Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu Bagian 4
"Dan, biar aman, lebih baik kamu tinggal di rumah Hanny
dulu. Untuk sementara aja." Tony berpaling pada Hanny. "Boleh
kan, Han?"
"Boleh." Hanny mengangguk penuh semangat dan merangkulku. "Hore! Kita bakalan jadi teman sekamar, Jen!"
Jadi, bisa dibilang, gara-gara mulut besarku, aku terpaksa nebeng di rumah Hanny.183
"Selamat pagi, Hanny dan Jenny."
Jantungku mencelos mendengar sapaan lembut itu, sementara
Jenny langsung mencekal tanganku erat-erat. Aku menoleh dan
melihat Johan mengawasi kami dari balik gerbang sekolah. Masa
dia sengaja menunggu kedatangan kami di situ?
"Kalian keliatan akrab sekali pagi ini," katanya datar. "Udah
baikan rupanya, ya?"
"Ya," sahutku berusaha sok berani. "Hari ini kami bakalan
duduk sebangku."
"Jangan khawatir." Johan tersenyum, tapi bisa kulihat senyum
itu tidak mencapai matanya. "Gue tahu diri kok. Gue nggak akan
rebutan bangku sama Jenny."
"Baguslah kalo gitu," kataku sambil menarik Jenny yang mengkeret di sampingku. "Ayo, Jen, kita jalan."
Setelah merasa sudah agak jauh, aku menoleh ke belakang.
Tatapanku langsung bertemu dengan tatapan Johan yang masih
berdiri di tempat tadi. Lagi-lagi dia menyunggingkan senyum
mengerikan itu padaku, membuatku cepat-cepat membuang
16
Hanny184
muka. Namun, saat berjalan pergi, tengkukku terasa dingin, membuatku yakin bahwa Johan mengiringi kepergian kami dengan
tatapannya yang menusuk.
Aku dan Jenny menghampiri loker masing-masing. Kukeluarkan
buku-buku PR dari dalam tas dan kusumpalkan begitu saja ke dalam
loker. Lalu aku menjejalkan buku gambar dan pensil-pensilku ke
dalam tas. Dalam sekejap, aku sudah beres. Jenny butuh waktu
sedikit lebih lama, soalnya dia jauh lebih rapi dariku.
"Cepetan, Jen," gerutuku. "Nanti kita diuber Johan."
Jenny langsung mengunci lokernya. Tampak jelas dia takut setengah mati dikejar Johan.
Saat kami tiba di dalam kelas, Jenny Bajaj langsung menghampiri Jenny dengan akrab.
"Jen, pinjam pensil 2B dong," pintanya dengan wajah memelas.
Astaga, tanpa memasang tampang seperti itu pun, Jenny yang
selalu murah hati pasti akan meminjamkannya, bahkan memberikannya bila perlu.
"Gue belum sempet beli nih. Abis, gue lagi nggak enak badan
banget. Bahkan akhir minggu kemarin orangtua gue maksa gue
buat pergi check-up. Masa, Jen, buat cek darah, gue disuntik dengan jarum seukuran" Wajah Jenny Bajaj membeku saat melihat Jenny menaruh tasnya di samping bangkuku. "Kok lo duduk
di situ, Jen?"
"Iya," sahut Jenny dengan wajah merah. "Sori ya, Bajaj. Mulai
hari ini gue duduk lagi sama Hanny. Nggak apa-apa, ya?"
"Terus?" tanya Jenny Bajaj dengan wajah ngeri. "Gue harus
sebangku sama siapa?"185
Aku yang menyahut, dengan suara ketus pula, "Ya sama Johan!"
"Tapi kan nggak enak sebangku sama cowok," rengek Jenny
Bajaj sambil memegangi lengan Jenny. "Duduk sama gue aja deh.
Ngapain lo duduk sama Hanny? Dia kan cewek jahat yang udah
ngutuk-ngutuk kita sembarangan."
"Mmm, sori, tapi gue nggak percaya soal kutukan," kata Jenny
tegas. "Lagian, dari sononya kan Hanny sahabat gue. Sama seperti
Jenny Tompel sahabat elo. Nanti kalo Jenny Tompel udah balik,
dia bakalan sebangku sama elo lagi kok."
"Tapi, Jenny Tompel kan judes. Gue juga sebenernya males sebangku sama dia. Gue lebih seneng sebangku sama elo, Jen."
"Jangan berisik, ah!" Saking tak sabarnya, aku membentak
Jenny Bajaj yang langsung terkesiap. "Sono, balik ke tempat sendiri!"
Sambil mengentakkan kakinya, Jenny Bajaj kembali ke bangkunya. Lalu dia membenamkan wajahnya di antara kedua tangannya
yang terlipat di atas meja, dan mulai menangis sesenggukan.
"Ya ampun," kata Jenny prihatin. "Masa begitu aja sampe nangisnangis?"
"Biasa, drama queen," ketusku. "Gue juga heran lo bisa tahan
duduk sama dia sampe berhari-hari."
"Wah, wah, nangisin Jenny Bajaj, ya?" Lagi-lagi aku dan Jenny
membeku mendengar suara Johan di belakang kami. "Nggak gue
sangka, kalian berdua suka nindas teman juga, ya."
Meski ketakutan, aku menoleh pada Johan dan berkata, "Nggak
ada yang minta pendapat elo."
"Galak banget," Johan tersenyum tipis. "Dulu lo nggak segalak
ini sama gue. Apa Jenny Jenazah udah ngomong yang nggaknggak tentang gue?"186
"Yang ngomong yang nggak-nggak itu kan elo," balasku. "Elo
yang nuduh Jenny macam-macam."
"Tapi, buktinya lo percaya," kata Johan enteng, sama sekali tak
terlihat malu lantaran perbuatan jahatnya terbongkar. "Ini artinya,
di dalam hati kecil elo, elo juga tahu Jenny Jenazah sanggup
ngelakuin hal-hal seperti itu."
"Bukan," bantahku. "Waktu itu gue lagi kacau, dan elo manfaatin kondisi gue buat ngomong yang nggak-nggak."
Johan mendecak. "Nggak baik lho, nyalahin orang atas kesalahan diri sendiri, Han."
Aku memelototi Johan yang tenang-tenang saja menghadapiku.
"Udahlah, Han," kata Jenny sambil menggamitku. "Tuh, Pak
Yono udah masuk."
Sambil berusaha menenangkan tubuhku yang menggigil saking
marahnya, aku pun membalikkan badan.
"Kenapa sih lo?" bisik Jenny. "Apa lo nggak ingat dia itu serem banget? Kalo kita cari masalah sama dia, bisa-bisa kita
kena"
Jenny menggerakkan tangannya seolah sedang memenggal leher,
dan aku teringat kembali dengan semua kekejaman Johan.
"Gawat, gue tadi lupa diri," gumamku. "Abis kesel banget
sih."
"Sama, gue juga kesel," sahut Jenny pelan. "Tapi, kita nggak
bisa sembarangan ngadepin dia, Han. Nanti tahu-tahu aja kita
udah jadi pemeran hantu di sekitar sini."
Sesaat kami diam saja dan memaksakan diri untuk mendengarkan celotehan Pak Yono mengenai teknik arsiran. Di dalam
hati aku mengutuki ketololanku karena sudah berani mencari187
masalah dengan Johan. Padahal kami tidak boleh membuatnya
curiga. Seandainya dia tahu kami sudah mengetahui banyak rahasianya, pasti dia akan mencari cara untuk membungkam
kami.
Aku tidak berani membayangkan apa cara yang akan digunakan Johan untuk melakukannya.
Mulai sekarang, aku harus bersikap lebih tenang, pikirku. Aku
harus lebih bisa menahan diri. Aku akan bersikap lebih ramah terhadap Johan.
Saat pelajaran Seni Rupa selesai, aku dan Jenny pergi ke toilet
dan mencuci tangan kami yang berlepotan noda pensil.
"Pak Yono itu emang keterlaluan," gerutu Jenny. "Masa gambar
gue dikasih nilai D minus? Bisa-bisa nanti gue nggak naik kelas
gara-gara nggak lulus pelajaran Seni Rupa."
"Yah, elo juga sih," celaku. "Harusnya elo lebih luwes dikit.
Kan udah berkali-kali gue bilang, kalo gambar gue udah selesai,
gue nggak masalah ngerjain gambar lo."
"Itu kan namanya curang, Han."
"Ya nggak lah. Gue kan juga sering nyontek."
Aku membuka pintu toilet dan menjerit saat melihat Johan
berdiri tegak di hadapanku.
"Elo mau ngapain di sini?" tanyaku agak histeris.
"Cuma pingin tahu, apa ada air di dalam toilet cewek," kata
Johan datar. Tatapannya melewatiku, dan secara insting aku tahu
dia bukannya menatap Jenny yang berdiri di belakangku, melainkan mengecek apakah ada orang lain lagi di dalam toilet. "Soalnya di toilet cowok nggak ada airnya."
"Ada atau nggak ada, elo nggak berhak masuk ke dalam,"
tukasku.188
"Jangan terlalu kaku," kata Johan enteng. "Kan nggak ada
orang lain di dalam. Betul nggak?"
Aku hanya mematung, tidak tahu apa yang harus kulakukan
kalau cowok mengerikan ini mulai menyerangku.
"Ya udahlah," Johan mengangkat bahu. "Cewek-cewek emang
pelit. Padahal, kapan saja kalian mau gunain toilet cowok, kami
nggak akan keberatan."
Aku mengembuskan napas lega saat Johan meninggalkan kami.
Saat aku memutar tubuhku, aku melongo saat mendapatkan
Jenny sedang memegangi tongkat pel toilet.
"Elo kenapa, Jen?" tanyaku heran.
"Lo kira dia ngapain ninggalin kita?" Meski berwajah pucat
saking ketakutannya, Jenny memberiku cengiran lemah. "Pasti
gara-gara takut gue gebukin pakai tongkat ini."
Mau tak mau aku tertawa, tapi suara tawaku terdengar lemah.
"Kok sekolah jadi tempat serem begini, ya?" gumamku sambil
memeluk Jenny.
"Kalo bagi gue sih, selama masih ada Johan, semua tempat jadi
serasa serem," balas Jenny.
Jenny yang malang. Gara-gara Johan sering menggentayangi
rumahnya, kini dia terpaksa harus tinggal di rumahku. Sejujurnya,
aku tidak keberatan, malah senang sekali karena ditemani Jenny
sepanjang waktu. Tapi aku tahu, Jenny yang tidak terbiasa merepotkan orang pasti tidak betah terus-terusan tinggal di rumahku.
Saat bel istirahat berbunyi, Tony dan Markus langsung menghampiri kelas kami. Meski tidak terlalu kentara, aku menyadari
mereka juga sedang mencari-cari Johan.189
"Tampangnya culun banget," gumam Markus. "Nggak mirip
orang sakit jiwa."
"Kalo mirip orang sakit jiwa, kita udah nggak usah repot-repot
gini. Tinggal ciduk aja!" gerutu Tony, lalu menatap Jenny dengan
mesra. "Hai, Jen, tadi malam bisa tidur?"
Meski masih menganggap cowok dekil ini cowok paling
ganteng di sekolah?oke, sebenarnya, cowok paling ganteng yang
pernah kutemui seumur hidupku?aku menyadari bahwa perasaanku padanya sudah mulai luntur. Mungkin gara-gara cerita
Markus hari Jumat kemarin, mungkin juga lantaran perasaanku
pada Tony memang tidak pernah terlalu mendalam. Kini, melihat
sikap mesranya pada Jenny, aku masih merasa sedikit cemburu,
tapi tidak ada rasa nyeri lagi di jantungku. Untunglah. Aku sangat tidak suka jadi pihak yang dicampakkan. Dan setelah mendengar ceramah Markus, aku merasa menyesal juga sudah mencampakkan banyak cowok.
Kami berjalan bareng-bareng ke kantin. Setelah membeli makanan, kami segera menempati meja yang sama. Aku dan Jenny
duduk berseberangan dengan Tony dan Markus. Karena sikap
ceria kedua cowok itu, sesaat kami melupakan masalah Johan dan
menertawakan gosip-gosip yang diceritakan Markus.
Selesai menghabiskan bakmiku, aku menegakkan tubuh seraya
menyeka mulutku dengan tisu.
Dan, di situlah Johan, jauh di belakang Tony dan Markus,
menatapku dengan tatapan menusuk yang menakutkan.
"Astaga!" Kudengar Jenny berbisik di sampingku. "Dia lagi."
"Ada apa?" tanya Tony dengan mulut dipenuhi nasi liwet.
"Johan," sahutku pelan.
Wajah Tony dan Markus langsung menegang saat mendengar190
ceritaku dan Jenny tentang Johan yang membayang-bayangi kami
sepanjang pagi, bahkan sampai ke toilet cewek.
"Benar-benar maniak keparat," geram Tony. "Rasanya ingin
kugebuki sekarang juga."
"Sebaiknya jangan," kata Markus tenang. "Kalo elo bertindak
sembrono, bisa-bisa Johan mulai curiga kalo kita nyelidikin
dia."
"Iya, gue juga tahu," sahut Tony dengan rahang terkatup rapat.
"Cuma rasanya tuh udah nggak sabar banget kepingin ngebekuk
dia."
Tony tidak bicara lagi, tanda dia sedang berpikir keras. Setelah
menghabiskan waktu beberapa hari dengan kedua cowok ini, aku
tahu bahwa Tony-lah yang biasanya menyusun rencana, sementara
Markus yang menahan Tony kalau sahabatnya itu mulai terburu
nafsu dan bertindak di luar rencana yang disusunnya sendiri.
"Seandainya dia benar-benar ngebunuh bokapnya sendiri," kata
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tony lambat-lambat, seolah-olah sedang mengutarakan pikirannya,
"polisi bakalan punya dasar untuk nangkap dia. Dan, setelah itu,
masalah kita selesai." Tony memandangi kami satu per satu. "Kita
harus nyari bukti soal itu."
"Apa rencana lo, coy?" tanya Markus.
Tony diam sejenak, lalu berkata, "Kita pergi ke rumahnya
untuk nyari bukti itu. Tapi, supaya dia nggak pulang di saat kita
lagi ngubek-ngubek rumahnya, kita butuh pengalih perhatian."
Tony menatapku. "Kamu sanggup ngalihin perhatian Johan,
Han?"
Aku ternganga. Sejujurnya, aku kepingin langsung menjerit
"Tidak!" Hari ini saja sudah berkali-kali jantungku nyaris berhenti191
gara-gara Johan. Sekarang aku disuruh mengalihkan perhatian?
Itu berarti tugasku bukan cuma barang satu-dua menit, melainkan
bisa berjam-jam. Bayangkan, berjam-jam dengan Johan!
Jenny menyadari keragu-raguanku. "Aku bisa bantu."
"Nggak bisa," tegas Tony. "Dari cerita kalian, aku bisa nyimpulin kalo Johan nggak suka sama kamu. Kalo ada kamu, takutnya
nanti Johan malah nggak betah."
Oke, aku disuruh membuat Johan betah berlama-lama denganku. Rasanya tugas ini makin tidak menyenangkan saja.
Tapi, kalau aku tidak melakukannya, Tony dan Markus tak akan
bisa menyelinap ke rumah Johan. Bisa, tentu saja, tapi dengan
menanggung risiko bakalan ketahuan. Dan, siapa yang tahu apa
yang dilakukan Johan terhadap tamu-tamu tak diundang? Aku bisa
membayangkan Tony dan Markus menyelidiki rumah Johan yang
terpencil, tertangkap basah oleh Johan, dipukul dengan sekop, lalu
diseret ke pekarangan belakang untuk dikubur!
"Oke, aku akan ngalihin perhatian dia," anggukku.
"Han, kamu nggak perlu ngelakuin ini kalo nggak suka," tegur
Jenny cemas.
"Harus," tegasku. "Kalo nggak, Tony dan Markus nggak akan
bisa masuk ke rumah Johan. Padahal, mereka harus ngelakuin itu
supaya bisa menangkap Johan secepat mungkin."
Tony memandangku sambil tersenyum. "Thanks, Han. Aku
benar-benar menghargai pertolongan kamu."
"Asal lain kali jangan taruhan soal aku lagi," sindirku.
Tony tersipu-sipu. "Soal itu, aku benar-benar minta maaf."
"Udahlah," selaku sok bijaksana. "Aku nggak akan masalahin
hal yang udah lewat. Lagi pula, sekarang kita pingin hal yang192
sama, yaitu nyingkirin Johan. Jadi," aku menatap Tony, "kapan
kalian mau pergi ke rumahnya?"
"Secepat mungkin," sahut Tony sambil bertukar pandang
dengan Markus. "Gimana kalo sore ini, setelah pulang sekolah?"
"Secepat itu?" tanyaku ngeri.
Markus mengangguk menyetujui rencana Tony. "Daripada kalian diteror terus sama dia. Lebih cepat lebih baik, kan?"
Benar juga sih, tapi...
"Terserah kamu deh, Han," kata Tony, menyadari keraguraguanku. "Kalo kamu nggak siap, besok atau minggu depan juga
nggak apa-apa. Cuma, selama itu kalian harus ekstra hati-hati
terhadap Johan."
Aku terdiam lama. "Aku pikir-pikir dulu, boleh?"
Tony mengangguk.
Tak lama kemudian bel berbunyi, menandakan waktu istirahat
telah usai. Aku dan Jenny berpisah dengan Tony dan Markus di
depan kelas kami.
Aku merogoh-rogoh lokerku tanpa hasil, sementara Jenny
berhasil mengambil buku-bukunya tanpa kesulitan.
Inilah beda antara loker berantakan dan loker rapi, pikirku jengkel saat Pak Agus melintas di depan kami.
"Jen, lo masuk duluan aja," usirku. "Kayaknya buku Sejarah
gue bikin masalah nih."
"Nggak apa-apa kalo gue duluan?" tanya Jenny ragu-ragu.
"Halah. Kita kan bukan kembar siam. Paling-paling bentar
juga gue nyusul."
"Oke deh. Buruan ya. Pak Agus udah melotot tuh."
"Iya, iya."
Ah, itu dia si buku teks pelajaran Sejarah terkutuk, di rak193
terbawah! Kuraih buku itu dan kusumpalkan ke dalam tasku.
Lalu, aku berdiri dan membanting pintu loker.
Jantungku nyaris berhenti saat melihat Johan di balik pintu
itu.
"Udah ketemu buku Sejarah-nya?" tanyanya tanpa senyum.
Aku mengangguk tanpa sanggup berkata-kata.
"Tadi makan bakmi?" tanyanya lagi. "Tumben, biasanya kalo
sama gue, lo makan nasi liwet."
Masa dia juga mencari tahu menu makananku hari ini? Benarbenar sinting.
"Lo mau apa?" Akhirnya aku berhasil mengeluarkan suara
tanpa terlihat seperti pengecut. "Kok nggak masuk kelas? Kan Pak
Agus udah masuk."
"Ah, biarin aja," kata Johan sambil melambai. "Memangnya
dia bisa apa? Sama Yono aja gue nggak takut, apalagi sama
jenggot kambing gitu. Santai aja, Han. Kalo dia berani ngeganggu
kita, bakalan gue gebukin sampe mampus."
Rasanya aku tidak percaya mendengar ocehan Johan. Asal tahu
saja, berbeda dengan Jenny, aku bukan siswi baik-baik yang hobi
bersopan-sopan pada guru. Tapi, bahkan aku yang seperti ini pun
tidak pernah mengatai guru dengan nada seperti itu?begitu jijik
dan merendahkan, seolah-olah guru-guru itu hanyalah makhluk
tidak berharga yang tetap hidup hanya karena belas kasihannya.
Ataukah seperti itu arti kehidupan semua orang bagi Johan?
Bahwa kami semua masih boleh hidup karena diizinkan olehnya?
Dan saat dia memutuskan bahwa nyawa kami sudah tidak penting lagi, seperti Jenny Bajaj dan Jenny Tompel, dia akan mengatur sebuah kecelakaan untuk membunuh kami?
Perasaan dingin merayap di punggungku.194
Aku tidak sanggup diteror oleh orang ini satu hari lebih lama
lagi.
Jantungku mencelos saat Johan mendekatiku. Tanpa sadar aku
melangkah mundur. Punggungku menyentuh dinding loker yang
dingin. Kedua tangan Johan diletakkan di kedua sisiku, mengurungku sehingga aku tidak bisa melarikan diri. Udara terasa
sesak, membuatku tidak sanggup bernapas. Di dalam hati aku
berpikir, matilah aku.
"Hanny." Suara Johan berubah menjadi suara Johan yang
selama ini menjadi sahabatku?lembut, manis, dan penuh perhatian. "Gue benar-benar kehilangan elo hari ini."
Namun, sedetik kemudian, nada suara itu berubah lagi menjadi
suara kejam dan menyeramkan. "Gue benci sekali sama Jenny
Jenazah yang udah misahin kita. Pingin sekali gue ngelenyapin
dia, supaya kita bisa sama-sama selamanya tanpa ada pengganggu
lagi!"
Dia mau melenyapkan Jenny? Tenggorokanku semakin terasa
kering.
"Nggak perlu, Han." Kudengar diriku berbicara dengan suara
yang terdengar asing. Suara yang lembut dan agak manja. "Di
sekolah, gue butuh sahabat cewek. Tapi setelah sekolah usai, kita
kan bisa ngabisin waktu bareng."
"Beneran?" Wajah Johan bersinar-sinar. "Kalo gitu, kapan elo
ada waktu buat jalan-jalan?"
Dan, aku pun menyahut dengan setenang mungkin, "Sore ini."195
Kadang aku berharap hantulah yang menjadi lawan kami.
Seandainya saja yang harus kami lawan saat ini adalah hantu?
bukannya Johan?kami tak akan perlu membuat rencana untuk
memasuki rumah Johan secara diam-diam, dengan Hanny sebagai
pengalih perhatian. Sebaliknya, kami akan memanggil dukun,
pendeta, orang sakti?apa sajalah?lalu kami akan mengadakan
upacara di depan rumahku, membakar kertas-kertas berisi mantra
dan mengucapkan sederetan kata-kata sakti.
Lalu, perlahan-lahan, dari dalam kamarku, sesuatu merangkak
ke luar.
Oke, oke. Mungkin Johan lebih tidak menyeramkan.
Aku membayangkan Johan, yang menatapku dengan sinar mata
ganjil, dengan senyum tanpa ekspresi yang terlihat keji, dan tangannya memegang pisau Ginsu yang bisa memotong kaleng.
Sementara itu, aku cuma bisa terpaku tak berdaya di atas kloset
di dalam toilet cewek, dan satu-satunya permohonan terakhir
yang terpikir olehku adalah, "Tolong biarkan aku pakai celana
dalam dulu sebelum mati!"
17
Jenny196
Ya, aku tahu ini konyol, tapi lebih baik mayat kita terbujur di
lantai dengan celana dalam daripada tanpa celana dalam, kan?
Meski mati, kita tetap harus menjaga harga diri. Betul, kan?
Astaga, pikiran ini benar-benar konyol. Aku jadi tidak bisa
memutuskan siapa yang lebih menyeramkan, Johan ataukah si
hantu merangkak.
"Hei, kenapa kita lewat sini?" Kudengar suara Markus menyela
lamunanku. "Bukannya rumah Johan ada di luar kota?"
"Iya, tapi gue butuh tukang asongan," kilah Tony sambil menghentikan mobil di lampu merah, lalu mulai menurunkan jendela
dan berteriak, "Mas, mas!"
Seorang pedagang asongan menghampiri jendela Tony. Pedagang itu membawa helm, jaket, dan berbagai aksesori yang
biasa digunakan oleh para pengendara motor.
"Sarung tangannya tiga pasang dong," kata Tony sambil cengarcengir. "Kasih diskon ya, berhubung belinya banyak!"
Sepeninggal si tukang asongan, Tony membagi-bagikan sarung
tangan itu pada aku dan Markus, masing-masing mendapat satu
pasang.
"Ini, man, alasan gue ngiter-ngiter," kata Tony dengan muka
puas. "Kita kan butuh alat untuk menghilangkan sidik jari kita.
Buat jaga-jaga aja. Siapa tahu si maniak itu ngelapor ke polisi
atau, lebih parah lagi, dia bisa ngebedain sidik jari kita dengan
kacamata supernya itu."
"Iya deh, lo selalu berpandangan jauh," aku Markus, lalu memutar tubuhnya supaya bisa menatapku yang sedang nangkring di
jok belakang mobil. "Jadi, kenapa Hanny berubah pikiran, Jen?"
"Oh, itu." Aku bergidik memikirkan cerita Hanny. "Tadi dia
disamperin Johan waktu sendirian di koridor sekolah."197
"APA???" Tony dan Markus berteriak kaget.
"Emangnya kenapa dia bisa ada di koridor sendirian?" tanya
Tony.
"Iya, waktu bel bunyi, dia masih belum nemuin bukunya dan
guru kami udah masuk ke kelas, jadi aku duluan," sahutku dengan perasaan bersalah. Sejujurnya, perasaanku memang tidak
enak saat meninggalkan Hanny di koridor sendirian, tapi waktu
itu kupikir, apalah yang mungkin terjadi di koridor yang biasa
dilewati semua orang itu?
Jawabannya ternyata sederhana. Disamperin Johan.
"Johan benar-benar berani," geram Tony. "Di tempat umum
pun dia berani bikin ulah. Sepertinya dia nggak takut dipergokin
orang, ya?"
"Yah, Johan itu kan tipe orang yang selalu merasa dirinya
benar," kata Markus tenang. "Kalo nggak, dia pasti udah mendekam di biara setelah jadi penyebab adik dan ibunya meninggal.
Ke
nyataannya, dia masih berkeliaran dengan kelakuan yang makin
sinting aja."
"Dari semua jenis kriminal, orang jenis ini yang paling berbahaya," kata Tony muram. "Meski nanti dia dipenjara pun, gue
nggak yakin dia bakalan bisa berubah. Yang ada malah makin
menjadi-jadi."
"Begitulah," sahut Markus tidak kalah muram. "Paling-paling
kita cuma bisa ngarepin dia dipenjara seumur hidup. Dengan
begitu, dia nggak akan bisa ngeganggu orang lagi."
Tak lama kemudian, kami sudah berada di luar kota. Pemandangan hijau tampak begitu indah, menyegarkan mataku
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang selama ini terbiasa dengan kesumpekan kota. Semakin jauh198
dari kota, semakin sedikit bangunan yang kami jumpai. Pada
akhirnya, yang ada hanyalah sawah dan sawah.
"Nggak diduga ada juga murid sekolah kita yang tinggal sejauh
ini," komentar Tony.
"Yeah, gue kira rumah gue yang paling jauh," sahut Markus.
"Nggak tahunya ada yang lebih jauh lagi. Udah gitu, tempatnya
serem gini pula."
"Kok serem?" tanyaku heran. "Bukannya pemandangannya bagus?"
"Pemandangannya sih memang bagus. Tapi coba bayangin
orang yang tinggal sendirian di sini, tanpa ada keluarga maupun
tetangga. Emangnya siapa yang mau tinggal di tempat terpencil
seperti ini?"
"Banyak," sahut Tony santai. "Petani yang belum kawin, gembala yang harus jagain ternak-ternaknya, penulis yang keganggu
dengan kebisingan kota."
"Ya deh, ya deh," tukas Markus kesal. "Tapi tetap aja, kalo kita
tambahin faktor Johan ke dalam lingkungan terpencil ini, rasanya
jadi serem."
Kalau soal itu, aku tidak bisa membantah.
Tak lama kemudian, kami tiba di depan rumah yang kami
cari. Rumah itu, di luar dugaan, tampak sangat normal. Bangunan besar bergaya Mediterania, dengan cat dinding yang terang,
pepohonan yang terpangkas rapi, pekarangan yang hijau dan luas.
Sama sekali tidak ada seram-seramnya.
"Sepertinya rumah kamu malah lebih serem, Jen," komentar
Tony sambil memperhatikan rumah itu.
"Iya deh," sahutku malu. "Besok kutebang semua pohonnya."
"Wah, jangan," protes Markus. "Gitu-gitu rumahmu contoh199
yang baik untuk pelestarian lingkungan hidup. Nggak usah peduliin komentar orang sirik, Jen."
"Iya deh, gue sirik," gerutu Tony sambil keluar dari mobil, lalu
membukakan pintu belakang untukku. "Ayo, Jen. Jangan lupa
sarung tangannya dipake, ya?"
Dengan perasaan berdebar-debar, kami memasuki rumah itu.
Karena pintu pagar tidak dikunci, kami hanya tinggal menyelonong masuk. Saat Tony menekan hendel pintu depan, pintu
langsung terbuka.
"Orang sinting ini sepertinya nggak terlalu paranoid mengenai
keamanan rumahnya," komentar Markus di belakangku saat aku
mengikuti Tony melangkah masuk ke rumah itu.
Aku sudah menyiapkan hati dan keberanian untuk menemukan
sesuatu yang mengerikan di rumah itu, namun bagian dalam
rumah itu ternyata sama normalnya dengan penampilan luarnya.
Tidak terlalu bersih, namun tidak terlalu kotor juga. Perabotnya
tampak cukup mahal, tapi tidak terlalu berlebihan. Seandainya
Hanny tidak mengatakannya kepada kami, kami tak akan merasa
ada yang aneh dengan rumah itu.
"Benar-benar nggak ada foto sama sekali," kata Tony sambil
melayangkan pandangan ke sekelilingnya.
Markus mengangguk. "Rasanya seperti mati."
Sayup-sayup kami mendengar lagu opera.
"Itu pasti kamar yang dibilang sebagai kamar adiknya itu," kata
Tony. "Ayo, kita cari kamar itu."
Jantungku yang tadinya sudah berdebar keras, kini makin berdentam-dentam saat kami tiba di depan pintu kamar yang
dimaksud. Tony menatap aku dan Markus dengan sorot mata
tajam, menandakan kesiapan hatinya.200
"Oke?" bisiknya.
Aku dan Markus mengangguk kaku.
Tony menekan hendel pintu itu dan membukanya.
Kamar itu adalah kamar paling mengerikan yang pernah kulihat. Bahkan sebenarnya, semua ruangan mengerikan yang pernah kulihat?kamar mandiku waktu ada cap tangan anak kecil,
tempat tinggal telantar di atas langit-langit rumahku yang sempat
ditinggali Tony dan Markus, rumah hantu di Dunia Fantasi, bahkan rumah-rumah di film horor yang kutonton?tak ada apaapanya dibandingkan kamar itu. Ruangan itu memang kotor,
dengan debu berlapis tebal dan sarang laba-laba di mana-mana.
Namun, yang paling mengerikan adalah tiadanya perabot yang
utuh?semuanya tercabik-cabik, mulai dari kertas dinding berwarna merah muda, tempat tidur yang seharusnya kelihatan
manis, hingga boneka-boneka yang bergelimpangan di lantai.
Dan, terasa kental sekali perasaan kemarahan, kebencian, dan
dendam membara menyelimuti kamar itu, begitu menyesakkan,
hingga aku sulit bernapas. Perasaanku jadi kacau-balau, dan tubuhku mulai menggigil.
"Percuma aja kita meriksa ruangan ini," gumam Tony. "Bisabisa kita malah ninggalin jejak. Nanti kalo udah nggak ada jalan,
baru kita kembali lagi."
"Setuju banget," angguk Markus.
Kami langsung tergopoh-gopoh keluar dari ruangan itu.
"ARGHHH!"
Aku dan Markus berhenti berlari, dan menoleh ke arah Tony
dengan wajah pucat. Tony membalas tatapan kami dengan muka
tak kalah pucat.
"Gue nginjak bonekanya," bisiknya ngeri.201
"Biarin aja," kata Markus tak sabar. "Ayo, kita keluar."
"Nggak bisa, muka bonekanya bonyok gara-gara gue injak."
Kami bertiga menunduk, menatap wajah boneka yang sudah
tak berbentuk lagi lantaran diinjak Tony. Boneka itu sangat mengenaskan, kotor dan tercabik-cabik, padahal wajahnya mirip
dengan boneka manis yang hobi nyanyi di televisi satu dekade
lalu.
"Benerin lagi gih," kata Markus tanpa memedulikan Tony dan
langsung kabur.
"Keterlaluan," gerutu Tony sambil berjongkok dan mengembalikan muka boneka itu ke bentuknya semula. "Kayak gitu namanya
sahabat sejak kecil. Kuanggap impas deh sama semua dosa masa
kecilku."
"Dosa masa kecil yang mana?" tanyaku tak berkonsentrasi lantaran si boneka mengedip-ngedip genit ke arahku, membuatku
makin merinding.
"Itu, waktu aku kabur duluan saat sedang nyelidikin rumahmu."
"Yah, itu dendam seumur hidup," kata Markus saat kami keluar dari kamar itu dan menutup pintunya. Rupanya dia sempat
menguping percakapan kami. "Bayangin perasaan anak kecil
nggak berdosa yang ditinggal sendirian di rumah tua yang baru
saja jadi TKP orang bunuh diri. Kasihan banget, kan?"
"Ya deh, ya deh," kata Tony sambil cemberut. "Nggak impas.
Gue akan nebus sepuluh tahun lagi."
Markus mengangguk dengan wajah puas.
Kami kembali menjelajahi rumah itu. Pintu berikut yang kami
temukan ternyata mengarah ke garasi. Tempat itu gelap dan202
suram, namun tidak ada yang istimewa. Tony segera mengecek
peralatan yang disimpan di situ.
"Kupikir kita bakalan nemuin palu dengan noda darah kering,
misalnya," kata Tony kecewa. "Tapi sepertinya semua bersih-bersih
aja."
"Ini namanya berdebu," kata Markus. "Yang bersih tuh kayak
yang di rumah gue."
"Elo cerewet banget sih, man. Lama-lama gue pulangin juga
pake kereta sapi."
"Kereta sapi?" tanyaku tak mengerti.
"Oh, gini," kata Tony menjelaskan. "Kereta kuda itu kan kereta
yang ditarik kuda. Kereta sapi itu ya kereta yang ditarik sapi."
"Maksud lo bajak?" kata Markus tenang.
"Whatever deh."
Tanpa curiga kami membuka pintu berikutnya?dan langsung
membeku.
Sekilas saja kami sudah tahu bahwa kamar itu kamar ayah
Johan. Kamar itu luas, dengan perabot yang terlihat mewah
namun bergaya kuno dan ranjang berukuran queen size.
Di atas ranjang itu, seseorang sedang tidur dengan selimut menyelubungi tubuhnya.
Apakah itu ayah Johan?
Aku berdiri mematung dan tidak berani bergerak, bahkan tidak
berani bernapas, takut kalau-kalau menimbulkan suara dan
membangunkan siapa pun orang yang sedang tidur itu. Namun,
Tony melangkah maju dan menarik selimut itu pelan-pelan.
Ternyata, sosok yang kukira ayah Johan itu adalah tumpukan
guling dan bantal yang sengaja diatur hingga menyerupai tubuh
manusia.203
"Orang yang kita incar ini pasti sangat kesepian," kata Markus,
"sampai-sampai nyusun sosok seperti ini, seolah-olah dia nggak
tinggal di rumah ini sendirian."
Setitik belas kasihan pada Johan terbit di dalam hatiku. Ya,
siapa yang tidak kasihan pada orang yang tinggal sendirian, di
tempat yang begini terpencil? Namun, kalau teringat kekejaman
Johan, rasanya sulit sekali membayangkan dia sebagai orang yang
patut dikasihani.
Kami memeriksa kamar itu sejenak. Seperti ruangan di depan,
di kamar ini sama sekali tidak ada foto yang dipajang. Semua
pakaian masih lengkap dan berada dalam kondisi baik, meski
rada apak, menandakan pakaian-pakaian itu sudah lama tidak
digunakan. Meski debunya tidak setebal debu di kamar adik
Johan, terdapat tanda-tanda bahwa kamar ini sudah lama tidak
ditinggali.
"Pertanyaan penting yang harus kita jawab hari ini," gumam
Tony, "di manakah ayah Johan?"
Penyelidikan kami membawa kami ke sebuah kamar tidur lain.
Kamar Johan, sepertinya. Anehnya, kamar itu juga memiliki
tanda-tanda yang sama seperti kamar ayahnya?bahwa sepertinya
kamar itu sudah lama tidak ditinggali. Kami membuka lemari
pakaiannya, yang ternyata nyaris kosong.
"Mungkin Johan nggak tinggal di kamar ini," dugaku.
"Mungkin," angguk Tony. "Ayo, kita periksa ruangan berikutnya."
Saat membuka pintu berikutnya, mataku langsung bertemu
dengan sepasang mata jahat yang mengerikan.
Pemilik sepasang mata jahat itu adalah seekor ular, mungkin
ular terbesar yang pernah kulihat (dengan mengesampingkan204
anaconda yang kutonton di televisi, tentu saja). Untunglah, ular
itu tidak dibiarkan berkeliaran dengan bebas, melainkan menempati sebuah kandang yang sama besarnya dengan kandang
yang ditempati seekor anjing doberman. Meski begitu, ular itu
tetap kelihatan berbahaya. Saat aku terpaku menatapnya, ular itu
membuka mulutnya dan menjulurkan lidahnya.
Mungkin dia bermaksud meledekku lantaran bisa mencium
ketakutanku. Dasar ular sialan.
Aku berhasil memaksa mataku menyingkir dari si ular tukang
ledek, dan menemukan bahwa masih banyak binatang lain di
ruangan itu yang cukup menarik untuk dilihat-lihat?semuanya
berada di dalam kandang. Kelinci dan tikus?kedua-duanya berbulu putih. Hamster yang sedang berlari-lari di dalam rodanya.
Burung beo yang menjerit-jerit, "Hanny! Hanny!"
"Obsesi," kata Markus sambil menunjuk burung beo itu.
"Hei," Tony menatap kandang tikus dengan muka tegang.
"Lihat ini."
Aku dan Markus segera mendekatinya.
"Tikus putih." Markus langsung paham. "Seperti yang kita
temuin di kamar orangtua Jenny."
"Gue nggak salah liat," kata Tony dengan rahang terkatup
rapat. "Waktu itu Johan pasti sedang berkeliaran di dalam kamar
orangtua Jenny. Saat kita masuk, dia ngelepasin tikus ini untuk
ngalihin perhatian. Hebat juga dia, bisa mikirin persiapan sampai
sejauh itu."
Bulu kudukku merinding saat memikirkan bagaimana Tony
dan Markus nyaris memasuki kamar mandi tempat Johan sedang
bersembunyi. Bagaimana kalau waktu itu mereka memergoki
Johan? Apa yang akan dilakukan Johan pada mereka?205
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku memperhatikan ruangan itu lagi. Ruangan itu pastilah
ruangan yang disebut Hanny sebagai ruang belajar Johan, meski
ruangan ini lebih mirip kebun binatang yang jorok dan dipenuhi
tumpukan sampah. Banyaknya sampah di kamar itu mengingatkanku pada bagian atas rumahku yang digunakan oleh Johan
untuk tinggal.
"Orang ini benar-benar lebih jorok daripada aku," gerutu
Tony.
"Yah, kalo mau jujur sih, lo nggak ada apa-apanya dibanding
orang ini," kata Markus. "Cuma seragam lo tetap lebih dekil dibanding seragam dia."
"Yeah, seragam gue emang nggak ada duanya."
Kami menemukan banyak sekali buku-buku sulap, hipnotis,
dan hal-hal semacam itu di kamar ini. Ada juga beberapa set
kartu poker dan kartu tarot, juga boneka marionet yang patahpatah itu. Tampaknya Johan menunjukkan minat serius di bidang
yang digeluti Deddy Corbuzier.
Tanpa cerita dari Hanny, kami tidak mungkin menemukan
selembar foto yang diselipkan di bagian atas laci terbawah meja
belajar Johan. Seperti cerita Hanny, wajah-wajah dalam foto itu
sudah dihitamkan sehingga tidak bisa dikenali. Satu-satunya yang
masih utuh hanyalah foto si anak laki-laki, yang jelas-jelas adalah
Johan.
"Kalo begini sih, kemungkinan besar babenya juga udah dibunuh," kata Markus muram.
Meski banyak hal yang menarik, kami tidak menemukan apa
yang kami cari?bukti yang menandakan ayah Johan sudah meninggal atau bukti pernah terjadi pembunuhan di rumah ini, atau
semacamnya.206
"Ayo, kita periksa ruangan lain," ajak Tony.
Ruangan lain yang dimaksud adalah ruang makan dan dapur,
yang sepertinya sudah lama tidak digunakan juga. Debu berlapis
tebal, sementara kebanyakan perkakas di sana terlihat masih sangat baru. Johan jelas tidak bisa memasak, lebih suka membeli
makanan dari luar, dan tidak suka mencuci peralatan yang sudah
digunakannya.
"Jangan-jangan seragamnya juga jarang dicuci," gumam Tony.
"Tapi, kalo gitu, kenapa seragamnya nggak sedekil seragam gue,
ya?"
Dari dapur, terdapat sebuah pintu menuju pekarangan belakang. Kami keluar dari pintu itu, dan langsung menghadap ke
kuburan pribadi milik keluarga Johan.
Aku terperangah melihat gundukan-gundukan itu. Semuanya
sudah dipenuhi rumput dan semak-semak, jadi kuburan-kuburan
itu pasti sudah berumur cukup lama. Ada dua batu nisan yang
cukup bagus. Di batu nisan pertama tertulis "Istri dan ibu tercinta", menandakan itu adalah batu nisan ibu Johan, sementara
di batu nisan kedua yang lebih kecil bertuliskan "Anak dan adik
tercinta".
"Adik tercinta," dengus Tony. "Entah dia pernah sayang sama
adiknya atau nggak."
"Apa isi gundukan-gundukan lain?" tanya Markus sambil mengawasi gundukan-gundukan itu, seolah-olah khawatir akan ada
yang muncul dari dalam tanah.
"Entahlah," sahut Tony dengan muka khawatir juga. "Apa kita
harus gali satu per satu?"
"Boleh juga." Suara Johan terdengar dari belakang kami.
Kami membalikkan badan, dan melihat Johan sedang meng-207
acungkan sebilah pisau pada wajah Hanny yang menatap kami
dengan wajah pucat. "Tapi, gue saranin kalian gali lubang yang
baru aja. Nggak enak kalo dikubur bareng mayat lama."208
Tadinya semuanya berjalan dengan lancar.
Pulang dari sekolah, aku langsung cabut dengan Johan. Kami
makan siang di restoran Jepang Winatasuki di Grand Hadiputra,
lalu jalan-jalan mengitari mal mewah tersebut. Aku sempat membeli
dua atasan Esprit yang cantik, sepotong celana jins di butik Levi?s,
dan beberapa wangi-wangian dari The Body Shop. Seandainya saja
pasangan kencanku bukan Johan si maniak gila yang hobi muncul
mendadak seperti hantu, yang bahkan sampai mengejar-ngejarku
hingga ke toilet, aku pasti akan sangat menikmati sore ini.
Kenyataannya, aku sangat ketakutan.
Aku berusaha keras untuk terlihat santai dan gembira, namun
tidak sedetik pun aku lengah. Aku tidak pernah membiarkan
kami menyepi berdua, dan selalu menuntunnya ke tempat-tempat
yang dipenuhi keramaian. Kupaksa dia menyerbu butik Esprit
yang sedang sale, dan kurasa dia pasti bosan setengah mati saat
menungguku mencoba berbagai parfum TBS. Meski rada kebelet
pipis, aku bertekad untuk menahan diri dan tidak mengunjungi
kamar kecil sama sekali.
18
Hanny209
Yang membongkar penyamaranku adalah niat buruk Johan.
Setelah beberapa waktu, Johan mulai gelisah. Saat disuruh menungguiku di TBS, dia mulai uring-uringan. Waktu aku keluar
dari TBS, dia langsung menyambar lenganku.
"Kita pulang aja," katanya.
"Pulang?" tanyaku kaget, tapi pikiranku bekerja cepat. Seandainya saat ini kami pulang, aku akan langsung menelepon Jenny
dan memberinya kabar, sehingga mereka bisa cepat-cepat ngacir
dari situ.
"Iya, pulang ke rumah gue."
Aku terperanjat. "Ngapain kita ke rumah elo?"
"Gue nggak suka keramaian," ketus Johan. "Gue mau berduaan
aja sama elo."
Aku langsung panik membayangkan kami bakalan memergoki
Jenny dan lainnya di rumah Johan. "Jangan. Kita jalan-jalan lagi
aja."
"Gue bosen, Han," kata Johan dengan nada yang biasa digunakan oleh para pedagang saat mereka tidak bersedia menurunkan
harga barang mereka lagi. "Jangan egois dong. Gue udah nemenin
lo segitu lama, lo harus nemenin gue juga."
Gawat. Aku harus menelepon Jenny, memintanya untuk menyingkir. Tapi, kalau bisa, jangan jauh-jauh, karena aku tidak sudi
berduaan saja dengan si gila ini.
"Oke," sahutku akhirnya. "Tapi, gue telepon rumah dulu, ya?
Biar orang-orang rumah nggak cemas nungguin gue pulang."
Entah kegelisahanku yang membuka kedokku ataukah naluri
Johan memang tajam, saat aku mulai menelepon, Johan merebut
ponselku.210
"Ngapain elo nelepon Jenny?" tanyanya saat melihat nama
Jenny yang tertera di ponselku.
Aku gelagapan. "Kami ada janji nanti sore untuk bikin PR
bareng."
Johan mengawasi wajahku.
"Elo bohong."
"Nggak," sahutku sambil berusaha memasang wajah polos dan
manis.
"Elo nggak jago bohong, Han."
Sial, kukira aku pembohong kawakan.
"Apa yang lo rencanain bareng Jenny?" Aku memekik saat
Johan mencekal tanganku. "Cepat bilang!"
Aku menggeleng sambil menahan rasa sakit akibat cengkeraman
kuku Johan pada kulitku. "Gue nggak bohong. Kami nggak
ngerencanain apa-apa...."
Aku menjerit saat Johan menamparku.
"Hei!" seru seorang cowok di sekitar situ sambil menghampiri
kami. "Apa-apaan kamu?"
Langkah cowok itu terhenti saat dipelototi Johan yang bermuka mengerikan.
"Mau apa?" bentak Johan.
Ditantang seperti itu oleh Johan, cowok itu tampak keder. Dia
buru-buru mengangkat kedua tangannya. "Hei, nggak usah ngamuk gitu. Aku cuma mau bantu."
"Nggak ada yang perlu dibantu!"
"Iya, iya. Gitu aja ngamuk."
Aku menatap tanpa daya saat cowok itu meninggalkan kami.
Ku
sadari bahwa beberapa pengunjung sedang memperhatikan211
kami, tapi tak ada yang berani ikut campur setelah dipelototi
mata nyalang Johan.
"Ayo, kita pulang ke rumah gue!" kata Johan seraya menyeretku.
"Nggak mau!" teriakku. "Lo nggak bisa maksa gue!"
"Oh, ya?"
Aku menjerit lagi saat Johan menjambak rambutku. Saat tatapan kami bertemu, mata Johan menyipit. "Jangan main-main sama
gue, Han. Lo nggak tahu gue sanggup berbuat apa aja."
Aku tahu. Justru karena aku tahu, aku tidak mau mengikutinya.
"Hei!"
Di kejauhan, aku melihat petugas sekuriti berjalan mendekat
diiringi oleh cowok yang tadi sempat diusir Johan.
"Ayo, jangan sampai kita kena masalah!"
Sebenarnya aku ingin menahan langkah Johan, tapi untuk
ukuran cowok begeng, Johan benar-benar kuat?atau mungkin
dia tidak sekurus yang terlihat. Yang jelas, seberapa pun hebatnya
aku meronta-ronta, aku benar-benar tidak sanggup melepaskan
diri saat Johan menyeretku pergi seraya menjambak rambutku.
Rasa sakit gara-gara dijambak berpadu dengan rasa malu karena
ditonton semua orang dan rasa takut karena diseret menuju
rumah Johan yang terpencil dan mengerikan. Saking tidak
berdayanya, aku melepaskan tas dan belanjaanku begitu saja.
Gila, dijambak benar-benar menyakitkan! Bisa kurasakan sejumlah rambutku yang rontok karenanya. Kalau aku sampai
pitak, aku bakalan minta orangtuaku membelikan wig yang lebih
keren daripada yang dimiliki Jenny Bajaj. Wig berwarna merah,
biar makin heboh.212
Itu kalau aku berhasil selamat hidup-hidup dari semua ini,
tentu saja.
Johan menarikku menuruni tangga darurat. Saat itulah si petugas sekuriti berhasil menyusul kami.
"Hei, tunggu!"
Petugas sekuriti itu menjerit saat Johan menarik bahunya, lalu
melemparkannya hingga terguling-guling ke bawah tangga. Saat
menyentuh lantai, petugas itu tak bergerak lagi. Aku menatap
dengan ngeri.
"Apa dia mati?" bisikku.
"Kemungkinan besar nggak," sahut Johan menyesal. "Nggak kedengaran bunyi patah leher. Ya udahlah. Yang penting dia nggak
ganggu kita lagi."
Johan benar. Setelah itu, tak ada yang menghalangi kami lagi.
Kami tiba di tempat parkir tanpa ada masalah. Johan menuju
bagian belakang mobilnya, lalu mengambil tali dan mengikat tanganku. Setelah itu dia melemparku ke dalam mobilnya dengan
kasar.
"Menggunakan elo sebagai pengalih perhatian," kata Johan
seraya menjalankan mobilnya. "Sepertinya ini bukan cuma permainan elo dan Jenny. Apa Tony dan Markus juga terlibat?"
Aku membungkam.
"Ya, terserah lo mau jawab atau nggak," kata Johan enteng.
"Gue bisa cari tahu sendiri. Asal tahu aja, otak gue jauh lebih
pintar daripada otak kalian berempat dijadiin satu."
Yeah, kalau dia memang jenius, kenapa rankingnya tidak pernah menembus sepuluh besar?
Sepanjang perjalanan aku tetap bungkam, dan Johan tidak
mengajakku bicara pula. Mungkin saja dia menyadari tekadku213
untuk tidak membocorkan rahasia kami, tapi kurasa dia sedang
memikirkan apa yang kami rencanakan. Lebih gawat lagi, mungkin saja dia sedang memikirkan apa yang akan dilakukannya
terhadap kami.
Semoga Tony dan Markus bisa mengatasi orang gila ini.
Dari kejauhan saja kami sudah mengenali mobil Fortuner Tony
yang terparkir di depan rumah Johan.
"Brengsek!" geram Johan. "Mereka benar-benar ada di sini.
Tapi mereka nggak akan ngelakuin apa-apa." Dia menoleh padaku
dan tersenyum penuh kemenangan. "Gue punya sandera."
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Johan memarkir mobilnya agak jauh dari rumahnya. Awalnya
aku tidak mengerti, tapi belakangan aku menyadari bahwa dia
melakukan itu supaya Jenny dan kedua cowok itu tidak mendengar kedatangannya.
Sebelum keluar, Johan merogoh-rogoh rokku, membuatku
nyaris pingsan saking takutnya. Tapi rupanya dia cuma mencari
saputangan. Saat berhasil menemukannya di saku rokku, dia langsung menyumpalkan benda itu ke dalam mulutku.
"Supaya lo nggak bikin ribut," katanya puas. "Tapi, tentu aja
kita masih butuh senjata untuk ngadepin kedua anak ingusan
itu."
Aku membelalak saat melihatnya mengeluarkan pisau dari
dalam dasbor mobil.
"Ayo, kita habisin semua lawan kita."
Sambil menyeretku masuk?kali ini tanpa jambakan lagi,
untunglah?Johan menyelinap masuk ke dalam rumahnya dengan
hati-hati. Aku berusaha menimbulkan keributan, namun dia langsung mengacungkan pisaunya padaku, membuatku langsung
lemas dan tidak berani bertingkah lagi. Dengan gerakan yang bisa214
dibilang cukup lihai, seolah-olah dia sudah melakukannya setiap
hari, Johan memeriksa setiap ruangan dengan hati-hati. Tapi,
Jenny dan kedua cowok itu tidak kelihatan.
Mungkin saja mereka sudah meloloskan diri. Semoga saja begitu.
Namun, nasib kami tak seberuntung itu. Ternyata mereka semua ada di pekarangan belakang yang, seperti dugaanku, adalah
pemakaman pribadi keluarga Johan. Itulah sebabnya mereka tidak
mendengar kedatangan Johan.
Saat ini, aku tidak punya harapan untuk lolos lagi.215
Saat ini kami benar-benar berada dalam masalah besar.
"Kalo lo nggak mau muka temen lo rusak, Jen, ikat mereka
berdua," kata Johan setelah menggiring kami ke dapur dan
menyuruhku mengambil tali rafia di bawah tempat cuci piring.
Hanny melemparkan tatapan memelas padaku, dan aku buruburu mengikat tangan Tony yang otomatis terjulur ke depan.
"Sori ya, Ton," ucapku penuh sesal.
Tony tidak menyahut, tapi memberiku senyum lembut yang
menguatkan hatiku. Kita pasti akan bisa lolos dari sini, begitulah
kira-kira arti senyum itu.
Dan aku percaya padanya.
Setelah mengikat tangan Markus, aku disuruh menghampiri
Johan, yang langsung melemparkan Hanny ke arah Tony dan
Markus.
"Sekarang elo yang jadi sandera gue!" Aku mengernyit menahan sakit ketika Johan mengikatku dengan kasar. "Sayang cuma
sandera. Dari dulu gue udah kepingin banget ngerjain elo, Jen.
Bikin elo sampai nangis-nangis ketakutan, memohon-mohon
19
Jenny216
minta ampun, lalu berakhir di tempat yang paling lo takutin di
dunia ini...!"
Bisa kurasakan tatapan Tony yang membara saat mendengar
ancaman Johan padaku. Tubuhku gemetaran, tidak tahu akibat
tatapan itu ataukah ancaman Johan yang menakutkan.
"Selesai," kata Johan setelah meyakinkan ikatannya pada tanganku cukup erat. "Sekarang kita akan pergi ke tempat yang lebih
menyenangkan. Ayo, kita ke ruang belajar. Hanny, lo tahu jalannya. Ayo, jalan di depan."
Sambil mengikuti Hanny, aku mulai memikirkan yang tidaktidak. Apa yang akan dilakukan Johan pada kami? Menyuruh
ularnya yang gede banget itu memangsa kami? Menguliti kami
satu per satu? Memutilasi kami?
Aku menjerit saat Markus menimpaku dan Hanny. Aku menoleh ke belakang, dan melihat Johan terjatuh. Rupanya Tony
sempat menyengkatnya.
"Pelajaran buat amatir," seringai Tony. "Jangan lupa ngikat kaki,
goblok!"
"Terima kasih, akan gue ingat-ingat pesan lo ini."
Johan bangkit dari lantai dan berusaha menghunjamkan pisaunya pada Tony, namun Tony berhasil mengelak.
"Man, bawa mereka jauh-jauh dari sini!" teriaknya sambil menendang muka Johan, dan si sinting itu langsung terpental lagi.
"Ayo," ajak Markus. "Kita lepasin ikatan kita dulu!"
Kami bergegas ke dapur dan mencari pisau. Dalam waktu
singkat, kami berhasil melepaskan ikatan kami. Hanny langsung
meludahkan saputangan yang entah sudah berapa lama mendekam
di mulutnya, sementara Markus langsung berlari ke depan sambil
membawa pisau yang digunakan untuk memotong tali kami.217
Aku mengambil pisau yang tersisa, yang rupanya adalah sebilah
parang. Benda itu kelihatan sangat menakutkan, tapi aku tidak
ingin kembali pada Johan tanpa senjata. "Ayo, Han!"
Kami menghambur kembali ke ruang duduk. Di sana Markus
cuma berdiri dengan muka bengong. Johan menempelkan punggungnya pada pintu depan, sementara Tony yang tangannya
masih terikat tampak terengah-engah akibat perkelahiannya dengan Johan. Hatiku mencelos saat melihat betapa banyaknya luka
yang diderita Tony. Ada sebuah goresan di pipinya, satu di dekat
perut, dan sepertinya kakinya juga terluka entah di mana. Namun, luka yang paling dalam pastilah luka di lengannya, karena
lengan itu bersimbah darah yang menetes-netes ke lantai.
Meski tampak sangat letih dan terluka parah, cowok itu menyeringai lebar.
"Nggak punya pisau, nggak bisa bertingkah lagi, ya?" tanyanya
pada Johan sembari menginjak pisau yang tadinya dipakai Johan.
Johan melirik ke arah kami, matanya melotot saat melihat parangku, dan segera menyadari bahwa situasi sudah berbalik arah.
Lalu, menampakkan sifat sebenarnya yang pengecut banget, Johan
pun membuka pintu depan dan kabur.
"Brengsek, jangan kabur!" teriak Tony sambil menoleh pada
Markus. "Putusin ikatan gue, man!"
Markus segera memotong tali yang mengikat tangan Tony.
Begitu tangannya bebas, Tony langsung meraih pisau yang tadinya
digunakan Johan, lalu kami semua segera mengejar Johan yang
menyeberang ke hutan di seberang rumah. Sesaat kami ragu-ragu
untuk memasuki hutan yang terlihat angker itu.
"Gawat!" kata Tony tegang. "Masa udah sampe begini, kita
harus kehilangan dia?"218
"Tentu saja nggak," kata Markus tenang. "Ayo, kita tangkap
dia!"
Tony mengangguk sambil tersenyum, lalu menoleh padaku dan
Hanny. "Jangan jauh-jauh di belakang kami, ya!"
"Oke," sahut Hanny.
Aku ingin sekali bertanya bagaimana keadaan Tony saat ini,
apakah luka-lukanya sakit sekali, apakah kepalanya pusing lantaran kehabisan darah, tapi kurasa ini bukan waktunya ribut-ribut.
Jadilah kami berjingkat-jingkat di hutan itu, berusaha bergerak
tanpa menimbulkan suara?hal yang sulit sekali karena banyak
daun kering yang berserakan di tanah dan langsung menimbulkan
bunyi gemeresik saat kami menginjaknya.
Hutan itu, di luar dugaan, sangat lebat. Jarak antara satu
pohon dan pohon lain tidak terlalu jauh, dan setiap pohon cukup
rimbun pula, sehingga suasananya terasa gelap dan suram. Tentu
saja aku masih bisa melihat ketiga temanku dengan jelas. Hanya
saja, sulit sekali menduga apa yang menunggu kami di depan
sana, membuat kami semua makin tegang saja.
Semoga saja kami tidak nyasar di dalam hutan ini.
Lalu, tiba-tiba saja, aku ditarik ke belakang. Aku merontaronta saat sebuah lengan kokoh menjepit leherku kuat-kuat dan
membuatku tidak bisa bernapas. Saat aku berniat menggunakan
parang yang kubawa sejak tadi, tanganku dipelintir dengan keras,
membuatku ingin menjerit?namun aku tidak sanggup mengeluarkan suara lantaran tercekik.
"Jenny!" Kudengar suara Tony. "Lepasin parangnya!"
Aku tidak mengerti kenapa Tony menyuruhku melepaskan
senjata yang kubawa, tapi aku menurutinya tanpa banyak cincong. Saat parang itu terjatuh ke tanah, mendadak Tony me-219
nerkam ke depanku, menjepitku di antara tubuhnya dan tubuh
Johan.
"Lepasin dia!" geram Tony. "Atau gue bolongin muka lo dengan pisau lo sendiri!"
"Berani?" Johan mengetatkan cekikannya pada leherku, membuatku mulai berkunang-kunang. "Akan gue cekik pacar mungil
lo ini sampe mati!"
"Lebih cepat tusukan gue atau cekikan elo?" balas Tony.
Aku tidak sempat melihat kejadian itu, namun belakangan
Hanny mengatakan padaku bahwa pisau Tony sudah tinggal
seinci menuju mata Johan. Tak heran Johan menyerah. Tapi dia
tidak menyerah dengan baik-baik. Kurasakan dia mendorong
kepalaku sekuat tenaga hingga membentur hidung Tony, dan dia
pun melarikan diri.
Markus langsung mengejar Johan, sementara Hanny segera merangkulku yang terbatuk-batuk sejenak. Lalu, kusadari bahwa
sundulan kepalaku mengakibatkan hidung Tony patah dan
berdarah.
"Aduh, sori banget, Ton," kataku hampir menangis karena
merasa bersalah dan nyaris tak merasakan sakit di jidatku.
Tapi, Tony cuma nyengir seraya mengusap hidungnya dengan
bajunya yang dipenuhi darah.
"Ampun deh. Kepalamu keras banget sih, Jen. Nanti aku pasti
susah ngurusin kamu." Dikecupnya sekilas jidatku yang tadi
menyundulnya?membuat perasaanku jadi jauh lebih baik sekaligus tersipu-sipu?lalu dia berkata menenangkanku, "Tenang aja,
aku nggak apa-apa. Ayo, kita bantu Markus."
"Mereka kembali ke arah situ," kata Hanny menunjuk ke arah
rumah Johan.220
Kami tidak membuang-buang waktu lagi dan segera mengejar
Johan dan Markus. Dari kejauhan kami bisa melihat Markus
sedang tonjok-tonjokan dengan Johan di lantai di depan rumah.
Rasanya tidak sabar untuk mendekati mereka, tapi sialnya jalan
besar di depan rumah Johan yang sepi itu rupanya sering menjadi
tempat ajang kebut-kebutan, jadi kami harus menahan adrenalin
kami dan menyeberang dengan hati-hati.
Saat kami tiba di seberang, aku melihat Markus berhasil
membanting Johan dengan teknik judo yang keren banget.
"Wow, keren, man!" seru Tony kagum.
Tapi, Johan memang tahan banting. Bukannya pingsan atau
apa, dia malah mencekal baju Markus hingga Markus ikut terguling-guling bersamanya.
"Emangnya lo berani bunuh gue dengan pisau itu, Mar?" tanya
Johan menantang saat Markus berusaha mengancam dengan pisaunya.
Johan benar. Meski kedudukan Markus ada di atas angin, dia
tidak tega melukai Johan dengan pisau yang dipegangnya. Jadinya
senjata itu malah menjadi penghalang Markus dalam memenangkan pertempuran itu. Johan memukulkan tinjunya pada sisi pisau
itu, membuat senjata itu terpental tak jauh dari keduanya. Keduanya langsung berjuang keras untuk meraih pisau itu sembari
menahan lawan mereka supaya tidak berhasil mendapatkannya.
Markus-lah yang berhasil meraih pisau itu, namun Johan juga
bertindak cepat dengan menyikut muka Markus dan berlari masuk ke dalam rumah.
"Lo nggak apa-apa?" tanya Tony pada Markus.
Markus meraba-raba mukanya seolah-olah takut ada bagian
yang hilang, lalu menggeleng dengan lega. "Cepat kejar dia!"221
Saat kami membuka pintu rumah, sebuah lampu meja melayang ke arah kami, tapi Markus berhasil menutup pintu lagi
sebelum lampu itu mengenai salah satu dari kami. Bisa kudengar
suara benturan antara lampu dan daun pintu.
Markus membuka pintu lagi, dan kami melihat Johan berlari
terbirit-birit. Kami langsung mengejarnya hingga maniak pengecut
itu tersudut di depan pintu ruang belajarnya.
"Kalian nggak mau nyerah?" tanya Johan dengan muka kalap.
"Apa kalian nggak tahu apa yang ada di balik pintu ini?"
Pastilah Tony sudah bisa menduga pikiran Johan, karena cowok
itu langsung berteriak, "Jangan, tolol!"
Kami semua segera menerjang masuk ke ruang belajar Johan.
Dari sela-sela ketiak Markus, aku bisa melihat Johan sedang membuka kandang ularnya dengan muka penuh kemenangan. Namun,
berbeda dengan harapan Johan, si ular yang mengenalinya sebagai
orang yang selama ini mengurungnya itu tidak berniat membelanya, melainkan malah memutuskan orang itulah yang patut diserang duluan.
"Akhhh!"
Aku dan Hanny cuma menatap ngeri saat melihat bahu Johan
digigit si ular yang sepertinya tidak berniat melepaskannya dalam
waktu dekat.
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dasar goblok!" seru Tony sambil menghambur maju. "Ayo,
man, kita keroyok ularnya!"
"Nggak malu ya, main keroyok," kata Markus sambil nyengir,
tapi segera bergabung dengan Tony dan mengepung si ular.
Menyadari dirinya dalam bahaya, si ular langsung melepaskan
Johan, yang dengan loyonya langsung terkulai di lantai. Dengan
matanya yang tajam dan mengerikan, si ular mengawasi dua222
lawan barunya. Lalu, dengan secepat kilat, dia mengincar Tony
yang sepertinya lebih menggiurkan dengan bau darah yang menyelimutinya.
Tapi, Tony juga tidak kalah cepat dan menusukkan pisaunya
ke mata si ular yang langsung meronta-ronta dengan ganas. Dengan satu ayunan keras, Markus memenggal kepala si ular, dan
tamatlah riwayat ular itu.
Kami menghampiri Johan, yang sedang berkelojotan di lantai.
Wajahnya pucat kehijauan, dengan peluh membasahi tubuhnya.
Wajahnya mengernyit, seolah-olah sedang menahan rasa sakit
yang amat sangat.
Sebuah pikiran terlintas dalam pikiran kami semua.
Tinggalkan dia saja, dan biarkan dia mati di sini.
Tapi, apakah kami tega melakukannya?
"Ayo, kita bawa dia ke rumah sakit," kata Tony akhirnya. "Bantu
gue, man."
Tanpa membantah, Markus membantu Tony mengangkat
Johan berdiri, lalu keduanya memapah Johan keluar dari rumah.
Johan dimasukkan ke jok belakang Fortuner Tony, lalu Markus
ikut masuk ke mobil.
"Jen, kamu duduk di depan aja," kata Markus padaku, lalu
berpaling pada Hanny. "Kamu nemenin aku di belakang nggak
apa-apa, kan?"
Hanny mengangguk kaku.
Meski terluka parah, Tony masih sanggup menyetir. Sesaat
kami semua membisu dalam perjalanan menuju rumah sakit.
"Kalian pasti ngira gue orang paling jahat di dunia."
Kami terkejut karena di sela-sela kesakitannya, Johan masih
bisa bicara.223
"Yeah, gue memang jahat. Gue yang bikin Jenny Bajaj dan
Jenny Tompel celaka. Tapi mereka layak mendapatkannya! Juga
Jenny Jenazah!" Aku merinding mendengar Johan menyebut namaku. "Seharusnya elo juga celaka, Jen."
"Eh, jangan berisik!" bentak Tony. "Nanti gue turunin di tengah jalan."
Johan tertawa dengan suara yang mirip tangisan.
"Turunin aja kalo berani," katanya akhirnya. "Gue emang udah
nggak niat hidup. Gue cuma sendirian di dunia ini. Tadinya gue
pikir Hanny mau jadi temen gue buat selamanya, tapi ternyata
dia juga nggak sudi temenan sama gue...." Lalu dia mulai menangis. "Padahal, gue nggak seburuk yang dia sangka. Gue
nggak seburuk yang semua orang sangka! Ibu, aku nggak bohong. Aku nggak bunuh Jocelyn!"
Kami semua membisu mendengar pengakuannya itu.
"Jocelyn jatuh ke kolam," gumam Johan dengan suara mengigau. "Aku ketakutan. Aku takut semua orang akan nyalahin
aku, karena setiap kali Jocelyn nangis, selalu aku yang disalahin.
Jadi aku berusaha nolong Jocelyn sendirian. Tapi aku nggak bisa
berenang. Aku nggak bisa nolong Jocelyn. Tahu-tahu aja dia
udah mati!" Johan menangis lagi. "Dan, Ibu jadi benci sama
aku. Ibu bunuh diri karena benci sama aku dan nganggap aku
pembunuh. Ibu, Ibu nggak tahu betapa sakit hatiku karena nggak
dipercaya!"
Air mataku menggenang mendengar pengakuan Johan. Masa
kecil Johan begitu menyedihkan. Tidak heran dia jadi sinting
begitu.
Lalu, mendadak saja, terdengar suara anak perempuan yang
jernih.224
"Jangan sedih, Kak. Jocelyn tahu, Kakak nggak salah
kok."
Kami semua membeku mendengar suara ganjil yang keluar
dari mulut Johan itu.
"Jocelyn tahu, Kakak udah usaha keras untuk nyelamatin
Jocelyn. Jocelyn nggak pernah nyalahin Kakak. Kakak juga tahu
itu, kan?"
"Aku nggak peduli!" teriak Johan dengan suara aslinya. "Aku
cuma ingin Ibu tahu. Aku ingin Ibu nggak nyalahin aku lagi.
Aku ingin ketemu Ibu. Aku ingin dengar Ibu minta maaf padaku!"
"Johan!"
Teriakan Markus membuatku menoleh. Kulihat Johan menempel di punggung kursi pengemudi dan mencekik Tony yang
sedang menyetir, sementara Markus dan Hanny berusaha menarik
Johan dengan sia-sia. Tanpa berpikir lagi, aku langsung menusuk
mata Johan dengan jari-jariku. Johan menjerit, tapi tidak melepaskan cekikannya pada Tony yang meronta-ronta sekuat tenaga.
Oh, sial.
Gerakan mobil jadi kacau-balau. Setelah meliuk-liuk beberapa
saat, mobil itu menerjang melewati bahu jalan dan arghh! Kami
terbalik! Mobil kami terbalik!
Mungkin aku pingsan sesaat, mungkin juga tidak. Pokoknya,
selama beberapa saat tidak ada yang bergerak. Saat kesadaranku
pulih, aku menyadari bahwa Tony sedang menimpaku.
Hatiku mencelos saat menyadari tidak ada tanda-tanda kehidupan pada cowok itu.
"Tony," bisikku sambil menyentuh bawah hidungnya. "Kamu
nggak apa-apa?"225
Cowok itu tidak menjawab, apalagi bergerak. Kepanikan mulai
mencekam hatiku.
"Ton!" Suaraku mulai keras, namun bercampur dengan isakan, sementara mataku kabur oleh air mata. "Tony... jangan bercanda. Kita udah nyaris lolos. Masa kamu nyerah sendirian?"
Tetap tidak ada reaksi dari Tony.
"Bangun, brengsek!" teriakku dengan tangisan meraung-raung
ala Jenny Bajaj. "Katanya mau pacaran sama aku. Nggak tahunya
kamu cuma bohong!"
"Nggak bohong."
Tubuhku menegang mendengar bisikan yang nyaris tak terdengar itu.
"Tony?"
Kelopak mata Tony bergerak-gerak sejenak sebelum akhirnya
membuka dan menatapku. Bibirnya yang tersenyum kecil menimbulkan kelegaan yang amat sangat dalam hatiku.
"Nggak bohong," ulangnya sekali lagi dengan suara lebih keras.
"Kamu kira aku udah mati, ya? Nggak mungkin, Jen. Aku nggak
bakalan mau mati sebelum pacaran sama kamu."
Aku tertawa di sela-sela tangisanku. "Kok alasan nggak mau
matinya dangkal banget?"
"Yah, kamu ngertilah maksudku." Tony meringis. "Aduh, kepalaku pusing, Jen...."
"Iya, kamu emang kehabisan banyak darah," kataku cemas.
"Tadi sempat dicekik Johan sialan pula."
"Johan emang sialan! Ditolongin malah nggak tau terima kasih!" Tony melirik ke belakang. "Yang di belakang baik-baik
aja?"226
"Lumayan." Terdengar suara Markus. "Cuma tadi dramanya
oke banget, jadi nggak berani nyela."
Oh, sial. Sekarang aku jadi malu banget.
"Hanny?" panggilku.
"Iya, Jen, gue juga baik-baik aja." Suara Hanny terdengar
lemah. "Tapi kepala gue benjol gede nih!"
"Si orang-nggak-tau-terima-kasih gimana?" tanya Tony.
"Nggak tahu." Markus memeriksa Johan. "Coba gue...
arghhh!"
Terdengar bunyi sodokan keras, dan Markus langsung memegangi hidungnya yang disikut Johan. Hanny menjerit saat Johan
memegangi mukanya dan membenturkan kepalanya ke kaca
belakang. Lalu, si maniak gila itu langsung melarikan diri lewat
kaca jendela yang dipecahkannya.
"Apa-apaan orang itu?" teriak Markus jengkel. "Emangnya dia
nggak mau ke rumah sakit?"
"Apa pun yang terjadi, kita harus bawa dia lagi!" kata Tony
sambil mengertakkan gigi. "Ayo kita kejar!"
Setengah mati kami keluar dari mobil. Kondisi kami berempat
tidak terlalu baik, tapi Tony-lah yang menderita luka paling
banyak. Meski begitu, dia yang berlari duluan mengejar Johan,
dan dengan mengerahkan tenaga sekuatnya, kami pun menyusulnya.
Namun, kali ini pengejaran kami tidak berlangsung lama. Dari
kejauhan, kami bisa melihat adegan itu. Johan yang kukira melarikan diri dari kami, menerobos ke jalan raya tepat pada saat sebuah truk besar melintas. Truk itu membunyikan klakson sekencang-kencangnya, tapi Johan cuma berdiri di tengah jalan.227
Dan, mungkin cuma khayalanku saja, tapi sepertinya kulihat
Johan menyongsong truk itu.
Lalu, kami semua hanya membeku di tempat saat melihat tubuh Johan terpental saat truk itu menabraknya.228
Akan kuceritakan akhir cerita ini berdasarkan urutan kronologis.
Pertama-tama, luka-luka kami berempat ternyata tidak parah.
Hanya Tony yang disuruh menginap di rumah sakit, dan itu pun
cuma semalam untuk keperluan observasi. Dari sekian banyak
luka di tubuhnya, hanya luka di lengannya yang harus dijahit.
Paman Markus menengok kami di rumah sakit. Ternyata beliau
inspektur polisi. Kami menuturkan semua peristiwa itu padanya,
dan wajahnya tampak gelap saat mendengar cerita kami soal
pengakuan Johan. Beliau berjanji akan mengusut rumah Johan
untuk kami.
Belakangan, paman Markus memberitahu kami bahwa
kuburan-kuburan tanpa nisan yang ada di belakang rumah Johan
bukanlah berisi mayat manusia, melainkan mayat binatang. Sepertinya Johan mengubur binatang peliharaannya yang mati di
situ. Kurasa, bagi Johan, binatang-binatang itulah yang menemaninya selama ini selayaknya keluarga, dan itu alasan yang cukup
baginya untuk mengubur mereka di pemakaman keluarga.
20
Hanny229
Selain para polisi, ada juga wartawan yang menengok kami di
rumah sakit. Kami diwawancara satu per satu, lalu difoto?lengkap dengan segala perban yang menjadi tanda kehormatan kami.
Keesokan harinya foto itu terpampang di salah satu surat kabar
nasional yang paling bergengsi, dengan judul "Empat Remaja
Berhasil Selamat dari Cengkeraman Psikopat". Dalam berita itu
terdapat juga komentar dari petugas sekuriti yang sempat dijatuhkan Johan ke bawah tangga.
"Orang itu benar-benar gila," kata si petugas sekuriti. "Sepertinya dia tidak ragu-ragu mencelakai siapa saja yang menghalangi
perbuatannya. Saya rasa saya sangat beruntung karena masih
hidup setelah berhadapan dengannya."
"Saya sudah tahu orang itu tidak waras," demikian kutipan
dari cowok yang berusaha menolongku di mal. "Itu sebabnya saya
mundur saat dia mulai menantang saya. Bukan karena saya pengecut lho."
Orangtuaku bangga sekaligus cemas saat membaca berita itu.
Guru-guru dan teman-teman di sekolah mengelu-elukan kami
sebagai pahlawan. Jenny Bajaj langsung memberikan karangan
bunga pada kami, berterima kasih karena kami sudah membalaskan dendamnya?padahal kami tidak berniat seperti itu?dan
mengatakan bahwa dia sudah mengusulkan pada pihak sekolah
untuk mendirikan monumen bagi kami. Bodyguard Jenny Bajaj
memberikan pelukan superhangat pada kami, dan mengatakan dia
bakal pensiun dalam waktu dekat. Kurasa, dia sudah nyaris gila
berdekatan dengan Jenny Bajaj terus-menerus.
Sementara itu, orangtua Jenny yang berada di Singapura langsung pontang-panting kembali ke negeri tercinta begitu mendengar berita heboh tentang kami. Hal pertama yang mereka
OBSESI
Oleh Lexie Xu
GM 312 01 15 0005
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Gedung Gramedia Blok 1, Lt.5
Jl. Palmerah Barat 29?37, Jakarta 10270
Cover oleh Regina Feby
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
anggota IKAPI, Jakarta, Oktober 2010
Cetakan kedelapan: Februari 2015
Obsesi Johan series 1 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
www.gramediapustakautama.com
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
240 hlm., 20 cm.
ISBN: 978 ? 602 ? 03 ? xxxx ? x230
lakukan bukanlah membuat acara syukuran untuk anak mereka
yang selamat, melainkan menjual si rumah hantu dan membeli
rumah yang jauh lebih indah dan mewah untuk anak mereka.
Tindakan yang bijaksana, meski tidak semua orang menyukainya.
"Masih di blok yang sama," kata Tony yang awalnya sangat
kecewa karena tidak bisa bertetanggaan dengan Jenny lagi. "Kalo
mau ngapel, masih bisa jalan kaki."
Tony dan Jenny mengharapkan restu dariku dan Markus untuk
hubungan mereka. Awalnya aku ingin mendukung Markus, apalagi aku masih kesal banget pada Tony, tapi aku tidak tega menghalangi kebahagiaan Jenny. Jadi, meski waktu itu kami masih
berada di rumah sakit yang mengharapkan ketenangan dari para
pasiennya, aku langsung jejeritan heboh dan memberikan ucapan
selamat yang layak untuk Jenny saat mereka mengumumkan
hubungan mereka.
Sementara itu, Markus cuma menatap Tony dalam-dalam.
"Hanny udah setuju," kata Tony yang masih tergolek di tempat
tidur, membalas tatapan Markus dengan sama seriusnya. "Elo gimana, man?"
"Gue harus ngomong apa?" tanya Markus tenang. "Nggak peduli apa kata gue, lo tetap jadian sama Jenny, kan?"
"Gue peduli sama kata lo, man," kata Tony. "Gue nggak mau
ini jadi ganjalan buat persahabatan kita, lantaran kita sama-sama
suka pada cewek yang sama."
"Gue emang suka sama Jenny, coy," potong Markus. "Tapi
nggak dalam arti romantis kok."
Tony dan Jenny melongo dengan muka yang sangat lucu, membuatku mulai cekikikan, sementara Markus mulai cengar-cengir.231
"Tapi..." Tony gelagapan sejenak. "Selama ini kan lo bilang, lo
naksir Jenny juga."
"Balas dendam," sahut Markus sambil menunjuk kacamatanya.
"Lo tahu kenapa gue selalu pakai kacamata brengsek ini dan
nggak belajar pakai lensa kontak? Ini gara-gara waktu pertama
kali kita belajar pakai lensa kontak, lo colok mata gue sampai gue
harus dilariin ke rumah sakit. Sejak itu, gue jadi trauma setiap
kali liat lensa kontak!"
"Cuma gara-gara itu gue jadi nggak bisa pacaran sama Jenny
selama bertahun-tahun?" tanya Tony tak percaya.
"Cuma gara-gara itu?" ulang Markus kesal. "Hei, gara-gara lo,
gue jadi terikat dengan kacamata jelek seumur hidup! Sedangkan
lo cuma kudu nunggu beberapa tahun doang. Dan, buktinya,
sekarang lo jadian juga kan sama Jenny?"
Tony terdiam lama. "Sori, gue colok mata lo waktu kita masih
kecil."
"Yeah," sahut Markus bete. "Lo emang berutang banyak sekali
dosa masa kecil sama gue."
"Yah, itulah risiko punya sohib masa kecil."
Beberapa waktu setelah kami keluar dari rumah sakit, Jenny
Tompel kembali ke sekolah dengan gaya prima. Rupanya, untuk
menghilangkan semua bekas kecelakaan yang dideritanya, Jenny
Tompel sampai menyambangi Beverly Hills. Dan bukan cuma bekas
luka yang dilenyapkannya, melainkan juga tompel yang sangat
dibencinya itu. Konon, sebenarnya bukan cuma semua itu yang
ingin diubah Jenny Tompel, melainkan keseluruhan penampilannya.
Menurut kisikan yang diam-diam disebarluaskan oleh Jenny Bajaj,
sebenarnya Jenny Tompel kepingin mengubah mukanya menjadi
muka Jennifer Lopez. Namun, orangtua Jenny Tompel yang232
bijaksana berkata, "Bagi kami, wajahmu jauh lebih manis sebagai
Jenny Limantara daripada sebagai Jennifer Lopez, Sayang."
Kini Jenny Tompel punya masalah baru. Sejak kembali ke
sekolah, berat badannya naik dengan pesat. Sebelum sempat kusadari, tahu-tahu saja Jenny Tompel sudah berganti julukan jadi
"Jenny Gajah Bengkak". Mantan pemilik tompel tersebut mengamuk hebat setiap kali ada teriakan "Hei, Gajah Bengkak!" yang
ditujukan padanya. Belakangan, dia mulai meratapi tompelnya
yang hilang. Menurutnya, tompel itulah sumber kekuatan yang
menjaga kelangsingannya selama ini. Tapi kurasa, masalah Jenny
Tompel?maksudku, Jenny Gajah Bengkak?jauh lebih serius
daripada sekadar obesitas belaka.
Tidak kami sangka, ayah Johan ternyata masih hidup. Seminggu setelah kejadian yang menimpa kami dan Johan, dia
mendatangi kami di sekolah. Pria itu pastilah orang paling tak
bahagia yang pernah kulihat. Meski usianya belum mencapai
kepala lima, rambutnya sudah memutih semua, sementara kerutan
di wajahnya lebih banyak daripada yang dimiliki kakekku.
Tubuhnya yang tinggi tampak bungkuk dan loyo. Dia tampak
mirip Johan, hanya saja versi jauh lebih tua dengan wajah lebih
welas asih.
"Terima kasih," ucapnya pada kami. "Saya dengar, kalianlah
yang berusaha keras untuk menyelamatkan Johan."
Kami semua tidak berani menyahut. Habis, dalam upaya
penyelamatan itu, berkali-kali kami merasa lebih baik kalau kami
membiarkan Johan mati saja. Namun pada akhirnya kami tidak
meninggalkannya demi hati nurani kami sendiri.
Akhirnya, Markus, cowok yang paling suka gosip sedunia, bertanya, "Bagaimana keadaan Johan, Oom?"233
"Cukup baik, kalau mengingat tabrakan dan bisa ular yang nyaris
merenggut nyawanya itu." Ayah Johan tersenyum muram. "Namun,
meski secara fisik dia akan baik-baik saja, secara mental kondisinya
tidak terlalu menggembirakan. Dia mengalami amnesia total, yang
berarti dia kehilangan semua ingatannya, juga seluruh kemampuannya sebagai orang dewasa. Dokter-dokter berusaha menyembuhkannya, tapi hingga saat ini dia tetap bagaikan seorang anak kecil
yang harus belajar semuanya dari awal lagi."
Ayah Johan menatap kami satu per satu dengan lembut dan
berkata, "Terima kasih juga, karena kalian sudah menceritakan
pengakuan Johan pada polisi. Sebenarnya dari awal saya selalu
tahu bahwa Johan tidak bersalah. Sayangnya, istri saya tidak
pernah memercayai hal itu dan memilih untuk mengakhiri hidupnya. Setelah itu kehidupan kami jadi berantakan. Saya kira, kami
akan bisa memulihkan diri dengan menjauhkan diri dari semua
kenangan mengerikan itu, tapi"
"Menjauhkan diri?" sela Tony tak percaya. "Tapi, Oom malah
membangun pemakaman di belakang rumah."
"Itu karena saya tidak sanggup berpisah dengan dua orang yang
sangat saya cintai," kata ayah Johan penuh sesal. "Itu keegoisan saya,
dan saya sangat menyesalinya. Johan tidak bisa melepaskan diri dari
kenangan itu, demikian juga saya. Akhirnya, untuk menghindari
keluarga saya sendiri, saya mulai sering berbisnis di luar kota dan
tidak pulang-pulang lagi. Saya bahkan tidak tahu Johan sudah
pindah sekolah." Dia menghela napas. "Pada akhirnya, semua
yang terjadi pada Johan adalah kesalahan saya juga. Saya melarikan
diri, dan dia harus menanggung semuanya sendirian."
Kami tidak bisa membantah hal itu. Tapi, siapakah yang bisa
menghadapi tragedi seperti ini dengan baik?234
"Nah, saya harus kembali," kata ayah Johan, lalu tersenyum
pada kami satu per satu. "Kalau sempat, tengoklah Johan. Meski
dia tidak akan ingat pada kalian, setidaknya itu akan berpengaruh
baik bagi kejiwaannya."
Sepeninggalan ayah Johan, kami berpandangan.
"Nengok Johan?" tanyaku ngeri.
Tapi Markus malah cengar-cengir. "Lumayan juga, kan? Aku
juga kepingin tahu kabarnya."
Jadilah sore itu kami pergi ke rumah sakit untuk menengok
Johan.
Ternyata ayah Johan terlalu berpikiran positif. Secara fisik,
Johan tampak sangat parah. Rambutnya dicukur sampai pelontos
karena dia harus menjalani operasi bedah otak. Seluruh tubuhnya
dipenuhi perban. Dan karena paru-parunya juga terluka, dia
harus menggunakan alat bantu pernapasan. Dia belum bisa
makan, membuatnya harus mengandalkan infus. Hingga saat ini
dia masih belum bisa berjalan sendiri dan ke mana-mana harus
menggunakan kursi roda.
Saat kami menyapanya, dia menatap kami dengan sinar mata
kosong tanpa ada tanda-tanda mengenali kami, membuatku
merasa tolol karena rasanya seperti menjenguk orang asing.
"Dia memang kelihatan tidak mengerti," kata perawat yang
mendampingi Johan. "Tapi kunjungan kalian akan membuat
mood-nya membaik. Benar tidak, Johan?"
Mendengar suara perawat itu, Johan tersenyum kecil dan mengangguk.
Kami menunggu beberapa waktu sebelum akhirnya berpamitan.
Saat meninggalkan Johan, kami langsung mendesah lega.
"Cukup sekali aja," kata Jenny.235
"Yeah, ini akan jadi terakhir kali kita ketemu Johan," angguk
Tony.
Karena terburu-buru meninggalkan ruangan itu, kami tidak
menengok ke arah Johan lagi. Namun aku penasaran. Kutolehkan
kepalaku ke belakang, dan kulihat betapa sinar mata kosong itu
berubah total menjadi sinar mata yang ganjil namun cerdik.
Bibirnya tersenyum miring, namun karena senyum itu tidak mencapai matanya, senyum itu terlihat kejam dan menyeramkan.
Dan, dengan suara menyerupai seorang anak perempuan, Johan
berbisik, "Sampai ketemu lagi, Kakak-Kakak!"
Tamat
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Pembunuhan Di Pondokan Mahasiswa Perintah Kesebelas Eleventh Commandment
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama