Ceritasilat Novel Online

Orang Orang Proyek 1

Orang Orang Proyek Karya Ahmad Tohari Bagian 1

ORANG-ORANG PROYEK oleh Ahmad Tohari

Ebook by pustaka-indo.blogspot.com

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Gedung Kompas Gramedia Blok I, Lt. 5 Jl. Palmerah Barat 29 37

Jakarta 10270

Editor: Eka Pudjawati

Cover: Eduard Iwan Mangopang

Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama anggota IKAPI,

Jakarta, 2007 www.gramediapustakautama.com

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ISBN 978 602 03 2059 5 256 hlm; 20 cm

Pernah diterbitkan oleh Penerbit Jendela & Penerbit Matahari

*******

Pagi ini Sungai Cibawor kelihatan letih. Tiga hari yang lalu h jan deras di hulu membuat sungai ini banjir besar. Un tung sudah jadi watak sungai pegunungan, banjir yang terjadi berlangsung cepat. Air yang semula jernih mulai mengeruh di pagi hari, meninggi dan segera menggelora s tengah jam kemudian. Cibawor seperti sedang digelontor dari hulu dengan bah besar yang pekat berlumpur serta membawa segala macam sampah, dari sandal karet, bekas botol plastik, batang pisang, sampai batang mahoni.

Banjir kali ini memang besar. Setelah air surut hanya b berapa jam kemudian, banyak sampah tersangkut di ran ting pepohonan. Pada tebing yang curam tampak rerum pu an dan pakis-pakisan tercerabut oleh derasnya air. Din ding cadas yang tergerus. Pada bantaran yang landai, ba jir telah menutup hamparan lahan pertanian dengan lumpur, batu, dan pasir. Ada pohon cangkring roboh kare

na tanah miring tempatnya berpijak longsor. Akarnya mencuat ke atas seperti tangan-tangan yang ingin menggapai sesuatu untuk bertahan.

Tapi pohon mbulu itu masih kukuh di sana. Mungkin karena ia tumbuh di tanah cadas serta terlindung batubatu besar. Maka, meski banjir sempat menyentuh ujungujung rantingnya yang bergantung di atas air, pohon itu bergeming. Bahkan mbulu yang sudah sangat tua itu masih tetap memberi rasa aman bagi burung-burung emprit yang bersarang pada ujung-ujung ranting yang menggantung itu. Mereka ikut terayun-ayun bersama goyangan ranting ketika angin bertiup. Dan mereka tetap berkejaran, mencicit, tak peduli air di bawahnya belum sepenuhnya surut seperti sediakala.

Ketenangan di bawah pohon mbulu itu seakan diberi bobot lain oleh kedatangan seorang pemancing tua. Lelaki itu telah lama menjadikan kerindangan pohon mbulu di tepi Sungai Cibawor itu sebagai tempat yang paling disukai. Memancing di tempat itu adalah berkawan dengan keheningan, dengan semilir angin, dengan lambaian ranting-ranting yang mengayun di atas air atau cericit burung-burung emprit. Dan bila air sedang jernih, naungan pohon mbulu itu juga memberi kesempatan orang melihat bayangan langit serta kelebat burung layang-layang. Pada saat demikian, pemancing tua itu merasa dirinya benar-benar hadir dan ikut berdenyut dengan alam di sekitarnya.

Tapi pagi ini lelaki tua itu tampak ragu. Dia tidak segera memasang pancingnya lalu duduk di batu seperti biasa.

Dia tetap berdiri dan menatap ke permukaan air. Mengernyitkan alis, lalu menurunkan kantong perkakas lusuh yang disandangnya. Duduk di atas batu pada tempat yang paling nyaman lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong lusuhnya. Bukan pancing melainkan seruling bambu. Sementara pancingnya tetap tinggal dalam kantong.

" Kukira air sudah kembali jernih, ternyata masih keruh," gumam lelaki itu, mungkin kepada burung-burung emprit di atas kepalanya. " Kalau air masih keruh seperti ini, percuma saja aku memasang pancing."

Lalu dengan jarinya yang tampak kering lelaki itu mengatur cincin serulingnya. Dengan menekan cincin yang terbuat dari serpih bambu itu lebih dalam, dia ingin membuat suara serulingnya selirih mungkin. Dia memang selalu ingin meniup seruling hanya untuk didengar sendiri. Dia tidak bermaksud mengalunkannya untuk orang lain. Bahkan, kalau bisa telinga sendiri pun tak perlu mendengar karena suara serulingnya ditujukan langsung untuk jiwa.

Ketika ujung-ujung ranting yang menggantung itu mulai bergoyang oleh sentuhan angin, ketika burung-burung ke- cil itu mulai mencicit-cicit di seputar sarang mereka, dari bawah kerindangan pohon mbulu itu samar-samar mulai terdengar alunan seruling. Demikian samar sehingga ketika angin bertiup kencang, suara itu luluh oleh desah angin yang menerobos dedaunan.

Pemancing tua itu dengan serulingnya sedang asyik berdendang sendiri. Alunan itu membawanya mengembara ke ruang jiwa dengan rasa yang amat mendalam. Dia merasa melayang, bersentuhan dengan puncak kesadaran, dan dari sana dia merasakan hadirnya kearifan semesta. Kearifan itu, yang dia sendiri sulit menjelaskannya, sering terasa hadir dan membuatnya begitu tenang, genap, mapan. Ayem. Seperti ayemnya anak yang sedang digendong emak. Atau ayemnya anak bermain petak umpek dan berhasil mencapai litbongan. Ya, orang yang sudah litbong adalah mereka yang tenang karena sudah berhasil mengenal dan berdamai dengan diri sendiri.

Dengan duduk bersandar pada batu besar, dengan mata setengah tertutup pemancing tua itu terus mengalunkan serulingnya. Halus dan menyapa puncak-puncak rasa. Mungkin karena benar-benar larut dalam perjalanan batin yang sangat mengasyikkan, dia tak menyadari ada orang lain hadir hanya beberapa langkah di sampingnya. Si pendatang, laki-laki muda dengan sepatu kulit dan baju katun lengan panjang, dengan perkakas radio terselip di pinggangnya, tidak segera menyatakan kehadirannya. Ia pun kelihatan larut dalam getar irama seruling yang ditiup Pak Tua. Kalau tidak karena topinya hampir jatuh oleh embusan angin sehingga dia harus membuat gerakan yang nyata, pemancing itu tak akan melihatnya. Dan suara lembut se- ruling pun mendadak berhenti. Sejenak lengang.

" Wah, bagus sekali. Tak tahunya Pak Tarya pandai main suling?"

" Eh, Mas Kabul? Aduh, saya jadi malu. Aduh, kok Anda sampai di tempat terpencil ini?"

" Jujur saja karena, meskipun hanya lamat-lamat, saya mendengar suara serulingmu."

" Ah, saya malu. Saya kan hanya tukang mancing dan Anda insinyur, pelaksana pembangunan jembatan. Kok Anda mau ngumpul dengan saya di tempat yang kurang pantas ini?"

" Apa Pak Tarya keberatan? Kalau begitu maafkan, saya telah mengganggu keasyikan Pak Tarya."

" Tidak apa-apa, Mas. Wong saya di sini juga sedang merasa buntu. Dari rumah sih mau mancing. Tapi sampai di pinggir kali ini ternyata air masih keruh. Yah, telanjur sudah pergi dari rumah, maka daripada tak berbuat apa pun, main seruling jadilah."

" Tapi tiupan seruling Pak Tarya sungguh enak didengar. Saya tidak mengira Pak Tarya bisa main sebagus tadi."

" Ah, saya jadi malu. Yah, sampeyan tidak tahu saya suka main seruling karena kita belum lama berkenalan. Sampeyan pendatang dan saya orang sini asli. Kalau bukan karena proyek pembuatan jembatan di hilir itu, mungkin kita takkan pernah bertemu."

" Ya, sampai beberapa hari yang lalu saya hanya tahu Pak Tarya tukang mancing. Tapi kini saya sudah dapat informasi yang lebih lengkap bahwa sebetulnya Pak Tarya adalah pensiunan pegawai Kantor Penerangan. Selain itu, Pak Tarya ketika muda pernah lama mengembara ke Jakarta. Iya, kan?"

" Informasi itu sedikit benarnya, tapi banyak salahnya." " Tak ada guna menutup-nutupi jati dirimu, Pak. Malah ada orang bilang, ketika berada di Jakarta, Pak Tarya pernah bekerja di penerbitan. Jadi wartawan?"

" Ah, cuma sebentar."

Pak Tarya tak meneruskan kata-katanya.

" Di tempat ini saya juga bertemu teman lama. Kepala desa ini dulu teman saya sekampus."

" Begitu? Jadi Pak Basar yang kades itu dulu teman kuliah sampeyan?"

" Ya, cuma lain jurusan. Saya di teknik, dia di sospol. Dia teman diskusi yang baik."

" Eh, cerita yang lain, Mas. Saya tergoda untuk bertanya, mengapa pagi ini Anda berada di sini? Bukankah tempat ini hanya pantas didatangi tukang mancing seperti saya?"

" Begini, Pak. Tadi saya sedang melihat-lihat lokasi pembangunan jembatan. Tahu kan, banjir kemarin dulu telah merusak persiapan pembuatan tiang jembatan? Saya menyusuri tepian sungai ke arah hulu tanpa tujuan tertentu sampai saya mendengar sayup-sayup serulingmu."

" Lupakan soal seruling. Saya lebih tertarik bicara tentang banjir kemarin dulu itu. Mas, saya tahu, wong saya malah ikut nonton. Dahsyat ya, Mas? Saya melihatnya sejak bah datang. Ketika ada pohon mahoni besar hanyut dan tersangkut di tiang pancang yang baru ditanam, semua orang jadi tegang. Semula tiang itu tetap tegak. Namun ketika datang lagi pohon-pohon yang hanyut dan ikut menekan, tiang pancang itu perlahan-lahan miring."

" Itulah yang membuat saya tertekan, pusing. Karena beton pancang sudah miring, pekerjaan harus diulang dari awal lagi. Nah, bila kau merasa pusing, Pak Tarya, kau bisa menghibur diri dengan main seruling. Tapi saya?"

" O, begitu? Rupanya sampeyan pusing karena banjir telah merusak pekerjaan sampeyan?"

" Dan kerusakan itu membuat kerugian yang cukup besar. Serta memberi beban batin karena hasil kerja beberapa hari dengan biaya jutaan lenyap seketika."

" Tapi, Mas Kabul, banjir adalah urusan alam. Jadi, buat apa disesali dan dibuat sedih?"

" Karena kerugian itu sesungguhnya bisa dihindarkan bila awal pelaksanaan pembangunan jembatan itu ditunda sampai musim kemarau tiba beberapa bulan lagi. Itulah rekomendasi dari para perancang. Namun rekomendasi itu diabaikan, konon demi mengejar waktu."

" Maksudnya?"

" Penguasa yang punya proyek dan para pemimpin politik lokal menghendaki jembatan itu selesai sebelum Pemilu 1992. Karena, saya kira, peresmiannya akan dimanfaatkan sebagai ajang kampanye partai golongan penguasa. Menyebalkan. Dan inilah akibatnya bila perhitungan teknis-ilmiah dikalahkan oleh perhitungan politik."

" He-he-he."

" Pak Tarya tertawa?"

" Ya, karena saya maklum. Meski sudah tua dan jelek, saya ini pensiunan pegawai negeri. Jadi saya tahu, ya, begitulah budaya kekuasaan di negeri kita. Bahkan saya juga bisa menebak, tidak semua teman sampeyan kini sedih. Karena, kerugian akibat banjir itu bisa dijadikan alasan untuk meminta biaya tambahan. Dan hal ini berarti kesempatan baru untuk menggelembungkan anggaran proyek. Ah, kami rakyat kecil tahu kok, apa arti penggelembungan biaya bagi orang-orang proyek. Eh, maaf. Mulut saya ini latah. He-he-he."

Kabul tersenyum dan mengangguk-angguk. Tapi wajahnya menampakkan rasa masygul. Hatinya serasa tertusuk. Tawa Pak Tarya terasa sebagai sindiran yang justru lebih menghunjam. Ya, bukankah Kabul sendiri orang proyek? Tadi dengan caranya sendiri Pak Tarya ingin mengatakan orang-orang proyek adalah manusia-manusia yang suka main curang. Korup dengan berbagai cara dan gaya. Tapi, apakah Pak Tarya salah? Jujur, Kabul merasa sindiran halus Pak Tarya lebih banyak benarnya. " Atau benar semua bila aku, Kabul, ikut-ikutan suka makan uang proyek. Tapi bagaimana meyakinkan Pak Tarya bahwa aku tidak ingin seperti mereka?"

Sepi. Sehingga terdengar desis air yang menembus celahcelah batu tempat Kabul dan Pak Tarya duduk. Dan desau angin yang mengembus kerindangan pohon mbulu. Entahlah, sepi itu memanjang. Sampai terdengar radio di pinggang Kabul berbunyi. Lelaki itu bicara dengan seseorang entah di mana, lalu bangkit dan minta diri.

" Pak Tarya, saya harus kembali ke kantor proyek. Pak Dalkijo, kepala proyek, memanggil saya. Rupanya dia sudah tiba dari kota. Kapan-kapan kita ngobrol lagi."

" Baik, anak muda. Hati-hati, masih banyak lumpur. Jangan sampai terpeleset."

Pak Tarya memerhatikan kepergian Kabul sampai lelaki muda itu lenyap ke arah hilir melewati tepian sungai yang berbatu-batu. " Anak pandai," pikir Pak Tarya. " Kalau tidak, mustahil lelaki semuda itu dipercaya menjadi kepala pelaksana pembangunan jembatan yang bernilai ratusan juta. Atau bahkan miliar? Dan wajahnya bersih. Sorot matanya terasa memancarkan kesederhanaan. Atau kesejatian. Ah, nanti dulu, toh dia bagian dari mereka, orang proyek!"

Kembali terpencil sendiri, Pak Tarya menoleh kiri-kanan. Air Sungai Cibawor tampak mulai berkurang keruhnya. Sebagai pemancing kawakan Pak Tarya tahu, pada tingkat kekeruhan seperti itu jenis-jenis ikan bertaji sudah bisa dipancing. Namun entahlah, Pak Tarya tidak juga tergerak untuk menyiapkan pancingnya. Dia malah meraih kembali seruling yang sejak tadi tergeletak di atas batu di samping tempat duduknya. Dan suara yang lembut dan samar kembali mengalun. Iramanya menyapa batu-batu, pucuk-pucuk pinang, ikut mengalir bersama air Sungai Cibawor, lalu berbaur dan melayang bersama desau angin.

Dengan mata setengah terpejam Pak Tarya terus meniup serulingnya. Jemari yang mulai mengering itu seperti bergerak atas perintah suasana untuk mengolah bunyi yang ikut mendukung keteduhan di bawah pohon mbulu itu. Pak Tarya terlena. Namun jiwanya melayang meniti suara seruling, menembus masa lalu dan hadirnya bayangan jembatan. Ya, jembatan yang empat puluh tahun lalu masih berdiri megah, namun kemudian sengaja diledakkan pada tahun 1948. Para pemuda menghancurkan jembatan itu dalam usaha menghambat laju tank-tank tentara Belanda yang mengejar mereka.

Ah, itu semangat para pejuang muda yang bisa dimengerti. Masalahnya, semangat dan patriotisme orang-orang muda itu minta tumbal nyawa ayah Pak Tarya. Ayah Pak Tarya, guru sekolah desa, mencoba meyakinkan para pemuda pejuang agar mereka tidak meledakkan jembatan itu. Menurut pak guru itu, bila jembatan diledakkan, kerugian akan lebih besar daripada keuntungannya. Dampak penghancuran jembatan akan lebih merugikan penduduk dalam jangka panjang.

Karena sikapnya itu, ayah Pak Tarya malah dianggap sebagai kolaborator Belanda. Dan hukuman yang diterimanya pun khas hukuman masa revolusi. Ayah Pak Tarya ditembak mati oleh para pemuda yang dicintainya di tubir jembatan yang kemudian mereka ledakkan.

Sampai kapan pun kebrutalan itu, meski mengatasnamakan semangat Revolusi 1945, tak terlupakan oleh Pak Tarya. Sakit hati atas perilaku yang diterima ayahnya selama bertahun-tahun tetap bertahan dalam dadanya. Untung, beban sakit itu sedikit demi sedikit terobati oleh kebenaran katakata ayahnya sebelum ditembak mati. Akibat hancurnya jembatan itu, beberapa desa terputus hubungan dari dunia luar. Pasar Wage di selatan sana, juga pasar hewan di dekatnya, lambat laun mati. Dan setelah terisolasi hampir empat puluh tahun, beberapa desa di seberang bekas jembatan itu menjadi wilayah yang tertinggal hampir di segala bidang.

Kini, di tempat yang sama akan dibangun jembatan baru. Dan, entahlah, tiba-tiba Pak Tarya merasa almarhum ayahnya hadir. Mula-mula hanya wibawanya yang datang bersama angin dingin. Kulit Pak Tarya merinding. Lalu sosok lelaki yang telah meninggal puluhan tahun lalu itu membayang kian jelas. Kemudian terdengar tawanya. Pak Tarya tersentak sehingga seruling di tangannya jatuh. " Ah, apa saya mimpi?"

Mungkin. Atau lebih baik berhenti main suling. Pak Tarya menarik napas dalam-dalam. Oh, tercium bau lumut. Mata Pak Tarya berbinar. Gejala ini membuat Pak Tarya tahu air Sungai Cibawor sudah benar-benar jernih tanpa dia harus meyakinkan diri dengan matanya. Bau lumut adalah bau air jernih. Dan Pak Tarya merasa sangat pasti akan apa yang harus dilakukannya saat itu. Memasang pancing, mengulur gagang pancing teleskopik, tali nilon tipis, mata kail, dan menyiapkan pelampung. Beres, lalu kail yang sudah berumpan dilemparkan ke permukaan air pada tempat yang tenang. Pelampung bergerak terseret timah pemberat lalu berhenti dan tegak. Ada capung kecil terbang mengejar lalu hinggap di atas pelampung itu dan membuatnya sedikit bergoyang.

Tibalah saat permancingan menemukan makna yang sebenarnya. Yakni ketika perasaan pemancing mulai terlibat dalam penantian. Atau harapan akan adanya ikan menelan umpan di ujung mata kailnya. Kemudian harapan itu akan meningkat menjadi ketegangan yang sangat mengasyikkan bila pelampung kailnya bergerak-gerak. Puncak makna permancingan tiba ketika gagang disentak dan nyata ada ikan yang kena. Akan terjadi tarik-ulur antara ikan dan pemancing, yang sesungguhnya adalah tarik-ulur antara harapan berhasil dan kecemasan terhadap kemungkinan gagal. Inilah makna itu. Bukankah keterlibatan dalam tarik-ulur antara harapan berhasil dan kemungkinan gagal sangat memenuhi kebutuhan dasar manusia bermain? Homo ludens?

Boleh jadi itulah yang dialami Pak Tarya ketika dia melihat pelampung kailnya bergerak-gerak, kemudian lenyap dari permukaan. Lalu dengan gerakan yang sangat enak dipandang, Pak Tarya mengayun gagang ke belakang dan langsung terasa ada gerakan memberontak di ujung tali pancingnya. Seekor ikan tawes kena. Karena agak besar diperlukan waktu sepuluh menit untuk membuat ikan itu kehabisan tenaga. Setelah diciduk dengan jaring, Pak Tarya mengamati ikan itu lalu melepaskannya kembali ke air. " Perutmu buncit berisi ribuan telur."

Atau karena bagi Pak Tarya, kenikmatan dan kepuasan memancing tidak ada pada enaknya menyantap ikan, melainkan pada tercapainya harapan dan tersingkirnya kegagalan, yakni sport psikologis yang baginya sangat mengasyikkan. Atau apa lagi, entahlah.

Tapak proyek pembangunan jembatan Sungai Cibawor terletak di tengah bulak, di wilayah kosong. Di sekeliling tempat itu tak ada rumah penduduk. Hanya ada hamparan tanah pertanian kering dan hutan bambu. Namun, setelah pembangunan dimulai, tempat itu menjadi ramai. Beberapa bedeng didirikan sebagai kantor proyek serta gudang darurat. Atau asrama darurat para pekerja. Lampu-lampu yang sangat kuat yang dinyalakan dengan generator besar menerangi areal proyek. Di siang hari proyek itu menjadi kota kecil di tengah bulak yang sepi dan kering. Dan bila matahari telah tenggelam, proyek seakan berubah menjadi pasar malam bagi penduduk kampung di sekitarnya.

Lebih dari seratus orang resmi bekerja di situ. Mereka adalah tukang batu, perancang besi, mandor, beberapa insinyur sipil, dan kuli-kuli. Operator alat-alat berat. Sopirsopir truk dan kernetnya. Preman-preman kampung dan pensiunan tentara yang direkrut menjadi satpam. Warungwarung juga bermunculan. Rokok, minuman, dan nasi rames bisa dibeli. Juga obat nyamuk atau aspirin. Bakso dan jamu pegal linu. Rujak atau es cendol.

Mak Sumeh, perempuan Tegal, juga datang dengan warung nasinya. Mak Sumeh yang wartegnya ada di manamana, tak pernah absen dalam setiap proyek. Di proyek jembatan Sungai Cibawor itu, bangunan warung Mak Sumeh yang terbesar. Pada malam hari warung Mak Sumeh terang benderang oleh cahaya lampu pompa. Pada malam Minggu warung itu lebih ramai karena para pekerja mingguan baru menerima gaji.

Mereka yang terlibat di proyek itu datang dari berbagai latar budaya maupun kesukuan. Ada operator alat berat bernama Siringo-ringo. Ada mandor bernama Kang Acep, ada pemasok bahan bangunan bernama Atay. Juga ada sopir Hutauruk, tukang batu Bejo, atau tukang las Cak Mun. Mak Sumeh membawa barisan pelayan warungnya; Sri, Mita, dan Sonah. Ketiganya baru belasan tahun, tidak hanya terampil menjadi juru saji, melainkan juga pandai menjual senyum. Kadang, pada sore atau malam hari ketika ada kerja lembur, datang juga Tante Ana, banci yang pandai main mata, main goyang, dan main kecrek sambil nyanyi dangdut atau lagu-lagu bergaya ludruk. Suara jantan yang tidak padu dengan penampilan ketanteannya terasa sebagai kejanggalan segar yang justru menjadi hiburan orang-orang proyek.

Penduduk setempat menganggap proyek itu dambaan lama yang mulai terwujud. Atau, dan ini sangat mungkin, tontonan saja. Maka semuanya gembira. Mereka sering berbondong ke proyek, terutama sore hari, meski sekadar untuk melihat sesuatu yang baru. Semua orang merasa mendapat hiburan. Atau harapan. Kecuali Paman Martasatang. Lelaki yang sudah belasan tahun mengoperasikan rakit penyeberangan dekat tapak proyek, yakin mata pencahariannya akan hilang bila jembatan sudah selesai dibangun. Untung kesedihan Paman Martasatang sedikit berkurang karena anak lelakinya bisa ikut bekerja sebagai kuli batu proyek.

Pak Tarya, pemancing tua yang gemar bermain seruling untuk sendiri itu, tinggal agak jauh. Namun dia selalu melewati proyek setiap kali pergi memancing di bawah pohon arah ke hulu. Atau Pak Tarya malah singgah untuk sekadar melihat-lihat. Maka dia jadi kenal Mas Kabul, pelaksana proyek. Adakalanya juga Pak Tarya masuk ke warung Mak Sumeh, minum kopi, menikmati senyum dan tawa segar gadis-gadis pelayan. Ya, apa salahnya menikmati senyum gadis-gadis bagi lelaki yang sudah bisa menerima dengan damai kehadiran impotensi dalam dirinya. Bagi Pak Tarya impotensi ternyata bisa juga dinikmati. Yakni sebagai ruang di mana kenangan akan kemudaannya dulu terasa lebih manis dan lebih mengesankan untuk diingat.

Namun ketika pergi memancing sore ini Pak Tarya tidak singgah ke warung Mak Sumeh. Ketika melintas dekat proyek Pak Tarya melihat Kabul melambaikan tangan. " Tunggu, Pak Tarya. Saya ikut."

Pak Tarya tersenyum.

" Wah, saya tidak enak, Mas. Nanti saya dibilang mengajak-ajak sampeyan meninggalkan pekerjaan."

" Ini jam empat sore. Saya ingin cari kesegaran. Dan saya toh tidak harus mengawasi pekerjaan ini terus-menerus."

" Baiklah. Ayo. Kebetulan saya selalu membawa kail cadangan. Mas Kabul bisa mancing?"

" Saya akan mencoba."

Sekali lagi batu-batu besar di pinggir Cibawor yang dipayungi kerindangan pohon mbulu besar menyediakan tempat bagi Pak Tarya dan Kabul. Keduanya memasang pancing. Pak Tarya membantu temannya yang tak berpengalaman. Angin sore terasa sejuk. Air begitu jernih. Bau lumut. Kisaran air menembus celah bebatuan menimbulkan bunyi desir halus. Ada kepiting merambati tebing. Datang bengkarung. Kedua binatang itu berhadapan dan kelihatan seperti akan saling serang. Tapi kepiting mengalah lalu cepat menyelam. Ada suara mencicit dari sarang burung emprit di ujung ranting yang mengayun di atas permukaan sungai. Telur mereka sudah menetas. Ketika angin bertiup sedikit kencang, buah mbulu berjatuhan dan menimbulkan bunyi lirih. Plung... plung... plung. Lalu terjadi lingkaran-lingkaran riak di permukaan air. Ketika lingkaran-lingkaran yang membesar itu saling bentur, terbentuklah lukisan geometris yang ajaib. Hanya sesaat.

" Pak, aku ingin mendengar suara serulingmu," ujar Kabul setelah meletakkan gagang pancingnya.

" Aduh, maaf. Seruling memang selalu saya bawa. Namun kalau diminta, saya malah kehilangan semangat." " Kenapa?"

" Ya begitulah. Bagi saya, kemauan bermain seruling hanya bisa datang dari dalam. Kalau diminta, wah, tidak bisa."

" Sayang sekali. Padahal saya sungguh ingin mendengar serulingmu lagi. Tapi baiklah. Kalau tak mau main seruling, sebagai gantinya Pak Tarya harus menjawab pertanyaan saya. Mau?"

" Pertanyaan apa? Kalau sulit saya tak bisa." " Mudah saja. Mengapa beberapa penduduk di sini suka menyuap kuli-kuli untuk mendapat, atau tepatnya, dicurikan semen?"

Mendapat pertanyaan yang tak terduga Pak Tarya mengerutkan dahi.

" Begitu?" " Pura-pura tidak tahu?" " Saya benar-benar tidak tahu." " Nah, sekarang sudah tahu, kan?" " Ya...! Hup!"

Pak Tarya batal menjawab pertanyaan Kabul karena pancingnya mengena. Tali digulung dalam gerakan yang anggun, dan seekor ikan putihan menggelepar di ujungnya. Pak Tarya melepas ikan itu dari mata kail, lalu melemparkan kembali ke air. " Kamu masih terlalu kecil. Tahun depan kamu saya pancing lagi. Janji, ya?"

Kabul tersenyum mendengar gumam Pak Tarya. " Oh, maaf. Tadi Mas Kabul tanya apa? Ah, saya ingat. Ada orang kampung ingin mendapat semen dari proyek ini dengan cara menyuap kuli-kuli?"

" Tanpa maksud membela sesama saudara sekampung, bukankah mereka tak bisa merugikan proyek tanpa kerja sama dengan orang dalam, bukan?"

" Ya. Tapi kan selama ini saya menganggap orang kampung lugu, bersih, tidak melik terhadap barang orang lain."

" He-he-he... itu dulu, Mas Kabul. Sekarang lain. Sekarang orang kampung menganggap, misalnya, mengambil aspal dari pinggir jalan adalah perkara biasa. Bila ketahuan, ya mereka akan membelikan rokok buat Pak Mandor. Selesai. Atau, mereka takkan merasa bersalah karena menebang kayu jati di perkebunan negara, karena mereka tahu banyak pagar makan tanaman. Jadi kalau kuli-kuli Anda mencuri semen dan orang kampung jadi penadahnya, apa aneh?"

" Taruhlah tidak aneh. Tapi pertanyaannya tetap. Mengapa hal itu menjadi tidak aneh?"

Pak Tarya terkekeh.

" Ah, Mas Kabul pura-pura lupa bahwa pada dasarnya kebanyakan orang masih dilekati watak primitif, yakni lebih mementingkan diri sendiri alias serakah." " Itu primitif?"

" Nah, iya, kan?"

Pak Tarya tertawa lagi. Tapi Kabul diam. Alisnya terasa berat. Ada rasa kecut di hati ketika menyadari apa yang dimaksud Pak Tarya bila dirangkai dengan angka kebocoran anggaran proyek yang konon mencapai tiga puluh sampai empat puluh persen itu. Primitif, mementingkan diri sendiri, serakah. Itulah akar persoalannya? Rasanya memang begitu. Dan bila si primitif adalah orang kampung di sekitar proyek yang miskin dan kurang terdidik, harap maklum. Namun kalau si primitif tadi adalah menteri, dirjen, kakanwil, dan seterusnya? Apa mereka tidak mencakmencak bila dikatakan primitif?

" Jangan melamun, Mas Kabul. Lihat pancing sampeyan." Dalam gerak yang gagap dan lucu Kabul menyentak pancingnya karena pelampung bergerak-gerak. Kosong. Pak Tarya tertawa.

" Jadi dalam soal mancing, insinyur bisa kalah dari saya. Iya, kan?"

Keduanya tertawa. Kemudian, diajari Pak Tarya, Kabul memasang umpan di ujung kail dan melemparkannya kembali ke air.

Ada suara kecipak ikan menyambar daun jagung yang hanyut. Ikan-ikan kecil berlompatan ke udara karena dikejar balong, ikan pemangsa yang ganas. Agak ke tengah, burung layang-layang menyambar air. Begitu cara mereka minum. Dan, kedua pancing yang ditunggui Pak Tarya dan Kabul diam terus. Tidak. Karena tiba-tiba pancing Pak Tarya tertarik cepat dengan sentakan kuat. Pak Tarya dengan cekatan membalasnya. Blas. Tali putus. Pak Tarya kecut. Namun kemudian tawanya berderai.

" Memancing memang sport jantung yang berdebar ketika pertarungan antara berhasil dan gagal sedang berlangsung."

" Kali ini kau gagal, Pak."

" He-he, ya, tapi sport jantungnya sudah saya nikmati. He-he. Anda tahu ikan apa yang tadi menarik pancingku?"

" Mana saya tahu."

" Namanya ikan baceman. Cat fish. Dia memang sangat kuat, dan tali yang kupasang memang bukan tandingannya."

" Kok Pak Tarya tahu dia ikan baceman?"

" He-he, dari caranya menarik pancing. Masing-masing ikan punya gaya sendiri. Jadi bisa dikenali jenisnya, meski- pun mereka masih berada di dalam air."

Kabul tersenyum. Dan tambah yakin, dalam soal mancing, Pak Tarya memang sangat berpengalaman.

Burung layang-layang yang menerpa permukaan air makin banyak. Di antara burung-burung itu malah tampak juga kelelawar. Pertanda hari semakin sore. Dari bawah pohon mbulu itu terdengar suara kesibukan proyek mereda. Deru mesin truk pengangkut material makin jarang. Hanya derum generator. Dan dentam godam kuli yang sedang memecah batu kali sudah berhenti.

" Rasanya sudah waktunya pulang, Mas." " Pulang?"

" Ya. Bila dituruti sih, yang namanya mancing, sampai malam pun saya mau. Tapi saya sudah tua, sudah percaya tidak semua keinginan harus dituruti. Lagi pula sampeyan harus mandi, harus ini-itu. Jadi, ayolah."

Pak Tarya dan Kabul sama-sama mengemasi pancing masing-masing. Setelah beres, kedua perkakas itu dimasukkan ke kantong lusuh yang selalu menjadi bagian penampilan Pak Tarya. Selanjutnya mereka meninggalkan batubatu besar di bawah pohon mbulu itu, menyusuri tepian Sungai Cibawor, lalu muncul sedikit di hulu proyek. Sepi. Kecuali suara generator. Para pekerja siap beristirahat. Kuli-kuli mandi di sungai. Tapi ada truk datang mengusung pasir. Dan lampu pompa di warung Mak Sumeh sedang dinyalakan.

" Mas Kabul, banyak orang bilang Anda masih bujangan. Betul? Eh, tapi maafkan mulut saya yang usil ini."

Kabul tertegun sejenak. Lalu tersenyum. Pertanyaan Pak Tarya memang usil. Ah, tapi semua orang proyek memang sudah tahu dia bujangan.

" Kalau ya, Pak Tarya mau mencarikan saya istri? Saya lihat banyak gadis di sini cantik-cantik. Atau Pak Tarya sendiri punya kemenakan?"

" He-he, tidak sejauh itu, Mas. Saya cuma mengikuti semacam nilai budaya kita; bila ada lelaki sudah cukup dewasa dan mapan, selalu kita ingin bertanya mengapa belum kawin. Itu saja. Dan sampeyan punya keinginan menjawab pertanyaan itu?"

Kabul kelihatan kecut. Senyumnya janggal. " Yah, dulu ketika masih kuliah saya pernah juga pacaran. Waktu itu mungkin semua orang yakin kami akan segera menikah. Namun ternyata tidak. Pacar saya mundur. Mungkin karena saya terlalu banyak kehilangan waktu, untuk demonstrasi menentang kerunyaman kampus atau diskusi-diskusi dengan anak-anak yang pinter. Ah, saya sendiri merasa saya memang pantas ditinggalkan pacar." " Jadi, dulu Anda aktivis?"

" Mungkin ya. Tapi tak bisa lanjut karena saya harus cari uang untuk menghidupi ibu yang sudah sendiri, dan adikadik. Kami sama seperti kebanyakan orang kampung ini, miskin."

" Kayaknya sekarang Anda bukan orang miskin lagi, paling tidak bila dibanding saya."

" Ah, saya tahu ke mana arah omongan Pak Tarya. Pak Tarya mau bilang saya sudah pantas menikah. Iya?"

" He-he. Ya. Sebab anu, Mas. Menikah itu penting. Setidaknya, sebagai pengucapan secara lebih tegas kelelakian kita. Pihak kita dinyatakan sebagai lelaki karena ada pihak lain yang dinyatakan sebagai perempuan. Begitu, ya, Mas."

" Atau begini saja, Pak. Menikah itu penting agar semua organ tubuh kita berfungsi sejalan dengan maksud penciptaannya. Iya, kan?"

Pak Tarya dan Kabul sama-sama tertawa.

" Menonaktifkan salah satu organ tubuh sama dengan menyia-nyiakan pemberian alam. Itu kasihan," gurau Pak Tarya. Lalu dia tersenyum karena ingat dirinya yang sudah lama impoten.

" Juga, sebenarnya merepotkan," tanggap Kabul. " Tapi entahlah. Atau bagi saya, masalahnya mungkin hanya soal waktu. Kalau memang belum waktunya dapat jodoh, ya mau apa?"

Ya, mau apa? Pertanyaan itu menggantung. Pak Tarya hanya menanggapinya dengan tawa ringan. Kemudian, sambil melambaikan tangan, pemancing tua itu meneruskan perjalanan. Pulang. Kabul pun berjalan menuju bangunan bedeng tak jauh dari proyek itu. Di sana ada kamar berdinding tripleks dengan kelengkapan yang lumayan memadai; tempat tidur, lemari, televisi, kamar mandi. Kamar sebelahnya adalah ruang kerja sederhana, namun cukup luas karena di situlah administrasi proyek diselenggarakan. Wati, yang disodorkan tokoh setempat, bekerja sebagai penulis kantor proyek itu. Sama seperti jagoan kampung dan pensiunan tentara yang direkrut jadi satpam, juga tukang batu dan kuli-kuli lokal, Wati diterima dalam rangka pemberdayaan tenaga setempat untuk menekan dampak sosial negatif proyek.

Tapi menerima Wati memang tidak salah. Pendidikannya lebih dari cukup bila dibanding tugasnya yang hanya urusan administrasi ringan. Wati pernah mengadu untung ke Jakarta. Namun, selama setahun mencari pekerjaan, yang didapat hanya peluang kerja di pabrik. Padahal, dia berpendidikan sarjana muda kesekretariatan dan bisa mengoperasikan komputer. Jadilah Wati pulang kampung, mengurus administrasi proyek sambil, katanya, menunggu peluang pekerjaan yang lebih baik.

Atau menerima Wati juga tidak salah. Karena ternyata dia berhasil menghadirkan keperempuanan dalam lingkaran proyek yang terasa sangat lelaki. Pelaksana, mandor, kuli, mesin molen, generator, batu kali, godam, pipa-pipa, paku bumi, sampai besi beton, semua terasa keras dan kasar mewakili kelelakian. Maka kehadiaran Wati di proyek itu seakan menjadi penyeimbang bagi neraca yang miring. Atau pengisi ruang kosong dalam dunia lelaki yang senyatanya membutuhkan mitra jenisnya.

Maka lihatlah para kuli dan tukang ketika mereka melihat Wati datang dengan motor bebeknya. Mata mereka menyipit, tapi lebih bercahaya. Dan bagi yang beruntung disapa Wati, mereka cengar-cengir tapi dengan hati berdebar. Wati yang periang memang biasa menyapa siapa saja dengan bahasa dan senyum yang sama hangatnya. Gayanya seperti anak usia enam belas, padahal usia Wati sudah 23. Hampir semua orang proyek meyakini Wati sudah punya pacar. Alasan mereka sederhana. Gadis semenarik Wati pasti memikat banyak pemuda. Atau seperti kata orang, apa saja yang terbaik selalu sudah ada pemesannya.

Kabul juga senang ada Wati di proyek itu. Berbicara dengan Wati terasa menjadi selingan yang enak, karena sehari-hari terlalu banyak omong dengan ratusan lelaki. Suara Wati yang riang seperti gadis kecil bisa menjadi penawar bagi kerasnya teriakan para mandor atau suara benturan godam yang memecah batu kali. Atau bunyi mesin molen yang datar dan amat menjemukan. Dan suatu hari ketika motor bebek Wati mogok, Kabul mengantarnya pulang dengan jip proyek. Atau mereka sering berdua makan siang di warung Mak Sumeh. Lalu dari mulut Mak Sumeh yang nyinyir pula berawal omongan bahwa Wati dan Kabul ada- lah pasangan yang serasi. Malah anak-anak muda sudah bisa menirukan istilah para bintang film. Cinta lokasi.

Tapi Kabul tak pernah menanggapi serius omongan itu. Dia merasa Wati adalah teman biasa. Anggapan itu terasa benar, sebab ternyata misalnya, Kabul tak pernah menunggu-nunggu kedatangan gadis itu di kantor proyek pada pagi hari. Kabul juga merasa tak ada yang kurang di sekitarnya ketika Wati tidak masuk. Repotnya, omongan yang berawal dari mulut Mak Sumeh itu terus berkembang. Maka mandor atau tukang-tukang batu berhenti mempercakapkan Wati bila Kabul mendekat. Malah akhirnya Pak Tarya ikut terimbas oleh rumor cinta lokasi itu. * * *

Tanpa terasa proyek sudah berjalan tiga bulan. Namun karena dimulai ketika hujan masih sering turun, volume pekerjaan yang dicapai berada di bawah target. Menghadapi kenyataan ini, Kabul sering uring-uringan. Jengkel karena hambatan ini sesungguhnya bisa dihindari bila pemerintah sebagai pemilik proyek dan para politikus tidak terlalu banyak campur tangan dalam tingkat pelaksanaan.

Dan campur tangan itu ternyata tidak terbatas pada penentuan awal pekerjaan yang menyalahi rekomendasi para perancang, tapi masuk juga ke hal-hal lain. Proyek ini, yang dibiayai dengan dana pinjaman luar negeri dan akan menjadi beban masyarakat, mereka anggap sebagai milik pribadi. Kabul tahu bagaimana bendahara proyek wajib mengeluarkan dana untuk kegiatan partai golongan penguasa. Kendaraan-kendaraan proyek wajib ikut meramaikan perayaan HUT golongan itu. Malah pernah terjadi pelaksana proyek diminta mengeraskan jalan yang menuju rumah ketua partai golongan karena tokoh itu akan punya hajat. Bukan hanya mengeraskan jalan, melainkan juga memasang tarub. Belum lagi dengan oknum sipil maupun militer, juga oknum-oknum anggota DPRD yang suka minta uang saku kepada bendahara proyek kalau mereka mau pelesir ke luar daerah.

Dan ternyata orang-orang kampung pun ikut-ikutan nakal. Bila mereka hanya minta ikut memakai kayu-kayu bekas atau meminjam generator cadangan untuk keperluan perhelatan, masih wajar. Tapi kenakalan mereka bisa lebih jauh. Mungkin karena tahu banyak priyayi yang ngiwung barang, uang, atau fasilitas proyek, mereka pun tak mau ketinggalan. Selain menyuap kuli untuk mendapatkan semen, paku, atau kawat rancang, mereka juga sering meminta besi-besi potongan, kata mereka, untuk membuat linggis.

Mandor yang mencatat penerimaan material pun pandai bermain. Dia bisa bermain dengan menambah angka jumlah pasir atau batu kali yang masuk. Truk yang masuk sepuluh kali bisa dicatat menjadi lima belas kali, dan untuk kecurangan itu dia menerima suap dari para sopir.

Namun menghadapi semua tingkat kebocoran itu, Insinyur Dalkijo atasan Kabul, seperti tak menanggung beban apa pun. Suatu saat ketika bersama-sama berada di rumah makan, Kabul mengeluh atas tingginya angka kebocoran yang berarti beban tambahan cukup besar yang harus dipi- kul oleh anggaran proyek.

" Ah, Dik Kabul ini seperti hidup di awang-awang. Pijaklah bumi dan lihat sekeliling. Seperti sudah pernah kukatakan, orang proyek seperti kita harus pandai-pandai bermain."

" Maksud Pak Dal?"

" Yah, berapa kali harus saya katakan, seperti proyek yang kita kerjakan sebelum ini, semuanya selalu bermula dari permainan. Di tingkat lelang pekerjaan, kita harus bermain. Kalau tidak, kita tidak bakalan dapat proyek. Dan anggaran yang turunnya diatur per termin, baru kita peroleh bila kita tahu cara bermain. Kalau tidak, kita pun tak akan dapat uang meski sudah menang lelang. Ah, kamu sudah tahu semua. Aku bosan mengulangnya.

" Makanya, Dik Kabul, lebih baik bersikap seperti saya sajalah. Ikuti langgam serta permainan yang ada dan sabetlah keuntungan. Bila perlu kita jadi koboi. He-he."

Entahlah, kata " koboi" membuat Kabul sungguh-sungguh tersenyum. Memang, bila datang ke proyek, Dalkijo selalu memakai topi wol merek Stetson. Dan memakainya dengan meniru gaya para koboi yang sering muncul di bioskop tahun enam puluhan. Di atas sadel sepeda motor besar yang selalu dikendarainya ke proyek, Dalkijo pun mengusahakan gayanya mirip para penunggang kuda dari Texas. Agaknya kekoboian memang sudah merasuk ke dalam hidup pemimpin proyek ini.

" Eh, Dik Kabul," sambung Dalkijo. " Saya tahu, dalam perhitungan yang wajar, keuntungan kita dari proyek-proyek yang kita kerjakan adalah nol atau malah minus. Tapi, ya itu tadi, kalau kita bisa bermain, nyatanya perusahaan kita masih jalan. Bisa menggaji karyawan termasuk Dik Kabul sendiri. Dan saya, he-he, bisa ganti Harley Davidson model terbaru setiap selesai mengerjakan satu proyek. Rekening pun bertambah. Jadi, apa lagi?"

Dalkijo tertawa. Demi basa-basi Kabul juga ikut tertawa. Tapi hatinya tidak. Hati Kabul kini terkesan akan kata " main" atau " permainan" yang beberapa kali diucapkan Dalkijo. Apa yang dimaksudkan dengan kosakata ini, Kabul sudah sepenuhnya mengerti. Permainan di lelang pekerjaan, bahkan pada tingkat prakualifikasi, artinya keterampilan melobi oknum-oknum terkait untuk diajak berkongkalikong, tahu-sama-tahu, atau apalah namanya. Harga suatu lobi bisa berupa apa saja; uang, tiket ke Hong Kong, atau perempuan.

Sedangkan permainan pada soal termin adalah tawar-menawar tentang berapa persen bagian pejabat yang terkait agar dia bisa memberikan dana anggaran proyek untuk termin bersangkutan. Dan karena biaya proyek terkikis demikian banyak, permainan pun harus terjadi lagi dalam pengadaan barang. Pada tingkat ini, permainan berarti memanipulasi kualitas dan kuantitas barang yang dibeli untuk keperluan proyek.

Sebagai insinyur, Kabul tahu betul dampak semua permainan ini. Mutu bangunan menjadi taruhan. Padahal bila mutu bangunan dipermainkan, masyarakatlah yang pasti akan menanggung akibat buruknya. Dan bagi Kabul hal ini adalah pengkhianatan terhadap derajat keinsinyurannya.

Namun Kabul merasa tak bisa berbuat apa-apa. Karena permainan itu terasa sudah menjadi kewajaran dan menggejala di mana-mana, sampai masyarakat sekitar proyek pun ikut melakukannya. Bahkan pelaksana seperti Dalkijo sudah terbiasa menerima semua bentuk permainan itu tanpa keluhan apa-apa, atau malah memanfaatkannya?

" Dik Kabul," sambung Dalkijo. " Saya tahu Dik Kabul mantan aktivis. Biasa kan, yang namanya aktivis punya idealisme yang kolot. Tapi setelah bekerja seperti ini, Dik Kabul harus tunduk kepada kenyataan. Sedikit pragmatislah agar kita tidak konyol seperti Don Kisot. Hehe."

Kabul menegakkan kepala. Mau bicara tapi tidak jadi. " Maksud saya begini. Mari bicara mulai dari nama kita. Nama saya Dalkijo, dari Blora. Nama sampeyan Kabul, dari?"

" Gombong."

" Nah, melihat nama, kita tahu dari lapisan masyarakat mana kita berasal. Taruhan, kita sama-sama anak petani miskin. Betul?"

Kabul tersenyum. Persis.

" Entahlah sampeyan, tapi kemiskinan yang disandang kedua orangtua saya ke atas sudah berlangsung sekian generasi. Untung emak saya, penjual jamu gendong, begitu tabah dan tekun mengumpulkan uang dari sen ke sen untuk membiayai sekolah sampai saya lulus insinyur. Ini apa namanya kalau bukan keajaiban. Atau entahlah, yang jelas sekarang saya ada pada posisi bisa memutus rantai panjang kemiskinan yang melilit kami. Saya kini punya kemampuan untuk membalas dendam terhadap kemiskinan yang begitu lama menyengsarakan kami. Saya sudah melakukan apa yang dibilang orang sebagai tobat melarat. Selamat tinggal, nasi tiwul, tikar pandan, atau rumah berlantai tanah dan beratap rendah."

Karena bicara dengan emosi tinggi, Dalkijo agak terengah.

" Dik Kabul, karena sudah tobat melarat, lihatlah. Saya tak mau pakai sepatu kalau bukan yang asli dari merek terkenal. Juga baju dan celana, bahkan celana dalam. Soal makan, apa lagi. Saya tak sudi seperti sampeyan, makan di warung Mak Sumeh di proyek itu. Anak-anak saya? Semua belajar di sekolah favorit bersama anak-anak Cina dan anak pejabat. Kamar mereka mirip kamar anak remaja Amerika. Soal kemampuan anak tidak penting, karena ternyata bisa diganti dengan duit. Istri saya? Dik Kabul tahu sendirilah. Pokoknya saya tidak sudi lagi berdekat-dekat dengan apa saja yang berbau kemelaratan."

Ceramah panjang Dalkijo, yang membuat beberapa pe- ngunjung rumah makan itu menoleh, agaknya belum akan berakhir. Agaknya juga, Dalkijo memang benar-benar me- nyimpan dendam yang berat terhadap hantu yang bernama kemiskinan yang mencengkeram dia di masa anak-anak.

" Jadi, Dik Kabul, bagi saya hanya sikap pragmatis yang bisa menghentikan sejarah panjang kemiskinan keluarga saya. Dan dari sini saya bisa bilang, mau apa Dik Kabul dengan idealisme yang sampeyan kukuhi?"

" Ah, saya bisa mengira-ngira," sambung Dalkijo karena Kabul hanya tersenyum kecut.

" Ya, saya bisa mengira-ngira. Mantan aktivis seperti Dik Kabul tentu menghendaki perubahan besar di berbagai bi- dang. Korupsi dalam berbagai bentuk dan manifestasinya harus dihilangkan. Pemerintah mesti cakap, berwibawa, dan tepercaya. Lembaga legislatif harus selalu berpihak kepada kepentingan rakyat. Pokoknya demokrasi harus benar-benar tegak. Dengan demikian, cita-cita membangun kehidupan bersama yang adil dan makmur bisa menjadi kenyataaan. Terus dan terus. Ya, ya. Dan dalam kaitan dengan proyek ini, lelang harus dilakukan dengan sejujurnya dan sebersih mungkin. Anggaran harus seratus persen dibelanjakan untuk kepentingan proyek, sehingga mutunya memenuhi persyaratan objektif. Nah, itu bagus. Koboi seperti saya juga bisa bilang itu bagus."

Dalkijo berhenti untuk menghirup jus apelnya, menjilatjilat bibir dengan gaya koboi, lalu ceramah lagi.

" Namun kapan hal sangat besar dan ideal itu bisa diwujudkan? Mungkin kondisi yang menurut Dik Kabul ideal itu baru bisa terwujud pada masa cucu atau cicit saya. Nah, sambil menunggu saat itu datang, apa salahnya saya jalani hidup ini dengan mengembangkan sikap realistis? Dan itu tadi; kalau saat ini saya dalam posisi bisa mengubur semua sejarah kemiskinan keluarga, mengapa hal itu tidak secepatnya dan sepuas-puasnya saya lakukan?"

Sampai sedemikian jauh Kabul bungkam. Bukan apaapa. Dia hanya enggan beradu kata dengan atasan di tempat yang kurang pantas pula. Lihat, hampir semua pengunjung rumah makan itu memandang ke arah meja Kabul dan Dalkijo. Yang punya posisi membelakang, memutar punggung. Wajah mereka memperlihatkan perasaan yang berbeda-beda. Ada yang tampak serius, tapi ada pula yang tampak sebal. Untungnya Dalkijo tanggap atas situasi yang gagu itu. Jadi, sang koboi segera menenggak habis jus apelnya. Kabul bangkit dan berjalan ke arah kasir. Dalkijo juga bangkit dan langsung keluar menuju mobilnya, jip baru yang dirancang orang Jepang untuk menampilkan kebanggaan manajer proyek. Sementara Kabul mengendarai mobil sendiri, jip dari jenis yang sama, namun jauh lebih tua. Kedua orang proyek itu berpisah. Dalkijo entah ke mana, namun Kabul punya tujuan pasti, ke lokasi proyek dua puluh kilometer ke arah selatan kota.

Berkendaraan seorang diri, Kabul sering menggarukgaruk kepala. Pengakuan Dalkijo mengesankan. Kabul me- mang sudah tahu gaya hidup atasan dan keluarganya itu. Pragmatis, jor-joran. Hidup harus dinikmati atau mencari nikmat dalam hidup. Ah, itu jalan yang dipilih koboi Dalkijo. Itu urusan dia. Namun masalahnya, dalam ceramah tadi Dalkijo secara tak langsung menyindir jalan lain yang secara sadar sudah dipilihnya. Yakni jalan hidup yang tidak menaruh dendam terhadap kemiskinan yang dialami- nya pada masa lalu. Bagi Kabul, kemiskinan memang harus dihilangkan. Namun tidak harus dengan dendam pribadi. Dan karena kemiskinan terkait erat dengan struktur maupun kultur masyarakat, menghilangkannya harus melibatkan semua orang dalam semangat setia kawan yang tinggi. Dengan demikian, jalan sangat egoistis yang ditempuh Dalkijo terasa menyimpang.

Atau entahlah. Karena bayangan koboi Dalkijo mendadak lenyap dari ingatan Kabul. Sebagai ganti, muncul satusatu bayangan teman-teman Kabul pada masa anak-anak. Narsun; anak yang tinggi-kurus itu dulu sangat pandai membuat dan bermain gangsing. Sekarang dia jadi kuli pembuat batu bata, punya anak lima, semua kurus dan mungkin cacingan. Karji; dulu paling cepat bila main kasti.

Kini dia di Lampung dan konon pergi ke sana hanya untuk memboyong kemelaratan. Rasmin; dulu paling malas diajak bermain apa saja karena tak pernah makan pagi. Atau makan malam. Tapi Rasmin lumayan. Kini dia jadi penjual kambing dan bisa membeli sawah. Sawinah? Ah, dulu dia gemuk dan suka bergabung dengan anak lelaki bermain petak umpet. " Aku sering mencubit punggungnya karena gemas. Atau karena aku lelaki dan dia perempuan?" Kini dia jadi seperti nenek kurus dan setiap hari menunggu warung nyaris mati.

Dan Satim? Ah, ini anak yang paling nakal. Dia suka kencing dari atas pohon dan selalu berteriak meminta kami melihatnya. Ya, melihat tali air panjang yang mengucur dari kemaluan yang belum disunat, jatuh memercik ke tanah. Tapi Satim sering kelewatan. Dia pernah berak dari atas pohon dan bisa, kami disuruh melihatnya. Sayang sebagian berak menimpa batang yang dipanjatnya. Kotoran setengah cair itu melumuri bagian yang tidak boleh tidak harus diperosotinya sendiri bila Satim turun. Tontonan yang mungkin sangat jorok. Namun bagi anak-anak kampung kami, hal itu bisa menjadi bahan gelak tawa yang amat meriah. Ya, Satim harus turun dari atas pohon dengan perut, kaki, dan tangan yang berlepotan beraknya sendiri.

Setelah dewasa Satim jadi penyadap nira. Usianya baru 25 ketika dia jatuh dari atas pohon kelapa dan langsung meninggal. Kini keempat anaknya yatim dan sungguh tak terurus.

Kabul kembali menggaruk-garuk kepala. Dan gugup karena jip yang sedang dikendarainya menyimpang hampir tak terkendali. Setelah tenang, bayangan Dalkijo muncul lagi. " Kau yang telah bertalak tiga dengan apa pun yang berbau kemiskinan, bisa melupakan teman-teman sekampung yang masih mewarisi kemelaratan. Tapi sejujurnya, aku tak bisa melupakan Narsun, Karji, Sawinah, Sartim, dan anak-anak mereka."

Kabul memang tidak bisa melupakan teman-teman bermain di kampung yang belum beranjak dari kemelaratan. Juga orang lain seperti mereka yang ada di mana-mana. Namun betul, Kabul sendiri sering berpikir, apa mereka cukup dikasihani dan disetiakawani dalam bentuk kenangan romantis? Bahkan, apakah keadaan mereka akan bertambah baik bila mereka disumbang beras ketika kebanjiran, disumbang air ketika terpanggang di musim kemarau, atau diberi obat gratis ketika ada wabah muntaber? Ah, kerja karitatif seperti itu tak lebih dari kembang gula yang hanya manis sesaat dan tak akan mengatasi masalah. Apalagi bila tindakan karitatif itu dicampur dengan niat cari untung. Maka jangan salahkan mereka yang menuduh pelaku tindakan semacam itu sesungguhnya sedang memperdagangkan kemiskinan.

Kabul gagap lagi, kali ini karena jipnya disalip terlalu ketat oleh bis besar. Gelombang udara yang ditimbulkan laju bis tersebut membuat jip Kabul terasa oleng. Kabul menggoyang-goyangkan kepala agar ketenangannya pulih. Apalagi dia harus meninggalkan jalan raya provinsi, masuk jalan kabupaten yang lurus menuju proyek.

Jalan ini agak lengang. Angin menerobos masuk lewat jendela kaca yang setengah terbuka. Dan Kabul kembali teringat pada Dalkijo serta pembicaraan di rumah makan tadi.

Aku insinyur. Aku tak bisa menguraikan dengan baik hubungan antara kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan proyek ini dengan keberpihakan kepada masyara- kat miskin. Apakah yang pertama merupakan manifestasi yang kedua? Apakah kejujuran dan kesungguhan sejatinya adalah perkara biasa bagi masyarakat berbudaya, dan harus dipilih karena keduanya hal yang niscaya untuk menghasilkan kemaslahatan bersama? Mungkin. Atau entah. Yang jelas bagiku kecurangan besar maupun kecil yang terjadi di proyek ini pasti akan mengurangi tingkat kesungguhan, bahkan mengkhianati tujuan dasarnya. Dan hatiku tak bisa menerimanya.

Lalu, apakah kejujuran yang sering minta dibuktikan dengan kesahajaan sama dengan mempertahankan kemelaratan? Ah, tidak. Pasti tidak. Banyak orang memilih cara hidup bersahaja dan mereka sangat kaya akan rasa kaya. Atau hati dan jiwa mereka memang benar-benar kaya. Dan kau, Dalkijo, yang begitu membenci kemiskinan dengan cara hidup jor-joran, tak peduli dari mana ongkosnya, apakah kau punya rasa kaya? Jangan-jangan kau membenci kemiskinan, sementara hati dan jiwamu memang benarbenar melarat.

" Hush!"

Kabul menegur dirinya sendiri yang terlalu jauh men-campuri urusan orang. Atau tak mengapa karena Dalkijo telah menyebut Kabul dengan keluguannya sebagai Don Kisot, yakni orang yang terbuai mimpi menjadi pahlawan besar. Namun pada kenyataannya dia di mana-mana hanya melakukan perbuatan konyol yang menggelikan. Anehnya, Kabul ingin bergeming meski hari ini dia mendapat sebutan baru, Don Kisot. Atau karena yakin dirinya adalah Kabul yang dalam makna apa pun bukan Don Kisot kesatria konyol dari La Mancha itu.

Jip itu berhenti di bawah pohon mangga di halaman kantor proyek. Setelah mesin mobil dimatikan, Kabul merasakan keadaan yang lengang. Tukang dan kuli-kuli batu tak kelihatan. Mesin molen berhenti, pekerjaan perancangan besi sepi. Bunyi godam pembelah batu kali tak terdengar. Kabul melihat jam tangan. Pukul sebelas. Mengapa pekerjaan berhenti?

Pertanyaan ini dibawa masuk ke ruang kantor. Dan di sana Kabul menemukan jawaban yang sangat maknawi. Ada kopiah, baju koko, dan kain sarung tertata rapi di atas mejanya. Wangi sekali. Secarik kertas di dekatnya bertuliskan " Silakan pakai" . Kabul cepat tersadar ini hari Jumat, maka pekerjaan diistirahatkan sejak jam sebelas. Dan ia pun langsung ke kamar mandi. Selama membersihkan diri Kabul teringat perangkat salat yang wangi itu; siapa yang menaruh di sana? Kabul tahu jawabannya yang pasti benar. Wati. Tulisan di sana cukup menjelaskan semua. Dan agaknya Wati sudah pulang. Tapi kok nganyar-anyari? Jumat-Jumat sebelumnya Wati tak pernah peduli apakah Kabul pergi salat atau tidak.

Keluar dari kamar mandi Kabul kembali memandang perangkat yang belum disentuh di atas meja itu. Mau pakai atau tidak? Kabul ragu. Karena memakai atau tidak memakai sama-sama ada bayaran moralnya. Kalau memakai berarti Kabul menerima sikap nganyar-anyari yang ditunjukkan Wati. Ah, Kabul menduga ada sesuatu di balik sikap gadis itu. Padahal Kabul tidak atau belum siap berubah pandangan terhadap dia. Kalau tidak memakai, rasanya tak enak. Pantaskah uluran tangan teman yang sudah sekian lama bekerja sama disepelekan?

Kabul tersenyum dan wajahnya cerah karena menemukan jalan tengah. Diambilnya kopiah dan baju koko, tapi kain sarungnya tidak. Jalan tengah ini mungkin mewakili sikap ambigu atau keraguan. Entahlah, karena Kabul harus segera ke masjid kampung yang berjarak satu kilometer dari proyek. Dan seperti biasa, Kang Acep dan Cak Mun ikut numpang jip Kabul. Tapi Bejo dan beberapa temannya lebih suka main gaple. Yang lain ngumpul di warung Mak Sumeh. Ada suara berseru kepada Kang Acep, " Titip absen, Kang!" Kemudian menyusul, " Saya lagi datang bulan, jadi nggak bisa ke masjid."

" Ah, anak-anak zindik!" gerutu Kang Acep sambil naik ke jip yang sudah terbuka pintunya, disusul Cak Mun, si tukang las. " Namun semoga Gusti mengampuni mereka."

" Ya, Kang," tanggap Kabul. " Gusti Mahaluas ampunan- Nya. Lagi pula mereka, anak-anak muda yang malang, anak-anak yang seharusnya masih belajar, tapi terpaksa harus bekerja."

Di kalangan jemaah masjid kampung, Kabul sudah menjadi sosok yang sangat dikenal karena sudah puluhan kali ikut Salat Jumat di sana. Dan mereka tidak suka menyebut nama. Karena mereka merasa lebih sopan dengan menyebut dia Pak Insinyur, atau Pak Pelaksana. Hanya Basar, kepala desa yang dulu teman sekampus, masih sering memanggil Kabul dengan namanya. Meskipun lain fakultas, Kabul dan Basar dulu sering bersama-sama dalam kegiatan kelompok diskusi agama dan politik di masjid kampus. Seorang anggota kelompok diskusi tersebut kini menjadi tokoh cendekia dan pikiran-pikirannya sering terpapar di media massa.
Orang Orang Proyek Karya Ahmad Tohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang lelaki tua membaca khotbah Jumat dari kitab yang mungkin sudah sama tuanya. Atau bahkan lebih tua lagi. Suaranya datar tapi sejuk. Di telinga Kabul, khotbah itu tak mengandung sesuatu yang baru. Dan boleh dikata tak sedikit pun menyentuh peri kehidupan nyata di sekitar masjid. Kabul hanya bisa menikmati dan mengambil manfaatnya sebagai zikir klasik setelah sekian jauh terlibat dalam diskusi-diskusi kritis tentang agama sewaktu masih jadi warga kampus.

Namun, betapapun juga, inti khotbah bergaya kuno itu membangkitkan kembali pemikiran kritis yang dulu pernah merebak di kelompok diskusi yang diikuti Kabul dan Basar. Materi pemikiran itu, yang diulang dalam khotbah tadi, adalah riwayat yang berbunyi: tidak diutus Kanjeng Nabi, kecuali untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Habis Salat Jumat, Basar mengajak Kabul singgah ke rumahnya. Tapi Kabul keberatan karena ada dua penumpang dalam jipnya yang harus segera kembali bekerja di proyek.

" Kamu seperti bukan insinyur," desak Basar. " Kamu kan bisa antar dulu Kang Acep dan Cak Mun ke proyek, lalu kamu kembali kemari. Kamu tahu, istriku sudah memasak khusus buat kamu, sahabat lama yang secara ajaib bertemu kembali di sini?"

" Kalau soal makan, aku tidak akan menolak. Baik, kuantar dulu kedua teman ini."

Kembali dari proyek, Kabul mendapati Basar tidak mainmain. Istrinya telah menghidangkan makan siang: gulai ikan mas, sambal dan lalapan, tempe goreng, dan nasinya panas. Perut Kabul yang semula tak apa-apa segera terasa lapar. Serunya lagi, ternyata Pak Tarya si pemancing tua itu juga ada di sana. Karena sudah jam satu lebih dan semua sudah lapar, Basar membawa kedua tamunya langsung ke meja makan. Istrinya sibuk dengan anaknya yang paling kecil, sehingga tak bisa bergabung.

" Silakan, Mas Insinyur, juga Pak Tarya. Apa salahnya sesekali kita makan bersama."

" Tampaknya istrimu pintar di dapur. Belum tahu rasanya, baunya sudah mengundang selera."

" Istriku bukan hanya pandai di dapur, tahu? Makanya segera cari perempuan."

" Ya, rasanya kamu beruntung. Istrimu terlalu cantik buat kamu."

Kabul nyengir. Ingat kopiah dan baju koko yang dipakainya. Ingat Wati. Ah, tapi tak ada getar.

" Tapi saya minta maaf, Pak Kades," ujar Pak Tarya. " Saya hanya akan ambil lauk tempe goreng dan sambal. Bukan apa-apa...."

" Ah, saya tahu. Semua tukang mancing sudah bosan makan ikan. Iya?"

Pak Tarya terkekeh. Mereka makan dengan lahap, diselingi percakapan yang renyah.

" Bul, kamu dengar khotbah tadi?"

" He, aku juga mau tanya seperti itu kepada kamu." " Jadi kamu juga teringat isinya pernah menjadi bahan diskusi yang panjang dan melelahkan?"

" Ya. Bahkan Kanjeng Nabi tidak diutus, k-e-c-u-a-l-i untuk menyempurnakan akhlak manusia. Ah, dari dulu kita terpesona oleh kosakata kecuali itu yang agaknya diabaikan oleh banyak orang. Padahal kosakata itu, dalam konteks riwayat tadi, punya peran amat strategis."

Sambil tetap menyuap nasi, Pak Tarya mendengarkan omong-omong antara Basar dan Kabul. Lelaki tua itu ter- senyum. Matanya berkilat. Wajahnya jadi lebih jernih. Pak Tarya merasa kedua anak muda itu sedang omong-omong tentang sesuatu yang sangat penting, tapi lupa menjadi perhatian orang. Dan sesuatu itu juga sudah amat lama menjadi bahan perenungannya.

" Kecuali" . Kosakata ini sepanjang perenungan Pak Tarya, mewajibkan orang membidik serta memaknai seoptimal mungkin kata kunci berikutnya, yakni " menyempurnakan akhlak" . Karena selain " menyempurnakan akhlak" sudah dikecualikan. Artinya, selain penyempurnaan akhlak, bukanlah tujuan diutusnya Kanjeng Nabi.

" Eh, saya menunggu omongan kalian, kok malah sepi?" ujar Pak Tarya.

" Sambal dengan aroma jeruk nipis enak sekali ya, Pak?" jawab Kabul sengaja, untuk mencoba mengalihkan pikirannya.

" Ya, tempe goreng, nasi hangat, sambal jeruk nipis. Bukan main. Beruntunglah orang yang masih bisa merasakan kenikmatannya. Ya. Tapi kalian berdua jangan mengecoh saya. Teruskan omongan tadi."

" Tentang kata kecuali ?"

" Ya. Asyik lho, saya mendengarnya."

" Nanti dulu, Pak. Saya sedang menikmati hidangan istimewa ini," tanggap Kabul. " Lagi pula..."

Kabul berhenti bicara karena melihat istri Basar datang membawa mangkuk besar. Bau segar sudah tercium sebelum mangkuk berisi sayur asem panas itu sampai ke meja.

" Maaf, terlambat. Tapi sengaja supaya bisa dinikmati selagi masih panas." Suara istri Basar jernih. Gerak-geriknya mengesankan. Kabul kembali berpikir, Basar memang beruntung. Atau Kabul jadi teringat Wati yang telah memberi kopiah dan baju koko yang sedang disandang. Suara Wati juga jernih. Tapi mestinya Wati tidak memotong rambutnya sebatas pundak. Lebih panjang sedikit mungkin lebih pas. Atau sebaliknya Wati jangan sering pakai rok pendek dan ketat dengan blazer berkancing rendah. Karena hal itu membuat mata para mandor dan tukang-tukang batu menyipit. Eh?

Hening. Ada sendok jatuh berdenting ke lantai. Basar membungkuk ke samping untuk memungut sendok itu. Dan sebelum tubuhnya tegak, Basar sudah mulai bicara.

" Ya, Pak Tarya. Dulu saya dan Kabul bersama kawan-kawan pernah berdiskusi mengenai masalah tadi. Bahwa, kalau memakai bahasa yang ekstrem, Kanjeng Nabi diutus h-a-n-y-a dengan maksud memperbaiki akhlak manusia, dan semua hal lain dikecualikan."

" Semua hal lain itu apa saja?" tanya Pak Tarya masih dengan senyumnya.

" Sekali lagi, ini bahasa ekstrem. Semua hal yang dimaksud termasuk lima rukun dalam agama kita, bila pengamalan kelimanya tidak menjadi bagian internal, tidak menghasilkan proses penyempurnaan akhlak atau budi luhur."

" Eh, Mas Kades," keluh Kabul. " Sayur asemnya bukan main. Ayo, santap dulu sebelum dingin. Hargailah prestasi istrimu. Khotbahmu bisa dilanjutkan lain waktu."

" Tapi saya menyukainya," tanggap Pak Tarya dengan nada bersungguh-sungguh. Anehnya, senyum itu. " Tolong bagikan sedikit ilmu kalian buat saya yang tua ini. He-hehe."

" Bagaimana, Bul?"

Kabul diam dan terus menyendok-nyendok sayur asem dari mangkuk besar ke piringnya. Karena diam, Basar mengartikan Kabul tak keberatan.

" Baik, Pak Tarya. Tapi ini bukan ilmu melainkan pendapat. Karena hanya pendapat, sampeyan atau siapa saja boleh setuju, boleh juga tidak."

" Jadi pengamalan kelima rukun itu bukan tujuan diutusnya Kanjeng Nabi?"

" Ya..."

" Nanti dulu. Jadi, pengucapan syahadat, tindakan salat, dan seterusnya bukan tujuan keberagamaan kita?"

" Perhatikan lagi kata kecuali . Dengan demikian kita yakin bahwa tujuan keberagamaan kita adalah penyempurnaan budi luhur. Sedangkan kelima rukun itu hanya sarana untuk mencapai tujuan itu. Sarana, atau jalan, atau syariah. Tapi sepenting-pentingnya syariah, dia hanya jalan, bukan tujuan."

" Ehem, tempe gorengnya juga enak sekali," usik Kabul. " Boleh minta tambah?"

" Apa? Ada yang minta tambah?" suara bening istri Basar terdengar lagi.

" Iya, Mbak. Tempe gorengnya."

" Aduh, terima kasih. Saya jadi merasa dipuji karena masakan saya disukai orang."

Pak Tarya tertawa. Tapi wajahnya tampak kesal. " Mas Kabul, apa sampeyan tidak tahu saya dan Pak Basar sedang omong-omong serius?"

" Sama, Pak, saya juga sedang serius. Makan sayur asem."

" Dalam istilah Jawa, Mas Kabul ngenom-nomi candu, atau mementahkan pembicaraan. Tapi baiklah. Saya akan kembali kepada Pak Basar. Begini, Pak. Bila memang syariah bukan tujuan, mengapa tekad menegakkan syariah menjadi semangat yang begitu umum, bahkan konon diusahakan masuk ke undang-undang?"

" He... he... Pak Tarya benar-benar serius nih!" kata Basar sambil meletakkan sendoknya ke piring yang sudah kosong.

" Lho, sejak semula, meskipun sambil tertawa, saya tidak main-main."

" Coba kamu yang jawab, Bul. Sudah selesai makan tempe goreng?"

Kabul cengar-cengir. Basar dan Pak Tarya menunggu. Sabar. Eh, tangan Kabul malah terulur memetik pisang ambon. Mengupasnya. Tapi sebelum dijejali buah ranum itu, mulut Kabul akhirnya berbunyi juga.

" Saya sih tak bakalan ikut bila ada gerakan yang hanya akan berhenti pada tegaknya syariah."

" Nanti dulu. Pisang ambon yang masak di pohon memang enak sekali. Wangi."

Pak Tarya dan Basar menggeleng. Senyumnya pahit. " Ya. Sebab penegakan syariah kan istilah yang kurang pas."

" Yang benar?"

" Penegakan akhlak atau budi luhur. Dan syariah hanya jalannya. Eh, boleh ambil pisang satu lagi?"

" Tunda dulu soal pisang. Ini serius," ujar Pak Tarya. " Bila tujuan beragama kita sudah bergeser dari penegakan akhlak ke penegakan syariah, penyimpangannya bisa jauh sekali, bukan?"

" He-he. Ah, sekarang gantian Mas Kades yang menjawab. Saya lebih suka makan pisang...."

Basar mengerutkan kening. Tapi tersenyum. " Penyimpangan itu sudah menggejala di mana-mana," ujarnya dengan wajah menunduk seperti orang kecewa. " Iya, kan? Ritus-ritus agama, ya manifestasi penekanan pada syariah itu, kelihatan semarak. Kajian agama, dari tablig akbar sampai siraman rohani melalui siaran radio dan televisi diselenggarakan pagi dan sore. Namun ramainya penyelenggaraan ritus, ya tampaknya hanya berbuah kesalehan ritual."

" Ah, tunggu sebentar," sela Pak Tarya. " Padahal apa yang kita tuju?"

" Ya sesuatu yang berada di seberangnya, yakni kesalehan sosial. Ini yang sering kita pertanyakan. Maka kalau ada orang bertanya mengapa orang yang sudah saleh dalam menjalankan ritus-ritus agama masih juga korupsi, misalnya, ya inilah jawabnya."

" Bukan main, kades kita ini," seloroh Kabul. " Silakan terus. Saya sih ngantuk. Biasa, karena perut saya perut ular, bila sudah kenyang maunya dibawa tidur."

Kabul tidak main-main. Dia bangkit meninggalkan ruang makan menuju ruang tengah dan menjatuhkan diri di kursi panjang yang empuk. Namun hanya sejenak lalu bergegas bangun.

" Sar, eh, Pak Kades, aku minta diri. Waktu istirahat su- dah lewat. Kapan-kapan aku datang lagi demi ceramahmu. Atau demi sambal dan gulai ikan masakan istrimu yang sudah kubuktikan enak sekali. Kamu memang mantan diskusiwan yang jempol."

Dengan gaya lugas Kabul benar-benar pamitan. Menowel pipi anak Basar yang ada di tangan ibunya, lalu mengacungkan jempol. Kali ini buat istri Basar, untuk masakan enak yang telah dihidangkannya. Kemudian mata istri Basar berkaca-kaca.

Sepeninggal Kabul, Pak Tarya dan Basar pindah ke ruang tamu. Tuan rumah minta agar Pak Tarya tidak segera pulang.

" Kita teruskan omongan kita?" " Terserah Pak Kades sajalah."

" Pak Tarya tahu mengapa Kabul kelihatan sungkan mengikuti omongan kita?"

" Tidak."

" Saya tahu dia jenuh. Dia, saya juga, termasuk orang yang ingin melihat budi luhur sebagai tujuan dan milik orang beragama. Kabul kecewa akan kenyataan yang tidak demikian. Di proyek yang sedang digarap, Kabul menghadapi permainan-permainan kotor yang dilakukan oleh mereka yang resmi mengaku beragama, sudah pula ditatar dengan Pedoman Pengamalan Pancasila. Tetapi mereka tetap serakah. Anggaran, fasilitas, maupun barang-barang proyek yang sesungguhnya milik rakyat acap menjadi bahan bancakan. Dan dengan adanya proyek pembangunan jembatan itu, saya senang tapi juga susah."

" Senangnya saya tahu, karena banyak warga desa ini ikut bekerja, dan keterpencilan wilayah di seberang sungai akan teratasi. Tapi, susahnya?"

" Seperti Kabul, saya juga sarjana dan mantan aktivis. Tapi di sini saya adalah kepala desa yang wajib tunduk kepada orang pemerintah dan orang partai golongan. Kalau mereka tidak ngrusuhi proyek, tak masalah. Tapi nyatanya?"

Basar berhenti, tersenyum tawar. Pak Tarya tertawa. Maklum.

" Coba, Pak Tarya. Dua bulan lagi HUT partai golongan akan dipusatkan di desa kita ini. Dananya besar sekali. Dan saya tidak mau dikuras untuk hal yang tidak semestinya. Jadi, kepada orang Kabupaten saya bilang tak punya uang. Tapi apa kata mereka? Saudara masih ingin jadi kades, kan? Di desa Saudara sedang ada proyek besar, kan? Begitulah, bagaimana saya tidak susah."

" Sudah pernah mencoba menolak?"

" Secara tak langsung, sudah. Dan saya menjadi bahan tertawaan sesama kepala desa yang sedang kumpul di Kabupaten."

" Jadi, sampeyan bersedia menjadi tuan rumah acara HUT partai golongan?"

" Terpaksa, Pak Tarya. Kalau tidak, apakah saya harus berhenti jadi kades hanya karena masalah ketempatan acara HUT? Saya merasa kepedulian saya terhadap desa kelahiran ini sangat kuat. Itulah, maka saya memilih menerima menjadi tuan rumah acara HUT meski dengan kepusingan yang tak kepalang."

Pak Tarya tertawa. Lalu minta izin Basar karena dia ingin merokok. Dan asap pun segera mengepul.

" Aduh, Pak Basar, ternyata hari sudah hampir sore. Terima kasih atas jamuan yang sampeyan sediakan. Sering-sering sajalah mengajak saya makan di sini."

" Mau pulang? Ya, saya juga berterima kasih. Pak Tarya telah menemani saya omong-omong. Mau mancing?"

Pak Tarya menjawab pertanyaan Basar dengan caranya yang khas. Tertawa. Mengucapkan salam, lalu berbalik. Basar memandanginya dari belakang. " Ah, kamu, Pak Tarya. Orang tahu kamu pensiunan Kantor Penerangan dan punya banyak pengalaman. Tapi sekarang hanya jadi tukang mancing dan peniup suling."

Sabtu pagi. Entah mengapa Kabul merasa lapar meskipun jam baru menunjuk pukul tujuh. Padahal dia biasa makan pagi jam delapan, paling sering di warung Mak Sumeh. Dan karena dia sering makan di situ, Mak Sumeh menyediakan meja khusus. Pemilik jaringan warteg itu merasa sudah sepantasnya memberikan kekhususan kepada Kabul, yang diketahui menjadi orang penting di proyek itu.

Sambil menyuruh pembantu menyiapkan hidangan untuk pelanggan pentingnya, Mak Sumeh menarik kursi dan duduk dekat Kabul.

" Mumpung belum banyak orang, Pak Insinyur, boleh aku bicara sedikit?"

" Pasti boleh. Soal apa? Banyak tukang yang belum bayar utang? Itu urusan mandor, bukan urusanku." " Bukan itu, Pak Insinyur. Ini soal pribadi." " Pribadi siapa?"

" Pribadi Pak Insinyur sendiri." " Kok?"

Mak Sumeh senyum-senyum.

" Ya. Begini. Ini salah Pak Insinyur kenapa masih bujangan. Jadi ada gadis yang naksir." Mak Sumeh senyum lagi.

" Ah, Mak Sumeh mau bilang apa?" Kabul menarik kopi yang sudah disajikan pelayan.

" Anu. Tapi sebelumnya aku minta maaf. Apa Pak Insinyur belum tahu Wati& anu& suka sama Pak Insinyur?" Mak Sumeh menatap lurus ke arah mata Kabul. Yang ditatap mengangkat alis.

" Ah, yang benar."

" Aku yang sudah peyot buat apa berbohong? Dia itu ya sering ngrasani Pak Insinyur."

" Kan baru ngrasani. Itu soal biasa."

" Pak Insinyur, aku ini perempuan tua. Sudah cukup pengalaman. Aku tahu arti senyum seorang gadis ketika dia sedang ngrasani lelaki. Aku juga tahu arti desah panjang napasnya ketika matanya menerawang jauh entah ke mana. Jadi percaya sajalah, Wati memang suka sama Pak Insinyur. Repotnya, aku tahu, sesungguhnya Wati sudah punya pacar. Itu pun dia sendiri yang bilang kepadaku." Kabul diam. Mulai menyeruput kopi. Hidangan makan pagi juga sudah selesai disajikan. Nasi putih, ikan bandeng pedas, abon, tempe goreng. Mak Sumeh bangkit, meraih rokok di atas etalase dan duduk kembali di dekat Kabul. Rokoknya mulai menyala. Dan Kabul memang makan dengan lahap. Namun pikirannya tak tenang. Omongan Mak Sumeh sudah mulai mengusik hatinya. Dan apakah Mak Sumeh tahu kemarin Wati menyiapkan perangkat salat untuk dirinya?

" Mak Sumeh, pekerjaan di proyek ini menyita seluruh perhatian dan pikiranku. Jadi, aku belum bisa memikirkan hal lain. Lagi pula apa katamu tadi? Wati sudah punya pacar? Kalau betul, Wati tak boleh diganggu. Iya, kan?"

" Memang, Pak Insinyur. Tapi yah, yang namanya manusia. Dan andaikata aku jadi Wati, jangan-jangan aku pun akan berbuat sama."

" Maksudmu?"

" Ya apa salah bila seorang gadis naksir lelaki bujangan, insinyur, punya pekerjaan?"

" Untuk gadis yang sudah punya pacar, salah," jawab Kabul tanpa mengangkat kepala. Mak Sumeh mengisap rokoknya dalam-dalam. Gelangnya gemerincing setiap kali dia menggerakkan tangan.

" Tapi sebagai sesama perempuan, Pak Insinyur, aku bisa memahami sikap Wati. Soal pacar, yah, kan bisa dipertimbangkan ulang karena belum menjadi ikatan resmi."

" Ah, Mak Sumeh, kenapa kamu terus nyinyir? Soal jodoh kan, nanti akan ketemu bila sudah tiba masanya." " Eh, Pak Insinyur, kok kuno amat. Yang namanya jodoh, dari zaman nenekku pun harus diusahakan, karena tidak bakalan jatuh dari langit. Apalagi sekarang. Nah, Pak Insinyur tahu aku sering jadi makcomblang?" " Setahuku, kamu Mak Sumeh," gurau Kabul. " Iya. Mak Sumeh sudah berpengalaman jadi makcomblang. Gratis kok. Asal, saya jangan dilarang berjualan di proyek...."

Mak Sumeh berhenti bicara. Ada bunyi sepeda motor mendekat. Mata Mak Sumeh menatap ke luar warung. Tersenyum.

" Lihat, Pak Insinyur. Wati datang. Lihat, cantik, kan?" Kabul pun menoleh. Seperti dicocok hidungnya, Kabul patuh pada kata-kata Mak Sumeh.

" Aku dan semua orang di sini bilang Pak Insinyur dan Wati adalah pasangan yang cocok. Pas. Apa saya salah?"

" Mak Sumeh ini bagaimana? Katamu, Wati sudah punya pacar. Kok dijodoh-jodohkan denganku?"

Tanpa menunggu tanggapan Mak Sumeh, Kabul bangkit meninggalkan beberapa lembar ribuan lalu keluar. Mak Sumeh memerhatikan Kabul pergi dan membayangkan dia akan segera bersitatap dengan Wati. Entahlah, Mak Sumeh menebak pipi Wati akan memerah dan Kabul akan salah tingkah.

Atau tebakan Mak Sumeh tidak semua benar. Wajah Wati memang sedikit berubah ketika di pintu kantor dia bertemu Kabul. Namun tidak seperti tebakan Mak Sumeh, Kabul tampak biasa saja. Salam untuk Wati diucapkan se-perti kemarin-kemarin. Tak ada yang berubah. Kabul memberi kesempatan Wati melakukan kebiasaannya; memperbaiki rias setiap kali mau bekerja di pagi hari. Terutama rambut yang acak-acakan karena baru saja tertutup helm.

" Wat, terima kasih atas kebaikanmu kemarin," ujar Kabul dari meja kerjanya sendiri. Kali ini pipi Wati benarbenar memerah.

" Terima kasih? Terima kasih buat apa, Mas?" " Ya. Atas perangkat salat yang kamu siapkan." Wati menunduk. Tersenyum janggal. Mencoba membuka mulut, tapi sampai sekian detik lamanya tak ada kata-kata yang terdengar.

" Jadi, jadi, jadi, kemarin Mas memakainya? Pas apa tidak?"

" Ya, pas. Tapi aku hanya ambil kopiah dan baju koko. Kain sarung dan sajadah aku pakai milik sendiri. Tidak apa-apa, kan?"

Wati menelan ludah. Menatap Kabul tak berkedip. " Tapi semuanya aku berikan untuk Mas. Mau, nggak sih?"

Kabul menunduk. Tersenyum. Ada kecamuk di kepala. " Mau, dan terima kasih. Tapi jadi merepotkan kamu. Lagi pula... oh, maaf. Tidak jadi. Pokoknya terima kasih. Nah, sekarang selamat bekerja. Tolong bereskan pembukuan karena aku akan membuat perhitungan akhir bulan. Dan hari ini akan datang kiriman balok-balok jembatan dari tempat pencetakannya di Tegal. Aku harus menyiapkan tempatnya sebelum dipasang."

" Balok jembatan sih seperti apa, Mas?"

" Seperti apa? Gampangnya, lihat saja nanti. Yang jelas beratnya puluhan ton dan harus diangkut dengan truk khusus berukuran besar."

Mata Wati menerawang dan kedua bibirnya membentuk rongga elips. Dan ketika kembali menengok Kabul, insinyur itu sudah berlalu. Wati menggeleng. Dan tersenyum sendiri.

Di luar, kegiatan proyek sudah mulai terasa. Puluhan tukang dan kernetnya mulai keluar dari bedeng-bedeng dengan pakaian kerja yang kumal, penutup kepala apa saja. Kabul mencari Kang Acep, memintanya mengambil beberapa tenaga untuk menyiapkan tempat balok-balok beton yang akan datang siang ini. Mesin penyedot air yang kemarin agak rewel diperintahkan diperbaiki agar pembuatan tiang jembatan yang sudah mulai jangan terlambat. Cak Mun datang untuk melaporkan stok kawat las sudah menipis. Tapi Bejo, tukang batu, masih jongkok di dekat penjual nasi bungkus. Dia buru-buru bangun karena melihat Kabul datang. Suapan-suapan nasi terakhir dilakukan sambil berjalan.

Langit bersih. Maka panas terasa mulai menyengat meskipun matahari belum sepenggalah. Beruntung angin selatan juga mulai mengalir. Musim kemarau mulai menunjukkan gejala kehadirannya. Di seberang sana tampak pohon bacang mulai berbunga. Juga pohon bungur yang bunganya segar kebiruan. Tapi rumpun bambu mulai menguning dan kemudian akan mengurangi kelebatan daunnya. Bila ada tiupan sedikit saja, ribuan daun bambu luruh dan menghambur mengikuti angin. Tanah pertanian kering dan hamparan padang kosong mulai berubah warna, menjadi kelabu.

Dari lokasi proyek bisa dilihat puluhan layang-layang mengapung di atas perkampungan. Ada juga baling-baling bambu besar terpancang di sudut kampung dan berputarputar menghadap ke selatan. Air Sungai Cibawor jauh menyurut, sehingga membantu mempermudah pekerjaan proyek. Tapi Kang Martasatang menghadapi kehilangan pekerjaan hingga musim hujan mendatang. Karena Sungai Cibawor bisa diseberangi dengan jalan kaki, rakit tambang Kang Martasatang tidak laku. Sudah beberapa hari Kang Martasatang muncul di proyek tanpa maksud yang jelas. Mungkin ia ingin berbicara dengan mandor, minta pekerjaan jadi kuli.

Dan dari balik kaca ruang kantornya, Wati mengintip ke luar. Pekerjaan tak seberapa yang harus diselesaikan sudah beres. Kini dia ingin mengikuti Kabul dari jauh. Lelaki muda itu kadang kelihatan, kadang tidak. Untung topi plastik putihnya membedakan Kabul dari para mandor yang semua bertopi kuning. Bila Kabul pas tampak, Wati memerhatikan dengan mata, dengan hati, dan dengan mimpi-mimpinya.

Makin siang, hari makin panas. Permukaan tanah kering yang amat luas di sekitar proyek membinarkan fatamorgana. Baling-baling bambu di sudut kampung itu berderitderit. Di langit yang sangat tinggi burung-burung bangau melayang berputar-putar. Lengkingnya yang kering terasa menambah gersang musim kemarau. Dan lengking tadi makin hilang terbawa sang bangau terbang ke utara mencari daerah hujan di seberang khatulistiwa.

Setelah melihat mesin proyek berputar dengan baik, Kabul ingin mencari tempat berteduh. Di bedeng kantornya dia bisa melihat catatan-catatan sambil mendengarkan musik. Atau membaca majalah yang dibeli kemarin dari kota. Dan di kantornya juga ada Wati. Tapi entahlah, Kabul tidak pulang ke bedeng kantornya. Dia malah melangkah menuju warung Mak Sumeh. Ada tukang batu sedang membeli rokok dan setelah dapat cepat-cepat berlalu.

Kabul duduk di tempat biasa, minta teh botol dan es. Minuman itu langsung ditenggak setengahnya. Melepas helm dan meletakkannya di atas meja. Termangu karena sedang menikmati keteduhan setelah sekian lama terjerang panas matahari. Dan dinginnya es teh yang turun dari tenggorokan membasahi lambungnya. Mak Sumeh mendekat. Gelangnya bergemerincing. Dan rokoknya terus mengepul. Usia Mak Sumeh mungkin mendekati enam puluhan. Atau malah lebih. Namun wajahnya tetap segar. Hidupnya kelihatan penuh semangat, padahal tubuhnya tambun. " Haus ya, Pak Insinyur?"

" Ya, udara memang panas. Gersang."

" Biasa, di proyek mana yang tidak panas? Semua itu biasa. Yang penting hati Pak Insinyur tidak gersang. Eh! Maaf."

" Hati yang gersang itu bagaimana?" " Yah, misalnya, hati yang hampa karena tak punya pacar. Eh, mulutku lancang ya, Pak Insinyur?" " Kamu memang lancang."

" Tapi benar kan, hati yang hampa bisa membuat perasaan gersang? Aku juga pernah menjadi orang muda lho, Pak Insinyur."

Kabul tak memberi tanggapan, kecuali senyum samar dan hambar. Mak Sumeh merasa tak diberi ruang untuk meneruskan omongannya. Gelangnya bergemerincing dan bau asap rokoknya menyebar ketika dia bangun. Kabul sendiri dan diam-diam mengiyakan kata-kata Mak Sumeh. Memang hidup membujang sampai usia tiga puluh kadang terasa gersang.

Sesungguhnya Kabul merasa sama dengan lelaki yang lain. Ingin segera kawin setelah bisa cari uang. Namun, penghasilan Kabul habis untuk menghidupi ibu, dan terutama kedua adiknya yang masih kuliah. Sama seperti dirinya, hampir jadi insinyur. Aminah, adik bungsunya, kini masuk semester empat fakultas farmasi. Mereka harus tamat meskipun Kabul sendiri terus menunda kawin. Kemelaratan keluarga yang sudah turun-temurun harus diakhiri dengan memperbaiki tingkat pendidikan. Seperti Dalkijo yang bertekad tobat melarat, Kabul pun sama.

Namun tidak seperti Dalkijo yang mendendam kemelaratan masa muda dengan membalasnya melalui hidup sangat pragmatis dan kemaruk, Kabul tetap punya idealisme dan sangat hemat. Proyek itu pun bagi Kabul harus dilihat dalam perspektif idealismenya, maka harus dibangun demi sebesar-besarnya kemaslahatan umum. Artinya, kualitas harus sempurna dengan memanfaatkan setiap sen anggaran sesuai dengan ketentuan yang semestinya. Memang, Kabul sering ditertawakan Dalkijo. " Apa dengan mempertahankan idealismemu, orangorang miskin di sekeliling kita menjadi baik?" seloroh Dalkijo suatu saat. " Apa kejujuranmu cukup berarti untuk mengurangi korupsi di negeri ini?"

Kabul sering merenungkan seloroh Dalkijo ini. Ya, dengan pandangan dekat, seloroh itu ada benarnya juga. Negeri ini dihuni oleh masyarakat korup, terutama di kalangan birokrat sipil maupun militer, juga orang awamnya. Malah Kabul melihat jenis korupsi baru yang tersamar namun bisa sangat parah akibat yang ditimbulkannya. Yakni korupsi melalui manipulasi gelar kesarjanaan.

Seseorang yang tidak mencapai standar kecerdasan intelektual, apalagi kecerdasan emosional tingkat sarjana, bisa resmi mendapat gelar kesarjanaan atau pascasarjana. Gelar itu bisa didapat dengan membeli, ikut kelas jauh, atau kuliah-kuliahan di kota kecil yang diselenggarakan oleh universitas gurem penjual ijazah. Dengan gelar yang semestinya bukan hak itu dia memperoleh kenaikan tingkat kepegawaian, kenaikan gaji dan fasilitas lain, bahkan pensiun kelak akan lebih besar. Bila ribuan pegawai dari tingkat pusat sampai guru SD melakukan manipulasi ijazah seperti itu, Kabul bisa membayangkan berapa kerugian rakyat akibat korupsi terselubung ini. Apalagi bila dihitung untuk jangka panjang.

Ya, kecurangan memang sudah menjadi barang biasa. Maka Dalkijo juga pernah bilang kepada Kabul, si jujur adalah orang yang menentang arus dan konyol. Bloon. Mungkin. Namun bagi Kabul, kejujuran sebenarnya bukan suatu hal yang istimewa. Dialah yang seharusnya dianggap biasa.

Bunyi gesekan sandal di lantai dan gemerincing gelang di tangan Mak Sumeh membuyarkan lamunan Kabul. Dia mengangkat kepala dan melihat Mak Sumeh sudah kembali duduk di dekatnya. Menyalakan rokok baru dengan gerakan yang menunjukkan dia sudah sangat berpengalaman dengan tembakau. Kabul meraih es tehnya, namun gelas sudah kosong. Mak Sumeh mau bicara, tapi tertahan karena ada orang masuk. Wati.

" Makan siang gasik saja ya, Mas? Aku sudah lapar." Kabul yang sedikit terkejut menanggapi kata-kata Wati hanya dengan senyum, lalu melihat tangan. Jam setengah dua belas.

" Pekerjaanmu sudah selesai?"

" Sudah lama selesai. Makanya aku jenuh, mau apa? Terus jadi lapar."

" Tapi aku belum. Silakan makan sendiri." " Ah, tak mau."

Wati manja. Sedikit bersungut. Kabul terdiam. Terasa ada satu detik yang aneh. Yakni ketika Kabul merasa dalam sepersekian detik muncul daya pikat dari penampilan Wati. Apanya? Sungutnya? Getar suaranya? Mungkin. Atau entah. Yang pasti ada sesuatu yang baru terasa dalam beberapa detik ini.

" Eh, Pak Insinyur. Masa iya, diminta makan bareng saja tak mau," sela Mak Sumeh yang langsung memanggil Sonah agar menyiapkan hidangan.

" Ada baiknya makan siang gasik supaya tidak terganggu para mandor dan tukang," tambah Mak Sumeh.

Merasa dihadapi dua perempuan, Kabul mengalah. Atau Kabul telah dikalahkan hanya dalam waktu sepersekian detik. Dia tersenyum, tapi dari matanya terbaca kegelisahan. Kali ini dia minta dihidangi sup jamur dan pepes ikan mas. Wati minta ditambahi sambal terasi, lalap mentimun, dan sayur asem. Mak Sumeh memandang mereka dari seberang meja. Wati minta musik dangdut yang sudah terpancar sejak tadi dikecilkan. Kabul malah minta dimatikan sama sekali.

Begitu musik dari kaset itu berhenti, suasana langsung berubah. Plong. Ruang terasa menjadi lebih lapang. Dari kawasan proyek masuk bunyi mesin las. Gurau dan teriakan mandor. Dentam godam pembelah batu. Tapi juga cicit ratusan burung manyar yang terbang ke timur melintas di atas warung.

Wati menikmati makan siangnya. Sambal dan sayur asem panas membuat pipinya merah dan dahinya berkeringat. Kabul memandang Wati, ingin melihat nuansa yang tadi mengalahkannya. Tak ada. Wati tampak kembali seperti biasa. Ke manakah larinya pesona tadi? " Kok makannya malas-malasan, Mas?" " Sudah kubilang, aku belum begitu lapar. Tapi ayolah makan."

" Kali ini aku yang bayar, Mas. Malu terus-terusan ditraktir."

" Tak lucu kan, perempuan mentraktir laki-laki?" " Apa yang tak lucu? Zaman sekarang, aku kira itu hal biasa."

Kabul tersenyum. Dia merasa Wati berbicara pada tingkat pengetahuannya yang memang lumayan. Juga tingkat sosialnya. Untuk ukuran desanya, orangtua Wati cukup berada. Ayahnya anggota DPRD. Seorang kakak Wati konon jadi mayor polisi. Kabul juga tahu gaji Wati di proyek itu tak seberapa. Bila benar Wati bekerja demi gaji, pasti dia tak akan bertahan satu bulan. Jadi, Wati tampaknya bekerja di proyek lebih untuk menghindar dari sebutan penganggur. Atau seperti pernah dikatakan Wati sendiri, dia bekerja di proyek untuk mengisi waktu penantian sebelum ada pekerjaan yang lebih baik.

Niat Wati untuk membayar makan siang membuat pikiran Kabul melebar: Ah, bagaimana bila uang Wati berasal dari gaji ayahnya yang anggota DPRD itu? Di tahun 1991 ini Kabul sering membaca kritikan pedas terhadap para anggota dan lembaga DPRD. Secara kelembagaan, DPRD sering dicap hanya menjadi tukang stempel atau aksesori Pemerintah Orde Baru. Rakyat jadi pemilih sangat naif yang hanya dipinjam namanya. Keterwakilan mereka di lembaga legislatif sangat rendah. Amanat rakyat pemilih kurang tersalur dan lebih banyak menjadi bahan retorika para politikus.

Menurut para kritikus, dan Kabul sependapat, apabila secara kelembagaan DPRD sudah menyimpang dari khitahnya, dengan sendirinya para anggota demikian pula. Mereka, para kritikus, sering mengatakan para anggota DPRD menikmati uang rakyat tanpa melaksanakan dengan semestinya amanat yang dipercayakan kepada mereka. Dan Kabul merasa pahit ketika membayangkan, jangan-jangan sebagian uang rakyat itu kini ada di dompet Wati dan siap untuk membayar makan siang Kabul kali ini.

" Ah, mungkin aku terlalu puritan," kata Kabul untuk dirinya sendiri.

" Memang. Apalagi Dalkijo; dia pasti akan bilang kamu makin bloon saja. Dan sok suci," ujar satu suara dari sudut hati Kabul sendiri.

" Tapi rasa itu nyata ada. Yakni rasa enggan ditraktir bila uang Wati berasal dari gaji ayahnya."

" Nah, tanyakan kepada Wati; dari mana uang yang kini ada dalam dompetnya."

Kabul ragu untuk menuruti perintah yang bergaung dalam kepalanya sendiri. Tidak. Kabul cepat menyelesaikan makannya. Meneguk es teh, lalu bangkit mendekati Sonah. Makan siang bersama Wati kali ini pun Kabul yang bayar. Tak peduli Wati merengut. Eh, biarlah merengut. Karena tiba-tiba daya tarik itu muncul lagi dari wajah Wati.


Rajawali Emas 53 Pendekar Cengeng Trio Detektif 14 Misteri Naga Batuk Deviasi Karya Mira W

Cari Blog Ini