Ceritasilat Novel Online

Obsesi 3

Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu Bagian 3

sebelum beraksi. Aku dan Tony aja nggak tahu yang mana tali

rem, padahal kami berdua lumayan getol belajar soal mobil."

"Yang kami pelajari cuma bikin mobil jadi keren sih," komentar Tony sambil nyengir. "Selain cerdas, dia juga tenang dan

berdarah dingin. Kecelakaan yang dialami Jenny Tompel adalah

buktinya. Dia ngelakuin itu di depan kalian semua. Oke, dia

mencuri waktu di saat sedang mati lampu, tapi tetap aja itu

butuh ketenangan. Dan, yang paling penting," wajah Tony berubah serius, "...aku yakin sembilan puluh sembilan persen, orang

itu ada dalam kelas kalian!"123

Kini aku benar-benar kaget. "Maksudmu, ini kerjaan teman

sekelasku?"

"Itu kemungkinan terbesar," Markus yang menyahut. "Nggak

tertutup kemungkinan ini kerjaan anak kelas lain, atau guru,

atau..." Dia diam sejenak. "...bodyguard Jenny Bajaj...!"

Astaga, masa mereka mencurigai si botak itu? Oke, sehari-hari

tampang si bodyguard memang cukup berbahaya. Tapi, kalau aku

ingat betapa telatennya dia melindungi Jenny Bajaj, betapa pucat

wajahnya waktu melihat kecelakaan Jenny Tompel, dan bagaimana

dia langsung membantu orang-orang menyelamatkan Jenny

Tompel...

"Tapi," protesku, "bodyguard Jenny Bajaj kan belum muncul

waktu kecelakaan yang menimpa Jenny Bajaj terjadi."

"Yah, siapa tahu, itulah sebabnya dia mendapatkan pekerjaan

itu," kata Tony. "Tapi tentu saja, bisa jadi bukan dia pelakunya.

Ini hanya salah satu kemungkinan, Jen. Kemungkinan terbesar

tetap teman sekelasmu." Dia menatapku lekat-lekat. "Ada yang

kamu curigai?"

Sekali lagi, astaga. Rasanya aku tidak bisa memercayai ada

teman sekelasku yang sanggup melakukan hal-hal sejahat itu. Memotong tali rem mobil Jenny Bajaj dan mengakibatkan kecelakaan

yang mengerikan tersebut. Menjatuhkan rak berisi botol-botol

penuh cairan kimia yang berbahaya hingga menimpa Jenny

Tompel, lalu kembali ke tempatnya dan bersikap seolah-olah dia

tidak ada hubungannya dengan kejadian itu.

Apakah ada orang yang benar-benar bisa melakukan hal semengerikan itu?

Entah kenapa, satu nama meloncat keluar dari pikiranku.

"Johan."124

"Johan?" tanya Markus terkejut. "Maksudmu, cowok yang digosipin pacaran dengan Hanny itu?"

"Mereka nggak pacaran," tegasku. "Tapi ya, dialah yang kumaksud."

"Oke," Tony mengangguk. "Aku dan Markus akan nyelidikin

cowok itu. Selain itu, siapa lagi yang kamu curigai?"

Aku memikirkan teman-teman sekelasku satu per satu. Bukannya mereka semua anak baik-baik yang tidak berulah. Sebaliknya,

beberapa di antara mereka termasuk anak bengal yang sewaktuwaktu bisa dikeluarkan dari sekolah. Tapi yang mereka lakukan

hanyalah kenakalan-kenakalan biasa. Tidak ada yang sepertinya

sanggup melakukan hal-hal mengerikan dan berani mencelakai

Jenny Bajaj dan Jenny Tompel.

Aku menggeleng. "Sebenarnya, aku juga nggak tahu apa Johan

bisa ngelakuin hal setega itu. Mungkin aja aku cuma terlalu

berprasangka lantaran Johan udah ngerebut sahabat baikku."

"Kamu nggak mungkin berprasangka," kata Tony sambil tersenyum. "Kalo kamu sekarang mengira diri kamu berprasangka, itu

udah ngebuktiin bahwa kamu mikirin semua itu dengan hati-hati."

"Bagaimanapun, kami akan memulai penyelidikan kami pada

Johan," kata Markus.

"Emangnya gimana cara kalian nyelidikin?" tanyaku ingin tahu.

"Pertama-tama, ngorek-ngorek basic information dari petugas

admin sekolahan," kata Tony sambil nyengir. "Lalu, kami akan

telusuri semua jejak yang kami dapatkan dan nyari tahu apa Johan

emang bertanggung jawab atas semua ini. Dan, sementara itu"

Aku kaget tatkala Tony menyentuh tanganku dengan lembut.

"...kamu harus hati-hati, Jen."

Aku mengangguk dengan susah payah. "Mmm, Tony?"125

"Ya, Jen?"

"Bukannya tadi kamu makan pake tangan? Kok sekarang kamu

jadi meper-meper ke aku?"

Mendengar kata-kataku, Tony membeku seraya menatap tanganku yang masih dipegangnya. Lalu dia menatapku dan memberiku

senyum tersipu-sipu. "Sori, akan kucuciin deh."

Sebelum aku sempat menolak, dia sudah menarik tanganku

dan membawaku ke wastafel di dekat kantin tanpa mengindahkan

tatapan tajam Markus. Jantungku makin berdebar-debar saat melihatnya benar-benar serius ingin mencucikan tanganku.

"Udah, nggak apa-apa kok," kataku seraya menarik tanganku.

"Aku bisa cuci tangan sendiri."

"Jangan ribut, Jen."

Aku cuma bisa melongo saat Tony benar-benar mencucikan

tanganku. Pertama-tama, berhubung aku cewek pendiam, aku

belum pernah mendapat perintah untuk menutup mulutku. Jelas,

ucapan Tony lebih membuatku heran daripada tersinggung.

Kedua, cuci tangan ternyata pengalaman yang romantis banget!

Saat ini aku bisa merasakan tangan Tony yang licin membelaibelai tanganku dengan lembut. Bahu kami yang bersentuhan

membuatku menahan napas saking tegangnya. Namun, meski

perasaanku tegang banget, lututku terasa lemah, membuatku nyaris saja meleleh ke lantai.

Dan, jantungku nyaris melompat ke luar dari rongga dadaku

saat mendengar Tony berbisik di dekat telingaku.

"Jen, mau jadi cewekku nggak?"

Wajahku rasanya panas sekali mendengar pertanyaan itu, tapi

aku memberanikan diri untuk mendongak dan menatap Tony.

"Kamu ngajakin aku pacaran di wastafel sekolahan?"126

Tony tertawa dengan salah tingkah. "Iya nih, aku emang nggak

romantis. Abis, nggak pengalaman sih."

Tidak pengalaman? "Bukannya kamu udah sering pacaran?"

"Nggak pernah." Jawabannya benar-benar mencengangkan.

"Cuma sekali aja sama Hanny, dan kamu juga tahu itu bukan

pacaran sungguhan."

Sekarang aku tergagap-gagap seperti orang idiot. "Tapi, kok

semua orang..."

"Mmm mungkin karena aku sering nge-date dengan beberapa cewek, jadi disangka pacaran sama mereka. Tapi," Tony

diam sejenak, tampak malu dengan ucapannya, "sejak dulu

cuma ada kamu, Jen. Nggak ada yang bisa bikin aku punya

perasaan seperti ini selain kamu. Jadi, semua date itu cuma date

aja dan nggak ada apa-apa yang terjadi. Makanya, kamu nggak

usah berpikir yang nggak-nggak."

Sekarang aku benar-benar tidak bisa bicara.

"Aku ngerti kalo kamu masih nggak mau jadian sama aku

gara-gara masalah Hanny. Mungkin kamu masih nganggap aku

cowok jahat yang suka mainin cewek atau semacamnya. Tapi aku

nggak akan nyerah, Jen. Aku akan terus ngejar kamu sampai

dapat, dan aku akan nunjukin kalo aku nggak jahat, brengsek,

rese"

"Aku nggak nganggap kamu jahat, brengsek, apalagi rese, Ton,"

selaku cepat.

Wajah Tony langsung berubah cerah. "Bener? Jadi kamu masih

nganggap aku cowok baik-baik?"

Aku mengangguk, tapi cepat-cepat melanjutkan supaya Tony

tidak salah sangka. "Tapi kamu juga bener. Aku masih nggak bisa

jadian sama kamu gara-gara masalah Hanny. Meski sekarang kami127

udah nggak saling bicara, aku masih nganggap dia sahabat terbaikku, Ton. Aku harus ngomong sama dia dulu dan minta pengertian dia, sebelum aku bisa, ng jadian sama kamu."

Tony tersenyum dan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Kamu emang manis banget, Jen. Aku nggak pernah nyesel

udah jatuh cinta sama kamu."

Tidak, aku tidak manis sama sekali. Saat ini saja aku sudah

kepingin banget mengiyakan permintaan Tony dan melupakan

perasaan Hanny. Tapi, sewaktu Hanny ingin jadian dengan Tony,

dia meminta pengertianku terlebih dahulu. Sebagai sahabat yang

baik, aku juga harus bicara dengannya dulu.

Semoga Hanny bersedia merestui keinginanku ini.

***

Tony mengantarku pulang sekolah.

Dalam perjalanan, aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya,

"Kamu pernah bilang, Markus juga pernah suka sama aku, ya?"

Tony mengangguk.

"Mmm, kalo kita, mmm, jadian, dia nggak apa-apa?"

Mendengar pertanyaanku, Tony tersenyum. "Iya, kami pernah

ngebahas masalah ini. Dia bilang, dia ngerasa lebih tenang kalo

ada salah satu dari kami yang selalu berdekatan dengan kamu.

Jujur aja, sekarang ini situasi kamu sangat mengkhawatirkan,

Jen."

"Oh." Gara-gara perkembangan cerita terbaru ini, aku nyaris

melupakan bahaya yang kemungkinan bakal menimpaku. "Menurut kamu, aku benar-benar berada dalam bahaya?"

"Entahlah" Tony menggeleng. "Aku akan berusaha sekuat128

tenaga untuk ngelindungin kamu, tapi kamu sendiri juga harus

hati-hati, oke?"

Aku mengangguk. Jujur saja, aku terharu sekali menyadari

kecemasan Tony dan Markus padaku. Belum pernah ada temanteman cowok yang begini memedulikanku. Sejak dulu, aku cewek

yang tidak terlalu menarik perhatian di kelas dan seringnya dianggap tidak ada. Setelah bersahabat dengan Hanny, aku mulai

bergaul dengan teman-teman cowok, tapi mereka pun jauh lebih

tertarik untuk mendekati Hanny ketimbang berteman denganku.

Keajaibanlah yang membuat Tony dan Markus lebih menyukaiku

ketimbang Hanny, dan aku benar-benar merasa tersentuh karenanya.

Begitu tiba di rumah dan berpisah dengan Tony, aku langsung

naik ke kamarku sambil meloncat-loncat saking bahagianya. Seperti biasa, aku menyimpan tas sekolahku, lalu pergi mandi. Air

hangat mengeluarkan uap yang memenuhi seluruh kamar mandi,

terasa begitu nyaman di tubuhku yang letih.

Setelah ini, aku akan tidur siang, janjiku dalam hati. Aku harus

menyimpan tenaga yang cukup, supaya kalau memang ada bahaya

yang mengintaiku, aku siap menghadapinya.

Selesai mandi, aku membalut tubuhku dengan handuk, lalu

keluar dari bilik pancuran. Tatapanku langsung tertuju pada cermin kamar mandi yang, seperti biasa, dilapisi oleh uap air hangat.

Bedanya, kali ini, di ujung cermin itu ada sebuah telapak tangan kecil yang sangat mungil.

Telapak tangan anak-anak.

Oh, sial.129

Inilah yang namanya keputusan tepat yang diambil di saat

yang salah.

Sudah berhari-hari aku memikirkan Jenny dan persahabatan

kami yang terputus. Sampai sekarang aku masih sangat marah

padanya soal dia, Tony, dan taruhan brengsek tersebut. Tapi aku

juga sangat kesepian tanpa dirinya, dan aku tahu dia juga sangat

kesepian tanpa aku. Sejak kami tidak bicara lagi, dia jadi lebih

pendiam daripada biasanya. Mana belakangan ini wajahnya juga

tampak pucat, sementara kelopak bawah matanya menggelap, menandakan bahwa dia kurang tidur?sama seperti aku.

Berhubung Johan sedang ada keperluan, aku pulang sekolah

dijemput Pak Parmo.

"Langsung pulang, Non?"

"Ke rumah Jenny dulu, Pak Parmo."

Wajah Pak Parmo langsung berseri-seri. "Beres, Non."

Sepanjang jalan Pak Parmo mencerocos, mengatakan betapa

khawatirnya dia karena belakangan ini aku berteman dengan

Johan yang bertampang aneh seperti lalat raksasa yang menge12

Hanny130

rubungiku, dan betapa bahagia Pak Parmo karena aku memutuskan untuk bersahabat lagi dengan Jenny yang manis, sopan,

dan baik hati. Aku menanggapi kata-katanya dengan separuh hati,

karena pikiranku sibuk memikirkan apa yang harus kukatakan

pada Jenny.

"Jen, gue maafin elo." Ucapan yang sombong banget. Siapa

tahu Jenny tidak merasa bersalah? Tapi, keterlaluan, ah. Masa sih

dia tidak merasa bersalah?

"Jen, gue bosen main sama Johan." Bisa-bisa Jenny memberiku
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tampang "apa kubilang, Johan memang culun".

"Jen, lo brengsek, tapi gue kangen sama elo." Bagaimana kalau

Jenny tersinggung lalu bilang, "Sori, elo brengsek dan gue nggak

kangen sama elo."?

Oke, aku ngaku, ini pertama kalinya aku minta baikan dengan

teman yang bermusuhan denganku. Sebelumnya aku tidak pernah

memiliki teman yang cukup berarti, sampai-sampai aku ingin

sekali minta baikan di saat kami sudah bermusuhan. Apalagi di

saat aku merasa si teman sudah melakukan sesuatu yang jahat

padaku. Kalau ini bukan Jenny, aku tak bakalan sudi melakukan

hal yang bakal menyinggung harga diriku ini.

Kalau saja ini bukan Jenny.

Entah kenapa, aku teringat kata-kata yang sering didengungdengungkan oleh orang-orang tua namun sudah kulupakan saking

terlalu sering mendengarnya. Bahwa sahabat sejati itu sulit ditemukan, dan seandainya kita berhasil mendapatkannya, kita

harus menjaganya baik-baik.

Jenny memang tidak sempurna, tapi dialah sahabat sejatiku.

Sahabat yang benar-benar mengenalku dengan baik, menghargai

setiap kelebihanku, dan memaklumi setiap kelemahanku. Sahabat131

yang selalu bersamaku dalam suka dan duka, dan mendukung

setiap keputusanku. Sahabat yang selalu menjaga perasaanku dan

jarang sekali membuatku marah.

Dan, hanya karena seorang cowok tolol dan dekil aku membuang sahabatku itu.

Aduh, aku ingin sekali bertemu Jenny!

Saat tiba di depan rumah Jenny, aku melihat Pak Mar, sopir

Jenny, sedang merokok di depan rumah. Bagus, itu berarti Jenny

sudah pulang.

Aku segera turun dari mobil dan menghampiri Pak Mar. "Pak

Mar, Jenny udah pulang?"

Tak kuduga, Pak Mar menggeleng. "Non Jenny masih ada

urusan di sekolahan, Non Hanny."

"Oh." Aku berusaha menyembunyikan kekecewaanku. "Dia

nggak bilang bakalan pulang jam berapa?"

Lagi-lagi Pak Mar menggeleng.

Aku kembali ke mobil dengan perasaan loyo. Tebersit dalam

pikiranku untuk menghubungi ponsel Jenny, tapi itu bukanlah

cara yang baik untuk berbaikan lagi. Aku ingin bicara langsung

dengan Jenny. Aku ingin menatap matanya saat mengatakan bahwa aku ingin bersahabat lagi dengannya. Aku ingin dia mengetahui ketulusanku, dan aku ingin tahu bagaimana reaksinya

juga.

Kalau begitu, aku harus berurusan dengan Johan.

Seharusnya Johan sudah pulang sekarang. Kalaupun belum,

aku akan menunggunya. Pokoknya, aku juga harus bicara dengannya secara langsung. Aku ingin mengatakan padanya bahwa mulai

hari Senin, aku ingin bersama-sama lagi dengan Jenny. Aku ingin

sebangku lagi dengan Jenny. Aku menghargai persahabatanku132

dengan Johan, tapi bagaimanapun, Jenny adalah sahabat terdekatku.

Aku berharap Johan bisa mengerti keputusanku ini.

Wajah Pak Parmo langsung suram waktu aku memberitahunya

tujuan kami yang berikutnya.

"Aduh, ke rumah itu lagi, Non?" keluhnya. "Bukannya kenapa,

tapi rumah itu benar-benar nakutin."

"Oh, ya?" Terlintas dalam pikiranku, pertama kali aku melihat

rumah Johan, aku juga merasakan hal yang sama.

"Betul, Non," sahut Pak Parmo penuh semangat. "Non juga

tahu saya bukan penakut, tapi pertama kali lihat rumah itu, saya

langsung merinding."

Aku tertawa untuk menenangkan Pak Parmo, sekaligus juga

untuk menunjukkan bahwa aku lebih berani darinya. "Itu cuma

perasaan Pak Parmo. Johan orangnya baik kok."

Pak Parmo tidak membantahku dan mengantarku ke rumah

Johan tanpa bicara lagi, tapi sepanjang perjalanan, aku masih bisa

merasakan keberatannya.

Kami tiba di rumah Johan. Melihat bangunan itu, aku langsung merinding. Sialan. Ini pasti gara-gara ocehan Pak Parmo.

Sambil berusaha memberanikan diri, aku keluar dari mobil seraya

meminta Pak Parmo menungguku.

Tidak ada mobil Johan di pekarangan, namun itu tidak berarti

apa-apa. Bisa saja Johan memarkir mobilnya di dalam garasi yang

tertutup itu. Aku menghampiri pintu pagar dan mulai mencaricari bel, tapi tidak ada benda semacam itu di situ. Karena pagar

itu tidak terkunci, tanpa malu-malu lagi aku membukanya dan

masuk ke dalam.

"Johan!" panggilku saat aku sudah tiba di depan pintu rumah.133

Karena tidak ada sahutan, aku mengintip-intip ke dalam rumah.

Tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Masa sih aku harus menunggu di luar sini? Dengan kesal aku

menekan hendel pintu dan sedikit mendorongnya.

Pintu itu langsung terbuka.

Kenapa Johan tidak mengunci pintu depannya?

"Johan?"

Seharusnya aku langsung pergi saat tidak ada yang menyahutku,

karena itu berarti Johan masih belum pulang. Tapi, kekeraskepalaanku membuatku tidak berniat pergi tanpa hasil. Dan karena aku

terbiasa berbuat seenaknya, bukannya menunggu di depan, aku

malah langsung menyelonong ke ruang belajar Johan.

Tentu saja, di sana tidak ada siapa-siapa.

Aku duduk-duduk di depan meja belajar Johan sambil mengernyit melihat betapa joroknya tempat itu. Aku tahu, banyak

cowok yang tidak bersih-bersih amat. Seperti Tony, misalnya,

yang hobi mengenakan seragam dekil. Tapi Johan benar-benar

keterlaluan. Sepertinya cowok itu tidak mengenal konsep tempat

sampah. Kertas-kertas berserakan di meja dan lantai, piring-piring

bekas makanan tampak sudah mengerak, botol-botol minuman

kosong di mana-mana?namun yang paling menjijikkan tentu

saja cotton bud dan tusuk gigi bekas itu.

Mana binatang-binatang peliharaan Johan mulai membuatku

senewen. Okelah, hamster dan kelinci memang binatang yang

imut. Tikus putih, kalau tidak dibiarkan berkeliaran dan memanjati tubuh kita, juga kelihatan cukup lucu. Burung beo, terutama yang sering meneriakkan namaku, jelas sangat menarik.

Iguana, aku tidak tahu apa lucunya, tapi dengar-dengar banyak134

orang yang suka memelihara binatang itu. Sedangkan kadal,

meski sama sekali tidak lucu dan tidak populer sebagai binatang

peliharaan, tetap saja masih bisa ditolerir.

Tapi, ular? Aku benar-benar tidak mengerti orang yang suka

memelihara ular, kecuali orang-orang yang menggunakan binatang

itu untuk membuat pertunjukan dan mengumpulkan uang. Kalau

cuma sebagai hiasan, rasanya terlalu berisiko. Habis, binatang itu

kan bahaya banget. Kalau sampai dia mencaplok kita dengan gigi

taringnya yang penuh bisa itu, dalam waktu singkat kita sudah

harus dilarikan ke rumah sakit, atau kita bakalan menuju alam

baka. Seandainya tidak berbisa pun, binatang itu hobi melilit

kita. Bisa remuk tulang kita dibuatnya.

Aku melirik salah seekor ular yang cukup besar. Gila, sepertinya tubuhnya lebih besar daripada lenganku?dan lebih panjang

pula. Saat mata kami bertemu, ular itu langsung menjulurkan

lidahnya.

Arghh, menakutkan banget!

Aku mengalihkan perhatianku dari si ular dengan mulai membuka-buka laci meja yang semuanya penuh banget. Tidak ada

yang menarik, selain kertas-kertas (lagi) dan buku-buku pelajaran

lama.

Oh, sial, laci terakhirnya macet. Semoga aku bisa membenarkannya. Kalau tidak, bisa-bisa ketahuan aku membongkar-bongkar

barang Johan.

Aku berjongkok di depan laci itu dan mengeluarkan laci itu

dari tempatnya. Pada saat itulah, aku melihat selembar kertas

yang terselip di bagian dalam laci. Bukan, bukan kertas, melainkan selembar foto. Tanpa berpikir panjang, aku mengambil foto

itu, dan nyaris menjerit melihat isi foto itu.135

Sebuah foto keluarga, berisi sepasang orangtua yang berpakaian

mewah dengan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan berdiri di depannya. Foto yang seharusnya tampak biasa saja.

Namun, yang membuat foto itu terlihat mengerikan adalah

muka-muka di foto itu sudah dihitamkan dengan spidol.

Kecuali muka si anak laki-laki.

Mendadak saja aku menyadari sesuatu yang lebih mengerikan

lagi. Foto. Tidak ada satu foto pun di rumah ini. Ini sesuatu yang

sangat ganjil bagiku, karena aku belum pernah melihat rumah

tanpa foto. Bahkan, Jenny yang jarang ketemu orangtuanya pun

menggantungkan sebuah foto keluarga di ruang duduknya.

Tapi di rumah ini tidak ada foto selembar pun?selain yang

berada di tanganku saat ini.

Sebut saja aku gila, tapi saat ini rasa penasaranku sudah tak

tertahankan lagi. Setelah memasang laci itu pada tempatnya

lagi?dan menyelipkan foto itu di tempat semula?aku keluar

dari ruangan itu dan menghampiri kamar adik perempuan Johan.

Seperti waktu itu, terdengar samar-samar lagu opera dari balik

pintu.

"Halo?" panggilku. "Ada orang di dalam?"

Tidak terdengar sahutan, jadi aku pun membuka pintu kamar

yang ternyata tidak dikunci itu.

Dan, jantungku nyaris berhenti.

Kamar itu seharusnya kamar seorang anak perempuan. Dindingnya berlapis kertas dinding berwarna merah muda, dengan ranjang, seprai, dan tirai yang senada. Namun dinding, ranjang, dan

seprai itu sudah tercabik-cabik?kurasa oleh pisau. Boneka-boneka

yang seharusnya lucu terlihat menyeramkan karena tersebar di

seluruh kamar dalam keadaan sudah tercabik-cabik pula. Sudut-136

sudut kamar dipenuhi sarang laba-laba, setiap permukaan meja

dan lemari dipenuhi debu. Di atas meja, sebuah stereo melantunkan lagu opera, membuat kamar itu terlihat seperti tempat terjadinya suatu kejadian yang tragis dan mengerikan.

Kini jantungku berdebar tak keruan. Ini tidak benar. Johan

pernah bicara dengan adiknya. Aku mendengar mereka bicara

berdua. Tapi ruangan ini sepertinya sudah tidak lama tidak pernah didiami. Sarang laba-laba dan debu yang tebal, kondisinya

yang berantakan dan tidak memungkinkan untuk ditinggali.

Lalu, siapakah yang bicara dengan Johan waktu itu?

Mendadak saja kengerian yang amat sangat menguasai hatiku.

Mungkinkah semua orang itu sudah mati? Baik orangtua Johan

maupun adiknya, apakah semuanya sudah tidak ada di dunia ini

lagi? Tapi, kalau memang iya, mengapa mereka semua bisa mati,

sementara Johan masih hidup?

Apakah Johan yang membunuh mereka?

Pikiranku sudah melantur. Johan tidak mungkin membunuh

keluarganya sendiri. Yang benar saja. Johan bukan orang yang kejam.

Dia selalu bersikap begitu baik padaku. Dia menjadi tempat

curhatku sebelum aku bermusuhan dengan Jenny, dan kini dialah

yang menemaniku saat Jenny tidak ada lagi. Bahkan, sebenarnya,

dialah yang membantuku menyingkap kejahatan Jenny.

Betulkah dia membantuku? Ataukah dia hanya mengarangngarang semua cerita itu untuk memisahkanku dari Jenny? Tapi,

untuk apa dia melakukan semua itu?

Mendadak kudengar bunyi mesin mobil di luar.

Johan.

Aku tidak boleh tertangkap sedang berada di kamar itu. Itulah

hal pertama yang terlintas dalam pikiranku. Buru-buru aku me-137

nutup pintu kamar itu, lalu pergi ke ruang depan. Sebelum aku

sempat duduk, Johan sudah membuka pintu depan. Aku langsung

berlagak seolah-olah baru saja bangkit dari sofa.

"Hai," sapa Johan bingung tapi tidak kaget. Tentu saja, dia pasti

sudah bisa menduga kedatanganku saat melihat mobilku terparkir

di depan rumahnya. "Kok tumben datang ke sini, Han?"

Aku menatap Johan, yang mendadak saja terlihat berbeda dengan

apa yang kuingat. Tubuh Johan tinggi kurus dengan punggung agak

bungkuk, membuatnya terlihat seperti saudara kandung ular peliharaannya itu. Kacamatanya yang berbingkai tebal dengan tangkai

yang diperbaiki begitu saja dengan lakban membuatnya terlihat

aneh. Dan matanya, astaga, kenapa aku tidak pernah memperhatikannya? Matanya tampak tidak wajar, seolah-olah menatapku dari

perspektif yang berbeda dengan manusia-manusia normal lain.
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lidahku jadi kelu.

"Hanny?"

Aku tahu, aku harus bicara sesuatu. Kalau tidak, Johan mungkin

akan menduga aku sudah mengacak-acak rumahnya. Jadi, aku menyunggingkan senyum manis, yang kuharap bisa meluluhkan hatinya.

"Han, gue udah mutusin untuk baikan dengan Jenny."

"Jenny?" Johan menyipitkan mata, membuat wajahnya jadi terlihat licik. "Maksud lo, Jenny Jenazah?"

"Jenny Angkasa," koreksiku.

Johan mendengus. "Kenapa lo mau baikan sama cewek menjijikkan itu?"

"Dia nggak menjijikkan, Han," belaku. "Dia... gue rasa, dia

punya alasan untuk melakukan semua itu. Yang gue tahu, dia

orangnya baik sekali, Han."138

"Itu artinya dia munafik," ketus Johan. "Dia cuma berlagak baik

di depan lo, tapi diam-diam dia menikam lo dari belakang. Liat aja

gimana dia ngedukung Tony untuk taruhan ngerjain elo."

"Tapi, gue denger dari orang-orang, Tony nggak nerima uang

taruhannya," kataku lirih. "Dan sampai sekarang, mereka juga

belum pacaran, kan?"

"Itu karena mereka masih punya siasat licik lain!" Jantungku

nyaris berhenti saat Johan memegangi kedua lenganku dan

mengguncangku. "Apa lo nggak bisa liat? Mereka sedang nyusun

rencana untuk mempermalukan elo lagi!"

"Untuk apa mereka mempermalukan gue?" tanyaku setenang

mungkin, berusaha menyembunyikan ketakutanku.

"Yah, mana gue tahu?" dengus Johan. "Mungkin Jenny iri sama

elo, karena elo populer dan dia nggak."

Aku menggeleng kaku. "Jenny bukan cewek yang suka iri,

Han. Sebagai sahabatnya, gue tahu banget soal itu."

Johan tertawa kering. "Kalo lo emang tahu soal dia, lo nggak

akan bisa dikerjain dia, Han."

"Masalahnya, gue nggak yakin dia pernah ngerjain gue."

"Jadi, maksud lo, gue udah ngebohongin elo? Begitu?"

Aku makin ketakutan saja saat Johan mencondongkan mukanya ke dekat mukaku. Sedetik sebelum dia menyentuhku, aku

baru menyadari bahwa dia berniat menciumku. Dengan sekuat

tenaga aku melepaskan diri darinya.

"Lo berani nolak gue?" tanya Johan dengan sikap mengancam.

"Setelah semua yang gue lakuin buat elo?"

Aku tidak mengerti apa maksud kata-katanya, yang seolah-olah

mengisyaratkan bahwa dia sudah melakukan banyak hal untukku,

tapi kusadari aku harus menyingkir secepatnya dari tempat ini.139

"Han, gue suka sama elo," kataku, meski kini aku tidak yakin

lagi apakah aku menyukai Johan. Tidak, aku yakin aku tidak menyukainya sama sekali. "Tapi gue cuma anggap lo temen, nggak

lebih dari itu. Sori kalo lo berharap lebih."

Setelah mengucapkan kata-kata itu, aku pun menghambur

keluar dari rumah mengerikan itu.140

Sepasang mata tajam itu mengawasi gerak-gerikku dengan

saksama.

Meskipun kesal, aku tidak bisa menyalahkan Mbak Mirna yang

mendadak memperlakukanku seperti pasien rumah sakit jiwa yang

bakalan kumat gilanya kalau tidak dipelototi terus-menerus.

Habis, tadi kelakuanku benar-benar cemen banget. Setelah menemukan cap telapak tangan di cerminku, aku langsung mem

bungkus tubuhku dengan handuk?meski ketakutan, aku masih

ingat sopan santun?dan menerjang ke luar kamar. Saat menuruni tangga, aku nyaris terguling-guling saking terburu-burunya, namun pada akhirnya aku berhasil mencapai sofa dengan

selamat, meski dengan tubuh gemetaran.

"Astaga, Non!" Mendengar bunyi keributan yang kutimbulkan,

Mbak Mirna yang sedang asyik di dapur segera mengintip ke dalam ruang duduk. Wajahnya terheran-heran dan tampak prihatin

saat melihat kondisiku yang mengenaskan. "Kok gayanya seperti

habis ngeliat setan aja?"

Aku menatap Mbak Mirna dengan muka pucat. Suaraku ge13

Jenny141

metaran saat menyahut, "Ada cap tangan anak kecil di cerminku,

Mbak!"

Sepintas terlihat kengerian di wajah Mbak Mirna. "Serius,

Non?"

"Beneran!" sahutku berusaha meyakinkannya. "Ayo kita lihat

sama-sama, kalo Mbak nggak percaya."

Mbak Mirna ragu-ragu sejenak. "Kalo gitu, ayo deh, kita periksa sama-sama, Non."

Saat kami menaiki tangga bersama-sama, aku bisa merasakan

tubuh Mbak Mirna menegang. Di dalam hati, aku sudah menyusun rencana. Kalau sampai kami dicegat oleh anak kecil

berambut panjang, aku akan langsung membalikkan badan dan

lari pontang-panting sambil menyeret Mbak Mirna?atau barangkali Mbak Mirna-lah yang menyeretku, mengingat pengurus

rumahku itu lebih bernyali dibandingkan aku.

Namun, saat kami tiba di TKP, ternyata tidak ada apa-apa.

Cermin itu bersih cemerlang, seperti baru saja digosok dengan

kertas koran yang diberi cuka dan jeruk nipis. Tidak ada sidik

jari secuil pun, apalagi cap tangan.

Melihat semua itu, mulutku langsung ternganga lebar, sementara Mbak Mirna tampak sangat jengkel. Karena tidak ingin

Mbak Mirna mengira aku sedang mengerjainya, aku cepat-cepat

berkata, "Beneran, Mbak. Tadi aku ngeliat cap tangan di sini!"

"Tapi, ini nggak ada apa-apa kok, Non." Mbak Mirna meraba

keningku. "Non nggak lagi panas, kan?"

Sialan. "Nggak, aku nggak demam atau berhalusinasi. Aku

benar-benar ngeliat ada cap tangan...!"

Suaraku makin lemah saat menyadari kata-kataku memang

sulit dipercaya. Tanpa bukti, omonganku terdengar seperti ocehan142

yang tak masuk akal. Aku kembali memandangi cerminku dengan

penasaran. Ke mana sih cap tangan sialan itu?

Mbak Mirna menatapku dengan prihatin. "Ayo, Mbak temenin

Non pakai baju. Abis itu kita makan sama-sama. Gimana?"

Aku mengangguk lemah dan menuruti kata-kata Mbak Mirna.

Kupakai kaus kedodoran dan celana jins selutut yang biasa kukenakan di rumah, lalu kuikuti Mbak Mirna ke ruang makan. Di

sana aku disuguhi ayam goreng yang luar biasa enak, namun tak

bisa kutelan karena pikiranku terus-menerus tertuju pada cap

tangan itu.

Masa sih aku cuma berkhayal?

Seandainya aku lebih bijaksana, mungkin aku akan berusaha

melupakan cap tangan itu dan melanjutkan hidupku seperti biasa

sambil diam-diam mengusir ketakutanku. Tapi aku sama sekali

tidak bijaksana?dan aku bersyukur karenanya. Selesai memaksa

diriku menelan semua yang dihidangkan Mbak Mirna di hadapanku, aku menelepon Tony, yang terdengar girang sekali saat

mengangkat telepon. Dalam waktu lima menit, dia pun sudah

berdiri di ruang dudukku dan mendengarkan penuturanku soal

cap tangan yang lenyap secara misterius itu.

"Hmm." Wajah Tony tampak seperti Sherlock Holmes versi

ABG ganteng saat dia merenungkan ceritaku. "Bisa jadi kamu

cuma ngeliat bayangan aja, Jen."

Bahuku langsung terkulai, namun aku langsung bersemangat

lagi saat mendengar ucapan Tony yang berikutnya.

"Tapi, kita nggak bisa nyuekin cerita ini begitu aja. Kalo

emang ada sesuatu yang mengakibatkan cap tangan itu, aku juga

ingin tahu. Sori, aku boleh masuk ke kamar mandimu?"

Mbak Mirna tampak sangat keberatan. "Nggak sopan masuk143

kamar anak cewek, Den. Apalagi di saat orangtuanya nggak

ada."

"Sebentar aja," desak Tony. "Mbak boleh ikut deh."

Karena dibilang boleh ikut, Mbak Mirna pun mengizinkan hal

itu. Kami bertiga naik ke lantai atas dan memasuki kamarku.

Mata Tony langsung tertuju pada celana dalamku yang berserakan di atas lantai.

Oh, sial.

Buru-buru aku memunguti pakaian dalamku itu?beserta pakaian kotorku yang lain?dan memasukkannya ke keranjang pakaian

kotor. Saat aku berdiri tegak lagi, aku bisa melihat Tony dan

Mbak Mirna cengar-cengir.

"Makanya, Non, jadi anak cewek tuh yang rapi."

Keterlaluan. Asal tahu saja, berkat didikan Mbak Mirna, bisa

dibilang aku termasuk cukup rapi. Tapi hari ini, gara-gara kejadian menakutkan yang kualami, aku benar-benar melupakan semua

kebiasaan baikku. Namun dua orang ini langsung menganggapku

sebagai cewek slebor dan tidak rapi. Kurasa inilah yang dinamakan "gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga".

"Ada yang harus disingkirkan lagi sebelum aku masuk ke kamar mandi?" tanya Tony sambil cengar-cengir.

Dengan bete aku mengintip ke dalam kamar mandi. "Nggak,

semuanya aman. Kamu boleh masuk."

Tony memasuki kamar mandi dan mengamati cermin yang

menjadi sumber masalah itu.

"Kamu bilang, tadi kamu sedang mandi?" tanya Tony padaku.

Aku mengangguk.

"Dengan air panas?"144

Aku mengangguk lagi.

"Yep," Tony mengangguk juga, tapi dengan wajah suram. "Ada

yang masuk ke dalam kamar mandi ini."

Aku dan Mbak Mirna sama-sama terkejut.

"Kenapa Den Tony mikir begitu?" tanya Mbak Mirna mendahuluiku.

"Kalo Jenny mandi dengan air panas, seharusnya ada uap air

yang menyelubungi cermin ini," kata Tony sambil mengamati

seluruh kamar mandiku. "Tapi, buktinya cermin ini bersih tanpa

uap."

Oh ya, betul juga. "Iya, tadi waktu aku selesai mandi, memang

ada uapnya."

Aku dan Mbak Mirna sama-sama menatap Tony dengan penuh

kekaguman.

"Den Tony mirip Kindaichi, ya," kata Mbak Mirna, membongkar kebiasaannya sering mencuri baca komik-komikku.

"Yah, kok mirip Kindaichi sih, Mbak?" protes Tony. "Kayak

Shinichi Kudo kek, gitu."

"Tapi, kan rambut Den Tony panjang, jadi lebih mirip

Kindaichi."

Tony sudah tidak mendengarkan kata-kata Mbak Mirna lagi,

melainkan berjongkok di depan dinding kamar mandiku, lalu

mulai meraba-raba dinding itu. "Keramik ini pernah diganti

nggak, Jen?"

"Selama kami di sini sih belum pernah," sahutku sambil ikut

memperhatikan dinding yang menarik perhatian Tony. Harus

kuakui, aku juga pernah tertarik pada dinding itu, karena ada

semacam garis tebal membingkai ubin-ubin keramik dinding,

seolah-olah ada pintu kecil di bawah situ. Waktu kecil, aku145

pernah berusaha mendorong dan mencongkelnya. Namun, karena

tak ada sesuatu pun yang terjadi, aku pun melupakan dinding

itu.

Aku dan Mbak Mirna syok berat saat melihat Tony berhasil

mendorong dinding itu hingga membuka ke dalam.

"Familier?" Tony menelengkan kepalanya ke ruangan di balik

dinding itu.

Aku menelan ludah. "Kamar mandi orangtuaku."

"Ayo, kita masuk."

Kami bertiga merangkak melalui pintu kecil itu. Tony masuk

paling depan, lalu membantuku dan Mbak Mirna berdiri saat

kami memasuki kamar mandi orangtuaku.

"Kok bisa-bisanya ada jalan rahasia seperti ini sih?" gumamku.

"Nggak heran," kata Tony. "Ini kan rumah tua. Biasanya rumah tua memang ada jalan-jalan rahasia seperti ini. Apalagi kalo

yang jarang direnovasi." Dia menunjuk langit-langit. "Tingkap itu

bisa dibuka?"

"Iya," sahut Mbak Mirna dengan suara tak setegas biasanya.

"Biasanya orang-orang yang memperbaiki atap naik lewat situ."

"Menarik banget." Tony naik ke atas pinggiran bath tub, lalu

menaikkan kaki kanannya ke atas gantungan handuk yang terbuat
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari besi. Untuk menahan tubuhnya agar bisa membuka tingkap

di langit-langit, Tony berpegangan kuat pada shower. Tanpa kesulitan sama sekali, dia membuka tingkap itu, melongok sejenak,

lalu meloncat turun dengan ringan. "Wah, kalau begini, anak

kecil juga bisa manjat ke atas sini."

Enak saja dia ngomong. Kan dia jago olahraga. Coba aku yang

melakukannya, dalam sekejap pasti tubuhku langsung patahpatah146

Tunggu dulu.

Jantungku berhenti sejenak saat menyadari pilihan kata yang

digunakan Tony. "Anak kecil?"

"Cuma pengandaian, Jen," kata Tony santai. "Kan kita harus

menelusuri setiap kemungkinan." Dia mengeluarkan ponselnya,

lalu mulai menelepon. "Yo, man. Gue lagi di rumah Jenny. Bisa

ke sini secepatnya?" Dia diam sejenak. "Oh, lo masih di sekolah?

Baguslah. Buruan ke sini, ya!"

Tony menutup ponselnya, lalu berkata padaku dan Mbak

Mirna, "Serahkan padaku dan Markus. Biar kami yang nyelidiki

semua ini. Mungkin semua ini cuma kesalahpahaman, tapi bisa

jadi ada yang masuk ke rumah ini dan berusaha menakut-nakuti

kalian. Jadi untuk sementara, kalian berdua jangan tinggal di

kamar yang terpisah, ya!"

Aku dan Mbak Mirna hanya bisa mengangguk dengan muka

pucat.

Lima belas menit kemudian, Markus tiba di rumahku. Wajahnya

yang biasanya tenang kini tampak memerah penuh semangat.

"Coy, lo pasti nggak bisa nebak apa yang udah gue lakuin!"

katanya pada Tony. "Gue bikin kita berdua masuk sekolah hari

Sabtu!"

"Brengsek!" teriak Tony. "Lo bikin ulah apa sampe nyeretnyeret gue?" Dia terdiam. "Lo berhasil ngerayu petugas admin

biar kita boleh ngakses informasi murid?"

"Yo?i!" seru Markus bangga. "Dan berhubung besok guru-guru

pada libur, kita bisa party-party di dalam kantor admin!"

Tony menatap Markus dengan kagum. "You?re my man!"

"Nggak usah menjijikkan gitu deh." Markus mengernyit.

"Omong-omong, kenapa gue dipanggil ke sini?"147

Tony menyodorkan sebuah senter pada Markus. "Kita dapat

misi."

Dengan singkat Tony mengulangi ceritaku soal cap tangan di

cermin, disusul dengan penemuannya soal jalan tembus di kamar

mandi.

"Wah," kata Markus tercengang. "Rumah ini ternyata lebih

menarik daripada yang gue sangka!"

"Sama," kata Tony nyengir. "Berniat nyelidikin?"

"Gila! Gue udah nungguin ajakan itu sejak lo ngajak gue kabur pontang-panting dari rumah ini."

"Nggak usah inget-inget masa-masa culun itu lagi dong," gerutu Tony.

Seperti yang tadi dilakukan Tony, Markus menaiki pinggiran

bath tub.

"Apa yang lo pikirin?" tanya Tony sambil menatap sahabatnya

dengan penuh rasa ingin tahu.

"Anak kecil juga bisa manjat."

"Gue juga mikir begitu." Wajah Tony tampak puas. "Ayo, buruan naik ke atas!"

"Mmm, aku boleh ikut?"

Gerakan kedua cowok itu terhenti saat mendengar permintaanku.

"Tempatnya jorok banget, Jen," Tony memperingatkan.

"Nggak apa-apa," sahutku berkeras. "Lagi pula, ini kan rumahku. Aku harus tahu juga dong."

"Benar kata Jenny," kata Markus. "Lebih baik dia tahu jalan

rahasia ini. Siapa tahu berguna suatu saat nanti."

"Bener juga, ya," Tony manggut-manggut. "Oke, Jen. Mbak

Mirna, boleh pinjam tangga?"148

"Boleh, Den."

Kurasa, pada saat ini, seandainya Tony menginginkan semua

uang belanja bulan ini pun, Mbak Mirna pasti akan langsung

mengabulkannya. Habis, dari tatapan memuja yang ditujukan

Mbak Mirna kepada Tony, aku sudah tahu bahwa saat ini Tony

berhasil memenangkan hati pengurus rumahku yang galak itu.

Cowok yang satu ini memang keren banget.

Tak lama kemudian, aku sudah berada di ruangan di bawah

atap rumahku. Ruangan itu tidak terlalu tinggi?kepalaku nyaris

membentur langit-langit saat aku berusaha duduk, remang-remang

dengan sangat sedikit cahaya yang menyeruak masuk baik dari

atap maupun dari lantai, dan sangat pengap. Karena banyak tiang

menghalangi jalan kami, tempat itu terlihat sempit, tapi kuperkirakan sesungguhnya tempat ini seluas semua ruangan di lantai

dua rumahku dijadikan satu.

"Nggak terlalu kotor," kata Markus sambil menyorotkan senternya ke lantai. Ada satu jalur tempat yang debunya lebih tipis

ketimbang tempat-tempat lain. "Ada yang baru-baru ini lewat

sini."

Tony menoleh padaku. "Kamu ingat terakhir kali perbaikan

atap?"

Aku mengingat-ingat. "Tahun lalu, mungkin."

"Oke," angguk Tony. "Berarti ini bukan jejak si tukang atap.

Bisa jadi ini jejak hantu anak kecil yang kamu liat."

Aku merinding memikirkan kemungkinan itu.

"atau mungkin aja suster ngesot!" celetuk Tony.

"Coy, lo sebut-sebut suster ngesot sekali lagi, gue pulang nih!"

"Kemungkinan besar ya manusia biasa, tapi nggak kalah menyeramkan dibanding dua makhluk tadi."149

Aku dan Markus sama-sama terdiam.

"Sepertinya tebakan terakhir ini paling menakutkan, ya," gumam Markus.

"Yang mana pun akan kita selidiki hari ini!" Wajah Tony mengeras. "Ayo, man, kita ikuti jalur yang nggak terlalu kotor

itu."

Selama beberapa waktu kami merangkak tanpa banyak bicara.

Markus paling depan, disusul Tony dan aku. Sesekali kami bersin

saat debu mulai menggelitik hidung kami.

"Jadi ingat waktu Jenny Tompel bikin wabah bersin di kantin,"

kata Tony setelah bersin entah yang keberapa kalinya.

"Yeah," Markus menyahut dengan nada geli. "Cewek itu benarbenar lihai. Bisa bikin seluruh kantin jadi heboh hanya karena

sebotol merica bubuk."

Kami semua mulai tertawa-tawa teringat kejadian itu.

"Gimana kabar dia sekarang?" tanya Tony padaku.

"Belum ada kabar," sahutku. "Tapi yang terakhir kudengar, dia

baik-baik aja."

"Jenny Tompel emang tangguh," kata Markus. "Kalo kecelakaan itu benar-benar disengaja, aku kasihan sama pelakunya. Aku

yakin Jenny Tompel nggak akan lepasin orang itu begitu aja!

Wah, ada tingkap lagi."

Kami membuka tingkap itu dan mengintip ke bawah.

"Ini ruang kerja ayahku," kataku saat mengenali ruangan itu.

Saat menyusuri jalanan itu, kami menemukan tingkap-tingkap

lainnya. Tingkap menuju kamar tamu, tingkap menuju gudang,

dan tingkap menuju kamar Mbak Mirna di area belakang rumah.

"Siapa pun yang dapat akses ke jalan ini, pasti bisa berkeliaran150

di dalam rumahmu dengan gampang, Jen," kata Tony muram.

"Kalo udah begini, hantu masih kedengaran lebih oke daripada

orang mesum, perampok, apalagi pembunuh."

"Sebaiknya kita berpikir positif aja," kata Markus.

"Jadi, kita berharap pelakunya hantu?" tanya Tony.

"Bukan," kata Markus sambil menunjuk. "Kita berharap pelakunya tunawisma malang yang butuh tempat berteduh."

Kami melihat tempat yang ditunjuk Markus. Tempat itu dikelilingi oleh palang-palang, lebih lapang sedikit daripada tempattempat lain yang sudah kami jelajahi?dan langit-langitnya sedikit

lebih tinggi pula. Ada sebuah kasur gulung tipis yang biasa digunakan oleh orang-orang yang suka kemping. Di dekat kasur itu

terdapat beberapa kotak pembungkus makanan cepat saji dan

gelas-gelas dari bahan yang sama pula. Sebagian besar terbuka

dalam keadaan sudah kosong dan hanya berisi potongan daun

pisang.

"Tunawisma yang jorok," gerutu Tony sambil mengernyit. "Beberapa kotak ini sudah lama umurnya. Baunya amit-amit."

"Tumben, coy," kata Markus kalem. "Gue kira di dunia ini

yang paling jorok elo."

"Iya, gue sangka juga gitu." Wajah Tony berubah tegang saat

dia memeriksa kotak-kotak makanan itu. "Brengsek!" Dia menatap aku dan Markus bergantian. "Ini kotak makanan nasi liwet

sekolah kita!"

Tubuhku langsung terasa dingin saat mendengar kata-kata

Tony.

Markus memungut salah satu kotak makanan itu dengan muka

jijik. "Sial, lo benar juga. Yang ini masih ada sisanya, dan baunya... eugh!"151

Kami semua berpandangan, dan aku tahu cuma ada satu nama

yang terlintas dalam pikiran kami.

Johan.

"Masa sih?" gumam Markus. "Kalaupun ternyata benar-benar

dia, dari mana dia tahu jalan masuk ke rumah ini?"

Aku juga tidak tahu. Perasaanku tidak enak saat menyadari ada

kemungkinan Johan pernah tinggal di atas rumahku, begitu dekat

denganku, tapi aku tidak mengetahuinya. Lebih mengerikan lagi,

dia punya akses ke beberapa ruangan di rumahku, termasuk

kamar orangtuaku, dan itu memungkinkannya berkeliaran di

rumahku seenak jidatnya.

Dan, kalau itu benar-benar dia, berarti aku mandi tepat pada

saat dia sedang berada di kamar mandiku?

Ugh. Benar kata Tony. Aku mulai berharap pelakunya adalah

hantu.

"Hei, coba lihat ini."

Aku menoleh ke arah yang disorot Tony dengan senternya, dan

tubuhku langsung membeku.

Di pojok ruangan, nyaris tak terlihat, terdapat setumpuk benda

yang diletakkan secara sembarangan?senter, tali, pisau, sarung

tangan, dan yang paling mengerikan, sebuah boneka bayi yang

sudah compang-camping. Boneka itu bertengger di atas bendabenda itu, menatap kami dengan bola matanya yang biru dengan

raut wajah menantang, seolah-olah dialah pemilik semua bendabenda itu. Seolah-olah dialah yang menghabiskan semua makanan

itu. Seolah-olah dia hidup.

Tanpa merasa takut sedikit pun, Tony langsung memungut si

boneka bayi bertampang bete itu dan memperhatikannya dengan

puas.152

"Ini identitas sang pemilik telapak tangan yang misterius,"

katanya sambil menunjukkan telapak tangan si boneka yang datar,

seukuran dengan cap telapak tangan yang kulihat di cerminku.

"Bukan hantu, tapi boneka."

Aku mengangguk sambil menelan ludah.

"Dan boneka ini tidak hidup lho," goda Markus seolah-olah

bisa membaca pikiranku. "Kalau iya, dia nggak akan membutuhkan sarung tangan ini. Toh dia nggak punya sidik jari."

Benar juga sih kata-katanya. Pikiranku memang ngawur banget.

Tapi kenyataan itu tidak juga membuatku senang. Memikirkan

ada orang yang menghabiskan waktu di tempat ini untuk memata-matai dan menakut-nakutiku membuat perasaanku semakin

tak enak saja.

Kami mengamati sekeliling dengan saksama.

"Nah, sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanya Markus,

mengutarakan pikiran yang ada di dalam hati kami semua. "Nggak

ada jalan ke tempat lain lagi. Sepertinya kita sampai di jalan

buntu."

"Tunggu," kata Tony sambil menyinari palang-palang itu dengan senternya. "Lihat ini."

Mimpi buruk itu semakin nyata saat aku melihat jejak-jejak

sepatu pada palang-palang itu.

"Yeah, bukan anak kecil, boneka, apalagi suster ngesot," kata

Tony dengan rahang terkatup, dan aku mulai mengenalnya untuk

tahu bahwa dia sedang menahan kemarahannya. "Tapi orang dewasa. Cowok, kalo kusimpulkan dari ukuran sepatunya."

"Atau cewek berkaki raksasa," sahut Markus, masih berusaha

mencari kemungkinan lain.
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nggak mungkin," geram Tony. "Pasti pelakunya dia."153

"Kita pikirin itu nanti," kata Markus. "Sekarang, ayo kita panjat

palang ini."

Markus memanjat duluan, disusul olehku, dan Tony mengambil urutan paling belakang. Aku tahu, Tony sengaja berada di

bawahku untuk menjagaku. Kalau aku jatuh atau sebagainya, dia

pasti bisa menolongku.

Ternyata palang itu berujung pada sebuah tingkap lagi. Tingkap itu berupa sebuah jendela yang kacanya dicat sewarna dengan

atap kami?kuduga sebagai kamuflase supaya tak ada yang tahu

soal jendela itu?dan tidak dikunci. Saat kami membuka tingkap

itu, sinar matahari nyaris membutakan mata kami, namun hidung

kami yang sedari tadi menghirup udara sumpek dan bau, kini

serasa mendapat hibahan udara surga yang manis dan segar.

Setelah membiasakan mata kami dengan sinar matahari, aku

melihat sesuatu yang aneh pada Tony dan Markus. Ya ampun,

muka kedua cowok itu dipenuhi cemong berwarna hitam! Dan,

itu bukan terbatas pada wajah mereka saja, melainkan juga tubuh

dan pakaian mereka yang malang.

"Hei, Jenny jadi jorok juga!" kata Tony sambil nyengir padaku.

Oke, untunglah aku tidak menertawai mereka. Ternyata aku

juga berpenampilan seperti mereka.

Jari Tony mengusap pipiku, membuat wajahku langsung menjadi panas.

"Wah, sori," ucapnya santai. "Kamu jadi tambah jorok, Jen."

"Yeah, dari tadi lo nularin kejorokan lo ke Jenny," gerutu Markus.

"Benar-benar cowok nggak berbudi!" Dia menoleh ke kiri kami.

"Wah, rumah lo nggak kelihatan dari sini, coy."

Aku tersadar dan memperhatikan posisi kami saat ini, yang154

rupanya sedang berada di belakang rumahku. Tepatnya, di dekat

perbatasan antara rumahku dengan rumah di belakang rumahku

dan rumah di sebelah kiri rumahku serta rumah di belakangnya.

"Nah, sekarang kita pilih arah yang mana?" tanya Markus.

"Gimana kalo kita berpencar?" usul Tony. "Kita periksa setiap

rumah. Tapi, Jen, berhubung ini bahaya, biar aku dan Markus

yang melakukannya, ya?"

Kali ini aku tidak membantahnya. "Oke."

Aku duduk di atas atap rumahku sembari menunggu kembalinya Tony dan Markus. Tanpa aku, kedua cowok itu bergerak

dengan sangat lincah, seolah-olah mereka sudah terbiasa main di

atas atap. Padahal, ini bukan sesuatu yang gampang. Aku menoleh ke arah jalanan, dan menyadari betapa tinggi posisiku.

Seandainya aku berjalan di pinggiran atap lalu terpeleset, kujamin

aku bakalan langsung bergabung dengan wanita bergaun putih

dan putrinya yang berambut panjang untuk menghantui rumah

ini.

"Di sini!" seru Markus sambil melambai dari atas atap rumah

di samping rumah di belakangku.

Tony langsung kembali dari rumah yang sedang diselidikinya

dan berjalan ke arahku.

"Ayo, Jen, kamu pasti nggak mau ketinggalan, kan?"

Cowok ini memang sangat pengertian.

"Iya dong."

Sambil memegangi lenganku, kami menyeberang ke atap tempat Markus memeriksa.

"Dia turun lewat sini," kata Markus sambil menunjuk ke

tangki air yang diperlengkapi dengan tangga. "Dan, yang lebih155

ideal adalah, rumah ini rupanya rumah tinggal merangkap tempat

praktik dokter yang cukup ramai, jadi nggak mengherankan kalau

ada orang asing yang keluar-masuk."

Setelah berhasil mengatasi perasaan gamang karena berdiri di

tepi atap, aku mulai melihat apa yang dimaksud Markus. Rumah

praktik dokter itu memang ramai sekali. Selain pasien-pasien yang

keluar-masuk?yang jumlahnya cukup banyak?juga ada banyak

pedagang asongan yang mangkal di depan rumah. Jelas, tak ada

yang akan memperhatikan kalau ada seseorang yang masuk dan

tidak keluar-keluar lagi?atau seseorang yang keluar tanpa pernah

terlihat masuk sebelumnya.

"Oke," Tony mengangguk puas. "Sekarang kita udah tahu gimana cara si brengsek itu keluar-masuk rumahmu. Sekarang kita

tinggal nangkap dia!" Tony memandang kami berdua. "Sekarang

kita kembali ke rumah Jenny dulu, baru nyusun rencana berikutnya."

Perjalanan pulang tidak memakan waktu terlalu banyak, karena

kami tidak menjelajah ke sana kemari lagi. Beberapa saat kemudian, kami sudah menuruni tangga di kamar mandi orangtuaku.

"Wah, ternyata tampang gue berubah banget, coy," kata Markus

sambil becermin. "Rasanya gue jadi sama jeleknya kayak elo."

"Jadi maksud lo, gue nggak beda jauh sama biasanya?" tanya

Tony tersinggung.

"Yah, lo kan dekil sejak lahir, sementara gue nge-cring senantiasa."

"Awas lo berani ngatain gue! Nanti nggak gue kasih nebeng

mandi di rumah gue lagi!"

"Wah, jahat bener," Markus menoleh padaku. "Kamu udah

denger masalahku, Jen. Jadi, aku boleh nebeng mandi di sini?"156

"Boleh," sahutku. "Tapi aku nggak punya baju ganti seukuran

kamu nih. Mungkin kamu harus pakai baju bokapku."

Markus terdiam lama, lalu menoleh lagi pada Tony. "Coy,

jangan jahat lah sama gue. Masa lo tega liat gue pakai baju bokapnya Jenny?"

"Non." Mbak Mirna mendatangi kami. Wajahnya yang berseriseri tampak heran melihat penampilan kami yang kacau, tapi dia

tidak berkomentar lantaran ada hal yang lebih mendesak. "Ada

tamu buat Non."

Aku terheran-heran. Sejak kapan aku punya tamu?

Saking herannya, aku tidak memikirkan penampilanku lagi dan

langsung turun ke lantai bawah. Tony dan Markus mengikuti di

belakangku sembari mencela penampilan satu sama lain. Kata-kata

mereka lenyap saat melihat siapa tamu yang sedang menungguku

di ruang duduk.

"Halo, Jen," ucap Hanny.157

Serius, tadinya aku ketakutan setengah mati. Tapi sekarang

ketakutanku sudah lenyap, berganti dengan rasa ingin ketawa

terbahak-bahak. Habis, pemandangan di depanku benar-benar

lucu. Tony, Markus, dan Jenny?sahabatku yang manis dan selalu

rapi?tampak seperti tiga anak kecil yang baru saja main perangperangan, mencoreng muka mereka dengan lumpur atau semacamnya, dan sudah mengarungi medan penuh marabahaya?

terlihat dari baju mereka yang jorok dan rambut mereka yang

ditempeli sarang laba-laba.

Semua kata yang tadinya sudah kususun dengan rapi lenyap

dari otakku, dan aku langsung menyeletuk keras, "Gila, kalian

mau ikut Kontes Orang-Orang Terjorok di Dunia, ya?"

Tony?yang sudah terbiasa dikatai jorok?cuma cengar-cengir,

tetapi Jenny dan Markus yang biasanya layak tampil dalam iklan

detergen, tampak malu sekali. Bahkan, meski tertutup corengan

debu yang tebal, aku bisa melihat rona merah menghiasi wajah

mereka.

"Mmm... sebenarnya sih...," Jenny berkata ragu-ragu.

14

Hanny158

Tapi, Tony menyelanya dan berkata tajam padaku, "Kamu datang ke sini untuk apa, Han?"

Oh ya, kalau aku tidak menjelaskan tujuanku datang kemari,

bisa-bisa aku disangka datang untuk mencari ribut. Tapi masa

sih aku harus membicarakan semua itu di depan Tony dan

Markus? Gawatnya, sikap Tony dan Markus tampak protektif

sekali terhadap Jenny, sehingga aku tak mungkin menyuruh mereka menyingkir tanpa menjelaskan niatku.

"Jangan khawatir." Suaraku mendadak terdengar kaku, karena

ini pertama kalinya ada cowok-cowok yang sepertinya tidak terpengaruh oleh pesonaku. "Aku bukan datang untuk cari masalah

kok. Tapi...," Pandanganku beralih pada Jenny, "ada hal-hal

yang ingin gue tanyain ke elo, Jen, dan apa pun jawaban lo, gue

akan percaya."

Jenny mengangguk ragu-ragu.

"Mmm, sebelum kita pergi bareng Tony dan Markus, elo

udah tahu bahwa Tony lebih suka sama elo ketimbang gue?"

Jenny menggeleng pelan namun tegas. "Belum."

Oke, perasaanku mulai kacau, tapi aku harus menegaskan satu

hal lagi. "Dan, sebelum hari itu, lo udah tahu soal taruhan yang

dilakukan Tony ke gue?"

Jenny menggeleng juga. "Gue baru tahu setelah lo ngasih tahu

gue, Han."

Sekarang aku tidak bisa menahan perasaanku lagi. Langsung

saja aku menghambur pada Jenny.

"Sori," isakku. "Sori gue lebih percaya sama Johan ketimbang elo. Sori, Jen!"

Tubuh Jenny menegang, lalu kudengar suaranya yang terisak

juga. "Nggak apa-apa, Han. Tapi, lo yang bener aja, peluk-peluk159

gue gini. Apa lo lupa gue barusan menang Kontes Orang-Orang

Terjorok di Dunia?"

Aku tertawa di sela-sela tangisku. "Lo emang ikut kontes itu,

Jen, tapi elo nggak menang. Yang menang si Tony."

Tony sama sekali tidak membantah kata-kataku.

Setelah puas menangisi kebodohanku, aku melepaskan Jenny

dari pelukanku dan bertanya padanya, "Jadi, sekarang gue ikutan

jorok nggak?"

Jenny mengamatiku sejenak dengan matanya yang masih basah.

"Nggak, elo oke-oke aja."

"Baguslah kalo gitu," anggukku lega.

"Sori, Han," sela Tony, "apa maksudmu waktu kamu bilang,

kamu lebih percaya Johan daripada Jenny?"

"Oh, itu."

Sambil menahan malu, aku menceritakan apa yang terjadi

setelah Tony memutuskan hubungan denganku, bagaimana Johan

menghampiriku dan menceritakan soal taruhan itu, ditambah

dengan hal-hal buruk mengenai Jenny.

"Johan benar-benar keterlaluan," bisik Jenny setelah aku menceritakan semua itu. "Kenapa dia bisa ngomong gitu? Gue nggak

pernah ngelakuin hal-hal seperti itu kok."

"Sekarang gue tahu," kataku sambil memegang tangan Jenny

erat-erat. "Sori, gue percaya sama dia waktu itu."

"Yah, waktu itu lo kan sedang kacau," kata Jenny penuh pengertian, seperti biasa. "Mungkin lo cuma butuh pelampiasan."

"Tapi ini menjelaskan satu hal," kata Tony mendadak. "Motif."

"Motif?" Aku dan Jenny menoleh padanya.

"Semua kejahatan pasti ada motifnya," kata Tony sok berfilo-160

sofi. "Dan motif Johan adalah karena dia terobsesi banget sama

kamu, Han!"

"Tony betul." Markus mengangguk. "Terus terang, Han, setelah

kamu nggak temenan lagi sama Jenny, gosip menyebar bahwa

kamu udah jadian sama Johan. Waktu Jenny bilang kamu nggak

mungkin jadian sama Johan, iseng-iseng aku menelusuri asal gosip

itu. Ternyata yang menyebarkan gosip itu adalah Jenny Tompel.

Tebak, dia dengar dari siapa?"

"Johan," bisikku.

Markus mengangguk.

Jadi, itu sebabnya mendadak saja tidak ada yang mengajakku

pacaran lagi. Gara-gara Johan mengumumkan kami sudah pacaran.

Bajingan keparat.

"Nggak kusangka dia berbuat sampai sejauh itu," geramku.

"Kurasa cowok itu emang udah gila."

"Kenapa kamu bilang begitu, Han?" tanya Markus ingin tahu.

Aku segera mencerocoskan berbagai kejadian aneh yang kualami belakangan ini di rumah Johan. Ketiga pendengarku tampak tercengang mendengarnya.

"Wah, muncul lagi satu rumah yang harus kita selidiki," kata

Tony sambil merenungi ceritaku.

"Kalian mau menyelidiki rumah Johan?" tanyaku cemas. "Jangan! Gimana kalo dia benar-benar membunuh keluarganya?

Keluarga sendiri aja dibunuh, apalagi kalian? Mana tempat itu

benar-benar terpencil, benar-benar tempat pembunuhan yang sempurna banget!"
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kami harus melakukannya, Han," kata Tony keras kepala.

"Kalo nggak, Jenny nggak akan aman."161

"Apa maksudmu, Jenny nggak akan aman?" tanyaku tak mengerti.

Kini giliranku yang terperangah mendengar cerita Tony tentang

cap tangan yang ditemukan Jenny, yang kemudian menuntun

mereka pada penemuan jalan rahasia di atas rumah Jenny.

"Jadi," bisikku sambil menatap Jenny dengan ngeri, "...waktu

gue ganti baju di kamar mandi elo..."

Jenny mengangguk suram. "Bisa jadi dia sedang ngintip dari

atas, Han."

Aduh, ini benar-benar mengerikan!

"Tapi, kenapa dia bisa ngintip di saat yang tepat begitu?"

tanyaku tidak mengerti.

"Dia duduk di belakang kita, Han," kata Jenny. "Dia pasti bisa

dengar rencana kita untuk datang ke rumahku dan nyoba-nyoba

pakaian."

Benar juga kata Jenny. Tiba-tiba, sebuah kemungkinan terlintas

dalam pikiranku.

"Kalo dia terobsesi sama aku," kataku, mengutarakan kecurigaanku, "apakah kecelakaan yang dialami Jenny Bajaj dan Jenny

Tompel juga perbuatan Johan?"

Semua tampak kaget mendengar ucapanku.

"Kenapa elo mikir gitu, Han?" tanya Jenny ingin tahu.

"Soalnya gini," aku diam sejenak. "Kedua peristiwa itu

terjadi setelah gue berselisih dengan mereka berdua. Sejujurnya,

tadinya gue juga udah sempet mikir, jangan-jangan itu emang

salah gue, karena gue ngutuk kalian."

Tony tertawa kecil, namun langsung bungkam saat kupelototi.

"Tapi, sekarang ini gue mulai curiga semua itu perbuatan

Johan. Pertama-tama, gue pernah cerita ke dia tentang sopir162

Jenny Bajaj yang serampangan banget. Lalu, waktu kecelakaan

Jenny Bajaj terjadi, dia sepertinya nggak kaget. Malah dia bilang,

cepat atau lambat, Jenny Bajaj pasti akan terbunuh."

Aku menoleh pada Jenny. "Elo inget kejadian hari itu? Kita main

voli" Dari muka Jenny yang cengar-cengir, aku yakin dia sedang

mengingat bagaimana aku men-smash-nya berkali-kali. "...sementara

anak-anak cowok main basket indoor."

"Pak Mochtar main bareng kita!" kata Jenny menyadari maksud kata-kataku. "Anak-anak cowok nggak diawasi. Johan bebas

untuk ngelakuin apa aja, termasuk motong tali rem!"

"Emangnya si Johan secerdas itu?" tanya Markus ingin tahu.

"Entahlah." Aku menggeleng. "Secara akademis, dia nggak

buruk, tapi dia juga bukan bintang kelas. Tapi kurasa kalo dia

mau, dia pasti bisa belajar soal mesin dan tali rem dari buku atau

kenalan di bengkel, kan?"

Tony manggut-manggut. "Masuk akal juga. Gimana waktu

kecelakaan Jenny Tompel?"

"Waktu itu aku satu kelompok sama dia," kataku berusaha mengingat-ingat. "Sesaat sebelum kecelakaan itu terjadi, mendadak mati

lampu. Pada saat mati lampu, aku nggak tahu dia ada di mana."

"Seharusnya sih tahu," sela Jenny. "Soalnya, gue inget waktu

itu Jenny Bajaj deket banget sama gue, sampe-sampe gue bisa

denger upilnya gerak-gerak."

Tony dan Markus menatap Jenny dengan geli, sementara Jenny

langsung tersipu-sipu, menyadari bahwa orang yang mendengarkan

ucapannya bukan hanya aku.

"Iya, seharusnya gue tahu," sahutku menanggapi ucapan Jenny.

"Biasanya dia juga hobi deket-deket, tapi waktu itu dia sama

sekali nggak ada!"163

"Kalo waktu itu emang gelap banget, sampe-sampe cuma upil

Jenny Bajaj yang diinget Jenny," Tony cengar-cengir sementara

wajah Jenny makin merah saja, "gimana caranya Johan ngeliat

dalam kegelapan gitu?"

"Entahlah." Aku menggeleng. "Mungkin kacamatanya kacamata super."

"Iya, kacamatanya jelek banget!" Markus menggeleng-geleng.

"Jadi merasa malu sebagai sesama pemakai kacamata."

"Makanya, nggak mau belajar pake lensa kontak sih," cela

Tony, dan Markus langsung tampak jengkel sekali. "Tapi dari

cerita ini bisa disimpulkan, Johan emang punya kesempatan

untuk jadi pelaku dua kecelakaan ini, ya."

"Kalo emang dia yang ngelakuin, itu berarti dia benar-benar

jahat," kataku pelan, teringat sosok Jenny Bajaj dan Jenny

Tompel yang berlumuran darah setelah kecelakaan. "Abis, kecelakaan yang dialami Jenny Bajaj dan Jenny Tompel itu kan

benar-benar parah dan kemungkinan besar bisa merenggut nyawa

mereka. Seandainya Johan emang pelakunya, ini berarti dia udah

memperkirakan perbuatannya bisa menyebabkan Jenny Bajaj dan

Jenny Tompel terbunuh!"

Semua terdiam mendengar ucapanku. Rasanya menyeramkan

sekali, ada seseorang di sekitar kami?dan untuk kasusku dan

Jenny, teman sekelas kami?yang tega mempermainkan nyawa

manusia seperti itu. Jenny malah langsung memandangi langitlangit rumahnya dengan cemas, seolah-olah takut menemukan

seseorang sedang mengintai pembicaraan kami.

"Jangan khawatir, Jen," ucap Tony yang juga memperhatikan

sikap Jenny. "Dia nggak mungkin ngintai kita saat ini. Pertama,

Hanny baru aja dari rumahnya, dan dia ada di situ. Nggak164

mungkin dia mau bolak-balik ke sini, kecuali kalo dia tahu pasti

Hanny bakalan kemari."

Tony menoleh padaku dan aku menggeleng. "Mungkin dia

menduga aku ke sini, tapi dia nggak bakalan tahu pasti."

"Itu taruhan yang sangat besar, mengingat rumahnya jauh

banget dari sini," kata Tony. "Di sisi lain, kita barusan dari atas

dan nggak ada siapa-siapa. Jadi, bisa dibilang, untuk saat ini aja

kita aman."

Untuk saat ini saja?

Aku meremas tangan Jenny. "Kamu mau nginap di rumahku

aja, Jen?"

"Mau sih," kata Jenny dengan muka tak berdaya, "tapi

sampai kapan aku harus lari dari rumahku sendiri, Han?"

"Ada dua jalan keluar," kata Tony. "Pertama, kita kunci jendela

tingkap yang paling atas itu. Kalo itu udah terkunci, dia nggak

akan bisa masuk lagi. Seandainya dia langsung nyerah, oke,

masalah kita beres. Tapi, gimana kalo dia nggak nyerah dan nyari

jalan lain?"

"Dan, mendengar kegilaannya dari ceritamu tadi, Han, kurasa dia

bukan orang yang mau menyerah begitu aja," kata Markus.

"Setuju." Tony mengangguk. "Nah, jalan keluar kedua, kita

jebak dia." Dia menoleh pada Jenny, dan tatapannya langsung

melembut. "Kamu nggak perlu ngubah cara hidupmu, Jen. Jalani

aja seperti biasa. Biar aku dan Markus yang nangkap dia."

"Gimana cara kalian ngejebaknya?" tanyaku tak mengerti.

Tony menoleh pada Markus sambil nyengir. "Are you thinking

what I?m thinking?"

Markus membeku sejenak, lalu menatap Tony dengan tatapan

ngeri. "Nggak. Nggak. Sori, coy. Kita emang udah janji buat165

sehidup-semati, di saat suka maupun duka, tapi gue nggak sudi

diseret ke dalam petualangan nggak keren gini."

"Oh, gitu?" Tony mengangkat alisnya. "Jadi, lo mau gue

tinggal?"

Markus langsung mengerang keras saat mendengar ucapan

Tony. "Sial. Gue nggak mau ditinggal, coy, tapi"

Aku dan Jenny mendengarkan percakapan itu dengan bingung.

"Emangnya kalian mau ngapain sih?" tanya Jenny.

"Kemping," sahut Tony sambil nyengir. "Kira-kira Mbak Mirna

ngasih izin nggak, Jen, kalo kami kemping di atas rumahmu?"

***

Berhubung Pak Parmo sudah kupulangkan saat aku tiba di rumah

Jenny, Markus menawarkan diri untuk mengantarku pulang.

Cowok yang cinta kebersihan itu sempat mandi di rumah Tony

dulu, berganti pakaian bersih, lalu kini mengantarku pulang

sembari kembali ke rumahnya untuk mengambil beberapa pakaian

yang dibutuhkannya untuk menginap.

"Hari ini sebenarnya cukup oke," kata Markus saat mobilnya

sudah meluncur di jalan raya. "Aku seneng banget kamu dan

Jenny udah baikan, Han."

"Aku juga," sahutku, lagi-lagi malu pada kebodohanku yang

sempat membuat persahabatan kami retak.

"Jenny itu cewek baik," kata Markus sambil menyetir. "Aku

bicara begini bukan karena pengamatan sehari dua hari, Han.

Kamu tahu, aku dan Tony udah bersahabat sejak kecil. Saat Jenny

pindah ke rumah itu, kami mulai sering ngamatin dia."166

Markus diam sejenak, lalu melanjutkan, "Jenny anak yang

kesepian. Orangtuanya sering pergi ke luar negeri, tapi dia nggak

pernah ngeluh. Anak-anak lain pasti udah berulah macam-macam

untuk narik perhatian orangtua mereka, tapi Jenny tetap berusaha

jadi anak yang baik. Dia nggak pernah nuntut lebih dari orangtuanya."

Aku menyimak kata-kata Markus dengan penuh perhatian.

"Tapi, karena nggak ada pengarahan dan bimbingan dari orangtuanya, Jenny jadi sulit bergaul. Dia nggak pernah ngadain pesta

ulang tahun. Saat anak-anak lain ulang tahun, dia nggak tahu

harus ngasih kado apa. Saat liburan, Jenny nggak pernah ikut

jalan-jalan bareng teman-temannya. Jadilah dia nggak pernah

dekat dengan siapa pun. Sampai kamu datang."

Markus melirikku sambil tersenyum. "Kedatangan kamu

ngubah semuanya, Han. Jenny jadi lebih bahagia, lebih lincah,

lebih sering pergi jalan-jalan. Dan aku sungguh-sungguh bersyukur karena semua itu."

"Tapi?" Aku menyadari ada kata "tapi" pada akhir kalimat

Markus.

Markus mengangguk. "Tapi reputasi kamu sangat buruk, Han.

Mungkin buat kamu, pacaran berkali-kali itu sesuatu yang wajar,

karena kamu populer dan banyak cowok yang suka sama kamu. Tapi

bagi cowok-cowok itu, kamu seperti iblis dari neraka yang siap

memangsa hati mereka dan memecahkannya sampai berkepingkeping, tanpa peduli gimana nasib mereka sesudah itu."

Perasaan bersalah mulai merayap di hatiku. Yah, aku memang

tidak pernah memedulikan perasaan cowok-cowok yang kuputuskan. Begitu sadar bahwa cowok-cowok itu tidak cocok untukku,

aku langsung menganggap mereka sebagai masalah yang perlu167

dienyahkan secepat mungkin supaya aku bisa melanjutkan hidupku.

"Banyak yang nggak suka dengan sifat kamu yang seperti itu,

Han," kata Markus lembut. "Salah satunya Tony. Kamu nggak

bisa nyalahin dia karena nyanggupin taruhan itu. Dia kira, dia

ngelakuin sesuatu yang baik dengan ngasih kamu pelajaran.

Sedangkan taruhan itu hanyalah bumbu supaya semuanya semakin nyenengin. Tapi kenyataannya, Tony ngelakuin itu karena

dia ingin ngasih pelajaran pada cewek brengsek yang udah

matahin hati teman-temannya."

Oke, aku sakit hati juga dikatai sebagai cewek brengsek.

"Tapi, lalu kita pergi bareng. Di situlah aku dan Tony sadar

kalo ternyata kamu benar-benar baik pada Jenny. Sebenarnya,

kamu sedikit bossy sih terhadap Jenny." Markus tertawa kecil.

"Tapi, kelembutan Jenny emang terkadang bikin orang-orang jadi

ngelunjak. Sikap kamu pada Jenny jauh lebih baik dibanding

terhadap cewek-cewek lain." Markus menambahkan dengan geli,

"Seperti terhadap Jenny Tompel atau Jenny Bajaj, misalnya."

Yeah, aku juga benci sekali melihat cara Jenny Tompel memperlakukan Jenny, seolah-olah Jenny cewek yang tidak pantas

berteman dengannya, atau Jenny Bajaj yang terus mencerocos

tanpa memedulikan perasaan dan pendapat Jenny. Mereka tidak

tahu betapa berharganya Jenny.
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebenarnya, waktu pulang dari acara kita waktu itu, Tony

bilang sama aku kalo dia bakalan mundur dari taruhan itu. Dia

bilang, dia nggak berniat lagi nerusin taruhan itu, karena kamu

bukan cewek brengsek yang perlu diberi pelajaran. Sebagai gantinya, dia mau ngajak Jenny pacaran."

Aku terperangah mendengar cerita Markus.168

"Belakangan Tony cerita bahwa Jenny nolak dia, malah minta

dia untuk kasih kamu kesempatan, karena kamu suka sekali pada

Tony. Jadi, itulah sebabnya belakangan Tony ngajakin kamu

pacaran juga."

Dasar cowok brengsek. Ternyata dia mau pacaran denganku

karena diminta Jenny? Hatiku sakit sekali mendengarnya, namun

aku juga menyadari sesuatu.

Tony sangat mencintai Jenny.

"Mungkin waktu itu dia lagi error juga karena ditolak Jenny.

Katanya, biar nggak rugi, dia mau juga ngelakuin hal-hal yang

diminta waktu mereka taruhan."

"Seperti nyium pipiku di kantin?" selaku.

"Yeah," Markus mengangguk. "Tapi, lalu kami duduk berseberangan dengan kalian berdua di kantin. Dan Tony ngerasa

dia nggak mungkin bisa pura-pura pacaran sama kamu, padahal

dia udah suka sekali sama Jenny sejak kecil. Jadi, dia mutusin

kamu saat itu juga."

Jadi, begitulah ceritanya. Ternyata benar. Jenny sama sekali tidak bersalah. Seharusnya aku menumpahkan kekesalanku pada

Tony, bukan Jenny.

"Kenapa kamu ceritain semua ini ke aku?" tanyaku sambil menahan emosi yang berkecamuk di dalam hatiku.

"Karena kamu berhak tahu yang sebenarnya," kata Markus

lembut, "dan karena Jenny nggak pantas diperlakukan seperti

itu."

Aku menatap Markus lekat-lekat. "Kamu juga suka sama Jenny?"

Markus tersenyum. "Kamu tahu dari mana?"

"Dari ucapan kamu."

Markus tertawa. "Aku emang sayang sekali sama Jenny. Nggak169

mungkin aku nggak sayang sama dia, setelah merhatiin dia selama

bertahun-tahun. Tapi"

"Tapi?" tanyaku ingin tahu.

Mata Markus bersinar-sinar saat melirikku.

"Bisa nyimpan rahasia?"170

Seandainya saja aku bisa bilang pada kalian bahwa malam

itu kami berhasil membekuk Johan atau siapa pun yang hobi

mangkal di atas atapku.

Kenyataannya, meski Tony dan Markus sudah berjaga-jaga,

malam itu tak ada sesuatu pun yang terjadi. Akibatnya, dua cowok itu tampak uring-uringan pagi ini. Keduanya menikmati

sarapan yang dihidangkan Mbak Mirna tanpa bicara.

"Sori, coy," kata Markus mendadak. "Bukannya gue kepingin

menghina rencana lo kali ini, tapi," dia diam sejenak, "...rencana

lo kali ini emang bego banget."

"Gue tahu," kata Tony lemas. "Gue juga nggak tahan kalo

disuruh nginep di atas semalam lagi."

"Baunya itu lho!"

"Belum lagi kecoak-kecoak yang tahu-tahu nyelinap di baju

kita."

"Masa ada kecoak?" tanya Markus kaget.

"Lha, waktu tadi malam kan gue udah bilang," cetus Tony.

"Waktu lo nuduh gue kitik-kitik elo, terus gue bilang bukan gue,

tapi kecoak!"

15

Jenny171

Wajah Markus berubah pucat. "Gue kira lo cuma nuduh kecoak."

"Nggak, memang dia pelakunya."

"Gila," Markus menjedukkan kepalanya ke atas meja. "Gue

nangis dulu, ya."

"Iya, kalo udah selesai bilang-bilang," kata Tony suntuk. "Habis

itu giliran gue, soalnya."

"Sori," ucapku penuh rasa bersalah. "Aku yang bikin kalian

dikitik-kitik kecoak."

"Bukan salah kamu, Jen," kata Markus pada meja. "Tapi rencana ini emang tolol banget."

"Iya, rencana gue tolol," kata Tony jengkel. "Kita ganti plan B

deh."

"Apa itu plan B?" tanya Markus, sementara aku juga menatap

dengan penuh rasa ingin tahu.

"Makan terus sampai dapat rencana yang lebih oke!"

Wajah Markus menjadi jengkel. "Itu sih rencana yang lebih

idiot lagi."

"Kayak lo punya rencana yang lebih bagus aja."

"Nggak ada."

"Yah, kalo gitu, mari kita makan...!"

"Mmm," aku menyela, "kalian hari ini jadi ke sekolah?"

"Buat apa?" Tony menepuk jidatnya seolah-olah baru saja mendapat pencerahan. "Oh, iya. Kita kan masih harus satronin kantor

admin sekolah. Siapa tahu kita dapat something dari situ."

"Betul, betul," kata Markus penuh semangat. "Siapa tahu kita

ketemu cara supaya nggak perlu nginep di atas lagi malam ini.

Ayo, Jen, kita cabut sekarang."172

"Kita ajak Hanny juga?" tanyaku.

"Nggak," geleng Markus. "Kamu tahu sifat petugas administrasi

sekolah kita. Dia paling sebel sama cewek-cewek populer seperti

Hanny. Jadi, daripada mancing masalah yang nggak perlu, kita

berangkat bertiga aja."

Itulah sebabnya, tahu-tahu aku sudah berada di kantor administrasi sekolah.

Berhubung tidak memegang jabatan apa pun di sekolah, aku

jarang mengunjungi kantor administrasi sekolah. Padahal kantor

ini adalah pusat informasi murid-murid. Mulai dari formulir pendaftaran sekolah, daftar absensi, rapor semester, hingga foto-foto

untuk kartu pelajar murid yang biasanya culun-culun, semuanya

disimpan di kantor ini. Bahkan, konon, rapor kami yang keramat

banget itu juga disimpan di salah satu laci yang ada di tempat

ini. Kalau kantor ini sampai kebakaran, tak pelak lagi, seluruh

murid SMA Persada Internasional pasti tak punya masa depan

lagi.

Penjaga kantor mahapenting ini adalah Bu Netty yang terkenal

bermulut tajam dan sangat kaku dalam menerapkan peraturan.

Nilai-nilai yang dianutnya dengan tegas menjadikannya sebagai

musuh bebuyutan anak-anak yang tidak memenuhi tenggat waktu

dalam menyerahkan formulir, foto, atau apa saja yang dibutuhkan

kantor administrasi sekolah. Namun, ketegasannya itulah yang

membuatnya sanggup menjalankan kantor administrasi dengan

sangat efisien. Hingga kini, belum ada tanda-tanda Bu Netty

bakalan dilungsur, meski sudah banyak keluhan mengenai sikap

judes Bu Netty yang tidak hanya memakan korban anak-anak,

melainkan juga orangtua murid.

Dan, Bu Netty inilah yang kini tertawa-tawa dengan muka173

genit pada Markus, yang terus-menerus memuji kecantikan Bu

Netty dan betapa pantasnya perempuan itu mengenakan kemeja

warna biru yang sesuai dengan rambutnya (yang omong-omong,

sudah mulai ubanan).

"Kalian ini," tegur Bu Netty dengan nada geli dan bersahabat

yang kuduga jarang ditampakkannya pada orang lain, "ngapain

mencari-cari informasi tentang teman sendiri? Memangnya kalian

lagi berlagak jadi detektif?"

"Masalahnya, Bu," kata Markus dengan muka muram, seolaholah masalahnya sangat berat dan bisa membahayakan umat manusia kalau tidak diselesaikan secepat mungkin, "Johan itu kan

orangnya misterius banget. Kalau ditanya suka nggak mau jawab."

"Johan, ya?" kata Bu Netty dengan mata menerawang. "Yah,

Ibu juga ingat dengan anak itu. Dia satu-satunya anak di sini

yang mendaftar sendirian tanpa didampingi orangtua." Kami

langsung menyimak dengan saksama. "Bahkan, pembayaran uang

pangkal pun dia lakukan sendirian. Waktu itu Ibu sempat bertanya-tanya kenapa ada orangtua yang begitu tega menyuruh anak

sekecil itu melakukan semuanya sendirian. Tapi, kita memang

nggak bisa menghakimi orang lain. Melihat pekerjaan ayahnya di

bidang ekspor-impor, pastilah ayahnya sering pergi ke luar

negeri."

"Bagaimana dengan ibunya?" tanya Tony ingin tahu.

"Ah," Bu Netty mendecak dengan prihatin. "Ibunya sudah

meninggal dunia waktu anak itu masih kecil. Sejak itu dia tinggal

dengan ayahnya berdua saja."

"Berdua aja?" tanya Markus sambil lalu. "Dia anak tunggal?"

"Bukan," Bu Netty menghela napas. "Anak itu memang ka-174

sihan sekali. Tadinya dia punya seorang adik perempuan, tapi

adiknya itu kecelakaan dan meninggal dunia juga."

Lho, cerita ini kok terdengar familier?

"Aduh, Johan malang banget," kata Tony tanpa perasaan.

"Kami boleh mengakses file-file-nya sekarang, Bu?"

Bu Netty menatap Tony dengan muka curiga, tapi lalu Tony

membalas tatapannya dengan wajah memelas, "Please."

Kurasa tak ada cewek di dunia ini yang sanggup menolak

muka memelas itu.

"Baiklah," kata Bu Netty dengan muka terpaksa. "Tapi nanti

kembalikan semuanya di tempatnya, ya? Dan jangan mengacakacak file orang lain."

Kami bertukar pandang dan nyaris bersorak karena keberhasilan kecil itu, tapi buru-buru kami menahan diri dan menyahut dengan suara patuh, "Baik, Bu."

Tak lama kemudian, kami sudah asyik membongkar file-file

Johan, termasuk juga fotokopi rapor yang digunakannya waktu

SD dan SMP.

"Ternyata emang benar," kata Tony saat membaca salah satu

rapor itu. "Dia yang menghuni rumahmu sebelum kalian menempati rumah itu, Jen!"

Tubuhku membeku mendengar ucapan Tony. "Maksudmu, si

wanita bergaun putih dan anak perempuannya..."

"Adalah ibu dan adik Johan." Tony mengangguk muram.

"Pantas aja aku merasa dj vu saat ngeliat muka Johan. Tapi,

sewaktu kecil, dia emang nggak terlalu sering keluar rumah,

nggak seperti adiknya yang ceria. Mana itu udah kejadian bertahun-tahun lalu. Jadi nggak heran juga kalo aku nggak bisa

ngenalin dia."175

"Ini ngejelasin kenapa dia tahu jalan rahasia di rumah Jenny,"

kata Markus. "Karena dia pernah tinggal di sana dan mungkin

juga udah sering berkeliaran di jalan-jalan rahasia itu sejak kecil."

Markus mengeluarkan ponselnya dan berkata, "Sori, aku telepon

pamanku dulu ya, Jen."

Aku menatap Markus yang pergi ke luar ruangan untuk mendapatkan sinyal yang lebih bagus. "Kok tahu-tahu Markus telepon

pamannya?"

"Oh ya, kamu belum tahu," seringai Tony. "Paman Markus itu

inspektur polisi. Waktu insiden itu terjadi, paman Markus yang

belum berpangkat yang ngusut kasus itu. Waktu itu kami berdua

ngerecoki dia terus karena ingin tahu hasil penyelidikannya, tapi

karena kami masih kecil, dia cuma kasih kami bahan-bahan yang

akhirnya kami gunakan untuk nyusun karya tulis kami."

Jantungku berdebar keras saat Tony meraih tanganku dan

menggenggamnya erat.

"Sabar ya, Jen," katanya sambil menyunggingkan senyum cerah

yang membuatku nyaris lupa pada Johan. "Aku tahu perasaanmu

pasti nggak enak karena semua masalah ini. Tapi kamu nggak

usah khawatir. Meski sekarang aku belum tahu gimana caranya

kita nyelesaiin masalah ini, aku yakin tentang hal lain." Tony menatapku lekat-lekat. "Aku pasti akan lindungin kamu, Jen."

Kata-kata itu membuatku tersenyum.

"Iya," sahutku. "Aku akan percayakan nyawaku di tangan

kamu."

Sesaat kami cuma berpandang-pandangan seraya tersenyum.
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu, perlahan-lahan, Tony mencondongkan wajahnya pada wajahku. Kupejamkan mataku saat bibir Tony menyentuh bibirku?

terasa begitu hangat, lembut, dan amat sangat manis.176

Ciuman pertamaku terjadi di kantor mahapenting bagi seluruh

murid di sekolahku itu, namun terutama bagiku. Seumur hidupku, aku tidak akan pernah melupakan ruangan itu.

***

Beberapa saat kemudian, Markus kembali.

"Ceritanya makin seru aja," kata Markus sambil duduk dengan

tak sabar. "Pamanku cerita hal-hal yang dulu nggak pernah diceritain pada kami berdua. Jadi, sebenarnya, Jocelyn..."

"Adik Johan itu?"

"Yeah," angguk Markus. "Kuulangi lagi. Jadi, sebenarnya Jocelyn

tewas karena dibunuh Johan!"

Aku dan Tony terkejut.

"Yang benar?!" tanya Tony.

"Menurut penyelidikan sih begitu," Markus mengangguk. "Dari

jejak yang diperoleh, polisi nyimpulin kalo sebelum kematian

Jocelyn, kedua kakak-beradik itu sedang main di tepi kolam.

Mungkin mereka bertengkar, mungkin hanya main-main. Pokoknya, Johan ngedorong Jocelyn ke kolam renang, padahal adiknya

itu belum bisa berenang. Nah, di sinilah pikiran Johan yang

keganggu berperan serta." Wajah Markus berubah serius. "Waktu

didorong ke dalam kolam, Jocelyn pasti menjerit-jerit minta

tolong. Benar, kan? Tapi Johan bukan aja nggak nolongin, tapi

dia cuma berdiri di situ, nyaksiin adiknya tenggelam!"

Tubuhku menggigil mendengar cerita Markus. Betulkah ada

orang yang berhati sedingin itu?

"Lalu, setelah adiknya meninggal, dia malah kabur ke kamar-177

nya. Pengurus rumah yang nemuin tubuh Jocelyn yang udah

terapung-apung di permukaan kolam. Pamanku dipanggil untuk

mengusut, dan dia ngelaporin hasil penyelidikannya pada orangtua Johan."

"Jadi, orangtuanya tahu kalo Johan yang ngebunuh adiknya?"

kataku tegang.

"Benar," Markus mengangguk lagi. "Bayangin, betapa tertekan

perasaan orangtuanya. Anak laki-laki mereka membunuh adik

perempuannya yang sangat manis! Mereka berusaha ngelupain

kejadian itu dengan membuat taman kecil di atas kolam renang

itu, namun orangtua mana yang bisa ngelupain kematian anak

mereka dan pembunuhnya? Ibu Johan nggak bisa nahan tekanan

itu. Dia bunuh diri tepat sebulan setelah kematian putrinya...!"

"Apa benar ibunya bunuh diri?" tanya Tony sangsi. "Bukan

dibunuh Johan juga?"

"Mana mungkin? Johan waktu itu masih kecil," sanggah

Markus. "Lebih kecil dari kita. Lagi pula, ibunya ninggalin surat

bunuh diri. Katanya, dia nggak bisa ngampuni diri sendiri karena

nggak bisa berbuat apa-apa terhadap pembunuh putrinya."

"Padahal," kataku pahit, "bunuh diri adalah dosa terbesar. Itu

nggak akan bikin dia berkumpul lagi dengan putrinya."

Tony menggeleng. "Tragis banget ceritanya."

"Setelah istrinya bunuh diri," Markus melanjutkan ceritanya,

"ayah Johan ngejual rumah itu, dan seperti yang kita ketahui,

akhirnya dibeli oleh orangtua Jenny. Mereka pindah ke luar kota

dan hidup di sebuah rumah terpencil hingga sekarang. Oleh ayahnya, Johan yang tadinya sekolah di sini, dipindahin ke sekolah di

dekat rumahnya."

"Sekolah ini, ya," Tony mengambil fotokopi rapor Johan dan178

mulai membolak-baliknya. "Nggak ada yang aneh dengan sekolah

ini."

"Tunggu dulu," selaku.

Aku mengambil fotokopi rapor Johan yang dipegang Tony dan

membandingkannya dengan formulir pendaftaran sekolah kami.

Meski Johan sendiri yang mendaftarkan dirinya ke sekolah kami,

formulir itu tetap harus ditandatangani oleh ayahnya.

Tanda tangan ayah Johan di fotokopi rapor Johan dan di

formulir pendaftaran tidak sama.

"Mirip," komentar Tony, "tapi jelas nggak sama."

Kami bertiga berpandangan.

"Ini berarti, Johan pindah ke sini tanpa sepengetahuan ayahnya,"

kata Tony perlahan, "atau dia udah ngebunuh ayahnya?"

Lagi-lagi tubuhku menggigil membayangkan kemungkinan itu.

"Masa Johan setega itu?"

"Entahlah," Tony menggeleng. "Kita mana tahu pikiran anak

yang terganggu seperti itu? Bayangin aja, dia ngebunuh adiknya

sendiri waktu mereka masih kecil. Setelah itu, ibunya bunuh diri

karena nggak sanggup hidup bersamanya. Meski waktu itu dia

masih kecil, dia pasti tahu alasan ibunya bunuh diri. Apa kalian

bisa ngebayangin perasaannya saat itu?"

Jujur saja, aku sama sekali tidak bisa membayangkan.

"Aku yakin, Johan pasti ngerasa sakit hati karena ibunya lebih

milih adiknya ketimbang dirinya," kata Tony setelah diam

sejenak. "Sebagai orang normal, kita pasti nyalahin Johan karena

perbuatannya yang kejam terhadap adiknya. Tapi, Johan nggak

mungkin ngerasa bersalah. Jangan-jangan dia malah ngira dialah

yang jadi korban keadaan."

Markus mengangguk setuju. "Anak itu pasti hidup dalam du-179

nianya sendiri. Ingat cerita Hanny soal dia ngomelin lalu nampar

adiknya? Padahal adiknya kan udah mati. Ini berarti dia hanya

berhalusinasi. Atau, jangan-jangan kepribadian adiknya merasuk

ke dalam dirinya, sehingga terkadang dia bisa ngadain pembicaraan dua arah dengan dirinya sendiri!"

Kami semua bergidik membayangkan kemungkinan itu.

"Oke, urusan kita udah beres di sini," kata Markus sambil berdiri. "Sebaiknya kita pamit pada Bu Netty, lalu kita tentuin

rencana kita berikutnya."

Kami membereskan file-file Johan, lalu berterima kasih dan

berpamitan pada Bu Netty, yang tampak sangat kecewa karena

Markus tidak tinggal lebih lama untuk mengobrol dengannya.

Namun, wajah pengurus kantor itu langsung berubah cerah saat

Markus berjanji untuk mentraktirnya makan siang pada hari

Senin nanti.

Sepulang dari sekolah, kami memutuskan untuk singgah di

rumah Hanny. Saat menyambut kedatangan kami, Hanny kelihatan girang sekali. Melihat reaksinya, aku yakin kini dia benarbenar sudah tidak marah lagi, baik padaku maupun pada Tony

(dan sebenarnya tak ada alasan baginya untuk marah pada

Markus), dan ini membuatku senang luar biasa.

Kami bergantian menceritakan hasil penyelidikan kami pada

Hanny. Awalnya Hanny tersinggung karena kami tidak mengajaknya, tapi langsung maklum saat kami mengingatkannya pada

kebencian Bu Netty terhadap siswi-siswi populer.

Saat kami selesai menceritakan semuanya, Hanny tampak sangat terguncang.

"Terus terang," katanya lirih, "saat ini aku cuma mikir, sepertinya aku beruntung sekali masih hidup sampai saat ini."180

"Berkat Pak Parmo juga," kataku, bersyukur karena Hanny punya sopir yang bertubuh segede Ade Rai.

"Waktu aku tanya ke pamanku, pamanku maksa aku ceritain

alasan aku nyelidiki Johan," kata Markus. "Lalu pamanku bilang,

saat ini polisi nggak akan bisa berbuat apa-apa terhadap Johan.

Dia kan belum ngeganggu siapa-siapa. Bahkan, soal cap tangan

di rumah Jenny pun, kita cuma nebak dialah pelakunya. Nggak

ada bukti-bukti sama sekali."

"Dan, aku yakin dia cukup cerdas untuk pake sarung tangan

supaya sidik jarinya nggak terdeteksi," tambah Tony.

"Lalu, gimana soal kotak makanan itu?" tanyaku. "Kita bisa

ngadain tes DNA untuk ngebuktiin ada ludahnya atau apa gitu,

kan?"

Markus menggeleng. "Tes DNA itu mahal, sedangkan hingga

saat ini Johan masih belum ngelakuin sesuatu yang ngelanggar

hukum, jadi nggak mungkin polisi mau ngadain tes tersebut."

"Masa kita harus nyelidikin semua ini sendirian?" tanya Hanny

takut-takut.

"Sepertinya begitu," sahut Markus dengan berat hati.

Kami semua duduk membisu. Pertanyaan "apa selanjutnya?"

bergaung di dalam hati kami, namun tak ada yang mengucapkannya. Tak ada satu pun di antara kami yang tahu tindakan apa

yang harus kami ambil saat ini.

"Sial," umpat Tony, "apa kita harus kembali ke plan B?"

"Plan B?" tanya Hanny bingung.

"Makan terus sampai muncul ide bagus," jelasku sambil tersenyum.

"Oh." Hanny diam sejenak. "Tetangga sebelah ada yang jual

ketoprak."181

Markus mengangguk. "Sepertinya kita semua butuh ketoprak."

Setelah menikmati ketoprak yang, omong-omong, pedasnya

minta ampun, Tony berkata dengan penuh tekad, "Oke, sepertinya tenaga kita sudah pulih. Siap, man?"

Markus menggerung. "Yeah, baby!"

"Siap buat ngapain?" tanya Hanny heran.

"Kembali ke ?loteng neraka? dong," kata Tony sambil berdiri.

"Nggak boleh!"

Semuanya menatapku dengan kaget.

"Kalian nggak boleh kembali ke sana," kataku tegas tanpa memedulikan wajah-wajah takjub di sekelilingku. "Seharusnya sejak

awal aku ngelarang kalian nginap di sana. Udah tempatnya jorok,

udaranya sumpek, belum lagi soal kecoak-kecoak itu. Itu kan

nggak sehat banget. Belum lagi karena tempatnya nggak enak,

kalian jadi susah tidur. Keliatan banget hari ini kondisi kalian

nge-drop dibanding biasanya. Lagi pula, kalo kupikir-pikir, Johan

nggak pernah muncul malam-malam, tapi siang-siang. Bisa aja

dia juga ogah keliaran malam-malam di tempat suram kayak gitu.

Jadi, nggak usah buang-buang waktu lagi deh!"

Suaraku lenyap saat menyadari semua cengar-cengir menatapku.

"Apa?" tanyaku lemah.

"Sadar nggak, Jen?" tanya Hanny sambil menahan senyum.

"Ini pertama kalinya kamu ngoceh panjang lebar lho."

Aku melongo. "Hah?"

"Dan, galak banget pula," kata Tony sambil nyengir. "Sampai

gue sedikit takut... ng... agak banyak, sebenarnya."

"Dasar payah!" cela Markus. "Cowok seperti elo tuh yang

nantinya bakalan takut istri."182

"Hahaha lucu!" gerutu Tony, lalu menoleh padaku. "Oke,

Jen, malam ini kami nggak akan nginap di atas. Tapi aku nggak

mau ambil risiko. Aku akan tetap ke rumahmu dan ngunci

jendela tingkap atas itu. Lalu, sampai kita bisa menangkap Johan,

sebaiknya Mbak Mirna disuruh ngungsi dulu aja. Mungkin lebih

baik disuruh pulang kampung sekalian."

Benar juga sih. Kalau lawannya sinting seperti Johan, Mbak

Mirna yang tangguh pun mungkin bakal ketakutan juga.


Pendekar Mabuk 122 Kencan Di Lorong Maut Goresan Di Sehelai Daun Lanjutan Bu Kek Pendekar Naga Putih 19 Asmara Di Ujung

Cari Blog Ini