yang
basah ini dengan baju kering, lalu mencari perapian yang untuk menghangatkan badan.
Sore itu kita berada di Kalimati, Kalimati begitu istimewa, dinginya Kalimati,
dan segarnya air dari Sumber Mani membuat ku merindukan suasana di sana.
Malam tiba, pikiran ku tetap mikirkan abang, akan kah dia aman di sana?
Berkali-kali aku memastikan ke om Ded apakah abang aman di sana, hati ini
benar-benar gelisah.
"Kita masak apa?" Keyko bertanya kepada semua anggota Unyu
"Coba di lihat ada spageti dan sarden," bang Fadly menunjuk tas logistik tempat
penyimpanan makanan
"Ternyata masak-masak pake nesting seruu yaa, besok aku masak nesting di
kamar kostan saja," aku begitu girang mencoba memasak menggunakan nesting
Rumah adalah di Mana Pun
Hahaha, spageti dan sarden begitu menggoda, tetapi dinginya Kalimati membuat maknan cepat dingin, aku kira mendaki membuatku malas makan karena
capek yang dirasa, tapi justru kebalikanya, rasa lapar semakin tidak terben?
dung. Keyko, kak Lidya membantu ikut memasak, seru ternyata, dan akhirnya
sepageti campur sarden kita jadi, bangga sekali rasanya bisa masak menggunakan nesting, serasa menjadi pendaki yang mandiri.
Sudah lama tidak melihat api unggun, yang sering aku lihat hanya tumpukan
sampah di Jakarta sana. Kalimati sangat dingin sehingga para pendaki lain
menghidupkan api unggun, ternyata duduk di api unggun melengkapi rasa
menjadi pendaki, ini malam ke dua berada di gunung dan baru hari ini aku
merasakan api unggun di tengah dinginya malam.
Kembang api terlihat di antara gelapnya hutan, pergantian tahun antara 2012 ke
2013, ini malam pertama tahun baruku di gunung.
Sinaran dari head lamp dan cahaya warna-warni yang menyinari malam itu,
bintang pun ikut bermunculan tak kalah menghiasi langit-langit.
"Malam ini perjalan hidup dan mati, mimpi kita yang kita impikan, apapun
caranya kita semua yang di sini harus bisa sampai puncak" seperti itulah kalimat yang aku tangkap waktu tim Unyu mulai berdoa khusyuk sekali, semuanya
tidak ada yang tau medan seperti apa yang akan di lalui, yang kita tahu perjalanan keatas akan naik terus dan berkali-kali lipat susahnya di bandingkan
perjalanan sebelumnya.
Napasku memburuuu
Aku mencari batu yang lain untuk tempat berbaring, napasku hampir hilang,
segalanya memburu terasa cepat,
"Kitty ngantuk, Kitty ngga sanggup," kalimat itu aku ulangi lagi ke Imam dan
bang Benny
Rumah adalah di Mana Pun
Dua pria yang menjaga ku di depan dan di belakang tetap memaksaku untuk
melangkah, dingin, embusan angin terasa ingin mengusirku, angin terasa kencang dan ingin menggulingkan ku ke bawah, aku tatap langit hitam legam, tapi
banyak bintang-bintang bertaburan, aku pun terduduk.
"Coba lihat ke arah sana, banyak lampu kita sudah sejauh ini, itu kota Malang,"
Imam menunjuk ke arah belakang sana yang kita tahu itu lampu-lampu kota
Malang, ia berusaha menghibur dan menyemangati ku yang sudah mengatakan nyerah untuk pendakian ini.
Keyko yang selalu bersama ku yang sama-sama berjuang menapak pun ikutan
melihat ke arah sana,
"Jalan lagi yuk, istirahatnya udah, nanti kalo udah jalan kita istirahat di sana,"
Imam mengajak kita melanjutkan pendakian
"Kitty ngerangkak aja ya, ngga bisa jalan," aku benar-benar di titik menyerah
Tetapi 3 orang yang bersama ku membuat ku memaksakan diri ini, benar pendakian ini membutuhkan mental dan niat yang kuat, aku sudah tidak niat untuk
mencapai puncak Mahameru, kantuk dan dingin yang menusuk membuatku
ingin tertidur saja hingga pagi.
Lampu-lampu kota Malang membuat ku tidak terasa takjub, tetapi aku menikmatinya. Tali yang di pegang kuat Imam selalu aku pegan kuat-kuat, kali ini aku
dan Keyko tidak bisa mengadalkan kaki untuk mendaki, hanyak tarikan yang
membuat kita bisa melangkah.
Perjalanan di tanjakan berpasir terasa lama, semakin gelap langit berati di titik
balik langit akan perlahan-lahan mulai terang, lampu-lampu yang berasal dari
kepala kami mulai sedikit berkurang, aku lihat kanan kiri, pendaki yang lain ada
yang berjalan sendiri,
"Ahh orang itu begitu cepat sekali, bagaimana cara mereka menapak? Aku saja
ketika melangkah sekali akan turun 2 langkah."
Dan kulihat lagi rombongan-rombongan mulai melesat laju, ada juga yang terlihat sendiri dan kesusahan, aku miris melihat mereka, mereka sendiri di tinggal
Rumah adalah di Mana Pun
teman-temanya yang mengejar puncak sunrise, dan ada lagi yang terlihat sa?
ngat keletihan yang bersandar di bebatuan besar.
"Ah mas kita sama, tetapi aku begitu beruntung di jaga sahabat-sahabat ku ini,"
aku membatin.
Fajar terlihat aku pun tidak ada perubahan, Imam sudah banyak tenaganya
keluar karena harus menarik aku dan Keyko yang masih bergelantungan de?
nganya, aku meminta istirahat, itu sudah kesekian belas kali aku meminta minggir, langit pun seudah berwarna keunguan, aku tersengal-sengal, aku melihat
ke arah bukit sana, awan tipis berada di bawah kaki ku, ini yang di sebut negri di
atas awan?
Tiba-tiba aku mendengar suara yang begitu menggetarkan hati
"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Asyhadu alla ilaaha illallah, Asyhadu anna muhammadar Rasulullah, Hayya?ala ash shalah, Hayya?ala al falaahh...."
Suara iqomah dari arah seberang terdengar
Aku menangis mendengarkanya itu suara iqomah berkumandangan di puncak
Mahameru, semeseta memuji pemilikNya, lelah dan kantuk yang aku rasakan
tiba-tiba buyaar, aku merangkak menuju suara yang aku dengar, kaki ku belum
sanggup untuk berdiri, aku merangkak menuju atas sambil berlinang air mata,
Allah, Allah aku ingin solat jemaah, aku belum solat subuh, akhirnya aku duduk
di bawah batu sebelah Imam yang berdiri di atas batu sana, aku tak sanggup
memanjat batu untuk ikut di shaf belakang, dan aku tak mau ketinggalan rakaat
kedua aku ingin solat jemaah,
"Papa, Mama, Qisty solat di puncak Mahameru.." air mata ku turun tak henti
menikmati angin yang awalnya aku rasa seperti mengusir kukini terasa lembut
menyapa wajah ku.
"Hanya 40% pendaki baru yang bisa mencapai puncak mahameru," pernyataan
itu tiba-tiba berkelabat,
Rumah adalah di Mana Pun
Aku panik ketika tau tidak semudah itu mencampai puncak, 2 minggu sebelum keberangkatan pertemuan dengan banyak pendaki dan statement seperti
itu membuat aku panik, belum ada olahraga yang maksimal, puncak adalah
target, sudah dapat izin papa dan belum tentu bisa mencapai puncak, nggak
akan mungkin aku sia-siaiin kesempatan ini. Kesokan harinya aku membawa
tas dengan berat 3,5kg-4kg ke kampus, menaiki tangga 7 lantai setiap paginya
dengan ransel yang selalu lengket di punggung, berjalan cepat, dan kadang
jogging untuk mengatur irama napas, itu perjuangan ketika aku sudah tidak
pernah berolahraga lagi. Abang Harry yang aku tinggalkan di Ranukumbolo
sendiri, padahal sudah diingatkan berkali-kali apapun keadaanya jangan meninggalkan siapapun untuk melanjutkan perjalanan, dan di api unggun itu
seorang pendaki senior berkata kepada ku
"Kalo ngga sanggup jangan di paksain, mending istrahat aja," salah seorang
pendaki senior menasehati ku saat beraeda di api unggun Kalimati
Rasanya aku begitu di remehkan, aku kesal tetapi kali ini terbukti, berjalanan
dengan kaki sendiri saja aku tidak bisa, harus di tarik dulu baru bisa jalan.
Setelah solat, aku duduk melihat segalanya, melihat langit yang makin lama
makin terang, lampu-lampu di kota Malang sudah menghilang, aku seperti punya semangat lagi, aku berdiri,
"Kitty ngga mau di webbing, mau coba jalan sendiri," aku mengatakan itu sama
Imam,
Aku belajar berjalan lagi, terpuruk tetapi terus mencoba. Langit sudah cerah
aku bisa melihat kebawah, melihat jejak-jejak pendaki yang sudah melewati
jalanan itu, aku menapaki di bekas jejak-jejak kaki pendaki, dan benar langkah
ku tidak turun, perlahan-lahan langkah ku mulai cepat, Keyko kali itu cedera,
dan Imam memperhatikan ku di belakang sambil menarik Keyko, mas Iwan
yang dari jauh sambil mengawasi ku mulai terlihat, aku tersenyum berjalanan
terus keatas, aku berjalan dua langkah lalu melihat keatas, masiih jauh ternyata,
Berjalan sebentar berhenti melihat kebelakang, melihat ke atas masih jauh, tiba-tiba aku ingat puncak akan di tutup jam 8 atau 9. Aku harus sampai puncak
aku harus berlari ke sana, lalu aku mendekati mas Iwan,
Rumah adalah di Mana Pun
"Mas, Kitty sampai ngga di puncak?" aku dengan ragunya bertanya kepada
masi Iwan.
Dia tersenyum, lalu memberikan minumanya untuk aku teguk karena terlihat
bibirku kering.
"Abang, Kitty lari, yaah," dan akhirnya aku berjalan cepat seperti berlari
Diriku kembali lagi, Qisty yang terus berlari. Aku berlari, dan puncak pun terlihat, napas memburu dan aku tak membawa apa-apa, bang Benny sedikit jauh
di bawah ku, aku terduduk dan melihat seorang cowok yang terlihat lelah sambil minum, dengan muka mengiba aku melihat dia sambil meminta minumnya
"Mas, saya boleh minta minum seteguk saja?" napasku terlihat tersengalsengal.?
Dengan baik hati cowok itu memberikan airnya, aku meminum seteguk untuk
menghilangkan rasa kering di tenggorokan. Segar, seandainya Imam atau bang
Benny di belakang, mungkin sudah berapa teguk air yang akan aku minum untuk menghilangkan rasa haus ini.
"Mas semangat yah, sampai jumpa di puncak," aku tersenyum dan berjalan
cepat meninggalkanya
Puncak sudah dekat, aku tersenyum dan berlari di sana, akhirnya aku bisa
merasakan puncak lebih lama, lalu ketika aku mendekati puncak aku begitu
kaget, aku kira ini pendakian yang terakhir, ternyata ini bukan puncak, dan baru
aku tahu itu puncak bayangan, aku begitu lemas, puncak yang aku lihat masih
jauh, waktu terus berputar, sebentar lagi jam 8 aku kehilangan akal, dan ketika
aku berjuang mendaki, dari arah depan begitu banyak rombongan yang turun,
Sebentar lagi jam 8. Benar, hanya sedikit pendaki yang baru bisa mencampai
puncak, kata-kata seorang pendaki senior itu terus terngiang di telingaku
Tapi rasa ingin ku lebih besar, kaki ku tetap aku paksakan melangkah, kali ini
tidak mau melihat ke arah manapun, tidak banyak berhenti seperti semula.
Mukaku memerah, jilbab ku terasa aut-autan, tongkat aku tancap berkali-kali
kepasir agar aku bisa melangkah lebih lebar, semua orang yang turun melihat
Rumah adalah di Mana Pun
ku, aku pun kadang merasa bingung, seprti apa sebenarnya bentuk ekspresi ku
saat itu,
"Semangat ya, Mbak, puncak bentar lagi," salah satu rombongan yang turun
dari puncak mahameru
"Semangat ya, Mbak," kalimat itu berkali-kali terlontar dari mulut mereka
Yang aku ingat kata-kata dari papa cuma satu, Qisty itu ambisius apakah sebegitunya terlihat muka ku sedang memaksakan diri untuk berjuang, ahh tetapi
kata-kata semangat dari mereka membuat ku percaya diri untuk mencapai
sana, tiba-tiba di bukit sana aku melihat sosok yang aku kenal .
"Kak Lidya, Hayyaa!" aku berteriak dri bawaah
Kak Lidya sedang asyik foto-foto kala itu, aku teriak dari bawah sana
"Kak lidyaaaaa, Hayaaaaaa!" aku mengulanginya sambil melambaikan tangan
Mereka yang awalnya melihat ke bukit-bukit sana langsung menyadari aku
"Kitttyyyyyyy, ayook cepat ke siniiiii, puncaknya bentar lagiiii," kak Lidya dan
Hayya berteriak dari seberang atas
Aku begitu bahagia melihat mereka, aku lihat Hayya, Nadia, bang Fadly, dan
kak Lidya sudah di sana, sedangkan mas Pras sudah turun, mas Pras yang
paling kuat di antara kita semua, walaupun menurut aku yang paling kuat saat
itu Imam dan bang Benny, tetapi dia sampai puncak saat matahari terbit, dan
turun ketika langit sudah terang, aku pun semakin berlari ke sana, terlihat dekat
ternyata jauh juga ke tempat mereka, mereka sudah menghilang, tetapi ada Nadia, aku tertawa melihat dia sedang duduk sendiri
"Nad ngapaiiin duduk di situ dari tadi," aku tertawa melihat Nadia sedang pasang tampang cemberut dan sambil makan
"Aku lapar," Nadia duduk sambil mengunyah makananya
Dan aku pun melanjutkan perjalanan keatas, semua orang yang turun menyapa
setiap pendaki yang menuju naik,
Rumah adalah di Mana Pun
"Semangat ya, Mas!"
"Semangat ya, Mbak, puncak bentar lagi!"
Kali ini aku baru paham, ketika mendaki seluruh pendaki akan terasa bersaudara, yaa karena semuanya merasakan apa yang di rasakan, letih, haus, tapi kita
punya satu tujuan yang sama, sebuah puncak yang membawa kepuasaan hati.
Sebentar lagi, aku melihat sebuah tanjakan tinggi, tangan ku menggapainya
duluan, karena kaki ku tak bisa melangkahanya. Ini puncak? Aku mengangkat
kaki, dan mata ku melihat sebuah dataran, datarrr, dataaaar, iniiii puncaaaak,
dataaar?
"Hhahahhahaha!" aku berteriak bersujud
"Allahuakbar," aku seorang yang di underestimate-?kan berdiri di sini, di puncak
Mahameru, dan datar, hahhhahahhaha, mengapa pendaki capek-capek berjuang dan ternyata yang dilihat adalah dataraan, Hayaa yang menyadari suara
ku langsung melihat ke arah ku,
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kittyyyyyyyy!" Hayya langsung memfoto
"Ayoook foto-fotooo!" Dari seberang sana bang Fadly dan Hayya mengajak ku.
Aku menolaknya, ada yang mengganjal, Imam dan bang Benny masih di
bawah, orang yang membantu setengah perjalanan ku sampai ke puncak Mahameru belum menginjakan kakinyan, tapi dari kejauhan aku melihat bang
Benny
"Aaa, Bang Benny!" aku berteriaaak ketika melihat bang Benny sudah berada di
puncak
Lama ditunggu, Imam belum terlihat sedikit pun, semua tim berkumpul dan
berfoto-foto bersama, aku tetap duduk menghadap ke arah sana, lalu sebuah
topi kupluk yang sangat aku kenal, sambil memakai sarung orang yang mene?
maniku menapaki perjalanan berpasir ini
"IMAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAM," aku teriaaak bukan mengejarnya,
tapi berlari ke tempat tim Mahameru 2012-2013.
Rumah adalah di Mana Pun
Di sanaa aku sebenarnya sangat ingin berfoto-foto, tetapi aku berjanji di hati
aku akan merayakan berada di puncak jika orang yang menemaniku sudah
sampai dan iya Imam dan bang Benny sudah sampai, tetapi yang di bawanya
bukan Keyko, Keyko ke mana? Yang aku lihat Ida, kenapa Ida? Di sela-sela foto
aku menanyakan ke Imam, Keyko mana?
"Keyko, kita turun bareng mas Pras, kakinya ngga sanggup buat nanjak, garagara cedera. Karena Imam ngebawa orang dari bawah, dan Keyko ngga ada,
jadinya Ida deh yang Imam bawa, hahaha.." Imam menjawab pertanyaan ku
sambil memegang baju bola
Dan saat itu aku melihat sebuah bendera, bendera Merah Putih, aku haru:") di
puncak tertinggi Jawa berkibar bendera merah putih di atas 3676mdpl semua
orang berkumpul, haru, dan tiba-tiba, Kami pun berfoto dengan latar letupan
dari kawah yang terlihat. Tak henti aku memuji kekuasaan Allah, dan aku baru
sadar kenapa pendaki tidak akan pernah bosan mendaki. Nikmat. Walaupun
pertama kali aku melihat puncak, aku mendapatkan pelajaran. Aku harus
menghancurkan keegoisan diri sendiri. Aku diajari tentang kebersamaan, semangat berbagi, dan toleransi. Aku mengenal tim hanya 5 hari, dan 3 bulan via
whatsapp tapi bagi ku, aku seperti mengenal mereka sepanjang hidupku.
Pada akhirnya, aku pernah menggoreskan sebuah cerita, cerita tentang aku
dan 9 orang, cerita aku tentang sebuah mimpi, dan cerita tentang aku dengan
Mahameru.***
Qisty Cecilia Niat awal travelling ke gunung atau daerah pedalaman cuma mau
menikmati hamparan bintang-bintang di langit luas yang tidak bisa lihat di langit
perkotaan. Berakhir merembet mengaggumi gunung, lautan, hutan tropis, bunga,
danau, dan ciptaan-ciptaa lainNya. Berharap bisa keliling seluruh pedalaman Indonesia. www.kittykkiittyy.tumblr.com, @qistyaulia
Rumah adalah di Mana Pun
Gua Jepang di Paris Van Java
Imie Imita
i pengujung Oktober kemarin, tepatnya di minggu terakhir, keinginanku
untuk mengunjungi adikku yang saat ini menetap di kota kembang
Bandung, terealisasi juga. Itu pun setelah beberapa kali tertunda. Kesibukan selalu menjadi alasan klasik. Biasanya adikku selalu bilang "kamu payah"
acap kali aku mengurungkan niatku untuk menyambanginya.
"Mau ke Factory Outlet mana nanti di Bandung?" Tanya adikku saat kuutarakan
niatku untuk menyambanginya.
"Kamu pikir hanya FO yang ada di Bandung!" aku mendengus kesal di ujung
telepon.
"Nanti saja kuberitahu ke mana kita akan pergi." Jelasku.
"Ok." Jawab adikku dan disusul bunyi tut..tut..tut..tanpa sempat mengucap
"Bye" diakhir pembicaraan kami. Setelah kucek layanan provaider, ternyata pulsaku habis. Sial.
Selepas dzuhur aku menuju Bandung dengan bus Primajasa jurusan JakartaTasik. Dan ini kali pertamanya aku menggunakan bus ke luar kota dalam setahun terakhir. Karena biasanya, kereta api menjadi pilihan favoritku. Rasanya
ada kenyamanan tersendiri saat berada di dalam gerbong. Hamparan sawah
yang hijau, natural, bebas kemacetan dan bunyi khas dari gesekan roda baja
dengan lempengan besi jalur kereta yang ditimbulkannya. Tapi, jangan harap
bunyi khas itu akan terdengar ketika gerbong eksekutif menjadi pilihan. Desain
kedap suara kelas satu, membuat suara khasnya akan samar terdengar, bahkan
tak terdengar.
Untuk melihat kondisi bangsa kita tentang kemiskinan yang belum juga terselesaikan, berada di dalam gerbong kereta ini adalah pilihan yang tepat. Sebab,
kita akan menyaksikan fakta kemiskinan yang sesungguhnya, tanpa terdistorsi
organisasi media yang mewartakan kondisi ini.
Aku jadi teringat dosen pembimbing skripsiku dulu, ketika kami terlibat dalam
diskusi yang sengit bagaimana media mewartakan sebuah fakta. Aku, notabene mahasiswa yang masih belum terkontaminasi oleh hal praktis, serta masih berpegang teguh pada teori-teori jurnalistik bahwa fakta merah harus diwartakan merah, tentu saja pendapatku ini bertentangan dengan pendapatnya
yang mengatakan bahwa fakta merah dilapangan bisa jadi biru, kuning atau
kelabu ketika ada di hadapan pembaca.
Dengan senyum renyahnya, beliau mengeluarkan dan memberikan sebuah
buku berwarna hitam, bergambar kepala manusia terbungkus koran, berjudul
analisis wacana sebuah pengantar. Belakang setelah diskusi dan kulahap isi
buku itu, aku mengerti bahwa fakta merah tidak lagi ditampilkan merah, mengingat adanya distorsi (pengaruh) ketika fakta berada dalam proses pewartaan,
salah satunya adalah organisasi media.
Merujuk pada sedikit analisis yang dikatakan buku yang langka itu, dibalik jendela kereta adalah media yang tepat untuk melihat fakta dan realitas sebenarnya. Rumah petak yang penuh sesak, berhimpitan dan terbangun dengan material seadanya adalah pemandangan khas di sisi jalur kereta. Kadang aku tak
habis pikir bagaimana mereka menempati rumah dengan kondisi seperti itu.
Padahal hampir semua bangunan tanpa ventilasi udara, jauh dari sehat dan tidak layak huni, ditambah bisingnya suara gerbong ini acap kali melintas. Meski
demikian, bangunan-bangunan itu tetap menjadi surga bagi mereka, menjadi
pelindung dari matahari dan hujan. Bahkan, aku tak pernah menyaksikan wajah
?wajah mereka yang mengisyaratkan kondisi yang sebenarnya. Karena, canda,
tawa masih dapat aku saksikan dibalik jendela kereta ini.
Rumah adalah di Mana Pun
Itulah kesan yang kutangkap dari transportasi ini, meski banyak orang yang
mengkliam bahwa perjalanan dengan menggunakan kereta api, sungguh perjalanan yang membosankan. Sebab, sejauh mata memandang hanya deretan
sawah dan rawa-rawa yang tak pernah putus, rumah-rumah petak yang jauh
dari layak. Tapi buatku, justru di situlah bagaimana alam mengajari kita untuk
bersyukur atas keadaan dan keberadaan kita saat ini. Ketika kita dapat tidur
dengan tenang di atas kasur pegas yang empuk, bagaimana dengan mereka?
Biasanya aku cuma tertunduk malu, acap kali pemandangan itu ku saksikan.
Malu pada Tuhan karena kurangnya syukur atas nikmat yang lebih dari mereka.
Matahari masih sangat menyengat ketika aku tiba di terminal Lebak Bulus,
Jakarta Selatan, padahal jam tangan yang melingkar ditangan kananku sudah
menunjukan pukul tiga sore. Seharusnya keadaan udara sudah lebih menurunkan suhunya, tapi rupanya kondisi siang itu membenarkan perkiraan Badan
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMkG) bahwa dalam beberapa bulan ke
depan cuaca akan tidak menentu.
Saat kakiku baru saja melangkah keluar dari Metromini 86 jurusan Kota ?
Lebak bulus, aku dirundung kebingungan. Berbagai jenis bus berjejer di sana
untuk berbagai tujuan. Rupanya kebingunganku tertangkap oleh salah seorang
preman, ini hanya kesimpulanku sementara, mengingat dia berdiri di depan pos
pintu masuk, dengan baju dan gaya khas penguasa terminal. Aku hanya melempar senyum dan berusaha tidak menunjukan wajah kebingungan layaknya
orang asing. Itu pantangan bagi kita ketika berada di tempat baru, apalagi di
terminal. Justru kita harus menunjukan seolah-olah kita sudah terbiasa di tempat ini.
Itu yang selalu bapakku katakan tiap kali aku akan bepergian keluar kota. Meski
petuah yang selalu dia yakini, bahwa anaknya akan baik-baik saja, tapi aku selalu merasakan kekhawatiran yang tersirat pada matanya, acap kali aku pamit
untuk pergi tanpa pantauannya, mungkin karena aku anak gadisnya. "Ah..
Bapak tenang saja, anakmu ini bisa menjaga diri. Setidaknya sabuk kuning
yang pernah aku dapatkan dapat menolongku dari gangguan diluar sana."
Rumah adalah di Mana Pun
Aku bersyukur memiliki orang tua yang begitu demokratis. Mereka tidak pernah memperlakukan kami (anak-anaknya) seperti sebuah boneka. Justru mereka menghargai hak-hak kami sebagai seorang anak dan individu. Memberikan
pilihan beserta dampaknya adalah metode mereka mendidik kami. "Bapak tidak
pernah melarang kalian untuk bergaul dengan siapapun, ketika kalian memiliki
filter, tapi jangan pernah coba-coba kalian masuk ke pergaulan itu (khususnya
pergaulan yang kurang baik), jika kalian tidak punya filter." Filter di sini artinya
benteng yang kuat dalam diri kami. Dapat menyaring mana yang baik dan buruk.
Dulu bapakku menjelaskan filter adalah busa yang ada di belakang sebuah
rokok. Busa itu menurut penjelasan sederhana bapakku sebagai alat penya?
ring nikotin dari rokok sebelum masuk kedalam paru-paru. Entahlah beliau
mendapatkan analogi itu darimana, mengingat beliau bukanlah perokok. Itulah
petuah sakti bapakku. Enam tahun masa remajaku setelah peralihan dari masa
kanak-kanak dan selama itu pula petuah itu selalu diputar berulang-ulang oleh
bapakku. Alhamdulilah hasilnya cukup efektif, meski berbagai macam latar belakang teman dan pergaulan yang aku miliki, aku masih tetap menjadi diriku.
"Wah nggak ada yang kecil neng?" Lamunanku buyar oleh suara lelaki sete?
ngah baya berseragam dinas Perhubungan Republik Indonesia yang berdiri di
depanku dan di samping laki-laki yang kusimpulkan preman tadi. Dia mengembalikan uang kepadaku, sesaat setelah aku menyodorkan uang kertas berwarna
biru bergambar lelaki berpeci yang disegani masyarakat Bali karena kegagah?
anya memimpin pasukan "Ciung Wenara" dalam mengusir penjajah, I Gusti
Nguraih Rai.
Dengan senyum manis yang aku punya, aku menggeleng bahwa aku hanya
memiliki uang pecahan itu. Tak berapa lama setelah mendengar penjelasanku,
lelaki yang berbadan tegap dengan warna kulit sedikit gelap akibat sengatan
matahari, akhirnya mengembalikan uangku. Senyum ramahnya membebaskan
aku dari uang retribusi terminal. Sambil berlalu aku ucapkan terima kasih pada
lelaki yang ku taksir usianya sekitar tiga puluh lima, namun rutinitas pekerjaanya membuat dia terlihat sepuluh tahun terlihat lebih tua.
Rumah adalah di Mana Pun
***
Langkah kakiku hampir ke tengah terminal, setelah ku tinggalkan pos pintu
masuk dan dua penjaga tadi. Namun belum juga aku menemukan bus jurusan
Jakarta ? Tasikmalaya sesuai petunjuk adikku. Awalnya aku bingung menerima
penjelasan adikku yang memintaku untuk menggunakan bus jurusan yang
sedikitpun tidak merepresentasikan (menjelaskan) Bandung yang akan menjadi tujuanku. Rupanya adikku merespon ketidakpahamanku, karena suaraku
diujung telepon selular terdiam beberapa saat. Dan penjelasanya cukup bisa
kuterima, Sebab bus yang akan aku tumpangi ini akan melewati Cileunyi yang
jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal adikku di daerah Jatinangor.
"Neng kamana..ayo..Tasik..Tasik..," lelaki berwajah bulat ciri khas tanah pasundan, yang kuterka seorang kondektur, menawariku untuk menggunakan
armadanya dengan logat khas sundanya.
"Puncuk dicinta ulam pun tiba, akhirnya aku menemukan bus yang aku cari."
Bisikku dalam hati. Sesaat ketika hendak menuju pintu bus, suara pangilan
adzan sayup-sayup terdengar. Di depan pintu bus aku sempat terdiam antara
apakah aku langsung naik atau memenuhi panggilan yang mempunyai langit.
"Ayo, Neng hayuh atuh asup, geus tenang wae teuh bakal disasarkeun.." (ayo
nengcepet masuk, tenang saja nggak bakal disasarin) logat sundanya kembali
terdengar. Mungkin dia menangkap keragu-raguanku untuk naik ke atas bus.
Sebelum akhirnya aku putuskan untuk naik kedalam bus dan meminta kondektur untuk menungguku barang beberapa menit untuk pergi sholat. Beruntung
senyum hangatnya yang terlempar padaku mengisyaratkan memenuhi permintaanku.
Kurang dari lima belas menit aku sudah berada di dalam bus, rupanya waktu
tercepat bertemu dengan-Nya. Kuasa dan cintanya semoga selalu memaklumi.
Sesaat setelah berada di dalam bus yang masih tidak terlalu penuh, kujatuhkan
pilihanku pada bangku yang berada di tengah, dibaris bangku dua. Kusibakkan
kain gorden yang menutupi kaca hitam yang menghalangi pandanganku keluar
jendela. Dengan bebas mataku dapat menangkap pandangan di luar. Perlahan
bus mulai bergerak meninggalkan terminal dan semakin membelakangi terminal.
Rumah adalah di Mana Pun
***
Kondisi penumpang yang masih relatif kosong, bus yang kutumpangi tidak
langsung masuk ke jalan Tol. Namun bus berjalan di sisi jalan bebas hambatan
untuk terus mencari penumpang. Laju bus semakin diperlambat ketika berada
di perempatan Uki, bahkan bus sempat berhenti beberapa saat. Kondisi ini
membuat aku senewen, pasalnya, ketika kulirik arloji dipergelangan tanganku
sudah menunjukan pukul empat sore. karena pastinya hari sudah malam ketika
sampai di bandung,
Buku bersampul biru berjudul The Secret of Happiness karangan Ricard
Schoch yang dari tadi tak luput dari pandangan mataku menjadi tidak menarik,
ketika mataku menangkap pemandangan yang tidak lazim, seorang pedagang
CD yang menjajakan dagangannya di dalam pagar sebuah taman yang tidak
terawat.
Seperti transaksi dari dan luar terali besi, aku membatin, saat kusaksikan lelaki
muda sedang memilih beberapa tumpukan CD yang dipajang.
Kembali aku menangkap keganjilan, pasalnya tumpukan CD yang dijual, berada
di di dalam pelastik hitam, dan hanya beberapa keping CD saja yang terlihat di
permukaan.
Sontak mataku tak berkedip melihat pemandangan yang ada di depanku, saat
bus benar-benar berhenti mencari penumpang. Bukan lantaran karena aku menikmati pemadangan itu. Ini karena wanita-wanita muda yang berpose dengan
berbagai gaya erotis yang menjadi label dari CD tersebut membuat aku miris,
karena diperjual belikan secara bebas, ditempat umum pula.
Aku semakin miris ketika bocah kecil yang berusia kurang dari 10 tahun, jika
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kutebak dari apa yang ada di genggamannya, sebuah tumpukan tutup botol
yang ia satukan pada sebatang kayu, dan jika benda itu digoyang kekiri dan
kekanan pastinya akan menimbulkan nada adalah pengamen, menikmati juga
pemandangan itu. Negeri kita memang sudah carut marut.
"Yang dingin..yang dinginkoran..koran," suara pedagang asongan yang silih
berganti membuyarkan lamunanku.
Rumah adalah di Mana Pun
Kulirik jarum jam di pergelangan tanganku, waktu telah menunjukan pukul lima
sore. Bus yang sempat terhenti di perempatan UKI kini mulai memasuki gerbang tol dan terus bergerak maju menuju arah tol Cikampek. Setelah melewati
Cikarang, Karawang dan Purwakarta, bus pun menepi ke sisi kiri dan memasuki
pintu tol Purbaleunyi dan terus bergerak ke arah tol Cipularang yang memiliki
pemandangan indah disisi kanan dan kirinya. Pemandangan ini tercipta karena
pembangunan tol yang dimulai pada April 2005 ini terbentang di daerah pegunungan, bahkan dengan adanya tol Cipularang jarak Jakarta Bandung yang
biasanya ditempuh dalam waktu empat jam lebih, kini jarak tempuhnya hanya
dua jam saja.
Tentu saja aku mendengus kesal, karena keinginanku untuk menyaksikan
lukisan Tuhan yang dibentangkan di sepanjang tol cipularang akan sia-sia saja,
karena hari sudah mulai gelap saat bus memasuki kilometer pertama di tol
cipularang. Lalu kuputuskan saja untuk tidur. Tak ingin terbawa sampai ke Tasikmalaya aku menyetel alarm di ponsel sebelum aku pejamkan mata.
Suara dering alarm pun berbunyi ketika laju bus berbelok ke kiri dan keluar dari
pintu tol Cileunyi. Aku pun terbangun. Perlahan gorden hijau tosca yang menutupi jendela bus kubuka. Kudekatkan kepalaku ke jendela bus. Hampir dua menit berlalu, tak juga kutemukan tanda yang bisa menunjukan letak daerah ini.
Masih dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya, kutanya lelaki paru
baya yang duduk di seberang kursiku. Jawabanya melegakan hati, karena daerah Cileunyi yang menjadi tempat pertemuan dengan adikku "tinggal beberapa
puluh meter lagi." Jelasnya dengan logat pasundan.
Sesaat setelah turun dari bus, dari arah kanan aku berdiri, suara cempreng
adikku memanggiku dari atas motor bebek berwarna orange, pinjaman dari
temanya.
Pukul 8 pagi aku memulai petualangan ini. Kemacetan Bandung yang sudah
tak ada bedanya dengan Jakarta, kendaraan roda dua menjadi pilihanku dalam
Rumah adalah di Mana Pun
backpacker kali ini. Adalah Esti sahabat adikku yang sudah berbaik hati meminjamkan motornya kepada kami.
"Bandung itu kota mode, ngapain juga ke Gua Jepang?" protes adikku.
"Sudahlah nanti kamu juga akan terpukau kalau sudah sampai di Gua Jepang."
Aku mencoba meyakinkan adikku, bahwa tidak hanya melulu mode dan fashion yang ada di kota kembang Bandung. Peninggalan sejarah pun berserakan di
kota ini.
Dari tempat kos adikku di daerah Jatinangor, motor melaju ke daerah Dago
yang ada di pusat kota Bandung. Mengingat Jatinangor berada diperbatasan
Bandung dan Sumedang ditambah kondisi lalu lintas yang padat, satu jam kemudian kami baru sampai di daerah Dago.
Dari Pusat fashion Dago, laju motor kami terus mengarah ke kawasan konservasi taman Ir. Juanda Bandung. Karena berada di kawasan hutan lindung
gunung Pulosari, sejauh mata memandang begitu menyejukan mata. Rasanya
peluh dan kemacetan yang kami lalui tadi terbayarkan sudah.
Motor kami terus menanjak melewati pohon pinus yang berjejer rapih. Tak
i?ngin melewatkan lukisan Tuhan yang maha sempurna ini, laju motor sengaja
ku perlambat. Dan tiba-tiba saja kata "Wow." Meluncur dari mulut adikku.
Padahal sebelumnya dia menentang keras untuk mengunjungi tempat yang
dalam pikiranya tak ada bagus-bagusnya ini.
Masih dengan kecepatan yang sengaja kuperlambat, semakin mendekati gua
Jepang semakin hijau rasanya pemandangan yang kami saksikan. Sejauh mata
memandang adalah pepohonan hijau yang tak pernah putus. Ditambah tepian
jurang yang berada disisi kiri kami, sungguh memacu adrenalin kami. Dan
tiba-tiba saja suara adikku berkata "STOP." Tentu saja kakiku refleks menginjak
pedal rem dan motor pun terhenti.
"Ada apa?" Tanyaku penuh curiga, sembari kunetralkan gigi motorku. Namun
ketika kutengokkan kepalaku ke belakang tak kudapati tubuh adikku, rupanya
dia sudah berdiri di tepi jalan sembari meregangkan kedua tanganya. Persis adegan "Rose" dalam film Titanic. Bedanya, kali ini dia pejamkan kedua matanya
dan menghirup napas sedalam-dalamnya.
Rumah adalah di Mana Pun
Melihat kekonyolan adikku, aku jadi teringat kejadian pagi tadi sebelum kami
berangkat. Kami sempat beradu argumen soal sepatu bertumit kurang lebih
tiga centimeter yang dipakainya. Terang saja aku tidak setuju dengan pilihannya.
"Kita ini bukan mau ke Mal, tapi mau ke gua, masa iya pake sepatu begituan."
Sambil kutunjuk sepatu berwarna kuning gading miliknya.
"Haduhhhmasih banyak FO, Mal dan caf? di Bandung, ini malah ke gua. Kakak
gw yang satu ini emang aneh." Gerutunya sambil mengganti sepatu kesayanganya itu.
"Aaakhaahhrrggg!" Tiba-tiba suara jeritan keras adikku mencerai beraikan lamunanku. Aku cuma menggeleng-geleng kepala melihat kekonyolan adikku.
Dan tiba-tiba saja dia memeluku dari arah belakang sambil berbisik.
"Makasih ya, Sista, sudah mengajak dan sedikit memaksaku pergi ke tempat
indah seperti ini. Jujur selama Afri tinggal di Bandung, baru loh ketempat
beginian. Dan ternyata indah banget." Jelasnya sambil terus memelukku dari
belakang.
"Udah deh nggak usah lebay, ayo naik." Pintaku. Kuhidupkan kembali motor
yang sempat kumatikan tadi. Kulanjutkan perjalanan yang sempat tertunda.
Setelah melewati pemandangan yang begitu memanjakan mata.
Tak berapa lama sampailah kami disebuah pelataran yang cukup luas dan
rindang, karena sejumlah pohon besar berdiri kokoh di sini. "Ah, lukisan Tuhan
ini maha sempurna." Aku membatin dari atas motor. Setelah motor berhenti
dengan sempurna, kuparkirkan motor ditempat yang telah disediakan. Meski
tidak dibuat permanen dengan jasa parkir resmi, tapi tempat parkir motor di
sini cukup aman, mengingat warga setempat langsung yang menjaganya.
Baru saja kami melangkah keluar dari pelataran parkir, seorang lelaki paruh
baya menghampiriku.
"Bade ka gua, Neng?" tanyanya dengan logat sunda yang kental.
"Iya Pak." Jawabku
Rumah adalah di Mana Pun
"Perkenalkan, Neng, nama mamang teh, Darman," sambil mengulurkan tangannya.
"Saya Imie, Mang. Ini adik saya, Affri," kusambut uluran tangan mang Darman.
"Di dalam gua gelap, Neng. Sok atuh sewa senterna." Lelaki yang kutaksir
berusia empat puluh tahunan menawarkan jasa penerangan. Tentu saja aku
langsung setuju untuk jasa penerangan yang ditawarkanya, karena pastinya di
dalam gua akan gelap sekali.
"Wah, Mamang teh salut sama Eneng berdua, sekarang ini sudah jarang neng
anak muda yang suka datang ke situs sejarah. Loba na ka Emoll." Ujar Mang
Darman saat kita berjalan menuju gua Jepang yang jaraknya hampir tiga ratus
meter dari Gua Belanda yang dekat dengan gerbang utama. Dan langkah kami
pun terhenti persis di depan sebuah tebing yang tinggi menjulang dengan
pepohonan rimbun diatasnya dengan akar yang menjalar kuat di dinding luar
gua.
Dengan cahaya senter seadanya, kami mulai memasuki Gua yang dibangun
pada 10 Maret 1942 ini. Memasuki gua yang gelap dan lembab ini, seolah menyaksikan kebiadaban tentara jepang atas pribumi. Semakin masuk kedalam
gua suasana semakin gelap dan mencekam. Belum lagi permukan tanah yang
kami pijak tidak rata dan kasar. Sampai ?sampai adikku dua kali hampir tersandung.
"Hati ? hati, neng." Ujar mang Darman, ketika melihat tubuh adikku terhuyung
ke samping. Menurut mang Darman, mengapa lantai gua ini tidak rata dan masih terasa ada bebatuan yang keluar dari permukaan tanah, karena pada saat
pembangunan gua ini berlangsung, Jepang kalah perang dalam perang asia
pasifik. Akibatnya pembangunan gua pun ikut terhenti.
"Oh gitu mang?" Timpal adikku.
"Sebenarnya, dulu sekitar tahun 1985 saat peresmian ke dua gua ini, sudah
terpasang instalasi listrik di dalam gua ini, Neng. Tapi karena udara dingin di
sekitar gua ini, membuat aliran listrik tak berfungsi dengan baik," lanjutnya.
"Jadi bener, Mang, kalau gua ini dibangun oleh Romusa?" Selidikku.
Rumah adalah di Mana Pun
"Betul Neng. Gua jepang ini dikerjakan oleh warga pribumi secara paksa atau
yang dikenal Romusa. Kebanyakan dari romusa ini adalah petani dan pekerja
buruh. Kurang lebih jepang mempekerjakan sekitar 300 orang pribumi. Setiap
hari mereka dipaksa memahat batu cadas ini dengan alat-alat seadanya seperti
cangkul dan linggis. Jika di antara mereka ada yang kelelahan, tak sungkansungkan tentara jepang menyiksanya dengan memukul dan menendang. Coba,
Neng, bayangkan, bagaimana penderitaan mereka selama mengerjakan gua
ini," ujarnya. Yang lebih memprihatinkan, Neng, mereka itu kerja siang malam
cuma dikasih upah 5 sen dan beras seperempat cangkir tiap harinya. Tentu saja
upah itu sungguh kejam." Langkah kami terhenti sesaat. Kulihat jemari mang
Darman menyeka sudut bola matanya.
Mendengar penjelasan Mang Darman, aku langsung membayangkan siksaan
demi siksaan yang mereka terima, sementara kebutuhan makanan tak diperhatikan bahkan dibiarkan kelaparan dan kedinginan yang membalut tubuh
mereka. Sesaat bulu kudukku merinding membayangkan kekejaman Jepang
terhadap pribumi yang sungguh biadab itu.
"Terlepas dari penderitaan yang mereka alami selama pembangunan gua
ini. Sepatutnya kita berterima kasih kepada mereka. Berkat tetesan keringat,
penderitaan yang mereka alami bahkan nyawa mereka, situs sejarah ini ada
dan menjadi kebanggaan kita bersama. Bahkan, hasil kerja keras para romusa
ini bermanfaat bagi warga sekitar, Neng. Coba kalian bayangkan, seandainya
tidak ada gua Jepang ini, mang Darman dan tukang parkir di luar sana tidak
bisa mendapat rezeki seperti hari ini. Semoga penderitaan mereka Tuhan balas
dengan balasan yang setimpal." Ujar mang Darman.
"Aminnn." Dengan refleks aku dan adikku mengaminkan apa yang menjadi harapan mang Darman barusan. Lalu adikku tiba-tiba menghentikan langkahnya
dan mengarahkan cahaya lampu senter ke arah kiri kami.
"Mang kalau itu apa?"
"Maksud Neng lorong itu?" sambil mengarahkan lampu senternya ke tempat
yang adikku maksud. "Lorong itu berfungsi sebagai ventilasi udara, Neng," jelas
mang Darman
Rumah adalah di Mana Pun
"Sebenarnya gua ini terdiri dari dari beberapa lorong, Neng. Lima lorong terbentang ke arah utara dan tiga lorong ke arah selatan dan semuanya saling terhubung. Lebar gua utama sekitar empat meter, sementara diameter lorong gua
lainya sekitar dua meter." Lanjut mang Darman.
Udara semakin dingin dan lembab saat aku sampai ke dalam gua. Tapi entah kenapa aku tidak merasakan perasaan takut atau merinding sedikit pun,
meski pencahayaan lampu di dalam gua hanya dari cahaya senter yang kami
gunakan. Yang ada dalam bayangan kami adalah penderitaan pekerja pribumi
yang mendapat perlakuann tidak berprikemanusiaan dari tentara Dai Nippon.
Dengan peralatan seadanya seperti linggis dan cangkul para pekerja mengikis
selapis demi selapis tanah berbatu cadas ini sampai sedalam 4 meter. Seketika
aku mengumpat pada tentara Jepang yang kejam dan biadab terhadap saudara-saudara kami.
"Wah ternyata asyik juga ya datang ke tempat bersejarah." Celetuk adikku
setelah kami berada di luar gua. Kulihat mang Darman pun menguraikan senyum mendengar ucapan spontan adikku.
"Masih alergi mengunjungi situs sejarah?" Sindirku
"Iya ternyata aku salah. Kupikir situs sejarah membosankan, ternyata membuka
mata hati kita, tanpa perjuangan mereka kita tak akan hidup nyaman seperti
saat ini. Makasi ya Sista." Jelas adikku tanpa jeda. Terang saja mendengar apa
yang barusan adikku utarakan keningku sedikit berkerut.
Imie Imita lahir di kota Cirebon pada 4 Februari 1983. Bertualang dan menulis menjadi hobinya sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Saat ini imie bekerja
sebagai jurnalis di salah satu stasiun televisi swasta. Tentu saja, pekerjaan dan
hobinya menjadi satu paket lengkap, karena telah membawanya ke tempat eksotik
di negeri ini (dan di luar Indonesia), dan menuliskanya. Menjadi Backpacker adalah
cara untuk wewujudkan mimpinya untuk keliling dunia.
Rumah adalah di Mana Pun
Sepotong Surga yang Tuhan Titipkan
Ester Aprillia
September 2013
Pulau Dewata, Bali
Hmmmm? Pulau Dewata? Pulau dewa dewi bertahta?? Mungkin.. Yang jelas,
di sini surganya turis berwisata.. Say yeah to the Bali trip (again)! Yippie..Bali,
here we come!! Siang itu mentari bersinar terang dari singgasananya. Birunya
langit secerah hati kami dan membias nyata di senyuman. Aaaaaah, awal yang
pas untuk sebuah perjalanan. Panas terik dan menyengatnya matahari siang di
Bali tak kuasa mematahkan semangat kami. Terbayang kepuasan batin yang
akan menggantikan kepenatan yang selama ini membuat kami terseok-seok,
jenuh dengan semua pekerjaan dan hedonisme ibukota. Biarlah beban itu kita
singkirkan dulu sejenak, sekedar me-refresh tubuh lelah ini. Landing yang
sempurna pun mengawali langkah kami berlima menapaki tanah Bali.
Bandara Bali (Ngurah Rai International Airport) setau saya merupakan bandara
internasional terkecil di dunia, maka satu tahun terakhir ini pemerintah provinsi
Bali sedang gencar-gencarnya memugar bandara tersebut. Tahun lalu waktu
saya kesana, baru terlihat renovasi tahap awal karena baru mulai. Setahun berlanjut dan sudah banyak perubahan yang dapat saya nikmati. Parkir lebih luas,
bangunan lebih modernwalaupun aksen tradisionalnya masih kental terasa,
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
fasilitas umum diperbaharui, counter check-in diperbanyak, dan segala sesuatunya terlihat jelas menuju ke arah yang lebih baik.
Rumah adalah di Mana Pun
Danau Buyan & Tamblingan
"Mbak, pisangnya, Mba? Buat kasih makan monyetnya.. Manis-manis ini
pisangnya," seorang ibu menawari kami setandan pisang raja karena melihat
kami sedang asik berinteraksi dengan kumpulan monyet."Lah bu, manismanis sih mending buat kita aja, sayang-sayang dikasihin ke monyet," tadinya
pengen bales gitu. Tapi daripada ntar jadi kita yang dilemparin pisang, diem aja
deh..Itinerary utama kami yaitu ke Pantai Lovina. Dalam perjalanan kesana, kalau dari arah bandara pastilewatin Danau Buyan dan Tamblingan yang terletak
di kabupaten Buleleng. Danau ini dikenal juga dengan sebutan Danau Kembarkarena posisinya yang persis bersebelahan. Airnya yang jernih, alamnya
yang masih alami, serta perpaduan birunya danau dan hijaunya pegunungan
Lesong yang memagarinya, membuat tempat ini mempunyai daya tarik yang
mempesona. CINTAAAA deh..Air biru kristalnya seolah minta segera dijajal,
dan jika kala itu sang waktu mengijinkan, tentu saja saya dengan antusias dan
rela hati menceburkan diri ke dalamnya. View dari atas bukit tempat kita bisa
lihat danau ini, kece badai bertubi-tubi! Emejing pokoknya..
Ciptaan Tuhan cuma bisa dinikmati pakai mata dan hati sih..Nah, di pinggir
jalan raya sekaligus pinggir bukit ini banyak kera yang menemani kita ketika
menikmati view danau. Kata bli Gede, kera-kera itu jinak, ngga se-gragas kerakera di Sangeh yang suka tetiba ngambil makanan lah, kacamata lah, jambak
rambut lah, gigit lah, nyakar lah.. Itu kera apa rival sih? Bawaannya koq dendam
kesumat..
Rice Terrace Jatiluwih
Dari situ kami melipir ke daerah Jatiluwih untuk ngademin mata, liat rice terrace terbesar dan terapih (eeeh, terapih ato terapi ato terrapih sih? #blogger
gadungan) di Bali. Ini lebih besar dari yang di Ubud.Sebenernya sih saya ngga
terlalu berekspetasi lebih di tempat ini, secara di kampuang akika sawah banyak. Ternyata oh ternyata, SERUUUU..! Serunya bukan karena liat sawah yang
berundak-undak itu, tapi karena banyaknya bule yang lalu-lalang foto-foto
sambil ber-wow mengagumi hamparan hijau sawah. Kita juga jadi ikutan norak,
kayak belum pernah liat sawah. Agak aneh sih ya liat bule seliweran di sawah,
tapi mungkin lebih aneh lagi kalo bule-bule itu liat kita bermanuver dengan
Rumah adalah di Mana Pun
gaya-gaya yang ngga banget. Jadi ilfil kayaknya mereka, termasuk bli Gede. Ah,
apalah artinya gengsi di tempat yang tidak ada seorang pun yang mengenal
kita..Etapi bener lho, memang terassering-nya rapiiiii banget, keliatan kalau
bikinnya niat.
Suasana di sini, ademnya gak cuma dirasain sama mata, tapi merasuk sampe
sukma. Semuanya terpahat jelas di ingatan; udaranya yang sejuk, bersih, bebas polusi, sejauuuuuh mata memandang hamparan sawah nan hijau, sesekali
burung-burung gereja dengan centilnya hinggap di batang padi yang satu ke
yang lain, angin bersemilir dengan bau khas persawahan meniupkan anak rambut yang jatuh menutupi wajah, dan semuanya itu mampu menghangatkan hatikami.Ah, SURGAAAA..Ngga nyesel dateng ke sini *backsound: kemesraan ini
janganlah cepat berlalu, kemesaan ini ingin ku kenang selalu..*.Untuk yang cari
ketenangan, tempat ini jadi salah satu yang layak untuk dikunjungi. Kayaknya
susah emosikalau lagi di suasana gini.. Sepasang temen saya malah pingin bulan madu lagi kayaknya, mereka nampak betah dan ngga mau beranjak, malah
asik bermesraan (ehemm). Kita sebut saja mereka dengan 'B? (Bulan) dan
'S? (Sabit). Mereka 'Bulan-Sabit? dari partai Gajah Duduk. Satu hal yang saya
kagum, orang Bali ini sangat kreatif. Batu lah dipahat, kayu lah diukir, bukit
kapur dikeruk untuk dijadikan objek wisata, sawah juga dijadiin objek wisata
untuk sawah viewing (bahasa macam apa pula ini?!?). Salute!
Air Terjun Munduk
Bli Gede ini nyetirnya sadissss, kayak lagi anter orang yang mau lahiran. So
pasti bikin kita terjaga sepanjang perjalanan. Tapi kalau sama orang yang mau
nyebrang dia aware banget. Liat ada orang yang mau nyebrang, dari jauh dia
udah ngerem. Kalo di Jakarta sih, ampun deh, badan udah keserempet juga
dibilangnya belom kena. Kaki kakak saya pernah kegiles bajaj, eh si abangnya
nyantei aja nyeloyor pergi. Mungkin dalam hatinya, "Tadi gue nginjek apaan
sih? Polisi tidur kali ya.."*dziggh!!*.Begitu kami sampe di parkiran, saya dan Bulan berganti sepatu dulu, soalnya kata bli Gede trek kami selanjutnya akan semi
hiking ('Bulan? ini nama aslinya sih Sri, nama suaminya Cipto. Lah kalo disebutin, ngapain tadi pake insial??). Selanjutnya yang kami incar ialah WC. Udara
dingin yang sedari tadi menghantardi sepanjang perjalanan, seolah menyuruh
untuk kami sering-sering pipis.
Rumah adalah di Mana Pun
Air Terjun Munduk ini terdapat di desa Munduk, Singaraja. Untuk mencapai air
terjun ini, kita harus jalan semi hiking sekitar 250 meter dari tempat parkir. Gak
terlalu jauh sih, tapi mungkin buat orang tua dan bumil (ataupun non orang tua
dan non bumil, tapi bermental manula seperti saya) trek ini agak bikin kewalahan. Untungnya jalannya udah enak, udah disemen dan tidak terlalu banyak
anak tangga.Bawaannya pengen langsung sampe aja di air terjunnya tanpa
kudu cape-cape jalan. Yang begini mau naklukkin Rinjani? Mau jadi host Jejak
Petualang??Bu, ngaca dulu bu*kasih kaca ke diri sendiri*.
Makin deket ke air terjunnya, udaranya makin dingin aja. Suara air terjun yang
menderu terdengar semakin jelas seiring langkah demi langkah yang kami
jejakkan. Berhubung kita udah agak sore pas kesana, pos pembelian tiketnya
udah ngga ada yang jaga. Hehe rejeki turis manula nih, haratissss!!!
Setelah jalan santai kira-kira 25 menit, sampailah kita di air terjunnya.
Wuuiiiiihh, endang bambang jahara! Cakeeeep!! Curahan air yang lumayan
deras dari ketinggian sekitar 20 meter itu bagai ditumpahkan dari perut bumi..
Cipratan air di sekelilingnya tak jarang menciptakan biasan pelangi yang sesekali nampak lalu kemudian lenyap.Airnya yang dingin, udaranya yang sejuk,
plus pohon-pohon tua yang rimbun sepanjang jalan, bikin suasana damainya
polllll sekaligus juga menciptakan sedikit kesan mistis. Etapi, katanya airnya
ini me?ngandung sulfur sehingga bisa menyembuhkan berbagai penyakit kulit.
Eaaaaa, yang panu yang panu, yang kudis yang kurap *plakkk!*.
Niat Besar Tenaga Kurang
Hari sudah gelap ketika kami tiba di kawasan Lovina. Cacing-cacing yang tadi
siang sudah terbungkam mulai unjuk gigi lagi. Sebuah resto seafood jadi pilihan diantara resto-resto lain. Tak ada ritual khusus untuk pemilihan tempat kali
ini, semua berdasarkan 'yang ramai yang menang?. Setelah turun dari mobil,
kami menggeliat tak beraturan sekedar meluruskan badan yang sedari tadi
dihantam jalananberkelok-kelok *pertanda pinggang minta diurut*.Otot mendadak pada kaku karena sejalan-jalan tegang disetirin mas bli. Resto dengan
konsep saung-saung di tepi pantai ini cukup membuat suasana makan malam
kami terasa berbeda. Fisik udah letih, tapi semangat masih membara. Yaaaaah,
ini sih niatan besar tenaga kurang donk..
Rumah adalah di Mana Pun
Pantai Lovina yang berada di Bali Utara ini menawarkan atraksi utama yaitu
berburu lumba-lumba. Agak jauh sih dari pusat kota, sekitar 100 km atau
kurang lebih 3 jam perjalanan darat (5 jam kalo anda brenti-brenti dulu untuk
makan, pipis, lap ingus, spa, tatoo, meni pedi, cari kutu, etc). Pantainya yang
berpasir hitam dengan ombak tenang terkesan biasa, tapi si lumba-lumbanya
ini yang bikin end up-nya bakal jadi ruarrr biasa.
The (Spooky) Cottages
Selesai makan, kami menuju hotel yang berada tak jauh dari resto tempat kami
makan. Kesan pertama ketika kami menapaki cottage ini adalah spooky, cuy!
Tamannya luas, tapi lampunya remang-remang semua. Nampaknya kamarkamar yang kami lewati pun sedang kosong, sekeliling kamar kami tampak sepi
dan gelap. Atau penghuninya udah pada tertidur? Entahlah..Setelah bersihbersih dan pasang alarm, kami langsung tidur ngebo sekebo-kebonya.
Esoknya saat bangun dari tidur, untuk sesaat saya baru tersadar bahwa sedang
berada many many miles from home, di sini, di bawah naungan langit Bali. Semangat langsung mendesir di dada. Saya pun segera bersiap. Tak berapa lama,
ketika hari masih gelap kami sudah stand by di lobby hotel yang juga masih
temaram.. Baru kali ini kudapati hotel dengan front office tidak 24 jam. Lobby,
restoran, front desk, semua sepi dan gelap. Ini gimana kalau dini hari tiba-tiba
ada tamu yang datang atau butuh room service? Kami harus mengadu kemana?? (selain ke Tuhan tentunya). Seakan semua penghuni dan penjaganya
masih lelap tertidur, hanya kami yang sudah terjaga. Dinginnya angin pagi yang
khas berbau laut menusuk sampai ke tulang. Anginnya gadang, brrrrrr.. Ini
karena lobby dan restoran ini bersebelahan dengan kolam renang outdoor, dan
lebih jauh lagi ke arah belakang hotel ternyata sudah laut lepas..
Di tengah penantian nunggu bli Gede datang njemput dan di tengah suasana
hening itu, tetiba ada suaramistis, "MAU PADA KEMANA??"Wataaaaaaww,
kami pun tersentak! Di tengah rasa kantuk, suara itu sontak bagai alarm pembangun lengkap dengan air penyiramnya. Mata langsung cenghar karena kaget,
kami clingak-clinguk nyari sumber suara itu. Lalu dari arah pinggir muncul bli
yang ternyata pemilik cottages ini. "Mau liat dolphin, bli. Hehehe.." (ketawa buat
nutupin kekagetan). Dalam hati bertanya, "Ini dia napak gak sih kakinya? -__-".
Rumah adalah di Mana Pun
Lalu katanya, "Wah, dolphin sih munculnya nanti kalau sudah ada matahari.
Gelap-gelap gini sih belum pada keluar. Nanti sekitar jam 6 ke atas.." Lalu se?
saat kami merasa tertipu dengan bahasan di web-web traveling yang menyebutkan harus bersiap dari hari masih gelap kalau mau berburu dolphin. Errrrhhhh Dengan langkah gontai kami segera balik ke kamar, macam anak gadis
yang habis kena damprat orang tua karena dilarang ketemu pacar.. Yasutralah,
saya memilih untuk mandi aja dulu sembari nunggu matahari terbit.
Semangat Baru
Nah, sekitar jam 6 kurang kami keluar lagi. Kali ini suasana tampak lebih bersahabat. Matahari Lovina yang ramah sudah menyapa walaupun masih malumalu kuciang. Eh, ternyata cottages sekeliling kami lumayan banyak terisi juga,
apalagi cottages yang menghadap laut. Beberapa turis asing tampak sedang
bersantai sambil self tanning atau sekedar membaca buku sembari menikmatisuara deru ombak. Feel at home banget deh mis (panggilan sayang untuk
'mister?). Aaah, bli Gede juga udah jemput ternyata. Let?s go yuuuk..
Dari hotel ke tempat kami naik kapal deket, cuma sekitar 10 menit. Waktu
sampe, terlihat deretan perahu yang sudah berjejer rapi siap mengantar para
turis berburu lumba-lumba. Lho lho lho, tapi koq kapalnya kecil gini? Cuma
selebar sampan, mamaaaak! Jadi satu tempat duduk cuma pas buat satu
orang. "Ini sih macam ikan teri ngejar paus ntar," dalam hatiku.. Kalau mau
pindah tempat agak susah, jadi mending setting dari awal pas lagi naik ke kapal, decide mau duduk di sebelah mana. Udah gitu nangkring manisaja selama
kapal jalan. Tarik maaaaaang!!
Perjalanan kami ditemani hangatnya pelukan sinar surya dengan background
sunrise di balik bebukitan, plus ditambah siluet kapal-kapal yang beriringan
dengan kami. Aaaaaahh keren..Yang bikin seru lagi, di waktu bersamaan banyak kapal wisatawan lain yang juga mencari dolphin. Kita macam barisan brikade perahu yang mau nyerbu musuh. Ketika lumba-lumba muncul di suatu titik, kita beramai-ramai 'mengkudeta? kesana.. Sejujurnya sih gak ada yang bisa
menjamin kalo kita pasti bisa liat lumba-lumba, semuanya? tergantung faktor:
cuaca yang cerah, keberuntungan masing-masing pribadi, suasana hati sang
lumba-lumba, kejelasan mata masing-masing, dan tentu saja karena Tuhan
merestui. Bulan terbaik untuk berburu dolphin ini antara bulan April-Oktober.
Rumah adalah di Mana Pun
Kami terombang-ambing di lautan sekitar 2 jam. Selama itu pula mata ini awas
melihat dengan asyik ke kanan dan ke kiri, siapa tau tiba-tiba nongol itu si
lumba-lumba.. Tiga puluh menit, empat puluh lima menit, satu jam, belum juga
tampak si mamalia terpintar ini.. Menjelang satu jam lima belas menit, baru
dia muncul. How lucky us, ada beberapa yang muncul tepat di sebelah perahu
kami. Karena saking terpananya sampe lupa moto malah triak-triak udik gak
jelas, kamera yang dari tadi stand by malah dianggurin. Bedeeeuuh, alhasil gak
banyak foto hasil publikasi & dokumentasi kejadian ini.Untung Sri yang dari
pas berangkat memang jeprat-jepret terus berhasil mengambil secuil dua cuil
fotonya. Gak tau juga apa yang dia fotoin sejalan-jalan, sampe bapa perahunya
dia foto. Cape ngejar kesana kemari, kami memutuskan untuk kembali ke hotel. Sepanjang jalan pulang, mata ini kembali dimanjakan dengan tenang dan
jernihnya laut Lovina. Ketika lautnya sudah mendangkal, dari kapal kami dapat
melihat rumput laut, terumbu-terumbu karang, ikan-ikan kecil, dan sesekali
bintang laut biru yang cantik.Ampun dije!!
Please, Genggam Erat Baliku
Tujuan kami selanjutnya yaitu Bali Safari and Marine Park (BSMP). Di perjalanan ke BSMP ini kita ngelewatin jalan tol pertama, satu-satunya, terpanjang, dan
terindah di Bali. Tol ini menghubungkan Tanjung Benoa ? By Pas Ngurah Rai
- Nusa Dua. View dari jalan tol-nya maniissss, kiri kanannya laut. Katanya nih,
tol ini didaulat sebagai tol terindah di dunia. Karena itu pula, jalan tol sepanjang
sekitar 12 Km ini dimunculkan sebagai ikon terbaru pariwisata di Pulau Dewata.
Baru kali ini saya nemuin jalan tol dimana motor juga boleh masuk, makanya
ada alat pengukur kecepatan angin. Jika kecepatan angin sedang di 40 knotatau lebih, sepeda motor dilarang masuk. Canggih ya..Apa kabar tol Jakarta?
Dimana tol-nya bisa bikin emosi meledak-ledak dan kaki ini kapalan.
Saat di perjalanan, di tengah obrolan kami dengan bli Gede, ada hal yang cukup membuat saya merenung dan sampai sekarang nempel terus di kepala.
Dia bilang (dengan logat Bali-nya yang khas), "Bali ini gak butuh Indonesia
sebenernya. Indonesia yang butuh Bali. Kalau Bali lepas dari Indonesia, pasti
bisa berdiri sendiri. Yakin saya.. Lha turis-turis luar lebih tau Bali daripada
Indonesia kalau ditanya." Ya, ya.. Bener juga, dalam hati saya.Berapa banyak
devisa yang disumbangkan dari pariwisata Bali per harinya? Kalau Bali sampai
Rumah adalah di Mana Pun
lepas dari Indonesia, sungguh suatu kerugian besar buat Indonesia. Lucu juga
kan ntar kalau kita mau ke Bali harus pakai passport. Dan untungnya bli Gede
ini bukan gubernur Bali, dan naga-naganya juga ngga ada rencana mau gantiin
Bapak Mangku Pastika. So,biarlah wacana tetap menjadi wacana..
Bali Safari and Marine Park (BSMP)
Ini tujuan kedua di hari kedua. Ini juga inceran utama akika selain ke Lovina.
Entah kenapa saya selalu bersemangat kalau mengunjungi taman safari, kebun binatang, konservasi hewan, penangkaran, dan sejenis-jenisnya. Hormon
brotherhood-nya langsung melonjak-lonjak.. Seru aja liat binatang-binatang
dengan segala tingkah polah uniknya (or maybe you always missed your old
brother, huh?*nanya ama diri sendiri*).
Alunan gamelan Bali yang khas akan langsung menyambut telinga siapapun
yang datang ke sini. BSMP ini konsepnya sih sama kayak Taman Safari di
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bogor, jadi ada area konservasi binatangnya, ada tempat mainnya, ada hotel,
ada waterpark, sama ada show-shownya. Yang bedain mungkin disini semua
mobil hanya boleh masuk sampai parkiran luar, trus ntar ke area konservasi
binatangnya disediain mobil heseus (khusus) lengkap dengan seorang guide
di tiap mobil. Oya, yang bedain lagi di sini apa-apanya lebih mahal. Tiketnya,
makanannya, hotelnya, binatang tunggangnya, bikin emosi deh. Hahaaaa..Itu
sih DL, derita loe! (katakambing gunungnya) #jlebbb!!
Konservasi binatang. Disebut area konservasi karena di area ini binatangnya
tidak ada yang dikandangin, semuanya berkeliaran bebas. Pengunjungnya
yang 'dikandangin? pakai bus khusus ketika menikmati area konservasi yang
terdiri dari 3 wilayah ini (Indonesia, India, dan Afrika). Bus-nya lucu deh,
loreng-loreng kayak zebra.Sayang lupa difoto.. Masing-masing bus ada guidenya yang of course speak in English, baru di-translate omongannya kalo dia
liat ada turis Indonesianya di bus. Mungkin kalo dia liat ada turis Cina, dia akan
berkata "Cang cu i, cang cu i.." (cuman ini yang gua tau, karena sering denger
kalo di airport ato MRT). Hahaaa..
Bali Agung Theater. Kawasan ini terdapat di Taman Ganesha, dimana terdapat
patung Ganesha setinggi 9 meter. Di sebelah patung ini juga terdapat pintu
masuk ke Bali Agung Theatre.Showyang berdurasikurleb sejam ini spektaku
Rumah adalah di Mana Pun
lar banget, ciyus deh.. Professional en keren, kostumnya niat, koreografinya
rapiiiiih, ceritanya bagus, lighting & property-nya juga ngga asal. Perpaduan
tarian, nyanyian, hewan-hewan, dan tata panggung yang wah! Sukaaaaa..Tapi
sayang seribu sayang, gak boleh bawa alat dokumentasi dalam bentuk apapun.
Aaaaaah, kuciwa..
Waterpark. Gak terlalu rame waterpark-nya, mungkin karena orang lebih interest dengan binatangnya. (Ya iyalah ya, namanya juga ke Taman Safari, pasti
orang mau liat binatangnya, kalau mau renang mah ke Waterbom aja om). Bahkan kita yang notabene manusia-manusia ogah rugi ini, ngga ada niatan sama
sekali untuk menceburkan kaki sekedar berbasah-basah. Ya abis ribet aja gitu
kayaknya basah-basahan, belom ntar ganti bajunya (demikian celetuk perempuan nan malas ini). Apalagi Sri yang kalo kemana-mana harus bawa peralatan
super lengkap mulai dari catokan sampe hair dryer, kalo renang dulu mau pulang jam berapah inih kita dari sini??
Fun Zone / area rekreasi keluarga. Di area ini terdapatwahana-wahana kayak
tempat rekreasi yang di kawasan Ancol itu, cuma versi mininya karena ini buat
anak-anak. Sebut saja tempat itu Duf*n (clue: huruf yang hilang adalah 'a?).
Ngga banyak yang bisa kami lakukan di sini, secara kami kaum manula purna
waktu dan ini surganya krucil-krucil. Eits, tapi bukan berarti kami jadi matgay
di sindang, that?s big big NO in our dictionary. Dengan seenak jidat kami fotofoto dengan barbar-nya karena suasananya disini sepi (lupa kalo pasti ada
CCTV di setiap sudut).
Hotel dan Bungalows. Bungalow-nya seruuuuuu, karena pemandangan dari
kamar langsung padang sabana kayak di Afrika, lengkap dengan binatang-binatang khas Afrika yang berkeliaran bebas. Menurut temen aye nih mpok, yang
pernah nginep disana, harga per malamnya sekitar Rp. 1.300.000,- (itu pas lagi
promo katanya). Ehmmm Mehong?!? Ngga lah, masa segitu mahal?? Ngga
mahal, tapi mahal beud kakaaaak!! Apalagi untuk kami kaum backpackerpapayang selalu ingin traveling dengan budget seminim mungkin tapi pengen dapet
fasilitas kayak begitu (kata singa-nya,'Mimpi aja loe sana..? O_0?. Yang mana
hotel ini masih menjadi mimpi saya yang mengawang-awang..)
Rumah adalah di Mana Pun
Restoran. Ada beberapa restaurant dan food stall yang beragam jenis dan harganya, yang pasti selalu tersedia makanan ala Eropa. Ada satu restoran dengan
konsep unik, namanya Tsavo Lion. Restoran ini menyuguhkan sensasi makan
dengan ditemani singa-singa yang berkeliaran bebas persis di sebelah kita,
hanya dibatasi oleh sebuah kaca raksasa. Harganya? Mahal lah pasti, sepor?
sinya kira-kira Rp.250.000,-. Tadinya saya nego dengan yang empunya tour
(bli Made Suardana) minta tour-nya include makan disini tapi harga tour jangan
dinaikin. Yang ada saya ditoyor..Akhirnya kami makan di UMA resto yang harga
makanannya rata-rata Rp. 50.000,- per porsi. Minumannya, ehmmfor your
imagine, satu botol minuman Pulpy Orange yang biasa 6.000-an di sini Rp.
18.000,- pa, bu.. Murah lah ya, bayaaaaar.. (Bayar-in dong maksudnya, *ngemis-ngemis ke babon*). Rasanya??Nah ini yang bikin jadi ngga ikhlas waktu
nelen. Fetucinni yang saya pesan style bule banget, cream dan kejunya totally
lekoh. Ngga cocok di lidah saya yang settingannya Sundanese. Makanya lidah
loe di-up grade donk! *lagi-lagi ngomong ke diri sendiri*. Lagian sok-sokan
pesen fetucinni.. Untung ketolong di milk shake-nya yang endang bambang
marundang, walau pas bayar bikin dompet saya sedikit terkejut dan jiper.
Pantai Padang-Padang
Yaks, hari ketiga mari kita beralam-alam lagi..Letak pantai ini yang dikelilingi
oleh tebing-tebing tinggi menyuguhkan pemandangan yang ngga kalah eksotis
dengan wajah Farah Quinn atau Anggun.Dan karena posisinya yang dikelilingi
tebing, untuk mencapai pantai ini kita harus menuruni tebing yang lumejeng
curam sodarah-sodarah.. Tebing-tebing alami ini terbentuk dari hempasan
ombak dan di beberapa tempat membentuk goa-goa. Celah dari goa-goa inilah yang dipakai untuk jalan turun ke pantainya. Tangga yang sengaja dibuat
sebagai jalan dicelah-celah tersebut kadang menyempit di beberapa bagian
dan hanya muat dilewati untuk satu orang saja, sehingga memaksa kami yang
berpapasan dengan bule-bule yang hendak naik, harus mengalah menghentikan langkah memberi jalan (deuh, ribettt bahasanya).Mana banyak bule yang
bawa papan surfing. Duuuuh, gak skalian aja bawa jetski om?!?Walaupun
udah dibikin tangga-tangga gitu, tapi anak tangganya segede-gede gaban dan
nampak tiada akhir. Heran deh, napa gak kecilan dikit sih bikin anak tangganya,
bule aja keliyengan apalagi akika yang rentang kakinya gak ada setengahnya
Rumah adalah di Mana Pun
bule-bule itu..Kebayang ntar pas baliknya gimenong, turunnya aja udah sempoyongan.
Tapi semua peluh yang bercucuran itu terbayar ketika sampai di pantai.
Waooooow SUPERB!Speechless!Pemandanganindahnya kebangetan, bikin
mules.. What I got is this surprising scenery..Pantai berpasir putih yang halus
di sepanjang pantaidihiasi batu-batu karang yang cukup besar menjulang
tinggi, air laut yang biru kristal, hijaunya pepohonan di sekeliling pantai, surfersurfer amatiran yang beraksi di atas surfing board warna-warni, bule-bule
berbikini yang bertebaran di atas selimut gelaran mereka sendiri, ditambah
dogi-dogi lucu yang berkeliaran kesana-kemari (entah punya siapa), semuanya
menjadi satu kombinasi harmonisasi yangsempurna dan memberikan kesan
berbeda. Super damai dan menawan sangat..Ngga kayak lagi di Indonesia deh,
bener.. Pasangan honeymooners disini pasti terengkuh suasana damainya
(halah, sok puitis bahasanya. Puitis tapi minim makna). Semua terlihat bisa
hidup rukun dan damai, penuh cinta kasih, tanpa kekerasan, saling menghargai
dan menghormati, saling.... *cukup woi, cukuuup!*.Oya, ada sedikit ke-nyesekan yang gw rasain pas disini. Kalo aja badan gue semulus SeoHyun SNSD,
mau deh coba pakai bikini disini *kemudian digeplak SeoHyun*.
Jejak-jejak Kaki
Sesaat setelah menapaki pasir di tepi pantai, kupandangi lagi tapak-tapak kaki
yang barusan kupijak. Jejak-jejak itu seakan mengingatkan saya bahwa hidup
yang telah saya lewati pun kadang seperti jejak kaki itu. Ada yang bertahan
dan ada yang segera pupus tersapu ombak. Ada kejadian yang berkesan dan
ada pula yang berlalu buru-buru lalu segera hilang dari ingatan. Ada yang terberkati dengan saya dan kadang ada yang tersakiti.. Saya ingat suatu pepatah
yang mengatakan "Jika orang menyakitimu, tuliskanlah itu di atas pasir agar
angin dan air laut segera menghapuskannya. Jika orang memberkatimu, tuliskanlah itu di atas batu karang, dimana hantaman ombak sekalipun tidak
dapat menghilangkannya." Mantaffffff (entah ini kalimatnya siapa, saya hanya
sekedar mengingat-ingat lalu menuliskannya). __
Buat saya, esensi utama dari sebuah perjalanan adalah bukan kemana kita pergi, tapi dengan siapa kita pergi (kali ini ciyus, bu?). Ke tempat yang sama, hotel
Rumah adalah di Mana Pun
yang sama, titik yang sama sekalipun tapi dengan orang yang berbeda, akan
menimbulkan kesan dan kenangan yang berbeda pula. Gw paling demen kalau
traveling dengan orang yang asik, rame, ngga ribet, dan dalam situsi seburuk
apapun bisa bawa seneng suasana (kayak sohib-sohib gue yang nge-hits ini
nih). Nah paling males kalau pergi ama orang yang ribet, suka ngeluh, panikan,
penakut dan dikit-dikit khawatir. Bukannya enjoy, malah jadi kebawa ketarketir gw. So menurut saya sih bukan kemana Anda berjalan, tapi dengan siapa
anda berjalanlah yang lebih penting. Trek seberat apapun tapi kita dikelilingi
orang-orang yang solid, berasa enteng jadinya..
Bali adalah sepotong surga yang dititipkanNYA kepada kita. DIA bermurah hati
membagi secuil keindahan surga-NYA untuk kita nikmati. Lebih dari indah..
Pada akhirnya saya sadari, yang mendorongsaya selalu ingin ke Bali lagi dan
lagi yaitu karena rasa kangen akan semua yang ada di sana. Kangen akan alamnya yang aduhai, kangen bersapa dengan masyarakatnya, kangen dengan budayanya yang kental dan ngena banget di hati, kangen akan makanannya yang
so tasty, kangen dengan suasananya yang ramah, dan juga kangen dengan
bocah-bocah Bali yang lucu-lucu.
Menyaksikan siluet pura-pura nan megah yang dilatari dengan semburat cahaya kemerahanterbenamnya mentari, sembari mencium semilir aroma bau
laut, ditemani merdunya deru ombak dan semeja penuh seafood + air kelapa.
Ehmmm, heaven on earth! There?s nothing better than this..***
Ester Aprillia, wanita yang sering merasa rupawan ini bersumbangsih memenuhi
habitat di bumi ketika menetas pada tanggal 6 April 1985 di Bandung. Suka makan
segala jenis western food, walau setelahnya suka eneg sendiri. Rela berpanaspanasan berbalut jaket kulit di teriknya Jakarta. Semuanya hanya demi gengsi..
Seorang fakir traveling, selalu terhipnotis jika mendengar kata jalan-jalan.
Tamat
Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Pendekar Naga Putih 69 Tokoh Buronan Shugyosa Samurai Pengembara 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama