Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu Bagian 1
PENGURUS MOS HARUS MATI
Oleh Lexie Xu
Johan series 2
Ebook by pustaka-indo.blogspot.com
GM 312 01 15 0006
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Gedung Gramedia Blok 1, Lt.5
Jl. Palmerah Barat 29?37, Jakarta 10270
Cover oleh Regina Feby
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
anggota IKAPI, Jakarta, April 2011
www.gramediapustakautama.com
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
304 hlm., 20 cm.
ISBN: 978 ? 602 ? 03 ? 1294 ? 1
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Dedicated to Alexis Maxwell.
As Taylor Swift says in her song Crazier,
"I was tryin? to fly,
but I couldn?t find wings,
then you came along and you changed everything."
Everyday you make me crazier, Little Dude,
and I love you so much.
BAGIKU, masa-masa paling indah di SMA adalah masa-masa
MOS.
Yah, aku tahu, banyak yang bilang masa-masa MOS adalah
neraka masa ABG. Tapi sori-sori saja, itu sama sekali tidak ber
laku untukku. Lihat saja MOS tahun lalu, hasilnya betul-betul
gemilang. Pada hari pertama, aku muncul sebagai anak baru yang
berdiri malu-malu di pojok ruangan saat semua orang saling
bertegur sapa dan ketawa-ketiwi dengan sok akrab. Namun saat
MOS selesai, aku sudah naik pangkat jadi cewek paling populer
dan paling diincar di seluruh sekolah. Hingga saat ini, reputasi
itu belum pernah tergoyahkan!
Oke, sebenarnya reputasi itu pernah sekali nyaris hancur lan
taran seorang cowok brengsek yang mengajakku pacaran?bukan
karena dia naksir padaku, melainkan gara-gara taruhan iseng yang
dilakukannya dengan teman-temannya. Brengsek banget nggak
sih? Tapi sudahlah, kejadian itu sudah lama berlalu?sudah
setengah tahun lebih, kalau tidak salah?dan kini cowok brengsek
itu sudah menjadi salah satu teman dekatku pula.
Bukan berarti aku melupakan sakit hatiku ini. Asal tahu saja,
Hanny Pelangi tidak gampang melupakan, tahu?
Yang jelas, saat ini aku sedang menikmati masa-masa SMA
penuh gelora, dengan aku sendiri yang menjadi tokoh utamanya.
Dan saat ini, sepertinya peranku di SMA Persada Internasional
bakalan lebih menonjol lagi. Liburan panjang belum lagi berakhir,
tapi aku sudah mendapat panggilan dari sekolah untuk mengikuti
rapat panitia MOS. Ini berarti aku bakalan jadi pengurus
MOS!
Tadinya aku tidak tega juga mengucapkan selamat tinggal pada
Jenny. Habis, sohibku itu seharusnya sedang be-rendezvous dengan
orangtuanya yang lebih sering tinggal di Singapura akibat pekerjaan
mereka. Namun seperti biasa, orangtua Jenny adalah tipe orangtua
yang gila kerja. Akibatnya, Jenny lebih sering sendirian?atau lebih
tepatnya lagi, berduaan denganku?ketimbang menghabiskan waktu
dengan orangtuanya. Bagiku, itu hal yang bagus karena aku benci
dikekang orangtua, namun Jenny sangat kecewa karena dia sudah
kangen sekali pada orangtuanya.
Yeah, jangan bandingkan aku dengan Jenny. Jenny itu anak
baik, sedangkan aku anak murtad.
"Jadi pengurus MOS?" Jenny yang kuper banget dan tidak
mengerti daya tarik kekuasaan cuma mengerutkan alis waktu
kuceritakan padanya soal aku diundang jadi pengurus MOS.
Waktu itu kami sedang asyik jalan-jalan di Nge Ann City di
Orchard Park. "Bukannya itu berarti elo harus nyiksa anak-anak
baru? Itu kan nggak sesuai kepribadian elo, Han."
Jenny memang bodoh. Dikiranya aku punya kepribadian manis
dan baik hati seperti dia. Padahal sebenarnya aku paling hobi
menindas kaum lemah tak berdaya.
"Udahlah, lebih baik lo temenin gue di sini," katanya lagi de
ngan muka memelas yang membuatku sulit menolak perminta
annya. "Nggak lucu kan, setelah Tony pergi, elo pergi juga?"
Betul, Jenny memang malang. Setelah dicuekin orangtuanya,
dia ditinggal oleh pacarnya yang brengsek. Kusebut Tony
brengsek, bukan karena dia mencampakkan Jenny atau semacam
nya. Sebaliknya, aku belum pernah melihat cowok ABG yang
begitu tergila-gila pada pacarnya seperti Tony tergila-gila pada
Jenny. Masalahnya, Tony itulah si brengsek yang kuceritakan tadi,
cowok yang berani-beraninya merusak reputasiku dengan taruhan
keparat itu. Berhubung dia jadi pacar Jenny, sahabatku sehidupsemati, mau tak mau aku harus berteman dengannya juga. Dan
meski Tony sudah berusaha menebus kesalahannya mati-matian,
aku tetap sulit melupakan rasa sakit hatiku padanya.
Dan sekarang ini Tony raib tak jelas pula.
Sambil memilih-milih gantungan ponsel dengan warna-warna
ngejreng, aku bertanya cuek, "Emangnya si jelek itu ke mana sih?"
Oke, kata-kataku ini juga tidak adil untuk Tony, karena Tony
cowok paling ganteng di sekolah kami. Tapi setelah jutaan kali
melihat muka bodohnya waktu menatap Jenny, aku tidak pernah
menganggapnya keren lagi.
"Ke kamp latihan judo bareng Markus."
Markus adalah sahabat si bodoh itu. Aku dan Markus pernah
menjalin hubungan tanpa status yang lumayan seru beberapa
waktu lalu. Namun belakangan kami memutuskan bahwa kami
berdua sama sekali tidak cocok sebagai pasangan dan lebih baik
tetap berteman saja.
"Tempatnya terpencil banget, jadi dia nggak bisa nelepon
ataupun nulis surat," lanjut Jenny.
"Atau mungkin juga karena dia udah mati dibunuh pembunuh
berantai gila yang mengincar pejudo-pejudo sok ganteng," ucapku
jahat.
Jenny memelototiku. "Gue pukul ya, Han, kalo lo berani ngo
mong gitu lagi."
"Eh, emangnya gue nggak bisa nangkis?" balasku pongah. Aku
merangkul sahabatku itu sembari mengajaknya agak menyingkir,
karena kami sudah dipelototi pemilik kios yang tampaknya tidak
begitu senang sebab belum ada tanda-tanda kami mau mengada
kan transaksi dengannya. "Tenang aja, Jen. Boleh aja lo kesepian
lantaran punya ortu gila kerja dan pacar goblok, tapi lo akan
selalu punya gue. Percaya deh, buat gue, persahabatan kita lebih
penting daripada rapat panitia MOS atau hal-hal remeh-temeh
semacam itu." Saat itu mataku terpukau pada gantungan ponsel
berbentuk sandal jepit yang imut banget di kios aksesori tadi.
Aku segera mengajak Jenny kembali ke situ. "Nah, kita beli yang
ini aja. Cantik banget. Satu buat lo, satu buat gue. Kali ini gue
bayarin deh."
Dalam waktu singkat, ucapanku terbukti tidak bisa dipercaya.
Setiap kali memikirkan rapat MOS yang diadakan tanpa diriku,
aku mulai bertingkah seperti cewek kebelet pipis yang gelisah,
tidak konsen, dan kepingin marah-marah melulu. Aku ingin jadi
pengurus MOS, aku ingin menindas anak baru, aku ingin pu
lang!
Dan karena Jenny sahabat yang lebih baik dari diriku?atau
barangkali karena dia sudah capek menghadapi tabiatku yang
semakin hari semakin jelek saja?tiga hari kemudian, tepat pada
hari rapat panitia MOS dan kesenewenanku mencapai puncaknya,
dia pun merelakan kepergianku, mengantarku ke Changi dengan
taksi, bahkan meminjamiku uang untuk membeli tiket dadakan
yang mahalnya aje gile.
Rapat panitia MOS, aku datang!
Begitu tiba di rumah, aku tidak sempat membongkar koper
lagi. Setelah mandi dan berganti seragam sekolahku yang cantik,
aku mengemudikan Honda City hitamku yang baru?hadiah
ulang tahun sekaligus hadiah ranking sepuluh dari ayahku (yeah,
tipis memang kalau dibanding Jenny yang ranking dua, tapi
pokoknya aku tetap masuk sepuluh besar!). Tentu saja, ayahku
tidak memberikan mobil itu dengan hati tulus, melainkan dengan
muka bete, tangan mengibas-ngibas seakan-akan mau mengusir
dan mulut menyemburkan kata-kata, "Sudah, sudah! Tidak usah
merengek-rengek lagi! Pusing dengarnya! Besok Papa antar kamu
ke showroom, jadi tutup mulutmu sekarang juga!"
Itulah sebabnya kini aku bisa bergaya-gaya dengan mobil
baruku. Walaupun ulahku kekanak-kanakan dan memalukan,
rengekanku membuahkan hasil. Itulah yang terpenting.
Setelah memarkir mobilku dengan serampangan di halaman
parkir yang kosong?sekolah belajar menyetir memang tak ada
gunanya, aku harus coba-coba sendiri dengan modal nekat?
aku meloncat-loncat memasuki area sekolah yang masih sepi
karena:
1. Masa liburan sekolah belum berakhir, membuat sekolah
menjadi tempat yang paling dihindari semua murid yang bijak
sana.
2. Rapat panitia MOS dijadwalkan pada pukul enam sore. Saat
itu semua petugas kebersihan sekolah pasti sudah pulang. Satusatunya staf sekolah yang tersisa hanyalah petugas sekuriti ber
wajah seperti vampir jelek, buncit, dan berkumis, yang bertengger
di pos depan sekolah. Sama sekali tidak mirip Edward Cullen,
kalau kalian tahu maksudku.
Suara keletak-keletuk sepatuku menggema di koridor sekolah
yang remang-remang, membuat perasaanku tidak enak. Menurut
ku, sekolah terlihat menyebalkan pada pagi hari (karena bangunan
sial itu adalah penyebab utama kita harus bangun pagi), cukup
menyenangkan pada siang hari (ada kantin yang ramai dan
cowok-cowok untuk dikecengin), dan sangat menyeramkan pada
malam hari. Tempat yang biasanya begitu ramai kini lebih sepi
daripada kuburan, menjadikannya tampak begitu kosong dan
asing, tidak menyerupai bangunan yang kutongkrongi seharihari.
Saat melewati lokerku?atau lebih tepatnya lagi, bekas loker
ku?aku mampir sejenak untuk mengisi persediaan permen,
berjaga-jaga kalau rapat yang akan kuhadiri ternyata membosan
kan. Sesuai peraturan sekolah, aku sudah mengosongkan isi
lokerku begitu tahun ajaran berakhir. Tapi aku meninggalkan
permen-permenku di situ untuk berjaga-jaga kalau dibutuhkan
saat kondisi darurat. Tindakan itu terbukti bijaksana, karena
inilah salah satu kondisi darurat tersebut.
Setelah mengunci loker, aku membalikkan badan?dan lang
sung menjerit keras karena tiba-tiba sesosok hantu menerkamku!
Kulemparkan semua permenku ke arahnya, berharap dia bakalan
kabur karena mengira permen adalah semacam granat-untukmemusnahkan-hantu.
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tunggu dulu. Sosok itu ternyata bukan hantu, melainkan se
orang cowok yang nyaris tak terlihat karena mengenakan jaket
hitam di luar seragam sekolahnya. Kulit cowok itu lebih gelap
daripada kulit manusia pada umumnya?tanda bahwa cowok itu
tipe outdoor yang senang berlari-lari di bawah sinar matahari?
membuatnya nyaris menyatu dengan suasana koridor yang mulai
gelap.
Dan dia tidak menerkamku, melainkan cuma melewatiku.
Oke, aku tahu, seharusnya aku bersyukur karena aku tidak di
dekati hantu atau semacamnya. Tapi kenyataannya, aku malu
banget. Jeritanku yang menggema di seluruh koridor dan permenpermen yang kini berserakan di lantai membuatku terlihat seperti
cewek cantik berotak kosong dan bernyali kecil. Kuakui, aku
memang agak takut hantu, tapi ini tidak berarti nyaliku kecil.
Aku sudah melakukan banyak hal hebat yang membutuhkan ke
beranian, hal-hal yang sulit dilakukan oleh cewek-cewek cantik
lain!
"Sori, bikin kaget..."
Suara tegas dan maskulin itu terhenti saat mata cowok itu
mengarah padaku?dan tak berlebihan kalau kukatakan kami
sama-sama terperangah.
Cowok yang kusangka hantu itu bertubuh tinggi sekali,
sampai-sampai aku harus mendongak menatapnya. Kurasa tinggi
nya sekitar 180 cm, tinggi yang sangat jarang ditemui di antara
anak-anak SMA?bahkan guru-guru kami pun jarang ada yang
setinggi itu. Mungkin selain cowok ini, hanya Tony dan Markus
yang memiliki tubuh menjulang seperti itu di seluruh SMA
Persada Internasional.
Tapi berbeda dengan dua cowok ramping itu, cowok ini me
miliki tubuh besar dan berotot yang mengerikan bak kuli pe
labuhan. Seragam sekolah kami yang bersahaja tidak sanggup
menyembunyikan bahu tegap, dada bidang, dan otot-otot
lengannya yang wow banget. Rambutnya yang gondrong dan
diberi highlight pirang diikat ke belakang. Rahangnya yang persegi
dan menambah nilai maskulinitasnya mengingatkanku pada
Arnold Schwarzenegger, Ade Rai, Jerry Yan.
Astaga, kejauhan deh. Jerry Yan kan ganteng banget. Yang ini
mirip anak SMA badung yang tidak punya masa depan, apalagi
kalau melihat cara mengenakan seragamnya yang slebor banget:
lengan kemeja digulung sampai mirip kaus tanpa lengan, ujung
bawah kemeja dibiarkan di luar celana yang sudah robek-robek
(dan banyak noda tip-ex-nya, lagi!), serta sepatu diinjak tanpa
kaus kaki.
Namun, bukan penampilan luar yang liar dan menantang itu
yang membuatku terperangah, melainkan tatapan matanya yang
dalam dan intens, membuat perasaanku sesak dan tenggorokanku
kering. Tatapan yang menyerap keberadaanku, membuatku
terpaku, dan cuma bisa melongo saat dia menyunggingkan
senyum sinis yang terlihat sesuai di wajahnya yang angkuh.
"Si Tuan Putri rupanya."
Ucapan itu menyentakkanku ke dunia nyata. Kalau tidak men
dengarnya sendiri, aku mungkin akan mengira dia sedang memuji
atau merayuku. Tapi aku tidak mungkin salah mengartikan nada
suaranya yang sinis dan penuh ejekan itu.
Dan karena aku bukan cewek yang bisa diejek, aku segera me
melototinya.
"Siapa yang lo panggil Tuan Putri?" ketusku sambil berdoa supaya
cowok itu melupakan gaya pengecutku beberapa detik lalu.
Doaku ternyata tidak terkabul. "Tuan Putri bener-bener nggak
sopan. Apa nggak ada yang ngajarin Tuan Putri biar nggak je
jeritan histeris saat ngeliat muka rakyat jelata, sejelek apa pun
muka si rakyat jelata yang malang tersebut?"
Begitu banyak yang bisa kukomplain dari sekumpulan katakata mengesalkan itu, tapi yang pertama kali harus kutegaskan
adalah, "Gue nggak histeris!"
"Histeris kok. Tuh, sampai rambutnya berdiri semua."
Brengsek banget. Aku tidak mungkin sekonyol itu.
Dengan berang aku beranjak pergi.
"Eh, Tuan Putri, kok permennya dibiarin aja?"
Teguran sinis itu menghentikan langkahku.
"Menunggu peri-peri mungil membereskannya untuk Tuan
Putri?"
Karena tidak ingin mendapatkan tatapan "Tuh kan, apa ku
bilang? Dasar Tuan Putri!" dari cowok tak beken tersebut, aku
pun segera berjongkok dengan gaya seanggun mungkin?yang
artinya, berusaha sekuat tenaga supaya celana dalamku tidak ke
lihatan dari balik rok seragamku yang pendek?sambil meng
geram, "Jangan panggil gue Tuan Putri!"
"Nggak suka?" Cowok itu bersandar di dinding loker seraya
mengangkat alis. "Gue kira cewek-cewek seneng dijulukin Tuan
Putri."
Dalam sikon lain mungkin aku akan menghargai panggilan itu,
tapi tidak saat ini, dan tidak dari orang ini. "Sori-sori aja, gue
bukan cewek kayak gitu."
"Ah." Cowok itu tersenyum mengejek lagi. "Jadi Tuan Putri
nggak seperti yang diomongin orang-orang toh...."
Aku makin berang saja. Habis, dari cara bicaranya, kalian akan
mengira semua orang mengataiku cewek bejat atau semacam itu.
Aku tidak pernah mengaku jadi cewek manis atau baik hati, tapi
asal tahu saja, cewek-cewek yang lebih rese, manja, dan menyebal
kan dibanding aku masih banyak sekali.
"Daripada banyak omong yang nggak berguna," gerutuku sam
bil mulai memunguti permen-permenku, "mendingan lo bantuin
gue mungutin ini."
Tak kusangka-sangka, dia menyahut, "Katanya nggak suka di
panggil Tuan Putri. Harusnya bisa mungut sendiri dong."
Dasar brengsek.
"Ya udah," ketusku. "Kalo gitu, minggir sana. Nggak usah jadi
pengganggu di sini."
"Nggak ah. Nanti Tuan Putri malah kabur, meninggalkan
sampah dan tanggung jawab."
Arghhh! Dosa apa yang kulakukan sampai harus ketemu makh
luk menyebalkan seperti ini? Sambil menahan emosi yang sudah
siap meledak, kuraup permen-permen itu dengan kasar. Lalu, se
telah semuanya terkumpul, kulemparkan semuanya ke tong sam
pah.
"Puas?!" bentakku. "Atau..."
Sial, cowok itu sudah pergi. Percuma deh aku membentakbentak tak keruan.
Kuentak-entakkan kakiku dengan gemas saat aku berjalan me
nuju ruang rapat. Belum pernah aku mengalami hal yang begini
mengesalkan?dan belum pernah kutemui cowok sekasar cowok
tadi. Siapa sih dia? Kenapa aku tidak pernah melihatnya sebelum
ini?
Aku menghela napas lega saat memasuki ruang rapat yang
terang benderang, sangat kontras dengan suasana remang-remang
di luar sana. Ruangan itu pun dipenuhi orang-orang, membuatku
merasa nyaman karena tidak perlu sendirian lagi. Aku tahu, garagara permen-permen sial itu, aku pasti sudah telat banget, tapi
semua orang memberiku senyuman ramah seolah-olah keterlambat
anku bukan masalah besar. Inilah salah satu keuntungan jadi
cewek cantik. Bertingkah sedikit?atau banyak sekalipun?cowokcowok akan tetap menganggapmu imut dan menggemaskan.
"Halo, Say," sapa Benji si ketua OSIS yang menyambutku de
ngan kecupan ringan di pipiku. "Kok telat?"
"Iya, ada insiden kecil tadi," sahutku sambil menghalau ke
jengkelanku, menyunggingkan senyum paling manis dan mem
balas pelukan Benji dengan hangat.
Ya, betul. Cowok ini pacarku yang sekarang. Benji termasuk
salah satu cowok paling keren di sekolah kami. Ketua OSIS,
ganteng, atletis pula?memang sih, tidak tinggi-tinggi banget,
tapi dia tidak terlalu pendek juga. Setidaknya, waktu kami jalan
bareng, dia masih sedikit lebih tinggi daripada aku. Intinya,
secara fisik dia tidak mengecewakan. Sayangnya, Benji punya
kekurangan yang cukup menggganggu. Kalau dia mulai ke
hilangan kendali atas emosinya, suaranya jadi melengking seperti
tante-tante yang diinjak kakinya di pasar. Untunglah Benji ter
masuk cowok yang sabar, jadi hingga saat ini kekurangan itu
belum pernah menggangguku.
Kami mulai pacaran beberapa hari sebelum liburan, dan ku
tinggalkan cowok itu begitu saja saat Jenny mengajakku pergi ke
Singapura. Aku sudah belajar dari pengalaman pahit bahwa pacar
sama sekali tidak penting dibandingkan persahabatan (dan be
lakangan aku belajar pula bahwa persahabatan ternyata tak se
penting rapat pengurus MOS). Meski begitu, kami rajin teleponteleponan, dan Benji sempat dihajar ayahnya saat biaya telepon
rumahnya membengkak. Aku curiga Benji sengaja mengikut
sertakan aku dalam panitia MOS demi menurunkan biaya tele
pon, tapi itu bukan masalah penting. Yang lebih penting adalah
aku jadi pengurus MOS?maksudku, aku bisa ketemu Benji,
pacarku tercinta.
Benji membimbingku duduk di kursi di sampingnya. Di kursi
kehormatan itu aku bisa mengamati seluruh ruangan dengan
lebih leluasa. Wow, para peserta rapat benar-benar hebat! Terdiri
atas siswa-siswi paling beken di sekolah kami, mulai dari Benji si
ketua OSIS dan wakilnya, Ivan. Lalu Mila dan Violina, dua
cewek populer yang menjabat sekretaris OSIS. Anita, salah satu
bendahara OSIS. Peter, si ketua klub KPR alias Kelompok Pers
Remaja, salah satu klub sekolah kami yang paling bergengsi.
Ronny, ketua klub basket yang menggunduli kepalanya mengikuti
Michael Jordan, namun sayangnya malah jadi mirip Cuplis. Juga
orang-orang lain yang tidak kalah beken dengan orang-orang yang
barusan kusebutkan itu.
Namun, dari lima puluh anggota OSIS, ternyata cuma tujuh
belas orang yang hadir. Ini berarti kurang dari separuh anggota
OSIS yang mendapatkan hak istimewa untuk menjabat pengurus
MOS (bahkan bendahara OSIS yang kedua, Willy, tidak diajak
karena tidak beken-beken amat). Dan dari tujuh belas anggota
beruntung itu, cuma akulah satu-satunya yang berasal dari kelas
sebelas.
Seperti kataku tadi, aku memang tokoh utama yang keren ba
nget.
"Hai, Han," sapa Ivan, si wakil ketua OSIS yang duduk di
sampingku dengan nada prihatin. "Kirain masih liburan di Singa
pura. Kok pulangnya cepet banget? Nggak tahan nyaksiin kemesra
an Tony dan Jenny, ya?"
Arghh! Hari ini aku sial banget deh. Setelah bertemu cowok kasar
tadi, kini aku harus duduk sebelahan dengan Ivan. Asal tahu saja,
mantan pacarku yang bertampang kalem, manis, dan mirip siswa
teladan ini sesungguhnya cengeng banget. Masa pacaran kami cuma
seminggu, dan hampir setiap hari kulalui dengan mendengarnya
terisak-isak menangisi sikapku yang tidak-sensitif-terhadap-perasaan
nya-yang-halus. Astaga. Tadinya aku menganggapnya cukup gan
teng, tapi setelah setiap hari melihat matanya yang merah dan
hidungnya yang penuh ingus, aku langsung ilfil banget.
Tadinya kurasa Ivan sudah tidak sakit hati lagi padaku. Soal
nya, bagaimanapun, dia sudah berhasil membalasku dengan mem
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
prakarsai taruhan sialan yang dijalankan Tony itu. Malah kini dia
berpacaran dengan Anita, si bendahara OSIS yang populer (yang
saat ini duduk di sebelahnya). Anita tipe cewek high-class yang
cuma mau berpacaran dengan cowok-cowok berprestasi hebat,
seperti Ivan, Benji, dan Markus, sahabat Tony. Intinya, pacar yang
bisa dibanggakan deh.
Tapi mendengar ucapan sok prihatinnya yang bernada me
nyindir barusan, aku tahu dia masih keki padaku. Dasar cowok
brengsek. Untunglah aku tahu cara menghadapi cowok-cowok
bermental tempe seperti ini.
"Ah, Tony dan aku kan udah masa lalu," sahutku riang tanpa ber
minat menjelaskan bahwa Tony tidak ikut berlibur ke Singapura.
"Tadinya aku bener-bener bersenang-senang di Singapura. Tapi aku
nggak tahan banget pisah lama-lama dari Benji." Dengan sikap
berlebihan, aku merangkul Benji. "Tau kan, dia cowok yang hebat
banget? Kepribadiannya itu lho, keren bangeeet. Itu sebabnya dia
bisa jadi ketua OSIS, bukan cuma wakil."
Saat aku menekankan kata wakil, Ivan langsung membuang
muka. Kurasa untuk menyembunyikan matanya yang langsung
berkaca-kaca.
Sambil tetap merangkul Benji, aku menoleh padanya. "Jadi,
anggota kita cuma segini, Ben?"
"Iya," angguk Benji. "Ini kan kelompok elite. Kita nggak bisa
kasih hak istimewa ini pada banyak orang." Wow. Aku jadi makin
tersanjung dijadikan kelompok elit. "Cuma emang ngeselin, ada
yang menampik kesempatan untuk masuk ke kelompok elit ini."
"Siapa?" tanyaku heran sekaligus sewot. Dasar tidak tahu diri.
Berani betul oknum yang menolak kesempatan terhormat ini!
"Siapa lagi kalau bukan Tony dan Markus!" ketus Benji jeng
kel.
Oh. Mereka. Itu sih tidak heran. Demi mengikuti kamp latihan
mereka yang tolol itu, Tony bahkan rela memotong jatah libur
annya bersama Jenny. Dasar idiot.
"Lho, bukannya kamu liburan bareng mereka, Han?" tanya
Peter dengan nada ringan, yang dimaksudkan untuk berusaha
menyembunyikan niat busuknya mengorek-ngorek info. "Kenapa
mereka nggak pulang bareng kamu?"
Prestasi ketua klub KPR ini sudah terkenal berkat koran
sekolah Berita Persada yang punya reputasi berskala nasional.
Namun di sekolah Peter tidak terkenal karena Berita Persada,
melainkan karena dialah pengelola The Insiders, tabloid gosip se
putar sekolah kami. Tabloid itu memuat segala macam berita
bohong maupun nyata, mulai dari kisah penjaga sekolah yang
menjalin affair dengan petugas kantor administrasi (berita bo
hong) hingga jeritan sakit hati Jenny Bajaj, ratu drama sekolah
kami, akibat pengakuan cintanya ditolak Pak Mochtar, si guru
olahraga yang ganteng (berita nyata). Intinya, kalau kita tidak
ingin mendapat bagian dalam The Insiders, lebih baik kita jauhjauh dari Peter.
Tak kalah menarik dibanding reputasinya, Peter memiliki
rambut paling aneh di seluruh sekolah kami. Gosipnya dia ingin
meniru rambut jabrik Delon yang keren banget itu, namun
hasilnya, Peter malah kelihatan seperti setan bertanduk dua. Pada
hari-hari buruk dia malah mirip badak bercula satu atau lebih
parah lagi, duren. Mana bau gelnya yang menyengat itu lho,
benar-benar bikin aku tidak tahan.
"Aduh, lagi-lagi kamu dapat info yang salah, Peter," kataku
polos, namun berhasil menyindir kemampuan Peter dengan telak.
"Tony dan Markus nggak ikut berlibur dengan aku dan Jenny,
tapi pergi ikut kamp latihan judo. Kalo kamu pingin tahu hasil
latihan mereka, nanti aku suruh mereka nunjukin jurus baru
mereka ke kamu dengan satu-dua bantingan."
"Ah, nggak usah," sahut Peter buru-buru, takut dijadikan
sasaran latihan Tony dan Markus yang terkenal ganas. "Tapi kali
ini aku emang ngalamin kesulitan saat disuruh nyari mereka.
Habis, mendadak aja mereka nggak bisa dihubungin sama sekali."
Lalu dia menatap Benji dan Ivan dengan ceria. "Jadi, kalo Tony
dan Markus nggak ada, kalian berdua yang bakal dapat predikat
?Cowok Pengurus MOS Paling Ganteng? dong."
Mendengar kata-kata Peter, Benji dan Ivan langsung tersenyumsenyum dengan muka berusaha-kelihatan-rendah-hati-tapi-se
benarnya-bangga-banget. Kutatap Peter dengan curiga. Janganjangan dia gay. Habis, jarang-jarang kan ada cowok yang memuji
tampang ganteng teman sejenisnya secara terang-terangan begitu?
"Nah, karena anggota yang kita harapkan nggak mungkin
muncul lagi, kita mulai aja rapat kita," kata Benji sambil berdiri.
Wajahnya yang biasanya dipenuhi senyum ramah kini berubah
serius, dan sikapnya tampak sangat berwibawa, membuat perasaan
ku melambung karena bangga. "Kalian tau, tradisi MOS di
sekolah kita sangat ngebosenin. Sementara di sekolah-sekolah lain
ada kejadian-kejadian seru semasa MOS, MOS di sekolah kita
benar-benar merupakan pekan orientasi pengenalan sekolah. Ini
harus kita ubah, supaya masa-masa MOS ini bakal lebih dikenang
oleh para siswa."
Kami semua terkejut saat pintu terbuka dengan keras. Lalu, di
luar dugaanku, si cowok-kasar-mirip-hantu yang tadi sempat ber
sitegang denganku menyelonong masuk.
"Sori telat banget," katanya seenaknya.
Dia mengambil kursi, menyeretnya hingga menimbulkan bunyi
gesekan antara kursi dan lantai yang sangat menyakitkan telinga,
lalu menempatkan kursi keparat itu di antara Ivan dan aku.
"Geser dong!" bentaknya pada Ivan.
Sambil menggumamkan sederetan umpatan, Ivan menuruti
perintahnya.
Cowok kasar itu duduk di bangku itu, mengangkat kakinya ke
atas meja, lalu melayangkan pandangan ke sekeliling ruangan dan
bertanya dengan nada polos, "Oke, sekarang rapat kita baru
bener-bener dimulai. Mana minumannya?"
"NAMANYA
Frankie," Ivan memperkenalkan si cowokkeparat-pongah-mirip-hantu itu. "Dia adikku."
Si cowok-keparat-pongah-mirip-hantu-bernama-Frankie menye
ringai ke seluruh ruangan. "Halo, salam kenal, everybody...."
Aku langsung membuang muka saat tatapannya terhenti pada
"Dia bergabung dengan kita," kata Ivan dengan nada terpaksa,
"karena dia satu-satunya wakil dari kelas sepuluh."
"Karena gue satu-satunya anak kelas sepuluh yang bukan
murid baru," lanjut Frankie dengan nada bangga.
Berhubung kata-katanya sangat membingungkan, setiap
pandangan di ruangan itu beralih lagi pada Ivan untuk meminta
penjelasan lebih lanjut.
Empat kata datar yang diucapkan Ivan membuat kami semua
tercengang. "Dia nggak naik kelas."
"Jadi," Frankie menyeringai lagi padaku, "kita seharusnya
seangkatan, Tuan Putri."
Sesaat aku tidak bisa berkata-kata saking kagetnya. Lalu, saat
akhirnya aku bisa berbicara lagi, aku malah menggunakan bahasa
sehari-hari yang kurang sopan digunakan di tengah-tengah rapat
seperti ini. "Tapi kok gue belum pernah ketemu elo?"
"Jelas aja." Frankie mengangguk dengan gaya memaklumi.
"Gue jarang masuk kelas, soalnya sibuk berantem kiri-kanan dan
bikin onar. Bener nggak, bro?"
Dia menepuk punggung Ivan keras-keras sampai kakaknya
yang loyo itu nyaris terpental.
"Iya," sahut Ivan dengan muka menahan sakit. "Dia terlalu
sering diskors."
Astaga. Rasanya aku tidak percaya bahwa kelompok elite kami
harus menerima oknum bejat seperti ini. Tapi setidaknya ini men
jelaskan kenapa Frankie bersikap kasar padaku. Wajar saja si adik
sebal pada cewek yang sudah mencampakkan kakaknya, tak
peduli betapa pecundangnya si kakak.
"Nah, setelah jati diri gue diperiksa dan disahkan," kata
Frankie tanpa menggubris tampang-tampang yang siap menolak
dirinya?termasuk tampangku, tentu saja, "cepet kasih tahu gue,
apa yang barusan elo-elo bicarain."
Benji memberi isyarat pada Ivan, yang lagi-lagi memasang
wajah terpaksa saat dia harus mengulangi penjelasan Benji se
belum kedatangan Frankie.
"Apa? Kalian mau ngubah tradisi MOS?!" teriak Frankie se
olah-olah ruangan ini milik kakek buyutnya. "Nggak usah tolol
deh!" Dasar tidak tahu diri. Kenapa dia mengatai Benji tolol?
Kan dia yang tidak naik kelas. "MOS sekolah kita emang boring
banget, tapi itu malah lebih bagus daripada bikin masalah yang
ngerepotin semua orang."
"Makanya, kita sebagai pengurus MOS harus sanggup ngejaga
semuanya agar tetap terkendali," kata Benji sambil berusaha
menegakkan kewibawaannya. "It?s not easy but someone has to do
it."
Aku menatap Benji dengan kagum. Kata-katanya mantap ba
nget.
Tapi Frankie malah tertawa. "Norak banget sih. Itu sih omong
an orang-orang yang sok berkorban. Padahal sih, kayak elo gini,
diam-diam seneng aja ngelakonin yang beginian."
Wajah Benji langsung merona merah.
"Udah deh, Frank," kata Ivan dengan wajah malu. "Nggak
usah bikin ribut di sini. Kalau nggak suka, mending lo keluar
aja."
"Nggak mau!" tolak Frankie. "It?s not easy to be here with you,
guys, but someone has to do it."
Meski memendam jengkel, aku jadi ingin tertawa juga.
"Wah, cewek lo ketawa, Van, denger lelucon gue! Eh, sori,
udah jadi cewek Benji, ya? Hahaha! Sori, gue lupa. Terlalu cepet
ganti sih...."
Dasar bajingan. Aku pacaran dengan Ivan setengah tahun lalu
dan baru pacaran dengan Benji belakangan ini. Apanya yang
"terlalu cepat ganti"?
Kupelototi Frankie sampai mataku nyaris keluar, namun cowok
itu malah membalasku dengan tatapan memangnya-apa-salah-gue
yang membuatku ingin sekali menamparnya.
"Seperti kata kakak lo, Frank," kata Benji untuk membelaku,
"kalo lo kepingin bikin onar seperti biasa, lebih baik lo keluar
aja."
"Wah, ngamuk si Kosis." Frankie mengangkat alis dengan
muka minta ditonjok. Namun berhubung tak ada cowok di
ruangan ini yang punya badan lebih besar darinya, tak ada yang
berani angkat tangan melawannya. "Ya udah, cepet jelasin rencana
lo tentang bikin MOS sekolah kita jadi party zone."
Benji menarik napas dalam-dalam untuk mengendalikan emosi
nya. "Gue nggak akan nyaranin untuk membuat MOS kita jadi
party zone."
"Nggak?" gumam Frankie namun jelas terdengar ke seluruh
ruangan. "Ah, bikin kecewa aja."
"Tapi," Benji tidak menggubris celaan Frankie, "kita akan mem
berikan acara MOS yang kejam, yang lebih berani seperti sekolahsekolah lain, dan membuat hidup anak-anak baru itu seperti di
neraka!"
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Frankie menyela lagi, "Wah, Ben, nggak tahunya elo lebih
bejat daripada gue, sampe pernah ke neraka segala. Padahal gue
aja belum pernah mampir. Emangnya di sana kondisinya gi
mana?"
Dengan kesabaran luar biasa yang patut mendapatkan acungan
jempol, Benji melanjutkan, "Selama enam hari, kita akan nge
lakuin hal-hal yang membuat mereka muak sekaligus takut pada
kita. Hal-hal yang membuat mereka ingin membunuh kita."
Kata-kata terakhir Benji membuatku merinding. Aku meng
alihkan tatapanku, dan melihat Frankie tersenyum mengejek ke
arahku.
Brengsek. Dia tahu aku ketakutan. Sori-sori saja, setelah kejadi
an memalukan tadi di koridor sekolah, aku tidak akan me
nampakkan kelemahanku lagi di depannya.
"Lalu," lanjut Benji penuh semangat, "pada akhir acara, yaitu
pada malam Minggu, kita akan merayakan selesainya pekan MOS
dengan menyelenggarakan pesta yang sangat hebat dan tak ter
lupakan di auditorium, sampai-sampai akan membuat mereka
merasa berterima kasih kepada kita seumur hidup. Bagaimana?
Oke nggak?"
Semua orang manggut-manggut dengan muka takjub dan ber
gairah dengan rencana yang sepertinya keren banget itu. Dan
karena aku ingin kelihatan bernyali, aku ikut-ikutan manggutmanggut.
"Halah, bontot-bontotnya bikin party juga," cela Frankie, satusatunya yang tidak ikut manggut-manggut. "Lagian, yang bener
aja lo? Lo siksa mereka sampai mereka mengharapkan lo mati,
lalu hanya dengan satu pesta, lo mau mengharapkan terima kasih
seumur hidup? Maruk banget!"
Sial, dia benar juga.
"Tapi okelah, anggap aja semua orang setuju dengan rencana
ini." Frankie menyeringai, tanpa menyinggung bahwa cuma dia
satu-satunya yang mengajukan protes. "Gimana dengan budgetnya?"
"Jangan khawatir," kata Benji kaku. "OSIS punya dana tak
terbatas dari kas sekolah."
"Whoa," Frankie bersiul. "Organisasi elite rupanya."
"Sori, organisasi paling elite itu klub KPR gue," ralat Peter,
berusaha menyinggung nama besar klubnya. "Kami pengguna
dana terbesar di antara semua klub dan organisasi."
Ampun deh. Hobi menghabiskan duit pun dibanggakan.
"Jadi, apa acara MOS yang kira-kira cocok untuk anak-anak
baru?" tanya Violina sambil mengedip-ngedipkan matanya yang
lebar. Cewek ini, gosipnya, lebih cantik dariku. Rambutnya pan
jang, dicat dengan warna cokelat terang, dengan poni lurus di
atas mata, tampak sangat serasi dengan lensa kontaknya yang
berwarna cokelat terang pula. Sikapnya polos banget dengan gaya
manja yang sangat manis, seolah-olah dia terbiasa disayang semua
orang. "Aku nggak bisa ngebayangin harus bersikap kejam ter
hadap anak-anak baru yang lucu-lucu itu deh."
Dasar cewek sok baik banget.
Sialnya, Benji si pacar baruku ternyata tidak kebal terhadap
pesona Violina. "Sebenarnya, untuk memudahkan hal itu, aku
udah nyiapin acara khusus."
"Acara khusus?" tanya Ronny si ketua-klub-basket-mirip-Cuplis
dengan muka tertarik.
"Yeah," sahut Benji dengan muka puas diri. "Untuk itulah kita
ngadain rapat ini di malam hari. Kalian udah liat kan, betapa
seremnya sekolah kita di malam hari? Nggak heran kalo tempattempat semacam ini punya kisah-kisah horor yang mengerikan.
Tapi, berhubung sekolah kita nggak punya kisah horor, kita yang
harus mengarang-ngarangnya!"
"Kisah horor seperti apa?" selaku, berusaha mengenyahkan
perasaan yang makin tak enak saja.
"Kita bisa mengarang cerita tentang peristiwa-peristiwa me
ngerikan yang mungkin pernah terjadi di sekolah kita," kata
Benji. "Kecelakaan. Hal-hal supernatural. Pembunuhan."
Oke, bukannya aku percaya takhayul, tapi bagaimana kalau
kisah bohong-bohongan itu memancing niat jahat iblis, yang lalu
memengaruhi orang-orang untuk mewujudkan kisah itu?
Iya deh, aku memang percaya takhayul. Mau apa?
"Aku punya feeling nggak bagus tentang ini," gumam Ronny,
dan aku langsung mengangguk-angguk setuju.
"Mengarang kisah-kisah tentang kesialan bisa mengundang ke
sialan itu sendiri, Ben," sambung Karmila malu-malu, membuatku
makin bersemangat lagi karena merasa didukung. Asal tahu saja,
cewek yang lebih dikenal dengan nama Mila ini tidak terlalu
cantik, tapi karakternya yang feminin, ramah, dan lemah lembut
membuatnya sangat populer dan disukai cowok-cowok. Apalagi,
gosipnya, dia bisa masak, padahal keluarganya tajir berat. Ayahnya
adalah pejabat militer yang sangat berkuasa. Meski begitu, dia
selalu rendah hati. Aku tidak biasa bicara baik soal cewek lain,
tapi cewek ini betul-betul cewek idaman banget deh.
Benji mengerutkan wajah tanda tak senang. "Jadi, menurut
kamu, ideku nggak bagus?"
Astaga, suara melengkingnya benar-benar jelek banget! Kalau
saja suara normalnya seperti itu, sudah pasti Benji bakalan me
nyandang predikat cowok-paling-tidak-laku-sepanjang-masa.
"Bukan begitu, Ben." Mila jadi salah tingkah dan merasa
tidak enak.
"Menurutku, itu ide yang bagus banget kok," sela Violina dengan
nada sok manis yang menyebalkan. "Pasti seru, kita bisa nakutnakutin anak-anak baru dengan kisah karangan kita sendiri."
"Benar," Ivan angkat bicara, menandakan dia juga sudah
mengetahui rencana ini. "Menurutku, yang nggak punya nyali
untuk ngejalanin rencana ini lebih baik angkat kaki aja."
Sial, kurasakan tatapan geli dari si cowok-pongah-separuhhantu-separuh-manusia.
"Aku suka ide itu," kataku lantang untuk menunjukkan ke
beranianku, dan langsung mendapatkan gumaman persetujuan
dari seluruh ruangan.
"Dan, enam kisah adalah jumlah yang cukup pas," sambung
Peter. "Tujuh atau delapan mungkin terlalu banyak untuk kisah
bohongan, sedangkan empat atau lima terlalu sedikit untuk
nakut-nakutin orang. Tapi ada satu masalah." Peter menyeringai.
"MOS kan cuma tiga hari. Gimana caranya kita nyempilin enam
kisah dalam waktu begini singkat?"
"Itu sebabnya gue bilang MOS kita kali ini bakalan istimewa,"
tegas Benji. "Kita nggak akan mengadakan MOS tiga hari, tapi
enam hari."
"Wah, gila, padahal di hari-hari biasa pun kita cuma sekolah
lima hari." Frankie bersiul. "Cuma denger gitu aja, gue udah
merasa tertindas banget!"
"Tapi kalo semua itu cuma bohongan, apa nggak akan ketauan
oleh anak-anak baru itu?" tanya Anita hati-hati, tak ingin terlihat
menentang rencana itu.
"Tentu saja nggak," sanggah Ivan. "Mereka kan cuma anak-anak
baru yang nggak tahu apa-apa soal sekolah kita. Bahkan, lulusan dari
SMP kita juga bisa kita perdaya dengan mengatakan ini rahasia di
antara anak-anak SMA yang jarang disebarluaskan."
Masuk akal juga sih. Kalau mengingat keculunanku saat baru
masuk sekolah, andai ada yang bilang para pengurus MOS ke
rasukan siluman jahat, aku pasti percaya-percaya saja.
"Jadi, siapa yang akan mulai mengarang kisah horor ini?" tanya
Benji memancing. "Bisa dimulai dengan latar belakang berupa
proyek gedung baru kita."
Proyek gedung baru adalah proyek yang didanai oleh Jenny
Bajaj si ratu drama, salah satu teman seangkatanku yang kebetul
an punya nama sama dengan sahabatku. Tadinya dana itu di
sumbangkan untuk membangun monumen untuk berterima kasih
padaku, Jenny, Tony, dan Markus karena jasa-jasa kami terhadap
Jenny Bajaj (Sebenarnya tidak ada jasa-jasa. Jenny Bajaj hanya
membesar-besarkan aksi kami sehubungan dengan penangkapan
seorang psikopat). Kami menolak ide norak itu dan menyarankan
untuk mengalihkan dana itu pada proyek-proyek yang lebih
berguna bagi sekolah kami. Jadilah dana itu digunakan untuk
membangun gedung gym baru, dan kabarnya gedung itu akan
menjadi salah satu bukti cinta dan pengorbanan Jenny Bajaj bagi
guru olahraga kami (alias cinta sepihak Jenny Bajaj yang tak layak
kita bahas sekarang dan selamanya).
"Biar aku yang memulai," ucap Mila tak terduga-duga. Kurasa,
dia merasa tak enak karena sudah menyinggung Benji dan kini ber
niat menunjukkan dukungannya pada ketua OSIS tersebut. "Suatu
ketika, pada zaman dulu, sekolah kita pernah membangun gedung
gym baru di situ. Sayangnya, kontraktor yang dipilih bukanlah
kontraktor yang tepercaya, melainkan kontraktor gadungan yang
cuma ingin mengeruk uang banyak. Jadi, tanpa sepengetahuan pihak
sekolah, gedung itu dibangun secara asal-asalan.
"Pada hari peresmian gedung, sekolah kita mengadakan per
tandingan basket indoor di dalam gedung tersebut. Pertandingan itu
dimeriahkan kelompok cheerleader, dan dihadiri semua murid dan
guru sekolah kita. Karena tarian rutin cheerleader yang terlalu
dahsyat, fondasi gedung itu mulai retak. Tidak ada yang menyadari
hal itu, karena semua terlalu asyik menonton tarian cheerleader.
Keretakan semakin parah saat permainan basket berlangsung,
namun lagi-lagi tak ada yang menyadari hal itu. Saat shoot ke
menangan dilakukan, semua melompat-lompat dan bertepuk
tangan. Itulah yang mengakibatkan seluruh gedung roboh."
Mila diam sejenak, menimbulkan rasa tegang dan penasaran
pada kami semua yang mendengarkannya.
"Semuanya mati...," kata Mila pelan. "Baik para pemain basket,
cheerleader, maupun semua penonton, semuanya terkubur di
dalam reruntuhan gedung. Sejak saat itu tidak ada yang berani
membangun gedung baru di situ. Apalagi, setiap kali kita berjalan
di situ, kita bisa merasakan tangan-tangan yang muncul dari
dalam tanah, berusaha menarik kita untuk bergabung dengan
mereka yang udah meninggal!"
Suara Mila lenyap perlahan-lahan, membuat bulu kudukku
merinding. Kurasakan Frankie si cowok sialan memperhatikanku
dengan senyum mengejek. Dasar brengsek. Asal tahu saja, kalau
aku punya bodi raksasa dan otot sebanyak dirinya, aku juga
bakalan bersikap pongah saat didekati sepasukan hantu berkapak.
Toh hantu-hantu itu transparan dan tak bakalan bisa melukai
Suara Benji memecahkan keheningan.
"Hebat sekali, Mila!" pujinya, jelas-jelas sudah melupakan ke
kesalannya pada Mila tadi. "Nggak kusangka, kamu punya bakat!"
"Terima kasih," sahut Mila tersipu-sipu.
"Oke, berhubung kisah horor pertama dikarang oleh anggota
cewek, bagaimana kalau kisah horor kedua dikarang oleh anggota
cowok?" kata Benji sambil menatap para cowok yang tampak
ogah-ogahan berpartisipasi dalam masalah ini.
"Kuharap kehormatan itu bisa menjadi milikku," kata Peter
dengan penuh gaya, sementara cowok-cowok lain berusaha me
nyembunyikan kegirangan mereka karena tidak dipaksa memberikan
sumbangsih. "Gimanapun aku kan ketua klub KPR. Rasanya udah
cukup memalukan karena didahului seorang cewek pemalu."
Benji mengangguk memberikan persetujuan, sementara wajah
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mila langsung memerah.
"Kisah kedua ini terjadi di klub KPR yang terhormat." Tentu
saja. Ketua klub yang berdedikasi ini memang tidak pernah mau
menyia-nyiakan kesempatan untuk mempromosikan klubnya.
"Dan terjadi pada ketua klub KPR pertama. Sang ketua KPR
konon berasal dari keluarga yang tidak bahagia. Karena malas
pulang ke rumah, dia sering menghabiskan waktu di ruang klub
KPR untuk menulis berita dan bermain internet gratis. Terkadang
dia berada di situ hingga larut malam...." Peter diam sejenak, se
belum akhirnya menambahkan, "Seperti saat ini."
Sial, bulu kudukku merinding lagi. Namun karena tidak ingin
disebut pengecut, terutama oleh oknum bernama Frankie, kukeras
kan hatiku dan kupasang muka dingin bak pembunuh berdarah
dingin.
"Sang ketua diam-diam keranjingan chatting, dan rajin ber
komunikasi dengan seorang cewek yang punya kisah hidup mirip
dengannya. Bagaikan soulmate, menurutnya. Keduanya sangat pe
simis dalam menjalani hidup dan sering berkeluh kesah. Lalu,
suatu hari, si ketua menerima sebuah pesan singkat, ?Aku sudah
letih dengan kehidupan ini,? ketik cewek itu. ?Aku ingin bunuh
diri. Kamu mau mati bersamaku?? Lalu sang ketua menyahut,
?Kalau tidak ada kamu, hidupku tidak berarti.? Keesokan harinya,
staf kebersihan sekolah menemukan sang ketua gantung diri di
depan monitor komputer berisi dialog tadi. Tidak diketahui
apakah cewek itu benar-benar bunuh diri atau cuma bohongan,
tapi sejak saat itu, setiap pagi, anggota-anggota klub KPR pasti
menemukan monitor komputer di klub mereka dalam keadaan
menyala. Satu-satunya aplikasi yang dijalankan adalah aplikasi
chatting, dan hanya ada satu baris percakapan di situ, ?Ayo kita
mati bersama.? "
Keheningan terasa mencekam saat Peter mengakhiri kisah
nya.
"Kisah yang bagus, Peter," kata Benji dengan suara tercekat.
"Thank you." Peter membungkukkan badannya sedikit.
"Ceritanya bener-bener mengerikan, Peter," kata Violina dengan
suara gemetar. "Aku bener-bener takut dengernya."
Setiap cowok di ruangan itu langsung memberi Violina tatapan
prihatin. Aku memaki-maki di dalam hati. Seharusnya aku juga
bertingkah ketakutan dan mendapatkan perhatian semua orang,
bukannya sok berani seperti ini dan membiarkan si licik Violina
mencari sensasi. Ini semua gara-gara Frankie si muka-hantu-me
nyebalkan. Kalau saja tak ada tampang mengejeknya yang me
nyebalkan itu, pasti saat ini akulah yang sedang dihibur semua
orang.
"Nggak usah takut, Viol." Peter menepuk-nepuk tangan
Violina. Dasar bajingan pencari kesempatan. "Ini cuma kisah
bohongan. Bener kan, Benji?"
"Bener, Viol." Benji mengangguk ramah dan memuakkan.
"Kamu nggak usah takut lagi. Nah, giliran ketiga."
"Biar aku yang menceritakan kisah ketiga," sela Anita cepat,
seolah-olah dia tidak rela giliran itu direbut oleh orang lain.
"Kisah ini terjadi di ruangan ini."
Kami semua terperanjat saat mendengar ucapan Anita, yang
tersenyum puas karena berhasil mengagetkan kami.
"Waktu itu sedang pelajaran kosong. Untuk melewatkan waktu,
sekelompok cewek berkumpul di sini dan menemukan papan
ouija pada salah satu lemari."
"Papan ouija?" tanya Violina bingung.
"Itu adalah papan berisi simbol-simbol, baik huruf, angka,
maupun simbol lainnya," Peter menerangkan. "Para pemain meng
gunakan kepingan kayu dengan lubang di tengahnya, disebut
planchette, menggerakkannya dalam gerakan searah jarum jam,
dan roh ouija akan menuntun planchette pada serangkaian huruf
dan angka yang membentuk jawaban atas pertanyaan si pe
main."
Tanpa mengindahkan Violina yang masih kebingungan, Anita
melanjutkan ceritanya. "Cewek-cewek itu cuma iseng, memainkan
papan itu untuk mengetahui siapa kekasih mereka di masa yang
akan datang. Namun, satu per satu peserta permainan itu tewas
dengan sangat mengerikan. Salah satunya dirampok, dua di antara
mereka mati tertabrak, dan sisanya, karena tidak tahan, akhirnya
bunuh diri. Setiap malam, seperti saat ini, roh mereka berkumpul
lagi di sini, menunggu-nunggu dengan penuh harap, menatap
kita satu per satu, siapakah yang akan bergabung dengan me
reka."
Tidak ada yang berani bergerak saat Anita menyelesaikan
ceritanya.
"Pantes," kata Frankie akhirnya sambil melirik ke sekelilingnya
dengan muka berlagak takut, "dari tadi gue ngerasa dipelototin."
Kata-katanya disambut oleh tawa kecut oknum-oknum yang
berusaha tampak berani, dan aku nyaris ikut melakukannya kalau
bukan karena tatapan itu kemudian berhenti padaku.
Apa sih masalah cowok ini?
Ivan berdeham. "Karena Anita udah mengambil gilirannya,
rasanya kurang jantan kalau aku, sebagai pacarnya, nggak ikut
ambil bagian."
Kata-kata ini bahkan lebih lucu daripada kata-kata Frankie
barusan. Cowok ini berusaha kelihatan jantan pada saat-saat be
gini, tapi tidak segan-segan menangis kalau ada cewek yang men
judesinya.
"Kisah keempat ini berlangsung di gedung gym. Pada suatu
ketika, ada dua siswa yang menjadi pelari kebanggaan sekolah kita.
Suatu hari diadakan perlombaan lari antarsekolah, dan cuma salah
satu dari kedua siswa ini yang bisa menjadi wakil sekolah. Jadi, salah
satu dari kedua pelari ini, yang berwatak sangat licik, menyelipkan
paku-paku kecil ke sepatu saingannya yang akan dipakai dalam tes
penentuan di antara mereka. Saat tes penentuan baru berlangsung
beberapa saat, si saingan ini mengeluh kesakitan karena kedua
telapak kakinya terluka. Saat diperiksa dokter, ketahuanlah kalau
kedua kakinya terkena gangrene dan harus diamputasi. Tidak kuat
menghadapi hidup tanpa dua kaki, akhirnya siswa ini bunuh diri
dengan cara melompat dari lantai dua gym ke lantai bawah. Hingga
kini, pada malam hari, masih terdengar bunyi orang menyeret-nyeret
tubuh di dalam gedung gym."
Gila, cerita-cerita ini semakin lama semakin mengerikan.
Rasanya tinggal tunggu waktu saja hingga aku berlari ke luar
ruangan dan menjerit-jerit histeris, sementara Frankie si cowok
hantu akan berteriak dengan penuh kemenangan, "Itu dia muka
asli si Tuan Putri! Jelek banget, kan?"
Sial, siapa yang mau dihina olehnya?
"Oke," Benji berdeham, "kini giliran terakhir untuk anggota
cewek."
"Tentu saja giliranku," sahut Violina si pencari sensasi dengan
suara sok imut dan ceria. "Aku punya cerita horor yang seru
banget. Kalian semua mau dengar nggak?"
Kata-katanya benar-benar sok imut. Ingin sekali aku berteriak,
"Sori, nggak sudi!", tapi cowok-cowok sudah menduluiku dengan
teriakan keras, "Mau!"
Kurasa aku kalah suara.
"Oke, begini ceritanya," sahut Violina gembira. "Kisah ini ter
jadi beberapa saat yang lalu di laboratorium kimia."
"Hei," selaku. "Ini bukan kisah tentang Jenny Tompel, kan?"
Oke, kalian mungkin bingung mendengar begitu banyak nama
Jenny. Asal tahu saja, di seluruh angkatanku, ada tiga orang
Jenny, dan tiga-tiganya dibedakan dengan tiga julukan top. Yang
pertama Jenny Angkasa, sahabat akrabku, yang kadang-kadang
dijuluki Jenny Jenazah. Yang kedua, Jenny si ratu drama yang
dikenal sebagai Jenny Bajaj. Dan yang terakhir, Jenny Tompel
yang kini lebih terkenal dengan julukan Jenny Gajah Bengkak
lantaran berat badannya yang naik drastis sejak dia membuang
tompelnya. Kurasa Jenny Tompel terkena karma. Memang, tidak
baik kita membuang sesuatu yang sudah kita miliki sejak lahir.
Lagi pula, sebenarnya tompel Jenny Tompel tidak jelek-jelek
amat. Yang membuatnya terlihat jelek adalah kepribadiannya yang
termasuk salah satu tabiat terburuk di dunia.
Beberapa saat lalu, gara-gara teman sekelas kami yang psikopat,
Jenny Tompel mengalami kecelakaan di laboratorium kimia.
Kecelakaan itu sangat mengerikan, karena wajah dan tubuh Jenny
Tompel nyaris rusak untuk selamanya. Untung saja orangtua
Jenny Tompel mengupayakan yang terbaik bagi anak mereka
dengan mengirimnya ke dokter spesialis bedah di Beverly Hills.
Kalau tidak, aku yakin saat ini Jenny Tompel sudah terjun ke
dunia hiburan dengan merintis karier jadi bintang film horor.
Tanpa memerlukan efek spesial berlebihan, dia pasti sudah
tampak sangat menakutkan.
"Sebenarnya, ini memang kisah Jenny Tompel," kata Violina
tersipu-sipu. "Menurutku, cerita itu sangat menakutkan. Menurut
kalian semua gimana?"
Cowok-cowok langsung manggut-manggut dengan tampang
idiot. "Iya, emang sangat menakutkan."
"Kalau begitu, kita akan memasukkannya sebagai kisah kelima,"
kata Benji, lalu menoleh pada Violina dengan ramah. "Thank you,
Viol. Ide yang bagus."
Kulirik Benji dengan kesal. Menyebalkan sekali punya cowok
yang hobi melirik-lirik cewek lain. Padahal, dia kan sudah punya
aku yang begini cantik di sampingnya. Dasar cowok tak tahu di
untung.
Kapan aku bisa ketemu cowok yang akan puas hanya dengan
diriku, seperti Tony yang cuma mau menatap Jenny?
Sial, aku iri banget pada Jenny.
"Oke, aku akan menyumbangkan kisah horor terakhir yang
terjadi di auditorium," kata Benji. "Suatu ketika, pernah ada
seorang siswa kelas dua belas yang bermasalah dan terancam
bakalan dikeluarkan dari sekolah. Lalu, pada malam prom, dia
kalap karena membayangkan teman-teman seangkatannya bakal
lulus dengan gemilang, sementara nasibnya begitu memalukan.
Jadi, dia mengunci semua orang di auditorium, termasuk dirinya
sendiri, lalu membantai setiap orang yang ada di situ dengan..."
"Gergaji mesin?" sela Frankie memberi usul. "Seperti Texas
Chainsaw Massacres?"
"Memang itu maksudku." Benji tampak jengkel, mungkin
karena idenya bisa ditebak Frankie, atau mungkin juga karena
ketahuan menyontek. Lalu dia melanjutkan lagi dengan suara
penuh penghayatan, "Saat akhirnya polisi berhasil membuka pintu
itu, terlihatlah pemandangan yang sangat mengerikan dan tak
terlupakan. Potongan-potongan tubuh manusia berserakan di
seluruh ruangan, berlumuran darah amis yang sudah mulai
mengering. Tak ada seorang pun yang hidup, termasuk sang
pelaku, yang menuntaskan misinya dengan bunuh diri. Sejak saat
itu, setiap malam di auditorium akan terdengar jeritan dan
tangisan orang-orang yang kehilangan anggota tubuh mereka."
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kali ini, tanpa memikirkan gengsi dan harga diri lagi, aku pun
berdiri sambil menggebrak meja. Suaraku terdengar lantang namun
dingin saat mengucapkan, "Nah, sesuai tujuan rapat ini, akhirnya
kita berhasil juga mengumpulkan enam kisah horor. Terima kasih
atas partisipasi teman-teman. Sampai jumpa besok."
Dan yang membuatku lega, Frankie ikut berteriak, "Akhirnya!"
"Kamu punya wibawa, Han."
Itulah kata-kata Benji saat berjalan keluar dari ruangan ber
samaku. "Kalo kamu berminat, kurasa ada baiknya kamu
nyalonin diri jadi ketua OSIS periode mendatang."
"Betul?" Tak kusangka, tindakan pengecutku malah membuah
kan pujian seperti ini. Hidup memang tidak bisa ditebak. "Me
nurutmu, aku punya kesempatan?"
"Tentu aja," angguk Benji penuh keyakinan. "Kamu cantik,
pandai bergaul, nggak punya masalah dengan demam panggung,
dan pemberani. Dengan bantuan dan dukunganku, aku yakin
kamu pasti bisa dapetin jabatan itu."
Diameter kepalaku langsung membesar lima sentimeter, lupa
bahwa ucapan berwibawa tadi kusemburkan dengan hati penuh
jeritan ketakutan.
"Tambahan lagi," lanjut Benji seolah-olah ucapan berikutnya
tak begitu penting, "prestasimu juga lumayan."
Aku menatap Benji dengan jengkel. Berani-beraninya dia
melupakan hal itu. Asal tahu saja, setahun lalu aku bukanlah
murid yang pandai. Hanya ada dua keahlian yang menjadi
andalanku: menggambar dan menyontek. Setiap kali ulangan,
aku menyontek Jenny dengan ganas supaya nilai-nilaiku tidak
jelek-jelek amat.
Suatu hari Jenny memutuskan bahwa dia sudah cukup mem
beriku kelonggaran.
"Mulai sekarang, lo ikut gue belajar."
Sial. Nyaris saja kuputuskan tali persahabatan kami, kalau saja
aku tidak ingat kami sudah pernah menjalani pengalaman-saatnyawa-di-ujung-maut bersama-sama. Apalagi, selain Jenny, seperti
nya tak ada cewek yang tahan dengan sifat-sifat jelekku (demi
egoku, aku menolak menyebutkan sifat-sifat jelek ini). Terpaksalah
aku mengikuti kemauannya yang tidak masuk akal itu, membeli
buku-buku bank soal keparat yang tebal, mahal, dan tak menarik,
lalu mengerjakan latihan-latihan soal yang menjemukan setiap
hari. Alhasil, aku meraih ranking sepuluh tanpa menyontek se
dikit pun (kecuali pelajaran biologi?tapi siapa sih yang bisa
menghafal nama-nama Latin semua binatang tak bertulang
belakang?).
Jadi, bisa dibilang, ranking dan kecerdasanku kuperoleh dengan
usaha keras, dan aku bangga sekali karenanya. Tapi si cowok tolol
ini malah mengucapkan hal itu seakan-akan itu kelebihanku yang
tidak penting. Benar-benar bikin kesal.
Lebih mengesalkan lagi, tiba-tiba Benji berkata, "Nah, itu
mobilku. Aku pulang dulu ya, Say."
Aku bengong saat Benji mendaratkan ciuman ke pipiku, lalu
berlalu begitu saja.
Dasar cowok tidak gallant! Kenapa dia tidak mengantarku
sampai ke mobil? Apa dia tidak takut aku dirampok, diculik, atau
lebih parah lagi, dibunuh dalam perjalanan menuju mobil?
Oke, kurasa aku terlalu lama sekelas dengan Jenny Bajaj. Kini
aku ketularan sifat ratu dramanya.
Tetap saja, saat ditinggal Benji, perasaan takut langsung me
rayap di hatiku. Lapangan parkir itu sepi dan gelap dengan sangat
sedikit lampu?jelas pihak sekolah tidak mengharapkan ada yang
kelayapan di sekolah hingga larut malam?sementara langit ma
lam begitu kelam tanpa bulan.
Meski ketakutan setengah mati, aku tetap berusaha menjaga
gengsi dengan berjalan santai ke mobilku?dan sempat-sempatnya
melambai pada Benji saat Taruna gold keparatnya melintas.
Saat tiba di mobilku, tubuhku langsung lunglai melihat ban
mobil depanku kempis.
"Sial!" teriakku sambil menendang ban itu?tidak dengan se
kuat tenaga, tentu saja. Aku masih cukup waras untuk tidak
menyakiti diriku sendiri.
Sekarang aku harus bagaimana? Menelepon Benji supaya kem
bali ke sini dan menjemputku? Menelepon ayahku dan menyuruh
beliau memanggil mobil derek? Atau?
Kurasakan sebuah tangan merayap di bahuku. Dan saat aku
berniat menjerit sekuat-kuatnya, sebuah tangan besar membekap
mulutku.
"Udah gue bilang, nggak sopan banget jejeritan sambil ngeliat
muka orang!"
Astaga, dia lagi!
Aku melepaskan diri dengan muka cemberut, sementara
Frankie cuma menatapku dengan muka polos. Tampangnya sama
sekali tidak kelihatan bersalah meski barusan bergaya-gaya mirip
penculik profesional.
"Abis, lo selalu muncul mendadak," ketusku. "Diam-diam pula.
Gimana nggak bikin kaget?"
"Iya deh, lain kali gue teriak-teriak tiap kali muncul." Dia
memperhatikan mobilku, lalu menyeringai kurang ajar. "Ban mo
bil kempis, Tuan Putri? Butuh bantuan rakyat jelata?"
"Emangnya lo bisa?"
"Watch and learn, Princess."
Dengan kurang ajar cowok itu menyelonong ke mobilku,
membuka pintu bagasi dari dalam?kok bisa????lalu merogohrogoh ke dalam bagasiku dan mengeluarkan sejumlah perkakas
yang tak pernah kusadari keberadaannya dalam mobilku.
"Kok lo tau barang-barang itu ada di sana?"
"Yah, gue cuma nebak-nebak bahwa bokap lo cukup cerdas untuk
membekali mobil lo dengan alat-alat yang dibutuhkan saat ban
kempis," katanya sambil menunjukkan sebuah buku. "Bahkan ter
nyata ada buku manual cara mengganti ban sendiri. Sayang ditaruh
nya di bagasi. Taruhan, elo pasti nggak tahu cara buka bagasi."
Sial, dia tahu segalanya!
Namun kekesalanku berubah menjadi keheranan dan rasa
takjub dalam sekejap, saat melihat Frankie mulai beraksi dengan
barang-barang ajaib yang dikeluarkannya dari bagasiku. Dia men
dorong sesuatu ke bawah mobil?yang ternyata bernama dong
krak?yang kemudian digenjotnya dengan tangan. Lalu dia mulai
melepas ban mobilku, pertama-tama peleknya, dilanjutkan dengan
sekrup-sekrup yang menempel di balik pelek itu.
"Kok lo jago ganti ban mobil?" tanyaku terpesona.
"Hm?" Sepertinya Frankie terlalu asyik bekerja sampai-sampai
tidak mendengarku, jadi aku mengulangi pertanyaanku. "Oh, itu.
Yah, lo udah denger kan kata-kata kakak gue yang terhormat,
kalo gue ini pecundang berat."
Sebenarnya sih dia tidak terdengar seperti pecundang, melain
kan pembuat onar tanpa tandingan.
"Bokap gue udah berusaha keras ngasih hukuman dalam ber
bagai bentuk supaya gue, ngutip kata-katanya nih, jadi lebih
mirip manusia," katanya tanpa nada pahit. "Dihajar, nggak di
kasih makan, nggak dikasih uang jajan, sebut ajalah, gue udah
pernah ngalamin semuanya."
Meski tidak menyukai cowok ini, ceritanya membuatku merasa
tersentuh juga.
"Bokap lo sadis amat sih," komentarku.
"Tadinya gue juga mikir gitu," kata Frankie sambil terus be
kerja, hingga aku tidak bisa melihat mukanya. "Tapi gue sekarang
sadar gue emang bukan anak yang bisa dibanggain, nggak kayak
Ivan."
"Apanya yang membanggakan dari Ivan?" Aku mendengus.
"Dia kan cengeng banget."
Frankie diam lama sekali. Astaga, apa dia tersinggung karena
kakaknya kukatai cengeng?
"Hei," aku mendekatinya. "Sori, lo nggak seneng kalo"
Aku melongo saat melihat bahu Frankie terguncang-guncang,
sementara wajahnya merah menahan tawa.
"Sori," ucapnya saat dia sudah berhasil mengendalikan diri,
"susah banget buat nggak ketawa. Gue kira cuma gue yang tahu
rahasia itu."
"Rahasia apanya? Waktu gue putusin dia, dia nangis melulu di
kelasnya."
"Tapi berani taruhan, pasti temen-temennya ngira itu wajar
dan itu kesalahan elo."
Aku memberengut. "Lo kira kenapa coba mereka taruhan buat
ngerjain gue?"
Frankie manggut-manggut. "Emang begitulah modus operandi
Ivan. Waktu kecil dia juga sering berantem sama gue. Kalo kalah,
dia langsung nangis dan bersikap seolah-olah dia itu korban
kebrutalan gue. Lama-lama gue males juga ngebela diri."
"Jadi gara-gara itu lo jadi pembuat onar?" tanyaku kaget.
Frankie tersenyum, lagi-lagi ringan tanpa beban. "Yah, kira-kira
gitu deh. Tapi lama-lama jadi kebiasaan kok."
Ternyata, kalau ditelusuri, cowok ini malang banget. Tapi dia
sama sekali tidak mengasihani diri ataupun meminta orang lain
mengasihaninya. Pasti dia cowok yang kuat?bukan dalam hal
otot saja, melainkan juga bermental baja.
"Lalu, hubungannya dengan ganti ban?"
"Oh, ya." Frankie seakan-akan baru teringat. "Nah, karena gue
jarang dikasih makan dan duit jajan, gue harus cari kerja samping
an dong. Makanya gue mulai mangkal di bengkel dan bantubantu. Waktu masih kecil gue cuma bisa ngebantu di bengkel
sepeda. Terus menanjak di bengkel motor. Sekarang sih gue udah
jago juga benerin mesin mobil." Dia menyeringai penuh per
sekongkolan. "Mau tahu sebuah rahasia?"
Aku langsung mencondongkan wajahku padanya. "Selalu."
"Kadang gue sengaja bikin onar di sekolah, biar diskors, jadi
gue bisa ngabisin waktu lebih lama di bengkel."
Aku tercengang. "Ngapain lo mangkal lama-lama di bengkel
gitu?"
"Banyak," sahut Frankie dengan wajah bersinar, membuat
suasana gelap di sekitarku terasa lebih terang dan menyenangkan.
"Gue bisa belajar cara ngelola bengkel, apa aja yang dibutuhin,
dan hal-hal semacam itu deh. Nanti, kalo gue udah berhasil
ngumpulin modal, gue bakal sewa satu tempat buat buka bengkel
sendiri. Kalo bengkelnya udah rame, gue akan beli tempat itu.
Gue malah udah berhasil ngebujuk Les jadi partner gue."
"Les?"
"Nama lengkapnya Leslie Gunawan, dan bisa dibilang dia itu
mentor gue," kata Frankie dengan muka memuja. "Dia itu bekas
anggota geng. Sekujur badannya penuh tato dan bekas luka. Tapi
sekarang dia udah tobat dan jadi manajer bengkel. Anak-anak
badung yang nggak tahu harus ke mana biasanya dateng ke dia.
Dia yang ngajarin kami untuk nggak nyia-nyiain hidup dan me
lakukan hal-hal yang benar." Frankie tertawa malu. "Kedengaran
nya boring banget, ya? Tapi berkat dia, gue jadi punya tujuan
hidup. Setelah lulus SMA, gue kepingin nggak bergantung sama
orangtua lagi. Gue nggak akan ngelanjutin sekolah, tapi gue pasti
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bakal sukses dengan jalan hidup yang gue pilih."
Aku tidak menyangka, cowok yang kukira pembuat onar dan
tidak bermasa depan ini sudah merencanakan hidupnya sampai
sejauh itu. Sementara aku? Aku dulu bahkan tidak tahu mau
memilih jurusan IPA, IPS, atau Bahasa. Akhirnya aku memilih IPA
lantaran itulah pilihan Jenny, dan aku masih kepingin sebangku
dengannya. Kini aku memang kebingungan memikirkan apakah aku
akan mengikuti pencalonan ketua OSIS atau tidak. Tapi, itu sama
sekali tidak ada hubungannya juga dengan masa depanku.
"Sori, gue jadi nyerocos. Biasanya gue nggak sebawel ini."
"Nggak apa-apa," kataku jujur. "Tapi gue nggak nyangka, ter
nyata jalan pikiran lo boleh juga."
"Thanks," sahut Frankie sambil nyengir. "Cuma elo yang
ngomong gitu. Orang-orang lain, kalo nggak ngatain cita-cita gue
terlalu rendah, pasti bilang impian gue terlalu muluk. Yah, buat
gue, itu pertanda kalo cita-cita gue ini emang tepat buat gue."
Dia diam sejenak. "Sori soal awal pertemuan kita yang buruk
tadi."
"Yeah." Memikirkan hal itu membuat nada suaraku jadi judes
lagi. "Harus diakui, gaya lo emang minta ditonjok banget."
"Iya, sori," ucap Frankie sambil menatapku dengan sungguhsungguh. "Gue kira lo Tuan Putri yang sok cantik, suka mainin
cowok, nggak punya otak, hobi bersenang-senang doang..."
Aku tidak tahan lagi mendengar diriku dijelek-jelekkan seperti
itu. Cepat-cepat aku menyela, "Gara-gara gue mutusin Ivan
seenak jidat?"
"Yah, gara-gara itu." Wajah Frankie memerah. "Mungkin gue
terlalu judgmental juga. Tapi harus diakui, tampang lo rada
sengak."
"Ngaca dulu dong," balasku sinis. "Emangnya muka lo nggak
sengak?"
"Iya deh. Muka gue sengak juga."
Kami berdua sama-sama diam hingga Frankie menyelesaikan
pekerjaannya.
"Selesai." Dia mengusapkan tangannya yang kotor ke celananya,
lalu menadahkan tangan itu padaku. "Mana kunci mobilnya?"
"Mau apa?" tanyaku kaget.
"Nganterin lo pulang," seringainya. "Elo takut pulang sendiri
an, kan?"
Sial. Sekali lagi, dia tahu segalanya!
"Mm, nggak juga sih..."
"Ah, sama gue nggak usah terlalu gengsi," katanya sambil meraih
kunci mobil dari tanganku. "Tenang aja, gue punya SIM kok."
"Punya SIM kok nggak bawa mobil?" tanyaku heran saat dia
membukakan pintu kursi penumpang untukku.
"Yah, seperti kata gue tadi, bokap gue menghukum gue dengan
segala cara. Salah satunya, yah, nggak ngasih gue nyetir meski gue
udah cukup umur. SIM aja gue harus bikin sendiri."
Lagi-lagi aku tersentuh mendengar ceritanya. Kutatap Frankie
lekat-lekat saat dia mengitari bagian depan mobil dan masuk me
lalui pintu pengemudi. Gayanya santai sekali saat dia menyesuai
kan kursi mobil dengan postur tubuhnya yang besar, menyalakan
mesin mobil, lalu membawa mobilku keluar dari lapangan par
kir.
Yang mulai membuatku gugup, cowok itu kelihatan ganteng
setengah mati. Gawat. Asal tahu saja, aku bukan cewek tukang
selingkuh. Meski hobi gonta-ganti cowok, aku tidak pernah me
lirik cowok lain saat sedang punya pacar?kecuali dulu sekali,
saat aku masih mengira Tony cowok paling ganteng di sekolah
kami. Sekarang aku agak menyesali saat-saat itu dan bertekad jadi
cewek yang lebih baik. Tidak ada lirik kiri-kanan lagi saat ber
pacaran.
Tapi, saat ini...
"Ini cuma nganter pulang, ya," kataku lebih kepada diriku
sendiri ketimbang ditujukan pada Frankie. "Nggak boleh ada
maksud lain."
"Iya, tenang aja," kata Frankie santai. "Gue nggak minat sama
pacar cowok lain kok."
Sial, aku jadi kecewa berat.
"Tapi seandainya gue punya niat tersembunyi pun, cowok lo
nggak bisa marah juga. Salah dia sendiri. Punya pacar cantik be
gini bukannya dijaga baik-baik, malah disuruh pulang sendiri
an."
"Yah, ini kan maksud gue bawa mobil sendiri," kilahku, bukan
karena ingin membela Benji, melainkan karena aku tidak ingin
kehilangan muka gara-gara punya cowok memalukan seperti
Benji. "Gue nggak suka tergantung sama cowok."
"Cewek mandiri?dan agak-agak sok. Keren juga."
Aku memelototinya. "Apa maksud lo, agak-agak sok?"
"Udahlah, nggak usah mungkir. Lagian, seperti kata gue tadi,
keren juga kok."
"Lo suka cewek sok?" tanyaku geli.
"Gue suka cewek yang nggak bisa ditebak," sahut Frankie
tenang. "Dan elo memang rada nggak bisa ditebak."
Entah kenapa, jantung sialku mulai berdebar keras saat aku ber
usaha mencerna kata-kata itu. "Maksud lo, lo suka sama gue?"
"Yep."
"Tapi kata lo, lo nggak minat sama pacar cowok lain."
"Yah, gue suka sih sama elo, tapi kan nggak berarti gue mau
pacaran sama elo."
Cowok hantu ini jauh lebih sok daripada aku.
"Gue rasa lo udah tahu sejarah percintaan gue," kataku ke
mudian.
Frankie mengangguk membenarkan ucapanku.
"Biar fair, lo cerita juga dong tentang sejarah percintaan elo,"
desakku.
"Nggak punya."
Aku kaget. "Belum pernah pacaran?"
Frankie tersenyum sinis. "Mana ada murid cewek SMA Persada
Internasional yang mau pacaran sama cowok nggak punya masa
depan kayak gue?"
"Tapi elo kan bukannya nggak punya masa depan," protesku.
"Seperti kata gue, cuma elo yang mikir gitu."
Aku tercengang lagi saat Frankie membelokkan mobilku ke
kompleks perumahanku. Pertama, aku tidak menyangka dia tahu
rumahku. Kedua, tadinya kukira kami akan mampir di rumahnya
dulu, lalu aku akan menyetir pulang sendiri. Apalagi, seingatku,
rumah Frankie?yang kuketahui saat pacaran dengan Ivan?
berada di kompleks paling ujung dari perumahan kami.
"Kok tau rumah gue?" tanyaku.
"Siapa yang nggak tau rumah Hanny Pelangi?"
Yah, meski sadar banget dengan kebekenan diriku sendiri, aku
tidak tahu ternyata aku sebeken ini.
"Eh, Frank, mendingan gue anter lo pulang dulu deh," saranku
berbaik hati, "nanti gue bisa nyetir pulang sendiri."
"Nggak usah, thanks." Sial, niat baikku ditolak dengan tegas.
"Gue nyetirin mobil lo karena mau jagain lo kok. Lagian, bensin
mahal."
Ya ampun. Lagi-lagi kata-katanya yang sederhana itu membuat
ku tersentuh.
Frankie menghentikan mobilku di depan rumahku.
"Nah, sebaiknya gue turun di sini aja," katanya. "Gue nggak
pengin bikin ortu lo marah karena bergaul sama cowok seperti
gue."
"Ortu gue nggak begitu kok," tukasku.
Frankie menggeleng. "Lebih baik begini." Lalu dia tersenyum
lebar sekali. "Selamat malam, Tuan Putri. Sampai ketemu be
sok."
Kini panggilan Tuan Putri itu terdengar sangat manis, jadi aku
membalas senyumnya juga. "Selamat malam, Frankie. Thanks buat
gantiin ban dan temenin gue pulang."
Frankie mengangguk. Lalu, sambil membalikkan tubuh dia
mengangkat tangannya dan melambai singkat seraya berjalan
pergi. Untuk kesekian kalinya, perasaanku tersentuh melihat pung
gungnya yang perlahan-lahan menghilang di tengah kegelapan
malam.
Dan, meskipun aku berusaha melupakannya, perasaan itu tidak
mau pergi.
KISAH horor pertama SMA Persada Internasional:
"Peristiwa itu terjadi di lahan proyek pembangunan gedung gym
baru. Dulu sekali pernah ada yang membangun gedung gym baru
di situ. Namun kontraktor yang dipilih bukan kontraktor bereputasi
baik, dan gedung itu pun dibangun secara asal-asalan. Pada hari
peresmian gedung tersebut, diadakan pertandingan basket indoor
yang dimeriahkan oleh kelompok cheerleader dan dihadiri semua
guru dan murid. Karena kegaduhan pertandingan, gedung itu pun
roboh, mengubur semua orang yang berada di dalamnya. Sejak saat
itu, setiap kali kita berjalan di situ, kita bisa merasakan tangantangan yang muncul dari dalam tanah, berusaha menarik kita
untuk bergabung dengan mereka yang sudah meninggal."
Karmila alias Mila, kelas XII IPA 1, Sekretaris II OSIS
Oke, tak kusangka anak-anak baru ternyata secupu itu.
Tampang semuanya, baik cowok maupun cewek, terlihat ketakut
an saat aku menghampiri mereka. Seragam mereka seragam standar
tanpa dimodifikasi macam-macam. Ini berarti, semua jahitannya
sesuai peraturan sekolah. Tidak ada kemeja yang rada ketat dengan
lengan yang lebih pendek, tidak ada rok yang dipendekkan, tidak
ada celana gombrong yang keren. Rasanya seperti melihat satu
pasukan berisi kloningan Jenny, sohibku yang cupu dan kuper.
Dan setiap perintahku dijalankan bagaikan titah raja.
"Beliin permen!"
"Ya, Kak."
"Sama bakmi sekalian!"
"Ya, Kak."
"Jangan lupa double bacon cheeseburger!"
"Ya?eh, apa, Kak?"
"Telepon A&W dan minta delivery, dodol!"
"Baik, Kak."
Ya ampun, ini seru banget!
Anak-anak baru itu dikelompokkan dalam grup-grup kecil
dengan nama-nama penyakit culun dan memalukan. Ada Grup
Panu, Grup Kurap, Grup Bisul, dan masih banyak lagi. Grup
yang berada di bawah pengawasanku adalah Grup Bau Asem
Banget?singkatannya adalah Grup BAB, nama yang menurutku
cukup kreatif dan layak dipertahankan. Meski nama grupnya
mengerikan, tampang para anggotanya sangatlah bersahaja,
membuatku tidak tega menurunkan tangan kejam pada mereka.
Memang sih aku galak banget dan hobi menyuruh-nyuruh, tapi
itu kan memang bakat dari sononya. Kalau disuruh mencambuki
mereka sih jelas aku tidak bakal tega.
Seperti aku, cewek-cewek lain juga tidak bersikap kejam-kejam
amat. Tapi para cowok pengurus MOS benar-benar bersikap bagai
kan Hitler yang baru dibebaskan dari neraka. Setiap kali giliran
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kami tampil menggantikan guru yang mengajar, Benji mulai mem
bentak-bentak sambil berusaha keras menyembunyikan suaranya
yang melengking. Ivan si cowok cengeng menendang setiap anak
yang berani menghalangi jalannya. Sementara Peter yang hari ini
berambut duren, meniru gaya Pak Yono, guru seni rupa yang
kreatif banget memberikan hukuman bagi anak-anak yang tidak
mau menuruti perintahnya. Belum lagi yang lain-lain. Wajah
mereka semua tampak diwarnai kepuasan yang rada-rada maniak
saat menyiksa anak-anak malang itu.
Sekali waktu, Benji mendorong seorang anak yang berjalan
sangat lambat, sampai-sampai anak itu menimpa teman-temannya
sehingga semua langsung terjatuh. Kejadian itu sudah cukup me
malukan, namun Benji malah menertawakannya dan mengatangatainya sebagai cowok superletoi, membuat wajah anak itu
merah padam.
Melihat kejadian itu aku jadi kesal dan malu banget pada ulah
Benji. Setelah anak-anak baru itu dihalau pergi, aku menghampiri
Benji.
"Kamu keterlaluan banget, Ben," tegurku. "Kita emang boleh
ngerjain mereka, tapi jangan mempermalukan mereka seperti itu
dong."
"Lho, kan tujuan kita bikin mereka ngebenci kita sampai me
reka ingin ngebunuh kita," seringai Benji tanpa merasa bersalah,
lalu balas mengecamku. "Kamu sendiri, dari tadi nggak cukup
kejam, Han. Kenapa? Udah kehilangan taring, hm?"
Sial. Aku memang sering bersikap judes pada orang-orang yang
tidak kusukai dan tidak segan-segan menindas anak-anak tak ber
daya, tapi kalau disuruh menjahati mereka dan menyakiti hati
mereka, ternyata aku benar-benar tidak tega. Rupanya keinginan
ku yang begitu besar untuk jadi panitia MOS agar bisa menindas
anak-anak baru, hingga aku tega meninggalkan Jenny di
Singapura, hanyalah nafsu sesaat yang berlebihan.
Satu-satunya cowok yang tidak menindas anak-anak baru
adalah Frankie, namun itu gara-gara cowok itu bolos lagi?atau
begitulah tebakanku, karena sedari pagi aku tidak melihatnya
(ya, aku ngaku deh, aku mencari-carinya). Dalam hati aku kesal
juga, lantaran cowok itu sama sekali tidak berniat menemuiku,
seolah-olah dia ingin membuktikan padaku bahwa dia memang
tidak berminat padaku. Padahal selama minggu sebelum pekan
MOS dimulai, kami mulai akrab. Dia tidak mengacaukan rapat
lagi seperti biasa. Dia selalu duduk di sebelahku dan rajin me
nemaniku pulang. Otomatis, sejak saat itu kami menjadi teman
baik.
Yang sangat mengganggu pikiranku adalah mengapa aku mulai
sering memikirkan Frankie. Sepanjang malam aku bergulingguling di tempat tidur, membayangkan percakapan-percakapanku
dengannya, berharap hari esok segera tiba supaya aku bisa
menjumpainya lagi. Dan saat aku terbangun dari tidur, dialah
orang pertama yang muncul dalam pikiranku. Terkadang bahkan
dia muncul di dalam mimpiku, berkacak pinggang dengan muka
sok jago?yang membuatku ingin memukulnya?dan berkata,
"Kangen sama gue? Rupanya Tuan Putri pun nggak kebal dari
daya tarik gue. Hohoho!"
Baik di dunia nyata maupun di alam mimpi, cowok itu me
mang bajingan banget.
Kebanyakan tugasku kujalankan bersama Mila. Cewek itu
benar-benar menyenangkan. Meski feminin dan lemah lembut,
dia punya selera humor yang menyenangkan. Saat kami berdua
sedang mengatur barisan anak-anak yang kudu berdansa pocopoco di depan kami, dia berbisik padaku, "Han, liat tuh. Violina
lagi bergaya-gaya ala selebriti."
Aku menoleh ke arah yang ditunjuknya diam-diam. Ya ampun,
ucapan Mila benar. Violina membentuk semacam panggung kecil.
Di sana dia asyik bergaya-gaya imut di atasnya, ditonton anakanak baru yang menatapnya dengan sorot mata memuja
(semuanya cowok, tentu saja). Lalu, dengan gaya yang aku yakin
ditirunya dari presenter di televisi, dia menarik seorang cowok
yang rambutnya dicat pirang dan mulai menggodanya habishabisan di panggung jelek itu. Cowok itu bahkan tidak ganteng,
tidak seperti cowok berambut pirang highlight yang belakangan
ini sering main bareng aku.
Sialan, kenapa aku mulai memikirkan Frankie lagi? Harus
fokus dengan anak-anak baru! Bagaimanapun, aku bukan peng
urus MOS tak bertanggung jawab yang langsung kabur pada hari
pertama. Lupakan Frankie! Enyahkan dia dari pikiranku!
Tapi... cowok itu ngumpet di mana sih?
Pelajaran resmi berakhir pada jam satu siang, namun anak-anak
baru masih harus menjalani masa-masa penuh siksaan dari kami
para pengurus MOS. Untuk meringankan tugas para petugas
kebersihan, kami menyuruh anak-anak baru itu mengepel kantin,
mengumpulkan sampah, membersihkan toilet, sementara kamikami para pengurus MOS asyik makan sate di kantin sambil
menyorak-nyoraki grup kami untuk memberi semangat. Seandai
nya aku jadi anak baru, pastilah dalam sehari saja aku sudah
membenci para pengurus MOS dengan sepenuh hati dan siap
menarik mereka ke lorong terdekat untuk menggebuki mereka
sampai babak belur. Tapi, itu kan seandainya aku anak baru yang
punya bodi segede bodi Frankie?sial, aku harus berhenti me
mikirkan cowok bengal itu!
Pukul tiga sore, tampang anak-anak baru itu sudah kuyu,
dengan rambut acak-acakan dan tubuh bersimbah keringat yang
mengeluarkan bau tak sedap, mengingatkanku pada nama grupku.
Sementara penampilan kami, para pengurus MOS, masih ber
kilauan dengan hidung yang baru ditempeli kertas penyerap
minyak dan dibedaki, ketiak baru diolesi deodoran, dan senyum
tanpa beban. Tapi, hei, kenapa si Peter lupa mengorek giginya
setelah makan sate? Aku bisa melihat sisa cabe merah di giginya
dari jarak sepuluh meter begini. Benar-benar bikin malu saja.
Dengan langkah penuh semangat, Benji menaiki podium.
Kedudukannya membuat tubuhnya yang sebenarnya tidak terlalu
tinggi kini tampak tinggi dan gagah. Aku jadi curiga, janganjangan Benji mengincar kedudukan ketua OSIS hanya demi
sering-sering naik ke podium.
"Nah, sekarang, setelah perut kita semua sudah terisi penuh,"
seringai Benji, sementara anak-anak baru yang pasti sudah pada
kelaparan itu tidak segan-segan lagi memberinya pelototan terangterangan, "kita akan memasuki puncak acara yang udah ditunggutunggu."
Kata-kata itu membuat anak-anak baru menjadi waswas. Apa
yang ditunggu-tunggu mereka adalah izin untuk pulang, bukan
puncak acara, apalagi yang diadakan oleh pengurus-pengurus
MOS yang sadis.
"Waktu kalian mendaftar ke sekolah ini, apakah kalian diberi
peringatan mengenai Enam Kisah Horor SMA Persada Internasio
nal?"
Sebagian besar wajah anak-anak baru berubah tertarik.
"Pasti belum," seringai Benji, "karena kalo udah, dan kalian
masih aja mendaftarkan diri ke sekolah ini, kalian pastilah anakanak remaja paling tangguh dan berani di seluruh Indonesia!
Tidak, tidak cuma di Indonesia, melainkan di seluruh dunia!"
Lagi-lagi aku merinding. Kali ini bukan karena ketakutan,
melainkan karena merasa kata-kata Benji norak dan berlebihan
banget.
"Sesuai namanya, ada enam kisah mengerikan yang pernah
terjadi di sekolah ini," Benji mulai membual. "Semua kisah ini
nyata, diceritakan turun-temurun oleh kakak-kakak senior pada
anak-anak angkatan baru. Jadi, pada saatnya nanti, kalian juga
harus menceritakan kisah-kisah ini pada adik-adik kelas, supaya
mereka ngerti sejarah sekolah mereka."
Dengan suara bergetar, Benji pun menceritakan kisah pertama,
kisah yang dikarang oleh Karmila mengenai kejadian di lahan
proyek pembangunan gedung baru. Para murid baru itu menatap
Benji dengan muka terhipnotis, begitu yakin bahwa setiap kata
yang diucapkan oleh pacarku itu adalah kebenaran yang tidak
boleh dibantah lagi. Apalagi saat lampu auditorium dimatikan,
dan satu-satunya yang menyala hanyalah lampu di atas kepala
Benji. Saat ini Benji pasti terlihat sebagai malaikat penyampai
kabar buruk yang bertubuh pendek namun karismatik. Pada titik
ini, seandainya Benji tiba-tiba berteriak, "Aku Peter Petrelli yang
akan menyerap kekuatan kalian semua, lalu meledakkan kalian
dengan bom nuklir!", aku yakin semua akan langsung menyahut
dengan penuh semangat, "Yesss!"
"Demikianlah kisah pertama." Benji mengakhiri ceritanya de
ngan wajah tegang, membuatku semakin yakin bahwa Benji pu
nya bakat jadi penipu ulung. "Menakutkan, bukan? Tapi tahun
ini pihak sekolah telah memutuskan untuk tidak terbelenggu
kejadian masa lalu dan melangkah ke masa depan dengan mem
bangun gedung gym baru lagi."
Wajah anak-anak baru tampak ketakutan. Kurasa mereka se
mua akan langsung ikut serta kalau Benji mengajak mereka
demonstrasi untuk menentang pembangunan gedung baru.
Seharusnya mereka bisa menduga niat Benji yang keji.
"Nah, tugas kalian sore ini adalah memasuki tempat keramat
itu dan mencari tahu apakah pihak sekolah melakukan tindakan
yang tepat... Ataukah para roh masa lalu masih tidak puas dengan
nyawa-nyawa yang mereka ambil."
Auditorium itu dicekam keheningan. Rasa-rasanya aku bahkan
bisa mendengarkan bunyi angin sedang bertiup di luar jendela.
"Ya?" tanya Benji dengan suara menggelegar saat sebuah tangan
teracung.
Terdengar suara gemetar yang rada mengibakan. "Kak, apa ini
nggak berarti nyawa kami semua terancam bahaya?"
"Tentu saja tidak." Jawaban Benji menimbulkan helaan napas
lega kolektif. "Tidak semuanya terancam, melainkan cuma grupgrup yang ditugaskan untuk memasuki tempat itu." Dia menoleh
pada grupku, Grup BAB, dan grup yang dipimpin Mila, Grup
Jerawat, lalu berteriak seolah-olah dia adalah hakim yang mem
berikan vonis hukuman mati. "Kalianlah grup yang akan dikor
bankan malam ini!"
Wajah para anggota Grup BAB dan Grup Jerawat memang
tampak seperti napi-napi yang bakal digiring ke kursi listrik?
begitu pucat, pasrah, sekaligus ingin memberontak.
"Tunggu apa lagi? Angkat pantat kalian semua, pengecutpengecut rendahan!"
Aku bisa merasakan kebencian mereka terhadap Benji me
muncak. Ingin sekali aku membentak Benji supaya tidak bersikap
menyebalkan, tapi aku ingat bahwa aku akan membutuhkan
dukungannya saat pencalonan ketua OSIS periode mendatang.
Itu sebabnya aku tidak buru-buru memutuskan hubungan de
ngannya meski aku sudah ilfil berat padanya gara-gara semua
kejadian hari ini.
"Ayo," kataku cepat-cepat sambil menggiring Grup BAB supaya
tidak mendapatkan dampratan dari Benji lagi, "lewat sini."
Mila sudah berada di depanku sambil mengatur Grup Jerawat.
Dia menatapku dengan cemas. "Kita harus ikut masuk juga?"
bisiknya.
"Kurasa begitu," kataku muram. "Kita nggak mau Benji
ngatain kita pengecut di depan anak-anak grup kita, kan? Lagi
pula, nggak ada yang perlu kita khawatirin. Ini kan cuma kisah
bohongan."
"Iya sih," sahut Mila dengan wajah pucat. "Tapi tetep aja tem
patnya serem."
Aku tidak bisa lebih setuju lagi.
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami mendekati lahan proyek pembangunan gedung gym baru
itu. Seperti kata Mila, tempatnya seram banget. Matahari sudah
mulai terbenam, sehingga pencahayaan yang kami dapatkan di
luar gedung hanya remang-remang. Meski yang dirampungkan
proyek pembangunan gedung baru itu hanyalah fondasi?dan ini
berarti bagian langit-langit masih terbuka lebar?aku yakin bagian
dalam gedung pasti akan sangat gelap.
"Bawa senter-senter ini," kata Peter sambil memberikan sebuah
kotak besar berisi sejumlah senter kepada kami.
Rasa terima kasih membuncah di hatiku sampai aku me
nyalakan salah satu senter, yang langsung menyorotkan sinar
suram.
"Apaan ini?!" teriakku.
"Sengaja pake baterai yang udah mau habis," seringai Peter,
"biar makin tegang. Kalian harus kembali sebelum baterainya ha
bis, ya!"
Dasar duren keparat.
Sambil memimpin Grup BAB memasuki gedung baru yang
belum ada apa-apanya itu, aku mendumel di dalam hati. Awas si
Peter. Akan kukerjai dia nanti. Akan kubotaki rambut kebangga
annya, lalu kusuruh Frankie menggantungnya di ruang klub
kebanggaannya itu!
Sial, aku memikirkan cowok menyebalkan itu lagi. Cowok
yang tak muncul-muncul seharian, padahal sudah kutunggutunggu sedari tadi. Benar-benar bikin emosi saja.
Pokoknya, bukan cuma Peter yang akan kuhabisi, melainkan
Benji juga. Dasar brengsek. Mau adu kejam denganku? Huh, dia
pasti kalah. Begitu aku sudah jadi ketua OSIS dan tidak mem
butuhkannya lagi, akan kuputuskan dia, kubikin nangis seperti
Ivan, lalu kuvideokan dan kupasang di Facebook dan Youtube
biar ditonton seluruh dunia. Saat itu, biarpun dia memohonmohon, aku nggak bakal bermurah hati!
"Arghh!"
"Tenang, Kak," kata Pandu, ketua Grup BAB yang bermuka
cupu, sambil menyorotkan senter bulukannya ke arah benda me
ngerikan yang barusan kuinjak. "Itu cuma bungkus Chiki kok."
"Aku tahu, Panda."
"Ng... nama saya Pandu, Kak."
Sial, gara-gara kaget, aku salah ucap. Tapi untuk menutupi
malu, aku ngeles, "Nggak apa-apa. Mulai sekarang namamu jadi
Panda."
"Baik, Kak."
Kami berjalan dalam kegelapan.
"Kak?"
"Ya, Pandu?"
"Maksud Kakak, Panda."
"Whatever."
"Kakak pacarnya Kak Benji?"
"He-eh."
"Kok Kak Benji tega nyuruh Kakak ikut masuk ke sini, ya?"
Aku meliriknya tak senang. "Mau ngadu domba, ya?"
"Bukan gitu, Kak. Saya cuma penasaran. Kalau saya pacar
Kakak, saya nggak akan ngebiarin Kakak masuk ke sini."
"Jadi kamu lebih senang kalau Kakak nggak ada?"
"Saya sih seneng banget ditemenin Kakak," kata Pandu dengan
suara gemetar. "Yang lain-lain juga."
"Benar, Kak," kata anggota-anggota di belakang, yang wajahnya
nyaris tak bisa kulihat, namun membuatku terharu.
"Bukan Kak Benji yang nyuruh Kakak masuk ke sini," kataku
berusaha menghibur mereka sekaligus menghibur diri sendiri.
"Tapi Kakak sendiri yang nggak tega nyuruh kalian masuk sen
dirian."
Yah, setidaknya di mata anak-anak ini aku kelihatan seperti
pahlawan.
Tiba-tiba aku mendengar suara gemeretak keras diikuti jeritanjeritan ketakutan.
"Mila!" teriakku panik. "Mila! Ada apa?"
"Hanny!" jerit Mila. "Suruh semuanya keluar!"
Baru saja aku membuka mulut, tiba-tiba terdengar suara ge
meretak yang sama dari atas kami. Aku mendongak, namun
mataku seketika perih karena debu-debu yang jatuh.
Celaka!
"Semua keluar!" teriakku dengan mata pedih. "Tempat ini mau
runtuh! Cepat keluar!"
Anak-anak di belakangku langsung berlari ke luar dengan
panik. Namun akibat kepanikan mereka, ditambah dengan ke
gelapan di sekitar kami, mereka malah tersandung teman-teman
sendiri dan terjatuh. Kudengar suara berderak keras di atas kepala
ku sebelum papan-papan mulai berjatuhan. Kesakitan yang amat
sangat menghantamku saat sebilah balok yang sangat berat me
nimpa kakiku, namun aku tidak sempat menjerit karena men
dengar teriakan salah satu anak.
"Jalan keluar tertutup!"
"Kita terjebak!"
Jerit tangis memenuhi tempat itu. Senter-senter bulukan pem
berian Peter sialan mulai berulah. Satu per satu padam dengan
sukses. Dalam waktu sekejap, ruangan tempat kami terjebak
sudah gelap gulita.
Mungkin inilah rasanya terkubur hidup-hidup.
Kugemeretakkan gigiku untuk menahan rasa sakit, lalu aku
memanggil dengan suara setegar mungkin, "Anak-anak BAB se
muanya baik-baik aja?"
Satu per satu menyahut dan memberitahukan kondisi mereka
padaku. Hampir semuanya mengalami masalah yang sama dengan
ku?ditimpa balok raksasa yang tidak mau menyingkir meskipun
sudah dicoba disingkirkan?tapi tidak ada yang mengalami lukaluka serius.
Lalu kusadari aku tidak mendengar suara Pandu.
"Pandu?"
Hening sejenak. "Iya saya di sini, Kak."
"Kamu nggak apa-apa, Ndu?"
"Rasanya kepala saya pusing sekali, Kak, gara-gara kena
hantam balok."
Gawat. Bisa jadi dia gegar otak. "Tiduran aja, Ndu. Sebentar
lagi pasti ada yang nolong kita."
"Iya, Kak... Kak Hanny?"
"Ya, Ndu?"
"Kakak tadi cuma nggak sengaja waktu panggil saya Panda,
kan?"
Kenapa anak ini malah meributkan yang tidak-tidak? "Iya, sa
lah ngomong."
Pandu tertawa kecil. "Udah saya kira..."
Aku tercekat saat mendengar suaranya menghilang. "Ndu?
Pandu?"
Tidak ada jawaban.
Aku memanggil lebih keras lagi. "Pandu?"
Lagi-lagi tak ada jawaban. Air mataku mulai menggenang.
Masa Pandu betul-betul...
"Kayaknya dia tidur, Kak." Terdengar jawaban dari arah suara
Pandu. "Abis, ada suara ngoroknya."
Sial, percuma aku mulai melankolis.
"Hanny? Hanny?"
Perasaanku langsung membaik seketika saat mendengar suara
sayup-sayup itu. "Iya, gue di sini, brengsek!"
Dari jauh, aku melihat batu-batu mulai disingkirkan, menampil
kan sedikit cahaya yang bagiku terlihat seperti bintang-bintang
yang sangat indah. Secercah cahaya yang sangat menyilaukan me
nerpa wajahku, membuatku langsung menyipitkan mata. Dan
bukannya menyingkir, cahaya itu malah semakin mendekat de
ngan kecepatan tinggi, nyaris membutakan mataku.
Lalu kurasakan pelukan kuat di sekeliling tubuhku. Dari sese
orang yang sosoknya kucari-cari sedari pagi.
"Thank God!" suara Frankie terdengar gemetar, menyiratkan
kelegaan yang amat sangat. "Saat ngeliat gedung ini roboh, gue
kira lo udah nggak tertolong lagi. Saat lo nyahutin teriakan gue
tadi." Mendadak dia terdiam. "Eh, tadi lo manggil gue apa,
ya?"
"Brengsek."
"Emangnya gue salah apa hari ini?"
"Abis sekarang baru nongol."
Frankie tertawa kecil. "Dasar Tuan Putri. Masih tetap sok biar
ketimpa balok."
"Masih berani ngomong, lagi. Cepet, singkirin balok sialan
ini!"
Dengan gerakan ringan yang bikin iri, Frankie menyingkirkan
balok yang menimpa kakiku.
"Luka lo parah banget," katanya sambil menyorot luka besar
penuh darah di lututku. Gila, mengerikan banget kelihatannya.
Rasanya aku mau pingsan saja saat melihat darahku mengalir
deras. "Ayo, gue bawa lo ke luar."
"Tapi," protesku sambil menunjuk ke arah Pandu, "di sana ada
yang sepertinya gegar otak."
"Nanti gue akan bawa ke luar," kata Frankie tenang, "tapi saat
ini prioritas utama gue elo. Ayo!"
Dengan teknik pemaksaan yang luar biasa, Frankie membuatku
melingkarkan tanganku ke lehernya, lalu membiarkan cowok itu
menggendongku ke luar. Kami melewati Benji yang tampangnya
cemas saat melihat kami.
"Han, kamu terluka?" tanyanya saat melihat lukaku.
"Ya, ini gara-gara kamu!" bentakku tanpa berniat memberinya
kesempatan untuk lolos. "Semua orang di dalam sana semuanya
terluka, dan semua itu gara-gara kamu. Bahkan Pandu gegar otak,
dan itu juga gara-gara kamu!"
"Siapa Pandu?" tanya Benji.
"Anakku, bego!" teriakku emosi.
Benji bengong. "Anak kamu?"
Sial, kurasakan tubuh Frankie mulai terguncang-guncang, dan
itu berarti dia sedang sibuk menahan tawa lagi.
"Anak asuhanku, anak buahku, atau apalah namanya," kataku
gusar. "Pokoknya, segera tolong mereka semua! Kalau sampai ada
yang kenapa-napa, itu semua salah kamu!"
"Iya, iya!" kata Benji sambil ngacir.
"Wah, elo bener-bener nggak ngasih ampun, ya?" kata Frankie
Blood Promise Vampire Academy 4 Karya Merival Mall 10 Kemenangan Manis Si Jenius Dungu Charlie Flowers For
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama